oleh: bahrul 11140460000057 -...
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI TA’WIDH (GANTI RUGI) PADA PRODUK CIMB
NIAGA SYARIAH GOLD CARD
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
BAHRUL
11140460000057
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H / 2018 M
ABSTRAK
Bahrul. NIM 11140460000057. IMPLEMENTASI TA‟WIDH (GANTI
RUGI) PADA PRODUK CIMB NIAGA SYARIAH GOLD CARD. Program
Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2018 M. Ix + 70
halaman 10 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan implementasi ta‟widh (ganti rugi)
pada produk cimb niaga syariah gold card, mengetahui bahwa produk cimb niaga
syariah gold card ada kecenderungan belum sepenuhnya sesuai menurut ketentuan
yang ada pada fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 dan untuk
mengetahui ada atau tidaknya dalil lain yang digunakan oleh bank cimb niaga
syariah dalam menentukan ta‟widh (ganti rugi) pada produk cimb niaga syariah
gold card.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, mempunyai sifat
deskriptif dengan memerlukan analisis, merupakan hasil studi pustaka (library
research) dan termasuk pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis isi
(content analysis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ta‟widh merujuk pada sisi collection,
komponennya yaitu sewa gedung dan sistem, telepon, gaji karyawan dsb.,
langsung dikenakan keesokan harinya pada saat jatuh tempo. Pihak bank
menyatakan ta‟widh itu besarannya fix a month, langsung dari awal akad ke
nasabah sudah diberitahu sebesar Rp135.000,00, yang telah ditetapkan oleh pihak
bank, besarannya tetap selama satu bulan untuk seluruh limit kartu, sedangkan
disamping itu kerugian bank pastinya belum diketahui. Terdapat dua denda dalam
produk ini. Pertama, denda yang diakibatkan karena nasabah tidak membayar
secara penuh (full payment) tagihannya disebut dengan NPMFC (Net Payable
Monthly Facility Charge) dibebankan setiap bulan. Kedua, denda keterlambatan
(late charge) nilainya Rp0,- yang telah ditentukan pada awal akad menurut
kebijakan bank dan dianggap sudah termasuk nilai ta‟widh. Seharusnya untuk
kerugian riil dilihat pada sisi biaya penagihan, telepon, dan surat penagihan. Maka
ta‟widh pada produk cimb niaga syariah gold card belum sepenuhnya memenuhi
ketentuan fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta‟widh.
Kata Kunci : Ta‟widh, Produk Syariah, Cimb Niaga Syariah, Syariah Gold Card.
Pembimbing : Mu‟min Rouf, S.Ag., M.A.
Daftar Pustaka : 1992 s.d. 2018
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta‟ala karena
limpahan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “IMPLEMENTASI TA‟WIDH (GANTI RUGI) PADA PRODUK
CIMB NIAGA SYARIAH GOLD CARD”. Shalawat serta salam senantiasa kita
sampaikan kepada junjungan alam semesta Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi
wasallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman
yang terang benderang ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan melalui proses yang panjang, mulai dari bangku kuliah, penelitian,
hingga penyusunan sampai terbentuk seperti sekarang ini. Penulis juga menyadari
bahwa skripsi ini dapat terselesaikan karena banyaknya pihak yang turut serta
membantu, membimbing, memberikan petunjuk, saran serta motivasi. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya dan ucapan rasa terimaksih yang sedalam-dalamnya, kepada
yang terhormat :
1. Dr.Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan dan Para Wakil Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. A.M. Hasan Ali, M.A. Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan
Dr. Abdurrauf, Lc, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dari
proses perkuliahan hingga dalam pembuatan skripsi ini.
3. Bapak Mu‟min Rouf, S.Ag., M.A. Dosen Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini
dengan tepat waktu.
4. Dr. Euis Amalia, M.Ag. sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu membimbing dan mengarahkan penulis kearah yang lebih baik.
5. Dosen penguji seminar proposal peneliti yang telah memberikan arahan
dan masukan yang bermanfaat sehingga peneliti bisa mengembangkan dan
menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.
6. Segenap Dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus
dan ikhlas, beserta seluruh staff dan karyawan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Allah Subhanahu wa
vii
Ta‟ala senantiasa membalas jasa-jasa beliau-beliau serta menjadikan
semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
7. Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala dan Sraff Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas yang memadai
untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
8. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda dan Ibunda, Bapak Subki/Uki
(alm) dan Ibu Siti Julaiha yang luar biasa sabar dalam membimbing untuk
menggapai semua cita-cita saya, dan mendidik dari masih dalam
kandungan hingga dapat meraih gelar S1 dan akan berlanjut dalam
pendidikan saya selanjutnya.
9. Segenap Keluarga Besar dari pihak almarhum Bapak maupun Ibunda,
adik-adik tercinta beserta saudara-saudara saya semua yang telah
memberikan dukungan hingga dapat memotivasi.
10. Kepada pihak Sharia Banking PT. Bank CIMB Niaga. Yang bertempat di
kantor Jl. Jend. Sudirman Kav. 60. Menara Sudirman Lt. 5. Jakarta Selatan
12190 dan di kantor cabang Jl. Wahid Hasyim, blok B4 No. 3, Bintaro
Jaya Sektor VII, Pd. Jaya, Tangerang Selatan, Banten 15224. Terutama
kepada Mba Siti Sri Nurhayati (titi) dan Bang Ahmad Yani, selaku Sharia
Advisory Services Head, Sharia Advisory and Legal Group, yang telah
membantu penulis dalam memperoleh data penelitian.
11. Seluruh teman-teman Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya angkatan 2014 yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah menemani waktu luang
dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama kuliah.
12. Seluruh teman-teman keorganisasian, komunitas, teman-teman KKN,
semasa sekolah menengah, teman-teman dikampung halaman dan
ditempat saya bekerja, terimakasih untuk kontribusi dan dedikasinya.
13. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
berkenan memberikan bantuan kepada penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca. Sekian terimakasih.
Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 18 September 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................................ 7
E. Kerangka Teori dan Konseptual................................................................ 10
F. Metode Penelitian...................................................................................... 12
BAB II TA’WIDH DAN SYARIAH CARD DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN PERBANKAN MODERN ........................... 17
A. Ta‟widh (ganti rugi) .................................................................................. 17
1. Pengertian Ta‟widh ............................................................................. 17
2. Landasan Hukum Ta‟widh .................................................................. 18
3. Pendapat Ulama tentang Ta‟widh ....................................................... 19
B. Syariah Card .............................................................................................. 20
ix
1. Pengertian Syariah Card ...................................................................... 20
2. Macam-macam Syariah Card .............................................................. 22
3. Akad dalam Syariah Card ................................................................... 24
4. Pihak-pihak yang Terkait pada Syariah Card...................................... 28
C. Ketentuan Biaya pada Syariah Card ......................................................... 30
D. Ketentuan Mengenai Batasan Syariah Card .............................................. 31
E. Ketentuan Ta‟widh (ganti rugi) pada Syariah Card .................................. 31
BAB III TA’WIDH PADA PRODUK CIMB NIAGA SYARIAH GOLD
CARD ................................................................................................... 33
A. Implementasi Ta‟widh (ganti rugi) pada Produk CIMB Niaga Syariah
Gold Card. ................................................................................................. 33
B. Produk CIMB Niaga Syariah Gold Card Kesesuaian Terhadap Fatwa
DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004. .................................................. 46
C. Ada atau tidaknya Ketentuan Dalil lain pada Produk CIMB Niaga
Syariah Gold Card dalam Menentukan Ta‟widh (ganti rugi).................... 47
BAB IV KEHALALAN PRODUK SYARIAH GOLD CARD
TINJAUAN BERDASARKAN FATWA DSN-MUI
NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 .............................................................. 54
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 68
A. Kesimpulan ............................................................................................... 68
B. Saran .......................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
TABEL 1 .............................................................................................................. 34
TABEL 2 .............................................................................................................. 35
TABEL 3 .............................................................................................................. 40
TABEL 4 .............................................................................................................. 41
TABEL 5 .............................................................................................................. 59
TABEL 6 .............................................................................................................. 61
xi
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1 ......................................................................................................... 11
GAMBAR 2 ......................................................................................................... 26
GAMBAR 3 ......................................................................................................... 27
GAMBAR 4 ......................................................................................................... 28
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya sistem keuangan merupakan sistem yang dibentuk
dari semua lembaga keuangan, kegiatan utamanya adalah menarik dan
menyalurkan dana kepada masyarakat. Keberadaan sistem keuangan ini
diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai lembaga perantara
keuangan yang mampu menjembatani pihak dalam hal kelebihan atau
kekurangan dana, serta memperlancar transaksi ekonomi.
Sistem perbankan konvensional yang telah ada menjadi semakin
lengkap dengan hadirnya sistem perbankan syariah sehingga diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan semua elemen masyarakat akan jasa
perbankan. Tanpa perlu ragu lagi mengenai hukum kebolehan untuk
memakai jasa perbankan terutama jika ditinjau dari kacamata agama.
Bahwa yang menjadi kritik sistem perbankan syariah terhadap perbankan
konvensional bukan dalam hal fungsinya sebagai lembaga intermediasi
keuangan akan tetapi karena dalam operasionalnya terdapat unsur-unsur
yang dilarang berupa perjudian (maysir), unsur ketidakpastian atau
keraguan (gharar), unsur bunga (interest atau riba) dan unsur kebathilan.1
Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat membuat bank
syariah harus mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Dalam hal
bersaing memberikan pinjaman dengan syarat yang lebih mudah dari bank
lain, lebih baik dalam memberikan pelayanan, memenuhi kebutuhan
masyarakat akan hal transaksi keuangan yang lebih praktis salah satunya
yaitu dengan menggunakan kartu syariah. Adanya kartu ini maka tidak
perlu memegang uang secara fisik atau membawa-bawa uang dalam
jumlah yang besar dan kemungkinan memiliki risiko kehilangan yang
1 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah Prinsip, Praktik
dan Prospek, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), cet. 1, h. 207
2
cukup besar. Hal ini dilakukan oleh bank cimb niaga syariah yang
menawarkan berbagai macam produk penghimpunan dana. Baik dalam
bentuk tabungan, giro, deposito, menawarkan pembiayaan kepada
nasabah, baik berbentuk gadai emas, pemilikan kendaraan dan rumah,
serta ada juga produk cimb niaga syariah gold card.1
Payung hukum untuk kartu kredit syariah ini mengacu pada
Undang-undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 dan juga Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card
yang dalam perjanjian pembayarannya tidak berdasarkan bunga tetapi
berdasarkan akad yang telah ditentukan dan hanya bisa digunakan untuk
transaksi yang sesuai dengan syariah saja. Karena fasilitas kartu kredit
yang ada saat ini belum sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka
Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan
hal tersebut agar dapat dijadikan pedoman untuk bank syariah dalam
penggunaannya dan tetap dapat sesuai dengan prinsip syariah. Fatwa yang
menjelaskan tentang kartu kredit yang pertama adalah Fatwa DSN-MUI
No. 42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card dan Fatwa DSN-
MUI No. 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card.2
Kartu kredit syariah merupakan fasilitas kartu talangan yang
dipergunakan oleh pemegang kartu sebagai alat bayar atau pengambilan
uang tunai yang harus dikembalikan saat jatuh tempo sesuai dengan waktu
yang telah ditetapkan. Dalam fatwa tersebut diatur beberapa ketentuan dan
batasan mengenai fee maupun denda, yang membedakan adalah dalam
Fatwa DSN-MUI No. 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card ada
ketentuan mengenai ta‟widh atau ganti rugi.3 Terdapat tiga akad yang
diatur dalam fatwa pada produk kartu kredit syariah yaitu akad kafalah,
1 https://www.cimbniaga.com/syariah/in/personal/products/funding.html, diakses
pada 01-03-2018, 16:20 2 Dewi Sukma Kristianti, “Kartu Kredit Syariah dan Perilaku Konsumtif
Masyarakat”, Ahkam, vol. XIV, no. 2, (Juli, 2014), h. 288 3 Azharsyah Ibrahim, “Kartu Kredit dalam Hukum Syariah: Kajian Ayat dan
Hadits terhadap Akad dan Ketentuannya”, Jurnal Al-Mu‟ahirah, vol. 7, no. 1, (2010), h.
99
3
qardh dan ijarah. Kafalah, dalam hal ini penerbit kartu menjadi penjamin
(kafil) bagi pemegang kartu terhadap merchant atas semua kewajiban
bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan
merchant, atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank penerbit
kartu. Atas pemberian kafalah penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah
kafalah). Qardh, dalam hal ini penerbit kartu adalah pemberi pinjaman
(muqridh) kepada pemegang kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai
dari bank atau ATM bank penerbit kartu. Ijarah, dalam hal ini penerbit
kartu adalah penyedia sistem pembayaran dan pelayanan terhadap
pemegang kartu. Atas ijarah ini, pemegang kartu dikenakan membership
fee. Dalam penggunaan kartu ini tidak boleh menimbulkan riba, tidak
untuk digunakan pada transaksi yang haram atau maksiat, tidak
mendorong pengeluaran yang berlebihan, tidak mengakibatkan hutang
yang tidak pernah lunas, dan pemilik kartu ini harusnya orang yang
memiliki kemampuan finansial untuk melunasi hutangnya.
Sedangkan untuk ketentuan mengenai denda, bank diperbolehkan
mengenakan denda keterlambatan yang dana tersebut diakui sebagai dana
sosial. Juga denda karena melampaui overlimit charge dan dana ini juga
diakui sebagai dana sosial. Dan untuk ta‟widh merupakan biaya ganti rugi
yang disebabkan oleh kelalaian dalam membayar sehingga menyebabkan
kerugian pada bank syariah, dimana dana tersebut menjadi pemasukan
bank. Pemberian ganti rugi (ta‟widh) hanya terbatas pada kerugian yang
riil saja dan tidak boleh dinyatakan di awal akad, sesuai dengan Fatwa
DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta‟widh).4
Cimb niaga syariah gold card adalah produk yang dimiliki oleh
bank comb niaga syariah, dalam praktiknya ada beberapa akad yang
digunakan dalam kartu kredit syariah ini yaitu kafalah, qardh dan ijarah.
Kafalah berarti penjaminan dalam transaksi ini, qardh adalah pemberian
4 Doni Ramdani dkk., “Tinjauan Fatwa DSN No.43/DSN-MUI/VII/2004
Tentang Penetapan Ganti Rugi (Ta‟widh) dalam Produk KPR BTN IB Melalui Akad
Istishna di BTN Syariah Kantor Cabang Bandung”, Prosiding Keuangan dan Perbankan
Syariah, Vol.3, No.2, (2017), h. 597
4
pinjaman secara tunai dan ijarah sebagai penyedia sistem dana pelayanan
pembayaran kartu. Selain akad yang digunakan juga ada beberapa biaya
dan perhitungan yang terdapat dalam produk cimb niaga syariah gold card,
kartu ini dapat digunakan dimana saja sebagai alat pembayaran untuk
berbelanja maupun untuk tarik tunai baik itu ditempat yang bekerjasama
dengan pihak bank maupun yang tidak bekerjasama. Jika pemakaian kartu
digunakan pada merchant yang bekerjasama dengan bank maka
pembayaran dapat dicicil dan tidak ada biaya Net Payable Monthly
Facility Charge (NPMFC). Tetapi untuk merchant yang tidak bekerjasama
pembayarannya tidak dapat dijadikan cicilan tetapi harus penuh (full
payment), jika tidak penuh dalam pembayaran maka ada biaya Net
Payable Monthly Facility Charge (NPMFC) yang dikenakan sebagai
denda karena kurang bayar.
Dalam fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004
menyebutkan bahwa ketentuan ta‟widh di perhitungkan secara tertulis oleh
bank kepada nasabah, jumlah ganti rugi adalah sesuai dengan kerugian riil
bukan kerugian yang di perkirakan akan terjadi, artinya pemberian ganti
rugi hanya terbatas pada kerugian yang riil saja dan tidak boleh dinyatakan
atau dicantumkan dalam akad. Dalam lembar akad disebutkan bahwa tidak
ada denda yang diberikan jika nasabah terlambat membayar. Biaya
ta‟widh merupakan biaya yang digunakan kepada pemegang kartu sebagai
ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan bank akibat
keterlambatan pembayarannya yang ditentukan di awal akad.5 Dalam
praktiknya di lapangan ternyata ta‟widh itu sudah ditentukan pada awal
akad dan dianggap sebagai nilai dari denda keterlambatan pembayaran
yang besarnya ditentukan berdasarkan kebijaksanaan bank yang akan
menjadi pemasukan untuk bank, sedangkan untuk biaya-biaya ganti rugi
mengenai keterlambatan itu bank juga membebankan seluruhnya kepada
pemegang kartu. Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan maka
5 Handout Aplikasi Kartu Kredit Bank CIMB Niaga Syariah Gold Card
5
hal ini menarik untuk dijadikan penelitian dengan judul Implementasi
Ta‟widh (ganti rugi) Pada Produk Cimb Niaga Syariah Gold Card.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka Identifikasi Masalah penelitian ini adalah:
a. Implementasi ta‟widh (ganti rugi) pada produk CIMB Niaga
Syariah gold card.
b. Produk CIMB Niaga Syariah gold card ada kecenderungan belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang ada pada Fatwa DSN-
MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004.
c. Ada atau tidaknya dalil lain yang digunakan oleh Bank CIMB
Niaga Syariah dalam menentukan ta‟widh (ganti rugi) pada produk
CIMB Niaga Syariah gold card.
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan penelitian tidak melebar terlalu jauh pada fokus
awal dan untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan proposal
skripsi ini, maka yang menjadi fokus serta pembatasan masalah adalah
produk cimb niaga syariah gold card pada bank cimb niaga syariah,
karena produk tersebut merupakan produk baru yang terdapat pada
beberapa bank syariah. Dalam proposal skripsi ini juga akan dibahas
mengenai implementasi ta‟widh kesesuaian berdasarkan fatwa dsn-mui
pada produk bank cimb niaga syariah.
3. Perumusan Masalah
Adapun untuk menjawab permasalahan tersebut maka akan
disajikan secara rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
Bagaimana implementasi ta‟widh (ganti rugi) pada produk CIMB
Niaga Syariah gold card?
6
a. Bagaimana kesesuaian produk CIMB Niaga Syariah gold card
tinjauan berdasarkan Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-
MUI/VIII/2004?
b. Apakah ada dalil lain yang digunakan oleh Bank CIMB Niaga
Syariah dalam menentukan ta‟widh (ganti rugi) pada produk
CIMB Niaga Syariah gold card?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian :
1. Untuk mengetahui implementasi ta‟widh (ganti rugi) pada produk
CIMB Niaga Syariah gold card.
2. Untuk mengetahui kesesuaian produk CIMB Niaga Syariah gold card
tinjauan berdasarkan Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004.
3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya dalil lain yang digunakan oleh
Bank CIMB Niaga Syariah dalam menentukan ta‟widh (ganti rugi)
pada produk CIMB Niaga Syariah gold card.
Manfaat Penelitian :
1. Manfaat secara teoritis :
Bagi penulis sendiri, dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan landasan teoritis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya,
khususnya bidang mu‟amalah (hukum ekonomi syariah) dan
meningkatkan pengetahuan serta pemahaman penulis yang didapatkan
saat perkuliahan sehingga dapat menginterpretasikan teori ke dalam
aplikasinya serta menambah literatur atau bahan-bahan informasi
ilmiah yang dapat digunakan untuk melaksanakan kajian dan
penelitian selanjutnya dan sebagai bahan masukan dalam
pengembangan penelitian selanjutnya.
7
2. Manfaat secara praktis :
a. Memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi pengembangan dan
peningkatan peran institusi atau perusahaan terhadap sistem
mekanisme tertentu pada institusi atau perusahaan tersebut.
b. Meningkatkan pengetahuan tentang masalah-masalah yang terkait
dengan penelitian ini dan diharapkan akan berguna bagi pihak-
pihak yang berminat terhadap masalah pada produk kartu kredit
syariah.
c. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian dengan fokus kajian tentang ta‟widh (ganti rugi) yang
diorientasikan untuk menggali implementasi ta‟widh (ganti rugi) pada
produk cimb niaga syariah gold card, sepengetahuan penulis belum ada
penelitian yang secara spesifik meneliti pembahasan tersebut, terutama
pada produk cimb niaga syariah gold card. Penelitian dengan judul
Implementasi Ta‟widh (ganti rugi) Pada Produk Cimb Niaga Syariah Gold
Card. Beberapa kajian yang relevan dan berhasil dihimpun sebagai
perbandingan atas kajian-kajian sebelumnya dapat dilihat sebagai berikut :
1. Penerapan Ta‟widh pada Pemegang Syariah Card, Nadia Ananda
Elsanti, 2017.6 Masalah utama pada jurnal ilmiah ini ialah adanya
kemungkinan pemegang syariah card lalai dalam menyelesaikan
pembayaran tagihan atas transaksi yang pernah dilakukannya, dalam
menghadapi risiko hal tersebut, ialah adanya mekanisme pemberian
ta‟widh (ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar. Metode
penelitian yang dilakukannya ialah kualitatif deskripsi. Jadi
karakteristik ta‟widh pada pemegang syariah card ini ialah merupakan
biaya penagihan yang dikeluarkan oleh bank syariah dalam melakukan
upaya penagihan kepada nasabah. Sementara penulis membahas
masalah utamanya ialah mengenai implementasi ta‟widh pada produk
6 Nadia Ananda Elsanti, “Penerapan Ta‟widh pada Pemegang Syariah Card”,
Jurisprudentie, Vol. 4, No. 2, (Desember, 2017), h. 146
8
cimb niaga syariah gold card, analisis kesesuaian berdasarkan fatwa
DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004.
2. Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam, Fitri Anis Wardani,
2016.7 Jurnal ilmiah ini membahas tentang adanya perbedaan
pendapat dalam kebolehan penggunaan kartu kredit syariah, bahkan
para fuqaha juga masih berbeda pendapat tentang jenis dan jumlah
akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit. Metode yang
digunakan ialah pendekatan kualitatif dan metode analisis evaluatif.
Kesimpulannya ialah menurut ulama-ulama terkemuka kartu kredit
dapat dimasukkan kedalam akad kafalah, wakalah, hawalah, qardh
dan ijarah, penerapan denda atas pembayaran yang menimbulkan riba
tidak bisa diabaikan begitu saja. Sementara penulis pada penelitian
skripsi ini membahas masalah utamanya ialah mengenai implementasi
ta‟widh pada produk cimb niaga syariah gold card, analisis kesesuaian
berdasarkan fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004.
3. Syariah Card Perspektif Al-Maqasid Syariah, Ulul Azmi Mustofa,
2015.8 Jurnal ilmiah ini masalah utamanya ialah dengan adanya kartu
kredit dapat menimbulkan sifat boros bagi nasabah, perlu pemilahan
dan peran bank atau lembaga keuangan untuk memberikan klarifikasi
ketat bagi nasabah kartu kredit agar sifat boros dapat dihindari.
Metode yang digunakan ialah analisis deskripsi. Kesimpulannya ialah
tidak semua yang ada di perbankan konvensional harus diadopsi oleh
perbankan syariah, harus dilihat dari berbagai aspek, Sehingga
kebaikan dari berbagai aspek dapat memberikan solusi bagi kebaikan
umat Islam. Skala prioritas seharusnya diterapkan sehari-hari oleh
umat muslim. Sehingga dapat meminimalisir suatu hal yang bersifat
isrof. Sementara penulis pada penelitian skripsi ini membahas masalah
7 Fitri Anis Wardani, “Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam”, Iqtishodia,
Vol. 1, No. 2, (September, 2016), h. 33 8 Ulul Azmi Mustofa, “Syariah Card Perspektif Al-Maqashid Syariah”, Jurnal
lmiah Ekonomi Islam, Vol. 01, No. 01, (Maret 2015), h. 17
9
utamanya ialah mengenai implementasi ta‟widh pada produk cimb
niaga syariah gold card, analisis kesesuaian berdasarkan fatwa DSN-
MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004.
4. Kartu Kredit Syariah dan Perilaku Konsumtif Masyarakat, Dewi
Sukma Kristianti, 2014.9 Jurnal ilmiah ini membahas tentang
ketentuan dalam prinsip syariah mengenai ketentuan kartu kredit dan
pengaruhnya pada perilaku konsumtif masyarakat, khususnya
masyarakat Muslim. Metode yang digunakan ialah pendekatan
kualitatif dan analisis deskriptif. Jadi keberadaan kartu kredit menjadi
pemicu meningkatnya perilaku konsumtif masyarakat Muslim di
Indonesia. Sementara penulis pada penelitian skripsi ini membahas
masalah utamanya ialah mengenai implementasi ta‟widh pada produk
cimb niaga syariah gold card, analisis kesesuaian berdasarkan fatwa
DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004.
5. Mengontrol Moral Hazard Nasabah Melalui Instrumen Ta‟zir dan
Ta‟widh, Firman Wahyudi, 2017.10
Jurnal ini masalah utamanya ialah
penerapan instrumen Ta‟zir dan Ta‟widh terhadap nasabah yang lalai
dan sengaja menundanunda pembayaran, dimana kondisi nasabah
tersebut bukan dalam keadaan force majeur (overmatch). Metode
yang digunakan ialah bersifat kualitatif dengan menggunakan sumber
data kepustakaan (Library Research). Sementara penulis pada
penelitian skripsi ini membahas masalah utamanya ialah mengenai
implementasi ta‟widh pada produk cimb niaga syariah gold card,
analisis kesesuaian berdasarkan fatwa dsn-mui fatwa DSN-MUI
nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004.
9 Dewi Sukma Kristianti, “Kartu Kredit Syariah dan Perilaku Konsumtif
Masyarakat”, Ahkam, Vol. XIV, No. 2, (Juli, 2014), h. 287 10
Firman Wahyudi, “Mengontrol Moral Hazard Nasabah Melalui Instrumen
Ta‟zir dan Ta‟widh”, Al-Banjari, Vol. 16, No. 2, (Juli-Desember 2017), h. 186-202.
10
E. Kerangka Teori dan Konseptual
Ada banyak pola pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan
syariah, baik yang bersifat konsumtif maupun produktif dengan
menggunakan akad yang berbeda sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dengan aturan syariah. Salah satu produk pembiayaan yang ada pada
perbankan syariah saat ini adalah dengan menggunakan kartu pembiayaan
berbasis sistem syariah atau kartu kredit syariah. Pengertian syariah card
menurut fatwa DSN-MUI nomor 54/DSN-MUI/X/2006 adalah kartu yang
berfungsi seperti kartu kredit yang didalamnya terdapat hubungan hukum
antar pihak berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa.
Pada prinsipnya syariah card berfungsi seperti kartu kredit, tetapi pada
syariah card itu tidak berlaku sistem bunga yang identik dengan riba
karena syariah card menggunakan mekanisme akad berdasarkan prinsip-
prinsip yang sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam pemakaian, syariah
card juga diatur agar tidak terjadi pemborosan dalam pemakaiannya.
Kartu kredit dari kacamata hukum memiliki sejumlah karakteristik
sendiri, antara lain kartu kredit terdiri dari dua akad, yaitu transaksi
finansial dan akad kredit. Dalam kartu kredit, perusahaan dan lembaga
penerbit kartu mendapatkan keuntungan dari dua sisi, yaitu dari sisi card
holder dan merchant pemilik barang dan jasa yang telah memberikan
barang dan jasanya kepada card holder.
Dahlan Siamat mendefinisikan kartu kredit sebagai jenis plastik
yang digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual beli barang atau
jasa dimana pelunasan atau pembayarannya dilakukan dengan sekaligus
atau dengan cara mencicil sejumlah minimum tertentu. Sedangkan
menurut Thomas Suyatno, kartu kredit adalah suatu jenis alat pembayaran
sebagai alat pengganti uang tunai atau cek. Dengan kartu kredit tersebut
pemegang kartu dapat membeli apa saja yang diinginkan ditempat yang
dapat menerima kartu kredit.11
11
Indah Nuhyatia, “Kajian Fiqh dan Perkembangan Kartu Kredit Syariah di
Indonesia”, Economic:Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, vol. 5, no. 1, (2015), h. 25
11
Penelitian ini akan bicara persoalan mengenai implementasi
ta‟widh (ganti rugi) pada produk cimb niaga syariah gold card, untuk itu
peneliti akan merumuskan kerangka konseptual sebagai berikut:
Gambar 1
Kerangka Konseptual
Bank Syariah /
Issuer Bank / Bank
Penerbit
Nasabah / Card
Holder / Pemegang
Kartu
Perjanjian
Syariah Gold Card
Ta‟widh
(ganti rugi)
Tinjauan Analisis Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004
NPMFC
Force Majeur
/ Overmatch Collectibility
Default
Payment
Hasil Penelitian
12
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian
deskripsi, yaitu penelitian terbatas pada usaha mengungkapkan suatu
masalah dan keadaan sebagaimana adanya, sehingga hanya merupakan
penyingkapan fakta.12
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
mengenai fakta, peristiwa atau kejadian yang terjadi pada produk cimb
niaga syariah gold card. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum
yang ada dalam literatur, pendapat ahli, jurnal maupun makalah. Dan
disebut sebagai penelitian yuridis normatif karena penelitian ini mengacu
kepada aspek hukum yang terdapat dalam peraturan fatwa terkait.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, menurut
Creswell (2008), penelitian kualitatif yaitu suatu pendekatan untuk
mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral, mewawancarai
pastisipan dengan mengajukan pertanyaan yang umum dan agak luas,
informasi dari partisipan yang biasanya berupa kata atau teks, kemudian
dikumpulkan dan dianalisis.13
Penelitian ini merupakan penelitian dengan
menggunakan riset, mempunyai sifat deskriptif dan lebih cenderung
memerlukan analisis untuk menjawab permasalahan yang muncul pada
produk cimb niaga syariah gold card. Analisis tersebut menggunakan
landasan dari sebuah teori agar penelitian lebih terfokuskan dan membantu
untuk memberikan gambaran umum serta pemahaman lebih mendalam
mengenai latar belakang terjadinya penelitian yang dilakukan sesuai
dengan kondisi objek yang diteliti yaitu ta‟widh pada produk cimb niaga
syariah gold card sebagai bahan pembahasan dari hasil penelitian.
12
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian : Buku Panduan
Mahasiswa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), Cet. Kedua, h. 10 13
J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif : Jenis, Karakteristik dan
Keunggulannya, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2010) h. 7
13
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian
Dalam penelitian ini data yang diperlukan adalah data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data hasil wawancara terkait
implementasi ta‟widh pada produk cimb niaga syariah gold card, juga hasil
bacaan buku-buku pustaka yang menjelaskan tentang aspek kesesuaian
produk cimb niaga syariah gold card yang berkaitan dengan pokok
permasalahan. Sedangkan data sekunder adalah fatwa DSN-MUI terkait,
dan buku-buku dengan aspek pembahasan terkait. Serta fatwa-fatwa yang
diambil dari literatur yang berkaitan dengan judul penelitian dan jurnal-
jurnal yang sudah terakreditasi.
4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Penelitian ini merupakan hasil studi pustaka (Library Research).
Studi pustaka yaitu penelitian dengan memanfaatkan sumber kepustakaan
untuk memperoleh data penelitian.14
Kemudian termasuk pendekatan
kualitatif dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Penelitian
kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data dengan melakukan
pengkajian terhadap :
a. Bahan data primer meliputi data hasil wawancara terkait
implementasi ta‟widh pada produk CIMB Niaga Syariah gold card.
b. Bahan data sekunder merupakan bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (Fatwa DSN-MUI), dan dapat membantu
serta menganalisis, seperti bahan buku-buku terkait penelitian,
jurnal hukum bisnis syariah yang terakreditasi, hasil skripsi
terdahulu, hasil kajian-kajian, dan lain sebagainya.
c. Bahan data tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya sumber
sumber yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yang
didapat dari berbagai literatur.
14
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008), cet. 1, h. 2
14
Dalam pengumpulan data, penulis juga melakukan beberapa teknik
pengumpulan data penelitian lapangan (field research). Penelitian
lapangan yaitu penelitian yang terjun langsung ke lapangan, terlibat
dengan partisipan, turut merasakan sekaligus mendapatkan gambaran yang
lebih komprehensif tentang situasi tempat dan data-data yang diperlukan.15
Teknik penelitian tersebut, diantaranya:
a. Wawancara
Wawancara adalah suatu bentuk tanya-jawab dengan nara sumber,
dengan tujuan mendapatkan keterangan, penjelasan, pendapat,
fakta, bukti tentang suatu masalah atau suatu peristiwa.16
Dimana wawancara ini dilakukan dengan Mba Siti Sri Nurhayati
(titi) dan Bang Ahmad Yani, selaku Sharia Advisory Services
Head, Sharia Advisory and Legal Group, pihak Sharia Banking
PT. Bank CIMB Niaga. Yang bertempat di kantor Jl. Jend.
Sudirman Kav. 60. Menara Sudirman Lt. 5. Jakarta Selatan 12190
dan di kantor cabang Jl. Wahid Hasyim, blok B4 No. 3, Bintaro
Jaya Sektor VII, Pd. Jaya, Tangerang Selatan, Banten 15224.
b. Analisis Isi (Content Analysis)
Content Analysis adalah metode ilmiah untuk mempelajari dan
menarik kesimpulan atas suatu fenomena dengan memanfaatkan
dokumen (teks).17
Weber (1952:14): analisis isi adalah sebuah metode penelitian
dengan menggunakan seperangkat prosedur untuk membuat
referensi yang valid dari teks. Konten analisis dipakai untuk
menganalisis isi , mempelajari isi semua konteks ilmu, asalkan
terdapat dokumen yang tersedia, konten analisis dapat
diterapkan.18
Penulis melakukan penelitian langsung dengan
15
J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif : Jenis, Karakteristik dan
Keunggulannya, h. 9 16
Mayang Sari Lubis, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h.
33 17
Eriyanto, Analisis Isi, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015), cet. 3, h. 15 18
Eriyanto, Analisis Isi, h. 16
15
teknik wawancara dan menganailis hasil wawancara tersebut
dengan teknik content analysis.
5. Metode Analisis Data Penelitian
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik pendekatan analisis normatif kualitatif. Tahap menganalisis data,
merupakan tahap yang akan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang ada
pada rumusan masalah, dimana dari data-data yang telah ada akan
diketahui bagaimana implementasi ta‟widh (ganti rugi) pada produk cimb
niaga syariah gold card, bagaimana kesesuaian produk cimb niaga syariah
gold card tinjauan berdasarkan fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-
MUI/VIII/2004 dan apakah ada dalil lain yang digunakan oleh bank cimb
niaga syariah dalam menentukan ta‟widh (ganti rugi) pada produk cimb
niaga syariah gold card.
6. Sistematika Penulisan Penelitian
Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah
penelitian yang berjudul Implementasi Ta‟widh (ganti rugi) Pada Produk
Cimb Niaga Syariah Gold Card perlu untuk menguraikan terlebih dahulu
sistematika penulisan sebagai gambaran umum yang meliputi :
BAB I, PENDAHULUAN: Terdiri atas latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori dan
konseptual, dan metode penelitian.
BAB II, TA’WIDH DAN SYARIAH CARD DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN PERBANKAN MODERN: Terdiri atas
penjelasan ta‟widh (ganti rugi), syariah card, ketentuan biaya pada syariah
card, ketentuan mengenai batasan syariah card, dan ketentuan ta‟widh
(ganti rugi) pada syariah card.
BAB III, TA’WIDH PADA PRODUK CIMB NIAGA SYARIAH
GOLD CARD: Terdiri atas implementasi ta‟widh (ganti rugi) pada
produk cimb niaga syariah gold card, produk cimb niaga syariah gold card
kesesuaian terhadap fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004, dan
16
ada atau tidaknya ketentuan dalil lain pada produk cimb niaga syariah gold
card dalam menentukan ta‟widh (ganti rugi).
BAB IV, KEHALALAN PRODUK SYARIAH GOLD CARD
TINJAUAN BERDASARKAN FATWA DSN-MUI NO. 43/DSN-
MUI/VIII/2004: Terdiri atas analisis penelitian, merujuk pada bab 2 dan
bab 3, sesuai data yang terkumpul menjadi penilaian oleh ketentuan
berdasarkan fatwa dsn-mui.
BAB V, PENUTUP: Terdiri atas kesimpulan penelitian dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
17
BAB II
TA’WIDH DAN SYARIAH CARD DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN PERBANKAN MODERN
A. Ta’widh (ganti rugi)
1. Pengertian Ta‟widh
Secara bahasa, ta‟widh berasal dari kata „iwadha yang berarti
memberi ganti atau mengganti, sedangkan kata ta‟widh sendiri
mempunyai arti secara bahasa mengganti.
Sedangkan dalam istilah perbankan syariah, ta‟widh ialah ganti
rugi yang dikenakan bank syariah kepada nasabah pembiayaan yang
sengaja atau lalai melakukan sesuatu yang dapat merugikan pihak bank,
dan yang boleh diminta ruginya hanyalah kerugian riil yang dialami oleh
bank syariah dan jelas perhitungannnya. Adapun kerugian yang
diperkirakan bakal terjadi dimasa datang karena hilangnya peluang
(opportunity loss/al-furshah ad-dha‟iah) yang dimiliki oleh bank syariah
tidak boleh diminta ruginya.1
Dalam fatwa DSN-MUI nomor 54/DSN-MUI/X/2006 dan fatwa
DSN-MUI nomor 74/DSN-MUI/I/2009, di dalamnya menyatakan yang
dimaksud dengan ta‟widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu
dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.2
Sedangkan Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian ganti
rugi adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah
bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain
karena kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah dikenal adanya
“personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan
dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau
1 Firman Wahyudi, “Mengontrol Moral Hazard Nasabah Melalui Instrumen
Ta‟zir dan Ta‟widh” h. 190 2 Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 129
18
keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak
pidana tersebut.3
2. Landasan Hukum Ta‟widh
Berdasarkan dalam hal Mengingat pada fatwa nomor 43/DSN-
MUI/VIII/2004, landasan hukum ta‟widh yaitu:4
a. Firman Allah Swt. antara lain:
1) QS. al-Ma‟idah [5]:1:
يب أيهب الذيي آهنىا أوفىا ببلعقىد
“Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu”.
2) QS. al-Isra‟ [17]: 34:
وأوفىا ببلعهد إى العهد كبى هسئىل
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggunganjawabannya.”
b. Hadis-hadis Nabi s.a.w.; antara lain:
1) Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari „Amr bin „Auf:
م حالل أو أحل حزاهب والوسلوىى على لح جبئز بيي الوسلويي إل صلحب حز الص
م حالل أو أحل حزاهب .شزوطهن إل شزطب حز
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin
kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram.”
2) Hadis Nabi riwayat jama‟ah (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim
dari Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan Ibn Umar,
Nasa‟i dari Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu Hurairah, Ibn
Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Ahmad dari Abu
Hurairah dan Ibn Umar, Malik dari Abu Hurairah, dan Darami
dari Abu Hurairah):
3 Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993), h. 57 4 Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 34/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang
Ta‟widh dalam hal Mengingat, h. 1-3
19
ى ظلن هطل الغن
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang
mampu adalah suatu kezaliman…”
c. Kaidah Fiqh; antara lain:
ال صل فى الوعب هلة الء بب حة ال اى يد ل د ليل على تحز يوهب
“Pada dasarnya, segala bentuk mu‟amalat boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
زر يزال الض
“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”
3. Pendapat Ulama tentang Ta‟widh
Beberapa pendapat Ulama tentang ta‟widh yaitu:5
a. Pendapat ibnu Qudamah dalam aI-Mughni, juz IV, hlm. 342, bahwa
penundaan pembayarari kewajiban dapat menimbulkan kerugian
(dharar) dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan:
“Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau
jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur
(melakukan perjalanari), perlu kita perhatikan sebagai berikut.
Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dan
perjalanan misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih
dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan
Muharam atau Zulhijah, maka kreditur boleh melarangnya
melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita
kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada
saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin
atau menyerahkan jaminan yang cukup untuk membayar utangnya
pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena
dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”
5 Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, h.
209
20
b. Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang dhaman atau ta‟widh
yaitu:
Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah aI-Dhaman, Damsyiq:
Dar al-Fikr, 1998: “ta‟widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian
yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan”.
Pendapat „Abd al-Hamid Mahmud al-Bali, Mafahim Asasiyyah
fi al-Bunuk aI-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma‟had al-Alami li-al-Fikr
al-Islami, 1996: “Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh
orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara nil
akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat
logis dan keterlambatan pembayaran tersebut.”6
c. Pendapat ulama yang membolehkan ta‟widh sebagaimana dikutip
oleh Isham Anas al-Zaftawi1 Hukm al-Gharamah al-maliyah fi aI-
Fikih al-Islami, al-Qahirah: al-Ma‟had al-‟Alami li-al-Fikr al-lslami,
1997: “Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syariah dan
kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan
penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda
pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang
dirugikan.
B. Syariah Card
1. Pengertian Syariah Card
Kartu kredit (credit card) dalam bahasa Arab disebut bithaqah
i‟timan. Secara bahasa kata bithaqah (kartu) digunakan untuk potongan
kertas kecil atau dari bahan lain yang di atasnya ditulis penjelasan yang
berkaitan dengan potongan kertas itu, sementara kata i‟timan secara
bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Dalam kebiasaan
dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang berasal dari
kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya.
6 Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti
Rugi (Ta‟widh) dalam hal Memperhatikan, poin 2 huruf b, h. 4
21
Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk
dibayar secara tertunda.
Secara terminologi, kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh
pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk
membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu
secara hutang. Kartu kredit pada hakikatnya merupakan salah satu
instrumen dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses
transaksi yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan
membawa uang tunai yang berisiko.7
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang
Penyelenggaraan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu, Pasal 1 angka
(4), yang dimaksud kartu kredit adalah APMK yang dapat digunakan
untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu
kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk
melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang
kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang
kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang
disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun
dengan pembayaran secara angsuran.
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /POJK.05/2014
Tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah, Pasal 5 ayat (2),
yang dimaksud kartu kredit syariah (syariah card) adalah alat pembayaran
dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan
pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi,
termasuk transaksi pembelanjaan, dimana pembayaran pemegang kartu
dipenuhi terlebih dahulu oleh penerbit (acquirer), dan pemegang kartu
berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada
waktu yang disepakati (baik secara langsung atau secara angsuran).
7 Azharsyah Ibrahim, ”Kartu Kredit dalam Hukum Syariah : Kajian Ayat dan
Hadits terhadap Akad dan Ketentuannya”, h. 90
22
Berdasarkan fatwa DSN-MUI nomor 54/DSN-MUI/X/2006, yang
dimaksud dengan kartu kredit syariah (syariah card) adalah kartu yang
berfungsi seperti kartu kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem
yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah.8
Alhasil, syariah card dapat diartikan sebagai kartu yang berfungsi
seperti kartu kredit yang hukumnya berdasarkan prinsip syariah. Kartu
kredit adalah suatu jenis kartu yang dijadikan sebagai alat pembayaran
yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya dan dapat digunakan
oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang
serta pelayanan tertentu secara hutang. Adapun terkaitan para pihak
adalah penerbit kartu atau mushdir al-bithaqah, pemegang kartu atau
hamil al-bithaqah, dan penerima kartu dalam hal ini merchant baik itu
pusat perbelanjaan, took, dan lain sebagainya atau tajir/qabil al-
bithaqah.9
2. Macam-macam Syariah Card
Kartu kredit adalah bagian dari beberapa bentuk kartu kerja sama
finansial. Kartu kredit ini terbagi menjadi dua:
a. Kartu Kredit Pinjaman yang Tidak Dapat Diperbaharui (Charge
Card). Kartu kredit jenis ini adalah kartu yang diharuskan pemegang
kartu untuk menutup total dana yang ditarik secara lengkap dalam
waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut.
Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari,
namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa
kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia
akan dikenai denda keterlambatan. Dan kalau ia menolak membayar,
keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya
diangkat ke pengadilan.10
8 Sholihah, “Keunggulan Kartu Kredit Syariah Sebagai Alat Pembayaran di Era
Globalisasi”, Praental, Vol. IV, No. 2, (Oktober 2016) h. 46 9 Fitri Anis Wardani, “Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam” h. 35
10 Fitri Anis Wardani, “Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam” h. 36
23
b. Kartu Kredit Pinjaman yang Bisa Diperbaharui (Revolving Credit
Card). Jenis kartu ini termasuk yang paling popular di berbagai negara
maju. Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua
tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau
sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara
ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikutnya. Bila ia menunda
pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga: Pertama bunga
keterlambatan, kedua bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau
ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia
hanya terkena satu macam bunga saja, yaitu bunga penundaan
pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya
terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara
simultan.11
Ada beberapa jenis Bank Card yang ada pada saat ini atara lain:12
a. Kartu Kredit (Credit Card)
Kartu kredit merupakan salah satu kartu plastik yang dapat
digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual-beli barang dan
jasa, kemudian pelunasan atas penggunaannya dapat dilakukan
sekaligus atau secara angsuran sejumlah minimum tertentu.
b. Charge Card
Charge card adalah kartu yang dapat digunakan sebagai alat
pembayaran sesuatu transaksi barang dan jasa, kemudian pemegang
kartu diwajibkan membayar kembali secara penuh seluruh
tagihannya pada akhir bulan atau bulan berikutnya dengan atau
tanpa beban tambahan.
c. Debet Card
Kartu debet (debit card), yaitu kartu yang dapat digunakan sebagai
perintah bayar atau pendebetan terhadap rekening pemegangnya.
11
Aep S. Hamidin, Tips & Trik Kartu Kredit: Memaksimalkan Manfaat &
Mengelola Resiko Kartu Kredit, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010), cet. 1, h. 29 12
Zaenul Arifin Yusuf, “Perbandingan Kartu Kredit dan Kartu Kredit
Berbasis Syariah di Indonesia”, Al-Iqtishod, vol. III, no. 2, (Juli 2011), h. 258
24
Transaksi dengan menggunakan kartu debet adalah transaksi tunai
yang pembayarannya tidak dengan uang tunai, tetapi melalui
pembebanan rekening pemegang kartu debet dan pengkreditan
terhadap merchant.13
d. Retailer/In House Cards
Kartu jenis ini diterbitkan oleh lembaga atau pusat perdagangan
yang menawarkan beberapa jenis produk dan jasa yang berbeda.
Tujuan dari kartu jenis ini adalah pemberian kredit, tempat
perdagangan tersebut bertindak sebagai kreditor dan card holder
sebagai pihak borrower. Card holder diberi kuasa untuk berbelanja
secara kredit ditempat perdagangan yang menerbitkan kartu
tersebut.14
e. Smart Card
Smart card, yaitu kartu yang berfungsi sebagai rekening terpadu,
kartu ini dapat dihubungkan dengan rekening pribadi dan dapat
menyimpan dan memperbarui data dalam microchip, sehingga
pemegang kartu dapat mengetahui keadaan semua rekeningnya.15
f. Cash Card
Cash card adalah kartu tunai, atau sering disebut juga kartu ATM,
yaitu kartu yang dapat digunakan untuk penarikan tunai baik di
counter-counter bank maupun pada anjungan ATM.
3. Akad dalam Syariah Card
a. Ketentuan Akad dalam Syariah Card
Penggunaan syariah card yang semakin meluas memunculkan
beberapa persoalan jika ditinjau menurut pandangan fiqh Islam.
Permasalahan muncul karena banyaknya pihak yang terlibat dalam
transaksi kartu kredit, dalam hal ini syariah card, sehingga para fuqaha
13
Zaenul Arifin Yusuf, “Perbandingan Kartu Kredit dan Kartu Kredit Berbasis
Syariah di Indonesia”, h. 258 14
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Banking Cards Syariah: Kartu Kredit
dan Debit dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 55 15
Zaenul Arifin Yusuf, “Perbandingan Kartu Kredit dan Kartu Kredit Berbasis
Syariah di Indonesia”, h. 259
25
melakukan menetapkan jenis dan berapa akad yang tepat digunakan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi kartu kredit hanya
menggunakan satu akad saja, sebagian yang lain mengatakan melibat
enam akad, yaitu kafalah, wakalah, hawalah, murabahah, qardh dan
ijarah).
Pihak Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) berpendapat bahwa status hukum kartu kredit adalah
sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan
pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi.
Perusahaan perbankan dalam hal ini sebagai issuer yang
mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil)
bagi card holders dalam berbagai transaksi. Dengan demikian,
menurut DSN-MUI ada tiga akad yang digunakan dalam transaksi
kartu kredit yaitu: kafalah, qardh dan ijarah.16
1) Akad Kafalah
Kafalah memiliki banyak sekali padanan kata antara lain
hammalah, dhomanah, dan za‟amah. Menurut madzhab Hanafi,
kafalah adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam
tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan hukum, dalam
artian menyertakan orang lain untuk ikut menanggung tanggung
jawab orang lain berkaitan dengan nyawa, harta atau barang.
Adanya penjaminan tersebut tidak serta merta menjadikan yang
terhutang bebas dari hutang dan yang bertanggung jawab atas
hutang seseorang menjadi orang yang berhutang, dalam artian
bahwa yang berhutang tetap berhutang sedangkan penjamin
tidak.17
16
Fitri Anis Wardani, “Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam”, h. 38 17
Ulul Azmi Mustofa, “Syariah Card Perspektif Al-Maqashid Syariah” h. 20
26
Untuk lebih jelas mengenai aplikasi pembiayaan kafalah
dapat dilihat dalam gambar berikut ini:18
Gambar 2
Proses Aplikasi Pembiayaan Kafalah
JAMINAN KEWAJIBAN
2) Akad Qard
Al-qard adalah suatu akad pinjaman kepada nasabah
tertentu dengan ketentuan nasabah wajib mengembalikan dana
yang diterimanya kepada lembaga keuangan syariah pada waktu
yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah. Dalam kamus Istilah
Keuangan dan Perbankan Syariah, Bank Indonesia menjelaskan
qard sebagai berikut, qard (pinjaman) adalah suatu akad yang
menjamin ketentuan pihak yang menerima pinjaman wajib
mengembalikan dana sebesar yang diterima. Selanjutnya, akad
qard dapat juga disebut dengan akad yang memberikan pinjaman
kepada orang lain tanpa adanya harapan untuk mendapat imbalan
dari pinjaman tersebut.19
18
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah: dan aplikasinya pada LKS,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 213 19
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. 1, h. 122
PENANGGUNG
(lembaga keuangan)
TERTANGGUNG
(jasa/objek)
DITANGGUNG
(nasabah)
27
Untuk lebih jelas mengenai aplikasi akad qard dapat dilihat
dalam gambar berikut ini:
Gambar 3
Proses Aplikasi Akad Qard20
1. Perjanjian Qard
2.a Tenaga 2.b Modal 100%
3. 100% 4. Modal 100%
3) Akad Ijarah
Ijarah adalah akad sewa-menyewa antara pemilik Ma‟jur
dan Musta‟jir untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang
disewakan. Kemudian dalam kamus istilah keuangan dan
perbankan syariah mendefinisikan Ijarah adalah akad pemindahan
hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kpemilikan barang itu sendiri.21
20
Ismail, Perbankan Syariah, h. 125 21
Ikit, Akuntansi Penghimpunan Dana Bank Syariah, ( Yogyakarta:
Deepublish, 2015), cet. 1, h. 93
Nasabah Bank Syariah
Proyek Usaha
Keuntungan
28
Secara umum aplikasi pembiayaan ijarah dalam perbankan
syariah dapat dilihat pada gambar berikut:22
Gambar 4
Proses Aplikasi Pembiayaan Ijarah
4b. Manfaat
4a. Kepemilikan 2.Akad Ijarah
5. Membayar Sewa
3. bank beli objek sewa 1. Persyaratan Akad Ijarah
4. Pihak-pihak yang Terkait pada Syariah Card
Akad dalam transaction cards biasanya melibatkan beberapa pihak
yaitu :23
a. Issuer bank, dalam kartu kredit dinamakan dengan muqaridh
(kreditor) yaitu pihak yang diberikan kuasa oleh undang-undang untuk
menerbitkan kartu kepada nasabahnya, ia menjadi wakil atas card
holder/pemegang kartu tersebut dalam membayar nilai pembelian
yang dilakukannya kepada merchant/penjual.
b. Card Holder adalah pemakai kartu kredit yang dinamakan dengan
muqtaridh (borrower) yaitu orang yang namanya dicantumkan dalam
kartu, atau orang yang diberi kuasa untuk memakainya dan ia
berkewajiban melunasi semua kewajiban yang timbul akibat
pemakaian kartu tersebut kepada pihak issuer bank.
22
Ikit, Akuntansi Penghimpunan Dana Bank Syariah, h. 96 23
Fitri Anis Wardani, “Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam”, h. 36
Objek
Sewa
Penjual/
Supplier
Nasabah
Bank
Syariah
29
Persyaratan yang harus dipenuhi card holder pada dasarnya:24
1) Penghasilan yang jumlahnya cukup dan disesuaikan dengan
fasilitas kredit melalui kartu kredit yang akan diberikan.
Pemenuhan syarat ini biasanya dilihat melalui bukti tertulis
tentang gaji atau penghasilan calon pemegang kartu sperti slip
gaji, laporan keuangan usaha, mutasi rekening simpanan pada
bank.
2) Kontinuitas penghasilan. Dapat selalu memenuhi kewajibannya
kepada perusahaan kartu kredit. Penghasilan yang cukup dapat
memeberikan keyakinan atas kemampuan calon pemegang kartu
bagi issuer atau acquier.
3) Niat baik atau kemauan dari calon pemegang kartu untuk selalu
memenuhi kewajibannya. Dapat dilihat dengan dari terdaftar atau
tidaknya calon pemegang kartu pada daftar hitam miliki bank,
bank central.
c. Merchant adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima
pembayaran dari transaksi penggunaan kartu kredit.25
Merchant
adalah pihak yang menyediakan barang dan jasa (supplier) yaitu
pihak yang terikat dengan issuer bank dengan memberikan barang
dan jasa kepada card holder sesuai dengan kesepakatan mereka.
d. Acquirer adalah pengelola, yaitu pihak yang mewakili kepentingan
penerbit untuk menyalurkan kartu kredit, melakukan penagihan
kepada pemegang kartu kredit dan melakukan pembayaran kepada
merchant.
24
Indah Nuhyatia, “Kajian Fiqh dan Perkembangan Kartu Kredit Syariah di
Indonesia”, h. 27 25
Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas PBI No.
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu, pasal 1 angka 11, h. 5
30
C. Ketentuan Biaya pada Syariah Card
Lembaga penerbit kartu (issuer bank) mendapatkan keuntungan dari
dua sisi, yaitu dari sisi pemegang kartu (card holder) dan Merchant pemilik
barang dan jasa yang telah memberikan barang dan jasanya kepada card
holder.26
Dalam ketentuan PBI No. 14/2/PBI/2012, Pasal 16 angka 1,
menyatakan penerbit kartu wajib memberikan informasi secara tertulis
kepada pemegang kartu paling kurang meliputi: pada poin f. Jenis biaya (fee)
dan denda yang dikenakan.27
Ketentuan biaya (fee) pada syariah card yaitu meliputi:
1. Iuran Keanggotaan (membership fee)
Penerbit kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al-‟udhwiyah)
termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai
imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.28
2. Merchant Fee
Penerbit Kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek
transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara
(samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).29
3. Fee penarikan uang tunai
Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-
nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang
besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.30
4. Fee Kafalah
Penerbit kartu boleh menerima fee dari pemegang kartu atas pemberian
Kafalah.
26
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Banking Cards Syariah: Kartu Kredit dan
Debit dalam Perspektif Fiqh, h. 64 27
Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas PBI No.
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu, pasal 16 angka 1, h. 10 28
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 54/DSN-MUI/X/2006 Tentang Syariah Card
dalam hal Memutuskan, poin Kelima, h. 11 29
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 54/DSN-MUI/X/2006 Tentang Syariah Card
dalam hal Memutuskan, poin Kelima, h. 11 30
Indah Nuhyatia, “Kajian Fiqh dan Perkembangan Kartu Kredit Syariah di
Indonesia”, h. 41
31
5. Discount Rate yang diterima dari merchant atas transaksi perdagangan
yang terjadi selama penggunaan kartu yang diterbitkannya. Jumlahnya
berkisar 1-5 % dan rata-rata 2,8 %.31
Semua bentuk fee tersebut di atas (a s-d d) harus ditetapkan pada saat akad
aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.32
D. Ketentuan Mengenai Batasan Syariah Card
Batasan-batasan (dhawabit wa hudud) yang ada pada syariah card
yaitu:33
1. Tidak menimbulkan riba.
2. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
3. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara
lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
4. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk
melunasi pada waktunya.
5. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah
E. Ketentuan Ta’widh (ganti rugi) pada Syariah Card
Dalam penggunaan syariah card pemberian bunga atau riba itu
diharamkan, oleh karena itu apabila nasabah mengalami keterlambatan
pembayaran maka salah satu mekanisme untuk mencegah kerugian bagi bank
syariah adalah pemberian ta‟widh kepada nasabah yang lalai melaksanakan
kewajiban pembayarannya. Bank syariah selaku penerbit kartu dapat
mengenakan ta‟widh terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh
penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar
kewajiban yang telah jatuh tempo.34
31
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Banking Cards Syariah: Kartu Kredit dan
Debit dalam Perspektif Fiqh, h. 64 32
Indah Nuhyatia, “Kajian Fiqh dan Perkembangan Kartu Kredit Syariah di
Indonesia”, h. 41 33
Indah Nuhyatia, “Kajian Fiqh dan Perkembangan Kartu Kredit Syariah di
Indonesia”, h. 42 34
Nadia Ananda Elsanti, “Penerapan Ta‟widh pada Pemegang Syariah Card” h. 149
32
Mengenai ketentuan ta‟widh yang terdapat dalam Fatwa DSN No.
54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card bagian keenam huruf a
disebutkan bahwa:
Penerbit kartu dapat mengenakan ta‟widh, yaitu ganti rugi terhadap
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan
pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
33
BAB III
TA’WIDH PADA PRODUK CIMB NIAGA SYARIAH GOLD CARD
A. Implementasi Ta’widh (ganti rugi) pada Produk CIMB Niaga Syariah
Gold Card
1. Prosedur Pengajuan Pemilikan Cimb Niaga Syariah Gold Card
Pada dasarnya prosedur untuk pengajuan pemilikan cimb niaga
syariah gold card tidak jauh berbeda dengan pengajuan pembiayaan lain
pada bank syariah. Permohonan dan pemberian pembiayaaan dengan
penerbitan cimb niaga syariah gold card ini tidak hanya diberikan kepada
nasabah yang memiliki tabungan pada bank cimb niaga syariah saja,
tetapi boleh untuk siapa saja, dengan ketentuan memenuhi persyaratan
yang telah ditetapkan oleh pihak bank.
Prosedur untuk memperoleh kartu kredit secara umum adalah
sebagai berikut:1
a. Nasabah mengajukan permohonan dengan mengisi formulir yang
sudah disiapkan oleh bank atau lembaga pembiayaan.
b. Nasabah melengkapi persyaratan yang telah dipersyaratkan.
c. Pihak bank atau lembaga pembiayaan akan melakukan penelitian
langsung ke alamat rumah atau kantor pemohon. Penelitian dapat juga
dilakukan lewat telepon. Tujuan penelitian adalah untuk meneliti
kebenaran data yang dibuat. Penelitian juga dilakukan ke lembaga lain
seperti bank penerbit kartu kredit untuk mengetahui data nasabah yang
termasuk dalam daftar black list bank yang bersangkutan.
d. Jika dianggap layak, maka pihak bank atau lembaga pembiayaan akan
menyetujui penerbitan kartu dan mengirimkan kenasabah kartu yang
sudah dicetak.
1 Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h.
206-207
34
Begitu pula untuk pengajuan permohonan cimb niaga syariah
gold card, dapat dilakukan dengan mengisi form aplikasi kartu kredit
melalui:2
a. Mengisi Formulir di www.cimbniaga.com
b. Menghubungi Phone Banking 14041,
c. Kunjungi cabang cimb niaga terdekat, melalui marketing atau
customer service pada Bank CIMB Niaga Syariah maupun Bank
CIMB Niaga Konvensional, dengan memenuhi persyaratan
seperti yang telah diuraikan diatas.
Dalam proses pengajuan, ada surat pernyataan sebagai pemohon
yang harus disetujui oleh nasabah yang ingin mengajukan credit card,
yang nantinya akan penulis lampirkan pada bagian lampiran, dan ada
persyaratan yang dibutuhkan untuk pengajuan cimb niaga syariah gold
card. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dapat dilihat pada tabel
berikut ini:3
Tabel 1
Persyaratan Umum Pengajuan CIMB Niaga Syariah Gold Card
Persyaratan Syariah Gold Card
Iuran Tahunan Kartu Utama Free for life
Iuran Tahunan Kartu Tambahan Rp150.000,00-
Monthly Facilities Charge Rp0, - Rp3.604.000,00-
Minimum penghasilan tahunan Rp36.000.000,00-
Umur pemegang kartu utama 21 – 65 tahun
Umur pemegang kartu tambahan 17 – 70 tahun
2 Handout Aplikasi Kartu Kredit Bank CIMB Niaga Syariah Gold Card
3https://cards.cimbclicks.co.id/CreditCard/ApplyNow/SyariahCard/Step1,
Diakses pada tanggal 08-08-2018, 11.20
35
Tabel 2
Persyaratan Dokumen Pengajuan CIMB Niaga Syariah Gold Card4
Persyaratan Dokumen
Karyawan 1. Fotocopy KTP/KITAS/KITAP yang
berlaku.
2. Surat keterangan kerja/slip gaji
Pengusaha
1. Fotocopy KTP/KITAS/KITAP yang
berlaku
2. Fotocopy rekening
Koran/Tabungan/Deposito
3. Fotocopy akte perusahaan dan/atau
SIUP
Profesional
1. Fotocopy KTP/KITAS/KITAP yang
berlaku
2. Fotocopy surat ijin praktek
3. Fotocopy rekening
Koran/Tabungan/Deposito
Ekspatriat
1. Fotocopy KTP/KITAS/KITAP yang
berlaku
2. Fotocopy rekening
Koran/Tabungan/Deposito
3. Surat penanggungan sponsor dari
perusahaan dan fotocopy KTP
penanggung
Pemegang Kartu Bank Lain
1. Fotocopy KTP/KITAS/KITAP yang
berlaku
2. Fotocopy tagihan kartu kredit 3
bulan terakhir
3. Fotocopy kartu kredit bank lain
Pemegang Kartu Tambahan Fotocopy KTP/KITAS/KITAP
yang berlaku
Setelah semua persyaratan terpenuhi, pada akhirnya pihak analis
akan menentukan apakah nasabah atau calon nasabah tersebut layak atau
tidak layak diberikan pinjaman. Jika layak berapa limit yang akan
diberikan. Dengan begitu, cimb niaga syariah gold card sudah dapat
dipergunakan oleh pemegang kartu setelah proses pengaktifan.
4 Handout Aplikasi Kartu Kredit Bank CIMB Niaga Syariah Gold Card
36
Selanjutnya pemegang kartu dapat menggunakan kartunya setiap
melakukan transaksi kepada semua merchant yang menerima merek kartu
yang dimiliki. Merchant yang bisa menerima merek-merek tertentu dapat
diketahui dengan memerhatikan logo atau gambar yang biasanya ditempel
dikasir.5
Sedangkan untuk prosedur penagihan setelah penggunaan kartu oleh
pemegang kartu adalah sebagai berikut:6
a. Card holder melakukan transaksi pada merchant yang terdapat
logo yang ada pada kartu.
b. Merchant akan mengirimkan tagihan pada issuer bank sesuai
dengan nominal belanja card holder.
c. Issuer bank akan membayar jumlah tagihan yang diajukan
merchant setelah dikurangi dengan diskon yang besarnya telah
disepakati antara merchant dengan issuer bank sekitar 3% - 5%.
Jadi bila belanja card holder Rp1.000.000,00, maka total tagihan
yang dibayarkan pada merchant adalah Rp950.000,00.
d. Setelah issuer bank membayar tagihan card holder maka issuer
bank akan mengirimkan billing statement pada card holder.
e. Card holder dapat membayar pada saat jatuh tempo atau sebelum
jatuh tempo melalui teller pada Bank CIMB Niaga Syariah atau
melalui ATM CIMB Niaga, ATM Bersama, E-Channel BCA, E-
Channel Mandiri, BNI, Permata sesuai dengan nilai yang ada pada
billing statement ditambah biaya yang ada bila pembayaran tidak
dilakukan langsung pada Bank CIMB Niaga Syariah.
5 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012), h. 118 6 Handout Aplikasi Kartu Kredit Bank CIMB Niaga Syariah Gold Card
37
2. Implementasi Akad dan Biaya-biaya yang ada pada Cimb Niaga Syariah
Gold Card
Dalam lembar informasi penting terkait syarat dan ketentuan kartu
syariah, pada ketentuan akad, menyatakan bahwa apabila aplikasi kartu
kredit ini disetujui dan kartu sudah diaktifkan, maka telah terjadi akad
antara pemegang kartu dengan bank sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia dan Fatwa
Dewan Syari‟ah Nasional yang berlaku, dimana akad yang digunakan
dalam kartu syariah adalah :
a. Akad Kafalah (Akad Penjaminan). Bank adalah penjamin Pemegang
Kartu untuk kepentingan toko dan/atau penjual produk barang/jasa
(untuk selanjutnya disebut „Merchant‟) atas semua kewajiban bayar
yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant,
dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau Automatic Teller
Machine (ATM) bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, Bank
dapat menerima iuran (fee).7
Contoh penerapan pada kartu cimb niaga syariah gold card:8
Pemegang kartu melakukan transaksi pada merchant, tentunya
memakai kartu kredit, pemegang kartu tidak mengeluarkan uang pada
saat transaksi ke merchant, pembayarannya melalui kartu kredit dari
bank, berarti yang bayar adalah bank ke merchant, pembayarannya
H+1 bank melakukan pembayaran pada merchant, artinya
pembayaran transaksi antara pemegang kartu dengan merchant sudah
lunas, yang belum lunasnya yaitu pembayaran pemegang kartu ke
bank penerbit kartu, jadi pemegang kartu masih berhutang atau masih
ada outstanding yang harus di bayar ke bank, dalam hal ini berarti
bank sudah menjamin transaksi pemegang kartu ke merchant, disini
7https://www.cimbniaga.com/in/personal/products/cards/credit-
card/products/terms-conditions-syariah.html#Panduan-Umum-Syarat--Ketentuan-
Kartu-Syariah. Bagian Informasi Penting Kartu Syariah, Diakses pada tanggal 08-
08-2018, 22:20 8 Siti Sri Nurhayati (titi), Syariah Advisory Services Cimb Niaga Syariah,
Interview Pribadi, Bintaro, 15 Maret 2018.
38
adalah fungsi kafalah fee, bank sebagai penjamin, berhak atas kafalah
fee tersebut.
b. Akad Qardh (Akad Pinjam-Meminjam). Bank adalah pemberi
pinjaman atas seluruh transaksi penarikan tunai dan transaksi
pinjaman dana yang dilakukan Pemegang Kartu melalui fasilitas
dan/atau sistem pelayanan jasa yang dimiliki bank. Atas fasilitas
dan/atau sistem pelayanan jasa tersebut Bank berhak atas fee yang
besarnya tidak dikaitkan dengan nominal dana yang ditarik dan
jumlah pinjaman.9
Aplikasi pada cimb niaga syariah gold card, bahwa qard muncul
karena adanya biaya administrasi, sebenarnya prinsip dari qard adalah
tolong-menolong, dengan sebab bank sudah meminjamkan uang,
namun disini dikenakan biaya administrasi. Dalam konsep kartu
kredit, qard diterapkan untuk transaksi tarik tunai di ATM, karena ada
biayanya di bank, maka diterapkan adanya biaya administrasi untuk
transaksi tarik tunai.
Contohnya: pada kartu kredit misal limitnya Rp10.000.000,00
disini ada 20 % bisa di pakai untuk transaksi tarik tunai, berarti 20%
dari Rp10.000.000,00 yaitu Rp2.000.000,00 maka Rp2.000.000,00 ini
yang bisa di pakai untuk transaksi tarik tunai di ATM dan besarannya
sudah maksimum. Biaya administrasinya dikenakan Rp50.000,00 per
transaksi.10
Qard itu cash plus, nasabah kita kasih kesempatan untuk ambil
pinjaman, untuk ambil cash plus adakalanya lewat atm, adakalanya
lewat teller, adakalanya kita tawarin oleh tim marketing kita.11
9https://www.cimbniaga.com/in/personal/products/cards/credit-
card/products/terms-conditions-syariah.html#Panduan-Umum-Syarat--Ketentuan-
Kartu-Syariah. Bagian Informasi Penting Kartu Syariah, Diakses pada tanggal 08-
08-2018, 22:20 10
Siti Sri Nurhayati (titi), Syariah Advisory Services Cimb Niaga Syariah,
Interview Pribadi, Bintaro, 15 Maret 2018. 11
Ahmad Yani, Syariah Advisory Services Head, Syariah Advisory and
Legal Group Bank Cimb Niaga Syariah, Interview Pribadi, Jakarta, 03 Agustus
2018.
39
c. Akad Ijarah (Akad Pembiayaan Jasa). Bank adalah penyedia
pelayanan dan jasa sistem pembayaran bagi pemegang kartu
selanjutnya disebut “jasa”. Atas jasa ini, pemegang kartu dikenakan
beban jasa atau ujrah atau fee (facility charge).12
Aplikasi pada cimb niaga syariah gold card, bahwa ijarah
adalah jasa atas fasilitas yang diberikan oleh bank, fasilitasnya seperti
ATM, EDC, Microset/Website. Dalam kartu kredit, ijarah diterapkan
pada annual fee atau membership fee / biaya keanggotaan. Cimb niaga
syariah gold card, untuk annual fee nya terdapat adanya kartu utama
dan kartu tambahan / supplement, untuk kartu utama free for life,
untuk kartu tambahan dikenakan biaya Rp. 150.000 per tahun.13
Secara khusus dalam produk cimb niaga syariah gold card,
penerapan denda dan ta‟widh, terdapat dua denda dalam produk ini, yaitu:
a. NPMFC (Net Payable Monthly Facility Charge)
NPMFC adalah denda yang diakibatkan karena nasabah tidak
membayar secara penuh (full payment) tagihannya atau denda kurang
bayar, dimana NPMFC ini didapat dari nilai MFC yang merupakan
biaya atas fasilitas dan pelayanan jasa yang diberikan bank kepada
pemegang kartu yang akan dibebankan setiap bulan. MFC ini akan
dikurangi atau dipotong rebate yang besarnya berdasarkan jumlah
transaksi dan pembayaran yang dilakukan setiap bulannya sehingga
diketahui nilai dari NPMFC yang harus dibayar nasabah. Nilai MFC
yang ada pada cimb niaga syariah gold card antara Rp336.070,00
sampai Rp3.604.000,00. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel
berikut ini:14
12
https://www.cimbniaga.com/in/personal/products/cards/credit-
card/products/terms-conditions-syariah.html#Panduan-Umum-Syarat--Ketentuan-Kartu-
Syariah. Bagian Informasi Penting Kartu Syariah, Diakses pada tanggal 08-08-2018,
22:20 13
Siti Sri Nurhayati (titi), Syariah Advisory Services Cimb Niaga Syariah,
Interview Pribadi, Bintaro, 15 Maret 2018. 14
https://www.cimbniaga.com/in/personal/products/cards/credit-
card/products/fees-charges-syariah.html. Diakses pada tanggal 08-08-2018, 22.40
40
Tabel 3
Nilai Monthly Facility Charge
Limit Kartu MFC (Rp) Limit Kartu MFC (Rp)
3.000.000,- 336.070 18.000.000,- 841.420
4.000.000,- 369.760 19.000.000,- 875.110
5.000.000,- 403.450 20.000.000,- 908.800
6.000.000,- 437.140 30.000.000,- 1.245.700
7.000.000,- 470.830 40.000.000,- 1.582.600
8.000.000,- 504.520 50.000.000,- 1.919.500
9.000.000,- 538.210 60.000.000,- 2.256.400
10.000.000,- 571.900 70.000.000,- 2.593.300
11.000.000,- 605.590 80.000.000,- 2.930.200
12.000.000,- 639.280 90.000.000,- 3.267.100
13.000.000,- 672.970 91.000.000,- 3.300.790
14.000.000,- 706.660 92.000.000,- 3.334.480
15.000.000,- 740.350 98.000.000,- 3.536.620
16.000.000,- 774.040 99.000.000,- 3.570.310
17.000.000,- 807.730 100.000.000,- 3.604.000
41
Tabel 4
NPMFC (Net Payable Monthly Facility Charge)
Saldo Tagihan / Outstanding (Rp) NPMFC
1 sd. 1.000.000
1.000.001 sd. 2.000.000
2.000.001 sd. 3.000.000
3.000.001 sd. 4.000.000
4.000.001 sd. 5.000.000
5.000.001 sd. 6.000.000
6.000.001 sd. 7.000.000
7.000.001 sd. 8.000.000
8.000.001 sd. 9.000.000
9.000.001 sd. 10.000.000
10.000.001 sd. 11.000.000
99.000.001 sd. 100.000.000
0.02 sd. 22.460
22.460.02 sd. 44.920
44.920.02 sd. 67.380
67.380.02 sd. 89.840
89.840.02 sd. 112.300
112.300.02 sd. 134.760
134.760.02 sd. 157.220
157.220.02 sd. 179.680
179.680.02 sd. 202.140
202.140.02 sd. 224.600
224.600.02 sd. 247.060
2.223.540.02 sd. 2.246.000
Berikut contoh perhitungan NPMFC yang ada pada cimb niaga syariah
gold card :15
NPMFC merupakan denda kurang bayar, dimana nilai dari NPMFC ini
didapat dari: NPMFC = MFC - Rebate
Sedangkan untuk nilai Rebate didapat dari:
Rebate = MFC – (Total sisa tagihan X 3,75%)
Maka sebagai contoh perhitungan, jika limit kartu Rp3.000.000,00 dan
pengguna menggunakan sebesar Rp1.000.000,00, jika nilai yang dibayar
pengguna kartu saat jatuh tempo atau full payment maka nilai yang
dibayarkan adalah Rp1.000.000,00.
15
https://www.cimbniaga.com/in/personal/products/cards/credit-
card/products/fees-charges-syariah.html. Diakses pada tanggal 08-08-2018, 22.50
42
Namun jika pengguna kartu hanya dapat membayar nilai minimum
payment (10%) maka nilai yang harus dibayar adalah:
NPMFC = MFC – Rebate
Rebate = MFC – (Total sisa tagihan X 3,75%)
= Rp336.070,00 - (Rp900.000,00 X 3,75%)
= Rp336.070,00 - Rp33.750,00
= Rp302.320,00
NPMFC = MFC – Rebate
= Rp336.070,00 - Rp302.32,00
= Rp33.750,00
Jadi nilai yang harus dibayar adalah Rp100.000,00 + Rp33.750,00 =
Rp133.750,00.
Sisa yang belum dibayar adalah Rp900.000,00.
b. Biaya Ta‟widh
Seperti di bahas sebelumnya, dalam penerapan akad pada cimb niaga
syariah gold card, bahwa pemegang kartu masih berhutang atau masih ada
outstanding yang harus di bayar ke bank, pembayarannya sebelum jatuh
tempo, setiap kartu pasti punya cycle date, semua tipe kartu kredit pasti
punya tanggal jatuh tempo. Untuk syariah gold, tanggal cetak tagihannya
yaitu pada tanggal 19 setiap bulannya, jadi bank akan mengeluarkan
billing tagihan di tanggal 19 setiap bulannya, jatuh temponya +16 hari
setelah tanggal 19, ini dinamakan grace period. Adanya grace period ini
adalah memberi kesempatan pemegang kartu untuk membayar. Misalnya
pemegang kartu melakukan transaksi pada tanggal 3 Maret 2018, tanggal
19 maret bank mengeluarkan billing tagihan ke pemegang kartu, tanggal
jatuh temponya +16 hari setelah tanggal 19 maret tersebut, berarti tanggal
4 april adalah tanggal maksimum pemegang kartu harus bayar ke bank.16
Jika nasabah telat bayar, jadi lewat dari tanggal jatuh tempo yang
ditentukan, maka nasabah dikenakan biaya ta‟widh / ganti rugi, karena
16
Siti Sri Nurhayati (titi), Syariah Advisory Services Cimb Niaga Syariah,
Interview Pribadi, Bintaro, 15 Maret 2018.
43
dalam hal ini bank mengalami kerugian. Ganti rugi ini berdasarkan cost /
biaya yang telah dikeluarkan oleh bank, seperti biaya telepon, gaji
karyawan, surat-surat dsb. Disini lah biaya-biaya yang telah dikeluarkan di
bagi dengan berapa yang belum bayar. Namun di bank cimb niaga syariah
gold card, besarannya sudah ditentukan yaitu Rp135.000,00 sudah
termasuk fix a month dan termasuk monthly fee / biaya bulanan, baik telat
satu hari atau beberapa hari pun tetap di angka tersebut, biaya ta‟widh ini
muncul di tagihan berikutnya, kenapa Rp135.000,00?, karena cimb niaga
syariah gold card membandingkan biaya-biaya yang timbul dari telat
bayarnya pemegang kartu tersebut. Mekanisme yang di pakai yaitu by
system.
3. Fitur dan Manfaat Penggunaan Cimb Niaga Syariah Gold Card
Sebagai pemegang kartu cimb niaga syariah gold, dapatkan fasilitas :17
a. Prinsip Syariah
Merupakan kartu yang mengakomodir gaya hidup syariah, sehingga
seluruh transaksi yang dilakukan sudah dicover dengan akad-akad
sesuai prinsip syariah, yaitu akad kafalah (akad penjaminan), qardh
(akad pinjam meminjam) dan ijarah (akad pembiayaan jasa).
b. Gratis Iuran Tahunan
Nikmati gratis iuran tahunan seumur hidup untuk kartu utama.
c. Nilai Tukar Kompetitif
Nikmati nilai tukar yang kompetitif untuk transaksi dengan mata uang
asing, transaksi pembelanjaan & tarik tunai di luar negeri.
d. Poin Xtra
Setiap transaksi ritel kelipatan Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) akan
mendapat 1 (satu) poin xtra, kecuali transaksi penarikan tunai (cash
advance), cash plus, cashback, katalog, cicilan, pembayaran iuran
keanggotaan/membership dan pembayaran angsuran.
17
Handout Aplikasi Kartu Kredit Bank CIMB Niaga Syariah Gold Card
44
e. Fasilitas Cicilan Tetap
Untuk transaksi ritail dengan kartu cimb niaga syariah gold senilai
minimum Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dapat diubah menjadi
cicilan tetap dengan biaya yang ringan melalui internet banking credit
card atau phone banking 14041 sebelum tanggal cetak tagihan.
f. Quick Pay
Kemudahan pembayaran tagihan bulanan seperti listrik, telepon,
handphone, TV kabel hingga internet dalam 1 (satu) lembar tagihan
kartu kredit. Pemegang kartu cukup mengingat tanggal jatuh tempo
tagihan kartu tanpa perlu khawatir ada tagihan bulanan yang terlewat.
g. Oto Pay
Kemudahan fasilitas pembayaran tagihan kartu secara otomatis
melalui rekening tabungan/rekening koran anda di CIMB Niaga
dimana anda diberikan keleluasaan untuk menentukan pembayaran
kartu setiap bulannya dengan pilihan pendebetan 10% (minimum
payment) atau 100% untuk full payment.
Jika merujuk pada asas-asas muamalat, bank cimb niaga syariah
khususnya dalam produk cimb niaga syariah gold card menerapkan asas-
asas muamalat tersebut. Produk ini jika dilihat dari asas:18
a. Asas taba‟dulul mana‟fi, memberikan manfaat baik bagi bank selaku
issuer bank berupa pendapatan dari penggunaan kartu, merchant
selaku pemilik barang atau jasa berupa pendapatan yang diperoleh
melalui pembelian atau pemanfaatan jasa oleh card holder, dan bagi
card holder ada kepraktisan dan kemudahan dalam berbelanja.
b. Asas „antara‟din, dalam produk ini baik issuer bank, merchant
maupun card holder melakukan transaksi muamalat secara suka sama
suka karena tidak ada unsur paksaan dan dari penggunaan kartu ini
ada keuntungan yang didapat oleh masing-masing pihak.
18
Sri Nur Oktavia, “Pelaksanaan Ta‟widh Pada Produk Cimb Niaga Syariah Gold
Card di Bank Cimb Niaga Syariah Bandung”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Univesitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2013), h. 71
45
c. Asas adamul gurar, dikarenakan tidak ada paksaan dan dilakukan
secara suka sama suka dan dalam hal pembelian barang atau
pemanfaatan jasa pengguna kartu mengetahui kondisi barang yang
dibelinya secara jelas.
d. Asas al-birr wa al-taqwa, dalam hal ini CIMB Niaga Syariah gold
card tidak dapat digunakan pada seluruh merchant terutama merchant
yang tidak sesuai dengan prinsip syariah seperti bars, disco dan club,
ini diharapkan agar pengguna kartu tetap berada pada jalan yang benar
tidak menyimpang dari ketentuan agama, walaupun sistem kode yang
ada belum dapat mengawasi secara keseluruhan.
e. Asas musyarakah, dalam hal ini produk CIMB Niaga Syariah gold
card merupakan produk musyarakah yaitu kerjasama antara pihak,
dimana ada keuntungan yang didapat oleh masing-masing pihak.
f. Jika dilihat dari asas pemerataan, dalam hal pendistribusian harta,
produk ini belum tersalurkan dengan baik, mengingat CIMB Niaga
Syariah gold card ini hanya bisa dimiliki dan ditujukan untuk
masyarakat dengan keadaan ekonomi menengah keatas tidak dapat
menyentuh kalangan masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah
kebawah. Karena dalam permohonan pemilikan kartu pun, ada
beberapa persyaratan tertentu.
46
B. Produk CIMB Niaga Syariah Gold Card Kesesuaian Terhadap Fatwa
DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004
Pada dasarnya ganti rugi bagi pihak yang melakukan pengrusakan
barang milik orang lain dan ganti ruginya harus seimbang dengan jumlah
kerugian yang dalam konteks sekarang ini sesuai dengan perkembangan
zaman dan waktu maka kata barang tadi dikiaskan kepada uang. Mengingat
yang sudah dijelaskan, bahwa sangatlah jelas kebolehan dikenakannya ganti
rugi saat seimbang dengan kerugian yang dialami karena ketika nasabah telat
membayar angsuran maka pihak perusahaan mengalami kerugian berupa
uang telat bergulir.19
Praktik yang terjadi pada produk cimb niaga syariah gold card, seperti
yang dijelaskan sebelumnya, dimana besarnya nominal ta‟widh telah
ditentukan pada awal akad sebesar Rp135.000,00. Angka ini merupakan
kebijakan yang telah ditetapkan oleh keputusan dari pihak bank tersebut yang
besarnya tetap selama satu bulan untuk seluruh limit kartu mulai dari
Rp3.000.000,00 sampai limit Rp100.000.000,00. Sedangkan nilai kerugian
bank syariah pastinya belum diketahui. Ganti rugi ini dikenakan pada nasabah
yang telat membayar tanpa pihak bank mencari tahu terlebih dahulu
mengenai apa penyebab dari nasabah yang bersangkutan telat membayar
angsuran.
Berdasarkan fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004, dalam
ketentuan-ketentuannya menyatakan bahwa ganti rugi (ta‟widh) hanya boleh
dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan
sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian
pada pihak lain, besar ganti rugi (ta‟widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian
riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan
bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i‟ah).
19
Nadia Ananda Elsanti, “Penerapan Ta‟widh pada Pemegang Syariah Card” h. 150
47
Dalam ketentuan khususnya menyatakan bahwa ganti rugi yang
diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi
pihak yang menerimanya, jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai
dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan
para pihak dan besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
C. Ada atau tidaknya Ketentuan Dalil lain pada Produk CIMB Niaga
Syariah Gold Card dalam Menentukan Ta’widh (ganti rugi)
Kartu kredit syariah (syariah card) merupakan kartu yang berfungsi
sebagai kartu kredit yang hubungan hukum antara para pihak berdasarkan
prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa, pengertian tersebut
berdasarkan Fatwa DSN-MUI nomor 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah
Card.20
Fatwa yang menjelaskan tentang kartu kredit ini yang pertama
sebetulnya adalah Fatwa DSN-MUI No. 42/DSN-MUI/V/2004 tentang
Syariah Charge Card, kemudian Fatwa DSN-MUI No. 54/DSN-MUI/X/2006
tentang Syariah Card.21
Dalam fatwa dsn-mui nomor 42/dsn-mui/v/2004 tentang syariah charge
card, terdapat ketentuan yang mengatur mengenai denda-denda, yaitu:
1. Denda Keterlambatan (Late Charge)
Penerbit kartu boleh mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang
akan diakui sebagai dana sosial.
2. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge)
Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu
melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan
penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.
Sebelumnya mengenai denda, telah dibahas dalam fatwa tentang denda
(ta‟zir) diatur dalam fatwa nomor 17/dsn-mui/ix/2000 tentang sangsi atas
20
Fitri Anis Wardani, “Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam”, h. 34 21
Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, h. 273
48
nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Fatwa tersebut
mengandung beberapa aturan penting diantaranya:22
1. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan kondisi force
majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
2. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak
mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh
dikenakan sanksi.
3. Sanksi didasarkan pada prinsip ta‟zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih
disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
4. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas
dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
5. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial
Dalam fatwa dsn-mui nomor 54/dsn-mui/x/2006 tentang syariah card,
terdapat ketentuan yang mengatur mengenai ta‟widh dan denda, yaitu:
1. Ta‟widh
Penerbit kartu dapat mengenakan ta‟widh, yaitu ganti rugi terhadap
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan
pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
2. Denda Keterlambatan (late charge)
Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang
akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Cimb niaga syariah gold card merupakan produk perbankan syariah
yang lebih banyak digunakan untuk yang bersifat konsumtif. Dimana produk
ini juga didasari oleh peraturan-peraturan seperti berikut:
1. PBI No. 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008, tentang Islamic
Banking Products and Syariah Business Unit.
2. SE BI No. 10/31/DPbS tanggal 07 Oktober 2008, tentang Islamic Banking
Products and Syariah Business Unit.
22
Firman Wahyudi, “Mengontrol Moral Hazard Nasabah Melalui Instrumen Ta‟zir
dan Ta‟widh”, h. 194
49
3. PBI No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas PBI No. 11/11/PBI/2009,
tentang “Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu”.
4. SE BI No. 14/17/DASP, Perubahan atas No. 11/10/DASP, tentang “Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu”.
5. POJK Nomor /POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Pembiayaan Syariah.
Peraturan-peraturan tersebut diatas, mengatur dan menjelaskan definisi
dari kartu kredit syariah (syariah card), beserta ketentuan akad-akad yang ada
pada kartu kredit syariah (syariah card).
Berkaitan menganai ta‟widh, sesuai ketetapan dalam fatwa DSN-MUI
nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004, terdapat ketentuan-ketentuan sebagaimana
diuraikan berikut ini:23
Ketentuan Umum
1. Ganti rugi (ta‟widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang
dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta‟widh sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg
dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta‟widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real
loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan
kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i‟ah).
5. Ganti rugi (ta‟widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna‟ serta
murabahah dan ijarah.
23
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ta‟widh
dalam hal Menerapkan h. 5
50
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh
dikenakan oleh shahibul maal atau salah satu pihak dalam musyarakah
apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
Ketentuan Khusus
1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai
hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya
2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan
tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan
biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Adapun pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005
tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prisnsip Syariah, Pasal 19,
memuat ketentuan Ganti Rugi (ta‟widh) dalam pembiayaan, yaitu:24
1. Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta‟widh) hanya atas kerugian riil
yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang
dari ketentuan Akad dan mengakibatkan kerugian pada Bank;
2. Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan Bank adalah
sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan
upaya Bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan
kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i‟ah);
3. Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Akad Ijarah dan Akad yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam, Istishna‟ serta
Murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai;
4. Ganti rugi dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah, hanya boleh
dikenakan Bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan
24
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan
dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan
Prisnsip Syariah, Pasal 19, h. 22
51
Bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai
mudharib;
5. Klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam
Akad dan dipahami oleh nasabah; dan
6. Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara Bank dengan nasabah.
Adapun pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbS
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, Romawi V, dan
pada Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia, Liabilitas dan Modal:
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, Produk Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah. Memuat ketentuan Ganti Rugi (ta‟widh)
dalam Pembiayaan dan Penghimpunan Dana, yaitu:
1. Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta‟widh) kepada nasabah baik
karena kesengajaan maupun kelalaian nasabah dalam melakukan
sesuatu yang menyimpang dari perjanjian pembiayaan dan
penghimpunan dana yang mengakibatkan kerugian dan/atau tambahan
beban pada Bank;
2. Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah
sebesar nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya
Bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan potensi
kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i‟ah);
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud dalam huruf b adalah biaya-biaya
riil dan/atau tambahan beban yang dikeluarkan oleh Bank dalam
rangka penagihan hak Bank atas nasabah dan/atau dalam rangka
pengelolaan rekening penghimpunan dana nasabah.
4. Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Pembiayaan atas dasar Ijarah
dan Pembiayaan yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti
52
Salam, Istishna‟ serta Murabahah, yang pembayarannya dilakukan
secara tangguh;
5. Ganti rugi dalam Pembiayaan atas dasar Mudharabah dan
Musyarakah, hanya boleh dikenakan oleh Bank sebagai pemilik dana
(shahibul maal) apabila bagian keuntungan Bank tidak dibayar oleh
nasabah sebagai pengelola dana (mudharib);
6. Klausul kemungkinan pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara
jelas dalam perjanjian Pembiayaan dan dipahami oleh nasabah.
Berdasarkan penjelasan diatas, kemudian ketentuan-ketentuan
dalam peraturan terkait yang telah diuraikan mengenai late charge dan
ta‟widh, jika peneliti uraikan, bahwa nilai ta‟widh itu merupakan late
charge untuk nasabah, peneliti uraikan bahwa ketentuan late charge yang
nilainya Rp0, yang ada pada cimb niaga syariah gold card, merujuk pada
fatwa nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sangsi atas nasabah mampu
yang menunda-nunda pembayaran, yang mana dalam fatwa tersebut ada
ketentuan di nomer 4, menjelaskan bahwa sanksi dapat berupa denda
sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan
dibuat saat akad ditandatangani.
Untuk ketentuan mengenai ta‟widh, dalam praktiknya di cimb
niaga syariah gold card, sudah ditentukan pada awal akad dan dianggap
sebagai nilai dari denda keterlambatan pembayaran yang besarnya
ditentukan berdasarkan kebijaksanaan bank yang nantinya menjadi
pemasukan untuk bank. Dalam hal mengatur tentang ta‟widh, merujuk
pada fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004, dalam fatwa
tersebut mengatur bahwa jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai
dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan
para pihak, besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
Kemudian merujuk pada ketentuan fatwa dsn-mui nomor 42/dsn-
mui/v/2004 dan fatwa DSN-MUI nomor 54/dDSN-MUI/X/2006,
mengenai ketentuan late charge, menjelaskan bahwa denda keterlambatan
53
pembayaran, akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial. Untuk ketentuan
ta‟widh, sebagaimana diatur dalam fatwa DSN-MUI nomor 54/DSN-
MUI/X/2006 dan fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004,
bahwa ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui
sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya, jumlah ganti
rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara
pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak, besarnya ganti rugi
ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
Berdasarkan peraturan yang diuraikan dalam Peraturan Bank
Indonesia nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
berdasarkan Prisnsip Syariah, Pasal 19, dan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 10/14/DPbS tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah, Romawi V, masing-masing ada pada poin keenam, menguraikan
bahwa besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara bank dengan nasabah, peneliti uraikan bahwa atas
dasar peraturan ini, ketentuan mengenai ta‟widh pada cimb niaga syariah
gold card ditentukan pada awal akad, sedangkan dalam fatwa nomor
43/dsn-mui/viii/2004 tentang ta‟widh, bahwa besaran ganti rugi tidak
boleh dicantumkan pada awal akad.
54
BAB IV
KEHALALAN PRODUK SYARIAH GOLD CARD TINJAUAN
BERDASARKAN FATWA DSN-MUI NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004
Bank syariah, pada umumnya adalah lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Cimb
niaga syariah sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syariah yang memiliki
fungsi sebagai lembaga intermediary dalam menjalankan kegiatan penghimpunan
dan penyaluran dananya harus sesuai dengan aturan-aturan syariah yang ada.1
Produk cimb niaga syariah gold card, adalah produk yang dimiliki oleh bank
cimb niaga syariah, dalam praktiknya ada beberapa akad yang digunakan dalam
kartu kredit syariah ini, yaitu kafalah, qardh dan ijarah. Kafalah berarti
penjaminan dalam transaksi ini, qardh adalah pemberian pinjaman secara tunai
dan ijarah sebagai penyedia sistem dana pelayanan pembayaran kartu. Seperti
halnya yang ada pada fatwa, bahwa ta‟widh hanya boleh dikenakan pada transaksi
(akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), karena akad yang dipakai yaitu
akad kafalah (penjaminan), qard (pinjam-meminjam), dan ijarah (pembiayaan
jasa). Dilihat dari praktiknya yang terjadi pada produk cimb niaga syariah gold
card, seperti yang dijelaskan sebelumnya, ternyata belum sepenuhnya mengikuti
aturan yang telah ada tersebut.2
Adapun fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta‟widh
(ganti rugi) lahir berdasarkan praktik banyaknya nasabah yang enggan memenuhi
kewajiban pembayaran hutangnya padahal mereka mampu. Untuk melakukan
penagihan, bank mengeluarkan biaya yang tidak kecil seperti menyewa pengacara,
polisi dsb. Tentunya sebagai lembaga lost profit, bank selalu melakukan usaha
bisnisnya dengan rotasi simpan-pinjam antar nasabah pembiayaan, dsb., sehingga
kalau kelalaian ini dibiarkan akan berdampak buruk terhadap kinerja Bank
1 Zaenul Arifin Yusuf, “Perbandingan Kartu Kredit dan Kartu Kredit Berbasis Syariah di
Indonesia”, h. 256 2 Fitri Anis Wardani, “Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam”, h. 34
55
Syariah. Untuk itulah fatwa ini dilahirkan sebagai bentuk timbal balik dan
konpensasi bagi Bank terhadap nasabah yang lalai dan enggan dalam memenuhi
kewajibannya.3
Ketua Dewan Syariah Nasional, K.H. Ma‟ruf Amin mengatakan biaya yang
harus diganti dalam ta‟widh ini haruslah kerugian yang riil dan bukan kehilangan
kesempatan atau time value of money, karena jika berdasar time value of money
maka kategorinya mirip dengan riba sehingga tak diperbolehkan. Untuk
menghitung kerugian riil yang dialami, perbankan syariah biasanya melakukan
tiga pendekatan yaitu penjadwalan kembali (reschedulling), persyaratan kembali
(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring).4
Dalam fatwa dsn-mui nomor 43/dsn-mui/viii/2004 tentang ganti rugi
(ta‟widh) secara keseluruhan dijelaskan ketentuan-ketentuannya, sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
a. Ganti rugi (ta‟widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang
dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
b. Kerugian yang dapat dikenakan ta‟widh sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan
jelas.
c. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg
dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya
dibayarkan.
d. Besar ganti rugi (ta‟widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil
(real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan
bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena
adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-
i‟ah).
3 Firman Wahyudi, “Mengontrol Moral Hazard Nasabah Melalui Instrumen
Ta‟zir dan Ta‟widh” h. 190 4 Firman Wahyudi, “Mengontrol Moral Hazard Nasabah Melalui Instrumen
Ta‟zir dan Ta‟widh” h. 191
56
e. Ganti rugi (ta‟widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad)
yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna‟ serta
murabahah dan ijarah.
f. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh
dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah
apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
2. Ketentuan Khusus
a. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai
hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
b. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil
dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
c. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
d. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan
biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Jika peneliti uraikan tinjauan-tinjauan berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
yang ada pada fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ganti rugi
(ta‟widh), berdasarkan penelitian mengenai implementasi ta‟widh pada produk
cimb niaga syariah gold card, pada ketentuan umum, poin a, tujuan dari cimb
niaga syariah gold card, dari hasil wawancara, narasumber menyatakan bahwa
ganti rugi (ta‟widh) hanya dikenakan pada nasabah yang lalai dan itu
menimbulkan kerugian pada bank, untuk ta‟widh ini langsung dikenakan
keesokan harinya setelah tanggal jatuh tempo, pihak bank tidak memberi masa
tenggang untuk beberapa hari dan tanpa pihak bank mencari tahu terlebih dahulu
apa yang menjadi penyebab nasabah telat membayar dan atau tidak membayar
penuh tagihannya.
Pada poin b, c dan d, cimb niaga syariah gold card, berdasasrkan hasil
wawancara, perhitungan ta‟widh merujuk pada sisi collection, komponennya yaitu
sewa gedung, sewa sistem, telepon, gaji karyawan dsb., dari semua itu memang
biaya riil nya, pihak bank menyatakan ta‟widh itu besarannya fix a month,
langsung dari awal ke nasabah sudah diberitahu. Dengan besarnya nominal
ta‟widh telah ditentukan pada awal akad sebesar Rp135.000,00. Angka ini
57
merupakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh keputusan dari pihak bank, yang
besarnya tetap selama satu bulan untuk seluruh limit kartu, sedangkan disamping
itu kerugian bank pastinya belum diketahui.
Pada poin e, aplikasinya pada cimb niaga syariah gold card, menerapkan
juga bahwa ta‟widh hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang (dain), karena akad yang dipakai yaitu akad kafalah
(penjaminan), qard (pinjam-meminjam), dan ijarah (pembiayaan jasa).
Pada ketentuan khusus, poin a, tentu penerapan ta‟widh pada cimb niaga
syariah gold card adalah sudah termasuk menjadi pemasukan pihak bank, pada
poin b dan c, akan dibahas bahwa aplikasinya pada cimb niaga syariah gold card.
Terdapat dua denda dalam produk ini, pertama, denda yang diakibatkan karena
nasabah tidak membayar secara penuh (full payment) tagihannya atau denda
kurang bayar yang disebut dengan NPMFC (Net Payable Monthly Facility
Charge) dimana NPMFC ini di dapat dari nilai MFC yang merupakan biaya atas
fasilitas dan pelayanan jasa yang diberikan bank kepada pemegang kartu yang
akan dibebankan setiap bulan. MFC ini akan dikurangi atau dipotong rebate yang
besarnya berdasarkan jumlah transaksi dan pembayaran yang dilakukan setiap
bulannya sehingga diketahui nilai dari NPMFC yang harus dibayar nasabah.
Nilainya MFC yang ada pada produk cimb niaga syariah gold card antara
Rp343.750,00 sampai Rp5.800.000,00.
Kedua, denda keterlambatan (late charge) yang nilainya Rp0,- yang telah
ditentukan pada awal akad menurut kebijakan bank. Biaya ganti rugi (ta‟widh)
sebesar Rp135.000,00 yang telah ditentukan pada awal akad yang besarnya sama
untuk semua limit kartu.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa ta‟widh itu adalah kerugian
riil bukan kerugian yang diperkirakan yang tidak boleh ditentukan pada awal
akad. Tetapi disini bank cimb niaga syariah telah menentukan besarnya nilai
kerugian yang belum pasti pada awal akad. Dimana denda dan ta‟widh ini
langsung dikenakan keesokan harinya setelah tanggal jatuh tempo tanpa pihak
bank memberi masa tenggang beberapa hari dan tanpa pihak bank mencari tahu
58
terlebih dahulu apa yang menjadi penyebab nasabah telat membayar dan tidak
membayar penuh tagihannya.
Diketahui bahwa pihak bank menyatakan ta‟widh itu besarannya fix a
month, langsung dari awal ke nasabah sudah diberitahu. Dengan besarnya nominal
ta‟widh telah ditentukan pada awal akad sebesar Rp135.000,00. Angka ini
merupakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh keputusan dari pihak bank, yang
besarnya tetap selama satu bulan untuk seluruh limit kartu, sedangkan disamping
itu kerugian bank pastinya belum diketahui. Kemudian, ternyata nilai Rp0,- untuk
late charge itu sudah termasuk nilai Rp135.000,00 yang ada pada ta‟widh,
termasuk denda keterlambatan nasabah, baik nasabah terlambat satu hari, satu
minggu atau satu bulan.
Seperti yang dijelaskan diatas, jadi perhitungan ta‟widh merujuk pada sisi
collection, komponennya yaitu sewa gedung, sewa sistem, telepon, gaji karyawan
dsb. Ta‟widh melekat erat dengan denda, jika nasabah terkena denda, pasti
nasabah terkena ta‟widh, jika nasabah terkena ta‟widh pasti nasabah terkena
denda juga.5
5 Ahmad Yani, Syariah Advisory Services Head, Syariah Advisory and Legal Group Bank
Cimb Niaga Syariah, Interview Pribadi, Jakarta, 03 Agustus 2018.
59
Berikut informasi biaya-biaya yang ada cimb niaga syariah gold card,
dapat dilihat pada tabel berikut:6
Tabel 5
Informasi Biaya Cimb Niaga Syariah Gold Card
Annual Fee
Basic
Supplement
Free For Life
Rp. 150.000
Cash Advance Fee Rp. 50.000
Batas Cash Advance
Limit Per Day
20 %
Rp. 2.000.000
Late Charges Rp. 0
Ta‟widh Rp. 135.000
Card Replacement Fee Rp. 75.000
Copy Of Billing Statement Fee Rp. 15.000
Copy Sales Draft Fee Rp. 40.000
Increase Limit Fee
(Permanen / Sementara)
Free
Payment Fee
ATM CIMB Niaga
E-Payment CIMB Niaga
Counter Bank CIMB Niaga
ATM Bersama / Prima
E-Channel BCA, Mandiri & BNI
E-Channel Permata & ATM Danamon
Free
Free
Sesuai Ketentuan
Rp. 6.500
Rp. 9.000
Rp. 7.500
Cimb niaga syariah sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syariah
yang memiliki fungsi sebagai lembaga intermediary dalam menjalankan
kegiatan penghimpunan dan penyaluran dananya harus sesuai dengan
6https://www.cimbniaga.com/in/personal/products/cards/credit-
card/products/fees-charges-syariah.html. Diakses pada tanggal 08-08-2018, 23.00
60
aturan-aturan syariah yang ada, ternyata belum sepenuhnya mengikuti
aturan yang telah ada tersebut. Ini dapat dilihat dari praktiknya yang terjadi
pada produk cimb niaga syariah gold card, seperti yang dijelaskan
sebelumnya, dimana besarnya nominal ta‟widh telah ditentukan pada awal
akad sebesar Rp135.000,00 angka ini merupakan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh keputusan dari pihak bank tersebut yang besarnya tetap
selama satu bulan untuk seluruh limit kartu mulai dari Rp3.000.000,00
sampai limit Rp100.000.000,00. Sedangkan nilai kerugian Bank Syariah
pastinya belum diketahui. Ganti rugi ini dikenakan pada nasabah yang telat
membayar tanpa pihak bank mencari tahu terlebih dahulu mengenai apa
penyebab dari nasabah yang bersangkutan telat membayar angsuran.
Dari hasil wawancara penulis dengan pihak bank diketahui ternyata
nilai Rp0,- untuk late charge itu tidak seperti itu, karena nilai Rp135.000,00
yang ada pada ta‟widh itu merupakan late charge untuk nasabah, baik
nasabah terlambat satu hari, satu minggu atau satu bulan. Dan untuk nilai
dari ta‟widh itu sendiri untuk biaya tagihan terhadap nasabah yang telat
bayar adalah jika tagihannya kurang dari Rp1.000.000,00 maka dikenai
biaya materai Rp3.000,00, jika tagihannya lebih dari Rp1.000.000,00 maka
dikenai biaya materai Rp6.000,00, dan untuk biaya pengiriman lewat pos itu
Rp10.000,00.7
7 Ahmad Yani, Syariah Advisory Services Head, Syariah Advisory and Legal
Group Bank Cimb Niaga Syariah, Interview Pribadi, Jakarta, 03 Agustus 2018.
61
Tabel 6
Analisis Ta’widh pada Produk Cimb Niaga Syariah Gold Card
Kesesuaian terhadap Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004
Sesuai Tidak Sesuai
1. Berdasarkan penelitian mengenai
implementasi ta‟widh pada
produk cimb niaga syariah gold
card, pada ketentuan umum, poin
a, tujuan dari cimb niaga syariah
gold card, dari hasil wawancara,
narasumber menyatakan bahwa
ganti rugi (ta‟widh) hanya
dikenakan pada nasabah yang
lalai dan itu menimbulkan
kerugian pada bank.
2. Aplikasinya pada cimb niaga
syariah gold card, bahwa ta‟widh
hanya boleh dikenakan pada
transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang
(dain), karena akad yang dipakai
yaitu akad kafalah (penjaminan),
qard (pinjam-meminjam), dan
ijarah (pembiayaan jasa).
3. Penerapan ta‟widh pada cimb
niaga syariah gold card adalah
sudah termasuk menjadi
pemasukan pihak bank.
1. Pihak bank menyatakan ta‟widh
itu besarannya fix a month,
langsung dari awal ke nasabah
sudah diberitahu. Dengan
besarnya nominal ta‟widh telah
ditentukan pada awal akad
sebesar Rp135.000,00. Angka ini
merupakan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh keputusan dari
pihak bank, yang besarnya tetap
selama satu bulan untuk seluruh
limit kartu, sedangkan disamping
itu kerugian bank pastinya belum
diketahui.
2. Berdasasrkan hasil wawancara,
perhitungan ta‟widh merujuk
pada sisi collection,
komponennya yaitu sewa gedung,
sewa sistem, telepon, gaji
karyawan dsb., seharusnya untuk
kerugian riil dilihat pada sisi
biaya penagihan, biaya telepon,
surat penagihan.
3. Besaran ta‟widh telah ditetapkan
pada awal akad sebesar
Rp135.000,00. Angka ini
62
merupakan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh keputusan dari
pihak bank
4. Dari hasil wawancara penulis
dengan pihak bank diketahui
ternyata nilai Rp0,- untuk late
charge itu tidak seperti yang
dijelaskan sebelumnya, karena
nilai Rp135.000,00- yang ada
pada ta‟widh itu merupakan late
charge untuk nasabah, baik
nasabah terlambat satu hari, satu
minggu atau satu bulan.
Adapun ta‟widh berupa ganti rugi yang harus dibayar oleh nasabah
yang telah mengalami taraf colectibility, tidak ditetapkan diawal kontrak
namun dihitung berdasarkan kerugian riil yang dialami pihak bank.
Orientasinya lebih bersifat profit bisnis karena dimasukkan dalam
pendapatan bank sebagai konpensasi atas kerugian yang dialami bank.8
Adapun ratio logis dari lahirnya fatwa DSN ini adalah bertujuan untuk
memberikan asas maslahat dalam rangka mendisiplinkan nasabah agar
konsisten dalam memenuhi kewajibannya sebagai debitur serta sebagai
upaya preventif agar tidak terjadi kerancuan cash and flow dalam sistem
perbankan.
Dalam penelitian ini jika peneliti uraikan, terdapat pernyataan bahwa
menentukan ta‟widh pada produk cimb niaga syariah gold card belum
memenuhi ketentuan fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004,
karena seharusnya tidak ditetapkan diawal akad akan tetapi dalam
praktiknya sudah di tetapkan, kemudian antara denda dengan ta‟widh tidak
8 Dewi Sukma Kristianti, “Kartu Kredit Syariah dan Perilaku Konsumtif
Masyarakat”, h. 290
63
jelas, kemudian tidak ada transparansi atau penjelasan kepada nasabah
perihal rincian biaya kerugian bagi pihak bank.
Peneliti melakukan wawancara dengan Dosen Syariah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Euis Amalia,
M.Ag., beliau menyampaikan bahwa setuju dengan penelitian penulis,
karena banyak praktek-praktek dilapangan pada beberapa bank syariah yang
belum sepenuhnya sesuai syariah atau sesuai fatwa, karena bisa jadi ada
kesulitan di sistemnya atau dan lain sebagainya.
Dari penjelasan-penjelasan terkait implementasi ta‟widh pada produk
cimb niaga syariah gold card, peneliti mencoba menguraikan keterkaitan
antara ketentuan ta‟widh yang sudah di tentukan diawal akad, dengan istilah
klausula baku yang sering kali ditemui dalam kegiatan sehari-hari.
Berdasarkan pasal 1 ayat 10 Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Klausula baku diartikan sebagai “setiap
aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen”.9
Bagi sebagian orang, klausula baku ini juga sering disebut sebagai
“standard contract atau take it or leave it contract”. Dengan telah
dipersiapkan terlebih dahulu ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian,
maka konsumen tidak dapat lagi menegosiasikan isi kontrak tersebut. Jika
dilihat dari hal ini, maka ada ketimpangan yang terjadi antara para pihak.
Dengan menerapkan klausula baku ini, pihak pembuat kontrak sering kali
menggunakan kesempatan tersebut untuk membuat ketentuan-ketentuan
yang lebih menguntungkan pihaknya. Terlebih jika posisi tawar antara para
pihak tersebut tidak seimbang, maka pihak yang lebih lemah akan dirugikan
dari kontrak tersebut. Tentu harus ada perlindungan bagi konsumen dalam
9 UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dalam hal
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 10, h. 2
64
keadaan-keadaan tersebut. Hal tersebut terdapat dalam aturan-aturan dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.10
Dalam UUPK ini diatur mengenai hal-hal apa saja yang dilarang bagi
seorang pelaku usaha. Dalam pasal 18 UUPK disebutkan bahwa :11
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
4. pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli
jasa;
7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya;
10
.http://old.presidentpost.id/2013/05/06/perlindungan-terhadap-konsumen-atas-
klausula-baku/ diakses pada tanggal 8-10-2018, 12:10 11
UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dalam
BAB V Ketentuan Pencantuman Klausula Baku Pasal 18 ayat 1, h. 7
65
8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mengenai
klausula baku tersebut, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal
demi hukum.
Dalam fatwa nomor 42/DSN-MUI/V/2004 tentang syariah charge
card, terdapat ketentuan yang mengatur mengenai denda-denda, yaitu denda
keterlambatan (late charge) dan denda karena melampaui pagu (over limit).
Sebelumnya mengenai denda, telah dibahas dalam fatwa tentang denda
(ta‟zir) diatur dalam fatwa nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sangsi atas
nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran.
Jika peneliti uraikan, bahwa ketentuan late charge yang nilainya
Rp.0,- yang ada pada cimb niaga syariah gold card, merujuk pada fatwa
nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sangsi atas nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran, yang mana dalam fatwa tersebut ada
ketentuan di nomer 4, menjelaskan bahwa sanksi dapat berupa denda
sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat
saat akad ditandatangani.
Sedangkan ketentuan mengenai ta‟widh, karena dalam praktiknya di
cimb niaga syariah gold card, sudah ditentukan pada awal akad dan
dianggap sebagai nilai dari denda keterlambatan pembayaran yang besarnya
ditentukan berdasarkan kebijaksanaan bank yang nantinya menjadi
pemasukan untuk bank. Dalam hal mengatur tentang ta‟widh, merujuk pada
fatwa nomor 43/DSNMUI/VIII/2004, dalam fatwa tersebut mengatur bahwa
jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata
cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak, besarnya ganti rugi
ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
Kemudian merujuk pada ketentuan fatwa No. 42/DSN-MUI/V/2004
dan fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006, mengenai ketentuan late charge,
menjelaskan bahwa denda keterlambatan pembayaran, akan diakui
66
seluruhnya sebagai dana sosial. Untuk ketentuan ta‟widh, sebagaimana
diatur dalam fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006 dan fatwa No.
43/DSNMUI/VIII/2004, bahwa Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di
LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya,
namun lebih lengkap dalam fatwa No. 43/DSNMUI/VIII/2004 menyatakan
bahwa jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil
dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak, besarnya
ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
Berdasarkan peraturan yang diuraikan dalam PBI No. 7/46/PBI/2005
tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prisnsip Syariah, Pasal 19, dan
SEBI No. 10/14/DPbS tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah, Romawi V, masing-masing ada pada poin keenam, menguraikan
bahwa besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara Bank dengan nasabah, peneliti uraikan bahwa atas dasar
peraturan ini, ketentuan mengenai ta‟widh pada cimb niaga syariah gold
card ditentukan pada awal akad, sedangkan dalam fatwa
No.43/DSNMUI/VIII/2004 tentang ta‟widh, bahwa besaran ganti rugi tidak
boleh dicantumkan pada awal akad.
Berdasarkan penjelasan diatas, dinyatakan bahwa produk cimb niaga
syariah gold card dalam praktiknya jika merujuk pada fatwa No. 54/DSN-
MUI/X/2006 tentang Syariah Card, dinyatakan sesuai prinsip syariah.
Karena dalam fatwa tersebut, membahas penjelasan mengenai syariah card,
para pihak dalam kartu syariah, biaya-biaya yang ada pada syariah card,
ketentuan akad, ketentuan fee, sampai kemudian ketentuan mengenai
ta‟widh dan denda yang di dalam fatwa tersebut hanya sepintas dibahas.
Berbeda dengan implementasi ta‟widh pada produk cimb niaga
syariah gold card, untuk ketentuan-ketentuan mengenai ta‟widh, harus
merujuk pada fatwa No.43/DSNMUI/VIII/2004 tentang ta‟widh, karena
untuk ketentuan-ketentuan mengenai ta‟widh ada fatwanya tersendiri.
67
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, meski ketentuan-ketentuan diantaranya
ada yang sesuai, diantaranya lagi ternyata belum sepenuhnya mengikuti
aturan yang telah ada tersebut, jadi belum sepenuhnya sesuai fatwa nomor
43/DSNMUI/VIII/2004 tentang ta‟widh.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menjawab semua rumusan masalah dan pembahasan
sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, penulis mengemukakan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ta‟widh merujuk pada sisi collection, komponennya yaitu sewa gedung,
sewa sistem, telepon, gaji karyawan dsb., langsung dikenakan keesokan
harinya pada saat jatuh tempo. Pihak bank menyatakan ta‟widh itu
besarannya fix a month, langsung dari awal ke nasabah sudah diberitahu.
Dengan besarnya nominal ta‟widh telah ditentukan pada awal akad
sebesar Rp135.000,00. Angka ini merupakan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pihak bank, yang besarnya tetap selama satu bulan untuk
seluruh limit kartu, sedangkan disamping itu kerugian bank pastinya
belum diketahui. Terdapat dua denda dalam produk ini. Pertama, denda
yang diakibatkan karena nasabah tidak membayar secara penuh (full
payment) tagihannya atau denda kurang bayar yang disebut dengan
NPMFC (Net Payable Monthly Facility Charge) dibebankan setiap
bulan. Kedua, denda keterlambatan (late charge) nilainya Rp0,- yang
telah ditentukan pada awal akad menurut kebijakan bank dan dianggap
sudah termasuk nilai ta‟widh.
2. Ta‟widh pada produk cimb niaga syariah gold card belum sepenuhnya
memenuhi ketentuan fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004
tentang Ta‟widh, karena seharusnya tidak ditetapkan diawal akad akan
tetapi dalam praktiknya sudah di tetapkan, kemudian antara denda
dengan ta‟widh tidak jelas, dan seharusnya untuk kerugian riil dilihat
pada sisi biaya penagihan, biaya telepon, dan surat penagihan, bukan
dilihat pada sisi collection, kemudian tidak ada transparansi atau
penjelasan kepada nasabah perihal rincian biaya kerugian bagi pihak
bank.
69
3. Dalam hal ini terdapat dalil lain yang digunakan oleh bank cimb niaga
syariah dalam menentukan ta‟widh pada produk cimb niaga syariah gold
card. Karena ketentuan ta‟widh yang sudah dianggap late charge nilainya
Rp. 0,-, ketentuan tersebut merujuk pada fatwa nomor 17/DSN-
MUI/IX/2000 tentang sangsi atas nasabah mampu yang menunda-nunda
pembayaran, yang mana dalam fatwa tersebut ada ketentuan menjelaskan
bahwa sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya
ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
Pada PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
berdasarkan Prisnsip Syariah, Pasal 19, dan SEBI No. 10/14/DPbS
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan
Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, Romawi
V, masing-masing ada pada poin keenam, menguraikan bahwa besarnya
ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
Bank dengan nasabah. Penulis uraikan bahwa atas dasar peraturan diatas,
ketentuan mengenai ta‟widh pada cimb niaga syariah gold card
ditentukan pada awal akad, sedangkan dalam fatwa nomor
43/DSNMUI/VIII/2004 tentang ta‟widh, bahwa besaran ganti rugi tidak
boleh dicantumkan pada awal akad.
4. Saran
Berdasarkan semua penjelasan tersebut, penulis memberikan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Agar implementasi ta‟widh pada produk cimb niaga syariah gold card
dan bank syariah lainnya, menerapkan sepenuhnya ketentuan-ketentuan
yang ada pada fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang
Ta‟widh.
2. Lebih memperhatikan kesesuaian syariah pada produk tersebut dan tidak
menjalur kepada dalil lain, namun tetap pada fatwa atau peraturan yang
semestinya.
70
3. Agar peneliti-peneliti selanjutnya dapat memaparkan lebih jelas dan
membantu pada implementasi ta‟widh ini sepenuhnya sesuai ketentuan-
ketentuan fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang
Ta‟widh.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perdata Indonesiaa, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993.
Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syraiah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2018.
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Dewan Syariah Nasional (DSN). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional.
Jakarta: DSN, 2003.
Elsanti, Ananda Nadia, “Penerapan Ta‟widh pada Pemegang Syariah Card”,
Jurisprudentie, Vol. 4, No. 2, Desember 2017.
Eriyanto, Analisis Isi, Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015.
Hamidin, Aep S., Tips & Trik Kartu Kredit: Memaksimalkan Manfaat &
Mengelola Resiko Kartu Kredit, Yogyakarta: Media Pressindo, 2010.
Handout Aplikasi Kartu Kredit Bank CIMB Niaga Syariah Gold Card.
Hidayat, Taufiq, Buku Pintar Investasi Syariah, Jakarta: Mediakita, 2011.
http://old.presidentpost.id/2013/05/06/perlindungan-terhadap-konsumen-atas-
klausula-baku/ diakses pada tanggal 8-10-2018, 12:10
https://www.cimbniaga.com/in/personal/products/cards/credit-
card/products/terms-conditions-syariah.html#Panduan-Umum-Syarat--
Ketentuan-Kartu-Syariah. Bagian Informasi Penting Kartu Syariah
Ibrahim, Azharsyah. “Kartu Kredit dalam Hukum Syariah: Kajian Ayat dan
Hadits terhadap Akad dan Ketentuannya”, Jurnal Al-Mu‟ahirah, Vol. 7,
No. 1, 2010.
Ibrahim, Johannes, Kartu Kredit: Dilematis antara Kontrak dan Kejahatan,
Jakarta: Refika Aditama, 2004.
Ikatan Bankir Indonesia, Memahami Bisnis Bank Syariah, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2016.
Ikit, Akuntansi Penghimpunan Dana Bank Syariah, Yogyakarta: Deepublish,
2015.
Interview Pribadi dengan Ahmad Yani, Syariah Advisory Services Head, Syariah
Advisory and Legal Group Bank Cimb Niaga Syariah, Jakarta, 03 Agustus
2018.
72
Interview Pribadi dengan Siti Sri Nurhayati (titi), Syariah Advisory Services Cimb
Niaga Syariah, Bintaro, 15 Maret 2018.
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana, 2011.
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Kristianti, Dewi Sukma. “Kartu Kredit Syariah dan Perilaku Konsumtif
Masyarakat”, Ahkam, Vol. XIV, No. 2, Juli 2014.
Lewis, Marvyn K., Algaoud, Latifa M., “Perbankan Syariah Prinsip, Praktik dan
Prospek”, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Lubis, Mayang Sari, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Deepublish, 2018.
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2017.
Muldjono, Pudji, dan H. Djaali, Pengukuran dalam Bidang Pendidikan, Jakarta:
Grasindo, 2008.
Mustofa, Ulul Azmi, “Syariah Card Perspektif Al-Maqashid Syariah”, Jurnal
Ilmiah Ekonomi Islam - Vol. 01, No. 01, Maret 2015.
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012.
Nuhyatia, Indah, “Kajian Fiqh dan Perkembangan Kartu Kredit Syariah di Indonesia”,
Economic:Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, vol. 5, no. 1, 2015.
Oktavia, Sri Nur, “Pelaksanaan Ta‟widh Pada Produk Cimb Niaga Syariah Gold Card di
Bank Cimb Niaga Syariah Bandung”, Bandung: Fakultas Syariah dan Hukum,
Univesitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati. 2013.
Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas PBI No.
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu.
Peraturan Bank Indonesia, No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
berdasarkan Prisnsip Syariah.
Raco, J.R., Metode Penelitian Kualitatif : Jenis, Karakteristik dan
Keunggulannya, Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2010.
Ramdani, Doni. Dkk., “Tinjauan Fatwa DSN No.43/DSN-MUI/VII/2004 Tentang
Penetapan Ganti Rugi (Ta‟widh) dalam Produk KPR BTN IB Melalui
Akad Istishna di BTN Syariah Kantor Cabang Bandung”, Prosiding
Keuangan dan Perbankan Syariah, Vol.3, No.2, 2017.
73
Rais, Isnawati, dan Hasanudin, Fiqh Muamalah: dan aplikasinya pada LKS,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Sholihah, “Keunggulan Kartu Kredit Syariah Sebagai Alat Pembayaran di Era
Globalisasi”, Praental, Vol. IV, No. 2, Oktober 2016.
Sholihin, Ahmad Ifham, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Siagian, Baharuddin, dan H.M. Fauzan, Kamus Hukum dan Yurisprudensi,
Depok: Kencana, 2017.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia,
2007.
Sulaiman, Abdul Wahab Ibrahim Abu, Banking Cards Syariah: Kartu Kredit dan
Debit dalam Perspektif Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Taufiqo, Khoiro Aulit, “Analisis Pengelolaan Dana Ta‟widh Di BNI Syariah Kota
Semarang”, Semarang: UIN Sunan Kalijaga, 2016.
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008.
Wahyudi, Firman, “Mengontrol Moral Hazard Nasabah Melalui Instrumen Ta‟zir
dan Ta‟widh”, Al-Banjari – Vol. 16. No. 2, Juli-Desember 2017.
Wardani, Fitri Anis. “Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam”, Iqtishodia,
Vol. 1, No. 2, September 2016.
Wasito, Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian : Buku Panduan
Mahasiswa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Yusuf, Zaenul Arifin, “Perbandingan Kartu Kredit dan Kartu Kredit Berbasis
Syariah di Indonesia”, Al-Iqtishod, vol. III, no. 2, Juli 2011.
Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008.