nahwa tafsîr mawdûʻî li suwar al-...
TRANSCRIPT
Metode Tafsir Mawdû’î Muhammad al-Ghazali
(Analisa Terhadap Kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurʻân
al-Karîm)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama ( S.Ag)
Oleh :
UMMU HAFIDZOH
1113034000181
PROGRAM STUDI ILMU QURˋAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2017M
i
ABSTRAK
Ummu Hafidzoh
Metode Tafsir Mawdûʻî Muhammad al-Ghazali (Analisis Terhadap Kitab
Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm)
Metode Tafsir mawdûʻî ( موضوعي) dalam prakteknya ada dua macam.
Yang pertama, metode tafsir mawdûʻî ( موضوعي) mengelompokkan ayat-ayat yang
berbeda-beda yang masih dalam satu bahasan yang sama dalam al-Qurˋân dan yang
kedua, metode tafsir mawdûʻî ( موضوعي) mengelompokkan ayat-ayat al-Qurˋan dalam
satu surah. Kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm karya
Muhammad al-Ghazali ini cukup representatif dalam penelitian tafsir mawdûʻî
-per surah. Langkah penafsiran dan penerapan yang dilakukan oleh al (موضوعي )
Ghazali dalam tafsirnya sangat penting untuk dibahas untuk melihat lebih dalam
lagi bagaimana metode tafsir mawdûʻî ( موضوعي) per surah.
Tulisan ini bermaksud mengalisis tahapan penafsiran metode tafsir
mawdûʻî per surah dan penerapan tahapan penafsiran yang digunakan Muhammad
al-Ghazali dalam kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm.
Metodologi penelitian ini termasuk ke dalam kategori kualitatif, dengan
melakukan pencarian sumber (referensi) atau studi kepustakaan (library research)
sebagai metode pengumpulan data, data diambil dari dua sumber yaitu sumber
primer dan sumber sekunder. Sedangkan jenis metode pembahasannya yaitu
metode Analisis isi (content analysis) yaitu penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media.
Kesimpulan yang di dapat dalam skripsi ini adalah langkah penafsiran
metode tafsir mawdû’î per surah yang digunakan Muhammad al-Ghazali dalam
kitab tafsir Nahwa Tafsîr Mawdû’î li Suwar al-Qurˋân al-Karîm dapat yaitu;
pembahasan mengenai tema satu surah secara menyeluruh, menjelaskan secara
umum dan khusus sehingga pembahasan terlihat secara utuh dan dikaji dengan
cermat. Muhammad al-Ghazali memilih beberapa ayat (dalam sebuah surat) yang
mendukung tema utama (surat bersangkutan) dan menyerahkan beberapa ayat
lainnya kepada pembaca untuk dikelompokkan sendiri pada konteks (sub-tema)
yang sesuai. Dengan begitu pembahasan tidak panjang dan bertele-tele karena
yang menjadi tujuan penafsirannya adalah penjelasan secara singkat.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillâhirrahmânirrahîm
Assalâmu´alaikum Warahmatulâhi Wabarakâtuh
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam yang telah memberikan
kenikmatan jasmani dan rohani, serta rahmat dan hidayah-Nya, dan kemudahan
serta kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan sehingga saya bisa
menyelesaikan skripsi ini berkat pertolongan-Nya. Sholawat dan salam saya
haturkan kepada pahlawan revolusi Islam sedunia yakni Nabi Muhammad saw,
beliaulah Nabi akhir zaman yang telah memberikan cahaya dan tuntunan petunjuk
jalan yang lurus kepada umat Islam untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
di akhirat, serta doʻa untuk keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya hingga
akhir zaman.
Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir yang harus saya selesaikan
untuk menamatkan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana Strata-1 pada Jurusan
Ilmu al-Qurˋan dan Tafsir/ Tafsir Hadis Fakultas Ushulludin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan,
arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini saya ucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
iii
Terlebih dahulu saya sembahkan bakti doa dan rasa terima kasih kepada
mama saya tercinta Hj. Ila Kholilah, S.PdI dan almarhum papa saya tercinta H.
Zaenuddin, S.H. yang selalu saya rindukan, yang telah bersabar dalam mengasuh
dan mendidik, memberikan kasih sayang dan selalu ikhlas mendoakan yang
terbaik untuk anaknya, dan selalu memotivasi saya untuk menjadi manusia yang
lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain. Semoga Allah Swt senantiasa
mengampuni dan memaafkan segala khilaf dan menempatkan derajat keduanya
pada derajat yang tinggi. Âmîn.
Selanjutnya, saya menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. Selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum M.A. selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qurˋan
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.,
selaku sekertaris Jurusan Ilmu Al-Qurˋan dan Tafsir. Serta seluruh dosen
dan staf akademik Fakultas Ushuluddin, khususnya Jurusan Ilmu Al-
Qurˋan dan Tafsir yang telah membagikan waktu, tenaga dan ilmu
pengetahuan juga pengalaman berharga kepada penulis. Semoga amal
kebaikan ibu dosen dibalas dengan pahala dan rahmat dari Allah Swt.
Âmîn
iv
4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. selaku dosen pembimbing penulis
yang telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-
besarnya jika selama proses bimbingan penulis banyak merepotkan.
Semoga ibu senantiasa sehat dan diberikan kelancaran dalam segala
urusannya. Âmîn.
5. Keluarga yang senantiasa mendukung penulis. Kepada Hj. Ibu Siti Sanah
(Nenek), Bapak H. Robun Chaerudin (Kakek), tante dan uncle tercinta
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, teteh tercinta Zuraida yang
selalu kasih sayang, mendoakan dan memberikan dukungan moril maupun
materil sehingga saya bisa seperti sekarang ini, dan Denis (adik) yang
selalu memberikan semangat. Kepada semua sepupu (Ratu Rahmat, Ratu
Nuryani, Haikal Fanzury, Dewita Zahrotul Hayah, dan tidak dapat saya
sebutkan satu persatu) yang selalu menyemangati dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Kepada sahabat Muhammad Muʻizzuddin yang
selalu memberikan dukungan semangat hingga saya dapat menyelesaikan
skirpsi ini. Juga kakak-kakak kos tercinta (Helrahmi Yusman, Aina
Rahmah Hayah, dan juga Hervi Nindya) yang selalu mendoakan dan
memberikan semangat. Semoga kasih sayang tulus kalian dibalas oleh
Allah swt. Âmîn.
6. Teman-teman seperjuangan, kepada seluruh teman Jurusan Tafsir-Hadis
2013, khususnya teman-teman TH-E yang tidak bisa saya sebutkan
semuanya. Semoga kita semua tetap dalam ikatan silaturahmi dan jalinan
v
persahabatan yang indah. Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya
selama ini;
7. Kepada sahabat yang selalu menjadi sahabat terbaik dari masa-masa awal
masuk perkuliahan hingga saat ini yang tanpa henti memberikan semangat,
serta selalu memberikan warna terindah dalam kehidupanku. Terima
Kasih, semoga Allah Swt, membalas kebaikan kalian semua. Âmîn
8. Teman-teman KKN MUNCUL 236 2016 (Opi, Syifa, Hexa, Fajar,
Saniman, Pongki, Athar, dan Abdur) terima kasih atas kebersamaan dan
warna baru dalam perjalanan kuliah serta pengabdian di masyarakat,
semoga selama kita KKN dapat menjadi jembatan ukhuwah antara kita di
masa yang akan datang;
9. Serta masih banyak lagi pihak-pihak yang sangat berpengaruh dalam
proses penyelesaian skripsi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah Swt senantiasa membalas semua kebaikan yang telah diberikan.
Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan
umumnya bagi para pembaca agar selalu berpegang pada ajaran-ajaran Rasulullah
Saw. Âmîn.
Wassalâmuʻalaikum Wr.Wb.
Ciputat, 12 Desember 2017
Ummu Hafidzoh
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ viii
BAB I PENDHALUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Batasan Masalah ............................................................................. 10
C. Rumusan Masalah ........................................................................... 10
D. Tujuan Penelitian ............................................................................ 11
E. Manfaat Penelitian .......................................................................... 11
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 12
G. Metodelogi Penelitian ..................................................................... 14
H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 16
BAB II KAJIAN UMUM METODE TAFSIR MAWDÛʻÎ
A. Perkembangan Istilah Tafsir Mawdûʻî ............................................ 17
B. Jenis-Jenis Bentuk Kajian Metode Tafsir Mawdûʻî ........................ 30
C. Urgensi Kajian Metode Tafsir Mawdûʻî ......................................... 31
D. Langkah-Langkah Metode Tafsir Mawdûʻî .................................... 36
E. Keistimewaan Metode Tafsir Mawdûʻî ......................................... 38
F. Karya-Karya Tafsir Mawdûʻî .......................................................... 40
BAB III MENGENAL MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN KITABNYA
A. Biografi Muhammad al-Ghazali ..................................................... 43
B. Pandangan Muhammad Al-Ghazali tentang al-Qur’ân ................... 47
C. Mengenal Kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân
al-Karîm .......................................................................................... 50
BAB IV KAJIAN METODOLOGIS KITAB NAHWA TAFSÎR
MAWDÛʻÎ LI SUWAR AL-QURˋÂN AL-KARÎM
A. Metode Tafsir Mawdûʻi Per- Surah Pada Kitab Nahwa Tafsîr
Mawdûʻi li Suwar al-Qurˋân al-Karîm ........................................... 56
B. Langkah Penafsiran ......................................................................... 59
vii
C. Penerapan Metode Tafsir Mawdûʻî Per Surah ................................ 61
D. Kritik Terhadap Kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-
Qur’ân al-Karîm ............................................................................. 85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 81
B. Saran-Saran ..................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 83
viii
PEDOMAN TRANSELITASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis di bawah ح
Kh Ka dan ha خ
D De د
Dz de danzet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan ye ش
S Es dengan garis di bawah ص
ḏ De dengan garis di bawah ض
ix
ṯ Te dengan garis di bawah ط
ẕ Zet dengan garis di bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y ye ي
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
a Fathah
i Kasrah
u ḏammah و
x
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
3. Vokal panjang
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ا
I dengan topi di atas ي
u dengan topi di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-
syamsiyyah, al-rijâl bukan ar-rijâl.
5. Tasydîd
Huruf yang ber-tasydîd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-
turut, seperti السنة = al-sunnah.
xi
6. Ta marbûṯah
Jika ta marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو هريرة = Abû Hurairah.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhâri.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qurˋân diturunkan Allah Swt sebagai petunjuk dan pembimbing bagi
manusia di setiap ruang dan waktu. Al-Qurˋân sebagai sumber hukum tidak semua
syariatnya mesti dijelaskan dengan mendetail. Hal ini karena selain al-Qurˋân
masih ada sumber hukum yang kedua, yaitu al-Hadis yang merupakan penjelasan
al-Qurˋân. Selain itu, manusia diberi kesempatan dan dituntut untuk berijtihad
dengan menggunakan akalnya dalam rangka mengatur hidupnya di dunia ini
sesuai dengan perkembangan zaman.1
Kajian seputar kitab suci al-Qurˋân tiada pernah habisnya. Salah satu kajian
itu melalui pendekatan tafsir. Tafsir itu sendiri memiliki ragam dan metode
pendekatannya. Dari dulu sampai sekarang, kitab suci al-Qurˋân ini tetap dikaji
manusia dan tetap saja menarik. Itu tidak bukan dan tidak lain, karena ia
merupakan kalam Allah atau wahyu Ilahi.2
Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka di
bidang tafsir ini, dan menggunakan metode-metode yang digunakan oleh masing-
masing tokoh penafsir yang dimaksud adalah metode tahlîlî, metode ijmalî,
metode muqarran dan metode mawdûʻî. Pentingnya metode tafsir tahlilî, ijmalî,
muqaran dan mawdûʻî dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qurˋân adalah untuk
membantu dan memudahkan bagi orang yang ingin mempelajari dan memahami
1 Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan al-Qurˋân, (Jakarta: Gema Insani Press,
1994), cet ke-3, hlm. 25. 2 M. al-Ghazali, Tafsir Tematik dalam al-Qurˋân, (Yogyakarta: Gaya Media Pratama,
2004). Terj. M. Qoridun Nur dan Ahmad Musyafiq, Kata Pengantar Penerjemah. ix.
2
ayat al-Qurˋân itu sendiri. Dan mengingat empat metode tersebut telah menjadi
pilihan banyak mufasir (ahli tafsir) dalam karyanya. Seiring berjalannya waktu
dan semakin kompleks masalah dalam realita kehidupan yang kita hadapi di
zaman sekarang ini, semakin menyadari kita bahwa bahwa al-Qurˋân yang
memuat cakrawala makna di dalamnya, dengan horizon pengetahuan manusia dan
problematika kehidupannya yang terus mengalami perubahan dan dinamika yang
tidak pernah berhenti.3 Oleh karna itu mufasir kontemporer berusaha menyajikan
jawaban atas persoalan-persoalan dalam kehidupan. Dengan mewujudkan metode
penafsiran yang praktis dan memudahkan masyarakat untuk memahami
kandungan makna isi al-Qurˋân dengan, yang dimaksud metode penafsiran yang
praktis di sini adalah metode tafsir mawdûʻî atau metode tafsir tematis, berbeda
dengan metode tafsir tahlilî, ijmalî, dan muqarran karena di dalam metode tafsir
mawdûʻî pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-
Qurˋân. Berikut penjelasan tentang metode tafsir yang digunakan oleh penafsir;
Pertama, metode tahlîlî metode tafsir yang “Mufasirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qurˋân dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qurˋân sebagaimana tercantum dalam
mushaf”. Segi yang harus diperhatikan oleh mufasir tahlîlî diuraikan, bermula dari
arti kosakata, asbâb al-nuzûl, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan
teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak
menyelesaikan satu pokok bahasan. Karena seringkali satu pokok bahasan
3 M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: TERAS, 2005),
hlm. 5.
3
diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.4
Kelemahan lain yang
dirasakan dalam metode tafsir tahlilî adalah bahasan-bahasannya dirasakan
sebagai “mengikat” generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirnya
amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsirannya amat teoritis, tidak
sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka
alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum
itu mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qurˋân untuk setiap waktu dan
tempat.
Kedua, metode ijmalî (global) adalah menafsirkan ayat demi ayat al-Qurˋân
secara singkat dan global dengan menjelaskan makna yang dimaksud pada setiap
kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami.5
Ketiga, metode muqarran (komparasi) adalah menafsirkan ayat-ayat al-
Qurˋân atau surah tertentu dengan cara membandingkan ayat dengan ayat atau
antara ayat dengan hadis, antara pendapat ulama dengan menonjolkan segi-segi
perbedaan tertentu dengan obyek yang dibandingkan.6
Dan keempat, metode mawdûʻî (tematik) adalah metode tafsir yang
berusaha mencari jawaban al-qurˋân dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-
Qurˋân yang mempunya tujuan tertentu, yang bersama sama membahas topik atau
judul tertentu dan mengurutkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan
sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya
4 M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodelogi IlmuTafsir, hlm. 149.
5 M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodelogi Ilmu Tafsir, hlm. 150.
6 M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodelogi Ilmu Tafsir, hlm. 151.
4
dengan ayat-ayat lain, kemudian menyimpulkan kandungannya.7
Awal mula munculnya tafsir mawdûʻî dapat ditelusuri dari beberapa hal:
1. Menurut Dr. ´Abd.´Azhimi al-Ghabbasyi, tafsir ayat dengan ayat dapat
dipandang sebagai pemula (cikal bakal) timbulnya tafsir mawdûʻî (misalnya:
penafsiran al-Zhulum dengan al-Syirk);
2. Menurut Dr. Ahmad Mubhan, penafsiran corak hukum, filsafat, seperti
Tafsir al-Qurtûby, dan Fakhr al-Razy dan corak tafsir lainnya, bisa dipandang
sebagai bibit yang mendorong timbulnya tafsir mawdûʻî;
3. Dr. Muhammad Husein Al-Zahaby: telah menamakan tafsir al-Bayân fi
Aqsam al-Qurˋân (karangan Ibn al-Qayyim), Majaz al-Qurˋân (karangan Abu
ʻUbaidah), asbâb al-Nuzûl (karangan al-Wahidy) dengan tafsir mawdûʻi, karena
metode yang digunakan sangat atau mirip dengan metode dan corak tafsir
mawdûʻî sebagaimana yang kita kenal dan rumuskan saat ini;
4. Al-syatibî adalah yang mula-mula mencanangkan penafsiran surat-demi
surat. Dia memandang surat sebagai suatu totalitas yang keseluruhan ayatnya
saling berhubungan, sedangkan pokok-pokok permasalahan didalamnya saling
berkaitan dan topang menopang. (“inilah perngertian awal dari tafsir mawdûʻî”
kata M. Quraish Shihab);
5. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumi dipandang sebagai pencetus/perumus tafsir
mawdûʻî secara jelas dan tegas, sebagai satu metode penafsiran yang berdiri
sendiri.8
Berdasarkan bacaan diawal adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam
7 M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodelogi Ilmu Tafsir, hlm. 152.
8 Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qurˋân, (Bogor:
Granada Sarana Pustaka,2005), hlm. 223.
5
penerapan metode tafsir mawdûʻî dalam berdasar kan per surah, yaitu:
Pertama, mengambil satu surah dan menjelasakan masalah-masalah yang
berhubungan dengan surah tersebut, di antaranya sebab-sebab turunnya dan
bagaimana surah itu diturunkan (madaniyyah atau makiyyah dan ḥadits-ḥadits
yang menerangkan keistimewaannya). Kedua, menyampaikan pengertian dari
tujuan mendasar dalam surat dan membahas mengenai terjadinya nama surat itu.
Ketiga, membagi surat (khusus untuk surat yang panjang) kepada bagian-
bagian yang lebih kecil, menerangkan unsur-unsurnya (meliputi ‘am-khas, nasikh,
mansukh, lafalnya dalam bahasa Arab dan lain-lain) dan tujuan masing-masing
bagian serta menetapkan kesimpulan dari bagian tersebut. Dan keempat,
menghubungkan keterangan atau kesimpulan dari masing-masing bagian kecil
tersebut dan menerangkan pokok tujuannya.9
Setiap mufasir yang melakukan penafsiran al-Qurˋân secara mawdûʻî harus
memperhatikan kaidah-kaidah berikut ini:
1. Tugas mufasir adalah menafsirkan ayat dengan ayat (tafsir bi al-ma’tsur),
menjelaskan lafal-lafal atau ayat masing-masing ia harus memfokuskan pada
tujuan yakni menafsirkan secara tematis;
2. Tidak menyimpang dari masalah pokok pembahasan. Segala aspek dan
rahasia sejauh yang ditunjukkan ayat hendaklah dibahas dan digali;
3. Ingat bahwa al-Qurˋân menetapkan hukum secara berangsur-angsur, karena
itu memperhatikan sebab turunnya ayat akan menolong mengindari kekeliruan
pemahaman dibanding dengan hanya memperhatikan lafalnya saja;
9 Mustofa Muslim, Mabahis fi al-Tafsîr al-Mawdûʻî, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989),
hlm. 40.
6
4. Penafsiran hendaklah mematuhi langkah-langkah seperti yang telah
ditetapkan dan kaidah-kaidah lainnya untuk menghindari kekeliruan yang
mungkin terjadi;
5. Tidak memilih-memilih ayat tertentu atau sebaliknya menolak ayat lainnya
berdasarkan keinginan untuk kepentingan justifikasi teori atau konsep sendiri.
6. Untuk menghindari keterlibatan pemikiran (al-ra’yu) yang terlalu jauh
didalam penafsiran, al-Qurˋân harus dijadikan rujukan atau mengujinya dengan
konsep ilmu yang sudah mapan (al-ʻilm al-sahih).10
Menafsirkan secara mawdûʻî memiliki kelebihan dibanding dengan metode
lainnya, bahkan menurut Mahmûd Syaltût metode ini paling ideal dan sempurna.
Keunggulan metode ini adalah;
1. Metode mawdûʻî adalah jalan terpendek dan termudah dalam menggali
hidayah al-Qurˋân dibandingkan dengan tafsir tahlilî;
2. Hasil tafsir mawdûʻî memberikan pemecah terhadap permasalahan-
permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap
tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-Qurˋân hanya mengandung teori-
teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata;
3. Jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berubah dan berkembang,
menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap al-Qurˋân, mengembalikan
mereka yang telah terlanjur memuji-muji dan mempercayai aturan-aturan
produk manusia;
4. Bahwa menafsirkan al-Qurˋân dengan al-Qurˋân seperti yang diutamakan
10
Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan al-Qurˋân, hlm. 225.
7
oleh tafsir mawdûʻî ini telah disepakati sebagai jalan terbaik;
5. Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga
merupakan jalan terbaik dalam merasakan fasahat dan balaghah al-Qurˋân;
6. Dengan tafsir mawdûʻî pertentangan ayat dengan ayat setidaknya keragu-
raguan sementara orang bahwa agama (dhilalat al-Qurˋân) berlawanan
dengan ilmu pengetahuan, dapat diselesaikan dan terjawab;
7. Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam
lebih terbuka;
8. Peranan al-Qurˋân sebagai kitab suci dan pedoman terpercaya akan lebih
menonjol sekaligus menambah keyakinan terhadap kemu’jizatannya;
9. Tafsir mawdûʻî lebih tuntas dalam membahas masalah.11
Dalam prakteknya ada dua macam. Yang pertama, seperti yang digunakan
oleh Mahmûd Syaltût dalam Tafsîr al-Qurˋân al-Karîm, yaitu pembahasan
mengenai satu surat secara menyeluruh, utuh, dan cermat. Metode ini disebut
Tafsir mawdûʻî karena menganggap bahwa satu surat dalam alquran pada
hakikatnya merupakan satu tema mengarah pada satu tujuan. Sekalipun ia
mengandung banyak makna dan bagian, pada hakikatnya ia merupakan satu
kesatuan yang bagian-bagiannya tidak bisa dipisah-pisahkan.
Kedua, penafsiran dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qurˋân yang
mempunyai maksud yang sama dalam arti membicarakan satu topik masalah dan
menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut.
11
Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan al-Qurˋân, hlm. 226.
8
Kemudian mufasir mulai memberikan keterangan dan mengambil kesimpulan.
Metode kedua inilah yang sangat banyak dipakai. Bila kita mendengar istilah
tafsir mawdûʻî maka yang kita fahami pada umumnya adalah bentuk kedua ini.12
Tafsir ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara
lain tafsir mawdûʻî merupakan tafsir yang memberi jawaban secara langsung pada
persoalan yang ingin dicari jawabannya. Sedangkan kelemahannya antara lain
pembahasannya cenderung parsial tidak global.13
Menurut M. Quraish Shihab metode tafsir tematik berdasarkan surah
digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, Fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini
termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’ân al-Karîm. Sedangkan tafsir mawdûʻî
berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Ahmad Sayyid al-Kumi, seorang
guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmûd Syaltût, jurusan Tafsir,
Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir
sampai tahun 1981.14
Sedangkan tafsir metode mawdûʻî karya Muhammad Syaikh al-Ghazali,
yang berjudul Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm cetakan
pertama dalam bahasa arab pada tahun 1995 Kairo Dar: al-Syuruq dan cetakan
keduanya pada tahun 1996 di Kairo Dâr: al-Syurûq dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia Tafsîr al-Azhar yang dicetak oleh Futuh Printika diterbitkan
oleh Pernerbit Islamika pada tahun 2004 dan cetakan kedua diterjemahkan oleh
12
Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’ân, hlm. 222. 13
Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’ân, hlm. 228. 14
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurˋân: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 75-74.
9
M. Qodirudin Nur dan Ahmad Musyafiq dicetak oleh Radar Jaya Jakarta
diterbitkan oleh Gaya Media Pratama.
Tafsir ini mencoba menggali tema al-Qurˋân sesuai dengan surat yang ada
agar terlihat sistematis. Ia lebih banyak mengkaji pemikiran utama dari sebuah
surat lalu kemudian merajut antara satu ayat dengan ayat yang lainnya dalam satu
ikatan yang menarik. Tafsir ini layaknya sebuah ringkasan yang perlu dibaca
seorang Muslim agar lebih mengetahui isi umum dari kitab Sucinya untuk lebih
mudah meraih tujuan hidup mereka didunia ini, yaitu agar mereka hidup
bahagia.15
Inilah kelebihan yang harus digaris bawahi dari tafsir al-Ghazali ini. Sebab
salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap karya-karya tafsir adalah lebih
menonjolkan pendapat pribadi, bukan bunyi al-Qurˋân itu sendiri. Apabila
penafsir yang bersangkutan merepresentasikan diri sebagai bagian dari aliran atau
mazhab tertentu. Maka umumnya yang terjadi adalah mencari legalitas dari al-
Qurˋân atas pendapat-pendapat mereka. Sehingga tidak heran jika terjadi
perbedaan-perbedaan yang lebih bersifat diametral. Sehingga apa yang ditempuh
oleh al-Ghazali dalam tafsirnya ini merupakan salah satu solusi. Setidaknya dia
berusaha menafsirkan al-Qurˋân dengan niat tanpa bias aliran dan mazhab
tertentu. Tidak berlebihan jika karya ini layak dibaca oleh kalangan manapun
disamping urainnya yang memang bersifat praktis.16
15
Muhammad Al-Ghazali, Tafsir Tematik al-Qurˋân 30 Juz. Terj. Safir al-Azhar.
(Yogyakarta: Islamika, 2004), hlm. xiv. 16
Muhammad al-Ghazali, Tafsir Tematik al-Qurˋân, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2004), hlm.vii.
10
Tafsir mawdûʻî karya al-Ghazali ini cukup representatif dalam penelitian
terhadap tafsir mawdûʻî per surah, tahapan penafsiran dan penerapan yang
dilakukan oleh al-Ghazali dalam tafsirnya sangat penting untuk dibahas untuk
melihat lebih dalam lagi bagaimana metode tafsir mawdûʻî per surah, inilah yang
melatar belakangi penelitian yang berjudul Metode Tafsir Mawdûʻî Muhammad
al-Ghazali (Analisa Terhadap Kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-
Qurˋân al-Karîm).
B. Pembatasan Masalah
1. Metode tafsir yang di gunakan oleh penafsir ada 4 yaitu metode tafsir tahlilî,
ijmali, muqarran dan mawdûʻî tetapi di sini peneliti hanya membatasi masalah
yang akan di teliti hanya pada metode tafsir mawdûʻî.
2. Metode tafsir mawdûʻî sebagaimana yang kita ketahui ada 3 macam yaitu
metode tafsir mawdûʻî per tema, metode mawdûʻî per surah dan metode mawdûʻî
bi al- lafdzi (bi al-mustolah), di sini penulis hanya melakukan analisis pada
langkah-langkah penafsiran metode tafsir mawdûʻî per surah.
3. Penulis hanya menganalisa metode tafsir mawdûʻî karya Muhammad al-
Ghazali dalam kitab Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm. Dalam
penelitian ini penulis hanya membatasi 3 surah yaitu: surah al-Baqarah, Âli-
ʻImrân dan al-Nisâ.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana rumusan langkah-langkah
penafsiran metode tafsir mawdûʻî per surah yang dilakukan oleh Muhammad al-
11
Ghazali pada karyanya yang berjudul Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân
al-Karîm. Kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm sebuah
kitab tafsir yang menafsirkan al-Qurˋân dari surah al-Fatihah sampai surah al-
Nisâ, dalam penelitian ini penulis hanya membatasi 3 sûrah yaitu: surah al-
Baqarah, surah Âli-ʻImrân, dan al-Nisâ. Tiga surah ini cukup representatif karena
tiga surah ini termasuk dalam surah panjang-panjang dalam al-Qurˋân dan surah
panjang seringkali dicap sebagai surah yang tidak beraturan serta tidak
berkesinambungan antara tema-tema dan ayat-ayat di dalamnya.17
D. Tujuan Penelitian
1. Menganalisa secara mendalam langkah-langkah penafsiran al-Qurˋân yang
terdapat pada kitab tafsir mawdûʻî per surah Muhammad al-Ghazali.
2. Menemukan rumusan langkah-langkah metode tafsir mawdûʻî per surah
yang dilakukan oleh Muhammad al-Ghazali pada karyanya yang berjudul Nahwa
Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm. Kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li
Suwar al-Qurˋân al-Karîm.
E. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
pengembangan kajian ilmu Tafsir dan al-Qurˋân dan dapat memberikan
kesadaran bahwa setiap surah dalam al-Qurˋân memiliki tema pokok utama
yang saling berkaitan.
17
M. Abdul ´Adzim al-Zarqânî, “Manahil al-ʻUrfan fi ʻUlum al-Qurˋân” (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001) cet. I, hlm. 212-213. Lihat pula Abdul Majid Khon, (Praktikum Qira’at;
keanehan bacaan al-Qurˋân ...)(Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 7-8.
12
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemahaman
langkah-langkah penafsiran metode mawdû’î per surah dan penerapannya
dalam kitab Nahwa Tafsîr Mawdû’î li Suwar al-Qurˋân al-Karîm.
F. Tinjauan Pustaka
Untuk dapat memecahkan persoalan dan mencapai tujuan sebagaimana
diungkapkan di atas, maka perlu dilakukan tinjauan pustaka, guna untuk
mendapatkan kerangka berfikir yang dapat mewarnai kerangka kerja serta
memperoleh hasil sebagaimana yang diungkapkan. Adapun sumber sekunder
yang dapat mendukung dan memperkuat data premier dalam kajian ini, penulis
menggunakan kitab tafsir yang berkaitan dengan pembahasan seperti kitab Nahwa
Tafsîr Mawdûʻî i li Suwar al-Qurˋân al-Karim18
, Al-Bidayah fi al-Tafsîr al-
Mawdûʻî, Mabahits fi Tafsîr Mawdûʻî .
Selain itu kajian ini terdapat beberapa buku dan tulisan yang terkait dengan
metode tafsir mawdûʻî, antara lain sebagai berikut:
1. Jurnal yang ditulis oleh Wardatun Nadhiroh dengan judul Hermeneutika al-
Quran Muhammad Al-Ghazali (Telaah Metodelogis atas Kitab Nahwa Tafsir
Mawdhuʻi li Suwar al-Qur’an al-Karim) vol. 15 no. 2. Di sini membahas tentang
hermeneutika Muhammad al-Ghazali memiliki kemiripan dengan teori
hemeneutika Ghadamer dalam prakteknya.19
2. Jurnal yang ditulis oleh Fiddian Khairuddin dengan judul Muhammad Al-
18
Kitab tafsir ini juga diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dengan judul A Thematic
Commentary On The Qur’an, oleh penerbit Islamic Book Trust Selangor Malaysia pada tahun
2001. 19
Wardatun Nadhiroh, Hermeneutika al-Quran Muhammad Al-Ghazali (Telaah
Metodelogis atas Kitab Nahwa Tafsir Mawdhuʻi li as-Suwar al-Qur’an al-Karim), (Banjarmasin,
IAIN Antasari, 2014).
13
Ghazali dan Tafsir Mawdhuʻî vol. 1 no. 2. Di sini ia menjelaskan secara ringkas
metode tafsir mawdûʻî al-Ghazali dalam surat al-Kafirun ayat 1-3 dan dalam surat
Hud ayat 118 pada kitab al-Mahawir al-Khamsah li al-Qurˋân al-Karîm (Lima
Tema Pokok Al-Qurˋân) menjelaskan beberapa ayat dalam tafsir al-Ghazali dalam
menyangkal dan disangkal dalam surat al-Anfal ayat 41 dan ketika dihadapkan
pada surat al-Baqarah ayat 223.20
3. Disertasi Lilik Ummi Kaltsum dengan judul Metode Tafsir Mawdûʻî Baqr
al-Sadr, pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun
2009. Penulis menjelaskan mengenai pandangan metode tafsir tematis karya Baqr
al-Sadr. Bahwasannya metode tafsir tematis karya Baqr al-Sadr yaitu meneliti
problematika realitas yang terjadi, mufasir mengumpulkan data-data yang
sebanyak-banyaknya terkait dengan gagasan dan pengalaman manusia, lalu
mendialogkan permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi tersebut
kepada al-Qurˋan. Metode tafsir mawdûʻî akan menghasilkan kesimpulan yang
komprehensif tentang pandangan-pandangan al-Qurˋan yang berbasis pada
pengalaman-pengalaman manusia.21
4. Jurnal yang ditulis oleh Miski al-Madury yang berjudul Hermeneutika al-
Qurˋan Kontemporer (Telaah atas Hermeneutika Muhammad al-Ghazali dalam
Nahwa Tafsir Mawdhuʻi li Suwar al-Qurˋan al-karim) vol. 9 tahun 2015. Di sini
Ia bermaksud membahas lebih dalam lagi mengenai kerangka hermeneutika
Muhammad al-Ghazali yang dia manifestasikan dalam karya tersebut sekaligus
20
Fiddian Khairuddin, Muhammad Al-Ghazali dan Tafsir Mawdhuʻi (Riau, Universitas
Islam Indragiri, 2013). 21
Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Maudhu’i Baqr al-Shadr (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2009).
14
mempertegas posisinya antar para mufasir lain dalam pembacaan.22
Dari pemaparan kajian pustaka di atas saya membedakan skripsi atau jurnal
yang sudah ada sebelumnya yaitu di sini penulis menjelaskan langkah-langkah
penafsiran yang digunakan al-Ghazali dalam kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li
Suwar al-Qurˋân al-Karîm secara terpinci, kronologis sekitar penamaan kitab
Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li as-Suwar al-Qurˋân al-Karîm, dan beberapa kumpulan
kritik terhadap kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm.
G. Metodologi Penelitian
Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya penulis menempuh metode
tertentu yang kemudian dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian jenis kualitatif yang menggunakan
data-data kepustakaan (library research), dan melakukan deskripsi analisis, yaitu
mendeskripsikan data-data yang ada kemudian menganalisanya secara
proporsional. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang
berhubungan dengan pokok masalah dalam skripsi ini. Dan penulisan metode
penafsiran dalam skripsi ini penulis menggunakan metode tafsir tematik persurah.
2. Sumber Data.
a. Sumber Primer.
Data yang dijadikan sumber primer sebagai berikut: Kitab Nahwa Tafsîr
Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm. Adapun sumber sekunder yang dapat
22
Miski al-Madury, “Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer (Telaah atas Hermeneutika
Muhammad al-Ghazali dalam Nahwa Tafsir Mawdhuʻi li as-Suwar al-Qur’an al-
karim”(Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2015).
15
mendukung dan memperkuat data primer dalam kajian ini penulis merujuk pada
buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini
b. Sumber Sekunder.
Sementara data sekunder yang digunakan adalah skripsi, jurnal, serta
artikel yang berkaitan dengan penafsiran-penafsiran metode tafsir mawdûʻî al-
Ghazali dalam menafsirkan al-Qurˋân, dan metode tafsir mawdûʻî per surah secara
umum. Untuk panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman
Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2013/2014 Program Strata 1, yang diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik
dan Kemahasiswaaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dan mengenai transliterasinya dalam penulisan skripsi ini mengacu pada sistem
transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh Himpunan Peminat
Ilmu-ilmu Ushuluddin (HIPIUS).
3. Analisis Data.
Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah Analisis isi (content analysis)
yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi
tertulis atau tercetak dalam media.23
Karena yang menjadi objek utama dalam
penelitian ini adalah kajian metode dalam kitab tafsir Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li
Suwar al-Qurˋân al-Karîm. Adapun metode penelitian penafsiran dalam skripsi
ini penulis menggunakan metode tafsir tematik persurah.
23
Winarno Surakhmad, Pengatar Metodelogi Ilmiah (Bandung: Transito, 1980),
hlm.139.
16
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis membaginya kedalam bab
dan sub-bab sebagaimana berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang didalamnya dijelaskan latar
belakang masalah, pembatasan, masalah dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, memaparkan kerangka teoritis mengenai metode tafsir mawdûʻî.
Pada bab ini penulis membahas seputar pengertian metode tafsir mawdûʻî,
macam-macam bentuk kajian metode tafsir mawdûʻî, dan langkah-langkah
metode tafsir mawdûʻî.
Bab ketiga, memaparkan biografi penulis tafsir tematis Nahwa Tafsir
Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm. Pada bab ini penulis riwayat hidup
Muhammad al-Ghazali, dan membahas seputar kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li
Suwar al-Qurˋân al-Karîm.
Bab keempat, pembahasan mengenai kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar
al-Qurˋân al-Karîm yang merupakan inti dalam skripsi ini. Pada bab ini pertama,
membahas tentang metodelogis penafsiran yang digunakan dalam kitab Nahwa
Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm, langkah penafsiran yang di gunakan
Muhammad al-Ghazali dalam kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân
al-Karîm. Beberapa kumpulan kritik terhadap kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li
Suwar al-Qurˋân al-Karîm.
Bab kelima adalah kesimpulan dan saran. Seluruh pembahasan di atas
dikemas dalam kesimpulan dan saran sebagai penutup dari penulisan skripsi ini.
17
BAB II
KAJIAN UMUM METODE TAFSIR MAWDÛʻÎ
A. Perkembangan Istilah Metode Tafsir Mawdûʻî
Al-Qurˋân selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan
diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan metode pendekatan untuk menguak isi
sejatinya. Aneka metode pendekatan tafsir diajukan sebagai jalan untuk
membedah makna yang terkuak dari dalam al-Qurˋân itu. Upaya meraih
kebenaran teks dan konteks sebuah ayat, membutuhkan metode pendekatan.
Dengan metode pendekatan, bisa lebih mudah mengaplikasikan makna-makna al-
Qurˋân dalam kehidupan sosial. Apalagi mengenai ayat-ayat al-Qurˋân yang
berkategori mutasyabbih, tentu kian rumit dan pelik. Dengan demikian dalam
menafsirkan al-Qurˋân diperlukan pengetahuan-pengetahuan tertentu yang
berkaitan dengan ayat-ayat al-Qurˋân yang ditafsirkan.
Sebagaimana telah dipertegas di atas bahwa dalam menafsirkan ayat al-
Qurˋân bukanlah pekerjaan yang mudah, karenanya memerlukan persyaratan-
persyaratan yang ketat melalui proses penguasaan ilmu pengetahuan tertentu
sehingga bisa disebut seorang mufasir. Walaupun seseorang telah menguasai
ilmu-ilmu yang disyaratkan tersebut tetapi tidak mengetahui metodeloginya, maka
ia akan kesulitan dalam menafsirkan al-Qurˋân.
Bahkan para mufasir mengakui bahwa setiap metode dan tafsir, setiap cara
dan pendekatan, secanggih apapun ia digunakan, boleh jadi ia selalu dalam posisi:
18
“lain di teks, lain pula di konteks.” Dilema ini logis adanya. Sebab, subtansi kitab
suci ini memang mempersyaratkan adanya “kedekatan logis” antara otoritas
normatif di satu sisi, dengan realitas objektif masyarakat di sisi lain.1
Mencari titik temu antara teks dan konteks itulah tugas berat yang diemban
para mufasir, sejak zaman dahulu hingga sekarang. Problema itulah melahirkan
metode-metode dan tafsir-tafsir dengan berbagai corak dan ragamnya, dengan
berbagai dinamika dan pergulatannya, sebagaimana kita kenal sekarang ini.
Proses pewahyuan al-Qurˋân tidak diwahyukan sekaligus (30 juz), akan tetapi
secara bertahap, sebagaimana kitab suci lainnya. Kondisi seperti ini membutuhkan
tawaran metode baru yang mampu menghasilkan produk tafsir yang lebih
aplikatif, responsif dalam membedah al-Qurˋân mampu sambil menjawab tuntutan
realitas sosial sambil menjawab tuntutan realitas sosial yang bergerak cepat.2
Karena itu, metode atau sistem penafsiran, apapun namanya menjadi
sangat penting untuk dihadirkan, agar kita dapat mebaca pesan-Nya secara
autentik, antara satu mufasir dengan mufasir lainnya, ternyata tidaklah juga selalu
dalam posisi seragam, masing-masing mufasir membuat hasil kerja sebuah tafsir,
selalu memiliki kemungkinan untuk benar dan dibenarkan, juga berpeluang untuk
salah dan disalahkan.
1 Umar Shihab, Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qurˋan, hlm. 3.
2 Umar Shihab, Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qurˋan, hlm. 4.
19
. Maka salah satu tafsir yang hendak digunakan untuk membedah noktah-
noktah al-Qurˋân adalah tafsir tematik/ tafsir mawdûʻî, sebuah tafsir yang
mencoba menelaah noktah-noktah al-Qurˋân berdasarkan tema pertema, agar
ditemukan titik konvergensi antara satu ayat dengan ayat lainnya secara logis, agar
bisa ditemukan titik kuantum epistimologis yang ditorehkannya secara relevan.
Penggunaannya dalam kajian ini, diharapkan akan memberikan horizon baru yang
lebih aplikatif dan responsif dalam membedah al-Qurˋân, sambil menjawab
tuntutan realitas sosial yang bergerak cepat.3
Belum muncul istilah ini (tafsir mawdûʻî), kecuali pada abad ke-14 hijriah,
ketika topik ini ditetapkan sebagai topik kajian yang termasuk dalam bagian tafsir
di jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar. Perkembangan tafsir al-Qurˋân
dimulai sejak awal pertumbuhannya di masa hidup Rasulullah Saw. Dapat
dikatakan bahwa tafsir tematik sudah terwujud, walau hanya sederhana.4
Tafsir mawdûʻî tersusun dari kata al-tafsir dan al-mawdûʻî kata al-tafsir
mempunyai makna menyingkap dan menjelaskan. Sedangkan menurut istilah
tafsir adalah ilmu yang menyingkap tentang makna-makna dari ayat-ayat al-
Qurˋân apa yang dikehendaki Allah Swt sesuai kemampuan manusia.5
Kata mawdûʻî berasal dari bahasa arab yaitu mawdûʻî yang merupakan
isim mafʻûl dari fiʻil mâdi wadaʻa yang berarti meletakkan, menjadikan,
3 Umar Shihab, Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qurˋân, hlm. 4.
4 Mustafa Muslim, Mabahits fi Tafsîr Mawdûʻî, (Beirut: Darul Qolam, 1989), hlm. 18
5 Mustafa Muslim, Mabahits fi Tafsîr Mawdûʻî, hlm. 15.
20
mendustakan dan membuat-buat.6 Arti mawdûʻî yang dimaksud di sini ialah yang
dibicarakan atau judul atau topik, sehingga tafsir mawdûʻî berarti penjelasan ayat-
ayat al-Qurˋân yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan
bukan mawdûʻî yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata
Hadis mawdûʻî yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-
buat.7 Adapun pengertian langkah metode tafsir mawdûʻî (tematik) menurut para
ulama adalah “Menghimpun seluruh ayat al-Qurˋân yang memiliki tujuan dan
tema yang sama disusun berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan
sebab-sebab turunnya. Kemudian menguraikan dengan menjelajahi seluruh aspek
yang dapat digali. Hasilnya diukur dengan teori-teori akurat sehingga mufasir
dapat menyajikan tema secara utuh dan sempurna. Bersamaan dengan itu,
dikemukakan pula tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang mudah
dipahami sehingga bagian-bagian yang terdalam sekali pun dapat diselami.”8
Adapun secara istilah setelah menjadi ilmu tersendiri dalam bidang ʻulum
al-Qurˋân tafsir mawdûʻî memiliki beberapa variasi makna, yang diungkapkan
oleh peneliti kontemporer, diantaranya;
1. Menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hal urusan-urusan kehidupan
bermasyarakat ataupun yang berkaitan dengan makhluk ciptaan-Nya yang
disandingkan dengan melihat ayat-ayat al-Qurˋân.
6 Luis Maluf, Al Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1987), hlm.
905. 7 ʻAbdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990),
hlm. 83-84. 8 ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhuʻi dan Cara Penerapannya,
(Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2002). Terj. Drs. Rosihon Anwar, hlm. 43.
21
2. Mengumpulkan ayat-ayat yang berbeda-beda dari beberapa surah dalam
al-Qurˋân yang memiliki keterkaitan dalam satu pembahasan baik secara
lafaznya ataupun hukumnya. Juga mengumpulkan penafsiran-
penasfirannya sesuai dengan tujuan al-Qurˋân.
3. Menjelaskan suatu hal apapun yang terkandung dalam beberapa ayat-ayat
al-Qurˋân dalam satu surah maupun beberapa surah yang masih dalam satu
bahasan.
4. Ilmu yang membahas tentang kasus-kasus dalam al-Qurˋân yang memiliki
kesatuan makna ataupun tujuan, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat
yang berbeda-beda dan mengkajinya dengan cara khusus serta syarat-
syarat tertentu untuk menjelaskan makna kandungannya dan
menyimpulkannya menjadi tema pokok besar.
5. Ilmu untuk mendapatkan suatu permasalahan sesuai dengan tujuan
diturunkannya al-Qurˋân yang diambil dari satu surah atau lebih.9
Adapun pengelompokkan tentang pertumbuhan dan perkembangan tafsir
yang dilakukan oleh Baidan nampak berpijak kepada periodesasi waktu (zaman,
abad), misal dimulai periode Nabi saw dan sahabat (abad 1 H/ VII M), periode
Tabi’in dan Tabi’in at Tabi’in (abad II H/ VIII M), periode Ulama Muttaqaddimin
(abad III-VIII/ IX-XIII), periode Ulama Muttaakhirin (abad IX-XII H/ XIII-XIX
M), dan periode Ulama Modern (abad XIV H/ XIX M).10
Beda halnya dengan M.
9 Mustafa Muslim, Mabahits fî Tafsîr Mawdûʻî, hlm. 16.
10 Nasaruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qurˋân di Indonesia, (Solo: PT. Tiga
Serangkai Mandiri, 2013), hlm. 6-22.
22
Quraish Shihab yang lebih cenderung memaparkan secara umum tentang
perkembangan tafsir tanpa menggunakan periodesasi waktu dan zaman.11
Setelah para sahabat melakukan penafsiran dengan metode tematik walau
hanya sederhana, pada saat itu ilmu fiqih sudah berkembang, para ulama fiqih
menggunakan metode tematik untuk membantu dalam proses mencari ayat al-
Qurˋân dan menggunakannya sebagai dalil. Adapun karya ulama fiqih yang
mengelompokkan ayat berdasarkan susunan tema/bahasan;
1. Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H) al-Asbahu wa al-Nazair fi al-Qurˋân al-
Karîm.
2. Yahya bin Salam (w. 200H) al-Thasharif.
3. Al-Raghib al-Ashfihani (w. 502 H) al-Mufradat fi Gharibi al-Qurˋân.
4. Ibnu al-Zauji (w. 597 H) Nuzhatu al-‘Ayun al-Nawadzir fi ‘Ilmi fi Wujuhi
wa al-Nazair.
5. Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) Kitabihi fi al-Nasikhi
wa al-Mansukh.
6. Imam ‘Ali ibn al-Madini (w. 234 H) Kitabihi fi Asbâb al-Nudzûl.
7. Imam ibn Qutaibah (w. 276 H) Takwil Musyki al-Qurˋân.
8. Abu Bakar al-Jashash al-Hanafi (w. 370) Ahkami al-Qurˋân.
9. Ibnu al-‘Arabi al-Maliki (w. 543 H) Ahkami al-Qurˋân.
10. Ilkiyya al-Harasi Asy-Syafi’i (w. 504) Ahkami al-Qurˋân.
11
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurˋan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007) hlm.
71-74.
23
Setelah itu adapun karya-karya yang lain yang masih dalam satu metode
yaitu dengan cara menentukan tema lalu memasukkan ayat-ayat yang berkaitan
dengan tema tersebut yaitu;
1. Imam al-Mawardi (w. 450 H) Amtsali al-Qurˋân.
2. Imam al-‘Izzi bin ‘Abdu al-Salam (w. 660 H) Majazu al-Qurˋân.
3. Imam Ibn Qayyim (w. 751 H) Aqsami al-Qurˋân dan Amtsali al-Qurˋân.
Kemudian muncul kitab-kitab yang lain yang memiliki kecenderungan
yang berbeda namun masih dalam satu metode yaitu dengan cara menentukan
tema lalu memasukkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut terkait
dengan akhlak, perekonomian, ataupun tentang kehidupan. Misalnya: al-Insân fî
al-Qurˋân, al-Marˋatu fi al-Qurˋân, al-Akhlâq fî al-Qurˋân, al-sabru fî al-
Qurˋân.12
Upaya mempertemukan beberapa ayat yang semakna atau yang berkaitan
dengan masalah tertentu sudah ada dengan munculnya penafsiran ayat al-Qurˋân
dengan ayat al-Qurˋân yang lain. Hal ini dapat dimaklumi, sebab al-Qurˋân dalam
kapasitasnya sebagai pedoman hidup bagi manusia dan memberi petunjuk tentang
ajarannya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan,
sehingga kadang-kadang diturunkan ayat yang mujmal, muthlaq, dan umum,
tetapi kadang-kadang diturunkan ayat yang terinci, tertentu, dan khusus.13
Sebagai contoh, ayat-ayat yang menetapkan ketuhanan dan keesaan Allah
banyak terdapat pada surat-surat Makiyyah dan surat-surat Madaniyyah.
12
Mustafa Muslim, Mabahits fî Tafsîr Mawdûʻî, hlm. 21. 13
Mustafa Muslim, Mabahits fî Tafsîr Mawdûʻî, hlm. 17.
24
Seandainya ada seorang mufasir menghimpun ayat-ayat itu lalu menguraikannya
dengan dalil-dalil yang jelas dan tepat,14
tidak akan ada lagi keraguan di dalam
hati orang-orang kafir. Demikian pula ayat-ayat yang melarang riba, dengan
menggunakan metode ini, si mufasir akan melihat bahwa larangan itu pada
dasarnya merupakan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam ayat
al-Qurˋân menjelaskan tentang hikmah ketuhanan dari diciptakan-nya manusia
dan jin dalam firmannya :
نس إل ليعبدون (٦٥)وما خلقت ٱلجن وٱل
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
menyembahku.(QS. Adz-zariyat: 56)
Ketetapan tuhan ini juga sama menjelaskan tentang kebangkitan mereka setelah
kematian mereka sebagai tolak ukur atas titipan yang mereka bawa: sebagaimana
firman Allah Swt.
كم عبثا وأنكم إلينا ل ترجعون (١١٦)أفحسبتم أنما خلقن
Apakah kalian mengira kami menciptakan kamu main-main (tanpa
maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS. al-
Muˋminun: 115)
14
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 44.
25
Dan menjelaskan tentang penciptaan, tanggung jawab dan tempat kembali setelah
mati.
Terkadang ada hal-hal yang diterangkan secara mujmal dalam suatu ayat,
lalu dijelaskan secara terperinci dalam ayat yang lain. Demikian pula petunjuk
yang diberikan secara umum dalam suatu ayat, kadangkala dijelaskan secara
khusus dalam ayat yang lain.15
Al-Qurˋân sesungguhnya menghimpun tema-tema yang perlu digali
dengan menggunakan metode mawdûʻî. Seandainya seorang peneliti
menggunakan metode ini dengan penuh keseriusan tampaklah kepada kita
kandungan al-Qurˋân berupa, diantaranya; penetapan syari’at yang cocok untuk
setiap waktu dan tempat. Dari sana kita dapat menetapkan undang-undang
kehidupan yang siap berhadapan dengan perubahan dinamika kehidupan, undang-
undang wad’iyyah, dan unsur-unsur eksternal yang kita hadapi keberagaman
sehari-hari.16
Menurut al-Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema,
diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun
demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi
ayat-ayat yang mewakili (representatif).17
Dasar-dasar tafsir mawdûʻî telah dimulai oleh Nabi Saw sendiri ketika
menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-
maˋtsur. Seperti yang dikemukakan oleh al-Farmawi bahwa semua penafsiran
15
Mustafa Muslim, Mabahits fî Tafsîr Mawdûʻî, hlm. 18. 16
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 44. 17
ʻAbd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fî al-Tafsîr al-Maudhu’i, (Matba’ah al-Hadarah
al`Arabiyah, Kairo, 1977), hlm. 62.
26
ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir mawdûʻî dalam bentuk awal.18
Tafsir-tafsir buah karya para ulama yang penulis ketahui sampai sekarang ini
kebanyakan masih menggunakan metode tafsir tahlîlî yaitu menafsirkan ayat-ayat
al-Qurˋân dalam kitab-kitab mereka, ayat demi ayat, surat demi surat secara tertib
sesuai dengan urutan adanya ayat-ayat itu dalam mushaf, tanpa memperhatikan
judul/ tema ayat-ayat yang ditafsirkan. Hal itu umumnya disebabkan (1) karena
dahulu pada awal pertumbuhan tafsir, mereka masih belum mengambil
spesialisasi dalam ilmu-ilmu pengetahuan tertentu, yang memungkinkan mereka
untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qurˋân secara tematik/topikal atau sektoral, (2)
karena mereka belum terdesak untuk mengadakan tafsir mawdûʻi ini, disebabkan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang hafal seluruh ayat al-Qurˋân, dan
sangat menguasai segala segi ajaran lslam sehingga mereka mampu untuk
menghubungkan ayat satu dengan ayat yang lain yang sama-sama membicarakan
judul/ topik yang satu.19
Jika penulis kembali melihat ke dalam sejarah kebudayaan Islam bahwa
pada permulaan Islam yaitu zaman Rasulullah dan masa sahabat, perhatian
mareka terkonsentrasi pada upaya penyiaran agama Islam, menghadapi berbagai
tantangan orang-orang non muslim, menghafal dan pelestarian al-Qurˋân dan al-
Hadis, maka wajarlah kalau tafsir mawdûʻî belum berkembang pada masa itu
seperti sekarang ini. Pada masa sekarang ini para ilmuwan menghadapi
permasalahan yang kompleks, sejalan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi,
18
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fî al-Tafsîr al-Maudhu’i, hlm. 54. 19
Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin ‘i Pada Masa Kini, (Kalam Mulia: Jakarta,
1990), hlm. 101-102.
27
globalisasi, informasi, maka tafsir mawdûʻî semakin populer dan mutlak
dibutuhkan. Karena al-Qurˋân harus dijadikan sebagi pedoman, petunjuk, rahmat,
tempat berkonsultasi baik bersikap maupun dalam bertingkah laku dalam rangka
menjalankan fungsi seseorang berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan
alam.
Maka segala sesuatu yang diperoleh di dunia ini, prosesnya, materinya,
perencanaannya, tujuannya, hasilnya, semuanya itu haruslah menjiwai pesan-
pesan al-Qurˋân. Dari sisi ini, re-interpretasi atau mengkaji ulang terhadap
penafsiran al-Qurˋân yang diberikan para ulama dahulu, dengan metode tafsir
mawdûʻî mutlak diperlukan. Kalau demikian halnya, maka akan lahir mufasir-
mufasir baru yang selalu mengkaji dan menafsir al-Qurˋân sejalan dengan
keadaan dari masa ke masa.
Tampak bagi penulis bahwa pertumbuhan tafsir mawdûʻî sudah dimulai
sebelum penulisan karya tersebut tetapi saat itu tafsir mawdûʻî belum menjadi
sebuah metodelogi kajian yang berdiri sendiri. Namun, setidak-tidaknya dapat
dikatakan bahwa tafsir mawdûʻî bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia
penafsiran al-Qurˋân.
Tafsir mawdûʻî lebih kompleks dan lebih tajam dibandingkan dengan tafsir
tahlîlî. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Baqr al-Sadr tentang
perbedaan antara tafsir mawdûʻî dan tahlîlî yaitu peran mufasir yang
mempergunakan tafsir tahlîlî umumnya pasif. Pertama-tama ia mulai dengan
membahas sebuah naskah al-Qurˋân tertentu, dimulai dari sebuah ayat atau
28
kalimat, tanpa merumuskan dasar-dasar pemikiran atau rencana terlebih dahulu,
kemudian mencoba untuk menetapkan pengertian al-Qurˋân dengan bantuan
perbendaharaan al-Qurˋân dan berbagai indikasi yang ada padanya dalam naskah
khusus tersebut ataupun yang di luar itu. Secara umum usahanya terbatas pada
penjelasan sebuah naskah al-Qurˋân tertentu. Dalam hal ini, peran naskah serupa
dengan si pembicara, dan tugas si mufasir ialah mendengarkan dengan penuh
perhatian dengan pikiran yang cerah dan jernih serta penguasaan atas bahasa arab,
baik yang klasik, halus serta gaya bahasa arab. Dengan pikiran dan semangat yang
demikian mufasir duduk menghadapi a1-Qurˋân dan mendengarkan dengan penuh
perhatian peranannya sementara al-Qurˋân menonjolkan arti harfiahnya, si
mufasir mencatatnya di dalam tafsirnya sampai pada batas pemahamannya.
Kontras dengan hal ini, mufassir yang memakai metode mawdûʻî (tematik) tidak
memulai aktifitasnya dari naskah al-Qurˋân, tetapi dari realitas kehidupan.
Mufasir memusatkan perhatiannya pada sebuah tema tertentu dari berbagai
masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan sosial, dengan
menggunakan kumpulan hasil pemikiran dan pengalaman manusia tentang subyek
tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pemecahan-pemecahan
yang dianjurkan sehubungan dengan masalah tersebut, dengan jurang pemisah di
antara keduanya. Setelah itu, ia kembali kepada naskah al-Qurˋân, namun tidak
dalam posisi sebagai seorang pendengar dan seorang pencatat. Ia menempatkan
sebuah topik dan masalah yang ada dari sejumlah pandangan dan gagasan
29
manusia dihadapan al-Qurˋân. Dengan begitu ia mulai sebuah dialog dengan al-
Qurˋân, dimana si mufasir bertanya dan al-Qurˋân memberikan jawabannya.20
Menurut Mursyi Ibrahim al-Fayumi dalam Dirâsah fî Tafsîr al-Mawdûʻî
membagi metode tafsir mawdûʻî menjadi dua macam, yaitu tafsir mawdûʻî
berdasarkan tema atau topik (khilal surah). Tafsir mawdûʻî berdasarkan satu topik
pembahasan, yaitu menghimpun sejumlah ayat al-Qurˋân yang mempunyai
kesamaan tema kemudian membahasnya secara mendetail. Sedangkan, tafsir
mawdûʻî berdasarkan suatu surat yaitu dengan cara menjelaskan isi kandungan
surat tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus dan menjelaskan keterkaitan
antara tema yang satu dengan yang lainnya. Sehingga surat itu nampak merupakan
suatu pembahasan yang sangat kokoh dan cermat.21
ʻAbd. al-Satar Fatullah Sa’id berpendapat bahwa tafsir mawdûʻî adalah
kumpulan ayat-ayat al-Qurˋân yang memiliki kesatuan makna dan meletakkan
ayat-ayat tersebut dalam satu tema besar kemudian memberikan pandangan
dengan menuliskan kesatuan tema yang diambil dari al-Qurˋân dengan cara-cara
khusus. Metode tawhîdî menurut Sadr ialah metode tafsir yang berusaha mencari
jawaban al-Qurˋân dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qurˋân yang
mempunyai tujuan yang satu. Ayat-ayat tersebut bersama-sama membahas topik,
judul tertentu dan menertibkan sesuai dengan masa turunnya, kemudian
memperlihatkan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan keterangan-
20
Muhammad Baqr Sadr, Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir al-Qurˋân, dalam
Ulumul Qurˋân, Vol I, No. 4, 1990, hlm. 32-33. 21
Mursyi Ibrahim al-Fayyumi, Dirâsah fî Tafsîr al-Mawdûʻî (Dar al-Taudiwiyah al-
Tabaah: Kairo, 1980), hlm. 25.
30
keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat yang lain kemudian
mengistinbatkan hukum-hukumnya.22
Al-Farmawi juga memberikan langkah-langkah sistematis dalam
penafsiran mawdûʻî antara lain: penetapan tema, penghimpunan ayat penyusunan
ayat berdasarkan asbâb al-Nuzûl, pemahaman korelasi masing-masing ayat,
penyusunan pembahasan dan pelengkapan data tambahan dari riwayat-riwayat
yang ada, serta analisis keseluruhan ayat.23
B. Jenis-Jenis Bentuk Kajian Metode Tafsir Mawdûʻî
Metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qurˋân tidak lepas dari
metode yaitu satu cara yang sistematis untuk mencapai tingkat pemahaman yang
benar tentang pesan al-Qurˋân yang disampaikan oleh Allah Swt. Definisi ini
memberikan gambaran bahwa metode tafsir al-Qurˋân berisi seperangkat kaidah
dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan al-Qurˋân. Apabila
seseorang menafsirkan al-Qurˋân tanpa menerapkan metode, tidak mustahil
penafsirannya akan keliru. Ilmu tentang metode penafsiran disebut dengan
metodelogi tafsir, sedangkan pembahasan bersifat teoritis dan ilmiah tentang
metode disebut dengan analisis metodelogis.24
Berdasarkan penjelasan
sebelumnya seputar sejarah perkembangan tafsir mawdûʻî kita melihat ada dua
macam tafsir mawdûʻî. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu
22
Lilik Ummi Kaltsum, Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Baqr Sadr, Vol. 13, No. 02,
April 2009, hlm. 162. 23
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 51. 24
Ahmad Izzan, Metodelogi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2007), hlm. 98.
31
menyingkap hukum-hukum keterikatan dan keterkaitan di dalam al-Qurˋân;
menepis anggapan adanya pengulangan di dalam al-Qurˋân sebagaimana yang
dilontarkan oleh para orientalis, dan menangkap petunjuk al-Qurˋân mengenai
kemaslahatan makhluk, berupa undang-undang syari’at yang adil yang
mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kedua macam tafsir mawdûʻî itu
adalah berikut ini;
1. Menghimpun seluruh ayat al-Qurˋân yang berbicara tentangn tema yang
sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan
metode mawdûʻî. Kalau disebut tafsir mawdûʻî konotasi seperti inilah yang
dimaksud. Tafsir tematik semacam inilah yang lazim dikenal dalam tafsir
kontemporer akhir-akhir ini.
2. Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak persial), yang
didalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya; serta kaitan
antara satu bagian suratdan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip
seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Bagian kedua ini
menjadi fokus pembicaraan penulis.25
C. Urgensi Kajian Metode Tafsir Mawdûʻî
Sebagaimana telah ditegaskan bahwa, al-Qurˋân dalam memberikan
petunjuk tentang ilmu pengetahuan, ternyata hanya secara global saja. Sedangkan
untuk penjelasan yang lebih rinci dan mendalam, diserahkan sepenuhnya kepada
ikhtiar manusia, untuk mencari dan menulusuri sesuai batas kemampuan dan
25
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 42.
32
keahliannya. Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan sekaligus menjadi
kerangka dasar dalam memahami al-Qurˋân secara mendalam adalah penemuan-
penemuan ilmiah kontemporer yang relevan dan mapan dewasa ini, bisa dijadikan
rujukan. Sebab, dengan bantuan ilmiah tersebut, para mufasir dapat lebih
tertolong dalam memhami isi kandungan al-Qurˋân yang selama ini masih kabur
maknanya, menjadi terkuak dan terungkap secara terang dan gamblang.26
1. Mengingat al-Qurˋân merupakan kitab suci yang ditunjukkan kepada umat
manusia yang bisa berbicara tentang segala macam ilmu pengetahuan secara
rinci, tetapi ia bisa berbicara tentang segala hal ilmu pengetahuan secara
global: mulai dari permasalahan aqidah, ibadah, dan akhlak sampai masalah
politik, ekonomi, hukum, budaya, antropologi, biologi disika, kimia, bahkan
teknologi perang dan dakwahnya terdahulu yang dapat menyucikan jiwa,
melepaskan belenggu rasialisme dan nasionalisme, serta menegakkan
undang-undang konvensional yang dekstruktif, tentunya Allah tidak menutut
apa-apa dari kita, selain memahami dan merenungkan firman-Nya. sebab, al-
Qurˋân diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia apapun
bentuknya.
Untuk memahami firman Allah perlunya umat manusia memahami isi
kandungan al-Qurˋân. Untuk mengungkap berbagai misteri terdapat didalamnya,
maka bermunculanlah tafsir-tafsir, dan berbagai macam metode untuk memahami
nya. Metode-metode tersebut pada garis besarnya terbagi atas tahlîlî, ijmalî,
26
Umar Shihab, Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qurˋân, hlm. 31.
33
muqarran, dan mawdûʻî.27
Disini penulis memfokuskan pada urgensi terhadap
tafsir mawdûʻî.
Orang yang mengamati tafsir mawdûʻî dengan seksama, akan
mengetahui bahwa tafsir itu merupakan satu usaha yang amat berat, tetapi sangat
terpuji, karena dapat memudahkan orang dalam memahami dan menghayati
ajaran-ajaran al-Qurˋân, dapat melayani siapa saja yang menyelesaikan problem-
problem yang dihadapinya, karena pemaparan teks-teks al-Qurˋân diwujudkan
dalam bermacam-macam tema atau masalah.
Menurut pendapat Ahmad Sayyid al-Kumi, hidup di zaman modern
sekarang ini sangat membutuhkan kehadiran corak tafsir tematik. Karena dengan
cara kerja yang sedemikian itu memungkinkan seseorang memahami masalah
yang dibahas dan segera sampai kepada hakikat masalah dengan jalan singkat,
praktis dan mudah. Tafsir tematik mempunyai nilai kualitas tafsir yang paling
tinggi. Karena seleksi penafsiran harus bermuara kepada kehendak firman Ilahi.
Semua gagasan mufasir yang dihasilkan dari pengalaman kehidupan yang
mungkin benar dan salah harus dikonsultasikan kepada wawasan al-Qurˋân.28
Mengingat al-Qurˋân merupakan kitab suci yang ditunjukkan untuk
pertama kalinya kepada Nabi yang paling sempurna dan menghimpun
pengetahuan yang leluhur, merupakan hal yang logis apabila di dalamnya
ditemukan keindahan dan keagungan yang hampir-hampir tidak dapat ditemukan.
27
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fî al-Tafsîr al-Maudhu’i, (Kairo: al-Hadharah
al-Arabiyah, 1977), hlm. 23. 28
ʻAbd. al-Fatah Kholidi, Tafsir Maudhu’i, (‘Amman Jordan: Daarun Nafaiz, 1997), hlm.
48-49.
34
al-Qurˋân harus dikaji dengan baik dan seksama agar kita dapat menetapkan
hukum yang berkaitan dengan kehidupan dan permasalahan manusia dalam
bermasyarakat, menjelaskan norma-norma al-Qurˋân dalam politik,
perekonomian, keamanan dan perjalanan dalam mendekatkan diri kepada Allah,
sehingga mereka merasakan al-Qurˋân telah membumi dan tidak mengawang-
awang.29
Syari’at dan hukum-hukum yang dikandung di dalam al-Qurˋân yang
keseluruhannya merupakan agama ketuhanan dan petunjuk yang dapat
membimbingan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, tidak mungkin
dapat diamalkan dengan benar, apabila kita belum mempelajari dan memahami
terlebih dahulu isi kandungan al-Qurˋân.30
Para peneliti sekarang baik dari kalanggan muslim ataupun non muslim,
tidak dapat mencapai tujuan-tujuan di atas apabila menggunakan metode tafsir
tahlîlî. Ada beberapa alasan untuk itu.
a. Para penafsir baik muslim ataupun non muslim membutuhkan metode
penafsiran yang lebih praktis untuk mengungkap misteri yang belum
terungkap dalam al-Qurˋân dan menangkap kesatuan tema dalam al-
Qurˋân walaupun terdiri atas ayat yang bunyi dan maknanya berbeda.
Metode itu adalah mawdûʻî (tematik). Dengan menggunakan metode
mawdûʻî penafsir dapat melihat satu kesatuan tema yang saling
29
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 49. 30
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 48.
35
melengkapi. Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan metode tahlîlî
untuk dapat mengumpulkan ayat dalam satu tema yang sama.
b. Sebagian dari mereka tidak memiliki konfidensi, kualifikasi, dan
wawasan yanng memadai untuk mengkaji al-Qurˋân sehingga dapat
menghimpun pecahan tema-tema al-Qurˋân menjadi satu kesatuan yang
sempurna.
c. Mereka tidak memiliki wawasan kebudayaan Islam yang mendorong
untuk melakukan kajian-kajian keislaman dalam menggapai tujuan
hidupnya. Oleh karena itu, mereka menjadi bingung tanpa mengetahui
jalan mana yang harus ditempuh.31
2. Pada zaman modern ini kita menemukan beberapa orang baik dari
kalangan muslim ataupun dari kalangan non muslim yang melakukan kajian tema-
tema al-Qurˋân, namun yang mereka hasilkan adalah menimbulkan keraguan dan
paham-paham yang batil32
karena mereka tidak memiliki kapabilitas untuk
melakukannya. Oleh karena itu merupakan satu keharusan bagi para ulama dan
para imam tafsir pada zaman modern ini untuk menelaah tema-tema al-Qurˋân
dengan menyandingkan keahlian keilmuan modern yang mereka miliki, sehingga
misi-misi yang terkandung di dalam al-Qurˋân dapat tersampaikan dengan baik.
Tuduhan-tuduhan palsu tentang Islam yang dilontarkan oleh kalangan
orientalis atau orang Islam yang pernah menimbah ilmu di bagian Barat
31
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 48. 32
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 48.
36
sebenarnya merupakan akibat tidak dikajinya al-Qurˋân dengan metode mawdûʻî
atau dikaji dengan metode mawdûʻî yang tidak prosedural.
Melihat pembahasan metode mawdûʻî sangatlah bermanfaat dan urgen,
agar mampu mengantisipasi perkembangan masa kini; memberikan penyelesaian
terhadap kepentingan manusia, dan menjawab berbagai persoalan masa kini,
ketika generasi kita sedang dihadapkan kebimbangan dan kebingungan. Terlebih
Allah telah mengaruniai akal untuk berfikir dan guna mengamati isi alam semesta
ini. Dengan demikian, seharusnya kita menjadi juru pengajak mereka menuju
jalan Allah dan mengajak mereka kepada Islam yang telah diperjuangkan dengan
sungguh-sungguh oleh Rasulullah dan para sahabatnya dalam berperang dan
banyak orang Islam yang memperjuangkan dengan hidupnya. Kita mempunyai
misi untuk menegakkan agama Allah.33
D. Langkah-langkah Metode Tafsir Mawdûʻî
Musthafa Muslim dalam kitab Mabahits fî Tafsîr Mawdûʻî telah
mengelompokkan langkah-langkah metode tafsir mawdûʻi terbagi menjadi dua
bagian yaitu mengelompokkan ayat-ayat yang berbeda-beda yang masih dalam
satu bahasan yang sama dalam al-Qurˋân, dan mengelompokkan ayat-ayat al-
Qurˋân dalam satu surah. Prosedur penafsiran yang harus ditempuh oleh para
mufasir dalam tafsir tematik dalam melompokkan ayat-ayat yang berbeda dalam
satu bahasan dalam al-Qurˋân dapat dirinci sebagai berikut:
33
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm.50.
37
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
2. Menghimpun ayat-ayat al-Qurˋân yang masih dalam satu bahasan.
3. Menyusun runtutan ayat-ayat al-Qurˋân yang berkaitan dengan ayat-ayat
sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang belakang turun
ayat atau asbâb al-nuzûl (bila ada).
4. Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-
masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna, sistematik dan utuh
(out-line).
6. Melengkapi penjelasan dengan ayat ayat al-Qurˋân dan hadis, riwayat
sahabat dan lain-lain yang relevan bila dipandang perlu sehingga
pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama.
8. Mempunyai tujuan-tujuan dalam pembahasan. Yaitu menyingkap kebenaran
al-Qurˋân dengan menyebutkan hikmah dalam pensyari’atan dalam sebuah
aturan.34
Adapun metode tafsir mawdûʻî kedua yaitu dalam mengelompokkan ayat-
ayat al-Qurˋân dalam satu surah, dapat dilalui dengan metode sebagai berikut;
1. Menyantumkan pendahuluan dengan menyebutkan asbâb al-Nuzûl,
urutan turunnya surah, masuk dalam pembagian surah makiyyah
34
Mustafa Muslim, Mabahits fî Tafsîr Mawdûʻî, (Beirut: Darul Qolam, 1989), hlm. 73.
38
atau madaniyyah, dan tergolong dalam surah panjang, sedang atau
pendek, fadhilah-fadhilah surah tersebut.
2. Mencoba untuk mengetahui tujuan dasar surah yang akan dikaji.
3. Membagi kedalam beberapa bahasan khususnya surah-surah yang
tergolong panjang dan tiap-tiap kelompok bahasan masing-masing
dijelaskan munasabahnya.35
E. Keistimewaan Metode Tafsir Mawdûʻî
Jika diperhatikan metode tafsir mawdûʻî (tematik) sesuai dengan
pemikiran, kebutuhan, dan kepentingan manusia saat ini, dan sejalan dengan
perkembangan zaman modern, zaman yang generasinya sedang dihadapkan
dengan berbagai kebingungan. Seandainya telaah telaah al-Qurˋân
menggunakan metode modern sejak jaman terdahulu sehingga dapat
memudahkan manusia dalam menjawab persoalan-persoalan dalam
kehidupan saat ini, tentunya manusia dan pikirannnya akan merasa tenang
menghadapi berbagai tantangan dan perkembangan teknologi. Mereka pun
tentunya akan tahu benar akan hal-hal yang dapat menjauhkannya dari
agama.
Diantara keistimewaan metode tafsir mawdûʻî (tematik) adalah sebagai
berikut.
1. Metode ini menghimpun semua ayat yang memiliki kesamaan tema.36
2. Peneliti dapat melihat keterkaitan antar ayat yang memiliki makna,
35
Mustafa Muslim, Mabahits fî Tafsîr Mawdûʻî, hlm. 40. 36
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 55.
39
petunjuk, keindahan, dan kefasihan al-Qurˋân.37
3. Peneliti dapat menangkap ide al-Qurˋân yang sempurna dari ayat-ayat
yang memiliki kesamaan tema.38
4. Metode ini dapat menyelesaikan kesan kontradiksi antar ayat al-Qurˋân
yang selama ini dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki
maksut jelek, dan dapat menghilangkan kesan kesenjangan antar agama
dan ilmu pengetahuan.
5. Metode ini sesuai dengan tuntutan zaman modern yang mengharuskan
kita merumuskan hukum-hukum universal yang bersumber dari al-
Qurˋân bagi seluruh negara Islam.
6. Metode ini membantu para pelajar secara umum untuk sampai pada
petunjuk al-Qurˋân tanpa harus merasa lelah menyimak uraian kitab-
kitab tafsir yang beragam.
7. Dengan metode ini para pendakwah baik yang profesional maupun
amateuran, dapat menangkap seluruh tema-tema al-Qurˋân. Metode ini
pun memungkinkan untuk menyampaikan hukum-hukum Allah dengan
jelan dan mendalam.
8. Kondisi saat ini, sebagaimana yang dikatakan al-Sayyid al-Kumi,
membutuhkan sebuah metode tafsir yang lebih cepat menemukan
pesan-pesan al-Qurˋân, khususnya pada zaman sekarang ketika
atmosfir agama banyak dikotori oleh debu-debu penyimpangan, dan
37
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 55. 38
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 55.
40
langit kemanusiaan telah ditutupi awan kesesatan dan memusyrikan.39
F. Karya-karya Tafsir Mawdûʻî
Karya-karya yang hanya membahas satu tema juga telah lahir dari ulama-
ulama dulu. Setelah metode tafsir mawdûʻî diperkenalkan dan diperbincangkan,
muncullah karya-karya tafsir yang menggunakan metode ini. Muhammad ʻAbduh
dipandang sebagai pemimpin gerakan penulisan kitab tafsir dengan menggunakan
metode ini. Setelah melihat tafsir al-Manar walaupun secara umum menggunakan
metode tahlîlî, ada kecenderungan kuat untuk mengklasifikasi tema-tema al-
Qurˋân. Lalu muncullah Syaikh Mahmud Syaltût, ia adalah orang yang pertama
kali menulis kitab tafsir dengan menggunakan metode tafsir mawdûʻî secara utuh.
Setelah karyanya, bermunculanlah karya lain seperti:
1. Al-Mar’ah fi al-Qurˋân al-Karîm, karya Abbas al-ʻAqqad;
2. Al-Ribâ fî al-Qurˋân al-Karîm, karya Abu al-A’la al-Maududi;
3. Al-Aqidah min al-Qurˋân al-Karîm, karya Muhammad Abu Zahra;
4. Al-Uluhiyyah wa al-Risâlah fî al-Qurˋân al-Karîm, karya Muhammad al-
Samahi;
5. Al-Insân fî al-Qurˋân al-Karîm, karya Ibrahim Mahnan;
6. Muqawwamat al-Insâniyyah fi al-Qurˋân al-Karîm, karya Ibrahim Mahnan;
7. Ayat al-Qasam fi al-Qurˋân al-Karîm, karya Ahmad Kamal al-Mahdi;
8. Al-Wash aya al-Asyr, karya Iman Akbar Mahmud Syaltût;
9. Al-Wash aya Sûrat al-Isrâ, karya ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi;
39
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 56.
41
Sebagian kitab yang disebutkan di atas, ada yang menerapkan metode mawdûʻî
secara utuh ada pula yang tidak.40
40
ʻAbd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, hlm. 60.
43
BAB III
MENGENAL MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN KARYANYA
A. Biografi Muhammad Al-Ghazali
Muhammad al-Ghazali1 lahir di Mesir pada 22 Sepetember 1917 M dan
wafat pada usia 78 tahun di Riyadh, Arab Saudi pada 9 Syawal H bertepatan pada
tanggal 6 Maret 1996. Muhammad al-Ghazali lahir di Nakla al-‘Inab, Ital al-
Barud, Buhairah, sebuah desa yang terkenal di Mesir yang banyak melahirkan
tokoh-tokoh Islam terkemuka pada zamannya. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya
adalah mujahidi dan penyair Mahmud Sami al-Barudi, Syaikh Salim al-Bisri,
Syaikh Ibrahim Hamrusy, Syaikh Muhammad ʻAbduh, Syaikh Muhammad
Syaltût, Syaikh Hassan al-Banna, Dr. Muhammad al-Bahi, Syaikh Muhammad al-
Madani, Syaikh ʻAbdul Aziz Isa, dan Syaikh ʻAbdullah al-Musyidi.2
Muhammad al-Ghazali lahir dalam peradaban jahiliyah modern,
penjajahan idiologi, ekonomi, budaya, dan intelektual. Ide-idenya di dasarkan
pada al-Qurˋân dan al-Hadis. Penuh dengan keobyektifan dan kajian ilmiyah yang
piawai dan profesional. Ia mempunyai kemampuan untuk menggugah hati yang
tertidur lelap. Dapat menghilangkan segala macam kekaburan dalam berbagai
problematika agama. Senantiasa berfikir dan semangat untuk konsekuen dan
1 Konon ayah Muhammad al-Ghazali memberi nama tersebut karena ia bermimpi dan
memperoleh isyarah Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Ghazali, agar ayah beliau memberikan anaknya
nama Imam Al Ghazali. Lihat: Muh. Munawir Az Zahidi, “Kata Pengantar” dalam Muhammad
Al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis; Transformasi Modernisasi, terj. Muh. Munawir al-Zahidi
(Surabaya: Dunia Ilmu , 1997), cet I, hlm. V. 2 Syaikh Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan Al-Qurˋân, terj. Masykur Hakim dan
Ubaidillah (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 5.
44
konsisten pada pendiriannya. Muhammad al-Ghazali sangat menekankan hobinya
dalam membaca. Tidak hanya membaca nahwu shorof, fiqih dan tasawuf saja.
Bahkan harus lebih dari itu agar kita tidak dimarginalkan oleh kelompok-
kelompok yang skeptis dan apriori terhadap kita. Al-Ghazali berkata;
“Membaca buku itu mempunyai banyak peranan penting bagi orang yang sibuk
di lapangan dakwah. Bahkan mempunyai latarbelakang yang kokoh yang harus
dipegang erat-erat oleh seseorang di dalam pemikirannya. Seorang dai yang
mendalami ilmu fiqih yang selalu diliputi dengan berbagai problematika agama
akan mendapat suudzan bila kurang membaca atau kurang mendalami
kebudayaan. Boleh jadi mereka tidak akan mendapat kepercayaan dari
masyarakat. ”3
Muhammad al-Ghazali mendapat pendidikan awal di kampungnya. Sejak
kecil lagi beliau sudah menunjukkan ciri-ciri keilmuan yang unggul dengan
kemampuan menghafal al-Qurˋân ketika berumur 10 tahun. Beliau mendapat
pendidikan dasar dan menengah di Sekolah Agama Iskandariah, Mesir. Semasa
memasuki sekolah peringkat dasar usianya baru sebelas tahun yaitu pada tahun
1928. Beliau meneruskan sekolah kejuruan tinggi ke Universitas al-Azhar pada
tahun 1937 dan lulus dari Fakultas Ushuluddin pada tahun 1941. Di Fakultas
Ushuluddin, beliau telah berguru dengan ulama-ulama besar al-Azhar, di
antaranya ‘Abd ‘Azim al-Zarqani, Mahmud Syaltût, Muhammad Yusuf Musa
(1963M) dan Muhammad Ghallab. Pada tahun 1937, beliau telah berkecimpung
dengan gerakan Ikhwan Muslimun pimpinan Hasan al-Banna, dengan menjadi
ahli gerakan ini. Sejak dari itu, beliau telah bergiat cergas dalam dakwah dan
banyak pemikiran, pengalaman dan didikan yang diambil dari Hasan al-Banna.
3 “Kata Pengantar” dalam Muhammad Al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh.
Munawir al-Zahidi, hlm. vi.
45
Pada tahun 1943, beliau menerima ijazah Diploma Pendidikan pengkhususan
Bahasa Arab dan Kesusasteraan dan ijazah Pengkhususan Dakwah daripada
Fakultas Ushuluddin, Universiti al-Azhar.
Muhammad al-Ghazali merupakan anak didikan Hasan al-Banna dan
ulama besar al-Azhar. Muhammad al-Ghazali begitu terkesan dengan didikan dari
Hasan al-Banna. Muhammad al-Ghazali menganggap Hasan al-Banna sebagai
pendorong dan pembimbingnya dalam medan dakwah. Muhammad al-Ghazali
menyifatkan Hasan al-Banna seorang pejuang yang ikhlas, mempunyai peribadi
yang mulia dan pentafsir al-Qurˋân yang baik. Beliau mempunyai kelebihan
karena dapat memahami uslub yang susah lalu disampaikan kepada masyarakat
dengan uslub yang begitu menarik dan mudah difahami.4
Menurut Yusuf al-Qardawi bahwa Muhammad al-Ghazali dalam penjara
Tur selalu meniupkan semangat perjuangan dengan mengatakan bahawa kematian
Hasan al-Banna tidak bermakna pertentangan dengan musuh-musuh Allah dan
umat Islam telah berakhir. Panji-panji Hasan al-Banna akan diteruskan oleh
murid-muridnya dan dakwahnya tidak akan lenyap. Muhammad al-Ghazali juga
terkesan dengan didikan ulama-ulama besar al-Azhar. Beliau mengakui
terpengaruh dengan didikan ‘Abd. al-‘Azim al-Zarqani r.h., guru tafsir dalam
Fakultas Ushuluddin. Di Sekolah Agama Iskandariah, beliau terpengaruh dari
gurunya yang bernama Ibrahim al-Gharbawi dan ‘Abd. al-‘Azim Bilal, guru
pendidikan psikologi. Beliau juga terpengaruh dengan Mahmud Syaltût, guru
dalam bidang Tafsir, dan kemudian menjadi Syaikh al-Azhar. Begitulah tokoh-
4 “Kata Pengantar” dalam Muhammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh.
Munawir al-Zahidi hlm. viii. Lihat pada Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Berdialog dengan al-
Qurˋân, terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 6.
46
tokoh ulama yang mempengaruhi jiwa Muhammad al-Ghazali sehingga beliau
tidak mengenal arti penat dan lelah, sanggup dipapah di serata dunia semata-mata
untuk menyebarkan dakwah serta meninggikan kalimah Allah yang mulia.5
Muhammad al-Ghazali merupakan seorang penulis sejak beliau menuntut
di Universitas al-Azhar dalam usia yang masih muda. Menurutnya, masa yang
paling baik baginya menulis ialah selepas solat subuh. Muhammad al-Ghazali
menjadi penulis dalam akhbar al-Muslimun, al-Nazir, Liwa’ al-Islami, Mimbar al-
Islam, Majalah al-Azhar, dan lain-lain akhbar di Mesir. Di Arab Saudi, beliau
menulis di akhbar al-Da‘wah, al-Tadaman al-Islami, dan Majalah Rabitah.
Sementara di Qatar dalam majalah Ummah dan di Kuwayt dalam majalah al-
Wa’yu al-Islami dan al-Mujtama. Banyak pemikiran yang diutarakan dalam
tulisan-tulisannya sehingga beliau dikenali sebagai Adib al-Da‘wah. Pada 21 Juli
1981, beliau dilantik menjadi Timbalan Menteri Kementerian Wakaf, Bahagian
Dakwah. Beliau juga pernah menjadi imam dan khatib di Masjid al-Azhar, Masjid
Atabah al-Qadraˋ dan Masjid ʻAmru bin al-ʻAs. Dalam bidang akademik,
Muhammad al-Ghazali pernah bertugas sebagai Profesor di Universitas Qatar dan
mengetuai Lembaga Akademik Fakultas Pengajian Islam, Universiti Amir Abd al-
Qadir di Algeria. Beliau juga pernah menjadi tenaga pengajar di Universiti Umm
al-Quraʻ, Mekkah. Beliau juga pernah mengajar di Fakultas Syariah dan Fakultas
Ushuluddin di Universitas al-Azhar.6
5 Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Berdialog dengan Al-Qurˋân, terj. Masykur Hakim dan
Ubaidillah hlm. 1. 6 Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Berdialog dengan Al-Qurˋân, terj. Masykur Hakim dan
Ubaidillah, hlm. 7
47
Semasa hayatnya, Muhammad al-Ghazali pernah menerima anugerah
Ijazah al-Malik Faisal dalam bidang Khidmat Islam pada tahun 1989, Anugerah
Penulis pada tahun 1991, Anugerah Penghargaan Negara Mesir pada tahun 1992
dalam bidang Ilmu Kemasyarakatan. Anugerah Presiden bagi kesarjanaan yang
cemerlang Universitas Islam Antarabangsa pada tahun 1995.7
Muhammad al-Ghazali telah meninggalkan khazanah ilmu yang amat
bernilai untuk generasi kini dan seterusnya. Beliau telah menghasilkan lebih dari
60 buah kitab dalam bidang kajian pemikiran Islam dan dakwah Islamiah.
Seorang wartawan pernah bertanya kepada beliau mengenai sumbangannya dalam
medan dakwah melalui buku-bukunya lalu beliau menjawab dengan penuh rendah
diri bahwa tidak berpuas hati apa yang telah beliau sumbangkan kepada dunia
ilmu Islam. Beliau bercita-cita jikalau umur ini boleh kembali semula, beliau akan
berkhidmat untuk Islam lebih dari apa yang ada sekarang.
B. Pandangan Muhammad Al-Ghazali tentang al-Qurˋân.
Pemikiran Muhammad al-Ghazali tentang al-Qurˋân tersebar dalam
bukunya, tetapi pembahasan yang secara khusus pada al-Qurˋân dapat ditemukan
dalam karya tulisnya yang berjudul Nazharat fî al-Qurˋân al-Karîm (1986),
Kayfa Nata’amal ma’a al-Qurˋân al-Karîm (1992), Nahwa Tafsîr Mawduʻî li
Suwar al-Qurˋân al-Karîm (1996).
Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa al-Qurˋân adalah kitab suci
komprehensif, yang tidak mungkin terlepas dari diskursus kehidupan beragama
7 “Kata Pengantar” dalam Muhammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh.
Munawir al- Zahidi, hlm. vii.
48
dan bermasyarakat, karena al-Ghazali sanggup merespon segala bentuk dinamika
yang terjadi pada setiap zaman. Ada beberapa poin yang ingin ditegaskan oleh
Muhammad al-Ghazali ketika berinteraksi dengan al-Qurˋân, yaitu:
1. Al-Qurˋân adalah kitab komprehensif, sumber utama bagi kebudayaan,
pengetahuan dan keilmuan dimana di dalamnya ada suatu kesatuan dan kepaduan
maksud. Menurutnya ketika al-Qurˋân berbicara tentang alam semesta, misalnya,
pada saat yang sama ia membangun pondasi akidah dan membangun akhlak
mulia. Membaca semesta, realitas, dan sejarah membawa pada iman,
mengantarkan kepada tauhid, dan membangun akhlak.8
2. Memahami sunnah Ijtima’iah. Sunnah Ijtima’iah di sini adalah suatu
aturan baku dan konstan yang berlaku pada ranah sosial kemasyarakatan
kemudian diperintahkan oleh al-Qurˋân untuk dicermati, dipelajari dan
dipedomani manusia dalam kehidupan mereka. Untuk mendapatkan pemahaman
tersebut, diperlukan pembacaaan yang teliti dan mendalam atas ayat-ayat al-
Qurˋân serta pengamatan yang jeli terhadap jejak langkah umat terdahulu.
Berbekal pemahaman tersebut, diharapkan mampu memberikan perubahan sosial
dan menciptakan kehidupan yang kondusif.9
3. Memahami teks sejalan ruh kekinian. Ambil contoh, ayat tentang besi
dalam al-Qurˋân (QS al-Hadid: 25). Pemahaman awal tentang ayat ini adalah
bahwa Allah telah menciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat
8 Syaikh Muhammad Al-Ghazali , Nahwa Tafsir Mawdûʻi li Suwar al-Qurˋân al-Karîm, (
Kairo, Dâr: al-Syurûq, 1995), cet- I, hlm, 5. 9
Wardatun Nadhiroh, Hermeneutika al-Qurˋân Muhammad Al-Ghazali (Telaah
Metodelogis atas Kitab Nahwa Tafsir Mawduʻi li as-Suwar al-Qurˋân al-Karim), (Banjarmasin,
IAIN Antasari, 2014), hlm. 285. Vol. 15. No. 2. Lihat Muhammad al-Ghazâli, Kayfa Nata’âmal
ma’a al-Qur`ân, Mansoura: Dâr al-Wafâ` lî al-Thibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî’, cet. III, 1992,
hal. 49.
49
dan berbagai manfaat bagi manusia, supaya mereka mempergunakannya dalam
membela agama-Nya. Tujuannya jelas yaitu mempergunakannnya besi dengan
menjadikannya pedang atau tombak untuk membela agama Allah. Namu term
”besi” dalam napas kekinian tidak lagi hanya identik dengan pedang atau tombak,
melainkan tank tempur, kapal perang, dan peralatan perang canggih lainnya. Kini,
membela agama Allah bukan lagi dengan tombak atau pedang, melainkan dengan
peralatan perang modern itu.10
4. Menangkap makna al-Qurˋân secara utuh dan menyeluruh.11
5. Berbeda pendapat bukan berarti beda agama.12
Muhammad al-Ghazali meyakini bahwa al-Qurˋân merupakan satu
kesatuan yang saling mengikat. Ayat-ayatnya memuat topik yang spesifik. Ayat-
ayat yang membahas satu tema juga saling melengkapi dan menyempurnakan. Di
sisi lain, laksana tubuh yang anggota-anggotanya saling menyatu, tidak
bertentangan dan tidak tercerai berai.13
Selanjutnya, dengan berkeyakinan bahwa
al-Qurˋân itu suatu kesatuan, Muhammad al-Ghazali menegaskan bahwa susunan
dan urutan ayat dan surah dalam al-Qurˋân juga merupakan suatu kesatuan yang
kokoh, akurat dan serasi mengingat al-Qurˋân sepenuhnya didasarkan atas
petunjuk wahyu.
10
Wardatun Nadhiroh, Hermeneutika al-Qurˋân Muhammad al-Ghazali (Telaah
Metodelogis atas Kitab Nahwa Tafsir Mawdûʻi li as-Suwar al-Qurˋân al-Karim), hlm. 286. Vol.
15. No. 2. Lihat Syaikh Muhammad al-Ghazali , Nahwa Tafsir Mawdûʻi li Suwar al-Qurˋân al-
Karîm, hlm. 441. 11
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Tafsir Tematik dalam al-Qurˋân, (Yogyakarta: Gaya
Media Pratama, 2004), terj. M.Qoridun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet I, hlm. Vi. 12
Syaikh Muhammad al-Ghazali , Nahwa Tafsir Mawdûʻi li Suwar al-Qurˋân al-Karîm,
hlm, 70. 13
Amir Faishol Fath, The Unity of Al-Qurˋân, terj: Nasiruddin Abbas (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2010) , hlm. 436.
50
C. Mengenal Kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân Al-Karîm.
Dalam perkembangan tafsir mawdûʻî mempunyai dua macam bentuk
kajian. Tafsir mawdûʻî yang umum diketahui (tafsir tematis) pembahasan
berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qurˋân. Dengan cara
menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qurˋân yang berbicara tentang satu masalah
tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya
berbeda dan tersebar di pelbagai surah al-Qurˋân.14
Adapun bentuk bentuk kajian
kedua, Tafsir mawdûʻî per surah. Metode ini menekankan pada pembahasan satu
surah yang dilakukan secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan
maksudnya yang bersifat pribadi maupun khusus, dan menjelaskan keterkaitan
antara tema yang satu dengan tema yang lainnya, sehingga surah itu nampak
merupakan suatu pembahasan yang sangat kokoh dan cermat.15
Al-Ghazali juga ikut serta mengembangkan metode tafsir tematik per-
Surah, faktor yang mendukung al-Ghazali ikut serta mengembangkan metode
kajian tafsir mawdûʻî per Surah yaitu sejak al-Ghazali mulai belajar al-Qurˋân
sejak masih kanak-kanak, dan mengahapalnya pada usia sepuluh tahun. Al-
Ghazali mulai mengkaji secara serius, dan menjadi yakin bahwa ada keperluan
untuk menafsirkannya. Namun, sebagaimana al-Ghazali membaca al-Qurˋân
sampai usia berkepala delapan, al-Ghazali merasakan masih sedikit dapat
memahami pengertiannya. Al-Ghazali merasa satu tekanan kuat untuk terus
14
M. al-Fatih Suryadilaga, dkk., Metodelogi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: TERAS, 2005),
hlm. 47. 15
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Tafsir Tematik dalam al-Qurˋân, terj. M.Qoridun Nur
dan Ahmad Musyafiq, cet I, hlm. Vi.
51
mengkajinya secara lebih mendalam dan mencoba serta menghubungkan tema-
tema, bagian-bagian yang juga terdapat dalam surah, agar dapat mengidentifikasi
karakter dan keseluruhan tujuannya.
Menurut al-Ghazali membaca al-Qurˋân seharusnya diikuti dengan
pemahaman dan analisis kritis. Hal ini seharusnya diusahakan oleh setiap individu
muslim dalam menyikapi kitabnya. Begitu halnya dengan studi-studi al-Qurˋân,
semestinya dilaksanakan secara berkesinambungan. Mempelajari al-Qurˋân
berarti membaca al-Qurˋân, memahami, menganalisis, dan mengungkap sunah-
sunah (hukum-hukum) Allah, termasuk juga pesan-pesan, ketentuan-ketentuan
beragam ancaman dan kabar gembira, janji dan ancaman serta pelbagai kebutuhan
umat Islam untuk mengisi perannya dalam peradaban dunia.16
Al-Ghazali berpendapat bahwa masalah ini perlu mendapat perhatian lebih
serius serta perlu kajian ulang dan diskusi lebih lanjut. Lebih-lebih lagi untuk
spesialisasi pendidikan dan psikologi anak, dan adanya kaset-kaset rekaman
hafalan yang menginginkan adanya bacaan al-Qurˋân secara berkesinambungan,
karena kebutuhan mendesak di samping daya hafalan yang kuat juga tidak kalah
pentingnya memahami al-Qurˋân secara mendalam.17
Kondisi seperti ini perlunya kajian al-Qurˋân yang lebih mendalam untuk
menghadapi persoalan tersebut telah diupayakan Muhammad al-Ghazali al-
Qurˋân tersebar dalam karyanya yang berjudul; Nazharat fî al-Qurˋân al-Karîm
16
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qurˋân, terj. Masykur Hakim dan
Ubaidillah (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 18. 17
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qurˋân, terj. Masykur Hakim dan
Ubaidillah, hlm. 26.
52
(1986), Kayfa Nata’amal ma’a al-Qurˋân al-Karîm (1992), Nahwa Tafsîr
Mawdûʻi li Suwar al-Qurˋân al-Karîm (1996). Tetapi pembahasan yang secara
khusus pada kajian tafsir tematik mawdûʻî per Surah dapat ditemukan dalam
karya tulisnya Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm (1996).
Karya tafsir metode mawdûʻî karya Muhammad al-Ghazali, yang berjudul
Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm, di halaman pertama setelah
cover depan dicetak pada tahun 1416 H/ 1995 M, cetakan kedua dicetak pada
tahun 1416 H/ 1996 M, cetakan ketiga pada tahun 1417 H/ 1997 M dan cetakan
keempat dicetak pada tahun 1460 H/ 2000 M di Kairo Dâr: al-Syurûq. Pada
cetakan pertama terdapat 556 halaman dan berbahasa arab dengan urutan cover
depan berikut serta dicantumkan urutan tahun cetakan pertama sampai cetakan
keempat, muqaddimah, dan pembahasan tafsir persurah dengan mengikuti mushaf
al-Qurˋân dimulai dari penafsiran surah al-Fâtihah dan diakhiri dengan surah al-
Nâs.
Adapun karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
tafsir al-Azhar dengan judul “Tafsir Tematik al-Qurˋân 30 Juz (1-26)” cetakan
pertama dicetak oleh Futuh Printika diterbitkan oleh Pernerbit Islamika pada
tahun 2004 di Yogyakarta. Pada cetakan pertama versi bahasa Indonesia terdapat
583 halaman dan hanya menyajikan 26 surah dengan urutan penulisan mulai dari
cover depan, pedoman transliterasi Arab- Indonesia, pengantar penerbit, kata
pengantar, muqaddimah dan pembahasan tafsir per surah dengan mengikuti urutan
mushaf al-Qurˋân mulai dari surah al-Fâtihah dan penutup surah al-Syuʻara’.
53
Cetakan kedua diterjemahkan oleh M. Qodirudin Nur dan Ahmad
Musyafiq dengan judul “Tafsir Tematik dalam al-Qurˋân” cetakan kedua dicetak
oleh Radar Jaya Jakarta dan diterbitkan oleh Gaya Media Pratama pada tahun
2005 di Ciputat. Pada cetakan kedua versi bahasa indonesia dengan penerbit dan
dicetak dengan berbeda dengan cetakan pertama dengan jumlah 699 halaman
dengan urutan penulisan mulai dari cover depan, pedoman transliterasi Arab-
Indonesia, pengantar penerbit, kata pengantar, muqaddimah dan pembahasan
tafsir mawdûʻî per surah dengan mengikuti urutan mushaf al- Qurˋân.
Karya ini sesungguhnya adalah sebuah kontribusi kecil untuk memahami
al-Qurˋân secara obyektif, dengan suatu harapan bahwa saya bisa membuka
kawasan tertentu atau membuka pintu tertentu dan bukan sebaliknya. Dalam
menyajikan Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm al-Ghazali
menguraikan dengan detail masalah yang berkaitan dengan surah yang dikaji.
Misalnya tentang jumlah ayat, tempat diturunkannya ayat, tema-tema yang
menjadi pokok kajian dalam surah, nama-nama lain dari surah tersebut, dan
seterusnya. Setelah al-Ghazali memberikan penjelasan tentang hal-hal yang terkait
dengan surah tersebut, al-Ghazali memulai kajiannya dengan masuk pada ayat-
ayat yang menurutnya dapat mewakili topik pembahasan pada surah tersebut.
Sistematika penyajian tafsir yang ditempuh oleh Muhammad al-Ghazali
dalam kitabnya Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm adalah
sitematika penyajian runtut berdasarkan tertib susunan surat yang ada dalam
Mushaf Utsmani atau Tartîb al-Mushaf, bukan berdasarkan atas turunnya wahyu
atau Tartîb al-Nuzuli.
54
Dalam bentuk penulisan kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al- Qurˋân
al-Karîm, Muhammad al-Ghazali mengutip sumber dengan menuliskan
keterangan nama surah dan ayat dalam bentuk catatan kaki. Dengan kata lain
Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm bisa dikatakan mempunyai
bentuk penulisan tafsir yang disebut bentuk penulisan ilmiah.
56
BAB IV
KAJIAN METODOLOGIS KITAB NAHWA TAFSÎR MAWDÛʻÎ
LI SUWAR Al-QURˋÂN Al-KARÎM
A. Metode Tafsir Tematik per Surah Pada Kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li
Suwar al-Qurˋân al-Karîm
Pendekatan metode tafsir mawdûʻî per surah pada kitab Nahwa Tafsir
Mawdûʻî li Suwar al-Qurʻân al-Karîm telah dijelaskan oleh Muhammad al-
Ghazali dalam muqaddimahnya bahwa masing-masing surah dalam al-Qurˋân
memiliki satu kesatuan yang saling mengikat. Ayat-ayat yang saling berkaitan
pada suatu surah memiliki gambaran ringkas, sehingga dapat diidentifikasi tema
utamanya. Serta dijelaskan pengertian dari tema utama suatu surah dan ide-ide
yang tajam dikaitkan dengan persoalan subyeknya. Al-Ghazali dengan teliti
mencermati yang berhubungan dengan tema utama dari masing-masing surah, dan
menegaskan bahwa bagaimanapun juga sejumlah isu-isu yang berbeda juga
diobservasi dan diperhatikan olehnya.
Muhammad al-Ghazali juga meyakini bahwa al-Qurˋân merupakan satu
kesatuan yang saling mengikat. Ayat-ayatnya memuat topik yang spesifik. Ayat-
ayat yang membahas satu tema juga saling melengkapi dan menyempurnakan. Di
sisi lain, ia juga meyakini bahwa setiap surah menggambarkan adanya kesatuan
57
tematik yang saling berhubungan dengan yang lain, laksana tubuh yang anggota-
anggotanya saling menyatu, tidak bertentangan dan tidak terrcerai berai.1
Dalam hal ini, al-Ghazali menjelaskan dalam muqaddimah kitab tafsirnya
bahwa ia berusaha menyamai atau melebihi karya Syaikh Muhammad ʻAbdullah
ibn Darraz dalam kajiannya tentang surah al-Baqarah pada kitab al-Naba’ al-
ʻAzhîm. Menurut al-Ghazali kitab al-Naba’ al-ʻAzhîm merupakan kitab tafsir
mawdûʻî pertama dalam menjelaskan suatu surat.2
Syaikh Muhammad ibn Darraz menafsirkan surah al-Baqarah yang
merupakan surah panjang dalam al-Quran dengan metode mawdûʻî berbasis surah
dan berhasil menampilkan surah al-Baqarah sebagai satu kesatuan yang memiliki
corak yang indah.3 Muhammad ibn Darraz adalah salah satu murid Muhammad
ʻAbduh yang mewujudkan gagasan kesatuan tema-tema al-Qurˋân. Gagasan yang
diwujudkan oleh Muhammad ibn Darraz yaitu dengan cara menulusuri pokok-
pokok bahasan yang terdapat dalam tiap surah al-Qurˋân, karena setiap surah
memiliki pembahasan pokok sendiri-sendiri.4
Pendekatan kesatuan tema dapat dilihat dalam penafsiran al-Ghazali pada
surah al-Baqarah. Ia menjelaskan awal penafsiran surah dengan menyatakan tema-
tema pokok utama. Menurut al-Ghazali surah al-Baqarah berbicara tentang tiga
1 Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur’an, terj. Nasiruddin Abbas (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2010), hlm. 436. 2 Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm, (
Kairo, Dâr: al-Syurûq, 1995), cet- I, hlm, ix. 3 Syaikh Muhammad al-Ghazali, “Kata Pengantar” Tafsir Tematik dalam al-Qur’an,
(Yogyakarta: Gaya Media Pratama, 2004), terj. M.Qoridun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet I, hlm.
ix. 4 M. Quraish Shihab, Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, “Hukum, Keadilan, dan Hak
Asasi Manusia”, (Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, 2010), seri 5, hlm. xxvi-xxviii.
58
tema pokok utama, yaitu; sindiran Allah terhadap kaum Yahudi, klasifikasi
golongan-golongan manusia terhadap risalah dan menjelaskan posisi mereka
antara Mukmin dan kafir atau antara orang-orang yang menepati janji atau
mengingkarinya. Pembentukan masyarakat baru di Madinah dan penjelasan
tentang lima rukun Islam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.5
Pendekatan kesatuan tema juga dapat ditemukan dalam penafsiran al-
Ghazali pada surah Âli-ʻImrân. Ia menjelaskan awal penafsiran surah dengan
menyatakan tema-tema pokok utama. Menurut al-Ghazali surah Âli-ʻImrân
berbicara tentang dua tema pokok utama yaitu; Dialog dengan Ahli Kitab (Yahudi
dan Nasrani) yang memusuhi Islam di dalam kota Madinah dan Komentar atas
kekalahan Perang Uhud yang menyebabkan banyak kaum Muslim terluka hingga
menimbulkan kesedihan di dalam puluhan rumah.6
Begitupun pendekatan kesatuan tema juga dapat ditemukan dalam
penafsiran al-Ghazali pada surah al-Nisâ. Ia menjelaskan awal penafsiran surah
dengan menyatakan tema-tema pokok utama. Menurut al-Ghazali, sepertiga awal
surah ini berbicara tentang sebuah masyarakat kecil (keluarga) dan
permasalahannya, dan dua pertiga sisanya berbicara tentang umat masyarakat
yang besar dan segala permasalahan yang ada di dalamnya. Maka fokus
5 Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurˋân al-Karîm,
(Kairo: Dâr: al-Syurûq, 1995), cet- I, hlm, 11-25. 6 Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 27.
59
pembicaraan surat ini secara keseluruhan berkenaan denganhubungan sosial
masyarakat dan urgensi pengaturan dan pengontrolannya.7
Dari penjelasan singkat di atas dapat dilihat dalam penafsirannya bahwa
al-Ghazali berusaha menampilkan tafsir mawdûʻî per surah dalam kitab Nahwa
Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurʻân al-Karîm dengan menggunakan pendekatan
kesatuan tema.
B. Langkah-langkah Penafsiran
Dalam tahapan penafsiran, penulis menemukan langkah-langkah metode
tafsir mawdûʻî per surah yang telah dirumuskan oleh Mustofa Muslim
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab dua. Dalam kitab Nahwa
Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qurʻân al-Karîm, al-Ghazali tidak menyebutkan
langkah-langkah penafsiran secara langsung, namun penulis berusaha
merumuskan langkah-langkah penafsiran metode tafsir mawdûʻî per surah yang
digunakan Muhammad al-Ghazali dalam kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar
al-Qurʻân al-Karîm. Berdasarkan analisa pribadi, langkah-langkah penafsiran
dapat dirinci sebagai berikut:
1. Membaca dan mencermati isi kandungan surah tersebut.
2. Mengangkat tema utama surah tertentu dan membagi kedalam beberapa
bahasan khususnya surah-surah yang tergolong panjang.
3. Hanya menafsirkan ayat-ayat yang dapat mewakili tema utama surah.
7 Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 72.
60
4. Menjelaskan keterkaitan ayat-ayat yang mendukung dalam pembahasan
tema utama yang sudah dibagi kedalam beberapa bahasan khususnya pada
surah yang tergolong panjang, sehingga surah itu nampak merupakan suatu
pembahasan yang sangat kokoh dan cermat.
5. Mengkompromikan dengan surah lain jika terdapat ayat-ayat yang
bertentangan maupun berkaitan dengan pokok pembahasan.
6. Menjelaskan ayat terakhir sebagai penutup dan penyempurna dari tema-
tema utama sebelumnya pada surah tersebut.
Langkah-langkah penafsiran metode tafsir mawdûʻî per surah yang
digunakan Muhammad al-Ghazali dalam kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar
al-Qurʻân al-Karîm terlihat ada sedikit perbedaan dengan langkah-langkah
metode tafsir mawdûʻî per surah yang telah dirumuskan oleh Mustofa Muslim.
Perbedaan ini terlihat pada langkah awal dan langkah akhir metode tafsir mawdûʻî
per surah yang digunakan al-Ghazali pada kitab tafsirnya. Langkah pertama,
sebelum al-Ghazali masuk pada pembahasan penafsirannya, al-Ghazali terlebih
dahulu membaca dan mencermati isi kandungan surah tersebut lalu menetapkan
tema pokok utama masing-masing surah. Langkah keenam yaitu langkah terakhir
al-Ghazali menjelaskan ayat terakhir sebagai penutup dan penyempurna dari
tema-tema utama sebelumnya pada surah tersebut. Namun, berbeda halnya dalam
langkah awal dan langkah akhir pada metode tafsir mawdûʻî per surah yang telah
dirumuskan Mustofa Muslim. Dalam langkah-langkah metode tafsir mawdûʻî per
surah yang telah dirumuskan Musthofa Muslim, langkah pertama penafsir
menyantumkan pendahuluan dengan menyebutkan asbâb al-nuzûl, tartib al-nuzûl,
61
masuk dalam pembagian surah makiyyah atau madaniyyah, dan tergolong dalam
surah panjang, sedang atau pendek, fadhilah-fadhilah surah tersebut. Langkah
ketiga yaitu langkah terakhir penafsir membagi kedalam beberapa bahasan
khususnya surah-surah yang tergolong panjang dan tiap-tiap kelompok bahasan
masing-masing dijelaskan munasabahnya.
C. Penerapan Metode Mawdûʻî per Surah
Muhammad al-Ghazali didalam kitab tafsirnya tidak mengklasifikasikan
secara langsung ayat-ayat yang terkait dalam tema-tema pokok utama pada surah
tertentu. Namun penulis berusaha merumuskan penerapan langkah pada metode
mawdûʻî per surah dalam kitab Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’an al-
Karim. Penerapan ini akan diperkuat dengan penafsiran Muhammad al-Ghazali
dalam menafsirkan surah al-Baqarah, Âli-ʻImrân dan al-Nisâ. Penerapan langkah
metode mawdûʻî per surah dapat dirinci sebagai berikut:
1. Membaca dan mencermati isi surah tersebut.
Langkah yang pertama dapat dilihat pada muqaddimah kitab Nahwa Tafsir
Mawdûʻî li Suwar al-Qur’an al-Karim. Al-Ghazali menyebutkan dalam
muqaddimah kitab tafsirnya, bahwa sebelum Ia mulai menafsirkan ayat-ayat yang
menurutnya dapat mewakili tema utama pada surah, al-Ghazali terlebih dahulu
membaca dan mencermati isi kandungan surah tersebut.8
8 Syaikh Muhammad al-Ghazali, muqaddimah Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-
Qur’ân al-Karîm, hlm, x.
62
2. Mengangkat tema utama surah tertentu dan membagi kedalam beberapa
bahasan khususnya surah-surah yang tergolong panjang.
Langkah yang kedua dapat kita lihat pada penafsirannya al-Ghazali dalam
mengangkat tema utama pada surah al-Baqarah, Âli-ʻImrân dan al-Nisâ. Dalam
muqaddimah kitab tafsirnya dijelaskan setelah al-Ghazali membaca dan
mencermati isi kandungan surah tersebut, selanjutnya Ia menentukan tema dan
membaginya kedalam beberapa pokok pembahasan.9 Pada surah al-Baqarah yang
berjumlah dua ratus delapan puluh enam ayat, al-Ghazali hanya menentukan
empat puluh tiga ayat yang mendukung tiga tema pokok utama pada surah al-
Baqarah. Tema pertama, sindiran Allah terhadap kaum Yahudi. Tema kedua,
klasifikasi golongan-golongan manusia terhadap risalah dan menjelaskan posisi
mereka antara Mukmin dan kafir atau antara orang-orang yang menepati janji atau
mengingkarinya. Dan tema ketiga, pembentukan masyarakat baru di Madinah dan
penjelasan tentang lima rukun Islam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.10
Ulasan surat al-Baqarah yang cukup panjang tentang orang-orang Yahudi ini
sesungguhnya berada dalam sebuah tema (konsep) besar yang dibangun al-
Qur`an, yaitu al-wahdah al-dîniyah (kesatuan agama).11
Pada surah Âli-ʻImrân yang berjumlah duaratus ayat, al-Ghazali hanya
menentukan empat puluh lima ayat yang mendukung dua tema pokok utama pada
9 Syaikh Muhammad al-Ghazali, muqaddimah Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-
Qur’ân al-Karîm, hlm, ix. 10
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 11-25. 11
Wardatun Nadhiroh, Hermeneutika al-Qurˋân Muhammad Al-Ghazali (Telaah
Metodelogis atas Kitab Nahwa Tafsir Mawduʻi li as-Suwar al-Qurˋân al-Karim), (Banjarmasin,
IAIN Antasari, 2014), hlm. 250. Vol. 15. No. 2.
63
surah Âli-ʻImrân. Tema pertama, Dialog dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
yang memusuhi Islam di dalam kota Madinah. Tema kedua, Komentar atas
kekalahan Perang Uhud yang menyebabkan banyak kaum Muslim terluka hingga
menimbulkan kesedihan di dalam puluhan rumah.12
Pada surah al-Nisâ yang berjumlah seratus tujuh puluh enam al-Ghazali
hanya menentukan enam puluh sembilan ayat yang mendukung dua tema pokok
utama pada surah al-Nisâ. Tema pertama, sepertiga awal surah ini berbicara
tentang sebuah masyarakat kecil (keluarga) dan permasalahannya. Tema kedua,
dua pertiga sisanya berbicara tentang umat masyarakat yang besar dan segala
permasalahan yang ada didalamnya. Maka fokus pembicaraan surat ini secara
keseluruhan berkenaan dengan hubungan sosial masyarakat dan urgensi
pengaturan dan pengontrolannya.13
Tema besar dalam surah ini adalah hubungan
sosial manusia dalam bermasyarakat.14
Dari penjelasan singkat di atas dapat dilihat bahwa al-Ghazali dalam
menafsirkan surah al-Baqarah, Âli-ʻImrân dan al-Nisâ Ia berusaha mengangkat
tema-tema pokok utama dan membaginya kedalam beberapa bahasan dengan
menggunakan pendekatan satu kesatuan tema dalam kitab Nahwa Tafsîr Mawdûʻî
li Suwar al-Qurˋân al-Karîm.
12
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 27. 13
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 47-69. 14
Fiddian Khairuddin, Muhammad Al-Ghazali dan Tafsir Mawdhuʻi (Riau, Universitas
Islam Indragiri, 2013), hlm. 11.
64
Satu hal yang sangat ditekankan oleh Muhammad al-Ghazali dalam
penafsirannya bahwa al-Qurˋân itu merupakan satu kesatuan yang utuh. al-
Ghazali juga menjadikan prinsip kesatuan tematik al-Qurˋân sebagai dasar
pembaharuan pemikirannya. Menurutnya, ada lima tema pokok yang dikandung
oleh al-Qurˋân, sebagaimana yang dituliskan Muhammad al-Ghazali dalam al-
Mahâwir al-Khamsah li al-Qur’ân al-Karîm, yaitu: Keesaan Allah, Semesta
adalah Dalil Wujud Keberadaan Allah, Kisah-kisah Qurˋani, Kebangkitan dan
Pembalasan, serta Pendidikan dan Pembentukan Hukum. Dan kelima tema ini
sebenarnya ditujukan untuk saling menopang dan menguatkan topik utama al-
Qurˋân yaitu tauhid.15
3. Hanya menafsirkan ayat-ayat yang dapat mewakili tema utama surah.
Langkah yang ketiga dapat kita lihat pada penafsirannya al-Ghazali dalam
mengangkat tema utama pada surah al-Baqarah, Âli-ʻImrân dan al-Nisâ. Al-
Ghazali hanya memilih ayat-ayat dan bagian-bagian tersebut yang dapat mewakili
atau mendukung karakter tema pada surah tersebut.16
Pada surah al-Baqarah yang berjumlah dua ratus delapan puluh enam ayat,
menurut al-Ghazali hanya empat puluh tiga ayat yang mendukung tiga tema
pokok utama pada surah al-Baqarah. Tema pertama, sindiran Allah terhadap
kaum Yahudi, ayat-ayat yang mendukung pokok pembahasan ini yaitu; Q.S. 2: 2,
15
Wardatun Nadhiroh, Hermeneutika al-Qurˋân Muhammad Al-Ghazali (Telaah
Metodelogis atas Kitab Nahwa Tafsir Mawduʻi li as-Suwar al-Qurˋân al-Karim), (Banjarmasin,
IAIN Antasari, 2014), hlm. 243. Vol. 15. No. 2. 16
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, x.
65
2: 21, 2: 238, 2: 254, 2: 183, 2: 196, 2: 281.17
Tema kedua, klasifikasi golongan-
golongan manusia terhadap risalah dan menjelaskan posisi mereka antara Mukmin
dan kafir atau antara orang-orang yang menepati janji atau mengingkarinya, ayat-
ayat yang mendukung pokok pembahasan ini yaitu; Q.S. 2: 40-41, 2: 49, 2: 111,
2: 112, 2: 135, 2: 136, 2: 133, 2: 137, 2: 285, 2: 62, 2: 114, 2: 91, 2: 93, 2: 152-
153, 2: 177, 2:211.18
Dan tema ketiga, pembentukan masyarakat baru di Madinah
dan penjelasan tentang lima rukun Islam seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya., ayat-ayat yang mendukung pokok pembahasan ini yaitu; Q.S. 2:
216, 2:217, 2:190, 2: 114, 2:251, 2: 231, 2: 230, 2: 228, 2: 233, 2: 241, 2: 242, 2:
163, 2: 164, 2: 255, 2: 258, 2: 143, 2: 285, 2: 286.19
Pada surah Âli-ʻImrân yang berjumlah dua ratus ayat, al-Ghazali hanya
menentukan empat puluh lima ayat yang mendukung dua tema pokok utama pada
surah Âli-ʻImrân. Tema pertama, Dialog dengan Ahli Kitab (Yahudi dan
Nasrani) yang memusuhi Islam di dalam kota Madinah, ayat-ayat yang
mendukung pokok pembahasan ini yaitu; Q.S. 3: 20, 3: 4, 3: 199, 3: 10, 3: 21, 3:
116, 3: 196-197, 3: 26, 3: 23-24, 3: 25, 3: 6, 3: 70-71, 3: 86, 3: 98-99, 3: 72, 3: 73,
3: 74, 3:75, 3: 76, 3: 14, 3: 50, 3:93, 3: 96, 3: 14, 3: 2, 3: 35, 3: 36-37, 3: 38-39, 3:
45-47, 3: 53, 3: 59-60, 3: 61-62.20
Tema kedua, Komentar atas kekalahan Perang
Uhud yang menyebabkan banyak kaum Muslim terluka hingga menimbulkan
17
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 7-9. 18
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 10-20. 19
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 31-34. 20
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 37-57.
66
kesedihan di dalam puluhan rumah, ayat-ayat yang mendukung pokok
pembahasan ini yaitu; Q.S. 3: 121, 3: 179, 3: 154, 3: 152, 3: 161, 3: 137-139, 3:
139-140, 3: 146-147, 3: 169-170, 3: 172, 3: 186, 3: 181, 3: 187-188, 3: 200.21
Pada surah al-Nisâ yang berjumlah seratus tujuh puluh enam al-Ghazali
hanya menentukan enam puluh sembilan ayat yang mendukung dua tema pokok
utama pada surah al-Nisa. Tema pertama, sepertiga awal surah ini berbicara
tentang sebuah masyarakat kecil (keluarga) dan permasalahannya, ayat-ayat yang
mendukung pokok pembahasan ini yaitu; Q.S. 4: 1, 4: 31, 4: 110, 4: 48, 4: 17, 4:
26-28, 4: 19, 4: 20-21, 4: 15, 4: 16, 4: 36, 4: 39.22
Tema kedua, dua pertiga
sisanya berbicara tentang umat masyarakat yang besar dan segala permasalahan
yang ada didalamnya, ayat-ayat yang mendukung pokok pembahasan ini yaitu;
Q.S. 4: 44-45, 4: 45, 4: 46, 4: 47, 4: 48, 4: 52-53, 4: 54, 4: 60, 4: 76, 4: 62, 4: 63,
4: 65, 4: 72, 4: 73, 4: 77, 4: 74, 4: 78, 4: 79, 4: 83, 4: 59, 4:84, 4: 85, 4: 86, 4: 88,
4: 89, 4: 90, 4: 91, 4: 94, 4: 97-98, 4: 101, 4: 102, 4: 105-106, 4: 113, 4: 112, 4:
110, 4: 14, 4: 115, 4:116, 4: 120, 4: 123, 4: 127, 4: 130, 4: 131, 4: 135, 4: 136,
4:139, 4:140, 4:150-152, 4:163, 4:166, 4:153, 4:155-156, 4:157-158, 4:162,
4:167-168, 4:170, 4:171, 4:172.23
Dari penjelasan singkat di atas dapat dilihat bahwa al-Ghazali dalam
menafsirkan surah al-Baqarah, Âli-ʻImrân dan al-Nisâ, Ia hanya memilih ayat-
21
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 58-71. 22
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 72-80. 23
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 81-90.
67
ayat yang dapat mewakili dan mendukung tema-tema pokok utama. Selebihnya Ia
menyerahkan kepada para pembaca untuk memahami dan mecocokkan surah
dalam keseluruhan gambaran.
Abd Satar Fathullah Saʻid berpendapat bahwa tafsir mawdûʻî adalah
kumpulan ayat-ayat al-Qurˋân yang memiliki kesatuan makna dan meletakkan
ayat-ayat tersebut dalam satu tema besar kemudian memberikan pandangan
dengan menuliskan kesatuan tema yang diambil dari al-Qurˋân dengan cara-cara
khusus.
4. Menjelaskan keterkaitan-keterkaitan ayat-ayat yang mendukung dalam
pembahasan tema utama yang sudah dibagi kedalam beberapa bahasan
khususnya pada surah yang tergolong panjang, sehingga surah itu nampak
merupakan suatu pembahasan yang sangat kokoh dan cermat.
Langkah yang keempat dapat kita lihat pada penafsirannya pada surah al-
Baqarah, Âli-ʻImrân dan al-Nisâ. Untuk melihat bagaimana al-Ghazali
menjelaskan keterkaitan ayat pada tema pokok utama yang telah ditentukan.24
Penulis hanya menjelaskan salah satu tema pokok utama dari masing-masing
surah yang telah ditentukan. Salah satu tema pokok utama pada surah al-Baqarah
adalah klasifikasi golongan-golongan manusia terhadap risalah dan menjelaskan
posisi mereka antara Mukmin dan kafir atau antara orang-orang yang menepati
janji atau mengingkarinya.
24
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, x.
68
Al-Ghazali menyebutkan dan menjelaskan keterkaitan ayat-ayat yang
mendukung tema pokok utama. Pada tema klasifikasi golongan-golongan manusia
terhadap risalah dan menjelaskan posisi mereka antara Mukmin dan kafir atau
antara orang-orang yang menepati janji atau mengingkarinya, ayat-ayat yang
mendukung pokok pembahasan ini yaitu; Q.S. 2: 40-41, 2: 49, 2: 111, 2: 112, 2:
135, 2: 136, 2: 133, 2: 137, 2: 285, 2: 62, 2: 114, 2: 91, 2: 93, 2: 152-153, 2: 177,
2:211.25
Al-Ghazali mengawali pembahasan dengan pembahasan tentang
perseteruan antara Adam (berserta keturunannya) dan Iblis (beserta keturunannya)
dan sindiran Allah kepada kaum Bani Israil yang bersikap keliru terhadap al-
Quran, hal ini dimulai dari firman Allah pada Q.S. (2: 40-41) menurut al-Ghazali
pada ayat ini Allah menegaskan kepada kaum Bani Israil untuk beriman dan
takwa kepada perintah Allah, tetapi kaum Bani Israil tidak sepenuhnya beriman
kepada Allah, pembenaran al-Quran terhadap apa yang ada pada Yahudi
merupakan pembenaran secara global, bahwa Ahli Kitab bukanlah terdiri dari
orang-orang yang menyembah berhala dan terjerumus ke dalam kekufuran.
Menurut al-Ghazali al-Quran pun tidak membenarkan adanya perjanjian lama
yang mengatakan bahwa Allah turun dan berjalan-jalan di bumi kemudian
menghampiri Nabi Ibrahim untuk mengadakan makan bersama dengannya. Al-
Quran juga tidak membenarkan ketika berkata Allah bertengkar dengan Yaʻqub
25
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 11-25.
69
sepanjang malam, kemudian Dia tidak meninggalkannya kecuali setelah
memberikan gelar “Israil” kepadanya.26
Masih dalam ayat-ayat yang memiliki kesatuan tema yang membahas
kaum Yahudi, al-Quran mengingatkan dan bertanya kepada kaum Yahudi apakah
mereka tidak pernah menyadari setelah terjadinya hisab yang panjang atau mereka
akan tetap lebih kufur dari penyembah berhala. Inilah yang di bahas dalam surah
al-Baqarah dari sejarah kaum ini untuk menyadarkan mereka tentang kesatuan
agama.27
Menurut al-Ghazali persoalan ini dijelaskan dalam Q.S. (2: 111) bahwa
para penganut Yahudi dan Nasrani beranggapan bahwa agama hanya
memberatkan mereka dan hanya menindas mereka, tetapi sebenarnya masih
berharap surga.28
Menurut al-Ghazali, Allah menunjukkan keadilannya dalam Q.S. (2: 112)
yang menjelaskan bahwa Allah lebih menghargai usaha mereka yang ikhlas
mendekatkan diri kepada Allah dan percaya dengan kitab Allah. Menurut al-
Ghazali ayat ini adalah jawaban untuk mereka kaum Yahudi dan Nasrani yang
menyatakan hukum yang berpihak pada ayat sebelumnya dan pesan Allah untuk
mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) hendaklah mereka beriman kepada Allah dan
seluruh Rasul-Nya dan hendaklah mereka melepas sifat egois yang telah
26
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 10. 27
Kesatuan agama yang dimaksud di sini adalah kesatuan agama yang toleran
berdasarkan fitrah yang lurus dan logika yang sehat agar tidak ada fanatisme keagamaan yang
sempit dan dapat menyebabkan kesenjangan antara umat pada zaman Rasulullah. 28
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 12.
70
menghiasi setiap kelompok yang menganggap bahwa kebenaran hanya milik
mereka.29
Lalu al-Ghazali menjelaskan lebih terperinci lagi tentang dasar-dasar
kesatuan agama dalam surah al-Baqarah. Menurutnya hal ini dipaparkan kepada
orang Yahudi dan Nasrani agar mereka masuk ke dalamnya dan dapat bersaudara
dengan kaum Muslim di bawah naungan-Nya, maka diturunkannya Q.S. (2: 135),
(2: 136), (2:133), (2: 137), (2: 285) dijelaskan bahwa Allah memperluas keimanan
hingga mencangkup seluruh Nabi yang di utus Allah untuk memberi petunjuk
kepada manusia maka tidak ada pengecualian salah satu dari mereka. Menurut al-
Ghazali sebelum penjelasan yang lebih terperinci, al-Quran telah menjelaskan
bahwa Islam bukanlah agama yang baru, karena ia adalah agama yang sama
dengan agama para Rasul terdahulu.
Lalu al-Ghazali menafsirkan Q.S. (2: 133) menurutnya dalam ayat ini di
ceritakan bahwa bangsa Yahudi merasa bangga bahwa mereka adalah keturunan
Nabi Yaʻqub yang bergelar “Israel” yang saat ini nama tersebut telah menjadi
nama negara yang telah mereka dirikan. Yaʻqub mengajak anak-anaknya untuk
beriman kepada Allah SWT. Sebelum akhir hayatnya ia meminta kepastian
bahwa mereka tidak akan mengurangi keimanan ini, walaupun sebesar biji
sawit.30
29
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 12. 30
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 14.
71
Islam merupakan satu-satunya agama yang mengandung hubungan logis
antara dan Tuhannya, dan diantara manusia dengan Pencipta mereka. Sudah
menjadi hak Pencipta mereka Yang Maha Tinggi agar seluruh hamba tunduk
kepadan-Nya tanpa pengecualian. Maka diturunkanlah Q.S. (2: 137) menurut al-
Ghazali dalam ayat ini dapat dilihat dua adab yang mulia: pertama; bahwa
keimanan yang dituntut Allah dari mereka hanya “seperti iman kita”. Allah tidak
menyebutnya “seperti keimanan kita” (tanpa seperti) untuk menjaga perasaan
mereka dan sebagai penghormatan terhadap pribadi-pribadi mereka. Kedua,
bahwa pendustaan mereka tidak menjadi alasan untuk menyerang mereka, akan
tetapi mereka dibiarkan dalam keadaan mereka. Sehingga apabila keburukan
berjalan dengan mereka dan mulai melakukan perlawanan, maka Allah akan
melindungi kita. Karena Dia adalah tempat kita bergantung.
Menurut al-Ghazali nilah dasar tujuan dari surah al-Baqarah yaitu
menggambarkan indikasi atas kesatuan yang menyeluruh. Hendaklah kita
menghapuskan kerancuan yang terkadang bercampur dengan beberapa
pemahaman. Lalu apa arti bahwa seluruh rasul adalah beragama Islam, padahal
Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sebenarnya agama
pada dasarnya adalah satu beriman kepada Allah SWT dan beramal baik. Maka
hendaklah kita memohon ampunan kepada Allah (2: 285).31
Masih dalam kesatuan tema yang sama yang berkaitan dengan kaum
Yahudi dan kaum Nasrani atas perbuatan tercela semasa hidupnya kembali
31
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 15.
72
dijelaskan pada Q.S. (2: 62), (2: 114) al-Ghazali menjelaskan kandungan dalam
ayat di atas adalah gambaran bangsa Yahudi menerima Islam ketika pertama kali
muncul dengan penuh pengingkaran dan kemarahan, mereka menyangka agama
tidak akan membawa mereka kepada kebaikan bahkan agama akan membawa
mereka kepada keburukan dan akan menindas mereka.32
Lalu turunlah wahyu dalam lembaran-lembaran yang mencela sikap kaum
Yahudi yang menyinggung perbuatan mereka pada masa lalu. Menurut al-Ghazali
hal ini tidak bermanfaat karena menurut pandangan mereka, hanya merekalah ahli
wahyu dan Allah tidak boleh memilih Nabi yang berasal jauh dari mereka. Akan
tetapi al-Quran membantah seluruh sanggahan mereka dengan firman Allah yang
berkenaan dengan hal ini pada Q.S. (2: 91), (2: 93), (2: 152-153), (2: 177), dan (2:
211). Menurut al-Ghazali surah al-Baqarah ini mencangkup lebih dari sepuluh
peringatan terhadap apa yang ada pada mereka (kaum Yahudi) agar sadar, namun
mereka tetap tidak sadar. Meskipun peringatan ini tidak akan memperbaiki
penyimpangan yang telah dilakukan oleh kaum Yahudi.33
Dalam surah Âli-ʻImrân, setelah al-Ghazali menyebutkan tema pokok
utama surah ini, al-Ghazali melanjutkan pembahasan tentang keterkaitan ayat-ayat
yang mendukung pada tema utama. Menurutnya dalam surah Âli-ʻImrân terdapat
dua tema pokok utama. Dari dua tema pokok utama dalam surah Âli-ʻImrân,
penulis hanya menjelaskan salah satu tema pokok utama dari surah Âli-ʻImrân.
32
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm,17. 33
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 20.
73
Salah satu tema pokok utama di sini adalah Komentar atas kekalahan Perang
Uhud yang menyebabkan banyak kaum Muslim terluka hingga menimbulkan
kesedihan di dalam puluhan rumah. Ayat-ayat yang mendukung pada tema utama
di sini yaitu; Q.S. (3: 121), (3: 179), (3: 154), (3: 152), (3: 161), (3: 137-139), (3:
139-140), (3: 146-147), (3: 169-170), (3: 172), (3: 186), (3: 181), (3: 187-188), (3:
200).34
Bagian ini dimulai dengan al-Ghazali menceritakan tentang permasalahan
kedua yaitu Perang Uhud. Sebuah peperangan di mana kaum Muslim mengalami
kekalahan yang menyakitkan dan mengalami kerugian yang besar. Peperangan ini
dilakukan untuk memerangi para penyembah berhala yang lebih dahului
melancarkan permusuhan kepada Islam dan melakukan pengejaran terhadap
pengikutnya. Menurut al-Ghazali pembicaraan hal ini dimulai dengan firman
Allah kepada Nabinya pada Q.S. (3: 121), hanya saja alur pembicaraan terpotong
dengan pembahasan pengharaman riba, dan dilanjutkan kembali dengan komentar
atas hasil peperangan.35
Allah berfirman dalam Q.S. (3: 179), Q.S. (3: 154), Q.S. (3: 152) menurut
al-Ghazali ayat-ayat ini menjelaskan tentang komentar atas hasil peperangan
dalam Perang Uhud, Allah menjelaskan bahwa kekalahan perang Uhud bukan
disebabkan oleh buruknya strategi seperti yang disangka oleh sebagian orang,
akan tetapi dikarenakan pengabaian dalam melaksanakan perintah yang diberikan.
34
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 38-45. 35
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 38.
74
Seandainya setiap prajurit melaksanakan tugasnya masing-masing sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan, maka tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
Akan tetapi, sebagian mereka melupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya
disebabkan perbuatan yang tidak baik, atau dikarenakan ketamakan yang datang
ketika kaum Muslim telah mendapat kemenangan pada tahap awal peperangan
terlihatnya tumpukkan harta.
Al-Ghazali melanjutkan penafsiran pada Q.S. (3: 152) bahwa kaum
Muslim mengalami kekalahan yang memalukan ini dan merasakan akibatnya
yang buruk maka komentar Allah dijelaskan pada Q.S. (3: 161), jadi kekalahan
yang kalian alami pada Perang Uhud adalah setengah dari kekalahan yang di
alami kaum musyrik pada Perang Badar. Maka lebih baik kalian menerima apa
yang telah terjadi, karena kalian sendirilah yang dapat bertanggung jawab atas
kekalahan tersebut.36
Kemudian dimulailah penghibur atas kejadian yang menyakitkan ini
dengan firman Allah Q.S. (3: 137-139) meskipun kaum Quraisy mendapat
kemenangan dalam peperangan ini, namun kemenangan iini bersifat sementara
dan semu. Kemenangan kaum Mukmin membutuhkan dua hal; niat yang benar
dan pelaksanaan yang baik. Kedua hal ini tidak dapat terpisah satu dengan yang
lain. Kaum muslim sangat membutuhkan pengetahuan tentang hal yang kedua dan
pemantapannya. Keluarkan semua kemampuanmu baik itu berbentuk keimanan
maupun perbuatan, keikhlasan dan keahlian. Kebaikan akan tercapai meskipun
36
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 39.
75
dengan kekuatan sedikit. Musibah kekalahan perang itu selalu datang dari dalam
diri mereka. Apabila telah dapat memperbaiki kelemahan ini, maka mereka akan
dapat membangun kembali negara mereka. Inilah yang ditegaskan surah ini Q.S.
(3: 139-140).37
Menurut al-Ghazali, Allah telah mengingatkan kenyataan sejarah ini
kepada para pengikut Muhammad, ketika Allah menghibur kaum Mukmin karena
kekalahan yang dialami pada Perang Uhud pada Q.S. (3: 146-147). Surah ini
mengobati lukadan mengaktifkan kembali keteguhan hati serta mengembalikan
kembali kepercayaan diri kaum Mukmin. Peperangan ini banyak menggali
kenangan dalam ingatan kaum Mukmin dan tidak dapat dilupkan selamanya.
Terdapat juga orang yang diberi kesyahidan, yaitu orang yang letih membawa
beban pengorbanan dengan keberanian yang mengagumkan.38
Mengenai kondisi para syuhada Allah berfirman dalam Q.S. (3: 169-170),
Allah memberi tahukan kepada para syuhada bahwa saudara-saudara dan anak-
anak mereka berada pada jalan kebenaran, dan mereka telah melakukan kewajiban
dan menolong Allah dan Rasul-Nya. Dalam waktu dekat mereka akan mengikuti
para syuhada di tempat yang penuh nikmat.39
Setelah mengalami kekalahan yang menyedihkan ini, lalu mereka
mengumpulkan sisa-sisa pasukan dan berusaha mengobati luka-luka, lalu mereka
37
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 40. 38
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 41. 39
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 42.
76
bergerak ke jalan menuju Makkah untuk mengejar pasukan kafir yang berjalan
perlahan-lahan sambil berbicara pada dirinya agar kembali untuk
menyempurnakan apa yang mereka telah mulai, menurut al-Ghazali kondisi ini
dijelaskan pada Q.S. (3: 172). Kemudian komentar Perang Uhud terputus dan
disambung dengan pembicaraan tentag Yahudi sekali lagi di sini kita perhatikan
bahwa alur cerita menjadi bercampur hingga ke akhir surah.40
Menurut al-Ghazali penjelasan dalam surah Âli-ʻImrân terkadang
berbicara tentang Yahudi, kemudian berbicara tentang penyembah berhala. Hal ini
tidak aneh karena menurut al-Ghazali jihad dakwah mencangkup kedua kelompok
ini sekaligus seperti yang disebutkan Allah dalam Q.S. (3: 186). Pada Q.S. (3:
181) dijelaskan bahwa ini adalah komentar kaum yang di dalam hatinya tidak
terdapat keimanan dan ketakwaan. Bukan suatu hal yang aneh jika dalam
hidupnya mereka hanya menyembah harta, mencari dunia dan melupakan akhirat.
Di dalam surah ini terdapat ringkasan sejarah bangsa Yahudi yang disebutkan
dalam Q.S. (3: 187-188).41
Kini tampak seseorang yang berseru kepada penduduk bumi agar kembali
menggunakan akal sehat dan mengimani Tuhan. Lalu al-Ghazali mengamati
doanya pada Q.S. (3: 200) bahwa ini adalah pengarahan bagi kaum Muslim yang
mengikuti Muhammad agar mereka bersabar atas pengajaran kebenaran yang
40
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 43. 41
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 43.
77
dengannya Allah memuliakan mereka. Hendaklah mereka mempererat ikatan
mereka sehingga tidak mudah di masuki oleh kaum Yahudi dan Nasrani.42
Pada surah al-Nisâ, setelah al-Ghazali menyebutkan tema pokok utama
surah ini, lalu al-Ghazali melanjutkan pembahasan tentang keterkaitan ayat-ayat
yang mendukung pada tema utama. Pada surah al-Nisâ terdapat dua tema pokok
utama yang dikemukakan oleh al-Ghazali. Dari dua tema pokok utama dalam
surah al-Nisa, penulis hanya menjelaskan salah satu tema pokok utama dari surah
al-Nisa. Salah satu tema pokok utama di sini adalah tentang sebuah masyarakat
kecil (keluarga) dan segala permasalahan didalamnya. Ayat-ayat yang mendukung
pada tema utama di sini yaitu; Q.S. 4: 1, 4: 31, 4: 110, 4: 48, 4: 17, 4: 26-28, 4:
19, 4: 20-21, 4: 15, 4: 16, 4: 36, 4: 39.43
Menurut al-Ghazali pembahasan sebuah masyarakat kecil (keluarga) dan
segala permasalahan didalamnya dimulai awal surah Q.S. (4: 1) bahwa manusia
walaupun tampak berbeda, pada hakikatnya adalah kerabat. Setiap manusia
hendaklah mengingat kekerabatan ini dan kemudian menyambung tali
silaturrahmi, baik itu yang dekat maupun yang jauh, karena menyambung
silaturrahmi adalah syiar Islam. Jadi, lingkup kemanusiaan hendaklah lebih luas
dan melakukan tolong-menolong antara berbagai ras dan bangsa manusia.
Menurut al-Ghazali ayat pertama nasehatnya adalah bertumpu pada ancaman dari
42
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 45. 43
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 72-80.
78
Allah Sang Pencipta Yang Maha Kuasa, dan kekerabatannya yang menyeluruh
dan universal.
Meskipun demikian, dapat kita perhatikan dalam surah ini banyak ayat
yang mengandung pengharapan yang besar kepada Allah dan rahmat-Nya seperti
yang disebutkan pada Q.S. (4: 31), Q.S. (4: 110), Q.S. (4: 48), Q.S. (4: 17), (4: 26-
28). Allah tidak ingin membebani hamba dengan ibadah yang berat. Apa-apa yang
mereka laksanakan berupa perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah,
bagaikan jerih parah pelajar dalam menghasilkan pengetahuan, dan pendidik
dalam mengeluarkan kesempurnaan, semuanya akan menerima hasil jerih payah.
Menurut al-Ghazali bagian yang membicarakan tentang pengajaran
keluarga yang ada pada surat ini dimulai dengan pembicaraan tentang hak anak
yatim, karena kaum Muslim adalah kaum yang berjihad melawan musuh yang
tidak pernah berakhir serangannya, maka banyak pula meninggalkan anak-anak
yatim. Dari sini hendaklah mereka menjaga hak-hak anak yatim. Pada
pertengahan pembicaraaan tentang anak-anak yatim, kemudian muncul
pembicaraan tentang perkawinan yang membolehkan monogami dan poligami.
Islam dalam hal ini tidak menyimpang dari ketentuan agama-agama terdahulu,
karena tidak satu agama pun yang mengharamkan poligami berdasarkan perintah
Allah. seperti dalam firman-Nya Q.S. (4:19) dan Q.S. (4: 20-21).44
Sebelum al-Ghazali melanjutkan pembicaraan penggaulan yang baik,
menurut al-Ghazali surat ini menyebutkan dua kesalahan masyarakat yang buruk:
44
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 49.
79
pertama, lesbian; kedua, homoseksual. Seperti yang disebutkan pada Q.S. (4: 15),
dan Q.S. (4: 16). Bangsa Barat lupa terhadap Allah dan pertemuan dengan-Nya,
agama dan wasiat-wasiatnya, membuat mereka menganggap remeh kejahatan ini
sebagaimana mereka mereka meremehkan yang lebih buruk dari itu. Menurut al-
Ghazali dalam kondisi seperti ini, Islam memperbolehkan hukuman yang bertahap
mulai dari peringatan, berhenti menggauli, hingga memukul istri kecuali ketika
sang istri menolak untuk berhubungan badan atau mengizinkan seorang laki-laki
asing berada di dalam rumah.45
Lalu al-Ghazali mengalihkan pembicaraan kepadamanusia secara umum
pada Q.S. (4: 36) menurut al-Ghazali pengarahan ini mencangkup seluruh
masyarakat, meskipun yang pertama ditunjukkan kepada keluarga, kemudian
membcicarakan tentang nafkah secara umum dan menasehatkan untuk tidak
bakhil dan berfoya-foya. Akan tetapi menurut al-Ghazali perintah ini menjelaskan
adanya dua kelompok masyarakat yang kontradiktif: pertama, kaum yang bakhil;
kedua, kaum yang berfoya-foya dan berlebih-lebihan. Menurut al-Ghazali
pembicaraan ini mencangkup kelompok yang pelit atau menyuruh orang lain pelit,
orang yang berlebih-lebihan dalam satu bidang untuk berbuat riya, kelompok
yang pertama ini dijelaskan dalam Q.S. (4: 39) pembicaraan ini juga
menyinggung sedikit tentang umat masa kini dan masa depan.46
45
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 50. 46
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 50-51.
80
Dari penjelasan singkat di atas dapat dilihat bahwa al-Ghazali berusaha
menjelaskan keterkaitan ayat-ayat yang mendukung dalam pembahasan tema-
tema pokok utama yang sudah dibagi kedalam beberapa bahasan dan ide-ide yang
tajam dikaitkan dengan persoalan subyeknya.
5. Mengaitkan dengan surah lain jika terdapat ayat-ayat yang bertentangan
maupun berkaitan pada pokok pembahasan.
Langkah yang kelima dapat dilihat al-Ghazali dalam penafsirannya pada
surah al-Baqarah, Âli-ʻImrân dan al-Nisâ. Pada langkah ini penulis berusaha
menjelaskan secara ringkas dan hanya mengambil beberapa tema pokok bahasan
dari masing-masing surah.
Saat al-Ghazali menafsirkan surah al-Baqarah pada Q.S. (2: 190) yang
berisi tentang anjuran Allah kepada kaum Mukmin untuk memerangi orang-orang
yang mendzalimi mu (kaum Muslim). Tetapi jangan janganlah kamu melampaui
batas karena seseungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. Setelah penjelasan pada Q.S. (2: 190), al-Ghazali juga menafsirkan Q.S. (9:
9-10) karena menurutnya sebagian manusia berpendapat bahwa isi surah al-
Taubah kontradiksi dengan apa yang terdapat pada Q.S. (2: 190). Menurut al-
Ghazali sebenarnya, perintah untuk berperang dalam surah al-Taubah tidak
ditunjukkan kepada kaum yang insaf dan adil, akan tetapi hanya ditunjukkan
kepada kaum yang dihati mereka terdapat permusuhan, lalu mengulurkan tangan
mereka untuk menyakiti kita. Menurut al-Ghazali kontradiksi ini adalah kesalahan
yang sangat menyedihkan. Berkenaan dengan permasalahan ini, menurut al-
81
Ghazali al-Quran juga menyebutkan dalam Q.S. (9: 9-10) yang menjelaskan
apabila seorang Mukmin tidak memelihara (hubungan) dengan orang-orang
Mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian, maka merekalah orang-orang
yang melampaui batas.47
Dan kemudian Allah menganjurkan untuk menghadapi
mereka dengan peperangan adil yang disebutkan pada Q.S. (9: 13) yang
menjelaskan tentang anjuran Allah kepada kaum Mukmin untuk memerangi
orang-orang yang telah melanggar sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras
kemauannya untuk mengusir Rasul. Apabila kalian orang-orang yang beriman
maka seharusnya kalian tidak takut dengan mereka tetapi harusnya takut dengan
Allah.48
Saat al-Ghazali menafsirkan surah Âli-ʻImrân pada Q.S. (3: 53). Ayat ini
berisi tentang doa kaum Hawâriyyûn saat menolong Isa dari fitnah kaum Yahudi.
Saat itu Isa telah menyampaikan dakwah dan melaksanakan risalahnya hingga
Allah mewafatkannya, dan mengistirahatkannya dari makar kaum Yahudi dengan
mengangkat derajatnya ke ´iliyyîn.49
Menurut al-Ghazali meskipun banyak orang
yang berpendapat bahwa Isa diangkat dalam keadaan hidup, tetapi al-Ghazali
lebih cenderung pada pendapat fuqaha Zhâhiriyyah yang mengatakan bahwa Isa
adalah utusan Allah dan sudah ditetapkan oleh Allah kematiannya secara wajar.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hazim, maka tidak ada penghalang jika ia
kembali lagi kedunia untuk bergabung dengan kaum Muslim dalam menetapkkan
47
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 22. 48
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 23. 49
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 55.
82
keesaan Allah dan menguatkan barisan mereka dalam berperang di jalan Allah.
Dalam kasus ini al-Ghazali juga menafsirkan Q.S. (2: 259). Menurutnya ayat ini
sebagai contoh perumpamaan keesaan Allah. Ayat ini adalah perkataan seorang
penduduk desa, Ia berkata: Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri yang
telah hancur? Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun dan
menghidupkan kembali.50
Begitupun saat al-Ghazali menafsirkan surah al-Nisâ pada Q.S. (4: 74).
Menurut al-Ghazali ayat ini menjelaskan tentang keikhlasan yang harus kaum
Mumin terima atas kekalahan dalam perang Uhud dan Allah tidak membolehkan
mereka untuk berlarut-larut dalam kesedihan. Allah berfirman: Barang siapa yang
menukar kehidupan di dunia dengan kehidupan di akhirat lalu gugur atau
memperoleh kemenangan, maka kelak kami akan berikan yang besar.51
Lalu al-
Ghazali juga menafsirkan ayat (2: 145). Menurutnya ayat ini berkaitan atas
kesedihan yang dirasakan oleh kaum Mukmin atas gugurnya keluarga mereka
pada perang Uhud. Ayat ini menjelaskan bahwa jika ajal seseorang itu sudah
ditetapkan panjang oleh Allah, maka ketika ia terjatuh dari pesawat, ia ditemukan
masih dapat berjalan dengan kedua kakinya. Dan sebaliknya, apabila ajal
seseorang telah ditetapkan pendek oleh Allah, maka ia dapat mati secara tiba-tiba
di dalam rumah, ketika Allah menahan jantungnya berdetak.52
50
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 56. 51
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 93. 52
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 94.
83
Dari penjelasan singkat di atas dapat dilihat bahwa al-Ghazali dalam
penafsirannya Ia mengaitkan dengan surah lain jika terdapat ayat-ayat yang
bertentangan maupun yang berkaitan pada pokok pembahasan.
6. Dan menjelaskan ayat terakhir sebagai penutup dan penyempurna dari
tema-tema utama sebelumnya pada surah tersebut.
Langkah yang terakhir dapat dilihat dalam penafsirannya pada surah pada
surah al-Baqarah, Âli-ʻImrân dan al-Nisâ. Pada surah pada surah al-Baqarah,
sebagai penutup dalam pembahasan ayat terakhir dalam firman-Nya (2: 286) al-
Ghazali mengkhususkan perhatiannya pada umat yang telah mendapat derajat
yang paling tinggi dan memiliki ciri khas kesombongan dan melihat orang selain
mereka dari atas. Orang kulit putih yang kini menguasai dunia, bertindak
sewenang-wenang dengan sikap angkuh dan sombong atas seluruh ras lain,
sedangkan kaum Muslim pada awal kemunculannya, menjadi istimewa dengan
adanya wahyu yang tinggi merasa rendah diri dihadapan Allah, merasa miskin dan
membutuhkan-Nya. Maka jati diri mereka adalah istighfar, permintaan maaf, dan
pengharapan atas karunia yang tinggi.53
Pada surah Âli-ʻImrâdin, Di dalam surah ini terdapat ringkasan sejarah
bangsa Yahudi yang disebutkan dalam Q.S. (3: 187-188). Lalu al-Ghazali
menutupnya dengan mengamati doanya pada Q.S. (3: 200) bahwa ini adalah
pengarahan bagi kaum Muslim yang mengikuti Muhammad agar mereka bersabar
53
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 25.
84
atas pengajaran kebenaran yang dengannya Allah memuliakan mereka. Hendaklah
mereka mempererat ikatan mereka sehingga tidak mudah dimasuki oleh kaum
Yahudi dan Nasrani.54
Pada surah al-Nisâ, dipenghujung surah ini dijelaskan tentang
mendekatkan diri merupakan suatu kewajiban dan menyembah-Nya merupakan
fardhu bagi semua makhluk. Oleh sebab itu, Allah berfirman pada Q.S. (4: 172)
dengan ayat yang menjelaskan tentang warisan kalâlah yaitu seseorang yang tidak
memiliki anak dan orang tua. Dengan penutup ini berarti ia telah
menyempurnakan pembicaraan tentang keluarga, pembentukan, penjagaan dan
masalah-masalahnya. “...Allah menerangkan (bukan ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”55
Dari penjelasan singkat di atas dapat dilihat bahwa al-Ghazali menafsirkan
ayat terakhir sebagai penutup sekaligus sebagai penyempurna dari pembahasan
tema-tema pokok utama sebelumnya pada surah tersebut. Muhammad al-Ghazali
sesuai keyakinannya akan kesatuan tematik al-Qur’an dan surah-surahnya, dalam
kitab tafsirnya Nahwa Tafsîr Maudû’î li Suwar al-Qurˋân al-Karîm.56 Seperti
yang dikatakan dalam muqaddimah tafsirnya tersebut, Muhammad al-Ghazali
mengatakan, “Tujuan yang saya usahakan adalah menghadirkan sebuah tafsir
tematik untuk setiap surah al-Qur’an, tafsir ini membahas semua surat secara
54
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 45. 55
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 69. 56
Wardatun Nadhiroh, Hermeneutika al-Qurˋân Muhammad Al-Ghazali (Telaah
Metodelogis atas Kitab Nahwa Tafsir Mawduʻi li as-Suwar al-Qurˋân al-Karim), (Banjarmasin,
IAIN Antasari, 2014), hlm. 245. Vol. 15. No. 2.
85
global mulai dari awal hingga akhir, menjelaskan kaitan-kaitan yang secara
implisit ada padanya, membuat awal surah sebagai pendahuluan untuk akhir
surah, dan akhir surah menjadi pembenaran untuk awalnya”.
D. Kritik Terhadap Kitab Nahwa Tafsir Mawdûʻî li Suwar Al-Qurˋân Al-
Karîm
Kekurangan dalam kitab ini adalah memang harus di akui bahwa
Muhammad al-Ghazali terkesan tidak terlalu konsisten dalam menerapkan metode
dan karakteristik paparannya.57
Sebagai contoh, dalam memaparkan penjelasan
Q.S. al-Nûr, al-Ghazali memulainya dengan penjelasan apa yang dimaksud nur
dan seputar mengapa dinamakan surat al-Nûr58
sedangkan untuk surat-surat yang
lain, secara umum tidak demikian.59
Contohnya dalam surat lain adalah saat al-
Ghazali menjelaskan tentang Q.S. al-Hijr, pertama al-Ghazali memulai dengan
menyebutkan ayat pertamanya, sedangkan saat menjelaskan surah-surah yang lain
terkadang tidak demikian, sebagai contoh saat memaparkan ini dalam Q.S. al-
Baqarah, al-Ghazali memulai dengan berbicara tentang kondisi sosial masyarakat
kala itu.60
57
Konsisten yang dimaksud oleh penulis adalah konsisten dalam pola penafsiran bukan
ide pokok yang ingin disampaikah oleh al-Ghazali. 58
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 480. 59
Lihat, misalnya saat al-Ghazali menjelaskan Q.S. al-Fatihah [1] (hlm. 7); Q.S. al-
Baqarah [2] (hlm. 11) dan lain-lain. 60
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Nahwa Tafsîr Mawdûʻî li Suwar al-Qur’ân al-Karîm,
hlm, 199.
85
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penelitian ini adalah rumusan langkah penafsiran oleh Muhammad al-
Ghazali dalam kitab Nahwa Tafsir Mawdû’i li al-Suwar al- Qurʻân al-Karîm.
Kitab ini adalah salah satu karya Muhammad al-Ghazali yang secara khusus
menggunakan kajian tafsir mawdû’i per surah dengan menggunakan pendekatan
kesatuan tema, yaitu menelusuri pokok-pokok bahasan yang terdapat dalam tiap
surah al-Qurˋân. Langkah-langkah penafsiran dapat dirinci sebagai berikut:
1. Membaca dan mencermati isi surah tersebut.
2. Mengangkat tema utama surah tertentu dan membagi kedalam beberapa
bahasan khususnya surah-surah yang tergolong panjang .
3. Hanya menafsirkan ayat-ayat yang dapat mewakili tema utama surah.
4. Menjelaskan keterkaitan-keterkaitan ayat-ayat yang mendukung dalam
pembahasan tema utama yang sudah dibagi kedalam beberapa bahasan
khususnya pada surah yang tergolong panjang, sehingga surah itu nampak
merupakan suatu pembahasan yang sangat kokoh dan cermat.
5. Mengkompromikan dengan surah lain jika terdapat ayat-ayat yang
bertentangan maupun berkaitan dengan pokok pembahasan.
6. Menjelaskan ayat terakhir sebagai penutup dan penyempurna dari tema-
tema utama sebelumnya pada surah tersebut.
86
Namun penulis menemukan ketidak konsistenan al-Ghazali dalam
menerapkan metode dan karakteristik paparannya, terlepas bagaimana cara atau
pola penafsiran Muhammad al-Ghazali dalam menafsirkan surah-surah al-Quran,
yang terpenting dari cara atau pola al-Ghazali dalam menafsirkan surah-surah al-
Quran adalah bagaimana al-Ghazali berusaha menunjukkan kepada para pembaca
bahwa setiap surat dalam al-Quran memiliki tema besar yang berbeda meskipun
pada dasarnya al-Quran merupakan satu kesatuan yang utuh.
B. SARAN-SARAN
1. Penelitian terhadap metode tafsir mawdû’i per surah sampai sejauh ini
dirasakan masih sangat minim dan kurang lengkap. Oleh karena itu perlunya
penelitian metode tafsir mawdû’i per surah agar kajian metode tematik per
surah lebih berkembang.
2. Dalam metode tafsir maudhui per surah, penelitian ini hanya sebatas tiga
surah, diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat meneliti secara
keseluruhan surah agar memberikan pemahaman secara utuh.
3. Dalam kajian metode tafsir mawdû’i per surah diharapkan dapat menyajikan
kajian komparatif lebih lengkap, pada dasarnya pada penelitian ini
perbandingan tersebut sedikit dijelaskan. Sehingga perlunya kajian
komparatif lebih lengkap agar dapat menyampaikan pemahaman yang lebih
baik dalam kajian tafsir mawdû’i per surah.
75
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nasaruddin. Perkembangan Tafsir Al-Qur'an di Indonesia. Solo: PT.Tiga
Serangkai Mandiri, 2013.
Buchori, Didin Saefuddin. Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran. Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005.
Djalal, Abdul. Urgensi Tafsir Maudhu'i Pada Masa Ini. Jakarta: Kalam Mulia,
1990.
al-Farmawi, Abdul Hayy. Muqaddimah Fi al-Tafsiral-Maudhu'i. Kairo: al-
Hadharah al-Arabiyah, 1977.
al-Farmawi, dan Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mawdhu'i dan Cara Penerapannya.
Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2002.
Fath, Amir Faishol. “The Unity of Al-Qur'an.” dialihbahasakan oleh Nasiruddin
Abbas. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010.
al-Fayyumi, dan Mursyi Ibrahim. Dirasah fi Tafsir al-Maudhu'i. Kairo: Dar al-
Taudiwiyah al-Tabaah, 1980.
al-Ghazali, Muhammad. “Kata Pengantar.” Dalam Analisis Polemik Hadis,
dialihbahasakan oleh Muh. Munawwir az-Zahidi, vi. Surabaya: Dunia
Ilmu, 1997.
—. Tafsir Tematik al-Qur'an 30 Juz. Dialihbahasakan oleh Safir al-Azhar.
Yogyakarta: Islamika, 2004.
Ghazali, Syeikh Muhammad. Berdialog dengan al-Qur'an. Dialihbahasakan oleh
Masykur Hakim, & Ubaidillah. Bandung: Mizan, 1996.
—. Nahwa Tafsir Mawdu'i li Suwar al-Qur'an al-Karim. Kairo: Dar al-Syuruq,
1995.
Hadiri, Chorudin. Klasifikasi Kandungan al-Qur'an. jakarta: gema insani press,
1994.
Izzan, Ahmad. Metodelogi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2007.
Kaltsum, Lilik Ummi. Menelusuri Gagasan Tafsir Tematis Baqr Sadr, 2012: 162.
—. Metode Tafsir Maudhu'i Baqir al-Shadr. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2012.
76
Khairuddin, Fiddian. Muhammad Al-Ghazali dan Tafsir Mawdhu'i. Riau:
Universitas Islam Indragiri, 2013.
Kholidi, Abdul Fattah. Tafsir Maudhu'i. 'Amman Jordan: Daarun Nafaiz, 1997.
Khon, Abdul Majid. Praktikum Qira'at;Keanehan bacaan al-Quran... Jakarta:
Amzah, 2008.
Madury, Miski. Hermeneutika al-Qur'an Kontemporer (Telaah atas
Hermeneutika Muhammad al-Ghazali dalam Nahwa Tafsir Mawghu'i li
as-Suwar al-Qur'an al-Karim). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015.
Ma'luf, Luia. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1987.
Muchlis M. Hanafi, ed. Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur'an, 2010.
Muslim, Musthafa. Mabahits fi Tafsir Mawdhu'i. Beirut: Darul Qolam, 1989.
Nadhiroh, Wardatun. Hermeneutika al-Quran Muhammad Al-Ghazali.
Banjarmasin: IAIN Antasari, 2014.
Qoridun, M., dan Ahmad Musyafiq. Tafsir Tematik dalam al-Qur'an. Yogyakarta:
Gaya Media Pratama, 2004.
Shadr, Muhammad Baqir. Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir al-Qur'an. 1990.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan, 1992.
Shihab, Umar. Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur'an.
Penamadani, 2005.
Surakhmad, Winarmo. Pengantar Metodelogi Ilmiah. Bandung: Transito, 1980.
Suryadilaga, M. Alfatih, dan dkk. Metodelogi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: TERAS,
2005.
al-Zarqani, M. Abdul Adzim. Manahil al-'Urfan fi 'Ulum al-Qur'an. Jakatra: Gaya
Media Pratama, 2001.