nefropati diabetikum
TRANSCRIPT
REFERAT
NEFROPATI DIABETIK
Disusun Oleh:
Ade Dwiana P. G0005001
Afinia Permanasari G0005038
Ahmad Saleh G0005044
Megawati Dharma I. G0005133
Pembimbing
dr. Supriyanto Kartodarsono, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A2010
BAB I
PENDAHULUAN
Nefropati Diabetik adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang
dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45%
penderita diabetes militus terutama pada DM tipe I. Pada tahun 1981 Nefropati
diabetika ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6 di negara barat dan saat
ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis disebabkan oleh karena
Diabetes mellitus terutama DM tipe II oleh karena DM tipe ini lebih sering
dijumpai dibandingkan DM tipe II maka Nefropati Diabetika pada DM tipe I jauh
lebih progresif dan dramatis. Dengan meremehkan penyakit DM maka bisa
berkomplikasi ke Nefropati diabetika. (2)
Hipertensi merupakan suatu tanda telah adanya komplikasi makrovaskuler
dan mikrovaskuler pada diabetes, hipertensi dan diabetes biasanya ada keterkaitan
patofisiologi yang mendasari yaitu adanya resistensi insulin. Pasien-pasien
diabetes tipe II sering mempunyai tekanan darah lebih tinggi atau sama dengan
150/90mmHg. Beberapa penelitian klinik menunjukkan hubungan erat tekanan
darah dengan kejadian serta mortalitas kardiovaskuler, progresifitas nefropati,
retinopati (kebutaan). Kontrol tekanan darah dengan obat anti hipertensi baik
sistol dan diastol dan kontrol gula darah penderita pasien hipertensi dengan
diabetes telah terbukti dari beberapa penelitian. Bahwa terbukti menaikkan “life
expentacy” resiko stroke dan komplikasi kardiovaskuler pada pasien diabetes
meningkat bila disertai hipertensi.(2)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
NEFROPATI DIABETIK
A. DEFINISI
Nefropati diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler ginjal,
mempunyai hubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat atau
intoleransi glukosa. Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai
sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria
menetap (>300 mg/24 jam atau > 200 g/menit) pada minimal 2 kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.(1)
Ada 5 fase nefropati diabetika. Fase I, adalah hiperfiltrasi dengan
peningkatan GFR, AER (albumin excretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase II
eksresi albumin relatif normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin
masih terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam
berkembang menjadi nefropati diabetik. Fase III, terdapat mikro albuminuria
(30-300mg/24j). Fase IV, dipstick positif proteinuria, eksresi albumin
>300mg/24j, pada fase ini terjadi penurunan GFR dan hipertensi. Fase V
merupakan End Stage Renal Disease (ESRD), dialisa biasanya dimulai ketika
GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.(2)
B. EPIDEMIOLOGI
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes
mellitus. Pada sebagian penderita komplikasi ini berlanjut menjadi gagal ginjal
terminal yang memerlukan pengobatan cuci darah atau transplantasi ginjal.di
dalam laporan perhimpunan nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 1995,
disebutkan bahwa nefropati diabetik menduduki urutan nomer tiga (16,1%)
setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefrotis kronik (18,51 %)
sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci
darah di Indonesia.tingginya prevalensi nefropati diabetik sebagai penyebab
gagal ginjal terminal juga menjadi masalah dinegara lain. Dewasa ini, 35 %
3
penderita gagal ginjal terminal yang menjalani cuci darah di amerika
disebabkan oleh nefropati diabetik. Laporan di eropa menyebutkan prevalensi
sebesar 15%.prevalensi di Singapura pada tahun 1992 adalah 25%. Perbedaan
prevalensi dari berbagai ini selain disebabkan adanya perbedaan kriteria
dignosis, mungkin juga disebabkan oleh perbedaan ras, genetik, geografi, atau
faktor-faktor lain yang belum diketahui.mengingat mahalnya pengobatan cuci
darah dan cangkok ginjal, berbagai upaya dilakukan untuk dapat menegakkan
diagnosis nefropati diabetik sedini mungkin, sehingga progrefitasnya menjadi
gagal ginjal terminal dapat dicegah atau sedikitnya diperlambat.(3)
C. ETIOLOGI
Secara ringkas, faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik
sebagai berikut (4) :
a. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mg/dl
(7,7-8,8 mmol/l)); A1C >7-8%.
b. Faktor-faktor genetis.
c. Kelainan hemodinamik ( peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus).
d. Hipertensi sistemik.
e. Sindroma resistensi insulin (sindroma metabolik).
f. Keradangan.
g. Perubahan permeabilitas pembuluh darah.
h. Asupan protein berlebih.
i. Gangguan metabolik.
j. Pelepasan growth factor.
k. Kelainan metabolisme karbohidrat/lemak/protein.
l. Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membran basalis glomerulus).
m. Gangguan pompa ion.
n. Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia).
o. Aktivasi protein kinase.
4
D. FAKTOR RESIKO
1. Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan nefropati diabetika. Dari
studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko antara lain (5) :
2. Hipertensi dan prediposisi genetika
3. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetika
a. Antigen HLA (Human Leukocyt Antigen)
Beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika tipe antigen HLA
dengan kejadian nefropati diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan
nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9
b. Glukose Transporter (GLUT)
Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk
mendapat nefropati diabetik.
4. Hiperglikemia
5. Konsumsi protein hewani
E. PATOFISIOLOGI
Nefropati diabetik pada individu dengan DM tipe 1 awalnya dicirikan oleh
penebalan membran basal tubular dan glomerular, dengan ekspansi mesangial
progresif menyebabkan penurunan progresif dari permukaan filtrasi glomerular.
Bersamaan dengan itu, perubahan morfologi interstisial juga terjadi, beserta
hialinisasi dari arteriol aferen dan eferen glomerulus. Ekspansi mesangial dapat
difus (glomerulosklerosis diabetik) atau dengan bidang ekspansi mesangial yang
sudah ditandai, membentuk zona berbentuk bundar dan fibriler, dengan inti di
palisade (glomerulosklerosis nodular, nodus Kimmelstiel-Wilson). Ekspansi
mesangial adalah lesi kritis yang mengarah ke pengembangan menjadi hilangnya
fungsi ginjal, kerusakan pada tubular glomerular junction, ke tubulus dan
interstisiel menentukan progresi ESRD.(6)
Kerusakan podosit juga muncul untuk terlibat dalam proses
glomerulosklerosis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Pima Indian,
sangat rentan terhadap terjadinya nefropati diabetik, sejumlah kecil podosit per
5
glomerulus adalah prediktor paling besar dari peningkatan UAE (Urinary
Albumin Excretion) dan klinis untuk klinis nefropati diabetik. Ketika temuan ini
hadir, individu denga normoalbuminuric memiliki risiko lebih tinggi berkembang
menjadi penyakit ginjal dibanding mereka yang tidak memiliki lesi podosit. Selain
itu, nephrine, protein yang disintesis oleh podosit dan dianggap penting untuk
stabilitas barrier glomerular, ekspresinya berkurang pada nefropati diabetik.
Penggunaan ACE inhibitor menghasilkan ekspresi nephrine pada tingkat yang
sama dengan individu dengan DM tanpa nefropati diabetik.(6)
Dalam subkelompok pasien dengan DM, hilangnya fungsi ginjal
mendahului perkembangan mikroalbuminuria. Kelompok ini menyajikan lesi
glomerular lebih dulu daripada terjadinya mikroalbuminuria.(6)
Lesi ginjal pada individu dengan DM tipe 2 lebih kompleks dibandingkan
pada individu dengan DM tipe 1. Prevalensi lesi ginjal yang non-khas untuk DM
pada individu dengan DM tipe 2 tinggi, mencapai 10 - 30% dari subyek dengan
proteinuria. Minoritas, aspek histopatologi mirip dengan lesi khas subyek dengan
DM tipe 1. Sisanya menyajikan nefropati diabetik ringan atau tidak ada, dengan
atau tanpa perubahan tubulointerstitial, perubahan arteriolar atau
glomerulosklerosis difus. Tubulopati ini kemungkinan berhubungan dengan
hiperglikemia persisten dan perubahan yang berkaitan dengan usia, aterosklerosis
dan hipertensi arteri (8). Meskipun terdapat heterogenitas dari lesi dan dampak dari
penyakit seperti hipertensi arteri pada individu dengan DM tipe 2, dalam
kelompok besar individu dengan DM tipe 2, keparahan dari lesi berkorelasi
dengan perkembangan nefropati diabetik dan kecepatan turunnya GFR.(6)
Mekanisme patofisiologi
1. Faktor Hemodinamik
Dalam tahap awal, nefropati diabetik dicirikan oleh hiperfiltrasi
glomerular karena pengurangan tahanan arteriol eferen dan aferen glomerulus,
dan peningkatan konsekuen perfusi ginjal. Meskipun mekanisme yang mengarah
pada hiperfiltrasi glomerular tidak jelas, obesitas dan pelepasan sejumlah faktor
pro inflamasi dan faktor pertumbuhan yang terjadi pada DM tampaknya memiliki
peran. Dalam studi ini, jumlah endotelin 1 (ET-1), suatu vasokonstriktor yang
6
penting, berkorelasi dengan UAE, jumlahnya dalam plasma semakin tinggi secara
progresif menurut tingkat nefropati diabetik yang lebih tinggi. Ini defek awal
autoregulasi perfusi ginjal yang memudahkan albumin bocor dari kapiler ke
glomerulus ginjal, dan menyebabkan peningkatan kompensasi dari matriks
mesangial, penebalan membran basal glomerulus dan kerusakan podosit.
Albuminuria juga mengaktifkan serangkaian jalur inflamasi melalui sel tubular
dan mendukung proses ini. Selain itu, stres mekanis yang dihasilkan dari
hiperperfusi ginjal menyebabkan pelepasan sitokin (TNF- α ), faktor pertumbuhan
(VEGF, TGF- β 1), kolesterol dan trigliserida lokal yang menginduksi akumulasi
protein dari matriks ekstraseluler, yang mengarah ke ekspansi mesangial dan
glomerulosklerosis. Penurunan TGF-β 1 dengan menghalangi sistem renin-
angiotensin-aldosteron menghambat perkembangan nefropati diabetik dan
mempertahankan morfologi glomerular.(6)
2. Hiperglikemia Dan Produk Lanjutan Dari Glikosilasi Non-Enzimatik
Hiperglikemia persisten merupakan faktor risiko yang kuat untuk nefropati
diabetik dan menyebabkan proliferasi sel mesangial dan matriksnya, serta
penebalan membran basal. Hiperglikemia meningkatkan ekspresi vascular
endothelial growth factor (VEGF) di podosit, menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular. Hiperglikemia juga meningkatkan produk generasi lanjut
glikosilasi non-enzimatik dari protein melalui aktivasi jalur reduktase aldol dan
protein kinase C (PKC). Produk akhir glikosilasi non-enzimatik terikat pada
kolagen dan protein yang membentuk membran basal glomerulus dan membuat
barrier glomerular lebih permeabel terhadap bagian dari protein, sehingga UAE
meningkat.(6)
3. Sitokin
Serangkaian marker peradangan yang beredar seperti C reactive protein,
interleukin 1, 6 dan 18, dan faktor nekrosis tumor meningkat pada nefropati
diabetik, dan jumlahnya berkorelasi dengan albuminuria dan pengembangan
menjadi ESRD. Selain itu, hiperglikemia, TGF-β 1 dan angiotensin II merangsang
sekresi VEGF, menyebabkan produksi oksida nitrat endotel, vasodilatasi dan
hiperfiltrasi glomerular. Hiperglikemia, mungkin dimediasi oleh stres oksidatif,
7
juga mendorong angiotensin II untuk mensintesis TGF- β, kolagen tipe IV dan
fibronektin, yang kemudian memberikan kontribusi untuk glomeruloskelerosis
progresif.(6)
Faktor inflamasi juga terlibat dalam pengembangan lesi tubulointerstitial,
dan muncul untuk membentuk akumulasi makrofag di celah tubular pada hewan
model yang dirancang untuk belajar nefropati diabetik. Makrofag juga
memproduksi radikal bebas, sitokin inflamasi dan protease yang menginduksi
kerusakan tubular. Lebih jauh lagi, glomerulus dan sel-sel ginjal juga
memproduksi serangkaian faktor inflamasi ketika mereka dihadapkan pada
hiperfiltrasi glomerulus dan meningkatnya UEA, mengintensifkan proses ini.(6)
Teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti (7):
1. Hiperglikemia
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada
penderita DM tipe 1 dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati diabetik.
Perbaikan kontrol glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah kejadian
mikroalbuminuria. Keadaan mikroalbuminuria akan memperberat kejadian
nefropati diabetik. Dengan bukti-bukti ini menunjukkan bahwa hubungan antara
hiperglikemia dengan nefropati tidak ada yang meragukan, ini tampak pada
kenyataan bahwa nefropati dan komplikasi mikroangiopati dapat kembali normal
bila kadar glukosa darah terkontrol.
2. Glikosilasi Non Enzimatik
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik
asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan
menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation End Products).
Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus ginjal dalam jangka
panjang akan merusak membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan
merusak seluruh glomerulus.
8
3. Polyolpathway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim
aldose reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran utama
dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah meningkat
maka sorbitol akan meningkat dalam sel ginjal dan akan mengakibatkan
berkurangnya kadar mioinositol, yang akan mengganggu osmoregulasi sel
sehingga hingga sel itu rusak.
4. Glukotoksisitas
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik, studi tentang sel ginjal dan glomerulus yang
diisolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah
penimbunan matriks ekstraseluler. Menurut Lorensi, glukosa mempunyai efek
toksis terhadap sel, begitu pula terhadap sel ginjal, sehingga dapat terjadi nefropati
diabetik.
5. Hipertensi
Hipertensi mempunyai peranan penting dalam patogenesis nefropati
diabetik disamping hiperglikemi. Penelitian menunjukkan bahwa penderita
diabetes dengan hipertensi lebih banyak mengalami nefropati dibandingkan
penderita diabetes tanpa hipertensi. Hemodinamik dan hipertrofi mendukung
adanya hipertensi sebagai penyebab terjadinya hipertensi glomeruler dan
hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dari neuron yang sehat lambat laun akan menyebabkan
sklerosis dari nefron tersebut. Jika dilakukan penurunan tekanan darah, maka
penyakit ini akan reversibel.
6. Proteinuria
Proteinuria merupakan prediktor independent dan kuat dari penurunan
fungsi ginjal baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif
lainnya. Adanya hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya
filtrasi protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang
berlangsung lama dan berlebihan akan menyebabkan kerusakan tubulo-interstisiel
dan progresifitas penyakit. Bila reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat
maka akan terjadi akumulasi protein dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan
9
pelepasan sitokin inflamasi seperti endotelin I, osteoponin, dan monocyte
chemotractant protein-I (MCP-1). Faktor-faktor ini akan merubah ekspresi dari
pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan infiltrasi sel mononuclear,
menyebabkan kerusakan dari tubulo-interstisiel dan akhirnya terjadi renal scarring
dan insufisiensi.
Pada diabetes, perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah
pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan
direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan
efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang
reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat,
terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap
pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat
menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan
intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus.(8)
F. GAMBARAN KLINIK
Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat dibedakan
dalam 5 tahap (9):
1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertrophy Stage)
Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:
Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerulus mencapai 20-50% diatas
nilai normal menurut usia.
Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x.
Glukosuria disertai poliuria.
Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.
2. Stadium II (Silent Stage)
Ditandai dengan:
Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min).
Sebagian penderita menunjukkan penurunan laju filtrasi glomerulus ke
normal.
10
Awal kerusakan struktur ginjal
3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai
menurun
Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein
30-300mg/24j.
Awal Hipertensi.
4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
Proteinuria menetap (> 0,5gr/24j).
Hipertensi
Penurunan laju filtrasi glomerulus.
5. Stadium V (End Stage Renal Failure)
Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai
fibrosis ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk sampai pada
stadium IV dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadiumV.
Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi nefropati diabetika antara
diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM).
Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada NIDDM saat diagnosis
ditegakkan dan keadaan ini seringkali reversibel dengan perbaikan status
metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan
prognosis yang buruk.
11
Tahap Kondisi Ginjal AER LFG TD Prognosis
1 Hipertrofi
Hiperfungsi
N N Reversibel
2 Kelainan struktur N / N Mungkin
reversibel
3 Mikroalbuminuria
persisten
20-200
mg/menit
/ N Mungkin
reversibel
4 Makroalbuminuria
Proteinuria
>200
mg/menit
Rendah Hipertensi Mungkin
bisa
stabilisasi
5 Uremia Tinggi
/Rendah
<10
ml/menit
Hipertensi Kesintasan
2 tahun +
50 %
Keterangan : AER = Albumin Excretion Rate
LFG = Laju Filtration Glomerulus (GFR)
N = Normal
TD = Tekanan Darah
G. Diagnosis
Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan visibilitas,
diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat kriteria diagnosis
klasifikasi nefropati diabetika tahun 1983 yang praktis dan sederhana. Diagnosis
nefropati diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini:
1. DM
2. Retinopati diabetika
3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa
penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar
kreatinin serum > 2,5mg/dl.(10)
12
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas
dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polipagi,
penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar
sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotensi.(10)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
Pada nefropati diabetika didapatkan kelainan pada retina yang merupakan
tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan funduskopi, berupa :
1) Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam
kapiler retina.
2) Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler
vena.
3) Eksudat berupa :
a) Hard exudates, berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama.
b) Cotton wool patches, berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan
dengan iskemia retina.
4) Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi
kapiler.
5) Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas
mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.
6) Neovaskularisasi
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end stage,
didapatkan perubahan pada :
Cor : cardiomegali
Pulmo : oedem pulmo
3. Pemeriksaan Laboratorium
13
Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2
minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu
kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.(10)
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda
progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum
menjadi gagal ginjal terminal.
a. Evaluasi
Penurunan fungsi ginjal harus sudah diperiksa pada awal
ditegakkannya diagnosis diabetes melitus dan pada saat pengobatan rutin.
Pemantauan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap adanya
mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin.
Pemantauan Fungsi Ginjal pada Pasien Diabetes
Tes Evaluasi awal Follow Up
Penentuan
mikroalbuminurin
Sesudah pengendalian
gula darah awal (dalam 3
bulan diagnosis
ditegakkan)
Diabetes tipe 1 : tiap tahun
setelah 5 tahun.
Diabetes tipe 2 : tiap tahun
setelah diagnosis ditegakkan.
Klierens Kreatinin Saat awal diagnosis
ditegakkan
Tiap 1-2 tahun sampai laju
filtrasi glomerulus <100
ml/menit/1,73m2, kemudian
tiap tahun atau lebih sering.
Kreatinin serum Saat awal diagnosis
ditegakkan
Tiap tahun atau lebih sering
tergantung dari laju
penurunan fungsi ginjal.
b. Terapi
14
Prinsip tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui :
1) pengendalian gula darah (olahraga, diet, OAD)
2) pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat antihipertensi),
target TD pada nefropati diabetik <130/80 mmHg.
3) perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE-I dan
ARB)
4) pengendalian faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar lemak,
mengurangi obesitas, dll).
Non farmakologis : menerapkan gaya hidup sehat yaitu olah raga rutin
(berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4-5
kali seminggu), diet (pembatasan asupan garam 4-5 /hari serta asupan
protein 0,8 g/kg bb ideal/hari), menghentikan merokok, membatasi
alkohol.
Farmakologis : OAH yang dianjurkan adalah ACE-I atau ARB.
c. Rujukan
Pasien dengan LFG < 60 ml/menit/1,73m2 atau jika ada kesulitan
dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemia perlu dirujuk ke dokter yang
ahli dalam perawatan nefropati diabetik. Jika LFG < 30 ml/menit/1,73 m2
atau jika pasien beresiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat
atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan.
1. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien Diabetic Nephropathy)
a. Pengendalian Hiperglikemia
Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk mencegah
atau mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati.
1) Diet
Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi &
Metabolisme, misalnya diet khusus untuk pasien dengan obesitas. Variasi
diet dengan pembatasan protein hewani, ini bersifat individual tergantung
dari penyakit penyerta, misalnya :
- Hiperkolesterolemia
15
- Urolitiasis (misal batu kalsium)
- Hiperurikemia dan artritis Gout
- Hipertensi esensial
2) Pengendalian Hiperglikemia
a) Insulin
Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting
Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan
toksin seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)
Insulin dapat mencegah kerusakan glomerulus
Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang
dapat menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya
kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus
(permselectivity).
Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi
glukosa sebagai pencetus nefromegali. Kenaikan konsentrasi
urinary N-acetyl Dglucosaminidase (NAG) sebagai petanda
hipertensi esensial dan nefropati.
Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH) atau
insulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali.
Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)
b) Obat antidiabetik oral (OADO)
Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan
tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan
(complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus diperhatikan efek
farmakologi dan farmakokinetik antara lain :
a). Eliminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.
b). Eliminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.
c). Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell
(ASMC).
d). Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.
16
b. Pengendalian Hipertensi
Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan
berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat
antihipertensi sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek
samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum.
Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka
morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah
nefropati diabetik. Pemilihan obat antihipertensi lebih terbatas dibandingkan
dengan pasien enzim angiotensin-corverting (EAC)
1) Golongan Penghambat Enzim Angiotensin-Coverting (EAC)
Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapat mempengaruhi
efek Ang-II (sirkulasi dan jaringan).
2) Golongan Antagonis Kalsium
Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping):
Efek inotrofik negatif
Efek pro-aritmia
Efek pro-hemoragik
Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau non dihydropiridine.
3) Obat-Obat Antihipertensi Lainnya
dapat diberikan tetapi harus memperhatikan kondisi setiap pasien :
Blokade b-kardioselektif dengan aktivitaas intrinsic simpatetik minimal
misal atenolol.
Antagonis reseptor a-II misal prozoasin dan doxazosin.
Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikasi untuk
pasien yang sudah diketahui mengidap infark miokard.
c. Mikroalbuminuria
1) Pembatasan protein hewani
Sudah lebih ½ abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah
protein (DRP) mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari penyakit
ginjal eksperimen, tetapi mekanismenya masih belum jelas.
17
Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 per kg BB per hari)
dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur ginjal pada
nefropati diabetik (ND) stadium dini Hipotesis DRP untuk mencegah
progresivitas kerusakan ginjal:
a) Efek hemodinamik
Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan LFG, plasma
flow rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan hidrolik transkapiler,
berakhir dengan penurunan tekanan kapiler glomerulus (PGC =
capillarry glomerular preessure)
b) Efek non-hemodinamik
Memperbaiki selektivitas glomerulus
Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus menyebabkan
transudasi circulating macromolecules termasuk lipid ke dalam ruang
subendotelial dan mesangium. Lipid terutama oxidize LDL
merangsang sintesis sitokin dan chemoattractant dan penimbunan sel-
sel inflamasi terutama monosit dan makrofag.
Penurunan ROS
Bila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifat asam dapat
menyebabkan disosiasi Fe dari transferrin akibat endositosis.
Kenaikan konsentrasi Fe selular menyebabkan pembentukan ROS.
Penurunan hipermetabolisme tubular
Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang masih utuh
(intac), diikuti peningkatan transport Na+ dalam tubulus dan
merangsang pertukaran Na+/H+. DRP diharapkan dapat mengurangi
energi untuk transport ion dan akhirnya mengurangi hipermetabolisme
tubulus.
Mengurangi growth factors & systemic hormones
Growth factors memegang peranan penting dalam mekanisme
progresivitas kerusakan nefron (sel-sel glomerulus dan tubulus).
18
DRP diharapkan dapat mengurangi :
Pembentukan transforming growth factor beta (TGF-b dan platelet-
derived growth factors (PDGF).
Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1), epithelial-derived
growth factors (EDGF), Ang-II (lokal dan sirkulasi), dan
parathyroid hormones (PTH).
c) Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi
Penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) sebagai terapi tunggal
atau kombinasi dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat
mengurangi proteinuria disertai stabilisasi faal ginjal.
2. Nefropati Diabetik Nyata (Overt Diabetic Nephropathy)
Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis; tidak
jarang melibatkan disiplin ilmu lain.
Prinsip umum manajemen nefropati diabetik nyata :
a. Manajemen Utama (esensi)
1) Pengendalian hipertensi
a) Diet rendah garam (DRG)
Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting
untuk mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan meningkatkan
efektivitas obat antihipertensi yang lebih poten.
b) Obat antihipertensi
Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan
permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati diabetik disertai
penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi.
Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum pemilihan obat
antihipertensi antara lain :
Efek samping misal efek metabolik
Status sistem kardiovaskuler.
- Miokard iskemi/infark
- Bencana serebrovaskuler
19
Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi ginjal.
2) Antiproteinuria
a) Diet rendah protein (DRP)
DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk
mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.
b) Obat antihipertensi
Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah sistemik,
tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai potensi untuk
mengurangi ekskresi proteinuria.
Penghambat EAC
Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat EAC paling
efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat
antihipertensi lainnya.
Antagonis kalsium
Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium
golongan nifedipine kurang efektif sebagai nantiproteinuric agent
pada nefropati diabetik dan nefropati non-diabetik.
Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non
dihydropyridine.
Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetic (DMT)
kombinasi penghambar EAC dan antagonis kalsium non
dihydropyridine mempunyai efek.
c) Optimalisasi terapi hiperglikemia
Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi
normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin atau obat
antidiabetik oral (OADO).
b. Managemen Substitusi
Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis
lainnya yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan
mikroangiopati lainnya.
1) Retinopati diabetik
20
Terapi fotokoagulasi
2) Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit jantung kongestif
Penyakit jantung iskemik/infark
3) Bencana serebrovaskuler
Stroke emboli/hemoragik
4) Pengendalian hiperlipidemia
Dianjurkan golongan simvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi
kolesterol-LDL.
3. Nefropati Diabetik Tahap Akhir (End Stage Diabetic Nephropathy)
Gagal ginjal termasuk (GGT) diabetik. Saat dimulai (inisiasi)
program terapi pengganti ginjal sedikit berlainan pada GGT diabetik dan
GGT non-diabetik karena faktor indeks komorbiditas. Pemilihan macam
terapi pengganti ginjal yang bersifat individual tergantung dari umur,
penyakit penyerta dan faktor indeks ko-morbiditas.
21
BAB III
PENUTUP
Nefropati diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler ginjal yang
ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200 g/menit)
pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Apabila
tanda-tanda tersebut dapat diketahui secara dini, penderita bisa mendapat bantuan
untuk mengubah atau menyesuaikan gaya hidup agar bisa lebih memperlambat
kegagalan tersebut, atau bahkan menghentikan kegagalan ginjal tersebut,
tergantung dari penyebabnya.
Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda
progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum
menjadi gagal ginjal terminal.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Askandar, 1998. Nefropati Diabetik dan Disfungsi Endotel (Delapan Faktor
Patogenik dan Terapi). Surabaya, Airlangga.
2. American Diabetes Association. 1994. Standards of medical care for patients
with diabetes mellitus. Diabetes Care : pp. 616-623.
3. Rully Roesli,Endang Susalit,Jusman Djafar. Nefropati Diabetik. Dalam :
Slamet Suyono,dkk.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,Edisi 3, Jakarta,
BP FKUI,2001 p.356-363
4. Hendromartono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV : Nefropati
Diabetik. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
5. Sukandar E. 1997. Tinjauan Umum Nefropati Diabetik in Nefropati Klinik.
Edisi ke-2. Penerbit ITB. Bandung. Hal 274-281.
6. Fernando Gerchman, Amely PS Balthazar, Fúlvio CS Thomazelli, Jorge D
Matos, Luís H Canani. Diabetic Nephropathy. Diabetology & Metabolic
Syndrome 2009, 10.1186/1758-5996-1-10
7. Sofa, Chasani. 2007. Naskah Lengkap Diabetes Melitus Ditinjau dari
Berbagai Aspek Penyakit Dalam. Semarang, CV.Agung.
8. Djokomuljanto R. 1999. Insulin Resistance and Other Factors in the
Patogenesis of Diabetic Nephropathy. Simposium Nefropati
Diabetik.Konggres Pernefri.
9. Sukandar E. 1997. Tinjauan Umum Nefropati Diabetik in Nefropati Klinik.
Edisi ke-2. Penerbit ITB. Bandung. Hal 274-281.
10. Lestariningsih. 2004. Hipergensi pada Diabetik PIT V PERKENI
2004.Semarang. hal 1-5.
23