makalah euthanasia

18
TUGAS AGAMA ISLAM EUTHANASIA NAMA KELOMPOK: 1. Diah Suci Anjasmoro 2. Dwinda Alhuda Arofa 3. Dwi Ary Nugraheni 4. Eka Septya Pramesti 5. Elza Nur Jannah

Upload: dwi-arry-nugraheni

Post on 04-Jan-2016

53 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Euthanasia

TUGAS AGAMA ISLAMEUTHANASIA

NAMA KELOMPOK:

1. Diah Suci Anjasmoro2. Dwinda Alhuda Arofa3. Dwi Ary Nugraheni4. Eka Septya Pramesti5. Elza Nur Jannah

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

PROGRAM STUDI KEBIDANAN METROTAHUN 2011

Page 2: Makalah Euthanasia

PENGERTIAN EUTHANASIA

Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death

sering pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar

perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk

menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak

ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru

mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu

dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan

perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya,

kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh

perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof.

Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini

dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan

kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.

Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa

penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita

penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.

Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan

memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama

Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”.

Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan:

“Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu

untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu

untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini

dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.

Tindakan ini dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai

harapan sembuh (hopeless). Eutanasia dapat dilakukan dengan memberikan obat-

obatan tertentu atau dengan menghentikan pengobatan maupun alat Bantu hidup

yang sedang dilakukan.

Page 3: Makalah Euthanasia

JENIS DAN MACAM EUTHANASIA

1. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga

kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.

Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan

secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya

untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia

agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang

mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh

senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.

Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis

(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi

dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk

menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya

akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut

diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan

tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik

eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.

Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia

negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk

mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan

memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang

hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak

memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam

pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia

berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna

memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa

sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.

Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh

kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan

Page 4: Makalah Euthanasia

oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian

seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena

ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa

kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan,

akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan

pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan

meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

2. Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi

tiga yaitu :

Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang

bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan

eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang

seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan

yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak

berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan

misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada

kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab

beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan

bagi si pasien.

Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri,

namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

3. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan

Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :

Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)

Eutanasia hewan

Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada

eutanasia agresif secara sukarela

Page 5: Makalah Euthanasia

PANDANGAN SYARIAH ISLAM

Pengertian “mempercepat kematian” dalam terminologi Islam tidak

dikenal. Dalam ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah (QS.Yunus,

10: 49).Dengan demikian euthanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang

diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.Syariah

Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di

segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik

euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.

A. Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam

kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu

untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas

permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini

sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik

pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman

Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk

membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :

151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),

kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan

euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan

sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa

besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan

mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati

karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang

dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)

Page 6: Makalah Euthanasia

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash

(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai

dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT :  “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari

saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan

hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf

dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di

antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i

(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham

(uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1

dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1

dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu

kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan

kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik

itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.

Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak

mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,

yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada

seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan,

maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan

kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan

Muslim).

B. Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam

praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan

keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan

tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter

menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan

Page 7: Makalah Euthanasia

alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut

Syariah Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita

tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib,

mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.

Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah),

tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti

kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul

Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub.

Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi

SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah

(indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan

yag tidak tegas (sunnah).

Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW

bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia

ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat.

Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya

tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai

kaidah ushul :

Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-

Nabhani, 1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam

hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib.

Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa

perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak

berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang

perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya

Page 8: Makalah Euthanasia

aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh].

Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu

mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa

kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku

akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap

[saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak

tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan

dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir

ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,

bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),

bukan wajib (Zallum, 1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk

dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini

hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis

keadaannya?

Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah

menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak

menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan

sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah

termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian

otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan

bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap

tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ

ini pun akan segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu

kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya

sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan

dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ

otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut

alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa

Page 9: Makalah Euthanasia

dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum,

1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin

dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk

mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi,

maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah,

1992 : 522-523). Wallahu a’lam.

Page 10: Makalah Euthanasia

KEBIJAKAN KEMENTRIAN KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA

Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu

perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-

undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-

undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna

langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.

1. Pasal 344 KUHP

Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,

yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara

selama-lamanya dua belas tahun.Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa

permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.

2. Pasal 338 KUHP

Barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena

makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.

3. Pasal 340 KUHP

Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu

menghilangkan jiwa orang lain, di hukum, karena pembunuhan

direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya

seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.

4. Pasal 359

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara

selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan

kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.

5. Pasal 345

Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,

menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi

bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia

dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam

pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP

dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

Page 11: Makalah Euthanasia

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds:Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Damaskus : Darul Fikr.

Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press.

Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh, Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut : Darul Ummah.

Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.

Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung