new perbandingan ketebalan koroid pada pasien...
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN KETEBALAN KOROID PADA PASIEN DIABETES
MELITUS TIPE 2 TANPA DAN DENGAN RETINOPATI DIABETIKA
Oleh: Joan Sherlone 131221150508
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG 2020
ii
PERBANDINGAN KETEBALAN KOROID PADA PASIEN DIABETES
MELITUS TIPE 2 TANPA DAN DENGAN RETINOPATI DIABETIKA
Oleh: Joan Sherlone 131221150508
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal Seperti tertera dibawah ini
Bandung, 17 Juli 2020
Prof. Arief S. Kartasasmita, dr., SpM(K), MKes, PhD
Pembimbing I
dr. R. Maula Rifada, SpM(K)
Pembimbing II
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister dan/atau doktor), baik dari
Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan dari pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dicantumkan sebagai acuan
dalam naskah dengan nama pengarang dan tercantum dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai norma yang berlaku di
perguruan tinggi.
Bandung, Juni 2020
Yang membuat pernyataan
Joan Sherlone T. H.
NPM. 131221150508
iv
ABSTRAK
Abstrak Latar Belakang: Komplikasi vaskular pada diabetes melitus (DM) dapat terjadi di pembuluh darah koroid. Salah satu cara untuk menilai keadaan pembuluh darah koroid adalah dengan mengukur ketebalan lapisan koroid, menggunakan Optical Coherence Tomography (OCT) dengan piranti lunak Enhanced Depth Imaging (EDI). Namun, perubahan ukuran ketebalan koroid pada pasien DM dan apabila disertai retinopati diabetik (RD) masih bervariasi dan kontroversial. Tujuan: Menentukan perbandingan ketebalan koroid pada pasien DM tipe 2 tanpa dan dengan RD. Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong-lintang yang dilakukan pada bulan Januari – April 2020 di RS Mata Cicendo. Penelitian ini diikuti oleh 48 orang (75 mata) yang telah dilakukan matching, terdiri dari kelompok kontrol, kelompok DM tanpa RD, dan kelompok DM dengan RD, masing-masing sebanyak 25 mata. Penilaian ketebalan koroid dilakukan secara manual menggunakan Spectral Domain (SD) – OCT dengan EDI. Analisis statistik menggunakan uji statistik Kruskal Wallis dilanjutkan dengan analisis Post Hoc dengan Mann Whitney. Hasil pengujian bermakna bila nilai P≤0,05. Hasil: Rerata usia subjek penelitian adalah 51,63±4,26 tahun. Rerata ketebalan koroid pada kelompok kontrol yaitu sebesar 274,84±75,81 µm, pada kelompok DM tanpa RD sebesar 276,48±46,58 µm, dan pada kelompok DM dengan RD sebesar 251,56±59,66 µm. Tidak terdapat perbedaan rerata signifikan antar 3 kelompok (P=0,073), kelompok kontrol dan DM tanpa RD (P=0,698), serta kelompok kontrol dan DM dengan RD (P=0,148). Terdapat perbedaan signifikan antara kelompok DM tanpa RD dan DM dengan RD (P=0,017). Simpulan: Terdapat perbedaan ketebalan koroid pada pasien DM tipe 2 tanpa dan dengan RD. Kata kunci: ketebalan koroid, SD-OCT, EDI, retinopati diabetik
v
ABSTRACTS
Background: Vascular complications in diabetes mellitus (DM) can occur in choroidal blood vessels. One way to assess the choroidal blood vessels is to measure the thickness of the choroidal layer, using Optical Coherence Tomography (OCT) with Enhanced Depth Imaging (EDI) software. However, changes in the size of the choroid thickness in DM patients and when accompanied by diabetic retinopathy (DR) are still varied and controversial. Objective: To determine choroidal thickness differences in patients with type 2 diabetes mellitus without and with diabetic retinopathy. Method: This research is a cross-sectional study conducted in January - April 2020 at Cicendo Eye Hospital. The study was followed by 48 people (75 eyes) who had been matched, consisting of a control group, a DM without DR group, and a DM with DR group, total of 25 eyes. Choroidal thickness assessment is done manually using Spectral Domain (SD) - OCT with EDI. Statistical analysis using the Kruskal Wallis test continued with Post Hoc analysis with Mann Whitney test. The test results are significant if the P value ≤ 0.05. Results: The average age of the subjects was 51.63 ± 4.26 years old. The average choroidal thickness in the control group was 274.84 ± 75.81 µm, in the DM without DR group was 276.48 ± 46.58 µm, and in the DM with DR group was 251.56 ± 59.66 µm. There were no significant differences between the 3 groups (P = 0.073), the control group and DM without DR group (P = 0.698), and the control group and DM with DR (P = 0.148). There was a significant difference between the DM without DR group and DM with DR group (P = 0.017). Conclusion: There was a difference of choroidal thickness in patients with type 2 diabetes mellitus without and with diabetic retinopathy. Keywords: choroidal thickness, SD-OCT, EDI, diabetic retinopathy
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar dokter
spesialis pada Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan Mata
Universitas Padjadjaran/Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E., M.SIE
selaku Rektor Universitas Padjadjaran Bandung dan Dr. Med. Setiawan, dr.,
AIFM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program Pendidikan
Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Irayanti, dr., Sp.M(K), MARS
selaku Direktur Utama Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Dr. Feti
Karfiati Memed, dr., Sp.M(K), M.Kes., selaku Direktur Medik dan Keperawatan,
dan Pendidikan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar
dan bekerja menggunakan sarana dan prasarana di Rumah Sakit Mata Cicendo.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr. Budiman,
dr., Sp.M(K), M.Kes., selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran, Dr. Irawati Irfani, dr., Sp.M(K), M.Kes.,
sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, dan seluruh staf pengajar Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
vii
Kedokteran Universitas Padjadjaran untuk segala ilmu, bimbingan, arahan, saran,
dukungan, dan motivasi yang sangat luar biasa yang diberikan kepada penulis
selama menempuh pendidikan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada Prof. Arief Sjamsulaksan Kartasasmita, dr., SpM(K), MKes,
PhD, selaku pembimbing I, yang telah menginspirasi penulis sedari Program
Studi Pendidikan Dokter hingga akhirnya dapat menyelesaikan jenjang Program
Pendidikan Dokter Spesialis, dan juga kepada R. Maula Rifada, dr., SpM(K).
selaku pembimbing II yang telah sabar membimbing, memberikan waktu, tenaga,
dan segala masukan selama penulis menyelesaikan tesis ini. Penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada DR. Elsa Gustianty, dr., SpM(K),
MKes, selaku Ketua Sidang, Dr. Iwan Sovani, dr., SpM(K), MM., MKes, dan
Emmy Dwi Sugiarti, dr., Sp.M(K)., M.Kes yang telah memberikan masukan dan
gagasan sehingga pada akhirnya tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan
terima kasih kepada seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Mata
yang telah senantiasa membimbing dan menjadi teladan yang baik bagi penulis
selama masa pendidikan.
Ucapan terima kasih kepada Ibu Sri Ambarwati, Ibu Mumbaryatun, Pak Ajat
Sudrajat, dan Kang Ludfi selaku staf sekretariat dan pustakawan Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang telah banyak membantu
penulis selama masa pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
seluruh staf dan karyawan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo atas
segala bantuan dan kerjasama yang terjalin selama masa ini.
viii
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh residen atas hari-hari,
kebersamaan, suka dan duka yang telah dilalui bersama selama menempuh
pendidikan, teristimewa rekan residen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran angkatan Maret 2016, yaitu Yolla, Mita, Sindi, Kiki,
Viora, Angel, Lucky dan Yoyok, serta sahabat-sahabat terdekat lainnya. Semoga
kebersamaan yang telah kita lalui tetap terjalin selamanya.
Penulis juga mempersembahkan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada Papi, dr. William E.M. Hutabarat , dan Mami, dr. Rumiang Tobing, SpM,
yang telah memberikan segenap cinta, membimbing, mendidik, memberikan
pengertian, memberi semangat dengan penuh kesabaran dan doa yang tak pernah
berhenti pada penulis dalam menyelesaikan masa studi. Kepada adik-adik, Sergio
Jonathan dan Diandra Jemima, terima kasih atas dukungan dan motivasi kepada
penulis untuk selalu semangat dan menjadi lebih baik.
Rasa terima kasih tidak akan pernah cukup untuk membalas segala kebaikan
yang diberikan oleh semua pihak yang turut membantu penulis dalam
menyelesaikan pendidikan ini. Akhir kata, semoga Tuhan YME membalas seluruh
kebaikan, kesabaran, dan keikhlasan yang telah Bapak/Ibu/Saudara berikan
kepada penulis selama ini.
Bandung, Juni 2020
Penulis,
Joan Sherlone T. H
ix
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
PERNYATAAN .................................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACTS .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB I ...................................................................................................................... 1
1.1 LatarBelakangPenelitian.....................................................................................1
1.2 RumusanMasalah....................................................................................................5
1.3 TujuanPenelitian.....................................................................................................5
1.4 KegunaanPenelitian...............................................................................................5
1.4.1 KegunaanIlmiah...............................................................................................................5
1.4.2 KegunaanPraktis..............................................................................................................6
BAB II .................................................................................................................... 7
x
2.1 KajianPustaka..........................................................................................................7
2.1.1 VaskularisasiRetinadanKoroid................................................................................7
2.1.2 DiabetesMelitus.............................................................................................................10
2.1.3 RetinopatiDiabetik.......................................................................................................12
2.1.4 KoroidopatiDiabetik....................................................................................................15
2.1.5 PencitraanKetebalanKoroid...................................................................................18
2.2 KerangkaPemikiran............................................................................................20
2.3 Premis.......................................................................................................................22
2.4 Hipotesis..................................................................................................................23
BAB III ................................................................................................................. 24
3.1 SubjekPenelitian..................................................................................................24
3.1.1 KriteriaInklusi................................................................................................................24
3.1.2 KriteriaEksklusi............................................................................................................24
3.1.3 CaraPemilihanSampel...............................................................................................25
3.1.4 PenentuanUkuranSampel........................................................................................25
3.2 MetodePenelitian.................................................................................................27
3.2.1 RancanganPenelitian..................................................................................................27
3.2.2 IdentifikasiVariabel.....................................................................................................27
3.2.3 Alat,Bahan,danCaraKerja.......................................................................................28
3.2.4 RancanganPengolahandanAnalisisData..........................................................30
3.3 TempatdanWaktuPenelitian..........................................................................31
3.4 Implikasi/AspekEtikPenelitian......................................................................31
3.5 SkemaAlurPenelitian.........................................................................................33
BAB IV ................................................................................................................. 34
xi
4.1 HasilPenelitian......................................................................................................34
4.1.1 KarakteristikIndividuSubjekPenelitian............................................................34
4.1.2 PerbandinganKarakteristikIndividuSubjekPenelitian..............................35
4.1.3 PerbandinganKetebalanKoroidpadaKelompokKontrol,DMtanpa
RetinopatiDiabetik,danDMdenganRetinopatiDiabetik..........................................37
4.1.4 KorelasiantaraKetebalanKoroiddenganUsia,DurasiDM,Hba1cdan
TajamPenglihatan........................................................................................................................39
4.2 UjiHipotesis............................................................................................................39
4.3 Pembahasan............................................................................................................40
BAB V ................................................................................................................... 48
5.1 Simpulan..................................................................................................................48
5.2 Saran..........................................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 49
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 28
Tabel 4.1 Karakteristik individu subjek penelitian ............................................... 35
Tabel 4.2 Perbandingan karakteristik individu subjek penelitian pada kontrol, DM tanpa retinopati diabetik, dan DM dengan retinopati diabetik ..................... 36
Tabel 4.3 Perbandingan ketebalan koroid pada kelompok kontrol, DM tanpa retinopati diabetik, dan DM dengan retinopati diabetik ................................ 37
Tabel 4.4 Perbandingan dua kelompok antara ketebalan koroid pada kelompok kontrol, DM tanpa retinopati diabetik, dan DM dengan retinopati diabetik 38
Tabel 4.5 Korelasi antara ketebalan koroid dengan usia, durasi DM, HbA1C dan tajam penglihatan .......................................................................................... 39
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skematik pembuluh darah koroid .................................................... 9
Gambar 2.2 Gambaran aktivitas alkalin fosfatase pada lapisan koroid pasien DM ................................................................................................. 17
Gambar 2.3 Gambaran ketebalan koroid normal dengan Cirrus-HD OCT ....... 20
xiv
DAFTAR SINGKATAN
DM : Diabetes Melitus
PMN : Polymorphonuclear Netrophil
ICG : Indocyanine Green
SD-OCT : Spectral Domain-Optical Coherence Tomography
EDI : Enhanced Depth Imaging
RPE : Retinal Pigment Epithelium
µm : Mikrometer
mm : Milimeter
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
AGEs : Advanced Glycation End Products
TGF- β : Transforming Growth Factor β
PDGF- β : Platelet-Derived Growth Factor-Beta
NPDR : Non Proliferative Diabetic Retinopathy
IRMA : Intraretinal Microvascular Abnormalities
PDR : Proliferative Diabetic Retinopathy
NVD : Neovascularization of the Disc
NVE : Neovascularization Elsewhere
ETDRS : Early Treatment Diabetic Retinopathy Study
WESDR : Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Keterangan Persetujuan Etik ............................................................. 54
Lampiran 2 Informasi Penelitian ........................................................................... 55
Lampiran 3 Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ......................... 58
Lampiran 4 Data Hasil Penelitian ........................................................................ 59
Lampiran 5 Hasil OCT-EDI Ketebalan Koroid .................................................... 62
Lampiran 6 Perhitungan Statistik .......................................................................... 63
Lampiran 7 Daftar Riwayat Hidup ........................................................................ 82
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Penyakit tidak menular adalah penyebab tersering kematian di dunia, yaitu
sebesar 70 persen (%) dari total jumlah kematian pada tahun 2015. Salah satu
penyakit tidak menular tersebut adalah diabetes melitus (DM) dengan 87% - 91%
adalah DM tipe 2. Pasifik Barat merupakan wilayah yang memiliki angka
kematian oleh DM terbesar dari seluruh wilayah kerja Federasi Diabetes
Internasional. Sekitar 158,8 juta pasien atau sebesar 37,4% dari seluruh pasien
DM dunia, berada di wilayah kerja Pasifik Barat. Peningkatan hingga 193,3 juta
jiwa diperkirakan akan terjadi di tahun 2045. Jumlah tersebut sebanding dengan
10,3% populasi dewasa. Indonesia, yang berada di wilayah kerja Pasifik Barat,
menempati urutan ke-6 dunia dengan jumlah penderita DM sebanyak 10,3 juta
penduduk di tahun 2017 dan diprediksi akan mengalami peningkatan menjadi
16,7 juta penduduk di tahun 2045.1,2
Diabetes melitus adalah penyebab utama penyakit kardiovaskular, kebutaan,
gagal ginjal, dan amputasi anggota gerak bawah. Berbagai komplikasi tersebut
dapat ditemukan saat diagnosis DM baru pertama kali ditegakkan dan seringkali
komplikasi sudah terjadi tanpa disadari. Komplikasi DM terbagi menjadi
komplikasi akut dan kronis. Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi
mikrovaskular kronis pada DM yang menjadi penyebab utama gangguan
penglihatan pada populasi dewasa usia produktif.1–3
2
Satu dari tiga pasien DM diperkirakan memiliki retinopati diabetik dan satu
dari sepuluh di antaranya mengancam penglihatan. Kebutaan oleh retinopati
diabetik di dunia telah mengalami peningkatan dua kali lipat di tahun 1990-2015.
Jumlah kebutaan oleh retinopati diabetik di tahun 1990 yaitu sebesar 0,2 juta
orang telah meningkat menjadi 0,4 juta orang di tahun 2015. Retinopati diabetik
yang menyebabkan gangguan penglihatan pun mengalami peningkatan serupa,
yaitu dari 1,4 juta orang, menjadi 2,6 juta orang. Peningkatan ini terjadi hampir di
seluruh dunia, kecuali Eropa Barat dan Amerika Utara. Sementara itu, Jogjakarta
Eye Diabetic Study in the Community melaporkan prevalensi retinopati diabetik
sebesar 43,1% dan retinopati diabetik yang mengancam penglihatan sebesar
26,3%. 4–6
Beberapa tanda utama retinopati diabetik adalah inkompetensi sawar darah-
retina, kerusakan integritas vaskular retina, dan abnormalitas hemodinamis.
Kapiler non-perfusi mengawali perjalanan retinopati diabetik. Penemuan klinis
dan eksperimental sebelumnya mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara
kerusakan retina dan kerusakan atau vaskulopati koroid. Koroid adalah suatu
bagian fungsional yang terintegrasi di dalam sistem okular dan diketahui memiliki
peran pada berbagai penyakit mata. Vaskularisasi oleh koroid, terutama
koriokapilaris, menyediakan oksigen dan nutrisi ke lapisan luar retina dan
memiliki peran mengatur metabolisasi aktif sel fotoreseptor. Koroid yang baik
secara fungsi dan struktur, menjadi hal yang penting bagi retina karena
abnormalitas volume dan/atau gangguan aliran pembuluh darah koroid dapat
menyebabkan disfungsi dan bahkan kematian sel fotoreseptor. Kerusakan
3
koriokapilaris sebagai bagian dari sawar darah retina bagian luar memiliki
peranan dalam terjadinya edema makula yang pada akhirnya menurunkan kualitas
tajam penglihatan. Pengetahuan mengenai lapisan koroid secara komprehensif
sangat penting untuk menilai keadaan berbagai penyakit pada mata. 7–10
Koroidopati diabetik adalah istilah awal yang digunakan oleh Hidayat dan Fine
di tahun 1985. Penelitian tersebut melaporkan pemeriksaan histologi jaringan
mata yang telah dienukleasi akibat komplikasi DM dan mendapatkan sebagian
koriokapilaris menghilang, tortuosity, mikroaneurisma, deposit drusen di
membran Bruch, dan neovaskularisasi koroid. Koroidopati diabetik diduga terjadi
karena suatu proses inflamasi, di mana terjadi peningkatan leukosit
polymorphonuclear netrophil (PMN) yang menyebabkan sebagian area pembuluh
darah hilang oleh karena apoptosis. Gangguan penglihatan pada retinopati
diabetik terutama terjadi karena kerusakan retina, namun hasil dari penelitian-
penelitian sebelumnya menduga terdapat peran koroidopati diabetik yang juga
terjadi. 7,8,11
Pilihan pemeriksaan untuk menilai lapisan koroid di beberapa penelitian
terdahulu terbatas pada indocyanine green (ICG), flometri laser Doppler, atau
ultrasound. Penggunaan angiografi ICG memberikan gambaran yang menilai
kecukupan pembuluh darah dan telah menjadi modalitas pertama untuk
mendeteksi koroidopati diabetik. Penelitian dengan ICG tersebut menunjukkan
adanya corakan hiperfluoresen, menandai abnormalitas vaskular intrakoroid atau
dilatasi pembuluh darah koroid. Meskipun demikian, penggunaan teknik-teknik
4
tersebut hanya memberikan gambaran abnormalitas vaskular dan tidak menilai
fitur anatomis dan struktur lapisan koroid.12,13
Alat spectral domain-optical coherence tomography (SD-OCT) telah
digunakan untuk mendapatkan visualisasi dan gambaran lapisan koroid dengan
baik. Penambahan piranti lunak Enhanced Depth Imaging (EDI) pada OCT
memberikan gambaran lebih jelas dan dapat mengukur seluruh ketebalan lapisan
koroid. Sebelumnya, batas koroid dan sklera tidak dapat diidentifikasi secara baik
karena penyebaran cahaya dari lapisan retinal pigment epithelium (RPE).
Pencitraan dan ketebalan koroid telah diteliti sebelumnya menggunakan beberapa
perangkat OCT, termasuk Cirrus Zeiss, Topcon, Optovue RTVue, Bioptigen, dan
Heidelberg Spectralis. Penelitian pilot dilakukan oleh Margolis dkk tahun 2009
pada subjek normal untuk menilai koroid berdasarkan ketebalannya menggunakan
EDI-OCT. Seiring dengan penggunaan OCT yang semakin luas, berbagai
penelitian menggunakan ketebalan koroid sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi suatu penyakit okular.10,14,15
Beberapa penelitian sebelumnya yang mengukur ketebalan koroid pada pasien
DM mendapatkan hasil yang bervariasi. Sebuah penelitian di Jepang melaporkan
lapisan koroid lebih tebal pada pasien RD proliferatif dibandingkan dengan
kontrol. Penelitian Kim dkk. dari Korea juga melaporkan ketebalan koroid
bertambah seiring dengan pertambahan derajat RD. Sebaliknya, hasil penelitian
lain dari Spanyol mendapatkan penipisan lapisan koroid secara signifikan pada
pasien DM dibandingkan dengan kontrol. Terdapat beberapa hasil penelitian yang
menduga penipisan koroid atau penebalan koroid pada pasien DM selain beberapa
5
penelitian yang telah disebut di atas. Hasil kontroversial tersebut menggambarkan
sifat dinamis DM dan efeknya ke mata.16–19
Berdasarkan hal di atas, disusun tema sentral sebagai berikut:
Jumlah penderita DM tipe 2 di dunia, khususnya di Indonesia, semakin mengalami peningkatan. Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular kronis pada penderita DM yang dapat mengancam penglihatan. Kerusakan pembuluh darah okular pada pasien DM, meskipun utamanya terjadi di pembuluh darah retina, juga terjadi di lapisan koroid, yang disebut dengan koroidopati diabetik. Abnormalitas pembuluh darah koroid dapat dinilai secara kuantitatif, salah satunya dengan menilai ketebalannya. Namun, beberapa penelitian yang menilai ketebalan koroid pada pasien diabetes melitus dan bila disertai retinopati diabetik masih mendapatkan hasil yang kontroversial. Penelitian ini akan menilai perbandingan ketebalan koroid pada pasien diabetes melitus tipe 2 tanpa dan dengan retinopati diabetik.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan ketebalan koroid pada pasien diabetes melitus tipe 2
tanpa dan dengan retinopati diabetik?
1.3 Tujuan Penelitian
Menentukan perbandingan ketebalan koroid pada pasien diabetes melitus tipe 2
tanpa dan dengan retinopati diabetik.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Ilmiah
Menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata mengenai
perbedaan ketebalan koroid pada pasien diabetes melitus tipe 2 tanpa dan dengan
retinopati diabetik.
6
1.4.2 Kegunaan Praktis
• Hasil penelitian ini memperkuat dugaan peran lapisan koroid pada
retinopati diabetik
• Hasil penelitian ini menjadikan ketebalan koroid sebagai salah satu tanda
untuk memantau progresivitas retinopati diabetik
• Hasil penelitian ini dapat menyarankan pemeriksaan ketebalan koroid
pemeriksaan penunjang untuk pasien DM
• Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya mengenai
hubungan retina dan koroid pada retinopati diabetik
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Vaskularisasi Retina dan Koroid
Retina adalah salah satu jaringan dengan metabolisme yang paling aktif yang
memiliki dua zona oksigenasi. Lapisan dalam retina mendapatkan oksigen melalui
vaskularisasi retina. Regulasi vaskularisasi retina bersifat otomatis karena
menyesuaikan dengan perubahan oksigen sistemik dan menjaga lapisan dalam
retina tetap konstan. Lapisan luar retina mendapatkan vaskularisasi dari koroid.
Berbeda dengan retina, pembuluh darah koroid tidak teregulasi secara otomatis,
melainkan kadar oksigen sistemik yang meregulasi kadar oksigen dalam
koroid.20,21
Sistem vaskularisasi retina terdiri dari dua lapisan, yaitu pleksus superfisial dan
kapiler dalam. Arteri retina sentral memberikan perdarahan ke sistem tersebut.
Pembuluh darah retina memiliki hirarki tradisional, di mana arteri bercabang
menjadi arteriol, memberikan perdarahan ke jaringan kapiler, keluar melalui
venula dan kemudian vena, sebelum akhirnya keluar dari retina. Kapiler retina
dan venula memiliki perisit perivaskular. Retina memiliki perbandingan tertinggi
sel endotel dan perisit, yaitu 1:1.21,22
Koroid adalah lapisan jaringan ikat longgar tipis dengan vaskularisasi dan
pigmentasi yang tinggi, terletak di antara lapisan lamina fusca dari sklera dan
RPE. Secara histologis, koroid terdiri dari membran Bruch, koriokapilaris, lapisan
8
pembuluh darah, dan suprakoroid. Membran Bruch adalah jaringan ikat
termodifikasi yang secara histologis terlihat sebagai membran kaca aselular di
bawah RPE. Koriokapilaris adalah bantalan kaya akan pembuluh darah
berfenestrasi yang meluas sampai ke ora serata. Lapisan vaskular koroid terdiri
dari lapisan dalam yaitu lapisan Sattler dan lapisan luar yaitu lapisan Haller.
Stroma koroid terdiri dari serat kolagen tipe 1, serat elastik datar, fibrosit, dan
melanosit. Koroid, sebagai jaringan ikat, memiliki sejumlah sel-sel imun,
termasuk sel plasma dan limfosit, sel mast, dan jaringan makrofag, dan sel
dendritik. Lapisan suprakoroid adalah zona transisi antara koroid dan sklera.
Lapisan ini terdiri dari lapisan tipis melanosit, fibroblast, dan jaringan ikat.
Sebuah rongga sempit potensial menjadi pembatas pada lapisan suprakoroid yaitu
rongga supra- atau peri-koroidal, yang dalam keadaan patologis dapat terpisah
oleh darah atau cairan.21,23
Aliran darah memasuki koroid dari arteri siliaris posterior, seperti terlihat pada
gambar 2.1.A . Lapisan luar dari pembuluh darah koroid kaliber besar dikenal
dengan lapisan Haller. Pembuluh darah tersebut kemudian terbagi menjadi
pembuluh darah yang lebih kecil di lapisan Sattler. Vaskularisasi koroid
menyediakan oksigen dan nutrisi ke fotoreseptor. Sistem kapiler, yaitu
koriokapilaries, terletak di bawah membran Bruch, sementara pembuluh darah
koroid kaliber besar dan sedang terletak posterior dari sistem kapiler, seperti
terlihat pada gambar 2.1.B. Koriokapilaris memiliki ketebalan 10 mikrometer
(µm) di fovea dan menipis menjadi sekitar 7 µm di perifer. Lapisan koroid secara
keseluruhan paling tebal berada di posterior, yaitu 0,22 milimeter (mm) dan
9
semakin tipis di daerah ora serata anterior, yaitu 0,1 mm. Hirarki pembuluh darah
koroid adalah lobular menyerupai glomerulus ginjal. Susunan kapiler semakin
mendekati perifer menjadi semakin radial.22,23
Gambar 2.1 Skematik pembuluh darah koroid A. Penampang vaskularisasi retina. B. Diagram skematik asal pembuluh darah koriokapilaris Sumber: Forrester dkk.23
Aliran darah kemudian menuju venula setelah melewati koriokapilaris dan
bergabung di ampula vena vorteks. Mata memiliki 4-5 vena vorteks yang akan
mengalir keluar di posterior dari ekuator. Perdarahan vena vorteks selanjutnya
akan keluar melalui vena oftalmika superior dan inferior. Koroid memiliki laju
10
aliran darah tertinggi dari semua jaringan tubuh. Hal ini disebabkan karena retina
adalah salah satu jaringan yang memiliki laju metabolik per gram paling tinggi.
Aliran darah vena yang keluar dari koroid masih memiliki tekanan oksigen yang
tinggi. Sel-sel RPE terkespos dengan tekanan tertinggi oksigen dari seluruh
jaringan, yang menyebabkan meningkatnya risiko kerusakan oksidatif.21,23
Fungsi fisiologis koroid adalah menyediakan oksigen dan nutrien ke lapisan
retina luar yang memiliki metabolisme tinggi, seperti fovea sentral yang avaskular
dan bagian nervus optikus prelaminar. Koroid menyalurkan sebagian besar
perdarahan yang dibutuhkan retina. Fotoreseptor menggunakan kurang lebih 90%
oksigen. Beberapa adaptasi spesifik terjadi untuk melewati membran Bruch dan
RPE, yaitu aliran darah di koroid 10 kali lebih tinggi dari aliran darah di otak,
tekanan oksigen lebih tinggi, dan fenestrasi koriokapilaris yang cenderung berada
di sisi membran Bruch. 23,24
Sistem sirkulasi pembuluh darah retina berbeda dengan koroid karena
pembuluh darah koroid memiliki fenetrasi untuk regulasi sekresi vascular
endothelial growth factor (VEGF) yang terus menerus oleh sel-sel RPE. Struktur
tersebut memudahkan pengantaran oksigen dan nutrien ke retina bagian luar dan
makula. Akumulasi molekul besar di ekstravaskular menyebabkan tekanan
onkotik positif di lapisan membran Bruch. Hal ini menyebabkan cairan keluar dari
retina ke stroma koroid dan suprakoroid.23,24
2.1.2 Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia. Tipe DM yang berbeda-beda terjadi karena interaksi kompleks dari
11
genetik dan faktor lingkungan. Klasifikasi DM dibuat berdasarkan proses
patogenik yang mengakibaktkan hiperglikemia, berbeda dengan kriteria terdahulu
di mana menggunakan usia atau tipe terapi. Dua kategori utama DM yaitu tipe 1
dan tipe 2, namun terdapat beberapa tipe DM lain yang mulai dikenal karena
mekanisme penyakitnya yang mulai dapat dipahami.25
Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena resistensi insulin dan sekresi insulin yang
abnormal. Beberapa penelitian terdahulu mendukung penemuan bahwa resistensi
insulin terjadi lebih dulu dibandingkan dengan sekresi insulin abnormal. Toleransi
glukosa di fase awal masih mendekati normal, meskipun sudah terjadi resistensi
insulin. Hal tersebut dikarenakan oleh sel beta pankreas mengimbangi dengan
meningkatkan produksi insulin. Resistensi insulin dan kompensasi
hiperinsulinemia terjadi terus-menerus sehingga pada individu tertentu pankreas
tidak lagi dapat menahan keadaan hiperinsulinemia. Gula darah setelah makan
mengalami peningkatan, menunjukkan telah terjadi impaired glucose tolerance.
Penurunan selanjutnya dari sekresi insulin dan kemudian peningkatan glukosa
hepatik menyebabkan diabetes dengan hiperglikemia puasa.25
Komplikasi DM dapat terjadi di berbagai sistem organ dan menjadi penyebab
utama angka kejadian morbiditas dan modalitas. Klasfikasi komplikasi DM
adalah vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular kemudian dibagi lagi
menjadi mikrovaskular; yaitu retinopati, neuropati, dan nefropati, dan
makrovaskular; yaitu penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer dan
serebrovaskular. Komplikasi mikrovaskular adalah komplikasi spesifik DM.
12
Komplikasi makrovaskular terjadi serupa dengan pasien non-diabetik, namun
lebih sering terjadi pada pasien DM.25
Terdapat empat teori mengenai hiperglikemia berujung dengan komplikasi
kronis DM. Pertama, peningkatan glukosa inraselular menyebabkan pembentukan
advanced glycosylation end-products (AGEs), yang berikatan dengan reseptor di
permukaan sel, melalui glikosilasi non-enzimatik protein intra- dan ekstraselular,
kemudian menyebabkan tautan silang protein, peningkatan aterosklerosis,
disfungsi glomerular, disfungsi endotel, dan gangguan komposisi matriks
ekstraselular. Kedua, hiperglikemia meningkatkan metabolisme glukosa melalui
jalur polyol yang berhubungan dengan aldose reduktase. Ketiga, hiperglikemia
meningkatkan pembentukan diasilgliserol, mengaktivasi protein kinase C,
merusak transkripsi gen fibronektin, kolagen tipe 4, protein kontraktil, dan
protein matriks ekstraselular di sel endotel dan neuron. Keempat, hiperglikemia
meningkatkan fluks melalui jalur heksosamin, yang menghasilkan fructose-6-
phosphate, menyebabkan gangguan fungsi oleh glikosilasi protein, seperti
endothelial nitric oxide synthase atau mengubah ekspresi gen transforming
growth factor β (TGF- β) atau plasminogen activator inhibitor-1. Mekanisme
yang dapat menyatukan teori-teori tersebut adalah hiperglikemia menyebabkan
peningkatan produksi reactive oxygen species atau superoksida di mitokondria.
Komponen tersebut yang mungkin mengaktifkan semua jalur tersebut di atas.
2.1.3 Retinopati Diabetik
Hiperglikemia kronis pada DM pada retinopati diabetik menyebabkan
perubahan biokimia dan fisiologi yang berujung pada kerusakan pembuluh darah
13
retina, baik arteri, vena, maupun kapiler, dan bersifat progresif. Tanda awal dan
spesifik pada retinopati diabetik adalah hilangnya perisit. Hilangnya perisit
menyebabkan pembuluh darah rentan terhadap konsentrasi glukosa yang tinggi
dan akhirnya mengalami apoptosis. Mekanisme lain adalah peningkatan
permeabilitas vaskular retina, gangguan aliran darah retina, dan
mikrovaskularisasi abnormal retina, di mana semua mekanisme tersebut dapat
berujung pada iskemia retina.26,27
Dua hipotesis utama terjadinya hilangnya perisit adalah melalui jalur aldose
reduktase dan platelet-derived growth factor-beta (PDGF- β). Hilangnya perisit
menyebabkan gangguan kontak interselular pembuluh darah dan gangguan sawar
darah-retina bagian dalam. Efek yang ditimbulkan kemudian adalah dilatasi vena
dan beading, yang dapat dilihat secara klinis. Gangguan kontak interselular pada
pembuluh darah juga meningkatkan proliferasi sel endotel yang menyebabkan
pertumbuhan neovaskularisasi. Konsep lain pada mekanisme retinopati diabetik
adalah keadaan patologis tersebut berhubungan dengan proses inflamasi di
neurovaskular retina, yang terdiri dari neuron, glia, astrosit, sel Müller, dan
vaskularisasi khusus.26,28
Stres oksidatif merupakan faktor risiko utama terjadinya dan progresivitas DM.
Kebanyakan faktor risiko lain, termasuk obesitas dan usia, membuat lingkungan
oksidatif yang mengganggu sensitivitas insulin dengan meningkatkan resistensi
insulin atau mengganggu toleransi glukosa. Hiperglikemia juga memiliki peran
pada progresivitas dan stabilitas dari keseluruhan lingkungan oksidatif.
Hiperglikemia menghasilkan spesies oksigen reaktif secara langsung atau dengan
14
merusak keseimbangan redox selular. Stres oksidatif yang dipicu oleh
hiperglikemia dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu, jalur polyol,
peningkatan formasi intraselular dari advanced glycation endproducts (AGE),
aktivasi protein kinase C (PKC), dan gangguan jalur biosintesis hexosamin.
Produksi superoksida berlebihan oleh rantai transpor mitokondrial diduga sebagai
penyebab awal perubahan metabolik tersebut.28,29
Retinopati diabetik adalah keadaan di mana timbul suatu gambaran
abnormalitas mikrovaskular retina pada penderita DM diklasifikasikan sebagai
non-proliferatif dan proliferatif. Retinopati diabetik non-proliferatif memiliki
karakteristik yaitu mikroaneurisma, perdarahan intra-retina, eksudat keras, cotton-
wool spot, intraretinal microvascular abnormalities (IRMA), venous looping
dan/atau venous beading. Tipe retinopati diabetik non-proliferatif biasanya terjadi
di akhir dekade pertama atau awal dekade kedua penyakit DM. Tipe retinopati
diabetik proliferatif memiliki keadaan yang lebih berat dengan karakteristik
neovaskularisasi retina, yang dapat berkembang menjadi perdarahan vitreus dan
dan traksi retina. Retinopati diabetik non-proliferatif selanjutnya terbagi menjadi
beberapa derajat, tergantung dari karakteristik klinis retina, yaitu:
1. Retinopati diabetik non-proliferatif ringan apabila terdapat minimal 1
mikroaneurisma
2. Retinopati diabetik non-proliferatif sedang apabila terdapat
mikroaneurisma, perdarahan intra-retina, eksudat keras, cotton-wool spot,
venous beading, atau IRMA.
15
3. Retinopati diabetik proliferatif berat apabila terdapat perdarahan dan
mikroaneurisma minimal pada 4 kuadran, venous beading minimal pada 2
kuadran, dan IRMA minimal pada 1 kuadran.
Retinopati diabetik proliferatif juga terbagi menjadi 2 derajat, yaitu, retinopati
diabetik proliferatif awal apabila hanya terdapat neovaskularisasi, dan retinopati
diabetik proliferatif risiko tinggi, apabila terdapat 3 dari 4 karakteristik klinis
yaitu perdarahan pre-retina atau perdarahan vitreus, neovaskularisasi, lokasi
neovaskularisasi pada atau dekat diskus optikus, neovaskularisasi sedang hingga
berat.26,30
Edema makula diabetik adalah suatu pembengkakan di daerah makula yang
berupa edema fokal atau edema merata. Edema makula terjadi karena
mikroaneurisma atau kebocoran vaskular lain di dalam atau di dekat makula.
Pembagian edema makula menurut ETDRS yaitu:
• Penebalan retina pada atau dalam 500 µm dari pusat makula
• Eksudat keras pada atau dalam 500 µm dari pusat makula jika berhubungan
dengan penebalan retina yang berdekatan, atau
• Zona penebalan retina 1 diskus area atau lebih di mana terdapat dalam 1
diameter diskus dari pusat makula.26,28,31
2.1.4 Koroidopati Diabetik
Definisi koroidopati diabetik pada pasien DM didapatkan dengan pemeriksaan
histologis maupun ICG. Koroidopati diabetik pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1985 oleh Hidayat dan Fine. Sejak saat itu koroidopati diabetik diteliti
dengan berbagai modalitas pemeriksaan penunjang untuk mencari hubungan
16
struktur anatomis dan histologis dengan derajat retinopati diabetik. Penelitian
dengan ICG mendapatkan hubungan antara hipoperfusi koroid pada fase lambat
dan terjadinya fenomena inverted flow pada berbagai derajat retinopati diabetik.
Resistensi pembuluh darah koroid juga disebutkan memiliki hubungan dengan
iskemik retina. Indeks resistensi yang meningkat pada pasien DM ditemukan
bahkan saat retinopati diabetik belum terdeteksi secara klinis. Hal ini
mengindikasikan koroidopati memicu perkembangan retinopati karena hipoksia
jaringan retina dan eksperesi VEGF berlebihan.11,12
Pemeriksaan histopatologis pada mata pasien DM tipe 2 menunjukkan
penurunan aktivitas alkalin fosfatase di koriokapilaris, hilangnya sel endotel yang
viabel, degenerasi koriokapilaris, obstruksi dan aneurisma koroid, perubahan
degeneratif membran Bruch, dan neovaskularisasi koroid, seperti terlihat pada
Gambar 2.1. Penurunan aktivitas enzim alkalin fosfatase dipercaya memiliki
hubungan dengan hilangnya sebagian area koriokapilaris pada koroidopati
diabetik. Inflamasi dan iskemia koroid dapat mengganggu bagian luar sawar
darah-retina. Hal ini menjadi penyebab terjadinya akumulasi cairan subretina.
Sawar darah-retina bagian dalam pun dapat terganggu apabila sawar darah retina
bagian luar tidak seimbang.9,11
17
Gambar 2.2 Gambaran aktivitas alkalin fosfatase pada lapisan koroid pasien DM (A) Area normal, koriokapilaris terlihat (B) Lapisan koroid sama namun terdapat sebagian area yang kehilangan koriokapilaris (C) Area yang terdapat kehilangan koriokapilaris total Dikutip dari: Lutty dkk.9
Manifestasi retinopati diabetik tidak mengikuti fitur klasik “rubor, tumor,
kalor, dan dolor” seperti pada penyakit inflamasi dan infiltrasi sel inflamasi tidak
tampak terlalu jelas. Karakteristik tersebut menggambarkan komponen inflamasi
kronik derajat rendah. Penelitian pada hewan menunjukkan terdapat peningkatan
aktivasi leukosit dengan peningkatan sitokin inflamasi. Peningkatan molekul-
molekul tersebut menambah penempelan leukosit ke dinding kapiler yang
menyebabkan stasis kapiler, oklusi, dan hipoksia, seperti terlihat pada retinopati
diabetik. Hal ini menunjukkan peran inflamasi pada retinopati diabetik dapat
18
terjadi. Beberapa penelitian juga mendukung mekanisme inflamasi di mana
ditemukan peningkatan TNFα dan IL1β.8,9
Ketebalan koroid adalah salah satu parameter yang dapat diperiksa untuk
mengetahui struktur anatomis lapisan koroid. Aliran darah di koroid disebutkan
mempengaruhi perubahan ketebalan koroid. Struktur lain yang diduga memiliki
peran dalam perubahan ketebalan koroid adalah ekspansi lakuna yang terjadi di
lapisan suprakoroid. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya.
Penelitian oleh Waltmann dkk. menyebutkan ekspansi lakuna disebabkan sintesis
proteoglikan. Penelitian lain mendapatkan perubahan ukuran dan jumlah
fenestrasi dari koriokapilaris, perubahan fluks pada jalur uveosklera, perubahan
transportasi retina melalui RPE, dan perubahan tonus otot halus non-vaskular dari
suprakoroid.23,24
2.1.5 Pencitraan Ketebalan Koroid
Perkembangan terbaru OCT, termasuk EDI, telah memudahkan pembelajaran
mengenai lapisan koroid. Mekanisme SD-OCT memeriksa suatu kedalaman
adalah dengan membedakan frekuensi spektrum interferensi. Gema dijauhkan dari
poin deteksi, yang disebut dengan “zero delay line”, dengan cara meningkatkan ke
dalam ke jaringan. Posisi “zero delay line” pada OCT retina berada di vitreus
posterior untuk mendapatkan citra yang jelas dari struktur retina. Resolusi
pencitraan lapisan koroid yang lebih baik bisa didapatkan dengan mendekatkan
joystick ke mata sehingga “zero delay line” fokus di retina. Kualitas yang lebih
19
baik dibantu juga dengan teknologi pemerataan citra, eye tracking, pemindaian
berkecepatan tinggi, dan speckle noise yang rendah pada OCT-EDI.15,26,32
Yamashita dkk. melakukan penelitian ketebalan koroid subfovea menggunakan
3 jenis SD-OCT yang berbeda, yaitu Spectralis, Cirrus, dan Topcon, dan
melaporkan korelasi intrakelas dan interrater yang tinggi pada ketiga jenis SD-
OCT tersebut. Penelitian dengan hasil yang serupa juga didapatkan oleh Branchini
dkk. dengan menggunakan SD-OCT Cirrus, Spectralis, dan RTVue. Ketebalan
koroid, namun demikian, tidak dianjurkan apabila dibandingkan antara SD-OCT
dan Swept-source (SS) OCT. Matsuo dkk. mendapatkan hasil ketebalan koroid
yang lebih besar dengan SS-OCT dibandingkan dengan SD-OCT.33–35
Ketebalan koroid dihitung secara manual dari tepi luar RPE tegak lurus dengan
sklera bagian dalam dengan menggunakan piranti lunak SD-OCT. Pengukuran
dapat dilakukan di fovea dan di titik lain dengan jarak 500 mikron dari fovea ke
arah nasal dan temporal, terlihat pada gambar 2.1. Hasil pengukuran tersebut,
meskipun dilakukan secara manual namun dapat diandalkan. Nilai normal
ketebalan koroid subfovea dilaporkan berkisar antara 191 ± 74.2 hingga 354 ±
111 mikron. Sebuah penelitian di Korea mendapatkan nilai ketebalan koroid
dengan EDI SD-OCT pada subjek normal yaitu 292.6 ± 94.0 mikron. Variasi pada
hasil ketebalan koroid tersebut dapat terjadi oleh karena perbedaan etnis.
Beberapa penelitian yang melakukan penghitungan ketebalan koroid di beberapa
titik mendapatkan hasil serupa yaitu lapisan koroid didapatkan paling tebal di sub-
fovea dan semakin tipis ke arah nasal.14,17,36
20
Gambar 2.3 Gambaran ketebalan koroid normal dengan Cirrus-HD OCT Dikutip dari: Regatieri dkk.15
. Beberapa faktor dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan ketebalan lapisan
koroid. Penipisan lapisan koroid sehubungan dengan usia pada populasi normal
telah dilaporkan pada beberapa penelitian. Margolis dkk. menyebutkan ketebalan
koroid memiliki korelasi negatif dengan usia. Ding dkk. menyebutkan penipisan
sehubungan dengan usia tersebut terjadi pada usia di atas 60 tahun. Ketebalan
koroid juga dipengaruhi miopia atau panjang aksial bola mata. Wei dkk.
melaporkan ketebalan koroid sub-fovea menurun sebesar 15 mikron untuk setiap
miopia 1 dioptri (D) atau sebesar 32 mikron untuk setiap kenaikan panjang aksial
1 mm. Faktor lain yang telah diduga memiliki hubungan dengan ketebalan koroid
juga adalah variasi diurnal, indeks massa tubuh, gangguan hormonal, dan riwayat
merokok.37–40
2.2 Kerangka Pemikiran
Hiperglikemia kronik pada DM menyebabkan komplikasi vaskular, salah
satunya adalah retinopati diabetik. Tanda awal yang spesifik pada retinopati
diabetik pada pembuluh darah retina adalah hilangnya perisit. Hal ini
menyebabkan perubahan kontak interselular vaskular dan sawar darah retina
bagian dalam. Tanda klinis yang terlihat selanjutnya adalah dilatasi vena, vena
21
beading, dan neovaskularisasi pada akhirnya. Retinopati diabetik secara garis
besar dibagi menjadi non-proliferatif dan proliferatif yang dibedakan menurut
tampilan klinis yang terlihat.26,30
Kerusakan vaskular pada retinopati diabetik terjadi bukan hanya pada
pembuluh darah retina melainkan tampak juga pada lapisan koroid. Gambaran
histopatologis koroid pada pasien DM yaitu dropout koriokapilaris, penipisan
lumen, dan penebalan membran basalis dengan perubahan arteriosklerosis di
beberapa pembuluh arteri. Pemeriksaan dengan ICG adalah salah satu modalitas
pertama untuk mendeteksi kelainan pada koroidopati diabetik. Seiring dengan
perkembangan teknologi pencitraan, pemeriksaan dengan Doppler warna dan
flowmetry Doppler memungkinkan peneliti untuk melihat penurunan aliran darah
di lapisan koroid dan membandingkannya pada berbagai keadaan retinopati
diabetik. Beberapa modalitas tersebut digunakan untuk melihat abnormalitas
pembuluh darah atau kelainan aliran darah koroid, namun tidak memberikan
informasi anatomis tiga dimensi mengenai RPE atau lapisan koroid.9,12,13
Perkembangan teknologi OCT memungkinkan untuk mendapatkan citra
lapisan retina secara potong lintang, serupa dengan USG namun dengan resolusi
yang jauh lebih baik. Hasil pencitraan koroid pada OCT berupa ketebalan koroid.
Ketebalan koroid bergantung dengan jumlah aliran darah di koroid, seperti yang
terlihat pada penelitian-penelitian sebelumnya dengan modalitas lain. Jumlah
aliran darah ini dapat terjadi karena hipoksia jaringan retina pada pasien DM.
Sehingga ketebalan lapisan koroid kemudian digunakan untuk mendapatkan
karakteristik koroidopati diabetik atau atrofi koroid secara anatomis.13,14,41
22
Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran
2.3 Premis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat
ditarik premis sebagai berikut:
Premis 1 : Hiperglikemia kronis menyebabkan kerusakan mikrovaskular berupa
penebalan membran basalis, hilangnya perisit, mikroaneurisma, dan
kebocoran vaskular7,28
Premis 2 : Abnormalitas vaskular pada pasien DM terjadi di pembuluh darah
retina dan koroid12,42
Premis 3 : Gambaran histopatologis lapisan koroid pada pasien DM
menunjukkan sebagian koriokapilaris hilang, penipisan lumen,
penebalan membran basalis, dan arteriosklerosis9,11
Premis 4 : Pembuluh darah yang hilang sebagian dan pembuluh darah yang
menyempit menyebabkan aliran darah dan volume menurun13,43
23
Premis 5 : Aliran darah dan volume darah di pembuluh darah mempengaruhi
ketebalan koroid18,23,24
2.4 Hipotesis
Terdapat perbedaan ketebalan koroid pada pasien diabetes melitus tipe 2 tanpa
dan dengan retinopati diabetik.
24
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Subjek Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh pasien DM yang berkunjung
ke fasilitas kesehatan mata dengan populasi terjangkau adalah pasien DM tipe 2
usia 40-60 tahun yang mendaftar ke poli Vitreoretina dan paviliun Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung dan bersedia mengikuti penelitian
dengan mengisi lembar persetujuan (informed consent).
3.1.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 usia 40-60 tahun dengan
atau tanpa retinopati diabetik yang belum pernah mendapatkan terapi, baik berupa
laser fotokoagulasi panretina atau laser makula, injeksi anti-VEGF, maupun
operasi pars plana vitrektomi, dan memiliki tekanan intraokular ≤ 21 mmHg.
3.1.2 Kriteria Eksklusi
Pasien DM tipe 2 dengan kekeruhan media refraksi seperti kekeruhan kornea,
lensa, maupun vitreus sehingga tidak didapatkan citra OCT yang layak baca.
Pasien yang memiliki kelainan degenerasi makula dan atau edema makula. Pasien
dengan riwayat miopia tinggi ≥ 6 dioptri. Pasien memiliki riwayat trauma pada
mata yang diteliti dalam waktu 6 bulan terakhir. Pasien memiliki riwayat operasi
intraokular pada mata yang diteliti dalam waktu 6 bulan terakhir. Pasien dengan
25
penggunaan kortikosteroid sistemik dalam waktu 1 bulan terakhir. Pasien yang
memiliki kelainan neuropati optik atau retinopati selain retinopati diabetik.
3.1.3 Cara Pemilihan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah konsekutif, dilakukan
berdasarkan urutan kedatangan dan memenuhi kriteria inklusi dan inklusi. Sampel
kemudian dilakukan matching berdasarkan kategori usia dan jenis kelamin sampai
sampel minimal terpenuhi.
3.1.4 Penentuan Ukuran Sampel
Tipe penelitian ini adalah analitik perbandingan kategorik numerik berpasangan
dengan matching. Penentuan besar sampel dilakukan berdasarkan perhitungan
statistik dengan menetapkan taraf kepercayaan 95% dan kuasa uji (power test)
90%, maka rumus untuk menghitung sampel minimal yang digunakan adalah:
𝑛! = 𝑛! =𝑍! + 𝑍! 𝑆𝑋! − 𝑋!
!
Di mana:
= deviat baku alfa
= deviat baku beta
S = simpangan baku gabungan.
X1-X2 = selisih minimal rata-rata yang dianggap bermakna
Kesalahan tipe 1 ditetapkan sebesar 5%, hipotesisnya dua arah, sehingga nilai z
sebesar 1,96
26
Kesalahan tipe 2 ditetapkan sebesar 10%, maka didapat nilai Z sebesar 1,28
Keterangan:
Zα, Zβ = nilai deviat Z yang diperoleh dari tabel distribusi normal/standar
untuk taraf kepercayaan dan parameter yang dipilih
s = standard deviasi
d = X1-X2 yaitu besarnya perbedaan rata-rata
Besarnya S ditentukan berdasarkan rumus Deming rule, S = 0,24 x rentang = 1,2;
dan besarnya d ditentukan 1.
Berdasarkan rumus tersebut, maka nilai tersebut dimasukkan kedalam rumus
ukuran sampel sebagai berikut:
𝑛! = 𝑛! =𝑍! + 𝑍! 𝑆𝑋! − 𝑋!
!
𝑛! = 𝑛! =1,96+ 1,28 ∗ 1,2
1
!
= 15,1 ≈ 16
Besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok adalah 16 mata dengan
mengacu pada rumus tersebut. Tambahan 10% dari sampel dipakai untuk
kemungkinan pengeluaran sampel, sehingga besar sampel tiap kelompok adalah
18 mata. Sehingga total besar sampel untuk 3 kelompok adalah 54 mata.
27
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-
sectional untuk mengetahui gambaran ketebalan lapisan koroid sub-fovea
menggunakan pemeriksaan OCT dan melihat perbedaannya pada pasien DM
tanpa dan dengan retinopati diabetik. Kelompok di dalam penelitian ini terbagi
menjadi 3 kelompok yaitu kelompok A sebagai kontrol, kelompok B yaitu pasien
DM tanpa retinopati diabetik, dan kelompok C yaitu pasien DM dengan retinopati
diabetik.
3.2.2 Identifikasi Variabel
3.2.1.1 Definisi Konsepsional Variabel
Variabel bebas pada penelitian ini adalah diabetes melitus tanpa dan dengan
retinopati diabetik, sedangkan variabel tergantung adalah ketebalan koroid. Faktor
perancu pada penelitian ini yaitu usia, durasi DM, dan kadar HbA1C.
28
3.2.1.2 Definisi Operasional Variabel
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ketebalan koroid
Ketebalan koroid yang diperiksa menggunakan SD-OCT dengan piranti lunak EDI, menggunakan tool kaliper secara manual pada garis horizontal tegak lurus melalui tengah fovea, dengan batas atas garis hiper-reflektif dari membran Bruch sampai garis hiper-reflektif terluar dari sklera
SD-OCT HD Zeiss Cirrus
Mikrometer Numerik
Retinopati diabetik
Kelainan mikrovaskular retina yang terjadi sebagai komplikasi DM tipe 2 berdasarkan hasil pembacaan foto fundus non-portabel 7 lapang pandang ETDRS dengan midriatika oleh seorang dokter ahli mata vitreoretina
Foto fundus non-portabel Zeiss Visucam ProNM
Tanpa retinopati diabetik, dengan retinopati diabetik
Ordinal
Keterangan: SD-OCT: Spectral Domain–Optical Coherence Tomography, EDI: Enhanced Depth Imaging, ETDR: Early Treatment Diabetic Retinopathy
3.2.3 Alat, Bahan, dan Cara Kerja
3.2.3.1 Alat
• Kartu Snellen
• Lampu celah biomikroskopi
• Foto fundus non-portabel Zeiss Visucam Pro NM (Carl Zeiss, Germany)
• Spectral Domain-Optical Coherence Tomography Zeiss Cirrus HD OCT
(Carl Zeiss Meditec, Dublin, CA)
• Piranti lunak Enhanced Depth Imaging (EDI)
3.2.3.2 Bahan
• Obat tetes midriatika (Tropicamide 1%)
29
3.2.3.3 Cara Kerja
• Penjelasan mengenai prosedur dan kegunaan penelitian (informed consent)
lalu mengumpulkan data identitas pasien yaitu nama, usia, jenis kelamin,
dan kadar HbA1C 3 bulan terakhir.
• Pemeriksaan tajam penglihatan presenting jauh monokular secara
bergantian dengan kartu Snellen pada jarak 6 meter, dilanjutkan dengan
pemeriksaan segmen anterior dengan biomikroskopi lampu celah untuk
menilai kekeruhan media refraksi.
• Pemeriksaan tekanan intraokular dengan menggunakan tonometri non-
kontak kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan kelainan refraksi
menggunakan refraktometri otomatis.
• Penetesan obat midriatika pada setiap mata, setelah pupil dilatasi,
dilakukan pengambilan foto fundus 7 lapang pandang menggunakan alat
foto fundus non-portabel Zeiss Visucam.
• Pengambilan gambaran ketebalan koroid menggunakan SD-OCT dengan
piranti lunak EDI, kemudian dilakukan pengukuran menggunakan tool
kaliper.
• Pengambilan foto fundus dan ketebalan koroid dilakukan oleh satu
operator di hari dan rentang waktu yang sama.
• Setiap hasil foto fundus disimpan dalam format JPEG dan dianalisis oleh
satu orang dokter ahli mata retina.
30
• Subjek penelitian kemudian dilakukan matching berdasarkan kategori
usia, yaitu usia 40-45 tahun, 46-50 tahun, 51 -55 tahun, dan 56-60 tahun,
serta jenis kelamin.
• Ketebalan koroid kemudian dianalisis perbandingannya pada setiap
kelompok yang telah dilakukan matching.
3.2.4 Rancangan Pengolahan dan Analisis Data
Analisis dilakukan sesuai dengan jenis masalah penelitian dan data yang
digunakan. Sebelum dilakukan uji statistika, data numerik dinilai dengan uji
normalitas dengan menggunakan Shapiro-Wilk. Uji ini digunakan untuk menguji
apakah data berdistribusi normal atau berdistribusi tidak normal. Uji kemaknaan
kemudian dilakukan untuk membandingkan karakteristik dua kelompok penelitian
dengan menggunakan uji t tidak berpasangan, jika data berdistribusi normal, dan
uji Mann Whitney, jika data tidak berdistribusi normal. Uji kemaknaan untuk
membandingkan karakteristik tiga kelompok penelitian digunakan uji ANOVA
jika data berdistribusi normal dan uji Krusskall Wallis sebagai alternatifnya jika
data tidak berdistribusi normal. Sedangkan analisis statistik untuk data kategorik
diuji dengan uji chi-square, apabila syarat Chi-Square tidak terpenuhi maka
digunakan uji Exact Fisher untuk tabel 2 x 2 dan Kolmogorov Smirnov untuk
tabel selain 2 x 2. Syarat Chi Square adalah tidak ada nilai expected value yang
kurang dari 5 sebanyak 20% dari tabel. Uji korelasi dilakukan menggunakan uji
Spearman atau Pearson, kemudian untuk menentukan keeratan hubungan
digunakan kriteria Guilford, yaitu:
31
1. ≥ 0,00 - < 0,20 : Korelasi yang sangat kecil dan dapat diabaikan
2. ≥ 0,20 - < 0,40 : Korelasi yang kecil (tidak erat)
3. ≥ 0,40 - < 0,70 : Korelasi yang moderat
4. ≥ 0,70 - < 0,90 : Korelasi yang kuat
5. ≥ 0,90 - < 1,00 Korelasi yang sangat kuat.
Adapun kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai P apabila P≤0,05
artinya signifikan atau bermakna secara statistika, dan P>0,05 tidak signifikan
atau tidak bermakna secara statistik. Nilai P<0,05: terdapat korelasi yang
bermakna antara dua variabel yang diuji. Nilai P>0,05; tidak terdapat korelasi
yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Data yang diperoleh dicatat dalam
formulir khusus kemudian diolah melalui program SPSS versi 24.0 for Windows.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo,
Bandung. Penelitian berjalan pada bulan Januari-April 2020, setelah mendapatkan
persetujuan dari bagian Ilmu Kesehatan Mata dan Komite Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran.
3.4 Implikasi/Aspek Etik Penelitian
Pasien DM tipe 2 dengan atau tanpa retinopati diabetik dan kontrol akan
dilakukan pemeriksaan foto fundus non-portabel 7 lapang pandang dengan
midriatika dan ketebalan koroid pada setiap mata. Semua gambar foto fundus
akan dikonfirmasi oleh seorang dokter ahli mata subspesialis Vitreoretina
32
kemudian dikelompokkan sesuai kategori usia, jenis kelamin, dan derajat
retinopati diabetik.
Setiap subjek penelitian akan diberikan penjelasan mengenai prosedur
pemeriksaan guna penelitian, risiko, manfaat, dan ketidaknyamanan yang bisa
dirasakan saat dilatasi pupil dilatasi dan pengambilan foto fundus maupun OCT
makula beberapa kali. Apabila hal tersebut telah dijelaskan dan pasien
menyetujui, maka pasien akan masuk menjadi subjek penelitian.
Penelitian ini berpedoman pada 3 prinsip dasar penelitian manusia dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
A. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person)
1. Pasien memiliki hak untuk bertanya dan berkonsultasi secara jelas
mengenai segala hal yang berhubungan dengan penelitian
2. Pasien mengikuti penelitian dengan sukarela, sabar, dan ikhlas, serta
sewaktu-waktu dapat mempergunakan haknya untuk berhenti dari
penelitian tanpa paksaan
B. Prinsip bermanfaat dan tidak merugikan (beneficience and non-
maleficience)
1. Penelitian ini akan memberikan manfaat untuk mengetahui hubungan
ketebalan koroid dalam perjalanan penyakit RD
2. Penelitian ini dapat memberikan keuntungan bagi pasien DM
33
C. Prinsip keadilan (justice)
Pasien yang terlibat dalam penelitian ini akan mendapat perlakuan yang
sama. Seluruh pasien DM tipe 2 akan diperiksa untuk skrining derjat
retinopati diabetik.
Pemeriksaan pasien pada penelitian ini merupakan tanggung jawab
peneliti dengan supervisi oleh seorang dokter spesialis mata divisi
vitreoretina. Pencatatan hasil penelitian akan dijaga kerahasiannya.
3.5 Skema Alur Penelitian
Bagan 3.1 Alur Penelitian
Kontrol dan penderita DM tipe 2 datang ke RS Mata Cicendo
Bersedia dilakukan pemeriksaan dan menandatangani informed consent
Dilakukan pemeriksaan visus dan segmen anterior dengan slit lamp
Dilakukan pemeriksaan segmen posterior dengan indirect funduscopy
Dilakukan pemeriksaan foto fundus 7 lapang pandang dengan midriatika
Dilakukan pemeriksaan ketebalan koroid
Konfirmasi hasil foto fundus oleh seorang ahli vitreoretina
Dilakukan matching sampel penelitian
Dilakukan analisis statistik
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung pada
bulan Januari - April 2020. Subjek penelitian yaitu pasien yang memenuhi
kriteria inklusi, eksklusi, dan matching sebanyak 75 mata dari 48 pasien. Hasil
penelitian yang disajikan meliputi karakteristik individu subjek penelitian dan
hasil uji analisis data.
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Individu Subjek Penelitian
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan berdasarkan urutan
kedatangan hingga jumlah sampel terpenuhi. Karakteristik subjek dipaparkan
pada tabel 4.1 yang meliputi jenis kelamin, usia, kadar HbA1C, tajam
penglihatan, dan durasi diabetes melitus. Penelitian ini mendapatkan 122 mata
dari 69 orang, yang terdiri dari 40 mata laki-laki atau sebesar 32,8% dan 82 mata
perempuan atau sebesar 67,2%. Setelah dilakukan matching didapatkan 75 mata
dari 48 orang. Subjek penelitian berusia antara 41-60 tahun, dengan rata-rata usia
51,63±4,256 tahun. Rata-rata kadar HbA1C keseluruhan pada penelitian ini
adalah sebesar 8,19±2,415 %. Rata-rata durasi menderita DM pada kelompok DM
(N=34) tanpa dan dengan retinopati diabetik adalah sebesar 6,89±5,912 tahun.
35
Tabel 4.1 Karakteristik individu subjek penelitian
Variabel N=48 Jenis Kelamin Laki-laki 10(20,8%) Perempuan 38(79,2%) Usia Rata-rata±SD 51,63±4,256 Median 52,00 Rentang 41,00-60,00 HbA1C Rata-rata±SD 8,19±2,415 Median 8,15 Rentang 5,10-12,70 Tajam penglihatan Rata-rata±SD 0,80±0,271 Median 1,00 Rentang 0,20-1,00 Durasi DM (tahun) (N=48) Rata-rata±SD 6,89±5,912 Median 5,00 Rentang 0,00-20,00 Keterangan: SD: Standar deviasi, DM: diabetes melitus
4.1.2 Perbandingan Karakteristik Individu Subjek Penelitian
Tabel 4.2 menjelaskan perbandingan antara jenis kelamin, usia, durasi
menderita DM, dan kadar HbA1C pada kelompok kontrol, DM tanpa retinopati
diabetik, dan DM dengan retinopati diabetik. Subjek penelitian didapatkan paling
banyak perempuan pada masing-masing kelompok. Persentase subjek perempuan
terbesar ada pada kelompok DM dengan retinopati diabetik, yaitu sebesar 80%.
Hasil uji normalitas mendapatkan data usia, jenis kelamin, dan kadar HbA1C
berdistribusi normal serta tajam penglihatan dan tekanan intraokular didapatkan
berdistribusi tidak normal.
36
Tabel 4.2 Perbandingan karakteristik individu subjek penelitian pada kontrol, DM tanpa retinopati diabetik, dan DM dengan retinopati diabetik
Variabel Kelompok
Nilai P Kontrol DM tanpa RD DM dengan RD N=14 N=14 N=20
Jenis kelamin 0,993 Laki-laki 3(21,4%) 3(21,4%) 4(20,0%) Perempuan 11(78,6%) 11(78,6%) 16(80,0%) Usia 0,930 Rata-rata±SD 51,36±4,909 51,50±4,256 51,90±3,972 Median 52,50 51,50 52,00 Rentang 41,00-59,00 43,00-57,00 44,00-60,00 HbA1C 0,0001*** Rata-rata±SD 5,39±0,238 9,52±1,999 9,22±1,857 Median 5,35 9,25 9,25 Rentang 5,10-5,90 6,20-12,70 5,50-12,60 Tajam penglihatan 0,0001*** Rata-rata±SD 0,96±0,109 0,99±0,053 0,55±0,245 Median 1,00 1,00 0,50 Rentang 0,63-1,00 0,80-1,00 0,20-1,00 Durasi DM (tahun) 0,002* Rata-rata±SD 3,52±3,204 9,25±6,282 Median 3,00 9,00 Rentang 0,00-10,00 0,00-20,00
Keterangan: SD: Standar deviasi, DM: diabetes melitus, RD: retinopati diabetik. Nilai P diuji dengan menggunakan One way ANOVA untuk data berdistribusi normal dan Kruskal Wallis untuk data berdistribusi tidak normal. Untuk data dua dua kelompok nilai P diuji dengan menggunakan uji T tidak berpasangan karena berdistribusi normal.
Tidak terdapat perbedaan rata-rata usia (P=0,930), jenis kelamin (P=0,993),
dan tekanan intraokular (P=0,741) pada setiap kelompok. Rata-rata kadar HbA1C
tertinggi didapatkan pada kelompok DM tanpa retinopati diabetik (9.52±1.999 %)
dengan ambang batas tertinggi yaitu 12,7 %. Rata-rata durasi menderita DM
37
didapatkan paling lama pada kelompok DM dengan retinopati diabetik
(9.25±6.282 tahun).
4.1.3 Perbandingan Ketebalan Koroid pada Kelompok Kontrol, DM tanpa
Retinopati Diabetik, dan DM dengan Retinopati Diabetik
Rata-rata ketebalan koroid sebesar 274.84±75.814mikrometer pada kelompok
kontrol, 276.48±46.585 mikrometer pada kelompok DM tanpa retinopati diabetik
dan 251.56±59.657 mikrometer pada kelompok DM dengan retinopati diabetik,
terlihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Perbandingan ketebalan koroid pada kelompok kontrol, DM tanpa retinopati diabetik, dan DM dengan retinopati diabetik
Variabel Kelompok
Nilai p Kontrol DM tanpa RD DM dengan RD N=25 N=25 N=25
Ketebalan koroid 0,073 Rata-rata±SD 274,84±75,814 276,48±46,585 251,56±59,657 Median 273,00 292,00 242,00 Rentang 148,00-409,00 164,00-351,00 122,00-429,00
Keterangan: SD: Standar deviasi, DM: diabetes melitus, RD: retinopati diabetik. Nilai
kemaknaan berdasarkan nilai P<0,05
Analisis data ketebalan koroid diuji dengan menggunakan uji Kruskal Wallis
karena data tidak berdistribusi normal. Hasil uji statistika pada kelompok
penelitian di atas diperoleh informasi nilai P pada variabel ketebalan koroid lebih
besar dari 0,05 (nilai P>0,05) yang berarti tidak signifikan secara statistik dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan
38
secara statistik antara ketebalan koroid pada kelompok kontrol, DM tanpa
retinopati diabetik, dan DM dengan retinopati diabetik.
Karena hasil analisis perbandingan 3 kelompok pada tabel diatas menunjukkan
tidak signifikan secara statistika maka setelah analisis Kruskall Wallis dilanjutkan
dengan analisis Post Hoc dengan Mann Whitney, seperti terlihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Perbandingan dua kelompok antara ketebalan koroid pada kelompok kontrol, DM tanpa retinopati diabetik, dan DM dengan retinopati diabetik
Variabel Ketebalan koroid
Nilai P Rata-rata±SD Median Rentang
Kontrol 274,84±75,814 273,00 148,00-409,00 0,698 DM tanpa RD 276,48±46,585 292,00 164,00-351,00 Kontrol 274,84±75,814 273,00 148,00-409,00 0,148 DM dengan RD 251,56±59,657 242,00 122,00-429,00 DM tanpa RD 276,48±46,585 292,00 164,00-351,00 0,017* DM dengan RD 251,56±59,657 242,00 122,00-429,00
Keterangan: SD: Standar deviasi, DM: diabetes melitus, RD: retinopati diabetik. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai P<0,05. Tanda* menunjukkan nilai P<0,05
Analisis data ketebalan koroid diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney
karena data tidak berdistribusi normal. Hasil uji statistika pada kelompok
penelitian diatas diperoleh informasi nilai P pada variabel ketebalan koroid lebih
besar dari 0,05 (nilai P>0,05) yang berarti tidak signifikan atau tidak bermakna
secara statistik, dengan demikian dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan
rerata yang signifikan secara statistik antara ketebalan koroid pada kelompok
kontrol dan kelompok DM tanpa retinopati diabetik serta kelompok kontrol
39
dengan kelompok DM dengan retinopati diabetik. Perbedaan signifikan
didapatkan antara kelompok DM tanpa retinopati diabetik dan dengan retinopati
diabetik (P=0,017).
4.1.4 Korelasi antara Ketebalan Koroid dengan Usia, Durasi DM, Hba1c
dan Tajam Penglihatan
Hasil analisis statistika uji korelasi antara masing-masing ketebalan koroid dan
usia, durasi DM, dan HbA1C mendapatkan hasil arah korelasi negatif yang sangat
kecil dan tidak signifikan (r=-0,090, P=0,442; r=-0,170; P= 0,45; r=-0,056;
P=0,631), terlihat pada tabel 4.5. Sementara itu, untuk hasil analisis statistika uji
korelasi antara ketebalan koroid dan tajam penglihatan menunjukan arah korelasi
yang kecil dan signifikan (r=0,239; P=0,039).
Tabel 4.5 Korelasi antara ketebalan koroid dengan usia, durasi DM, HbA1C dan tajam penglihatan
Usia Durasi DM HbA1C Tajam penglihatan Ketebalan Koroid Korelasi Pearson Spearman Spearman Spearman r -0,090 -0,170 -0,056 0,239 Nilai P 0,442 0,145 0,631 0,0039* Keterangan: Nilai kemaknaan P < 0,005. Tanda* menunjukkan nilai P<0,05
4.2 Uji Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat perbedaan ketebalan koroid pada
pasien diabetes melitus tipe 2 tanpa dan dengan retinopati diabetik. Uji hipotesis
dengan menggunakan uji Kruskal Wallis kemudian dilanjutkan dengan analisis
Post Hoc dengan Mann Whitney didapatkan bahwa ketebalan koroid pada pasien
40
DM tipe 2 tanpa retinopati diabetik dan dengan retinopati diabetik memiliki
perbedaan rerata yang bermakna secara statistik (P<0,05).
Kesimpulan: Hipotesis diterima.
4.3 Pembahasan
Retinopati diabetik adalah penyebab utama gangguan penglihatan pada
kelompok usia produktif. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari
proses perjalanan retinopati diabetik, salah satunya lapisan koroid. Lapisan
koroid, yang memiliki peran dalam metabolisme retina bagian luar, diduga juga
memiliki peran dalam mata diabetik. Hal ini didukung dengan berbagai penelitian,
baik secara histologis maupun, seperti pada penelitian ini, secara topografis.
Penelitian kami mendapatkan hasil ketebalan koroid yang cenderung serupa pada
kelompok kontrol (274,84±75,81 µm) dan dengan kelompok DM tanpa retinopati
diabetik (276,48±46,58 µm), serta tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
pada kedua kelompok tersebut (P=0,698). Penelitian oleh Xu dkk., dari Beijing
Eye Study 2011, mendapatkan hasil serupa dengan penelitian ini yaitu perbedaan
yang tidak signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok DM tanpa retinopati
diabetik, maupun antara kelompok DM tanpa retinopati diabetik dan DM dengan
retinopati diabetik. Namun demikian, setelah dilakukan matching usia dan
panjang aksial bola mata pada penelitian tersebut, didapatkan perbedaan yang
signifikan pada kelompok normal dan DM (P=0.02). Rata-rata ketebalan koroid
yang didapatkan pada penelitian tersebut yaitu pada kelompok DM (266±108 µm)
sedikit lebih tebal dibandingkan dengan normal (250±103 µm). Meskipun
41
demikian, hasil tersebut harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama,
walaupun penelitian tersebut berbasiskan populasi, namun kelompok DM hanya
246 subjek dari 2041 total subjek penelitian. Kedua, rata-rata perbedaan ketebalan
koroid pada kedua kelompok tersebut hanya berbeda 16 µm. Ketiga, hubungan
ketebalan koroid dan DM lemah (β=0,007). Adapun teori mengenai penebalan
lapisan koroid pada DM, terjadi pada derajat retinopati diabetik yang lanjut. Kase
dkk. mendapatkan bahwa ketebalan koroid menurun pada derajat awal retinopati
diabetik (212±48 µm) kemudian meningkat seiring bertambahnya derajat
retinopati (314±61 µm). Penelitian tersebut mengusulkan kemungkinan perjalanan
penyakit DM yang pada awal retinopati terjadi oklusi dan atau hilangnya
koriokapilaris kemudian terjadi peningkatan konsentrasi VEGF yang dapat
mendilatasi pembuluh darah koroid. Penelitian kami mendapatkan sedikit
penebalan koroid pada kelompok DM tanpa retinopati diabetik, namun
perbedaannya kurang dari 2 µm dan tidak signifikan. Ukuran tersebut masih
terlalu kecil untuk disebutkan sebagai suatu penebalan. Hal ini dapat terjadi
karena bias seleksi, yaitu pemilihan subjek kontrol yang tidak mewakili keadaan
sebenarnya. Pertama, subjek kontrol tidak diketahui kemungkinan memiliki faktor
risiko lain gangguan hormonal atau riwayat merokok. Kedua, penelitian kami
tidak melakukan penyesuaian panjang aksial bola mata, meskipun kelainan
refraksi ≥ 6 D telah kami eksklusi.16,41,44
Penelitian lain oleh Lee dkk. menilai ketebalan koroid pada berbagai
kelompok, yang terdiri dari kelompok normal (228,5±38,9), DM tanpa retinopati
diabetik (219,1±47,8), serta berbagai derajat retinopati, yaitu, retinopati diabetik
42
non-proliferatif ringan-sedang (158,9±56,3), berat (161,2±38,5), dan proliferatif
(157,4±45,7). Perbedaan yang signifikan didapatkan antara kelompok kontrol dan
keseluruhan kelompok retinopati diabetik (P<0,001), tetapi tidak menemukan
perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok DM tanpa retinopati
diabetik (P=0,846) serta antara masing-masing kelompok DM (P>0,05).
Penelitian kami mendukung teori yang diusulkan Lee dkk, bahwa kelainan
pembuluh darah koroid mungkin muncul bersamaan dengan kelainan di pembuluh
darah retina. Teori lain dari penelitian ini yaitu koroid dapat mempertahankan
integritasnya setelah terjadi kerusakan pada tahap awal retinopati diabetik. Hal ini
didukung oleh penelitian lain yang mengenai aliran darah koroid oleh Langham
dkk. yang mendapatkan penurunan aliran darah koroid terjadi pada pasien DM
dengan retinopati. Apabila penipisan koroid merupakan indikasi hilangnya kapiler
koroid, maka hal tersebut dapat menjelaskan risiko terjadinya kerentanan hipoksia
retina. 45,46
Kelompok DM dengan retinopati diabetik pada penelitian ini memiliki rata-rata
ketebalan koroid paling tipis (251,56±59,657), yang memiliki perbedaan
signifikan dengan kelompok DM tanpa retinopati diabetik (P<0,017). Hasil ini
serupa dengan beberapa penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya. Unsal
dkk. melakukan penelitian pada kelompok normal, retinopati diabetik non-
proliferatif, proliferatif, dan dengan edema makula. Penelitian tersebut
menyimpulkan ketebalan koroid menurun seiring dengan bertambahnya derajat
keparahan retinopati diabetik. Meskipun demikian terdapat faktor perancu pada
penelitian tersebut karena subjek penelitian yang telah menerima terapi laser PRP
43
tetap diikutkan, sehingga penurunan ketebalan koroid mungkin dipengaruhi oleh
efek laser. Hasil penelitian serupa juga didapatkan oleh Regatieri dkk. yang
menemukan penipisan ketebalan koroid pada kelompok retinopati diabetik
proliferatif dibandingkan kelompok kontrol (P<0,001). Namun serupa dengan
penelitian Unsal dkk., kelompok PDR pada penelitan tersebut dilakukan pada
subjek yang telah menerima terapi laser. Zhang dkk. sebelumnya telah melakukan
penelitian yang mengemukakan penurunan ketebalan koroid 12 minggu setelah
terapi laser PRP (P<0,006). Penelitian kami, sebaliknya, hanya diikuti oleh subjek
penelitian naif, sehingga menunjukkan kemungkinan penipisan lapisan koroid
disebabkan oleh progresivitas penyakit DM.47–49
Penelitian lain yang menggunakan pembagian kelompok yang serupa
dilakukan oleh Esmaeelpour dkk yang memperoleh hasil lapisan koroid sub-fovea
pada pasien DM lebih tipis dibandingkan dengan kontrol (388,6±109 µm,
P<0,01), namun tidak terdapat perbedaan antara kelompok DM tanpa dan dengan
retinopati diabetik (291,6±64 µm; 303,6±82 µm, P>0,05). Penelitian tersebut
dilakukan pada subjek DM tipe 1 yang memiliki durasi DM yang lebih lama,
yaitu sebesar 16±8 tahun pada kelompok DM tanpa retinopati diabetik dan
sebesar 23±8 tahun pada kelompok DM dengan retinopati diabetik, namun serupa
dengan penelitian ini, tidak ditemukan efek yang signifikan antara durasi DM dan
ketebalan koroid pada penelitian tersebut. Pencitraan untuk menghitung ketebalan
koroid yang digunakan oleh Esmaeelpour dkk. juga berbeda dengan penelitian
ini. Esmaeelpour dkk. menggunakan pemetaan ketebalan koroid dengan
pencitraan OCT 3-D 10060 nm, menggunakan piranti lunak Matlab (The Math-
44
Works, Inc., Natick, MA) yang memiliki teknologi segmentasi otomatis. Alat
yang sama juga digunakan sebelumnya pada penelitian oleh kelompok
Esmaeelpour dkk. pada subjek DM tipe 2, yang mendapatkan hasil serupa yaitu
penipisan ketebalan koroid pada kelompok DM tanpa retinopati diabetik (214 ±
55 µm) dibandingkan kelompok kontrol (327 ± 74 µm, P<0,001).50,51
Perbedaan yang cukup terlihat antara penelitian Esmaeelpour dkk. dan
penelitian Xu dkk. ataupun penelitian ini adalah rata-rata ketebalan koroid yang
lebih besar pada subjek penelitian Esmaeelpour dkk., memberikan gambaran
variasi ketebalan koroid dipengaruhi oleh etnis. Beberapa penelitian telah
dilakukan untuk mencari hubungan tersebut. Penelitian oleh Karapetyan dkk.
membandingkan ketebalan koroid pada etnis kulit putih (403,62±37,4 µm), Afrika
(372,47±31,4 µm), dan Asia (383,64±40 µm). Penelitian lain oleh Bafiq dkk.
dilakukan juga pada etnis kulit putih (346±54,1 µm), kulit hitam (321±55,2 µm),
dan Asia Selatan (340±44,6 µm). Hasil kedua penelitian tersebut serupa, yaitu
rata-rata ketebalan koroid pada etnis kulit putih lebih besar dari ras Asia, namun
tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik (P>0,05). Penelitian
kami mendapatkan rata-rata ketebalan koroid pada kelompok kontrol yang lebih
tipis dibandingkan rata-rata ketebalan koroid normal etnis kulit putih pada
penelitian lain. 44,50,52,53
Penelitian kami juga melakukan analisis terhadap durasi DM karena durasi DM
memiliki hubungan yang konsisten dengan perburukan derajat keparahan
retinopati diabetik dan edema makula. The Wisconsin Epidemiologic Study of
Diabetic Retinopathy (WESDR) menyebutkan bahwa insidensi retinopati
45
diabetik meningkat seiring bertambahnya durasi DM. Penelitian kami melakukan
menemukan adanya korelasi negatif antara ketebalan koroid dan durasi DM,
namun korelasinya sangat lemah dan tidak signifikan secara statistik (r=0,170,
P=0,145). Penelitian lain oleh Ambiya dkk., sebaliknya, menemukan korelasi
moderat dan signifikan (r=0,140, P<0,001). Akan tetapi, durasi DM pada
penelitian tersebut lebih panjang daripada penelitian kami, baik pada kelompok
retinopati diabetik nonproliferatif (12,80±5,36 tahun) dan proliferatif (16,14±6,42
tahun). Hal tersebut dapat membuat perbedaan pada kelompok penelitian kami
mungkin belum dapat menunjukkan hubungan yang kuat. Shen dkk. melakukan
penelitian pada tiga kelompok yang disebut sebagai retinopati diabetik tahap awal,
yaitu kelompok DM tanpa retinopati diabetik dan kelompok DM dengan
retinopati diabetik rendah-sedang. Penelitian tersebut mendapatkan hasil
penurunan ketebalan koroid secara signifikan pada masing-masing kelompok
retinopati diabetik dibandingkan kontrol. Analisis lebih lanjut kemudian
dilakukan untuk menilai pengaruh durasi DM. Namun, seperti penelitian kami,
durasi DM pada penelitian ini memiliki korelasi negatif namun tidak signifikan
secara statistik. 28,54,55
Sejak diperkenalkannya OCT dalam bidang klinis oftalmologi, perkembangan
pengetahuan mengenai lapisan mata, terutama kompleks retina, semakin baik.
Perangkat OCT memiliki kemampuan “biopsi” non-invasif, yang dapat menilai
hingga ke lapisan koroid. Penelitian kami membandingkan ketebalan koroid
menggunakan SD-OCT dengan piranti lunak EDI yang dihitung secara manual
menggunakan tool kaliper pada OCT. Namun, penelitian kami tidak melakukan
46
analisa tambahan mengenai reliabilitas metode pengukuran tersebut. Beberapa
penelitian lain menyatakan pemeriksaan ketebalan koroid dengan SD-OCT
memiliki reproduksibilitas yang baik. Shao dkk. dari Beijing Eye Study 2011
menggunakan dua operator untuk menghitung ketebalan koroid sub-fovea secara
independen dalam rentang waktu dua bulan untuk menilai variabilitas inter-
observer dan dua minggu untuk reproduksibilitas dengan hasil reproduksibilitas
intra- dan inter-observer tinggi. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Chhablani dkk
yang menggunakan SD-OCT Spectralis. Penelitian tersebut mendapatkan
concordance correlation coefficient (CCC) yang sangat tinggi (0,9956, CI: 95%).
Penelitian lain dilakukan oleh Rahman dkk. yang melaporkan adanya variasi
pengukuran pada penelitian tersebut, yaitu sebesar >32 µm. Penelitian tersebut
juga mendapatkan perbedaan sebesar 23 µm masih mewakili kebenaran.
Meskipun demikian, metode pengukuran dengan segmentasi otomatis akan lebih
memungkinkan untuk terjadinya keseragaman pengukuran sehingga
meminimalisasi bias pengukuran.56–58
Keterbatasan penelitian ini adalah penghitungan ketebalan koroid dilakukan
secara manual. Metode penghitungan tersebut memungkinkan terjadinya
kesalahan, meskipun hingga saat ini metode tersebut adalah metode terbaik yang
tersedia pada OCT dan disebutkan memiliki reproduksibilitas tinggi. Suatu piranti
lunak yang terintegrasi pada OCT, yang menghitung ketebalan koroid secara
otomatis dapat meminimalisir keterbatasan ini. Penelitian kami juga tidak
melakukan penyesuaian panjang aksial bola mata, serta masih mengikutkan dua
mata dari satu subjek penelitian. Semakin banyak
47
kesesuaian yang dapat dilakukan, hasil penelitian akan lebih baik. Kelompok
kontrol pada penelitian kami juga tidak memperhitungkan kemungkinan faktor
lain, seperti gangguan hormonal atau riwayat merokok, sehingga tidak dapat
dipastikan mewakili populasi normal sebenarnya.
Kelebihan dari penelitian ini adalah subjek penelitian dilakukan penyesuaian
usia dan jenis kelamin, serta tidak mengikutkan pasien yang telah melalui terapi
laser atau operasi. Penghitungan ketebalan koroid juga dilakukan pada jendela
waktu dan lingkungan yang sama karena mempertimbangkan variasi diurnal.
48
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Terdapat perbedaan ketebalan koroid pada pasien DM tipe 2 tanpa retinopati
diabetik dan dengan retinopati diabetik.
5.2 Saran
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya dengan
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu ukuran sampel yang lebih besar,
mengikutkan hanya satu mata dari setiap peserta penelitian,
menyesuaikan panjang aksial bola mata, dan mencari faktor lain yang
mempengaruhi keadaan koroid.
2. Pengelompokkan subjek penelitian berdasarkan derajat keparahan
retinopati diabetik dapat menggambarkan kelainan koroid terjadi pada
tahap awal atau akhir.
3. Pemeriksaan ketebalan koroid menggunakan segmentasi otomatis seperti
pada analisis pemetaan retina, dapat mengurangi bias pengukuran.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas. Eighth. Karuranga S, Fernandes J da R, Huang Y, Malanda B, editors. United Kingdom: Internation Diabetes Federation; 2017. 5–145 p.
2. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, et al. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2015. PB PERKENI; 2015. 1–79 p.
3. Kasper D, Fauci A, Longo DL, Braunwald E. Harrrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2005. 1968–1993 p.
4. Flaxman SR, Bourne RRA, Resnikoff S, Ackland P, Braithwaite T, Cicinelli M V, et al. Global causes of blindness and distance vision impairment 1990 – 2020 : a systematic review and meta-analysis. Lancet Glob Heal. 2017;5(December):1221–34.
5. Sasongko MB, Widyaputri F, Agni AN. Prevalence of diabetic retinopathy and blindness in Indonesian adults with type 2 diabetes. Am J Ophthalmol [Internet]. Elsevier Inc.; 2018;181:79–87. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajo.2017.06.019
6. Leasher JL, Bourne RRA, Flaxman SR, Jonas JB, Keeffe J, Naidoo K, et al. Global Estimates on the Number of People Blind or Visually Impaired by Diabetic Retinopathy: A Meta-analysis From 1990 to 2010. Diabetes Care [Internet]. 2016 Sep 1;39(9):1643 LP – 1649. Tersedia dari: http://care.diabetesjournals.org/content/39/9/1643.abstract
7. Vavvas DG, Thanos A, Patel A V, Miller JW. Basic Mechanisms of Pathologic Retinal and Choroidal Angiogenesis [Internet]. Sixth Edit. Vol. 1, Ryan’s Retina. Elsevier Inc.; 2019. 638–655 p. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-40197-5.00028-1
8. Melancia D, Vicente A, Cunha JP, Abegao Pinto L, Ferreira J. Diabetic choroidopathy: a review of the current literature. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. Germany; 2016 Aug;254(8):1453–61.
9. Lutty GA. Diabetic choroidopathy. Vision Res. England; 2017 Oct;139:161–7. 10. Margolis R, Spaide RF. A pilot study of enhanced depth imaging optical
coherence tomography of the choroid in normal eyes. Am J Ophthalmol. United States; 2009 May;147(5):811–5.
11. Hidayat AA, Fine BS. Diabetic choroidopathy. Light and electron microscopic observations of seven cases. Ophthalmology. United States; 1985 Apr;92(4):512–22.
12. Rosen RB, Hathaway M, Rogers J, Pedro J, Garcia P, Dobre GM, et al. Simultaneous OCT/SLO/ICG imaging. Invest Ophthalmol Vis Sci. United States; 2009 Feb;50(2):851–60.
13. Wei X, Balne PK, Meissner KE, Barathi VA, Schmetterer L, Agrawal R. Assessment of flow dynamics in retinal and choroidal microcirculation. Surv Ophthalmol. United States; 2018 Sep;63(5):646–64.
14. Chhablani J, Wong IY, Kozak I. Choroidal imaging : A review. Saudi J
50
Ophthalmol [Internet]. Saudi Ophthalmological Society, King Saud University; 2014;28(2):123–8. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1016/j.sjopt.2014.03.004
15. Regatieri C V., Branchini L, Fujimoto JG, Duker JS. Choroidal imaging using spectral-domain optical coherence tomography. Retina. 2012;32(5):865–76.
16. Kase S, Endo H, Takahashi M, Saito M, Yokoi M, Ito Y, et al. Alteration of choroidal vascular structure in diabetic retinopathy. Br J Ophthalmol. England; 2019 Jun;
17. Abadia B, Sunen I, Calvo P, Bartol F, Verdes G, Ferreras A. Choroidal thickness measured using swept-source optical coherence tomography is reduced in patients with type 2 diabetes. PLoS One. United States; 2018;13(2):e0191977.
18. Gupta C, Tan R, Mishra C, Khandelwal N, Raman R, Kim R, et al. Choroidal structural analysis in eyes with diabetic retinopathy and diabetic macular edema-A novel OCT based imaging biomarker. PLoS One. United States; 2018;13(12):e0207435.
19. Wang X-N, Li S-T, Li W, Hua Y-J, Wu Q. The thickness and volume of the choroid, outer retinal layers and retinal pigment epithelium layer changes in patients with diabetic retinopathy. Int J Ophthalmol. China; 2018;11(12):1957–62.
20. American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous. In: American Academy of Ophthalmology, editor. Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2017.
21. Grant MB, Lutty GA. Retinal and Choroidal Vasculature: Retinal Oxygenation [Internet]. Sixth Edit. Vol. 1, Ryan’s Retina. Elsevier Inc.; 2019. 488–503 p. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-40197-5.00020-7
22. American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous. In: Basic and Clinical Science Course. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2015. p. 55–80.
23. Forrester J V. Anatomy of the eye and orbit. In: Forrester J V., editor. The Eye: Basic Sciences in Practice. Fourth Edi. Elsevier Inc.; 2016. p. 1-102.e2.
24. Campos A, Campos EJ, Martins J, Ambrosio AF, Silva R. Viewing the choroid: where we stand, challenges and contradictions in diabetic retinopathy and diabetic macular oedema. Acta Ophthalmol. England; 2017 Aug;95(5):446–59.
25. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 18th Edition. 2011.
26. Wiley HE, Chew EY, Iii FLF. Nonproliferative Diabetic Retinopathy and Diabetic Macular Edema [Internet]. Sixth Edit. Vol. 47, Ryan’s Retina. Elsevier Inc.; 2019. 1061–1090 p. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-40197-5.00050-5
27. Skugor M. Diabetes Mellitus. In: Ryan’s Retina [Internet]. Sixth Edit. Elsevier Inc.; 2019. p. 1055–60. Tersedia dari:
51
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-40197-5.00049-9 28. Hodgson NM, Zhu J, Wu F, Ferreyra HA, Zhang K. Diabetic Retinopathy:
Genetics and Etiologic Mechanisms. In: Ryan’s Retina [Internet]. Sixth Edit. Elsevier Inc.; 2019. p. 1038–54. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-40197-5.00048-7
29. Duh EJ, Sun JK, Stitt AW. Diabetic retinopathy: current understanding, mechanisms, and treatment strategies. JCI insight. United States; 2017 Jul;2(14).
30. Sun JK, Silva PS, Cavallerano JD, Blodi BA, Davis MD, Aiello LM, et al. Proliferative Diabetic Retinopathy [Internet]. Sixth Edit. Vol. 1, Ryan’s Retina. Elsevier Inc.; 2019. 1091–1121 p. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-40197-5.00051-7
31. Joussen AM, Stitt A, Lois N. Mechanisms of Macular Edema and Therapeutic Approaches [Internet]. Sixth Edit. Vol. 1, Ryan’s Retina. Elsevier Inc.; 2019. 667-688.e5 p. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-40197-5.00030-X
32. Chhablani J, Wong IY, Kozak I. Choroidal imaging: A review. Saudi J Ophthalmol Off J Saudi Ophthalmol Soc. 2014 Apr;28(2):123–8.
33. Yamashita T, Yamashita T, Shirasawa M, Arimura N, Terasaki H, Sakamoto T. Repeatability and reproducibility of subfoveal choroidal thickness in normal eyes of Japanese using different SD-OCT devices. Invest Ophthalmol Vis Sci. United States; 2012 Mar;53(3):1102–7.
34. Branchini L, Regatieri C V, Flores-Moreno I, Baumann B, Fujimoto JG, Duker JS. Reproducibility of choroidal thickness measurements across three spectral domain optical coherence tomography systems. Ophthalmology. United States; 2012 Jan;119(1):119–23.
35. Matsuo Y, Sakamoto T, Yamashita T, Tomita M, Shirasawa M, Terasaki H. Comparisons of choroidal thickness of normal eyes obtained by two different spectral-domain OCT instruments and one swept-source OCT instrument. Invest Ophthalmol Vis Sci. United States; 2013 Nov;54(12):7630–6.
36. Ding X, Li J, Zeng J, Ma W, Liu R, Li T, et al. Choroidal thickness in healthy Chinese subjects. Invest Ophthalmol Vis Sci. United States; 2011 Dec;52(13):9555–60.
37. Tan CS, Ouyang Y, Ruiz H, Sadda SR. Diurnal variation of choroidal thickness in normal, healthy subjects measured by spectral domain optical coherence tomography. Invest Ophthalmol Vis Sci. United States; 2012 Jan;53(1):261–6.
38. Yilmaz I, Ozkaya A, Kocamaz M, Ahmet S, Ozkaya HM, Yasa D, et al. Correlation Of Choroidal Thickness And Body Mass Index. Retina. United States; 2015 Oct;35(10):2085–90.
39. Sigler EJ, Randolph JC, Calzada JI, Charles S. Smoking and choroidal thickness in patients over 65 with early-atrophic age-related macular degeneration and normals. Eye (Lond). 2014 Jul;28(7):838–46.
40. Ulaş F, Doğan U, Duran B, Keleş A, Ağca S, Celebi S. Choroidal thickness changes during the menstrual cycle. Curr Eye Res. England; 2013
52
Nov;38(11):1172–81. 41. Wei W Bin, Xu L, Jonas JB, Shao L, Du KF, Wang S, et al. Subfoveal
choroidal thickness: the Beijing Eye Study. Ophthalmology. United States; 2013 Jan;120(1):175–80.
42. Mohamed DMF, Hassan NA, Osman AA, Osman MH. Subfoveal choroidal thickness in diabetic macular edema. Clin Ophthalmol. 2019;13:921–5.
43. Kinoshita T, Imaizumi H, Shimizu M, Mori J, Hatanaka A, Aoki S, et al. Systemic and Ocular Determinants of Choroidal Structures on Optical Coherence Tomography of Eyes with Diabetes and Diabetic Retinopathy. Sci Rep. 2019 Nov;9(1):16228.
44. Xu J, Xu L, Du KF, Shao L, Chen CX, Zhou JQ, et al. Subfoveal choroidal thickness in diabetes and diabetic retinopathy. Ophthalmology. United States; 2013 Oct;120(10):2023–8.
45. Lee HK, Lim JW, Shin MC. Comparison of Choroidal Thickness in Patients with Diabetes by Spectral-domain Optical Coherence Tomography. Korean J Ophthalmol. 2013;27(6):433–9.
46. Langham ME, Grebe R, Hopkins S, Marcus S, Sebag M. Choroidal blood flow in diabetic retinopathy. Exp Eye Res. England; 1991 Feb;52(2):167–73.
47. Unsal E, Eltutar K, Zirtiloğlu S, Dinçer N, Ozdoğan Erkul S, Güngel H. Choroidal thickness in patients with diabetic retinopathy. Clin Ophthalmol [Internet]. Dove Medical Press; 2014 Mar 27;8:637–42. Tersedia dari: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24707168
48. Zhang Z, Meng X, Wu Z, Zou W, Zhang J, Zhu D, et al. Changes in Choroidal Thickness After Panretinal Photocoagulation for Diabetic Retinopathy: A 12-Week Longitudinal Study. Invest Ophthalmol Vis Sci [Internet]. 2015 Apr 29;56(4):2631–8. Tersedia dari: https://doi.org/10.1167/iovs.14-16226
49. Regatieri C V, Branchini L, Carmody J, Fujimoto JG, Duker JS. Choroidal thickness in patients with diabetic retinopathy analyzed by spectral-domain optical coherence tomography. Retina. 2012 Mar;32(3):563–8.
50. Esmaeelpour M, Brunner S, Ansari-Shahrezaei S, Nemetz S, Povazay B, Kajic V, et al. Choroidal thinning in diabetes type 1 detected by 3-dimensional 1060 nm optical coherence tomography. Invest Ophthalmol Vis Sci. United States; 2012 Oct;53(11):6803–9.
51. Esmaeelpour M, Považay B, Hermann B, Hofer B, Kajic V, Hale SL, et al. Mapping Choroidal and Retinal Thickness Variation in Type 2 Diabetes using Three-Dimensional 1060-nm Optical Coherence Tomography. Invest Ophthalmol Vis Sci [Internet]. 2011 Jul 15;52(8):5311–6. Tersedia dari: https://doi.org/10.1167/iovs.10-6875
52. Sahinoglu-Keskek N, Altan-Yaycioglu R, Canan H, Coban-Karatas M. Influence of glycosylated hemoglobin on the choroidal thickness. Int Ophthalmol. Netherlands; 2018 Oct;38(5):1863–9.
53. Bafiq R, Mathew R, Pearce E, Abdel-Hey A, Richardson M, Bailey T, et al. Age, Sex, and Ethnic Variations in Inner and Outer Retinal and Choroidal Thickness on Spectral-Domain Optical Coherence Tomography.
53
Am J Ophthalmol [Internet]. 2015 Nov;160(5):1034—1043.e1. Tersedia dari: https://doi.org/10.1016/j.ajo.2015.07.027
54. Ambiya V, Kumar A, Baranwal VK, Kapoor G, Arora A, Kalra N, et al. Change in subfoveal choroidal thickness in diabetes and in various grades of diabetic retinopathy. Int J Retin Vitr. England; 2018;4:34.
55. Shen Z, Yang X, Xu J, She C, Wei W, Zhu W, et al. Association of choroidal thickness with early stages of diabetic retinopathy in type 2 diabetes. Int J Ophthalmol. 2017;10(4):613–8.
56. Shao L, Xu L, Chen CX, Yang LH, Du KF, Wang S, et al. Reproducibility of Subfoveal Choroidal Thickness Measurements with Enhanced Depth Imaging by Spectral-Domain Optical Coherence Tomography. Invest Ophthalmol Vis Sci [Internet]. 2013 Jan 9;54(1):230–3. Tersedia dari: https://doi.org/10.1167/iovs.12-10351
57. Rahman W, Chen FK, Yeoh J, Patel P, Tufail A, Da Cruz L. Repeatability of Manual Subfoveal Choroidal Thickness Measurements in Healthy Subjects Using the Technique of Enhanced Depth Imaging Optical Coherence Tomography. Invest Ophthalmol Vis Sci [Internet]. 2011 Apr 8;52(5):2267–71. Tersedia dari: https://doi.org/10.1167/iovs.10-6024
58. Chhablani J, Barteselli G, Wang H, El-Emam S, Kozak I, Doede AL, et al. Repeatability and Reproducibility of Manual Choroidal Volume Measurements Using Enhanced Depth Imaging Optical Coherence Tomography. Invest Ophthalmol Vis Sci [Internet]. 2012 Apr 24;53(4):2274–80. Tersedia dari: https://doi.org/10.1167/iovs.12-9435
54
Lampiran 1
55
Lampiran 2
56
57
58
Lampiran 3
59
Lampiran 4 KELOMPOK KONTROL
NO INISIAL USIA JENIS
KELAMIN HbA1C OD/OS TP TIO CT 1 UMU 46 L 5.5 OD 1.00 18 337 2 DDS 54 L 5.7 OD 1.00 17 252 3 DDS 54 L 5.7 OS 1.00 19 305 4 BLS 50 P 5.1 OD 1.00 12 227 5 BLS 50 P 5.1 OS 1.00 14 296 6 KUR 55 P 5.3 OD 1.00 13 219 7 KUR 55 P 5.3 OS 1.00 13 267 8 NNR 59 P 5.5 OD 1.00 19 299 9 NNR 59 P 5.5 OS 1.00 20 254
10 DNW 48 P 5.3 OD 1.00 9 178 11 DNW 48 P 5.3 OS 1.00 8 148 12 ICH 41 P 5.4 OD 1.00 17 368 13 ICH 41 P 5.4 OS 1.00 15 409 14 DDY 56 P 5.9 OD 1.00 16 273 15 DDY 56 P 5.9 OS 1.00 14 300 16 IIR 55 P 5.1 OD 1.00 13 404 17 IIR 55 P 5.1 OS 1.00 13 405 18 WWS 55 L 5.1 OS 0.63 17 150 19 INE 48 P 5.2 OD 1.00 17 255 20 INE 48 P 5.2 OS 1.00 17 342 21 TTS 47 P 5.3 OD 1.00 16 198 22 TTS 47 P 5.3 OS 1.00 20 165 23 PPM 51 P 5.4 OD 1.00 15 281 24 PPM 51 P 5.4 OS 1.00 15 289 25 TTR 54 P 5.6 OD 0.80 14 250
60
KELOMPOK DM TANPA RETINOPATI DIABETIK
NO INISIAL USIA JENIS
KELAMIN DURASI
DM HbA1C OD/OS TP IOP CT 1 AIN 55 P 8 8.8 OD 1.00 16 240 2 AIN 55 P 8 8.8 OD 1.00 21 295 3 AMH 54 L 10 8.6 OD 1.00 14 306 4 AMH 54 L 10 8.6 OS 1.00 15 292 5 ILA 57 P 7 11.8 OD 1.00 19 336 6 ILA 57 P 7 11.8 OS 1.00 19 351 7 EUS 46 P 3 9.7 OD 1.00 19 195 8 EUS 46 P 3 9.7 OS 1.00 18 255 9 IMS 43 P 0.3 7.7 OD 1.00 15 321
10 IMS 43 P 0.3 7.7 OS 1.00 14 295 11 IIT 53 P 0.0 8.8 OD 1.00 13 280 12 DDR 48 P 4 10 OD 1.00 16 276 13 DDR 48 P 4 10 OS 1.00 12 299 14 LLH 50 P 0 12.4 OD 1.00 18 295 15 LLH 50 P 0 12.4 OS 0.8 17 253 16 EUK 55 P 3 7.3 OD 0.8 15 299 17 EUK 55 P 3 7.3 OS 0.8 14 310 18 GUD 52 L 3 12.7 OD 1.00 15 164 19 IML 54 P 5 10.4 OD 1.00 15 269 20 IML 54 P 5 10.4 OS 1.00 14 174 21 RAT 48 P 5 11.2 OD 1.00 20 320 22 RAT 48 P 5 11.2 OS 1.00 18 261 23 ASW 49 L 1 7.7 OD 1.00 16 240 24 EUY 57 P 0 6.2 OD 1.00 13 277 25 EUY 57 P 0 6.2 OS 1.00 14 309
61
KELOMPOK DM DENGAN RETINOPATI DIABETIK
NO INISIAL USIA JK DURASI
DM HbA1C OD/OS TP IOP SDR CT 1 HIS 44 P 3 7.5 OD 0.80 20 1 234 2 HIS 44 P 3 7.5 OS 0.63 20 2 343 3 IKA 56 P 13 7.8 OD 0.50 14 2 256 4 IKA 56 P 13 7.8 OS 0.80 16 2 228 5 EUW 55 P 15 8.6 OD 0.63 14 2 209 6 NAY 47 P 10 11.5 OS 1.00 12 2 280 7 WAM 48 P 14 7.6 0S 0.20 19 1 335 8 SOK 53 L 16 9.8 OS 0.63 15 2 244 9 KAR 53 P 5 9.9 OS 0.80 20 4 196
10 SNI 60 P 20 9.5 OS 0.32 15 3 206 11 SUM 49 P 15 12 OS 0.80 12 4 237 12 LNU 59 P 6 9.9 OS 0.40 12 2 242 13 OHO 51 P 2 5.5 OD 0.50 14 4 259 14 OHO 51 P 2 5.5 OS 0.80 14 4 237 15 NSU 49 P 4 11.3 OD 0.50 11 3 429 16 NSU 49 P 4 11.3 OS 0.20 12 1 307 17 RZT 50 P 5 10.8 OS 0.63 20 1 222 18 NNS 52 P 8 9.6 OD 0.20 20 1 240 19 UNT 54 L 16 9 OD 0.20 18 4 249 20 ESY 52 P 15 6.4 OD 0.40 15 4 288 21 ADM 49 P 15 8.5 OD 0.63 13 2 170 22 ADM 49 P 15 8.5 OS 0.50 13 3 122 23 PPN 55 L 2 12.6 OD 0.40 18 4 247 24 ASS 49 L 1 7.7 OS 0.40 12 4 240 25 IIT 53 P 0 8.8 OS 1.00 15 1 269
62
Lampiran 5
63
Lampiran 6 Explore
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Usia 48 100.0% 0 0.0% 48 100.0%
HbA1C 48 100.0% 0 0.0% 48 100.0%
PVA 48 100.0% 0 0.0% 48 100.0%
IOP 48 100.0% 0 0.0% 48 100.0%
CT 48 100.0% 0 0.0% 48 100.0%
Descriptives
Statistic Std. Error
Usia
Mean 51.6250 .61427
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 50.3892
Upper Bound 52.8608
5% Trimmed Mean 51.7083
Median 52.0000
Variance 18.112
Std. Deviation 4.25578
Minimum 41.00
Maximum 60.00
Range 19.00
Interquartile Range 6.75
Skewness -.278 .343
Kurtosis -.252 .674
HbA1C
Mean 8.1875 .34855
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 7.4863 Upper Bound 8.8887
5% Trimmed Mean 8.1134 Median 8.1500 Variance 5.831
64
Std. Deviation 2.41481 Minimum 5.10 Maximum 12.70 Range 7.60 Interquartile Range 4.38 Skewness .251 .343
Kurtosis -1.153 .674
PVA
Mean .7952 .03907
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .7166 Upper Bound .8738
5% Trimmed Mean .8169 Median 1.0000 Variance .073 Std. Deviation .27069 Minimum .20 Maximum 1.00 Range .80 Interquartile Range .37 Skewness -.957 .343
Kurtosis -.504 .674
IOP
Mean 15.5417 .39608
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 14.7449 Upper Bound 16.3385
5% Trimmed Mean 15.5833 Median 15.0000 Variance 7.530 Std. Deviation 2.74411 Minimum 9.00 Maximum 20.00 Range 11.00 Interquartile Range 4.75 Skewness -.018 .343
Kurtosis -.646 .674
CT
Mean 261.6875 8.33359
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 244.9225
Upper Bound 278.4525
5% Trimmed Mean 259.2315
Median 253.5000
Variance 3333.539
65
Std. Deviation 57.73680
Minimum 150.00
Maximum 429.00
Range 279.00
Interquartile Range 64.50
Skewness .641 .343
Kurtosis .921 .674
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Usia .107 48 .200* .978 48 .487
HbA1C .141 48 .018 .920 48 .003
PVA .338 48 .000 .752 48 .000
IOP .120 48 .082 .962 48 .116
CT .098 48 .200* .968 48 .215
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Explore [DataSet5] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Karakteristik Durasi DM_Rev 4.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Durasi DM 34 100.0% 0 0.0% 34 100.0%
Descriptives
66
Statistic Std. Error
Durasi DM
Mean 6.8912 1.01393
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 4.8283
Upper Bound 8.9540
5% Trimmed Mean 6.6373
Median 5.0000
Variance 34.954
Std. Deviation 5.91220
Minimum .00
Maximum 20.00
Range 20.00
Interquartile Range 11.25
Skewness .623 .403
Kurtosis -.904 .788
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Durasi DM .184 34 .005 .894 34 .003
a. Lilliefors Significance Correction
Crosstabs [DataSet4] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Karakteristik _Rev 4.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kategori Usia * Kelompok 48 100.0% 0 0.0% 48 100.0%
Jenis kelamin * Kelompok 48 100.0% 0 0.0% 48 100.0%
67
Kategori Usia * Kelompok
Crosstab
Kelompok Total
Kontrol NDR DR
Kategori Usia
40-45 tahun
Count 1 1 1 3
Expected Count .9 .9 1.3 3.0
% within Kelompok 7.1% 7.1% 5.0% 6.3%
46-50 tahun
Count 5 5 7 17
Expected Count 5.0 5.0 7.1 17.0
% within Kelompok 35.7% 35.7% 35.0% 35.4%
51-55 tahun
Count 6 6 9 21
Expected Count 6.1 6.1 8.8 21.0
% within Kelompok 42.9% 42.9% 45.0% 43.8%
56-50 tahun
Count 2 2 3 7
Expected Count 2.0 2.0 2.9 7.0
% within Kelompok 14.3% 14.3% 15.0% 14.6%
Total
Count 14 14 20 48
Expected Count 14.0 14.0 20.0 48.0
% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square .104a 6 1.000
Likelihood Ratio .106 6 1.000
Linear-by-Linear Association .046 1 .830
N of Valid Cases 48
a. 8 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .88.
68
Jenis kelamin * Kelompok
Crosstab
Kelompok Total
Kontrol NDR DR
Jenis kelamin
Laki-laki
Count 3 3 4 10
Expected Count 2.9 2.9 4.2 10.0
% within Kelompok 21.4% 21.4% 20.0% 20.8%
Perempuan
Count 11 11 16 38
Expected Count 11.1 11.1 15.8 38.0
% within Kelompok 78.6% 78.6% 80.0% 79.2%
Total
Count 14 14 20 48
Expected Count 14.0 14.0 20.0 48.0
% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square .014a 2 .993
Likelihood Ratio .014 2 .993
Linear-by-Linear Association .011 1 .916
N of Valid Cases 48
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 2.92.
Explore [DataSet4] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Karakteristik _Rev 4.sav
69
Kelompok
Case Processing Summary
Kelompok Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Usia
Kontrol 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
NDR 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
DR 20 100.0% 0 0.0% 20 100.0%
HbA1C
Kontrol 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
NDR 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
DR 20 100.0% 0 0.0% 20 100.0%
PVA
Kontrol 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
NDR 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
DR 20 100.0% 0 0.0% 20 100.0%
IOP
Kontrol 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
NDR 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
DR 20 100.0% 0 0.0% 20 100.0%
Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
Usia Kontrol
Mean 51.3571 1.31185
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 48.5231
Upper Bound 54.1912
5% Trimmed Mean 51.5079
Median 52.5000
Variance 24.093
Std. Deviation 4.90850
Minimum 41.00
Maximum 59.00
Range 18.00
Interquartile Range 7.25
Skewness -.529 .597
Kurtosis -.162 1.154
70
NDR
Mean 51.5000 1.13752
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 49.0425
Upper Bound 53.9575
5% Trimmed Mean 51.6667
Median 52.5000
Variance 18.115
Std. Deviation 4.25622
Minimum 43.00
Maximum 57.00
Range 14.00
Interquartile Range 7.00
Skewness -.503 .597
Kurtosis -.599 1.154
DR
Mean 51.9000 .88823
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 50.0409
Upper Bound 53.7591
5% Trimmed Mean 51.8889
Median 52.0000
Variance 15.779
Std. Deviation 3.97227
Minimum 44.00
Maximum 60.00
Range 16.00
Interquartile Range 5.75
Skewness .239 .512
Kurtosis .040 .992
HbA1C Kontrol
Mean 5.3857 .06364
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 5.2482 Upper Bound 5.5232
5% Trimmed Mean 5.3730 Median 5.3500 Variance .057 Std. Deviation .23812 Minimum 5.10 Maximum 5.90 Range .80
71
Interquartile Range .35 Skewness .675 .597
Kurtosis .099 1.154
NDR
Mean 9.5214 .53413
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 8.3675 Upper Bound 10.6753
5% Trimmed Mean 9.5294 Median 9.2500 Variance 3.994 Std. Deviation 1.99853 Minimum 6.20 Maximum 12.70 Range 6.50 Interquartile Range 3.65 Skewness .136 .597
Kurtosis -.960 1.154
DR
Mean 9.2150 .41513
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 8.3461 Upper Bound 10.0839
5% Trimmed Mean 9.2333 Median 9.2500 Variance 3.447 Std. Deviation 1.85650 Minimum 5.50 Maximum 12.60 Range 7.10 Interquartile Range 2.85 Skewness -.032 .512
Kurtosis -.359 .992
PVA Kontrol
Mean .9593 .02906
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .8965 Upper Bound 1.0221
5% Trimmed Mean .9753 Median 1.0000 Variance .012 Std. Deviation .10873 Minimum .63 Maximum 1.00 Range .37 Interquartile Range .00
72
Skewness -2.718 .597
Kurtosis 7.045 1.154
NDR
Mean .9857 .01429
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .9549 Upper Bound 1.0166
5% Trimmed Mean .9952 Median 1.0000 Variance .003 Std. Deviation .05345 Minimum .80 Maximum 1.00 Range .20 Interquartile Range .00 Skewness -3.742 .597
Kurtosis 14.000 1.154
DR
Mean .5470 .05467
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .4326 Upper Bound .6614
5% Trimmed Mean .5411 Median .5000 Variance .060 Std. Deviation .24450 Minimum .20 Maximum 1.00 Range .80 Interquartile Range .36 Skewness .347 .512
Kurtosis -.613 .992
IOP Kontrol
Mean 15.2143 .72762
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 13.6424
Upper Bound 16.7862
5% Trimmed Mean 15.3492
Median 16.0000
Variance 7.412
Std. Deviation 2.72251
Minimum 9.00
Maximum 19.00
Range 10.00
73
Interquartile Range 4.00
Skewness -.876 .597
Kurtosis .515 1.154
NDR
Mean 16.0000 .59300
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 14.7189
Upper Bound 17.2811
5% Trimmed Mean 15.9444
Median 15.5000
Variance 4.923
Std. Deviation 2.21880
Minimum 13.00
Maximum 20.00
Range 7.00
Interquartile Range 3.50
Skewness .493 .597
Kurtosis -.731 1.154
DR
Mean 15.4500 .70515
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 13.9741
Upper Bound 16.9259
5% Trimmed Mean 15.4444
Median 15.0000
Variance 9.945
Std. Deviation 3.15353
Minimum 11.00
Maximum 20.00
Range 9.00
Interquartile Range 6.50
Skewness .332 .512
Kurtosis -1.373 .992
Tests of Normality
Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Usia Kontrol .205 14 .115 .948 14 .528
74
NDR .150 14 .200* .945 14 .490
DR .117 20 .200* .977 20 .889
HbA1C
Kontrol .141 14 .200* .936 14 .369
NDR .141 14 .200* .964 14 .794
DR .106 20 .200* .984 20 .976
PVA
Kontrol .503 14 .000 .442 14 .000
NDR .534 14 .000 .297 14 .000
DR .126 20 .200* .939 20 .232
IOP
Kontrol .185 14 .200* .930 14 .301
NDR .214 14 .081 .916 14 .193
DR .207 20 .025 .883 20 .020
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Oneway [DataSet4] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Karakteristik _Rev 4.sav
Descriptives
N Mean Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence
Interval for Mean
Minimum Maximum
Lower
Bound
Upper
Bound
Usia
Kontrol 14 51.3571 4.90850 1.31185 48.5231 54.1912 41.00 59.00
NDR 14 51.5000 4.25622 1.13752 49.0425 53.9575 43.00 57.00
DR 20 51.9000 3.97227 .88823 50.0409 53.7591 44.00 60.00
Total 48 51.6250 4.25578 .61427 50.3892 52.8608 41.00 60.00
HbA1C
Kontrol 14 5.3857 .23812 .06364 5.2482 5.5232 5.10 5.90
NDR 14 9.5214 1.99853 .53413 8.3675 10.6753 6.20 12.70
DR 20 9.2150 1.85650 .41513 8.3461 10.0839 5.50 12.60
Total 48 8.1875 2.41481 .34855 7.4863 8.8887 5.10 12.70
75
ANOVA
Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Usia
Between Groups 2.736 2 1.368 .073 .930
Within Groups 848.514 45 18.856
Total 851.250 47
HbA1C
Between Groups 155.926 2 77.963 29.695 .000
Within Groups 118.146 45 2.625
Total 274.073 47
Nonparametric Tests [DataSet4] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Karakteristik _Rev 4.sav
Explore [DataSet5] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Karakteristik Durasi DM_Rev 4.sav
Kelompok
76
Case Processing Summary
Kelompok Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Durasi DM NDR 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
DR 20 100.0% 0 0.0% 20 100.0%
Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
Durasi DM
NDR
Mean 3.5214 .85640
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 1.6713
Upper Bound 5.3716
5% Trimmed Mean 3.3571
Median 3.0000
Variance 10.268
Std. Deviation 3.20437
Minimum .00
Maximum 10.00
Range 10.00
Interquartile Range 5.28
Skewness .626 .597
Kurtosis -.440 1.154
DR
Mean 9.2500 1.40464
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 6.3100
Upper Bound 12.1900
5% Trimmed Mean 9.1667
Median 9.0000
Variance 39.461
Std. Deviation 6.28176
Minimum .00
Maximum 20.00
Range 20.00
77
Interquartile Range 11.75
Skewness .020 .512
Kurtosis -1.539 .992
Tests of Normality
Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Durasi DM NDR .141 14 .200* .913 14 .177
DR .175 20 .109 .905 20 .052
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
T-Test [DataSet5] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Karakteristik Durasi DM_Rev 4.sav
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Durasi DM NDR 14 3.5214 3.20437 .85640
DR 20 9.2500 6.28176 1.40464
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-
tailed
)
Mean
Differenc
e
Std. Error
Differenc
e
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
78
Duras
i DM
Equal
variance
s
assumed
16.46
3
.00
0
-
3.12
9
32 .004 -5.72857 1.83073 -
9.4576
4
-
1.9995
1
Equal
variance
s not
assumed
-
3.48
2
29.74
4
.002 -5.72857 1.64513 -
9.0895
9
-
2.3675
6
Crosstabs [DataSet2] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Karakteristik SDR _Rev 4.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
SDR * Kelompok 20 100.0% 0 0.0% 20 100.0%
SDR * Kelompok Crosstabulation
Kelompok Total
DR
SDR
1.00 Count 5 5
% within Kelompok 25.0% 25.0%
2.00 Count 6 6
% within Kelompok 30.0% 30.0%
3.00 Count 2 2
% within Kelompok 10.0% 10.0%
4.00 Count 7 7
% within Kelompok 35.0% 35.0%
Total Count 20 20
% within Kelompok 100.0% 100.0%
79
Explore [DataSet3] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Rev 4.sav
Kelompok
Case Processing Summary
Kelompok Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
CT Kontrol 25 100.0% 0 0.0% 25 100.0%
NDR+DR 50 100.0% 0 0.0% 50 100.0%
Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
CT Kontrol
Mean 274.8400 15.16286
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 243.5454
Upper Bound 306.1346
5% Trimmed Mean 274.4556
Median 273.0000
Variance 5747.807
Std. Deviation 75.81429
Minimum 148.00
Maximum 409.00
Range 261.00
Interquartile Range 98.00
Skewness .124 .464
Kurtosis -.519 .902
NDR+DR Mean 264.0200 7.70001
80
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 248.5462
Upper Bound 279.4938
5% Trimmed Mean 263.9667
Median 260.0000
Variance 2964.510
Std. Deviation 54.44731
Minimum 122.00
Maximum 429.00
Range 307.00
Interquartile Range 62.00
Skewness .078 .337
Kurtosis 1.152 .662
Tests of Normality
Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
CT Kontrol .105 25 .200* .961 25 .435
NDR+DR .091 50 .200* .981 50 .599
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
T-Test [DataSet3] D:\PROJECT\2020\6. JUNI\Dr Joan Jurnal\SPSS Dr Joan Jurnal Rev 4.sav
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
CT Kontrol 25 274.8400 75.81429 15.16286
NDR+DR 50 264.0200 54.44731 7.70001
81
Independent Samples Test Levene's
Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
CT
Equal
variances
assumed
3.291 .074 .709 73 .480 10.82000 15.25693 -
19.58702
41.22702
Equal
variances
not
assumed
.636 36.776 .529 10.82000 17.00595 -
23.64441
45.28441
82
Lampiran 7
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Joan Sherlone T. Hutabarat
Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 12 Juni 1989
Alamat : Tebet Timur III A No. 18, Jakarta Selatan 12820
Nama Orang Tua : dr. William E.M. Hutabarat
dr. Rumiang Tobing, SpM
Pendidikan Formal
1. SD Santo Fransiskus Asisi Jakarta (1995 – 2001)
2. SLTP Santo Fransiskus Asisi Jakarta (2001 – 2004)
3. SMA Negeri 26 Jakarta (2004 – 2005)
4. SMA PSKD 1 Jakarta (2005 – 2007)
5. Program Studi Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung (2007 – 2013)
6. Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran / Pusat Mata Nasional Rumah Sakit
Mata Cicendo Bandung (2016 – 2020)
Pengalaman Kerja
1. Dokter Internship RSUD Kabupaten Bekasi (2013 – 2014)
2. Dokter Umum Klinik Sukaseuri (2015 – 2016)
83
Penelitian
1. Gambaran Hasil Tajam Penglihatan Pasca-Bedah dan Komplikasi Selama
Bedah Fakoemulsifikasi dengan Miopia Aksial Tinggi di Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Periode Januari - Desember 2017
(2018)
2. Pengaruh Latihan Pliometrik Terhadap Kekuatan Otot Tungkai, Daya
Ledak Otot Tungkai, dan Kelincahan pada Anggota Unit Voli Putra
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (2011)
Seminar/Kongres/Pertemuan Ilmiah Nasional dan/atau Internasional
2020 In House Training “Fakoemulsifikasi” RSM Cicendo, Bandung
2019 The 7th National Glaucoma Meeting and 4th INASOPRS Meeting, Bali
2018 World Ophthalmology Congress, Barcelona
2018 Cicendo International Ophthalmology Meeting, Bandung
2016 Save Children’s Sight for Our Future, INAPOSS Bandung Scientific
Meeting, Bandung
2015 Pertemuan Ilmiah Tahunan Persatuan Dokter Mata Nasional ke-40,
Bandung
2014 Pertemuan Ilmiah Tahunan Persatuan Dokter Mata Nasional ke-39,
Yogyakarta
2014 Annual Scientific Meeting Life Without Darkness PERDAMI Jawa Barat,
Bandung