membangun pendidikan indonesia dengan penguatan sistem teknologi dan media - copy
DESCRIPTION
m mTRANSCRIPT
PEMANFAATAN ALGA SEBAGAI BIOFUEL ALTERNATIF UTAMA
DALAM MENGATASI ANCAMAN KRISIS ENERGI
Dina Ikrama Putri
1218011037
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia dan taufik serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya
tulis ilmiah ini. Sesuai dengan tema Pemilihan Mahasiswa Berprestasi
(Mawapres) tahun 2015 yaitu Kemandirian dan Kepribadian Bangsa, topik yang
diambil adalah Kedaulatan Energi, maka dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini
penulis memilih judul “Pemanfaatan Alga Sebagai Biofuel Alternatif Utama
Dalam Mengatasi Ancaman Krisis Energi”.
Karya tulis disusun dengan tujuan agar pembaca dan penulis dapat memperluas
pemahaman mengenai ancaman krisis energi di Indonesia, sehingga dipilih solusi
unggulan untuk menyelesaikannya yaitu implementasi Biofuel Alga sebagai
alternatif energi minyak. Uraian dan ulasan yang tersajikan berdasarkan hasil
kutipan dari penyusun dan juga dari berbagai sumber yang ada dari multimedia
cetak dan multimedia elektronik mengingat data-data tersebut yang menjadi
pokok bahasan agar tersusunnya sebuah karya tulis ilmiah.
Semoga materi yang penulis tuangkan dalam karya tulis ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun karya tulis ilmiah ini
memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Bandar Lampung, 11 April 2015
Penulis
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Kandungan Minyak dari Beberapa Jenis Mikroalga .................................
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Sel Mikroalga ...................................................................................................
2.2 Rangkaian Alat Pembuatan Biodiesel dengan proses Transesterifikasi ..........
DAFTAR ISI
SUMMARY
Indonesia is heading for energy crisis that could be averted only by increasing its oil and gas production. Oil and gas sector holds for the future growth of Indonesia, as it has to provide 47 percent of total primary energy needs in 2025, or 3.7 million boepd. Due to concerns about high or unpredictable energy prices, the uncertain continued availability of fossil fuels, the desire to derive energy from sources not under the control of hostile nations, oil prices rising since 2003 and difficulties with other biofuels, interest in algae biofuel has increased.
This scientific paper will cover the concept of algae biofuel based on the production process and its efficiency to overcome energy crisis in Indonesia. The methods of literature are descriptive analytic and comparative analysis.
Algae biofuel is a fuel derived from the process of growing algae and decomposing it to extract oils from it that can be burned for energy. It involves the same basic principles underlying all other biofuels, but uses algae instead of corn, wood, sugar, or soy beans to produce the fuel. Algae biofuel is envisioned principally as a fuel for vehicles and a possible replacement for gasoline.
There are numerous ways to remove the lipids, or oils, from the walls of algae cells. One of the ways for extracting oil from algae works very much like the technique used in an oil press. Once the oil has been extracted the Biodiesel and glycerine must be separated , and any leftover reactants removed. The process is the same as the production of biodiesel and is called transesterification. Another common method is the hexane solvent method.
There are several reasons that biofuels are even more viable now than at any time in the past several decades. First, oil prices are significantly higher now than they were in the past and are not likely to fall to those low levels again. Biofuels are always seen as a more attractive option whenever fuel prices rise. Therefore, research into biofuels could be more cost-effective now, in an age of higher gas prices. Second, though clean energy and environmentalism were concerns in the nineties, they are much more prominent on the nation’s policy agenda in the present. Fears regarding global warming and related potential environmental catastrophes have made the government much more open to considering expensive policy options with positive environmental externalities. Since environmental concerns are being weighted with much more importance today, biofuels are much more attractive now, especially when created from a feedstock that avoids the environmental detriments of large-scale farming.
The advantages of algae biofuel are framed by some of the following statements. Algae biofuel is good for combating global warming. Algae biofuel is carbon neutral, only emits CO2 that it absorbs. Growing algae absorbs CO2 in the process of photosynthesis. It is a carbon sink. This is why, when algae biofuels are burned and emit some CO2, the emission balance is CO2 neutral, it emits only C02 it previously absorbed, adding no new CO2 into the atmosphere. Because it is carbon
neutral in this way, it is a renewable energy source that can be produced and burned for energy sustainably.
Algae biofuel is economically viable, and will bring also to commercially viable on an industrial scale. Biproducts are useful fertilizers for other food crops that can be produced by using the leftover nutrients that aren’t used to make the biofuel after the necessary oils have been extracted from the algae. There is no ‘food vs. fuel’ tradeoff. The process is not dependent on crops or valuable farmland so algae biofuel does not damage food prices. Algae biofuel is also more practical than solar power due to a lot cheaper than photovoltaic panels.
Algal fuels do not impact fresh water resources. Algae can be grown in the ocean, freshwater, and wastewater and sewage. There is really no limit to the types of water in which algae can survive and thrive, and so where it can be produced into biofuel. This contrasts sharply with many crops and fuels where much more specific location factors are at play. That algae biofuel can be produced in more places gives it an sot competitive edge over other fuels. Human sewage and wastewater from agricultural endeavors can be used to enhance the growth of algae. In fact, when done right, algae can double and even triple overnight with the addition of these fertilizers.
Furthermore, we concluded that algae biofuel is emerging to be one of the most promising long-term, sustainable sources of oils to overcome energy crisis in Indonesia.
Keywords : algae, biofuel, crisis, energy
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kedaulatan energi, kini menjadi sebuah isu yang mengemuka di tengah
perbincangan ruang publik kita. Mengapa, karena saat ini cadangan
sumber daya energi nasional yang konon berlimpah seolah menjadi
pepesan kosong. Fakta di lapangan banyak ditemukan kasus kelangkaan
bahan bakar minyak (BBM) yang semakin melambungkan harga
komoditinya. Investasi asing di sektor energi migas yang hadir di
Indonesia, kerap menyedot hasil migas ke luar negeri. Kenaikan harga
BBM pada tahun 2013 mengakibatkan inflasi menjadi naik sebesar 6-7%.
Kondisi ini berimplikasi pada kenaikan harga-harga barang lainnya yang
memperlemah daya beli dan taraf hidup masyarakat. Kedaulatan energi
adalah hak setiap negara dan bangsa, dengan cara mempertegas
kemandiriannya dalam menentukan arah, strategi dan kebijakan
pengelolaan energi untuk kebutuhan bangsa sendiri dan tidak bergantung
dengan pihak asing (Patria, 2014).
Ironis, situasi terkini jumlah cadangan minyak di Indonesia kian
menyusut. Minyak bumi merupakan sumber daya energi yang tidak
terbarukan, karena pembentukannya memakan waktu yang sangat lama
hingga ratusan tahun dari proses kimiawi dalam perut bumi. Akibat
dieksplorasi dan dikonsumsi setiap hari tentu lambat laun akan habis.
Seluruh cadangan minyak bumi di dunia ditaksir akan bertahan sampai
300 tahun. Berdasarkan badan statistik energi dunia tahun 2012, cadangan
minyak bumi di Indonesia berkisar sekitar 0,3% dari cadangan minyak
dunia. Dengan sisa cadangan minyak sekitar 3,6 miliar barel, Indonesia
pun terancam krisis energi. Jika tidak dikelola dengan baik, dalam waktu
belasan tahun saja, dikaitkan dengan tingginya tingkat produksi yang
dialami, ditambah tidak ada stok cadangan minyak baru, semakin
menggerus ketahanan maupun kedaulatan energi nasional. Butuh biaya
yang sangat besar untuk menggali ladang minyak baru, minimal sejumlah
30 juta dollar, itu pun jika ditemukan minyaknya, jika tidak maka beresiko
kerugian yang sangat besar pula (Patria, 2014).
Hadirnya globalisasi menuntut terjadinya persaingan pasar global yang
berdampak terhadap harga sebuah komoditas di negara manapun.
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota OPEC (Organization of
Petroleum Exporting Countries), justeru semakin memperparah posisi
harga minyak dalam negeri. OPEC mengatur produksi dan menentukan
harga minyak dunia. Akibatnya, Indonesia pun harus menyuplai minyak
mentah ke luar negeri. Setelah menjadi minyak siap pakai lalu Indonesia
mengimpornya untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri, tentu dengan
biaya yang lebih tinggi. Harga minyak pun menjadi mahal, jelas
berpengaruh terhadap daya beli masyarakat kita sendiri yang masih belum
pulih total dari krisis ekonomi (Patria, 2014).
Atas dasar masalah-masalah di atas, maka dibutuhkan bahan bakar
alternatif untuk mengurangi atau bahkan mengganti bahan bakar fosil yang
tak terbaharui tersebut. Biodiesel merupakan salah satu derivat dari
biofuel. Biofuel hadir sebagai salah satu alternatif sumber energi untuk
mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Biofuel atau yang sering
disebut juga bahan bakar hayati adalah sumber energi yang berasal dari
bahan organik yang dibuat dari tumbuhan maupun hewan (Adlina, 2014).
Namun hingga hari ini belum terdengar jelas dari suara pemerintahan kita
untuk berniat memfokuskan pengembangan bahan bakar nabati ini sebagai
pengganti sumber energi dari fosil. Padahal, Indonesia memiliki
sumberdaya mikroalga yang sangat kaya. Ada banyak sekali jenis
mikroalga yang bisa dikembangkan menjadi biofuel di Indonesia,
contohnya dari genus spirullina, tetraselmis, chlorella, scenedesmus,
anabaena dan masih banyak lagi (Adlina, 2014). Sekarang pilihannya ada
di tangan kita (termasuk pemerintah), apa kita hanya akan menunggu
perubahan itu datang atau kita dapat menjadi bagian dari pengubahan
keadaan? Sehingga pada karya tulis ini, penulis akan memaparkan
penjelasan konsep mengenai biofuel alga disertai efisiensi keuntungan
yang akan dihasilkan.
I.2 Rumusan Masalah
Rumusan yang dibahas dalam karya tulis ini antara lain
1) Apakah yang dimaksud dengan biofuel alga ?
2) Bagaimanakah proses pembuatan biofuel alga ?
3) Bagaimanakah efisiensi hasil dari biofuel alga sebagai alternatif energi
?
I.3 Uraian Gagasan
Uraian gagasan yang dibahas dalam karya tulis ini menjelaskan tentang
konsep biofuel alga ditinjau dari aspek pembuatan dan manfaat yang
dihasilkan.
I.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ini antara lain
1) Untuk mengetahui definisi dari biofuel alga
2) Untuk mengetahui proses pembuatan biofuel alga
3) Untuk mengetahui efisiensi hasil dari biofuel alga sebagai alternatif
sumber energi
I.5 Manfaat Penulisan
a. Ekonomi
Penggunaan biofuel alga sebagai alternatif utama dalam menghadapi
krisis energi menjadi lebih ekonomis karena dalam proses
pembuatannya tidak akan merusak harga pangan, memiliki biproduk
sebagai pupuk dan dapat dikembangkan secara skala perindustrian
besar.
b. Lingkungan
Biofuel alga mampu mengurangi emisi karbondioksida yang dapat
meningkatkan efek global warming. Alga yang dapat tumbuh
dilingkungan air dan limbah menjadikannya sumber energi yang ramah
lingkungan.
I.6 Metode Studi Pustaka
Metode studi pustaka yang dilakukan dalam penulisan karya tulis ini
adalah :
1) Metode Analisa Deskriptif
Yaitu analisa untuk mengelola dan menafsirkan data yang diperoleh
sehingga dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya pada objek
yang dikaji. Data yang diolah adalah mencakup proses pembuatan
biofuel alga.
2) Metode Analisa Komparatif
Untuk melihat perbandingan gagasan yang ditawarkan dengan
beberapa teori yang relevan dengan gagasan. Dalam hal ini adalah
analisa mencakup perbandingan keunggulan solusi yang ditawarkan
dengan solusi yang pernah ada sebelumnya.
II. TELAAH PUSTAKA
II.1Alga
Alga merupakan tumbuhan bersel banyak yang tidak memiliki sistem
vaskular serta tidak memiliki daun, tunas atau akar. Alga adalah organisme
berklorofil, tubuhnya merupakan talus (unisellular atau multisellular), alat
reproduksi pada umumnya berupa sel tunggal, meskipun ada juga alga
yang alat reproduksi tersususun dari banyak sel. Habitat alga adalah
ditempat yang berair, misalnya air sungai, kolam, rawa,laut, tanah yang
lembab, pohon dan sebagainya. Alga ditemukan disumber air panas,
disalju daerah dan puncak gunung yang tinggi, bahkan diperairan yang
mengandung boraks di lamongan juga ditemukan (Sulistijono, 2009).
Dikarenakan strukturnya lebih sederhana dan kecepatan tumbuhnya lebih
cepat, saat ini mikroalga lebih banyak diaplikasikan untuk produksi
biofuel dibandingkan makroalga. Mikroalga dapat dibudidayakan di dalam
kolam terbuka atau dengan mesin khusus yang disebut inkubasi bioreaktor.
Dalam kondisi optimum, mikroalga dapat membelah beberapa kali dalam
sehari. Apabila dibandingkan dengan tanaman-tanaman seperti jarak atau
kelapa sawit, Alga dapat memproduksi paling sedikit produk minyak 15
kali lebih banyak perhektarnya (Patria, 2014).
Mikroalga merupakan mikroorganisme (ukuran 1-50 μm) yang
menggunakan energi cahaya dan air untuk memetabolisasi CO2 menjadi
senyawa anorganik CH2O yang dengan proses lanjut dapat diubah
menjadi biodisel reaksi berikut :
CO2 +H2O+cahaya matahari CH2O+O2
Reaksi tersebut disebut proses fotosintetik dimana oksigen juga di hasilkan
sebagai hasil samping. Intensitas cahaya matahari (UV light) yang sampai
ke permukaan bumi sekitar 1500-2500 W/m2.
Gambar 2.4 Sel mikroalga
(Ugwu, et al., 2007)
Mikroalga akhir-akhir ini dieksplorasi untuk penggunaannya dalam bidang
bioenergi dikarenakan mikroalga juga mempunyai kandungan karbon yang
tinggi. Beberapa jenis mikroalga berpotensi sebagai sumber minyak (Tabel
2.4). Kandungan minyak mikroalga bervariasi tergantung jenis
mikroalganya.
Tabel 2.1 Kandungan minyak dari beberapa jenis mikroalga
Mikroalga Kandungan Minyak (%)Botrycoccus braunii 25-75Chlorella sp. 28-32Crypthecodinium cohnii 20Cylindrotheca sp. 16-37Dunaliella primolecta 23Isochrysis sp. 25-33Monallanthus salina >20Nannochloris sp. 20-35Nannochloropsis sp. 31-68Neochloris oleoabundans 35-54Nitzschia sp. 45-47Phaeodactylum tricornutum 20-30Schizochytrium sp. 50-77Tetraselmis sueica 15-23(Ugwu, et al., 2007)
II.2Pembuatan Biofuel Alga
Biofuel atau yang sering disebut juga bahan bakar hayati adalah sumber
energi yang berasal dari bahan organik yang dibuat dari tumbuhan maupun
hewan. Biofuel mempunyai sifat dapat diperbaharui, artinya bahan bakar
ini dapat dibuat oleh manusia dari bahan-bahan yang bisa ditumbuhkan
atau dibiakkan (Adlina, 2014).
Minyak dari ganggang dapat diekstrak dengan beberapa cara :
1) Ganggang dikeringkan dan di-press.
2) Minyak dapat diekstrak dengan bahan kimia seperti benzene, ether
atau heksan. Metode ini dapat dikombinasikan dengan press
dingin. Kombinasi proses tersebut dapat mengeluarkan lebih dari
95% total minyak yang ada dalam alga.
3) Ekstrak dengan enzim.
4) Osmotic shock adalah mengurangi tekanan osmotik dengan tiba-
tiba; dimana hal ini dapat menyebabkan rusaknya sel.
5) Pada metoda superkritikal, CO2 dicairkan dengan tekanan dan
pemanasan sampai titik dimana material bersifat cair dan gas.
Fluida yang dicairkan kemudian bertindak sebagai pelarut dalam
mengekstrak minyak.
6) Minyak dari ganggang dapat juga diekstrak dengan metoda lain.
Ganggang di hancurkan dengan alat menjadi bubuk dan
dikeringkan selama 20 menit pada 80oC dalam inkubator untuk
menghilangkan air. Heksan dan pelarut ether lainnya dicampur
dengan bubuk ganggang dan diekstrak menjadi minyak, kemudian
dicampur selama 24 jam untuk pengendapan.
Pada proses ekstraksi perbandingan antara serbuk alga dan pelarut n-
heksana yang digunakan adalah 1:4. Pertama-tama dimasukkan serbuk
alga ke dalam soxhlet sebanyak 100 gram dan 400 mL n-heksana ke dalam
labu leher tiga, kemudian proses ekstraksi dijalankan pada suhu 650 C
selama lima jam. Setelah proses ekstraksi selesai campuran antara minyak
alga dengan pelarut dipisahkan dengan menggunakan alat rotavapor.
Setelah didapatkan minyak alga yang diinginkan lalu dilakukan proses
transesterifikasi dengan menggunakan katalis basa. Proses transesterifikasi
ini dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol dengan perbandingan
mol antara minyak alga dengan mentanol 1:6. Setelah proses
transesterifikasi selesai, campuran biodiesel dengan pelarut dipisahkan
menggunakan corong pisah, kemudian biodiesel yang sudah didapat dicuci
dan dievaporasi.
Gambar 2.2 Rangkaian Alat Pembuatan Biodiesel dengan proses
Transesterifikasi
III. ANALISIS DAN SINTESIS
III.1 Analisis Permasalahan
III.1.1 Pencarian Energi Alternatif yang Ekonomis
Konsumsi energi masih didominasi oleh energi fosil berupa minyak
bumi, batubara, dan gas alam yang bersifat tak terbarukan.
Komposisi konsumsi energi final menurut jenis selama tahun 2000-
2012 terbesar adalah BBM (bahan bakar minyak) yaitu 37%,
diikuti kayu bakar 22%, gas 12%, batubara 11%, listrik 10%, LPG
4%, dan biomasa 4%. Total konsumsi BBM meningkat rata-rata
1,9% per tahun, dari 315 juta SBM (2000) menjadi 398 juta SBM
(2012). Penggunaan BBM diperkirakan akan meningkat rata-rata
5,4% per tahun, dari 72,9 juta KL (2015) menjadi 90,0 juta KL
(2019). Besarnya konsumsi BBM tersebut diakibatkan oleh
kebijakan subsidi dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2013 realisasi subsidi BBM mencapai Rp 199 triliun.
Subsidi BBM cenderung meningkat disebabkan oleh peningkatan
konsumsi domestik, kenaikan harga minyak dunia, dan penurunan
nilai tukar rupiah (Sutawi, 2015).
Selain membebani APBN, dominasi pemanfaatan BBM
menimbulkan berbagai masalah, baik teknis, ekonomis, ekologis,
sosial, maupun politis. Pertama, ketahanan energi nasional menjadi
sangat rapuh, karena cadangan energi fosil semakin menipis. Total
cadangan minyak Indonesia sebesar 7,73 milyar barel tahun 2011,
menurun menjadi 7,41 milyar barel tahun 2012. Berdasarkan
tingkat produksi minyak bumi sebesar 329 juta barel (2011) dan
315 juta barel (2012), maka rasio cadangan produksi (R/P) minyak
bumi hanya sekitar 12 tahun. Ini berarti Indonesia akan mengalami
krisis energi tahun 2025. Kedua, gejolak perekonomian akibat
BBM impor yang besar. Sejak tahun 2004 Indonesia menjadi
importir minyak mentah, karena produksi dalam negeri tidak
mencukupi kebutuhan. Pada tahun 2014 Indonesia mengimpor
BBM sebanyak 850 ribu barel per hari (bph), dan diperkirakan
mencapai angka 900 ribu - 1 juta bph pada tahun 2015. BBM impor
berpengaruh signifikan terhadap gejolak perekonomian Indonesia,
karena pasokannya terbatas (hanya sekitar 45 - 50 juta bph yang
diperdagangkan di pasar dunia), harganya pun fluktuatif karena
dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi dunia. Ketiga, kondisi
geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menyulitkan
distribusi energi secara merata dan menyebabkan pembangunan
infrastruktur untuk jaringan distribusi BBM ke berbagai daerah
menjadi tidak ekonomis. Keempat, eksplorasi dan eksploitasi BBM
masih tergantung pada investor asing baik permodalan maupun
teknologinya, sehingga nilai tambah yang dinikmati Indonesia
sangat kecil. Kelima, kerusakan lingkungan yang parah dan sulit
diperbaiki di lokasi penambangan dan efek gas rumah kaca yang
disebabkan emisi CO2 di udara yang berlebihan (Sutawi, 2015).
III.1.2 Emisi pada Global Warming
Indonesia dinilai membutuhkan rumusan global yang tepat untuk
mengurangi emisi karbon. Menurut Deputi Kepala BPPT Bidang
Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam, Ridwan
Djamaluddin dalam International Workshop on Forest Carbon
Emission, rumusan global pengurangan emisi tidak relevan dengan
kondisi di Indonesia ditinjau dari aspek teknologi, metodologi dan
teknik. Rumusan yang dikembangkan di dunia barat tidak bisa
diterapkan di Indonesia. Karena itu, ia menegaskan bahwa perlu
ada perumusan secara nasional bagaimana Indonesia dapat
memenuhi rumusan global pengurangan emisi karbon yang telah
dikeluarkan sebelumnya (Republika, 2015).
Berdasarkan Technology Needs Assessment (TNA) fokus
pengurangan emisi karbon dilakukan pada sektor energi,
kehutanan, industri, dan transportasi yang mengeluarkan emisi
cukup besar. Indonesia harus lebih berani merumuskan kebijakan
penurunan emisi karbon yang salah satu implikasinya penerapan
biofuel alga sebagai alternatif energi migas (Republika, 2015).
III.1.3 Penggunaan Lahan dan Ekosistem
Untuk mewujudkan sistem energi yang berkelanjutan dan mampu
memberikan ketahanan energi nasional dilakukan dengan
memenuhi kebutuhan energi sendiri. Energi yang dimaksud adalah
energi ramah lingkungan yang tidak berdampak pada penurunan
keanekaragaman ekosistem maupun kelestarian lingkungan.
Indonesia memiliki keberagaman jenis sumber energi alam yang
yang dapat diperbarui dan tak terbatas jumlahnya. Keanekaragaman
energi ini merupakan aset berharga bagi pengembangan teknologi
energi nasional. Darat, laut, dan udara, semua dapat dimanfaatkan
secara maksimal. Melihat keuntungan – keuntungan posisi
geografis dan kekayaan alam yang beranekaragam, masihkah
masyarakat Indonesia layak disuguhi berbagai permasalahan –
permasalahan negara tentang krisis energi?. Kebutuhan minyak
bumi 19 tahun lagi akan habis, sekarang saatnya memulai
melakukan gerakan penciptaan, produksi, dan pemanfaatan sumber
energi baru terbarukan dengan memanfaatkan energi alam yang
dapat diperbarui serta sedikit demi sedikit meninggalkan
penggunaan energi fosil. Menjadi fenomena yang sangat lucu bila
dengan kekayaan alam yang seperti ini tapinegara mengalami krisis
energi.
III.2 Sintesis
III.2.1 Biofuel Alga Sebagai Energi yang Ekonomis
Secara komersil, biofuel alga dapat dikembangkan pada skala
industrial besar. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
perusahaan-perusahaan negara maju seperti Meksiko yang telah
melaksanakan proyek $850 juta dolar untuk menghasilkam
milyaran galon etanol alga per tahun (Ghelfi, 2008).
Berdasarkan data perbandingannya dengan minyak bumi, ternyata
potensi mikroalga masih lebih besar. Pada 1 hektar ladang minyak
bumi, rata-rata hanya bisa disedot 0,83 barel minyak per hari,
sampai kemudian habis dan tak berproduksi lagi. Sedangkan pada
luas yang sama, budidaya mikroalga bisa menghasilkan 2 barel
minyak perhari (Mujizat Kawaroe, 2008). Selain potensi kecepatan
tumbuh dari Alga tersebut, Alga memiliki kandungan yang
menakjubkan. Mikroalga memiliki kandungan minyak yang sangat
tinggi, yaitu bisa mencapai 40-85% dari berat kering (Borowitzka,
1998), bahkan dibandingkan dengan kelapa sawit yang selama ini
menjadi icon utama biodiesel jauh lebih tinggi kandungan
minyaknya. Kandungan minyak kelapa sawit hanyalah 20%.
(www.popularmechanics.com).
Biofuel generasi pertama diproduksi dari sumber makanan, dimana
sumbernya mudah untuk diolah. Bahan makanan tersebut
mengandung gula, starch, atau minyak nabati. Contohnya seperti
singkong, jagung, dan ubi. Proses pembuatannya cenderung mudah
karena ekstraksi biofuel dari ketiga senyawa tersebut tidak
memerlukan proses yang rumit. Namun, dalam pengaplikasianya
biofuel ini mengalami banyak kontroversi. Hal yang pertama
adalah dilematika antara bahan pangan dengan energi karena selain
masih banyak saudara-saudara kita yang mengalami krisis pangan,
penggunaan bahan pangan untuk energi juga dikhawatirkan dapat
menganggu ketersediaan bahan pangan masa depan. Biofuel
generasi ini juga membutuhkan lahan yang luas untuk penanaman
sumber daya yang diperlukan, sehingga pada akhirnya bisa jadi kita
harus menebangi hutan untuk membuka lahan (Adlina, 2014).
Generasi kedua dari biofuel menggunakan bahan yang
mengandung lignocellulosic seperti kayu dan limbah-limbah
kegiatan pertanian. Meski proses pembuatan biofuel generasi ini
lebih kompleks dibanding generasi pertama, biofuel generasi kedua
ini berbahan dasar bukan pangan, sehingga sudah tak ada
permasalahan ‘energi versus pangan’ pada generasi ini. Analoginya
generasi pertama kita seperti membuat mie dengan bahan baku
tepungnya, generasi kedua ini kita membuat mie dengan tepung
yang kita harus buat dari ubi terlebih dahulu. Generasi ini tentunya
dapat mengurangi sampah dan dapat berlangsung terus menerus
seiring dengan kebutuhan pangan manusia (Adlina, 2014).
Biofuel generasi ketiga merupakan biofuel berbasis dari alga. Alga
lebih produktif daripada tanaman lain karena mereka terus
membuat bahan bakar terlepas dari cuacanya. Tidak seperti
generasi pertama dan kedua yang tersandung pada produksi bahan
baku dan keduanya sama sama menghadapi keterbatasan lahan
(Adlina, 2014).
Selain itu, biproduk atau hasil kedua dari pengolahan biofuel alga
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bahan pangan. Pupuk ini berasal
dari sisa kandungan bahan yang tidak terpakai (fosfat dan nitrogen)
untuk membuat biofuel setelah minyak diekstraksi dari alga
(Hodge, 2007).
Tidak seperti energi surya dengan harga panel photovoltaic yang
mahal menyebabkan biofuel alga menjadi lebih efektif dan
ekonomis bila dibandingkan dengan energi alternatif lain.
III.2.2 Biofuel Alga dalam mengurangi Dampak Global Warming
Adanya emisi gas karbondioksida (CO2) merupakan penyebab 75%
dari keseluruhan gas yang menyebabkan global warming. CO2
dihasilkan dari pembakaraan bahan bakar seperti minyak, gas alam,
diesel, diesel-organik, petrol, petrol-organik dan etanol. Tetapi,
alga memiliki kemampuan fotosintesis untuk menangkap CO2 yang
dihasilkan dan mengubahnya menjadi minyak triasigliserol. Hal
inilah yang menjelaskan mengapa dalam proses pembuatan biofuel
alga yang akan menghasilkan CO2 akan berujung pada
keseimbangan emisi yang akan didapat. Keseimbangan karbon
dalam proses tersebut tidak akan menambahkan CO2 pada atmosfir
bumi.
Menanggapi hal tersebut bila penggunaan bahan bakar minyak
dapat digantikan dengan biofuel alga, maka akan memberi
pengaruh besar pada keadaan global warming saat ini. Penelitian
yang dilakukan di Colorado State University’s (CSU) Engines and
Energy Conservation Laboratory and the University of New
Hampshire (UNH) menyebutkan bahwa alga dapat menjadi suplai
kebutuhan bensin yang cukup untuk semua transportasi di Amerika
Serikat dalam bentuk biofuel. Sehingga biofuel alga mampu
berskala besar untuk menggantikan posisi minyak saat ini.
III.2.3 Efisiensi Penggunaan Lahan
Alga lebih produktif daripada tanaman lain karena mereka terus
membuat bahan bakar terlepas dari cuacanya. Tidak seperti
generasi pertama dan kedua yang tersandung pada produksi bahan
baku dan keduanya sama sama menghadapi keterbatasan lahan.
Alga dapat tumbuh di banyak negara, tanpa perlu tanah yang subur
dan air tawar yang berlimpah. Produksi dan budidaya alga untuk
masa depan jauh tidak akan menghadapi masalah keterbatasan
lahan karena alga dapat dibudidayakan di perairan manapun
termasuk lautan, ataupun kolam air limbah sekalipun.
Alga dapat diproduksi di mana pun, hanya butuh kecukupan sinar
matahari air dan udara untuk fotosintesis. Sehingga, kondisi
pertumbuhan alga tersebut tidak akan merusak sumber air bersih.
Bahkan limbah atau air kotor hasil pertanian mampu dijadikan
sebagai media pertumbuhan alga dan akan berkembang dua atau 3
kali lebih cepat dengan adanya pupuk limbah tersebut (Hodge,
2007).
IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
IV.1 Simpulan
Biofuel alga adalah sumber energi yang berasal dari tanaman alga. Alga
adalah organisme berklorofil, tubuhnya merupakan talus (unisellular atau
multisellular) dan terdiri dari dua jenis yaitu mikroalga dan makroalga.
Dikarenakan strukturnya lebih sederhana dan kecepatan tumbuhnya lebih
cepat, mikroalga lebih banyak diaplikasikan untuk produksi biofuel
dibandingkan makroalga.
Proses pembuatannya terdiri dari beragam metode diantaranya adalah
mengekstrak minyak dengan bahan kimia seperti benzene, ether atau
heksan. Metode ini dapat dikombinasikan dengan press dingin.
Biofuel alga merupakan energi yang bersifat ekonomis. Secara komersil,
biofuel alga dapat dikembangkan pada skala industrial besar. Berdasarkan
data perbandingannya dengan minyak bumi dan kelapa sawit, potensi alga
masih lebih besar. Alga lebih produktif daripada tanaman lain karena
mereka terus membuat bahan bakar terlepas dari cuacanya. Selain itu,
biproduk atau hasil kedua dari pengolahan biofuel alga dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk bahan pangan.
Dalam lingkup lingkungan, proses pembuatan biofuel alga menghasilkan
keseimbangan emisi yang tidak akan menambahkan CO2 pada atmosfir
bumi untuk mengurangi dampak keadaan global warming saat ini.
Produksi dan budidaya alga tidak akan menghadapi masalah keterbatasan
lahan karena alga dapat dibudidayakan di perairan manapun termasuk
lautan, ataupun kolam air limbah sekalipun, sehingga efisiensi penggunaan
lahan dapat diandalkan dan bersifat ramah lingkungan.
IV.2 Rekomendasi
Langkah yang bisa diambil dalam mengatasi krisis energi di Indonesia saat
ini adalah menerapkan penggunaan biofuel alga untuk mengurangi
penggunaan bahan bakar minyak yang berasal dari energi fosil. Berbagai
keuntungan yang didapat dari biofuel alga menjadikannya sebagai solusi
unggulan dibandingkan biofuel generasi lain. Kita sebagai pemuda
generasi bangsa dengan peran untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri,
bertanggung jawab mengatasi kedaulatan energi dengan tolak ukur krisis
energi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA