obat anti jamur (fungal)

18
OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL) DISUSUN OLEH : Dr. SRI AMELIA, M.Kes NIP. 197409132003122001 DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

DISUSUN OLEH :

Dr. SRI AMELIA, M.Kes NIP. 197409132003122001

DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011

Universitas Sumatera Utara

Page 2: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

BAB I

PENDAHULUAN

Berbeda dengan perkembangan obat antibakteri yang semakin meluas, manfaat

klinis obat anti jamur masih terbatas. Alasan ketidaksesuaian ini karena adanya hubungan

yang erat antara jamur patogenik dengan inang mamalianya. Banyak proses biokimia

yang menyediakan sasaran berguna untuk obat antibakteri tidak terdapat dalam jamur,

dan proses yang dapat menjadi sasaran dimiliki juga oleh inang mamalianya. Karena

alasan ini, banyak senyawa yang memperlihatkan kemaknaan aktivitas antijamur invitro

tidak dapat digunakan secara terapeutik karena toksisitas inang.1,2

Obat antijamur mempunyai beberapa sasaran yang ditujukan pada sel jamur agar

sel tersebut mengalami kematian. Sasaran primer obat kemoterapeutik antijamur adalah

selaput jamur. Sebagian besar jamur mengandung ergosterol seperti sterol selaput utama.

Manusia tidak mensintesis ergosterol tetapi menggunakan kolesterol sebagai sterol

selaput utama. Dengan pengecualian griseofulvin dan flusitosin, obat antijamur bekerja

melalui pengikatan ergosterol (amfoterisin B) atau penghambatan biosintesis ergosterol

(antijamur azol).2

Selain menghambat kerja ergosterol, antijamur juga bekerja dalam menghambat

sintesis dinding sel jamur, mengganggu fungsi dari membrane sel, menghambat sintesis

dari asam nukleat, menghambat sintesis protein, menghambat pembelahan inti sel, serta

sebagai penghambat sistem metabolisme pada sel jamur. Semua kerja antijamur tersebut

bertujuan untuk mendapatkan efek fungistatik dan fungisid.1

Pengobatan antijamur dapat kita kelompokkan ke dalam dua golongan besar

berdasarkan tujuan pengobatan. Yang pertama antijamur yang bekerja sistemik, biasanya

digunakan untuk infeksi jamur sistemik seperti blastomikosis, histoplasmosis, candida,

dan infeksi jamur lainnya. Sedangkan kelompok kedua bekerja secara topikal, hanya pada

daerah lesi saja. Obat yang dipakai untuk mikosis lokal yaitu golongan azole, nistatin,

tolnaftat, naftitin, siklopiroks olenamin, asam undesilnat, dan haloprogin.1,3

Pada tulisan ini, penulis ingin menyampaikan beberapa obat antijamur beserta

mekanisme, indikasi pemakaian, efek samping. Mudah-mudahan apa yang akan saya

sampaikan ini bermanfaat bagi kita semua.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SASARAN OBAT ANTIJAMUR

Dengan meningkatnya infeksi jamur pada tahun-tahun terakhir ini, kita

membutuhkan obat antijamur yang baru untuk mengatasi masalah tersebut. Tidak seperti

perkembangan dari obat-obat antibakteri, perkembangan obat antijamur tidak begitu

signifikan. Hal ini disebabkan karena jamur mempunyai jenis sel yang mirip dengan

dengan sel mamalia dimana sama-sama masuk dalam kelompok eukariota, sehingga

harus dicari antijamur yang dapat merusak jamur tetapi tidak merusak sel mamalia. Hal

ini sulit dilakukan. Berbeda dengan antibakteri, bakteri termasuk kelompok prokariota

sehingga sel yang menjadi target antibakteri tidak dijumpai pada sel mamalia, sehingga

perkembangan obat antibakteri lebih maju dibanding obat antijamur.1

Sebagian besar obat antijamur digunakan secara sistemik, yang tergantung dari

interaksi antijamur dengan ergosterol, baik secara langsung (amphoterisin B) atau secara

tidak langsung (azole). Di bawah ini ada beberapa tempat yang merupakan target dari

obat antijamur.

a. Ergosterol dan sintesis ergosterol

Belakangan ini banyak obat antijamur yang dapat menghambat sintesis atau

interaksi dengan ergosterol, yang merupakan sterol yang sangat penting pada membrane

sel jamur. Polyenes, seperti amphoterisin B dapat berikatan dengan sterol membrane,

terutama ergosterol, dan menyebabkan meningkatnya permeabilitas sel, kemudian terjadi

kebocoran intraselluler sel jamur dan akhirnya menyebabkan kematian sel.1

Sitokrom P450 –dependent-14-α-demethylase adalah sasaran dari obat

antijamur golongan azole (flukonazol, ketokonazol, itrakonazol, dan lain sebagainya)

yang secara umum bersifat fungistatik. Squalene epoxidase adalah sasaran lain pada

jalur biosintesis ergosterol yang dapat memberikan efek fungistatik dan fungisid.

Allylamines (terbinafin) dan thiocarbamate (tolnaftat) bekerja pada sasaran ini dan

menimbulkan reaksi silang yang minimal dengan enzim yang bekerja dalam sintesis

kolesterol. Semakin banyaknya penggunaan antijamur di klinik, memerlukan penelitian

yang lebih lanjut untuk menemukan penghambat ergosterol yang lebih poten.1

Universitas Sumatera Utara

Page 4: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

b. Sintesis asam nukleat

Hanya satu obat yang bekerja pada sintesis asam nukleat sel jamur yaitu flusitosin

(5-fluorositosin, 5-FC). 5-fluorositosin dikonversikan menjadi 5-fluorouridin yang

kemudian membentuk triphosphat. Triphosphat menghambat sintesis timidilate dan

menghambat sintesis DNA sel jamur. Yang akhirnya dapat menyebabkan kematian sel.1

c. Dinding sel

Dinding sel jamur merupakan sasaran yang menjadi perhatian dalam

perkembangan obat antijamur yang baru. Komponen dari dinding sel jamur bervariasi

antar sesama spesies jamur tetapi pada umumnya hampir sama. Salah satu dari komponen

mayor adalah 1,3-β-glucan, dalam bentuk struktur helocoidal. Komponen lain adalah

chitin yang berbentuk pita dan merupakan rangka dari dinding sel. Mannoprotein juga

merupakan komponen mayor dari dinding sel luar dan berfungsi dalam memberi bentuk

sel jamur.1

Masing-masing komponen mayor dari dinding sel tersebut dapat menjadi sasaran

dari obat antijamur. Sintase glucan merupakan sasaran yang penting pada dinding sel,

karena setiap sel jamur mempunyai komponen ini termasuk Pneumocystic carinii, dan

menghambat sintase glucan dapat menyebabkan kematian sel jamur (fungisid). Obat

antijamur yang menghambat sintase glucan misalnya echinocandins.1

Sintesis chitin merupakan komponen yang penting pada sel jamur. Polyoxins dan

nikkomycins adalah penghambat sintesis chitin yang diperlukan pada transport lipid ke

dalam sel. Pradmicins dan bananomicins adalah antijamur yang berikatan dengan

mannoprotein, yang mempunyai aktivitas yang sangat luas, tetapi tidak terlihat adanya

efek penghambatan terhadap sintesis mannoprotein.1

d. Sasaran yang lain

Banyak sasaran yang dapat ditemukan pada sel jamur, beberapa obat antijamur

dibuat untuk dapat merusak sasaran tersebut. Elongasi faktor 3 merupakan protein yang

khas yang dibutuhkan untuk mensintesa protein jamur, yang tidak dijumpai pada sel

mamalia dan dapat menjadi sasaran yang sangat spesifik. Protein ini dapat dijumpai pada

banyak spesies jamur termasuk Candida dan Saccharomyces. Protein 142N-myristoyl

dikenal sebagai faktor ADP-ribosylation yang penting untuk pertumbuhan sel jamur dan

yang dapat menghambatnya bersifat fungisid. Protein ini dijumpai pada Candida spp. dan

Universitas Sumatera Utara

Page 5: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

Cryptococcus spp. Topoisomerase I dan II dapat juga menjadi sasaran , sebab

penghambatannya dapat menjadi fungisidal. Sintesa asam amino dan membran plasma

ATPase juga berpotensial untuk menjadi sasaran obat antijamur. Gene kapsul pada

C.neoformans merupakan faktor virulensi. Protease yang dijumpai pada Candida spp.

juga berfungsi sebagai faktor virulensi. Faktor virulensi ini dapat menjadi sasaran pada

pengobatan antijamur.1

Gambar 1. Tempat kerja dari obat antijamur.1

B. UJI SENSITIVITAS OBAT ANTIJAMUR

Belakangan ini pemeriksaan sensitifitas antijamur sudah banyak diperbincangkan.

Amphoterisin B adalah salah satu antimikroba yang digunakan untuk mengatasi infeksi

sistemik, pemeriksaan uji sensitifitas obat tidak begitu terlihat efek klinisnya. Tetapi

semakin berkembangnya obat-obat baru antijamur dan semakin banyaknya jamur yang

Universitas Sumatera Utara

Page 6: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

resisten dengan penggunaan obat antijamur, membuat pemeriksaan uji sensitifitas obat

antijamur semakin perlu dilakukan. Galgiani et al menunjukkan ada 50.000 cara dalam

uji sensitifitas obat antijamur dan tidak ada metode standard untuk pemeriksaan uji

sensitifitas tersebut. 1

Pada uji sensitifitas antijamur sebenarnya diperlukan suatu metode yang mudah

dilakukan, sederhana, jamur dapat berkembang dengan baik dan tidak mahal. Faktor-

faktor yang berpengaruh dalam proses uji sensitifitas antijamur antara lain pH, ukuran

inokulum, media yang digunakan, waktu dan suhu inkubasi, serta metode yang berbeda

antara uji sensitifitas pada ragi dengan uji sensitifitas pada jamur berfilamen.1

I. Metode yang digunakan untuk uji sensitifitas ragi

Banyak metode yang digunakan untuk memeriksa uji sensitifitas obat antijamur,

antara lain dengan mengukur bahan biakan, mengukur ambilan metabolit, flow

cytometry, metode agar dan metode pengenceran. Diantara semua metode diatas, metode

dengan menggunakan agar yang paling diminati sebab metode ini mudah dan biaya yang

rendah tetapi hasil bervariasi tergantung pada ukuran inokulum, suhu, waktu inkubasi,

dan kemampuan obat yang digunakan pada agar.

Tabel 1. Metode uji sensitifitas antijamur bentuk ragi

Metode Keterangan

NCCLS macrobroth NCCLS microbroth Colorimetri Alamar blue Garam tetrazolium E-test Pengenceran agar Difusi disk

Standardized, reproducible, baik pada invitro maupun in vivo Korelasi yang baik dengan macrobath Korelasi yang baik dengan macrobath Beberapa penelitian pernah dilaporkan Korelasi lebih baik dengan macrobath 24 jam daripada 48 jam Mungkin baik digunakan untuk screening dengan korelasi yang sangat baik vs macrobath Hasil tidak begitu baik

Pada penelitian yang membandingkan metode kaldu dengan disk difusi, ternyata

metode kaldu memberikan hasil yang baik. Metode pengenceran agar dengan flukonazole

digunakan sebagai metode identifikasi yang cepat untuk menentukan adanya isolate yang

resisten dan menunjukkan hubungan yang sangat baik dengan hasil NCCLS. Metode

Universitas Sumatera Utara

Page 7: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

pengenceran kaldu adalah metode yang sangat luas digunakan saat ini dan telah

distandarisasi oleh NCCLS. Saat ini metode pengenceran kaldu hanya dianjurkan pada

pemeriksaan Candida dan Criptococcus sp. Walaupun mempunyai konsistensi yang sama

antara interlaboratory dan intralaboratory dan sering berhubungan dengan gejala klinis

yang tampak.1

II. Metode uji sensitifitas pada jamur yang berfilamen

Pada uji sensitifitas ini mempunyai masalah yang khas, dimana timbul pertanyaan

kita, bagaimana proses penghambatan pertumbuhan dari sel jamur yang mengalami

perubahan bentuk morfologi. Sebagai contoh, spesies Aspergillus yang mempunyai

konidia yang kecil, melingkar, dan banyak, tetapi tidak mempunyai bentuk hifa.

Sedangkan indikator uji sensitifitas yang digunakan adalah dengan melihat pertumbuhan

hifa. Bentuk kaldu dan agar merupakan metode dasar yang digunakan. Saat ini NCCLS

mengusulkan metode pengenceran kaldu untuk uji sensitifitas dari jamur berfilamen yang

dibuat oleh M-38P. Inokulum dispectrophotometri dan diinkubasi sesuai dengan jenis

spesies yang diuji. Espinel-Ingroff diduga menggunakan metode ini ketika menguji efek

azole terhadap aspergilus. Pada penelitian yang dilakukan Pfaller et al menyebutkan

bahwa metode E-test berguna untuk uji sensitifitas beberapa jamur berfilamen.1

C. ANTIJAMUR SISTEMIK

AMFOTERISIN B

Amfoterisin B merupakan poliena antibiotik kompleks yang disintesis oleh

actinomycetes aerobik, Streptomyces nodosus dan memiliki sifat antibakteri yang dapat

diabaikan. Obat ini menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogenik secara kuat

dalam in vitro maupun in vivo. Amfoterisin B berikatan dengan sterol pada selaput sel

jamur dan mengganggu kerjanya.2,3

Mekanisme kerja

Amfoterisin B diberikan secara intravena dalam bentuk micelles dengan natrium

deoksikolat yang dicairkan dalam cairan dekstrosa. Walaupun obat tersebar secara luas

dalam jaringan, obat ini tidak begitu baik memasuki cairan serebrospinal. Ketika

memasuki sel jamur, amfoterisin B berikatan secara kuat dengan ergosterol pada selaput

Universitas Sumatera Utara

Page 8: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

sel. Interaksi ini memberikan perubahan pada kandungan cairan selaput dan barangkali

pengenalan “kutub amfoterisin”.

Molekul kecil dan ion terlepas dari sel jamur, yang sesungguhnya mengakibatkan

kematian sel. Sel mamalia relatif resisten terhadap kerja obat ini karena mereka tidak

mempunyai ergosterol. Amfoterisin B berikatan secara lemah dengan kolesterol pada

selaput sel mamalia, barangkali interaksi ini yang menyebabkan efek toksiknya.

Indikasi

Amfoterisin B adalah obat antijamur berspektrum luas dan bermanfaat untuk

menghadapi sebagian besar mikosis sistemik utama, termasuk, koksidiodomikosis,

blastomikosis, histoplasmosis, sporotrikosis, kriptokokosis, mukormikosis dan

kandidiasis.

Respon terhadap infeksi utama bergantung pada pemberian amfoterisin B yang

cepat, tempat infeksi, keadaan imun pasien dan sensitivitas bawaan terhadap pathogen.

Untuk meningitis jamur akibat Coccidioides diperlukan pemberian secara intratekal.

Terapi intraartikular berguna pada infeksi sendi oleh jamur. Terapi kombinasi dengan

flusitosin barangkali bermanfaat untuk infeksi akibat Candida dan Cryptococcus. Infeksi

jamur akibat Pseudallescheria boydii tampaknya sukar disembuhkan oleh amfoterisin B.

Efek Samping

Reaksi akut yang biasanya menyertai pemberian amfoterisin B intravena antara

lain demam, menggigil, dispnea dan hipotensi. Efek samping ini biasanya dapat dikurangi

dengan pemberian hidrokortison atau asetaminofen secara bersamaan atau sebelumnya.

Toleransi terhadap efek samping akut timbul selama terapi.

Efek samping kronik biasanya mengakibatkan nefrotoksisitas. Azotemia hampir

selalu terlihat pada terapi amfoterisin B, dan kadar kreatinin serum serta kadar ion harus

dipantau secara ketat. Juga sering terlihat hipokalemia, anemia, asidosis tubuler ginjal,

sakit kepala, mual dan muntah. Walaupun beberapa kasus nefrotoksisitas dapat pulih

kembali, terjadi penurunan fungsi tubuler dan glomerulus yang menetap. Kerusakan ini

dapat dikorelasikan dengan dosis total amfoterisin B yang diberikan.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

FLUSITOSIN

Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan derivate sitosin yang terfluorinasi. Obat

ini merupakan senyawa antijamur yang secara primer digunakan dalam ikatan dengan

amfoterisin B pada infeksi yang disebabkan oleh Candida dan Cryptococcus. Obat ini

berpenetrasi dengan baik ke dalam seluruh jaringan, termasuk cairan serebrospinal.

Mekanisme kerja

Jamur yang rentan mampu mengakumulasikan flusitosin melalui permease terikat

selaput. Flusitosin kemudian dikonversikan menjadi fluorourasil melalui sitosin

deaminase. Fluorourasil merupakan penghambat kuat dari sintetase timidilat, dan

penghambatan ini mengakibatkan kematian sel. Sel mamalia tidak memiliki sitosin

deaminase dan karena itu terlindung dari efek toksik fluorourasil. Sayangnya, mutan

resisten timbul dengan cepat sehingga membatasi kerja flusitosin.

Indikasi

Flusitosin digunakan secara primer dalam ikatan dengan amfoterisin B untuk

pengobatan infeksi Candida dan Cryptococcus. Flusitosin bekerja secara sinergistik

dengan amfoterisin B in vitro terhadap organismo ini, dan percobaan klinik menunjukkan

efek yang bermanfaat dari kombinasi tersebut, terutama pada meningitis kriptokokus.

Kombinasi ini juga terlihat memperlambat dan mengeliminasi timbulnya mutan resisten

flusitosin.

Efek samping

Walaupun flusitosin sendiri mungkin memiliki sedikit toksisitas terhadap sel

mamalia dan relatif dapat ditoleransi dengan baik, konversinya menjadi fluorourasil

menghasilkan senyawa yang sangat toksik yang mungkin mengakibatkan efek samping

utama dari obat ini. Pemberian flusitosin jangka lama mengakibatkan penekanan sumsum

tulang, kerontokan rambut, dan fungsi hati yang abnormal. Konversi flusitosin menjadi

fluorourasil oleh bakteri enterik dapat menyebabkan colitis. Pasien dengan AIDS

mungkin lebih rentan terhadap supresi sumsum tulang oleh flusitosin dan kadar serum

harus dipantau secara ketat.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

ANTIJAMUR AZOL

Antijamur imidazol (ketokonazol) dan triazol (flukonazol dan itrakonazol)

merupakan obat yang aktif secara oral dan bermanfaat untuk terapi pada infeksi jamur

setempat atau sistemik luas. Indikasi untuk penggunaannya masih dievaluasi, tetapi ada

kecendrungan bahwa obat ini akan menggantikan amfoterisin B pada banyak infeksi

jamur karena obat ini dapat diberikan secara oral dan dengan sedikit toksisitas. Imidazol

lain (mikonazol dan kotrimazol) yang sangat toksik untuk pemberian sistemik berguna

sebagai obat topikal.

Mekanisme kerja

Semua antijamur azol bekerja melalui penghambatan biosíntesis ergosterol jamur.

Penghambatan ini dicapai melalui pengikatan obat dan pengaruhnya terhadap fungsi

kelompok heme pada sitokrom P450 oksidase. P450 oksidase jamur yang paling sensitif

terhadap penghambatan adalah 14-lanosterol demetilase. Enzim P450 lainnya (termasuk

enzim mamalia yang terlibat dalam steroidogenesis) dapat dihambat pada konsentrasi

tinggi. Penghambatan ergosterol menimbulkan gangguan pada struktur dan fungsi selaput

jamur.2

Indikasi

Ketokonazol bermanfaat pada pengobatan kandidiasis mukokutan kronik dan

pada bentuk ekstrameningeal kronik dari blastomikosis, koksidioidomikosis,

parakoksidioidomikosis, dan histoplasmosis.

Flukonazol merupakan bentuk unik dari antijamur azol yang baru saja ditemukan

karena kemampuannya dalam memasuki cairan serebrospinal. Sifat ini dan manfaat

kliniknya membuat flukonazol menjadi alternatif yang baik untuk amfoterisin B dalam

pengobatan meningitis kriptokokus dan koksidioidal. Pada pasien AIDS dengan

meningitis kriptokokus, terapi rematan dengan flukonazol dapat mencegah kekambuhan.

Kandidiasis orofaring pada pasien AIDS dan kandidemia pada pasien dengan fungsi imun

yang baik dapat juga diobati dengan flukonazol.2

Universitas Sumatera Utara

Page 11: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

Indikasi itrakonazol bertumpang tindih dengan yang ditujukan bagi flukonazol,

tetapi mungkin memiliki aktivitas melawan aspergilosis. Walaupun percobaan klinik

dalam skala besar belum sempurna, hewan percobaan dan laporan kasus menunjukkan

bahwa itrakonazol dapat bermanfaat pada pengobatan aspergilosis yang invasif, yang

umumnya tidak berespon dengan amfoterisin B. Itrakonazol telah memperlihatkan

manfaatnya pada terapi primer dan terapi rumatan bagi histoplasmosis pada penderita

AIDS, histoplasmosis pada pasien dengan fungsi imun yang baik, koksidioidomikosis

ekstrameningeal, sporotrikosis dan blastomikosis.2

Mukormikosis tidak berespon terhadap antijamur azol dan amfoterisin B karena

mikosis ini berkaitan langsung dengan pembuangan jeringan mati secara pembedahan.

Efek samping

Efek tambahan antijamur azol secara primer berkaitan dengan kemampuannya

menghambat enzim P450 sitokrom mamalia. Ketokonazol merupakan yang paling toksik

dalam hal ini dan pada dosis terapeutiknya akan menghambat síntesis testosteron dan

kortisol. Penghambatan ini mengakibatkan ginekomastia, penurunan libido, impotensi,

menstruasi yang tidak teratur dan kadang-kadang insufisiensi adrenal. Flukonazol dan

itrakonazol pada dosis terapeutik yang dianjurkan tidak memperlihatkan gangguan yang

bermakna terhadap steroidogenesis mamalia, tetapi hal ini dapat berubah jika dosis yang

digunakan untuk pengobatan infeksi recalcitran diturunkan. Semua antijamur azol dapat

menyebabkan peningkatan fungsi hati yang asimtomatik dan kasus hepatitis yang

jarang.2,3

Karena antijamur azol berinteraksi dengan enzim P450 yang juga mengakibatkan

metabolisme obat, maka dapat terjadi interaksi antara beberapa obat yang penting.

Peningkatan konsentrasi antijamur azol dapat terlihat bila digunakan isoniazid, fenitoin,

atau rifampisin. Terapi antijamur azol dapat juga mengakibatkan kadar yang lebih tinggi

daripada kadar serum siklosporin, fenitoin, hipoglikemik oral, antikoagulan, digoksin dan

barangkali banyak lagi yang lain yang diharapkan. Diperlukan pemantauan serum kedua

obat tersebut untuk mencapai kisaran terapeutik yang sesuai.2,3

Universitas Sumatera Utara

Page 12: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

GRISEOFULVIN

Griseofulvin merupakan antibiotik yang diberikan secara oral yang diperoleh dari

spesies Penicillium tertentu. Obat ini tidak berpengaruh terhadap bakteri atau jamur yang

mengakibatkan mikosis sistemik tetapi menekan dermatofita tertentu.2

Mekanisme kerja

Setelah pemberian peroral, griseofulvin disebarkan ke seluruh tubuh. Obat ini

berakumulasi di epidermis dan jeringan keratinisasi lainnya (rambut dan kuku). Keratin

merupakan sumber nutrisi utama untuk dermatofita dan degradasi keratin oleh jamur ini

mengakibatkan dicernakannya obat. Dalam organisme, griseofulvin diduga berinteraksi

dengan mikrotubula dan mengganggu fungsi mitosis gelendong, menimbulkan

penghambatan pertumbuhan.2

Indikasi

Griseofulvin bermanfaat secara klinik untuk mengobati infeksi dermatofita pada

kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh spesies Trichophyton, Epidermophyton dan

Microsporum. Obat ini tidak berpengaruh pada kandidiasis superficial atau kandidiasis

sistemik atau setiap mikosis sistemik lainnya. Biasanya diperlukan terapi oral selama

berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.2

Efek samping

Griseofulvin biasanya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling sering

adalah sakit kepala, yang biasanya timbul kembali bila obat tidak dihentikan. Jarang

terjadi gangguan pencernaan, mengantuk dan hepatotoksisitas.

D. ANTIJAMUR TOPIKAL

Antijamur topikal digunakan pada infeksi jamur yang menyerang stratum

korneum, mukosa squamosa, atau kornea. Tinea korporis, tinea manum, tinea pedis, tinea

kruris, tinea nigra, tinea versicolor, piedra, thrush dan keratitis yang disebabkan oleh

jamur adalah jenis-jenis penyakit yang diobati dengan antijamur topikal. Pembasmian

infeksi jamur ini tergantung dari penurunan penetrasi jamur pada sel-sel superfisial yang

Universitas Sumatera Utara

Page 13: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

muda atau pada kasus-kasus yang melibatkan epidermis, meningkatkan proses

desquamasi sel. Pada lesi hiperkeratosis, obat yang sampai ke daerah lesi hanya sedikit,

olehkarena itu harus menggunakan keratolitik agent seperti benzoic dan salicylic acid

(Whitfield’s ointment) yang menipiskan epidermis yang terinfeksi.3

Antijamur topikal untuk kulit dibuat dalam beberapa bentuk; bedak, larutan,

lotion, cream atau oinment. Bedak digunakan hanya untuk infeksi ringan pada lipatan

dan sela jari. Bentuk ointment digunakan pada lesi yang kering dan dapat menyebabkan

maserasi yang tidak diinginkan bla digunakan pada daerah yang lembab misalnya daerah

lipatan. Lotion atau cream merupakan bentuk yang lazim digunakan. Antijamur vagina

ada dalam bentuk cream, tablet atau suppositoria.

OBAT ANTIJAMUR AZOLE

Antijamur azole mempunyai spektrum yang luas dan dapat ditoleransi dengan

baik oleh tubuh olehkarena itu antijamur ini sangat banyak diproduksi. Preparat azole

untuk kulit digunakan untuk pengobatan tinea corporis, tinea pedis, tinea cruris, tinea

versicolor dan kandidiasis kutan. Penggunaannya dua kali sehari selama 3-6 minggu.

Kurang dari 1% dari dosis diabsorbsi. Obat ini tidak mempunyai aktifitas antibakteri .

Golongan azole tidak efektif pada pengobatan onychomycosis. Pada tinea kapitis

sebaiknya diobati dengan griseofulvin, 60-100% jamur akan hilang pada penggunaan

obat tersebut. Beberapa orang mengeluhkan efek samping berupa rasa terbakar pada

daerah yang diolesi obat, eritema, merah dan gatal.3

Pemberian azole vaginal dengan cara memasukkannya ke dalam vagina setiap

malam hari selama 3-7 hari. Bentuk cream penggunaannya dengan menggunakan

applikator berbentuk tube yang ditekan untuk mengeluarkan 5 gr azole. Selain bentuk

cream, bentuk tablet dan suppositoria juga digunakan. Efek terhadap pemakaian cream

atau suppositoria nampak setelah 2 minggu pengobatan. Kekambuhan sering terjadi. Efek

samping lokal berupa rasa panas dan merah tidak pernah terjadi, tetapi dapat

menimbulkan kram pada perut bagian bawah atau disuria. Kehamilan tidak menjadi

kontraindikasi pengobatan. Bila seorang individu alergi terhadap satu golongan azole

maka dapat menjadi alergi pula dengan golongan azole yang lain.3

Universitas Sumatera Utara

Page 14: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

Tabel 2. Antijamur topikal untuk mikosis superficial.3

KLOTRIMAZOL, MIKONAZOL & AZOL LAINNYA

Berbagai obat antijamur azol yang sangat toksik untuk pemberian sistemik

tersedia dalam bentuk topikal. Klotrimazol dan mikonazol merupakan obat yang

digunakan paling luas dan tersedia dalam bentuk pengganti lainnya. Ekokonazol,

butokonazol, tiokonazol, dan terkonazol juga tersedia. Tidak tercatat adanya perbedaan

keampuhan atau toleransi diantara setiap obat ini.2

Klotrimazol adalah sebuah imidazole. Pada kulit yang utuh tidak akan terjadi

absorbsi dari obat ini. Penderita yang diobati dengan dosis 1,5 gr untuk beberapa hari

maka konsentrasi obat ini di dalam darah kurang dari 1µg/ml. Dengan dosis ini dapat

menimbulkan efek samping mual, muntah, sakit perut dan penurunan barat badan.

Klotrimazol oral (Mycelex) dalam bentuk tablet hisap 10 mg dapat digunakan untuk

pengobatan sariawan selama 14 hari. Selain untuk sariawan, klotrimazole juga digunakan

untuk esofagus thrush pada pasien dengan fungsi imun yang baik. Absorpsi sistemik

minimal, hanya efektif untuk pengobatan topikal. Efeknya hampir sama dengan nystatin

dan rasanya lebih enak. Untuk klotrimazole vaginal, 3-10% dari dosis diabsorbsi,

mengalami metabolisme di hati dan diekskresi dalam empedu. Efek fungisidal masih ada

setelah 3 hari penghentian obat. Dosis untuk vulvovaginal candidiasis 100 mg tablet atau

1% vaginal cream.2,3

Universitas Sumatera Utara

Page 15: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

Ekonazole nitrate adalah derivat deschloro dari mikonazole. Terkonazole

adalah ketaltriazole. Triazole ini efektif untuk pengobatan kandidiasis vagina dibanding

imidazole.3

Tabel 3. Pengobatan antijamur topikal pada Candida vulvovaginitis.3

NISTATIN

Nistatin adalah antibiotik poliena yang secara struktur berkaitan dengan

amfoterisin B dan barangkali memiliki cara kerja umum yang sama. Obat ini dapat

bermanfaat untuk mengobati infeksi kandida lokal pada mulut dan vagina. Nistatin dapat

juga menekan kandidiasis esofagus subklinik dan pertumbuhan berlebihan dari Candida

di saluran gastrointestinal. Tidak terjadi absorpsi sistemik dan tidak terdapat efek

samping.2

Selain itu nistatin juga digunakan untuk mengobati kandida pada daerah

intertrigenous yang lembab, misalnya pada perineum, atau di bawah lipatan payudara,

nistatin dalam bentuk bedak dapat memberikan efek kering. Kombinasi nistatin dengan

antimikroba atau dengan kortikosteroid dapat digunakan. Nistatin oral bentuk suspensi

mengandung 100.000 units/ml dan diberikan empat kali dalam sehari. Untuk bayi baru

lahir dosis 1 ml, anak-anak 2 ml dan orang dewasa 5 ml. Nistatin oral tablet mengandung

500.000 units berfungsi meurunkan koloni dari Candida. Nystatin vaginal suppositoria

mempunyai efektifitas yang lebih rendah dari golongan azole, biasanya digunakan pada

pasien yang alergi terhadap azole.3

Universitas Sumatera Utara

Page 16: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

TOLNAFTAT DAN NAFTIFIN

Tolnaftat dan naftifin adalah obat antijamur topikal dari thiocarbamate,

digunakan untuk mengobati tinea pedis, tinea kruris, tinea korporis dan tinea versicolor.

Efektifitas lebih rendah dibanding golongan azole. Infeksi akibat candida relatif resisten

terhadap obat ini. Tersedia bentuk pengganti lainnya yaitu krim, bubuk dan semprot.2,3

OBAT ANTIJAMUR TOPIKAL LAIN

Asam undesilenat tersedia dalam banyak macam bentuk, termasuk bentuk busa

dan sabun. Mengandung zink, tembaga dan garam kalsium. Digunakan untuk pengobatan

tinea pedis dan tinea kruris. Efektifitasnya 50%. Walaupun obat ini efektif dan

ditoleransi dengan baik, antijamur azol, naftifin, dan tolnaftat lebih efektif.2,3

Haloprogin adalah golongan phenol halogenated. Digunakan dua kali sehari

selama 2-4 minggu pada tinea pedis, sekitar 80% pasien sembuh. Obat ini juga digunakan

untuk tinea cruris, tinea korporis, tinea manuum dan tinea versicolor.3

Siklopiroks olamine merupakan struktur yang berbeda dari antijamur azole

tetapi mempunyai indikasi, efektifitas dan efek samping yang sama. Cream 1%

siklopiroks dapat menyembuhkan 81-94% kandidiasis kutan, tinea versicolor, tinea pedis,

dan tinea cruris. Obat ini tidak efektif untuk onycomycosis.3

Whitfield ointment adalah campuran benzoic dan asam salisilat 2:1. Asam

salisilat menyebabkan deskuamasi, sedangkan benzoic merupakan fungisid ringan.

Walaupun dapat digunakan untuk tinea pedis, namun dapat meningkatkan maserasi dan

superinfeksi bakteri pada sela jari kaki.3

Universitas Sumatera Utara

Page 17: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

BAB III

KESIMPULAN

Perkembangan obat antijamur tidak begitu maju, karena jamur mempunyai jenis sel

yang mirip dengan dengan sel mamalia dimana sama-sama masuk dalam kelompok

eukariota, sehingga harus dicari antijamur yang dapat merusak jamur tetapi tidak

merusak sel mamalia. Dan sulit mencari antijamur yang tidak merusak sel mamalia.

Sasaran pengobatan antijamur adalah menghambat sintesis ergosterol, sintesis

dinding sel, mengganggu membrane sel, menghambat sintesis asam nukleat, sintesis

protein, mempengaruhi pembelahan sel jamur dan mengganggu metabolisme sel

jamur

Metode pemeriksaan uji sensitifitas antijamur terdiri dari beberapa antara lain,

NCCLS macrobroth, NCCLS microbroth, Colorimetri, E-test, Agar dilution, Disk

diffusion.

Antijamur sistemik antara lain : amfoterisin B, flusitosin, golongan azole,

griseofulvin, terbinafine.

Antijamur sistemik digunakan untuk mengobati infeksi jamur yang berlangsung

sistemik

Antijamur topikal antara lain : golongan azole, nistatin, tolnaftat & naftitin, asam

undesilenat, haloprogin, siklopiroks olamine, whitfield ointment.

Antijamur topikal digunakan pada infeksi jamur yang menyerang stratum

korneum, mukosa squamosa, atau kornea, misalnya pada tinea korporis, tinea

manum, tinea pedis, tinea kruris, tinea nigra, tinea versicolor, piedra, thrush dan

keratitis.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

DAFTAR PUSTAKA

1. Anaissie, McGinnis, Pfaller. Clinical Mycology. Churchill Livingstone. 2003.

2. Brooks, Butel, Ornston. Medical Microbiology. Appleton & lange.

3. Kwon-chung & Bennet. Medical Mycology. Lea & Febiger. 1992.

Universitas Sumatera Utara