manfaat ekonomi jasa lingkungan dan strategi … · mengambil kayu maupun untuk hal lain seperti...
TRANSCRIPT
MANFAAT EKONOMI JASA LINGKUNGAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH SEKITAR TAMAN
NASIONAL LORE LINDU (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala,
Provinsi Sulawesi Tengah)
Handian Purwawangsa
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
44
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan
Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu : Kasus di
Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)
adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
dibagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2008
Handian Purwawangsa
45
ABSTRACT
HANDIAN PURWAWANGSA. Economic Benefit Of Evironmental Service and Management Strategy of Region Around Lore Lindu National Park (Case Study in Salua Village, Kulawi District,Central Sulawesi Province). Under the direction of DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI, and DODIK RIDHO NURROCHMAT Lore Lindu Nasional Park produces various environmental services, such as: water regulation, flood and erosion control, prop to spreading of disease and pest, and also conservation of biodiversity. The aim of this study is to calculate the economic benefit of environmental service from Lore Lindu Nasional Park, specially for unknown environmental, flood and erosion danger) and to formulate the management strategy of region around Lore Lindu National Park. This Study used Contingent Valuation Method and SWOT Analyse. Base on willingness to pay in from of money contribution, economic benefit of environmental service to preventive unknow environmental danger is equal to 10.917.818,18/year, in the other hand, base on labor contribution, is equal to 10.166 days working/year (1 day working equal to 8 hours working). The economic benefit for preventive from flood and erosion danger is equal to 10.166 days working/year, same with economic benefit on preventive unknow environmental danger. If labour contribution converted into money or, it is equal to 250.200.000 rupiah/year ( 1 day working = Rp. 25.000). Base on SWOT analyse, effective strategy to manage the region around Lore Lindu Nasional Park is defensif strategy, with weaknesses and thereats minimization. Key Words : Environmental services, Environmental Management Strategy,Contingent Valuation Method, SWOT Analyse.
46
RINGKASAN
HANDIAN PURWAWANGSA. Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Desa Salua merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Desa Salua terletak di lembah Kulawi dan
banyak memiliki anak sungai yang bermuara di Sungai Miu atau DAS Palu.
Sudah sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan TNLL
yang dapat dilihat dari banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam
kawasan TNLL baik untuk memperoleh sumber pendapatan seperti merotan dan
mengambil kayu maupun untuk hal lain seperti keperluan obat-obatan dan
mencari tambahan makanan, misalnya sayuran dan daging (Care 2002).
Dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat Desa Salua telah mempunyai
aturan adat yaitu hukum adat Taolo dan hukum adat Ombo untuk menjaga agar
hutan tetap lestari. Selain itu, ada juga ketentuan tentang pengelolaan hutan yang
disepakati oleh pemerintah desa dan lembaga adat dengan difasilitasi oleh LSM
Care.
Seiring dengan perubahan waktu, terdapat faktor sosial, ekonomi dan
kebudayaan yang mempengaruhi pengelolaan hutan di Desa Salua. Ketiga faktor
tersebut diduga telah menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dari masyarakat
Desa Salua dalam hal pengelolaan hutan. Adanya perubahan perilaku tersebut
menyebabkan terjadinya penyerobotan kawasan Taman Nasional Lore Lindu,
pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif, terjadinya konversi hutan
menjadi penggunaan lain serta terjadinya penebangan liar. Hal tersebut
menyebabkan penurunan fungsi hutan, terutama fungsi lingkungannya. Salah satu
contoh penurunan fungsi hutan yang telah terjadi adalah penurunan fungsi hutan
sebagai pengatur tata air. Pada tahun 2002 di Desa Salua pernah terjadi banjir
besar, yang menyebabkan kerusakan pada ladang dan rumah milik masyarakat.
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap
kondisi lingkungan di Desa Salua dan mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan
untuk pencegahan bahaya lingkungan, baik bahaya lingkungan yang sudah
47
diketahui maupun bahaya lingkungan yang belum diketahui, dengan cara
mengukur kemauan membayar masyarakat Desa Salua terhadap perbaikan
lingkungan beserta peubah-peubah yang mempengaruhinya, serta merumuskan
strategi pengelolaan wilayah di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua.
Metode yang digunakan adalah Continget Valuation Method dan analisis SWOT.
Bahaya lingkungan yang sudah diketahui adalah bahaya lingkungan yang
sudah terjadi seperti banjir dan erosi sedangkan Bahaya lingkungan yang tidak
diketahui adalah bahaya lingkungan yang belum terjadi saat ini, akan tetapi
diprediksi berpotensi dapat terjadi dimasa yang akan datang berdasarkan ilmu dan
pengetahuan yang ada. Contoh dari bahaya lingkungan yang tidak diketahui bisa
berupa bencana alam seperti gempa bumi atau kebakaran hutan, penyakit baru
bagi manusia atau hama penyakit bagi tumbuhan.
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa masyarakat Desa Salua
beranggapan bahwa banjir, erosi dan bahaya lingkungan yang tidak diketahui
merupakan ancaman bagi masyarakat Salua. Selain itu, ancaman dari ketiga
bahaya lingkungan tersebut, akan terus meningkat dimasa yang akan datang, tanpa
adanya program pencegahan bahaya lingkungan. Masyarakat Salua juga
berpendapat bahwa program pembangunan yang selama ini dilaksanakan belum
mampu untuk mengurangi ancaman bahaya lingkungan yang mungkin terjadi,
baik bahaya lingkungan yang diketahui maupun bahaya lingkungan yang tidak
diketahui.
Nilai ekonomi jasa lingkungan dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)
untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui dihitung berdasarkan
kemauan membayar masyarakat (WTP) dalam bentuk sumbangan uang dan
sumbangan tenaga kerja. Berdasarkan WTP dalam bentuk uang, nilai ekonomi
jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui
adalah Rp. 10.917.818.18 pertahun. Nilai tersebut hampir sama dengan realisasi
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta realisasi penerimaan rutin dan
pembangunan di Desa Salua yang berjumlah ±Rp.10.000.000.
Sedangkan berdasarkan sumbangan tenaga kerja, nilai ekonominya setara
dengan 10.116 HOK per tahun. Jika hari kerja tersebut dikonversi ke dalam
bentuk uang, dengan asumsi 1 hari orang kerja (HOK) di Desa Salua adalah Rp.
48
25.000, maka nilainya mencapai 250.200.000/tahun. Nilai ekonomi jasa
lingkungan dari TNLL untuk pencegahan bahaya banjir dan erosi mempunyai
nilai yang sama dengan nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya
lingkungan yang tidak diketahui, dengan WTP dalam bentuk sumbangan tenaga
kerja, yaitu 10.116 HOK.
Variabel atau peubah yang berpengaruh nyata terhadap WTP masyarakat
berdasarkan korelasi sederhana adalah pendapatan rata-rata masyarakat, tingkat
pendidikan, pengetahuan masyarakat terhadap banjir di daerah “Dongi-dongi”
serta besarnya pendapatan tambahan yang digunakan untuk program perbaikan
lingkungan. Sedangkan ajaran “Katuwua” tidak berpengaruh nyata terhadap WTP
masyarakat. Berdasarkan analisis regresi secara agregat variabel yang
berpengaruh nyata hanyalah pendapatan rata-rata masyarakat. Model regresi yang
dihasilkan adalah WTP = 1.992 +0.376 X1+0.0000255 X2 + 0.376 X3 + 0.870 X4
+ 0.32 X5, dimana X1 adalah pendapatan rata-rata, X2 penggunaan pendapatan
tambahan untuk program perbaikan lingkungan, X3 pengetahuan tentang
“Katuwua”, X4 tingkat pendidikan dan X5 pengetahuan tentang banjir di daerah
“Dongi-dongi”.
Nilai R2 dari model diatas adalah 46,5%, yang berarti bahwa 46,5%
keragaman WTP masyarakat desa salua untuk program pencegahan bahaya
lingkungan yang tidak diketahui dapat diterangkan oleh variabel-variabel penjelas
yang terdapat di dalam model, sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor lain
yang tidak terdapat di dalam model. Analisis dengan menggunakan perhitungan
linear logaritma juga memberikan nilai R2 yang hampir sama, yaitu 45.7% dan
memberikan pengaruh nyata dengan tingkat kepercayaan 95%.
Berdasarkan analisis SWOT, strategi pengelolaan lingkungan yang paling
efektif dilakukan adalah strategi defensif, karena kekuatan yang dimiliki lebih
kecil dibandingkan dengan kelemahan, dan ancaman yang ada lebih besar
dibandingkan dengan peluang yang dimiliki.
49
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
50
MANFAAT EKONOMI JASA LINGKUNGAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH SEKITAR TAMAN
NASIONAL LORE LINDU (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala,
Provinsi Sulawesi Tengah)
Handian Purwawangsa
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
51
Judul Tesis : Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah)
Nama : Handian Purwawangsa NRP : E.051040191
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Ketua
Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc Dr.Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Anggota Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Dekan Sekolah Pasca Sarjana Pengetahuan Kehutanan Prof.Dr.Ir. Imam Wahyudi,MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 16 Mei 2008 Tanggal Lulus :
52
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1979 di Cianjur dari ayah yang
bernama R.Sholihin SP dan Nenih Umaemah. Penulis merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara. Pada tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan dari
SMU (plus) Muthahari, kemudian melanjutkan studi S1 di Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, dan berhasil lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai staff pengajar di Departemen
Manajemen Hutan Fakultas kehutanan IPB. Pada tahun 2006 penulis mendapat
tugas sebagai komisi kemahasiswaan Departemen Manajemen hutan dan
Pembinan Forest Management Study Club (FMSC). Pada tahun 2007 penulis
mendapat tugas menjadi koordinator kemahasiswaan Fakultas Kehutanan IPB dan
pada tahun 2008 penulis mendapat tugas sebagai staf di Direktorat Pengembangan
Karir dan Hubungan Alumni Institut Pertanian Bogor.
53
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia yang diberikan-Nya penulis bisa menyelesaikan tesis yang berjudul “Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyempaikan ucapapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof.Dr. Ir. Dudung Darusman,MA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc serta Dr.Ir. Dodik Ridho Nurrochmat selaku anggota komisi pembimbing. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ahyar Ismail,M.Agr yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada STORMA yang telah mendanai penulisan tesis ini, staf pengajar di Fakultas kehutanan IPB khususnya di Bagian Kebijakan Kehutanan yang telah memberikan dorongan kepada penulis, rekan-rekan yang telah membantu pengumpulan data Bang Sumarno, Ade, Pipin,Masnun dan Rifai. Kepala Desa Salua beserma seluruh masyarakat yang telah menerima dan membantu penulis dengan tulus dalam proses pengumpulan data. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta Lina Mayliana,S.Pt atas semua doa, dorongan dan pengertiannya selama proses penyelesaian tesis ini, serta pada buah hati tersayang Khaira Hashifa Purwawangsa yang senantiasa menjadi sumber inspirasi dalam menyelesaikan karya ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Ayah tercinta R.Sholihin SP dan dan ibu tercinta Nenih Umaemah, serta papa Suharjo Warkidi dan mama Tri Nartuti yang senantiasa mendoakan dan membantu penulis dalam berbagai hal. Terakhir penulis menyampaikan terimakasih kepada adik tercinta Isti Aditya Purwasena dan Rizky Ali Akbar, “Sintesa” Gank, Adi Hadianto dan keluarga, M.Isbayu dan keluarga, Jumaidi Indra, Hendra Laso, Aldicka, Pringgadi Kridiarto, Dian Panjang, Khairul dan serta semua pihak yang telah membatu penulis dengan tulus ikhlas, semoga Allah SWT membalasnya dengan ganjaran yang setimpal. Bogor, April 2008 Handian Purwawangsa
54
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................. i
DAFTAR ISI .............................................. ii
DAFTAR TABEL .............................................. iv
DAFTAR GAMBAR .............................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................. vii
PENDAHULUAN .............................................. 1
Latar Belakang .............................................. 1 Perumusan Masalah .............................................. 6 Tujuan ..................................................................................................... 10 Manfaat Penelitian .................................................................................. 10 Alur Pikir Penelitian ............................................................................... 11
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 12
Valuasi Ekonomi Penggunaan Sumberdaya Alam Terpulihkan ............ 12 Teknik Pengukuran Tidak Langsung ...................................................... 17 Teknik Pengukuran Langsung ................................................................ 19 Konsep Pengelolaan MilikBersama ........................................................ 26 Teori Adaptasi ........................................................................................ 28 Analisis SWOT ....................................................................................... 29
METODE PENELITIAN .............................................................................. 32
Pendekatan Penelitian ............................................................................. 32 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 34 Metode Pengambilan Sampel ................................................................. 34 Data dan Pengukurannya ........................................................................ 36 Langkah Kerja ........................................................................................ 38
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................. 43
Sejarah Singkat Taman Nasional Lore Lindu ......................................... 43 Kondisi Fisik dan Geografis TNLL ........................................................ 44 Status Kawasan dan Status Pengelolaan ................................................. 44 Batas Kawasan ........................................................................................ 44 Kondisi Iklim .......................................................................................... 45 Potensi Flora dan Fauna ........................................................................ 45 Letak Geografis Kecamatan Kulawi ....................................................... 52 Topografi ................................................................................................ 52 Penduduk ................................................................................................ 53 Pendidikan .............................................................................................. 55 Pertanian ................................................................................................. 56
55
Keuangan Daerah ................................................................................... 57 Kondisi Umum Desa Salua ..................................................................... 59 Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Salua ........................... 63 Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu di Desa Salua ........................... 64 Perburuan Satwa Liar ............................................................................. 65 Sumber Air Desa Salua ........................................................................... 66
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 74
Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) .. 74 Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Banjir .................. 76 Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Erosi .................... 78 Persepsi Masyarakat terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ...................................................................................... 79 Willingness to Pay Masyarakat Desa Salua terhadap Jasa Lingkungan TNLL .......................................................................... 81 Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP Masyarakat Desa Salua ......... 88 Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Pendapatan Masyarakat .............................................................................................. 88 Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Tingkat Pendidikan .............................................................................................. 90 Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Pengetahuan “Katuwua” ............................................................................................. 91 Model Agregat WTP Masyarakat Salua ................................................. 93 Strategi Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua .................................... 94
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 115
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 117
LAMPIRAN .................................................................................................... 121
56
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jarak Antara Ibu Kota Kecamatan dengan Desa-desa di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 .............................................................................. 52
2. Keadaan Tanah Menurut Persentase Bentuk Permukaan Tanah menurut Desa di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 .............................................. 53
3. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ........................................................................................... 54
4. Jumlah Rumah Tangga, Penduduk dan Rata-rata Penduduk per Rumah Tangga di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ............................. 54
5. Banyaknya Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 .............................................................................. 55
6. Jumlah Pelajar berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ........................................................................................... 56
7. Luas Tanaman Bahan Makanan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 (Ha) .................................................................................. 57
8. Realisasi Penerimaan Rutin dan Pembangunan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 (000 Rp) ........................................................................... 58
9. Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Kulawi Tahun 2003-2005 ..................................................................... 58
10. Tingkat Pendidikan Masyarakat (Responden) di Desa Salua Tahun 2005 ........................................................................................... 61
11. Persentase Mata Pencaharian Utama Masyarakat (Responden) di Desa Salua ........................................................................................ 62
12. Rata-rata Pendapatan / Income Masyarakat Desa Salua (Responden) Tahun 2005 ........................................................................................... 62
13. Dampak Banjir Terhadap Masyarakat Desa Salua ............................... 76
14. Dampak Banjir terhadap Lingkungan Desa Salua Tanpa Adanya Tindakan Pencegahan Banjir ................................................................ 77
15. Dampak Erosi terhadap Masyarakat Desa Salua .................................. 78
16. Dampak Erosi Terhadap Lingkungan Desa Salua tanpa Ada Upaya Pencegahan Erosi ................................................................................. 79
17. Ancamanan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui terhadap Masyarakat Desa Salua ........................................................................ 80
18. Pendapat Masyarakat terhadap Ancaman Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui Tanpa Adanya Program Pencegahan ........................ 81
19. Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ....................................................... 84
57
20. Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga 85
21. Kemauan Membayar Masyarakat untuk Pencegahan Bahaya Banjir dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga ...................................... 86
22. Penggunaan Pendapatan Tambahan oleh Masyarakat Desa Salua ....... 90
23. Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Ajaran Katuwua ........... 91
24. Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Banjir di Daerah Dongi-dongi ............................................................................. 92
25. Hasil Analisis Nilai WTP Masyarakat Desa Salua .............................. 93
26. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Pengelolaan Lingkungan
di Desa Salua ........................................................................................ 93
27. Faktor Strategis Internal Kekuatan dalam Pengelolaan Lingkungan
di Desa Salua ........................................................................................ 95
28. Faktor –Faktor Strategis Internal Kelemahan dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua .................................................................... 100
29. Faktor-Faktor Strategis Eksternal Ancaman dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua .................................................................... 104
30. Faktor-Faktor Strategis Eksternal Peluang dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua ................................................................... 108
31. Matrik SWOT dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua ............ 113
58
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Sisa-sisa Banjir di Desa Salua pada Tahun 2002 ................................. 9
2. Alur Pikir Penelitian ............................................................................. 11
3. Surplus konsumen ................................................................................ 16
4. Klasifikasi Valuasi Non-Market ........................................................... 17
5. Hubungan antara Nilai Properti dan Kualitas Lingkungan .................. 19
6. Proses Pengambilan Keputusan Strategis ............................................ 30
7. Diagram SWOT .................................................................................... 31
8. Transisi-transisi antara Fenomena dan Pengamatan Berbeda .............. 33
9. Peta Lokasi Penelitian .......................................................................... 60
10. Pengankutan Kayu dari Hutan ke TO atau Desa .................................. 64
11. Penebangan Pohon di Kawasan TNLL ................................................ 64
12. Proses Pengangkutan Rotan menuju TO dan Rotan Asalan di Tempat Pengumpulan Lokal ............................................................................. 65
13. Proses Perburuan Kera di Desa Salua .................................................. 66
14. Kawasan TNLL yang Telah Berubah Fungsi menjadi Kebun ............. 68
15. Kawasan TNLL yang Rusak Akibat Penebangan Liar ........................ 73
16. Koordinat Kartesian SWOT ................................................................. 112
59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Variabel, Indikator, dan Parameter Penelitian tentang Kemauan
Membayar Masyarakat terhadap Perbaikan Lingkungan ..................... 121
2. Gambar Perbedaan antara Resiko Banjir dan Erosi ............................ 125
3. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Banjir ................. 125
4. Gambar Setelah Adanya Program Pencegahan Banjir ......................... 126
5. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Erosi .................. 126
6. Gambar Keadaan Setelah Adanya Program Pencegahan Erosi ........... 127
7. Gambar Lingkungan yang Sehat ......................................................... 127
8. Gambar Kondisi Lingkungan tanpa Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ......................... 128
9. Gambar Kondisi Lingkungan setelah Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ......................... 128
10. Gambar Kartu Percobaan yang Menunjukan Berbagai Jenis Perbaikan Lingkungan dengan berbagai Tingkat Harga ...................... 129
11. Gambar Kartu Percobaan untuk Mengetahui Konsentrasi ................... 130
12. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ..................... 131
13. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga ............................................................................. 132
14. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan Untuk Pencegahan Banjir dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga Kerja ............................. 133
15. Matrik SWOT ....................................................................................... 134
16. Rekapitulasi Perhitungan SWOT ......................................................... 136
17. Persepsi Masyarakat terhadap Pengaruh Pembangunan Desa beserta Pihak yang Seharusnya Bertanggungjawab dalam Mengurangi Ancaman Banjir ................................................................................ 139
18. Persepsi Masyarakat terhadap Pengaruh Pembangunan Desa beserta Pihak yang Seharusnya Bertanggungjawab dalam Mengurangi Ancaman Erosi ..................................................................................... 140
19. Persepsi Masyarakat terhadap Pengaruh Pembangunan Desa dalam Mengurangi Ancaman Erosi ................................................................ 141
20. Hasil Perhitungan Regresi Antara WTP dengan Pendapatan Masyarakat ........................................................................................... 142
60
21. Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Pendapatan Masyarakat ........................................................................................... 143
22. Hasil Perhitungan Korelasi antara Pendapatan Masyarakat dengan Persentase Penggunaan Pendapatan Tambahan untuk Perbaikan Lingkungan yang Tidak Diketahui....................................................... 144
23. Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Tingkat Pendidikan .. 145
24. Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Pengetahuan “Katuwua” ............................................................................................ 146
25. Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Pengetahuan tentang Banjir di Dongi-dongi .......................................................................... 147
26. Hasil Perhitungan antara Korelasi WTP dengan Wabah Penyakit yang Melanda daerah di Luar Desa Salua. .................................................... 148
27. Uji F terhadap Model Regresi Berganda .............................................. 149
61
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumberdaya alam hutan (SDAH) adalah faktor produksi dan konsumsi
untuk kesejahteraan bangsa khususnya dan umat manusia pada umumnya. SDAH
dalam memberikan manfaat kesejahteraan kepada umat manusia mempunyai lebih
banyak dimensi dibandingkan dengan sumberdaya alam (SDA) lain, yakni: (1)
memberi berbagai bentuk manfaat, baik manfaat-manfaat berwujud (tangible),
maupun manfaat tidak berwujud (intangible); (2) bagi seluruh lapisan masyarakat,
lapisan bawah sampai atas, masyarakat tradisional sampai modern; (3) bagi
generasi kini dan generasi yang akan datang, serta (4) bagi keutuhan bumi sebagai
tempat hidup seluruh bangsa di dunia (Darusman 2002).
Dari sudut pandang sumberdaya alam sebagai aset ekonomi maupun daya
dukung kehidupan, SDAH dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Bentang alam berupa stock atau modal alam (natural capital) seperti daerah
aliran sungai (DAS), danau, kawasan lindung, yang keberadaannya tidak
dibatasi wilayah administratif, dan
2. SDA berupa komoditi seperti kayu, rotan, air, mineral, batu bara, dan sumber
daya alam lainnya yang dapat diproduksi menjadi sumber/aset ekonomi
Aset ekonomi maupun daya dukung kehidupan tersebut berada dalam
berbagai bentuk ekosistem. Dengan demikian, ekosistem menyediakan produk
seperti makanan dan air serta jasa, seperti pengaturan dan pengendalian banjir;
kekeringan dan penyakit; jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan siklus
hara; jasa kebudayaan seperti rekreasi, spiritual, keagamaan dan manfaat bukan
material lain (Bappenas 1993, diacu dalam Kartodiharjo 2006).
Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah
maksimum kemauan seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa yang
dimilikinya dalam rangka memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal,
konsep nilai ekonomi lingkungan disebut dengan kemauan membayar (willingness
to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam
dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis dari hutan
62
bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter
barang dan jasa (Fauzi 2004).
Manfaat lingkungan seringkali diabaikan karena pada umumnya manfaat
tersebut baru terasa manfaatnya di masa yang akan datang. Manfaat pencegahan
banjir dan erosi misalnya, baru terasa jika banjir dan erosi tersebut telah terjadi.
Oleh karena itu, manfaat lingkungan seringkali tidak terkuantifikasi dalam
perhitungan menyeluruh terhadap perhitungan SDAH. Dalam hal ini, nilai
tersebut tidak saja nilai pasar (market value) barang yang dihasilkan dari
sumberdaya hutan, melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh
sumberdaya tersebut.
Menurut (Balmford et al 2002, diacu dalam Barkmann et al 2006), salah
satu rintangan paling besar dalam membuat desain pengelolaan jasa lingkungan
adalah kurangnya pengetahuan tentang nilai ekonomi non pasar yang ada pada
ekosistem hutan dan sistem penggunaan lahan pertanian yang ada di dalamnya.
Dalam konteks Indonesia, studi mengenai nilai ekonomi hutan yang ada di
Indonesia masih sangat sedikit. Selain itu, riset tentang penghitungan nilai jasa
lingkungan dan keanekaragaman hayati juga masih sedikit (Pattanayak & Kramer
2001, diacu dalam Barkman et al 2006).
Dari segi karakteristik SDA, konservasi jasa lingkungan, misalnya berupa
pengendalian banjir, longsor, dan erosi dapat diklasifikasikan ke dalam common
pool resources, yang menyediakan jasa bagi kelompok masyarakat tertentu dalam
suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) tertentu. Pemanfaatan jasa lingkungan
ini pada umumnya bersifat non-excludable, artinya sangat sulit, meskipun bukan
tidak mungkin mengeluarkan individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk
tidak memanfaatkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan mempunyai sifat sebagai
non-subtractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh satu pihak, pihak lain masih
dapat menikmati (Folmer and Gabel, 2001).
Selain itu, konservasi jasa lingkungan seringkali dilakukan oleh perorangan
atau kelompok masyarakat, misalnya dengan melakukan penanaman hutan atau
mengkonservasi sumber air. Dana untuk kegiatan tersebut bisa berasal dari
berbagai sumber seperti dari pemerintah, lembaga donor, swadaya masyarakat,
atau gabungan dari beberapa pihak. Apabila upaya-upaya ini gagal dilakukan
63
maka dampak negatif akan terjadi dan menjadi common pool bads (Kartodiharjo
2006). Dengan demikian, peran masyarakat cukup menentukan dalam upaya
pelestarian maupun perbaikan kualitas lingkungan.
Desa Salua merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Desa Salua terletak di lembah Kulawi dan
banyak memiliki anak sungai yang bermuara di Sungai Miu atau DAS Palu.
Sudah sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan TNLL
yang dapat dilihat dari banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam
kawasan TNLL baik untuk memperoleh sumber pendapatan seperti merotan dan
mengambil kayu maupun untuk hal lain seperti keperluan obat-obatan dan
mencari tambahan makanan, misalnya sayuran dan daging (Care 2002).
Mata pencaharian utama masyarakat Desa Salua adalah pertanian,
khususnya tanaman coklat dan kopi, sekitar 95% masyarakat mengandalkan hasil
tanaman coklat sebagai penghasilan utama. Sebagian masyarakat juga
mengandalkan rotan sebagai mata pencaharian alternatif/sampingan. Di sekitar
ladang dan tempat tinggal masyarakat desa Salua terdapat tiga sungai besar yang
sering meluap di musim hujan.
Dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat disekitar Taman Nasional Lore
Lindu telah memiliki falsafah yang disebut Katuwua, yaitu suatu ajaran tentang
keselarasan antara kehidupan manusia dengan alam. Falsafah tersebut diwujudkan
oleh masing-masing kelompok masyarakat dalam bentuk hukum adat. Desa Salua
telah mempunyai aturan adat dalam mengelola lingkungan, yaitu hukum adat
Taolo dan hukum adat Ombo. Taolo adalah aturan adat yang berisi : 1) Sumber
mata air tidak boleh dirusak, 2) Hutan dengan kemiringan 70˚-90˚ tidak boleh
dirusak, dan 3) Tempat-tempat yang dikeramatkan tidak boleh dirusak. Hukum
adat Ombo adalah suatu kegiatan adat berupa pelarangan melakukan kegiatan
yang berlebih untuk sementara waktu dalam wilayah tertentu. Ada tiga unsur
penting dalam pemberlakuan hukum adat Ombo, yaitu jenis sumberdaya yang
dilarang, batas wilayah dan daerah yang akan diberlakukan Ombo.
Selain itu, ada juga ketentuan tentang pengelolaan hutan yang disepakati
oleh pemerintah desa dan lembaga adat dengan difasilitasi oleh LSM Care.
Kesepakan-kesepakatan tersebut adalah; 1) Dilarang menebang hutan secara liar
64
di wilayah DAS, 2) Dilarang berburu binatang dan hewan yang dilindungi, 3)
Dilarang menebang kayu/membuka lahan baru di kemiringan 45˚ pada DAS dan
jarak dari DAS 50-100 meter, 4) Dilarang melakukan penangkapan ikan dengan
arus listrik dan racun pada sungai di Desa Salua. Jika ada masyarakat yang
melanggar peraturan tersebut akan dikenai sanksi Hampole Hangu dengan nilai
uang setara dengan Rp 600.000 (10 Dulang, 1 mbesa, 1 ekor kerbau).
Seiring dengan perubahan waktu, terdapat faktor sosial, ekonomi dan
kebudayaan yang mempengaruhi pengelolaan hutan di Desa Salua. Ketiga faktor
tersebut diduga telah menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dari masyarakat
Desa Salua dalam hal pengelolaan hutan. Adanya perubahan perilaku tersebut
menyebabkan terjadinya penyerobotan kawasan Taman Nasional Lore Lindu,
pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif, terjadinya konversi hutan
menjadi penggunaan lain serta terjadinya penebangan liar. Luas kawasan TNLL
yang telah berubah menjadi perkebunan coklat mencapai 30.000 ha. (Sinar
Harapan, 2003). Hal tersebut menyebabkan penurunan fungsi hutan, terutama
fungsi lingkungannya. Salah satu contoh penurunan fungsi hutan yang telah
terjadi adalah penurunan fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Pada tahun 2002
di Desa Salua pernah terjadi banjir besar, yang menyebabkan kerusakan pada
ladang dan rumah milik masyarakat.
Terjadinya penurunan fungsi lingkungan hutan di Desa Salua, telah
menyebabkan bahaya lingkungan di Desa Salua. Secara umum, bahaya
lingkungan yang mengancam Desa Salua terbagi dua, yaitu bahaya lingkungan
yang sudah diketahui seperti banjir dan erosi, serta bahaya lingkungan yang belum
diketahui seperti timbulnya penyakit baru bagi manusia, serangan hama penyakit
serta bahaya lingkungan lain yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Untuk mencegah bahaya lingkungan, baik yang telah diketahui maupun
belum diketahui di Desa Salua, diperlukan program-program perbaikan
lingkungan, yang mengikutsertakan seluruh stakeholders yang terkait. Biaya
untuk mendanai program perbaikan lingkungan tersebut bisa berasal dari
pemerintah, swasta, bantuan asing, swadaya masyarakat, maupun gabungan dari
beberapa pihak.
65
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap
kondisi lingkungan di Desa Salua dan mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan
untuk pencegahan bahaya lingkungan dengan cara mengukur kemauan membayar
masyarakat Desa Salua terhadap perbaikan lingkungan beserta peubah-peubah
yang mempengaruhinya, serta merumuskan strategi pengelolaan wilayah di
sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua.
Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan dalam hal pencegahan banjir dan erosi serta
bahaya lingkungan yang belum diketahui dengan menggunakan valuasi non-
market dengan pengukuran secara langsung atau melalui survei (expressed
willingness to pay). Metode valuasi non-market melalui survei yang akan dipakai
adalah Contingent Valuation Method (CVM).
Dalam praktiknya, pengukuran manfaat ekonomi jasa lingkungan dianggap
masih memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya adalah :
Kemungkinan timbulnya bias (understate dan overstate) yang disebabkan oleh
strategi yang keliru atau rancangan penelitian yang kurang tepat (Fauzi 2001),
kemungkinan timbulnya warm glow (menyenangkan pewawancara) dan catering
bias (menyetujui apa yang disetujui oleh pewawancara) (Carson 2001), serta
kemungkinan bias akibat faktor ekonomi, psikologi ekonomi dan politik serta
tidak konsistennya jawaban responden akibat keterbatasan pengetahuan responden
terhadap materi yang ditanyakan (Schläpfer, 2007).
Meskipun demikian, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk
mengurangi kemungkinan bias yang terjadi. Solusi yang bisa dilakukan
diantaranya adalah : Membuat desain dan implementasi studi secara hati-hati
(Richard 2001), harga yang ditawarkan dalam CVM sebaiknya, dekat dengan
harga aktual yang berlaku bagi mayoritas responden, jika harga berupa kenaikan
pajak, sebaiknya disampaikan dalam bentuk persentase serta responden harus
diberikan pilihan jawaban berdasarkan informasi yang diketahui atau dimengerti
secara umum oleh sebagian besar responden.
Penelitian ini akan mencoba untuk membuat desain penelitian dan
implementasi CVM yang dapat mengurangi hasil perhitungan yang bias,
berdasarkan solusi yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian
66
diharapkan penelitian ini diharapkan dapat menghitung nilai ekonomi bahaya
lingkungan di Desa Salua, secara akurat.
Setelah nilai ekonomi jasa lingkungan dari TNLL diketahui, diharapkan
apresiasi masyarakat Desa Salua terhadap kelestarian lingkungan bisa meningkat
dan bisa dijadikan rekomendasi bagi pemerintah atau pemegang kebijakan dalam
pengelolaan hutan atau lingkungan di Desa Salua. Rekomendasi tersebut akan
dilengkapi dengan strategi pengelolaan lingkungan dengan menggunakan analisis
SWOT.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis memandang perlu untuk
melakukan penelitian yang berjudul “Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan
Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (Studi Kasus di
Desa Salua Kecamatan Kulawi, Kabupaten Dongggala, Provinsi Sulawesi
Tengah)”.
Perumusan Masalah
Secara administratif, Desa Salua berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten
Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Desa Salua merupakan salah satu desa yang
berada di Lembah Kulawi dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore
Lindu. Secara langsung maupun tidak langsung masyarakat Desa Salua sangat
bergantung dengan TNLL, dan sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan
yang erat dengan hutan di TNLL. Hal ini terlihat dengan banyaknya aktivitas
masyarakat yang dilakukan dalam hutan, baik untuk memperoleh pendapatan
seperti merotan dan mengolah kayu maupun untuk keperluan mencari makanan
tambahan seperti sayuran dan daging, memperoleh obat-obatan, serta
perlengkapan ritual.
Meskipun masyarakat Desa Salua telah memiliki aturan adat yang mengatur
tata cara pengelolaan hutan yang lestari yang tertuang dalam hukum adat Taolo
dan hukum adat Ombo serta peraturan desa yang merupakan hasil kesepakatan
antara lembaga adat dengan aparat desa, di dalam survey pendahuluan ditemukan
kecenderungan perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola hutan, akibat
berbagai faktor, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya serta penegakan hukum.
67
Faktor sosial pertama yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam
pengelolaan hutan adalah adanya interaksi masyarakat Salua dengan pendatang,
interaksi yang paling intensif terjadi dengan Suku Bugis. Interaksi tersebut
menempatkan penduduk asli Salua sebagai pihak yang kalah dalam persaingan,
terutama dalam hal persaingan ekonomi. Berdasarkan wawancara dengan tokoh
masyarakat dan pengamatan di lapangan, penyebab utama kekalahan tersebut
adalah faktor internal masyarakat Salua sendiri yang cenderung kurang ulet dan
kurang rajin bekerja. Salah satu contoh adalah kebun coklat masyarakat pendatang
dikelola dengan baik, sehingga hasil produksinya lebih besar dibandingkan
dengan kebun coklat masyarakat lokal yang dibiarkan tidak terawat. Demikian
juga dalam hal perdagangan, masyarakat pendatang cenderung lebih maju
sehingga dapat menguasai perekonomian di Desa Salua dan sekitarnya.
Kondisi tersebut, menyebabkan banyak aset penduduk asli yang berpindah
tangan kepada masyarakat pendatang. Contoh aset yang paling banyak berpindah
tangan adalah tanah/lahan. Lahan-lahan milik penduduk lokal, banyak yang dijual
kepada pendatang, uang hasil penjualan tersebut biasanya digunakan untuk
keperluan yang bersifat konsumtif, sehingga cepat habis. Setelah uang habis dan
tidak mempunyai lahan lagi, penduduk asli merambah lahan-lahan yang berada di
kawasan TNLL untuk dibuka menjadi ladang atau kebun. Perambahan tersebut
telah menyebabkan konversi lahan hutan menjadi perkebunan.
Faktor sosial lain yang berpengaruh adalah faktor pendidikan, tingkat
pendidikan yang rendah terutama pendidikan yang berkaitan dengan lingkungan
hidup menyebabkan kesadaran masyarakat untuk melestarikan hutan rendah.
Masyarakat cenderung berorientasi jangka pendek dalam mengelola hutan,
sehingga tidak memperhatikan akibat yang akan terjadi di masa yang akan
datang.
Selain itu, dengan adanya interaksi sosial antara masyarakat lokal dengan
pendatang, menyebabkan masyarakat lokal meniru perilaku dari masyarakat
pendatang, hal tersebut terjadi pada kasus penebangan liar. Ketika banyak
masyarakat pendatang yang melakukan penebangan liar atau menjadi penadah
kayu curian, masyarakat lokal terpengaruh untuk melakukan hal serupa karena
tahu ada permintaan terhadap kayu. Oleh karena itu, masyarakat tidak lagi
68
menebang kayu untuk keperluan pribadi saja, tetapi juga untuk dijual. Dengan
demikian, jumlah kayu yang ditebang oleh masyarakat lokal jauh lebih banyak
dari sebelumnya dan mengakibatkan terjadinya penebangan liar. Hal tersebut
diperparah lagi dengan lemahnya penegakan hukum dari aparat, sehingga
penebangan liar tetap terjadi meskipun intensitasnya tidak terlalu besar.
Selain itu, dengan adanya interaksi dengan pendatang telah menyebabkan
perubahan gaya hidup masyarakat lokal menjadi lebih konsumtif. Barang-barang
yang semula tidak diperlukan, dipandang menjadi kebutuhan. Perubahan pola
konsumsi tersebut dengan sendirinya menuntut masyarakat untuk memperoleh
uang lebih banyak. Ketika hasil dari perkebunan tidak bisa memenuhi kebutuhan
tersebut, yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah menjual lahannya
kemudian membuka lahan lain di kawasan TNLL atau mencari pendapatan
tambahan dengan menebang kayu maupun mengambil rotan di kawasan yang
dilarang, atau menjual binatang yang dilindungi.
Perubahan perilaku tersebut telah mengakibatkan hal-hal yang negatif
terhadap kelestarian lingkungan, seperti penyerobotan kawasan TNLL, konversi
lahan hutan, penebangan liar dan pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif.
Hal tersebut dengan sendirinya menyebabkan penurunan fungsi hutan, seperti
fungsi hutan dalam mengatur tata air dan mencegah erosi. Adanya penurunan
fungsi tersebut menyebabkan bahaya lingkungan bagi Desa Salua, baik bahaya
lingkungan yang diketahui, maupun bahaya lingkungan yang belum diketahui.
Bahaya lingkungan yang belum diketahui adalah bahaya lingkungan yang
belum pernah terjadi sebelumnya, seperti wabah penyakit baru serta hama dan
penyakit tumbuhan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Agar bahaya
lingkungan baru tersebut tidak terjadi, maka diperlukan program untuk menjaga
kesehatan lingkungan (tanah, hutan dan lahan) di Desa Salua. Sedangkan bahaya
lingkungan yang diketahui adalah bahaya lingkungan yang telah terjadi di Desa
Salua seperti banjir dan erosi.
Salah satu bahaya lingkungan yang telah terjadi di Desa Salua adalah banjir
besar yang melanda Desa Salua pada tahun 2002. Banjir tersebut menghancurkan
sebagian besar lahan dan rumah milik masyarakat. Ketika penelitian ini
dilaksanakan, masih terlihat sisa-sisa bencana banjir tersebut berupa kayu
69
gelondongan yang berserakan di sekitar sungai. Contoh sisa-sisa bencana banjir
besar pada tahun 2002 bisa dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Sisa-sisa Banjir di Desa Salua pada Tahun 2002
Salah satu cara untuk menumbuhkan kesadaran untuk mengelola lingkungan
secara lestari kepada masyarakat atau pengambil kebijakan adalah dengan cara
memberikan informasi tentang manfaat ekonomi yang terkandung dalam
lingkungan itu sendiri. Jika nilai ekonomi lingkungan hidup belum diketahui,
dengan sendirinya apresiasi masyarakat dan pengambil kebijakan tidak akan
begitu besar.
Dengan demikian, penelitian ini akan difokuskan untuk mengetahui persepsi
masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua, menghitung nilai ekonomi
jasa lingkungan dari TNLL dalam mencegah bahaya lingkungan baik bahaya
lingkungan yang telah diketahui maupun bahaya lingkungan yang tidak diketahui,
dengan menggunakan pendekatan willingness to pay (WTP), serta bentuk
kontribusi dari masyarakat yang paling efektif. Selain itu, di dalam penelitian ini
juga akan dirumuskan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua.
Berdasarkan penuturan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua?
2. Seberapa besar nilai ekonomi bahaya lingkungan yang diakibatkan oleh
penurunan fungsi hutan di Desa Salua ?
3. Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi besarnya kemauan
membayar (willingness to pay) masyarakat Desa Salua untuk melakukan
perbaikan lingkungan ?
70
4. Apa kontribusi masyarakat yang paling efektif dalam program perbaikan
lingkungan ?
5. Bagaimana strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua ?
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua
2. Melakukan penilaian besarnya nilai ekonomi bahaya lingkungan di Desa
Salua
3. Mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi besarnya kemauan
membayar (willingness to pay) masyarakat Desa Salua untuk melakukan
perbaikan lingkungan
4. Mengetahui bentuk kontribusi masyarakat dalam program perbaikan
lingkungan yang paling efektif
5. Merumuskan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua
Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat-manfaat sebagai berikut :
1. Dapat diperoleh informasi tentang nilai ekonomi lingkungan di sekitar
kawasan TNLL berdasarkan perhitungan willingness to pay
2. Pengetahuan yang diperoleh mengenai faktor-faktor dominan yang
mempengaruhi kemauan membayar masyarakat Desa Salua dalam melakukan
pelestarian lingkungan dan perumusan strategi pengelolaan lingkungan di
Desa Salua diharapkan dapat menjadi masukan bagi semua pihak yang terkait
dengan pengelolaan lingkungan di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa
Salua.
71
Alur Pikir Penelitian
Alur pikir penelitian, yang secara diagramatis menggambarkan hubungan
antara masalah penelitian, tujuan penelitian, serta metode analisis disajikan pada
Gambar 2 berikut ini :
Perubahan perilaku dalam pengelolaan hutan
Pengelolaan Hutan Desa Salua
Penurunan fungsi hutan
Faktor-faktor Sosial: • Ada interaksi
dengan pendatang • Pendidikan yang
rendah
Faktor-faktor Ekonomi: • Permintaan kayu dan
non kayu • Konsumerisme • Orientasi ekonomi
jangka pendek
Faktor-faktor Budaya: • Budaya masyarakat
memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu
• Hukum adat Ombo dan Taulo
Lemahnya penegakan hukum
Konversi hutan Penyerobotan Kawasan Taman Nasional Lore
Lindu (TNLL)
Pemanfaatan hasil hutan non kayu yang
intensif
Ilegal Logging
Penilaian ekonomi jasa lingkungan pencegahan bahaya lingkungan
Strategi pengelolaan wilayah (lingkungan hidup)
Bahaya lingkungan
Gambar 2. Alur Pikir Penelitian
SWOT
WTP
72
TINJAUAN PUSTAKA
Valuasi Ekonomi Penggunaan Sumberdaya Alam Terpulihkan
Salah satu tema sentral dalam ekonomi lingkungan adalah valuasi
sumberdaya hutan. Sumberdaya tersebut diantaranya adalah udara, air permukaan
dan air tanah, lahan, pemandangan yang alami dan lain sebagainya. Sumberdaya
tersebut menghasilkan tiga fungsi : 1) menghasilkan pendukung sistem ekologi
(ecological system support), 2) menghasilkan input negatif dalam proses produksi
(misalnya air tanah terkontaminasi oleh limbah industi), 3) kenyamanan yang di
konsumsi secara langsung dalam bentuk udara bersih, air untuk keperluan rumah
tangga serta jasa rekreasi pada kawasan alamiah (Folmer & Gabel 2001).
Menurut Vercueil (2000) beberapa alasan mengapa valuasi nilai ekonomi
penting bagi pemegang kebijakan adalah : 1) Untuk menjastifikasi dan
memutuskan bagaimana mengalokasikan belanja publik dalam kaitannya dengan
pembangunan infrastruktur dan pelayanan sosial, konservasi serta restorasi yang
berkaitan dengan kenyamanan publik 2) Mempertimbangkan nilai lingkungan
milik publik dan mendorong partisipasi dan dukungan publik terhadap inisiatif
perbaikan lingkungan 3) Untuk membandingkan manfaat dari beberapa proyek
atau program yang berbeda 4) Untuk memprioritaskan program restorasi dan
konservasi dan 5) Untuk memaksimalkan maanfaat ekonomi dari per unit uang
yang dibayarkan.
Dalam membuat keputusan, pemegang kebijakan akan mempertimbangkan
banyak hal, termasuk kualitas lingkungan dan pengaruhnya terhadap kualitas
hidup manusia. Untuk membandingkan biaya dan manfaat ekonomi dari
keputusan tersebut mereka akan membutuhkan perhitungan manfaat ekonomi dari
investasi yang telah dilakukan dalam bentuk terminologi moneter. Untuk beberapa
keputusan seperti untuk menjaga kenyamanan alam pedesaan atau kesehatan dan
keamanan publik, pertimbangan ekonomi tidak akan diutamakan. Oleh karena itu,
dalam situasi tersebut, pemegang kebijakan akan membutuhkan analisis ekonomi
sebagai landasan untuk membuat kebijakan tersebut.
Menurut Laarman dan Sedjo (1992), jasa yang dapat dihasilkan oleh
sumberdaya hutan diantaranya adalah :
73
Jasa Perlindungan
1. Pengaturan Iklim
2. Pengaturan komposisi atmosfir
3. Stabilisasi lereng, streambanks, tangkapan air, dan sebagainya
4. Shelterbelts, penahan kelembaban tanah
5. Pengaturan aliran air, dan reduksi banjir
6. Reklamasi lahan
7. Penyangga terhadap penyebaran hama dan penyakit
8. Simpanan, distribusi, dan siklus hara
9. Habitat hidupan liar
10. Konservasi keanekaragaman hayati
Jasa Pendidikan dan Kegiatan Ilmiah
1. Penelitian ekosistem dan organisme
2. Zona untuk memonitor perubahan ekologis
3. Spesimen untuk museum, kebun binatang, dan kebun raya
4. Stok untuk makanan, bahan kimia, dan agen pengendali biologis
5. Pendidikan Lingkungan
Pengaruh Psikofisiologis
1. Rekreasi, wisata, dan olahraga
2. Menumbuhkan perasaaan kedamaian, harmonis dengan alam
3. Inspirasi untuk seni, sastra, musik, myth, agama, dan filsafat
4. Situs dan nilai sejarah
Konsumsi Tumbuhan, Hewan, dan Turunannya
1. Kayu : kayu log, bahan pulp dan tiang
2. Kayu bakar
3. Makanan : ikan, buah, jamur, madu, sayuran, dan sebagainya
4. Herba, bunga, tumbuhan obat dan bahan farmasi
5. Getah, resin, laks, minyak, tannin dan waxes
6. Pakan ternak (rumput, daun)
7. Ulat sutera
8. Bahan stuktural non-kayu : bambu, rotan
74
9. Kulit, bulu, gigi, dan bagian fauna lainnya
10. Habitat flora dan fauna berpotensi ekonomi
Sumber lahan dan ruang kehidupan
1. Cadangan lahan untuk kegiatan pertanian dan pembangunan lainnya
2. Tempat hidup bagi indegenous people
Menurut Hufschmidt et al (1992) diacu dalam Djijono (2002), secara garis
besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya
alam dan lingkungan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar,
yaitu berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang
berorientasi survei atau penilaian hipotesis yang disajikan berikut ini :
1. Pendekatan Orientasi Pasar
a. Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa
(actual based market methods) :
i. Perubahan dalam nilai hasil produksi (change in productivity)
ii. Metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods)
b. Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap
masukan berupa perlindungan lingkungan :
i. Pengeluaran pencegahan (averted defensif expenditure methods)
ii. Biaya penggantian (replacement cost methods)
iii. Proyek bayangan (shadow project methods)
iv. Analisis keefektifan biaya
c. Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market based methods)
i. Barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan
ii. Pendekatan nilai kepemilikan
iii. Pendekatan lain terhadap nilai tanah
iv. Biaya perjalanan (travel cost)
v. Pendekatan perbedaan upah (wage differential methods)
vi. Penerimaan kompensasi/pampasan
2. Pendekatan Orientasi Survei
a. Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (willingness to pay)
b. Pertanyaan langsung terhadap kemauan dibayar (willingness to accept)
75
Willingness To Pay
Untuk menilai manfaat intangible secara kuantitatif, para ahli ekonomi telah
berusaha mengembangkan suatu pendekatan yakni pendekatan kemauan
membayar (willingness to pay) dari para konsumen yang bersangkutan. Menurut
Hutchinson dan Chilton (1999) diacu dalam Syakya (2005), willingness to pay
(WTP) adalah keinginan individu membayar sejumlah uang untuk peningkatan
kualitas lingkungan atau terhindar dari penurunan kualitas lingkungan. Pada
prinsipnya WTP sama dengan pendugaan kurva permintaan yang merupakan
tempat kedudukan besarnya kemauan membayar dari sekelompok konsumen pada
berbagai tingkat konsumsinya (Darusman 2002).
Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kemauan konsumen membayar
perbaikan atau kemauan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran
kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar
(Hufschmidt et al 1987 diacu dalam Fauzi 2004). Kemauan membayar atau
kemauan menerima merefleksikan preferensi individu, yang merupakan ‘bahan
mentah’ dalam penilaian ekonomi. Pearce dan Moran (1994) diacu dalam Djiono
(2002) menyatakan kemauan membayar dari rumah tangga ke - i untuk perubahan
dari kondisi lingkungan awal (Q0) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik
(Q1) dapat disajikan dalam bentuk fungsi, yaitu :
Keterangan :
WTPi : Kesediaan membayar dari rumah tangga ke i
Powni : Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan
Psubi : Harga subtitusi untuk penggunan sumberdaya lingkungan.
Si : Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke i
Kemauan membayar berada di area di bawah kurva permintaan. Kurva
permintaan mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit
yang dikonsumsi. Kurva permintaan merupakan jadwal kemauan konsumen untuk
membayar jumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Untuk lebih jelasnya, akan
disajikan pada Gambar 3 di bawah ini.
WTPi = f(Q1 – Qo, Powni, Psubi, Si
76
Total bidang di bawah kurva permintaan (OREM) menunjukan total utilitas
yang diperoleh atas konsumsi suatu barang atau merupakan ukuran kemauan
membayar total, karena jumlah tersebut adalah hasil penjumlahan nilai-nilai
marginal Q dari O sampai M. Dengan mengurangkan biaya suatu barang bagi
konsumen (ONEM), nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga
NRE dan merupakan ukuran kemauan membayar di atas pengeluaran kas untuk
konsumsi.
Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan
oleh pembeli untuk suatu produk dan kemauan untuk membayar. Surplus
konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan
bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab
timbulnya surplus konsumen adalah karena konsumen membayar untuk tiap unit
berdasarkan nilai unit terakhir (Sukirno 2002).
Teknik Penilaian Non-Pasar Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menurut Fauzi (2004), secara umum teknik valuasi ekonomi sumberdaya
yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam
dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan
harga implisit dimana willingness to pay (WTP) terungkap melalui model yang
dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang mengandalkan revealed
WTP (kemauan membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk ke
O M Q
R
N
Gambar 3. Surplus Konsumen
P = Price Q = Quantity
E
77
dalam kelompok pertama ini diantaranya adalah : travel cost, hedonic pricing,
dan teknik baru yang disebut random utility model.
Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana
kemauan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung
diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang popular dalam
kelompok ini adalah yang disebut Contingent Valuation Method (CVM), dan
Discrete Choice Method. Secara skematis, teknik valuasi non-market tersebut
dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. Klasifikasi Valuasi Non-market
Teknik Pengukuran Tidak Langsung
Travel Cost Method
Menurut Fauzi (2004), Travel Cost Method (TCM) dapat dikatakan sebagai
metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung. Metode ini
diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling pada tahun 1931,
yang kemudian secara formal diperkenalkan oleh Wood dan Trice (1985) serta
Clawson dan Knetsch (1966). Metode ini kebanyakan digunakan untuk
menganalisa permintaan terhadap rekreasi alam terbuka (outdoor recreation),
seperti memancing, berburu, hiking, dan sebagainya.
Metode travel cost ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya
akibat:
1. Perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi
2. Penambahan tempat rekreasi baru
3. Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi
Valuasi Non Market
Langsung (Survei) (Expressed WTP)
Tidak Langsung (Revealed WTP)
• Hedonic Pricing • Travel Cost • Random Utility Model
• Contingent Valuation • Discrete Choice
78
4. Penutupan tempat rekreasi yang ada
Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan
nilai ekonomi berdasarkan TCM ini. Teknik tersebut adalah :
1. Pendekatan sederhana menurut zonasi
2. Pendekatan individual TCM dengan menggunakan data sebagian besar dari
survei
Pendekatan TCM melalui zonasi adalah pendekatan yang relatif sederhana
dan murah karena data yang diperlukan relatif banyak mengandalkan data
sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Dalam
teknik ini, tempat rekreasi dibagi ke dalam beberapa zona kunjungan dan
diperlukan data jumlah pengunjung per tahun. Dari sini kemudian diperoleh data
jumlah kunjungan per 1.000 penduduk. Dengan memperoleh data ini dan data
jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap perjalanan per satuan jarak (per km),
akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan (travel cost) dan kurva
permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata.
Metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan sistem
zonasi, namun pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data primer
yang diperoleh melalui survei dan teknik statistika yang relatif lebih kompleks.
Kelebihan dari metode kedua ini adalah hasil yang relatif akurat daripada metode
zonasi. Karena metode TCM tidak digunakan dalam penelitian ini, karena lokasi
yang akan diukur nilai ekonominya bukan merupakan tempat wisata
Hedonic Pricing (HP)
Menurut Fauzi (2004), teknik Hedonic Pricing dikembangkan dari teori
atribut (atau karakteristrik) yang dikemukakan oleh Lancaster (1966). Teknik ini
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Griliches (1971) dan Rosen (1974).
Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit karakteristik atau
atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara
karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa.
Misalnya, permintaan rumah yang dibangun di tepi danau akan banyak ditentukan
oleh karakteristik yang dihasilkan dari danau itu (keindahan, kebersihan dan
sebagainya). Di sisi lain, nilai properti (perumahan) juga banyak ditentukan oleh
79
kualitas lingkungan dan diasumsikan bahwa semakin buruk kualitas lingkungan,
semakin menurun nilai properti tersebut (Gambar 5).
Gambar 5. Hubungan antara nilai properti dan kualitas lingkungan
Analisa HP terdiri dari dua tahap. Pertama adalah penentuan variabel
kualitas lingkungan yang akan dijadikan studi (fungsi HP) dan pengkajiannya
memerlukan ketersediaan data spasial dan data harga suatu objek yang akan
dinilai. Metode HP kurang relevan digunakan dalam penelitian ini, karena jasa
lingkungan yang akan diukur tidak berhubungan secara langsung dengan harga
suatu objek, misalnya harga rumah, harga tiket masuk, atau harga sewa hotel.
Teknik Pengukuran Langsung
Berbeda dengan pendekatan tidak langsung, pada pendekatan pengukuran
secara langsung, nilai ekonomi sumberdaya dan lingkungan dapat diperoleh
langsung dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai
kesediaan mereka membayar (willingness to pay) barang dan jasa yang dihasilkan
oleh sumberdaya alam.
Contingent Valuation Method (CVM)
Kualitas lingkungan
Kualitas lingkungan membaik Pencemaran
Nila
i Pr
oper
ti
80
Menurut Fauzi (2004), pendekatan CVM pertama kali diperkenalkan oleh
Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami.
Pendekatan ini baru populer sekitar pertengahan 1970-an ketika pemerintah
Amerika Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumberdaya alam.
Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi
yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Misalnya berapa
biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebagainya.
Metode ini digunakan dalam penelitian ini, karena dalam prakteknya, penelitian
ini akan mengukur nilai ekonomi jasa lingkungan dengan cara mengukur
kesediaan membayar masyarakat terhadap perbaikan lingkungan yang akan
dilaksanakan.
Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua,
dengan teknik survei. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan melalui
simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit.
Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non-
manfaat) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan.
CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui : pertama, kemauan
membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat, misalnya terhadap
perbaikan kualitas lingkungan (air dan udara) dan kedua, kemauan menerima
(willingness to accept atau WTA) dari masyarakat atas kerusakan suatu
lingkungan.
Karena teknik CVM didasarkan pada asumsi berdasarkan kepemilikan
(Garrod & Willis 1999, diacu dalam Fauzi 2004), jika individu yang ditanya tidak
81
memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam,
pengukuran yang relevan adalah kemauan membayar yang maksimum (maximum
willingness to pay) untuk memperoleh barang dan jasa tersebut. Sebaliknya, jika
individu yang ditanya memiliki hak atas sumberdaya, pengukuran yang relevan
adalah kemauan untuk menerima (willingness to accept) kompensasi yang paling
minimum atas hilangnya atau rusaknya sumberdaya alam yang dimilikinya.
Dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima tahap
kegiatan atau proses. Tahapan tersebut dapat dikatagorikan sebagai berikut :
Tahap Satu : Membuat Hipotesis Pasar
Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti harus terlebih dahulu
membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. Misalnya,
pemerintah ingin memperbaiki lingkungan pantai yang sudah tercemar. Dalam
hal ini kita dapat membuat kuisoner yang berisi informasi lengkap mengenai
bagaimana kondisi lingkungan pantai yang bagus (misalnya dengan menunjukkan
gambar pantai yang tercemar dan tidak tercemar), bagaimana pemerintah akan
memperoleh dana (apakah dengan pajak, pembayaran langsung, dan sebagainya).
Kuisioner ini bisa terlebih dahulu diuji pada kelompok kecil untuk mengetahui
reaksi atas proyek yang akan dilakukan sebelum proyek tersebut betul-betul
dilaksanakan.
Tahap Kedua : Mendapatkan Nilai Lelang (Bids)
Tahap berikutnya dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang.
Hal ini dilakukan dengan melakukan survei, baik melalui survei langsung dengan
kuisioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Dari ketiga cara
82
tersebut survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari
survei ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum kemauan membayar (WTP)
dari responden terhadap suatu proyek, misalnya perbaikan lingkungan. Nilai
lelang ini bisa dilakukan dengan teknik :
1. Permainan lelang (bidding game). Responden diberi pertanyaan secara
berulang-ulang tentang apakah mereka bersedia membayar sejumlah tertentu.
Nilai ini kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respon atas
pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan dihentikan sampai nilai yang tetap
diperoleh
2. Pertanyaan terbuka. Responden diberikan kebebasan untuk menyatakan
nilai moneter (rupiah yang bersedia dibayarkan) untuk suatu proyek
perbaikan lingkungan
3. Payment Card. Nilai lelang dengan teknik ini diperoleh dengan cara
menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran nilai tertentu
dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Nilai ini ditunjukan kepada
responden melalui kartu
4. Model referendum atau discrete choice (dichotomous choice). Responden
diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak
Tahap Ketiga : Menghitung Rataan WTP dan WTA
Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai
rataan WTP setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang (bid) yang
diperoleh pada tahap kedua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai mean
(rataan) dan nilai median (tengah). Pada tahap ini harus diperhatikan
kemungkinan timbulnya outliner (nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-
rata).
Tahap Keempat : Memperkirakan Kurva Lelang (Bid Kurve)
83
Kurva lelang atau bid curve diperoleh misalnya dengan cara meregresikan
WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel) dengan beberapa
variabel bebas.
Tahap Kelima : Mengagregatkan Data
Tahap terakhir dari CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang
diperoleh pada tahap ketiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke
rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah
mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N).
Model Parametrik CVM
Salah satu model CVM yang paling umum digunakan adalah model
Dikotomous. Garod dan Willis (1999) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan
bahwa pendekatan ini merupakan alternatif terbaik untuk menjawab defisiensi
pendekatan Contingent Valuation yang didasarkan pada pertanyaan terbuka
maupun bidding games. Pendekatan ini dianggap lebih mendekati teori
dibandingkan model-model lain seperti open ended CVM atau bidding game
CVM. Pada tahun 1980-an mulai disadari adanya kelemahan pada model open
ended CVM atau bidding game CVM ini dalam hal memperkirakan nilai WTP
yang tepat karena metode tersebut mengharuskan responden untuk mengkontruksi
nilai maksimum WTP mereka yang sering pada akhirnya menimbulkan bias.
Untuk mengembangkan model parametrik dikotomus CVM, digunakan model
dasar yang disebut Random Utility Model (RUM) yang telah dikembangkan oleh
McFadden (1974).
84
Model RUM dimulai dengan membangun hipotesis bahwa ada dua kondisi
alternatif sumberdaya alam, yaitu kondisi i=0 yang menggambarkan kondisi
status quo dan i=1, yang menggambarkan kondisi perubahan sumberdaya seperti
yang ditawarkan dalam survei CVM. Misalnya Mj menggambarkan pendapatan
responden j pada kondisi i, kemudian zj menggambarkan karakteristik sosial
responden ke j, termasuk variasi yang terjadi pada kuisioner, dan menggambarkan
preferensi yang bersifat random yang hanya diketahui oleh responden, tetapi tidak
oleh peneliti. Dengan demikian fungsi-fungsi utilitas responden terhadap kondisi
sumberdaya alam ditulis sebagai berikut :
Jika responden kemudian diminta untuk membayar sebesar p, utilitas yang
diperoleh pada kondisi lingkungan yang baik setelah adanya kemauan membayar
dari responden dibandingkan status quo dapat digambarkan pada persamaan
berikut :
Namun demikian, karena peneliti tidak mengetahui preferensi responden
yang bersifat acak, peneliti hanya mengetahui kemungkinan (probabilitas)
menjawab “ya” atau “tidak”. Jadi jika u1>u0, kemungkinan responden menjawab
adalah “ya” adalah :
uij = u (Mj,zj, εij)
u1(Mj-pj,zj, ε1j) > u0(Mj,zj, ε0j)
Pr (“ya”) = Pr {u1(Mj-pj,zj,ε1j)>u0(Mj,zj, ε0j)
85
Tahap berikutnya dalam pemodelan RUM ini adalah membuat spesifikasi fungsi
utilitas yang biasanya dibuat dalam bentuk linear dan aditif berikut ini :
dimana ui adalah fungsi utilitas yang tidak teramati (unobservable), sementara vi
adalah fungsi utilitas yang teramati, atau sering dikenal dengan inderect utility
function. Salah satu bentuk fungsi ini dapat ditulis dalam bentuk :
dimana Zi adalah variabel sosial ekonomi.
Penduga willingness to pay dalam persamaan di atas dapat ditulis dalam
persamaan berikut ini :
dimana α dan β adalah koefisien atau parameter yang diperoleh melalui
pendugaan dengan teknik regresi atau ekonometrik.
Untuk memperoleh nilai WTP yang diinginkan, persamaan di atas bisa
dipecahkan menjadi persamaan di bawah ini :
Model di atas dibangun dengan asumsi bahwa utilitas bersifat linear
terhadap pendapatan. Variasi lain dari model ini adalah dengan menggunakan
model ulititas yang bersifat logaritmik terhadap pendapatan. Asumsi logaritmik
ini lebih realistis karena adanya sifat diminishing return pendapatan. Fungsi
ui(Mj-pj,zj,εij) = vi (Mj,zj)+ εij
vi = α0 +α1Zi1+α2Zi2+αmZim
α1zj + β(Mj-WTPj)+ εij = α0zj+ βMj+ εoj
βα jj
j
zWTP
∈+=
86
utilitas yang menggambarkan fungsi non-linear tersebut dapat ditulis dengan
persamaan berikut :
Jadi apabila variabel acak (ε) diasumsikan terdistribusi secara logaritmik,
peluang bagi responden untuk menjawab “ya” dapat ditulis melalui persamaan
berikut :
Model di atas merupakan model logit dimana parameter β dapat diduga
melalui regresi model logit dengan Xj = sebagai variabel independen.
Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk
mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaannya. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias. Bias ini terjadi
jika timbul nilai yang overstate secara sistematis dari nilai sebenarnya. Sumber-
sumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal yang utama :
1. Bias yang ditimbulkan dari strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika
dalam melakukan wawancara atau kuisioner dinyatakan bahwa responden
akan dipungut fee untuk perbaikan lingkungan sehingga akan timbul
kecenderungan pada responden untuk memberi nilai understate dari nilai fee
tersebut. Sebaliknya, jika dalam wawancara semata-mata hanya dinyatakan
hipotesis saja, maka akan timbul kecenderungan responden untuk
memberikan nilai overstate dari nilai yang sebenarnya. Penjelasan untuk
perbedaan nilai antara WTP dan WTA pada suatu objek yang sama adalah :1)
sangat tergantung pada elastisitas objek yang ditawarkan untuk mengganti
komoditas/sumberdaya yang akan dinilai (barang pubik) dan (barang pribadi)
vi (Mj,zj)+ εij = β ln (Mj)+ αizj+ εij
βjxj eya −+
=1
1)"Pr("
87
(Hanemann, 1991). Penjelasan lain untuk hal di atas berdasarkan pada teori
prospek yang menyatakan bahwa nilai kehilangan individu lebih berat
dibandingkan dengan nilai mendapatkan. Hal tersebut juga dimungkinkan
individu akan terpengaruh oleh siapa yang memiliki objek yang ditanyakan
(Carson, 1991)
2. Bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian (design bias). Bias ini bisa
terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal
yang kontroversial. Misalnya, responden ditawari bahwa untuk melindungi
kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, tarif karcis
harus dinaikkan. Tentu saja responden akan memberikan nilai WTP yang
lebih rendah dari pada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain,
misalnya (melalui yayasan, trust fund, atau pemerintah)
Selain beberapa kelemahan di atas, Carson et al (2001) diacu dalam Fauzi
(2004) menyatakan bahwa realibilitas pengukuran CVM sampai saat ini masih
menjadi perdebatan, sehingga memerlukan desain yang sangat cermat. Salah satu
masalah yang timbul adalah terjadinya fenomena warm glow (Becker, 1974 diacu
dalam Fauzi 2004), yang sebetulnya terkait dengan altruisme. Dalam kontek
CVM, warm glow bisa terjadi karena responden berusaha menyenangkan
pewawancara dengan cara memberikan jawaban setuju untuk pembayaran sesuatu,
meskipun pada dasarnya dia tidak setuju. Meskipun dampak ini bisa dihindarkan
dengan menyediakan pewawancara yang terlatih, namun kecenderungan terjadi
warm glow untuk responden di daerah pedesaan sangat mungkin terjadi. Secara
sosiologis mereka ini sering menimbulkan centering bias untuk menyetujui apa
yang ditanyakan pewawancara.
Meskipun demikian, menurut Richard et al (2001), walaupun metode CVM
memiliki beberapa kelemahan, hal tersebut bisa diatasi dengan desain dan
implementasi studi yang hati-hati. Klaim bahwa CVM secara teori tidak konsisten
88
tidak sepenuhnya benar. Beberapa literatur menunjukan bahwa CVM bisa
dijadikan pedoman bagi praktisi yang menggunakan pengukuran dengan CVM
untuk mengukur nilai ekonomi non pasar serta user yang menggunakan hasil
pengukuran tersebut.
Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama
Sumberdaya alam milik bersama (common pools resources) sering
diartikan secara beragam. Arnold (1998) mendefinisikan common pools
resources (CPR) “...used to refer both to land or resources available to all and
consequently not owned or managed by anyone, and also to situations where
access is limited to a specific groups that holds rights in common”. Dalam
penerapannya, istilah CPR sering digunakan secara bergantian untuk menjelaskan
sifat sumberdaya alamnya, dan terkadang pula digunakan untuk menjelaskan
sistem kolektif terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. McKean et al (1995)
mendefinisikan common property resources lebih kepada situasi dimana
sumberdaya alam tersebut dikelola sebagai sumberdaya milik bersama.
Terdapat dua wacana penting yang saling bertentangan terkait pengelolaan
common property resources. Wacana pertama berpendapat bahwa pemanfaatan
sumberdaya alam secara kolektif tidak akan mampu memberikan insentif terhadap
pengelolaan sumberdaya yang lestari. Pandangan yang mendasari wacana tersebut
adalah munculnya anggapan bahwa peluang akses dan penguasaan sumberdaya
alam secara kolektif, dengan pola pengelolaan yang terbuka, menyebabkan
minimnya insentif masyarakat terhadap kelestarian lingkungan (Nemarundwe
2001). Pandangan ini mendukung teori Hardin (1968) tentang “Tragedy of the
Commons”. Teori ini menegaskan bahwa jika banyak individu memanfaatkan
sumberdaya terbatas secara bersama-sama, maka dapat dipastikan akan berakhir
dengan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi ini tidak ada satupun yang
bertanggungjawab atas pengelolaan sumberdaya alam, sehingga laju
kerusakannya berlangsung cepat (Rasmussen 1995).
Wacana kedua didasari oleh pandangan bahwa kegagalan untuk mencapai
pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan tidak disebabkan oleh sifat
sumberdaya alamnya, namun lebih pada fokus pengelolaan yang bersifat neglectif
89
terhadap kerangka kelembagaan di lokasi pengelolaan. Hal ini lebih disebabkan
oleh tidak jelasnya property right, sehingga penggunaan sumberdaya menjadi
bersifat open access (Bromley 1992, diacu dalam Golar 2007).
Sejalan dengan wacana pertama, kajian yang dilakukan Sitorus (2002)
memberikan gambaran tentang perubahan cepat yang mendasar pada ekologi
pedesaan. Hal ini mengindikasikan telah terjadi perubahan radikal bentukan
sosial setempat, yang telah memudahkan peralihan sistem kepemilikan tanah dari
jenis kolektif (common resources) menjadi jenis kepemilikan pribadi, dimana
distribusi lahan tunduk pada kekuatan pasar (pasaran tanah).
Situasi ini memungkinkan penduduk asli secara khusus memperoleh
sumberdaya tanah dan menjualnya pada pendatang, sehingga menyebabkan
perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, dimana penduduk asli telah
diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tak bertanah”, sementara
pendatang diangkat tingkatnya dari “tak bertanah” menjadi “bertanah”. Perubahan
dalam struktur agraria tersebut menandakan penurunan keterjaminan sosial
ekonomi penduduk asli dan sebaliknya peningkatan keterjaminan bagi pendatang.
Kondisi ini menyebabkan penduduk asli mencoba memecahkan masalah ketidak-
terjaminan sosial ekonomi dengan cara merambah kawasan hutan.
Sementara itu, pendapat lain yang mendukung wacana kedua dikemukakan
oleh Ostrom (1990); Parlee et al (2006); Murray et al (2006), menyatakan bahwa
keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam milik bersama sangat ditentukan oleh
keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya alamnya. Hal ini dapat
terwujud bilamana kelembagaan lokal berjalan dengan baik, sehingga mampu
membentuk perilaku arif manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
Aturan main dan peraturan yang digunakan oleh masyarakat dapat menentukan
siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersama, berapa ukuran penggunaan
yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan
memonitor dan menegakkan aturan ini. Dengan demikian, tindakan-tindakan
oportunistik dapat diredam melalui penataan kelembagaan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam.
Berfungsinya kelembagaan lokal diharapkan mampu meredam tekanan
faktor internal maupun eksternal seperti: pertambahan jumlah penduduk (Wade
90
1988), heterogenitas sosial dan ekonomi (Baland & Platteu 1996), struktur
penguasaan lahan (Hanna et al 1995; Ostrom 1999; Smith et al 2000), dan faktor
eksternal seperti: interpensi kebijakan nasional (Wade 1988; Ostrom 1999), dan
tekanan pasar dan teknologi (Wade 1988).
Teori Adaptasi
Bennett (1976) memandang adaptasi sebagai perilaku adaptif manusia
terhadap perubahan-perubahan lingkungannya, agar dapat menyesuaikan diri
dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku adaptif dapat dilihat sebagai
inovatif, mencari perubahan, atau sebaliknya konservatif. Secara operasional,
Turnbull (1992) menjelaskan bahwa faktor-faktor lingkungan yang dapat
menyebabkan terjadinya perubahan antara lain: intervensi ekonomi pasar, tekanan
penduduk, dan politik. Perubahan-perubahan tersebut direspon dalam bentuk yang
beragam.
Lebih jauh dijelaskan bahwa di dalam peradaban tradisional, pemenuhan
kebutuhan merupakan urusan unit-unit kekerabatan (production is located in
kindship units), dimana peradaban-peradaban tersebut pada umumnya tidak
memerlukan sistem pasar dan penggunaan uang dalam mendorong produksi
barang dan jasa. Menjaga suplai makanan, melestarikan keturunan, menyebarkan
ilmu, hiburan dan sebagainya, merupakan bagian kegiatan kekerabatan tradisional.
Namun demikian, pengaruh faktor eksternal seperti “intervensi pasar”,
menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Perubahan tersebut mendorong respon
masyarakat untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) terhadap pola-
pola interaksi dalam sistem sosial. Perilaku tersebut menurut Bennett terkait erat
dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melalui keadaan-keadaan tertentu,
dan kemudian membangun suatu strategi untuk menghadapi keadaan-keadaan
yang akan datang.
Konsep adaptasi Bennett memiliki tiga tataran: fisik/biologis; kultural; dan
pola hubungan/perilaku (behavior). Perilaku adaptif merupakan bentuk perilaku
yang menyesuaikan cara-cara pada tujuan, mencapai kepuasan, melakukan
pilihan-pilihan secara aktif maupun pasif. Tindakan strategis lebih khusus
menunjuk pada perilaku aktif tindakan-tindakan spesifik yang dirancang untuk
91
mencapai tujuan. Sedangkan strategi adaptif menunjuk pada tindakan spesifik
yang dipilih dalam proses pengambilan keputusan dengan suatu derajat
keberhasilan yang dapat diperkirakan (Bennett 1976: 271-272).
Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan salah satu alat formulasi strategi dengan cara
mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi
suatu tujuan. Hasil analisis SWOT biasanya digunakan dalam pengambilan
keputusan, dan selama ini banyak digunakan oleh perusahaan. SWOT adalah
singkatan dari Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang)
dan Threat (ancaman). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan dan peluang. Namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman.
Menurut Pearce II dan Robinson (1991) yang diacu dalam Wijayanto
(2001), kekuatan adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif
terhadap pesaing dan kebutuhan pasar suatu perusahaan. Kelemahan merupakan
keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius
menghalangi kinerja suatu perusahaan. Peluang merupakan situasi yang
menguntungkan, misalnya perubahan teknologi yang memberikan kemudahan.
Sedangkan ancaman adalah situasi yang tidak menguntungkan, rintangan
perusahaan seperti masuknya pesaing baru, perubahan teknologi dan peraturan
baru atau perubahan yang direvisi.
Analisis SWOT menurut Rangkuti (2005) adalah identifikasi berbagai
faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang
(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(Weakneses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis
selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan.
Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis
faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam
kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi dimana model
yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT. Proses
92
pengambilan keputusan strategis pada analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar
5.
(Sumber : Rangkuti 2005)
Gambar 6. Proses Pengambilan Keputusan Strategis
Selanjutnya dijelaskan bahwa kinerja suatu institusi dapat ditentukan oleh
kombinasi faktor internal dan eksternal. Untuk dapat membandingkan antara
perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan
perbandingan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram
tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan
EVALUASI : - MISI - TUJUAN - KEBIJAKAN
ANALISIS BUDAYA MANAJEMEN
- Pimpinan - Manajemen
ANALISIS FAKTOR STRATEGIS S.W.O.T.
EVALUASI DAN REVIEW - MISI - TUJUAN - STRATEGI
PILIH ALTERNATIF TERBAIK
EVALUASI KINERJA PERUBAHAN SAAT INI
IMPLEMENTASI STRATEGI
EVALUASI DAN PENGENDALIAN
ANALISIS LINGKUNGAN EKSTERNAL
PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS
- Peluang - Ancaman
PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS
- Kekuatan - Kelemahan
ANALISIS LINGKUNGAN
INTERNAL
1(b)
2
5(a)
5(b)
6
7
8
4 3
FORMULASI STRATEGI (TAHAP 1-6)
IMPLEMENTASI (TAHAP 7)
EVALUASI DAN PENGENDALIAN
(TAHAP 8)
1(a)
93
ancaman diberi tanda negatif. Dengan menempatkan selisih nilai S (kekuatan) –
W (kelemahan) pada sumbu (x), dan menempatkan selisih nilai antara O (peluang)
– T (ancaman) pada (y), maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel dari
diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam diagram SWOT akan
menemukan arah strategi yang akan ditempuh oleh suatu bentuk usaha seperti
hutan rakyat. Diagram tersebut disajikan pada Gambar 7.
(Sumber : Rangkuti 2005)
Gambar 7. Diagram SWOT
Posisi di kuadran 1 (support on agresive strategy) adalah situasi yang paling
menguntungkan, dimana sistem pengelolaan mempunyai peluang dan kekuatan.
Jika sistem berada pada kuadran 2 (support diversification strategy), berarti
sistem menghadapi ancaman akan tetapi masih memiliki kekuatan dari segi
internal, jika sistem berada pada kuadran 3 (support a turnarround oriented
strategy), berarti sistem tersebut mempunyai peluang yang besar tetapi di lain
pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan, dan apabila sistem berada pada
kuadran 4 berarti sistem menghadapi situasi yang paling tidak menguntungkan
karena mempunyai ancaman dan kelemahan internal. Setiap kuadran pada
diagram SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda dari suatu unit usaha, sehingga
diperlukan strategi yang berbeda pula dalam penanganannya.
BERBAGAI PELUANG
BERBAGAI ANCAMAN
KELEMAHAN INTERNAL
KEKUATAN INTERNAL
1. Mendukung strategi turnarround
2. Mendukung strategi defensif
3. Mendukung strategi agresif
4. Mendukung strategi diversifikasi
94
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian analisis-kuantitatif dan deskriptif-
kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Secara umum, studi
kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah
secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang
diteliti. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan
antar-variabel, serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman
yang lebih luas. Selain itu, studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-
temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan
bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam, dalam rangka
pengembangan ilmu (Yin 1997; Azis 2003).
Black dan Champion (1992) menyebutkan beberapa keunggulan spesifik
studi kasus, di antaranya: (1) bersifat luwes berkenaan dengan metode
pengumpulan data yang digunakan; (2) keluwesan studi kasus menjangkau
dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki; (3) dapat dilaksanakan
secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial; (4) studi kasus menawarkan
kesempatan menguji teori.
Disamping keunggulan, juga terdapat sejumlah kelemahan: pertama, studi
kasus kurang memberikan dasar yang kuat terhadap suatu generalisasi ilmiah;
Kedua, ada kecenderungan studi kasus kurang mampu mengendalikan bias
subyektivitas peneliti.
Untuk mengatasi hal tersebut, empat hal penting yang perlu diperhatikan
sebelum menetapkan penggunaan metode studi kasus: pertama, studi kasus harus
signifikan. Artinya, kasus yang diangkat mengisyaratkan sebuah keunikan dan
betul-betul khas, serta menyangkut kepentingan publik atau masyarakat umum;
kedua, studi kasus harus lengkap. Kelengkapan ini dicirikan oleh tiga hal: (1)
kasus yang diteliti memiliki batas-batas yang jelas (ada perbedaan yang tegas
antara fenomena dengan konteksnya); (2) tersedianya bukti-bukti relevan yang
meyakinkan; dan (3) mempermasalahkan ketiadaan kondisi buatan tertentu;
ketiga, studi kasus mempertimbangkan alternatif perspektif; keempat, studi kasus
95
harus menampilkan bukti yang memadai dan secara bijak mendukung atas kasus
yang diteliti (Yin 1997; Bungin 2003).
Pendekatan studi kasus yang digunakan tidaklah kaku sifatnya, dan
sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan perkembangan fakta empiris yang
tengah dicermati. Hal ini tidak berarti terjadinya inkonsistensi, melainkan
terhadap fenomena sosial yang menjadi unit analisis, lebih dikedepankan dan
diutamakan aspek emik daripada etik-nya. Hal ini menyangkut prinsip dalam
penelitian kualitatif. Sebab, fenomena dan praktik-praktik sosial, sebagai sasaran
”buruan” penelitian kualitatif tidak bersifat mekanistik, melainkan penuh
dinamika dan keunikan, dan karenanya tidak bisa diciptakan dalam otak dan
menurut kehendak peneliti semata (Bungin 2003; Vayda 1996 diacu dalam Golar
2007). Transisi-transisi antara fenomena dan pengamatan dapat dilihat pada
Gambar 8.
Metode Penelitian
Gambar 8. Transisi-transisi antara fenomena dan pengamatan yang berbeda. I: Informan, R: peneliti, P: fenomena, PI: fenomena yang diinterpretasikan oleh I, PR (I) : PI yang diinterpretasikan oleh R. (diadaptasi dari Gooner 2001 diacu dalam Golar 2007).
emik etik
96
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penetapan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan penelusuran hasil-hasil
penelitian terdahulu, baik yang dilakukan oleh tim STORMA, maupun peneliti-
peneliti perorangan, serta dosen pembimbing serta survey pendahuluan. Melalui
hasil penelusuran awal tersebut ditetapkan secara purposive Desa Salua sebagai
lokasi penelitian. Secara administratif Desa Salua, terletak di Kecamatan Kulawi,
Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah
Beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan Desa Salua sebagai
lokasi penelitian, di antaranya: (1) sebagian besar wilayah Desa Salua berbatasan
langsung dengan kawasan TNLL; (2) masyarakat Desa Salua sangat bergantung
kepada TNLL baik secara langsung maupun tidak langsung; (3) Desa Salua
memilik ancaman dari banjir dan erosi karena terletak di lembah Kulawi dan
dilewati oleh tiga sungai besar (sungai Miu, Salua dan Lariang).
Selain itu, beberapa pertimbangan penting lainnya adalah : pertama, desa
ini belum pernah menjadi site penelitian yang dilakukan oleh STORMA (Stability
of Rainforest Margins in Indonesia) yang merupakan mitra dalam penelitian ini.
Site utama penelitian STORMA di Kecamatan Kulawi adalah Desa Toro. Dengan
demikian, untuk memperluas wilayah penelitian STORMA dipilihlah Desa Salua
sebagai lokasi penelitian. Penelitian berlangsung selama dua bulan, yang dimulai
pada awal bulan Agustus 2005 dan diselesaikan pada bulan September 2005.
Metode Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan terdiri
atas: (a) wawancara individual dengan key person (key person interview); (b)
pengamatan terlibat (participant observation); dan (c) wawancara dengan rumah
tangga (household interview).
Wawancara Individual dengan Key Person
Metode ini dilakukan dengan wawancara indepth interview dan wawancara
bertipe open-ended, menggunakan kuisioner. Indepth interview digunakan untuk
mengumpulkan data-data menyangkut perubahan lingkungan yang terjadi dan
perumusan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua dengan menggunakan
97
analisis SWOT. Selain itu, ditanyakan pula sejarah pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan dalam rentang waktu tertentu.
Untuk mendapatkan sumber informasi atau informan kunci yang tepat
dilakukan tiga tahap, yakni: 1) pemilihan responden awal yang terkait dengan
fokus penelitian; 2) pemilihan responden lanjutan guna memperluas deskripsi
informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada; dan 3) menghentikan
pemilihan responden lanjutan bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi
variasi informasi. Dalam menempuh tiga tahapan tersebut digunakan metode
snowball sampling.
Dalam pemilihan informan kunci awal digunakan empat kriteria, sebagai
berikut:
1. Subjek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau
medan aktivitas pengelolaan lingkungan di Desa Salua, serta menghayati
secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari keterlibatannya yang cukup lama
dengan kegiatan yang bersangkutan. Hal ini ditandai oleh kemampuannya
dalam memberikan informasi (hafal “di luar kepala”) tentang sesuatu yang
ditanyakan
2. Subjek memiliki jabatan pada lembaga desa atau lembaga adat
3. Subjek yang mempunyai cukup banyak waktu atau kesempatan untuk
diwawancarai
4. Subjek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau
dipersiapkan terlebih dahulu. Mereka ini tergolong “lugu” (apa adanya)
dalam memberikan informasi, sehingga diharapkan dapat diperoleh informasi
yang lebih faktual
Untuk mendukung validitas data yang dikumpulkan, selain menggunakan
metode wawancara dilakukan pula studi pustaka, terutama terhadap hasil-hasil
penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya.
Pengamatan Terlibat (participant observation)
Metode ini digunakan terutama dalam mengamati secara langsung praktik
pengelolaan lingkungan/hutan di Desa Salua. Pengamatan difokuskan pada sejauh
mana masyarakat menerapkan prinsip-prinsip kelestarian, serta sejauh mana peran
lembaga adat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan lingkungan hidup,
98
aktivitas masyarakat dalam pengelolaan hutan, serta kondisi lingkungan aktual di
Desa Salua. Beberapa perilaku terselubung (covered behavior) lainnya dicatat dan
diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap penelitian yang
dilakukan.
Dalam metode ini ditetapkan dua orang responden kunci (key informan),
yang merupakan sumber informasi utama dan juga sebagai mitra yang membantu
peneliti berinteraksi dengan masyarakat Salua. Responden pertama adalah salah
seorang tokoh masyarakat adat Salua, dan responden kedua adalah tokoh pemuda
Salua, yang juga aktif dalam organisasi pemuda adat di Desa Salua. Melalui
reponden inti, peneliti ikut menjalani aktifitas sehari-hari masyarakat desa,
sehingga peneliti dapat diterima di komunitas tersebut. Salah satu pengamatan
terlibat (participatory observation) yang dilakukan adalah menelusuri sungai
Salua sampai ke hulu untuk mengetahui kondisi lingkungan di hulu sungai.
Wawancara dengan Rumah Tangga (household interview)
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam household interview
adalah Simple Random Sampling. Metode ini dipakai karena berdasarkan survei
pendahuluan, karakteristik populasi relatif homogen, diantaranya dari segi
pekerjaan, pendapatan dan pendidikan. Fokus dari wawancara individu ini adalah
kemauan membayar masyarakat untuk program perbaikan lingkungan. Tahapan
dalam pengambilan contoh adalah sebagai berikut :
1. Mencari daftar seluruh kepala keluarga yang ada di Desa Salua
2. Melakukan penomoran terhadap daftar kepala keluarga yang ada
3. Daftar kepala keluarga yang telah diberikan nomor dipilih secara acak,
dengan cara diundi
Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 204 rumah tangga atau ±
73% dari total rumah tangga yang ada di Desa Salua yang berjumlah 278.
Data dan Pengukurannya
99
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui (a) wawancara individual dengan person
kunci (key person interview); (b) pengamatan terlibat (participant observation);
dan (c) wawancara dengan rumah tangga (household interview) dengan
menggunakan kuisioner, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran
data yang berasal dari literatur, potensi desa, kecamatan dan kabupaten dalam
angka, serta sumber-sumber lain yang relevan.
Data Primer
Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :
1. Jumlah anggota keluarga
2. Dampak banjir, erosi, dan bahaya lingkungan yang tidak diketahui terhadap
kehidupan responden
3. Kemungkinan terjadinya bencana banjir, erosi, dan bahaya lingkungan yang
tidak diketahui di masa yang akan datang
4. Pihak yang bertanggungjawab terhadap pencegahan banjir, erosi, dan bahaya
lingkungan yang tidak diketahui
5. Data tentang kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat Desa
Salua terhadap perbaikan lingkungan dari ancaman banjir dan erosi serta
bahaya lingkungan yang tidak diketahui
6. Pendapatan rumah tangga rata-rata per bulan
7. Tingkat pendidikan responden
8. Pekerjaan responden
9. Pengetahuan responden terhadap “Katuwua” (suatu keyakinan akan
keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam)
10. Data tentang kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang yang dimiliki oleh
masyarakat Desa Salua dalam mengelola lingkungan secara lestari
Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :
1. Data sosial ekonomi
100
2. Letak dan keadaan geografis lokasi penelitian
3. Data tentang Taman Nasional Lore Lindu
Pengukuran data menggunakan skala interval dan rasio dengan tingkat
penjenjangan. Pengukuran variabel penelitian beserta indikator dan parameter dari
kemauan masyarakat membayar untuk perbaikan lingkungan akan disajikan pada
Lampiran 1.
101
Langkah Kerja
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan dalam hal pencegahan banjir dan erosi serta
bahaya lingkungan yang belum diketahui dengan menggunakan valuasi non-
market dengan pengukuran secara langsung atau melalui survei (expressed
willingness to pay). Metode valuasi non-market melalui survei yang akan dipakai
adalah Contingent Valuation Method (CVM). Analisis lain yang digunakan adalah
analisis SWOT untuk menentukan strategi pengelolaan hutan di Desa Salua
Bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah bahaya lingkungan yang
belum terjadi saat ini, akan tetapi diprediksi berpotensi dapat terjadi dimasa yang
akan datang berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang ada. Contoh dari bahaya
lingkungan yang tidak diketahui bisa berupa bencana alam seperti gempa bumi
atau kebakaran hutan, penyakit baru bagi manusia atau hama penyakit bagi
tumbuhan.
Contingent Valuation Method (CVM)
Metode CVM digunakan untuk mengetahui besarnya kemauan membayar
(willingness to pay) dan mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi
besarnya kemauan membayar willingness to pay masyarakat Desa Salua untuk
melakukan perbaikan lingkungan yang berhubungan dengan pencegahan banjir
dan erosi. Adapun tahapan dari metode CVM adalah sebagai berikut :
Tahap Satu Membuat Hipotesis Pasar
Hipotesis pasar dilakukan dalam pra survei atau pengumpulan data awal
dengan jumlah responden yang terbatas. Hal ini dilakukan untuk memberikan
penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan, serta
kisaran dan rata-rata kesediaan membayar responden, sehingga bisa dijadikan
acuan dalam membuat kisaran harga pada survei sesungguhnya. Langkah-
langkah yang dilaksanakan adalah :
102
1. Menjelaskan perbedaan antara resiko banjir dan resiko erosi. Hal tersebut
dijelaskan kepada responden melalui gambar. Gambar untuk menjelaskan
perbedaan antara resiko banjir dan erosi bisa dilihat pada Lampiran 2
2. Menunjukkan keadaan tanpa adanya pencegahan untuk banjir. Gambar
untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 3
3. Menunjukkan keadaan setelah adanya program pencegahan banjir. Gambar
untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 4
4. Menunjukkan keadaan tanpa adanya pencegahan untuk erosi tanah.
Gambar untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 5
5. Menunjukkan keadaan setelah ada program pencegahan terhadap erosi .
Gambar untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 6
6. Menunjukkan kondisi lingkungan yang sehat. Gambar untuk menjelaskan
hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 7
7. Menunjukkan kondisi lingkungan tanpa adanya program pencegahan
terhadap bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Gambar untuk
menjelaskan hal tersebut bisa dilihat pada Lampiran 8
8. Menunjukkan kondisi lingkungan setelah adanya program pencegahan
bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Gambar untuk menjelaskan hal
tersebut bisa dilihat pada Lampiran 9
9. Melakukan survei dalam skala kecil, dengan berbagai tingkat harga dan
bentuk perbaikan lingkungan, untuk menentukan harga pasar (skala harga
dalam kartu ditentukan berdasarkan kisaran jumlah pajak bumi dan
bangunan yang biasa dibayar responden per tahun). Survei juga dilakukan
untuk mengukur kontribusi responden terhadap program perbaikan
lingkungan dalam bentuk sumbangan tenaga. Gambar kartu yang
menunjukkan berbagai jenis perbaikan lingkungan dan tingkat harga yang
berbeda akan disajikan pada Lampiran 10
10. Menghitung rata-rata dan kisaran biaya yang dipilih oleh responden pada
survei skala kecil (survei pendahuluan), kemudian menentukan kisaran
harga lelang yang akan dipergunakan dalam penelitian.
103
11. Menghitung rata-rata dan kisaran kontribusi responden dalam bentuk
sumbangan tenaga untuk program pencegahan tambahan untuk erosi dan
banjir
12. Melakukan pengecekan terhadap konsentrasi responden. Pengecekan ini
dilakukan dengan cara memberikan dua pilihan kartu, dengan program
perbaikan lingkungan yang sama, akan tetapi memiliki harga yang
berbeda. Jika responden berkonsentrasi dalam menjawab maka responden
akan memilih harga yang lebih murah, sedangkan jika responden memilih
harga yang lebih tinggi tanpa alasan yang jelas maka tahapan di atas, akan
diulangi lagi. Gambar kartu percobaannya disajikan pada Lampiran 11
Tahap Kedua : Mendapatkan Nilai Lelang (Bids)
Nilai lelang diperoleh dari hasil survei sebenarnya, dengan menggunakan
kuisioner. Tujuannya adalah untuk mengetahui nilai maksimum kemauan
membayar (WTP) dari perbaikan lingkungan yang akan dilaksanakan. Teknik
yang akan dilakukan adalah payment cards. Nilai lelang diperoleh dengan cara
menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran tertentu yang
sudah ditentukan dalam survei skala kecil. Nilai ini ditunjukkan kepada
responden melalui kartu seperti pada pra survei. Ada dua macam nilai yang
akan dilelang, yaitu nilai yang berbentuk nominal uang dan nilai yang
berbentuk kontribusi tenaga kerja. Adapun urutan kerjanya adalah sebagai
berikut :
1. Menunjukkan kegunaan dari perbaikan lingkungan kepada responden
(sama seperti pada saat pra-survei)
2. Menunjukkan kondisi daerah yang mengalami perbaikan lingkungan dan
daerah yang tidak mengalami perbaikan lingkungan (sama seperti pada
saat pra-survei)
3. Menentukan nilai kemauan responden untuk membayar program
pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Berdasarkan
perhitungan pada survei pendahuluan, kisaran harga yang ditawarkan akan
disajikan dalam Lampiran 12
4. Menentukan nilai kemauan responden untuk membayar program
pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui dalam bentuk
104
sumbangan tenaga. Kisaran jumlah kontribusi tenaga yang ditawarkan
akan disajikan pada Lampiran 13
5. Menentukan nilai kemauan responden untuk membayar program
pencegahan banjir dan erosi. Kisaran jumlah kontribusi tenaga yang
ditawarkan akan disajikan pada Lampiran 14
Tahap Ketiga : Menghitung Rataan WTP
Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai
rataan WTP setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang yang
diperoleh pada tahap kedua. Perhitungan ini didasarkan pada nilai mean (nilai
rataan) dan nilai median (nilai tengah).
Tahap Keempat : Memperkirakan Kurva Lelang (Bid Curve)
Kurva lelang atau (bid curve) diperoleh dengan meregresikan WTP
sebagai variable tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas. Wi
= f (I, P, K,L,D) dimana I adalah pendapatan, P adalah tingkat pendidikan, K
adalah pengetahuan masyarakat terhadap ajaran “Katuwua”, L adalah besarnya
pendapatan tambahan yang digunakan untuk program perbaikan lingkungan
dan D adalah pengetahuan masyarakat tentang banjir di “Dongi-dongi”.
Tahap Kelima : Mengagregatkan Data
Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang
yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan
sample ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk
mengkonversikan ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah
tangga dalam populasi (N).
Analisis SWOT
Analisis SWOT digunakan sebagai dasar untuk menentukan strategi
pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Tahapan dari analisis SWOT adalah
sebagai berikut :
1. Menyusun matrik faktor-faktor strategis eksternal (EFAS = Eksternal
Strategic Factors Analisys Summary), dan faktor-faktor strategis internal
(IFAS = Internal Strategic Factors Analysis Summary), kemudian
mengidentifikasi variabel-variabel eksternal berupa peluang dan ancaman
105
serta variabel-variabel internal berupa kekuatan dan kelemahan masyarakat
Desa Salua dalam mengelola lingkungan. Matrik SWOT yang akan
dipergunakan dalam penelitian ini akan disajikan pada Lampiran 15
2. Menentukan bobot dan rating dari masing-masing variabel faktor eksternal
dan internal melalui pengumpulan pendapat responden
3. Besarnya nilai pengaruh masing-masing variabel eksternal dan internal
ditentukan dengan mengalikan bobot dan rating dari masing-masing variabel
tersebut
Berdasarkan hasil pada poin (3) kemudian disusun diagram dan matrik
SWOT untuk menentukan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua.
Rekapitulasi hasil perhitungan dalam analisis SWOT bisa dilihat pada Lampiran
16.
106
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Singkat Taman Nasional Lore Lindu
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) adalah penggabungan dari beberapa
kawasan lindung, meliputi: Suaka Margasatwa Lore Kalamata (Kep. Mentan No.
522/Kpts/Um/1973); Hutan Wisata dan Hutan Lindung Danau Lindu (Kep.
Mentan No. 46/Kpts/Um/1978) dan Suaka Margasatwa Lore Lindu (Kep. Mentan
No.1012/Kpts/Um/1981). Deklarasi penggabungan kawasan lindung tersebut
sebagai Taman Nasional pada waktu kongres Taman Nasional se-dunia di
Denpasar Bali tahun 1982 dan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
736/Mentan/X/1982 merupakan dasar terbentuknya TNLL.
Kawasan TNLL ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor : 593/Kpts-II/1993. Kemudian ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan
Perkebunan melalui SK Nomor : 464/Kpts-II/1999. Luas kawasan TNLL
mengalami beberapa kali perubahan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 736/Menteri/X/1992 tanggal 14 Oktober 1982 luas kawasan TNLL
adalah 231.000 ha. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 593/Kpts-II/1993 luas kawasan TNLL adalah 229.000 ha. Luas TNLL
kembali mengalami perubahan pada tahun 1999 melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999, TNLL
dikukuhkan dengan luas kawasan 217.991,18 ha yang menjadi dasar pengelolaan
TNLL saat ini. Berdasarkan informasi dari Balai Taman Nasional Lore Lindu
tahun (2006), secara garis besar, penetapan TNLL adalah sebagai berikut :
1. TNLL adalah penggabungan dari tiga kawasan lindung, meliputi: Suaka
Margasatwa Lore Kalamanta (Kep. Mentan No. 522/Kpts/Um/1973); Hutan
Wisata dan Hutan Lindung Danau Lindu (Kep. Mentan No.
46/Kpts/Um/1978) dan Suaka Margasatwa Lore Lindu (Kep. Mentan
No.1012/Kpts/Um/1981)
2. Dasar TNLL adalah deklarasi penggabungan kawasan lindung tersebut
sebagai Taman Nasional pada waktu kongres Taman Nasional se-dunia di
Denpasar Bali tahun 1982, melalui SK. Mentan No. 736/Mentan/X/1982
107
3. Selanjutnya ditunjuk oleh Menteri Kehutanan melalui Keputusan No.
593/Kpts-II/1993 dengan luas penunjukan 229.000 ha
4. Penunjukan tersebut dijadikan dasar untuk melakukan tata batas definitif,
hingga temu gelang dan telah dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan dan
Perkebunan melalui Keputusan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999
dengan luas 217.991,18 ha
Kondisi Fisik dan Geografis TNLL
Secara Geografis TNLL terletak pada koordinat 1º 8’ – 1º30’ LS dan 119º
58’ – 120º 61’ BT. TNLL merupakan salah satu kawasan terpenting dari
konservasi flora dan fauna endemik Sulawesi Tengah, selain dari fungsinya
sebagai kawasan resapan air tanah yang dapat mencukupi kebutuhan masyarakat
di sekitarnya. Kawasan TNLL tersebut terbentang pada ketinggian sekitar 200 –
2.610 mdpl yang merupakan deretan pegunungan malleugraf. Deretan
pegunungan tersebut terdiri atas puncak Gunung Nokilalaki (2.355 m dpl),
Gunung Moa (1.280 mdpl), Gunung Sibaronggo (1.347 mdpl), dan Gunung
Momi (1.116 mdpl).
Status Kawasan dan Status Pengelolaan
Status kawasan TNLL ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1999 berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999.
Status Pengelolaannya, dikelola oleh Balai TNLL sesuai Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional serta SK Menhut No.
6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002.
Batas Kawasan
Batas kawasan TNLL telah ditata batas ´´temu gelang´´ oleh Sub BIPHUT
Palu sepanjang 644 Km dengan batas-batas sebagai berikut :
Dataran Palolo – Sebelah Utara
Dataran Napu – Sebelah Timur
Dataran Bada – Sebelah Selatan
108
Sungai Lariang dan hulu Sungai Palu (Lembah Kulawi) -
Sebelah Barat
Kondisi Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Fergusson, bagian utara kawasan
TNLL mempunyai tipe iklim C/D (musiman) dengan curah hujan rata-rata
tahunan berkisar antara 855-1200 mm/tahun, bagian timur tipe iklim B (agak
musiman) dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mm/tahun dan bagian
barat memiliki tipe iklim A (lembab permanen) dengan curah hujan rata-rata
tahunan antara 1200-2200 mm/tahun (Infokom Sulteng, 2004).
Potensi Flora
Figafeta filaris sp (Wanga)
Wanga (Pigafeta filaris) merupakan jenis palma endemik Sulawesi. Jenis
pohon ini tumbuh pada ketinggian 300-1.000 mdpl. Wanga dapat dibedakan
dengan jenis-jenis pohon palma lainnya, dari deretan duri-durinya yang berwarna
pirang keemasan di sepanjang pangkal daunnya yang telah gugur dan batang
berwarna hijau tua dengan cincin-cincin berwarna abu-abu muda. Berbeda dengan
berbagai jenis palma Asia Tenggara pada umumnya, tampaknya Wanga tidak
biasa beradaptasi pada habitat-habitat sekunder, karena pertumbuhannya yang
cepat, tidak tahan sinar matahari pada fase semai dan pole serta menghasilkan biji-
biji kecil dalam jumlah yang sangat banyak.
Wanga biasa ditemukan di tepi-tepi sungai, puncak-puncak bukit dengan
sisi yang terjal, bekas tanah longsor, onggokan batu vulkanik dan bekas aliran
lahar (Dransfield 1976 diacu dalam Balai Taman Nasional Lore Lindu 2006).
Wanga memiliki banyak manfaat, batang wanga digunakan sebagai penopang
pada rumah-rumah tradisional dan lumbung-lumbung Padi di Tana Toraja dan
juga digunakan sebagai pipa-pipa saluran air (Sneed 1981, diacu dalam Balai
Taman Nasional Lore Lindu 2006).
Eucalyptus deglupta (Leda)
Leda (Eucalyptus deglupta) merupakan salah satu jenis flora khas yang
terdapat di TNLL. Flora ini termasuk jenis pohon yang mempunyai tempat
109
tumbuh yang spesifik, yakni di tempat yang cukup terdapat air khususnya sekitar
sungai. Pada umumnya, pohon Eucalyptus deglupta berasosiasi dengan Wanga
(Pigafeta filaris), Rotan (Calamus sp.), Lekatu (Duabanga moluccana), Tohiti
(Dysoxylum sp), Uru (Elmerillia sp), Palih (Lithocarpus sp), dan Tohiti
(Dysoxylum sp). Eucalyptus deglupta berbunga pada bulan-bulan April sampai
Juli.
Anggrek Alam
Jenis-jenis anggrek alam di kawasan TNLL terdapat sekitar 50 jenis dan
menyebar pada ketinggian 600-800 mdpl. Beberapa jenis diantaranya termasuk
jenis endemik seperti Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis) dan Anggrek
Bulan Merah (Phalaenopsis celebencis). Tanaman ini sangat menarik, bentuk
daunnya yang indah berbelang-belang hijau ungu dan termasuk jenis epifit,
berbunga putih, daunnya berdaging tebal, lama berbunga 3-4 bulan dengan jumlah
kuntum 7-15 kuntum dalam satu tangkai. Jenis ini banyak di jumpai disekitar
Gunung Nokilalaki.
Potensi Fauna
Mamalia
Fauna yang tergolong Mamalia yang dapat ditemukan di TNLL diantaranya:
Anoa (Anoa quarlesi, Anoa depressicornis), Babirusa (Babyrousa babyrusa),
Babi Sulawesi (Sus celebensis), Kera (Macaca tonkeana), Phalanger ursinus,
Kus-Kus Sulawesi (P. celebencis), Tarsius Sulawesi (Tarsius spectrum), Rusa
(Cervus timorensis) dan Kelelawar. (Balai Taman Nasional Lore Lindu 2006)
Anoa
Jenis satwa yang paling dekat dengan kerbau ini berbulu lebat,
warnanya coklat muda sampai coklat tua atau hitam. Anoa memiliki
tanduk pendek berbentuk kerucut. Anoa pegunungan (Anoa quaresi),
memiliki tinggi 75 cm diukur dari bahunya, lebih kecil dibandingkan
dengan Anoa dataran rendah (Anoa ressicornis). Anoa yang merupakan
satwa solitaire yang mempunyai sifat unik, karena dari lima spesies yang
ada di Asia Tenggara, satwa inilah satu-satunya yang mempunyai habitat
utama di hutan perawan. Makanan Anoa adalah berbagai jenis tanaman
buah, daun-daun, rumput-rumput, lumut dan pakis. Oleh masyarakat lokal
110
(di dalam dan di sekitar TNLL), Anoa dikenal dengan nama Anoang,
Kerbau Pendek, Dangko, Bondago Tutu, Bulu, Tutu, Sako, atau Tungka.
Kondisi topografi TNLL yang berbukit, berlembah dan dataran
tinggi sangat sesuai bagi Anoa pegunungan yang sudah langka. Survey
yang terakhir dilaksanakan menemukan cukup banyak jenis satwa di
pedalaman Taman Nasional yang berpegunungan, dimana bekas tapak
kaki, bekas tempat berbaring dan kotoran satwa ini sering terlihat. Akibat
sering diburu oleh pemburu bayaran sampai hampir punah, TNLL
merupakan tempat suaka terakhir bagi spesies endemik Sulawesi ini.
Musang (Civet)
Spesimen dari Civet raksasa Sulawesi yang jarang sekali terlihat
(disebut musang oleh penduduk setempat), ditangkap hidup-hidup di
TNLL ini pada tahun 1999. Cives jantan muda ini ditangkap oleh
penduduk desa dan dilepaskan kembali setelah didokumentasikan dan
dibuat filmnya.
Dengan berat badan 9 kg, musang ini panjangnya 130 cm dari
kepala sampai ekor. Meskipun telah ditemukan oleh para ilmuwan lebih
dari 100 tahun lalu, musang jenis ini baru beberapa kali saja terlihat.
Makhluk yang pemalu ini merupakan satwa ahli memanjat, dan
merupakan predator terbesar di Sulawesi setelah ular Piton. Makanan
utama musang ini adalah burung-burung kecil, mamalia kecil, buah palma
dan telur.
Babirusa
Babirusa (Babyrousa babyrusa) yang sudah langka ini merupakan
kerabat jauh babi. Babirusa jantan mempunyai dua pasang taring, yang
sepasang tumbuh menembus langit-langit rahang atas dan melengkung
balik di atas mata. Babirusa sekarang sudah hampir punah di TNLL,
karena nampaknya satwa ini lebih suka tinggal di kawasan dataran rendah
di sekitar sungai dan danau, sehingga cenderung diganggu manusia.
Babirusa merupakan binatang malam yang memburu buah yang jatuh dari
pohon, dan membuka kayu yang lapuk untuk mencari larva kumbang.
Tidak seperti babi pada umumnya, babirusa hanya melahirkan 1-2 anak,
111
yang tumbuh lambat sekali, sehingga satwa itu sangat rawan punah akibat
diburu manusia.
Kera (Macaca tonkeana)
Kera Sulawesi sering digambarkan sebagai kera hitam, karena
hampir tidak ada ekornya. Kera bukanlah jenis kera besar, tetapi monyet
yang merupakan kerabat dekat Makaka berekor babi yang hidup di
Kalimatan dan Sumatera. Makaka Tonkeana (Macaca tonkeana), yang
hidup di dalam TNLL adalah salah satu dari tujuh jenis kera makaka yang
ada di pulau ini, dan hanya dapat ditemukan di bagian Timur dan Tengah
Sulawesi Tengah. Karena kera ini terancam kepunahan akibat diburu, baik
untuk konsumsi lokal maupun untuk pasar daging di Manado, Sulawesi
Utara. TNLL telah menjadi suaka yang penting bagi mereka. Dalam
survey terbaru, Makaka seringkali terlihat di sekitar pinggir hutan, dan
mencari makan di kebun-kebun hutan. Kera Makak mungkin justru lebih
sering hidup di habitat-habitat ini daripada di bagian pegunungan TNLL,
yang belum pernah dijamah manusia. Mereka dianggap binatang
pengganggu oleh banyak penduduk lokal karena sering mengganggu
tanaman kopi dan coklat milik masyarakat.
Tarsius (Kera Hantu)
Tarsius merupakan salah satu primata terkecil di dunia, beratnya
hanya 100 gr dengan panjang badan 10 cm dari kepala dan panjang ekor
20 cm. Seperti semua primata, kera hantu ini mempunyai ciri mata yang
menghadap ke depan dan kuku yang pipih. Kera hantu dewasa
berhubungan secara monogamy dan tinggal dengan satu atau dua anaknya
yang masih kecil. Keluarga kera ini tidur bersama dalam sarang di dalam
belukar atau di dalam lubang pohon, muncul kira-kira 10-20 menit setelah
matahari terbenam dan memulai perburuan serangga secara solitaire di
tempat yang lebih rendah. Kera ini mempunyai wilayah kekuasaan
permanen kurang dari 1 ha dan dipertahankan dari kera hantu lain dengan
cara nyanyian.
112
Kelelawar
Paling sedikit ada 55 jenis kelelawar yang hidup di kawasan
TNLL. Kelelawar ini sangat penting peranannya agar hutan dapat
berfungsi, karena berperan penting dalam penyerbukan dan penyebaran
biji berbagai tumbuhan tropis, seperti pisang liar dan beberapa jenis
pandan atau palma berduri. Ada hubungan antara jenis tumbuhan hutan
tertentu dengan jenis kelelawar yang ada, oleh karena itu berkurangnya
jumlah kelelawar mempunyai potensi mempengaruhi komposisi hutan
dalam jangka panjang. Survei-survei lapangan baru-baru ini menghasilkan
penemuan dua jenis kelelawar buah yang diperkirakan merupakan spesies
baru.
Burung
Sekitar 224 jenis burung ditemukan di Sulawesi, 97 diantaranya merupakan
endemik. Sulawesi secara internasional dikenal sebagai suaka burung yang
penting, 83 % jenis burung endemik Sulawesi terlihat di dalam TNLL. Jenis
burung endemik yang ditemukan di TNLL antara lain Nuri Sulawesi (Tanygnatus
sumatrana), Loriculus exilis, Trichologssus platurus, Cacatua sulphurea,
Rangkong (Buceros rhinoceros dan Aceros cassidix), Pecuk ular (Anhinga rufa),
Rallus plateni, Scolopax celebencis, Tyto inexspectata, Geomalia heinrichi,
Macrocephalon maleo, Megapodius frecycynent.
Burung Maleo
Burung Maleo (Macrocephalon maleo), adalah anggota famili
(rumpun) Megapodiidae yang suka membuat gundukan atau sering juga
disebut burung incubator. Rumpun burung ini ditemukan dari Indonesia
Timur terus sampai ke Polinesia dan Australia, tetapi burung Maleo
sendiri hanya hidup di Sulawesi Utara, Tengah dan Tenggara. Burung ini
mempunyai bulu hitam dan putih mencolok dengan dada merah jambu,
ekor berdiri tegak dan kepala gundul seperti helm. Ukuran burung ini
sebesar ayam betina (1,6 kg). Burung Maleo menetaskan telurnya dengan
bantuan sumber panas dari luar, seperti; pantai-pantai berpasir yang
dipanasi matahari, sumber-sumber air panas atau lubang-lubang gunung
berapi.
113
Di dalam TNLL ditemukan sembilan lokasi sarang, semuanya
terletak dekat sumber air panas atau di tepian sungai yang terbuka.
Lokasi-lokasi sarang dikunjungi oleh burung-burung Maleo setiap pagi
atau sore, dan dipakai bersama oleh beberapa pasang burung. Saat ini,
burung Maleo mulai kesulitan mencari tempat untuk meletakkan telurnya.
Burung ini menggali dengan kakinya yang kuat dan cakarnya yang
sebagian dihubungkan dengan selaput, lokasi penetasan telur Maleo
terletak di Desa Pakuli ± 30 Km dari Kota Palu.
Enggang/Rangkong
Kedua jenis Enggang Sulawesi menunjukkan contoh penggunaan
kanopi pohon secara unik. Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix), hidup
dan makan secara unik pada kanopi atas, sedangkan Kangkareng Sulawesi
(Penelopides exarhatus), menempati kanopi bawah. Kedua jenis burung
tersebut menunjukkan kebiasaan bertelur yang menarik. Si jantan dengan
bantuan si betina, menggunakan lumpur untuk mengurung si betina dalam
sarang di lubang pohon yang dipilihnya, dan hanya ditinggalkan lubang
kecil untuk memberi makan kepada si betina. Si betina tetap terkurung
dalam lubang pohon itu selama mengerami telurnya dan memelihara
anaknya sampai mereka mampu terbang. Selama masa bertelur dari bulan
Juli sampai September, si jantan mencari dan menyediakan makanan untuk
keluarganya.
Sumber makan utama burung ini adalah buah Ara. Burung-burung
ini dapat diamati dengan cara menunggu dekat pohon Ara yang sedang
berbuah. Burung Enggang pada gilirannya juga memainkan peran penting
dalam penyebaran biji pohon itu. Burung enggang berbuncak, juga disebut
Rangkong dalam bahasa Indonesia dan disebut Allo oleh penduduk
setempat merupakan burung yang paling menarik perhatian di dalam
TNLL sehingga dijadikan simbol/logo TNLL. Burung ini mempunyai
suara yang keras dan parau serta kepakan sayap yang ribut, ketika terbang
di atas kanopi pohon. Umumnya Allo hinggap berpasangan, atau
berkelompok di pohon yang berbuah.
114
Reptil, Ikan dan Amfibi
Terdapat 21 jenis cecak besar di kawasan TNLL, 68 jenis ular Sulawesi
dapat ditemukan, seperti ular Piton (Phyton reticulatus) dan King Cobra
(Ophiophagus hannah). Ular-ular yang paling sering ditemukan adalah ular
Pembalap (Elaphe erythrura dan Elaphe jansen). Ular Piton yang bercorak seperti
jala adalah ular terpanjang di dunia, dan banyak ditemukan di berbagai kawasan di
Asia Tenggara. Ular Piton yang tercatat paling panjang, spesimen yang berukuran
9,97 m, ditemukan di Sulawesi. Kadang-kadang ular Piton ini memangsa makhluk
yang besar, dan pada bulan Maret 1998 ada orang yang dimakan ular piton
berukuran 5 m di Kulawi, ular ini kemudian dibunuh. Ular Piton juga seringkali
diburu untuk dimanfaatkan daging dan kulitnya.
Di danau Lindu terdapat dua puluh satu juta amfibi dan enam jenis ikan,
termasuk spesimen endemik di danau Lindu, yaitu Xenopoeceilus sarasinorum.
Belut sangat umum ditemukan di semua sungai kecil di TNLL, tetapi ikan hanya
ditemukan di sungai-sungai yang lebih besar dan danau-danau.
Serangga
Ribuan jenis serangga yang unik dan cantik dapat dilihat di sekitar TNLL,
tetapi kebanyakan sulit diidentifikasi. Seringkali yang dilihat pengunjung adalah
jenis yang kecil. Meskipun jenis ini tidak umum seperti hewan yang lebih besar,
tetapi banyak yang menarik, mempunyai kebiasaan unik, dan layak diamati.
Serangga yang sangat menarik untuk diamati seperti kupu-kupu yang berwarna
mencolok yang terbang sekeliling TNLL. Kupu-kupu tersebut biasanya sering
ditemukan mengitari air atau sumber garam dan bunga-bunga. Banyak spesies
kupu-kupu yang ditangkap dan dijual kepada para kolektor.
Peternakan kupu-kupu pernah dianjurkan sebagai sumber alternatif mata
pencaharian penduduk setempat. Kupu-kupu endemik termasuk Papilio blumei,
kupu-kupu besar yang berekor seperti burung Sriti dengan sayap bergaris-garis
biru-hijau menyala dan Graphium androcles, kupu-kupu besar dengan ekor
panjang gemulai. Banyak kupu-kupu jantan, khususnya Graphium atau Appies sp
terlihat minum di sekitar comberan untuk mendapatkan garam yodium yang
sangat penting bagi siklus kehidupan mereka.
115
Letak Geografis Kecamatan Kulawi
Kecamatan Kulawi terletak pada 1,6º-1,9º Lintang Selatan, 119,25º Bujur
Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Gumbasa dan Dolo Selatan
Sebelah Timur : Kabupaten Poso
Sebelah Selatan : Kecamatan Kulawi Selatan
Sebelah Barat : Provinsi Sulawesi Barat
Luas Wilayah Kecamatan Kulawi adalah ± 1.425,49 ha. Secara administratif
terdiri dari 18 desa, dimana delapan desa diantaranya hanya bisa dilalui dengan
kendaraan roda dua dan berjalan kaki. Jarak antara ibu kota kecamatan (Bolapapu)
ke desa-desa dan alat transportasi yang digunakan bisa dilihat pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1. Jarak Antara Ibu Kota Kecamatan dengan Desa-desa di Kecamatan Kulawi Tahun 2005
Desa Jarak (Km) Alat Transportasi Winatu 16 Mobil Towulu 53 Motor Siwongi 62 Motor Banggaiba 76 Motor Rentewulu 62 Motor Lonca 9 Mobil Boladangko 1 Mobil Sungku 3 Mobil Toro 16 Mobil Mataue 1 Mobil Bolapapu 0 Mobil Namo 1 Mobil Tangkulowi 3 Mobil Salua 17 Mobil Puroo 19 Mobil Langko 20 Mobil Tomado 22 Mobil Anca 23 Mobil
Sumber : Kasi Pemerintahan Kecamatan Kulawi (2005)
Topografi
Berdasarkan elevasi (ketinggian dari permukaan laut), Kecamatan Kulawi
pada umumnya merupakan daerah pegunungan (± 90%), dan berada sepanjang
aliran sungai Lariang yang terletak pada ketinggian 500-1000 m di atas
116
permukaan laut. Kemiringan tanah cukup curam yaitu berkisar antara 60%-70%
dan bahkan ada yang mencapai di atas 80%. Persentase ketinggian desa-desa yang
ada di wilayah Kecamatan Kulawi adalah : Sebanyak 44,4% mempunyai
ketinggian 0-500 mdpl dan sebanyak 55,6% mempunyai ketinggian 501-1.000
mdpl. Data bentuk permukaan tanah dan ketinggian dari permukaan laut desa-
desa di Kecamatan Kulawi pada tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 2 di bawah
ini.
Tabel 2. Keadaan Tanah Menurut Persentase Bentuk Permukaan Tanah menurut Desa di Kecamatan Kulawi Tahun 2005
Desa Bentuk Permukaan Tanah Ketinggian
(dpl) Dataran (%) Perbukitan (%) Pegunungan (%)
Winatu - - 100 700 Towulu - - 100 700 Siwongi - - 100 700 Banggaiba - - 100 700 Rentewulu - - 100 700 Lonca - - 100 500 Boladangko - - 100 500 Sungku - - 100 500 Toro - - 100 700 Mataue - - 100 500 Bolapapu - - 100 500 Namo - - 100 500 Tangkulowi - - 100 500 Salua - - 100 500 Puroo - - 100 700 Langko - - 100 700 Tomado 100 - - 700 Anca - - 100 700 Sumber BPS Kabupaten Donggala (2005)
Penduduk
Jumlah penduduk di Kecamatan Kulawi berdasarkan hasil pencatatan
registrasi penduduk pada akhir tahun 2004 sebanyak 17.455 jiwa. Jumlah
penduduk di Kecamatan Kulawi berkurang karena adanya pemekaran kecamatan,
yaitu Kecamatan Kulawi Selatan. Luas Kecamatan Kulawi adalah 1.425,49 Km,
dengan demikian kepadatan penduduk di Kecamatan Kulawi pada Tahun 2005
adalah 13 jiwa/Km2. Data luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk di
Kecamatan Kulawi tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
117
Tabel 3. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kulawi Tahun 2005
Desa Luas (Km2) Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (Km2)
Winatu 98,57 1.173 12 Towulu 246,67 1.177 5 Siwongi 66,94 652 10 Banggaiba 51,63 355 7 Rentewulu 41,90 596 14 Lonca 100,14 463 5 Boladangko 49,29 482 10 Sungku 67,47 954 14 Toro 50,65 2.057 41 Mataue 31,29 572 18 Bolapapu 59,80 2.292 38 Namo 24,37 1.179 48 Tangkulowi 24,55 307 13 Salua 45,68 1.138 25 Puroo 106,94 922 9 Langko 107,35 893 8 Tomado 120,82 1.718 14 Anca 131,43 525 4 2005 2004 2003
1.425,49 2.212,81 2.212,81
17.455 25.430 24.822
13 11 11
Sumber : Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2005
Data jumlah rumah tangga, penduduk dan rata-rata penduduk per rumah
tangga di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Jumlah Rumah Tangga, Penduduk dan Rata-rata Penduduk per Rumah Tangga di Kecamatan Kulawi Tahun 2005
Desa Rumah Tangga Penduduk Rata-rata Penduduk/RT
Winatu 204 1.173 6 Towulu 282 1.177 4 Siwongi 120 652 5 Banggaiba 105 355 3 Rentewulu 142 596 4 Lonca 121 463 4 Boladangko 128 482 4 Sungku 232 954 4 Toro 542 2.057 4 Mataue 144 572 4 Bolapapu 557 2.292 4 Namo 165 1.179 7 Tangkulowi 75 307 4
118
Tabel 4. (Lanjutan)
Desa Rumah Tangga Penduduk Rata-rata Penduduk/RT
Salua 278 1.138 4 Puroo 228 922 4 Langko 221 893 4 Tomado 392 1.718 4 Anca 128 525 4 2005 2004 2003
4.064 5.956 5.908
17.455 25.430 24.822
4 4 4
Sumber : Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2004
Pendidikan
Berdasarkan data yang terdapat dalam Kecamatan Kulawi dalam Angka
Tahun 2005, fasilitas pendidikan yang terdapat di Kecamatan Kulawi didominasi
oleh sekolah dasar sebanyak 31 buah sedangkan SLTP hanya tersedia 2 buah
dan SMU hanya tersedia 1 buah. Berdasarkan data pada Tabel 6 terdapat
pengurangan jumlah SD dan SLTP dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal
ini disebabkan oleh adanya pemekaran Kecamatan Kulawi Selatan, sehingga SD
yang awalnya secara administratif berada di di Kecamatan Kulawi, pindah ke
Kecamatan Kulawi Selatan . Data jumlah sekolah menurut tingkat pendidikan di
Kecamatan Kulawi bisa dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Banyaknya Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005
Desa Tingkat Pendidikan TK SD SLTP SMU/SMK
Winatu 1 1 - - Towulu - 2 - - Siwongi - 2 - - Banggaiba - 1 - - Rentewulu - 2 - - Lonca - 1 - - Boladangko - 1 - - Sungku 1 2 - - Toro 1 2 - - Mataue 1 1 - - Bolapapu 2 4 1 1 Namo 1 2 - - Tangkulowi - - - - Salua - 1 - -
119
Tabel 5. (Lanjutan)
Desa Tingkat Pendidikan TK SD SLTP SMU/SMK
Puroo - 1 - - Langko - 2 - - Tomado - 5 1 - Anca - 1 - - 2005 7 31 2 2004 8 42 3 1 2003 8 42 3 1 2002 8 42 3 1 Sumber : Kantor Cabang Dinas Dikjar Kecamatan Kulawi
Berdasarkan data banyaknya murid sekolah di Kecamatan Kulawi, diketahui
bahwa jumlah murid yang paling banyak adalah murid SD, dan semakin tinggi
pendidikan, jumlah muridnya semakin sedikit. Hal ini mengindikasikan, tingginya
murid yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Data
selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Jumlah Pelajar berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005
Tingkat Pendidikan
Status Sekolah Jumlah Negeri Swasta TK - 68 68 SD 1.483 459 1.952 SLTP 294 48 342 SMU 186 - 186 SMK - - - PT/Universitas - - - 2005 1.963 575 2.548 2004 2.951 892 3.843 2003 2.506 1.285 3.791 2002 2.529 1.285 3.814 Sumber : Kantor Cabang Dinas Dikjar Kecamatan Kulawi (2005)
Pertanian
Sektor pertanian merupakan tumpuan kehidupan perekonomian di
Kecamatan Kulawi pada umumnya. Oleh sebab itu pembangunan di sektor
pertanian masih merupakan hal yang penting dalam mendukung pembangunan
ekonomi pada sektor yang lain. Sektor pertanian yang berkembang di Kecamatan
Kulawi adalah sub sektor Pertanian Tanaman Pangan, sub sektor Perkebunan, dan
120
sub sektor Peternakan. Luas tanaman bahan makanan di Kecamatan Kulawi
Tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Luas Tanaman Bahan Makanan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 (Ha)
Desa Padi Sawah
Padi Ladang Jagung Ubi Kayu Kacang
Tanah Winatu 89 75 90 0,5 - Towulu 20 25 23 - - Siwongi - 88 30 - - Banggaiba 65 16 25 - 2 Rentewulu 14 41 16 - - Lonca 33 36 10 - - Boladangko 6 - 10 - - Sungku 32 13 179 - 1,5 Toro 819 - 165 - - Mataue 69 - 26 - 1 Bolapapu 236 - 16 - - Namo - - 40 - - Tangkulowi 18 - 7 - - Salua - 16 87 - 1 Puroo 416 - 12 - - Langko 105 - 5 - - Tomado 1.200 - 18 - 2 Anca 135 - 6 - - 2005 3.257 310 765 1 8 2004 5.012 496 1.053 4 22 2003 5.360 219 625 8,2 29,45 2004 5.950 242 858 29 26 Sumber : KCD PP Kecamatan Kulawi (2005)
Keuangan Daerah
Berdasarkan data yang terdapat dalam Kecamatan Kulawi dalam Angka
Tahun 2005, diperoleh informasi bahwa realisasi anggaran rutin dan anggaran
pembangunan Kecamatan Kulawi mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan
juga disebabkan pemekaran Kecamatan Kulawi Selatan, sehingga jumlah desa
yang ada di Kecamatan Kulawi berkurang. Data realisasi penerimaan rutin dan
pembangunan di Kecamatan Kulawi bisa dilihat pada Tabel 8 di bawah ini.
121
Tabel 8. Realisasi Penerimaan Rutin dan Pembangunan di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 (000 Rp)
Desa Penerimaan Jumlah Rutin Pembangunan Winatu 4.000 3.000 7.000 Towulu 4.000 3.000 7.000 Siwongi 4.000 3.000 7.000 Banggaiba 4.000 3.000 6.000 Rentewulu 4.000 2.000 7.000 Lonca 4.000 3.000 6.000 Boladangko 4.000 2.000 6.000 Sungku 4.000 3.000 7.000 Toro 4.000 3.500 7.500 Mataue 4.000 3.000 7.000 Bolapapu 4.000 3.000 7.000 Namo 3.000 2.000 5.000 Tangkulowi 4.000 2.000 6.000 Salua 4.000 3.000 7.000 Puroo 4.000 3.000 7.000 Langko 4.000 3.000 7.000 Tomado 4.000 3.000 7.000 Anca 4.000 2.000 6.000 2005 71.000 48.500 119.500 2004 111.000 75.500 186.500 2003 162.000 297.000 459.000 2002 159.705 270.000 429.705
Sumber : Kasi PMD Kecamatan Kulawi (2005)
Jumlah wajib pajak bumi dan bangunan yang ada di Kecamatan Kulawi
tahun 2005 berjumlah 4.555 wajib pajak, dengan jumlah wajib pajak terbanyak di
Desa Toro sebanyak 625 wajib pajak dan di Desa Bolapapu sebanyak 555 wajib
pajak. Realisasi penerimaan pajak di Kecamatan Kulawi pada tahun 2005 adalah
sebesar Rp. 29.463.076, sama dengan realisasi tahun 2004 dan mengalami
peningkatan dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2003 yang hanya sebesar
Rp. 22.573.986. Data realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan di
Kecamatan Kulawi secara lebih terperinci bisa dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9. Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Kulawi Tahun 2003-2005
Desa 2003 2004 2005 Winatu 300.153 1.356.686 1.356.686Towulu 2.150.000 1.598.924 1.598.924Siwongi 900.000 500.935 500.935Banggaiba 182.372 300.482 300.482
122
Tabel 9. (Lanjutan)
Desa 2003 2004 2005 Rentewulu 278.711 360.943 360.943Lonca 816.913 757.891 757.891Boladangko 985.321 751.642 751.642Sungku 1.899.228 1.691.078 1.691.078Toro 1.529.402 4.066.946 4.066.946Mataue 484.729 475.276 475.276Bolapapu 4.538.654 3.350.756 3.350.756 Namo - 710.187 710.187Tangkulowi 684.015 647.381 647.381Salua 1.864.488 3.025.584 3.025.584Puroo 450.000 2.733.800 2.733.800Langko 500.000 1.324.209 1.324.209Tomado 3.500.000 3.828.219 3.828.219Anca 1.510.000 1.982.137 1.982.137Jumlah 22.573.986 29.463.076 29.463.076
Sumber : KUPTD Kecamatan Kulawi (2005)
Kondisi Umum Desa Salua
Desa Salua terletak di Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala, Provinsi
Sulawesi Tengah dan berjarak ± 89 Km dari ibu kota kabupaten dan 54 Km dari
ibu kota provinsi. Desa Salua berbatasan dengan :
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tuva
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tomado
Sebelah Selatan berbatasan dengn Desa Namo
Sebelah Barat berbatasan dengan TNLL dan Hutan Desa
Topografi Desa Salua pada umumnya berbukit dan bergunung berada pada
ketinggian 500 mdpl dan beriklim tropis. Tingkat curah hujan rata-rata di Desa
Salua adalah 2600 mm/tahun dengan kelembaban 65%, termasuk ke dalam tipe
iklim D1 Schmidt Ferguson. Kondisi topografi dan iklim tersebut sangat
memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan (flora) mulai dari jenis kayu-
kayuan, maupun tumbuhan non kayu, serta berbagai jenis hewan (fauna) seperti
burung maleo, ayam hutan dan elang hitam. Peta Desa Salua bisa dilihat Pada
Gambar 9.
123
Gambar 9. Peta Lokasi Penelitian
Sumber : STORMA 2005 dalam Golar 2007
124
Berdasarkan data yang terdapat dalam Kecamatan Kulawi dalam Angka
Tahun 2005, Desa Salua mempunyai luas 45,68 Km2, dengan jumlah penduduk
sebanyak 1.138 terdiri dari 564 laki-laki dan 575 perempuan. Kepadatan
penduduk di Desa Salua adalah 25 orang per Km2, sedangkan Jumlah rumah
tangga di Desa Salua pada Tahun 2005 adalah 278 rumah tangga. Pada umumnya
penduduk Desa Salua adalah penganut agama Islam dan kristen. Etnis yang
mendiami Desa Salua adalah Kulawi Moma, Kulawi Uma, Bugis, Kaili, Jawa,
Menado, Gorontalo dan Cina.
Berdasarkan wawancara dengan responden diketahui bahwa tingkat
pendidikan di Desa Salua bervariasi mulai dari tidak pernah sekolah sampai
dengan universitas. Sebagian besar masyarakat Desa Salua memiliki tingkat
pendidikan SD (42,9%) dan SMP (18,7%). Masyarakat Desa Salua yang memiliki
tingkat pendidikan sampai ke universitas hanya 3,4%. Hal tersebut menunjukan
bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Salua masih rendah. Data tentang
tingkat pendidikan Masyarakat Desa Salua tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 10
di bawah ini.
Tabel 10. Tingkat Pendidikan Masyarakat (Responden) di Desa Salua Tahun 2005
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1. Tidak Pernah Sekolah 9 4,4 2. Tidak Tamat SD 33 16,3 3. SD 87 42,9 4. SMP 38 18,7 5. SMA 29 14,3 6. Universitas (termasuk Diploma) 7 3,4
Total 203 100,0 Sumber : Data primer diolah
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Salua adalah petani
(93,6%), sedangkan sisanya adalah pedagang, wiraswasta dan pensiunan. Data
mata pencaharian masyarakat Desa Salua selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 11
di bawah ini.
125
Tabel 11. Persentase Mata Pencaharian Utama Masyarakat (Responden) di Desa Salua
No. Mata Pencaharian Utama Kepala Rumah Tangga Jumlah Persentase (%)
1. Petani 190 93,6 2. Pedagang 4 2,0 3. Wiraswasta 5 2,5 4. Pensiunan 2 1,0 5. Lainnya 2 1,0
Total 203 100,0 Sumber : Data primer diolah
Pendapatan rata-rata masyarakat Desa Salua selama satu bulan bervariasi
antara < Rp. 400.000 sampai dengan > Rp.8.800.000. Rata-rata pendapatan
dalam satu bulan yang paling dominan adalah 800.000-1.200.000 (17,7%) dan
Rp.400.000-800.000 (13.3%). Data rata-rata pendapatan per bulan masyarakat
Desa Salua Tahun 2005 bisa dilihat pada Tabel 12 di bawah ini.
Tabel 12. Rata-rata Pendapatan / Income Masyarakat Desa Salua Per bulan (Responden) Tahun 2005
No. Rata-rata Pendapatan per Bulan Jumlah Persentase
(%) 1. < Rp. 400.000 10 4,9 2. Rp. 400.000 - 800.000 27 13,3 3. Rp.800.000 - 1.200.000 36 17,7 4. Rp.1.200.000 - 1.600.000 27 13,3 5. Rp. 1.600.000 - 2.000.000 11 5,4 6. Rp. 2.000.000 - 2.400.000 16 7,9 7. Rp. 2.400.000 - 2.800.000 7 3,4 8. Rp. 2.800.000 - 4.000.000 18 8,9 9. Rp. 4.000.000 - 5.200.000 15 7,4
10. Rp. 5.200.000 - 6.400.000 18 8,9 11. Rp. 6.400.000 - 8.800.000 9 4,4 12. > 8.800.000 9 4,4
Total 203 100,0 Sumber : Data primer diolah
126
Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Salua
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Desa Salua
Pada umumnya masyarakat Desa Salua membutuhkan kayu untuk
pembangunan, baik untuk rumah maupun kebutuhan sosial lainnya seperti
pembangunan rumah ibadah serta sarana umum lainnya. Adapun kayu yang sering
dimanfaatkan dan diolah adalah : Cempaka, Alepa, Siuri, Tahiti, Bakangkuni
Torode, Damar,Nantu, Pawa, Palapi, Birawa, Lekatu dan Lewu.
Proses pengambilan kayu (bantalan) hampir sama dengan cara yang
dilakukan di daerah-daerah lain, yaitu memilih pohon-pohon dengan diameter
lebih dari 20 cm dan kemudian ditebang dengan mesin pemotong (chain saw).
Setelah itu, dibuat balakan dengan berbagai ukuran yaitu 16-20 cm x 20-25 cm x
200, 300 dan 400 cm. Pekerjaan membuat balakan tersebut dilakukan secara
berkelompok dengan jumlah 3-5 orang dalam satu kelompok. Setelah kayu dibuat
balakan, kemudian diseret ke sungai terdekat, untuk memudahkan pengangkutan
ketempat yang terjangkau oleh kendaraan (TO). Pada lokasi tebangan yang jauh
dari sungai, maka balakan diangkut ke TO dengan menggunakan tenaga manusia.
Pada umumnya kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat diambil dari hutan desa
atau hutan milik, akan tetapi ada pula masyarakat yang mengambil kayu dari
kawasan TNLL. Proses penebangan dan pengangkutan kayu di Desa Salua bisa
dilihat Pada Gambar 10 dan Gambar 11 di bawah ini.
Upah yang diberikan kepada penarik kayu bervariasi, yaitu antara Rp.
50.000-100.000 per m3. Harga jual kayu rata-rata adalah Rp. 250.000 per m3 di
tempat pembalakan dan Rp. 400.000 per m3 di TO. Sementara itu pemerintah
Desa Salua (BPD dan PemDes) telah mengeluarkan aturan desa mengenai
penarikan retribusi pengolahan kayu sebesar Rp. 25.000 per truk. Harga jual kayu
di Kota Palu berkisar antara Rp. 650.000-800.000 per m3 (data tahun 2002).
127
Gambar 10. Pengangkutan Kayu dari Hutan ke TO atau Desa
Gambar 11. Penebangan Pohon di Kawasan TNLL
Dok : Handian (2005)
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Desa Salua
Selain kayu, hasil hutan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Salua
adalah rotan. Masyarakat mengambil rotan secara perorangan maupun secara berkelompok.
Untuk pengambilan secara perorangan, rotan yang bisa dihasilkan sekitar 50 kg dengan
waktu merotan dari pukul 07.00 - 17.00 WITA. Jumlah anggota kelompok perotan di Desa
Salua berjumlah 5-20 orang. Berbeda dengan pencari rotan secara perorangan, kelompok
pencari rotan pada umumnya menginap dihutan selama 1-2 minggu. Kelompok tersebut
membuat pondok sebagai tempat tinggal sementara sekaligus sebagai tempat pengumpulan
rotan sementara.
Setelah dipandang cukup, maka rotan yang sudah dikumpulkan ditarik melalui sungai
menuju desa atau TO. Rata-rata rotan yang mampu dikumpulkan oleh satu kelompok adalah
4-6 ton setiap bulan. Harga jual rotan ditingkat pengumpul rotan adalah: Rotan batang Rp.
1000/kg, rotan lambang Rp. 800/kg, tohiti Rp. 700/kg dan lewo Rp.1000/kg. Proses
pengangkutan rotan dan tempat penimbangan rotan milik pengumpul lokal bisa dilihat pada
Gambar 12 di bawah ini.
128
Dok : Handian (2005)
Gambar 12. Proses Pengangkutan Rotan Menuju TO atau Desa dan Gambar Rotan Asalan ditempat Pengumpul Lokal
Perburuan Satwa Liar
Kegiatan perburuan hewan liar di Desa Salua dilakukan dengan berbagai
cara, diantaranya dengan jerat dan diburu menggunakan senjata dan anjing. Jenis
hewan yang sering diburu adalah hewan-hewan yang dianggap sebagai hama
seperti babi hutan dan monyet. Hewan-hewan ini dianggap merusak tanaman
kacang tanah, jagung, ubi, coklat dan kopi. Jerat dibuat dari tali rotan atau tali
plastik dan dipasang ditempat-tempat yang dianggap sering dilalui oleh hewan
buruan. Hewan yang paling sering terjerat adalah babi hutan, sedangkan babi rusa,
anoa dan rusa sangat jarang terjerat, karena jumlah hewan tersebut sangat sedikit.
Jenis hewan lain yang banyak diburu adalah berbagai jenis burung. Burung
di buru dengan menggunakan senapan angin dan jala. Burung yang sering diburu
dengan menggunakan senapan angin adalah burung Allo, sedangkan burung
maleo dan burung kuluri diburu dengan cara di jala. Salah satu contoh proses
perburuan monyet di Desa Salua bisa dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.
Dok : Handian (2005)
Gambar 13. Proses Perburuan Kera di Desa Salua
Sumber Air Desa Salua
Salah satu sumber mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat Salua
yang terbesar berasal dari kawasan TNLL. Masyarakat desa menggunakan air dari
TNLL tersebut untuk berbagai keperluan, seperti : untuk minum, memasak serta
MCK. Salua yang mempunyai arti anak sungai mempunyai banyak anak sungai
yang bermuara di sungai MIU atau DAS Palu, baik yang ada dibagian Timur
ataupun di bagian Barat.
Anak sungai yang ada di bagian Timur, yang berbatasan langsung dengan
dua desa yaitu Puroo dan Tomado adalah :
1. Sungai Salua Lana
2. Sungai Salua
3. Sungai Salu Kono
4. Sungai Tabaro
5. Sungai Momibohe
6. Sungai Momi Kodi (Jembatan 1)
7. Sungai Saluntoribo
8. Sungai Salu Tola
9. Sungai yang berhulu di Gunung Potong yang bermuara di sungai Momi
Anak sungai di bagian Barat yang berhulu di pegunungan Tutuwongi dan
bermuara di Sungai MIU adalah :
1. Sungai Miope
2. Sungai Halado
3. Sungai Oha Kodi
4. Sungai Oha Bohe
5. Sungai Wara
Pembukaan Lahan di Kawasan TNLL
Meskipun saat ini sistem bertani bagi sebagian besar masyarakat Salua
sudah mengalami perubahan dan pergeseran dari sistem bertani tradisional
“ladang berpindah” ke sistem bertani modern “menetap”, namun pengetahuan dan
sistem bertani modern masih rendah. Lokasi perkebunan masyarakat Desa Salua
pada umumnya terletak di bagian sebelah Barat dari pemukiman.
Pembukaan lahan dalam kawasan TNLL oleh masyarakat pada umumnya
dilakukan sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan pemerintah setempat maupun pihak
yang berkepentingan. Proses pembukaan lahan tersebut dimulai dengan menebang
pohon-pohon yang berada dalam kawasan lindung, kegiatan ini dilakukan secara
berkelompok (5-10 orang) atau secara individu. Sampai saat ini pembukaan
lahan di dalam kawasan hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat. Hal ini
karena masih tersedianya lahan di wilayah hutan produksi milik Desa yang ada di
sebelah Barat desa Salua.
Pada umumnya kepemilikan lahan di dalam kawasan TNLL adalah illegal
karena tidak memiliki surat-surat, dan pembukaan lahan tersebut tidak memiliki
izin dari pihak berwenang (pemerintah setempat maupun Balai Taman Nasional
Lore Lindu) selaku pemegang hak dalam pengelolaan kawasan TNLL).
Masyarakat yang memiliki lahan dalam kawasan biasanya dilatarbelakangi
beberapa faktor yakni : 1) tidak memiliki lahan di tempat lain, 2) faktor ekonomi.
Adapun sistem pembukaan lahan adalah dengan menebang pohon yang
berukuran besar, penebangan ini biasanya memerlukan waktu selama 3 (tiga) hari
dan selanjutnya dikeringkan selama 1 bulan kemudian dilakukan pembakaran.
Pada umumnya kebun yang baru dibuka ditanami tanaman palawija berupa:
jagung dan cabe sambil menunggu pembibitan tanaman cokelat dan kopi ataupun
tanaman tahunan lainnya. Contoh kawasan TNLL yang telah berubah menjadi
kebun bisa dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.
Dok : Handian (2005)
Gambar 14. Kawasan TNLL yang telah berubah fungsi menjadi Kebun)
Pemilihan jenis tanaman disesuaikan dengan permintaan pasar, tanaman
cokelat dan kopi merupakan tanaman yang banyak dipilih karena dianggap dapat
memberikan penghasilan yang cukup tinggi serta tidak memerlukan perawatan
intensif. Pada musim tanam berikutnya, lahan masih ditanami dengan palawija
dan mulai menanam tanaman cokelat dan kopi. Setelah tanaman Kopi tersebut
tinggi maka tanaman palawija tidak ditanam lagi. Pada umumnya hasil dari
tanaman sayur-sayuran, cabe dan ubi masih digunakan untuk kepentingan sendiri
(subsisten)
Dalam pengelolaan lahan baru diawali dengan pemilihan Pemanu (ketua
kelompok). Sebelum melakukan kegiatan pembukaan lahan diselenggarakan
ritual meminta restu kepada penghuni hutan dengan menyediakan para-para
dengan ukuran 50 x 50 cm dan tinggi 1 – 1,5 cm. Kemudian memilih lagi orang
yang bisa melakukan cara untuk menyimpan sesajian seperti: sirih, kapur sirih,
tembakau (potugi), nasi, telur yang dibagi 7 dialas dengan tave linopi (daun
linopi) dan bendera putih. Semua kelengkapan tersebut diletakkan di atas parara
estela. Selanjutnya dilakukan mogene membaca mantra-mantra yang
menggunakan bahasa daerah meminta restu dan pamit kepada para penghuni
hutan agar jangan menganggu mereka saat bekerja untuk membuka lahan. Lahan
yang pertama diolah adalah lahan milik pemanu mulai dari pemarasan,
pembakaran, penanaman dan panen. Hasil dari perkebunan disimpan di mari
(lumbung).
Masyarakat Salua selalu memisahkan jenis tanaman palawija dan tanaman
tahunan, khususnya tanaman palawija sayur-sayuran, lombok, jagung, ubi kayu
dan sebagainya. Masyarakat menanam di kebun yang disebut “pampa”.
Pembukaan lahan pampa lebih luas berkisar antara 1-2 ha. Tanaman yang
berumur panjang ditanam pada lahan yang disebut “bonea”
Pemanfaatan Tanaman Obat
Meskipun obat-obatan modern sudah masuk ke desa-desa, tetapi masyarakat
Desa Salua masih banyak yang memanfaatkan tumbuhan dan binatang liar untuk
bahan ramuan obat tradisional. Bagi mereka yang sering beraktivitas di dalam
hutan, keberadaan tumbuhan obat ini sangat membantu jika terluka atau terserang
penyakit di dalam hutan.
Pengobatan dilakukan oleh dukun kampung dengan membaca jampi-jampi
lalu ditiupkan kepada orang sakit dan menggunakan obat kampung seperti
rumput-rumputan. Pengambilan obat dilakukan oleh dukun karena ada syarat-
syarat tertentu dan harus dilakukan pada hari tertentu (Jum’at) pukul 06.00 pagi
dan atau bertepatan dengan adzan di mesjid. Tumbuhan obat diperoleh masyarakat
dari sekitar pekarangan, pinggir kebun, ladang sampai ke dalam hutan. Bahan
ramuan obat diambil dari bagian akar, umbi, daun, batang dan buah dari berbagai
rumput-rumputan (gulma), tanaman semak ataupun pohon.
Ramuan tumbuhan obat yang umum dipercaya bisa mengobati berbagai
penyakit, diantaranya adalah :
1. Luka luar karena benda tajam diobati dengan : pucuk tantanga merah, umbut
pisang, getah balacai, daun bube, daun paralibo dan daun ntilala.
2. Sakit gigi diobati dengan daun sirih, akar sere, getah kamboja, akar tunjung
langit, dan umbi tainco.
3. Demam dan malaria diobati dengan kompresan daun siranindi, daun balacai,
daun maumata, dan parea, daun cocor bebek dan daun kemiri.
4. Pengobatan wanita bersalin atau membersihkan habis melahirkan, digunakan
pucuk paku, seduhan hingga, kunyit, daun balacai, daun gedi dan daun
kapas/kapuk.
5. Pegal-pegal sehabis kerja berat diobati dengan rebusan batang akar kuning,
daun kici biling, rebusan akar alang-alang, daun kumis dan akar ntorode.
6. Batuk-batuk diobati perasan daun bayana, batang tuwutaba, daun valangkere,
jeruk nipis, umbut kihipo dan buahnya belobo.
7. Darah tinggi diobati dengan daun alpokat, daun pisang sepatu dan umbi
tantanga.
8. Keseleo bisa diobati dengan remasan daun takema, daun sere, dan daun
balacai
9. Sakit maag diobati dengan daun cenaduri, daun taba, dan buah pisang sepatu.
10. Gatal-gatal diobati dengan daun manure, lengkuas, dan daun silaguri, dst.
Pendekatan Adat “OMBO” dalam Perlindungan Keanekaragaman Hayati
Keperihatinan sebagian masyarakat terhadap banyaknya aktifitas yang
dilakukan di dalam hutan khususnya pengambilan hasil hutan baik kayu maupun
non kayu (terutama rotan) yang tidak saja dilakukan oleh masyarakat Salua
sendiri bahkan lebih banyak dilakukan oleh masyarakat dari luar desa Salua.
Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi beberapa waktu yang lalu
dipandang oleh masyarakat sebagai dampak dari rusaknya hutan yang ada di desa
yang diakibatkan ramainya orang mengambil rotan, kayu dan membuka lahan di
hutan Desa Salua. Disamping itu, munculnya kesadaran dari masyarakat untuk
menjaga dan mempertahankan kelestarian hutan untuk kepentingan anak cucu
(generasi mendatang).
Berkenaan dengan hal tersebut, Ketua Lembaga Adat Desa Salua
menyampaikan upaya alternatif untuk menjaga dan mempertahankan hutan di
Desa Salua dengan cara menerapkan hukum ombo dalam pengambilan hasil
hutan kayu dan rotan serta beberapa jenis hewan liar. Pemberlakuan ombo
haruslah ombo yang sebenarnya dengan melibatkan pemerintah (instansi terkait),
para pengusaha, masyarakat yang mengolah serta masyarakat secara umum. Ini
dimaksudkan agar penerapan ombo diketahui oleh semua pihak. Di samping itu
pemberlakuan ombo ini adalah lebih memberikan peran dan tanggung jawab
perlindungan hutan kepada masyarakat adat (melalui pendekatan adat).
Ombo merupakan suatu kegiatan adat berupa pelarangan melakukan
kegiatan yang berlebihan untuk sementara waktu dalam wilayah tertentu. Ombo
biasanya diberlakukan untuk ungkapan duka cita dari meninggalnya seseorang
atau keluarga dari golongan raja. Ombo duka cita ini melarang kepada siapa saja
untuk tidak melakukan kegiatan keramaian, kegiatan yang menimbulkan suara
yang keras (termasuk mengendarai kendaraan dengan cepat) dan kegiatan-
kegiatan lainnya. Bagi yang melanggar akan dikenakan sangsi adat tergantung
dari jenis ombo yang diselenggarakannya. Bila pelarangan ini (ombo)
diberlakukan pada sumberdaya hutan (SDH), berarti penghentian sementara
kegiatan pengambilan jenis-jenis tertentu (jenis tersebut ditentukan oleh lembaga
adat) dalam wilayah tertentu serta waktu yang ditentukan.
Jadi dalam ombo SDH tersebut terdapat 3 unsur penting yaitu 1) apa yang
diatur oleh hukum ombo termasuk jenis-jenis yang dilarang, 2) batas wilayah atau
daerah diberlakukan nya ombo, dan 3) berapa lama pemberlakuan ombo. Dari
unsur tersebut dapat diketahui bahwa yang diatur oleh hukum adat ombo adalah
hasil hutan dengan jenis tertentu, misalnya rotan, kayu, serta penangkapan jenis
hewan tertentu dalam wilayah kawasan TNLL yang berada dalam kawasan atau
berbatasan dengan Desa Salua selama misalnya 5 (lima) tahun terhitung dari
pelaksanaan upacara ombo.
Pelaksanaan ombo dilakukan dalam desa dengan melakukan upacara-
upacara tertentu termasuk makan bersama, dimana diyakini barang siapa yang ikut
makan dalam upacara tersebut dan melakukan pelanggaran ombo nantinya akan
mendapatkan bencana atau bala dan akan mendapatkan sangsi adat. Hasil denda
yang diperoleh dari pemberlakuan ombo dipergunakan untuk kepentingan desa
yang dikelola oleh lembaga adat dan pemerintah desa.
Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di
Desa Salua
Pada umumnya dalam kehidupan suatu masyarakat selalu terdapat sistem
pembagian peran laki-laki maupun perempuan yang sudah mengakar dan terjadi
sejak dahulu kala. Hal tersebut dilakukan pada berbagai aspek, baik sosial budaya
maupun dalam aspek ekonomi, termasuk pengaturan dalam akses dan kontrol
terhadap sumberdaya. Di desa Salua, berdasarkan hasil kajian Care (2002) dapat
ditemui sejumlah informasi tentang pembagian peran laki-laki maupun perempuan
dalam hal pengelolaan sumberdaya alam :
1. Kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya hutan seperti
halnya pengambilan kayu bahan bangunan, berburu, membuka lahan
sebahagian besar dilakukan oleh laki-laki, sementara itu para perempuan
umumnya hanya mengambil kayu bakar maupun sayur-sayuran untuk
dikonsumsi keluarga.
2. Kegiatan pengolahan kebun pada umumnya dilakukan bersama.
Keterlibatan gender dalam pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini lahan
untuk kebun adalah sebagai berikut:
1. Pemerasan (pembersihan) lahan 50 % laki-laki dan 50 % perempuan
2. Penebangan 80 % dilakukan laki-laki dan 20 % perempuan
3. Pembakaran rumput dan kayu 80 % laki-laki dan 20 % perempuan
4. Pembersihan lahan sisa-sisa pembakaran 50 % laki-laki dan 50 % perempuan
5. Penanaman 50 % laki-laki dan 50 % perempuan
6. Pemetikan hasil panen penebangan 10 % laki-laki dan 90 % perempuan
7. Penjemuran hasil panen 50 % laki-laki dan 50 % perempuan
8. Pemasaran atau penjualan hasil pertanian dan perkebunan 30 % laki-laki dan
70 % perempuan
Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Dari hasil pengkajian Care (2002), ada beberapa isu permasalahan yang
berkaitan dengan sistem pengelolaan sumberdaya alam, informasi ini merupakan
hasil pengamatan dilapangan dan diskusi dengan masyarakat sehingga masih
perlu untuk diperdalam dan disempurnakan. Adapun informasi yang dapat
diidentifikasi antara lain:
Hutan dan Kawasan TNLL
Bagi masyarakat lokal yang tergolong marjinal, politik pembangunan
dirasa merugikan hak-hak pengelolaan secara lokal baik di bidang ekonomi,
sosial dan budaya, yang dapat merubah pola kehidupan mereka. Menurut
mereka pemasangan tapal batas TNLL yang tidak disosialisasikan terlebih
dahulu merupakan pemutusan hak-hak pemanfaatan hutan secara sepihak
tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu. Sedangkan mereka masih
membutuhkan hutan untuk berbagai kebutuhan obat-obatan, sandang,
perkakas/alat, anyam-anyaman, pelengkap adat/ritual dan sumber
pendapatan tunai. Desakan dan intimidasi petugas telah membingungkan
mereka yang biasa mengambil hasil hutan dan tinggal berbatasan langsung
dengan kawasan TNLL.
Pembukaan lahan Kebun
Bencana alam seperti erosi dan banjir sering terjadi di Desa Salua
disebabkan pembukaan lahan yang memperparah kerusakan kawasan.
Banyak tanah-tanah longsor dalam kawasan yang mengakibatkan
tumbangnya pohon-pohon dan mematikan satwa-satwa. Hal tersebut dapat
mengakibatkan terganggunya keseimbangan lingkungan dan fungsi
ekosistem dalam kawasan.
Akhir-akhir ini, gangguan keamanan dan ancaman terhadap kawasan
TNLL semakin meningkat. Konversi lahan, illegal logging, eksploitasi hasil
hutan non kayu, perburuan satwa telah menyebabkan kerusakan kawasan
yang pada akhirnya bermuara pada terjadinya degradasi hutan. Contoh
kawasan TNLL yang rusak akibat penebangan liar bisa dilihat pada Gambar
15 di bawah ini.
Gambar 15. Kawasan TNLL yang rusak akibat Penebangan Liar
Perusakan kawasan dengan cara demikian terjadi dikarenakan belum
adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum dalam pelaksanaan
tugasnya dan bahkan ada oknum aparat yang terlibat dalam perusakan
hutan. Kekhawatiran masyarakat terhadap pengelolaan hutan di Desa Salua
berdasarkan hasil penelitian Care (2002) adalah sebagai berikut :
1. Alih fungsi kawasan TNLL menjadi lahan-lahan pertanian
2. Populasi pohon kayu /rotan akan semakin berkurang akibat adanya
penebangan yang tidak terkendali.
3. Akibat dari penebangan di TNLL mulai berdampak pada masyarakat
seperti banjir dan tanah longsor.
4. Binatang/hewan seperti babi hutan, burung maleo semakin berkurang
5. Perusakan kawasan dengan sistem penebangan dan pembukaan lahan
masih terjadi.
6. Penegakan hukum khususnya dari pihak berwenang sangat lemah
7. Masih ada oknum masyarakat yang diduga bekerjasama dengan oknum
aparat dalam pengambilan kayu.
8. Apabila musim hujan banjir dan tanah longsor terjadi dan susah
terkendali
9. Belum ada aturan yang diberlakukan khususnya dalam sistem
pengelolaan sumberdaya alam.
10. Keterlibatan masyarakat luar wilayah desa dalam PSDA.
11. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam
12. Belum ada tindakan tegas dari aparatur pemerintah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)
Masyarakat Desa Salua telah banyak memperoleh manfaat dari keberadaan
TNLL, baik manfaat yang bersifat langsung (nilai guna langsung) maupun
manfaat yang bersifat tidak langsung (nilai guna tidak langsung). Nilai guna
langsung yang telah diperoleh oleh masyarakat Desa Salua diantaranya adalah
hasil hutan kayu (bahan material dan kayu bakar) serta hasil hutan bukan kayu
seperti rotan, tanaman obat, umbi-umbian serta hewan liar sebagai sumber protein
hewani. Sedangkan nilai guna tidak langsung yang selama ini diperoleh oleh
masyarakat Desa Salua adalah jasa lingkungan seperti manfaat hutan dalam
pengaturan iklim, daerah tangkapan air, pengatur tata air dan reduksi banjir,
penyangga terhadap hama dan penyakit dan lain sebagainya.
Besarnya nilai manfaat tidak langsung yang dihasilkan hutan, khususnya
jasa lingkungan, sampai saat ini belum diapresiasi secara baik oleh publik, bahkan
kegiatan konservasi dianggap sebagai cost center. Akibat tidak dipahaminya nilai
ekonomi total yang berasal dari ekosistem hutan tersebut telah menyebabkan
peningkatan laju degradasi di berbagai kawasan hutan di Indonesia, termasuk di
kawasan TNLL. Selain itu, salah satu alasan mengapa apresiasi publik terhadap
jasa lingkungan masih rendah adalah, karena jasa lingkungan yang dihasilkan oleh
hutan belum memiliki transaksi pasarnya.
Hal tersebut disebabkan karena jasa-jasa lingkungan tersebut merupakan
barang publik dan memiliki eksternalitas dimana semua pihak yang
memanfaatkan jasa lingkungan tersebut tidak harus melakukan pembayaran
kepada pengelola hutan. Membayar atau tidak membayar, semua pihak tetap dapat
memanfaatkan jasa lingkungan sebagai produk sektor kehutanan karena memang
belum ada mekanisme yang mengatur pembayaran terhadap jasa lingkungan yang
bersifat sebagai barang publik. Ciri barang publik ialah tidak diberlakukannya
“exclusion principle” dan “rivalry in consumption” (Suparmoko dan Nurrochmat,
2005).
Dampak negatif dari kurang diapresiasinya jasa lingkungan hutan adalah
berkurangnya jumlah dan jenis sumberdaya alam hayati serta terjadinya degradasi
ekosistem hutan. Hal tersebut dengan sendirinya akan menyebabkan menurunnya
fungsi lindung dari hutan, seperti manfaat hutan dalam pengaturan iklim, daerah
tangkapan air, pengatur aliran air dan mereduksi banjir, penyangga terhadap hama
dan penyakit dan lain sebagainya.
Untuk kasus Desa Salua, telah terjadi apa yang disebut oleh Sitorus (2002)
sebagai perubahan cepat yang mendasar pada ekologi pedesaan, sebagai akibat
dari perluasan perkebunan kakao yang berlangsung cepat. Hal ini
mengindikasikan telah terjadi perubahan radikal bentukan sosial setempat, yang
telah memudahkan peralihan sistem kepemilikan tanah dari jenis kolektif
(common resources) menjadi jenis kepemilikan pribadi, di mana distribusi lahan
tunduk pada kekuatan pasar (pasaran tanah).
Situasi tersebut memungkinkan penduduk asli secara khusus memperoleh
sumberdaya tanah dan menjualnya pada pendatang, sehingga menyebabkan
perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, dimana penduduk asli telah
diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tak bertanah”, sementara
pendatang diangkat tingkatnya dari “tak bertanah” menjadi “bertanah”. Perubahan
dalam struktur agraria tersebut menandakan penurunan keterjaminan sosial
ekonomi penduduk asli dan sebaliknya peningkatan keterjaminan bagi pendatang.
Kondisi ini menyebabkan penduduk asli mencoba memecahkan masalah ketidak-
terjaminan sosial ekonomi dengan cara merambah kawasan hutan.
Kekuatan pasar telah mengalahkan pengetahuan indigenous (hukum adat
Taolo dan Ombo) yang telah dimiliki oleh masyarakat Desa Salua dalam
mengelola hutan dan lingkungan di sekitarnya. Turnbull (2002) menjelaskan
bahwa adanya pengaruh modernisasi terhadap pengetahuan indigenous
menyebabkan perubahan yang bersifat radikal. Perubahan tersebut sering dipicu
oleh adanya pengaruh yang datang dari kelompok luar, baik untuk tujuan
berdagang, pengembangan usaha, maupun kolonialisasi. Greiner (1998); Li
(2000) diacu dalam Golar (2007), menjelaskan bahwa terancamnya pengetahuan
indigenous dipengaruhi pula oleh globalisasi, yang mau tidak mau akan memaksa
masyarakat indigenous untuk menjadi bagian dari masyarakat global dengan
tatanan baru. Hal ini menyebabkan pengetahuan indigenous yang dimiliki menjadi
tidak relevan. Di samping itu, kekuatan ekonomi dan sosial secara perlahan dan
pasti seringkali menghancurkan struktur sosial, yang mampu menciptakan
pengetahuan dan praktik indigenous tersebut (terjadi perubahan perilaku) (Sunito
1999; 2004, diacu dalam Golar 2007).
Salah satu upaya untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan perilaku
tersebut, adalah dengan cara meningkatkan apresiasi publik terhadap kelestarian
alam, melalui penghitungan manfaat ekonomi jasa lingkungan hutan, sehingga
diharapkan dapat merubah persepsi bahwa nilai jasa lingkungan tidak memiliki
nilai ekonomi menjadi sebaliknya. Setelah itu, perlu juga disusun strategi
pengelolaan lingkungan di tingkat desa (Desa Salua) dengan memperhatikan
aspirasi dan potensi yang dimiliki oleh masyarakatnya.
Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Banjir
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat
Desa Salua terkena dampak banjir (62,1%), sedangkan sisanya (37,9%) tidak
terkena dampak banjir. Masyarakat yang terkena dampak banjir adalah
masyarakat yang mempunyai ladang dan atau tempat tinggal di daerah yang
rendah. Besar kecilnya dampak yang dirasakan sangat tergantung pada lokasi
tempat tinggal atau ladang, masyarakat yang mempunyai ladang atau tempat
tinggal di pinggiran sungai dan dataran rendah pada umumnya terkena dampak
lebih besar. Sedangkan masyarakat yang tidak terkena dampak banjir adalah
masyarakat yang mempunyai tempat tinggal atau ladang di lokasi yang relatif
tinggi. Data dampak banjir terhadap masyarakat Desa Salua selengkapnya bisa
dilihat pada Tabel 13 di bawah ini.
Tabel 13. Dampak Banjir Terhadap Masyarakat Desa Salua
No. Parameter Jumlah Responden
Persentase (%)
1. Sangat Besar 19 9,4 2. Besar 64 31,5 3. Sedang 23 11,3 4. Kecil 20 9,9 5. Tidak ada Masalah 77 37,9
Total 203 100,0
Masyarakat Desa Salua juga berpendapat, bahwa dampak banjir akan
semakin memburuk, jika tidak ada tindakan atau program pencegahan banjir di
Desa Salua. Hal ini disebabkan, tanpa ada program pencegahan, kondisi
lingkungan di Desa Salua cenderung akan semakin buruk, sehingga dampak banjir
akan semakin besar. Persepsi masyarakat tentang dampak banjir di Desa Salua
tanpa adanya program pencegahan, bisa dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.
Tabel 14. Dampak Banjir terhadap Lingkungan Desa Salua Tanpa Adanya Tindakan Pencegahan Banjir
No. Parameter Jumlah Persentase (%)
1. Semakin buruk 74 36.5 2. Buruk 82 40.4 3. Sama saja 45 22.2 4. Baik 1 0.5 5. Semakin Baik 1 0.5
Total 203 100.0
Berkenaan dengan program pembangunan yang dilaksanakan di Desa Salua
selama ini, pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa pembangunan tersebut
tidak dapat mengurangi kerusakan akibat banjir (56,2%), sedangkan yang
berpendapatan bahwa pembangunan yang dilaksanakan oleh desa bisa
mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh banjir hanya 17,7%. Hal tersebut
dikarenakan belum ada program pembangunan desa yang khusus menanggulangi
ancaman banjir. Data selengkapnya bisa dilihat pada Lampiran 17.
Berkenaan dengan tanggungjawab pemerintah kabupaten dalam usaha
pencegahan banjir dan erosi, masyarakat Desa Salua berpendapat bahwa
pemerintah seharusnya sangat bertanggungjawab terhadap pencegahan banjir dan
erosi (81,3%). Selain itu, responden juga berpendapat bahwa dirinya dan keluarga
juga seharusnya sangat bertanggungjawab terhadap pencegahan banjir di Desa
Salua (68%). Pihak lain yang seharusnya bertanggungjawab terhadap pencegahan
banjir di Desa Salua adalah seluruh masyarakat, Ornop, peneliti, masyarakat Desa
Salua dan Pemerintah desa. Data tentang pihak-pihak yang seharusnya
bertanggungjawab terhadap pencegahan banjir di Desa Salua bisa dilihat pada
Lampiran 17.
Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Erosi
Erosi merupakan bahaya lingkungan yang diketahui dan merupakan
ancaman bagi masyarakat Desa Salua. Berdasarkan wawancara dengan
masyarakat Desa Salua, sebanyak 81,8% masyarakat terkena dampak erosi dengan
besaran yang bervariasi, sedangkan 22,2% diantaranya tidak merasakan dampak
dari erosi. Sama halnya dengan dampak dari banjir, besar kecilnya dampak erosi
yang dirasakan oleh masyarakat sangat tergantung pada lokasi tempat tinggal atau
ladang yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat yang memiliki tempat tinggal
dan ladang pada lokasi yang curam maka akan mendapatkan dampak erosi yang
lebih besar. Masyarakat yang merasa tidak mendapatkan dampak dari erosi pada
umumnya adalah masyarakat yang memiliki tempat tinggal di tempat yang landai
dan tidak mempunyai ladang. Data selengkapnya tentang dampak erosi terhadap
masyarakat Desa Salua bisa dilihat pada Tabel 15 di bawah ini.
Tabel 15. Dampak Erosi terhadap Masyarakat Desa Salua
No. Parameter Jumlah Responden
Persentase (%)
1. Sangat besar 12 5.9 2. Besar 87 42.9 3. Sedang 35 17.2 4. Kecil 24 11.8 5. Tidak masalah 45 22.2
Total 203 100,0
Masyarakat Desa Salua juga berpendapat jika di Desa Salua tidak dilakukan
pencegahan terhadap bahaya erosi, maka di masa yang akan datang dampak dari
erosi akan semakin buruk terhadap lingkungan Desa Salua. Hal tersebut bisa
dilihat pada Tabel 16, di mana dari seluruh responden yang diwawancarai, hanya
1 orang (0,5%) yang berpendapat bahwa tanpa adanya pencegahan, maka dampak
erosi terhadap lingkungan di Desa Salua akan lebih baik.
Tabel 16. Dampak Erosi Terhadap Lingkungan Desa Salua tanpa Ada Upaya Pencegahan Erosi
No. Parameter Jumlah Responden
Persentase (%)
1. Lebih buruk 81 39.9 2. Buruk 69 34.0 3. Sama saja 52 25.6 4. Lebih baik 1 0.5
Total 203 100,0
Berkenaan dengan program pembangunan yang dilaksanakan di Desa Salua,
58.1% responden berpendapat bahwa program pembangunan yang dilaksanakan
tidak dapat mengurangi kerusakan akibat erosi tanah. Hal tersebut dikarenakan
belum adanya program pembangunan desa yang khusus menangani bahaya erosi.
Responden yang berpendapat bahwa program pembangunan di Desa Salua bisa
mengurangi kerusakan akibat erosi tanah hanya 19.2%, sisanya 16.3% menjawab
ragu-ragu. Data selengkapnya tentang persepsi masyarakat terhadap peran
pembangunan desa dalam mengurangi bahaya erosi bisa dilihat pada Lampiran
18.
Masyarakat Desa Salua berpendapat bahwa tanggungjawab dalam upaya
pencegahan erosi di Desa Salua berada di tangan masyarakat dan pemerintah,
karena hal tersebut merupakan tanggungjawab bersama, sehingga semua pihak
harus bekerja sama dalam melaksanakan hal tersebut. Data tentang Persepsi
masyarakat terhadap pihak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap
pencegahan bahaya erosi bisa dilihat pada Lampiran 18.
Persepsi Masyarakat terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui
Banjir dan erosi merupakan bahaya lingkungan yang telah diketahui, dengan
kata lain masyarakat Desa Salua telah mengetahui dan mengalami kedua ancaman
lingkungan tersebut. Selain bahaya lingkungan yang sudah diketahui, ada pula
bahaya lingkungan yang belum diketahui, dengan kata lain bahaya lingkungan
tersebut belum pernah terjadi di Desa Salua. Bahaya lingkungan yang belum
diketahui bisa merupakan bahaya lingkungan yang benar-benar baru, atau pernah
terjadi, tetapi terjadi di tempat lain.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, bahaya lingkungan yang
dianggap sebagai ancaman oleh masyarakat Desa Salua adalah wabah penyakit
yang telah menyerang daerah di luar Desa Salua yaitu wabah flu burung dan Sars.
Informasi tentang wabah penyakit tersebut pada umumnya diperoleh masyarakat
dari tanyangan TV, radio, dan koran. Bahaya lingkungan yang tidak diketahui
diduga erat kaitannya dengan kesehatan lingkungan. Dengan demikian, salah satu
cara untuk melindungi desa dari bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah
dengan cara menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup.
Berdasarkan data pada Tabel 17, diketahui bahwa 53,2% masyarakat
responden berpendapat bahwa bahaya lingkungan yang tidak diketahui merupakan
ancaman bagi kehidupan masyarakat Desa Salua, dengan tingkat ancaman
bervariasi.
Tabel 17. Ancaman Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui terhadap Masyarakat Desa Salua
No. Parameter Jumlah Responden
Persentase (%)
1. Sangat besar 3 1.5 2. Besar 44 21.7 3. Sedang 61 30.0 4. Kecil 48 23.6 5. Tidak masalah 47 23.2
Total 203 100,0
Selain itu, mayoritas masyarakat Desa Salua berpendapat, bahwa tanpa
adanya program pencegahan, maka kondisi lingkungan (kesehatan tanah, hutan
dan lahan) di masa yang akan datang akan semakin buruk. Hal tersebut bisa
dilihat pada Tabel 18 yang menunjukkan bahwa 50.2% responden berpendapat
bahwa kondisi lingkungan akan menjadi lebih buruk jika tidak dilakukan program
pencegahan. Dengan demikian masyarakat Desa Salua berpendapat bahwa
program pencegahan terhadap bahaya lingkungan yang tidak diketahui
diperlukan.
Tabel 18. Persepsi Masyarakat terhadap Ancaman Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui Tanpa Adanya Program Pencegahan
No. Parameter Jumlah Persentase (%)
1. Bertambah buruk 22 10.8 2. Buruk 102 50.2 3. Sama saja 76 37.4 4. Lebih baik 3 1.5
Total 203 100,0
Berkaitan dengan program pembangunan yang selama ini dilaksanakan di
Desa Salua, masyarakat berpendapat bahwa pembangunan di Desa Salua belum
dapat mengurangi bahaya lingkungan yang tidak diketahui (57.6%). Hal tersebut
dikarenakan belum ada program pembangunan di Desa Salua yang khusus
berkaitan dengan perbaikan kualitas lingkungan hidup. Data tentang persepsi
masyarakat terhadap peran pembangunan desa dalam mengurangi ancaman
bahaya lingkungan yang tidak diketahui bisa dilihat pada Lampiran 19.
Masyarakat Desa Salua berpendapat bahwa usaha untuk mengurangi
acaman bahaya lingkungan yang tidak diketahui merupakan tanggungjawab
semua pihak, termasuk masyarakat Desa Salua, pemerintah, Ornop, serta lembaga
penelitian. Dengan demikian, program tersebut merupakan tanggungjawab
bersama.
Willingness to Pay Masyarakat Desa Salua terhadap Jasa Lingkungan TNLL
Kemauan membayar masyarakat yang dihitung adalah kemauan
masyarakat membayar untuk jasa lingkungan TNLL dalam pencegahan terhadap
bahaya lingkungan yang telah diketahui (banjir dan erosi) dan manfaat ekonomi
TNLL dalam mencegah bahaya lingkungan yang belum diketahui (pencegahan
terhadap wabah penyakit bagi manusia, hama dan penyakit tumbuhan dan hewan).
Metode yang dipergunakan adalah Contingent Valuation Method (CVM).
Berdasarkan penelitian sebelumnya dan telah disampaikan pada bagian
pendahuluan, bahwa metode CVM memiliki beberapa kelemahan yang dapat
menyebabkan bias terhadap hasil penghitungan. Untuk mengurangi bias terhadap
nilai yang dihasilkan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa hal, diantaranya
adalah :
1. Melakukan uji coba kuisioner yang telah disusun melalui kegiatan pra
survey. Hal ini dilakukan untuk mengetahui respon dari masyarakat,
terhadap pertanyaan yang diberikan. Jika ternyata responden kurang
memahami pertanyaan atau jawaban yang diberikan tidak konsisten, maka
kuisioner akan di sempurnakan lagi. Hal tersebut dilakukan agar
rancangan penelitian yang dibuat relatif lebih cermat.
2. Menjelaskan skenario kegiatan kepada masyarakat, hal ini dilakukan agar
responden paham dan mengetahui dengan jelas, sejauh mana program
perbaikan lingkungan akan memberikan manfaat bagi pribadi dan
lingkungannya, sehingga kemauan membayar masyarakat didasarkan pada
perhitungan yang rasional. Skenario yang ditawarkan dalam penelitian ini
adalah adanya program perbaikan lingkungan yang dapat mengurangi
ancaman bahaya banjir dan erosi sebanyak 25% dan kesehatan lingkungan
akan bertambah, sehingga bahaya lingkungan yang tidak diketahui akan
berkurang.
Diasumsikan bahwa pemerintah atau pihak lain akan melaksanakan
program perbaikan lingkungan, dengan syarat masyarakat harus ikut
berpartisipasi dalam bentuk sumbangan uang ataupun sumbangan tenaga.
Jika masyarakat tidak mau berpartisipasi maka program perbaikan
lingkungan tersebut tidak jadi dilaksanakan. Oleh karena itu, masyarakat
Desa Salua harus ikut berpartisipasi dalam program perbaikan lingkungan
di atas
3. Menggunakan bantuan gambar untuk memperjelas isi pertanyaan kepada
responden. Hal ini dilakukan agar responden betul-betul dapat memahami
topik atau pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner
4. Melakukan hipotesis pasar sebelum menentukan nilai lelang, hal ini
dilakukan agar harga yang ditawarkan dalam survei relatif tidak berbeda
jauh dengan harga pasar yang berlaku
5. Menggunakan parameter lain, untuk mengukur “kewajaran” nilai WTP
yang diperoleh. Dalam penelitian ini parameter yang digunakan adalah
realisasi pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dan realisasi anggaran
belanja Desa Salua pada tahun yang sama dengan tahun penelitian
6. Memberikan pertayaan untuk mengetahui konsentrasi responden. Hal ini
dilakukan agar responden tidak menjawab secara asal-asalan. Jika
berdasarkan jawabannya, ternyata responden dianggap tidak
berkonsentrasi, maka pertanyaan diulang atau jawaban responden tersebut
diabaikan dalam penelitian ini
Berdasarkan hasil survei kemauan membayar masyarakat Desa Salua
terhadap jasa lingkungan TNLL dalam mencegah bahaya lingkungan yang tidak
diketahui diperoleh informasi bahwa dari seluruh responden yang diwawancarai
hanya ± 2% yang tidak bersedia membayar, sedangkan ± 98% responden
menyatakan bersedia membayar dengan nilai yang bervariasi, antara Rp. 500 per
bulan sampai dengan Rp. 9000 per bulan. Mayoritas responden (42.42%)
bersedia membayar sebesar Rp. 3000 perbulan, sedangkan jumlah masyarakat
yang bersedia membayar dengan jumlah maksimum (Rp. 9000 per bulan)
berjumlah 12.12%.
Jumlah total kemauan membayar masyarakat Desa Salua untuk pencegahan
bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah Rp. 648.000 per bulan, dengan
demikian rata-rata kemauan membayar masyarakat Desa Salua adalah Rp.
3.272,73 per bulan. Untuk mengetahui nilai ekonomi TNLL dalam pencegahan
bahaya lingkungan yang tidak diketahui, nilai rata-rata kemauan membayar
masyarakat Desa Salua dikalikan dengan seluruh rumah tangga yang ada di Desa
Salua yang berjumlah 278 rumah tangga. Dengan demikian, maka nilai ekonomi
jasa lingkungan TNLL untuk menjaga bahaya lingkungan yang tidak diketahui
adalah Rp. 909.818 per bulan atau 10.917.818,18 per tahun. Data selengkapnya
tentang kemauan membayar masyarakat dalam bentuk iuran uang per bulan
untuk program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui bisa dilihat
pada Tabel 19 di bawah ini.
Tabel 19. Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui
No Jumlah Kemauan Membayar (Rp/bulan) Frekwensi Jumlah Persentase
(%) 1 0 4 - 2,022 500 36 18.000 18,183 1000 18 18.000 9,094 1500 4 6.000 2,025 2000 5 10.000 2,536 3000 84 252.000 42,427 4000 5 20.000 2,538 6000 18 108.000 9,099 9000 24 216.000 12,12
Total 198 648.000 100Rata-rata 3.272,73
Jika nilai WTP tersebut dibandingkan dengan realisasi Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) di Desa Salua pada tahun 2005 yang berjumlah Rp. 3.025.584
dan merupakan kemauan riil masyarakat untuk membayar pajak, maka nilai
realisasi PBB kurang lebih hanya berjumlah 28% dari nilai WTP. Meskipun
demikian, bukan berarti nilai WTP tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
kemauan masyarakat yang sesungguhnya untuk membayar atau berpartisipasi
dalam perbaikan lingkungan. Hal tersebut disebabkan karena uang yang
dikeluarkan untuk membayar PBB, disetorkan kepada pemerintah pusat, dan
masyarakat tidak dapat secara langsung merasakan manfaatnya. Sedangkan uang
yang dibayarkan untuk membayar perbaikan lingkungan di Desa Salua, bisa
langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sehingga kemauan membayar
masyarakat lebih tinggi.
Jika WTP masyarakat Desa Salua digabungkan dengan realisasi
penerimaan rutin dan pembangunan di Desa Salua yang berjumlah Rp. 7.000.000,
maka dana pembangunan di Desa Salua, akan bertambah menjadi ± Rp.
18.000.000/tahun. Dengan demikian sebenarnya terbuka potensi penambahan
anggaran pembangunan di Desa Salua, khususnya untuk anggaran program
perbaikan lingkungan secara swadaya.
Sebagai pembanding, jumlah kemauan membayar masyarakat Desa Salua
terhadap jasa lingkungan pencegahan banjir dan erosi dari TNLL diukur pula
dengan kemauan membayar dalam bentuk sumbangan tenaga kerja. Berdasarkan
perhitungan tersebut, diketahui bahwa jumlah masyarakat yang bersedia
membayar adalah 98% dan yang tidak bersedia membayar adalah 2%. Mayoritas
kemauan membayar masyarakat Desa Salua adalah 4 HOK/bulan (61,1%),
sedangkan rata-rata kemauan membayar masyarakat adalah 3 HOK (dengan
pembulatan). Untuk mengetahui kemauan membayar dengan tenaga kerja dari
masyarakat Desa Salua, maka jumlah rata-rata tersebut dikalikan dengan seluruh
rumah tangga yang ada, sehingga diperoleh nilai 843 HOK/bulan.
Jika sumbangan dalam bentuk tenaga kerja tersebut ditransfer ke dalam
bentuk uang, dengan asumsi bahwa satu HOK di Desa Salua bernilai Rp. 25.000,
maka kemauan membayar masyarakat Desa Salua adalah Rp. 20.850.000/bulan
atau Rp. 250.200.000/tahun. Nilai tersebut merupakan potensi dan merupakan
modal potensial yang telah ada. Dalam konteks pemerintah daerah atau lembaga
lain yang akan melakukan perbaikan lingkungan di Desa Salua, telah terdapat
potensi dana untuk program perbaikan lingkungan sebesar Rp. 250.200.000/tahun
dalam bentuk tenaga kerja.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Salua cenderung
untuk memberikan sumbangan dalam bentuk tenaga kerja dibandingkan dalam
bentuk uang. Data kemauan membayar Masyarakat Desa Salua dalam bentuk
sumbangan tenaga kerja bisa dilihat dalam Tabel 20 di bawah ini.
Tabel 20. Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga
No Jumlah Kemauan Membayar dengan
Tenaga (HOK/bulan)
Kemauan Membayar Jumlah Persentase
(%)
1 0 4 0 22 0,5 8 4 3.93 1 22 22 10.84 1.5 15 22.5 7.45 2 30 60 14.86 4 124 496 61.1
Jumlah 203 604.5 Rata-rata 3
Keterangan : 0.5 HOK setara dengan 4 jam kerja, 1 HOK setara dengan 8 jam kerja
Agar potensi tenaga kerja tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, maka
perlu adanya pengorganisasian potensi tenaga kerja tersebut. Lembaga yang
mengkoordinir pengorganisasian tersebut, bisa lembaga desa, lembaga adat, atau
organisasi lain yang disepakati oleh semua elemen masyarakat. Bentuk
pengorganisasian yang bisa dilakukan adalah dengan cara membuat jadwal kerja
bakti untuk melakukan program perbaikan lingkungan.
Format ideal pelaksanaan program perbaikan lingkungan di Desa salua
adalah : Ada bantuan dana, bahan material, atau peralatan dari pihak luar kepada
masyarakat Desa Salua, dan masyarakat secara bergotong royong
menyumbangkan tenaga kerjanya. Apabila bantuan dari luar belum ada,
sebenarnya masyarakat bisa memulai melakukan kerja bakti untuk memperbaiki
lingkungan di Desa Salua, terutama difokuskan pada kegiatan yang bersifat padat
karya dan tidak membutuhkan biaya yang besar, seperti bergotong royong untuk
memperbaki tanggul, membersihkan sungai dari sisa-sisa kayu gelondongan serta
bergotong royong dalam menjaga hutan yang masih utuh dari berbagai gangguan
seperti penebangan liar dan perambahan hutan.
Dalam penelitian ini dihitung pula kemauan membayar masyarakat Desa
Salua dalam bentuk sumbangan tenaga kerja terhadap program pencegahan
bahaya lingkungan yang sudah diketahui yaitu banjir dan erosi. Data kemauan
membayar masyarakat bisa dilihat pada Tabel 21 di bawah ini
Tabel 21. Kemauan Membayar Masyarakat untuk Pencegahan Bahaya Banjir dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga
No. Kemauan Membayar
(HOK/bulan) Frekwensi Jumlah
Responden persentase
1 0 4 0 2 2 0.5 6 3 3 3 1 21 21 10.3 4 1.5 13 19.5 6.4 5 2 36 72 17.7 6 4 123 492 60.6
Total 203 607.5 100 Rata-rata 3
Keterangan 0,5 hari setara dengan 4 jam kerja, 1 hari setara dengan 8 jam kerja
Berdasarkan data pada Tabel 21 diketahui bahwa 98% masyarakat bersedia
menyumbangkan tenaganya dan hanya 2% tidak bersedia. Mayoritas masyarakat
bersedia menyumbangkan tenaga untuk program pencegahan banjir dan erosi
sebanyak 4 HOK per bulan yaitu sebanyak 60,6%, sedangkan jumlah kemauan
membayar yang paling sedikit adalah 0.5 HOK, yaitu sebanyak 3%. Total
sumbangan hari kerja yang bersedia disumbangkan adalah 607.5 HOK, dengan
demikian rata-rata sumbangan tenaga kerja yang disumbangkan adalah 3 HOK
per bulan (dengan pembulatan).
Jika jumlah sumbangan tenaga kerja tersebut ditransfer ke dalam bentuk
uang, dengan asumsi nilai satu HOK di Desa Salua adalah Rp. 25.000, maka rata-
rata kemauan membayar masyarakat Desa Salua adalah Rp. 75.000 per bulan.
Untuk mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL terhadap pencegahan
banjir dan erosi, maka nilai rata-rata kemauan membayar masyarakat Desa Salua
dikalikan dengan jumlah seluruh rumah tangga di Desa Salua yang berjumlah 287
rumah tangga. Dengan demikian nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL dalam
mencegah bahaya banjir dan erosi adalah Rp. 20.850.000 per bulan atau Rp.
250.200.000 per tahun.
Berdasarkan perhitungan-perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kemauan membayar masyarakat dalam bentuk sumbangan tenaga kerja lebih besar
jika dibandingkan dengan sumbangan dalam bentuk uang. Hal tersebut sangat
dipengaruhi oleh mayoritas masyarakat di Desa Salua adalah petani, sehingga
mempunyai waktu luang relatif banyak, terutama pada saat musim tanam selesai
atau ketika menunggu waktu panen. Dengan demikian, jika perintah atau pihak
lain akan melakukan perbaikan lingkungan di Desa Salua, yang melibatkan peran
serta masyarakat, akan lebih efektif jika sumbangan masyarakat diberikan dalam
bentuk tenaga kerja, sedangkan pemerintah atau pihak lain bisa berkontribusi
dalam bentuk dana, peralatan atau bahan bangunan. Selain itu, kegiatan juga
dilaksanakan pada saat musim tanam sudah selesai atau sebelum waktu panen.
Meskipun hasil perhitungan melalui modifikasi metode CVM telah
meminimalisir kemungkinan bias dalam hasil perhitungan, dalam konteks
pelaksanaan metode CVM di Indonesia, masih terdapat beberapa kendala,
diantaranya adalah :
1. Adanya ketimpangan pengetahuan yang cukup jauh antara peneliti
dengan responden. Oleh karena itu, nilai ekonomi jasa lingkungan yang
bisa dihitung dengan metode CVM sebaiknya nilai ekonomi jasa
lingkungan yang sederhana atau berhubungan erat dengan kehidupan
responden. Untuk topik-topik yang tidak familiar dengan kehidupan
masyarakat relatif sulit untuk dilakukan, karena membutuhkan energi
yang cukup besar untuk memberikan pemahaman terhadap topik yang
akan ditanyakan.
2. Untuk aplikasi di beberapa daerah atau responden yang berasal dari
daerah tertentu, fenomena warm glow (menyenangkan pewawancara)
dan catering bias (menyetujui apa yang disetujui oleh pewawancara)
masih sangat mungkin terjadi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP Masyarakat Desa Salua
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempunyai pengaruh nyata terhadap
kemauan membayar masyarakat terhadap program pencegahan bahaya lingkungan
di Desa Salua akan digunakan korelasi sederhana. Menurut Santosa dan Ashari
(2005) analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan suatu kejadian
atau variabel dengan kejadian atau variabel lain. Analisis korelasi akan
menghasilkan ukuran yang disebut dengan koefisien korelasi, sedangkan analisis
regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh suatu variabel terhadap variabel
yang lain. Hasil analisis regresi berupa persamaan regresi yang merupakan fungsi
prediksi suatu variabel dengan menggunakan variabel yang lain.
Variabel tidak bebas (dependent variable) yang digunakan adalah WTP
masyarakat terhadap bahaya lingkungan yang tidak diketahui, sedangkan variabel
bebas yang digunakan adalah pendapatan, tingkat pendidikan dan pengetahuan
masyarakat terhadap ajaran “Katuwua”, serta informasi tentang bencana banjir di
daerah Dongi-dongi.
Korelasi antara WTP masyarakat Desa Salua dengan Pendapatan Masyarakat
Berdasarkan uji korelasi sederhana dengan mengunakan program SPSS,
diketahui bahwa pendapatan masyarakat Desa Salua berpengaruh nyata (pada
level 0.01) terhadap besarnya kemauan membayar masyarakat Desa Salua.
Berdasarkan uji korelasi tersebut diketahui bahwa semakin besar pendapatan
masyarakat, maka semakin besar pula kemauan membayar masyarakat terhadap
bahaya lingkungan yang tidak diketahui.
Berdasarkan analisis regresi sederhana diperoleh persamaan: Y= 2.6 +
0.51X dimana Y adalah Kemauan membayar masyarakat (WTP) untuk program
pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui, sedangkan X adalah
pendapatan rata-rata masyarakat. Dengan demikian, perubahan pendapatan rata-
rata masyarakat sebesar 1 (satu) satuan (rupiah) akan mengubah nilai WTP
sebesar 0.51 satuan (rupiah), dengan kemauan membayar minimal ketika
pendapatan Rp. 0 sebesar Rp. 2.6. Koefisien korelasi antara WTP dengan
pendapatan rata-rata masyarakat sebesar 0.68 dengan sig sebesar 0,00 lebih kecil
dari α (0.05). Dengan demikian regresi tersebut signifikan secara statistik. Hasil
perhitungan regresi bisa dilihat pada Lampiran 20.
Besarnya pendapatan akan berdampak terhadap alokasi penggunaan dana
setiap bulan. Semakin tinggi pendapatan, maka semakin besar pula kemampuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primer seperti pangan, sandang dan
pendidikan, sehingga masih mempunyai dana untuk membayar program
pencegahan lingkungan. Hasil perhitungan korelasi antara WTP masyarakat Desa
Salua terhadap program bahaya lingkungan yang tidak diketahui dengan
pendapatan rata-rata masyarakat bisa dilihat pada Lampiran 21.
Pada penelitian ini diukur pula besarnya pembagian uang yang akan
dilakukan oleh masyarakat jika memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp.
25.000. Penggunaan tambahan pendapatan tersebut telah ditentukan, yaitu untuk
membeli kebutuhan pokok, investasi dan membayar program pencegahan bahaya
lingkungan yang tidak diketahui. Berdasarkan data pada Tabel 22 terlihat bahwa
dari total pendapatan tambahan, 57% digunakan untuk membeli kebutuhan
primer, 33% untuk investasi dan 9% untuk membayar program perbaikan
lingkungan. Dengan demikian mayoritas masyarakat cenderung menggunakan
tambahan pendapatannya untuk membeli/memenuhi kebutuhan primer.
Tabel 22. Penggunaan Pendapatan Tambahan oleh Masyarakat Desa Salua
Penggunaan Pendapatan Tambahan Makanan Tambahan Investasi Perbaikan lingkungan
JU F J JU F J JU F J Jumlah 0 63 - 0 113 - 0 170 -
1.000 1 1.000 1.000 3 3.000 1.000 3 3.000 2.000 1 2.000 2.000 20 40.000 2.000 1 2.000 5.000 11 55.000 5.000 1 5.000 5.000 6 30.000
10.000 45 450.000 10.000 15 150.000 10.000 5 50.000 11.000 1 11.000 11.000 2 22.000 11.000 3 33.000 12.500 1 12.500 12.500 1 12.500 12.500 7 87.500 15.000 23 345.000 15.000 11 165.000 15.000 4 60.000
20.000 8 160.000 20.000 1 20.000 20.000 1 20.000 22.000 2 44.000 22.000 6 132.000 22.000 1 22.000
23.500 1 23.500 23.500 1 23.500 23.500 1 23.500 25.000 46 1.150.000 25.000 29 725.000 25.000 1 25.000
Total 203 2.254.000 203 1.298.000 203 356.000 3.908.000 Persentase 58 33 9 Keterangan : - JU = Jumlah Uang
- F = Frekwensi - J = Jumlah
Berdasarkan uji korelasi, diketahui bahwa pendapatan masyarakat
berpengaruh nyata (pada level 0.01) terhadap besarnya tambahan pendapatan yang
digunakan untuk program perbaikan lingkungan untuk mencegah bahaya
lingkungan yang tidak diketahui. Dengan demikian, uji korelasi tersebut semakin
memperlihatkan bahwa masyarakat akan lebih memperhatikan pengeluaran untuk
perbaikan lingkungan, jika kebutuhan pokoknya telah terpenuhi. Perhitungan
korelasi antara pendapatan masyarakat dengan penggunaan pendapatan tambahan
untuk program perbaikan lingkungan bisa dilihat pada Lampiran 22.
Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Salua berpengaruh nyata (pada level
0.01) dengan kemauan membayar masyarakat terhadap program pencegahan
bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Pendidikan yang tinggi pada umumnya
berpengaruh pada pengetahuan dan pola pikir. Oleh karena itu, semakin tinggi
pendidikan seseorang, maka pandangannya terhadap kelestarian lingkungan hidup
cenderung lebih bijaksana. Dengan demikian, semakin tinggi pendidikan
seseorang, maka kemauan membayar terhadap program pencegahan bahaya
lingkungan cenderung lebih tinggi. Oleh karena itu, salah satu cara untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup adalah dengan
cara meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat. Hasil perhitungan korelasi
antara WTP masyarakat Desa Salua terhadap Program bahaya lingkungan yang
tidak diketahui dengan tingkat pendidikan bisa dilihat pada Lampiran 23.
Korelasi antara WTP Masyarakat Salua dengan Pengetahuan “Katuwua”
“Katuwua” adalah suatu keyakinan akan keharmonisan hubungan antara
manusia dengan alam. Lingkungan yang sehat adalah lingkungan yang serasi
antara manusia dengan alam. Berdasarkan hasil wawancara pada Tabel 23, 78.7%
masyarakat bisa dikatagorikan mengerti tentang “Katuwua” dan sekitar 7.4 %
tidak mengerti. Meskipun demikian pengetahuan tersebut tidak berpengaruh nyata
terhadap kemauan membayar masyarakat Desa Salua. Dengan demikian ajaran
“Katuwua” belum berpengaruh terhadap perilaku masyarakat Desa Salua dalam
mengelola lingkungannya. Hasil perhitungan korelasi antara kemauan membayar
masyarakat dengan pengetahuan tentang Katuwua bisa dilihat pada Lampiran 24.
Tabel 23. Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Ajaran Katuwua
No. Parameter Jumlah Persentase (%)
1. Sama sekali tidak mengerti 15 7,4 2. Hampir tidak mengerti 1 0,5 3. Sedikit mengerti 7 3,4 4. Mengerti 154 75,9 5. Sangat Mengerti 26 12,8
Total 203 100,0
Kemauan membayar masyarakat Desa Salua lebih dipengaruhi oleh
informasi atau pengetahuan tentang bencana lingkungan yang telah terjadi, dalam
hal ini banjir besar yang telah terjadi di daerah Dongi-dongi. Berdasarkan data
pada Tabel 25, 64.5% masyarakat mengetahui tentang banjir besar yang pernah
melanda Dongi-dongi. Pengetahuan tersebut berpengaruh nyata terhadap kemauan
membayar masyarakat. Dengan demikian masyarakat yang mengetahui tentang
bajir besar di Dongi-dongi cenderung membayar lebih besar dibandingkan dengan
masyarakat yang tidak mengetahuinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kemauan membayar masyarakat lebih dipengaruhi oleh bencana yang telah
terjadi dibandingkan dengan ajaran “Katuwua”. Hasil perhitungan korelasi antara
kemauan membayar masyarakat dengan pengetahuan tentang banjir di Dongi-
dongi bisa dilihat pada Lampiran 25.
Tabel 24. Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Banjir Di Daerah Dongi-dongi
No. Parameter Jumlah Persentase (%)
1. Tidak tahu 72 35.5 2. Tahu 131 64.5
Total 203 100,0
Kecenderungan bahwa kemauan membayar masyarakat dipengaruhi oleh
bencana atau kejadian yang telah terjadi, diperkuat dengan uji korelasi antara
kemauan membayar masyarakat dengan pengetahuan masyarakat tentang wabah
penyakit yang telah melanda daerah di luar Desa Salua yang menunjukkan
korelasi yang signifikan pada level (0.01). Dengan demikian semakin tinggi
pengetahuan masyarakat tentang wabah penyakit yang telah terjadi di daerah lain,
maka kemauan membayar untuk program pencegahan bahaya lingkungan yang
tidak diketahui cenderung lebih besar. Hasil perhitungan korelasi antara kemauan
membayar masyarakat dengan pengetahuan masyarakat tentang wabah penyakit
yang telah melanda daerah di luar Desa Salua bisa dilihat pada Lampiran 26.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka salah satu cara yang efektif untuk
meningkatkan kesadaran lingkungan kepada masyarakat adalah dengan cara
memberikan informasi tentang dampak buruk atau bencana lingkungan yang
terjadi di daerah lain, yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan hidup.
Model Agregat WTP Masyarakat Desa Salua
Data pada Tabel 25 menunjukkan hasil analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi WTP masyarakat Desa Salua terhadap program pencegahan
bahaya lingkungan yang tidak diketahui. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai
keragaman ( R2) yang diperoleh sebesar 47,8% yang berarti 47,8% keragaman
WTP masyarakat Desa Salua terhadap program pencegahan banjir dan erosi dapat
diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yang terdapat di dalam
model, sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam
model. Model yang dihasilkan dalam analisis adalah :
WTP = 1.992 +0.376 X1+0.0000255 X2 + 0.376 X3 + 0.870 X4 + 0.32 X5
Tabel 25. Hasil Analisis Nilai WTP Masyarakat Desa Salua untuk Program
Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui
Ket Variabel Koefisien P-value 1 Konstanta 1.992 0.000
X1 Pendapatan rata-rata per tahun 0.376 *0.000 X2 Penggunaan pendapatan
tambahan untuk program lingkungan
0.0000255 0.569
X3 Pengetahuan tentang “Katuwua” 0.376 0.374 X4 Tingkat Pendidikan 0.870 0.479 X5 Pengetahuan tentang banjir
“Dongi-dongi” 0.32 0.276
S= 1.772 R-Sq = 47% R-Sq (adj)= 46,5% Ket : * nyata pada taraf uji 95 persen
Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada Tabel 25, bahwa dari lima
variabel penjelas, hanya terdapat satu variabel nyata terhadap WTP pada selang
kepercayaan 95%, yaitu variabel pendapatan rata-rata masyarakat, sedangkan
variabel yang lain tidak berpengaruh nyata. Hasil tersebut, berbeda dengan hasil
perhitungan dengan menggunakan korelasi sederhana, dimana variabel yang
memberikan pengaruh nyata adalah X1, X2, X4 dan X5.
Hal tersebut disebabkan karena dalam regresi berganda, koefisien
regresinya merupakan pengaruh parsial, dalam arti, pengaruh suatu variabel
dengan anggapan bahwa variabel tersebut konstan. Sebagai contoh, koefisien
pendidikan diperoleh dengan asumsi bahwa variabel lain dianggap tidak berubah
atau memiliki level yang sama. Pendidikan pada regresi berganda menjadi tidak
signifikan karena masyarakat yang mempunyai pendapatan yang sama memiliki
tingkat pendidikan yang hampir sama, sehingga wajar ketika responden memiliki
pendapatan yang sama, maka tingkat pendidikan tidak lagi memberikan pengaruh
yang nyata.
Nilai R2 yang dipakai adalah nilai R2 yang disesuaikan (R2 adj) karena
model tersebut memiliki beberapa variabel. Berdasarkan data pada Tabel 25,
nilai R2 adalah 46,5%, yang berarti bahwa 46,5% keragaman WTP masyarakat
desa salua untuk program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui
dapat diterangkan oleh variabel-variabel penjelas yang terdapat di dalam model,
sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model.
Hasil uji F terhadap data menunjukkan bahwa nilai p-value kurang dari α
yaitu sebesar 0.000, sehingga secara bersama-sama variabel bebas berpengaruh
nyata terhadap variabel bebasnya. Data yang digunakan juga telah di uji
normalitasnya (menyebar normal) dengan uji Jarque Bera sehingga data tersebut
valid untuk diolah dengan teknik regresi berganda. Model yang dihasilkan juga
tidak terdapat multikolinear, karena memiliki nilai Variance Inflation Factor
(VIF) kurang dari 10. Hasil analisis tersebut, bisa dilihat pada Lampiran 27.
Strategi Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
Rumusan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua, disusun dengan
menggunakan analisis SWOT . Dalam pelaksanaannya, key person diwawancarai
mengenai faktor apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan utama dari
masyarakat Desa Salua dalam mengelola lingkungan secara lestari, peluang yang
paling mungkin dimanfaatkan dalam rangka mengelola lingkungan secara lestari,
serta ancaman yang paling besar terhadap usaha pengelolaan lingkungan secara
lestari di Desa Salua. Gambaran mengenai berbagai faktor internal dan eksternal
dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah
ini.
Tabel 26. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
FAKTOR INTERNAL Kekuatan Kelemahan
1. Masyarakat memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan
2. Masyarakat mengetahui teknik dan teknologi untuk mencegah banjir dan erosi
3. Teknologi atau teknik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman banjir
4. Teknologi atau teknik pertanian yang digunakan dapat mengurangi erosi
5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi
6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan banjir dan erosi
1. Masyarakat Desa Salua menebang hutan karena tuntutan ekonomi
2. Masyarakat Desa Salua merambah hutan di TNLL karena lahannya dijual kepada pendatang
3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir masih kurang
4. Lahan pertanian memiliki kemiringan yang tinggi
5. Terdapat sungai besar yang sering meluap di dekat Desa Salua
6. Kelembagaan desa dalam mencegah banjir dan erosi belum berjalan
7. Belum ada koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparatnya dalam usaha pencegahan banjir dan erosi
8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap banjir dan erosi belum merata
9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum memadai
10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi
FAKTOR EKSTERNAL Peluang Ancaman
1. Pemerintah, ornop dan lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi di desa
1. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa tetangga
2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak
Tabel 26. (Lanjutan) Peluang Ancaman
2. Terdapat program pembangunan fisik dari pemerintah, ornop dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi
3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah, ornop dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi di desa
4. Adanya transfer informasi dan teknologi dari luar desa dalam rangka pencegahan banjir dan erosi
5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan mencari solusi masalah banjir dan erosi di desa
6. Pemerintah memberikan bantuan bibit pohon untuk menanami hutan yang rusak
7. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan
8. Ada undang - undang yang melarang penebangan dan perusakan hutan
9. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan
3. Adanya provokasi dari orang luar desa untuk merusak hutan
4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan petani lokal, sehingga penduduk lokal mencari pengganti lahan dengan cara merambah hutan
5. Banyak penduduk dari luar desa yang merambah hutan, sehingga warga desa ikut merambah hutan
6. Program pencegahan banjir dan erosi dari pemerintah/lembaga lain kurang tepat sasaran
7. Adanya oknum - oknum dari luar desa yang memotong dana untuk program pencegahan banjir dan erosi di desa
8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap bahaya erosi dan banjir masih kurang
9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam mencegah terjadinya banjir dan erosi masih rendah
10. Semakin bertambahnya cukong - cukong kayu dari luar desa
Matrik IFE (Internal Factor Evaluation)
Berdasarkan identifikasi faktor-faktor strategis internal pengelolaan
lingkungan di Desa Salua, maka diperoleh kekuatan (strengths) dan kelemahan
(weaknesess) yang berpengaruh terhadap pengelolaan lingkungan di Desa Salua.
Faktor internal berupa kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan di Desa Salua berdasarkan hasil wawancara dengan key person bisa
dilihat pada Tabel 27 di bawah ini.
Tabel 27. Faktor Strategis Internal Kekuatan dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
Faktor Internal Bobot Rating Score Rangking Kekuatan
1. Masyarakat Memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan 0.09 4.00 0.37 6
2. Masyarakat mengetahui tehnik teknologi untuk mencegah banjir dan erosi 0.13 2.00 0.25 5
3. Teknologi atau tehnik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman banjir 0.21 3.00 0.62 3
4. Teknologi atau teknik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman erosi 0.20 3.00 0.61 4
5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi 0.18 4.00 0.72 2
6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan banjir dan erosi 0.19 4.00 0.76 1
Jumlah 3.34
Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE diketahui bahwa kekuatan yang
mempunyai pengaruh paling besar terhadap masyarakat Desa Salua dalam hal
pengelolaan lingkungan adalah adanya tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor
dalam kegiatan pencegahan banjir dan erosi skor (0,76) serta kesadaran
masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi (skor 0,72). Sedangkan
kekuatan yang mempunyai pengaruh paling kecil adalah masyarakat mengetahui
teknik dan teknologi untuk mencegah banjir dan erosi skor (0.25) dan masyarakat
memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan (0.37).
1. Masyarakat Memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan
Peubah ini memiliki pengaruh relatif kecil yaitu 0.37, dikarenakan
kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan
belum merata dan belum terimplementasi dalam bentuk perilaku positif dalam
menjaga kelestarian lingkungan. Kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, masih
kalah oleh tuntutan ekonomi, sehingga banyak masyarakat yang sadar tentang
pentingnya menjaga lingkungan, akan tetapi tetap merambah TNLL karena
tuntutan ekonomi dan kebutuhan lahan.
2. Masyarakat mengetahui teknik dan teknologi untuk mencegah banjir dan erosi
Peubah ini memiliki pengaruh 0.25. Pengetahuan tentang teknik dan
teknologi untuk mencegah banjir dan erosi yang dimiliki oleh masyarakat Desa
Salua belum merata dan berasal dari teknologi yang sederhana. Sebagai contoh,
untuk mencegah banjir digunakan tanggul dari pasir yang dimasukkan ke dalam
karung, dan untuk mencegah erosi digunakan sistem terasering. Meskipun
demikian, teknologi sederhana tersebut belum banyak digunakan, karena
keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Oleh karena itu, peubah ini mempunyai
pengaruh yang kecil (rangking 5) terhadap kekuatan Desa Salua dalam rangka
pengelolaan lingkungan yang lestari.
3. Teknologi dan teknik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman
banjir
Untuk mengurangi ancaman banjir, sebagian kecil masyarakat Desa Salua
mencampur kebun coklat yang mereka miliki dengan pohon kehutanan, terutama
pada lokasi yang dekat dengan sungai. Selain itu, masyarakat juga membuat
tanggul yang relatif tinggi pada ladang yang berada di pinggir sungai. Meskipun
demikian, teknologi tersebut hanya efektif untuk menahan banjir dalam skala
kecil dan hal tersebut hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat. Oleh
karena itu, peubah ini juga mempunyai pengaruh yang sedang (rangking 3),
dengan pengaruh sebesar 0.62.
4. Teknologi atau teknik pertanian yang digunakan dapat mengurangi erosi
Untuk mengurangi erosi, sebagian kecil masyarakat salua menanam
tanaman penutup tanah berupa tanaman obat dan rempah di bawah tanaman
coklat. Selain itu, ada juga masyarakat yang menggunakan sistem terasering
dalam menanam coklat atau tanaman pertanian. Hal ini pun hanya dilakukan
oleh sebagian kecil masyarakat karena keterbatasan bibit dan pengetahuan
masyarakat, sehingga hanya memiliki pengaruh yang sedang, yaitu 0.61
5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi
Tingginya kesadaran masyarakat Desa Salua terhadap bahaya banjir dan
erosi dilatarbelakangi oleh posisi Desa Salua yang berada di Lembah Kulawi
yang dilalui oleh 3 sungai besar serta banjir besar yang pernah terjadi di Desa
Salua sekitar tahun 2002. Dengan demikian secara alami masyarakat menyadari
bahwa ancaman banjir dan erosi senantiasa mengancam desa mereka, terlebih lagi
dengan kerusakan lingkungan yang terus meningkat. Dengan demikian kesadaran
tersebut merupakan modal besar, bagi program pengelolaan lingkungan yang
lestari di Desa Salua. Oleh karena itu, peubah ini mempunyai pengaruh yang besar
yaitu 0.72.
6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan
banjir dan erosi
Peubah ini memiliki pengaruh yang paling besar (0.76) dalam pengelolaan
lingkungan di Desa Salua. Di Desa Salua terdapat tokoh lokal yang dapat menjadi
pelopor dalam program pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Tokoh lokal
tersebut diharapkan bisa menjadi motivator lokal yang dapat dipercaya dan
mampu menjembatani kepentingan masyarakat Desa Salua dan pihak lain diluar
desa seperti pemerintah, ornop dan stakeholders lain yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Menurut Nurrochmat (2000), motivator
lokal bisa berasal dari berbagai latar belakang, yang penting bisa dipercaya dan
berdiri di atas semua golongan.
Pelajaran yang dapat ditarik dari program Perhutanan Sosial di Jawa
Tengah, misalnya, menunjukkan bahwa sosok guru desa dapat menjadi motivator
lokal yang baik dalam pengelolaan sumberdaya alam partisipatif. Dalam kasus
masyarakat petani, guru desa (yang umumnya juga bertani) acap dijadikan
panutan oleh petani lain karena kreativitas dan inovasinya dalam bertani langsung
dapat dilihat dan ditiru masyarakat di sekitarnya. Di Desa Salua sendiri yang
dapat menjadi motivator lokal adalah tokoh adat dan tokoh pemuda.
Selain adanya motivator lokal, dalam melaksanakan program partisipasi
pengelolaan lingkungan di Desa Salua diperlukan penguatan modal sosial dalam
masyarakat. Menurut Putnam (1993) yang diacu dalam Nurrochmat (2005)
kekuatan modal sosial berkaitan dengan kepercayaan (trust), norma, dan jaringan
sosial yang ada di masyarakat. Oleh karenanya, diperlukan upaya merevitalisasi
institusi-institusi lokal untuk menjamin terlaksananya pengelolaan sumberdaya
alam yang partisipatif (Satria, 2003 yang diacu dalam Nurrochmat 2005).
Dalam hal ini, revitalisasi institusi lokal tidak (selalu) berarti menghidupkan
kembali masyarakat hukum adat atau menghadirkan kembali nilai-nilai “kearifan”
lama. Penguatan institusi lokal dapat (juga) dimulai dengan merevitalisasi
berbagai kelompok sosial di masyarakat yang hadir kemudian, misalnya
kelompok tani, karang taruna, kelompok pengajian atau kumpulan arisan. Dengan
demikian, institusi yang bisa dijadikan ujung tombak di Desa Salua, tidak harus
lembaga adat, tetapi bisa melalui kelompok-kelompok sosial yang berkembang
saat ini.
Faktor-faktor internal berupa kelemahan yang dimiliki oleh Desa Salua
dalam pengelolaan lingkungan secara lestari bisa dilihat pada Tabel 28.
Berdasarkan data pada Tabel 28, kelemahan yang memberikan pengaruh paling
besar (0.46) dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua adalah belum adanya
koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparat desa dalam usaha
pencegahan banjir dan erosi. Sedangkan peubah kelemahan yang memberikan
pengaruh paling kecil adalah masyarakat menebang hutan karena tuntutan
ekonomi dan masyarakat lokal merambah hutan di TNLL karena lahannya dijual
kepada pendatang.
Tabel 28. Faktor Strategis Internal Kelemahan dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
Faktor Internal Bobot Rating Score Rangking Kelemahan
1. Masyarakat menebang hutan karena tuntutan ekonomi 0.09 4.00 0.34 8
2. Masyarakat lokal merambah hutan di taman nasional, karena lahannya dijual kepada orang di luar desa 0.11 3.00 0.34 8
3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir masih kurang 0.10 4.00 0.41 3
4. Lahan pertanian memiliki kemiringan lahan yang tinggi 0.11 4.00 0.42 2
5. Terdapat sungai besar yang sering meluap di dekat desa 0.09 4.00 0.38 5
Tabel 28. (Lanjutan) Faktor Internal Bobot Rating Score Rangking
6. Kelembagaan desa dalam mencegah banjir dan erosi belum berjalan 0.10 4.00 0.42 2
7. Belum ada koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparat desa dalam usaha pencegahan banjir dan erosi 0.11 4.00 0.46 1
8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan banjir dan erosi belum merata 0.09 4.00 0.36 7
9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum memadai 0.10 4.00 0.39 4
10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi 0.1 4.0 0.37 6
Jumlah 1,00 3,89 Keterangan : Nilai rating 4 = sangat penting, 3 cukup penting, 2 penting, 1 tidak penting
1. Masyarakat menebang hutan karena tuntutan ekonomi
Peubah ini memberrikan pengaruh yang relatif kecil kecil yaitu 0.34.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan derasnya pengaruh ekonomi, sosial dan
budaya dari luar desa, terdapat perubahan perilaku konsumsi dari masyarakat
Desa Salua menjadi lebih bersifat konsumtif. Selain itu, keperluan masyarakat
desa juga berubah, jika sebelumnya masyarakat tidak merasa perlu untuk
membeli barang-barang elektronik atau kendaraan bermotor, setelah adanya
pengaruh dari luar, maka masyarakat merasa perlu. Dengan demikian,
pendapatan yang diperoleh dari kebun atau ladang dipandang tidak lagi
mencukupi. Oleh karena itu, masyarakat terdorong untuk mencari pendapatan
tambahan. Pendapatan tambahan yang paling mudah diperoleh adalah
menebang hutan, karena cukup mudah dilakukan dan ada penadah yang siap
menampung kayu yang telah ditebang. Peubah ini memberikan pengaruh kecil,
karena penebangan liar mulai berkurang, tidak sebanyak ketika awal masa
reformasi pada tahun 1997-1998.
2. Masyarakat lokal merambah hutan di TNLL, karena lahannya dijual kepada
orang luar desa
Seperti yang telah disampaikan oleh Sitorus (2002) Di Desa Salua telah
terjadi perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, dimana penduduk asli
telah diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tidak bertanah” dan
pendatang menjadi sebaliknya. Hal tersebut dipengaruhi oleh perilaku
konsumtif yang telah dijelaskan sebelumnya, serta sebagai indikasi kekalahan
penduduk asli dalam persaingan usaha dengan pendatang. Para pendatang
yang didominasi oleh suku Bugis, relatif lebih ulet dan rajin dalam berusaha,
termasuk bertani dan berkebun coklat, sehingga hasil panen yang diperoleh
relatif lebih baik. Sementara itu, penduduk asli cenderung kurang ulet dan rajin
dalam mengelola kebun atau ladang yang dimikinya, sehingga hasil yang
diperoleh relatif lebih sedikit. Di sisi lain , masyarakat asli terdorong untuk
memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Hal tersebut menyebabkan banyak
masyarakat asli yang menjual lahannya kepada pendatang. Peubah ini
memberikan pengaruh yang relatif kecil yaitu 0,34.
3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan bajir masih kurang
Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir dan erosi disebabkan
oleh tidak adanya program yang memungkinkan masyarakat bisa berpartisipasi
dalam kegiatan pencegahan banjir. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat
terhadap bahaya banjir dan erosi, belum bisa diaplikasikan dalam bentuk
partisipasi nyata. Dengan demikian peubah ini hanya memberikan pengaruh
sebesar 0.41
4. Lahan pertanian masyarakat memiliki kemiringan yang tinggi
Sebagian besar lahan di Desa Salua terdapat di lereng perbukitan, sehingga
memiliki kelerengan yang tinggi. Dengan demikian, secara alamiah, lahan
pertanian di Desa Salua memiliki ancaman yang besar dari bahaya erosi. Oleh
karena itu, peubah ini memiliki pengaruh yang relatif besar yaitu 0.42
5. Terdapat sungai besar yang sering meluap
Desa Salua dilintasi oleh banyak anak sungai yang bermuara di DAS Palu.
Seiring dengan semakin parahnya kerusakan hutan di hulu sungai, maka ketika
hujan, sungai-sungai yang melintasi Desa Salua sering meluap, sehingga secara
alamiah resiko banjir di Desa Salua cukup besar. Peubah tersebut memberikan
pengaruh sebesar 0.38.
6. Kelembagaan desa dalam mencegah banjir dan erosi belum berjalan
Di Salua telah ada kelembagaan desa yang terdiri dari organisasi pemerintahan
desa dan organisasi adat beserta perangkat peraturannya. Meskipun organisasi
dan peraturan tentang pengelolaan lingkungan di Desa Salua sudah relatif
lengkap, koordinasi antara pemerintah desa dan lembaga adat belum terjalin
dengan baik, sehingga kelembagaan yang sudah ada belum berjalan. Dalam
beberapa kasus, masing-masing organisasi berjalan sendiri dan jika terjadi
masalah pengelolaan lingkungan seperti perambahan hutan, ada kecenderungan
untuk saling menyalahkan. Peubah ini memberikan pengaruh yang cukup besar
yaitu sebesar 0.42.
7. Belum ada koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparat desa dalam
usaha pencegahan banjir dan erosi.
Pengelolaan lingkungan merupakan satu kesatuan ekosistem yang utuh,
sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan dalam bentuk daerah administratif.
Dengan demikian, pengelolaan lingkungan di Desa Salua tidak bisa dipisahkan
dengan pengelolaan lingkungan di desa sekitarnya. Saat ini masing-masing desa
belum berkoordinasi dalam hal pengelolaan lingkungan. Masing-masing desa
berjalan sendiri-sendiri, baik dalam membuat peraturan maupun dalam hal
menindak pelaku pelangaran. Hal tersebut menyebabkan pengelolaan
lingkungan yang lestari sulit dilakukan. Sebagai contoh, meskipun lingkungan
di Desa Salua dikelola dengan baik, apabila penebangan di desa bagian hulu
tetap marak, maka Desa Salua tetap saja akan mendapatkan ancaman bahaya
lingkungan yang besar. Dengan demikian, peubah ini memberikan pengaruh
yang paling besar, yaitu sebesar 0.46
8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan bahaya banjir dan erosi belum
merata
Peubah ini memberikan pengaruh yang relatif kecil yaitu 0.36. Kesadaran dan
pengetahuan masyarakat akan bahaya banjir dan erosi dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan hidup. Di Desa
Salua tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat belum merata, sehingga
masih ada sebagian masyarakat yang melakukan tindakan-tindakan yang
merusak lingkungan seperti merambah TNLL dan melakukan penebangan liar.
9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum merata.
Sebagai desa yang mempunyai ancaman yang tinggi terhadap bahaya banjir
dan erosi, bahkan pernah dilanda banjir besar pada tahun 2002, Desa Salua
belum memiliki sarana dan fasilitas untuk mencegah bahaya banjir dan erosi,
seperti perangkat peringatan dini banjir ataupun tanggul yang kokoh disekitar
desa. Peubah ini memberikan pengaruh yang cukup besar yaitu 0.39
10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi
Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.37. Di Desa Salua belum ada
program pembangunan yang khusus di arahkan untuk penanggulangan bahaya
banjir dan erosi. Meskipun ada masih bersifat parsial, seperti penanaman pohon
yang bersifat sporadis.
Faktor-faktor eksternal yang merupakan ancaman bagi pengelolaan
lingkungan di Desa Salua bisa dilihat pada Tabel 29. Berdasarkan Tabel tersebut
diketahui bahwa peubah yang memiliki pengaruh paling besar adalah semakin
bertambahnya cukong kayu dari luar desa dan pertisipasi masyarakat desa tetanga
dalam mencegah banjir dan erosi masih rendah, dengan pengaruh sebesar 0.42.
Sedangkan peubah yang memiliki pengaruh paling kecil adalah adanya provokasi
dari luar desa untuk merusak hutan dengan pengaruh sebesar 0.31.
Tabel 29. Faktor-Faktor Strategis Eksternal Ancaman dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
Faktor Ekstenal Bobot Rating Score Rangking Ancaman
1. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa tetangga 0.09 4 0.36 3
2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak 0.09 4 0.36 3
3. Adanya provokasi dari orang luar desa untuk merusak hutan 0.10 3 0.31 5
4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan petani lokal, sehingga penduduk lokal mencari pengganti lahan dengan cara merambah hutan 0.10 4 0.41 2
Tabel 29. (Lanjutan)
Faktor Ekstenal Bobot Rating Score Rangking 5. Banyak penduduk dari luar desa
yang merambah hutan, sehingga warga desa ikut merambah hutan 0.11 3 0.32 4
6. Program pencegahan banjir dan erosi dari pemerintah/lembaga lain kurang tepat sasaran 0.10 4 0.41 2
7. Adanya oknum - oknum dari luar desa yang memotong dana untuk program pencegahan banjir dan erosi di desa 0.12 3 0.36 3
8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap bahaya erosi dan banjir masih kurang 0.09 4 0.36 3
9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam mencegah terjadinya banjir dan erosi masih rendah 0.09 4 0.42 1
10. Semakin bertambahnya cukong - cukong kayu dari luar desa 0.10 4 0.42 1
Jumlah 3.67
1. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa tetangga
Peubah ini memberikan pengaruh yang cukup besar, yaitu 0.36. Maraknya
penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa sekitar Desa Salua terutama
desa-desa yang terletak dihulu merupakan ancaman yang serius bagi Desa
Salua yang lokasinya berada di lembah. Jika turun hujan deras, yang akan
terkena bahaya banjir bukan desa yang berada di hulu, akan tetapi desa-desa
yang berada dihilir termasuk Desa Salua.
2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak
Berdasarkan pengamatan langsung melalui penyusuran sungai sampai ke hulu,
kondisi hutan di hulu sungai cukup memprihatinkan, dimana banyak sisa-sisa
penebangan hutan berupa kayu gelondongan yang terdapat di pinggir dan di
dalam sungai. Jika terjadi banjir, maka sisa kayu gelondongan tersebut akan
terbawa oleh arus sungai dan akan membahayakan Desa Salua dan desa-desa
lain disekitarnya. Dengan demikian peubah ini juga memberikan pengaruh
yang relatif besar yaitu 0.36
3. Ada provokasi dari orang luar desa untuk merusak hutan
Provokasi dari orang luar banyak untuk merusak hutan banyak terjadi terutama
pada awal masa reformasi. Untuk saat ini masih ada, namun tidak terlalu
banyak. Orang luar memprovokasi masyarakat Salua agar dapat bekerjasama
dalam bisnis kayu curian. Orang luar tidak dapat menebang secara langsung
kayu dari TNLL yang berbatasan dengan Desa Salua tanpa melibatkan
penduduk asli, karena akan mendapatkan masalah, baik ketika menebang
maupun ketika mengangkut kayu curian tersebut. Karena provokasi sudah
berkurang, maka pengaruh peubah ini paling kecil yaitu 0,31.
4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan petani lokal, sehingga
petani lokal mencari pengganti lahan dengan cara merambah hutan
Peubah ini memberikan pengaruh yang cukup besar, yaitu 0.41. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, karena pengaruh sosial dan ekonomi dari luar,
masyarakat asli cenderung berprilaku konsumtif, disisi lain produktifitas lahan
mereka rendah. Untuk memuaskan kebutuhan konsumtif tersebut banyak
petani lokal yang menjual lahannya kepada pendatang. Untuk memenuhi
kebutuhan lahannya, pada umumnya petani lokal mencari lahan pengganti
dengan cara membuka lahan di kawasan TNLL.
5. Banyak penduduk dari luar Desa Salua yang merambah hutan, sehinga warga
desa ikut merambah hutan
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, yang pertama kali
merambah hutan adalah orang luar Desa Salua, karena pada mulanya hampir
semua masyarakat Salua telah memiliki lahan sendiri. Ketika lahan milik
masyarakat Salua banyak yang telah terjual, maka warga Salua banyak meniru
prilaku warga pendatang tersebut. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar
0.32
6. Program pencegahan banjir dan erosi dari pemerintah/lembaga lain kurang
terarah
Program perbaikan lingkungan yang dilaksanakan di Desa Salua oleh
pemerintah dan lembaga non pemerintah selain jarang dilakukan, jika pun ada
kurang melibatkan secara aktif masyarakat, sehingga antara program yang
dilaksanakan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang singkron.
Sebagai contoh, ketika masyarakat membutuhkan perbaikan tanggul sungai
yang jebol, program yang datang adalah penanaman pohon. Peubah ini
memberikan pengaruh yang cukup besar yaitu 0.41.
7. Ada oknum-oknum dari luar Desa Salua yang memotong dana untuk perbaikan
lingkungan
Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa dan tokoh masyarakat,
disinyalir ada pihak-pihak dari luar desa yang memotong dana yang seharusnya
diperuntukan untuk perbaikan lingkungan. Pemotongan tersebut dilakukan
dengan berbagai alasan, misalnya dengan alasan administrasi. Hal tersebut
menyebabkan program perbaikan lingkungan di Desa Salua tidak bisa berjalan
sebagaimanamestinya. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.36.
8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap pengelolaan
lingkungan masih kurang.
Kondisi lingkungan di desa yang berbatasan dengan Desa Salua erat
hubungannya dengan kondisi lingkungan di Desa Salua. Dengan demikian,
kurangnya kesadaran dan pengatahuan di desa tetangga, merupakan ancaman
bagi pengelolaan lingkungan lestari di Desa Salua. Peubah ini memberikan
pengaruh sebesar 0.36.
9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam pengelolaan lingkungan lestari
(khususnya pencegahan banjir dan erosi) masih rendah
Partisipasi masyarakat desa di sekitar Desa Salua dalam pengelolaan
lingkungan (khususnya usaha pencegahan banjir dan erosi) menentukan
kondisi lingkungan di desa tersebut. Dengan demikian, jika partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di desa tetangga kurang, merupakan
ancaman bagi lingkungan di Desa Salua, karena pengelolaan lingkungan tidak
bisa dipisahkan oleh batas administratif. Peubah ini memberikan pengaruh
paling besar, yaitu 0.42.
10. Semakin bertambahnya cukong kayu dari luar desa
Masyarakat tidak akan menebang liar di kawasan TNLL jika tidak ada oknum
yang menampung kayu yang ditebang. Dengan demikian dengan semakin
banyaknya cukong, maka dorongan masyarakat untuk melakukan penebangan
liar akan semakin besar. Olah karena itu, dengan semakin banyaknya jumlah
cukong, merupakan ancaman bagi pengelolaan lingkungan lestari di Desa
Salua. Dengan demikian, peubah ini memberikan pengaruh yang paling besar,
yaitu 0.42.
Peluang-peluang yang dimiliki oleh Desa Salua dalam pengelolaan
lingkungan bisa dilihat pada Tabel 29. Berdasarkan data pada Tabel 30, diketahui
bahwa peluang yang memiliki pengaruh paling besar (0,44) adalah pemerintah,
LSM dan lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan
erosi di Desa Salua. Sedangkan peluang yang memiliki pengaruh paling kecil
(0.34) adalah terdapat program pelatihan dari pemerintah, LSM dan lembaga
penelitian untuk mencegah banjir dan erosi di Desa.
Tabel 30. Faktor-Faktor Strategis Eksternal Peluang dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
Faktor Ekstenal Bobot Rating Score Rangking Peluang
1. Pemerintah, LSM dan Lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi di desa 0.11 4 0.44 1
2. Terdapat program fisik dari pemerintah, dan Ornop untuk mencegah banjir dan erosi 0.11 4 0.43 2
3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi di desa 0.11 3 0.34 6
4. Adanya transfer informasi dan teknologi dari luar desa dalam rangka pencegahan banjir dan erosi 0.13 3 0.38 4
5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan 6. mencari solusi masalah banjir dan
erosi di desa 0.11 4 0.43 2 7. Pemerintah memberikan bantuan
bibit pohon untuk menanami hutan yang rusak 0.12 3 0.36 6
Tabel 30. (Lanjutan)
Faktor Ekstenal Bobot Rating Score Rangking 8. Adanya penegakan hukum terhadap
perusak hutan 0.09 4 0.37 5 9. Ada undang - undang yang melarang
penebangan dan perusakan hutan 0.10 4 0.39 3 10. Ada bantuan dari luar desa untuk
menjaga keamanan dan kelestarian hutan 0.12 3 0.37 5
Jumlah 1 3.51
1. Pemerintah, LSM dan lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap
masalah banjir dan erosi
masyarakat Desa Salua beranggapan bahwa perhatian dari LSM, lembaga
penelitian dan pemerintah merupakan peluang yang paling besar dalam rangka
pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Pandangan tersebut didasari oleh
kondisi riil di Desa Salua, dimana perhatian dari pihak luar terutama LSM
dan lembaga penelitian terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua telah ada
dalam bentuk kajian, pembangunan sarana pengelolaan air bersih dan
penanaman pohon. Selain itu, dengan adanya perhatian dari pihak luar,
diharapkan bisa menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah dalam
rangka pengelolaan lingkungan yang lestari di Desa Salua. Dengan demikian
peubah ini memberikan pengaruh yang paling besar yaitu 0.44.
2. Terdapat program fisik dari pemerintah, dan ornop untuk mencegah banjir dan
erosi
Berdasarkan informasi dari aparat desa dan tokoh masyarakat, pemerintah
provinsi dan kabupaten mempunyai dana khusus untuk program fisik dalam
rangka pencegahan banjir dan erosi dengan sumber pendanaan berasal dari
APBD. Hal yang masih di usahakan adalah bagaimana Desa Salua bisa
menjadi desa yang menjadi sasaran program tersebut. Masyarakat berharap,
bantuan dari pihak luar desa untuk mengkomunikasihan hal tersebut kepada
pemerintah daerah. Peubah ini juga memberikan pengaruh yang relatif besar
yaitu 0.43
3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian
untuk mencegah banjir dan erosi
Sama halnya dengan program fisik, masyarakat juga berharap pihak dari luar
desa bisa memfasilitasi program pelatihan tentang pengelolaan lingkungan di
Desa Salua, karena sampai saat ini Desa Salua belum pernah dijadikan sasaran
pelatihan tentang pengelolaan lingkungan (kususnya pencegahan banjir dan
erosi). Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.34
4. Adanya transfer informasi dan teknologi dari luar desa dalam rangka
pencegahan banjir dan erosi
Transfer informasi dan teknologi dari pihak-pihak yang peduli terhadap kondisi
Desa Salua, dianggap oleh masyarakat sebagai kesempatan untuk memperbaiki
kondisi lingkungan di Desa Salua, karena sumberdaya yang dimiliki oleh
masyarakat masih relatif kurang. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar
0.38
5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan mencari masalah banjir dan erosi di Desa
Hal tersebut dianggap sebagai sebuah peluang karena masyarakat berharap
hasil penelitian yang telah dilakukan bisa di sosialisasikan atau dipublikasikan
kepada pemerintah daerah atau pihak lain yang mempunyai sumberdaya untuk
melakukan perbaikan lingkungan di Desa Salua. Peubah ini memberikan
pengaruh sebesar 0.43
6. Pemerintah memberikan bantuan bibit pohon untuk menanami hutan yang
rusak
Adanya bantuan bibit dari pemerintah dianggap sebagai kesempatan,
mengingat banyak kawasan di Desa Salua yang membutuhkan penanaman.
Masyarakat berharap jenis pohon yang diberikan bukan hanya pohon
kehutanan, akan tetapi dicampur dengan pohon buah-buahan sehingga bisa
memberikan pendapatan tambahan bagi mereka. Selain itu, dalam proses
penanaman dan penyediaan bibit dapat melibatkan masyarakat. Peubah ini
memberikan pengaruh sebesar 0.36
7. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan
Adanya penegakan hukum bagi para perusak hutan juga dianggap sebagai
peluang, karena dengan adanya penegakan hukum diharapkan para perusak
hutan bisa ditindak tegas, sehingga masyarakat yang lain tidak meniru. Dengan
demikian pengelolaan lingkungan yang lestari lebih mudah terwujud. Peubah
ini memberikan pengaruh sebesar 0.37
8. Ada undang-undang yang melarang penebangan dan pengrusakan hutan
Dengan adanya undang-undang yang melarang penebangan dan pengrusakan
hutan maka para penegak hukum mempunyai dasar hukum untuk menindak
para pelanggar, dengan demikian diharapkan penebangan dan pengrusakan
hutan bisa dikurangi. Peubah ini memberikan pengaruh sebesar 0.39
9. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan
Karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh Desa Salua, maka
masyarakat sangat mengharapkan bantuan dari luar desa untuk menjaga
keamanan dan kelestarian hutan. Bantuan yang saat ini sudah ada adalah dari
pihak kepolisian, berupa penahanan pelaku perusakan hutan. Peubah ini
memberikan pengaruh sebesar 0.37.
Diagram dan Matrik SWOT
Berdasarkan matrik IFE dan EFE, dapat disusun diagram SWOT dengan
menghitung selisih unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan selisih nilai
pengaruh eksternal (peluang dan ancaman). Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa kekuatan internal yang dimiliki oleh masyarakat Desa Salua dalam
pengelolaan lingkungan tidak mampu mengimbangi kelemahan-kelemahan yang
dimilikinya. Selisih kekuatan – kelemahan adalah – 0.55. Demikian pula
peluang-peluang yang ada tidak mampu mengimbangi ancaman-ancaman
eksternalnya. Selisih peluang – ancaman adalah – 0,16 . Apabila diplotkan dalam
koordinat kartesian SWOT maka akan terlihat seperti pada Gambar 16. Dengan
demikian, berdasarkan nilai tersebut maka strategi yang paling efektif untuk
dilakukan dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua adalah strategi defensif
atau meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman, dengan
memaksimalkan kekuatan dan peluang-peluang yang ada.
(0.55), (0.16)
(1.50)
(1.00)
(0.50)
0.50
1.00
1.50
(1.50) (1.00) (0.50) 0.50 1.00 1.50
BERBAGAI PELUANG
KELEMAHAN INTERNAL
BERBAGAI ANCAMAN
Gambar 16. SWOT Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua
KEKUATAN INTERNAL
Tabel 31. Matrik SWOT Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua Strengths (S)
1. Adanya kesadaran dalam menjaga lingkungan
2. Adanya kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi
3. Ada tokoh lokal yang menjadi pelopor dalam kegiatan perbaikan lingkungan
4. Teknologi yang digunakan dapat mengurangi ancaman banjir
5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi
6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan banjir
Weakneses (W) 1. Masyarakat menebang hutan karena tuntutan
ekonomi 2. Masyarakat merambah TNLL karena lahannya telah
dijual 3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan
banjir dan erosi masih kurang 4. Lahan pertanian memiliki kemiringan tinggi 5. Terdapat sungai yang sering meluap 6. Kelembagaan desa dalam mengelola lingkungan
belum berjalan 7. Belum ada koordinasi dalam pencegahan bahaya
banjir dan erosi 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam
mengelola lingkungan belum merata 9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan
menanggulangi banjir belum memadai 10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah
banjir dan erosi Opportunies (O) 1. Pemerintah, ornop dan lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi
di desa 2. Terdapat program pembangunan fisik dari pemerintah dan Ornop untuk mencegah banjir dan erosi 3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah dan ornop untuk mencegah banjir dan erosi 4. Ada transfer informasi dan teknologi untuk pemcegahan banjir dan erosi 5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan mencari solusi masalah banjir dan erosi 6. Pemerintah memberikan bantuan bibit 7. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan 8. Ada undang-undang yang melarang penebangan dan pengrusakan hutan 9. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan
Strategi SO 1. Melakukan kerjasama dengan pihak lain
dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua (S1,O1,O2,O3,04)
2. Melakukan pelatihan dan penyuluhan tentang pengelolaan lingkungan (S1,S2,O1,O2,03)
3. Melakukan koordinasi yang intensif dengan penegak hukum dalam pengelolaan lingkungan (S1,S2,S3,O5)
Strategi WO 1. Menciptakan pendapatan alternatif bagi masyarakat
Salua (W1,W2,O1,O3,O4) 2. Meningkatkan teknologi dan keterampilan bercocok
tanam masyarakat Desa Salua (W1,W2,O3,O4) 3. Memperkuat kelembagaan dalam mengelola
lingkungan (W3,W4,W5,O1,O3,O5)
Treaths (T) 1. Maraknya pengrusakan lingkungan di desa tetangga 2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak 3. Ada provokasi dari luar desa untuk merusak hutan 4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan milik petani lokal, sehingga penduduk lokal
merambah hutan 5. Banyak penduduk dari luar desa yang merambah hutan, sehingga warga desa ikut merambah hutan 6. Program pencegahan banjir dan erosi kurang tepat sasaran 7. Ada oknum yang memotong dana untuk program pencegahan banjir dan erosi 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap bahaya banjir dan erosi masih
kurang 9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam mencegah banjir dan erosi masih kurang 10. Semakin bertambahnya cukong-cukong kayu dari luar desa
Strategi ST 1. Melakukan koordinasi dengan desa
tetangga dalam hal pengelolaan lingkungan (S1, T1,T2,T4,T5)
2. Membuat sistem peringatan dini banjir dan erosi (S2,S3, T1,T2)
3. Meningkatkan penegakan hukum bagi perusak lingkungan (S1,S2,S3, T1,T4,T5,T6)
Strategi WT 1. Membuat strategi dan program yang sistematis dalam
pengelolaan lingkungan (W3,W4,W5,T1,T2) 2. Meningkatkan modal sosial yang di dalam
masyarakat (W3,W4,W5,T1,T4,T5)
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR INTERNAL
11
Matrik SWOT yang menggambarkan dengan rinci tentang kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Salua dalam rangka pengelolaan
lingkungan yang dipadukan dengan unsur peluang dan ancaman yang dimiliki
bisa dilihat pada Tabel 31.
Berdasarkan Tabel 31, strategi SO yang dapat dilakukan antara lain : (a)
melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam pengelolaan lingkungan di Desa
Salua, (b) Melakukan penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan lingkungan
yang lestari dan (c) Melakukan koordinasi yang intensif dengan penegak hukum
dalam hal pengelolaan lingkungan yang lestari.
Strategi (ST) yang bisa dilakukan antara lain : (a) Melakukan koordinasi
dengan desa tetangga dalam hal pengelolaan lingkungan, (b) Membuat sistem
peringatan dini ancaman banjir dan erosi dan (c) Meningkatkan penegakan hukum
bagi perusak lingkungan.
Strategi (WO) yang dapat dilakukan diantaranya adalah : (a) Menciptakan
pendapatan alternatif bagi masyarakat Salua, (b) Meningkatkan teknologi dan
keterampilan bercocok tanam masyarakat Desa Salua dan (c) Memperkuat
kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan. Sedangkan strategi (WT) yang bisa
dilakukan diantaranya adalah : (a) Membuat strategi dan program yang sistematis
dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua dan (b) Meningkatkan modal sosial
yang ada di dalam masyarakat Desa Salua, misalnya dengan meningkatkan peran
hukum adat yang sudah ada (Taolo dan Ombo) dalam pengelolaan lingkungan di
Desa Salua.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan yang bisa diambil dalam penelitian ini adalah :
1. Nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL untuk pencegahan bahaya lingkungan di
yang tidak diketahui di Desa Salua adalah Rp. 909.818 perbulan atau
10.917.818,18 pertahun. Jika dihitung berdasarkan kesediaan membayar
masyarakat dalam bentuk sumbangan tenaga kerja, maka nilainya adalah 843
HOK perbulan. Jika diasumsikan 1 HOK di Desa Salua senilai Rp. 25.000,
maka nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL untuk pencegahan bahaya
lingkungan yang tidak diketahui adalah Rp. 20.850.000/bulan atau Rp.
250.200.000/tahun
2. Nilai ekonomi jasa lingkungan TNLL untuk pencegahan bahaya banjir dan
erosi di Desa Salua adalah setara dengan 843 HOK per bulan. Jika
diasumsikan 1 hari kerja di Desa Salua senilai Rp. 25.000, maka nilai ekonomi
jasa lingkungan TNLL untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak
diketahui adalah Rp. 20.850.000/bulan atau Rp. 250.200.000/tahun
3. Kemauan membayar masyarakat untuk pencegahan bahaya lingkungan dalam
bentuk uang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan kemauan
membayar masyarakat dalam bentuk sumbangan tenaga kerja
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar masyarakat Desa
Salua adalah faktor pendapatan masyarakat dengan persamaan regresi Y=
2.6+0.51X, tingkat pendidikan, dan pengetahuan masyarakat terhadap bahaya
lingkungan yang belum diketahui
5. Strategi yang paling efektif dalam pengelolaan lingkungan di Desa Salua
adalah strategi defensif yaitu meminimalkan kelemahan dan menghindari
ancaman dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang-peluang yang ada
Saran
Saran yang bisa disampaikan dari penelitian ini adalah :
1. Nilai ekonomi jasa lingkungan dari Taman Nasional Lore Lindu perlu
disosialisasikan kepada masyarakat dan para pihak yang terkait, untuk
meningkatkan apresiasi semua terhadap sumberdaya hutan
2. Dalam kegiatan program pencegahan bahaya lingkungan, sebaiknya
sumbangan masyarakat diarahkan dalam bentuk tenaga kerja, sedangkan dana
untuk membiayai program tersebut bisa berasal dari pemerintah atau lembaga
donor.
3. Untuk penelitian serupa dimasa yang akan datang, dalam pembuatan model
regresi berganda perlu ditentukan variabel-variabel pendukung lain yang
berpengaruh nyata terhadap WTP masyarakat, agar dapat meningkatkan nilai
R2.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, JEM. 1998. Managing Forest as Common Property. Bogor: CIFOR.
Azis, ASR. 2003. Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus. Di dalam Bungin B. (editor). 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm: 18-35
Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala 2005. Kecamatan Kulawi dalam Angka. 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala. Palu
Baland, JJP, Platteau. 1996. Halting degradation of natural resources: Is there a role for rural communities? Di dalam: Pagde A, Kim Y, Daugherty PJ. 2006. What Makes Community Forest Management Successful: A Meta-Study From Community Forests Throughout the World. Society and Natural Resources,19
Barkmann, J, Glenk, K, Purwawangsa, H, Sundawatai, L, Patrick, JW, Marggraf, R. 2006. Assessing economic preferences for biological diversity and ecosystem services at the Central Sulawesi rainforest margin a choice expriment approach. The Stability of Torpical Rainforest Margins. Di dalam Linking Ecological, Economic and Social Constraints of Land Use and Conservation. Environmental Science Series, Springer (Heidelberg, New York)
Black, JA, Champion DJ. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Koeswara et al., penerjemah. Bandung: Eresco
Bennett, JW. 1976. The Ecological Transition: Cultural Anthropology and Human Adaptation. New York: Pergamon Press Inc.
Biro Infokom Sulawesi Tengah. 2004. Taman Nasional Lore Lindu. http://infokom-sulteng.go.id/
Bungin, B. 2003. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Di dalam Bungin B. (ed). 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm: 83-105
Care, 2002. Data Monografi Desa Saluwa. Tidak di publikasikan
Carson, R.T. 1991. Constructed markets. In J. Braden and C. Kolstad (eds.), Measuring the demand for environmental commodities, Amsterdam: North-Holland.
Darusman, D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Lab Politik dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB dan Yayasan Dani Hanafiah. Bogor.
Djijono. 2002. Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman, Propinsi Lampung. Makalah Pengantar Falsafah Saint Program Pasca Sarjana (S3) Institut Pertanian Bogor.
Fauzi, A. 1996. “Teknik Valuasi Ekosistem Mangrove” Bahan Pelatihan Management for Mangrove Forest Rehabilitation. Bogor. Oktober. 1999
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Folmer, H dan Gabel L.H. 2001. Principles of Environmental and Resource Economic. Edward Elgar Publishing, Inc. 136 West Street Suite 202 Northampton Massachusetts 01060 USA.
Golar. 2007. Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah. Disertasi Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan
Hanemann, W.M. 1991. Willingness to pay and Willingness to Accept: How Much Can They Differ? American Economic Review, 81(3): 635-647.
Hanna S, M. Munasinghe. 1995. Property rights and the environment: Social and ecological Issues. Washington, DC: ESD.
Hardin, G. 1968. The Tagedy Of The Commons. Science Vol. 162. 13 December 1968.
Hufschmidt, M. M., et al. 1987. Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan. Terjemahan. UGM Press
Kartodiharjo, H. 2006. Bahan Ajaran Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Sekolah Pasca Sarjana IPB. Tidak dipublikasikan.
Laarman, J.G., R.A.Sedjo. 1992. Global Forests : Issues for Six Billion People. Mc Graw Hill, Inc. New York.
McKean, MA. 1992. Management of Traditional Common Lands (Iriaichi) in Japan. Di dalam: D.W. Bromley, editor. Making the Commons Work: Theory, Practice, and Policy. San Francisco, California: Institute for Contemporary Studies Press
Munangsihe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 2.
Murray, G, Neis B, Johnsen JP. 2006. Lessons Learned from Reconstructing Interactions Between Local Ecological Knowledge, Fisheries Science, and Fisheries Management in the Commercial Fisheries of Newfoundland and Labrador, Canada. Di dalam: Human Ecology. Vol 34. N0 2. hlm: 549-571.
Nemarundwe, N. 2001. Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe. LATIN, penerjemah. Bogor; Pustaka Latin. Terjemahan dari: Institutional collaboration dan share learning on Forest Management in Chivi Distric, Zimbabwe
Nurrochmat, 2000. “Paradoks dalam Program Perhutanan Sosial.” Humanesia (Indonesia Community Forest Newsletter) Vol 4 (1), Juni 2002:3.
Nurrochmat, 2005. Strategi Pengelolaan Hutan (Upaya Menyelamatkan Rimba Yang Tersisa). Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Ostrom, E. 1990. Governing the Common: The Evolution of Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press.
Ostrom, E. 1999. Neither Market nor State: Governance of Common-pool Resources in the Twenty-first Century. Washington, DC: International Food Policy Research Institute.
Pearce, D. dan D. Moran. 1994. The Economics Value of Biodeversity.IUCN
Pearce, D. W. dan R. K Turner. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf.
Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Rasmussen, L N and Meinen-Dick R. 1995. Local Organizations for Natural Resource Management: Lesson from Theoretical and Empirical Literature. Http://www.ifpri.org/divs/eptd/dp/paper/eptdpll.pdf (Diakses tanggal 5 oktober 2003)
Richhard, T, Carson, Nicholas E, F, Norman F, M. (2001). Contingent Valuation : Controversies and Evident. Environmental and Resourse Economic. 19 : 173-210. Kluwer Academic Publishers. Netherland.
Santoso, BS dan Ashari. 2005. Analisis Statistika dengan Microsoft Excel dan SPSS. Yogyakarta. Penerbit Andi.
Smith, EA, M. Wishnie. 2000. Conservation and Subsistence in Small-Scale Societies. Annual. Review. Anthropology., No. 29: 493-524, 2000.
Sitorus, S. 2004 “Revolusi Coklat” Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia, Di dalam: G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land Use, Nature Conservation and the
Stability of Rainforest Margins is Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New York: Springer-Verlag.
Suparmoko, M. dan D.R. Nurrochmat. 2005. Urgensi Implementasi PDRB Hijau di Sektor Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta
Syakya, 2005. Analisis Willingness To Pay (WTP) dan Strategi Pengembangan Objek Wisata Pantai Lampuuk Di Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Sukirno, 2002. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi ketiga. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Turnbull, CM. 2002. The Mbuti Pygmies: Change and Adaptation. Wadworth/Thomson Learning 10 Davis Drive Belmont, CA 94002-3098 USA.
Wade, R. 1988. Village republics: economic conditions for collective action in South India. Di dalam: Pagde A., Kim Y., Daugherty P.J. 2006. What Makes Community Forest Management Successful: A Meta-Study From Community Forests Throughout the World. Society and Natural Resources, 19.
Vercueil, J. 2000. Aplication of Contingent Valuation Method in Developing Countries. Director, Information Division, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Viale delle Terme di Caracalla, 00100 Rome, Italy.
Wijayanto, N. 2001. Faktor Dominan dalam Sistem Penglolaan HKM (Studi Kasus di Repong Damar, Pesisir Krui, Lampung). Desertasi Pascasarjana. Bogor : Intitut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Yin, RK. 1997. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali Grafinfo Persada Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Variabel, Indikator, dan Parameter Penelitian tentang Kemauan Membayar Masyarakat terhadap Perbaikan Lingkungan
No Variabel Indikator Parameter 1 Pengaruh bahaya
lingkungan terhadap masyarakat
Kehilangan hasil panen akibat banjir
1. Tidak 2. Ya
Kerugian pribadi akibat banjir
1. Sangat besar 2. Besar 3. Biasa 4. Kecil 5. Tidak masalah
Frekwensi banjir yang merugikan masyarakat dalam 10 tahun terakhir
1. 0 2. 1-3 3. 4-6 4. 7-9 5. > 9
Kerusakan akibat banjir selama 10 tahun terakhir
1. Jauh lebih besar 2. besar 3. Sama saja 4. Berkurang 5. Tidak ada
Kemungkinan ancaman banjir di masa yang akan datang (tanpa adanya pencegahan)
1. Jauh lebih besar 2. Besar 3. Sama saja 4. Berkurang 5. Tidak ada
Peran pembangunan desa (fisik seperti penanaman pohon dan non fisik seperti pelatihan) dalam rangka mengurangi kerusakan akibat banjir
1. Setuju sekali 2. Setuju 3. Ragu-ragu 4. Tidak Setuju 5. Sangat tidak setuju
Kerusakan akibat erosi tanah selama sepuluh tahun terakhir
1. Jauh lebih besar 2. Besar 3. Sama saja 4. Berkurang 5. Tidak ada
Besarnya dampak erosi 1. Sangat besar 2. Besar 3. Agak besar 4. Kecil 5. Tidak ada
Ancaman erosi dimasa yang akan datang, tanpa adanya tindakan pencegahan
1. Sangat besar 2. Besar 3. Agak besar 4. Kecil 5. Tidak ada
Peran pembangunan desa (fisik dan non fisik) terhadap pecegahan erosi
1. Setuju sekali 2. Setuju 3. Ragu-ragu 4. Tidak setuju 5. Sangat tidak setuju
2 Partisipasi dalam menjaga lingkungan
Tanggung jawab pemerintah dalam upaya mencegah banjir
1. Sangat besar 2. Besar 3. Agak besar 4. Kecil 5. Tidak ada
Lampiran 1. (Lanjutan)
No Variabel Indikator Parameter Tanggungjawab pribadi
dan keluarga dalam upaya mencegah banjir
1. Sangat besar 2. Besar 3. Agak besar 4. Kecil 5. Tidak ada
Tanggungjawab pemerintah terhadap pencegahan erosi
1. Sangat besar 2. Besar 3. Agak besar 4. Kecil 5. Tidak ada
3 Pengetahuan terhadap bahaya lingkungan yang tidak diketahui dan dampaknya terhadap responden
Informasi adanya wabah penyakit baru yang menyerang manusia
1. Ada, sebutkan..... 2. Tidak ada
Besarnya ancaman bahaya lingkungan yang tidak diketahui
1. Sangat besar 2. Besar 3. Agak besar 4. Kecil 5. Tidak ada
Kondisi kesehatan tanah, hutan dan lahan selama sepuluh tahun terakhir
1. Jauh lebih buruk 2. Lebih buruk 3. Sama saja 4. Sedikit lebih baik 5. Semakin baik
Kondisi kesehatan tanah, hutan dan lahan dimasa yang akan datang, tanpa ada perbaikan
1. Jauh lebih buruk 2. Lebih buruk 3. Sama saja 4. Sedikit lebih baik 5. Semakin baik
Kemampuan program desa terhadap pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui
1. Sangat mampu 2. mampu 3. Ragu-ragu 4. Tidak mampu 5. Sangat tidak mampu
Tanggungjawab pemerintah dalam menjaga tanah, hutan dan lahan
1. Sangat besar 2. Besar 3. Agak besar 4. Kecil 5. Tidak ada
4 Pengukuran WTP Kecukupan dana yang dikumpulkan secara swadaya untuk pencegahan bahaya lingkungan
1. Sangat besar 2. Lebih dari cukup 3. Cukup 4. Tidak cukup 5. Sangat tidak cukup
Keyakinan bahwa pajak yang dibayarkan kepada pemerintah akan dipergunakan untuk pencegahan bahaya lingkungan
1. Yakin sekali 2. Yakin 3. Ragu-ragu 4. Tidak yakin 5. Sangat tidak yakin
Lampiran 1. (Lanjutan)
No Variabel Indikator Parameter Kemauan membayar 1. Rp. 0
untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui
2. Rp. 500 3. Rp. 1.000 4. Rp. 1.500 5. Rp. 2.000 6. Rp. 3.000 7. Rp. 4.000 8. Rp. 6.000 9. Rp. 9.000 10. > 9.000
Kemauan membayar untuk perbaikan lingkungan dalam bentuk tenaga
1. Ya, bersedia 2. Tidak bersedia
Besarnya tenaga yang mau disumbangkan untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui
1. Tidak mau 2. ½ hari 3. 1 hari 4. 1 ½ hari 5. 2 hari 6. > dari 2 hari
Besarnya tenaga yang mau disumbangkan untuk pencegahan bahaya lingkungan yang diketahui
1. Tidak mau 2. ½ hari 3. 1 hari 4. 1 ½ hari 5. 2 hari 6. > dari 2 hari
Informasi tentang banjir di Dongi-dongi
1. Ya, ada 2. Tidak ada
5 Faktor eksternal Kemungkinan banjir di Dongi-dongi terjadi di Desa Salua
1. Ya, mungkin 2. Tidak mungkin
Pengetahuan tentang Katuwua
1. Tidak mengerti sama sekali
2. Hampir tidak mengerti 3. Sedikit mengerti 4. Mengerti 5. Sangat mengerti
Pengaruh Katuwua dalam mempengaruhi pengambilan keputusan
1. Sama sekali tidak penting
2. Hampir tidak penting 3. Kurang penting 4. Penting 5. Sangat penting
6 Faktor Internal Jenis kelamin 1. Pria 2. Wanita
Penggunaan jika mendapatkan pendapatan tambahan
1. Makanan 2. Keperluan pribadi 3. Investasi 4. Pencegahan bahaya
lingkungan yang tidak diketahui
Lampiran 1. (Lanjutan) No Variabel Indikator Parameter
Pendidikan kepala keluarga
1. Tidak pernah sekolah 2. Tidak lulus SD 3. SD 4. SMP 5. SMA 6. PT
Pekerjaan kepala keluarga
1. Petani 2. Peternak 3. Pedagang 4. Wiraswasta 5. Pegawai 6. Buruh 7. Nelayan 8. Ibu rumahtangga 9. Pengangguran 10. Pensiunan 11. Lainnya, sebutkan
Pendapatan rata-rata/tahun
1. < Rp. 400.000 2. Rp. 400.000-800.000 3. Rp. 800.000-1200.000 4. Rp. 1.200.000-1600.000 5. Rp. 1.600.000-2.000.000 6. Rp. 2.000.000-2.400.000 7. Rp. 2.400.000-2.800.000 8. Rp. 2800.000-4.000.000 9. Rp. 4.000.000-5.200.000 10. Rp. 5.200.000-6.400.000 11. Rp. 6.400.000-8.800.000 12. Rp. > 8.800.000
Umur (tahun) 1. 15-20 2. 21-25 3. 26-30 4. 31-35 5. 36-40 6. 41-45 7. 46-50 8. 51-55 9. 56-60 10. 61-65 11. 66-70 12. >70
Bahaya lingkungan yang paling besar dampaknya
1. Banjir 2. Erosi 3. Bahaya lingkungan yang
tidak diketahui (wabah penyakit bagi manusia, hama penyakit bagi tumbuhan)
4. Faktor biaya
Lampiran 2. Gambar Perbedaan antara Resiko Banjir dan Erosi
Lampiran 3. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Banjir
Lampiran 4. Gambar Setelah Adanya Program Pencegahan Banjir
Lampiran 5. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Erosi
Lampiran 6. Gambar Keadaan Setelah Adanya Program Pencegahan Erosi
Lampiran 7. Gambar Lingkungan yang Sehat
Lampiran 8. Gambar Kondisi Lingkungan tanpa Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui
Lampiran 9. Gambar Kondisi Lingkungan setelah Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui
Lampiran 10. Gambar Kartu Percobaan yang Menunjukan Berbagai Jenis Perbaikan Lingkungan dengan berbagai Tingkat Harga
Lampiran 11. Gambar Kartu Percobaan untuk Mengetahui Konsentrasi Responden
Lampiran 13. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui
Lampiran 12. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga
Lampiran 14. Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan Untuk Pencegahan Banjir dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga Kerja
Lampiran 15. Matrik SWOT Rating : Beri tanda (X) pada nilai yang dianggap sesuai Nilai 1 : Sangat Rendah Nilai 4 : Tinggi Nilai 2 : Rendah Nilai 5 : Sangat Tinggi Nilai 3 : Sedang
Lampiran 15. (Lanjutan)
Lampiran 16. Rekapitulasi Perhitungan SWOT 1. UNSUR KEKUATAN (STRENGHTS)
Peubah X Bobot X Rating X Score Rangking 1 0,09 4,00 0,37 6 2 0,13 2,00 0,25 5 3 0,21 3,00 0,62 3 4 0,20 3,00 0,61 4 5 0,18 4,00 0,72 2 6 0,19 4,00 0,76 1
Jumlah 1,000 20,00 3,34
Keterangan : 1. Masyarakat Memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan 2. Masyarakat mengetahui tehnik teknologi untuk mencegah banjir dan erosi 3. Teknologi atau tehnik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman
banjir 4. Teknologi atau tehnik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman
erosi 5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi 6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan
banjir dan erosi 2. UNSUR KELEMAHAN (WEAKNESS)
Peubah X Bobot X Rating X Score Rangking 1 0,09 4,00 0,34 1 2 0,11 3,00 0,34 1 3 0,10 4,00 0,41 6 4 0,11 4,00 0,42 7 5 0,09 4,00 0,38 4 6 0,10 4,00 0,42 7 7 0,11 4,00 0,46 8 8 0,09 4,00 0,36 2 9 0,10 4,00 0,39 5 10 0,1 4,0 0,37 3
Jumlah 1 3,89
Keterangan : 1. Masyarakat menebang hutan karena tuntutan ekonomi 2. Masyarakat lokal merambah hutan di taman nasional, karena lahannya dijual
kepada orang di luar desa 3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir masih kurang 4. Lahan pertanian memiliki kemiringan lahan yang tinggi
5. Terdapat sungai besar yang sering meluap di dekat desa 6. Kelembagaan desa dalam mencegah banjir dan erosi belum berjalan 7. Belum ada koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparat desa dalam
usaha pencegahan banjir dan erosi 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan banjir dan erosi belum merata 9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum
memadai 10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi
3. UNSUR PELUANG (OPPORTUNITIES)
Peubah X Bobot X Rating X Score Rangking1 0,11 4 0,44 1 2 0,11 4 0,43 2 3 0,11 3 0,34 6 4 0,13 3 0,38 4 5 0,11 4 0,43 2 6 0,12 3 0,36 6 7 0,09 4 0,37 5 8 0,10 4 0,39 3 9 0,12 3 0,37 5
Jumlah 1 3,51
Keterangan : 1. Pemerintah, LSM dan Lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap
masalah banjir dan erosi di desa 2. Terdapat program pembangunan fisik dari pemerintah, LSM dan lembaga
penelitian untuk mencegah banjir dan erosi 3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian
untuk mencegah banjir dan erosi di desa 4. Adanya transfer informasi dan teknologi dari luar desa dalam rangka
pencegahan banjir dan erosi 5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan mencari solusi masalah banjir dan erosi
di desa 6. Pemerintah memberikan bantuan bibit pohon untuk menanami hutan yang
rusak 7. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan 8. Ada undang - undang yang melarang penebangan dan perusakan hutan 9. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan
4. UNSUR ANCAMAN (THREATS)
Peubah X Bobot X Rating X Score Rangking1 0,09 4 0,36 3 2 0,09 4 0,36 3 3 0,10 3 0,31 1 4 0,10 4 0,41 4 5 0,11 3 0,32 2 6 0,10 3 0,41 4 7 0,12 3 0,36 3 8 0,09 4 0,36 3 9 0,09 4 0,42 5 10 0,10 4 0,42 5
Jumlah 1 3,67 Keterangan : 1. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa tetangga 2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak 3. Adanya provokasi dari orang luar desa untuk merusak hutan 4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan petani lokal, sehingga
penduduk lokal mencari pengganti lahan dengan cara merambah hutan 5. Banyak penduduk dari luar desa yang merambah hutan, sehingga warga desa
ikut merambah hutan 6. Program pencegahan banjir dan erosi dari pemerintah/lembaga lain kurang
tepat sasaran 7. Adanya oknum - oknum dari luar desa yang memotong dana untuk program
pencegahan banjir dan erosi di desa 8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap bahaya
erosi dan banjir masih kurang 9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam mencegah terjadinya banjir dan
erosi masih rendah 10. Semakin bertambahnya cukong-cukong kayu dari luar desa
Lampiran 27 Uji F terhadap Model Regresi Berganda (agregat)
ANOVAb
564,540 5 112,908 35,867 ,000a
620,150 197 3,1481184,690 202
RegressionResidualTotal
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), What is the average total cash income of your family in oneyear?, Do you know Katawua?, Have you heard about now diseases for humans?,If your household earnings increase by 25.000 Rp. during this month how much ofthat would you spend on prevention against unknown environmental dangers?,Education Level
a.
Dependent Variable: How much money will you spend in maximum each month forcard number 1: Prevention against unknown environmental dangers?
b.
Freq
uenc
y
25
20
15
10
5
Histogram
Dependent Variable: How much money will you spend in card number 1: Prevention against unknown enviro