makro uas.docx

Upload: ign-widya-hadi-s

Post on 13-Oct-2015

338 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia

Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia2014

Merebaknya Gerai Fast Food dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fast Food di Indonesia

I. Pendahuluan1.1 Latar BelakangSalah satu bisnis atau usaha yang sedang popular dan berkembang di Indonesia beberapa waktu belakangan ini adalah bisnis kuliner, baik itu makanan maupun minuman. Bisnis ini menjadi tren bagi kalangan investor maupun entrepreneur untuk dikembangkan dan dikelola lebih lanjut ke depannya. Ini dikarenakan oleh prospek akan keuntungan yang didapat dari bisnis ini yang cukup menjanjikan dan dikatakan menguntungkan, di mana bisnis makanan merupakan salah satu bidang bisnis dengan pertumbuhan yang cukup tinggi di berbagai tempat atau belahan dunia (Nonto, 2006;13). Selain karena prospek akan keuntungan yang menjanjikan, bisnis ini juga bisa dikatakan banyak dicari dan dibutuhkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan. Salah satu konsep bisnis yang popular saat ini mungkin bisa dibilang adalah bisnis makanan cepat saji (fast food).Fast food atau makanan cepat sajiadalah istilah untuk makanan yang dapat disiapkan dan dilayankan dengan cepat. Definisi lain tentang fast food merupakan makanan yang dapat disiapkan dan dikonsumsi dalam waktu singkat (Bertram, 1975). Yang menjadi perbedaan mendasar antara servis di restoran biasa dengan fast food menurut SNARR (Syndicat National pour LAlimentation et la Restauration Rapide) adalah tidak adanya service table dan penggunaan alat makan yang disposable atau sekali pakai (Bedoya, 2003). Dari segi jenis makanan, banyak jenis makanan yang dapat dikategorikan sebagai makanan cepat saji, seperti pancake, waffle, hamburger, ayam goreng, maupun kentang goreng.Perkembangan fast food sendiri pertama kali muncul pada era perang dunia pertama, di mana kebutuhan akan efisiensi dalam mempersiapkan makanan kemudian mendorong munculnya alternatif-alternatif (Bedoya, 2003). Kemudian solusinya pun muncul dan ternyata cukup simpel, yaitu evolusi dari restoran menjadi diners (restoran kecil dan lebih informal, semacam depot), kafetaria, dan generasi awal drive-in restaurants (Ritzer, 1996). Dengan munculnya kepraktisan yang ditawarkan, konsumen pun semakin tertarik untuk menikmati makanan cepat saji karena mereka tidak harus repot-repot memasak dan berkutat di dapur rumah untuk dapat menikmati makanan. Konsep restoran cepat saji ini pun mampu menjadi daya tarik hingga saat ini dan menjadi alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan makanan pesanan dengan cepat dan bisa dikonsumsi di mana saja.Awal perkembangan yang paling kentara dalam bisnis fast food yaitu pada periode tahun 1944-1954, mulai dari konsep fast food yang masih sederhana hingga kemudian munculnya McDonald yang berkembang pesat hingga saat ini. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan gerai fast food baru merambah masuk pada tahun 1970-an. Kemudian seiring perkembangan ekonomi Indonesia, ekspansi gerai fast food ini semakin menanjak dan masuk ke Indonesia terlebih lagi dengan adanya peraturan pemerintah yang dikeluarkan pada tahun 1997 mengenai waralaba. Dengan adanya PP RI No.16/1997 yang melegalkan dan member kekuatan hukum bagi ekspansi dan eksplorasi para pemilik modal, keberadaan restoran cepat saji di Indonesia semakin menjamur dan berkembang pesat. Ini terbukti dengan pertumbuhan penjualan restoran cepat saji pada tahun 2006 sebesar 18,21%, tahun 2007 sebesar 22,1%, dan tahun 2008 sebesar 19,4% (SWA 01/XXIII/Februari 2008). Dari peningkatan tersebut, bisa terlihat pula bahwa permintaan konsumen terhadap fast food, khususnya masyarakat Indonesia semakin besar. Peningkatan permintaan konsumen ini pun dikarenakan oleh adanya pertumbuhan ekonomi penduduk yang semakin baik dan juga karena perubahan perilaku konsumsi akibat peningkatan pendapatan dan standar kehidupan masyarakat. 1.2 Tujuan penelitianDari tulisan ini diharapkan pembaca mengetahui mengenai perkembangan gerai fast food di Indonesia dan juga mampu mengetahui bagaimana hubungannya dengan perilaku konsumen terhadap konsumsi fast food.

II. Landasan Teori2.1 KonsumsiKonsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Barang-barang yang diproduksi digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi. Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan di antara tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan nasional. Fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam persamaan (Mankiw, 2003): Fungsi konsumsi ialah : C = C + cY..........Di mana C adalah konstanta atau konsumsi rumah tangga ketika pendapatan adalah 0, c adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal di mana 0 < C > 1, di mana C adalah konsumsi dan Y adalah tingkat pendapatan. Pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi rumah tangga (household consumption/private consumption). Dalam bahasan kali ini akan lebih difokuskan pada pengeluaran rumah tangga. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga, antara lain : 1. Faktor EkonomiEmpat faktor ekonomi yang menentukan tingkat konsumsi, yaitu :a. Pendapatan Rumah Tangga ( Household Income )Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tongkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar atau mungkin juga pola hidup menjadi semakin konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik. b. Kekayaan Rumah Tangga ( Household Wealth )Tercakup dalam pengertian kekayaaan rumah tangga adalah kekayaan rill (rumah, tanah, dan mobil) dan finansial (deposito berjangka, saham, dan surat-surat berharga). Kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan disposable.c. Tingkat Bunga ( Interest Rate )Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi keinginan konsumsi. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi (opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin maha. Bagi mereka yang ingin mengonsumsi dengan berutang dahulu, misalnya dengan meminjam dari bankatau menggunakan kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik menunda/mengurangi konsumsi.d. Perkiraan Tentang Masa Depan (Household Expectation About The Future)Faktor-faktor internal yang dipergunakan untuk memperkirakan prospek masa depan rumah tangga antara lain pekerjaan, karier dan gaji yang menjanjikan, banyak anggota keluarga yang telah bekerja.Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain kondisi perekonomian domestik dan internasional, jenis-jenis dan arah kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah.2. Faktor DemografiFaktor demografi atau faktor kependudukan yang mempengaruhi konsumsi diantaranya adalah sebagai berikut :a. Jumlah PendudukJumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relatif rendah. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi.b. Komposisi PendudukPengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi, antara lain : Makin banyak penduduk yang berusia kerja atau produktif (15-64 tahun), makin besar tingkat konsumsi. Sebab makin banyak penduduk yang bekerja, penghasilan juga makin besar. Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsinya juga makin tinggi, sebab pada saat seseorang atau suatu keluarga makin berpendidikan tinggi maka kebutuhan hidupnya makin banyak. Makin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban), pengeluaran konsumsi juga semakin tinggi. Sebab umumnya pola hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif disbanding masyarakat pedesaan.3. Faktor-faktor Non EkonomiFaktor-faktor non-ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi adalah faktor social budaya masyarakat. Misalnya saja, berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat/ideal.2.2 Makanan Cepat Saji (Fast food) Makanan cepat saji (fast food) adalah makanan yang tersedia dalam waktu cepat dan siap disantap, seperti fried chiken, hamburger atau pizza. Mudahnya memperoleh makanan siap saji di pasaran memang memudahkan tersedianya variasi pangan sesuai selera dan daya beli. Selain itu, pengolahan dan penyiapannya lebih mudah dan cepat, cocok bagi mereka yang selalu sibuk (Sulistijani, 2002).Kehadiran makanan cepat saji dalam industri makanan di Indonesia juga bisa mempengaruhi pola makan dan konsumsi masyarakat di daerah perkotaan. Khususnya bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, restoran makanan cepat saji merupakan tempat yang tepat untuk bersantai. Makanan di restoran fast food ditawarkan dengan harga terjangkau dengan kantong mereka, servisnya cepat dan jenis makanannya memenuhi selera.Keberadaan restoran-restoran fast food yang semakin menjamur di kota-kota besar di Indonesia, yang menyajikan berbagai makanan siap saji yang dapat berupa makanan tradisional Indonesia (seperti restoran padang) dan makanan barat (KFC, McDonalds) yang terkenal dengan ayam gorengnya, disamping jenis makanan yang tidak kalah popular seperti Burger, Pizza, Sandwich, dan sebagainya. Dengan manajemen yang handal dan juga dilakukannya terobosan misalnya pelayanan yang praktis, desain interior restoran dibuat rapi, menarik dan bersih tanpa meninggalkan unsur kenyamanan, serta rasanya yang lezat membuat mereka yang sibuk dalam pekerjaanya memilih alternatif untuk mengkonsumsi jenis fast food, karena lebih cepat dan juga mengandung gengsi bagi sebagian golongan masyarakat. Bahkan di hari libur pun biasanya banyak keluarga yang memilih makanan diluar dengan jajanan fast food (Khomsan, 2004).Makanan cepat saji seperti fried chicken dan French fries, sudah menjadi jenis makanan yang biasa dikonsumsi pada waktu makan siang atau makan malam masyarakat di kota-kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Yokyakarta, Surabaya dan Denpasar. Makanan cepat saji mempunyai kelebihan yaitu penyajian cepat sehingga hemat waktu dan dapat dihidangkan kapan dan dimana saja, tempat saji dan penyajian yang higienis, dianggap makanan bergengsi, makanan modern, juga makanan gaul bagi beberapa kalangan terutama kalangan muda. Makanan cepat saji yang dimaksud adalah jenis makanan yang dikemas, mudah disajikan, praktis, atau diolah dengan cara sederhana.2.3 Perilaku KonsumenPerilaku konsumen menurut AMA (American Marketing Association) ialah interaksi dinamis dan kognitif, perilaku, dan lingkungan di mana manusia melakukan pertukaran aspek-aspek kehidupan mereka. Perilaku konsumen mencakup segala kegiatan yang dilakukan oleh konsumen pada saat penggunaan produk maupun sebelum menggunakannya atau masih dalam konteks pengambilan keputusan (Engel et al., 1994:4). Perilaku konsumen terpusat pada cara individu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia baik waktu, uang, maupun usaha guna memenui kebutuhan yang berhubungan dengan konsumsi (Schiffman dan Kanuk, 2002). Hal ini mencakup apa yang mereka beli, mengapa mereka membelinya, kapan mereka melakukan pembelian itu, di mana mereka membeli, dan seberapa sering mereka membeli dan menggunakannya.Swastha dan Hani (2000) menyebutkan perilaku konsumen sebagai kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan menggunakan barang-barang atau jasa, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut.Bila dihubungkan dengan konsep ekonomi makro, perilaku permintaan konsumen terhadap barang dan jasa akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pendapatan, selera konsumen, dan harga barang, disaat kondisi yang lain tidak berubah (ceteris paribus). Perilaku konsumen ini didasarkan pada Teori Perilaku Konsumen yang menjelaskan bagaimana seseorang dengan pendapatan yang diperolehnya, dapat membeli berbagai barang dan jasa sehingga tercapai kepuasan tertentu sesuai dengan apa yang diharapkannya.Dalam mempelajari teori perilaku konsumen, terdapat dua pendekatan untuk mempelajari perilaku konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang yaitu pendekatan kardinal dan pendekatan ordinal. Adapun asumsi dalam pendekatan tersebut yaitu konsumen bersikap rasional dengan anggaran yang tersedia serta konsumen berusaha memaksimalkan kepuasan totalnya dari barang yang dikonsumsinya.1. Pendekatan Kardinala) Kepuasan konsumsi dapat diukur dengan satuan ukur.b) Makin banyak barang dikonsumsi makin besar kepuasan.c) Terjadi hukum The Law of Deminishing Marginal Utility pada tambahan kepuasan setiap satu satuan.Setiap tambahan kepuasan yang diperoleh dari setiap unit tambahan konsumsi semakin kecil.( Mula mula kepuasan akan naik sampai dengan titik tertentu atau saturation point tambahan kepuasan akan semakin turun ).Hukum ini menyebabkan terjadinya Downward sloping MU curve. Tingkat kepuasan yang semakin menurun ini dikenal dengan hukum Gossen.d) Tambahan kepuasan untuk tambahan konsumsi 1 unit barang bisa dihargai dengan uang, sehingga makin besar kepuasan makin mahal harganya. Jika konsumen memperoleh tingkat kepuasan yang besar maka dia akan mau membayar mahal, sebaliknya jika kepuasan yang dirasakan konsumen redah maka dia hanya akan mau membayar dengan harga murah. Pendekatan kardinal biasa disebut sebagai daya guna marginal.

Keseimbangan KonsumenKeseimbangan konsumen tercapai jika konsumen memperoleh kepuasan maksimum dari mengkonsumsi suatu barang. Syarat Keseimbangan:MUx/Px = MUy/Py = .= MUn/PnPx Qx + Py QY + + Pn Qn = MDi mana :MU = marginal utilityP = hargaM = pendapatan konsumen

2. Pendekatan OrdinalKelemahan pendekatan kardinal terletak pada anggapan yang digunakan bahwa kepuasan konsumen dari mengkonsumsi barang dapat diukur dengan satuan kepuasan. Pada kenyataannya pengukuran semacam ini sulit dilakukan.Pendekatan ordinal mengukur kepuasan konsumen dengan angka ordinal (relatif).Tingkat kepuasan konsumen dengan menggunakan kurva indiferens (kurva yg menunjukkan tingkat kombinasi jumlah barang yang dikonsumsi yang menghasilkan tingkat kepuasan yang sama).Ciri-ciri kurva indiferens diantaranya :a. Mempunyai kemiringan yang negatif (konsumen akan mengurangi konsumsib. barang yg satu apabila ia menambah jumlah barang lain yang di konsumsi)c. Cembung ke arah titik origin, menunjukkan adanya perbedaan proporsi jumlah yang harus ia korbankan untuk mengubah kombinasi jumlah masing-masing barang yang dikonsumsi (marginal rate of substitution)d. Tidak saling berpotongan, tidak mungkin diperoleh kepuasan yang sama pada suatu kurva indiferens yang berbedaAdapun perbedaan antara pendekatan kardinal dengan ordinal, yaitu :1. Pandangan antara besarnya utility menganggap bahwa besarnya utiliti dapat dinyatakan dalam bilangan/angka. Sedangkan analisis ordinal besarnya utility dapat dinyatakan dalam bilangan/angka.2. Analisis kardinal mengunakan alat analisis yang dinamakan marginal utility (pendekatan marginal). Sedangkan analisis ordinal menggunakan analisis indifferent curve atau kurva kepuasan sama .2.4 Penelitian SebelumnyaDalam kaitannya mengenai konsumsi fast food, ada beberapa sumber yang digunakan pada tulisan kali ini yang diambil dari penelitian yang telah ada. Diantaranya adalah sebagai berikut :1. Hsien (2013) melakukan survey dan eksplorasi mengenai sector konsumsi masyarakat Indonesia. Dalam penelitiannya tersebut, Hsien melihat bagaimana kondisi ekonomi makro Indonesia yang dikatakan sedang bertumbuh,baik dari segi pendapatan per kapita, jumlah penduduk kelas menengah yang meningkat, hingga tingkat konsumsi masyarakat khususnya di bidang industry retail dan makanan. Melihat dari kondisi makroekonomi yang cukup bagus, Hsien melihat besarnya peluang untuk masuk ke bisnis retail dan makanan di Indonesia yang diperkirakan bernilai $1.38 trilyun pada 2030 seiring dengan bertumbuhnya kelas konsumen sebesar 3 kali lipat.2. Lembaga survey ACNielsen pada tahun 2006 melakukan survey berskala global mengenai konsumsi ready-to-eat meals. Dari hasil survey terlihat beberapa faktor mengenai alasan konsumen mengkonsumsi produk tersebut yang secara garis besar dikarenakan oleh kemudahan dalam penyajian dan kurangnya waktu untuk menyiapkan makanan sendiri.3. Damapolii et al (2013) melakukan penelitian mengenai kejadian obesitas pada anak SD di kota Manado. Dalam penelitian tersebut, obesitas diakibatkan karena tingginya konsumsi fast food yang dilakukan oleh anak-anak. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan konsumsi fast food dengan kejadian obesitas pada anak SD di Kota Manado.

III. PembahasanPada skala global, Indonesia merupakan negara keempat terpadat. Indonesia juga negara kepulauan terbesar di dunia, yang mencakup sekitar 17.000 pulau (sekitar 6.000 di antaranya dihuni) dan lebih dari 5.000 km. padatnya jumlah penduduk Indonesia ini dapat terlihat dari peningkatan pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun yang diproyeksikan semakin meningkat ke depannya. Pada tabel berikut dapat dilihat mengenai laju pertumbuhan penduduk di Indonesia.

ProvinsiLaju Pertumbuhan Penduduk per Tahun

1971-19801980-19901990-20002000-2010

Nanggroe Aceh Darussalam2.932.721.462.36

Sumatera Utara2.602.061.321.10

Sumatera Barat2.211.620.631.34

Riau3.114.304.353.58

Jambi4.073.401.842.56

Sumatera Selatan3.323.152.391.85

Bengkulu4.394.382.971.67

Lampung5.772.671.171.24

Bangka Belitung--0.973.14

Kepulauan Riau---4.95

DKI Jakarta3.932.420.171.41

Jawa Barat2.662.572.031.90

Jawa Tengah1.641.180.940.37

DI Yogyakarta1.100.570.721.04

Jawa Timur1.491.080.700.76

Banten--3.212.78

Bali1.691.181.312.15

Nusa Tenggara Barat2.362.151.821.17

Nusa Tenggara Timur1.951.791.642.07

Kalimantan Barat2.312.652.290.91

Kalimantan Tengah3.433.882.991.79

Kalimantan Selatan2.162.321.451.99

Kalimantan Timur5.734.422.813.81

Sulawesi Utara2.311.601.331.28

Sulawesi Tengah3.862.872.571.95

Sulawesi Selatan1.741.421.491.17

Sulawesi Tenggara3.093.663.152.08

Gorontalo--1.592.26

Sulawesi Barat---2.68

Maluku2.882.790.082.80

Maluku Utara--0.482.47

Papua Barat---3.71

Papua2.673.463.225.39

INDONESIA2.311.981.491.49

Catatan : Tidak Termasuk Timor Timur

Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980 , 1990 , 2000 , 2010 dan Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995 (diperoleh dari Badan Pusat Statistik)

Dari keseluruhan total jumlah penduduk Indonesia, rata-rata populasi Indonesia didominasi oleh kalangan muda. Setengah dari populasi berada pada usia di bawah 25 tahun dan 30% berada pada usia di bawah 14 tahun. Dari segi persebaran penduduk, data mengungkapkan bahwa 59% dari populasi tinggal di Jawa, sekitar 21% hidup di Sumatra, dan di Bali sebesar 1,5%. Data tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Sumber : Badan Pusat StatistikDari sisi ekonomi makro, Indonesia merupakan salah satu Negara yang pertumbuhannya bisa dikatakan sedang berkembang. Dalam The Archipelago Economy : Unleashing Indonesias Potential (McKinsey Global Institute, 2012) diperkirakan bahwa kelas konsumen Indonesia tumbuh dari 45 juta orang di tahun 2010 menjadi 135 juta orang pada tahun 2030 dengan diperkirakan sebesar 90 juta penduduk Indonesia bergabung menjadi kelas konsumen dengan pendapatan perkapita lebih besar atau sama dengan US$3.600 per tahun. Dapat diperkirakan juga bahwa sektor konsumsi dalam negeri akan semakin tinggi, terkait dengan meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah, dengan rentang pengeluaran perkapita sebesar $2-20 (Asian Development Bank). Dalam laporannya, Key Indicator for Asia and The Pasific 2010, ADB membagi kelas menengah menjadi tiga kelompok berdasarkan pengeluaran per kapita per hari yaitu : masyarakat kelas menengah bawah (lower middle class) dengan pengeluaran perkapita perhari sebesar $2-4, kelas menengah tengah (middle-middle class) sebesar $4-10, dan kelas menengah atas (upper-middle class) $10-20. Adanya pertumbuhan kelas menengah ini didorong oleh adanya pencapaian pendidikan yang tinggi, kesempatan kerja yang semakin banyak, dan peningkatan daya beli sehingga aktivitas konsumsi juga ikut naik. Dari peningkatan aktivitas konsumsi inilah yang menjadi faktor pendorong yang menentukan GDP di suatu Negara. Tabel di bawah ini merangkum tren kunci yang melukiskan prospek ekonomi makro yang positif untuk sektor konsumsi Indonesia.

Sumber : IE Insights, 2013Dengan adanya pertumbuhan laju penduduk serta ekonomi yang semakin membaik ini lah, tingkat konsumsi masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu aspek konsumsi yang ikut bergerak ke arah peningkatan yaitu konsumsi makanan atau pangan. Adanya peningkatan pengeluaran terhadap makanan dapat dilihat pada grafik berikut.

Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang di Indonesia (Sumber : Badan Pusat Statistik)Peningkatan jumlah ekonomi kelas menengah di Indonesia berdampak pada makin beragamnya pola konsumsi sebagai akibat dari adanya perubahan gaya hidup, yang dapat terlihat dari cukup tingginya tingkat konsumsi makanan cepat saji dalam menopang tingginya aktivitas mereka. Kebiasaan-kebiasaan makan di luar rumah sambil berlama-lama berdiskusi dengan teman merupakan aktivitas baru untuk membangun komunikasi ditengah padatnya aktivitas pekerjaan menjadi pemandangan yang umum dilihat setelah munculnya kelas ekonomi baru ini.Makanan cepat saji merupakan salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan akan makan di tengah padatnya aktivitas masyarakat saat ini. Hal tersebut terlihat dari hasil survey yang dilakukan ACNielsen tentang makanan cepat saji. Dari survey yang dilakukan berskala global tersebut didapat beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa banyak orang di dunia, termasuk di Indonesia, lebih memilih mengkonsumsi makanan cepat saji. Mulai dari alasan kecepatan waktu, harga yang lebih terjangkau, ataupun selera menjadi pendorong mengapa konsumen lebih condong untuk membeli makanan cepat saji daripada memasak sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari grafik di bawah ini.

Sumber : ACNielsen Report, December 2006Khusus di Indonesia sendiri, mengkonsumsi makanan cepat saji dewasa ini menjadi lifestyle atau gaya hidup baru. Semakin menjamurnya bisnis fast food di bidang kuliner ini membuat tingkat konsumsi serta permintaan masyarakat meningkat. Inilah yang menjadi incaran para investor untuk ikut terjun menjaring profit dari bisnis ini. Sebagai informasi, bisnis kuliner di Indonesia bisa dikatakan sangat kompetitif mengingat hal ini juga ditopang dengan kondisi demografis Negara. Pada tahun 2011, konsumsi sektor makanan di Indonesia bernilai sekitar Rp 366.4 trilyun (S$45.8 billion), dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp 420 trilyun (S$52.5 billion) pada 2016, dengan CAGR sebesar 2.8%.Agresi waralaba asing di bidang kuliner pun semakin gencar. Hal tersebut ditunjang dengan kemudahan membuat waralaba. Dana yang dibutuhkan untuk membangun gerai makanan siap saji hanya sekitar Rp 50 juta-Rp 100 juta per gerai. Maka tidak mengherankan omset waralaba makanan minuman terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2010, omset waralaba makanan minuman mencapai Rp 42,6 triliun. Angka itu diperkirakan dapat meningkat hingga Rp 49 triliun hingga akhir 2011. Ini karena domestic consumption di Indonesia sendiri sangat tinggi. Ambil saja contoh KFC, salah satu bisnis fast food yang menyajikan ayam goreng, kentang goreng, serta hamburger. Sejak kemunculan pertamanya di Indonesia hingga sekarang, bisnis ini telah mampu menunjukkan eksistensinya di pasar Indonesia. Waralaba restoran siap saji di bawah payung PT Fastfood Indonesia Tbk.(FI) itu menguasaipangsa pasar51% serta memiliki 250 gerai dan14 ribu karyawan di seluruh Indonesia (http://swa.co.id/sajian-utama/kfc-melejit-lewat-life-style, Februari 2011). Namun kini posisinya semakin kuat, terbukti dari semakin banyaknya jumlah gerai yang dimiliki yang tersebar di seluruh Indonesia. Ini membuktikan pula bahwa demand masyarakat untuk mengkonsumsi produk KFC sangat tinggi.

Keberadaan gerai KFC yang menjamur hingga ke berbagai pelosok di Indonesia pun semakin merubah cara pandang dan kehidupan masyarakat, terutama di daerah urban (perkotaan). Dari data survey ACNielsen online customer tahun 2007 mendapatkan hasil bahwa 28% masyarakat Indonesia mengonsumsi Fast Food minimal satu minggu sekali 33% diantaranya mengonsumsi saat makan siang. Tidak mengherankan jika Indonesia menjadi Negara ke 10 yang paling banyak masyarakatnya mengonsumsi makanan fast food. Penikmat fast food di Indonesia memang didominasi oleh kalangan muda. Ini merujuk kepada komposisi usia muda yang memang lebih dominan di kalangan masyarakat Indonesia. Kemudahan dan tentunya kelezatan yang ditawarkan waralaba asing ini menjadi salah satu alasan bagaimana konsumsi masyarakat semakin meningkat terhadap ayam goreng berbalut tepung tersebut. Selain itu, gaya hidup masa kini yang sedang tren di kalangan masyarakat Indonesia yaitu berkumpul dan bersosialisasi di luar rumah (eating out), selain pendapatan masyarakat yang membaik, juga menjadi pendorong yang membuat konsumsi terhadap fast food ini meningkat. Ini memperlihatkan adanya fenomena baru, konsumerisme, di kalangan masyarakat Indonesia khususnya di bidang kuliner. Di samping factor di atas, aktivitas promosi atau pemasaran yang dilakukan oleh bisnis waralaba ini juga cukup gencar. Selain melalui iklan baik di media cetak maupun televisi, pemasaran melalui social media lewat internet pun dilakukan. Adanya tawaran yang menarik, seperti diskon setiap hari Rabu untuk produk tertentu juga mampu menjaring konsumen, khususnya konsumen berusia muda yang memang mendominasi. Kebanyakan konsumen tersebut rela antri di hari Rabu untuk sekedar menikmati sajian dan berkumpul di gerai KFC. Dengan adanya iklan secara massal itu pula lah yang menyebabkan angka konsumsi fast food semakin meningkat pesat. Sebagai gambaran, data Global Marketers Advertising Age ( 2007), belanja iklan perusahaan pangan olahan, soft drink dan industri permen di tingkat global mencapai angka US$ 13 milyar. Begitu kuatnya dampak iklan tersebut terhadap pola konsumsi manusia, sehingga seorang filsuf Amerika, Herbert Mercuse dalam bukunya One Dimensional Man menyebutkan bahwa iklan telah menciptakan manusia berwajah tunggal. Manusia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Manusia mengenal diri mereka melalui barang-barang dagangan yang mereka pakai. Apalagi jika iklan tersebut menyasar pada usia muda, yang perilaku dan pola konsumsinya sangat ditentukan oleh pengaruh lingkungan, karena kalangan muda bagai lembar putih yang siap diisi, apakah akan menjadi seorang smart consumer (konsumen yang kritis dan berdaya) atau menjadi seorang yang menganut konsumtivisme, yaitu manusia yang memburu dan melepas kepuasan diri dengan berbelanja. (http://www.ylki.or.id/cegah-generasi-junk-food.html)

IV. KesimpulanIklim ekonomi makro yang cukup positif serta faktor demografis yang meningkat dari tahun ke tahun membuat investor di bisnis kuliner, khususnya fast food, melirik Indonesia untuk menjalankan bisnisnya. Pendapatan per kapita masyarakat yang membaik dan juga gaya hidup yang berubah, terutama di kalangan muda di daerah perkotaan, membuat konsumsi dan permintaan akan fast food juga bertambah. Adanya hal tersebut membuat fenomena baru yaitu konsumerisme di kalangan masyarakat akan konsumsi fast food.

Daftar PustakaAsian Development Bank. (2010). Key indicators for Asia and the Pacific 2010. Washington, DC: Author. http://digitalcommons.ilr.cornell.edu/intl/91/ACNielsen. 2006. Consumers and Ready-to-Eat Meals: A Global ACNielsen Report/December 2006Bedoya, U., E., W. 2003. The Socio-Cultural Impact of Fast food on Persian Dining Habits and Pop Culture. Faculty of The University of Pennsylvania.Bertram, B., C., R. 1975. Behavioural Ecology. Blackwell Scientific, Oxford, UK.Damopolii, Winarsi et al. 2013. Hubungan Konsumsi FastFood dengan Kejadian Obesitas Pada Anak SD di Kota Manado. ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013.Engel, J., F., Blackwell, R., D., Miniard, P., W. 1994. Perilaku Konsumen : Jilid 1 & 2. Jakarta : Binarupa Aksara.Hsien, Lee Wei. 2013. Indonesias Consumer Sector: Tapping the Consumer Dollar in Food and Retail. IE Insights vol. 13/ Nov 2013.Khomsan, A. 2004. Serat Ampuh Untuk Diet. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Faperta IPB.Mankiw, N.G. 2003. Principles of Economics : Third Edition. South-Western College Pub.McKinsey Global Institute. 2012. The Archipelago Economy : Unleashing Indonesias Potential. McKinsey & Company September 2012.Nonto, A., W. 2006. You Are What You Ingest.Ritzer, G. 1996. McDonaldization of Society. Thousand Oaks. Pine Forge Press.Schiffman, L., Kanuk, L. 2002. Consumer Behaviour 7th Edition. Pearson-Prentice Hall.Sulistijani, D. A. 2002. Sehat Dengan Menu Berserat. Jakarta : Trubus Agriwidya dan PT. Pustaka Pembangunan Swadaya NusantaraSwastha, Basu Dharmmesta & T. Hani Handoko, 2000, Manajemen Pemasaran Analisa perilaku konsumen : Edisi pertama cetakan ketiga. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta.Majalah SWA 01/XXIII/Februari 2008.American Marketing Association (https://www.marketingpower.com).Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id).KFC Indonesia (www.kfcku.com).Syndicat National pour LAlimentation et la Restauration Rapide (www.snarr-site.com).SWA online (http://swa.co.id/sajian-utama/kfc-melejit-lewat-life-style)Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (http://www.ylki.or.id/cegah-generasi-junk-food.html)2Macro Economics Analysis