pemahaman hadis menjamak salat tanpa...
TRANSCRIPT
PEMAHAMAN HADIS MENJAMAK SALAT TANPA
UZUR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh :
Roudotul Awaliyah
NIM : 1113034000110
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
i
ABSTRAK
Roudotul Awaliyah
“Pemahaman Hadis Menjamak Salat Tanpa Uzur”
Al-Qur‟an berkali-kali menegaskan pentingnya salat, tetapi tidak menjelaskan
pelaksanaannya dengan bentuk tertentu. Pengetahuan tentang pelaksanaan salat
hanya melalui Sunnah Nabi yang menunjukan sekaligus memberikan batasan-
batasan prinsipnya. Anjuran tentang jamak salat juga tidak disebutkan secara
khusus dalam al-Qur‟an sehingga seseorang mengacu seutuhnya kepada hadis
Nabi Saw,. untuk itu hadis menjamak salat tanpa uzur menjadi perdebatan para
ulama.
Hadis menjamak salat tanpa uzur telah didengungkan sejak masa ulama klasik
hingga modern saat ini. Perbincangan terkait menjamak salat tanpa uzur muncul
dikalangan mahasiswa, dosen dan ulama kontemporer melalui berbagai
pemahaman. Sebab, menjamak salat tanpa uzur merupakan salah satu fenomena
sosial yang sering diperdebatkan. Jika hadis tersebut hanya dipahami secara
tekstual, maka akan mengakibatkan terjadinya pengabaian dalam salat, akan tetapi
disisi lain hadis tersebut relevan dengan masa modern saat ini mengingat bahwa
aktivitas yang di alami begitu padat dan kesulitan yang di alami berbagai macam
bentuknya. Sehingga hadis tersebut perlu dikaji secara lebih sistematis.
Skripsi ini merupakan jenis penelitian kepustakaan ( library research ) dan
bersifat deskriptif analisis dengan merujuk kepada sumber-sumber primer yang
diketahui dari kitab-kitab hadis yaitu al-Kutub al-Sittah. Untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat penulis menggunakan metode pemahaman hadis Syuhudi
Ismail yang penulis rangkum dari buku karya beliau yang berjudul “Hadis Nabi
yang Tekstual dan Kontekstual (Telaah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam
yang Universal, Temporal, dan Lokal)”, dengan langkah melalui Pendekatan
historis untuk mengetahui latar belakang dan situasi ketika hadis itu muncul
kemudian penulis korelasikan dengan konteks kekinian.
Kesimpulan skripsi ini menunjukan bahwa memahami hadis hendaknya tidak
selalu dipahami secara tekstual, tetapi hendaknya memperhatikan sosio-historis
dan konteks dari hadis tersebut. Pemahaman yang dapat di ambil ialah hadis
Menjamak salat tanpa uzur merupakan suatu kemurahan dari Nabi karena tidak
ingin memberatkan umatnya, sehingga hadis tersebut bukan dimaksudkan nabi
menjamak salat tanpa uzur tetapi kebolehan jamak salat dapat dilakukan apabila
adanya uzur yang mendesak mengingat bahwa zaman modern saat ini banyak
aktivitas yang beragam yang terkadang apabila meninggalkannya akan timbul
kemadharatan.
ii
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah Swt., yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis
berkat izin dari-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kita termasuk umatnya
yang mengikuti perintahnya dan mendapatkan syafa‟at darinya pada hari kiamat
kelak.
Skripsi dengan judul “PEMAHAMAN HADIS MENJAMAK SALAT
TANPA UZUR” merupakan salah satu tugas akhir , melalui upaya yang
melelahkan dan penuh perjuangan alhamdulillah skripsi ini telah selesai disusun
guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strate satu
dalam Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Terlebih dahulu penulis sembahkan kado kecil ini kepada Kepada kedua
orang tua tercinta malaikat tanpa sayapku Abi Drs. H.Yasrifauzi dan Umi Siti
Sursiyah yang telah berjuang dengan segala kemampuan baik berupa materil
maupun spiritual untuk kelancaran studi bagi penulis. Yang selalu mendo‟akan
kebaikan dalam setiap aktifitas penulis, yang tidak henti-hentinya memberikan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih telah
menjadi orang tua yang hebat.
iii
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan
terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak.
Maka tidak lupa penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin yang
telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti perkuliahan di Fakultas
tersebut hingga akhir.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., (selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir) dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., (selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir) yang selalu memberikan kemudahan, baik dalam hal
administrasi maupun yang lainnya.
4. Bapak Dr. Bustamin, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan motivasi
dan kemudahan, serta mengoreksi dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman berharga kepada penulis.
Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan dalam segala hal.
7. Kepada seluruh guru di MTS dan MA Pondok Pesantren Turus Pandeglang. (alm)
KH. TB. Muh. Hasyim, KH. TB. A. Dahlani Idrus, (alm) KH. TB. A. Taftazani
Idrus, pak Muhoton, pak Abdul Rosyad, M.Pd.i, pak Zaenudin MA., pak Soleh,
iv
bu Aat, bu Eneng Muflihah, dll. Berkat ilmu dari mereka semua dapat
mengantarkan penulis sampai ke jenjang Universitas.
8. Adikku Ibnu Faqih Al-Bantani dan Ilham Ma‟arij Al-Manasi yang selalu memberi
warna dalam hidupku, yang menjadikan suasana rumah menjadi ramai. Berkat
merekalah aku semangat menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga dikampung, ibu, Abah, A uki, A rusman, dan semuanya yang selalu
memberikan semangat dan do‟a agar penulis segera menyelesaikan skripsi ini dan
selalu memberikan kebahagiaan serta dorongan yang membuat penulis ingin
segera menyelesaikan skripsi ini.
10. Keluarga besar PMII Komfuspertum, para senior, yang memberikan banyak hal
selama penulis kuliah baik dalam hal akademik maupun yang lainnya. Dan juga
sahabat-sahabati yang lain semoga bisa segera menyusul menyelesaikan tugas
akhir.
11. Para sahabat satu jurusan Tafsir Hadis 2013, khususnya TH C 2013, Rika, Gina,
Syifa, Iffa, Aldila, Phera, Uyun, dini. Dll. Semoga persahabatan kita tak hanya
berakhir sampai disini, terima kasih telah banyak memberikan motivasi, saran dan
semangat kepada penulis selama kuliah. Terimakasih atas kebersamaannya selama
empat tahun, terimakasih telah meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita dan
suka duka penulis.
12. Teman-teman satu kosan Ummi Latifah, ka Intan, teh Nday dan Masnun sebagai
teman curhat dan cerita penulis baik suka maupun duka, yang memberikan
hiburan dan keceriaan ketika penulis suntuk dalam menyusun skripsi, dan selalu
menemani penulis ketika kesepian. Juga sepupuku, teman kecilku, teman kamarku
v
Lirik Aini terimakasih atas kebersamaan dan semangatnya, semoga segera
menyusul menyelesaikan tugas akhir.
13. Teteh angkatku Hj. Baqiyatussholihah, yang selalu menjadi motivasi penulis,
menjadi teteh yang baik yang selalu memberikan semangat dan membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
14. Dan seluruh pihak yang telah membantu proses perkuliahan dan penulisan skripsi
ini, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Terakhir, penulis berharap semoga skripsi ini sedikit banyak dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan menjadi awal untuk memotivasi penulis
agar terus berkarya. Semoga Allah Swt., selalu memberi limpahan berkah dan
membalas semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
Ciputat, 25 Desember 2017
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Permasalahan ............................................................................................. 9
C. Tujuan dan manfaat Penelitian ................................................................ 11
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 12
E. Metodologi penelitian ............................................................................. 14
F. Sistematika Pembahasan ......................................................................... 15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT JAMAK
A. Definisi Salat Jamak ................................................................................ 18
B. Macam-macam dan Syarat Salat Jamak .................................................. 20
C. Perdebatan Seputar Kondisi yang diperbolehkan Salat Jamak ................ 22
BAB III PEMAHAMAN TEKSTUAL HADIS MENJAMAK SALAT
TANPA UZUR
A. Teks Hadis dan Terjemahnya .................................................................. 35
B. Takhrīj Hadis ........................................................................................... 36
C. Pemahaman Para Ulama tentang Hadis Menjamak Salat tanpa Uzur ..... 43
vii
D. Analisa Teks Hadis.................................................................................. 47
BAB IV PEMAHAMAN KONTEKSTUAL HADIS MENJAMAK SALAT
TANPA UZUR
A. Memahami Hadis dengan Pendekatan Historis ....................................... 56
B. Afirmasi dengan Ayat Al-Qur‟an ............................................................ 62
C. Kontekstualisasi Hadis dengan Kondisi Kekinian dan Relevensainya
Terhadap Masa Sekarang ........................................................................ 65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 72
B. Saran-saran .............................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 74
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman
Akademik Program Strate 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es خ
j je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha ر
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
ix
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ه
m em م
n en ى
w we و
h ha ه
apostrof ˋ ء
y ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa arab, seperti vokal dalam bahasa indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
x
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ئا
î i dengan topi di atas ئى
û u dengan topi di atas ئى
Kata Sandang
Kadang sandang yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu اه, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
xi
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata روور tidak الض
ditulis ad-darûrah, melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûtoh
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tesebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
NO Kata Arab Alih Aksara
tarîqah طويقة 1
Al-jâmi‟ah al-islâmiyyah الجاهعة اإلسالهي ة 2
Wahdat al-wujûd ودد الىجىد 3
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa indonesia. Antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
xii
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold), jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak „Abd al-Samad al-Palimbâni, Nuruddin al-Raniri tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Cara Penulisan Kata
Setiap kata baik kata kerja (fi‟il), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذهة األسح اذ
tsabata al-ajru ثب ث األ جو
صو ية ة الع م و al-harakah al-„asriyyah الذ
Asyhadu an lâ ilâha illâ allâh أشهد أى ال ا له اال هللا
ال خ ل ل الص ىال ن ا ه Maulânâ Malik al-sâlih ه
xiii
Yu‟atstsirukum Allâh ي ؤثوم ن هللا
ظ ا قل يةالو ه و الع Al-mazâhir al-„aqliyyah
ىن ية Al-âyât al-kauniyyah اآلي ات الن
ات ذظ ىر ور ج ب يخ الو و Al-darûrat tubîhu al-mahzûrât الض
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Islam al-Qur‟an dan hadis adalah ruh eksistensi, fondasi
bangunannya, dan ia merupakan konstitusi asli yang menjadi rujukan semua
perundang-undangan islam, termasuk kaitannya dengan salat, salat merupakan
kewajiban yang ditetapkan bagi orang yang beriman secara langsung melalui
perintah Allah yang harus dilakukan lima kali sehari berdasarkan al-Qur‟an surah
al-Isra‟ ayat 78
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat).”
Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban salat lima waktu dan juga
menerangkan tentang waktu-waktu salat tersebut yang artinya kewajiban salat
tidak bisa di runtuhkan oleh ruang dan waktu.
Salat adalah satu ibadah yang diwajibkan bagi seluruh umat dan sarana
yang paling efektif untuk mendekatkan diri serta meminta pertolongan kepada
Allah. Maka sudah wajar kalau salat adalah yang pertama wajib dipahami dengan
utuh dan benar, karena jika salatnya benar akan membawa dampak kesalihan yang
2
lainnya, dan sebaliknya jika salatnya tidak benar maka juga berpengaruh terhadap
rusaknya ibadah lainnya.1
Karena posisi salat merupakan posisi yang sangat penting maka Rasulullah
telah memberikan pelajaran khusus kepada para sahabat tentang cara-cara
pelaksanaan salat dari mulai gerakan-gerakannya sampai pada bacaan dan
ucapannya dan beliau berpesan agar mereka mengikuti apa yang beliau ajarkan2,
dengan suatu perintah mengikat dalam salah satu hadisnya yang berbunyi:
دام ددبيد دد دامعيم ددثدحددث حدحددث دامسدددث بدد،د دد يدداممنسمدد بدد حددث
ددا يا ادد نيددا بدن دد ادد،سدمددم ببند ماددم ادد اددماا ددى ادد،داحلددبث،د ددملت دد ثه شددث د
د دث ا جعدباعى(ادميهاادمد بدثندمهدن دمن مدم حمدمد دمدملت ظ ن ماادمامهاامدنيد ام م
دددداه،دنعياحددددث ا دددد د داددددد يهن مددددم دمددددبر ددددا با ،ددددبهادددد،بد دعاهمددددبهبنسددددثنهبدن
د س ،ب 3)دث بحث بدث “Telah menceritakan kepada kami Musyadad, telah menceritakan kepada
kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabah,
dari Abi Sulaiman Malik bin al-Huwairits dia berkata: kami datang kepada
Nabi Saw sedangkan waktu itu kami adalah pemuda yang sebaya. Kami
tinggal bersama beliau selama dua puluh malam. Beliau mengira kalau
kami merindukan keluarga kami, maka beliau bertanya tentang keluarga
kami yang kami tinggalkan. Kami pun memberitahukannya, beliau adalah
seorang yang sangat penyayang dan sangat lembut. Beliau bersabda:
pulanglah ke keluarga kalian. Tinggallah bersama mereka dan ajari mereka
serta perintahkan mereka, dan salatlah kalian sebagaimana kalian
melihatku salat. Jika telah datang waktu salat, maka hendaklah salah
seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan yang paling tua dari
kalian hendaknya menjadi imam kalian.”
1 Muh. Mu‟inudinillah Basri, Panduan Shalat Lengkap, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008)
hal.5 2 Abuddin Nata, Kajian Tematik Al-Qur‟an tentang Fiqih dan Ibadah, ( Bandung:
Penerbit Angkasa, 2008) hal.148 3 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh, Sahih al-Bukhâri,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1991) kitab al-Adab bab Rahmah al-Nas wa al-Bahâim hal. 9
3
Hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi Saw menganjurkan agar umatnya
melaksanakan salat seperti apa yang beliau lakukan. Dan ketika datang waktu
salat hendaklah ada yang mengumandangkan adzan dan menyegerakan salat.
Namun, dalam realita kehidupan manusia, seringkali keadaan berbicara lain, Bisa
saja kondisi tidak mengizinkan seseorang menjalankan salat tepat pada waktunya
atau melaksanakannya secara sempurna, misalkan karena orang tersebut di dalam
perjalanan, atau di atas perahu atau di ruang angkasa berjam-jam, atau karena
sakit bahkan kesibukan sehari-hari meskipun tidak bepergian bisa menyulitkan
mengatur salat secara sempurna.
Maka agar tidak menyulitkan umatnya Nabi memberikan rukhsah
(keringanan) dalam melaksanakan salat, dengan catatan rukhsah tersebut
diberikan kepada seseorang yang memiliki uzur, misalnya orang yang sedang
dalam perjalanan jauh (Musafir), orang yang sakit, dan orang-orang yang takut
yang tidak bisa mendirikan salat sesuai dengan tata cara salat yang dikerjakan
oleh orang-orang yang tidak memiliki uzur.4
Berbicara tentang uzur persoalan yang muncul berkenaan dengan salat
kaitannya dengan uzur ialah salat jamak. Uzur yang ditawarkan terkait
permasalahan salat jamak beragam bentuknya, sebagian ulama sepakat
diperbolehkan untuk melakukan salat jamak manakala terdapat uzur sedang
berada dalam bepergian (safar). Namun, sebagian ulama ada yang berpendapat
boleh melakukan salat jamak dalam keadaan bermukim dengan alasan karena
4 Salih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Al-Fiqh Al-Muyassar, terj: Izzudin Karimi, (
Jakarta: Darul Haq, 2015) hal. 144
4
hujan dan karena sakit.5 Selain dari itu ada juga ulama yang memperbolehkan
menjamak salat tanpa uzur yang telah ditetapkan dengan alasan adanya keperluan
yang mendesak dengan catatan tidak menjadi kebiasaan.
Menjamak salat adalah rukhsah yang diberikan sehubungan dengan
adanya suatu kesulitan yang menghendakinya. Karena itu para ahli hadis seperti
Imam Ahmad dan yang lainnya menganjurkan supaya meninggalkannya kecuali
terdapat suatu kesulitan yang menghendakinya.
Bepergian merupakan suatu kesulitan dan suatu kepayahan untuk
melakukan salat pada waktunya, untuk itu diperbolehkan menjamak dan
mengqasar salatnya. Sedangkan ketika berada ditempat hal demikian menjadi
suatu pertanyaan besar terutama hanya akibat kesibukan pekerjaan yang terjadi
atau sebab yang tidak terkategori. Karena jika rukhsah itu diberlakukan untuk
setiap kesibukan dan kepayahan maka akan mengakibatkan terjadinya pengabaian
terhadap salat, juga jika rukhsah tersebut diberlakukan untuk sebab yang tidak
terkategori maka tidak ada suatu gambaran tentang sebab yang membolehkan
rukhsah dan sebab yang tidak membolehkannya.6
Selain itu penulis juga telah mendengar kabar bahwa umat islam telah
dihebohkan dengan stiker gerakan salat tiga waktu atau dengan kata lain
menjamak salat Zuhur dengan Asar dan Magrib dengan isya (tanpa uzur), yang
lebih mengejutkan gerakan salat tiga waktu itu dikeluarkan oleh sebuah pesantren.
Stiker tersebut di edarkan dengan alasan untuk para pekerja yang sibuk sehingga
5 Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid, ( Jakarta: Pustaka Amani,
2007) cet ke 3, hal. 387 6 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm, terj:
Aan Anwariyah dkk., ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hal. 544
5
para pekerja dapat tetap melakukan pekerjaannya tanpa mengurangi waktunya dan
tidak meninggalkan salatnya.7 Tidak hanya itu penulis juga telah menemukan
salah satu mahasiwa yang telah mengamalkan menjamak salat tanpa uzur.
Keduanya mengacu kepada hadis yang diriwayatkan oleh Sahih Muslim berikut:
دامييب ييد ملت دث ايسم د اد بدرد د يدعثبد جددرد د ابد حث
ا ي( مسد ملت عدمدا ي يبلا عدمدنامبدثيناعشدميي دثناع دثي ا ا نيدا باظ
8)يغرببفدنليفث
“Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Saya telah
membacakan kepada Malik dari Abu Zubair, dari Said bin Jubair, dari
Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah Saw pernah melakukan salat Zuhur dan
Asar dalam satu waktu, dan salat Magrib dan Isya dalam satu waktu,
bukan karena takut dan tidak pula dalam keadaan bepergian.”
دامببب،ثب ا، دامببسعمن،نحث ثبد ملتحث ثدبدنبدب دنبب دامبدب نحث
دددم ددد اش مددد د ددد حدددببددد د دامن ددد ثدددبد دددملتحدددث يدددعثاشادددا دناا فدددكش
دث(د ابد دمسد دملتمبتد يعثب جدر دا يا اد نيدا ببددظاظ يدبلا يد
ت ددملت داددتلبدد )ناع ددثدنامبددثيناعشددميبممثادد،ديغددربددبفدنلس ددث يحددث ن دد
س د (ي ؟ ملت مستل دعث دنيحدث سعمند،ت دثلبد دمستسدم اح) ،ليدث
س عىي ؟ ملت احنليث9
“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan
Abu Kuraib, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Abu
7 http://m.tribunnews.com/regional/2015/02/17/pesantren-yang-cambuk-santrinya-diduga-
edarkan-stiker-salat-3-waktu 8 Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Sahih Muslim......... hal. 5
9Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Sahih Muslim,........... hal. 5
6
Muawiyah ( dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib dan Abu Said Al Asyajj sedangkan lafadznya milik Abu
Kuraib, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki‟,
keduanya dari al- A‟masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Said bin Jubair
dari Ibnu Abbas katanya: “Rasulullah Saw pernah menjamak antara
zhuhur dengan ashar, magrib dengan isya di Madinah, bukan karena
ketakutan dan bukan pula karena hujan.” Dalam hadis Waki‟ katanya: aku
tanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa beliau lakukan hal itu?” dia
menjawab: beliau ingin supaya tidak memberatkan umatnya.”
Dalam menafsirkan teks-teks keagamaan setidaknya ada dua bentuk yang
berbeda dalam tataran prakteknya, pertama skipturalistik yang lebih berorientasi
pada teks-teks doktrin dan kedua bersifat substansialistik yang berorientasi pada
makna dan isi atau konteks. 10
Keduanya tentu sangat perlu diperhatikan dalam
memahami teks keagamaan seperti al-Qur‟an dan hadis untuk meminimalisir
kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap makna yang terkandung didalamnya.
Kekeliruan dan kesalahan dalam memahami teks dapat menyebabkan orang
bersifat eksklusif.
Kedua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas secara harfiyah
dapat di pahami bahwa Nabi Saw melakukan salat jamak di Madinah dengan
tanpa adanya rasa takut dan tidak bepergian juga turun hujan, dengan kata lain
Nabi pernah melakukan salat jamak di Madinah tanpa uzur yang telah ditentukan.
Namun, hadis di atas tidak bisa dipahami secara harfiyah dan dijadikan sebagai
makna tunggal saja karena hal tersebut akan mengkonsekuensikan pemahaman
bahwa asal mengerjakan salat pada waktunya menyebabkan kesusahan dan rasa
10
Djamhari Ma‟ruf, Agama dan Radikalisme, ( East Lansing: Nuqtah, 2007) hal. 45
7
berat. Menjalankan salat pada waktunya asal hukumnya adalah wajib, dan suatu
kewajiban hanya boleh digugurkan dengan adanya uzur syar‟i.11
Masalah pelik mengenai salat jamak pada zaman modern ini memang tidak
bisa dihindarkan. Mengingat bahwa zaman modern ini berbeda dengan masa
Nabi, banyak aktivitas yang beragam bentuknya dan ada beberapa aktivitas yang
jika ditinggalkan akan membahayakan, karenanya hadis menjamak salat tanpa
uzur selalu menjadi perdebatan sampai saat ini.
Hadis di atas menjadi dasar beberapa ulama yang menyatakan bahwa
menjamak salat tanpa uzur yang telah ditetapkan diperbolehkan dengan catatan
adanya kesulitan. Akan tetapi, karena adanya proses penghimpunan hadis yang
memakan waktu yang lama setelah Nabi Saw wafat, ditambah lagi dengan adanya
kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam dan terjadinya
periwayatan secara makna serta banyaknya hadis yang dipalsukan demi
kepentingan kelompok tertentu, mengakibatkan hadis masih diperdebatkan. Oleh
karena itu perlunya penelitian ulang tentang hadis tersebut.
Hadis tersebut tidak bisa begitu saja di amalkan tanpa mengetahui
kontekstualisasi hadis tersebut. Namun, terlalu cepat pula jika kita menganggap
hadis menjamak salat tanpa uzur bertentangan dengan hukum fardhu salat yang
telah ditetapkan dan telah ditentukan waktunya sesuai dalam al-Qur‟an.
Pemahaman akan kandungan hadis sangat erat dengan ruang dan waktu
apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal, atau universal. Serta
11
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan Sholat ( Surabaya: Rumah Fiqih Publishing) hal.
233
8
konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapan saja atau mencakup mitra
bicara kondisi sosial ketika teks itu muncul. 12
Dalam upaya mencapai pemahaman yang sesuai dengan ilmu hadis, hal
yang perlu diperhatikan adalah dari segi historis yang melatarbelakangi hadis itu
muncul serta peran dan fungsi Nabi ketika mengeluarkan hadis. Dari sini dapat
diketahui, apakah hadis itu perlu dipahami secara tekstual atau kontekstual,
kalaulah seandainya hadis itu cukup dengan makna tekstual, apakah makna itu
masih relevan dengan kondisi sekarang atau sebaliknya, apakah pesan moralnya
hanya ditujukan kepada satu orang atau bersifat universal.13
Terkait dengan itu maka membahas hadis tersebut sangatlah penting,
ketika menyadari bahwa hadis tersebut harus dipahami secara objektif. Sekaligus
untuk melengkapi informasi kajian terdahulu yang pernah membahas hadis
menjamak salat tanpa uzur untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pemahaman
hadis menjamak salat tanpa uzur berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam
Muslim.
Pemahaman seseorang dari generasi ke generasi selalu mengalami banyak
perubahan dari segi sosio-kultural, sehingga menuntut untuk melakukan
penafsiran kembali terhadap teks-teks hadis sesuai dengan realitas kekinian,
dengan membandingkan realitas ketika suatu hadis dikeluarkan dengan realitas
sekarang. Sehingga, dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk mengkaji hadis
menjamak salat tanpa uzur dengan menggunakan metode memahami hadis yang
12
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma‟ani al-
Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
2009) hal. 4 13
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma‟ani al-
Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal,......... hal. 5
9
tekstual dan kontekstual Syuhudi Ismail yang penulis rangkum dari buku karya
beliau yang berjudul “Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Telaah Ma‟ani
al-Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal)”.
Kajian ini diperlukan guna mendudukkan dan mengetahui secara lebih
objektif tentang pemahaman hadis menjamak salat tanpa uzur. Maka penulis
dalam penelitian ini mengambil judul skripsi, “Pemahaman Hadis Menjamak
Salat Tanpa Uzur”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas adanya hadis yang menjelaskan tentang
menjamak salat tanpa uzur yang masih bersifat umum yang kemudian menjadi
peredebatan di antara para ulama yang melarang dan membolehkan
melakukannya. Terlebih di era modern ini banyak sekali orang yang mempunyai
kesibukan aktivitas terutama dalam hal bekerja, dan pekerjaan tersebut sangat
bermacam-macam hingga ada pekerjaan yang apabila seseorang itu
meninggalkannya maka akan menyebabkan kemudharatan. Dari sinilah penulis
mengidentifikasi masalah yaitu persoalan tentang hadis Imam Muslim yang
menyebutkan, “Rasulullah Saw pernah menjamak salat Zuhur dan Asar, Magrib
dan Isya di Madinah, bukan karena rasa takut dan bukan karena turun hujan.
Yang memerlukan pemahaman secara objektif karena makna hadis ini berpotensi
bahwa asal mengerjakan salat pada waktunya menyebabkan kesusahan dan rasa
berat.
10
Pemahaman boleh atau tidaknya menjamak salat tanpa uzur sesuai hadis
tersebut menjadi meluas yang kemudian menjadi permasalahan yang kini terjadi
di masyarakat. Di sinilah penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut:
a. Redaksi hadis tersebut menyatakan bahwa Nabi telah menjamak salat
antara Zuhur dan Asar, dan Magrib dan Isya. Mengapa Nabi pada saat itu
tidak melakukan salat berjamaah di Masjid padahal hadis tersebut
menyatakan bahwa Nabi melakukan jamak salat di Madinah, dalam
sejarahnya Nabi selalu melakukan salat berjamaah bersama para sahabat.
b. Nabi telah menjamak salat di Madinah, tetapi yang mengetahuinya hanya
Ibnu Abbas. Mengapa sahabat lain tidak mengetahuinya padahal banyak
sahabat yang tinggal di Madinah selain Ibnu Abbas.
c. Dalam teks hadis tersebut Ibnu Abbas menyatakan bahwa tanpa adanya
rasa takut, turun hujan, dan tidak dalam keadaan bepergian seolah telah
menjelaskan bahwa Ibnu Abbas telah memahami menjamak salat
dilakukan jika terdapat uzur tersebut. Namun, Nabi justru pernah
melakukannya dengan tanpa uzur.
d. Ibnu Abbas tidak menyebutkan secara khusus alasan Nabi menjamak salat
tanpa uzur, Ibnu Abbas hanya mengatakan bahwa Nabi menjamak salat
tanpa uzur karena tidak ingin memberatkan umatnya. Sehingga hadis
tersebut timbul dengan berbagai macam pemahaman dikalangan ulama.
e. Pada masa modern ini berbagai macam aktivitas dilakukan, dan kesibukan
menjadi alasan melakukan jamak salat. Dewasa ini, seseorang yang
11
melakukan salat jamak tanpa uzur sudah sering di temukan, maka
relevankah hadis tersebut dengan masa modern saat ini?
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berpijak dari identifikasi masalah di atas, maka penulis hanya membatasi
pada poin c, d dan e yaitu tentang Nabi pernah menjamak salat tanpa uzur,
mengapa Ibnu Abbas tidak menyebutkan alasan yang khusus Nabi menjamak salat
dan relevankah hadis tersebut dengan masa modern saat ini. Sedangkan hadis-
hadis menjamak salat tanpa uzur penulis batasi hanya hadis dalam riwayat Imam
Muslim dengan teks hadis yaitu “Rasulullah Saw pernah menjamak salat Zuhur
dan Asar, Magrib dan Isya di Madinah, bukan karena rasa takut dan bukan
karena turun hujan.”
Untuk memahami hadis ini tidak bisa hanya dipahami menggunakan makna
dari matan teks hadis saja, kerena akan menimbulkan banyak pertanyaan dan
ketidakpuasan pemaknaan terhadap teks hadis tersebut. Sehingga penulis
bermaksud untuk melakukan pemaknaan dilihat dari segi tekstual dan kontekstual
hadisnya.
Berangkat dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut: “Bagaimana pemahaman yang tepat dari hadis
menjamak salat tanpa uzur apabila dikontekskan dengan masa sekarang?”
C. Tujuan dan manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini adalah:
a. Mengetahui relevansi dan kontekstualisasi hadis tentang menjamak sholat
tanpa uzur
12
b. Untuk mengetahui latar belakang riwayat hadis tentang menjama‟ sholat tanpa
uzur.
c. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai hadis tentang
menjamak sholat tanpa uzur serta mengetahui pemahaman yang baru sesuai
masa sekarang.
d. Mengetahui atau merumuskan penyelesaian hadis dengan konteks kekinian.
2. Manfaat yang diambil dari penulisan ini adalah :
a. Mengetahui makna hadis yang sesungguhnya.
b. Pengamalan Sholat jamak tanpa uzur berkurang.
c. sebagai media untuk meluruskan penyimpangan yang dilakukan sebagian
umat Islam dalam menyikapi hadis menjamak sholat tanpa uzur.
d. Agar dapat menambah kadar keimanan kita serta memberikan motivasi untuk
berfikir secara kritis dan analitis dalam menyikapi sebuah hadis Nabi.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum mengadakan dan meneliti sebuah penelitian, penulis melihat
tinjauan terdahulu, agar tidak terjadi kesamaan yang konkrit. Untuk melihat
tinjauan tersebut, penulis mengunjungi Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin serta membuka web Repositori UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Google Scholar agar memudahkan penulis untuk melihat tinjauan
terdahulu.
Maka di bawah ini penulis akan memaparkan beberapa kajian yang telah
diteliti oleh peneliti lain yang nantinya untuk dijadikan sandaran teori dan sebagai
13
perbandingan dalam mengupas berbagai permasalahan ini. Diantaranya penulis
paparkan sebagai berikut :
Skripsi, Dede Sadeli dengan judul Hukum Menjama‟ Salat Tanpa Sebab :
Perspektif Sunni dan Syiah Fakultas Syariah UIN syarif Hidayatullah. Skripsi
tersebut menjelaskan tentang perbandingan hukum menjama‟ sholat antara Sunni
dan Syiah, yang mana Sunni melarang menjamak sholat tanpa sebab sedangkan
Syi‟ah memperbolehkannya menjamak dengan tanpa adanya sebab apapun.
Jurnal, Aulia Nada Rahman dengan judul Kedudukan Hukum Jama‟ Di
Rumah Pendekatan Historis Filosofis Teubu Ireng Jombang. Jurnal tersebut
membahas posisi hukum islam normatif tentang permasalahan hukum menjamak
shalat di rumah dengan tanpa uzur, tidak dalam bepergian, bukan dalam keadaan
sakit, serta tidak pula ketika hujan guna mendudukkan dan mengetahui secara
lebih objektif berbagai pandangan tentang hukum melakukan salat tanpa adanya
uzur dengan menggunakan metode pendekatan historis filosofis.
Thesis, Arif Agung Nugroho dengan judul Jamak Sholat Menurut Imam
Syafi‟i dan Imam Ja‟far. Thesis tersebut berusaha meneliti dan memahami
pemikiran-pemikiran imam Mazhab dalam hal istinbath hukumnya dan penilaian-
penilaian dalam perbedaannya. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan
sosio-historis dan menggunakan metode berfikir induktif. Dalam thesis tersebut
imam syafi‟i berpendapat bahwa kebolehan jamak itu karena alasan hujan, safar,
dan wukuf di arafah saja tetapi imam Ja‟far berpendapat bahwa seorang mukallaf
boleh menjamak shalat setiap saat.
14
Meskipun karya diatas berkaitan dengan objek kajian yang sama, akan
tetapi penelitian ini memiliki perhatian yang berbeda dengan penelitian di atas,
bahwa penelitian ini lebih menitik beratkan pada pemahaman hadis tentang
menjamak salat tanpa uzur dengan konteks kekinian.
E. Metodologi penelitian
Metodologi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan studi kepustakaan (library research) dengan memposisikan kitab
Shahih Muslim sebagai acuan atau sumber primer. Teknik dokumentasi yakni
teknik pengumpulan data dari hal-hal yang dibahas atau teori-teori yang
digunakan dalam perumusan data yang terkait dalam permasalahan yang akan
dibahas.
1. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian kali ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
Sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer yang digunakan dalam skripsi ini adalah hadis-hadis
yang terdapat dalam al-Kutub al-Tis‟ah karena hadits-hadits yang terdapat
didalamnya disepakati keabsahannya, Kemudian penulis batasi hanya hadits yang
berkaitan dengan menjamak salat tanpa uzur. Penulis juga menggunakan kitab-
kitab Takhrij Hadis yang akan membantu dalam mengumpulkan hadis tentang
salat jamak tanpa uzur.
Sumber Sekunder yang digunakan berisi tentang tulisan-tulisan yang
berhubungan dengan materi pokok yang dikaji. Adapun data-data tersebut dapat
diperoleh dari buku-buku, artikel, majalah maupun media lain yang mendukung.
15
2. Metode Analisa Data
Dalam menganalisa data penulis akan menggunakan metode dari M.
Syuhudi Ismail dalam bukunya yang berjudul Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual (Tela‟ah Ma‟anil Hadis) dengan mengkaji makna teks hadis tersebut,
dan secara kontekstual mengumpulkan informasi tentang makna yang di maksud
dari teks hadis tersebut yang merujuk kepada metode memahami hadis dengan
mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika di ucapkan,
serta tujuannya. Selanjutnya di ambil kesimpulan untuk pemahaman yang tepat
dalam hadis tersebut.
3. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan Skripsi ini penulis mengacu kepada buku
pedoman Akademik Program Strate I 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika di sini dimaksudkan sebagai gambaran yang akan menjadi
pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan dalam
memahami dan mencerna masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun
sistematika tersebut adalah sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan latar
belakang diangkatnya masalah ini serta tujuan diangkat dan dihadirkan untuk
khalayak pembaca, batasan dan perumusan masalah penelitian agar penelitian ini
terfokus kepada satu masalah. Tujuan dan manfaat penelitian agar dapat diketahui
maksud tujuan pengambilan dalam penelitian ini. Dalam bab ini juga membahas
kajian pustaka untuk menelusuri peneliti-peneliti mengkaji hadis menjamak sholat
16
tanpa uzur untuk dijadikan alasan yang membedakan dengan penelitian ini.
Metodologi penelitian menjadi penting untuk menunjukan bahwa penelitian ini
berdasarkan teori dan metodologi tertentu serta sistematika pembahasan untuk
menggambarkan pembahasan dalam penelitian ini.
Bab Kedua, berisi tentang tinjauan umum tentang salat jamak yang
meliputi pengertian salat jamak, macam-macam salat jamak, dan perdebatan
seputar kondisi yang diperbolehkan salat jamak. Pembahasan ini dimaksudkan
untuk memperoleh konsep dasar yang berkenaan dengan pokok masalah
penelitian dan memberikan wawasan tentang salat jamak secara umum.
Bab Ketiga, akan memberikan perhatian khusus tentang pemahaman
tekstual hadis menjamak salat tanpa uzur, didalamnya meliputi hadis salat jamak
tanpa uzur dan terjemahannya yang kemudian akan ditakhrij, pemahaman para
ulama tentang hadis menjamak salat tanpa uzur, kemudian analisa teks hadis.
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam hadis menjamak
salat tanpa uzur.
Bab Keempat, membahas tentang pemahaman kontekstual hadis
menjamak salat tanpa uzur yang didalamnya akan dibahas tentang, memahami
hadis dengan memperhatikan konteks historis, afirmasi ayat al Qur‟an,
kontekstualisasi hadis dengan kondisi kekinian dan relevansinya terhadap masa
sekarang yang nantinya akan menjadi analisa terakhir.
Bab Kelima, membahas tentang penutup yang didalamnya mencakup
kesimpulan. Kesimpulan ini penting untuk menunjukan hasil-hasil penelitian dan
17
sebagai hasil akhir dari penelitian. Selain kesimpulan juga akan dikemukakan
saran-saran untuk pengembangan dan kelanjutan kajian ini di masa mendatang.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT JAMAK
A. Definisi Salat Jamak
Jamak secara etimologi berasal dari kata bahasa arab الجورغ masdar جورغ
yang artinya pengumpulan atau penghimpunan.1 sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia jamak ialah penggabungan salat wajib antara salat Zuhur dan
Asar atau salat Magrib dan salat isya yang dilaksanakan oleh musafir sebagai
dispensasi untuk salatnya. 2 Dalam buku yang berjudul Tuntunan Safar karya
Alimin Koto El- Maid, salat jamak diartikan menggabungkan antara salat Zuhur
dan salat Asar atau antara salat Maghrib dan salat Isya‟ dalam sebuah perjalanan
berjarak safar (89km).3
Selain itu menurut Zurinal Z dan Aminuddin dalam bukunya yang
berjudul Fiqih Ibadah menjelaskan bahwa Salat Jamak ialah menggabungkan dua
salat fardhu dan mengerjakannya di satu waktu, baik di waktu salat yang pertama
yang disebut jamak taqdim atau di waktu salat yang kedua yang disebut jamak
takhir.4
1Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997) cet. ke 14 hal. 209 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2012) hal. 562 3Alimin Koto el-Majid, Tuntunan Safar, (Jakarta: Sahara Publishers, 2006), hal. 218
4 Zurinal Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, ( Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008) hal. 124
19
Salat yang boleh dijamak hanyalah yang waktunya berdekatan dan
ditentukan, yaitu salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan Isya.1
Penggabungn salat jamak yaitu antara salat Zuhur dan salat Asar atau antara salat
Maghrib dan salat Isya‟. Salat Subuh tidak dapat dijamak dengan salat lain, baik
dengan isya maupun Zhuhur. Demikian juga salat Asar tidak dapat dijamak
dengan Magrib.2
Menjamak salat merupakan salah satu bentuk kemudahan yang diberikan
oleh syara‟ kepada manusia dalam proses menjalankan salah satu kewajiban
keagamaan yang dibebankan kepadanya. Kemudahan yang telah diberikan oleh
syara‟ dalam bentuk menjamak salat, menunjukan bahwa sebenarnya syari‟ah
islam selalu menghendaki dan memberikan kemudahan kepada manusia dalam
proses menjalankan kewajiban-kewajiban syara‟ yang Allah bebankan
kepadanya.3
Dalam Syarah Bulughul Maram karya Al-Bassam Abdullah bin
Abdurrahman dijelaskan bahwa Ibnu Taimiyah berkata, “Jamak adalah rukhsah
yang diberikan sehubungan dengan adanya suatu kebutuhan yang
menghendakinya. Karena itu para ahli hadis seperti Imam Ahmad dan yang
lainnya menganjurkan supaya meninggalkannya kecuali terdapat suatu kebutuhan
yang menghendakinya.4
1 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007) cet ke 40 hal.
120 2 Zurinal Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, ( Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008) hal. 124 3 Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Kajian Islam Aktual, ( Jakarta: Gaung Persada Press,
2011) hal. 31 4 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm, terj:
Aan Anwariyah dkk., ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hal. 544
20
Jamak juga merupakan suatu keringanan dalam pelaksanaan salat yang
telah diberikan oleh Allah melalui penjelasan Nabi Saw kepada umatnya bila ia
mengalami Masyaqqah yaitu kesulitan seperti dalam ayat al-Qur‟an
......
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah:185)
Ayat ini menjelaskan adanya keringanan dan kemudahan terhadap sesuatu
beban hukum yang dianggap sulit untuk dilaksanakannya karena adanya uzur
tertentu.5
B. Macam-macam dan Syarat Salat Jamak
Macam-macam dari salat jamak ini ada dua, yaitu jamak taqdim dan
jamak ta‟khir.
a. Jamak Taqdim
Jamak taqdim ialah jika kedua salat yang dilakukan dengan jamak
dikerjakan pada waktu yang pertama, misalnya salat Zuhur dan salat Asar
dikerjakan di waktu Zuhur atau antara salat Magrib dan salat Isya‟ dikerjakan di
waktu Maghrib. Salat jamak taqdim mempunyai syarat yang harus di penuhi bagi
yang melaksanakannya, antara lain:
a. Hendaklah dimulai dengan salat yang pertama yaitu Zuhur sebelum Ashar atau
Magrib sebelum Isya, karena waktunya adalah waktu yang pertama. 6
5 Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, ( Jakarta:
Penamadani, 2004) hal.38 6 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, ( Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 1994) hal.
121
21
b. Adanya niat untuk melaksanakan salat jamak taqdim pada awal salat yang
pertama, yaitu pada awal salat Zuhur atau Magrib. Bukan diniatkan pada waktu
yang sempit. Minimal diniatkan beberapa saat sebelum waktunya habis. Sebab
apabila seseorang menunda salat tanpa berniat untuk melakukan jamak pada
waktu salat yang pertama, maka ia telah berbuat kesalahan sehingga salat yang
dilakukan pada waktu salat kedua bukan dinamakan jamak, tetapi qadha. 7
c. Tertib. Hendaklah salat Zuhur atau Magrib yang didahulukan, bukan Ashar dan
Isya‟.
d. Al-Muwalat, yaitu antara dua salat yang digabung tidak boleh dibatasi oleh
batasan yang panjang. Sedangkan bila hanya dibatasi oleh adzan, iqamah, atau
bersuci termasuk mencari air untuk bersuci, maka hal itu diperbolehkan.
Dalam melaksanakan jamak taqdim hendaknya mendahulukan salat yang
terdahulu sebelum yang kemudian yakni salat Zuhur sebelum salat Asar, dan salat
Magrib sebelum salat Isya.8
b. Jamak Ta’khir
jamak ta‟khir adalah jika kedua salat yang dilakukan dengan jamak
dikerjakan pada waktu yang kedua. Misalnya: salat Zuhur dan Asar dilakukan di
waktu Asar, atau Magrib dan Isya dilakukan di waktu Isya. Seperti halnya jamak
taqdim, salat jamak ta‟khir juga mempunyai syarat syarat yang apabila dilanggar
salatnya tidak sah. Syarat jama‟ ta‟khir antara lain:9
7 Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, ( Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014) cet.
ke-3 hal. 180 8 Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: menurut Al-Qur‟an As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, ( Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hal. 217 9 Alimin Koto el-Majid, Tuntunan Safar, (Jakarta: Sahara Publishers, 2006), hal. 224
22
a. Niat melakukan jamak ta‟khir sebelum habisnya waktu yang pertama, walaupun
waktu itu kira kira cukup untuk melakukan satu rakaat saja.
b. Jika salat tersebut dilakukan oleh seseorang yang sedang menempuh perjalanan
(musafir), maka ia harus dalam keadaan safar atau sebab jamak sampai selesainya
salat yang kedua. Misalnya, jika setelah selesainya salat Ashar, ternyata sudah
menjadi mukim atau sudah sampai di negeri aslinya, maka salat Zuhur yang ia
laksanakan tidak dinamakan jamak melainkan shalat qada‟.
Dalam melaksanakan Jamak Ta‟khir, dibolehkan mendahulukan salat
Zuhur sebelum salat Asar dam salat Magrib sebelum salat Isya, ataupun
sebaliknya, yakni salat Asar sebelum Zuhur dan salat Isya sebelum Magrib.
Setelah salat yang pertama, hendaknya segera diikuti secara langsung dengan salat
kedua, dan tidak memisahkan antara kedua-duanya dalam waktu yang cukup
lama. Walaupun demikian, sebagian ulama dari kalangan madzhab Syafi‟i seperti
Abu Sa‟id Al-Isthakhri dan Ar-Rafi‟i membolehkan pelaksanaan yang pertama
dan yang kedua dengan selang waktu yang cukup lama. 10
C. Perdebatan Seputar Kondisi yang diperbolehkan Salat Jamak
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa menjamak salat
merupakan keringanan yang diberikan oleh Allah Swt., menjamak salat berarti
meneladani Nabi Saw, karena Nabi Saw menjamak salat jika ada kondisi yang
membolehkan untuk melakukannya.11
Dalam hal ini Para Ulama memiliki
10
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: menurut Al-Qur‟an As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, ( Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hal. 217 11
Afrokhi Abdul Ghani, Kyai NU Menggugat Sholat, ( Surabaya: Laa Tasyuki Press,
2014) hal. 347
23
berbagai pendapat yang berbeda mengenai kondisi melakukan salat jamak yang
akan dijelaskan berikut:
1. Salat Jamak di „Arafah dan Muzdalifah
Dalam buku Fiqih Praktis menurut al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Pendapat
para ulama karya Muhammad Bagir al-Habsyi dijelaskan bahwa para Ulama
sepakat tentang diperbolehkannya menjamak taqdim antara salat zuhur dan Asar
di Arafah. Yakni mengerjakan kedua salat itu pada waktu Zuhur. Demikian pula
menjamak ta‟khir antara salat magrib dan isya di Muzdalifah yakni mengerjakan
kedua salat itu pada waktu isya.12
Hal ini sebagaimana dilakukan Rasulullah
menjamak taqdim di Arafah adalah karena pelaksanaan salat tersebut langsung
bersambung dengan wukuf di Arafah. Sedangkan menjamak ta‟khir di Muzdalifah
adalah karena akan melakukan perjalanan menuju Muzdalifah.13
2. Salat Jamak ketika Bepergian (Safar)
Musafir boleh melakukan salat jamak sebagai bentuk dispensasi, karena
orang yang melakukan perjalanan umumnya menghadapi kesulitan untuk
melakukan salat tiap pada waktunya.14
Dalil tentang salat jamak Zuhur digabung dengan Asar dan Magrib dengan
Isya, baik jamak taqdim maupun jamak ta‟khir ketika dalam perjalanan terdapat
dalam beberapa hadis. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Shahih Muslim.
12
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: menurut Al-Qur‟an As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, (........) hal. 213 13
Saleh al-Fauzan, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, terj: Abdul Hayyie al-Kattani dkk. ( Depok:
Gema Insani, 2006) hal. 178 14
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: menurut Al-Qur‟an As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, ( Bandung: Penerbit Mizan, 1999) hal. 213
24
نجدمبثبد عيم دث نببا دمهثدن مدثنبد يدب احد دملتبدثندمابد نهدبدحدث دنحث
ميد نسد اا ىه ث مثد اب ا ا يا ا نيا بتعيا جث ا اد دفثددد به
ث دمنبددظاعشدمي اظ اد بدد مد ثامبدثيحدم مدمدندد به اد بدد دحدظعىن لن تاع دثد دجمد
15بباش فق
“Abu Ath-Thahir dan Amru bin As-Sawwad telah memberitahukan
kepadaku, mereka berdua mengatakan, „Ibnu Wahb telah mengabarkan
kepada kami, Jabir bin Ismail telah memberitahukan kepadaku, dari Uqail
dari Ibnu Syihab, dari Anas, dari Nabi Saw bahwasannya apabila beliau
bergegas dalam melakukan perjalanan, maka beliau menunda salat zuhur
hingga masuk awal waktu salat Asar, lalu menjamak dua salat tersebut.
Dan beliau menunda salat magrib hingga menjamaknya dengan salat isya,
manakala sinar merah matahari telah sirna.
Hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi Saw telah menjamak salat ketika
dalam perjalanan. Namun terdapat ketentuan mengenai salat jamak ketika
bepergian yaitu:
Apabila seseorang melakukan perjalanan sesudah waktu salat masuk,
sedangkan waktu salat berikutnya diperkirakan tidak mungkin dilakukan pada
waktunya, maka salat yang berikutnya dilakukan pada salat yang pertama, dengan
lebih dahulu salat yang pertama kemudian diikuti oleh salat waktu berikutnya.
Inilah yang disebut Jamak Taqdim. Misalnya: waktu Asar ditarik ke waktu Zuhur
atau waktu Isya ditarik ke waktu Maghrib.
Apabila seseorang sudah berada dalam perjalanan (Safar) sebelum waktu
salat masuk, padahal tempat yang kita tuju memerlukan waktu yang melampaui
batas waktu salat itu, maka salat yang kita lakukan adalah dengan cara
15
Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, (Kairo: Dâr al-
Hadis, 1994) bab “al-jawâzi al-Jam'i Bayna al-Shalatayn fi al-shafar”, jilid 1, hal. 489
25
mengakhirkan (Ta‟khir) salat tersebut dan menjamaknya dengan waktu salat
berikutnya, dengan cara melakukan salat yang pertama diikuti dengan salat
berikutnya. Itulah yang disebut dengan Jamak Ta‟khir. Misalnya: waktu Zuhur
ditarik ke waktu Ashar, atau waktu Magrib ditarik ke waktu Isya.16
Dalam suatu hadis diungkapkan sebagai berikut:
ب مسث ا فث حبد ب ث اا د بدثنم يعثد ب دد، دام حث
منيغن دبكعياا تث(ناا،د سعميب جثد ا نيا ب ا يا اا ى دثن غن
عمدنعياا تثبدعثزغا ممي معىاع ثد د اهد مع ثحم ا ياش مسدب ثاظ ش مسد
عمدث يم دن منعياا تث دثامبثيدب ثناع ثي اعشميداظ مس اهد ثامبثيحم
امبثي همس ) 17 نعياا تثبدعثامبثيد ج ثاعشمي
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟id, mengabarkan
kepada kami laits, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abi Tufail „Amir ibn
Wasilah, dari Muadz bin Jabal bahwa sesungguhnya Nabi Saw ketika
perang tabuk, jika berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau
mengakhirkan waktu salat Zuhur untuk dijamak dengan salat Asar di
waktu Asar. Jika berangkat sesudah tergelincir matahari beliau melakukan
salat Zhuhur dan Ashar dengan jamak, setelah itu beliau berangkat. Jika
beliau berangkat sebelum Maghrib, beliau mengakhirkan shalat maghrib
untuk di jamakkan dengan shalat isya. Dan jika beliau berangkat setelah
Maghrib beliau menjamakkan shalat isya dengan Maghrib diwaktu
Maghrib.”
Hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi Saw telah menjamak salat ketika
dalam perjalanan baik jamak takdim atau ta‟khir sesuai dengan waktu
berangkatnya dalam perjalanan. Namun, Apabila musafir yang bepergian
16
H E Hasan Saleh, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008) hal. 114 17
Abu Daud Sulaiman bin Asy‟at bin Ishaq bin Basyir, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1994), bab al-Jam'i Bayna al-Shalatayn, jilid 2, hal. 7
26
kemudian ia bermukim di suatu daerah atau Negeri selama empat hari selain hari
kedatangan dan hari kepergiannya kembali, maka dia dianggap telah bermukim
dan bukan musafir lagi. Sehingga dia tidak boleh mencari-cari rukhsah dengan
menjamak salatnya.
Semua ulama yang membolehkan salat jamak sepakat bahwa bepergian
adalah salah satu faktor yang membolehkan menjamak salat, namun mereka
berbeda pendapat mengenai syarat-syarat bepergian yang membolehkan jamak.
Adanya perbedaan ini karena di antara mereka ada yang menilai bepergian
sebagai penyebab bolehnya menjamak, jenis bepergian dengan sifat bagaimana
pun, namun ada juga yang mensyaratkan jenis bepergian tertentu.18
Ulama yang mensyaratkan jenis bepergian tertentu ialah Madzhab Syafi‟i
menurutnya diperbolehkan menjamak salat dalam satu waktu pada saat melakukan
perjalanan panjang, perjalanan panjang yang termasuk kategori ini ialah sepanjang
48 mil yaitu dua marhalah sedang.19
Imam Malik berpendapat bahwa orang yang sedang bepergian (Musafir)
tidak boleh menjamak salat kecuali jika perjalanannya dirasa memberatkan.
Menurut Qasim bepergian yang membolehkan jamak adalah perjalanan ibadah,
seperti haji dan perang. 20
Menurut pendapat Madzhab Zhahiri, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan
al-Muwaffaq (dalam al-Mughni) menetapkan setiap perjalanan yang digolongkan
18
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, terj:
Aan Anwariyah dkk., ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hal. 573 19
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Jakarta Timur : Darus Sunnah Press, 2014)
cet ke 3 hal. 179 20
Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid, ( Jakarta: Pustaka
Amani, 2007) cet ke 3, hal. 362
27
sebagai bepergian, maka dibolehkan menjamak salat, dan tidak diukur dengan
jarak perjalanan tertentu. 21
Dalam Ar-Raudh wa Hasyituhu dikatakan, “jika orang yang bepergian
adalah navigator atau sejenisnya dan keluarganya turut bersamanya, dan ia tidak
bermaksud menetap di Negri yang dituju, maka ia harus menyempurnakan
salatnya sebagaimana mestinya, seperti salat orang yang berada di kampung
halamanya, karena perjalanan tidak terputus. Sedangkan riwayat lain menetapkan
kebolehan rukhsah didalamnya, dan riwayat tersebut dipilih oleh al-Muwaffaq, as-
Syaikh, dan selain keduanya.
Menurut Imam Ahmad Jamak adalah rukhsah yang diberlakukan karena
suatu kebutuhan yang menghendakinya untuk itu Imam Ahmad menganjurkan
untuk meninggalkannya kecuali karena suatu kebutuhan yang menghendakinya
dalam bepergian. 22
3. Salat Jamak ketika Turun Hujan
Imam Syafi‟i membolehkan menjamak taqdim antara salat Magrib dan
Isya‟, dan antara salat Zuhur dan Asar bagi mereka yang salat jama‟ah di masjid
pada hari-hari yang berhujan, dengan syarat hujan masih terus turun sejak dalam
keadaan salat yang pertama sampai dimulainya salat yang kedua. Hal ini demi
menghindarkan kesulitan bagi para pengunjung masjid apabila mereka harus
21
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, terj:
Aan Anwariyah dkk., ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hal. 575 22
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram), hal.
576
28
kembali lagi untuk salat Asar atau Isya berjamaah sementara hujan masih terus
turun. 23
Menjamak Salat boleh dilakukan jika turun hujan pada waktu salat yang
pertama, dan tidak boleh pada waktu salat yang kedua karena tidak ada kepastian
bahwa hujan itu akan terus menerus turun sampai masuk waktu salat yang kedua,
diperbolehkan juga bagi mereka yang berjamaah ditempat yang jauh.24
Syaratnya
adalah jika hujan itu turun ketika Takbiratul Ihram pada salat yang pertama,
sampai ketika seseorang membaca do‟a iftitah pada salat yang kedua. Hal itu juga
boleh dilakukan bagi orang yang hendak berjalan menuju ke tempat salat jamaah
selain rumahnya, dan tempat tersebut ada kemungkinan terkena hujan.25
Salat jamak dalam kondisi hujan terdapat dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas dalam kitab shahih al-Bukhari:
ددمحهددبابدد زددثد دد مددثنبدد حاددم د دد جددمبثبدد دام دامبددبااد عمددمند ددملتحددث حددث
دددا دددا يا اددد نيدددا ب دددثناع دددثزدددثد ددد ابددد دددمستن اا دددى عمنيمندددمتاظ يبممثاددد،يدددد
ا،س ر د ملت دي بثيناعشميد دممل بيتعا يد26 نامل
“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Nu‟man ia berkata,
menceritakan kepada kami Hammad dia seorang anak dari Zaid, dari Umar
bin Dinar, dari Jabir bin Zaid, dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi Saw
salat di Madinah tujuh rakaat dan delapan rakaat, zuhur dan Asar, Magrib
dan Isya, maka Ayyub berkata: mungkin waktu itu terjadi hujan dimalam
hari.
23
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: menurut Al-Qur‟an As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, ( Bandung: Penerbit Mizan, 1999) hal. 214 24
Muhammad Arsyad Al Banjari, Sabilah Muhtadin II, ( Surabaya, PT Bina Ilmu) hal.88 25
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, ( Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014) cet.
ke-3 hal. 180 26
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh, Sahih al-Bukhari,
(Ta‟liq musthafa al-Bagha: 1422 ) , jilid 1 hal. 114
29
Hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi telah menjamak salat Zuhur dengan
Asar dan Magrib dengan Isya ketika di Madinah pada saat malam yang turun
hujan lebat yang kemudian sebagian ulama membolehkannya dengan merujuk
kepada hadis tersebut. Namun, hal itu dikaitkan dengan syarat bahwa salat itu
dilakukan dengan berjama‟ah di tempat yang jauh dari tempat tinggalnya, dan
untuk hadir kesana ia terganggu oleh hujan tersebut. Dalam hal ini Syafi‟i boleh
melakukan jamak, baik siang maupun malam hari, sedangkan Malik hanya
membenarkannya pada waktu malam. 27
Dalam buku Fiqih Imam Syafi‟i karya Wahbah Zuhaili dijelaskan bahwa
menjamak salat karena alasan hujan diperbolehkan dengan memenuhi dua syarat
berikut:
a. Bermaksud melaksanakan salat jamaah di masjid yang jauh dari rumah. Oleh
karena itu, seseorang yang salat dirumah atau dimasjid dekat rumahnya meskipun
berjamaah tidak boleh menjamak salatnya sebab hujan.
b. Hujan turun pada permulaan salat yang pertama, setelah selesai salat yang
pertama, dan saat memulai salat yang kedua.28
Ibnu Qudamah juga berpendapat bahwa hujan yang membolehkan
seseorang menjamak salat adalah hujan yang bisa membasahi pakaian dan
menimbulkan kesulitan kaum muslimin untuk keluar dari rumahnya. Gerimis dan
rintik-rintik tidak membolehkan seseorang menjamak salatnya. 29
27
Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1998) hal.128 28
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 1, ( Beirut: Darul Fikr, 2008) cet. ke 2 hal. 358 29
Afrokhi Abdul Ghani, Kyai NU Menggugat Sholat, ( Surabaya: Laa Tasyuki Press,
2014) hal. 355
30
Para imam Mujtahid yang berpendapat bolehnya menjamak salat itu
beralasan karena adanya Masyaqqah “kesulitan” yang di alami sebagian orang,
khususnya ketika mereka keluar dari rumah sementara jalannya licin dan
berlumpur. Tetapi jika dikaitkan dengan zaman sekarang yang dapat berjalan
dijalanan raya yang telah di aspal dan terdapat payung untuk berlindung dari
hujan maka mereka tidak boleh menjamak salatnya.
Al-Mutawally mengatakan bahwa tidak menjamak salat itu lebih utama
karena jika menjamak berarti mengosongkan waktu ibadah dari ibadah. Imam
Ghazali pun mempunyai pendapat yang sama. 30
Dalam buku Sahih Shifat Salât Nabiy karya Hasan bin Ali As-Saqqaf juga
dijelaskan bahwa Imam al-Laits bin Sa‟id pernah berkirim surat kepada Imam
Malik yang menerangkan tentang tidak diperbolehkannya menjamak salat dengan
sebab hujan. 31
4. Salat Jamak dalam Kondisi Sakit
Salat Jamak bagi orang yang sakit menurut pendapat populer dalam
madzhab Syafi‟i dan mayoritas ialah tidak boleh. Sebab menurutnya „illat hukum
yang menjadi alasan bolehnya jamak adalah Safar ( bepergian ) jadi hanya
terdapat dan berlaku bagi musafir.32
Hanya saja, Imam Ahmad dan beberapa
ulama dari kalangan sahabat imam syafi‟i membolehkannya.33
Selain itu Malik
juga membolehkan jamak bagi orang yang sakit bila ia kuatir akan kehilangan
30
Hasan bin Ali As-Saqqaf, Shahih Shifat Shalât an-Nabiy, terj: Tarmana Ahmad Qasim
( Bandung: Pustaka Hidayah, 1996 ) hal. 246 31
Hasan bin Ali As-Saqqaf, Shahih Shifat Shalât Nabiy,terj: Tarmana Ahmad Qasim
(........) hal. 250 32
Lahmuddin Nasution, Fiqih 1, (Jakarta: Logos. 1998) hal. 128 33
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, ( Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014) cet.
ke-3 hal. 180
31
akal dengan alasan bahwa kesulitan orang sakit lebih berat bila dibanding dengan
kesulitan orang musafir. 34
Dalam hal menjamak salat dalam keadaan sakit penulis sendiri tidak
menemukan riwayat khusus yang menerangkan tentang menjamak salat dalam
kondisi sakit, hanya saja beberapa ulama yang membolehkan menjamak salat
dalam kondisi sakit mengacu kepada hadis dalam kitab Shahih Muslim berikut:
دام دام ددمل ثددبنبددبادد، بدد ب،ددثبددبنحددث دامنحسعمندد،بددبحددث ثددببددبحددث
دام ددمل ثددبش ناا فددكاشاددا يددعثنبددب حددث بدد حددب دد اش مدد دد ددمن دد
ددمل ددمسابدد دد جدددربدد يددعث دد مبددت ددثبدددظنيددا ب ادد اا دد ددا ياا دد يددبليدد اظ
حدث ي .س دثنلبدبفغدريبممثاد،ناعشدمينامبثيناع ث دمسلبد دادت دملن د
ل دد، ددمليدد دعددثل ددمليدد عى احسددم ددمسلبدد ددثسعمندد، حددث نيس دد يددث
لن اح 35.س يث
Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib telah memberitahukan kepada
kami. Mereka berdua berkata, Abu Mu‟awiyah telah memberitahukan
kepada kami. (H) Abu Kuraib dan Abu Said Al-Asyaj telah
membritahukan kepada kami, lafadz ini milik Abu Kuraib, mereka berdua
berkata, Waki telah memberitahukan kepada kami, keduanya
meriwayatkan dari Al-A‟masy, dari Habib bin Abu Tsabit, dari Said bin
Jubair, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “ Rasulullah Saw pernah menjamak
salat Zuhur dan Asar, Magrib dan Isya di Madinah, bukan karena rasa
takut dan bukan karena turun hujan.” Dan dalam hadis Waki‟ disebutkan,
ia berkata, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, mengapa Rasulullah Saw
melakukan itu? Ia menjawab, “Supaya tidak memberatkan umatnya.”
Sedangkan dalam hadis Muawiyah disebutkan bahwa ada yang bertanya
kepada Ibnu Abbas, “Apa yang diinginkan beliau dari perbuatan itu?” ia
menjawab, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya.”
34 Lahmuddin Nasution, Fiqih 1, (Jakarta: Logos. 1998) hal. 128
35 Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Jakarta Timur : Darus Sunnah Press, 2014)
hal. 490
32
Hadis di atas menjadi rujukan bagi ulama yang membolehkannya seperti
Imam Ahmad dan sejumlah ulama pendukung Madzhab Asy-Syafi‟i36
dengan
alasan hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi menjamak salat tanpa sebab rasa
takut dan turun hujan sehingga para ulama mempunyai Asumsi bahwa Nabi ketika
itu dalam kondisi sakit.
Dalam buku Fiqih Praktis menurut Al-Qur‟an, As-Sunnah dan Pendapat
Para Ulama karya Muhammad Bagir al-Habsyi telah dijelaskan bahwa Ahmad bin
Hanbal serta beberapa dari ulama Mazhab Syafi‟i seperti al-Qadhi Husain, Al-
Khattabiy dan Ar-Ruyaniy berpendapat dibolehkan menjamak salat taqdim atau
ta‟khir disebabkan menderita sakit atau terancam keselamatanya, mengingat
bahwa keadaan ini lebih memberatkan bagi si penderita daripada alasan adanya
hujan. Adapun penyakit yang membolehkan menjamak ini ialah segala macam
penyakit yang menimbulkan kesulitan dan kelelahan apabila harus mengerjakan
salat pada waktunya masing-masing, seperti penderita penyakit yang tidak bisa
menahan kencingnya.37
Menyangkal dari pernyataan di atas Dalam Syarah Bulûghul Marâm telah
dijelaskan bahwa keringanan penunaian kewajiban salat bagi orang yang sakit
bukanlah menjamak salat, karena sakit merupakan sebab yang tidak terkategori
dalam kondisi melakukan salat jamak. Dalam hadis telah dijelaskan dalam riwayat
al-Bukhari dari hadis Imran bin Husain mengenai keringanan orang yang sakit
berikut:
36
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm, terj:
Aan Anwariyah dkk., ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hal. 576 37
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut al-Qur‟an As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999) hal. 214-215
33
،بد امل ناحلدظ ممند ملتحث دام ثاند ثاا د عبدثاهبب ط حث
منت بدبايرد د تاا ى ا د ملت ض،اا ا يااب بدثث د مثانب ح ظ
دعايجاب( ا نيا ب ا د دمملت د دمم ثاد إنل 38)ثه مئممد إنل د
“Menceritakan kepada kami „Abdan, dari Abdullah, dari Ibrahim bin
Tahman, berkata: menceritakan kepadaku al-Husaini al-Muktib, dari Ibn
Buraidah, dari Imran bin Husaini r.a berkata: saya menderita penyakit
wasir kemudian saya bertanya kepada Nabi tentang salat, maka Nabi
menjawab: salatlah kamu sambil berdiri; jika kamu tidak mampu maka
salatlah kamu sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu maka salatlah
kamu sambil berbaring.”
Dalam al-qur‟an juga telah ditetapkan berdasarkan ayat al-Qur‟an Surah
Al-Baqarah:286
........
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. “ (QS. Al-
Baqarah:286)
Merujuk kepada hadis di atas Menurut Imam An-Nawawi umat telah
sepakat bahwa orang yang tidak mampu berdiri dalam menunaikan salat wajib,
maka hendaklah ia salat sambil duduk dan tidak wajib mengulanginya dan
tidaklah berkurang pahalanya. 39
Jika seseorang yang sakit tidak mampu melakukan salat dengan duduk,
seperti jika duduk tersebut terlalu memberatkannya atau memang ia tidak mampu
duduk, maka ia boleh melakukan salat dengan merebahkan diri dalam posisi
38
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh, Sahih al-Bukhâri,
(Ta‟liq musthafa al-Bagha:1422 ) hal.208 39
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm, terj:
Aan Anwariyah dkk., ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hal. 545
34
miring dan wajahnya hadap kiblat. Sebaiknya posisi miring tersebut di atas sisi
badannya sebelah kanan. Jika tidak ada orang yang mengarahkannya ke arah
kiblat sedangkan ia tidak mampu melakukannya sendiri, maka ia melakukan salat
sesuai dengan kondisinya dan menghadap ke arah mana saja yang mampu ia
lakukan. Hal yang telah dijelaskan tersebut merupakan uzur yang telah ditentukan
untuk orang yang sakit. 40
5. Salat jamak karena Kesulitan lain
Dalam buku Fiqih Praktis menurut al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Pendapat
Para Ulama karya Muhammad Bagir al-Habsyi penulis telah menemukan dalam
tulisannya bahwa para ulama dari kalangan Mazhab Hanbali dan dibenarkan oleh
Ibnu Taimiyah memperbolehkan menjamak salat untuk wanita yang sedang
menyusui anaknya yang mengalami kesulitan apabila harus mencuci pakaiannya
setiap kali datang waktu salat. Atau untuk wanita yang beristihâdhah, atau
penderita penyakit yang tidak bisa menahan kencingnya, atau yang susah baginya
untuk sering-sering bersuci seperti orang yang sudah amat lanjut usianya, atau
orang yang takut akan bahaya atas dirinya sendiri, hartanya atau kehormatan
keluarganya. Ataupun takut akan mudarat yang akan mengganggunya dalam
mencari nafkah apabila ia tidak menjamak seperti para pekerja di bidang masak
memasak dan pembuatan roti, atau profesi-profesi lainnya yang tidak mudah
ditinggalkan setiap kali masuk waktu salat.41
40
Saleh al-Fauzan, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, terj: Abdul Hayyie al-Kattani dkk. ( Depok:
Gema Insani, 2006) hal. 174 41
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut al-Qur‟an As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999) hal. 215
35
BAB III
PEMAHAMAN TEKSTUAL HADIS MENJAMAK SALAT TANPA UZUR
A. Teks Hadis dan Terjemahnya
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya secara singkat dalam latar
belakang bahwa diperbolehkan menjamak salat tanpa uzur di dasarkan kepada
hadis Nabi Saw. dimana Nabi Saw., telah melakukan salat jamak dzuhur dan Asar
serta Magrib dan Isya tidak dalam keadaan takut dan tidak dalam keadaan
bepergian. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
دامييب ييد ملت دث ايسم د اد بدرد د يدعثبد جددرد د ابد حث
ا يا( مسد ملت عدمدا ي يبلا عدمدنامبدثيناعشدميي دثناع دثي ا نيدا باظ
)يغرببفدنليفث
“Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Saya telah
membacakan kepada Malik dari Abu Zubair, dari Said bin Jubair, dari
Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah Saw pernah melakukan salat Zuhur dan
Asar dalam satu waktu, dan salat Magrib dan Isya dalam satu waktu,
bukan karena takut dan tidak pula dalam keadaan bepergian.”
Dan didukung dengan hadis:
دامببسعمن، ثبد ملتحث دامببب،ثب ا،دنبب ثدبدنبدب نحث دامبدب نحث
ثدددبد دددملتحدددث دددم ددد اش مددد د ددد حدددببددد يدددعثاشادددا دناا فدددكش د دامن ددد
دث(مبتد يعثب جدرد ابد دمسد دملت دا يا اد نيدا ببددظاظ يدبلا يد
36
ت ددملت داددتلبدد )ادد،ديغددربددبفدنلس ددثناع ددثدنامبددثيناعشددميبممث يحددث ن دد
س د ( مستل دعثي ؟ ملت دنيحدث سعمند،ت دثلبد دمستسدم اح) ،ليدث
س عىي ؟ ملت احنل يث1
“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan
Abu Kuraib, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Abu
Muawiyah ( dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib dan Abu Said Al Asyajj sedangkan lafadznya milik Abu
Kuraib, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki‟,
keduanya dari al- A‟masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Said bin Jubair
dari Ibnu Abbas katanya: “Rasulullah Saw pernah menjamak antara
zhuhur dengan ashar, magrib dengan isya di Madinah, bukan karena
ketakutan dan bukan pula karena hujan.” Dalam hadis Waki‟ katanya: aku
tanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa beliau lakukan hal itu?” dia
menjawab: beliau ingin supaya tidak memberatkan umatnya.”
B. Takhrīj Hadis
Secara etimologi kata takhrīj berasal dari akar kata ررا وج و ج خ ج ي رررو ررو خ
mendapat tambahan tasydîd/syiddah pada ra („ain fiil) menjadi را ج ج رو يج ج ي ررو رو خ
yang berarti menampakan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan
menumbuhkan. 2 Maksudnya, menampakan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang
masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar.
Menurut istilah takhrīj ialah menunjukan asal beberapa hadis pada kitab-
kitab yang ada ( kitab-kitab induk hadis) dengan menerangkan hukum atau
kualitanya. 3 Menurut Muhaditsin takhrīj ialah menunjukan atau mengemukakan
1Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, ( Kairo, Dâr al-
Hadis, 1994), bab “al-Jam' Bayn al-Shalatayn fi al-Hadlar”, jilid 4, hal. 5 2 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, ( Jakarta: Amzah, 2013) cet. ke 2 hal.127
3 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,..... hal. 129
37
letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang di dalamnya
dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing. 4
Untuk itu melakukan takhrij hadis begitu penting untuk mengumpulkan
hadis-hadis dari beberapa kitab induk hadis. Akhirnya Setelah melakukan
kegiatan takhrīj Hadīts dengan menggunakan metode penelusuran lafad dan awal
matan yang menggunakan bantuan kitab al- Mu‟jam al-Mufahras li al-Fāẓ al-
Hadīṡ an-Nabawī,5 dan Maushû‟ah al-Athrâf al-Hadis
6, dengan melakukan
penelusuran hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas dapat ditemukan dalam
beberapa kitab induk hadis antara lain:
Hadits pertama lewat kata (اي ) dapat ditemukan bahwa hadis ini terdapat
dalam kitab induk hadis antara lain:
1. Sunan Abu Dawud di dalam Kitab: Al-salât, bab al-jam‟u baina al-Salâtain
2. Sunan al-Nasai di dalam Kitab: al-Mawâqit, bab al-jam‟u baina al-Shalâtain fî al-
Hadhr
3. Muwatha Malik di dalam Kitab: Al-Nidâ Al-LilSalât bab al-jam‟u baina al-
Salâtain fî al-Hadhr wa Safar
a. Sunan Abu Dawud
د دد يددعثبدد جدددرد دد ددثاا دد دد،ه دامامعاددى د دد سمدد د دد ادد بدرام،ه بدد حددث
ا يا( مسد ملت عدمدا ي يبلاا عدمدنامبدثيناعشدميي ثناع دثي ا نيا باظ
4M.agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, ( Jakarta: Pustaka setia, tt), Hal.19
5 Amold John Wensicnk,dkk. al- Mu‟jam al-Mufahras li al-Fāẓ al-Hadīṡ an-
Nabawī,(Istanbul:Darul al-Da‟wah,1989) hal. 124 6 Abu Hajar Muhammad Said bin Basyuni Zaglul, Maushuah al-Athraf al-Hadis Nabawi
syarif,(Beirut:Darul Kitab Ilmiyah) hal. 346
38
منيس ث( ملت ملسم ت)يغرببفدنليفث دمحبد ) ىي د ملببحانحتن ناه
7 بدردن ناه دث ب بمثد ا بدر ملتييفث يم دثنمهمعى دبكيام،د به ا
“Telah menceritakan kepada kami Al-Qa‟nabi, dari Malik, dari Abu Az-
Zubair al-Makkiy, dari Sa‟id bin Jubair, dari „Abdullah bin „Abbas dia
berkata: Rasulullah Saw mengerjakan salat Zuhur dan Asar secara jamak,
dan Magrib dan Isya secara jamak, tidak dalam kondisi ketakutan, dan
tidak dalam bepergian. Perawi berkata, bahwa Malik telah berkata; aku
berpendapat beliau melakukan hal itu karena kondisi sedang turun hujan,
Abu Daud telah berkata; dan telah diriwayatkan pula oleh Hammad bin
Salamah seperti hadis tersebut, dari Abu az-Zubair, dan diriwayatkan oleh
Qurrah bin Khalid dari Abu Az Zubair dia berkata; Dalam perjalanan
ketika kami ke Tabuk.”
b. Sunan An-Nasai
دا ي(بدثنم دد،د د سمد د د اد بدرد د يدعثبد جددرد د ابد دمس دملت
عددم عددمدنامبددثيناعشددميي ددثناع ددثي ددا يا ادد نيددا باظ سدد غددربددبفنل يددبلاا دد
8)يفث
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, dari Malik, dari Abu Zubair,
dari Sa‟id bin Jubair, dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw
mengerjakan salat Zuhur dan Asar secara jamak, dan Magrib dan Isya
secara jamak, tidak dalam kondisi ketakutan, dan tidak dalam bepergian.
c. Muwatha Malik
مس ب اا ث جدرد ب يعث د ام،ه،ه ا بدر سم د ن ملتحث ن
نيا ( ا ا ا ي اا يبل غرا ي ي عمد ي ناعشمي نامبثي عمد ي ناع ث ث اظ ب
منيس ث( ملسم ت)ببفنليفث 9) ىي
7 Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟at bin Ishaq bin Basyir,Sunan Abu Daud, (Beirut:al-
Maktabah al-asyriyah) jilid 1hal. 6 8 Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Syu‟aib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasany al-
Nasa‟i, Sunan Al-Nasâi,( Beirut: al-Maktabah Ilmiyyah. t.th) hal. 291
39
“Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abu Az-Zubair Al-Makiy,
dari Sa‟id bin Jubair, dari „Abdillah bin „Abbas bahwa sesungguhnya dia
berkata, Rasulullah Saw telah mengerjakan salat Zuhur dan Asar dalam
satu waktu, dan Magrib dan Isya dalam satu waktu, bukan karena adanya
ketakutan dan tidak pula dalam keadaan bepergian. Malik berkata, saya
melihatnya bahwa hal itu terjadi karena hujan.”
Sedangkan hadis kedua lewat kata ( ي) dapat ditemukan bahwa hadis
tersebut terdapat dalam beberapa kitab induk hadis antara lain :
1. Shahih Muslim di dalam kitab: Musâfir, bab al-jam‟u baina al-Shalâtain fî al-
Hadhr
2. Sunan al-Tirmidzi di dalam Kitab: Al-shalât, bab Mâ jâˋa fî al-jam‟u baina al-
Shalâtain
3. Sunan Abu Dawud di dalam Kitab: Al-shalât, bab al-jam‟u baina al-Shalâtain
4. Sunan al-Nasai di dalam Kitab: al-Mawâqit, bab al-jam‟u baina al-Shalâtain fî al-
Hadhr
5. Musnad Ahmad bin Hanbal di dalam Kitab: wa min musnad bani hasim bab
Bidayah Musnad Abdillah Ibn Abbas
a. Shahih Muslim
ثد دامزهد عم زهرد ملاب بنستحث مدي ثب بنسدن بنب ي دام نحث
دامببا بدرد يعثب جدرد اب مسد ملت ا ن(حث ا يا يا با ي يبلا
يفث ببفدنل بممثا،ديغر عم ي ناع ث ث د تيعثادل دعث)اظ ببا بدرت مل
حثاس ممي ند دمملت احنليث 10 س ي ؟ دمملتي تاب مس
9 Malik bin Anas, Al-Muwatha Malik, ( An-Nasir: al-Furqon al-Tujariyah, 2003) jilid 2
hal.199 10
Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, , ( Kairo, Dâr al-
Hadis, 1994), bab “al-Jam' Bayn al-Shalatayn fi al-Hadlar”, jilid 4, nomor hadis 1146, hal. 7
40
“Ahmad bin Yunus dan „Aun bin Salam telah memberitahukan kepada
kami, mereka meriwayatkan dari Zuhair. Ibnu Yunus berkata, „Zuhair
telah memberitahukan kepada kami, dari Said bin Zubair, dari Ibnu Abbas,
ia berkata, “Rasulullah Saw salat Zuhur dan Asar dalam satu waktu di
Madinah, bukan karena rasa takut dan tidak pula dalam keadaan
bepergian.” Abu Zubair berkata: lalu saya bertanya kepada Said, Mengapa
beliau melakukan hal itu? Maka Said menjawab, saya juga pernah
bertanya kepada Ibnu Abbas perihal yang engkau tanyakan, dan ia
menjawab, Beliau tidak ingin memberatkan seorangpun dari umatnya.
b. Sunan al-Tirmidzi
ببسعمن،د اش م د حبب مبتد يعث دام دامها مح ملتحث حث
اب مسد ملت ناع ثدنبدظ(ب جدرد ث اظ بدظ نيا ب ا ا ياا اا يبل ي
ببفنلس ث س غر ثا،بممل بثيناعشمي
بذ ؟ ملت)امل اح د ملت مثلب مستسم
س نيامي هثدث ت 11)غرنج حث اب مس ث ني ا س ( احنليث
“Telah menceritakan kepada kami Hannad berkata; telah menceritakan
kepada kami Abu Mu‟awiyah dari Al a‟masi dari Habib bin Abi Tsabit
dari Sa‟id bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah Saw pernah
menjamak salat Zuhur dan Asar , serta antara Magrib dan Isya di Madinah
bukan karena takut atau hujan. Sa‟id berkata; dikatakan kepada Ibnu
Abbas, Apa yang beliau kehendaki dari hal itu? Ia menjawab, Beliau tidak
ingin memberatkan umatnya. Dalam bab ini juga terdapat hadis dari Abu
Hurairah. Hadis Ibnu Abbas ini diriwayatkan dari beberapa jalur.
c. Sunan Abu Dawud
ب حب اش م د دام حث سعمن،د بب دام حث ا،د ب ثممن دام حث
ث(مبتد يعثب جدرد اب مسد ملت اظ ا نيا ببدظ ا يا يبلاا ي
11
Muhammad bin Isya bin Syurah bin Musa bin ad-Dokhak al-Tirmidzi,Sunan al-
Tirmidzi, (Syirkah:al-Maktabah al-Mustafa baqi) Jilid 1 hal. 354
41
س ث نل ببفد غر س بممثا، ناعشمي نامبثي عى)ناع ثد اح سم مست لب مث د
س ي ؟ ملت احنليث12
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibab, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu‟awiyah, telah menceritakan kepada
kami Al A‟masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Sa‟id bin Jubair dari Ibnu
Abbas dia berkata; Rasulullah Saw pernah menjamak salat Zuhur dan
Asar, antara salat Magrib dan Isya di Madinah, tidak dalam kondisi
ketakutan, tidak pula dalam keadaan turun hujan. Maka ditanyakan hal itu
kepada Ibnu Abbas , Apa maksud beliau melakukan hal itu? Ibnu Abbas
menjawab, Beliau tidak ingin memberatkan umatnya.
d. Sunan al-Nasai
دامافثب سبييد ثب ثاعب زس،ناي غنان ملتحث بدثنممم
(اش م د حبب مبتد يعثب جدرد اب مسد ا يا اا ى ا ن
ناعشم نامبثي ناع ثد ث اظ بدظ ا دظ بدظ م بممثا، اه، من غرنيا ب س ي
(. ث تل؟ ملت)ببفنلس ث ،بن ايس حث 13)ئ
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin „Abdul „Aziz bin Abu
Rizmah Ghazwan dia berkata; telah menceritakan kepada kami Al Fadhl
bin Musa dari Al A‟masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Sa‟id bin Jubair
dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw pernah salat di Madinah dengan
menjamak Zuhur dan Asar serta Magrib dan Isya bukan karena rasa takut
dan bukan karena turun hujan. Ibnu Abbas ditanya, Kenapa demikian?
Kemudian ia menjawab: agar tidak memberatkan umatnya.”
12
Abu Daud Sulaiman bin Asy‟at bin Ishaq bin Basyir,Sunan Abu Daud,(Beirut:al-
Maktabah al-asyriyah), jilid 1 hal. 6 13
Abu Abd al-Rahman al-Nasa‟i, Sunan Al-Nasâi,( Beirut: al-Maktabah Ilmiyyah. t.th)
hal. 290
42
e. Musnad Ahmad bin Hanbal
داماش م د حبب مبتد يعثب جدرد اب دحث دامن حث
ثدناع ثدنامبثيدناعشميدي( مسد ملت اظ ا يا ا نيا ببدظ يبلا ي
س )ثا،س غرببفدنلس ثام ،ليث 14 داتلب مستل دعثي ؟ ملت
“Telah menceritakan kepada kami Waki‟, telah menceritakan kepada kami
Al A‟masy berkata; Rasulullah Saw telah menjamak salat Antara Zuhur
dan Asar, dan Magrib dan Isya di Madinah bukan karena takut dan bukan
karena turun hujan. Aku tanyakan kepada Ibnu Abbas, Mengapa beliau
lakukan hal itu? Ibnu Abbas menjawab, karena beliau tidak ingin
memberatkan umatnya.
دامييد ح محسبىاد بحث ن :س، اب مسد ملانحب دسد ملتحث ي
ثدناع ثدنامبثيدناعشمي اظ ا يا ا نيا ببدظ مباتيغرس ثنليفث يبلا
ايس مبم مسدسم احبذ ؟ ملتاد بي 15
“Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Daud bin Qayis berkata:
menceritakan kepadaku Salih Maula al-Tauamah dari Ibnu Abbas berkata:
Rasulullah Saw telah menjamak salat Antara Zuhur dan Asar, dan Magrib
dan Isya di Madinah bukan karena takut dan bukan karena turun hujan.
Aku tanyakan kepada Ibnu Abbas, Mengapa beliau lakukan hal itu? Ibnu
Abbas menjawab agar tidak memberatkan umatnya.
Dari informasi diatas, yang nantinya akan dijadikan kajian utama adalah
hadis yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim Sementara hadis yang lain
dijadikan bahan untuk mengetahui eksistensi suatu hadis apakah benar suatu hadis
yang ingin diteliti terdapat dalam kitab-kitab hadis atau tidak.
14
Ahmad bin Hanbal Al-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: al-Maktabah al-
Islami,1985) jilid 1 hal. 234 15
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: al-Maktabah al-
Islami,1985) jilid
43
Penulis lebih cenderung untuk mengkaji hadis yang dibukukan oleh Imam
Muslim dikarenakan Muslim menerapkan syarat-syarat yang lebih ketat terhadap
hadis-hadis yang dibukukannya.
C. Pemahaman Para Ulama tentang Hadis Menjamak Salat tanpa Uzur
Menurut Ibnu Sirin dan Ash-hab (pendukung Madzhab Malik)
memperbolehkan melakukan jamak salat tanpa uzur dengan memahami hadis
yang driwayatkan Ibnu Abbas tersebut secara mutlak dengan syarat hal tersebut
tidak dijadikan sebagai suatu kebiasaan. Malik dan mayoritas ahli fiqih tidak
memperbolehkan, dengan alasan menakwilkan hadis tersebut karena dalam
kondisi hujan.16
Menurut Ibnu Rusyd Malik menolak sebagian isi hadis tersebut
karena bertentangan dengan amalan penduduk Madinah. Adapun yang tidak
bertentangan dengan amalan produk Madinah ia mengambilnya, yaitu antara
Magrib dan Isya bagi yang tidak bepergian berdasarkan riwayat Ibnu Umar, ketika
mengumpulkan para pemimpin, ia menjamak antara Magrib dan Isya bersama
mereka. 17
Sebagian ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal, al-Qadhi Husain dari
sahabat Syafi‟iyah, menyatakaan bahwa riwayat di atas dimaknai dengan salat
jamak yang dilakukan Nabi Saw adalah karena sakit, pendapat ini dipilih juga
oleh al-Khaththabi, dan al-Mutawalli serta ar-Rauyani. 18
16
Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid ( Jakarta: Pustaka
Amani, 2007) cet ke 3, hal. 389 17
Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid, ......hal. 364 18
Abu Ammar Mahmud al-Mushallin, Irsyâd as-Sâlikîn ilâ Akhtha al-Musallin, ( Jakarta:
Darul Haq, 2008) hal. 294
44
Namun, Ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Karena apabila
Nabi Saw melaksanakan salat jamak tersebut karena sakit, maka tidak ada yang
salat bersama beliau kecuali orang yang sakit juga. Padahal secara lahiriah Nabi
Saw salat bersama para sahabat. Hal itu telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas dalam
riwayatnya. 19
Sebagian mereka ada yang menakwilkan bahwa kondisi ketika itu
mendung, kemudian Nabi Saw salat dzuhur. Lalu setelah mendung tersebut
hilang, ternyata waktu Asar telah tiba, maka beliaupun salat Asar. Namun,
menurut imam An-Nawawi pendapat tersebut tidak benar, karena hal ini mungkin
sangat kecil untuk dilakukan dalam waktu zuhur dan asar, tapi hal ini tidak
mungkin dilakukan pada waktu magrib dan isya. 20
Sementara, golongan Hanafiyah memahami hadis tersebut dengan
menduga bahwa Nabi saw salat zuhur di akhir waktu dan asar di awal waktu
demikian pula dengan magrib dan isya. Sehingga seolah Nabi seakan telah
menjamak salat.21
Seperti halnya dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sahih
Muslim berikut:
19
Ibnu Hajar al-Asqalani, fathul Bāri Syarah Shahih al-Bukhari, ( Jakarta: Pustaka Azam,
2007) cet ke 5 hal. 358 20
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Jakarta Timur : Darus Sunnah Press, 2014)
cet ke 3 hal. 234 21
Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid ( Jakarta: Pustaka
Amani, 2007) cet ke 3, hal. 390
45
داميفمن دامببب،ثب ا،دحث ا،د مثند جمبثب زثد نحث ب دد
عم(اب مسد ملت عمي عمدنيد ا يا ا نيا بيمنمي اا ىه د داتتمبم)ا تس
ثدن ج 22 ثاع ثدنب ثامبثيدن ج ثاعشميد ملتننمظ ياكاش عثميظا ب ثاظ
“Dan Abu Bakar bin Abi Syaibah telah memberitahukan kepada kami,
Sufyan bin Uyainah telah memberitahukan kepada kami, dari Amru, dari
Jabir bin Zaid, dari Ibnu Abbas, ia berkata, saya pernah salat bersama Nabi
Saw delapan rakaat dalam satu waktu, dan tujuh rakaat dalam satu waktu.
Ia berkata, saya katakan wahai Abu Asy-Sya‟tsu ( Jabir bin Zaid), saya
mengira bahwa beliau menunda salat Magrib dan menyegerakan salat Isya.
Ia menimpali, saya juga menyangka demikian.
Menurut imam An-Nawawi jika hadis tersebut difahami bahwa Nabi
mengakhirkan pelaksanaan salat Zuhur hingga akhir waktunya dan menyegerakan
salat asar pada awal waktunya maka kemungkinan ini sangat lemah dan batil,
karenanya bertentangan dengan makna lahiriah hadis.23
At-Tirmidzi di akhir kitabnya mengatakan,”didalam kitab saya tidak ada
satu hadispun yang umat ini sepakat untuk tidak mengamalkannya, kecuali hadis
riwayat Ibnu Abbas yang menyebutkan tentang menjamak salat di Madinah bukan
karena rasa takut dan turun hujan. Namun, tidak semua ulama yang sepakat untuk
tidak mengamalkannya. 24
Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan perkataan Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa “Nabi melakukan salat jamak tanpa ada rasa takut dan
tidak pula turun hujan” menurutnya perkataan ini menunjukan bahwa menjamak
salat ketika turun hujan biasa dilakukan pada masa Nabi Saw., jika tidak
22
Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, bab “al-Jam' Bayn
al-Shalatayn fi al-Hadlar”, jilid 1, nomor hadis1632, hal. 491(CD Al-Maktabah al-Shameela) 23
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2010)
cet ke 4 hal. 235 24
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim......hal. 235
46
demikian, tentu tidak ada gunanya meyebutkan bahwa hari tidak turun hujan
menjadi sebab yang membolehkan menjamak salat. 25
Sementara itu al-Khaththabi dari al-Qaffal dan Asy-Syasyi al-Kabir dari
kalangan sahabat-sahabat Asy-Syafi‟i, dari Abu Ishak al-Marwazi dan Ibnu Al-
Mundzir berpendapat bahwa menjamak salat pada waktu bermukim boleh jika ada
kesulitan, dengan syarat hal tersebut tidak dijadikan suatu kebiasaan.26
Namun,
dalam pembahasan ini tidak disebutkan khusus kesulitan yang dimaksud.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam memahami hadis menjamak
salat tanpa uzur ini karena hadis yang diriwayatkan Imam Muslim melalui jalur
Ibnu Abbas terdapat ketidakaturan dan perubahan. Beberapa hadis menyatakan
Nabi Saw pernah menjamak salat Zuhur dan Asar serta Magrib dan Isya bukan
karena takut dan tidak dalam keadaan bepergian. Sehingga sebagian ulama
berasumsi Nabi menjamak salat ketika turun hujan.
Sementara sebagian hadis yang lain menyatakan bahwa Nabi Saw pernah
menjamak salat Zuhur dan Asar serta Magrib dan Isya di Madinah bukan karena
takut dan bukan karena turun hujan. Jadi, sangat tidak mungkin apabila hadis
tersebut di takwilkan dengan hujan.
Menurut Ibnu Mundzir tidak ada gunanya membawa makna bolehnya salat
jamak ketika mukim (seperti hujan dan sakit ) kepada makna uzur, karena Ibnu
25
Afrokhi Abdul Ghani, Kyai NU Menggugat Sholat, ( Surabaya: La Tasyuk Press,
2014) Hal.354 26
Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid ( Jakarta: Pustaka
Amani, 2007) cet ke 3, hal. 389
47
Abbas telah memberitahukan illat (sebab hukum) dari pembolehan tersebut yaitu
karena Nabi tidak ingin menyulitkan seorang pun dari umatnya. 27
D. Analisa Teks Hadis
Tidak sedikit hadis yang menjelaskan teks hadis di atas, kedua teks hadis
tersebut saling keterkaitan. Teks hadis yang pertama menunjukan bahwa Nabi
Saw pernah melakukan salat jamak ketika tidak dalam keadaan takut, dan tidak
sedang dalam bepergian. Teks hadis kedua Nabi Saw melakukan salat jamak
ketika tidak dalam keadaan takut dan tidak dalam keadaan turun hujan. Apabila
hadis yang pertama di takwilkan karena adanya turun hujan maka kemungkinan
itu salah, sebab dalam teks hadis kedua Nabi telah menjamak salat ketika tidak
dalam keadaan takut dan turun hujan. Alasan Nabi melakukan hal itu ialah beliau
tidak ingin memberatkan umatnya, karenanya teks hadis tersebut seolah
menyatakan bahwa diperbolehkan menjamak salat tanpa adanya uzur yang telah
ditentukan dengan alasan adanya kesulitan yang membuat seseorang melakukan
salat.
Riwayat hadis tersebut terdapat Habib bin Abu Tsabit, ia adalah Imam
yang disepakati keadilannya serta direkomendasikan untuk dijadikan hujjah. 28
Al-Qur‟an berkali-kali menegaskan pentingnya salat, tetapi tidak
menjelaskan pelaksanaannya dengan bentuk tertentu. Pengetahuan tentang
pelaksanaan salat hanya melalui Sunnah Nabi yang menunjukan sekaligus
27
Abu Ammar Mahmud al-Mushallin, Irsyâd as-Sâlikîn ilâ Akhtha al-Musallin, ( Jakarta:
Darul Haq, 2008) hal. 294 28
Imam Nawawi, Al-Majmu‟ Syarah Al-Muhadzdzab, terj: Abdul Somad dan Umar
Mujtahid, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hal. 648
48
memberikan batasan-batasan prinsipnya.29
Anjuran tentang jamak salat juga tidak
disebutkan secara khusus dalam al-Qur‟an sehingga seseorang mengacu
seutuhnya kepada hadis Nabi Saw,. untuk itu hadis menjamak salat tanpa uzur
menjadi perdebatan para ulama.
Hadis di atas juga menyatakan bahwa ketentuan salat jamak bersifat umum
artinya tidak hanya berlaku untuk seorang musafir tetapi berlaku untuk setiap
orang yang mempunyai uzur baik dalam keadaan bepergian atau dalam keadaan
mukim.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan hadis di atas tidak disebutkan alasan
jamak tersebut apakah karena rasa takut, karena bepergian atau karena hujan
turun. Menurutnya sebagian ulama menyatakan bahwa jamak tersebut dilakukan
karena sakit. 30
Sebagian ulama ada yang menolak hadis tersebut dengan landasan hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
عمددثبدد يدداممند دد بدد د دد دامامل دامبددبيددام،يدديبدد باددا ددثي ددملتحددث حددث
اد نيدا بتسد د ابد دمس ضدحا د ،ثس، دا يا مدم دملت دمل يدبلا ،ا اد
س غر ذ دمث يبمبمس بدبايا،مئث. ا دظ بدظ ي31
“Telah menceritakan Abu Salamah Yahya bin Kholaf al-Basriy berkata:
menceritakan kepada kami al-Mu‟tamir bin Sulaiman, dari bapaknya, dari
Hanasy, dari Ikrimah dari Ibn 'Abbas Ra berkata: bahwa Rasulullah saw
29
Wahiduddin Khan, Tajdîdu „Ulûmid al-Dîn Madkhal Li Tashîhi Masâri al-Fiqhi Wa al-
Tasawuf Wa „Ilmi al-Kalâm Wa al-Ta‟lîm al-Islâmi, terj: Moh. Nurhakim ( Jakarta: Gema Insani
Press, 1994) hal. 23 30
Afrokhi Abdul Ghani, Kyai NU Menggugat Sholat, ( Surabaya: Laa Tasyuki Press,
2014) hal. 352 31
Muhammad bin Isya bin Syurah bin Musa bin ad-Dokhak al-Tirmidzi, Sunan al-
Tirmidzi, (Syirkah:al-Maktabah al-Mustafa baqi,) hal. 356
49
bersabda: barangsiapa menjamak antara dua salat dengan tanpa uzur, maka
sungguh dia telah mendatangi salah satu pintu dari beberapa pintu dosa
besar.”
Sanad hadis di atas adalah al-Tirmidzi dari Abu Salamah disandarkan
kepada Yahya bin Khalaf al-Bashri, diceritai oleh al-Mu'tamir bin Sulaiman dari
ayahnya dari Hanasy dari Ikrimah dari Ibn 'Abbas. Dari segi sanad hadis telah
terdapat Hanasy, yang menurut ahl al-hadis dia merupakan seorang yang dha'if. 32
Berikut ini beberapa pandangan ulama hadis tentang Hanasy:
1. Menurut al-Bukhari, "bahwa beberapa hadisnya adalah riwayat yang mungkar dan
tidak ditulis hadisnya. 33
2. Al-Dar al-Quthni sebagaimana dikutip oleh al-Ghimari menyatakan bahwa
Hanasy adalah seorang yang matruk. Senada dengan itu al-Baihaqi juga
menyatakan bahwa Hanasy dipandang dhaif oleh ahli hadis, maka tidak
dibolehkan berpegang pada hadisnya.
3. Ibn al-Jawzi berpendapat bahwa hadis tersebut adalah hadis mawdhu‟ (palsu),
karena hadis itu berasal dari Husain bin Qais yang dikenal dengan Hanasy. 34
4. Abu Zar'ah dan Ibn Ma'in memandang ia da'if.
Bertolak dari kritik sanad di atas, maka hadis ini tertolak secara
periwayatan dan karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Dengan melihat
32
Muhammad bin Isya bin Syurah bin Musa bin ad-Dokhak al-Tirmidzi, Sunan al-
Tirmidz, (Syirkah:al-Maktabah al-Mustafa baqi,) hal. 356 33
Ayatullah Sayyid Muhammad Reza Mudarrisi Yazdi, Syi‟ah dan Sunnah Mencari Titik
Temu yang Terabaikan, terj: Nurjamila G. Baniswati dan Farah Yulistia, ( Jakarta: Citra, 2005)
hal. 103 34
Yusuf Ibn „Abd al-Raḥman Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī
Muḥammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, (Beirut: Muassasah
al-Risālah, 1980) hal.230
50
penjelasan di atas maka tidak ada hadis-hadis yang bertentangan telah
diriwayatkan yang di dalamnya terdapat pelarangan menjamak salat tanpa uzur.
Selain pemahaman hadis yang telah dijelaskan di atas, telah terdapat juga
pemahaman yang menyatakan bahwa Nabi tidak menjamak salatnya tetapi
mengakhirkan salat Zuhur (masih dalam waktu Zuhur) dan mengawalkan asar
(pada awal waktu asar) demikian pula dengan Magrib dan Isya. 35
Menurut hemat
penulis, bahwa pendapat ini dipengaruhi oleh redaksi dalam Sahih Muslim di
bawah ini:
ابد دثدز ابدثمبجد ن دثمد د،اددد بدنمفيدامث .ح،ا بث،بببدامث حن
ا ددىهاا دسددتا دتمل ددمس د ددتادم. دعدددميعديدمنعدددي،دمنيبا يددن دا يا ميثعاش ددبدمم
اثب نث عاثج نثاظ ثب ا ظ اكي ظنمنمل .ميشعانيثبمل
“Dan Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami,
Sufyan bin Uyainah telah memberitahukan kepada kami, dari Amru, dari
jabir bin Zaid, dari Ibnu Abbas berkata, saya pernah salat bersama Nabi
Saw delapan rakaat dalam satu waktu dan tujuh rakaat dalam satu waktu.
Ia berkata, saya katakan, wahai Abu Asy-Sya‟tsa ( Jabir bin Zaid), saya
mengira bahwa beliau menunda salat Zuhur kemudian menunda salat
Magrib dan menyegerakan salat Isya. Ia menimpali saya juga menyangka
demikian. “
Kata "azunnuhu" dan “wa anâ azunnu dzâka" menunjukkan bahwa telah
terjadi pentakwilan atas hadis berdasarkan dzann (persangkaan) disini. 36
Hadis
35
Ayatullah Sayyid Muhammad Reza Mudarrisi Yazdi, Syi‟ah dan Sunnah Mencari Titik
Temu yang Terabaikan, terj: Nurjamila G. Baniswati dan Farah Yulistia, ( Jakarta: Citra, 2005)
hal. 101 36
Aulia Nada Rahman, Kedudukan Hukum Salat Jamak di Rumah; Pendekatan Historis-
Filosofis, Jurnal: IKAHA Teubu Ireng Jombang , 2010 hal. 13
51
tersebut tidaklah lebih dari pada prasangka para perawi.37
Dan menurut penulis
pemahaman ini sangatlah lemah karena mengingat kenyataan bahwa hal ini
bertentangan dengan beberapa hadis yang menyatakan bahwa Nabi pernah
menjamak salat.
Hadis tentang menjamak salat tanpa uzur dimaksudkan bahwa Nabi tidak
ingin membebani umatnya, tetapi bukan berarti hal ini bisa dijadikan suatu
kebiasaan, menurut penulis kondisi agar tidak menjadi suatu kebiasaan juga
merupakan kesalahan pemahaman yang tidak dapat dibuktikan. Walaupun Nabi
Saw tidak ingin menyulitkan umatnya sebagian orang terbiasa untuk
menambahkan masyaqqah didalamnya yang akan berakibat melaksanakan salat
tiap pada waktunya merasa berat. Maka masyaqqah dalam hal ini harus
dikategorikan agar seseorang tidak asal melakukan salat jamak dengan alasan
mengalami kesulitan.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi, dalam konteks ini membagi masyaqqah
menjadi dua kategori. Pertama, yaitu masyaqqah yang menyatu dengan sebuah
pelaksanaan ibadah, seperti berwudhu‟ atau mandi dengan air dingin atau dalam
kondisi cuaca yang dingin, serta masyaqqah ketika bepergian dalam rangka proses
pelaksanaan ibadan haji dan jihad. 38
Kedua, yaitu masyaqqah yang terpisah
dengan kewajiban-kewajiban ibadah seseorang. Masyaqqah yang kedua terbagi
menjadi tiga tingkatan:
37
Ayatullah Sayyid Muhammad Reza Mudarrisi Yazdi, Syi‟ah dan Sunnah Mencari Titik
Temu yang Terabaikan, terj: Nurjamila G. Baniswati dan Farah Yulistia, ( Jakarta: Citra, 2005)
hal. 10 38
Jalaluddin al-Suyuthy, al-Asybah wa Al-Nadzair, ( Indonesia: Dar Ihya, t.t) hal. 58
52
a. Masyaqqah yang kandungan masyaqqahnya sangat berat, dan masyaqqah itu
dapat mempengaruhi kondisi seseorang dalam proses, melakukan kewajiban-
kewajiban ibadahnya. Dalam masyaqqah ini, syar‟i memberikan rukhsah atau
takhfif kepada seseorang dalam menjalankan kewajiban ibadahnya. Hal ini seperti
boleh tidaknya berpuasa pada bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang
bepergian.
b. Masyaqqah yang kandungan masyaqqahnya bernilai ringan, dan masyaqqah ini
tidak akan mempengaruhi kondisi seseorang dalam proses melakukan kewajiban
ibadahnya. Dalam masyaqqah seperti ini, seseorang tidak boleh diberikan
rukhsah.
c. Masyaqqah yang kandungan masyaqqahnya mutawasith antara yang berat dan
ringan. Jika memang mendekati yang berat, maka diperbolehkan rukhsah, dan jika
mendekati yang ringan, maka tidak diperbolehkan rukhsah.39
Dengan mengetahui masyaqqah di atas maka seseorang tidak bisa
mengerjakan salat jamak dengan alasan masyaqqah yang tidak terkategori. Karena
jika hal itu dibenarkan maka akan terdapat pengabaian dalam salat.
Menurut Hasan bin „Ali As-Saqqaf dalam bukunya Sahîh Sifat Salât an-
Nabiy bahwa hadis tersebut sebetulnya mudtharib yakni bahwa hadis tersebut
diriwayatkan pada beberapa tempat ( kesempatan) dan pada setiap tempat itu kata-
katanya selalu berbeda dengan yang lain.40
Imam Muslim meriwayatkan dengan
redaksi: “bukan karena adanya rasa takut dan tidak dalam keadaan
39
Jalaluddin al-Suyuthy, al-Asybah wa Al-Nadzair, ( Indonesia: Dar Ihya, t.t) hal. 58 40
Hasan bin Ali As-Saqqaf, Shahih Shifat Shalât an-Nabiy, terj: Tarmana Ahmad Qasim
( Bandung: Pustaka Hidayah, 1996 ) hal. 247
53
bepergian.”sedang dalam riwayat Muslim lainnya: “Bukan karena rasa takut dan
tidak dalam keadaan hujan”. 41
Melihat redaksi hadis tersebut jelas adanya ke- mudtharib-an ( kekosongan
atau kekacauan) dalam matan hadis tersebut. Sehingga tidak memungkinkan bagi
siapapun untuk menjadikan hadis tersebut sebagai hujjah. Dan menurut ketentuan
ilmu ushul, hadis mudtharib itu tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi ada juga
sebagian umat islam yang berusaha untuk mentarjih atau menguatkan bagian kata-
kata yang terdapat dalam hadis mudtharib tersebut. 42
Menyangkal dari pernyataan di atas, teks hadis tersebut jika dihubungkan
dengan fungsi Nabi maka hadis tersebut berhubungan dengan fungsi Nabi sebagai
Rasulullah, karena hadis tersebut terdapat matan yang mengatakan bahwa “Nabi
tidak ingin memberatkan umatnya”. Selain itu hadis tersebut merupakan hadis
tentang pelaksanaan ibadah yang menurut M. Syuhudi Ismail bahwa hadis tentang
pelaksanaan ibadah adalah salah satu contoh hadis yang berhubungan dengan
fungsi Nabi sebagai Rasulullah.43
Menurut penulis argument yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak
bisa dijadikan hujjah dengan alasan adanya ke- mudtharib-an ( kekosongan atau
kekacauan) tertolak karena itu hanyalah sebuah persangkaan. dan menurut M.
41
Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, bab “al-Jam' Bayn
al-Shalatayn fi al-Hadlar”, jilid 4, nomor hadis 1146, hal. 5 (CD Al-Maktabah al-Shameela) 42
Hasan bin Ali As-Saqqaf, Shahih Shifat Shalât an-Nabiy, terj: Tarmana Ahmad Qasim
( Bandung: Pustaka Hidayah, 1996 ) hal. 246 43
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma‟ani al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 2009)
hal. 33
54
Syuhudi Ismail hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai
rasulullah, ulama menyatakan kesepakatan tentang wajib mematuhinya. 44
Setelah melihat pemaparan di atas, menurut penulis hadis menjamak salat
tanpa uzur tersebut dapat dinyatakan sebagai maqbul (dapat diterima), karena teks
hadis tersebut memenuhi kriteria kesahihan matan.
44
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma‟ani al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal....... hal.33
55
BAB IV
PEMAHAMAN KONTEKSTUAL HADIS MENJAMAK SALAT TANPA
UZUR
Setelah sebelumnya melakukan penelitian tekstual. Penulis juga
melakukan penelitian terhadap hadis dari sudut pemahaman kontekstual yaitu
melalui penggalian informasi dan pesan pendukung lain dari luar teks hadis
tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau pesan yang diharapkan
oleh sang mutakallim ( Nabi Saw).
Istilah kontekstual diambil dari kata konteks yang berarti suatu uraian atau
kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada
hubungannya dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya. 1
Nabi Muhammad sebagai rasul akhir zaman, aturannya pun seharusnya
untuk sepanjang zaman, pada kenyataannya Nabi Muhammad hidup pada waktu
tertentu dan tempat tertentu pula. Maka sudah seharusnya pula memahami hadis,
tidak hanya dengan pendekatan tekstual, jika menginginkan agar hadis senantiasa
berlaku sepanjang zaman, mengingat problem kehidupan dewasa ini semakin
kompleks. Maka perlu adanya pendekatan secara kontekstual. 2
Menurut M. Syuhudi Ismail adanya pemahaman secara kontekstual, maka
suatu hadis yang sanadnya sahih ataupun hasan tidak dapat serta merta matannya
dinyatakan sebagai berkualitas da‟if ( lemah) ataupun maudu‟ (palsu) dengan
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2012) hal. 2 Liliek Channa Aw, Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual, Jurnal:
Ulumuna, 2011 hal. 392
56
alasan karena teks matan hadis yang bersangkutan tampak tidak sesuai dengan
kaidah kesahihan matan yang digunakan. 1
A. Memahami Hadis dengan Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah memahami hadis sesuai dengan cara
memperhatikan dan mengkaji situasi atau kondisi peristiwa yang terkait dengan
latar belakang munculnya hadis. Dengan kata lain pendekatan historis adalah
pendekatan yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara ide dan gagasan yang
terdapat dalam hadis dengan menetapkan sosial dan situasi historis-kultural yang
mengitarinya untuk kemudian didapatkan konsep ideal moral yang dapat
dikontekstualisasikan sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman.2
Nabi Muhammad Saw hidup di tengah-tengah masyarakat. Komunikasi
dengan masyarakat terjadi tidak hanya satu arah saja, yakni dari Nabi kepada
umatnya, tetapi juga dua arah secara timbal balik. Bahkan, Nabi Muhammad pada
kesempatan tertentu memberi komentar terhadap peristiwa yang sedang terjadi.
Maka karenanya, terjadinya hadis Nabi ada yang didahului oleh sebab-sebab
tertentu3 dan ada yang tanpa sebab. Sebabnya itu kadangkala disebutkan dalam
hadis itu sendiri, dan kadangkala sebabnya tidak disebutkan dalam hadis tersebut
1 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma‟ani al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 2009)
hal. 90 2 M. Alfatih Suryadilaga, Metode Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer ( ....)
hal. 66 3 Sebab-sebab yang mendahului terjadinya hadis Nabi dalam ilmu hadis dikenal dengan
istilah asbab wurud al-hadts. Asbab wurud al-hadts bisa di artikan juga dengan Sebab-sebab atau
peristiwa yang telah disebutkan, menjadi sebab yang mengiringi perkataan Nabi yang telah beliau
ucapkan terlebih dahulu pada waktu itu ada hubungannya dengan perkara yang akan muncul dan
dapat diketahui oleh orang yang mngetahui kejadian tersebut.
57
tetapi disebutkan pada jalan (Thuruq) hadis yang lain. 4 Di samping itu terjadinya
hadis Nabi ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. 5
Hadis tentang menjamak salat tanpa uzur yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas seperti bunyi hadisnya berikut:
د ثبد ملتحث دامببب،ثب ا،دنبب ثدبدنبدب امببسعمن،نحث دامبدب نحث
دددم ددد اش مددد د ددد حدددببددد د دامن ددد ثدددبد دددملتحدددث يدددعثاشادددا دناا فدددكش
دث(مبتد يعثب جدرد ابد دمسد دملت دا يا اد نيدا ببددظاظ يدبلا يد
ت ددملت داددتلبدد )ناع ددثدنامبددثيناعشددميبممثادد،ديغددربددبفدنلس ددث يحددث ن دد
( مستل دعثي ؟ ملت دنيحدث سعمند،ت دثلبد دمستسدم اح)س د ،ليدث
س عىي ؟ ملت احنليث6
“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan
Abu Kuraib, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Abu
Muawiyah ( dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib dan Abu Said Al Asyajj sedangkan lafadznya milik Abu
Kuraib, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki‟,
keduanya dari al- A‟masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Said bin Jubair
dari Ibnu Abbas katanya: “Rasulullah Saw pernah menjamak antara
zhuhur dengan ashar, magrib dengan isya di Madinah, bukan karena
ketakutan dan bukan pula karena hujan.” Dalam hadis Waki‟ katanya: aku
tanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa beliau lakukan hal itu?” dia
menjawab: beliau ingin supaya tidak memberatkan umatnya.”
4 Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud 1, terj; H.M.
Suwarta Wijaya B.A dan Zafrullah Salim, ( Jakarta: Kalam Mulia, 1996) cet. ke 3 hal. XI 5 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma‟ani al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 2009)
hal. 4-5 6Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, bab “al-Jam' Bayn
al-Shalatayn fi al-Hadlar”, jilid 4, nomor hadis 1146, hal. 5 (CD Al-Maktabah al-Shameela),
Hadis ini ditemukan pula dalam kitab Shahih Bukhari, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Daud,
Sunan An-Nasa‟i dan Musnad Ahmad bin Hanbal
58
Hadis tentang diperbolehkannya menjamak salat tanpa uzur di atas dapat
dikatakan bahwa Nabi pernah melakukannya, hal ini berdasarkan perkataan Ibnu
Abbas kepada Said bin Jubair ketika ditanya mengapa nabi melakukan salat jamak
tanpa uzur, Ibnu Abbas menjawab: “ Beliau ingin supaya tidak memberatkan
umatnya.” 7 Penulis berpendapat bahwa nabi melakukan menjamak salat tanpa
uzur karena alasan uzur yang mendesak sehingga diperbolehkan melakukannya
asalkan hal itu benar-benar tidak dijadikan kebiasaan.
Hadis di atas tidak mempunyai sebab secara khusus, karenanya para ulama
berbeda pendapat dalam memahami hadis tersebut. Sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa hadis tentang menjamak salat tanpa uzur bersifat
umum, karena Nabi tidak menyebutkan uzur dalam melakukan salat jamak
tersebut. Sehingga timbul berbagai macam pemahaman dari kalangan ulama
mengenai hadis tersebut.8
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abbas9 yang dalam teksnya bahwa
Ibnu Abbas telah menyaksikan Nabi melakukan salat jamak tanpa uzur, hal ini
diperkuat dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
7 Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim........ hal. 5
8Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid ( Jakarta: Pustaka Amani,
2007) cet ke 3, hal. 359 9 Ibnu Abbas nama aslinya adalah Abdullah bin Abbas, seorang sahabat Nabi yang
dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah. Ia dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas. Ia merupakan salah
satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadis sahih. Abdullah bin Abbas putra dari Abbas bin
Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisy yang tak lain adalah paman Nabi. Ibunya
adalah Ummu Al-Fadl Lubaba, perempuan kedua yang masuk islam.
Meskipun masih kecil, ingatan Abdullah bin Abbas tajam dan luar biasa. Ia cepat hafal
dan tidak mudah lupa, Nabi Muhammad Saw sering kali terlihat berdua dengan Ibnu Abbas. Nabi
Muhammad Saw wafat ketika Ibnu Abbas berusia 13 tahun. Abdullah bin Abbas sendiri wafat di
Tha‟if pada tahun 68 H pada masa pemerintahan Ibnu Zubair. Sewaktu itu usianya sekitar 70
tahun.
59
مح دام ا هثار دحث بباث ب ن امقدنحث ب ا ث الثهتد ب ا بدر د
غثبتاش مسدنبث اا جبمدنجعثاا مسد مببنت ملتب داماب مسدبسمبدعثاع ثحم
س جث جميه ملت ا د اب ا دممل ا د ا داثنت نل دفدثد ل تبد بن
ث( مست دعاهمنبمد ا ،؟لم ث ملت اظ بدظ ا نيا بي ا يا ت يبلا
ث يس ي ا،يد دت)ناعشميناع ثدنامبثي ب امقت حمكي ا ث . مل
قسمم 10.بمهثدث د د ث
“Dan Abu Rabi‟ Az-Zahrani telah memberitahukan kepadaku, Hammad
telah memberitahukan kepada kami, dari Az-Zubair bin Al-Khirrit, dari
Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, Suatu hari Ibnu Abbas berbicara kepada
kami setelah salat Asar sampai matahari terbenam dan bintang mulai
bermunculan. Kemudian orang-orang mulai berkata, “salat, salat. Ia
melanjutkan, lalu seorang laki-laki dari Bani Tamim datang menemuinya,
tanpa rasa jemu dan lemah ia mengatakan, “Salat, salat”. Kemudian Ibnu
Abbas berkata,”Apakah engkau mengajarkan sunnah kepadaku? Celakalah
engkau! Lalu Ia berkata,”saya pernah melihat Rasulullah Saw menjamak
salat Zuhur dan Asar, begitu juga salat Magrib dan Isya.” Abdullah bin
Syaqiq berkata, saya merasa ada keraguan di dalam dada saya, lalu saya
menemui Abu Hurairah, dan bertanya kepadanya. Maka Ia pun
membenarkan perkataan Ibnu Abbas.”
Hadis di atas telah jelas bahwa Ibnu Abbas telah melihat Rasulullah Saw
menjamak salat, penjelasan dari Ibnu Abbas dimaksudkan bahwa ia menghendaki
kelapangan bagi umat, memberikan kemudahan bagi mereka dan tidak menjebak
mereka dalam kesulitan dan kesempitan. 11
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Syarah Shahih Bukhari
mengatakan bahwa hadis tersebut berkaitan ketika Ibnu Abbas melakukan jamak
10
Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, bab “al-Jam' Bayn
al-Shalatayn fi al-Hadlar”, jilid 1 hal. 491 (CD Al-Maktabah al-Shameela) 11
Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas Muslim Fatwa Kontemporer Terhadap
Kehidupan Kaum Muslimin Di Tengah Masyarakat Non Muslim, terj: Adillah Obid Lc., ( Jakarta:
Penerbit Zikrul Hakim, 2004) hal. 100
60
salat karena kesibukan. Kesibukannya ialah berkhutbah, dimana ia berkhutbah
setelah salat Asar sampai nampak bintang-bintang, kemudian menjamak Magrib
dan Isya. Dalam hadis ini terdapat pembenaran Abu Hurairah terhadap Ibnu
Abbas tentang status hadis ini yaitu hadis ini merupakan hadis marfu‟. Dengan
demikian apa yang dikatakan Ibnu Abbas tentang alasan menjamak salat adalah
menghilangkan kesulitan. 12
Dalam sejarah Ibnu Abbas merupakan sahabat yang lahir di Makkah tiga
tahun sebelum hijrah dan juga sepupu Nabi karena Ibnu Abbas merupakan anak
dari paman Nabi. Pasca hijrah ke Madinah beliau sering mengikuti Nabi Saw
bahkan Ia menemani Nabi selama 30 bulan atau sekitar 3 tahun, hal itu terjadi
karena beliau masih kanak-kanak.13
Nabi telah mengajari hafalan al-Qur‟an kepadanya dan Ia juga
menghafalkan banyak hadis Nabi, diingatnya semua perkataan yang pernah
diucapkan oleh Nabi dan semua perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi. Ia
juga termasuk salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadis sahih. 14
Ibnu Abbas merupakan sahabat yang sering bersama Nabi, Tak jarang
Nabi mengajak Ibnu Abbas pergi bersama terutama dalam hal dakwah, walaupun
jarak usia keduanya sangat jauh ketika Nabi berusia 60 tahun Ibnu Abbas masih
kecil. Sampai suatu ketika Ibnu Abbas ingin mengetahui secara langsung terkait
12
Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bâri Syarah Sahih Bukhari, terj:
Aminuddin ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) cet kelima hal. 359 13
Jamaluddin Abi Hajaj, Tahdzib al Kamal fi Asma‟ ar Rijal, juz 10. (Beirut: Darl al Fikr,
1994), hal. 250 14
Abdurrahman binAbdul Karim, Kitab Sejarah Terlengkap Para Sahabat Nabi, Tabi‟in
dan Tabi‟it Tabi‟in, (Jogjakarta: DIVA Press, 2014) hal. 425
61
Nabi Saw salat, hingga akhirnya Ia sengaja menginap di rumah bibinya,
Ummahatul Mukminin Maimunah binti Al Harits. 15
Dari pemaparan di atas dapat membuktikan bahwa Ibnu Abbas sangat
dekat dengan Nabi, selain itu sejarah di atas menunjukan bahwa hal tersebut
terjadi di Madinah, hal ini terbukti dengan hijrahnya Ibnu Abbas ke Madinah.
Selain itu usia Nabi ketika bersama Ibnu Abbas adalah 60 tahun, pada saat usia itu
Nabi sedang hijrah di Madinah.
Hal penting yang terlihat dari pemaparan sejarah di atas ialah Ibnu Abbas
sering bersama Nabi ketika Ia masih kecil. Kota Madinah pada saat itu telah
terjadi peristiwa pertempuran Badar. 16
dari sinilah kecamuk pertempuran dimulai,
terjadinya peperangan, kemudian pada tahun ke 4 Hijrah terjadi perang Uhud,
keadaan di dalam Madinah sangat kacau, orang-orang Yahudi mulai merusak
perjanjian mereka dengan kaum Muslimin dan membuat perjanjian baru dengan
kamu kafir Quraisy.17
Dalam pada itu, jika Ibnu Abbbas sering bersama Nabi ketika Nabi Usia
60 tahun maka itu terjadi pada tahun ke 8 Hijrah, pada saat itu terjadi perang
mu‟tah yang disebabkan oleh utusan Al-Harits Ibnu Umar Al-Azdi yang dikirim
Nabi kepada Ghasasinah (Bani Ghassan) dibunuh oleh mereka. Perang mu‟tah
merupakan cikal bakal perluasan islam keluar jazirah Arab. Kemudian pada tahun
15
Abdurrahman binAbdul Karim, Kitab Sejarah Terlengkap Para Sahabat Nabi, Tabi‟in
dan Tabi‟it Tabi‟in,..... hal. 427 16
M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan Al-Qur‟an
dan Hadis-Hadis Shahih, (Jakarta: Lentera Hati, 2011) hal. 533 17
Abdurrahman binAbdul Karim, Kitab Sejarah Terlengkap Para Sahabat Nabi, Tabi‟in
dan Tabi‟it Tabi‟in,..... hal. 213-215
62
ke 9 Hijrah dianggap sebagai tahun delegasi. Agama islam telah meratai jazirah
Arab. 18
Sejarah di atas dapat membuktikan bahwa pada masa Nabi Hijrah, kota
Madinah sangat kacau dan telah terjadi banyak peperangan. Situasi pada saat itu
sangat genting.19
Maka kemungkinan menurut penulis hadis tersebut muncul
karena pada saat itu kota madinah mengalami ujian dan banyak kesulitan sehingga
penduduk Madinah merasa kesulitan jika melakukan salat tiap pada waktunya.
Masyarakat Madinah pada saat itu dihadapkan pada kehidupan yang
beragam, persoalan persoalan yang muncul pun bermacam macam.20
Jadi kejadian
semacam itu dijadikan alasan sebagai contoh mengapa Nabi melakukan salat
jamak, karena tidak mungkin Nabi melakukan salat jamak tanpa adanya uzur jika
hal itu dilakukan maka dapat merubah pembagian pelaksanaan salat.
Sementara itu Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidāyah al-Mujtahid
wa Nihayah al- Muqtashid mengatakan bahwa hadis tersebut berkaitan dengan
sesuatu yang telah menyebar luas dan dilakukan banyak orang secara turun
temurun oleh penduduk Madinah. 21
B. Afirmasi dengan Ayat Al-Qur’an
Firman Allah:
18
Patmawati, Sejarah Dakwah Rasulullah Saw di Mekah dan Madinah, Juli 2010, hal. 12 19
M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan Al-Qur‟an
dan Hadis-Hadis Shahih,........ hal. 533 20
Abdurrahman binAbdul Karim, Kitab Sejarah Terlengkap Para Sahabat Nabi, Tabi‟in
dan Tabi‟it Tabi‟in,..... hal. 215 21
Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid ( Jakarta: Pustaka
Amani, 2007) cet ke 3, hal. 364
63
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”
Taklif pembebanan adalah sesuatu yang memberatkan seseorang.
Terbebani sesuatu artinya adalah menanggung atau menahan beban tersebut.
Makna ini disampaikan oleh Al Jauhari. Sedangkan kata ه ا سع sendiri artinya و
adalah kesungguhan, kemampuan dan kesanggupan. Pada ayat ini Allah SWT
memberitahukan bahwa dari awal diturunkannya ayat pertama hamba-hamba-Nya
tidak pernah dibebani dengan sebuah ibadah, entah itu yang dilakukan dengan
anggota badan yang terlihat ataupun yang tidak terlihat, kecuali pembebanan itu
masih dapat dilakukan oleh mereka.22
Dengan diturunkannya ayat ini maka cobaan yang dirasakan oleh kaum
muslim pada saat itu mengenai penafsiran mereka pada perkara perasaan pun
dapat terlewati.
Para ulama dalam hal ini sepakat bahwa pembebanan diluar batas
kemampuan tidak ada dalam syariat, dan ayat inilah yang menyatakan
ketiadaannya, namun setelah itu mereka berbeda pendapat mengenai
pembolehannya. Abu Al Hasan Al Asy‟ari dan para ulama ilmu kalam
berpendapat bahwa secara akal pembebanan di luar batas kemampuan itu bisa
terjadi dan hal ini sama sekali tidak berpengaruh pada ajaran akidah dalam
syari‟at islam. Sedangkan kalangan lainnya berpendapat bahwa pembebanan
diluar batas kemampuan itu tidak pernah terjadi. Bahkan ada yang meriwayatkan
bahwa hal ini termasuk yang disepakati oleh para ulama. 23
22
Imam Al-Qurtubi, Al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, terj: Fathurrahman dkk., ( Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007) hal. 959-960 23
Imam Al-Qurtubi, Al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, ...... hal. 960
64
Untuk kata لف sebenarnya kata ini memerlukan dua objek (maf‟ul) ي ن
sekaligus, namun pada ayat ini salah satu objek tersebut tidak disebutkan.
Perkiraan yang seharusnya adalah Allah SWT tidak membebani seseorang dengan
suatu ibadah, ataupun dengan yang lainnya, karena Allah SWT memberikan
kenikmatan dan kasih sayang-Nya kepada kita, walaupun iya memberikan beban
yang sedikit memberatkan atau menyulitkan, namun ia tidak memberikan beban
yang sangat memberatkan atau menyulitkan sebagaimana pembebanan yang
diberikan kepada umat sebelum Nabi Muhammad Saw. Misalnya dengan
memberikan hukuman yang mengharuskan membunuh diri sendiri, atau harus
memotong pakaian atau kulit mereka yang terkena tetesan air seni,24
atau beban
yang sangat berat lainnya. Allah SWT telah mempermudah umat Nabi
Muhammad Saw, hingga beban-beban dan belenggu yang mengikat umat
sebelumnya telah dilepaskan. 25
Ayat di atas tidak menjelaskan tentang salat jamak. Namun ayat di atas
menjelaskan tentang kemudahan dalam hal beribadah yang telah diberikan kepada
umat manusia. Salah satu kemudahan yang telah diberikannya ialah menjamak
salat ketika menghadapi kesulitan.
Dengan melihat penafsiran ayat di atas telah diketahui bahwa Allah tidak
ingin membebankan atau menyulitkan hambanya dalam melakukan ibadah hal ini
setara dengan hadis tentang menjamak salat tanpa uzur bahwa “Beliau ingin
24
Air seni adalah Air kencing manusia, air kencing manusia merupakan bahan kumbahan
cecair badan yang disingkir oleh buah pinggang melalui proses penapisan dari darah yang dikenali
sebagai kencing dan dikeluarkan melalui urethra. Metabolit pada peringkat sel/selular
menghasilkan banyak sebatian kumbahan, kebanyakannya kaya dengan nitrogen, yang perlu
disingkirkan dari aliran darah, karena itu air kencing manusia merupakan Najis dengan kategori
Najis sedang atau disebut juga dengan najis Mutawassithah. 25
Imam Al-Qurtubi, Al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, ...... hal. 962
65
supaya tidak memberatkan umatnya”, karenanya ayat ini menguatkan hadis
tersebut bahwa dalam melakukan salat lima waktu tidak ada pembebanan karena
ada keringanan didalamnya.
Islam peraturannya begitu fleksibel, karenanya Nabi Saw tidak ingin
memberatkan umatnya. Seperti dalam Ayat Al-Qur‟an Allah berfirman:
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan. “
M. Quraish Shihab dalam tafsir al Misbahnya, menjelaskan bahwa
maksud ayat di atas ialah, Allah swt tidak membebani kalian dengan sesuatu yang
tidak mampu kalian lakukan, melainkan Allah swt pasti menjadikan jalan keluar
dan keringanan didalamnya.26
C. Kontekstualisasi Hadis dengan Kondisi Kekinian dan Relevensainya
Terhadap Masa Sekarang
Sub bab sebelumnya telah membahas memahami hadis dengan pendekatan
historis maka pada subbab kali ini penulis mengkontekstualisasikan hadis dengan
kondisi kekinian.
Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa ketika suatu hadis menunjuk
kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu
hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, tetapi sama sekali tidak
dimaksudkan untuk mengikat seseorang dengannya, atau pun membekukan diri di
sampingnya. Bahkan seandainya al-Qur‟an sendiri menegaskan tentang suatu
26
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 134
66
sarana atau prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu
tidak berarti bahwa kita harus berhenti padanya saja, dan tidak memikirkan
tentang prasarana lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya waktu dan
tempat. 27
Pada saat ini Islam bukan hanya milik masyarakat Arab, Islam tidak hanya
ada di Jazirah Arab, Islam telah berkembang dimana-mana, dari dataran Asia,
Eropa, Amerika dan bahkan Afrika. Berbeda dengan masa Nabi saat ini teknologi
telah berkembang pesat, kendaraan telah bermacam-macam baik untuk darat, laut
atau udara.
Dalam pembahasan awal telah dibahas sebelumnya bahwa menjamak salat
merupakan rukhsah28
yang telah diberikan Allah Swt sebagai suatu kemudahan
dan keringanan. Rukhsah ditetapkan dalam syariat islam, tetapi rukhsah tidak
dapat diberlakukan kecuali karena sebab-sebab yang menuntut
pemberlakuannya.29
Dalam pembahasan awal telah dibahas bahwa menjamak salat dilakukan
sebab adanya kesulitan. Namun, kesulitan dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk
keadaan yang dialami setiap waktu tetapi kesulitan yang memang jarang ditemui.
Yûsuf Al-Qardhawi mengatakan apabila suatu saat mukalaf menemui
kesulitan untuk melakukan salat fardhu pada waktunya, maka ia diperbolehkan
27
Yusuf al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw, Terj. Muhammad al-
Baqir, (Bandung: Karisma 1999), hal. 149 28
Rukhsah merupakan kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada seseorang karena
suatu sebab tidak dapat melaksanakan (menunaikan) ibadah wajib (salat dan puasa secara
sempurna) sehingga dapat dilaksanakan dengan cara menjamak atau mengqashar salat dan
mengqadha puasa diluar bulan ramadhan. 29
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, terj:
Aan Anwariyah dkk., ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hal. 558
67
untuk menjamaknya. hanya saja hal ini tidak boleh dijadikan suatu kebiasaan. 30
pendapat Yusuf al-Qardhawi telah jelas bahwa menjamak salat tidak boleh
dijadikan kebiasaan bahkan tiap hari.
Menurut Mohammed Reza Modarresee dalam bukunya Syi‟ah dalam
Sunnah Mencari Titik Temu Yang Terabaikan mengatakan bahwa kondisi agar
tidak menjadi suatu kebiasaan merupakan suatu kesalahan penafsiran yang tidak
dapat dibuktikan, yang ditambahkan oleh sebagian orang ke dalam hadis.
Walaupun dalam redaksi hadis tersebut Nabi Saw tidak ingin menyulitkan
umatnya, beberapa orang terbiasa untuk menambahkan beberapa kondisi di
dalamnya, sehingga menyebabkan dia sendiri serta yang lainnya berada dalam
kesulitan.31
Maka seharusnya kesulitan itu mempunyai ketentuan-ketentuan yang
membuat diperbolehkannya salat jamak.
Jamak tidak hanya diperbolehkan untuk seseorang yang sedang dalam
perjalanan tetapi diperbolehkan juga karena sakit, takut dan turun hujan. Tetapi
dalam hal ini harus diketahui maksud diperbolehkannya menjamak salat adalah
karena adanya masyaqah, maka melakukan salat jamak bukan hanya karena
alasan yang telah disebutkan di atas, namun menjamak salat dilakukan apabila
terdapat masyaqah.32
Melihat teks hadis di atas hujan menjadi salah satu alasan dan pentakwilan
dibolehkannya seseorang untuk melaksanakan salat jamak. Namun, meskipun
30
Yusuf al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw, terj. Muhammad al-Baqir,
(Bandung: Karisma 1999),hal. 328 31
Ayatullah Sayyid Muhammad Reza Mudarrisi Yazdi, Syi‟ah dan Sunnah Mencari Titik
Temu yang Terabaikan, terj: Nurjamila G. Baniswati dan Farah Yulistia, ( Jakarta: Citra, 2005)
hal. 170 32
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatawa Fî Ahkami Qasar Wa Jama‟ Salat, terj: Ibnu
Abrori ( Solo, Pustaka Arafah, 2006) hal.105
68
demikian, jika dikaitkan dengan kondisi curah hujan yang ada di Indonesia, alasan
menjamak salat karena hujan menjadi tidak relevan karena wilayah di Indonesia
mengalami curah hujan yang tinggi. Hal ini bisa menyebabkan seringnya
menjamak salat. Alasan hujan untuk menjamak salat baru bisa relevan jika hujan
turun dengan sangat deras dan diikuti dampak yang ditimbulkannya, seperti banjir
dan tanah longsor. Dengan kondisi tersebut menjadikan salat dapat terhalang
sehingga kondisi ini dapat diterima sebagai alasan untuk menjamak salat.33
Selain hujan di Indonesia sering juga dijumpai kemacetan, terutama ketika
setelah orang pulang bekerja, jika bersandar kepada hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw pernah menjamak salat ketika tidak sedang dalam
keadaan bepergian dan bukan tidak dalam keadaan takut. Jika hadis tersebut
difahami secara tekstual maka menjamak salat ketika macet diperbolehkan.
Namun, jika kemacetan yang di kawatirkan adalah pada waktu Magrib karena
waktu Magrib sangat pendek serta keadaan sangat sulit untuk melakukan salat tiap
pada waktunya, kemudian dengan itu banyak orang yang menjadikan macet
sebagai alasan untuk menjamak salat. Padahal telah diketahui bahwa jamak tidak
boleh dijadikan kebiasaan.
Jika dikaitkan dengan syarat-syarat jamak karena alasan bepergian, apabila
di alami setiap hari karena pekerjaan, maka macet tidak termasuk dalam kategori
tersebut, atau jika dikaitkan dengan syarat karena keperluan mendesak, harus
diperhatikan bahwa keperluan mendesak itu tidak diperbolehkan setiap hari,
33
Hasan bin Ali As-Saqqaf, Shahih Shifat Shalât an-Nabiy, terj: Tarmana Ahmad Qasim
( Bandung: Pustaka Hidayah, 1996 ) hal. 246
69
karena jika hal itu diperbolehkan maka akan terjadi pengabaian dalam
melaksanakan salat tiap pada waktunya.34
Berkenaan dengan perjalanan masa sekarang ini, meskipun perjalanan itu
tanpa kesulitan yang berarti karena telah tersedianya fasilitas yang diperlukan
musafir, baik selama perjalanan ketika istirahat seperti hotel dan sebagainya,
namun demikian, bukan berarti perjalanan di abad modern ini bebas dari kesulitan
perjalanan, karena kemajuan teknologi di samping membawa kenyamanan tetapi
juga membawa kesulitan.35
Banyaknya kendaraan menimbulkan kemacetan
sehingga perjalanan yang seharusnya memakan waktu satu atau dua jam menjadi
empat jam atau lebih. Jika kemacetan itu jarang ditemui dan sangat mendesak
sehingga tidak bisa melakukan salat tiap pada waktunya seperti misalnya akan
pergi ke luar kota maka diperbolehkan melakukan salat jamak.36
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah masih relevankah hadis tersebut
diatas dengan masa sekarang? karena tentunya larangan tersebut diucap oleh Nabi
pada kondisi yang berbeda dengan keadaan sekarang dan bahkan masa yang akan
datang.
Telah dibahas sebelumnya di atas bahwa menjamak salat dilakukan bukan
karena adanya uzur yang telah disebutkan atau telah ditentukan dalam hadis,
tetapi menjamak salat dilakukan apabila adanya masyaqah yang memberatkannya
untuk melakukan salat tiap-tiap pada waktunya.
34
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, terj:
Aan Anwariyah dkk., ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hal. 544 35
M. Atiqul Haque, Jejak-jejak Hadis: Khazanah Hadis dalam Kisah, ( Bandung: MQS
Publishing, 2004) hal.36 36
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatawa Fî Ahkami Qasar Wa Jama‟ Salat, ............
hal. 104
70
Jika dikaitkan dengan masa seperti sekarang ini keringanan melakukan
salat jamak akan diperlukan jika mengingat bahwa ada aktivitas yang jika
ditinggalkan akan mengakibatkan kemadaratan, misalnya seorang dokter ahli
bedah yang adakalanya tidak dapat meninggalkan pasiennya dalam keadaan yang
berbahaya, 37
karena hal tersebut tidak di alami setiap hari. Selain itu orang yang
menderita penyakit beser yang tidak dapat menahan kencingnya diperbolehkan
untuk melakukan salat jamak karena hal itu merupakan kesulitan baginya. Selain
itu menjamak salat juga diperlukan bagi orang yang menderita penyakit yang
tidak bisa menahan kencingnya.
Selain itu hadis tersebut juga relevan untuk negara Eropa pada musim
panas ketika waktu salat Isya mundur hingga tengah malem atau setelahnya. Pada
musim panas di Negara-negara tersebut diperbolehkan menjamak salatnya karena
sangat sempitnya waktu siang. 38
Yang diketahui selama ini sebab diperbolehkannya menjamak salat ialah
safar, sakit, hujan, lumpur dan angin kencang yang dingin. Namun, lima sebab
yang disebutkan hanya sebagai pemisalan untuk kaidah umum, yaitu kesulitan.
Selain dari hal itu menjamak salat juga diperbolehkan karena illat hukumnya
adalah adanya masyaqah.39
Dari berbagai pertimbangan argumentasi yang telah dipaparkan, penulis
merumuskan bahwa yang hendaknya dipilih dalam kasus menjamak salat ini
37
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: menurut Al-Qur‟an As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, ( Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hal. 216 38
Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas Muslim Fatwa Kontemporer Terhadap Kehidupan
Kaum Muslimin Di Tengah Masyarakat Non Muslim, terj: Adillah Obid Lc., (Jakarta: Penerbit
Zikrul Hakim, 2004) hal. 102 39
Muhammad bin Shalih, Asy-Syarh Al-Mumti „Ala Zaad Al-Mustaqni, ( Jakarta: Darus
Sunah Press, 2011) hal. 486
71
dalam kondisi yang dirasa sulit, keadaan mendesak atau bahkan membahayakan,
maksudnya jika tidak ada pilihan alternatif lain selain menjamak salat karena
adanya kesulitan maka menjamak salat diperbolehkan.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan yang panjang lebar dapat disimpulkan bahwa memahami
hadis tidak selalu tekstual, tetapi hendaknya memperhatikan konteks dari hadis
tersebut.
Pemahaman yang dapat di ambil ialah hadis Menjamak salat tanpa uzur
merupakan suatu kemurahan dari Nabi karena tidak ingin memberatkan umatnya,
sehingga hadis tersebut bukan dimaksudkan nabi menjamak salat tanpa uzur tetapi
kebolehan jamak salat dapat dilakukan apabila adanya uzur yang mendesak
mengingat bahwa zaman modern saat ini banyak aktivitas yang beragam yang
terkadang apabila meninggalkannya akan timbul kemadharatan.
B. Saran-saran
Salat merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan atau dilalaikan.
Dengan adanya penelitian ini semoga tidak ada orang yang asal melakukan jamak
salat dengan menggunakan berbagai macam alasan yang di anggapnya sebagai
uzur.
Skripsi ini telah membahas tentang hadis menjamak salat tanpa uzur,
penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi referensi dalam memahami
hadis-hadis tentang menjamak salat tanpa uzur. skripsi ini tentunya jauh dari kata
sempurna, penulis berharap ada penelitian yang dapat membahas tentang hadis
73
hadis menjamak salat tanpa uzur tentunya dengan metode dan pemahaman yang
berbeda.
Pembahasan mengenai salat jamak tanpa uzur seharusnya juga diangkat
dalam pembahasan intelektual dan ilmiah guna menghindari kesalahpahaman
dalam melakukan jamak salat yang nantinya akan berakibat terjadinya pelalaian
salat.
74
DAFTAR PUSTAKA
Alu Asy-Syaikh, Shalih bin Abdul Aziz. Al-Fiqh Al-Muyassar, terj: Izzudin
Karimi, Jakarta: Darul Haq, 2015
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. fathul Bāri Syarah Shahih al-Bukhari, Jakarta: Pustaka
Azam, 2007, cet ke 5
Aw, Liliek Channa. Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual,
Jurnal: Ulumuna, 2011
Al-Banjari, Muhammad Arsyad. Sabilah Muhtadin II, Surabaya, PT Bina Ilmu
Al-Basri, Muh Mu‟inudinillah. Panduan Shalat Lengkap, Surakarta: Indiva
Pustaka, 2008
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-
Maram, terj: Aan Anwariyah dkk., Jakarta: Pustaka Azzam, 2010
Basyir, Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟at bin Ishaq. Sunan Abu Dawud, Beirut:
Dâr al-Fikr, 1994
Bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah. Fatawa Fî Ahkami Qasar Wa Jama‟ Salat,
terj: Ibnu Abrori Solo, Pustaka Arafah, 2006
Al-Bukhari, Imam Abi Abdurasi Muhammad ibnu Ismail. Shahih al-Bukhari,
Ta‟liq musthafa al-Bagha: tt., 1422
Ad-Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi. Asbabul Wurud 1, terj; H.M.
Suwarta Wijaya B.A dan Zafrullah Salim, Jakarta: Kalam Mulia, 1996 cet.
ke 3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2012, hal. 562
El-Majid, Alimin Koto. Tuntunan Safar, Jakarta: Sahara Publishers, 2006
Fauzan, Saleh. Al-Mulakhkhasul Fiqhi, terj: Abdul Hayyie al-Kattani dkk. Depok:
Gema Insani, 2006
Ghani, Afrokhi Abdul. Kyai NU Menggugat Sholat, Surabaya: Laa Tasyuki Press,
2014
75
ssAl-Habsyi, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis: menurut Al-Qur‟an As-Sunnah
dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Penerbit Mizan, 1999
Hajaj, Jamaluddin Abi. Tahdzib al Kamal fi Asma‟ ar Rijal, , Beirut: Darl al Fikr,
1994
Haque, M. Atiqul. Jejak-jejak Hadis: Khazanah Hadis dalam Kisah, Bandung:
MQS Publishing, 2004
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma‟ani
al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal,
Jakarta: PT Bulan Bintang, 2009
Karim, Abdurrahman bin Abdul. Kitab Sejarah Terlengkap Para Sahabat Nabi,
Tabi‟in dan Tabi‟it Tabi‟in, Jogjakarta: DIVA Press, 2014
Khan, Wahiduddin. Tajdîdu „Ulûmid al-Dîn Madkhal Li Tashîhi Masâri al-Fiqhi
Wa al-Tasawuf Wa „Ilmi al-Kalâm Wa al-Ta‟lîm al-Islâmi, terj: Moh.
Nurhakim Jakarta: Gema Insani Press, 1994
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2013cet. ke 2
M.agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Jakarta: Pustaka setia, t.th
Ma‟ruf, Djamhari. Agama dan Radikalisme, East Lansing: Nuqtah, 2007
Malik bin Anas, Al-Muwatha Malik, An-Nasir: al-Furqon al-Tujariyah, 2003, jilid
2
Al-Mizī, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥammad al-Qadla‟ī al-Kilabī. Tahdzīb
al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1980
Al-Mughiroh, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. Shahih al-
Bukhari, Beirut: Dâr al-Fikr, 1991
Muhaimin, Abdul Wahab Abdul. Kajian Islam Aktual, Jakarta: Gaung Persada
Press, 2011
Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
Penamadani, 2004
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997, cet. ke 14
Mushallin, Abu Ammar Mahmud. Irsyâd as-Sâlikîn ilâ Akhtha al-Musallin,
Jakarta: Darul Haq, 2008
76
Al-Nasa‟i, Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Syu‟aib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-
Khurasany. Sunan Al-Nasâi, Beirut: al-Maktabah Ilmiyyah. t.th
Nasution, Lahmuddin. Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1998
Nata, Abuddin. Kajian Tematik Al-Qur‟an tentang Fiqih dan Ibadah, Bandung:
Penerbit Angkasa, 2008
An-Nawawi, Imam. Al-Majmu‟ Syarah Al-Muhadzdzab, terj: Abdul Somad dan
Umar Mujtahid, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010
An-Nawawi, Imam. Syarah Shahih Muslim, Jakarta Timur : Darus Sunnah Press,
2014 cet ke 3
Al-Naysaburi, Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim, Kairo: Dâr
al-Hadis, 1994
Al-Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw, Terj. Muhammad
al-Baqir, Bandung: Karisma 1999
Al-Qardhawi, Yusuf. Fiqih Minoritas Muslim Fatwa Kontemporer Terhadap
Kehidupan Kaum Muslimin Di Tengah Masyarakat Non Muslim, terj:
Adillah Obid Lc., Jakarta: Penerbit Zikrul Hakim, 2004
Al-Qurtubi, Imam. Al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, terj: Fathurrahman dkk.,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007
Rahman, Aulia Nada. Kedudukan Hukum Salat Jamak di Rumah; Pendekatan
Historis-Filosofis, Jurnal: IKAHA Teubu Ireng Jombang , 2010
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 1994
Rusyid, Ibnu. Bidāyah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid, Jakarta: Pustaka
Amani, 2007, cet ke 3
Saleh, H E Hasan. Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2008
Al-Saqqaf, Hasan bin Ali. Shahih Shifat Shalât an-Nabiy, terj: Tarmana Ahmad
Qasim , Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
Sarwat, Ahmad. Seri Fiqih Kehidupan Sholat. Surabaya: Rumah Fiqih Publishing,
t.th
Shihab, M. Quraish. Tafsir al Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
77
Shihab, M. Quraish. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan Al-
Qur‟an dan Hadis-Hadis Shahih, Jakarta: Lentera Hati, 2011
Suryadi. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-
Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi, Yogyakarta: Teras 2008
Al-Suyuthy, Jalaluddin. al-Asybah wa Al-Nadzair, Indonesia: Dar Ihya, t.t
Al-Syaibani, Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal, Beirut: al-
Maktabah al-Islami,1985. jilid 1
Al-Tirmidzi, Muhammad bin Isya bin Syurah bin Musa bin ad-Dokhak. Sunan al-
Tirmidzi, Syirkah:al-Maktabah al-Mustafa baqi
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Asy-Syarh Al-Mumti‟ „Ala Zaad Al-
Mustaqni, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2011 jilid 4
Wensicnk, Amold John, dkk. al- Mu‟jam al-Mufahras li al-Fāẓ al-Hadīṡ an-
Nabawī, Istanbul:Darul al-Da‟wah,1989
Yazdi, Ayatullah Sayyid Muhammad Reza Mudarrisi. Syi‟ah dan Sunnah
Mencari Titik Temu yang Terabaikan, terj: Nurjamila G. Baniswati dan
Farah Yulistia, Jakarta: Citra, 2005
Zaglul, Abu Hajar Muhammad Said bin Basyuni. Maushuah al-Athraf al-Hadis
Nabawi syarif, Beirut:Darul Kitab Ilmiyah
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi‟i 1, Beirut: Darul Fikr, 2008cet. ke 2
Zurinal Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008
http://m.tribunnews.com/regional/2015/02/17/pesantren-yang-cambuk-santrinya-
diduga-edarkan-stiker-salat-3-waktu