materi terapi anti fungal

Upload: julyadharma-wangsa-dharma

Post on 14-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penggunaan anti jamur pada infeksi jamur sistemik, terutama pada unit perawatan intensif.

TRANSCRIPT

PendahuluanMenurut CDC (Centre for Diseases Control and Prevention), kandidiasis invasif adalah infeksi jamur yang terjadi ketika kandida memasuki aliran darah. Setelah berada dalam aliran darah, maka akan dapat menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan infeksi.1 Candida merupakan ragi yang normal hidup di dalam dan di permukaan tubuh tanpa menimbulkan keluhan. Kandidiasis invasif terjadi ketika Candida yang ada memasuki aliran darah. Hal ini juga bisa terjadi ketika perlatan medis, terutama kateter intra venaterkontaminasi kandida. Apapun mekanismenya, infeksi yang terjadi dapat menyebar melalui aliran darah dan mengenai berbagai organ.1Diagnosa infeksi yang diakibatkan oleh jamur pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (Intensive Care Unit/ICU) cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan perkembangan ilmu kedokteran seperti penatalaksanaan keganasan, infeksi HIV/AIDS, dan transplantasi organ menyebabkan pasien dengan penyakit yang berat dapat bertahan sehingga terbentuklah populasi yang rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik, terutama infeksi jamur. Candida merupakan jamur patogen yang terbanyak pada pasien di ICU dengan gambaran klinis terbanyak berupa infeksi aliran darah, diikuti oleh peritonitis dan infeksi abdominal, endokarditis dan lainnya .2,3 Candidemia merupakan infeksi yang bersifat life-threatening dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, terutama pada pasien imunokompromis dan kritis. Di ICU, infeksi Candida mewakili hingga 15% dari kasus infeksi nosokomial dengan angka mortalitas dari berbagai studi berkisar antara 25-60%. Infeksi nosokomial oleh jamur juga merupakan salah satu infeksi tertinggi yang memperoleh terapi yang tidak tepat, baik karena kelalaian dalam inisiasi terapi empirik dan dosis yang tidak adekuat sehingga menyebabkan peningkatan mortalitas.2Di ICU, kandidemia merupakan salah satu infeksi tersering dan paling serius pada pasien yang dirawat dan dapat mencapai hingga 10% dari pasien yang dirawat.2 Candida spp merupakan salah satu dari lima patogen utama penyebab infeksi aliran darah di Amerika Serikat dan menyebabkan 8- 10% dari kasus infeksi aliran darah pada infeksi nosokomial. Di Amerika Serikat, insiden Candidemia dilaporkan sekitar 8 per 100.000 populasi dengan rentang antara 6 14 kasus/100.000 populasi dengan pengecualian adalah Baltimore yang mencapai 25/100.000 populasi. Sedangkan di negara Eropa seperti Norwegia, Finlandia dan Swedia, insiden candidemia berkisar 3/100.000 populasi sedangkan di Denmark dilaporkan sekitar 11/100.000 populasi. Sedangkan di negara Eropa lainnya seperti Inggris, Skotlandia, Italia dan Spanyol berkisar antara 1,2 6,4/100.000 populasi.Secara keseluruhan, insisden terbanyak terjadi pada kelompok usia ekstrim, sekitar 10 15 kali lebih tinggi pada kelompok usia 65 tahun.3,4

Faktor RisikoSecara umum, pasien imunosupresi dengan keganasan yang berupa massa solid ataupun hematologik dianggap sebagai yang paling rentan terhadap infeksi Candida. Selain itu pasien yang dirawat di unit perawatan intensif juga termasuk kelompok yang rentan. Hal ini disebabkan penggunaan berbagai peralatan yang bersifat invasif, gangguan mekanisme imunitas karena penyakit yang melatarbelakanginya dan penggunaan antibiotika secara luas. Pada unit perawatan intensif, hanya terdapat sedikit perbedaan faktor risiko terjadinya kandidiasis invasif antara pasien anak-anak dan dewasa, seperti yang ada dalam tabel berikut.2,5,6

Tabel 1. Faktor risiko kandidiasis invasif pada unit perawatan intensif Unit Perawatan Intensif DewasaUnit Perawatan Intensif Neonatal dan Anak

Masa perawatan yang lamaDiabetesKegagalan GinjalHemodialisisAntibiotika spektrum luasKateter Vena SentralNutrisi ParenteralObat-obat ImunosupresiKeganasan dan KemoterapiPankreatitis akutKolonisasi kandida pada beberapa lokasiPembedahan abdominalTransplantasiKandiduriaLuka bakar luasSkor APACHE II yang tinggi (>20)Sama seperti pada unit perawatan intensif dewasa, ditambah:PrematuritasSkor APGAR yang rendahMalformasi kongenitalBerat badan lahir rendah

Organisme Penyebab Kandida adalah jamur yang termasuk golongan ragi (yeast) yang terutama tumbuh dalam bentuk uniselular. Berukuran kecil (4-6 m) dan berdinding tipis dengan bentuk ovoid dan bereproduksi dengan cara pembentukan budding. Umumnya dapat tumbuh dengan baik pada media botol kultur darah dan pada plat agar dan tidak memerlukan media pertumbuhan khusus untuk jamur. Pada pewarnaan Gram akan memberikan hasil Gram positif dan dalam pemeriksaan mikroskopis terhadap spesimen klinis dapat ditemukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan hifa. Sedangkan koloni kandida akan memberikan gambaran yang halus berupa krim putih, dengan koloni yang berkilau, menyerupai koloni stafilokokus. Identifikasi presumtif secara cepat untuk Candida albicans adalah dengan menempatkannya pada serum dan mengamati pembentukan germ tube yaitu suatu tonjolan dari permukaan sel yang muncul dalam 90 menit. Namun tes tersebut dapat memberikan hasil positif semu maupun negatif semu. Identifikasi hingga tingkat spesies dilakukan berdasarkan parameter fisiologis daripada morfologi dengan melakukan uji metabolik seperti asimilasi karbohidrat dan fermentasi, nitrat, dan urease.7 Dalam dua dekade terakhir dilaporkan telah terjadi pergeseran spesies Candida penyebab infeksi. Dahulu, hampir semua isolat yang dilaporkan adalah Candida albicans, namun sekarang telah terjadi peningkatan proposi candidemia yang disebabkan oleh spesies non albicans. Spesies non albicans yang umum dijupai adalah Candida parasilosis, Candida glabrata, Candida tropicalis, dan Candida krusei. Sedangkan spesies non albicans yang lebih jarang ditemukan adalah Candida lusitaniae, Candida guilliermondii dan Candida rugosa.Pffaler dkk. Mengkompilaskan data mengenai spesies kandida sejak 1997 2003 dalam tabel berikut ini.8Tabel 2. Distribusi spesies penyebab kandidiasis invasif

*Pfaller MA, Diekema DJ. Epidemiology of invasive candidiasis: a persistent public health problem. Clin.Microb.Rev. Jan 2007: 133-163.

Berdasarkan berbagai studi, beberapa faktor risiko telah dikaitkan dengan candidemia yang disebabkan oleh beragam spesies tersebut. Salah satu yang paling dipahami adalah penggunaan fluconazole secara luas yang merupakan predisposisi terjadinya infeksi oleh spesies yang resisten terhadap azole, baik secara intrinsik seperti C.krusei ataupun yang bersifat dose dependent seperti C.glabrata. Selain itu, faktor risio spesifik untuk terjadinya candidemia oleh spesies non albicans juga telah dilaporkan, misalnya penggunaan peralatan in dwelling, hiperalimentasi, dan neonatus adalah faktor risiko untuk terjadinya infeksi oleh Candida parapsilosis. Adapaun faktor risiko untuk beberapa spesies kandida non albicans lainnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Faktor risiko kandidemia berdasarkan spesies kandida2SpesiesFaktor risiko

Candida tropicalisNeutropeniaTrasplantasi sumsum tulang

Candida kruseiPenggunaan fluconazoleNeutropeniaTransplantasi sumsum tulang

Candida glabrataPenggunaan fluconazolePembedahanKateter vaskulerKankerUsia lanjut

Candida parapsilosisNutrisi parenteral dan hiperalimentasiKateter vaskulerNeonatus

Candida lusitaniae dan Candida guilliermondiiRiwayat penggunaan polyene

Candida rugosaLuka bakar

Penegakan DiagnosaDiagnosa secara mikrobiologis tetap merupakan diagnosa definitif untuk infeksi jamur. Pemeriksaan mikrobiologis secara konvensional melalui pemeriksaan mikroskopis langsung terhadap spesimen klinis merupakan prosedur pemeriksaaan lini pertama dalam mendeteksi keberadaan elemen jamur dan merupakan pemeriksaan paling cepat (2,5 maka risiko kandidiasis meningkat 8x lipat.2

Anti jamur yang tersedia Beberapa tahun terakhir ini telah ada perkembangan dalam farmakoterapi anti jamur, diantaranya yaitu dengan dikembangkannya anti jamur dari kelas echinocandin. .Studi yang berbasis pembuktian tentang penggunaan anti jamur baru telah banyak. Pada penatalaksanaan infeksi jamur di unit perawatan intensif, obat yang sering digunakan secara garis besar adalah sebagai berikut12: 1. Obat golongan polyeneAmphotericin B deoxucholate telah digunakan untuk terapi anti jamur sejak tahun 1950-an. Obat ini lebih dipilih dibandingkan polyene lainnya yang lebih toksik yaitu nystatin yang digunakan sebatas untuk pengobatan topikal. Obat golongan ini bekerja dengan cara berikatan dengan ergosterol yang merupakan komponen utama membran sel jamur sehingga mengganggu permeabilitas sel dan menyebabkan kematian sel jamur.. Hingga saat ini, amphotericin B merupakan antijamur dengan spektrum terluas, baik terhadap kapang maupun ragi. Pada tahun 1990-an telah dikembangkan sediaan lipid dari amphotericin B yang meliputi Amphotericin B lipid complex (Abelcet, Enzon), liposomal amphotericin B (Ambisome) dan Amphotericin B colloidal dispersion (Amphotec).Obat-obat tersebut lebih aman terhdap ginjal dibandingkan Amphotericin B deoxycholate, namun belum ada bukti yang menyatakan bahwa obat tersebut memiliki efikasi yang lebih baik.

2. Obat golongan azole. Termasuk didalamnya adalah ketoconazole, fluconazole, itraconazole, posoconazole, dan voriconazole. Merupakan anti jamur yang paling banyak digunakan. Bekerja dengan cara menghambat enzim sitokrom P450 sel jamur, yaitu 14-lanosterol demethylase sehingga menghambat sintesis ergosterol yang merupakan komponen membran sel jamur.. Obat ini dapat dibedakan menjadi 2 kelompok utama yaitu imidazole (ketoconazole, miconazole, clotrimazole, dan econazole) dan triazole (fluconazole, itraconazole, voriconazole, dan posaconazole). Obat-obat ini memiliki aktivitas yang baik terhadap ragi (yeast), dan itraconazole memiliki aktivitas terhadap beberapa jenis kapang (moulds), termasuk pula Aspergillosis. Imidazole terutama digunakan untuk penatalaksanaan infeksi superfisialis sedangkan triazole memiliki spektrum penggunaan yang lebih luas. 3. Obat golongan echinocandin. Ada 3 obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu anindilafungin, caspofungin, dan micafungin. Merupakan obat anti jamur yang relatif baru. Obat ini merupakan non kompetitif inhibitor dari (1-3)- glucan synthase sehingga dapat menghambat sintesis glucan yang merupakan komponen penting dinding sel jamur. .Selain ketiga macam golongan obat anti jamur tersebut di atas, masih ada beberapa macam obat anti jamur lainnya seperti flucytosine, allylamine, dan morpholines. Namun penggunaannya secara klinis tidaklah sesering golongan azole, polyene dan echinocandin.

Gambar 2. Tempat kerja obat anti jamur

Farmakologi Anti Jamur AbsorbsiBeberapa anti jamur, termasuk golongan polyene dan echinocandin tidak memiliki bioavailabilitas oral, sehingga pengobatan infeksi jamur invasif hanya bisa dilakukan secara intra vena hingga tahun 1990-an. Namun sekarang, tersedia anti jamur golongan azole dalam bentuk sediaan oral. Fluconazole memiliki bioavailabilitas oral sebesar 90% dari pemberian secara intravena. Proses absorpsinya tidak dipengaruhi pemberian makanan, pH lambung ataupun penyakit. Sedangkan Itraconazole diabsorpsi maksimal pada keadaan terjadi sekresi asam lambung. Sehingga itraconazole tidak boleh diberikan bersamaan dengan obat antagonis H2 ataupun penghambat pompa proton. Itraconazole juga sebaiknya diberikan sesudah makan untuk meningkakan absorpsi. Sedangkan bioavailabilitas voriconazole >90% ketika lambung kosong dan berkurang bila ada makanan.

DistribusiSecara umum, anti jamur didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh. Namun karena ukuran molekulnya yang relatif besar, hal ini menyebabkan sulit untuk penetrasi melalui sawar darah-otak pada cairan serebrospinal (CSS) dan mencapai konsentrasi yang diharapkan dalam CSS. Saat ini hanya flucytosine, fluconazole dan voriconazole yang dianggap memiliki kemampuan penetrasi sawar darah otak baik, yaitu memiliki konsetrasi minimal 50% dari konsentrasi serum. Anti jamur golongan polyene dan sebgian besar golongan azole memiliki ikatan yang kuat dengan protein, terutama dengan albumin hingga >90%. Sedangkan echinocandin berkisar 85 99% yang berikatan dengan albumin. Sehingga pada keadaan hipoalbumin akan dapat meningkatkan konsentrasi obat, namun belum cukup pembuktiannya. Metabolisme dan EliminasiSebagian besar antijamur mengalami prosses metabolisme di hati sebelum dieliminasi. Namun rute metabolisme dan eliminasi Amphotericin B belumlah diketahui.

Efek disfungsi organ terhadap dosis obatEfek disfungsi organ terhadap eliminasi obat anti jamur dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 6. Modifikasi dosis yang dianjurkan berdasarkan tipe disfungsi organ.

Dodds Ashley ES, Lewis R, Lewis JS, Martin C, Andes D. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious Diseases 2006; 43:S2839

Penyakit hati dapat mempengaruhi eliminasi beberapa anti jamur. Namun untuk obat golongan azole, hanya Voriconazole yang memerlukan penyesuaian dosis untuk pasien dengan sirosis hati ringan sedang. Sedangkan untuk golongan echinocandin, maka hanya caspofungin yang memerlukan penyesuaian dosis pada penyakit hati yang berat.

Interaksi obatEfek anti jamur terhadap rejimen terapi lainnya perlu diperhatikan dengan baik ketika akan memulai ataupun menghentikan terapi karena anti jamur dapat mengubah kemananan ataupun efikasi terapi melalui berbagai mekanisme, antara lain toksisitas adiktif. Semua obat golongan azole menghambat enzim CYP 450. Sedangkan konsentrasi caspofungin berkurang jika diberikan bersamaan dengan induser CYP450 seperti rifampin dan fenitoin. Micafungin memiliki efek penghambatan yang lemah terhadap CYP3A4, sehingga akan meningkatkan konsentrasi dalam serum dari obat-obat yang menjadi substrat enzim tersebut, misalnya sirolismus dan nifedipine. Tabel 7. Terapi anti jamur di unit perawatan intensif** Zaragoza R, Peman J. The diagnostic and therapeutic approach to fungal infections in critical care setting. Advances in Sepsis 2008: vol.6, No.3 ToksisitasAmphotericin B bersifat nefrotoksik dan dapat menimbulkan reaksi terkait infus akut (acute infusion related reactions), reaksi pada paru. Sedangkan pemberian itraconazole dapat menimbulkan trias yang unik berupa hipertensi, hipokalemia dan edema, terutama pada pasien geriatri. Pemberian voriconazole dapat menyebabkan gangguan visual berupa photopsia (penampakan cahaya terang, perubahan warna) dan cutaneous phototoxicity. Sedangkan echinocandin hanya dikaitkan dengan toksisitas yang ringan sehingga aman untuk diberikan. Yang menarik namun jarang adalah histamine mediated infusion related reaction. Resistensi Terhadap Anti JamurTelah banyak laporan mengenai resistensi berbagai spesies jamur patogen terhadap obat-obat anti jamur, namun hal tersebut tidak akan dibicarakan lebih lanjut dalam materi ini, tetapi resistensi beberapa spesies jamur patogen baik Candida spp (albicans dan non albicans) serta spesies laiinya terhadap anti jamur dapat dilihat pada tabel berikut.Tabel 8. Spektrum anti jamur terhadap beberapa jamur patogen

Dodds Ashley ES, Lewis R, Lewis JS, Martin C, Andes D. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious Diseases 2006; 43:S2839

Strategi Penatalaksanaan Infeksi Jamur InvasifStrategi penatalaksanaan infeksi jamur invasif dengan antifungal dapat dibedakan menjadi empat yaitu2,14 :1. Profilaksis: pemberian terapi antifungal sebelum ada tanda atau gejala infeksi2. Preemptive: intervensi terhadap pasien dengan gambaran radiologi atau laboratorium menunjukan adanya infeksi jamur invasif (Invasive Fungal Infection/IFI)3. Empirik: intervensi terhadap kelompok risiko tinggi yang disertai dengan demam atau neutropenia4. Directed/Targeted (Cultur Proven Approach): penatalaksanaan dengan antifungal yang tepat setelah terbukti adanya patogen dan infeksi jamur invasif melalui pemeriksaan histopatologis/kultur.Gambar 3. Penatalaksanaan kandidiasis pada pasien kritis

Pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif, pemberian anti jamur profilaksis merupakan hal yang sering dilakukan sekaligus juga mengundang perdebatan, terutama dikarenakan populasi sasaran yang optimal untuk pemberian anti jamur profilaksis masih belum jelas. Namun ada beberapa guideline yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pemberian antijamur, yaitu guideline yang dikeluarkan oleh IDSA (Infectious Diseases Society of America) dan ESCMID (European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases). Adapun beberapa poin rekomendasi yang terdapat dalam guideline tersebut diantaranya:15,16 Profilaksis dengan fluconazole untuk mencegah invasive candidiasis dengan direkomendasikan pada pasien yang baru saja menjalani pembedahan abdomen dan ada riwayat perforasi gastrointestinal ataupun kebocoran anastomosis. Pasien ICU dewasa dengan demam walaupun telah diberikan antibiotik spektrum luas tidak dianjurkan diberikan profilaksis Pasien ICU dengan kandida yang diisolasi dari saluran pernafasan tidak perlu diberikan terapi profilaksis karena pneumonia yang disebabkan oleh kandida merupakan kasus yang sangat jarang. Pasien dengan kandida yang berasal dari kultur darah perlu segera diterapi Profilaksis dengan fluconazole pada pasien di ICU hanya direkomendasikan bagi pasien dengan risiko tinggi di unit dengan insiden kandidiasis invasif yang tinggi.Pemilihan obat untuk profilaksisHal yang sering menjadi diskusi bagi para tenaga medis di unit perawatan intensif adalah penentuan obat yang digunakan terutama untuk profilaksis. Dari berbagai referensi yang ada, maka penentuan obat yang akan digunakan hendaknya memperhatikan faktor pasien/host, terutama faktor hemodinamik serta hal-hal lain seperti riwayat alergi, faktor patogen seperti kemungkinan infeksi oleh C.glabrata dan C.krusei, adanya kolonisasi multipel dan lainnya juga perlu dijadikan pertimbangan dalam pemilihan obat anti jamur.Gambar 4. Strategi pemberian anti jamur*

*Zaragoza R, Peman J. The diagnostic and therapeutic approach to fungal infections in critical care setting.Advances in Sepsis 2008: vol.6, No.3.

Kesimpulan Kandidiasis invasif merupakan salah satu masalah di ICU Adanya pergeseran pola patogen penyebab kandidiasis invasif, dari C.albicans menjadi Candida non albicans. Penegakan diagnosa yang cepat dan akurat untuk kandidiasis invasif sangatlah penting karena dapat menyelamatkan nyawa. Identifikasi kelompok risiko tinggi dapat dilakukan berdasarkan hasil kultur dengan menggunakan CI dan CCI ataupun tanpa kultur dengan menggunakan Candida Score. Pemberian anti jamur dapat berupa pemberian profilaksis, preemptive, empirik ataupun Cultur Based Pemilihan anti jamur hendaknya memperhatikan fakor pasien (host) dan faktor patogen penyebab.

REFERENSI

1. http://www.cdc.gov/fungal/diseases/candidiasis/invasive/definition.html 2. Basetti M, Mikulska M, Viscoli C. Bench-to-bedside review: Therapeutic management of invasive candidiasis in the intensive care unit. Critical Care 2010, 14:244.3. Yapar N. Epidemiology and risk factor for invasive candidiasis. Therapeutics and Clinical Risk Management 2014:10, 95-105.4. Maiken C Arendrup. Epidemiology of invasive candidiasis. Current Opinion in Critical Care 2010, 16:445-452.5. Zeichner LO, Pappas PG. Invasive candidiasis in the intensive care unit. Crit Care Med 2006 Vol.34, No 3.6. Toya SP, Schraufnagel DE, Tzelepis GE. Candiduria in intensive care units: association with heavy colonization and candidemia. J Hosp Inf 2007, 66:201-2067. Mandell GL, Bennett JE, Dollin R. Principles and practice of infectious diseases 7th edition. Elsevier, 2010.8. Pfaller MA, Diekema DJ. Epidemiology of invasive candidiasis: a persistent public ealth problem. Clin.Microb.Rev. Jan 2007: 133-163.9. Peman J, Zaragoza R. Current diagnostic approaches to invasive candidiasis in critical settings. Mycoses 2009, 53: 424-43310. Zaragoza R, Peman J. The diagnostic and therapeutic approach to fungal infections in critical care setting. Advances in Sepsis 2008: vol.6, No.3.11. Pittet D, et al. Candida colonization and subsequent infections in critically ill surgical patients. Annals of Surgery 1994, Vol 220, No.6:751-75812. Dodds Ashley ES, Lewis R, Lewis JS, Martin C, Andes D. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious Diseases 2006; 43:S2839 13. Leon C et al. A bedside scoring system (Candida Score) for early antifungal treatment in nonneutropenic critically ill patients with Candida colonization. Crit Care Med 2006, Vol 34, No.3. 14. Oliver A. Cornely et al. Evaluating the role of prophylaxis in the management of invasive fungal infections in patients with hematologic malignancy. Eur. J. of Haematology 2011, 87: 28930115. Pappas PG, Kauffman CA, Benjamin DK, et al. Clinical Practice Guidelines for The Management of Candidiasis: 2009 Update by th Inffectious Diseases Society of America.16. Cornely OA, Bassetti M, Calandra T, et al. ESCMID* guideline for the diagnosis and management of Candida diseases 2012: non neutropenic adult patients.

14