panoramic radiograph a valuable diagnostic tool in …
TRANSCRIPT
PANORAMIC RADIOGRAPH A VALUABLE DIAGNOSTIC TOOL
IN DENTAL PRACTICE
drg. I Gusti Agung Dyah Ambarawati, M.Biomed
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
masukan dari berbagai pihak pada penyusunan ini sangatlah sulit bagi penulis untuk
menyelesaikannya.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini. Kami mohon maaf
apabila ada kesalahan atas kesalahn yang telah dilakukan baik disengaja maupun tidak disengaja.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Denpasar, 10 Desember 2017
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................... 2
BAB III PEMBAHASAN KASUS ..................................................................... 7
BAB IV KAITAN DENGAN TEORI ................................................................ 9
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Pada pemeriksaan panoramik, sering kali ditemukan adanya lesi yang tidak berkaitan
dengan keluhan utama pasien. Jarang adanya laporan kasus yang menyebutkan bahwa lesi
ditemukan secara kebetulan atau dengan kata lain tanpa dilakukan pemeriksaan radiografi.
Banyak kondisi patologis tetap asimtomatik dan diperiksa hanya ketika menyebabkan ekspansi
jaringan lunak dan jaringan keras, serta infeksi sekunder. Adanya keterlambatan dalam deteksi
akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan penyakit dan pengobatan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi pada kasus yaitu dengan dilakukan pemeriksaan
radiografi sebelum perawatan gigi yang akan memberikan gambaran patologi yang mungkin
terjadi untuk mencapai diagnosis dini dan pengobatan yang sesuai. Pada jurnal ini melaporkan
tiga kasus di mana kondisi patologis tetap tidak terdeteksi bahkan setelah beberapa kunjungan ke
dokter gigi berserta dengan diskusi tentang fleksibilitas dari radiograf panoramik pada screening
dan deteksi dini dari banyaknya masalah klinis.
BAB II
TINJAUAN KASUS
2.1. Kasus 1
Seorang pasien wanita berusia 44 tahun datang ke klinik dengan keluhan nyeri secara
terus menerus selama 2 tahun terakhir. Terdapat 2 gigi yang membusuk dan telah dilakukan
perawatan saluran akar. Karena rasa sakit yang berisifat persisten, pasien dirujuk ke dokter
bedah maksilofasial untuk penanganan terhadap nyeri sendi temporomandibular (TMJ).
Secara klinis, TMJ pasien normal dan pasien dirujuk ke periodontist untuk menangani
jaringan periodontal yang terlibat. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan fraktur pada gigi 25,
gigi 26 dan obliterasi ringan pada vestibulum buccalis kiri rahang atas. Radiografi
panoramik disarankan untuk megetahui perawatan endodontik pada gigi 25 dan 26. Lesi
berbatas tegas dengan campuran radiopak dan radiolusen terlihat dari apikal ke 25 dan 26
mendorong sinus maksilaris superior. Gigi 18 mengalami impaksi horizontal terlihat
didalam tulang alveolar. Lesi berenukleasi dibawah anastesi lokal dan gigi 18 yang impaksi
telah diekstraksi. Hasil pemeriksaan hitopatologi melaporkan bahwa lesi tersebut merupakan
kompleks odontoma.
Gambar 1. Gambaran lesi campuran radiopak dan radiolusen berbatas tegas pada
gigi 25 dan 26
2.2. Kasus 2
Seorang pasien wanita berusia 33 tahun datang dengan keluhan sakit dan bengkak
pada sisi kanan rahang atasnya. Pasien melaporkan bahwa pembengkakan terjadi sebulan
lalu dan mengkonsumsi antibiotik atas saran dokter gigi. 4 tahun yang lalu, gigi pada rahang
bawah pasien pernah diekstraksi, profilaksis oral dilakukan dua tahun yang lalu dan 2
giginya juga ditumpat menggunakan amalgam.
Hasil radiografi panoramik pasien menunjukkan adanya gigi impaksi molar 3 rahang
atas kanan pada sinus maksilaris kanan dekat dengan dinding medial dengan radiolusen
yang berbatas tegas disekitar gigi yang impaksi. Lesi itu berenukleasi bersamaan dengan
ekstraksi gigi yang dilakukan dan berdasarkan laporan histopatologi menegaskan bahwa lesi
itu adalah kista dentigerous.
2.3. Kasus 3
Seorang pasien wanita berusia 31 tahun datang dengan mobilitas tidak normal pada 2
gigi bawah ( gigi 36 dan 37 ) pada sisi kiri yang pernah direstorasi 5 tahun lalu dan tidak
Gambar 2. Hasil radiografi panoramik ditemukan adanya impaksi pada gigi 28 disertai
radiolusen berbatas tegas di sekitar gigi yang impaksi
memiliki riwayat ekstraksi. Gigi molar 3 kiri pasien telah hilang secara klinis. Radiografi
panoramik disarankan untuk mengungkapkan lesi radiolusen multilocular sangat luas
membentang dari premolar kedua sampai kondilus. Resorpsi akar tercatat pada gigi 35, 36
dan 37. Gigi 38 ditemukan dekat dengan prosesus koronoid. Pada biopsi insisi
mengungkapkan ameloblastoma tipe folikuler.
Gambar 3. Gambaran multilokuler radiolusen pada region premolar kedua hingga kondilus
pada sisi kanan mandibula
BAB III
DISKUSI
Gambar radiografi panoramik secara klinis digunakan untuk pasien yang membutuhkan
gambaran yang luas dari rahang, seperti evaluasi terhadap trauma, penyakit gigi atau tulang yang
parah, didiagnosa atau diperkirakan menderita lesi yang besar, menentukan lokasi molar tiga,
evaluasi gigi yang hilang, melihat perkembangan dan status erupsi dari gigi, melihat retained
tooth dan ujung akar pada pasien edentulous, memeriksa keadaan sinus maksilaris dan gangguan
pada sendi temporomandibular serta melihat perkembangan anomali seperti prognathism dan
retrognathism. Gambar panoramik sering digunakan sebagai evaluasi gambar awal yang dapat
memberikan tampilan yang diperlukan dan membantu dalam menentukan kebutuhan proyeksi
lainnya.
Salah satu kelebihan dari gambar panoramik adalah tampilan dari gigi yang lengkap dan
memungkinkan untuk mendiagnosis jumlah, posisi dan anatomi gigi yang mengalami gross
abnormalities. Radiografi panoramik dapat memperlihatkan jarak dari gigi yang mengalami
impaksi dengan struktur vital seperti inferior alveolar canal, dasar dan dinding posterior sinus
maksilaris, maxillary tuberosity dan gigi sebelahnya. Disamping itu semua pasien dapat dengan
mudah memahami gambar yang dihasilkan dari radiografi panoramik dan dapat berguna sebagi
media pembelajaran visual bagi pasien.
Dalam ketiga kasus, pasien telah mengunjungi klinik gigi dengan berbagai masalah yang
terjadi pada giginya dan telah menjalani perawatan gigi secara rutin seperti oral prophylaxis,
restorasi, perawatan saluran akar dan ekstrasi. Jumlah kunjungan berkisar antara tiga sampai
lebih dari sepuluh kali. Tidak ada kasus yang dievaluasi kembali dengan menggunakan
radiografi panoramik bahkan pada pasien dengan kehilangan gigi dan masih mempertahankan
gigi sulung.
Radiografi panoramik dapat menjangkau area yang luas dari tulang wajah dan gigi
dengan dosis radiasi yang rendah. Dosis exposure relatif dari radiografi panoramik diperkirakan
sekitar 6,7 microSv dan 26 microSv dengan resiko terjadinya fatal cancer sebesar 0,21 dan 1,9
kasus per 1 juta pemeriksaan.
Kerugian utama dari radiografi panoramik adalah gambar yang dihasilkan tidak dapat
menampilkan gambaran anatomi secara detail, tidak seperti radiografi periapikal atau radiografi
bitewing yang dapat menampilkan lesi kasies yang sangat kecil atau lesi periodontal dan tanda
awal terjadinya lesi periapikal. Masalah lainnya adalah pembesaran yang tidak sama pada
gambar serta terjadinya distorsi geometri pada gambar. Keberadaan ruas tulang belakang pada
leher dapat mengaburkan gambar hasil radiografi terutama di daerah sekitar gigi insisifus.
Rushton et al menyarankan beberapa faktor klinis dapat digunakan untuk menentukan hasil
diagnosis dari sebuah perawatan. Kecurigaan klinis dari gigi dengan kelainan periapikal, erupsi
gigi sebagian, lesi karies dengan pembengkakan, dan dugaan klinis gigi tidak erupsi. Asaumi et
al mengamati 12,8% dari 1092 pasien pada sebuah penelitian retrospektif dengan populasi anak-
anak dan 47,1% diantaranya memiliki lesi yang berbeda dari pokok keluhan utama. Radiografi
panoramik merupakan alat yang sangat penting untuk membantu mengidentifikasi permasalahan
perkembangan gigi pada fase geligi campuran. Radiografi panoramik dapat memberikan
informasi mengenai perkembangan gigi, keberadaan leeway space, erupsi gigi permanen,
anomali gigi, dan gangguan perkembangan gigi.
Radiografi panoramik dapat digunakan dalam penentuan panjang akar dan arah sumbu
gigi pada perawatan ortodontik. Pada pengamatan ditemukan bahwa panjang rata-rata yang
diukur lebih tinggi dari panjang sebenarnya, yaitu 22% untuk gigi rahang atas dan 1% pada gigi
rahang bawah. Terdapat perubahan yang signifikan terlihat kelainan gigi di daerah premaxillary
pada radiografi panoramik dimana perubahan yang terjadi sekitar 23%. Radiografi panoramik
digunakan dalam pengukuran estimasi usia dalam forensik pada anak-anak, tapi ini harus
dikombinasikan dengan hand and collar bone radiografi untuk akurasi yang lebih baik.
Penebalan mukosa dan kista antral mukosa pada sinus maksilaris sangat sering ditemukan di
radiografi panoramik, infeksi gigi sangat berkorelasi dengan penebalan pada mukosa. Radiografi
panoramik mengungkapkan kalsifikasi carotid artery atheromatous lesions pada pasien diabetes
dan membantu dokter gigi dalam memberikan rujukan yang sesuai untuk perawatan diabetes.
Perubahan lebar kortikal dari bagian dalam mandibula dan bentuk dalam radiografi panoramik
pada wanita pasca-menopause merupakan salah satu penada dari osteoporosis. Akurasi dari
diagnostik pada radiografi panoramik dilihat melalui evaluasi pra operasi dari hubungan antara
gigi molar ketiga dan alveolar inferior canal. Pengamatan yang cermat pada radiografi
panoramik bisa mengungkapkan kelaian sendi temporomandibular seperti kista aneurismal
tulang, trauma kista tulang, dan chondramatosis sinovial dan TMJ arthrosis.
BAB IV
KAITAN DENGAN TEORI
Radiografi dibidang ilmu kedokteran gigi adalah pengambilan gambar menggunakan
radiografi dengan sejumlah radiasi untuk membentuk bayangan yang dapat dikaji pada film.
Hampir semua perawatan gigi dan mulut membutuhkan data dukungan pemeriksaan radiografi
agar perawatan yang dilakukan mencapai hasil optimal. Dalam bidang kedokteran gigi teknik
radiografi yang digunakan terdiri dari dua jenis,yaitu radiografi intraoral dan ekstraoral.
Radiografi ekstraoral adalah pemeriksaan radiografi yang digunakan untuk melihat area yang
luas pada tengkorak kepala dan rahang. Pada radiografi ekstraoral film yang digunakan diletakan
diluar rongga mulut. Radiografi ekstraoral terdiri atas beberapa tipe, salah satunya adalah
radiografi panoramik. Gambaran panoramik adalah sebuah teknik untuk membuat gambaran
tomografik tunggal dari struktur fasial yang melibatkan baik lengkung gigi pada maksila dan
mandibular serta struktur pendukungnya. Gambaran radiografi panoramik banyak digunakan
untuk mendiagnosa gangguan pada rahang yang membutuhkan cakupan yang lebih luas terutama
pada evaluasi trauma, lokasi gigi molar ketiga,manifestasi penyakit sistemik, lesi yang luas pada
rahang, pertumbuhan gigi geligi dan lain lain. 1
Prosedur teknik pengambilan gambar panoramik yang direkomendasikan adalah sebagai
berikut: 1
1. Cuci tangan dan gunakan pakaian pelindung.
2. Jelaskan pada pasien prosedur dan pergerakan alat.
3. Jelaskan pada pasien bite holder yang digunakan dan pemasukan kaset film.
4. Gunakan paparan film yang tepat.
5. Pakaikan pelindung apron pada pasien.
6. Pasien diinstruksikan menutup bibir dan menekan lidah.
7. Pasien harus diposisikan dalam unit dengan tegak dan diperintahkan untuk
berpegangan agar tetap seimbang.
8. Pasien diminta memposisikan gigi edge to edge dengan dagu mereka bersentuhan
pada tempat dagu.
9. Collimator harus digunakan sesuai dengan ukuran yang diinginkan (median
sagital dan gigi anterior).
10. Kepala tidak boleh bergerak dibantu dengan penahan kepala.
11. Jelaskan pada pasien untuk bernafas normal dan tidak bernafas terlalu dalam saat
penyinaran.
12. Paparkan film.
Gambar 4.1 Posisi pasien saat pengambilan gambar panoramik.2
Keuntungan dan Kerugian radiografi panoramik
Keuntungan Radiografi Panoramik: 1
1. Semua jaringan pada area yang luas dapat tergambarkan pada film, mencakup
tulang wajah dan gigi.
2. Pasien menerima dosis radiasi yang rendah
3. Dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat membuka mulut
4. Untuk membuat gambaran panoramik tidak membutuhkan waktu yang lama,
biasanya 3-4 menit (termasuk waktu yang diperlukan untuk posisi pasien dan
paparan)
5. Gambar mudah dipahami pasien dan media pembelajaran.
6. Kedua sisi mandibula dapat ditampakkan pada satu film, sehingga mudah untuk
menilai adanya fraktur.
7. Gambaran yang luas dapat digunakan untuk evaluasi periodontal dan penilaian
orthodontik.
8. Permukaan antral, dinding depan dan belakang tampak dengan baik.
Gambar 4.1 Posisi pasien saat pengambilan gambar panoramik.2
Kerugian radiografi panoramik:1
1. Gambaran tomografi hanya menampilkan irisan tubuh, struktur atau abnormalitas
yang bukan di bidang tumpu tidak bisa jelas.
2. Bayangan jaringan lunak dan udara dapat mengkaburkan struktur jaringan keras.
3. Bayangan artefak bisa mengkaburkan struktur di bidang tumpu.
4. Pergerakan tomografi bersama dengan jarak antara bidang tumpu dan film
menghasilkan distorsi dan magnifikasi pada gambaran.
5. Penggunaan film dan intensifying screen secara tidak langsung dapat menurunkan
kualitas gambar.
6. Teknik pemeriksaan tidak cocok untuk anak-anak di bawah lima tahun atau pasien
non-kooperatif karena lamanya waktu paparan.
7. Beberapa pasien tidak nyaman dengan bentuk bidang tumpu dan beberapa struktur
akan keluar dari fokus.
Berdasarkan teori diatas yang dikaitkan dengan kasus 1, hasil pemeriksaan radiografi
panoramik gigi 18 mengalami impaksi horizontal terlihat didalam tulang alveolar. Lesi
berenukleasi dibawah anastesi lokal dan gigi 18 yang impaksi telah diekstraksi. Hasil
pemeriksaan hitopatologi melaporkan bahwa lesi tersebut merupakan kompleks odontoma.
Etiologi kompleks odontoma tidak diketahui. Ada beberapa teori yang sudah
diajukan, seperti trauma lokal, infeksi, riwayat keluarga dan mutasi genetik, ada pula yang
menambahkan bahwa odontoma diwariskan kemungkinan dari genmutant post natal dengan
kontrol genetik perkembangan gigi. 3
Odontoma merupakan tumor jinak yang berasal dari odontogenik yang tergabung dari
mesenkimal dan elemen-elemen gigi. Secara histologi, terdiri dari jaringan gigi yang berbeda
termasuk email, dentin, sementum, dan dalam beberapa kasus termasuk jaringan pulpa.
Berdasarkan klasifikasi terbaru dari WHO tahun 2005, odontoma dibagi menjadi 2 jenis yaitu
kompleks odontoma dan compound odontoma.
Odontoma kompleks biasanya ditemukan pada posterior mandibula, biasanya pada gigi
impaksi, dan ukurannya dapat mencapai beberapa sentimeter. Secara radiologi, manifestasi dari
lesi ini ialah massa solid yang radioopak dengan adanya elemen-elemen nodular, dan dikelilingi
oleh zona radiolusen yang tipis. Lesi bersifat unilokular dan dipisahkan dari tulang oleh garis
kortikalisasi. Tidak terlihat struktur seperti gigi. Secara epidemiologi, odontoma merupakan
tumor odontogenik yang paling sering terjadi, dengan insidensi 22-67% dari seluruh tumor pada
rahang atas. Lesi ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan remaja, dan tidak berbeda jauh
insidensinya pada laki-laki dan perempuan. Secara klinis, lesi yang asimptomatik ini sering
dihubungkan dengan perubahan pada erupsi gigi susu dan permanen. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis (foto panoramik dan intraoral), atau dalam
mengevaluasi penyebab tertundanya gigi erupsi. Pengobatan pilihan ialah dengan pengambilan
lesi secara bedah pada semua kasus, diikuti dengan pemeriksaan secara histopatologi untuk
mengkonfirmasi diagnose. 4
Pada kasus 2 dilaporkan bahwa seorang pasien wanita berusia 33 tahun datang dengan
keluhan sakit dan bengkak pada sisi kanan rahang atasnya. Setelah dilakukan beberapa
pemeriksaan subjektif dan pemeriksaan objektif kemudian dilakukan pemeriksaan radiografi
untuk menunjang penegakan diagnosa.
Hasil pemeriksaan radiografi diperoleh gigi molar 3 rahang atas impaksi pada sinus
maksilaris kanan dekat dengan dinding medial dengan radiolusen yang berbatas tegas disekitar
gigi yang impaksi yang dicurigai sebagai kista. Berdasarkan berbagai pemeriksaan yang telah
dilakukan belum dapat ditentukan jenis dari kista tersebut. Oleh karena itu identifikasi
intraoperatif dari lesi kista ini, paling baik dilakukan dengan cara dirujuk ke bagian Patologi
Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologis.
Sebelum dilakukan pemeriksaan histopatologis perlu dilakukan aspirasi jarum untuk
dilakukannya biopsi pada lumen lesi kista yang dicurigai dapat memberikan informasi untuk
keperluan konfirmasi diagnosis. Jika akan dilakukan aspirasi, dapat dilakukan insisi kecil pada
mukosa, diikuti dengan pembuatan lubang kecil melalui korteks bukal untuk dilakukannya
aspirasi menggunakan jarum. Apabila hasil aspirasi terlihat cairan bewarna kekuningan dapat
dan pemeriksaan histopatologis menunjukkan kista dilapisi oleh epitelium stratificatum
squamosum non keratin baru dapat ditegakkan diagnosa kasus tersebut adalah kista dentigerous.
Kista dentigerous merupakan suatu kista yang terbentuk di sekitar mahkota gigi dan
melekat pada cemento-enamel junction gigi yang tidak erupsi. Kista dentigerous merupakan hasil
pembesaran folikel, berasal dari akumulasi cairan antara reduced enamel epithelium dan enamel
gigi, maka dari itu kista dentigerous disebut juga kista folikular.5
Salah satu penyebab timbulnya kista dentigerous adalah gigi impaksi. Gigi impaksi
memiliki potensi untuk erupsi akan menyebabkan penyumbatan aliran venous dan
mengakibatkan transudasi serum dinding - dinding kapiler. Hal tersebut akan menyebabkan
tekanan hidrostatik yang akan memisahkan folikel dari mahkota gigi. 5
Pada umumnya, kista dentigeous mulai berkembang segera setelah mahkota gigi tumbuh
sempurna, dengan adanya akumulasi carian diantara permukaan enamel dan sekitar kapsul
jaringan lunak dari epiteliumnya. Namun, apabila kista terjadi saat gigi sedang erupsi, biasanya
akan menghalangi proses erupsi atau kista juga memiliki kesempatan untuk berkembang dan
bertambah besar bersamaan dengan tumbuhnya gigi tersebut.5
Pada kasus 3, dilaporkan adanya gambaran multilokuler radiolusen pada region premolar
kedua hingga kondilus pada sisi kanan mandibula. Pada biopsi insisi mengungkapkan bahwa lesi
tersebut adalah ameloblastoma tipe folikuler. Diagnosis ameloblastoma dapat ditegakkan melalui
anamnesa, pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan patologi anatomi yaitu
insisi biopsi.6 Pada umumnya ameloblastoma bersifat asimptomatik dan tumor jarang ditegakkan
pada masa awal perkembangan. Secara klinik pertumbuhan tumor relatif lambat dan kadang
tidak disertai pembengkakakn intraoral. Pada beberapa kasus disertai keluhan nyeri, gigi yang
bergeser, maloklusi, ulserasi, obstruksi nasal dan epistaksis. Gambaran radiografi
ameloblastoma, dengan variasi bentuk, dapat terlihat sebagai berikut:7
1. Terdapat rongga seperti kista, radiolusen difuse bulat dengan batas jelas dan tegas,
menyerupai busa atau sarang lebah
2. Mempunyai rongga monolokuler atau multilokuler yang dilapisi ephitelial, kadang-
kadang tampak berdampingan dan dapat menyebabkan resorpsi eksternal gigi-gigi
yang berdekatan
3. Dapat menghancurkan korteks, menyerang jaringan lunak, dan meluas ke sekitarnya
4. Dapat menyerupai kista dentigereus yang dilapisi epithelial
Diagnosis ameloblastoma tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan radiologi saja. Secara
radiologi, apabila dijumpai gambaran multinodular overlapping akan memberikan gambaran
busa atau sarang lebah. Secara patologi, untuk pemeriksaan awal dapat dilakukan biopsi aspirasi.
Pada sediaan hapus didapatkan sel-sel basaloid dengan inti bentuk bulat atau spindle yang
tersusun dalam gambaran pseudopapiler. Secara makroskopik, massa dapat berupa solid, kistik
atau multikistik dan intraosseus atau ekstraosseus, jarang unikistik. Secara mikroskopis,
ameloblastoma tersusun atas kelompokan sarang-sarang yang berasal dari epitel ameloblastik
yang dipisahkan oleh jaringan ikat. Setelah dilakukan biopsi aspirasi dan didapatkan gambaran
seperti tersebut diatas maka diagnosis ameloblastoma dapat ditegakkan.8
Pada Gambar 3 hasil radiografi yang mendukung diagnosis ameloblastoma adalah adanya
ada lesi radiolusen multilocular pada regio premolar kedua sampai kondilus pada sisi kanan
mandibula. Lesi ini berbatas tegas, jelas dan menyerupai busa. Terjadi resorpsi akar pada gigi 35,
36, dan 37. Gigi 38 mengalami disposisi sampai ke daerah coronoid process. 9
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Radiografi panoramik merupakan sebuah teknik yang dibutuhkan dalam deteksi dini
lesi pada maxillofacial area. Dengan mempertimbangkan dosis radiasi yang terlibat dalam
radiografi panoramik, dan hasil diagnostik, pemeriksaan rutin dengan radiografi panoramik
pada kunjungan klinis awal berguna dalam deteksi dini berbagai macam kondisi patologis.
5.2 Saran
Radiografi panoramik perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa yang baik, karena
dengan pemeriksaan penunjang seperti penggunaan radiograf panoramik dapat mendeteksi
lesi-lesi yang sulit terdeteksi pada pemeriksaan klinis akibat tidak adanya keluhan dari
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carver, Elizabeth dan Barry Carver. 2006. Medical Imaging, Techniques, Reflection and
Evaluation. New York : Churchill Livingstone.
2. Pasler FA. Color Atlas of Dental Medicine: Radiology. Rateitschak KH, Wolf HF,
editors. New York: Thieme; 1993. p. 13.
3. Syafriadi Mei, 2008. Patologi Mulut (Tumor Neoplastik dan Non Neoplastik Rongga
Mulut). Jogjakarta: Andi
4. Sudiono janti,2008. Pemeriksaan Patologi untuk Diagnosis Neoplasma Mulut. EGC:
Jakarta
5. Cawson, R.A dan Odell, E.W. 2002. Disease of the Oral Mucosa: Non-infective
Stomatitis, Oral Patology abd Oral Medicine. Churchill Livingstone.
6. Alfaro, F. H., Magaz, V. R., Chatakun, P., & Martinez, R. G. 2012. Mandibular
Reconstruction with Tissue Engineering in Multiple Recurrent Ameloblastoma. The
International Journal of Periodontic & Restorative Dentistry. [on line].
http://www.institutomaxilofacial.com/wp-
content/uploads/2011/06/prd_32_3_Alfaro_5.pdf
7. Gümgüm, S., & Hosgören, B. 2005. Clinical and Radiologic Behaviour of
Ameloblastoma in 4 Cases. J Can Dent Assoc 2005; 71(7):481–4. [on line]. http://cda-
adc.ca/jadc/vol-71/issue-7/481.pdf
8. Prell, Svante R. et all. Fine Needle Aspiration Cytology 4th Ed. Elsevier. 2005, p.52
9. Oliveira, L. R., Matos, B. H., Dominguete, P. R., & Zorgetto, V. A., & Silva, A. R. 2011.
Ameloblastoma: Report of Two Cases and a Brief Literature Review. In, J.
Odontostomat. 5(3):293-299, 2011. [on line].
http://ircmj.com/?page=download&file_id=302