menyoal kata-kata yang digunakan dalam intercorporate dividends sebagai non objek pph

16
www.futurumcorfinan.com Page 1 Menyoal Kata-kata yang Digunakan dalam Intercorporate Dividends sebagai Non Objek PPh Pendahuluan Bila diperhatikan secara seksama Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh terdapat kata-kata yang kurang tepat pencantumannya. Ketidaktepatan hal tersebut terjadi bila dikaitkan dengan praktik pembukuan di lapangan. Di mana letak dan apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Simak dengan baik-baik ulasan di bawah ini. Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) menjelaskan syarat dan ketentuan dividen diperlakukan sebagai non-objek PPh. Berikut cuplikan pasalnya. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1. dividen yang berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com

Upload: futurum2

Post on 15-Apr-2017

254 views

Category:

Economy & Finance


0 download

TRANSCRIPT

www.futurumcorfinan.com

Page 1

Menyoal Kata-kata yang Digunakan dalam

Intercorporate Dividends sebagai Non Objek

PPh

Pendahuluan

Bila diperhatikan secara seksama Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh terdapat kata-kata

yang kurang tepat pencantumannya. Ketidaktepatan hal tersebut terjadi bila dikaitkan

dengan praktik pembukuan di lapangan. Di mana letak dan apa yang menyebabkan hal

itu terjadi? Simak dengan baik-baik ulasan di bawah ini.

Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan

Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU

PPh) menjelaskan syarat dan ketentuan dividen diperlakukan sebagai non-objek PPh.

Berikut cuplikan pasalnya.

Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai

Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha

milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan

bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

1. dividen yang berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

Sukarnen

DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,

ATAU MENDISTRIBUSIKAN

SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN

INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS

DARI PENULIS

Untuk pertanyaan atau komentar bisa

diposting melalui website

www.futurumcorfinan.com

www.futurumcorfinan.com

Page 2

2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik

daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan

dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang

disetor.

Menurut penulis, ada dua redaksi frase yang kurang tepat penggunaannya yaitu frase

“…..atau bagian laba yang diterima atau diperoleh ….” dan “……cadangan laba yang

ditahan”. Apa dan bagaimana dasar pemikirannya? Penulis akan menjabarkan di bawah

ini.

Bagian laba yang diterima atau diperoleh

Beberapa pengamat berpendapat frase “...atau bagian laba yang diterima atau

diperoleh...” dapat diartikan sama dengan atau termasuk pengertiannya dengan

“Bagian Laba Entitas Asosiasi” (penulis: atau bisa juga ventura bersama terkait

penerapan metode ekuitas) dalam mengakui bagian laba investor atas laba bersih

entitas asosiasi yang diatur pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 15

(revisi 2009) tentang Investasi pada Entitas Asosiasi atau entitas pengendalian bersama

entitas yang mengacu pada PSAK 12 (revisi 2009) tentang Bagian Partisipasi dalam

Ventura Bersama.

Apakah yang dimaksud sebetulnya kata-kata “...atau bagian laba yang diterima atau

diperoleh...” merupakan sinonim atau merupakan pengungkapan maksud “dividen”

dengan cara yang berbeda, tapi sebetulnya yang dimaksud adalah semata-mata an

sich dividen atau ada hal lain yang dimaksudkan. Mari kita lihat satu-satu apakah

memang dimungkinkan ada interpretasi lain selain hanya dividen.

Pertama, kita bicarakan terkait apakah dimungkinkan adanya pemahaman bahwa kata-

kata “…atau bagian laba yang diterima atau diperoleh….” dapat diartikan sebagai “Bagian

Laba Entitas Asosiasi atau Pengendalian Bersama Entitas”? Untuk itu, pertama-tama

perlu dijelaskan kapan akun “Bagian Laba Entitas Asosiasi atau Pengendalian

Bersama Entitas” muncul di Laporan Laba Rugi?

Pembahasan “Bagian Laba Entitas Asosiasi atau Pengendalian Bersama Entitas” akan

selalu terkait dengan investasi yang dilakukan oleh satu perusahaan dalam entitas

lainnya. Investasi ini bagaimanapun merupakan suatu strategi bisnis, namun pilihan

strategi investasi akan menentukan tingkat kepemilikan dan ini juga akan berpengaruh

pada pelaporan keuangan. Ada dua tipikal investor yaitu investor pasif dengan

persentase kepemilikan sahamnya pada perusahaan lain tidak signifikan dan investor

www.futurumcorfinan.com

Page 3

aktif, dengan memegang persentase kepemilikan saham yang cukup signifikan

sehingga berpengaruh signifikan atau bahkan pengendalian (atau pengendalian

bersama) atas perusahaan investee. Pengaruh signifikan ini menurut PSAK 15 (revisi

2009) diartikan sebagai kekuasaan untuk berpartisipasi (dan bukan menentukan atau

memiliki keputusan menentukan) dalam keputusan kebijakan keuangan dan operasional

investee.

Sementara itu, pengendalian didefinisikan sebagai memiliki kekuasaan untuk mengatur

(baca menentukan) kebijakan keuangan dan operasional suatu entitas untuk

memperoleh manfaat dari aktivitas entitas tersebut. Pengendalian bersama adalah

persetujuan kontraktual untuk berbagi pengendalian atas suatu aktivitas ekonomi,

dan ada hanya ketika keputusan keuangan dan operasional strategis terkait dengan

aktivitas tersebut mensyaratkan konsensus dari seluruh pihak-pihak yang berbagi

pengendalian (venturer).

Namun demikian, justru penting untuk dicermati adalah tingkat ketergantungan

operasional dan keuangan antara pihak investee dan pihak investor. Dari analisa tingkat

ketergantungan ini dapat saja diketahui bahwa pendapatan dividen tidak memberikan

gambaran ukuran yang sesungguhnya terkait laba yang dinikmati atau diperoleh oleh

pihak investor dari hubungan tersebut. Sebagai contoh, suatu perusahaan bisa saja

mengakuisisi perusahaan lainnya guna memperoleh akses ke pasar tertentu atau ada

hal-hal yang bisa disinergikan antara kedua perusahaan tersebut misalnya dari

industri yang sama atau masih terkait, atau bahkan untuk bisa mendominasi pasar.

Dengan kata lain, pendapatan dividen tidak selalu hal yang diharapkan oleh pihak

investor, tetapi lebih kepada profitabilitas atau rentabilitas dan kemampuan

mempertahankan pertumbuhan baik angka penjualan atau margin kotor atau laba.

Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa dalam kerangka International Financial

Reporting Standards (IFRS) dikenal beberapa istilah laporan keuangan.

IAS 27: Consolidated and Separate Financial Statements (atau sekarang Separate

Financial Statements sejak Mei 2011)

Consolidated financial statements are the financial statements of a group

presented as those of a single economic entity. Separate financial statements are

those presented by a parent, an investor in an associate or a venturer in a jointly

controlled entity, in which the investments are accounted for on the basis of direct

equity interest rather than on the basis of the reported results and net assets of the

investees.

www.futurumcorfinan.com

Page 4

Terjemahan: Laporan keuangan tersendiri adalah laporan keuangan yang disajikan oleh

perusahaan induk, investor dalam entitas asosiasi, atau pihak venturer dalam entitas

pengendalian bersama, dimana investasi tersebut dicatat berdasarkan direct equity

interest (artinya tidak memasukkan bagian atas laba dan perubahan pendapatan

komprehensif lain), dan bukan berdasarkan laba yang dilaporkan dan aset neto pihak

investee. Dengan kata lain, ini merupakan akun-akun yang tidak terkonsolidasi dari

para entitas.

Jadi laporan keuangan tersendiri adalah laporan keuangan yang disusun selain atau

sebagai tambahan atas:

• Laporan keuangan konsolidasi;

• Laporan keuangan di mana investasi dicatat menggunakan metode ekuitas;

• Laporan keuangan dimana bagian partisipasi venture dalam ventura bersama

dibukukan menggunakan metode konsolidasi proporsional.

Penting diperhatikan bahwa International Accounting Standards Board (IASB)

berpendapat bahwa kebutuhan pengguna laporan keuangan dipenuhi sepenuhnya

dengan mewajibkan perusahaan untuk [IAS 27.IN10, IAS 28.36]:

• Melakukan konsolidasi anak perusahaan;

• Mencatat investasi pada entitas asosiasi menggunakan metode ekuitas;

• Melakukan konsolidasi proporsional atau mencatat menggunakan metode

ekuitas atas bagian partisipasinya dalam ventura bersama berbentuk

pengendalian bersama entitas.

Dengan demikian, IFRS tidak mewajibkan penyusunan dan penyajian laporan keuangan

tersendiri. Dalam konteks Indonesia, PSAK 4 (revisi 2009) tentang Laporan Keuangan

Konsolidasi dan Laporan Keuangan Tersendiri pada halaman IV terkait “Perbedaan

dengan IFRS” menyebutkan bahwa:

IAS 27 mengizinkan investor dalam entitas asosiasi, venturer dalam ventura bersama,

dan entitas induk untuk menyajikan laporan keuangan tersendiri.

PSAK 4 hanya mengijinkan entitas induk yang dapat menyajikan laporan keuangan

tersendiri dan laporan keuangan tersendiri tersebut harus sebagai lampiran dalam

laporan keuangan konsolidasi.

Hal ini disesuaikan dengan konteks di Indonesia karena:

• Penyajian laporan keuangan tersendiri merupakan suatu pilihan, bukan

www.futurumcorfinan.com

Page 5

suatu keharusan bagi entitas pelapor.

• Suatu entitas sebagai investor dalam entitas asosiasi dan venturer dalam

ventura bersama dianggap tidak relevan untuk menyajikan laporan keuangan

tersendiri.

• Regulasi yang berlaku hanya mensyaratkan entitas induk untuk menyajikan

laporan keuangan tersendiri untuk pelaporan keuangan bertujuan umum

(general purpose financial reporting).

IAS 27 mengatur laporan keuangan tersendiri disajikan sebagai tambahan dari laporan

keuangan konsolidasi ATAU disajikan tersendiri.

PSAK 4 mengatur laporan keuangan tersendiri harus disajikan sebagai tambahan

(lampiran) dari laporan keuangan konsolidasi.

Jadi, dalam konteks PSAK di Indonesia, laporan keuangan tersendiri (separate financial

statements) hanya diterapkan dalam hal perusahaan induk menyusun dan

menyajikan laporan keuangan induk sebagai tambahan (lampiran) dari laporan

keuangan konsolidasi. Dengan demikian tidak dikenal laporan keuangan terpisah

bagi p e r u s a h a a n di l u a r perusahaan induk.

Mengikuti PSAK 4 (revisi 2009), diatur hal-hal sebagai berikut:

[Paragraf 35] Jika entitas induk menyusun laporan keuangan tersendiri sebagai

informasi tambahan, maka entitas induk tersebut mencatat investasi pada

entitas anak, pengendalian bersama entitas, dan entitas asosiasi pada:

(a) Biaya perolehan; atau

(b) Sesuai PSAK 55 (revisi 2006): Instrumen Keuangan: Pengakuan dan

Pengukuran.

[Paragraf 36] Entitas induk mengakui dividen dari entitas anak, pengendalian

bersama entitas, atau entitas asosiasi pada laporan laba rugi dalam laporan

keuangan tersendiri ketika hak menerima dividen ditetapkan.

[Paragraf 39] Investasi dalam pengendalian bersama entitas dan entitas asosiasi yang

dicatat sesuai dengan PSAK 55 (revisi 2006): Instrumen Keuangan: Pengakuan dan

Pengukuran dalam laporan keuangan konsolidasi dicatat dengan cara yang sama dalam

laporan keuangan tersendiri investor.

Dalam konteks PSAK di Indonesia, untuk investor, selain entitas induk, yang

mempunyai investasi pada entitas asosiasi dan venturer pada pengendalian bersama

entitas, tidak diperbolehkan menyajikan laporan keuangan tersendiri sebagai tambahan

www.futurumcorfinan.com

Page 6

atau lampiran dari laporan keuangannya. Dengan demikian:

• untuk laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh pihak investor

atas investasi atau penyertaan sahamnya dalam entitas asosiasi, akan

digunakan metode ekuitas; atau

• atau pihak venturer atas bagian partisipasinya dalam pengendalian bersama

entitas, menggunakan konsolidasi proporsional (atau metode ekuitas)1.

Ini berbeda dengan IFRS, di mana, berarti investor yang memiliki penyertaan saham

pada entitas asosiasi dan pengendalian bersama entitas, memiliki 2 (dua) pilihan.

Dengan demikian, pihak investor atau venturer menyusun dan menyajikan investasi pada

entitas asosiasi atau bagian partisipasinya pada pengendalian bersama enits

menggunakan direct equity interest, yaitu pada biaya perolehan atau sesuai IFRS 9 :

Financial Instruments2.

Di samping itu, pihak investor atau venturer tetap dapat menyajikan dalam laporan

keuangannya penyertaan saham atau investasi menggunakan metode ekuitas untuk

investasi pada entitas asosiasi atau pengendalian bersama entitas. Menilik lebih lanjut,

penerapan metode ekuitas, disebutkan menurut PSAK 15 (revisi 2009) tentang

Investasi pada Entitas Asosiasi, Pasal 08:

• Dalam metode ekuitas, investasi pada entitas asosiasi pada awalnya diakui

sebesar biaya perolehan dan jumlah tercatat tersebut ditambah atau

dikurang untuk mengakui bagian investor atas laba atau rugi investee setelah

tanggal perolehan.

• Bagian investor atas laba atau rugi investee diakui dalam laporan laba rugi

investor.

• Penerimaan distribusi dari investee mengurangi nilai tercatat investasi.

Dari pasal 08 di atas jelas, bahwa investasi pada entitas asosiasi pada awalnya diakui

sebesar biaya perolehan, dan jumlah ini akan mengalami perubahan, bisa berupa

1 Untuk pembahasan mendalam terkait ventura bersama (joint venture), bisa membaca buku

penulis berjudul: Ventura Bersama (Joint Venture): Panduan Akuntansi PSAK 12 (revisi 2009)/IAS 31 dan Interaksinya dengan Standar Akuntansi Lainnya. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. 2012. 2 Pada tanggal 2 Desember 2013, International Accounting Standards Board (IASB)

menerbitkan Exposure Draft

2013/10 Equity Method in Separate Financial Statements (Proposed amendments to

IAS 27), dimana diperkenalkan adanya pilihan bagi entitas untuk menyajikan investasi atau

bagian partisipasi dalam entitas anak, ventura bersama dan entitas asosiasi menggunakan

metode ekuitas dalam laporan keuangan terpisah. Lihat laman http://www.ifrs.org/Current-

Projects/IASB-Projects/IAS-27-Separate-Financial-Statements/Exposure-Draft- December-

2013/Pages/Exposure-Draft-and-Comment-letters.aspx.

www.futurumcorfinan.com

Page 7

penambahan atau bahkan pengurangan, guna mengakui bagian investor atas laba atau

rugi investee setelah tanggal perolehan (makanya ini disebut sebagai jumlah tercatat

dalam PSAK).

Berdasarkan hal-hal di atas, penulis beragumentasi bahwa kata-kata “….atau bagian

laba yang diterima atau diperoleh….” dalam pasal 4 ayat 3(f) UU PPh sama sekali tidak

dapat dikaitkan dengan “bagian investor atas laba atau rugi investee (atau ventura

bersama) yang dibukukan mengikuti metode ekuitas”, dengan argumentasi yang

dibangun dari penjelasan sebelumnya:

• Dalam hal pihak investor adalah entitas induk, maka investasi pada entitas

anak, entitas asosiasi atau pengendalian bersama entitas, hanya dimungkinkan

dicatat berdasarkan (i) biaya perolehan, atau (ii) sesuai PSAK 55 (revisi 2006):

Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran.

• Dalam hal pihak investor atau venturer bukan merupakan entitas induk,

maka investasi pada entitas asosiasi atau pengendalian bersama entitas,

disajikan menggunakan metode ekuitas. Penerapan metode ekuitas, mewajibkan

dividen dari pihak investee dibukukan mengurangi nilai tercatat investasi atau

bukan sebagai pendapatan dividen. Dengan demikian distribusi dividen itu jelas

bukan merupakan bagian dari akun “Bagian Investor atas Laba Bersih

Investee” yang disajikan di laporan laba rugi pihak investor dalam tahun

berjalan.

Selain itu, menyambung argumentasi di atas, kita tidak bisa membaca Pasal 4 ayat

(3) huruf f UU PPh secara berdiri sendiri, di luar pasal-pasal yang lain. Akun

“Investasi atau Penyertaan Saham” jelas merupakan suatu aset atau harta

perusahaan dan UU PPh secara implisit menganut prinsip bahwa harta diakui dan

dibukukan sesuai dengan harga perolehan. Pasal 9 ayat (2) UU PPh menyebutkan

bahwa pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang

mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan

sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau diamortisasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

Kalau ditarik analogi yang sama, walaupun tidak diatur secara spesifik dalam UU

PPh, investasi akan dilakukan pencatatan menggunakan harga perolehan, dan tidak

mengalami perubahan hingga dilakukan pelepasan, baik secara parsial atau secara

keseluruhan3. Ini juga berarti bahwa metode ekuitas (equity method) tidak pernah diakui

3 Lihat Surat Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia No. S-1563/PJ.22/1988

tanggal 7 Desember 1988 tentang Pajak atas Keuntungan Modal (Capital Gain).

www.futurumcorfinan.com

Page 8

dalam konteks perpajakan di Indonesia, sesuatu yang justru bertentangan dengan

PSAK dimana justru yang diakui untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan

pihak investor (kalau bukan entitas induk dan bukan disajikan dalam laporan keuangan

tersendiri), investasinya dalam entitas asosiasi dan pengendalian bersama entitas

adalah menggunakan metode ekuitas. Hal ini juga berarti metode biaya (cost

method) yang banyak disebutkan dalam buku-buku teks akuntansi keuangan lanjutan

tidak dikenal dalam ketentuan perpajakan di Indonesia.

Memperkenalkan konsep metode “biaya” justru menimbulkan interpretasi kembali, apa

yang dimaksud dengan “cost”. IAS 27 tentang Consolidated and Separate Financial

Statements yang menjadi dasar dari PSAK 4 (revisi 2009) tentang Laporan

Keuangan Konsolidasi dan Laporan Keuangan Tersendiri, sampai sekarang belum

terdapat suatu definisi umum atau penjelasan mengenai “cost” (yang diterjemahkan

dalam PSAK 4 (revisi 2009) sebagai “biaya perolehan”).

Sampai dengan bulan Mei 2008, IAS 27 menjelaskan bahwa metode “cost”

adalah “a method of accounting for an investment whereby the investment was

recognized at cost. The investor recognized income from the investment only to the

extent that the investor received distributions from accumulated profits of the

investee arising after the date of acquisition. Distributions received in excess of such

profits were regarded as a recovery of investment and were recognized as a

reduction of the cost of the investment.” [IAS 27.4 (2007)]. Hal ini konsisten

dengan ketentuan dalam IAS 18 tentang Revenue – yang memperlakukan

dividen dari laba sebelum akuisisi (pre-acquisition profits) sebagai

pengembalian dari investasi awal (return OF investment dan bukan return ON

investment). Ketentuan dalam IAS 27 (2007) menimbulkan permasalahan

karena bagaimana menginterpretasikan atau apa yang dimaksud dengan:

• arti “cost”; dan

• arti “laba…yang terjadi setelah tanggal akuisisi” dalam hal perlakuan

atas pendapatan dividen.

Sebagai konsekuensinya, IASB kemudian melakukan revisi atas IAS 27 pada tahun

2008 dengan meniadakan definisi atas metode cost secara keseluruhan, dan

menghapus dari IAS 18 ketentuan terkait dengan perlakuan atas dividen yang

diperoleh dari entitas anak. Sebaliknya, suatu entitas akan mengakui dividen dari

entitas anak, pengendalian bersama entitas atau entitas asosiasi [in profit or loss

– baik untung atau rugi posisinya] dalam laporan keuangan tersendiri ketika hak

www.futurumcorfinan.com

Page 9

untuk menerima dividen tersebut ditetapkan4 [IAS 27.38A].

Jadi, baik dalam IAS 27 tentang Consolidated Financial Statements and Separate

Finance Statements (atau sekarang Separate Financial Statements saja sejak bulan

Mei 2011) atau IAS 28 tentang Investments in Associates (atau sekarang

Investments in Associates and Joint Ventures sejak bulan Mei 2011), tidak terdapat

definisi mengenai apa yang dimaksud dengan “cost”5.

Bapak Iman Santoso, Partner Ernst & Young Indonesia dan dosen di Universitas

Indonesia dalam tulisannya berjudul “Sistem Pemajakan atas Dividen Berdasarkan

UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dalam UU Nomor 36 Tahun

2008” tertanggal 21 Juli 20096, menjelaskan bahwa sebagai berikut:

Dalam konteks pemajakan atas korporasi dan pemiliknya, UU Nomor 7 tahun 1983

sebagaimana diubah terakhir oleh UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang PPh

menganut classical system, dimana korporasi dipandang sebagai suatu entitas

terpisah (separate entity) dari pemiliknya sehingga baik korporasi tersebut maupun

pemegang sahamnya akan dikenakan pajak tersendiri. Konsekuensi penerapan sistem

klasikal ini adalah bahwa penghasilan yang bersumber dari korporasi (corporate

source income) akan dikenakan pajak dua kali yaitu pada tingkat korporasinya itu

sendiri dan pada tingkat pemilik/pemegang saham saat pendistribusian dividen.

Jadi, menilik sistem klasikal dalam Undang-Undang Perpajakan di Indonesia, yang

dikenal hanya pendistribusian dividen, dan “Bagian Laba Entitas Asosiasi atau

Pengendalian Bersama Entitas” untuk pihak investor atau pihak venturer, dan “Bagian

Laba Entitas Anak” untuk pihak entitas induk, menggunakan metode ekuitas sama

sekali tidak hadir dalam konteks perpajakan di Indonesia.

Di lain pihak, kalau memang munculnya kata-kata “…atau bagian laba yang diterima

4 Entitas akan diwajibkan untuk menentukan secara terpisah apakah telah terjadi atau tidak

investasi mengalami penurunan nilai akibat dari dividen [IAS 36 tentang Impairment of Assets (atau di Indonesia PSAK 48 (revisi 2009) tentang Penurunan Nilai Aset) telah diperluas dengan memasukkan trigger spesifik untuk review penurunan nilai akibat penerimaan dividen]. 5 Dalam suatu investasi, dikeluarkan juga biaya-biaya, yang umum dikenal sebagai “biaya

transaksi” (transaction costs). Menurut IFRS 3 tentang Business Combinations (atau PSAK 22 (revisi 2010) tentang Kombinasi Bisnis, biaya-biaya ini pada umumnya diakui sebagai beban tahun berjalan dalam laporan keuangan konsolidasi, dan tidak dimasukkan ke dalam “goodwill”. Menurut pengertian umum IFRS, “cost” ada juga yang memasukkan harga beli saham plus biaya-biaya lain yang secara langsung terkait dengan akuisisi, misalnya biaya profesional untuk jasa hukum, pajak pengalihan dan biaya-biaya transaksi lainnya. [lihat tulisan penulis yang membahas biaya-biaya terkait akuisisi bisnis berjudul PSAK 22 (revisi 2010) Tentang Kombinasi Bisnis: Biaya-Terkait Akuisisi Bisnis, yang dimuat dalam www.futurumcorfinan.com]. 6 Lihat laman http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=40&q=&hlm=1# (akses

tanggal 7 Januari 2014).

www.futurumcorfinan.com

Page 10

atau diperoleh….” merupakan penegasan atau pengulangan dari makna “dividen”

karena ini “kata yang relatif lebih mudah dipahami”, menurut penulis, malah

berlebihan, karena UU PPh sendiri sudah menganut paham dividen yang cukup luas.

Pasal 4 Ayat (1) huruf g UU PPh, dividen merupakan penghasilan yang secara tegas

disebutkan sebagai salah satu penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan.

Dividen yang dimaksud adalah

Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari

perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

koperasi.

Kata-kata “dengan nama dan dalam bentuk apapun” memberikan makna yang luas

bagi dividen yang misalnya tidak terikat pada nama dividen atau bentuk uang. Saking

luasnya dividen, juga dimasukkan apa dikenal sebagai “dividen terselubung” dalam

penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh.

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g kemudian memberikan penjelasan yang lebih rinci

lagi tentang dividen dimana diberikan contoh 11 (sebelas) bentuk dividen. Di sana,

ditegaskan bahwa dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham

atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang

diperoleh anggota koperasi.

Jadi tampak jelas bahwa dividen dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g sudah

dengan sendirinya mengartikan dividen sebagai bagian laba yang diperoleh…..

Pencantuman kata-kata “…atau bagian laba yang diperoleh atau diterima…” dalam

Pasal 4 ayat (3) huruf f menjadi terlalu “berlebihan (redundant)”, yang hemat penulis,

tidak diperlukan sama sekali, karena dividen adalah bagian laba itu sendiri, jadi tidak

perlu lagi diulang. Bahkan pengulangan ini bisa memberikan pengertian yang berbeda,

yaitu masuknya pengertian, yang bahkan menurut hemat penulis, mereka bukan

distribusi dividen sama sekali atau tidak terkait sama dividen, dalam hal ini, bagian

laba entitas asosiasi menggunakan metode ekuitas, dan bagian laba ventura bersama

berbentuk pengendalian bersama entitas.

Cadangan Laba Yang Ditahan

Kata-kata “laba yang ditahan” (retained earnings) dalam konteks PSAK di

Indonesia sudah lama tidak dipergunakan, dan diganti kata-kata “saldo laba”

sebagaimana tercantum dalam PSAK No.1 tentang Penyajian Laporan Keuangan (revisi

1998) yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1999. Pemahaman “Saldo

Laba” dalam PSAK pada umumnya merupakan saldo akumulasi laba atau rugi baik

www.futurumcorfinan.com

Page 11

pada awal periode atau akhir periode laporan keuangan, jadi ia merupakan saldo

pada tanggal laporan keuangan.

Menggunakan ilustrasi Laporan Perubahan Ekuitas yang terdapat pada PSAK 1

(revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan (halaman 1.60) di bawah ini,

tampak bahwa secara sederhana, saldo laba pada tanggal 31 Desember 20xx, yaitu

tanggal laporan keuangan, akan terdiri dari saldo laba pada awal tahun, ditambah atau

dikurang laba atau rugi bersih tahun berjalan, dikurang distribusi dividen hingga

diperoleh saldo laba akhir tahun. Artinya, dari tampilan tersebut, distribusi dividen

dapat berasal diambil dari laba tahun berjalan dan/atau saldo laba awal tahun.

Terkait pembagian atau distribusi dividen, Pasal 70 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur terkait

Penggunaan Laba, dijelaskan bahwa

(1) Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku

untuk cadangan.

(2) Kewajiban penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berlaku apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.

(3) Penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

sampai cadangan mencapai paling sedikit 20% dari jumlah modal yang

ditempatkan dan disetor.

(4) Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mencapai jumlah

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya boleh dipergunakan untuk

menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.

Pasal 17

(1) Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS.

(2) Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang

saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS.

(3) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan

apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.

www.futurumcorfinan.com

Page 12

Berdasarkan pasal-pasal di atas ditegaskan bahwa perusahaan dapat membagi laba,

dalam bentuk dividen, apabila perusahaan mempunyai saldo laba positif, yaitu apabila

laba bersih perseroan dalam tahun berjalan telah menutup akumulasi kerugian

perseroan dari tahun buku sebelumnya (Penjelasan Pasal 70 angka (2) terkait apa

yang dimaksud dengan “saldo laba yang positif”). Jadi di sini, pembagian dividen tidak

mesti diambil dari akun “saldo laba” (atau “laba ditahan” menurut UU PPh) pada tanggal

tertentu. Yang penting, laba bersih atau keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi

pajak lebih besar atau dapat menutupi [seluruh] akumulasi kerugian perusahaan

dari tahun buku sebelumnya.

Pencantuman kata “cadangan” sebelum “laba ditahan” juga menjadi tidak jelas.

Kata “cadangan” sendiri dalam UU PT memiliki maksud yang berbeda. Di sini penulis

mengutip dari www.legalakses.com terkait Penggunaan Laba Perusahaan

Perseroan Terbatas, dimana dijelaskan sebagai berikut.

Perusahaan Perseroan Terbatas (PT) wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba

www.futurumcorfinan.com

Page 13

bersih perusahaan pada setiap tahun buku. Penyisihan laba bersih itu bertujuan

sebagai dana cadangan. Laba bersih merupakan keuntungan tahun berjalan

perusahaan setelah dikurangi pajak. Kewajiban menyisihkan cadangan itu berlaku

apabila perusahaan mempunyai saldo laba positif. Penyisihan laba bersih dilakukan

sampai cadangan mencapai minimal 20% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor.

Apabila cadangan belum mencapai jumlah tersebut, maka hanya boleh digunakan

untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.

Cadangan yang demikian adalah cadangan wajib, yaitu jumlah tertentu yang

wajib disisihkan oleh perusahaan setiap tahun buku berjalan. Cadangan wajib dapat

digunakan untuk menutup kemungkinan kerugian perusahaan pada masa yang

akan datang. Cadangan wajib tidak harus berbentuk uang tunai, tapi bisa juga

berbentuk aset lainnya yang mudah dicairkan dan tidak dapat dibagikan sebagai

dividen. Cadangan lainnya adalah cadangan di luar cadangan wajib yang dapat

digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya perluasan usaha atau tujuan sosial.

Penggunaan laba bersih, termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk

cadangan, diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Seluruh laba

bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan dibagikan kepada pemegang

saham sebagai dividen – kecuali ditentukan lain dalam RUPS. Dividen hanya boleh

dibagikan apabila perusahaan mempunyai saldo laba yang positif.

Dari bacaan di atas, dapat diketahui bahwa perusahaan memiliki kewajiban melakukan

penyisihan cadangan, yaitu:

• Cadangan wajib, yang dapat digunakan untuk menutup kemungkinan

kerugian perusahaan pada masa yang akan datang; dan

• Cadangan lainnya di luar cadangan wajib, yang dapat digunakan untuk

berbagai keperluan, misalnya perluasan usaha atau tujuan sosial.

Dan terkait dividen, seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk

cadangan, dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen – kecuali ditentukan

lain dalam RUPS. Di sini pembagian dividen bukan malah ditentukan diambil dari

“cadangan laba yang ditahan”, sebagaimana ditentukan oleh UU PPh Pasal 4 ayat (3)

huruf f, tetapi malah justru sesudah dikurangi dengan cadangan. Mestinya UU PPh

tidak perlu lagi mengatur hal ini, yaitu bahwa dividen tersebut wajib diambil dari

“cadangan laba yang ditahan”, karena UU PT sendiri sudah mengatur bahwa

perusahaan dapat membagi laba dalam bentuk dividen apabila perusahaan mempunyai

saldo laba positif.

www.futurumcorfinan.com

Page 14

Bagian Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf f, juga tidak sesuai dengan ketentuan

batang tubuh UU PPh yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, karena disebutkan

bahwa:

Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah

dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas.

Dalam Penjelasan digunakan kata-kata “berasal dari laba setelah dikurangi pajak”,

namun dalam batang tubuh UU PPh, disebutkan “dividen yang berasal dari

cadangan laba yang ditahan”, dua hal yang sangat berbeda.

Lebih lanjut, pencantuman kata-kata bahwa dividen mesti berasal dari “cadangan laba

yang ditahan” dalam pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh tersebut menimbulkan pertanyaan

apakah dividen interim termasuk yang dikecualikan dari obyek PPh. Terdapat opini

bahwa dividen interim bukan merupakan pengecualian objek PPh, karena tidak

berasal dari “cadangan laba yang ditahan”, yaitu pembagiannya tidak sesudah

perusahaan melakukan “tutup buku” yaitu sesudahnya berakhirnya penyusunan laporan

keuangan untuk 1 (satu) tahun buku.

Menilik UU PT, sebagaimana diambil dari www.legalakses.com, sebagaimana dikutip

dibawah ini, yang pada intinya diambil dari Pasal 72 dan Pasal 73 UU PT.

Perusahaan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku berakhir –

sepanjang diatur dalam Anggaran Dasar. Pembagian dividen interim dapat dilakukan

apabila jumlah kekayaan bersih perusahaan tidak menjadi lebih kecil daripada

jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan wajib. Pembagian dividen

interim tidak boleh mengganggu jalannya perusahaan, atau menyebabkan perusahaan

tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditor. Pembagian dividen interim

ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh persetujuan Dewan

Komisaris. Jika setelah tahun buku berakhir ternyata perusahaan menderita rugi,

dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan kepada perusahaan

oleh pemegang saham. Dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan

dividen interim, Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung

renteng atas kerugian perusahaan.

Dividen yang tidak diambil setelah 5 tahun sejak tanggal yang ditetapkan untuk

pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus. Tata cara

pengambilan deviden yang telah dimasukan ke dalam cadangan khusus diatur oleh

RUPS. Dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus dan tidak diambil

dalam jangka waktu 10 tahun akan menjadi hak perusahaan.

www.futurumcorfinan.com

Page 15

Dari UU PT tampak bahwa dividen interim dimungkinkan dan pada intinya dividen

ini dibagikan ke para pemegang saham perseroan, dan setahu penulis, semua dividen,

apakah sebagai dividen interim atau dividen final, pada akhirnya akan disajikan di

laporan keuangan sebagai pengurangan akun “saldo laba”. Yang membedakan

dividen interim dan dividen final, pada dasarnya adalah saat distribusinya. Baik dividen

interim atau dividen final pada intinya ada persetujuan dari pihak pemegang saham.

Anggaran Dasar perseroan yang memberikan wewenang kepada dewan direksi dan

dewan komisaris untuk dapat mengumumkan dividen interim, adalah juga disetujui

oleh pemegang saham perseroan. Bagi penulis, dividen ya an sich dividen, apakah

mau dikasih judul “dividen interim” atau “dividen final”. Mestinya keduanya adalah

termasuk pengecualian dari objek PPh, sepanjang ada kepemilikan saham paling

rendah 25% dari jumlah modal yang disetor, dan dilaporkan sebagai penggunaan saldo

laba dalam laporan keuangan pihak investee.

~~~~~~ ####### ~~~~~~

www.futurumcorfinan.com

Page 16

Disclaimer

This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of

writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have

been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any

representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising

from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is

not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your

advisors for specific advice.

This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the

authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com

© FUTURUM. All Rights Reserved