mengkritisi demokrasi

17
MENGKRITISI DEMOKRASI & DEMOKRATISASI : SEBUAH UPAYA INTRODUSIR SISTEM POLITIK ISLAM Tugas Mata Kuliah : TEORI KETAHANAN NASIONAL Dosen : Ir. Abdul Rivai Ras, M.Si Disusun Oleh : FIKA MONIKA, ST NPM. 0806483834 806449033 PROGRAM PASCASARJANA KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL UNIVERSITAS INDONESIA DESEMBER, 2009 PAPER INDIVIDU

Upload: fikamon

Post on 25-Jun-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mengkritisi Demokrasi

MENGKRITISI DEMOKRASI & DEMOKRATISASI :

SEBUAH UPAYA INTRODUSIR SISTEM POLITIK ISLAM

Tugas Mata Kuliah : TEORI KETAHANAN NASIONALDosen : Ir. Abdul Rivai Ras, M.Si

Disusun Oleh :

FIKA MONIKA, ST NPM. 0806483834

806449033

PROGRAM PASCASARJANAKAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL

UNIVERSITAS INDONESIADESEMBER, 2009

PAPER INDIVIDU

Page 2: Mengkritisi Demokrasi

ABSTRAK

Demokrasi sering dianggap sebagai sistem politik yang paling berhasil merumuskanparadigma tentang “kekuasaan” dengan mekanisme pembagian kekuasaannya, sementara systempolitik Islam yaitu Khilafah Islam sebaliknya sering dikritik sebagai sistem tiran yang otoriter karenamasih mengadopsi kekuasaan penuh di tangan kepala negara. Klaim seperti ini sering kita dengar,terutama dari kalangan yang menganggap sistem Demokrasi adalah final bagi kehidupan bernegara.Oleh karena itu diperlukan kajian berimbang untuk mengkritisi paradigma Demokrasi tentangkekuasaan, mengingat kajian seperti ini masih belum banyak dilakukan.

Pandangan terhadap kekuasaan tunggal dan hubungan penguasa dengan rakyat, adalah duaelemen penting yang menjadi tinjauan dalam membandingkan sistem Demokrasi dengan KhilafahIslam. Dari kajian historik, ditemukan para penggagas demokrasi mempunyai rasa takut yangberlebihan terhadap kekuasaan tunggal karena trauma berkepanjangan masyarakat Eropa padarezim tiran yang korup, kolaborasi antara Raja dan Gereja. Sehingga Demokrasi selalu mempunyaisikap antipati terhadap bentuk-bentuk kekuasaan otokrasi dan juga teokrasi, yang mengakibatkanmereka selalu berusaha mencari sebuah model sistem agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh satuorang, keluarga kerajaan, kaum bangsawan ataupun penguasa Gereja.

Islam hadir dengan paradigma khas dan unik tentang kekuasaan. Khilafah Islam berhasilmembedakan secara jernih antara konsep kedaulatan (as-siyadah) dan kekuasaan (al sulthan), tidakdicampuradukkan. Sehingga seorang kepala negara dengan kekuasaan penuh bukan berarti bisadengan mudahnya berubah menjadi tiran dan korup. Malah sebaliknya, sistem politik menjadi efektifdan tetap akuntabel dengan dukungan penuh dari rakyatnya.

Pada tahap lanjut, tulisan ini juga menyoroti kelemahan inheren Demokrasi yangmenyebabkan dengan mudahnya bisa ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan KapitalismeLiberal. Demokrasi telah direkayasa menjadi prasyarat pembangunan, yang menjadi pintu masuknyaKapitalisme liberal di negara sedang berkembang. Fenomena ini terjadi karena mekanisme powersharing Demokrasi, yang meniscayakan bentuk desentralisasi kekuasaan baik secara horizontal danvertikal. Mekanisme ini secara efektif melemahkan kepemimpinan negara, yang secara perlahantergantikan oleh pasar.

Sehingga baik ditinjau dari segi demokrasi sebagai sebuah tatanan nilai (value) ataupundemokrasi sebagai perangkat sistem yang ‘dipasarkan’ secara global. Sistem demokrasi tidaklahcompatible untuk negeri muslim. Karena sejatinya demokrasi digunakan untuk semakin menjauhkankaum Muslim dari sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkankedaulatan ke tangan manusia, sementara dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah Swt.

Kata Kunci : Demokrasi, Khilafah Islam, Pembagian Kekuasaan, Kekuasaan Tunggal, Demokrasi

Page 3: Mengkritisi Demokrasi

MENGKRITISI DEMOKRASI & DEMOKRATISASI :

SEBUAH UPAYA INTRODUSIR SISTEM POLITIK ISLAM

Kritik yang sering dilontarkan oleh kaum intelektual Indonesia terhadap sistemKhilafah Islam adalah bahwa sistem ini merupakan sistem yang tiran. Secara umum adadua alasan mendasar kenapa tuduhan seperti ini muncul : pertama sistem ini menganutkedaulatan di tangan Tuhan dan kedua dalam sistem ini tidak memiliki trias politika(pembagian kekuasaan). Dengan kata lain Khilafah Islam sering diidentikkan dengansistem diktator (otokrasi- otoriter) sekaligus sistem theokrasi.Klaim ini memang acapkali dilontarkan oleh kalangan yang menganggap sistemDemokrasi adalah final bagi kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini wajar karenadalam perjalanan panjangnya menuju bangsa yang besar, sejak merdeka tahun 1945,Indonesia selalu setia pada jalan Demokrasi yang dianggap ideal untuk negeri ini.Sebelum dijelaskan lebih jauh bagaimana bantahan Islam terhadap kritikantersebut, penulis mengajak terlebih dahulu untuk mengkritisi balik sistem Demokrasiyang saat ini dianggap paling berhasil merumuskan paradigma tentang kekuasaan.Diharapkan dari kritikan balik ini, kita bisa secara jelas melihat perbedaan-perbedaankonseptual antara Khilafah Islam dengan Demokrasi secara mendasar satu dengan yanglain Untuk itulah tulisan ini berusaha mengupas konsep Khilafah Islam dengan caramengkritisi Demokrasi secara lebih dalam, dengan tinjauan yang lebih komprehensif.Ada dua tinjauan penting dari demokrasi yang harus dikaji, yaitu demokrasi sebagaisebuah tatanan nilai (value) dan demokrasi sebagai perangkat sistem yang ‘dipasarkan’Barat kepada dunia Islam, tinjauan terakhir ini lebih sering disebut dengan istilah‘demokratisasi’ atau lebih spesifiknya Huntington mengistilahkan sebagai ‘gelombangdemokratisasi ketiga’.KEGAGALAN DEMOKRASI MERUMUSKAN PARADIGMA “KEKUASAAN”

1. Ketakutan Berlebihan Terhadap Kekuasaan TunggalPembagian kekuasaan yang menjadi ciri inheren dari sistem demokrasi,sebenarnya juga merupakan kelemahan inheren yang membuat sistem ini tidakmampu berjalan optimal. Hal ini bisa kita pahami sejak konsep dasarnya. Parapenggagas demokrasi memang sejak lama mempunyai sikap antipati yang keras

Page 4: Mengkritisi Demokrasi

pada bentuk-bentuk kekuasaan otokrasi dan juga teokrasi, sehingga kekuasaantunggal dianggap sebagai momok yang menakutkan bagi kehidupan berbangsa danbernegara, karena sering menjelma menjadi tiran yang korup dan menindas rakyat.Hal ini wajar karena secara historis, kemunculan demokrasi pada akhir abad ke-18 sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari trauma berkepanjangan masyarakat Eropapada rezim tiran yang korup kolaborasi antara Raja dan Gereja. Kehadiranpemikiran Demokrasi adalah untuk melawan pemikiran monarki absolut (otokrasi)dan teokrasi pada masa itu. Saat itu rakyat di 13 koloni Inggris di pantai timurAmerika serta Kekaisaran Prancis terbelah: yang pro raja dan gereja (dipimpin parabangsawan) dan kontra raja dan gereja (dipimpin para filosof dan kaum borjuis).Pada masa itu konsep “kedaulatan Tuhan” dihadap-hadapkan dengan konsep“kedaulatan rakyat”. Dari pengalaman sejarah panjang yang traumatik itulah makaDemokrasi selalu mengambil posisi berseberangan dengan Otokrasi dan Theokrasi.Pada perkembangannya para penggagas demokrasi lantas mengidentikkansegala bentuk sistem yang mengadopsi kekuasaan tunggal atau terpusat(sentralististik) sebagai tiran atau otoriter atau disebut otokrasi. Termasukmengidentikkan kekuasaan bersendikan agama sebagai theokrasi. Sehingga merekaselalu berusaha mencari sebuah model agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh satuorang, keluarga kerajaan, kaum bangsawan ataupun penguasa Gereja.2. Kegagalan Membina Hubungan antara Penguasa dan RakyatHubungan penguasa dengan rakyat dalam paradigma Demokrasi bersifatkontrak sosial. Yang sebenarnya didasari oleh sikap awal ‘tidak percaya’ dari rakyatpada pemerintah. Dalam pandangan mereka, negara/ pemerintah bukanlah institusi‘baik hati’ yang berjuang tanpa pamrih, sehingga diperlukan kontrak sosial sebagaikontrol.Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karenaanggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalamteori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri. Seperti halnyaDemokrasi, teori kontrak sosial juga berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiranJaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme,dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiranbahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan

Page 5: Mengkritisi Demokrasi

terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara.Dalam perspektif kesejarahan, Jaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atasjaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan.Dalam pandangan mereka masyarakat harus menjadi counter-balancingterhadap negara, yang berperan sebagai alat kontrol negara. Masyarakatdiperhadapkan dengan negara karena negara dianggap bukanlah institusi “baik hati”di mana aktor-aktornya dengan tanpa pamrih memperjuangkan kepentingan rakyat.Jadi, diperlukan masyarakat sipil yang kuat dan mapan sebagai alat penekan dankontrol terhadap seluruh kebijakan negara, kalau perlu opposite terhadap negara.Padahal fakta sudah menunjukkan bahwa tidak adanya kesatuan entitaspenguasa dengan rakyat ataupun hubungan antara pemerintah dengan rakyat -yangtampak adalah hubungan pertentangan dan ketidaksukaan- akan bisa menyebabkanlemahnya negara dan lemahnya entitas umat.Kenyataan keterpisahan antara penguasa dan rakyat ini merupakan konsekuensilogis dari penerapan ideologi Kapitalisme dan sistem politik demokrasi. DoktrinKapitalisme menyatakan peran negara dalam mengurus kepentingan umum harusseminimal mungkin. Konsekuensinya, negara (pemerintah) tidak memperhatikankepentingan masyarakat.Realita yang ada itu menunjukkan bahwa pemerintah (penguasa) bukannyamemelihara kepentingan rakyat, tetapi justru menzalimi rakyat dan tidakmenyayangi mereka. Penguasa demikian dinilai Nabi saw. sebagai seburuk-buruknya penguasa. Nabi saw. bersabda:Sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin adalah al-Hathamah (mereka yang

menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi mereka) (HR Muslim).KEJERNIHAN ISLAM MERUMUSKAN PARADIGMA KEKUASAAN

1. Kekuasaan Penuh Tidak Berarti MenindasPerlu secara jernih membedakan antara kekuasaan tunggal atau terpusat dengantiran atau diktatorisme, perlu juga secara jernih untuk melihat bahwa Khilafah Islambukanlah sistem Theokrasi apalagi Otokrasi (diktatorisme).Sistem Khilafah bukanlah seperti sistem teokrasi di Eropa pada abadpertengahan, tetapi Khilafah merupakan sistem Islam yang berhasil membedakan

Page 6: Mengkritisi Demokrasi

antara konsep kedaulatan (as-siyadah) dan kekuasaan (al sultan). Sehingga seorangkepala negara dengan kekuasaan penuh bukan berarti bisa dengan mudahnyaberubah menjadi tiran dan korup.Inilah catatan kritis untuk demokrasi, bahwa demokrasi tidak secara jernihmembedakan "kedaulatan" dan "kekuasaan”. Ada semacam kerancuan. Bahkanterkesan keduanya dicampuradukkan menjadi satu,a. Perbedaan Kedaulatan dan KekuasaanSeorang Khalifah (kepala negara) dalam Khilafah bukanlah wakil Tuhansebagaimana konsep Raja Eropa di era dark middle age. As Siyadah(kedaulatan) memang ditangan syar’i (pembuat hukum , Allah SWT) , namunkekuasaan (al sultan ) ditangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan (assiyadah) berarti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukumatau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation).Dalam Islam yang menjadi sumber hukum adalah syari’ yakni Allah SWTyang kemudian menurunkan Al Qur’an dan as Sunnah sebagai sumber hukumyang wajib diikuti oleh kaum muslimin. Karena itu kata-kata, kebijakan, atauaturan yang ditetapkan oleh Khalifah bukanlah otomatis kata-kata Tuhanyang kemudian mutlak harus dipatuhi dan tidak boleh dikritik.Rosullah saw sendiri mengatakan : “tiada ketaatan kepada manusia dalammaksiat kapada Allah swt”. Karena itu, Khalifah saat mengambil keputusantetap harus merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Artinya, keputusanKhalifah baru boleh ditaati kalau itu memang merujuk kepada Al Qur’an danSunnah. Kalau tidak, ya tidak boleh ditaati. Karena itulah dalam Islam adakewajiban mengkoreksi penguasa (khalifah ) yang dikenal dengan konsep

muhasabah lil hukkam.Bahkan Islam memberikan reward dengan menempatkan derajat yangtinggi bagi aktifitas untuk mengkoreksi penguasa ini. Dalam haditsdisebutkan : “ Sebaik-baik jihad adalah melontarkan kata-kata yang hak di

depan penguasa yang jair/dholim (kejam)”. Mereka yang harus terbunuhkarena mengkoreksi penguasa yang keliru bahkan diberi gelarsaiyudusyuhada (pemimpin para syahid).

Page 7: Mengkritisi Demokrasi

b. Kepala negara adalah penguasa tunggal untuk melaksanakan danmenjaga hukum-hukum Allah.Islam tidak mengakui pembagian kekuasaan sebagaimana konseptrias politica. Kepala negara dalam Islam diberi wewenang penuh untukmenerapkan hukum-hukum Allah dalam Al Qur’an dan Hadist kepadaseluruh warga negara dan mengelola SDA milik rakyat untuk kepentinganrakyat.Selain itu, kepala pemerintahan daerah (wali) juga ditunjuk dandiangkat oleh kepala negara, dengan memperhatikan aspirasi rakyat didaerah. Wali diberi wewenang untuk membuat kebijakan pembangunan didaerahnya yang sesuai dengan perundang-undangan dan garis kebijakanyang ditetapkan oleh kepala negara di semua bidang, kecuali bidangkeuangan, pertahanan keamanan, dan bidang peradilan.Struktur pemerintahan di bawah kepala negara, di pusat maupun didaerah, mendapatkan limpahan wewenang dan bertanggung jawab kepadakepala negara. Kewenangan yang penuh disertai tuntunan syariah memberipeluang kepada kepala negara untuk menjalankan pemerintahan yang kuatdan independen, sehingga bisa segera melayani rakyat dan mengatasi semuamasalah-masalah yang ada pada rakyat, tidak tunduk pada kekuatan lain,termasuk tidak tunduk pada kekuatan asing. Selain itu, wewenang penuhakan menutup peluang disintegrasi.Walaupun kepala negara merupakan penguasa tunggal, kekuasaannyaterbatas dan terikat kepada Al Qur’an dan Hadist. Ketika ketetapan penguasabertentangan dengan Al Qur’an dan Hadist, atau menzolimi rakyat, ketetapantersebut bisa dicabut melalui Peradilan Madzolim dengan mekanisme yangtelah diatur sesuai syariah. Pengabaian terhadap Al Qur’an dan Hadist dapatberujung pada pemberhentian kepala negara.

2. Kesatuan Cita-cita antara Penguasa dan RakyatDi dalam Islam, penguasa dengan rakyat bersatu bahu-membahu dalammenerapkan hukum-hukum Allah dan menegakkan kejayaan Islam. Polahubungannya konstruktif, karena Islam yang menggariskan demikian.

Page 8: Mengkritisi Demokrasi

Banyak nash baik al-Quran maupun hadis yang membicarakan masalah ini.Islam menjelaskan bagaimana posisi penguasa dan rakyat, satu terhadap yanglain. Islam juga menjelaskan tugas dan kewajiban penguasa dan hak-hak merekaterhadap rakyat. Di sisi lain, Islam menjelaskan apa yang menjadi hak-hak rakyatdari penguasa dan apa yang menjadi kewajiban rakyat kepada penguasa. Islamjuga menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh rakyat ketika penguasanyamenyimpang dari yang seharusnya, menyalahi fungsi dan perannya sertamengabaikan kewajiban-kewajibannya. Islam pun memberikan dorongan agarpenguasa mewujudkan dirinya seperti yang dituntut. Islam menjelaskankeutamaan dan kemuliaan yang akan diperoleh penguasa yang adil di dunia danpahala, keridhaan Allah dan kenikmatan yang akan dia peroleh di akhirat.Sebaliknya, Islam juga memperingatkan penguasa agar tidak menjelma menjadisosok zalim. Islam menjelaskan berbagai keburukan, kenistaan dan kehinaanyang akan menimpanya di dunia serta dosa, murka Allah dan siksaan pedih yangakan dia rasakan di akhirat.a. Penguasa dan rakyat sama kedudukannya di hadapan hukum.Penguasa dan rakyat adalah hamba Allah, Sang Pencipta. Sehingga keduanyasama-sama harus tunduk pada semua ketetapan Allah yang telahdisampaikan kepada manusia dalam Al Qur’an dan Hadist. Ketika penguasamenetapkan perundang-undangan berdasar al Qur’an dan hadist, undang-undang itu tidak hanya mengikat rakyat, tapi juga mengikat penguasa.b. Penguasa adalah pelindung dan pelayan rakyat.Kedudukan seorang penguasa dalam kehidupan kaum muslimin adalahbagaikan seorang pelayan yang siap memenuhi segala kebutuhan rakyatnya.Warga negaranya yang ada di seluruh penjuru dunia, laki-laki atauperempuan, muslim atau non muslim, anak-anak atau pun dewasa,seluruhnya berada dalam tanggung jawabnya. Segenap kemampuannyadicurahkan untuk memenuhi keperluan rakyat yang menjadi tanggungjawabnya. Berlepas diri dari perlindungan dan pelayanan terhadap warganegara adalah tindak pengkhianatan yang sangat besar terhadap Allah danRasul-Nya. Rasulullah saw menggambarkan kepala negara sebagai berikut:

“Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dia akan dimintai

pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Page 9: Mengkritisi Demokrasi

c. Kepala negara dipilih rakyat dari orang-orang yang memenuhi syarat.Syariah mewajibkan pemimpin dipilih oleh rakyat dengan ridlo danikhtiar dari orang-orang yang memenuhi syarat. Syariah telah menetapkansyarat-syarat pemimpin sebagai berikut: muslim, baligh, berakal, laki-laki,merdeka, adil dan memiliki kapabilitas. Pemimpin yg adil adalah pemimpinyang bertaqwa pada Allah dan memerintah dengan hukum-hukum Allah.Pemimpin yang memiliki kapabilitas adalah pemimpin yang mampumemimpin negara menuju negara besar, kuat dan terdepan.d. Rakyat wajib taat , menasehati dan mengoreksi penguasaRakyat, baik laki-laki maupun perempuan, wajib untuk mentaati penguasa.Rasulullah Saw bersabda: ”Mendengar dan taat (kepada penguasa) adalah

wajib bagi seorang Muslim dalam perkara yang ia sukai maupun yang tidak ia

sukai selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Jika diperintahkan untuk

bermaksiat maka tidak perlu mendengar dan tidak perlu ada ketaatan.” (HRMuslim)Khalifah Abu Bakar ra, memberikan teladan kepada para penguasa, dalampidatonya: ”Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika aku

menyalahi Allah dan Rasul-Nya, maka jangan kalian taati aku.”Namun, sebagai manusia, penguasa juga berpeluang melakukan kesalahan.Dalam hal inilah rakyat wajib menasehati dan mengoreksi penguasanya.Rasulullah Saw pernah bersabda: ”Sesungguhnya di antara aktivitas jihad

yang paling agung adalah menyampaikan kata-kata yang adil (benar) kepada

penguasa yang jahat.” (HR. At-Tirmidzi). Hadits ini mendorong rakyat, agarmeluruskan kesalahan penguasanya, sekalipun harus menanggung resikokematian.e. Wajib ada saluran bagi aspirasi rakyat.Rakyat memiliki hak untuk didengarkan aspirasinya. Untuk itu negara wajibmenyediakan saluran bagi aspirasi seluruh rakyat di seluruh pelosok negara.Saluran bagi aspirasi rakyat dapat berupa pertemuan langsung denganpenguasa, akses melalui sarana telekomunikasi, dan melalui lembagaperwakilan rakyat (Majelis Ummat). Majelis Ummat yang ada di tingkatdaerah dan tingkat pusat, merupakan lembaga yang melakukan musyawarahdengan penguasa dan mengkritik kebijakan penguasa. Aspirasi rakyat

Page 10: Mengkritisi Demokrasi

berupa penyampaian kebutuhan pokok hidupnya atau permintaan untukmengganti aparat pemerintahan tertentu yang disampaikan melalui MajelisUmmat wajib dipenuhi oleh penguasa. Sedangkan aspirasi dalam hal lainmerupakan masukan tidak mengikat bagi penguasa dalam mengambilkebijakan. Bisa saja penguasa tidak menjalankan masukan tersebut karenamemilki cara yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyat.PERBEDAAN MENDASAR ANTARA ISLAM DAN DEMOKRASIDemokrasi lahir dari epistemologi sekuler, yang sangat bertentangan denganIslam. Pada masa itu, pemikir Eropa mencari sebuah model agar kekuasaan tidakdimonopoli oleh satu orang, keluarga kerajaan, kaum bangsawan ataupun penguasaGereja. Dan satu-satunya referensi mereka adalah pemikiran sejarah Yunani kuno,dimana dalam bahasa Yunani, kata ”demokrasi” berasal dari dua kata yaitu demos yangberarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Gagasan demokrasi inimuncul dalam bentuknya yang masih sangat sederhana di Yunani Kuno sekitar abad ke-6 sampai abad ke-3 SM dalam bentuk demokrasi langsung (direct democracy) yaitusuatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politikdijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkanprosedur mayoritas.Sistem inilah yang dipilih oleh masyarakat Eropa pada masa itu, sebagai modelsistem kenegaraan terbaik, setelah penderitaan panjang akibat tekanan kediktatoransistem monarki feodal yang berkuasa berabad-abad di Eropa. Setidaknya begitulahanggapan mereka.Jadi secara historisitas, demokrasi muncul karena Eropa saat itu mengalamimasalah serius pada dua aspek yaitu (1) problem ajaran Kristen dan (2) problemkepemimpinan negara. Penjelasannya sebagai berikut:(1) Demokrasi jelas dilahirkan dari cara berfikir sekuler (pemisahan agama darikehidupan) yang sangat bertentangan dengan Islam. Karena Islam adalah agamayang sempurna, tidak sedekar agama eskatologis (akherat oriented), tetapi jugaagama dunia (din, dunya dan daulah). Poin mendasar inilah yang membedakannyadengan Agama Kristen. Jadi sesungguhnya umat Islam tidak pernah mengalamimasalah dengan agamanya seperti halnya masyarakat Eropa Kristen. Ciri mendasardari kesekuleran demokrasi terdapat dalam dua poin, yaitu :

Page 11: Mengkritisi Demokrasi

Ide demokrasi yang sangat antroposentrik (berpusat pada manusia). Terlihatpada prinsip berikut yakni: (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat

sebagai sumber kekuasaan. Manusia bisa membuat sendiri hukum dan aturankehidupan. Sementara dalam kerangka pemikiran Islam, akal manusia memilikiketerbatasan. Akal tidak dapat menilai apakah sesuatu itu baik (khayr) atauburuk (syarr), terpuji (hasan) atau tercela (qabih). Manusia bukan al-Hakim.Hanya Sang Pencipta, Allah SWT saja yang memiliki kedaulatan untukmenentukan hukum. Ide Kebebasan. Kebebasan invididu menjadi prinsip penting dalam demokrasi,agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri tanpa disertai tekanandan paksaan. Kebebasan individu ini, sesuai Deklarasi Universal HAM PBB padatahun 1948 nampak dalam empat hal: (1) kebebasan beragama, (2)

kebebasan berpendapat, (3) kebebasan kepemilikan dan (4) kebebasan

bertingkahlaku. Sementara dalam kerangka pemikiran Islam, perbuatanmanusia sebagai seorang hamba itu terikat dengan hukum syara’ (syariat), asashalal-haram bukan asas manfaat semata.(2) Demokrasi adalah solusi yang dipilih oleh peradaban Barat – Sekuler, karena traumakegagalan sistem mereka pada aspek kepemimpinan negara. Sistem yang merekamiliki tidak berhasil mencetak sosok pemimpin sejati yang mengayomi rakyat.Karena itulah mereka selalu mempertentangkan antara konsep “Demokrasi” dengan“Otokrasi” juga dengan “Teokrasi”. Dari sini bisa kita pahami ketakutan mereka yangberlebihan terhadap sistem otoriter, termasuk pada kepemimpinan bersendikanagama. Sementara, umat Islam tidak pernah mengalami traumatik kepemimpinanyang sangat mendalam seperti halnya yang dialami oleh Barat.DEMOKRATISASI : SEBUAH TEKNOLOGI PENJAJAHAN BARUKalangan Barat paham betul bahwa kaum Muslim tidak akan pernah menerimademokrasi dalam pengertiannya yang hakiki tersebut. Karena itu negara-negara Barat(khususnya AS) berusaha memasarkan demokrasi di negeri-negeri Muslim melaluikemasan yang penuh tipuan. Mereka memasukan demokrasi ke negeri Muslim, denganpropaganda bahwa demokrasi adalah alat/ metode terbaik untuk memilih pemimpin/penguasa negara. Dan ditanamkanlah dalam benak kaum Muslim rasa apriori terhadapbentuk kekuasaan tunggal (otoritarian), kemudian kaum Muslim diperkenalkan kepada

Page 12: Mengkritisi Demokrasi

bentuk kekuasaan kolektif dengan sistem pembagian kekuasaan. Cara pemasaran Baratinilah yang kemudian dikenal dengan ‘proses demokratisasi’ atau ‘gelombangdemokratisasi’.“Gelombang demokratisasi ketiga” (1974‐1990) begitu Samuel Huntingtonmenyebutnya, seorang ilmuwan politik terkemuka abad ini. Sebenarnya semenjakdekade 1980‐an dunia internasional sudah menyaksikan gelombang demokratisasi baruyang dimulai dengan rontoknya sejumlah rezim otoritarian di kawasan Eropa Selatan,Amerika Latin, Eropa Timur, Asia dan beberapa negara di Afrika. Gelombangdemokratisasi ini merupakan agenda perubahan politik paling menyolok akhir abad 20,dengan keruntuhan Uni Sovyet sebagai klimaksnya.Di negara‐negara yang dulunya dipimpin oleh rejim otoriter (seperti Indonesia,Argentina, Rusia, Korea Selatan atau Brazilia) agenda kapitalisme-neoliberal atas namademokrasi masuk, ketika negara‐negara itu mengalami krisis politik dan krisis ekonomi.Pada masa itulah melalui sejumlah agen‐agen utamanya semisal IMF dan World Bank,agenda neoliberalisme mulai masuk dan membuat sejumlah “penyesuaian struktural”.Dan disambutlah sebuah jaman yang seringkali disebut‐sebut dengan nada optimis yangmeluap: transisi menuju demokrasi.Proses ‘demokratisasi’ kemudian dimulai secara massif. Penguatan teoritik dansupply energi politik di kalangan negara liberal Barat meneguhkan kebijakan merekauntuk mempercepat laju gelombang demokrasi liberal ke negara-negara Selatanataupun negara-negara yang belum menganut paham demokrasi liberal. Maka, berbagaiprogram pun diluncurkan untuk menyokong perkembangan demokrasi danpembentukan sistem politik dan tata pemerintahan di dunia ketiga yang sejalan dengangaris liberal dalam corak pembangunannya.

1. Munculnya Program Good GovernancePelacakan Abrahamsen (2000: 56) membuktikan pada tahun 1990 Democracy

Initiative dari US Agency for International Development (USAID) diluncurkan untukmembantu mendorong dan mengonsolidasikan demokrasi sebagai prinsip pengelolaansistem politik yang legitimate di seluruh dunia. Satu tahun sebelumnya, 1989, WorldBank mengintrodusir untuk pertama kali istilah “good governance”, sebagai doktrinpembangunan baru dan tata kelola pemerintahan yang segaris dengan demokrasiliberal. Doktrin ini meyakini bahwa demokrasi tidak hanya dikehendaki dari perspektifhak asasi manusia, tetapi juga dibutuhkan sebagai syarat untuk pertumbuhan ekonomi

Page 13: Mengkritisi Demokrasi

dan kesejahteraan berkelanjutan. Demokrasi liberal dan “anak ideologisnya”, good

governance, lantas menjadi tawaran baru bagi pembangunan negara di berbagaibelahan dunia, terutama dunia ketiga.Lembaga-lembaga donor internasional yang dikoordinatori UNDP sepenuhnyamenyadari arti penting gelombang besar demokratisasi ini dalam mewujudkan sistemekonomi dan politik global yang sustainable. Bahkan UNDP merumuskan arti pentingdari peran tiga institusi makro: negara, pasar (ekonomi), dan masyarakat sebagai troikadalam membangun Good Governance (UNDP, 2000). Dalam konteks Indonesia, di masakepemimpinan Abdurrahman Wahid, Indonesia pernah mendapatkan suntikan danasebesar 300.000 dolar AS dari UNDP (United Nations Development Program) untukmenciptakan good governance (Cides online)Good governance itu sendiri dikritik sebagai tipe demokrasi baru yangsebetulnya "pengemasan" paling berbahaya yang pernah dilakukan kelompokkapitalisme liberal untuk memasukkan agenda mereka dengan masuk langsung dalamsistem politik (me-manage satu negara), menghilangkan "peran negara", danmenggantikannya dengan "pasar" yang tersembunyi lewat kata "masyarakat sipil"(Leftwich: 1993, Gibson: 1993; Hadenius dan Uggla: 1990).2. Ritual Pesta Demokrasi (Pemilu)Praktek Pemilu yang dikembangkan di dunia Islam saat ini khususnya Indonesia,tidak lain dan tidak bukan juga merupakan desain dari proyek demokratisasi good

governance. Desain Pemilu ini lebih merepresentasikan model demokrasi elektoral-prosedural, pemaknaan demokrasi lantas lebih terfokus pada persoalan penciptaanprosedur dan berbagai aturan main dalam pemilu. Pemilu multipartai dikatakan sebagaiesensi demokrasi, sementara kompetisi melalui pemilu diletakkan sebagai upaya intiuntuk mengglobalkan demokrasi. Perhatian pada pemilu ini digambarkan melaluidefinisi Huntington tentang demokrasi yakni “apabila pembuat kebijakan yang palingkuat dipilih dalam pemilu yang periodik, jujur, dan adil, manakala kandidat dapat secarabebas bersaing merebut suara dan hampir semua penduduk dewasa bisa memberikansuaranya. Demokrasi (elektoral) memberikan “jaminan kebebasan tak tertandingi olehsistem politik manapun” (Diamond, 2003:3)Oleh karena itulah banyak sekali intervensi asing pada proses Pemilu di negeriini. Untuk Pemilu 2009 ini, Indonesia mendapat bantuan sebesar 37,5 juta dolarAmerika. Dana itu digunakan bagi pemilu mulai dari proses sosialiasi hingga selesai.

Page 14: Mengkritisi Demokrasi

Pendanaan itu dikoordinasikan oleh UNDP (United Nations Development Programme).Dana itu berasal dari berbagai negara donor di antara-nya Inggris, Belanda, Spanyol,Amerika Serikat, Australia. Tercatat beberapa negara dan lembaga-lembaga interna-sional telah mendaftarkan diri di Komite Pemilihan Umum (KPU) sebagai tim pemantaupemilu 2009. Mereka yang telah men-dapatkan akreditasi dari KPU sebanyak tujuhlembaga yakni National Democratic Institute (NDI), International Foundation forElectoral System (IFES), Friedrich Naumann Stiftung fur die Freiheit (FNS), Anfrel Foun-dation (Asian Network for Free Elections Foundation), Australia Election Commission),The Carter Center, dan International Republican Institute (IRI). Sebagian besar lembagaitu bernaung di bawah USAID. Juga ada delegasi Uni Eropa, Comelec Uni (KPUPhilipines), KPU Afgha-nistan, KPU Timor Leste, Ausaid (Kedutaan Australia), DutaBesar Brunei Darussalam, dan Duta Besar Pakistan.KESABARAN YANG TERLALU NAIFKelemahan demokrasi yang tercatat dalam sejarah reformasi di negeri ini,anehnya selalu mendapat pemakluman dan toleransi yang besar dari pemimpin negeri,bahkan juga dari sebagian besar intelektual dan tokoh masyarakat. Mereka berargumenbahwa bangsa ini masih ‘belajar’ berdemokrasi, bahwa saat ini Indonesia sedangmelalui fase ‘transisi demokrasi’, dan bahwa usia demokrasi Indonesia masih sangatmuda baru 11 tahun, dan sejumlah argumen lain yang terdengar klise. Toleransi danharapan yang besar terhadap demokrasi seakan menutup mata mereka terhadapkerusakan yang ditimbulkannya. Mereka terus mengumandangkan bahwa bangsaIndonesia harus ‘bersabar’ dalam menjalani proses transisi demokrasi ini. Jadi, wajarjika masih terjadi kekurangan di sana-sini karena 'masih merupakan proses transisidemokratisasi'. Begitulah argumen naif yang sering kita dengar berulangkali.Pertanyaannya, apakah kesabaran itu harus diletakkan dalam kerangka‘ketidakpastian’? apakah kita masih harus tetap bersabar, sementara tidak ada satupunjaminan/garansi bahwa demokrasi akan menghantarkan Indonesia menjadi lebih baik?Pertanyaannya, sampai kapan proses transisi itu berakhir (never-ending

process)?Sebenarnya kalangan pakar dari Barat pun mengakui; bahwa tidak ada satupunjaminan yang bisa diberikan oleh demokrasi. Paham demokrasi sama sekali tidak bisamenjamin bahwa warga-masyarakat suatu negara yang menjalankannya akan bahagia,

Page 15: Mengkritisi Demokrasi

makmur, damai, dan adil. Pemerintahan manapun, termasuk pemerintahan yang palingdemokratis, tak akan mampu memenuhi tujuan-tujuan ideal tersebut di muka. Bahkandalam praktiknya demokrasi selalu mengecewakan dari apa yang dicita-citakanolehnya. Seperti usaha-usaha sebelumnya untuk mencapai pemerintahan yangdemokratis, negara-negara demokrasi modern juga menderita banyak kerusakan(Snyder, 2003).Penelitian dari Jurnal LIPI, bertajuk “Kritik atas Determinisme dalam ModelTransisi Demokrasi”, menyebutkan, fakta hanya sedikitnya negara yang “berhasil”dalam transisi. Sejumlah negara yang telah meninggalkan bentuk otoritarianismeternyata masih jauh dari sebuah demokrasi, bahkan tanda-tanda surutnya demokrasikembali ke bentuk otoriter masih terbuka. Kondisi terakhir ini persis terjadi di negara-negara Eropa Selatan (1970-an) dan Amerika latin (1980-an), sebagaimana yangdigambarkan Guillermo O’Donnel, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead(1986), dalam bukunya ”Transitions from Authoritarian Rule”.Benang merah dari buku tersebut menyebutkan, transisi menuju demokrasipasti mengalami rangkaian kemungkinan dan ketidakpastian (uncertainity).Ketidakpastian yang oleh Przeworski disebut sebagai ciri utama demokrasi yangmenyesatkan.KHATIMAHKonsep demokrasi terbukti tidak pernah sesuai dengan realitas. Ide-ide demokrasihanyalah mitos, ide khayalan, tidak realistis dan mustahil terwujud dalam tatanankehidupan. Demokrasi tak akan pernah terwujud sampai kapanpun.Karena sejatinya demokrasi digunakan untuk semakin menjauhkan kaum Muslimdari sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkankedaulatan ke tangan manusia, sementara dalam Islam kedaulatan ada di tangan AllahSwt. Demokrasi pun digunakan untuk memerangi kaum Muslim. Atas namamenegakkan demokrasi dan memerangi terorisme, negeri-negeri Islam diserang dandijajah, seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan.Agama dikerdilkan sebatas moral, ritual, kewajiban individual. Kalaupunbersinggungan dengan politik hanya sebatas nilai substansialnya saja seperti kejujuran,amanah, dan semacamnya.

Page 16: Mengkritisi Demokrasi

Propaganda demokratisasi di Indonesia pada dasarnya tidak bisa dilepaskan darikepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar negeri darinegara-negara kapitalis itu memang menyebarkan ideologi Kapitalisme mereka, dengandemokrasi sebagai derivatnya. Tersebarnya nilai-nilai Kapitalisme di dunia ini akanmenguntungkan negara-negara kapitalis; mereka akan tetap dapat mempertahankanpenjajahannya atas negeri-negeri Islam.

Page 17: Mengkritisi Demokrasi

DAFTAR PUSTAKAAl-Khalidi, Abdul Majid, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam,(Jakarta : Al-Azhar Press : 2004)An-Nabhani, Taqiyuddin, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ummah, cet. ke-6,2002.Budiarjo, Miriam., Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Tama,2005)Diamond, Larry., Developing Democracy toward Consolidation, (Yogyakarta : IRE Press,2003)Hizbut Tahrir, Ajhizat Daulat al-Khilafah: al-Idarah wa al-Hukm, Beirut: Dar al-Ummah,cet. I, 2005.O’Donnel, Guillermo dan Phillipe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi : Rangkaian

Kemungkinan dan Ketidakpastian, (Jakarta : LP3ES, 1993)