nyeri migrain

8
PATOFISIOLOGI MIGREN Cutaneous allodynia (CA) adalah nafsu nyeri yang ditimibulkan oleh stimulus non noxious terhadap kulit normal. Saat serangan/migren 79% pasien menunjukkan cutaneus allodynia (CA) di daerah kepala ipsilateral dan kemudian dapat menyebar kedaerah kontralateral dan kedua lengan (Bolay,2002). Allodynia biasanya terbatas pada daerah ipsilateral kepala, yang menandakan sensitivitas yang meninggi dari neuron trigeminal sentral (second-order) yang menerima input secara konvergen. Jika allodynia lebih menyebar lagi, ini disebabkan karena adanya kenaikan sementara daripada sensitivitas third order neuron yang menerima pemusatan input dari kulit pada sisi yang berbeda, seperti sama baiknya dengan dari duramater maupun kulit yang sebelumnya (Bolay,2002). Ada 3 hipotesa dalam hal patofisiologi migren yaitu: 1. Pada migren yang tidak disertai CA,berarti sensitisasi neuron gangliontrigeminal sensoris yang meng- inervasiduramater. 2. Pada migren yang menunjukkan adanya CA hanya pada daerah referred pain, berarti terjadi sensitisasi perifer dari reseptor meninggal (first order) dan sensitisasi sentral dari neuron komu dorsalis medula spinalis (second order) dengan daerah reseptif periorbital. 3. Pada migren yang disertai CA yang meluas keluar dari area referred pain, terdiri atas penumpukan dan pertambahan sensitisasi neuron talamik (third order) yang meliputi daerah reseptif seluruh tubuh.

Upload: ris-ryani-syahputri-maruf

Post on 16-Jan-2016

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Cutaneous allodynia (CA) adalah nafsu nyeri yang ditimibulkan oleh stimulus non noxious terhadap kulit normal. Saat serangan/migren 79% pasien menunjukkan cutaneus allodynia (CA) di daerah kepala ipsilateral dan kemudian dapat menyebar kedaerah kontralateral dan kedua lengan (Bolay,2002).

TRANSCRIPT

Page 1: Nyeri Migrain

PATOFISIOLOGI MIGREN

Cutaneous allodynia (CA) adalah nafsu nyeri yang ditimibulkan oleh stimulus non

noxious terhadap kulit normal. Saat serangan/migren 79% pasien menunjukkan cutaneus

allodynia (CA) di daerah kepala ipsilateral dan kemudian dapat menyebar kedaerah

kontralateral dan kedua lengan (Bolay,2002).

Allodynia biasanya terbatas pada daerah ipsilateral kepala, yang menandakan

sensitivitas yang meninggi dari neuron trigeminal sentral (second-order) yang menerima

input secara konvergen. Jika allodynia lebih menyebar lagi, ini disebabkan karena adanya

kenaikan sementara daripada sensitivitas third order neuron yang menerima pemusatan input

dari kulit pada sisi yang berbeda, seperti sama baiknya dengan dari duramater maupun kulit

yang sebelumnya (Bolay,2002).

Ada 3 hipotesa dalam hal patofisiologi migren yaitu:

1. Pada migren yang tidak disertai CA,berarti sensitisasi neuron gangliontrigeminal sensoris

yang meng-inervasiduramater.

2. Pada migren yang menunjukkan adanya CA hanya pada daerah referred pain, berarti

terjadi sensitisasi perifer dari reseptor meninggal (first order) dan sensitisasi sentral dari

neuron komu dorsalis medula spinalis (second order) dengan daerah reseptif periorbital.

3. Pada migren yang disertai CA yang meluas keluar dari area referred pain, terdiri atas

penumpukan dan pertambahan sensitisasi neuron talamik (third order) yang meliputi

daerah reseptif seluruh tubuh.

Pada penderita migren, disamping terdapat nyeri intrakranial juga disertai peninggian

sensitivitas kulit. Sehingga patofisiologi migren diduga bukan hanya adanya iritasi pain fiber

perifer yang terdapat di pembuluh darah intrakranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan

sensitisasi set safar sentral terutama pada sistem trigeminal, yang memproses informasi yang

berasal dari struktur intrakranial dan kulit.

Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling

awal serangan migren diketemukan adanya penurunan cerebral blood flow (CBF) yang

dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan-pelan ke depan sebagai seperti suatu

gelombang ("spreading oligemia”), dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3

mm per menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses

hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif

hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi sel saraf

menghasilkan gejala scintillating aura, kemudian aktifitas sel saraf menurun menimbulkan

Page 2: Nyeri Migrain

gejala skotoma. Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical spreading depression

(CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam duramater, edema neurogenik

didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC (trigeminal nucleus caudalis)

ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren tersebut mempunyai kontribusi pada aktivasi

trigeminal, yang akan mencetuskan timbulnya nyeri kepala (Lauritzen, 2001).

Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada sistem

trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti

peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti misalnya 5-

HT, bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzym NOS. Proses tersebutlah

sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada penderita

migren.

Fase sentral sensitisasi pada migren, induksi nyeri ditimbulkan oleh komponen

inflamasi yang dilepas dari dura, seperti oleh ion potasium, protons, histamin, 5HT

(serotonin), bradikin, prostaglandin E di pembuluh darah serebral, dan serabut saraf yang

dapat menimbulkan nyeri kepala. Pengalih komponen inflamasi tersebut terhadap reseptor C

fiber di meningens dapat dihambat dengan obat-obatan NSAIDs (non steroid anti

inflammation drugs) dan 5-HT 1B/1D agonist, yang memblokade reseptor vanilloid dan

reseptor acid-sensittive ion channel yang juga berperan melepaskan unsur protein inflamator).

Fase berikutnya dari sensitisasi sentral dimediasi oleh aktivasi reseptor presinap

NMDA purinergic yang mengikat adenosine triphosphat (reseptor P2X3) dan reseptor 5-HT

IB/ID pada terminal sentral dari nosiseptor C-fiber. Nosiseptor C-fiber memperbanyak

pelepasan transmitter. Jadi obat-obatan yang mengurangi pelepasan transmitter seperti opiate,

adenosine dan 5-HT1B/1D reseptor agonist, dapat mengurangi induksi daripada sensitisasi

sentral.

Proses sensitisasi di reseptor meningeal perivaskuler mengakibatkan hipersensitivitas

intrakranial dengan manifestasi sebagai perasaan nyeri yang ditimbulkan oleh berbatuk, rasa

mengikat di kepala, atau pada saat menolehkan kepala. Sedangkan sensitivitas pada sentral

neuron trigeminal menerangkan proses timbulnya nyeri tekan pada daerah ektrakranial dan

cutaneus allodynia. Sehingga ada pendapat bahwa adanya cutaneus allodynia (CA) dapat

sebagai marker dari adanya sentral sensitisasi pada migren. Pada pemberian sumaptriptan

maka aktivitas batang otak akan stabil dan menyebabkan gejala migren pun akan menghilang

sesuai dengan pengurangan aktivasi di cingulate, auditory dan visual association cortical. Hal

itu menunjukkan bahwa patogenesis migren sehubungan dengan adanya aktivitas yang

imbalance antara brain stem nuclei regulating antinoception dengan vascular control. Juga

Page 3: Nyeri Migrain

diduga bahwa adanya aktivasi batang otak yang menetap itu berkaitan dengan durasi

serangan migren dan adanya serangan ulangmigren sesudah efek obat sumatriptan tersebut

menghilang (Lake, 2002).

STRATEGI PENGOBATAN

Terdapat dua pendekatan pengobatan akut serangan migren, yaitu stepped care dan stratified

care.

Page 4: Nyeri Migrain

Stepped Care

Terdapat dua langkah yaitu, step care across attacks dan step care within attack.

Stepped care across attack dimulai dengan pengobatan non spesifik (pengobatan sederhana

atau kombinasi), apabila tidak memuaskan dosis ditingkatkan sampai hasilnya memuaskan.

Sedangkan pada stepped care within attacks, pada saat serangan dimulai dengan pemberian

pengobatan non spesifik. Setelah 2 jam bila perlu diberi obat migren spesifik

Stratified Care

Pemilihan awal pengobatan berdasarkan pengobatan yang dibutuhkan oleh pasien

dengan mengevaluasi beratnya disabilitas dari serangan migrennya dan kemudian diberikan

pengobatan spesifik untuk menghindari kelanjutan disabilitasnya. Pendekatan disabilitas ini

sebagai petanda beratnya suatu penyakit.

Obat migren abortif dibagi menjadi dua bagian yaitu: golongan non spesifik dan spesifik.

Abortif nonspesifik; untuk serangan ringan sampai sedang atau serangan berat atau

berespons baik terhadap obat yang sama, dapat dipakai golongan analgesik yang dijual

bebas (tabel 1).

Abortif spesifik; bila tidak responsif terhadap analgesik, dipakai obat spesifik, seperti

golongan triptan (naratriptan, rizatriptan, sumatriptan, zolmitriptan), dihidroergotamin

(DHE) (tabel 2).

Obat Migren Nonspesifik

Digunakan sebagai lini pertama pengobatan migren dengan nyeri kepala derajat

sedang.14-16.

Page 5: Nyeri Migrain

Obat-Obat Spesifik

Triptan (agonis 5-HT1B/1D)

Digunakan pada migren sedang sampai berat atau migren ringan sampai sedang yang

tidak responsif terhadap analgesik atau NSAID. Sumatriptan subkutan lebih efektif karena

cepat mencapai efek terapeutik (15 menit) pada 70-82% penderita. Penderita harus mencoba

satu macam obat untuk 2-3 kali serangan sebelum menukar dengan jenis triptan lain.

Efek samping yang umum terjadi pada penggunaan semua jenis triptan: dada rasa

tertekan, nausea, parestesi distal, fatigue. Kontraindikasi umumnya pada hipertensi arterial

yang tidak diobati, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, penyakit Raynaud,

kehamilan dan laktasi, usia di bawah 18 tahun (kecuali sumatriptan nasal spray) dan di atas

65 tahun, penyakit hati, atau gagal ginjal.

Alkaloid ergot

Penelitian komparatif melaporkan bahwa efikasi triptan lebih baik daripada alkaloid

ergot. Keuntungan penggunaan alkaloid ergot adalah rekurensinya lebih rendah pada

beberapapasien. Obat golongan ini sebaiknya digunakan terbatas pada pasien dengan

serangan migrenyang sangat panjang atau dengan rekurensi yang reguler. Senyawa satu-

satunya yang memiliki bukti efi kasi cukup adalah ergotamin tartrat dan dihydroergotamine 2

mg (oral dan suppositoria).

Efek samping utama adalah nausea, muntah, parestesia, dan ergotisme. Kontraindikasi

obat ini pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler, penyakit Raynaud,

hipertensi, gagal ginjal, kehamilan dan masa laktasi.

Antiemetik

Antiemetik pada serangan migren akut direkomendasikan untuk pengobatan nausea

dan potensi emesis; diasumsikan obat-obat antiemetik ini meningkatkan resorbsi analgetik.

Metoklopramid 20 mg direkomendasikan untuk dewasa dan remaja. Anak anak sebaiknya

diberi domperidon 10 mg karena kemungkinan efek samping ekstrapiramidal pada

penggunaan metoklopramid (tabel 3).

REFERENSI

1. Widjaja JH. Mekanisme Terjadinya Nyeri Kepala Primer. Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya.

2. Suharjanti Isti. Strategi Pengobatan Akut Migrain. Departemen Neurologi, Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya: 2013