pemberian sorgum (sorghum bicolor l. moench … · polished sorgum administration in mouse diet to...
TRANSCRIPT
PEMBERIAN SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) MENGHAMBAT
PERKEMBANGAN KANKER KOLON PADA MENCIT BALB/c
MELALUI PERBAIKAN LINGKUNGAN MIKRO KOLON
NUR FATHONAH SADEK
F251100141
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis berjudul “Pemberian Sorgum
(Sorghum bicolor L. Moench) Menghambat Perkembangan Kanker Kolon pada
Mencit Balb/c melalui Perbaikan Lingkungan Mikro Kolon” merupakan karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
thesis ini.
Bogor, Juli 2012
Nur Fathonah Sadek
F 251100141
ABSTRACT
NUR FATHONAH SADEK. Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Administra-
tion Inhibit Colon Cancer Development in Balb/c Mice through Improvement of
Colon Microenvironment. Under direction of ENDANG PRANGDIMURTI,
FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA, and BAMBANG PONTJO PRIOSOER-
YANTO.
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) contains dietary fibers and phenolic
compounds that have been shown to have inhibitory effect on colon cancer
development. The objectives of this research were to evaluate the effects of 50%
polished sorgum administration in mouse diet to observe colon cancer
development of AOM-DSS induced Balb/c mice. Male BALB/c mice (n = 32) were
divided into 4 groups of 8. The carbohydrate source of group K- and K+ was
cornstarch, for S50 group was 50% sorghum and 50% cornstarch, and for S100
group was 100% sorghum. Single intraperitoneal injection of AOM (10 mg/kg
body weight) and administration of 1% DSS in drinking water for 7 days was
conducted for colon carcinogenesis of group K+, S50, and S100. The results
showed that administration of sorgum (S50 and S100) could inhibit colon
carcinogenesis. Group S50 and S100 had lower β-glucoronidase activity and
higher expression of caspase-3. These results were supported by histopathological
profile improvement of colon, liver, and kidney, and also the diet consumption of
S50 and S100 that was higher than those of K+. In addition, S100 group had a
higher amount of fecal pH reduction, total short chain fatty acid, and total
butyrate than S50 and K+. However, sorgum administration in S50 and S100
groups did not statistically affect CD4 expression. These indicate that
administration of 100% sorgum in group S100 is better to protect against colon
cancer development than group S50.
Keywords : sorgum, colon cancer, AOM, DSS, Balb/c mice
RINGKASAN
NUR FATHONAH SADEK. Pemberian Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench)
Menghambat Perkembangan Kanker Kolon pada Mencit Balb/c melalui Perbaikan
Lingkungan Mikro Kolon. Dibimbing oleh ENDANG PRANGDIMURTI, FRAN-
SISKA RUNGKAT ZAKARIA, dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan
sel yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali yang diawali dengan terjadinya
mutasi genetik. Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi di dalam atau
permukaan usus besar. Penyebab terjadinya kanker kolon lebih banyak terkait
dengan pola makan yang salah. Oleh karena itu, pola diet sehat yang
direkomendasikan mampu mencegah terjadinya kasus kanker kolon adalah diet
rendah lemak dan kolesterol, konsumsi buah, sayur, serta serealia dengan
kandungan serat yang tinggi. Sorgum merupakan salah satu jenis serealia yang
tidak hanya mengandung serat pangan, namun juga sejumlah senyawa fitokimia
yang mampu berperan sebagai antioksidan.
Pemanfaatan sorgum di Indonesia masih sangat kurang. Sorgum hanya
dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat di daerah Gunung Kidul ketika
masa paceklik. Terkait dengan potensi sorgum, penelitian ini bertujuan untuk
melihat pengaruh pemberian tepung sorgum dengan derajat sosoh 50% terhadap
kemampuannya dalam menghambat perkembangan kanker kolon pada mencit
Balb/c. Adapun parameter penghambatan kanker kolon tersebut dapat dilihat
profil histopatologi organ hati, ginjal, dan kolon; penurunan pH feses,
peningkatan jumlah dan perubahan profil asam lemak rantai pendek isi sekum,
aktivitas enzim β-glucoronidase, serta keberadaan CD4 sebagai penanda
permukaan sel Th dan enzim kaspase-3 pada kolon.
Tahapan awal penelitian adalah pemeliharaan mencit Balb/c sebanyak 32
ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok. Pembagian kelompok dilakukan
berdasarkan adanya induksi Azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat
(DSS), serta penambahan tepung sorgum pada komposisi ransum. Kelompok K-
merupakan kelompok mencit kontrol negatif dengan ransum standar (sumber
karbohidrat 100% maizena), tanpa induksi AOM-DSS. Kelompok K+ merupakan
kelompok kelompok mencit kontrol negatif dengan ransum standar (sumber
karbohidrat 100% maizena), dengan induksi AOM-DSS. Kelompok S50
menggunakan sumber karbohidrat 50% maizena dan 50% tepung sorgum,
sedangkan kelompok S100 menggunakan sumber karbohidrat 100% tepung
sorgum. Kelompok S50 dan S100 merupakan kelompok mencit perlakuan dengan
induksi karsinogen yang sama.
Evaluasi kemampuan penghambatan perkembangan kanker kolon oleh
sorgum secara makroskopis menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum
mampu meningkatkan konsumsi ransum rata-rata pada kelompok S50 (3,19 ±
0,24b gram/ ekor/ hari) dan S100 (3,41
± 0,28
c gram/ ekor/ hari) dibandingkan
kelompok K+ (2,51 ±0,31a
gram/ ekor/ hari), serta tidak mempengaruhi
penampakan fisik dan tingkah laku mencit kelompok S50 dan S100. Hal ini
menunjukkan komponen tanin pada sorgum varietas Kawali (0,7%) masih dalam
batas yang tidak mengganggu selera makan mencit, sehingga mampu
memperbaiki kondisi distress akibat induksi karsinogen.
Secara histopatologis, pemberian sorgum juga mampu memperbaiki profil
hati dan ginjal mencit, mencegah terjadinya hiperplasia sel-sel kolon, serta
menunjukkan tingkat inflamasi kelompok S50 (1,50 ± 0,53b) dan S100 (1,13 ±
0,64b) yang lebih rendah dibandingkan kelompok K+ (3,67 ± 0,52
c). Aktivitas
spesifik (as) dan aktivitas total (at) enzim β-glucoronidase kelompok S50 (as :
11,32 ± 2,55b
nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at : 343,29 ± 62,05b
nmol PP/
sekum/ menit) dan S100 (as : 10,79 ± 3,72b
nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at
: 247,46 ± 76,49ab
nmol PP/ sekum/ menit) secara signifikan mengalami
penurunan dibandingkan kelompok K+ (as : 21,45 ± 6,36c
nmol PP/ mg protein
sekum/ menit, at : 504,48 ± 128,64c
nmol PP/ sekum/ menit). Selain itu,
pemberian sorgum juga mampu meningkatkan ekpresi enzim kaspase-3
(kelompok S50 : 2,80 ± 0,84
b; S100 : 2,80
± 1,10
b) dibandingkan kelompok K+
(1,20 ± 0,45
a).
Adapun penurunan pH feses, total asam lemak rantai pendek, dan total
butirat secara berturut-turut pada S100 (7,46 ± 0,35a ; 18,324 µmol/g; 2,754
µmol/g) lebih tinggi dibandingkan kelompok S50 (7,70 ± 0,34
ab ; 14,996 µmol/g;
2,608 µmol/g) dan K+ (7,97 ± 0,16b
; 7,423 µmol/g; 0,313 µmol/g). Hanya saja
pemberian sorgum tidak mampu meningkatkan ekspresi CD4 secara signifikan
pada kelompok S50 (2,33 ± 1,03
ab) dan S100 (2,67
± 0,82
b) dibandingkan
kelompok K+ (1,67 ± 1,63
ab). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemberian
sorgum pada ransum kelompok S100 lebih baik dalam menghambat
perkembangan kanker kolon pada mencit Balb/c yang diinduksi AOM-DSS
dibandingkan pada kelompok S50. Hal ini menandakan bahwa konsumsi sorgum
dengan derajat sosoh 50% sebagai 100% sumber karbohidrat sangat baik untuk
dikonsumsi.
Potensi penghambatan karsinogenesis kolon diduga akibat adanya fungsi
protektif dari serat pangan dan komponen fenolik pada sorgum. Serat pangan yang
difermentasi oleh bakteri asam laktat di dalam kolon menghasilkan asam lemak
rantai pendek yang akan mengasamkan lingkungan kolon. Hal ini akan
mempengaruhi aktivitas enzim yang dihasilkan bakteri. Selain itu, asam butirat
sebagai hasil fermentasi diduga mampu memberikan efek antiinflamatori serta
efek antiproliferatif dan apoptosis pada sel-sel kanker. Adanya komponen bioaktif
pada sorgum dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat mencegah terjadinya
pengikatan metabolit reaktif dengan DNA. Komponen fenolik pada sorgum juga
diduga mampu mengindunksi terjadinya apoptosis sel-sel kanker melalui
gangguan pada sistem perbaikan rantai ganda DNA.
Kata kunci : sorgum, kanker kolon, AOM, DSS, mencit Balb/c.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PEMBERIAN SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) MENGHAMBAT
PERKEMBANGAN KANKER KOLON PADA MENCIT BALB/c
MELALUI PERBAIKAN LINGKUNGAN MIKRO KOLON
NUR FATHONAH SADEK
F251100141
Thesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi
Dr. Ir. Nancy Dewi Yuliana, M.Sc.
Judul : Pemberian Sorgum (Sorghum Bicolor L. Moench) Menghambat
Perkembangan Kanker Kolon pada Mencit Balb/c melalui Perba-
ikan Lingkungan Mikro Kolon
Nama : Nur Fathonah Sadek
NRP : F251100141
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si
Ketua
Prof. Dr. Fransiska R. Zakaria, M.Sc
Anggota
Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, PhD, APVet.
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 27 Juli 2012 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji hanya kepada Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya yang
selalu dilimpahkan sehingga karya ilmiah yang berjudul “Pemberian Sorgum
(Sorghum Bicolor L. Moench) Menghambat Perkembangan Kanker Kolon pada
Mencit Balb/c melalui Perbaikan Lingkungan Mikro Kolon” berhasil diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada:
1. Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing,
Prof. Dr. Fransiska R. Zakaria, M.Sc dan Prof. drh. Bambang P.
Priosoeryanto, MS, PhD, APVet. Sebagai anggota komisi pembimbing
yang selalu dengan sabar dan bijaksana memberikan bimbingan, motivasi,
dan bantuan bahan penelitian sehingga penulis memperoleh kemudahan
dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ir. Nancy Dewi Yuliana, M.Sc selaku penguji luar komisi atas
masukan yang membangun.
3. Departemen Pertanian melalui program KKP3T tahun 2009
4. Orang tua dan mertua tercinta, Ibunda Eko Pratiwiningsih, Ayahanda Sadi,
Umi Emim Umimah (Almh), dan Bapak Ebo Basari Soemantri atas segala
kasih sayang, dukungan, dan doa yang tulus.
5. Suami tercinta Mas Asep Safari dan adik bayi atas kasih sayang, doa,
pengertian, dan dukungan tanpa henti.
6. Adik tersayang Moch. Sulthon Fathoni Sadek, keluarga besar
Banyuwangi, Bogor, dan Kuningan atas doa dan dukungannya.
7. Bu Yuszda K. Salimi atas kerja sama dan suka duka selama melakukan
penelitian.
8. Staf laboratorium dan administrasi, Pak Adi, Bu Sri, Mbak Vera, Pak
Rojak, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Taufik, Mbak Arie, Mbak Mar, Pak
Wahyudin, Pak Kasnadi, Mbak Kiki, dan Mbak Selin atas bantuan selama
menyelesaikan penelitian dan studi.
9. Teman-teman Ilmu Pangan angkatan 2010, Mbak Gadiz, Mbak Zahra,
Nita, Mbak Yati, Pak Salim, Rangga, Mbak Komang, Mbak Fitri, Mbak
Elok, Mbak Tanti, Pak Cecep, dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, atas dukungan, motivasi, serta tempat berbagi
suka dan duka selama menyelesaikan studi S2.
10. Mencit-mencitku atas pengorbanannya demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2012
Nur Fathonah Sadek
F251100141
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 23 Januari 1988 sebagai
anak sulung dari pasangan Sadi dan Eko Pratiwiningsih. Penulis menempuh
pendidikan sekolah dasar di Banyuwangi, sedangkan pendidikan sekolah
menengah pertama dan sekolah menengah atas diselesaikan di Jember. Pada tahun
2006, penulis mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
menyelesaikan program sarjana di jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian pada tahun 2010. Selanjutnya penulis berkesempatan untuk
melanjutkan program magister pada program studi Ilmu Pangan IPB pada tahun
yang sama. Selama mengikuti pendidikan program magister, penulis pernah
menjadi asisten praktikum Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan untuk
program sarjana.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxiii
I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
1.3 Hipotesis........................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5
2.1 Sorgum ............................................................................................ 5
2.1.1 Tanaman Sorgum .................................................................... 5
2.1.2 Komposisi Kimia Sorgum ....................................................... 8
2.1.3 Serat Pangan pada Sorgum ...................................................... 10
2.1.4 Komponen fitokimia sorgum .................................................. 11
2.1.5 Pemanfaatan Sorgum .............................................................. 14
2.2 Kanker ............................................................................................ 15
2.3 Kanker Kolon................................................................................... 18
2.4 Peranan Serat Pangan terhadap Kesehatan Kolon ......................... 22
2.4.1 Pembentukan Asam Lemak Rantai Pendek ............................ 27
2.4.2 Aktivitas Enzim β-glucoronidase ............................................ 29
2.4.3 Aktivitas Enzim Caspase-3 ..................................................... 31
2.4.5 Keberadaan Penanda Permukaan CD4 (Sel T helper) ............ 32
2.4.6 Peranan Fitokimia Sorgum terhadap Pencegahan Kanker Ko-
lon .............................................................................................
34
III. METODOLOGI ................................................................................... 37
3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................... 37
3.2 Bahan dan Alat ............................................................................... 37
3.3 Persiapan Ransum .......................................................................... 38
3.4 Penanganan Mencit Balb/c ............................................................ 39
3.5 Pengambilan Organ dan Persiapan Sampel ................................... 40
3.6 Analisis Aktivitas Enzim β-glucoronidase....................................... 41
3.7 Pengukuran Asam Lemak Rantai Pendek Isi Sekum ...................... 41
3.8 Pengukuran pH Feses ...................................................................... 42
3.9 Pembuatan Preparat Histologi......................................................... 42
3.10 Pengamatan Histolopatologi Organ Hati, Ginjal, dan Kolon
melalui Pewarnaan Hemaksilin-Eosin (HE)................................
43
3.11 Analisis keberadaan penanda permukaan sel Th (CD4) dan
Kaspase-3 dengan pewarnaan Imunohistokimia (IHK) ..............
45
3.12 Analisis Data ................................................................................ 50
IV. PEMBAHASAN 51
4.1 Kondisi Mencit Percobaan ............................................................. 51
4.2 Evaluasi Histopatologi Organ Mencit dengan Pewarnaan Hema-
toksilin-Eosin (HE) ........................................................................
57
4.2.1 Histopatologi Jaringan Hati .................................................. 58
4.2.2 Histopatologi Jaringan Ginjal ............................................... 60
4.2.3 Histopatologi Jaringan Kolon ............................................... 62
4.3 Nilai pH Feses dan Profil Asam Lemak Rantai Pendek (ALRP)
Isi Sekum .......................................................................................
67
4.4 Aktivitas Enzim β-glucoronidase ................................................... 73
4.5 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel T Helper (CD4)
dan Enzim Kaspase-3 pada Kolon dengan Pewarnaan
Imunohistokimia (IHK) .................................................................
78
4.5.1 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel Th (CD4) .... 79
4.5.2 Evaluasi Keberadaan Penanda Enzim Kaspase-3 ................ 84
4.6 Dugaan Penghambatan Perkembangan Kanker Kolon oleh
Sorgum ..........................................................................................
89
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 91
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 91
5.2 Saran ............................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 93
Lampiran 107
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Komposisi kimia sorgum varietas kawali ................................... 9
Tabel 2 Komposisi fitokimia sorgum ....................................................... 12
Tabel 3 Mekanisme serat pangan dalam mencegah kanker kolon ........... 23
Tabel 4 Efek imunomodulator dari berbagai jenis serat pangan .............. 24
Tabel 5 Pola pembentukan asam lemak rantai pendek dari fermentasi
beberapa jenis karbohidrat oleh bakteri fekal manusia secara in
vitro dan in vivo ...........................................................................
28
Tabel 6 Komposisi ransum standar AIN 1993 yang dimodifikasi ........... 38
Tabel 7 Komposisi ransum kelompok kontrol dan perlakuan ................. 39
Tabel 8 Pembagian kelompok mencit balb/c kontrol dan perlakuan ....... 40
Tabel 9 Konsumsi ransum rata-rata dan selisih berat badan pada setiap
kelompok mencit selama perlakuan ..........................................
54
Tabel 10 Berat relatif organ ....................................................................... 57
Tabel 11 Pengujian penanda kolitis pada kolon mencit dengan
pewarnaan HE .............................................................................
63
Tabel 12 Hasil pengukuran pH feses kelompok mencit ............................. 69
Tabel 13 Hasil pengukuran asam lemak rantai pendek (ALRP) isi sekum
kelompok mencit .........................................................................
70
Tabel 14 Aktivitas enzim β-glucoronidase pada kelompok mencit ........... 75
Tabel 15 Skor penanda CD4 pada kolon dengan pewarnaan IHK ............. 83
Tabel 16 Skor penanda kaspase-3 pada kolon dengan pewarnaan IHK .... 84
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Tanaman dan biji sorgum ..................................................... 5
Gambar 2 Struktur biji sorgum ............................................................. 7
Gambar 3 Warna biji sorgum berdasarkan lama penyosohan .............. 9
Gambar 4 Struktur kimia β (1,3)(1,4) - D – glukan .............................. 10
Gambar 5 Skema tahapan karsinogenesis ............................................. 16
Gambar 6 Skema karsinogenesis kanker kolon .................................... 19
Gambar 7 Metabolisme azoksimetana (AOM) ..................................... 21
Gambar 8 Grafik konsumsi ransum pada setiap kelompok mencit ..... 52
Gambar 9 Grafik kenaikan berat badan pada setiap kelompok mencit 53
Gambar 10 Organ mencit pada setiap kelomopok mencit ...................... 56
Gambar 11 Fotomikrograf jaringan hati mencit ..................................... 60
Gambar 12 Fotomikrograf jaringan ginjal mencit .................................. 62
Gambar 13 Fotomikrograf jaringan kolon mencit .................................. 64
Gambar 14 Fotomikrograf jaringan kolon mencit kelompok B .............. 65
Gambar 15 Perkiraan model penghambatan kanker oleh komponen
bioaktif sorgum ................................................................... 66
Gambar 16 Fermentasi serat pangan pada kolon manusia ...................... 68
Gambar 17 Reaksi scavanger dan quencher dari komponen fenolik .... 80
Gambar 18 Pengujian penanda CD4 pada kolon mencit dengan
pewarnaan IHK menggunakan antibodi anti-CD4 ...............
82
Gambar 19 Fotomikrograf kolon mencit dengan histopatologi IHK
menggunakan antibodi anti-Kaspase-3 ................................
85
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Komposisi mineral pada ransum mencit Balb/c ................ 109
Lampiran 2 Data proksimat kasein dan sorgum sosoh 50% 109
Lampiran 3 Hasil analisa varian (Anova) konsumsi ransum mencit ..... 110
Lampiran 4 Hasil analisa varian (Anova) kenaikan berat badan mencit 111
Lampiran 5 Hasil analisa (Anova) berat relatif organ mencit ............... 112
Lampiran 6 Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda kolitis
pada mencit dengan pewarnaan HE ...................................
114
Lampiran 7 Hasil analisa varian (Anova) pH feses ............................... 115
Lampiran 8 Hasil analisis varian (Anova) aktivitas enzim β-glucoroni
dase .....................................................................................
116
Lampiran 9 Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda CD4 pa
da mencit dengan pewarnaan IHK .....................................
118
Lampiran 10 Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda Kaspase
-3 pada mencit dengan pewarnaan IHK .............................
119
ABSTRACT
NUR FATHONAH SADEK. Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Administra-
tion Inhibit Colon Cancer Development in Balb/c Mice through Improvement of
Colon Microenvironment. Under direction of ENDANG PRANGDIMURTI,
FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA, and BAMBANG PONTJO PRIOSOER-
YANTO.
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) contains dietary fibers and phenolic
compounds that have been shown to have inhibitory effect on colon cancer
development. The objectives of this research were to evaluate the effects of 50%
polished sorgum administration in mouse diet to observe colon cancer
development of AOM-DSS induced Balb/c mice. Male BALB/c mice (n = 32) were
divided into 4 groups of 8. The carbohydrate source of group K- and K+ was
cornstarch, for S50 group was 50% sorghum and 50% cornstarch, and for S100
group was 100% sorghum. Single intraperitoneal injection of AOM (10 mg/kg
body weight) and administration of 1% DSS in drinking water for 7 days was
conducted for colon carcinogenesis of group K+, S50, and S100. The results
showed that administration of sorgum (S50 and S100) could inhibit colon
carcinogenesis. Group S50 and S100 had lower β-glucoronidase activity and
higher expression of caspase-3. These results were supported by histopathological
profile improvement of colon, liver, and kidney, and also the diet consumption of
S50 and S100 that was higher than those of K+. In addition, S100 group had a
higher amount of fecal pH reduction, total short chain fatty acid, and total
butyrate than S50 and K+. However, sorgum administration in S50 and S100
groups did not statistically affect CD4 expression. These indicate that
administration of 100% sorgum in group S100 is better to protect against colon
cancer development than group S50.
Keywords : sorgum, colon cancer, AOM, DSS, Balb/c mice
RINGKASAN
NUR FATHONAH SADEK. Pemberian Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench)
Menghambat Perkembangan Kanker Kolon pada Mencit Balb/c melalui Perbaikan
Lingkungan Mikro Kolon. Dibimbing oleh ENDANG PRANGDIMURTI, FRAN-
SISKA RUNGKAT ZAKARIA, dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan
sel yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali yang diawali dengan terjadinya
mutasi genetik. Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi di dalam atau
permukaan usus besar. Penyebab terjadinya kanker kolon lebih banyak terkait
dengan pola makan yang salah. Oleh karena itu, pola diet sehat yang
direkomendasikan mampu mencegah terjadinya kasus kanker kolon adalah diet
rendah lemak dan kolesterol, konsumsi buah, sayur, serta serealia dengan
kandungan serat yang tinggi. Sorgum merupakan salah satu jenis serealia yang
tidak hanya mengandung serat pangan, namun juga sejumlah senyawa fitokimia
yang mampu berperan sebagai antioksidan.
Pemanfaatan sorgum di Indonesia masih sangat kurang. Sorgum hanya
dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat di daerah Gunung Kidul ketika
masa paceklik. Terkait dengan potensi sorgum, penelitian ini bertujuan untuk
melihat pengaruh pemberian tepung sorgum dengan derajat sosoh 50% terhadap
kemampuannya dalam menghambat perkembangan kanker kolon pada mencit
Balb/c. Adapun parameter penghambatan kanker kolon tersebut dapat dilihat
profil histopatologi organ hati, ginjal, dan kolon; penurunan pH feses,
peningkatan jumlah dan perubahan profil asam lemak rantai pendek isi sekum,
aktivitas enzim β-glucoronidase, serta keberadaan CD4 sebagai penanda
permukaan sel Th dan enzim kaspase-3 pada kolon.
Tahapan awal penelitian adalah pemeliharaan mencit Balb/c sebanyak 32
ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok. Pembagian kelompok dilakukan
berdasarkan adanya induksi Azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat
(DSS), serta penambahan tepung sorgum pada komposisi ransum. Kelompok K-
merupakan kelompok mencit kontrol negatif dengan ransum standar (sumber
karbohidrat 100% maizena), tanpa induksi AOM-DSS. Kelompok K+ merupakan
kelompok kelompok mencit kontrol negatif dengan ransum standar (sumber
karbohidrat 100% maizena), dengan induksi AOM-DSS. Kelompok S50
menggunakan sumber karbohidrat 50% maizena dan 50% tepung sorgum,
sedangkan kelompok S100 menggunakan sumber karbohidrat 100% tepung
sorgum. Kelompok S50 dan S100 merupakan kelompok mencit perlakuan dengan
induksi karsinogen yang sama.
Evaluasi kemampuan penghambatan perkembangan kanker kolon oleh
sorgum secara makroskopis menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum
mampu meningkatkan konsumsi ransum rata-rata pada kelompok S50 (3,19 ±
0,24b gram/ ekor/ hari) dan S100 (3,41
± 0,28
c gram/ ekor/ hari) dibandingkan
kelompok K+ (2,51 ±0,31a
gram/ ekor/ hari), serta tidak mempengaruhi
penampakan fisik dan tingkah laku mencit kelompok S50 dan S100. Hal ini
menunjukkan komponen tanin pada sorgum varietas Kawali (0,7%) masih dalam
batas yang tidak mengganggu selera makan mencit, sehingga mampu
memperbaiki kondisi distress akibat induksi karsinogen.
Secara histopatologis, pemberian sorgum juga mampu memperbaiki profil
hati dan ginjal mencit, mencegah terjadinya hiperplasia sel-sel kolon, serta
menunjukkan tingkat inflamasi kelompok S50 (1,50 ± 0,53b) dan S100 (1,13 ±
0,64b) yang lebih rendah dibandingkan kelompok K+ (3,67 ± 0,52
c). Aktivitas
spesifik (as) dan aktivitas total (at) enzim β-glucoronidase kelompok S50 (as :
11,32 ± 2,55b
nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at : 343,29 ± 62,05b
nmol PP/
sekum/ menit) dan S100 (as : 10,79 ± 3,72b
nmol PP/ mg protein sekum/ menit, at
: 247,46 ± 76,49ab
nmol PP/ sekum/ menit) secara signifikan mengalami
penurunan dibandingkan kelompok K+ (as : 21,45 ± 6,36c
nmol PP/ mg protein
sekum/ menit, at : 504,48 ± 128,64c
nmol PP/ sekum/ menit). Selain itu,
pemberian sorgum juga mampu meningkatkan ekpresi enzim kaspase-3
(kelompok S50 : 2,80 ± 0,84
b; S100 : 2,80
± 1,10
b) dibandingkan kelompok K+
(1,20 ± 0,45
a).
Adapun penurunan pH feses, total asam lemak rantai pendek, dan total
butirat secara berturut-turut pada S100 (7,46 ± 0,35a ; 18,324 µmol/g; 2,754
µmol/g) lebih tinggi dibandingkan kelompok S50 (7,70 ± 0,34
ab ; 14,996 µmol/g;
2,608 µmol/g) dan K+ (7,97 ± 0,16b
; 7,423 µmol/g; 0,313 µmol/g). Hanya saja
pemberian sorgum tidak mampu meningkatkan ekspresi CD4 secara signifikan
pada kelompok S50 (2,33 ± 1,03
ab) dan S100 (2,67
± 0,82
b) dibandingkan
kelompok K+ (1,67 ± 1,63
ab). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemberian
sorgum pada ransum kelompok S100 lebih baik dalam menghambat
perkembangan kanker kolon pada mencit Balb/c yang diinduksi AOM-DSS
dibandingkan pada kelompok S50. Hal ini menandakan bahwa konsumsi sorgum
dengan derajat sosoh 50% sebagai 100% sumber karbohidrat sangat baik untuk
dikonsumsi.
Potensi penghambatan karsinogenesis kolon diduga akibat adanya fungsi
protektif dari serat pangan dan komponen fenolik pada sorgum. Serat pangan yang
difermentasi oleh bakteri asam laktat di dalam kolon menghasilkan asam lemak
rantai pendek yang akan mengasamkan lingkungan kolon. Hal ini akan
mempengaruhi aktivitas enzim yang dihasilkan bakteri. Selain itu, asam butirat
sebagai hasil fermentasi diduga mampu memberikan efek antiinflamatori serta
efek antiproliferatif dan apoptosis pada sel-sel kanker. Adanya komponen bioaktif
pada sorgum dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat mencegah terjadinya
pengikatan metabolit reaktif dengan DNA. Komponen fenolik pada sorgum juga
diduga mampu mengindunksi terjadinya apoptosis sel-sel kanker melalui
gangguan pada sistem perbaikan rantai ganda DNA.
Kata kunci : sorgum, kanker kolon, AOM, DSS, mencit Balb/c.
1
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi di dalam atau permukaan
usus besar. Dari semua kasus kanker, penyakit ini menempati urutan ketiga yang
sering didiagnosa pada pria dan urutan kedua pada wanita. Pada tahun 2008
terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolon dengan tingkat mortalitas lebih dari
50% (Jemal et al. 2011). Di Indonesia, data dari Rumah Sakit Darmais Jakarta
menunjukkan terdapat sekitar 600 kejadian kanker kolon pada kurun waktu 1994-
2006 (Kastomo 2007). Prevalensi kejadian ini diperkirakan meningkat seiring
perubahan pola makan tradisional menjadi pola makan modern yang siap saji.
Faktor diet telah lama diketahui memegang peran penting dalam
pencegahan kanker kolon (Willet 2000). WCRF/AICR (1997) merekomendasikan
pola diet sehat yang mampu mencegah terjadinya kasus kanker kolon adalah diet
rendah lemak dan kolesterol, konsumsi buah, sayur, serta serealia dengan
kandungan serat yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh serat
pangan (Kim 2000) dan pati resisten (Leu et al. 2007) terhadap pencegahan
kanker kolon. Konsumsi serat ternyata berkorelasi negatif terhadap peluang
terjadinya kanker kolon dan rektum (Cassidy et al. 1994).
Serat pangan, terutama serat pangan yang larut, dan pati resisten memiliki
mekanisme yang serupa dalam pencegahan kanker kolon (Perrin et al. 2001).
Keduanya mampu meningkatkan volume feses, menurunkan waktu transit feses,
menurunkan pH pada lumen kolon, meningkatkan jumlah bakteri baik dalam
kolon, dan mengurangi metabolisme asam empedu primer menjadi asam empedu
sekunder yang merupakan salah satu promotor terjadinya kanker kolon. Serat
pangan difermentasi oleh mikroflora kolon dan menghasilkan asam-asam lemak
rantai pendek (asam butirat, asam propionat, dan asam asetat) serta gas-gas (CO2,
CH4, dan H2) (Leu et al. 2007 ). Asam butirat, diketahui memiliki efek fisiologis
terhadap integritas dan fungsi epitelial kolon, serta berpotensi kemoprotektiv
melalui berbagai mekanisme, misalnya menghambat proliferasi dan meningkatkan
apoptosis sel-sel kanker (Zobel 2005).
2
Asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari fermentasi serat pangan
akan mengasamkan lingkungan usus, sehingga akan mempengaruhi aktivitas
enzim-enzim yang dihasilkan bakteri. β-glucoronidase merupakan salah satu
enzim yang diproduksi oleh bakteria kolon, terutama oleh Eschericia coli dan
Clostridium perfringens. Jenab dan Lilian (1996) menyatakan bahwa aktivitas β-
glucoronidase memiliki peranan penting dalam perkembangan kanker kolon.
Aktivitas enzim ini diketahui lebih tinggi pada penderita kanker dibandingkan
individu sehat (Fujisawa dan Mori 1997). β-glucoronidase menghidrolisis
konjugat metilazoksimetanol-glukoronida, yang merupakan produk konjugasi
hasil detoksifikasi oleh hati dan bersifat non karsinogen, dan melepaskan
karsinogen bebas berupa metilazoksimetanol bebas (Takada et al. 1982).
Metilazoksimetanol bebas tersebut akan terkonsentrasi pada mukosa kolon yang
selanjutnya dapat memicu perkembangan kanker. Adapun kadar enzim ini
dilaporkan meningkat seiring meningkatnya konsumsi protein dan lemak hewani,
serta menurun seiring meningkatnya konsumsi serat pangan (Shiau dan Chang
1983).
Watzl et al. (2005) juga menyatakan bahwa serat pangan mampu
meningkatkan sistem imun, yang mekanismenya lebih disebabkan oleh adanya
produksi asam butirat. Asam butirat diketahui mempunyai efek anti-inflamatori
(Cheung et al. 2002), apoptosis, dan aktivitas anti-proliferatif pada sel-sel kanker
(Andoh dan Fujiyama 2004; Lupton 2004). Asam butirat dapat meningkatkan
aktivitas enzim kaspase-3, yang merupakan salah satu jenis kaspase efektor yang
berperan dalam aktivasi proteolitik selama apoptosis (Foitzik et al. 2009) dan
menginduksi terjadinya perubahan karakteristik morfologis sel yang mengalami
apoptosis (Shi 2002).
Selain itu, Lim et al. (1997) juga menyatakan bahwa asam butirat hasil
fermentasi serat pangan juga mampu meningkatkan jumlah sel limfosit T pada
saluran pencernaan. Sebagian kecil dari sel kanker akan mengekspresikan antigen
kanker bersama MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, sehingga
dapat dikenali dan membentuk kompleks dengan limfosit T-helper (CD4). Hal ini
menyebabkan sel Th teraktivasi, terutama subset Th-1, untuk mensekresi limfokin
IFN-γ dan TNF-α yang mana keduanya akan merangsang antigen kanker untuk
3
lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC kelas I, sehingga akan lebih
mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel T-sitotoksik (CD8) (Delves dan Roitt
2000a). Adapun pemberian 5% pektin pada tikus percobaan mampu
meningkatkan proporsi sel Th pada mesenteric lymph nodes (Lim et al. 1997).
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) termasuk golongan serealia yang
berpotensi sebagai sumber serat pangan. Biji sorgum dilaporkan mengandung
serat total sekitar 7,6 – 9,2% (Laroche dan Michaud 2006). Sebagian serat pangan
pada sorgum berupa serat pangan tidak larut, terutama selulosa, yakni sebesar 6,5
- 7,9%. Selain itu, sorgum juga mengandung serat pangan larut berupa β-glukan
sebesar 1,1 - 2,3% (Smith dan Richard 2000). Adapun β-glukan diketahui mampu
mencegah terjadinya penyakit degeneratif, termasuk kanker kolon (Laroche dan
Michaud 2006). Selain memiliki kandungan β-glukan, sorgum juga mengandung
berbagai komponen bioaktif, seperti senyawa fenolik, sterol, dan polistanol yang
dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan, termasuk kemampuan antikanker
kolon (Dykes dan Rooney 2007). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Awika et
al. (2009) yang menunjukkan adanya korelasi aktivitas antioksidan dan
antiproliferasi sel kanker kolon HT-29 oleh ekstrak sorgum yang mengandung
tanin.
Salah satu jenis sorgum lokal yang telah banyak diteliti adalah sorgum
varietas Kawali. Pemberian sorgum Kawali yang disosoh 20 detik pada tikus
percobaan terlihat mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan, terutama
superoksida dismutase (SOD) sebesar 98% pada tikus yang diberi 50% tepung
sorgum dan peningkatan sebesar 91% pada tikus yang diberikan 100% tepung
sorgum, serta mampu meningkatkan proliferasi limfosit (Puspawati 2009).
Ekstrak sorgum Kawali juga telah dikaji kemampuannya dalam menghambat
proliferasi sel kanker Hela, A549, HCT 116, dan Raji secara in vitro, serta
menurunkan ekspresi enzim COX-2 secara in vivo (Salimi 2012). Dalam
penelitian ini akan dipelajari kemampuan tepung sorgum dalam menahan
perkembangan kanker kolon melalui pengujian terhadap aktivitas enzim β-
glucoronidase, profil asam lemak rantai pendek isi sekum, profil histopatologi
organ kolon, hati, dan ginjal, serta adanya penanda permukaan sel Th (CD4) dan
4
enzim kaspase-3 pada mencit Balb/c yang diinduksi AOM (azoxymethane) dan
DSS (dextran sodium sulphate).
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Mempelajari pengaruh pemberian sorgum terhadap aktivitas enzim β-
glucoronidase pada mencit Balb/c.
b. Mempelajari pengaruh pemberian sorgum terhadap profil asam lemak rantai
pendek pada isi sekum mencit Balb/c.
c. Mempelajari pengaruh pemberian sorgum terhadap profil histopatologi organ
kolon, hati, dan ginjal mencit Balb/c.
d. Mempelajari pengaruh pemberian sorgum terhadap adanya penanda permukaan
CD4 dan enzim kaspase-3 pada dinding kolon mencit Balb/c.
1.3 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
a. Tepung sorgum mampu menurunkan pH kolon melalui produksi asam-asam
lemak rantai pendek yang akan menurunkan aktivitas enzim β-glucoronidase.
b. Tepung sorgum mampu memperbaiki profil histopatologi organ kolon, hati,
dan ginjal mencit Balb/c yang diinduksi kanker kolon
c. Tepung sorgum mampu memberikan efek anti-inflamatori serta efek
antiproliferatif dan apoptosis terhadap sel-sel kanker.
d. Tepung sorgum mampu meningkatkan sistem imun pada saluran pencernaan,
melalui peningkatan jumlah sel limfosit T helper dan enzim kaspase-3.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai:
a. Kemampuan sorgum dalam mencegah perkembangan kanker kolon secara in
vivo menggunakan mencit Balb/c.
b. Potensi sorgum untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional pencegah
kanker kolon.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench)
2.1.1 Tanaman Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan salah satu jenis
serealia lokal yang berasal dari Afrika (Dicko et al. 2006). Biji sorgum
berbentuk bulat pipih dengan ribuan biji yang memiliki berat 25-55 gram.
Tanaman ini memiliki panjang daun 0,3-1,6 meter, lebar daun 1-13 meter,
tinggi 0-6 meter, dan umur tanam 4-5 bulan (Dicko et al. 2006). Biji sorgum
berbentuk butiran dengan ukuran 4,0 x 2,5 x 3,5 mm3. Berdasarkan bentuk
dan ukuran bijinya, sorgum dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu biji
berukuran besar (24-35 mg), sedang (12-24 mg), dan kecil (8-10 mg).
Tanaman dan biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 1. Mudjisihono dan
Suprapto (1987) mengklasifikasikan taksonomi sorgum sebagai berikut:
kingdom : plantae
kelas : monocotyledon
famili : gramineae
genus : sorghum
spesies : Sorghum bicolor L. Moench
Gambar 1 Tanaman sorgum (Ditjentanpan 2006) dan biji sorgum (FAO 2011)
Di Indonesia, sorgum dikenal sekitar tahun 1925 di beberapa daerah
seperti Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Di daearah
Jawa, tanaman ini dikenal dengan nama cantel atau orean yang umumnya
digunakan sebagai tanaman tumpang sari (Mudjisihono dan Suprapto 1987).
6
Sorgum di dunia dikenal dengan nama great millet atau guinea corn (Afrika
Barat), dura (Sudan), kaoliang (Cina), morokhosi (Jepang), milo atau milo-
maizena (Amerika Serikat), jowar (India), serta kafferkoren, soedrangas,
suikergierst, atau suiker-sorghum di Belanda (Dicko et al. 2006).
Areal penanaman sorgum di dunia berdasarkan data statistik FAO
(2005) sebesar 80% berada di daerah Afrika, Asia, dan Amerika, seperti
Nigeria, Sudan, Amerika, Argentina, Meksiko, India, Cina, Thailand, dan
Indonesia. Di Indonesia, daerah penghasil sorgum berdasarkan data dari
Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2006) adalah Jawa Barat, Jawa Timur,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Jawa Barat
sorgum banyak dibudidayakan di daerah Sukabumi, Indramayu, Garut,
Cirebon, dan Ciamis. Di Jawa Tengah budidaya sorgum dilakukan di Brebes,
Demak, dan Wonogiri, sedangkan di DI Yogyakarta banyak terdapat di
Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Daerah pembudidayaan sorgum di
Jawa Timur berada di Pacitan, Lamongan, dan Sampang, sedangkan di NTT
berada di Kupang, Ende, Manggarai, Flores Timur, Sumba, dan Alor.
Biji sorgum memiliki tiga bagian utama, yaitu lapisan luar (outer layer)
yang terdiri atas perikarp dan testa, endosperma (storage tissue), dan germ
(embryo). Bagian lapisan luar merupakan 7,3 - 9,3% dari berat biji. Perikarp
terdiri atas tiga lapisan, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Epikarp
adalah bagian terluar yang tersusun atas dua atau tiga lapisan memanjang, ada
yang mengandung pigmen. Mesokarp merupakan lapisan tengah dan cukup
tebal, berbentuk poligonal, serta mengandung sedikit granula pati. Endokarp
tersusun atas sel yang menyilang yang dan berbentuk tabung. Di bawah
lapisan perikarp terdapat kulit biji atau testa. Testa adalah jaringan tipis antara
perikarp dan endosperma (Lorenz dan Karel 1991).
Pada lapisan perikarp terdapat komponen fenolik dan granula pati,
sedangkan pada bagian testa hanya mengandung komponen fenolik (misalnya
tanin). Di bawah lapisan testa merupakan endosprema yang beratnya sekitar
84% dari berat biji. Bagian ini terdiri atas aleuron, endosperma luar (periferal
endosperm), endosperma tengah (corneus endosperm), dan lapisan
endosperma dalam (floury endosperm). Aleuron yang melapisi bagian terluar
7
endosperma mengandung banyak mineral, vitamin arut air, enzim autolitik,
minyak, protein, serta asam fitat. Sebaliknya pada bagian endosperma luar,
tengah, dan dalam banyak terdapat pati dan protein. Komponen utama pada
biji sorgum adalah pati yang tersimpan dalam bentuk granula yang terdapat
pada bagian endosperma. Pada bagian endosperma dan perikarp terdapat
terdapat pula arabinosilan, β-glukan, vitamin, dan mineral (Waniska 2000 dan
Shiringani 2005).
Bagian germ merupakan 1,8 - 12,1% dari berat biji yang terdiri atas
bagian embryonic axis dan scutellum. Menurut Shiringani (2005) sebagian
besar bagian ini merupakan minyak, protein, enzim, dan mineral. Bagian
lembaga juga mengandung asam lemak tidak jenuh, seperti asam linoleat, dan
non starch polysacharida (Dicko et al. 2006). Adapun struktur biji sorgum
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur biji tanaman sorgum (Dicko et al. 2005)
Biji sorgum tertutup sekam dengan warna coklat muda, krem, dan putih
tergantung varietasnya (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Varietas sorgum di
Indonesia cukup banyak, seperti cempaka, birdfroof, katengu, No.46, No.6C,
UPCA-S2, UPCA-S1, KD4, keris, badik, hegari, genjah, mandau, sangkur,
numbu, dan kawali (Direktorat Serealia 2006). Perbedaan varietas ini akan
8
menunjukkan sifat fisik dan karakteristik kimia yang berbeda pada bijinya,
yang mana sifat fisik dari biji sorgum akan ditentukan dari warna kulit
luarnya (Nyachoti et al. 1997).
Warna perikarp sering dikaitkan dengan kandungan tanin. Osuntogun
(1989) mengelompokkan sorgum ke dalam empat golongan berdasarkan
kandungan taninnya. Golongan pertama adalah sorgum putih dengan
kandungan tanin 0,25 - 0,46%, sorgum kuning dengan kandungan tanin 0,25 -
0,30%, sorgum krem dengan kandungan tanin 0,26 - 0,67%, dan sorgum
merah dengan kandungan tanin 0,45 - 2,92%.
Nyachoti et al. (1997) juga mengelompokkan sorgum berdasarkan tipe
genetik yang berkaitan dengan warna sorgum. Sorgum tipe I merupakan
sorgum yang tidak memiliki warna atau tanin pada bagian testa, yang mana
kandungan taninnya kurang dari 0,25%. Sorgum tipe II merupakan sorgum
yang memiliki warna pada testa dengan gen resesif (ss-) dangen B1-B2, serta
memiliki kandungan tanin sebesar 0,5 - 1,5%. Sorgum tipe III merupakan
sorgum yang memiliki warna pada perikarp dengan gen yang dominan (S_)
dan gen B1-B2, serta memiliki kandungan tanin sebesar 0,5 – 6%. Sorgum
tipe III yang memiliki kandungan tanin yang tinggi akan berwarna lebih gelap
dibandingkan sorgum tipe I dan II.
Sorgum tinggi tanin adalah sorgum yang memiliki kandungan tanin
sebesar 10,0 - 68,0 mg/g berat bahan, sedangkan sorgum rendah tanin hanya
memiliki kandungan tanin sebesar 0,5 - 3,8 mg/g berat bahan (Awika dan
Rooney 2004). Rooney (2005) menyatakan bahwa sorgum dengan kandungan
tanin di bawah 0,6% baik untuk digunakan sebagai produk pangan.
Kandungan tanin hingga 10% pada bahan pangan belum menimbulkan
adanya masalah kesehatan, walaupun sudah mengurangi penyerapan nutrisi.
Adanya tanin dalam bahan pangan sebesar 5 – 30 % diketahui akan
menimbulkan masalah dalam efisiensi penyerapan nutrisi (Osuntogun 1989).
2.1.2 Komposisi Kimia Sorgum
Kandungan pati biji sorgum pada bagian endosperma adalah sebesar
83%, pada bagian lembaga sebesar 13,4% dan 8,3% pada bagian kulit biji.
9
Kandungan pati tersebut bervariasi antara 68 – 73%. Pati biji sorgum beras
(non-waxy sorghum) mengandung 25% amilosa dan 75% amilopektin,
sedangkan pada biji sorgum ketan (waxy sorghum) kandungan patinya
sebagian besar merupakan amilopektin dan 1-2% sisanya adalah amilosa
(Suprapto dan Mudjisihono 1987).
Kandungan lemak pada biji sorgum berkisar antara 2,1 - 4,3%, namun
rata-rata 3,6%. Distribusi lemak meliputi asam linoleat 49%, asam oleat 31%,
asam palmitat 14%, asam linolenat 2,7%, dan asam stearat 2,1%. Lemak
terdapat pada bagian lembaga, perikarp, dan aleuron yang jumlahnya sebesar
3 - 5%. Bagian lembaga mengandung lebih dari 79% lemak dari biji sorgum
(Rooney et al. 1992).
Tabel 1 Variasi komposisi kimia sorgum varietas kawali pada lama sosoh
yang berbeda
Komposisi kimia (% bk) Lama sosoh
0 detik 20 detik 60 detik
Air 12.53 12.42 12.03
Protein 8.91 8.59 7.49
Lemak 4.14 1.98 1.61
Abu 1.36 0.83 0.28
Karbohidrat(by difference) 73.06 76.18 78.58
Serat pangan:
a. Serat pangan larut 2.39 2.52 2.59
b.Serat pangan tidak larut 6.44 4.23 3.53
c. Serat pangan total 8.83 6.75 6.12
Pati dan gula (available carbohydrate) 64.23 69.43 72.47
Sumber : Salimi (2012)
Gambar 3 Warna biji sorgum berdasarkan lama penyosohan
0 detik 20 detik 60 detik
10
Protein dalam biji sorgum sama seperti protein serealia lainnya, yang
terdiri atas albumin, globulin, prolamin, dan glutein. Protein biji sorgum
dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu protein dalam lembaga
dan protein dalam endosperma. Kandungan protein lembaga (18,9% bk) lebih
tinggi dibandingkan kandungan protein dalam endosperma (12,3% bk).
Kandungan protein sorgum pada berbagai varietas di Indonesia berkisar 6 –
10%. Asam amino yang terkandung dalam sorgum antara lain alanin, asam
aspartat, glutamat, leusin, isoleusin, fenilalanin, tirosin, dan valin (Suprapto
dan Mudjisihono 1987).
Penelitian ini menggunakan sorgum varietas Kawali. Varietas ini
banyak dibudidayakan di daerah sentral sorgum, seperti Jawa dan Lombok.
Adapun komposisi kimia sorgum varietas kawali dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan data dari tabel terlihat bahwa semakin lama waktu penyosohan
akan semakin menurunkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam sorgum
(Salimi 2012).
2.1.3 Serat Pangan pada Sorgum
Biji sorgum memiliki kandungan serat total sekitar 7,6-9,2%. Campuran
polisakarida seperti pentosan sebesar 2,6-5,2% dari bobot biji kering terdapat
dalam perikarp dan lembaga. Lapisan luar sorgum juga kaya akan selulosa,
hemiselulosa, dan β-glukan (Waniska 2000).
Gambar 4 Struktur kimia β (1,3)(1,4)-D-glukan (Laroche & Michaud 2006)
β-glukan merupakan rantai panjang molekul polisakarida yang tersusun
dari monomer glukosa dengan ikatan β-glikosida. β-glukan yang diektraksi
dari serealia tersusun atas ikatan 1,3 dan 1,4 glikosidik. Perbedaan β-glukan
11
dengan komponen dinding sel, seperti selulosa dan lignin, menyebabkan β-
(1,3)(1,4) glukan sangat larut air, sehingga dikelompokkan sebagai serat
pangan larut air (soluble dietary fibre) (Laroche dan Michaud 2006). Adapun
Gambar struktur kimia β-glukan dapat dilihat pada Gambar 4. Keberadaan β-
glukan pada sorgum sebagian besar berada di bagian dinding sel endosperma
dan sub aleuron (Laroche dan Michaud 2006). Menurut Tosh et al. (2004), β-
glukan yang diisolasi dari sorgum memiliki berat molekul 3,6 x 104 g/mol.
β-glukan merupakan komponen karbohidrat polisakarida non pati (non
starch polisaccaride, NSP), yang memiliki peranan dalam pencegahan
penyakit degeneratif, seperti diabetes dan kanker. β-glukan dapat berperan
sebagai prebiotik yang mampu melindungi tubuh dari resiko kanker kolon. β-
glukan difermentasi menghasilkan metabolit yang bersifat protektif. Asam
lemak rantai pendek, terutama asam butirat, sebagai hasil fermentasi dapat
menstimulasi apoptosis pada alur sel kanker kolon (Gibson dan Roberfroid
1995).
2.1.4 Komponen Fitokimia Sorgum
Sorgum mengandung komponen fitokimia yang menguntungkan bagi
kesehatan, seperti tanin, komponen fenolik, antosianin, fitosterol, dan
polikosanol (Awika dan Rooney 2004). Komposisi fitokimia sorgum terbagi
atas dua golongan yaitu asam fenolik dan flavanoid yang dapat dilihat pada
Tabel 2.
Asam fenolik terdapat dalam bentuk bebas dan terikat pada lapisan luar
biji perikarp, testa, dan aleuron. Asam fenolik terdiri atas dua golongan, yaitu
hidroksibenzoat atau turunan sam benzoat dan hidroksinamat atau turunan
asam sinamat. Asam fenolik yang paling banyak terdapat pada sorgum adalah
jenis hidroksinamat seperi asam ferulat dan asam p-kaumarat (Dykes et al.
2005).
Senyawa fenolik memiliki aktivitas biologis, seperti antialergi,
antiinflamasi, antimikroba, antioksidan, antitrombotik, dan kardioprotektif
(Aberoumand dan Deokule 2008). Aktivitas antioksidan senyawa antioksidan
di dalam tubuh ditentukan oleh struktur molekul, jumlah, dan posisi gugus
12
hidroksil pada cincin aromatis, serta keberadaan elektron tidak berpasangan
pada senyawa intermediet fenolik yang yang terlibat delokalisasi elektron
(Lugasi et al. 2003). Asam fenolik yang terikat umumnya membentuk sulfat
konjugat atau berikatan membentuk ikatan disulfida dengan sulfat dan
glukoronat seperti asam ferulat berikatan dengan arabinosilan. Asam ferulat
tersebut dapat dihidrolisis menjadi asam ferulat bebas di dalam tubuh
sehingga memiliki kapasitas antioksidan. Proses hidrolisis atau perubahan
sulfat konjugat tersebut dikatalisis oleh aktivitas enzim fenolsulfotransferase
(Manach et al. 2005).
Tabel 2 Komposisi fitokimia sorgum
Komponen Fitokimia Jumlah (µg/g bk)
Asam hidroksi benzoat :
ρ-hidroksibenzoat 15-36
Gallat 24-46
Protokatekin 24-141
Vanilin 8-50
Asam hidroksinamat :
ρ-kaumarat 100-200
Kafeat 25-52
Ferulat 300-500
Sinapat 50-140
Flavonoid :
Antosianin 0-2800
3-deoksiantosianidin 0-4000
Flavan-4-ol 0-1300
Proantosianidin 0-68000
Sumber : Awika dan Rooney (2004) dan Dicko et al. (2006)
Flavonoid adalah kelompok terbesar dari fenolik dengan kapasitas
antioksidan yang kuat (Aberoumand dan Deokule 2008). Flavonoid terdiri
atas antosianin, flavanol, flavon, flavanon, dan flavanol. Flavonoid termasuk
kelompok benzo-γ-piron dengan struktur umum difenilpropan yang terdiri
atas dua cincin aromatis yang dihubungkan oleh tiga atom karbon membentuk
heterosiklik teroksigenasi (Filipiak 2001).
13
Sorgum mengandung tanin kondensat polimer flavan-3-ol dengan berat
molekul 500 dalton atau lebih. Keberadaan tanin dilaporkan dapat
menghambat kandungan nutrisi. Tanin merupakan senyawa senyawa fenolik
yang larut dalam air. Menurut Von Elbe dan Schwartz (1996), tanin memiliki
kemampuan berikatan dengan protein, serta polimer lainnya seperti
polisakarida. Tanin merupakan polimer dari flavonoid. Sebagian besar
serealia mengandung tanin yang terkondensasi yang bentuk dasarnya berada
dalam bentuk katekin (condensed tanin).
Keberadaan tanin dalam biji sorgum telah lama diketahui dapat
mengganggu fungsi asam-asam amino dan protein. Senyawa polifenol dan
dan hasil oksidasinya diketahui dapat bereaksi dengan protein. Hasil reaksi
ini akan menghasilkan (1) ikatan hidrogen antara gugus OH pada tanin
dengan gugus reseptornya, misalnya NH, SH, dan OH pada protein; (2) ikatan
ion antara gugus anion pada tanin dengan gugus kation pada protein; (3)
ikatan cabang kovalen antara kuinon dan bermacam-macam gugus reaktif
pada protein (Suprapto dan Mudjisihono 1987).
Di sisi lain, tanin merupakan salah satu fitokimia pada sorgum yang
dapat memberikan manfaat kesehatan bagi manusia. Tanin sorgum dapat
berperan sebagai antioksidan, bahkan beberapa dedak sorgum memiliki
aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas antioksidan
pada buah blueberry, plum, dan strawberry (Awika et al. 2004). Berdasarkan
penelitian Awika et al. (2004) diketahui bahwa sorgum coklat paling
berpotensi sebagai sumber antioksidan dibandingkan sorgum hitam, sorgum
sumac, dan sorgum putih.
Komponen fenolik pada serealia dianggap sebagai komponen yang
paling berkontribusi terhadap kemampuan antioksidannya. Sorgum dan
barley merupakan dua serealia yang diketahui mengandung komponen
fenolik dalam jumlah yang signifikan (Dicko et al. 2002). Penelitian yang
dilakukan oleh Kamath et al. (2004) menunjukkan bahwa ekstrak tepung
sorgum memiliki kemampuan menangkal radikal DPPH secara signifikan.
14
2.1.5 Pemanfaatan Sorgum
Sorgum merupakan serealia yang dapat tumbuh di berbagai keadaan
lingkungan. Sorgum memiliki daya adaptasi yang luas, tahan terhadap
kekeringan, memiliki produktivitas yang tinggi, serta lebih tahan hama dan
penyakit bila dibandingkan dengan tanaman lain. Hal ini tentu saja menjadi
keunggulan sorgum, yang menjadikannya sangat potensial untuk
dikembangkan dan dibudidayakan, terutama di daerah-daerah kering di
Indonesia. Selain mudah dibudidayakan, sorgum juga mempunyai banyak
manfaat, seperti digunakan sebagai pakan ternak, bahan baku industri
makanan dan minuman, bahan baku untuk media jamur merang, industri
alkohol, bahan baku etanol, dan sebagainya (Ditjentanpan 2006).
Tidak seperti di Afrika, India, China, dan Amerika, pemanfaatan biji
sorgum di Indonesia sebagai bahan pangan masih sangatlah terbatas. Di luar
negeri, sorgum umumnya telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan
bubur, yang merupakan campuran sorgum, pear millet, maizena, dan serealia
lainnya. Bubur tersebut dikenal dengan nama ugali di Kenya, Uganda, dan
Tansania. Di Nigeria dan Ghana, bubur tersebut difermentasi menjadi produk
yang disebut dengan ogi. Afrika Utara juga mengenal couscous yang
merupakan bentuk granula hasil olahan pemansan pati sorgum. Selain itu,
sorgum telah dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan mie di China,
serta tortilla di Amerika (Leder 2004).
Di Indonesia, telah dilakukan beberapa penelitian mengenai
pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan. Napitupulu (2006) mencoba
memanfaatkan tepung sorgum sebagai bahan baku pembuatan biskuit marie
yang dapat dikatakan sebagai sumber antioksidan. Untuk mengatasi
ketergantungan akan beras yang tinggi, Adistya (2006) melakukan penelitian
untuk membuat nasi sorgum yang memiliki IG (Indeks Glikemik) rendah
yang cocok dikonsumsi untuk penderita diabetes. Selain itu, Sugianto (2011)
melakukan pengembangan sereal sarapan siap santap berbasis sorgum yang
menunjukkan respon penerimaan produk yang baik oleh konsumen. Produk
snack bar berbasis sorgum juga berhasil dikembangkan oleh Rufaizah (2011)
15
dengan mutu organoleptik yang disukai, memiliki serat pangan tinggi, serta
sebagai sumber Fe yang tepat untuk dikonsumsi remaja putri.
2.2 Kanker
Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena pertumbuhan sel
yang tidak normal dan berlangsung secara cepat. Jaringan kanker atau neoplasma
merupakan massa jaringan abnormal akibat pertumbuhan sel secara otonom, tidak
terkendali, tidak terkoordinasi, tidak mengikuti pola pertumbuhan normal, dan
berproliferasi (Priosoeryanto 1994). Proliferasi sel yang sangat cepat akan
menimbulkan terbentuknya benjolan pada organ yang disebut sebagai tumor.
Tumor yang terbentuk akan menyebabkan gangguan dan bersifat patologis.
Berdasarkan sifatnya, tumor dikelompokkan menjadi tumor benigna dan tumor
malignan. Tumor benigna adalah tumor yang tidak dapat berkembang menjadi
kanker, sedangkan tumor malignan adalah tumor yang dapat berkembang menjadi
kanker dan dapat menyebar ke organ di sekitarnya (Cotran et al. 1994).
Pertumbuhan sel yang tidak normal tersebut sangat dipengaruhi oleh
komponen genetik. Satu sel yang termutasi akan menghasilkan displasia, dimana
jaringan (organ) akan tampak berbeda dengan keadaan awalnya. Mutasi genetik
penyebab kanker dapat muncul karena faktor eksternal dan internal. Sekitar 85%
kejadian kanker disebabkan karena faktor eksternal melalui pola makan yang
salah, polusi udara, radiasi, serta bahan-bahan kimia asing yang masuk ke dalam
tubuh. Sisanya, kejadian kanker akibat faktor internal, yang diperkirakan
sebanyak 15%, terjadi akibat kesalahan replikasi pada saat sel-sel rusak
digantikan oleh sel-sel baru, atau kesalahan genetika yang diturunkan oleh orang
tua kepada anaknya (Zakaria 2001).
Faktor-faktor pemicu terjadinya penyakit kanker antara lain disebabkan
karena kebiasaan makan yang tidak seimbang, merokok, stress, serta paparan
sinar matahari yang berlebihan. Di dalam bahan pangan dapat terkandung
senyawa pemicu kanker . Senyawa pemicu kanker tersebut (karsinogen) yang
dapat muncul akibat adanya zat racun dalam bahan pangan itu sendiri, maupun
hasil kontaminasi mikroorganisme, hasil proses pengolahan pangan, bahan
tambahan pangan yang berbahaya, serta kontaminasi residu pestisida. Beberapa
16
jenis karsinogen yang ada dalam bahan pangan antara lain Polisiklik Aromatik
Hidrokarbon (PAH), komponen Azo- dari pewarna sintetis, komponen N-nitroso
seperti nitrosamin dan nitrosamida, serta mikotoksin (Rosenberg et al. 2009).
Adanya akumulasi karsinogen di dalam tubuh dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) yang merupakan awal
terjadinya penyakit kanker. Neoplasma selanjutnya akan terbentuk akibat adanya
gangguan pertumbuhan dengan karakteristik sel yang berlebihan, abnormal, dan
berproliferasi secara tidak terkontrol dari jaringan yang mengalami transformasi
pada satu atau lebih tempat utama dalam tubuh inang. Kejadian tersebut seringkali
Senyawa karsinogen
Karsinogen utama
Perubahan DNA
Sel tumor laten
Pembentukan tumor
Tumor sangat ganas
Metastasis tumor
Reaksi detoksifikasi
Detoksifikasi selular
Perbaikan DNA
Aktivitas metabolik
Berikatan dengan DNA,
inisiasi
Replikasi
Promosi
Progresi
Gambar 5 Skema tahapan karsinogenesis (Levi 2000)
(konjugasi, dsb)
(berikatan dengan
nukleofil yang lain, dsb)
(DNA repair)
17
disertai dengan metastasis atau penyebaran pada bagian lain tubuh inang
(Priosoeryanto et al. 1994).
Perubahan sel normal menjadi sel kanker terjadi melalui beberapa tahapan
karsinogenesis, yaitu inisiasi, promosi, progresi, dan metastasis. Tahapan
karsinogenesis dari suatu sel dapat dilihat pada Gambar 5. Tahapan ini dimulai
ketika terjadi perubahan gen dalam kromosom, dimana gen target adalah proto-
onkogen dan gen penekan tumor (Levi 2000). Proto-onkogen adalah gen yang
merangsang pembelahan sel, sedangkan gen penekan tumor adalah gen yang
menghalangi pembelahan sel. Adanya mutagen menyebabkan proto-onkogen
berubah menjadi onkogen. Onkogen adalah proto-onkogen yang tumbuh secara
tidak terkendali. Keadaan dimana kurangnya gen penekan tumor dan tingginya
aktivitas proto-onkogen seringkali menyebabkan terjadinya kanker (Hill dan
Petruci 2002).
Tahapan inisiasi merupakan tahap dimana senyawa pemicu kanker yang
masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan DNA dan menyebabkan terjadinya
mutasi. Tahapan inisiasi merupakan proses yang berlangsung cepat dan reversibel.
Sel yang terpapar karsinogen (inisiator) akan menjadi sel yang terinisiasi, yang
selanjutnya akan mengalami mutasi yang menghasilkan perubahan ekspresi gen
(Cotran et al. 1994).
Perubahan mutasi gen terjadi karena ekspresi protein berubah akibat
perubahan urutan DNA sel yang mengalami transformasi. Akibatnya terjadi
pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terkoordinasi, tidak terkendali, dan
pembelahan terjadi secara otonom. Tahapan ini bersifat reversibel dan disebut
dengan promosi (Cotran et al. 1994). Tahapan selanjutnya adalah progresi,
dimana tumor jinak tumbuh menjadi tumor yang sangat ganas, serta mengalami
perubahan genetik yang irreversibel (Levi 2000).
Proses penyebaran sel tumor ganas atau metastasis seringkali didahului
dengan invasi sel tumor ke jaringan sekitar. Invasi adalah proses penetrasi sel
tumor ke dalam jaringan yang berbeda dengan sel tumor tersebut. Sel tumor yang
bersifat invasif dan metastasis akan menghasilkan enzim protease untuk
penghancuran protein dari membran basalis. Proses penghancuran ini sangat
dipengaruhi oleh peran degradasi jaringan kolagen. Hal ini dikarenakan invasi
18
berkaitan dengan proses infiltrasi pada membran basalis yang terdiri atas jaringan
kolagen dan nonkolagen (Soejono et al. 2005).
Metastasis merupakan mekanisme multitingkatan, yang dimulai dengan
pelepasan sel tumor dari tumor primer, penetrasi ke jaringan sekitar, invasi ke
pembuluh darah limfatik dan pembuluh darah, hingga akhirnya menuju suatu
organ dimana tumor sekunder akan tumbuh. Pada tahapan ini, terjadi peredaran
metastase (koloni sel kanker) ke berbagai bagian tubuh. Metastase mengkoloni
jaringan baru, meningkatkan jumlah, dan ukurannya (sel yang bermigrasi akan
tetap mempertahankan sifat jaringan dimana dia diproduksi). Terjadinya
metastasis yang semakin meluas akan menyebabkan penyakit tumor yang semakin
sulit diobati dan menjadi buruk atau tidak dapat disembuhkan (Soejono et al.
2005).
2.3 Kanker Kolon
Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi di dalam atau permukaan usus
besar. Kebanyakan kanker kolon berawal dari sel yang tidak ganas yang disebut
adenoma yang dalam stadium awal membentuk polip (sel yang tumbuh sangat
cepat). Pada stadium ini, polip dapat diangkat dengan mudah. Adenoma seringkali
tidak menunjukkan gejala tertentu, sehingga tidak terdeteksi dalam waktu relatif
lama. Pada kondisi tertentu, adenoma tersebut dapat berpotensi menjadi kanker
yang dapat terjadi pada semua bagian kolon (Gryfe et al. 1997).
Kanker kolon berkembang dari rangkaian perubahan histologi yang nyata
dari adenoma menjadi karsinoma. Penelitian terakhir menjelaskan model
multitahap kanker kolon melalui jalur-jalur yang saling berkaitan, yang
melibatkan banyak mutasi gen. Gen-gen yang mengalami mutasi pada berbagai
tahap dari perkembangan kanker kolon meliputi gen suppresor tumor, proto-
onkogen, gen perbaikan DNA, gen faktor pertumbuhan dan reseptornya, gen
checkpoint siklus sel, serta gen yang berhubungan dengan apoptosis (Suzuki et al.
2006).
Mutasi pada salah satu gen tersebut sudah dapat menyebabkan inisiasi dan
transformasi sel epitel kolon normal. Akumulasi lebih lanjut dari mutasi gen yang
lain menyebabkan progresi yang mencapai adenoma dan karsinoma, yang
19
selanjutnya akan mencapai tahap metastasis. Selama terjadi akumulasi perubahan
genetik, sinyal kompleks terjadi pada jalur aktivasi dan inaktivasi sel. Beberapa
jalur sinyal menuju apopotosis yang kemudian hilang dari sel normal, sedangkan
beberapa diantaranya lolos dari proses seleksi dan bertahan diantara sel normal
sehingga terhindar dari apoptosis. Setelah terjadi ekspansi klonal, sel tunggal yang
mengalami modifikasi genetik berkembang menjadi sel tumor (Hamilton et al.
2000).
Adapun tahapan karsinogenesis kanker kolon dapat dilihat pada Gambar 6.
Perkembangan kanker kolon dimulai dengan perubahan pada gen APC
(Adenopoliposis Coli). Gen ini menyandikan suatu protein yang berfungsi sebagai
penekan tumor untuk mengatur pembelahan sel-sel epitel usus. Mutasi pada gen
APC menyebabkan kerusakan genetik yang menyebabkan aktivasi onkogen K-ras
dan hilangnya gen penekan tumor DCC dan p53, yang mengakibatkan
pembelahan sel yang tidak terkontrol (Powell et al. 1993).
Gambar 6 Skema karsinogenesis kanker kolon (Powell et al. 1993)
Faktor diet banyak dikaitkan dengan resiko kejadian kanker kolon, misalnya
tingginya konsumsi daging merah, rendahnya konsumsi sayur dan buah, serta diet
rendah serat. Penelitian yang dilakukan oleh Chao et al. (2005) menunjukkan
bahwa konsumsi daging merah lebih beresiko terhadap penyakit ini dibandingkan
konsumsi unggas dan ikan. Hal ini dikaitkan dengan efek sitotoksisitas dari
dietary heme yang berpotensi meningkatkan resiko kanker kolon, yang mana
20
jumlah heme pada daging merah lebih banyak dibandingkan pada unggas dan
ikan.
Heme meghancurkan mukosa kolon dan mestimulasi proliferasi epitelial
pada hewan percobaan. Konsumsi daging merah diketahui meningkatkan
konsentrasi senyawa-senyawa N-nitroso pada fekal dan mengakibatkan DNA
adducts pada kolonosit manusia (Cross et al. 2003). Di sisi lain, konsumsi serat
pangan mampu menurunkan 40% resiko kanker kolon dibandingkan diet rendah
serat (Heavey et al. 2004).
Obesitas merupakan salah satu faktor penting terhadap kejadian kanker
kolon. Hal ini didasarkan pada tren yang terjadi di Amerika Serikat, bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara BMI (Body Mass Index) dengan resiko kanker
kolon. BMI merupakan rasio berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi
badan (dalam meter). Seseorang yang tergolong obesitas dengan BMI ≥ 30 kg/m2
mengalami peningkatan resiko perkembangan kanker kolon dibandingkan
seseorang dengan BMI normal, yaitu 18,5-24,9 kg/m2 (Nock et al. 2008).
Penelitian eksperimental mengenai karsinogenesis kolon pada manusia telah
dilakukan sejak 80 tahun yang lalu. Dalam mempelajari patogenesis dan
karsinogenesis kanker kolon, banyak digunakan mencit sebagai hewan coba.
Keuntungan mempelajari patogenesis kanker kolon yang diinduksi pada model
mencit percobaan, antara lain induksi berlangsung cepat, dapat diulangi
(reproducible), dan dapat menggambarkan proses perubahan adenoma ke
karsinoma yang terjadi pada manusia (Neufert et al. 2007).
Azoksimetana (AOM) merupakan karsinogen genotoksik kolon yang
banyak digunakan untuk investigasi terjadinya patogenesis dan modifikasi
karsinogenesis kolon pada rodensia (Hata et al. 2004). Untuk terjadinya proses
karsinogenesis, AOM membutuhkan aktivasi metabolik (Gambar 7). AOM
mengalami proses detoksifikasi di hati oleh enzim-enzim mikrosomal.
Cytochrome P450 (CYP) diketahui berperan penting dalam modulasi metabolisme
xenobiotik. CYP 2E1 adalah salah satu faktor penting dalam mengubah AOM
menjadi methylazoymethanol (MAM) melalui beberapa tahap N-oksidasi dan
hidroksilasi (Suzuki et al. 2006).
21
MAM selanjutnya dapat dioksidasi melalui reaksi alkilasi makromolekul
oleh ADH (Alcohol Dehidrogenase), enzim sitosol yang terdapat pada hati, ginjal,
dan kolon, yang selanjutnya menghasilkan radikal reaktif metildiazonium.
Metabolit reaktif ini bersifat elektrofilik yang mampu berkonjugasi dengan DNA,
menghasilkan metilasi basa DNA pada posisi O6 atau N
7 pada guanin (O
6-metil-
deoksiguanosin dan N7-metil-deoksiguanosin). Mukosa kolon menjadi target
AOM karena kestabilan dari metabolit hasil hidroksilasi MAM memiliki waktu
paruh sekitar 12 jam sehingga memiliki cukup waktu untuk berdistribusi ke kolon
(Roosenberg et al. 2009).
Gambar 7 Metabolisme azoksimetana (AOM) (Roosenberg et al. 2009)
Karsinogen lain yang digunakan dalam model percobaan kanker kolon
adalah Dekstran Sodium Sulfat (DSS). DSS, polisakarida sulfat sintesis,
merupakan karsinogen kolon yang nongenotoksik yang juga sering digunakan
untuk menyebabkan terjadinya peradangan (colitis) pada rodensia, yang
menujukkan model terjadinya ulcerative colitis pada manusia (Suzuki et al. 2006).
Kanker kolon sangat berkaitan dengan Inflamatory Bowel Disease (IBD),
termasuk ulcerative colitis dan penyakit Crohn. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa inflamasi mukosa kronis secara berulang akan menghasilkan tumorigenesis
melalui berbagai mekanisme, yaitu induksi mutasi, peningkatan proliferasi sel
22
kripta, perubahan metabolisme sel kripta, perubahan sirkulasi enterohepatik asam
empedu, dan mikroflora (Itzkowtz dan Yio 2004).
Perbedaan strain mencit percobaan diketahui memiliki sensitivitas yang
berbeda terhadap xenobiotik. Suzuki et al. (2006) melakukan percobaan untuk
menguji sensitivitas beberapa strain mencit terhadap induksi AOM/DSS. Induksi
AOM secara tunggal menunjukkan bahwa strain Balb/c dmerupakan strain yang
paling sensitif, sedangkan strain C3H, C57Bl/6J, dan DBA/2 kurang sensitif.
Strain Balb/c, C3H, dan C57Bl/6J merupakan strain yang cukup sensitif terhadap
pemberian DSS secara tunggal, sedangkan strain C57Bl/6J adalah strain yang
paling resisten. Induksi gabungan karsinogen AOM/DSS menunjukkan bahwa
urutan sensitivitas strain adalah Balb/c > C3H > C57BL/6N > DBA/2N.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting dalam
terjadinya resiko kanker.
2.4 Peranan Serat Pangan terhadap Pencegahan Kanker Kolon
Serat pangan diketahui memiliki efek fisiologis pada saluran pencernaan,
sehingga dapat memberikan efek protektif terhadap kanker. Secara umum serat
pangan dianggap hanya berperan paling aktif dalam usus besar, namun serat juga
mampu mempengaruhi hormon-hormon di atas saluran pencernaan (Slavin 2007).
Misalnya saja insulin yang selama ini diketahui sangat berhubungan dengan
penyakit diabetes, ternyata juga berkaitan dengan resiko kanker payudara dan
kanker kolon. Adapun mekanisme serat pangan dalam mencegah kanker kolon
dapat dilihat pada Tabel 3.
Mekanisme lain penghambatan kanker kolon oleh serat pangan juga telah
diteliti dengan menggunakan hewan percobaan. Reddy et al. (1989) melaporkan
bahwa konsentrasi asam empedu pada feses serta aktivitas mutagenik feses
menurun signifikan selama suplementasi dengan dedak bila dibandingkan kontrol.
Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa pasien kanker kolon
mengeksresikan lebih banyak asam empedu sekunder dan memiliki aktivitas
enzim 7-α-dehydroxylase yang dihasilkan oleh mikroflora dalam kolon yang lebih
tinggi dibandingkan individu yang sehat. Enzim 7-α-dehydroxylase mengubah
asam empedu primer, seperti asam kolat dan asam kenodeoksikolat, menjadi asam
23
deoksikolat dan asam litokolat. Penelitian secara in vitro dan in vivo menunjukkan
bahwa asam empedu sekunder tersebut dapat menyebabkan perubahan sel,
peningkatan kadar poliamin pada epitelial kolon, dan menjadi promotor terjadinya
kanker kolon (Reddy et al. 1996).
Tabel 3 Mekanisme serat pangan dalam mencegah kanker kolon
a. Meningkatkan volume feses
Menurunkan waktu transit
Melarutkan karsinogen
b. Berikatan dengan asam empedu dan karsinogen potensial lainnya
c. Menurunkan pH feses
Mencegah degradasi konstituen pangan normal menjadi karsinogen po-
tensial oleh mikroba
d. Merubah komposisi mikroflora
e. Fermentasi oleh fekal flora menghasilkan asam lemak rantai pendek
Menurunkan pH kolon
Penghambatan karsinogen
f. Meningkatkan antioksidan lumenal
g. Meningkatkan sensitivitas insulin
Sumber : Slavin (2007)
Trock et al. (1990) melakukan analisis terhadap 37 studi epidemiologi
mengenai pengaruh pemberian serat, sayuran, biji-bijian, dan buah-buahan secara
tunggal maupun campuran terhadap resiko terjadinya kanker kolon. Secara umum,
80% dari penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat efek perlindungan dari
serat pangan terhadap kanker kolon. Howe et al. (1992) menyatakan bahwa resiko
kanker kolon terlihat menurun seiring meningkatnya konsumsi serat pangan.
Konsumsi lebih dari 31 gram serat per hari akan setara dengan penurunan 50%
resiko kanker kolon bila dibandingkan dengan diet yang hanya mengandung
kurang dari 11 gram serat per hari. Resiko kanker kolon di Amerika Serikat
dierkirakan dapat diturunkan 31% dengan konsumsi serat sebanyak 13 gram per
hari.
24
Giovannucci (1995) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara resistensi
insulin dengan kasus kanker kolon. Diet kaya lemak dan energi, serta rendah
karbohidrat kompleks diperkirakan mampu menyebabkan resistensi insulin yang
berujung pada terjadinya hiperinsulinemia, hipertrigliseridemia, dan glikemia.
Keadaan ini akan meningkatkan resiko kanker kolon melalui efek pendukung
pertumbuhan (growth-promoting effect) dari insulin dan meningkatkan
ketersediaan energi. La Vecchia et al. (1997) berpendapat bahwa kanker kolon
juga berhubungan dengan diabetes mellitus pada studi kasus masyarakat Italia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dengan diabetes yang tidak
tergantung pada insulin (non-insulin-dependent) memiliki resiko terkena kanker
kolon yang sangat sedikit.
Komponen pangan dan produk pencernaannya sangat berkaitan dengan
sistem imun pada usus (gut-associated lymphoid tissue, GALT). Meskipun ada
beberapa zat gizi yang diketahui penting dalam perkembangan dan fungsi sistem
imun, potensi serat pangan terkait sistem imun masih belum banyak diketahui.
Adapun beberapa penelitian mengenai efek serat pangan terhadap sistem imun
dapat dilihat pada Tabel 4.
Hingga saat ini, mekanisme serat pangan dalam kaitannya dengan
peningkatan sistem imun masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat
beberapa hipotesis yang diharapkan mampu menjelaskan kaitan serat terhadap
fungsi imun. Mekanisme tersebut antara lain: adanya kontak langsung antara
bakteri asam laktat atau produk bakteri dengan sel-sel imun pada usus, adanya
produksi asam-asam lemak rantai pendek dari hasil fermentasi serat pangan, serta
modulasi pembentukan lendir (musin) (Schley dan Field 2002).
Karena konsumsi serat pangan dapat mempengaruhi mikroflora dalam
kolon, maka sering diasumsikan bahwa konsumsi serat pangan akan memiliki
efek yang sama dengan manfaat probiotik terhadap fungsi imun. Mekanisme
stimulasi imun diperkirakan disebabkan adanya kontak langsung antara bakteri
asam laktat di dalam kolon dengan sistem imun di dalam usus (gut-associated
lymphoid tissue, GALT). Sejumlah kecil bakteri asam laktat tersebut mampu
melewati epitel usus menuju ke Peyer’s patch yang akan menginduksi terjadinya
aktivasi sel-sel imun yang lainnya (Schiffrin et al. 1995). Mekanisme ini
25
ditunjang dengan adanya penelitian in vitro yang menunjukkan bahwa sel
makrofag mengalami peningkatan produksi nitrit oksida, H2O2, IL-6, dan TNF-α
setelah dikultur bersamaan dengan bifidobakteria (Park et al. 1999).
Tabel 4 Efek imunomodulator dari berbagai jenis serat pangan
Serat Diet/ serat
kontrol Subjek Efek imunitas Referensi
β-glukan oat 3
mg/ 48 jam
Diet tidak
spesifik
Mencit
C57BL/
6
me↑ sel pensekresi IFN-γ
dan IL-4 pada limpa dan
MLN
me↑ antigen spesifik IgA
usus
Yun et al.
1998
Campuran
oligofruktosa,
beet pulp, dan
gum arab (7-8
g/kg)
Selulosa 3-8
g/kg
Anjing
monrel
dewasa
me↑ sel CD8+ pada PP,
LP, IEL
Field et
al. 1999
Glukomannan,
cefur, laktulosa,
atau curdian 5
w/w
Selulosa 5
w/w
Tikus
Sprague
Dawley
me↑ sel IgA-positif pada
sekum (cefur, laktulosa)
Kudoh et
al. 1999
Guar gum,
pektin, atau
glukomannan 5
w/w
Selulosa 5
w/w
Tikus
Sprague
Dawley
me↑ IgA pada limpa dan
MLN (semua serat)
me↑ IgG pada limpa
(glukomannan, pektin)
dan MLN (semua serat)
me↑ serum IgA (semua
serat) dan IgM
(glukomannan)
Yamada
et al.
1999
Oligofruktosa
10 g/ hari
Selulosa 5
w/w
Anak
sapi
Veal
me↑ makrofag sekum dan
kolon
me↑ eosinofil granulosit
pada darah
Kaufhold
et al.
2000
Serat sugar beet
10 w/w
Diet bebas
serat
Tikus
Wistar
me↑ CD8+ IEL pada
kolorektal
Nagai et
al. 2000
Ket. : IEL : Intraephitelial Limphocytes, PP : Peyer’s Patches, MLN : Mesenteric
Lymph Nodes, Ig : Immunoglobulin, IFN Interferon, IL : Interleukin
Sumber : Schley dan Field (2002)
Selain mekanisme tersebut, ada pula pendapat dari peneliti lain yang
menyatakan bahwa bukan bakteri, melainkan substansi mikrobial dari bakteri
(antigen sitoplasmik, komponen dinding sel) yang mampu berpenetrasi ke dalam
epitel usus untuk mengaktifkan GALT (Takahashi et al. 1998; Tejada-Simon et
26
al. 1999). Komponen sitoplasmik dari bakteri juga dikatakan mampu memberikan
efek terhadap sistem imun, yakni meningkatkan produksi IgA oleh sel-sel Peyer’s
patch (Takahashi et al. 1998).
Produksi ALRP, terutama butirat, mampu menurunkan kebutuhan sel
epiteliel akan glutamin. Akibatnya, glutamin yang ada akan lebih banyak
dimanfaatkan oleh sel-sel lain, termasuk sel-sel imun (Jenkins et al. 1997).
Hipotesis ini didukung oleh pendapat Wu et al. (1991) yang menyatakan bahwa
glutamin merupakan sumber penting untuk sel limfosit.
Mekanisme fermentasi serat pangan terhadap fungsi imun juga diperkirakan
terjadi karena adanya produksi lendir. Adanya lendir yang menutupi saluran
pencernaan dapat mencegah penempelan dan translokasi bakteri pada dinding
usus (Katayama et al. 1997). Pada studi hewan model yang diberi serat pangan,
terlihat bahwa lendir yang diproduksi semakin banyak, yang selanjutnya akan
menurunkan insiden translokasi bakteri (Xu et al. 1998). Peningkatan produksi
lendir ini terjadi karena adanya penurunan pH akibat produksi ALRP. Hal ini
ditunjang penelitian Barcelo et al. (2000) yang menyatakan bahwa terjadi
stimulasi pelepasan lendir pada kolon tikus percobaan akibat adanya produksi
asam asetat dan butirat dari hasil fermentasi pektin, gum arab, dan selulosa.
Hanya saja jenis serat pangan mempengaruhi kemampuannya untuk dapat
difermentasi oleh bakteria kolon. Kemampuan terfermentasi dari polisakarida non
pati (non stacrh polysaccharide, NSP) sangat tergantung dari sifat fisikokimianya.
Serat pangan larut, seperti pektin dan β-glukan, dapat lebih mudah difermentasi
dibandingkan serat pangan tidak larut, seperti selulosa (Nyman dan Ang 1982).
CMC (Carboxymethyl Cellulose) merupakan selulosa yang telah dimodifikasi
dengan gugus karboksimetil (-CH2-COOH) yang terikat pada beberapa gugus
hidroksil dari monomer glukopiranosa yang membentuk tulang punggung
selulosa. CMC diproduksi dengan cara menggabungkan selulosa dengan larutan
NaOH. Selulosa alkali ini kemudian direaksikan dengan Na-monokloroasetat atau
asam monokloroasetat menghasilkan Na-CMC (yang sering dikenal sebagai
CMC) dan NaCl. Berbeda dengan turunan selulosa lainnya, CMC mengandung
garam karboksil yang membuatnya lebih mudah larut dalam air. CMC sebagai
27
turunan selulosa memiliki kemampuan terfermentasi oleh bakteria kolon yang
rendah (Metzler-Zebeli et al. 2010).
2.4.1 Pembentukan Asam Lemak Rantai Pendek (ALRP)
Fermentasi serat pangan pada saluran pencernaan akan memberikan
efek fisiologis yang paling penting dalam pencegahan kanker kolon.
Fermentasi karbohidrat di dalam kolon akan menghasilkan asam lemak
rantai pendek (ALRP) yang membantu menjaga integritas saluran
pencernaan (Topping dan Clifton 2001). Lebih dari 75% serat pangan
dipecah dalam usus besar, menghasilkan karbon dioksida, hidrogen,
methana, dan ALRP seperti butirat, propionat, dan asetat. Pola pembentukan
ALRP dari fermentasi beberapa jenis karbohidrat oleh bakteri fekal manusia
secara in vitro dan in vivo (sekum tikus) dapat dilihat pada Tabel 5.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Cummings dan
MacFarlane (1997), jika sekitar 20 gram serat difermentasi pada kolon
setiap hari, maka kurang lebih sebanyak 200 mM ALRP yang akan
diproduksi, jumlah tersebut meliputi 62% asetat, 25% propionat, dan 16%
butirat. Mekanisme penyerapan ALRP oleh kolon yakni melalui difusi pasif
dari asam yang tidak terionisasi menuju sel mukosa. ALRP merupakan
sumber energi bagi mukosa kolon dalam sistem respiratori. Pada sel kolon
manusia yang diisolasi, butirat dimetabolisme secara aktif menjadi CO2 dan
keton bodi, yang setara dengan konsumsi 80% oksigen oleh sel kolon.
Butirat hampir seluruhnya dimanfaatkan oleh mukosa kolon, sedangkan
asetat dan propionat masuk ke dalam sirkulasi portal.
Meskipun ALRP yang diserap dari kolon dapat digunakan sebagai
sumber energi, namun ALRP hanya berkontribusi sedikit (10%) dari total
energi yang dibutuhkan oleh individu sehat dengan diet Western. Mukosa
kolon mendapatkan energi dengan mengoksidasi ALRP dengan
kecenderungan butirat > propionat > asetat. ALRP yang dimetabolisme
kemudian masuk ke dalam portal darah hati (hepatic portal blood). Asam
asetat digunakan oleh hati untuk diubah menjadi Asetil-KoA, yang dapat
berperan sebagai prekursor lipogenesis serta menstimulasi glukoneogenesis
(Calusen dan Mortensen 1994).
28
Tabel 5 Pola pembentukan asam lemak rantai pendek (ALRP) dari
fermentasi beberapa jenis karbohidrat oleh bakteri fekal
manusia secara in vivo dan in vitro
Karbohidrat Komponen
penyusun
karbohidrat
Distribusi molar ALRP (%)
Model Asetat Propionat Butirat
Selulosa Glukosa 61 25 14 Tikus
61 20 19 In vitro 48 h
β-Glukan
(barley, oat)
Glukosa 69 15 15 Tikus
43 31 26 In vitro 24 h
Guar gum Mannosa,
galaktosa
62 27 11 Tikus
57 29 13 In vitro 24 h
Inulin Fruktosa 57 16 27 Tikus
51 14 35 In vitro 24 h
Laktosa Glukosa,
galaktosa
91 7 2 Tikus
80 13 7 In vitro 24 h
Pektin Asam ga-
lakturonat,
rhamnosa,
galaktosa,
arabinosa
80 13 7 Tikus
80 11 9 In vitro 24 h
Rafinosa Fruktosa,
glukosa
69 15 15 Tikus
63 12 25 In vitro 24 h
Pati Glukosa 53-73 13-25 8-28 Tikus
38-66 12-26 22-36 In vitro 24-
28 h
Sumber : Henningson et al. (2001)
Fermentasi karbohidrat di kolon juga diketahui mampu mempengaruhi
metabolisme karbohidrat. Barley yang mengandung karbohidrat tidak
tercerna yang tinggi mampu meningkatkan ketahanan terhadap glukosa pada
individu sehat, dibandingkan dengan beras yang hanya mengandung sedikit
karbohidrat tak tercerna. Efek ini terkait dengan peran asam propionat.
Propionat dimetabolisme dalam hati, serta diketahui mampu menghambat
glukoneogenesis dan meningkatkan glikolisis. Propionat juga dikatakan
29
mencegah kolesterogenesis di hati, sehingga mampu menurunkan
konsentrasi kolesterol plasma (Wolever 1995).
Butirat diketahui merupakan agen protektif paling penting dalam
pencegahan kanker kolon (Valazquez et al. 1996). Butirat memberikan
sumber energi utama bagi epetelial kolon normal dan menstimulasi
pertumbuhan mukosa kolon. Sebaliknya, butirat akan menghambat
pertumbuhan serta menginduksi terjadinya diferensiasi dan apoptosis alur
sel kanker kolon. Karena ALRP bersifat volatil, maka akan dengan mudah
diserap dari lumen. Akibatnya, ALRP akan mengasamkan saluran
pencernaan, yang akan menghambat perkembangan kanker kolon. Hal ini
dikarenakan perubahan pH dalam saluran pencernaan akan mempengaruhi
kelarutan metabolit serta aktivitas enzim-enzim yang dihasilkan oleh bakteri
(Fujisawa dan Mori 1997).
2.4.2 Aktivitas Enzim β-glucoronidase
Dari hasil studi populasi mengenai kejadian penyakit kanker kolon
diketahui bahwa populasi yang beresiko tinggi memiliki konsentrasi steroid
fekal netral dan asam yang lebih tinggi dibandingkan populasi beresiko
rendah. Pada populasi beresiko tinggi, steroid fekal tersebut cenderung
akan lebih banyak terdegradasi. β-Glucoronidase merupakan enzim yang
diproduksi oleh bakteria kolon, yang diketahui aktivitasnya yang lebih
tinggi pada pasien kanker kolon atau golongan dengan resiko kanker kolon
yang tinggi. Kelompok yang beresiko tinggi terkena kanker kolon tersebut,
antara lain : masyarakat Amerika dengan mixed Western diet serta pasien
polip adenoma (Ross dan James 1981).
Penelitian menggunakan hewan model menunjukkan pemberian inulin
pada tikus mampu menurunkan aktivitas β-glucoronidase pada mikrobiota
usus (Humblot 2004). Hasil penelitian lainnya menyatakan adanya korelasi
antara efek proteksi serat pangan terhadap terjadinya kanker kolon akibat
induksi karsinogen dengan menurunnya aktivitas β-glucoronidase. Rowland
(1998) menyatakan bahwa penggunaan kombinasi B. longum dan inulin
mampu menurunkan pembentukan kripta aberan (abberant crypt foci)
sebesar 59% pada tikus percobaan yang diinduksi azoxymethane.
30
Penggunaan kombinasi tersebut terlihat mampu menurunkan aktivitas β-
glucoronidase pada isi sekum tikus secara signifikan. Secara umum
dikatakan oleh Humblot et al. (2007) bahwa pada penderita kanker kolon
akibat rendahnya asupan serat terjadi peningkatan aktivitas β-glucoronidase
pada mikrobiota usus.
β-glucoronidase merupakan enzim yang penting dalam hidrolisis
glukoronida billirubin, produk konjugasi hasil detoksifikasi oleh hati dan
bersifat non karsinogen, melepaskan karsinogen bebas. Azoksimetana
(AOM) yang diinjeksikan secara intraperitoneal pada mencit selanjutnya
akan mengalami hidroksilasi oleh sistem monooksigenasi mikrosomal pada
hati. Cytochrome P450 (CYP) diketahui berperan penting dalam modulasi
metabolisme xenobiotik, dimana CYP 2E1 merupakan salah satu faktor
penting dalam mengubah AOM menjadi methylazoymethanol (MAM).
MAM yang terbentuk selanjutnya akan dikonjugasi dengan asam glukoronat
yang akan dikeluarkan ke usus bersama dengan asam empedu. MAM-
GlcUA (methylazoxymethanol-glucosiduronic acid atau methyl-
azoxymethanol glucuronide) sebagai produk hasil konjugasi dapat
dihidrolisis oleh β-glucoronidase yang akan menghasilkan MAM bebas. Hal
ini selanjutnya akan menyebabkan lokalisasi konsentrasi MAM bebas yang
tinggi pada mukosa kolon. MAM bebas selanjutnya dioksidasi melalui
reaksi alkilasi makromolekul oleh ADH (Alcohol Dehidrogenase), enzim
sitosol yang terdapat pada hati, ginjal, dan kolon, menghasilkan ion
alkylating methyl carbonium. Ion tersebut bersifat hidrofilik dan mampu
berkonjugasi dengan DNA. Terjadinya mutasi DNA tersebut merupakan
awal dari karsinogenesis kolon (Takada et al. 1982, Rosenberg et al. 2009).
Aktivitas enzim ini telah ditemukan pada beberapa bakteri usus,
seperti C. perfringens dan E. coli (Fujisawa dan Mori 1997). Penelitian pada
manusia menunjukkan bahwa aktivitas enzim ini lebih tinggi pada bagian
proksimal kolon (Takada et al. 1982). Pengukuran pada feses penderita
kanker kolon menunujukkan adanya aktivitas β-glucoronidase yang 12 kali
lebih tinggi dibandingkan kontrol yang sehat. Oleh karena itu, Jenab dan
31
Lilian (1996) menyatakan enzim ini memiliki peranan penting dalam
perkembangan kanker kolon.
2.4.3 Aktivitas Enzim Kaspase-3
Apoptosis merupakan kematian sel secara terprogram yang normal
terjadi untuk menyingkirkan sel-sel yang rusak. Terjadinya apoptosis
ditandai dengan adanya penggumpalan DNA, kondensasi, serta fragmentasi
isi sel. Hal ini menyebabkan fagositosis sel yang terjadi tanpa induksi
respon inflamasi. Baratawidjaja (2006) menyebutkan bahwa mekanisme ini
juga terjadi pada proses eliminasi sel-sel kanker.
Kaspase (cystein-dependent aspartate-specific proteases) merupakan
enzim sistein protease yang berperan utama dalam jaringan sinyal apoptosis.
Keberadaan enzim ini teraktivasi dalam sebagian besar peristiwa kematian
sel secara apoptotik. Kaspase memiliki aktivitas katalitik yang ditentukan
oleh residu sistein yang di dalamnya terdapat situs aktif pentapeptida yang
sangat awet, yaitu QACRG. Kaspase melepaskan substratnya secara spesifik
setelah residu aspartat (Asp) (Gewies 2003).
Kaspase disintesis dalam sel dalam bentuk zimogen inaktif, yang
disebut prokaspase. Hingga saat ini ditemukan 14 jenis kaspase pada
manusia, yang mana kaspase-11 dan kaspase-12 hanya ditemukan pada
mencit. Kaspase-1, kaspase-4, kaspase-5, kaspase-11, dan kaspase-12
berperan utama dalam aktivasi proteolitik sitokin proinflamasi, namun
mekanisme enzim-enzim tersebut dalam proses apoptosis masih belum
diketahui secara pasti. Selanjutnya kaspase-2, kaspase-3, kaspase-6,
kaspase-7, kaspase-8, kaspase-9, dan kaspase-10 telah diketahui berperan
penting dalam mesin sinyal apoptosis (Gewies 2003).
Kaspase-3 merupakan target biokimia dalam aplikasi sistem
pemisahan enzim apoptosis. Kaspase-3 merupakan salah satu jenis kaspase
efektor yang berperan dalam aktivasi proteolitik selama apoptosis, dengan
sasaran morfologis berupa perubahan ukuran inti sel. Berbeda dengan sel
yang sehat, sel yang mengalami apoptosis akan mengalami penyusutan
ukuran inti sel yang pada akhirnya akan terfragmentasi (Foitzik et al. 2009).
32
Induksi terjadinya apoptosis oleh produk fermentasi serat di dalam
kolon, yaitu asam butirat, merupakan salah satu mekanisme penting dalam
pencegahan kanker kolon (Medina et al. 1997). Pada tahap inisiasi
tumorigenesis asam butirat yang dihasilkan mampu meningkatkan apoptosis
melalui produksi Reactive Oxygen Species (ROS). Selain itu, asam butirat
juga mampu meningkatkan apoptosis pada tahap promosi karsinogenesis
melalui penurunan Mitochondrial Membran Potential (MMP),
meningkatkan aktivitas kaspase-3 dan translokasi sitokrom c dari
mitokondria, yang selanjutnya akan mengarah pada hancurnya DNA sel
terinfeksi kanker (Newton 2004).
2.4.3 Keberadaan Penanda Permukaan Sel Limfosit T helper (CD4)
Sel limfosit terdiri atas dua sel yang mampu membuat kekebalan,
yaitu sel B dan sel T. Sel B yang berkembang di sumsum tulang belakang
berperan dalam fungsi imunitas humoral, sedangkan sel T yang berkembang
di thymus berperan dalam fungsi imunitas seluler (Belanti 1993).
Sel T tidak mampu berdiferensiasi menjadi sel plasma, tetapi tumbuh
menjadi sel yang mampu menghasilkan faktor yang merangsang reaksi
perusakan seluler. Faktor-faktor ini meliputi faktor penghambat migrasi
(migration inhibiting factor, MIF), faktor sitotaktik yang mampu menciderai
segala macam jenis sel, interferon, interleukin, dan beberapa faktor lainnya.
Zat-zat ini sebagian akan dilepas pada interaksi antara limfosit tersensitasi
dengan antigen yang sesuai untuk menghancurkan sel asing (Kresno 1996).
Belanti (1993) menyatakan bahwa di dalam thymus sel T akan sangat
cepat membelah diri. Pembelahan ini tidak dipengaruhi oleh adanya antigen.
Dalam pendewasaannya, sel T berdiferensiasi menjadi tiga populasi yang
berbeda, yaitu sel T helper (Th), sel T supresor (Ts), dan sel T sitotoksik
(Tc). Sel Th berfungsi dalam mempermudah pembentukan antibodi, sel Ts
berfungsi menekan pembentukan antibodi, sedangkan sel Tc berfungsi
menghancurkan sel sasaran secara spesifik.
Sel T mengekspresikan reseptor sel T yang mampu mengenali antigen
asing yang dipresentasikan oleh molekul Major Histocompatibility Complex
33
(MHC) pada permukaan Antigen Presenting Cell (APC). Pada subpopulasi
sel T, adanya sel T helper (Th) diidentifikasi melalui keberadaan
glikoprotein membran CD4. Molekul CD4 mengenali antigen pada
kompleks bersama molekul MHC kelas II, yang umum ditemukan pada
APC makrofag dan sel-sel dendrit. Molekul CD4 mensekresikan sitokin
yang akan mengaktifkan sel B dan sel T lainnya yang terkait dengan sistem
imun non spesifik (innate) (Delves dan Roitt 2000a). Berdasarkan jenis
sitokin yang dihasilkan oleh molekul CD4, terdapat 4 jenis sel Th, yaitu
0,1,2, dan 3. Sel Th1 umumnya mempromosikan respon cell-mediated
inflammatory, sedang sel Th2 mensuport respon antibodi/humoral, akan
tetapi fungsi sel Th0 dan Th3 masih belum banyak diketahui (Delves dan
Roitt 2000b).
Sel Th (CD4) tidak bersifat sitotoksik bagi sel kanker, tetapi dapat
berperan dalam respon antikanker dengan memproduksi berbagai sitokin
yang diperlukan oleh sel Tc (CD8) menjadi sel efektor. Sel yang
mengandung kanker akan mengekspresikan antigennya bersama molekul
MHC I yang kemudian membentuk kompleks melalui TCR (T-cell
Receptor) dari sel T sitotoksik (sel T CD8) dan mengaktivasi sel Tc untuk
menghancurkan sel kanker tersebut. Namun, sebagian kecil dari sel kanker
akan mengekspresikan antigen kanker bersama MHC kelas II, sehingga
dapat dikenali dan membentuk kompleks dengan limfosit T helper (CD4).
Hal ini menyebabkan sel Th teraktivasi, terutama subset Th1, untuk
mensekresi limfokin IFN-γ dan TNF-α yang mana keduanya akan
merangsang antigen kanker untuk lebih banyak lagi mengekspresikan
molekul MHC kelas I dan sensitivitas sel kanker terhadap lisis oleh sel Tc.
Hal ini akan lebih mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel Tc (CD8) (Delves
dan Roitt 2000a).
Serat pangan mampu mempengaruhi sistem imun dalam usus melalui
pengambilan antigen dari saluran pencernaan oleh sel-M dari Peyer’s
patches kemudian dipresentasikan pada sel-sel imun (Samuelsen et al.
2011). Peyer’s patches merupakan kumpulan dari folikel limfoid yang
ditemukan pada mukosa dan sub mukosa usus halus. Patches ini
34
mengandung sel Th (CD4), sel Tc (CD8), sel B naif, sel plasma, makrofag,
dan sel dendritik. Di atas Peyer’s patches terdapat sel epitelial khusus yang
bernama sel-M yang bertugas mengendositosis, membawa, dan melepaskan
antigen dari saluran pencernaan menuju Peyer’s patches, dengan cara
presentasi antigen melalui Antigen Presenting Cell (APC) pada sel T dan sel
B (Schley dan Field 2002). Hal ini menghasilkan produksi sitokin lokal
yang meningkatkan jumlah sel T, sel B, antigen presenting cell, dan sel-sel
imun lainnya (Samuelsen et al. 2011).
2.5 Peranan Fitokimia Sorgum terhadap Pencegahan Kanker Kolon
Sorgum mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti senyawa
fenolik, sterol, dan polistanol. Sterol diketahui mampu menurunkan
penyerapan kolesterol, sedangkan polikostanol mampu menghambat sintesis
kolesterol endogenus. Komponen fenolik, didefinisikan sebagai senyawa
yang mengandung cincin benzen dengan satu atau dua grup hidroksil, yang
dibedakan atas dua kelompok, yaitu asam fenolik (turunan asam sinamat dan
dan benzoat) serta flavonoid (termasuk tanin dan antosianin). Adapun
senyawa-senyawa tersebut terkonsentrasi pada bagian dedak sorgum (Dykes
dan Rooney 2007).
Sorgum dapat dikelompokkan berdasarkan penampakan dan kadar
senyawa fenoliknya. Sorgum putih mengnadung sedikit fenol, yang sebagian
besar merupakan asam fenolik terikat yang teresterifikasi pada dinding sel.
Sorgum hitam mengandung kadar 3-deoxyanthocyanins tinggi, dengan
bentuk paling umum berupa apigenidin dan luteolinindin. 3-
deoxyanthocyanins memiliki dua cincin aromatik yang dapat menstabilkan
radikal bebas. 3-deoxyanthocyanins juga kekurangan grup hidroksil pada
posisi 3 sehingga mampu meningkatkan kestabilannya pada pH tinggi (Awka
et al. 2004). Sorgum coklat mengandung kadar tanin yang tinggi, sehingga
menimbulkan rasa sepat. Sorgum coklat dilaporkan memiliki aktivitas
antioksidan yang tinggi jika dibandingkan dengan sorgum non-tanin. Tanin
menunjukkan aktivitas antioksidan yang paling tinggi dibandingkan
antioksidan alami lain secara in vitro. Hal ini dikarenakan tanin memiliki
35
banyak cincin aromatik dengan grup hidroksil sehingga mampu menstabilkan
radikal-radikal bebas (Awika dan Rooney 2004).
Komponen fitokimia pada sorgum dilaporkan memiliki aktivitas
antioksidan, termasuk kemampuan antikanker. Komponen bioaktif tersebut
merupakan bentuk yang tidak larut dan terikat pada dinding sel tanaman
(Adom et al. 2004). Karena komponen dinding sel sulit untuk dicerna,
sehingga mampu bertahan melewati proses pencernaan hingga akhirnya
mencapai kolon. Terjadinya fermentasi serat pangan di dalam kolon akan
melepaskan komponen bioaktif yang memiliki aktivitas antioksidan.
Komponen antioksidan tersebut selanjutnya akan menjebak senyawa-
senyawa oksidatif, sehingga mampu berperan dalam menjaga kolon dari
terjadinya kanker (Vitaglione et al. 2004).
Awika et al. (2009) menyatakan adanya korelasi aktivitas antioksidan
dan antiproliferasi sel kanker kolon HT-29 oleh ekstrak sorgum yang
mengandung tanin. Tepung sorgum varietas Kawali dengan penyosohan 20
detik dilaporkan oleh Yanuar (2009) memberikan hasil berupa produk yang
dapat diterima oleh konsumen serta memiliki aktivitas antioksidan dan
imunomodulator yang tinggi. Secara in vivo, tepung sorgum varietas Kawali
yang disosoh selama 20 detik juga mampu meningkatkan enzim-enzim
antioksidan, terutama superoksida dismutase (SOD) sebesar 98% pada tikus
yang diberi 50% tepung sorgum dan peningkatan sebesar 91% pada tikus
yang diberikan 100% tepung sorgum (Puspawati 2009).
Lewis (2008) membandingkan berbagai jenis sorgum, yakni sorgum
putih, sorgum coklat, dan sorgum hitam terhadap pembentukan kripta aberan,
aktivitas antioksidan endogenus (superoksida dismutase, SOD; katalase,
CAT; glutathion peroksidase, GPx), serta indeks proliferatif dan apoptosis.
Hal ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh jenis komponen bioaktif,
karena ketiga jenis sorgum tersebut mengandung senyawa bioaktif utama
yang berbeda. Sorgum putih mengandung asam fenolik, sogum coklat
mengandung tannin, sedangkan sorgum hitam mengandung antosianin.
Hasil penelitian Lewis (2008) menunjukkan bahwa total jumlah kripta
aberan tampak paling rendah pada tikus yang diberi ransum sorgum coklat.
36
Dalam kaitannya dengan akvitas antioksidan endogenus, diet sorgum hitam
menunjukkan total aktivitas SOD yang paling tinggi, diet sorgum putih
paling meningkatkan aktivitas CAT, sedangkan semua jenis sorgum dapat
menekan aktivitas GPx. Indeks proliferasi yang paling rendah terlihat pada
tikus yang diberi sorgum hitam, sedangkan tikus yang diberi sorgum coklat
memiliki indeks apoptosis yang paling tinggi.
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan dan Kimia Pangan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB; Laboratorium Hewan Percobaan
Seafast Center IPB; Laboratorium Bagian Patologi, Departemen Klinik,
Reproduksi, dan Patologi (KRP), Fakulas Kedokteran Hewan IPB; dan Pusat
Penelitian Pengembangan Ternak Bogor. Penelitian dilakukan selama sepuluh
bulan, dari bulan Mei 2011 hingga Februari 2012.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian adalah biji sorgum
varietas Kawali, yang diperoleh dari petani di Gunung Kidul, Jawa Tengah. Pakan
standar terdiri atas kasein sebagai sumber protein, minyak kedelai sebagai sumber
lemak, Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebagai sumber serat, maizena dan
sukrosa sebagai sumber karbohidrat, multivitamin (vitamin mix), dan campuran
mineral (mineral mix). Vitamin mix (Fitkom) yang tiap tabletnya mengandung
vitamin A 1500 SI, tiamin 1 mg, riboflavin 0,5 mg, piridoksin 0,5 mg, niasin 10
mg, vitamin B 5 mg, asam folat 0,5 mg, vitamin B12 0,5 mg, vitamin C 25 mg,
vitamin B5 dan vitamin D2 150 SI. Adapun komposisi campuran mineral pada
ransum dapat dilihat pada Lampiran 1.
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih (Mus musculus)
galur (strain) Balb/c. Mencit yang digunakan berumur 2 hingga 2,5 bulan, dengan
berat rata-rata sebesar 17 gram. Mencit ini diperoleh dari Fakultas Anatomi
Patologi, Universitas Indonesia.
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain :
azoxymethane (AOM) (A5486, Sigma Aldrich), dextran sodium sulfat (DSS)
(D8906, Sigma Aldrich), NaCl isotonik, standar campuran asam asetat, propionat,
dan butirat (4-7056, Supelco), asam sulfat (H2SO4), asam sulfo 5 salisilat, Phosfat
Buffer Salin (PBS), Tri Kloro Asetat (TCA), Bovin Serum Albumin (BSA),
phenolphthalein β-D-glucuronide (77636, Sigma Aldrich), Hematoksilin, Eosin,
Antibodi monoclonal rabbit antihuman Caspase-3 (c9598, Sigma Aldrich),
38
Antibodi monoclonal rat antihuman CD4 (sc-70665, Santa Cruz Biotechnology,
Inc.), Antibodi sekunder goat antirabbit IgG HRP-linked antibody (7074, Cell
Signaling Technology), substrat DAB (diaminobenzidine), dan air destilata.
Alat perawatan dan pemeliharaan hewan percobaan adalah kandang plastik
dengan penutup kawat, wadah ransum dari bahan alumunium, botol minum, dan
timbangan mencit. Alat yang digunakan untuk analisis antara lain: neraca analitik,
peralatan bedah mencit, peralatan gelas, pH meter, Gas Chromatography (GC),
oven, spektrofotometer, mikropipet, vorteks, sentifuse, freezer suhu -20oC dan -
70OC, inkubator 37
oC, serta peralatan histopatologi dan imunohistokimia.
3.3 Persiapan Ransum
Komposisi ransum untuk kelompok kontrol dan perlakuan dengan sorgum
mengacu pada standar AIN 1993G (Tabel 6), yang dimodifikasi pada penggunaan
jenis serat, penambahan air, serta komposisi mineral dan vitaminnya (Reeves et
al. 1993). Perbedaan ransum perlakuan dengan ransum standar terletak pada
sumber karbohidrat. Sumber karbohidrat yang digunakan untuk kelompok kontrol
adalah maizena, sedangkan pada kelompok perlakuan digunakan tepung sorgum
untuk mensubstitusi atau mengganti maizena. Adapun tepung sorgum sosoh 50%
yang digunakan diperoleh dari penepungan biji sorgum yang disosoh selama 20
detik/200 gram menggunakan Satake polisher, kemudian ditepungkan
menggunakan disc mill dan disaring menggunakan saringan 60 mesh. Tabel 7
menunjukkan komposisi ransum untuk kelompok kontrol, sorgum 50%, dan
sorgum 100%. Adapun perhitungan ransum dilakukan dengan memperhitungkan
hasil analisis proksimat dari kasein dan sorgum sosoh 50% (Lampiran 2).
Tabel 6 Komposisi 100 gram ransum standar AIN 1993G yang dimodifikasi
Komponen Jumlah
Protein 20% (a)
Lemak 7% (b)
Serat 5% (c)
Mineral mix 3,5% (d)
Vitamin mix 1% (e)
Air 10% (f)
Sukrosa 10% (g)
Karbohidrat 100 - a - b – c – d – e - f - g
39
Tabel 7 Komposisi ransum kelompok kontrol dan perlakuan
Komponen (g) Kelompok mencit
K- K+ S50 S100
Sorghum 0,00 0,00 29,61 59,22
Protein (kasein) 23,13 23,13 20,85 18,58
Lemak (minyak kedelai) 6,84 6,84 6,68 6,51
Serat (CMC) 5,00 5,00 2,93 0,85
Mineral mix 2,58 2,58 2,36 2,14
Vitamin mix 1,00 1,00 1,00 1,00
Air 8,94 8,94 5,31 1,69
Sukrosa 10,00 10,00 10,00 10,00
Karbohidrat (maizena) 42,51 42,51 21,26 0,00
3.4 Penanganan Mencit Balb/c
Mencit diadaptasi selama satu minggu sebanyak 32 ekor, kemudian dibagi
menjadi empat kelompok (Tabel 8). Masing-masing kelompok terdiri atas 8 ekor
mencit. Mencit dikandangkan secara individual dalam ruangan ber-AC dengan
pengaturan gelap terang secara alami. Ransum dan air selama penelitian diberikan
secara ad libitum. Ransum sebanyak lima gram diberikan setiap pukul 14.00-
15.00.
Untuk menginduksi terjadinya kanker kolon, mencit Balb/c disuntik
intraperitoneal dengan azoksimetan (AOM) dengan dosis 10 mg/ kg berat badan.
Kelompok kontrol negatif tetap mendapatkan suntikan NaCl isotonik secara
intraperitoneal untuk menyeragamkan tingkat stress. Penyuntikan ini dilakukan
satu kali pada hari ke-1 perlakuan. Selanjutnya selama 7 hari berturut-turut air
minum kelompok kanker kolon ( K+, S50, dan S100) diganti dengan larutan
dekstran sodium sulfat (DSS) 1% secara ad libitum guna mempercepat terjadinya
kanker kolon. Setelah itu pemberian air minum kembali dilakukan seperti biasa
yakni menggunakan air minum dalam kemasan.
Pembersihan kandang dilakukan dua kali dalam seminggu ketika kondisi
kandang sudah terlihat basah. Penimbangan sisa ransum dilakukan setiap hari,
sedangkan penimbangan berat badan menggunakan timbangan mencit dilakukan
dua kali dalam seminggu, yang kemudian dihitung rata-rata konsumsi ransum dan
berat badan per minggu untuk melihat kesehatan dan pertumbuhan mencit.
40
Konsumsi ransum merupakan rata-rata konsumsi ransum kelompok mencit selama
perlakuan, sedangkan selisih kenaikan berat badan adalah berat badan mencit di
akhir perlakuan dikurangi berat badan mencit di awal perlakuan. Perhitungan
berat relatif organ merupakan pembagian dari berat organ dibagi dengan berat
badan mencit pada akhir perlakuan.
Tabel 8 Pembagian kelompok mencit Balb/c kontrol dan perlakuan
Kelompok Perlakuan
Kontrol negatif (K-) Ransum kontrol (100% maizena) + NaCl isotonik
(intraperitoneal; 1x)
Kontrol negatif (K+) Ransum kontrol (100% maizena) + AOM 10 mg/kg
(intraperitoneal; 1x) + DSS 1% (sebagai air minum,
7 hari)
Sorgum 50% (S50) Ransum perlakuan (50% maizena + 50% sorgum)
+ AOM (intraperitoneal; 1x) + DSS 1% (sebagai air
minum, 7 hari)
Sorgum 100% (S100) Ransum perlakuan (100% sorgum) + AOM 10 mg/kg
(intraperitoneal; 1x) + DSS 1% sebagai (air minum,
7 hari)
3.5 Pengambilan Organ dan Persiapan Sampel
Mencit Balb/c diterminasi secara dislocatio os cervical (cervical dislocatio)
yang dilakukan dengan steril dan cepat. Organ sekum diambil kemudian
ditimbang beserta isinya. Selanjutnya sekum dibelah untuk mendapatkan digesta
atau isinya. Isi sekum digunakan untuk analisis asam lemak rantai pendek dan
dapat disimpan pada suhu -20oC hingga siap dianalisis. Dinding sekum
dibersihkan dengan salin dingin, dikeringkan pada kertas saring, ditimbang,
kemudian segera dilakukan persiapan analisis β-glucoronidase. Sampel hati,
ginjal, dan kolon bagian distal juga harus diambil secara cepat untuk persiapan
preparat histologi. Untuk pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) digunakan sampel
hati, ginjal, dan kolon, sedangkan pewarnaan IHK (Imuno Histo Kimia)
digunakan sampel kolon.
41
3.6 Analisis Aktivitas Enzim β-glucoronidase
Aktivitas enzim β-glucoronidase dianalisis mengikuti prosedur Jenab dan
Lilian (1996) dengan modifikasi pada metode pengukuran kadar protein
supernatan. Sampel sekum sebanyak 0,5 gram dihomogenisasi dengan 10 ml PBS
pH 7,0 selama 30 detik. Ekstrak kemudian disonikasi selama 30 detik dan
disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit untuk
menghilangkan partikulat. Supernatan dikumpulkan dan disimpan pada 1 ml
aliquot pada -70oC hingga dianalisis. Sebelum dianalisis, ekstrak dicairkan selama
15 menit pada suhu ruang, selanjutnya 0,1 ml ekstrak diinkubasikan dengan 0,1
ml phenolphthalein β-D-glucuronide pada 0,8 ml PBS pH 7,0 selama tepat 1 jam
pada suhu 37oC. Setelah inkubasi, reaksi dihentikan dengan penambahan 2,5 ml
larutan glysin basa, 1,0 ml 5% larutan TCA, dan 1,5 ml air destilata. Pembentukan
warna akan berlangsung selama 10 menit yang selanjutnya diukur pada absorbansi
540 nm. Pelepasan phenolphthalein diperkirakan melalui kurva standar
phenolphthalein. Aktivitas spesifik dihitung sebagai nmol phenolphthalein yang
dilepaskan/mg protein sekum/menit, sedangkan aktivitas total β-glucuronidase
ditentukan sebagai nmol phenolphthalein yang dilepaskan/ sekum/menit. Kadar
protein pada supernatan dihitung menggunakan metode Bradford, dengan BSA
sebagai standar.
3.7 Pengukuran Asam Lemak Rantai Pendek Isi Sekum
Asam lemak rantai pendek isi sekum diukur mengikuti prosedur Filipek dan
Dvorak (2009) yang dimodifikasi pada tahapan persiapan sampel dan pengaturan
suhu detektor. Sebanyak 0,7 gram isi sekum dihomogenisasikan dengan 5 ml air
destilata. Dari campuran tersebut, dipipet 1 ml ke dalam ependorf lalu
ditambahkan H2SO4 (hingga pH 3-4) dan 0,003 gram asam sulfo 5 salisilat
dihidrat. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
12000 rpm pada suhu 7oC. Sebanyak 0,6 ml supernatan diinjeksikan ke dalam gas
chomatography, GC Chrompack CP 9002. Kondisi GC menggunakan detektor
Flame Ionization Detector (FID) dan kolom kapiler. Nitrogen digunakan sebagai
gas pembawa dengan kecepatan alir 30 ml/min. Suhu awal oven adalah 60oC, lalu
meningkat sebesar 20oC per menit hingga mencapai 200
oC. Suhu injektor adalah
42
250oC dan suhu detektor adalah 270
oC. Waktu injeksi sampel adalah 9 menit.
Standar asam lemak rantai pendek (ALRP) mengandung campuran asetat,
propionat, butirat, isobutirat, valerat, dan isovalerat. Kadar asam asetat, propionat,
dan butirat, serta total ALRP dinyatakan sebagai µmol/g sampel. Adapun sampel
yang dianalisis merupakan gabungan isi sekum dari semua mencit pada setiap
kelompok.
3.8 Pengukuran pH Feses
Perhitungan pH isi sekum dilakukan menggunakan pH meter. Sampel feses
sebanyak 0,7 gram dihomogenisasikan bersama 7 ml akuades menggunakan
vortex. Pengukuran pH feses mencit pada setiap kelompok dilakukan setiap hari
selama 7 hari berturut-turut sebelum mencit percobaan diterminasi.
3.9 Pembuatan Preparat Histologi
Preparat histologi dibuat mengikuti prosedur Kiernan (1990). Organ hati,
ginjal, dan kolon harus segera diambil untuk preparat histologis. Organ dicuci
dengan 0,9% NaCl fisiologis kemudian dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin
(dengan komposisi asam pikrat jenuh: formalin pro-analisis: asam asetat
glasial=15:5:1) selama 24 jam. Setelah organ terfiksasi, larutan diganti dengan
alkohol 70% yang dikenal sebagai stopping point dengan pengertian bahwa
jaringan dapat disimpan lama pada larutan ini.
Proses penarikan air dari jaringan (dehidrasi) dilakukan dengan alkohol
yang konsentrasinya bertingkat. Selanjutnya, jaringan dijernihkan dengan silol
(clearing) dan ditanam dalam parafin (embedding). Jaringan dalam blok parafin
disayat secara serial dengan microtom rotary. Kemudian, dilekatkan pada gelas
obyek disimpan dalam inkubator 40°C selama 24 jam. Setelah itu, sediaan dapat
diwarnai dengan berbagai macam prosedur pewarnaan sesuai dengan tujuan.
3.9.1 Prosedur Proses Dehidrasi Dan Infiltrasi
Dehidrasi adalah pengambilan air dari dalam jaringan secara perlahan-
lahan dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Sampel
dalam tissue basket dimasukkan ke dalam alkohol 70, 80, 90 dan 95%
masing-masing selama 1 atau 2 jam sampai overnight. Sampel dimasukkan
43
ke dalam alkohol absolut (absolut I, II, III) selama 20 menit sampai 1 jam
tergantung besar-kecilnya ukuran jaringan. Sampel dijemihkan dengan
merendam di dalam silol I, II dan III masing-masing selama 20 menit
hingga 1 jam tergantung besar-kecilnya ukuran jaringan. Pada xilol III
sampel dihangatkan pada suhu parafin cair. Sampel diinfiltrasi dengan
parafin (parafin I, II, III) pada suhu 65-70°C dalam inkubator masing-
masing selama 1 jam.
3.9.2 Pembuatan Blok Embedding
Sampel yang telah diinfiltrasi dapat dicetak dengan parafin melalui
proses embedding. Proses embedding diawali dengan menyiapkan cetakan
yang ukurannya sesuai dengan sampel jaringan. Jaringan dimasukkan pada
cetakan dengan posisi bagian yang akan dipotong. Pada satu cetakan dapat
diisi beberapa jaringan. Cetakan dapat didinginkan pada cold plate untuk
mempercepat pembekuan. Setelah seluruh parafin membeku, blok parafin
dapat dikeluarkan dari dalam cetakan. Blok parafin dapat langsung di-triming
untuk mempermudah pemotongan dengan menggunakan microtom rotary.
3.9.3 Prosedur Triming
Triming adalah penipisan sampel untuk mendapat jaringan atau bagian
organ yang benar dan bagus dalam orientasi dan memfasilitasi larutan
fiksasi masuk sampai pada bagian terdalam. Prosedur triming diawali dengan
mengeluarkan organ terpilih dari dalam fiksator atau larutan penyimpan.
Organ dipotong pada bagian yang diinginkan dengan dua mata pisau.
Ukuran ketebalan sampel + 3-5 μm dengan luas permukaan + 1x1 cm2.
Selanjutnya, sampel dapat diproses lebih lanjut, seperti pewarnaan HE
(Hematoksilin Eosin) dan IHK (Imuno Histo Kimia).
3.10 Pengamatan Histolopatologi Organ Hati, Ginjal, dan Kolon melalui
Pewarnaan Hemaksilin-Eosin (HE)
Pewarnaan Hemaksilin-Eosin (HE) dilakukan mengikuti prosedur Kiernan
(1990). Pemrosesan jaringan menjadi preparat histopatologi melalui tahapan-
tahapan sebagai berikut; fiksasi jaringan, dehidrasi, clearing, infiltrasi,
44
embedding, trimming, sectioning, deparafinisasi dan dilanjutkan dengan staining
(pewarnaan). Fiksasi jaringan dilakukan dengan merendam sampel jaringan ke
dalam larutan formaldehid. Sampel jaringan yang sudah menjadi histopat
direndam ke dalam xylol I selama 5-10 menit untuk menghilangkan parafin,
kemudian direndam dalam xylol II kembali untuk membilas selama 5-10 menit.
Setelah itu, sampel direndam dalam alkohol.
Pada tahap ini sampel berturut-turut direndam dalam alkohol yang menurun
konsentrasinya secara bertingkat, yaitu: alkohol absolut (100%), alkohol 96%,
kemudian alkohol 70% masing-masing 5 menit. Konsentrasi yang menurun secara
berturut-turut tersebut akan membuat air memasuki sampel jaringan. Sampel
kemudian direndam dalam akuades selama 5 menit dan direndam dalam larutan
hematoksilin selama 5-10 menit. Hematoksilin akan mewarnai inti sel pada
sampel jaringan dengan warna biru. Setelah itu, sampel dimasukkan dalam air
mengalir (secara tidak langsung) selama 5-10 menit untuk membilas. Tahap
pewarnaan selanjutnya adalah pewarnaan dengan pewarna eosin selama 1-2 menit
untuk mewarnai sitosol sel pada sampel jaringan.
Setelah tahap ini, sampel memasuki tahap pencelupan alkohol yang
meningkat konsentrasinya secara berturut-turut sebagai kebalikan dari tahap yang
sebelumnya, yaitu: alkohol 70%, alkohol 96% dan alkohol absolut (100%)
masing-masing sebanyak 3-4 celupan. Pada akhir tahap pewarnaan, sampel
kembali direndam dengan xylol selama 5-10 menit, kemudian direndam kembali
dalam xylol selama 5-10 menit. Setelah itu, sampel jaringan ditutup dengan gelas
penutup dan direkatkan dengan entellan.
Slide histopatologi siap diamati di bawah mikroskop dan difoto secara
digital. Perubahan histopatologi yang terlihat pada jaringan dikelompokkan
berdasarkan organ yang akan diamati. Pada jaringan hati diamati adanya infiltrasi
radang, kariopiknosis, dan degenerasi lemak. Pada jaringan ginjal diamati adanya
hemoragi, kariopiknosis, nekrosis, dan infiltrasi radang. Pada jaringan kolon
diamati tingkatan kolitis (peradangan). Tingkatan kolitis dianalisis mengikuti
protokol (Cooper 1993, Suzuki et al. 2006). Skor 0 apabila mukosa kolon normal
dan tidak terjadi infiltrasi radang. Skor 1 apabila kripta memendek (1/3 kripta)
dengan sedikit infitrasi sel radang dan edema. Skor 2 apabila 2/3 kripta hilang dan
45
terjadi infiltrasi radang. Skor 3 ditandai oleh hilangnya kripta dengan infiltrasi
radang yang parah pada lamina propria tetapi masih tersisanya epitel permukaan.
Skor 4 ditandai hilangnya semua kripta dan terjadi infitrasi radang yang parah
pada mukosa, submukosa, dan muskularis mukosa.
3.11 Analisis Keberadaan Penanda Permukaan Sel Th (CD4) dan Kaspase-3
dengan Pewarnaan Imunohistokimia (IHK)
Analisis keberadaan penanda permukaan sel Th (CD4) dan Kaspase-3
dengan pewarnaan imunohistokimia (IHK) dilakukan mengikuti prosedur Kiernan
(1990), yang meliputi preparasi gelas objek, pelapisan gelas objek dengan agen
penempel, penempelan preparat ke gelas objek, serta pewarnaan imunohistokimia.
3.11.1 Preparasi Gelas Objek
Preparasi gelas objek diawali dengan menyiapkan gelas objek yang
akan digunakan untuk penempelan (afixing) preparat. Gelas objek
dimasukkan ke dalam staining jar yang berisi alkohol 70% sampai semua
bagian terendam, kecuali bagian yang kasar tempat pelabelan. Staining jar
yang berisi gelas objek tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bak
electromagnetic cleaner yang telah diisi air (sejajar dengan alkohol yang
terdapat dalam staining jar). Electromagnetic cleaner dihidupkan selama 20
menit (untuk membersihkan gelas objek dari lemak atau segala kotoran yang
menempel yang dapat mengganggu dalam proses imunohistokimia). Gelas
objek dimasukkan ke dalam staining jar dan direndam dengan
menggunakan milique (air yang sudah disuling berulang-ulang) sebanyak 3
kali, masing-masing 20 menit, dilanjutkan perendaman staining jar yang
berisi gelas objek ke dalam electromagnetic cleaner selama 20 menit.
3.11.2 Pelapisan (Coating) Gelas Objek dengan Gelatin (Agen Penempel)
Pelapisan (coating) dilakukan dengan melarutkan 2.50-3.00 g gelatin
dalam 300-400 ml air panas bersuhu maksimal 60 °C, kemudian
didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Selanjutnya, kromium potasium
sulfat (CrK(SO4)2) sebanyak 0,25 g dimasukkan dan diaduk. Setelah itu,
46
ditambahkan H2O hingga volumenya mencapai 500 ml. Gelas objek yang
bersih direndam dalam larutan tersebut selama 15-30 menit, kemudian
dikeringkan pada suhu ruang. Setelah kering, gelas objek disimpan di dalam
oven dengan suhu + 60°C untuk menghindari penempelan segala macam
kotoran pada gelas objek.
3.11.3 Pembuatan Irisan Preparat pada Gelas Objek (Sectioning)
Tahapan pembuatan irisan preparat meliputi beberapa tahap secara
berurutan, yaitu penempatan blok embedding pada holder microtom
rotary, pemasangan pisau pemotong, penentuan ketebalan sayatan, triming
dan penempelan (afixing). Preparat diiris dengan microtom rotary pada
ketebalan sayatan 3-5 μm.
3.11.4 Penempelan Irisan Preparat pada Gelas Objek (Afixing)
Proses penempelan atau afiksasi dengan menggunakan air bersuhu
40°C atau dengan dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 39-40
°C selama
24 jam. Sebelum dimasukkan ke dalam air hangat atau bersuhu 40°C
dengan menggunakan gelas objek atau gelas benda, sampel sayatan jaringan
dimasukkan ke dalam air bersuhu dingin terlebih dahulu. Hal ini bertujuan
meregangkan jaringan (tidak mengkerut) dan lebih mempermudah proses
penempelan.
3.11.5 Persiapan Preparat untuk Pewarnaan Imunohistokimia (IHK)
a. Deparaffinisasi (Rehidrasi)
Langkah ini diawali proses deparafinasi (rehidrasi) dengan merendam
jaringan pada gelas objek dalam larutan xylol sebanyak tiga kali, masing-
masing selama 10 menit. Selanjutnya, dilanjutkan dengan merendam
jaringan dalam larutan etanol pro-analysis dengan konsentrasi bertingkat,
mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Konsentrasi etanol yang digunakan
adalah 100, 96, 80 dan 70%. Perendaman dalam masing-masing konsentrasi
etanol dilakukan sebanyak dua kali. Masing-masing perendaman tersebut
dilakukan selama 10 menit. Proses deparafinisasi diakhiri dengan
47
perendaman jaringan dalam akuades sebanyak dua kali, masing-masing
perendaman dilakukan selama 5 menit.
b. Antigen Unmasking
Antigen unmasking bertujuan untuk membuka epitop antigen,
sehingga antigen dapat berikatan dengan antibodi. Antigen unmasking
dilakukan dengan merebus jaringan dalam 10 mM larutan PBST (buffer
natrium sitrat) pada suhu sub-boiling (85°C) selama 10 menit. Buffer
natrium sitrat dibuat dengan melarutkan 2,94 g C6H5Na3O7•2H2O dalam 1 L
akuades. Pada tahap ini, suhu perebusan harus dijaga agar tidak melebihi
atau kurang dari 85°C. Perebusan dilakukan di dalam wadah stainless-steel
yang diletakkan di atas hot-plate. Buffer natrium sitrat harus dijaga agar
tidak mendidih selama proses perebusan. Selanjutnya, langkah yang
dilakukan adalah proses pendinginan (cooling) jaringan. Proses pendinginan
dilakukan dengan tetap merendam jaringan di dalam wadah tanpa ditutup
pada suhu ruang. Pada proses ini, suhu awal dan akhir perebusan serta suhu
awal dan akhir pendinginan harus dicatat. Hal ini akan memudahkan dalam
optimasi suhu proses antigen unmasking selanjutnya.
c. Pewarnaan (Staining)
Proses pewarnaan (staining) dilakukan setelah proses pendinginan
pada antigen unmasking. Pewarnaan diawali dengan merendam jaringan
pada gelas objek dengan akuades. Proses ini dilakukan sebanyak tiga kali,
masing-masing 5 menit. Dalam hal ini, proses perendaman yang pertama
dilakukan dengan merendam seluruh gelas objek dalam wadah yang berisi
akuades. Proses ini segera dilakukan setelah proses pendinginan berakhir.
Hal seperti ini akan memudahkan proses selanjutnya dan jaringan tidak
mudah kering. Sebelum berlanjut pada perendaman berikutnya, jaringan
pada gelas objek diberi batas dengan PAP-pen (Peroksidasi Anti
Peroksidase - pen) yang mengandung 1-bromopropan. Jaringan yang
dibatasi oleh PAP-pen akan memudahkan proses perendaman selanjutnya.
Hal ini agar larutan perendam tidak meluap ke batas luar jaringan tersebut.
48
Selanjutnya, perendaman dengan akuades yang kedua dan ketiga
dilakukan dengan memindahkan gelas objek ke dalam wadah berbentuk
kotak yang di bagian dasarnya terdapat tisu yang dibasahi dengan akuades.
Pada bagian atas tisu tersebut diberi dua penyangga untuk meletakkan gelas
objek agar tidak langsung menyentuh tisu yang basah tersebut. Dalam
kondisi tersebut, proses perendaman jaringan dilakukan dengan meneteskan
akuades melalui pipet tetes tepat di atas jaringan.
Perendaman jaringan dilanjutkan di dalam larutan 3% H2O2 dengan
cara diteteskan. Perendaman ini dilakukan selama 10 menit. Setelah itu,
perendaman dilakukan di dalam akuades lagi dengan cara diteteskan tepat di
atas jaringan. Perendaman ini dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing
selama 5 menit. Perendaman dilanjutkan di dalam larutan PBS (phosphate
buffer saline) selama 5 menit. Dalam hal ini, PBS berperan sebagai larutan
pencuci (wash buffer). PBS dibuat dengan cara melarutkan tablet PBS ke
dalam akuades, dengan perbandingan satu tablet PBS dilarutkan dalam 200
ml akuades. Pada saat pembuatan PBS, ditambahkan Tween 20 sebanyak
satu tetes. Tween 20 berperan sebagai deterjen, yaitu untuk menyatukan
antara PBS dengan protein target. Tween 20 juga dapat membersihkan
protein-protein lain yang bukan target, sehingga memperjelas pengamatan
protein target.
Perendaman dilanjutkan di dalam larutan blocking (blocking solution)
selama satu jam. Larutan blocking dibuat dengan cara melarutkan susu skim
(skim milk) ke dalam PBS, dengan perbandingan 0,1 g susu skim dilarutkan
dalam 100 ml PBS. Perendaman dengan larutan blocking dilakukan dengan
cara diteteskan tepat di atas jaringan. Volume larutan blocking yang dapat
diteteskan adalah 100-400 μL pada suhu ruang. Penetesan larutan blocking
dilakukan dengan mikropipet.
Perendaman selanjutnya adalah perendaman jaringan dalam larutan
antibodi primer dengan proses inkubasi pada suhu 4°C (suhu kulkas) selama
semalam (overnight). Perendaman dengan antibodi primer dilakukan dengan
cara diteteskan tepat di atas jaringan, sebelum diinkubasi dengan suhu 4°C.
Volume larutan antibodi primer yang diteteskan adalah 100-400 μL dengan
49
pengenceran 1:150 (antibodi anticaspase-3) dan pengenceran 1:30 (antibodi
antiCD4) Penetesan larutan antibodi primer dilakukan dengan mikropipet.
Perendaman ini bertujuan mengefektifkan reaksi antara antigen yang
terdapat pada jaringan dengan antibodi primer (reaksi Ag-Ab).
Setelah overnight, larutan antibodi primer dicuci dan dilanjutkan
dengan merendam jaringan dalam larutan PBS sebanyak tiga kali, masing-
masing selama 5 menit. Dalam hal ini, larutan PBS diteteskan saja.
Perendaman selanjutnya adalah perendaman jaringan dalam larutan antibodi
sekunder dengan proses inkubasi pada suhu ruang selama 30 menit.
Perendaman dengan antibodi sekunder dilakukan dengan cara diteteskan
tepat di atas jaringan. Volume larutan antibodi sekunder yang diteteskan
adalah 100-400 μL dengan pengenceran 1:1000. Penetesan larutan antibodi
sekunder dilakukan dengan mikropipet. Perendaman ini bertujuan
mengefektifkan reaksi antara antibodi primer yang sudah terikat pada
jaringan dengan antibodi sekunder (reaksi Ag-Ab). Pada penelitian ini,
antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi antirabbit yang dilabel
dengan enzim HRP (horseradish peroxidase).
Setelah itu, larutan antibodi sekunder dicuci, dilanjutkan dengan
merendam jaringan dalam larutan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing
selama 5 menit. Selanjutnya, jaringan direndam dengan larutan DAB
(diaminobenzidine). Dalam hal ini, DAB harus disiapkan dalam keadaan
segar. DAB dibuat dengan mengencerkan larutan stok DAB dalam pelarut
DAB dengan perbandingan 1:10. DAB merupakan substrat bagi enzim HRP
yang melabel antibodi sekunder. Reaksi antara DAB dan enzim HRP
menghasilkan warna coklat.
Selanjutnya, larutan DAB dicuci dari jaringan dengan merendam
jaringan dalam akuades selama 5 menit. Setelah itu, jaringan direndam
dengan larutan hematoksilin selama 5-10 menit. Hematoksilin merupakan
salah satu pewarna yang baik untuk diagnosis histopatologik, karena
hematoksilin berperan mewarnai nukleus dan jaringan terkalsifikasi dengan
warna ungu. Perendaman berlanjut dengan merendam jaringan dalam
akuades sebanyak dua kali, masing-masing 5 menit. Setelah perendaman
50
dengan akuades, langkah penting lain dalam metode imunohistokimia
adalah dehidrasi, penjernihan dan penutupan jaringan pada gelas objek
(mounting).
Proses dehidrasi diawali proses inkubasi dengan merendam jaringan
dalam larutan etanol pro-analysis dengan konsentrasi bertingkat, mulai dari
konsentrasi rendah ke tinggi, yakni etanol 70, 80, 96 dan 100%. Perendaman
dalam setiap konsentrasi etanol dilakukan selama 3 menit. Setelah
perendaman dalam etanol 100%, jaringan direndam dalam larutan xylol
selama 3 menit. Selanjutnya, jaringan siap ditutup dengan media dan gelas
penutup. Proses penutupan jaringan dilakukan dengan cara meneteskan
media penutup secukupnya pada jaringan di gelas objek, sebelum xylol
menguap. Selanjutnya, gelas penutup diletakkan di atas jaringan dan ditekan
perlahan dengan ujung pinset untuk mengeluarkan gelembung udara yang
masih terdapat pada gelas objek. Media penutup tersebut akan mengeras
sehingga gelas objek dapat disimpan pada rak preparat. Selanjutnya, sediaan
histologis siap diamati di bawah mikroskop dan direkam dengan foto digital.
Perubahan histopatologi yang terlihat pada jaringan berdasarkan
pewarnaan IHK dikelompokkan berdasarkan warna coklat DAB yang tidak
terlokalisasi. Hal ini dilakukan dengan memberikan skor terhadap tingkat
kepekatan warna coklat pada area yang terbentuk, mengikuti metode Kanter
et al. (2004). Skor tersebut meliputi 0 (tidak terdapat area berwarna coklat,
0%), 1 (warna coklat sangat kurang pekat, + 1-25%), 2 (warna coklat kurang
pekat, + 26-50%), 3 (warna coklat pekat, + 51-75%), 4 (warna coklat sangat
pekat, + 76-100%).
3.12 Analisis Data
Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL)
dengan empat perlakuan. Semua data dianalisis dengan prosedur sidik ragam
(Analisis of Varian, ANOVA) dengan bantuan program SPSS (Statistical Package
for the Social Science) versi 16. Apabila hasil uji sidik ragam menunjukkan
adanya perbedaan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf
5%.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Mencit Percobaan
Masa adaptasi dilakukan selama satu minggu untuk membiasakan
mencit terhadap lingkungan dan pakan yang baru. Masa adaptasi juga
dilakukan untuk melihat kondisi kesehatan mencit yang akan mendapat
perlakuan. Ransum diberikan dalam bentuk bubuk sejumlah 5 gram/hari/
mencit. Pemberian ransum dilakukan pada waktu yang sama setiap harinya
untuk mengurangi variabilitas, yakni setiap pukul 14.00 – 15.00 WIB.
Penggantian ransum dilakukan setiap hari supaya mencit mendapatkan pakan
yang segar. Untuk mengetahui jumlah ransum yang dikonsumsi oleh mencit
setiap harinya, maka dilakukan penimbangan sisa ransum setiap hari. Selain
itu, penimbangan berat badan mencit dilakukan dua kali dalam satu minggu
untuk mengetahui pertumbuhan dan kesehatan mencit.
Setelah masa adaptasi, mencit dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-
masing kelompok terdiri atas 8 ekor mencit. Kelompok K- mendapatkan
ransum standar (sumber karbohidrat maizena) tanpa induksi karsinogen.
Kelompok K+ mendapatkan ransum standar dan induksi kasinogen
azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS). Kelompok S50
mendapatkan ransum yang mengandung sumber karbohidrat 50% maizena
dan 50% tepung sorgum, sedangkan kelompok S100 merupakan kelompok
mencit dengan ransum yang mengandung sumber karbohidrat 100% tepung
sorgum, yang mana kelompok S50 dan S100 mendapat induksi karsinogen
yang sama dengan kelompok K+.
Faktor-faktor lingkungan baik internal maupun eksternal, seperti
induksi karsinogen, dapat menginduksi terjadinya perubahan fisiologis atau
tingkah laku dari hewan percobaan. Faktor-faktor tersebut dinamakan
stressor. Jika mencit percobaan tidak bisa beradaptasi dengan stressor yang
ada, maka mencit akan mengalami respon fisiologis atau tingkah laku yang
abnormal atau dalam kondisi distress. Tanda-tanda klinis dan perubahan
tingkah laku abnormal akibat kondisi distress dapat mempengaruhi konsumsi
ransum dan air minum, akumulasi eksudat berwarna coklat kemerahan di
52
sekeliling mata dan lubang hidung, turunnya berat badan, penurunan
aktivitas, postur membungkuk, pernafasan yang sulit, serta peningkatan atau
penurunan keagresifan (NAS 1996).
Gambar 8 Grafik konsumsi ransum rata-rata pada setiap kelompok mencit
Selama masa percobaan, konsumsi ransum rata-rata mencit kelompok
K- lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diinduksi karsinogen (K-, S50,
dan S100) (Tabel 9). Induksi karsinogen dapat menyebabkan kondisi stress
yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum. Oleh karena itu, tidak adanya
induksi karsinogen pada kelompok K- menyebabkan mencit pada kelompok
ini tidak mengalami pengaruh pada konsumsi ransumnya. Akibatnya mencit
kelompok ini juga memiliki selisih berat badan yang paling tinggi
dibandingkan kelompok lainnya (Tabel 9).
Sebaliknya kelompok K+ memiliki konsumsi ransum rata-rata yang
paling rendah dibandingkan kelompok lainnya. Induksi karsinogen
menyebabkan berkurangnya asupan makanan, malabsorbsi, dan perubahan
metabolisme tubuh. Hal ini menyebabkan kelompok K+ memiliki selisih
berat badan yang paling rendah dibandingkan kelompok yang lain. Sindrom
seperti ini sering terjadi pada penderita kanker, yang dinamakan kaheksia.
Kaheksia adalah keadaan malnutrisi yang ditandai dengan anoreksia,
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
Ra
ta-R
ata
Ko
nsu
msi
Ra
nsu
m (
gra
m)
Minggu ke-
K-
K+
S50
S100
53
penurunan berat badan, depresi, nausea kronis, anemia, gangguan
metabolisme, serta perubahan keseimbangan asam basa, kadar vitamin, dan
elektrolit (Trujillo et al. 2005).
Gambar 9 Grafik berat badan rata-rata pada setiap kelompok mencit
Kaheksia merupakan kondisi tubuh yang lemah akibat kanker dan dapat
menyebabkan kematian (Acharyya et al. 2005). Lebih dari 80% pasien yang
menderita kanker mengalami kaheksia sebelum kematiannya. Kaheksia
dicirikan dengan penurunan berat badan dan diduga terjadi akibat metabolit
abnormal yang dihasilkan selama perkembangan tumor. Interaksi tumor
dengan inangnya juga dapat mempengaruhi metabolisme karena sel-sel tumor
juga membutuhkan asupan nutrisi yang diperoleh dari inangnya untuk
bertahan hidup. Gangguan metabolisme tersebut meliputi gangguan pada
metabolisme karbohidrat, oksidasi lipid, serta penurunan sintesis protein otot
(Setiawati 2003).
Penggunaan sumber karbohidrat berupa tepung sorgum pada kelompok
mencit perlakuan S50 dan S100 menunjukkan bahwa mencit pada kelompok
ini memiliki konsumsi ransum rata-rata yang lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan kelompok K+ (Lampiran 3). Pemberian tepung sorgum diduga
mampu meringankan kondisi distress yang disebabkan karena induksi
15,00
16,00
17,00
18,00
19,00
20,00
21,00
22,00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
Ra
ta-R
ata
Ber
at
Ba
da
n (
gra
m)
Minggu ke-
K-
K+
S50
S100
54
karsinogen dan berbanding lurus dengan jumlah tepung sorgum yang
digunakan dalam komposisi ransum. Hal ini terlihat dari konsumsi rata-rata
mencit kelompok S100 lebih tinggi dibandingkan kelompok S50. Hanya saja
adanya induksi karsinogen tetap menyebabkan konsumsi ransum rata-rata
pada kelompok S50 dan S100 masih lebih rendah dibandingkan kelompok K-
(Tabel 9).
Tabel 9 Konsumsi ransum rata-rata dan selisih berat badan pada setiap
kelompok mencit selama perlakuan
Kelompok Konsumsi ransum
rata-rata (g/ekor/hr)
Selisih berat badan
selama perlakuan (g/ekor)
K-
K+
S50
S100
3,61 ± 0,21
d
2,51 ±0,31a
3,19 ± 0,24
b
3,41 ± 0,28
c
4,50 ± 1,22b
3,14 ± 0,56a
3,63 ± 0,74
ab
3,44 ± 0,78a
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5
% (p<0,05).
Pemberian tepung sorgum pada mencit S50 dan S100 tidak
menunjukkan kemampuannya dalam meningkatkan selisih berat badan
secara signifikan pada mencit yang diinduksi kanker kolon (Lampiran 4),
meskipun memiliki konsumsi ransum rata-rata yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok K+ (Tabel 9). Hal ini diduga selain adanya pengaruh
dari induksi karsinogen, adanya komponen flavonoid pada sorgum, yaitu
tanin, diduga mampu mengikat protein dan polisakarida sehingga daya
absorbsi nutrisi tersebut berkurang dan dapat menurunkan berat badan
(Nyachoti et al. 1997). Hal ini didukung hasil penelitian Kaviarasan et al.
(2008) yang melakukan penelitian dengan memberikan fraksi flavonoid pada
tikus percobaan. Pada kelompok kontrol mengalami kenaikan berat badan
sebesar 117,5±8,09 g dengan konsumsi rata-rata sebesar 25,83±1,09
g/ekor/hari, sedangkan pada kelompok perlakuan pemberian flavonoid
mengalami kenaikan berat badan sebesar 63,33±6,06 g dengan konsumsi rata-
rata sebesar 27,1±1,41 g/ekor/hari. Kecenderungan ini terjadi diduga akibat
adanya perbedaan aktivitas dan tingkat penyerapan nutrisi.
Konsumsi ransum yang mengandung sumber karbohidrat berupa tepung
sorgum sebanyak 50% dan 100% pada mencit kelompok S50 dan S100
55
tampak tidak memberikan efek negatif terhadap selera makan mencit (Tabel
9).
Adanya tanin pada sorgum dikatakan mampu mempengaruhi sifat
sensori karena menyebabkan rasa sepat atau astringen sehingga
mempengaruhi selera makan (Rooney dan Dykes 2007). Sorgum varietas
Kawali memiliki kandungan tanin sebesar 0,7% (Singgih et al. 2006), yang
mana menurut Rooney (2005) tanin dengan jumlah di bawah 5-10% memiliki
kemungkinan pembentukan kompleks dengan makromolekul yang rendah
serta belum mempengaruhi nilai sensori.
Puspawati (2009) melaporkan bahwa pemberian tepung sorgum 50%
dan 100% sebagai sumber karbohidrat pada tikus percobaan yang tidak
diberikan stress, tampak belum mempengaruhi berat badan dan selera makan
tikus. Hal ini diduga karena tanin masih berada dalam jumlah normal atau
tidak melebihi kebutuhan, sehingga belum menurunkan nilai sensori yang
mengurangi selera makan.
Selain mengamati konsumsi ransum dan berat badan, dilakukan pula
pengamatan mengenai penampakan fisik dan tingkah laku selama perlakuan
serta berat organ mencit setelah perlakuan. Pengamatan ini bertujuan untuk
mengetahui adanya perubahan yang terjadi akibat pemberian ransum serta
induksi karsinogen berupa azoksimetana (AOM) dan desktran sodium sulfat
(DSS).
Penampakan fisik dan tingkah laku kelompok mencit K- selama
percobaan terlihat normal, warna bulu bersih dan mengkilat, mata cerah, serta
bergerak lincah, dan memiliki pernafasan normal. Kondisi serupa juga terlihat
pada kelompok mencit perlakuan S50 dan S100. Hal ini memperkuat dugaan
sebelumnya bahwa adanya pemberian tepung sorgum mampu menurunkan
kondisi distress, sehingga mencit pada dua kelompok ini dapat tumbuh
dengan normal.
Perbedaan yang sangat nyata terlihat kondisi fisik serta tingkah laku
pada kelompok mencit K-. Mencit pada kelompok ini memiliki warna bulu
yang kusam, mata sayu, serta postur tubuh yang lebih membungkuk. Selain
itu, tingkah laku mencit pada kelompok ini juga terlihat lesu, kurang aktif,
56
serta pernafasan yang tidak normal. Hal ini menunjukkan adanya kondisi
kaheksia pada mencit K+. Bruera (2002) menyebutkan bahwa kaheksia
terjadi karena gangguan psikologis pada susunan syaraf pusat (menyebaban
keengganan makan, gangguan persepsi rasa kecap, dan stress psikologis),
serta gangguan proses metabolisme, produksi makrofag, dan disfungsi
autonomik.
Gambar 10 Organ setiap kelompok mencit
Gambar 10 menunjukkan gambaran keadaan organ tiap kelompok
mencit. Keadaan mencit percobaan juga didukung dengan data berat relatif
organ hati, ginjal, dan kolon. Berat relatif organ merupakan berat organ
dibagi berat badan dari mencit yang bersangkutan. Berat relatif organ hati dan
ginjal diketahui tidak berbeda nyata (p < 0,05). Perbedaan yang nyata terlihat
pada berat relatif kolon kelompok K+ yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan kelompok mencit S50 dan S100 (Tabel 10, Lampiran 5).
Berat relatif kolon pada kelompok K+ diduga disebabkan karena
adanya pertumbuhan tumor. Hanya saja data berat relatif kolon tidak cukup
untuk membuktikan adanya pertumbuhan tumor pada organ ini. Hal ini
dikarenakan terdapat faktor lain yang mampu menyebabkan bertambahnya
berat kolon. Inflamasi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
K- K+
S50 S100
57
kenaikan berat kolon. Kejadian serupa dilaporkan pada penelitian tikus yang
mengalami peradangan kolon dengan induksi 2,4,6-trinitobenzene sulfonic
acid (TNBS). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kolon yang
mengalami inflamasi mengalami peningkatan berat dan ketebalan. Hal ini
dikarenakan adanya infiltrasi seluler pada kolon, peningkatan produksi
inflamatori sitokin, dan proliferasi epitel kolon (Berg 2002).
Tabel 10 Berat relatif organ
Berat
relatif
Kelompok
K- K+ S50 S100
Hati 0,041±0,007a 0,037±0,008
a 0,048±0,008
a 0,043±0,006
a
Ginjal 0,015±0,002 a 0,016±0,005
a 0,016±0,004
a 0,018±0,005
a
Kolon 0,009±0,002a 0,014±0,005
b 0,009±0,003
a 0,010±0,002
a
Ket. : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %
(p<0,05).
Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cidera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi,
atau mengikat baik agen pencidera maupun jaringan yang cidera tersebut.
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah
lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai kebocoran cairan dalam jumlah besar
ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam
jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk yang
menyebabkan reaksi ini adalah histamin, brakidinin, serotonin, prostaglandin,
beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi pembekuan
darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang
dilepaskan oleh sel T yang tersensitasi (Guyton dan Hall 1997).
4.2 Evaluasi Histopatologi Organ Mencit Balb/c dengan Pewarnaan Hema-
toksilin-Eosin (HE)
Analisis histopatologi menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin
(HE) merupakan metode yang umum dipakai untuk melihat perubahan
58
jaringan yang terjadi. Pewarnaan jaringan dengan metode ini menggunakan
dua macam pereaksi untuk memudahkan pengamatan perubahan patologik
dengan mewarnai organel dan inti sel secara terpisah. Dengan menggunakan
pewarnaan HE, struktur selular dan perubahan patologik dapat diamati
dengan mudah, karena sitoplasma (organel) diwarnai oleh eosin menjadi
merah muda, sedanglan inti sel diwarnai oleh hematoksilin menjadi ungu
(Paniogoro et al. 2007). Perbedaan warna ini penting dalam mempelajari
anatomi dan patologi jaringan secara mikroskopis agar dapat dibedakan inti
sel dengan sitoplasma serta strukur ekstraselulernya (Kiernan 1990).
Analisis histopatologi menggunakan pewarnaan HE dilakukan pada
organ hati, ginjal dan kolon karena ketiga organ ini merupakan sasaran utama
dari karsinogen. Kolon merupakan target utama terjadinya perkembangan
kanker, sedangkan hati dan ginjal merupakan organ yang berkaitan dengan
metabolisme toksikan, sehingga pengamatan terhadap terjadinya perubahan
akibat adanya induksi karsinogen penting dilakukan pada ketiga organ
tersebut.
Hati menjadi organ sasaran karena menerima 80% suplai darah dari
vena porta, sehingga memungkinkan untuk zat-zat toksik yang diserap
ditransportasikan oleh vena porta ke hati. Hati merupakan tempat utama
terjadinya detoksifikasi toksikan di dalam tubuh. Adapun ginjal merupakan
salah satu organ yang berperan dalam ekskresi hasil detoksifikasi yang
bersifat larut air sehingga akan dikeluarkan bersama urin. Ginjal merupakan
organ yang memiliki banyak fungsi dalam tubuh yakni sebagai organ sistem
urinasi untuk mengeluarkan sisa dan garam, serta memusnahkan zat toksik
(Levi et al. 2000).
4.2.1 Histopatologi Jaringan Hati
Hati merupakan organ terbesar (1,3-3,1% dari total berat badan) di
dalam tubuh yang terletak pada bagian kuadran kanan atas abdomen, di
bawah diafragma. Fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi tiga, yaitu fungsi
vaskular untk menyimpan dan menyaring darah, fungsi metabolisme yang
berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh, serta fungsi
59
sekresi dan ekskresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir
melalui saluran empedu ke saluran pencernaan (Guyton dan Hall 1997). Hati
juga merupakan bagian tubuh utama yang berperan dalam proses
detoksifikasi metabolit toksik, yang mana produk hasil metabolismenya akan
dikeluarkan melalui sirkulasi darah maupun empedu (Levi et al. 2000).
Secara anatomi hati tersusun atas lobus kanan, lobus kiri, lobus
caudatus, dan lobus quadratus. Lobulus merupakan unit fungsional dasar hati.
Lobulus hati terbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke
vena hepatika dan kemudian ke vena cava. Lobulus dibentuk dari banyak
lempeng sel hepar yang memancar secara sentrifugal dari vena sentralis.
Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel dan diantara sel
yang berdekatan terdapat kanalikuli empedu kecil yang mengalir ke duktus
empedu yang berasal dari septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang
berdekatan (Guyton dan Hall 1997). Adapun dua macam sel utama yang perlu
diamati pada hati adalah sel parenkim (hepatosit) yang membentuk lembaran-
lembaran tipis yang terpisah oleh sinusoid dan sel-sel Kupffer
(retikuloendotelial) yang merupakan makrofag jaringan yang membentuk
selaput-selaput sinusoid (Bevelander 1979).
Melalui pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE), terlihat adanya
perubahan pada morfologi hati pada kelompok K- dan kelompok perlakuan
AOM-DSS (K+, S50, dan S100). Pada mencit kelompok K-, terlihat inti
hepatosit yang bulat dan menyerap warna hematoksilin (biru) yang kuat dan
sitoplasma menyerap warna eosin (merah). Nukleolus terlihat jelas, sinusoid
terbentuk seperti memancar secara sentrifugal dari vena sentralis dengan sel-
sel Kupffer yang menyerap warna hematoksilin mengisi sinusoid-sinusoid.
Pada kelompok ini tidak terlihat adanya sel yang mengalami nekrosa karena
tidak ada sel yang terlihat lebih merah dibandingkan sel normal dan inti sel
terlihat jelas (Gambar 11).
Pada kelompok K+ terlihat sinusoid yang melebar dan tidak memancar
secara sentrifugal dari vena sentralis, tetapi sel-sel Kupffer tetap terlihat di
sekitar sinusoid. Sitoplasma terlihat bergranula eosinofilik dan sebagian inti
sel tidak menyerap warna hematoksilin (biru) dengan sempurna. Selain itu,
60
terlihat pula adanya inti sel yang mengalami kariopiknosis dimana inti sel
mengecil tetapi menjadi bundar dan warnanya menjadi lebih jelas.
Gambar 11 Fotomikrograf jaringan hati mencit. K- (Kelompok kontrol
negatif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 (Ke-
lompok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum
100% + AOM-DSS). = infiltrasi radang, = kariopiknosis,
..... = vakuolisasi atau degenerasi lemak.
Adanya pemberian tepung sorgum pada mencit kelompok S50 dan
S100 memberikan penampakan patologis hati yang lebih baik dibandingkan
pada kelompok K+. Hal ini diduga karena fermentasi serat pangan pada
sorgum, terutama β-glukan, mampu menurunkan aktivitas enzim yang
mampu menghidrolisis produk konjugasi hasil detoksifikasi. Hidrolisis
tersebut mampu menyebabkan terlepasnya kembali karsinogen yang
selanjutnya akan diserap usus dan masuk kembali ke hati melalui sirkulasi
portal. Berulangnya kejadian ini akan meningkatkan waktu paruh karsinogen
dan menyebabkan efek negatif pada organ hati (Levi et al. 2000).
K+
E
K-
E
S100 S50
E
61
4.2.2 Histopatologi Jaringan Ginjal
Ginjal merupakan organ penting untuk mempertahankan keseimbangan
air, garam, dan elektrolit. Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi
sebagai pengatur komposisi kimia darah dengan mengekskresikan padatan
dan air secara selektif. Fungsi utama ginjal adalah mengeliminasi produk
samping hasil metabolisme normal serta substansi-subtansi toksik yang
berbahaya bagi tubuh, sambil mempertahankan konstituen darah yang masih
berguna (Davey 2006).
Ginjal terdiri atas korteks dan medula. Korteks berada di sebelah luar
yang mengandung semua mapiler glomerolus dan sebagian segmen tubulus
pendek. Bagian medula di sebelah dalam tempat sebagian besar segmen
tubulus berada (Corwin 2007). Pada bagian medula banyak terdapat nefron
(unit fungsional ginjal) yang terdiri dari korpus renal, tubulus proksimal, ansa
henle dan tubulus distalis. Setiap korpus renal terdiri atas seberkas kapiler
glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul bowman. Fungsi vital ginjal
dilakukan dengan filtrasi plasma darah melalui glomerolus, yang kemudian
diikuti dengan reabsorbsi sejumlah cairan dan air yang sesuai di sepanjang
tubulus ginjal.
Pengamatan morfologi jaringan ginjal pada kelompok K- dan kelompok
perlakuan AOM-DSS (K-, S50, dan S100) dapat dilihat pada Gambar 12.
Pada kelompok K- tidak ditemukan adanya kelainan pada ginjal secara
morfologis. Sel-sel pada ginjal kelompok ini memiliki bentuk polihedral
dengan inti sel budar jernih, terletak di dalam sel, dan memiliki sitoplasma
yang jernih. Tubuli proksimalis dilapisi oleh epitel kubus dengan mikrovili
dan inti berbentuk bulat. Inti sel-sel epitel tubuli renalis berbentuk bulat dan
menyerap warna basofilik dari hematoksilin (biru) dan bagian sitoplasmanya
menyerap warna asidofilik dari eosin (merah).
Pada kelompok perlakuan AOM dan DSS terlihat perubahan
mikroskopis terjadi pada inti, sitoplasma dan jaringan interstitial. Sel
mengalami nekrosis bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada
kelompok K+ beberapa inti sel tubuli renalis mengalami kariopiknosis.
Struktur bagian sitoplasma pada beberapa sel tubuli renalis menunjukkan
62
adanya kerusakan dan terlihat warnanya lebih merah dibandingkan kelompok
K-, serta terlihat adanya infiltrasi sel radang pada jaringan interstitial. Pada
kelompok S50 dan S100, sel-sel yang mengalami nekrosis dan kariopiknotis
jumlahnya lebih sedikit dari kelompok K+ (Gambar 12). Hal ini
menunjukkan pengaruh pemberian sorgum terhadap jaringan ginjal dapat
mengurangi kariopiknotis, nekrosis, dan infitrasi radang.
Gambar 12 Fotomikrograf jaringan ginjal mencit. K- (Kelompok kontrol ne-
gatif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 (Ke-
lompok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum
100% + AOM-DSS). = glomerulus, = hemoragi, =
kariopiknotis, = nekrosis dan infiltrasi sel radang.
4.2.3 Histopatologi Jaringan Kolon
Usus besar terdiri atas sekum, kolon asenden, kolon transversum, kolon
desenden, kolon sigmoid, dan rektum. Dinding usus besar mempunyai tiga
lapisan, yaitu lapisan mukosa (bagian dalam), lapisan muskularis (bagian
tengah), dan lapisan serosa (bagian luar). Mukosa kolon terdiri atas dari
lamina epitelaris dan lamina propia. Lamina epitelaris terdiri atas pelapis
K+ K-
S50 S100
63
epitel absortif (kolumnar) diselang-seling sel goblet, sedangkan pada lamina
propia terdiri atas jaringan ikat retikuler dan secara sporadik terdapat nodul
jaringan limfoid. Berbeda dengan mukosa usus halus, lapisan mukosa kolon
lebih tebal dengan kriptus Lieberkuhn yang terletak lebih dalam dan memiliki
sel goblet yang lebih banyak daripada usus halus. Selain itu, pada mukosa
kolon juga tidak dijumpai adanya villi (Frappier 2006).
Bagian submukosa kolon terdiri atas jaringan ikat longgar, pembuluh
darah, dan syaraf polinuklear yang disebut ganglion pleksus Meisner. Tunika
muskularis usus besar terdiri atas lapisan dalam yang tersusun secara
longitudinal dan lapisan luar yang tersusun secara sirkuler. Kedua lapisan ini
dipisahkan oleh jaringan ikat longgar, pembuluh darah, daun syaraf
polinuklear yang disebut ganglion pleksus Aurbach. Adapun bagian terluar
dari kolon adalah lapisan serosa yang terdiri atas mesotelium dan jaringan
ikat subserosa (Frappier 2006).
Kolon merupakan bagian dari usus besar yang berfungsi dalam
penyerapan air, natrium, dan mineral lainnya, yang selanjutnya merubah
kimus dari bentuk cair menjadi massa semi padat yang disebut feses.
Beberapa bakteri, seperti Eschericia coli, Enterobacter aerogenes dan
Bacteroides pregilis mampu mensintesis vitamin K di dalam kolon. Kolon
tidak memproduksi enzim, hanya mensekresikan mukus (Underwood 1994).
Hasil pengamatan histopatologi melalui pewarnaan Hematoksilin-Eosin
(HE) pada jaringan kolon kelompok K- dan kelompok perlakuan AOM-DSS
(K+, S50, dan S100) dapat dilihat pada Gambar 13. Dari gambar terlihat
adanya perbedaan morfologi antara mencit kelompok K- dan kelompok
perlakuan AOM-DSS.
Tabel 11 Pengujian penanda kolitis pada kolon mencit dengan pewar-
naan HE
Kelompok Rata-rata skor penanda kolitis
K- 0,00 ± 0,00a
K+ 3,67 ± 0,52c
S50 1,50 ± 0,53b
S100 1,13 ± 0,64b
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5
% (p<0,05)
64
Gambar 13 Fotomikrograf jaringan kolon mencit. K- (Kelompok kontrol ne-
gatif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 ( Ke-
lompok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum
100% + AOM-DSS). = infiltrasi radang, = epitel yang
mengalami kerusakan, = kripta aberran.
Kelompok K- menunjukkan mukosa kolon yang normal. Hal ini terlihat
dari sel-sel jaringan dan ukuran inti sel yang seragam, serta ruang antar sel
yang tidak mengalami perubahan. Hasil pengamatan patologis juga tidak
menunjukkan terjadinya peradangan usus (kolitis) pada kolon mencit
kelompok ini (Tabel 11). Sebaliknya, hasil pengamatan histopatologi pada
kolon mencit kelompok K+ menunjukkan adanya peradangan usus (kolitis)
yang parah pada bagian mukosa sel, propria muskularis, dan submukosa.
Hampir semua kolon kelompok K+ kehilangan bentuk kripta yang
menandakan selnya telah rusak. Selain itu, terlihat pula adanya infiltrasi sel
radang akut pada mukosa, submukosa, dan muskularis mukosa (Gambar 13).
Adapun pemberian tepung sorgum pada mencit kelompok S50 dan
S100 menyebabkan perbedaan yang nyata pada pengamatan histopatologi
kolon apabila dibandingkan dengan kolon mencit kelompok K+ (Lampiran
6). Hal ini ditunjukkan dengan skor penanda kolitis yang lebih rendah secara
K+ K-
S50 S100
65
signifikan (Tabel 11). Pada kelompok S50 dan S100 hanya terlihat mukosa
yang kurang beraturan dengan kripta yang cenderung sedikit memendek dan
terjadi sedikit infiltrasi radang (Gambar 13).
Pengamatan histopatologi secara imunohistokimia menunjukkan
pemaparan jangka panjang karsinogen AOM dan DSS menyebabkan
peradangan dan meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hilangnya
fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi akibat
terpapar karsinogen AOM mengakibatkan respon inflamasi enzim COX-2
tertampil. Adanya penanda COX-2 menunjukkan terjadinya inflamasi pada
kolon mencit. Penelitian Salimi (2012) menunjukkan bahwa pemberian
tepung sorgum sebagai 50% dan 100% sumber karbohidrat mampu
menurunkan keberadaan penanda enzim ini. Dengan adanya induksi AOM-
DSS, kelompok sorgum 50% memiliki nilai skor penanda COX-2 sebesar
0,50 ± 0,52, kelompok sorgum 100% sebesar 0,30 ± 0,55, sedangkan
kelompok kontrol yang diinduksi kanker kolon sebesar 2,60 ± 0,51.
Evolusi kanker kolon merupakan proses yang bertahap, dimana proses
dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan
maligna, dan invasif kanker. Kanker kolon diawali dengan tumor jinak yang
dapat berkembang menjadi tumor ganas dan menyusup (invasiv membran
basalis), merusak jaringan normal kemudian meluas ke sekitarnya. Sel kanker
dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain.
Gambar 14 Fotomikrograf jaringan kolon mencit kelompok K+ ( = hiper-
plasia sel, = invasi membran basalis, = infiltrasi sel radang)
66
Adanya induksi AOM-DSS tanpa pemberian tepung sorgum pada mencit
kelompok kontrol K+ menyebabkan terjadinya edema dan inflamasi akut
yang ditandai dengan infiltrasi sel radang di lamina propia kolon (Gambar
14). Hal ini menyebabkan hiperplasia sel yang merupakan tahap awal
terjadinya kanker kolon. Kejadian ini tidak teramati pada penampakan
patologis kolon kelompok S50 dan S100, yang menunjukkan bahwa
pemberian tepung sorgum mampu mencegah perkembangan kanker kolon.
Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi sorgum dengan derajat sosoh 50%
sebagai 50-100% sumber karbohidrat sangat baik untuk dikonsumsi, terutama
dalam rangka pencegahan penyakit kanker kolon.
Senyawa karsinogenik AOM yang diinjeksikan melalui intraperitoneal
memasuki sel dan mengalami proses metabolisme oleh enzim fase 1
menghasilkan metabolit reaktif. Metabolit reaktif merupakan senyawa radikal
yang mudah berikatan dengan DNA, sehingga DNA sel akan mudah
mengalami mutasi. Kerusakan DNA dan mutasi gen merupakan tahap awal
inisiasi dalam pembentukan sel kanker (Levi 2000).
Gambar 15 Perkiraan model penghambatan kanker oleh komponen bioaktif
sorgum (Salimi 2012)
Induksi AOM
Komponen
bioaktif sorgum
67
Adanya komponen bioaktif pada sorgum dapat berperan sebagai
antioksidan yang dapat mencegah terjadinya pengikatan metabolit reaktif
dengan DNA. Kandungan komponen bioaktif berupa fenolik, flavonoid,
tannin, dan antosianin mempunyai gugus hidroksil pada cincin aromatis.
Fenolik merupakan asam lemah aromatis yang tersubstitusi satu atau lebih,
mudah mengalami oksidasi sehingga menyebabkan fenolik mampu
menangkap senyawa radikal bebas (Benbrook 2005). Efektivitas flavonoid,
tannin, dan antosianin dikarenakan struktur dihidroksi pada cincin, kombinasi
gugus C3-OH dan C5-OH dengan C4 karbonil dan ikatan rangkap pada C2-3
dapat meningkatkan aktivitas menangkap radikal bebas (Amic et al. 2003).
Kemampuan senyawa bioaktif mendonorkan proton atau H+ menangkap
radikal CH3+ menghasilkan CH4 yang dapat dikonjugasi oleh enzim fase II
sehingga mudah dikeluarkan oleh tubuh. Salimi (2012) menggambarkan
perkiraan model penghambatan kanker kolon oleh komponen bioaktif sorgum
pada Gambar 15.
Selain itu, adanya komponen serat pangan pada sorgum, terutama β-
glukan, dilaporkan mampu berperan sebagai prebiotik yang mampu
memberikan efek protektif terhadap penyakit degeneratif seperti kanker
kolon. β-glukan difermentasi oleh bakteri asam laktat di dalam kolon
menghasilkan asam-asam lemak rantai pendek (ALRP), yakni asam asetat,
propionat, dan butirat. Adanya produksi ALRP tersebut dilaporkan banyak
memberikan manfaat terhadap pencegahan kanker kolon. ALRP terutama
asam butirat dilaporkan memiliki efek fisiologis terhadap integritas dan
fungsi epitelial kolon, menghambat proliferasi dan meningkatkan apoptosis
sel-sel kanker (Zobel 2005), bersifat anti-inflamatori (Cheung et al. 2002),
serta mampu meningkatkan sistem imun (Watzl et al. 2005).
4.3 Nilai pH Feses dan Profil Asam Lemak Rantai Pendek (ALRP) Isi Sekum
Mencit Balb/c
Serat pangan merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan
diserap pada usus halus sehingga menjadi substrat yang akan difermentasi
oleh mikroflora ketika mencapai kolon. Produk fermentasi serat pangan
68
berupa asam-asam lemak rantai pendek (ALRP, yaitu asam asetat, propionat,
dan butirat) serta gas-gas (CO2, CH4, dan H2) (Gambar 16). Produk akhir
tersebut selanjutnya akan dieksresikan pada kotoran atau diserap dari kolon
(Henningsson et al. 2001).
Gambar 16 Fermentasi serat pangan pada kolon manusia (Henningsson et
al. 2001)
Penelitian pada tahun 1960-an menyatakan bahwa ALRP sangat sedikit
sekali diserap, serta menyebabkan diare melalui retensi cairan osmotik pada
feses. Namun, belakangan diketahui bahwa sekitar 90% ALRP ternyata
diserap secara cepat oleh kolon serta menstimulasi penyerapan air dan
sodium. Fermentasi karbohidrat yang tidak tercerna mampu menurunkan
beban osmotik serta masing-masing komponen ALRP ini memiliki peran
spesifik, termasuk manfaat kesehatan (Ruppin et al. 1980).
ALRP yang diserap dari kolon dapat digunakan sebagai sumber energi
bagi inangnya, namun hanya sedikit berkontribusi sedikit sekali (5-10%) dari
total energi pada manusia sehat. Mukosa kolon mendapatkan energi dari
ALRP dengan cara mengoksidasinya dengan urutan butirat > propionat >
asetat. ALRP yang diserap kolon kemudian memasuki portal darah hati
(hepatic portal blood) (Wolever 1991).
Pembentukan ALRP dari hasil fermentasi dilaporkan memiliki efek
terhadap metabolisme karbohidrat dan kolesterol. Asam asetat diubah
Serat Pangan
Metabolisme mikrobial
Hidrogen Asetat
Karbon dioksida Propionat Biomassa
Butirat
Flatus Feses Feses
Darah
69
menjadi Asetil-KoA oleh hati, yang merupakan prekursor untuk lipogenesis,
serta dapat menstimulasi glukoneogenesis (Remesy et al. 1992). Asam
propionat juga dimetabolisme di hati dan diketahui mampu menghambat
glukoneogenesis, meningkatkan glikolisis, serta menurunkan konsentrasi
kolesterol plasma melalui penghambatan kolesterogenesis hati (Thorburn et
al. 1993).
Tabel 12 Hasil pengukuran pH feses kelompok mencit
Kelompok Nilai pH feses
K- 7,92 ± 0,23b
K+ 7,97 ± 0,16b
S50 7,70 ± 0,34
ab
S100 7,46 ± 0,35a
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada
taraf 5 % (p<0,05)
Selain berperan sebagai sumber nutrisi bagi sel mukosa, ALRP juga
memiliki efek spesifik yang lain, misalnya meningkatkan aliran darah pada
mukosa (Mortensen et al. 1990). Penuruan pH lumen akibat produksi ALRP
dapat menstimulasi penyerapan mineral melalui peningkatan kelarutan
mineral (Coudray et al. 1997). Selain itu, penurunan pH lumen juga mampu
menurunkan pembentukan asam empedu sekunder (Perrin et al. 2001). ALRP
juga akan menurunkan pH feses yang akan mencegah degradasi konstituen
pangan normal menjadi karsinogen potensial oleh mikroba (Slavin 2007).
Hasil pengukuran pH menunjukkan penggunaan tepung sorgum sebagai
100% sumber karbohidrat (kelompok S100) mampu menurunkan pH feses
yang signifikan dibandingkan kelompok yang lainnya (Tabel 12, Lampiran
7). Hal ini menandakan kelompok S100 memiliki lebih banyak komponen
serat pada sorgum yang lebih mudah difermentasi oleh bakteria kolon,
sehingga akan lebih mampu mengasamkan feses. Sumber serat pada
kelompok kontrol K- dan K+ adalah CMC (Carboxy Methyl Cellulose),
sedangkan ransum kelompok S50 dan S100 mengandung serat CMC dan
serat yang berasal dari sorgum.
Kemampuan terfermentasi dari polisakarida non pati (non stacrh
polysaccharide, NSP) sangat tergantung dari sifat fisikokimianya. Serat
70
pangan larut, seperti pektin dan β-glukan, dapat lebih mudah difermentasi
dibandingkan serat pangan tidak larut, seperti selulosa (Nyman dan Ang
1982). Sumber serat pada kelompok kontrol merupakan CMC, yakni selulosa
yang telah dimodifikasi dengan gugus karboksimetil (-CH2-COOH) yang
terikat pada beberapa gugus hidroksil dari monomer glukopiranosa yang
membentuk tulang punggung selulosa. Berbeda dengan turunan selulosa
lainnya, CMC mengandung garam karboksil yang membuatnya lebih mudah
larut dalam air. CMC sebagai turunan selulosa memiliki kemampuan
terfermentasi oleh bakteria kolon yang rendah (Metzler-Zebeli et al. 2010).
Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa kelompok S100 memiliki pH
feses yang lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Hasil yang sama
juga ditunjukkan dari hasil penelitian Smits et al. (1997) yang menyatakan
bahwa pH isi kolon tidak dipengaruhi oleh adanya pemberian CMC pada
ransum ayam broiler.
Pada manusia dan babi, fermentasi serat pangan terjadi pada kolon
bagian proksimal. Sebaliknya pada rodensia, tempat utama terjadinya
fermentasi adalah sekum. Oleh karena itu, pengukuran ALRP pada penelitian
ini menggunakan sampel isi sekum (Martin et al. 1998). Adapun total ALRP
yang dinyatakan pada hasil penelitian ini merupakan penjumlahan dari
komponen ALRP yang mampu terdeteksi oleh Gas Chromatography, yakni
asam asetat, propionat, butirat, isobutirat, dan isovalerat.
Tabel 13 Hasil pengukuran asam lemak rantai pendek (ALRP) isi sekum
kelompok mencit
Jenis ALRP Jumlah ALRP (µmol/g)
K- K+ S50 S100
Asam asetat 9,135 6,145 9,919 11,575
Asam propionat 2,082 0,760 2,029 3,589
Asam butirat 1,892 0,313 2,608 2,754
Total ALRP 13,641 7,423 14,996 18,324
Jumlah ALRP dari hasil fermentasi serat pangan pada sekum mencit
dapat dilihat pada Tabel 13. Adapun hasil pengukuran ALRP merupakan
hasil analisis dari sampel gabungan isi sekum dari semua mencit pada setiap
kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya β-glukan dari
71
sorgum menyebabkan kelompok perlakuan S50 dan S100 memiliki jumlah
ALRP yang lebih tinggi dibandingkan kelompok K- dan K+ yang sumber
seratnya berupa CMC. Hasil pengukuran total ALRP pada kelompok S100
yang lebih tinggi dibandingkan kelompok S50 menunjukkan bahwa semakin
banyak tepung sorgum yang ditambahkan menyebabkan β-glukan yang
tersedia untuk difermentasi lebih banyak, sehingga jumlah ALRP yang
dihasilkan juga semakin tinggi.
Karena kemampuan terfermentasinya yang rendah, sumber serat berupa
CMC pada kelompok kontrol yang menyebabkan produksi ALRP yang lebih
rendah dibandingkan kelompok sorgum. Hasil penelitian Smits et al. (1997)
menunjukkan bahwa pemberian CMC pada ayam broiler menghasilkan
jumlah ALRP yang lebih rendah dibandingkan pemberian pektin. Hal yang
serupa juga dilaporkan oleh Metzler-Zebeli et al. (2010) yakni pemberian β-
glukan pada ransum babi terlihat lebih meningkatkan jumlah ALRP pada
feses bila dibandingkan dengan pemberian CMC.
Meskipun kelompok K- dan K+ menggunakan sumber serat pangan
yang sama, yakni CMC, namun terlihat jumlah ALRP pada kelompok K+
lebih rendah dibandingkan kelompok K-. Hal ini dikarenakan adanya kondisi
distress akibat induksi AOM-DSS yang menyebabkan menurunnya konsumsi
ransum pada kelompok K+ (Tabel 9). Menurunnya konsumsi ransum pada
kelompok ini menyebabkan jumlah serat pangan yang tersedia untuk
difermentasi juga lebih sedikit. Akibatnya jumlah ALRP yang dihasilkan
menjadi sangat rendah.
Selain itu, komposisi asam asetat, propionat, dan butirat yang
dihasilkan selama fermentasi juga tergantung jenis serat pangan. Meskipun
proporsi relatif dari ALRP dapat berbeda-beda, namun asam asetat umumnya
merupakan produk utama. Pektin merupakan sumber yang baik untuk asam
asetat. Arabinogalaktan dan guar gum merupakan sumber yang kurang baik
bagi asam asetat, namun mampu menghasilkan asam propionat dalam jumlah
tinggi. Pati, inulin, raffinosa dan β-glukan diketahui mampu menghasilkan
asam butirat dalam jumlah tinggi selama fermentasi (Casterline et al. 1997).
72
Adapun fermentasi CMC cenderung lebih menghasilkan asam asetat dan
propionat Metzler-Zebeli et al. (2010).
Kelompok S50 dan S100 memiliki jumlah asam butirat yang lebih
tinggi dibandingkan kelompok K- dan K+ (Tabel 13). Jumlah asam butirat
juga meningkat seiring semakin banyaknya tepung sorgum yang ditambahkan
pada ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Casterline et al. (1997) yang
menyatakan bahwa fermentasi β-glukan akan menghasilkan jumlah asam
butirat yang tinggi. Pemberian β-glukan yang berasal dari oat dan barley pada
tikus percobaan menunjukkan distribusi molar asam butirat sebanyak 15%
dan sebanyak 26% pada penelitian in vitro (Henningsson et al. 2001).
Selain jenis serat, waktu juga berperan terhadap adaptasi mikroflora
yang selanjutnya akan menentukan pola ALRP yang akan terbentuk selama
fermentasi. Pemberian pati kentang mentah pada tikus selama 4 minggu
menunjukkan peningkatan proporsi asam butirat yang signifikan pada sekum.
Namun, penambahan lama waktu adaptasi menjadi 6 minggu ternyata tidak
memberikan efek terhadap proporsi asam butirat (Henningson et al. 2001).
Asam butirat merupakan substrat energi utama bagi sel-sel kolon dan
dimetabolisme menjadi glukosa dan glutamin, yang memenuhi 70%
kebutuhan mukosa kolon. Asam butirat dilaporkan berperan penting dalam
pencegahan dan perawatan dari penyakit mukosa kolon, misalnya peradangan
kolon bagian distal serta kanker kolon (Scheppach et al. 1995). Hal ini
didukung oleh penelitian mengenai pemberian diet kaya β-glukan dari oat
mampu menurunkan sakit abdominal dan refluks gastroesofageal pada pasien
ulcerative colitis (radang usus). Hal ini dikarenakan diet kaya β-glukan dari
dedak oat diketahui dapat meningkatkan konsentrasi asam butirat pada feses
(Henningsson et al. 2001).
Meskipun asam butirat berperan sebagai sumber energi utama untuk
epitel kolon normal dan menstimulasi pertumbuhan mukosa kolon, namun
pertumbuhan sel tumor pada kolon justru terhambat. Asam butirat juga
mampu meningkatkan diferensiasi sel dan menstimulasi apoptosis pada sel
tumor. Pada hewan model, konsentrasi asam butirat yang tinggi pada kolon
yang dihasilkan dari fermentasi dedak gandum, pati resisten, dan
73
fruktooligosakarida diketahui mampu menjadi agen protektif terhadap
karsinogenesis kolon akibat induksi karsinogen (Perrin et al. 2001b).
Karena asam butirat diketahui bermanfaat bagi kesehatan kolon, maka
terdapat beberapa penelitian mengenai usaha pemberian butirat dalam bentuk
tunggal secara oral kepada hewan percobaan. Deschner et al. (1990) mencoba
memberikan 5% tributirin dalam diet mencit yang diinduksi azoksimetana
(AOM), namun tidak terlihat adanya efek protektif terhadap pembentukan
tumor kolon. Caderni et al. (1998) memberikan 1,5% (b/b) sodium butirat
(150 mg butirat per hari) yang akan terlepas secara lambat hingga mencapai
kolon tikus F344 yang diinduksi AOM, namun tidak terlihat manfaatnya
terhadap pencegahan pembentukan kripta aberan (prekursor kanker kolon),
meskipun jumlah butirat yang tersedia pada kolon lebih tinggi dibandingkan
kontrol. Hal yang sama juga terlihat bahwa pemberian pellet 1,5% (b/b)
sodium butirat tidak menunjukkan adanya efek butirat terhadap apoptosis sel-
sel tumor (Caderni et al. 2001). Akan tetapi, masih diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk memahami perbedaan peranan butirat yang diberikan dalam
bentuk tunggal maupun yang dihasilkan dari fermentasi serat pangan dalam
perkembangan karsinogenesis kolon.
4.4 Aktivitas Enzim β-glucoronidase pada Mencit Balb/c
Penelitian mengenai kemampuan bakteria kolon dalam pembentukan
berbagai mutagen, karsinogen, dan promotor tumor, baik dari makanan yang
dikonsumsi maupun prekursor yang diproduksi secara endogenus telah
banyak dilakukan (Rowland 1995). Bakteria ini mampu berperan dalam
berbagai aktivitas metabolik, termasuk pembentukan metabolit yang bersifat
toksik, transformasi asam empedu, serta hidrolisis dari obat-obatan. Reaksi-
reaksi tersebut dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteria kolon,
sehingga pengukuran mengenai enzim tersebut akan memberikan indikasi
mengenai kemampuan bakteri dalam mendukung terjadinya transformasi
(Shiau dan Chang 1983).
Salah satu enzim bakteria kolon yang memiliki aktivitas penting adalah
β-glucoronidase. Enzim ini menghidrolisis MAM-GlcUA (metilazoksi-
74
metanol-glukoronida), yang merupakan hasil konjugasi MAM (metilazoksi-
metanol) dengan asam glukoronat ketika mencapai kolon. MAM dihasilkan
dari reaksi detoksifikasi fase I dari AOM (azoksimetana) oleh Cytochrome
P450 di hati. MAM-GlcUA yang dihasilkan dari reaksi detoksifikasi fase II
tersebut bersifat non karsinogen, namun adanya β-glucoronidase akan
menghidrolisis konjugat tersebut melepaskan MAM bebas yang merupakan
karsinogen aktif. Konsentrasi MAM bebas yang tinggi pada mukosa kolon
akan meningkatkan oksidasi MAM oleh ADH (Alcohol Dehidrogenase)
melalui reaksi alkilasi menghasilkan ion methyl carbonium. Ion tersebut
bersifat hidrofilik dan mampu berkonjugasi dengan DNA. Terjadinya mutasi
DNA tersebut merupakan awal dari karsinogenesis kolon (Takada et al. 1982,
Rosenberg et al. 2009)
Humblot et al. (2007) menyatakan bahwa β-glucoronidase mampu
menjadi biomarker pembentukan kanker kolon karena enzim ini berpotensi
mengaktifkan toksin glukoronida hati dan mutagen. Kadar β-glucoronidase
pada kolon dapat menggambarkan resiko karsinogenesis kolon. Kadar enzim
ini dilaporkan meningkat seiring meningkatnya konsumsi protein dan lemak
hewani, serta menurun seiring meningkatnya konsumsi serat pangan (Shiau
dan Chang 1983).
Aktivitas enzim β-glucoronidase berhubungan dengan sekresi asam
empedu. Asam empedu tersebut disekresikan pada duodenum dalam bentuk
konjugat, yang kemudian didegradasi oleh enzim yang dihasilkan bakteri usus
menjadi produk dekonjugasi atau asam empedu sekunder. Ekskresi konjugat
asam empedu mampu meningkatkan ekskresi β-glucoronidase oleh
Eschericia coli dan Clostridium perfringens. Ekskresi asam empedu pada
feses dilaporkan meningkat seiring tingginya konsumsi lemak (Fujisawa dan
Mori 1997).
β-glucoronidase diproduksi oleh bakteria kolon, terutama oleh
Eschericia coli dan Clostridium perfringens (Jenab dan Lilian 1996). Secara
umum, adanya spesies Bifidobacterium dan Lactobacillus berkaitan dengan
penurunan aktivitas enzim yang berperan dalam pembentukan karsinogen.
Hal ini dikarenakan bakteri asam laktat hanya sedikit sekali menghasilkan β-
75
glucoronidase. Oleh karena itu, peningkatan proporsi bakteri asam laktat di
dalam usus dapat menurunkan aktivitas enzim tersebut (Saito et al. 1992).
Tempat utama terjadinya fermentasi serat pangan pada usus besar
terjadi pada bagian sekum (Zdunczyk et al. 2006). Sekum merupakan bagian
awal usus besar, setelah akhir usus halus. Oleh karena itu karena itu
pengukuran aktivitas enzim mikroba dapat dilakukan pada bagian sekum.
Penelitian ini mengukur aktivitas β-glucoronidase pada dinding sekum. Hal
ini dilakukan karena enzim ini selain terdapat pada isi sekum juga bisa
ditemukan pada dinding sekum (Gadelle et al. 1985).
Pengukuran aktivitas β-glucoronidase dilakukan menggunakan
phenolphtalein glucoronida. Adanya enzim β-glucoronidase di dalam sampel
akan melepaskan phenolphtalein dari glukoronida, sehingga dapat digunakan
sebagai prinsip pengukuran aktivitas enzim ini. Aktivitas β-glucoronidase
sebanding dengan jumlah phenolphtalein yang dilepaskan, yang mana
diperkirakan menggunakan kurva standar phenolphtalein. Aktivitas spesifik
dihitung sebagai nmol phenolphthalein yang dilepaskan/mg protein
sekum/menit, sedangkan aktivitas total β-glucuronidase ditentukan sebagai
nmol phenolphthalein yang dilepaskan/ mg sekum/menit (Jenab dan Lilian
1996).
Tabel 14 Aktivitas enzim β-glucoronidase pada kelompok mencit
Kelompok Aktivitas β-glucuronidase
Aktivitas spesifik
(nmol PP/ mg protein sekum/ menit)
Aktivitas total
(nmol PP/ sekum/ menit)
K- 6,16 ± 2,46a 241,80 ± 103,71
a
K+ 21,45 ± 6,36c 504,48 ± 128,64
c
S50 11,32 ± 2,55b 343,29 ± 62,05
b
S100 10,79 ± 3,72b 247,46 ± 76,49
ab
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5
% (p<0,05).
Tabel 14 menunjukkan hasil pengukuran aktivitas enzim β-
glucuronidase pada kelompok mencit. Adanya induksi AOM-DSS tanpa
pemberian tepung sorgum pada kelompok K+ menyebabkan mencit pada
kelompok ini memiliki aktivitas spesifik dan aktivitas total β-glucuronidase
yang secara signifikan lebih tinggi diantara kelompok yang lain. Pemberian
76
tepung sorgum pada mencit percobaan yang diinduksi AOM-DSS (kelompok
S50 dan S100) menunjukkan bahwa serat pada tepung sorgum secara
signifikan mampu menurunkan aktivitas spesifik dan aktivitas total β-
glucoronidase dibandingkan pada kelompok K+ (Lampiran 8). Penurunan
aktivitas enzim β-glucoronidase menunjukkan bahwa pemberian tepung
sorgum mampu menurunkan resiko kanker kolon. Adapun penurunan
aktivitas enzim tersebut diduga adanya pengaruh dari jenis serat yang
digunakan dalam komposisi ransum.
Kelompok kontrol menggunakan sumber serat berupa CMC,
sedangkan kelompok perlakuan menggunakan campuran serat CMC dan serat
yang berasal dari sorgum. Serat pangan yang terdapat sorgum adalah selulosa,
hemiselulosa, lignin, dan β-glukan. Serat tidak larut seperti selulosa,
hemiselulosa, dan lignin umumnya tahan terhadap degradasi mikrobial
sehingga hanya sebagian kecil yang terfermentasi. Sebaliknya hampir semua
serat larut β-glukan dapat dengan cepat difermentasi secara sempurna. β-
glukan diketahui berpotensi mencegah terjadinya penyakit degeneratif seperti
hiperglikemia, hiperkolesterolemia, obesitas, penyakit kardiovaskular,
kanker, dan membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik (Laroche dan
Michaud 2006).
Karena β-glukan lebih difermentasi secara sempurna, maka β-glukan
akan lebih disukai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat dibandingkan
selulosa. Dengan adanya kandungan serat β-glukan, pemberian sorgum
diduga akan lebih meningkatkan jumlah bakteri asam laktat, yang mana
bakteri ini sedikit sekali memproduksi enzim β-glucoronidase, sehingga akan
menurunkan aktivitas enzim tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, CMC memiliki kemampuan
terfermentasi yang rendah sehingga lebih sedikit menghasilkan asam-asam
lemak rantai pendek yang dapat mengasamkan lingkungan kolon. Hal ini
dapat menyebabkan kelompok kontrol (K- dan K+) memiliki jumlah bakteri
asam laktat yang lebih sedikit dibandingkan kelompok sorgum (S50 dan
S100). Hanya saja penelitian mengenai jumlah bakteri asam laktat pada isi
sekum tidak dilakukan pada penelitian ini.
77
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Metzler-Zebeli et al. (2010) yang
menyatakan bahwa babi yang displementasi CMC memiliki jumlah
Lactobacilli yang lebih rendah dibandingkan pada babi yang disuplementasi
β-glukan. Meskipun kelompok K- memiliki sumber serat yang sama dengan
kelompok K+ yakni berupa CMC, namun aktivitas β-glucoronidasenya
terlihat lebih rendah dibandingkan pada kelompok yang diberikan sorgum.
Hal ini dikarenakan kelompok K- tidak diberikan induksi karsinogen,
sehingga aktivitas hidrolisis produk konjugasi hasil detoksifikasi karsinogen
juga lebih rendah.
Shiau dan Chang (1983) melakukan penelitian mengenai peranan
beberapa jenis serat pangan terhadap aktivitas spesifik enzim β-
glucoronidase. Penelitian ini menggunakan jenis serat berupa guar gum,
pektin, karagenan, dan selulosa (masing-masing sebanyak 15% dalam diet)
yang dibandingkan dengan pemberian diet bebas serat pada kelompok tikus
percobaan. Kelompok tikus bebas serat memiliki aktivitas spesifik β-
glucoronidase yang paling tinggi dibandingkan kelompok tikus yang lain,
yakni 5,8±0,7 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N), diikuti karagenan
(1,8±0,6 mol phenolphtalein/ (menit*mg N)), selulosa (1,2±0,4 µmol
phenolphtalein/ (menit*mg N)), guar gum (1,0±0,3 µmol phenolphtalein/
(menit*mg N)), dan pektin (0,8±0,1 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N)).
Hal yang sedikit berbeda terlihat pada hasil pengukuran aktivitas total.
Kelompok tikus bebas serat masih memiliki aktivitas total yang paling tinggi,
yakni 894±207 µmol phenolphtalein/ (menit*hari), kemudian diikuti selulosa
(303±110 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)), karagenan (243±108 µmol
phenolphtalein/ (menit*hari)), guar gum (208±55 µmol phenolphtalein/
(menit*hari)), dan pektin (112±32 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)).
Pada penelitian ini, penurunan aktivitas β-glucoronidase pada kelompok
sorgum diduga hanya terjadi karena adanya peningkatan jumlah bakteria
asam laktat yang hanya sedikit sekali memproduksi enzim tersebut. Hal ini
dikarenakan enzim β-glucoronidase memiliki pH optimum sekitar 6,5 – 7,0
(Gadelle et al. 1984). Hasil pengukuran pH feses menunjukkan bahwa semua
kelompok mencit memiliki pH feses di atas 7,0. Hasil tersebut menandakan
78
bahwa semua kelompok mencit memiliki pH lingkungan kolon yang bukan
merupakan pH optimum bagi β-glucoronidase ini. Oleh karena itu, penurunan
aktivitas enzim ini diduga terjadi karena penurunan jumlah enzim yang
diproduksi akibat meningkatnya proporsi bakteria asam laktat.
4.5 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel T Helper (CD4) dan En-
zim Kaspase-3 pada Kolon Mencit Balb/c dengan Pewarnaan Imuno-
histokimia (IHK)
Inumohistokimia (IHK) merupakan salah satu metode kuantitatif untuk
mendeteksi reaksi antigen-antibodi sebagai manifestasi interaksi antigen-
antibodi primer (Bellanti 1993). Istilah imunohistokimia lebih disukai sebagai
teknik pemeriksaan imunologis pada potongan jaringan. Imunohistokimia
adalah suatu metode pewarnaan antigen (misalnya protein dan karbohidrat)
pada sel dari jaringan menggunakan prinsip dasar imunologi yaitu pengikatan
antigen pada sisi aktif yang spesifik dengan antibodi (Brandtzaeg et al. 1997).
Pereaksi yang digunakan adalah antibodi poliklonal atau monoklonal
yang harus diujikan pada potongan jaringan. Hasil reaksi antigen dan antibodi
ini dapat diidentifikasi pada spesimen karena antibodi diikat oleh suatu
penanda yang dapat divisualisasikan, sehingga dapat menandai kerberadaan
antigen di dalam jaringan (Nurhidayat 2002). Adapun cara yang paling sering
digunakan untuk memvisualisasikan hasil interaksi antigen dan antibodi
adalah dengan konjugasi antibodi dengan enzim seperti peroksidase (Rantam
2003).
Teknik imunohistokimia polimer peroksidase merupakan teknik yang
yang banyak digunakan. Teknik ini mengunakan dua macam antibodi, yaitu
antibodi primer dan antibodi sekunder yang yang telah dikonjugasikan
dengan peroksidase. Reaksi yang ditimbulkan dapat diamati dengan
mikroskop cahaya yang dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas
produk warna yang terbentuk. Antibodi primer akan berikatan dengan antigen
pada jaringan yang dideteksi. Antibodi primer selanjutnya akan berikatan
dengan antibodi sekunder yang telah dilabel dengan peroksidase, sehingga
keberadaan enzim peroksidase ini melambangkan adanya kompleks antigen-
79
antibodi. Untuk dapat mendeteksi peroksidase ditambahkan suatu kromogen
yang dapat menghasilkan warna pada suatu reaksi sehingga produk dapat
tervisualisasi (Lehr et al. 1999). Kromogen yang digunakan adalah DAB
(3,3-diaminobenzidine) sehingga menghasilkan produk berwarna coklat.
Pewarnaan IHK yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dua
jenis antibodi primer, yaitu antibodi anti CD4 dan antibodi anti kaspase-3.
CD4 merupakan protein penanda permukaan sel T helper dan kaspase-3
merupakan penanda apoptosis.
4.5.1 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel Th (CD4)
Limfosit pada mukosa usus pertama kali berinteraksi dengan antigen
dalam jaringan limfoid yang terorganisasi (Peyer’s patch dan folikel limfoid
pada kolon), kemudian berdiferensiasi dan matang di pusat germinal pada
folikel limfoid. Setelah itu, limfosit akan dengan cepat meninggalkan mukosa
dan bermigrasi melalui mesenteric lymphoid nodes (MLN) dan duktus toraks
(thoracic duct) untuk mencapai sirkulasi sistemik (Stephen dan Martin 1994).
Serat pangan dapat memodifikasi proporsi sel limfosit T CD4 dan CD8
pada MLN. Sel Tc CD8 meregulasi perkembangan sel Th CD4 dengan
memproduksi IFN-γ atau sitokin lainnya yang menekan perkembangan sel
Th2 dan mendukung perkembangan sel Th2. Sel Th1 memproduksi IL-2,
IFN-γ, dan limfotoksin, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-4 dan Il-5. Pada
tikus yang diberikan ransum mengandung pektin, proporsi CD4 yang tinggi
dan proporsi CD8 yang lebih rendah terlihat dari jumlah IFN-γ yang
terbentuk dibandingkan pada tikus yang diberi serat selulosa, chitosan, dan
konjak mannan. Hal ini menunjukkan bahwa pektin mampu memediasi
terjadinya diferensiasi sel T menjadi sel Th (CD4) (Lim et al. 1997).
Hipotesis mengenai kemampuan serat pangan dalam meningkatkan
proliferasi sel limfosit dilaporkan berkaitan dengan produksi asam-asam
lemak rantai pendek (ALRP), asetat, propionat, dan butirat, sebagai hasil
fermentasi serat pangan (Schley dan Field 2002). Produksi ALRP, terutama
butirat, di dalam kolon mampu menurunkan kebutuhan sel-sel epitel akan
gluthamine, sehingga glutamin yang ada dapat digunakan oleh sel-sel lainnya,
80
misalnya sel imun (Jenkins et al. 1999). Produksi ALRP dikatakan mampu
meningkatkan level glutamin dalam serum, yang mana glutamin merupakan
sumber energi penting untuk sel limfosit (Wu et al. 1991).
Adanya komponen fenolik juga dapat berperan sebagai antioksidan
yang mampu melindungi sel limfosit dari stress oksidatif, yang diduga
melalui kemampuannya dalam mendonorkan elektron atau mekanisme
menangkap (scavanger) radikal bebas menjadi produk non reaktif dan
kemampuan sebagai pengkelat logam (quencher) sehingga tidak memicu
terbentuknya radikal bebas hidroksil (OH*) yang bersifat sangat reaktif
merusak sel. Menurut Haliwell dan Gutteridge (2000) radikal bebas dapat
dihasilkan selama proses pembentukan ATP atau transport elektron, namun
jumlah radikal yang dihasilkan dapat diseimbangkan oleh jumlah komponen
fenolik ata sistem antioksidan yang ada dalam tubuh sehingga tidak terjadi
stress oksidatif pada sel limfosit.
LH + LOO*
ArOH + LOO* LOOH +ArOH* (a)
ArO* + LO* LOO – ArO
ArOH + M AOH – M (b)
Gambar 17 Reaksi scavanger (a) dan reaksi quencher (b) dari komponen
fenolik (Hall dan Cuppet 1997)
Mekanisme scavanger senyawa antioksidan fenolik (ArOH) melalui
pemberian elektron pada radikal peroksil (LOO*) sehingga radikal peroksil
tidak bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh (LH) dan terbentuk radikal
yang lebih stabil seperti hidroperoksida (LOOH) dan radikal fenoksil (ArO*)
(reaksi a). Radikal fenoksil bereaksi dengan radikal alkoksil (LO*)
membentuk produk non radikal atau non reaktif (LOO-ArO) dan mekanisme
pengkelat logam (reaksi b) (Hall dan Cuppet 1997). Dugaan mekanisme
81
komponen fenolik dalam melindungi sel limfosit dari stress oksidatif dapat
dilihat pada Gambar 17.
Selain itu, peningkatan respon proliferasi sel limfosit juga diduga
karena komponen fenolik seperti asam ferulat, p-caumarin, dan flavonoid,
yang sangat mudah berikatan protein (Rooney 2005). Terikatnya senyawa
fenol pada protein reseptor membran limfosit akan mengaktivasi sistem
enzim membran yang berperan dalam proliferasi. Pengikatan komponen
bioaktif sorgum pada reseptor permukaan sel T mengaktivasi protein G yang
selanjutnya mengaktivasi fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil
inositol bifosfat (PIP2) menjadi produk reaktif diasilgliserol (DAG) dan
inositol trifosfat (IP3), dua molekul yang berperan dalam penandaan
membran sel. Inositol trifosfat berdifusi dari membran plasma ke sitosol dan
berikatan dengan protein reseptor pada permukaan sitoplasmik Calcium-
sequestering Compartement. Pengikatan tersebut menyebabkan terbukanya
pintu saluran Ca2+
dan berakibat pada peningkatan konsentrasi Ca2+
sitosol.
Peningkatan Ca2+
ini berperan penting dalam menstimulasi kerja enzim
protein kinase C. Protein kinase C teraktivasi memfosforilasi atau
memindahkan gugus fosfat ke residu serin atau treonin spesifik pada protein
membran sehingga mengaktivasi pertukaran Na+-H
+ dan berakibat pada
peningkatan pH. Peningkatan pH tersebut memberi tanda pada sel untuk
melakukan proliferasi. Pengikatan ion Ca2+
pada kalmodulin menyebabkan
perubahan konformasi protein dan mengaktivasi enzim protein kinase C yang
berperan dalam produksi interleukin-2 (IL-2) yang selanjutnya mengaktivasi
sel limfosit B dan T untuk berproliferasi (Alberts et al. 1994, Tejasari 2007).
Adapun ekspresi CD4 dari hasil penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 18. Adanya protein penanda permukaan ini menunjukkan adanya sel
limfosit Th pada kolon mencit. Meskipun sel Th tidak bersifat sitotoksik bagi
sel kanker, tetapi dapat berperan dalam respon antikanker dengan
memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan oleh sel Tc menjadi sel
efektor. Sel yang mengandung kanker akan mengekspresikan antigennya
bersama molekul MHC I yang kemudian membentuk kompleks melalui TCR
(T-cell Receptor) dari sel Tc dan mengaktivasi sel Tc untuk menghancurkan
82
sel kanker tersebut. Namun, sebagian kecil dari sel kanker akan
mengekspresikan antigen kanker bersama MHC kelas II, sehingga dapat
dikenali dan membentuk kompleks dengan limfosit T helper. Hal ini
menyebabkan sel Th teraktivasi, terutama subset Th1, untuk mensekresi
limfokin IFN-γ dan TNF-α yang mana keduanya akan merangsang antigen
kanker untuk lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC kelas I dan
sensitivitas sel kanker terhadap lisis oleh sel Tc. Hal ini akan lebih
mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel Tc terhadap sel-sel kanker (Delves dan
Roitt 2000a).
Gambar 18 Fotomikrograf kolon mencit dengan histopatologi IHK
menggunakan antibodi anti-CD4. K- (Kelompok kontrol nega-
tif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 (Kelom-
pok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum 100%
+ AOM-DSS). = positif CD4 ditandai warna coklat.
Hasil pengujian atau skoring penanda CD4 pada penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum sebanyak 50% dan 100%
K- K+
S50 S100
83
sebagai pengganti sumber karbohidrat maizena tidak mampu meningkatkan
ekspresi CD4 pada mencit yang diinduksi kanker kolon. Hal ini ditunjukkan
oleh skor penanda CD4 kelompok S50 dan S100 yang tidak berbeda nyata
dengan kelompok K+ (Tabel 15, Lampiran 9).
Tabel 15 Pengujian penanda CD4 pada kolon mencit dengan pewarnaan
IHK menggunakan antibodi anti-CD4
Kelompok Skor penanda CD4
K- 1,20 ± 0,45
a
K+ 1,67 ± 1,63
ab
S50 2,33 ± 1,03
ab
S100 2,67 ± 0,82
b
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5
% (p<0,05)
Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa β-glukan, yang
merupakan salah satu komponen serat pada sorgum, diketahui bermanfaat
bagi kesehatan karena dapat meningkatkan fungsi imun dan memiliki efek
antitumor (Knudsen et al. 1993). Suplementasi β-glukan dari ekstrak
Saccharomyces cerivisiae pada babi, menunjukkan bahwa β-glukan mampu
berperan sebagai imunomodulator dengan menumbuhkan reaksi imun
spesifik dan meningkatkan imunitas nonspesifik serta toleransi terhadap
antigen oral. Babi yang disuplementasi 0,02% β-glukan terlihat memiliki
jumlah MHC II (Major Histocompatibility Complex), CD4, dan CD8 yang
lebih tinggi dibandingkan pada kelompok babi yang diberi antibiotik,
antibiotik dan 0,02% β-glukan, serta kelompok tanpa antibiotik atau β-glukan
(Hahn et al. 2006).
Penelitian Suzuki et al. (1989) menunjukkan bahwa mencit yang
disuplementasi 40 dan 80 mg/kg β-glukan dari filtrat kultur jamur Sclerotina
sclerotiorum memiliki respon proliferatif sel-sel limfosit yang lebih tinggi
dibandingkan pada mencit yang diberikan ransum standar. Adminitrasi 80
mg/kg β-glukan secara oral juga mampu meningkatkan aktivitas sel natural
killer dan aktivitas enzim lisosomal dari makrofag peritoneal.
Puspawati (2009) juga melaporkan bahwa pemberian tepung sorgum
yang disosoh selama 20 detik sebanyak 50 dan 100% pada tikus percobaan
84
mampu meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit sebesar 70 dan 63%.
Secara in vitro, ekstrak sorgum menggunakan pelarut etil asetat, etanol, dan
heksana juga dilaporkan mampu menstimulasi proliferasi sel-sel limfosit
(Salimi 2012).
4.5.2 Evaluasi Keberadaan Penanda Enzim Kaspase-3
Selain keberadaan penanda permukaan CD4, keberadaan enzim
apoptosis juga penting diamati untuk melihat kemampuan suatu bahan
pangan sebagai pencegah kanker kolon. Apoptosis merupakan kematian sel
yang terprogram, yang merupakan proses fisiologis penting dalam
perkembangan normal untuk menjaga homeostasis sel. Peningkatan apoptosis
dari sel-sel kanker dapat digunakan sebagai salah satu metode representatif
untuk mencari potensi antikanker dari suatu bahan. Adapun β-glukan
dilaporkan memiliki efek apoptosis terhadap sel kanker kolon melalui jalur
kaspase-3 (Kim et al. 2009). Oleh karena itu, keberadaan β-glukan pada
sorgum menjadi sangat menarik untuk diteliti dalam kaitannya dengan
keberadaan enzim ini.
Kaspase-3 merupakan salah satu jenis kaspase efektor yang berperan
dalam aktivasi proteolitik selama apoptosis, dengan sasaran morfologis
berupa perubahan ukuran inti sel (Foitzik et al. 2009). Adanya ekspresi
kaspase-3 pada jaringan kolon dapat diamati pada Gambar 19. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian sorgum mampu meningkatkan
ekspresi kaspase-3 pada kolon mencit. Hal ini dapat dilihat dari skor penanda
kaspase-3 pada kelompok S50 dan S100 yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan kelompok K+ (Tabel 16, Lampiran 10).
Tabel 16 Skor penanda kaspase-3 pada kolon dengan pewarnaan IHK
Kelompok Skor penanda Kaspase-3
K- 1,00 ± 0,71
a
K+ 1,20 ± 0,45
a
S50 2,80 ± 0,84
b
S100 2,80 ± 1,10
b
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf
5%
85
Meskipun telah banyak dilaporkan efek anti-tumor dari β-glukan,
namun mekanisme antikanker kolon melalui jalur kaspase masih belum
diketahui secara pasti. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2009)
menunjukkan bahwa β-glukan dari hasil fermentasi strain mutan spesies
Aureobasidum mampu menginduksi terjadinya apoptosis pada sel kanker
kolon manusia SNU-C4. Penambahan β-glukan pada kultur sel mampu
menghambat proliferasi sel, menyebabkan apoptosis, perubahan morfologi
sel, dan ekspresi gen apoptosis, serta meningkatkan aktivitas enzim kaspase-
3. Aktivitas enzim kaspase-3 pada kultur sel SNU-C4 yang diberikan 50 dan
100µg/mL secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada sel SNU-C4
tanpa β-glukan, meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara
konsentrasi β-glukan 50 dan 100µg/mL.
Gambar 19 Fotomikrograf kolon mencit dengan histopatologi IHK
menggunakan antibodi anti-Kaspase-3. K- (Kelompok kontrol
negatif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 (Ke-
lompok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum
100% + AOM-DSS). = positif Kaspase-3 ditandai warna
coklat.
K- K+
S50 S100
86
Induksi terjadinya apoptosis sel-sel tumor oleh butirat sebagai hasil
fermentasi serat pangan di dalam kolon juga dikatakan sebagai salah satu
mekanisme penting dalam perlindungan terhadap kanker kolon. Butirat
diketahui merupakan inhibitor histone deacetylase yang menyebabkan
relaksasi kromatin dan merubah ekspresi gen, sehingga dapat menginduksi
terjadinya apoptosis melalui derepresi gen kematian sel yang spesifik.
Adanya perubahan struktur kromatin tersebut menyebabkan ekspresi protein
yang memfasilitasi jalur dimana mitokondria akan mengaktifkan kaspase-3
dan memicu apoptosis sel-sel kanker. Struktur kromatin yang lebih terbuka
menyebabkan daerah internukleosomal DNA lebih mudah dipotong oleh
endonuklease apoptotik (Medina et al. 1997).
Ruemmele et al. (2003) juga melaporkan peranan butirat dalam
mekanisme apoptosis melalui jalur mitokondria. Aktivasi kaspase dimediasi
oleh kelompok protein Bcl-2 yang berperan sebagai anti-apoptosis dan
kelompok protein Bax yang berperan sebagai pro-apoptosis. Pada jalur
aoptosis melalui mitokondria, rasio ekpresi dari kelompok protein pro-
apoptosis dan anti-apoptosis dapat menunjukkan pertahanan atau kematian
sel.
Adanya butirat dapat menurunkan kadar Bcl-2 dan meningkatkan kadar
Bax. Meningkatnya kadar Bax akan merubah permeabilitas membran
mitokondria dan membentuk saluran ion. Perubahan pada bagian terluar
membran ini menyebabkan keluarnya molekul apoptosis mitokodria, seperti
sitokrom c atau apoptosis inducing factor (AIF). Di dalam sitosol, sitokrom c
dengan keberadaan ATP akan bergabung dengan APAF-1 (Apoptotic
Protease Activating Factor - 1) dan proenzim kaspase-9 membentuk
apoptosom. Hal ini menyebabkan aktivasi kaspase-9 dan turunannya,
kaspase-3, yang menyebabkan kematian sel melalui apoptosis (Ruemmele et
al. 2003).
Adapun konsentrasi millimolar butirat yang dibutuhkan untuk
menginduksi terjadinya apoptosis adalah sama dengan yang dibutuhkan untuk
diferensiasi dan pertumbuhan (McIntyre et al. 1993). Namun konsentrasi
butirat intraseluler yang efektif belum diketahui karena butirat dimetabolisme
87
dengan sangat cepat di mitokondria melalui β-oksidasi. Akibatnya sel-sel
yang memiliki laju metabolisme butirat yang tinggi menjadi lebih tidak rentan
terhadap efek apoptosis. Oleh karena itu, hal ini dapat menjelaskan mengapa
sel kolonosit normal menggunakan butirat menjadi sumber energi utama
tanpa terpengaruh efek apoptosis, meskipun konsentrasi butirat dalam kolon
tinggi (150mM) (Roediger 1982).
Terjadinya apoptosis selain diduga karena adanya efek dari asam butirat
juga diduga merupakan akibat komponen bioaktif terdapat pada biji sorgum.
Komponen bioaktif seperti asam fenolat berperan dalam mencegah kanker
dan antigenotoksik karena langsung berinteraksi dengan reseptor aril
hidrokarbon (Kampa et al. 2003). Senyawa bioaktif yang terdapat pada
sorgum diduga berinterkalasi dengan DNA sehingga secara langsung akan
mempengaruhi transkripsi dan replikasi. Polifenol dilaporkan mampu
membentuk komplek tripartit dengan topoisomerase II dan DNA.
Topoisomerase II adalah suatu enzim tergantung ATP yang bekerja mengikat
DNA dan menyebabkan pemutusan rantai ganda (double-strand break) pada
ujung 3’fosfat sehingga memungkinkan penukaran rantai dan pelurusan
superkoil DNA. Pelurusan rantai ini diikuti dengan penyambungan rantai
DNA oleh topoisomerase II. Topoisomerase ini sangat penting fungsinya
dalam replikasi dan perbaikan DNA. Pembentukan kompleks tripartit tersebut
akan menghambat penyambungan kembali rantai DNA, menyebabkan
penghambatan daur sel terhenti di fase G1 dan G2 serta memacu terjadinya
apoptosis. Adanya gangguan pada sistem perbaikan rantai ganda DNA akan
memicu kematian sel secara apoptosis (Bandele et al. 2008).
Pengujian secara in vitro yang dilaporkan oleh Shih et al. (2007)
menunjukkan bahwa 3-deoksiantosianidin yang diisolasi dari sorgum dapat
menghambat proliferasi sel kanker leukemia HL60 sebesar 90% dan sel
kanker hepatoma HepG2 sebesar 50%. Ekstrak sorgum yang mengandung
tanin juga mampu menghambat proliferasi sel kanker esophagus OE33 dan
kolon HT-29 (Awika et al. 2009). Yang et al. (2009) melaporkan bahwa 3-
deoksiantosianidin yang terdapat dalam sorgum merah, hitam dan putih
88
mampu menghambat proliferasi sel kanker kolon HT-29 lebih tinggi
dibandingkan ekstrak pigmen cabe merah.
Ekstrak etil asetat dan etanol dari sorgum juga mampu menunjukkan
kemampuan dalam menghambat proliferasi sel kanker serviks HeLa, sel
kanker kolon HCT 116, sel kanker paru-paru A549, dan sel kanker limfoma
Raji. Ekstrak etil asetat terlihat lebih mampu menghambat sel HeLa dengan
nilai penghambatan 25.4% pada konsentrasi 2440 µg/ml ekstrak etil asetat
sorgum non sosoh (Salimi 2012). Pelarut etil asetat dapat mengekstrak
senyawa alkaloid, aglikon dan glikosida, sterol, terpenoid, dan flavonoid
(Cowan 1999).
Sebaliknya, penghambatan sel kanker HCT 116, A549, dan Raji
diketahui lebih disebabkan karena ekstrak etanol. Nilai penghambatan sel
HCT 116 adalah sebesar 22.3 % pada konsentrasi 5200 µg/ml ekstrak sorgum
dengan derajat sosoh 50%. Pada sel A549, nilai penghambatan adalah sebesar
23.7 % pada konsentrasi 4020 µg/ml ekstrak sorgum non sosoh. Nilai
penghambatan yang tertinggi diketahui terjadi pada sel Raji yakni sebesar
80,08% pada konsentrasi 2600µg/ml ekstrak sorgum dengan derajat sosoh
50% (Salimi 2012). Etanol dapat melarutkan komponen polifenol yang telah
terbukti bersifat toksik terhadap sel kanker. Kemampuan ekstrak etanol
sorgum menghambat sel kanker karena ekstrak ini mengandung senyawa
polar, seperti gula, asam amino, dan glikosida fenolik dengan berat molekul
rendah dan tingkat kepolaran sedang, flavonoid aglikon, antosianin,
terpenoid, saponin, tannin, flavon, fenon, dan polifenol (Dehkharghanian et
al. 2010).
89
4.6 Dugaan Penghambatan Perkembangan Kanker Kolon oleh Sorgum
Sebagai Prebiotik
Fermentasi dalam kolon
Serat Pangan
Asam lemak rantai pendek
(asetat, propionat, butirat)
Pe ↑
bakteri
asam laktat
(BAL)
(Ruemmele et al. 2003; Michels et al. 2005)
Sorgum
Komponen fitokimia
MAM-GlcUA
hidrolisis
(Takada et al. 1982)
Pengikatan metabolit
reaktif
Keterangan :
Dugaan dari hasil
penelitian
Dugaan dari hasil
studi literatur
(Salimi 2012)
Perubahan
pH optimum
enzim
Pe ↓ aktivitas β-glucoronidase
Pe ↓ pH feses
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pemberian tepung sorgum pada ransum kelompok S50 (50% sumber
karbohidrat berasal dari sorgum) dan S100 (100% sumber karbohidrat berasal
dari sorgum) mampu menunjukkan penghambatan pada perkembangan
kanker kolon akibat induksi AOM-DSS. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas
enzim β-glucoronidase yang lebih rendah dan ekspresi enzim kaspase-3 yang
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan K+. Hasil tersebut juga ditunjang
dari perbaikan profil histopatologi dari organ kolon, hati, dan ginjal serta nilai
konsumsi ransum rata-rata kelompok S50 dan S100 yang lebih tinggi
dibandingkan K+. Adapun kelompok S100 memiliki penurunan pH feses
serta peningkatan total asam lemak rantai pendek dan total butirat yang lebih
tinggi dibandingkan kelompok S50 dan K+. Hanya saja pemberian sorgum
pada kelompok S50 dan S100 tidak meningkatkan ekspresi CD4 secara
signifikan dibandingkan kelompok K+. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa pemberian sorgum pada ransum kelompok S100 lebih baik dalam
menghambat perkembangan kanker kolon dibandingkan pada kelompok S50.
Hal ini menandakan bahwa penggunaan 100% sumber karbohidrat yang
berasal dari sorgum sosoh 50% sangat baik untuk dikonsumsi.
5.2 Saran
Untuk melihat kemampuan sorgum dalam mencegah karsinogenesis
kolon, perlu dilakukan pengujian in vivo dengan memberikan tepung sorgum
pada mencit sebelum diberikan induksi AOM-DSS. Untuk memastikan
pengaruh ALRP terhadap jenis bakteri yang tumbuh pada kolon perlu
dilakukan pengujian bakteri asam laktat pada sampel isi kolon. Selain itu,
perlu dilakukan analisis keberadaan sel T sitotoksik (Tc) dan sel natural
killer, sebagai sel imun yang berpengaruh langsung dalam membunuh sel-sel
kanker.
DAFTAR PUSTAKA
Aberoumand A, Deokule SS. 2008. Comparison of phenolic compounds of some
edible plants of Iran and India. Pakistan J of Nutr 7: 582-585.
Acharyya S, Butchbach MER, Sahenk Z, Wang H, Saji M, Carathers M, Ringel
MD, Skipworth RJE, Fearon KCH, Hollingsworth MA, Muscarella P,
Burghes AHM, Rafael FJA, Guttridge DC. 2005. Dystrophin glycoprotein
complex dysfunction: a regulatory link between muscular dystrophy and
cancer cachexia. Cancer Cell 8: 421-432.
Adistya A. 2006. Kajian nasi sorghum sebagai pangan fungsional. [Skripsi].
Fateta IPB, Bogor.
Adom KK, Sorrells ME, Liu RH. 2003. Phytochemical profiles and antioxidant
activity of wheat varieties. J Agric Food Chem 51: 7825-7834.
Alberts B, Bray D, Lewis J, Raff M, Roberts KD, Watson JD. 1994. Molecular
Biology of the Cell. Gariand Pub. Co, New York.
Amic D, Davidovic D, Beslo D, Trinajsti N.2003. Structure-radical scavenging
activity relationships of flavonoids. Croatica Chem Acta 76: 55- 61.
Andoh A, Fujiyama Y. 2004. Anti-inflammatory roles of dietary fiber and short-
chain fatty acids as regards inflammatory bowel diseases. Agro Food Ind. 1:
42–43.
Awika JM, Rooney LW. 2004. Sorghum phytochemical and their potential impact
on human health. J Science Phytochemistry 65 (9): 1199-1221.
Awika JM, Rooney LW, Wu XL, Prior RL, Cisneros ZL. 2004. Antioxidant
properties of sorghums assessed by three methods. Texas A&M University,
Texas.
Awika JM, Rooney LW, Waniska RD. 2004. Anthocyanins from black sorhgum
and their antioxidant properties. Food Chem 90:293-301.
Awika JM., Yang L, Jimmy D. 2009. Comparative antioxidant, antiproliferative
and phase II enzyme inducing potential of sorghum (Sorghum bicolor)
varieties. J Food Sci 42:1041–1046.
Bandele OJ, Clawson SJ, Osheroffn, 2008. Dietary Poliphenols as Topoisomerase
II Poisons : B Ring and C Ring Substituents Determine the Mechanism of
Enzyme-Mediated DNA Cleavage Enhancement. Chem Res Toxicol
21:1253-1260.
Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Edisi Ketujuh. Jakarta, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI.
94
Barcelo A, Claustre J, Moro F, Chayvialle J-A, Cuber J-C, Plaisancie P. 2000.
Mucin secretion is modulated by luminal factors in the isolated vascularly
perfused rat colon. Gut 46: 218-224.
Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Terjemahan. Yogyakarta, Gajah Mada
University Press.
Benbrook CM. 2005. Elevating antioxidant levels in food through organic farming
and food processing. An Org Center State of sci Rev.
Berg DJ. 2002. Rapid development of colitis in NSAID-treated IL-10 deficient
mice. Gastroenterology 123: 1527-42.
Bevelander G. 1979. Dasar-Dasar Histologi. Edisi ke-8. Wisnu Gunarso,
penerjemah. Erlangga, Jakarta.
Bruera ED, Fainsinger RL. 2003. Clinical management of chachexia and
anorexia. In: Oxford textbook of Palliative Medicine. Oxford University
Press, 548 – 557.
Caderni G, Luceri C, De Filippo C, Salvadori M, Giannini A, Tessitore L, Dolara
P. 2001. Slow-release pellets of sodium butyrate do not modify
azoxymethane (AOM)-induced intestinal carcinogenesis in F344 rats.
Carcinogenesis 22: 525–527.
Caderni G, Luceri C, Lancioni L, Tessitore L, Dolara P. 1998. Slow-release
pellets of sodium butyrate increase apoptosis in the colon of rats treated
with azoxymethane, without affecting aberrant crypt foci and colonic
proliferation. Nutr Cancer 30: 175–181.
Cassidy A, Bingham SA, Cummings JH. 1994. Starch intake and colorectal risk:
an international comparison. British J Cancer 69: 937-942.
Casterline JLJ, Oles CJ, Ku Y. 1997. In vitro Fermentation of Various Food Fiber
Fractions. J Agric Food Chem 45: 2463-2467.
Chao A, Thun MJ, Connell CJ, McCullough ML, Jacobs EJ, Flanders WD,
Rodriguez C, Sinha R, Calle EE. 2005. Meat consumption and risk of
colorectal cancer. American Medical Assosiation 293(2): 171-182.
Cheung NK, Modak S, VickersA, Knuckles B. 2002. Orally administered β-
glucans enhance anti-tumor effects of monoclonal antibodies. Cancer
Immunol. Immunother. 51: 557–564.
Clausen MR, Mortensen PB. 1994. Kinetic studies on the metabolism of short-
chain fatty acids and glucose by isolated rat colonocytes. Gastroenterology
106: 423-432.
95
Cooper HS, Murthy SN, Shah RS, Sedergran DJ. 1993. Clinicopathologic study of
dextran sulfate sodium experimental murine colitis. Lab. Invest 69: 238-
249.
Corwin EJ. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-3. Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Cotran RS, Kumar V, Robbin SL. 1994. Cancer genetics. Di dalam Fenton RG
dan Longo Dl, eds. Cell biology of cancer. McGrew Hill, New York.
Coudray C, Bellanger J, Castiglia DC, Remesy C, Vermorel M, Rayssignuier Y.
1997. Effect of soluble or partly soluble dietary fibres supplementation on
absorption and balance of calcium, magnesium, iron, and zinc in healthy
young men. Eur J Clin Nutr 51: 375-380.
Cowan MM. 1999. Plants product as antimicrobial agents. Clin Microb Rev
4:564-582.
Cross AJ, Pollock JRA, Bingham SA. 2003. Haem, not protein or inorganic iron,
is responsible for endogenous intestinal N-nitrosanitation arising from red
meat. Cancer Res. 63: 2358-2360.
Cummings JH, MacFarlane GT. 1997. Colonic microflora: nutrition and health.
Nutrition 13, 476.
Davey P. 2006. Medicine at a Glance. Erlangga, Jakarta.
Dehkharghanian M, Adenier H, Vijayalakshmi MA.2010. Analytical methods
study of flavonoids in aqueous spinach extract using positive electrospray
ionization tandem quadrupole mass spectrometry. Food Chem 121:863-
870.
Delves PJ, Roitt IM. 2000a. The immune system: first of two parts. New England
J of Medicine 343: 37-49.
Delves PJ, Roitt IM. 2000b. The immune system: second of two parts. New
England J of Medicine 343: 108-117.
Deschner EE, Ruperto JF, Lupton, JR. 1990. Dietary butyrate (tributyrin) does not
enhance AOM-induced colon tumorigenesis. Cancer Lett 53: 79–32.
Dicko M, Hilhorst R, Gruppen H, Traore A, Laane C, Van Berkel WJH, Voragen
AGJ. 2002. Comparison of content in phenolic compounds, phenolic
oxidase, and peroxidase in grains of fifty sorghum varieties from Burkina
Faso. J of Agric and Food Chem 50: 3780-3788.
Dicko MH, Gruppen H, Traore AS, Voragen AGJ, van Berkel WJH. 2006.
Phenoloic compound and related enzymes as determinant of sorghum for
food use. Biotechno Mol. Biology Rev 1(1): 21-38.
96
Direktorat Serealia. 2006. Budidaya sorgum. Direktorat Jendral Bina Produksi
Tanaman Pangan, Jakarta.
[Ditjentanpan] Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2006. Sorgum. Direktorat
Budidaya Serealia, Jakarta.
Dykes L, Rooney LW. 2007. Phenolic compounds in cereal grains and their health
benefits. Cereal Food World 52:105-11.
Dykes L, Rooney LD, Waniska RD, Rooney WL. 2005. Phenolic compounds and
antioxidant activity of sorghum grain of varying genotypes. J Agric. Food
Chem. 53: 6813-6818.
[FAO] Food Agricultural Organization. 2005. Production cereal.
http://www.fao.org. [21 Juli 2011].
Filipek J, Dvorak R. 2009. Determination of the volatile fatty acid content in the
rumen liquid: comparison of gas chromatography and capillary
isotachophoresis. Acta Vet Brno 78: 627-633.
Filipiak M. 2001. Electrochemical analysis of polyphenolic compounds. Anal Sci
17: 1667.
Foitzik A, Preckel H, Mumtsidu. 2009. Image-based quantification of apoptosis
by caspase-3 activation. Application Note. Hamburg, DE: Biologicl
Application PerkinElmer, Cellular Technologies, Germany GmbH Bio-
discovery.
Frappier BL. 2006. Digestive System. Di dalam: JA Eurell dan BL Frappier, ed.
Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Edisi ke-6. Blackwell
Publishing, Oxford.
Fujisawa T, Mori M. 1997. Influence of various bile salts on β-glucoronidase
activity of intestinal bacteria. Letters in Apllied Micrbiology 25: 95-97.
Fujisawa T, Mori M. 1997. Infuence of various bile salts on b-glucuronidase
activity of intestinal bacteria. Letters in Applied Microbiology 25: 95-97.
Gadelle D, Pierre R, Edmond S. 1985. β-glucoronidase activities of intestinal
bacteria determined both in vitro and in vivo in gnobiotic rats. Applied and
Environmental Microbiology 49(3): 682-685.
Gewies A. 2003. Introduction to apoptosis. Apo Review 1-26.
Gibson GR, Roberfroid MB. 1995. Dietary modulation of human colonic
microbiota: introducing the concepts of prebiotics. J Nutr 125: 1401-1412.
Giovannucci E. 1995. Insulin and colon cancer. Cancer Causes Control 6, 164.
97
Gryfe R, Swallow C, Bapat B, Redston M, Gallinger S, Couture J. 1997.
Molecular biology of colorectal cancer. Curr Probl Cancer 21(5): 233-300.
Guyton, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati Setiawan,
penerjemah. Edisi ke-9. EGC, Jakarta.
Hahn TW, Lohakare JD, Lee SL, Moon WK, dan Chae BJ. 2006. Effects of
supplementation of β-glucans on growth performance, nutrient digestibility,
and immunity in weanling pigs. J Anim Sci 84: 1422-1428.
Hall CA, Cuppet SL. 1997. Structure activities of natural antioxidant: antioxidant
methodology in vivo and in vitro concept. Auroma OI, Cuppet SL (eds.).
AOAC Press, USA.
Haliwell B, Gutteridge JMC. 2000. Free radical, antioxidant, and human disease:
we are we now?. J Lab Clin Med 119: 598-613.
Hamilton SR, Vogestein B, Kudo S, Riboli E. 2000. Tumours of the colon and
rectum. Di dalam Hamilton SR dan Aaltonen La, eds. World health
organization classification of tumoors. Pathology and genetics tumours of
the digestive system. IARC Press, France.
Hata K, Yamada Y, Kuno T, Hirose Y, Hara A, Qiang SH, Mori H. 2004. Tumor
formation is correlated with expression of b-catenin-accumulated crypts in
azoxymethane-induced colon carcinogenesis in mice. Cancer Sci. 95: 316-
320.
Heavey PM, MCKenna D, Rowland IR. 2004. Colorectal cancer and teh
relationship between genes and the environment. Nutrition and Cancer 2:
124-141.
Henningsson A, Inger B, Margareta N. 2001. Short chain fatty acid formation at
fermentation of inigestible carbohydrates. Scandinavian J of Nutr 45: 165-
168.
Hill JW, Petruci RH. 2002. General Chemistry. Prentice Hall.
Howe GR. et al. 1992. Dietary intake of fiber and decreased risk of cancers of the
colon and rectum: evidence from the combined analysis of 13 case-control
studies. J Natl Cancer Inst 84, 1887.
Humblot C, Michael M, Lionel R, Martine B, Anthony B, Claude A, Jamila A,
Sylvie R. 2007. β-glucoronidase in human intestinal microbiota is necesary
for the colonic genotoxicity of the food-borne carcinogen 2-amino-3-
methylimidazo[4,5-f]quinoline in rats. Carcinogenesis 28(11): 2419-2425.
Humblot C, Michael M, Lionel R, Martine B, Anthony B, Claude A, Jamila A,
Sylvie R. 2007. β-Glucuronidase in human intestinal microbiota is necessa-
98
ry for the colonic genotoxicity of the food-borne carcinogen 2-amino-3-
methylimidazo[4,5-f]quinoline in rats. Carcinogenesis 28(11): 2419-2425.
Humblot C. 2004. Protective effect of Brussels sprouts, prebiotics and fermented
milk towards IQ-induced genotoxicity in the human flora-associated F344
rat: role of xenobiotic metabolizing enzymes and intestinal microflora. J
Chromatogr. B Analyt. Technol. Biomed. Life Sci 802: 231–237.
Itzkowtz SH, Yio X. 2004. Inflammation and cancer IV. Colorectal cancer in
inflammatory bowel disease: the role of inflammation. Am J Physiol
gastrointest liver Physiol 287: G7-17.
Jemal A, Freddie B, Melissa M, Jacques F, Elizabeth W, David F. 2011. Global
cancer statistics. CA Cancer J Clin 61: 73-76.
Jenab M, Lilian UT. 1996. The influence of flaxseed and lignans on colon
carcinogenesis and β-glucoronidase activity. Carcinogenesis 17(6): 134-
1348.
Jenkins DJA, Kendall CWC, Vuksan V. 1999. Inulin, oligofructose and intestinal
function. J of Nutr 129: 1431-1433.
Kamath VG, Arun C, Rajini PS. 2004. Antiradical properties of sorghum
(Sorghum bicolor L. Moench). J of Cereal Science 40: 283-288.
Kastomo D. 2007. Kolon endometriosis. Ind J Cancer 2: 73-76.
Kampa M, Alexaki VI, Notas G, Nifli AP, Nistikaki A, Hatzoglou A,
Bakogeorgou E, Kouimtzoglou E, Boskou D, Gravanis, A., and Castanas,
E., 2003, Antiproliferative and apoptotic effects of selective phenolic acids
on T47D human breast cancer cells: potential mechanisms of action, Breast
Cancer Res 6: R63-R74.
Kanter M, Coskun O, Korkmaz A, Oter S. 2004. Effects of nigela sativa on
oxidative stress and B-cell damaged in streptozotocin-induced diabetic rats.
The Anatomical Record Part A 279A: 685-691.
Katayama M, Xu D, Specian RD, Deitch EA .1997. Role of bacterial adherence
and the mucus barrier on bacterial translocation: effects of protein malnutri-
tion and endotoxin in rats. Annals of Surgery 225: 317–326.
Kaviarasan K, Kalaiarasin P, Pugalendi V. 2008. Antioxidant efficacy of flavono-
id rich fraction from Spermacoce hispida in hyperlipidemic rats. J Appl Bio-
med 6: 165-176.
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory & Practice.
London, Pergamon Press.
99
Kim MJ, Hong SY, Kim SK, Cheong C, Park HJ, Chun HK, Jang Kh, Yoon BD,
Kim CH, Kang SA. 2009. β-glucan enhanced apoptosis in human colon can-
cer cells SNU-C4. Nutr Research and Practice 3(3): 180-184.
Kim YI. 2000. Impact of dietary fibre in colon cancer occurance.
Gastroenterology 118: 1235-1257.
Knudsen KE, Jensen BB, Hansen BI. 1993. Digestion of polysaccharides and
other major components in the small and large intestine of pig fed on diets
consisting of oat fractions rich in β-D-glucan. Br J Nutr 70: 537-556.
Kresno SB. 1996. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi II.
Jakarta, FK UI.
La Vecchia C. et al. 1997. Diabetes mellitus and colorectal cancer risk. Cancer
Epidemiol. Biomarkers Prev. 6, 1007.
Laroche C, Michaud P. 2006. New development and prospective applications for
β (1,3) glucans. Recent Patent on Biotech 1: 59-73.
Leder I. 2004. Sorghum and millet in cultivaeted plants, primarily as food sources,
in encyclopedia of life support system. Eolss publisher, Oxford.
Lehr S, Kotzka J, Herkner A, Klein E, Siethoff C, Knebel B, Noelle V, Brüning
JC, Klein HW, Meyer HE, Krone W, Müller-Wieland D. 1999. Identificati-
on of tyrosine phosphorylation sites in human Gab-1 protein by EGF recep-
tor kinase in vitro. Biochem 38(1): 151-9.
Leu RKL, Ian LB, Ying H, Adrian E, Graeme, PY. 2007. Supression of
azoxymethane-induced colon cancer developments in rats by dietary
resistent starch. Cancer Biology and Therapy 6(10): 1621-1626.
Levi EP, Hodgson E, Leblanc GA. 2000. Elimination of toxicants. Di dalam:
Modern Toxicology. Levi EP, Hodgson E, eds. Edisi ke-2. McGraw Hill,
Singapore.
Levi PE. 2000. A textbook of modern toxicology. MacGrew Hill, Singapore.
Lewis JB. 2008. Effect of bran sorghum grains containing different classes and
levels of bioactive compounds in colon carcinogenesis. [Thesis]. Texas
A&M University, Texas.
Lim BO, yamada K, Nonaka M, Kuramato Y, hung P, dan Sugano M. 1997.
Dietary fibers modulate indices of intestinal immune function in rats. J Nutr
127: 663-667.
Lorenz KJ, Karel K. 1991. Handbook of Cerealia Science and Technology.
Marcel Dekker, Hongkong.
100
Lugasi A, Hovari J, Sagi KV, Biro L.2003. The role of antioxidant phytonutrients
in prevention of diseases. Acta Biol Szeg 47: 119-125.
Lupton JR. 2004. Microbial degradation products influence colon cancer risk: the
butyrate controversy. J Nutri. 134: 479.
Manach C, Wiliamson G, Morad C, Scalbert A, Remesy C. 2005. Bioavailability
and Bioefficacy of Polyphenols in Human. I Review of 97 Bioavailability
Studies. Am J Clin Nutr 81: 230S-42S.
Martin LJM, Dumon HJW, Champ MMJ. 1998. Production of short-chain fatty
acids from resistant starch in a pig model. J Sci Food Agric 77: 71-80.
McIntyre A, Gibson PR, Young GP. 1993. Butyrate production from dietary fibre
and protection against large bowel cancer in a rat model. Gut 34: 386-391.
Medina V, Edmonds B, Young GP. 1997. Induction of caspase-3 protease activity
and apoptosis by butyrate and trichostatin a (inhibitors of histone deacetyla-
se): dependence on protein synthesis and synergy with a mitochondrial/cyto-
chrome c-dependent pathway. Cancer Res 57: 3697-3707.
Metzler-Zebeli BU, Hooda S, Zijlstra, Mosenthin R, Ganzle MG. 2010. Dietary
supplementation of viscous and fermentable non-starch polysaccharides
(NSP) modulates microbial fermentation in pigs. Livestock Sci 133: 95-97.
Michels G, Watjen W, Niering P, Steffan B, Thi QH, Chovolou Y, Kampkotter
A, Bast A, Proksch P, Kahl R. 2005. Pro-apoptotic effects of the flavonoid
luteolin in rat H4Iie cells. Toxicology 206:337-48.
Mortensen FV, Nielsen H, Mulvany MJ, Hessov I. 1990. Short chain fatty acids
dilate isolated human colonic resistance arteries. Gut 31: 1391-1394.
Mudjisihono R , Suprapto HS. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Napitupulu, A. 2006. Kajian pemanfaatan tepung sorgum dalam pembuatan
biskuit marie. [Skripsi]. Fateta IPB, Bogor.
NAS National Academic of Sciences. 1996. Rodents. National Academy Press,
Washington.
Neufert C. 2007. An inducible mouse model of colon carcinogenesis for the
analysis of sporadic and inflamation driven tumor progession. Proc. Natl.
Acad. Sci USA 103: 12098-12102.
Newton AH. 2004. Effects of fish oil and butyrate on diet-mediated apoptosis at
the promotion stage of colon carcinogenesis. [Thesis]. Texas, Texas A7M
Universsity.
101
Nock NL, Thompson CL, Tucker TC. 2008. Associations between obesity and
changes in adult BMI over time and colon cancer risk. Obesity 16: 1099-
1104.
Nurhidayat 2002. Deteksi Bahan Aktif dengan Metode Imunohistokimia dalam
Modul Pemanfaatan Teknik Kultur Jaringan dan Histokimia dalam Peneliti-
an dan Terapan Bidang Biologi dan Biomedis. Kerjasama Proyek Pening-
katan Kualitas Sumber Daya Manusia Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Nasional dengan Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Nyachoti CM, Atkinson JL, Leeson S. 1997. Sorghum tannin [Review]. World J
Poultry Sci 53 edisi March 1997.
Nyman M, Asp NG. 1982. Fermentation of dietary fibre components in the rat
intestinal tract. Br J Nutr 47: 357-366.
Osuntogun BA. 1989. Effect of cultivar, steeping, and malting of tannin, total
polyphenol, and cyanide content of nigerian sorghum. J Cereal Chem 66(2):
87-89.
Park SY, Ji GE, Ko YT, Jung HK, Ustunol Z, Pestka JJ. 1999. Potentiation of
hydrogen peroxide, nitric oxide, and cytokine production in RAW 264·7
macrophage cells exposed to human and commercial isolates of Bifidobacte-
rium. Intl J of Food Microbiol 46: 231–241.
Perrin P, Pierre F, Patry Y, Champ M, Berreur M, Pradal G, Bornet F, Meflah K,
Menanteau J. 2001. Only fibres promoting a stable butyrate producing co-
lonic ecosystem decrease the rate of aberrant crypt foci in rats. Gut 48: 53-
61.
Powell SM, Petersen GM, Krush AJ, booker S, Jen J, Giardiello FM. Molecular
diagnosis of familial adenomatous polyposis. 1993. N Eng J Med 329:
1982-7198.
Priosoeryanto BP. 1994. Morphological and cell biological studies of tumours in
domestic animal. [Ph.D Dissertation] the United Graduated School of
Veterinary Sciences. Yamaguchi University, Japan.
Puspawati GAK. 2009. Kajian aktivitas proliferasi limfosit dan kapasitas
antioksidan sorgum dan jewawut pada tikus sprague-dawley. [Tesis].
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Rantam FA. 2003. Metode Immunologi. Airlangga University Press, Surabaya.
Reddy B. et al. 1989. Biochemical epidemiology of colon cancer: effect of types
of dietary fiber on fecal mutagens, acid, and neutral sterols in healthy
subjects. Cancer Res 49, 4629.
102
Reddy BS, Barbara S, Neha P, Cesar A, Chinthalapally VR. 1996. Effect of
amount and types of dietary fat on intestinal bacterial 7α-dehydroxylase and
phophatidylinositol-spesific phospholipase c and colonic mucosal
diacylglyserol kinase and PKC activities during different stages of colon
tumor promotion. Cancer Research 56: 2314-2320.
Reeves PG, Nielsen FH , Fahey GC. 1993. AIN-93 purified diets for laboratory
rodents: Final report of the American institute of nutrition ad hoc writing
committee on the reformulation of the AIN-76A rodent diet. J Nutrition
123: 1939-1951.
Remesy C, Demigne C, Morand C. 1992. Metabolism and utilization of short
chain fatty acids produced by colonic fermentation. Di dalam Schweizer
TF, Edwards CA, eds. Dietary Fibre a Component of Food. Springer,
London.
Roediger WE. 1982. Utilization of nutrients by isolated epithelial cells of the rat
colon. Gastroenterology 83: 424-429.
Rooney LW, Dykes L. 2007. Sorghum and millet phenol and antioxidant. J Cere-
al Sci 44: 236-251.
Rooney LW. 2005. Sorghum and millet food research failures and success:
overview. Food Science Faculty, Texas A&M Univ, Texas.
Rooney TK, Rooney LW, Lupton JR. 1992. Physiological characteristics of
sorghum and millet brans in the rat model. J Cereal Foods World 37(10):
782-786.
Rosenberg DW, Giardina C, Tanaka T. 2009. Mouse models for the study of
colon carcinogenesis. Carcinogenesis 30: 183-196.
Ross JK, James EL. 1981. The effect of dietary citrus pectin on the excretion of
human fecal neutral and acid steroids and the activity of 7 α-dehydroxylase
and β-glucoronidase. Amr J of Clin Nutr 34: 2068-2077.
Rowland IR. 1998. Effect of Bifidobacterium longum and inulin on gut bacterial
metabolism and carcinogen-induced aberrant crypt foci in rats.
Carcinogenesis 19: 281–285.
Ruemmele FM, Schwartz S, Seidman EG, Dione S, Levy E, Lentze MJ. 2003.
Butyrate induced cac-2 cell apoptosis is mediated via the mitochondrial
pathway. Gut 52: 94-100.
Rufaizah U. 2011. Pemanfaatan tepung sorgum pada pembuatan snack bar tinggi
serat pangan dan sumber zat besi untuk remaja puteri. [Skripsi]. Fateta IPB,
Bogor.
103
Ruppin H, Bar-Meir S, Soergel KH, Wood CM, Schmitt MG. 1980. Absorption
of short chain fatty acids by the colon. Gastroenterology 78: 1500-17.
Saito Y, Takano T, Rowland IR. 1992. Effects of soybean oligosaccharides on the
human gut microflora in in vitro culture. Microb Ecol Health Dis. 5: 105-
110.
Salimi YK. 2012. Peranan ekstrak dan tepung sorgum (Sorghum bicolor L.) dalam
penghambatan kanker secara in vitro dan in vivo pada mencit balb/c.
[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Samuelsen AB, Rieder A, Grimmer S, Michaelsen TE, Knutsen SH. 2011.
Immunomodulatory activity of dietary fiber: arabinoxylan and mixed-linked
beta-glucan isolated from barley show modest activities in vitro. Int J Mol
Sci 12: 570-587.
Scheppach W, Bartram HP, Richter F. 1995. Role of short-chain fatty acids in the
prevention of colorectal cancer. Eur J Cancer 31A: 1077-1080.
Schiffrin EJ, Rochat F, Link-Amster H, Aeschlimann JM, Donnet-Hughes A.
1995. Immunomodulation of human blood cells following the ingestion of
lactic acid bacteria. J of Dairy Sci 78: 491–497.
Schley PD, Field CJ. 2002. Immune-enhancing effects of dietary fibres and
prebiotics. British J of Nutr 87(2): 221-230.
Setiawati R. 2003. Pengaruh produk daun cincau hijau Cyclea barbata L. Miers
dan Premna oblongata Merr terhadap kapasitas antioksidan limfosit mencit
C3H bertumor kelenjar susu. [Skripsi]. Fateta IPB, Bogor.
Shi Y. 2002. Mechanism of caspase activation and inhibition during apoptosis.
Molecular Cell 9: 459-470.
Shiau SY, Chang GW. 1983. Effects of dietary fiber on fecal mucinase and β-
glucoronidase activity in rats. J Nutr 113: 138-144.
Shih CH., Siu YT, Song LM . 2007. Quantitative analysis of anticancer 3-
deoxyanthocyanidins in infected sorghum seedlings. J Agric Food Chem
55: 254-259.
Shiringani AL. 2005. Evaluation for hard endosperm, bird proof sorghum and its
effect on food quality. John Willey and Sons, New York.
Singgih S, Suherman O, Mas’ud S. Zairin M. 2008. Keberadaan plasma nutfah
sorgum dan pemanfaatannya di kawasan lahan kering pulau lombok.
Slavin J. 2007. Dietary Carbohydrates and Risk of Cancer. Di dalam Biliaderis
CG dan Izydorczyk MS,eds. Functional Food Carbohydrates. CRC Press,
Boca Raton.
104
Smith CW, Richard AF. 2000. Sorghum: origin, history, technology, and
production. John Willey and Sons, Kanada.
Smits CH, Veldman A, Verstegen MW, Beynen AC. 1997. Dietary
carboxymethylcellulose with high instead of low viscosity reduces
macronutrient digestion in broiler chickens. J Nutr 127: 483-487.
Soejono G, Priosoeryanto BP, Huminto H. 2005. Pendekatan pencegahan
penyakit tumor melalui kajian mekanisme invasi dan metastasis sel tumor
serta efek antimetastasis dari interferon rekombinan dan kombinasinya pada
hewan. [Laporan penelitian]. Lembaga penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat IPB, Bogor.
Stephen PJ dan Martin E. 1994. Human gastrointestinal mucosal T cells. Di dalam
Handbook of Mucosal Immunology. (Pearay LO, Jiri M, Michael EL,
Warren S, Jerry RM, dan Joh B, eds.), Academic Press, London.
Sugianto D. 2011. Pengembangan produk sereal sarapan siap santap berbasis
sorgum dengan metode ekstrusi. [Skripsi]. Fateta IPB, Bogor.
Suzuki I, Hashimoto K, Ohon N, Tanaka H, Yadomae T. 1989. Immunomodula-
tion by orally administered β-glucan in mice. Intl J Immunopharmacol 11:
761-769.
Suzuki IR, Hiroyuki K, Shigeyuki S, Hitoshi N, Takuji T. 2006. Strain
differences in the susceptibility to azoxymethane and dextran sodium
sulphate-induced colon carcinogenesis in mice. Carcinogenesis 27: 162-
169.
Takada H, Hirooka T, Hiramatsu Y, Yamamoto M. 1982. Effect of b-
glucuronidase inhibitor on azoxymethane-induced colonic carcinogenesis in
rats. Cancer Research 42: 331-334.
Takahashi T, Nakagawa E, Nara T, Yajima T, Kuwata T. 1998. Effects of orally
ingested Bifidobacterium longum on the mucosal IgA response of mice to
dietary antigens. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 62: 10–15.
Tejada-Simon MV, Ustunol Z, Pestka JJ. 1999. Ex vivo effects of lactobacilli,
streptococci, and bifidobacteria ingestion on cytokine and nitric oxide pro-
duction in a murine model. J of Food Protection 62: 162–169.
Tejasari. 2007. Evaluation of ginger (Zingiber officinale Roesoe) bioactive
copmpounds in increasing the ratio of T-cell surface molecules of
CD3+CD4+: CD3+CD8+ in vitro. Mal J Nutr 13(2): 161-170.
Thorburn A, Muir J, Proietto J. 1993. Carbohydrate fermentation decreases hepa-
tic glucose output in healthy subjects. Metabolism 42: 780-785.
105
Topping DL, Clifton PM. 2001. Short-chain fatty acids and human colonic
function: roles of resistant starch and nonstarch polysaccharides. Physiol
Rev 81, 1031.
Tosh SM, Brummer Y, Wood PJ, Wang Q, Weisz J. 2004. Evaluation of structure
in the formation of gels by structurally diverse (1/3)(1/4)-beta-D-glucans
from four cereal and one lihen species. Carbohyd Polym 57: 249-259.
Trock B, Lanza E, Greenwald P. 1990. Dietary fiber, vegetables, and colon
cancer: critical review and meta-analyses of the epidemiologic evidence. J
Natl Cancer Inst 82, 650.
Trujillo EB, Bergerson ASL, Graf JC, Mechael M. 2005. Cancer. Di dalam
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition Support Practice
Manual. Nutrition Care Org 150-170.
Underwood JCE. 1994. General and Systematic Pathology. Churchill Livingstone,
New York.
Valazquez OC, Lederer HM, Rombeau JL. 1996. Butyrate and the colonocyte:
implications for neoplasia. Dig Dis Sci 14, 727.
Vitaglione P, Napolitano A, Foliano V. 2008. Cereal dietary fiber, a natural
functional ingredient to deliver phenolic compounds in the gut. Trends Food
Sci Technol 19: 451-461.
Von Elbe JH, Schwartz SJ. 1996. Colorants. Di dalam Food Chemistry. Fennema
OR. (ed). Marcel Dekker, New York.
Waniska RD. 2000. Structure, Phenolic Compounds, and Antifungal Protein of
Sorghum Caryopses. Di dalam Technical adn institutional options for
sorghum grain mold management. Proceeding of an International
Consultantation: 72-106.
Watzl B, Girrbach S, Roller M. 2005. Inulin, oligofructose and
immunomodulation. Br J Nutr 93(Suppl 1): 49–S55.
[WCRF/AICR] The World Cancer Research Fund &The American Institute of
Cancer Research 2007. Food, Nutrition and the prevention of cancer: a
Global Perspective. The American Institute for Cancer Research
Washington.
____. 2011. Bird food rgains with potential for the tropics and semi-tropics.
http://www.fao.org. [21 Juli 2011].
Willet WC. 2000. Diet and cancer. Oncologist 5: 393-404.
Wolever TM, Spadafora P, Eshuis H. 1991. Interaction between colonic acetate
and propionate in humans. Am J Clin Nutr 53: 681-7.
106
Wolever TMS. 1995. Short-chain fatty acids and carbohydrate metabolism. Di
dalam Cummings JH, Rombeau JL, dan Sakata, eds. Physiological aspects
of short-chain fatty acids. Cambridge university press, Cambridge.
Wu G, Field CJ, Marliss EB .1991. Glutamine and glucose metabolism in rat
splenocytes and mesenteric lymph node lymphocytes. American J of Phy-
siol 260: 141-147.
Xu D, Lu Q, Deitch EA .1998. Elemental diet-induced bacterial translocation
associated with systemic and intestinal immune suppression. J of Parente-
ral and Enteral Nutr 22: 37–41.
Yang L, Browning JD, Awika JM. 2009. Sorghum 3-Deoxyanthocyanins Possess
Strong Phase II Enzyme Inducer Activity and Cancer Cell Growth
Inhibition Properties.J Agric Food Chem 57:1797-1804.
Yanuar W. 2009. Aktivitas antioksidan dan immunomodulator serealia non beras.
[Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Zakaria FR. 2001. Pangan dan pengendalian kanker. J. Teknologi dan Industri
Pangan 12(2): 171-177.
Zdunczyk Z, Jerzy J, Isabel E. 2006. Cecal parameters of rats fed diets containing
grapefruit polyphenols and inulin as single supplements or in a combinati-
on. Basic Nutritional Investigation 22(9): 898-904.
Zobel BLP. 2005. Inulin-type fructans and reduction in colon cancer risk: review
of experimental and human data. British J of Nutr 93(1): 73-90.
LAMPIRAN
108
109
Lampiran 1 Komposisi mineral pada ransum mencit Balb/c
Jenis mineral (g) Jumlah (dalam 1000 g)
NaCl
KI
KH2PO4
MgSO4.7H2O
CaCO3
FeSO4. 7H2O
MnSO4. 7H2O
ZnSO4. 7H2O
CuSO4. 5H2O
CoCl2. 6H2O
139,30
0,79
389
57,30
381,40
27
4,01
0,55
0,48
0,02
Lampiran 2 Data proksimat kasein dan sorgum sosoh 50%
No Komponen Tepung Sorgum Kasein
1 Protein 7,67 86,485
2 Lemak 0,55 0,665
3 Serat 7 0
4 Abu 0,75 3,775
5 Air 12,25 4,36
6 Karbohidrat (by difference) 71,78 4,715
110
Lampiran 3 Hasil analisa varian (Anova) konsumsi ransum mencit
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:respon
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 12.500a 3 4.167 66.373 .000
Intercept 783.946 1 783.946 1.249E4 .000
perlk 12.500 3 4.167 66.373 .000
Error 4.520 72 .063
Total 800.966 76
Corrected Total 17.019 75
a. R Squared = ,734 (Adjusted R Squared = ,723)
respon
Duncan
perlk N
Subset
1 2 3 4
K- 19 2.54
S50 19 3.26
S100 19 3.44
K+ 19 3.61
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,063.
111
Lampiran 4 Hasil analisa varian (Anova) selisih berat badan mencit
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:respon
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 5.728a 3 1.909 2.873 .057
Intercept 364.755 1 364.755 548.817 .000
perlk 5.728 3 1.909 2.873 .057
Error 15.951 24 .665
Total 386.000 28
Corrected Total 21.679 27
a. R Squared = ,264 (Adjusted R Squared = ,172)
respon
Duncan
perlk N
Subset
1 2
K+ 7 3.1429
S100 8 3.4375
S50 8 3.6250 3.6250
K- 5 4.5000
Sig. .316 .060
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,665.
112
Lampiran 5 Hasil analisa (Anova) berat relatif organ mencit
Hati
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:respon
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .000a 3 .000 2.429 .090
Intercept .047 1 .047 807.650 .000
perlk .000 3 .000 2.429 .090
Error .001 24 5.787E-5
Total .051 28
Corrected Total .002 27
a. R Squared = ,233 (Adjusted R Squared = ,137)
Ginjal
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:respon
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 3.652E-5a 3 1.217E-5 .634 .600
Intercept .007 1 .007 365.335 .000
perlk 3.652E-5 3 1.217E-5 .634 .600
Error .000 24 1.920E-5
Total .008 28
Corrected Total .000 27
a. R Squared = ,073 (Adjusted R Squared = -,042)
113
Kolon
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:resp
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .000a 3 4.552E-5 4.113 .019
Intercept .003 1 .003 260.864 .000
perlk .000 3 4.552E-5 4.113 .019
Error .000 22 1.107E-5
Total .003 26
Corrected Total .000 25
a. R Squared = ,359 (Adjusted R Squared = ,272)
respon
Duncan
perlk N
Subset
1 2
K- 5 .00860
S50 7 .00914
S100 7 .01043
K+ 7 .01443
Sig. .365 1.000
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
1,11E-005.
114
Lampiran 6 Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda kolitis pada mencit
dengan pewarnaan HE
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:respon
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 40.310a 3 13.437 49.779 .000
Intercept 64.192 1 64.192 237.812 .000
perlk 40.310 3 13.437 49.779 .000
Error 6.208 23 .270
Total 115.000 27
Corrected Total 46.519 26
a. R Squared = ,867 (Adjusted R Squared = ,849)
respon
Duncan
perlk N
Subset
1 2 3
K- 5 .0000
S100 8 1.1250
S50 8 1.5000
K+ 6 3.6667
Sig. 1.000 .207 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,270.
115
Lampiran 7 Hasil analisa varian (Anova) pH feses
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:respon
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1,126a 3 ,375 4,702 ,010
Intercept 1687,117 1 1687,117 21139,431 ,000
perlk 1,126 3 ,375 4,702 ,010
Error 1,915 24 ,080
Total 1690,158 28
Corrected Total 3,041 27
a. R Squared = ,370 (Adjusted R Squared = ,291)
respon
Duncana,b
perlk
N
Subset
1 2
S100 7 7,46482
S50 7 7,69536 7,69536
K- 7 7,91843
K+ 7 7,97082
Sig. ,140 ,096
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,080.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
7,000.
b. Alpha = 0,05.
116
Lampiran 8 Hasil analisis varian (Anova) aktivitas enzim β-glucoronidase
Aktivitas spesifik
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:resp
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2349.028a 3 783.009 44.686 .000
Intercept 11744.108 1 11744.108 670.236 .000
perlk 2349.028 3 783.009 44.686 .000
Error 1296.654 74 17.522
Total 16587.506 78
Corrected Total 3645.682 77
a. R Squared = ,644 (Adjusted R Squared = ,630)
respon
Duncan
perlk N
Subset
1 2 3
K- 15 6.1647
S100 21 10.7562
S50 21 11.2843
K+ 21 21.4000
Sig. 1.000 .698 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 17,522.
117
Aktivitas total
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:resp
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 810085.002a 3 270028.334 29.586 .000
Intercept 8591768.667 1 8591768.667 941.366 .000
perlk 810085.002 3 270028.334 29.586 .000
Error 675391.984 74 9126.919
Total 1.064E7 78
Corrected Total 1485476.986 77
a. R Squared = ,545 (Adjusted R Squared = ,527)
respon
Duncan
perlk N
Subset
1 2 3
K- 15 2.4180E2
S100 21 2.7446E2 2.7446E2
S50 21 3.2096E2
K+ 21 5.0449E2
Sig. .294 .137 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 9126,919.
118
Lampiran 9 Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda CD4 pada mencit
dengan pewarnaan IHK
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:resp
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 7.750a 3 2.583 2.460 .100
Intercept 92.450 1 92.450 88.048 .000
perlk 7.750 3 2.583 2.460 .100
Error 16.800 16 1.050
Total 117.000 20
Corrected Total 24.550 19
a. R Squared = ,316 (Adjusted R Squared = ,187)
respon
Duncan
perlk N
Subset
1 2
K- 5 1.2000
K+ 5 2.0000 2.0000
S50 5 2.6000 2.6000
S100 5 2.8000
Sig. .056 .259
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
1,050.
119
Lampiran 10 Hasil analisis varian (Anova) pengujian penanda Kaspase-3 pada
mencit dengan pewarnaan IHK
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:resp
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 14.550a 3 4.850 7.462 .002
Intercept 76.050 1 76.050 117.000 .000
perlk 14.550 3 4.850 7.462 .002
Error 10.400 16 .650
Total 101.000 20
Corrected Total 24.950 19
a. R Squared = ,583 (Adjusted R Squared = ,505)
respon
Duncan
perlk N
Subset
1 2
K- 5 1.0000
K+ 5 1.2000
S50 5 2.8000
S100 5 2.8000
Sig. .700 1.000
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,650.