militer dan politik keterlibatan purnawirawan militer...

90
MILITER DAN POLITIK Keterlibatan Purnawirawan Militer dalam Pilpres Era Reformasi (2004-2014) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh Salsabila Larasati NIM: 11141120000007 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 1441 H/2019 M

Upload: others

Post on 30-Apr-2020

26 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MILITER DAN POLITIK

Keterlibatan Purnawirawan Militer

dalam Pilpres Era Reformasi (2004-2014)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Salsabila Larasati

NIM: 11141120000007

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULAH

JAKARTA

1441 H/2019 M

v

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai purnawirawan yang masuk ke dalam dunia

politik setelah masa aktifnya di dunia militer dan keikutsertaan purnawirawan militer

dalam kontestasi politik yang dapat dilihat sejak tahun 2004, 2009, dan 2014. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang membuat purnawirawan militer

tertarik untuk memasuki dunia politik, dan mengetahui alasan mengapa

purnawirawan militer dapat kembali terpilih menjadi presiden pada tahun 2004.

Metode penelitian ini menggunakan studi pustaka dan wawancara yang dilakukan

dengan dua orang. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kekuatan

politik, pemilihan umum, dan suksesi politik.

Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah purnawirawan yang masuk

ke dalam politik dan ikut dalam kontestasi pilpres adalah Agum Gumelar, Susilo

Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo Subianto. Cara mereka masuk ke

dalam politik dan ikut pilpres hampir semua sama, yaitu dimulai dengan menjadi

menteri atau posisi tinggi negara lainnya. Kendaraan politik yang digunakan

purnawirawan militer melalui parpol untuk mencalonkan diri sebagai capres dan

cawapres pun beragam. Seperti Agum Gumelar, kemudian Wiranto dan Prabowo

yang juga bergabung dengan parpol. Berbeda dengan SBY yang membentuk

partainya sendiri. Setelah mengalami kekalahan, Wiranto dan Prabowo membentuk

partainya sendiri.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah purnawirawan militer masuk ke dunia

militer dengan berbagai alasan yang dibagi menjadi dua kategori, internal dan

eksternal. Purnawirawan militer juga dianggap sebagai solusi untuk memimpin

dengan latar belakang yang dimiliki tersebut.

Kata Kunci: Purnawirawan, Militer, Pemilihan Presiden, Politik, Partai Politik.

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi ini. Shalawat serta salam dicurakan kepada Nabi Muhammad SAW., rasul

yang telah membawa umatnya semua dari kegelapan pada masa yang terang

benderang hingga saat ini.

Skripsi yang berjudul Militer dan Politik: Keterlibatan Purnawirawan Militer dalam

Pilpres Era Reformasi (2004-2014) disusun dalam rangka memenuhi persyaratan

untuk mencapai gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penulis menyadari betul dalam penyusunan skripsi ini belumlah sempurna, dan masih

banyak kekurangan. Tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis

menyadari betul penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, selaku Rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

vii

2. Dr. Ali Munhanif, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Iding Rasyidin, M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Drs. Idris Thaha, M.Si, selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini.

6. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Ilmu Politik yang telah memberikan

ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama kuliah.

7. Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Agum Gumelar, M.Sc dan Drs. Andi Alfian

Mallarangeng yang telah menyempatkan waktunya untuk menjadi narasumber

wawancara dalam penelitian ini.

8. Ahmad Arsani dan Suprabawati Sunaryo selaku orang tua penulis serta Alisha

Janitra dan M. Hayel Raudha selaku adik yang selalu mendukung dan

mendoakan.

9. Keluarga Besar H. Ma’ruf bin Siung – Hj. Asmanah binti H. Usman dan

Keluarga Besar Sunaryo Sastrodiningrat – Sumarni.

10. Anisa Syifa Fauziah, Dian Fitria Hasanah, Tias Nofia Rofiqoh, Abduh

Suthadiwirya, Bagus Mauladanu, Faisal Darma, dan Teuku Tajul Muda

Lamkawan, sahabat yang telah menemani sejak masa sekolah.

11. Ahmad Faruq, Andre Kabakov Saputra, Chusnul Chotimah, Denny Rachmat

Ghaffari, Joko Lelono, M. Andhika Yusmana, M. Earvin Qushairy, M. Fariz,

viii

M. Reza Rizki, Oktavia Dwi Sucipto, Reni Rentika Waty, Robith Billah

Anshori, Rudi Saputra, yang sudah menemani sejak awal perkuliahan.

12. Nadya Nurul Milla, Berllyana Harintowati, yang sudah memberikan dukungan

penuh kepada penulis.

13. M. Jayakarta, Randy Andita, Shonyo Darmawan, dan sahabat PMII KOMFISIP

2014 lainnya.

14. Seluruh teman bimbingan skripsi, yang selalu mengingatkan.

15. Dan seluruh teman serta kerabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu

namun telah memberikan segala dukungan dan doa kepada penulis dalam

proses penyelesaian skripsi.

Tanpa adanya mereka, penulis tidak yakin penelitian ini dapat selesai dengan baik.

Penulis berterima kasih dengan sepenuh hati, semoga Allah SWT. membalas

kebaikan mereka. Namun demikian, penulis bertanggung jawab penuh atas segala

kekurangan dalam penelitian ini, kritik dan saran yang membangun sangat penulis

harapkan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 11 Oktober 2019

Salsabila Larasati

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ......................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .............................. ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................. ix

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xi

BAB I

PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Pernyataan Masalah .......................................................................... 1

B. Pertanyaan Masalah .......................................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 7

D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8

E. Metode Penelitian ............................................................................. 10

E.1. Jenis Penelitian ........................................................................ 10

E.2. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 11

E.3. Teknik Analisa Data ................................................................ 11

F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KONSEP ......................................................... 15

A. Kekuatan Politik ................................................................................ 15

A.1. Militer sebagai Kekuatan Politik ............................................. 16

A.2. Militer dalam Politik ................................................................ 18

B. Pemilu ............................................................................................... 22

B.1. Fungsi Pemilu .......................................................................... 24

B.2. Jenis Sistem Pemilu ................................................................. 25

B.3. Pilpres dalam UU .................................................................... 28

C. Suksesi .............................................................................................. 30

D. Partisipasi Politik .............................................................................. 32

x

BAB III

KARIER MILITER DAN POLITIK PURNAWIRAWAN MILITER ... 36

A. Agum Gumelar: Dari Kodam ke Gubernur Lemhanas ...................... 36

B. SBY: Ketua Fraksi ABRI yang Melaju ke Istana ............................. 38

C. Wiranto: Pangab RI dan Menkopolsuskam ...................................... 43

D. Prabowo: Panglima Kostrad menjadi Pengusaha ............................. 45

BAB IV

KETERLIBATAN PURNAWIRAWAN MILITER DALAM PILPRES

ERA DEMOKRASI ....................................................................................... 49

A. Pasca Militer ..................................................................................... 49

B. Pengalaman Kepemimpinan ............................................................. 54

B.1. Memiliki Bekal Kepemimpinan sejak Masa Pendidikan ........ 54

B.2. Mempunyai Pengalaman di Pemerintahan .............................. 55

B.3. Menjalankan Dwifungsi ABRI ................................................ 56

C. Pemilu ............................................................................................... 57

C.1. Proses menuju Pemilu ............................................................. 57

C.2. Tingkat Kepercayaan Masyarakat pada Purnawirawan

Militer ...................................................................................... 60

BAB V

PENUTUP ...................................................................................................... 69

A. Kesimpulan ....................................................................................... 69

B. Saran ................................................................................................. 70

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 72

xi

DAFTAR SINGKATAN

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

AKABRI : Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

AMN : Akademi Militer Nasional

Asintel Kasdam Jaya : Asisten Intelijen Kepala Staf Kodam Jaya

Asintel Kopassus : Asisten Intelijen Kopassus

Bakin : Bandan Koordinasi Intelijen Negara

Bakorstanasda : Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah

BI : Bank Indonesia

BIN : Badan Intelijen Negara

BPK : Badan Pemeriksa Keuangan

Capres : Calon Presiden

Cawapres : Calon Wakil Presiden

Dandim : Komando Distrik Militer

Danrem : Komandan Korem

Dispenad : Dinas Penerangan TNI AD

DKP : Dewan Kehormatan Perwira

DPD : Dewan Perwakilan Daerah

DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

FORKI : Federasi Karatedo Indonesia

GABSI : Gabungan Bridge Seluruh Indonesia

Gerindra : Gerakan Indonesia Raya

Golkar : Golongan Karya

Hankam : Pertahanan dan Keamanan

xii

Hanura : Hati Nurani Rakyat

HKTI : Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

HOR : Kehormatan

JK : Jusuf Kalla

KASAD : Kepala Staf TNI Angkatan Darat

Kasdam : Kepala Staf Daerah Militer

Kasdam Jaya : Kepala Staf Kodam Jaya

Kaster : Kepala Staf Teritorial

Kasospol : Kepala Staf Sosial Politik

Kodam : Komando Daerah Militer

KOPASSUS : Komando Pasukan Khusus

Koptamtib : Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

Korem : Komando Resor Militer

Korspri : Koordinator Staf Pribadi

Kostrad : Komando Strategis Angkatan Darat

KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi

KPU : Komsisi Pemilihan Umum

KSAD : Kepala Staf TNI Angkatan Darat

Latgab : Latihan Gabungan

Lemhanas : Lembaga Ketahanan Nasional

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MA : Mahkamah Agung

Mabes : Markas Besar

Menhan : Menteri Pertahanan

Menhankam : Menteri Pertahanan dan Keamanan

Menhub : Menteri Perhubungan

xiii

Menko : Menteri Koordinator

Menkopolkam : Menteri Koordinator Politik dan Keamanan

Menkopolsoskam : Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan

Mentamben : Menteri Pertambangan dan Energi

MK : Mahkamah Konstitusi

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

Orba : Orde Baru

PAN : Partai Amanat Nasional

Pangab : Panglima Angkatan Bersenjata

Pangdam Jaya : Panglima Kodam Jaya

Pangkostrad : Panglima Komando Strategis Angkatan Darat

Parpol : Partai Politik

PBB : Partai Bulan Bintang

PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa

PDI Perjuangan : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Pemilu : Pemilihan Umum

PEPABRI : Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI-POLRI

Pilpres : Pemilihan Presiden

PKB : Partai Kebangkitan Bangsa

PKPI : Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

PKS : Partai Keadilan Sejahtera

POLRI : Kepolisian Negara Republik Indonesia

PPP : Partai Persatuan Pembangunan

PSSI : Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia

Purn. : Purnawirawan

Puspassus AD : Pasukan Khusus Angkatan Darat

SBY : Susilo Bambang Yudhoyono

xiv

SD : Sekolah Dasar

Sesko TNI : Sekolah Staf dan Komando TNI

Seskoad : Sekolah Staf dan Komando TNI AD

SMA : Sekolah Menengah Atas

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SU MPR 1999 : Sidang Umum MPR 1999

TKR : Tentara Keamanan Rakyat

TNI : Tentara Nasional Indonesia

TNI AD : Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat

UNPKF : United Nation Peace Keeping Force

UU : Undang-undang

UUD : Undang-Undang Dasar

UUD Negara RI 1945 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Watimpres : Dewan Pertimbangan Presiden

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini membahas mengenai keikutsertaan purnawirawan militer dalam

ajang pilpres 2004, 2009, dan 2014. Pada 2004, saat pilpres pertama kali diadakan

dan dipilih langsung oleh rakyat, purnawirawan militer terpilih menjadi presiden

hingga dua periode. Periode selanjutnya, purnawirawan justru kalah dari sipil dalam

pilpres.

Keikutsertaan purnawirawan militer dalam kontestasi politik dapat dilihat sejak

putaran pertama pilpres pada 2004 yang diikuti oleh lima pasangan calon, yaitu;

pertama, Muhammad Amien Rais-Siswono Yudo Husodo; kedua, Hamzah Haz-

Agum Gumelar; ketiga, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi; keempat, Susilo

Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla; dan kelima, Wiranto-Salahuddin Wahid.1

Dari seluruh calon tersebut, ada tiga nama yang memiliki latar belakang militer,

yaitu, Agum Gumelar, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wiranto. Memasuki putaran

kedua terdapat dua calon yang bertahan, yaitu; pertama, Susilo Bambang

Yudhoyono-Jusuf Kalla dan kedua, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Pada

putaran ini, hanya SBY yang memiliki latar belakang militer.

Dalam pilpres 2009 terdapat tiga kandidat; pertama, Megawati Soekarnoputri-

Prabowo Subianto; kedua, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono; dan ketiga, Jusuf

1 Modul I Pemilih Untuk Pemula, https://www.kpu.go.id/ , h 44

2

Kalla-Wiranto.2 Dari tiga pasangan ini, yang memiliki latar belakang militer adalah

Prabowo, SBY, dan Wiranto.

Pada pilpres periode berikutnya, pasangan kandidat capres dan cawapres

adalah, pertama, Joko Widodo-Jusuf Kalla; dan kedua, Prabowo Subianto-Hatta

Rajasa.3 Di tahun 2014 ini, Prabowo merupakan satu-satunya yang memiliki latar

belakang militer.

Peran purnawirawan TNI dalam kegiatan politik telah memberikan

karakteristik baru pada pola relasi sipil–militer di Indonesia pasca reformasi. Hal ini

terkait dengan peran purnawirawan yang mampu menjadi jembatan komunikasi dan

peredam konflik antara politisi sipil dengan militer. Keterlibatan purnawirawan TNI

dalam politik praktis lebih didasarkan pada komitmen terhadap konstitusi dalam

membangun konsolidasi demokrasi, yang mana bukan mewakili kepentingan militer.

Argumentasi ini merupakan kritik terhadap beberapa studi sebelumnya yang

mengemukakan bahwa masuknya purnawirawan TNI ke dalam politik merupakan

bagian dari upaya institusi militer menguasai pemerintahan melalui mekanisme

demokrasi, atau disebut juga sebagai remiliterisasi.4

Kiprah militer dalam politik, khususnya dalam pemerintahan, bermula sejak

masa perebutan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Soeharto yang merupakan

2 Modul I Pemilih Untuk Pemula, http:/www.kpu.go.id/II, h 46

3 http:/www.kpu.go.id/

4 Aries S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi

Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 195-

230.

3

militer karier dan seorang jenderal menempatkan dirinya sebagai Presiden Kedua

Indonesia dan merupakan orang pertama dari kalangan militer.

Secara historis, keterlibatan militer secara langsung di dalam kehidupan

politik praktis pernah terjadi pada masa rezim pemerintahan Orde Baru. Di masa itu,

rezim autoritarian Soeharto melakukan politisasi militer demi menjaga dan

mempertahankan kekuasaannya. Alhasil, peran dan fungsi militer di masa itu lebih

banyak terlihat pada kehidupan politik praktis.5

Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi lembaga paling dipercaya oleh

masyarakat, sedangkan partai politik merupakan lembaga yang paling tidak dipercaya

publik. Menurut survey Charta Politika, yang dilaksanakan dari tanggal 23-26

Agustus 2018, dengan metode wawancara melalui telepon di delapan kota, yakni

Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan

Makassar, menjelaskan bahwa 73,5% responden memilih TNI, 73,4 % memilih KPK,

68,5 % Presiden, DPR 49,3 %, dan paling buncit partai politik. Sebanyak 45,8 persen

responden menyatakan partai politik sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya.6

Soeharto menjadikan militer sebagai kekuatan politik yang dominan. Pada masa

kepemimpinannya, militer mempunyai dua peran yang disebut dengan Dwifungsi

ABRI: fungsi pertama sebagai alat pertahanan negara dan kedua untuk mengatur

pemerintahan. Ada beberapa pernyataan bahwa elemen yang dapat mengatasi

ancaman pertahanan dan pembangunan nasional adalah dengan menyelaraskan

5 Al Araf, “Militer dan Politik”, http://www.imparsial.org/ pada 25 Januari 2016. 6 Ugo, “Survei Charta Politika: TNI Paling Dipercaya Publik”, https://www.cnnindonesia.com/

pada 28 Agustus 2018.

4

peranan ABRI yang tidak lagi hanya bergerak dibidang hankam tetapi bidang non-

hankam. Akibatnya, tak terhitung banyaknya anggota militer yang menjadi anggota

DPR RI, DPRD, gubernur, bupati, walikota, atau posisi lainnya dalam birokrasi

pemerintahan di Indonesia.

Banyaknya anggota militer yang duduk di kursi pemerintahan pada saat itu

menimbulkan dampak positif sekaligus negatif. Dampak positif ini cenderung banyak

dirasakan oleh para anggota militer yang mendominasi kursi pemerintahan di

Indonesia pada era Soeharto. Dampak negatifnya justru cenderung banyak dirasakan

oleh masyarakat Indonesia di mana mereka merasakan sistem pemerintahan Indonesia

saat itu berada dalam dominasi militer yang memicu banyaknya praktik kolusi,

korupsi, dan nepotisme.7

Para militer ini memiliki alasan mengapa akhirnya mereka memilih masuk ke

dalam dunia politik pasca purnanya dari tugas kemiliteran. Terdapat beberapa faktor

yang menyebabkan masuknya militer ke dalam ranah politik.

Pertama, purnawirawan masuk ke dalam politik praktis karena dianggap

menarik sebagai kader yang mumpuni. Ini disebabkan karena lemahnya kualitas

kader sipil yang direkrut oleh parpol sebelumnya.8

Kedua, purnawirawan militer sudah mendapatkan bekal dari semasa

pendidikannya, mereka sudah dibentuk pola pikir, sikap, dan tindakannya. Dalam

7 Sidratahta Mukhtar, Militer dan Demokrasi, (Malang: Intrans Publishing, 2017), h 40

8 Arie S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi

Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 199-

200

5

pembentukan karakter ini, mereka dididik dengan keras, yang melarang munculnya

pemikiran dan kepentingan pribadi yang bertentangan dengan Esprit deCorps.9

Karakter ini yang pada akhirnya melekat pada diri purnawirawan militer.

Karakter yang berorientasi pada kesetiaan dan pembangunan bangsa. Dalam masa

Pendidikan, purnawirawan militer pada saat itu dituntut untuk memiliki wawasan

politik. Mereka juga dibekali pengetahuan non-militer untuk menjalankan tugasnya

mengabdi pada bangsa dan negara. Pengetahuan non-militer ini memiliki tiga

perspektif, yaitu; perspetif sosiologis militer, membahas mengenai hubungan sosial

antara elit militer dengan masalah sosial budaya; perspektif perbandingan politik,

militer memiliki kekuatan dalam politik yang berperan dalam proses perubahan yang

direncanakan suatu negara; dan perspektif strategi dan ilmu hubungan internasional,

militer memiliki peran dalam menjalin hubungan antar bangsa sebagai dampak

perkembangan pemikiran strategis darinya.10 Ini yang diduga bisa mempengaruhi

keputusan untuk masuk dalam politik.

Ketiga, setelah selesainya tugas kemiliteran, purnawirawan melepaskan status

kemiliterannya dan kembali menjadi sipil. Sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2004

yang mengatur kedudukan purnawirawan sebagai warga yang memiliki hak sama

dengan warga negara sipil lainnya dalam hal kebebasan berpolitik.

9 Esprit de corps merupakan pemikiran yang mempengaruhi kinerja kelompok membentuk

kesetiaan dan perasaan yang menyatukan anggota kelompok.

Webmaster, “Kepemimpinan Moral Kerja dan Esprit de Corps”, http://fe.unpad.ac.id/, pada Rabu, 24

April 2013 10 Nurhasanah Leni, “Keterlibatan Militer dalam Kancah Politik di Indonesia”, Jurnal TAPIs,

Vol. 9, No.1 Januari-Juni 2013

6

Keempat, usia pensiun, keinginan kekuasaan, dan kegiatan pasca-pensiun dari

dunia militer. Tidak adanya aturan mengenai Batasan waktu yang jelas terhadap

purnawirawan hingga mereka dapat berpolitik membuat purnawirawan leluasa kapan

saja untuk terjun kedalam politik. Sejumlah purnawirawan seolah telah menemukan

kendaraan baru bagi mereka untuk mengekspresikan dirinya setelah masa

komandonya usai dengan masuk kedalam dunia politik.11

Kelima, purnawirawan sempat mengalami masa-masa Dwifungsi ABRI,

menjadi latar belakang dari masa dinas aktif masing-masing purnawirawan.

Terlibatnya purnawirawan dalam politik sejak masih berdinas aktif di militer telah

membiasakan purnawirawan untuk melihat bahwa politik juga merupakan panggilan

tugas bagi dirinya sebagai prajurit militer. Jika purnawirawan TNI terbiasa pada

ranah politik, maka masuk politik praktis merupakan satu kelanjutan karir yang

wajar.12

Keenam, adalah adanya organisasi purnawirawan militer, yakni PEPABRI.

Merupakan organisasi yang menaungi purnawirawan TNI setelah purna tugas.

Organisasi ini pada praktiknya menyalurkan aspirasi sebagian purnawirawan TNI.

Meski tetap berkomitmen terhadap pengabdian kepada bangsa dan negara.13

PEPABRI juga memberikan dukungan kepada anggotanya yang terlibat dalam politik

11 Arie S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi

Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 200

12 Ibid., h 200-201

13 Ibid., h 201-202

7

nasional. Hal tersebut membuktikan bahwa para purnawirawan masih dekat dengan

institusinya setelah mereka pension.14

Dalam hal ini, apakah konsepsi diri dan doktrin militer menunjukan karakter

tentara politik perlu dikaji. “Tentara politik” menganggap keterlibatan dalam,

atau kontrol atas, politik domestik serta pemerintahan adalah bagian utama

dari fungsi sah mereka. Mereka biasanya juga mempunyai identifikasi yang kuat

dengan nasib bangsa dan nilai-nilai landasan negara, sangat menekankan keteraturan,

persatuan, dan pembangunan, serta melihat “intervensi” atas nama kepentingan

nasional masih sejalan dengan misi historis mereka.

B. Pertanyaan Masalah

Agar pembahasan tidak melebar, penulis merumuskan masalah dalam bentuk

pertanyaan, yakni:

1. Apa yang menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat begitu tinggi

kepada calon presiden dari militer?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas, tujuan yang ingin

penulis capai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

14 Joko Panji Sasongko, Politik Militer (Studi Kasus Persepsi Sipil terhadap Partisipasi Politik

Purnawirawan di Indonesia Pasca Reformasi), (Skripsi S1 Universitas Gadjah Mada, 2014), h 4-5

8

1. Mengetahui faktor apa yang membuat purnawirawan militer tertarik untuk

memasuki dunia politik.

2. Mengetahui alasan mengapa purnawirawan militer dapat kembali terpilih

menjadi presiden pada tahun 2004.

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa buku, jurnal, dan skripsi yang penulis baca untuk menunjang

bacaan dan acuan penulis untuk membuat penelitian ini mengenai bahasan tentang

politik dan militer.

Pertama, karya dari Ahmad Yani Basuki15 berisi mengenai reformasi internal

dan refungsionalisasi peran TNI telah dilaksanakan dengan pola yang gradual,

terprogram, dan berlanjut. Proses ini didorong oleh kesadaran kalangan internal dan

eksternal TNI untuk memposisikan TNI secara tepat dalam tatanan kehidupan

nasional sehingga dapat lebih fungsional bersama fungsi-fungsi atau komponen-

komponen bangsa lainnya. Berdasarkan indikator yang ada, reformasi internal TNI

juga dapat digolongkan sebagai proses mundurnya militer dari politik secara

profesional. Ini juga telah membawa banyak perubahan, baik dari aspek struktur,

kultur, maupun doktrin, sehingga menjadikan TNI lebih fungsional baik bagi internal

TNI, negara, maupun masyarakat. Dalam jurnal Dni juga disebutkan bahwa masih

relevannya gagasan fungsionalis Robert K. Merton dan Talcott Parsons dalam

15 Ahmad Yani Basuki, “Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer

dalam Masyarakat”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, (Juli 2014).

9

membaca tranformasi struktural pada masyarakat, atau setidaknya sebagian

komponen masyarakat.

Kedua, karya Yuddy Chrisnandi16 membahas mengenai kuatnya desakan dari

masyarakat yang tidak lagi menginginkan militer berpolitik dan menuntut

dihapuskannya dwifungsi ABRI pasca reformasi 1998, ternyata mampu melahirkan

reformasi di tubuh TNI. Desakan ini, sejalan dengan mulai tumbuhnya kesadaran di

internal militer yang memandang perlunya redefinisi peran ABRI, agar tidak lagi ikut

campur masalah politik. Buku ini mengutip teori hubungan sipil-militer dari Larry

Diamond dan Marc. F. Plattner yang menyebutkan bahwa hubungan sipil-miiter

terbaik akan ditemukan dalam sebuah negara, ketika otoritas sipil mampu

memenangkan perselisihan kebijakan dengan militernya. Di sisi lain, kondisi

hubungan sipil-militer di Indonesia pasca pemerintahan Soeharto malah menunjukkan

model baru hubungan sipil-militer, yang lebih tepat disebut equal-controllable

relations (hubungan-hubungan yang seimbang dan terkendali). Hubungan sipil-

militer seperti yang dipraktikan oleh kepemimpinan pasca Soeharto ternyata

melahirkan kendali sipil atas militer yang masih semu dan tiak mutlak, meskipun jauh

lebih baik dari masa sebelum reformasi.

16 Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia,

(Jakarta: LP3ES. 2005).

10

Ketiga, karya Hadi Nafis Kamil17 membahas mengenai lemahnya institusi

negara yang dikelola oleh para politisi sipil yang akhirnya menjadikan militer mudah

kembali masuk kedalam politik. Politisi sipil juga tidak memiliki posisi tawar yang

kuat dengan militer. Militer saat ini tidak menyumbang secara signifikan terhadap

konsolidasi demokrasi di Indonesia. Militer tidak mau dikoreksi disatu sisi dan

lemahnya posisi politik elit sipil yang berkuasa, baik di parlemen maupun eksekutif,

dihadapan TNI. Oleh karena itu sebagai kekuatan politik dari rezim lama, TNI tetap

menjalankan watak otoriternya dengan pola terror, intimidasi, kekerasan atau

pengintaian untuk menundukkan kekuatan politik lain atau massa rakyat. Posisi

militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan

gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok

dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi militer atau angkatan bersenjata

merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim jika memang disepakati dalam

sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan

dengan perlindungan negara demi memprokteksi masyarakat dari ancaman fisik.

E. Metode Penelitian

E.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif

deskriptif. Metode tersebut menjelaskan bahwa mengungkapkan masalah dengan cara

17 Hadi Nafis Kamil, “Militer dan Kekuatan Politik: Studi tentang Keterlibatan TNI dalam

Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”, (Skripsi S1 Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2009)

11

menggambarkan atau memaparkan dari penelitian.18 Penelitian ini menggunakan

teknik pengumpulan data, yaitu studi lapangan dengan metode wawancara mendalam

dengan subjek penelitian, dan dokumentasi.

E.2. Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:

a. Wawancara

Wawancara yang digunakan adalah (in-depth interview), dimana proses

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab

sambil bertatap muka antara pewawancara dan orang yang diwawancarai.19

Peneliti melakukan wawancara secara langsung dengan Andi Malaranggeng

sebagai Juru bicara Kepresidenan periode 2009-2014 dan Agum Gumelar

sebagai calon Presiden dalam Pemilu 2004.

b. Studi Literatur

Studi literatur adalah cara untuk mengumpulkan data dengan melakukan cara

dengan menelusuri sumber-sumber tulisan yang pernah dibuat sebelumnya,

seperti jurnal-jurnal, skripsi, buku-buku yang berkaitan dengan tema

Keterlibatan Purnawirawan Militer dalam Pilpres Era Reformasi 2004-2014.

E.3. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan Teknik analisis deskripstif yang

bertujuan memberikan gambaran suatu masyarakat tertentu atau gambaran tentang

18 Winarno S., Pengantar Penelitian Ilmilah Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsiti,

1989), h 138.

19 H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, (Surakarta: UNS Press, 2006), h 27

12

peristiwa. Data kualitatif ini langsung dari pendapat orang-orang yang telah

berpengalaman, pandangan serta sikapnya, dokumen-dokumen. Penelitian deskripstif

merupakan penelitian untuk mengeksplorasi dan mengklasifikasikan suatu fenomena

sosial, dengan mendeskripsikan variable yang berkenaan dengan masalah yang

diteliti.20

Dalam penelitian ini data-data tersebut dianalisis berdasarkan teori kekuatan

politik, teori pemilihan umum, dan teori suksesi, yang kemudian dari hasil analisis

data tersebut dapat ditarik kesimpulan.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif.

Pendekatan ini menekankan pada penjelasan deskriptif terhadap permasalahan yang

sedang diteliti. Penelitian deskriptif ini untuk memberikan penjelasan mengenai suatu

permasalahan sosial yang menjadi objek penelitian.

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini peneliti menggunakan sistem

wawancara dengan Purnawirawan uga menggunakan penelitian yang suda ada seperti

bersumber dari buku skripsi, tesis, jurnal, dan artikel.

Peneliti menganalisis data yang sudah terkumpul dan dikorelasi dengan teori

yang sesuai pada penelitian ini.

20 Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press,

2006), h 14.

13

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, secara umum terbagi menjadi lima bab, yang

secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

Bab I membahas mengenai purnawirawan yang masuk ke dalam dunia politik

setelah masa aktifnya di dunia militer. Faktor yang menjadikan para purnawirawan

ikut kontestasi dalam pilpres dan yang menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat

begitu tinggi kepada calon presiden dari militer.

Bab II mencakup teori kekuatan politik, pemilihan umum, dan suksesi politik.

Ketiga teori ini digunakan untuk melihat keterlibatan purnawiraan militer dalam

dunia politik, khususnya dalam pencalonan presidan dan wakil presiden pada era

demokrasi (2004-2014).

Bab III berisi tentang profil dari purnawirawan militer yang mencalonkan

dirinya menjadi capres dan cawapres pada 2004-2014. Masa saat di militer dan

setelah di militer, dan proses bagaimana Agum Gumelar, Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY), Wiranto, dan Prabowo Subianto memasuki dunia politik hingga

mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Bab IV membahas bagaimana proses para purnawirawan militer terjun ke dunia

politik setelah selesainya masa tugas dan ramai-ramai mencalonkan diri sebagai

capres dan cawapres pada tahun 2004, 2009, dan 2014. Kemudian apa yang

menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat tinggi dengan capres atau cawapres

yang memiliki latar belakang militer.

14

Bab V menyimpulkan bahwa purnawirawan militer masuk ke dunia politik

dengan alasan, yaitu karena purnawirawan memiliki bekal kepemimpinan sejak masa

pendidikan, mempunyai pengalaman di pemerintahan, dan terbukti mampu

menjalankan dwifungsi ABRI.

15

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini membahas mengenai teori kekuatan politik, pemilihan umum, suksesi,

dan partisipasi politik. Keempat teori ini digunakan untuk mengupas keterlibatan

purnawiraan militer dalam dunia politik, khususnya dalam pencalonan presidan dan

wakil presiden yang diselenggarakan pasca Orde Baru. Beberapa purnawirawan

militer mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres pada pilpres 2004, 2009, dan

2014. Mereka dipilih langsung oleh rakyat.

A. Kekuatan Politik

Purnawiraan militer dapat dikategorikan sebagai kekuatan politik. Mereka yang

sudah selesai dari masa jabatannya di militer, otomatis menjadi sipil. Mereka bukan

lagi disebut militer. Mereka adalah sipil yang memiliki latar belakang militer. Maka

dari itu, mereka dapat dikategorikan sebagai kekuatan politik.

Kekuatan politik merupakan suatu usaha mempengaruhi proses pembuatan dan

perumusan keputusan politik dengan sumber kekuatan yang dimiliki, dan

mengakibatkan keputusan politik yang dibuat pemerintah menguntungkan suatu

kelompok tertentu. Kelompok sosial mulai mempengaruhi suatu keputusan jika

keputusan yang dibuat menyangkut kepentingan (interest) mereka.

Hal ini dilakukan suatu kelompok untuk mempengaruhi keputusan politik

dengan berbagai upaya. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengerahkan segala

sumber kekuasaan (power) yang dimiliki dan melalui saluran-saluran yang tersedia

16

seperti yang dianggap paling efektif. Kelompok yang dianggap memiliki kekuatan

politik adalah jika kelompok tersebut mampu melakukan tawar menawar,

mengerahkan sumber kekuasaannya secara maksimal dan memilih saluran yang tepat

sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi/kepentingan mereka.1

Ada beberapa kelompok yang dapat disebut sebagai kekuatan politik, yaitu:

militer, pengusaha, mahasiswa, pers, parpol, buruh, intelektual/cendekiawan, agama,

LSM, birokrasi, dan civil society.

Beberapa kelompok yang memiliki kekuatan politik kontemporer muncul

sebagai militer, pemuda, mahasiswa, kaum intelektual dan golongan pengusaha, serta

kelompok penekan lain dalam perubahan besar sosial, politik, dan ekonomi.

Perubahan ini bukan hanya menimbulkan pengaruh yang mendalam, tetapi juga

dalam perkembangan sosial, politik, dan ekonomi.

Militer sebagai sebuah organisasi yang mempunyai sumber kekuatan yang

bersinergi dengan negara berkewajiban atas keamanan dan kenyamanan dalam bidang

sosial, ekonomi, dan politik. Dengan sumber kekuatannya, militer telah menjelma

sebagai salah satu kekuatan dalam negara.2

A.1 Militer sebagai Kekuatan Politik

Keterlibatan militer dalam politik senantiasa mengalami pasang surut. Bilveer

Singh menyebutkan bahwa keterlibatan militer dalam bidang non-militer (politik)

1 Haniah Hanafie, Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik, (Depok: Rajawali Press,

2016), h 14 2 Hadi Nafis Kamil, “Militer dan Kekuatan Politik: Studi tentang Keterlibatan TNI dalam

Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”, (Skripsi S1 Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2009)

17

disebabkan oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal tersebut

terdiri dari nilai-nilai dan orientasi para perwira militer, baik secara individu maupun

kelompok, serta kepentingan-kepentingan material korps militer.

Hampir semua negara di dunia mempunyai militer sebagai pertahanan negara.

Di sebagian negara, militer ikut memegang kekuasaan dan sebagian lagi hanya

sebagai penjaga keamanan. Khusus, di beberapa Negara Sedang Berkembang, militer

biasanya berkuaasa dan terlibat dalam politik. Contohnya Indonesia Masa Orde Baru,

Thailand, Brazil, Myanmar, dan beberapa negara Afrika. Salah satu faktor

pendukungnya adalah kepemilikan senjata oleh militer. Dengan senjata, militer dapat

melakukan kudeta dan meraih kekuasaan. Oleh karena itu, militer dipandang sebagai

salah satu kelopok yang memiliki kekuatan politik.3

Fungsi militer untuk menjaga kestabilan politik, sebagaimana dikatakan Taufik

Abdullah bahwa: “Salah satu ciri utama dari pemerintahan yang didominasi oleh

militer adalah keinginan untuk mendapatkan kestabilan politik. Tidak satupun dari

mereka yang tidak meletakkan kestabilan politik sebaga program pokok. Bahkan

munculnya dominasi militer adalah justru untuk menciptakan situasi yang stabil itu”.4

Dengan demikian, tugas militer hanya dititik beratkan pada persoalan keamanan

dan pertahanan suatu negara. Apabila negara dengan sistem pemerintahan

demokratis, maka persoalan keamanan internal diserahkan kepada kepolisian.

Sedangkan keamanan eksternal diberikan kepada militer.

3 Haniah hanafie, Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik, h 28

4 Ibid., h 29

18

Civil society adalah sebuah masyarakat, baik secara individual maupun secara

kelompok dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara independent.

Menurut Eisenstadt, masyarakat memiliki komponen tertentu sebagai syarat adanya

civil society. Terdapat empat komponen tersebut; otonomi; akses masyarakat terhadap

Lembaga negara; arena publik yang otonom; dan arena publik yang terbuka.5

Civil society mempersyaratkan adanya organisasi sosial dan politik yang

memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Organisasi sosial dan politik tersebut harus

memiliki kemandirian yang menyangkut derajat rekrutmen yang mereka miliki

ataukah derajat aktivitas yang memungkinkan mereka mengisi ruang yang tersedia di

antara negara dan rakyat. Barangkali, di antara organisasi sosial dan politik yang

patut dicatat yang memiliki kemandirian cukup tinggi adalah organisasi yang

termasuk

A.2 Militer dalam Politik

Keterlibatan militer dalam politik, dapat ditentukan oleh bentuk pemerintahan

sipil yang ada di suatu negara. Terdapat tiga bentuk pemerintahan sipil, yaitu:

a. Model tradisional. Model ini memperlihatkan tidak ada perbedaan antara

sipil dan militer, meskipun peran mereka berbeda. Keduanya memiliki pandangan

yang sama, yaitu mempertahankan kekuasaan. Contoh model ini adalah pemerintahan

Feodal di Eropa abad 17 dan 19 di mana para aristrokrat kalangan sipil dan militer

mendukung kekuasaan yang ada. Untuk saat ini, meskipun kekuasaan feodal semakin

pudar ditambah lagi tampilnya kelompok sipil yang memegang kekuasaan,

5 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h 226-228

19

tampaknya model semacam ini masih ada. Kelompok militer dianggap sebagai

kelompok yang berperan di bidang profesinya (militer profesional).

b. Model liberal. Model ini adalah model yang menunjukkan pemerintahan

yang sudah maju dan relatif stabil, pembagian tugas antara sipil dan militer jelas.

Pemegang kekuasaan adalah sipil, sedangkan militer adalah posisi sebagai penjaga

keamanan. Di sini posisi militer dibawah kendali sipil.

c. Model serapan. Pemerintahan dikendalikan sipil, pihak sipil berusaha

menempatkan orang-orang sipil di tubuh militer, sehingga mudah dikendalikan.

Model semacam ini ditemui di negara komunis. Hal ini berkaitan dengan ideologi

yang diusung kelompok sipil.6

Selain yang dikemukakan di atas, berikut ini juga memperlihatkan model

pemerintahan militer yang dikemukakan Nordlinger, yaitu:

1. Model pretorian, dalam model ini, pihak sipil masih memegang kekuasaan,

tetapi di bawah kendali militer, sehingga semua keputusan politik

dipengaruhi oleh militer7

2. Pengawal pretorian, dalam model ini, militer telah mengambil alih

pemerintahan sipil, tetapi tidak dalam waktu lama. Militer hanya sebagai

pengawal, apabila pihak sipil sudah dianggap mampu memerintah, maka

6 Eric Nordlinger, Militer dalam Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h 18-19.

7 Ibid., h 32

20

akan dikembalikan. Dalam pemerintahan ini, pihak milter tidak bersikap

otoriter, pers dan berserikat diberi kebebasan, tapi tetap dikontrol.8

3. Penguasa pretorian, pada model ini, militer menguasai pemerintahan, dan

bersikap otoriter. Seluruh bidang kehidupan dikuasai dan dikontrol militer.9

Meskipun naluri militer ingin terjun ke bidang politik, tetapi tergantung pada

beberapa faktor, yaitu antara lain: latar belakang terbentuknya militer, situasi kondisi

masyarakat dan sistem pemerintahan.

Menurut Talcot Parson dalam Arif Yulianto, terdapat tiga hal yang

menyebabkan Militer terlibat dalam politik, yaitu:

1. Kelemahan struktural atau disorganisasi.

2. Adanya kelas-kelas yang cenderung terpecah belah dan tidak mampu

melancarkan aksi terpadu, termasuk kelas menengah yang secara politik

impoten.

3. Rendahnya tingkat aksi sosial dan mobilisasi sumber-sumber materiil.10

Persoalan disorganisasi, tak dapat dipungkiri, mengingat militer memiliki

kelebihan daripada kelompok lain (sipil), yaitu kedisiplinan, sentralisasi sistem

komando, disiplin tinggi, sehingga organisasi militer lebih solid dan mampu

mengorganisir dengan baik, apabila militer tampil sebagai penguasa. Dengan

8 Ibid., h 35

9 Ibid., h 38 10 Haniah Hanafie, Ana Sabhana Azmy, Kekuatan-Kekuatan Politik, (Depok: Rajawali Press,

2018), h 32

21

kerapuhan secara struktural yang dialami masyarakat, maka titik kelemahan ini,

menarik militer untuk tampil melakukan intervensi politik.

Heterogenitas dalam masyarakat, baik dari segi ideologi, pendidikan, status

ekonomi, agama, budaya bisa menyebabkan friksi-friksi. Apabila perbedaan-

perbedaan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai suatu kekuatan untuk bersatu, maka

akan mengundang militer tampil ke gelanggang politik, karena militer merasa

terpanggil untuk menjaga kestabilan politik. Hal ini dilakukan militer dengan

berperan menjadi penengah atau pemrakarsa dan akhirnya terjun langsung mengambil

alih kekuasaan, karena kelompok-kelompok kelas menengah dianggap tidak mampu

menjadi agen perubahan.

Suatu pemerintahan yang tidak mendapat legitimasi dari masyarakat, maka

dapat menimbulkan konflik. Konfik akan terus berlarut dan masyarakat tidak mampu

melakukan aksi-aksi sosial, serta memobilisasi sumber-sumber materiil, maka militer

akan melihat ini sebagai suatu peluang untuk melakukan intervensi. Dengan

organisasi yang rapuh, konsolidasi kurang dan ditunjang dengan ketiadaan sumber-

sumber materiil, maka masyarakat tidak akan mampu menandingi militer. Kondisi

semacam ini sangat kondusif bagi militer unuk mengambil alih kekuasaan (kudeta).

Menurut Amos Perlmutter, kudeta yang dilakukan militer pada saat rezim

dalam kondisi rawan, tidak selalu dilakukan tentara secara sendirian, melainkan

berkolaborasi dengan partai-partai yang kuat. Kondisi tersebut sengaja dimanipulasi

oleh kekuatan politik yang terorganisir (contoh: Cina, Uni Soviet), termasuk tantara

di dalamnya.

22

Motivasi politik tentara untuk terjun kedalam politik memang sudah ada pada

rezim-rezim yang kekuasaannya mengalami kemunduran. Naluri militer untuk terjun

ke politik dan kondisi pemerintahan yang tidak demokratis, adalah dua faktor yang

mempengaruhi motivasi militer untuk melakukan kudeta. Menurut Amos Perlmutter,

Militer melakukan kudeta apabila:

a. Tentara merupakan kelompok yang kohesif dan secara politik terorganisir

paling baik pada suatu saat tertentu dan suatu sistem politik.

b. Apabila tidak ada kelompok oposisi yang relatif lebih kuat (contoh tentara

Turki 1961-1963 tidak berani melakukan intervensi, karena kapastas partai

politik sangat kuat).

B. Pemilu

Pemilu (dalam bahasa Inggris disebut general election atau biasanya disingkat

saja dengan election) merupakan mekanisme memilih pemimpin yang akan

menduduki jabatan politik strategis tertentu di dalam lembaga-lembaga politik

formal, yaitu lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di tingkat pusat dan daerah.

Istilah pemilu dalam studi politik di Indonesia identik dengan pemilihan dari mulai

Pemilihan Presiden sampai dengan Pemilihan Kepala Daerah (Bupati atau

Walikota).11

11 Ikhsan Darmawan, Mengenal Ilmu Politik, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2015), h

144

23

Pemilu menurut Ibnu Tricahyo dikutip oleh Efriza dan Yoyoh, pemilu

merupakan instrument mewujudkankedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk

pemerintahan yang abash serta sarana mengartikulsikan aspirasi dan kepentingan

rakyat.12

Menurut Huntington, pemilu sebagai media pembangunan partisipasi politik

rakyat dalam negara modern. Partisipasi politik merupakan arena seleksi bagi rayat

untuk mendapatkan jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan.13

Menurut Joseph Schumpeter, pemilu merupakan sebuah arena yang mewadahi

kompetisi (kontestasi) antara actor-aktor politik yang meraih kekuasaan partisipasi

politik rakyat untuk menentukan pilihan serta liberalisasi hak-haksipil dan politik

warga negara.14

Pemilu merupakan instrumen dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam

pemilu dibutuhkan aturan-aturan yang spesifik. Pemilu merupakan cara

didapatkannya legitimasi atas kekuasaan bagi rezim dalam memerintah.

Reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibuka

kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk

mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam pemilihan umum

1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai. Kedua, pada pemilihan

presiden dan wakil presiden secara langsung, sebelumnya presiden dan wakil

12 Efriza, Yoyoh Rohaniah, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik, (Malang:

Intrans Publishing, 2015), h 439

13 Ibid., h 440 14 Ibid., h 440

24

presiden dipilih melalui MPR. Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru,

yaitu DPD yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat,

diadakan electoral threshold.15 Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, partai

politik harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan

atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.16

B.1 Fungsi Pemilu

Secara umum, pemilu berfungsi sebagai alat atas mekanisme rakyat sebuah

negara atau wilayah untuk memilih pemimpin. Pemilu dapat dikatakan pula berfungsi

sebagai cara pengambilan keputusan tentang siapa yang akan memerintah warga

negara. Di samping fungsi utama itu, pemilihan umum juga memiliki fungsi-fungsi

lain. Leduc et.al. menyebutkan bahwa pemilihan umum berfungsi juga untuk

membentuk agenda kebijakan ke depan, memilih wakil-wakil, menentukan komposisi

di parlemen, dan memengaruhi distribusi kekuasaan di pemerintahan.17

Tak hanya itu, fungsi dari pemilu juga tak dapat dilepaskan dari sistem politik

apa yang diterapkan di sebuah negara. pemilu di negara yang demokratis jelas

berbeda bila dibandingkan dengan negara yang tidak demokratis. Dalam negara yang

demokratis, pemilu berfungsi sebagai legitimasi sebenarnya dari rakyat terhadap

pemerintahan terpilih hasil pemilu. Siapa yang menang dalam sebuah pemilu artinya

mayoritas rakyat mendukung pemenang tersebut. Dalam bahasa lain, juga dapat

15 Ketentuan bahwa untuk pemilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah

kursi anggota badan legislatif pusat.

16 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h

483

17 Efriza, Yoyoh Rohaniah, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik, h 144

25

dikatakan bahwa dukungan rakyat yang rendah merupakan ancaman untuk sistem

demokrasi.

Sebaliknya, pemilu di negara yang tidak demokratis diselenggarakan tidak lebih

sebagai formalitas dari rezim dan pemimpin yang berkuasa dari waktu ke waktu di

sebuah negara. Penyelenggaraan pemilu di negara tidak demokratis itu umumnya

penuh dengan kecurangan dan tidak menggambarkan keinginan sebenarnya rakyat

akan pemimpin mereka.18

B.2 Jenis Sistem Pemilu

Pemilu dijalankan dengan mengacu kepada sistem pemilu yang dipakai di

negara itu. Berbicara mengenai sistem pemilihan umum identik dengan tata cara

pemilihan umum untuk pemilihan umum presiden, cara memilih presiden adalah

dengan sistem suara terbanyak atau mayoritas. Ada beberapa jenis sistem pemilu di

dunia, antara lain:

1. Plurality system. Sistem pluralitas, atau banyak dikenal sebagai first-past-

the-post (FPTP), adalah sistem pemilu yang sederhana karena seorang kandidat perlu

memililki suara yang lebih banyak daripada penantangnya yang lain. Sistem ini

biasanya diterapkan di dalam single member districts. Meskipun demikian, sistem ini

dapat dipakai juga di dalam multi-member districts. Sebagai contoh, pada pemilu

presiden di Amerika Serikat, anggota dari electoral college dipilih di dalam tiap

negara bagian dengan dasar winner-takes-all, yang artinya partai politik yang

mendapat jumlah suara tertinggi maka parpol yang mendapat jumlah suara tertinggi

18 Ibid., h 44-145

26

maka parpol itu mendapatkan semua suara dari negara bagian itu di dalam Electoral

College

2. Majority system. Sistem mayoritas adalah sistem yang lebih kompleks

daripada sistem pluralitas. Dalam sistem mayoritas, disyaratkan bahwa ada mayoritas

dengan spesifikasi tertentu yang hal itu kemudian membuka kemungkinan tidak ada

calon yang menang langsung ketika di satu putaran. Ada tiga cara untuk menuntaskan

persoalan belum adanya pemenang suara mayoritas di satu putaran. Pertama, dalam

sistem majority runoff, apabila di putaran pertama tidak ada pemenang mayoritas,

maka di putaran kedua dua calon dengan suara terbanyak akan bertarung untuk

menentukan siapa pemenangnya. Kedua, dalam sistem majority plurality, tidak ada

pengurangan jumlah calon di putaran kedua dan pemenang adalah calon yang

mendapatkan pluralitas dalam suara. Ketiga, alternative vote adalah opsi yang lebih

tidak berbiaya di mana pemilih, meskipun memilih seorang calon, memeringkat calon

dengan tujuan pemilihan. Pilihan pertama dihitung, dan calon yang memperoleh

mayoritas di tahap ini ditetapkan sebagai pemenang. Pilihan kedua dan di bawahnya

diperhitungkan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas dari pilihan pertama.

Calon yang mendapat suara terendah di pilihan pertama dieliminasi, dan pilihan

kedua diekspresikan pada suaranya yang dihitung dan “dipindah” ke calon lain. Jika

belum didapatkan pemenang juga, dibuka pilihan ketiga dan di mana saat itu pilihan

ketiga dieliminasi dan kemudian dipilih kembali.

3. Proportional. Sistem proporsional biasa digunakan hanya pada wilayah yang

bertingkat dan banyak, sehingga tidak mungkin mendistribusikan satu kursi di antara

27

banyak parpol, kecuali pada basis kronologis. Ada dua tipe sistem proporsional.

Pertama adalah list systems. Kedua, single transferable vote. Tipe list systems dapat

dibagi lagi menjadi lima jenis untuk pembuatan lima keputusan utama, yaitu district,

formula, tiers, thresholds, dan preferences. Selanjutnya, tipe single transferable vote

adalah tipe yang lebih sedikit memberi kontrol kepada partai dalam sebuah pemilu.

Dalam sistem ini, pemilih diberikan lebih banyak kebebasan. Seperti halnya dalam

sistem daftar, anggota dipilih dalam distrik yang multi anggota. Namun, calon

dikelompokkan dalam suara tunggal, kemudian diperingkat ditentukan oleh pemilih

sebagai suara pilihan. Dalam hal ini, suara pilihan pertama diperhitungkan.

4. Mixed system. Secara teknis memang tidak mudah namun sangatlah mungkin

untuk menggabungkan sistem pemilu berbeda secara bersama-sama dengan tujuan

menggabung sistem. Penggabungan sistem terjadi dikarenakan tidak semua ilmuwan

setuju dengan penerapan satu sistem. Sistem ampuran adalah sistem di mana formula

berbeda digunakan secara bersama-sama dalam sebuah pemilu tunggal. Ada tiga cara

mencampur perwakilan proporsional baik itu plurality ataupun majority. Cara

pertama adalaha dengan menerpkan perwakilan proporsional sebagian di wilayah

nasional itu baik plurality maupun majority. Cara kedua melibatkan dua ikatan

anggota (beberapa dipilih oleh perwakilan proporsional, yang lain dipilih oleh

plurality atau majority) di seluruh negara.19

19 Ibid., h 145-151

28

B.3 Pilpres dalam UU

UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di

tangan rakya. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat menurut UU Nomor 42 Tahun

2008 adalah untuk memilih presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan secara

demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Dalam UU ini penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden

dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang

memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi

kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional.

Disamping itu, pengaturan terhadap pemilu presiden dan wakil presiden dalam UU

ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensil yang kuat dan efektif,

dimana presiden dan wakil presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang

kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektifitas pemerintahan juga

diperlukan basis dukungan dari DPR. UU ini diatur beberapa substansi penting yang

signifikan antara lain mengenai persyaratan capres dan cawapres wajib memiliki visi,

misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun ke depan.

Dalam Bab III pasal lima bagian persyaratan capres dan cawapres, dijelaskan

bahwa ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para capres dan

cawapres. Salah satunya adalah menteri yang akan dicalonkan menjadi presiden atau

wakil presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke KPU. Selain para

Menteri, UU ini juga mewajibkan kepada Ketua MA, Ketua MK, Pimpinan BPK,

29

Panglima TNI, Kepala POLRI, dan Pimpinan KPK mengundurkan diri apabila

dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Pengunduran diri para pejabat

negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan

terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan

pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil

walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada saat dicalonkan menjadi Presiden

atau Wakil Presiden.

Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin

bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu. Untuk itu, dalam

rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil

Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan parpol yang

pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing parpol.

Proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan melalui kesepakatan

tertulis parpol atau gabungan parpol dalam pengusulan pasangan calon yang memiliki

nuansa terwujudnya koalisi permanen guna mendukung terciptanya efektifitas

pemerintahan. Adapun mengenai pengaturan Kampanye, Undang-Undang ini

mengatur perlunya dilaksanakan debat Pasangan Calon dalam rangka mengefektifkan

penyebarluasan visi, misi, dan program Pasangan Calon yang bersifat edukatif dan

informatif.20

20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden http://www.dpr.go.id/

30

C. Suksesi

Suksesi berasal dari kata Inggris succession, yaitu masalah penerusan atau

pelanjutan.21 Di negara kita masalah suksesi ini sering disebut sebagai masalah estafet

kepemimpinan. Artinya, penyerahan kepemimpinan dari generasi tua kepada generasi

muda.22 Masalah suksesi pada dasarnya ialah masalah memilih manusia-manusia

pengelola yang diperkirakan akan mampu membawa suatu dinasti, suatu negara,

suatu organisasi politik atau suatu perusahanan mengarungi kehidupan yang

terbentang di masa kini dan di masa depan. Masalah ini pada umumnya timbul pada

waktu seorang pemimpin atau sekelompok pemimpin kelihatan munafik dan menurun

kemampuannya untuk menyelesaikan dengan baik persoalan-persoalan yang dihadapi

organsasinya, dan menurun pula kemampuannya untuk menangkap peristiwa-

peristiwa yang terjadi dalam zamannya. Masalah suksesi mulai menjadi pembicaraan,

mulai menjadi issue, apabila orang mulai meragukan kemampuan suatu pimpinan

untuk mengemudikan jalan bahtera organisasi yang dipimpinnya.

Pada dasarnya ada dua cara yang ditempuh berbagai pihak untuk menghadapi

masalah suksesi dan transfromasi ini. Pada satu pihak terdapat masyarakat-

masyarakat yang menghadapi masalah suksesi dan transformasi ini secara

antisipatoris, yatu memikirkannya sebelum soal suksesi dan transfromasi ini menjadi

suatu kenyataan yang harus dipecahkan dengan segera. Tetapi pada pihak yang lain

terdapat pula masyarakat-masyarakat yang menghadapi kedua masalah ini secara ex

21 Mochtar Buchori, Transformasi, Suksesi & Masalah-masalah Demokrasi: Kumpulan

Karangan, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah, 1994), h 146 22 Ibid., h 147

31

post facto, yaitu baru memikirkannya setelah mereka dihadapkan kepada kenyataan

bahwa mereka harus segera memilih seorang pengganti atau menentukan suatu

bentuk baru bagi kehidupan mereka.23

Menurut Peter Calvert, suksesi politik merupakan cara dimana kekuasaan

(kekuatan) politik diwariskan, atau ditransfer, dari suatu individu, pemerintahan atau

rezim ke individu, pemerintahan atau rezim lainnya. Dalam pengertian sempit,

suksesi politik merujuk pada cara dimana berbagai rencana rapi dibuat untuk

melakukan transfer kekuasaan sedemikian rupa, sehingga krisis legitimasi bersifat

sementara dan tak terelakkan, dapat dikendalikan.24

Suksesi merupakan sisi politik yang sangat fundamental, dan karena sifat

biologis manusia menyebabkan suksesi itu harus terjadi. Bagaimanapun lamanya

perubahan kepemimpinan itu ditangguhkan, proses suksesi pada akhirnya pasti

terjadi. Umumnya, banyak pemegang kekuasaan yang enggan menghadapi kenyataan

ini. Mereka mengidentifikasikan stabilitas sistem itu dengan terus terpegangnya

jabatan di tangannya sendiri. Gaya kekuasaan seperti ini, jelas-jelas dapat menjadi

faktor yang menentukan terjadinya destabilisasi tatanan politik. Harapan seorang

pemimpin yang gagal dalm memperoleh dukungan, dapat cepat turun sampai tidak

ada sama sekali kekuasaannya, kemudian ia dapat mengatur jalannya suksesi iu.

Tetapi hal itu tidak akan terjadi bila ada orang lain yang mampu menggantikannya;

23 Ibid., h 149

24 Peter Calvert, Proses Suksesi Politik, (Yogyakarta: PT Tirta Wacana Yogyakarta, 1995), h 1

32

karena upaya untuk mempertahankan keberlangsungan pemerintahan itu harus

mengakhirinya dengan cara lain yang daoat dibenarkan secara publik.25

Karena itu, suksesi tidak hanya mempersoalkan masalah penerimaan atau

tindakan memilih seorang pengganti, melainkan juga serangkaian keputusan untuk

melakukan penerapan pilihan itu. Pada akhirnya, sebuah proses suksesi tidak hanya

melibatkan suau interaksi antara pemerintah dengan pihak yang diperintah.

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam suksesi, secara sadar atau tidak orang yang

terlibat di dalamnya melakukan pembaruan kontrak antara penguasa dengan yang

dikuasainya. Transaksi yang terjadi pada saat itu merupakan titik awal untk

melakukan perombakan sistem atau melanjutkan sistem politik itu. Pengesahan

formalnya, umumnya diwujudkan dalam sumpah jabatan yang menyertai pelantikan

seorang pemimpin politik baru. Melalui formalitas penerimaan jabatan, kemudian

pernyataan kewenangan pemegang kekuasaan, dan kekuasaan diperbaharui oleh

pejabat baru.26

D. Partisipasi Politik

Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan dalam konteks politik.

Hal ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.

Keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan

25 Ibid., h 1-2

26 Ibid., h 2

33

keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut

serta dalam pelaksanaan keputusan.27

Partisipasi politik menurut Miriam Budiardjo adalah kegiatan seseorang atau

kelompok orang untuk ikut sert secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain

dengan jalan memilih pimpinan negara dan secra langsung atau tidak langsung,

memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti

memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan

hubungan atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau angota parlemen, menjadi

anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct action nya, dan

sebagainya.28

Menurut George dan Achilles dalam Efriza dan Yoyoh, partisipasi politik

adalah kegiatan warga negara yang bertindak secara pribadi-pribadi dan dimaksud

untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi jenis ini bisa

bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sportif, atau

tiak efektif. Kegaiatan warga negara dalam partisisi politik dapat berupa pemberian

suara, ikut dalam kampanye arau menjadi anggota parpol, dan lainnya. Maka secara

umum, partisipasi politik dipahami sebagai keikutsertaan masyarakat dalam aktivitas-

aktivitas yang dilakukan oleh kelompok dalam kehidupan sosial dan politik.29

27 Yalvema Miaz, Partisipasi Politik: Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde Baru dan

Refromasi, (Padang: UNP Press, 2012), h 20 28 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h 367

29 Yoyoh Rohaniah, Efriza, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik, h 470

34

Di samping beberapa definisi di atas, partisipasi politik menurut Huntington

dan Nelson adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi,

yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.

Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap

atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak

efektif.30

Umumnya para ahli mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan

seseorang atau sekumpulan orang untuk turut terlibat secara aktif di dalam politik

yaitu untuk memilih kepemimpinan negara bersama-sama secara langsung atau tidak

langsung. Kegiatan-kegiatan ini mencakup pula menentukan pilihan saat pemilu,

menghadiri kampanye partai politik, dan menjadi anggota politik atau ormas.

Bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Cohen dan Uphoff dirangkum oleh

Yalvema adalah; partisipasi dalam pembuatan keputusan; partisipasi dalam

pelaksanaan kegiatan; partisipasi dalam pemanfaatan hasil; dan partisipasi dalam

evaluasi.31

Partisipasi politik pada hakikatnya merupakan tindakan yang suka rela, penuh

kesadaran tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. Karena itu, partisipasi politik

terkait erat dengan pemahaman terhadap pendidikan politik masyarakat atau pemilih.

Partisipasi politik merupakan prasyarat yang mutlak dalam sebuah sistem politik yang

30 Yalvema Miaz, Partisipasi Politik: Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde Baru dan

Refromasi, h 23

31 Ibid., h 22

35

demokratis. Sebuah sistem politik yang sehat menghendaki terbukanya saluran-

saluran komunikasi politik sebagai bentuk partisipasi warga.

36

BAB III

KARIER MILITER DAN POLITIK CAPRES DAN CAWAPRES

PURNAWIRAWAN MILITER

Bab ini membahas mengenai profil purnawirawan militer yang mencalonkan

diri menjadi capres dan cawapres pada 2004-2014. Kehidupan purnawirawan ini

dibahas sejak masa sebelum masuk ke dalam militer, saat di militer, setelah di milter,

dan kehidupan pasca purnawirawan dari dunia militer.

A. Agum Gumelar: Dari Kodam ke Gubernur Lemhanas

Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Agum Gumelar lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat,

pada 17 Desember 1945. Anak dari pasangan Tien Rukayah dan Muksin

Suriasantika, merupakan anak kedua dari Sembilan bersaudara.1 Menikah dengan

Linda Amaliasari dan memiliki dua anak, Haris Khaseli dan Ami Dianti.2

Meskipun lahir di Tasikmalaya, sejak kecil Agum Gumelar sudah tinggal di

Bandung mengikuti ayahnya yang pindah dinas. Ia bersekolah di SD Banjarsari I

(sekarang SD Banjarsari ada empat). Kemudian melanjutkan di SMP 2 dan SMA 2.3

1 Retno Kustiati, Fenty Effendi, Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2004), h 3-5

2 Sandro Gatra, "Profil Agum Gumelar, Anggota Wantimpres", https://nasional.kompas.com/,

pada, 17 Januari 2018.

3 Retno Kustiati, Fenty Effendi, Agum Gumelar: Jendral Bersenjata Nurani, h 6-7

37

Setelah tamat dari sekolah menengah atas, Agum Gumelar melanjutkan ke AMN

tahun 1965 dan kemudian lulus di tahun 1968.4

Lulus dari AMN, ia langsung terpilih untuk bergabung dengan Puspassus AD,

yang kini dikenal dengan nama KOPASSUS.5 Tahun 1970-an ia masuk dalam

BAKIN yang sekarang disebut BIN dan ditugaskan ke Taiwan. Selanjutnya di tahun

1973, Agum Gumelar menjabat sebagai staf Koptamtib.6

Tahun 1987 ia naik jabatan menjadi Wakil Asintel Kopassus sampai tahun

1988-1990. Setahun kemudian ia dipercaya menjadi Asintel Kasdam Jaya periode

1991-1992. Setelahnya ia dipindahkan ke Lampung untuk menjadi Danrem

043/Garuda Hitam Lampung. Tak lama kemudian, ia naik jabatan sebagai Kasdam I

Bukit Barisan sampai tahun 1996. Baru sekitar tahun 1996, ia ditarik ke ibukota

menjadi staf ahli Panglima ABRI. Tugas terakhir dalam karier militernya adalah

memimpin Kodam Wirabuana VII. Setelahnya ia mencalonkan diri sebagai Gubernur

Lemhanas dan kemudian pensiun dari dunia kemiliteran.7

Setelah pensiun dari militer, ia menjadi Gubernur Lemhanas di tahun 1998-

1999. Saat kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ia dipercaya menjadi

Menhub; Menkopolsuskam; dan Menhan. Ketika Gus Dur lengser, dan digantikan

4 Ibid., h 14-17

5 Ibid., h 27

6 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde

Lama hingga Reformasi, (Yogyakarta: Palapa, 2016), h 30

7 Petrik Matanasi, “Sejarah Karier Agum Gumelar: Mantu Jenderal Melawan Mantu

Presiden”, https://tirto.id/, artikel ini diakses pada 29 Maret 2019.

38

oleh Megawati, ia kembali menjabat sebagai Menhub. Di tahun 1999 hingga 2003

Agum Gumelar juga menjabat sebagai Ketum PSSI.

Pada tahun 2004, Agum dipercaya oleh parpol untuk digadang-gadang menjadi

capres maupun cawapres. Akhirnya, (PPP) mencalonkan Agum Gumelar sebagai

cawapres, mendampingi Hamzah Haz. Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PPP

Lukman Hakim Syaifuddin mengaku pasangan tersebut kombinasi yang terbaik bagi

PPP. Latar belakang Agum sebagai seorang militer cocok dipadukan dengan Hamzah

yang berbasis keagamaan dan Agum Gumelar di pandang memiliki track record yang

baik. Dengan kombinasi seperti itu, Lukman berharap citra PPP bisa lebih baik.8

Akan tetapi, pasangan ini hanya meraih suara 3,01% di putaran pertama.9

Meskipun kalah pada pilpres 2004, Agum tidak kapok untuk tetap mencalonkan

dirinya, Di tahun 2008 PDI Perjuangan, mengusung Agum Gumelar sebagai calon

Gubernur Jawa Barat berpasangan dengan Nu’man Abdul Hakim. Sama seperti saat

pilpres, Agum dan Nu’man gagal meraup suara yang bisa membawa kemenangan.

B. SBY: Ketua Fraksi ABRI yang Melaju ke Istana

SBY lahir 9 September 1949 di Pacitan, Jawa Timur. Merupakan anak tunggal

dari seorang tentara pensiunan bernama R. Soekotjo dan Sitti Habibah. SBY menikah

8 TIM Liputan 6, https://www.liputan6.com, pada 11 Mei 2004.

9 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde

Lama hingga Reformasi, h 32

39

dengan Kristiani Herawati, anak dari Jenderal (Purn.) Sarwo Edhi Wibowo. Memiliki

dua anak, Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono.10

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, SBY memang sudah bercita-cita ingin

menjadi tentara. Setelah lulus dari SMA di Pacitan tahun 1968, SBY mendaftar ke

AKABRI namun gagal karena terlambat mendaftar. Setahun kemudian, ia kembali

mendaftar AKABRI dan lolos. SBY lulus dari AKABRI tahun 1973 dan

mendapatkan penghargaan Adhi Makayasa karena menyandang predikat lulusan

terbaik dengan prestasi tertinggi gabungan mental, fisik, dan kecerdasan intelektual.

SBY memulai kariernya di Kostrad sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330

Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infanteri Lintas

Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976.11

SBY terpilih untuk mengikuti Pendidikan lintas udara (airborne) dan

Pendidikan Pasukan Komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat

Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia, pada tahun 1975. SBY memangku jabatan

Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif

305 Kostrad) tahun 1976-1977. Ia pun memimpin Peleton ini bertempur di Timor

Timur.12

10 Aswab Nanda Pratama dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi Wedhaswary,

“Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono ", https://nasional.kompas.com, pada 2 Juli

2018. 11 Ibid.,

12 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde

Lama hingga Reformasi, h 234

40

Sepulang dari Timor Timur, SBY menjadi komandan Peleton Mortir 81 Yonif

Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, ia ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif

Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-

1981), dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982).13

Selanjutnya, SBY dipercaya menjabat Dan Yonif 744 DAM IX/Udayana

(1986-1988) dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti

Pendidikan di Seskoad di Bandung dan tamat sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989.

SBY pun sempat menjadi dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dispenad

dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi Sudrajat. Ketika

Jenderal Edi Sudrajat menjabat Panglima ABRI, SBY ditarik ke Mabes ABRI untuk

menjadi Korspri Pangab Jenderal Edi Sudrajat (1993).14

Ia dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB

(Perserikatan Bangsa-Bangsa) (1995). SBY menjabat sebagai kepala Pengamat

Militer PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang bertugas

mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia berdasarkan kesepakatan

Dayton, Amerika Serikat, antara Serbia, Kroasia, dan Bosnia Herzegovina.

Setelah kembali dari Bosnia, ia diangkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya

(1996). Setelah itu, Karier militernya terus meroket menjadi Pangdam II/Sriwijaya

(1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR juga

13 Ibid., h 235 14 Ibid., h 235

41

menjadi Juru Bicara Fraksi ABRI pada Sidang Istimewa MPR 1998. Karier

militernya berhenti pada jabatan Kepala Staf teritorial (Kaster) ABRI (1998-1999).15

Atas pengabdian tersebut, SBY menerima 24 tanda kehormatan dan bintang

jasa, di antaranya Satya Lencana UNPKF, Bintang Dharma, dan Bintang Maha Putra

Adipurna. Berkat jasa-jasanya yang melebihi panggilan tugas, ia menerima bintang

jasa tertinggi di Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipurna. Berbagai jabatan

kemiliteran dan pendidikan militer tinggi dicapai SBY.16 Setelah mengabdi sebagai

perwira TNI selama 27 tahun, ia mengalami percepatan masa pensiun, maju lima

tahun, ketika menjabat Menteri pada tahun 2000. Ia meraih pangkat Jenderal TNI

pada tahun 2000. 17

Pada tahun 2000, SBY memulai langkah politiknya dengan memutuskan

pensiun lebih dini dari militer. Kemudian, SBY ditunjuk menjabat sebagai

Mentamben selama masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Tidak lama kemudian, SBY harus meninggalkan posisinya sebagai Mentamben,

karena Gus Dur meminta SBY untuk menjabat Menkopolsoskam.

15 Ibid., h 235-236

16 Aswab Nanda Pratama dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi Wedhaswary,

“Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono ", https://nasional.kompas.com, pada 2 Juli

2018. 17 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde

Lama hingga Reformasi, h 231

42

Tahun 2001 Presiden Megawati mempercayai dan melantik SBY menjadi

Menkopolkam dalam Kabinet Gotong-Royong. Namun, pada 2004, SBY memilih

untuk mengundurkan diri dari jabatan Menkopolkam.18

Pada 2004, SBY mundur dari jabatan Menteri. Ia memilih mendirikan Partai

Demokrat dan berkontestasi sebagai calon presiden melalui partai yang dibentuknya

tersebut19 dan berpasangan dengan JK sebagai wakilnya.

Ia memperoleh suara tertinggi, mengalahkan Megawati. SBY berpasangan

dengan JK meraih kepercayaan mayoritas rakyat Indonesa dengan perolehan suara di

atas 60%. Dan pada 20 Oktober 2004, SBY dan JK dilantik menjadi presiden dan

wakil presiden Republik Indonesia keenam.20 SBY memimpin Indonesia hingga

2009. Beberapa partai mulai tergabung dalam koalisi SBY, seperti Golkar, PPP, PBB

(Partai Bulan Bintang), PKB, PAN, PKP, dan PKS.21

SBY merupakan presiden keenam Republik Indonesia yang menjabat presiden

selama dua periode. Ia terpilih pada pemilihan presiden langsung yang pertama, pada

2004. Setelah lima tahun, SBY kembali terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2009.

18 Ibid., h 236

19 Aswab Nanda Pratama dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi Wedhaswary,

“Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono ", https://nasional.kompas.com, pada 2 Juli

2018.

20 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde

Lama hingga Reformasi, h 236-237

21 Aswab Nanda Pratama dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi Wedhaswary,

“Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono ", https://nasional.kompas.com, pada 2 Juli

2018.

43

Kali ini, ia berpasangan dengan Boediono, yang sebelumnya menjabat sebagai

Gubernur BI. Bersama Boediono, SBY memimpin hingga 2014.22

C. Wiranto: Pangab RI dan Menkopolsuskam

Wiranto merupakan putra keenam dari Sembilan bersaudara. Ia dilahirkan di

Yogyakarta pada 4 April 1947 dari pasangan RS Wirowijoto dan Suwarsijah. Sebulan

setelah kelahirannya, Wiranto dan keluarganya pindah ke Solo.23 Ia menikah dengan

Hj. Uga Usman, dan dikaruniai dua orang putri serta seorang putra. Setelah pindah ke

Solo, Wiranto memulai pendidikanya hingga tamat SMA. Ia bersekolah di SMA

Negeri 4 Surakarta. Kemudian melanjutkan ke AMN di Magelang dan lulus tahun

1968.

Karier militer Wiranto di mulai sebagai perwira TNI AD dari Korps

Kecabangan Infanteri pada tahun 1968. Berkat kemampuannya dalam bidang militer,

pada tahun 1989, ia di percaya oleh ABRI untuk menjadi ajudan presiden selama

empat tahun.24 Pada 1993, karier Wiranto terus menanjak. Hal ini dibuktikan dengan

diembannya jabatan sebagai Kasdam Jaya. Setelah setahun menjabat Kasdam Jaya,

dan dinilai berhasil, kemudian Wiranto dipromosikan menjadi Pangdam Jaya, ini

terjadi pada tahun 1994.

Karier Wiranto semakin gemilang ketika ia dilantik menjadi Pangkostrad pada

tahun 1996. Rupanya, militer bagi Wiranto adalah dunia yang telah banyak

22 Ibid.

23 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde

Lama hingga Reformasi, h 268

24 Ibid., h 270-271

44

membesarkan namanya setelah suskses menjadi Pangkostrad, ia dipercaya untuk

menjadi Direktur Latihan pada Latgab ABRI pada tahun 1996. Berkat jasanya ini, ia

lagi-lagi dipercaya dan dilantik sebagai KASAD pada tahun 1997. Ini adalah sebuah

pencapaian karier yang cukup gemilang bagi Wiranto.25

Rupanya, karier Wiranto tidak hanya berhenti di situ saja. Berkat dedikasi yang

tinggi, pada tahun 1998, Wiranto dipercaya menjabat (Pangab) oleh Presiden

Soeharto. Setelah dilantik sebagai Pangab, beberapa bulan kemudian ia dilantik

kembali sebagai Menhankam atau Pangab.26 Jabatan Wiranto kemudian berganti

menjadi Menhankam setelah terjadi pemisahan POLRI dari organisasi kesatuan

ABRI pada 1 April 1999, yang kemudian sebutan ABRI berganti menjadi TNI.

Setelah SU MPR 1999, Wiranto ditunjuk oleh Presiden RI sebagai Menkopolkam. Ia

mengemban jabatan ini hingga Mei 2000.

Wiranto memulai karier sebagai seorang ajudan Presiden selama empat tahun

pada Orde Baru. Ketika Orde Baru ambruk, dan kemudian digantikan masa transisi,

Wiranto mendapat kepercayaan oleh Presiden Habibie untuk menjabat sebagai

Menhankam/Pangab. Tugasnya adalah mengurusi segala aktivitas keamanan negara.

Begitu juga di Era Gus Dur, Wiranto kembali mendapat kepercayaan untuk menjabat

sebagai Menkopolkam. Meski jabatan ini tidak bertahan lama.27

Pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wiranto

menjabat sebagai Menhankam. Namun, masa jabatan itu tidak lama. Sebab, ada

25 Ibid., h 271 26 Ibid., h 271-272 27 Ibid., h 271-273

45

ketidakcocokan antara visinya dengan pandangan pemerintah zaman Gus Dur.

Ketidaksamaan visi tersebut menyebabkan Wiranto harus kehilangan jabatannya.

Selain itu, ia juga pernah memangku di luar jabaan militer, salah satunya sebagai

Ketum FORKI dan Ketum GASBI.28

Pada pemilu 2004, Wiranto kembali berkecimpung dalam dunia politik.

Bersama Salahudin Wahid, Wiranto mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia.

Akan tetapi, perolehan suara yang mereka dapatkan tidaklah cukup besar. Mereka

kalah pada pemilihan pada tahun tersebut dengan menempati posisi ketiga dalam

perolehan suara. Kekalahan dalam pemilu 2004 tidak menjadikan Wiranto berhenti

berpolitik. Sebaliknya, pada 21 Desember 2006, ia mendeklarasikan Partai

HANURA. Ia pun didaulat sebagai ketua partai tersebut.29

D. Prabowo: Panglima Kostrad menjadi Pengusaha

Prabowo Subianto Djojohadikusumo merupakan anak dari pakar ekonomi

Indonesia pada zaman Soekarno dan Soeharto, yaitu Prof. Soemitro

Djojohadikusumo dan istrinya Dora Marie Sigar. Lahir di Jakarta pada 17 Oktober

1951. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua kakaknya perempuan;

Biantiningsih Miderawati dan Maryani Ekowati, dan satu adik laki-laki, Hashim

Djojohadikusumo. Prabowo menikah dengan Siti Hediati Hariyadi, anak dari

28 Ibid., h 270

29 Ibid., h 274

46

Presiden Soeharto. Dari pernikahannya dikaruniai satu orang anak bernama Ragowo

Didiet Hediprasetyo.

Sejak kecil, Prabowo tinggal berpindah-pindah tempat di luar negeri karena

mengikuti tugas orang tuanya. Dari satu negeri ke negeri lain. Begitu juga dengan

Pendidikan dasar hingga menenganhnya selalu berganti-ganti. Ia sekolah SD di

Hongkong, pindah ke Malaysia, Swiss dan Inggris. Pada usia 16 tahun, Prabowo

menamatkan sekolah menengah di London pada 1967.

Pada tahun 1970 saat umurnya memasuki 19 tahun, Prabowo memutuskan

untuk masuk Pendidikan di AMN di Magelang, Jawa Tengah. Prabowo menjadi

lulusan AKABRI terbaik pada 1974. Dua tahun kemudian, ia menjadi Komandan

Peleton Para Komando Group-1 Kopassandha. Pada 1977, Prabowo menjabat

Komandan Kompi Para Komando Group-1 Kopassandha dengan pangkat letnan

satu.30

Prabowo pernah dipercaya sebagai wakil komandan Detasemen 81 Gultor

Kopassus, pada tahun 1983. Setelah menyelesaikan pelatihan di Special Forces

Officer Course Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo Subianto diberi tanggung

jawab sebagai komandan Batalion Infanteri Lintas Udara (Linud) 328 Kostrad hingga

tahun 1987, dan diperpanjang sampai ahun 1991. Kemudian, ia dipercaya kembali

mengemban tugas sebagai kepala Staf Brigade Infanteri Linud 17/Kujang/Kostrad

sejak tahun 1991 hingga 1993.

30 Susilo Pranoto, Prabowo: Macan Asia Harapan Bangsa?, (Yogyakarta: Palapa, 2018), h 13

47

Setelah itu, Prabowo Subianto kembali ke Kopassus sebagai komandan Grup 3,

yaitu komandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus di Batujajar, Jawa Barat, pada

tahun 1993. Setahun kemudian, ia menjabat sebagai wakil komandan Kopassus. Dan,

pada tahun 1994, ia dipercaya menjadi orang nomor satu di korps baret merah

pasukan elit TNI AD itu.31

Pada tahun 1998, Prabowo ditarik kembali menjadi Panglima Kostrad dengan

pangkat letnan jenderal, dalam usia relatif muda, yakni 47 tahun. Pada tahun inilah, ia

tersandung Tragedi Mei yang menyebabkan ia dipindahkan menjadi komandan Sesko

TNI. Atas pertimbangan DKP, Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliterannya.32

Setelah tidak menjabat dan pensiun dari militer, Prabowo meninggalkan

Indonesia dan tinggal di Yordania dan Jerman. Dia di sana menekuni bisnis bersama

adiknya, Hasyim yang terlebih dulu menjadi pengusaha. Setelah sekitar 7 tahun

menekuni bisnis dan hilang dari hingar bingar Indonesia, ia kembali ke tanah air

dengan tampil di publik.

Pada tahun 2004, ia mencoba bertarung menjadi capres melalui konvensi Partai

Golkar. Belum berhasil di Golkar, dia membangun jaringan tani, ia terpilih sebagai

HKTI 2004. Ditahun yang sama, ia maju sebagai cawapres berpasangan dengan

capres Megawati. Lagi-lagi belum berhasil. Pada 2008, ia mendirikan Partai Gerindra

sekaligus sebagai Ketua Dewan Pembina. Pada Pilpres 2009, Prabowo Subianto

31 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde

Lama hingga Reformasi, h 166

32 Ibid., h 166-167

48

mendampingi Megawati Soekarnoputri sebagai calon wakil presiden. Namun, ia

bersama Megawati gagal melenggang ke Istana.

Lima tahun berselang, pada Pilpres 2014, Prabowo kembali maju. Saat itu, ia

sebagai capres. Prabowo bersama Hatta Rajasa sebagai cawapres. Dalam proses

pencalonan dalam pilpres 2014, PPP merupakan partai pertama yang mengumumkan

resmi berkoalisi dengan Partai Gerinrda. Selain PPP, PAN juga bergabung untuk

berkoalisi dengan Partai Gerindra.33 Namun, pasangan ini belum berhasil menang.

Tapi Partai gerindra, meraih kenaikkan suara yang signifikan pada Pemilu 2014

dengan menjadi peringkat ketiga setelah PDIP dan Golkar.

33 Mansur AM, ed., Thamzil Thahir, “Begini Peta Koalisi Parpol”, Pilpres 2004, 2009, dan

2014, http://makassar.tribunnews.com/, pada 13 Mei 2014.

49

BAB IV

KETERLIBATAN PURNAWIRAWAN MILITER

DALAM PILPRES ERA DEMOKRASI

Bab ini membahas mengenai para purnawirawan militer terjun ke dunia politik

setelah masa tugas dan mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres pada tahun

2004, 2009, dan 2014. Pembahasan ini dilanjutkan dengan faktor-faktor yang

menyebabkan masyarakat memilih calon yang memiliki latar belakang militer.

A. Pasca Militer

Keterlibatan militer dalam politik memiliki landasan hukum yang kuat.

Disebutkan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 pasal 39, bahwa prajurit dilarang

terlibat dalam kegiatan menjadi anggota parpol; kegiatan politik praktis; kegiatan

bisnis; dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan

jabatan politis lainnya. Berhubungan dengan pasal tersebut, dalam pasal 47 ayat 1

dikatakan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan

diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.1

Jika sudah tidak terlibat lagi dalam dunia kemiliteran dan selesai masa bakti di

militer, maka status tentara menjadi purnawirawan, dan memiliki hak yang sama

dengan masayarakat sipil untuk dapat memilih dan dipilih.2 Mereka juga dapat

1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, http://dpr.go.id/

2 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26 maret

2019, pukul 13:00 WIB

50

memilih pilihan karier setelah purna, seperti berdagang, atau terjun ke politik (bupati,

walikota, gubernur, menteri, presiden, pimpinan partai, dan sebagainya.)3

Tidak adanya aturan mengenai batasan waktu yang jelas terhadap

purnawirawan hingga mereka dapat berpolitik membuat purnawirawan leluasa kapan

saja untuk terjun kedalam politik. Sejumlah purnawirawan seolah telah menemukan

kendaraan baru bagi mereka untuk mengekspresikan dirinya setelah masa

komandonya usai dengan masuk kedalam dunia politik.4

Salim Said mengatakan dalam wawancara bersama Republika, tidak ada

salahnya purnawirawan masuk ke dunia politik, namun perlu diatur dalam UU jangka

waktu kapan purnawirawan dapat beraktivitas di dunia sipil termasuk politik. Dengan

adanya jeda waktu, netralitas militer dan aparat keamanan dalam kontestasi politik

bisa dijaga. Prasangka negatif dari masyarakat kepada purnawirawan militer juga bisa

dihindari. Misalnya dugaan pemanfaatan kekuatan militer untuk kepentingan pribadi

atau politik.5

Jangka waktu setelah melepas jabatan juga membuat perwira tetap fokus

menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Karena bisa saja, menjelang akhir masa

jabatan oknum perwira memanfaatkan kewenangannya untuk mempersiapkan karir

politiknya. Di beberapa negara maju telah diatur jangka waktu seorang purnawirawan

diperbolehkan memasuki karir di dunia sipil. Seperti di Israel dan Amerika Serikat

3 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada

Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB

4 Arie S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi

Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 200

5 Redaktur:Muhammad Hafil, Reporter: Ira Sasmita “Purnawirawan TNI Jadi Politikus Perlu

Diatur Undang-Undang”, https://republika.co.id/, pada 23 Feb 2014

51

yang membatasi minimal dua tahun setelah pensiun purnawirawan diperbolehkan

terjun ke dunia politik.6

Demikian juga di kalangan purnawirawan TNI, keterlibatan mereka dalam

pemilu tanpa jeda waktu yang cukup panjang dikhawatirkan secara tidak langsung

dalam menimbulkan friksi di kalangan internal militer. Posisi yang berseberangan

antar mantan komandan di kalangan militer akan menjadikan para prajurit dapat

berdiri pada kegamangan dalam kegiatan dan proses pemilu yang sedang berlangsung

mengingat dalam struktur organisasi mereka kendali komando, memegang peranan

penting. Kendali komando ini secara psikologis seringkali tidak bisa hilang dalam

jangka waktu yang pendek. Oleh karenanya ke depan, purnawirawan yang akan

terlibat dalam pemilu maupun politik praktis lainnya paling sedikit ia telah melalui

satu periode masa pemilu. Hal ini selain untuk memberikan jeda pada para

purnawirawan tersebut terlibat politik praktis serta mengurangi keuntungan mereka

penggunakan struktur komando yang pernah dimilikinya untuk memenangkan

kontetasi politik, sekaligus juga memberikan kesempatan dan ruang kompetisi yang

sama antara calon yang berasal dan militer dengan yang non militer.7

Menurut Amos Perlmutter dikutip oleh Yuddy, ada beberapa alasan yang

menyebabkan militer secara aktif terlibat dalam kegiatan politik, diantaranya;

rangkaian sebab yang menyangkut adanya ketidakadilan sistem politik; rangkaian

akibat ketidakmampuan pemimpin sipil untuk mempertahankan legitimasinya; dan

6 Ibid.

7 Sri Yanuarti, “Militer dan Pemilu-Pemilu di Indoensia”, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 15 No.

2, (Desember 2018), h 247

52

rangkaian sebab yang berhubungan dengan political perspective kaum militer. Ada

dua faktor yang membuat militer melakukan intervensi ke dalam aspek politik, yaitu

faktor internal militer dan faktor eksternal militer. Faktor-faktor ini meliputi:

a. Faktor internal militer, yaitu adanya dorongan dari dalam tubuh militer sendiri

untuk melakukan intervensi dengan berbagai alasan untuk membela atau

memajukan kepentingan militer sekalipun berlawanan dengan norma

konstitusional. Intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk

membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah tempat mereka berasal.

b. Faktor eksternal militer menjelaskan bahwa intervensi militer dalam politik

sebagai akibat struktur politik masyarakat yang masih rendah. Kegagalan

sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah atau kelompok sipil

dipandang tidak mampu memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas

politik.8

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh McCloud dikutip oleh Agust Riewanto,

masuknya militer ke dalam politik praktis yang pada umumnya terjadi di Asia

disebabkan beberapa hal;

Pertama, mahalnya harga stabilitas keamanan bagi publik, karena dalam negeri

selalu terjadi perpecahan antar etnis, agama serta factor-faktor ekonomi dan politik

lainnya, hingga memicu lemhanya dunia usaha dan penegakan hukum.

8 Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia,

(Jakarta: LP3ES, 2005), h 23-24

53

Kedua, ketidakmampuan politisi sipil mengemban amanat kekuasaan, sehingga

manajemen negara cenderung amburdul dan elit politik sipil cenderung sibuk berbgai

kekuasaan ketimbang terus mengupayakan efektifitas sebuah pemerintahan.

Ketiga, tidak stabilnya alat-alat kekuasaan negara karena cenderung saling

melempar tanggung jawab dan saling mencurigai.

Keempat, terjadinya krisis kepercayaan terhadap politisi sipil, karena tidak

mampu membawa gerbang penderitaan rakyat, menuju kemakmuran dan kedaulatan.

Atas dasar realitas politik itulah, pada umumnya, public dirindukan oleh sosok

pemimpin politik yng berasal dari kalangan militer, bahkan memitoskannya sebagai

dewa penyelamat bangsa, bahkan ada yang menyebutkan sebagai satria pinginit.9

Menurut Arie, masuknya purnawirawan TNI ke ranah politik Indonesia

disebabkan oleh lemahnya institusi kepartaian serta inkompetensi politisi sipil. Hal

ini mendorong politisi purnawirawan TNI untuk menerapkan kapabilitasnya dalam

bidang militer, seperti penguasaan teritorial, untuk menggerakkan mesin partai. Di

samping itu, aspek lain yang menjadi mediator yang dapat menjelaskan masuknya

purnawirawan TNI ke dalam politik, antara lain pembentukan karakter TNI,

Dwifungsi ABRI, purnawirawan TNI sebagai warga sipil, organisasi purnawirawan

TNI, usia pensiun, orientasi kekuasaan, dan kegiatan pasca pensiun purnawirawan

TNI.10

9 Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda

Pemilu 2009, (Wonogiri: Lembaga Studi Agama & Budaya, 2007), h 152

10 Aries S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi

Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 196

54

B. Pengalaman Kepemimpinan

B.1. Memiliki Bekal Kepemimpinan sejak Masa Pendidikan

Dalam pembentukan karakter, mereka dididik dengan keras, yang melarang

munculnya pemikiran dan kepentingan pribadi yang bertentangan dengan Esprit

deCorps.11 Karakter ini yang pada akhirnya melekat pada diri purnawirawan militer.

Karakter yang berorientasi pada kesetiaan dan pembangunan bangsa. Dalam masa

pendidikan, purnawirawan militer pada saat itu dituntut untuk memiliki wawasan

politik.

Mereka juga dibekali pengetahuan non-militer untuk menjalankan tugasnya

mengabdi pada bangsa dan negara. Pengetahuan non-militer ini memiliki tiga

perspektif, yaitu; perspektif sosiologis militer, membahas mengenai hubungan sosial

antara elit militer dengan masalah sosial budaya; perspektif perbandingan politik,

militer memiliki kekuatan dalam politik yang berperan dalam proses perubahan yang

direncanakan suatu negara; dan perspektif strategi dan ilmu hubungan internasional,

militer memiliki peran dalam menjalin hubungan antar bangsa sebagai dampak

perkembangan pemikiran strategis darinya.12

Salah satu alasan mengapa akhirnya banyak purnawirawan yang memilih

politik untuk karirnya setelah purna, ketika masih menjadi tentara mereka mengawal

11 Esprit de corps merupakan pemikiran yang mempengaruhi kinerja kelompok membentuk

kesetiaan dan perasaan yang menyatukan anggota kelompok. Webmaster, “Kepemimpinan Moral

Kerja dan Esprit de Corps”, http://fe.unpad.ac.id/, pada Rabu, 24 April 2013

12 Nurhasanah Leni, “Keterlibatan Militer dalam Kancah Politik di Indonesia”, Jurnal TAPIs,

Vol. 9, No.1 Januari-Juni 2013

55

negara, dan biasa masuk dalam isu-isu kenegaraan.13 Seperti menjadi Dandim,

Danrem, lalu Pangdam, bahkan menteri yang menjadikan mereka terbiasa dengan

berbagai isu kenegaraan.

B.2. Mempunyai Pengalaman di Pemerintahan

Masyarakat melihat purnawirawan TNI ini adalah orang-orang yang sudah

teruji dan dipercaya untuk menjadi untuk mengurus negara. Mulai dari berbagai

jenjang di eksekutif di daerah maupun di pusat. Sehingga mereka yang menjadi

purnawirawan TNI juga banyak yang dipercaya jadi wakil rakyat, pejabat pemerintah,

dan sebagainya.14

Pengalaman Agum Gumelar di pemerintahan cukup banyak, seperti menjabat

sebagai Gubernur Lemhanas, Menkopolsoskam dan Menhan saat era Presiden

Gusdur, dan Menhub di dua periode, yaitu periode Gus Dur dan Megawati.

SBY dalam pemerintahan sempat menjabat sebagai Ketua Fraksi ABRI di

MPR, Mentamben dan Menkopolsoskam di era Gusdur, juga Menkopolkam saat era

Megawati.

Wiranto sempat merasakan kursi pemerintahan, ia sempat menjabat sebagai

Menhankam era Bj. Habibie, dan Menkopolkam di Gusdur. Namun, Prabowo belum

merasakan menduduki kursi pemerintahan sebelum ia mencalonkan diri sebagai

presiden.

13 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada

Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB

14 Ibid.

56

B.3. Menjalankan Dwifungsi ABRI

Soeharto merupakan pemimpin Orde Baru selama bertahun-tahun. Soeharto

yang kemudian menerapkan peran politik militer untuk ikut berpartisipasi melebihi

kapasitasnya sebagai alat pertahanan negara.15

Salah satunya adalah mantan gubernur Lemhanas Sutopo Yuwono yang

menyatakan bahwa hanya militer yang memiliki organisasi yang cukup rapi dan

memiliki disiplin keras. Hal ini dibutuhkan untuk membangun negara yang sedang

dalam masa transisi dari rezim otoriter menuju kepada reformasi seperti yang terjadi

sekitar tahun 1990-an. Namun, hal ini juga karena dahulu ABRI merasa ikut

memperjuangkan kemerdekaan ini dengan banyak korban, sehingga tidak rela kalau

negara ini sampai hancur kembali.

Berdasarkan pernyataan perwira militer yang menduduki jabatan sipil bahwa

stabilitas nasional merupakan prasyarat bagi pembangunan disegala bidang. Oleh

karena itu, ABRI dengan perannya sebagai stabilisator dan dinamisator kehidupan

bangsa, terpanggil untuk mendorong berfungsinya sistem kehidupan politik yang

dapat melaksanakan kehidupan demokrasi.

Memiliki pengalaman dwifungsi ABRI menjadi latar belakang dari masa dinas

aktif masing-masing purnawirawan. Terlibatnya purnawirawan dalam politik sejak

masih berdinas aktif di militer telah membiasakan purnawirawan untuk melihat

bahwa politik juga merupakan panggilan tugas bagi dirinya sebagai prajurit militer.

15 Ervina Juliani, “Militer dan Politik: Studi tentang Kelompok Pendukung dan Penentang

terhadap Penghapusan Dwi Fungsi ABRI Tahun 1998-2001”, (Skripsi S1 Universitas Sumatera Utara,

2008), h 54.

57

Jika purnawirawan TNI terbiasa pada ranah politik, maka masuk politik praktis

merupakan satu kelanjutan karir yang wajar.16

Dwifungsi ABRI membawa ABRI dapat menduduki jabatan di pemerintahan,

yaitu adanya Fraksi ABRI di MPR. Salah satu tugas Fraksi ABRI ini adalah untuk

bisa menjadi stabilisator dan dinamisator dalam MPR.17

C. Pemilu

C.1. Proses Menuju Pemilu

Pengamat militer dari LIPI, Muhamad Haripin menyebut sejumlah

purnawirawan yang turun ke politik dengan membentuk partai. Dari zaman partai

Demokrat, SBY, kemudian Hanura, Wiranto, juga Prabowo di Gerindra.18

Saat Megawati akan naik menjadi presiden setelah turunnya Gusdur, SBY

diminta menjadi menteri di jabatan yang sama dengan jabatan saat era Gusdur, yaitu

Menkopolsoskam. Tetapi berakhir dengan SBY yang mengundurkan diri sama seperti

di era Gusdur. Karena sudah berhenti menjadi menteri, SBY waktu itu hanya ingin

menjadi wakil presiden, karena saat itu orang-orang menganggap Megawati tidak

terkalahkan. Tapi saat SBY keluar dari pemerintahan, justru dukungan kepada SBY

sangat kuat. Bersama dengan itu Partai Demokrat didirikan. Ternyata SBY dan Partai

16 Arie, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia”, h 200-201

17 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26

maret 2019, pukul 13:00 WIB

18 Mehulika Sitepu, “Kivlan Zen: Para purnawirawan yang terjun ke politik dan dapat

“menggerakkan massa”, https://www.bbc.com/, pada 29 Mei 2019

58

Demokrat juga mendapatkan simpati yang luar biasa. Akhirnya terpilih sebagai

presiden.19

Saat itu Wiranto merupakan lawan politik SBY di pilpres 2004. Bahkan

Wiranto adalah atasannya SBY karena Wiranto dulu menjabat sebagai

Menhankam/Pangab sedangkan SBY dulu hanya Kasospol. Memang belakangan jadi

Menko, tetapi panglima TNI waktu itu adalah Wiranto. Wiranto kala itu di dukung

oleh partai besar, Golkar. Tetapi orang melihat yang bisa dipercaya adalah sama-sama

jenderal. Tetapi pilihannya justru sama SBY. Karena dianggap SBY yang berada di

garis depan dalam proses reformasi TNI. Yang kepemimpinannya bisa dipercaya.

Dan Partai Demokrat waktu itu partai baru. Justru mendapat simpati. Sementara

golkar waktu itu dianggap bagian dari orde baru yang justru ingin di koreksi.

Terpilihlah SBY.20

Tiga hari setelah SBY dan JK mendeklarasikan diri sebagai capres dan

cawapres, ada satu partai yang mengundang dan meminta kesediaan Agum Gumelar

untuk menjadi Cawapres dari capres suatu partai. Dalam raker partai tersebut, Agum

digadang menjadi bursa kedua menjadi cawapres, di posisi pertama ada SBY. Namun

SBY sudah mendeklarasikan diri lebih dahulu.21

Sehari setelah Megawati dan Hasyim Muzadi mendeklarasikan diri menjadi

pasangan Capres dan Cawapres, Agum diundang oleh seorang pimpinan partai.

19 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada

Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB

20 Ibid.

21 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26

maret 2019, pukul 13:00 WIB

59

Dikatakan bahwa partainya sudah memutuskan bahwa ketum nya harus maju. Dan

partai juga memutuskan untuk meminta kesediaan Agum menjadi wakil nya. Setelah

berkonsultasi dengan keluarga, Agum memtusukan untuk bersedia menerima

pinangan partai tersebut dengan catatan, Agum Gumelar lapor kepada Megawati

bahwa ia mencalonkan menjadi Cawapres pada pilpres 2004. Namun hal itu belum

sempat terealisasikan karena pimpinan partai tersebut mendesak untuk segera

deklarasi karena waktu tinggal dua hari lagi untuk deklarasi.22

Sebagian pengamat politik memperkirakan bahwa Pilpres 2009 merupakan

pertarungan terakhir bagi figur purnawirawan seperti Wiranto (Akmil 1968), SBY

(Akmil 1973), Prabowo Subianto (Akmil 1974), atau purnawirawan lain segenerasi

mereka. Perkiraan itu berdasarkan faktor usia, bahwa pada tahun 2009 itu, usia rata-

rata generasi mereka dianggap terlalu senior bila maju lagi pada pilpres berikutnya.

Sementara di sisi lain, publik merindukan munculnya figur pimpinan dari generasi

yang lebih baru.23

Sedangkan pada pemilihan presiden lebih banyak didominasi oleh para

purnawiran TNI sebagai bakal calon. Untuk memenuhi ambisinya ketiga

purnawirawan tersebut juga mendirikan partai politik. SBY mendirikan Partai

Demokrat, Wiranto dengan Partai Hati Nurari Rakyat (Hanura). Dalam menunjang

mesin politiknya, para mantan jenderal tersebut tidak sedikit yang melibatkan

koleganya sebagai tim kampaye untuk meraih suara pada pemilihan presiden yang

22 Ibid.

23 Aris Santoso, “Memberi Ruang Politik Bagi Purnawirawan, Apakah Manfaat Bagi Rakyat

Kecil?”, https://www.dw.com/id/, pada 19 Januari 2019.

60

diikutinya. Wiranto misalnya menjadi calon wakil presiden pada pemilu tahun 2009.

Ia menyertakan sejumlah koleganya yang berasal dari TNI seperti Letjen. (purn) Arie

Mardjono dan Laksamana Muda (purn) Abu Hartono yang keduanya merupakan

wakil ketua dalam dewan pertimbangan. Tujuh wakil ketua Hanura adalah Majen.

(purn) Aqlani Maza dan Laksamana (purn) Bernard Kent Sondakh, Letjen. (purn)

Fachrul Razi, Letjen. (purn) Suaidi Marassabessy dan Jenderal (purn) Soebagyo serta

Marsekal Muda (purn) Budhy Santoso. Sedangkan di kubu Prabowo terdapat Mayjen.

(purn) Muchdi Purwopranyoto yang merupakan wakil ketua, dan pensiunan perwira

intel Mayjen. (purn) Gleny Kairupan. Di Kubu Demokrat, nama Letjen. (purn)

Muhammad Yasin adalah figur purnawirawan yang dikenal loyal dengan SBY.24

C.2. Tingkat Kepercayaan Masyarakat pada Purnawirawan Militer

Purnawirawan masuk ke dalam politik praktis karena dianggap menarik sebagai

kader yang mumpuni. Ini disebabkan karena lemahnya kualitas kader sipil yang di

rekrut oleh parpol sebelumnya.25 Seseorang yang memiliki latar belakang militer

masih dianggap menjadi solusi untuk memimpin bangsa.

Beberapa faktor diungkapkan oleh Joko, yaitu; pertama, tingkat kedisiplinan

purnawirawan yang tinggi, rasa nasionalisme dan cinta tanah air, serta kepercayaan

penuhnya terhadap ketuhanan dalam hidup dapat menjadi dasar ideologi mereka

24 Sri Yanuarti, “Militer dan Pemilu-Pemilu di Indoensia”, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 15

No. 2, (Desember 2018), h 243

25 Arie S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi

Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 199-

200

61

sebagai pemimpin. Hal tersebut merupakan hasil dari tempaan selama pendidikan

kemiliterannya; kedua, kekuatan fisik yang terlatih, kesigapan dan ketanggapan

dalam berfikir dan bersikap, dan kewaspadaan dalam melangkah dan mengambil

keputusan dapat menjadi kekuatan individu yang mendukung pergerakan mereka

dalam memimpin. Dan ketiga, kepercayaan diri, kepercayaan terhadap teman, dan

kepercayaan serta kepatuhan terhadap pemimpin menjadi bekal dalam kehidupan

sehari-hari agar tetap terjaganya kekompakan dalam berkerja.26

Disebutkan dalam Agust, ada lima penyebab alasan publik begitu memitoskan

militer dalam dunia politik; pertama, militer selama ini mendeklarasikan dirinya

sebagai kelompok netral, tidak melakukan keberpihakan serta tidak terjebak dalam

kubangan politik idiologis; kedua, militer di Indonesia masih dianggap sebagai basis

penyelamat ancaman bangsa baik laten maupun transparan komunisme, ataupun

terorisme; ketiga, militer di Indonesia masih dianggap sebagai penjelmaan

nasionalisme Indonesia, pemersatu bangsa dan pengaspirasian lahirnya politik non

aliran; keempat, militer juga masih dianggap sebagai representasi dan pendukung

utama nilai Pancasila dan pengayom keamanan publik dari segala ancaman internal

politik nasional maupun internasional; dan kelima, kalangan militer dianggap oleh

public merupakan sebuah kesatuan politik yang berjalan dengan memperhitungkan

kekompakan dan garis komando yang jelas.27

26 Joko Panji Sasongko, “Politik Militer (Studi Kasus Persepsi Sipil Terhadap Partisipasi Politik

Purnawirawan di Indonesia Pasca Reformasi)”, (Skripsi S1 Universitas Gadjah Mada, 2014), h 9

27 Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju

Agenda Pemilu 2009, (Wonogiri: Lembaga Studi Agama & Budaya, 2007), h 154-155

62

Sebagai partai baru di 2004, Partai Demokrat tidak menyangka bisa

mendapatkan simpati yang begitu banyak dari masyarakat. Simpati publik dianggap

mulai muncul saat SBY di ejek Jenderal kanak-kanak oleh Taufieq Kiemas. Menurut

Andi Mallarangeng, biasanya masyarakat akan simpati kepada orang yang justru

dianggap disakiti yang akhrinya menyebabkan simpati publik muncul. Ini

menyebabkan Partai Demokrat tidak disangka mendapat suara sebanyak 33,57% pada

putaran pertama dan 60,62% saat putaran kedua yang akhirnya membawa SBY

terpilih menjadi Presiden.28

Menurut Andi Mallarangeng:

“Kemenangan untuk SBY sudah terasa sejak masa kampanye.

Sambutan yang luar biasa datang untuk SBY. Kemana saja SBY pergi,

selalu disambut luar biasa oleh masyarakat. Kalau Wiranto naik

pesawat kalau pergi ke suatu tempat pasar gempar karena Partai

Golkar memiliki dana hingga bisa naik pesawat. Megawati juga

sebagai presiden incumbent petahana kemana-mana naik pesawat.

SBY karena partai baru dan tidak memiliki uang, kemana-mana naik

bus. Tapi justru kalau naik bus SBY ketemu masyarakat. Dan

sambutan luar biasa. Jelas sebabnya justru karena itu malah

menang.”29

Agust menyebutkan aspek-aspek keunggulan suara SBY dalam pemilu 20004;

pertama, aspek popularitas; kedua, pemilihan cawapres yang tepat; ketiga, di tengah

buruknya citra dan rekam jejak (track record) capres yang lain; dan keempat,

kerinduan pada sosok nostalgia dan satrio piningit.30

28 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26

maret 2019, pukul 13:00 WIB

29 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada

Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB

30 Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju

Agenda Pemilu 2009, h 157-159

63

Pertama, aspek popularitas. Di antara empat pasangan lain, SBY merupakan

satu-satunya sosok yang memiliki popularitas cukup kuat. Terutama, sejak

perseteruannya dengan Taufiek Kiemas, suami Megawati, yang ketika itu SBY

dikatakan sebagai Jenderal kanak-kanak. Peristiwa ini menjadikan publik memiliki

simpati, bahkan empati yang mendalam kepada SBY hingga berhasil menaikkan

suara Partai Demokrat masuk lima besar dalam Pemilu 2004. Kepopularitasan SBY

juga ditambah dengan penampilan fisik yang cenderung sopan, murah senyum,

ganteng dan pandai bernyanyi. Bahkan banyak pihak menduga popularitas SBY

melebihi popularitas partai nya, yaitu Partai Demokrat.31

Kedua, pemilihan cawapres yang tepat. M. Yusuf Kalla adalah cawapres tepat

pilihan SBY, mengingat ia merupakan figur sipil, pengusaha dan mantan menteri di

bidang ekonomi, berasal dari luar Jawa, dari partai pemenang dalam pemilu 2004

(golkar) serta tokoh ormas Islam terbesar (NU). Sehingga, inilah yang barangkali

menyiratkan konfigurasi politik: Militer-Sipil, Pengayom-Pemikir, Jawa-Non Jawa,

Parapol menengah-parpol atas, dan nasionalis-religius. Dalam memilih cawapres,

SBY-lah satu-satunya capres yang paling cepat mengambil keputusan, tanpa diiringi

perdebatan yang Panjang, dengan perhitungan dan konsesi politik tertentu. Sehingga,

dapat mengesankan publik pilihan cawapresnya tidak “berdagang sapi” dan

cenderung bersih.32

31 Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju

Agenda Pemilu 2009, (Wonogiri: Lembaga Studi Agama & Budaya, 2007), h 157-158

32 Ibid., h 158-159

64

Ketiga, di tengah buruknya citra dan rekam jejak capres yang lain. Munculnya

isu-isu perseteruan seperti; rejim status quo vs rejim baru; sipil vs militer; NU vs

Muhammadiyah; pelanggar HAM masa lalu vs peduli HAM; tokoh orde baru vs orde

reformasi; dan lainnya, sangat kental mewarnai perdebatan dalam ranah publik

sepanjang proses pencalonan presiden. Ada asumsi bahwa, lima pasangan capres dan

cawapres yang tersedia, tak satupun memenuhi kriteria ideal, melainkan terbaik

diantara yang buruk. Wiranto saat itu terganjal isu militerisme, pelanggar HAM masa

lalu, anak emas Orde Baru, berasal dari parpol cenderung ke Orde Baru. Sebaliknya,

SBY banyak diuntungkan dengan munculnya isu-isu yang menimpa capres lain,

dalam hal ini SBY relatif aman, selamat dan lepas dari semua itu. Karena -memang

kenyataannya- SBY adalah politisi baru yang rekam jejaknya jauh relatif bersih.

Kalaupun ada nodanya, belum tampak ke permukaan karena SBY adalah politisi

baru.33

Keempat, kerinduan pada sosok nostalgia dan satrio piningit. Dalam tradisi

Jawa sosok ksatria yang tegas, berani, kalem, pintar, murah senyum, penghibur dan

pengayom, adalah syarat tak tertulis dari seorang pemimpin ideal dan SBY dianggap

memiliki itu semua. Secara kebetulan SBY memiliki latarbelakang militer, dan ia

merupakan sosok militer yang memiliki arti tersendiri di mata publik Indonesia.

Politisi sipil cenderung tak tegas dan berani mengambil keputusan yang tepat dalam

memutuskan aneka konflik yang membelit bangsa. Sehingga, bermunculan konflik

sosial dan kekerasan, semakin menjamurnya budaya korupsi, dan kemakmuran publik

33 Ibid., h 159

65

tak kunjung dapat diatasi. Masyarakat telah menanti adanya perubahan dan cenderung

apatis pada para politisi sipil. Saat seperti inilah publik bernostalgia pada era Presiden

Soeharto, sosok militer yang tegas dan berani mengambil keputusan dalam mengelola

bangsa pada masa-masa awal kepemimpinannya. publik menengarai, SBY adalah

presentasi sosok militer yang tegas dan beani. Karena itu, SBY adalah jawaban atas

nostalgia masa lalu dan sosok satrio piningit.34

Justru pada SBY rakyat menaruh harapan bahwa dengan SBY, TNI akan di

reformasi. Mungkin persepsi publik terhadap Wiranto dianggap bagian dari Orba

Sementara SBY justru dianggap sebagai pembaharu dalam proses reformasi di

Indonesia terutama reformasi TNI. Dan justru anak-anak muda aktivis mahasiswa

dukung SBY.35

Menurut Agum Gumelar, memang untuk ia menang sangat sulit. Karena Agum

hanya mendapat suara hanya 8,16%.36 Salah satu faktor SBY menang menurut Agum

adalah faktor psikologis. Partai baru dengan mesin partainya sedemikian rupa bisa

meyakinkan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Karena pada dasarnya,

rakyat selalu ingin ada perubahan.

Menurut Agum, rakyat lebih berpihak pada orang yang dinilai dizolimi. Secara

psikologis, SBY mendapat simpati dari masyarakat yang kemudian simpati

34 Ibid., h 159-160

35 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada

Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB

36 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26

Maret 2019, pukul 13:00 WIB

66

berkembang menjadi dukungan. Pada saat itu seolah-olah SBY adalah orang yang

dizolimi.37

SBY terpilih mungkin juga ada unsur militer tentaranya dalam arti bahwa di

kepemimpinannya selama itu. Selama proses reformasi SBY berada di garis depan.

Terutama reformasi TNI yang kalau tidak ada reformasi TNI tidak mungkin TNI

tidak mungkin negeri ini juga berubah dalam konteks reformasi. Karena TNI nya bisa

seperti di Myanmar. Bisa seperti di beberapa negara lain yang resis atau menolak

preses reformasi.

Menurut Andi Mallarangeng:

“Proses transisi rezim menimbulkan salah satunya adalah instabilitas

di berbagai daerah. Ada konflik Poso, Ambon, Aceh, sehingga pada

waktu itu masyarakat melihat perlu pemimpin yang kuat untuk

memimpin negeri ini dan melihat bahwa SBY sebagai purnawirawan

TNI, jenderal, adalah yang paling layak, paling pantas untuk

memimpin negeri ini. Itulah mungkin mengapa dalam proses

reformasi itu kita lihat perwira-perwira TNI terutama dalam kasus ini

SBY menjadi pilihan masyarakat pilihan rakyat untuk memimpin

negeri ini. Karena SBY dianggap bagian dari proses reformasi. Justru

diharapkan SBY terus melakukan reformasi bahkan karena itu

memang proses selama 10 tahun SBY reformasi TNI salah satunya

diselesaikan. Termasuk dalam konteks bisnis TNI terakhir juga

diselesaikan SBY. Orang melihat SBY kepemimpinannya bagus

dibutuhkan oleh negeri ini. Dan mendapat kepercayaan. Orang melihat

SBY ngomongnya juga baik, santun, tapi jelas, tegas, bersih.”38

37 Ibid.

38 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada

Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB

67

Purnawirawan saat itu sangat mendukung. Jadi waktu pemilu bisa dilihat kalau

TNI tidak boleh memilih, tapi istrinya dan keluarganya boleh. Jadi di kompleks-

kompleks TNI SBY bisa menang.39

Wantimpres Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi Ryaas Rasyid

mengatakan, salah satu faktor SBY memenangkan Pemilu Presiden 2004 adalah

karena berwajah ganteng. Pada Pemilu 2004, saingan kuat SBY adalah Ketum PDI-P

Megawati Soekarnoputri. Ryaas menceritakan, dia kemudian mengetahui SBY ketika

itu disukai media sehingga bisa unggul dari Megawati. Karena itu, lanjut Ryaas,

media dapat menjadi penentu siapa yang menjadi presiden. Menurut dia, sosok ideal

presiden adalah yang mengetahui permasalahan bangsa dan berupaya

menyelesaikannya. Rakyat pun seharusnya memilih dengan penilaian obyektif.40

39 Ibid.

40 Dian Maharani, "SBY Terpilih Jadi Presiden karena Ganteng", https://nasional.kompas.com/,

pada 3 November 2013

69

BAB V

PENUTUP

Bab ini menjelaskan kesimpulan dan saran mengenai hasil yang telah ditemukan

dalam penelitian mengenai keterlibatan Agum Gumelar, Wiranto, SBY, dan Prabowo

Subianto sebagai purnawirawan militer yang masuk kedalam politik serta mencalonkan

diri sebagai capres dan cawapres dalam pilpres era demokrasi (2004-2014) dan alasan

purnawirawan militer dapat terpilih menjadi presiden.

A. Kesimpulan

Militer yang sudah selesai dari masa jabatannya memiliki hak seperti sipil

lainnya, dapat dipilih dan memilih dalam pilpres. Militer mulai memasuki dunia politik

melalui dua faktor, yaitu faktor internal, melalui dorongan dari tubuh militer sendiri

melakukan intervensi, dan faktor eksternal, karena kegagalan sipil dalam memerintah.

Purnawirawan masuk ke dalam politik praktis karena dianggap menarik sebagai

kader yang mumpuni. Salah satu alasan yang mendorong purnawirawan militer masuk

ke ranah politik Indonesia disebabkan oleh lemahnya institusi kepartaian serta

inkompetensi politisi sipil. Di samping itu, aspek lain yang menjadi mediator yang

dapat menjelaskan masuknya purnawirawan TNI ke dalam politik, antara lain

pembentukan karakter TNI, Dwifungsi ABRI, purnawirawan TNI sebagai warga sipil,

70

organisasi purnawirawan TNI, usia pensiun, orientasi kekuasaan, dan kegiatan pasca

pensiun purnawirawan TNI.

Kendaraan politik yang digunakan purnawirawan militer melalui parpol untuk

mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres pun beragam. Seperti Agum Gumelar,

kemudian Wiranto dan Prabowo yang juga bergabung dengan parpol. Berbeda dengan

SBY yang membentuk partainya sendiri sejak awal. Dan setelah mengalami kekalahan,

Wiranto dan Prabowo membentuk partainya sendiri.

Seseorang yang memiliki latar belakang militer masih dianggap menjadi solusi

untuk memimpin, karena mereka memiliki; tingkat kedisiplinan yang dan nasionalisme

tinggi; kekuatan fisik yang terlatih, kesigapan dan ketanggapan dalam berfikir, dan

kewaspadaan dalam melangkah dan mengambil keputusan; dan kepercayaan diri,

kepercayaan terhadap teman, dan kepercayaan serta kepatuhan terhadap pemimpin

menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari agar tetap terjaganya kekompakan dalam

berkerja.

B. Saran

Untuk kedepannya kualitas kader sipil dalam partai politik yang dianggap lemah

perlu ditingkatkan melihat banyak partai politik melirik purnawirawan militer yang

dinilai kompeten dalam memimpin, menangani konflik, dan lainnya. Kemudian, syarat

mengenai berapa lama purnawirawan militer dapat masuk ke politik setelah purna

71

diperlukan agar mereka lebih fokus kepada tugas sebagai militer daripada

mempersiapkan karir setelah purna.

Untuk kedepannya diharapkan lebih banyak peneliti yang membahas tentang

militer dan politik agar dapat dilihat perspektif lain mengenai tema tersebut khususnya

mengenai purnawirawan militer dalam dunia politik.

72

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Buchori, Mochtar. Transformasi, Suksesi & Masalah-masalah Demokrasi:

Kumpulan Karangan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah, 1994.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2009.

Calvert, Peter. Proses Suksesi Politik. Yogyakarta: PT Tirta Wacana Yogyakarta,

1995.

Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di

Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2005.

Darmawan, Ikhsan. Mengenal Ilmu Politik. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,

2015.

Efriza dan Yoyoh Rohaniah. Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu

Politik. Malang: Intrans Publishing, 2015.

Hanafie, Haniah dan Ana Sabhana Azmy. Kekuatan Kekuatan Politik. Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2016.

Kustiati, Retno. Fenty Effendi. Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Miaz, Yalvema. Partisipasi Politik: Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde

Baru dan Reformasi. Padang: UNP Press, 2012.

Mufti, Muslim. Kekuatan Politik di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.

Mukhtar, Sidratahta. Militer dan Demokrasi. Malang: Intrans Publishing, 2017.

73

Nodlinger, Eric. Militer dalam Politik. Jakarta: Rineka Cipta.1994.

Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, Jakarta: CV. Rajawali. 1984.

Pranoto, Susilo. Prabowo: Macan Asia Harapan Bangsa?. Yogyakarta: Palapa,

2018.

Riewanto, Agust. Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004

menuju Agenda Pemilu 2009. Wonogiri: Lembaga Studi Agama & Budaya,

2007.

S, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmilah Dasar, Metode dan Teknik. Bandung:

Tarsiti. 1989.

Salam, Syamsir. Jaenal Aripin. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2006.

Sasongko, Joko Panji. Politik Militer (Studi Kasus Persepsi Sipil terhadap

Partisipasi Politik Purnawirawan di Indonesia Pasca Reformasi).

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2014.

Setiadi, Andi. Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah

Politik Orde Lama hingga Reformasi. Yogyakarta: Palapa, 2016.

Sutopo, H. B. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press, 2006.

Skripsi dan Jurnal

Basuki, Ahmad Yani. “Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan

Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat”. Jurnal Sosiologi Masyarakat

Vol. 19 No.2.

74

Juliani, Ervina. “Militer dan Politik: Studi tentang Kelompok Pendukung dan

Penentang terhadap Penghapusan Dwi Fungsi ABRI Tahun 1998-2001”, (Skripsi

S1 Universitas Sumatera Utara, 2008).

Kamil, Hadi Nafis. “Militer dan Kekuatan Politik: Studi tentang Keterlibatan TNI

dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”, (Skripsi S1 Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).

Leni, Nurhasanah. “Keterlibatan Militer dalam Kancah Politik di Indonesia”.

Jurnal TAPIs Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2013.

Sasongko, Joko Panji. “Politik Militer (Studi Kasus Persepsi Sipil terhadap

Partisipasi Politik Purnawirawan di Indonesia Pasca Reformasi”, (Skripsi S1

Universitas Gadjah Mada, 2014).

Soesilo, Arie S. “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam

Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”. Jurnal Sosiologi

Masyarakat Vol. 19 No. 2, Juli 2014.

Yanuarti, Sri. “MIliter dan Pemilu-Pemilu di Indonesia”, Jurnal Penelitian

Politik, Vol. 15 No. 2, Desember 2018.

Berita dan Artikel

“Modul 1 Pemilih Untuk Pemula”, https://kpu.go.id

“SBY”, https://www.merdeka.com/, diakses pada 27 November 2019

“Wiranto”, https://m.merdeka.com/ , diakses pada 27 November 2019.

A.M. Mansur, ed., Thamzil Thahir. “Begini Peta Koalisi Parpol”, Pilpres 2004,

2009, dan 2014, http://makassar.tribunnews.com, 13 Mei 2014.

75

Araf Al, “Militer dan Politik”, http://www.imparsial.org/, pada 25 Januari 2016.

Gatra, Sandro (ed.), "Profil Agum Gumelar, Anggota Wantimpres",

https://nasional.kompas.com, 17 Januari 2018.

Maharani, Dian. "SBY Terpilih Jadi Presiden karena Ganteng",

https://nasional.kompas.com, 3 November 2013.

Matanasi, Petrik. “Sejarah Karier Agum Gumelar: Mantu Jenderal Melawan

Mantu Presiden”, https://tirto.id, 29 Maret 2019.

Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. "Survei: Masyarakat Ingin Presiden Berlatar

Belakang Militer karena Tegas", https://nasional.kompas.com, 30 Januari

2016.

Pratama, Aswab Nanda dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi

Wedhaswary. “Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono",

https://nasional.kompas.com, 2 Juli 2018.

Red:Muhammad Hafil, Reporter: ira sasmita “Purnawirawan TNI Jadi Politikus

Perlu Diatur Undang-Undang”, https://republika.co.id, pada 23 Feb 2014

Santoso, Aris. “Memberi Ruang Politik bagi Purnawirawan, Apakah Manfaat bagi

Rakyat Kecil?”, https://www.dw.com/id/, 19 Januari 2019.

Sitepu, Mehulika, “Kivlan Zen: Para Purnawirawan yang Terjun ke Politik dan

Dapat Menggerakkan Massa’”, https://www.bbc.com, pada 29 Mei 2019

Tim Liputan 6, https://www.liputan6.com, 11 Mei 2014.

Ugo, “Survei Charta Politika: TNI Paling Dipercaya Publik”,

https://www.cnnindonesia.com/, 28 Agustus 2018.

76

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,

http://dpr.go.id

Wawancara

Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada

Selasa 26 maret 2019, pukul 13:00 WIB

Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-

2009, pada Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB