paper pph 15nov jam setengah empat.doc
TRANSCRIPT
PAJAK PENGHASILAN (PPh)
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan,
perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif,
proporsional, atau regresif.
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah
sebagai berikut:
1. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah
meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan
itu dikenakan pajak.
3. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
- pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
- penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
- pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
4. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan
berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk
obyek pajak sebagai berikut:
1. Badan perwakilan negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing
dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat
Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan
kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri
keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
Semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak
digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Apabila dalam satu Tahun Pajak suatu
usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan lainnya, kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila
suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari
Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang
dikenakan tarif umum.
Pajak Penghasilan Pasal 21
Dasar hukum : Pasal 21 Undang undang Pajak Penghasilan Aturan Pelaksanaan
a. Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008
b. Peraturan Dirjen Pajak Nomor 31/PJ/2009
c. Peraturan Dirjen Pajak Nomor 57/PJ/2009
d. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon,
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain
sejenis;
penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
1) bukan Wajib pajak;
2) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
3) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
Besarnya PPh pasal 21 yang ditanggung pemerintah diberikan kepada pekerja yang
bekerja kepada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu dengan jumlah
penghasilan bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tidak lebih dari
Rp5.000.000,00 dalam satu bulan.
Termasuk dalam pengertian usaha tertentu tersebut meliputi:
1. Kategori usaha pertanian
2. Kategori usaha perikanan
3. Kategori usaha industri pengolahan
Pajak Penghasilan Pasal 22
PPh pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu
baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain.
Dasar hukum : Pasal 22 Undang undang Pajak Penghasilan
Aturan Pelaksanaan:
a. Keputusan Menter Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392/KMK.03/2001
c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2007
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.03/2008
f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008
g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008
Pajak Penghasilan Pasal 23
PPh pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya.
Dasar Hukum : Pasal 23 Undang undang Pajak Penghasilan
Aturan Pelaksanaan
a. Peraturan Dir Jen Pajak Nomor Per-70/PJ./ 2007
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008
c. Peraturan Dir Jen Pajak Nomor Per-70/PJ./ 2007 berlaku untuk penghitungan PPh Pasal
23 sampai dengan tahun pajak 2008.
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 berlaku untuk penghitungan PPh
Pasal 23 mulai tahun pajak 2009.
Uraian PPh Pasal 23 dibawah ini didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan No.
244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain
Pajak Penghasilan Pasal 26
Dasar hukum : Pasal 26 UU PPh
Pemotong PPh Pasal 26
Badan pemerintah,Subyek Pajak dalam negeri,penyelenggara kegiatan,bentuk usaha
tetap,atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan
ini wajib dilakukan oleh pemotong yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia,dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah
bruto.
Objek Pajak PPh Pasal 26
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan:
a. dividen
b. bunga termasuk premium,diskonto, premi swap dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang,
c. royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa ,pekerjaan,dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen),kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia yang ketentuannya ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Menteri
Keuangan . (Nomor 257/PMK.03/2008 ).
Sifat pemotongan
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud diatas bersifat final, kecuali :
pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c UU PPh ;
pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Pajak Penghasilan Yang Dibayar Sendiri, PPh Pasal 25
Yakni Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan :
Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,dan Pasal 23
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ; dan
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan
dalam bagian tahun pajak.(Psl 25 ay (1))
KASUS PPh
PT. TANI MAJU (“Perusahaan”) adalah perusahaan manufaktur sekaligus perdagangan alat
dan produk pertanian yang didirikan pada tanggal 20 April 2003 dan berkedudukan di daerah
Cikarang, Jawa barat. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak (NPPKP) perusahaan: 01.490.056.9.021.000. Pembukuan Perusahaan menggunakan
Bahasa Indonesia dan mata uang rupiah dengan metode akrual.
Struktur kepemilikan Perusahaan adalah sebagai berikut:
Nama AlamatPersentase Kepemilikan
PT. Makmur Jaya Jl. Kalimantan No. 102, Jakarta 10340 40%Harahap Jl. Antasari No. 220, Jakarta 28%PT. Jaya Utama Jln. Thamrin No. 3, Jakarta 20%Ani Kusuma Jln. Aceh No. 180, Jakarta 12%
PERMASALAHAN PERPAJAKAN PERUSAHAAN
Doni merupakan Manajer Pajak baru di PT TANI MAJU. Sebelum memutuskan untuk menerima
tawaran menjadi manajer pajak di PT TANI MAJU, DONI mendapatkan informasi awal dari
Direktur Keuangan bahwa Perusahaan dalam 5 tahun terakhir secara rutin diperiksa oleh Kantor
Pelayanan Pajak. Hasil dari setiap pemeriksaan pajak tersebut adalah adanya SKPKB PPh Badan
yang menunjukkan bahwa Perusahaan selalu mengalami kurang bayar yang material untuk
perhitungan PPh Badannya. Direktur Keuangan merasa bahwa adanya SKPKB PPh Badan
selama 5 tahun berturut-turut tersebut menunjukkan bahwa terdapat permasalahan penanganan
perpajakan di Perusahaan. Oleh karena itu, Direktur Keuangan berharap manajer pajak yang baru
dapat mengindikasi permasalahan yang ada dan mencari solusi pemecahannya sehingga
Perusahaan tidak lagi menerima SKPKB PPh Badan yang jumlahnya signifikan. Doni merasa
tertantang dengan hal ini dan bersedia menerima pekerjaan sebagai Manajer Pajak di PT. TANI
MAJU.
Sebagai manajer yang baru, salah satu hal yang Doni coba pelajari adalah tentang pembagian
tugas yang ada di Divisi Perpajakan. Terdapat 3 staf perpajakan yang membantu tugas Manajer
Pajak, dimana pembagian tugasnya adalah satu orang bertugas mengurus pajak potong/pungut
(withholding taxes) dan PPh Pasal 25, satu orang mengurusi PPN dan satu orang
bertanggungjawab atas perhitungan PPh badan dan pajak yang lain. Tugas staf pajak mulai dari
membuat dokumen pajak terkait dengan transaksi sampai dengan membuat laporan pajak dan
menyimpannya sesuai dengan jenis pajak. Dokumen perpajakan disimpan oleh masing-masing
staf pajak sesuai dengan pembagian tugasnya. Penyimpanan dokumen dilakukan masing-masing
staf dengan cara yang menurut mereka masing-masing paling memudahkan dalam bekerja.
DATA PERPAJAKAN PERUSAHAAN TAHUN 2010
Terkait dengan perhitungan PPh badan tahun pajak 2010, Doni juga mulai mengumpulkan data-
data yang dia rasa perlu dengan dibantu oleh staf yang bertugas untuk melakukan perhitungan
PPh badan. Berikut adalah data-data yang berhasil dikumpulkan oleh stafnya tersebut:
OMSET USAHA
Besarnya penghasilan usaha yang dilaporkan dalam laporan laba rugi komersial Perusahaan
tahun 2010 adalah Rp 4,4 Milyar.
Berdasarkan SPT Masa PPN yang dilaporkan Perusahaan selama tahun 2010 terlihat:
1. Omset Penjualan Dalam Negeri Rp 5 Milyar
Omset Penjualan Ekspor Rp 0 Milyar
2. Penjualan Dalam Negeri yang menggunakan Faktur Pajak Standar Rp 4,5 Milyar
Penjualan Dalam Negeri yang menggunakan Faktur Pajak Sederhana Rp 0,5 Milyar
3. Penjualan Dalam Negeri yang PPNnya dipungut sendiri Rp 3,5 Milyar
Penjualan Dalam Negeri yang PPNnya dibebaskan Rp 1 Milyar
Berikut adalah beberapa informasi lain terkait dengan omzet perusahaan tahun 2010:
Pada bulan Desember 2009 Perusahaan melakukan penjualan alat pertanian senilai Rp
450 juta yang sampai dengan akhir Desember 2009 belum diterima pembayarannya.
Faktur pajak dibuat Perusahaan pada bulan Januari 2010.
Pada bulan Desember 2010 Perusahaan melakukan penjualan produk pertanian yang
PPNnya dibebaskan senilai Rp 200 juta yang sampai dengan akhir Desember 2010 belum
diterima pembayarannya.
Pada bulan Juli 2010 Perusahaan menggunakan sebagian persediaan produk pertanian
yang dimilikinya senilai Rp 50 juta untuk ditanam di area kantor dan gudang Perusahaan.
Pada tahun 2010 Perusahaan berperan serta mensukseskan Hari Lingkungan Hidup
dengan menyumbangkan produk pertanian senilai Rp 100 juta kepada Pemerintah
Daerah.
BEBAN KARYAWAN
Rincian dari beban karyawan berdasarkan General Ledger adalah sebagai berikut:
Karyawan Tetap
Gaji Rp 875 juta
Lembur Rp 87,5 juta
Tunjangan Transportasi Rp 50 juta
Bonus dan THR Rp175 juta
PPh 21 Karyawan Rp 235 juta
Makan Siang Rp 70 juta
Biaya pengobatan Rp 120 juta
Pakaian Seragam Rp 30 juta
Dalam penghitungan PPh Badan, staf bagian pajak melakukan koreksi atas makan siang dan
pakaian seragam. Menurut staf pajak tersebut, koreksi atas akun-akun ini sudah dilakukan
Perusahaan sejak dahulu sehingga dia tetap melanjutkannya. Doni kemudian meminta informasi
dari bagian akuntansi dan mendapatkan informasi bahwa makan siang hanya diberikan kepada
karyawan bagian gudang sedangkan pakaian seragam diberikan kepada satpam yang menjaga
gudang dan gedung kantor Perusahaan.
Informasi mengenai remunerasi karyawan juga diperoleh dari perhitungan PPh 21 yang terdapat dalam
SPT 1721. Berikut adalah daftar penghasilan yang dimasukkan dalam perhitungan PPh 21 perusahaan:
Karyawan Tetap
Gaji Rp 875 juta
Lembur Rp 87,5 juta
Tunjangan Transportasi Rp 50 juta
Bonus dan THR Rp175 juta
PPh 21 Karyawan tidak dimasukkan dalam perhitungan karena pajak ini dibayarkan langsung
oleh Perusahaan ke kas negara. Biaya pengobatan juga tidak dimasukkan dalam perhitungan
karena dibayarkan langsung oleh Perusahaan ke rumah sakit.
Sedangkan alasan tidak memasukkan makan siang dan pakaian seragam dalam perhitungan PPh
21 karena merupakan natura bagi karyawan.
BEBAN BUNGA
Perusahaan mendapatkan pinjaman dari Bank ABC senilai Rp 2 Milyar. Tingkat bunga 10%
selama 4 tahun. Jumlah yang dibayar pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 700 juta dimana Rp
500 juta merupakan pembayaran pokok pinjaman dan sisanya adalah bunga. Perusahaan
mengakui keseluruhan beban bunga tersebut dalam perhitungan laba fiskalnya.
Berdasarkan rekapitulasi SPT PPh Pasal 23 tahun 2010, tidak ditemukan pemotongan PPh pasal
23 atas pembayaran bunga kepada Bank ABC.
BEBAN JASA KONSULTASI MANAJEMEN
Pada tahun 2010 Perusahaan membayar beban jasa konsultasi manajemen kepada PT. Jaya
Utama (pemegang saham) sebesar Rp 100 juta. Besarnya nilai konsultasi manajemen yang sama
dari perusahaan lain adalah Rp 75 juta.
INFORMASI LAIN-LAIN
Selain informasi tentang item-item di atas, Doni juga mendapatkan informasi lainnya bahwa:
1. Perusahaan memiliki rata-rata deposito selama tahun 2010 sebesar Rp 2 Milyar
sedangkan rata-rata pinjaman yang dimiliki Perusahaan (pinjaman dari Bank ABC) senilai
Rp 1,75 Milyar.
2. Perusahaan tidak membagikan deviden pada tahun 2010 ini.
3. Terdapat beberapa jenis biaya yang selalu dikoreksi oleh pemeriksa pajak yaitu:
Beban perjalanan dinas, beban ini diberikan untuk pimpinan dan staf karyawan yang
melakukan perjalanan dinas secara lump sum.
Beban sumbangan, dimana Perusahaan memberikan sumbangan kepada
perorangan/institusi yang memberikan proposal /meminta langsung ke perusahaan
maupun sumbangan kepada korban-konban bencana nasional di Indonesia.
4. Perusahaan seharusnya memiliki kredit pajak PPh Pasal 25. Namun, dokumen terkait
dengan pajak ini belum berhasil ditemukan karena staf pajak yang mengurusi pajak ini cuti
melahirkan selama 3 bulan.
BAHAN DISKUSI :
1. Menyangkut staf karyawan pajak, menurut Anda apakah ada yang perlu diperbaiki terkait dengan
pembagian tugas dan pekerjaan mereka?
Jawaban:
Kelebihan adanya pembagian tugas dan pekerjaan staf:
a. Terdapat spesialisasi pekerjaan, para staf fokus dengan pekerjaan mereka masing-masing
sesuai job description yang diberikan dan lebih terstruktur;
b. Karena bersifat kontinuitas, penyelesaian pekerjaan akan menjadi lebih cepat;
c. Adanya tanggung jawab penuh terhadap pekerjaan masing-masing.
Kelemahan adanya pembagian tugas dan pekerjaan staf:
a. Kemungkinan staf menjadi tidak tahu pekerjaan lain di luar job description yang mereka
pegang;
b. Pekerjaan menjadi monoton;
c. Apabila salah seorang tidak ada, tidak ada yang dapat menangani pekerjaan staf tersebut
dan memegang data yang dimiliki.
Penyimpanan dokumen yang dilakukan masing-masing staf dengan cara yang menurut
mereka masing-masing paling memudahkan dalam bekerja tidak tepat. Seharusnya ada
prosedur baku (Standar Operating Procedure) yang dibuat, sehingga ketika ada staf
yang tidak hadir atau berhalangan, dokumen perpajakan tidak ikut hilang bersamanya
(tidak dapat ditunjukkan) karena prosedur baku mengenai penyimpanan dokumen
memungkinkan staf yang lain dapat mencari dokumen perpajakan yang diperlukan.
Meskipun terdapat pembagian tugas, harus ada koordinasi karena ada beberapa kondisi
dimana tugas staf yang satu saling berkaitan dengan staf lainnya misalnya staf yang
mengurus pajak potong/pungut (withholding tax) berkaitan dengan tugas staf yang
mengurusi PPN seperti ketika staf PPN menerima faktur pajak atas jasa yang diberikan
oleh WP Badan Dalam Negeri, ada kemungkinan timbul kewajiban pemotongan PPh
pasal 23, sehingga diperlukan koordinasi dengan staf yang mengurusi withholding tax.
2. Menyangkut omset perusahaan:
a. Apakah diperlukan koreksi fiskal atas penghasilan usaha yang dilaporkan dalam laporan laba
rugi perusahaan? Jelaskan jawaban Anda!
Jawaban:
Penghasilan usaha yang dilaporkan dalam laba rugi perusahaan tidak perlu dikoreksi secara
fiskal sepanjang penyebab perbedaan omset/DPP menurut PPN dengan omset menurut PPh
bukan karena kesalahan Wajib Pajak.. Dalam hal terdapat perbedaan, maka penyebab
perbedaan tersebut harus dapat dijelaskan. Rincian perhitungan untuk kasus pada soal
adalah sbb:
Omset menurut PPN 5.000.000.000
Penyebab perbedaan:
1. Pendapatan tahun 2009 dengan faktur pajak
dibuat tahun 2010
(450.000.000)
2. Pemakaian sendiri produk pertanian (50.000.000)
3. Pemberian cuma-cuma (sumbangan) (100.000.000) (600.000.000)
Omset yang dilaporkan di SPT PPh 4.400.000.000
Penjelasan:
1) Pada bulan Desember 2009 Perusahaan melakukan penjualan alat pertanian senilai Rp
450 juta yang sampai dengan akhir Desember 2009 belum diterima pembayarannya.
Faktur pajak dibuat Perusahaan pada bulan Januari 2010
Perusahaan menggunakan metode pembukuan akrual sehingga atas transaksi ini,
pendapatan telah diakui di tahun 2009 sehingga seharusnya sudah dilaporkan di SPT
PPh 2009.
Menurut ketentuan UU PPN, saat terutang PPN adalah saat penyerahan (Desember 2009).
PPN yang terutang wajib dipungut dengan menggunakan faktur pajak yang dibuat pada
Januari 2010 (saat pembuatan faktur pajak mengacu kepada ketentuan sebelum
diberlakukannya UU PPN No. 42 tahun 2009, yaitu paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah bulan penyerahan). Selanjutnya, sesuai ketentuan UU PPN, faktur pajak yang
dibuat pada Januari 2010 akan dilaporkan di SPT Masa PPN bulan Januari 2010.
Dengan demikian, pada tahun 2010 omset PPN akan lebih tinggi 450 juta daripada omset
menurut PPh.
2) Pada bulan Desember 2010 Perusahaan melakukan penjualan produk pertanian yang
PPNnya dibebaskan senilai Rp 200 juta yang sampai dengan akhir Desember 2010
belum diterima pembayarannya.
Perusahaan menggunakan metode pembukuan akrual sehingga atas transaksi ini,
pendapatan telah diakui di tahun 2010 sehingga seharusnya sudah dilaporkan di SPT
PPh 2010.
Menurut ketentuan UU PPN, saat terutang PPN adalah saat penyerahan (Desember 2010).
PPN yang terutang wajib dipungut dengan menggunakan faktur pajak yang dibuat pada
Desember 2010 (mengacu ke UU PPN perubahan terakhir No. 42 tahun 2009).
Selanjutnya, faktur pajak yang dibuat pada Desember 2010 akan dilaporkan di SPT
Masa PPN bulan Desember 2010. Dengan demikian, pada tahun 2010 atas transaksi ini
nilai omset PPN akan sama dengan PPh
3) Pada bulan Juli 2010 Perusahaan menggunakan sebagian persediaan produk pertanian
yang dimilikinya senilai Rp 50 juta untuk ditanam di area kantor dan gudang
Perusahaan.
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak terutang PPN (Pasal 1A ayat (1) huruf d UU PPN
1984), namun bukanlah omset menurut PPh. Hal ini akan menyebabkan omset menurut
PPN lebih tinggi sebesar 50 juta dari omset menurut PPh. Pada tahun 2010 Perusahaan
berperan serta mensukseskan Hari Lingkungan Hidup dengan menyumbangkan produk
pertanian senilai Rp 100 juta kepada Pemerintah Daerah.
Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak terutang PPN (Pasal 1A ayat (1) huruf d UU
PPN 1984), namun bukanlah omset menurut PPh. Hal ini akan menyebabkan omset
menurut PPN lebih tinggi sebesar 100 juta dari omset menurut PPh.
Dengan demikian, perusahaan pada tahun 2010 sudah benar melaporkan omset menurut
PPN yaitu Rp5 miliar dan penghasilan menurut PPh sebesar Rp4,4 miliar (tidak perlu
dilakukan koreksi fiskal).
b. Jelaskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan omset usaha perusahaan dalam
laporan laba rugi dengan yang terdapat di dalam SPT PPN!
Jawaban:
1) Salah satu hal yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan omset usaha
perusahaan dalam laporan laba rugi dengan yang terdapat di dalam SPT PPN adalah
adanya perbedaan pengakuan penghasilan secara fiskal dalam penentuan PPh dengan
saat penerbitan faktur pajak.
Dalam kasus PT Tani Maju, misalnya untuk transaksi penjualan alat pertanian senilai
Rp 450 juta pada bulan Desember 2009, jika secara komersial penghasilan tersebut
sudah diakui di tahun 2009 dan tidak bertentangan dengan ketentuan fiskal, maka
akan terjadi perbedaan saat pengakuan penghasilan dengan saat penerbitan faktur
pajak. Untuk transaksi tersebut berlaku ketentuan saat pembuatan faktur pajak
sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak nomor 159/PJ./2006 yaitu paling
lama akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
jadi penjualan tersebut masuk ke laporan laba rugi untuk perhitungan PPh tahun
2009, tetapi faktur pajak terbit dan dilaporkan di SPT masa PPN Januari 2010
2) Hal lain yang dapat menjadikan perbedaan adalah berdasarkan pasal 1A ayat (1)
huruf d UU PPN, pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak
termasuk dalam pengertian penyerahan. Dalam laporan laba-rugi, pemakaian sendiri
dan pemberian cuma-cuma tidak masuk dalam “omset”, akan tetapi harus diterbitkan
Faktur Pajak dan masuk dalam “peredaran” PPN.
Disamping kedua hal diatas, yang dapat menjadikan perbedaan adalah adanya transaksi
antar cabang ketika menganut prinsip desentralisasi (diakui menurut PPN, namun tidak
diakui menurut PPh) serta adanya penghasilan diterima di muka (diakui menurut PPN,
dicatat sebagai utang sehingga bukan pendapatan menurut PPh – basis pembukuan
akrual).
c. Terkait pertanyaan (b), apakah tindakan yang harus dilakukan PT TANI MAJU?
Jawaban:
Sepanjang penyebab perbedaannya dapat dijelaskan dan tidak bertentangan dengan
ketentuan, PT Tani Maju tidak perlu melakukan tindakan apa-apa.
3. Terkait beban karyawan:
a. Apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban karyawan untuk
menghitung laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda!
Jawaban:
Beban Gaji Karyawan
Gaji, lembur, tunjangan transportasi, bonus dan THR merupakan penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 21 menurut PMK 252/PMK.03/2013 Pasal 5 Ayat (1a). Dengan
demikian biaya-biaya tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam
menghitung penghasilan kena pajak perusahaan.
Beban PPh Pasal 21
Tindakan perusahaan yang tidak membebankan PPh Pasal 21 dalam perhitungan PPh
sudah tepat karena berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh, Pajak Penghasilan tidak
boleh dikurangkan
Beban Makan Siang
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh, natura tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto, tetapi ada pengecualian, diantaranya penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai. Menurut PMK-83/PMK.03/2009 Pasal 1 Pemberian
natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan
bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya termasuk pemberian atau
penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan
Tindakan perusahaan yang tidak membebankan Beban makan siang dalam perhitungan
PPh sudah tepat, tetapi alasannya tidak tepat. Seharusnya alasan tidak dibebankannya
adalah karena pemberian makanan tersebut tidak diberikan kepada seluruh pegawai,
bukan karena alasan melanjutkan koreksi yang sudah terjadi sejak dahulu.
Biaya pengobatan
Tindakan perusahaan yang tidak membebankan biaya pengobatan dalam perhitungan PPh
sudah tepat, karena berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh, penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
tidak dapat dikurangkan dalam perhitungan PPh (S-1821/PJ.21/1985 “Jika biaya
pengobatan karyawan dibayarkan langsung kepada Klinik, Dokter, dan Rumah Sakit lain
di luar perusahaan, maka bagi karyawan merupakan kenikmatan, yang tidak dikenakan
PPh, dengan demikian biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dalam menghitung
penghasilan kena pajak perusahaan”)
Pakaian seragam
Berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh, pemberian seragam petugas keamanan
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Menurut PMK-83/PMK.03/2009 Pasal 5
Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya
meliputi meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam
petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak
kapal, dan yang sejenisnya. Seharusnya PT Tani Maju dapat membebankan pengeluaran
atas pakaian seragam tersebut
b. Berikan masukan Anda kepada perusahaan mengenai kewajiban perpajakan yang terkait
dengan beban karyawan!
Jawaban:
1) Atas koreksi fiskal, staf pajak perlu diberikan pelatihan atau pemahaman lebih
mendalam sehingga dasar dilakukan atau tidaknya koreksi fiskal adalah ketentuan
peraturan perpajakan, bukan “tradisi”
2) Perlu adanya pemahaman lebih lanjut terkait perbedaan perlakuan atas Natura,
Tunjangan maupun Natura yang diberikan dalam bentuk Tunjangan. Perusahaan
harus dapat memilih dan memilah jenis-jenis biaya mana yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto, misalnya mana yang harus perusahaan pilih antara
memberikan tunjangan pengobatan atau pengobatan ditanggung perusahaan. Dengan
manajemen perpajakan seperti ini, beban pajak yang ditanggung perusahaan dapat
berkurang.
a) Natura (menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.23/1984, Undang
– Undang Nomor 36 tahun 2008, PMK-83/PMK.03/2009,
PMK-252/PMK.03/2008)
Natura dan kenikmatan dari sisi biaya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu
natura yang sifatnya deductible expense (diperbolehkan untuk dibiayakan) serta
natura yang sifatnya non deductible expense (tidak diperbolehkan menjadi
biaya). Natura yang sifatnya deductible expense adalah pemberian makanan
dan atau minuman untuk seluruh pegawai, natura atau kenikmatan yang
diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam
rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di
daerah tersebut, dan natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya. Pemberian natura dan kenikmatan di luar
tiga hal tadi merupakan non deductible expense.
Natura dari sisi penghasilan dapat dikelompokan menjadi natura yang taxable
(terutang pajak penghasilan) dan natura yang non taxable (tidak terutang pajak
penghasilan). Natura sebagai penghasilan yang sifatnya taxable (terutang pajak
penghasilan) adalah penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh bukan
Wajib pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;
atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
b) Tunjangan (UU 36 Tahun 2008, PMK Nomor 252/PMK.03/2008)
Segala macam tunjangan merupakan penghasilan bagi pegawai tetap dan
sifatnya taxable atau terutang serta wajib dipotong Pajak Penghasilan.
Tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerja adalah biaya yang diperbolehkan
menjadi pengurang penghasilan bruto karena merupakan biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
c) Natura yang diberikan dalam bentuk Tunjangan
Natura yang diberikan dalam bentuk tunjangan jika berpatokan pada pasal 1
angka 15 dan 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi adalah bahwa segala
macam tunjangan merupakan penghasilan yang diberikan oleh pemberi kerja
kepada pegawai tetap yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Jika pemberi
kerja memberikan penghasilan berupa tunjangan kepada penerima penghasilan
yang merupakan bukan pegawai maka itu tidak dapat dibenarkan.
4. Terkait beban bunga, apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban bunga
untuk menghitung laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda!
Jawaban:
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE -46/PJ.4/1995, apabila jumlah rata-rata
pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan
sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya,maka bunga yang dibayar atau terutang atas
pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
Karena rata-rata pinjaman yang dimiliki Perusahaan senilai Rp 1,75 Milyar lebih kecil dari rata-
rata deposito selama tahun 2010 sebesar Rp 2 Milyar, bunga yang dibayar atau terutang atas
pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
Jadi, walaupun bunga yang dibayarkan sudah tepat jumlahnya, namun mengacu aturan di atas
maka perusahaan melakukan kesalahan karena mengakui seluruh beban bunga dalam perhitungan
laba rugi fiskal. Seharusnya keseluruhan beban bunga tersebut tidak dapat dibebankan sebagai
biaya dalam perhitungan laba rugi fiskal.
5. Sehubungan dengan beban konsultasi manajemen, jelaskan apakah diperlukan koreksi atas beban
konsultasi manajemen yang diakui perusahaan? Jelaskan jawaban Anda!
Jawaban:
Hubungan Istimewa menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pajak diatur dalam Pasal
18 ayat (4) UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 sebagai berikut:
Hubungan istimewa dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau
hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.
Karena kepemilikan PT Jaya Utama adalah 20%, hubungan istimewa dianggap tidak terjadi.
Berdasarkan pasal 10 ayat (1) UU PPh, harga perolehannya untuk transaksi yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan. Jadi jika jumlah
yang sesungguhnya dikeluarkan adalah Rp.100 juta, tidak perlu dilakukan koreksi
6. Sehubungan dengan beban-beban yang sering dikoreksi:
a. Menurut pendapat Anda, apakah yang menyebabkan beban-beban tersebut dikoreksi oleh
pemeriksa pajak selama ini?
Jawaban:
1) Terkait Biaya Perjalanan Dinas
Terdapat dua kebijakan dalam biaya perjalanan dinas yaitu diberikan secara lump-sum dan
reimbursement. Biaya perjalanan dinas secara lump-sum diberikan kepada karyawan di awal
atau sebelum karyawan tersebut melakukan perjalanan dinas bersangkutan berdasarkan
perkiraan jumlah biaya dari kebutuhan dalam perjalanan seperti transportasi, akomodasi, dan
uang saku yang kemudian karyawan tersebut harus memberikan laporan
pertanggungjawaban atas penggunaan dana tersebut. Biaya perjalanan dinas secara
reimbursement diberikan kepada karyawan di akhir atau setelah karyawan tersebut telah
selesai melakukan perjalanan dinas bersangkutan, perusahaan memberikan penggantian
kepada karyawan segala biaya yang telah dibayarkan oleh karyawan terkait kebutuhan dalam
perjalanan berdasarkan bukti-bukti transaksi yang ada namun tetap harus dalam batas jumlah
yang wajar. Kedua kebijakan tersebut memang tidak diatur secara tegas dalam ketentuan
perpajakan yang ada, namun reimbursement mendorong efisiensi perusahaan dan sistem
kendali internal yang baik, karena untuk mendapat penggantian karyawan harus memiliki
bukti transaksi yang sah terkait pengeluaran yang dibayarkannya, sementara lump-sum justru
mendorong penghamburan dana perusahaan karena karyawan akan cenderung menghabiskan
kas di tangan yang telah diberikan.
Apapun kebijakan yang digunakan oleh perusahaan, biaya perjalanan dinas tersebut dapat
diperhitungkan sebagai biaya untuk menentukan besarnya PKP sesuai Pasal 6 UU No. 36
Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, apabila terdapat dasar bukti transaksi yang jelas.
Namun dalam praktiknya, dengan eksposur yang terdapat dalam pilihan kebijakan lump-sum
bukti transaksi pengeluaran cenderung tidak cukup memadai..
2) Terkait beban sumbangan
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah dilakukan perubahan terakhir yaitu
UU No. 36 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k,
huruf l beban sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, beban
sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, biaya
pembangunan infrastruktur sosial, dan sumbangan fasilitas pendidikan dapat diperhitungkan
sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan untuk menentukan
Penghasilan Kena Pajak bagi WP dalam negri atau bentuk usaha tetap, ketentuan teknis dari
peraturan ini diatur dalam PP No. 93 Tahun 2000.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 PP No. 93 Tahun 2010 sumbangan dan/atau biaya yang
dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan
penghasilan kena pajak bagi WP terdiri atas:
a) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan
sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui
badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui
lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang
untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
b) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan
untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia
yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
c) Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas
pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;
d) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga; yang merupakan sumbangan untuk
membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi
cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olahraga;
e) Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk
keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat
nirlaba.
Berdasarkan Pasal 2 PP No.93 Tahun 2010, sumbangan dan/atau biaya yang disebutkan
tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
a) WP mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT Pajak Penghasilan Tahun Pajak
sebelumnya;
b) Pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak
sumbangan diberikan;
c) Didukung oleh bukti yang sah; dan
d) Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki NPWP, kecuali badan
yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam UU tentang Pajak
Penghasilan.
Pasal 3 PP No. 93 Tahun 2010 menyebutkan besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya
pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% dari penghasilan neto
fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 5 ayat (1), sumbangan yang dimaksud dalam Pasal 1 huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d (yang telah dijelaskan di atas) dapat diberikan dalam bentuk uang
dan/atau barang. Namun untuk biaya pembangunan infratruktur sosial diberikan hanya dalam
bentuk sarana dan/atau prasarana.
Jadi, koreksi atas beban-beban sumbangan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak selama ini
dapat terjadi karena sumbangan-sumbangan tersebut tidak memenuhi persyaratan dalam PP
No. 93 Tahun 2010 antara lain tidak diberikan kepada badan berwenang atau lembaga yang
telah mendapatkan izin dari pemerintah untuk menyalurkan sumbangan-sumbangan tersebut
dan/atau sumbangan-sumbangan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto sesuai dengan Pasal 2 PP No. 93 Tahun 2010 dan/atau melebihi batas
pemberian sumbangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 PP No. 93 Tahun 2010 dan/atau
bentuk sumbangan yang diberikan tidak sesuai dengan Pasal 5 PP No. 93 Tahun 2010.
b. Jelaskan tindakan dan kebijakan apa yang harus diubah/dilakukan PT TANI MAJU
untuk menjamin koreksi semacam itu tidak terjadi lagi?
Jawaban:
1) perusahaan sebaiknya mengubah kebijakan pengeluaran biaya perjalanan dinas
secara reimbursement yang dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam
lingkungan internal perusahaan
2) Perusahaan harus lebih memahami ketentuan mengenai sumbangan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto, sehingga dalam perhitungan pph tidak terjadi
pembebanan yang tidak seharusnya atas sumbangan yang berdasarkan ketentuan
tidak diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto.