monograf semarang undip press dr. hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/monograf.pdf4 daftar gambar...

90
1 MONOGRAF SUBSIDI ENERGI, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN KUALITAS LINGKUNGAN DI INDONESIA Oleh: Dr. Hadi Sasana, SE, MSi. Undip Press Semarang MONOGRAF

Upload: others

Post on 13-Feb-2020

13 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

1

MONOGRAF

SUBSIDI ENERGI, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN KUALITAS LINGKUNGAN DI INDONESIA

Oleh:Dr. Hadi Sasana, SE, MSi.

Undip Press Semarang

MONOGRAF

Page 2: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

2

SUBSIDI ENERGI, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN KUALITAS LINGKUNGAN DI INDONESIA

Oleh:Dr. Hadi Sasana, SE, MSi.

ISBN : 978-979-097-617-7

Cetakan pertama : 2019

Diterbitkan oleh :Undip Press

SemarangKATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrobil ‘alamin penulis panjatkan puji syukur

kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayahNya,

Page 3: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

3

sehingga buku monograf dengan judul: “Subsidi Energi,

Pertumbuhan Ekonomi, dan Kualitas Lingkungan di Indonesia”

dapat terselesaikan dengan baik.

Karya kecil ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa baik

sebagai sumber bacaan perkuliahan maupun penulisan skripsi. Selain

itu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum

dalam memahami ruang lingkup pengembangan ekonomi daerah.

Penyelesaian penulisan buku ini merupakan hasil dari suatu

proses yang panjang, dimana kami tidak dapat bekerja sendirian,

namun berkat dukungan berbagai pihak secara langsung maupun tidak

langsung. Maka dengan hati yang tulus dan ikhlas kami mengucapkan

terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya

karya ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal.

Kami menyadari masih banyak kekurangan atas hasil penulisan

ini, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan. Semoga

terbitnya buku ini menghasilkan guna dan menambah khasanah

pengetahuan, aamiin.

Semarang, Juni 2019

PenulisDAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

Page 4: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

4

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR GRAFIK

DAFTAR TABEL

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Studi

1.3 Novelty Studi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Subsidi

2.2 Subsidi Energi di Indonesia

2.3 Dampak Subsidi Energi Fosil Terhadap

Lingkungan

2.4 Dampak Subsidi Energi Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi

2.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Kualitas Lingkungan

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Studi

3.2 Jenis dan Sumber Data . ...

3.3 Metode Analisis

BAB 4 DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

4.1 Subsidi dan Harga Energi

4.2 Realisasi Subsidi BBM…………………………..

4.3 Kualitas Lingkungan

Page 5: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

5

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Subsidi Energi dan Kualitas Lingkungan (Emisi

CO2)

5.2 Subsidi Energi dan Pertumbuhan Ekonomi

5.3 Subsidi Energi dan Biaya Sosial

BAB 6 PENUTUP

6.1 Simpulan

6.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Page 6: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

6

Halaman

Tabel 2.1 Sejarah Harga BBM (Rupiah per liter)

Tabel 3.1 Variabel Penelitian Persamaan Regressi Kualitas

Lingkungan (Emisi CO2)

Tabel 3.2 Variabel Penelitian Persamaan Regressi

Pertumbuhan Ekonomi

Tabel 3.3 Variabel Penelitian Persamaan Regressi Biaya

Sosial

Tabel 4.1 Realisasi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)

dalam APBN Tahun 2000-2012 (dalam Triliun

rupiah)

Tabel 5.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian

Tabel 5.2 Hasil Etimasi Variabel Dependen Emisi CO2

Tabel 5.3 Hasil Etimasi Variabel Dependen GDP

Tabel 5.4 Tabel Statistik Deskriptif

Tabel 5.5 Hasil Estimasi terhadap Variabel Dependen Biaya

Sosial

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Page 7: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

7

Gambar 2.1 Pengaruh Subsidi Terhadap Kuantitas Permintaan

Barang

Gambar 2.2 Kebijakan Subsidi Pemerintah

Gambar 2.3 Kurva Indifference Perilaku Konsumen terhadap

Penurunan Subsidi BBM

Gambar 2.4 Environmental Kuznets Curve (EKC)

Gambar 4.1 Komposisi Subsidi BBM Tahun 2015 Sebelum

Kenaikan Harga BBM tanggal 1 Januari 2015

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Page 8: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

8

Grafik 1.1 GDP (US$) dan Penggunaan Energi Fosil (kg

of Oil Equivalent Per Capita) Indonesia tahun

1990-2014

Grafik 1.2 Subsidi Energi di Indonesia Tahun 1990-2014

(milyar rupiah)

Grafik 1.3 Economic Growth and Energy Development of

Indonesia Tahun 1991-2014

Grafik 2.1 Indonesia dari Negara Eksportir Menjadi Importis

Minyak

Grafik 2.2 Persentase Konsumsi Energi Fossil, Energi

Terbarukan dan Energi Lainnya di Indonesia

Tahun 1990-2014

Page 9: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

9

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangEnergi merupakan bagian penting dalam meningkatkan

pembangunan di bidang ekonomi. Ekonom neo klasik berpendapat

bahwa ada hubungan positif antara peningkatan konsumsi energi

dengan peningkatan perekonomian (Kraft and Kraft, 1978). Studi

Bildirici (2018), menjelaskan adanya hubungan positif antara

penggunaan energi dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga

mendorong pentingnya kebijakan untuk memudahkan akses dalam

peningkatan penggunaan energi.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan

potensi sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam yang

dimiliki Indonesia berpotensi sebagai sumber energi sehingga dapat

memenuhi dan memudahkan Indonesia untuk berkembang. Kemudahan

tersebut dapat tercipta dengan mengoptimalkan penggunaan energi,

baik energi fosil maupun energi terbarukan. Sehingga diperlukan tata

kelola yang baik guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang di

harapkan (Sasana dan Aminata, 2019).

Menurut World Bank (2015), nilai Gross Domestik Produk

(GDP) per kapita Indonesia dan penggunaan total energy menunjukkan

adanya peningkatan setiap tahunnya (Grafik 1.1). Pada tahun 2014

GDP per kapita Indonesia mencapai 3442 US$. Tingkat konsumsi total

Page 10: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

10

energi terus meningkat menjadi sebesar 883,91 kg of oil equivalent per

kapita pada tahun 2014.

Grafik 1.1. GDP (US$) dan Penggunaan Energi Fosil (kg of Oil Equivalent Per Capita) Indonesia Tahun 1990-2014

1990 1995 2000 2005 2010 2015

Year

05001000150020002500300035004000

US$

01002003004005006007008009001,000

kg o

f iol

eq

uiva

lent

pe

r cap

ita

growt Total Energy

Sumber : World Bank 2015

Dalam menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibutuhkan

konsumsi energi yang besar untuk merubah material bahan dasar

menjadi barang jadi, dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Secara

sektoral konsumsi energi bahan bakar fosil dibagi menjadi lima sektor

pengguna, yaitu: sektor industri, sektor komersial, sektor rumah tangga,

sektor transportasi, dan sektor lainya. Pada tahun 2014 penggunan

energi bahan bakar fosil pada sektor industri mencapai 274,90 juta

Setara Barel Minyak (SBM), sektor komersial mencapai 38,19 juta

(SBM), sektor rumah tangga sebesar 373,79 juta (SBM), sektor

transportasi sebesar 329,41 juta (SBM), dan sektor lainya sebesar 16,95

juta (SBM) (Pamudji. 2016).

Subsidi merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui

perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa, yang

memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga

jualnya dapat dijangkau masyarakat. Salah satu bentuk subsidi

Page 11: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

11

pemerintah adalah subsidi energi (subsidi BBM, BBN, LPG tabung

3kg, dan LGV serta subsidi listrik). Subsidi pemerintah merupakan

salah satu faktor penting dalam sebuah negara. Diperlukan intervensi

pemerintah agar pola konsumsi energi masyarkat dan perusahaan bisa

terjaga.

Berdasarkan data pada Grafik 1.2. menunjukkan bahwa subsidi

energi di Indonesia ccnderung meningkat setiap tahunnya. Subsidi

diberikan guna merangsang pertumbuhan ekonomi. Subsidi energi

banyak digunakan untuk penggunaan subsidi bahan bakar fosil dan

energi listrik. Di Indonesia sebagian besar masih sangat tergantung

dalam penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan energi listrik,

sehingga perlu dijaga volatilitas tingkat harga guna merangsang

pertumbuhan ekonomi.

Grafik 1.2. Subsidi Energi di Indonesia Tahun 1990-2014 (milyar rupiah)

1990 1995 2000 2005 2010 2015

Year

#,##0.00;[Re30]#,##0.00#,##0.00;[Re21]#,##0.00#,##0.00;[Re14]#,##0.00#,##0.00;[Re7]#,##0.00#,##0.00;[Re30]#,##0.00#,##0.00;[Re21]#,##0.00#,##0.00;[Re15]#,##0.00#,##0.00;[Re6]#,##0.00#,##0.00;[Re27]#,##0.00

Mill

iar R

upia

h

Sumber : Kemenkeu RI

Page 12: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

12

Kajian dampak penggunaan energi terhadap pertumbuhan

ekonomi telah dilakukan oleh para peneliti. Studi Chen et al.(2018),

menjelasakan adanya hubungan Granger kausalitas antara intensitas

penggunaan energi dan urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi

dalam jangka panjang. Mallick (2009), menjelaskan bahwa

peningkatan pasokan energi listrik dirasa paling tepat untuk

meningkatakan pertumbuhan ekonomi di negara Afrika. Studi

Grossman and Krueger (1995), menjelaskan ada hubungan yang negatif

antara pertumbuhan ekonomi dengan lingkungan. Disatu sisi

peningkatan penggunaan energi mampu meningkatkan pertumbuhan

ekonomi suatu negara, namun disisi lain peningkatan penggunaan

energi juga meingkatkan tingkat polusi di Amerika. Studi Selden and

Song (1994), menjelaskan adanya hubungan kurva U terbalik antara

peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan emisi CO2

Tinjauan mengenai penggunaan energi dan dampaknya

terhadap lingkungan dapat dilibatkan dalam bahasan pertumbuhan

ekonomi. Hal ini dapat dianalogikan dalam analisis mikroekonomi,

dimana seorang produsen melakukan suatu proses produksi

menggunakan berbagai faktor input, salah satunya adalah energi.

Setelah output dihasilkan terdapat sisa-sisa atau residual dari

penggunaan energi dan faktor input lain yang tidak dapat digunakan

kembali atau bahkan mencemari lingkungan (Tiba & Omri, 2016).

Maka jika diinterpretasikan secara makroekonomi, dalam proses

Page 13: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

13

pertumbuhan ekonomi terdapat akumulasi residual yang dapat

berdampak pada sustainabilitas lingkungan.

Komponen pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia

ditopang dengan penggunaan energi yang belum ramah lingkungan.

Seperti yang dijelaskan pada Grafik 1.3., output perekonomian

Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan emisi CO2 yang

positif. Pertumbuhan tersebut diiringi dengan emisi CO2 yang

cenderung terus meningkat. Ironisnya, penggunaan energi terbarukan

justru terus berkurang yang ditunjukkan dengan tingkat

pertumbuhannya yang berada pada level negatif. Penjelasan ini

menunjukkan bahwa semakin tumbuhnya perekonomian Indonesia

cenderung diikuti dengan degradasi lingkungan. Jika kondisi ini terus

berlanjut, maka agenda pertumbuhan ekonomi berkelanjutan akan sulit

dicapai.

Grafik 1.3. Economic Growth and Energy Development of Indonesia Tahun 1991-2014

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

0100200300400500600700

-15%-10%-5%0%5%10%

CO2 emission (kt)Renewable Energy Consumption (% growth)GDP (% growth; constant 2010 US$)

Sumber: World Development Indicator (diolah)

Page 14: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

14

Studi Awan (2013) di Pakistan menyimpulkan bahwa

penggunaan sumber daya energi memiliki dua efek yang berlawanan.

Sangat penting untuk memperkuat kegiatan ekonomi rakyat; namun, itu

semakin memperburuk kondisi lingkungan. Oleh karena itu, disarankan

untuk menggunakan sumber daya energi dengan cara yang masuk akal

dan ramah lingkungan untuk menjaga ekonomi lingkungan

berkelanjutan. Selanjutnya, Sovacool (2017) berpendapat bahwa

subsidi energi memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Misalnya,

subsidi batubara di UE dan Jepang melepaskan emisi karbon dioksida

(CO2) sebanyak 50 hingga 100 juta ton per tahun; sementara di

Australia, subsidi murah untuk listrik berbasis batubara memicu

industri peleburan melepaskan emisi gas rumah kaca setinggi 2,5 kali.

Dalam hal menilai implikasi negatif yang disebabkan oleh emisi

CO2, penurunan kualitas lingkungan dapat diukur dengan peningkatan

emisi atau konten polutan seperti polusi udara, polusi air, dan polusi

tanah sebagai akibat dari eksplorasi energi. Efek negatif dari

pencemaran pada air dan tanah dapat diidentifikasi secara langsung,

tetapi pencemaran udara membutuhkan waktu untuk diketahui. Dalam

menghitung polusi udara, salah satu indikator yang paling umum

digunakan adalah tingkat emisi CO2 yang dihasilkan oleh eksplorasi

atau penggunaan energi. Gas CO2 adalah cairan tidak berwarna, tidak

berbau, gas yang tidak mudah terbakar, dan sedikit asam. Gas CO2

lebih berat dari udara dan larut dalam air. Studi Rujiven et al. (2016)

menggunakan indikator CO2 untuk mengukur kualitas udara untuk CO2

Page 15: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

15

yang dihasilkan dari proses produksi di berbagai sektor industri

termasuk industri pengolahan kimia dan pertambangan. Dalam industri

semen misalnya, setiap kg semen yang diproduksi berkontribusi 0,5 kg

emisi CO2 ke udara. Oleh karena itu, secara umum, untuk mengukur

tingkat polusi udara, indikator emisi CO2 digunakan.

Berdasarkan fenomena dan kesenjangan penelitian di atas, studi

ini bertujuan untuk menganalisis dampak subsidi energi terhadap

kualitas lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan biaya sosial di

Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Studi1.2.1. Rumusan Masalah

Dari gambaran latar belakang di atas disadari bahwa

permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah terjadinya trade off

dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan

masyarakat dan menjaga kualitas lingkungan. Pertumbuhan ekonomi

yang pesat di negara berkembang diikuti penggunaan energi fosil yang

tinggi. Penggunaan energi fosil yang tinggi menyebabkan kerusakan

lingkungan meningkat.

Salah satu instrument kebijakan fiskal pemerintah adalah

dengan kebijakan subsidi energi. Maka perlu dianalisis dampak dari

subsidi energi yang dilakukan pemerintah terhadap pertumbuhan

ekonomi, kualitas lingkungan, dan biaya sosial yang ditimbulkan.

1.2.2. Tujuan Studi

Page 16: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

16

Secara umum studi ini bertujuan untuk mengkaji dampak

kebijakan subsidi energi di Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi,

kualitas lingkungan, dan biaya sosial. Studi ini mempunyai tujuan

sebagai berikut :

1. Menganalisis dampak kebijakan subsidi energi terhadap

kualitas lingkungan di Indonesia.

2. Menganalisis dampak kebijakan subsidi energi terhadap

pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

3. Menganalisis dampak kebijakan subsidi energi terhadap biaya

sosial yang ditimbulkan di Indonesia.

1.3. Novelty StudiStudi terkait hubungan subsidi energi, kerusakan lingkungan,

dan pertumbuhan ekonomi sudah dilakukan. Diantara berbagai kajian,

penelitian ini memiliki kebaruan sebagai berikut:

a. Kajian ini tidak hanya melihat dampak terhadap pertumbuhan

ekonomi dan kualitas lingkungan, tetapi juga biaya sosial.

b. Kajian terhadap emisi CO2 memiliki beberapa skenario dalam

pemilihan variabel independen, yaitu: pertama, meliputi:

pertumbuhan ekonomi, energi primer, subsidi energi, energi

terbarukan, pertumbuhan penduduk. Kedua, terdiri: subsidi

energi, pertumbuhan penduduk, energi fosil, energi

terbarukan. Ketiga, terdiri: pertumbuhan ekonomi, energi

primer, subsidi energi, energi terbarukan, pertumbuhan

penduduk.

Page 17: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

17

c. Studi ini membahas secara komprehensif tidak hanya

pendekatan statistik terkait dampak subsidi energi terhadap

pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan, tetapi juga

menjelaskan secara historis perkembangan subsidi energi di

Indonesia terutama Bahan Bakar Minyak (BBM).

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SubsidiOxford Advanced Learners Dictionary (1990) menjelaskan

definisi subsidi, adalah “The money that is paid by a government or

organization to reduce the cost of services or of producing goods so

that their prices can be kept low”. Pamugar (2017) menjelaskan

subsidi merupakan salah satu bentuk ‘intervensi’ dari pemerintah

terhadap pasar. Subsidi dilakukan untuk menjaga stabilitas harga suatu

barang di pasar. Akibat dari kenaikan harga suatu barang di pasar,

maka produsen barang akan mendapatkan surplus (surplus produsen).

Tetapi pemerintah dapat menekan harga barang tersebut di pasar

dengan cara memberikan subsidi harga kepada produsen. Sehingga

harga tidak naik, tetapi surplus produsen tidak berkurang dan

konsumen akan diuntungkan dengan relatif stabilnya harga barang

tersebut. Dengan kebijakan subsidi harga dari pemerintah, maka

konsumen juga akan diuntungkan (surplus konsumen).

Page 18: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

18

Subsidi dapat dipandang sebagai pajak negatif. Seperti halnya

pajak, keuntungan subsidi dibagi antara pembeli dan penjual,

tergantung kepada elastisitas relatif dari penawaran dan permintaan.

Campur tangan Pemerintah tersebut pada umumnya mengakibatkan

deadweight loss (Pindyck dan Rubinfeld, 1999). Gambar 2.1.

menjelaskan tentang pengaruh subsidi terhadap kuantitas permintaan

barang.

Gambar 2.1. Pengaruh Subsidi Terhadap Kuantitas Permintaan Barang

Sumber : Pindyck dan Rubinfeld (1999)

Keseimbangan antara permintaan dan penawaran ditunjukkan

oleh jumlah permintaan barang pada q1 dengan harga di P1. Titik

equilibrium pasar adalah berada di titik E. Sedangkan apabila harga

dinaikkan ke titik P2, maka jumlah permintaan barang cenderung turun

dari q1. Sebaliknya bila harga barang diturunkan ke titik P3, maka

jumlah permintaan terhadap barang cenderung bertambah dari q1

Page 19: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

19

menuju ke titik Q. Ketika harga barang naik ke titik P2, maka kurva

penawaran (produsen) akan bergeser menjadi S1. Sedangkan bila harga

barang turun ke titik P3, maka kurva penawaran (produsen) akan

bergeser ke arah S2. Tetapi harga barang tidak naik dan tidak turun,

karena adanya subsidi dari pemerintah. Subsidi dimaksud adalah

subsidi harga. Sehingga daerah yang diarsir (a, b, c, d, e, f) merupakan

subsidi yang ditanggung oleh pemerintah untuk menjaga keseimbangan

pasar di titik E. Subsidi harga yang dilakukan oleh pemerintah adalah

untuk melindungi konsumen dan produsen apabila harga barang

bekerja sesuai dengan mekanisme pasar sempurna. Campur tangan

pemerintah dalam bentuk subsidi harga ini biasa dilakukan untuk

menstabilkan harga barang tersebut di pasar. Subsidi harga sering

dilakukan pemerintah terhadap produk energi, dan kebutuhan pokok

masyarakat.

Menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),

konsep subsidi adalah bantuan pemerintah kepada masyarakat

konsumen maupun produsen agar harga barang dan jasa lebih rendah

dan jumlah yang dibeli masyarakat lebih banyak. Subsidi merupakan

salah satu mekanisme pemerintah dalam melaksanakan fungsi distribusi

sebagai upaya pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam pelaksanaannya

diusahakan agar pemberian subsidi lebih terarah dan tepat sasaran

untuk masyarakat miskin, namun tetap memperhitungkan efisiensi dan

kemampuan keuangan negara (Munawar, 2013).

Page 20: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

20

Dalam kajian yang dilakukan Tarigan (2014) menjelaskan

bahwa tujuan pemberian subsidi adalah sebagai alat untuk

meningkatkan daya beli masyarakat dan meminimalisasi ketimpangan

akses barang dan jasa. Subsidi juga ditujukan untuk membantu

meringankan beban rakyat atas harga komoditas yang menguasai hajat

hidup orang banyak guna menjaga stabilitas harga, sehingga terjangkau

oleh sebagian besar golongan masyarakat.

Hal senada juga dikemukan oleh Spencer dan Amos (1993),

dalam Ermawati, (2015) yang menyatakan bahwa subsidi adalah

pembayaran pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga dengan

tujuan agar masyarakat dapat memproduksi atau mengkonsumsi sebuah

produk dengan kuantitas yang besar atau dengan harga yang lebih

murah. Subsidi yang dilakukan oleh pemerintah biasanya dimaksudkan

untuk mengurangi harga sehingga dapat meningkatkan output/produksi.

Ada beberapa jenis subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah, antara

lain subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, pangan, pupuk,

benih, Public Service Obligation (PSO), bunga kredit, dan subsidi

pajak yang ditanggung oleh pemerintah.

Ermawati (2015) menerangkan subsidi BBM yang diberikan

pemerintah kepada masyarakat melalui produsen berfungsi mengurangi

biaya produksi sehingga harga BBM menjadi lebih murah. Hal tersebut

membuat fungsi penawaran dari S1 bergeser kebawah menjadi S2,

produsen dapat memberikan harga yang lebih rendah dari harga

Page 21: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

21

sebelum subsidi (Gambar 2.2). Dengan adanya subsidi dari pemerintah

maka keseimbangan pasar berubah menjadi di E dengan harga P1 dan

jumlah barang yang ditawarkan menjadi lebih banyak yaitu dari Q

menjadi Q1. Dengan demikian, maka total subsidi yang diberikan

pemerintah adalah sebesar P0P1EA, dimana P0P2BA merupakan subsidi

produsen dan P2P1EB adalah subsidi konsumsen (lihat Gambar 2.2.)

Gambar 2.2. Kebijakan Subsidi Pemerintah

Sumber : Spencer dan Amor (1993)

2.2. Subsisi Energi di IndonesiaPamugar (2017) menjelaskan subsidi BBM telah ada sejak era

Orde Baru sampai dengan era reformasi saat ini. Di era Orde Baru

negara mampu menanggung subsidi BBM karena pemerintah

memperoleh pendapatan yang besar dari ekspor minyak. Saat itu,

Page 22: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

22

Indonesia merupakan negara eksportir minyak yang memiliki kualitas

minyak terbaik dunia dengan kategori light crude. Setiap kenaikan

harga minyak menjadi tambahan penghasilan untuk negara. Sedangkan

saat ini Indonesia justru menjadi negara importir minyak dan tidak lagi

menjadi negara eksportir minyak sejak tahun 2003.

Grafik 2.1. Indonesia Negara Eksportir Menjadi Importir Minyak

Sumber : http://katadata.co.id dalam Pamugar (2017)

Indonesia sebelumnya bergabung dalam Organization of the

Petroleum Exporting Countries (OPEC), namun keluar pada tanggal 9

September 2008 setelah sejak tahun 2003 tidak mampu memenuhi

kebutuhan energi terutama kebutuhan minyak dan BBM sehingga lebih

banyak impor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Agustina et al..

(2008) yang menyatakan bahwa pendapatan dari minyak dan gas telah

menurun sejak tahun 2001, sementara subsidi BBM semakin naik dan

Page 23: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

23

mencapai rekor tertinggi di tahun 2008. Perkembangan Indonesia dari

eksportir menjadi importir dapat dilihat dalam Grafik 2.1.

Cheon et al. (2013) melakukan penelitian dengan sampel 137

negara, menyatakan bahwa negara penghasil minyak akan memberikan

subsidi lebih besar daripada negara yang miskin minyak. Hal yang

tidak wajar di Indonesia adalah pemberian subsidi BBM yang besar

bahkan ketika sudah menjadi importir minyak. Pengurangan subsidi

BBM mulai dilakukan perlahan dengan peraturan-peraturan yang

ditandai dengan kenaikan harga BBM dari estafet pergantian

pemerintahan.

Tabel 2.1. Sejarah Harga Bahan Bakar Minyak (Rupiah per liter)

Periode Harga BBM (Rupiah per liter)

Tahun Tanggal Premium (Rp)

Naik/ Turun (%)

Solar (Rp)

Naik/ Turun (%)

Minyak Tanah

Naik/ Turun (%)

2016 1 April 6.550 (Jawa, Bali, dan Madura) 6.450 (selain Jawa,Bali, & Madura

˅7.1˅7.2

5150 ˅8.8 2500 -

5 Januari 7.050 (Jawa,Bali, Madura) 6.950 (selain Jawa, Bali, Madura)

˅3.4˅4.8

5650 v18.1 2500 -

Page 24: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

24

2015 28 Maret 7300 ^7.4 6900 ^7.8 2500 -1 Maret 6800 ^3 6400 - 2500 -19Januari 6600 v13.2 6400 v11.7 2500 -1 Januari 7600 v10.6 7250 v3.3 2500 -

2014 18 Novb. 8500 ^30.8 7500 ^36.4 2500 -2013 22 Juni 6500 ^44.4 5500 ^22.2 2500 -2009 15 Januari 4500 v25 4500 v18.2 2500 -2008 1 Dsemb. 6000 ^33.3 5500 ^27.9 2500 ^252005 1 Oktober 4500 ^87.5 4300 ^104.8 2000 v9.1

1 Maret 2400 ^32.6 2100 ^11.1 2200 ^11.7Sumber : Pamugar (2017)

Data Tabel 2.1. menunjukkan pada 1 Oktober 2005 harga BBM

di Indonesia mengalami kenaikan paling tinggi dalam sejarah. Harga

premium naik sebesar Rp 2.100,00 atau 87,5% dari Rp 2.400,00

menjadi Rp 4.500,00 per liter. Solar naik sebesar Rp 2.200,00 atau

104,8% dari Rp 2.100,00 menjadi Rp 4.300,00 per liter

(Pamugar,2017). Sebagai bentuk kompensasi kepada masyarakat

miskin atas kenaikan harga BBM di tahun 2005 akibat pengurangan

subsidi BBM, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT)

untuk pertama kalinya sesuai Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005.

Untuk kenaikan harga BBM di tahun 2008, pemerintah kembali

memberikan BLT sesuai Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008.

Sedangkan kenaikan BBM di tahun 2013, pemerintah memberikan

kompensasi dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat

(BLSM) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2013.

Kurniawati (2017) menerangkan bahwa pesatnya kenaikan

jumlah konsumsi premium menjadi indikasi bahwa subsidi BBM jenis

ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu. Hal ini berarti

Page 25: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

25

bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi lebih berpengaruh pada

masyarakat mampu. Namun demikian, golongan rumah tangga

berpenghasilan rendah rentan menjadi miskin karena efek inflasi

kenaikan harga BBM bersubsidi. Untuk mengatasi hal tersebut,

pemerintah membuat program kompensasi terkait pengurangan subsidi

BBM. Beberapa program pemerintah terkait pengurangan subsidi BBM

di Indonesia diantaranya bantuan langsung tunai (BLT), beras untuk

rakyat miskin (Raskin), Biaya Operasional Sekolah (BOS), peningkatan

prasarana, dana bergulir, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Program bantuan langsung tunai (cash transfer) telah

dilaksanakan sejak tahun 2000 dengan alokasi dana sebesar Rp 200

miliar. Program tersebut dilaksanakan dengan memberikan dana tunai

kepada rumah tangga miskin sebesar Rp 10.000,- per bulan per

keluarga dengan target 6,67 juta rumah tangga miskin pada tahun 2000.

Program cash transfer diberikan dalam kerangka kebijakan

perlindungan sosial (social protection) untuk mengatasi dampak

pengurangan subsidi BBM. Mekanisme yang dilakukan merupakan

asistensi sosial (social assistance) untuk membantu masyarakat miskin

agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar, mencegah penurunan taraf

kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi, dan

meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.

Program cash transfer seperti BLT dapat meningkatkan

pendapatan dan konsumsi rumah tangga miskin sehingga diharapkan

mampu mengurangi kemiskinan, setidaknya dalam jangka pendek.

Page 26: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

26

Sebagai program perlindungan sosial, cash transfer dinilai lebih efisien

dan efektif dibanding program transfer lainnya. Hal ini karena cash

transfer tidak membutuhkan ruang penyimpanan yang besar, tidak

memerlukan biaya transportasi, memberikan pilihan bagi masyarakat

dalam membelanjakan uangnya, mendorong pertumbuhan ekonomi

daerah, dan membuka lapangan kerja melalui multiplier perdagangan.

Tantangan dari program cash transfer adalah adanya kemungkinan

penerima cash transfer membelanjakan uangnya untuk barang-barang

yang tidak menunjang kesejahteraan, seperti rokok dan minuman keras

(Febriany dan Suryahadi, 2012).

SMERU (2011) melakukan kaji cepat pelaksanaan BLT tahun

2008 dan evaluasi penerima program BLT tahun 2005 di Indonesia,

menyatakan bahwa program BLT tahun 2008 masih relevan dan dapat

membantu masyarakat miskin dalam mengatasi guncangan akibat

kenaikan harga BBM. BLT tidak mengakibatkan kemalasan dan

perubahan jam kerja RTS, karena jumlah dana yang diterima terbatas

dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam jangka

pendek. Sehingga masyarakat miskin harus tetap bekerja untuk

memenuhi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat

Peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin melalui

pemberian BLT (cash transfer) dapat dijelaskan dengan perilaku

konsumen melalui indifference curve. Seperti dapat dilihat dalam

Gambar 2.3, garis anggaran P-D merupakan garis anggaran rumah

tangga pada saat harga BBM disubsidi. Konsumsi BBM pada garis

Page 27: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

27

anggaran ini adalah sebesar B0 dengan utilitas u. Pada saat terjadi

penurunan subsidi BBM, pendapatan riil masyarakat berkurang dan

garis anggaran bergeser menjadi P-F. Pada garis anggaran ini,

konsumsi BBM juga berkurang menjadi B1 dan utilitasnya menjadi u1.

Pemerintah kemudian memberikan cash transfer sebagai mitigasi

dampak penurunan subsidi BBM. Dengan adanya cash transfer,

pendapatan rumah tangga bertambah dan garis anggaran bergeser

menjadi P’-E. Pada garis anggaran ini konsumsi BBM dapat bertambah

menjadi B2 dan utilitas bergeser menjadi u2. Pergeseran garis anggaran

akibat adanya cash transfer memungkinkan rumah tangga

meningkatkan belanja agar tingkat kesejahteraan rumah tangga

bertambah. Hal ini tidak berlaku jika dana kompensasi diberikan dalam

bentuk barang. Pemberian kompensasi dalam bentuk barang hanya

dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga terhadap barang tersebut

namun tidak dapat menggeser garis anggaran.

Gambar 2.3. Kurva Indifference Perilaku Konsumen terhadap Penurunan Subsidi BBM

Page 28: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

28

Sumber : Kurniawati, 2017

Pada tanggal 18 November 2014, pemerintah mengumumkan

kenaikan harga BBM. Premium naik dari Rp 6.500,00 menjadi Rp

8.500,00 per liter, sedangkan solar dari Rp 5.500,00 menjadi Rp

7.500,00 per liter. Menurut pemerintah pengurangan subsidi BBM

dapat memberikan ruang fiskal hingga Rp 100,00 triliun (Tempo,

2014a). Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, pemerintah

memperkenalkan suatu skema bantuan sosial baru sebagai kompensasi

terhadap dampak harga energi yang meningkat. Yaitu Program

Keluarga Produktif yang mencakup bantuan keuangan, pendidikan, dan

kesehatan, yang dilaksanakan melalui sejumlah kartu pintar (Tempo,

2014b).

Pada 1 Januari 2015, pemerintah secara resmi menghapus

subsidi BBM jenis premium, dan menetapkan subsidi tetap untuk solar

sebesar Rp 1.000,00 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral (ESDM) Nomor 39 Tahun 2015. Perhitungan harga

Page 29: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

29

menggunakan rumus yang ditetapkan oleh pemerintah dan mengacu

pada harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dolar AS, serta faktor

inflasi. Pada 1 Juli 2016, subsidi tetap untuk solar diturunkan menjadi

sebesar Rp 500,00 berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27

Tahun 2016.

Definisi BBM didasarkan pada Peraturan Presiden No. 191

Tahun 2014, dimana pemerintah membagi jenis BBM dalam 3 (tiga)

jenis yaitu sebagai berikut:

1. Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) yang selanjutnya

disebut jenis BBM tertentu adalah bahan bakar yang berasal

dan/atau diolah dari Minyak Bumi dan/atau bahan bakar yang

berasal dan/ atau diolah dari Minyak Bumi yang telah

dicampurkan dengan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai

Bahan Bakar Lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi),

harga, volume, dan konsumen tertentu dan diberikan subsidi.

2. Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) yang

selanjutnya disebut Jenis BBM Khusus Penugasan adalah bahan

bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi dan/atau

bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi

yang telah dicampurkan dengan Bahan Bakar Nabati (Biofuel)

sebagai Bahan Bakar Lain dengan jenis, standar dan mutu

(spesifikasi) tertentu, yang didistribusikan di wilayah penugasan

dan tidak diberikan subsidi.

Page 30: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

30

3. Jenis Bahan Bakar Minyak Umum (JBU) yang selanjutnya

disebut Jenis BBM Umum adalah bahan bakar yang berasal

dan/atau diolah dari Minyak Bumi dan/atau bahan bakar yang

berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi yang telah

dicampurkan dengan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai

Bahan Bakar Lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi)

tertentu dan tidak diberikan subsidi.

Pamugar (2017) menjelaskan Peraturan Menteri ESDM Nomor

39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM,

sebagaimana telah diubah ke Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun

2015 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2015 (Antara

news, 2016). Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 menjelaskan

bahwa subsidi BBM hanya untuk Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu

(JBT) yang terdiri dari minyak solar (gas oil) dan minyak tanah

(kerosene). Minyak solar diberikan subsidi tetap dari selisih kurang

harga dasar per liter setelah ditambah pajak-pajak sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Besaran subsidi minyak

solar di tahun 2016 adalah sebagai berikut:

1. Tanggal 1 Januari s.d. 30 Juni 2016, besaran subsidi minyak

solar (gas oil) diatur berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.

39 Tahun 2015 tanggal 9 November 2015 tentang Perubahan

Kedua atas Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2014

tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak

dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perhitungan harga

Page 31: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

31

jual eceran jenis BBM tertentu berupa minyak solar (gas oil) di

titik serah, untuk setiap liter ditetapkan dengan formula sesuai

dengan harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)

dikurangi subsidi sebesar Rp 1.000,00.

2. Tanggal 1 Juli s.d. 31 Desember 2016, besaran subsidi minyak

solar (gas oil) diatur berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.

27 Tahun 2016 tanggal 13 Oktober 2016 tentang Perubahan

Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2014

tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak

dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perhitungan harga

jual eceran jenis BBM tertentu berupa minyak solar (gas oil) di

titik serah, untuk setiap liter ditetapkan dengan formula sesuai

dengan harga dasar ditambah PPN dan PBBKB dikurangi

subsidi sebesar Rp.500,00. Sedangkan subsidi untuk minyak

tanah adalah selisih kurang antara harga jual eceran per liter

dikurangi pajak-pajak dengan harga dasar per liter.

2.3. Dampak Subsidi Energi Fosil Terhadap LingkunganTingkat degradasi lingkungan dapat dijelaskan oleh Kurva

Kuznets Lingkungan (EKC) (Stern, 2004). Menurut Kurva Kuznets

Lingkungan (EKC) bahwa pada awal pembangunan, kondisi

perekonomian akan menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi begitu

tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu, masyarakat mulai sadar akan

pentingnya lingkungan, sehingga laju degradasi lingkungan berkurang.

Page 32: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

32

Namun, beberapa hasil studi menunjukkan tidak ada jaminan bahwa

pertumbuhan ekonomi akan mengarah ke lingkungan yang lebih baik.

Paling tidak, ini membutuhkan kebijakan dan sikap yang kuat untuk

memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan

lingkungan membaik. Studi Sasana dan Putri (2018) menemukan

bahwa subsidi energi fosil mendorong peningkatan emisi CO2 dan

meningkatkan biaya sosial.

Sementara itu, dampak penggunaan energi yang berlebihan

adalah peningkatan gas CO2. Gas CO2 adalah senyawa kimia yang

terdiri dari dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan atom

karbon. Tidak berwarna, tidak berbau, dan berbentuk gas pada suhu dan

tekanan standar dan ada di atmosfer bumi. Gas CO2 dapat diproduksi

melalui berbagai proses dalam industri petrokimia atau dengan

membakar gas alam dalam proses kogenerasi. Yusgiantoro (2000)

menyebutkan energi eksternalitas (extern energy) sebagai eksternalitas

yang dapat terjadi dan menghubungkan antara gas rumah kaca dan

konsumsi energi; semakin besar konsumsi energinya, semakin besar

gas rumah kaca akan diproduksi.

Studi Riyakad dan Chiarakorn (2015) tentang efek konsumsi

energi pada emisi rumah kaca menemukan bahwa konsumsi energi

yang digunakan dalam proses produksi terbukti menghasilkan emisi gas

rumah kaca. Emisi gas rumah kaca yang dipancarkan dari LPG,

konsumsi listrik, dan dekomposisi kalsium karbonat masing-masing

adalah 80,97%, 18,62%, dan 0,41%. Sementara itu, studi Sheinbaum-

Page 33: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

33

Pardo et al. (2012) di Meksiko pada periode 1990-2008 menemukan

bahwa ada beberapa perubahan penting dalam efek struktural yang

dapat menurunkan emisi pada 10 subsektor industri manufaktur.

Intensitas energi dan indeks karbon yang diuji memiliki efek negatif

pada semua subsektor kecuali semen dan beberapa subsektor lainnya.

Grafik 2.2. menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat

signifikan dalam penggunaan energi fosil dan energi terbarukan di

Indonesia selama tahun 1990-2014. Persentase penggunaan energi fosil

pada tahun 1990 adalah 53,43%, dan meningkat menjadi 65,56% pada

tahun 2014. Namun, persentase penggunaan energi terbarukan

cenderung menurun dari 44,11% pada tahun 1990 menjadi 26,2% pada

tahun 2014. Peningkatan penggunaan energi fosil terkait dengan

kebijakan fiskal pemerintah Indonesia yang memberikan subsidi

substansial untuk energi fosil. Pada 2015, alokasi subsidi bahan bakar

adalah Rp. 276,0 triliun (US $ 22,1 miliar), dan subsidi listrik adalah

Rp.68,7 triliun (US $ 5,5 miliar), sehingga total komitmen subsidi

energi adalah Rp.344,7 triliun (US $ 27,6 miliar) (Kementerian

Keuangan Republik Indonesia, 2015). Meningkatnya penggunaan

energi fosil berdampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatnya

biaya sosial. Data empiris tentang subsidi energi dan biaya sosial pada

Grafik 2.3.

Grafik 2.2. Persentase Konsumsi Energi Fossil, Energi Terbarukan, dan Energi Lainnya di Indonesia Tahun 1990-2014

Page 34: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

34

1990199119921993199419951996199719981999200020012002200320042005200620072008200920102011201220132014

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Fossil (%) Renewable Energy (%) others (%)

Sumber : World Bank, diolah

Grafik 2.3. Subsidi Energi dan Biaya Sosial di Indonesia selama 1990-2014 (Milliar Rupiah)

Sumber : Kementrian Keuangan, diolah

Sebagaimana dibahas sebelumnya, semakin tinggi pemerintah

mensubsidi energi fosil semakin tinggi konsumsi energi fosil.

Meningkatnya konsumsi energi fosil akan menghasilkan dampak

negatif terhadap lingkungan, dan akibatnya semakin banyak biaya

sosial yang harus ditanggung pemerintah. Ellis (2010) telah

Page 35: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

35

memperingatkan bahwa subsidi harus bertanggung jawab terhadap

kerusakan lingkungan yang menyebabkan polusi udara terkait kematian

dini, memperburuk kemacetan, efek samping yang merugikan sistem

transportasi, dan efek emisi gas rumah kaca.

Subsidi energi adalah kebijakan fiskal yang diterapkan untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, menurut Asian

Development Bank (2015), subsidi berkontribusi terhadap

ketidakseimbangan fiskal di banyak negara dan meningkatkan kerugian

operasional untuk utilitas. Selain itu, subsidi bahan bakar fosil memiliki

konsekuensi negatif lain yang tidak diinginkan karena membatasi

pengeluaran publik untuk prioritas pembangunan seperti pendidikan,

kesehatan, dan infrastruktur. Oleh karena itu, subsidi menjadi sarana

mahal untuk mendukung rumah tangga berpendapatan rendah dan

mendorong konsumsi berlebihan melalui harga energi yang rendah,

yang meningkatkan polusi udara, dan emisi gas rumah kaca. Kebutuhan

untuk mereformasi subsidi bahan bakar fosil telah semakin diakui

secara nasional dan internasional untuk menghapus subsidi yang tidak

efisien. Itu adalah trade off antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas

lingkungan.

Subsidi meningkatkan volume bahan bakar yang dikonsumsi,

dan meningkatkan besarnya eksternalitas negatif terkait (Peltovuori,

2017). Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan kembali

kebijakan energi yang dikeluarkan untuk menyelesaikan efek negatif

dari energi fosil yang digunakan. Salah satu solusi yang memungkinkan

Page 36: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

36

untuk risiko lingkungan yang ditimbulkan oleh meningkatnya

permintaan energi adalah dengan mempertimbangkan perubahan

kebijakan komposisi portofolio sumber daya energi (Abulfotuh, 2007).

Peningkatan penggunaan energi terbarukan dalam industri listrik

menjadi fokus pembahasan beberapa negara, karena memiliki potensi

besar untuk menyelesaikan hal utama terkait keberlanjutan energi

global.

Para ekonom menganggap subsidi bahan bakar fosil tidak hanya

meningkatkan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap

perubahan iklim, tetapi juga mendorong konsumsi sumber daya yang

boros (Sdralevich et al., 2014). Liberty et al. (2013) menyatakan energi

fosil adalah energi yang tidak terbarukan yang akan habis pada suatu

saat, dan membakarnya menghasilkan gas rumah kaca. Oleh karena itu,

energi fosil tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan energi.

Akibatnya, diperlukan energi terbarukan dan berkelanjutan yang dapat

digunakan berulang kali.

Studi Coady et al. (2017) menyatakan bahwa efisiensi ekonomi

membutuhkan harga energi yang mencerminkan tidak hanya biaya

pasokan tetapi juga biaya lingkungan seperti pemanasan global, polusi

udara, dan pajak yang diterapkan pada barang-barang konsumen secara

umum. Borenstein (2012) berpendapat bahwa tujuan utama kebijakan

mempromosikan energi terbarukan adalah untuk memperbaiki

eksternalitas polusi dari pembakaran bahan bakar fosil. Myojo dan

Ohashi (2014) telah melakukan simulasi selama 1997-2007 terjadi

Page 37: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

37

peningkatan instalasi perumahan panel surya, sehingga emisi berkurang

sebesar sepertiga persen dari emisi tahunan di Jepang

Karbon dioksida (CO2) adalah senyawa kimia yang terdiri dari

dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan atom karbon. CO2

berbentuk gas pada suhu dan tekanan standar dan hadir di atmosfer

Bumi. Selain itu, CO2 adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau

yang dapat diproduksi oleh semua hewan, tanaman, jamur, dan

mikroorganisme. CO2 juga dapat dihasilkan dari efek samping dari

pembakaran energi fosil

Thao dan Van (2016) menyatakan bahwa konsumsi energi

memiliki dampak positif pada ekonomi, tetapi tidak bagi lingkungan.

Konsumsi energi secara luas dikenal sebagai alasan utama terjadinya

pemanasan global dan perubahan iklim, khususnya konsumsi energi

fosil. Dampak buruk lingkungan dari energi yang digunakan tidak

hanya berasal dari konsumsi energi tetapi juga dari proses eksploitasi.

Sementara itu, konsumsi energi terbarukan memiliki hubungan negatif

dengan emisi CO2, yang berarti bahwa peningkatan konsumsi energi

terbarukan akan mengurangi emisi CO2.

Sementara itu, Ito (2017) menemukan konsumsi energi fosil

dapat menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan karena sisa

pembakaran energi fosil berbahaya bagi lingkungan; sementara itu,

residu energi terbarukan dianggap lebih ramah lingkungan. Shafei dan

Ruhul (2013) yang melakukan studi di negara-negara OECD pada

Kuznets Curve Hypothesis (EKC) antara urbanisasi dan emisi CO2

Page 38: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

38

menemukan bahwa konsumsi energi yang tidak terbarukan memiliki

hubungan positif dengan emisi CO2, yang berarti bahwa peningkatan

konsumsi energi non-terbarukan akan meningkatkan emisi CO2.

Sebaliknya, konsumsi energi terbarukan memiliki hubungan negatif

dengan emisi CO2, yang berarti bahwa peningkatan konsumsi energi

terbarukan akan mengurangi emisi CO2.

Sementara itu penelitian lain menyebutkan bahwa penghentian

subsidi bahan bakar dan listrik dapat mengurangi tingkat pengeluaran

emisi CO2 nasional sebesar 6,71% pada 2020, dengan kontribusi 6,66%

dari pencabutan subsidi BBM dan 0,92% dari pencabutan subsidi listrik

(Yusuf dkk.,2010).

2.4. Dampak Subsidi Energi Terhadap Pertumbuhan EkonomiPara ekonom telah melakukan berbagai penelitian mengenai

dampak penerapan kebijakan subsidi energi. Kajian Lestari (2003)

menyimpulkan bahwa kenaikan harga energi memiliki dampak negatif

dan positif. Dampak negatif diasosiasikan dengan perlambatan

ekonomi karena naiknya harga BBM membawa efek bagi besaran-

besaran makro ekonomi, seperti kenaikan inflasi dan penurunan

pertumbuhan ekonomi. Dampak positif kenaikan harga BBM terutama

dalam jangka panjang terkait lepasnya ketergantungan terhadap

minyak, dan berkurangnya subsidi BBM yang membebani APBN

dalam memberikan jaminan terhadap sustainable development.

Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan energi untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang sangat

Page 39: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

39

besar. Studi Sasana dan Gozali (2017) di negara-negara BRICS

membuktikan bahwa konsumsi energi fosil, terutama energi batubara,

memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah instrumen paling kuat untuk

mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup di negara-

negara BRICS. DFID (2017) telah mengidentifikasi hubungan antara

pertumbuhan ekonomi dan pengembangan kebijakan: (1) Pertumbuhan

ekonomi membantu orang untuk mengentaskan kemiskinan, (2)

Pertumbuhan ekonomi mengubah masyarakat, (3) Pertumbuhan

ekonomi menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan pembangunan

manusia, (5) Pertumbuhan ekonomi meningkatkan kesehatan dan

pendidikan.

Araghi dan Barkhordari (2012) membuktikan bahwa harga

energi yang tinggi akan menurunkan konsumsi energi oleh rumah

tangga dalam jangka panjang. Demikian pula, Kojima (2017) dalam

studi kasusnya mengklaim bahwa menghapus subsidi energi

mempengaruhi kesejahteraan orang miskin. Selanjutnya, Oktaviani

dkk. (2007) dan Abouleinein et al. (2009) menegaskan bahwa

penghapusan subsidi energi menginduksi penurunan kesejahteraan

untuk semua kelas pendapatan, peningkatan kemiskinan, penurunan

pendapatan rumah tangga, dan pengurangan ketidaksetaraan dan rata-

rata pertumbuhan PDB tahunan. Selain itu, studi Lin dan Jiang (2011)

menggunakan model CGE untuk menganalisis dampak ekonomi dari

reformasi subsidi energi menunjukkan bahwa menghapus subsidi

Page 40: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

40

energi akan mengakibatkan penurunan signifikan dalam permintaan

energi dan emisi, tetapi akan menciptakan dampak negatif pada

variabel ekonomi makro. Menurut Asian Development Bank (2015),

subsidi bahan bakar fosil telah menjadi fitur utama di banyak ekonomi

Asia dan bukan hanya Indonesia. Subsidi tersebut dapat dikategorikan

ke dalam subsidi konsumen yang menguntungkan pengguna seperti

industri transportasi, manufaktur, dan pembangkit listrik. Subsidi

produsen untuk menurunkan biaya bagi produsen yang terlibat dalam

eksplorasi, ekstraksi, atau pemrosesan produk energi.

Penelitian lainnya menyoroti kaitan antara sektor BBM dengan

sektor transportasi. Studi Breisinger et al. (2012) menyatakan

penurunan subsidi BBM akan berdampak langsung terhadap sektor

trnsportasi, yang ditandai dengan kenaikan tarif transportasi.

Sedangkan pada sektor yang tidak terkait langsung dengan BBM, maka

penurunan subsidi BBM yang terjadi tidak secara cepat direspon oleh

sektor tersebut (cenderung lambat).

Respon dari sektor yang terkena dampak langsung penurunan

subsidi BBM, seperti kenaikan tarif angkutan, menyebabkan turunnya

pendapatan riil masyarakat. Selain itu, kenaikan tarif juga memicu

peningkatan biaya produksi sektor lain yang menjadi konsumennya.

Dengan demikian, sektor yang terkena dampak langsung akan

mempengaruhi turunnya pendapatan riil masyarakat melalui kenaikan

harga produknya dan kenaikan harga dari sektor lain selaku pengguna

sektor yang terkena dampak langsung. Oleh karena itu, penanganan

Page 41: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

41

dampak penurunan subsidi pada sektor yang terkait langsung dengan

BBM menjadi penting untuk meredam dampak jangka pendek

(Kurniawati, 2017). Penanganan dampak penurunan subsidi BBM

dalam jangka pendek juga dapat diberikan dalam bentuk cash transfer

berupa bantuan langsung tunai (BLT). Pemberian dana kompensasi

berupa BLT diharapkan dapat mengantisipasi peningkatan jumlah

rumah tangga hampir miskin (yang rentan terhadap gejolak ekonomi

dan force majeur lain) menjadi kelompok miskin, bahkan sangat

miskin.

Menurut World Resource Institute, Indonesia merupakan negara

berkembang dengan sumber daya alam yang melimpah, namun

Indonesia merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar

ke-6. Beberapa sumber daya alam Indonesia berpotensi sumber energi,

baik energi fosil maupun terbarukan, yang dapat mendorong

perkembangan ekonominya. Gerelmaa dan Kotani (2016) menyatakan

bahwa sumber daya alam yang melimpah memiliki dampak positif pada

pertumbuhan ekonomi. Mereka mengidentifikasi negara-negara yang

memiliki sumber daya alam yang melimpah pada tahun 1990 an

mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik pada periode 1990 hingga

2010.

2.5. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Kualitas LingkunganAkumulasi kerusakan lingkungan selama proses pembangunan

ekonomi tidak selamanya mengalami peningkatan, namun pada masa

tertentu, yang terjadi adalah pembangunan ekonomi akan menutup

Page 42: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

42

kerusakan lingkungan itu sendiri. Hipotesis ini kemudian dikenal

sebagai Environmental Kuznets Curve. EKC berawal dari analogi

Kurva Kuznets yang menggambarkan dalam proses pembangunan

ekonomi, akan terjadi peningkatan kesenjangan (inequality), namun

pada suatu masa, pembangunan ekonomi akan mengurangi kesenjangan

tersebut (Vogel, 2012). Analisis EKC diperkenalkan oleh Grossman &

Krueger (1991) dan Shafik & Bandyopadhyay (1992).

Adanya hipotesis EKC diharapkan dapat memprediksi dampak

perkembangan perekonomian terhadap kondisi lingkungan, sehingga

dapat menjadi pertimbangan pihak terkait untuk mengatasinya. Meski

demikian, selama proses pembangunan seperti yang dinyatakan

hipotesis EKC pada Gambar 2.4, beberapa hal perlu diperhatikan.

Andreoni & Levinson(2001) menjelaskan bahwa terbuktinya hipotesis

EKC bergantung pada: (1) perubahan komposisi produksi dan

konsumsi; (2) preferensi masyarakat terhadap keberlangsungan

lingkungan; (3) peran institusi terkait yang menangani eksternalitas

kegiatan ekonomi; dan (4) seberapa besar return to scale atas kegiatan

yang merugikan lingkungan.

Gambar 2.4. Environmental Kuznets Curve (EKC)

Page 43: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

43

Sumber: Uchiyama (2016)

Studi empiris mengenai hipotesis EKC telah dilakukan beberapa

peneliti dengan kasus berbagai negara. Arouri et al.. (2013)

menggunakan pendekatan metode kausalitas dan kointegrasi ARDL

menunjukkan bahwa hipotesis EKC terkonfirmasi di Thailand.

Selanjutnya, konsumsi energy dan keterbukaan perdagangan

internasional meningkatkan emisi polutan, sedangkan urbanisasi

penduduk justru sebaliknya. Dengan pendekatan yang sama, Ali and

Azam (2016) juga mengkonfirmasi hipotesis EKC di Malaysia, begitu

pula temuan Bölük & Mert (2014) di Turki.

Studi Olale et al.. (2018) menggunakan model Pooled effect

(PEM) dan model Fixed effect (FEM) pada provinsi dan daerah

teritorial di Kanada tahun 1990-2014, menggunakan proksi efek rumah

kaca (greenhouse emission) sebagai indikator kerusakan lingkungan.

Hasil studi menunjukkan bahwa kedua model menunjukkan kesimpulan

yang berbeda dimana berdasarkan model PEM, EKC terkonfirmasi

hanya di beberapa daerah, sedangkan berdasarkan model FEM, EKC

Page 44: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

44

terkonfirmasi di seluruh wilayah di Kanada. Dari penelitian ini

disimpulkan bahwa karakteristik antar daerah dan inovasi teknologi

menjadi kunci pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Penelitian mengenai hipotesis EKC juga telah dilakukan

beberapa peneliti di Indonesia. Studi Saboori & Soleymani (2011)

menggunakan pendekatan Autoregressive Distributed Lag (ARDL)

dengan sampel tahun 1971-2007 menemukan bahwa hipotesis EKC

tidak terkonfirmasi di Indonesia. Secara spesifik, penelitian

mengestimasi emisi CO2 terhadap faktor keterbukaan perdagangan,

konsumsi energi, dan pertumbuhan ekonomi dalam bentuk pangkat satu

dan pangkat dua. Temuan yang ada terjadi hubungan kurva U (U-

shaped curve) antara pertumbuhan ekonomi dan emisi CO2, artinya

dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi akan mengurangi emisi,

kemudian ketika telah mencapai turning point, peningkatan

pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan emisi CO2.

Sedangkan studi Sugiawan & Managi (2016) juga

menggunakan pendekatan ARDL dengan sampel tahun 1971-2010

mengkonfirmasi adanya fenomen EKC di Indonesia. Berbeda dengan

hasil temuan Saboori & Soleymani (2012), Sugiawan & Managi(2016)

mengkritik penelitian sebelumnya yang belum memasukkan faktor

energi terbarukan dalam modelnya. Hasil temuan menunjukkan bahwa

pertumbuhan ekonomi pada jangka pendek akan meningkatkan emisi

CO2, sedangkan pada jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan

menurunkan emisi CO2. Peran energi terbarukan yang diproksikan

Page 45: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

45

dengan produksi listrik berbahan renewable resources memiliki

pengaruh dapat mengurangi emisi CO2 baik dalam jangka pendek

maupun jangka panjang. Menurut studi ini, turning-point pertumbuhan

ekonomi akan diiringi penurunan emisi CO2 akan dicapai saat GDP

perkapita Indonesia mencapai 7729 USD, dimana kondisi ini belum

tercapai.

Grafik 2.4. Hubungan antara GDP dan Emisi CO2 di Indonesia Tahun 1960-2014

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000

CO2 emissions (kt)

01000000000002000000000003000000000004000000000005000000000006000000000007000000000008000000000009000000000001000000000000

GDP

(con

stan

t 201

0 U

S$)

Sumber : World Bank, diolah

Grafik 2.4. menunjukkan bahwa Indonesia memasuki fase 2

dalam Environment Kusnetz Curve (EKC) hal ini ditunjukkan dengan

grafik yang meningkat, tetapi nilai koefisien dari variabel kuadrat

negatif. Artinya, peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dari

tahun ke tahun lebih besar dibandingkan peningkatan emisi CO2.

BAB 3 METODE PENELITIAN

Page 46: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

46

3.1. Lokasi StudiStudi ini dilaksanakan di Indonesia selama periode tahun 1990 –

2014. Indonesia sebagai negara berkembang menggunakan energi fosil

dan energi terbarukan seiring dengan laju industrialisasi. Selama ini

subsidi bahan bakar fosil tidak hanya meningkatkan emisi gas rumah

kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, tetapi juga

mendorong konsumsi yang boros. Subsidi bahan bakar fosil sering

dimanfaatkan dalam perpolitikan dengan motif membantu rakyat

miskin termasuk di Indonesia (Sdralevich et al., 2014).

3.2. Jenis dan Sumber Data Secara umum studi ini menggunakan data sekunder time series

dari berbagai sumber. Data sekunder yang digunakan bersumber dari :

1. World Development Indicator-World Bank

2. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia

3. Kementrian Keuangan Republik Indonesia

Studi ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu analisis dampak

subsidi energi terhadap kualitas lingkungan (dengan indikator emisi

CO2), analisis dampak subsidi energi terhadap pertumbuhan ekonomi,

dan analisis dampak subsidi energi terhadap biaya sosial.

3.3. Metode AnalisisMetode Analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda

(multiple regression model) dan diestimasi menggunakan Ordinary

Page 47: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

47

Least Square (OLS) (Gujarati & Porter, 2009). Analisis dibagi menjadi

3 bagian: pertama, adalah analisis dampak subsidi energi terhadap

kualitas lingkungan (emisi CO2), kedua adalah analisis dampak subsidi

energi terhadap pertumbuhan ekonomi, dan ketiga, analisis dampak

subsidi energi terhadap biaya sosial.

3.3.1. Analisis Dampak Subsidi Energi Terhadap Kualitas Lingkungan (Emisi CO2)

Analisis dampak subsidi energi terhadap kualitas lingkungan

(emisi CO2) model persamaan regresinya adalah :

Definisi variabel, satuan, dan sumber data pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1. Variabel, Satuan, dan Sumber Data Penelitian

No Variabel Sim Satuan Sumber

1. Emisi karbondioksia CO2 Kilotonne World Bank

2. GDP GDP US$ (konstan 2010) World Bank3. Energi primer EP Kg of oil equivalent per capita World Bank4. Subsidi energy SE Miliar Rupiah Kemenkeu RI

5. Energi terbarukan RE Persentase (%) World bank

6. Pertumbuhan penduduk PO Persentase (%) BPS

3.3.2. Analisis Dampak Subsidi Energi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Analisis dampak subsidi energi terhadap pertumbuhan ekonomi

model persamaan regresinya adalah :

Page 48: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

48

)

Definisi operasional variabel, satuan, dan sumber dijelaskan pada Tabel

3.2. berikut:

Tabel 3.2. Variabel, Satuan, dan Sumber Data Penelitian

No Variabel Simbol Satuan Sumber

1. GDP GDP US$ (konstan 2010) World bank

2. Energi fosil FO Kg of oil equivalent World bank

3. Subsidi energi SE Milliar Rupiah Kemenkeu

4. Pertumbuhan Penduduk

PO Persentase (%) BPS

5. Energi Terbarukan RE Rasio energy terbarukan thd total energy (%)

World bank

3.3.3. Analisis Dampak Subsidi Energi Terhadap Biaya Sosial

Analisis dampak subsidi energi terhadap biaya sosial model

persamaan regresinya adalah :

Definisi operasional variabel, satuan, dan sumber dijelaskan pada Tabel

3.3. berikut:

Tabel 3.3. Variabel Penelitian Persamaan Regressi Biaya Sosial

N Variabel Simbo

l

Satuan Sumber

Page 49: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

49

o

1. Biaya Sosial SC Milliar Rupiah World bank

2. Emisi karbondioksia CO2 Kilotonne World Bank

3. Subsidi energi SE Milliar Rupiah Kemenkeu RI

5. Energi Terbarukan RE Rasio energy terbarukan thd total energy (%)

World bank

BAB 4 DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

Page 50: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

50

Indonesia adalah negara kepulauan, terletak di lokasi geografis

yang strategis. Populasi Indonesia terbanyak keempat di dunia. Kondisi

ini membuat Indonesia memiliki potensi sekaligus tantangan di masa

depan. Pada saat yang sama, Indonesia juga memiliki banyak sumber

daya alam yang mendukung kebutuhan pembangunan infrastruktur dan

pertumbuhan ekonomi. Dalam 30 tahun terakhir, tingkat rata-rata

pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5%. Tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi ini sejalan dengan perkembangan industrialisasi

yang tumbuh setiap tahun rata-rata 3,2% dari tahun 1998 hingga 2015.

Di bidang energi, konsumsi energi primer juga telah dikembangkan.

Administrasi Informasi Energi A.S. mencatat bahwa ada peningkatan

substansial dalam konsumsi energi primer Indonesia antara tahun 1995-

2014 sebesar 3,29 -7,38 Btu; pada tahun 2014 meningkat sebesar 4,8%.

Semakin besar penggunaan konsumsi energi semakin besar

emisi atau polusi yang dihasilkan, salah satunya adalah CO2. Emisi gas

CO2 yang dihasilkan dari proses optimasi energi terus meningkat

seiring laju industrialisasi di Indonesia yang meningkat. Pada tahun

1990-2014, peningkatan emisi CO2 yang dihasilkan dari optimasi

energi adalah 4,5% per tahun atau setara dengan 0,045 juta metrik ton.

Menyadari pentingnya energi dalam mendorong perekonomian

negara ke depan, pemerintah Indonesia memberikan kebijakan subsidi

energi. Data dalam APBN menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan

subsidi energi oleh pemerintah Indonesia setiap tahun dalam 20 tahun

Page 51: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

51

terakhir adalah IDR 2.815.544.579. Jumlah subsidi energi yang

disediakan oleh pemerintah mencerminkan jumlah penggunaan energi.

Penggunaan energi di Indonesia belum sepenuhnya optimal

untuk menyeimbangkan produksi dan konsumsi. Permintaan energi

sebagian besar dipasok dan diproses oleh Indonesia; sebagian besar

energi kita juga diekspor ke luar negeri. Faktanya, pertumbuhan

konsumsi energi Indonesia sekitar dua kali lipat dari pertumbuhan

produksi, dan 96% energinya tidak ramah lingkungan (Mujiyanto dan

Tiess, 2013). Posisi Indonesia masih merupakan eksportir bersih, dan

menurut Badan Statistik Indonesia (2017), 64,8% energi di Indonesia

diekspor mentah (lihat Grafik 4.1). Keadaan ini menyarankan bahwa

ada dua hambatan sekaligus; teknologi yang belum mapan untuk

mengoptimalkan produksi energi dan dampak negatif masa depan dari

penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan.

Grafik 4.1. Net Export of Indonesia Tahun 1971-2014

1971 1976 1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 20160%20%40%60%80%100%120%140%160%

Sumber: World Development Indicator-World Bank (2017)

Page 52: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

52

Produksi energi di Indonesia sebagian besar bersumber dari

minyak bumi, batu bara, biomassa, geotermal, beofuel, dan gas. Pada

Grafik 4.2., dalam kurun waktu 5 tahun penggunaan energi berbahan

minyak meningkat setiap tahunya hingga pada tahun 2014 mencapai

38,25%. Sedangkan untuk penggunaan energi fosil lainya terlihat lebih

fluktuatif, dan untuk sumber energi terbarukan justru memiliki porsi

yang kecil pada pasokan energi di Indonesia.

Grafik 4.2. Proporsi Pasokan Energi fosil Indonesia 2009-2014

2009 2010 2011 2012 2013 20140%

20%

40%

60%

80%

100%

36.94% 34.02% 37.62% 38.45% 38.89% 38.37%

18.24% 20.59% 22.22% 22.35% 19.82% 20.61%19.37% 19.70% 17.41% 16.81% 17.69% 17.48%

22.12% 21.55% 19.88% 19.49% 20.04% 19.96%

Oil Coal Gas Water Geothermal Biomass Biofuel

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

4.1. Subsidi dan Harga Energi Ermawati (2015) menjelaskan secara komprehensif terkait

subsidi dan harga BBM di Indonesia. Jumlah subsidi BBM yang

dianggarkan oleh pemerintah terus meningkat, rata-rata

pertumbuhannya sekitar 30.66% selama tahun 2006-2014. Pada tahun

2006 jumlah subsidi BBM sebesar Rp. 64.212,10 milyar menjadi Rp.

210.735,50 milyar tahun 2014. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun

2011 sebesar 100,56% dari Rp. 82.351,30 milyar (tahun 2010) menjadi

Page 53: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

53

Rp. 165.161,30 milyar pada tahun 2011. Pengeluaran subsidi BBM

yang besar tersebut dilakukan karena disatu sisi pemerintah ingin tetap

mempertahankan harga BBM sebesar Rp. 4.500,00 per liter, disisi yang

lain harga minyak mentah dunia meningkat cukup drastis (sebesar

18,75 %) dari US$ 80 per barel pada tahun 2010 menjadi 95 per barel

pada tahun 2011. Seiring dengan semakin meningkatnya permintaan,

harga minyak mentah dunia terus naik. Tahun 2012 menembus harga

US$ 106,9 per barel, maka pilihan yang dilakukan oleh pemerintah

adalah dengan menaikkan harga BBM menjadi Rp. 6.500,00 per liter

pada tahun 2013 (lihat Grafik 4.3.).

Grafik 4.3. Perkembangan Subsidi BBM Tahun 2006-2014 (Milyar Rupiah)

Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Pada November 2014 harga minyak menurun bahkan

menembus angka US$ 76,3 per barel, disebabkan pasokan minyak

mentah dunia yang melimpah akibat keputusan OPEC yang tidak mau

memangkas produksi minyaknya. Namun pemerintah pada 17

Page 54: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

54

November justru mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM

sebesar Rp. 2.000,00 untuk premium dari Rp. 6.500,00 menjadi Rp.

8.500,00 dan solar dari Rp. 5.500,00 menjadi Rp. 7.500,00. Padahal

harga minyak mentah dunia masih jauh dibawah asumsi harga BBM

dalam APBNP 2014 sebesar US$ 105 per barel. Hal tersebut dilakukan

pemerintah karena memandang bahwa subsidi BBM selama ini sangat

memberatkan APBN, dan dapat dialihkan untuk belanja yang lebih

produktif. Seperti membangun dan memperbaiki infrastruktur jalan,

mempercepat realisasi pembangunan pembangkit baru, dan juga

pembangunan sektor maritim serta kelautan yang selama ini menjadi

prioritas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Menurut Kementerian ESDM (2014) kenaikan harga BBM pada

November 2014 dilakukan untuk menghemat anggaran subsidi sebesar

Rp. 100 – Rp.120 triliun, dan akan dialihkan untuk peningkatan sektor

yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan

pendidikan. Hal senada juga diungkapkan oleh Gubernur Bank

Indonesia Martowardojo (Detik Finance,2014), bahwa kenaikan harga

BBM sebesar Rp. 2.000,00 per liter mampu menghemat anggaran

sebesar Rp. 20,00 triliun pada tahun 2014 dan bisa mencapai Rp.

111,00 triliun pada tahun 2015.

Dalam perkembangannya, harga minyak mentah dunia terus

menurun, bahkan pada 26 Desember 2014 menembus US$ 59,45 per

barel. Kondisi tersebut mendorong pemerintah untuk menurunkan

harga BBM pada 1 januari 2015, untuk jenis premium turun Rp. 900,00

Page 55: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

55

dari Rp. 8.500,00 menjadi Rp.7.500,00 sementara solar dari Rp.

7.500,00 menjadi Rp. 7.250,00. Dalam rangka mengurangi anggaran

subsidi, pemerintah tidak akan memberikan subsidi terhadap BBM

khususnya premium, dan akan memberlakukan harga patokan premium

berdasarkan harga keekonomian, yaitu mengikuti fluktuasi harga

minyak mentah dunia serta nilai kurs. Untuk solar dan minyak tanah

akan tetap diberlakukan subsidi, besaran subsidi untuk solar Rp.

1.000,00 per liter dan harga minyak tanah ditetapkan menjadi Rp.

2.500,00 per liter. Solar dan minyak tanah banyak digunakan oleh

masyarakat kalangan menengah bawah untuk aktivitas ekonomi seperti

bahan bakar untuk nelayan, angkutan umum, dan lainnya.

Sampai dengan Januari 2015, perkembangan harga minyak

mentah dunia terus melemah, pada 14 januari 2015 (Forex,2015)

melaporkan bahwa harga minyak mentah Brent terus turun dibawah U$

60 per barel menjadi U$ 45,73 per barel, dan WTI sebesar US$ 45,35

per barel. Sehingga pada 19 Januari pemerintah kembali menurunkan

harga premium menjadi Rp. 6.600,00 per liter, dan solar Rp. 6.400,00

per liter. Namun apabila harga minyak mentah dunia kedepan mulai

naik dan stabil pada kisaran US$ 80 per barel dan nilai kurs tetap sama

di Rp. 12.300,00. Satu barel setara dengan 159 liter, maka diperkirakan

harga minyak mentah Indonesia berkisar Rp. 6.000,00 per liter. Dengan

asumsi biaya produksi dan pajak serta pemasaran minyak mentah

menjadi premium siap pakai sekitar Rp. 3.000,00 per liter, maka harga

keekomoniannya menjadi sekitar Rp. 9.200,00 per liter. Dengan tidak

Page 56: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

56

adanya subsidi maka masyarakat harus membeli premium seharga Rp.

9.200,00 per liter. Jika harga minyak mentah terus naik dan seperti

yang terjadi pada awal 2014 sekitar U$ 100 per barel dan asumsi nilai

kurs Rp. 13.000,00 maka masyarakat harus siap membayar premium

dengan harga sekitar Rp.11.100,00 per liter.

Dengan tidak adanya subsidi premium, ketika harga minyak

mentah dunia US$ 80-100 per barel, harga keekonomian premium

diperkirakan berada pada kisaran Rp. 9.200,00 – Rp.11.100,00 per liter.

Dibandingkan dengan harga bioetanol yang berkisar Rp. 8.000,00 –

Rp.9.500,00 per liter, maka harga energi terbarukan khususnya

bioetanol bisa jauh lebih murah.

Energi dari Bahan Bakar Nabati (BBN) sendiri sudah ada

subsidi yang diberlakukan oleh pemerintah semenjak tahun 2009.

Subsidi diberikan ketika harga BBN lebih tinggi dari harga MOPS (Mid

Oil Platts Singapura) yang ditagihkan oleh badan usaha pelaksana PSO

(tidak oleh produsen BBN) kepada pemerintah. Proses verifikasi data

jumlah subsidi yang akan dibayarkan dari kementerian keuangan

kepada badan pelaksana PSO dilakukan oleh BPH Migas. Pada tahun

2009 besaran subsidi BBN Rp. 1.000,00 per liter, pada tahun 2010-

2011 sebesar Rp. 2.000,00. Tahun 2014 mengalami kenaikan subsidi

biodiesel untuk transportasi PSO sebesar Rp. 3.000,00 per liter,

sementara untuk bioetanol sebesar Rp. 3.500,00 per liter.

Page 57: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

57

Gambar 4.1. Komposisi Subsidi BBM Tahun 2015 Sebelum Kenaikan Harga BBM Tanggal 1 Januari 2015

Sumber : Kementerian ESDM (2014)

Persentase subsidi biofuel masih sangat kecil dibandingkan

dengan subsidi BBM jenis lainnya. Dari jumlah subsidi BBM yang

direncanakan tahun 2015 sebesar Rp. 276,01 triliun (sebelum kenaikan

harga BBM Januari 2015), proporsinya adalah sebesar 39,23% untuk

subsidi premium, 29,08% untuk subsidi solar, 2,20% untuk subsidi

minyak tanah, 19% untuk subsidi gas elpiji 3 kg, dan sisanya 9,52%

(sebesar Rp. 26,27 triliun) untuk subsidi biofuel dan liquid gas for

vehicle (LVG) (lihat Gambar 4.1). Kebijakan penghapusan subsidi

premium, alokasi subsidi pun berubah, menurut Menteri Keuangan

Brojonegoro dari 81 triliun subsidi BBM yang dianggarkan berubah

menjadi Rp.25 triliun untuk membayar utang kepada PT Pertamina

Page 58: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

58

untuk carry over atau hutang subsidi tahun lalu, 17 triliun dialokasikan

untuk subsidi solar, 23 triliun untuk elpiji 3 kg, dan Rp. 6 triliun untuk

subsidi minyak tanah, dan sisanya biofuel dan LGV (Republika, 2015).

Setelah kebijakan pencabutan subsidi premium dan

memberlakukan subsidi tetap Rp. 1.000,00 per liter untuk solar,

pemerintah mendorong diversifikasi energi dan peningkatan

penggunaan BBN dengan memberikan tambahan anggaran kepada

Kementrian ESDM sebesar Rp. 5,00 triliun untuk menjalankan

program tersebut (Sindo, 2015). Hal tersebut sangat ditunggu oleh

produsen BBN karena selama ini salah satu yang menjadi kendala

dalam pengembangan BBN adalah harga produksi BBN yang dipatok

rendah oleh pemerintah.

Harga BBN awalnya diatur oleh pemerintah dalam Permen

ESDM No 0219/12/2010 tentang harga indeks pasar bahan bakar

minyak dan bahan bakar nabati (biofuel) yang dicampurkan ke dalam

jenis bahan bakar minyak tertentu. Dalam Permen tersebut, harga

biodiesel ditetapkan berdasarkan harga patokan ekspor biodiesel

minyak sawit (FAME) yang ditetapkan Menteri Perdagangan dengan

konversi 870 kg/m3, sedangkan untuk bioetanol didasarkan harga

publikasi Argus untuk ethanol FOB Thailand pada periode satu bulan

sebelumnya ditambah 5% indeks penyeimbang produksi dalam negeri

dengan faktor konversi 788 kg/m3.

Meskipun sudah ada subsidi BBN, produsen BBN terutama

biodiesel merasa keberatan dengan harga yang di tetapkan oleh PT

Page 59: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

59

Pertamina selaku badan pelaksana PSO yang membeli biodiesel

berdasarkan harga MOPS Gas Oil minus biaya transportasi, asuransi,

inspeksi dan distribusi (alpha). Padahal ketika membeli solar dari

Singapura, PT Pertamina membeli dengan harga MOPS plus alpha

sehingga produsen biodiesel di dalam negeri yang harus menanggung

biaya transportasi dan pemasarannya.

Sementara itu PT Pertamina bersikukuh membeli bioetanol

yang diproduksi PTPN X dengan kualitas di atas standar, yaitu fuel

grade 99,7 persen dengan formulasi harga Argus ditambah 5 persen.

Hal ini dipandang sangat menguntungkan PT Pertamina selaku

konsumsen dibandingkan dengan produsen sehingga menyebabkan

beberapa produsen menunda produksinya atau mengalihkan ke industri

dengan grade 95 persen (Tempo, 2013). Permen ESDM No

0219/12/2010 kemudian direvisi dengan Permen ESDM 2185K/12/

MEM/2014 tentang Harga Indeks Pasar (HIP) bahan bakar nabati

(biofuel) yang dicampurkan ke dalam jenis banyak minyak tertentu.

Terjadi perubahan mendasar didalam Permen baru tersebut, HIP jenis

biodiesel didasarkan pada harga publikasi MOPS Gas Oil rata-rata pada

periode 1 bulan sebelumnya, ditambah 3,48% MOPS yang berlaku

untuk biodiesel yang dicampurkan dengan BBM tertentu. Harga

tersebut sudah termasuk biaya pengangkutan biodiesel dari titik suplai

produsen sampai di titik terminal BBM utama. Sementara untuk

bioetanol, harga didasarkan pada publikasi Argus untuk etanol FOB

Page 60: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

60

Thailand rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah 5%

indeks penyeimbang sebesar 778 kg/m3.

Dikeluarkannya Permen baru ESDM tersebut disambut baik

oleh para produsen BBN. Salah satunya oleh Dirut PT. Energi Agro

Nusantara dalam industri bisnis (2014) bahwa revisi harga bioetanol

yang semula berdasarkan harga Argus ditambah 5 persen menjadi 14

persen sangat menarik bagi industri bioetanol, terutama jika diiringi

dengan peningkatan penyerapan bioetanol untuk pencampuran BBM.

Harga bioetanol yang pada awalnya sekitar Rp. 8.000,00 menjadi Rp.

9.200,00 - 9.400,00.

4.2. Realisasi Subsidi BBM

Studi Mulyani dkk. (2015) menunjukkan bahwa dari tahun

anggaran 2000 sampai dengan tahun anggaran 2012 jumlah realisasi

subsidi BBM selalu melebihi dari subsidi yang dianggarkan pemerintah

dalam APBN. Berdasarkan data Tabel 4.1. tahun 2007 tercatat realisasi

subsidi BBM sebesar Rp. 83,70 triliun atau 16,6 persen dari total

APBN hingga mencapai 2,5 kali lipat subsidi listrik dan non-energi.

Pada tahun 2007 anggaran subsidi BBM juga mengalami defisit hingga

mencapai Rp. 28.188,00 triliun.

Realisasi subsidi BBM pada tahun 2008 meningkat lagi hingga

mencapai Rp.139,107,00 triliun. Kondisi ini disebabkan harga minyak

mentah dunia yang mencapai 100 US$ per barel, dan terjadinya

depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika mencapai Rp. 10,950 per

Page 61: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

61

dolar Amerika. Tahun 2009 realisasi subsidi BBM mengalami

penurunan tajam disebabkan oleh kemerosotan harga minyak dunia

yang mencapai di bawah 70 US$ per barrel. Tahun 2011 subsidi BBM

kembali mengalami defisit yang tajam, disebabkan oleh meningkatnya

harga minyak dunia mencapai 19,50 persen dari tahun sebelumnya.

Beban subsidi yang ditanggung APBN jumlahnya berfluktuasi dan

cenderung mengalami peningkatan.

Tabel 4.1. Realisasi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam APBN Tahun 2000-2012 (dalam Triliun rupiah)

No Tahun Aggaran Subsidi BBM

RealisasiSubsidi BBM

Defisit/SurplusAnggaran Subsidi

1. 2000 51.135 53.810 -2675

2. 2001 53.781 68.381 -14600

3. 2002 30.462 31.162 -700

4. 2003 24.512 30.038 -5526

5. 2004 63.083 69.025 -5942

6. 2005 89.194 95.599 -6405

7. 2006 62.732 64.212 -1480

8. 2007 55.604 83.792 -28188

9. 2008 126.816 139.107 -12291

10. 2009 52.392 45.039 7353

11. 2010 68.727 82.351 -13624

12. 2011 129.724 165.161 -35437

13. 2012 123.600 137.380 -13680

Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 2012

Page 62: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

62

Ada beberapa faktor yang menyebabkan realisasi subsidi BBM

di Indonesia selalu melebihi jumlah yang dianggarkan sehingga subsidi

BBM di dalam APBN seringkali disebut sebagai salah satu beban

APBN dan penyebab defisit APBN.

4.3. Kualitas Lingkungan Aktivitas ekonomi telah menyebabkan kerusakan lingkungan di

Indonesia dan mencapai kondisi yang memprihatinkan. Beberapa

kondisi yang dicatat, antara lain laju deforestasi mencapai 1,8 juta

hektar/tahun. Dari tahun 2001 hingga 2017 Indonesia kehilangan luas

hutan 24,4 Mha, dan hanya 68% dari hutan Indonesia pada 2010, serta

30% dari 2,5 juta hektar karang di Indonesia mengalami kerusakan

(GWF, 2016). Data tentang kualitas lingkungn dengan indikator emisi

CO2 yang dikeluarkan oleh World Bank Report (2016) menunjukkan

peningkatan yang signifikan dari tahun 1990 hingga 2015 (Grafik 4.4.).

Grafik 4.4. Emisi CO2 di Indonesia 1990-2015

Sumber : World Bank (diolah)

Page 63: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

63

Kerusakan lingkungan telah menyebabkan menurunnya kualitas

lingkungan, meningkatnya kejadian bencana alam, mengancam

kelestarian flora dan fauna. Selain itu juga meningkatkan risiko

bencana terhadap wilayah pesisir, mengancam keanekaragaman hayati

laut, produksi perikanan laut yang rendah, polusi air, polusi tanah, dan

polusi laut. Hasil studi Sasana dan Ghozali (2017) menunjukkan bahwa

konsumsi energi fosil dan peningkatan populasi telah mendorong

peningkatan emisi CO2, dan kualitas lingkungan menurun.

Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak kegiatan

pembangunan ekonomi yang mengarah pada industrialisasi dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi di sisi lain telah

menurunkan kualitas lingkungan. Pada 2017 tidak kurang dari 30.000

industri berkembang di Indonesia, dan akan meningkat setiap tahun.

Munculnya era industrialisasi yang ditandai dengan berdirinya pabrik-

pabrik yang memproduksi berbagai kebutuhan manusia telah

meningkatkan kesejahteraan, tetapi di sisi lain tingkat pencemaran

lingkungan juga meningkat. Studi Sasana dan Ghozali (2017) di negara

BRICS menunjukkan bahwa kegiatan industrialisasi dengan

mengonsumsi energi fosil khususnya batu bara berpengaruh positif dan

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara BRICS.

Studi Awan (2013) di Pakistan menyimpulkan bahwa

penggunaan sumber daya energi memiliki dua efek yang berlawanan.

Sangat penting untuk memperkuat kegiatan ekonomi rakyat. Namun

disisi lain semakin memperburuk kondisi lingkungan. Oleh karena itu,

Page 64: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

64

disarankan untuk menggunakan sumber daya energi terbarukan dan

ramah lingkungan untuk menjaga ekonomi lingkungan berkelanjutan.

Selanjutnya, Sovacool (2017) berpendapat bahwa subsidi energi

memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Misalnya, subsidi

batubara di UE dan Jepang melepaskan emisi karbon dioksida (CO2)

sebanyak 50 hingga 100 juta ton per tahun. Di Australia, subsidi murah

untuk listrik berbasis batubara memicu industri peleburan melepaskan

emisi gas rumah kaca setinggi 2,5 kali.

Dalam hal menilai implikasi negatif yang disebabkan oleh emisi

CO2, penurunan kualitas lingkungan dapat diukur dengan peningkatan

emisi atau konten polutan seperti polusi udara, polusi air, dan polusi

tanah sebagai akibat dari eksplorasi energi. Efek negatif pencemaran

pada air dan tanah dapat diidentifikasi secara langsung, tetapi

pencemaran udara membutuhkan waktu untuk diketahui. Dalam

menghitung polusi udara, salah satu indikator yang paling umum

digunakan adalah tingkat emisi CO2 yang dihasilkan oleh eksplorasi

atau penggunaan energy. Studi Sasana, et al,(2018) menyatakan bahwa

masuknya FDI ke Indonesia juga berdampak positif terhadap emisi CO2

di Indonesia. Namun secara umum globalisasi ekonomi berdampak

negative terhadap emisi CO2 di Indonesia (Sasana, et al,2018).

Page 65: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

65

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Subsidi Energi dan Kualitas Lingkungan (Emisi CO2 )Beberapa studi dampak konsumsi energi terhadap kualitas

lingkungan menemukan hasil yang bervariasi. Hasil estimasi dampak

konsumsi energi terhadap emisi CO2 di Indonesia terlihat pada Tabel

5.2. Berdasarkan hasil estimasi regresi linear berganda diperoleh bahwa

nilai deteksi F-statistik sebesar 201.7663 dengan nilai p-value sebesar

0,0000, yang berarti bahwa secara bersama – sama variabel dependen

berpengaruh terhadap emisi karbon dioksida (CO2). Nilai R-square

sebesar 0.9815, menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi,

penggunaan energi primer, subsidi energi, penggunaan energi

terbarukan, dan pertumbuhan penduduk berpengaruh terhadap variabel

emisi CO2 sebesar 98.15%. Sedangkan 1.85% sisanya dipengaruhi oleh

faktor lain diluar model penelitian.

Informasi data deskriptif kajian dalam studi ini dapat dilihat

pada Tabel 5.1. Standar deviasi antar variabel memiliki varian yang

luas, emisi CO2 rata-rata di Indonesia adalah 301.821 juta metrik ton.

Subsidi energi rata-rata adalah Rp. 87.809.863.000, sedangkan rata-rata

Page 66: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

66

pertumbuhan penduduk adalah 1,42%. Selain itu, rata-rata konsumsi

energi fosil adalah 62,1% dan konsumsi rata-rata energi terbarukan

adalah sebesar 45,45%.

Tabel 5.1. Deskriptif Statistik Variabel Penelitian

Variabel Mean Standar Deviasi

Minimum Maximum

Emisi CO2 301.821 92.468 157 447Subsidi Energi 87.810 102.638 161.6 350.38Pertumb Penduduk 1.424 0.152 1.260 1.781Energi Fosil 62.108 3.627 53.430 67.154Energi Terbarukan 45.457 6.543 38.066 58.597

Sumber : data sekunder (diolah) SD: Standar Deviasi

Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa hipotesis EKC

tidak terkonfirmasi di Indonesia. Sejalan dengan makna model tersebut

yang menggambarkan kondisi hubungan antar variabel independen dan

variabel dependen dalam jangka panjang, GDP sebagai variabel utama

dalam postulat EKC justru memiliki arah positif dan signifikan

terhadap emisi CO2. Peningkatan GDP dalam jangka panjang masih

akan meningkatkan emisi CO2. Disisi lain, perekonomian Indonesia

belum menunjukkan daya dukung terhadap keberlanjutan lingkungan

secara optimal. Zoundi (2017) juga mengidentifikasi hasil serupa dalam

kasus 25 negara di Afrika bahwa dalam jangka panjang, fase ekonomi

negara-negara ini belum mencapai titik balik pertumbuhan ekonomi.

Bahkan, pertumbuhan ekonomi tidak akan secara otomatis mengurangi

emisi karbon dioksida (Özokcu dan Özdemir, 2017). Hasil serupa juga

ditemukan oleh Zoundi (2017) pada kasus 25 negara di Afrika yang

Page 67: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

67

mana hingga jangka panjang, fase perekonomian negara-negara

tersebut masih belum mencapai turning-point pertumbuhan ekonomi.

Studi Özokcu & Özdemir (2017) menyatakan bahwa pertumbuhan

ekonomi tidak akan secara otomatis dapat mengurangi emisi karbon

dioksida (CO2).

Tabel 5.2. Hasil Etimasi Variabel Dependen Emisi CO2

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

EP 0.497670 0.169634 2.933793 0.0085*SE 7.09E-06 7.37E-05 0.096280 0.9243PO 160.2936 62.54546 2.562833 0.0190*RE -5.657520 2.658731 -2.12790 0.0467*GDP 0.031458 0.008103 3.882327 0.0010*

-83.05409 228.1006 -0.36411 0.7198R-squared 0.981514Adj. R-squared 0.976650F-statistic 201.7663Prob(F-statistic) 0.000000

*menunjukkan signifikansi pada tingkat kesalahan = 5%,

Total energi primer memiliki pengaruh positif dan signifikan

terhadap emisi CO2. Variabel penggunaan energi primer (EP), memiliki

koefesien estimasi sebesar 0.4977 dengan nilai t-statistik yang

signifikan pada . Artinya, peningkatan penggunaan energi primer akan

meningkatkan emisi CO2 secara signifikan. Hasil studi ini sejalan

dengan temuan Mercan dan Karakaya (2015), Denmark et al. (2017),

Chibueze et al. (2013), Mujiyanto & Tiess (2013), bahwa sumber

energi di Indonesia masih bergantung pada sumber daya yang tidak

terbarukan, yaitu sekitar 96% dari total energi yang digunakan. Karena

Page 68: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

68

itu, dampak negatif atas penggunaan energi primer yang ada di

Indonesia saat ini tentu akan memiliki dampak buruk pada lingkungan.

Subsidi energi memiliki pengaruh positif namun tidak

signifikan terhadap emisi CO2. Artinya peningkatan subsidi berpotensi

mendorong emisi CO2. Temuan ini relevan dengan studi Sasana et al.

(2017), Grafton et al.. (2014), Abouleinein et al. (2009) dimana subsidi

memiliki arah pengaruh yang positif dan signifikan terhadap emisi gas

CO2. Dari hasil penelitian tersebut, artinya subsidi dapat meningkatkan

emisi CO2 melalui jalur harga barang. Ketika subsidi harga energi

ditingkatkan, maka pendapatan riil seseorang individu dapat meningkat,

sehingga mendorong masyarakat untuk membeli bahan bakar dalam

jumlah yang lebih banyak.

Hasil studi selanjutnya menyatakan bahwa pertumbuhan

penduduk memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap

peningkatan emisi CO2. Pertumbuhan penduduk, dengan koefesien

sebesar 160.2936 dan nilai t-statistik signifikan pada . Peningkatan

pertumbuhan jumlah penduduk akan meningkatkan emisi CO2 secara

signifikan. Temuan ini sejalan dengan studi Pata (2018), Hang dan

Yuan (2011), Yeh dan Liao (2017), Shi (2001) dimana pertumbuhan

dan mobilitas penduduk memiliki hubungan positif jangka panjang

dengan emisi CO2. Penduduk memiliki peran penting dalam menjaga

lingkungan, karena mereka adalah konsumen energi itu sendiri.

Semakin meningkat pertumbuhan jumlah penduduk, maka akan

Page 69: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

69

meningkatkan tingkat konsumsi perkapita dan kemudian berujung pada

peningkatan emisi karbon dioksida.

Energi terbarukan (RE) memiliki arah hubungan negative dan

signifikan terhadap jumlah emisi CO2. Energi terbarukan (RE),

memiliki koefesien sebesar -5.6575 dengan nilai t-statistik signifikan

pada . Artinya, peningkatan penggunaan energi terbarukan akan

menurunkan emisi CO2 secara signifikan. Hasil studi ini sejalan dengan

studi Chen, et al.(2018), bahwa peningkatan penggunaan energi

terbarukan akan menurunkan emisi CO2. Indonesia adalah negara

dengan konsumsi energi yang besar, namun karena kurangnya

infrastruktur pendukung dan penggalangan investasi di sektor energi

terbarukan, Indonesia masih mengandalkan minyak sebagai bahan baku

energi yang utama (Kumar, 2015). Chen et al. (2018) bahwa

peningkatan penggunaan energi terbarukan akan mengurangi emisi

CO2. Bilgili et al. (2016) menemukan bahwa konsumsi energi

terbarukan secara negatif mempengaruhi emisi CO2. Energi terbarukan

dianggap lebih ramah lingkungan dan dapat mengurangi polusi

sehingga dampaknya terhadap emisi CO2 negatif. Penelitian Zoundi

(2017) juga menemukan bahwa konsumsi energi terbarukan memiliki

efek negatif pada emisi CO2. Dalam jangka panjang, peningkatan

konsumsi energi terbarukan akan menggantikan penggunaan energi

fosil. Namun, menurut Zoundi (2017), dampak konsumsi energi

terbarukan sebanding dengan dampak konsumsi energi fosil. Oleh

Page 70: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

70

karena itu diperlukan kebijakan yang bersinergi untuk mengendalikan

emisi CO2 dan masalah lingkungan lainnya.

5.2. Subsidi Energi dan Pertumbuhan EkonomiAnalisis dampak subsidi energi terhadap pertumbuhan ekonomi

di Indonesia menggunakan metode OLS. Hasil estimasi regresi dampak

subsidi energi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia terlihat

pada (Tabel 5.3). Berdasarkan hasil estimasi regresi linear berganda

menunjukkan nilai F hitung positif dan signifikan. Sehingga variabel

penggunaan energi fosil, penggunaan energi terbarukan, subsidi energi,

dan pertumbuhan penduduk secara serentak berpengaruh terhadap

pertumbuhan ekonomi. Nilai R-Square sebesar 0,8676, menunjukkan

pengaruh variabel bebas (penggunaan energi fosil, subsidi energi,

pertumbuhan penduduk, dan penggunaan energi terbarukan)

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 86,76 pesen,

sedangkan 13,24 persen dipengaruhi oleh faktor lain diluar model

penelitian.

Tabel 5.3. Hasil Estimasi Dengan Variabel Dependen GDP

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

EP 8.970493 4.229743 2.120813 0.0466*SE 0.006985 0.001302 5.365744 0.0000*PO -1383.773 1698.061 -0.814913 0.4247RE 142.0519 66.13911 2.147775 0.0442*C -10253.47 5862.332 -1.749043 0.0956**

R-squared 0.867666Adjust. R-squared 0.841199F-statistic 32.78325Prob(F-statistic) 0.000000

Page 71: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

71

* signifikansi pada =5%, * *signifikansi pada = 10%

Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel konsumsi energi

fosil nilai t hitung sebesar 2.12081 dengan tingkat probabilitas 0,0466.

Artinya bahwa penggunaan energi fosil berpengaruh positif signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi. Penggunaan energi fosil dalam

kegiatan ekonomi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini

sesuai dengan studi Pao et al. (2014), yang menjelaskan ada pengaruh

positif antara peningkatan konsumsi energi terhadap pertumbuhan

ekonomi. Studi Toman and Jemelkova (2003), juga menjelaskan bahwa

konsumsi energi merupakan syarat meningkatkan pertumbuhan

ekonomi, energi merupakan input langsung dalam proses produksi dan

input tidak langsung yang melengkapi tenaga kerja dan modal. Dalam

hal itu penting sekali untuk mengarahkan kebijakan yang bersifat

peningkatan konsumsi energi yang mampu merangsang pertumbuhan

ekonomi. Studi Dagher (2012), juga menjelaskan bahwa penggunaan

energi sangat berpengruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Yordania.

Temuan berikutnya hasil estimasi variabel subsidi energi nilai t

hitung sebesar 5.36574 dengan tingkat probabilitas sebesar 0,000.

Menyatakan bahwa variabel subsidi energi berpengaruh positif dan

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Temuan ini sejalan dengan

hasil studi Mundaca (2017), yang mejelaskan pengaruh efek pemberian

subsidi energi terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi di negara Afrika

Utara. Hasilnya subsidi energi mampu meningkatkan pertumbuhan

ekonomi di kawasan negara – negara Afrika Utara. Studi Sulistiowati

Page 72: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

72

(2015), juga menjelaskan bahwa subsidi pada bahan bakar fosil, listrik,

dan subsidi gas berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Variabel pertumbuhan penduduk tidak berpengaruh terhadap

pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang tidak didukung

dengan kualitas sumber daya manusia, serta rendahnya jiwa

kewirausahaan justru meningkatkan pengangguran di masa mendatang.

Hasil studi ini tidak jauh berbeda dengan studi Zulfa (2016), yang

menjelasakan bahwa kenaikan pertumbuhan penduduk tidak

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori Maltus (1820),

yang dijelasakan Oberai (dalam Zulfa, 2016) juga menjelaskan bahwa

pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan tingkat

konsumsi yang lebih banyak dari pada kebutuhan untuk berinvestasi,

sehingga alokasi sumber daya kapital semakin berkurang.

Temuan selanjutnya, variabel penggunaan energi terbarukan

nilai t hitung sebesar 2.14777 dengan tingkat probabilitas sebesar

0,0442. Artinya konsumsi energi terbarukan berpengaruh positif dan

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Studi Oliveira

et al. (2011), juga menjelaskan bahwa penggunaan energi terbarukan

mampu merangsang pertumbuhan ekonomi. Studi Mahmoodi dan

Mahmoodi, (2011), juga menjelaskan bahwa ada hubungan searah

anatara penggunaan energi terbarukan terhadap pertumbuhan ekonomi

di Iran, India, Pakistan dan Yordania.

5.3. Subsidi Energi dan Biaya Sosial

Page 73: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

73

Dalam analisis dampak subsidi energi terhadap biaya sosial,

digunakan tiga variabel independen dan satu variable dependen.

Variabel independen adalah subsidi energi, emisi CO2, dan konsumsi

energi terbarukan, sedangkan variabel dependennya adalah biaya sosial.

Variabel-variabel ini dianalisis menggunakan regresi linier berganda

dengan metode Ordinary Least Square (OLS).

Deskripsi variabel dalam studi ini terlihat pada Tabel 5.4.

Deskripsi data menunjukkan bahwa selama periode tahun 1990-2014,

biaya sosial rata-rata adalah Rp.7.575,954 miliar, emisi CO2 rata-rata

adalah 330.159,7 kt. Subsidi energi rata-rata adalah Rp.

87.809.863.000, dan konsumsi energi terbarukan rata-rata adalah

32,16%.

Tabel 5.4. Tabel Statistik Deskriptif Variabel Penelitian

Pengukuran Data

Biaya Sosial

Emisi CO2

Subsidi Energi

Energi terbarukan

Mean 7575.954 330159.7 87809.86 32.16540 Median 7849.230 306737.2 53809.60 30.55476 Maximum 13950.44 637078.9 350379.6 44.11099 Minimum 3223.450 149565.9 161.6000 24.55229 Std. Dev. 3628.418 127285.1 102638.2 5.758294

Sumber World Bank dan Menteri Keuangan Indonesia, diolah

Hasil estimasi variabel independen terhadap variabel dependen

dengan metode Ordinary Least Square (OLS) ditunjukkan pada Tabel

5.5. Berdasarkan hasil estimasi regresi linear berganda menunjukkan

nilai F hitung positif dan signifikan. Sehingga variabel penggunaan

energi terbarukan, subsidi energi, dan emisi CO2 secara serentak

berpengaruh terhadap biaya sosial. Nilai R-Square sebesar 0.948609,

Page 74: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

74

menunjukkan pengaruh variabel bebas (penggunaan energi fosil,

subsidi energi, pertumbuhan penduduk, dan penggunaan energi

terbarukan) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 94,86

pesen, sedangkan 5,14 persen dipengaruhi oleh faktor lain diluar model

penelitian.

Tabel 5.5. Hasil Estimasi Variabel Dependen Biaya Sosial

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Constanta 3.33315 2.466857 1.351173 0.1910Log CO2 0.447123 0.167399 2.671003 0.0143*Log Subs 0.083325 0.020522 4.060265 0.0006*RE −0.031456 0.012752 −2.466782 0.0223*Adjust R-squared 0.948609F-statistic 148.6694Prob(F-statistic) 0.00000

Sumber : data sekunder, diolah, *significance α=5%

Berdasarkan hasil estimasi regresi menunjukkan bahwa jika

emisi CO2 meningkat 1%, biaya sosial akan naik 0,447%. Studi Bergh

dan Botzen (2015) menyatakan bahwa biaya sosial dari setiap ton

tambahan CO2 adalah apa yang disebut Biaya Sosial Karbon (SCC).

Peningkatan emisi CO2 akan mempengaruhi iklim dan berpengaruh

terhadap kerusakan lingkungan selama jangka waktu sangat lama

(Montenegro et al., 2007). Studi Price and Willis (1993) menyatakan

bahwa terdapat hubungan hampir linear antara konsentrasi CO2 melalui

kerusakan ekonomi. Sedangkan penelitian lainnya menyatakan

hubungan antara konsentrasi CO2 dan kenaikan suhu tidak tepat linier,

Page 75: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

75

juga tidak dapat diprediksi hubungan antara kenaikan suhu dan

kerusakan ekonomi (Price, 2018).

Temuan kedua dari studi ini adalah subsidi energi memiliki

dampak positif dan signifikan terhadap tingkat biaya sosial.

Peningkatan subsidi energi sebesar 1% akan meningkatkan biaya sosial

sebesar 0,083%. Hasil studi ini sejalan dengan penelitian Turton (2002)

di Australia, subsidi yang murah untuk listrik tenaga batubara telah

mengakibatkan industri peleburan memproduksi 2,5 kali lebih banyak

emisi gas rumah kaca per ton yang diproduksi aluminium sebagai rata-

rata dunia. Studi Peltovuori (2017) menggunakan elastisitas harga

jangka panjang dari permintaan, menjelaskan bahwa subsidi di Kiribati

meningkatkan emisi CO2 sebesar 2,4 persen (atau 1.5 t) pada tahun

2015 dan 5.0 persen (2.9 t rata-rata per tahun) selama lima tahun

periode 2011-2015. Studi Dartanto (2013) mengusulkan bahwa

penghapusan subsidi bahan bakar di Indonesia dapat mengurangi

kemiskinan jika tabungan dialokasikan untuk pengeluaran pemerintah,

atau mentransfernya ke belanja energi terbarukan. Sementara itu,

Sasana et al. (2017) membuktikan bahwa subsidi energi berdampak

positif dan signifikan terhadap emisi CO2; dan konsumsi energi

terbarukan berdampak negatif terhadap emisi CO2 di Indonesia.

Temuan ketiga menunjukkan bahwa konsumsi energi

terbarukan memiliki dampak negatif dan signifikan terhadap biaya

sosial. Hasil estimasi menunjukkan bahwa jika konsumsi energi

terbarukan meningkat sebesar 1%, biaya sosial berkurang sebesar

Page 76: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

76

0,0315%. Hasil studi ini sejalan dengan simulasi Myojo dan Ohashi

(2018) tahun 1997-2007, melalui Program Residential Photovoltaics

Dissemination (RPVD) terjadi peningkatan permintaan lebih dari

sepuluh kali lipat pemasangan panel surya untuk tempat tinggal sebesar

350 MW. Sehingga menghasilkan pengurangan emisi karbon sekitar

2,8 juta ton atau sepertiga dari satu persen emisi tahunan di Jepang.

Tren ini berubah ketika Program RPVD dihentikan pada 2005, pasar

Jepang turun dari 260 MW pada 2005 menjadi 180 MW pada 2007.

Studi Borenstein (2012) menyatakan bahwa jika pemerintah

menerapkan kebijakan pembangkit listrik dengan energi terbarukan,

penting untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat teknologi dalam

konteks sistem tenaga modern. Hasil studi Moula et al.(2013) tentang

penerapan teknologi energi terbarukan di Finlandia menemukan bahwa

62% responden bersedia membayar biaya tambahan untuk

mendapatkan energi hijau. Sementara itu, lebih dari setengah (52,4%)

responden menyatakan bahwa sektor publik harus mengambil langkah

awal menuju produksi energi terbarukan

Page 77: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

77

BAB 6 PENUTUP

6.1. SimpulanBerdasarkan hasil kajian dan analisa yang dijelaskan

sebelumnya, hipotesis EKC tidak terkonfirmasi di Indonesia. Poin-poin

penting yang dapat dirangkum diantaranya:

a. Indonesia masih mengandalkan sumber energi tak terbarukan

yang tidak ramah lingkungan untuk menghasilkan ekonomi;

akibatnya dalam jangka panjang pertumbuhan PDB masih akan

disertai dengan peningkatan emisi CO2.

b. Subsidi energi searah terhadap peningkatan ataupun penurunan

jumlah emisi CO2. Temuan ini disinyalir karena alokasi

penerima subsidi tidak tepat sasaran.

c. Penggunaan energi primer/fosil dapat meningkatkan emisi CO2.

Hal ini disebabkan karena dalam jangka panjang, Indonesia

masih akan bergantung pada sumber energi yang tidak dapat

diperbarui.

d. Penggunaan sumber energi terbarukan akan menurunkan jumlah

emisi CO2. Namun, dalam implementasinya masih terhambat

oleh infrastruktur yang rendah dan ruang investasi yang

terbatas.

Page 78: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

78

e. Peningkatan jumlah penduduk meningkatkan konsumsi energi

per kapita dan meningkatkan emisi CO2 melalui peningkatan

konsumsi energi per kapita.

f. Subsidi energi dan penggunaan energi fosil berpengaruh positif

dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Subsidi energi harus tepat sasaran dan dibatasi waktunya untuk

meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa kita.

g. Variabel penggunaan energi terbarukan berpengaruh positif dan

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Penggunaannya harus semakin diperluas dengan dukungan

kebijakan yang tepat dari pemerintah.

6.2. SaranMenjaga sustainabilitas lingkungan adalah suatu hal yang wajib

dilakukan oleh setiap negara. Sehingga solusi yang harus dilakukan

adalah perubahan struktur ekonomi, dimana yang sebelumnya

menerapkan konsep business as usual diubah secara gradual menuju

business-environment sustainable. Implikasinya adalah perubahan

penggunaan faktor-faktor teknologi proccessing yang ramah

lingkungan, termasuk di dalamnya adalah peningkatan penggunaan

bahan bakar berbahan energi terbarukan. Sehingga, residu korosif yang

dihasilkan selama proses produksi dapat diminimalisir secara

berangsur-angsur. Studi ini mengusulkan beberapa hal untuk dapat

mendukung perekonomian berkelanjutan di Indonesia:

Page 79: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

79

1) Melakukan diversifikasi energi, sebagai alternatif pemenuhan

kebutuhan energi dalam jangka pendek.

2) Subsidi energi harus tepat sasaran sehingga mampu

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data akurat penerima

subsidi sangat penting agar berdampak positif terhadap

masyarakat.

3) Meningkatkan ruang gerak bagi sektor energi terbarukan,

diantaranya dengan cara peningkatan kepedulian terhadap

kesehatan lingkungan, pengembangan sustainable industry yang

menggunakan energi terbarukan. Peningkatan keleluasaan ini

akan meningkatkan nilai sosio-ekonomi yang baik.

4) Pemerintah Indonesia harus meningkatkan insentif untuk

pengembangan inovasi teknologi untuk meningkatkan

penggunaan energi terbarukan. Seiring dengan transfer sumber

energi utama (energi fosil) ke energi terbarukan, pemerintah

mengeluarkan kebijakan penghematan penggunaan energi fosil.

5) Pemerintah harus mengontrol laju pertumbuhan penduduk. Hal

ini perlu dilakukan untuk dapat secara konservatif menguragi

konsumsi energi per kapita, karena konsumsi energi perkapita di

Indonesia bernilai sangat besar.

6) Meningkatkan derajat keterbukaan ekonomi dengan

menerapkan indikator ekonomi hijau untuk mendukung

ekonomi ramah lingkungan.

Page 80: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

80

DAFTAR PUSTAKA

Abouleinein, S., El Laithy, H., & Al-Dīn, H.K. (2009). The Impact of Phasing out Subsidies of Petroleum Energy Products in Egypt. Working Paper No. 145. Egyptian Center for Economic Studies.

Abulfotuh, F. (2007). Energy efficiency and renewable technologies: the way to sustainable energy future. Desalination, 209(1-3), 275-282.

Agustina, C. D. R., del Granado, J. A., Bulman, T., Fengler, W., & Ikhsan, M. (2008). Black hole or black gold? the impact of oil and gas prices on Indonesia's public finances.

Ali, W., Abdullah, A., & Azam, M. (2016). Re-visiting the environmental Kuznets curve hypothesis for Malaysia: fresh evidence from ARDL bounds testing approach. Renewable and sustainable energy reviews, 77, 990-1000.

Andreoni, J., & Levinson, A. (2001). The simple analytics of the environmental Kuznets curve. Journal of public economics, 80(2), 269-286.

Araghi, M. K., & Barkhordari, S. (2012). An evaluation of the welfare effects of reducing energy subsides in Iran. Energy Policy, 47, 398-404.

Arouri, M., Shahbaz, M., Onchang, R., Islam, F., & Teulon, F. (2013). Environmental Kuznets curve in Thailand: cointegration and causality analysis. The Journal of Energy and Development, 39(1/2), 149-170.

Asian Development Bank (ADB). (2015), Fossil Fuel Subsidies In Indonesia: Trends, Impacts, and Reforms. Available from: https://www.adb.org/sites/default/files/publication/175444/fossil-fuelsubsidies-indonesia.pdf. [Last accessed on 2018 Jan].

Awan, A. G. (2013). Relationship between environment and sustainable economic development: A theoretical approach to environmental problems. International Journal of Asian Social Science, 3(3), 741-761.

Bergh, Van den, J.C.J.M., & Botzen, W.J.W. (2015), Monetary valuation of the social cost of CO2 emissions: A critical survey. Ecological Economics, 114, 33-46.

Page 81: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

81

Bildirici, M. E. (2011). The relationship between economic growth and electricity consumption in Africa: MS-VAR and MS-Granger causality analysis. The Journal of Energy and Development, 37(1/2), 179-205.

Bölük, G., & Mert, M. (2014). The Renewable Energy and Growth: Evidence for Turkey using Environmental Kuznets Curve Model. In The WEI International Academic Conference Proceedings, The West East Institute, Budapest, Hungary.

Borenstein, S. (2012). The private and public economics of renewable electricity generation. Journal of Economic Perspectives, 26(1), 67-92.

Breisinger, C., Engelke, W., & Ecker, O. (2012). Leveraging fuel subsidy reform for transition in Yemen. Sustainability, 4(11), 2862-2887.

Chen, J., Zhou, C., Wang, S., & Li, S. (2018). Impacts of energy consumption structure, energy intensity, economic growth, urbanization on PM2. 5 concentrations in countries globally. Applied energy, 230, 94-105.

Cheon, A., Urpelainen, J., & Lackner, M. (2013). Why do governments subsidize gasoline consumption? An empirical analysis of global gasoline prices, 2002–2009. Energy Policy, 56, 382-390.

Chibueze, E.N., Chukwu, J.O., & Moses, N. (2013), Electricity supply, fossil fuel consumption, Co2 emissions and economic growth: Implications and policy options for sustainable development in Nigeria. International Journal of Energy Economics and Policy, 3(3), 262-271.

Coady, D., Parry, I., Sears, L., & Shang, B. (2017). How large are global fossil fuel subsidies?. World development, 91, 11-27.

Dagher, L., & Yacoubian, T. (2012). The causal relationship between energy consumption and economic growth in Lebanon. Energy policy, 50, 795-801.

Dartanto, T. (2013). Reducing fuel subsidies and the implication on fiscal balance and poverty in Indonesia: A simulation analysis. Energy Policy, 58, 117-134.

Detik Finance. (9 Desember 2014).Soal Subsidi BBM, Agus Marto Ingin RI Tiru Filipina. Diunduh dari:

Page 82: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

82

http://finance.detik.com/read/2014/12/09/113527/2771798/1034/soal-subsidi-bbm-agus-marto-ingin-ri-tirufilipina?f991104topnews

DFID (2017). Economic Development Strategy: prosperity, poverty and meeting global challenges. Policy Paper.http://pubdocs.worldbank.org/en/822011487174249256/DFID-Economic-Development-Strategy-2017.pdf

Ding, T., Ning, Y., & Zhang, Y. (2018). The contribution of China’s bilateral trade to global carbon emissions in the context of globalization. Structural Change and Economic Dynamics, 46, 78-88.

Ellis, J. (2010). The Effects of Fossil-Fuel Subsidy Reform: A review of modelling and empirical studies. Available at SSRN 1572397.

Ermawati, T. (2019). Analisis Subsidi Energi dalam Pengembangan Energi Terbarukan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 23(1), 53-65.

Febriany, V., & Suryahadi, A. (2012, February). Lessons from cash transfer programs in Indonesia. In East Asia Forum.Vol. 21,54-73

Gerelmaa, L., & Kotani, K. (2016). Further investigation of natural resources and economic growth: Do natural resources depress economic growth?. Resources Policy, 50, 312-321.

Grafton, R. Q., Kompas, T., Van Long, N., & To, H. (2014). US biofuels subsidies and CO2 emissions: An empirical test for a weak and a strong green paradox. Energy Policy, 68, 550-555.

Grossman, G. M., & Krueger, A. B. (1991). Environmental impacts of a North American free trade agreement (No. w3914). National Bureau of Economic Research.

Grossman, G. M., & Krueger, A. B. (1995). Economic growth and the environment. The quarterly journal of economics, 110(2), 353-377.

Gujarati, D. N., & Porter, D. (2009). Basic Econometrics Mc Graw-Hill International Edition.

Hang, G., & Yuan-Sheng, J. (2011). The relationship between CO2 emissions, economic scale, technology, income and population in China. Procedia Environmental Sciences, 11, 1183-1188.

Ito, K. (2017). CO2 emissions, renewable and non-renewable energy consumption, and economic growth: Evidence from panel data for developing countries. International Economics, 151, 1-6.

Page 83: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

83

Kementerian ESDM. (2014). Permen ESDM No 25 Tahun 2013, Jakarta.Kementerian Keuangan. (2015). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN)Tahun 2015. Jakarta.

Kojima, M. (2017). Energy Subsidies: Identifying and Quantifying Energy Subsidies. Working Paper. World Bank, Washington, DC. © World Bank.

Kumar, S. (2015). Assessment of renewables for energy security and carbon mitigation in Southeast Asia: The case of Indonesia and Thailand. Applied Energy, 163, 63-70.

Kurniawati, L. (2017). Dampak Penurunan Subsidi Bahan Bakar Minyak: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia. INFO ARTHA, 1(2), 91-110.

Kraft, J., & Kraft, A. (1978). On the relationship between energy and GNP. The Journal of Energy and Development, 401-403.

Liberty, J. T., Ugwushiwu, B. O., Bassey, G. I., & Eke, V. N. (2013). Effects of Natural Resources Utilization on the Ecosystem and Its Remedies in Nigeria. International Journal of Scientific & Engineering Research, Vol. 4, No. 8, page 2115-2122.

Lestari, Esta, (2003), Efektifitas Kompensasi Subsidi dan Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP), XII (1).

Lestari, E., Adam, L., Sambodo, M.T., Purwanto, Ermawati, T., (2007), Pengaruh kebijakan harga energi terhadap kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat: Dampak kenaikan harga BBM, Pusat Penelitian Ekonomi, LIPI

Lin, B., & Jiang, Z. (2011). Estimates of energy subsidies in China and impact of energy subsidy reform. Energy Economics, 33(2), 273-283.

Mahmoodi, M., & Mahmoodi, E. (2011). Renewable energy consumption and economic growth: the case of 7 Asian developing countries. American Journal of Scientific Research, 35, 146-152.

Mallick, H. (2009). Examining the linkage between energy consumption and economic growth in India. The Journal of Developing Areas, 249-280.

Page 84: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

84

Mercan, M., & Karakaya, E. (2015). Energy consumption, economic growth and carbon emission: Dynamic panel cointegration analysis for selected OECD countries. Procedia Economics and Finance, 23, 587-592.

Montenegro, A., Brovkin, V., Eby, M., Archer, D., & Weaver, A. J. (2007). Long term fate of anthropogenic carbon. Geophysical Research Letters, 34(19),123-144

Moula, M. M. E., Maula, J., Hamdy, M., Fang, T., Jung, N., & Lahdelma, R. (2013). Researching social acceptability of renewable energy technologies in Finland. International Journal of Sustainable Built Environment, 2(1), 89-98.

Mujiyanto, S., & Tiess, G. (2013). Secure energy supply in 2025: Indonesia's need for an energy policy strategy. Energy Policy, 61, 31-41.

Mulyani, P. A., Yuliarmi, N. N., & Sudirman, I. W. (2015). Kajian terhadap Faktor Faktor yang Mempengaruhi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Indonesia. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 8(1),11-23.

Munawar, D. (2013). Memahami pengertian dan kebijakan subsidi dalam APBN. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kementerian Keuangan.

Mundaca, G. (2017). How much can CO2 emissions be reduced if fossil fuel subsidies are removed?. Energy Economics, 64, 91-104.

Myojo, S., & Ohashi, H. (2018). Effects of consumer subsidies for renewable energy on industry growth and social welfare: The case of solar photovoltaic systems in Japan. Journal of the Japanese and International Economies, 48, 55-67.

Oktaviani, R., Hakim, D. B., & Siregar, S. (2007). Impact of a Lower Subsidy on Indonesian Macroeconomic Performance, Agricultural Sector and Poverty Incidences: A Recursive Dynamic Computable General Equilibrium Analysis. MPIA Working Pa-‐per 2007Ȃ2008.

Olale, E., Ochuodho, T. O., Lantz, V., & El Armali, J. (2018). The environmental Kuznets curve model for greenhouse gas emissions in Canada. Journal of cleaner production, 184, 859-868.

Page 85: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

85

Oliveira Matias, J. C.d, & Devezas, T. C. (2011). Socio-economic development and primary energy sources substitution towards decarbonization. Low Carbon Economy, 2(02), 49-71.

Oxford Advanced Learners Dictionary (1990). 123. Pamudji, Teguh. (2016). Data Inventory Emisi GRK Sektor Energi. Cetakan

pe. Jakarta: Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Pamugar, H. (2017). Pemeriksaan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Untuk Kesejahteraan Rakyat. Jurnal Tata Kelola & Akuntabilitas Keuangan Negara, 3(1), 49-67.

Pao, Hsiao-tien, Yi-ying Li, and Hsin-chia Fu. (2014). “Causality Relationship between Energy Consumption and Economic Growth in Brazil.” Smart Grid and Renewable Energy vol.5 pp:198–205.https://doi.org/10.4236/sgre.2014.58019.

Pata, U. K. (2018). Renewable energy consumption, urbanization, financial development, income and CO2 emissions in Turkey: Testing EKC hypothesis with structural breaks. Journal of Cleaner Production, 187, 770-779.

Peltovuori, V. (2017). Fossil fuel subsidies in the Pacific island context: Analysis of the case of Kiribati. Energy Policy, 111, 102-110.

Pindyck, R. S., & Rubinfeld, D. L. (1998). Econometric models and economic forecasts (Vol. 4). Boston: Irwin/McGraw-Hill.

Price, C. (2018). Declining discount rate and the social cost of carbon: Forestry consequences. Journal of Forest Economics, 31, 39-45.

Price, C., & Willis, R. (1993). Time, discounting and the valuation of forestry's carbon fluxes. The Commonwealth Forestry Review, 265-271.

Republika Online.(2015). Menkeu: Anggaran Subsidi BBM 2015 Rp 81 Triliun.http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/01/09/nhwqb7-menkeu-anggaran-subsidi-bbm-2015-rp-81-triliun.

Riyakad, P., & Chiarakorn, S. (2015). Energy Consumption and Greenhouse Gas Emission from Ceramic Tableware Production: A Case Study in Lampang, Thailand. Energy Procedia, 79, 98-102.

Page 86: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

86

Rosfadhila, M., Toyamah, N., Sulaksono, B., Devina, S., Sodo, R. J., & Syukri, M. (2011). Kajian Cepat Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2008 dan Evaluasi Penerima Program BLT 2005 di Indonesia. SMERU Research Institute, 1-107.

Rujiven, B.J.V., Detlef, P.V.V., Willem, B., Maarten, L.N., Deger, S.,Martin, K.P. (2016), Long-term model based projections of energyuse and CO2 emissions from the global steel and cement industries.Resources, Conservation and Recycling, 112, 15-36.

Saboori, B., & Soleymani, A. (2011). Environmental Kuznets curve in Indonesia, the role of energy consumption and foreign trade.

Sasana, H., & Aminata, J. (2019). Energy Subsidy, Energy Consumption, Economic Growth, and Carbon Dioxide Emission: Indonesian Case Studies. International Journal of Energy Economics and Policy, 9(2), 117-122.

Sasana, H., Prakoso, Aji Jalu,& Setyaningsih, Yuliani. (2018). The Impact of Globalization Agains Environmental Condition in Indonesia. In E3S Web of Conferences 73, p. 02012). EDP Sciences.

Sasana, H., Sugiarti Retni Rr,& Setyaningsih, Yuliani. (2018). The Impact of Foreign Direct Investment to the Quality of the Environment in Indonesia. In E3S Web of Conferences 73, p. 10025). EDP Sciences.

Sasana, H., & Putri, A. E. (2018). The increase of energy consumption and carbon dioxide (CO2) emission in Indonesia. In E3S Web of Conferences (Vol. 31, p. 01008). EDP Sciences.

Sasana, H., & Ghozali, I.. (2017). The Impact of Fossil and Renewable Energy Consumption on the Economic Growth in Brazil, Russia, India, China and South Africa. International Journal of Energy Economics and Policy, 7(3), 194–200,

Sasana, H., Salman, F., Suharnomo, S., Nugroho, S. B. M., & Yusuf, A. E. (2018). The Impact of Fossil Energy Subsidies on Social Cost in Indonesia. International Journal of Energy Economics and Policy, 8(2), 168-173.

Sasana, H., Setiawan, A. H., Ariyanti, F., & Ghozali, I. (2017). The effect of energy subsidy on the environmental quality in

Page 87: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

87

Indonesia. International Journal of Energy Economics and Policy, 7(5), 245-249.

Sdralevich, M. C. A., Sab, M. R., Zouhar, M. Y., & Albertin, G. (2014). Subsidy reform in the Middle East and North Africa: Recent progress and challenges ahead. International Monetary Fund.

Selden, T. M., & Song, D. (1994). Environmental quality and development: is there a Kuznets curve for air pollution emissions?. Journal of Environmental Economics and management, 27(2), 147-162.

Shafei, S., & Ruhul A. S. (2013) Energy Policy. Vol. 66, page 547-556.Shafik, N., & Bandyopadhyay, S. (1992). Economic growth and

environmental quality: time-series and cross-country evidence (Vol. 904). World Bank Publications.

Sheinbaum-Pardo, C., Mora-Pérez, S., & Robles-Morales, G. (2012). Decomposition of energy consumption and CO2 emissions in Mexican manufacturing industries: Trends between 1990 and 2008. Energy for Sustainable Development, 16(1), 57-67.

Shi, A. (2001). Population growth and global carbon dioxide emissions. In IUSSP Conference in Brazil/session-s09.

Sindo.(8 Januari 2015). Harga BBM Berpeluang Turun Lagi Februari. Diunduh dari http://www.koran-sindo.com/read/947696/149/harga-bbm-berpeluang-turunlagifebruari-1420690979.

Sovacool, B. K. (2017). Reviewing, reforming, and rethinking global energy subsidies: towards a political economy research agenda. Ecological Economics, 135, 150-163.

Spencer, M. H., & Amos Jr, O. M. (1993). Contemporary Economics, Eight Edition. New York: Worth Publishers.

Stern, D. I. (2004). The rise and fall of the environmental Kuznets curve. World development, 32(8), 1419-1439.

Sugiawan, Y., & Managi, S. (2016). The environmental Kuznets curve in Indonesia: Exploring the potential of renewable energy. Energy Policy, 98, 187-198.

Sulistiowati, E. (2015). The impact of fossil fuel subsidies on growth. Economics of Development (ECD). Retrieved from https://thesis. eur. nl/pub/33406.

Page 88: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

88

Tarigan, E. D. (2014). Intervensi Pemerintah Atas Subsidi Bbm dan Komitmennya Dalam Kerjasama Forum G20 Sampai Masa Presidensi Rusia 2013. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) Kementerian Keuangan.

Tempo. (4 November 2013). Pemanfaatan Bioetanol Masih Terkendala Harga. http://www.tempo.co/read/news/2013/11/04/092527074/PemanfaatanBioetanol-Masih-Terkendala-Harga.

Tempo. (2014a). Menkeu Paparkan Manfaat Harga BBM Naik ke Investor. https://bisnis.tempo.co/read/news/2014/11/26/090624626/menkeu-paparkan-manfaat-hargabbm-naik-ke-investor.

Tempo. (2014b). Umumkan Harga BBM, Jokowi Dinilai Berani. Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/news/2014/11/18/090622792/umumkan-harga-bbm-jokowi-dinilaiberani.

Tiba, S., & Omri, A. (2017). Literature survey on the relationships between energy, environment and economic growth. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 69, 1129-1146.

Thao, N. T. N., & Van Chon, L. (2015). Nonrenewable, renewable energy consumption and economic performance in OECD countries: A stochastic distance function approach.

Toman, M. A., & Jemelkova, B. (2003). Energy and economie development: An assessment of the state of knowledge. The Energy Journal, 93-112.

Tribunnews. (2014). Dari Semua Presiden, SBY Pegang Rekor Tertinggi Naikkan Harga BBM. http://sumsel.tribunnews.com/2014/11/18/dari-semua-presiden-sby-pegangrekor-tertinggi-naikkan-harga-bbm.

Turton, H., & Turton, H. (2002). The Aluminium Smelting Industry: Structure, market power, subsidies and greenhouse gas emissions. Australia Institute.

Vogel, M. P. (2012). Environmental Kuznets curves: a study on the economic theory and political economy of environmental quality improvements in the course of economic growth . Springer Science & Business Media. Vol. 469,.254-271

World, Bank. (2015). Data GDP Constan 2010.

Page 89: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

89

Yeh, J. C., & Liao, C. H. (2017). Impact of population and economic growth on carbon emissions in Taiwan using an analytic tool STIRPAT. Sustainable Environment Research, 27(1), 41-48.

Yusgiantoro, P. (2000). Ekonomi Energi: Teori dan Praktik. Jakarta: LP3ES.Yusuf, A., Komarulzaman, A., Hermawan, W., Hartono, D., & Sjahrir,

K. (2010). Scenarios for climate change mitigation from the energy sector in Indonesia: the role of fiscal instruments (No. 201005). Department of Economics, Padjadjaran University.

Zoundi, Z. (2017). CO2 emissions, renewable energy and the Environmental Kuznets Curve, a panel cointegration approach. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 72, 1067-1075.

Zulfa, A. (2016). Pengaruh Pertumbuhan Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Lhokseumawe. Jurnal Visioner & Strategis, 5(1),87-103.

Page 90: MONOGRAF Semarang Undip Press Dr. Hadi …eprints.undip.ac.id/76197/1/MONOGRAF.pdf4 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR TABEL BAB 1PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah dan

90

Dr. Hadi Sasana, SE, MSi adalah staf

pengajar dan peneliti pada Fakultas

Ekonomika dan Bisnis Universitas

Diponegoro (UNDIP) Semarang.

Menyelesaikan pendidikan Sarjana Ekonomi di Universitas

Diponegoro. Program Magister Sains di Program Studi Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Program Doktor di

Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Diterima sebagai dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas

Diponegoro tahun 1997. Mengajar di Program Sarjana, Program Studi

Magister Manajemen, Program Studi Magister ilmu Ekonomi dan

Studi Pembangunan, Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi

Universitas Diponegoro (UNDIP).

Penulis adalah pengurus ISEI cabang Semarang, ketua Jurusan Ilmu

Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomika dan Bisnis

UNDIP (2013-2017), Reviewer di LPDP Kementrian Keuangan

(2015 - 2019), dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Tidar

Magelang (2017 - 2021).