makalah pkn 2
TRANSCRIPT
![Page 1: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/1.jpg)
MAKALAH PKN
“KEBEBASAN PERS DI ERA INFORMASI”
Anggota Kelompok:
Ahmad Ridwan Anjaya Pribadi
Baharudin Singgih
Devi Chyntia Giokani
Dewi Sri Jayanti
Ghaida Muthi Luthfia
Herlina Sianipar
Janu Prihatini
Nindya Aiprilah
Suci Rahmawati
Wahyu Purwati
Yano Andriyanto
SMA Negeri 5 Depok
![Page 2: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/2.jpg)
Perum Bukit Rivaria Sektor IV
![Page 3: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/3.jpg)
KATA PENGANTAR
![Page 4: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/4.jpg)
DAFTAR ISI
![Page 5: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/5.jpg)
I. PENGERTIAN KEBEBASAN PERS di ERA REFORMASI
Sejak reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal demikian sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Pemerintahan pada masa reformasi sangat mempermudah izin penerbitan pers. Akibatnya, pada awal reformasi banyak sekali penerbitan pers atau koran-koran, majalah, atau tabloid baru bermunculan. Bisa dikatakan pada awal reformasi kemunculan pers ibarat jamur di musim hujan.
Kalangan pers mulai bernafas lega ketika di Era Reformasi, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Kendati belum sepenuhnya memenuhi keinginan kalangan pers, kelahiran pers tersebut disambut gembira karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu undang-undang nomor 21 tahun 1982 tentang pokok-pokok pers (UUPP).
Di dalam undang-undang pers yagn baru ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga Negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat izin terbit. Di samping itu, ada jaminan lain yang diberikan oleh undang-undang ini, yaitu pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuan hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh penjabat penyidik dan/ atau dimintai menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan Negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
II. Perjalanan Pers di Indonesia
Perjalanan demokrasi di Indonesia masih dalam proses untuk mencapai suatu
kesempurnan. Wajar apabila dalam pelaksaannya masih terdapat ketimpangan untuk
kepentingan penguasa semata. Sebenarnya demokrasi sudah muncul pada zaman
pemerintahan presiden Soekarno yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya
di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi
Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi
yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan
pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya.
![Page 6: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/6.jpg)
Begitu pula kebebasan pers di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno
dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers
dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era
pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk
memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila
kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah,
dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi
pers
Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846,
yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas
penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang
kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan
pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers
yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan
pembredelan. Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan
ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan
bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan
pada rezim orde baru.
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan
salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan
Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu
ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak
wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi,
![Page 7: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/7.jpg)
dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat,
berkumpul dan berpendapat.
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto
pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik
ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa
reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini
dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa
dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan
menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi
pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol
kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini
publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan
keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar
biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-
media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers
dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
III. Masalah - Masalah Pers Pada Masa Reformasi
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat
yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.
Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang
penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media
terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang
benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus
![Page 8: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/8.jpg)
dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat
dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung
memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh
seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa
mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali
tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-
banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan
hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat
memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang
bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah
menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan
berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita
provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Orde Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers
yang dinilai kebablasan oleh pemerintah, lebih-lebih masyarakat. Tapi juga masalah yang pokok yang
mencerminkanfungsi dari media massa itu sendiri. Emilianus (2005: 129), mencatat sedikitnya ada enam
prinsip tanggungjawab sosial yang harus diemban oleh pers. Pertama; media mempunyai kewajiban
tertentu kepada masyarakat, kedua; kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang
atau tinggi tentang informasi, kebenaran, obyektivitas dan keseimbangan, ketiga; dalam menerima dan
menerapkan kewajiban tersebut seyogyanya media dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum
dan lembaga yang ada, keempat; media sedapat mungkin menghindari segala sesuatu yang mungkin
menimbulkan kejahatan, yang akan mengakibatkan ketidaktertiban atau penghinaan terhadap minoritas
etnik atau agama, kelima; media hendaknya bersifat pluralistik dan mencerminkan kesempatan yang
sama untuk mengemukakan berbagai sudut pandang, dan hak untuk menjawab, keenam; masyarakat
memiliki hak untuk mengharapkan satandar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk
mengamankan kepentingan umum.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan
melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai
dengan apa yang mereka yakini.
![Page 9: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/9.jpg)
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya
liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin
mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan
upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat
ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi
terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca
pun menjadi sajian sehari-hari.
Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers
di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu
berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung
jawab sosial.
Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang
tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi
seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga
argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas.
Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan
kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk
menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan
hanya yang disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung
jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan
kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena
dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di
bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers
Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan
kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara
(pemerintah), atau kepentingan rakyat.
![Page 10: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/10.jpg)
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan
pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan
pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).
Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk
mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk
dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan publik terhadap pemimpinnya dapat terwujud.
Tertutupnya kebebasan pers ternyata pada gilirannya turut mendorong insan-insan jurnalis
untuk meneriakan reformasi. Lebih-kurang 30 tahun lamanya masyarakat kita berada di bawah rezim
yang otoriter, memberangus kebebasan dan meniadakan penghormatan kepada hak-hak azasi manusia.
Pemrintah beranggapan bahwa rakyatlah yang harus menurut, bahwa pemerintahlah yang benar dan
harus diturut. Dan mereka yang mencoba-coba memberikan kritiknya pada kekuasaan, yang mencoba
memberikan alternatif yang lebih baik kepada kekuasaan akan dianggap ‘menyerang kehormatan’
kekuasaan, ‘merongrong kewibawaan’ kekuasaan dan sebab itu harus dimusuhi, mereka ditindas,
ditangkap, diajukan ke pengadilan, dihukum penjara, disiksa atau ditembak sebagi ‘pengacau keamanan’
negara dan ‘pengganggu stabilitas’ nasional (dalam Pamungkas, 2003: 24.
Masalah baru muncul ketika kebebasan pers dikhawatirkan kebablasan. Hal ini terlihat dari
pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masayarakt dan kepentingan pers
(tingkat oplah). Untuk itu, pihak pers cenderung mengutakan konsep berita yang kurang obyektif,
sensasional dan sangat partisipan; kemudian pada level etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah
mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri.
Kekhawatiran masyarakt terhadap kebebasan pers, juga muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk
kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh
Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005: 128).
Menurut buku Emilianus, klaim kebebasan bisa dilihat dari kebebasan pers (liberal), yang dinilai
menafikan nilai human being dan telah merongrong keutuhan ruang privat manusia. Dari fakta ini
muncul kegamangan dan kemuakan masyarakat terhadap kebebasan pers yang dinilainya kebablasan.
Kebebasan yang demikian berakibat pada rusaknya moral masyarakat dan mengganggu kedaulatan
pemerintah, sehingga muncullah tuntutan masyarakat dan pemerintah terhadap pers, khususnya pada
pers yang hanya sensional dan komersil belaka dalam menyajikan informasi.
![Page 11: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/11.jpg)
Beberapa prinsip umum di atas pada kenyataanya justru tergerus dan kurang optimal karena
atmosfir perss euphoria. Pers menjadi lupa akan posisinya di tengah-tengah sirkum pemerintah-
masyarakat-modal. Di masa itu, pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat kekuasaan dan
modal. Dan hal ini harus diantisipasi dengan masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di
Indonesia.
Di masa Orde Baru, pers sedemikian kukuhnya memperjuangkan kebebasan yang akhirnya ia
berhadap-hadapan dengan rezim yang otoriter. Tetapi, nasibnya juga belum kunjung baik ketika Orde
Reformasi. Pada masa ini, nasib pers justru melampui yang seharusnya, untuk itu ia harus berhadap-
hadapan dengan pemerintah, lebih-lebih masyarakat.
Maka untuk mengamankan relasional pers-pemerintah-masyarakat-modal, haruslah ada cyrcle of control; dari masyarakat kepada pers, pers kepada pemerintah dan modal. Pada titik inilah, komunikasi dua arah dengan sendirinya akan terbangun. Kontrol melingkar ini tentu saja mensyarakat kesadaran politik masyarakat yang tinggi. Kesadaran politik ini bisa sedikit-banyak berkembang dengan mengutamakan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) bukan pembangunan ekonomi seperti pola yang digunakan oleh Orde Baru masa 70-80an. Jika hal ini lahir, maka kita tidak perlu mengkhawatirkan keotoriteran seperti Orde Baru atau kebebasan yang kebablasan di Orde Reformasi, akan terulang kembali dalam lembaran sejarah bangsa ini.
IV. Peranan Pers Pada Masa Reformasi
Peran pers di masa reformasi menjadi penting untuk menyelesaikan kesenjangan komunikasi
politik antara masyarakat dan pemerintah. Tentunya hal yang wajar jika masyarakat gagap hendak
menggunakan model komunikasi semacam apa ketika reformasi telah membuka kran kebebasan
sebebas mungkin, pasalnya masyarakt sudah terbiasa dengan pola komunikasi top-down selama 30
tahun lamanya. Di sinilah pers menjadi media yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat
dan pemerintah agar komunikasi politik yang terjadi tidak melulu berkesan top-down, tetapi pada titik
tertentu menjadi bottom-up. Meskipun pada praktiknya untuk mewujudkan komunikasi politik bottom-
up melalui media massa tidaklah mudah. Karena pada masa reformasi, setiap komunikator politik
memainkan perannya lebih maksimal. Muis (2000: 166), mencatat bahwa hampir semua opini publik
yang bernuansa kritik sosial yang konstruktif melalui pers hampir selalu memperoleh bantahan dari para
komunikator elit, yang ada justru pers menjadi media yang memungkinkan terjadinya krisis informasi.
![Page 12: MAKALAH PKN 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071703/55cf9b82550346d033a656ea/html5/thumbnails/12.jpg)
Pers kembali memainkan perannya setelah lama dibungkam, dipaksa untuk tutup mulut. Selanjutnya, pers tampil dengan wajah baru; demokratis, akomodatif, transformatif, sekaligus konsolidatif terhadap semua kepentingan kemanusiaan dalam dimensi kewarganegaraannya. I’tikad baik pemerintah di masa Orde Reformasi ini terlihat dari lahirnya UU No. 40 Tahun 1999, UU ini juga sekligus mencabut UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, yang dijadikan legitimasi hukum oleh rezim yang hegemonik sebelumnya. Sebagaimana tertuang secara jelas dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers pada pasalnya yang ke 2-5 secara terperinci mengukapkan bahwa pers mempunya peran dan fungsi (1) sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontra social. (2) kemudian sebgai lembaga ekonomi. (3) sebagai penyebar dan pemberi berupa berbagai gagasan-serta rangkuman yang telah diliput. Demikian rangkuman fungsi dan peran dari pers terhadap pemerintah, masyarakat maupun warga asing yang ada. Jadi dalam berbagai pemberitaan yang diberitakan adalah tugas dan fungsi dari pada pers. Dengan demikian kesalahan dalam memberitakan sesuatu termasuk hasil liputan juga adalah tanggung jawab dari pada badan per situ sendiri.
Pada masa reformasi ini, dengan keluarnya undang-undang tentang pers, yaitu undang-undang no.40 tahun 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan memanfaatkan informasi.
2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum dan hak asasi manusi, serta menghormati kebhinekaan.
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam UU Pers ditegaskan, pers nasional melaksanakan peranan melalui hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, serta HAM. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Satu substansi penting untuk diingat bahwa UU Pers menjamin dan melindungi secara hukum profesi wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik pemerintah maupun masyarakat.