pelaksanaan pilihan bentuk kelembagaan baitul...
TRANSCRIPT
PELAKSANAAN PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL MAAL
WA TAMWIL (BMT) DI KOTA TANGERANG SELATAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MOHAMAD ALEN ALIANSYAH
NIM. 11140460000021
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2018 M
PELAKSANAAN PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL MAAL
WA TAMWIL (BMT) DI KOTA TANGERANG SELATAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memenuhi Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Mohamad Alen Aliansyah
11140460000021
Pembimbing:
Dr. Khamami Zada, S.H., M.A
NIP. 197501022003121001
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2018 M
Jakarta, Oktober 2018
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 196912161996031001
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul “Pelaksanaan Pilihan Bentuk Kelembagaan Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) di Kota Tangerang Selatan”, yang ditulis oleh Mohamad Alen
Aliansyah, NIM. 11140460000021, telah diujikan dalam sidang skripsi pada
Jum’at, 05 Oktober 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah (Muamalat) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
PANITIA UJIAN
Ketua : A.M Hasan Ali, M.A.
NIP. 197512012005011005
Sekretaris : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A.
NIP. 197312152005011002
Pembimbing : Dr. Khamami Zada, S.H., M.A.
NIP. 197501022003121001
Penguji I : Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 196912161996031001
Penguji II : Dr. Muh. Fudhail Rahman, Lc., M.A.
NIP. 197508102009121001
(……………..)
(……………..)
(……………..)
(……………..)
(……………..)
Jakarta, 08 Oktober 2018
Mohamad Alen Aliansyah
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa penulisan ini merupakan plagiasi dari
karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
ABSTRAK
Mohamad Alen Aliansyah. NIM 11140460000021. PELAKSANAAN PILIHAN
BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT) DI KOTA
TANGERANG SELATAN. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440
H/2018 M. X + 71 halaman 13 halaman lampiran
Studi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan terhadap potensi dari 2
(dua) bentuk pilihan kelembagaan bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di Kota
Tangerang Selatan, yakni lembaga Koperasi Simpan Pinjam Syariah (KSPPS)
yang didasarkan pada Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia (KemenKUKM RI) Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah
oleh Koperasi dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) yang mengacu
pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro di
Kota Tangerang Selatan dan untuk mengetahui alasan-alasan yang menjadikan
BMT di Kota Tangerang Selatan dalam melakukan pilihan kelembagaan tersebut.
Alasan-alasan tersebut ditinjau melalui komponen-komponen sistem hukum dari
perspektif sosial.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian empiris melalui pendekatan
sosiologis dengan ranah yuridis sosiologis. Sumber penelitian ini didapatkan
melakukan teknik wawancara kepada BMT di Kota Tangerang Selatan dengan
dibantu oleh sumber peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal-jurnal,
serta beberapa dokumentasi yang berkaitan dengan judul skripsi ini .
Hasil penelitian menemukan bahwa 4 (empat) BMT di Kota Tangerang
Selatan memilih bentuk kelembagaan KSPPS. BMT tersebut adalah BMT Al-Fath
IKMI, BMT UMJ, BMT At-Taqwa, dan BMT Al-Bayan. Implikasi pilihan
kelembagaan tersebut bagi BMT di Kota Tangerang Selatan adalah terkait
kegiatan, cakupan wilayah, dan pengawasan tunduk kepada Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia (KemenKUKM RI)
Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi. Alasan dalam melakukan pilihan
kelembagaan tersebut didasarkan kepada keuntungan atau kemanfaatan dari
kelembagaan KSPPS yang didapatkan jauh lebih baik, sedangkan kelembagaan
LKMS dianggap menimbulkan kerugian bagi BMT.
Keuntungan dan kerugian yang menjadi alasan dalam memilih kelembagaan
oleh BMT di Kota Tangerang Selatan dipengaruhi oleh 2 (dua) komponen dari
sistem hukum, yaitu substansi dan struktur hukum. Akan tetapi, secara dominan
komponen hukum tersebut dipengaruhi oleh substansi hukum dari pengaturan
LKMS. Terdapat 3 (tiga) BMT di Kota Tangerang Selatan yang memilih
komponen substansi hukum tersebut, BMT tersebut adalah BMT Al-Fath IKMI,
BMT Al-Bayan, dan BMT UMJ. BMT At-Taqwa beralasan bahwasannya
komponen struktur hukum yang lebih melandasi terciptanya kerugian apabila
BMT At-Taqwa memilih LKMS. Perbedaan tersebut karena masing-masing
keadaan, kondisi, serta waktu dari masing-masing BMT berbeda-beda.
Kata kunci: Pelaksanaan Peraturan, Pilihan Hukum, Kelembagaan, BMT.
Pembimbing : Dr. Khamami Zada, S.H., M.A.
Daftar Pustaka : 1979 s.d 2018
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW
sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN
PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT)
DI KOTA TANGERANG SELATAN”. Banyak pihak yang telah membantu
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak
langsung. Maka dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak A.M. Hasan Ali, M.A. dan Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Khamami Zada, S.H., M.H. dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan masukan bagi
Penulis sehingga dapat meyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Muchtiar selaku Direktur BMT UMJ, Bapak Saimin selaku Manajer
BMT Al-Fath IKMI sekaligus Ketua HIMKOPSYAH Banten, Ibu Dwi Lestari
Handayani selaku Manajer BMT At-Taqwa, dan Ibu Dini Rohdiani selaku
Manajer BMT Al-Bayan yang telah memberikan kesempatan Penulis untuk
memberikan informasi serta menjadi obyek penelitian ini.
6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang senantiasa ikhlas dalam menyalurkan ilmunya kepada Penulis selama
masa kuliah.
7. Staff karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan
Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staff akademik Fakultas Syariah
dan Hukum.
iii
8. Kepada Orang Tuaku Musawir dan Siti Prihatin serta Abangku M. Irvan
Septiar Musti, M.Si dan Adik tertampan M. Alvan Zulfikhar, terimakasih atas
segala pengorbanan dan jerih payah yang telah engkau berikan untukku,
sehingga dapat mengantarkan Penulis hingga ke titik saat ini.
9. Keluarga Besar N.A Rasyid dan Kasmari, terimakasih telah memberikan
motivasi, dukungan serta do’a sehingga Penulis dapat mempersembahkan dan
memberikan manfaat atas pendidikan ini di dalam keluarga.
10. Keluarga idealisme C.O.I.N.S dan New Forward yang telah membantu Penulis
dalam membentuk jalur berpikir dan memperkuat idealisme dalam belajar,
sehingga dapat mempermudah dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Keluarga non-formal KKN Berpadu 42 UIN Jakarta 2017 yang telah
memberikan apa arti kekeluargaan yang sesungguhnya.
12. Kepada GIBEI UIN Jakarta, ISP Tangerang, dan SCBD Toastmasters terima
kasih atas do’a dan dukungan kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
13. Sahabat-sahabat seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah 2014 - 2016 yang
selalu membantu dan memberikan saran selama perkuliahan. Terkhusus
sahabat Achmad Fauzan K, Adam Apriliyanto, Andi Siti Chaerunnisa, Desya
Ramadanty, Farihah Mahmuda, Kholid Abdul Aziz, Maya Agustina Waluyo,
M. Fahmi Fahrurrodzi, Sami Makarim, Rifqon Khairazi, dan Tomi Abdul
Aziz.
14. Terimakasih kepada Ghina Octaviana yang telah memberikan do’a terbaik
dalam pengerjaan Skripsi ini.
15. Serta teman-teman yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, terimakasih
atas doa-doa terbaiknya.
Jakarta, 17 September 2018
Mohamad Alen Aliansyah
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ........................ 9
1. Identifikasi Masalah ................................................................ 9
2. Pembatasan Masalah ............................................................... 10
3. Rumusan Masalah ................................................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 11
1. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 11
2. Manfaat Penelitian .................................................................. 11
D. Metodelogi Penelitian ................................................................... 11
1. Tipe Penelitian ........................................................................ 11
2. Pendekatan Penelitian ............................................................. 12
3. Sumber Data ............................................................................ 12
4. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 13
5. Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 13
E. Teknik Penulisan ........................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
BAB II KAJIAN PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL
MAAL WA TAMWIL DAN SISTEM HUKUM DARI
PERSPEKTIF SOSIAL .................................................................... 16
A. Sekilas Tentang Baitul Maal wa Tamwil ..................................... 16
v
1. Pengertian Baitul Maal wa Tamwil ........................................ 16
2. Sistem Operasional Baitul Maal wa Tamwil .......................... 17
B. Awal Mula Terciptanya Pilihan Hukum bagi Baitul Maal wa
Tamwil .......................................................................................... 20
1. Sejarah Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil pada Undang-
Undang Lembaga Keuangan Mikro ........................................ 20
2. Tenggang Waktu Penerapan Izin Baitul Maal wa Tamwil
sebagai Lembaga Keuangan Mikro ......................................... 22
3. POJK Nomor 61 Tahun 2015 yang Menghapus Kewajiban
Memperoleh Izin Baitul Maal wa Tamwil kepada Otoritas
Jasa Keuangan ......................................................................... 22
C. Baitul Maal wa Tamwil dalam Lembaga Keuangan Mikro
Syariah........................................................................................... 23
1. Sekilas mengenai Lembaga Keuangan Mikro......................... 23
2. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan.............................................. 25
3. Konsep Lembaga Keuangan Mikro Syariah ........................... 25
D. Baitul Maal wa Tamwil dalam Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah ...................................................................... 27
E. Kajian mengenai Teori Kelembagaan ........................................... 29
F. Konsep Pilihan Hukum ................................................................. 29
G. Hukum sebagai Suatu Sistem dari Perspektif Sosial..................... 30
H. Tinjauan Ulang Kajian Terdahulu ................................................. 34
BAB III GAMBARAN UMUM BAITUL MAAL WA TAMWIL DI
KOTA TANGERANG SELATAN .................................................. 40
A. Seputar Kota Tangerang Selatan .................................................. 40
B. Gambaran Umum Baitul Maal wa Tamwil di Kota Tangerang
Selatan ........................................................................................... 41
1. Gambaran Perekonomian di Kota Tangerang Selatan ............ 41
2. Gambaran Lembaga Keuangan Syariah di Kota Tangerang
Selatan ..................................................................................... 42
vi
3. Gambaran Umum Baitul Maal wa Tamwil di Kota
Tangerang Selatan ................................................................... 43
BAB IV PELAKSANAAN PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN
BAITUL MAAL WA TAMWIL DI KOTA TANGERANG
SELATAN .......................................................................................... 46
A. Pelaksanaan Pilihan Bentuk Kelembagaan Baitul Maal wa
Tamwil di Kota Tangerang Selatan............................................... 46
1. Keberadaan Potensi Pilihan Kelembagaan bagi Baitul Maal
wa Tamwil ............................................................................... 46
2. Baitul Maal wa Tamwil Jasa Keuangan Syariah di Kota
Tangerang Selatan ................................................................... 50
3. Pelaksanaan Pilihan Bentuk Kelembagaan Baitul Maal wa
Tamwil di Kota Tangerang Selatan......................................... 51
B. Alasan Maal wa Tamwil di Kota Tangerang Selatan dalam
Memilih Bentuk Kelembagaannya ................................................ 59
1. Untung-Rugi Baitul Maal wa Tamwil di Kota Tangerang
Selatan dalam Memilih Bentuk Kelembagaannya .................. 59
2. Komponen Sistem Hukum terhadap Pelaksanaan Pilihan
Bentuk Kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil di Kota
Tangerang Selatan ................................................................... 60
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 69
A. Kesimpulan ................................................................................... 69
B. Saran .............................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 79
vii
DAFTAR TABEL
No. Judul Tabel Hal
Tabel 3.1 Jumlah BMT di Kota Tangerang Selatan berdasarkan Data
Departemen Koperasi 41
Tabel 4.1 Perbandingan Konsep Kegiatan BMT, LKMS, dan KSPPS 46
Tabel 4.2 Perbandingan Konsep Pengaturan LKMS dan KSPPS 48
Tabel 4.3 Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di Tangerang Selatan 51
Tabel 4.4
Lingkup Wilayah Usaha pada Obyek Penelitian BMT di
Tangerang Selatan
55
Tabel 4.5
Wewenang Pembinaan dan Pengawasan BMT di Tangerang
Selatan
57
Tabel 4.6
Alasan BMT di Kota Tangerang Selatan dalam Memilih
Bentuk Kelembagaan Berdasarkan Komponen Sistem Hukum
dari Perspektif Sosial
61
Tabel 4.7
Komponen Struktur Hukum dalam Kultur Hukum BMT di
Kota Tangerang Selatan
63
Tabel 4.8 Komponen Substansi Hukum dalam Kultur Hukum BMT di
Kota Tangerang Selatan terkait Cakupan Wilayah Usaha
66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) adalah lembaga keuangan yang bergerak
secara mikro dengan menjalankan sistem yang berprinsip syariah yang
dikategorikan sebagai lembaga Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K).
Masuknya BMT ke dalam kategori B3K dikarenakan secara legalitas BMT
tidak diatur secara khusus baik dari payung hukum Undang-Undang
Perbankan yakni pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah maupun dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasi. Namun, kegiatan operasional yang dilakukan BMT
memiliki kesamaan layaknya kegiatan perbankan atau istilah ini sering disebut
juga sebagai lembaga shadow banking1. Oleh karena itu, BMT menjadi salah
satu alternatif “3rd window” oleh masyarakat dari lembaga keuangan lain
yang cukup ketat.2
Kegiatan yang dilakukan oleh BMT layaknya bank berupa menghimpun
dana nyatanya bertentanganan dengan Pasal 22 UU Perbankan Syariah. Pasal
22 UU Perbankan Syariah mengatakan bahwa “Setiap pihak dilarang
melakukan kegiatan penghimpunan dan dalam bentuk Simpanan atau Investasi
berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia,
kecuali diatur dalam undang-undang lain.”
Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur BMT
tentunya menjadi permasalahan yang cukup penting bagi BMT. Salah satunya
1 Shadow banking merupakan pesaing bank dalam hal intermediasi kredit kepada rumah
tangga dengan kegiatan bisnis layaknya bank. Yakni menghimpun dana, memberi kredit dengan
bunga yang tinggi, namun syarat yang lebih mudah dipenuhi dibandingkan syarat yang diwajibkan
perbankan. Karena hal tersebut, shadow banking dapat mempengaruhi sistem keuangan nasional.
Shadow banking bukanlah perbankan tradisional dan karena perbankan tradisional cenderung
diatur dengan ketat sehingga shadow banking kurang diatur daripada perbankan pada umumnya.
Lihat: Upaya Menutup Celah Agar Fintech Tidak Berpraktik Shadow Banking,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a4e02600e517/upaya-menutup-celah-agar-fintech-
tak-berpraktik-shadow-banking. 2 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro,
Nopember, 2010, h. 5.
2
regulasinya dianggap yang belum lengkap menjadi permasalahan yang utama
yang harus diperhatikan.3 Sebagaimana dalam Asian Development Bank
mengatakan bahwa hukum, informasi, pengaturan, dan pengawasan yang tidak
memadai menjadi permasalahan besar terhadap struktur lembaga keuangan
mikro.4 Salah satunya juga terkait kegiatan keuangan yang dilakukan BMT
dengan begerak secara mikro untuk memberikan kredit seharusnya menjadi
subyek yang diatur secara ketat.5
Permasalahan hukum bagi BMT nyatanya berbanding terbalik dari jasa
yang telah BMT berikan kepada perekonomian masyarakat.Jumlah BMT di
Indonesia pada tahun 2015 terdapat 4.500 BMT dan total keseluruhan aset
mencapai Rp 16 Triliun.6 Jumlah BMT tersebut tersebar baik di perkotaan,
daerah-daerah terpencil dan bahkan hingga daerah yang tidak bisa dijangkau
oleh institusi perbankan. Target bagi BMT itu sendiri adalah untuk
mengembangkan masyarakat mikro dan kecil yang mengalami kesulitan untuk
mengakses keuangan kepada institusi perbankan dan bertujuan untuk
menghindari sistem rentenir yang berbasis ribawi. Tugas dan peranan yang
dilakukan oleh BMT tersebut terbukti mampu untuk mendorong
perekonomian usaha masyarakat mikro dengan meningkatkan keuntungan dan
pendapatan dari usaha masyarakat yang mengakses keuangan dari BMT.7
Tahun 2011 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hadir dengan dilandasi oleh
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Tujuan dari kehadiran OJK sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 bagian c UU
3 Novita Dewi Masyitoh, “Analisis Normatif UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM atas
Satus Badan Hukum dan Pengawasan BMT”, Jurnal Economica, Vol. V Edisi 2, (Oktober, 2014),
h. 25. 4 Asian Development Bank, Finance for the Poor: Microfinance Development Strategy, 2000,
h. 15 – 16. 5 Namiza Haq, dkk, “Regulation of Microfinance Institutios in Asia: A Comparative
Analysis”, International Reviews of Business Research Papers, Vol. 4, No. 4, (Augst-Sept 2008),
h. 442. 6 Perhimpunan BMT Indonesia Selaras Reformasi Koperasi,
www.Bertiasatu.com./ekonomi/399663-perhimpunan-bmt-indonesia-selaras-reformasi-
koperasi.html., 17 Nopember 2016. 7 Sri Murwanti dan Muhammad Sholahuddin, “Peran Keuangan Lembaga Keuangan Mikro
Syariah untuk Usaha Mikro di Wonogiri”, dalam Seminar Nasional dan Call for Papers
SANCALL 2013, h. 305
3
OJK mengatakan bahwa “Tujuan dari dibentuknya OJK adalah untuk
mengawasi lembaga jasa keuangan agar mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat.” Selanjutnya pada Pasal 5 UU OJK mengatakan
bahwa: “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan.” Karena, permasalahan moral hazard, perlindungan konsumen,
serta stabilitas sistem keuangan di sektor jasa keuangan permasalahan utama
untuk ditangani oleh lembaga yang bersifat independen seperti OJK.8
Pengawasan terhadap jasa keuangan yang sebelumnya terpisah-pisah di
antara Bank Indonesia (BI), Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK), dan Menteri Keuangan berpindah menjadi satu atap
di bawah kewenangan OJK.9 Akibat dari adanya kebijakan perpindahan
pengawasan kepada lembaga tersebut banyak pertentangan antara institusi
keuangan yang berujung digugatnya UU OJK ke Mahkamah Konstitusi untuk
dilakukan uji materiil agar operasional OJK dihentikan dan tugas OJK agar
diambil alih kembali oleh BI. Akan tetapi, Putusan Mahkamah Konstitusi
menolak hal tersebut berdasarkam pada Nomor 25/PUU-XII/2014, sehingga
kewenangan dalam mengawasi dan mengatur lembaga keuangan di Indonesia
tetap berada di bawah OJK dan terus berjalan hingga saat ini.
Pengawasan terhadap seluruh jasa keuangan di Indonesia pada dasarnya
dimiliki oleh OJK. Pengawasan OJK tersebut nyatanya bolong dalam
mengawasi BMT. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengaturan yang
secara eksplisit mengatakan bahwa OJK berhak mengawasi BMT. Secara
hukum OJK hanya dapat mengawasi lembaga keuangan yang apabila secara
eksplisit terdapat pengaturan yang mencantumkan bahwasannya OJK
memiliki kewenangan atas tersebut. Jasa keuangan yang diawasi oleh OJK
berdasarkan pada Pasal 1 Ayat (4) UU OJK di antaranya adalah “lembaga
yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”
8 Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan. 9 Lihat Pasal 55 UU OJK.
4
Terminologi dari Lembaga Jasa Keuangan Lainnya diatur pada Pasal 1
Ayat (10) UU OJK adalah “pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga
pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan,
dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang
bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan
kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana
masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang
dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
Pemerintah melalui kekuasaan legislasinya mencoba memberikan jawaban
permasalahan atas kepastian hukum (rechtszekerheid) bagi BMT. Jawaban
tersebut dengan menghadirkan Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Lahirnya UU LKM ini dianggap sebagai
era baru bagi LKM Syariah untuk mengatur dan megakomodir aturan hukum
BMT yang sebelumnya tidak ada.10
UU LKM pun bertujuan juga untuk
mensinergikan dengan sistem desentralisasi daerah dan memberikan
kewenangan kepada OJK untuk mengatur dan mengawasi LKM yang
sebelumnya tidak dimilikinya.
BMT secara eksplisit diatur dalam UU LKM. Berdasarkan pada Ketentuan
Peralihan UU LKM pada BAB XIII. Pasal 39 Ayat (1) berbunyi: “Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar,
Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK),
Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK),
Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP),
BMT, BTM dan lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu
tetap beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang
ini berlaku.” Selanjutnya pada Pasal 39 Ayat (2) mengatakan bahwa
“Lembaga-lembaga sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) wajib
10
I Gde Kajeng Baskara, “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia”, Jurnal Buletin Studi
Ekonomi, Vol. 18, No. 2,(Agustus 2013), h. 123.
5
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling lama 1
(satu) tahun sejak terhitung Undang-Undang ini berlaku.” Pengawasan
terhadap BMT nantinya dilakukan setelah BMT tersebut memperoleh izin oleh
OJK.11
Permohonan izin yang diberikan dibatasi oleh waktu, yakni selama 3
(tiga) tahun berdasarkan dari UU LKM itu disahkan. Jangka waktu 3 (tiga)
tahun ini terdiri dari waktu berlakunya UU LKM yaitu 2 (dua) tahun dari UU
LKM ini diundangkan pada 8 Januari 2013. Kemudian dibatasi oleh waktu 1
(satu) tahun untuk memperoleh izin kepada OJK setelah UU LKM ini berlaku.
Maka, waktu permohonan izin tersebut berakhir pada 8 Januari 2016.
Kewajiban izin tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro. Pasal 29 ayat (1) POJK 12 Tahun
2014 menyebutkan bahwa “Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank
Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit
Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank
Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul
Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau
lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu yang telah berdiri
dan telah beroperasi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, serta belum mendapatkan izin usaha
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, wajib memperoleh
izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM kepada OJK paling lambat
tanggal 8 Januari 2016.”
Ketentuan Pasal 29 ayat (1) POJK Nomor 12 Tahun 2014 tersebut
selanjutnya dihapus oleh POJK Nomor 61/POJK.05/ 2015 tentang Perubahan
atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang
11
Pengawasan yang dilakukan oleh OJK tidak semata-mata hanya dilakukan oleh OJK, akan
tetapi berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) UU LKM dengan cara mendelegasikan pengawasan kepada
Pemerintah Daerah (Pemda). Lebih lanjut berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) POJK Nomor
14/POJK.05/2014 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro, pengawasan
dan pembinaan yang dilakukan OJK dikoordinasikan kepada Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi.
6
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro. Implikasi dari
penghapusan peraturan tersebut memberikan arti bahwa BMT tidak diatur
untuk memberikan izin kepada OJK dan tunduk kepada UU LKM. Hal
tersebut berarti dengan adanya POJK tersebut membuka potensi pilihan
hukum (choice of law) terkait kelembagaan bagi BMT untuk secara bebas
memilih apakah ingin menjadi LKMS dengan mengikuti UU LKM atau
tidak.12
Saimin selaku ketua Himpunan Koperasi Syariah (HIMKOPSYAH)
Banten mengatakan bahwa “UU LKM memberikan keluasaan bagi BMT.”13
Hal tersebut sebagaimana menurut Deputi Komisioner Pengawasan IKNB 1
OJK Edy Setiadi mengatakan bahwa “LKM Syariah yang kebanyakan berupa
BMT, umumnya sudah berbadan hukum koperasi. BMT tinggal menentukan,
jika usaha mereka di jasa keuangan regulatornya adalah OJK. Sementara jika
koperasi biasa, BMT bisa mengajukan izin ke Kementerian Koperasi dan
UMKM.”14
BMT yang telah mendaftarkan diri kepada UU LKM dapat memperoleh
beberapa fasilitas. Yaitu, integrasi antar lembaga keuangan untuk mengetahui
jumlah plafon pembiayaan, keberlanjutan usaha, perlindungan hukum,
kepastian hukum baik bagi nasabahnya juga bagi BMT itu sendiri, dan untuk
menghindari dari kasus-kasus yang marak saat ini terkait penghimpunan dana
oleh lembaga jasa keuangan. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII)
Harsoyo mengatakan bahwa “dengan diatur dan diawasi secara integral oleh
OJK, tentu akan menjadikan BMT lebih kuat dan memiliki sistem yang baik,
bahkan diharapkan menjadi lembaga keuangan mikro andalan pemerintah
yang berdasarkan aturan ekonomi Islam, sehingga memberikan manfaat
sebanyak-banyaknya bagi masyarakat”.15
12
https://www.ojk.go.id/Files/box/LKM/faq-lkm.pdf 13
Saimin, Ketua HIMKOPSYAH Banten, Interview Pribadi, Ciputat, 10 Agustus 2018. 14
OJK Minta BMT Segera Urus Perizinan, Koran
https://republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/16/01/11/o0s3ye383-ojk-minta-bmt-
segera-urus-perizinan, Senin, 11 Januari 2016. 15
BMT Gerakkan Ekonomi Rakyat, https://republika.co.id/berita/koran/syariah-
koran/14/06/13/n73i462-bmt-gerakkan-ekonomi-rakyat, Jum’at 13 Juni, 2014 Pukul 14:00 WIB.
7
Kasus terkait BMT pun masih banyak yang bermunculan. Sebagaimana
yang terjadi di BMT Istiqomah pada April 2018. Kasus tersebut terkait atas
nasabah tidak dapat menarik dana tabungan mereka masing-masing. Jumlah
tabungan tersebut diperkirakan sebesar Rp 3 Miliar.16
Kemudian pada tahun
2016 di Cirebon masih terdapat BMT yang terlibat kasus penghimpunan dana
tanpa izin. Kasus tersebut melibatkan 2 (dua) BMT yakni BMT Madani
Nusantara dan BMT Sejahtera Mandiri. BMT tersebut telah menghimpun dana
sebesar Rp 2 Triliun tanpa izin, sehingga atas kasus tersebut akhirnya kedua
BMT mendapatkan perhatian khusus oleh OJK dan Bareskrim Polri.17
Pengawasan dan perlindungan BMT oleh OJK tentunya dapat
meminimalisir dan mencegah kejadian tersebut. Karena dengan pengawasan
satu atap yang terpadu dan terintegrasi antar sub-sektor mulai dari perbankan,
pasar modal, asuransi, hingga kopersi simpan pinjam, dan multi level
marketing dapat meminimalisir risiko dan mempekuat lembaga keuangan
yang sistemik. Karena, kelemahan koordinasi antar instansi yang mengawas
dan mengatur dikhawatirkan akan menghambat pengambilan tindakan yang
tepat sasaran dan tepat waktu.18
Data direktori OJK pada 20 Juli 2018 memaparkan bahwa sudah terdapat
2 (dua) BMT dan dari 191 LKM yang terdaftar di OJK. BMT tersebut adalah
Koperasi LKM Syariah Baitul Maal wa Tamwil Sumber Harapan Maju yang
berada di Kabupaten Semarang dengan mendapatkan izin usaha pada 8
Oktober 2015 dan Koperasi LKMS BMT Talaga yang berada di Kabupaten
16
Uang Rp 3 Miliar Lenyap, Nasabah Gruduk Kantor BMT Istiqomah,
http://jabar.tribunnews.com/2018/04/21/uang-rp-3-miliar-lenyap-nasabah-geruduk-kantor-bmt-
istiqomah, Sabtu, 21 April 2018. 17
Dua BMT Syariah Himpun Dana Masyarakat Tanpa Izin, koran
ekonomi.Kompas.com/read/2016/11/01/15282836/dua.bmt.syariah.himpun.dana.masyarakat.tanpa
.izin., 1 Nopember 2016. 18
Early Ridho Kismawandi, “Otoritas Jasa Keuangan (Financial Services Authority) dan
Industri Perbankan di Indonesia”, Jurnal J-Ebis, Vol. 1 No. 2, (Juni, 2016), h. 5-6.
8
Majalengka dengan izin usaha pada tanggal 30 Januari 2018.19
Angka tersebut
patut disayangkan karena masih sedikitnya BMT yang mendaftar.
Terbukanya pilihan kelembagaan bagi BMT tersebut dapat menimbulkan
beberapa implikasi pada pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Akibat
pertama adalah dapat membuka ajakan yang lebih lebar bagi seluruh BMT
untuk mengikuti UU LKM yang sebelumnya hanya dapat dilakukan bagi
BMT yang belum memiliki izin, telah berdiri sebelum adanya UU LKM lahir
dan bagi BMT yang baru saja dirintis setelah adanya UU LKM. Akibat kedua
adalah dengan adanya pilihan hukum tersebut menimbulkan pertanyaan,
apakah dengan adanya pilihan hukum tersebut secara logis mungkin
dilaksanakan?20
Hal tersebut dikarenakan terdapat pula keberadaan
kelembagaan lain yang sebelumnya turut mengakomodir kelembagaan BMT,
yakni melalui Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS).
BMT secara historis telah lama tunduk kepada Perkoperasian.21
Karena
diawali terkait pemilihan bentuk badan hukum bagi BMT antara Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM) yang merupakan bentuk legalitas informal yang
berada di bawah Undang-Undang Organisasi Masyarakat, Perseoran Terbatas
(PT), Koperasi, atau Yayasan. Badan hukum koperasi akhirnya dipilih, karena
badan hukum koperasi yang dianggap lebih mendekati dengan prinsip-prinsip
yang dimiliki BMT.22
Sehingga, hal tersebut berujung kepada hadirnya
kelembagaan KSPPS yang bertujuan juga untuk mengakomodir BMT.
Kelembagaan KSPPS diatur dalam Permen KUKM Nomor
11/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi yang menyempurnakan
19
Direktori LKM OJK diakses melalui https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/direktori/direktori-lkm/Pages/Direktori-Lembaga-Keuangan-Mikro---Juli-2018.aspx. 20
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid II Bagian 4 Buku Ke-5, (Bandung,
P.T. Alumni, Cet. Ke-2, 1998), h. 10 21
Muhammad Kholim, “Eksistensi Baitul Maal Wattamwil dan Permasalahan dalam
Operasionalisasinya (Studi di Propinsi Jawa Tengah)”, Tesis, Magister Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, h. 102. 22
Solikhah, Burhanudin Harahap, dan Luthfiyah Trini Hastuti, “Bentuk Badan Usaha Ideal
untuk Dapat Dipertanggungjawabkan secara Hukum dalam Pengelolaan Baitul Maal Wat Tamwil
(BMT) berdasarkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro di Eks Karisidenan Surakarta”,
Jurnal Yustitia, edisi 93, (September –Desember, 2015), h. 82.
9
Permen KUKM Nomor 16/PER/M.KUKM/IX/2015. KSPPS ini hadir untuk
menggantikan kelembagaan koperasi syari’ah sebelumnya, yakni Koperasi
Jasa Keuangan Syariah (KJKS).
Keberadaan kedua potensi pilihan kelembagaan tersebut, baik LKMS dan
KSPPS tentunya masing-masing lembaga memiliki klasifikasi substansi
peraturan yang berbeda-beda dan dapat menimbulkan implikasi yang berbeda-
beda pula terhadap BMT. Oleh karena itu berdasarkan latar belakang di atas,
penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui secara logis terkait
pelaksanaan pilihan kelembagaan BMT. Fokus BMT yang menjadi obyek
penelitian ini adalah kepada BMT yang berkegiatan di sektor jasa keuangan
syari’ah. Lingkup penelitian ini dilakukan kepada BMT di daerah Kota
Tangerang Selatan. Untuk mengetahui pelaksanaan pilihan hukum tersebut
penelitian ini dilakukan dengan cara terjun ke lapangan untuk mengetahui
realitas yang terjadi. Artinya penelitian ini dilakukan dengan mengetahui fakta
realitas yang terjadi terkait pilihan kelembagaan bagi BMT yang dilaksanakan
oleh BMT di Kota Tangerang Selatan. Sedangkan, untuk mengetahui logis
atau tidaknya Penelitian ini akan menggunakan konsep komponen sistem
hukum dari perspektif sosial.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas. Penelitian ini diberi judul
“PELAKSANAAN PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL MAAL
WA TAMWIL (BMT) DI KOTA TANGERANG SELATAN”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah yang dapat
diidentifikasi Penulis adalah sebagai berikut :
a. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) termasuk ke dalam Bank Bukan
Koperasi Bukan Koperasi (B3K) yang tidak diakomodir secara khusus
dalam perundang-undangan pada awalnya.
b. Tidak diatur secara jelas dalam undang-undang menjadi salah satu
permasalahan utama bagi BMT.
10
c. OJK lahir dengan didasarkan pada UU OJK yang bertujuan untuk
mengawasi dan mengatur lembaga jasa keuangan, nyatanya tidak
memiliki wewenang mengawasi BMT.
d. UU LKM lahir untuk mengatasi permasalahan aturan hukum bagi
BMT dan memberikan kewenangan bagi OJK untuk mengawasi BMT.
Akan tetapi, nyatanya baru 2 (dua) BMT saja memilih LKM
sedangkan telah melampauinya tenggang waktu memperoleh perizinan
dari BMT kepada OJK.
e. Permasalahan aturan hukum tersebut akhirnya melahirkan POJK
Nomor 61 Tahun 2015 yang telah menghapus pelaksanaan kewajiban
izin BMT kepada OJK sebagaimana yang diatur sebelumnya pada
POJK Nomor 16 Tahun 2014.
f. Masih banyak munculnya kasus BMT terkait akibat aturan yang belum
jelas dan tegas terhadap BMT.
g. Adanya POJK Nomor 61 Tahun 2015 menciptakan kebebasan dan
memberi peluang lebih besar bagi BMT yang bergerak di jasa
keuangan untuk memilih aturan kelembagaan yang sesuai bagi BMT.
h. Keberadaan dari konsep pilihan kelembagaan tersebut menimbulkan
pertanyaan bagaimana kelogisan dari pelaksanaan dari pilihan tersebut,
karena terdapat juga KSPPS yang sama-sama bertujuan untuk
mengakomodir kelembagaan BMT, namun didasari dari peraturan
yang berbeda-beda.
2. Pembatasan Masalah
Setelah latar belakang dan identifikasi masalah diuraikan, untuk
membuat penelitian ini menjadi lebih terarah dan untuk menghindari
tumpang-tindih (overlapping) dengan masalah di luar wilayah tema
penelitian, maka pembatasan masalah perlu dilakukan. Batasan masalah
penelitian ini adalah terkait pelaksanaan pilihan bentuk kelembagaan
BMT. Permasalahan pelaksanaan kelembagaan ini akan dilihat di wilayah
Kota Tangerang Selatan.
11
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pembatasan masalah di atas, maka penelitian ini
merumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan pilihan bentuk kelembagaan bagi Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) di Kota Tangerang Selatan?
b. Alasan-alasan apa yang menjadikan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di
Kota Tangerang Selatan dalam memilih kelembagaan tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan bertujuan untuk :
a. Mengetahui pelaksanaan pilihan bentuk kelembagaan bagi Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) di Kota Tangerang Selatan.
b. Mengetahui alasan-alasan yang menjadikan Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) di Kota Tangerang Selatan dalam memilih bentuk kelembagaan
tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, di antaranya:
a. Manfaat teoritis yaitu untuk memberikan sumbangsih bagi ilmu
pengetahuan dan fakta mengenai logisnya pelaksanaan pilihan hukum
bagi Baitul Maal wa Tamwil.
b. Manfaat praktis yaitu untuk memberikan kontribusi positif bagi
kelangsungan Baitul Maal wa Tamwil.
c. Manfaat adjukasi yaitu memberikan sebuah arah kebijakan kepada
pemerintah terkait pelaksanaan pilihan hukum Baitul Maal wa Tamwil.
d. Manfaat konstitusi yaitu optimalisasi Peraturan Perundang-Undangan
yang ada terhadap Baitul Maal wa Tamwil.
D. Metodelogi Penelitian Hukum
1. Tipe Penelitian
Penelitian hukum ini mengkaji menggunakan penelitian hukum
empiris. Kajian hukum empiris berarti kajian yang memandang hukum
sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur, dan lain-
12
lain.23
Dipakainya tipe penelitian empiris dikarenakan penelitian dilakukan
dengan cara terjun secara langsung dengan melihat realitas yang terjadi
terkait pelaksanaan pilihan kelembagaan di BMT.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan sosiologis
(sociological approach). Ranah pendekatan sosiologis yang dipakai adalah
ranah yuridis sosiologis (sosciological jurisprudence). Penelitian ilmu
yuridis sosiologis ini berbasis pada reaksi dan interaksi yang terjadi atas
hukum nomatif (peraturan perundangan) ketika sistem norma hukum itu
bekerja di dalam masyarakat.24
Penelitian ini akan diberangkatkan dari
aturan-aturan norma hukum yang kemudian melihat secara realitas
pelaksanaan yang dilakukan oleh BMT di Kota Tangerang Selatan .
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini didasarkan pada sumber data yang
dilakukan dalam penelitian hukum empiris, yang terbagi menjadi 2 (dua)
sumber data, yakni sumber data primer dan sekunder. 25
a. Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara
langsung dari hasil wawancara kepada pengurus BMT yang melakukan
kegiatannya di bidang jasa keuangan di daerah Kota Tangerang
Selatan.
b. Sumber data sekunder adalah sumber data yang bersifat kepustakaan
terdiri dari bahan-bahan hukum yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan dan sumber-sumber yang merujuk kepada buku,
jurnal, artikel, hasil penelitian, laporan-laporan yang mendukung data-
data penelitian, serta bahan-bahan lainnya yang memberi penjelasan
atas suber-sumber penelitian primer.
23
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, (Jakarta:
Kencana, Cet. Kedua. 2013), h. 2. 24
Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ketiga, 2015), h. 47. 25
Sri Mamudji dkk, Metode Penulisan Hukum, (T.t: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), h. 19.
13
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah melakukan
wawancara kepada Baitul Maal wa Tamwil yang kegiatannya berfokus di
bidang jasa keuangan syariah yang berada di daerah Kota Tangerang
Selatan.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data dan bahan hukum dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah
dilakukan pengolahan data. Pengolaahan data dilakukan sedemikian rupa
yang bertujuan agar data dan bahan hukum tersusun secara runut,
sistematis, dan memudahkan dalam menganalisis data. Pengolahan data
yang dilakukan yakni dengan cara memerhatikan konsistensi jawaban atau
informasi oleh nara sumber (data primer) dan relevansinya pada penelitian.
Dilakukan pula seleksi bahan hukum secara sistematis dan logis yang
menjadi sumber data penelitian hukum.
Data tersebut selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis dengan dibantu
berdasarkan teori hukum yang dipakai. Hasil analisis tersebut dibantu
dengan analisis yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk memberi
gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian yang
dilakukan.26
E. Teknik Penulisan
Peyusunan penelitian ini, Penulis menggunakan teknik penulisan yang
terdapat pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.27
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Adapun sistematika
penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, identifikasi, batasan, dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian
26
Ibid., h. 183. 27
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi,
(Jakarta: t.p., 2017).
14
terdahulu, metodelogi penelitian hukum dan sistematika penulisan
skripsi.
BAB II KAJIAN PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL
MAAL WA TAMWIL DAN KONSEP SISTEM HUKUM
DARI PERSPEKTIF SOSIAL
Bab ini memuat kajian pilihan kelembagaan Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) yang dimulai dari kajian konsep dan teori yang
menjadi landasan pada penelitian hukum ini. Kajian konsep
berkaitan dengan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dan 2 (dua)
bentuk kelembagaannya dimulai dari terminologi, sistem
operasional, hingga landasan regulasinya. Kemudian bab ini
memuat juga konsep dan teori sebagai alat analisis penelitian ini
yang terdiri dari teori pilihan hukum, kelembagaan, dan sistem
hukum dari perspektif sosial dengan komponen-komponennya.
BAB III GAMBARAN UMUM BAITUL MAAL WA TAMWL DI
KOTA TANGERANG SELATAN
Bab ini berisi gambaran umum geografis dan wilayah Kota
Tangerang Selatan, keadaan ekonomi Islam di Kota Tangerang
Selatan, dan keadaan BMT di Kota Tangerang Selatan.
BAB IV PELAKSANAAN PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN
BAITUL MAAL WA TAMWIL DI KOTA TANGERANG
SELATAN
Bab ini memuat hasil temuan untuk menjawab latar belakang
penelitian yang didasari kepada isi dari bab sebelumnya. Substansi
dari bab ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yakni terkait pelaksanaan
pilihan kelembagaan BMT di Kota Tangerang Selatan dan alasan-
alasan BMT dalam memilih kelembagaan tersebut yang didasarkan
kepada konsep dan kajian teori yang menjadi landasan yang
terdapat pada bab sebelumnya.
BAB V PENUTUP
15
Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi hasil
analisis dari yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya yang
berkaitan dengan rumusan masalah yang dibuat secara ringkas.
Saran berisi rekomendasi yang bersifat konstruktif solutif atas hasil
penelitian hukum yang telah dilakukan, sehingga diharapkan
memiliki nilai guna dan manfaat secara luas.
16
BAB II
KAJIAN PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL MAAL WA
TAMWIL DAN SISTEM HUKUM DARI PERSPEKTIF SOSIAL
A. Sekilas Mengenai Baitul Maal wa Tamwil
1. Pengertian Baitul Maal wa Tamwil
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) berasal dari 2 (dua) kata yakni, baitul
maal dan baitul tamwil. Secara historis kata baitul maal berasal dari
bahasa Arab yang berarti rumah harta atau kas negara, yaitu lembaga yang
disediakan oleh pemerintah Islam untuk mengurus masalah keuangan
negara, atau suatu lembaga keuangan negara yang bertugas menerima,
menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan syariat
Islam.1
Mulanya baitul maal adalah sebagai lembaga keuangan yang dibentuk
pemerintah Islam guna mengatur segala aktivitas perputaran keuangan,
baik mulai penerimaan, penyimpanan, maupun pendistribusian untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat berdasarkan syariat Islam.2
Sedangkan, saat ini baitul maal pada BMT di Indonesia lebih mengarah
kepada usaha-usaha pengumpulan dana penyaluran dana yang bersifat
non-profit, seperti halnya, zakat, infaq, dan shadaqoh.3
Sejarah besar hadirnya BMT di Indonesia tidak terlepas dari peranan
kegiatan penolakan ribawi. Kehadiran BMT tersebut diprakarsai oleh
mahasiswa ITB BMT Masjid As-Salman ITB pada tahun 1984.4 Pendirian
BMT tersebut pada dasarnya untuk mengaplikasikan Q.S Al-Baqarah (2) :
275:
1 M. Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Umat di Dunia Islam, (Bandung: Penerbit
Angkasa, cet.pertama, 2003), h. 78. 2 Ibid., h. 79.
3 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Ciputat: UIN Jakarta Press, Cet.
Pertama, 2013), h. 20. 4 Rana Ayu Azizah dan Noven Suprayogi, “Analisis Keoptimalan Fungsi Baitul Maal pada
Lembaga Keuangan Mikro Islam (Studi Kasus pada BMT Nurul Jannah di Gresik dan BMT Muda
di Surabaya)”, Jurnal JESTT, Vol. 1, No. 12, (Desember 2014), h. 842.
17
ن م ال ز يتخجت الش يطي هي الوس رلك ثأ ى االكوبيق ه ا ال يق ث الش الزيي يأكل
ث ي س عظة ه ا فوي جبء ه ث م الش حش الجيع احل للا ا ث ااوب الجيع هثل الش قبل
ن ت البس ئك أصح ل هي ع ب دفأ أهش أ ل للا فل هبسلف ت ے فب
ى لذ بخ في
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”
BMT sebagai baitul tamwil berasal dari kata bait yang artinya rumah,
dan tamwil merupakan bentuk mashdar yang artinya pengumpulan harta.1
Sedangkan, BMT di Indonesia selaku baitul tamwil bergiat untuk
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam
mengembangkan kualitas kegiatan pengusaha kecil dengan mendorong
kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan ekonomi.2 BMT sebagai
baitul tamwil lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran
dana komersial.3.
2. Sistem Operasional Baitul Maal wa Tamwil
Secara umum ciri-ciri pendukung utama dalam sistem operasional
BMT di antaranya:
1 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 21.
2 Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM
di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 85. 3 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 20.
18
a. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat sekitar.
b. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan
ekonomi paling banyak untuk anggota dan lingkungan.
c. Bukan merupakan lembaga sosial, tetapi dapat dimanfaatkan untuk
mengefektifkan pengunaan zakat, infaq, dan shadaqah bagi
kesejahteraan orang banyak.
d. Milik bersama masyarakat kecil dan bawah dari lingkungan BMT itu
sendiri, bukan milik orang perorang atau orang dari luar masyarakat
itu.
BMT dirancang sebagai lembaga keuangan yang berlandaskan pada
ekonomi rakyat. Artinya secara konsep BMT berfokus kepada penyaluran
dana kepada masyarakat bawah yang miskin dan nyaris miskin.4
Kegiatannya yang berbentuk penyaluran dana terdapat 2 (dua) jenis, yakni
dana yang murni hibah dan dana pinjaman. Hibah berupa bantuan
langsung untuk kehidupan yang mendesak atau darurat, dan bagi mereka
yang memang sangat membutuhkan seperti kebutuhan obat, biaya sekolah,
dll. Penyaluran dana yang bersifat pinjaman diberikan berupa modal
produktif dan juga memberi bantuan teknis bantuan berupa pelatihan,
konsultasi, manajemen, dan pemasaran.5
Kegiatan BMT sebagai baitul maal berupa menerima titipan zakat,
infaq, dan sedekah, serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan
amanatnya.6 Penyaluran dana maal tersebut didasarkan kepada alur
penghimpunan dana yang didapat sebelumnya, baik dari klasifikasi zakat,
infaq, sedekah, atau waqaf. Hal tersebut dikarenakan masing-masing
klasifikasi tersebut memiliki peruntukkan penyaluran yang telah diatur
dalam hukum seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23
4 Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM
di Indonesia, h. 83. 5 Ibid., h. 86.
6 A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengantar),
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), h. 183.
19
Tahun 2011 tentang Zakat yang tidak terlepas dari Al-Qur’an.
Sebagaimana berbunyi dalam Q.S At-Taubah (9): 60:
قبة إ في الش ن ث الوؤلفة قل ب العبهليي علي الوسبكيي ذقبت للفقشاء وب الص
اثي السجيل في سجيل للا الغبسهيي علين حكين فشيضة هي للا للا
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kegiataan baitul tamwil yang berupa penghimpunan dana oleh BMT
harus mengikuti Fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI. Produk-
produk penghimpunan dana yang secara umum dilakukan BMT, di antara
lain:7
a. Giro Wadiah, merupakan produk simpanan yang berasal dari dana
nasabah yang dititipkan di BMT dan boleh dikelola. Setiap saat
nasabah berhak mengambilmua dan berhak mendapatkan bonus dari
keuntungan pemanfaatan dana giro tersebut oleh BMT. Sebsarnya
bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan
kebijaksanaan BMT. Sungguhpun demikian, nominalnya sedemikian
rupa untuk kompetitif (Fatwa DSN-MUI No. 1/DSN-MUI/IV/2000).
b. Tabungan Mudharabah, yakni dana yang disimpan nasabah akan
dikelola BMT untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan aka
diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan nasabah dan pihak
BMT. Nasabah dalma hal ini bertindak sebagai shahibul mal dan BMT
sebagai mudharib (Fatwa DSN-MUI No. 02/DSN-MUI/IV/2000)
7 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 25.
20
c. Deposito Mudharabah dengan 2 (dua) konsep yang ditawarkan. Pertaa,
BMT bebas melakukan usaha yang tidak bertentangan dengan Isam
dan terus mengembangkannya yang didasarkan pada konsep
mudharabah muthlaqah. Atau dengan konsep mudharabah
muqayyadah di mana nasabah menentukan dana yang disipan harus
dikelola pada suatu usaha saja.
Kegiatan usaha BMT yang terkait dengan memobilisasi dana terdapat
dua jenis. Jenis mobilisasi yang pertama berupa akad investasi dengan
akad mudharabah atau titipan (wadiah) dan pembiayaan yang berdasarkan
pada prinsip bagi hasil dengan akad mudharabah/musyarakah, aktivitas
jual beli dengan akad murabahah dan cicilan dengan akad ba’i bitsaman
ajil atau pembiayaan qardh hasan.8 Kedua mobilisasi dana non keuangan,
seperti perkenalan teknologi untuk meningkatkan produktifitas hasil
anggota, mendorong tumbuhnya industri, dan mempersiapkan jaringan
pemasaran.
Dengan demikian konsep BMT adalah lembaga keuangan yang bersifat
dwifungsi. Pertama, BMT berfungsi sebagai lembaga sosial (non profit
department) dengan nama kegiatan baitul maal yang berfungsi sebagai
penghimpun dan penyalur dana umat juga sebagai penyeimbang
perekonomian melalui zakat, infaq, dan shadaqah tanpa memungut keutungan.
Fungsi yang kedua adalah lembaga yang bertujuan untuk mencari keuntungan
(profit deparment) dengan nama kegiatan baitul tamwil sebagai kepanjangan
tangan lembaga keuanga syariah, hal tersebut dikarenakan kemampuan
perbankan sangat terbatas untuk menjangkau sektor usaha mikro dan kecil.9
BMT mampu sebagai penopang dan pendorong sektor-sektor usaha mikro
yang belum terjangkau lembaga keuangan oleh masyarakat bawah.
8 Ibid., h. 26.
9 Ibid., h. 20.
21
B. Awal Mula Terciptanya Pilihan Kelembagaan bagi Baitul Maal wa
Tamwil
1. Sejarah Pengaturan BMT pada UU LKM
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) secara eksplisit terdapat dalam UU
LKM. Bab XIII Ketentuan Peralihan10
menjelaskan bahwa “…BMT, BTM
dan lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap
beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang
ini berlaku.” Selanjutnya pada Pasal 39 ayat (2) mengatakan bahwa
“Lembaga-lembaga sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling lama 1
(satu) tahun sejak terhitung Undang-Undang ini berlaku.”
Pelaksanaan UU LKM tersebut lebih lanjut diatur pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Keuangan Mikro. Pasal 29 ayat (1)
POJK Nomor 12/POJK.05/2014 menjelaskan bahwa “Bank Desa,
Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD),
Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Kredit Usaha Rakyat Kecil
(KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi
Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa
Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau
lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu yang telah berdiri
dan telah beroperasi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, serta belum mendapatkan izin
usaha berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, wajib
memperoleh izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM kepada OJK
paling lambat tanggal 8 Januari 2016.”
10
Ketentuan Peralihan dalam butir 127 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
disebutkan bahwa Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau
hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap
Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: (a) menghindari kekosongan
hukum; (b) menjamin kepastian hukum; (c) memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang
berdampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan (d) mengatur hal-hal yang
bersifat transisional atau bersifat sementara.
22
Alasan yang menjadikan BMT masuk ke dalam UU LKM adalah
karena pada dasarnya BMT merupakan bagian dari lembaga Bukan Bank
dan Bukan Koperasi (B3K) yang keberadaan regulasinya tidak secara
tegas mengatur. Payung hukum, pengakuan keberadaan, juga kepastian
hukum sangat diperlukan bagi BMT, baik dari sisi kelembagaan juga di
sisi nasabah atau anggota. Hal tersebut bertujuan agar dapat mendorong
terciptanya industri LKM yang berkelanjutan (sustainable) dalam
pelayanannya terhadap usaha mikro dan masyarakat miskin.11
2. Tenggang Waktu Penerapan Izin BMT sebagai Lembaga Keuangan
Mikro
Pasal 42 Undang-Undang LKM mengatakan bahwa mulai berlakunya
UU LKM adalah setelah 2 (dua) tahun UU ini diundangkan. UU LKM
diundangkan pada tanggal 8 Januari 2013 dan mulai berlaku pada 8
Januari 2015. Berlakunya UU LKM ini menandakan bahwa UU LKM
harus dilaksanakan dan dipatuhi secara nyata oleh BMT melalui
memberikan izin usahanya kepada OJK sebagaimana dalam Pasal 39 ayat
(2) yang mewajibkan bagi BMT untuk memperoleh izin OJK dengan
tenggang waktu selama 1 (satu) tahun. Hal ini berarti pada tanggal 8
Januari 2016 seluruh LKM yang menjadi subyek aturan hukum dalam UU
LKM salah satunya adalah BMT sebagaimana pada Pasal 39 ayat (1) harus
telah mendapatkan izin dari OJK.
3. POJK Nomor 61 Tahun 2015 yang Menghapus Kewajiban
Memperoleh Izin BMT kepada OJK
POJK Nomor 61/POJK.05/2015 tentang Perubahan atas POJK Nomor
12/ POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Keuangan
Mikro lahir bertujuan untuk menghapus pelaksanaan kewajiban
memperoleh izin bagi LKM, salah satunya BMT. Ketentuan Nomor 11
POJK Nomor 61/POJK.05/2015 ini menghapus Pasal 29 Peraturan
11
Lihat Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro,
Nopember, 2010, h. 13.
23
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/ POJK.05/2014. Sehingga, Pasal 29
ayat (1) POJK Nomor 12/ POJK.05/2014 yang berbunyi:
“(1) Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan
Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha
Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank
Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP),
Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM),
dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu yang
telah berdiri dan telah beroperasi sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, serta belum
mendapatkan izin usaha berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, wajib memperoleh izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM
kepada OJK paling lambat tanggal 8 Januari 2016.”
Penghapusan Pasal 29 Ayat (1) oleh POJK Nomor 61/POJK.05/2015
tersebut menjadikan ketentuan bagi BMT baik yang telah beroperasi atau
belum beropersi setelah berlakunya UU LKM, baik yang belum mendapat
izin ataupun sudah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sudah tidak diterapkan.
Tidak adanya ketentuan bagi BMT untuk memerikan izin kepada OJK
menandakan bahwa dapat memberi peluang bagi seluruh LKM terkhusus
BMT untuk dapat memilih UU LKM tanpa terkecuali baik dia telah
berizin atau belum dan baik telah ada sebelum UU LKM lahir ataupun
baru didirikan setelah UU LKM muncul.
C. Baitul Maal wa Tamwil dalam Lembaga Keuangan Mikro Syariah
1. Sekilas mengenai Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) atau lebih populer menurut
Ledgerwood disebut sebagai microfinance institutions (MFIs)
didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan
mikro yang berfungsi sebagai alat pembangunan masyarakat pedesaan.
Menurut Tohari, LKM adalah lembaga yang memberikan jasa keuangan
kepada pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik
24
formal, semi formal, dan informal. LKM formal adalah LKM yang
beroperasi di bawah pengaturan yang ketat seperti bank mikro (BRI unit
desa dan BPR atau BPRS). LKM semi formal adalah yang tidak memiliki
spesifikasi aturan tetapi dapat memilih kepada peraturan yang ada.
Sedangkan, LKM informal tidak memiliki regulasi dan tidak mendaftarkan
kepada aturan yang ada.12
Pengertian lain mengatakan bahwa, LKM merupakan lembaga yang
melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan baik bagi pengusaha kecil
dan mikro, serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani
oleh lembaga keuangan formal dan telah berorientasi pasar untuk tujuan
bisnis.13
Hal tersebut berarti LKM sebagai intermediasi keuangan yang
bertujuan untuk menciptakan keuntungan dan memiliki motif sosial untuk
mengembangkan kegiatan masyarakat.14
Krishnamurti meringkas pengertian LKM menjadi 3 (tiga) elemen.
Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Kedua,
melayani masyarakat miskin. Dikarenakan lembaga keuangan mikro pada
awalnya hidup dan berkembang memang untuk rakyat terpinggirkan oleh
sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki karakteristik
konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme
yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini dikarenakan konsekuensi dari
kelompok masyarakat yang majemuk, sehingga prosedur dan mekanisme
yang dikembangkan untuk keuangan mikro senantiasa kontekstual dan
fleksibel.15
Di Indonesia, LKM memiliki ciri lain yaitu terkait keanekaragaman
masing-masing LKM. Karena LKM di Indonesia cukup banyak jumlahnya
dan beraneka-ragam. Keanekaragamaan LKM disebabkan oleh
12
Namiza Haq, dkk, “Regulation of Microfinance Institutios in Asia: A Comparative
Analysis”, International Reviews of Business Research Papers, Vol. 4, No. 4, (Augst-Sept 2008),
h. 427-428. 13
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM
di Indonesia, h. 49. 14
Devi Erna Rachmawati, “Market Opportunities and Regulations Microfinance in Indonesia,
Jurnal of East Asian Studies”, No. 13, h. 184. 15
Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 8.
25
heterogenitas masyarakat Indonesia.16
LKM yang satu dengan yang
lainnya dapat saling berbeda, bahkan LKM yang sejenis pun nyatanya
dapat pula berbeda. Karena setiap entitas hukum LKM memiliki ciri khas
dan karakter yang berbeda.17
2. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) mendefinisikan Lembaga Keuangan Mikro yang
selanjutnya disingkat LKM berdasarkan pada Pasal 1 ayat (1) adalah
“lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui
pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan
masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.”
Lebih lanjut maksud dari usaha skala mikro adalah salah satu dari
kategori usaha yang terdapat dalam Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM). Pengaturan tentang UMKM terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Pasal 1
UU UMKM menyebutkan bahwa “Usaha Mikro adalah usaha produktif
milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi
kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Kriteria Usaha Mikro menurut Pasal 6 UU UMKM adalah “(a) Memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (b) Memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).”
16
I Gde Kajeng Baskara, “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia”, Jurnal Buletin Studi
Ekonomi, Vol. 18, No. 2, (Agustus, 2013), h. 115. 17
Muhammad Muhtarom, “Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan Mikro Syariah
di Indonesia”, Profetika Jurnal Studi Islam, XVII, 1, (Juni, 2016), h. 99.
26
3. Konsep Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) hanya
memberikan definisi terkait LKM dan tidak memberikan definisi secara
konkret dari pengertian Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).
Pengertian LKMS dapat didefinisikan secara eksplisit pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 62/POJK.03/2016 tentang
Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) menjadi
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(LKMS) menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Kemudian
terdapat pula dalam POJK Nomor 62/POJK.05/2015 tentang Perubahan
atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
Pengertian Lembaga Keuangan Mikro Syariah berdasarkan Pasal 1
ayat (3) POJK Nomor 62/POJK.03/2016 tentang Transformasi Lembaga
Keuangan Mikro Konvensional menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan
Lembaga Keuangan Mikro Syariah menjadi Bank Pembiayaan Syariah
adalah “Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang selanjutnya disingkat
LKMS adalah lembaga keuangan mikro sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah”.
Definisi dari kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dijelaskan
pada Pasal 12 ayat (2) UU LKM di mana “kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan
sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional, Majelis Ulama Indonesia”. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 13
POJK Nomor 62/POJK.05/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Keuangan Mikro menjelaskan bahwa bagi LKMS yang
melakukan kegiatan usaha syariah seperti pinjaman, pembiayaan,
pengelolaan simpanan, maupun pemberian konsultasi harus disetujui
terlebih dahulu kepada OJK dan melampirkan fatwa DSN-MUI.
27
Berdasarkan pada Pasal 13 Ayat (4) POJK Nomor 62/POJK.05/2015
tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan
Mikro LKMS dapat pula melakukan kegiatan pengelolaan dana sosial
seperti zakat, infak, wakaf dan sodaqoh yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan hukum LKMS terdapat 2 (dua) jenis. Berdasarkan Pasal 5 Ayat
(1) UU LKM menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) jenis badan hukum yang
terdapat dalam UU LKM, yakni Koperasi atau Perseroan Terbatas (PT).
Apabila LKM yang berbadan hukum koperasi tentunya tidak terlepas dari
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. LKMS yang
berbadan hukum koperasi dapat pula berbadan usaha koperasi sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UU Perkoperasian. Konsep dari
perkoperasian berarti tidak terlepas pula pada Undang-Undang Dasar RI
1945 Pasal 33 Ayat (1) yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
LKMS yang berbadan hukum PT tunduk kepada Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.18
Bagi LKM yang
berbadan hukum PT berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) saham LKM paling
sedikit dimiliki 60% (enam puluh persen) oleh Pemerintahan Daerah.
D. Baitul Maal wa Tamwil dalam Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah
Kegiatan koperasi sejatinya terdapat 5 (lima) jenis, berdasarkan Pasal 16
UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian di antaranya; Koperasi
Produsen, Koperasi Konsumen, Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi
Pemasaran, dan Koperasi Jasa. Ada pula koperasi yang memiliki kegiatan
campuran, yakni Koperasi Serba Usaha (KSU).19
Koperasi yang bergerak di
jasa keuangan adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP). KSP disejajarkan pada
18
Lihat Pasal 1 ayat (7) bagian a dan b POJK Nomor 13/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro. 19
Andjar Pachta, Myra Rosana Bachtiar, dkk, Hukum Koperasi Indonesia: Pemahaman,
Regulasi, Pendirian, dan Modal usaha, (Jakarta: Kencana, Cet. Kedua, 2007), h. 26.
28
koperasi kredit yang memberikan tabungan serta kredit. Koperasi ini berfungsi
sebagai intermediasi dana milik anggota untuk disalurkan kepada anggota
yang membutuhkan.20
Anggota dalam KSP berkedudukan sebagai pemilik (owner) serta sebagai
nasabah (customers). Namun, pelayanan kepada anggota yang menabung
dalam simpanan wajib, simpanan sukarela, serta deposito, menjadi modal
koperasi yang kemudian disalurkan kepada anggota dan/atau calon anggota.
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) adalah bentuk
dari KSP yang berkegiatan secara syariah. KSPPS diatur dalam Peraturan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia Nomor
11/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi yang menyempurnakan
Permen KUKM Nomor 16/PER/M.KUKM/IX/2015 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi.
Berdasarkan Permen KUKM Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh
Koperasi Pasal 1 Ayat (2) KSPPS adalah Koperasi yang berkegiatan usaha
simpan, pinjam, dan pembiayaan sesuai prinsip syariah, termasuk mengelola
dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Berdasarkan pada Pasal 19 ayat (4) dan
(5) KSPPS memiliki memiliki 2 (dua) unit kegiatan, yakni unit kegiatan sosial
(maal) dan unit kegiatan usaha bisnis (tamwil). Menurut Pasal 19 Ayat (5)
bagian a dan Pasal 22 Ayat (1) kegiatan dari maal adalah untuk
menyelenggarakan pemberdayaan Anggota dan masyarakat di bidang sosial
dan ekonomi. Kegiatan dari tamwil terdapat 2 (dua) jenis yakni kegiatan
tamwil simpanan berdasarkan padal Pasal 23 dan tamwil Pinjaman dan
Pembiayaan Syariah yang mengacu pada Pasal 24 Permen KUKM Nomor
11/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi.
20
Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah pada Tahun 2010, diakses melalui dinkopukm.slemankab.go.id/wp-
content/uploads/2018/07/Jenis-Koperasi.pdf.
29
E. Kajian mengenai Teori Kelembagaan
Kelembagaan atau istilah bahasa inggrisnya bernama institution dapat
diartikan dari berbagai sudut pandang, yaitu sebagai sebuah kegiatan dan
perilaku ekonomi, pengaturan terhadap individu, dan dapat dimaknai pula
sebagai pengawasan. Secara terminologi menurut Rutherford kelembagaan
dimaknai sebagai sebuah regulasi dari prilaku yang secara umum diterima
oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku khusus dan spesifik,
dan baik yang diawasi sendiri maupun dimotori oleh otoritas luar (external
authority).21
Kelembagaan itu sendiri merefleksikan sistem nilai dan norma
dalam masyarakat; akan tetapi, nilai dan norma itu bukanlah kelembagaan itu
sendiri.22
Douglass C. North memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan yang
membatasi perilaku yang menyimpang dari manusia untuk membangun
struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial. Secara historis, kelembagaan
ini mampu menciptakan ketertiban dan mengurangi ketidakpastian.
Menurutnya, kelembagaan terdiri dari 2 (dua) komponen yakni komponen
informal yang berisi kebiasaan, tradisi, dll, dan komponen formal yang berupa
konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan hak asasi.23
Tanpa adanya
penegakkan, kelembagaan tidak akan efektif apabila tidak diiringi mekanisme
penegakkan. Sehingga, akibat dari kegagalan dari kelembagan tersebut
didasarkan kepada struktur substansinya, serta regulasi dari penegakkan yang
lemah, padahal hal tersebut harus diperkuat.24
F. Konsep Pilihan Hukum
Pilihan hukum (choice of law) pada dasarnya diberikan kepada manusia-
manusia pribadi sejalan dengan kemauan mereka dalam memilih dan
menentukan hukum yang akan diperlukan bagi hubungan-hubungan hukum
antara mereka “autonomi de la volonte” atau otonomi para pihak. Pilihan
21
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, & strategi, (Malang,
Bayumedia, 2006), h. 40. 22
Ibid., h. 41. 23
Douglass C. North, “Institutions”, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 5, No. 1.
(Winter, 1991), h. 1 24
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, & strategi, h. 54.
30
hukum dapat diartikan bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk memilih
hukum yang hendak dipergunakan.25
Adanya pilihan hukum tesebut dikritisi oleh Hijmans, menurutnya “sampai
sejauh mana arti daripada kemauan manusia dalam hukum? Apakah peranan
keinginan manusia dalam menentukan hukum yang harus diperlakukan?”.26
Berdasarkan hal tersebut, maka menciptakan pendekatan terhadap falsafah
peranan kemauan individu terhadap hukum yang berlaku.27
Maka dengan
adanya pilihan hukum tersebut timbul kembali kritik yang lebih tajam, yakni
“Apakah pilihan hukum secara logis mungkin untuk dilakukan? 28
Karena
akibat dari dengan adanya pilihan hukum tersebut dapat menciptakan
penyelundupan hukum yang menciptakan pergeseran pelaksanaan hukum dari
titik-titik yang seharusnya.
Terdapat pro dan kontra terkait pelaksanaan pilihan hukum. Pihak yang
setuju terhadap pilihan hukum beralasan bahwa pihak-pihak tersebut lah yang
paling mengetahui apa yang terbaik baginya. Karena yang dianggap baik bagi
keadaan dan kondisinya, maka pihak tersebut berhak untuk memilihnya.
Sedangkan pihak kontra berpendapat, bahwa kebebasan sendiri oleh para
pihak tersebut tidak dapat dipertahankan.29
Hal tersebut dikarenakan akan
menimbulkan kesemena-menaan dan akan menciptakan pergeseran dari
pelaksanaan hukum.
G. Hukum sebagai Suatu Sistem dari Perspektif Sosial
Sistem hukum terdiri dari dua suku kata, yakni sistem dan hukum. Sistem
adalah sebuah unit yang beroperasi dengan batas-batas tertentu.30
Hukum
adalah sekumpulan norma atau aturan yang tertulis atau tidak tertulis yang
berkenaan dengan perilaku benar dan salah, hak dan kewajiban.31
25
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid II Bagian 4 Buku Ke-5, (Bandung,
P.T. Alumni, Cet. Ke-2, 1998), h. 5-6. 26
Ibid., h. 7. 27
Ibid., h. 8. 28
Ibid., h. 10. 29
Ibid., h. 84. 30
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, (Bandung: Nusa Media,
2013), h. 6. 31
Ibid., h. 1.
31
Hukum dalam kadar tertentu adalah produk sosial, karena Aristoteles
mengatakan bahwa manusia itu sendiri adalah makhluk sosial (Zoon
Politicon). Hasil dari kegiatan-kegiatan manusia menjadi rujukan kepada
hukum tertulis, namun hukum yang tertulis tersebut dan hukum yang berlaku
di masyarakat nyatanya tidak sejalan.32
Hukum sebagai struktur terdapat 3 (tiga) fenomena. Pertama, ada
kekuatan- kekuatan sosial-legal yang mendesak masuk dan membentuk
hukum. Kedua, hukum muncul sebagai struktur peraturan itu sendiri. Ketiga,
ada dampak dari hukum tersebut terhadap perilaku di dunia luarnya.33
Karena
dunia ilmu hukum telah mengabaikan suatu output dari sebuah peraturan dan
keputusan. Hasil (output) tersebut adalah realitas ketiga, yakni dampak
terhadap dunia luar. Dampak tersebut adalah mengenai efek hukum terhadap
masyarakat.34
Sistem hukum ini dipopulerkan oleh Lawrence M. Friedman yang lebih
menekankan kepada sistem hukum dari perspektif sosial. Karena pada saat itu
sistem hukum hanya dalam perdebatan intelektual saja terkait substansi dari
hukum dan struktur otoritas hukum. Menurutnya, hukum harus dilihat lebih
dalam di sisi faktor ketiga yang menjadi fokus pada penggerak dari sistem
hukum, yakni sosial atau masyarakat yang berdampak (kultur hukum). Sistem
hukum tersebut kemudian diklasifikasikan kepada 3 (tiga) komponen utama
yang cukup terkenal. Komponen-komponen tersebut terdiri dari substansi
hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan kultur hukum
(legal culture).35
Substansi Hukum (Legal Substance) adalah komponen faktor yang berisi
atas susunan peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi
berperilaku.36
Isi dari substansi hukum adalah hasil nyata yang diterbitkan dari
sistem hukum. Berupa hukum in concreto (kaidah hukum individual) yang
32
Ibid., h. 2. 33
Ibid., h. 2. 34
Ibid., h. 4. 35
Ibid., h. 15-17. 36
Ibid., h. 16.
32
berarti kaidah hukum yang berlaku ditujukan kepada orang tertentu dan
hukum in abstracto (kaidah hukum umum) yang berarti kaidah hukum yang
berlaku ditujukan kepada orang-orang atau pihak-pihak tertentu, tetapi kepada
siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum.37
Struktur Hukum (legal structure) adalah bagian-bagian dari sistem hukum
yang bergerak di dalam suatu mekanisme.38
Jadi, struktur hukum ini berkaitan
dengan kelembagaan, yakni lembaga yang berwenang meneggakkan dan
melaksanakan hukum.39
Sama seperti Soerjono Soekanto struktur hukum
berupa pihak-pihak yang membentuk atau menerapkan hukum.40
Hubungan
serta ruang lingkup kewenangan dari berbagai lembaga atau badan yang
masuk dalam komponen ini secara garis besar biasanya dapat dilihat dalam
konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara.
Kultur hukum (legal culture) adalah komponen sistem hukum yang dapat
menggerakkan hukum yang berupa elemen sikap dan nilai sosial mengacu
kepada sikap dan opini terhadap hukum. Komponen ini mempertanyakan
sebab atau alasan-alasan masyarakat mengikuti hukum.41
Alasan-alasan
hukum tersebut nantinya akan diterjemahkan untuk menghidupkan mesin
sistem hukum agar dapat bergerak atau dapat pula mematikan mesin sistem
hukum.42
Komponen ini menjadi komponen yang penting dalam hal
penerapan hukum karena komponen ini dapat menjadi penelaah terhadap
kualitas potensi dan fungsi dari setiap komponen sistem hukum.43
Peranan dari komponen kultur hukum atau alasan hukum ini menjadi latar
belakang yang berkaitan dengan masalah efektivitas berlakunya hukum.
37
Winarno Yudho dan Heri Tjandrasari, “Efektivitas Hukum dalam Masyarakat”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Vol. 17, No. 1, 1987, h. 59. 38
Ibid., h. 58. 39
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-3, 2014), h. 306. 40
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:
Rajawali, 1987), h.16. 41
Ibid., h.18. 42
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, h. 17. 43
Emeritus, dkk, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung, Fikahati Aneska, 2012), h. 166.
33
Sehingga, atas dasar kajian tersebut berkembanglah menjadi keilmuan
mengenai berlakunya hukum di masyarakat atau efektivitas hukum.44
Efektivitas hukum tidak terlepas di samping dari peranan hukum oleh
Lawrence M. Friedman juga kepada Soerjono Soekanto, Clearence J. Dias,
Howard, dan Mummers.45
Konsep dari efektivitas hukum yang menyajikan
bagaimana pendapat hukum oleh masyarakat yang diterjemahkan kepada
pelaksanaan hukum melalui perspektif sosialnya dilihat berdasarkan kepada
komponen-komponen dalam sistem hukum.
Teori efektivitas hukum berkembang kepada penjelasan mengenai
bekerjanya sebuah aturan perundang-undangan ketika diterapkan di dalam
masyarakat. Tema pokok studi hukum ini adalah apakah hukum tersebut
berlaku, dan mengetahui berlakunya hukum.46
Termasuk di dalamnya adalah
penjelasan mengenai hambatan-hambatannya.47
Tidak hanya terkait hambatan-
hambatannya saja, teori efektivitas hukum berfokus juga dalam mengkaji
keberhasilan pelaksanaan hukum, kegagalan pelaksanaan hukum, dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya.48
Kajian pelaksanaan hukum ini tidak terlepas
dengan “yang seharusnya” (das sollen) dalam hukum dan kenyataannya (das
sein) pada pelaksanaan hukum.
Efektivitas hukum merupakan suatu bagian dari sebuah studi yang tidak
terlepas atas hukum kepada masyarakat. Artinya, efektivitas hukum menyoroti
kepada arti efektivikasi hukum kepada masyarakat, di mana fokus kepada
tujuan yang ingin dicapai dari hukum.49
Efektivitas hukum tidak terlepas pada
44
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Cet. Keenam, 2006), h.
157. 45
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, h. 304. 46
Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, cet. Pertama, 1993), h. 49. 47
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 141. 48
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, h. 303. 49
Soerjono Soekanto, Efektivitasi Hukum dan Peranan Sanksi, (Bandung: CV. Remadja
Karya, cet. pertama, 1985), h. 2.
34
kegunaannya pada kehidupan sosial, sehingga efektivitas hukum berterkaitan
dengan realitas sosial dan menjadi bagian dari ilmu sosiologi hukum.50
Konsep efektivitas hukum bergantung kepada maksud atau tujuan dari
suatu kaedah hukum itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa
kaedah hukum tidak terlepas pada kaidah sosial yang berarti apa yang berada
atas nilai-nilainya (values) yang berlaku di masyarakat, bahkan dapat
dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat.51
Tujuan kaedah hukum itu sendiri berkaitan
secara erat dengan tugas hukum yaitu pemberian kepastian hukum dan
pemberian kesembandingan hukum. Pemberian kepastian hukum, tertuju
kepada ketertiban dan kesembandingan hukum tertuju kepada ketenteraman.52
Terdapat faktor-faktor kendala atas tidak tercapainya pelaksanaan
perubahan hukum yang ada. Menurut pendapat Selo Soemardja karena
beberapa alasan, antara lain:53
a. Mereka tidak memahaminya;
b. Bertentangan dengan nilai-nilai dan norma yang ada;
c. Para anggota masyarakat yang berkepentingan dengan keadaan yang ada
(vested interest) cukup kuat untuk menolak hal tersebut;
d. Risiko yang terkandung lebih besar daripada jaminan sosial dan ekonomi
yang bisa diusahakan.
H. Tinjauan Ulang Kajian Terdahulu
Tinjauan kajian terdahulu dikumpulkan dan difokuskan yang masih
bersifat relevan dengan judul penelitian ini. Kajia terdahulu yang menjadi
acuan dan yang menjadi perbedaan dengan penelitian ini di antaranya:
Hasil penelitian Umi Rohmah (2013) yang berjudul “Konstruksi Identitas
Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) pasca UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
50
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1979), h. 14. 51
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, (Bandung: Alumni,
1983), h.36. 52
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:
Rajawali, 1987), h. 10 53
Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, h. 59-60.
35
Keuangan Mikro” dilatarbelakangi pada keunikan identitas BMT baik dari
karakter, nilai, dan budaya dan terus memperkenalkannya dengan berbagai
cara dan media. Keunikan BMT ini menjadi tantangan pada pelaksanaan
payung hukum BMT. Namun karena keunikannya tersebut, BMT tidak
sepenuhnya mengikuti aturan yang ada di koperasi sebagaimana mestinya.
Demi menjaga ciri khasnya, BMT melakukan berbagai peran dengan
membetuk sistem keanggotaan, produk, modal, pengawasan, struktur, dan
status hukumnya yang diyakini menjadi ciri khasnya dan menjadi esensinya.
Metode penelitian yang dilakukan penelitian tersebut adalah dengan cara
wawancara pada Pengurus Paguyuban BMT DIY, BMT Amanah Kendari,
Puskopsyah BMT DIY dan Pengurus PINBUK di Sulawesi Tenggara
mengenai identitas BMT dan dengan adanya UU LKM. Hasil dari penelitian
ini adalah demi menjaga identitasnya, BMT menolak menjadi Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) karena BMT masih sulit menemukan posisinya,
menghindari pajak, dan audit yang ketat, serta khawatir akan kehilangan
esensi jiwa kerakyatannya.54
Aspek yang menjadi pembeda dari penelitian di atas adalah topik yang
diangkat, penggunaan landasan dasar teori hukum yang digunakan dan obyek
penelitian. Penelitian ini diangkat atas dasar kelogisan terkait pelaksanaan
pilihan kelembagaan BMT yang didasarkan pada teori hukum yang didasarkan
kepada komponen-komponen sistem hukum, sedangkan penelitian di atas
didasarkan pada teori identitas. Obyek penelitian ini dilakukan wawancara
hanya kepada beberapa BMT di Kota Tangerang Selatan dan tidak kepada
lembaga-lembaga lainnya sebagaimana pada penelitian yang dilakukan dalam
penelitian ini .
Muhammad Muhtarom (2016) dalam penelitiannya yang berjudul
“Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan Mikro Syariah di
Indonesia”, mendasarkan penelitiannya menggunakan metode dogmatis yang
bersifat normatif. Penelitian Muhammad Muhtarom ini lebih menekankan
54
Umi Rohma, “Konstruksi Identitas Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) pasca UU No. 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro”, Istiqro, XIII, 2, (2013).
36
kepada solusi hukum melalui sinkronisasi hukum. Hal tersebut disebabkan
karena disharmoni antara BMT dan UU LKM, karena terdapat ketidakpatuhan
pada asas materi muatan pembentukan perundang-undangan dalam UU LKMS
yang menyimpang dari asas principles of legality. Penyeragaraman asas dan
tujuan pengaturan LKMS, rekonseptualitasi kerangka hukum LKMS dan
reformulasi norma-norma hukum menjadi keharusan. Rekonseptualiasi yang
dimaksud didasarkan pada tringular concept of legal pluralism dengan
pendekatan serentak pemberlakuan hukum negara, masyarakat, dan hukum
etika moral.55
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Muhtarom berbeda dengan
penelitian Penulis. Karena jenis Muhammad Muhtarom dilakukan dengan cara
dogmatis, sedangkan penelitian ini dilakukan dengan cara empiris. Perbedaan
selanjutnya dalam penelitian Muhammad Muhtarom adalah penekanan
penelitian untuk memberikan arahan kebijakan dalam pembuatan perundang-
undangan yang didasarkan kepada asas-asas perbedaan hukum BMT.
Sedangkan penelitian ini menyajikan secara realistis terkait pelaksanaan
pilihan kelembagaan BMT.
Penelitian berikutnya adalah penelitian Ifelda Ningsih, Irma Sryani, dan
Sulastri Caniago (2017) yang berjudul “Baitul Maal Wat Tamwil in
Regulation (Easy or Diffcult)” menekankan kepada pelaksanaan izin LKM
oleh OJK kepada BMT. Hasil penelitian tersebut berkaitan dengan
pelaksanaan proses izin yang diberikan OJK dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan dalam UU LKM. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa
BMT belum memperoleh izin OJK. Hal tersebut dikarenakan berbelit-belitnya
izin dan banyaknya persyaratan yang harus dilengkapi. Sehingga, atas hal
tersebut menciptakan pelaksanaan hukum yang kurang baik bagi BMT.
Karena pada Tahun 2015 harusnya sudah terjadi batas waktu permohonan izin
BMT kepada OJK.56
55
Muhammad Muhtarom, “Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan Mikro Syariah
di Indonesia”, Profetika Jurnal Studi Islam, XVII, 1, (Juni, 2016). 56
Ifelda Ningsih, Irna Sryani, dan Sulastri Caniago, “Baitul Maal Wat Tamwil in Regulation
(Easy or Diffcult)”, Batusangkar International Conference 11, (14-15 Oktober, 2017).
37
Penelitian selanjutnya adalah oleh Nourma Dewi (2017) yang berjudul
“Regulasi Keberadaan BMT dalam Sistem Perekonomian Indonesia”.
Penelitian tersebut bersifat normatif dengan cara memberikan gambaran
terkait keberadaan aturan hukum bagi BMT yang beragam. Aturan tersebut
adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.57
Penelitian yang dilakukan oleh Nourma Dewi memiliki 2 (dua) perbedaan.
Perbedaan pertama adalah dari metode penelitian yang dilakukan. Perbedaan
kedua adalah penekanan tujuan penelitian. Hal tersebut dikarenakan,
penelitian yang dilakukan Penulis adalah bersifat empiris dan bertujuan untuk
mengetahui realitas pilihan kelembagaan bagi BMT di Kota Tangerang
Selatan.
Penelitian Novita Dewi Masyitoh (2014) yang berjudul “Analisis
Normatif UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM atas Status Badan Hukum
dan Pengawasan BMT”. Penelitian tersebut mengenai akibat normatif hukum
dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro kepada BMT. Berdasarkan kajian normatif tersebut
ditemukan bahwa terdapat perubahan baik dari status badan hukum BMT dan
pengawasan hukum akibat lahirnya UU LKM. Sebelum adanya UU LKM,
badan hukum BMT yakni koperasi, yayasan, dan Perseroan Terbatas (PT).
Namun setalah adanya UU LKM, BMT berbadan hukum koperasi atau PT.
Kemudian pembinaan dan pengawasan pun ikut berubah yang dilakukan oleh
Mendagri, Menkop, dan OJK.58
Substansi penelitian yang dilakukan oleh Novita Dewi Masyitoh lebih
menekankan kepada akibat hukum sesudah lahirnya UU LKM. Penelitian
akibat hukum tersebut didasarkan pada analisis normatif dengan
57
Nourma Dewi, “Regulasi Keberadaan BMT dalam Sistem Perekonomian Indonesia”, Jurnal
Serambi Hukum, Vol.11 No. 1, (Februari-Juli, 2017). 58
Novita Dewi Masyitoh, “Analisis Normatif UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM atas
Satus Badan Hukum dan Pengawasan BMT”, Jurnal Economica, Vol. V Edisi 2, (Oktober, 2014).
38
membandingkan akibat hukum UU LKM kepada bagi BMT dengan sebelum
adanya UU LKM. Oleh karena itu, metode dan teori yang digunakan oleh
Novita Dewi Masyitoh tidaklah sama.
Penelitian Solikhah, Burhanudin Harahap, dan Luthfiyah Trini
Hastuti (2015) yang berjudul “Bentuk Badan Usaha Ideal untuk Dapat
Dipertanggungjawabkan secara Hukum dalam Pengelolaan Baitul Maal Wat
Tamwil (BMT) berdasarkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro di
Eks Karisidenan Surakarta” menitikberatkan pada pemberian konsep badan
usaha yang baik bagi BMT. Penelitian ini bertujuan kepada pemberian solusi
ideal atas kajian empiris terkait badan usaha kepada BMT di Eks Karisidenan
Surakarta. Hasil penelitian tersebut bertujuan memberikan pemisahan badan
usaha bagi BMT dengan bentuk bersyirkah, yakni syirkah inan.59
Penelitian pemberian konsep solutif bukanlah fokus dalam penelitian ini.
Maka, secara jelas memberikan pembedaan secara signifikan dari penelitian
Salikhah dkk dengan penelitian ini. Selain itu, lingkup obyek penelitian yang
dilakukan sangatlah berbeda dan pengunaan dasar teori yang dipakai sangat
terlihat jelas tidaklah sama.
Sutrisna dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Yuridis BMT
menurut UU No. 1 Tahun 2013 tentang LKM dan menurut UU No. 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian di Indonesia” memiliki perbedaan dengan
penelitian yang Penulis angkat. Hal tersebut dikarenakan penelitian Sutrisna
hanya memberikan sajian kajian yuridis yang didasarkan pada metode
normatif terkait keberadaan 2 (dua) aturan hukum BMT. Hasil kajian tersebut
adalah secara umum BMT diatur dalam UU LKM dan tentu juga dalam UU
Perkoperasian. Antara 2 (dua) aturan tersebut secara sitematis tidak memiliki
perbedaan jauh. Perbedaan tersebut nampak di sisi pengawasan, yaitu
pengawasan dilakukan oleh 2 (dua) lembaga yakni koperasi dan OJK apabila
59
Solikhah, Burhanudin Harahap, dan Luthfiyah Trini Hastuti, “Bentuk Badan Usaha Ideal
untuk Dapat Dipertanggungjawabkan secara Hukum dalam Pengelolaan Baitul Maal Wat Tamwil
(BMT) berdasarkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro di Eks Karisidenan Surakarta”,
Jurnal Yustitia, edisi 93, (September –Desember, 2015).
39
BMT berbadan hukum koperasi, sedangkan BMT yang diatur penuh oleh OJK
adalah BMT yang berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT).60
Penelitian normatif Sutrisna tersebut berbeda dengan penelitian ini. Karena
penelitian di atas lebih menekankan kepada penelitian normatif antara 2 (dua)
keberadaan hukum yang mengepung BMT. Sedangkan, penelitian ini melihat
pelaksanaan terkait 2 (dua) kelembagaan tesebut kepada BMT dengan di
dasarkan keberadaan pengaturan hukum yang ada.
60
Sutrisna, “Kajian Yuridis BMT menurut Undang-Undang No.1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi di
Indonesia”, (Jurnal Penelitian, Fakultas Hukum, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, 2017).
40
BAB III
GAMBARAN UMUM BAITUL MAAL WA TAMWIL DI KOTA
TANGERANG SELATAN
A. Seputar Kota Tangerang Selatan
Kota Tangerang Selatan adalah sebuah kota yang berada di Provinsi
Banten yang dibentuk berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2008 tentang Pembentukan Kota Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten.
Kota Kota Tangerang Selatan pada mulanya berasal dari cakupan wilayah
Kabupaten Tangerang yang kemudian selanjutnya cakupan tersebut dikurangi
oleh cakupan wilayah Kota Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah dari Kota
Kota Tangerang Selatan sebesar 147,2 km2.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Pembentukan Kota Kota Tangerang
Selatan cakupan wilayah Kota Kota Tangerang Selatan terdiri dari wilayah:
a. Kecamatan Serpong;
b. Kecamatan Serpong Utara;
c. Kecamatan Pondok Aren;
d. Kecamatan Ciputat;
e. Kecamatan Ciputat Timur;
f. Kecamatan Pamulang; dan
g. Kecamatan Setu.
Batas-batas wilayah Kota Kota Tangerang Selatan berdasrkan Pasal 5 Ayat
(1) UU Pembentukan Kota Kota Tangerang Selatan terdiri dari:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pinang, Kecamatan
Larangan, dan Kecamatan Ciledug Kota Tangerang;
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kota Jakarta Selatan Provinsi DKI
Jakarta;
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Depok dan Kabupaten Bogor
Provinsi Jawa Barat; dan
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cisauk, Kecamatan
Pagedagangan, dan Kecamatan Kelapa Dua Kabupaten Tangerang.
41
B. Gambaran Umum BMT di Kota Tangerang Selatan
1. Gambaran Perekonomian di Kota Tangerang Selatan
Perekonomian di daerah Kota Tangerang Selatan pada tahun 2016
mengalami perlambatan. Tahun 2016 Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Kota Kota Tangerang Selatan hanya sebesar 6.98% yang
sebelumnya mencapai 7.20%. Perekonomian di Kota Tangerang Selatan
sendiri didominasi oleh kelompok usaha tersier. Tahun 2016 lapangan
usaha tersier berkontribusi sebesar 73,39%.1 Lapangan usaha tersier terdiri
dari perdagangan besar dan reparasi kendaraan, transportasi dan
pergudangan, penyediaan akomodasi dan makan dan minum, informasi
dan komunikasi, jasa keuangan, real estate, jasa perusahaan, administrasi
pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial, jasa pendidikan, jasa
kesehatan dan kegiatan sosial, dan jasa lainnya. Di sisi di bidang jasa
1 Kerjasama Dinas Komunikasi dan Informatika dengan Badan Pusat Statistik Tangerang
Selatan, Laporan Akhir Kegiatan Survei dan Kompilasi Produk Administrasi Bidang Ekonomi
Tangerang Selatan Tahun 2017, h.10.
Gambar 1: Peta Wilayah Kota
Tangerang Selatan Provinsi Banten
42
keuangan, struktur perkembangannya hanya sebesar 1,28% di tahun yang
sama.
Usaha Mikro kecil (UMK) mendominasi seluruh jumlah struktur usaha
di daerah Kota Kota Tangerang Selatan. Keseluruhan jumlah struktur
usaha di Kota Kota Tangerang Selatan terdapat sebanyak 105.773 usaha.
UMK mendominasi aktivitas ekonomi dengan proporsi sebesar 94.80%
(100.272 usaha). Berdasarkan data UMK di atas, kategori usaha skala
mikro adalah yang paling mendominasi yakni sebanyak 86.38% (86.611
usaha) dan sisanya termasuk kepada kategori usaha kecil dan kategori
lainnya. 2
2. Gambaran Lembaga Keuangan Syariah di Kota Tangerang Selatan
Banten sebagai suatu provinsi dari Kota Tangerang Selatan memiliki
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) cukup besar. Hal ini terlihat pada
pangsa pasar (market share) perbankan syariah di provinsi Banten
pertanggal 31 Desember 2016 sebesar 4.07%.3 Pangsa pasar tersebut
cukup kecil namun berada di angka yang cukup apabila dibandingkan
dengan provinsi lainnya. Sebagaimana pangsa pasar Provinsi DKI Jakarta
hanya sebesar 3.96% dan Provinsi Jawa Barat yang sebesar 5.90%.
Tahun 2014 LKS di daerah Kota Tangerang Selatan yang berbentuk
Koperasi Lembaga Jasa Keuangan Syariah (KJKS) terdapat sebanyak 15
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS).4 Jumlah KJKS tersebut apabila
diklasifikasikan berdasarkan kecamatan terdiri dari Kecamatan Setu
2 Ibid., h. 73.
3 Otoritas Jasa Keuangan, Snapshot Perbankan Syariah Indonesia Posisi 30 September 2017,
h. 4. 4 Sebelum lahirnya Peraturan Menteri Nomor 11/PER/M.KUMKM/XII/2017 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi yang
menghapus Permen KUKM RI Nomor 16/Per/M.KUKM/X/2015 tentang Pelaksanaan Koperasi
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi. BMT yang berbentuk koperasi tersebut
sebelumnya berupa Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Menteri
Negara KUKM RI Nomor 91/Kep/M.KUKM/XI/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah, Permen Negara KUKM RI Nomor:
35.3/Per/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Penilaian Kesehatan Koperasi Jasa Keuangan
Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi, Permen Negara KUKM RI Nomor:
35.2/PER/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa
Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah.
43
sebanyak 2, Kecamatan Serpong sebayak 4, Kecamatan Pamulang
sebanyak 4, Kecamatan Ciputat sebanyak 2, Kecamatan Ciputat Timur
sebanyak 2, tidak ada jumlah KJKS di Kecamatan Pondok Aren, dan
hanya terdapat 1 KJKS di Kecamatan Serpong Utara.5
3. Gambaran Umum Baitul Maal wa Tamwil di Kota Tangerang Selatan
Perkembangan BMT di daerah Kota Tangerang Selatan saat ini sedang
mengalami fase stagnan. Hal tersebut tidak terlepas dari perkembangan
ekonomi nasional yang kurang kondusif terhadap siklus UMKM. Ketika
daya beli UMKM melemah maka usaha BMT pun ikut melemah juga.
Karena dengan tidak berkembangnya UMKM, maka akan menyulitkan
BMT dalam pemberian pendanaan, bahkan lebih parah lagi akan
memberikan dampak kredit macet (non performing loan) yang tinggi
terhadap BMT. Fase tersebut dipengaruhi oleh tingginya persaingan yang
telah menyasar kepada UKM, seperti menjamurnya minimarket,
digitalisasi kegiatan usaha, dan kemajuan sistem e-commerce.6 Akan
tetapi, jumlah BMT di daerah Kota Tangerang Selatan masih dapat
bertahan di tengah faset tersebut dan bahkan BMT Al-Fath IKMI
dipercaya menjadi pusat dari perkumpulan HIMKOPSYAH Banten. BMT
sebagai lembaga keuangan yang bergerak secara mikro dengan prinsip
syariah cukup tangguh dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro non
syariah yang berada di Kota Tangerang Selatan.
Jumlah BMT di daerah Kota Tangerang Selatan berdasarkan pada data
HIMKOPSYAH Banten saat ini terdapat 12 BMT. Jumlah BMT tersebut
di antaranya adalah BMT Al Bayan, BMT Al Fath IKMI, BMT Syahida
Ikaluin Jakarta, BMT Al Ittihad, BMT Al Mujahidin, BMT Al
Munawwarah, BMT Mekar Dakwah, BMT UMJ, BMT BISS, BMT Al
Jibal, BMT Bumi Syariah, dan BMT Pondok Hijau. Sedangkan,
berdasarkan data Departemen Koperasi Kementerian dan Usaha Kecil dan
5 Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang Selatan dalam Angka 2014,
h. 262. 6 Saimin, Ketua HIMKOPSYAH Banten, Interview Pribadi, Ciputat, 10 Agustus 2018.
44
Menengah Republik Indonesia terdapat 19 BMT di daerah Kota Tangerang
Selatan yang terklasifikasi sebagai berikut:7
7 Diakses melalui http://nik.depkop.go.id/.
No. Nama BMT Kelompok Koperasi
1. BMT Mekar Dakwah Koperasi Serba Usaha
2. BMT Al Ittihad Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
3. BMT Al Fath IKMI Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
4. BMT Al Munawwarah Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
5. BMT Bina Insan Sejati
Sejahtera
Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
6. BMT Al Muqrin Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
7. BMT At Taqwa Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
8. BMT Mujahidin Koperasi Lainnya
9. BMT Al Hurriyah Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
10. BMT Bintaro Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
11. BMT Mentari Koperasi Lainnya
12. BMT Sejahtera Mandiri Koperasi Lainnya
13. BMT Al Jibaal Koperasi Konsumen
14. BMT Sejahterah Koperasi Simpan Pinjam dan
Tabel 3.1 : Jumlah BMT di Tangerang Selatan berdasarkan Data
Departemen Koperasi
45
Pembiayaan Syariah
15. BMT Rancang Bangun
Sejahterah
Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
16. BMT Rezeki Amanah Koperasi Lainnya
17. BMT Amaliah Dewi Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
18 BMT Al Ikhlas Koperasi Lainnya
19 BMT Al Bayan Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
46
BAB IV
PELAKSANAAN PILIHAN BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL
MAAL WA TAMWIL DI KOTA TANGERANG SELATAN
A. Pelaksanaan Pilihan Bentuk Kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil di
Kota Tangerang Selatan
1. Keberadaan Potensi Pilihan Kelembagaan bagi Baitul Maal wa
Tamwil
Terdapat 2 (dua) bentuk dari keberadaan kelembagaan bagi BMT saat
ini, yaitu yang berbentuk sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah (KSPPS) dan yang berbentuk sebagai Lembaga
Keuangan Mikro Syariah (LKMS). Konsep kegiatan dari BMT dengan
substansi dari pilihan kelembagaan bagi BMT tidaklah jauh berbeda di
antara keduanya. Sebagaimana dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Nama
Kegiatan BMT
LKMS
(UU LKM dan
POJK)
KSPPS
(PermenKUKM
RI)
Obyek yang
Dituju
Penyaluran
kepada
masyarakat
miskin.
Pengembangan
usaha dan
pemberdayaan
masyarakat
yang memiliki
usaha skala
mikro.
Hanya kepada
anggota, calon
anggota, koperasi
lain dan/
anggotanya.
Kegiatan
Maal
Menerima titipan
dan menyalurkan
Pengelolaan
dana sosial
Penghimpunan,
pengelolaan dan
penyaluran dana
Tabel 4.1: Perbandingan Konsep Kegiatan BMT, LKMS, dan
KSPPS
NO. NAMA BMT JENIS
KOPERASI
ASET
(Dalam
Rupiah)
Tanggal
Badan
Hukum
1. BMT At-Taqwa KSPPS 1,1 Miliar 2012
2. BMT Al-Fath
IKMI KSPPS 16 Miliar 1998
3. BMT Al-Bayan KSPPS 3 Miliar 1999
4. BMT UMJ KSU 3 Miliar 2009
Tabel 2 : Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di Tangerang
Selatan
47
zakat, infaq, dan
sedekah.
seperti zakat,
infak, wakaf
dan sodaqoh.
Zakat, Infak,
Sedekah, dan
Wakaf serta dana
kebajikan dan
sosial lainnya.
Kegiatan
Tamwil
Memberikan
penyaluran dana
untuk
mengembangkan
usaha masyarakat
yang bersifat
profit oriented.
Pinjaman,
pembiayaan,
pengelolaan
simpanan,
maupun
pemberian
konsultasi
secara syariah.
Tamwil simpanan
dan tamwil
pinjaman dan
pembiayaan.
Berupa
menghimpun dan
menyalurkan
dana sesuai
syariah.
Dilihat dari kegiatan yang dilakukan sama-sama memiliki kesamaan
yakni terdapat kegiatan baitul maal dan baitul tamwil di masing-masing
lembaga. Karena pengaturan dari pilihan kelembagaan tersebut sama-sama
bertujuan untuk memberian akomodir kepastian hukum bagi BMT yang
memiliki konsep awal dari kegiatan baitul maal dan baitul tamwil.
Terdapat perbedaan dari obyek yang dituju antara BMT dan LKMS
dengan KSPPS memiliki perbedaan. BMT dan LKMS sama-sama
memiliki fokus pengembangan usaha dan masyarakat kecil (mikro),
namun KSPPS tidak mengatur secara eksplisit hal tersebut. Hal tersebut
bukan berarti kelembagaan KSPPS tidak dapat berkegiatan secara mikro,
tetapi hal tersebut dapat dilakukan dengan bergantung pada tujuan serta
target pasar dari masing-masing lembaga yang menggunakan kelembagaan
dari KSPPS.
Hal lain yang menonjol antara KSPPS dan LKMS adalah sama-sama
dilandasi oleh peraturan perundang-undangan. Namun, kedudukan hirarki
peraturan perundang-undangan dari payung hukum antara KSPPS dan
48
LKMS tidaklah sama. Pengaturan KSPPS berada di bawah Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenKUKM) melalui Peraturan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia (Permen
KUKM RI), sedangkan pengaturan LKMS menginduk kepada Undang-
Undang Lembaga Keuangan Mikro dengan pelaksanaan pengaturannya
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Nama LKMS KSPPS
Landasan
Hirarki
Peraturan
PermenKUKM RI Nomor
11/PER/M.KUKM/XII/2017
POJK Nomor
62/POJK.05/2015
tentang Perubahan atas
Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor
13/POJK.05/2014
tentang
Penyelenggaraan
Usaha Lembaga
Keuangan Mikro
Sumber
Peraturan
Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang
Perkoperasian
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga
Keuangan Mikro
Penegak Hukum Kementerian Koperasi dan
UKM Republik Indonesia
Otoritas Jasa
Keuangan
Kedudukan KSPPS diatur dalam PermenKUKM RI Nomor
11/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi. PermenKUKM RI Nomor
11/PER/M.KUKM/XII/2017 ini adalah bentuk dari penyempurnaan dari
PermenKUKM RI Nomor 16/PER/M.KUKM/IX/2015 tentang
Tabel 4.2: Perbandingan Konsep Pengaturan LKMS dan KSPPS
NO. NAMA BMT JENIS
KOPERASI
ASET
(Dalam
Rupiah)
Tanggal
Badan
Hukum
1. BMT At-Taqwa KSPPS 1,1 Miliar 2012
2. BMT Al-Fath
IKMI KSPPS 16 Miliar 1998
3. BMT Al-Bayan KSPPS 3 Miliar 1999
4. BMT UMJ KSU 3 Miliar 2009
Tabel 2 : Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di Tangerang
Selatan
49
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh
Koperasi yang sebelumnya telah terbit.
Penegakkan hukum terhadap KSPPS dilakukan oleh Kementerian
Koperasi dan UKM Republik Indonesia (KemenKUKM RI). Hal tersebut
dikarenakan sebagaimana dalam penjelasan dari Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian bahwasannya wewenang yang
melakukan pelaksanaan dari UU Perkoperasian adalah Pemerintah.
Pemerintah di sini melakukan pelimpahan wewenang kepada Menteri.
Menteri yang dimaksud adalah Menteri yang membidangi koperasi.
Pengaturan LKMS diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang secara eksplisit juga
tidak memberikan pengertian secara konkret mengenai LKMS. Karena di
dalam UU LKM tersebut hanya menjelaskan mengenai kegiatan usaha
LKM yang berprinsip syariah dan bukan mengenai kelembagaan LKMS
secara komprehensif, sebagaimana pada Pasal 12 UU LKM yang
mengatakan bahwa “(1) Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan
pengelolaan Simpanan oleh LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) dilaksanakan secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah”. Istilah pengaturan LKMS baru ditemukan pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 62/POJK.03/2016 tentang
Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) menjadi
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(LKMS) menjadi Bank Pembiayaan Syariah (BPRS).
Pengawasan terhadap LKMS dilakukan oleh OJK. Sebagaimana pada
Pasal 28 Ayat (1) mengatakan bahwa “Pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan”. Kewenangan
terhadap pengawasan tersebut didasari oleh Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
50
2. Baitul Maal wa Tamwil Jasa Keuangan Syariah di Kota Tangerang
Selatan
Himpunan Koperasi Syariah (HIMKOPSYAH) Banten mencatat
bahwasannya terdapat 12 BMT di daerah Kota Tangerang Selatan,
sedangkan berdasarkan Departemen Koperasi (Depkop) terdapat 19 BMT
di Kota Tangerang Selatan. Berdasarkan jumlah data BMT tersebut dapat
diketegorikan menjadi 2 (dua) jenis BMT, yakni BMT yang benar-benar
melakukan kegiatan di jasa keuangan syariah dan BMT yang tidak
memiliki fokus pada kegiatan jasa keuangam syariah.
Berdasarkan data Departemen Koperasi terdapat 11 BMT yang
dikategorikan hanya melakukan kegiatan di bidang jasa keuangan syariah.
Kegiatan dari sebelas BMT tersebut adalah hanya seputar melakukan
kegiatan simpanan, pinjaman, dan pembiayaan syariah kepada para
nasabah. Sebelas BMT tersebut di antaranya adalah BMT Mekar Dakwah,
BMT Al-Fath IKMI, BMT Al-Ittihad, BMT Al-Munawwarah, BMT Bina
Insan Sejati Sejahtera, BMT At-Taqwa, BMT Hurriyah, BMT Bintaro,
BMT Sejahterah, BMT Rancang Bangun Sejahtera dan BMT Amaliah
Dewi. Sisanya terdapat 7 (tujuh) BMT yang tidak menjalankan fokusnya
pada kegiatan jasa keuangan syariah, di antaranya adalah BMT Al-
Mujahidin, Mekar Dakwah, BMT Mentari, BMT Sejahterah Mandiri,
BMT Al-Jibaal, BMT Al-Ikhlas dan BMT Rezeki Amanah. Sebagaimana
pada BMT Al-ikhlas, kegiatan yang dilakukan BMT Al-Ikhlas lebih
menekankan kepada jasa penjualan produk-produk dari anggota koperasi
kepada masyarakat, sedangkan kegiatan keuangannya hanya berbentuk
tabungan simpanan bagi anggota tanpa mengambil keuntungan semata.1
Eksistensi keberadaan beberapa BMT jasa keuangan syariah di atas
nyatanya banyak yang sudah tidak diketahui keberadaannya. Seperti
halnya yang terjadi pada BMT Amaliah Dewi dan BMT Al-Mujahidin
yang sudah tidak ditemukan di tempatnya. Keadaan tersebut menurut
Bapak Saimin sebagai Ketua HIMKOPSYAH Banten disebabkan karena
1 Hosen, Pegawai BMT Al-Ikhlas, Interview Pribadi, Pamulang, 16 Juli 2018.
51
persaingan digitalisasi UMKM yang ketat, sehingga menyebabkan
perkembangan BMT saat ini stagnan.2
Beberapa BMT yang kegiatannya benar-benar dibidang jasa keuangan
syariah terdapat 4 (empat) BMT yang menjadi obyek penelitian ini. BMT
tersebut di antaranya adalah BMT At-Taqwa, BMT Al-Fath IKMI, BMT
Al-Bayan, dan BMT UMJ. Keempat BMT tersebut telah lama berbadan
hukum koperasi, bahkan sebelum adanya UU LKM lahir. Gambaran dari
Keempat BMT tersebut adalah sebagai berikut:
3. Pelaksanaan Pilihan Bentuk Kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil di
Kota Tangerang Selatan
BMT diberi kebebasan dalam menentukan pilihan bentuk
kelembagaan. Kebebasan pelaksanaan pilihan kelembagaan terhadap 4
(empat) BMT di Kota Tangerang Selatan menemukan bahwa keempat
tersebut memilih kepada kelembagaan KSPPS daripada sebagai LKMS.
Secara dominan 3 (tiga) BMT sudah mengikuti peraturan mengenai
KSPPS, sedangkan hanya 1 (satu) BMT yang belum menjadi KSPPS.
BMT tersebut adalah BMT UMJ yang saat ini masih berbentuk Koperasi
2 Saimin, Selaku Ketua HIMKOPSYAH Banten, Interview Pribadi, Ciputat, 10 Agustus 2018.
Tabel 4.3: Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di Kota
Tangerang Selatan
NO. NAMA BMT JENIS
KOPERASI
ASET
(Dalam
Rupiah)
Tanggal
Badan
Hukum
1. BMT At-Taqwa KSPPS 1,1 Miliar 2012
2. BMT Al-Fath
IKMI KSPPS 16 Miliar 1998
3. BMT Al-Bayan KSPPS 3 Miliar 1999
4. BMT UMJ KSU 3 Miliar 2009
Tabel 2 : Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di Tangerang
Selatan
52
Serba Usaha (KSU)3, namun fokus kegiatan usaha simpan pinjam dan
pembiayaan syariah BMT UMJ tersebut sudah lama dilakukan, bahkan
kegiatan tersebut telah dimulai sejak terjadi jebolnya tanggul Situ Gintung
pada tahun 2009. Kegiatan jasa keuangan syariah yang dilakukan BMT
UMJ hungga saat ini dapat dikatakan dapat bertahan (sustainable) dan
bahkan sudah cukup besar.
Kegiatan operasional simpan pinjam dan pembiayaan syariah BMT
UMJ ditekankan kepada unit usahahya dan bukan pada kegiatan intinya.
Atas permasalahan tersebut, BMT UMJ tengah mempersiapkan perubahan
kelembagaannya menjadi KSPPS agar dapat lebih berfokus pada kegiatan
simpan pinjam syariahnya.4
Pilihan kelembagaan BMT di Kota Tangerang Selatan sebagai KSPPS
memberikan implikasi kepada tunduknya BMT terhadap payung hukum
dari KSPPS dan UU Perkoperasian. Karena Paul Scholten mengatakan
bahwa hukum yang berlaku adalah hukum yang diterapkan oleh
masyarakat.5 Implikasi yuridis tersebut kepada BMT dalam memilih
kelembagaannya adalah berdampak pada kegiatan usaha, lingkup wilayah
usaha, dan pengawasannya.
a. Implikasi Hukum terhadap Kegiatan Usaha BMT
Kegiatan operasional yang dilakukan oleh BMT terdiri dari 2 (dua)
jenis, yakni kegiatan yang berupa maal (sosial) dan tamwil (mencari
keuntungan). Kegiatan BMT tersebut nyatanya tidak jauh berbeda di
dalam Permen KUKM RI tentang KSPPS mengenai kegiatan usaha
KSPPS. Sebagaimana dalam Pasal 19 Ayat (4) PermenKUKM RI
Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi, KSPPS
diharuskan memiliki 2 (dua) unit kegiatan, yaitu kegiatan maal dan
3 Koperasi Serba Usaha (KSU) adalah koperasi jasa dengan lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha.
Lihat Jenis Koperasi, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Tahun 2010, h. 7. 4 Muchtiar, Manajer BMT UMJ, Interview Pribadi, Cirendeu, 15 Agustus 2018.
5 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, (Bandung: Alumni, Cet.
Kedua, 2005), h. 87.
53
kegiatan tamwil. Lingkup kegiatan maal berdasarkan pada Pasal 19
Ayat (5) bertujuan untuk memperdayakan anggota dan masyarakat di
bidang sosial dan ekonomi. Kegiatan maal tersebut sebagaimana Pasal
22 Ayat (2) dilakukan berupa penghimpunan, pengelolaan, dan
penyaluran dana Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf serta dana
kebajikan dan sosial lainnya sesuai peraturan perundang-undangan dan
prinsip syariah.
Lingkup kegiatan tamwil berdasarkan Pasal 23 dan Pasal 24
Permen KUKM RI tentang KSPPS terdiri dari 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan tamwil simpanan dan tamwil pinjaman dan pembiayaan
syariah. Kegiatan tamwil tersebut diberikan kewenangannya kepada
rapat anggota untuk menerbitkan produk yang diinginkan dan
penentuan dari imbal hasil yang akan dilakukan, namun hal tersebut
tetap harus berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan dan
ketetapan prinsip syariah yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI.
Kegiatan usaha yang tidak diatur secara ketat memberikan
keleluasaan BMT dalam mengembangkan produk-produknya.
Sebagaimana BMT UMJ terdapat kegiatan yang berupa tabungan
walimah untuk persiapan pernikahan, Bungkesmas yang bertujuan
sebagai tabungan kesehatan, dan berbagai produk-produk lainnya.
Produk-produk tersebut tetap mengacu dalam prinsip-prinsip syariah.
Pengaturan mengenai kegiatan usaha KSPPS yang tertuang dalam
Permen KUKM RI tentang KSPPS kenyataannya tidak semua
peraturan ditaati oleh BMT di Kota Tangerang Selatan. Terdapat
beberapa bentuk ketidaktaakan yang dilakukan BMT. Ketidaktaatan
tersebut dikarenakan kegiatan usaha yang hanya dapat ditujukan
kepada anggota, calon anggota, koperasi lain dan/atau anggotanya
sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 Ayat (5) bagian b dan c Permen
KUKM RI tentang KSPPS.
Ketidaktaatan tersebut dicontohkan oleh BMT Al-Bayan yang
nyatanya kegiatan pemberian pinjaman dan pembiayaan masih
54
ditujukan kepada nasabah yang berstatus sudah lama menjadi calon
anggota, namun nasabah tersebut tidak ingin menjadi anggota dari
BMT Al-Bayan. Implikasinya adalah pelaksanaan Rapat Anggota
Tahunan (RAT) menjadi tidak jelas mengenai siapa yang berhak untuk
mengikuti RAT, sehingga kegiatan RAT menjadi tidak tersistem
dengan baik.6
Ketidaktaan tersebut juga terjadi kepada BMT Al-Fath IKMI dan
juga BMT At-Taqwa yang belum melakukan kegiatan RAT.
Sebagaimana dalam data Depkop, BMT Al-Fath IKMI melakukan
RAT terakhir pada tahun 2016 dan BMT At-Taqwa pada tahun 2016.7
Padahal RAT berdasarkan Pasal 21 UU Perkoperasian mengatakan
bahwa rapat anggota merupakan salah satu perangkat dari organisasi
koperasi dan lebih lanjut mengacu kepada Pasal 22 Ayat (1) rapat
anggota adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Permen
KUKM RI Nomor 19/PER/M.KUKM/IX/2015 tentang
Penyelenggaraan Rapat Anggota mengatakan bahwa keududukan dari
rapat anggota adalah kedudukan tertinggi untuk dilakukan
pengambilan keputusan koperasi, sebagai pelaksanaan prinsip
demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam tata kelola koperasi.
b. Implikasi Hukum terhadap Lingkup Wilayah BMT
Permen KUKM RI tentang KSPPS mengatur masing-masing
lingkup wilayah usaha dari KSPPS. Lingkup wilayah usaha tersebut
didasarkan kepada lingkup wilayah keanggotaan dari 1 (satu) KSPPS.
Hal ini dapat diartikan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh KSPPS
hanya boleh dilakukan pada masing-masing lingkup wilayahnya saja.
Lingkup wilayah yang diatur ini pun bertujuan untuk memberikan
desentralisasi kewenangan atas otoritas terhadap daerahnya.
Terdapat 3 (tiga) lingkup wilayah KSPPS, yaitu lingkup wilayah
keanggotaan kabupaten/kota, lingkup wilayah lintas daerah
6 Dini Rohdiani, Manajer BMT Al-Bayan, Interview Pribadi, Serpong, Tanggal 16 Agustus
2018. 7 Data diolah melalui nik.depkop.go.id.
55
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi, dan lingkup keanggotaan
lintas daerah provinsi (nasional). Pengaturan dari lingkup wilayah ini
sangat mempengaruhi kegiatan KSPPS. Seperti dimulai dari izin,
modal awal, penilaian, pembinaan, dan pengawasan.
1) Lingkup Wilayah KSPPS Sekabupaten/Kota
KSPPS dan/atau USPPS dengan lingkup wilayah
keanggotaan 1 (satu) kabupaten/kota baik KSPPS/USPPS
tersebut berbentuk primer dan/atau sekunder dalam hal
kewenangan mengenai pemberian izin, penilaian, pembinaan,
dan pengawasan dilakukan oleh bupati/walikota. Sedangkan,
terkait modal awal bagi KSPPS Primer dengan wilayah
Kabupaten/Kota berdasarkan Pasal 17 Ayat (3) bagian a
minimal Rp 15.000.000 sedangkan modal awal KSPPS
Sekunder berdasarkan Pasal 17 Ayat (4) bagian a minimal Rp
50.000.000.
2) Lingkup Wilayah KSPPS Lintas Kabupaten/Kota dalam 1
(satu) Provinsi
KSPPS dan/atau USPPS dengan lingkup wilayah
keanggotaan lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
provinsi baik KSPPS tersebut berbentuk primer dan/atau
sekunder dalam hal kewenangan mengenai segala pemberian
NO. NAMA BMT LINGKUP WILAYAH USAHA
1. BMT At-Taqwa Kabupaten/Kota
2. BMT Al-Fath IKMI Nasional
3. BMT Al-Bayan Kabupaten/Kota
4. BMT UMJ Nasional
Tabel 4.4: Lingkup Wilayah Usaha pada Obyek Penelitian BMT
di Tangerang Selatan
NO. NAMA BMT JENIS
KOPERASI
ASET
(Dalam
Rupiah)
Tanggal
Badan
Hukum
1. BMT At-Taqwa KSPPS 1,1 Miliar 2012
2. BMT Al-Fath
IKMI KSPPS 16 Miliar 1998
3. BMT Al-Bayan KSPPS 3 Miliar 1999
4. BMT UMJ KSU 3 Miliar 2009
Tabel 2 : Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di
Tangerang Selatan
56
izin, penilaian pembinaan, dan pengawasan dilakukan oleh
gubernur. Sedangkan untuk pendirian KSPPS Primer modal
awalnya berdasarkan Pasal 17 Ayat (3) bagian b minimal Rp
75.000.000 sedangkan untuk KSPPS Sekunder berdasarkan
Pasal 17 Ayat (4) bagian b minimal Rp 175.000.000.
3) Lingkup Wilayah KSPPS Lintas Provinsi (Nasional)
KSPPS dan/atau USPPS dengan lingkup wilayah
keanggotaan lintas daerah provinsi baik berbentuk primer
dan/atau sekunder akan ditangani langsung oleh menteri,
namun akan didelegasikan kepada masing-masing deputi.
Pemberian izin koperasi akan didelegasikan kepada Deputi
Kelembagaan, penilaian didelegasikan kepada Deputi
Pengawasan, pembinaan kepada Deputi Bidang Pembiayaan,
dan pengawasan kepada Deputi Bidang Pengawasan.
Kemudian, terkait modal awal KSPPS Primer lintas provinsi
berdasarkan Pasal 17 Ayat (3) bagian c minimal Rp
375.000.000 dan modal awal bagi KSPPS Sekunder
berdasarkan Pasal 17 Ayat (4) bagian c minimal Rp
500.000.000.
c. Implikasi Hukum terhadap Pembinaan dan Pengawasan KSPPS
Wewenang pembinaan dan pengawasan terhadap KSPPS dilakukan
oleh pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Koperasi dan
UKM. Namun, tugas yang diemban Kementrian KUKM RI tersebut
lebih menekankan kepada wewenang pembinaan ketimbang dari
pengawasan. Karena hanya KemenKUKM yang berhak melakukan
pembinaan. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 37 Peraturan Menteri Nomor
11/PER/M.KUMKM/XII/2017 tentang KSPPS, pembinaan adalah
upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menciptakan dan
mengembangkan iklim yang kondusif yang mendorong
pemasyarakatan koperasi melalui pemberian bimbingan, kemudahan,
dan perlindungan kepada Koperasi.
57
Salah satu rincian tugas dari pembinaan yang dilakukan oleh
Kementerian KUKM RI ini adalah cara memberikan rumusan
kebijakan pemerintah dalam hal pembinaan koperasi dan usaha kecil
menengah.8 Ttujuan dari dilakukannya pembinaan tersebut harus
sesuai dengan Pasal 60 UU Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992
dilakukan adalah untuk menciptakan dan mengembangkan iklim dan
kondisi mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan Koperasi dan
menciptakan kemudahan, serta perlindungan kepada Koperasi.
Tugas dari pengawasan kepada KSPPS di samping oleh
kementerian juga dilakukan oleh pengawasan internal dari koperasi
tersebut. Pasal 1 Ayat 38 Permen KUKM tentang KSPPS mengatakan
bahwa pengawasan adalah adalah upaya yang dilakukan oleh
pengawas koperasi, Dewan Pengawas Syariah (DPS), pemerintah,
gerakan Koperasi, dan masyarakat, agar organisasi dan usaha KSPPS
dan USPPS Koperasi diselenggarakan dengan baik sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Meskipun begitu, pengawas tersebut
nantinya memberikan laporannya kepada otoritas yang berkaitan yang
berujung kepada kementerian.
8 http://www.depkop.go.id/tentang-kementerian/kementerian-koperasi-dan-ukm/.
NO. NAMA BMT OTORITAS PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
1. BMT At-Taqwa Bupati/Walikota
2. BMT Al-Fath IKMI Kementerian KUKM RI
3. BMT Al-Bayan Bupati/Walikota
4. BMT UMJ Kementerian KUKM RI
Tabel 4.5: Wewenang Pembinaan dan Pengawasan BMT di
Tangerang Selatan
NO. NAMA BMT JENIS
KOPERASI
ASET
(Dalam
Rupiah)
Tanggal
Badan
Hukum
1. BMT At-Taqwa KSPPS 1,1 Miliar 2012
2. BMT Al-Fath
IKMI KSPPS 16 Miliar 1998
3. BMT Al-Bayan KSPPS 3 Miliar 1999
4. BMT UMJ KSU 3 Miliar 2009
Tabel 2 : Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di Tangerang
Selatan
58
Terdapat 2 (dua) otoritas pembinaan dan pengawasan terhadap 4
(empat) BMT di Kota Tangerang Selatan. Ototritas tersebut dilakukan
oleh Bupati/Walikota dan oleh Kementerian KUKM RI. Otoritas yang
melakukan pengawasan oleh Bupati/Walikota, di antaranya adalah
BMT At-Taqwa dan BMT Al-Bayan sedangkan 2 (dua) BMT lainnya
dibina dan diawasi langsung oleh Kementerian KUKM RI yakni BMT
Al-Fath IKMI dan BMT UMJ. Pembinaan dan pengawasan yang
dimaksud kepada Bupati/Walikota di sini adalah bukan yang secara
otoritatif langsung dilakukan oleh Bupati/Walikota dari masing-masing
daerah. Akan tetapi, pembinaan dan pengawasan yang dilakukan
adalah melalui Kementerian Koperasi dan UKM yang berada di tingkat
Kabupaten/Kota. Sebagaimana pada BMT At-Taqwa dan BMT Al-
Bayan pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui Kemenkop
UKM Kota Tangerang Selatan yang berada di Pemerintah Kota
(Pemkot) Kota Tangerang Selatan.9
Pembinaan dan pengawasan bagi BMT UMJ dan BMT Al-Fath
IKMI yang memiliki lingkup wilayah skala nasional dilakukan oleh
Kementerian KUKM RI. Terkait pembinaan yang dilakukan oleh
menteri tidak serta merta tugasnya dilakukan oleh menteri secara
langsung. Pasal 28 Ayat (4) menjelaskan bahwa pembinaan yang
dilakukan Menteri ini didelegasikan kepada Deputi II di bidang
Pembiayaan. Pembinaan yang dilakukan oleh Deputi II akan
bertanggung jawab kepada KemenKUKM RI secara langsung. Tugas
dari Deputi II ini melaksanakan fungsi dari pemberdaayaan KUKM di
bidang pembiayaan, meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengembangan KUKM, memberikan kemudahan dan dukungan
pengembangan pembiayaan KUKM dan kerja sama antar KUKM,
dst.10
9 Dwi Lestari Handayani, Manajer BMT At-Taqwa, Interview Pribadi, Serpong, Tanggal 18
Juli 2018. 10
http://www.depkop.go.id/tentang-kementerian/kementerian-koperasi-dan-ukm/.
59
B. Alasan Baitul Maal wa Tamwil di Kota Tangerang Selatan dalam
Memilih Bentuk Kelembagaannya
1. Untung-Rugi Baitul Maal wa Tamwil di Kota Tangerang Selatan
dalam Memilih Kelembagaannya
Keuntungan dan kerugian yang akan diterima dari pelaksanaan pilihan
dari kelembagaan kepada BMT di Kota Tangerang Selatan adalah hal yang
melatarbelakangi alasan utama bagi BMT dalam memilih hukum. BMT di
Kota Tangerang Selatan berpendapat bahwasannya keuntungan dapat
diperoleh dengan dipilihnya pengaturan kelembagaan KSPPS, sedangkan
sebaliknya dengan memilih pengaturan LKMS berarti dapat memberikan
dampak kerugian bagi BMT. Didasarkan pada alasan hal tersebut, berarti
pengaturan hukum dari kelembagaan KSPPS memberi akibat yang baik
sedangkan pengaturan hukum LKMS memberi akibat yang buruk. Karena
hukum yang buruk akan melahirkan akibat-akibat buruk dan hukum yang
baik akan memberikan akibat-akibat yang baik.11
Akibat dari adanya alasan keuntungan dan kerugian bagi BMT di Kota
Tangerang Selatan tersebut memberikan ruang pengertian bahwasannya
dengan adanya keuntungan yang diterima BMT, maka memberikan
kecocokan kelembagaan bagi BMT, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut
sebagaimana diungkapkan oleh Jeremy Bentham yang beraliran
utilitarianisme mengatakan bahwasannya, “Apa yang cocok digunakan
oleh, atau cocok untuk kepentingan individu, adalah apa yang cenderung
untuk mendapatkan kesenangannya12
. Apa yang cocok untuk digunakan
oleh, atau cocok untuk kepentingan masyarakat, adalah apa yang
cenderung untuk mendapatkan kesenangan individu-individu yang
merupakan anggota-anggota masyarakat itu.”13
11
Emeritus, dkk, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: PT. Fikahati Aneska, Cetakan
Kedua, 2003), h. 166. 12
Aliran utiliarianisme meletakkan manfaat sebagai tujuan utama hukum. Sehingga,
kesenangan di sini dapat diartikan sebagai kebahagiaan, keburukan, atau kemanfaatan. 13
W. Lawerence, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problem Keadilan,
terjemahan dari Legal Theori. Penerjemah Mohamad Arifin, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), h. 112.
60
Baik-buruk sebuah peraturan harus tetap mengedepankan bahwa
hukum tersebut dapat bermanfaat ketika dilaksanakan. Karena tidak hanya
sebuah kaedah hukum secara filosofis dan yuridis yang ditekankan, akan
tetapi peranan kaedah hukum secara sosiologis sangat berpengaruh.
Karena dengan memenuhinya kaedah sosiologis, maka peraturan tersebut
dapat dipaksakan kepada BMT atau BMT itu sendiri dapat menerima
(mengakui) peraturan tersebut.
Adanya dampak dari kerugian dan keuntungan atas aturan
kelembagaan kepada 4 (empat) BMT di Kota Tangerang Selatan
menjadikan BMT di Kota Tangerang Selatan memberikan keputusan
bahwasannya pilihan pengaturan lembaga yang memberikan keuntungan
akan diimpelementasikan dan dapat diterima dengan baik, sedangkan yang
bersifat merugikan tidak akan dilaksanakan. BMT di Kota Tangerang
Selatan beralasan bahwasannya pelaksanaan pilihan pengaturan hukum
didasarkan untuk memperoleh kemanfaatan (mashlahah) yang berarti
dapat mensejahterakan dan membahagiakan manusia, bukan hukum yang
tidak mashlahah (mafsadat) yang menyulitkan dan menderitakan
manusia.14
Oleh karena itu, hukum yang saat ini tidak memberikan
keuntungan atau kemanfaatan kepada BMT di Kota Tangerang Selatan,
maka tidak dipilih oleh BMT di Kota Tangerang Selatan. Karena tentunya
BMT ingin memperoleh keuntungan atas pilihan kelembagaannya. Hal
tersebut sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
دسء الوفبسذ جلت الوصبلح
“Meraih Kemashlahatan dan Menolak Kemafsadatan”
2. Komponen Sistem Hukum terhadap Pelaksanaan Pilihan
Kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil di Kota Tangerang Selatan
Keuntungan dan kerugian yang menjadi alasan utama pelaksanaan
pilihan hukum BMT di Kota Tangerang Selatan disebabkan oleh 2 (dua)
alasan komponen hukum. Komponen hukum tersebut terdiri dari
14
Abu Rokhmad, “Gagasan Hukum Progresif Perspektif Teori Maslahah”, Jurnal al-
Manahij, Vol. VII, No. 1, (Januari, 2013), h. 11.
61
komponen substansi hukum dan komponen pada struktur hukum.
Komponen struktur hukum berkaitan dengan kelembagaan, yakni lembaga
yang berwenang meneggakkan dan melaksanakan hukum.15
Struktur
hukum ini adalah Kementerian KUKM RI bagi kelembagaan KSPPS dan
OJK dalam hal kelembagaan LKMS. Substansi hukum berisi atas susunan
peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi
berperilaku.16
Yakni, isi dari masing-masing pengaturan yang memayungi
2 (dua) pilihan kelembagaan bagi BMT.
No. Nama BMT
Alasan BMT di Kota Tangerang Selatan
berdasarkan Komponen Sistem Hukum
dari Perspektif Sosial
1. BMT At-Taqwa Struktur Hukum
2. BMT Al-Fath IKMI Substansi Hukum
3. BMT Al-Bayan Substansi Hukum
4. BMT UMJ Substansi Hukum
Empat BMT di Kota Tangerang Selatan melalui tinjauan komponen-
komponen sistem hukum yang dipopulerkan oleh Lawrence M. Friedman
menemukan bahwasannya penyebab alasan BMT di Kota Tangerang
Selatan dalam memilih aturan hukum didominasi oleh alasan substansi
hukumnya. BMT yang memilih substansi hukum menjadi alasan dalam
memilih hukum antara lain, BMT Al-Fath IKMI, BMT Al-Bayan, dan
BMT UMJ, sedangkan BMT At-Taqwa berpendapat bahwasannya struktur
15
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-3, 2014), h. 306. 16
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, (Bandung: Nusa Media,
2013), h. 6.
Tabel 4.6: Alasan BMT di Kota Tangerang Selatan dalam Memilih
Bentuk Kelembagaan Berdasarkan Komponen Sistem Hukum dari
Perspektif Sosial
NO. NAMA BMT JENIS
KOPERASI
ASET
(Dalam
Rupiah)
Tanggal
Badan
Hukum
1. BMT At-Taqwa KSPPS 1,1 Miliar 2012
2. BMT Al-Fath
IKMI KSPPS 16 Miliar 1998
3. BMT Al-Bayan KSPPS 3 Miliar 1999
4. BMT UMJ KSU 3 Miliar 2009
Tabel 2 : Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di Tangerang
Selatan
62
hukum lah yang menjadi penyebab kerugiannya, maka BMT At-Taqwa
tidak ingin memilih pengaturan kelembagaan dari LKMS.
Perbedaan yang terjadi melalui tinjauan komponen hukum di atas
didasarkan karena LKM bersifat heterogen, sehingga sifat ini juga
mewarisi kepada sifat BMT. Keanekaragaman tersebut tersebut
dikarenakan BMT hadir dan tumbuh dari bawah atas kebutuhan dari
masyarakat itu sendiri.17
Sehingga, pluralitas dari subyek kultur hukum
tersebut akan menimbulkan pluralitas alasan hukum. Karena pluralitas
hukum terjadi pada dasarnya disebabkan keadaan, kondisi, dan struktur
waktu masyarakat yang berbeda-beda.18
Berikut adalah pengaruh dari
masing-masing kultur hukum BMT di Kota Tangerang Selatan terhadap
pelaksanaan pilihan hukum BMT terhadap komponen substansi hukum
dan struktur hukum:
a. Komponen Struktur Hukum dalam Kultur Hukum BMT di Kota
Tangerang Selatan dalam Memilih Kelembagaan
1) Kultur Hukum At-Taqwa dalam Memilih Kelembagaannya19
BMT At-Taqwa merupakan BMT di Kota Tangerang Selatan
yang memiliki kegiatan di dalam Masjid At-Taqwa Pamulang.
Sehingga, BMT At-Taqwa dinamakan serupa dengan nama masjid
yang ditempatinya. Keadaan dan kondisi BMT At-Taqwa dapat
dikatakan kecil dengan aset sebesar 1.1 Miliar dibanding BMT
lainnya yang ada di Kota Tangerang Selatan, kemudian kegiatan
operasional BMT At-Taqwa dikelola dengan apa adanya dan
belum sistematis, dan memiliki Sumber Daya Manusia (SDM)
yang minim. Kemudian, kegiatan operasional dari BMT At-Taqwa
saat ini sedang dalam kesulitan, terutama terkait pembayaran pajak
dan pembayaran gaji bagi pegawai BMT.
17
Neni Sri Imaniyati, “Aspek-Aspek Hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Perspektif
Hukum Ekonomi”, Prosiding SNaPP2011, Vol. 2, No.1, Tahun 2011, h. 135. 18
Yayasan Obor Indonesia, Hukum dan Kemajemukan Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Cet. Kedua, 2003), h. 34. 19
Dwi Lestari Handayani, Manajer BMT At-Taqwa, Interview Pribadi, Pamulang, 18 Juli
2018.
63
Nama KSPPS LKMS
Pengawas Kemnkop UKM RI OJK
Tugas Pembinaan Pengawasan
Kewajiban Laporan triwulan
dan tahunan
Setiap 4 (empat) bulan
Jenis Laporan Laporan keuangan
dan laporan
transaksi
mencurigakan.
Kinerja keuangan,
posisi keuangan, imbal
hasil, kesehatan
keuangan,
pengembangan produk,
dan laporan lainnya.
Sanksi Teguran, sanksi
administrasi,
pembekuan,
pencabutan izin
usaha, dan
pembubaran.
Sanksi peringatan
tertulis, denda,
pembekuan usaha,
pemberhentian direksi
atau pengurus,
pencabutan izin usaha,
dan sanksi pidana.
OJK sebagai otoritas yang berwewenang untuk melaksanakan,
mengatur dan mengawasi hukum sebagaimana yang tertuang pada
Pasal 28 Ayat (1) UU LKM adalah komponen dari struktur hukum
kelembagaan LKMS. Karena struktur hukum berkaitan dengan
kelembagaan, yakni lembaga yang berwenang meneggakkan dan
melaksanakan hukum.20
Struktur hukum yang diberikan kepada
OJK menjadi alasan BMT dalam memilih kelembagaannya. Hal
tersebut dikarenakan OJK dalam melaksanakan tugasnya sangat
20
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-3, 2014), h. 306.
Tabel 4.7: Komponen Struktur Hukum dalam Kultur Hukum BMT
di Kota Tangerang Selatan
NO. NAMA BMT JENIS
KOPERASI
ASET
(Dalam
Rupiah)
Tanggal
Badan
Hukum
1. BMT At-Taqwa KSPPS 1,1 Miliar 2012
2. BMT Al-Fath
IKMI KSPPS 16 Miliar 1998
3. BMT Al-Bayan KSPPS 3 Miliar 1999
4. BMT UMJ KSU 3 Miliar 2009
Tabel 2 : Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di Tangerang
Selatan
64
memerlukan laporan-laporan, audit secara rutin, dan sangat
memerhatikan tingkat kesehatan keuangan BMT At-Taqwa, maka
dapat memberikan kesulitan bagi BMT At-Taqwa. Terlebih
terdapatnya denda apabila BMT At-Taqwa tidak mampu
melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, lebih baik BMT At-
Taqwa tetap berada di bawah kementerian koperasi ketimbang
OJK yang dapat mempersulit dan menciptakan kerugian bagi BMT
At-Taqwa.
Sebagaimana laporan dan denda yang harus diberikan kepada
OJK terdapat pada Pasal 30 UU LKM yang membagi kepada 2
bentuk laporan, yakni laporan keuangan setiap 4 (empat) bulan;
dan/atau laporan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan. POJK Nomor 13/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro lebih lanjut
terkait laporan terdapat pada Pasal 4 Ayat (2) megatakan bahwa
laporan tersebut berupa laporan suku bunga maksimum Pinjaman
atau imbal hasil maksimum Pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada OJK setiap 4 (empat) bulan. Kemudian pada
Pasal 25 terkait melakukan laporan berkala yang berbunyi “LKM
wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala setiap 4
(empat) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 30 April,
31 Agustus, dan 31 Desember kepada OJK.”
Bagi pihak yang tidak mematuhi Pasal 25 dalam menyetorkan
laporan berkala, Pasal 31 mengatakan bahwa akan dikenakan
sanksi administratif, yaitu Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) perhari
dan maskimal Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) bagi LKM
wilayah 1, Rp 20.000 (dua puluh ribu) perhari dan maskimal Rp
1.000.000 (satu juta rupiah) bagi LKM wilayah 2, dan Rp 50.000
(lima puluh ribu rupaiah) perhari dan maskimal Rp 2.500.000 (dua
juta lima ratus ribu rupiah bagi LKM wilayah 3.
65
Komponen substansi hukum tidak menjadi alasan yang utama
bagi BMT At-Taqwa. Komponen substansi hukum tersebut terkait
kegiatan usaha dan cakupan wilayah dari BMT At-Taqwa. BMT
At-Taqwa beralasan bahwasannya kegiatannya yang saat ini dan
cakupan Kabupaten/Kota yang dimilikinya tidak menjadi masalah.
Karena cakupan wilayah antara KSPPS dan LKMS tidak jauh
berpengaruh kepada BMT yang berkegiatan dengan lingkup
Sekabupaten/Kota. Karena cakupan usaha tersebut memiliki
kesamaan dengan cakupan usaha dari LKMS, sebagaimana
berdasarkan pada Pasal 16 UU LKM bahwasannya cakupan
wilayah maksimal LKMS adalah cakupan wilayah Kabupaten/Kota
serta Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku
Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Jangkauan
Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
b. Kultur Hukum BMT di Kota Tangerang Selatan dalam Memilih
Komponen Struktur Hukum
1) Kultur Hukum BMT Al-Fath IKMI dalam Memilih Hukum21
BMT Al-Fath IKMI adalah salah satu BMT yang memiliki aset
yang besar dan kegiatan operasional yang cukup baik di Kota
Tangerang Selatan. Aset BMT Al-Fath IKMI saat ini berjumlah 16
Miliar Rupiah, kemudian BMT Al-Fath IKMI memiliki 3 (tiga)
cabang di antaranya cabang pertama yang berada di daerah
Jombang Ciputat, Legoso, dan Pondok Aren, selain itu sistem
operasional yang dimilikinya pun sudah tersistem sangat baik.
21
Saimin, Manajer BMT Al-Fath IKMI, Interview Pribadi, Ciputat, 10 Agustus 2018.
66
Wilayah KSPPS LKMS
Skala 1
(Keanggotaan
atau Nasabah)
Wilayah dalam 1 (satu)
daerah kabupaten/kota.
Skala usaha untuk 1
(satu) desa/kelurahan.
Skala 2
(Keanggotaan
atau Nasabah)
Wilayah
keanggotaannya lintas
daerah kabupaten atau
kota dalam 1 (satu)
daerah provinsi.
Skala usaha untuk 1
(satu) kecamatan.
Skala 3
(Keanggotaan
atau Nasabah)
Wilayah
keanggotaannya lintas
daerah provinsi.
Skala usaha untuk 1
(satu)
kabupaten/kota.
BMT Al-Fath IKMI beralasan bahwa substansi hukum yang
dapat memperburuk perkembangan kegiatan BMT, sehingga hal
tersebut akan menyulitkan BMT untuk melakukan ekspansi dan
berkembang. Substansi hukum tersebut adalah megenai cakupan
wilayah kerja dari BMT Al-Fath IKMI. Karena saat ini kegiatan
usaha BMT Al-Fath memiliki cakupan skala nasional. Sedangkan,
berdasarkan pada Pasal 16 UU LKM cakupan wilayah maksimal
kepada LKMS adalah sekabupaten/kota. Sehingga, apabila
memilih LKMS UU LKM, maka BMT Al-Fath IKMI harus
memperkecil cakupan wilayah usahanya menjadi berskala
Kabupaten/Kota atau apabila BMT Al-Fath IKMI tetap mengikuti
skalanya yang bersifat nasional, maka BMT Al-Fath IKMI harus
berubah menjadi BPRS sebagaimana yang terdapat padal Pasal 27
Ayat (1) UU LKM dan POJK Nomor 62/POJK.03/2016 tentang
Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional menjadi
Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Tabel 4.8: Komponen Substansi Hukum dalam Kultur Hukum BMT
di Kota Tangerang Selatan terkait Cakupan Wilayah Usaha
NO. NAMA BMT JENIS
KOPERASI
ASET
(Dalam
Rupiah)
Tanggal
Badan
Hukum
1. BMT At-Taqwa KSPPS 1,1 Miliar 2012
2. BMT Al-Fath
IKMI KSPPS 16 Miliar 1998
3. BMT Al-Bayan KSPPS 3 Miliar 1999
4. BMT UMJ KSU 3 Miliar 2009
Tabel 2 : Gambaran Umum Obyek Penelitian BMT di Tangerang
Selatan
67
menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dan kepemilikannya
harus dimiliki oleh pemerintah sebesar 60%. Kepemilikan
pemerintah ini tentunya memiliki akibat, karena telah terbukti
dengan kepemilikan yang dilakukan pemerintah dapat menciptakan
korupsi pada lembaga tersebut.22
Komponen dari struktur hukum tidak menjadi permasalahan
oleh BMT Al-Fath IKMI. Meskipun demikian BMT Al-Fath
beralasan bahwasannya hanya pendekatan yang dilakukan oleh
OJK saja yang dipermasalahkan. Karena pendekatan yang
dilakukan tersebut layaknya pendekatan perbankan, padahal BMT
Al-Fath meskipun cukup besar tetap merupakan koperasi.
Sehingga, pendekatan baik kepada bank dan yang bukan bank
(koperasi) tidak dapat disama ratakan.
2) Kultur Hukum BMT Al-Bayan dalam Memilih Hukum23
BMT Al-Bayan saat ini memiliki aset sekitar 3 miliar dengan
jumlah nasabah (anggota dan calon anggota) yang beragam dan
juga memiliki cukup pengurus di dalam organisasinya. Meskipun
tidak sebesar BMT Al-Fath IKMI, kultur hukum dari BMT Al-
Bayan berpendapat bahwa substansi hukum menjadi alasan utama
BMT Al-Bayan untuk tetap memilih tunduk kepada UU
Perkoperasian.
BMT Al-Bayan beralasan bahwasannya kegiatan BMT Al-
Bayan yang saat ini berskala Kabupaten/Kota dianggap kurang
cukup dan memerlukan tambahan cakupan skala wilayah
keanggotaan. Hal tersebut dikarenakan BMT Al-Bayan berada di
pinggir daerah Kota Tangerang Selatan dan banyak calon nasabah
telah melewati dari cakupan wilayah BMT Al-Bayan yang ingin
22
Namiza Haq, dkk, “Regulation of Microfinance Institutios in Asia: A Comparative
Analysis”, International Reviews of Business Research Papers, Vol. 4, No. 4, (Augst-Sept 2008),
h. 442. 23
Dini Rohdiani, Manajer BMT Al-Bayan, Interview Pribadi, Serpong, Tanggal 16 Agustus
2018.
68
melakukan kegiatan usaha simpan, pinjam, dan pembiayaan
syariah kepada BMT Al-Bayan. Sehingga, sebagaimana substansi
hukum LKMS dalam UU LKM yang maksimal cakupan
wilayahnya adalah sekabupaten/kota, maka akan membatasi
perkembangan BMT Al-Bayan dan merugikan BMT Al-Bayan
serta nasabah tersebut.
BMT Al-Bayan mengungkapkan di lain sisi bahwa BMT sulit
untuk melakukan tinjauan terhadap nasabah yang melakukan
pengajuan pinjaman atau pembiayaan kepada lembaga lain. Karena
beberapa waktu lalu terdapat nasabah yang macet diakibatkan
melakukan pinjaman lain kepada lembaga lainnya. Akan tetapi,
BMT At-Bayan tidak dapat berbuat apa-apa atas hal tersebut, baik
berupa penarikan barang yang sudah dilakukan pembiayaan.
3) Kultur Hukum BMT UMJ dalam Memilih Hukum24
Banyak pertimbangan BMT UMJ untuk tidak mengikuti
kelembagaan LKMS dan lebih memilih untuk berubah dari KSU
kepada KSPPS. Pertimbangan tersebut mengenai kedua dari
komponen hukum, yakni komponen dari substansi hukum dan
komponen struktur hukum. Karena kedua-duanya cukup
mempengaruhi BMT UMJ. BMT UMJ beralasan bahwasannya dari
substansi hukum dan struktur hukum tersebut, yang paling
mempengaruhi BMT UMJ berubah menjadi KSPPS adalah
substansi hukumnya. Hal tersebut dikarenakan BMT UMJ saat ini
berkegiatan skala nasional yang ditunjukkan dengan pengawasan
yang dilakukan Menteri. Apabila BMT UMJ mengikuti LKMS,
maka sama layaknya BMT Al-Fath dan BMT Al-Bayan akan
mempersempit perkembangan BMT UMJ.
24
Muchtiar, Direktur BMT UMJ, Interview Pribadi, Cirendeu, 15 Agustus 2018.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebagaimana yang telah dikemukakan dalam bab-bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Hasil pelaksanaan pilihan bentuk kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) di Kota Tangerang Selatan menemukan bahwasanya 4 (empat)
BMT di Kota Tangerang Selatan memilih bentuk kelembagaan Koperasi
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) yang diatur dalam
PermenKUKM RI Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh
Koperasi dan menolak untuk memilih kelembagaan Lembaga Keuangan
Mikro Syariah (LKMS) yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Empat BMT
tersebut adalah BMT Al-Fath IKMI, BMT Al-Bayan, BMT At-Taqwa, dan
BMT UMJ. Implikasi dari pelaksanaan pilihan tersebut adalah menjadikan
BMT mengikuti pengaturan KSPPS yang diatur oleh Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia. Akibat hukum
dari dipilihnya kelembagaan KSPPS tersebut menjadikan kegiatan,
cakupan wilayah, dan pengawasan serta pembinaan BMT di Kota
Tangerang Selatan yang seluruhnya mengacu kepada peraturan
KemenKUKM RI tentang KSPPS .
2. Alasan BMT di Kota Tangerang Selatan dalam melakukan pilihan bentuk
kelembagaan tersebut adalah apabila diterapkannya LKMS menjadi
lembaga BMT, maka hal tersebut dapat memberikan kerugian dan
kesulitan kepada BMT. Sedangkan, dengan dipilihnya KSPPS sebagai
lembaga dari BMT di Kota Tangerang Selatan, maka hal tersebut dapat
memberikan keuntungan dan kemanfaatan kepadanya. Oleh karena alasan
tersebut, pengaturan KSPPS dianggap tepat untuk diterapkan kepada
70
BMT. Atas dasar menghasilkan keuntungan dan kerugian yang tercipta
dalam memilih kelembagaan dan aturannya, maka pelaksanaan pilihan
pengaturan hukum secara logis tidak dapat tercipta pada BMT di Kota
Tangerang Selatan.
Hasil tinjauan melalui komponen sistem hukum dari perspektif sosial
menemukan bahwasannya alasan dari adanya keuntungan dan kerugian
yang diterima oleh BMT di Kota Tangerang Selatan dalam melaksanakan
pilihan kelembagaannya tersebut didasarkan kepada 2 (dua) komponen
hukum. Yaitu, komponen susbtansi hukum dan komponen struktur hukum.
Secara dominan, komponen susbtansi hukum yang menjadi penyebab
dominan dari timbulnya kerugian yang menghambat pelaksanaan pilihan
kelembagaan BMT. Substansi hukum tersebut mengenai perbedaan
pengaturan cakupan wilayah BMT antara KSPPS dan LKMS. BMT yang
beralasan bahwasannya susbtansi hukum yang menjadi komponen
penyebab kerugian adalah BMT Al-Fath IKMI, BMT UMJ, dan BMT Al-
Bayan. Sedangkan hanya BMT At-Taqwa yang beralasan struktur hukum
menjadi penyebab yang menciptakan kerugian apabila diterapkan kepada
BMT At-Taqwa. Perbedaan-perbedaan alasan dalam memilih komponen
hukum ini tercipta karena kondisi, keadaan, dan waktu dari masing-masing
BMT yang berbeda-beda.
B. Saran
Atas hasil penelitian di atas, maka penulis menyarakan bahwa:
1. Bagi otoritas pembuat peraturan, terdapat 2 (dua) opsi rekomendasi
yang Penulis sarankan. Pertama, agar dapat diterapkan dengan baik
terkait pilihan kelembagaan bagi BMT, maka diharapkan untuk
dilakukannya revisi substansi pengaturan dengan cara mendasarkan
dalam pembuatan peraturan dengan cara mengklasifikasikan BMT
berdasarkan kondisi, keaadan, dan waktu dari masing-masing BMT.
Saran kedua adalah memperkuat dan mengharmonisasikan dari 2 (dua)
aturan kelembagaan tersebut dengan mengacu kepada salah satu
pengaturan hukum bagi BMT yang dianggap lebih tepat dan sesuai
71
dengan peraturan perundang-undangan. Karena terlalu banyak
peraturan berpotensi memperburuk keadaan BMT dalam bermanuver.
Oleh karena itu, penguatan, senergisitas, dan harmonisasi hukum harus
dirumuskan dengan baik dan harus didasarkan pada substansi dan
struktur hukum BMT dengan mempertimbangkan dampak kerugian
dan keuntungan yang disesuaikan juga pada kondisi BMT yang
berbeda-beda.
2. Bagi BMT, meskipun atas dasar dapat menciptakan keuntungan dan
kerugian dalam kegiatan operasionalnya, maka BMT diharapkan agar
tetap patuh kepada peraturan yang menjadi payung hukumnya. Hal
tersebut bertujuan agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan baik
kepada BMT itu sendiri maupun kepada para anggotanya.
3. Bagi akademisi, diharapkan adanya penelitian lanjutan yang lebih luas
baik secara wilayah dan jumlah BMT. Hal tersebut bertujuan untuk
mengkonfirmasi dan membandingkan dengan hasil penelitian ini.
Kemudian, diperlukan juga penelitian kepada BMT yang sudah
menjadi LKMS dengan melihat dampak serta akibat atas perubahan
kelembagaan tersebut agar dapat menciptakan hasil yang solutif dan
berkelanjutan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.
72
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdad, M. Zaidi. Lembaga Perekonomian Umat di Dunia Islam. Bandung:
Penerbit Angkasa, Cet. Pertama, 2003.
Ali, Achmad dan Heryani, Wiwie. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum.
Jakarta: Kencana, Cet. Kedua. 2013.
Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM
dan UKM di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Asian Development Bank, Finance for the Poor: Microfinance Development
Strategy. 2000.
B. Taneko, Soleman. Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, Cet. Pertama, 1993.
Badan Pusat Statistik Kota Kota Tangerang Selatan. Kota Kota Tangerang
Selatan dalam Angka 2014.
Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. Jenis Koperasi. Tahun
2010.
Djazuli, A dan Janwari, Yadi. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah
Pengantar). Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002.
Emeritus, dkk, Hukum sebagai Suatu Sistem. .Bandung: PT. Fikahati Aneska,
Cetakan Kedua, 2003.
Erani Yustika, Ahmad. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, & strategi.
Malang, Bayumedia, 2006.
Fajar, Mukhti dan Achmad, Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman
Penulisan Skripsi. Jakarta: t.p., 2017.
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional. Jilid II Bagian 4 Buku Ke-5.
Bandung, P.T. Alumni, Cet. Ke-2, 1998.
73
HS, Salim dan Septiana Nurbani, Erlies. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Tesis dan Disertasi. Depok: PT Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-3, 2014.
Kerjasama Dinas Komunikasi dan Informatika dengan Badan Pusat Statistik Kota
Tangerang Selatan. Laporan Akhir Kegiatan Survei dan Kompilasi Produk
Administrasi Bidang Ekonomi Kota Tangerang Selatan Tahun 2017.
Lawerence, W. Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problem
Keadilan. Terjemahan dari Legal Theori. Penerjemah Mohamad Arifin.
Jakarta: CV. Rajawali, 1990.
M. Friedman, Lawrence. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial. Bandung: Nusa
Media, 2013.
Mamudji, Sri dkk. Metode Penulisan Hukum. T.t: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan
Mikro. Nopember, 2010.
Otoritas Jasa Keuangan. Snapshot Perbankan Syariah Indonesia Posisi 30
September 2017.
Pachta, Andjar, dkk. Hukum Koperasi Indonesia: Pemahaman, Regulasi,
Pendirian, dan Modal usaha. Jakarta: Kencana, Cet. Kedua, 2007.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Cet. Keenam,
2006.
Rahmawati, Yuke. Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Ciputat: UIN Jakarta
Press, Cet. Pertama, 2013.
Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris. Bandung:
Alumni, 1983.
Scholten, Paul. Struktur Ilmu Hukum. Penerjemah B. Arief Sidharta. Bandung:
Alumni, Cet. Kedua, 2005.
Soekanto, Soerjono dan Abdullah, Mustafa. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat.
Jakarta: Rajawali, 1987
Soekanto, Soerjono. Efektivitasi Hukum dan Peranan Sanksi.Bandung: CV.
Remadja Karya, Cet. Pertama, 1985.
74
-------------- Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum, Bandung:
Penerbit Alumni, 1979.
Yayasan Obor Indonesia, Hukum dan Kemajemukan Budaya. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, Cet. Kedua, 2003.
Jurnal dan Penelitian yang Dipublikasikan
Ayu Azizah, Rana dan Suprayogi, Noven. “Analisis Keoptimalan Fungsi Baitul
Maal pada Lembaga Keuangan Mikro Islam (Studi Kasus pada BMT Nurul
Jannah di Gresik dan BMT Muda di Surabaya)”. Jurnal JESTT, Vol. 1, No.
12, (Desember 2014).
C. North, Douglass. “Institutions”, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 5,
No. 1. (Winter, 1991).
Dewi Masyitoh, Novita. “Analisis Normatif UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang
LKM atas Satus Badan Hukum dan Pengawasan BMT”. Jurnal Economica,
Vol. V Edisi 2, (Oktober, 2014).
Erna Rachmawati, Devi. “Market Opportunities and Regulations Microfinance in
Indonesia”. Jurnal of East Asian Studies. No. 13.
Haq, Namiza, dkk. “Regulation of Microfinance Institutios in Asia: A
Comparative Analysis”. International Reviews of Business Research Papers,
Vol. 4, No. 4, (Augst-Sept 2008).
Kajeng Baskara, I Gde. “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia”. Jurnal Buletin
Studi Ekonomi, Vol. 18, No. 2,(Agustus 2013).
Kholim, Muhammad. “Eksistensi Baitul Maal Wattamwil dan Permasalahan
dalam Operasionalisasinya (Studi di Propinsi Jawa Tengah)”. Tesis,
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang,
2004.
Muhtarom, Muhammad. “Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan
Mikro Syariah di Indonesia”. Profetika Jurnal Studi Islam, XVII, 1, (Juni,
2016).
Murwanti, Sri dan Sholahuddin, Muhammad. “Peran Keuangan Lembaga
Keuangan Mikro Syariah untuk Usaha Mikro di Wonogiri”. Seminar
Nasional dan Call for Papers SANCALL 2013.
75
Ningsih, Ifelda, dkk. “Baitul Maal Wat Tamwil in Regulation (Easy or Diffcult)”.
Batusangkar International Conference 11, (14-15 Oktober, 2017).
Nourma Dewi, “Regulasi Keberadaan BMT dalam Sistem Perekonomian
Indonesia”, Jurnal Serambi Hukum, Vol.11 No. 1, (Februari-Juli, 2017).
Ridho Kismawandi, Early. “Otoritas Jasa Keuangan (Financial Services
Authority) dan Industri Perbankan di Indonesia”. Jurnal J-Ebis, Vol. 1 No.
2, (Juni, 2016).
Rohma, Umi. “Konstruksi Identitas Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) pasca UU No.
1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro”. Istiqro, XIII, 2, (2013).
Rokhmad, Abu. “Gagasan Hukum Progresif Perspektif Teori Maslahah”. Jurnal
al- Manahij, Vol. VII, No. 1, (Januari, 2013).
Solikhah, dkk. “Bentuk Badan Usaha Ideal untuk Dapat dipertanggungjawabkan
secara Hukum dalam Pengelolaan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
berdasarkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro di Eks Karisidenan
Surakarta”. Jurnal Yustitia, edisi 93, (September – Desember, 2015).
Sri Imaniyati, Neni. “Aspek-Aspek Hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam
Perspektif Hukum Ekonomi”. Prosiding SNaPP2011, Vol. 2, No.1, Tahun
2011.
Sutrisna, “Kajian Yuridis BMT menurut Undang-Undang No.1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992
tentang Koperasi di Indonesia”. (Jurnal Penelitian, Fakultas Hukum,
Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, 2017).
Yudho, Winarno dan Tjandrasari, Heri. “Efektivitas Hukum dalam Masyarakat”.
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 17, No. 1, 1987.
Interview
Interview Pribadi dengan Hosen, Pegawai BMT Al-Ikhlas, Pamulang, 16 Juli
2018.
Interview Pribadi dengan Saimin, Ketua HIMKOPSYAH Banten, 10 Agustus
2018.
Interview Pribadi dengan Dwi Lestari Handayani, Manajer BMT At-Taqwa,
Pamulang, 18 Juli 2018.
76
Interview Pribadi dengan Muchtiar, Direktur BMT UMJ, Cirendeu, 15 Agustus
2018.
Interview Pribadi dengan Saimin, Manajer BMT Al-Fath IKMI, Ciputat, 10
Agustus 2018.
Interview Pribadi, Dini Rohdiani, Manajer BMT Al-Bayan, Serpong, Tanggal 16
Agustus 2018.
Berita dan Internet
BMT Gerakkan Ekonomi Rakyat, https://republika.co.id/berita/koran/syariah-
koran/14/06/13/n73i462-bmt-gerakkan-ekonomi-rakyat. Jum’at 13 Juni,
2014 Pukul 14:00 WIB.
Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah pada Tahun 2010.
dinkopukm.slemankab.go.id/wp-content/uploads/2018/07/Jenis-
koperasi.pdf.
Direktori LKM OJK diakses melalui https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-
dan-statistik/direktori/direktori-lkm/Pages/Direktori-Lembaga-Keuangan-
Mikro---Juli-2018.aspx.
Dua BMT Syariah Himpun Dana Masyarakat Tanpa Izin, koran
ekonomi.Kompas.com/read/2016/11/01/15282836/dua.bmt.syariah.himpun.
dana.masyarakat.tanpa.izin., 1 Nopember 2016.
http://www.depkop.go.id/tentang-kementerian/kementerian-koperasi-dan-ukm/.
https://www.ojk.go.id/Files/box/LKM/faq-lkm.pdf
nik.depkop.go.id.
OJK Minta BMT Segera Urus Perizinan, Koran
https://republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-konomi/16/01/11/o0s3ye383-
ojk-minta-bmt-segera-urus-perizinan, Senin, 11 Januari 2016.
Perhimpunan BMT Indonesia Selaras Reformasi Koperasi,
www.Bertiasatu.com./ekonomi/399663-perhimpunan-bmt-indonesia-selaras-
reformasi-koperasi.html., 17 Nopember 2016.
77
Uang Rp 3 Miliar Lenyap, Nasabah Gruduk Kantor BMT Istiqomah,
http://jabar.tribunnews.com/2018/04/21/uang-rp-3-miliar-lenyap-nasabah-
geruduk-kantor-bmt-istiqomah, Sabtu, 21 April 2018.
Upaya Menutup Celah Agar Fintech Tidak Berpraktik Shadow Banking,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a4e02600e517/upaya-menutup-
celah-agar-fintech-tak-berpraktik-shadow-banking.
Yurisprudensi dan Peraturan Perundang-Undangan
Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013.
Peraturan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia
Nomor 11/PER/M.KUMKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah.
Permen KUKM Nomor 16/PER/M.KUKM/IX/2015tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi.
Permen KUKM RI Nomor 19/PER/M.KUKM/IX/2015 tentang Penyelenggaraan
Rapat Anggota.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 62/POJK.03/2016 tentang Transformasi
Lembaga Keuangan Mikro Konvensional menjadi Bank Perkreditan Rakyat
dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan
Usaha dan Kelembagaan Keuangan Mikro
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015 tentang Perubahan
atas POJK Nomor 12/ POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Keuangan Mikro.
Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman atau
Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Jangkauan Usaha Lembaga Keuangan
Mikro.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
78
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2004 tentang Pembinaan
dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Kecil Mikro dan
Menengah
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Bahan Wawancara
HIMKOPYSAH
Nama Nara Sumber : Saimin., S.E., M.Si
Jabatan : Ketua HIMKOPSYAH BANTEN
Tanggal/Waktu : 10, Agustus 2018/ 14:05 – 15:05
1. Terdapat berapa BMT yang ada di Kota Tangerang Selatan?
Sekitar 30an
2. Bagaimana perkembangan BMT di Kota Tangerang Selatan dari tahun ke
tahun?
Perkembangan BMT di Kota Tangerang Selatan saat ini tidak terlepas
dengan perekonomian secara nasional. Di mana kondisi ekonomi terdapat
3 (tiga) yakni baik, kondusif, dan kurang baik. Nah, BMT masuk ke dalam
kategori kondusif (stagnan). Kondisi BMT tersebut dipengaruhi siklus
ekonomi secara nasional.
Siklus tersebut disebabkan oleh kekuatan daya beli UMKM yang menurun
yang disebabkan oleh maraknya mini market di Indonesia dan digitalisasi
e-commerce yang menjadi pesaing dari UMKM tradisional. Sehingga,
BMT di Kota Tangerang Selatan sedang diuji ketahanan BMT itu sendiri
terhadap siklus ekonomi nasional saat ini.
Mesikpun begitu, BMT masih sanggup untuk berdiri dibanding beberapa
koperasi konvensional lainnya. Oleh karena itu, saat ini sedang
mendorong untuk pengembangan sistem IT di BMT agar dapat bersaing.
Bahan Wawancara
BMT
Nama BMT : BMT UMJ
Badan Hukum : KSU
Nama Nara Sumber : Bapak Mukhtiar
Jabatan : Direktur
Tanggal/Waktu : 15-Agustus-2018/08:30
Seputar BMT
1. Bagaimana profile dari BMT?
BMT UMJ saat ini berbentuk KSU (Koperasi Serba Usaha). Akan tetapi,
BMT UMJ juga memiliki kegiatan jasa keuangan syariah. Karena BMT
UMJ memiliki USPPS (Unit Usaha Simpan Pinjam Syariah). Kegiatan
keuangan syariah itu sendiri sudah lama sejak terjadinya kejadian
jebolnya Situ Gintung. Namun, saat ini tengah penggodokan untuk
menjadi KSPPS secara penuh.
2. Berapa aset dari BMT?
BMT UMJ memiliki aset sebesar 3 Miliar
3. Lingkup wilayah kegiatan BMT apa saat ini?
BMT UMJ di bawah pembinaan menteri. Berarti bersifat nasional.
Pilihan Hukum
1. Kemana BMT memilih aturan hukum saat ini? (Undang-Undang LKM)
atau (Undang-Undang Koperasi)
Pilihan hukum saat ini adalah tetap koperasi. Banyak pertimbangn atas
itu karena tidak hanya peraturannya juga pertimbangan ketatnya OJK.
Dalam UU LKM itu bergantung pada modal dan bukan bergantung pada
nilai kebersamaannya. Kemudian, peraturan LKM dikatakan belum siap
untuk diterapkan.
2. Apakah dengan pilihan hukum tersebut. BMT patuh secara keseluruhan?
Tidak, terlebih terkait dengan anggota. Karena BMT UMJ masih melayani
non-anggota (nasabah) yang seharusnya BMT itu untuk anggota.
3. Apakah dengan memilih peraturan saat ini oleh BMT lebih menciptakan
kemanfaatan kepada BMT? (Ya)/(Tidak)
4. Alasan apa bagi BMT untuk tidak memilih aturan sebaliknya?
Karena dapat mempersempit kegiatan dari BMT.
Alasan dari Komponen Sistem Hukum
(Komponen dalam wawancara ini memiliki peran untuk mengetahui alasan dan
tolak ukur apa BMT dalam memilih peraturan)
1. Faktor dominan apakah BMT tidak memilih peraturan yang sebaliknya
atau dalam artian factor dominan yang menjadikan BMT memilih
peraturan yang saat ini digunakan? (Pilih Salah Satu)
a. Substansi Hukum/Terkait isi dari peraturan (X)
Seperti :
i. Tujuan hukum yang diatur berbeda dengan tujuan yang dianut
BMT;
ii. Peraturan mempersempit ruang kegiatan dan perkembangan
BMT/memberikan kelonggaran kepada BMT.
b. Struktur Hukum/Terkait Pengawasan dan Penegakkan Hukum ( )
i. OJK/Kemenkop yang mengikat dalam mengawasi BMT;
ii. Tidak sesuainya kewenangan pengawasan apabila mengawasi
BMT;
iii. Ketatnya pengawasan dan sanksi/kendurnya pengawasan
Bahan Wawancara
BMT
Nama BMT : BMT At-Taqwa
Badan Hukum : KSPPS
Nama Nara Sumber : Ibu Dwi Lestari handayani
Jabatan : Manajer
Tanggal/Waktu : 18-Juli-2018/14:15
Seputar BMT
1. Bagaimana profile dari BMT?
BMT At-Taqwa sebagaimana namanya berada di Masjid At-Taqwa. BMT
At-Taqwa operasionalnya berbentuk KSPPS pada tahun 2013. Kegiatan
dari BMT At-Taqwa memberikan modal usaha di sekitar BMT baik kepada
kaum dhuafa atau anggota-anggota yang berkegaitan sebagai UKM.
2. Berapa aset dari BMT?
BMT At-Taqwa memiliki aset sebesar 1.1 Miliar
3. Lingkup wilayah kegiatan BMT apa saat ini?
Kegiatan wilayah yang dilakukan hanya di sekitar BMT dan tidak jauh
Pamulang.
Pilihan Hukum
1. Kemana BMT memilih aturan hukum saat ini? (Undang-Undang LKM)
atau (Undang-Undang Koperasi)
Pilihan hukumnya saat ini mengikuti koperasi.
2. Apakah dengan pilihan hukum tersebut. BMT patuh secara keseluruhan?
Tidak.
3. Apakah dengan memilih peraturan saat ini oleh BMT lebih menciptakan
kemanfaatan kepada BMT? (Ya)/(Tidak)
4. Alasan apa bagi BMT untuk tidak memilih aturan sebaliknya?
Takut. Asetnya masih kecil, gaji pegawai pun belum besar masih belum
UMR dan beberapa gaji pengurus belum diberikan. Kemudian, BMT At-
Ataqwa belum membayar pajak. Nanti kalau ikut OJK semakin rugi. Kaya
tahun 2017 Bumiputera yang akhirnya rugi karena ikut aturan OJK.
Kalau untuk BMT At-Taqwa sekecil ini tidak bisa sistemnya pun belum
sebesar bank yang lain. Jadi, kalau ada OJK yang ada biaya-biaya lebih
mempersulit BMT.
Alasan dari Komponen Sistem Hukum
(Komponen dalam wawancara ini memiliki peran untuk mengetahui alasan dan
tolak ukur apa BMT dalam memilih peraturan)
1. Faktor dominan apakah BMT tidak memilih peraturan yang sebaliknya
atau dalam artian factor dominan yang menjadikan BMT memilih
peraturan yang saat ini digunakan? (Pilih Salah Satu)
a. Substansi Hukum/Terkait isi dari peraturan ( )
Seperti :
i. Tujuan hukum yang diatur berbeda dengan tujuan yang
dianut BMT;
ii. Peraturan mempersempit ruang perkembangan BMT.
b. Struktur Hukum/Terkait Pengawasan dan Penegakkan Hukum
(X)
i. OJK/Kemenkop yang mengikat dalam mengawasi BMT;
ii. Tidak sesuainya kewenangan pengawasan apabila
mengawasi BMT;
iii. Ketatnya pengawasan dan sanksi/kendurnya pengawasan..
Bahan Wawancara
BMT
Nama BMT : BMT Al-Bayan
Badan Hukum : KSPPS
Nama Nara Sumber : Ibu Dini Rohdiani
Jabatan : Manajer
Tanggal/Waktu : 16-Agustus-2018
Seputar BMT
1. Bagaimana profile dari BMT?
BMT Al-Bayan beroperasi sebagai KSPPS. Di mana aset yang ada saat
ini sekitar 3 Miliar. Anggota yang melakukan pinjaman pun banyak dan
beragam. Tapi, karena beragam tersebut BMT sulit untuk mengajak
anggota untuk ikut RAT dan kegiatan-kegaitan lainnya. Sehingga, lebih
baik untuk diperkecil anggota-anggotanya. Anggota-anggota tersebut
banyak dari di sekitar pasar Serpong dan adapula di Pamulang. Sifatnya
pun menggiring bola agar dapat menjangkau masyarakat-masyarakat
tersebut.
Tetapi, kesulitannya kadang ada nasabah yang macet karena tidak
terdeteksi telah melakukan pinjaman dari lembaga lain. Jadi, mau tidak
mau BMT tidak bisa berbuat apa-apa atas hal tersebut.
2. Berapa aset dari BMT?
BMT Al-Bayan memiliki aset sebesar 3 Miliar
3. Lingkup wilayah kegiatan BMT apa saat ini?
Kegiatan wilayah yang dilakukan hanya di sekitar BMT dari Pamulang
juga Serpong. Tetapi ada juga anggota yang lewat lintas kewilayahan
BMT. Karena BMT Al-Bayan ini sendiri berada diperbatasan.
Pilihan Hukum
1. Kemana BMT memilih aturan hukum saat ini? (Undang-Undang LKM)
atau (Undang-Undang Koperasi)
Pilihan hukumnya saat ini mengikuti koperasi.
2. Apakah dengan pilihan hukum tersebut. BMT patuh secara keseluruhan?
Tidak. Karena sulit dalam melaksanakan RAT bagi anggota-anggota
tersebut.
3. Apakah dengan memilih peraturan saat ini oleh BMT lebih menciptakan
kemanfaatan kepada BMT? (Ya)/(Tidak)
4. Alasan apa bagi BMT untuk tidak memilih aturan sebaliknya?
Karena tidak mengakomodir dan sulit bagi BMT Al-Bayan. BMT Al-Bayan
dengan kegaitan yang berada di perbatasan dan banyak anggota yang
berada di luar perbatasan dan menyindir-nyindir serta memohon agar
dapat memenuhi pinjamannya. Oleh karena itu, sekarang BMT Al-Bayan
sedang melakukan pengurusan agar dapat memperluas wilayahnya
menjadi skala nasional. Sedangkan, dalam LKM kan skalanya terbatas.
Namun untuk pelayanan kepada nasabah kita sulit mengetahui nasabah
mana yang telah meminjam kepada lembaga lain dan yang tidak. Karena,
pernah ada nasabah yang baru mengajukan pembiayaan untuk
operasional pasar, tiba-tiba mendapatkan pembiayaan lagi. Sehingga,
nasabah itu macet dan kita tidak bisa apa-apa terkecuali kita sudah
melakukan simpanan minimum dana dari persentase pembiayaan itu.
Alasan dari Komponen Sistem Hukum
(Komponen dalam wawancara ini memiliki peran untuk mengetahui alasan dan
tolak ukur apa BMT dalam memilih peraturan)
1. Faktor dominan apakah BMT tidak memilih peraturan yang sebaliknya
atau dalam artian factor dominan yang menjadikan BMT memilih
peraturan yang saat ini digunakan? (Pilih Salah Satu)
a. Substansi Hukum/Terkait isi dari peraturan (X)
Seperti :
i. Tujuan hukum yang diatur berbeda dengan tujuan yang dianut
BMT;
ii. Peraturan mempersempit ruang perkembangan BMT.
b. Struktur Hukum/Terkait Pengawasan dan Penegakkan Hukum ( )
i. OJK/Kemenkop yang mengikat dalam mengawasi BMT;
ii. Tidak sesuainya kewenangan pengawasan apabila mengawasi
BMT;
iii. Ketatnya pengawasan dan sanksi/kendurnya pengawasan.
Bahan Wawancara
BMT
Nama BMT : BMT Al-Fath IKMI
Badan Hukum : KSPPS
Nama Nara Sumber : Bapak Saimin, S.E., M.Si
Jabatan : Manajer
Tanggal/Waktu : 10 Agustus 2018/14:05 – 15: 10 WIB
Seputar BMT
1. Bagaimana profile dari BMT?
BMT Al-Fath IKMI saat ini beroperasi sebagai KSPPS. Aset yang ada
sebesar 16 Miliar. BMT Al-Fath IKMI memiliki 3 (tiga) cabang di
antaranya cabang pertama di Jombang Ciputat, Legoso, dan Pondok
Aren.
2. Berapa aset dari BMT?
BMT Al-Fath IKMI memiliki aset sebesar 16 Miliar
3. Lingkup wilayah kegiatan BMT apa saat ini?
Lingkup kegiatan BMT Al-Fath IKMI diawasi oleh Menteri maka BMT Al-
Fath IKMI skalanya nasional.
Pilihan Hukum
1. Kemana BMT memilih aturan hukum saat ini? (Undang-Undang LKM)
atau (Undang-Undang Koperasi)
Koperasi.
2. Apakah dengan pilihan hukum tersebut. BMT patuh secara keseluruhan?
Tidak..
3. Apakah dengan memilih peraturan saat ini oleh BMT lebih menciptakan
kemanfaatan kepada BMT? (Ya)/(Tidak)
4. Alasan apa bagi BMT untuk tidak memilih aturan sebaliknya?
Pada dasarnya UU LKM memberikan keleluasaan bagi BMT dalam
pengaturan hukum. Akan tetapi hal tersebut akan sulit bagi BMT untuk
berekspansi. Di samping itu, kegiatan yang dilakukan BMT akan dibatasi
wilayah kerjanya. Jadi, dengan tunduk tersebut memberikan kerugian bagi
BMT.
Saat ini banyak LKM yang tersebar di seluruh Indonesia, maka pasti sulit
bagi OJK mengawasi masing-masing LKM. Kalau OJK pernah datang
kemari,, namun pendekatan yang dilakukan layaknya bank bukan seperti
koperasi.
Alasan dari Komponen Sistem Hukum
(Komponen dalam wawancara ini memiliki peran untuk mengetahui alasan dan
tolak ukur apa BMT dalam memilih peraturan)
1. Faktor dominan apakah BMT tidak memilih peraturan yang sebaliknya
atau dalam artian factor dominan yang menjadikan BMT memilih
peraturan yang saat ini digunakan? (Pilih Salah Satu)
a. Substansi Hukum/Terkait isi dari peraturan (X)
Seperti :
i. Tujuan hukum yang diatur berbeda dengan tujuan yang dianut
BMT;
ii. Peraturan mempersempit ruang perkembangan BMT.
b. Struktur Hukum/Terkait Pengawasan dan Penegakkan Hukum ( )
i. OJK/Kemenkop yang mengikat dalam mengawasi BMT;
ii. Tidak sesuainya kewenangan pengawasan apabila mengawasi
BMT;
iii. Ketatnya pengawasan dan sanksi/kendurnya pengawasan.