manggeng freire

Upload: helmy-yuhda

Post on 09-Feb-2018

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Manggeng Freire

    1/4

    41

    Tinja

    uanTeolo

    gis

    INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005

    Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangatkontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yangtelah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistempendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak padarakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkandan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karenapendidikan yang demikian hanya menguntungkanpenguasa maka harus dihapuskan dan digantikandengan sistem pendidikan yang baru.

    Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire

    menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yangmenurutnya relevan bagi masyarakat miskin dantersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yangditawarkan Freire itu menarik untuk dipakaimenganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia.Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatar-belakangi lahirnya pemikiran yang kontroversialmengenai pendidikan itu berbeda dengan konteksIndonesia. Namun di balik kesadaran itu, adakeyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada dibelakang pemikiran Freire dan juga metodologi

    pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalammembedah permasalahan pendidikan di Indonesia.

    Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan.

    Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermindalam kritikannya yang tajam terhadap sistempendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang iatawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktifFreire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalamkonteks nyata yang ia hadapi dan sekaligusmerupakan refleksi filsafat pendidikannya yang

    berporos pada pemahaman tentang manusia.

    a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran Paulo Freire.

    Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangandalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921di Recife, Timur Laut Brasilia

    1. Masa kanak-kanaknya

    dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanyayang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929

    2.

    Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajarHukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia

    bekerja part time sebagai instuktur bahasa Potugis disekolah menengah

    3. Ia meraih gelar doktor pada

    tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalamkedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistempendidikan hadap-masalah sebagai kebalikan daripendidikan gaya bank. Sistem pendidikan hadapmasalah yang penekanan utamanya padapenyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran dikalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakanpada tahun 1964

    4dan kemudian diasingkan ke Chile.

    Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akarbudayanya yang menimbulkan ketegangan

    5, tidak

    membuat idenya yang membebaskan dipenjarakan,

    tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruhdunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA padatahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidangpendidikan WCC.

    Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir daripergumulannya selama bekerja bertahun-tahun ditengah-tengah masyarakat desa yang miskin dantidak berpendidikan6. Masyarakat feodal (hirarkis)adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruhdi Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat

    feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolokantara strata masyarakat atas dengan stratamasyarakat bawah. Golongan atas menjadipenindas masyarakat bawah dengan melaluikekuasaan politik dan akumulasi kekayaan

    7,karena itu

    menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadisemakin miskin yang sekaligus semakin menguatkanketergantungan kaum tertindas kepada para penindasitu.

    Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu,lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan

    kebudayaan bisu8. Kesadaran refleksi kritis dalambudaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah.Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hariini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam hariini yang panjang, monoton dan membosankan

    9

    sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akandatang belum disadari

    10. Dalam kebudayaan bisu yang

    demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitusaja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan,ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanyakesadaran tentang ketertindasan mereka

    11. Itulah

    dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisiuntuk menguasai realitas hidup telah menjadi

    Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freiredan Relevansinya dalam Konteks Indonesia

    oleh Marthen Manggeng

  • 7/22/2019 Manggeng Freire

    2/4

    42

    TinjauanTeo

    logis

    INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005

    kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yangdimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuanyang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahanintervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisuyang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa merekabisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk

    menguasai realitas hidup ini termasuk menyadarikebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasaibahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalammengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yangdapat membebaskan dan memberdayakan adalahpendidikan yang melaluinya nara didik dapatmendengar suaranya yang asli. Pendidikan yangrelevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalahmengajar untuk memampukan merekamendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dariluar termasuk suara sang pendidik.

    Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul.Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnyayang tertindas dan yang telah dibisukan. Pendidikangaya bank dilihatnya sebagai salah satu sumberyang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu.Karena itulah, ia menawarkan pendidikan hadap-masalah sebagai jalan membangkitkan kesadaranmasyarakat bisu.

    b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan Gaya Bank.

    Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasiliapada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagaiyang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagaibenda yang seperti wadah untuk menampungsejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakinbanyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalamwadah itu, maka semakin baiklah gurunya. Karenaitu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi,murid/nara didik hanya menghafal seluruh yangdiceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti12. Naradidik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikanyang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagaipendidikan gaya bank. Disebut pendidikan gayabank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidakmemberikan pengertian kepada nara didik, tetapimemindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepadasiswa untuk disimpan yang kemudian akandikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan.Nara didik adalah pengumpul dan penyimpansejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya naradidik itu sendiri yang disimpan sebab miskinnyadaya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank

    menguntungkan kaum penindas dalam melestarikanpenindasan terhadap sesamanya manusia.

    Pendidikan gaya bank itu ditolak dengan tegas olehPaulo Freire. Penolakannya itu lahir daripemahamannya tentang manusia. Ia menolakpandangan yang melihat manusia sebagai mahlukpasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atastanggung jawab pribadi mengenai pendidikannyasendiri

    13.Bagi Freire manusia adalah mahluk yang

    berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam

    relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada didunia tetapi juga bersama dengan dunia

    14. Kesadaran

    akan kebersamaan dengan dunia menyebabkanmanusia berhubungan secara kritis dengan dunia.Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks sepertibinatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji danmengujinya lagi sebelum melakukan tindakan

    15. Tuhan

    memberikan kemampuan bagi manusia untukmemilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasiseperti itu, manusia berkembang menjadi suatupribadi yang lahir dari dirinya sendiri.

    Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka iamenawarkan sistem pendidikan alternatif sebagaipengganti pendidikan gaya bank yang ditolaknya.Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freiredisebut pendidikan hadap-masalah.

    c. Pendidikan Hadap-Masalah: Suatu Pendidikan Alternatif.

    Pendidikan hadap-masalah sebagai pendidikanalternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari

    konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilahyang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikanhadap-masalah. Manusia tidak mengada secaraterpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia beradadalam dunia dan bersama-sama dengan realitasdunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan padanara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu.Konsep pedagogis yang demikian didasarkan padapemahaman bahwa manusia mempunyai potensiuntuk berkreasi dalam realitas dan untukmembebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomidan politik

    16.

    Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yangdihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatutingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freiremembagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu

    17

    :

    1)Kesadaran intransitifdimana seseorang hanyaterikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akansejarah dan tenggelam dalam masa kini yangmenindas.

    2)Kesadaran semi intransitifatau kesadaran magis.Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya

  • 7/22/2019 Manggeng Freire

    3/4

    43

    Tinja

    uanTeolo

    gis

    INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005

    bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaranini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawahkekuasaan orang lain atau hidup dalamketergantungan.

    3)Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah adakemampuan untuk mempertanyakan dan mengenalirealitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang

    primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diridengan elite, kembali ke masa lampau, maumenerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosikuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukandialog

    18.

    4)Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitifditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampumenerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog.Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihathubungan sebab akibat.

    Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalahpendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritistransitif. Memang ia tidak bermaksud bahwaseseorang langsung mencapai tingkatan kesadarantertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak darikesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatankesadaran yang di atasnya.

    Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumbersegala pengetahuan dengan murid yang menjadiorang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didiktidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yangharus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknyaguru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan muridadalah sama-sama belajar dari masalah yangdihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagaisubyek dalam memecahkan permasalahan. Gurubertindak dan berfungsi sebagai koordinator yangmemperlancar percakapan dialogis. Ia adalah temandalam memecahkan permasalahan. Sementara itu,nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog

    tersebut.

    Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidakdiambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalambuku paket tetapi sejumlah permasalahan.Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusidialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yangdialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari,misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-samamenemukan dan menyerap tema-tema kunci yang

    menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik.Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan

    dengan memperhatikan berbagai kaitan dandampaknya. Dengan proses demikian nara didikmendalami situasinya dan mengucapkannya dalambahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freiremenamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-katasebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian diejadan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyaksehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari

    hasil penamaannya sendiri.

    d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks I ndonesia.

    Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yangdirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisaditerapkan begitu saja dalam konteks yang berbedasebab situasinya dan permasalahannya tidak sama

    19.

    Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kitatidak bertindak naif dalam menganalisis suatupermasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu

    sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freiredapat dipakai secara kritis dalam menganalisispermasalahan pendidikan di berbagai belahan duniatermasuk di Indonesia.

    Memang harus diakui bahwa konteks permasalahanAmerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persisdengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia,tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan.Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-sukuadalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam

    strata sosial yang mempunyai sebutan khas diberbagai daerah. Sebagai contoh adalah stratifikasisosial dalam masyarakat Toraja dan dalammasyarakat Bali. Dalam masyarakat Toraja stratasosial disebut Tana. Tana Bulawan (strata tertinggi)adalah pemilik budak (tana koa-koa) dan sekaliguspemilik harta dan kekuasaan yang mutlak. Walaupunstrata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justrutelah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknyahampir sama dengan feodalisme tradisional.Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalahkelompok pedagang/pengusaha yang menguasaiekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada.Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaankurang lebih 80 % kekayaan Indonesia padahaljumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlahpenduduk. Kedua kelompok penindas tersebutsemakin memperkokoh kekuasaannya sebab secarapraktik hanya mereka yang mampu menyekolahkananak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yangsangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu.Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaristahta penindasan. Kalau ada dari kelompok rakyat

    kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, iaakan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme

  • 7/22/2019 Manggeng Freire

    4/4

    44

    TinjauanTeo

    logis

    INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005

    baru itu baik dalam rangka balas dendam maupundalam penindasan terhadap sesamanya kaumtertindas.

    Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yangberupaya membebaskan kaum tertindas untukmenjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasankaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit

    menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligusmembebaskan para penindas darikepenindasannya

    20.

    Dalam proses belajar mengajar, pemerintah RepublikIndonesia telah mengupayakan untuk menerapkanpendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapihanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementaramateri yang disampaikan masih merupakan barangasing yang tidak lahir dari dalam konteks dimanamanusia itu ada sehingga pada akhirnya siswakembali menjadi bank penyimpanan sejumlah

    pengetahuan. Memang siswa aktif belajar danmungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yangdidiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalahsejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungandengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswaadalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yangbelum tahu dan harus diberitahu sedangkan guruadalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan.

    Pelaksanaan Pendidikan agama dalam gereja jugatidak jauh berbeda dengan pendidikan dalam

    sekolah-sekolah umum. Bahkan mungkin lebihmemprihatinkan sebab justru dalam gerejapendekatan indoktrinasi lebih mendapat tekananyang dominan. Pengajaran di Sekolah Minggu danKatekisasi dan juga dalam kebaktian umum, pesertadidik atau kebaktian diisi dengan sejumlah doktrinyang asing. Doktrin-doktrin religius yang dirumuskandalam konteks yang berbeda dengan konteksIndonesia masih menjadi senjata andalan untukmembungkam kreativitas iman anggota Jemaat.Alkitab sebagai sumber pengetahuan iman belumdiupayakan untuk dibaca dan dipahami dalamkonteks masyarakat Indonesia. Bukankah itu semuayang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikangaya bank?

    Catatan Kaki1Denis Colins, Paulo Freire His Life, Works and Thought(New York: Paulist Press, 1977), p. 5.2Sumaryo, Pendidikan Yang Membebaskan dalam

    Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan(Bandung: Alumni, 1981), p. 29. Cf Aloys Maryoto,Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut

    Paulo Freire dalam Fenomena Edisi 2/Th.V/1994,p.18.

    3Denis Colins, op.cit., p. 6.

    4Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta:

    LP3S, 1972), p. xii.5Paulo Freire dan Antonio Faundez, Belajar Bertanya.

    Pendidikan Yang Membebaskan (Jakarta: BPK GunungMulia, 1995), p. 6.6Daniel S.Schipani, Religious Education Encounters

    Liberation Theology (Alabama: Religious EducationPress, 1988), p. 12.7Sumaryo, op. cit., p. 30.

    8Aloys Maryoto, Pendidikan Sebagai Proses

    Penyadaran Menurut Paulo Freire dalam FenomenaEdisi 2/Th.V/1994, p. 18.9Mudji Sutrisno, Pendidikan Pemerdekaan (Jakarta:

    Penerbit Obor, 1995), p. 33.10

    L. Subagi, Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan.Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich, dalam Martin

    Sardy (ed.), Pendidikan Manusia(Bandung: Alumni,1985), pp. 104-105.11

    Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp. 1-4.12

    Op. cit.,p. 50.13

    L. Subagi, op. cit.14

    Paulo Freire, Cultural Action For Freedom (Baltimore:Penguin Book, 1970 ), p. 51.15

    Mudji Sutrisno, op. cit., p. 32.16

    Daniel S. Schipani, Religious Education EncountersLiberation Theology (Alabama: Religious EducationPress, 1988), p. 13.17L.Subagi, op.cit., pp. 137-138. Cf. Mudji Sutrisno,

    op.cit., pp. 41-42.18

    Paulo Freire, Education For Critical Consciousness

    (New York: The Seabury Press, 1973 ), p. 18.19

    Allen J.Moore, Liberation and the Future of ChristianEducation dalam Jack L. Seymour and Donald E.Miller(Ed.), Contemporary Approaches to Christian Education(Nashville: Abingdon Press, 1984), pp. 106-110.20

    Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp.10-12. Cf.J.B. Banawiratma, Iman, Pendidikan dan PerubahanSosial(Yogyakarta: Kanisius, 1991), p. 73.