mengenal pesantren mu'adalah
DESCRIPTION
Kebanyakan masyarakat tidak tahu apa itu pesantren mu'adalah. Mereka hanya tahu klasifikasi pesantren berdasarkan kategori yang biasa ditulis dalam buku-buku tentang kepesantrenan, yaitu kholafiyah/ashriyah dan salafiyah. Pesantren mu'adalah ini sebenarnya masuk kategori pesantren kholafiyah. Hanya memang tidak semua pesantren kholafiyah mendapat status mu'adalah.TRANSCRIPT
MENGENAL PESANTREN
MU’ADALAH
Oleh : H. E. Nadzier Wiriadinata
Pesantren Mu’adalah adalah pesantren
yang masuk tipologi Pesantren Khalafiyah
(Ashriyah). Secara terminologi, “pengertian
mu’adalah adalah “Suatu proses penyetaraan
antara institusi pendidikan baik pendidikan di
pondok pesantren maupun diluar pontren
dengan menggunakan kriteria baku dan mutu/kualitas yang telah ditetapkan secara adil dan
terbuka”. (Depag RI, 2009).
Sebagai satuan pendidikan, keberadaan Pesantren Mu’adalah secara yuridis diakui
berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan Pasal 93 yang menyatakan bahwa “penyelenggaraan pendidikan yang tidak
mengacu kepada standar nasional pendidikan ini dapat memperoleh pengakuan dari
pemerintah atas rekomendasi dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan
didasarkan pada penilaian khusus”.
Pesantren Mu’adalah yang dikenal ditengah masyarakat terbagi dua, yaitu : Pertama,
pondok pesantren yang lembaga pendidikannya dimu’adalahkan/ disetarakan dengan
lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri, baik di Timur Tengah (Universitas al-Azhar
Mesir, Universitas Ummul Qurra, Arab Saudi dll), India, Yaman, Pakistan maupun di Iran.
Kedua, pondok pesantren yang dimu’adalahkan/disetarakan dengan Madrasah Aliyah (MA)
dan SMA (Depag RI, 2009:11) Adapun yang menjadi obyek pembahasan dalam tulisan ini
adalah pesantren yang dimuadalahkan dengan MA/SMA.
Tujuan Muadalah/penyetaraan pendidikan pondok pesantren dengan Madrasah
Aliyah/SMA seperti yang diungkapan dalam Pedoman Penyelenggaraan Pesantren
Mu’adalah (Depag RI, 2009) adalah :
1. Untuk memberikan pengakuan (recognition) terhadap system pendidikan yang ada di pondok pesantren sebagaimana tuntutan perundang-undangan yang berlaku
2. Untuk memperoleh gambaran kinerja Pontren yang akan dimu’adalahkan/disetarakan dan selanjutnya dipergunakan dalam pembinaan, pengembangan dan peningkatan mutu serta tata kelola pendidikan Pontren
3. Untuk menentukan pemberian fasiliotas terhadap suatu Pontren dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang setara/mu’adalah dengan Madrasah Aliyah/SMA
Tidak setiap pesantren bisa mengajukan program mu’adalah. Ada kriteria tertentu yang
harus dipenuhi oleh pesantren jika ingin mengikuti program tersebut. Dalam Pedoman
Penyelenggaraan Pesantren Mu’adalah (Depag RI, 2009) diuraikan bahwa kriteria pondok
pesantren yang dapat mengajukan program muadalah sebagai berikut :
1. Penyelenggara Pendidikan Pondok Pesantren harus berbentuk yayasan atau organisasi sosial yang berbadan hukum.
2. Pendidikan Pontren yang akan dimuadalahkan/disetarakan ialah pendidikan pada Pontren yang telah memiliki piagam terdaftar sebagai Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren pada Departemen Agama dan tidak menggunakan kurikulum Depag dan Diknas.
3. Tersedianya komponen penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada satuan pendidikan seperti adanya tenaga kependidikan, santri, kurikulum, uang belajar, buku pelajaran dan sarana pendukung pendidikan lainnya.
4. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pontren sederajat dengan Madrasah Aliyah dengan lama pendidikan 3 (tiga) tahun setelah tamat Madrasah Tsanawiyah dan 6 (enam) tahun setelah tamat Madrasah Ibtidaiyah.
Sasaran dari program muadalah/penyetaraan ini adalah lembaga pendidikan yang
diselenggarakan oleh pondok pesantren setingkat dengan Madrasah Aliyah, diantaranya :
1. Madrasah Salafiyah ‘Ulya (‘Aly atau Aliyah), DMI (Dirasah Mu’allimin Islamiyyah)
2. Kulliyatul Mu’Allimin Al-Islamiyah (KMI) dan Tarbiyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (TMI)
3. Madrasah Diniyah ‘Ulya atau setingkat Takhassush yang sudah lulus jenjang Wustho dan Awwaliyah/Ula . (Depag RI, 2009)
Di Jawa Barat baru ada 6 (enam) buah pesantren yang telah mendapatkan status
mu’adalah, yaitu : Pesantren al-Basyariyah (Kabupaten Bandung), Pesantren Darussalam
(Kabupaten Garut), Pesantren al-Ikhlas (Kabupaten Kuningan), Pesantren Darun-Najah
Cipining (Kabupaten Bogor), Pesantren Darul Muttaqin (Kabupaten Bogor), dan Pesantren
al-Hikamussalafiyah (Kabupaten Cirebon)
Prosedur Penyelenggaraan Program Mu’adalah
Untuk menyelenggarakan Pendidikan Pesantren Mu’adalah ini pimpinan pondok
pesantren mengajukan surat permohonan kepada Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota. Setelah itu, surat permohonan itu disampaikaan ke ke Kanwil Kementerian
Agama dan kemudian diteruskan ke Dirjen Pendidikan Islam cq. Direktur Pendidikan
Diniyah dan Pondok Pesantren.
Berdasarkan permohonan pendaftaran tersebut, Tim Dirjen Pendidikan Islam melalui
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren bersama instansi terkait lainnya akan
melakukan visitasi dan verifikasi ke lokasi. Visitasi dan verifikasi ini bertujuan untuk
menindaklanjuti permohonan pendaftaran yang telah disampaikan oleh pesantren yang
mengajukan program mu’adalah.
Komponen yang dievaluasi dan diverifikasi melliputi 5 hal yaitu; kurikulum/PBM,
tenaga kependidikan, peserta didik, manajemen pengelolaan, serta sarana dan prasarana.
Setiap komponen memiliki beberapa sub komponen yang diajukan melalui bentuk pertanyaan
atau pernyataan .
Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan status mu’adalah
memang begitu ketat sehingga wajar bila dari dua puluh ribu lebih pesantren yang menyebar
di seluruh nusantara hanya 32 pesantren yang mendapat status mu’adalah. Itu artinya
pembuktian kepada kita betapa kinerja yang dibangun oleh semua unsur yang terlibat dalam
proses pendidikan di pesantren mu’adalah benar-benar telah teruji kualitasnya.
Kinerja erat kaitannya dengan prestasi kerja seseorang atau suatu lembaga dalam
melaksanakan tugasnya. Karena itu, kinerja ada hubungannya dengan pencapaian tujuan
organisasi. Jika tujuan organisasi tercapai dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa kinerja
dari organisasi tersebut baik. Jika tujuan organisasi tidak tercapai dengan baik, maka kinerja
dari organisasi tersebut kurang baik.
Bila ditelusuri ada dua aspek yang bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan kinerja
sebuah pesantren mu’adalah: Pertama, Legalitas pemerintah, yaitu saat pesantren mampu
mempertahankan status kemuadalahannya setiap periode empat tahun kedepan. Kedua,
Kualitas standar lulusan, yaitu produk lulusan pesantren yang sesuai dengan kualitas standar
internal yang ditetapkan pesantren mu’adalah itu sendiri dan standar tuntutan pasar/
Keterpaduan antara kharisma kiyai dan penerapan manajemen mutu kinerja yang
konsisten dalam mengelola pendidikan dilingkungan pesantren membuat pesantren yang
bersangkutan bisa tetap bertahan hidup dan bahkan mengalami kemajuan yang relatif pesat
terbukti dengan berkembangnya asset, kualitas pendidikan maupun animo masyarakat untuk
memasukkan anaknya ke Pesantren Mu’adalah.
Miskinnya Regulasi
Perkembangan kualitas pendidikan yang dikelola pesantren mu’adalah sepertinya belum
mampu menarik perhatian yang setimpal dan proporsional dari pemerintah. Entah kenapa
pemerintah sepertinya lebih peduli kepada program RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional) yang nyata-nyata belum jelas menampakkan kualitas pada aspek proses
pendidikannya.
Hal lain yang menimbulkan kegelisahan para aktivis pendidikan di lingkungan
pesantren mu’adalah adalah miskinnya regulasi yang mendukung keberadaan pesantren
mu’adalah sehingga muncul kesan adanya ketidak-konsistenan pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Agama, dalam menyikapi keberadaan pesantren yang menyandang status
mu’adalah. Di satu sisi, Kementerian agama menyantelkan status keberadaan pesantren
mu’adalah pada Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 93, ayat 1-3, yang
menyatakan :
(1) Penyelenggaraan satuan pendidikan yang tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan ini dapat memperoleh pengakuan dari Pemerintah atas dasar rekomendasi dari BSNP. (2) Rekomendasi dari BSNP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada penilaian khusus.(3) Pengakuan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Namun disisi lain ketetapan status mu’adalah hanya dikeluarkan melalui Surat Keputusan
yang ditanda-tangani oleh pejabat setingkat direktur jenderal (eselon 1). Sementara dalam
ayat 3 jelas dinyatakan bahwa pengakuan dari pemerintah tersebut harus ditetapkan oleh
peraturan menteri.
Padahal, klausul yang tertuang dalam pasal 93 inilah yang semestinya dikedepankan
ketika Kementerian Agama ingin menggiring dunia pesantren (khususnya pesantren
muadalah) ke dunia pendidikan formal. Melalui optimalisasi penjabaran atas pasal inilah
yang seharusnya bisa dijadikan senjata oleh Kementerian Agama untuk menaikkan status
pesantren muadalah melalui Keputusan atau Peraturan Menteri Agama dan tidak lagi berupa
surat keputusan yang hanya ditandatangani oleh pejabat eselon 1.
Demikian sekilas gambaran tentang pesantren mu’adalah. Kita berharap semoga
pemerintah dari waktu ke waktu terus meningkatkan perhatiannya terhadap perkembangan
kualitas pendidikan pada pondok pesantren mu’adalah.