makalah penyakit kulit dan parasit darah pada...
TRANSCRIPT
MAKALAH
PENYAKIT KULIT DAN PARASIT DARAH PADA ANJING
Oleh :
Drh. Dini Kurnia Ikliptikawati, M.Sc
NIDN/NIP: 0013058502/ 198505132014042001
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Formulasi
Pakan Diet Pada Kasus-kasus Penyakit Hewan Kesayangan.
Makalah ini ditulis demi memperkaya khasanah pengetahuan seputar kasus-
kasus penyakit yang banyak dijumpai pada hewan kesayangan terutama anjing
dan kucing, dengan menitikberatkan pada aplikasi dan formulasi pakan diet
sebagai terapi yang dibutuhkan. Sebagaimana diketahui, maraknya penyakit pada
hewan kesayangan sangat membutuhkan keseriusan dari segi penanganan, yang
tentunya tidak hanya terbatas pada penggunaan obat-obatan, namun juga
perbaikan mnajemen pemeliharaan khususnya manajemen pakan.
Terselesaikannya makalah ini tentunya tidak lepas dari dukungan dari
bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik
tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Penulis menyadari bahwa makalah ini
bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak
terbatas. Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian
makalah ini, namun penulis menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi
isi, kelengkapan, maupun tata bahasa. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kiranya isi makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya,
dan bagi penulis khususnya. sebagai salah satu sumber referensi ilmu Kedokteran
Hewan.
Makassar, 16 Maret 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
A. Demodekosis .............. ........................................................................ 5
B. Pyoderma ..................................... ....................................................... 9
C. Ringworm .......................................... ................................................ 13
D. Pedikulosis ............................. ........................................................... 17
F. Babesiosis ........................ .................................................................. 22
G. Ehrlichiosis ....................... ................................................................. 27
BAB III. PENUTUP....................................................................................... 31
A. Kesimpulan .......................... ............................................................. 31
B. Saran ........................................... ....................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 32
LAMPIRAN .................................. ................................................................ 35
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman yang begitu cepat telah meningkatkan taraf dan gaya
hidup masyarakat. Banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi seperti kebutuhan
primer, sekunder dan tersier. Kebutuhan tersier yang kini merupakan bagian
penting dari kebutuhan masyarakat contohnya hobi. Hobi yang tidak mudah
pasang-surut di kalangan masyarakat adalah memelihara hewan kesayangan,
salah satunya adalah anjing.
Anjing merupakan hewan kesayangan yang banyak dipelihara orang, selain
untuk kesenangan dan keindahan juga sebagai tambahan ekonomi bagi
keluarga dari sebagian masyarakat tertentu. Oleh karena itu kesehatan hewan
kiranya perlu diperhatikan supaya dapat melanjutkan keturunan, serta
terpelihara kelestariannya (Isti, 1985).
Banyak orang memelihara anjing untuk dijadikan teman bermain, berburu,
sekaligus penjaga rumah yang dapat diandalkan.Pada dasarnya semua jenis
anjing sifatnya multi fungsi, hal ini wajar karena anjing sudah menjadi
binatang peliharaan sejak berabat – abat yang lalu (Untung, 1997). Pada
dasarnya semua jenis anjing sifatnya multi fungsi, hal ini wajar karena anjing
sudah menjadi binatang peliharaan sejak berabad-abad yang lalu. Namun,
sering kali pemilik mendapat hambatan dalam pengelolaan anjingnya karena
adanya penyakit, di antaranya adalah penyakit kulit dan parasit darah pada
anjing milik mereka.
Dalam memelihara anjing ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk
menjaga kesehatannya. Beberapa infeksi ektoparasit walaupun sangat ringan
dapat menyebabkan rasa tidak nyaman bagi hewan, banyak parasit eksternal
dapat menyebabkan gatal – gatal yang parah, lesi kulit dan penyakit kulit
kronis (Case, 1999).
Parasit eksternal pembawa berbagai penyakit menular dan dapat
menularkan penyakit saat menghisap darah hospes. Penyakit kulit yang sering
2
menyerang anjing yaitu demodecosis, pyoderma, ringworm, pediculosis, dan
phthiriasis sedangkan penyakit akibat parasit darah yaitu babesiosis dan
ehrlichiasis. Tiga jenis parasit eksternal yang paling sering ditemukan pada
anjing adalah kutu, caplak dan tungau. Ketiga parasit ini di klasifikasikan
sebagai arthropoda. Kutu termasuk golongan insekta dengan enam kaki, dan
caplak serta tungau adalah arachnida dan mempunyai delapan kaki (Case,
1999).
Tungau lebih banyak menghabiskan siklus hidupnya di bawah permukaan
kulit dan mampu menyebabkan gangguan ringan kulit yang parah atau
gangguan telinga pada anjing yang terinfeksi.Adanya parasit di dalam tubuh
meskipun dalam jumlah besar mungkin hanya mengakibatkan parasitosis
subklinis.Penderita hanya sedikit mengalami gangguan klinis dan hanya
dengan pemeriksaan maka dapat di kenali penderita tersebut memerlukan
pengobatan terhadap parasit yang di kandungnya.
Demodecosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi demodex
canis yang merupakan flora normal pada kulit anjing, dan menimbulkan
gangguan pada kulit anjing saat terjadi overpopulasi yang biasanya dikaitkan
dengan kondisi kekebalan tubuh yang rendah (imuno-supresi) pada hewan
(Sardjana, 2012).
Pyoderma merupakan suatu infeksi bakteri yang dapat terjadi pada
berbagai lapisan kulit. Infeksi kulit ini sering terjadi pada anjing dan jarang
terjadi pada anjing (Moriello, 2013). Pyoderma ini terjadi ketika pertahanan
alami kulit menurun sehingga memungkinkan bakteri kulit berkembang biak.
Bakteri-bakteri yang biasanya tidak hidup di kulit juga dapat berkoloni ketika
pertahanan kulit sedang menurun. Organisme lain, seperti organisme ragi dan
jamur, juga bisa mengambil keuntungan dari perubahan kulit yang mengalami
pyoderma dan membentuk infeksi mereka sendiri (Paterson, 2008).
Pediculosis merupakan penyakit akibat infestasi kutu (lice). Pada anjing
paling banyak dilakukan oleh kutu menggigit yang termasuk ke dalam subordo
Mallopaga dan kutu penghisap. Kutu ini dapat dijumpai di berbagai bagian
kulit tubuh, terutama pada bagian yang ada lipatannya (Subronto, 2010).
3
Ringworm atau dermatofitosis adalah penyakit mikotik yang disebabkan
oleh kapang dermatofit dan menyerang hewan (anjing, kucing, sapi, unggas
dan lain-lainnya). Penyebarannya hampir meliputi seluruh dunia.
Dermatofitosis ini dapat menular antar sesama hewan, dan antara manusia
dengan hewan (antropozoonosis) dan hewan kemanusia (zoonosis) dan
merupakan penyakit mikotik yang tertua di dunia. Dinamakan ringworm
karena pernah diduga penyebabnya adalah worm dan karena gejalanya dimulai
dengan adanya peradangan pada permukaan kulit yang bila dibiarkan akan
meluas secara melingkar seperti cincin, maka dinamai ringworm, meski
sebelumnya memang penyakit ini disebabkan oleh cendawan namun akhirnya
pemakaian istilah tersebut tetap dipakai sampai sekarang. Penularan dari hewan
kemanusia (zoonosis) dilaporkan pada tahun 1820 dari sapi ke manusia. Hewan
yang terserang umumnya hewan piaraan adalah anjing, babi, domba, kucing,
kuda, kambing, sapi dan lainnya, namun yang paling utama ialah anjing,
kucing, sapi (Ahmad, 2009).
Ehrlichiosis merupakan penyakit akibat infeksi mikroba. Pada anjing,
infeksi oleh agen penyakit ehrlichiosis yaitu Ehrlichia canis ditandai dengan
septicemia dan merupakan penyakit kuman ricketsia di daerah tropis. Agen ini
dapat ditemukan dalam leukosit, bersifat intrasitoplasmik, berbentuk coccoid,
serta hidup berkoloni (Subronto, 2010).
Babesiosis pada anjing tersebar di Afrika, Asia, Bagian Selatan Eropa,
Rusia, Amerika Tengah dan Selatan, sebagian kecil di Amerika Serikat. Di
Asia, penyakit ini telah dilaporkan ada di India, Sri Lanka, Jepang, dan China
(Atmojo, 2010). Babesiosis merupakan infeksi oleh parasit intraeritrosit yang
disebabkan oleh Babesia sp. Penyakit ini sering ditemukan di daerah yang
beriklim tropis, subtropis, dan beriklim sedang. Patogenitas dari spesies
Babesia di seluruh dunia beragam seiring dengan vektor biologisnya yang
tersebar secara luas. Keberadaan babesiosis di Indonesia sudah dilaporkan
sejak tahun 1986, tetapi sampai sekarang belum dapat diberantas (Astyawati
dan Winarto, 1991). Menurut Ressang (1984), penyakit ini bersifat endemic
di daerah Bogor dan sekitarnya sehingga banyak ditemukan kasus babesiosis
dalam bentuk menahun.
4
Phthiriasis adalah penyakit akibat infeksi pinjal atau yang sering kita
sebut sebgaai kutu loncat. Secara langsung atau tidak infestasi pinjal
menyebabkan gangguan yang lebih besar secara dermatologic daripada agen
etiologi lainnya. Hewan–hewan yang menjadi sasaran infestasi pinjal meliputi
anjing, serigala, kucing, babi, kuda, sapi, unggas dan manusia (Subronto,
2010).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demodekosis(Demodecosis Canine)
a. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh sejenis tungau yang disebut Demodex sp.,
berbentuk seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang
pendek dan gemuk serta memiliki 3 ruas.Bagian perutnya terbungkus kitin
dan bergaris melintang menyerupai cincin serta memipih ke arah caudal.
Ukuran tungau bervariasi antara 0,2 – 0,4 mm. Beberapa spesies tungau
memiliki inang spesifik, seperti demodecosis pada sapi. Pada sapi
disebabkan oleh D.bovis, pada anjing oleh D.canis, D.cornei dan
D.injai.Pada kucing disebabkan oleh D.cati dan D.gatoi, pada kambing
oleh D.caprae, D.criceti pada marmot, D.phylloides pada babi D.equi pada
kuda dan D.folliculorum pada manusia (Soulby, 1974).
Demodex cornei, demodex ini berbentuk lebih pendek (short-bodied)
dibanding Demodex canis. Dan satu parasit lagi yaitu Demodex injai yang
bertubuh lebih panjang (long bodied) dari Demodex canis. Demodex
cornei yang bertubuh lebih pendek dibanding Demodex canis dilaporkan
oleh Mason (1993). Sedangkan Demodex injai yang bertubuh lebih
panjang dibanding Demodex canis dilaporkan oleh Desch and Hillier
(2003). Demodex injai ini ditemukan oleh Desch dan Hillier pada anjing di
Columbus, OH bulan Oktober 1996. Temuan tersebut pernah dilaporkan
oleh Desch dan Hilier pada tahun 1999 namun belum diberi nama dan baru
diberi nama Demodex injai pada tahun 2003 oleh Desch dan Hillier.
Demodex injai dan Demodex cornei ini mempunyai habitat di dalam
folikel rambut dan kelenjar sebaseus, sama sebagaimana pada Demodex
canis.
Tungau demodex hidup di dalam kelenjar minyak dan kelenjar
keringat (glandula sebacea) dan memakan epitel serta cairan limfe dari
6
beberapa hewan, kecuali unggas.Dalam kondisi tertentu tungau demodek
dapat menginfestasi manusia (Bunawan, 2009).
Demodekosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit yang
termasuk dalam genus Demodex yang berlokasi di folikel rambut
(Henfrey, 1990).
b. Patogenesis
Penularan demodekosis ini terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari.
Dalam kondisi normal, parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing,
namun bila kondisi kekebalan anjing menurun maka demodex akan
berkembang menjadi lebih banyak dan menimbulkan penyakit kulit. Pada
anak anjing akan tertular oleh induknya, namun setelah sistem kekebalan
tubuhnya meningkat kira-kira pada umur 1 minggu, maka parasit ini akan
menjadi flora normal dan tidak menimbulkan penyakit kulit (Sardjana,
2012).
Demodex yang menginfeksi kulit akan mengalami perkembangbiakan
(siklus hidup) di dalam tubuh hospes tersebut. Siklus hidup lengkap
demodex adalah 20-30 hari pada tubuh hospes. Ada empat tahapan
perkembangan demodex dalam tubuh hospes yaitu: telur (fusiform), larva
berkaki enam (six legged), nimfa berkaki delapan (eight legged), demodex
dewasa (eight legged adult). Seluruh tahapan perkembangan ini hanya
terjadi pada satu hospes, jadi tidak ada perkembangan pada hospes lain,
sebagaimana yang terjadi pada parasit lain. Penyakit ini akan menyebar
luas melalui lesi dari moncong, mata, dan plantar kaki depan dan akan
meluas ke seluruh tubuh (Suartha dkk, 2014).
Apabila tungau berkembang, tungau akan di temukan di seluruh
rambut, yang akhirnya kanal tersebut membengkak karena meradang.
Rambut mati dan lepas, yang di ikuti terbentuknya lesi yang bersifat
kering dan bersisik.Bagian yang mengalami lesi mengalami alopecia,
disertai perubahan hyperkeratosis ringan, yang di lapisi oleh sisik atau
keropemg yang berwarna abu-abu. Di sisi lain lesi dapat meluas, hingga
7
sebagian besar kulit penderita mengalami alopesia di sertai hyperkeratosis,
dengan keropeng berbentuk sisik sebagai akibat kematian sel epitel kulit
(Subronto, 2006).
c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada kulit berupa alopecia (kebotakan),
kemerahan, dan kulit mejadi berkerak.Pada tahap yang lebih lanjut, dapat
terjadi demodecosis general disertai dengan peradangan dan infeksi
sekunder oleh bakteri.Lapisan kulit yang terinfeksi terasa lebih berminyak
saat disentuh.Tungau sangat menyukai bagian tubuh yang kurang lebat
bulunya, seperti moncong hidung dan mulut, sekitar mata, telinga, bagian
bawah badan, pangkal ekor, leher sepanjang punggung dan kaki. Rasa
gatal yang ditandai dengan hewan selalu mengaruk dan menggosokkan
badannya pada benda lain atau menggigit bagian tubuh yang gatal,
sehingga terjadi iritasi pada bagian yang gatal berupa luka/lecet, kemudian
terjadi infeksi sekunder sehingga timbul abses, sering luka mengeluarkan
cairan (eksudat) yang kemudian mengering dan menggumpal dan
membentuk kerak pada permukaan kulit (Shipstone, 2000).
d. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium
untuk mengidentifi kasi adanya tungau Demodex sp. Langkah diagnosis
yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan deep skin scraping atau
pengerokan kulit hingga berdarah.Scraping dilakukan dengan memegang
dan menggosok daerah terinfeksi untuk mengeluarkan tungau dari folikel
dengan menggunakan scalpel. Scraping dilakukan pada beberapa tempat.
Kerokan kulit yang agak dalam dari bagian tengah lesi, kemudian diberi
tetesan KOH 10 % untuk diamati di bawah mikroskop. Apabila positif
maka akan ditemukan parasit demodex yang bentuknya seperti wortel atau
cerutu dengan ukuran 250-300 μm x 400 μm. Parasit ini tinggal di folikel
8
rambut dan kelenjar sebaceus dan siklus hidupnya terjadi pada tubuh induk
semang 20-35 hari. Hewan penderita yang sering diserang pada usia anjing
di bawah umur 1 tahun namun demikian pada anjing di atas umur tahun
banyak mengalami kejadian infeksi penyakit ini (Scott et al., 2001;
Shipstone, 2000).
e. Diferensial Diagnosis
Diferensial diagnosa dari Demodekosis diantaranya ialah (Henfrey,
1990) :
Folikulitis/furunkulosis akibat bakteri, dermatophytosis,
pemphigus
kompleks, dermatitis kontak, dermatomiositis, dan lupus
erytrematous
kompleks.
Dermatitis yang disebabkan oleh jamur atau Scabies .
f. Prognosis
Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasarkan hasil
diagnosis. Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu fausta dengan tingkat
kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan
infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa
dari kasus ini dapat dikatakan fausta. Namun jika sampai menimbulkan
infeksi sekunder dan lama kelamaan menurunkan nafsu makan hewan,
maka akan menyebabkan kematian.
g. Terapi
Pengobatan pada demodecosis bergantung pada tingkat keparahan
kasus yang terjadi. Pengobatan yang diberikan memerlukan waktu yang
lama dan harus dipantau secara berkala selama 4-6 minggu, untuk
9
memastikan populasi Demodex kembali normal. Pemeriksaan skin scrap
perlu dilakukan dengan interval 2 minggu, jika hasil pemeriksaan
menunjukkan tidak ditemukannya Demodex pada 2 kali pemeriksaan,
maka hewan tersebut dapat dikatakan sudah sembuh, dan pengobatan
dapat dihentikan Pengobatan dilarang menggunakan kortikosteroid
sistemik maupun topikal, karena kortikosteroid dapat menyebabkan
imunosupresi yang kemungkinan akan memperparah demodecosis.
Pengobatan pada demodecosis lokal dapat dilakukan dengan memberikan
salep yang mengandung 1 % rotenone (goodwinol ointment) maupun gel
benzoyl peroxide 5 % yang diaplikasikan sekali sehari setiap hari selama
1-3 minggu.Selain itu, pengobatan harus disertai dengan memandikan
hewan dan melakukan pemberian shampoo yang mengandung antiseboroik
(benzoyl peroxide) secara berkala minimal semingu sekali. Selanjutnya
dapat memberikan amitraz yang diencerkan dengan konsentrasi 0,1 %
pada area alopecia sehari sekali selama dua minggu. Pemberian amitraz
dilakukan bila demodecosis sudah menyeluruh dan tanpa disertai
komplikasi. Untuk mengurangi efek samping dari amitraz dapat
menggunakan yohimbin dengan dosis 0,25 ml/10 kg BB secara intravena
perlahan-lahan (Paradis, 1999).
Pada anjing yang memiliki bulu panjang dan lebat, harus dilakukan
pencukuran rambut terlebih dahulu agar obat lebih mudah meresap. Obat
sistemik yang dapat diberikan adalah ivermectin (300-600 µg/kg bb/hari),
Milbemycin (1.0-2.0 mg/kg bb/hari), Moxidectine (0.5 mg/kg bb 2 minggu
1x secara topikal), dan vitamin E sebagai penguat efek terapi akarisida
(400- 800 IU 3-5x/hari) (Paradis, 1999).
B. Pyoderma
a. Etiologi
Pyoderma adalah fenomena infeksi kulit oleh kuman penghasil
nanah.Klasifikasi pyoderma tergantung pada etiologi, tempat dalam tubuh,
10
dan kedalamannya di dalam kulit. Kulit anjing yang normal pada awalnya
ditempati oleh mikrokokus (dalam bentuk koloni), sedikit difteroid dan
clostridia. Kadang-kadang kuman staphylococcus aureus, proteus dan
kuman gram negatif sebagai penghuni sementara dari populasi kuman
kulit. Hampir selalu terjadi bila ada luka kulit, baik internal maupun
eksternal, akan mengusik keseimbangan kuman, hingga staphylococcus
aureus atau kuman pathogen lainnya seperti proteus dan pseudomonas
berbiak dalam jumlah banyak, hingga terjadi pyoderma (Subronto, 2013).
Pyoderma dapat terjadi karena adanya infeksi dari berbagai macam
jenis bakteri. Bakteri yang menyebabkan pyoderma antara lain
Staphylococcus intermedius, Staphylo-coccus ureus, Staphylococcus
hyicus, Pasteurella multocida, atau Pseudo-monas aeroginosa (Paterson
2008).
Selain itu, infeksi kulit ini dapat terjadi sebagai akibat komplikasi dari
alergi kulit (alergi kutu, alergi lingkungan, dan alergi makanan),
ketidakseimbangan hormon (hipotiroidism, Cushing’s disease), dan
kondisi lain yang berkaitan dengan sistem imun (Ward E, 2009).
b. Patogenesis
Pyoderma adalah infeksi bakteri pada kulit. Ini terjadi ketika
pertahanan alami kulit menurun sehingga memungkinkan bakteri kulit
berkembang biak. Bakteri-bakteri yang biasanya tidak hidup di kulit juga
dapat berkoloni ketika pertahanan kulit sedang menurun. Organisme lain,
seperti organisme ragi dan jamur, juga bisa mengambil keuntungan dari
perubahan kulit yang mengalami pyoderma dan membentuk infeksi
mereka sendiri (Subronto, 2013).
Penyebab pyoderma di bedakan menjadi dua yaitu infeksi primer dan
infeksi sekunder. Infeksi sekunder dapat di sebabkan oleh berbagai lesi
kulit atau terkait dengan proses penyakit, baik itu sistemik maupun hanya
kulit saja. Tempat predileksi terdapat di antara jari-jari kaki, axilla dan
selakangan, titik-titik tekanan, cacat anatomic dan perpindahan mukosa
11
dengan kulit.Infeksi kuman di permudah oleh adanya trauma kulit, luka
akibat garukan karena gatal(pruritus), luka saat mencukur rambut, kulit
kering, ektoparasit, dan perubahan hormonal.Dari kuman-kuman yang di
usahakan di temukan dalam pyoderma Staphylococcus aureus merupakan
yang tertinggi (Carlotti, 2012).
c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada infeksi pyoderma superfisial secara
umum adalah terbentuknya pustula pada kulit, merah, bengkak (berisi pus
berwarna putih pada bagian tengahnya, gatal, dan kerontokan
rambut.Bagian tubuh yang paling sering mengalami pyoderma superfisial
biasanya pada bagian leher, kepala, dan proksimal ekstremitas.Sedangkan
gejala klinis yang muncul pada deep pyoderma adalah rasa sakit, bau,
terdapat eksudat darah dan pus, erythema, kebengkakan, dan ulserasi pada
kulit.Infeksi deep pyoderma sering terjadi pada bagian interdigital, hock,
dan tungkai bagian lateral (Moriello, 2013).
Gejala klinis untuk impetigo ialah lesi berupa pustule dalam jumlah
banyak, terutama daerah yang tidak berbulu.Gejala klinis untuk folikulitis
superficial ialah lesi berupa papulae dan berkerak yang jumlahnya banyak,
kondisi radang kulit ini lebih berat dari pada impetigo.Pada bagian yang
hilang bulunya mungkin timbul hiperpigmentasi, menyebabkan rasa gatal
yang sangat yang mungkin hal ini berkaitan dengan hipersensitivitas
terhadap kuman, alopesia, eritema, keropeng di bagian bawah tubuh anjing
(Martino et al, 2012).
Gejala klinis furunkulosis yaitu ketika folikulitis ini pecah dan kuman
menyebar, maka terjadilah furunkulosis, ukuran lesinya pun menjadi lebih
besar dan keluar nanah, sering terjadi di daerah moncong anjing. Gejala
klinis untuk cellulitis di tandai dengan radang difus, luas di sertai oedem
dan kadang juga nanah.Gejala klinis untuk hidradenitis supuratif berupa
radang bernanah dari kelenjar keringat dan lapisan kulit di dekatnya,
eritema bernanah, granulomatous di ketiak dan selakangan.Dan pyoderma
12
juvenil memiliki gejala klinis berupa bibir dan kelopak mata bengkak,
kelenjar limfe bengkak dan tidak jarang bernanah, cellulitis, folikulitis
yang disertai keopeng dan nanah (Kelany dan Husein, 2011).
d. Diagnosis
Diagnosis pada pyoderma biasanya didasarkan pada anamnesis dan
sejarah medis dari hewan tersebut. Selain itu dapat juga dilakukan uji
tambahan seperti uji darah, kulturkulit, dan uji sensitivitas terhadap
antibiotik serta uji kultur fungi pada kulit.Dapat juga dilakukan
pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan laboratorium (Kelany dan
Husein, 2011).
e. Diferensial Diagnosis
Diferensial diagnosa utama untuk kasus pyoderma ialah dermatitis,
ringworm, demodex, penyakit hormonal (hipo-tiroidism, Cushing’s
disease), pustula, eritema, papula, dermato-phytosis, pemphigus kompleks,
derma-titis kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous kompleks.
f. Prognosis
Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasarkan hasil
diagnosis. Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu fausta dengan tingkat
kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan
infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa dari
kasus ini dapat dikatakan fausta.
g. Terapi
Terapi dapat dilakukan dengan pemberian Ivermectin 0.2 mg/kg bb sc,
Metronidazole 20 mg/kg bb, CTM 4 mg, dan Dexamethasone 0.3 mg/kg
13
bb . Pemberian Ivermectin bertujuan mengantisipasi apabila ternyata
kejadian pyoderma pada kasus ini merupakan akibat dari infeksi parasit.
Metronidazole yang diberikan bertujuan untuk mengatasi infeksi bakteri
yang terjadi. Dexamethasone bertujuan untuk mengatasi proses inflamasi
dan alergi yang terjadi. Pemberian Dexamethasone dilakukan bersamaan
dengan pemberian CTM.
Menurut Smith dan Tilley (2000), pyoderma akibat Staphylococcus
intermedius dapat diterapi dengan pemberian Cephalosporin, Cloxacillin,
Oxacillin, Methicillin, Amoxicillin-clavulanate, Erythromycin, dan
Chloramphenicol.Terkadang isolat sudah resisten terhadap Amoxicillin,
Ampicillin, Penicillin, Tetrasiklin, dan Sulfonamida. Hindari pemakaian
steroid karena akan merangsang resistensi dan pengulangan kejadian
meskipun diberikan bersamaan dengan antibiotik. Oleh karena itu,
pemberian Dexamethasone yang merupakan turunan dari corticosteroid
sebaiknya tidak digunakan lagi untuk mengatasi kasus pyoderma.
C. Ringworm
a. Etiologi
Kapang atau cendawan merupakan salah satu jenis parasit yang
terdiri atas genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Berbagai spesies dari tiga genus kapang ini dapat menginfeksi kulit,
bulu/rambut dan kuku/tanduk dalam berbagai intensitas infeksi.
Hampir semua jenis hewan dapat diserangnya, dan penyakit ini secara
ekonomis sangat penting (Djenuddin, 2005).
Infeksi oleh kapang ini dinamakan ringworm (dermatophyte)
karena diduga penyebabnya adalah worm dan karena gejalanya
dimulai dengan adanya peradangan pada permukaan kulit yang bila
dibiarkan akan meluas secara melingkar seperti cincin. Nama
dermatofit (dermatophyte) merupakan jenis kapang penyebab
14
kerusakan di kulit karena zat keratin yang terdapat di kulit diperlukan
untuk pertumbuhannya (Palupi, 1997).
Pada anjing ringworm yang sering disebabkan oleh kapang jenis
Trichophyton sp. dan Microsporum sp. karena Indonesia yang berada
di daerah tropis dengan kelembaban tinggi merupakan daerah yang
cocok bagi tumbuhnya berbagai jenis jamur. Bulu tebal dan panjang
pada anjing menjadi predileksi yang cocok bagi tumbuhnya jamur
(Pohan, 2007).
b. Patogenesis
Dermatophyte ditularkan karena kontak dengan rambut atau kulit
yang terinfeksi dan elemen fungi pada hewan, di lingkungan atau
fomite (seperti, sisir, sikat, alat pencukur, kasur, pengangkutan sangkar
burung, dll). M. canis dapat berasal dari debu, ventilasi, dan penyaring
perapian tertutup. Spora M. canis dapat terus hidup di lingkungan
sampai 18 bulan. Jamur penyebab ringworm tumbuh subur di daerah
panas dan basah. T. mentagrophytes yang sebelumnya sudah terdapat
dalam kebanyakan sarang tikus, dan M.gypseum dari tanah yang
terkontaminasi sangat berpotensial untuk menyebarkan ringwom dari
hewan satu ke hewan lainnya dalam suatu lingkungan yang sudah
terkontaminasi pula, ini juga yang menjadi masalah utama pada
tempat-tempat penampungan atau pet shop. Ringworm bisa sangat
tahan lama di lingkungan dan dapat terbawa ke benda-benda furnitur,
karpet, debu, kipas angin,dll, dan dapat mengontaminasi hewan
peliharaan selama beberapa bulan bahkan tahun. Ringworm juga dapat
tersebar pada alat-alat grooming, mainan, dan selimut, atau bahkan
pada pakaian dan tangan manusia. Ringworm juga dapat ditemukan
pada bulu hewan dari lingkungan yang terkontaminasi tanpa
menimbulkan gejala apapun. Secara alami periode inkubasi untuk
kasus ringworm antara 4 hari – 4 minggu (Tilley et al, 2004).
15
c. Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada anjing sering terjadi kerusakan disertai
kerontokan bulu di seluruh muka, hidung dan telinga, perubahan yang
tampak pada kulit berupa lingkaran atau cincin dengan batas jelas dan
umumnya dijumpai di daerah leher, muka terutama sekitar mulut, pada
kaki, dan perut bagian bawah. Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan
kerak, dan dibagian keropeng biasanya bagian tengahnya kurang aktif,
sedangkan pertumbuhan aktif terdapat pada bulu berupa kekusutan,
rapuh dan akhirnya patah, ditemukan pula kegatalan (Riza, 2009).
d. Diagnosis
Uji klinis dan munculnya lesi zoonotik dapat dijadikan patokan,
namun pengobatan tidak dapat dilakukan tanpa diagnostik yang lain.
Test secara mikroskopik dengan cairan KOH dapat mengetahui adanya
spora pada rambut, dan rontokannya. Namun kadang terjadi banyak
kesalahan pada teknik ini. Test dengan menyinari lesi pada kulit
dengan UV hanya dapat digunakan untuk kasus M. canis
dermatophytosis, bila hasilnya positif maka akan terlihat flouresen
berwarna hijau. Test dengan media Sabouraud’s merupakan jalan
terbaik untuk menjalankan diagnosa. Jika hewan peliharaan telah
didiagnosa terkena dermatophytosis, penting juga mengidentikfikasi
apakah hewan peliharaan yang lain terkena atau tidak. Jika setelah
ditest hasilnya negatif, sebaiknya dilakukan test fungi ulang setelah 2
minggu dari hasil status negatif. Jika hewan peliharaan negatif,
sebaiknya segera diisolasi dari hewan lain yang terinfeksi (Tilley et al,
2004).
e. Diferensial diagnosis
16
Gambaran klinis kasus ringworm sering dikelirukan dengan
penyakit lainnya seperti pyoderma superficial, demodecosis,
seborrhea, dermatitis dan pemphigus complex.
f. Prognosa
Prognosa dari penyakit ringworm ini ialah fausta, tetapi apabila
kronis maka bisa dubius-infausta.
g. Terapi
Terapi topikal
Pengobatan dapat dikatakan tepat bila hanya menggunakan terapi
topikal. Obat antifngal topikal seperti miconazole dan clotrimazole
dapat berfungsi untuk lesi yang kecil, sedangkan enilconazole atau
limesulfur (4-8 oz/galon) dengan mencelupkan hewan dengan infeksi
yang luas. Pemakaian tunggal clorhexidine tidak efektif untuk
menghilangkan dermatophytosis ataupun mencegah kontaminasi
lingkungan. Infeksi yang terjadi di cattery dianjurkan dalam waktu
yang lama dan perlu dilakukan perubahan manajemen kandang
(Eldredge et al, 2007).
Terapi Sistemik
Terapi sistemik dapat digunakan untuk pengobatan semua jenis
dermatophytosis. Pilihan obat yang digunakan adalah griseofulvin (50
mg/kg PO q 24h) dicampur dengan makanan yang berminyak.
Griseovulvin merupakan obat keras sehingga tidak dapat digunakan
pada hewan yang hamil. Efek sampingnya yaitu depresi, ataxia dan
anemia. Efek samping ini akan berhenti bila konsumsi obat tidak
dilanjutkan. Depresi umsum tulang belakang akan terjadi pada kucing
yang terinfeksi FeLV. Obat alternative lain yaitu ketoconazol (5-10
mg/kg PO q 24h) atau dapat pula dipilih itraconazole (100 mg/kg PO q
24h). Pengobatan harus berlanjut paling tidak 4-6 minggu dan tidak
17
boleh berhenti sampai jamur tidak tumbuh lagi, agar pertumbuhan
jamur dapat terjadi lagi (Eldredge et al, 2007).
D. Pediculosis
a. Etiologi
Infeksi kutu (lice) pada anjing paling banyk dilakukan oleh kutu
menggigit, yang termasuk subordo Mallhopaga, dan kutu pengisap
yang termasuk subordo Anopleura. Dari subordo yang pertama
terbanyak dilakukan oleh kutu Heterdoxus sp dan Trichodectes sp
sedang dari yang kedua oleh Linognathus sp. Kutu berbentuk sebagai
insekta tanpa sayap berukuran 1-3 mm, ditopang oleh 6 kaki, tidak bisa
bergerak cepat. Mereka adalah ektoparasit yang bersifat host-spesific,
dan ditularkan lewat kontak antar hewan. Kutu dewasa bertelur
dibatang rambut, melekat erat, dan di dalam mencapai dewasa
mengalami perubahan bentuk beberapa kali (Subronto, 2006).
Kutu heterodoxus spp yang berukuran 3 m, langsing, termasuk
sering ditemukan menginfestasi anjing. Kutu Linognathus sitosus
sering ditemukan pada anjing yang berbulu lebat (Subronto, 2006).
Kutu Tricodectes canis yang berukuran 1-2 mm, merupakan hospes
antara bagi cacing Dipylidium caninum dan cacing jantung
Dipetalonema reconditum. Kutu Heterodoxus spp yang berukuran
3mm, langsing, termasuk sering ditemukan menginfestasi anjing. Kutu
Linognathus setosus sering ditemukan pada anjing yang berbulu lebat
(Subronto, 2010).
b. Patogenesis
Kutu dapat dijumpai di berbagai bagoan kulit tubuh, terutama pada
bagian kulit yang ada lipatannya. Daun telinga anjing yang
menggantung juga sering disenangi oleh kutu karena teduh dan
18
lembab. Infestasi yang bersifat sedang hanya menimbulkan rasa gatal
dan ketidaktenangan. Pad infestasi yang bersifat berat terjadi
kemerahan (eritema) kulit, exkoriasi, dan rontoknya rambut. Pada
infestasi oleh kutu pengisap dapat terjadi anemia (Subronto, 2006).
Anjing liar dan anjing yang dipelihara bersama hewan lain, atauang
pemeliharaanya kurang higienis sering terinfeksi parasit, termasukutu,
sampai derajat berat. Sebaliknya pada anjing yang dirawat dengan
baik, infestasi kutu tidak merupakan masalah. Hal tersebut dianggap
penting dalam mengatasi infeksi kutu, apakah cukup membersihkan
pada anjingnya saja, atau juga mencakup pembersihan lingkungan dan
menggunakan inteksida (Subronto, 2006).
c. Gejala Klinis
Gejala yang timbul akibat infestasi ektoparasit ini yaitu
ketidaknyamanan dan pruritus (bervariasi tiap individu), terlihat
butiran yang menyebar di rambut, alopecia pada dorsal dan lateral
kaki belakang, timbul papula dan kerak pada daerah kaki belakang,
ginggivitis kadang-kadang terjadi dan sering menimbulkan hair-ball,
bagian yang menjadi prediliksi tungau ini mayoritas yaitu dorsothorak
dan caudal anjing(Schwassman dan Logas, 2010).
Anjing dapat mengalami gejala yaitu adanya bercak-bercak coklat
kehitaman di rambut pada bagian punggung dan ekor yang diakibatkan
oleh adanya tungau dewasa dan larya sehingga nampak seperti taburan
garam dan merica, gejala pruritus ringan, grooming yang berlebihan
yang dikarenakan adanya ketidaknyamanan pada rambut sehingga
mengakibatkan adanya hair-ball pada lambung dan sering dimuntahkan
oleh anjing, terdapat bulu-bulu yang patah dan keropeng di kulit pada
bagian medial kaki belakang karena aktifnya aktifitas grooming di
daerah tersebut, gingivo-stomatitis terjadi karena adanya tungau yang
terbawa saat grooming akibat antigen tungau tersebut (Schwassman
dan Logas, 2010).
19
d. Diagnosis
Diagnosis pedikulosis didasarkan pada ditemukannya kutu, yang
tidak begitu sulit, dan untuk identifikasi perlu diperhatikan morfologi,
warna dan anatomi kutu (Subronto, 2006).
e. Diferensial diagnosis
Penyakit pediculosis ini memiliki diferensial diagnosa meliputi
scabies dan dermatitis.
f. Prognosis
Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasarkan hasil
diagnosis. Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu fausta dengan tingkat
kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan
infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa dari
kasus ini dapat dikatakan dubius ataupun infausta.
g. Terapi
Infestasi kutu secara umum dapat diobati dengan cara dimandikan
atau disemprot dengan insektisida yang tersedia, cat, mandi debu.
Terapi yang dapat diberikan pada anjing Coumaphos 0,5% (di lap),
Ronnel 0,25% - 1% (topical), Lindane 1% (disemprot atau direndam),
Chlordane 4% (direndam), Carbaryl (Shampo).
Mengingat daur hidup kutu berlangsung dan diselesaikan pada
hospes secara individual pengobatan dilakukan dengan menggunakan
insektisida (Acarisida) baku. Obat yang digunakan untuk mengatasi
scabies maupun demodikosis dipandang mencakupi, dengan ulangan 1
minggu kemudian. Penderita yang memiliki rambut panjang, perlu
dicukur pendek.
20
Dapat pula dengan pemberian ivermectin dengan dosis 0.2 mg/kg
BB secara subcutan sebanyak 3 kali dengan interval pemberian selama
10 – 14 hari atau peroral dengan dosis 300µg/kg BB. Selain itu,
pengobatan dengan dipping dalam Lime-sufur juga efektif untuk
menanggulangi infestasi tungau tersebut (Scott, 2001).
E. Phthiriasis
a. Etiologi
Phthiriasis merupakan penyakit kulit pada anjing yang disebabkan
oleh infestasi pinjal. Pinjal merupakan insekta tanpa sayap, berbentuk
pipih, memiliki kaki-kaki kuat untuk meloncat. Infestasi pinjal yang
banyak merugikan pada anjing ada beberapa jenis, yaitu yang termasuk
familia Pulicidae dan familia Sarcopsyllidae. Spesies pinjal dari fam
Pulicidae meliputi antara lain Pulex, Ctenocephalides, dan
Septopsylla. Yang termasuk Sarcopsyllidae antara lain Echidnophaga.
Spesies pinjal yang paling sering menyerang anjing dan kucing adalah
Ctenocephalides canis dan Ct. felis, yang juga dapat menyerang
berbagai hewan antara lain babi, kuda, serigala dan manusia (Subronto,
2010).
b. Patogenesis
Pinjal dapat bertindak sebagai vector berbagai agen penyakit.
Sudah menjadi kenyataan bahwa aktivitas pinjal anjing-kucing sangat
terkait dengan suhu lingkungan, dimana jika suhu lingkungan panas
pinjal akan semakin aktif bergerak dan menghisap darah. Lain halnya
dengan pinjal ayam, dimana pinjal akan membuat terowongan kedalam
kulit yang jarang ditumbuhi bulu seperti sekitar mata. Pada saat aktif
bergerak atau saat menghisap darah menimbulkan iritasi dan rasa sakit
, tempat gigitan terjadi reaksi alergi, karena air liurnya adalah hapten
21
(antigen yang tidak lengkap) dan jika berikatan dengan kolagen kulit
akan menjadi zat allergen, menyebabkan terjadi alergi tipe ringan yang
memiliki tanda karakteristik ditemukan Ig E dan Eosinofilia, dengan
gejala kegatalan. Anjing dan kucing memiliki kepekaan yang sangat
berbeda terhadap gigitan pinjal. Pada yang peka akan terjadi alergi
sehingga timbul kegatalan.
c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat timbul akibat penyakit ini antara lain
menggosok, menggigit, menggaruk, tempat gigitan, akibat lainnya
terjadi kerontokan rambut, dan kadang-kadang terjadi kelukaan kulit).
Jika luka yang terjadi terinfeksi oleh bakteri sekunder (Staphylococcus
sp) maka pada awalnya akan terbentuk papula kemudian melanjut
terbentuk pustula, dan jika pecah terlihat eksudat atau nanah yang
mengental dan mengering akhirnya ditemukan kerak atau keropeng.
Pada kasus kronis terlihat kulit menebal, keriput.
d. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada pemeriksaan parasit dibawah
mikroskop, dengan melihat bentukan morfologi dan pergerakan dari
parasit tersebut. Dapat pula dengan mengamati rambut hewan. Rambut
biasanya kotor, tinja pinjal berwarna hitam terdapat disela-sela rambut.
Titik darah juga terlihat menempel di rambut, dimana darah tersebut
merupakan makanan bagi larva pinjal (Subronto, 2010).
e. Diferensial Diagnosis
Diferensial diagnosa dari infestasi pinjal ini meliputi pediculosis,
ringworm, scabies dan babesiosis.
22
f. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini adalah fausta. Artinya persentase
kesembuhan diatas 50%.
g. Terapi
Terapi pengobatan yang utama adalah untuk menghilangkan pinjal
dari tubuh hewan. Obat-obat dapat berupa serbuk atau cairan untuk
disemprotkan atau dimandikan. Obat berupa serbuk dapat mengandung
Rotenon 1%, Malathion 2%, Sevin (Carvaryl) 5%, Maldison 2%,
Piperonyl-Butoxide 2%. Dalam bentuk aerosol dapat berupa Carbaryl
0,4-1%, Maldison 0,06%. Obat untuk memandikan dapat berupa
Deltametrin 50EC dibuat dalam larutan 12,5 ppm atau 18,5 ppm,
Fipronil 50EC buat larutan 1 : 1000.secara sistemik dapat diberikan
Fenchlorphos dengan dosis 200mg/kg, diberikan per os tiap 3-4 hari
sampai populasi pinjal terkendali. Selain itu dapat diberikan
dichlorphos yang diimpregnasikan ke dalam kalung anjing, namun hat-
hati karena terkadang dijumpai anjing yang tidak tahan terhadap
dichlorphos (Subronto, 2010).
F. Babesiosis (Babesiosis Canis)
a. Etiologi
Babesiosis disebabkan oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp.
Nama Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang
mengidentifikasi organisme didalam sel darah merah pada tahun 1888.
Selanjutnya, pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan protozoa
intra eritotrosit pada penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria.
Adapun kasus Babesiosis pada manusia pertama kali ditemukan pada
peternak sapi di daerah Yugoslavia pada tahun 1957. Berdasarkan
23
taksonominya, Babesia sp. tergolong dalam Filum Apicomplexa, Sub-kelas
Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Babesiidae dan Genus Babesia
(Delfi et all, 2000).
Babesiosis pada anjing disebabkan oleh B. canis dan B. gibsoni.B.
canis adalah parasit protozoa darah yang menyerang eritrosit serta
penularannya melalui gigitan caplak.B. canis pertama kali diidentifikasi
oleh Pinna dan Galli Valerio tahun 1895 di Italia (Ressang,1984). Secara
morfologi parasit darah ini menyerupai B. bigemina yang menyerang sapi
dengan vektor caplak Dermacentor marginatus dan Rhipicephalus
sanguineus.
b. Patogenesis
Patogenitas parasit tidak membedakan umur hospes, baik itu anak
anjing maupun dewasa. Parasitemia yang berlangsung selamna 3-4 hari,
diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama lebih
kurang 10 hari. Dalam waktu 2 minggu pascainfeksi akan terjadi
parasitemia kedua, dengan jumlah parasit yang lebih banyak di sel darah
merah, sebagai hasil perbanyakan secara pembelahan (Subronto, 2010).
Adanya infeksi babesia di peredaran darah khususnya pada eritrosit
akan memacu respon imun dari hospes seperti peningkatan sitokin yang
menimbulkan demam. Selain itu, sitokin yang berlebih dapat
menyebabkan kerusakan sel dan eritrosit menjadi pecah. Perkembangan
protozoa ini di eritrosit juga menyebabkan eitrosit menjadi pecah sehingga
terjadi anemia (Irawan, 2015).
Dua sindrom yang dapat terlihat pada infeksi Babesia sp. adalah
ditandai dengan anemia hemolitik dan terjadinya beberapa disfungsi organ
yang dapat menjelaskan sebagian dari tanda-tanda klinis yang diamati
pada hewan yang terinfeksi babesiosis. Menurut VSSF (2005) Protozoa
Babesia sp. umumnya ditularkan oleh kutu dan mencapai aliran darah
ketika kutu menghisap darah inang. Setelah masuk ke dalam tubuh inang,
parasit menempel ke eritrosit, kemudian masuk kedalam eritrosis melalui
24
proses endositosis, mengalami pematangan, dan kemudian mulai
bereproduksi melalui reproduksi aseksual, yang menghasilkan merozoit.
Eritrosit yang terinfeksi akhirnya pecah dan merozoit dirilis menyerang
eritrosit lain. Patogenesis utama yang terkait dengan Babesiosis adalah
anemia hemolitik. Anemia hemolitik adalah hasil dari cedera eritrosit
langsung yang disebabkan oleh parasit dan juga oleh mekanisme imun.
Selain itu, sebagian besar anjing dengan Babesiosis memiliki
trombositopenia. Gejala klinis yang timbul dari penyakit ini antara anak
anjing umumnya lebih rentan terhadap Babesiosis dan dan memiliki risiko
terbesar dari penyakit ini dan dapat menimbulkan kematian. Pada kasus
anemia progresif dapat menyebabkan terjadinya hemoglobinemia,
hemogloinuria, bilirubinemia dan icterus.
c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat timbul akibat penyakit ini antara lain demam,
anoreksia, malaise, hemoglobinuria,splenomegali, dan hemolisis darah
yang sering kali menyebabkan kematian (Arai, 1998).Kematian hewan
yang terinfeksi dapat meningkat jika infeksi tersebut tidak dikendalikan
khususnya pada anak anjing.
Pada kasus kronis kadang terjadi kondisi anemia dan
haemoglobinuria. Dilaporkan bahwa kejadian babesia umumnya
berlangsung subklinis.Penyakit ini dapat menyebabkan terjadinya anemia
hemolitik, trombositopenia, dan splenomegali. Tanda lainya yang dapat
menunjukkan adanya infeksi babesia adalah pucat gusi dan lidah, urin
berwarna merah atau orange, penyakit kuning (semburat kuning pada kulit,
gusi, putih mata, dll), pembesaran kelenjar getah bening, dan pembesaran
limpa (Boozer & Macintire 2005).
Pada infeksi yang berat babesia dapat menyebabkan adanya anemia
hemolitik yang berat.Selain itu, pada infeksi yang kronis anjing biasanya
memperlihatkan anemia dan demam dengan hiperplasia limfoid dan
25
limfositosis.Anjing yang terinfeksi babesiosis dapat menghasilkan
kekebalan yang bertahan seumur hidup terhadap penyakit ini (OIE 2010).
d. Diagnosis
Diagnosa pada babesiosis dapat dilakukan dengan melihat gejala
klinis yang ada, seperti pada daerah yang endemic, anjing yang mengalami
demam tinggi, anemia apalagi sampai ikterus perlu dicurigai menderita
babesiosis. Parasit kadang-kadang tidak selalu ditemukan dalam preparat
darah. Parasit dapat ditemukan dalam preparat darah yang dibuat dari tetes
pertama dari kapiler di daun telinga anjing. Selain itu, adanya
splenomegali, meningkatnya waktu darah mengucur (bleeding time),
kenaikan laju endapan darah dan meningkatnya bilirubin darah merupakan
temuan penting dalam diagnosis babesiosis (Subronto, 2010).
Mikroskopi merupakan tes diagnostik yang sederhana dan paling
mudah untuk dokter hewan mengidentifikasi babesiosis dengan
menggunakan pewarnaan giemsa. Selain itu pemeriksaan pada babesiosis
dapat menggunakan PCR dan ELISA. Meskipun PCR merupakan alat
diagnosis yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinngi. Namun
penggunaannya untuk mendiagnosa Babesiosis masih terbatas dan belum
digunakan secara luas. Penggunaan PCR dilakukan di Australia untuk
membedakan B. vogeli dan B. gibsoni. Sebagian besar negara eropa
menggunakan PCR untuk membedakan antara spesies B. canis, B. gibsoni,
dan B. vogeli (Birkenheuer, 2003).
e. Diferensial Diagnosis
Menurut Benavides dan Sacco (2007), Diferensial diagnose dari
penyakit babesiosis ialah trypanosome, anaplasmosis, theileriasis,
bacillary haemoglobinuria, leptospirosis, eperythrozoonosis, malaria
falciparum, dimana terjadi demam tinggi, anemia, hemoglobin di dalam
air kemih, jaundice (sakit kuning) dan gagal ginjal.
26
f. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini tergantung dari seberapa parah parasit
darah ini telah berada dalam tubuh pasien.Hal pertama yang di perhatikan
jika ingin mengambil keputusan ialah melihat gejala klinis yang di
tunjukkan oleh pasien, kondisi tubuh pasien dan umur dari pasien (Lubis,
2000). Namun kebanyak dari penyakit ini jika tidak di tangani dengan
cepat akan menyebabkan kematian. Prognosis adalah proses suatu kasus
penyakit berdasarkan hasil diagnosis. Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu
fausta dengan tingkat kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat
kesembuhan 50 : 50 dan infausta dengan tingkat kesembuhan <50%.
Sedangkan prognosa dari kasus ini dapat dikatakan dubius.
Prognosis bergantung pula pada tingkat perawatan dan banyaknya
Babesia sp. di dalam tubuh. Penggunaan transfusi darah memiliki dampak
besar pada kelangsungan hidup hewan yang mengalami anemia berat.
Kasus babesiosis dengan komplikasi pada organ lain seperti kasus gagal
ginjal akut, sindrom gangguan pernapasan akut atau Babesiosis serebral
memiliki prognosis paling buruk dan kematian dapat mecapai 50%. Di
dalam beberapa kasus mendekati 100%, meskipun pengobatan yang
dilakukan telah sangat intensif (Welzl et al. 2001).
g. Terapi
Terapi Pengobatan yang utama adalah untuk menghilangkan parasit di
dalam darah dan mengembalikan keadaan anjing yang mengalami anemia.
Pemberian obat Diminazene aceturate, trypan blue and imidocarb
dipropionate efektif diberikan kepada B. canis. Pada penyakit yang bersifat
ringan sampai dengan sedang hewan dapat kembali sembuh setelah
pemberian antibabesia. Selain mengunakan antibabesia pengendalian
vektor penyakit perlu diperhatikan agar penyebaran babesia sp. tidak
meluas. Pengendalian terbaik adalah dengan eliminasi atau penghilangan
caplak yang menularkan babesia sp. tersebut. Penghilangan caplak tersebut
27
bisa dengan cara rajin menyisir dan menyikat rambut anjing, memandikan
anjing dengan sampoo serta menggunakan produk yang bisa membunuh
atau mengusir kutu dan caplak contohnya Selamectin. Dosis pemberian
obat untuk babesiosis adalah sebagai berikut Imidocarb dipropionat pada
dosis 7,5 mg/kg diberikan satu kali atau 7 mg/kg diberikan dua kali dengan
interval pemberian 14 hari telah terbukti menghilangkan infeksi.
Perhitungan dosis Diminazene harus teliti karena dosis terapeutik yang
rendah, terutama pada anakan. Obat diberikan kembali setelah pengobatan
pertama jika masih terjadi infeksi. Pemberian obat untuk babesiosis harus
diperhatikan karena beberapa obat dapat menyebabkan toksik pada otak.
Tripan blue merupakan obat tertua untuk antibabesia. Namun di beberapa
negara obat ini masih digunakan untuk mengobati penyakit babesiosis
(Miller et al. 2005).
Pengobatan pertama yang telah terbukti efektif terhadap B. gibsoni
adalah kombinasi atovaquone dan azitromisin (Birkenheuer et al. 2004).
Parasit ini sangat sulit untuk dibersihkan dengan terapi konvensional dan
anjing biasanya menjadi reservoir dan bersifat karier. Hewan yang terlihat
anemia dan mengalami komplikasi memerlukan berbagai perawatan
suportif, tergantung pada tingkat keparahan kasus (Macintire et al. 2002).
Transfusi darah dapat diberikan pada anjing yang mengalami anemia.
Pemberian elektrolit perlu diberikan untuk menambah cairan tubuh dan
menyetabilkan tubuh. Cairan elektrolit yang diberikan seperti kalium
klorida dan diuretik pada kasus gagal ginjal akut (Conrad et al. 1991). Alat
bantu respirasi sering diperlukan untuk kasus dengan edema paru akibat
sindrom gangguan pernapasan akut.
G. Ehrlichiasis
a. Etiologi
Ehrlichia merupakan tipe bakteri yang menyerang anjing dan
spesies lainnya di dunia yang menyebabkan penyakit Ehrlichiosis.
28
Ehrlichiosis dapat pula disebut sebagai penyakit tropical canine
pancytopenia yang biasanya ditularkan melalui kutu. Ehrlichia
menyerang sel darah putih (Scott, 2001).
b. Patogenesis
Erhlicia canis menginfeksi sel darah dengan melalui vektor
Rhicicephalus sanguineus. Transmisi terjadi melalui vektor yang
menginfeksi host dnegan kelenjer saliva yang menyerap darah.
Erhlichia sp masuk ke dalam leukosit atau mungkin trombosit
kemudian akan bertahan hidup lalu berkembang dan menyebar ke
seluruh tubuh host melalui aliran darah menuju ke jaringan perifer.
Ehrlichia canis mengnfeksi monosit dan limfosit di jaringan. Siklus
hidup dari Ehrlichia canis ada tiga tahap yaitu elementary bodies,
initial bodies dan morulae. Selama sel kecil dari elementary bodies
berkembang menjadi initial bodies dan masuk intracytoplasmis
menjadi morulae. Organisme tersebut akan meninggalkan sel dan akan
menjadi sel yang hancur atau disebut exocytosis (Dubie, 2014).
c. Gejala Klinis
Gejala yang ditimbulkan tergantung pada spesies dan sistem imun
anjing. Gejala klinis yang biasanya muncul antara lain demam, letargy,
nafsu makan menurun, kehilangan berat badan, pembesaran
limfonodus, splenomegali, rasa sakit dan kekakuan (terjadi akibat
arthritis dan rasa sakit pada otot), batuk, ocular dan nasal discharge,
muntah, diare, inflamasi daerah mata, gejala syaraf (Scott, 2001).
d. Diagnosis
Diagnosa Ehrlichiosis sulit dilakukan. Pemeriksaan darah
menunjukkan penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) dan
29
penurunan sel darah merah (anemia) dan/atau sel darah putih
(leukopenia) (Scott, 2001).
Diagnosa dapat dilakukan dengan Immuno Fluoresecence Test (IF
test) denhgan menggunakan agen penyebab yang diisolasi dari kultur
macrophage. Dengan demikian diagnosa ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium melalui deteksi
antibodi menggunakan antigen spesifik ditandai dengan naik-turunnya
titer antibodi sebanyak 4 kali pada pemeriksan berikutnya. Preparat
apus darah dan preparat usap dari endapan buffy coat darah dapat
dilakukan dengan melihat preparat apus darah untuk menemukan
benda inklusi (morula) di limfpsit, monosit dan neutrofil. Diagnosa
lain adalah dengan teknik diagnosa immunohistochemistry, PCR
(Chin, 2000).
e. Diferensial Diagnosis
Diferensial diagnosa dari Erhchia canis seperti anaplosmosis,
babesiosis, dan bartonelosis (Greene, 2010).
f. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini tergantung dari seberapa parah parasit
darah ini telah berada dalam tubuh pasien.Hal pertama yang di
perhatikan jika ingin mengambil keputusan ialah melihat gejala klinis
yang di tunjukkan oleh pasien, kondisi tubuh pasien dan umur dari
pasien (Lubis, 2000). Namun kebanyak dari penyakit ini jika tidak di
tangani dengan cepat akan menyebabkan kematian. Prognosis adalah
proses suatu kasus penyakit berdasarkan hasil diagnosis. Terdiri dari
tiga tingkatan, yaitu fausta dengan tingkat kesembuhan > 50%, dubius
dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan infausta dengan tingkat
kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa dari kasus ini dapat
dikatakan dubius.
30
g. Terapi
Pengobatan yang biasanya diberikan pada kasusa ini yaitu
doxyxyclin, imidocarb dipropionate. Menurut Barr and Bawman
(2006) , pada kasus Ehrlichiacanis dapat diberikan obat seperti
doxycyclin, glucocorticoid , androgenic steroid. Glucocorticoid
berfungsi sebagai imunosupresif androgenic steroid yang berfungsi
dalam menstimulasi produksi sumsum tulang. Imidocarb
diproprionate, dosis 5-7 mg/kg yang disuntikkan intramuscular atau
subcutan dan diulangi setelah 14 hari. Untuk mengatasi anemia perlu
diberikan terapi supportif dan bila perlu dilakuakn transfuse darah
(Subronto, 2010).
31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Demodecosis ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau
demodex dan biasanya menyerang anjing muda. Ada 3 jenis
spesies demodex yaitu D.canis, D.injai, D.mite. D.canis dapat
di temukan di pilosebaceous unit yaitu folikel rambut, saluran
sebaceous, dan kelenjar sebaceous.
2) Pyoderma adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh kuman
penghasil nanah. Klasifikasi pyoderma tergantung pada
etiologi, tempat dalam tubuh, dan kedalamannya di dalam kulit.
Kulit anjing yang normal pada awalnya ditempati oleh
mikrokokus.
3) Ringworm ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur
yang menginfeksi kulit, bulu/rambut dan kuku/tanduk dalam
berbagai intensitas infeksi.
4) Pedikulosis ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh kutu.
Jenis kutu yang menyerang pada anjing ialah heterodoxus spp
5) Babesiosis pada anjing disebabkan oleh B. canis dan B.
gibsoni. B. canis adalah parasit protozoa darah yang
menyerang eritrosit serta penularannya melalui gigitan caplak.
6) Ehrlichiosis dapat pula disebut sebagai penyakit tropical canine
pancytopenia yang biasanya ditularkan melalui kutu. Ehrlichia
menyerang sel darah putih
B. Saran
Saran untuk pemilik hewan kesayangan dibutuhkan pengetahuan
tentang cara pemeliharaan dan pengetahuantentang kesehatan juga
harus mengenal penyakit dancara pengobatannya.
32
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo SD. 2010. Identifikasi Protozoa Parasit Darah pada Anjing
(Canis sp.)Ras Impor di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno
Hatta.[Skripsi]. Program Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.
Arai S, Tsiji M, Kim SJ, Nakade T, Ishihara.1998. Babesia canis infection
in canine red blood cell-substituted SCID mice, Int. JParasitol 28:
1429 – 1435
Benavides MV, Sacco MS. 2007. Differential Bos Taurus cattle response
to Babesia bovis infection.Vet.Parasitology.
Bunawan A 2009. Demodecosis pada Anjing.
http://www.pietklinik.com/wmview. php?ArtID=34
Carlotti D.N. 2012.Canine Pyoderma. American Journal of Veterinary
Research.Amerika.http://www.zoovet.ee/product/docs/1219374077.
pdf [diunduh 20 September 2016].
Case, L. P. 1999.The Dog It’s Behavior, Nutrition, and Health. Lowa:
Lowa State Press
Chin J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17.
California.
Djenuddin, G. 2005. Penyakit Kulit oleh Kapang Dermatofit (Ringworm)
pada Kelinci. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
Eldredge, D.M., Liisa, D.C., Delbert, G.C., and James, M.G. 2007. Dog
Owner’s Home Veterinary Handbook 4th Edition, Wiley Publishing
Inc, USA.
Green, E.C. 2012. Infectius Diseases Of The Dog And Cat, Fourth Edition
Saunders, An Imprint Of Elsevier Inc: 230-244.
Henfrey, J. 1990. Canine Demodekosis.In Practise. 12 (5): 187 – 192
Homer MJ, Delfi n IA, Telford SR, Krause PJ and Persing DH
2000.Babesiosis.Clin. Microbiol.Rev. 3:451-469.
Isti Windarwati Endang. 1985. Parvovirus Pada Anjing. Bogor. Intotut
Pertanian
Bogorhttp://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/39595/
B85eiw.pdf;jsessionid=36FE3F473151983183F4050F2949DF22?se
quence=1 [diunduh 21 September 2016].
33
Kelany WM dan Husein MG. 2011.Diagnosis of Recurrent Pyoderma in
Dogs by Traditional and Molecular Based Diagnostic Assays and Its
Therapeutic Approach. Journal of American Science.Faculty of Vet.
Med. Cairo University: Giza, Egypt.
http://www.jofamericanscience.org/journals/amsci/am0703/13_4875
am0703_120_134.pdf[diunduh 20 September 2016].
Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran.
Martino Luisa De, Sandra Nizza, Claudio de Martinis, Valentina Foglia
Manzillo, Valentina Iovane, Orlando Paciello dan Ugo Pagnini.
2012. Streptococcus constellatus-associated pyoderma in a dog.
Journal of Medical Microbiology. University of Naples Federico:
Italy.http://www.microbiologyresearch.org/docserver/fulltext/jmm/6
1/3/438_jmm033845.pdf?expires=1474377384&id=id&accname=gu
est&checksum=C6F1FC09528FB9A018FAC76B20A40415[diundu
h 20 September 2016].
Manson, J. D., Eley, B. M. 1993. Buku Ajar Periodonti (Alih bahasa :
Anastasia). Jakarta : Hipokrates. p .22- 26 : 44 – 53
Moriello KA.2013. Overview of Pyoderma. Mercks Manuals [internet].
http://www.merckmanuals.com/vet/integumentary_system/pyoderma/
overview_of_pyoderma.html[diunduh 21 September 2016].
Untung, O. 1997.Merawat dan melatih Anjing Edisi keenam. Jakarta:
Penebar Swadaya.
OIE (The World Organisation for Animal Health). 2010. OIE Terrestrial
Manual 2010. http://www.oie.int. [di akses 21September 2016].
Palupi, E.A. 1997. Identifikasi Kapang Penyebab Ringworm pada Anjing-
anjing yang Dirawat di Pondok Pengayom Satwa Ragunan Jakarta
Selatan. Skripsi. Universitas Nasional Jakarta. Jakarta.
Pohan, K.A 2007. Bahan Kuliah Mikologi. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta
Paradis M. 1999. New Approaches to the Treatment of Canine
Demodecosis. Veterinary Clinics of North America : Small Animal
Practice
Paterson S. 2008.Manual of the Skin Diseases of Dogs and Cats.Ed ke-
2.Oxford (GB): Blackwell. Hlm: 26-47.
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner,ed.2. Denpasar. NV.
Percetakan Bali.
34
Riza, Z.A. 2009. Permasalahan dan Penanggulangan Ringworm pada
Hewan. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
Sardjana, I,.K,.W. 2012. Pengobatan Demodekosis Pada Anjing di Rumah
Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga.VetMedika J Klin Vet:Surabaya.
Scott, DW, WH Miller, CG Griffin. 2001. Small Animal Dermatology.
WB Saunders CompanyShipstone M, 2000. Generalised Demodecosis
in Dogs, Clinical Perspective. Aus. Vet. J. Vol. 78 (4) : 240-242.
Soulby EJL 1974: Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animal. 6 th Edition. London.
Suartha I Nyoman, Reny S dan I Ketut G. 2014. Bentuk dan Sebaran Lesi
Demodekosis pada Sapi Bali.Jurnal Veteriner. Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Udayana: Bali.
Subronto.2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan
Kucing.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Subronto. 2013. Ilmu Penyakit Hewan Kesayangan Anjing. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Tannesan. 2005. Dissertation Babesiosis in Africa. University of Preforia
ets di akses di http://upted.up.ac.za/thesis/available/etd[diunduh 21
September 2016].
Tilley, L.P. and Smith F.W.K. 2000.The 5-minute Veterinary Consult, Ver.
2.0. USA: Lippincott Williams and Wilkins.
35
LAMPIRAN
1. Pyoderma
11
1
2
3 4
Keterangan gambar :
1. Hyperkertatosis
2. Hyperkeratosis
3. Kebotakan (Alopecia)
4. Radang pada moncong
1 2
3 4
Ket Gambar:
1.Hperemi
2. Makula
3. Papula
4. Pustula
Gejala pada Anjing yang postif Pyoderma seperti : kerak pada kulit, luka
berdarah, nanah
Sumber:( http://www.vetstreet.com/care/pyoderma-in-dogs-and-cats)
36
2. Demodekosis
2
1
Keterangan Gambar :
1. Eritema (kemerahan
2. Hyperkeratosis
3. Alopecia
3 (Kebotakan)
Lesi pada demodex canis( Sumber : vcahospitals.compet360.com)
3. Babesiosis
1 2 3
Keterangan gambar:
1. Caplak
2. vector caplak
3. Jaundice (Kekuningan)
Vektor Pembawa parasit darah dan gejala klinis babesiosis
(Sumber http://anjingkita.com/wmview.php?ArtID=27118)
37
4. Ringworm
1
Keterangan gambar :
1. Iritasi pada kulit
5. Pediculosis