morfogenetik kucing (felis dometicus) di kecamatan
TRANSCRIPT
MORFOGENETIK KUCING (felis dometicus) DI KECAMATAN
LUBUKLINGGAU UTARA II KOTA LUBUKLINGGAU
Benny Permadi1, Ria Dwi Jayati, M.Pd2., Yuli Febrianti, M.Pd. Si3
Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan MIPA STKIP-PGRI Lubuklinggau
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Morfogenetik Kucing (Felis dometicus) di Kecamatan
Lubuklinggau utara II Kota Lubuklinggau”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keragaman kucing (Felis dometicus) di Kecamatan Lubuklinggau Selatan
II Kota Lubuklinggau. Jenis penelitian ini yaitu Deskriptif. Subjek penelitian ini yaitu
spesies kucing (Felis dometicus) yang terdapat di Lubuklinggau Selatan II.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara Road sampling yaitu berjalan pada setiap
lokasi yang telah ditentukan setiap kucing yang dijumpai diambil gambarnya.
Gambar kucing yang diperoleh dianalisis menggunakan metode akar kuadrat (Square
Root). Hasil yang diperoleh dari analisis warna, pola warna, panjang rambut dan
panjang ekor di Kecamatan Lubuklinggau Selatan II ditemukan bahwa kucing di
Kecamatan Lubuklinggau Selatan II beragam. Kesimpulan dari penelitian ini, secara
keseluruhan frekuensi alel pada populasi kucing di empat Kelurahan di Kecamatan
Lubuklinggau Selatan II masih didominasi oleh tipe liar, kecuali tipe mutan pada
lokus A~a dan m~M. Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) di wilayah Lubuklinggau
Selatan II adalah 45.233,10. Lokus w~W memiliki keragaman alel (h) yang lebih
tinggi dibandingkan lokus lainnya yaitu pada alel W (Dominan white) yang memiliki
nilai h sebesar 65149,44. Hal ini menunjukkan bahwa kucing yang memiliki alel
tersebut tersebar luas sehingga terjadi aliran gen melalui kawin acak.
Kata Kunci: Morfogenetik, Kucing (Felis domesticus), Keragaman.
1 Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2 dan 3 Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
1. PENDAHULUAN
Kucing merupakan hewan peliharaan yang didomestikasi sejak 3000-4000
tahun lalu pada zaman mesir kuno, kucing domestikasi (Felis domesticus)
merupakan keturunan dari kucing eropa (Felis sylvestris) dengan kucing hutan
afrika (Felis lybica). Menurut Ningsih (2008:5) kucing rumah adalah salah satu
predator yang dapat membunuh atau memakan beberapa ribu spesies, tetapi
karena ukurannya kecil kucing tidak berbahaya bagi manusia. Kucing rumah
(Felis domesticus) memiliki panjang tubuh 76 cm, berat tubuh pada betina 2-3 kg
sedangkan kucing jantan 3-4 kg dan lama hidup berkisar 13-17 tahun.
Kucing rumah memiliki rambut yang bervariasi, variasi warna rambut ini
dikendalikan oleh pigmen melanin yang memproduksi warna hitam pada rambut.
Ada dua warna dasar yang disebut warna dominan pada kucing yaitu hitam dan
merah. Genotif warna rambut kucing disandikan oleh gen utama yaitu: gen
pengontrol warna, gen pengontrol pola warna dan gen pengontrol ekspresi warna.
Masing-masing gen utama saling mempengaruhi sau dengan yang lainnya.
Panjang ekor dikendalikan oleh gen Manx (M) yang menyebabkan muncul atau
hilangnya ekor pada kucing (Firdhausi, 2015:89). Frekuensi alel yang
mengendalikan ekspresi dalam suatu populasi dapat diduga melalui bentuk
morfogenetik. Keragaman gen yang terdapat pada suatu populasi dapat dihitung
berdasarkan nilai heterozigositas (h) dan heterozigositas rataan (Lesmana,
2008:1).
Pola warna pada kucing merupakan salah satu contoh yang menarik untuk
di jadikan penelitian mengenai morfogenetik. Menurut Anwar,dkk (2010:4)
morfogenetik merupakan karakter morfologi yang di gunakan untuk melihat
genotif dapat memberikan informasi mengenai keragaman dalam suatu populasi
selain itu juga memberikan informasi muncul atau hilangnya alel tertentu
sehingga dapat mengetahui perubahan keragaman kucing pada suatu populasi.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 25 September
2017 di Kecamatan Lubuklinggau Selatan II Kota Lubuklinggau, di Kecamatan
Lubuklinggau Selatan II terdapat banyak kucing rumahan yang beraneka ragam
pola warna, jenis rambut dan panjang ekor sehinga sangat memungkinkan
banyaknya keragaman kucing di daerah ini. Maka dari itu bedasarkan latar
belakang tersebut dan belum adanya penelitian tentang Morfogenetik Kucing di
Kecamatan Lubuklinggau Selatan II, peneliti tertarik untuk meneliti tentang
keragaman morfogenetik kucing (Felis domesticus) di Kawasan Kota
Lubuklinggau Kecamatan Lubuklinggau Selatan II.
Tabel 2.1 Gen utama kucing.
Tipe liar Tipe mutan
Simbol Nama Karakteristik Simbol Nama Karakteristik
A Agouti Pola agouti a Non-Agouti Tidak berpola
B Black Hitam b Brown Coklat muda
b1 Light Brown Coklat terang
C Full-Colour Pigmentasi
penuh
cb Burmesse Coklat sepia
gelap
cs Siamse Pola point iris
biru
ca Blue eye-
albino
Putih point
iris muda
c Albinow Putih point
iris muda
D Dense Pigmentasi
pekat d Dilute
Pigmentasi
pudar
i Normal
pigmentation
Pigmentasi
normal I Inhibitor*
Menutupi
pigmen lain:
warna perak
l Normal hair Rambut
pendek L Long hair
Rambut
panjang
Tipe liar Tipe mutan
Simbol Nama Karakteristik Simbol Nama Karakteristik
m Normal tail Ekor
panjang M Manx*
Ekor pendek
atau tidak ada
o Normal
colour
Pigmentasi
normal
kecuali
oraye
O Oraye Oraye terpaut
sex
s Normal
colour
Tanpa
daerah putih S Piebald*
Dengan
daerah putih
T Mackerel Pola tabby
garis
Ta Abyssinian Pola tabby
Abyssinian
tb Blotched Pola tabby
klasik
w Normal
colour
Ekor
panjang
normal
W Dominan
white*
Warna putih
menutupi
warna lain *Gen mutan yang bersifat dominan terhadap tipe liar
Sumber (dalam Rodiana, 2012:12).
2. METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif. Penelitian deskriptif
adalah penelitian yang menggambarkan kondisi suatu kejadian yang bertujuan
mengumpulkan data semata (Nazir, 2003:63).
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode Road Sampling yaitu
berjalan pada setiap lokasi yang telah ditentukan (Firdhausi, 2015:89), setiap
kucing yang di temui di ambil sampel gambarnya dengan cara di foto, agar kucing
mudah di ambil sampelnya kucing diberi makan berupa leher ayam cincang dan
pakan kucing kemasan. waktu pengambilan gambar dilakukan antara pukul
07.30-11.30 dan dilanjutkan pukul 15.30-1730 WIB. Pengambilan gambar hanya
sekali setiap satu ruas jalan dalam satu lokasi untuk menghindari pengulangan.
Frekuensi alel dihitung mengunakan metode akar kuadrat (square-root).
Perhitungan frekuensi alel untuk gen autosom yang memiliki hubungan domain
(D) resesif (R) di antara alel pada lokus A~a; B~b; C~cb~cs~c; Ta~T~tb; D~d; s~S;
L~l; w~W dapat di tentukan dengan mengunakan akar kuadrat, dengan cara
sebagai berikut:
n = D + R Keterangan: n = Jumlah individu D= Jumlah alel domain R = Jumlah individu resesif
Frekuensi alel resesif adalah (qx) di tentukan dengan √𝑅/𝑛, sedangkan
frekuensi alel domain (Px) di tentukan dengan 1-qx standar eror (SE) dari frekuensi
alel resesif sebagai berikut:
SE=√𝟏 − 𝒒𝟐/𝟒𝒏
Keterangan:
SE = Setandar eror
Q = Frekuensi alel
N = Jumlah individu
Heterozigot (h) digunakan untuk mengukur variasi gen yang ada didalam
suatu populasi perkawinan secara acak. Sedangkan Heterozigositas rataan (Ĥ)
merupakan rata-rata dari sejumlah alel yang di hitung untuk mendapatkan
keragaman genetik dalam suatu populasi. Analisis heterozigot (h) dan
heterozigotsitas (Ĥ) dapat mengetahui keragaman suatu alel dalam suatu populasi
dengan cara:
hi = 2n(1-𝝨xi2)(2n-1)
Ĥ = 𝝨h1/nh
Dengan perhitungan standar eror sebagai berikut:
SEhi = (`𝟐[𝟐(𝟐𝒏−𝟐)(𝜮𝒊𝟑−(𝜮𝒙𝒊𝟐)
𝟐+(𝜮𝒊𝟑−(𝜮𝒙𝒊𝟐)
𝟐
𝟐𝒏(𝟐𝒏−𝟏))
Keterangan:
Hi = Nilai heterozigotsitas lokus i
Xi = frekuensi alel dari lokus i
Nh = jumlah lokus yang di perloleh
. Hasil penelitian yang dilakukan di 4 Kelurahan di Kecamatan
Lubuklinggau Selatan II ditemukan kucing sebanyak 128 ekor yaitu kucing yang
sudah dewasa sebagai sample. Data sample kemudian dianalisis menjadi
frekuensi alel (q), heterozigositas (h) yang tertera pada tabel 4.1, dan
heterozigositas rataan (H) tertera pada tabel 4.2.
Tabel 4.1
Fekuensi alel dan heteozigositas setiap lokus pada populasi kucing
Lokus
Alel
Frekuens
i Alel (q)
Standar
Error
(SE)
Heterozigositas
(h)
Standar
Error
(SE)
A~a
n=86
A
a
0,314
0,686
0,039
0,039
58882,56
34598,4
0,001712
0,005447
B~b~b1
n=85
B
b
0,564
0,436
0,054
0,054
44520,96
52876,8
0,00459
0,003112
C~cb~cs~ca~c
n=128
C
cs 0,721
0,279
0,031
0,031
31399,68
60253,44
0,005493
0,001229
D~d
n=127
D
d
0,624
0,376
0,017
0,017
39886,08
56075,52
0,005120
0,002427
i~I
n=116
i
I
0,917
0,083
0,018
0,018
10444, 8
64888,32
0,003066
0,000093
l~L
n=128
l
L
0,153
0,847
0,031
0,031
63778,56
18474,24
0,000389
0,004606
o~O
n=102
o
O
0,406
0,594
0,044
0,044
42301,44
54574,08
0,004871
0,002739
s~S
n=90
s
S
0,421
0,579
0,046
0,046
53725,44
43411,2
0,002941
0,004746
T~Ta~t
n=74
T
Ta
0,471
0,529
0,048
0,048
50853,12
47066,88
0,003532
0,004217
w~W
n=128
w
W
0,947
0,053
0,014
0,014
6789.12
65149,44
0,002132
0,000031
m~M
n=128
m
M
0,351
0,648
0,041
0,041
57250,56
37927,68
0,002116
0,005276
3. Hasil
Frekuensi Alel (q) dan Heterozigositas (h)
Lokus A~a
Alel A mempunyai nilai frekuensi yang lebih rendah
dibandingkan dengan frekuensi alel a (tipe mutan) yaitu sebesar 68,6%
dan lebih tinggi dari alel A tipe liar yang memiliki nilai frekuensi alel
sebesar 31,4%. Nilai heterozigositas alel A sebesar 58882,56 sedangkan
untuk alel a memiliki nilai heterozigositas sebesar 34598,4.
(a)
Gambar 4.1 kucing dengan pola Agouti, Chocolate mackerel tabby and
white (A-bbC-D-iiL-S-T-ww-Mm)
Lokus B~b~b1
Fekuensi alel B tipe liar yang mengekspresikan warna hitam, alel b
yang mengekspresikan warna coklat tipe mutan pada lokus B~b.
(a) (b)
Gambar 4.2 kucing dengan ekspresi dari lokus B~b. (a) solid black
(aaBC-D-L- iiww-mm) (b) Chocolate mackerel tabby
genotype (A-bbC-D-iiL-T-ww-Mm).
Alel tipe ini di kecamatan Lubuklinggau utara II secara beturut-
turut di temukan sebesar 56,4%, 43,6%. Kucing yang memiliki alel b1
tidak ditemukan di wilayah Kecamatan Lubuklinggau Selatan II.
Heterozigositas alel B sebesar 44520,96 dan untuk alel b nilai
heterozigositas yang ditemukan sebesar 52876,8.
Lokus C~cs
(a) (b)
Gambar 4.3 kucing dengan lokus C-cs (a). Red tabby and white (C-D-ii
O(O)-S-L-T-ww-mm) and white. (b) Lilac tabby tortie point
(Abbcscs -ddOo-L-ww-mm).
Alel C tipe liar yang mengekspresikan pigmentasi penuh memiliki
nilai frekuensi alel sebesar 72,1%, Alel cs yang mengekspresikan warna
burmese dan siamese merupakan satu-satunya alel mutan yang ditemukan
pada lokus ini alel cs, besar nilai frekuensi alel cs yang ditemukan
dikawasan Lubuklinggau Selatan II sangat rendah yaitu sebesar 27,9%.
Nilai heterozigositas alel C ditemukan sebesar 31399,68, sedangkan
heterozigositas alel cs sebesar 60253,44.
Lokus D~d
Lokus D~d secara keseluruhan frekuensi alel D tipe liar yang
mengekspresikan pigmentasi pekat dikawasan Lubuklinggau Selatan II
ditemukan sebesar 62,4%, alel d yang mengekspresikan warna pudar atau
dilute memiliki frekuensi alel yang rendah yaitu sebesar 37,6%. Nilai
heterozigositas alel D ditemukan sebesar 39886,08, sedangkan nilai
heterozigositas alel d ditemukan sebesar 56075,52.
(a) (b)
Gambar 4.4 kucing dengan lokus D-d, (a) Red tabby and white (C-D-iiO(O)
S-L-T-ww-mm), (b) Blue point (aaB-cs csdd-L-S-W-Mm).
Lokus i~I
(a) (b)
Gambar 4.5 kucing dengan lokus I-i, (a) Silver abyssinian and white (A B-C
D-L-I-S-Ta-ww-mm), (b) Black and white (aaB-C-D-iiS-L-ww-mm).
Lokus L~l
Alel L mengekspresikan rambut pendek, sedangkan alel l
mengekspresikan rambut panjang pada kucing. Alel L memiliki nilai
frekuensi alel sebesar 84,7%, sedangkan alel l memiliki nilai frekuensi alel
sebesar 15,3%. kucing yang memiliki alel l sangat jarang ditemukan di
Lubuklinggau Selatan II. Nilai heterozigositas yang ditemukan alel L
sebesar 18474,24. Sedangkan nilai heterozigositas yang ditemukan alel l
sebesar 63778,56.
(a) (b)
Gambar 4.6 kucing dengan lokus L-i. (a) Red tabby and white (C-D- ii
O(O)- S-L-T-ww-Mm), (b) Cream and long hair (C-ddO(O)
ll-Mm)
Lokus o~O
Lokus o~O yang terpaut kromosom X bersifat kodominan dalam
keadaan heterozigot. Ekspresi dari lokus ini menghasilkan tiga fenotipe
yaitu oranye (OO), non oranye (oo) dan tortoiseshell (Oo). Alel o yang
ditemukan dikawasan Lubuklinggau Selatan II lebih sedikit dibandingkan
dengan alel O tipe mutan. Alel o memiliki nilai frekuensi alel sebesar
40,5% sedangkan alel O memiliki nilai frekuensi alel sebesar 59,5%.
Nilai heteozigositas alel o sebesar 42301,44 sedangkan alel O memiliki
nilai heterozigositas sebesar 54574,08.
(a) (b)
(c)
Gambar 4.7 kucing lokus o-O, (a). Cream Abissinian (C-ddL-iiO-Ta-ww
Mm) (b). Black and white (aaB-C-D-iiS-oo-L-ww-Mm), (c).
Brown tabby tortie and white (A-B-C-D-iiOoS-T-ww-mm).
Lokus S~s
(a) (b) Gambar 4.8 kucing dengan lokus S-s, (a) Silver mackerel tabby and white (A
B-C-D-L-I-S-T-ww-mm), (b) Brown tabby tortie (A-B-C-D-L
iiOoss-ww-mm)
Lokus S~s spot putih pada kucing yang terdapat di Lubuklinggau
Selatan II mempunyai nilai frekuensi alel s lebih tinggi dibandingkan
dengan alel S dengan persentasi sebesar 57,9% dan 42,1%. Nilai
heteozigositas alel S sebesar 43411,2 sedangkan alel s memiliki nilai
heterozigositas sebesar 53725,44.
Lokus T~Ta
Alel T tipe liar yang mengekspresikan pola tabby garis memiliki
nilai frekuensi alel sebesar 47,1%. Alel Ta yang mengekspresikan pola
Tabby Abyssinia, merupakan satu-satunya alel mutan yang ditemukan
dikawasan lubuklinggau Selatan II pada lokus ini alel Ta memiliki nilai
fekuensi alel sebesar 52,9%. Nilai heteozigositas alel T sebesar 50853,12
sedangkan alel Ta memiliki nilai heterozigositas sebesar 47066,88.
(a) (b)
Gambar 4.9 Kucing lokus T-Ta, (a) Cream Abissinian (C-ddL-iiO-Ta
ww -Mm), (b) Chocolate mackerel tabby (A-bbC-D-iiL
T-ww-mm)
Lokus W~w
Alel W tipe mutan yang mengekspresikan Dominan white yang
menutupi warna lain sedangkan alel w tipe liar yang mengekspresikan
warna Normal colour ekspresi penuh dari gen lain. Alel tipe W sangat
sedikit ditemukan dikawasan Lubuklinggau Selatan II dengan frekuensi
yang sangat rendah yaitu sebesar 5,3% frekuensi alel w sangat tinggi yaitu
sebesar 94,7%. Nilai heteozigositas alel W sebesar 65149,44 sedangkan
alel w memiliki nilai heterozigositas sebesar 6789.12.
(a) (b)
Gambar 4.10. Kucing lokus W-w, (a) Read point (aac5 c5D- O(O)-W-mm),
(b) Brown tabby tortie and white (A-B-C-D-L-iiOoS-ww
mm).
Lokus M~m
Panjang ekor dikendalikan oleh gen Manx. Genotip Mm
mengekspresikan ekor pendek, sedangkan genotip mm mengekspresikan
ekor panjang. Besarnya nilai frekuensi kucing ekor pendek adalah 64,8%
lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi alel mm (ekor panjang)
sebesar 35,1%. Nilai heteozigositas alel Mm sebesar 37927,68 sedangkan
alel mm memiliki nilai heterozigositas sebesar 57250,56.
(a) (b)
Gambar 4.11. Kucing lokus M-m, (a). Silver mackerel tabby and white (A-B
C-D-I-L-S-T-ww-mm) (b). Black and white (aaB-C-D-iiL
ooS-ww-Mm)
Heterozigositas Rataan (Ĥ)
Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) memberikan informasi mengenai
keragaman kucing di Kecamatan Lubuklinggau Selatan II (Aditia, 2006:6),
yang tercantum pada Tabel 4.2. Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) dari 11 lokus
di Kecamatan Bogor Tengah sebesar 45233,10.
Tabel 4.2
Heterozigotsitas rataan (Ĥ) setiap lokus pada populasi kucing
Lokus
Alel
Heterozigositas
(h)
A~a
n=86
A
a
58882,56
34598,4
B~b~b1
n=85
B
b
44520,96
52876,8
C~cb~cs~ca~c
n=128
C
cs
31399,68
60253,44
D~d
n=127
D
d
39886,08
56075,52
i~I
n=116
i
I
10444, 8
64888,32
l~L
n=128
l
L
63778,56
18474,24
o~O
n=71
o
O
42301,44
54574,08
s~S
n=90
s
S
53725,44
43411,2
T~Ta~t
n=74
T
Ta
50853,12
47066,88
w~W
n=128
w
W
6789.12
65149,44
m~M
n=128
m
M
57250,56
37927,68
Heterozig’ositas rataan (Ĥ) = 45233,10
4. Pembahasan
Frekuensi alel (q) pada 11 lokus
Secara keseluruhan frekuensi alel dari lokus yang diamati yaitu lokus
A~a; B~b~b1; C~cb~cs~ca~c; D~d; i~I; L~l; o~O; s~S; Ta~T~Tb, W~w
dan M~m masih banyak didominasi oleh tipe liar. Namun pada lokus A~a dan
m~M memiliki alel mutan lebih tinggi yang di temukan di Kecamatan
Lubuklinggau Selatan II.
Lokus A~a dengan frekuensi alel mutan 0,686 sedangkan alel tipe
liarnya adalah 0,314, dan lokus m~M dengan frekuensi alel mutan 0,648,
sedangkan frekuensi alel tipe liarnya adalah 0,351. Menurut Rodiana (2012:7)
karakter ekor pendek merupakan ciri kusus kucing asia.
Frekuensi alel A (Agouti) tipe liar pada lokus A~a di Kecamatan
Lubuklinggau Selatan II lebih rendah dibandingkan frekuensi alel a (Non
agouti) tipe mutan dengan hasil frekuensi alel A sebesar 31,4% dan alel aa
68,6%. Hal ini menandakan bahwa penyebaran kucing dengan alel mutan
tersebut cukup luas dikawasan Lubuklinggau Selatan II. Besarnya
heterozigositas lokus A~a dikawasan lubuklinggau Selatan II ini diduga
terjadi kawin acak sehingga penyebaran gen relatif merata. Mariandayani
(2014:14) keragaman genetik selain disebabkan oleh mutasi, seleksi juga
adanya kawin acak.
Frekuensi alel b pada lokus B~b~b1 lebih rendah dibandingkan alel B.
Dengan jumlah berturut-turut 56,4%, 43,6%, sedangkan alel b1 tidak
ditemukan dikawasan Lubuklinggau Selatan II. Sama dengan penelitian
Mariandayani (2012:14), juga menemukan lokus baru B~b tetapi alel tipe b1
tidak ditemukan. Menurut Lesmana (2008:7), frekuensi B yang besar
dibandingkan dengan dua alel yang lainnya disebabkan alel B bersifat
dominan sedangkan alel b dan b1 bersifat resesif. Pada penelitian Lesmana
tersebut ditemukan alel b1 di wilayah Jakarta Timur, hal ini menunjukkan
adanya kucing yang bermigrasi maupun kucing yang mengikuti lomba.
Lokus C~cb~cs~ca~c merupakan lokus yang memiliki banyak alel
dibandingkan dengan lokus lainnya pada Felis domesticus. Beberapa alel pada
lokus ini merupakan yang menjadi ciri khas pada kucing dibeberapa negara.
Menurut Lesmana (2008:7), Kucing yang memiliki alel cb dan cs sangat
banyak ditemukan di Thailand, sedangkan alel ca dan c banyak ditemukan di
Amerika dan beberapa negara di Eropa. Kucing dengan alel C~cs di
Kecamatan Lubuklinggau Selatan II dengan frekuensi alel C sangat dominan,
dibandingkan alel cs dengan jumlah frekuensi alel yang sedikit. Frekuensi alel
C sebesar 72,1% dan frekuensi alel cs sebesar 27,9%. Keberadaan alel cs
dikawasan Lubuklinggau Selatan II muncul karena adanya perkawinan kucing
lokal dan kucing non lokal sehingga terjadi penyebaran alel cs yang
merupakan alel mutan. Bedasakan penelitian Mariandayani (2012:14) alel C
memiliki fekuensi alel 100% dan nilai heterozigositas 0.
Frekuensi alel D yang mengekspresikan warna pekat memiliki
frekuensi alel sebesar 62,4%, dan alel d tipe mutan yang mengekspresikan
warna pudar memiliki frekuensi alel sebesar 37,6% yang ditemukan
dikawasan lubuklinggau Selatan II. Tipe liar pada lokus D~d masih
mendoninasi ini karena disebabkan oleh adanya kawin acak. Berdasarkan
penelitian Firdhausi (2015:94), alel D yang mengekspresikan warna pekat
memiliki nilai frekuensi sebesar 76.1%. Alel d yang mengekspresikan warna
pudar memiliki nilai frekuensi sebesar 23.9%. alel d pada lokus D~d. Alel d
akan berinteraksi dengan alel B menjadi warna Blue, interaksi dengan alel b
akan menjadi warna lilac dan interaksi dengan alel b1 menjadi warna light
lilac, serta interaksi dengan alel O akan menjadi warna Cream.
Gen inhibator (I) pada lokus I~i mengekspresikan warna perak,
sedangkan alel i mengekspresikan warna selain perak (pigmentasi normal).
Frekuensi alel i ditemukan sebesar 91,7% sedangkan alel I sangat jarang
ditemukan dengan frekuensi sebesar 8,3%. Menurut Rahman (2008:37), gen I
merupakan gen inhibitor yang bekerja dengan cara menekan perkembangan
pigmen pada rambut kucing. Sedangkan menurut Mariandayani (2012:16),
kucing yang mempunyai alel I di wilayah Tangerang tidak ditemukan,
sedangkan yang mempunyai alel i banyak dijumpai. Frekuensi alel i sebesar
100%, menunjukkan lokus ini bersifat seragam. Hal ini menunjukan adanya
migrasi alel I dari populasi kucing dikawasan Lubuklinggau Selatan II
sehingga penyebaran gen tidak merata.
Alel l pada lokus L~l merupakan alel mutan bersifat resesif dan
memiliki frekuensi lebih rendah dibandingkan dengan alel L, di Lubuklinggau
Selatan II ditemukan frekuensi alel l sebesar 15,3% sedangkan alel L
ditemukan sebesar 84,7%. Pada penelitian Rahman (2008:37) tidak
menemukan kucing dengan rambut panjang dikawasan Bengkulu desa
jagobayo. Alel l merupakan alel yang mengekpresikan rambut panjang pada
kucing yang ditemukan pada populasi kucing di Kecamatan Lubuklinggau
Selatan II hal ini dikarenakan kucing yang memiliki rambut yang panjang
merupakan bukan kucing lokal Indonesia.
Frekuensi alel O tipe mutan pada lokus o~O pada kromosom X di
kawasan Lubuklinggau Selatan II lebih sedikit dibandingkan dengan alel o
tipe liar. Frekuensi alel O ditemukan sebesar 59,4% alel o ditemukan sebesar
40,6%. Pada penelitian Mariandayani (2012:17) alel o lebih banyak
ditemukan di kawasan tanggerang dibandingkan alel O. Namun dalam
penelitian Nozawa et al dalam Rodiana (2012:7) menyatakan bahwa alel O
merupakan ciri khusus kucing Asia timur.
Alel s pada lokus S~s merupakan tipe liar yang bersifat resesif,
memiliki persentase lebih kecil dibandingkan dengan tipe mutanya hasil
tersebut menandakan bahwa penyebaran kucing dengan alel mutan tersebut
cukup luas diwilayah Lubuklinggau Selatan II. Lokus S~s memiliki nilai
frekuensi alel berturut-turut yaitu alel S dengan nilai frekuensi alel sebesar
57,9% sedangkan alel s memiliki nilai frekuensi sebesar 42,1%. Berdasarkan
nilai frekuensi alel menunjukan tipe mutan lebih mendominasi dari tipe liar.
Rahman (2008:4) menyatakan titik putih yang di sandingkan dengan gen S
adalah salah satu contoh dominan tidak sempurna dengan berbagai variasi
kemunculan. Kucing dengan alel s tidak memiliki sport putih, dan sedangkan
kucing yang 100% putih tidak bisa dimasukan kedalam gen S.
Kucing yang memiliki alel T pada lokus T~Ta~tb lebih tinggi
dibandingkan alel lainnya pada lokus tersebut. Alel T merupakan tipe liar,
sedangkan Ta dan tb merupakan alel mutan, pada kawasan Lubuklinggau
Selatan II hanya ditemukan satu alel mutan yaitu Ta sedangkan alel tb tidak
ditemukan dikawasan tersebut. Frekuensi alel T ditemukan sebesar 51,1%,
fekuensi alel Ta ditemukan sebesar, 48,9%. Berdasarkan penelitian Rodiana
(2012:7) alel T tipe liar lebih dominan ditemukan dikawasan Wonogiri
dibandingka alel Ta dan tb sepanjang pulau dari sumatra ke sumbawa
frekuensi alel Ta semakin menurun hasil penelitian di kawasan Lubuklinggau
Selatan II memperkuat pernyataan tersebut. Menurut Lesmana (2008:7), tipe
mutan Alel Tb bersifat resesif jarang ditemukan di Indonesia sama seperti di
Jepang, sangat berkebalikan dengan kucing di Euro-Amerika.
Kucing yang berambut putih polos sangat jarang di temukan di
Kelurahan Lubuklinggau Selatan II di bandingkan dengan alel w, frekuensi
alel W ditemukan sebesar 5,3% sedangkan alel w yang mengekpresikan
warna penuh dari gen warna lain (warna normal) memiliki frekuensi alel
tertinggi 94,7%. Kucing yang memiliki alel W jarang ditemukan dikawasan
Lubuklinggau Selatan II. Menurut Lesmana (2008:8) menyatakan bahwa alel
W merupakan karakter mutan dari perkawinan antara kucing lokal dan kucing
nonlokal sehingga alel ini jarang ditemukan.
Panjang ekor dikendalikan oleh gen Manx, genotip Mm
mengekspresikan ekor pendek, sedangkan genotip mm mengekspresikan ekor
panjang. Besarnya nilai frekuensi kucing ekor pendek adalah 64,8% lebih
tinggi dibandingkan dengan frekuensi alel mm (ekor panjang) sebesar 35,1%.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Aditya (2006:8) yang menyatakan ekor
pendek merupakan karakter khusus pada kucing-kucing di Asia.
Heterezigositas (h) dan Heterozigositas rataan (Ĥ)
Nilai heterozigositas (h) digunakan untuk memberi informasi
keragaman kucing pada setiap lokus dari setiap populasi kucing. Nilai
heterozigositas (h) populasi kucing di Lubuklinggau Selatan II, pada 11 lokus
yang diamati dengan nilai sebesar, lokus A~a = 58882,56 : 34598,4, lokus
B~b = 44520,96 : 52876,8, lokus C~cs = 31399,68 : 60253,44, lokus D~d =
39886,08 : 56075,52, lokus i~I = 10444,8 : 64888,32, lokus l~L = 63778,56 :
18474,24, lokus o~O = 42301,44 : 54574,08, lokus s~S = 53725,44 : 43411,2,
lokus T~Ta = 50853,12 : 47066,88, lokus w~W = 6789.12 : 65149,44, lokus
m~M = 57250,56 : 37927,68 dapat dilihat pada tabel 4.2.
Nilai heterozigotsitas dari 11 lokus yang diamati menunjukan bahwa
lokus w~W memiliki nilai heterozigositas (h) tertinggi yaitu pada alel W
dengan nilai (h) sebesar 65.149,44 dan juga lokus w~W juga memiliki nilai
(h) terendah yang di miliki oleh alel w dengan nilai heterozigositas (h) sebesar
6.789,12. Hal ini menunjukan bahwa kucing yang memiliki lokus w~W
tersebar luas sehinga terjadi aliran gen melalui perkawinan acak.
Menurut Firdausi (2015: 96) nilai heterozigotsitas rataan sangat di
pengaruhi oleh adanya kawin acak dalam populasi. Nilai heterozigositas
rataan (Ĥ) di Kecamatan Lubuklinggau Selatan II yang tercantum pada Tabel
4.2 sebesar 45.233,10. Hal tersebut menandakan bahwa keragaman populasi
kucing di Kecamatan Lubuklinggau Selatan II beragam.
5. Kesimpulan
Secara keseluruhan frekuensi alel pada populasi kucing di empat
Kelurahan di Kecamatan Lubuklinggau Selatan II masih didominasi oleh tipe liar,
kecuali tipe mutan pada lokus A~a dan m~M. Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) di
wilayah Lubuklinggau Selatan II adalah 45.233,10. Lokus w~W memiliki
keragaman alel (h) yang lebih tinggi dibandingkan lokus lainnya yaitu pada alel
W (Dominan white) yang memiliki nilai h sebesar 65149,44. Hal ini
menunjukkan bahwa kucing yang memiliki alel tersebut tersebar luas sehingga
terjadi aliran gen melalui kawin acak.