makalah lepra

49
MODUL TROPIK INFEKSI Seorang Laki-laki dengan Keluhan Utama Tidak Bisa Jalan dan Kesakitan KELOMPOK IX 030.2006.292 ZAKI BONNIE PRACANDA 030.2007.240 SHISCA PURNAMASARI 030.2007.236 SEKAR MAYANG D P 030.2009.043 AZMI IKHSAN AZHARY 030.2009.045 BAYU PERMANA 030.2009.049 BRILLI BAGUS DIPO 030.2009.051 CHARISHA NADIA 030.2009.053 CHRISTOPHER RPS 030.2009.055 CLAUDIA MARISCA 030.2009.057 DANI FAHMA QURANI 030.2009.265 VITA ALFIA SHAFADILLA

Upload: danifahma

Post on 27-Oct-2015

111 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

lepra

TRANSCRIPT

MODUL TROPIK INFEKSI

Seorang Laki-laki dengan Keluhan Utama Tidak Bisa Jalan

dan Kesakitan

KELOMPOK IX

030.2006.292 ZAKI BONNIE PRACANDA

030.2007.240 SHISCA PURNAMASARI

030.2007.236 SEKAR MAYANG D P

030.2009.043 AZMI IKHSAN AZHARY

030.2009.045 BAYU PERMANA

030.2009.049 BRILLI BAGUS DIPO

030.2009.051 CHARISHA NADIA

030.2009.053 CHRISTOPHER RPS

030.2009.055 CLAUDIA MARISCA

030.2009.057 DANI FAHMA QURANI

030.2009.265 VITA ALFIA SHAFADILLA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

04 Februari 2011

BAB I

PENDAHULUAN

Lepra atau Hansen's disease (HD), merupakan infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium leprae dan Mycobacterium lepromatosis. Penyakit ini dinamai atas nama

fisikawan Gerhard Armauer Hansen.

Lepra dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di

Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan ± 13%, tetapi anak di

bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1

tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta congenital.

Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.

Kusta terdapat di mana-mana, terutama Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan sub

tropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi

makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu

penyembuhan. Karena tanpa pengobatan, penderita kusta yang terlihat rusak dan sering

memiliki kecacatan yang signifikan, sehingga penyakit ini telah lama ditakuti dan

penderitanya dijauhi oleh orang lain. Meskipun lepra tidak sangat menular, jarang

menyebabkan kematian, dan bisa secara efektif diobati dengan antibiotik, masih

menyebabkan kecemasan. Akibatnya, orang dengan kusta dan anggota keluarga mereka

sering memiliki psikologis dan masalah sosial.

1

BAB II

SKENARIO

Seorang laki-laki, nama Tn. M, usia 43 tahun, pedagang buah-buahan, datang ke UGD

diantar keluarganya (istri dan dua anak remaja). Penderita tampak sakit berat, tidak bisa

jalan, dan mengeluh kesakitan. Muka pucat, bibir pucat, pada perabaan panas. Sakit yang

dialami ini sudah selama 5 hari, dan penderita sudah minum obat panadol dan jamu tolak

angin tetapi tidak menolong.

Pada catatan rekam medik rumah sakit, ternyata penderita adalah pasien poliklinik bagian

Penyakit Kulit dan Kelamin, dengan diagnose Lepra dan mendapat pengobatan multi

basiler selama 4 bulan ini, kontrol terakhir 3 minggu yang lalu. Pemeriksaan BTA di awal

berobat tercatat BI +6 dan MI 92%.

Pada pemeriksaan didapatkan tensi 120 mm/Hg, nadi 72/menit, respiratory rate 16/menit,

suhu 28,7. Sclera kuning, Hb 9 gr%.

Klinis didapatkan di daerah lengan, pinggul, dan tungkai suatu nodul-nodul eritema, nyeri

raba, edema.

Telapak kaki kanan terdapat ulkus ukuran 2x3x0,5 cm.

Hasil laboratorium untuk pemeriksaan :

SGOT/SGPT : 67/92

BI : +5

MI : 25%

2

BAB III

PEMBAHASAN

Identitas :

Nama : Tn. MUmur : 43 tahunStatus : MenikahPekerjaan : Pedagang buah-buahanKeluhan utama : Tidak bisa jalan dan kesakitan

Untuk membahas kasus ini, selain diperlukan identitas dan keluhan utama, diperlukan juga

rincian masalah, agar dapat membuat hipotesis yang lebih terarah. Masalah yang didapat

pada kasus ini selain keluhan utama yang sudah disampaikan di atas ialah pasien tampak

sakit berat, muka pucat, bibir pucat, pada perabaan panas. Sakit sudah dirasakan sejak 5

hari, dan obat panadol dan tolak angin tidak menolong.

Dari masalah di atas, dapat dibuat hipotesis sebagai berikut :

Brucellosis

Brucellosis termasuk dalam penyakit zoonosis, yaitu penyakit pada hewan yang dapat

ditularkan ke manusia. Dalam kedokteran ada tiga spesies yang penting, yaitu B. abortus

(sapi), B. melitensis (domba dan kambing), dan B. suis (babi). Apabila bakteri ini

ditularkan kepada manusia maka penyakitnya disebut undulant fever atau Bang’s disease.

Brucella berbentuk kokus, gram negatif, tidak memiliki flagel, dan hidup secara aerob.

Infeksi brucellosis didapat dari kontak langsung dari hewan yang menderita penyakit ini,

juga secara tidak langsung melalui konsumsi dari makanan yang terkontaminasi bakteri

ini, misalnya keju, susu yang tidak terpasteurisasi, dan produk ternak lainnya. Invasi

bakteri kemudian terjadi melalui mukosa saluran pencernaan atas dan saluran pernapasan

atau melalui lesi kulit, yang kemudian akan masuk ke jaringan subserosa atau subkutis.

3

Dari sini mereka akan lolos dan dibawa oleh mikrofag atau makrofag ke nodus limfatik

yang menyebabkan limfadenitis. Lalu, secara limfogen dan hematogen, bakteri ini akan

dibawa ke organ – organ, seperti hepar, limpa, sumsum tulang, dan jaringan RES lainnya

dimana mereka akan bermultiplikasi. Granuloma tipikal dari bakteri intraselular terbentuk.

Dari tempat inflamasi ini, brucella akan masuk ke aliran darah dan menyebabkan demam

yang bersifat febris intermiten.

Chikungunya

Chikungunya adalah sejenis demam virus yang disebabkan oleh alphavirus serta

disebarkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti. Chikungunya berasal dari

bahasa Swahili berdasarkan gejala pada penderita, yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau

melengkung, mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat. 

Chikungunya ditandai dengan timbulnya demam mendadak yang sering disertai nyeri

sendi. Tanda-tanda dan gejalam umum lainnya adalah adanya nyeri otot, sakit kepala,

mual, muntah, kelelahan dan adanya ruam. Nyeri sendi dirasakan sangat sakit, tetapi

biasanya akan hilang dalam beberapa hari atau minggu. Pada orang dewasa, gejala nyeri

sendi dan otot sangat dominan dan sampai menimbulkan kelumpuhan sementara karena

rasa sakit bila berjalan. Selain gejala-gejala tersebut dapat juga ditemukan adanya

pembesaran kelenjar getah bening. Kebanyakan pasien sembuh total, tetapi dalam

beberapa kasus nyeri sendi dapat bertahan selama beberapa bulan atau bahkan bertahun-

tahun. Pada beberapa kasus telah didapatkan adanya gangguan pada mata, neurologi, dan

juga keluhan gastrointestinal. Komplikasi serius jarang ditemukan. Seringkali gejala pada

individu yang terkena infeksi ringan bias tidak dikenali atau dapat terjadi kesalahan

diagnosis di daerah dimana DBD terjadi.

4

Lepra

Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah bakteri

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit, dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ

lain kecuali susunan saraf pusat.

Untuk mempersempit hipotesis atau menunjang diagnosis, diperlukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat. Anamnesis yang diperlukan

pada kasus ini akan dijelaskan menurut hipotesis.

Brucellosis

o Nyeri di bagian mana?

o Apakah ada kehilangan nafsu makan?

o Adakah keringat pada malam hari?

o Apakah suka mengonsumsi produk ternak? (susu, keju dll)

o Apakah menggunakan obat AH2 (anti-histamin 2)?

Chikungunya

o Apakah di keluarga ada yang pernah terkena gejala yang sama?

o Bagaimana kondisi lingkungan? (dekat kebun dll)

o Apakah ada nyeri punggung?

o Apakah pernah terlihat ruam?

o Apakah pernah terjadi mimisan atau gusi berdarah?

o Apakah ada rasa nyeri pada sendi dan otot?

Lepra

5

o Adakah kontak dengan pasien lepra sebelumnya?

o Apakah ada tanda-tanda kelainan kulit?

Selain anamnesis yang tepat dan terarah, diperlukan juga pemeriksaan fisik untuk

menunjang diagnosis. Pemeriksaan fisik yang diperlukan pada kasus ini akan dijelaskan

menurut hipotesis.

Brucellosis

o Ditemukan suhu undulant (naik-turun)

o Ditemukan hepatosplenomegali

o Kelainan osteoartikular (pembengkakan sendi dan berkurangnya range of

motion)

o Anemia ringan

o Eritema, abses, impetigo, eczema, gangguan neurologi seperti hiperrefleksi,

klonus, gangguan saraf kranial.

Chikungunya

o Ditemukan konjungtivitis

o Lesi makulopapular, eritema, ruam disertai deskuamasi, mata merah disertai

flu, pembesaran kelenjar getah bening.

o Tourniquet test positif

Lepra

o Adakah kelainan pada kulit

o Adakah anastesia, dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas

terhadap rasa raba, dan pengujian terhadap rasa suhu dengan menggunakan

air panas dan air dingin

6

o Adakah pembesaran saraf perifer dan bagaimana konstitusi dan nyeri atau

tidak

o Adakah alopesia

o Gejala-gejala kerusakan saraf

o Adakah kelainan conjunctivitis

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, diperlukan juga pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus ini akan dijelaskan menurut hipotesis.

Brucellosis

o Isolasi bakteri pathogen dari kultur darah atau biopsi yang diinkubasikan

selama 4 minggu. Brucella diindentifikasi dengan menemukan antigen

permukaan yang dideteksi dengan polyvalent brucella-antiserum dalam

reaksi slide agglutination.

o Deteksi antibody dilakukan dengan reaksi aglutinasi Gruber-Widal.

Chikungunya

o Isolasi virus

o Deteksi IgM dengan IFA atau EIA

Lepra

o Pemeriksaan bakterioskopik dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen

o Pemeriksaan histopatologik

o Pemeriksaan serologic yaitu dengan uji MLPA (Mycobacterium Leprae

Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme-linked Immunoabsorbent

Assay), ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)

7

Setelah anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, didapat hasil berikut

ini.

Pada catatan rekam medik rumah sakit, ternyata penderita adalah pasien poliklinik bagian

Penyakit Kulit dan Kelamin, dengan diagnose Lepra dan mendapat pengobatan multi

basiler selama 4 bulan ini, kontrol terakhir 3 minggu yang lalu. Pemeriksaan BTA di awal

berobat tercatat BI +6 dan MI 92%.

Diagnosis yang tepat untuk pasien ini adalah lepra. Diagnosis ditarik dari kriteria diagnosis

lepra yaitu sebagai berikut.

Adanya hipopigmentasi atau reddish patches dengan kehilangan rasa sensasi yang

jelas

Penebalan saraf perifer

Ditemukan bakteri tahan asam pada skin smear atau biopsi

Agar dapat membahas masalah-masalah pada kasus, berikut akan dijelaskan mengenai

patofisiologi lepra.

Patofisiologi lepra

Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah bakteri

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit, dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ

lain kecuali susunan saraf pusat.

Bakteri menyebar melalui aliran darah dan menginvasi kulit dan saraf via sel endotel dari

pembuluh darah. Jika bakteri bertahan dan bereplikasi, pasien akan mengalami lepra tipe

determined yang bervariasi antara tuberkuloid dan lepromatosa.

8

70

M. Leprae mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann. Pada sel Schwann,

mycobacteria mengikat pada domain G dari rantai alfa laminin 2 (hanya ditemukan pada

saraf perifer) di lamina basalis. Bakteri ini memperlambat replikasinya dalam sel Schwann

dan menstimulasi cell mediated immune response, yang mengakibatkan reaksi inflamasi

kronik. Akibatnya, terjadi pembengkakan pada perineum, yang menyebabkan iskemi,

fibrosis, dan kematian dari akson. Kuatnya sistem imun dari host mempengaruhi gejala

klinis dari penyakit. Cell mediated immunity yang kuat (interferon-gamma, interleukin–2)

dan respon humoral yang lemah akan menimbulkan gejala klinis ringan, dengan beberapa

saraf yang terlibat dan bakteri yang lebih sedikit. Respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10)

namuncell mediated immunity yang relatif lemah akan menimbulkan lepromatous leprosy,

dengan lesi yang tersebar luas, lebih banyak kulit dan saraf yang terlibat, dan jumlah

bakteri yang lebih banyak. Oleh karena itu, terdapat berbagai bentuk tipe dari penyakit ini,

host dengan cell-mediated immunity yang mendominasi akan mengalami bentuk lepra

yang ringan, sedangkan host dengan imunitas humoral yang dominan akan mengalami

lepra dalam bentuk yang lebih berat.

9

Kontak

Infeksi

Sembuh

Indeterminate (I)

Subklinis

Non - Infeksi

Determinate

Ti BT BB LiBL LLTTI

30%

70%

95%

Toll-like receptors (TLRs) juga berperan dalam patogenesis dari penyakit ini. M leprae

mengaktifkan TLR2 and TLR1 yang terdapat pada permukaan sel Schwann, terutama pada

tuberculoid leprosy. Walaupun pertahanan imun cell mediated paling aktif dalam bentuk

lepra yang ringan, cell mediated immunity berperan dalam terjadinya aktivasi apoptosis

gen yang mengakibatkan kerusakan saraf yang cepat pada lepra yang ringan. Aktivasi

makrofag dan sel dendritik, antigen-presenting sel, terlibat dalam respon imun host M

leprae. IL-1beta yang diproduksi oleh antigen-presenting sel yang terinfeksi oleh

mycobacteri mengganggu maturasi dan fungsi dari sel dendritik. Karena basil telah

ditemukan di dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel endotel juga

dianggap berkontribusi pada patogenesis kusta.

Pembahasan Masalah

Pemeriksaan BTA di awal berobat tercatat BI +6 dan MI 92%. Pemeriksaan

bakterioskopik ini dilakukan dengan cara yang akan dijelaskan sebagai berikut.

Sediaan diambil dari tiga tempat yaitu dari kerokan jaringan kulit, kerokan mukosa hidung,

dan serum dari cuping telinga yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.

Cara pengambilan bahan dengan menggunakan scalpel steril. Setelah lesi tersebut

didesinfeksi kemudian dijepit dengan antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi

iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan

mengganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui

subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel

10

Virchow ( sel lepra ) yang mengandung Mycobacterium leprae. Kerokan jaringan itu

dioleskan digelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan klasik,

yaitu Ziehl-Neelsen.

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows ditampung dalam plastik.

Dengan kapas lidi bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi harus pada hari yang

sama, pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.

M. leprae tergolong basil tahan asam ( BTA ), akan tampak merah pada sediaan.

Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran

(granuler). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang bentuk fragmented dan granuler adalah

bentuk mati. Struktur M. leprae ada yang berbentuk clump, globi dan soliter.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada sebuah sediaan dinyatakan

dengan indeks bakteri (BI) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA

dalam 100 lapang pandang (LP)

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP

2+ bila 1-10 BTA dlam 10 LP

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

4+bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

6+bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran

lensa objektif 100x. IB seseorang adalah IB semua lesi yang dibuat sediaan.

Indeks morfologi (IM) adalah presentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid

dan non-solid.

Pemeriksaan BTA di awal berobat tercatat BI +6 dan MI 92%. Artinya ialah bahwa pasien

mempunyai > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP dan dengan daya menular yang tinggi., yaitu

11

92%. Dari hasil BTA tersebut, bisa disimpulkan bahwa pasien pada awal berobat

mengalami lepra dengan tipe Lepromatosa (LL). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel berikut.

TABEL KARAKTERISTIK TIPE LEPRA MENURUT KLASIFIKASI RIDLEY-

JOPLING

Tipe

TT BT BB BL LL

TT Ti BT BB BL Li LL

Reaksi Lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -

Stabilitas imunologik ++ + ± - ± + ++

Reaksi borderline - ± + ++ + ± -

E.N.L - - - - - + +

Basil dalam hidung - - - - + ++ ++

Basil dalam granuloma 0 0-1+ 1+-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+

Sel epiteloid + + + + - - -

Sel datia Langhans +++ ++ + + - - -

Globi - - - - - + +

Sel busa (sel Virchows) - - - - + ++ +++

Limfosit +++ +++ ++ + + +/± ±

Infiltrasi zone

subepidermal

+ + +/- - - - --

Kerusakan saraf ++ +++ ++ + ± + -

12

Pasien diberikan pengobatan multibasiler setelah didiagnosa. Pengobatan multibasiler

ditujukan untuk penderita lepra tipe lepromatosa (LL), borderline lepromatosa (BL), atau

mid-borderline lepromatosa (BB) dengan klasifikasi klinis menurut WHO berikut ini.

Memiliki 5 lesi atau lebih

Distribusi simetrikal

Kehilangan rasa sensasi

Kerusakan banyak cabang saraf yang menyebabkan kehilangan rasa sensasi dan

kelemahan pada otot yang dipersarafi

Standart multi-drug theraphy (MDT) pada pengobatan multibasiler untuk orang dewasa

menurut WHO adalah berikut ini.

Rifampicin : 600 mg, satu kali sebulan, dipantau

Dapsone : 100 mg, satu kali sehari

Clofazimine : 300 mg, satu kali sebulan, dipantau. 50 mg, satu kali sehari.

Ketiga macam obat ini dikonsumsi selama minimal 2 tahun tetapi tergantung pada

kapanpun hasil bakterioskopik BTA negative.

Setelah itu dilakukan follow-up minimal 5 tahun setelah pemberhentian pengobatan

dengan pemeriksaan klinis dan bakteriologik satu tahun sekali.

Selain itu terdapat masalah-masalah yang perlu diidentifikasi pada kasus. Penderita sakit

berat dan mengeluh kesakitan, hal ini terjadi karena pasien sudah dalam tipe lepra yang

berat, yaitu tipe lepromatosa. Tidak bisa jalan kemungkinan disebabkan adanya kerusakan

pada saraf peroneus communis yang menyebabkan deformitas drop foot. Atau bisa pula

disebabkan oleh kerusakan pada saraf tibialis posterior yang dapat menyebabkan paralisis

otot intrinsik kaki. Muka pucat dan bibir pucat dapat disebabkan oleh kemungkinan

keadaan anemia pada pasien yang merupakan efek samping pengobatan selama 4 bulan ini.

13

Perabaan panas kemungkinan karena adanya demam. Demam terjadi karena reaksi

inflamasi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Untuk lebih jelasnya, akan

diilustrasikan pada bagan berikut ini.

Pada kasus lanjutan, didapatkan juga hal-hal berikut ini.

Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Status

Tekanan darah 120 mm/Hg 120/80 mm/Hg Normal

Nadi 72 x/ menit 60-100 x/menit Normal

14

bakteri

Kulit, saluran pernafasan, saluran cerna

Sel Schwann

Perabaan panas

Faktor-faktor inflamasi

Menstimulus respon imun

Gangguan n. peroneus lateralis dan n. tibialis posterior

Saraf perifer

Tidak dapat berjalan

Pernapasan 16 x/menit 16-20 x/menit Normal

Suhu 38,7oC 36,5-37,2oC Febris

Sclera Kuning Tidak ikterik Ikterik

Hb 9 gr% 13,8-17,2 gr% Anemis

Klinis didapatkan di daerah lengan, pinggul, dan tungkai suatu nodul-nodul eritema, nyeri

raba, edema. Telapak kaki kanan terdapat ulkus ukuran 2x3x0,5 cm.

Pada hasil yang diterima, dapat dirumuskan masalah-masalah dan pembahasannya berikut

ini.

Sklera ikterik diduga disebabkan karena efek samping pengobatan multibasiler, yaitu

rifampicin atau clofazimine. Rifampicin adalah derivate semisintetik dari rifamycin yang

dapat menghambat sintesis RNA pada bakteri. Rifampicin merupakan obat yang sejauh ini

paling efektif membunuh Mycobacterium leprae. Tetapi efek samping dari rifampicin ialah

hepatotoksik, yang pada kasus dapat menyebabkan sclera ikterik. Sedangkan clofazimine

memiliki efek samping warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sclera,

sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh clofazimine merupakan zat warna dan

dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Jadi sclera ikterik

dapat disebabkan oleh kedua jenis obat tersebut. Diperlukan pemeriksaan fungsi hati

SGOT/SGPT untuk memastikan penyebab.

Anemia juga dapat disebabkan karena efek samping dari pengobatan multibasiler pasien

yaitu oleh karena dapsone. Dapsone memiliki efek samping anemia sedang, atau bahkan

anemia berat pada pasien dengan defisiensi G6PD.

Nodul-nodul eritema pada daerah lengan, pinggul, dan tungkai, nyeri raba, dan edema

menandakan timbulnya ENL (eritem nodosum leprosum). Secara imunopatologis, ENL

termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara

15

antigen M. leprae dan antibody (IgM, IgG) dan komplemen. Karena itu, ENL merupakan

golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat

antigenic, maka antibody dapat terbentuk. Kadar immunoglobulin penderita tipe

lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkulid. Hal ini terjadi karena pada tipe

lepromatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkulid. Reaksi peradangan

terjadi pada tempat-tempat basil berada, yaitu pada kulit dan saraf.

Telapak kaki kanan terdapat ulkus ukuran 2x3x0,5 cm. Hal ini mendukung pernyataan

bahwa pada tipe lepromatosa sering ditemukan trophic ulcer pada telapak kaki. Hal ini

disebabkan oleh karena adanya kehilangan rasa sensasi pada pasien, sehingga terjadi

trauma yang terus-menerus tanpa pasien sadari.

Setelah identifikasi masalah-masalah pada kasus, diperlukan pemeriksaan penunjang untuk

memastikan penyebab sclera ikterik dan meninjau hasil pengobatan multibasilernya.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan ialah tes fungsi hati dan tes bakterioskopik untuk

menilai kadar BTA pada pasien. Selain itu, untuk memastikan fungsi organ yang lain

diperlukan juga pemeriksaan mata dengan tes visus dan pemeriksaan fungsi ginjal. Karena

pada tipe lepromatosa dapat menyebabkan gangguan penglihatan, bahkan kebutaan. Dapat

pula terjadi kelainan-kelainan pada ginjal, yang biasanya didapat pada reaksi tipe 2 (ENL).

Hasil pemeriksaan laboratorium :

Hasil Pemeriksaan Normal Status

SGOT 67 U/L 0-48 U/L Tinggi

SGPT 92 U/L 0-42 U/L Tinggi

BI +5 Menurun

MI 25% Menurun

16

Pada hasil pemeriksaan laboratorium, didapat SGOT/SGPT yang tinggi. Hal ini

menyimpulkan adanya hepatotoksik yang merupakan efek samping dari pengobatan

multibasiler pasien yaitu rifampicin yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.

BI +5 dapat diartikan sebagai 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP. MI 25% berarti daya

tular pasien menurun dari sebelumnya. Hal ini menandakan adanya keberhasilan

pengobatan pada pasien.

Diagnosis pada pasien sekarang adalah lepra tipe lepromatosa (LL) dengan keberhasilan

pengobatan.

Penatalaksanaan pada pasien sekarang adalah tetap mengacu pada standard multi-therapy

drugs (MDT), tetapi penggunaan rifampicin yang hepatotoksis diganti agar tidak terjadi

kerusakan hepar yang lebih parah. Direkomendasikan penggunaan selama 24 bulan

kombinasi berikut ini.

Clofazimine 50 mg per hari, dikombinasi dengan dua dari pilihan obat-obatan yaitu

400 mg ofloxacin, 100 mg minocycline, atau 500 mg clarithromycin, selama 6

bulan.

Diikuti dengan clofazimine 50 mg per hari dikombinasi dengan 100 mg

minocycline atau 400 mg ofloxacin, selama 18 bulan berikutnya.

Pada pasien kali ini kami memilih untuk menggunakan clofazimine 50 mg per hari, dan

dikombinasi dengan ofloxacin 400 mg dan minocycline 100 mg selama 6 bulan. Untuk 18

bulan berikutnya dengan clofazimine 50 mg per hari dikombinasi dengan ofloxacin 400

mg selama 18 bulan.

17

Selain penggantian rifampicin, diperlukan juga pemberhentian dapsone yang menyebabkan

anemia pada pasien agar tidak terjadi anemia yang lebih parah.

Selain itu, diperlukan juga pengobatan untuk ENL. Pada ENL ringan-sedang dapat

diberikan analgesic atau antipiretik, seperti aspirin. Sedangkan untuk ENL berat yang

seringkali disertai neuritis dapat diberikan prednisolone. Penggunaan clofazimine saja

untuk ENL tidak dianjurkan, karena kurang poten dan membutuhkan waktu 4-6 minggu

untuk sampai pada efek penuh.

Kriteria kesembuhan pada pasien lepra belum ditemukan referensinya. Menurut hasil

diskusi kelompok, kami menyimpulkan kesembuhan lepra dilihat dari pemeriksaan

bakterioskopik BTA yang negative.

Pencegahan

Lepra hanya menular jika terdapat dalam bentuk lepromatosa yang tidak diobati dan itupun

tidak mudah ditularkan kepada orang lain. selain itu, sebagian besar secara alami memiliki

kekebalan terhadap lepra dan hanya orang yang tinggal serumah dalam jangka waktu yang

lama yang memiliki resiko tertular, oleh karena itu dilakukan pemberian vaksin BCG

(bacille Calmette Guĕrin) saat bayi yang telah terbukti efektif untuk mencegah lepra

hingga 80%.

Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar

matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.

Prognosis

Ad vitam : ad bonam

Ad sanationam : dubia ad malam

18

Ad functionam : dubia ad malam

Ad cosmeticum : dubia ad malam

BAB IV

KESIMPULAN

Pasien ini menderita lepra tipe lepromatosa (LL) dengan keberhasilan pengobatan.

Penderita kusta bukan menderita penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan

masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan

ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang

pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot. Namun lepra hanya menular jika

terdapat dalam bentuk lepromatosa yang tidak diobati dan itupun tidak mudah ditularkan

kepada orang lain. Oleh karena itu, penderita pada kasus ini tidak memerlukan isolasi dari

kehidupan sosialnya namun penderita harus mendapatkan rehabilitasi untuk keadaan

psikologisnya.

19

BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

Lepra

Definisi

Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah bakteri

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit, dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ

lain kecuali susunan saraf pusat.

Epidemiologi

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti

hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama

dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup

beberapa hari dalam droplet.

Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa

tahun, rata-rata 3-5 tahun.

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh

dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit

tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan

20

terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap Negara maupun dalam

Negara sendiri ternyata berbeda-beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau

menghilang pada suatu Negara sampai saat ini belum jelas benar.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah pathogenesis kuman penyebab, cara

penularan, keadaan social ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan

dengan kerentanan, perubahan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir di

luar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun

demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan

tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya.

Belum ditemukan medium artificial, mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. leprae.

Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya

kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae sampai 103 per gram

jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali disbanding penderita yang hanya

mengandung 107 basil per gram jaringan.

Kusta bukan penyakit keturunan, kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar

keringat, dan air susu ibu, jarang didapat di urin. Sputum sangat banyak mengandung M.

leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi

tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang

dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan ± 13%,

tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di

bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta

congenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.

Kusta terdapat di mana-mana, terutama Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan sub

tropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi

makin berat penyakitnya, sebaliknya factor sosial ekonomi tinggi sangat membantu

21

penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. leprae yang mengakibatkan variasi

gambaran klinis (spectrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga

disebabkan oleh factor genetic yang berbeda.

Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta

sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi

kusta menjadi dibawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai

Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di

sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun

1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun masyarakat di 55 negara atau wilayah,

91% dari jumlah kasus berada di 16 negara, dan 82%-nya di 5 negara yaitu Brazil, India,

Indonesia, Myanmar dan Nigera. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada

Maret 1997 adalah 3.699 orang, distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di

Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000

penduduk adalah 1,57.

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena dapat terjadi ulserasi,

mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita penyakitnya saja, tetapi juga

karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang

ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan

yang berulang-ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.

Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada

tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media

22

artificial. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan

alcohol serta Gram positif.

Pathogenesis

Pada tahun 1960, Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit, dan

berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam specimen, bentuk lesi

maupun Negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh

diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikan dan kalau melampaui jumlah

maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.

Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi (900 r),

sehingga kehilangan respon imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh basil

terutama di bagian tubuh yang relative dingin, yaitu hidng, cuping telinga, kaki, ekor. Basil

tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch,

meskipun seluruhnya belum dapat dipenuhi.

Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang

lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.. ketidakseimbangan antara deajat infeksi dengan

derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah

timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau

progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. Gejala

klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.

Gejala klinis

23

Tabel Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Multibasilar (MB)

SIFAT LEPROMATOSA

BORDERLINE

LEPROMATOSA MID BORDERLINE

  (LL) (BL) (BB)

Lesi      

> Bentuk Makula Makula Plakat

  Infiltrat difus Plakat Dome-shaped (kubah)

  Papul Papul Punched-out

  Nodus    

> Jumlah

Tidak terhitung,

praktis Sukar dihitung, masih ada

Dapat dihitung, kulit

sehat

  tidak ada kulit sehat kulit sehat jelas ada

> Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

> Permukaan Halus berkilat Halus Berkilat

Agak kasar, agak

berkilat

> Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

> Anestesia Biasanya tak jelas Tak jelas Lebih jelas

       

BTA      

> Lesi kulit Banyak (ada globulus) Banyak Ada banyak

> Sekret

hidung Banyak (ada globulus) Biasanya negative Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya Negatif

Tabel Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Pausibasilar (PB)

24

SIFAT TUBERKULOID

BORDERLINE

TUBERKULOID INDETERMINATE

  (TT) (BT) (I)

Lesi      

> Bentuk Makula saja; makula Makula dibatasi infiltrat; Hanya infiltrat

  dibatasi infiltrat infiltrat saja  

> Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu dengan Satu atau beberapa

    Satelit  

> Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi

> Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat

> Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat

      tidak jelas

> Anestesia Jelas Jelas

Tak ada sampai tidak

jelas

       

BTA      

> Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif

Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah

Dapat positif lemah

atau

      negatif

Diagnosis

Diagnosis lepra ditegakkan apabila terdapat satu atau lebih tanda kardinal. Ini termasuk:

1. Lesi kulit yang ditandai dengan hilangnya sensasi sensorik (anestesi)

2. Pembesaran saraf tepi

25

3. Ditemukan M. leprae pada pemeriksaan usapan kulit

Untuk memeriksa apakah terdapat lesi kulit, pada inspeksi dilihat adanya alopesia, turgor

berkurang, dan dehidrasi pada . Dan untuk melihat adanya anestesi, maka digunakan kapas

atau jarum, apabila masih kurang jelas barulah dilakukan pengujian terhadap rasa suhu.

Pembesaran saraf tepi ditemukan di saraf yang superfisial, yaitu: N. fasialis, N. aurikulairs

magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior.

Yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak.

Penunjang Diagnosis

1. Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan

diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit

atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-

Neelsen. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang

tersebut tidak mengandung basil M. lepare.

Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh

basil, setelah terlebih dahulu meentukan jumlah tempat yang akan diambil.

Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau untuk

rutin. Untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bawah

dan 2-4 lesi lain yang paling aktif.

M. leprae akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk solid,

fragmented, dan granular. Bentuk solid lebih berbahaya karena dapat

berkembangbiak dan menularkan ke orang lain. Kepadatan BTA tanpa

membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan bakterial

26

indeks (BI) dengan nilai 0 sampai +6. Morfologi indeks (MI) adalah persentase

bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solod dan nonsolid.

Rumus:

Jumlah solid

_________________________ x 100% = ….. %

Jumlah solid + non solid

2. Pemeriksaan histopatologik

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang

mempunya nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel

glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Kalau ada kuman masuk,

akibatnya akan bergantung pada Sistem Imun Selular (SIS) orang itu. Jika SIS-nya

tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke

tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya factor

kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,

makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan

kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya masa epiteloid

dikelilingi limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan

jaringan atau cacat. Pada penderita dengan SIS rendah, histiosit tidak dapat

menghancurkan M. leprae yang sudah berkembang biak dan disebut sel Virchow

atau sel lepra atau sel busa dan sebagai pengangkut penyebarluasan.

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran

histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih

nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa

27

terdapat kelim sunyi subepidermal, yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis

yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil.

3. Pemeriksaan serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh

seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat

spesifik terhadap M. lepare, yaitu PGL-1 dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35

kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain LAM, yang juga dihasilkan

oleh kuman M. tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta

yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Di samping itu

dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit.

Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah:

a. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)

b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbbent Assay)

c. ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)

Penatalaksanaan

Pengobatan Lepra menurut standar WHO

PB1 : Rifampisin 600mg, ofloksasin 400mg, minosiklin 100mg ( ROM tunggal )

PB2-5 : Rifampisin 600mg/bl, DDS 100mg/hari

MB : tiap bulan ( Rifampisin 600mg, DDS 100mg, kolfazimin 300mg ) dan

dosis harian dengan DDS 100mg dan klofazimin 50mg.

28

Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia

sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternative sejalan dengan kebutuhan dan

kemampuan. MDT ini adalah sebagai usaha untuk :

- Mencegah dan mengobati resistensi.

- Memperpendek masa pengobatan.

- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan.

Resistensi terhadap DDS dapat primer ataupun sekunder. Resistensi sekunder

terjadi oleh karena :

- Monoterapi DDS

- Dosis terlalu rendah

- Minum obat tidak teratur

- Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun

Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasiler oleh karena SIS penderita pada

penderita Pauci basiler tinggi dan pengobatannya relative singkat.

MDT saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-obat lain. Dosis

DDS ialah 1-2mg/kgBB tiap hari

Efek samping yang timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,

leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindroma DDS, nekrosis epidermal toksik,

hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobulinemia.

Rifampisin

Adalah salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kgBB diberikan

setiap hari atau bulan. Pada pengobatan kombinasi tidak boleh diberikan setiap

seminggu sekali atau 2 minggu sekali mengingat efek sampingnya. Efek

29

sampingnya adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like

syndrome, dan erupsi kulit.

Klofazimin ( lamprene )

Dosis sebagai anti kusta ialah 50mg setiap hari atau 100 mg selang sehari atau

3x100mg tiap minggu. Klofazimin bersifat antiinflamasi sehingga dapat dipakai

pada penanggulangan E.N.L, dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari,

namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Efek sampingnya adalah

warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sclera, sehingga mirip

ikterus

Protionamid

Dosis diberikan 5-10mg/kgBB setiap hari. Distribusi protionamid tidak merata,

sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan, dehingga di Indonesia obat

ini tidak dipakai.

Ofloksasin

Turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in vitro. Dosis

optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan

membunuh kuman M. leprae hidup sebesar 99,99 persen. Efek sampingnya adalah

mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf

pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi

Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada

klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100mg.

Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang

menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai symptom

saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.

30

Klaritromisin

Kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap M.

leprae pada tikus dan manusia. Pada kusta lepromatosa, dosis harian 500mg dapat

membunuh 99 persen kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9 persen dalam

56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering

ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.

Pengobatan E.N.L

Obat yang dipakai ialah tablet kortokosteroid, antara lain adalah prednisone.

Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone 15-30 mg sehari.

Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama

sekali.

Klofazimin kecuali sebagai antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L.,

tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Makin berat makin tiggi dosisnya biasanya 200-300

mg perhari. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid.

Salah satu efek samping yang tidak disukai penderita adalah kulit menjadi merah-

kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi masih bersifat reversible.

Pengobatan reaksi reversal

Kalau ada neuritis akut, obat pilihan utamanya adalah kortikosteroid yang dosisnya

juga disesuaikan dengan berat-ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya.

Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan lahan.

Pengobatan harus secepatnya dan dengan dosis yan g adekuat untuk mengurangi terjadinya

keruskan saraf secara mendadak.

31

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. In : Djuanda A, editor.

Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta : Balai penerbit FKUI; 2007;p. 73-

88.

2. World Health Organization. Leprosy. In : Cook GC, Zumia A. Manson’s tropical

disease. London : Saunders; 2003.

3. McDougall AC, Ultrich MI. Mycobacterial disease : leprosy. In : Fitzpatrick TB,

Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF. Dermatology in general medicine.

4th ed. USA : McGraw-Hill; 1993.

4. Mims C, Dockrell HM, Goering RV, Roitt I, Wakelin D, Zuckerman M. Medical

microbiology. London : Elsevier; 2004.

5. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA. Medical microbiology. USA :

McGraw-Hill; 2007.

6. Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RI. Medical microbiology. New York

: Thieme Stuttgart; 2005.

7. WHO. Chikungunya. [Available at :

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs327/en/]

32