makalah kasus malaria
DESCRIPTION
Makalah Pembahasan Kasus MalariaTRANSCRIPT
-
Seorang Laki Laki Datang dengan Keluhan Demam, Menggigil, dan Berkeringat
KELOMPOK 9
Mailiani Safitri Hatapayo 030.08.151
Senida Ayu Rahmadika 030.09.230
R. Ifan Arief Fahrurozi 030.10.226
Rachma Tia Wasril 030.10.228
Radian Savani 030.10.229
Ramayani Batjun 030.10.231
Ratu Suci Anggraini 030.10.232
Raysa Angraini 030.10.233
Reynatta Audralia 030.10.234
Riana Rahmadhany 030.10.235
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta, 10 Juli 2012
-
2
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit malaria adalah penyakit menular yang menyerang dalam bentuk infeksi akut
ataupuan kronis. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa genus plasmodium bentuk aseksual, yang
masuk ke dalam tubuh manusia dan ditularkan oleh nyamuk Anhopeles betina. Plasmodium ini
merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium
falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada
manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles ataupun ditularkan langsung melalui transfusi
darah atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya.
Di dunia ini hidup sekitar 400 spesies nyamuk anopheles, tetapi hanya 60 spesies berperan
sebagai vektor malaria alami. Di Indonesia, ditemukan 80 spesies nyamuk Anopheles tetapi
hanya 16 spesies sebagai vektor malaria. Ciri nyamuk Anopheles Relatif sulit membedakannya
dengan jenis nyamuk lain, kecuali dengan kaca pembesar. Ciri paling menonjol yang bisa dilihat
oleh mata telanjang adalah posisi waktu menggigit menungging, terjadi di malam hari, baik di
dalam maupun di luar rumah, sesudah menghisap darah nyamuk istirahat di dinding dalam
rumah yang gelap, lembab, di bawah meja, tempat tidur atau di bawah dan di belakang lemari.
Gambaran karakteristik dari malaria adalah demam periodik, anemia, trombositopeni dan
splenomegali. Berat ringannya manifestasi malaria tergantung jenis palsmodium yang
menyebabkan infeksi dan imunitas penderita. Diagnostik malaria sebagaimana penyakit pada
umumnya didasarkan pada gejal klinis, penemuan fisik diagnostik, laboratorium darah, uji
imunoserologis dan ditemukannya parasit (plasmodium ) di dalam darah tepi penderita sebagai
gold standar .
-
3
BAB II
LAPORAN KASUS
Sesi 1
Didi, 31 tahun, datang ke polikkinik umum di rumah sakit tempat anda bekerja dengan keluhan
demam sejak 1 minggu yang lalu. Ia mengatakan bahwa demam hilang timbul setiap 3 hari sekali
disertai menggigil dan berkeringat banyak. Didi adalah seorang pegawai swasta yang pernah
bekerja di Nusa Tenggara Timur (NTT) 6 bulan yang lalu, saat masih di NTT, ia sempat terkena
malaria, sudah di obati dengan atremisin tunggal, dan dinyatakan sembuh, dan setelah itu ia pun
langsung pulang ke Jakarta, dan tidak pernah kembali lagi ke sana. Tn. Didi juga pernah terkena
Demam Berdarah Dengue 3 bulan yang lalu, sempat dirawat di rumah sakit dan telah dinyatakan
sembuh
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
BB : 90 kg
TB : 178kg
Kesadaran : Compos mentis
TD : 120/80
N: 98x/menit
Suhu : 39 c
Mata : konjungtiva anemis -/- , sclera ikterik +/+
THT : Dalam Batas Normal
Cor : S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Versikular, rh-/- , wh. -/-
Abdomen : Datar ,supple , hepar teraba 1-2 jari bawah arcus costae
Extremitas : dalam batas normal
-
4
Sesi 2
Pada anamnesis tambahan, selama di NTT, Tn.Didi bekerja sebagai perawat. Riwayat tertusuk
jarum saat bekerja + ,Riwayat vaksinasi hepatitis B (+). Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai
sebagai berikut :
Hb : 10.9.
Leukosit :11.000 /mm3
Trombosit : 110.000 / mm3
Bilirubin indirect : 1.8 mg/dl
SGOT : 85
SGPT : 93
Ureum : 25 mg/dl
Kreatinin : 1,0 mg/dl
Dengue IgG: positif
Dengue IgM : negative
ICT-HRP Malaria : Negatif
Bilirubin direct : 2.5 mg/dl
Anti HBs : Positif
Pada pemeriksaan USG didapatkan :
Gambar liver hiperekoik dengan hepatomegali, disertai dengan ginjal kiri pool atas non
obstruktif ukuran 0.5 cm.
-
5
BAB III
PEMBAHASAN
Masalah dan Hipotesis
Berikut merupakan interpretasi masalah dan hipotesis pada pasien :
MASALAH PEMBAHASAN HIPOTESIS
Demam sejak satu minggu
yang lalu
Demam disebabkan oleh adanya pirogen
eksogen (mikroba dan non mikroba) yang
masuk ke dalam tubuh sehingga
merangsang pelepasan pirogen endogen
(sitokin), yang kemudian menuju
hipotalamus yang memicu hipotalamus
untuk memproduksi PGE2 yang
kemudian dapat meningkatkan suhu
- Infeksi
mikroorganisme
(bakteri,virus,parasit,ja
mur)
- Keganasan
- Kelainan imunologik
(SLE, RA, dll)
Demam hilang timbul
setiap 3 hari sekali
Hal ini disebabkan karena pirogen
eksogen hanya masuk kedalam aliran
darah sistemik setiap 3 hari sekali
- Infeksi plasmodium
vivax (malaria)
- Demam berdarah
dengue
Demam disertai menggigil
dan berkeringat banyak
Hal ini disebabkan adanya reaksi yang
ditimbulkan oleh hipotalamus dalam
mengontrol suhu, kontrol produksi panas
dengan tonus otot (menggigil), sistem
saraf simpatis pada kelenjar keringat dan
pembuluh darah vasokonstriksi.
- Malaria
- Leptospirosis
- Demam berdarah
dengue
Pasien pernah bekerja di
NTT
Pasien pernah tinggal pada daerah yang
endemis terhadap malaria
- Malaria
6 bulan yang lalu selama
di NTT sempat terkena
Pada pengobatan artemisin yang
merupakan skizontosid darah hanya dapat
- Relaps pada malaria
-
6
Anamnesis
Malaria
- Bagaimana riwayat pengobatan pasien?
- Apakah mengkonsumsi obat dengan teratur?
- Apakah mendapat obat tambahan setelah meninggalkan NTT?
- Apakah pernah melakukan transfusi darah?
malaria. Sudah dinyatakan
sembuh dengan
pengobatan artemisin
tunggal.
mengobati fase eritrisit pada malaria ,
tidak dapat mengobati pada fase
preeritrosit. Sehingga pada pasien yang
terinfeksi plasmodium vivax atau ovale
yang mempunyai stadium hipnozoid
dalam jaringan, dan dapat betahan di
hepar selama bertahun-tahun bisa terjadi
timbulnya relaps malariae
Pernah terkena DBD 3
bulan yang lalu, sempat
dirumah sakit dan
dinyatakan telah sembuh.
Karena sebelumnya pernah terkena
malaria pada 6 bulan yang lalu. Maka
kemungkinan pada pasien mengalami
penurunan imunitas karena plasmodium
menyerang sel hati, sehingga sel
kupffer(makrofag) pada hepar tidak dapat
bertahan dari serangan virus dengue.
- Demam Berdarah
Dengue
Selama di NTT bekerja
sebagai perawat , dan
Riwayat tertusuk jarum
(+)
Pekerjaan perawat merupakan pekerjaan
yang beresiko tinggi tertular penyakit.
Seperti infeksi nosokomial. Kemudian
karena pada pasien pernah punya riwayat
tertusuk jarum maka pasien bisa saja
terkena penyakit yang penularannya
melalui tertusuk jarum.
- Hepatitis
- HIV
-
7
Typhoid
- Apakah terdapat nyeri kepala hebat?
- Apakah terdapat diare yang disusul konstipasi?
DBD
- Apakah ada perdarahan spontan?
Anamnesis tambahan lainnya
- Apakah ada keluhan lain yg menyertai?
- Apakah ada orang disekitar dengan keluhan yang sama?
- Kapan atau apa faktor pencetus terjadinya demam?
Pemeriksaan Fisik
1. BB: 90kg ; TB : 178 cm
Perhitungan berdasarkan BMI, adalah = BB : (TB)2, maka didapatkan perhitungan:
90 : (1,78)2
= 28,4
Pada perhitungan BMI, hasil standart 25,0 29.9 termasuk dalam overweight.
2. Kesadaran : Compos Mentis
Kesadaran yang kompos mentis maka mengindikasikan bahwa pasien tidak mengalami
kelainan pada sistem saraf pusat.
3. TD : 120/80 (normal); Nadi :98X (normal) ; suhu : 39oC (febris ; N:36,5oC-37,2oC)
Pada pasien didapatkan suhu yang febris dengan tidak adanya peningkatan suhu yang
begitu terlihat (bradikardi relatif). Dilihat dari demam yang intermiten dan menggigil
juga pasien berada di daerah endemis, hipotesisnya adalah malaria, demam berdarah
dengue, dan demam typhoid.
-
8
4. Mata : konjungtiva anemis -/- ; sclera ikterik +/+
Konjungtiva yang tidak anemis, menandakan bahwa pasien tidak mengalami perdarahan
yang masif atau anemia. Kemudian sklera yang ikterik , menandakan bahwa terjadi
kelainan pada hepar yang mungkin dikarenakan penyakit hepatitis atau malaria.
5. THT : dalam batas normal ; ekstremitas : dalam batas normal
Tidak didapatkan kelainan apapun, sehingga tidak terdapat penyakit yang berkaitan
dengan telinga hidung tenggorokan, dan ekstrimitas
6. Cor: S1S2 Reguler , murmur (-), gallop (-)
Tidak terdapat kelainan pada jantung
7. Pulmo : vesikuler , rh -/- , wh -/-
Tidak terdapat kelainan pada paru-paru
8. Abdomen : datar,supple , hepar teraba 1-2 jari bawah arcus costae
Pada pemeriksaan didapatkan terjadinya pembesaran hepar , diduga dikarenakan adanya
gangguan hepar akibat eritrofagositosis sel kupfer pada malaria.
-
9
Pemeriksaan Laboratorium
Berikut merupakan interpretasi pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang pada
pasien :
Data Data
Kasus
Nilai
Normal Interpretasi Keterangan
Pemeriksaan
Darah :
Hemoglobin 10,9 13 - 18 Menurun Anemia Hemolitik, Eritrofagositosis,
PenurunanEritropoesis.
Leukosit 11000 5000 -
10000 Meningkat Infeksi
Trombosit 110000 150000 -
400000 Menurun InflamasiSistemik
Bilirubin Indirect 1,8 0,2 - 0,7 Meningkat GangguanHemolitik
Bilirubin Total 2,5
-
10
Interpretasi USG
Liver hepatomegali akibat sel Kupffer (seperti sel dalam RES) terlibat dalam respon fagositosis,
selain itu hati menjadi kecoklatan akibat pigmen malaria. Gambaran kista pada ginjal
menunjukan adanya rongga patologis berdinding jaringan ikat dan berisi cairan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan mikroskopis
Sediaan berupa darah tetes tebal dan tipis untuk menentukan adanya parasit malaria, jenis
spesies dan stadium parasit malaria, dan kepadatan parasit semikuantitatif dan kuantitatif
(jumlah parasit per mikro liter darah). Penghitungan parasit secara semikuantitatif kurang
akurat, sehingga sebaiknya hanya digunakan pada keadaan yang mendesak dan dilakukan
pada sediaan darah tebal dengan interpretasi sebagai berikut : (+) : 1-10 parasit stadium
aseksual per 100 lapang pandang mikroskop, (++) : 11-100 parasit stadium aseksual per 100
lapangpandangmikroskop, (+++) : 1-10 parasit stadium aseksual per satu lapang pandang
mikroskop, dan (++++) : 11-100 parasit stadium aseksual per satu lapang pandang
mikroskop. Sedangkan perhitungan secara kuantitatif dapat dilakukan baik pada sediaan
darah tebal maupun tipis. Jumlah parasit stadium aseksual (cincin, trofozoit, danskizon) dan
seksual (gametosit). Pada sediaan darah tebal, parasit dihitung berdasarkan jumlah leukosit
per L darah; jika tidak diketahui biasanya diasumsikan leukosit penderita berjumlah
8.000/L. Jumlah parasit stadium aseksual x jumlahleukosit/L : 200. Sedangkan
perhitungan parasit dalam sediaan darah tipis perlu diketahui jumlah eritrosit per L darah.
Jika nilai ini tidak diketahui, diasumsikan penderita mengandung eritrosit 5.000.000/L
(pria) atau 4.500.000/L (wanita). Jumlah parasit kemudian dihitung paling sedikit dalam 25
ICT-HRP Malaria - - Normal Kemungkinan penyebab bukan
Plasmodium Falciparum
Anti HBS + + Normal Normal karena pasien telah
Vaksinasi Hepatitis B
Vaksinasi
Hepatitis B + + Normal -
-
11
lapangang pandang mikroskopik dan total parasit/L dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Jumlahparasit stadium aseksual x jumlaheritrosit/L : total eritrositdalam 25 lapangan
pandang. Pada sediaan darah tipis juga dapat dihitung proporsi atau presentase eritrosit yang
terinfeksi dengan rumus sebagai berikut : Jumlah parasit stadium aseksual dalam 25 lapangan
pandang mikroskopik x 100%. Pada penderita tersangka malaria berat harus diperhatikan jika
hasil pemeriksaan darah pertama negatif, darah harus diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3
hari berturut-turut dan jika pemeriksaaan tetes tebal negative selama 3 hari berturut-turut,
maka diagnosis malaria baru disingkirkan.
B. Rapid diagnostic test
Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan deteksi antigen parasit malaria dengan
imunokromatografi dalambentuk dipstick. Tes ini digunakan di UGD, pada waktu terjadi
KLB atau untuk memeriksa malaria di daerah terpencil yang tidak tersedia sarana
laboratorium atau untuk melakukan survey tertentu. Ada 2 jenis RPD : single (mendeteksi
hanya Plasmodium falciparum) dan combo (mendeteksi infeksi semua spesies Plasmodium).
Rapid Diagnostic Test yang digunakan sebaiknya memiliki sensitivitas lebihdari 95% dan
spesifisitas lebih 95%. Contoh RPD yang tersedia di pasaran : HRP-2 (Histidine Rich
Protein-2) yang dihasilkan trofozoit, skizon dan gametositmuda. Plasmodium falciparum dan
p-LDH (parasite Lactate Dehydrogenase) danAldolase yang diproduksi oleh parasit bentuk
seksual dan aseksual semua spesies Plasmodium.
Diagnosis
Malaria dengan ikterus.
-
12
Diagnosis Banding
DIAGNOSIS BANDING MALARIA
PENYAKIT MANIFESTASI KLINIK
Demam tifoid Demam > 7 hari, sakit kepala, sakit perut, obstipasi, lidah kotor,
bradikardi relatif, roseola, leukopenia, limfositosis relatif,
aneosinofilia, tes Widal bermakna, biakan empedu positif.
Demam dengue Demam tinggi 2-7 hari, sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati,
muntah, uji tourniquet positif, trombositopenia, hemoglobin dan
hematokrit meningkat, tes serologi inhibisi heamaglutinasi positif,
IgM atau IgG anti dengue positif.
Leptospirosis Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah,
konjungtiva merah, nyeri betis berat, tes Lepto dipstick positif.
Hepatitis Demam, mual, nyeri hepar, muntah, ikterus, mata dan kulitkuning,
urine warna seperti teh, SGOT/SGPT meningkat 5x dari normal.
Penatalaksanaan
1. Terapi non medika mentosa :
o Rawat inap
o Edukasi pasien, yaitu dengan meningkatkan health promotion dan spesific
protection
o Memutuskan rantai penularan
2. T er ap i m ed i k a m en t os a
Pemberian obat yaitu :
o Kina sulfat 30 mg/ kgbb/ hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7
hari, atau
-
13
o Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1- 1,5 mg/ kgbb atau
sulfadoksin 20- 30 mg/kgbb single dose
B i l a d en gan p en gob a t an pad a h a r i k eem p at m as ih d em am a t au p ada
h a r i ke delapan masih dijumpai parasit maka diberikan T e t r a s i k l i n H C l 5 0
m g / k g b b / h a r i , s e h a r i 4 k a l i s e l a m a 7 h a r i d i t a m b a h d e n g a n
fansidar/suldox bila sebelumnya telah mendapat pengobatan diata s atau
T e t r a s i k l i n H C l + k i n a s u l f a t b i l a s e b e l u m n y a t e l a h
m e n d a p a t pengobatan diatas.
Komplikasi
1. Kern ikterus
2. Gagal ginjal
3. Malaria serebral
4. Anemia berat
Prognosis
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungtionam : Ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
-
14
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM MENGGIGIL
Pengaturan Suhu Tubuh
1. Keseimbangan Produksi Panas Dan Kehilangan Panas
Pengaturan suhu memerlukan mekanisme perifer yang utuh, yaitu keseimbangan produksi dan pelepasan
panas, serta fungsi pusat pengatur suhu di hipotalamus yang mengatur seluruh mekanisme. Bila laju
pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas, timbul panas dalam tubuh dan
temperatur tubuh meningkat. Sebaliknya, bila kehilangan panas lebih besar, panas tubuh dan temperatur
tubuh akan menurun.
a. Produksi Panas
Dalam tubuh, panas diproduksi melalui peningkatkan Basal Metabolic Rate (BMR). Faktor-faktor yang
dapat meningkatkan Basal Metabolic Rate antara lain: (1) laju metabolisme dari semua sel tubuh; (2) laju
cadangan metabolisme yang disebabkan oleh aktivitas otot; (3) metabolisme tambahan yang disebabkan
oleh pengaruh tiroksin, epinefrin, norepinefrin dan perangsangan simpatis terhadap sel; (5) metabolisme
tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi didalam sel sendiri.
Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan
menggigil sebagai respon terhadap kenaikan suhu tubuh. Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf
pusat memegang peranan penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada lingkungan panas
atau bila suhu tubuh meningkat, pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus mempengaruhi serabut eferen
dari sistem saraf otonom untuk melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi). Peningkatan aliran darah
dikulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit kesekitarnya dalam
bentuk keringat. Dilain pihak, pada lingkungan dingin akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah
sehingga akan mempertahankan suhu tubuh.
B. Kehilangan Panas
Berbagai cara panas hilang dari kulit ke lingkungan dapat melalui beberapa cara yaitu: (1) Radiasi :
kehilangan panas dalam bentuk gelombang panas infra merah, suatu jenis gelombang elektromagnetik.
Dimana melalui cara ini tidak menggunakan sesuatu perantara apapun. Secara umum enam puluh persen
panas dilepas secara radiasi; (2) Konduksi : kehilangan panas melalui permukaan tubuh ke benda-benda
lain yang bersinggungan dengan tubuh, dimana terjadi pemindahan panas secara langsung antara tubuh
dengan objek pada suhu yang berbeda.
-
15
Dibandingkan dengan posisi berdiri, anak pada posisi tidur dengan permukaan kontak yang lebih luas
akan melepas panas lebih banyak melalui konduksi; (3) Konveksi : pemindahan panas melalui pergerakan
udara atau cairan yang menyelimuti permukaan kulit; (4) Evaporasi : kehilangan panas tubuh sebagai
akibat penguapan air melalui kulit dan paru-paru, dalam bentuk air yang diubah dari bentuk cair menjadi
gas; dan dalam jumlah yang sedikit dapat juga kehilangan panas melalui urine dan feses.
2. Konsep Set-Point dalam pengaturan suhu tubuh
Konsep Set-Point dalam pengaturan temperatur yaitu semua mekanisme pengaturan temperatur yang
terus-menerus berupaya untuk mengembalikan temperatur tubuh kembali ke tingkat Set-Point. Set-
point disebut juga tingkat temperatur krisis, yang apabila suhu tubuh seseorang melampaui diatas set-
point ini, maka kecepatan kehilangan panas lebih cepat dibandingkan dengan produksi panas, begitu
sebaliknya. Sehingga suhu tubuhnya kembali ke tingkat set-point. Jadi suhu tubuh dikendalikan untuk
mendekati nilai set-point.
3. Peranan Hipotalamus dalam pengaturan suhu tubuh.
Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan balik, dan hampir semua
mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada area preoptik hipotalamus
anterior
Dengan menggunakan thermode, area preoptik hipotalamus anterior diketahui mengandung sejumlah
besar neuron yang sensitif terhadap panas dan dingin. Neuron-neuron ini diyakini berfungsi sebagai
sensor suhu untuk mengontrol suhu tubuh. Apabila area preoptik dipanaskan, kulit diseluruh tubuh
dengan segera mengeluarkan banyak keringat, sementara pada waktu yang sama pembuluh darah kulit
diseluruh tubuh menjadi sangat berdilatasi.
Jadi hal ini merupakan reaksi yang cepat untuk menyebabkan tubuh kehilangan panas, dengan demikian
membantu mengembalikan suhu tubuh kembali normal. Oleh karena itu, jelas bahwa area preoptik
hipotalamus anterior memiliki kemampuan untuk berfungsi sebagai termostatik pusat kontrol suhu tubuh.
Walaupun sinyal yang ditimbulkan oleh reseptor suhu dari hipotalamus sangat kuat dalam mengatur suhu
tubuh, reseptor suhu pada bagian kulit dan beberapa jaringan khusus dalam tubuh juga mempunyai peran
penting dalam pengaturan suhu.
Daerah spesifik dari interleukin-1 (IL-1) adalah regio preoptik hipotalamus anterior, yang mengandung
sekelompok saraf termosensitif yang berlokasi di dinding rostral ventrikel III, disebut juga sebagai korpus
-
16
kalosum lamina terminalis (OVLT) yaitu batas antara sirkulasi dan otak. Saraf termosensitif ini
terpengaruh oleh daerah yang dialiri darah dan masukan dari reseptor kulit dan otot. Saraf yang sensitif
terhadap hangat terpengaruh dan meningkat dengan penghangatan atau penurunan dingin, sedang saraf
yang sensitif terhadap dingin meningkat dengan pendinginan atau penurunan dengan penghangatan.
Telah dibuktikan bahwa IL-1 menghambat saraf sensitif terhadap hangat dan merangsang cold-sensitive
neurons. Korpus kalosum lamina terminalis (OVLT) mungkin merupakan sumber prostaglandin. Selama
demam, IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVLT melalui jendela kapiler untuk merangsang sel
untuk memproduksi prostaglandin E-2 (PGE-2); secara difusi masuk kedalam regio preoptik hipotalamus
anterior untuk menyebabkan demam atau bereaksi dalam serabut saraf dalam OVLT. PGE-2 memainkan
peran penting sebagai mediator, terbukti dengan adanya hubungan erat antara demam, IL-1 dan
peningkatan kadar PGE-2 di otak.
Hasil akhir mekanisme kompleks ini adalah peningkatan thermostatic set-point yang akan memberi
isyarat serabut saraf eferen, terutama serabut simpatis untuk memulai menahan panas (vasokonstriksi) dan
produksi panas (menggigil). Keadaan ini dibantu dengan tingkah laku manusia yang bertujuan untuk
menaikkan suhu tubuh, seperti mencari daerah hangat atau menutup tubuh dengan selimut. Hasil
peningkatan suhu melanjut sampai
suhu tubuh mencapai peningkatan
set-point.
Peningkatan set-point kembali
normal apabila terjadi penurunan
konsentrasi IL-1 atau pemberian
antipiretik dengan menghambat
sintesis PGE-2. PGE-2 diketahui
mempengaruhi secara negative
feed-back dalam pelepasan IL-1,
sehingga dapat mengakhiri
mekanisme ini yang awalnya
diinduksi demam. Sebagai
tambahan, arginin vasopresin
(AVP) beraksi dalam susunan
saraf pusat untuk mengurangi
pyrogen induced fever.
Kembalinya suhu menjadi normal
-
17
diawali oleh vasodilatasi dan berkeringat melalui peningkatan aliran darah kulit yang dikendalikan oleh
serabut saraf simpatis.
MALARIA
DEFINISI
Malaria adalah sebuah penyakit protozoa yang ditransmisikan oleh gigitan nyamuk
Anopheles yang terinfeksi, yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk
aseksual. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, mengigil, anemia, dan
splenomegali. Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa
komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis
infeksi parasit yang menyerupai malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis.
ETIOLOGI
Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium. Parasit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles yang merupakan vektor malaria, yang terutama mengigit manusia pada malam hari
mulai maghrib (dusk) sampai fajar (dawn).
Terdapat empat spesies parasit penyebab malaria pada manusia, yaitu
P. falciparum
P. vivax
P. malariae
P. Ovale.
Plasmodium falciparum dan P. vivax merupakan penyebab malalria terbanyak.
Plasmodium falcifarum adalah penyebab kematian paling utama. Akhir-akhir ini dilaporkan
terjadinya penularan malaria yang disebabkan Plasmodium knowlesi yang hospes alaminya
adalah kera.
Malaria adalah parasit yang memiliki banyak stadium (multi-stage parasite) yang
ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina yang bertindak sebagai vektor penularnya. Sesudah
nyamuk pembawa parasit menghisap darah, sporozoit yang berasal dari kelenjar ludah nyamuk
-
18
akan memasuki aliran darah. Dari dalam aliran darah, sporozoit akan memasuki sel-sel parenkim
hati secara langsung mencapai hepatosit atau sesudah melewati sel Kupffer baru memasuki
hepatosit. Dalam waktu kurang dari 60 menit sporozoit sudah tidak lagi dijumpai di dalam aliran
darah.
Di dalam hepatosit, sporozoit berkembang biak secara aseksual (asexual amplification).
Dalam waktu satu sampai dua minggu, satu sporozoi akan menghasilkan sekitar 30 ribu
merozoit. Stadium ini disebut sebagai stadium preeritrositik (pre-erythrocytic stage) yang tidak
menunjukkan gejala-gejala klinis malaria. Skizon liver yang pecah akan melepaskan merozoit ke
dalam aliran darah dan mengawali berlangsungnya fase eritrositik. Merozoit yang berada
ekstraseluler hanya dalam waktu 1-2 menit, untuk kemudian segera memasuki eritrosit. Di dalam
eritrosit, merozoit berkembang menjadi stadium cincin, trofozoit, dan stadium skizon.
Perkembangbia
kan secara aseksual
akan berlangsung
kembali, dimana di
dalam setiap eritrosit
akan terbentuk 36
merozoit. Ketika
skizon eritrositik
pecah, merozoit akan
masuk kembali ke
dalam darah,
mengulangi siklusnya
di dalam eritrosit,
membelah diri lagi,
dan menyebabkan pecahnya eritrosit yang terinfeksi. Selama berulangnya siklus, merozoit
berkembang menjadi gametosit jantan betina. Dalam bentuk inilah parasit dapat terhisap bersama
darah oleh nyamuk yang menjadi vektornya.
Di dalam mid-gut nyamuk, terjadi fertilisasi, membentuk zigot yang kemudian tumbuh
menjadi ookinet. Ookinet kemudian menjadi ookista yang kemudian tumbuh, membelah diri dan
-
19
pecah sehingga sporozoit yang keluar akan migrasi ke kelenjar ludah. Sesudah itu, siklus infeksi
malaria dapat berulang dengan sendirinya.
Dalam tahapan siklus Plasmodium dapat berlangsung keadaan-keadaan :
1. Siklus preeritrositik : periode dimulai dari masuknya parasit ke dalam darah sampai
merozoit dilepaskan oleh skizon hati, dan menginfeksi eritrosit.
2. Periode prepaten : waktu antara terjadinya infeksi dan ditemukannya parasit di dalam
darah perifer.
3. Masa inkubasi : waktu antara terjadinya infeksi dengan mulai terlihatnya gejala penyakit.
4. Siklus eksoeritrositik : siklus yang terjadi sesudah merozoit terbentuk di skizon hepatik,
merozoit menginfeksi ulang sel hati dan terulang kembali skizogoni.
5. Siklus eritrositik : waktu yang berlangsung mulai masuknya merozoit ke dalam eritrosit,
terjadinya reproduksi aseksual di dalam eritrosit, dan pecahnya eritrosit yang melepaskan
lebih banyak merozoit.
6. Demam paroksismal : serangan demam yang berulang pada malaria akibat pecahnya
skizon matang dan masuknya merozoit ke dalam aliran darah.
7. Rekuren : kambuhnya malaria sesudah beberapa bulan tanpa gejala.
Spesies Plasmodium P vivax P ovale P malariae P falciparum
Siklus preeritrositik 8 hari 9 hari 13 hari 5.5-6 hari
Periode prepaten 11-13 hari 10-14 hari 15-16 hari 9-10 hari
Masa inkubasi 12-17 hari/
sampai 12
bulan
16-18 hari atau
lebih lama
18-40 hari atau
lebih lama
9-14 hari
Siklus
eksoeritrositik
sekunder
Ada Ada Ada pada
beberapa strain
Tidak ada
-
20
Tabel. 1.2. Tahapan-tahapan siklus spesies Plasmodium
PATOGENESIS MALARIA
Setelah melalui jaringan hati P falcipafum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam
sirkulasi, merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lepas dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menyerang eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggungjawab
dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti
adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh P falciparum.
Patogenesis malaria falciparum dipengaruhi oleh faktor parasit, faktor penjamu (host),
faktor sosial & lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling terakit satu sama lain dan menentukan
manifestasi klinis malaria yang bervariasi mulai dari yang paling berat, yaitu malaria dengan
komplikasi gagal organ (malaria berat), malaria ringan tanpa komplikasi, atau yang paling
ringan, yantiu infeksi asimptomatis. Yang termasuk faktor parasit adalah intensitas transmisi,
densitas parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk dalam faktor penjamu adalah
genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Dan yang termasuk dalam faktor sosial dan
geografi adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, akses pengobatan, dan faktor-faktor
budaya dan ekonomi.
Jumlah merozoit per
skizon jaringan
> 10 ribu 15 ribu 2 ribu 40 ribu
Siklus eritrositik 48 jam 49-50 jam 72 jam 48 jam
Parasitemia per ml 20-50 ribu 9-30 ribu 6-20 ribu 20 ribu-2 juta
Beratnya serangan Ringan-berat Ringan Ringan Berat pada
penderita non-
imuokompeten
Demam berulang Per 8-12 jam Per 8-12 jam Per 8-10 jam Per 16-36 jam
Kekambuhan ++ ++ +++ -
Masa rekuren Panjang Panjang Sangat panjang pendek
Lama infeksi 1,5-3 tahun 1,5-3 tahun 3-50 tahun 1 tahun
-
21
Parasit dalam eritrosit secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin
pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium cincin akan
menampilkan antigen RESA (Ring-eryhthrocyte surface antigen) yang menghilang setelah
parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami
penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1(HRP-1) sebagai komponen
utamanya. Selanjutnya EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa
GP1, yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang TNF- dan interleukin-1 (IL-1) dari
makrofag.
Faktor parasit yang paling banyak dibahas dan diteliti adalah sitoadherens dan
pembentukan roset, serta peran berbagai toksin malaria.
Sitoadherens
Sitoadherens adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit dengan endotel vaskular
terutama kapiler postvenula, menyebabkan terjadinya sekuesterisasi parasit pada kapiler-kapiler
organ. Mekanismenya sebagai berikut. Pada permukaan eritrosit yang terinfeksi parasit akan
timbul tonjolan-tonjolan yang disebut knob. Pada knob tersebut terdapat berbagai protein seperti
HRP-1, PfEMP-1, PfEMP-2 (MESA). Protein parasit yang berperan paling penting pada
sitoadherens adalah PfEMP-1, yang berikatan dengan berbagai molekul adhesi pada permukaan
endotel pembuluh darah sebagai reseptornya, yaitu CD 36, CD 31, intracellular-adhesion
molecule-1 (ICAM-1), endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1/E-selektin), VCAM-1,
trombospondin, asam hialuronat, kondroitin sulfat (CSA). Ikatan tersebut menyebabkan eritrosit
yang terinfeksi melekat pada kapiler organ-organ tubuh, menimbulkan gangguan aliran darah
lokal dan jika berat menimbulkkan iskemia dan hipoksia dengan hasil akhir kegagalan organ.
Roseting dan autoaglutinasi
Roseting adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit dengan beberapa eritrosit yang
tidak terinfeksi, membentuk suatu gumpalan yang disebut roset. Sedangakan autoaglutinasi atau
clumping adalah ikatan di antara eritrosit yang terinfeksi parasit, membentuk agregat yang tidak
melibatkan eritrosit yang tak terinfeksi. Beberapa agregat roset dapat saling berikatan dan juga
berikatan dengan eritrosit terinfeksi untuk membentuk giant roseting.
-
22
Roset terjadi karena eritrosit yang terinfeksi parasit mengekspresikan protein tertentu seperti
rosetin, HSP-1 dan yang terpenting PfEMP-1 untuk saling berikatan dengan protein reseptor
pada permukaan eritrosit tak terinfeksi, yaitu complement receptor 1 (CR1)/ CD 35, CD 36, atau
glikoprotein golongan darah A atau B, heparan sulfate-like glycosaminoglycans (HS-like GAG),
untuk membentuk ikatan atara eritrosit yang terinfeksi dengan beberapa eritrosit tak terinfeksi.
Pada proses tersebut diperlukan pula faktor serum dalam darah seperti IgM, fibrinogen, albumin,
atau protein lain, sedangkan mekanisme clumping masih belum jelas, diduga terjadi karena
ikatan antara PfEMP-1 dari eritrosit-eritrosit terinfeksi dengan molekul adhesi CD 36 pada
permukaan trombosit, membentuk gumpalan dari ikatan di antara beberapa eritrosit yang
terinfeksi.
Toksin parasit
Eritrosit terinfeksi parasit yang pecah sewaktu proses skizogoni mengeluarkan berbagai toksin
seperti glicosylphosphatidylinositols (GPI), hemozosin, atau mungkin antigen parasit lain seperti
MSP-1, MSP-2, RAP-1. Toksin tersebut akan merangsang makrofag dan limfosit T helper
menghasilkan berbagai sitokin inflamasi (TNF-, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, IFN-) dalam jumlah
banyak yang akan menimbulkan gangguan metabolisme sel, sitokin tersebut juga dapat memicu
enzim inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada sel endotel vaskular untuk menghasilkan nitrit
oksida (NO).
Kadar sitokin proinflamasi dan NO yang tinggi juga akan meningkatkan ekspresi molekul adhesi
pada endothel sehingga akan meningkatkan sitoadherens dan sekueterisasi parasit. Toksin yang
paling banyak diteliti adalah GPI, yang berfungsi seperti jangkar pada permukaan plasmodium
yang berhubungan dengan protein permukaan, seperti MSP. Diduga GPI yang berikatan dengan
reseptornya, yaitu CD 14 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag dan sistem imun lain untuk
menghasilkan sitokin proinflamasi. Saat ini sedang diteliti manfaat antibodi anti-GPI untuk
pengobatan malaria.
Faktor penjamu yang berperan menimbulkan malaria meliputi umur, genetik, nutrisi, imunitas,
dan terutama peran berbagai mediator yang dihasilkan oleh makrofag, limfosit, leukosit, sel
endotel, trombosit, akibat rangsangan oleh toksin atau antigen parasit. Di daerah endemis stabil,
malaria berat terutama malaria serebral umumnya diderita anak-anak umur 1-4 atau 5 tahun,
-
23
setelah itu hanya ditemukan anemia sampai usia pubertas, sedangkan setelah dewasa umumnya
infeksi asimptomatik.
Hal ini mungkin disebabkan respons imun terhadap malaria pada anak terbentuk lebih lambat. Di
daerah endemis tidak stabil, malaria berat dapat ditemukan pada semua umur. Selain itu ada
laporan bahwa orang dewasa non-imun lebih peka terhadap malaria berat dibanding anak-anak
non-imun, tetapi orang dewasa non-imun mampu membentuk imunitas klinis dan parasitologis
lebih cepat daripada anak-anak non-imun.
Beberapa kelainan genetik pada eritrosit atau hemoglobin dapat menghambat perkembangan
malaria dan mencegah malaria berat, di antaranya adalah HB S (sickle cell), HB C, HB E,
talasemia, defisiensi G6PD, ovalositosis herediter defisiensi enzim piruvat kinase. Beberapa tipe
HLA tertentu seperti HLA-Bw53, HLA-A2, HLA-B17, HLA-DRB*1502, *0701, *1301, *1032,
DQB-1202, 0501, diduga memiliki efek perlindungan terhadap malaria berat. Penelitian Dieye,
dkk di Senegal menemukan HLA-DR13 berhubungan dengan risiko malaria berat.
Faktor genetik non-HLA lain yang dilaporkan memiliki efek perlindungan terhadap malaria
adalah polimorfisme gen spektin, gen eritrosit-band 3, golongan darah ABO (suatu penelitian di
Gambia melaporkan bahwa malaria berat lebih sering terjadi pada pasien golongan darah A dan
B dibanding golongan darah lain), gen glikoporin A dan B, suatu gen yang melindungi terhadap
infeksi Schistosoma mansoni (gen SM-1 yang terletak di kromosom 5q31-33) dilaporkan juga
melindunggi terhadap malaria berat.
Polimorfisme gen promotor iNOS juga bersifat protektif. Di lain pihak, ada tiga bentuk
polimorfisme gen promotor TNF- yang berhubungan dengan manifestasi klinis malaria berat,
yaitu alel TNF-308A, alel TNF-376A, dan TNF-238A. Faktor genetik lain yang diduga berperan
pada kepekaan terhadap malaria berat adalah polimorfisme gen promotor Inos, polimorfisme Fc
gamma receptor IIA (CD 32), dan polimorfisme gen ICAM-1.
Faktor nutrisi mungkian berperan menentukan kepekaan terhadap malaria, dilaporkan malaria
berat sangat jarang ditemukan pada anak-anak malnutrisi. Defisiensi besi, riboflavin, para-
amino-benzoic acid (PABA) mungkin mempunyai efek protektif pada malaria berat, karena
menghambat pertumbuhan parasit.
Faktor imunitas berperan penting menentukan beratnya infeksi. Hal tersebut dibuktikan pada
-
24
penduduk daerah endemis. Pada penduduk di daerah endemis ditemukan parasitemia berat
namun asimptomatis, sebaliknya pasien non-imun dari daerah non- endemis lebih mudah
mengalami malaria berat. Terdapat laporan bahwa pasien yang terinfeksi malaria pertama kali 27
kali berisiko mengalami malaria berat dibanding pasien yang terinfeksi 5 kali, juga pasien yang
pernah terinfeksi seandainya terjadi malaria berat akan timbul 1-2 hari lebih lambat dibanding
pasien yang baru pertama terinfeksi. Hal ini mungkin dikarenakan pada individu imun sudah
terbentuk antibodi protektif yang dapat membunuh parasit atau menetralkan toksin parasit, misal
antibodi anti-GPI, antibodi yang membataso sekuesterisasi parasit atau pembentukan roset, atau
tubuh mampu mengekspresikan banyak molekul adhesi terlarut (soluble-ICAM) yang akan
mengikat eritrosit terinfeksi di sirkulasi sehingga mencegah berikatan dengan endotel (mencegah
sekuesterisasi), atau melepaskan sekuesterisasi yang telah dibentuk (desekuesterasi).
MANIFESTASI KLINIK MALARIA
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia, dan splenomegali. Masa
inkubasi bervariasi pada setiap Plasmodium (tabel 1.4). Plasmodium vivax sub-spesies P vivax
multinucleatum (Cheson Strain), sering dijumpai di Cina Tengah, mempunyai masa inkubasi
yang lebih panjang (312-323 hari) dan sering relaps setelah infeksi primer. Inkubasi terpendek
pernah dilaporkan di Afrika, yaitu 3 hari.
Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam. Keluhan antara lain lesu, malaise,
sakit kepala, sakit tulang belakang (punggung), nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, perut tak
enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering
terjadi pada P vivax dan ovale, sedangkan pada P falciparum dan malariae keluhan prodromal
tidak jelas bahkan gejala mendadak.
Malaria memiliki gejala klasik berupa Trias Malaria (Malaria proxysm) secara berurutan
sebagai berikut :
Periode dingin
-
25
Mulai menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus diri dengan selimut
atau saarung dan saat mengigil seluruh tubuh sering bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat
sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti
dengan meningkatnya temperatur.
Tabel 1.4. inkubasi, periode prepaten, periode demam dan gejala klinik pada setiap Plasmodium
(Sumber Cook GC. Prevention and Treatment Malaria)
Periode panas
Muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat, dan panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40C
atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retro-orbital,
Spesies
Plasmodium
P vivax P ovale P malariae P falciparum
Periode
prepaten
11-13 hari 10-14 hari 15-16 hari 9-10 hari
Masa inkubasi 12-17 hari/ sampai 12
bulan
16-18 hari
atau lebih
lama
18-40 hari
atau lebih
lama
9-14 hari
Tipe panas
(jam)
24,36,48 48 48 72
Manifestasi
klinik
Gejala gastrointestinal;
hemolisis, anemia;
ikterus; hemoglobinurial
syok; algid malaria;
gejala serebral; edema
paru; hipoglikemia; gagal
ginjal; gangguan
kehamilan; kelainan
retina; kematian
Anemia
kronik;
splenomegali;
ruptur limpa
Sama
seperti
P vivax
Rekrudensi
sampai 50
tahun,
splenomegali
menetap, limpa
jarang ruptur,
sindrom
nefrotik
-
26
muntah-muntah, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), dapat delirium sampai terjadi kejang
(anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan
keadaan berkeringat.
Periode berkeringat
Penderita berkeringat, mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah, temperatur
turun, penderita merasa kelelahan dan sering tertidur. Jika penderita bangun akan merasa sangat
sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
Trias malaria secara keseluruhan dapat berlangsung 6-10 jam, lebih sering terjadi pada infeksi P
vivax. Pada P falciparum menggigil dapat berlangsung berat atau tidak ada. Periode tidak panas
berlangsung 12 jam pada P falciparum, 36 jam pada P vivax dan ovale, 60 jam pada P malariae.
Keadaan anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Anemia lebih
sering dijumpai pada penderita di daerah endemis, anak-anak, dan ibu hamil. Beberapa
mekanisme terjadinya anemia adalah sebagai berikut :
1. Pengrusakan eritrosit oleh parasit
2. Hambatan eritropoiesis yang sementara
3. Hemolisis karena proses complement mediated immune complex
4. Eritrofagositosis
5. Penghambatan pengeluaran retikulosit
Pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai pada malaria. Limpa akan teraba 3 hari
setelah serangan infeksi akut. Limpa menjadi bengkak, nyeri, dan hiperemis. Limpa merupakan
organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada penelitian dengan hewan
percobaan, limpa menhapuskan eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolisme,
antigenik, dan rheological eritrosit yang terinfeksi,
-
27
DIAGNOSIS MALARIA
Diagnosis malaria ditegakkan sesudah dilakukan wawancara (anamnesis), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria baru dapat ditegakkan jika pemeriksaan
sediaan darah secara mikroskopik atau Uji Diagnosis Cepat (Rapid Diagnostic Test=RDT). Awal
tahun 2010 World Health Organization (WHO) menyempurnakan rekomendasi pada uji
diagnosis malaria dengan menyertakan juga pemeriksaaan atas anak berumur dibawah lima
tahun (balita). Dengan perbaikan ini, maka semua orang dari semua usia secara epidemiologi
diduga menderita malaria harus dikonfirmasi secara parasitologis melalui mikroskopi atau
melalui RDT positif hasilnya.
Anamnesa dilakukan untuk mendapatkan semua informasi tentang penderita, yaitu : keluhan
utama (demam, menggigil, berkeringat yang dapat disertai sakit kepala, mula, muntah, diare,
nyeri otot dan pegal-pegal), riwayat dilakukannya kunjungan dan bermalam ke daerah endemis
malaria 1-4 minggu, riwayat tinggal di daerah endemis malaria, riwayat pernah sakit malaria atau
minum obat antimalaria satu bulan terakhir, dan riwayat pernah mendapat transfusi darah. Pada
tersangka malaria berat, dapat terjadi : gangguan kesadaran, keadaan umum yang lemah sehingga
penderita harus selalu tiduran, kejang-kejang, panas badan sangat tinggi, mata dan warna tubuh
kuning, pendarahan (hidung, gusi, atau saluran cerna), napas cepat atau sesak, muntah terus
menerus sehingga tidak bisa makan dan minum, warna urine coklat atau sampai kehitaman,
jumlah urine sedikit (oliguria) atau tidak ada (anuria), dan telapak tangan sangat pucat.
Pemeriksaan fisik terhadap penderita dapat ditemukan : demam lebih dari 37,50C, konjungtiva
dan telapak tangan pucat, splenomegali, dan hepatomegali. Pada tersangka malaria berat dapat
dijumpai gejala klinis berupa : suhu rektal diatas 400C, nadi cepat dan lemah, tekanan darah
sistolik kurang dari 70 mmHg pada orang dewasa dan pada anak kurang dari 50 mmHg,
frekuensi napas lebih dari 35/menit pada orang dewasa, lebih dari 40 menit pada balita, dan lebih
dari 50/menit pada bayi di bawah usia 1 tahun, Glasgow Coma Scale < 11, perdarahan (petekia,
purpura, hematoma), dehidrasi (mata cekung, bibir kering, oliguria, turgor dan elastisitas kulit
berkurang), anemia berat (konjungtiva, lidah, dan telapak tangan pucat), mata ikterus, ronkhi
paru, spleno atau hepatomegali, gagal ginjal dengan oliguria atau anuria, dan gejala neurologi
(kaku kuduk, reflek patologi positif).
Pada pemeriksaan laboratorium malaria terdapat 3 jenis pemeriksaan :
-
28
Pemeriksaan mikroskopis
Sedian berupa darah tetes tebal dan tipis untuk menentukan adanya parasit malaria, jenis spesies
dan stadium parasit malaria, dan kepadatan parasit semikuantitatif dan kuantitatif (jumlah parasit
per mikro liter darah). Penghitungan parasit secara semikuantitatif kurang akurat, sehingga
sebaiknya hanya digunakan pada keadaan yang mendesak dan dilakukan pada sediaan darah
tebal dengan interpretasi sebagai berikut : (+) : 1-10 parasit stadium aseksual per 100 lapang
pandang mikroskop, (++) : 11-100 parasit stadium aseksual per 100 lapang pandang mikroskop,
(+++) : 1-10 parasit stadium aseksual per satu lapang pandang mikroskop, dan (++++) : 11-100
parasit stadium aseksual per satu lapang pandang mikroskop. Sedangkan perhitungan secara
kuantitatif dapat dilakukan baik pada sediaan darah tebal maupun tipis. Jumlah parasit stadium
aseksual (cincin, trofozoit, dan skizon) dan seksual (gametosit). Pada sediaan darah tebal, parasit
dihitung berdasarkan jumlah leukosit per L darah; jika tidak diketahui biasanya diasumsikan
leukosit penderita berjumlah 8.000/L.
Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah leukosit/L : 200
Sedangkan perhitungan parasit dalam sediaan darah tipis perlu diketahui jumlah eritrosit per L
darah. Jika nilai ini tidak diketahi, diasumsikan penderita mengandung eritrosit 5.000.000/L
(pria) atau 4.500.000/L (wanita). Jumlah parasit kemudian dihitung paling sedikit dalam 25
lapangan pandang mikroskopik dan total parasit/L dihitung dengan rumus sebagai berikut
Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah eritrosit/L : total eritrosit dalam 25 lapangan pandang
Pada sediaan darah tipis juga dapat dihitung proporsi atau presentase eritrosit yang terinfeksi
dengan rumus sebagai berikut
Jumlah parasit stadium aseksual dalam 25 lapangan pandang mikroskopik x 100%
Pada penderita tersangka malaria berat harus diperhatikan : jika hasil pemeriksaan darah pertama
negatif, darah harus diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut dan jika
pemeriksaaan tetes tebal negatif selama 3 hari berturut-turut, maka diagnosis malaria baru
disingkirkan.
Rapid diagnostic test
Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan deteksi antigen parasit malaria dengan
imunokromatografi dalam bentuk dipstick. Tes ini digunakan di UGD, pada waktu terjadi KLB
-
29
atau untuk memeriksa malaria di daerah terpencil yang tidak tersedia sarana laboratorium atau
untuk melakukan survei tertentu. Ada 2 jenis RPD : single (mendeteksi hanya Plasmodium
falciparum) dan combo (mendeteksi infeksi semua spesies Plasmodium). Rapid Diagnostic Test
yang digunakan sebaiknya memiliki sensitivitas lebih dari 95% dan spesifisitas lebih 95%.
Contoh RPD yang tersedia di pasaran : HRP-2 (Histidine Rich Protein-2) yang dihasilkan
trofozoit, skizon dan gametosit muda Plasmodium falciparum dan p-LDH (parasite Lactate
Dehydrogenase) dan Aldolase yang diproduksi oleh parasit bentuk seksual dan aseksual semua
spesies Plasmodium.
Pemeriksaan penunjang lain
Pemeriksaan darah rutin : trombosit, didapatkan kurang dari 50.000/L, jumlah leukosit
bukan merupakan indikasi yang spesifik, hemoglobin didapatkan menurun (anemia)
Kimia darah (gula darah, serum bilirubin, SGOT/SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium, dan kalium, dan analisis gas darah)
PCR : metode paling sensitif dalam mendeteksi parasit malaria dalam darah.
Sensitivitasnya dapat mencapai 5 parasit/L darah, bahkan akhir-akhir ini dilaporkan
dapat dipakai pada infeksi 1 parasit/L darah. Teknik biologi molekuler ini sudah dapat
diaplikasikan untuk membedakan keempat spesies Plasmodium dan dapat dilihat mutasi
parasit yang berhubungan dengan resistensi terhadap obat dab adanya variasi P vivax
atau Plasmodium lainnya.
Cell Dyn 3500 atau 4000 : untuk melakukan analisis hematologi secara rutin dan deteksi
pigmen malaria (hemozoin)
Laser Desorption Mass Spectrometry (LDMS) : memperlihatkan parasit Plasmodium
dalam eritrosit mengkatabolisme hemoglobin menjadi heme dalam bentuk kristal
(hemozoin)
Nucleic acid probe dan immunofluorescence : mendeteksi Plasmodium yang ada di
dalam eritrosit; gel diffusion, counter-immunoelectrophoresis, Radio immunoassay dan
Enzym immunoassay untuk mendeteki antigen malaria dalam cairan tubuh;
hemagglutination test, Indirect immunofluorescence, Enzym immunoassay,
-
30
immunochromatography, dan Western blotting untuk mendeteksi antibodi anti-
plasmodium di dalam serum. Pemeriksaan ini digunakan untuk penelitian,
mengkonfirmasi retrograde malaria dan skrining pada transfusi darah
EKG, foto thorax, analisis cairan serebrospinalis, biakan darah, uji serologi, dan
urinalisis.
Tabel 5.1. Diagnosis Banding Malaria
DIAGNOSIS BANDING MALARIA
PENYAKIT MANIFESTASI KLINIK
Demam tifoid Demam > 7 hari, sakit kepala, sakit perut, obstipasi, lidah kotor, bradikardi relatif,
roseola, leukopenia, limfositosis relatif, aneosinofilia, tes Widal bermakna, biakan
empedu positif
Demam
dengue
Demam tinggi 2-7 hari, sakit kepala, nyeri tulang, nyeri uluhati, muntah, uji
torniquet positif, trombositopenia, hemoglobin dan hematokrit meningkat, tes
serologi inhibisi heamaglutinasi positif, IgM atau IgG anti dengue positif
ISPA Batuk beringus, nyeri telan, sesak/napas cepat, dinding dada tertarik ke dalam,
stridor
Leptospirosis Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, konjungtiva merah,
nyeri betis berat, tes Leptodipstik positif
Tabel II.1.5.2. Diagnosis Banding Malaria Berat
DIAGNOSIS BANDING MALARIA BERAT
PENYAKIT MANIFESTASI KLINIK
Meningitis/
ensefalitis
Panas, nyeri kepala progresif, hilang kesadaran, kaku kuduk, kejang, dan gejala
neurologis lainnya
Stroke Gangguan/hilangnya kesadaran, gejala neurologik lateral (hemiparese, hemiplegia),
-
31
tidak demam, ada penyakit dasar (hipertensi, diabetes melitus)
Tifoid
ensefalopati
Demam tifoid disertai penurunan kesadaran
Hepatitis Demam, mual, nyeri hepar, muntah, ikterus tanpa panas, mata dan kulit kuning, urine
warna seperti teh, SGOT/SGPT meningkat 5xdari normal
Leptospirosis
berat
Demam, ikterus, nyeri betis, nyeri tulang, riwayat pekerjaan (pembersih got, tukang
sampah), leukositosis, gagal ginjal, sembuh dengan pemberian antibiotik (penisillin)
Sepsis Demam dengan fokal infeksi jelas, gangguan kesadaran, gangguan sirkulasi,
leukositosis, hasil biakan mikrobiologi positif
Demam berdarah
dengue atau
Dengue shock
syndrome
Demam terus menerus 2-7 hari, disertai syok atau tanpa syok, dan keluhan demam
dengue lainnya.
DEFINISI MALARIA BERAT
Malaria berat adalah ditemukan Plasmodium falciparum bentuk aseksual pada seorang pasien,
ditambah dengan salah satu tanda gejala klinis atau penemuan pada laboratorium yang
mengklasifikasikan seorang pasien menderita malaria berat, antara lain :
Gejala Klinis :
Kesadaran yang terganggu atau koma yang tidak ada respons pada rangsangan nyeri
(unrousable coma)
Prostration (kelemahan yang menyeluruh yang mengakibatkan pasien tidak dapat berjalan)
Tidak mau makan
Konvulsi multipel lebih dari dua episode dalam 24 jam
Napas dalam, gangguan respiratori (napas asidosis)
Kolaps sirkulasi atau syok, tekanan darah sistolik < 70 mmHg pada dewasa dan < 50 mmHg
-
32
pada anak-anak
Ikterus secara klinis ditambah adanya disfungsi organ vital lainnya
Hemoglobinuria
Pendarahan spontan yang abnormal
Edema pulmoner (radiologis)
Penemuan pada Laboratorium :
Hipoglikemia (glukosa darah > 2.2 mmol/l atau < 40 mg/dl)
Asidosis metabolik (bikarbonat plasma < 15 mmol/l)
Anemia normositik berat (Hb < 5 g/dl, packed cell volume < 15%)
Hemoglobinuria
Hiperparasitemia (< 2%/100.00/l di area transmisi intensitas rendah atau > 5% atau
250.000 pada area yang intensitas transmisi malarianya tinggi)
Hiperlaktatemia (laktat > 5mmol/l)
Gangguan ginjal (kreatinin serum > 265 mol/l)
PATOGENESIS MALARIA BERAT
Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk Anopheles mengigit manusia,
selanjutnya akan masuk ke dalam hepatosit dan kemudian terjadi skizogoni ekstra eritrositer.
Skizon hati yang matang selanjutnya akan ruptur dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel
eritrosit dan terjadi skizogoni intra eritrositer, menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit
(EP) mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan
parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme transport membran sel, penurunan
deformabilitas, perubahan reologi, pembentukan knob, ekspresi varian neoantigen di permukaan
sel, sitoadherens, rosseting, dan sekuestrasi. Skizon yang matang akan pecah, melepaskan toksin
malaria yang menstimulasi sistem RES dengan dilepaskannya sitokin proinflamasi seperti TNF-
dan sitokin lainnya dan mengubah aliran darah lokal dan endotelium vaskular, mengubah
-
33
biokimia sistemik, menyebabkan anemia, hipoksia, dan asidosis metabolik jaringan dan organ.
Saat ini ada tiga mediator yang diduga kuat berperan penting dalam patogenesis malaria
berat, yaitu reactive oxygen species (ROS), sitokin, dan nitrit oksida (NO). Mediator lain yang
akhir-akhir ini sedang diteliti adalah HMB-1, CO, PARP-1 yang akan dibahas secara singkat di
bawah.
Peranan sitokin
Sitokin yang berperan penting pada patogenesis malaria, meliputi TNF-, limfotoksin, IL-1, IL-
6, IFN-, dan IL-10. Dalam kadar tinggi/berlebihan dapat merusak sel terutama endotel, bahkan
dapat menguntungkan pertumbuhan parasit karena meningkatkan sitoadherens. Penelitian
terakhir melaporkan kemungkinan sitokin dapat menyebabkan vesikulasi membran sel terutama
sel endotel, menyebabkan peningkatan kadar mikropartikel (bermacam-macam vesikel kecil
yang dibungkus membran yang diekskresi dari berbagai sel, seperti leukosit, trombosit, endotel,
dsb sewaktu sel tersebut diaktifkan atau sewaktu apoptosis) dari endotel. Mikropartikel ini masih
mempunyai fungsi atau sifat seperti sel asalnya, terutama menyebabkan inflamasi. Diduga
mikropartikel dari endotel berperan secara langsung menimbulkan malaria berat, mungkin
dengan meningkatkan interaksi dengan berbagai sel imun dan meningkatkan sekuesterisasi
dengan akibat obstruksi kapiler.
Peranan nitrit oksida
Diduga berperan penting untuk menghambat pertumbuhan parasit, dalam jumlah sedang dapat
menghambat produksi maupun efek patologis TNF pada endotel dengan mengurangi ekspresi
molekul adhesi, namun pada kadar yang tinggi mungkin justru meningkatkan ekspresi molekul
adhesi sehingga meningkatkan sitoadherens dan sekueterisasi parasit. Di samping itu, kadar NO
yang tinggi dapat berikatan dengan radikal bebas H2O2 (dihasilkan oleh neutrofil dan makrofag)
membentuk peroksinitrit yang toksik bagi sel dan dapat menimbulkan vasodilatasi berlebihan
yang mengakibatkan hipotensi dan gangguan perfusi jaringan, mengganggu transmisi neuron
yang mungkin berperan pada patogenesis malaria berat. Tetapi, peranan NO pada patogenesis
malaria berat masih belum jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
-
34
Peranan reactive oxygen species
Clark, dkk mengajukan hipotesis bahwa produksi ROS yang berlebihan oleh eritrosit dan
leukosit dapat menyebabkan koma dan kerusakan jaringan lokal seperti di otak. Dan berbagai
penelitian menunjukkan kadar ROS meningkat pada pasien malaria berat dihubungkan dengan
anemia dan malaria serebral.
Peranan mediator lain
Protein high-mobility group box-1 (HMBG-1) merupakan mediator yang timbul lambat
setelah kurang lebih 16 jam dan mempunyai waktu paruh panjang. Protein ini berikatan
dengan reseptor untuk advanced glycation end product (RAGE) yang dapat menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, meningkatkan produksi NO dan ROS, sitokin
inflamasi, molekul adhesi PAI-1, tPA sehingga kadar HMBG-1 yang tinggi akan
meningkatkan inflamasi sistemik.
Karbonmonoksida (CO) yang dihasilkan di endotel melalui perantaraan enzim
hemoksigenase-1 (HO-1) setelah terpajan sitokin proinflamasi secara umpan balik akan
mengurangi sekresi TNF, karena peran CO adalah menekan proses inflamasi.
Enzim poly (ADP-ribose) polymerase-1 (PARP-1) yang berlebihan mungkin berkaitan
dengan manifestasi klinis malaria berat. Aktivas enzim yang berlebihan akan menurunkan
kadar NAD+ selular dan selanjutnya menurunkan kadar ATP sel yang dapat mengganggu
respiras aerobik seluler dan mengaktifkan faktor transkripsi nuclear factor-kappa beta,
yang akan meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi.
PENATALAKSANAAN
MALARIA dan MALARIA BERAT dengan KOMPLIKASI GANGGUAN GINJAL AKUT
Penatalaksanaan malaria terdiri dari :
P falciparum yang tidak berkomplikasi
Terapi pilihan : kombinasi dua atau lebih obat antimalaria dengan mekanisme kerja
yang berbeda
-
35
Artemisinin-based combination therapy (ACT) adalah tatalaksana yang direkomendasi
Komponen derivat artemisinin pada kombinasi harus diberikan minimal tiga hari untuk
efek yang optimum
Berikut ini adalah ACT yang direkomendasikan :
Artemether plus lumefantrin, artesunat plus amodiakuin, artesunat plus mefloqkuin,
artesunat plus sulfadoksin-pyrimethamin, dan dihydrortemisinin plus piperakuin.
Kombinasi dosis yang tetap sangat lebih disukai
Artemisinin dan derivatnya sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi
Pemilihan ACT di sebuah negara atau regio akan didasarkan pada tingkat resistensi pada
obat kedua dalam kombinasi :
Di area resistensi multidrug (Asia Timur), artesunat plus meflokuin, or artemether plus
lumefantrin atau dihydroartemisinin plus piperakuin direkomendasikan
Di area lainnya tanpa resistensi multidrug (terutama di Afrika), beberapa ACT yang
terdiri dari amodiakuin atau sulfadoksin-pyrimethamin mungkin masih efektif
Tatalaksana antimalaria lini kedua :
Artesunat plus tetrasiklin atau doksisiklin atau klindamisin, kombinasinya dapat
diberikan untuk 7 hari.
Kuinin plus tetrasiklinn atau doksisiklin atau klindamisin, kombinasinya dapat
diberikan untuk 7 hari.
P falciparum berat
Malaria berat adalah kegawatdaruratan medis. Setelah pemeriksaan klinis yang cepat dan
konfirmasi diagnosis, dosis penuh tatalaksana antimalaria parenteral sebaiknya dimulai
tanpa menunggu dengan antimalaria yang efektif terlebih dahulu.
Untuk dewasa, artesunat 2,4 mg/kgBB IV atau IM, lalu pada 12 jam dan 24 jam, lalu sekali
per hari merupakan tatalaksana yang direkomendasikan. Arthemether, atau klorokuin
merupakan alternatif jika artesunat parenteral tidak ada : arthemether 3,2 mg/kgBB IM
-
36
diberikan admisi (penerimaaan pasien) lalu1,6 mg/kgBB per hari; atau kuinon 20 mg
garam/kgBB pada admisi (infus IV atau injeksi IM terbagi), lalu 10 mg/kgBB tiap 8 jam;
laju infus sebaiknya tidak lebih dari 5 mg garam /kgBB per jam.
Berikan antimalaria parenteral pada tatalaksana malaria berat untuk minimum 24 jam,
ketika dimulai dan setelahnya. Tatalaksana lengkap dengan memberikan :
Artemether plus lumefantrin,
Artesunat plus amodiakuin,
Dihydroartemisinin plus piperakuin,
Artesunat plus sulfadoksin-pyrimethamin,
Artesunat plus klindamisin atau doksisiklin,
Kuinin plus klindamisin atau doksisiklin.
Malaria yang disebabkan P vivax, P ovale, P malariae
Tatalaksana malaria P vivax yang tidak berkomplikasi :
Klorokuin plus primakuin merupakan tatalaksan pilihan untuk infeksi yang sensitif dengan
klorokuin
Pada defisiensi G6PD yang ringan sampai sedang, primakuin 0,75 mg/kgBB diberikan
sekali per minggu untuk 8 minggu. Pada defisiensi G6PD yang berat, primakuin
dikontraindikasikan dan sebaiknya tidak digunakan.
Dimana ACT (pengecualian AS+SP) telah diadopsi sebagai tatalaksana lini pertama untuk
malaria P falciparum, mungkin juga digunakan untuk malaria P vivax yang
dikombinasikan dengan primakuin untuk penyembuhan radikal (radical cure). Artesunat
plus sulfadoksin-pyrimethamine tidak efektid untuk melawan P vivax di banyak tempat.
Di area dengan P vivax yang resisten dengan klorokuin, ACT (khususnya obat kedua yang
memiliki waktu paruh yang panjang) direkomendasikan untuk tatalaksana malaria P vivax.
Paling tidak 14 hari pemberian primakuin yang dibutuhkan untuk tatalaksana radikal P
vivax.
-
37
Tatalaksana malaria P vivax yang berat :
Sama dengan tatalaksana malaria P falciparum yang berat
Tatalaksana malaria P ovale dan P malariae
P ovale : tatalaksana sama dengan tatalaksana yang diberikan pada malaria P vivax.
P malariae : sebaiknya ditatalaksana dengan regimen standar klorokuin sebagaimana untuk
malaria P vivax, tapi tidak membutuhkan penyembuhan radikal dengan primakuin.
Infeksi malaria campuran
ACT efektif untuk melawan semua spesies malaria dan merupakan terapi pilihan.
Tatalaksana Radikal dengan primakuin sebaiknya diberikan pada pasien dengan infeksi P
ovale dan P vivax yang terkonfirmasi.
Penatalaksanaan malaria berat dengan komplikasi Gangguan Ginjal Akut (GGA)
Terdiri dari tindakan umum, pengobatan simptomatik, pengobatan antimalaria, dan penanganan
komplikasi
Tindakan umum
1. Membebaskan jalan napas dan mulut untuk mencegah asfiksia, bila perlu diberikan oksigen.
2. Memperbaiki keadaan umum penderita dengan melakukan perawatan umum dan pemberian
cairan
3. Memantau setiap 30 menit tanda-tanda vital penderita (keadaan umum, kesadaran, pernapasan,
tekanan darah, suhu tubuh, warna kulit dan nadi)
4. Penderita hipotensi ditidurkaan pada posisi Trendenlenburg
5. Memeriksa ulang darah untuk konfirmasi malaria (pemeriksaan tetes tebal)
6. Mencatat lengkap rekam medik penderita (identitas, riwayat dahulu dan yang terakit dengan
malaria, dan lain sebagainya)
7. Jika penderita dalam keadaan koma lakukan tindakan ABCD (Airway, Breathing, Circulation,
Drug/Defibrilasi)
-
38
Pengobatan simptomatik
Antipiretik dan antikonvulsan dapat diberikan untuk terapi simptomatisnya. Antipiretik yang
dapat diberikan adalah Parasetamol. Sedangkan antikonvulsan yang dapat diberikan adalah
diazepam IV atau fenobarbital IM.
Pengobatan antimalaria
Penderita malaria berat harus segera diobati dengan antimalaria secara parenteral.
Pengobatan oral dengan kuinin, klorokuin atau meflokuin tidak dianjurkan untuk mengatasi
malaria berat. Jika secara klinis diduga kuat penderita mengalami malaria berat, tetapi
pemeriksaan darah menunjukkan hasil negatif, dapat diberikan antimalaria parenteral sebagai
terapi percobaan.
Jika secara klinis penderita menunjukkan gejala malaria berat, tetapi pemeriksaan
mikroskopis hanya menemukan P vivax, P ovale atau P malariae, penderita harus diobati
sebagai penderita malaria P falciparum, karena bisa terjadi kemungkinan adanya infeksi
ganda atau salah diagnosis.
Tindakan pada GGA
Semua penderita melaria berat sebaiknya diperiksa kadar ureum dan kreaatinin darah 2-3 kali
per minggu atau periksan produk urine.
Jika terjadi oliguria yang disertai gejala klinis dehidrasi, berikan cairan dengan pengawasan
ketat untuk mencegah terjadinya overload (berlebihan)
Lakukan observasi atas tanda-tanda vital, keseimbangan cairan, auskultasi paru, JVP (jugular
vein pressure) dan CVP (central vein pressure) jika tersedia
Jika terjadi anuria, berikan furosemid inisial 40 mg IV lalu pantau keluaran urine. Jika tidak
terjadi respons, naikkan dosis secara progresif dengan interva, 30 menit, sampai tercapai
dosis maksimum 200 mg.
GGA biasanya reversibel jika ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Penderita sebaiknya
dirujuk ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas dialisis.
GG yangdisertai dekompensasi jantung (menunjukkan tanda-tanda overload) harus ditangani
-
39
dengan cepat karena sangat berbahaya.
Jika terjadi overload (batuk-batuk, sesak napas, tekanan darah meningkat, nadi cepat,
terdengar ronkhi basah di bagian basal kedua paru, terdengar bunyi jantung ke-3, JVP
meningkat), maka hentikan pemberian cairan, rencanakan dialisis ultrafiltrasi atau dialisis
peritoneal atau rujuk ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas dialisis, dan kadar elektrolit
darah dan EKG diperiksa untuk mengetahui terjadinya hiperkalemia, asidosis metabolik, atau
gangguan keseimbangan asam-basa.
Indikasi dialisis : indikasi klinik (tanda-tanda uremia, tanda-tanda volumer overload, dan
adanya pericardial friction rub) dan indikasi laboratorium (hiperkalemia [K+ > 5,5 mEq/L]
atau periksa melalu pemeriksaan EKG dan terjadi sindrom uremikumk dengan kadar ureum
yang meningkat).
PENCEGAHAN MALARIA
Pengendalian vektor merupaka upaya kesehatan masyarakat yang utama untuk menurunkan
penularan malaria di masyarakat. Tindakan ini satu-satunya jalan yang dapat menurunkan angka
penularan malaria sampai ke titik yang terendah bahkan sampai ke titik nol.
Pada pencegahan perorangan, penggunaan repelen untuk mencegah gigitan nyamuk merupakan
garis depan dari pertahanabn untuk mencegah penyebaran malaria.
Dua bentuk pengendalian vektor yang efektif jika digunakan secara luas :
Kelambu yang diberi insektisida
Semprotan insektisida residual di dalam rumah
Obat-obatan antimalaria juga dapat digunakan untuk mencegah malaria. Untuk pelancong dan
turis yang bepergian ke daerah malaria, pemberian obat pencegahan malaria (doksisiklin 2
mg/kgBB diminum satu hari sebelum mengunjungi daerah endemis dan diteruskan setiap hari
selama tidak lebih dari 12 minggu) berfungsi memberantas stadium parasit malaria yang ada di
dalam darah.
-
40
BAB V
KESIMPULAN
Tn. Didi usia 31 tahun , datang ke poliklinik umum di rumah sakit dengan keluhan demam sejak
1 minggu yang lalu disertai menggigil dan berkeringat banyak. Berdasarkan pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang di dapatkan maka Tn. Didi menderita Malaria . Dengan penatalaksanaan
yang adekuat berupa pemberian obat yaitu Kina sulfat 30 mg/ kgbb/ hari dibagi dalam 3 dosis,
selama 7 hari atau Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1- 1,5 mg/ kgbb atau
sulfadoksin 20- 30 mg/kgbb single dose. Bila dengan pengobatan pada hari keempat masih
demam atau pada hari ke delapan masih dijumpai parasit maka diberikan Tetrasiklin HCl 50
mg/kgbb/hari, sehari 4 kali selama 7 hari ditambah dengan fansidar/suldox bila sebelumnya telah
mendapat pengobatan diatas atau Tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya telah
mendapat pengobatan diatas. Untuk perawatan non medika mentosa adalah dengan rawat inap,
edukasi pasien yaitu dengan meningkatkan health promotion dan spesific protection dan
memutuskan rantai penularan. Maka dapat disimpulkam prognosis dari Tn. Didi adalah ad
bonam.
-
41
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Cook GC, Zumla AI (editor). (2009). Mansons tropical disease. Edisi 22. Cina: Saunders
Elsevier.
Das BS. (2008). Renal failure in Malaria, Journal Vector Borne Disease. Vol 45. Bhubaneswar.
Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA, editor. (2010). Malaria dari molekuler ke klinis. Edisi
2. Jakarta: EGC.
Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, editor. (2012). Harrisons
principles of internal medicine. Edisi 18. Amerika Serikat: Mc Graw Hill.
Soedarto. (2011). Malaria : referensi muktahir epidemiologi global-plasmodium-anopheles
penatalaksanaan penderita malaria 2011. Edisi 1. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S (editor). (2010). Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi V. Jakarta: FKUI.
World Health Organization. (2010). Guidelines for the treatment of malaria. Edisi 2. Geneva.
WHO Press.