makalah mitben bab 2
DESCRIPTION
MitbenTRANSCRIPT
2. Sistem Manajemen Bencana di Jepang
2.1. Dasar Hukum
Hukum manajemen terkait berbagai bencana diadopsi sejak akhir 40-an, dimana telah
meletakkan kerangka hukum untuk sistem manajemen bencana Jepang. Hukum ini mencakup
semua fase manajemen bencana, meliputi :
1. kesiapsiagaan
2. pencegahan / mitigasi
3. respon
4. fase pemulihan / rehabilitasi.
Berdasarkan brosur terakhir dari Disaster Management System di Jepang, hanya ada 3
hukum yang telah ditetapkan untuk mengatur segala aktivitas yang berkaitan dengan tanggap
darurat bencana di Jepang, antara lain :
1. Disaster Relief Act – 1947
Hukum ini secara umum bertujuan untuk mengatur pemberian bantuan darurat bencana
melalui kerjasama pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah (missal : Palang Merah Jepang)
dan masyarakat umum yang secara khusus bertujuan untuk melindungi korban bencana dan
menjaga ketertiban sosial. Bab 3 dan Bab 4 dari DRA mengatur kerangka kerja bagi kebijakan
pemerintah berkaitan dengan biaya manajemen dan penggantian dan ketentuan pidana terkait
dengan kegiatan bantuan bencana. Dalam kasus bantuan darurat, UU Penanggulangan Bencana
disebutkan untuk hal-hal seperti operasi penyelamatan dan kontribusi negara dalam memberikan
biaya bantuan, yang hukumnya memiliki ketentuan khusus. Berdasarkan undang-undang,
bantuan diberikan hanya dalam hal, misalnya : kerusakan sejumlah rumah terhadap populasi
kotamadya atau kota yang bersangkutan karena bencana. (Contoh: Sedikitnya 30 rumah tangga
memiliki mereka tempat tinggal hancur melalui kehancuran total struktural dalam kota dengan
populasi kurang dari 5.000). Minister of Health, Labour and Welfare (MHLW) memainkan
peran kunci dalam pelaksanaan DRA, seperti penentuan metode yang akan dilaksanakan dan
durasi bantuan yang akan diberikan. Hal tersebut berlaku selama MHLW sebagai central
supervisory and coordinating body. Sebagaimana diatur oleh hukum, bantuan yang diberikan
oleh seorang Gubernur dengan bantuan Walikota. Jika diperlukan, Gubernur dapat
mendelegasikan kewenangannya untuk Walikota. Undang-undang mendefinisikan tanggung
jawab Gubernur seperti berikut :
Gubernur akan terus berusaha untuk merumuskan rencana yang diperlukan, membangun
organisasi bantuan yang kuat, menyediakan tenaga kerja, fasilitas, peralatan, perlengkapan, dan
pendanaan untuk memastikan sepenuhnya efektif. Berikut jenis kegiatan bantuan yang
didefinisikan oleh UU Penanggulangan Bencana:
a. Pengaturan dari tempat berlindung dan perumahan sementara darurat
b. Persediaan makanan dan air, pasokan pakaian, selimut, dll
c. Penyelamatan korban bencana
d. Perbaikan darurat rumah rusak
e. Penyediaan perlengkapan sekolah
f. Mencari korban meninggal dan perawatan tubuh
g. Pembersihan puing-puing di dalam dan sekitar tempat tinggal
2. Fire Service Act – 1948
Fire Service Act disahkan pada 24 Juli 1948, dan merupakan hukum yang mengatur
layanan pemadam kebakaran di seluruh wilayah negara Jepang serta fungsi layanan yang
berkaitan dengan kebakaran. Sedangkan organisasi sistem pertahanan kebakaran di negara ini
didasarkan pada Fire Defense Organization Law yang telah diberlakukan pada tanggal 23
Desember 1947. Hukum mendefinisikan peran lembaga pertahanan nasional api, baik di tingkat
nasional dan lokal. Berdasarkan hukum, tugas dari Unit Pemadam Kebakaran di Jepang adalah
melindungi rakyat “kehidupan” dan properti dari kebakaran, mencegah dan meminimalkan
kerusakan karena kebakaran, banjir, gempa bumi dan bencana lainnya.
Berdasarkan hokum, Fire and Disaster Management Agency (FDMA) didirikan sebagai
organisasi eksternal Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi dan kepala FDMA adalah
Komisaris FDMA. Pemerintah kota wajib untuk sepenuhnya melaksanakan layanan api di daerah
mereka. Tugas utama pemerintah provinsi mengenai layanan api adalah sebagai berikut:
Pemerintah provinsi diharapkan dapat memberikan pemerintah kota dengan nasihat dan
bimbingan, sehingga mereka dapat sepenuhnya melaksanakan kegiatan layanan api mereka.
Tugas utama mencakup hubungan dengan pemerintah kota dan promosi pendidikan dan
pelatihan bagi personil pemadam kebakaran dan anggota korps relawan api dengan mendirikan
fire academies atau “fire training schools. Secara umum, organisasi provinsi untuk layanan api
adalah divisi yang bertanggung jawab atas layanan api yang didirikan sebagai bagian dari
organisasi pemerintah provinsi.. Peran FDMA dan kota, serta peran pemerintah provinsi dalam
pelayanan api di Jepang akan dilihat dalam sub-bab berikutnya secara lebih luas.
Berkenaan untuk menjaga terhadap kebakaran, Fire Service Act mendefinisikan kerangka
hukum untuk kerjasama antara pemerintah provinsi dan kota dan pihak terkait lainnya. Pasal 22
dari FSA menetapkan berikut: Ketika Director-General of the Meteorological Agency, the
Director of a District Meteorological Observatory, the Director of the Okinawa Meteorological
Observatory, the Director of a Local Meteorological Observatory or the head of a Weather
Station menemukan kondisi meteorologi di daerah tertentu yang berpotensi menjadi bahaya api,
maka harus segera melaporkan kondisi tersebut ke pemerintah provinsi yang memiliki yurisdiksi
atas kata kota. Setelah menerima laporan, pemerintah provinsi harus menginformasikan
pemerintah kota bersangkutan yang pada gilirannya wajib mengeluarkan alarm sebagai
peringatan dini.
3. Flood Control Act – 1949
Manajemen sungai dan banjir di Jepang diatur berdasarkan masing-masing River Act dan
Flood Control Act. River Act, selain menetapkan aturan dasar untuk administrasi sungai yang
mendefinisikan langkah-langkah pencegahan banjir besar, hukum ini juga digunakan untuk
melihat dan mengawasi bencana yang berhubungan dengan air, misalnya bencana banjir dan
badai serta meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana demi keselamatan
penduduk. Menurut River Act, sungai-sungai di Jepang diklasifikasikan menjadi 2 kelompok:
Kelas A dan Kelas B. Dan juga ada sungai independen yang dikelola baik oleh kotamadya atau
kota. Seluruh sistem administrasi sungai didasarkan pada River Act (Gambar 1).
Gambar 1. Klasifikasi dan Administrasi sungai-sungai di Jepang
Administrator sungai dapat menggunakan atau mengambil alih lahan yang diperlukan,
bahan bumi (bambu, kayu atau bahan lainnya), dan penggunaan kendaraan atau alat transportasi
lainnya atau perangkat, atau membuang struktur atau hambatan lain atau memiliki orang-orang
yang tinggal di dekat atau yang berada di situs bahaya banjir untuk melakukan kegiatan
perlindungan banjir.
Dalam hal ketika terjadi bencana atau kemungkinan akan terjadi banjir, gelombang badai,
dan lain-lain yang dipandang diperlukan untuk mencegah atau mengurangi bencana tersebut,
Menteri Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata dapat langsung juga Gubernur
yang melakukan bagian dari pengelolaan sungai Kelas A pada bagian yang ditunjuk atau
pengelolaan sungai Kelas B untuk mengambil tindakan yang diperlukan.
Penanganan banjir dan kesiapan diatur dalam Flood Fighting Act dan Specified Urban
River Inundation Prevention Act. Menurut Flood Control Act, pemerintah kota diberikan
tanggung jawab utama dan penuh dalam kegiatan penanganan banjir di masing-masing wilayah.
Berdasarkan Flood Control Act, berikut langkah-langkah mitigasi banjir yang dilakukan:
a. patroli sungai
b. mobilisasi organisasi penanganan banjir dan pemadam kebakaran
c. memerintahkan warga untuk mengungsi
d. pelaporan dan penerbitan tingkat air
e. pelaporan pelanggaran tanggul.
Undang-Undang memainkan peran penting dalam pengurangan kerusakan banjir. UU
memiliki ketentuan yang mengatur hal-hal berikut :
a. Banjir diperkirakan akan memandu evakuasi, dll (bersama-sama dikeluarkan oleh
administrator sungai dan Badan Meteorologi Jepang).
b. Peringatan flood fighting untuk memandu kegiatan flood fighting (yang dikeluarkan oleh
administrator sungai).
c. Pengumuman umum oleh administrator sungai dari daerah rawan banjir di sepanjang setiap
sungai utama dan persiapan peta bahaya oleh masing-masing kota berdasarkan daerah yang
diasumsikan rentan banjir.
2.2 Tinjauan Sistem Manajemen Bencana di Jepang
Selain dari ketiga hukum tersebut, jumlah hukum yang mengatur tahapan
penanggulangan bencana lainnya, seperti : 7 Basic Acts; 18 with regard to Disaster Prevention
and Preparedness; 23 Disaster Recovery and Reconstruction and Financial Measures.
Mengingat keterkaitan hukum-hukum ini, aspek utama dari beberapa hukum lain juga akan
disorot, sedangkan fokus utama akan ditempatkan di hukum tanggap bencana.
Ketiga hukum diatas saling berkaitan, tetapi fokus utamanya adalah Undang-Undang
Dasar Penanggulangan Bencana Jepang atau Disaster Countermeasures Basic Act (DCBA).
Diberlakukannya DCBA dianggap sebagai titik balik dalam sejarah manajemen bencana modern
Jepang. DCBA dirancang pada tahun 1961, yaitu 2 tahun setelah bencana Angin Topan Isewan
yang menyebabkan kehancuran luar biasa dan hilangnya 5000 orang di Jepang.
DCBA dirancang untuk melindungi wilayah negara, kehidupan warga, mata pencaharian,
dan properti dari bencana alam sebagai prioritas nasional. Selain itu, DCBA dirancang sebagai
Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang mengatur tentang :
1. Tanggung jawab manajemen bencana
2. Organisasi Manajemen Bencana
3. Sistem Perencanaan Penanggulangan Bencana
4. Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana
5. Tanggap Darurat Bencana
6. Disaster Recovery atau Rehabilitasi
7. Tindakan Keuangan
8. Tindakan Darurat Tanggap Bencana
DCBA diatas dan undang-undang terkait lainnya saling melengkapi sebagai undang-
undang umum dan undang-undang yang rinci (Gambar 2). Ketika terjadi bencana, UU yang
pertama diterapkan bergantung pada sifat bencana dan DCBA hanya dipakai ketika tidak ada
ketentuan-ketentuan lain dalam UU lainnya.
Gambar 2. Skema Dasar DCBA
DCBA mencakup semua tahap manajemen bencana dan penetapan pembentukan Dewan
Manajemen Bencana di tiga tingkat (Gambar 3). Dewan Manajemen Bencana dibentuk di setiap
tingkat dan setiap dewan bertanggung jawab untuk pelaksanaan semua hal yang berkaitan
dengan pengelolaan bencana di bawah kewenangannya. Struktural beserta tugas dari Dewan
Manajemen Bencana akan dijelaskan di bawah ini :
1. Dewan Manajemen Bencana Tingkat Nasional (National Level)
Terdiri dari :
Kementrian Pusat
Dewan Manajemen Penanggulangan Bencana tingkat nasional
Organisasi Pemerintahan yang telah ditunjuk
Perusahaan Umum Nasional yang telah ditunjuk
Tugas :
a. Membuat dan mempublikasikan dasar rencana sistem penanggulangan bencana
b. Memberikan dukungan penuh pada pemerintah daerah
c. Membuat dan menerapkan tindakan perencanaan penanggulangan bencana
2. Dewan Manajemen Bencana Tingkat Provinsi (Prefecture Level)
Terdiri dari :
1. Gubernur
2. Dewan Manajemen Penanggulangan Bencana tingkat Provinsi
3. Organisasi Pemerintahan tingkat Provinsi yang telah ditunjuk
4. Perusahaan Umum tingkat Provinsi yang telah ditunjuk
Tugas :
a. Membuat dan mempublikasikan rencana tindakan penanggulangan bencana tingkat
Provinsi
b. Memberikan dukungan penuh pada pemerintahan Kabupaten/Kota Madya
c. Melakukan koordinasi penuh dengan pemerintahan tingkat nasional dan Kabupaten tentang
sistem penanggulangan bencana
3. Dewan Manajemen Bancana Tingkat Kabupaten/Kota Madya (Municipal Level)
Terdiri dari :
1. Bupati atau Walikota dan Kepala Desa
2. Dewan Manajemen Penanggulangan Bencana tingkat Kabupaten
Tugas :
a. Membuat rencana tindakan penanggulangan bencana tingkat Kabupaten
b. Bertanggung jawab ketika terjadi bencana, seperti :
Mendirikan tempat pengungsian korban bencana
Memberikan peringatan dini tentang evakuasi
Pengerahan unit pemadam kebakaran
Gambar 3. Sistem Manajemen Bencana di Jepang (Sumber: Cabinet Office, Disaster Management in
Japan, p.8)
Selain ketiga tingkatan diatas, juga ada Resident Level yang juga harus ikut serta,
bertindak dan bertanggung jawab penanggulangan bencana. Koordinasi dan komunikasi sistem
pada setiap tingkatan dilakukan secara komprehensif untuk membina manajemen
penanggulangan bencana yang holistik dan efektif pada setiap tingkatan.
Perencanaan Penanggulangan Bencana di Jepang diimplementasikan pada tiga tingkatan, sebagai berikut :
1. Dasar Rencana Sistem Penanggulangan Bencana yang telah dirancang oleh Dewan
Manajemen Penanggulangan Bencana tingkat Nasional serta rencana kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan penanggulangan bencana tingkat Nasional. Dimana semua perencanaan
tersebut harus berdasarkan pada DCBA. Struktur tersebut ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Dasar Manajemen Bencana di Jepang (Sumber: Cabinet Office, Disaster
Management in Japan, p.11)
2. Rencana Tindakan Penanggulangan Bencana yang telah dirancang oleh masing-masing
organisasi pemerintahan dan perusahaan umum pemerintah yang telah ditunjuk, diberdasarkan
pada Dasar Rencana Sistem Penanggulangan Bencana.
3. Rencana Sistem Manajemen Penanggulangan Bencana tingkat daerah yang telah dirancang
oleh Gubernur dan Bupati atau Walikota, berdasarkan pada situasi dan kondisi daerah dan
mengacu pada Dasar Rencana Sistem Penanggulangan Bencana.
2.3. Misi Kantor Kabinet Pemerintahan
Pada tahun 2001, jabatan Menteri Negara yang bertugas untuk Penanggulangan Bencana
baru didirikan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengintegrasikan dan memberikan
koordinasi kebijakan dan tindakan kementrian dan lembaga terkait tentang sistem mitigasi
bencana. Di Kantor Kabinet yang bertanggung jawab penuh tentang keamanan menjalain
kerjasama dan kolaborasi antar organisasi pemerintahan adalah Direktur Jenderal Manajemen
Bencana, yang juga diberi mandate untuk memberikan kebijakan dan bertanggung jawab pada
dasar rencana sistem penanggulangan bencana berskala besar.
Jepang telah banyak belajar dari bencana Gempa Hanshin-Awaji yang telah
menimbulkan kerugian besar, sehingga Sistem secretariat diperkuat termasuk menunjuk Kepala
Sekretaris Kabinet Sistem Manajemen Penanggulangan Bencana dan mendirikan Kabinet Pusat
Pengumpulan Informasi, untuk memperkuat fungsi manajemen resiko bencana yang berskala
besar dan perlu penanganan serius. Jadi, dalam hal ini Kantor Kabinet Pemerintahan memiliki
peran penting dalam mendukung Kantor Sekretaris Kabinet mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan sistem manajemen bencana.
Gambar 6. Organisasi dari Pemerintah Nasional dan Kantor Kabinet Manajemen Bencana