pelaksanaan eksekusi sengketa hadhanah...
TRANSCRIPT
PELAKSANAAN EKSEKUSI SENGKETA HADHANAH
DI PENGADILAN AGAMA CIKARANG
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat memperoleh Gelar Sarjana Syariah ( S.Sy)
Oleh:
RA DIDIN DLIYAUDDIN
NIM : 109044200003
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/ 2014 M
PELAKSANAAN EKSEKUSI SENGKETA HADHANAH
DI PENGADILAN AGAMA CIKARANG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah ( S. Sy)
Oleh:
RA DIDIN DLIYAUDDIN
NIM : 109044200003
Dibawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi
NIP. 194008051962021001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/ 2014 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan
Agama Cikarang” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program
Studi Ahwal al-Syakhsiyyah.
Jakarta, 12 Mei 2014
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) SyarifHidayatulah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatulah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
Jakarta, 16 April 2014
RA DIDIN DLIYAUDDIN
ABSTRAK
RA DIDIN DLIYAUDDIN. 109044200003. Pelaksanaan Eksekusi Sengketa
Hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang. Administrasi Keperdataan Islam. Ahwal
as-Syakhsiyyah. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2014. x+ 84+ 16.
Dalam KHI Pasal 105 yang berbunyi : dalam hal terjadinya perceraian : a)
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah
ibunya, b) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan untuk memilih di
antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, c) biaya
pemeliharaan di tangung oleh ayahnya. Namun, dalam realitanya terdapat putusan
mengenai hak asuh anak seringkali pihak yang berhak tidak mendapatkan haknya
Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian
hadhanah menurut fiqih dan undang-undang, kemudian pelaksanaan putusan
mengenai hadhanah di wilayah hukum Pengadilan Agama Cikarang, selain itu
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya Pengadilan Agama
Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan putusan hadhanah.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif, dengan jenis penelitian kualitatif atau penelitian lapangan. Sumber data
untuk mendeskripsikan masalah utama adalah sumber data primer (penelitian
lapangan) dan sumber data sekunder (studi kepustakaan).Teknik pengumpulan data
dengan cara dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode analisis yang
diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah
melalui Pendekatan kualitatif.
Hadhanah adalah membekali anak secara material maupun secara spiritual,
mental meupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan
kehidupannya nanti bila ia dewasa, Pengadilan Agama Cikarang dalam perkara
hadhanah, hanya sebatas pengawasan dengan jangka waktu sampai diucapkannya
amar putusan. Apabila selang beberapa waktu baru diketahui bahwa pihak yang
dikalahkan tidak mau melakukan kewajiban sebagaimana yang diputuskan oleh
Majelis Hakim, maka para pihak yang menang dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama Cikarang.
Kata kunci : Perceraian, Hadhanah, Putusan, Eksekusi, Pelaksanaan.
Pembimbing : Prof.Dr. H. Ahmad Sutarmadi
DaftarPustaka : Tahun1974 s.d Tahun 2013
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah
Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang
baik bagi kita semua.
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak
pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan penuh
kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN
EKSEKUSI SENGKETA HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA CIKARANG”
tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril
maupun materil.
Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak
ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada
lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta do’a. Maka dalam
kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi., selaku pembimbing skripsi yang telah sabar
membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis
sehingga penulisan skripsi ini selesai.
4. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA., selaku pembimbing akademik penulis
selama kuliah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu
yang bermanfaat serta menjadi keberkahan bagi penulis.
6. Ketua, Hakim, Panitera, Pegawai serta Staf Pengadilan Agama Cikarang, terima
kasih atas pelayanan dan bantuannya dalam memberikan data-data yang penulis
perlukan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Ketua dan seluruh Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama
UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam mendapatkan
buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
8. Ayahanda tercinta Drs. KH. Rd. Hidayatullah, MM.Pd., dan Ibunda tercinta Teti
Latifah, S.Pd.i., terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya
baik moril maupun materil, sujud abdiku atas doa dan pengorbanannya selama ini
“Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira”.
Kepada kakakku Rd. Ahmad Imaduddin SE.Sy, adik-adikku Rd. Ahmad Adi
Hidayat dan almarhumah Nurul Hidayati, kalian adalah motivasi dan inspirasi bagi
kelanjutan studi penulis hingga saat ini.
9. Keluarga besar KH. RD. Muhammad Islam Sugiri dan keluarga besar H. Edi
Soemantri yang selalu memberikan nasihat dan pedoman hidup kepada penulis.
10. Teman-teman seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam dan Peradilan Agama
angkatan 2009 terimakasih atas kebersamaannya, selama empat tahun kita saling
mengenal dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan.
11. Para sahabat karibku yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas
kebaikan, dukungan dan semangat kalian, semoga persahabatan kita tidak akan
pernah putus meskipun kita tidak bersama lagi.
viii
12. Tanpa mengurangi rasa hormat, kepada seluruh pihak yang telah banyak
memberikan inspirasi juga dukungan kepada penulis untuk mencapai cita-cita yang
telah diimpikan dan telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam
penulisan skripsi ini. Semoga segala kebaikan akan diganjar dengan pahala yang
berlipat ganda oleh Allah SWT.
Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis
hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah SWT semoga kebaikan yang telah
diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah SWT.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada
semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah SWT, dan menjadi
penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan pada masa-masa
berikutnya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
dengan pesat pada era globalisasi ini.
Jakarta, Mei 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iv
ABSTRAKSI .................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7
D. Studi Review ............................................................................................... 8
E. Metode Penelitian ........................................................................................ 9
F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH
A. Pengertian Hadhanah ................................................................................... 14
B. Dasar Hukum Hadhanah .............................................................................. 19
C. Syarat-syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah ........................................ 22
D. Upah Hadhanah ........................................................................................... 24
E. Hadhanah Dalam Peraturan Perundang-Undangan ..................................... 30
x
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA CIKARANG
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Cikarang ............................................. 43
B. Dasar Hukum Dan Wewenang Pengadilan Agama Cikarang ..................... 45
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Cikarang ....................................... 47
D. Yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang ..................................................... 48
BAB IV PELAKSANAAN EKSEKUSI HADHANAH
A. Pelaksanaan Putusan Hadhanah di Wilayah Hukum Pengadilan Agama
Cikarang ..................................................................................................... 50
B. Upaya Pengadilan Agama Cikarang Untuk Terlaksananya Pelaksanaan
Eksekusi Hadhanah .................................................................................... 65
C. Analisis Penulis .......................................................................................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 82
B. Saran ............................................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 84
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan tuntunan agama.1 Dalam literatur
fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Secara arti
kata nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”
adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam Al-
Qur’an memang mengandung dua arti tersebut..2
Dalam pandangan Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan
ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunah Allah, berarti:
menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah
Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri
dan untuk umatnya.3
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita dengan
1 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), Cet.II, h.3.
2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet.III
, h.35-36.
3 Ibid, h.41.
2
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia da kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa definisi perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
Mitsaqon Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Lain halnya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang tidak mengenal definisi perkawinan, karena sebagaimana Pasal 26 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata hanya disebutkan bahwa Undang-Undang
memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja. Artinya pasal
tersebut hendak menyatakan bahwa sebuah perkawinan yang sah itu hanyalah
perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan
agama yang dikesampingkan.5
Tujuan diadakannya perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang
sakinah, mawaddah, warahmah.6 Proses menuju keluarga yang sakinah tentu tidak
bisa dianggap sepele, sebagaimana Nabi Muhammad SAW tidak pernah
4 Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,
(Jakarta: PT Internasa, 1991), Cet.I, h.187.
5 Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), h.23.
6 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan,(Jakarta: Pustaka Mina,
2008), h.275.
3
menyepelekannya, oleh karena itu kita harus memahami terlebih dahulu tentang
tujuan perkawinan tersebut sebelum kita melaksanakan dari pada perkawinan.7
Dalam kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kehidupan
berumah tangga bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, karena didalam
kehidupan rumah tangga tidak lepas dari gejolak-gejolak yag ada. Apabila suami
istri tidak dapat melewati gejolak-gejolak tersebut, maka tidak bisa dihindarkan
lagi akan terjadi sebuah pemutusan tali pernikahan atau bisa disebut juga dengan
perceraian.
Suatu gugatan perceraian, bisa mengundang berbagai macam
permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri, muncul pula masalah-
masalah lain sebagai akibat dari di kabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti
permasalahan tentang siapa yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah
(pemeliharaan) terhadap anak.8
Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia
membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang yang
mendidiknya.
Apabila dua orang suami bercerai sedangkan keduanya mempunyai
seorang anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun), maka istrilah
7 Abdullah Gymnastiar, AA Gym dan Fenomena Darrut Tauhid, (Bandung: PT Mizan, 2002),
h.20.
8 Said Agil Husain Al-Munawwar, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
(analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah), (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.189.
4
yang berkewajiban untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan
kemaslahatan dirinya.9
Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi
para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Ketika pengasuhan anak
merupakan hak dasar ibu, maka para ulama menyimpulkan, kerabat ibu lebih
didahulukan daripada kerabat ayah.10
Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan
kembali pada waktunya, sedangkan yang satu lagi menetap ditempat lebih berhak
mendapatkan hadhanah. Alasannya ialah, bahwa perjalanan itu mengandung
resiko dan kesulitan bagi si anak. Oleh karena itu menetap lebih baik karena tidak
ada resiko tersebut bagi si anak.11
Dalam hal pindah tempat juga Ulama berpendapat. Menurut Ulama
Hanafiyah bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah, maka ibu lebih
berhak atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ke tempat dilaksanakan
pernikahannya dulu, ibu yang lebih berhak tapi bila ke tempat lain, maka ayahlah
yang berhak. Ulama lainnya termasuk Imam Malik dan Syafi’I yang berhak atas
hadhanah dalam keadaan pindah tempat adalah ayah.12
9 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), Cet.III, h.426.
10
Wahbah Al-Zuhaili, AL-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr,
1984), h.680.
11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Cet.III, h.332.
12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 332.
5
Fenomena kelalaian dan penelantaran anak merupakan permasalahan yang
sering terjadi dalam masyarakat, sebaliknya juga perebutan anak antara orang tua
sering terjadi seakan-akan anak adalah harta benda yang dapat dibagi-bagi, dan
setelah dibagi seolah putuslah ikatan orang tua yang tidak mendapatkan hak
asuhnya. Walaupun sebenarnya masalah kedudukan anak dan kewajiban orang
tua terhadap anak ini telah di atur dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dan Hukum Islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang berbunyi : dalam hal
terjdinya perceraian : a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya, b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz
diserahkan untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya, c) biaya pemeliharaan di tangung oleh ayahnya.13
Pengadilan Agama akan memutuskan kepada siapa hak pemeliharaan
tersebut diberikan, namun seringkali pihak yang kalah tidak mau melaksanakan
putusan Pengadilan Agama tersebut, sehingga pihak yang menang kesulitan
mendapatkan haknya. Maka solusi yang dapat dilakukan adalah meminta
Pengadilan Agama untuk membantu melaksanakan putusannya tersebut.
Berawal dari latar belakang masalah inilah, penulis ingin mengetahui lebih
mendalam mengenai persoalan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang”.
13
Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (T.tp, CV. Nuansa Aulia, 2008), h.33.
6
B. Batasan dan rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan untuk mempermudah serta
memperjelas pokok bahasan, maka penulis membatasi masalah pada eksekusi
yang ada di Pengadilan Agama Cikarang dan pasal 105 Kompilasi Hukum
Islam yang mengatur hak asuh anak.
2. Rumusan Masalah
Pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dalam hal terjadinya
perceraian, pemeliharaan anak/ hadhanah yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya, pemeliharaan anak yang sudah
mumayyiz diserahkan untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan di tangung oleh
ayahnya. Dalam realitanya seringkali pihak yang kalah tidak mau
melaksanakan putusan Pengadilan Agama tersebut, sehingga pihak yang
menang kesulitan mendapatkan haknya. Maka solusi yang dapat dilakukan
adalah meminta Pengadilan Agama untuk membantu melaksanakan
putusannya tersebut. Dalam praktek Hukum Acara Perdata, pelaksanaan
putusan pemeliharaan anak/ hadhanah ini tidaklah semudah seperti apa yang
diatur. Putusan Pengadilan akan sulit melaksanakan apabila pihak yang
dikalahkan tidak mau mentaati putusan tentang hadhanah.
Dari rincian masalah diatas maka penulis menuangkan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
7
1. Apa pengertian hadhanah menurut Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia ?
2. Bagaimana pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di Pengadilan
Agama Cikarang ?
3. Bagaimana upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan
eksekusi hadhanah ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan pengertian hadhanah menurut Fiqih dan Undang-
Undang
b. Untuk menjelaskan pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di wilayah
hukum Pengadilan Agama Cikarang
c. Untuk menjelaskan upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk
terlaksananya pelaksanaan putusan hadhanah
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi
para akademisi bidang hukum, khususnya mengenai pelaksanaan eksekusi
hadhanah setelah terjadinya perceraian. Selain itu, diharapkan dapat menjadi
bahan menambah wawasan ilmu hukum bidang perdata bagi masyarakat
umum.
Manfaat yang terahir dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi para praktisi Peradilan yang
8
terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya, yaitu para Hakim khususnya
di Cikarang. Dan dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi, referensi atau bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa fakultas
syari’ah dan hukum maupun masyarakat luas.
D. Studi Review
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan, tidak
ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Namun ada beberapa
yang menyangkut topik permasalahan yang sama, diantaranya :
1. Skripsi berjudul “Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum
Mumayyiz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara
Nomor 228/Pdt.G/2009/PAJB)” yang ditulis oleh Nova Andriani, tahun
20011, Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Administrasi
Keperdataan Islam, NIM 107044200445. Pada skripsi ini membahas tentang,
pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusan Nomor
228/Pdt.G/2009/PAJB tentang hadhanah dan bagaimana metode ijtihad
Majelis Hakim dalam memutuskan perkara hak hadhanah anak kepada
bapak.
2. Skripsi berjudul “ Kewajiban Pembiayaan Hadhanah Akibat Perceraian
(Studi Kritis Pasal 105 Poin c Jo Pasal 156 Poin d KHI)” yang ditulis oleh
Aziz Angga Riana, Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan
Peradilan Agama, NIM 207044100261. Pada skripsi ini membahas tentang,
pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusan
9
No.666/Pdt.G/2009/PAJB tentang hadhanah, dan bagaimana analisis
penetapan hak hadhanah dalam putusan di Pengadilan Agama.
3. Skripsi berjudul “Hak Hadhanah Ibu Wanita Karir (Analisis Putusan Perkara
Nomor:458/Pdt.G.2006/PADepok” yang ditulis oleh Mochammad Anshory,
Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Administrasi Keperdataan
Islam, NIM 105044201459. Pada skripsi ini membahas tentang,
pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutuskan
perkara nomor: 458/Pdt/2006/Pengadilan Agama Depok dan apakah Hakim
memperhatikan masalah anak disaat membuat pertimbangan dalam
memutuskan perkara.
4. Skripsi berjudul “ Gugat Rekonpensi Dalam Sengketa Cerai Gugat dan
Implikasinya Hak Hadhanah di Pengadilan Agama (Studi Analisis Perkara
No.078/Pdt. G/2007/PAJakarta Pusat)” yang ditulis oleh Rizal Purnomo,
Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Administrasi Keperdataan
Islam, NIM 104044201485. Pada skripsi ini membahas tentang,
pertimbangan dan putusan Majelis Hakim tentang cerai gugat rekonvensi
mengenai hak hadhanah di Pengadilan Agama dan bagaimana persfektif fiqih
dan hukum positif tentang putusan Hakim mengenai rekonvensi dalam cerai
gugat bersama hak hadhanah di Pengadilan Agama.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
10
Dalam penelitian karya ilmiyah ini, penulis menggunakan gabungan
antara penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian
hukum normatif adalah suatu penelitian hanya merupakan studi dokumen.14
Dan penelitian yuridis empiris yaitu penelitian kenyataan lapangan yang
bersifat das sein tidak sesuai dengan keadaan yang didambakan atau yang
diharapkan yang bersifat das sollen.15
Dalam penelitian ini yang akan dicari
prihal pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di Pengadilan Agama
Cikarang dengan berpedoman pada aturan yang berlaku.
2. Data Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Dalam studi kepustakaan, penulis mencari data primer yang
berkaitan dengan masalah yang akan diketengahkan untuk dijadikan
landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan.16
Bahan-bahan yang
digunakan :
a) Sumber Primer
Sumber primer yaitu data yang dikumpulkan diolah dan
disajikan oleh peneliti dari sumber pertama atau sumber asli yang
14
Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian (Jakarta: ADELINA Bersaudara,2010), Cet.I, h.155.
15
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Atma
Jaya, 2007), h.29.
16
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit,2010), Cet.III, h.57.
11
memuat informasi atau data tersebut.17
Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah lapuran tahunan perkara, Putusan Pengadilan
Agama Cikarang, Ketua/ Wakil Pengadilan Agama Cikarang, para
Hakim dan para pihak yang terkait dengan masalah ini.
b) Sumber Sekunder
Data sekunder merupakan data yang mendukung data utama
atau memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.18
Data
sekunder dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009, Kompilasi Hukum Islam, dan studi
kepustakaan atau dokumen-dokumen yang ada di Pengadilan Agama
Cikarang.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Dilakukan dengan cara interview, adalah metode pengumpulan data
dengan atau mellalui wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik
17
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
h. 132.
18 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.
195.
12
lengsung berhadap-hadapan yang atau dapat melihat muka yang lain dan
masing-masing dapat menggunakan saluran komunikasi secara wajar dan
lancar.19
Dengan mengambil objek di Pengadilan Agama Cikarang.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen
resmi, publikasi, dan hasil penelitian.20
b. Penelitian Lapangan
Data lapangan yang diperlukan sebagai data penunjang diperoleh
melalui informasi dan pendapat-pendapat dari responden yang ditentukan
secara purposive sampling (ditentukan oleh peneliti berdasarkan
kemauannya) dan/atau random sampling (ditentukan oleh peneliti secara
acak). Data lapangan yang penulis dapatkan berupa hasil wawancara di
Pengadilan Agama Cikarang.
3. Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan
menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriftif analisis, yaitu apa yang
19
Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, Metedologi Penelitian Sosial
(Terapan dan Kebijaksanan) (Jakarta: Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI,
2000), h.39.
20
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Cet.II, h.107.
13
dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga prilaku yang
nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.21
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub bab
sebagai berikut :
Bab pertama, dalam bab ini menguraikan latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.
Bab kedua, dalam bab ini memuat tinjauan umum tentang hadhanah,
pengertian, dasar hukum, syarat, dan dalam peraturan perundang-undangan.
Bab ketiga, dalam bab ini membahas profil Pengadilan Agama
cikarang, sejarah, dasar hukum dan wewenang, struktur organisasi, serta
yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang.
Bab keempat, dalam bab ini berisi tentang pelaksanaan putusan
hadhanah, mencakup : penyebab sulitnya pelaksanaan eksekusi hadhanah serta
upaya Pengadilan Agama cikarang agar terlaksananya pelaksanaan eksekusi
hadhanah dan Analisis Penulis
Bab kelima, memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan untuk
kemudian penulis memberikan saran-saran yang konstruktif.
21
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h.107.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata “hidnan” yang berarti lambung. Seperti
kalimat “hadhana ath-thaairu baidhahu”, burung itu menggempit telur dibawah
sayapnya, begitu juga dengan perempuan (ibu) yang mengempi anaknya.1
Pemeliharaan anak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “hadhanah”.2
Maksudnya adalah merawat dan mendidik atau mengasuh bayi/ anak kecil yang
belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri..
Para fuqaha mendefinisikan “al-hadhn” adalah memelihara anak kecil
laki-laki atau perempuan atau orang yang kurang akal yang tidak bisa
membedakan. Al-hadhn tidak berlaku pada orang dewasa yang sudah baligh dan
berakal. Ia boleh memilih tinggal dengan siapa saja dari kedua orang tuanya yang
ia sukai. Bilamana seorang laki-laki maka ia boleh tinggal sendiri karena tidak
membutuhkan kedua orang tuanya. Akan tetapi syara‟ menyuruhnya berbakti dan
berbuat baik kepada mereka. Jika seorang perempuan, ia tidak boleh tinggal
sendiri dan tidak dipaksa karena kelamahan tabiatnya untuk menghindari
kecemaran keluarganya.3
1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 2, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h.237.
2 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2013), h.175.
3 Ibrahim Muhammad Al-jamal, Fiqih muslimah, h.341.
15
Hadhanah menurut bahasa berarti “ meletakan sesuatu dekat tulang rusuk
atau dipangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di
pangkuan-nya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya,
sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya : pendidikan dan
pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus
dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.4
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, hadhanah yaitu mengasuh
anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni
dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang
membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan
kemampuan intelektual agar sangup memikul tanggung jawab hidup.5
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, hadhanah adalah tugas menjaga atau
mengasuh bayi/ anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri
sendiri. Mendapat asuhan dan pendidikan adalah hak setiap anak dari kedua
orangtuanya. Kedua orangtua anak itulah yang lebih utama untuk melakukan
tugas tersebut, selama keduanya mempunyai kemampuan untuk itu.6
Menurut Muhammad bin Ismail Salah Al-Amir Al-Khalani atau yang
disebut dengan nama Sa‟ani, mengartikan hadhanah ialah pemeliharaan anak
4 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.175
5 “Hadhanah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeva, 1997), h.37.
6 “Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed., Ensiklopedii Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992), h.269.
16
yang belum mampu berdiri sendiri mengenai dirinya, pendidikannya serta
pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang
membahayakannya.7
Menurut Qalyubi Dan Umairah: 8
Artinya:
”Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus urusannya
dan mendidiknya dengan hal-hal baik”.
Menurut Amir Syarifuddin, Pengertian hadhanah di dalam istilah Fikih
digunakan dua kata namun ditunjukan untuk maksud yang sama yaitu Kafalah
dan Hadhanah.9
Yang dimaksud dengan hadhanah dan kafalah dalam arti sederhana
adalah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap
adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putusnya
perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami
dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari
ayah dan/atau ibunya.10
7 As-San‟ani, Subulus Salam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), Cet.III, h.37.
8 Syeikh Al-Syihab Al-Din Al-Qalyabi Wa Al-„Umairah, Al-Mahalli Juz IV, (Kairo: Dar
Wahya Al-Kutub, 1971), h.88.
9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.327.
17
Hadhanah yang dimaksud adalah kewajiban orang tua untuk memelihara
dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencangkup
masalah pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.11
Dari pengertian-pengertian hadhanah tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa hadhanah itu mencakup aspek-aspek :
a. Pendidikan
b. Pencukupannya kebutuhan
c. Usia (yaitu bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak sampai usia tertentu).
Sehingga dimaksudkan dengan hadhanah adalah membekali anak secara
material maupun secara spiritual, mental meupun fisik agar anak mampu berdiri
sendiri dalam menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan pengertian
pemeliharaan anak (hadhanah) secara definitif, melainkan hanya disebutkan
tentang kewajiban orang tua untuk memelihara anaknya. Pasal 45 ayat (1)
Undang-Undang ini disebutkan bahwa, “Kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”.
M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Hukum Perkawinan
Nasional, mengemukakan bahwa arti pemeliharaan anak adalah :
a. Tanggungjawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang
semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari anak oleh orang tua.
10
Ibid, h.327.
11
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.293.
18
b. Tanggungjawab yang berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan
nafkah tersebut bersifat kontinu (terus menerus) sampai anak itu mencapai
batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah bisa berdiri
sendiri.12
Dari pengertian pemeliharaan pemeliharaan anak (hadhanah) tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa pemeliharaan anak adalah mencakup segala
kebutuhan anak, jasmani dan rohani. Sehingga termasuk pemeliharaan anak
adalah mengembangkan jiwa intelektual anak melalui pendidikan.
Beberapa Ulama Mazhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak.
Imam Hanafi berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk lelaki dan
sembilan tahun untuk perempuan. Imam Hanbali berpendapat masa asuh anak
lelaki dan perempuan adalah tujuh tahun dan setelah itu diberi hak untuk memilih
dengan siapa ia akan tinggal. Menurut Imam Syafi‟i berpendapat bahwa batas
mumayyiz anak adalah jika anak itu sudah berumur tujuh tahun atau delapan
tahun. Sedangkan Imam Malik memberikan batas usia anak mumayyiz adalah
tujuh tahun.13
Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 (a) menyebutkan bahwa batas
mumayyiz seorang anak adalah berumur 12 tahun.14
Sedangkan Undang-Undang
12
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV Zahir Trading CO, 1975),
h.204.
13
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet.V, h.
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Akademia Presindo, 2007),
h.293.
19
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa anak dikatakan
mumayyiz jika sudah berusia 18 tahun atau setelah melangsungkan pernikahan.15
Para Ulama Fikih mendefinisikan : hadhanah yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau
yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani, dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawab.
Para Ulama sepakat bahwasannya hukum hadhanah, mendidik dan
merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam dalam hal, apakah hadhanah
ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak.16
B. Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib,
sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan.
Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak
dan istri dalam firman Allah :
...
Artinya:
15
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 47.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009). Cet.III, h.326.
20
Adalah kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaian untuk anak
dan istrinya. (Qs. Al-Baqarah : 233)
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama
ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut
setelah terjadinya perceraian.17
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
dperintahkan. (Qs. At-tahrim: 6)
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya
itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah,
termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak. Kewajiban membiayai
anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat
dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah perceraian.18
17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.328.
18
Ibid, h.328.
21
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:19
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-Sulami, telah
menceritakan kepada kami Al-Walid dari Abu 'Amr Al-Auza'i, telah menceritakan
kepadaku 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr
bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini,
perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan
pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan
ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah Saw berkata kepadanya;
engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah. (HR. Abu
Dawud)
Untuk memelihara, merawat dan mendidik anak kecil diperlukan
kesabaran, kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang, sehingga seseorang tidak
dibolehkan mengeluh dalam menghadapi berbagai persoalan mereka; bahkan
Rasulullah SAW sangat mengencam orang-orang yang merasa bosan dan kecewa
dengan tingkah laku anak-anak mereka. 21
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
sebuah hadis :“ Ya Rasulullah, saya memiliki beberapa orang anak perempuan
dan saya mendoakan agar maut menemui mereka, Rasulullah SAW bersabda
19
Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy‟ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar
Fikr, 2003), h.525.
20
Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy'ab al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar al-Kitab
al-'Arabi, tt), Juz.II, Hadis No. 1913, h.251.
21
Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Kencana, 2008), Cet.I, h.115-116.
22
“Wahai Ibnu Sa’dah (panggilan bagi Aus) jangan kamu berdo’a seperti itu ,
karena anak-anak itu membawa berkat, mereka akan membawaberbagai nikmat,
mereka akan membantu apabila terjadi musibah, dan mereka merupakan obat
diwaktu sakit dan rezeki mereka datang dari Allah SWT.(HR.Muslim dan Abu
Daud).
C. Syarat-syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah
Seorang hadhanah atau hadhin yang menangani dan menyelenggarakan
kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan
yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi
satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah
Adapaun syarat-syaratnya antara lain :
1. Baligh dan berakal sehat ; hak hadhanah anak diberikan kepada orang yang
berakal sehat dan tidak mengganggu ingatannya, sebab hadhanah itu
merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang
ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak
melakukan tugas hadhanah. Imam Ahmad bin Hambal menambahkan agar
yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular. 22
22
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2005), h.172.
23
2. Dewasa ; sebab anak kecil sekalipun tergolong mumayyiz, tetap begantung
pada orang lain yang mengurus dan mengasuhnya, sehingga tidak layak
mengasuh orang lain.23
3. Mampu mendidik.
4. Amanah dan berakhlak, sebab orang yang curang, tidak dapat dipercaya
menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nanti si
anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.24
5. Beragama Islam. Disyaratkan oleh kalangan Mazhab Syafi‟iyah dan
Hanabilah. Oleh karena itu, bagi seorang kafir tidak ada hak untuk mengasuh
anak yang muslim, karena akan ditakutkan akan membahayakan aqidah anak
tersebut. Selain itu, agama anak dikhawatirkan terpengaruh oleh pengasuh,
karena tentu akan berusaha keras mendekatkan anak tersebut dan
mendidiknya berdasarkan ajaran agamanya. Akibatnya, dikemudian hari anak
akan sulit melepaskan diri darinya. Inilah bahaya terbesar yang mengancam
anak.25
6. Merdeka.
7. Wanita yang mengasuh itu tidak bersuamikan dengan seorang laki-laki yang
bukan mahram dari anak yang diasuh, dikhawatirkan wanita tersebut sibuk
23
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h.533.
24
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, h.531.
25
Ibid, h.533.
24
melayani keperluan suaminya sehingga tidak ada waktu untuk mengasuh
anak tersebut.26
Adapun syarat untuk anak yang diasuh (mahdhun) itu adalah :
1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam
mengurus hidupnya sendiri.
2. Si anak berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya. Oleh karena itu, dapat
berbuat sendiri, meskipun telah dewasa seperti orang yang cacat mental.
Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada
dibawah pengasuh apapun.27
D. Upah Hadhanah
Menurut Islam biaya hidup anak merupakan tanggung jawab bapaknya,
baik selama perkawinan berlangsung maupun setelah perceraian. Apabila setelah
perceraian, anak yang masih kecil dan menyusui berada di bawah pemeliharaan
ibunya, sedangkan masa Iddahnya telah habis, maka ibu berhak mendapatkan
upah atas pemeliharaan dan penyusuan tersebut. Hal ini karena tidak lagi
menerima nafkah dari bapak anak tersebut. Upah tersebut wajib diberikan baik
diminta ataupun tidak.
Sebagaimana firman Allah AWT:
26
Ibid, h.241.
27
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, h. 242.
25
Artinya:
“…. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya…”. (Qs. At-Thalaq: Ayat 6)
Adapun besar biaya yang ditanggung oleh bapak untuk anaknya
disesuaikan dengan kemmpuan si bapak, sesuain dengan firman Allah SWT:
.
Artinya :
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Qs. At-Thalak: 7)
Akan tetapi jika bapak tidak mampu, karena ia orang susah, dan
berpenghasilan rendah serta anak itu tidak mempunyai harta, sedangkan si ibu
menolak untuk mengasuhnya kecuali dengan upah dan tiada seorang pun diantara
kamu kerabat yang mau mengasuhnya secara mutlak. Dan biaya pemeliharaan
atau rawatan itu tetap menjadi hutang suami yang tidak gugur, kecuali dengan
ditunaikan. Kewajiban tersebut dapat ditanggung oleh kerabat ahli waris yang
terdekat yang mampu. Tetapi apabila ada orang lain yang dengan suka rela
26
mendidik anak itu tanpa ongkos, maka hal tersebut dapat diserahkan kepada
pendidik suka rela tersebut.28
Sedangkan apabila bapak dengan sengaja menelantarkan anaknya dengan
tidak membiayai keperluan hidupnya padahal bapak mampu untuk
melakukannya, maka hal itu tidak dibenarkan dan merupakan perbuatan dosa.
Dengan demikian masa pembiayaan anak akan berakhir yakni bagi anak
laki-laki apabila ia telah dewasa, dapat bekerja dan berdiri sendiri. Sedangkan
bagi perempuan sampai ia kawin, ketika anak perempuan telah kawin maka
nafkahnya menjadi kewajiban suaminya.29
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah, seperti upah menyusui, selama ia
masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau masih dalam iddah. Karena
dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah
masa iddah.
Allah SWT berfirman :
…
Artinya:
28
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), Cet.I, h.135.
29
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), Cet.I, h.106.
27
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah member
makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang makruf…”. (Qs. Al-Baqarah:
233)
Adapaun sesudah habis masa iddahnya maka ia berhak atas upah itu seperti
haknya kepada upah menyusui. Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahlah diabtara kamu (segala sesuatu)
dengan baik, dan jika kam menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya”. (Qs. At-Thalak: 6)
Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadhanah sejak ia
menangani hadhanahnya, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja
menyusui anak kecil dengan bayaran (upah).
Upah pengasuhan adalah utang dan tidak gugur, kecuali dengan melunasi
atau membebaskannya. Yang wajib membayar upah pengasuhan menurut syara‟
28
adalah orang yang wajib memberi nafkah anak kecil itu. Karena pengasuhan
termasuk nafkah. Maka wajib dibayar oleh ayah atau wali anak itu.30
Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah, juga wajib
membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapan jika sekiranya si ibu tidak
memiliki rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ia juga wajib
membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut
jika si ibu membutuhkannya, dan ayah memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini
bukan termasuk dalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil, seperti : makan,
minum, tempat tidur, obat-obatan dan keperluan lain yang pokok yang sangat
dibutuhkannya. Tetapi gaji ini hanya wajib dikeluarkannya saat ibu pengasuh
menangani asuhannya. Dan gaji ini menjadi utang yang ditanggung oleh ayah
serta ibu bias lepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau dibebankan.
Jika diantara kerabat anak kecil ada orang yang pandai mengasuhnya dan
melakukannya dengan sukarela, sedangkan ibunya sendiri tidak mau kecuali
dibayar, jika ayahnya mampu, dia boleh dipaksa untuk membayar upah kepada
ibunya tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan kepada kerabatnya perempuan
yang mau mengasuhnya dengan sukarela, bahkan si anak kecil harus tetap pada
ibunya. Sebab asuhan ibunya lebih baik untuknya apabila ayahnya mampu
membayar untuk upah ibunya. Tetapi kalau ayahnya tidak mampu, ia boleh
menyerahkan anak kecil itu kepada kerabatnya yang perempuan untuk
30
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah: Ibadat Mu’amalat, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1999), Cet.III, h.346.
29
mengasuhnya dengan sukarela, dengan syarat perempuan ini dari kalangan
kerabat si anak kecil dan pandai mengasuhnya.
Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib ditanggung oleh ayah. Adapaun
apabila anak kecil itu sendiri memiliki harta untuk membayar nafkahnya, maka
anak kecil inilah yang membayar kepada pengasuh sukarelanya. Di samping
untuk menjaga hartanya juga karena ada salah seorang kerabatnya yang menjaga
dan mengasuhnya. Tetapi jika ayahnya tidak mampu, si anak kecil sendiri juga
tidak memiliki harta, sedangkan ibunya tidak mau mengasuhnya kecuali kalau
dibayar, dan tidak seorang kerabat pun yang mau mengasuhnya dengan sukarela,
maka ibu dapat dipaksa untuk mengasuhnya, sedangkan upah (bayarannya)
menjadi hutang yang wajib dibayar oleh oleh ayah, dan bisa gugur kalau telah
dibayar atau dibebaskan.
Tentang pemeliharaan anak yang belum mumayyiz, sedangkan kedua orang
tuanya bercerai, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan sebagai berikut :
Pasal 105
Dalam hal terjadi perceraian
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 106
1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengambangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan
30
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi.
2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1)
E. Hadhanah Dalam Peraturan Perundang-Undangan
1. Menurut Hukum Perdata
Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XII, dan XIV. Pada pasal 289 bab XIV
Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian I Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua
Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umumnya wajib menghormati
dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan perdata mengenai siapa
yang paling berhak memelihara dan mengasuh anak yang masih dibawah umur,
akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang tua
wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih dibawah umur.
Kehilangan kekuasaan orang tua dan kekuasaan wali tidak membebaskan mereka
dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka
guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu.31
Kemudian dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang
Tua bagian I Akibat-Akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa selama perkawinan orang tuanya,
31
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h.72.
31
setiap anak anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan kedua orang
tuanya, sejauh kedua orang tua tetrsebut tidak dilepaskan atau dipecat dari
kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atas pemecatan dan berlaku
ketentuan-ketentuan mengenai pisah ranjang, bapak sendiri yang melakukan
kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan
kekuasaan orang tua, kecuali dalam hal adanya pisah ranjang. Bila ibu juga tidak
dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali
sesuai dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang
Kekuasaan Orang Tua bagian 3 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap
Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.32
Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam
pasal 229 bab X Tentang Pemeliharaan Perkawinan, pada umumnya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan : “Setelah memutuskan
perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua
atas keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur,
Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan
perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau
dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengandalkan putusan-putusan
hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas mereka dari kekuasaan
orang tua”.33
32
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.76.
32
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hak memelihara
anak yang masih kecil tetap tanggung jawab orang tua baik ibu maupun ayah.
Kecuali apabila orang tua tersebut melalaikan tugasnya atau berprilaku tidak baik
maka Pengadilan akan menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan
melakukan perwalian atas tiap-tiapa anak.
Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang
Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata : “Bubarnya Perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan
anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan
yang telah dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian
perkawinan orang tua mereka”. Menurut pasal tersebut, bahwa hak mengasuh
terhadap anak kecil meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada
dalam tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah anak yang dilahirkan
atas perkawinan yang sah.34
2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan KHI
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah
disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan
rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan
anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 secara
33
Ibid, h.55-56.
34
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.55-56.
33
luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum
dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan
Agama pada waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut
dalam kitab-kitab fikih ketika memutus perkara yang berhubungan dengan
hadhanah itu. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum
positif di Indonesia dan Peradilan Agama deberi wewenang untuk mengadili dan
menyelesaikannya.35
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal
42-45 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya
yang belum mencapai umur 13 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun antara
orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua
juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi
pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan
menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu
kebutuhan primer dan skunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial
ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam
35
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,(Jakarta:
Kencana, 2008), h.428-429.
34
Hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara
anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.36
Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan
seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana
dikemukakan dalam pasal 104 yaitu :
1. Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila
ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang
yang berkewajiban member nafkah kepada ayahnya dan walinya;
2. Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam
masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.37
Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui
anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh
seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relevan dengan hal
yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal
pemeliharaan anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal
41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan
yang bersifat material dengan tanggung jawab material yang menjadi beban
suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan
Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.38
36
Ibid, h.429.
37
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), h.138.
38
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h.149.
35
Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara
lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak
yang belum Mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2)
pemeliharaan anak yang sudah Mumayyiz deserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3)
biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.39
Pada pasal 45 bab X mengnai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan
Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan
pada ayat 1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya. Pada ayat 2 menyatakan kewajiban orang tua yang
dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak asuh itu menikah atau
dapat berdiri sendiri, yang mana kewajiban tersebut berlaku selamanya meskipun
antara kedua orang tua putus.40
Selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai hak dan
kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama
39
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.138.
40
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Anggota ABRI,
POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.14.
36
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.41
Pada Pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua
dan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggdaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendakinya.42
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat :
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan luar pengadilan.
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menyesuaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.43
Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum
Mumayyiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut
tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun
mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami
41
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.14-15.
42
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Anggota ABRI,
POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, h.14-15.
43
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama (Dalam Sistem Hukum
Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h.189.
37
mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya
yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar
terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi beban untuk melaksanakan,
maka Pengadilan Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk
membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh
Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum
berdasarkan putusan Pengadilan Agama.44
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak
mampu melaksanakan kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka
kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun
alasan pencabutan tersebut karena : (1) orang tua itu sangat melalaikan kewajiban
terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali.
M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban
terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali
tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena
dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan
bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya.
Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh
sebagai pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.45
44
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.13.
45
Yahya Harahap, Hukum perkawinan nasional : pembahasan berdasarkan undang-undang
no.1 tahun 1974. Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975, (Medan: Zahir, 1975), h.214.
38
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut diatas,
maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada
anaknya, jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja,
maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan
mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan diluar
pengadilan.46
Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan
terhadap anak tersebut, ibunyalah yang mengendalikan pemeliharaan dan
pendidikan anak tersebut. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara
permanen meskipun kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.47
3. Hadhanah di beberapa Negara Islam
a. Mesir
Masa pengasuhan anak dalam setatus hukum perorangan (personal status
law) yang di amandemen tahun 1985, menetapkan bahwa wanita (istri) memiliki
hak untuk mengasuh anak laki-laki hingga usia 10 tahun dan 12 tahun bagi anak
perempuan. Setelah habis masa pengasuhan, hakim dapat memerintahkan bahea
anak yang dalam pengasuhan tetap pada ibu tanpa adanya upah hingga berusia 15
tahun bagi anak laki-laki, dan sampai menikah bagi anak perempuan. Jika hakim
yakin bahwa kemaslahatan anak akan terpenuhi.
46
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h.431.
47
Soedaryo Soimin, Kitab Undang- Undang Hukum Perda, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h.15.
39
Mengenai syarat-syarat pemegang hak hadhanah, dirumuskan sebagai
berikut: orang yang baligh, berakal, mampu mengasuh anak, sehat dan
mempunyai garis hubungan kekeluargaan.
Adapun mengenai gugur atau pencabutan hak hadhanah, hakim dapat
mempertimbangkan dua hal :
- Pertama, apabila pemegang hak hadhanah berprilaku buruk yang dapat
mempengaruhi akhlak dan tabiat anak yang dalam pengasuhannya.
- Kedua, jika pemegang hak hadhanah sering mengabaikan dan/atau
meninggalkan anak yang dalam pengasuhannya.48
b. Yordania
Ketentuan hadhanah dalam perundang-undangan yordania, terdiri dari 12
pasal yakni pasal 154 sampai dengan pasal 166. Ketentuan hadhanah berlaku
setelah terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraian antara suami istri, maka
ibu mempunyai hak utama untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Adapun tertib
urutan pemegang hak hadhanah setelah ibu disesuaikan pendapat Imam Abu
Hanifah.
Adapun syarat-syarat hadhanah, dewasa, berakal, tidak meninggalkan
anak karena ksibukannya, mampu untuk mendidik dan menjaganya, tidak murtad,
dan tidak menikah dengan laki-laki lain, kecuali mempunyai hubungan
48
Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam, (Jakarta :
Kencana, 2008), Cet.I, h.135-136.
40
kekerabatan dekat dengan anaka asuhnya, dan tidak menempatkannya di rumah
yang penuh konflik.49
c. Syria
Masa pengasuhan anak dalam Undang-Undang Syiria, dirumuskan bahwa
bagi anak laki-laki sampai berusia 7 tahun, sedangkan anak perempuan sampai
berusia 9 tahun. Meskipun demikian, jika hakim melihat ada kemaslahatan, maka
ia dapat menambah masa pengasuhan masing-masing anak selama 2 tahun, yakni
bagi anak laki-laki dapat diperpanjang menjadi 9 tahun, sedangkan anak
perempuan hingga berusia 11 tahun. Syarat-syarat pemegang hak hadhanah
dirumuskan sebagai berikut, yaitu: dewasa, berakal, mampu mengasuh anak baik
jasmani maupun rohani,. Kemudian hak hadhanah seseorang dapat digugurkan
apabila: pemegang hak hadhanah memiliki sifat tercela yang dapat mempengaruhi
si anak, gila, dan murtad. Bahkan hak pengasuhan anak dapat digugurkan karena
tidak mempu melakukan pengasuhan dengan alasan kesehatan. Apabila pemegang
hak hadhanah mengaku sering meninggalkan rumah, dan tidak mempunyai
kesempatan mengasuh anak, maka hak hadhanahnya di gugurkan, meskipun anak
tersebut masih sangat kecil.50
d. Kuwait
Secara umum hukum keluarga Kuwait tidak berbeda dengan hukum
keluarga fikih klasik, termasuk didalamnya pasal-pasal yang mengatur tengtang
49
Ibid, h.139.
50
Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam, h.142.
41
hadhanah. Misalnya tentang ketentuan pemegang hak hadhanah, Undang-Undang
hukum keluarga Kuwait mengutamakan pemegang hak hadhanah adalah ibu.
Penetapan hak hadhanah itu di dasarkan pada sunah, ijma‟, dan rasio (akal).
Mengenai hal yang dapat menggugurkan hak hadhanah antara lain,
pemegang hak menikah lagi dengan laki-laki yang bukan kerabat dekatnya.
Namun perbedaan agama tidak menyebabkan gugurnya hak untuk mengasuh,
sehingga ia mengerti agama. Mengenai lamanya masa hadhanah perundang-
undangan Kuwait lebih cenderung kepada pendapat Imam Malik. Maka
pengasuhan anak berakhir apabila laki-laki ia sampai baligh sedangkan wanita
sampai ia telah menikah.
e. Tunisia
Dalam perundang-undangan Keluarga Tunisa tahun 1958 dirumuskan:
1. Pasal 54, hadhanah adalah pemeliharaan anak, termasuk juga merawat dan
mendidik anak sampai ia mencapai usia dewasa.
2. Pasal 57, selama masa perkawinan, anak dipelihara kedua orang tuanya. Jika
terjadi perceraian atau meninggal dunia, hak pemeliharaan anak secara
berturut-turut diberikan kepada ibu dan nasab ibunya.
3. Pasal 58, syarat memelihara anak antara lain harus dewasa, dapat dipercaya,
dan cakap dalam menjalankan kewajiban.
4. Pasal 61, jika seorang wanita dalam memelihara anak memiliki tempat
tinggal jauh dan menghambat proses perawatan anak, maka ia bisa
kehilangan hak pemeliharaannya.
42
5. Pasal 64, seorang pemelihara anak tidak boleh melalaikan kewajibannya,
meskipun dalam keadaan sulit.
6. Pasal 67, anak laki-laki dirawat sampai berumur 7 tahun dan anak perempuan
dipelihara sampai berusia 9 tahun selanjutnya ayah dapat mengambil alih
pemeliharaan anak, kecuali adanya keputusan pengadilan yang berkehendak
lain berdasarkan kepentingan anak.
Dari undang-undang tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa
pemeliharaan anak Tunisia masih berpegang teuh pada pendapat fikih sedangkan
keutamaan pemeliharaan anak lebih cenderung mengakomodir kemaslahatana
anak, ketimbang mengikuti pendapat fukaha. Mengenai pencabutan hak
hadhanah tidak disebut dengan tegas, nampaknya diserahkan pada pertimbangan
pengadilan.51
51
Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam, h.147.
43
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA CIKARANG KELAS 1 B
A. Sejarah Pengadilan Agama Cikarang
Segala informasi mengenai profil pengadilan khususnya Pengadilan Agama
di Indonesia secara umum dapat kita ketahui dengan mudah di halaman website
Pengadilan Agama yang bersangkutan, begitu juga dengan Pengadilan Agama
Cikarang dapat dilihat di website www.pa-cikarang.go.id, setelah penulis
komfirmasi tentang isi profil Pengadilan Agama Cikarang kepada ketua Pengadilan
Agama, wakil panitera dan staf pegawai yang membidangi pengelolaan website,
semua informasi mengenai profil Pengadilan Agama yang dimuat di website
tersebut diatas valid, sesuai dengan sejarah Pengadilan Agama Cikarang yang
sebenarnya, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Pengadilan Agama Cikarang (selanjutnya disebut PA Cikarang) dibentuk
oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1998 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Natuna, Tulang Bawang,Tanggamus, Cikarang,
Kajen, Giri Menang, Badung, Ermera, Mana Tuto, Sentani, Mimika, dan Paniai
guna pemerataan dan peningkatan pelayanan hukum kepada masyarakat.
Kabupaten Bekasi yang memiliki luas wilayah 127.388 Ha terdiri atas 23
Kecamatan, 182 desa dan 5 kelurahan menjadi wilayah hukum (yurisdiksi) PA
Cikarang (lihat daftar radius). Dengan jumlah Pegawai berikut Hakim dan Pimpinan
44
tidak sampai 50 orang, merupakan tantangan tersendiri bagi kami untuk terus
meningkatkan pelayanan hukum kepada masyarakat.
Saat ini Kabupaten Bekasi tumbuh berkembang dengan ditandai banyaknya
industri, masyarakatnya pun banyak yang telah melek teknologi. Oleh karena itu PA
Cikarang telah memiliki portal (website) berisi informasi yang berkaitan dengan
dunia peradilan. Hal ini memudahkan bagi pencari keadilan untuk mengakses
informasi, baik itu yang berkaitan dengan perkara maupun hal lain seputar
peradilan.
Dalam Portal (website) dapat ditemukan informasi mengenai keadaan
perkara, mulai dari pendaftaran hingga putusan. Biaya Panjar Perkara pun sudah
dapat dilihat dalam rangka mendukung transparansi peradilan. Kantor PA Cikarang
berada dalam lingkungan Kompleks Pemerintahan Kabupaten Bekasi Blok E.2,
Desa Sukamahi Kec. Cikarang Pusat Kabupaten Bekasi 17530. Ada beberapa nama
yang sempat menjadi ketua Pengadilan Agama di wilayah Cikarang diantaranya
adalah dapat dilihat dalam tabel berikut :1
No. NAMA GOL PEND TAHUN
1.
2.
3.
4.
5.
H.M.SURURY YS
SUPARNO
H. RUSLAN ABD. GANI
H. FACHRUDDIN
YUSUF EFFENDI
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
13/04/1999
23/05/2006
21/03/2007
15/10/2009
22/03/2012
1 PA Cikarang, Sejarah Pengadilan Agama Cikarang, artikel diakses pada tanggal 22 Oktober
2013 dari http://pa-cikarang.go.id/index.php/profil/profil/sejarah
45
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Pengadilan Agama, dalam
pasal 2 disebutkan bahwa : “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu”.
Untuk menujang dan memenuhi harapan lembaga Peradilan yang sederhana,
cepat dan dengan biaya murah sebagai mana tersebut dalam Pasal 57 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Maka Pengadilan Agama Cikarang
Mengimplementasikannya Dengan Dalam Visi :
Mewujudkan Pengadilan Agama Cikarang yang bersih, berwibawa, dan
bermartabat terhormat dan dihormati sebagai salah satu institusi kekuasaan
kehakiman di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menegakan
hukum dan keadilan.
Misi Pengadilan Agama Cikarang yaitu :
Menjaga kemandirian lembaga peradilan
Memberikan pelayanan yang prima dan berkeadilan kepada para pencari keadilan
Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan
Meningkatkan kredibilitas dan transparansi peradilan.2
B. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Cikarang
2 PA Cikarang, Visi dan Misi Pengadilan Agama Cikarang, artikel diakses pada tanggal 18
Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/visi-dan-misi
46
Selama ini sebagaimana diketahui bahwa kewenangan organisasi,
administrasi dan financial Peradilan Agama berada dibawah Departemen Agama,
sedangkan kewenangan teknis yuridis berada di bawah Mahkamah Agung.
Berdasarkan pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa “ kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan
oleh Mahkamah Konstitusi”. Dengan amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, khususnya Bab IX tentang kekuasaan
kehakiman pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap penyesuaian
tersebut, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5
Tentang Mahkamah Agung.
Berdasarkan pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “ketentuan mengenai organisasi,
administrasi dan finansial badan Peradilan sebagaimana dimaksud ayat (1) untuk
masing-masing lingkungan Peradilan diatur dalam Undang-Undang sesuai dengan
kekhususuan lingkungan Peradilan masing-masing”. Dengan demikian berdasarkan
pasal tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan Peradilan satu atap. Sebagai
realisasi dar pasal tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
47
Umum sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.3
Pengadilan Agama Cikarang sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam atau yang menundukan diri
dengan hukum Islam berupa: perkawinan, warisan, wasiat, wakaf, zakat, infak,
hibah, shodaqoh, dan ekonomi syariah.
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Cikarang
Untuk lebih mudah memahami susunan organisasi Peradilan Agama, secara
umum susunan Peradilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera,
sekretaris dan juru sita. Ketua Pengadilan Agama Cikarang sekarang dijabat oleh
Yusuf Effendi, S.H., sebelumnya dijabat oleh H. Fachruddin Susunan organisasi
Pengadilan Agama Cikarang dapat digambarkan dalam bagan organisasi dibawah
ini :4
3 PA Cikarang, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013, Cikarang: PA
Cikarang, 2012, h.2.
4 PA Cikarang, Struktur Pengadilan Agama Cikarang, artikel diakses pada tanggal 18 Desember
2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/struktur-organisasi.
48
49
sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan
wilayah tempat tinggal/ tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.5
Kecamatan-kecamatan yang menjadi kewenangan relatif Pengadilan Agama
Cikarang adalah sebagai berikut : 6
1. Kec. Muaragembong
2. Kec. Tarumajaya
3. Kec. Babelan
4. Kec. Sukawangi
5. Kec. Tambun Utara
6. Kec. Tambelang
7. Kec. Cabangbungin
8. Kec. Sukakarya
9. Kec. Sukatani
10. Kec Pebayuran
11. Kec. Cibitung
12. Kec. Karang Bahaga
13. Kec. Kedungwaringin
14. Kec. Tambun Selatan
15. Kec. Cikarang Barat
16. Kec. Setu
17. Kec. Cikarang Selatan
18. Kec. Cikarang Timur
19. Kec. Cikarang Pusat
20. Kec. Serang Baru
21. Kec. Cibarusah
22. Kec. Bojong Mangu
5 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan al-Hikmah, 2000), h.10.
6 PA Cikarang, Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang, artikel diakses pada tanggal 18
Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/yuridiksi-pa
50
50
BAB IV
PELAKSANAAN EKSEKUSI HADHANAH
A. Pelaksanaan Putusan Hadhanah
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menyatakan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-Undang ini.”
Pada dasarnya pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama mengacu kepada
hukum acara perdata pada umumnya, kecuali yang diatur secara khusus, yaitu dalam
memeriksa perkara sengketa perkawinan, yang diatur dalam :1
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan
3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
4. Peraturan menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim
5. Peraturan-peraturan lain yang berkenaan dengan sengketa perkawinan
1 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h.205.
51
6. Kitab-kitab fiqh Islam sebagai sumber hukum pembuatan Kompilasi Hukum
Islam
7. Yurisprudensi sebagai sumber hukum.
Dalam penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Agama Cikarang,
perkara perdata (kekeluargaan) yang banyak ditangani adalah masalah perceraian
dibandingkan masalah lain. Untuk mengetahui seberapa banyak kasus-kasus
hadhanah yang diajukan ke Pangadilan Agama yang dalam hal ini lebih
dikonsentrasikan dilingkungan Pengadilan Agama Cikarang. Penulis telah
mengambil laporan tahunan yang ada di Pengadilan Agama Cikarang mulai dari
tahun 2012 sampai tahun 2013.
Mengenai banyaknya perkara hadhanah yang masuk di Pengadilan Agama
Cikarang dalam rentan waktu dari tahun 2012 sampang dengan tahun 2013 dapat
dilihat dari tabel berikut ini :
Tabel 1:
Perkara Tingkat Pertama pada Pengadilan Agama Cikarang Tahun 20122
NO. Jenis Perkara
Keadaan Perkara
Sisa Akhir
2011
Perkara
Diterima
2012
Jumlah
Perkara
Putus
Sisa
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
2 Pengadilan Agama Cikarang, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2012,
Cikarang: PA Cikarang, 2012, h. 13
52
1.
2.
3.
Cerai Talak
Cerai Gugat
Penguasaan Anak/
Hadhanah
66
158
-
504
910
8
570
1068
8
440
832
5
130
236
3
Dari tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, perkara yang
masuk di Pengadilan Agama Cikarang mengenai penguasaan anak/ hadhanah
terdapat 8 perkara, sedangkan perkara cerai talak terdapat 570 perkara, kemudian
cerai gugat terdapat 1068 perkara. Pada tahun 2012 yang mengajukan perkara
perceraian jumlahnya yang paling banyak, adapun yang menjadi faktor penyebab
terjadinya perceraian pada tahun 2012 antara lain, poligami tidak sehat terdapat 40
perkara, krisis akhlak 32 perkara, cemburu 31 perkara, kawin paksa 2 perkara,
ekonomi 145 perkara, tidak ada tanggung jawab 352 perkara, kekejaman jasmani 73
perkara, dihukum 5 perkara, gangguan pihak ketiga 225 perkara, tidak ada
keharmonisan 507 perkara.
Tabel 2 :
Perkara Tingkat Pertama pada Pengadilan Agama Cikarang Tahun 20133
NO. Jenis Perkara
Keadaan Perkara
Sisa Akhir
2012
Perkara
Diterima
Jumlah
Perkara
Putus
Sisa
3 Pengadilan Agama Cikarang, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013,
Cikarang: PA Cikarang, 2012, h.13.
53
2013
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1.
2.
3.
Cerai Talak
Cerai Gugat
Penguasaan Anak/
Hadhanah
130
236
3
578
912
4
708
1148
7
558
866
6
150
282
1
Dari tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2013, perkara yang
masuk di Pengadilan Agama Cikarang mengenai penguasaan anak sebanyak 4
perkara, kemudian cerai talak 578 perkara dan cerai gugat 912 perkara. Pada tahun
2013 perkara cerai masih tetap terbanyak.
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui berapa banyak perkara
hadhanah yang masuk dan diputus oleh Pengadilan Agama Cikarang dalam kurun
waktu dari tahun 2012 sampai dengan 2013, karena hal inilah yang menjadi salah
satu latar belakang penulis mengambil perkara hadhanah saja.
Dari data-data yang telah diuraikan sebelumnya diatas maka dapat
disimpulkan, selama kurun waktu tahun 2012 sampai dengan tahun 2013,
permohonan tentang hak pengasuhan anak (hadhanah) yang masuk ke Pengadilan
Agama Cikarang jumlahnya lumayan cukup banyak yaitu 12 perkara, dan yang
sudah di putus oleh pengadilan sebanyak 11 perkara sehingga tersisa 1 perkara yang
belum di putus.
54
Dalam gugatan hak asuh/ hadhanah ini bisa saja mandiri, dengan perceraian,
dan mandiri perwalian. Mandiri perwalian pada umumnya anak tersebut sudah pada
ibunya, jadi untuk kepentingan pembuatan paspor dan untuk dibawa keluar negeri,
imigrasi biasanya memerluakan penetapan pengadilan.4 Artinya gugatan hadhanah
ini bisa dilakukan secara mandiri yaitu ketika sudah terjadi perceraian baru
mengajukan permohonan hak asuh anak, kemudian dimohonkan pada saat gugatan
perceraian. Mengenai perbandingan siapa yang paling banyak mengajukan
permohonan mengenai hak asuh anak (hadhanah) antara ibu dan ayah, kalaupun
berkisar kira-kira 51 : 49, artinya yang mengajukan jumlahnya hampir berimbang
baik itu ibu maupun ayah.5
Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Cikarang dalam memutus perkara perceraian dan permohonan hak asuh anak/
hadhanah bisa dilihat pada beberapa putusan dibawah ini :
1. Putusan Nomor : 1200/Pdt.G/2012/PA.Ckr
Pihak yang berperkara : Gatot Purnomo Bin Soemanto, lahir tanggal 22
Nopember 1972, agama Islam, sebagai “Pemohon”. melawan Siti Atufah Alias
Ulfa Binti H. Moch. Soleh, lahir tanggal 30 Juni 1976, Agama Islam sebagai
“Termohon”.
Tentang Duduk Perkaranya : Bahwa pada hari Minggu, tanggal 22
Nopember 1998 atau 03 Sya’ban 1419 H, pukul 10.00 WIB, di Bekasi, telah
4 Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
5 Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
55
dilangsungkan Akad Nikah antara pemohon dan termohon, berdasarkan kutipan
akta nikah Nomor 1071/76/XI/1998. Dari perkawinan tersebut dikaruniai 2 (dua)
anak laki-laki yaitu : Aldi Aulia Fahlevi, umur 13 tahun dan arhinza sutan
syahriza, umur 3 tahun. Memasuki Tahun 2004, rumah tangga pemohon dan
termohon kurang harmonis, seringkali terjadi perselisihan dan/atau pertengkaran
sejak akhir tahun 2009, beberapa kali memperlakukan anaknya dengan tidak
memperhatikan kondisi kedua anaknya, khususnya anak kedua yang masih kecil,
( saat ini usia 3 tahun ). Sejak Juli tahun 2012 hingga saat ini pemohon dan
termohon tidak tinggal bersama dalam satu rumah dan sudah tidak harmonis lagi
dan tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri (sebagaimana diatur dan
ditegaskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal
39 ayat 2 dan ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal
19 huruf f ). demi kepentingan yang terbaik untuk anak dan mengingat segala
perbuatan dan tindakan termohon yang tidak baik, tidak amanah, dan tidak
bertanggung jawab sebagai isteri dan sebagai ibu bagi kedua anaknya, maka
sudah sepatutnya dan semestinya kedua anak yang telah dilahirkan dari
perkawinan pemohon dan termohon tinggal bersama dan berada dalam hak
pengasuhan pemohon selaku Ayah Kandung dari kedua anaknya.
Mengenai Hukumnya : Berdasarkan fakta-fakta, Majelis Hakim
berpendapat, bahwa perkawinan Pemohon dan Termohon telah pecah
(breakdown marriage) dan sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
sebagai suami isteri, sehingga tujuan luhur perkawinan untuk membentuk rumah
56
tangga yang bahagia, tentram, kekal dan damai (sakinah mawaddah warahmah),
sesuai dengan surat Ar-Rum 21 dan pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 2
dan pasal 3 KHI, tidak terwujud.
Meskipun anak kedua Pemohon dan Termohon bernama Arhinza Sutan
Syahriza, lahir tanggal 3 agustus 2009 atau umur 3 tahun, berarti masih dibawah
umur atau belum mumayyiz, akan tetapi Termohon telah terbukti, bahwa
Termohon adalah seorang ibu yang kurang perhatian terhadap anak-anaknya.
Sesuai pasal 49 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, Majelis Hakim berpendapat
bahwa Termohon merupakan seorang ibu yang berkelakuan buruk dan
melalaikan kewajiban terhadap anaknya, karena hak Termohon seorang ibu
untuk memelihara anak dapat dialihkan kepada Pemohon. Karena anak pertama
Pemohon dan Termohon yang bernama Aldi Aulia Fahlevi, lahir tanggal 6
September 1999 telah berumur 13 tahun berarti telah mumayyiz, Majelis Hakim
telah memandang bahwa anak tersebut telah dapat membedakan antara yang
baik dengan yang buruk, benar dengan salah, sesuai dengan pasal 105 huruf (b)
KHI, maka anak tersebut dapat memilih untuk ikut kepada Pemohon sebagai
ayah kandungnya atau kepada Termohon sebagai ibu kandungnya. Majelis
Hakim memutuskan :
Memberi izin kepada Pemohon (Gatot Purnomo Bin Soemanto) untuk
menjatuhkan Talak Satu Raj’i terhadap Termohon (Siti Atufah Alias Ulfa
Binti H. Moch. Soleh) di depan sidang Pengadilan Agama Cikarang.
57
Menetapkan anak Pemohon dan Termohon yang bernama Arhinza Sutan
Syahriza, lahir tanggal 3 Agustus 2009 berada di bawah hadhanah Pemohon
(Gatot Purnomo Bin Soemanto).
2. Putusan Nomor : 0415/Pdt.G/2011/PA.Ckr
Pihak yang berperkara : Herni Silvia Yohana, M, umur 27 tahun, agama
Islam, sebagai “Penggugat”. Melawan Wahyudi Bin Sidjo, M, umur 32 tahun,
agama Islam, sebagai “Tergugat”.
Tentang duduk Perkaranya : Penggugat telah melangsungkan pernikahan
dengan Tergugat pada tanggal 08 Maret 2004, yang dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah Nomor
389/25/V/2004 tertanggal 10 Mei 2004. Penggugat dan Tergugat telah
dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki bernama Viccar, umur 5 tahun. Sejak
awal bulan Maret 2008 rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai tidak
harmonis dengan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus.
Dengan kejadian tersebut, rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat
sudah tidak lagi dapat dengan baik, sehingga tujuan perkawinan untuk
membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sudah sulit
dipertahankan lagi dan karenanya agar masing-masing pihak tidak lebih jauh
melanggar norma agama dan norma hukum, maka perceraian merupakan
alternatif terakhir bagi Penggugat untuk menyelesaikan permasalahan rumah
tangga antara Penggugat dengan Tergugat.
58
Satu orang anak sebagaimana disebutkan di atas, selain masih di bawah
umur dan juga saat ini tinggal bersama Penggugat serta sudah barang tentu
masih sangat tergantung kepada kasih sayang Penggugat selaku ibu kandungnya,
oleh karenanya demi pertumbuhan fisik dan mental anak tersebut serta semata-
mata untuk kepentingannya, maka sudah selayaknya Penggugat ditetapkan
sebagai pemegang hak hadhanah dari anak tersebut.
Mengenai Hukumnya : Dengan adanya fakta-fakta yang diketahui pada
saat persidangan merupakan bukti bahwa rumah tangga antara Penggugat
dengan Tergugat telah pecah, dan sendi-sendi rumah tangga telah rapuh dan sulit
untuk ditegakkan kembali yang dapat dinyatakan bahwa rumah tangga antara
Penggugat dengan Tergugat telah rusak (broken marriage), sehingga telah
terdapat alasan untuk bercerai sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 19
hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan sejalan dengan ketentuan pada Pasal 116 hurup (f)
Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 hurup (a) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Tentang hak pemeliharaan
anak semata-mata didasarkan kepada kepentingan anak”, dan anak yang masih
di bawah umur (belum mumayyiz) pada umumnya masih banyak bergantung
kepada bantuan/ pertolongan ibunya. Maka dengan didasarkan kepada ketentuan
Hukum Islam sejalan dengan bunyi Pasal 105 hurup (a) Kompilasi Hukum
Islam, maka permohonan agar Penggugat ditetapkan sebagai pemegang hak
59
hadlanah dari 1 (satu) orang anak laki-laki bernama Vicca R, umur 5 tahun.
Majelis sepakat untuk mengabulkannya. Majelis Hakim memutuskan :
Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat (Wahyudi Bin Sidjo, M)
kepada Penggugat (Herni Silvia Yohana, M Binti Herman Joyo).
Menetapkan 1 (satu) anak anak yang bernama VICCAR, umur 5 tahun
berada dalam pemeliharaan (hadhanah) Penggugat.
3. Putusan Nomor : 0164/Pdt.G/2011/PA.Ckr
Pihak yang berperkara : Bambang Suharto Bin Mansyur, umur 45 tahun,
agama Islam, sebagai “Pemohon”. Melawan Susana Binti H. Soleh, umur 34
tahun, agama Islam, sekarang tidak diketahui lagi alamatnya di seluruh wilayah
Republik Indonesia (Ghoib), disebut sebagai “Termohon”.
Tentang duduk perkaranya : Pada tanggal 02 Oktober 1996, Pemohon
telah melangsungkan pernikahan dengan Termohon yang dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Pagar Alam Utara,
Kabupaten Lahat, Propinsi Sumatera Selatan, sebagaimana ternyata dari Kutipan
Akta Nikah Nomor 226/22/X/1996. Pemohon dan Termohon telah hidup
bersama sebagaimana layaknya suami isteri dan telah dikaruniai 4 orang anak
masing-masing bernama : Chori Alifia Wulandari (pr), umur 14 tahun, Annisa
Azzahra (pr), umur 9 tahun, M. Rizki Ramadhan (lk), umur 7 tahun, M.
Avicenna Alfarabi (lk), umur 5 tahun.
Sejak tanggal 16 Januari 2011, mulai terjadi perselisihan dan
pertengkaran disebabkan Termohon terlibat hutang piutang dengan rentenir
60
(lintah darat). Selanjutnya pada tanggal 17 Januari 2011 secara berturut-turut
hingga sekarang ini Termohon telah meninggalkan kediaman bersama tanpa
seizin Pemohon dan sampai saat ini tidak lagi kembali ke kediaman bersama
juga tidak diketahui lagi alamatnya, pemohon telah berusaha mencari Termohon
kepada keluarganya, teman-teman dekatnya, tetapi mereka tidak mengetahui
keberadaan Termohon. Bahwa Pemohon juga mengajukan permohonan agar
ditetapkan sebagai hak hadhanah bagi anak-anak.
Tentang Hukumnya : karena fakta kejadian (feittelijk gronden) telah
terungkap, hal ini merupakan bukti bahwa rumah tangga antara Pemohon
dengan Termohon telah pecah, dan sendi-sendi rumah tangga telah rapuh dan
sulit untuk ditegakkan kembali yang dapat dinyatakan bahwa rumah tangga
antara Pemohon dengan Termohon telah rusak (broken marriage) sehingga telah
terdapat alasan untuk bercerai sebagaimana dimaksud Pasal 19 hurup (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan sejalan dengan Pasal 116 hurup (f) Kompilasi
Hukum Islam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 hurup (a) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Tentang hak pemeliharaan
anak semata-mata didasarkan kepada kepentingan anak”, dan anak yang masih
di bawah umur pada umumnya masih banyak bergantung kepada
bantuan/pertolongan/kedekatan sang ibu (Termohon).
61
Akan tetapi berdasarkan alasan Pemohon dikuatkan dengan bukti dan
diperkuat pula dengan keterangan saksi-saksi, maka Majelis berkesimpulan
bahwa Pemohon (selaku ayah) telah layak ditetapkan sebagai pemegang hak
hadhanah bagi keempat anaknya meskipun kenyataanya anak nomor 2 sampai
nomor 4 kondisinya masih di bawah umur, namun ternyata anak-anak tersebut
merasa tenteram dan nyaman (at home) tinggal bersama ayahnya (Pemohon),
sedangkan Termohon tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hadhanah
karena tidak mempedulikan anak-anaknya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 huruf (a) dan Hukum Islam sejalan
dengan bunyi Pasal 105 hurup (a) Kompilasi Hukum Islam bahwa: “Tentang
hak pemeliharaan anak semata-mata didasarkan kepada kepentingan anak, dan
anak yang masih di bawah umur pada umumnya masih bergantung kepada
bantuan dan pertolongan sang ibu”, akan tetapi oleh karena Termohon tidak
memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak hadhanah, maka Majelis
menafsirkan pasal tersebut secara a contario, sehingga Majelis sepakat bahwa
permohonan Pemohon agar ditetapkan sebagai pemegang hak hadhanah dari ke-
4 (empat) anaknya. Majelis Hakim memutuskan :
Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek.
Memberi ijin kepada Pemohon (Bambang Suharto Bin Mansyur) untuk
menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon (Susana Binti H. Soleh) di
depan sidang Pengadilan Agama Cikarang.
62
Menetapkan 4 (empat) orang anak hasil perkawinan Pemohon dengan
Termohon, masing-masing bernama:
1) Chori Alifia Wulandari (perempuan), berumur 14 tahun.
2) Annisa Azzahra (perempuan), berumur 9 tahun.
3) Muhammad Rizki Ramadhan (laki-laki), berumur 7 tahun.
4) Muhammad Avicenna Alfarabi (laki-laki), berumur 5 tahun, di bawah
hadhanah Pemohon.
Kedua belah pihak yang bersengketa dalam perkara-perkara ini baik
sebagai pemohon atau termohon mempunyai hak yang sama dalam proses
pemeriksaan persidangan, yaitu hak mendalilkan sesuatu, menjawab/membantah
dalil pihak lawan, serta mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat dalilnya. Jadi
Termohon bukanlah sekedar menjadi obyek yang pasif melainkan merupakan
subyek yang aktif dalam membela diri dan mempertahankan kepentingannya.
Artinya kedua belah pihak mempunyai hak yang sama di hadapan Hakim untuk
didengar keterangannya dan diperhatikan hak-haknya.
Karena fakta kejadian (feittelijk gronden) tersebut telah terungkap, hal ini
merupakan bukti bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah
pecah, dan sendi-sendi rumah tangga telah rapuh dan sulit untuk ditegakkan
kembali yang dapat dinyatakan bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan
Termohon telah rusak (broken marriage) sehingga telah terdapat alasan untuk
bercerai sebagaimana dimaksud Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan sejalan
63
dengan Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam. Maka Majelis Hakim
Mengabulkan permohonan perceraian.
Yang menjadi pokok alasan mengapa para pihak (baik ibu maupun ayah)
mengajukan gugatan hadhanah tersebut adalah penelantaran anak. Artinya yang
merasa anaknya itu diterlantarkan oleh ibu, maka ayahnya yang mengajukan
gugatan, dan apabila ayahnya yang menelantarkan maka ibunya yang mengajukan
gugatan.6
Mengenai permohonan hak asuh anak/ hadhanah pada putusan Nomor :
1200/Pdt.G/2012/PA.Ckr dan 0164/Pdt.G/2011/PA.Ckr, meskipun anak masih
dibawah umur 12 tahun atau belum mumayyiz tidak begitu saja diberikan kepada
ibunya. Tetapi bisa saja diberikan kepada ayahnya jika terbukti apabila ibu dari anak
tersebut kurang perhatian terhadap anak-anaknya, sesuai pasal 49 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 1974, Majelis Hakim berpendapat bahwa seorang ibu yang
berkelakuan buruk dan melalaikan kewajibannya tidak berhak mendapatkan hak
asuh atas anaknya, karena hak seorang ibu untuk memelihara anak dapat dialihkan
kepada ayahnya.
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Asadurrahman, Hakim
Pengadilan Agama Cikarang ada beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan
Hakim dalam memutus siapa yang berhak mendapatkan hak pemeliharaan anak/
hadhanah, yaitu dilihat dari umur anak tersebut yang akan di hadhanah, apabila
umurnya tersebut dibawah 12 tahun, dalam KHI pasal 105 (a) adalah hak ibunya,
6 Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
64
akan tetapi kalau ternyata ibunya tidak bisa menjamin keselamatan jasmani dan
rohani anak, misalnya ibunya sering keluar malam anaknya ditinggal, ibunya suka
mabuk, judi, apakah pasal 105 (a) akan tetap diterapkan. Dengan begitu ada pasal
156 (c) bisa saja anak tersebut diberikan kepada ayahnya karena pertimbangan lain.
Jadi, seorang Hakim dalam memutus perkara hadhanah dalam menerapkan
hukum tidak kaku, yang menjadi pertimbangannya adalah kepentingan si anak
sendiri, karena hadhanah itu sesungguhnya melihat bagaimana kepantingan anak
bukan kepentingan ibunya maupun bapaknya. Akan tetapi selama anak itu aman
baik dalam penguasaan ibunya maupun penguasaan bapaknya, dan umur anak
tersebut belum mencapai 12 tahun (mumayyiz), maka hakim pada umumnya
memutuskan penguasaan anak tersebut diberikan kepada ibunya.7
Terhadap putusan pengadilan ini, para pihak bisa melakukan upaya hukum
apabila para pihak merasa tidak puas atas putusan hakim tersebut, akan tetapi
apabila setelah 14 hari tidak ada upaya hukum, maka putusan tersebut berkekuatan
hukum tetap. Kalau putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap, barulah bisa
dilaksanakan eksekusi atas putusan tersebut, apabila pihak yang kalah tidak
melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka pihak yang menang bisa
meminta bantuan pengadilan agar pihak yang kalah mau melaksanakan putusan
tersebut.8
7 Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
8 Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
65
Jadi, para pihak yang merasa dirugikan kepentingannya dapat mengajukan
upaya hukum, bahwa setelah amar putusan dibacakan Majelis Hakim, diberikan
tenggang waktu selama 14 hari untuk melakukan upaya hukum bagi pihak-pihak
yang merasa dirugikan atas putusan tersebut. Akan tetapi apabila ternyata selang
beberapa waktu baru diketahui bahwa para pihak yang kalah (ibu/ayah) tidak
melakukan kewajiban sebagaimana yang diputuskan oleh Majelis Hakim, maka para
pihak yang berhak terhadap hak asuh anak (ibu/ayah) dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada Pengadilan Agama.
B. Upaya Pengadilan Agama Cikarang Untuk Terlaksananya Eksekusi Hadhanah
Sebuah rumah tangga yang mengalami perceraian sudah dapat dipastikan
akan menimbulkan beberapa akibat yang merugikan semua pihak tanpa terkecuali.
Dalam hal ini tentunya akan membawa akibat hukum terhadap anak. Kelahiran anak
sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan hukum akan membawa
konsekuensi hukum, berupa hak dan kewajiban secara timbal balik antara orang tua
dengan anaknya.9 Artinya anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi oleh
orang tuanya sebagai kewajibannya, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak
yang harus dipenuhi oleh anaknya sebagai kewajibannya.
Dalam hal terjadinya perceraian, biasanya anaklah yang menjadi korban.
Orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan dapat
diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian
adanya, dan tidak demikian sederhananya. Seperti telah diketahui bersama bahwa
9 L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h.53.
66
permasalahan pengasuhan anak sering timbul dalam kehidupan manusia, sebagai
akibat dari perceraian yang dilakukan kedua orangtuanya.
Bagi orangtua tentunya, menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat
dan berada dalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orangtua yang telah
bercerai harus merelakan anak-anaknya berada dalam penguasaan salah satu dari
mereka, atau dengan jalan pembagian hak asuhnya berdasarkan putusan Hakim yang
memutuskan perceraian mereka.
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Agama
yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan
verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan
Tinggi Agama yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi,
dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu :10
1. Putusan declaratoir, adalah putusan yang hanya sekedar menerangkan atau
menetapkan suatu keadaan saja sehingga tidak perlu dieksekusi.
2. Putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak
perlu dilaksanakan.
3. Putusan condemnatoir, merupakan putusan yang bisa dilaksanakan, yaitu putusan
yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan
sesuatu.
10
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, Buku II,
(Jakarta: Mahkamah Agung RI , 2007), h.433.
67
Eksekusi putusan hadhanah tidak diatur secara tegas dalam HIR - R.Bg.,
atau peraturan perundangan lain yang berlaku khusus bagi Peradilan Agama. Belum
adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai eksekusi putusan hadhanah
tidak berarti bahwa putusan hadlanah itu tidak bisa dijalankan melainkan harus
dapat dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku secara umum.
Sebagaimana pendapat bapak Assadurrahman, bahwa putusan itu harus
dieksekusi dan eksekusi itu harus diminta atau pihak yang menang mengajukan
permohonan eksekusi atas putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap.11
Artinya seseorang dapat mengajukan permohonan eksekusi hadhanah terhadap
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, guna mendapatkan hak pemeliharaan
anaknya.
Hakim hanya bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan tuntutan
hak diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang berkepentingan, artinya apakah
akan ada proses perkara atau tidaknya Hakim tidak akan mencari, tetapi hanya
menunggu.
Sependapat dengan beliau, menurut penulis berdasarkan data Putusan
Pengadilan Agama Cikarang dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2013 tentang
hadhanah, Hakim telah memutuskan siapa pihak yang berhak mendapatkan hak asuh
anak (hadhanah). Maka apabila pihak tersebut belum mendapatkan haknya, maka
dapat mengajukan permohonan eksekusi hadhanah kepada Ketua Pengadilan Agama
Cikarang dengan dalil tidak dilaksanakannya putusan tersebut.
11
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
68
Setelah putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Agama dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut harus diajalankan. Permasalahan yang
sering terjadi pada masyarakat sekarang ini pihak yang dikalahkan tidak mau
menyerahkan anak tersebut kepada pihak yang berhak. Apabila terjadi hal yang
demikian itu, ibu atau ayah dapat memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan
Agama.
Tujuan akhir pencari keadilan adalah agar segala hak-haknya yang dirugikan
oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan Hakim. Hal ini dapat tercapai
apabila putusan Hakim dapat dilaksanakan.12
Suatu putusan Hakim tidak akan ada artinya apabila tidak dapat dieksekusi.
Oleh karena itu putusan hakim itu mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan
untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan ini secara paksa oleh
alat-alat negara.
C. Analisis Penulis
Sampai saat ini, eksekusi hak asuh anak (hadhanah) masih diperselisihkan.
Sebagaimana para ahli hukum mengatakan bahwa anak tidak dapat dieksekusi,
sedangkan sebagian lagi yang lain mengatakan bahwa putusan mengenai hak asuh
anak dapat dieksekusikan.
Para ahli hukum yang mengatakan bahwa eksekusi anak tidak boleh
dilaksanakan beralasan bahwa selama ini dalam praktik peradilan yang ada tentang
eksekusi semuanya hanya dalam bidang hukum benda, bukan terhadap orang. Oleh
12
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h.313.
69
karena itu, eksekusi terhadap hak asuh anak sesuai dengan kelaziman yang ada
maka tidak ada eksekusinya, apalagi eksekusinya bersifat deklatoir (menetapkan).
Kenyataan yang ada selama ini, pelaksanaan eksekusi hak asuh anak hanya bersifat
sukarela, maksudnya tidak merupakan upaya paksa.
Sedangkan ahli hukum yang memperbolehkan eksekusi terhadap hak asuh
anak dapat dijalankan mengatakan bahwa perkembangan hukum yang dianut akhir-
akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang putusannya bersifat
menghukum (condemnatoir), jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan
tersebut dapat dieksekusi. Pengadilan mempunyai upaya paksa dalam melaksanakan
putusan ini.
Jadi, seorang anak yang dikuasai oleh salah satu orangtuanya yang tidak
berhak sebagai akibat putusan perceraian, maka Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah dapat mengambil anak tersebut dengan upaya paksa dan menyerahkan
kepada salah satu orangtua yang berhak untuk mengasuhnya.13
Dalam pembahasan ilmu hukum, suatu putusan Hakim itu dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu: 14
1. Secara Sukarela, adalah putusan yang mana oleh para pihak yang kalah dengan
sukarela mentaati putusan tanpa pihak yang menang harus meminta bantuan
pengadilan atau mengeksekusi putusan tersebut.
13
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2005), h.436.
14
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h.313.
70
2. Secara Paksa, adalah putusan yang mana pihak yang menang dengan meminta
bantuan alat negara atau pengadilan untuk melaksanakan putusan, apabila pihak
yang kalah tidak mau melaksanakan secara sukarela.
Ketika putusan itu telah dijatuhkan oleh pengadilan, lalu pihak yang
dikalahkan tidak mau menyerahkan anak sebagai objek sengketa secara sukarela,
maka akan ditempuh prosedur eksekusi hak asuh anak (hadhanah).
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi
putusan di Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah tidak hanya terbatas dalam
bidang hukum benda, dalam prakteknya sampai saat ini, eksekusi putusan telah
mencakup dalam eksekusi putusan hak asuh anak (hadhanah). Eksekusi hak asuh
anak merupakan sejumlah permasalahan yang begitu penting karena objek
perkaranya mengenai orang, sehingga tingkat keberhasilannya terbilang cukup
rendah bila dibandingkan dengan eksekusi di bidang hukum kebendaan.15
Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang memenuhi syarat untuk
dilaksanakan eksekusi, yaitu :
1) Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal : Pelaksanaan
putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, Pelaksanaan
putusan provisi, Pelaksanaan akta perdamaian, Pelaksanaan (eksekusi) Grosse
Akta.
2) Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun telah
diberikan peringatan oleh Ketua Pengadilan Agama
15
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h.435.
71
3) Putusan Hakim bersifat Kondemnatoir, yaitu putusan yang amar putusannya
bersifat menghukum atau memerintahkan pihak yang kalah untuk memenuhi
suatu prestasi tertentu.
4) Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan
Agama.
Dalam hal ini Pengadilan Agama yang dimaksud adalah Pengadilan Agama
yang menjatuhkan putusan tersebut atau Pengadilan Agama yang diberikan delegasi
wewenang oleh Pengadilan Agama yang memutusnya. Pengadilan Agama yang
berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah Pengadilan Tingkat pertama.
Pengadilan Tinggi Agama tidak berwenang melakukan eksekusi.16
Mengenai pelaksanaan putusan yang tidak dilaksanakan Pasal 196 HIR
menyebutkan bahwa:
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi
keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan,
baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang
tersebut pada ayat pertama pasal 195 HIR, buat menjalankan keputusan itu Ketua
menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia
memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-
lamanya delapan hari”.17
16
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h.313.
17
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB)
72
Sebagaimana bapak Assadurrahman mengatakan, bahwa dasar hukum yang
dipakai dalam melaksanakan eksekusi hadhanah, tetap bagaimanapun
mengggunakan HIR, perdata umum yaitu HIR (untuk wilayah jawa) dan R.bg
(untuk luar jawa), eksekusi secara umum menggunakan aturan itu, tidak ada itu
perkara, nafkah iddah, hadhanah, putusan Pengadilan harus dilaksanakan tetap
menggunakan aturan-aturan umumnya. Dulu sebelum Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 ada, eksekusi keputusan Pengadilan Agama harus minta bantuan
Pengadilan Negeri akan tetapi sekarang Pengadilan Agama bisa melaksanakan
eksekusi sendiri namun tetap aturannya menggunakan HIR atau R.Bg.18
Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan hadhanah harus melalui prosedur
hukum yang berlaku dan apabila eksekusi tidak dilaksanakan sesuai dengan
prosedur hukum yang ditetapkan maka eksekusi tidak sah dan harus diulang.19
Adapun prosedur eksekusi putusan hadhanah secara kronologis dapat dirinci sebagai
berikut :
1. Putusan hadhanah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap
2. Pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan hadhanah secara sukarela
3. Pihak yang menang (penggugat) mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Agama yang memutus perkara hadhanah
4. Pengadilan Agama telah menetapkan sidang Aanmaning
5. Telah melewati tenggang waktu atau tegoran sesuai dengan pasal 207 R.Bg
18
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
19 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h.437.
73
6. Ketua Pengadilan Agama Mengeluarkan surat perintah eksekusi
7. Pelaksanaan eksekusi di tempat termohon eksekusi yang dihukum untuk
menyerahkan anak
8. Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh dua orang saksi yang memenuhi unsure
sebagaimana tersebut dalam 210 ayat 2 R.Bg
9. Juru Sita mengambil anak tersebut secara baik-baik, sopan dan dengan tetap
berpegang kepada adat istiadat yang berlaku, kalau tidak diserahkan secara
sukarela maka dilaksanakan secara paksa
10. Juru Sita membuat berita acara eksekusi yang ditanda tangani oleh jurusita
beserta dua orang saksi sebanyak lima rangkap.
Lebih lanjut Pasal 180 HIR menyebutkan bahwa, Ketua Pengadilan dapat
memerintahkan supaya suatu putusan dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada
upaya banding20
. Dalam Pasal 64 Undang-Undang Peradilan Agama, putusan
pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi pelaksanaannya ditunda demi
hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan putusan tersebut dapat
dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan banding atau kasasi.21
Jadi, terkait dengan eksekusi putusan mengenai hak asuh anak (hadhanah)
harus melihat kembali pada amar putusan tersebut apakah dalam amar putusan
tersebut telah ditentukan bahwa hak asuh anak ini dapat dieksekusi walaupun ada
upaya hukum banding maupun kasasi atau tidak. Apabila amar putusan menyatakan
20
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB)
21
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
74
dapat dieksekusi walaupun ada upaya hukum banding maupun kasasi, maka putusan
tersebut dapat langsung dieksekusi.
Namun, dalam pelaksanaannya eksekusi mengenai hadhanah ini
menimbulkan banyak kesulitan, karena hal ini berbeda dengan eksekusi perdata
lainnya. Sebagaimana yang diutarakan oleh bapak Assadurrahman, beliau
mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya eksekusi putusan
hadhanah :22
Pertama, Memang orang Indonesia itu apabila merasa ia dikalahkan dalam
persidangan, mereka menganggap putusan yang diberikan majelis hakim tidak adil
atau hukum tidak adil, artinya kesadaran atau ketaatannya kepada hukum itu masih
rendah jangankan para pihak yang merasa dianggap “diperlakukan tidak adil”
keputusan Tata Usaha Negara saja kalau pemerintah disalahkan, apakah pemerintah
itu mau melaksanakan dengan suka rela, itulah di Indonesia. Artinya pemerintah itu
adalah orang yang mengerti hukum tapi ketika putusan Tata Usaha Negara
merugikan pihak pemerintah terjadi juga perasaan berat untuk melaksanakan
putusan tersebut.
Kedua, karna si anak ada di tangan salah satu orang tuanya (ibu/bapak)
ketika diputus sudah pindah alamat atau pindah wilayah dan sulit untuk mencarinya
akhirnya apabila terjadi seperti itu penyelesaiannya bukan lewat Pengadilan lagi
melainkan mencari informasi oleh masing-masing pihak, akibat tidak patuhnya
terhadap hukum dan putusan Pengadilan. Eksekusi terhadap hadhanah ini termasuk
22
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
75
perkara yang berat untuk di adili yang bapak dan ibunya itu benar-benar tidak mau
mengalah dan tetap mempertahankan anaknya.
Jadi, dapat diketahui bahwa penyebab sulitnya pelaksanaan eksekusi
mengenai hadhanah dimulai dari pihak yang tidak patuh dan hormat kepada hukum
dan pengadilan sehingga mereka tidak mau menjalankan isi putusan, kemudian
ditambah masalah berpindah-pindahnya wilayah tempat tinggal yang di mana anak
tersebut ada para pihak yang dikalahkan dan tidak diketahui keberadaannya lagi.
Apabila sudah seperti itu maka sulit untuk dilaksanakan eksekusi, karena sudah
bukan ranah Pengadilan lagi akan tetapi sudah dikembalikan pada masing-masing
pihak karena Pengadilan tidak mengurusi sampai sejauh itu.
Berikut beberapa langkah untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan akan
hampanya putusan hadlanah, yaitu sebagai berikut :
1. Mediasi Sebagai Penyelesaian Alternatif
Mediasai adalah sebuah lembaga perdamaian dalam rangka
menyelesaikan sengketa dengan perantaraan seorang atau lebih mediator melalui
prosedur non litigasi. Di samping itu mediasi merupakan salah satu proses
penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan
akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang
memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Islam menyuruh untuk menyelesaikan
setiap perselisihan dengan melalui pendekatan “Islah”. Karena itu, tepat bagi
para Hakim Peradilan Agama untuk menjalankan fungsi “mendamaikan” sebab
76
bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih indah dan lebih adil hasil
putusan itu berupa perdamaian.23
Hukum acara yang berlaku, pasal 130 HIR / pasal 154 R.Bg mendorong
pengadilan untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan
dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di
pengadilan. Sejalan dengan hal tersebut Mahkamah Agung telah menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008 tersebut ditegaskan bahwa apabila tidak menempuh mediasi berdasarkan
Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR /Pasal
154 R.Bg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa prosedur mediasi dalam proses peradilan merupakan
ketentuan imperatif.
Terkait dengan mediasi perkara sengketa hak asuh anak (hadlanah),
prosedur mediasi ini menjadi sangat penting bukan saja karena ketentuan
imperatif hukum acara atau karena kepentingan penggugat dan tergugat,
melainkan yang lebih penting justru karena menyangkut pertimbangan semata-
mata untuk kepentingan terbaik bagi anak, agar dapat menekan seminimal
mungkin dampak buruk baik secara psikologis, emosional, sosial, intelektual
23
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah
Syariah di Indonesia, (Jakarta: IKAHI, 2008), h.13.
77
maupun spiritual bagi si anak tersebut akibat dari persengketaan antara kedua
orang tua anak itu.
2. Menerapkan Lembaga Dwangsom dalam Putusan Hadlanah
Dwangsom atau lengkapnya dwangsom of astreinte (Belanda): uang
paksa, sejumlah uang yang harus dibayar oleh seseorang sebagai hukuman
berdasarkan putusan pengadilan, sepanjang atau sesering ia tidak memenuhi
kewajiban pokok yang dibebankan kepadanya oleh keputusan pengadilan itu.24
Bahwa yang dimaksud dwangsom adalah uang paksa, sebegitu jauh
pengadilan memutuskan penghukuman untuk sesuatu lain daripada untuk
membayar sejumlah uang, maka dapatlah ditentukan di dalamnya, bahwa jika,
selama atau manakala si terhukum tidak/belum memenuhi keputusan tersebut, ia
pun wajib membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan itu, uang
mana disebut uang paksa. Dengan demikian maka uang paksa ini merupakan
suatu alat eksekusi secara tak langsung.25
Persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan lembaga
dwangsom dalam putusan hadlanah masih diperselisihkan oleh para praktisi
hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwangsom ini
tidak boleh diterapkan dalam putusan hadlanah karena konteksnya berbeda,
sebagian praktisi hukum yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat
juga diterapkan dalam putusan hadlanah karena dengan mencamtumkan
24
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Cet.I, h.163.
25
Soebekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), Cet. XVI, h.37.
78
dwangsom itu pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia
mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan
hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Maka dapat disimpulkan atas
persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan
lembaga dwangsom dalam putusan hadlanah apabila penerapan itu untuk tujuan
kemaslahatan.26
Sebagaimana pendapat bapak Assadurrahman bahwa, bisa saja dengan
putusan dwangsom (denda keterlambatan) denda perhari. Pengadilan mungkin
kalau ada permintaan itu bisa saja memberikan pertimbangan, misalnya 500 ribu
perhari apabila tidak melaksanakan isi putusan.27
Artinya bisa saja duangsom ini
diterapkan memalui pertimbangan Hakim, akan tetapi permohononannya
tersebut harus diletakkan dalam surat gugatan yang diajukan kepada Pengadilan
Agama kepada dengan menyebutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh
hukum. Atau juga dengan alasan adanya kekhawatiran penggugat kepada
tergugat yang tidak bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana yang
ditetapkan oleh hakim.
Dasar pemberlakuan/ penerapan lembaga dwangsom (uang paksa) dalam
praktek peradilan di Indonesia adalah mengacu pada Pasal 606 (a) dan (b)
Rechtsvordering. Pasal 606 a : “sepanjang suatu putusan hakim mengandung
26
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2005), h.438.
27
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
79
hukuman untuk suatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang, maka
dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak mematuhi
hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya
ditetapkan dalam putusan hakim dan uang tersebut dinamakan uang paksa”.
Pasal 606 (b) : “Bila putusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari
terhukum berwenang untuk melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang
paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh atas hak baru
menurut hukum”.
Sedangkan dalam R.Bg dan HIR lembaga dwangsom tidak disebutkan
secara rinci. Lembaga dwangsom mulai dipergunakan oleh Raad van Justice dan
Hoegerechtteschof sejak tahun 1938. Meletakkan lembaga dwangsom
merupakan tindakan logis yuridis dengan tujuan untuk memaksa orang yang
dikenakan hukuman itu agar serius dan tidak main-main dalam mematuhi dan
melaksanakan putusan hakim.
Dengan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dwangsom adalah
suatu hukum tambahan pada orang yang dihukum untuk membayar sejumlah
uang selain yang telah disebutkan dalam hukuman pokok dengan maksud agar ia
bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana mestinya.
Dengan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom adalah
sebagai berikut :28
28
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.439.
80
1) Merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman
pokok, apabila hukuman pokok sudah dilaksanakan maka dwangsom yang
ditetapkan bersama hukuman pokok tidak mempunyai kekuatan lagi.
2) Merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang ditetapkan
oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat (yang dihukum), maka dwangsom
itu dapat dieksekusi,
3) Merupakan hukuman psychis, dengan adanya dwangsom yang ditetapkan
oleh hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum itu ditekan secara
psychis agar ia dengan sukarela melaksanakan hukuman pokok yang telah
ditentukan oleh hakim.
Agar lembaga dwangsom ini dapat dicantumkan dalam putusan hakim,
maka penggugat harus meminta diletakkan dwangsom ini dalam surat gugatan
yang diajukan kepada Pengadilan Agama dengan menyebutkan alasan-alasan
yang dibenarkan oleh hukum. Alasan ini dapat berupa hal yang diperjanjikan
sebelumnya antara penggugat dan tergugat, atau juga dengan alasan adanya
kekhawatiran penggugat kepada tergugat yang tidak bersedia melaksanakan
hukuman pokok sebagaimana yang ditetapkan oleh hakim.29
Dwangsom berbeda dengan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal
225 HIR, dan berbeda pula dengan kompensasi yang dikenal dalam hukum
perdata, sebab dalam dwangsom ini kewajiban yang disebut dalam putusan
hakim tetap ada dan tidak bisa diganti atau dihapus. Dengan demikian lembaga
29
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.440.
81
dwangsom ini sangat tepat apabila diletakkan pada putusan hadlanah karena
dwangsom tersebut merupakan salah satu strategi yang diyakini dapat mencegah
putusan hadlanah menjadi ilusoir (hampa) yang memang selama ini disinyalir
banyak putusan hadlanah yang tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab
terdahulu tentang pelaksanaa eksekusi hadhanah, penulis dapat menyimpulkan,
sebagai berikut :
1. Hadhanah adalah membekali anak secara material maupun secara spiritual,
mental maupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi
hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa.
2. Langkah Pengadilan Agama Cikarang dalam perkara hadhanah, hanya sebatas
pengawasan dengan jangka waktu sampai diucapkannya amar putusan. Bahwa
setelah amar putusan dibacakan Majelis Hakim, diberikan tenggang waktu
selama 14 hari untuk melakukan upaya hukum bagi pihak-pihak yang merasa
dirugikan atas putusan tersebut. Apabila sampai jangka waktu tersebut tidak
ada upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya
dirugikan, maka Pengadilan menganggap bahwa putusan tersebut tidak
bermasalah dan dapat dilaksanakan oleh para pihak.
3. Apabila ternyata selang beberapa waktu baru diketahui bahwa pihak yang
dikalahkan tidak mau melakukan kewajiban sebagaimana yang diputuskan
oleh Majelis Hakim, maka para pihak yang menang dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama Cikarang. Eksekusi
83
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : Pertama, dengan cara sukarela dari
para pihak yang menang maupun yang kalah. Kedua, dengan cara paksa dari
pihak yang menang dengan meminta bantuan Pengadilan agar memerintahkan
Juru Sita untuk melakukan eksekusi.
B. Saran-saran
1. Dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan hak hadhanah atau
pemeliharaan anak, Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan siapa
yang lebih berhak mendapatkan hadhanah melainkan juga melihat apakah ada
iktikad baik pihak yang kalah agar terlaksananya putusan.
2. Langkah Pengadilan Agama terhadap sebuah perkara yang telah diputus
Majelis Hakim sebaiknya tidak hanya sebatas sampai putusan tersebut
dikeluarkan, sebaiknya dibuat lembaga yang berfungsi memberikan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan tersebut dan dibuat pula suatu
peraturan yang mengatur sanksi hukum bagi suami yang enggan membayar
nafkah istri maupun biaya pemeliharaan anak/ hadhanah setelah terjadinya
perceraian sebab sampai saat ini tidak ada jaminan hak-hak istri terpenuhi
setelah terjadnya perceraian.
3. Pengadilan Agama sebaiknya mengadakan sosialisasi kepada masyarakat agar
masyarakat mengetahui tentang hadhanah sehingga prosedur eksekusi
mengenai hadhanah bisa dilakukan.
84
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Abbas, Afifi Fauzi. Metodologi Penelitian. cet.I. Jakarta: ADELINA Bersaudara, 2010.
Abdullah, Abdul Gani. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan
Agama. cet.I. Jakarta: PT Internasa, 1991.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo,
2007.
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. cet.III. Jakarta: Granit, 2010.
Al-‘Umairah, Syeikh Al-Syihab Al-Din Al-Qalyabi Wa . Al-Mahalli Juz IV. Kairo: Dar
Wahya Al-Kutub, 1971.
Alam, Andi Syamsu dan Mf. Fauzan, M . Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam.
cet.I. Jakarta: Kencana, 2008.
__________. Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam. Jakarta : Kencana, 2008.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah: Ibadat Mu’amalat, cet.III. Jakarta:
Pustaka Amani, 1999.
Al-Munawwar, Said Agil Husain. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
(analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah). Jakarta: Prenada Media,
2004.
al-Sijistaniy, Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy'ab. Sunan Abi Dawud. Beirut: Daar al-
Kitab al-'Arabi, tt), Juz.II, Hadis No. 1913
Al-Zuhaili, Wahbah . AL-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII. Damaskus: Daar Al-
Fikr, 1984.
As-Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats. Sunan Abu Daud Juz I. Beirut: Daar
Fikr, 2003.
As-San’ani. Subulus Salam. cet.III. Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
85
Aulia, Nuansa. Kompilasi Hukum Islam. T.tp, CV. Nuansa Aulia, 2008.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. cet.V. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, Metedologi Penelitian
Sosial (Terapan dan Kebijaksanan). Jakarta: Balitbang Departemen Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah RI, 2000.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama (Dalam Sistem
Hukum Nasional). Jakarta: Logos, 1999.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeva, 1997
Effendi, Satria dan Mz. Zein, M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer.
Jakarta: Kencana, 2005.
Ghazaly, Abd Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2013.
Gymnastiar, Abdullah. AA Gym dan Fenomena Darrut Tauhid. Bandung: PT Mizan,
2002.
Hamid, Zahri . Pokok-Pokok Hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, cet.I. Yogyakarta: Bina Cipta, 1978.
Hamzah, Andi. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Harahap, Yahya. Hukum perkawinan nasional : pembahasan berdasarkan undang-
undang no.1 tahun 1974. Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975. Medan:
Zahir, 1975.
__________. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: CV Zahir Trading CO, 1975.
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bandung: Citra Umbara, 2007.
L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.
Mahkamah Agung RI. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah, Buku II. Jakarta: 2007.
86
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama.
Jakarta: Kencana, 2005.
__________. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Kencana, 2008.
__________. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000.
Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet.I. Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Mujahidin, Ahmad. Pembaharuan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syariah di Indonesia. Jakarta: IKAHI, 2008.
Nasution, Harun, dkk, ed., Ensiklopedii Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992
PA Cikarang. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2012, Cikarang:
PA Cikarang, 2012.
__________. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013, Cikarang:
PA Cikarang, 2013.
PA Cikarang. Sejarah Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses pada tanggal 22
Oktober 2013 dari http://pa-cikarang.go.id/index.php/profil/profil/sejarah.
__________. Struktur Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses pada tanggal 18
Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/struktur-organisasi.
__________. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses
pada tanggal 18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/tupoksi.
__________. Visi dan Misi Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses pada tanggal
18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/visi-dan-misi.
__________. Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses pada
tanggal 18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/yuridiksi-pa
Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas
Atma Jaya, 2007.
Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. cet.III. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003.
87
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq, Jilid 2. Jakarta: Al-I’tishom, 2008.
__________. Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq, Jilid 2. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. cet.II.
Jakarta: Elsas, 2008.
Soebekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
__________. Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2005.
Soimin, Soedaryo. Kitab Undang- Undang Hukum Perda. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: Pustaka
Mina, 2008.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan. cet.III. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009.
Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Anggota
ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi. 15 Januari 2014
PEDOMAN WAWANCARA
1. Selama Bapak/ Ibu bertugas di Pengadilan Agama Cikarang, Apakah pernah
Bapak/ Ibu menangani perkara hadhanah ?
2. Berapa banyak perkara yang diterima Pengadilan Agama Cikarang dalam masalah
hadhanah ditahun 2012-2013 ?
3. Siapa yang paling banyak menggugat hadhah, apakah Ibu atau Ayah ?
4. Alasan apa saja yang mendasari gugatan hadhanah tersebut ?
5. Apa yang menjadi kriteria seseorang itu layak mendapatkan hadhanah ketika
terjadi perceraian ?
6. Apa saja penyebab sulitnya pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di
Pengadilan Agama Cikarang ?
7. Bagaimana upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan
eksekusi hadhanah ?
8. Dasar hukum apa yang dipakai untuk melaksanakan eksekusi hadhanah ?
9. Apakah ada sanksi khusus bagi seseorang yang tidak menjalankan putusan
hadhanah ?
HASIL WAWANCARA
1. Selama Bapak/ Ibu bertugas di Pengadilan Agama Cikarang, Apakah
pernah Bapak/ Ibu menangani perkara hadhanah ?
Jawaban : Pernah
2. Berapa banyak perkara yang diterima Pengadilan Agama Cikarang dalam
masalah hadhanah ditahun 2012-2013 ?
Jawaban :
Selama rentan waktu 1 (tahun) yaitu tahun 2012, permohonan tentang hak
pengasuhan anak (hadhanah) yang masuk sebanyak 8 perkara, dan yang sudah
diputuskan sebanyak 5 perkara sehingga tersisa 3 perkara yang belum diputuskan
dan ini akan dilanjutkan pada tahun 2013. Selanjutnya selama kurun waktu 1
tahun yaitu tahun 2013, permohonan tentang hak pengasuhan anak (hadhanah)
perkara yang masuk sebanyak 4 perkara, kemudian terdapat 3 sisa perkara tahun
2012. Sehingga jumlah perkara yang masuk pada tahun 2013 berjumlah 7 perkara,
dan yang sudah di putuskan sebanyak 6 perkara, tersisa 1 perkara yang belum
diputuskan dan ini akan dilanjutkan pada tahun berikutnya.
Dari data-data yang telah diuraikan sebelumnya diatas dapat diketahui
selama kurun waktu tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, permohonan tentang
hak pengasuhan anak (hadhanah) yang masuk ke Pengadilan Agama Cikarang
jumlahnya lumayan cukup banyak yaitu 12 perkara, dan yang sudah di putus 11
perkara sehingga tersisa 1 perkara yang belum di putus.
Gugatan hadhanah ini bisa saja mandiri, dengan perceraian, perwalian.
Mandiri perwalian pada umumnya anak tersebut sudah pada ibunya jadi untuk
kepentingan pembuatan paspor, untuk dibawa keluar negeri imigrasi biasanya
memerluakan penetapan pengadilan.
3. Siapa yang paling banyak menggugat hadhah, apakah Ibu atau Ayah ?
Jawaban :
Kalaupun berkisar kira-kira 51 : 49, artinya yang mengajukan jumlahnya
hampir berimbang baik itu Ibu maupun Ayah
4. Alasan apa saja yang mendasari gugatan hadhanah tersebut ?
Jawaban :
Biasanya yang merasa anaknya itu diterlantarkan oleh ibu maka ayahnya
yang mengajukan dan apabila ayahnya yang menelantarkan maka ibunya yang
mengajukan.
5. Apa yang menjadi kriteria seseorang itu layak mendapatkan hadhanah
ketika terjadi perceraian ?
Jawaban :
Dilihat dari umur anak tersebut yang akan di hadhanah, apabila umurnya
tersebut dibawah 12 tahun, dalam KHI pasal 105 (a) adalah hak ibunya, akan
tetapi kalau ternyata ibunya tidak bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani
anak, misalnya ibunya sering keluar malam anaknya ditinggal, ibunya suka
mabuk, judi, apakah pasal 105 (a) akan tetap diterapkan ? Dengan begitu ada
pasal 156 (c) bisa saja anak tersebut diberikan kepada ayahnya.
Jadi tidak kaku melihat kepantingan anak karna hadhanah itu melihat
bagaimana kepantingan anak bukan kepntingan ibunya maupun bapaknya, tapi
selama anak itu aman baik kepada ibunya maupun bapaknya dan umur anak
tersebut belum mencapai 12 tahun maka pada umumnya anak tersebut diberikan
kepada ibunya.
6. Apa saja penyebab sulitnya pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di
Pengadilan Agama Cikarang ?
Jawaban :
Pertama, Memang orang Indonesia itu apabila merasa ia dikalahkan
dalam persidangan mereka menganggap putusan yang diberikan majelis hakim
tidak adil atau hukum tidak adil artinya kesadaran atau ketaatannya kepada
hukum itu masih rendah jangankan para pihak yang merasa dianggap
“diperlakukan tidak adil” keputusan Tata Usaha Negara saja kalau pemerintah
disalahkan, apakah pemerintah itu mau melaksanakan dengan suka rela, itulah di
Indonesia. Artinya pemerintah itu adalah orang yang mengerti hukum tapi ketika
putusan Tata Usaha Negara merugikan pihak pemerintah terjadi juga perasaan
berat untuk melaksanakan putusan tersebut.
Beda dengan di arab misalnya di arab itu tidak ada istilah jumput paksa,
anak yang misalnya ada di bapaknya diserahkan ke ibunya atau sebaliknya itu
sudah langsung diserahkan tanpa ada pemakasaan karena memang hormat kepada
pengadilan, karna rajaannya juga taat misalnya terjadi pembongkaran besar-
besaran di sekitar masjidilharam ada yang tidak puas lalu melakukan gugatan ke
pengadilan itu kalau memang Negara/kerajaan harus bayar ya bayar.
Kedua, karna si anak ada di tangan salah satu orang tuanya (ibu/bapak)
ketika diputus sudah pindah alamat atau pindah wilayah dan sulit untuk
mencarinya akhirnya apabila terjadi seperti itu penyelesaiannya bukan lewat
pengadilan lagi melainkan mencari informasi oleh masing-masing pihak, akibat
tidak patuhnya terhadap hukum dan putusan pengadilan. Eksekusi terhadap
hadhanah ini termasuk perkara yang berat untuk diadili yang bapak dan ibunya itu
benar-benar ngotot untuk mengambil dan mempertahankan anaknya. Kalau
masalah hadhanah pada umumnya pidah alamat kemudian tidak diketahui, jadi
tinggal masing-masing cari tau, kalau lewat pengadilan nanti panggil dulu,
“bocor” lagi, pindah alamat lagi ahirnya susah.
7. Bagaimana upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya
pelaksanaan eksekusi hadhanah ?
Jawaban :
Terhadap putusan pengadilan hari ini, para pihak bisa melakukan upaya
hukum apabila setelah 14 hari tidak ada upaya hukum, putusannya berkekuatan
hukum tetap (BHT). Kalau sudah berkekuatan hukum tetap baru bisa
dilaksanakan, pelaksanaannya misalnya eksekusi, kalau tidak ada pelaksanaan
secara sukarela pasti meminta bantuan pengadilan agar pihak mau melaksanakan.
Putusan itu harus dieksekusi dan eksekusi itu harus diminta/ ada
permohonan eksekusi. Untuk tata cera eksekusinya itu memang dipanggil para
pihak, yang rmemohon eksekusi dipanggil yang termohon eksekusi dipanggil
untuk melakukan putusan agar secara sukarela, apabila tetap tidak mau maka bisa
saja dilaksanakan secara paksa.
8. Dasar hukum apa yang dipakai untuk melaksanakan eksekusi hadhanah ?
Jawaban :
Tetap bagaimanapun mengggunakan HIR, perdata umum yaitu HIR
(untuk wilayah jawa) dan RBG (untuk luar jawa), eksekusi secara umum
menggunakan aturan itu, tidak ada itu perkara, nafkah iddah, hadahnah, putusan
pengadilan harus dilaksanakan tetap menggunakan aturan-aturan umumnya.
Kalau Dulu sebelum Undang-Undang Nomor 7, eksekusi keputusan Pengadilan
Agama harus minta bantuan Pengadilan Negeri akan tetapi sekarang Pengadilan
Agama bisa melaksanakan eksekusi sendiri namun tetap aturannya menggunakan
HIR atau R.Bg.
9. Apakah ada sanksi khusus bagi seseorang yang tidak menjalankan putusan
hadhanah ?
Jawaban :
Bisa saja dengan putusan duangsom (denda keterlambatan) denda perhari.
Tetapi apabila pihak yang kena dengan hukuman doangsom itu juga lari kemana,
pindah alamat atau wilayah, maka itu akhirnya hanya diatas kertas saja.
Pengadilan mungkin kalau ada permintaan itu bisa saja memberikan
pertimbangan, misalnya 500 ribu perhari apabila tidak melaksanakan isi putusan.
Tetapi apabila pihak yang diberikan menghilang susah.
Terwawancara
Dr. Asadurrahman, MH
Hakim PA Cikarang
SALINAN P U T U S A N
Nomor 0415/Pdt.G/2011/PA.Ckr
لرحيم ا لرمحن ا هلل ا بسم
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Cikarang bersidang di Balai Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Tambun Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu pada
tingkat pertama dengan persidangan Majelis telah menjatuhkan putusan dalam perkara
“Cerai Ggugat dan Hadhanah” antara:
HERNI SILVIA YOHANA, M, umur 27 tahun, agama Islam, Pekerjaan Karyawati Swasta,
Tempat Tinggal di Kampung Mekarsari Timur, RT.003 RW.002, Desa Mekarsari,
Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, selanjutnya disebut sebagai
Penggugat;
L a w a n
WAHYUDI bin SIDJO, M, umur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta,
Tempat Tinggal di Kampung Mekarsari Timur, RT.003 RW.002, Desa Mekarsari,
Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, selanjutnya disebut sebagai:
Tergugat;
Pengadilan Agama tersebut;
Telah membaca dan mempelajari surat-surat perkara yang bersangkutan;
Telah mendengar keterangan Penggugat;
Telah membaca dan memperhatikan surat-surat bukti yang diajukan oleh Penggugat;
Telah mendengar keterangan saksi-saksi yang dihadapkan oleh Penggugat di persidangan;
TENTANG DUDUKNYA PERKARA
Menimbang, bahwa Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 25 April
2011, yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cikarang pada tanggal 26
April 2011 tercatat dalam register perkara dengan Nomor 0415/Pdt.G/2011/PA.Ckr, telah
mengajukan permohonan untuk melakukan “cerai gugat dan hadhanah”, terhadap Tergugat
dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan Tergugat pada tanggal 08
Maret 2004, yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta
Nikah Nomor 389/25/V/2004 tertanggal 10 Mei 2004;
2. Bahwa setelah menikah, Penggugat dan Tergugat tinggal bersama di Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan, kemudian dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki bernama VICCAR,
umur 5 tahun;
3. Bahwa sejak awal bulan Maret 2008 rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai tidak
harmonis dengan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang
disebabkan antara lain:
3.1. Antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak sejalan lagi dalam membina
rumah tangga;
3.2. Tergugat sudah tidak memberikan nafkah lahir kepada Penggugat sejak dari
tahun 2008 hingga sekarang ini;
3.3. Tergugat tidak mempunyai pekerjaan (pengangguran);
3.4. Tergugat telah melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga);
4. Bahwa puncak keretakan hubungan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat
terjadi pada tahun itu juga, yang mengakibatkan Penggugat dan Tergugat berpisah
ranjang;
5. Bahwa dengan kejadian tersebut, rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat
sudah tidak lagi dapat dengan baik, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sudah sulit dipertahankan lagi dan
karenanya agar masing-masing pihak tidak lebih jauh melanggar norma agama dan
norma hukum, maka perceraian merupakan alternatif terakhir bagi Penggugat untuk
menyelesaikan permasalahan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat;
6. Bahwa 1 (satu) orang anak sebagaimana pada posita angka (2) di atas, selain masih di
bawah umur dan juga saat ini tinggal bersama Penggugat serta sudah barang tentu
masih sangat tergantung kepada kasih sayang Penggugat selaku ibu kandungnya, oleh
karenanya demi pertumbuhan fisik dan mental anak tersebut serta semata-mata untuk
kepentingannya, maka sudah selayaknya Penggugat ditetapkan sebagai pemegang hak
hadhanah dari anak tersebut;
7. Bahwa Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Berdasarkan hal-hal di atas, Penggugat memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan
Agama Cikarang c.q Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan
menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
PRIMAIR :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menjatuhkan talak satu Tergugat (WAHYUDI bin SIDJO, M) kepada Penggugat (HERNI
SILVIA YOHANA, M., binti HERMAN JOYO);
3. Menetapkan 1 (satu) orang anak laki-laki hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat
bernama VICCAR, umur 5 tahun di bawah hadhanah Penggugat;
4. Membebankan biaya perkara sesuai dengan peraturan yang berlaku;
SUBSIDAIR :
Atau: Apabila Pengadilan Agama Cikarang berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya;
Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah ditetapkan untuk
memeriksa perkara ini, Penggugat telah hadir sendiri di persidangan, sedangkan Tergugat
meskipun telah dipanggil secara patut dan resmi untuk menghadap di persidangan, tidak
hadir dan tidak pula mengirimkan orang lain sebagai wakil atau kuasanya di persidangan.
Ketidakhadiran Tergugat di persidangan tidak ternyata disebabkan suatu halangan yang sah
menurut hukum dan oleh Ketua Majelis, Penggugat telah dinasehati agar tetap
mempertahankan rumah tangganya, namun tidak berhasil;
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak hadir dan tidak pula ada petunjuk
lain tentang ketidakhadirannnya, maka jawabannya atas gugatan Penggugat tidak dapat
didengar:
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah
mengajukan surat-surat bukti berupa :
1. Copy bermaterai cukup Kutipan Akta Nikah Nomor 389/23/V/2004, a.n : Penggugat dan
Tergugat, yang aslinya dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada tanggal 10 Mei 2004. Bukti tersebut telah dinazegel
oleh Pejabat Kantor Pos. Setelah Majelis membaca dan memperhatikan isinya ternyata
telah cocok dengan aslinya, selanjutnya oleh Ketua Majelis diparaf dan ditandai dengan
bukti (P.1);
Menimbang, bahwa selain telah mengajukan surat-surat bukti tersebut, Penggugat
juga telah menghadapkan saksi-saksi di persidangan, masing-masing bernama:
Saksi I:
SUYININGSIH binti PRANI, umur 46 tahun, agama Katholik, tempat tinggal di RT.02
RW.014, Kelurahan Kayuringin, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi, di bawah
sumpahnya menerangkan sebagai berikut;
- Saya ibu kandung Penggugat;
- Tergugat menantu saya;
- Ketika mereka menikah, saya hadir;
- Setelah mereka menikah, tinggal bersama di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, kemudian
pindah ke Kampung Mekarsari, Tambun Selatan, Bekasi, hingga sekarang;
- Perkawinan mereka telah dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki bernama VICCAR, umur
5 tahun;
- Setahu saya, awalnya rumah tangga mereka rukun, tapi sejak bulan Maret 2008 sudah
tidak rukun lagi karena Tergugat sudah jarang pulang ke rumah, jarang memberikan
nafkah dan hendak menikah lagi dengan wanita lain;
- Katanya mereka sudah berpisah rumah sejak bulan itu juga hingga sekarang ini;
- Selaku ibu kandung, saya sudah berusaha merukunkan mereka, tapi tidak berhasil;
- Saya juga sudah menasehati mereka agar rukun kembali, tapi tidak berhasil;
- Menurut saya, mereka sudah tidak mungkin untuk dirukunkan lagi;
- Penggugat sangat layak mengasuh dan memelihara anaknya, karena Penggugat adalah
seorang ibu yang baik dan penuh kasih saying di samping itu telah mempunyai
penghasilan;
Menimbang, atas keterangan saksi di atas, Penggugat membenarkannya;
Saksi II :
ALBERTUS bin HADI SUSANTO, umur 38 tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Swasta,
tempat tinggal di RT.01 RW.02, Desa Karang Baru, Kecamatan Cikarang Utara,
Kabupaten Bekasi, di bawah sumpahnya menerangkan sebagai berikut :
- Saksi adalah saudara sepupu Penggugat dan Tergugat;
- Sewaktu mereka menikah, saya hadir;
- Ketika mereka menikah, saya hadir;
- Setelah mereka menikah, tinggal bersama di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, kemudian
pindah ke Kampung Mekarsari, Tambun Selatan, Bekasi, hingga sekarang;
- Perkawinan mereka telah dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki bernama VICCAR, umur
5 tahun;
- Setahu saya, awalnya rumah tangga mereka rukun, tapi sejak bulan Maret 2008 sudah
tidak rukun lagi karena Tergugat sudah jarang pulang ke rumah, jarang memberikan
nafkah dan hendak menikah lagi dengan wanita lain;
- Katanya mereka sudah berpisah rumah sejak bulan itu juga hingga sekarang ini;
- Saya juga sudah menasehati mereka agar rukun kembali, tapi tidak berhasil;
- Menurut saya, mereka sudah tidak mungkin untuk dirukunkan lagi;
- Menurut saya Penggugat sangat layak mengasuh dan memelihara anaknya, karena
Penggugat adalah seorang ibu yang baik dan penuh kasih saying, di samping itu telah
mempunyai penghasilan;
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut, Penggugat membenarkannya;
Menimbang, bahwa Penggugat tidak mengajukan apapun lagi, selanjutnya telah
menyampaikan kesimpulannya yang pada pokoknya Penggugat menyatakan ingin bercerai
dengan Tergugat;
Menimbang, bahwa pada akhirnya Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar
berkenan menjatuhkan putusannya;
Menimbang, bahwa segala sesuatu yang di persidangan ini, telah tercatat di dalam
berita acara persidangan, maka untuk meringkas putusan ini, Majelis Hakim memandang
cukup dengan menunjuk berita acara persidangan tersebut, yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari putusan ini;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana
telah diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah ditentukan untuk
memeriksa perkara ini, Penggugat telah hadir sendiri di persidangan, sedangkan Tergugat
meskipun telah dipanggil secara patut dan sah untuk menghadap di persidangan tidak hadir
dan tidak mengirimkan orang lain sebagai wakil atau kuasanya. Ketidakhadiran Tergugat di
persidangan tidak ternyata terdapat suatu alasan yang dibenarkan oleh hukum. Oleh karena
itu, Tergugat harus dinyatakan tidak hadir di persidangan, dan Majelis Hakim telah berusaha
secara maksimal mendamaikan mereka, tapi tidak berhasil. Oleh karenanya, pemeriksaan
terhadap perkara ini tetap dilanjutkan tanpa kehadiran Tergugat di persidangan berdasarkan
ketentuan pada Pasal 125 HIR;
Menimbang, bahwa dari posita Penggugat, Majelis Hakim menilai bahwa yang
dijadikan alasan oleh Penggugat adalah karena sejak bulan Maret 2008 antara Penggugat
dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan Tergugat jarang
pulang ke rumah, jarang memberikan nafkah kepada Penggugat dan hendak menikah lagi,
akibatnya Penggugat dan Tergugat pisah ranjang hingga sekarang iin, alasan-alasan tersebut
dengan Pasal yang diatur secara limitatif di dalam Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 116 hurup
(f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa : “Perceraian dapat terjadi karena alasan :
“Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, dan karenanya secara formal gugatan Penggugat patut
diterima dan dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat, Majelis
menilai bahwa, oleh karena Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah menurut hukum,
maka anggapan hukum bahwa, Tergugat telah menyetujui dan mengakui dalil-dalil
Penggugat. Oleh sebab itu Majelis Hakim berpendapat bahwa, dalil-dalil gugatan Penggugat
dapat dinyatakan telah menjadi dalil-dalil yang tetap;
Menimbang, bahwa meskipun dalil gugatan Penggugat tentang adanya perselisihan
dan pertengkaran tersebut pada dasarnya telah menjadi dalil yang tetap, namun oleh karena
perceraian adalah sesuatu yang sakral dan tidak dibenarkan atas dasar kesepakatan,
sementara menurut ketentuan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
sebagaimana telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 jo Pasal 22 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat mengabulkan gugatan Penggugat setelah dapat
mengambil kesimpulan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan
dan pertengkaran dalam rumah tangga yang sulit untuk dirukunkan lagi, dan telah cukup
jelas hal-hal yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran. Oleh karena itu Majelis
Hakim berpendapat perlu menemukan fakta-fakta tidak hanya apakah benar antara
Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dalam rumah tangga yang sulit untuk
dirukunkan lagi, namun juga perlu diketahui apakah yang menjadi sebab perselisihan dan
pertengkaran tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P.1) berupa copy Kutipan Akta Nikah atas
nama Penggugat dan Tergugat, yang menerangkan bahwa Penggugat dan Tergugat telah
menikah dan telah dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karena itu, harus dinyatakan
telah terbukti bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terikat dalam perkawinan
yang sah;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalili-dalil Penggugat yang tidak dibantah
Tergugat – oleh karena Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum - tentang
adanya perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat yang diperkuat
dengan keterangan saksi-saksi pada intinya menjelaskan bahwa antara Penggugat dengan
Tergugat sejak bulan Juli 2008 telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dan puncaknya
terjadi pada 2 (dua) tahun yang lalu yang mengakibatkan Penggugat dan Tergugat pisah
rumah sampai sekarang, sementara saksi-saksi telah cukup menasehati Penggugat, demikian
juga Majelis telah berupaya menasehatinya, tapi Penggugat tetap bersikeras ingin bercerai
dengan Tergugat. Hal tersebut menunjukkan bahwa Penggugat sudah tidak lagi
berkeinginan membangun rumah tangga dengan Tergugat, maka Majelis dapat menarik
suatu kesimpulan yang merupakan fakta adalah bahwa antara Penggugat dengan Tergugat
telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi
dalam rumah tangga;
Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Tergugat sendiri – oleh karena Tergugat
tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum - yang diperkuat dengan
keterangan saksi keluarga tentang faktor-faktor yang menyebabkan perselisihan dan
pertengkaran itu terjadi, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa yang menjadi sebab
perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat pada intinya adalah hal-
hal sebagaimana yang telah didalilkan oleh Penggugat;
Menimbang, bahwa dengan adanya fakta-fakta tersebut telah merupakan bukti
bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat telah pecah, dan sendi-sendi
rumah tangga telah rapuh dan sulit untuk ditegakkan kembali yang dapat dinyatakan bahwa
rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat telah rusak (broken marriage), sehingga
telah terdapat alasan untuk bercerai sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 19 hurup
(f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan sejalan dengan ketentuan pada Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi: “Perceraian dapat terjadi dengan alasan antara suami isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan hukum Islam yang tersirat dalam surat
Ar-Rum ayat 21 dan juga ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa)”, jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan membentuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah”, dan jika Penggugat dan Tergugat selaku pasangan suami isteri telah
ternyata sudah tidak lagi timbul sikap saling mencintai, saling pengertian dan saling
melindungi dan bahkan Penggugat tetap sudah tidak lagi berkeinginan untuk meneruskan
rumah tangganya dengan Tergugat, maka agar kedua belah pihak berperkara tidak lagi lebih
jauh melanggar norma agama dan norma hukum maka perceraian dapat dijadikan salah satu
alternatif untuk menyelesaikan sengketa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat;
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak pernah hadir di persidangan
meskipun, ia telah dipanggil dengan patut dan resmi berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, sedangkan tidak ternyata ketidakhadirannya itu disebabkan suatu
halangan yang sah menurut hukum, sementara gugatan Penggugat tidak melawan hukum,
dan dengan didasarkan kepada ketentuan Pasal 125 dan 126 HIR, maka Tergugat yang telah
dipanggil dengan patut dan resmi tersebut, harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan
Penggugat dikabulkan dengan verstek;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim sependapat dan mengambil alih pendapat ahli
fiqih dalam Kitab Ahkamul Qur'an Juz II halaman 405 yang berbunyi :
Artinya :
"Barang siapa yang dipanggil untuk menghadap Hakim Islam, kemudian tidak menghadap, maka
ia termasuk orang yang dzalim, dan gugurlah haknya";
Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
Majelis sepakat bahwa keinginan Penggugat sebagaimana tercantum pada petitum nomor 2
primer telah patut untuk dikabulkan karena telah memenuhi ketentuan pada Pasal 19 hurup
(f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan jo Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat dikumulasikan dengan gugatan tentang
hak hadlanah yang merupakan akibat suatu perceraian dan karenanya dengan didasarkan
kepada ketentuan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sebagaimana telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, gugatan
tersebut patut diterima dan dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 41 hurup (a) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Tentang hak pemeliharaan anak
semata-mata didasarkan kepada kepentingan anak”, dan anak yang masih di bawah umur (belum
mumayyiz) pada umumnya masih banyak bergantung kepada bantuan/pertolongan ibunya;
dan oleh karena telah ternyata bahwa anak-anak tersebut masih di bawah umur dan tidak
ternyata bahwa Penggugat telah melakukan sesuatu yang merugikan kepentingan anak,
maka dengan didasarkan kepada ketentuan Hukum Islam sejalan dengan bunyi Pasal 105
hurup (a) Kompilasi Hukum Islam, maka permohonan agar Penggugat ditetapkan sebagai
pemegang hak hadlanah dari 1 (satu) orang anak laki-laki bernamaVICCA R, umur 5 tahun,
Majelis sepakat untuk mengabulkannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pada Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah ditambah dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006, yang berbunyi: “Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang
ditunjuk, berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah
yang wilayahnya meliputi kediaman Penggugat dan Tergugat, untuk mendaftarkan putusan dalam
sebuah daftar yang disediakan untuk itu”, dan ayat (2) dari Undang-Undang yang sama
menerangkan bahwa : “Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah
Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai
dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh
Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan”;
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai dengan
ketentuann pada Pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah ditambah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 biaya perkara
dibebankan kepada Penggugat;
Mengingat, hukum Islam dan semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku
yang berhubungan dengan perkara ini;
MENGADILI
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara patut dan resmi untuk menghadap di
persidangan tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;
3. Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat (WAHYUDI bin SIDJO, M) kepada
Penggugat (HERNI SILVIA YOHANA, M binti HERMAN JOYO);
4. Menetapkan 1 (satu) anak anak yang bernama VICCAR, umur 5 tahun berada dalam
pemeliharaan (hadhonah) Penggugat;
5. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Cikarang untuk mengirimkan salinan
putusan ini kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal dan tempat
perkawinan Penggugat dan Tergugat dilangsungkan untuk dicatat dalam register yang
disediakan untuk itu;
6. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 316.000,- (tiga
ratus enam belas ribu rupiah);
Demikian putusan ini dijatuhkan di Tambun Selatan dalam musyawarah Majelis
Hakim Pengadilan Agama Cikarang pada hari Rabu tanggal 01 Mei 2011 Masehi bertepatan
dengan tanggal 28 Jumadil Tsani 1432 Hijriyah. Oleh kami Majelis Hakim yang terdiri dari
Drs. H. HASAN BASRI, SH. MH., sebagai Ketua Majelis dan Drs. CHALID, L, MH serta Drs.
M. ANSHORI, SH. MH., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan mana pada hari
itu juga serta diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut dalam sidang yang terbuka untuk umum
yang dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota serta dibantu oleh A. DJUDAIRI RAWYIAN, S.H.,
sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Penggugat tanpa hadirnya Tergugat.
Ketua Majelis,
TTD
Drs. H. HASAN BARI, S.H., M,H
Hakim Anggota I, Hakim Anggota II, TTD TTD
Drs. H. CHALID, L, SH. MH Drs. M. ANSHORI, SH. MH
Panitera Pengganti,
TTD
A. DJUDAIRI RAWIYAN, S.H
Perincian Biaya Perkara :
1. Pendaftaran : Rp.
2. PGL Penggugat 2x : Rp. ,-
3. PGL Tergugat 2x : Rp.,-
4. Redaksi : Rp. 5.000,-
5. Materai : Rp. 6.000,- Jumlah : Rp. 316.000,-
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Panitera
SUMARDI, S.Ag