pengaruh suhu dan sumber inokulum …/pengaruh...mengetahui pengaruh interaksi antara suhu dan...
TRANSCRIPT
PENGARUH SUHU DAN SUMBER INOKULUM TERHADAP PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH MAKANAN
PADA PEROMBAKAN ANAEROB
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh :
Agus Purnomo
NIM. M0404019
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan lingkungan hidup akhir-akhir ini yang sangat menonjol
adalah pemanasan bumi (global), krisis energi, dan sampah atau limbah.
Permasalahan ini secara umum diakibatkan oleh aktifitas manusia.
Pemanasan global atau dikenal dengan Global Warming adalah kejadian
meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Hal ini
disebabkan karena tingkat pencemaran lingkungan, eksploitasi alam tanpa batas,
pembakaran bahan bakar minyak berlebih dan penanganan limbah yang belum
optimal. Kondisi ini menimbulkan beberapa dampak antara lain
ketidakseimbangan ekosistem alam, meningkatnya gas rumah kaca seperti CO2
dan CH4, rusaknya lapisan ozon dan lai sebagainya. Satu diantaranya efek dari
ketidakseimbangan alam tersebut adalah mencairnya gunung es di kutub akibat
panasnya suhu bumi (Pudja, 2007).
Lingkungan merupakan segala sesuatu disekitar kita yang terdiri dari
faktor biotik dan abiotik serta dipengaruhi budaya manusia Isu lingkungan
terutama pencemaran udara, pemanasan global, paradigma teknologi bersih dan
zero waste telah mendorong peningkatan perhatian pada sumber-sumber energi
yang terbarukan yang ramah lingkungan. Demikian pula kebutuhan energi
masyarakat yang semakin meningkat dan harga bahan bakar minyak (fosil/energi
tak terbarukan) yang membumbung tinggi menjadi salah satu upaya pemenuhan
3
kebutuhan energi yang lebih murah dan tersedia melimpah berupa biogas sebagai
energi terbarukan (Mahajoeno, 2008). Ariati (2001) menjelaskan krisis energi juga
terjadi karena pasokan tidak seiring dengan pemenuhan kebutuhan energi
(konsumsi) bahkan penyusutan/kelangkaan produksi atau harga/biaya
perolehannya semakin rumit dan mahal.
Sejauh ini telah banyak langkah untuk mengatasi permasalahan
lingkungan hidup tersebut, antara lain mengurangi kecenderungan dan
ketergantungan teradap BBF (Bahan Bakar Fosil) secara bertahap dan terencana.
Pengembangan sumber-sumber energi alternatif yaitu sumber energi baru dan
terbarukan. Limbah berpotensi sebagai salah satu energi alternatif untuk
menghasilkan biogas dengan alat digester (Mahajoeno, 2008). Menurut Sugiharto
(1987) menjelaskan bahwa teknologi pengolahan limbah baik cair maupun padat
merupakan kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan.
Biomassa limbah sangat bermanfaat untuk menunjang program
diversifikasi energi melalui pengurangan penumpukan sampah atau limbah,
sementara perombakan anaerob memberikan nilai tambah, yaitu kontribusi energi
terbarukan (biogas) juga pupuk cair/organik (Mahajoeno, 2008). Kerakteristik
kimia, fisika dan biologi biomassa limbah organik atau bahan makanan baik
limbah rumah makan, industri kerajinan tahu dan tapioka perlu diketahui dan
ditingkatkan nilai tambahnya, di lain pihak pemanfaatan limbah merupakan upaya
kemelimpahan residu organik dan potensi penghasil gas rumah kaca (Siswanto, et
al, 2005). Untuk mengetahui efektifitas dari pengolahan limbah pangan dalam
4
membentuk energi alternatif (biogas) maka dilakukan penelitian tentang
pembentukan biogas dengan biokonversi (digester) anaerob.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan:
Bagaimanakah pengaruh perbedaan sumber inokulum (metanogen) dan suhu
terhadap produksi biogas dari limbah makanan pada perombakan anaerob?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh sumber inokulum terhadap produksi biogas yang
terbaik dari limbah makanan.
2. Mengetahui pengaruh perbedaan suhu fermentasi di dalam biodigester tipe
batch pada produksi biogas.
3. Mengetahui pengaruh interaksi antara suhu dan sumber inokulum terhadap
produksi biogas dari limbah makanan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
mengenai sumber metanogen yang lebih efektif dalam perombakan limbah untuk
produksi biogas. Sebagai salah satu upaya untuk peningkatan sumber-sumber
energi terbarukan. Mendukung kebijakan pemerintah di sektor energi sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan energi masyarakat yang ramah lingkungan serta
dapat mengurangi efek pencemaran sehingga mengurangi efek pemanasan global.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Permasalahan lingkungan
Lingkungan merupakan segala sesuatu disekitar kita yang terdiri dari
faktor biotik dan abiotik serta dipengaruhi budaya manusia. Permasalahan
lingkungan hidup yang menonjol adalah pemanasan bumi (global), krisis energi,
dan sampah atau limbah. Manusia berperan sangat besar dalam menjaga
keseimbangan alam. Kesuksesan perkembangan peradaban manusia menimbulkan
resiko keseimbangan iklim bumi. Berbagai kasus pencemaran lingkungan yang
terjadi dewasa ini diakibatkan oleh limbah dari berbagai kegiatan industri, rumah
sakit, pasar, restoran hingga rumah tangga. Hal ini disebabkan karena penanganan
dan pengolahan limbah tersebut belum mendapatkan perhatian yang serius.
Sebenarnya, keberadaan limbah dapat memberikan nilai negatif bagi suatu
kegiatan industri. Limbah tersebut biasanya langsung dibuang tanpa pengolahan
terlebih dahulu karena penanganan dan pengolahannya membutuhkan biaya yang
cukup tinggi sehingga kurang mendapatkan perhatian dari kalangan pelaku
industri, terutama kalangan industri kecil dan menengah (Sugiharto, 1987).
Pencemaran limbah yang menghasilkan gas metana merupakan salah satu
penyebab pemanasan global sehingga dikhawatirkan akan mengancam
keseimbangan alam. Menurut Nurmaeni (2001), pemanasan global dan rusaknya
lapisan ozon pada stratosfer bumi disebabkan terakumulasinya gas-gas rumah
kaca dalam jumlah yang berlebihan. Temperatur rata-rata global naik sebesar
6
0.74°C selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah
daratan daripada lautan. Jumlah karbondioksida yang lebih banyak di atmosfer.
Karbondioksida adalah penyebab paling dominan terhadap adanya perubahan
iklim saat ini.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas
karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Selain gas CO2, yang
dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen
monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik
seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC). Mekanisme terjadinya
efek rumah kaca adalah sebagai berikut; Bumi secara konstan menerima energi,
kebanyakan dari sinar matahari tetapi sebagian juga diperoleh dari bumi itu
sendiri, yakni melalui energi yang dibebaskan dari proses radioaktif. Sinar tampak
dan sinar ultraviolet yang dipancarkan dari matahari. Radiasi sinar tersebut
sebagian dipantulkan oleh atmosfer dan sebagian sampai di permukaan bumi. Di
permukaan bumi sebagian radiasi sinar tersebut ada yang dipantulkan dan ada
yang diserap oleh permukaan bumi dan menghangatkannya (Anonim, 2008;
Netsains, 2007).
Potensi metana untuk meningkatkan temperatur lebih tinggi dibandingkan
dengan karbondioksida. Satu studi penelitian reaktifitas metana telah dilakukan,
disimpulkan bahwa potensi pemanasan globalnya lebih dari 20 kali
karbondioksida dan konsentrasinya pada atmosfer meningkat satu hingga dua
persen per tahun (Netsains, 2007). Sementara itu, ternak-ternak dalam jumlah
besar akan mengemisikan metana, begitu pula pertanian dan pembuangan limbah,
7
sebab penggunaan pupuk dapat menghasilkan nitrous oksida. Kegiatan-kegiatan
manusia yang mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer saat ini sangat banyak
dilakukan dan sangat esensial dalam ekonomi global. Nurmaini (2001)
menjelaskan penggunaan biomassa (bahan-bahan organik) sebagai bahan bakar
akan mengkonversi metana menjadi bahan bakar yang lebih bermanfaat sehingga
potensi metana yang dilepaskan ke atmosfer menjadi berkurang.
2. Limbah makanan
Sampah seringkali didefinisikan sebagai bahan atau material hasil produksi
atau sisa konsumsi yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh atau nilai guna
hilang karena barang tidak sesuai dengan peruntukan. Limbah seringkali
digunakan untuk pengganti istilah kata sampah yang seringkali dibedakan menjadi
limbah padat maupun limbah cair. Sampah rumah tangga dapat bersifat padat
maupun cair, yang penyimpanan maupun pengumpulannya sebelum dibuang ke
tempat pembuangan akhir sampah tidak merugikan lingkungan dan mengganggu
kesehatan penghuninya. Banyak cara pemusnahan sampah dari tingkat sederhana
hingga yang menggunakan peralatan teknologi mutakhir agar tidak menimbulkan
kerugian yang berarti baik kepada pembuangnya (manusia) maupun
lingkungannya. Limbah biomassa berasal dari argoindustri, perternakan atau
pabrik pengolahan hasil pertanian maupun limbah kota/domestik, umumnya
mengandung konsentrasi bahan organik sangat tinggi. Bahan organik tersebut
terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan selulosa atau ligno selulosa yang dapat
didegradasi secara biologi. Limbah cair tersebut mengandung nitrogen, phospat
dan natrium. Besar atau kecilnya pencemaran limbah organik diukur oleh
8
Chemical Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD) untuk
limbah cair, sedangkan untuk yang berbentuk sludge atau lumpur diukur dengan
Total Volatile Solid (TVS) (Jenie dan Winiati, 1993).
Limbah rumah makan bisa berasal dari dapur, yakni bagian dari sayuran
dan bahan makanan lain yang tidak termasak dan memang harus dibuang,
misalnya tongkol jagung, tangkai-tangkai sayuran dan lainnya. Bisa juga sisa
makanan yang tidak habis dimakan tamu warung tersebut (Nugroho et al; 2007).
Sebuah proses biokonversi dipilih untuk mengolah limbah organik dari
makanan. Kuncinya adalah untuk mendapatkan pH seimbang dan suhu yang tepat
sehingga enzim dan mikroorganisme yang digunakan dapat bekerja maksimal
(Riyadi, 2007). Limbah tinggi kandungan energi dan tinggi nitrogen mencakup
tepung ikan, bungkil dan beberapa limbah sayuran (Anonim, 2008).
3. Batasan Biokonversi
Proses daur hidup di alam oleh semua makhluk hidup berlangsung melalui
berbagai tahapan panjang yang dapat dibedakan menjadi dua arah yaitu :
pembentukan (biosintesa) dan pemecahan (biolisa). Proses biologis pembentukan
dan pemecahan ini disebut biokonversi. Teknologi konversi secara umum dapat
dibedakan menjadi empat kelompok yaitu : pembakaran langsung (melalui
tungku/tanur), gasifikasi (hasil berupa gas CO2 dan H2), pirolisa (pengarangan)
dan fermentasi (biogas/alkohol) (Judoamidjojo et al., 1989).
Proses biokonversi adalah perubahan bentuk suatu bahan polimer atau
produk biomassa menjadi berbagai jenis produk nabati maupun hewani
berlangsung secara simultan, meskipun terdapat fluktuasi keseimbangan proses
9
akibat berbagai pengaruh misalnya pengaruh kondisi setempat. Biokonversi
limbah organik dari rumah makan terjadi dalam kondisi anaerob oleh
mikroorganisme, yang dihasilkan produk samping biogas sebagai energi
terbarukan dan lumpur pekat sebagai pupuk organik (Mahajoeno, 2008)
4. Energi Biogas dan Teknologi Perombakan anaerob
Energi merupakan daya usaha yang dapat menggerakan sesuatu barang
atau benda. Sumber energi utama bumi adalah sinar matahari/surya. Sebagian
energi surya sendiri diserap secara alamiah menjadi misalnya energi hidro, energi
angin, energi ombak dan energi kimiawi yang tersimpan pada tanaman.
Terkadang lebih praktis dan ekonomis bagi manusia untuk memanfaatkan energi-
energi sekunder ini ketimbang memanfaatkan energi surya secara langsung
(Triwahyuningsih et al., 2006). Bahan bakar fosil dan nuklir suatu saat nanti akan
habis. Di samping itu, krisis energi juga terjadi terutama karena pasokan tidak
seiring dengan pemenuhan kebutuhan energi (konsumsi) bahkan
penyusutan/kelangkaan produksi atau harga/biaya perolehannya semakin rumit
dan mahal. Hal ini disebabkan oleh karena kebutuhan meningkat sesuai tingkat
kesejahteraan maupun bertambahnya jumlah penduduk (Ariati, 2001).
UNFCCC 2007 di Nusa Dua, Bali, menegaskan bahwa di masa yang akan
datang, penggunaan jenis bahan bakar fosil akan ditekan seminimal mungkin.
Semakin sedikit penggunaan bahan bakar fosil, maka semakin ramah terhadap
lingkungan. Salah satu strategi dalam upaya pemenuhan kebutuhan energi yang
lebih murah dan tersedia melimpah berupa bioenergi (biogas) sebagai energi
terbarukan (Mahajoeno, 2008)
10
Tabel 1. Komposisi Biogas
Penjelasan Rumus Persentase
Metan CH 4 55-65%
Karbondioksida CO 2 36-45%
Nirogen N 2 0-3%
Hidrogen H 2 0-1%
Oksigen O 2 0-1%
Hidrogen Sulfida H 2 S 0-1%
Sumber : Energi Resources Development Series No. 19, Escap, Bangkok
(Kadir, 1995)
Penggunaan biogas sebagai energi alternatif tidak menghasilkan polusi,
disamping berguna menyehatkan lingkungan karena mencegah penumpukan
limbah sebagai sumber penyakit, bakteri, dan polusi udara. Keunggulan biogas
adalah karena konstruksi digester sederhana, hemat ruang, awet, mudah perawatan
dan penggunaannya, dan dihasilkan lumpur kompos maupun pupuk cair
(Abdullah, 1991).
Gas metana (CH4) yang merupakan komponen utama biogas merupakan
bahan bakar yang berguna karena mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi (Tabel
1.3). Karena nilai kalor yang cukup tinggi itulah biogas dapat dipergunakan untuk
keperluan penerangan, memasak, menggerakkan mesin dan sebagainya (Abdullah,
1991; GTZ, 1997; UN, 1980 dan Nurhasanah et al 2006). Sistem produksi biogas
juga mempunyai beberapa keuntungan seperti (a) mengurangi pengaruh gas
rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (c) sebagai pupuk dan
11
(d) produksi daya dan panas (Koopmans, 1998; UN, 1980; Yapp et al; 2005 dan
Nurhasanah et al., 2006).
Energi biogas mengandung nilai kalori lebih dari bahan bakar lainnya,
artinya akan lebih banyak panas yang dihasilkan untuk memasak dan lebih cepat
proses masak tersebut. Dalam pemakaian biogas, bau akan limbah akan berkurang
karena proses penguraian bahan organik yang berlangsung. Selain itu pencemaran
karena asap seperti pada proses memasak dengan kayu sedikit saja terjadi.
Tabel 2. Nilai Kalori Biogas dan Bahan Bakar Lain
Bahan Bakar Nilai Kalori (KJ/Kg)
Bio Gas 15.000
Kayu 2.400
Arang 7.000
Minyak Tanah 8.000
(Ginting, 2007).
Bahan biogas dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran
ternak (manure), kotoran manusia dan campurannya. Kotoran ternak seperti sapi,
kerbau, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil biogas
dan hasil yang diperoleh memuaskan (Harahap et al; 1978).
Teknologi perombakan anaerob merupakan salah satu bagian strategi
pengelolaan limbah cair buangan industri yang cukup berdayaguna dan efektif
(Bitton, 1999). Aplikasi Teknologi Digester Anaerob (TDA) yang lebih luas
sekarang menjadi kebutuhan dalam usaha menuju pembangunan berkelanjutan
12
dan produksi energi terbarukan. Kecenderungan ini didukung oleh pertumbuhan
kebutuhan pasar akan energi “hijau” (de Mez et al; 2003).
Biogas diproduksi dibawah kondisi dekomposisi anaerobik melalui tiga
tahap :
1. Hidrolisis : Mikrobia hidrolitik mendegradasi senyawa organik kompleks
yang berupa polimer (lemak, protein, dan karbohidrat) menjadi monomernya
yang berupa senyawa tak terlarut dengan berat molekul yang lebih ringan.
Proses hidrolisis membutuhkan mediasi exo-enzim yang dieksresi oleh
bakteri fermentatif . Hidrolisis molekul komplek dikatalisasi oleh enzim
ekstra seluler seperti sellulase, protease, dan lipase. Walaupun demikian
proses penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi terbatas dalam
penguraian limbah sellulolitik yang mengandung lignin (Said, 2006).
2. Pembentukan asam : bakteri pembentuk asam yang merombak senyawa-
senyawa organik menjadi asam lemak volatile dan ammonia. Tahap ini
dilakukan oleh berbagai kelompok bakteri, mayoritasnya adalah bakteri
obligat anaerob dan sebagian yang lain bakteri anaerob fakultatif.
3. Pembentukan metana : bakteri pembentuk metana memanfaatkan asam-asam
ini untuk membentuk metana (CH4) (Veziroglu, 1991). Bakteri tersebut hanya
mengkonsumsi asam format, asam asetat, methanol, hidrogen dan
karbondioksida sebagai substrat.
Proses hidrolisis merupakan salah satu tahap proses yang sangat penting
agar tidak terjadi kegagalan proses pada biodegradasi anaerob. Hidrolisis akan
mempengaruhi kinetika proses keseluruhan karena tahap yang berlangsung paling
13
lambat dapat mempengaruhi laju keseluruhan (Adrianto et al., 2001). Perombakan
bahan organik polimer (lemak, protein, dan karbohidrat) dalam kondisi anaerob
melibatkan aktivitas enzim ekstraseluler yang dikeluarkan oleh mikroorganisme
anaerob. Hidrolisis enzim ekstraseluler (lipase, protease dan karbohidrase)
terhadap bahan organik polimer akan dihasilkan molekul-molekul lebih kecil
sehingga dapat dikonsumsi oleh mikroorganisme (Kusarpoko, 1994; Sahirman,
1994). Pada fermentasi anaerob dihasilkan biogas dan lumpur pekat (sebagai
pupuk organik). Proses hidrolisis enzimatis dan fermentasi anaerob dapat
dilangsungkan secara simultan (Spangler and Emert, 1986, Wright et al., 1988).
Proses perombakan anaerob bahan organik untuk pembentukan biogas
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa
mikroorganisme dan jasad yang aktif di dalam proses ataupun mikroba dan jasad
kehidupan diantara komunitas jasad. Faktor abiotik meliputi : substrat; kadar air
bahan/substrat; rasio C/N dan P dalam bahan/substrat; suhu; kehadiran bahan
toksik (unsur beracun); pH dan pengadukan (Wellinger, 1999).
Semua mikroorganisme memerlukan kondisi lingkungan tertentu untuk
pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga terdapat variasi persyaratan
pertumbuhan untuk spesies yang berbeda antara lain waktu, Makanan,
Kelembaban, Suhu, Oksigen (untuk yang aerob) (Sudaryati et al., 2007).
Mikroorganisme memerlukan nutrient yang akan menyediakan energi, biasanya
diperoleh dari substansi yang mengandung karbon, nitrogen untuk sintesis protein,
vitamin dan yang berkaitan dengan faktor pertumbuhan, dan mineral (Sherrington,
1981).
14
Terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerob,
yaitu metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/kemolitotrof) mengubah
hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklasik)
metanogen pemisah asetat yang mengubah asetat menjadi metana dan CO2
(Bitton, 1999).
Suhu berpengaruh terhadap proses perombakan anaerob bahan organik dan
produksi gas. Pada kondisi karyofilik (5-200C), proses perombakan berjalan
rendah, kondisi mesofilik (25-400C), perombakan berlangsung baik dan terjadi
percepatan proses perombakan dengan kenaikan suhu, serta kondisi termofilik
(45-650C), untuk bakteri termofilik dengan perombakan optimal pada 550C (NAS
1981, Bitton 1999).
Proses perombakan anaerob biasa berlangsung pada pH antara 6,6-7,6;
bakteri metanogen tidak dapat toleran pada pH di luar 6,7-7,4 sedangkan bakteri
non metanogen mampu hidup pada pH 5-8,5 (NAS, 1981). Praperlakuan kimia
pada umumnya limbah cair memiliki derajat keasaman tinggi (< pH 5) dan
penambahan Ca(OH)2 digunakan untuk meningkatkan pH limbah cair menjadi
netral (Bitton, 1999). Sahirman (1994) mengungkapkan bahwa pengaturan pH
awal dengan (CaCO3) bersama pengadukan kontinu 100 rpm (tekanan 1 atm, suhu
kamar) sangat berpengaruh terhadap total biogas yang dihasilkan selama 4
minggu fermentasi. Hal ini dikarenakan adanya intensitas kontak antara
mikroorganisme dan substrat jauh lebih baik dan menghindari akumulasi padatan
terbang ataupun padatan mengendap yang akan mengurangi volume keefektifan
digester.
15
Salah satu cara menentukan bahan organik yang sesuai untuk menjadi
bahan masukan sistem biogas adalah dengan mengetahui perbandingan Karbon
(C) dan Nitrogen (N) atau disebut rasio C/N. Beberapa percobaan yang telah
dilakukan oleh ISAT menunjukkan bahwa aktifitas metabolisme dari bakteri
methanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20 (Anonim, 2008).
Konsentrasi substrat (rasio C:N) terkait kebutuhan nutrisi mikroba; homogenitas
sistem dan kandungan air (padatan tersuspensi (SS), padatan total (TS), asam
lemak volatile (VFA)) (Bitton, 1999).
Senyawa dan ion tertentu dalam substrat dapat bersifat racun, misalnya
senyawa dengan konsentrasi berlebihan ion Na+ dan Ca+ > 8000 mg/l; K+ >
12000; Mg++ dan NH4+ > 3000, sedangkan Cu, Cr, Ni dan Zn dalam konsentrasi
rendah dapat menjadi racun bagi kehidupan bakteri anaerob (Bitton, 1999).
Starter diperlukan untuk mempercepat proses perombakan bahan organik
menjadi biogas, bisa digunakan lumpur aktif organik atau cairan isi rumen
(Ginting, 2007). Keuntungan pemilihan proses secara anaerobik adalah proses
anaerobik tidak membutuhkan energi untuk aerasi, lumpur atau sludge yang
dihasilkan sedikit, polutan yang berupa bahan organik hampir semuanya
dikonversi ke bentuk biogas (gas metana) yang mempunyai nilai kalor cukup
tinggi. Kelemahan proses degradasi ini adalah kemampuan pertumbuhan bakteri
metan sangat rendah, membutuhkan waktu dua sampai lima hari untuk
penggandaanya, sehingga membutuhkan reaktor yang bervolume cukup besar
(Mahajoeno, 2008).
16
5. Sumber Inokulum
Mikrobia merupakan salah satu faktor kunci yang ikut menentukan
berhasil tidaknya suatu proses penanganan limbah cair organik secara biologi.
Keberadaanya sangat diperlukan untuk berbagai tahapan dalam perombakan
bahan organik. Hanifah (2003) menyatakan bahwa efektifitas biodegradasi limbah
organik menjadi metana membutuhkan aktifitas metabolik yang terkoordinasi dari
populasi mikrobia yang berbeda-beda. Populasi mikroba dalam jumlah dan
kondisi fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi disebut sebagai
starter (sumber metanogen). Dalam proses anaerobik, mikrobia yang digunakan
berasal dari golongan bakteri. Bakteri yang bersifat fakultatif anaerob yaitu
bakteri yang mampu berfungsi dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Bakteri-
bakteri tersebut dominan dalam proses penanganan limbah cair baik secara
aerobik ataupun anaerobik. Jenie (1993) menyatakan bahwa sejumlah besar
bakteri anaerobik dan fakultatif yang terlibat dalam proses hidrolisis dan
fermentasi senyawa organik antara lain adalah Bacteroides, Bifidobacterium,
Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus. Bakteri asidogenik (pembentuk asam)
seperti Clostridium, bakteri asetogenik (bakteri yang memproduksi asetat dan H2)
seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei.
Pancapalaga, (2007) menjelaskan bahwa limbah ternak masih mengandung
nutrisi atau zat zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik.
Menurut Harahap et al., (1980) bahwa kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi
dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil gasbio dan hasil yang
diperoleh memuaskan. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus
17
yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi
untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh
karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan
selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi
mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72%
total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68%
K (Pancapalaga, 2007). Kadarwati (2003) menambahkan bahwa rasio C/N kotoran
sapi adalah 18. Pemanfaatan limbah peternakan sebagai aktivator proses
anaerobik memerlukan kondisi C/N 20-25. Ada kaitan yang sangat erat antara
unsur Carbon (C) dan Nitrogen (N). Dalam proses fermentasi, 2/3 dari karbon
digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3
lainnya digunakan untuk pembentukan sel bakteri. Perbandingan C dan N pada
rasio yang rendah, aktivitas biologi akan terhambat, sedang rasio yang lebih
tinggi, nitrogen akan menjadi variable (Eliantika, 2009).
Limbah peternakan ayam berbau tidak enak, dan memiliki kandungan
unsur N paling tinggi yaitu 65,8 kg/ton di banding limbah ternak yang lainnya.
Sedangkan kotoran sapi potong memiliki nilai unsur N sebesar 26,2 kg/ton
(Ridwan, 2006 ). Menurut Leestyawati (2005), kandungan unsur hara N pada
kotoran babi adalah 4,24 %, kotoran sapi 2,65 % dan ayam 4,86 %. Kondisi ini
baik untuk penambahan unsur hara mikro dan makro untuk pertumbuhan bakteri.
Bakteri metana yang telah berhasil diidentifikasi terdiri dari empat genus
(Jenie, et al., 1993) :
1. Bentuk batang dan tidak membentuk spora dinamakan Methanobacterium.
18
2. Bentuk batang dan membentuk spora adalah Methanobacillus.
3. Bentuk kokus yaitu Methanococcus atau kelompok koki yang membagi
diri.
4. Bentuk sarcina pada sudut 900 dan tumbuh dalam kotak yang terdiri dari 8
sel yaitu Methanosarcina
Metana dan karbondioksida yang terbentuk melalui proses anaerobik
dengan bantuan bakteri metan maka proses pembentukannya disebut
metanogenenesis. Proses perombakan dapat dilihat sebagai berikut:
Lemak, Protein, dan Karbohidrat
CH3CH2OH + CO2 CH3COOH + 2H2 ....................... (pers. 1)
Etanol Asam Asetat
CH3CH2COOH + 2H2O CH3COOH + CO2 + 3H2 ........ (pers. 2)
Asam Propionat Asam Asetat
CH3CH2CH2COOH + 2H2O 2CH3COOH + 2H2 ............ (pers. 3)
Asam Butirat Asam Asetat
Asetotropik metanogenesis :
CH3COOH CH4 + CO2 ........................................ (pers. 4)
Bakteri Fermentatif menghasilkan exo-enzim (lipase, protease dan karbohidrase)
, molekul-molekul lebih kecil (asam lemak volatil, alkohol, asam laktat, senyawa mineral)
Bakteri Asidogenik
Bakteri Asidogenik
Bakteri Asidogenik
Bakteri Metanogen
19
Hidrogenotropik metanogenesis :
4H2 + CO2 CH4 + H2O ........................................ (pers. 5)
(Said, 2006)
6. Reaktor Biogas
Teknologi perombakan (perombakan) anaerob merupakan salah satu
bagian strategi pengelolaan air limbah atau buangan industri yang cukup
berdayaguna dan efektif (Mahajoeno, 2008). Prometheus (2005) menyarankan
agar reaktor biogas menggunakan slurry (campuran substrat dan air yang telah
dihomogenasikan) dengan kandungan padatan maksimal sekitar 12.5%. Slurry
bisa dimasukkan hingga 3/4 volume tangki utama. Volume sisa di bagian atas
tangki utama diperlukan sebagai ruang pengumpulan gas. Di dalam reaktor
bakteri-bakteri metan mengolah limbah bio atau biomassa dan menghasilkan
biogas metan. Pada umumnya, produksi gas metana yang optimum akan terjadi
pada HTR 20-30 hari (Garcelon et al, 2001). Hal ini berarti harus diperkirakan
bahwa slurry akan berada selama 20-30 hari di dalam reaktor.
Sistem produksi biogas dibedakan menurut cara pengisian bahan bakunya,
yaitu pengisian curah dan pengisian kontinyu. Dalam penelitian ini digunakan
sistem pengisian curah. Sistem pengisian curah (SPC) adalah cara penggantian
bahan yang dilakukan dengan mengeluarkan sisa bahan yang sudah dicerna dari
tangki pencerna setelah produksi biogas berhenti, dan selanjutnya dilakukan
pengisian bahan baku yang baru. Sistem ini terdiri dari dua komponen, yaitu
Bakteri Metanogen
20
tangki pencerna dan tangki pengumpul gas. Untuk memperoleh biogas yang
banyak, sistem ini perlu dibuat dalam jumlah yang banyak agar kecukupan dan
kontinyuitas hasil biogas tercapai (Abdullah, 1991; GTZ, 1997; Teguh, 2005; UN,
1980; Nurhasanah et al., 2006).
B. Kerangka Pemikiran
Limbah makanan berpotensi menghasilkan gas metan yang merupakan
salah satu sumber penyebab efek rumah kaca jika terbuang ke atmosfer. Potensi
gas metan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar fosil
berupa biogas (Singgih dan Mera, 2008). Biogas dihasilkan dari proses
penguraian bahan organik oleh bakteri pada proses metanogenesis dalam keadaan
anaerob yang dilakukan di dalam digester, yaitu tempat untuk menampung dan
menguraikan bahan organik dalam keadaan anaerob (APO, 2003).
Kunci dalam proses biokonversi mengolah limbah makanan adalah
mendapatkan pH seimbang dan suhu yang tepat sehingga enzim serta
mikroorganisme yang digunakan dapat bekerja maksimal (Riyadi, 2007). Adanya
variasi metanogen maupun konsentrasi substrat pada perombakan anaerob
diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal dalam produksi biogas,
sehingga diperoleh keuntungan secara ekonomis dan secara ekologis (APO,
2003).
Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan sebagai
berikut:
21
Gambar 2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis
1. Variasi sumber inokulum metanogen pada berbagai substrat limbah
makanan dapat memberikan pengaruh terhadap produksi biogas.
2. Adanya variasi suhu substrat limbah rumah makan pada perombakan
anaerob dapat memberikan pengaruh terhadap produksi biogas.
3. Adanya interaksi antara suhu dan sumber inokulum memberikan pengaruh
terhadap produksi biogas dari limbah makanan.
Biogas dan pupuk cair
Berpotensi sebagai sumber energi
Mengalami fermentasi produk: CH4 + CO2
Variasi Suhu
Variasi Inokulum sapi
Limbah Warung Makan
Modifikasi Teknologi Digester Anaerob
Industri pangan
22
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanan di Laboratorium Pusat (green house) F. MIPA
dan sub Laboratorium Kimia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penelitian
dilaksanakan selama kurang lebih 4 bulan, dimulai pada bulan Juni sampai
September 2009.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini mencakup serangkaian alat
konstruksi digester, peralatan gelas dan peralatan pengukur untuk analisis fisika
kimia serta peralatan lain sebagai pendukungnya.
Alat konstruksi digester terdiri dari jerigen 5 liter, botol 600 ml, selang
kecil dengan panjang + 20 cm, mikrotip, rak penyangga, thermocouple, ember
besar dan drum besar. Blender, heater dan roll kabel sebagai alat pendukungnya.
Peralatan gelas untuk analisis fisika kimia meliputi : batang pengaduk,
gelas piala, gelas ukur, cawan porselin, perangkat soxchlet, condensor, botol jam,
botol serum, botol flakon, tabung reaksi, labu ukur, pipet biuret, pipet ukur, pipet
tetes, tips pipet plastik, dan gelas Erlenmeyer 50-1000 ml.
Peralatan pengukur analisis fisika kimia meliputi : neraca listrik, oven,
thermometer, pH-meter, tabung gas N dan metana, hot-plate, suhu dan pengukur
tekanan gas.
23
Bahan penelitian meliputi : substrat yang terdiri dari limbah rumah makan
sumber inokulum kotoran sapi, sumber inokulum kotoran ayam, sumber inokulum
limbah makanan, air, urea dan larutan Ca(OH)2/NaOH sebagai pemberi suasana
basa.
C. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap Olah Faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor
pertama adalah variasi sumber inokulum meliputi sumber inokulum limbah
makanan, sumber inokulum kotoran ayam, sumber inokulum kotoran sapi dan
faktor kedua adalah suhu perlakuan yang berbeda dalam 2 kondisi, yaitu dengan
suhu ruang 30-350C (T1) dan suhu tinggi/termofilik 50-550C (T2), masing-masing
perlakuan dengan 3 ulangan.
Tabel 3. Rancangan Percobaan Perombakan Anaerob Limbah Makanan.
No Perlakuan Sumber Inokulum Suhu Agitasi
1. LMT1 Inokulum limbah warung makan T1 2x
2. LMT2 Inokulum limbah warung makan T2 2x
3. KST1 Inokulum Kotoran sapi T1 2x
4. KST2 Inokulum Kotoran sapi T2 2x
5. KAT1 Inokulum Kotoran Ayam T1 2x
6. KAT2 Inokulum Kotoran Ayam T2 2x
Keterangan: Sumber inokulum 20%, substrat limbah makanan disekitar kampus
UNS 80%, pH 7, agitasi 2X perhari.
24
C. Cara Kerja Penelitian ini menggunakan limbah pangan sebagai substrat atau media
utama untuk produksi biogas ditambah sumber inokulum sebagai starter . Limbah
pangan tersebut terdiri dari limbah makanan sisa buangan warung. Sumber
inokulum terdiri dari sludge sapi, sludge ayam dan limbah makanan. Pada
penelitian ini digunakan digester dengan volume 5 liter, yaitu 4 liter volume
digester sebagai volume kerja, sedangkan sisanya (1 liter) sebagai ruang udara.
Dari 4 liter volume kerja digester diisi oleh sumber inokulum dengan konsentrasi
20% (0,8 liter) dan volume sisanya digunakan untuk substrat.
Penelitian ini mencakup beberapa tahap/skala percobaan. Tahap percobaan
tersebut adalah :
a. Tahap Persiapan
Tahap ini mencakup percobaan pendahuluan, menyediakan kebutuhan alat
dan bahan percobaan, serta skematik rancangan percobaan. Persiapan alat dan
bahan serta analisis peubah diamati baik kimia maupun fisika, masing-masing
akan diuraikan pada tahap pelaksanaan percobaan skala laboratorium.
Inokulum limbah makanan dibuat dengan cara mencampur biomassa
(limbah) dan air dengan perbandingan 1:1. Sebelumnya, biomassa (limbah)
dihomogenasikan terlebih dahulu dengan tambahan air menggunakan blender.
Biomassa yang sudah homogen dimasukkan kedalam drum. Karena proses ini
berlangsung secara anaerob maka drum harus tertutup rapat. Proses fermentasi
berlangsung selama kurang lebih dua sampai tiga minggu, hingga terbentuk
sludge (lumpur aktif). Perlu dilakukan agitasi selama proses fermentasi
25
berlangsung. Hal ini bertujuan agar material-material organik (biomassa) yang ada
dalam drum dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber
makanan sehingga metabolisme maupun perkembangan bakteri dapat berjalan
dengan baik. Setelah sludge terbentuk, dapat langsung dimanfaatkan sebagai
sumber inokulum (starter) dalam pencernakan anaerob (digester). Sumber
inokulum kotoran sapi dan kotoran ayam sudah bersifat aktif sehingga dapat
langsung digunakan sebagai starter.
Substrat dan sumber inokulum akan di fermentasikan dalam bioreaktor
modifikasi (jerigen volume 5 L, botol 600 ml dan selang kecil) yang dilakukan di
dalam green house selama 6 minggu.
b. Tahap Penelitian
1. Pembuatan biogas
Sistem yang digunakan untuk pembuatan biogas dalam penelitian ini
adalah sistem curah, yaitu dengan cara penggantian bahan dilakukan dengan
mengeluarkan sisa bahan yang sudah dicerna dari tangki pencerna setelah
produksi biogas berhenti, dan selanjutnya dilakukan pengisian bahan baku yang
baru. Sistem ini terdiri dari dua komponen, yaitu tangki pencerna dan tangki
pengumpul gas. Untuk memperoleh biogas yang banyak, sistem ini perlu dibuat
dalam jumlah yang banyak agar kecukupan dan kontinyuitas hasil biogas tercapai
(Abdullah, 1991; GTZ, 1997; Teguh, 2005; UN, 1980 dalam Nurhasanah dkk;
2006).
Sebelum dilakukan proses biokonversi dalam digester anaerob, perlu
dilakukan homogenisasi biomassa (limbah) dengan air agar substrat lebih mudah
26
dicerna oleh mikroorganisme. Proses homogenisasi dilakukan dengan
menggunakan blender. Setelah proses homogenisasi selesai, selanjutnya dilakukan
pengukuran beberapa parameter diantaranya : suhu, pH, COD, BOD, TS, VS,
ratio C/N dan konsorsia bakteri. Pengukuran dilakukan empat kali selama
penelitian yaitu : awal, minggu ke-2, minggu ke-4 maupun akhir penelitian.
Pengukuran biogas dilakukan di akhir penelitian.
Langkah pertama yang dilakukan dalam mencampur substrat dengan
sumber inokulum dalam digester adalah sumber inokulum dimasukkan terlebih
dahulu ke dalam digester dengan konsentrasi tertentu (pada penelitian digunakan
konsentrasi 20% dari 4 L volume kerja digester atau setara dengan 0,8 L).
Langkah selanjutnya adalah substrat dimasukkan ke dalam digester sebanyak
kurang lebih 3,2 L. Setelah semua bahan dimasukkan dalam digester, segera
ditutup rapat agar proses fermentasi bekerja dalam kondisi anaerob. Selanjutnya
diragkaikan degan tangki pengumpul gas dari botol 600 ml yang yang penuh diisi
air. Setelah biogas terbentuk maka biogas akan dialirkan dari tangki pencerna
(jerigen) ke dalam tangki pengumpul gas (botol 600 ml) melalui selang kecil
sehingga air akan terdorong keluar dan biogas akan masuk ke dalam tangki
tersebut (menggantikan air). Dengan demikian, dapat diketahui volume gas yang
masuk ke dalam tangki pengumpul gas sama dengan volume air yang keluar dari
botol pengumpul gas. Selama proses fermentasi berjalan, dilakukan agitasi
sebanyak 2 kali setiap harinya.
27
2. Pengukuran parameter
Pengukuran pH dan suhu
Bahan disediakan : larutan Buffer pH : 4, Larutan Buffer pH : 7 dan pH
meter. Elektroda pH meter dimasukkan ke dalam air suling, dilap dengan tisu lalu
dimasukkan dalam larutan Buffer pH : 4, bilas dengan air, lap dengan tisu dan
dimasukkan ke dalam Buffer pH : 7. pengukuran pada contoh, elektroda
dimasukkan ke dalam 25 ml contoh dalam gelas piala lalu pH meter dibaca.
Demikian pula untuk pengukuran suhu substrat menggunakan elektroda terpasang.
Pengukuran COD
Bahan disiapkan antara lain: K2Cr2O7; Ag2SO4; Fe (NH4)2 (SO4)2. 6H2O;
indikator Feroin; HgSO4; laruta H2SO4 pekat dan peralatan Refluks, Kondensor
Liebiq; Erlenmeyer Asahi dan peralatan Titrasi. Limbah contoh sebanyak 5 ml
yang telah diencerkan dengan air suling dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan
ditambahkan 10 ml. K2Cr2O7 0.025 N dan 10 ml H2SO4 pekat. Setelah
campuran tersebut dingin, dititrasi dengan larutan Fe(NH4)2SO4 0.025 N, dengan
indikator ferroin. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna biru
kehijauan menjadi merah anggur. Volume Fe(NH4)2SO4 0.025 N yang
digunakan untuk titrasi dicatat sebagai a ml. Dengan prosedur yang sama,
dilakukan titrasi terhadap blangko air suling. Volume Fe(NH4)2SO4 yang
digunakan dicatat b ml. (b - a) x 0.025 x 8000 x f
COD (ppm) = f : Faktor pengenceran ml contoh (Greenberg et al; 1992).
28
Pengukuran BOD
Bahan pereaksi disiapkan:. MnSO4 . 4H2O, (NaOH- NaI- NaN3) sebagai alkali
Iod-azida; H2SO4 pekat, larutan H2SO4 4N, KI 10%, Amilum, larutan Tio-sulfat
0,025 N, Na2S2O3 . 5H2O dengan peralatan: botol Winkler 250 ml dan perangkat
titrasi. Contoh yang bersifat asam atau basa dinetralkan dengan penambahan
NaOH atau HCl. Penambahan Na2SO3 ke dalam contoh dilakukan jika diduga
mengandung senyawa khlor aktif dengan perbandingan molar yang sama.
Botol-botol disimpan dalam inkubator pada suhu 30o C, selama satu jam (tiap
contoh sampel menggunakan dua botol BOD). Salah satu botol diambil, kemudian
dianalisa kadar oksigen terlarutnya. Botol yang lainnya disimpan selama tiga hari
dalam inkubator 30oC sebelum dianalisa kadar oksigen teriarutnya. Analisis
oksigen terlarut dilakukan juga terhadap blangko
(X0 – X3) - (B0 – B3) BOD3 (ppm)= (1-f) f X0: Kadar oksigen terlarut dalam contoh pada hari-0
X3 : Kadar oksigen terlarut dalam contoh pada hari-5
B0: Kadar oksigen terlarut dalam blangko pada hari-0
B3 : Kadar oksigen terlarut dalam blangko pada hari-5; f : Faktor pengenceran
(Greenberg et al; 1992).
Padatan total (Total Solids) (Metode Evaporasi)
Sebanyak 25-50 ml contoh yang telah diaduk dimasukkan ke dalam cawan
dan ditimbang bersama cawan dan dianggap sebagai W2. Sebelum digunakan
cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama satu
29
jam.. Setelah itu cawan didinginkan di dalam desikator hingga suhu ruang
ditimbang (W1). Dilanjutkan pada suhu 5500C selama satu jam. Setelah itu cawan
didinginkan di dalam desikator hingga suhu ruang ditimbang (W3). Contoh
diuapkan dalam cawan dan diteruskan dengan pengeringan di dalam oven pada
suhu 1050C, selama satu jam. Setelah didinginkan di dalam desikator, cawan
ditimbang (W4).
(Greenberg et al; 1992).
Padatan mudah uap (Volatile Solids).
Setelah penetapan padatan total kemudian dibakar pada suhu 5500C
selama 1 jam menggunakan furnace, masukkan desikator dan timbang lagi (W5).
(Greenberg et al; 1992).
Pengukuran pertumbuhan bakteri
Pengukuran pertumbuhan bakteri sama dengan pengukuran kuantitaif
populasi bakteri. Pada penelitian ini pertumbuhan bakteri dilihat dengan metode
hitungan mikroskopik secara langsung, dimana sebelumnya perlu dilakukan
Padatan Terikat (ppm) = Z
(W3-W5) X 106
Padatan mudah uap (VS): padatan total-padatan terikat
30
beberapa kali proses pengenceran (10-9). Adapun langkah kerja yang dilakukan
dalam teknik dilusi atau pengenceran adalah sebagai berikut :
o larutan kultur (sampel) diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam
fisiologis pada tabung reaksi untuk memperoleh dilusi 1/10 bagian.
o diambil 1 ml dari larutan dilusi 1/10 dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam
fisiologis untuk memperoleh dilusi 1/100 bagian.
o diambil 1 ml dari larutan dilusi 1/100 dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam
fisiologis untuk memperoleh dilusi 1/1000 bagian, dan seterusnya sampai
pengenceran 10-9.
Maksud dari 1/10, 1/100, 1/1000, 1dst adalah suatu rasio dilusi yang
apabila pada tiap dilusi ditumbuhkan ke dalam suatu media dan koloninya yang
tumbuh dapat dihitung, maka jumlah sel mikroba dapat diketahui dengan cara :
Pada metode hitungan mikroskopik langsung, sampel diletakkan pada
ruang hitung yang disebut hemasitometer dan jumlah sel dapat ditentukan secara
langsung dengan bantuan mikroskop. Keuntungan metode ini adalah
pelaksanannya cepat dan tidak memerlukan banyak peralatan. Kelemahannya
ialah tidak dapat membedakan sel-sel hidup dan mati, yang artinya hasil yang
diperoleh adalah jumlah total sel yang ada di dalam populasi. Kelemahan lain
adalah terkadang sel cenderung bergerombol sehingga sukar membedakan sel
secara individu. Cara mengatasinya adalah dengan memisahkan gerombolan sel
Nilai Jumlah Bakteri = Jumlah koloni x Jumlah Pengenceran
1
31
tersebut dengan menambahkan bahan anti gumpal seperti dinatrium etilen diamin
tetraasetat dan Tween 80 sebanyak 0,1%. Adapun langkah kerja hitungan
mikroskopik dengan hemasitometer adalah sebagai berikut :
o sebelumnya permukaan hitung dan kaca penutup hemasitometer dibersihkan
o kaca penutup hemasitometer diletakkan di atas permukaan hitung
hemasitometer
o suspensi sel bakteri yang telah diencerkan sebanyak 10-9 dikocok., Suspensi
diambil 0,1-0,5 ml dengan menggunakan pipet Pasteur. Pengambilan suspensi
dengan pipet Pasteur dapat dilakukan dengan cara pipet tersebut dimasukkan
ke dalam suspensi lalu pangkal pipet ditutup dengan jari telunjuk
o Ujung pipet Pasteur diletakkan pada lekukan berbentuk V pada tepi kaca
penutup hemasitometer secara cermat dan ruang hemasitometer dibiarkan
terpenuhi suspensi secara kapiler. Jari telunjuk digunakan untuk mengatur
aliran suspensi agar mencegah aliran berlebihan pada bagian bawah kaca
penutup
o Hemasitometer diletakkan di bawah mikroskop. Diamati dengan objektif
kekuatan lemah dan jumlah sel (yang terdapat pada 80 buah kotak kecil yang
terletak di dalam kotak bagian tengah berukuran 1 mm2) dihitung.
(Suranto,dkk, 2001 & Salmah, 2004)
Pegukuran biogas
Komposisi gasbio (CO2, CH4) dalam reaktor ditetapkan dengan
kromatografi gas (Fison GC-8000) yang dilengkapi dua kolom. Chromodsorb
Teflon 108 (60-80 mesh) dan saringan molekuler (60-80 mesh) lapis baja
32
antikarat. Kolom dihubungkan parallel dengan split 1:1. Nitrogen sebagai gas
pembawa dengan total laju gas pembawa 45 ml/menit. Suhu kolom, injektor dan
detektor penghubung suhu masing-masing 40,110 dan 1000C. Pengujian aktivitas
gas metan diukur dalam kromatografi gas Sigma (Perkin Elmer) dilengkapi
detektor penghubung panas 100 mA. Gas dipisahkan dengan argon sebagai gas
pembawa dalam kolom saringan molekuler pada 1000C (Weijma et al, 2000).
E. Analisis Data
Data yang diperoleh adalah data kuantitatif. Data kuantitatif yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam GLM univariate.
Uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf uji
5%.
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biogas adalah bahan bakar berguna yang dapat diperoleh dengan
memproses limbah (sisa) yang basah, kotoran hewan dan manusia atau
campurannya, yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh
bakteri dalam keadaan tanpa oksigen atau anaerobik, Biogas merupakan gas yang
tidak berbau, tidak beracun dan tidak menimbulkan asap hitam serta mudah
terbakar dan amat ideal sebagai sumber energi baru (Harahap et a., 1980).
1. Pegukuran Awal Substrat
Penelitian ini melibatkan limbah makanan dengan batasan limbah yang
berasal dari warung makan sekitar kampus UNS Surakarta. Limbah makanan
dapat berasal dari nasi, sayuran, buah-buahan, ikan, daging, telur, dan aneka sisa
lainnya, Pemilihan limbah rumah makan karena bahan organik tersebut terdiri dari
karbohidrat, protein, lemak dan selulosa atau ligno selulosa yang dapat
didegradasi secara biologi (Nugroho et al; 2007). Selain itu ditambahkan juga
inokulum yang berfungsi sebagai starter. Starter yang di gunakan adalah inokulum
limbah makanan, kotoran sapi dan kotoran ayam yang telah aktif. Hal ini
didukung oleh pernyataan oleh (Ginting, 2007) bahwa starter diperlukan untuk
mempercepat proses perombakan bahan organik menjadi biogas, bisa digunakan
lumpur aktif organik atau cairan isi rumen.
34
Substrat terdiri dari tiga kelompok, yaitu : limbah rumah makan yang
dicampur dengan inokulum limbah makanan 20% (kontrol); limbah rumah makan
yang dicampur dengan inokulum kotoran sapi 20% (substrat A); dan limbah
rumah makan yang dicampur dengan inokulum kotoran ayam 20% (substrat B).
Masing-masing kelompok substrat dibagi lagi dalam dua kelompok suhu
lingkungan yang berbeda, yaitu suhu ruang (T1) dan suhu tinggi (T2). Sebelum
proses fermentasi anaerob dilaksanakan perlu diketahui karakter awal dari
masing-masing kelompok substrat. Hal ini bertujuan untuk melihat nilai efisiensi
perombakan substrat limbah organik terhadap beberapa sifat fisik, kimia, dan
biologi dari limbah seperti pH, suhu, BOD, COD, TS, VS, dan populasi bakteri,
yang terjadi selama proses fermentasi. Selain itu, karakterisasi di awal juga dapat
dijadikan acuan untuk mengetahui sifat limbah yang baik untuk produksi biogas,
karena limbah belum mendapat perlakuan. Berikut adalah karakter substrat
sebelum dilakukan proses fermentasi anaerob :
Tabel 4. Hasil pengukuran awal substrat sebelum fermentasi dilaksanakan.
No
Substrat
Parameter yang diamati
Suhu (oC)
pH BOD (g/l)
COD (g/l)
TS (g/l)
VS (g/l)
Konsorsia Bakteri (sel/ml)
1
LM 31,3
7,07 13,49 60,44
128,0 87,0 8,7x105
2
KS 31,7
7,11 7,12 41,76
51,3 23,5 6,4x105
3
KA 31,9
7,11 6,53
31,50
50,1 31,2 3,3x105
Keterangan: LM: substrat dengan inokulum limbah makanan. KS: substrat dengan inokulum kotoran sapi. KA: substrat dengan inokulum kotoran ayam.
35
Substrat dengan inokulum limbah makanan memiliki nilai BOD, COD, TS
dan VS lebih besar dibandingkan dengan substrat dengan inokulum yang lainnya
(tabel 4). Ini menjelaskan bahwa inokulum limbah makanan masih memiliki
bahan organik yang besar sehingga dapat menambah beban organik lebih banyak
pada substrat dibandingkan inokulum kotoran sapi maupun inokulum kotoran
ayam.
Proses perombakan anaerob (fermentasi) berlangsung selama 6 minggu
dengan interval 2 minggu yaitu minggu ke-0 (M0), minggu ke-2 (M2), minggu
ke-4 (M4) dan minggu ke-6 (M6), Banyak faktor mempengaruhi keberhasilan
produksi biogas, yaitu faktor biotik (populasi bakteri), maupun abiotik seperti
kondisi anaerob, bahan baku isian, nutrisi (C/N), pH, suhu, dan starter. Faktor
tersebut dapat mempercepat proses fermentasi jika kondisi lingkungan optimal
bagi pertumbuhan bakteri perombak (Simamora, et al., 2006).
2. Derajat keasaman (pH)
Perbedaan jenis substrat juga memberikan pengaruh terhadap nilai pH
selama proses fermentasi anaerob. pH substrat akan mengalami sedikit banyak
perubahan. Berikut adalah rata-rata nilai pH dalam empat kali waktu pengamatan
(minggu ke_n) selama proses fermentasi anaerob berlangsung :
36
Tabel 5. Rata-rata pH substrat limbah makanan sekitar kampus UNS dalam 4 kali waktu pengamatan.
Kelompok substrat pH substrat
Hari ke-0 Hari ke-15 Hari ke-30 Hari ke-45 1. Suhu Ruang LM 80% + Inokulum LM 20% 7,07 6,17 6,14 6,08 LM 80% + Inokulum KS 20% 7,11 7,12 7,86 7,89 LM 80% + Inokulum KA 20% 7,11 7,85 7,80 8,10 2, Suhu Tinggi LM 80% + Inokulum LM 20% 7,07 6,64 6,89 6,98 LM 80% + Inokulum KS 20% 7,11 7,62 7,57 7,77 LM 80% + Inokulum KA 20% 7,11 7,74 8,12 8,39
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam.
Derajat keasaman (pH) substrat mengalami perubahan selama proses
fermentasi (tabel 5). Kresnawaty, et al., (2008) menyatakan bahwa diawal reaksi
pembentukan biogas, bakteri penghasil asam akan aktif lebih dulu sehingga pH
pada digester menjadi rendah, kemudian bakteri metanogen menggunakan asam
tersebut sebagai substrat sehingga menaikkan nilai pH. Hal ini dapat menjelaskan
bahwa seharusnya pH substrat mulai mengalami penurunan pada minggu kedua,
setelah itu pH dapat kembali netral. Tetapi hal demikian hanya terjadi pada
kelompok substrat limbah rumah makan dengan inokulum indigenous pada suhu
tinggi sedangkan kelompok substrat limbah rumah makan dengan inokulum
indigenous pada suhu ruang turun, pH substrat kelompok yang lain cenderung
naik.
Nilai pH memiliki peranan yang sangat penting dalam proses Anaerobic
Digestion karena akan mempengaruhi kinerja bakteri yang terlibat. Pertumbuhan
bakteri tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat menyebabkan
37
kematian pada rentang pH yang tidak sesuai, Kadarwati, (2003) menjelaskan
bahwa nilai pH optimum dalam produksi biogas berkisar antara 6,8-8.
Pada awal penelitian, pH limbah makanan cukup asam yaitu 4,3, pH
sangat asam karena banyaknya jeruk dalam limbah tersebut. Oleh karena itu
dalam penelitian semua kelompok perlakuan dinetralkan dengan penambahan
NaOH (Ginting, 2007). Setiap kelompok perlakuan, substrat dicampur inokulum
dalam suatu wadah dilanjutkan dengan penambahan NaOH sebanyak 25 gram
sehingga menjadi netral berkisar antara 7,07-7,11.
Pengukuran pH yang diperoleh, dapat dijelaskan bahwa ada pengaruh
proses degradasi terhadap nilai pH pada perlakuan suhu mesofilik dan termofilik.
pH substrat pada hari ke-0, baik yang suhu ruang maupun suhu tinggi adalah
netral. Hal ini karena semua kelompok substrat sudah dinetralkan dengan
penambahan NaOH. Pada umumnya, pH mulai menurun pada hari ke-15 dan pH
naik pada hari ke-30 dan hari ke-45 (pH kembali netral). Hal ini terjadi pada
kelompok limbah dengan inokulum warung makan perlakuan suhu tinggi yaitu di
hari ke-15 pH menurun, namun pH mulai naik pada hari ke-30 dan hari ke-45 (pH
kembali netral), pH menurun disebabkan karena sedang terjadi proses asidifikasi
(pembentukan asam). Setelah proses asidifikasi selesai, selanjutnya masuk pada
tahap methanogenesis yaitu perubahan asam menjadi methana. Asam yang
terbentuk pada tahap asidifikasi akan digunakan oleh bakteri methanogen sebagai
substrat dalam pembentukan gas methan dan CO2 sehingga pH kembali netral.
Tingkat keasaman diatur oleh proses itu dengan sendirinya. Karbondioksida yang
dihasilkan oleh bakteri larut dalam air untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-)
38
yang menyebabkan larutan menjadi lebih alkali (kembali netral). Pada substrat
dengan inokulum warung makan perlakuan suhu ruang, nilai pH semakin turun
(asam) hingga hari ke-45, berada pada kisaran dibawah 6,5. Menurut Ratnaningsih
et al., (2009). pH yang terus menurun disebabkan proses metanogenesis tidak
berjalan sempurna, bakteri penghasil asam tumbuh terlalu cepat sehingga asam
yang dihasilkan akan lebih banyak dari jumlah yang dapat dikonsumsi oleh
bakteri penghasil methan, akibatnya sistem akan terlalu asam. Sebaliknya terjadi
pada kelompok substrat dengan inokulum kotoran sapi dan substrat dengan
inokulum kotoran ayam, nilai pH terus naik. Hal ini terjadi karena senyawa asam
yang dihasilkan oleh bakteri penghasil asam dapat dikonsumsi oleh bakteri
penghasil methan dengan cepat, akibatnya menghasilkan banyak CO2 yang larut
dalam air untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-) lebih banyak yang
menyebabkan larutan menjadi lebih alkali, sistem akan menjadi basa.
3. Konsorsia Bakteri
Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri (Reith et al, 2002).
Berdasarkan hasil pengamatan konsorsia bakteri pada masing-masing kelompok
substrat dengan menggunakan metode mikroskopis diketahui bahwa kelompok
substrat yang memiliki jumlah konsorsia bakteri tertinggi adalah kelompok
substrat dengan inokulum kotoran ayam sedangkan yang terendah adalah
kelompok substrat dengan inokulum kotoran sapi. Data hasil konsorsia bakteri
ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:
39
Tabel 6. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap rata-rata konsorsia bakteri total setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob.
No Kelompok inokulum
Rata-rata konsorsia total (sel.103/ml/hari) T1 T2 Rata-rata
1. LM 4,4629 6,6289 5,5459b 2. KS 3,0889 4.3851 3,7370a 3. KA 4,0038 5,2184 4.6111b Rata-rata 3,8158 a 4,8296b Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
Tabel 7. Rata-rata konsorsia bakteri substrat limbah makanan sekitar kampus UNS
dalam 4 kali waktu pengamatan.
Substrat Konsorsia bakteri (sel.104/ml)
Hari ke-0 Hari ke-15 Hari ke-30 Hari ke-45 Rata-rata Suhu Ruang LM 80% + LM 20% (K) 5,80 8,78 12,06 13,39 10,01 LM 80% + KS 20% (A) 4,30 7,09 8,86 9,27 7,38 LM 80% + KA 20% (B) 2,20 7,87 12,32 12,01 8,60 Suhu Tinggi LM 80% + LM 20% (K) 4,54 11,26 12,98 14,66 10,86 LM 80% + KS 20% (A) 3,30 7,32 9,24 13,16 8,26 LM 80% + KA 20% (B) 5,82 5,52 8,40 15,66 8,85
Analisis sidik ragam konsorsia bakteri memperlihatkan hasil yang
berbeda nyata atau signifikan antar perlakuan (tabel 6). Perlakuan variasi
inokulum LM berbeda nyata dengan kelompok perlakuan variasi inukulum KS,
tetapi tidak berbeda nyata dengan inokulum KA. Dari analisis tersebut juga dapat
diketahui bahwa perlakuan substrat dengan variasi inokulum memberikan
pengaruh signifikan terhadap konsorsia bakteri. Penambahan suhu berpengaruh
signifikan terhadap konsorsia bakteri. Perlakuan suhu T1 berbeda nyata dengan
T2, sedangkan interaksi suhu dengan inokulum tidak berpengaruh terhadap
konsorsia bakteri. Konsorsia bakteri total tertinggi adalah inokulum LM
40
didapatkan 5,5459 (sel.103/ml/hari) sedangkan yang terendah adalah inokulum KS
sebesar 3,7370 (sel.103/ml/hari). Konsorsia bakteria total perlakuan suhu T2
sebesar 4,8296 (sel.103/ml/hari) lebih tinggi dibandingkan perlakuan suhu T1
sebesar 3,8158 (sel.103/ml/hari). Dari analisis tersebut juga dapat diketahui bahwa
perlakuan variasi substrat memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah
konsorsia bakteri, sedangkan penambahan suhu tidak berpengaruh signifikan
terhadap jumlah konsorsia bakteri.
Jumlah konsorsia bakteri pada hari ke-0 yang tertinggi adalah kelompok
kontrol dan kelompok kotoran ayam (tabel 7). Jumlah konsorsia bakteri
mengalami peningkatan pada semua perlakuan dengan pertumbuhan rata-rata
konsorsia bakteri tertinggi adalah dari kelompok inokulum limbah warung makan
yaitu 10,86 sel.104/ml/hari untuk substrat termofilik sedangkan jumlah konsorsia
bakteri terendah adalah dari kelompok inokulum kotoran sapi yaitu 7,38
sel.104/ml/hari untuk substrat mesofilik. Kemudian apabila dilihat dari pola
pertumbuhannya, tampak bahwa pola pertumbuhan bakteri pada semua kelompok
substrat adalah sama yaitu terjadi kenaikan jumlah konsorsia bakteri. Pada hari
ke-0 hingga hari ke-45 terjadi kenaikan jumlah konsorsia bakteri, kecuali substrat
B (suhu ruang) yang turun sedikit setelah hari ke-30 hingga hari ke-45 tetapi
penurunan jumlahnya tidak terlalu signifikan. Jika dihubungkan antara grafik nilai
pH dengan pertumbuhan konsorsia bakteri, substrat kontrol pada suhu ruang
mulai hari ke-0 hingga hari ke-45 pH menurun yang disertai dengan jumlah
konsorsia bakteri yang terus meningkat pada rentang hari tersebut. Hal ini
dimungkinkan pada lingkungan asam, bakteri pembentuk asam akan cepat tumbuh
41
akibatnya jumlah konsorsia bakteri juga meningkat. Oleh karena itu substrat
kontrol pada suhu ruang mungkin didominasi oleh bakteri asam Sedangkan pada
substrat kontrol pada suhu tinggi hari ke-0 hingga hari ke 45 terjadi peningkatan
konsorsia bakteri, padahal pada hari ke-30 dan hari ke-45 telah terjadi
peningkatan pH (kembali netral) setelah sebelumnya pada hari ke-15 sempat
terjadi penurunan pH (asam). Konsorsia bakteri, substrat A dan B mulai hari ke-0
hingga hari ke-45, pH yang naik diikuti kuantitas konsorsia bakteri yang terus
meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok ini konsorsia bakteri
didominasi bakteri metanogen. Pada kelompok ini pembentukan gas metan dan
CO2, berjalan baik karena banyaknya CO2 yang larut dalam air untuk membentuk
ion bikarbonat (HCO3-) lebih banyak yang menyebabkan larutan menjadi lebih
alkali. Adanya metanogen dalam jumlah yang seimbang dengan bakteri lain
(seperti bakteri asam) akan menyebabkan proses produksi biogas berjalan baik
pula.
Metode yang digunakan adalah metode yang sederhana maka tidak dapat
dipastikan jenis bakteri maupun bentuknya, tetapi hanya dapat diketahui
jumlahnya. Salmah (2004) mejelaskan keuntungan metode ini adalah
pelaksanannya cepat dan tidak memerlukan banyak peralatan. Kelemahannya
ialah tidak dapat membedakan sel-sel hidup dan mati, yang artinya hasil yang
diperoleh adalah jumlah total sel yang ada di dalam populasi. Oleh karena itu,
jenis bakteri yang ada hanya dapat diperkirakan dengan melihat parameter pH dan
uji nyala. Jika dilihat dari pH masing-masing kelompok substrat yang tergolong
cukup asam, bisa dimungkinkan bahwa bakteri yang mendominasi adalah
42
golongan bakteri pembentuk asam. Jika dilihat dari uji nyala, kelompok substrat
yang dapat menghasilkan nyala api artinya proses perombakan berjalan seimbang,
bakteri asam dan metanogen berada dalam jumlah yang seimbang sehingga dapat
bekerja secara simbiosis. Jika konsorsia bakteri lebih didominasi oleh bakteri
asam maka proses perombakan menjadi tidak seimbang, akibatnya gas metana
yang terbentuk hanya sedikit atau bahkan tidak ada (karena lingkungan yang
terlalu asam dapat mematikan metanogen). Dengan demikian biogas yang
dihasilkan jika dibakar tidak menimbulkan nyala api.
4. Produksi Biogas
Biogas terbentuk karena adanya kerja berbagai bakteri yang ikut terlibat
dalam aktivitas perombakan substrat kompleks. Jumlah produksi biogas yang
diperoleh berdasarkan perbedaan sumber inokulum dan juga perbedaan suhu
lingkungan dalam 45 hari waktu pengamatan terlihat pada grafik berikut:
43
05
1015202530354045
Vol
ume
Bio
gas
LM KS KAJenis Inokulum
T1T2
Gambar 2. Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing kelompok
substrat setelah 6 minggu fermentasi. Keterangan : LM : Substrat dengan inokulum limbah makanan. KS : Substrat dengan inokulum kotoran sapi. KA : Substrat dengan inokulum kotoran ayam. Kelompok substrat yang menghasilkan produksi biogas paling banyak
adalah dari kelompok inokulum KA (40,81 l/45 hari atau 0,91 l/hari), sedangkan
kelompok menghasilkan produksi biogas paling sedikit adalah kelompok
inokulum LM/kontrol yaitu 3,59 l/ 45 hari atau 0,08 l/hari (gambar 2). Kelompok
substrat dengan penambahan suhu T2 juga memperlihatkan hasil produksi biogas
yang lebih tinggi dari pada kondisi suhu ruang (T1). Hal ini menjelaskan bahwa
fermentasi substrat dengan inokulum KA berjalan dengan optimal. Banyak faktor
mempengaruhi keberhasilan produksi biogas, yaitu faktor biotik (populasi
bakteri), maupun abiotik seperti kondisi anaerob, bahan baku isian, nutrisi (C/N),
pH, suhu, dan starter, faktor tersebut dapat mempercepat proses fermentasi jika
44
kondisi lingkungan optimal bagi pertumbuhan bakteri perombak (Simamora, et
al., 2006).
Biogas merupakan gas produk akhir dari proses degradasi materi organik
seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Kecepatan dan efisiensi perombakan
perombakan proses degradasi substrat tergantung pada bentuk secara fisik dan
secara kimia (jenis substrat maupun inokulum). Selain jenis, konsentrasi juga
sangat berperan dalam proses perombakan dan produksi biogas. Mahajoeno, et al.,
(2008) menjelaskan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap produksi biogas, di
antaranya adalah inokulum. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa Inokulum
LKLM II-20% (b/v) dengan substrat 15 L, diperoleh produksi biogas paling baik
dibandingkan konsentrasi lainnya dimana produksi biogasnya mencapai 121 liter.
Biogas merupakan hasil dari proses perombakan materi organik oleh
mikroorganisme. Proses tersebut terdiri dari empat tahap yaitu 1) hidrolisa senyawa
polimer organik menjadi senyawa lebih rendah sehingga dapat diserap oleh membran
sel mikroba. Misalkan hidrolisis karbohidrat menjadi monomer-monomernya. Protein
menjadi asam amino, lemak menjadi asam lemak rantai panjang maupun alkohol, 2)
fermentasi senyawa sederhana, sebagai sumber energi populasi mikroba non-
metanogenik. Fermentasi hasil hidrolisis tersusun senyawa organik sederhana terutama
asam lemak volatil (VFA), gas CO2, dan H2, beberapa asam laktat dan etanol. Proses
tersebut dikenal sebagai fermentasi asam atau asidogenesis. 3) Hasil reduksi fermentasi
yang harus dioksidasi di bawah kondisi anaerob menjadi asam asetat, CO2 dan
hidrogen, sebagai substrat bakteri metana yang dikenal dengan bakteri asetogen atau
mikroba obligat pereduksi proton. Tahap terakhir pengolahan limbah cair anaerob
45
adalah 4) fermentasi metana, yang terdapat dua tipe reaksi yaitu tahapan CO2 dan H2
diubah menjadi metana dan air, sedang tahapan lain asetat diubah menjadi metana dan
CO2 ( Werner et al., 1989). Produksi biogas dari limbah organik rumah makan
sekitar kampus UNS menggunakan biodigester sistem curah dengan waktu
fermentasi 6 minggu dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 8. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap rata-rata produksi biogas setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob.
No Kelompok inokulum
Rata-rata produksi biogas total (liter/ hari) T1 T2 Rata-rata
1. LM 0,0799 0,2146 0,1472 a 2. KS 0,5999 0,8139 0,7069 b 3. KA 0,7310 0,9069 0,8190 c
Rata-rata 0,4702 a 0,6451 b Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
Tabel 9. Rata-rata produksi biogas dari limbah organik rumah makan sekitar
kampus UNS menggunakan biodigester sistem curah dengan waktu fermentasi 6 minggu.
Kelompok substrat Rata-rata volume biogas (liter/hari) M2 M4 M6
T1 T2 T1 T2 T1 T2
LM 80% + LM 20% (K) 0,064 0,150 0,080 0,137 0,095 0,357
LM 80% + LM 20% (A) 0,199 0,869 0,746 1,008 0,854 0,565
LM 80% + LM 20% (B) 0,381 1,287 0,945 0,702 0,867 0,729 Keterangan: LM : Substrat dengan inokulum limbah makanan. KS : Substrat dengan inokulum kotoran sapi. KA : Substrat dengan inokulum kotoran ayam.
Jumlah produksi biogas yang dihasilkan dari masing-masing kelompok
perlakuan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (Tabel 8). Berdasarkan
analisis sidik ragam produksi biogas memperlihatkan hasil yang berbeda nyata
atau signifikan antar perlakuan. Perlakuan variasi inukulum LM berbeda nyata
46
dengan kelompok perlakuan variasi inukulum KS dan kelompok substrat KA.
Dari analisis tersebut juga dapat diketahui bahwa perlakuan substrat dengan
variasi inokulum memberikan pengaruh signifikan terhadap produksi biogas.
Penambahan suhu berpengaruh signifikan terhadap produksi biogas. Perlakuan
suhu T1 berbeda nyata dengan T2, sedangkan interaksi suhu dengan inokulum
tidak berpengaruh terhadap produksi biogas. Produksi biogas total tertinggi
adalah inokulum KA didapatkan 0,8190 (liter/hari) sedangkan yang terendah
adalah inokulum LM sebesar 0,1472 (liter/hari). Produksi biogas total perlakuan
suhu T2 sebesar 0,6451 (liter/hari) lebih tinggi dibandingkan perlakuan suhu T1
sebesar 0,4702 (liter/hari).
Produksi biogas rata-rata terbanyak 1,287 liter/hari (tabel. 9) terjadi pada
perlakuan BT2, yaitu: penggunaan substrat dengan inokulum kotoran ayam pada
suhu tinggi karena terjadi proses degradasi cepat dan suhu yang konstan. Hal ini
dimungkinkan karena pengaruh dari starter inokulum yang diberikan. Mahajoeno,
et al., (2008) menjelaskan bahwa fungsi penambahan starter adalah sebagai
sumber metanogen sehingga proses fermentasi dan pembentukan biogas berjalan
lebih cepat. Kondisi tersebut merupakan kombinasi perlakuan terbaik
dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lain yang menghasilkan volume biogas
lebih sedikit.
Kelompok kontrol memiliki produksi total yang lebih sedikit dibanding
kelompok A dan B (gambar 2). Menurut Ratnaningsih et al., (2009) jumlah
produksi biogas yang sangat kecil menunjukkan bahwa telah terjadi proses
degradasi yang tidak maksimal. Namun demikian, banyak sedikitnya yang
47
dihasilkan tidak dapat menentukan nyala tidaknya biogas yang dihasilkan. Test uji
nyala digunakan untuk mengetahui produksi biogas yang dihasilkan dapat
terbakar atau tidak. Energi biogas menjadi mudah terbakar jika memiliki
kandungan gas methan lebih dari 50%. Hammad (1996) mengatakan bahwa
biogas dapat terbakar apabila terdapat kadar metana minimal 57%, sedikit berbeda
menurut Hessami et al., (1996) biogas dapat terbakar jika kandungan metana
minimal 60%. Pada umumnya apabila gas metana ini dibakar maka akan
berwarna biru dan menghasilkan banyak energi panas. Energi yang terkandung
dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana. Semakin tinggi kandungan
metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan
sebaliknya (Kapdi et al., 2004 dan Pambudi, 2008). Sumber utama nilai kalor
biogas berasal dari gas metan, plus sedikit dari H2 serta CO. Sedang
karbondioksida dan gas nitrogen tidak memiliki konstribusi dalam soal nilai panas
tadi, Bitton (1999) menyatakan bahwa produksi biogas hasil perombakan jasad renik
tidak murni metana tetapi merupakan gas campuran misalnya terbentuk pula CO2 dan
H2O.
Tabel 10. Test Uji Nyala Produksi Biogasa masing-masing substrat. Kelompok substrat Suhu T1 Suhu T2 LM 80% + Inokulum LM 20% (K) - ++ LM 80% + Inokulum KS 20% (A) ++ ++ LM 80% + Inokulum KA 20% (B) ++ ++
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam.
Biogas yang dihasilkan selama 45 hari fermentasi (tabel 10.) diketahui
bahwa tidak semua kelompok substrat menghasilkan biogas dengan kualitas yang
48
baik (Lampiran 6). Kualitas ini dapat dinilai dari nyala atau tidaknya gas setelah
dilakukan proses pembakaran dan warna api yang dihasilkan pada saat
pembakaran. Kelompok perlakuan kontrol pada suhu ruang biogas yang diperoleh
tidak tidak menghasilkan nyala api atau dapat dikatakan bahwa kandungan
metananya kurang dari 50%. Hal ini dimungkinkan karena proses degradasi yang
tidak maksimal akibat keidakseimbangan antara senyawa-senyawa dan unsur-
unsur berbeda serta suasana asam pada substrat. Werner et a.l, (1989)
menjelaskan dampak negatif dapat terjadi oleh ketidakseimbangan, sehingga
fermentasi anaerob secara total dapat berhenti atau menurun akibat adanya bahan
beracun. Bahan beracun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam biomassa
atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob. Mikroba
metanogen membutuhkan garam-garam anorganik dalam jumlah mikro untuk
mengendalikan tekanan osmosis internal dan sebagai kofaktor enzim (Adam,
1980). Menurut Werner et al (1989) unsur tersebut sebaiknya terdapat dalam
konsentrasi sekitar 10-4 M, karena konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat
menjadi faktor penghambat. Kresnawaty et al., (2008) penurunan pH terjadi
karena asam organik yang terbentuk selama asidogenesis seperti asam asetat,
propionate, butirat, valerat bahkan isovalerat dan isobutirat, sedangkan pada tahap
asetogenesis produk utama yang dihasilkan adalah asam lemak volatil. Nilai pH
yang terus menurun mengakibatkan biogas yang dihasilkan tidak optimal
(kandungan metana rendah atau bahkan belum terbentuk) karena lingkungan yang
asam tidak cocok untuk perkembangan metanogen.
49
Kelompok perlakuan kontrol suhu tinggi, perlakuan A dan B gas yang
dihasilkan pada botol saat pertama kali belum menghasilkan nyala api. Hal ini
dikarenakan proses perombakan anaerob memerlukan beberapa tahapan,
diantaranya: hidrolisis, asidogenesis, dan methanogenesis, Pada saat awal
perombakan masih didominasi oleh proses hidrolisis dan asidogenesis, sehingga
gas yang dihasilkannya pun kebanyakan masih berupa gas CO2, H2, dan senyawa
yang bersifat asam seperti asam asetat. Gas sudah dapat menghasilkan nyala api
yaitu pada botol kedua nyala api masih kecil dan sudah berwarna biru. Pada uji
nyala botol ketiga dan seterusnya menghasilkan nyala api yang baik berwarna biru
dan relatif besar. Hal ini dapat dikatakan bahwa kandungan metannya kurang dari
50%. Pembakaran akan mengeluarkan api yang berwarna biru, karena gas yang
dibakar adalah gas metan (CH4), yang ikatan molekulnya hanya mengandung 1
atom C dan 4 atom hydrogen.
Produksi biogas yang diperoleh menjelaskan bahwa volume biogas yang
dihasilkan pada kondisi suhu tinggi (45-50ºC) lebih banyak dibandingkan suhu
ruang (25-31ºC). Hal ini mungkin dikarenakan pada suhu tinggi (termofilik)
substrat akan terdegradasi lebih cepat dan memudahkan difusi bahan terlarut,
sehingga pembentukan gas akan lebih cepat pula. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Metcalf & Eddy (2003) bahwa suhu termofilik digunakan untuk
penghancuran cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 bahan per hari) serta waktu
retensi pendek dan bebas dari desinfektan. Proses fermentasi anaerob sangat peka
terhadap perubahan suhu (Tobing PL, & Z, Poeloengan, 2003; Wellinger and
Lindeberg, 1999). Gambar 9 dan 10 merupakan hasil pengamatan suhu substrat
50
pada dua kondisi yang berbeda yaitu kondisi suhu ruang (25-31°C) dan suhu
tinggi (45-50°C) dalam 45 hari waktu pengamatan.
28.5
29
29.5
30
30.5
31
31.5
32
suhu
(°C
)
hari ke-0 hari ke-15 hari ke-30 hari ke-45
Waktu Fermentasi
KontrolAB
Gambar 3. Rata-rata suhu masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (25-31°C) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke-45,
45
45.1
45.2
45.3
45.4
45.5
45.6
suhu
(°C)
hari ke-0 hari ke-15 hari ke-30 hari ke-45
Waktu Fermentasi
KontrolAB
Gambar 4. Rata-rata suhu masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (45-50°C) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke-45.
Keterangan : K : Substrat dengan inokulum limbah makanan. A : Substrat dengan inokulum kotoran sapi. B : Substrat dengan inokulum kotoran ayam.
51
Suhu didalam digester dapat diketahui dengan jelas bahwa terjadi
perbedaan suhu substrat pada kondisi mesofilik maupun termofilik. Kelompok
substrat suhu kamar memiliki rentang suhu antara rata-rata antara 29,9-31,9°C dan
kelompok substrat suhu tinggi memiliki rentang suhu antara : 45,2-45,6°C. Pada
kondisi mesofilik, suhu substrat paling tinggi yaitu pada hari ke-0 yaitu antara
31,3-31,9°C. Hal ini dikarenakan suhu lingkungan pada saat itu cukup tinggi,
yaitu 34°C. Pada hari ke-15, suhu substrat mulai mengalami penurunan namun
tidak terlalu signifikan yaitu antara 29,9-30,3°C. Tidak berbeda jauh dengan suhu
substrat pada hari ke-15, suhu substrat pada hari ke-30 dan hari ke-45 ada pada
rentang antara 30,1-30,6°C. Kenaikan atau penurunan suhu dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan yang berubah. Pada kondisi termofilik, dipergunakan alat
bantu berupa termokopel sebagai pengatur suhu lingkungan biodigester agar suhu
tetap stabil. Berdasarkan data yang telah diperoleh, nilai suhu dipertahankan pada
kisaran diatas 45°C. Perubahan suhu substrat yang terjadi pada hari ke-0 hingga
hari ke-45 tidak berbeda antar masing-masing kelompok substrat yaitu berkisar
antara 45,1-45,6°C. Faktor suhu akan membedakan dalam proses pendegradasian
substrat. Bitton (1999) menjelaskan bahwa perombakan berlangsung baik pada
kondisi mesofilik dan perombakan optimal kondisi termofilik (45-650C).
52
Tabel 11. Perbandingan rata-rata produksi biogas dari limbah organik rumah makan sekitar kampus UNS setelah waktu fermentasi 6 minggu pada suhu ruang dengan suhu tinggi.
Kelompok substrat Total produksi biogas (L) Peningkatan
Suhu ruang Suhu tinggi Produksi Biogas LM 80% + Inokulum LM 20% 3,59 9,66 169% LM 80% + Inokulum KS 20% 26,99 36,63 34% LM 80% + Inokulum KA 20% 32,89 40,81 24%
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam.
Suhu substrat dapat berpengaruh meningkatkan produksi biogas dari limbah
makanan (tabel 11). Hal tersebut dapat dijelaskan karena meningkatnya suhu substrat
dapat memacu reaksi kimia, yang dapat meningkatkan perombakan dari unsur yang
kompleks menjadi yang lebih sederhana,. Percobaan yang dilakukan selama 6 minggu
pengaruh suhu terhadap produksi biogas tertinggi adalah sebanyak 40,8 L untuk suhu
tinggi dan 32,9 L suhu ruang, selain itu diketahui juga terjadi peningkatan
produksi biogas berkisar antara 24%-169% pada suhu tinggi dibandingkan suhu
ruang. Hal tersebut dapat dipahami karena produksi biogas dengan bahan limbah
makanan merupakan proses biofermentasi, yaitu peran pokok dilakukan oleh
berbagai macam mikroba. Oleh sebab itu hasil perombakan yang lebih cepat,
memudahkan aktifitas bakteri metanogenik membentuk biogas, sehingga peningkatan
suhu dapat meningkatkan produksi biogas (Metcalf & Eddy 2003, NAS 1981, Bitton
1999 dan Wllinger 1999).
Perbedaan volume biogas yang diperoleh juga dapat disebabkan karena
pada kondisi suhu ruang terjadi perubahan suhu lingkungan 2-5°C (suhu
lingkungan tidak konstan). Menurut Wellinger and Lindeberg, (1999)
53
menjelaskan bahwa Proses fermentasi anaerob sangat peka terhadap perubahan
suhu. Hal ini berpengaruh pula terhadap perubahan suhu substrat. Perubahan suhu
yang terlihat cukup signifikan yaitu pada hari ke-45, suhu substrat turun menjadi
±25°C. Penurunan yang cukup signifikan ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
yang berubah, yaitu suhu lingkungan yang rendah karena hujan. Sehingga kondisi
suhu substrat di dalam biodigester pun menjadi rendah akibatnya bakteri
metanogenik berkembang lambat dan sensitif terhadap perubahan mendadak pada
kondisi-kondisi fisik dan kimiawi. Material bahan dalam hal ini jerigen yang
digunakan sebagai biodigester bukan merupakan isolator/penahan panas yang baik
sehingga temperatur lingkungan dapat mempengaruhi materi di dalam biodigester
(Raliby et al., 2009). Sedangkan pada kelompok substrat suhu tinggi, bagian luar
digester sudah diberi termokopel dengan tujuan mempertahankan suhu agar tetap
konstan. Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya,
diketahui bahwa ketika suhu lingkungan diluar digester diatur 50°C maka suhu
substrat (dalam digester) adalah ± 45°C. Perbedaan suhu antara di luar dan di
dalam digester mungkin disebabkan karena perbedaan dari masing-masing
bahan/media menyerap panas tersebut. Kondisi di luar digester lebih panas karena
media yang menerima panas dalam bentuk cair (air) sehingga lebih cepat
menyerap panas, sedangkan media yang menerima panas di dalam digester adalah
limbah dalam bentuk mendekati padat (sedikit cair/kental) sehingga proses
penyerapan panasnya lebih lama. Suhu lingkungan diluar digester tetap
dipertahankan 50°C dengan menggunakan termokopel, agar tidak terjadi
perubahan suhu substrat (konstan).
54
5. Konsentrasi COD, BOD, TS, dan VS
Proses perombakan anaerob juga dapat menurunkan tingkat pencemaran
dari limbah organik sehingga aman bagi lingkungan, selain dihasilkan biogas
sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Proses perombakan atau
degradasi bahan organik dapat dilihat dari perubahan karakter atau sifat outlet
limbah (effluent), baik sifat fisik maupun kimia seperti pH, BOD (Biological
Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), Volatil Solid (VS) dan
Total Solids (TS). Selain perubahan sifat, proses degradasi juga dapat dilihat dari
nilai reduksi/effisiensi perombakan. Ratnaningsih (2009) menjelaskan bahwa
efisiensi perombakan total solid disebabkan perombakan oleh mikroorganisme.
Haryati (2006) menambahkan bahwa proses degradasi anerobik dapat
menurunkan nilai TS, VS, BOD dan COD. Adapun nilai rata-rata BOD, COD, TS
dan VS dipengaruhi oleh interaksi antara jenis substrat dan suhu lingkungan
terhadap lama waktu fermentasi berdasarkan uji analisis sidik ragam yang
dilanjutkan uji DMRT 5% ditampilkan pada tabel berikut :
Tabel 12. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap konsentrasi BOD setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob.
No Kelompok inokulum
Rata-rata konsentrasi BOD (gram/l) T1 T2 Rata-rata
1. LM 12,7733 10,8400 11,8067 b 2. KS 3,7667 1,9067 2,8367 a 3. KA 3,0433 1,2367 2,1400 a
Rata-rata 6,5278a 4,6611b Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
55
Tabel 13. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap konsentrasi COD setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob.
No Kelompok inokulum
Rata-rata konsentrasi COD (gram/l) T1 T2 Rata-rata
1. LM 51,8133 47,3133 49,5633c 2. KS 16,0333 16,0333 16,0333b 3. KA 5,1100 9,0967 7,1033 a
Rata-rata 24,3189 a 24,1478 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
Tabel 14. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap konsentrasi TS setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob.
No Kelompok inokulum
Rata-rata konsentrasi TS (gram/l) T1 T2 Rata-rata
1. LM 79,7667 16,7000 48,2333 b 2. KS 8,4667 6,7667 7,6167 a 3. KA 8,4000 6,4667 7,4333 a Rata-rata 32,2111 a 9,9778 b Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
Tabel 15 Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap konsentrasi VS setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob.
No Kelompok inokulum
Rata-rata konsentrasi VS (gram/l) T1 T2 Rata-rata
1. LM 45,9000 6,6333 26,2667 b 2. KS 0,4667 0,4000 0,4333 a 3. KA 2,1333 0,9000 1,5167 a Rata-rata 16,1667 a 2,6444 b Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
Uji analisis sidik ragam dari data yang diperoleh diketahui bahwa
perbedaan jenis iokulum pada substrat dan suhu lingkungan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap nilai rata-rata BOD, COD, TS dan VS
56
(P<0,05) (Lampiran 12, 13, 14, dan 15). Setelah dilakukan uji lanjut dengan
menggunakan DMRT pada taraf 5% diketahui bahwa terdapat beda nyata antar
masing-masing kelompok kombinasi perlakuan (Tabel 10, 11, 12 dan 13),
Kelompok yang memiliki nilai rata-rata BOD terendah adalah inokulum KA (2,14
g/l), nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan inokulum KS tetapi berbeda
nyata dengan kelompok perlakuan lain. Penambahan suhu berpengaruh signifikan
terhadap rata-rata konsentrasi BOD. Perlakuan suhu T1 berbeda nyata dengan T2,
sedangkan interaksi suhu dengan inokulum tidak berpengaruh terhadap BOD.
Nilai BOD total terendah adalah inokulum KA didapatkan 36,85 (L/45 hari)
sedangkan yang terendah adalah inokulum LM sebesar 6,625 (L/45 hari), nilai
BOD total perlakuan pada suhu T2 sebesar 4,6611 (g/l) lebih lebih rendah
dibandingkan perlakuan suhu T1 sebesar 6,5278 (g/l). Nilai rata-rata COD
terendah terjadi pada perlakuan inokulum KA yaitu sebesar (7,1033 g/l), nilai ini
berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lain. Penambahan suhu berpengaruh
terhadap rata-rata konsentrasi COD. Perlakuan suhu T1 (24,3189 g/l), nilai ini
tidak berbeda nyata dengan T2, sedangkan interaksi suhu dengan inokulum tidak
berpengaruh terhadap rata-rata konsentrasi COD.
Uji lanjut dengan menggunakan DMRT pada taraf 5% untuk nilai rata-rata
TS terendah terjadi pada inokulum KA yaitu 7,4333 g/l, nilai ini tidak berbeda
nyata dengan perlakuan inokulum KS tetapi berbeda nyata dengan kelompok
perlakuan lain. Variasi suhu berpengaruh terhadap nilai rata-rata konsentrasi nilai
TS, demikian juga interaksi suhu dengan inokulum berpengaruh signifikan
terhadap rata-rata konsentrasi total TS. Nilai TS total perlakuan pada suhu T2
57
sebesar 9,9778 (g/l) lebih lebih rendah dibandingkan perlakuan suhu T1 sebesar
32,2111 (g/l). Sedangkan untuk nilai VS terendah adalah inokulum KS sebesar
0,4333 (g/l), nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan KA tetapi berbeda
nyata dengan kelompok kombinasi perlakuan lain. Penambahan suhu berpengaruh
signifikan terhadap rata-rata konsentrasi VS, demikian juga interaksi suhu dengan
inokulum berpengaruh signifikan terhadap rata-rata konsentrasi total VS.
Perlakuan suhu T1 berbeda nyata dengan T2, nilai rata-rata konsentrasi VS total
perlakuan pada suhu T2 sebesar 2,6444 (g/l) lebih lebih rendah dibandingkan
perlakuan suhu T1 sebesar 16,1667 (g/l).
Proses degradasi dapat menurunkan nilai COD, O’Flaherty et al., (2006)
menyatakan bahwa perombakan limbah cair secara biologis, tahap anaerobik
merupakan tahapan yang sangat menentukan keberhasilan proses perombakan. Pada
tahap tersebut terjadi perombakan bahan-bahan organik menjadi asam, selanjutnya
dirombak menjadi asam asetat, dan proses berlanjut membentuk gas metana dan CO2,
sehingga terjadi penurunan COD limbah. Proses efisiensi perombakan anerob
berlangsung cukup tinggi. Mahajoeno (2008) menyatakan bahwa efisiensi perombakan
LCPMKS COD, BOD, dan VS anarob sistem curah cukup tinggi lebih dari 90%, tetapi
efisiensi perombakan TS sebesar 62,7%, rendahnya efisiensi TS karena padatan
suspensinya tersusun dari selulosa sehingga sulit untuk dirombak. Nilai efisiensi
perombakan anaerob BOD, COD, TS, dan VS selama 45 hari ditampilkan pada
tabel sebagai berikut:
58
Tabel 16. Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) pada substrat limbah rumah makan dengan fermentasi anaerob setelah 6 minggu.
Efisiensi perombakan (%) COD BOD TS VS
1. Suhu Ruang LM 80% + Inokulum LM 20% 14,3 5,29 23,9 17,5 LM 80% + Inokulum KS 20% 61,6 47,1 82,7 70,6 LM 80% + Inokulum KA 20% 72,56 53,3 83,2 67,7 2. Suhu Tinggi LM 80% + Inokulum LM 20% 36,9 21,9 82,4 73,2 LM 80% + Inokulum KS 20% 83,8 72,8 78,3 79,3 LM 80% + Inokulum KA 20% 85,2 80,9 80,0 78,2
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam
Efisiensi perombakan pada semua perlakuan mengalami penurunan nilai
COD dan BOD, tetapi dengan nilai effisiensi yang berbeda-beda. Menurut
Kresnawaty (2008) penurunan nilai COD dan BOD disebabkan karena telah
terjadi proses hidrolisis. Pada tahap tersebut, bahan organik dimanfaatkan oleh
mikroorganime sebagai nutrisi dan mengubahnya ke dalam bentuk senyawa yang
lebih sederhana. Reduksi COD dan BOD tertinggi sebesar 85,2% dan 80,9% pada
substrat dengan inokulum kotoran ayam dengan suhu tinggi. Pada tahapan
tersebut bakteri pendegradasi limbah dapat bekerja secara optimal, karena waktu
tinggal (HRT) yang cukup lama memberi kesempatan kontak lebih lama antara
lumpur anaerobik (inokulum) dengan limbah organik (substrat). Sedangkan
reduksi COD dan BOD terendah sebesar 14,3% dan 5,29% yaitu pada kelompok
kontrol pada suhu ruang. Rendahnya reduksi ini dimungkinkan karena limbah
dominan mengandung senyawa organik yang bersifat komplek sehigga menjadi
beban influen. Munazah dan Prayatni (2008), semakin tinggi beban influen maka
59
effisiensi penyisihan akan menurun. Selain itu, dapat disebabkan juga oleh tidak
sempurnanya proses fermentasi substrat akibat terlalu rendahnya derajat keasaman
substrat, sehingga proses dekomposisi anaerob pada biodigester tidak mencapai
tahapan methanogenic sempurna.
Perubahan sifat kimia yang lain adalah perubahan nilai total solid dan
volatil solid. Proses perombakan anaerob selama 45 hari, memperlihatkan bahwa
terjadi penurunan TS dan VS. Reduksi TS tertinggi sebesar 83,2% pada substrat
dengan inokulum kotoran ayam bersuhu ruang, sedangkan yang terendah adalah
23,9% pada substrat dengan inokulum limbah makanan bersuhu ruang. Efisiensi
perombakan organik VS tertinggi sebesar 79,3% pada substrat dengan inokulum
kotoran sapi bersuhu tinggi, sedangkan yang terendah adalah 17,5% pada substrat
dengan inokulum limbah makanan bersuhu ruang. Reduksi total solids dan volatil
solids ini disebabkan perombakan bahan organik oleh aktivitas mikroorganisme
(Ratnaningsih, 2009). Nilai efisiensi perombakan organik TS dan VS yang cukup
tinggi dikarenakan aktivitas perombakan oleh mikroorganisme berjalan dengan
baik. Hal ini mungkinkan juga kondisi rasio C/N seimbang pada substrat.
Wellinger (1999) mejelaskan bahwa bahan baku (substrat) dengan rasio C/N
tinggi dicampur dengan rasio C/N rendah akan memberikan rerata rasio
komposisi input sesuai kadar optimal produksi biogas yang diinginkan. Seperti di
Cina, rasio C/N seimbang diperoleh dari campuran sekam padi pada dasar
perombak dengan kotoran/limbah domestik. Di Nepal dan India pengumpanan
perombak dengan kotoran gajah dicampur limbah kotoran manusia
memungkinkan keseimbangan rasio C/N mendorong produksi biogas stabil. Jenis
60
limbah (substrat) peternakan umum kandungan nitrogen (N) tinggi dibandingkan
kadar karbon (C). Rasio karbon terhadap nitrogen limbah yang ditambahkan ke
perombak sebaiknya berbanding 20 bagian C dan satu bagian N (20:1) untuk
memperoleh produksi optimum metana. Residu panen pertanian dan sayuran,
biasanya berkadar N rendah tapi tinggi kadar C, dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kinerja perombak dengan mencampur kadar N tinggi limbah
peternakan, dan dapat memberi lebih baik rasio C:N untuk produksi biogas. Bitton
(1999) menambahkan bahwa konsentrasi substrat (rasio C:N:P) terkait kebutuhan
nutrisi mikroba, homogenitas dan kandungan air volatil solid (VS); total solid
(TS) dan asam lemak volatil (VFA). Pencampuran kotoran ternak (ayam dan sapi)
menyebabkan terjadinya keseimbangan rasio C/N sehingga perombakan berjalan
lebih baik.
Biogas terbentuk dari proses perombakan anarob. Ada korelasi yag didapat
antara nilai efisiensi perombakan anaerob dengan produksi biogas yang
dihasilkan. Mahajoeno (2008) menjelaskan bahwa produksi biogas berkorelasi
berkorelasi negatif dengan total padatan, padatan tersuspensi, BOD dan COD
yang artinya semakin rendah total padatan, padatan tersuspensi, BOD dan COD
semakin tingi produksi biogas.
61
Tabel 17. Korelasi reduksi COD, BOD, TS, VS dengan produksi Biogas dari limbah organik rumah makan sekitar kampus UNS setelah waktu fermentasi 6 minggu tertinggi dan terendah.
Parameter
Korelasi reduksi COD, BOD, TS, VS dengan produksi Biogas tertinggi dan terendah
LM 80% + Inokulum LM 20% Suhu ruang
LM 80% + Inokulum KA 20% Suhu tinggi
COD ( %) 14,3 85,2 BOD ( %) 5,29 80,9 TS ( %) 23,9 80,0 VS ( %) 17,5 78,2 Produksi biogas (L/45 hari) 3,59 40,81
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam.
Jumlah biogas yang terakumulasi sebanding dengan nilai reduksi COD,
BOD, TS, dan VS (tabel 15). Tingkat reduksi yang tinggi akan menghasilkan
jumlah akumulasi gas yang besar dan begitu juga sebaliknya (Nugraihini, 2008).
Dapat dilihat bahwa kelompok substrat dengan inokulum limbah makanan
memiliki reduksi COD, BOD, TS, dan VS yang lebih rendah dibandingkan
dengan substrat dengan inokulum kotoran ayam. Hal ini dimungkinkan dapat
terjadi karena proses secara biologi oleh mikroorganisme telah mencapai titik
optimum sehingga pada beban pengolahan yang lebih tinggi, zat-zat pencemar
tidak dapat lebih banyak tersisihkan, sehingga menghasilkan bahan organik
terlarut resisten yang meningkatkan konsentrasi COD, BOD, TS, dan VS effluent
(Munazah dan Prayatni, 2008).
62
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, dapat disimpulkan
bahwa:
4. Variasi substrat dengan perlakuan sumber inokulum berpengaruh terhadap
produksi biogas.
5. Perlakuan suhu tinggi (45,2-45,6°C) dapat meningkatkan produksi biogas
berkisar antara 24%-169%.
6. Tidak ada interaksi antara suhu dengan sumber inokulum. Penambahan suhu
termofilikl pada sumber inokulum kotoran ayam terhadap kinerja selama 45 hari
biodigester anaerob untuk produksi biogas terbaik yaitu 0,91 l/hari.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas, dapat dituliskan saran sebagai berikut:
1. Diperlukan parameter pengukuran rasio C/N agar tetap seimbang karena
penting untuk megetahui kebutuhan nutrient mikroorganisme agar dapat
melakukan metobolisme yang baik.
2. Diharapkan pengukuran kualitas biogas dilakukan sehingga dapat diketahui
prosentase kandungan metana dan adanya penelitian lebih lanjut tentang sisa
cairan yang berpotensi besar sebagai pupuk organik.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,K., Abdul Kohar Irwanto, Nirwan Siregar, Endah Agustina, Armansyah H.Tambunan, M. Yasin, Edy Hartulistiyoso, Y. Aris Purwanto, 1991. Energi dan Listrik Pertanian, JICA-DGHE/IPB Project/ADAET, JTA-9a (132).
Adam, K. H. 1980. Process parameter retention time and loading rates. In National Workshop on Biogas Technology, Kuala Lumpur, 23-24 March 1981, 172-188.
Adrianto A., T. Setiadi, M. Syafilla dan O.B., Liang. 2001. Studi kinetika reaksi hidrolisis senyawa kompleks organic dalam proses biodegradasi Anaerob. Jurnal Biosains 6(1) : 1-9.
Anonim. 2008. Dasar-Dasar Teknologi Biogas. http://www.google.com/teknologi biogas [pdf] (10 Maret 2009).
[APO] Asian Productivity Organization. 2003. A Measurement Guide to Green Productivity. Tokyo, Asian Productivity Organization.
Ariati R, 2001. Indonesian Energy Policy: Towards Greater Local Manufacturing for Renewable Energy. Asean Energy Bulletin, 3rd Quarter. 5(3): 4-6.
Bitton, G. 1999. Wastewater Microbiology. 2nd ed. Wiley Liss Inc. New York.
De Mez , T. Z. D., Stams, A. J. M., Reith, J. H., and G., Zeeman. 2003. Methane production by anaerobic digestion of wastewater and solid wastes. In : Biomethane and Biohydrogen Status add Perspectives of biological methane and hydrogen production. Edited by J.H. Reith, R.H. Wijffels and H. Barten. Dutch Biological Hydrogen Foundation.
Eliantika, E F 2009 Biogas Limbah Peternakan Sapi Sumber Energi Alternatif Ramah Lingkungan. Bengkulu, http://www.tenangjaya.com. (08 Januari 2009).
Garcelon, J. and Clark, J. 2001. Waste Digester Design. Civil Engineering Laboratory Agenda, University of Florida, http://www.ce.ufl.edu/activities/waste/wddndx.html. (10 Maret 2009).
Ginting, Nurzainah. 2007. Penuntun Praktikum : Teknologi Pengolahan Limbah Peternakan. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian : Universitas Sumatera Utara.
Greenberg, A.E., L.S. Clasceri and A.D. Easton. 1992. Standard Methods for the Examination of Water Wastewater. 18th ed. APHA, AWWA, WACF. Washington.
64
GTZ. 1990. Biogas Utilization. http://gtz.de/gate/techinfo/biogas/appldev/operation/utilizat. (10 Maret 2009)
Hammad S.M.D. 1999. Integrated environmental and sanitary engineering project at Mirzapur. Journal of Indian Water Work Association 28:231-236
Hanifah,T A Christine Jose dan Titania T. Nugroho. 2001. Pengolahan Limbah Cair Tapioka Dengan Teknologi EM (Effective Mikroorganisms). Jurnal Natur Indonesia III (2): 95 – 103.
Harahap, F.M., Apandi, dan S. Ginting. 1978. Teknologi Gasbio. Bandung : treatment. Journal of Animal Science 12 (4): 604 – 606.
Haryati, T. 2006. Biogas : Limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif. Jurnal Wartazoa. Vol 6 (3):160-169 .
Hessami M.A., Christensen S. and Gani R. 1996. Anaerobic digestion of household organic waste to produce biogas. Renewable Energy (9) : 1-4, 954-957
Jenie, B.S.L. dan Winiati P.R. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta.
Judoamidjojo, R.M., E.G. Said dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dit. Jend. Pendidikan Tinggi. P A U Bioteknologi IPB : Bogor.
Kadarwati, Sri. 2003. Studi Pembuatan Biogas dari Kotoran Kuda dan Sampah Organik Skala Laboratorium. Jurnal P3TEK Vol.2, No.1
Kadir, Abdul. 1995. Energi : Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi Ekonomi. Edisi kedua. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press).
Kapdi AA, Vijay VK, Rajest SK & R Prasat. 2004. Biogas Scrubbing Compression and Storage: Perspectives and Prospectus in India Context. Renewable Energy. 4:1-8
Koopmans, A. 1998. Trend in Energy Use. Expert Consultation on Wood Energy, Climate and Health. 7-9 October, 1998, Phuket, Thailand.
Kresnawaty, Irma., I. Susanti., Siswanto., dan Tri Panji. 2008. Optimasi produksi biogas dari limbah lateks cair pekat dengan penambahan logam. Jurnal Menara Perkebunan. Vol 76(1): 23-35.
Kusarpoko, B. 1994. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Anaerob Perombak Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB : Bogor.
Leestyawati, N. W. 2005. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak. Denpasar: Dinas Peternakan Provinsi Bali.
65
Mahajoeno, E., Lay W.B, Sutjahjo, H.S., Siswanto. 2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Biodiversitas (9):48 – 52.
Metcalf & Eddy . 2003. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse, 4th ed., McGraw-Hill, Singapore
Munazah, A.R dan Prayatni Soewondo. 2008. Penyisihan organik melalui dua tahap pengolahan dengan modifikasi ABR dan Constructed Wetland pada industri rumah tangga. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITB. Volume 4 No 4, Desember 2008.
[NAS] National Academy of Sciences. 1981. Methane generation from human, animal, and agricultural wastes. 2nd Ed. National Academy of Sciences, Washington, D.C.
NetSains. 2007. “Mengapa Biomassa Mampu Menekan Efek Pencemaran?”. http://www.NetSains.com/biomassa. (10 Maret 2009)
Nugrahini, Panca; T.M.Rizki Habibi; dan Anita Dwi Safitri. 2008. Penentuan parameter kinetika proses anarobik campuran limbah cair industri menggunakan reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB). Jurusan Teknik Kimia, Universitas Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008, Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
Nugroho, A., R.P Djoko M. dan Danny S. 2007. Cara Mengatasi Limbah Rumah Makan. Teknik Kimia Universitas Diponegoro : Semarang.
Nurhasanah, Ana., Teguh W.W., Ahmad A. dan Elita R. 2006. Perkembangan Digester Biogas di Indonesia (Studi Kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah). Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian : Serpong.
Nurmaini. 2001. Peningkatan Zat-Zat Pencemar Mengakibatkan Pemanasan Global. Fakultas Kesehatan Masyarakat : Universitas Sumatera Utara.
O’Faherty V, Collins G, & M. Therese, 2006. The Microbiology and Biodiversity of anaerobic bioreactor with relevance to domestics sewage treatment, //http:www.development of biogas denmask, pdf. (9 Desember 2009)
Pambudi, N.A. 2008. Pemanfaatan biogas sebagai energi alternatif. Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik:Universitas Gadjah Mada. http://www.dikti.org/ (10 Maret 2009)
Prometheus. 2005. Reaktor Biogas Skala Kecil/Menengah (Bagian Kedua). Artikel IPTEK : Bidang Energi dan Sumber Daya Alam. http://www.prometheus-energy.com/digester.html. (10 Maret 2009)
Pancapalaga, Wehandaka 2007. Evaluasi Briket Kotoran Sapi Dan Limbah Pertanian (Kosap Plus) Sebagai Bahan Bakar Alternatif. (Thesis) Malang: UMM.
Raliby, Oesman; Retno Rusdjijati; dan Imron Rosyidi. 2009. Pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas sebagai bahan bakar alternatif pada industri
66
pengolahan tahu. //http:www.openpdf.com/ebook/biogas-dari-limbah-tahu, pdf. (9 Desember 2009)
Ratnaningsih, Widyatmoko, H dan Yananto, T. 2009. Potensi pembentukan biogas pada proses biodegradasi campuran sampah organik segar dan kotoran sapi dalam batch reaktor anaerob. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 5(1): 20-26.
Reith, J.H., H. den Uil, H. van Veen, W.T.A.M. de Laat, J.J. Niessen, E. de Jong, H.W. Elbersen, R. Weusthuis, J.P. van Dijken & L. Raamsdonk, 2002. Co-production of bio-ethanol, electricity and heat from biomass residues. Proceedings of the 12th European Conference on Biomass for Energy, Industry and Climate Protection, 17 -21 June 2002, Amsterdam, The Netherlands. pp. 1118 - 1123.
Ridwan. 2006. Kotoran Ternak sebagai Pupuk dan Sumber Energi. Diterbitkan pada Harian Independen Singgalang. Rabu, 1 Februari 2006.
Riyadi, Awang. 2007. Portable Refinery menghasilkan bahan bakar dari limbah makanan dan sampah. http://www.Aw/livescience.com. (14 September 2009)
Sahirman, S. 1994. Kajian Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit untuk Memproduksi Gasbio. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB : Bogor.
Sa’id, E.G. 2006. Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta: PT Mediyatama Sarana Perkasa
Salmah. 2004. Analisis Pertumbuhan Mikrobia pada Fermentasi. Program Teknik Kimia, FT. Sumatra Utara :USU.
Sherrington, K.B. 1981. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta :UGM Press.
Singgih, M.L dan K Mera. 2008. Perancangan Alat Teknologi Tepat Guna untuk Mengurangi Dampak Lingkungan dan Meningkatkan Pendapatan Rumah Pemotongan Ayam. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VIII. Program Studi MMT-ITS : Surabaya
Simamora, S. et al. 2006. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak Dan Gas Dari Kotoran Ternak. Jakarta: AgroMedia Pustaka
Siswanto, S. Marsudi, Suharyanto, E. Mahajoeno, & Isroi. 2005. Pemanfaatan Limbah Padat dan Cair Pabrik Kelapa Sawit untuk Produksi Kompos Bioaktif & Gas Bio. Laporan akhir RUK 2005: 62 hlm.
Spangler, D.J.and G.H. Emert. 1986. Simultaneos saccharification/fermentation with Zymomonas mobilis. Biotech, 28 (1):115 - 118.
Suranto, Setyaningsih. R, A Susilowati, & T Purwoko. 2001. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi, hal 35-37. Surakarta: Jurusan Biologi, FMIPA, UNS.
67
Sudaryati,N L G; I W Kasa dan I W B Suyasa. 2007. Pemanfaatan Sedimen Perairan Tercemar Sebagai Bahan Lumpur Aktif Dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu ECOTROPHIC . 3 (1) : 21 - 29.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta : UI-Press.
Teguh Wikan Widodo and Agung Hendriadi. 2005. Development of Biogas Processing for Small Scale Cattle Farm in Indonesia. Conference Proceeding: International Seminar on Biogas Technology for poverty Reduction and Sustainable Development. Beijing, October 17-20,2005. pp. 255-261 [in English].
Tobing PL. & Z. Poeloengan, 2003. Pengendalian Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit secara Biologis di Indonesia. Warta PPKS 5(1):99-105
Triwahyuningsih, N dan A Rahmat. 2006. Pemanfaatan Energi Biomassa sebagai Biofuel : Konsep Sinergi dengan Ketahanan Pangan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Fakultas Pertanian UMY.
United Nations. 1980. Guidebook on Biogas Development. Energy Resources Development Series No. 21. Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. Bangkok. Thailand.
Veziroglu, T.N. 1991. Hydrogen Technology for Every Needs of Human Settlement. Journal Hydrogen Energy, 12:99.
Weijma, J., A.J.M. Stams, L.W. Hulshoff-Pol and G. Lettinga. 2000. Thermophilic sulfate reduction and methanogenesis with methanol in a high rate anaerobic reactor. Biotech. 67 (3):354 – 363.
Wellinger A, & A. Lindeberg 1999. Biogas upgrading and utilization. IEA Bioenergy Task 24: energy from biological conversion of organik wastes. 18 p http://www. IEA Bioenergy/Task 24.edu/pdf. (14 September 2009)
Werner U., Stochr V. and N. Hees. 2004. Biogas Plant in Animal Husbandry : Application of the Dutch Guesllechaft Fuer Technische Zusemmernarbeit (GTZ) GnbH. http://www. Gtz.de/dokumente/oe44/ecosan/pdf. (14 September 2009)
Wright, J.D., C.E Wyman and K. Grohmann. 1988. Simultaneous saccharification and fermentation of lignocelluloses. Biochem. Biotechnol 18:75-81.
Yapp, Jason and Rijk, Adrianus.2005. CDM Potential for the Commercialization of the Integrated Biogas System. http://www.unapcaem.org/F-biogas.PDF. (14 September 2009)