pembuktian terbalik berimbang dalam perkara...
TRANSCRIPT
1
PEMBUKTIAN TERBALIK BERIMBANG DALAM PERKARA
PENCUCIAN UANG DENGAN TERDAKWA BAHASYIM ASSIFIE
(Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung No. 1454 K/PID.SUS/2011)
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
SKRIPSI
Oleh:
OHAN MULYANA
E1A010115
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
2
3
4
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit
sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian
alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira
besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan, penyusunan skripsi yang
berjudul “PEMBUKTIAN TERBALIK BERIMBANG DALAM PERKARA
PENCUCIAN UANG DENGAN TERDAKWA BAHASYIM ASSIFIE (Tinjauan
Yuridis Putusan Mahkamah Agung No. 1454 K/PID.SUS/2011)” dapat
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak
mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai
pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi
tersebut dapat diatasi.
Pada kesempatan ini, maka perkenankanlah saya secara pribadi
mengucapkan terimakasih kepada :
a. Sang pencipta yang tiada lain adalah Allah SWT karena senantiasa
nikmat tak terkira serta menunjukan “tangan-tangan tak terlihatnya” di
setiap perjalanan ini.
b. Dr. Angkasa S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
5
c. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang
telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga
dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran
yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi.
d. Pranoto, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang senantiasa
memberikan arahan dan memberikan saran.
e. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Penguji Skripsi yang
memberikan jalan untuk terselesaikannya pendidikan strata 1 (satu) ini.
f. Ayahanda Oji, bapa kusnadi dan Ibunda Mimin, Kakanda Irwan
Kusmayadi, serta Adinda Nanda Erlangga dan Ghea Aline Herlinda
karena mereka pulalah salah satu alasan saya sampai sekarang itu
untuk tetap berjuang demi meraih cita-cita dan impian.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih
banyak terdapat kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan
kritikyang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga dapat
bermanfaat dan menjadikan motivasi tersendiri dalam mendalami ilmu hukum.
Purwokerto, 26 Februari 2014
Ohan Mulyana
E1A010115
6
ABSTRAK
Penelitian ini mengambil judul “PEMBUKTIAN TERBALIK
BERIMBANG DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DENGAN
TERDAKWA BAHASYIM ASSIFIE (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah
Agung No. 1454 K/PID.SUS/2011).” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
mengapa Penuntut Umum menerapkan pembuktian terbalik dan bagaimana
penerapan pembuktian terbalik khususnya terhadap Tindak Pidana Pencucian
Uang dengan Terdakwa Bahasyim Assifie. Metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi
penelitian preskriptif dan dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah
data sekunder, data ini disajikan secara sistematis dan analisis yang dilakukan
dengan metode normatif kualitatif.
Pembuktian terbalik merupakan sarana hukum yang baru yang dapat
digunakan sebagai suatu alat untuk mengungkap perkara-perkara yang
pembuktiannya sangat sulit seperti kasus-kasus tertentu termasuk tindak pidana
pencucian uang yang merupakan kejahatan kerah putih.
Dalam praktiknya pembuktian terbalik belum diterapkan secara maksimal
di dalam proses pemeriksaan perkara pencucian uang karena ditakutkan dapat
melanggar asas praduga tidak bersalah, maka diterapkanlah pembuktian terbalik
secara berimbang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata dalam perkara No. 1454
K/PID.SUS/2011, Penuntut Umum menerapkan pembuktian terbalik dengan
berlandaskan pada pasal 35 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang dan hanya dapat diterapkan pada saat proses
persidangan, tepatnya pada saat keterangan Terdakwa dan hanya menyangkut
harta kekayaan dari terdakwa tidak ada kaitannya dengan pelaku.
Kata Kunci : Pembuktian Terbalik Berimbang, Pencucian Uang, Putusan MA
No. 1454 K/PID.SUS/2011.
7
ABSTRACT
This study takes the title of " REVERSAL BURDEN OF PROOF
BALANCED IN THE CASE OF MONEY LAUNDERING WITH
DEFENDANT BAHASYIM ASSIFIE (Judicial Review Decision Supreme Court
No. 1454 K/PID.SUS/2011)." This study aims to determine why the Prosecutor
applied the reversal burden of proof and how the application of evidentiary
inverted particularly against Money Laundering by defendant Bahasyim Assifie.
The method of approach used in this study is a normative juridical approach, with
prescriptive specifications and research in this study used secondary data, this data
is presented in a systematic and analysis performed by the method of qualitative
normative.
Reversal burden of proof is the new methode that can be used as a tool to
uncover the cases that the proof is very difficult as particular cases including
money laundering which is a white-collar crime.
In practice reversal burden of proof has not been applied to the maximum
in the process of examination of the case, for fear it may violate the presumption
of innocence. Because of that, the reversed burden of proof in a balanced has been
applied.
The results showed that in fact in case No. 1454 K/PID.SUS/2011 1454,
the Prosecutor applied that proof based on article 35 of Law No. 25 of 2003 on
Money Laundering and can only be applied at the time of the trial, precisely at the
time of the defendant gave a words and the only information concerning assets of
the defendant has nothing to do with the perpetrator. Keywords : Reversal Burden
in Balanced, Money Laundering, Decision Supreme Court No. 1454
K/PID.SUS/2011.
8
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana ................................. 8
B. Pembuktian
1. Tujuan Pembuktian ......................................................... 11
2. Parameter Hukum Pembuktian ......................................... 15
3. Sistem atau Teori Pembuktian .......................................... 17
4. Alat-Alat Bukti Menurut KUHAP ................................... 23
C. Pencucian Uang
1. Sejarah Dan Perkembangan Pencucian Uang
…………………………….………………………….. 29
2. Proses Pencucian Uang ……………………................. 36
3. Peranan Jaksa Dan Problema Pembuktian Dalam
Perkara Pencucian Uang ...………………………….... 38
4. Peran Hakim Dalam Memutuskan Perkara
Pencucian Uang …………………….…………...….... 43
D. Pembuktian Terbalik
1. Sejarah Pembuktian Terbalik ………………….…….. 46
2. Problematika Penerapan Pembuktian Terbalik …........ 55
3. Asas-Asas Yang Berkaitan Dengan Pembuktian
9
Terbalik ……………….………………………...….... 66
E. Penerapan Pembuktian Terbalik Berimbang Dalam
Perkara Pencucian Uang ..………………….…….………...... 68
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ................................................................ 80
B. Spesifikasi Penelitian ............................................................. 80
C. Sumber Data .......................................................................... 81
D. Metode Pengumpulan Data .................................................... 82
E. Metode Penyajian Data .......................................................... 82
F. Metode Analisis Data ............................................................. 83
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. ............................................................................................... Hasil
Penelitian
1. Kasus Posisi ..................................................................... 84
2. Dakwaan Penuntut Umum ............................................... 87
3. Pembuktian ..................................................................... 89
4. Tuntutan Penuntut Umum ............................................... 99
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Dan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada
Pengadilan Tinggi Jakarta .............................................. 101
6. Permohonan Kasasi Dari Terdakwa ............................... 105
7. Putusan Mahkamah Agung ............................................ 148
B. .............................................................................................. PEM
BAHASAN
10
1. Alasan Penuntut Umum Menerapan Pembuktian Terbalik
...................................................................................... 155
2. Penerapan pembuktian terbalik berimbang dalam
tindak pidana pencucian uang
terhadap Terdakwa dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 1454 K/PID.SUS/2011…..……..172
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................... 201
B. Saran ......................................................................... 202
DAFTAR PUSTAKA
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dianggap
sebagai suatu karya agung bangsa Indonesia dibidang hukum acara
pidana karena semua hak-hak tersangka atau terdakwa sebagai syarat
tegaknya hukum dalam suatu Negara telah diatur didalamnya. Dengan
adanya KUHAP diharapkan lebih mempermudah para penegak hukum
didalam menyelesaikan suatu perkara pidana, khususnya didalam
sistem peradilan di Indonesia. Proses penyelesaian suatu perkara
pidana menurut KUHAP terbagi menjadi empat tahapan, yaitu
penyelidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan di muka
sidang pengadilan.
Pembuktian merupakan titik sentral dari pemeriksaan di muka
sidang pengadilan karena menyangkut ditentukan tentang benar
tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan
merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini
pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika
seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan
yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan
hakim, padahal tidak benar. Inilah maka hukum acara pidana bertujuan
12
untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara
perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal1.
Dalam KUHAP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya
kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan
pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat
(Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP), sehingga status hukum
atau kedudukan asas pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara
pidana di Indonesia (KUHAP) tidak diatur. Sesuai dengan pasal 183
KUHAP, maka jelaslah bahwa kedudukan asas pembuktian terbalik
tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana pada umumnya
(KUHAP), melainkan yang sering diterapkan dalam proses
pembuktian dalam peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni
gabungan dari teori berdasarkan undang-undang dan teori berdasarkan
keyakinan hakim.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP memang
tidak mengenal sistem pembuktian terbalik, namun dalam rangka
keadilan, tersangka dan atau terdakwa juga berhak untuk membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah. Apa yang dikatakan sebagai pelanggaran
HAM dalam kaidah metode pembuktian terbalik tidak sepenuhnya
dapat menjadi tolak ukur ketidaksepamahaman dan hambatan
pemberlakuaan pembuktian terbalik. Karena alasan metode inipun
beralasan pada penghormatan HAM warga negara, terlebih dalam
1 Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. 2011. Hal. 249.
13
kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan delik pidana
dengan pembuktian yang cukup sulit. Pemikiran Positivis tidak boleh
menghambat sebuah pembaharuan hukum, yang harus di kuatkan
adalah kebutuhan bangsa saat ini.
Tindak Pidana Pencucian Uang atau money laundry harus
diberantas karena pencucian uang merupakan suatu kejahatan yang
menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang sangat besar atau
asal usul harta kekayaan itu merupakan hasil kejahatan, kemudian
disembunyikan atau disamarkan dengan berbgai cara yang dikenal
dengan pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang di Indonesia
menjadi salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan.
Kejahatan ini semakin lama semakin menigkat, oleh karenanya harus
dicegah bahkan harus diberantas agar intensitas kejahatan yang
berkaitan dengan harta kekayaan dapat diminimalis sehingga stabilitas
perekonomian negara dan keamanan negara terjaga2.
Upaya cepat telah ditempuh oleh pemerintah dengan
mengundangkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana
telah diubah dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang dan saat ini diubah menjadi Undang-
undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Dibentuknya Undang-undang
Pencucian Uang, merupakan sebuah bentuk komitmen dan political
2 Adrian Sutedi. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2008.
Hal. 175.
14
will negara Indonesia untuk memerangi permasalahan pencucian uang.
Konsep yang revolusioner dituangkan dalam peraturan ini adalah
dipergunakannya beban pembuktian terbalik (Omkering van het
Bewijslat). Memberi hak terdakwa untuk menjelaskan dan membantu
mempermudah proses persidangan atas dakwaan yang sebelumnya
telah ditelusuri oleh Jaksa Penuntut Umum.
Pada saat beban pembuktian terbalik di terapkan menggunakan
asas paraduga bersalah, artinya terdakwa terhadap pembuktian
berperan aktif, hal ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah
yang dianut di Indonesia.
Terobosan hukum beban pembuktian terbalik ternyata sudah
pernah diterapkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yaitu kepada
bekas pejabat kantor pajak dan Bappenas, Bahasyim Assifie. Proses
hukum tersebut merupakan untuk pertama kalinya beban pembuktian
terbalik diterapkan dalam proses persidangan di pengadilan. Dalam
proses tersebut Bahasyim diminta membuktikan keabsahan hartanya
yang dia sebut hasil berbagai usaha. Bahasyim memang menunjukkan
berbagai dokumen yang ia katakan sebagai hasil dari usahanya.
Namun, majelis hakim tidak mengakui seluruh bukti tersebut karena
tidak sah menurut hukum. Akhirnya, Bahasyim divonis hukuman
penjara selama 10 tahun, ditambah denda Rp 250 juta subsider 3 bulan
kurungan. Hartanya pun, senilai Rp 60,9 miliar ditambah 681.147
dollar AS dirampas untuk negara karena terbukti merupakan hasil
15
tindak pidana korupsi. Bahkan keputusan tersebut diperkuat oleh
putusan majelis banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang
menghukum dirinya dengan penjara selama 12 tahun dan denda
sebesar Rp 1 miliar terkait kasus korupsi dan pencucian uang
sedangkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menjatuhkan
hukuman 12 tahun penjara untuk dua tindak pidana yang dilakukan.
Dari kasus tersebut, konsekuensi logis beban pembuktian terbalik
ini tidak bersinggungan dengan pelanggaran hak asasi manusia,
ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak
bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non-self
incrimination), asas hak untuk diam (right to remain silent), hukum
pidana materiil serta instrumen hukum Internasional. Hal ini
dikarenakan beban pembuktian terbalik hanya dapat dilakukan
terhadap harta kekayaan pelaku korupsi Sehingga titik beratnya hanya
pada pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku korupsi.
Sudah saatnya pengadilan mengunakan asas beban pembuktian
terbalik kepada para tersangka korupsi. Penerapan asas tersebut akan
membuktikan bahwa harta kekayaan tersangka koruptor benar-benar
merupakan hasil korupsi atau sebaliknya. Hal tersebut juga tentu akan
menimbulkan efek jera bagi para koruptor3.
3http://www.transparansi.or.id/artikel/menjerat-koruptor-dengan-asas-pembuktian-terbalik di akses 28 Februari 2011.
16
Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang penulis untuk
melakukan penelitian guna penyusunan penulisan hukum dengan judul
: “PEMBUKTIAN TERBALIK BERIMBANG DALAM
PERKARA PENCUCIAN UANG DENGAN TERDAKWA
BAHASYIM ASSIFIE (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah
Agung No. 1454 K/PID.SUS/2011).”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan dapat diambil
rumusan masalah, yaitu :
1. Mengapa Jaksa Penuntut Umum menerapkan Pembuktian
Terbalik terhadap Kasus Bahasyim Assifie ?
2. Bagaimana penerapan pembuktian terbalik dalam perkara
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam perkara No. 1454
K/PID.SUS/2011?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah pembuktian terbalik dapat diterapkan
atau tidak didalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan bagaimana
penerapannya dapat kita ketahui pada perkara No. 1454
K/PID.SUS/2011. Yaitu perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak
Pidana Pencucian Uang dengan Terdakwa DR. Drs. Bahasyim Assifie,
M.Si. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan sudah sampai pada
tingkat Kasasi.
17
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan agar hasil penelitian nantinya
dapat memberikan sumbangan pengetahuan di dalam penegakan
hukum , terutama dalam Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana
di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan pembuktian terbalik
dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan bagi pembaca atuapun instansi yang terkait dalam
hubungannya dengan pnerapan pembuktian terbalik dalam perkara
Tindak Pidana Pencucian Uang.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak
dijelaskan apakah hukum acara pidan itu hanya diberi definisi-definisi
beberapa bagian hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan,
mengadili, pra peradilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan,
penggeledahan, penangkapa, penahanan, dan lain-lain. Van Bemmelan
mengatakan ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan
yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran
undang-undang pidana4.
Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil yang berguna
untuk mempertahankan hukum materiil yaitu hukum pidana. Agar hukum
pidana dapat benar-benar dijalankan maka hukum acara pidana yang
mempertahankan berlakunya hukum pidana. Hal itu juga yang dikatakan
oleh A. Chanur Arrasjid bahwa:
“Hukum formil adalah hukum yang mengatur cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan hukum materiil5.” Abdoel Djamali juga sependapat dengan Chanur Arrasjid
mengatakan bahwa:
“Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan
4 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2004. Halaman 1. 5 A. Chanur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. Halaman
110.
19
menjalankan peraturan hukum material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum material melalui suatu proses dengan berpedomankan kepada peraturan yang dicantumkan dalam hukum acara6.” Hukum acara pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak
memberikan pengertian hukum acara pidana, namun pengertian hukum
acara pidana bisa didapatkan dari doktrin.
Dalam penjelasan Pedoman Pelaksana KUHAP dikatakan, tujuan
hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materil. Andi Hamzah mengatakan,
mencari kebenaran materil itu tidaklah mudah. Hakim yang memeriksa
suatu perkara yang menuju kearah ditemukannya kebenaran materil,
berdasarkan mana ia akan menjatuhkan putusan, biasaya menemui
kesulitan karena betapa tidak, kebenaran materil yang dicari itu telah lewat
beberapa waktu, kadang-kadang peristiwanya terjadi beberapa bulan
lampau, bahkan kadang-kadang berselang beberapa tahun7.
Hukum acara pidana juga memiliki tugas penting yang sejalan
dengan tujuan hukum acara pidana. Hibnu Nugroho mengatakan bahwa:
“Tugas penting yang diemban oleh hukum acara pidana adalah memberikan bingkai yang menjadi garis merah kepada para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya agar tidak melampaui batas kewenangannnya, mengingat setiap pelaksanaan
6 R. Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2010. Halaman 193. 7 Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1985.
20
suatu penegakan hukum akan berkaitan langsung dengan pelanggaran HAM, terutama HAM bagi tersangka/terdakwa8.” Bidang hukum pidana secara tradisional dibagi atas hukum pidana
material dan hukum pidana formal. Hukum pidana material sering disebut
hukum pidana dan hukum pidana formal sering disebut hukum acara
pidana. Dari namanya itu sendiri maka secara mudah dapat dikatakan
bahwa hukum acara pidana itu merupakan peraturan tentang bagaimana
hukum pidana itu ditegakan atau diacarakan. Pembuktian merupakan
intisari dari hukum acara pidana, karena itu hukum pembuktian harus
benar-benar dikuasai9.
Fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran
materiil, putusan hakim, dan pelaksanaan keputusan hakim. Menurut
Yulies Tiena Masriani mengatakan bahwa:
“Fungsi Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran materiil, putusan hakim dan pelaksanaan keputusan hakim
10.”
Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya
didapatkan dengan pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral dari
pemeriksaan di muka sidang pengadilan karena menyangkut ditentukan
tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan
dan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini
pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang
8 Hibnu Nugroho. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta.
Media Prima Aksara. 2012. Halaman 31. 9 A. Hamzah dan Irdan Dahlan. Upaya hukum Dalam Perkara Pidana. Jakarta: PT Bina
Aksara.1987. halaman1. 10Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. 2008.
Haalaman 83.
21
yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,
padahal tidak benar. Oleh karena itu hukum acara pidana bertujuan untuk
mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang
cukup puas dengan kebenaran formal11.
Selain itu hukum acara pidana memiliki beberapa fungsi, antara
lain adalah fungsi represif dan fungsi preventif. Fungsi represif dalam
hukum acara pidana adalah adanya upaya untuk menegakkan ketentuan
pidana dan melaksanakan hukum pidana. Penegakan ketentuan pidana
berarti pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan dalam hukum
pidana terhadap suatu perbuatan pidana. Sementara fungsi preventif dalam
hukum acarra pidana adalah fungsi pencegahan dan upaya untuk
mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi preeventif dalam hukum acara
pidana ini dapat berjalan dengan baik apabila seluruh proses hukum acara
pidaana dapat diselenggarakan dengan baik pula agar dapat mencegah
terjadinya perbuatan pidana yang sama dalam masyarakat.12
B. Pembuktian
1. Tujuan Pembuktian
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan
penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat
jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan
11 Andi Hamzah. 2011. Op. Cit. Halaman 249. 12 Sangatta, 2013, Hukum Acara Pidana, http://statushukum.com/hukum-acara-
pidana.html, diakses pada 7 Mei 2013.
22
pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang
berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Membuktikan
ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu sengketa.
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan
usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga
dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian
mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggung jawabkannya.13
Pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang
pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.
Keseluruhan pihak baik hakim, terdakwa maupun penasihat hukum
terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang.
Pengertian tentang pembuktian diperoleh dari doktrin. Beberapa
pengertian tentang pembuktian diantaranya M. Yahya Harahap yang
mengatakan:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang yang didakwakan kepada terdakwa14.” R. Supomo, mengatakan bahwa :
13 Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan. 1998. hal.
133. 14 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta. Sinar Grafika. 2009. Halaman 273.
23
“Pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah membenarkan hubungan hukum, misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti, hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum ntara penggugat dan tergugat adalah benar. Pembuktian dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Dalam arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan”. Pembuktian merupakan suatu proses kegiatan untuk membuktikan
sesuatu atau menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa. Pasal 183
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana menyatakan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem
yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan
bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan
menilai suatu pembuktian15. Ditinjau dari segi hukum acara pidana
sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa
pedoman dan penggarisan:
15 Hari Sasangka dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung:
Mandar Maju , 2003. hal. 10.
24
a. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk
mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang
didakwakannya kepada terdakwa.
b. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk
melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut
umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang.
c. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan
mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama
pemeriksaan persidangan.16
Pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan merupakan bagian terpenting dari acara
pidana, karena hak asasi manusia (terdakwa) akan dipertaruhkan. Dalam
hal inilah hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil,
yang berbeda dengan hukum acara perdata yang hanya sebatas pada
kebenaran formal. Senada dengan hal tersebut, Van Bemmelen
mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu :
a. Mencari dan menemukan kebenaran;
b. Pemberian keputusan oleh hakim;
c. Pelaksanaan keputusan.17
Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi
“mencari kebenaran” karena hal tersebut merupakan tumpuan kedua
16 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid I,
Penerbit Pustaka Kartini. 1993. halaman 14. 17 Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia . Jakarta: Penerbit Ghana
Indonesia.. 1983. halaman 13.
25
fungsi berikutnya. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui
alat bukti dan barang bukti, maka hakim akan sampai kepada putusan yang
selanjutnya akan dilaksanakan oleh Jaksa.
Senada dengan hal tersebut Martiman Projokawidjojo
mengemukakan, membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk
menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal
terhadap kebenaran peristiwa tersebut18.
Pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan dalam surat persengketaan19
. Dimana
pembuktian merupakan intisari dari hukum acara pidana, karena itu hukum
pembuktian harus benar-benar dikuasai20.
2. Parameter Hukum Pembuktian
Pada setiap definisi hukum ada enam hal yang akan diulas lebih
lanjut terkait parameter hukum pembuktian, yaitu sebagai berikut:
a. Bewijstheorie adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar
pembuktian oleh hakim di pengadilan. Ada empat teori
pembuktian. Yaitu pertama positief wettelijk bewijstheorie yang
mana hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut
undang-undang, kedua conviction intime yang berarti keyakinan
semata, ketiga conviction raisonee artinya dasar pembuktian
menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan
yang logis, dan yang keempat, negatief wettelijk bewijstheorie
18 Hari Sasangka dan Lily Rosita. Loc. Cit. Halaman 2. 19 Subekti. Hukum Pembuktian. PT. Pradnya Paramitra. 1987. Halaman 7. 20 A. Hamzah dan Irdan Dahlan. Loc. Cit. Hal. 1.
26
dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-
alat bukti dalam undang-undang secara negatif.
b. Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk
membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Mengenai
apa saja yang menjadi alat bukti, akan diatur dalam hukum acara.
c. Bewijsvoering yang secara harfiah diartikan sebagai penguraian
cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di
pengadilan.
d. Bewijslast atau burden of proof adalah pembagian beban
pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk
membuktikan suatu peristiwa hukum. Dalam praktik, baik jaksa
penuntut umum maupun terdakwa atau penasihat hukumnya saling
membuktikan di persidangan atau pengadilan dinamakan asas
pembalikan beban pembuktian “berimbang”. Seperti dikenal di
Amerika serikat dan juga di Indonesia.
Menurut Lilik Mulyadi, beban pembuktian, bila dilihat dari tolak
ukur jaksa penuntut umum dan terdakwa, dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, sistem beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”, yakni
jaksa penuntut umum yang mebuktikan kesalahan terdakwa. Kedua,
teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi
menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat absolut dan
teori pembalikan pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang.
27
Bahwa dianutnya pembalikan beban pembuktian secara murni
menyebabkan beralihnya asas praduga tidakk bersalah menjadi asas
praduga bersalah, padahal praduga bersalah relatif cenderung dianggap
sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap
asas praduga tidak bersalah21.
e. Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-
masing alat bukti dalam rangka penilaian terbuktinya suatu
dakwaan. Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim.
f. Bewijs MInimmum adalah bukti minimum yag diperlukan dalam
pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim. Dalam konteks
hukum acara pidana di Indonesia, untuk menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa, paling tidak harus ada dua alat bukti dan
keyakinan hakim22.
3. Sistem atau Teori Pembuktian
Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana dikenal dengan
sistem “negatif” (negatif wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh
hukum adalah kebenaran materill. Sistem negatif adalah suatu sistem
pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan
oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu alat bukti
yang cukup dan keyakinan hakim.
21 Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban . Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Penerbit P.T.
Alumni Bandung. 2007. Halaman 104-105. 22 Eddy O. S. Hiariej.Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: erlangga. 2012. Halaman
15-26.
28
Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang isinya:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.”
M. Yahya Harahap berpendapat :
“Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum23.”
Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah24 :
“Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”
Sistem pembuktian yang dikenal tidak hanya satu macam, tetapi
terdapat beberapa macam sistem pembuktian yaitu:
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim
Melulu (Convictim in Time).
23M. Yahya Harahap. Op. Cit. Hal. 256-259. 24 Andi Hamzah. Op. Cit. Hal. 264.
29
Sistem pembuktian berdasarkan pada keyakinan hakim
benar-benar diserahkan pada keyakinan hakim sepenuhnya
yang boleh diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti
maupun tanpa alat bukti langsung menarik keyakinan.
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas
Alasan yang Logis (Conviction Raisonee).
Keyakinan hakim dapat dikatakan tetap memegang peranan
penting untuk menentukan salah tidaknya terdakwa dalam
sistem ini. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor
keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian
conviction in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas
maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus
didukung dengan alasan-alasan yang jelas.
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang
Secara Positif.
Sistem ini tidak berdasarkan atas keyakinan hakim artinya
dalam hal ini keyakinan hakim tidak memiliki peranan. Sistem
ini hanya mendasarkan pada undang-undang saja.
Pembuktian dengan sistem ini mendasarkan pada alat-alat
bukti menurut undang-undang. Oleh karena itu sistem
pembuktian ini memiliki kelemahan dimana hakim hanya
sebagai corong dari undang-undang.
30
d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang
Secara Negatif.
Sistem pembuktian ini merupakan gabungan dari sistem
pembuktian berdasar undang-undang secara positif dan sistem
pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu. M. Yahya
Harahap mengatakan bahwa:
“Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time
25.”
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa
menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif,
terdapat dua komponen:
1) pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang,
2) dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana itu adalah:
a. Menurut undang-undang artinya hakim tidak dapat secara
bebas menentukan jenis alat bukti apa saja yang dapat
25 M Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 278.
31
digunakan dalam pembuktian di persidangan maupun
minimal banyaknya alat bukti yang harus ada untuk
membuktikan kesalahan terdakwa.
b. Negatif artinya meskipun telah memenuhi minimal alat
bukti yang telah ditentukan undang-undang, tetapi belum
dapat dijatuhkan pidana apabila hal tersebut belum dapat
menimbulkan keyakinan hakim. Jadi di samping dipenuhi
batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah jua
harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang
telah didakwakan kepadanya.
Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana didalamnya terkandung dua
hal, yakni :
1) Batas minimum pembuktian
Terdakwa dinyatakan bersalah apabila telah
memenuhi dua alat bukti yang sah dan baru
mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Dalam
hal ini alat bukti yang sah didefinisikan sebagai alat
bukti yang tercantum di dalam Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
32
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
2) keyakinan hakim
Menurut Lilik Mulyadi26
, Asas keyakinan hakim
harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai
dengan system pembuktian yang dianut Pasal 183
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang merumuskan “Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.” adalah
pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Artinya di samping dipenuhi batas minimum
pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam
pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi
dengan hakim memperoleh “keyakinan” bahwa
tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi
26 Lilik Mulyadi. Op. cit. Hal. 199.
33
dan bahwa terdakwa telah bersalah mealakukan
tindak pidana tersebut27.
Dalam hukum pembuktian, maka sistem KUHAP sama
dengan sistem HIR. Keduanya memiliki persamaan dalam sistem
dan cara menggunakan alat bukti, yakni sistem pembuktian negatif
menurut undang-undang ( negatief wettelijk), yang tercermin
dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 294 ayat (1) HIR.
4. Alat-Alat Bukti Menurut KUHAP
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan
keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan terdakwa28.
Pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak
(Absolut) semua pengetahuan kita hanya sifat relatif, yang didasarkan
pada pengalaman, penglihatan, dan pemikiran yang tidak selalu pasti
benar, jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat
menghukum seseorang, maka tidak boleh sebagian besar dari pelaku
tindak pidana pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan
pidana. Satu-satunya yang dapat disyaratkan dan yang sekarang
dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa
telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan,
27 M. Yahya Harahap. 2001. Op. cit., hlm. 311-312. 28 Hari Sasangka dan Lily Rosita. Op. Cit. Halaman 11.
34
sedangkan ketidak-kesalahannya walaupun selalu ada
kemungkinannya merupakan suatu hal yang tidak diterima sama sekali.
Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa
menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa sesuatu
tindak pidana benar-benar telah terjadi dapat terjadi dan terdakwa
dalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna,
yaitu bukti yang sah dan menyakinkan.
Mengenai macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdiri dari :
a. Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah alat bukti urutan pertama dalam
Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan saksi
memiliki pengertian dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang merumuskan:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Penting untuk diketahui tidak semua alat bukti keterangan saksi
adalah alat bukti yang sah, keterangan saksi harus memenuhi ketentuan
agar dapat menjadi alat bukti yang sah. Ketentuan tersebut yaitu:
1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.
35
2. Keterangan saksi harus diberikan di dalam persidangan.
3. Keterangan tersebut adalah keterangan tentang apa yang ia
dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri.
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
b. Keterangan Ahli
Pasal 1 angka (28) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
Keterangan ahli pada hakikatnya merupakan keterangan
pihak ketiga untuk memperoleh kebenaran sejati, ia dijadikan saksi
karena keahliannya bukan ia terlibat dalam suatu perkara yang
sedang disidangkan. Hakim karena jabatan atau karena permintaan
pihak-pihak dapat meminta bantuan seseorang atau lebih saksi
saksi ahli, keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan
oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan obyektif dengan
maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah
pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal tertentu.
Kekuatan pembuktian keterangan ahli tersebut, adalah
sebagai alat bukti bebas artinya diserahkan kepada kebijaksanaan
36
penilaian hakim; hakim bebas untuk menerima, percaya, atau tidak
terhadap keterangan ahli.
c. Surat
Pengertian surat tidak didapatkan di dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), tetapi bisa didapatkan dari para ahli.
Pengertian surat menurut Asser-Anema dalam Mohammad Taufik
Makarao dan Suhasril29 surat ialah segala sesuatu yang
mengandung tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk
mengeluarkan isi pikiran.
Surat dapat digunakan sebagai alat alat bukti dan
mempunyai nilai pembuktian apabilah surat tersebut dibuat sesuai
dengan apa yang yang diharuskan oleh undang-undang.
Apabila surat sudah dibuat sesuai dengan ketentuan
undang-undang maka bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan mengikat bagi hakim dengan syarat:
1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan
yang diatur oleh undang-undang.
2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum
3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat
melemahkan bukti surat tersebut.
29 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril,Op.Cit.hlm.127.
37
Dalam menilai alat bukti surat, penyidik, penuntut umum,
maupun hakim dalam meneliti alat bukti surat harus cermat, dan
hanya alat bukti tersebut di atas yang merupakan alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian dalam perkara pidana.
d. Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan sebagai berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”
Dilihat dari bunyi pasal di atas, maka dapat dikatakan
bahwa alat bukti petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak
langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang
pembuktian haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat
bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain.
Dalam hal ini penilaian yang dilakukan oleh hakim diperlukan
sikap arif lagi bijaksana setelah hakim mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya.
Adanya petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi,
surat, dan keterangan terdakwa (ayat 2). Keterangan seorang saksi
saja dapat dijadikan petunjuk oleh hakim, jika berhubungan dengan
38
alat bukti lainya. Demikian juga halnya dengan keterangan
terdakwa yang diberikan di luar persidangan merupakan petunjuk
bagi hakim atas kesalahan terdakwa.
e. Keterangan Terdakwa.
Keterangan terdakwa merupakan alat bukti terakhir dalam
proses pembuktian. Terdakwa juga dalam memberikan keterangan
di persidangan harus bebas tanpa tekanan. Ketika terdakwa
ditempatkan sebagai subjek dan bebas dari tekanan dalam
memberikan keterangannya diharapkan terdakwa akan memberikan
keterangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Keterangan
terdakwa diberikan tanpa harus mengucapkan sumpah terlebih
dahulu hal itu yang sering membuat keterangan terdakwa seringkali
diabaikan oleh hakim. Selain itu keterangan terdakwa seringkali
diabaikan karena ada kecenderungan seseorang untuk mengelak
melakukan kejahatan yang dilakukannya yang disebabkan faktor
psikologis.
Keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang sah di
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan terdakwa
memang ditempatkan di posisi terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. Hal itu salah satu alasan agar dalam
pemeriksaan terdakwa memberikan keterangannya paling akhir
39
agar terdakwa dapat secara jelas mengerti tidak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Melihat penjelasan di atas maka yang keterangan terdakwa
tersebut haruslah dinyatakan di dalam persidangan yang berisi apa
yang terdakwa lakukan berdasarkan pengalamannya dan hakim
bebas menentukan apakah keterangan terdakwa dapat digunakan
sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim ataupun tidak sesuai
dengan keyakinan hakim.
Dengan demikian, tersedianya alat bukti saja tidak cukup
untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka. Sebaliknya,
meskipun hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, jika
tidak tersedia alat bukti yang cukup, pidana belum dapat dijatuhkan
oleh hakim30.
C. Pencucian Uang
1. Sejarah Dan Perkembangan Pencucian Uang (Money Laundering)
Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni money
laundering. Apa yang dimaksud dengan money laundering, memang tidak
ada definisi yang universal, karena baik Negara-negara maju dan Negara-
negara dunia ketiga masing-masing mempunyai definisi sendiri-sendiri
berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Namun para ahli
hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan Money Laundering dengan
pencucian uang.
30 Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Bandung: PT CITRA
ADITYA BAKTI. 2012. Halaman 2.
40
Problematika pencucian uang yang dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama “Money Laundering” sekarang mulai dibahasa dalam buku-
buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminolog. Ternyata,
problematik uang haram ini sudah meminta perhatian dunia internasional
karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara.
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai salah
satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah
dikenal sejak tahun 1867. Pada saat itu, seorang perompak di laut, Henry
Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa
berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta
rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian
Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana
ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan
pencucian uang milik perompak lain di darat. Namun istilah money
laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di
Amerika Serikat, tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat
cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang
mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari
hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras
terlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak
dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan
tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak. Selain Al Capone,
terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan
41
perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis
hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasandaging. Uang hasil bisnis
illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat
mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini
kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan
untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer
Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak, tindak
pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya.
Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan
kejahatan. Tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam
bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Bahkan praktek money
laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al Capone atau Meyer
Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat bius,
Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil
kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain
jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang
melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara domestik namun juga
antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit. Bahkan berkembangnya
transaksi money laundering juga didukung fasilitas financial dunia
perbankan, seperti layanan nomor rekening istimewa atau nostro account
yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun 1930-an. Layanan ini
mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan untuk
transaksi sehingga bank tidak mengetahui siapa nasabah dan pihak yang
42
menjadi lawan transaksi. Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga
menyediakan fasilitas transfer uang antar negara, manajemen pengelolaan
dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan pencucian
uang. Pemerintah Amerika Serikat mulai mengkualifikasikan pencucian
uang ini sebagai suatu tindak pidana dengan mengeluarkan Money
Laundering Central Act. (1986), yang kemudian diikuti dengan The
Annunzio Wylie Act. dan Money Laundering Suppression Act. (1994).
Indonesia baru memandang praktek pencucian uang sebagai suatu
tindak pidana dan menetapkan sanksi bagi pelakunya adalah ketika
diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (UUPU),
kemudian pada tanggal 17 April 2002 diubah dengan UU No. 25 Tahun
2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pengertian pencucian uang (money laundering) adalah rangkaian kegiatan
yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi
terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan,
menyamarkan asal-usul uang haram dari pemerintah atau otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara
terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial
system), sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu
sebagai uang yang halal. Pasal 1 ayat 1 UU No 25 tahun 2003 berbunyi:
Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
43
menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau diduga (seharusnya "patut
diduga") merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah31.
Dikeluarkannya UU No. 15 tahun 2002 ini oleh pemerintah
Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari desakan dan ancaman sanksi
yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional. Berdasarkan putusan dari
Financial Action Task Force (FATF), suatu satuan tugas yang dibentuk
oleh Negara-negara G-7 pada tahun 1998, Indonesia dinyatakan sebagai
salah satu negara yang dikategorikan sebagai Non-Cooperative Countries
and Territories (NCTTs) Adapun ancaman sanksi yang diberikan oleh
FATF diantaranya adalah Bank-bank internasional akan memutuskan
hubungan dengan bank-bank Indonesia, Negara-negara lain akan menolak
Letter of Credit (L/C) yang dikeluarkan oleh Indonesia dan Lembaga-
lembaga keuangan Indonesia akan dikenakan biaya tinggi (risk premium)
terhadap setiap transaksi yang dilakukan dengan lembaga-lembaga
keuangan luar negeri. Ancaman sanksi ini merupakan yang kedua kalinya
bagi negara Indonesia. Ancaman sanksi yang pertama diberikan pada
tahun 2001 dimana dari hasil evaluasi terhadap tingkat kepatuhan atas 40
rekomendasi FATF, Indonesia dimasukkan ke dalam daftar NCTTs. Saat
itu FATF menyoroti beberapa kelemahan pada negara Indonesia untuk
31
http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/layanan-diklat/seputar-diklat/1402-
sejarah-tindak-pidana-pencuciaan-uang-di-indonesia di akses 10 Januari 2014
44
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, yakni tidak
adanya undang-undang yang menetapkan money laundering sebagai tindak
pidana, tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer) untuk lembaga keuangan non-bank, rendahnya kualitas SDM
dalam penanganan kejahatan pencucian uang, dukungan para ahli dan
kurangnya kerjasama internasional.
Pada saat ini pencucian uang (money laundering) sudah merupakan
fenomena dunia dan tantangan internasional. Kegiatan money laundering
ini telah menjadi transnational crime karena prosesnya tidak hanya
dilakukan di dalam suatu negara melainkan telah melewati batas-batas
negara (crossborder). Pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan
sejauh mungkin dari sumbernya agar tidak mudah terlacak oleh penegak
hukum negara yang bersangkutan.
Meskipun tindak pidana pencucian uang telah berkembang
sedemikian rupa,32 sampai saat ini tidak atau belum ada definisi yang
universal dan prehensif mengenai apa yang dimaksud dengan tindak
pidana pencucian uang atau money laundering. Sutan Remi Sjadeini
menggaris bawahi, dewasa ini istilah money laundering sudah lazim
digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh
32 Iwan Kurniawan. PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
(MONEY LAUNDERING) DAN DAMPAKNYA TERHADAP SEKTOR EKONOMI DAN
BISNIS. Dalam Jurnal Hukum. Jalan Bariang, Anduring, Padang. Volume 3 No. 1. Halaman 5-7.
45
seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang “kotor”, yang
diperoleh dari hasil tindak pidana33.
Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta
kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah
menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius terhadap
stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan.
Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multidimensi dan
bersifat transnasional yang sering kali melibatkan jumlah uang yang cukup
besar juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
menyebutkan bahwa:
“Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah”.
33 Aziz Syamsuddin. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. 2011. Hal. 17.
46
Dari beberapa definisi dan penjelasan mengenai apa yang
dimaksud dengan money laundering, Sutan Remy Sjahdeini mengatakan
bahwa :
“Pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukan uang tersebut ke dalam sistem keungan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal”34.
2. Proses Pencucian Uang
Tujuan pencucian uang adalah memberikan legitimasi pada dana
yang diperoleh secara tidak sah. Walaupun dapat dikatakan tidak ada
sistem pencucian uang yang sama, tetapi pada umumnya proses pencucian
uang terdiri dari tiga tahap : placement, layering dan integration.
a. Placement : Tahap pertama dari pencucian uang adalah
menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam
sistem keuangan (financial system). Tahap placement tersebut,
bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk
menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misal,
hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uang-uang
kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari narkobanya, lalu
dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar, lalu di
34 Sutan Remy Sjahdeini. 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan
Pembiayaan Terorisme. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Halaman 5.
47
depositokan kedalam rekerning bank, dan dibelikan ke instrument-
instrumen moneter seperti cheques, money orders dll.
b. Layering : Layering atau heavy soaping, dalam tahap ini pencuci
berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu
dari sumbernya, dengan cara memindahkan uang tersebut dari satu
bank ke bank lain, hingga beberapa kali. Dengan cara memecah-
mecah jumlahnya, dana tersebut dapat disalurkan melalui
pembelian dan penjualan investment instrument Mengirimkan dari
perusahaan gadungan yang satu ke perusahaan gadungan yang lain.
Para pencuci uang juga melakukan dengan mendirikan perusahaan
fiktip, bisa membeli efek-efek atau alat-alat transfortasi seperti
pesawat, alat-alat berat dengan atas nama orang lain.
c. Integration : Integration adakalanya disebut spin dry dimana Uang
dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan
bersih bahkan merupakan objek pajak dengan menggunakan uang
yang telah menjadi halal untuk kegiatan bisnis melalui cara dengan
menginvestasikan dana tersebut kedalam real estate, barang
mewah, perusahaan-perusahaan35.
Menrut Barda Nawawi Arief didalam bukunya yang berjudul
“Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
35http://mediatorinvestor.wordpress.com/artikel/mengenal-money-laundering-dan-tahap-
tahap-proses-pencucian-uang/ diakses pada tanggal 11 januari 2014.
48
Penanggulangan Kejahatan”, menyebutkan bahwa Tindak Pidana
Pencucian Uang itu ada 3 (tiga) jenis, yang intinya sebagai berikut;
a. Mengubah atau memindahkan “property” yang diketahuinya
berasal dari kejahatan, dengan tujuan menyembunyikan asal
usul gelap dari “property” itu atau membantu seseorang
menghindari akibat-akibat hukum dari keterlibatannya
melakukan kejahatan;
b. Menyembunyikan keadaan sebenarnya dari “property” yang
berasal dari kejahatan itu (baik sumber/asal usulnya, lokasinya,
penempatan/pembagiannya, pergerakan/penyalurannya,maupun
hak-hak yang berhubungan dengan “property” itu); dan
c. Menguasai/menerima, memiliki atau menggunakan “property”
yang diketahuinya berasal dari kejahatan atau dari
keikutsertaannya dalam melakukan kejahatan itu36
.
3. Peranan Jaksa Dan Problema Pembuktian Dalam Perkara
Pencucian Uang
Dalam pengamatan selama Indonesia mempunyai ketentuan anti
pencucian uang, maka tampaknya kegagalan terbesar terletak pada
kelemahan jaksa dalam membuktikan perkara ini. Masalah berawal dari
penuntutan yang ternyata tidak sederhana, pertama berkenaan bahwa
tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan (follow up
crimes) sehingga pada permasalahan lain, yaitu bagaimana core crime
36 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana. 2008. Hal. 200.
49
atau predicate offence-nya (kejahatan utamanya). Apakah harus
dibuktikan keduanya atau cukup pencucian uangnya saja tanpa terlebih
dahulu membuktikan core crime atau predicate offence-nya. Berdasarkan
amanat undang-undang, maka predicate offence-nya tidak perlu
dibuktikan, artinya cukup menggunakan bukti petunjuk saja. Sebagai
konsekuensinya, maka dakwaan harus disusun secara kumulatif bukan
alternatif karena antara predicate offence dan pencucian uang adalah dua
kejahatan yang walaupun perbuatan pencucian uang selalu harus dikaitkan
dengan predicate offence-nya, pencucian uang adalah kejahatan yang
berdiri sendiri (as a separate crime). Dengan demikian, dalam mendakwa
tindak pidana pencucian uang, misalnya berkaitan dengan dakwaan pasal
3, maka predicate offence dan follow up crime-nya didakwa sekaligus.
Namun, adakalanya terhadap tiga dakwaan bias saja tunggal, yaitu ketika
seseorang melakukan proses pencucian uang atas hasil kejahatan dimana
pelaku tidak terlibat langsung dengan kejahatan. Pelaku ini tidak harus
dilakukan pertanggungjawaban predicate offence-nya, tetapi hanya tindak
pidana pencucian uangnya.
Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan pembuktian unsur
subjektif (mens rea) dan unsur objektif (actus reus). Mens rea yang harus
dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui) atau reason to know (patut
menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan
dengan unsur terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan
transaksi. Untuk membuktikan unsur mengetahui tentunya sudah jelas
50
bahwa pelaku harus memenuhi knowingly dan wingly. Selanjutnya,
berkenaan pembuktian unsur patut menduga maka hal ini persis yang
tertera dalam pembuktian pasal 480 KUHP yang menjelaskan adanya
unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja setengah
lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended, yaitu bermaksud
untuk menyembunyikan hasil kejahatan. Pembuktian ini pun sulit. Maka
dari itu, apabila unsur sengaja dan mengetahui atau patut menduga bahwa
harta kekayaan berasal dari kejahatan, dengan sendirinya unsur intended
terbukti37
.
Peranan Kejaksaan dalam mengatasi perkara Tindak Pidana
Pencucian Uang pada dasarnya Lembaga Kejaksaan berperan melakukan
tindakan-tindakan preventif yang ditujukan untuk meniadakan gejala-
gejala yang mengarah terjadinya tindak pidana yang menimbulkan
gangguan terhadap keamanan dan ketertiban.
Peran kejaksaan dalam bidang pidana yang paling mendasar
adalah melakukan penyidikan, penyidikan terhadap tindak pidana khusus
yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang yang beraspek pada Tindak Pidana
Korupsi yang terjadi di masyarakat. Kejaksaan RI adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Sebagai badan yang
berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin
oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada
37 Adrian Sutedi. Op. cit. Halaman 213-214.
51
Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negri
merupakan kekuasaan Negara khususnya di bidang penuntutan, dimana
semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat
dipisahkan. Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga
penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan
supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
mencakup tentang aspek-aspek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),
dalam melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus
melaksanakan 7 fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, kejaksaan berada pada
posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa.
Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses
penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai
pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan
sebagai pengendali proses perkara, kerena hanya institusi Kejaksaan yang
dapat menentukan apakah suatu kasus atau perkara dapat diajukan ke
Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum
Acara Pidana.
Kemudian muncul Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya tidak diberlakukan lagi
52
dan diganti oleh Undang-undang No. 16 tahun 2004, yang menyatakan
bahwa kekuatan untuk melaksanakan penuntutan itu dilaksanakan oleh
Kejaksaan. Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan wewenang kepada
Kejaksaan yang tertera dalam Pasal 30 yaitu, Bahwa selain dari melakukan
penuntutan khususnya penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang, seorang
jaksa pun melaksanakan tugasnya dalam aspek :
a. Melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Kejaksaan juga mempunyai tugas dan wewenang dalam bidang pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.
c. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang.
d. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam
pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik. Mengenai
kebijakan penuntutan, penuntut umumlah yang menentukan suatu
perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk
dilimpahkan ke Pengadila Negeri untuk diadili. Hal ini diatur dalam
Pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penuntut umum suatu
perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan
ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut
umum membuat suatu ketetapan mengenai hal itu (Pasal 140 ayat (2)
53
butir a KUHAP). Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada
tersangka dan bila ia ditahan, wajib dibebaskan (Pasal 140 ayat (2)
butir b KUHAP). Mengenai wewenang penuntut umum dalam prospek
pidana, khususnya pidana pencucian uang untuk menutup perkara demi
hukum seperti tertuang dalam Pasal 140 ayat (2) butir a KUHAP,
pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa perkara
ditutup demi hukum diartikan sesuai dengan buku I kitab Undang-
undang Hukum Pidana tentang hapusnya hak menuntut yang diatur
dalam Pasal 76, 77, 78 dan 82 KUHP. Penuntutan perkara Tindak
Pidana Pencucian Uang dilakukan oleh Jaksa penuntut umum, dalam
rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya. Penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
4. Peran Hakim Dalam Memutuskan Perkara Pencucian Uang
Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana
pencucian uang, peran hakim sangat menentukan untuk tujuan
pemberantasan kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang
didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit
karena harus membuktikan kejahatan sekaligus. Profesionalitas hakim
sangat diperlukan untuk mengikuti semua sistem acara peradilan yang
banyak menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya adanya
perlindungan saksi dan adanya praktik acara pembalikan beban
pembuktian atau yang kita kenal dengan nama pembuktian terbalik.
54
Undang-undang tindak pidana pencucian uang belum mengatur
secara rinci tentang acara pemeriksaan persidangan khususnya untuk
pembalikan beban pembuktian ini, tetapi pada masa depan hal ini harus
dilakukan. Pada dasarnya pembalikan beban pembuktian ini melanggar
prinsip nonself incrimination dan penerapannya terbatas pada tahap
persidangan.
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sikap hakim pabila
ide tentang bukti pendukung (circumstancial evidence) akan diterapkan.
Pemikiran tentang pembuktian unsur (intended), yaitu dengan maksud
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan dan
seterusnya, yang harus dianggap terbukti sepanjang semua unsur di
depannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharusnya melakukan
lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsur intended
pasti terbukti. Dalam hal ini berlaku suatu logika hukum, yaitu dimana
terdakwa yang telah terbukti sengaja melakukan transfer misalnya dan
kemudian dia juga terbukti mengetahui atau paling tidak patut menduga
bahwa harta kekayaan yang ditransfer berasal dari kejahatan, maka
seharusnya dapat disimpulkan tujuan transfer tersebut untuk hal yang tidak
baik, yaitu menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kekayaan.
Terhadap ide hakim ini harus benar-benar harus mempunyai keberanian
yang dilandasi keyakinannya atau logika hukum yang ditawarkan tersebut,
sangat diperlukan wawasan yang luas terutama dan mempelajari teori
55
pembuktian yang telah dilakukan di berbagai negara yang telah banyak
pengalaman dalam pengungkapan perkara pencucian uang di pengadilan.
Banyak penegak hukum, khususnya jaksa dan hakim serta
pengacara, yang belum memahami tindak pidana pencucian uang ini.
Mereka berpikir bahwa pencucian uang adalah kejahatan anak atau
kejahatan subsider dari kejahatan utama. Kalau kejahatan utama, misalnya
illegal logging belum bisa dibuktikan, pencucian uang tidak bisa diperiksa
terlebih dahulu. Mereka yang belum paham ini sering berpendapat, kalau
harta orang yang belum jelas kejahatannya disidangkan, akan
menimbulkan fitnah dan akan mengundang diajukan tuntutan pencemaran
nama baik oleh tersangka.
Rezim anti-pencucian uang dibangun dengan filosofi sita dulu uang
atau hartanya, baru bereskan orangnya. Rezim ini berupaya merampas
uang atau harta haram yang merupakan darah dari semua kejahatan.
Pencucian uang adalah tindak pidana yang dapat berdiri sendiri dan dapat
diproses secara terpisah ataupun bersamaan dengan tindak pidana asalnya,
seperti illegal logging.
Akhirnya profesionalitas hakim juga harus memegang peranan
penting untuk pengungkapan perkara pencucian uang, mengingat terdapat
pendekatan pragmatis dan inovatif yang terpaksa harus dilakukan
sehubungan dengan sulitnya pembktian38.
D. Pembuktian Terbalik
38 Ibid. hal 216-219.
56
1. Sejarah Pembuktian Terbalik
Istilah “sistem pembuktian terbalik”, lebih dikenal masyarakat
dibanding dengan istilah “pembalikan beban pembuktian”, dimana
pembalikan beban pembuktian sudah lama diberlakukan di Indonesia
yakni sejak tahun 1960, yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa :
“Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila dimintai oleh jaksa”.
Setelah itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) juga mengatur perihal yang sama tentang
pembalikan beban pembuktian walaupun pengaturannya masih sangat
terbatas. Dikatakan sangat terbatas karena jaksa masih harus membuktikan
seseorang itu korupsi atau tidak padahal ia telah gagal membuktikan
bahwa hartanya berasal dari cara yang legal.
Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau sistem Pembuktian
Terbalik dalam istilah lain disebut juga omkering van het bewijslast
(Belanda) atau reversal borden of proof (Inggris) ini merupakan adopsi
dari negara anglo-saxon, seperti Inggris, Singapura dan Malaysia. Di
Indonesia, pengkajian terhadap sistem atau teori Pembalikan Beban
Pembuktian ini memiliki manfaat yang sangat komprehensif, sebab salah
satu hambatan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sulit
57
dilakukannya pembuktian terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.
Atas dasar penelitian akademis dan praktis, maka maksud diberlakukannya
asas ini tidak dalam konteks total dan absolut, tetapi pendekatan
komparatif negara yang memberlakukan asas ini. Sistem Pembalikan
Beban Pembuktian ini tidak pernah ada yang bersifat total absolut, artinya
hanya dapat diterapkan secara terbatas yaitu terhadap delik yang
berkenaan dengan “gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan suap
(“bribery”). Aturan yang berisi mengenai pemberian (gratification) yang
berkaitan dengan suap (bribery), pada pokoknya disebut bahwa pegawai
pemerintah yang menerima, dibayarkan atau diberikan dari dan atau oleh
seseorang, maka pemberian harus dianggap korupsi, sampai sebaliknya
dibuktikan. Hal ini menerapkan sistem Pembalikan Beban Pembuktian,
tetapi terbatas pada delik yang berkaitan dengan “gratification” dan
“bribery”, artinya sistem pembalikan beban pembuktian dari negara anglo-
saxon sebagai asalnya sistem pembalikan beban pembuktian ini, tidak
absolute dan memiliki kekhususan serta terbatas sifatnya.
Telah dikemukakan dalam tulisan di atas bahwa negara anglo-
saxon sebagai cikal bakalnya Sistem Pembalikan Beban Pembuktian tetap
mensyaratkan adanya sifat limitative (terbatas) dan eksepsional (khusus).
Demikian pula sifat terbatas ini dianut pula oleh Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999. Apakah yang dimaksud dengan Terbatas dan Khusus dari
Sistem Pembalikan Beban Pembuktian, dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999. Mari kita simak makna sistem pembuktian terbalik menurut
58
bunyi Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :
a. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
b. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
c. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
d. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau
sumber penambahan kekayaannya,maka keterangan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
e. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 37 disebutkan :
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, buka terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa
59
dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Bunyi penjelasan Pasal 37 dapat ditarik satu kesimpulan bahwa
sistem pembuktian terbalik seperti yang dianut dalam pasal 37 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi di atas dinilai sebagai sistem pembuktian terbalik yang terbatas,
dimana dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia sehari-
hari jarang diterapkan. Hal ini menimbulkan kurang efektifnya sistem ini.
Pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana (termasuk
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 beserta penjelasannya),
makna atau arti “Terbatas” atau “Berimbang” dari implementasi Sistem
Pembalikan Beban Pembuktian adalah :
a. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan
terhadap tindak pidana “gratification” (pemberian) yang berkaitan
dengan “bribery” (suap) dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam
tindak pidana korupsi.
b. Delik-delik lainnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tertuang dalam
Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya tetap ada pada
Jaksa Penuntut Umum.
c. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan
terhadap “perampasan” dari delik-delik yang didakwakan terhadap
60
siapa saja sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Perlu ditegaskan pula bahwa sistem
pembuktian terhadap dugaan pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan
Pasal 16 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tetap tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberikan pada Jaksa Penuntut
Umum. Apabila Terdakwa berdasarkan Tuntutan Jaksa Penuntut
Umum dinilai terbukti melakukan pelanggaran salah satu dari tindak
pidana tersebut dan dikenakan perampasan terhadap harta bendanya,
Terdakwa wajib membuktikan bahwa harta bendanya bukan berasal
dari tindak pidana korupsi.
d. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas penerapan asas
Lex Temporis-nya, yakni sistem ini tidak dapat diberlakukan secara
Retroaktif (berlaku surut) karena potensial terjadinya pelanggaran
HAM, pelanggaran terhadap asas Legalitas, dan menimbulkan apa
yang dinamakanasas Lex Talionis (balas dendam).
e. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas dan tidak
diperkenankan menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”.
f. Dari pengertian ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak
diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipiel dari
pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem
pembalikan beban pembuktian ini sebagai kenyataan yang tidak dapat
dihindari, khususnya terjadinya minimalisasi hak-hak dari “dader”
61
yang berkaitan dengan asas “non self-incrimination” dan “praduga
tak bersalah”, namun demikian adanya suatu minimalisasi hak-hak
tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak tersebut,
dan apabila terjadi, inilah yang dikatak.an bahwa system pembalikan
beban pembuktian adalah potensial terjadinya pelanggaran HAM39.
Keluarnya UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi maka pembalikan beban pembuktian dikenal juga dalam
rumpun hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia. Secara eksplisit
ketentuan Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
• yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ;
• yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
39 Wahyu Wiriadinata. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jurnal Konstitusi. Vol.
9 no. 2 issn 1829-7706 Juni 2012. Jl. Idi Adimaja I No. 1 Bandung, Indonesia. Mahkamah
Konstitusi republik Indonesia. Halaman 105-107.
62
b. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Eksistensi pembalikan beban pembuktian dari perspektif kebijakan
legislasi dikenal dalam tindak pidana korupsi sebagai ketentuan yang
bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung prevensi
khusus. Tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes yang
memerlukan extra ordinary enforcement dan extra ordinary measures
maka aspek krusial dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi adalah
upaya pemenuhan beban pembuktian dalam proses yang dilakukan aparat
penegak hukum.
Ditetapkannya pembalikan beban pembuktian maka menjadi
beralih beban pembuktian (shifting of burden proof) dari Jaksa Penuntut
Umum kepada terdakwa. Akan tetapi, walaupun pembalikan beban
pembuktian dilarang terhadap kesalahan/perbuatan orang dan keseluruhan
delik korupsi akan tetapi secara normatif diperbolehkan terhadap
gratifikasi delik penyuapan dan perampasan harta kekayaan pelaku tindak
pidana korupsi. Dalam praktik hal ini telah diterapkan Pengadilan Tinggi
Hongkong (Court of Appeal of Hong Kong) berdasarkan ketentuan Pasal
11 ayat (1) Hong Kong Bill of Rights Ordinance 1991. Apabila dikaji
63
secara selayang pandang dimensi filosofis mengapa kebijakan legislasi
menerapkan adanya eksistensi pembalikan beban pembuktian dalam tindak
pidana korupsi disebabkan ada kesulitan dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia untuk melakukan pembuktian terhadap perampasan harta
kekayaan pelaku (offender) apabila dilakukan dengan mempergunakan
teori pembuktian negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek yuridis luar
biasa dan perangkat hukum luar biasa pula berupa sistem pembalikan
beban pembuktian sehingga tetap menjungjung tinggi asas praduga tidak
bersalah (presumption of innocence) dengan tetap memperhatikan Hak
Asasi Manusia (HAM), dan juga tetap memperlakukan sistem pembuktian
beyond reasonable doubt.
Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian dalam perkara
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang diatur dalam ketentuan Pasal
12B, 37 dan 37A, 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, menimbulkan
problematika. Pertama, ketentuan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
salah susun karena keseluruhan delik tidak ada disisakan untuk
pembalikan beban pembuktian. Kedua, ketentuan Pasal 37 UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi senyatanya bukanlah pembalikan beban pembuktian oleh
karena ketentuan tersebut semata-mata adalah hak sehingga ada tidaknya
pasal itu tidak akan berpengaruh terhadap pembuktian yang dilakukan
64
terdakwa. Krusial dapat dikatakan, walaupun norma Pasal 37 tidak
dicantumkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi terdakwa tetap melakukan
pembelaan diri terhadap dakwaan yang dituduhkan kepada dirinya.
Berikutnya, apabila ketentuan Pasal 37 dimaksudkan pembentuk UU
sebagai pembalikan beban pembuktian maka hal ini berhubungan dengan
kesalahan (mens rea) yang bertitik tolak asas praduga bersalah dan asas
mempersalahkan diri sendiri. Padahal dalam tindak pidana korupsi pokok
selain gratifikasi haruslah mempergunakan asas praduga tidak bersalah
dan kewajiban membuktikan tetap dibebankan kepada Jaksa Penuntut
Umum. Ketiga, pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda
terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B) hanya dapat dijatuhkan
terhadap tindak pidana pokok (Pasal 37A ayat (3)) dan tidak dapat
dijatuhkan terhadap gratifikasi sesuai ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa
khusus terhadap gratifikasi Pasal 12B ayat (1) huruf a UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi maka Jaksa Penuntut Umum tidak dapat melakukan
perampasan harta pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Begitu juga sebaliknya terdakwa tidak dibebankan melakukan pembalikan
beban pembuktian terhadap asal usul hartanya. Keempat, pasca berlakunya
KAK 2003 maka pembalikan beban pembuktian ditujukan dalam konteks
65
keperdataan (civil procedure) untuk mengembalikan harta pelaku yang
diakibatkan dari perbuatan korupsi40.
2. Problematika Penerapan Pembuktian Terbalik
Dikaji secara umum “pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang
berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian
adalah perbuatan membuktian.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Bukti” terjemahan
dari Bahasa Belanda, bewijs diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa. Dalam kasus hukum, bewijs diartikan sebagai
segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau
ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan, guna
memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannyaa. Sementara itu,
membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan
sebagai proses, perbuatan atau cara membuktikan. Pengertian bukti,
membuktikan dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda
dengan pengertian pada umumnya. Pembuktian adalah perbuatan
membuktikan. Membuktikan berarti meberi atau memperlihatkan bukti,
melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan,
menyaksikan, dan meyakinkan. R. Subekti berpendapat bahwa
40 LILIK MULYADI. POLITIK HUKUM KEBIJAKAN LEGISLASI PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN TERHADAP KESALAHAN DAN HARTA KEKAYAAN PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI. http://halamanhukum.blogspot.com/2009/08/artikel-6.html diakses pada tanggal 10 Januari 2014.
66
membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-
dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan41.
Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang
pengadilan guna menemukan kebenaran materill akan peristiwa yang
terjadi dan member keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut
sehingga hakim dapat menjatuhkan putusan seadil mungkin42.
Ada yang mengatakan bahwa alat bukti yang paling dapat dipercaya
ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami peristiwa
tersebut. Diusahakanlah memperoleh pengakuan terdakwa tersebut dalam
pemeriksaan, yang akan menentramkan hati hakim yang meyakini
ditemukannya kebenaran materill itu43.
Dengan adanya berbagai macam teori mengenai pembuktian yang
ada di Indonesia, seperti halnya teori pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim, teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang
logis, teori berdasarkan undang-undang secara pisitif dan teori berdasarkan
undang-undang secara negatif diharapkan dapat menjadi suatu fasilitas
penegek hukum didalam menyelesikan suatu perkara, tinggal bagaimana
para penegak hukum menerapkannya secara adil karena apapun alat
buktinya dan bagaimanapun cara pembuktiannya tergantung bagaimana
penerapannya.
41 Eddy O. S. Hiariej. Loc. Cit. Halaman 3. 42 Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana (Perspektif, Teoritis dan Praktik).
Bandung: PT Alumni Bandung. 2008. Hal. 92-93. 43 Andi Hamzah. 2011. Op. cit. Halaman 249-250.
67
Beban pembuktian negatif dengan menganut asas beyond
reasonable doubt yang menjadi ruh dari sistem hukum di Indonesia, untuk
mencari keadilan belumlah dapat menjawab kasus-kasus berat dan sensitif
seprti kasus tindak pidana korupsi, tindak pidana teroris, tindak pidana
pencucian uang dan yang lainnya. Kasus-kasus tersebut ditempatkan
sebagai delik yang cukup sulit pembuktiannya, Oleh sebab itu diperlukan
pula suatu cara atau upaya yang luar biasa didalam penangannya,
Dibentuknya Undang-undang Pencucian Uang, merupakan sebuah bentuk
komitmen dan political will negara Indonesia untuk memerangi
permasalahan pencucian uang. Konsep yang revolusioner dituangkan dalam
peraturan ini adalah dipergunakannya beban pembuktian terbalik
(Omkering van het Bewijslat). Pembuktian terbalik hadir untuk
menawarkan sebuah solusi dan yang dimaksud dengan terbalik di sini
berarti sebuah kebalikan dari beban pembuktian yang biasa digunakan. Jika
pada umumnya beban pembuktian ditumpukan sepenuhnya pada penuntut
umum, kali ini tersangka juga dikenakan kewajiban untuk membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah. Dalam penerapannya, Indonesia telah
menganut pembuktian terbalik secara terbatas atau berimbang.
“Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat
untuk mencapai tujuan yang sifatnya non yuridis dan berkembang karena
rangsangan dari luar hukum. Faktor-faktor diluar hukum itulah yang
68
membuat hukum itu dinamis”,44salah satunya adalah dengan menerapkan
pembuktian terbalik.
Hans Kelsen mengatakan, jika perilaku kebalikan dari perilaku yang
tidak dilarang yang dilakukan oleh individu lain itu tidak dilarang, maka
tidaklah mustahil untuk tidak terjadinya konflik yang penyelesaiannya tidak
diatur oleh tatanan hukum. Tatanan hukum tidak berupaya mencegah
konflik ini, seperti hallnya konflik lain, dengan melarang perilaku
kebalikannya45.
Pembuktian terbalik adalah salah satu senjata yang bisa digunakan
untuk memberantas korupsi ataupun pelaku money laundering. Pemerintah
Indonesia seharusnya meningkatkan upaya menutup segala celah yang
dapat menyuburkan praktek money laundering, meskipun tetap menganut
rezim sistem devisa bebas dan rahasia bank, mengingat kedua rezim
tersebut disinyalir sebagai faktor yang menyuburkan praktek tersebut46
.
Namun di sisi lain, pembuktian terbalik juga bisa menjadi bumerang jika
digunakan oleh orang-orang yang salah. Pembuktian terbalik dapat
digunakan sebagai alat untuk saling tuduh menuduh dan ajang balas
dendam. Dalam analoginya seperti sebuah pabrik senjata, bukan senjatanya
yang salah. Tapi jika ada penyalahgunaan, itulah yang membuat senjata itu
44 Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (suatu pengantar). Yogyakarta: Liberty. 2003.
Halaman 40. 45 Hans Kelsen. Teori Hukum Murni (Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif). Bandung: Nusa
Media. 2011. Halaman 48. 46 Marwan Effendi. Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana. Jakarta:
CV. Sumber Ilmu Jaya. 2005. Halaman 181.
69
salah. Pada prinsipnya, pembuktian terbalik memang dapat menekan angka
kejahatan, karena akan membuat pelaku berpikir ulang sebelum bertindak.
Pada saat ini, pembalikan beban pembuktian diatur secara lebih
tegas, dalam dua rezim hukum pidana yakni pidana korupsi dan pidana
pencucian uang. Udang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi telah lebih dulu membuka jalan penerapan pembalikan
beban pembuktian, namun tidak pernah digunakan oleh penegak hukum.
Pembalikan beban pembuktian digunakan pula dalam tindak pidana
pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana pencucian Uang.
Terlihat jelas bahwa kedua undang-undang diatas telah mengizinkan
hukum untuk menggunakan pembalikan beban pembuktian/pembuktian
berimbang atau yang sering kita kenal dengan pembuktian terbalik. Sistem
pembuktian ini dapat digunakan di persidangan. Dengan demikian, jaksa
dan hakim memiliki peran sentral dalam penerapan pembuktian terbalik47.
Penerapan asas atau sistem pembalikan beban pembuktian di
Indonesia ini merupakan salah satu pola pemberantasan tindak pidana
korupsi, yaitu melakukan suatu akseptasi terhadap sitem pembalikan beban
pembuktian, yaitu suatu sistem pembuktian yang berkenaan dengan hukum
(acara) pidana, yang sangat khusus sifatnya dengan sistem pembuktian
yang umum (universal) selama ini dikenal pembuktian negatif.
47Eka Martiana Wulansari. PENGEMBALIAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Jurnal LEGISLASI INDONESIA.
Vol. 8 No. 2 – Juni 2011. Jakarta Selatan: Penerbit Direktorat Jenderal peraturan perundang-undangan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Halaman 263-264.
70
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi hanya menempatkan pembuktian sebagai suatu
“pergeseran” saja bukan “pembalikan” beban pembuktian, sehingga
pembuktian terbalik adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang
“terbatas” atau “berimbang” karena beban pembuktian terhadap dugaan
adanya tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh jaksa penuntut umum.
Pembebanan pembuktian berimbang dikenal dengan sistem
pembuktian terbalik (onus of proof), disebut pembuktian terbalik karena
pada sistem pembuktian biasa, yang berkewajiban membuktikan kebenaran
dari dakwaan yang disusun penuntut umum adalah penuntut umum itu
sendiri. Meskipun terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa
dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi48. Menurut Andi Hamzah
istilah sistem pembuktian terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai
bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah-satu
solusi pemberantasan korupsi. Menurut Akhil Mochtar istilah ini
sebenarnya kurang tepat apabila dilakukan dengan pendekatan gramatikal49.
Dalam hal ini saya lebih sependapat dengan Andi Hamzah, yang lebih
memakai istilah “sistem pembuktian terbalik”, karena telah dikenal oleh
masyarakat luas sebagai bahasa yang dapat dengan mudah dicerna dan bisa
cepat untuk dilaksanakan, sebab yang terpenting adalah arti dari sebuah
48 Abdul Latief. Tindak Pidana Korupsi dan Problematikanya Dalam Praktik Penerapan
Hukum. Majalah Hukum VARIA PERADILAN. Tahun XXVIII No. 324 November 2012. Jakarta pusat : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Halaman 40.
49 M. Akil Mochtar. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2009. Halaman 129.
71
tujuan kata tersebut, bukan sebagai suatu istilah saja yang harus
diperdebatkan.
Pembuktian secara garis besarnya itu sama dengan fakta, sedangkan
terbalik itu adalah berlawanan. Pembuktian terbalik adalah fakta yang
berlawanan, yang artinya pembuktian terbalik atau istilahnya pembuktian
secara a contrario adalah seseorang tersangka ataupun terdakwa dianggap
telah bersalah sebelum dibuktikan terlebih dahulu di depan persidangan
dengan kata lain, beban pembuktian ada ditangan tersangka atau terdakwa
dan disisi lain Penuntut umum ikut membuktikan kesalahan dari terdakwa.
Namun, pembuktian terbalik tetap memerlukan seperangkat aturan
pendukung yang harus dikaji secara matang. Perangkat peraturan itu dapat
mencakup ketentuan bukti permulaan apa saja yang harus dipenuhi sebelum
dapat menyeret seseorang ke pengadilan dan apa sanksi bagi yang
menyalahgunakan pembuktian terbalik ini.
Ketika Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi masih berwujud suatu Rancangan undang-undang
Pasal 17 berbunyi sebagai berikut :
a. Apabila hakim memandang perlu untuk kepentingan
pemeriksaan, maka hakim dapat memperkenankan terdakwa
untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak
pidana korupsi.
b. Dalam hal terdakwa dapat memberikan pembuktian
sebgaimana dalam ayat (1) pasal ini, maka keterangan itu
72
digunakan sebgai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan
baginya. Dalam hal demikian penuntut umum tetap memiliki
kesempatan untuk memberikan pembuktian tentang kesalahan
terdakwa.
c. Apabila terdakwa tidak dapat memberika pembuktian seprti
termaksud pada ayat (1) Pasal ini maka keterangan tersebut
dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan
baginya.
Berhubung dicantumkannya Pasal tersebut diatas, maka
beberapa kalangan menganggap bahwa Rancangan undang-undang
itu telah meganut system “Pembuktian Terbalik” (Omkering van de
bewijlast) sebagai lawan daripada pembuktian biasa yang
didasarkan kepada asas “presumption of innocence”50
.
Melalui penerapan pembuktian terbalik, terdakwa yang harus
membuktikan bahwa harta yang dimilikinya diperoleh dengan cara yang
legal (sah berdasarkan hukum), jika terdakwa tidak mampu membuktikan
bahwa hartanya diperoleh dengan cara yang legal, maka ia dapat
dikatagorikan melakukan tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai
pembuktian terbalik sebenarnya sudah dicantumkan di dalam Pasal 12B,
37, 37A, 38 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Ketentuan ini merupakan penyimpangan dari sistem
50 Wantjik Saleh. Tindak Pidana Korupsi Dan Suap. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983.
Halaman 71.
73
pembuktian konvensional yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana). KUHAP menentukan bahwa yang harus
membuktikan kesalahan terdakwa adalah jaksa penuntut umum bukan
terdakwa. Di samping itu penerapan pembuktian terbalik juga merupakan
penyimpangan dari asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence)51.
Upaya penegak hukum tidak tanggung-tanggung, karena baik
dalam delik korupsi diterapkan dua sistem sekaligus, yakni undang-
undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian
dilakukan dengan cara menerapkan pembutian terbalik yang bersifat
terbatas atau berimbang, dan yang menggunakan sistem pembuktian
negatief menurut undang-undang (negatief wettelijk overtuiging). Ada
beberapa kekhususan sistem pembuktian dalam hukum pidana formil
korupsi, yakni tentang:
a. Perluasan bahan yang dapat digunakan untuk menarik adanya
bukti petunjuk (Pasal 26A).
b. Beberapa sistem beban pembuktian yang berlainan dengan
yang ada dalam KUHAP52
. Jadi, tidak menerapkan pembuktian
terbalik murni (zuivere omskeering bewijslast), tetapi teori
pembuktian terbalik terbatas atau berimbang.
51 Sandya Pawestri Pandharum. Jurnal Ilmiah “Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam
Perkara Gratifikasi. Malang : Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. 2013. Halaman 3. 52 Adami Chazawi. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia:
Malang. 2011. Hal. 424-425.
74
Namun pembuktian terbalik dianggap telah melanggar Hak Asasi
Manusia, yaitu bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. Karena
di dalam pembuktian terbalik asas praduga tidak bersalah diganti menjadi
praduga bersalah (berperasangka buruk/bersuudzon terhadap orang lain).
Untuk menegakan suatu kebenaran, apakah kita harus takut
terhadap satu asas saja. Tidak selamanya asas praduga tidak bersalah harus
diterapkan, khususnya dalan kasus tertentu yang pembuktiannya itu sangat
sulit. Tidak selamanya juga praduga tidak bersalah itu harus kita taati,
karena didalam suatu proses peradilan “bukan kebenaran yang menang di
ruang sidang, tapi pemenang yang dapat membentuk kebenaran”, artinya
walaupun orang itu salah bisa saja orang tersebut dibebaskan karena
kepintaran dari penasehat hukum didalam membelaannya dengan alasan
alat buktinya tidak cukup dan selalu berlindung dibawah asas praduga
tidak bersalah terhadap terdakwa harus selalu dikedepankan. Asas prduga
tidak bersalah didalam suatu proses peradilan hanya melihat dari posisi
terdakwa saja, sedangkan dari posisi korban itu bagaimana. Jika hal seperti
ini diteruskan/didiamkan bagaimana dengan nasib Negara Republik
Indonesia, bagaimana dengan nasib rakyat miskin yang semakin tahun
bukannya berkurang tapi malah meningkat dan nasib para koruptor yang
semakin merajalela karena semakin nyamannya mereka hidup di bumi
pertiwi ini yang aturan hukumnya dapat mereka mainkan sesuka hati.
Mengutip dari pernyataan Finli Peter Dunne, yang menyatakan bahwa
“hukum dibuat untuk para pengacau, dan semakin banyak mereka
75
membuat kesulitan53, semakin panjang pula deretan nama mereka dalam
buku pidana”, sedangkan para penegak hukum kita banyak membuat
undang-undang dan hukum yang tidak membuat jera para penjahat,
sehingga permasalahannya semakin kompleks dan untuk
penyelesaiannyapun sangat sulit. Namun hal tersebut seharusnya tidak
menjadikan para penegak hukum menyerah begitu saja, karena
bagaimanapun dan dengan cara apapun hukum harus tetap ditegakan.
Walapun salah satu caranya adalah dengan mengesampingkan asas
praduga tidak bersalah.
Dari sinilah saya berasumsi bahwa pembuktian terbalik harus
diterapkan, karena undang-undang atau hukum tertulis jangan seperti
sarang laba-laba, yang hanaya menjaring atau menangkap yang lemah dan
miskin, sedangkan yang kuat dan yang kaya mudah saja memutuskan
jarring-jaring tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi kenapa
pembuktian terbalik harus diterapkan, karena selain untuk menyelesaikan
semua permasalan yang ada juga untuk efektifitas peradilan yaitu
mendukung peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Sebab
untuk kasus-kasus tertentu pembuktian biasa yang ada di KUHAP
dirasakan masih kurang efektif dan bahkan tidak dapat menjerat para
pelakunya. Pembuktian terbalik ini hanya diterapkan didalam proses
peradilan dan untuk “Certain Casses” atau hanya untuk kasus-kasus
tertentu saja seperti Pencucian Uang, Korupsi, Narkotika dan lain-lain.
53 Rus Dharmawan. Kata Bijak Yang Menyihir. Bantul: Kreasi Wacana. 2010. Hal. 3.
76
Apabila didalam penerapan pembuktian terbalik penuntut umum
dapat membuktikan bahwa harta kekayaan dari terdakwa itu dari hasil
suatu tindak pidana, maka selain terdakwa mendapatkan putusan dari
hakim, penuntut umum juga dapat melakukan perampasan asset terhadap
harta kekayaan terdakwa yang didapatnya dari suatu tindak pidana. Ketika
terdakwa dapat membuktikan bahwa harta kekayaan yang didapatnya itu
bukanlah dari suatu hasil tindak pidana, hal inilah yang melatarbelakangi
adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia karena telah berperasangka buruk
terhadap terdakwa dan dianggap mencemarkan nama baik dari terdakwa.
Tapi apalah artinya hal itu semua jika kita bandingkan dengan kepentingan
rakyat banyak, karena “lebih baik satu orang pejabat terluka dari pada
seribu rakyat yang harus terluka”, selain itu apabila terdakwa tidak
terbukti akan mendapatkan rehabilitasi atau pemulihan nama baik. Jadi
menurut hemat saya, sudah jelas kalau pembuktian terbalik dapat
diterapkan dengan tidak mengesampingkan suatu asas praduga tidak
bersalah karena hanya menyangkut harta kekayaan dan untuk kasus-kasus
tertentu (kejahatan ekonomi) serta apabila tidak terbukti ada suatu
rehabilitasi.
3. Asas-Asas Yang Berkaitan Dengan Pembuktian Terbalik
Ada beberapa asas yang melatarbelakangi timbulnya pembuktian
terbalik, yaitu :
a. Presumption of Innocent diartikan sebagai asas praduga tidak
bersalah. Artinya seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada
77
putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah. Disisi lain
dikenal juga asas presumption of guilt yang diartikan sebagai asas
praduga bersalah. Artinya seseorang sudah dianggap bersalah
sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah.
Khusus mengenai asas praduga bersalah dan asas praduga tidak
bersalah perlu dipahami bahwa kedua asas tersebut tidaklah
bertentangan antara satu dengan yang lain. Ibarat kedua bintang
kutub dari proses kriminal, asas praduga tidak bersalah bukanlah
lawannya. Asas tersebut tidak relavan dengan asas praduga
bersalah. Dua konsep tersebut berbeda, tetapi tidak bertentangan.
Dalam pembuktian terbalik yang bersifat absolut asas yang
digunakan adalah asas praduga bersalah dan bukan asas praduga
tidak bersalah.
b. Clear and Convincing Evidence sangat berkaitan dengan minimum
bukti dan kekuatan pembuktian, Clear and Convincing Evidence
diartikan sebagai standar pembuktian beyond a reasonable doubt
(diluar tingkat keraguan yang masuk akal), disini alat bukti saja
tidaklah cukup menjatuhkan pidana kepada terdakwa tanpa
keyakinan dari hakim.
c. Beyond a Resonable Doubt, adalah standar pembuktian yang
digunakan dalam pengadilan pidana. Disini jaksa penutut umum
harus membuktikan dan tanpa keraguan yang masuk akal kepada
hakim mengenai kesalahan terdakwa.
78
d. Negative Non Sunt Probanda diartikan sebagai membuktikan
sesuatu yang negative sangatlah sulit. Asas ini berkaitan dengan
beban pembuktian misalnya, ketika si A dituduh melakukan suatu
kejahatan yang harus membuktikan adalah jaksa penuntut umum.
Tidak sebaliknya, si A yang harus membuktikan bahwa dia tidak
melakukan kejahatan yang dituduh54.
E. Penerapan Pembuktian Terbalik Berimbang Dalam Perkara
Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian Uang atau money laundry harus
diberantas karena pencucian uang merupakan suatu kejahatan yang
menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang sangat besar atau asal
usul harta kekayaan itu merupakan hasil kejahatan, kemudian
disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal
dengan pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang di Indonesia
menjadi salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan.
Kejahatan ini semakin lama semakin meningkat, oleh karenanya harus
dicegah, bahkan harus diberantas agar intensitas kejahatan yang berkaitan
dengan harta kekayaan dapat diminimalis sehingga stabilitas
perekonomian negara dan keamanan negara terjaga55
.
Dampak tidak pidana pencucian uang hampir sama dengan tindak
pidana korupsi yaitu sebagai berikut :
54Adami Chazawi. Op. Cit. Hal. 30-45. 55 Adrian Sutedi. Op.Cit. Hal. 175.
79
a. Mengingat korupsi terjadi secara sistematis, tidak hanya merugikan
keuangan dan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak asasi sosial dan ekonomi masyarakat
luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime, maka
pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa.
b. Dampak dari tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan
keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang
menuntut efisiensi tinggi.
c. Dalam upaya merespon perkembangan kebutuhan hukum didalam
masyarakat, agar dapat lebih memudahkan didalam pembuktian,
sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi
penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin
canggih dan rumit.
Suatu upaya cepat telah dilakukan pemerintah dengan
mengundangkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 yang di
sempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang dan saat ini diubah menjadi Undang-
undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Dibentuknya Undang-undang Pencucian
Uang, merupakan sebuah bentuk komitmen dan political will negara
Indonesia untuk memerangi permasalahan pencucian uang. Konsep yang
revolusioner dituangkan dalam peraturan ini adalah dipergunakannya
80
beban pembuktian terbalik (Omkering van het Bewijslat). Memberi hak
terdakwa untuk menjelaskan dan membantu mempermudah proses
persidangan atas dakwaan yang sebelumnya telah ditelusuri oleh Jaksa
Penuntut Umum.
Meminjam kerangka berfikir J.E Sahetappy56bahwa dalam hukum
selain memiliki asas positif juga dikenal dengan asas de uitzonderingen
bevestigen de regel (pengecualian memastikan aturan yang ada). Artinya
dalam ranah regulasi ada pula kajian atas sebuah pengecualian terhadap
norma, sepanjang dikecualikan atas kebutuhan masyarakat menuju
perbaikan permasalahan. Beban pembuktian terbalik termasuk dalam
restorative justice, sebuah konsep yang diidamkan para pembaharu
penegakan hukum.
Disini dibutuhkan keberanian dari penegak hukum terkait dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang dengan menggunakan beban pembuktian
terbalik. Secara filosofi dari penjelasan sebelumnya metode beban
pembuktian terbalik tidaklah menjadi pertentangan besar atas konsep
hukum di Indonesia.
Dalam undang-undang Pencucian Uang umumnya banyak hal-hal
yang sangat khusus dan lain dibandingkan dengan undang-undang pada
umumnya, kekhususan ini menyebabkan undang-undang Pencucian Uang
berada dalam dua sisi hukum, yaitu Hukum Pidana dan Hukum Perdata,
56http://signnet.blogspot.com/2008/04/pembuktian-terbalik-solusi.html diakses 19 April
2013.
81
walaupun sisi hukum perdata tidak begitu jelas tersurat dalam undang-
undang itu, tetapi akan tergambar apabila diuraikan dalam unsur-unsurnya.
Di dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang
dinyatakan, “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan
hasil tindak pidana.” Uraian ini merupakan pembuktian pada tingkat
pengadilan dilaksanakan oleh terdakwa, sehingga terdakwa dikenakan
kewajiban pembuktian terbalik, tetapi hanya pada tingkat pengadilan,
bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan57
.
Dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, ditegaskan bahwa di sidang pengadilan
terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana. Perkataan wajib bagi terdakwa untuk
membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana
mengandung pengertian bahwa dalam undang-undang ini dianut sistem
pembuktian terbalik. Akan tetapi, dalam penjelasan pasal tersebut
dinyatakan bahwa terdakwa “diberi kesempatan” untuk membuktikan
harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
pembuktian terbalik termaktub di dalam pasal Pasal 77 dan 78 Undang-
57 Irman. Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering) . Bandung: MQS
Publishing. 2006. Halaman 9.
82
undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 77 :
“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannyabukan merupakan hasil tindak pidana.” Pasal 78 :
“(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).” “(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.” Aturan itulah yang memberi hak kepada terdakwa untuk
menjelaskan tuduhan yang disematkan padanya. Undang-undang ini
dikatakan bertentangan dengan Pasal 66 KUHAP yang mengatur bahwa
jaksa menjadi satu-satunya yang diberi kewaijban dalam pembuktian.
Namun apabila digali lebih dalam, asas lex specialis derogate legi
generalis dapat menjawab anggapan ini. Bahwa Undang-undang Tindak
Pidana Pencucian Uang adalah bersifat khusus yang akan
mengesampingkan KUHAP yang bersifat umum, dasar hukumnya adalah
Pasal 103 KUHP. Selain itu hal ini merupakan salah satu sarana yang
dapat ditempuh untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di
Indonesia.
83
Hal ini sesuai dengan tujuan hukum menurut Jeremy Bentham
dalam bukunya Introduction to the Morals and Legislation, yaitu bahwa
hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata berfaedah bagi orang.
Karena apa yang berfaedah bagi seseorang mungkin saja merugikan orang
lain, maka tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan sebanyak-
banyaknya bagi orang sebanyak-banyaknya58.
Penerapan pembuktian terbalik dalam suatu perkara pidana jelas-
jelas merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah yang
berarti seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan
dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak boleh dianggap bersalah
sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah serta telah
memperoleh kekuatan hukum tetap59. Dalam asas pembuktian terbalik
hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa telah bersalah melakukan
suatu pelanggaran hukum atau presumption of guilt.
Kemudian terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya
tidak bersalah, dan jika dia tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia
dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak Penuntut
Umum. Bila tersangka atau terdakwa ditahan maka hampir mustahil hal itu
bisa dilakukan. Dalam sistem pembuktian seperti tersebut di atas, tampak
bahwa hak-hak seorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal
58 Cansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
1989. Hal. 44. 59 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika. 2008. Hal. 40.
84
dalam Pasal 183 KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah diatur
secara tegas bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dalam pembuktian terbalik ketentuan tersebut secara terang-
terangan disimpangi, karena Hakim dapat saja menjatuhkan putusan
pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu jika terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini hanya dengan
adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan
terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam
teori pembuktian conviction intime (pembuktian berdasar keyakinan hakim
semata) yang telah dijelaskan di atas.
Persoalan beban pembuktian dalam perkembangannya, tidak hanya
menjadi domain jaksa penuntut umum semata tetapi juga terdakwa atau
penasihat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Jaksa
penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa, sebaliknya
terdakwa atau penasihat hukum akan mengajukan bukti bahwa dia tidak
melakukan tindak pidana yang didakwakan. Suatu kondisi yang mana
jaksa penuntut umum dan terdakwa sama-sama membuktikan di sidang
pengadilan dinamakan asas pembalikan beban pembuktian “Terbatas”
85
atau “berimbang” seperti dikenal di Amerika Serikat dan juga di
Indonesia60.
Beban pembuktian terbalik biasa disebut sebagai asas pembalikan
beban pembuktian atau pembuktian terbalik (Indonesia) yaitu shifting of
burden of proof atau reversal burden of proof (inggris), omkering van de
bewijslast (belanda), dan onus of proof (latin) yang diartikan sebagai
beban pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan
dirinya tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan beban pembuktian
seimbang atau beban semi terbalik diartikan sebagai beban pembuktian
diletakan baik terhadap terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara
berimbang terhadap objek pembuktian berbeda secara berlawanan.
Pembalikan beban pembuktian seimbang lebih mengedepankan
keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan
individu di satu sisi, dan perampasan hak individu bersangkutan di sisi
lainnya. Teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan juga tetap
mempertahankan prinsip pembuktian “beyond reasonable doubt” yang
diterapkan kepada terdakwa, akan tetapi secara bersamaan sekaligus
menerapkan prinsip pembalikan beban pembuktian oleh terdakwa.
Tabel 1. Pembebanan Pembuktian
Sistem
Pembebanan
Keterangan
60 Lilik Mulyadi. Loc. cit. Halaman 103.
86
Pembebanan
pembuktian biasa
Beban pembuktian untuk membuktikan tindak
pidana dan kesalahan terdakwa, sepenuhnya ada
pada jaksa penuntut umum
Pembebanan
pembuktian semi
terbalik (seimbang)
Beban pembuktian diletakan baik terhadap
terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara
berimbang terhadap objek pembuktian yang
berbeda secara berlawanan
Pembebanan
pembuktian
terbalik
Pembalikan beban pembuktian dibebankan
kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya
tidak melakukan tindak pidana61
Jadi secara logika, jika pembuktian terbalik dapat diterapkan pada
delik korupsi, otomatis dapat pula diterapkan pada tindak pidana
pencucian uang62
.
Salah satu jalan terbaik untuk mengikis pergesekan pertentangan
terkait penerapan pembuktian terbalik di Indonesia, maka yang paling
tepat adalah Beban pembuktian terbalik secara berimbang yang menjadi
muatan utama konsep di Indonesia. Konkretisasi asas ini baik Penuntut
umum maupun terdakwa dan/atau Penasehat Hukumnya saling
membuktikan di depan persidangan. Namun dalam hal ini teori
61 Supriyadi widodo eddyono. PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK DAN
TANTANGANNYA. Jurnal LEGISLASI INDONESIA. Vol. 8 No. 2 – Juni 2011. Jakarta Selatan: Penerbit Direktorat Jenderal peraturan perundang-undangan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Halaman 269-270.
62 Martiman Prodjohamidjojo. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi. Bandung : Mandar Maju. 2001. Halaman 107-108.
87
pembalikan beban pembuktian relatif tidak dapat diperlakukan terhadap
kesalahan pelaku karena akan mengakibatkan pergeseran asas praduga
tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah. Tetapi untuk
mengembalikan aset (asset recovery) hasil dari tindak pidana pencucian
uang serta membuktikan asal usul harta kekayaan milik pelaku tindak
pidana pencucian uang tetap dipergunakan pembuktian terbalik, karena
asal usul harta milik seseorang ditempatkan dalam kedudukan yang paling
rendah ketika pelaku tersebut dalam kedudukan belum kaya dan teori
pembuktian demikian tetap menjungjung tinggi ketentuan hukum acara
pidana, hak asasi manusia, hukum pidana dan instrument internasional63.
Dari sinilah saya berasumsi bahwa pembuktian terbalik harus
diterapkan, karena undang-undang atau hukum tertulis jangan seperti
sarang laba-laba, yang hanaya menjaring atau menangkap yang lemah dan
miskin, sedangkan yang kuat dan yang kaya mudah saja memutuskan
jarring-jaring tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi kenapa
pembuktian terbalik harus diterapkan, karena selain untuk menyelesaikan
semua permasalan yang ada juga untuk efektifitas peradilan yaitu
mendukung peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Sebab
untuk kasus-kasus tertentu pembuktian biasa yang ada di KUHAP
dirasakan masih kurang efektif dan bahkan tidak dapat menjerat para
pelakunya. Pembuktian terbalik ini hanya diterapkan didalam proses
63 Lilik Mulyadi. Op. cit. hal. 218-222.
88
peradilan dan untuk “Certain Casses” atau hanya untuk kasus-kasus
tertentu saja seperti Pencucian Uang, Korupsi, Narkotika dan lain-lain.
Apabila didalam penerapan pembuktian terbalik penuntut umum
dapat membuktikan bahwa harta kekayaan dari terdakwa itu dari hasil
suatu tindak pidana, maka selain terdakwa mendapatkan putusan dari
hakim, penuntut umum juga dapat melakukan perampasan asset terhadap
harta kekayaan terdakwa yang didapatnya dari suatu tindak pidana. Ketika
terdakwa dapat membuktikan bahwa harta kekayaan yang didapatnya itu
bukanlah dari suatu hasil tindak pidana, hal inilah yang melatarbelakangi
adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia karena telah berperasangka buruk
terhadap terdakwa dan dianggap mencemarkan nama baik dari terdakwa.
Tapi apalah artinya hal itu semua jika kita bandingkan dengan kepentingan
rakyat banyak, karena “lebih baik satu orang pejabat terluka dari pada
seribu rakyat yang harus terluka”, selain itu apabila terdakwa tidak
terbukti akan mendapatkan rehabilitasi atau pemulihan nama baik. Jadi
menurut hemat saya, sudah jelas kalau pembuktian terbalik berimbang
dapat diterapkan dengan tidak mengesampingkan suatu asas praduga tidak
bersalah karena hanya menyangkut harta kekayaan dan untuk kasus-kasus
tertentu (kejahatan ekonomi) serta apabila tidak terbukti ada suatu
rehabilitasi.
Penerapan pembuktian terbalik brimbang dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang sangatlah tepat, berbagai pertentangan dengan asas,
peraturan, doktrin dan lain sebagainya tidaklah menjadi penghambat
89
pemberlakuan pembuktian terbalik. Pertentangan yang hanya disandarkan
atas pemikiran positivis law janganlah menjadi penghambat pemberlakuan
pembuktian terbalik. Pemikiran harus dirubah dengan melihat kebutuhan
bangsa saat ini, bahwa pembuktian terbalik dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang merupakan hal yang revolusioner progresif dan
memerlukan dukungan bersama dalam pelaksanaannya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sudah mengeluarkan 12
Inpres mengenai penanganan kasus mafia pajak dan mafia hukum. Di
point 5 instruksi itu tertulis :
“Melakukan metode pembuktian terbalik untuk efektifitas penegakan hukum sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku.”
Metode pembuktian terbalik merupakan alternatif hukum
pembuktian yang kini dipandang sebagai “sarana hukum” yang ampuh
untuk mengejar aset hasil kejahatan dan mengembalikannya kepada
negara. Namun, penggunaan model ini harus memiliki dua fungsi, yaitu:
pertama, model ini bertujuan untuk memudahkan proses pembuktian asal
usul harta kekayaan (aset) dari suatu kejahatan, akan tetapi disisi lain,
tidak dapat dipergunakan sehingga bertentangan dengan hak asasi seorang
tersangka/terdakwa. Kedua, model ini tidak memiliki tujuan yang bersifat
represif melalui proses kepidanaan melainkan harus bertujuan yang
bersifat rehabilitative dan semata-mata untuk memulihkan aset hasil dari
kejahatan tertentu (recovery64).
64 Majalah Hukum VARIA PERADILAN. Op. Cit. Halaman 41.
90
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis
normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.
Dalam kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang
terpisah dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat
sehingga memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya65
.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menetapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum,
sehingga apa yang senyatanya berhadapan dengan apa yang seharusnya, agar
dapat memberikan rumusan-rumusan tertentu66.
Dengan kata lain penelitian ini menganalisis persoalan hukum dengan
aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam
peristiwa hukum67.
Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa ilmu hukum mempunyai
karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu
yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
65Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Cetakan
Ketiga. Bayumedia Publishing. 2007. Hal. 296. 66 Ibid. hlm. 303 dan 310. 67 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencara Media Group, Jakarta, 2010,
hlm 22
91
hukum, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma
hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menciptakan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum68.
C. Sumber Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka
data pokok yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan
data yang berasal dari bahan hukum primer yaitu bahan - bahan hukum yang
mengikat berupa peraturan perundang - undangan yang berlaku dan bahan
hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
misalnya rancangan undang - undang, hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum, dan seterusnya yang meliputi:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat,
terdiri dari: Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana,Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, terakhir diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
68 Ibid, hlm 91.
92
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Putusan MA NO. 1454
K/PID.SUS/2011.
2. Bahan Hukum Sekunder, ialah bahan yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, atau pendapat para pakar hukum.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum69.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode
studi kepustakaan yaitu mencarinya dalam misal buku-buku literatur , jurnal
ilmiah, dan sebagainya. Selain itu juga menggunakan metode dokumenter
yaitu dengan menelaah terhadap dokumen pemerintah maupun non
pemerintah (Putusan Pengadilan, Risalah Rapat, dan sebagainya).
E. Metode Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara
sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu
dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga
secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan
kebutuhan penelitian.
Penelitian ini akan menyajikan bahan hukum dalam bentuk teks naratif
yaitu dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun secara
logis dan sistematis.
69 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2006, hlm. 32.
93
F. Metode Analisis Data
Metode analisis dalam penelitian ini yaitu normatif kualitatif, yakni
merupakan cara menginterprestasikan dan mendiskusikan bahan hasil
penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori
hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
94
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1454
K/PID.SUS/2011 diperoleh data sebagai berikut:
1. Kasus Posisi
a. Terkait Tindak Pidana Korupsi
Pada sekitar tanggal 03 Februari 2005 bertempat di Bank BCA di
Lantai 1 Gedung Bina Mulia Kuningan Jakarta Selatan DR. Drs.
BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin KHALIL SARINOTO Pegawai
Negeri Sipil, meminta sejumlah uang kepada KARTINI MULYADI
dan oleh karena adanya perasaan takut pada diri KARTINI MULYADI
kepada Terdakwa selaku Pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang
mempunyai kewenangan dalam penyidikan dibidang Pajak, serta agar
supaya perusahaannya tidak diganggu oleh Terdakwa maka kemudian
KARTINI MULYADI menyetujui permintaan Terdakwa, untuk
merealisasikan pemberian uang kepada Terdakwa, kemudian KARTINI
MULYADI memanggil karyawannya yang bernama CENDANI
KUSUMA PHOE dan selanjutnya saksi KARTINI MULYADI
meminta saksi CENDANI KUSUMA PHOE untuk membuat slip
penarikan uang sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dari
Rekening 607-0054777 pada Bank BCA milik saksi KARTINI
95
MULYADI, selanjutnya saksi CENDANI KUSUMA PHOE mengetik
slip penarikan uang sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
dan meminta tanda tangan saksi KARTINI MULYADI, selesai
menandatangani slip penarikan tunai tersebut, saksi KARTINI
MULYADI memperkenalkan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. yang sedang berada di ruang rapat kantor saksi
KARTINI MULYADI kepada saksi CENDANI KUSUMA PHOE, dan
bersamaan dengan itu saksi KARTINI MULYADI juga menjelaskan
bahwa penarikan tunai sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
tersebut untuk diserahkan kepada Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. Kemudian saksi KARTINI MULYADI meminta saksi
CENDANI KUSUMA PHOE untuk menemani Terdakwa DR. Drs.
BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. ke Bank BCA di Lantai 1 Gedung Bina
Mulia. Setelah sampai di Bank, saksi CENDANI KUSUMA PHOE
menyerahkan slip penarikan uang kepada Petugas Teller Bank,
kemudian Terdakwa mengisi slip formulir setoran tunai sebesar Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan menyerahkannya kepada Kasir
Bank BCA, kemudian pihak Bank BCA melakukan proses penarikan
tunai sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atas Rekening
607-0054777 milik saksi KARTINI MULYADI dan langsung
memasukkan uang sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
tersebut ke Rekening Nomor 00199963416 atas nama saksi SRI
96
PURWANTI (istri Terdakwa) sesuai slip setoran tunai yang diajukan
oleh Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.
Selanjutnya transaksi yang dilakukan terdakwa yang dianggap
sebagai suatu upaya menyembunyikan/mencuci uang dari harta
kekayaannya yaitu dengan melakukan transfer dana berupa
pemindahbukuan kepada beberapa rekening, baik berupa uang USD
maupun berupa uang rupiah. Baik berupa setoran tunai maupun yang
bersifat pemindahbukuan dari Rekening Nomor 199963416 atas nama
SRI PURWANTI, pemindahbukuan dari Rekening Nomor 153424640
atas nama SRI PURWANTI, dari pemindahbukuan dari Rekening
Nomor 73710437 atas nama WINDA ARUM HAPSARI dan dari
pencairan Investasi serta dari Rekening pada Bank BCA Cabang
Saharjo atas nama WINDA ARUM HAPSARI dengan Nomor
Rekening 5750188119, dari Rekening Bank BCA Cabang Gondangdia
atas nama WINDA ARUM HAPSARI dengan Nomor Rekening
4552061211 serta dari Rekening TAPPRES pada Bank BCA KCU
Sudirman atas nama WINDA ARUM HAPSARI dengan Nomor
Rekening 0356082561.
Selain itu Terdakwa melakukan mutasi uang pada Bank BNI
Kantor Cabang Jakarta Pusat dengan Nomor Rekening 2392420-0 atas
nama SRI PURWANTI dan Nomor Rekening 7371043-7 atas nama
WINDA ARUM HAPSARI, pada Bank BNI Kantor Cabang Gambir
dengan Nomor Rekening 1480001-8, atas nama SRI PURWANTI dan
97
Nomor Rekening 14180760-4, atas nama WINDA ARUM HAPSARI,
pada Bank BNI Kantor Cabang Senayan dengan Nomor Rekening
15342573-5 atas nama RIANDINI RESANTI dan Nomor Rekening
15444485-9 atas nama RIANDINI RESANTI dilaksanakan oleh saksi
YANTI PURNAMASARI, SE.MM. atas permintaan dan atau atas
persetujuan Terdakwa. Bahwa mutasi uang tersebut dimaksudkan
Terdakwa untuk mencari keuntungan dari penyedia jasa keuangan.
2. Dakwaan Penuntut Umum
KESATU :
PRIMAIR :
Bahwa perbuatan Terdakwa mendatangi, meminta uang, menerima
uang dari Wajib Pajak untuk kepentingan lain di luar kepentingan Wajib
Pajak membayar pajak tersebut telah bertentangan dengan kewenangan
Terdakwa selaku Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
Jakarta Tujuh.
Perbuatan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin
KHALIL SARINOTO sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
SUBSIDAIR :
Perbuatan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin
KHALIL SARINOTO sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
98
Pasal 12 huruf e Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
LEBIH SUBSIDAIR :
Perbuatan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin
KHALIL SARINOTO sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 12 B ayat (1) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
LEBIH-LEBIH SUBSIDAIR :
Perbuatan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin
KHALIL SARINOTO sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
DAN :
KEDUA :
PRIMAIR :
Perbuatan Terdakwa melanggar dan diancam pidana Pasal 3 ayat
(1) huruf a Undang Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
99
Pencucian Uang sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang
No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian Uang.
SUBSIDIARI :
Perbuatan Terdakwa melanggar dan diancam pidana Pasal 3 ayat
(1) huruf b Undang Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang
No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian Uang.
LEBIH SUBSIDIARI :
Perbuatan Terdakwa melanggar dan diancam pidana Pasal 3 ayat
(1) huruf c Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang
No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian Uang.
3. Pembuktian
Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan
barang bukti dalam persidangan, yaitu :
a. Alat Bukti Keterangan Saksi
100
Keterangan saksi Yanti Purnamasari, SE.MM., di bawah
sumpah di persidangan yang pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut :
Bahwa banar saksi kenal dengan Terdakwa karena Terdakwa
adalah Nasabah BNI sebagai Nasabah Prioritas dan Terdakwa bekerja
sebagai Pegawai, yang menyimpan uang di BNI dengan jumlah di atas
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Bahwa benar Terdakwa pernah meminta saksi untuk membantu
membuka Rekening Tabungan untuk Terdakwa sendiri dan untuk
membuka tabungan untuk isteri dan anak-anak Terdakwa yakni atas
nama Sri Purwanti dan atas nama Winda Arum Hapsari serta atas nama
Riandini Resanti, pembukaan Rekening dilakukan dengan cara saksi
menerima dari Terdakwa foto copy KTP isteri dan anak-anak Terdakwa
yakni atas nama Sri Purwanti dan atas nama Winda Arum Hapsari serta
atas nama Riandini Resanti, di mana pada saat itu Terdakwa beserta
isterinya datang ke kantor saksi di BNI Cabang Jakarta Pusat.
Bahwa benar sewaktu membuka Rekening terhadap isteri dan
anak-anak Terdakwa selaku Nasabah baru ada penerapan Prinsip
Pengenalan Nasabah atau Know Your Custumer (KYC) dan
berdasarkan penjelasan dan informasi lisan dari Terdakwa sewaktu
membuka Rekening atas nama isteri dan anakanaknya bahwa uang yang
101
dimasukan milik Terdakwa yang berasal dari bisnis cuci cetak foto, jual
beli mobil, jual beli tanah, import daging, bisnis ikan, bisnis batu bara.
Bahwa benar Prinsip Pengenalan Nasabah atau Know Your
Custumers (KYC) adalah merupakan peraturan yang diterbitkan Bank
Indonesia yang harus dilaksanakan pihak perbankan untuk lebih
mengenal pendapatan Nasabah dan karakteristik Nasabah dan
berdasarkan keterangan saksi Yanti Purnamasari, SE.MM. sebagai
Custumer Relationship Manager Bank BNI, sudah melakukan prosedur
sehubungan dengan Terdakwa membukaRekening atas nama Sri
Purwanti dan nama Winda Arum Hapsari serta atas nama Riandini
Resanti, maka Terdakwa telah membuka Rekening di BNI untuk dan
atas nama isterinya dan anak-anaknya adalah sah menurut hukum.
b. Keterangan Ahli
Bahwa karena pertimbangan hukum Majelis Tingkat Pertama
dan Majelis Tingkat Banding kurang mengerti makna harta
kekayaan/uang tunai merupakan hasil tindak pidana, transaksi
mencurigakan, penempatan uang tunai di Bank (Lembaga Keuangan
lainnya), maka kami sampaikan beberapa kutipan pendapat ahli yang
diajukan oleh Jaksa dan menjadi bukti di persidangan. Pendapat Ahli
yang menyatakan dimuka persidangan, yaitu:
1. AHLI DR. YENTI GARNASIH, SH.MH. di bawah sumpah
memberikan pendapat sebagai berikut :
102
Bahwa pengertian pencucian secara umum dapat
didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dalam upaya
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diperoleh dari HASIL TINDAK PIDANA.
Bahwa benar ahli menerangkan terhadap pengertian tindak
pidana mana/apa yang harus dibuktikan terlebih dahulu, adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mulai penyidikan tidak perlu dibuktikan pidana-nya
terlebih dahulu ;
b. Dalam surat dakwaan harus sudah ada dicantumkan sumber
uang berasal dari kejahatan apa ;
c. Hakim harus yakin bahwa perbuatan pidana Terdakwa betul-
betul terbukti ;
Bahwa ahli menerangkan terhadap perbuatan yang
merupakan tindak pidana pencucian uang artinya ada 2 (dua)
kejahatan yakni kejahatan pertama dan kejahatan kedua yang bila
dibagi akan terdiri dari kejahatan pertama dan kejahatan pencucian
uang ;
2. AHLI DR. RUDY SATRIO MUKANTARDJO, SH.MH. di bawah
sumpah memberikan pendapat sebagai berikut :
Bahwa benar ahli menerangkan ada perbuatan pencucian
uang yang menghasilkan uang yakni adanya dana yang ditempatkan
di posisi tertentu yakni antara lain dalam sebuah usaha dan
103
menerangkan dari sisi hukum di Indonesia, seseorang yang disangka
melakukan perbuatan pencucian uang harus nyata berasal dari
kejahatan.
Bahwa alat bukti yang dapat digunakan untuk pembuktian
perbuatan pencucian uang antara lain adalah data elektronik.
Bahwa ahli menerangkan bila tidak diketahui atau tidak bisa
dibuktikan sebagai hasil kejahatan, maka tidak ada predicate crime.
Bahwa apabila ukuran patut diketahui atau patut diduga, bila
tidak ada perbuatan pidananya, maka hal tersebut bukan merupakan
perbuatan pencucian uang .
3. AHLI SUBINTORO, SH.MH. di bawah sumpah memberikan
pendapat sebagai berikut :
Bahwa dari difinisi di atas, untuk mengungkap perkara
money loundring harus ada tindak pidana asalnya sebagai-mana
yang diatur pada Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Bahwa ahli menerangkan terhadap tindak pidana terjadi
pada yurisdiksi harus dibuktikan secara bersama-sama, maksudnya
adalah pembuatan surat dakwaan atau kontruksi surat dakwaan
harus dibuat secara kumulatif antara tindak pidana asal dengan
tindak pidana pencucian uang, keduanya harus dibuktikan secara
bersama–sama dalam persidangan.
104
Bahwa benar ahli menerangkan namun demikian
Jaksa/Penuntut Umum mempunyai kewajiban untuk membuktikan
tindak pidana yang dilakukan Tersangka dan selain itu terhadap
keuangan orang yang disangka melakukan money laundring dapat
dilakukan audit.
4. AHLI SUYANTO di bawah sumpah memberikan pendapat sebagai
berikut :
Bahwa benar ahli untuk memberikan pendapatnya di
Pengadilan atas keuangan milik Terdakwa (Dr. Drs. Bahasyim
Assifie, M.Si.) adalah berdasarkan Surat Kuasa dari DR. ACHMAD
R.K., Ak.CPA.MM. Nomor : 141/ARHJ-RD/SUYBah/10.10,
tanggal 15 Oktober 2010 sedangkan terhadap keuangan Terdakwa
telah dilakukan audit penyusunan arus uang sejak tanggal 18 Mei
2010.
5. AHLI DR. DIAN ADRIAWAN, SH.MH. di bawah sumpah
memberikan pendapat sebagai berikut :
Bahwa benar yang termasuk kualifikasi perbuatan tindak
pidana money loundring adalah bahwa uangnya harus berasal dari
hasil kejahatan oleh karena itu uangnya akan disita.
Bahwa dengan demikian perbuatan yang merupakan ruang
lingkup tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang harus ada kejahatan lebih
dahulu, maka secara normatif harus ditentukan lebih dahulu apakah
105
perbuatan money loundring perlu dibuktikan lebih dahulu predicate
crimenya sebagai sarana utama mendakwa seseorang dalam kasus
tindak pidana pencucian uang.
Bahwa ahli menerangkan bahwa asas dalam pembuktian
adalah yang menyatakan peristiwa maka ia yang harus
membuktikan.
6. AHLI PROF. DR. ANDI HAMZAH, SH. di bawah sumpah
memberikan pendapat sebagai berikut :
Bahwa untuk Tindak Pidana Pencucian Uang intinya harus
ada tindak pidana asalnya dulu dan tindak pidana asalnya itu harus
dibuktikan terlebih dahulu, kalau tidak dapat dibuktikan tindak
pidana asalnya, maka berarti harus dikatakan/dinyatakan tidak ada
pidana pencucian uang karena tindak pidana pencucian uang itu ada
karena diawali dengan adanya tindak pidana asal.
Bahwa dalam mendakwa seseorang melakukan Tindak
Pidana Pencucian Uang tersebut, dakwaannya harus dibuat dalam
dakwaan Kesatu dan dakwaan Kedua, dakwaan Kesatunya misalnya
korupsi dalam dakwaan keduanya adalah Tindak Pidana Pencucian
Uang dan jumlah harta kekayaan yang diduga hasil kejahatannya
tersebut harus sama.
Bahwa saksi kunci yang ada dalam perkara ini walau telah
berkali-kali secara sah dan patut namun yang bersangkutan tetap
tidak dapat hadir di persidangan dengan alasan sakit kemudian
106
keterangan saksi tersebut yang diberikan di Penyidik yang dimuat di
Berita Acara Penyidikan yang diberikan di bawah sumpah
kemudian dibacakan di persidangan dan Terdakwa maupun
Penasehat Hukum Terdakwa keberatan, sebenarnya keterangannya
adalah tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
c. Alat Bukti Surat
Di persidangan Terdakwa telah mengajukan bukti berupa :
1. Buku kas keluarga/Bank keluarga yang berisi catatan-catatan
transaksi uang/harta kekayaan keluarga Terdakwa ;
2. Bukti surat pendukung tentang usaha bisnis Terdakwa ;
3. Bukti hasil audit harta kakayaan atau uang milik Terdakwa
yang ditempatkan di BNI dan BCA dengan dasar acuan
Rekening Koran yang diterbitkan oleh BNI dan BCA Periode
Tahun 2004 s/d 2010, yang dibuat oleh Auditor Akuntan
Publik ACHMAD, RASYID, HISBULLAH & JERRY yang
dijabarkan oleh Suiyanto, SE., Al Akuntan in Charge ;
4. Bukti pengelompokan dan periodisasi jenis kegiatan usaha di
luar kedinasan Dr. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. ;
5. Kompilasi asal usul dan arus uang Dr. Drs. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. sejak tahun 1969 s/d tahun 2010 ;
6. Surat dari AIDA TIRTAYASA tertanggal Tokyo, 23 Januari
1990, yang ditujukan kepada Terdakwa yang isinya berupa
pemberitahuan adanya keuntungan yang menjadi hak
107
Terdakwa dalam hal kerja sama bisnis yang ditandatangani
oleh AIDA TIRTAYASA ;
7. Surat tanda terima hasil keuntungan penjualan permata sebesar
USD 160.000 dibuat tanggal 02 Maret 1990 di Jakarta, yang
ditanda- tangani oleh Terdakwa (sebagai penerima) dan AIDA
TIRTAYASA (sebagai yang menyerahkan) ;
8. AUTHENTICATION CERTIFICATE yang dibuat di Manila,
Filipina, pada tanggal 17 September 2010 berikut
terjemahannya ;
9. Republic of The Philipina National Capital Yudicial Regional
Trial Court, Manila, dibuat tanggal 15 September 2010, berikut
terjemahannya ;
10. AFFIDAVIT dibuat di Manila tanggal 14 September 2010,
berikut terjemahannya ;
11. PERJANJIAN AFFIDAVIT dengan ZHU YAOZONG, dibuat
tanggal 25 Agustus 2010 di Hangzhou City, Zhejiang Province,
yang ditanda- tangani oleh ZHU YAOZONG berikut
terjemahannya ;
12. PERJANJIAN AFFIDAVIT dengan LU JIAHAN dibuat di
Hangzhou City, tanggal 26 September 2010 yang
ditandatangani oleh LU JIAHAN, berikut terjemahannya ;
d. Alat Bukti Petunjuk
108
Bahwa berdasarkan keterangan Terdakwa dan surat bukti
laporan–laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Terdakwa
per April 2010 yang dilaporkan kepada KPK bahwa total harta
kekayaaan Terdakwa yang dilaporkan hanya sekitar Rp.
10.125.138.142,- dan dalam bentuk dollar hanya USD 4500 dan dari
LHKPN Terdakwa tersebut harta/uang Terdakwa yang ada di
Rekening-Rekening isteri dan anak-anaknya yang di BNI maupun yang
di BCA sudah dilaporkan ke KPK di tahun 2010 dan keterlambatan
laporan tersebut hanya merupakan pelanggaran dan tidak ada sanksi
pidana.
Bahwa sesuai dengan keterangan saksi FRANCIE BONGGO
BONG alias ACIE dan RETNO KARTIKA (kedua Karyawan Bank
BCA) Terdakwa juga menempatkan uangnya di Rekening BCA milik
anak Terdakwa yang bernama Winda Arum Hapsari. Dan sesuai dengan
keterangan dari Anak dan Istri dari Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie.
Bahwa Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie telah membuktikan di
persidangan bahwa Dr. Bahasyim Assifie memliki uang tunai sejumlah
sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 bukan merupakan
hasil tindak pidana dengan pembuktian yang sudah disampaikan di
persidangan dan selama proses pembuktian di persidangan
Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan sebaliknya selain
daripada apa yang diungkapkan oleh keterangan saksi-saksi dan bukti-
bukti yang telah kami ajukan dalam pemeriksaan di persidangan.
109
e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Di persidangan telah pula didengar keterangan Terdakwa yang
pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa benar Terdakwa mempunyai kegiatan usaha sejak tahun
1969 yaitu jual beli bahan bangunan dan material, jual beli properti
tanah dan bangunan, jual beli kendaraan bermotor (mobil), usaha
fotografi.
Bahwa benar Terdakwa sejak tahun 1985 – 1992 mempunyai
kerjasama dengan Ibu Aidah Tirtayasa investasi di bidang jual beli
logam mulia dan batu mulia.
Bahwa benar Terdakwa menjalin kerjasama investasi
(menanamkan modal bisnis hiburan di Manila, Filiphina) dari tahun
1990 – 1998 dengan Leopoldo P. Narra.
Bahwa benar Terdakwa menjalin kerjasama investasi dengan Lu
Jiahan dari tahun 2001 – 2006.
Bahwa benar Terdakwa menjalin kerjasama investasi dengan
Zhu Yaozong dari Tahun 2002 – 2004.
Bahwa benar pada Tahun 2004 – 2010 Terdakwa melakukan
investasi perbankan di BNI 46 yang dikelola oleh Fund Manager (saksi
Yanti Purnamasari) dalam bentuk produk investasi deposito, asuransi
dan investasi.
4. Tuntutan Penuntut Umum
110
a. Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut umum pada Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan tanggal 17 Januari 2011sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.,
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan KESATU PRIMAIR ;
2. Menyatakan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.,
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan KESATU
SUBSIDIAIR ;
3. Menyatakan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.,
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan KESATU LEBIH
SUBSIDAIR ;
4. Menyatakan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.,
terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan KESATU LEBIH LEBIH
SUBSIDAIR ;
5. Menyatakan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.,
terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan KEDUA PRIMAIR ;
6. Menghukum Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.,
dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dikurangi
111
selama Terdakwa ditahan dengan perintah Terdakwa tetap
ditahan ;
7. Menghukum Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.,
dengan pidana denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan ;
8. Menyatakan agar barang bukti No. Urut 3, 66 s/d 74
DIRAMPAS UNTUK NEGARA, Barang bukti sebagaimana
Nomor Urut 75 dan 76 DIKEMBALIKAN KEPADA FERITA
WIJAYANI, SE dan Barang bukti lainnya TETAP
TERLAMPIR DALAM BERKAS PERKARA.
9. Membebankan kepada Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si., untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Dan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Tinggi Jakarta
a. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Membaca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
1252/Pid.B/-2010/ PN.Jkt.Sel. tanggal 02 Februari 2011 yang amar
lengkapnya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.,
dengan identitas tersebut di muka tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
112
dalam dakwaan Kesatu Primair, dakwaan Kesatu Subsidair,
dakwaan Kesatu Lebih Subsidair ;
2. Membebaskan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE,
M.Si. tersebut dari dakwaan Kesatu Primair, dakwaan Kesatu
Subsidair, dakwaan Kesatu Lebih Subsidair ;
3. Menyatakan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.
dengan identitas yang tersebut di muka telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi dan
Pencucian Uang ;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. tersebut dengan pidana penjara selama 10
(sepuluh) tahun ;
5. Menjatuhkan pidana denda kepada Terdakwa DR. Drs.
BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. tersebut sebesar Rp.
250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan
pidana kurungan selama : 3 (tiga) bulan ;
6. Menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang
dijatuhkan ;
7. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
8. Menetapkan barang bukti berupa : No. Urut 3, 66 s/d 74
DIRAMPAS UNTUK NEGARA, Barang bukti Nomor Urut 75
113
dan 76 DIKEMBALIKAN KEPADA FERITA WIJAYANI, SE
dan Barang bukti lainnya TETAP TERLAMPIR DALAM
BERKAS PERKARA.
9. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah).
b. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan
Tinggi Jakarta
Membaca putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta No. 08/PID/TPK/2011/PT.DKI. tanggal
19 Mei 2011 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
Menerima permintaan banding dari Terdakwa : DR. Drs.
BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin KHALIL SARINOTO/Tim
Penasihat Hukum tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No. 1252/Pid.B/-2010/PN.Jkt.Sel. tanggal 02 Februari 2011 yang
dimintakan banding tersebut ;
MENGADILI SENDIRI
1. Menyatakan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.
bin KHALIL SARINOTO dengan identitas tersebut tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan kesatu Primair, dakwaan Kesatu
Lebih Subsidair, dakwaan Kesatu Lebih-Lebih Subsidair ;
114
2. Membebaskan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM, ASSIFIE,
M.Si. bin KHALIL SARINOTO dari dakwaan-dakwaan tersebut
di atas ;
3. Menyatakan Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM, ASSIFIE, M.Si.,
bin KHALIL SARINOTO dengan identitas tersebut di muka
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana Korupsi sebagaimana dakwaan Kesatu Subsidair,
dan Pencucian Uang sebagaimana dakwaan Kedua Primair ;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa DR. Drs. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si., bin KHALIL SARINOTO tersebut dengan
pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), dengan
ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan
pidana kurungan selama 5 (lima) bulan ;
5. Menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan ;
6. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
7. Menyatakan barang bukti uang sebagaimanaNo. Urut 3, 66 s/d
74 DIRAMPAS UNTUK NEGARA, Nomor Urut 75 dan 76
DIKEMBALIKAN KEPADA FERITA WIJAYANI, SE dan
barang bukti lainnya TETAP TERLAMPIR DALAM BERKAS
PERKARA ;
8. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya ;
115
9. perkara dalam kedua tingkat Pengadilan, yang dalam tingkat
banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
6. Permohonan Kasasi Dari Terdakwa
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi/Terdakwa pada pokoknya adalah sebagai berikut :
DAKWAAN KESATU SUBSIDAIR :
A. PENGADILAN DKI JAKARTA TIDAK MENERAPKAN
PERATURAN HUKUM SEBAGAIMANA MESTINYA
1. Pertimbangan hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak menerapkan peraturan hukum
sebagaimana mestinya dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang
menyatakan :
Menimbang, bahwa Majelis Hakim Banding tidak
sependapat dengan pertimbangan hukum mengenai unsur
“MEMAKSA SESEORANG MEMBERIKAN SESUATU,
MEMBAYAR ATAU MENERIMA PEMBAYARAN
DENGAN POTONGAN ATAU UNTUK MENGERJAKAN
SESUATU BAGI DIRINYA SENDIRI dalam Pasal 12 huruf e
dakwaan Kesatu Subsidair karena Majelis Hakim Tingkat
Pertama telah keliru mengambil fakta hukum yang dijadikan
pertimbangan hukum atas unsur tersebut, sehingga karenanya
unsur tersebut tidak terpenuhi ;
116
Menimbang, bahwa berkenaan dengan unsur tersebut di
atas, pihak yang memberi hadiah atau janji, dalam hal ini saksi
KARTINI MULYADI, dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal
04 Mei 2010 jo. BA Penyidikan tanggal 16 April 2010 yang
keterangannya diberikan di bawah sumpah dan dibacakan di
persidangan menerangkan “bahwa benar saya bersedia
menyetujui permintaan Sdr. DR. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.
walaupun kenyataannya dalam memberikan bantuan sebesar Rp
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) tersebut saya agak terpaksa,
namun karena pemikiran saya sendiri jangan sampai pekerjaan
saya terganggu di kemudian hari, maka saya bersedia
memberikan dan menyetujui permintaan Sdr. DR. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. tersebut ;
2. Bahwa pertimbangan hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut di atas tidak
menerapkan peraturan hukum sebagaimana mestinya sesuai
dengan Pasal 183 KUHAP, Pasal 185 ayat (1) dan (2) KUHAP ;
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta terlihat
melindungi kepentingan saksi KARTINI MULYADI, agar
terlepas dari tuntutan hukum, hal ini dapat dibuktikan sebagai
berikut :
117
Pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
bahwa saksi KARTINI MULYADI memberikan uang Rp. 1
milyar kepada DR. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. adalah
Gartifikasi, maka secara hukum saksi KARTINI MULYADI
telah memberikan suap dan saksi KARTINI MULYADI dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum memberikan suap ;
Ternyata Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta membatalkan pertimbanganhukum
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut dan dalam
pertimbangan hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta ;
3. Menimbang, bahwa apalagi permintaan Dr. Drs. Bahasyim
Assifie, M.Si. kepada saksi Kartini Mulyadi yang berdalih untuk
membiayai renovasi kantor, maka menurut Majelis Hakim
Banding, ucapan Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. yang
demikian mengandung makna pemaksaan secara psikologis ;
4. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak menerapkan Pasal 183 KUHAP
karena dalam pertimbangan hukumnya hanya 1 (satu) saksi
KARTINI MULYADI saja yang mengatakan DR. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. yang meminta uang kepada saksi KARTINI
MULYADI tanpa didukung dengan 2 (dua) alat yang sah, dan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi
118
Jakarta sudah dapat menjatuhkan pidana kepada Terdakwa DR.
BAHASYIM ASSIFIE, M.Si., maka pertimbangan hukum serta
putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Jakarta harus dibatalkan karena tidak menerapkan Pasal
183 KUHAP ;
5. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak menerapkan Pasal 185 ayat (2)
KUHAP dalam pertimbangan hukumnya dan hanya
menggunakan 1 (satu) saksi yaitu saksi KARTINI MULYADI
untuk menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan
tindak pidana dakwaan Kesatu Subsdair, maka putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi
Jakarta haruslah dibatalkan, karena tidak menerapkan Pasal 185
ayat (2) KUHAP ;
B. CARA MENGADILI PENGADILAN TINDAK PIDANA
KORUPSI PADA PENGADILAN TINGGI JAKARTA TIDAK
DILAKSANAKAN MENURUT KETENTUAN UNDANG-
UNDANG
1. Pertimbangan hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak melaksanakan menurut
ketentuan undang-undang sebagaimana mestinya dalam Pasal
162 KUHAP, yang menyatakan :
119
“Menimbang, bahwa berkenaan dengan unsur tersebut di atas,
pihak yang memberi hadiah atau janji, dalam hal ini saksi
KARTINI MULYADI, dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal
04 Mei 2010 jo. BA Penyidikan tanggal 16 April 2010 yang
keterangannya diberikan di bawah sumpah dan dibacakan di
persidangan menerangkan “bahwa benar saya bersedia
menyetujui permintaan Sdr. DR. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si.
walaupun kenyataannya dalam memberikan bantuan sebesar Rp
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) tersebut saya agak terpaksa,
namun karena pemikiran saya sendiri jangan sampai pekerjaan
saya terganggu dikemudian hari, maka saya bersedia
memberikan dan menyetujui permintaan Sdr. DR. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. tersebut ;
2. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak menerapkan Pasal 162 KUHAP
karena Berita Acara Pemeriksaan tanggal 04 Mei 2010 jo. BA
Penyidikan tanggal 16 April 2010 saksi KARTINI MULYADI,
hanya dibacakan di persidangan sedangkan saksi KARTINI
MULYADI orang yang masih mampu memberikan keterangan
di muka sidang akan tetapi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
tidak membuat penetapan upaya paksa agar saksi KARTINI
MULYADI hadir di persidangan agar dapat memberikan
keterangannya tapi hal ini tidak dilakukan oleh Majelis Hakim
120
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka pertimbangan hukum
serta putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta harus dibatalkan karena menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan juga tidak
menerapkan Pasal 162 ayat (1) KUHAP ;
3. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak menerapkan Pasal 185 ayat (1)
KUHAP ;
4. Bedasarkan uraian-uraian tersebt di atas, maka pertimbangan
hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Jakarta sudah seharusnya dibatalkan karena tidak
melaksanakan menurut ketentuan undangundang ;
C. PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA
PENGADILAN TINGGI JAKARTA TELAH MELAMPAUI
BATAS WEWENANGNYA
1. Bahwa pertimbangan hukum serta putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta telah melampaui
batas wewenangnya karena hanya berdasarkan 1 saksi Kartini
Mulyadi dan kesaksian tersebut yang dituangkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) hanya dibacakan di muka sidang,
maka jelas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Jakarta telah melampaui batas wewenangnya ;
121
2. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak mempunyai kewenangan
menghukum terdakwa hanya berdasarkan 1 (satu) saksi Kartini
Mulyadi serta BAP nya hanya dibacakan di muka sidang ;
3. Bahwa secara hukum, dari hasil pemeriksaan di sidang
kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah sah dan meyakinkan, maka
Terdakwa harus diputus bebas (Pasal 191 KUHAP) ;
4. Bahwa perlu kami sampaikan kepada Yang Mulia Majelis
Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia bahwa uang
sebesar Rp. 1.000.000.000,- sudah dikembalikan oleh Terdakwa
kepada saksi Kartini Mulyadi dan sudah selesai, tapi kenapa
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta ikut campur mengenai utang piutang ;
5. Untuk diketahui secara bersama bahwa siapa yang tidak kenal
dengan saksi KARTINI MULYADI di Indonesia dan hampir
semua penegak hukum di Indonesia kenal dengan saksi
KARTINI MULYADI karena dia seorang Penasehat Hukum
yang sangat senior dan konglomerat di Indonesia, oleh karena
itu uang sebesar Rp. 1 milyar yang merupakan pinjaman modal
untuk anaknya Terdakwa merupakan hal biasa, tapi kenapa
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta
122
mengenyampingkan hutang piutang yang merupakan pinjaman
Terdakwa dan sudah dikembalikan lunas ;
Berdasarkan atas uraian-uraian tersebut di atas dan didukung
dengan bukti sah menurut hukum, bahwa Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak menerapkan peraturan hukum
dan tidak melaksanakan menurut ketentuan undang-undang serta
melampaui batas wewenangnya, oleh karena itu putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta haruslah
dibatalkan dan membebaskan Terdakwa DR. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. dari segala dakwaan/tuntutan ;
DAKWAAN KEDUA PRIMAIR TIDAK TERBUKTI :
Kami mengajukan putusan Money Laundring yang diputus oleh
Mahkamah Agung RI bahwa tindak pidana Money Loundring yang
pertama sekali harus dibuktikan adalah TINDAK PIDANA ASAL
(Predicate Crime), yaitu :
1. Putusan Peninjauan Kembali No. 133 PK/PID.SUS/2010, tanggal
04 Oktober 2010 :
Terdakwa Paimin Landung ;
Tindak Pidana Asal (Predicate Crime) Pasal 378 KUHP ;
Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundring) ;
123
2. Putusan Mahkamah Agung RI No. 2052 K/PID.SUS/2010, tanggal
03 November 2009 :
Terdakwa Muhamad Subari ;
Tindak Pidana Asal (Predicate Crime) Pasal 372 KUHP ;
Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundring) ;
3. Putusan Mahkamah Agung RI No. 791 K/PID.SUS/2010, tanggal
29 Juni 2010 :
Terdakwa Yudi Hermawan bin Hadi Samsudin ;
Tindak Pidana Asal (Predicate Crime) Pasal 11 Gratifikasi ;
Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundring) ;
4. Serta Putusan Mahkamah Agung RI No. 2166 K/PID.SUS/2008,
tanggal 23 Januari 2009, Putusan Mahkamah Agung RI No. 875
K/PID/2007, tanggal 23 April 2007, Putusan Mahkamah Agung RI
No. 646 K/PID.SUS/2010, tanggal 20 April 2010, Putusan
Mahkamah Agung RI No. 949 K/PID/2006, tanggal 26 Juni 2006
dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 944 K/PID/2006 , tanggal
26 Juli 2006 .
Bahwa kami sangat tidak sependapat dengan Putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
A. PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN
TINGGI JAKARTA TIDAK MENERAPKAN PERATURAN HUKUM
SEBAGAIMANA MESTINYA
124
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Jakarta jo. putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak
menerapkan peraturan hukum sebagaimana mestinya yaitu Undang-
Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam Pasal 2
ayat (1) yang menyatakan :
Hasil Tindak Pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari
Tindak Pidana korupsi. PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA PENGADILAN TINGGI JAKARTA TIDAK MENERAPKAN
PERATURAN HUKUM SEBAGAIMANA MESTINYA DAPAT
DIBUKTIKAN SEBAGAI BERIKUT :
1. Bahwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. selaku Pegawai Negeri Sipil di
Dirjen Pajak sejak tahun 1977 sampai dengan sekarang telah memiliki
uang tunai sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 yang
diinvestasikan di BNI dan BCA atas nama isteri dan anak-anaknya ;
2. Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya
menyatakan, Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki uang tunai sebesar
Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 diduga hasil tindak pidana ;
3. Sehubungan Dr. Bahasyim Assifie, M.Si., selaku Pegawai Negeri
memiliki uang sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37,
yang diduga diperoleh dari tindak pidana korupsi tetapi tidak ada yang
di korupsi dan tidak ada korban baik Negara maupun perorangan ;
125
4. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan jo. Putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta
yang menyatakan uang yang dimiliki oleh Dr. Bahasyim Assifie, M.Si.
diduga diperoleh dari hasil tindak pidana, dan hanya dengan dugaan
tidak bias menjadi dasar menghukum Terdakwa dan hal tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam Pasal 2 ayat (1) yang
menyatakan :
(1) Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari
Tindak Pidana korupsi.
Dalam hukum pidana Majelis Hakim/Pengadilan tidak boleh
menghukum orang hanya dengan “Dugaan“ dan ini bertentangan
dengan Pasal 183 KUHAP ;
5. Maka sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam Pasal 2 dinyatakan dengan
tegas bahwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. harus dibuktikan terlebih
dahulu Tindak Pidana Korupsinya dan siapa yang menjadi korbannya ;
6. Bahwa dalam sistem hukum pidana di Indonesia, Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta TIDAK DIPERBOLEHKAN
MENGHUKUM Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. hanya dengan alasan :
126
Pengadilan mengatakan, harta kekayaan Dr. Bahasyim
Assifie, M.Si. berupa uang tunai yang diinvestasikan di
BNI dan BCA sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD
681.147.37 adalah PATUT DIDUGA BERASAL DARI
HASIL TINDAK PIDANA ;
7. Tindak pidana korupsi apa yang dilakukan oleh Dr. Bahasyim Assifie,
M.Si. dan apakah Negara Republik Indonesia dirugikan atau siapa
yang menjadi korban sehubungan dengan Dr. Bahasyim Assifie, M.Si.
memiliki uang tunai sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD
681.147.37 yang diinvestasikan di BNI dan BCA ;
8. Seluruh perkara Tindak Pidana Pencucian Uang yang sudah diputus
oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang pertama sekali
dibuktikan oleh Mahkamah Agung RI adalah TINDAK PIDANA
ASAL kemudian Tindak Pidana Pencucian Uang diterapkan tetapi
dalam putusan ini tidak ada TINDAK PIDANA ASAL-nya yang
menjadikan dasar Terdakwa dihukum berdasarkan Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang ;
9. Bahwa akan tetapi dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim
Banding sependapat dan menyetujui, sehingga alasan dan
pertimbangan hukum tersebut dipertahankan dan dikuatkan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya mengatakan Terdakwa Dr.
Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki uang tunai tersebut yang
diduga hasil tindak pidana, maka putusan Pengadilan tersebut tidak
127
menerapkan peraturan hukum Undang-Undang No. 25 Tahun 2003
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, di dalam Pasal 2 ayat (1).
Bahwa kami tegaskan, sesuai dengan bukti-bukti, dan saksi-saksi di
persidangan Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si., sejak tahun 1977
sampai dengan 2010 selaku Pegawai Negeri tidak melakukan korupsi,
maka uang sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 tersebut
bukan dari hasil tindak pidana ;
10. Bahwa sejak tahun 1977 sampai dengan sekarang Terdakwa Dr. Drs.
Bahasyim Assifie, M.Si. selaku Pegawai Negeri di Dirjen Pajak telah
mengumpulkan dan menabung sedikit demi sedikit dari hasil kerja
keras sehingga memiliki harta kekayaan berupa uang tunai sebesar Rp.
60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 dan ini wajar sepanjang tidak
ada yang dirugikan/korban ;
11. Bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi
Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempunyai kewajiban
untuk membuktikan bahwa Terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie,
M.Si. melakukan Tindak Pidana Korupsi dan menghasilkan uang
untuk ditempatkan di BNI dan BCA untuk dilakukan pencucian
sehingga uang hasil korupsi tersebut supaya bersih dan kedua
peradilan dilarang menjatuhkan putusan atau menghukum Terdakwa
hanya berdasarkan dugaan-dugaan uang yang dimiliki oleh Terdakwa
adalah hasil tindak pidana dan ini sangat bertentangan dengan Pasal
128
183 KUHAP dan putusan ini merusak tatanan hukum pidana di
Indonesia ;
12. Bahwa sesuai dengan keterangan saksi FRANCIE BONGGO BONG
alias ACIE dan RETNO KARTIKA (kedua Karyawan Bank BCA)
Terdakwa juga menempatkan uangnya di Rekening BCA milik anak
Terdakwa yang bernama Winda Arum Hapsari yang proses
pembukaan Rekening tersebut dilakukan oleh Winda Arum Hapsari
(anak Terdakwa) Nomor Rekening-Rekening tersebut antara lain :
Nomor Rekening 5750188119 dengan saldo akhir Rp
80.422.943,- ;
Nomor Rekening 0356082561 dengan saldo akhir Rp.
64.647.547,- ;
Nomor Rekening 5750188119 dengan saldo akhir Rp.
22.713.829,- ;
13. Bahwa jumlah uang yang ditabungkan sedikit demi sedikit dan
kemudian diinvestasikan dalam produk BNI seperti Investasi Money
Market (MMA) Investasi Insurance, BNI Investment yang ditangani
langsung oleh saksi Yanti Purnamasari, SE.MM., selaku Fund
Manager BNI, maka Terdakwa mendapatkan keuntungan sehingga
jumlah tabungan mereka di BNI maupun di BCA totalnya berjumlah
Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 ;
14. Bahwa berdasarkan keterangan saksi Yanti Purnamasari, SE.MM. dan
keterangan Terdakwa bahwa proses investasi produk-produk BNI
129
tersebut Terdakwa mempercayakan kepada saksi Yanti Purnamasari,
SE.MM. sebagai Fun Manager BNI ;
15. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada halaman 330 yang
mengatakan, harus dibuktikan terlebih dahulu :
Apakah Terdakwa mempunyai niat, mempunyai maksud atau
mempunyai tujuan untuk menempatkan harta kekayaannya yang
diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana ke dalam
Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak
lain ;
Yang dimaksud dengan “menempatkan” adalah upaya menempatkan
uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan
(Financial System) atau lembaga yang terkait dengan keuangan tahap
penempatan ini merupakan tahap pertama dalam proses pemisahan
harta kekayaan hasil kejahatan dari sumber kejahatan ;
Bahwa pertimbangan hukum dalam putusan tingkat pertama tersebut di
atas tidak menerapkan peraturan hukum sebagaimana mestinya karena
tidak menerapkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam Pasal 2 dinyatakan dengan
tegas bahwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. harus dibuktikan terlebih
dahulu Tindak Pidana Korupsinya ;
16. Bahwa berdasarkan keterangan Terdakwa dan surat bukti laporan–
laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Terdakwa per April
130
2010 yang dilaporkan kepada KPK bahwa total harta kekayaaan
Terdakwa yang dilaporkan hanya sekitar Rp. 10.125.138.142,- dan
dalam bentuk dollar hanya USD 4500 dan dari LHKPN Terdakwa
tersebut harta/uang Terdakwa yang ada di Rekening-Rekening isteri
dan anak-anaknya yang di BNI maupun yang di BCA sudah dilaporkan
ke KPK di tahun 2010 dan keterlambatan laporan tersebut hanya
merupakan pelanggaran dan tidak ada sanksi pidana ;
17. Sedangkan menurut pendapat ahli Proses Money Loundrying
(Pencucian Uang) dapat digolongkan 3 (tiga) tahap yaitu :
Tahap Placenment (Penempatan), Tahap Layering (pelapisan) dan
Tahap Integration (Intergrasi).
Bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerap-kan
peraturan hukum sebagaimana mestinya karena tidak menerapkan
pendapat ahli Proses Money Loundrying (Pencucian Uang) dapat
digolongkan 3 (tiga) tahap yaitu : Tahap Placenment (penempatan),
Tahap Layering (pelapisan), Tahap Integration (Intergrasi), sehingga
tidak menerapkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam Pasal 2 dinyatakan dengan
tegas bahwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. harus dibuktikan terlebih
dahulu Tindak Pidana Korupsinya dan uang tunai yang dimiliki oleh
Terdakwa merupakan hasil tindak pidana ;
131
18. Menimbang, bahwa dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang juga diatur tentang pengertian transaksi dan transaksi keuangan
mencurigakan, hal ini dapat dilihat dari Pasal 1 angka 6 dan 7 Undang-
Undang RI No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang RI No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang;
19. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerapkan
peraturan hukum sebagaimana mestinya yaitu Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang juga diatur adanya Azas Pembuktian Terbalik khususnya dalam
Pasal 35 yang mewajibkan kepada Terdakwa untuk membuktikan
bahwa harta kekayaannya tersebut bukan merupakan hasil tindak
pidana ;
20. Bahwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki uang tunai di BNI dan di
BCA sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 tersebut
bukan merupakan hasil tindak pidana, dan di persidangkan perkara ini
Terdakwa telah mengajukan beberapa bukti yang menunjukan bahwa
uang Terdakwa ditempatkan di Perbankan dalam hal ini di BNI
maupun yang di BCA tersebut, sumber uangnya berasal dari usaha
bisnis dan investasi Terdakwa baik yang di dalam negeri maupun di
luar negeri seperti dengan LEOPOLDO P. NARRA Pengusaha
Filipina dan LU JIAHAN dan ZHU YAOZONG Pengusaha China,
132
yang dilakukan oleh Terdakwa sejak tahun 1990-an sampai dengan
tahun 2006 hingga Terdakwa mendapatkan keuntungan kurang lebih
sebesar Rp. 30–40 milyar rupaih dan kerja sama bisnins permata
dengan pengusaha Indonesia yang bernama AIDA TIRTAYASA,
Terdakwa mendapatkan keuntungan sebesar 160.000 USD sehinga dari
modal keuntungan bisnis Terdakwa tersebut kemudian dialihkan ke
Investasi yang menguntungkan di Perbankan Indonesia sampai dengan
sekarang ini yaitu Bank BNI dan BCA tersebut di atas ;
21. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerapkan
peraturan hukum sebagaimana mestinya, hal ini dapat dibuktikan
sebagai berikut :
a. Bahwa 12 (dua belas) bukti tersebut di atas yang diajukan oleh
Terdakwa adalah merupakan alat bukti yang sah sesuai Undang-
Undang Pasal 184 KUHAP ;
b. Bahwa uang yang diinvestasikan di BNI dan BCA adalah uang
halal hasil usaha sejak tahun 1969 sampai dengan sekarang sesuai
dengan Undang-Undang Pebankan ;
c. Bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Majelis Hakim
Tingkat Banding tidak mampu untuk membuktikan bahwa uang
tunai milik Dr. Bahsyim Assifie, M.Si. hasil korupsi apalagi
merupakan hasil tindak pidana (Pasal 2 UU Money Laundrying) ;
d. Bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada Terdakwa
kecuali apabila sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia
133
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya
(Pasal 183 KUHAP) ;
e. Bahwa mengenai bukti surat berupa hasil Audit Harta Kekayaaan
atau uang milik Terdakwa yang ditempatkan di BNI dan BCA
Periode Tahun 2004 s/d 2010 yang dibuat oleh Auditor Akuntan
Publik ACHMAD, RASYID, HISBULLAH & JERRY yang
dipaparkan di persidangan oleh Suyanto SE,Ak. Akuntan in Charge
merupakan alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP ;
f. Bahwa mengenai bukti kompilasi asal usul dan arus uang Dr.
Bahasyim Assifie, M.Si. sejak tahun 1969 s/d 2010 serta bukti
pengelompokan dan periodisasi jenis kegiatan usaha di luar
kedinasan Dr. Bahasyim Assifie, M.Si., merupakan alat bukti
sesuai dengan Pasal 184 KUHAP ;
g. Bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dalam pertimbangan hukumnya tersebut di atas sangat keliru dan
tidak benar, hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
1. Bahwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki harta
kekayaan berupa uang tunai sejumlah Rp. 60.992.238.206,- dan
USD 681,147.37 yang ditempatkan di BNI dan BCA bukan
merupakan hasil kejahatan (bukan hasil tindak pidana/
kejahatan) ;
134
2. Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. memilki harta kekayaan
tersebut di atas belum melaporkan ke KPK sesuai Pasal 5 ayat
(3) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme, dikarenakan kesibukannya dan sekarang sudah
dilaporkan :
h. Bahwa disamping hal di atas, dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang khususnya dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) telah
dijelaskan bahwa terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan
hasil tindak pidana, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak
pidana asalnya (Predicate Crime) untuk dapat dimulainya
pemeriksaan Tindak Pidana Pencucian Uang ;
i. Dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa mengenai kalimat
untuk dapat dimulainya pemeriksaan Tindak Pidana Pencucian
Uang tidak hanya terbatas pada tingkat penyidikan saja, melainkan
ketentuan tersebut berlaku sampai pada tingkat pemeriksaan di
Pengadilan ;
Bahwa pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
tersebut tidak menerapkan peraturan hukum sebagaimana
mestinya, hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
135
Bahwa ketentuan Pasal 35 adanya pembuktian terbalik serta
adanya penjelasan Pasal 3 ayat (1) tersebut di atas, maka secara
hukum :
1. Bahwa Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie telah membuktikan di
persidangan bahwa Dr. Bahasyim Assifie memliki uang tunai
sejumlah sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37
bukan merupakan hasil tindak pidana dengan pembuktian yang
sudah disampaikan di persidangan ;
Dr. Bahasyim Assifie sebagai Pegawai Negeri Sipil dan dugaan
Pegawai Negeri mempunyai uang jumlahnya banyak adalah
hasil korupsi, oleh karena itu pembuktiannya harus berdasarkan
Pasal 38 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ;
2. Bahwa sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang Pasal 38 yang menyatakan :
Alat bukti pemeriksaan Tindak Pidana Pencucian Uang berupa :
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara
pidana ;
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diteima atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu dan
c. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 ;
136
3. Pembuktian menurut KUHAP Pasal 183 KUHAP, menyatakan :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya ;
22. Berdasarkan uraian–uraian tersebut di atas, Terdakwa Dr. Bahasyim
Assifie, M.Si., dikuatkan dengan bukti-bukti serta fakta di
persidangan, maka unsur dengan sengaja menempatkan harta kekayaan
yang diketahui atau patut diduganya hasil tindak pidana kedalam
penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama pihak
lain merupakan hasil tindak pidana tidak terbukti sah menurut hukum ;
23. Sehubungan dijelaskan secara lengkap dan ditambah dengan bukti-
bukti, keterangan saksi dan fakta di persidangan bahwa putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta dan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerapkan peraturan
hukum sebagaimana mestinya sehingga sangat merugikan Terdakwa
Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. oleh karena itu kami memohon kepada
Majelis Hakim Agung Republik Indonesia untuk membatalkan kedua
putusan Pengadilan tersebut dan membebaskan Terdakwa dari segala
tuntutan ;
B. CARA MENGADILI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA PENGADILAN TINGGI JAKARTA TIDAK DILAKSANAKAN
MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG
137
Bahwa cara Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengadili dan
memutus Terdakwa tidak melaksanakan menurut ketentuan undang-
undang, hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
Bahwa atas dakwaan diatas dan sesuai dengan tuntutan saudara
Jaksa/Penuntut Umum terhadap Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si.
yang terbukti adalah :
Dakwaan Kesatu Lebih-Lebih Subsidair melanggar Pasal 11 UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;
Dakwaan Kedua Primair melanggar Pasal 3 huruf a UU No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana yang
telah diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ;
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN :
Dakwaan Kesatu Lebih-Lebih Subsidair melanggar Pasal 11 UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;
Dakwaan Kedua Primair melanggar Pasal 3 huruf a UU No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana yang
telah diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ;
138
PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA
PENGADILAN TINGGI JAKARTA :
Subsidair melanggar Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ;
Dakwaan Kedua Primair melanggar Pasal 3 huruf a UU No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana yang
telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ;
Menimbang, bahwa apalagi permintaan Terdakwa kepada saksi
Kartini Mulyadi yang berdalih untuk membiayai renovasi kantor, maka
menurut hemat Majelis Hakim Banding, ucapan Terdakwa yang demikian
mengandung makna pemaksaan psikologis ;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur MEMAKSA
SESEORANG MEMBERIKAN SESUATU, MEMBAYAR ATAU
MENERIMA PEMBAYARAN DENGAN POTONGAN ATAU UNTUK
MENGERJAKAN SESUATU BAGI DIRI SENDIRI Pasal 12 huruf
dalam dakwaan Kesatu Subsidair terpenuhi” ;
Bahwa cara Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Jakarta mengadili dan memutus Terdakwa tidak melaksanakan
menurut ketentuan undang-undang, hal ini dibuktikan sebagai berikut :
139
1. Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta mengandung
sponsor dari saksi Kartini Mulyadi dengan mengatakan :
“Menimbang, bahwa apalagi permintaan Terdakwa kepada saksi
Kartini Mulyadi yang berdalih untuk membiayai renovasi kantor,
maka menurut hemat Majelis Hakim Banding, Ucapan Terdakwa
yang demikian mengandung makna pemaksaan psikologis” ;
Agar saksi Kartini Mulyadi terhindar pertanggung jawaban secara
pidana ;
2. Bahwa pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta menghukum
Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. dengan menggunakan Pasal
12 huruf e dalam dakwaan Kesatu Subsidair terpenuhi
bertentangan dengan Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum dan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan menggunakan dakwaan
Kesatu Lebih-Lebih Subsidair melanggar Pasal 11 UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maka dasar
putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Jakarta Jakarta tidak melaksanakan ketentuan undang-
undang terutama Pasal 183 KUHAP ;
3. Bahwa pertimbangan hukum Pengadilan Tingkat Pertama pada
halaman 281 tidak benar bertentangan dengan hukum, yang
140
menyatakan sebagai berikut : “.... maka kemudian keterangan saksi
Kartini Mulyadi yang di Berita Acara Penyidikan yang diberikan di
bawah sumpah dibacakan di persidangan, sehingga berdasarkan
pertimbangan tersebut pembacaan keterangan saksi Kartini
Mulyadi yang di Berita Acara Penyidikan yang diberikan di bawah
sumpah dapatlah dibenarkan secara hukum dan tidak bertentangan
dengan KUHAP” ;
“Menimbang, bahwa dalam Pasal 162 KUHAP telah mengatur
bahwa apabila saksi berhalangan hadir di persidangan dengan
alasan yang sah, maka keterangannya yang di Berita Acara
Penyidikan yang telah diberikan di bawah sumpah, dapat
dibacakan di persidangan dan nilainya disamakan dengan
keterangan saksi yang disumpah di persidangan” ;
4. Bahwa Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie sangat tidak sependapat
dan sangat berkeberatan dengan segala uraian pertimbangan
hukum Judex Facti Tingkat Pertama sebagaimana yang telah
dikutip, karena Pasal 162 KUHAP mengatur sebagai berikut :
Pasal 162 KUHAP :
(1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan
meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir
di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau
tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan
dengan kepentingan Negara, maka keterangan yang telah
141
diberikannya itu dibacakan ; (2) Jika keterangan itu sebelumnya
telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan
nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan
di sidang ;
5. Bahwa berdasarkan isi Pasal 162 KUHAP ayat (1) tersebut tidak
ada satupun alasan bagi Majelis Hakim untuk membenarkan
ketidak-hadiran saksi Kartini Mulyadi untuk diminta
keterangannya di depan persidangan, dan selanjutnya keterangan
tersebut hanya dibacakan di depan persidangan meskipun
sebelumnya dalam pemeriksaan di penyidikan telah disumpah ;
6. Bahwa saksi Kartini Mulyadi adalah saksi kunci yang memberikan
uang kepada Terdakwa dan tidak mungkin BAP-nya bisa
dibacakan di persidangan dan sudah dipanggil berulang-ulang dan
Majelis Hakim mengancam akan mengeluarkan surat paksa
membawa saksi Kartini Mulyadi akan tetapi setelah adanya
sponsor maka BAP-nya dibacakan ;
7. Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama tidak
pantas karena saksi Kartini Mulyadi belum meninggal dunia, tidak
dalam keadaan sakit yang parah, sehingga tidak bisa memberikan
kesaksian di bawah sumpah di depan persidangan. Selain itu
terbukti, Saksi Kartini Mulyadi berdomisili di daerah DKI Jakarta
dan sekitarnya, sehingga alasan bahwa tempat kediaman atau
tempat tinggal saksi jauh juga tidak bisa digunakan sebagai alasan
142
ketidakhadiran saksi Kartini Mulyadi untuk memberikan
keterangan di bawah sumpah di depan persidangan ;
8. Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama tidak
pantas karena keliru, tidak tepat serta tidak ada satupun alasan
yang terdapat di dalam Pasal 162 ayat (1) KUHAP yang dapat
dikaitkan dengan alasan pembenar dengan alasan yang dapat
membenarkan ketidakhadiran saksi Kartini Mulyadi di depan
persidangan pada perkara a quo ;
9. Berdasarkan atas hal-hal tersebut di atas, dan didukung fakta
hukum yang terungkap di persidangan bahwa putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta dan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan cara mengadilinya tidak
sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku sehingga sangat
merugikan Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si., oleh karena itu
kami memohon kepada Majelis Hakim Agung Republik Indonesia
untuk membatalkan kedua putusan Pengadilan tersebut dan
membebaskan Terdakwa dari segala tuntutan ;
C. PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN
TINGGI JAKARTA TELAH MELAMPAUI BATAS WEWENANGNYA
Bahwa putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Jakarta telah melampaui batas wewenang, hal ini dapat dibuktikan
sebagai berikut :
143
1. Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta mengatakan :
“Menimbang, bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, Majelis Hakim Banding berpendapat : alasan dan pertimbangan
hukum serta putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama terbuktinya
Terdakwa melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Lebih-
Lebih Subsidair harus dibatalkan sedangkan alasan pertimbangan
hukum dan putusan yang selebihnya yakni dalam dakwaan Kedua
Primair, Majelis Hakim Banding sependapat dan menyetujuinya,
sehingga alasan dan pertimbangan hukum tersebut dipertahankan dan
dikuatkan ;
2. Pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Banding tersebut tidak
mau repot dan tidak mempunyai dasar hukum apapun dikarenakan
hanya mengatakan :
“Dakwaan Kedua Primair, Majelis Hakim Banding sependapat dan
menyetujuinya, sehingga alasan dan pertimbangan hukum tersebut
dipertahankan dan dikuatkan tanpa melihat dasar hukum Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang serta tidak melihat secara
keseluruhan buktibukti, saksi-saksi maupun keterangan Terdakwa
sehingga putusannya sangat merugikan Terdakwa Dr. Bahasyim
Assifie, M.Si. ;
3. Kalau melihat dalam pertimbangan hukum Pengadilan Tingkat
Pertama yang menyatakan :
144
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka dalam
perkara ini rumusan “dengan sengaja” dapat diartikan sebagai “dengan
sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa
keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain, “oleh
karenanya perbuatan Terdakwa haruslah dibuktikan terlebih dahulu,
apakah Terdakwa mempunyai niat, mempunyai maksud atau
mempunyai tujuan untuk menempatkan harta kekayaannya yang
diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana ke dalam
penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak
lain ;
Menimbang, bahwa sedangkan kata menempatkan sebagaimana uraian
tentang tahap pencucian uang yaitu tahap Placement (penempatan)
yang dimaksud “Menempatkan“ adalah upaya menempatkan uang
tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan
(Financial System) atau lembaga yang terkait dengan keuangan tahap
penempatan ini merupakan tahap pertama dalam proses pemisahan
harta kekayaan hasil kejahatan dari sumber kejahatan” ;
Dengan kata lain bahwa usal usul harta kekayaan yang merupakan
hasil dari kejahatan tersebut disembunyikan atau disamarkan dengan
berbagai cara :
4. Bahwa pertimbangan hukum dalam point 3 tersebut di atas, arti
menempatkan adalah :
145
Upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana
kedalam sistem keuangan (Financial System) atau lembaga yang
terkait dengan keuangan tahap penempatan ini merupakan tahap
pertama dalam proses pemisahan harta kekayaan hasil kejahatan dari
sumber kejahatan ;
Dihubungkan dengan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang (UUTPPU) yang menyatakan hasil tindak pidana
adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi ;
5. Bahwa sesuai dengan fakta persidangan berupa keterangan saksi-saksi,
alat bukti serta keterangan Terdakwa bahwa tidak ada satupun fakta di
persidangan bahwa Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. pada waktu
menjabat di Dirjen Pajak atau Bapenas melakukan tindak pidana
KORUPSI di lingkungan Dirjen Pajak Departemen Keuangan
Republik Indonesia dan tidak ada korban yang melaporkan Terdakwa
melakukan Tindak Pidana Korupsi ;
6. Bahwa Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki uang tunai
sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 yang diinvestasikan
di BNI dan BCA atas nama isteri dan anak-anak Terdakwa sejak tahun
2004 sampai dengan sekarang adalah secara wajar dan memenuhi
prosedur Undang-Undang Perbankan karena uang tunai tersebut
sebelum diinvestasikan di kedua Bank tersebut terlebih dahulu
Terdakwa diinterview oleh pihak Bank tentang asal usul uang tersebut
146
dan disimpulkan bahwa uang tunai milik Terdakwa Dr. Bahasyim
Assifie, M.Si. bukan merupakan hasil tindak pidana ;
7. Bahwa Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie, M.Si. menginvestasikan uang
tunai sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 dengan
menggunakan rekening isteri dan anak-anaknya, hal ini sesuai dengan
keterangan saksi Yanti Purnamasari, SE.MM. Karyawati BNI, Francie
Bonngo Bong als. Acie, Retno, Kartika, Sony Rusmudi Warsono,
bahwa Terdakwa telah menginvestasikan uang tunai ke Rekening
keluarganya tersebut di BNI dan BCA. INVESTASI tersebut di atas
jelas secara umum diketahui oleh PPATK dan Bank Indonesia karena
Investasi tersebut dengan kurun waktu yang cukup lama sejak tahun
2004 sampai dengan sekarang dan Investasi tersebut tidak ada yang
dicurigakan dan wajar-wajar saja ;
8. Bahwa pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Tingkat Pertama
dan Tingkat Banding dalam menilai bukti telah melampaui
kewenangannya yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP ;
9. Bahwa sesuai dengan keterangan saksi Yanti Purnamasari, SE.MM.
(Karyawati BNI Pusat) dan diperkuat dengan keterangan Terdakwa
bahwa proses pembukaan Rekening-Rekening di BNI tersebut
memang atas nama permintaan Terdakwa yaitu dengan cara Terdakwa
meminta KTP isteri dan anak-anaknya tersebut dan selanjutnya
Terdakwa meminta kepada Yanti Purnamasari SE.MM. untuk
147
membantu proses administrasi pembukaan Rekening-Rekening
tersebut ;
10. Bahwa Rekening yang di BCA atas nama Winda Arum Hapsari
tersebut dengan keterangan saksi Francie Binnggo Bong als. Acie,
saksi Retno Kartika, Sony Rusmudi Warsono, dan keterangan
Terdakwa bahwa yang membuka Rekening dengan Nomor–Nomor
Rekening seperti tersebut di atas, adalah Winda Arum Hapsari sendiri,
namun menurut keterangan Terdakwa mengenai transaksi uang masuk
dan investasi produk BCA yang ada di Rekening BCA atas nama
Winda Arum Hapsari (anak Terdakwa) tersebut adalah menggunakan
uang Terdakwa yang ada di kas keluarga ;
11. Bahwa menurut keterangan Terdakwa dana diperkuat dengan
keteranan saksi Yanti Purnamasari, SE.MM. saksi Gregorius Yulius
Sunarto, SE. dan saksi tambahan Abdullah Umar, ahli Suyanto,
SE.Ak., serta dari catatan Rekening Koran yang diterbitkan oleh BNI
maupun BCA dan dari slip-slip setoran bahwa benar Terdakwa ada
menginvestasikan uangnya yang sudah ada di dalam Rekening-
Rekening keluarganya tersebut, ke dalam produk-produk investasi BNI
antara lain seperti MMA dan lain-lain, memang dari bukti Rekening
Koran dari Nomor-Nomor Rekening tersebut terlihat adanya transaksi
keuangan yang berasal dari produk-produk Investasi yang ada di BNI
dan menurut keterangan Terdakwa semua proses investasi di
148
produkproduk investasi BNI tersebut yang mengatur adalah Fund
Manager yaitu saksi Yanti Purnamasari, SE.MM. ;
12. Bahwa fakta di persidangan tidak ada bukti bahwa Terdakwa Dr.
Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki uang tunai sejak tahun 2004 sampai
dengan tahun 2010 sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37
adalah hasil korupsi (hasil tindak pidana) hal ini dapat di lihat dalam
profil Terdakwa sebagai berikut :
13. Bahwa untuk mendukung alibi Terdakwa tentang asal usul sumber
keuangannya yang ditempakan di Perbankan (BNI dan BCA) tersebut
sesuai ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang Terdakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa harta
kekayaannya tersebut bukan berasal dari hasil tindak pidana dan
dipersidangkan perkara ini Terdakwa telah mengajukan bukti bahwa
uang tunai yang dimiliki Terdakwa adalah uang halal.
14. Bahwa Auditor yang bernama SUYANTO, SE. di persidangan oleh
Terdakwa juga dijadikan sebagai saksi ahli dan telah memberikan
paparan dan pendapatnya terkait hasil audit yang dibuat oleh Akuntan
Publik ACHMAD, RASYID, HISBULLAH & JERRY dan
pendapatnya ;
15. Keyakinan Majelis Hakim Tingkat Pertama telah melampaui
kewenangannya karena tidak didukung dengan alat bukti lainnya
sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, sedangkan 10 (sepuluh) bukti
tersebut di atas telah memenuhi Pasal 184 KUHAP, yaitu kerja sama
149
bisnis permata antara Terdakwa dengan AIDA TIRTAYASA,
LEOPOLDO P. NARRA, ZHU YAOZONG dan LU JIAHAN ;
16. Bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama mengenyampingkan bukti-
bukti Terdakwa yang diajukan di persidangan untuk memenuhi Pasal
35 tentang azas pembuktian terbalik, maka Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang bahwa Majelis Hakim sendiri harus bisa
membuktikan bahwa Uang yang dimiliki oleh Terdakwa adalah
merupakan hasil tindak pidana, sesuai dengan Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang ;
17. Bahwa karena pertimbangan hukum Majelis Tingkat Pertama dan
Majelis Tingkat Banding kurang mengerti makna harta kekayaan/uang
tunai merupakan hasil tindak pidana, transaksi mencurigakan,
penempatan uang tunai di Bank (Lembaga Keuangan lainnya), maka
kami sampaikan beberapa kutipan pendapat ahli yang diajukan oleh
Jaksa dan menjadi bukti di persidangan, yaitu ahli DR. Yenti Garnasih,
SH.MH., ahli DR. Rudy Satrio Mukantardjo, SH.MH., ahli Subiantoro,
SH.MH., ahli Suyanto, ahli DR. Dian Adriawan, SH.MH. dan ahli
Prof. DR. Andi Hamzah, SH ;
18. Bahwa dalam putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan yang mengadili dan memeriksa perkara Dr. Drs. Bahasyim
Assifie, M.Si. yang memiliki harta kekayaan berupa uang tunai sebesar
Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681,147.37 tidak bisa membuktikan
hasil tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1), menyatakan :
150
Hasil Tindak Pidana, adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana Korupsi ;
19. Pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut di
atas dihubungkan dengan Terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si.
memiliki harta kekayaan berupa uang tunai sebesar Rp.
60.992.238.206,- dan USD 681,147.37 ditempatkan di 2 (dua) Bank
yaitu Bank BNI dan Bank BCA atas nama isteri dan anak-anaknya
adalah WAJAR, hal ini dapat dibuktikan ;
20. Bahwa Terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. menginvestasikan
karta kekayaan berupa uang tunai yang dikumpulkan sedikit demi
sedikit sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2010 dari hasil usahanya
dan Terdakwa Dr. Drs. Bahasyim, M.Si. memiliki uang sebesar Rp.
60.992.238.206,- dan USD 681,147.37 adalah wajar dan ditempatkan
di 2 (dua) Bank yaitu Bank BNI dan Bank BCA adalah wajar ;
21. Bahwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. memberikan bukti kompilasi
asal usul uang dan arus uang Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. sejak
tahun 1969 s/d 2010 serta bukti pengelompokan dan periodisasi jenis
kegiatan usaha di luar kedinasan Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. di
depan persidangan untuk memenuhi Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
Pasal 35 yang menyatakan :
151
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan, Terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana ;
22. Bahwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki harta kekayaan
berupa uang tunai sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681,147.37
ditempatkan di 2 (dua) Bank yaitu Bank BNI dan Bank BCA atas
nama Isteri dan anakanaknya BUKAN MERUPAKAN HASIL
TINDAK PIDANA ;
23. Bahwa tahun 2002 awal sebagian uang tersebut ditabung di Bank BCA
dan sebagian besar oleh Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si.
diinvestasikan di Bank BNI sebesar Rp. 30.000.000.000,- dan USD
300.000 diberbagai produk ;
24. Dari hasil keuntungan sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2010
sesuai dengan keterangan saksi YANTI PURNAMASARI dan
ABDULLAH UMAR (Pegawai Bank BNI) menerangkan di bawah
sumpah, yaitu :
Bahwa benar sejak tahun 2002 Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si.
menginvestasikan uangnya di BNI sebesar Rp. 30.000.000.000,- dan
USD 300,000.00 diberbagai produk ;
Dengan Investasi tersebut Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. mendapat
keuntungan, oleh karena itu sesuai dengan Rekening Koran uang milik
Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. di BNI yaitu sebesar Rp.
60.992.238.206,- dan USD 681,147.37 ;
152
25. Bahwa kami selaku Kuasa Hukum Terdakwa Dr. Drs. Assifie, M.Si.
tidak sependapat dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
dalam pertimbangan menyatakan sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa oleh karena menurut Majelis Hakim sebagai-
mana telah dipertimbangkan tersebut di atas, khususnya tentang bukti
surat yang diajukan oleh Terdakwa tersebut di atas terkait dengan alibi
Terdakwa tentang asal usul keuangan Terdakwa yang ditempatkan di
BNI dan BCA tersebut yang menurut keterangan Terdakwa berasal
dari usaha bisnisnya dengan LEOPOLDO P. NARRA Pengusaha
Philipina, LU JIAHAN dan ZHU YAOZONG Pengusaha China serta
Pengusaha Indonesia AIDA TIRTAYASA maupun usaha bisnis
lainnya, namun oleh karena alibi Terdakwa tersebut menurut Majelis
Hakim tidak dapat dibuktikan oleh Terdakwa terlebih lagi Terdakwa
sebagai PNS dengan jabatan-jabatan stuktural sebagaimana diuraikan
di atas tentang profil Terdakwa yang gajinya per bulan hanya berkisar
Rp. 20.000.000,- s/d Rp. 30.000.000,- yang tidak seimbang dengan
harta kekayaannya yang ditempatkan di BNI dan BCA tersebut
sehingga tidak wajar apabila Terdakwa memiliki kekayaan yang
berupa uang tunai yang ditempatkan di BNI dan BCA yang totalnya
berjumlah Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681,147.37” ;
Bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dalam pertimbangan hukumnya sangat keliru dan Para Pejabat Negara,
153
Para Penyelenggara Negara dan Para PNS yang memiliki kelebihan
keilmuan maupun bisnis dan memiliki cukup harta kekayaan ;
26. Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki harta kekayaan berupa
uang tunai sebesar yaitu sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD
681,147.37 adalah sangat wajar karena Dr. Drs. Bahasyim Assifie,
M.Si. memiliki usaha berbagai bidang, seperti jual beli tanah dan
rumah, perikanan, kerjasama dengan pihak asing, menginvestasikan
berbagai produk Bank ;
Secara bisnis hanya untuk memiliki harta kekayaan berupa uang tunai
sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681,147.37 tidak memerlukan
waktu yang terlalu lama karena dengan investasi di Bank BNI dengan
transaksi Investasi Money Market Account (MMA) saja bisa
mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dalam waktu singkat,
maka Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki harta kekayaan
berupa uang tunai sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681,147.37
adalah SANGAT WAJAR ;
27. Bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia tidak diperbolehkan
menghukum Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. hanya dengan alasan
mengatakan harta kekayaan Terdakwa yang berupa uang tunai yang
ditempatkan di BNI dan BCA yang totalnya sebesar Rp.
60.992.238.206,- dan USD 681,147.37 adalah patut diduga berasal dari
tindak pidana ;
154
28. Bahwa kata-kata dalam hukum pidana patut diduga berasal dari tindak
pidana hanya berlaku pada waktu dilakukan penyidikan ditingkat
Kepolisian/Penyidik dan setelah berkas dilimpahkan kepada
Jaksa/Penuntut Umum, maka Jaksa/Penuntut Umum harus sudah
menentukan tindak pidana apa yang dilakukan oleh Dr. Drs. Bahasyim
Assifie, M.Si. dan apalagi Majelis Hakim harus bisa membuktikan
bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana sehingga hasil tindak
pidana tersebut berbentuk uang tunai dan kemudian dicuci sehingga
menjadi bersih selaras dengan UUTPPU Pasal 2 tersebut ;
29. Hal tersebut sesuai dengan keterangan dari para ahli yang didengar
keterangannya di depan persidangan dalam perkara a quo yaitu Dr.
Yenti Ganarsih, SH.MH., Dr. Dian Andriawang, SH.MH., Prof. Dr.
Rudy Satrio M., SH.MH., dan Prof. Dr. Andi Hamzah, SH. di bawah
sumpah menyatakan :
Bahwa dalam prakteknya karena tindak pidana pencucian uang adalah
merupakan tindak pidana yang mengikuti pidana asalnya, atau dengan
kata lain Tindak Pidana Pencucian Uang tidak dapat diajukan tanpa
adanya tindak pidana asal yang menjadi Tindak Pidana Asal (Predicate
Crime) dari Tindak Pidana Pencucian Uang, maka pengajuan dakwaan
terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dilakukan bersama-sama
dengan tindak pidana asalnya secara kumulatif ;
30. Bahwa dalam proses persidangan Terdakwa juga telah melakukan
pembuktian terbalik untuk membuktikan mengenai asal usul perolehan
155
uang yang dimiliknya sebesar Rp. 60.992.238.206,- (enam puluh
milyar Sembilan ratus sembilan puluh dua juta dua ratus tiga puluh
delapan ribu dua ratus enam rupiah) dan USD 681,147.37 (enam ratus
delapan puluh satu ribu seratus empat puluh tujuh Dollar Amerika
Serikat tiga puluh tujuh sen) ;
31. Bahwa unsur ini tidak termasuk dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan
unsur ini masuk dalam unsur Pasal 3 ayat (1) huruf h Undang-Undang
No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan seharusnya
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan batal demi hukum dan/atau
seharusnya dibatalkan ;
32. Bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dalam pertimbangan hukumnya tersebut di atas sangat keliru ;
33. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di depan
persidangan, melalui keterangan Terdakwa, keterangan saksi Yanti
Purnamasari (Fund Manager Bank BNI), keterangan saksi Georgius
Julius Sunarto (Business Bank Insurances Bank BNI), keterangan saksi
Abdullah Umar (Karyawan Bank BNI Bagian Investasi) dan pendapat
Ahli Suyanto, serta berdasarkan dengan bukti-bukti surat yang
Terdakwa ajukan di depan persidangan maka diperoleh fakta-fakta
huku ;
34. Majelis Hakim sangat keliru apabila berpendapat “Dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang
156
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, hal
ini tidak benar karena :
Sejak tahun 2004 Bank BNI dan Bank BCA telah melaporkan secara
tertulis dan berkala kepada PPATK setiap Dr. Drs. Bahasyim Assifie,
M.Si. menabung, menyimpan, menginvestasikan dana (uangnya) di
kedua Bank tersebut dan waktunya cukup lama selama 6 (enam) tahun
secara terus menerus ;
Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki harta kekayaan berupa
uang tunai sejumlah Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681,147.37 bukan
merupakan hasil dari tindak pidana dan telah dibuktikan oleh
Terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. sesuai dengan (ARH & J)
Periode Tahun 2004 –2010 ;
35. Majelis Hakim sangat keliru apabila berpendapat “Dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, hal
ini tidak benar karena :
Sejak tahun 2004 Bank BNI dan Bank BCA telah melaporkan
secara tertulis dan berkala kepada PPATK setiap Dr. Drs.
Bahasyim Assifie, M.Si. menabung, menyimpan,
menginvestasikan dana (uangnya) di kedua Bank tersebut dan
waktunya cukup lama selama 6 (enam) tahun secara terus
menerus ;
157
Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si. memiliki harta kekayaan
berupa uang tunai sejumlah Rp. 60.992.238.206,- dan USD
681,147.37 bukan merupakan hasil dari tindak pidana dan telah
dibuktikan oleh Terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si.
sesuai dengan “Laporan Akuntan Independen“ Achmad
Rasyid, Hisbullah & Jerry (ARH & J) Periode Tahun 2004 –
2010 ;
36. Bahwa uang tunai milik Terdakwa bukan dihasilkan dari korupsi atau
hasil kejahatan, oleh karena itu jangan sampai uang milik Terdakwa
diambil oleh oknum-oknum penegak hukum dengan dalil berdasarkan
putusan Pengadilan dan kami yakin dan percaya Hakim di Mahkamah
Agung RI masih ada yang memperjuangkan kebenaran ;
37. Bahwa kami selaku Kuasa Hukum Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie,
M.Si. memohon kepada Yang Terhormat Majelis Hakim Mahkamah
Agung Republik Indonesia bahwa Nota Memori Banding tanggal 11
Maret 2011 merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan dengan
Memori Kasasi ini ;
38. Sehubungan telah dijelaskan secara lengkap dan ditambah dengan
bukti-bukti, keterangan saksi dan fakta di persidangan bahwa putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan telah melampaui batas wewenangnya sehingga sangat
merugikan Terdakwa Dr. Drs. Bahasyim Assifie, M.Si., oleh karena itu
kami memohon kepada Majelis Hakim Agung Republik Indonesia
158
untuk membatalkan kedua putusan Pengadilan tersebut dan
membebaskan Terdakwa dari segala tuntutan.
7. Putusan Mahkamah Agung
a. Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut
Mahkamah Agung berpendapat :
1. Mengenai alasan-alasan ad. A butir 1 s/d 23 :
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,
karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum pembuktian
karena selain saksi Kartini Mulyadi masih ada saksi lain yakni
Cendani Kusuma dan bukti-bukti tertulis lainnya, lagi pula alasan-
alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi,
karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan
tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum
tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan Pengadilan
telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) ;
2. Mengenai alasan-alasan ad. B butir 1 s/d 9 :
159
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,
karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, lagi pula
alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang
bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu
tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat
kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan
dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan
hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau cara mengadili
tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan
Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) ;
3. Mengenai alasan-alasan ad. C butir 1 s/d 38 :
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,
karena Judex Facti Pengadilan Tinggi sebagai Judex Facti dapat
mengadili tentang fakta dan tenang hukumnya, Judex Facti
(Pengadilan Tinggi) dalam putusannya telah mempertimbangkan
fakta-fakta yuridis yang dianalisis melalui proses hukum
pembuktian yang benar ;
4. Mengenai alasan-alasan ad. A1 s/d 23, ad. B1 s/d 9 dan C1 s/d
38 :
160
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,
karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah menerapkan hukum
pembuktian secara benar dan tepat ;
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) apakah
predicate crime perlu dibuktikan lebih dulu dengan menggunakan
pendekatan normatif maka sesuai dengan penjelasan Pasal 3
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. No. 25 Tahun 2003 dan
dalam praktek peradilan pada dasarnya predicate crime dibuktikan
lebih dahulu ;
Dalam kasus Terdakwa a quo tidak perlu surat dakwaan
disusun secara alternatif dan kumulatif dapat dibuktikan secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan rumusan susunan
dakwaan ;
Hal mana dapat dibuktikan bahwa seandainya predicate
crime tidak terbukti sekalipun, maka Tindak Pidana Pencucian
Uang tetap dapat diperiksa dan dibuktikan di persidangan, lagi pula
Terdakwa dapat menggunakan pembuktian terbalik terhadap
dakwaan Korupsi maupun Pencucian Uang khususnya dalam
konteks ”Perampasan Harta Kekayaan”. Dengan Cara Terdakwa
dapat membuktikan bahwa harta benda yang disita bukanlah hasil
kejahatan. Pembuktian terbalik dapat dilakukan oleh Terdakwa saat
mengajukan pledoi maupun saat diajukan risalah banding maupun
161
risalah kasasi. Namun ternyata Terdakwa tidak dapat membuktikan
bahwa harta kekayaan yang disita bukanlah hasil dari korupsi ;
Bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi Terdakwa tersebut
Judex Facti telah salah menerapkan hukum khususnya di dalam
penentuan pemidanaan. Karena di dalam kasus a quo dakwaan
Jaksa/Penuntut Umum tersusun secara alternatif dan kumulatif dan
ternyata Judex Facti berpendapat yang terbukti adalah dakwaan
Korupsi (dakwaan Kesatu Subsidair), Pasal 12 e Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan
Pencucian Uang (dakwaan Kedua Primair) Pasal 3 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25
Tahun 2003, yang diancam pidana tidak sejenis dan harus
dipandang berdiri sendiri-sendiri karena itu sepatutnya diterapkan
ketentuan Pasal 66 KUHP ;
Bahwa Terdakwa dalam dakwaan Kedua telah didakwa
dalam dakwaan Primair melanggar Pasal 3 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 dan dalam dakwaan Subsidair
melanggar Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 ;
162
Bahwa dari seluruh uang yang ditempatkan oleh Terdakwa
dalam Penyedia Jasa Keuangan hanya sejumlah Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) yang sudah jelas tindak pidana
asalnya adalah Tindak Pidana Korupsi, dalam dakwaan Kesatu
Primair, sehingga Tindak Pidana Pencucian Uang inilah yang
menjadi kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sedangkan selebihnya harus dinyatakan tidak berwenang
mengadilinya ;
Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat
(Dissenting Opinion) diantara para Anggota Majelis dan telah
diusahakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak tercapai
permufakatan, maka sesuai Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang No.
14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 serta perubahan kedua dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009, Majelis telah bermusyawarah
dan diambil keputusan dengan amar sebagaimana tersebut di
bawah ini ;
Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan yang
diuraikan di atas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta
No. 08/PID/TPK/2011/PT.DKI. tanggal 19 Mei 2011 yang
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
1252/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel. tanggal 02 Februari 2011 tidak dapat
163
dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti
tertera di bawah ini ;
M E N G A D I L I
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi/Terdakwa :
DR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin KHALIL
SARINOTO tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta No.
08/PID/TPK/2011/PT.DKI. tanggal 19 Mei 2011 yang
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
1252/Pid.B/-2010/ PN.Jkt.Sel. tanggal 02 Februari 2011 ;
c. Amar Putusan
1. Menyatakan Terdakwa Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin
KHALIL SARINOTO tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan
Kesatu Primair ;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Kesatu
Primair tersebut ;
3. Menyatakan Terdakwa Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin
KHALIL SARINOTO terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana ”KORUPSI” ;
164
4. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut
dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan
apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka kepada
Terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan
selama 3 (tiga) bulan ;
5. Menyatakan Terdakwa Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin
KHALIL SARINOTO terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana ”PENCUCIAN UANG” ;
6. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut
dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan
apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka kepada
Terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan
selama 3 (tiga) bulan ;
7. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan sebelum
putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan
dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan ;
8. Menetapkan barang bukti berupa : No. Urut 3, 66 s/d 74
DIRAMPAS UNTUK NEGARA, Barang bukti Nomor Urut 75
dan 76 DIKEMBALIKAN KEPADA FERITA WIJAYANI, SE
dan Barang bukti lainnya TETAP TERLAMPIR DALAM
BERKAS PERKARA ;
165
9. Membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk
membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan
dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah).
B. Pembahasan
1) Alasan Penuntut Umum Menerapan Pembuktian Terbalik
a. Cara Jaksa/Penuntut Umum Dalam Menerapan Pembuktian Terbalik
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan
usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat
diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian
mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggung jawabkannya70.
Pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan merupakan bagian terpenting dari acara
pidana, karena hak asasi manusia (terdakwa) akan dipertaruhkan. Van
Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu :
a. Mencari dan menemukan kebenaran;
b. Pemberian keputusan oleh hakim;
c. Pelaksanaan keputusan.71
Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi
“mencari kebenaran” karena hal tersebut merupakan tumpuan kedua fungsi
70 Darwan Prinst. Op. Cit. hal. 133. 71 Andi Hamzah. Op. Cit. halaman 13.
166
berikutnya. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat
bukti dan barang bukti, maka hakim akan sampai kepada putusan yang
selanjutnya akan dilaksanakan oleh jaksa. Namun hal yang tidak kalah
penting adalah peran jaksa di dalam menerapkan suatu peraturan
perundang-undangan, dimana jaksa memiliki peranan yang sangat penting
untuk tercapainya fungsi hukum acara pidana.
Tindak Pidana Pencucian Uang atau money laundry harus
diberantas karena pencucian uang merupakan suatu kejahatan yang
menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang sangat besar atau asal
usul harta kekayaan itu merupakan hasil kejahatan, kemudian
disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal
dengan pencucian uang. Pencucian uang tidak hanya merugikan keuangan
dan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak asasi sosial dan ekonomi masyarakat luas, sehingga
digolongkan sebagai extraordinary crime, maka pemberantasannya harus
dilakukan dengan cara yang luar biasa.
Meminjam kerangka berfikir J.E Sahetapy bahwa dalam hukum
selain memiliki asas positif juga dikenal dengan asas de uitzonderingen
bevestigen de regel (pengecualian memastikan aturan yang ada). Artinya
dalam ranah regulasi ada pula kajian atas sebuah pengecualian terhadap
norma, sepanjang dikecualikan atas kebutuhan masyarakat menuju
perbaikan permasalahan. Beban pembuktian terbalik termasuk dalam
167
restorative justice, sebuah konsep yang diidamkan para pembaharu
penegakan hukum72.
Metode pembuktian terbalik merupakan alternatif hukum
pembuktian yang kini dipandang sebagai “sarana hukum” yang ampuh
untuk mengejar aset hasil kejahatan dan mengembalikannya kepada
negara. Namun, penggunaan model ini harus memiliki dua fungsi, yaitu:
pertama, model ini bertujuan untuk memudahkan proses pembuktian asal
usul harta kekayaan (aset) dari suatu kejahatan, akan tetapi disisi lain,
tidak dapat dipergunakan sehingga bertentangan dengan hak asasi seorang
tersangka/terdakwa. Kedua, model ini tidak memiliki tujuan yang bersifat
represif melalui proses kepidanaan melainkan harus bertujuan yang
bersifat rehabilitative dan semata-mata untuk memulihkan aset hasil dari
kejahatan tertentu (recovery73).
Dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, ditegaskan bahwa di sidang pengadilan
terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana. Perkataan wajib bagi terdakwa untuk
membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana
mengandung pengertian bahwa dalam undang-undang ini dianut sistem
pembuktian terbalik. Akan tetapi, dalam penjelasan pasal tersebut
dinyatakan bahwa terdakwa “diberi kesempatan” untuk membuktikan
harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.
72http://signnet.blogspot.com/2008/04/pembuktian-terbalik-solusi.html diakses 19 April
2013. 73 Majalah Hukum VARIA PERADILAN. Op. Cit. Halaman 41.
168
Undang-undang ini dikatakan bertentangan dengan Pasal 66
KUHAP yang mengatur bahwa jaksa menjadi satu-satunya yang diberi
kewajiban dalam pembuktian. Namun apabila digali lebih dalam, asas lex
specialis derogate legi generalis dapat menjawab anggapan ini. Bahwa
Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah bersifat khusus
yang akan mengesampingkan KUHAP yang bersifat umum, dasar
hukumnya adalah Pasal 103 KUHP. Selain itu hal ini merupakan salah
satu sarana yang dapat ditempuh untuk memberantas korupsi yang sudah
mengakar di Indonesia.
Dalam asas pembuktian terbalik hakim berangkat dari praduga
bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu pelanggaran hukum atau
presumption of guilt. Kemudian terdakwalah yang harus membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah, dan jika dia tidak dapat membuktikan hal
itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak
Penuntut Umum. Bila tersangka atau terdakwa ditahan maka hampir
mustahil hal itu bisa dilakukan. Dalam sistem pembuktian seperti tersebut
di atas, tampak bahwa hak-hak seorang terdakwa tidak dijamin, bahkan
dilanggar. Padahal dalam Pasal 183 KUHAP, sebagaimana telah
dijelaskan di atas telah diatur secara tegas bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
169
Dalam pembuktian terbalik ketentuan tersebut secara terang-
terangan disimpangi, karena Hakim dapat saja menjatuhkan putusan
pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu jika terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini hanya dengan
adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan
terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam
teori pembuktian conviction intime (pembuktian berdasar keyakinan hakim
semata) yang telah dijelaskan di atas.
Apabila didalam penerapan pembuktian terbalik penuntut umum
dapat membuktikan bahwa harta kekayaan dari terdakwa itu dari hasil
suatu tindak pidana, maka selain terdakwa mendapatkan putusan dari
hakim, penuntut umum juga dapat melakukan perampasan asset terhadap
harta kekayaan terdakwa yang didapatnya dari suatu tindak pidana.
Namun dalam hal ini teori pembalikan beban pembuktian relatif
tidak dapat diperlakukan terhadap kesalahan pelaku karena akan
mengakibatkan pergeseran asas praduga tidak bersalah menjadi asas
praduga bersalah. Tetapi untuk mengembalikan aset (asset recovery) hasil
dari tindak pidana pencucian uang serta membuktikan asal usul harta
kekayaan milik pelaku tindak pidana pencucian uang tetap dipergunakan
pembuktian terbalik, karena asal usul harta milik seseorang ditempatkan
dalam kedudukan yang paling rendah ketika pelaku tersebut dalam
kedudukan belum kaya dan teori pembuktian demikian tetap menjungjung
170
tinggi ketentuan hukum acara pidana, hak asasi manusia, hukum pidana
dan instrument internasional74.
Pembuktian terbalik ini hanya diterapkan didalam proses peradilan
dan untuk “Certain Casses” atau hanya untuk kasus-kasus tertentu saja
seperti Pencucian Uang, Korupsi, Narkotika dan lain-lain.
Jika dilihat dalam perkara putusan Mahkamah Agung No. 1454
K/PID.SUS/201, Jaksa/penuntut umum menerapkan pembuktian terbalik
karena hanya ada satu saksi yaitu saksi Yanti Purnamasari, SE.MM.,
sedangkan menurut alat bukti yang sah yang dimaksud terdapat dalam
ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
disebutkan alat bukti yang sah yang membantu hakim dalam mengambil
keputusan seperti :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan Terdakwa.
Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana
sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah serta hakim yakin atas
tindak pidana yang terdakwa terbukti bersalah (Pasal 183 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
74 Lilik Mulyadi. Op. cit. hal. 218-222.
171
Hukum Acara Pidana). Jika dikaikan dengan kasus bahasyim, semua alat
bukti yang sah sudah ada/terpenuhi. Namun, untuk membuktikan perkara
pencucian uangnya, alat bukti yang ada masih dirasakan kurang cukup,
termasuk keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Hal ini sesuai dengan prinsip minimum pembuktian bahwa untuk
menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan
sekurang-kurangnya ada dua alat bukti. Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) merumuskan:
“(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”
Sebenarnya Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan
kembali apa yang dirumuskan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 mengenai batas minimum pembuktian. P.A.F Lamintang dan Theo
Lamintang75 mengatakan bahwa seperti yang pernah dikatakan di muka,
dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang
mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa terkandung suatu asas yang sangat
penting untuk diperhatikan, baik oleh penyidik, penuntut umum, hakim
maupun penasihat hukum, yakni asas unus testis nullus testis, atau yang di
dalam praktik juga sering disebut dengan perkataan satu saksi bukan saksi.
75 Ibid., hlm.417-418.
172
Sebab satu saksi saja terkadang tidak cukup, apalagi untuk kasus tindak
pidana pencucian uang yang pembuktiannya lumayan sulit. Meskipun
selain saksi ada alat bukti surat, petunjuk, ahli dan keterangan terdakwa
masih dirasakan kurang mengingat aliran dana yang dilakukan oleh Dr.
Bahasyim Assifie sangat banyak, baik berupa semua uang yang
ditempatkan Terdakwa baik untuk membuat dan mengisi Rekening masing
masing di atas seluruhnya berasal dari Terdakwa baik berupa uang USD
maupun berupa uang rupiah. Baik berupa setoran tunai maupun yang
bersifat pemindahbukuan serta seluruh tindakan mutasi uang dan
pembelian rumah tersebut diduga dilakukan Terdakwa dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Mengingat sejak sebelum tahun 2002 Terdakwa memiliki uang sebesar Rp.
30.000.000.000,- (tiga puluh milyar rupiah) yang menurut Terdakwa
adalah hasil dari berbagai usahanya yakni jual beli tanah, jual beli mobil,
valas, cuci cetak foto, pemasangan flambing, penyertaan modal pada suatu
perusahaan.
b. Tahap Penerapan Pembuktian Terbalik
Istilah “sistem pembuktian terbalik”, lebih dikenal masyarakat
dibanding dengan istilah “pembalikan beban pembuktian”, dimana
pembalikan beban pembuktian sudah lama diberlakukan di Indonesia
yakni sejak tahun 1960, yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
173
Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa :
“Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila dimintai oleh jaksa”.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 37 disebutkan :
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, buka terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Dari bunyi penjelasan Pasal 37 atas dapat ditarik satu kesimpulan
bahwa sistem pembuktian terbalik seperti yang dianut dalam Pasal 37
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi di atas dinilai sebagai sistem pembuktian terbalik yang
terbatas, dimana dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi di
Indonesia sehari-hari jarang diterapkan. Hal ini menimbulkan kurang
efektifnya sistem ini. Dari pendekatan doktrin dan komparasi sistem
hukum pidana (termasuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37
beserta penjelasannya), makna atau arti “Terbatas” atau “Berimbang” dari
implementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian adalah :
a. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan
terhadap tindak pidana “gratification” (pemberian) yang berkaitan
174
dengan “bribery” (suap) dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam
tindak pidana korupsi.
b. Delik-delik lainnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tertuang dalam
Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya tetap ada pada
Jaksa Penuntut Umum.
c. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan
terhadap “perampasan” dari delik-delik yang didakwakan terhadap
siapa saja sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Perlu ditegaskan pula bahwa sistem
pembuktian terhadap dugaan pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan
Pasal 16 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tetap tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberikan pada Jaksa Penuntut
Umum. Apabila Terdakwa berdasarkan Tuntutan Jaksa Penuntut
Umum dinilai terbukti melakukan pelanggaran salah satu dari tindak
pidana tersebut dan dikenakan perampasan terhadap harta bendanya,
Terdakwa wajib membuktikan bahwa harta bendanya bukan berasal
dari tindak pidana korupsi.
d. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas penerapan asas
Lex Temporis-nya, yakni sistem ini tidak dapat diberlakukan secara
Retroaktif (berlaku surut) karena potensial terjadinya pelanggaran
175
HAM, pelanggaran terhadap asas Legalitas, dan menimbulkan apa
yang dinamakanasas Lex Talionis (balas dendam).
e. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas dan tidak
diperkenankan menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”.
f. Dari pengertian ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak
diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipiel dari
pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem
pembalikan beban pembuktian ini sebagai kenyataan yang tidak dapat
dihindari, khususnya terjadinya minimalisasi hak-hak dari “dader”
yang berkaitan dengan asas “non self-incrimination” dan “praduga
tak bersalah”, namun demikian adanya suatu minimalisasi hak-hak
tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak tersebut,
dan apabila terjadi, inilah yang dikatak.an bahwa system pembalikan
beban pembuktian adalah potensial terjadinya pelanggaran HAM76
.
Sehingga untuk tahap penerapan pembuktian terbalik itu berangkat
dari sebuah “presumption” atau suatu dugaan/sangkaan dari penuntut
umum terhadap tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa,
khususnya yang berkaitan dengan harta kekayan dari terdakwa. Dimana
penuntut umum telah menduga-duga/berperasangka buruk sebelumnya
terhadap terdakwa, bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindakan
pidana. Atas dugaan tersebut, sehingga didalam proses peradilan
dilakukanlah suatu pembukuktian terbalik yang merupakan Lex Specialis
76 Wahyu Wiriadinata. Op. Cit. Halaman 105-107.
176
dari pembuktian di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(diatur didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian
diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan lain-lain) dan hanya
diterapkan pada peradilan, bukan pada penyidikan.
Dalam pembuktian terbalik, selain penuntut umum yang
membuktikan terdakwa juga harus ikut membuktikan (sama-sama saling
membuktikan), sehingga tidak ada pembuktian absolut (penuntut umum
membuktikan, terdakwa membuktikan).
Namun pembuktian terbalik dianggap telah melanggar Hak Asasi
Manusia, yaitu bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. Karena
di dalam pembuktian terbalik asas praduga tidak bersalah diganti menjadi
praduga bersalah (berperasangka buruk terhadap orang lain/terdakwa).
Untuk menegakan suatu kebenaran, apakah kita harus takut
terhadap satu asas saja. Tidak selamanya asas praduga tidak bersalah harus
diterapkan, khususnya dalan kasus tertentu yang pembuktiannya itu sangat
sulit. Tidak selamanya juga praduga tidak bersalah itu harus kita taati,
karena didalam suatu proses peradilan “bukan kebenaran yang menang di
ruang sidang, tapi pemenang yang dapat membentuk kebenaran”, artinya
177
walaupun orang itu salah bisa saja orang tersebut dibebaskan karena
kepintaran dari penasehat hukum didalam membelaannya dengan alasan
alat buktinya tidak cukup dan selalu berlindung dibawah asas praduga
tidak bersalah terhadap terdakwa harus selalu dikedepankan. Asas prduga
tidak bersalah didalam suatu proses peradilan hanya melihat dari posisi
terdakwa saja, sedangkan dari posisi korban itu bagaimana. Kalau hal
seperti ini diteruskan/didiamkan bagaimana dengan nasib Negara Republik
Indonesia, bagaimana dengan nasib rakyat miskin yang semakin tahun
bukannya berkurang tapi malah meningkat dan nasib para koruptor yang
semakin merajalela karena semakin nyamannya mereka hidup di bumi
pertiwi ini yang aturan hukumnya dapat mereka mainkan sesuka hati.
Mengutip dari pernyataan Finli Peter Dunne, yang menyatakan bahwa
“hukum dibuat untuk para pengacau, dan semakin banyak mereka
membuat kesulitan77
, semakin panjang pula deretan nama mereka dalam
buku pidana”, sedangkan para penegak hukum kita banyak membuat
undang-undang dan hukum yang tidak membuat jera para penjahat,
sehingga permasalahannya semakin kompleks dan untuk
penyelesaiannyapun sangat sulit. Namun hal tersebut seharusnya tidak
menjadikan para penegak hukum menyerah begitu saja, karena
bagaimanapun dan dengan cara apapun hukum harus tetap ditegakan.
Walapun salah satu caranya adalah dengan mengesampingkan asas
praduga tidak bersalah.
77 Rus Dharmawan. Kata Bijak Yang Menyihir. Bantul: Kreasi Wacana. 2010. Hal. 3.
178
Dari sinilah saya berasumsi bahwa pembuktian terbalik harus
diterapkan, karena undang-undang atau hukum tertulis jangan seperti
sarang laba-laba, yang hanya menjaring atau menangkap yang lemah dan
miskin, sedangkan yang kuat dan yang kaya mudah saja memutuskan
jarring-jaring tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi kenapa
pembuktian terbalik harus diterapkan, karena selain untuk menyelesaikan
semua permasalan yang ada juga untuk efektifitas peradilan yaitu
mendukung peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Sebab
untuk kasus-kasus tertentu pembuktian biasa yang ada di KUHAP
dirasakan masih kurang efektif dan bahkan tidak dapat menjerat para
pelakunya. Pembuktian terbalik ini hanya diterapkan didalam proses
peradilan dan untuk “Certain Casses” atau hanya untuk kasus-kasus
tertentu saja seperti Pencucian Uang, Korupsi, Narkotika dan lain-lain.
Apabila didalam penerapan pembuktian terbalik penuntut umum
dapat membuktikan bahwa harta kekayaan dari terdakwa itu dari hasil
suatu tindak pidana, maka selain terdakwa mendapatkan putusan dari
hakim, penuntut umum juga dapat melakukan perampasan asset terhadap
harta kekayaan terdakwa yang didapatnya dari suatu tindak pidana. Ketika
terdakwa dapat membuktikan bahwa harta kekayaan yang didapatnya itu
bukanlah dari suatu hasil tindak pidana, hal inilah yang melatarbelakangi
adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia karena telah berperasangka buruk
terhadap terdakwa dan dianggap mencemarkan nama baik dari terdakwa.
Tapi apalah artinya hal itu semua jika kita bandingkan dengan kepentingan
179
rakyat banyak, karena “lebih baik satu orang pejabat terluka dari pada
seribu rakyat yang harus terluka”, selain itu apabila terdakwa tidak
terbukti akan mendapatkan rehabilitasi atau pemulihan nama baik. Jadi
menurut hemat saya, sudah jelas kalau pembuktian terbalik dapat
diterapkan dengan tidak mengesampingkan suatu asas praduga tidak
bersalah karena hanya menyangkut harta kekayaan bukan pada pelakunya
dan untuk kasus-kasus tertentu (kejahatan ekonomi) serta apabila tidak
terbukti ada suatu rehabilitasi.
Secara normatif keadaan tersebut memang menjadi pemikiran yang
cukup kritis di lontarkan. Namun dapat dicermati bahwa dalam beban
pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang secara khusus,
bahwa pembuktian terbalik hanya akan diterapkan dalam tahap
persidangan. Sehingga didalam pelaksanaan asas praduga bersalah
tidaklah secara mutlak, terdakwa bersifat aktif hanya pada pembuktian asal
usul harta kekayaan. Unsur praduga tak bersalah tetap dijalankan dalam
tahap pembuktian.
Jadi di sini hanya dengan adanya keyakinan hakim sudah cukup
untuk menyatakan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal
ini sama dengan sistem dalam teori pembuktian conviction intime
(pembuktian berdasar keyakinan hakim semata). Tahap penerapan
pembuktian terbalik saya gambarkan dalam bentuk bagan dibawah ini :
180
Bagan 1.
Penerapan pembuktian terbalik di Indonesia :
Jika melihat dari Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
jelas pembuktian terbalik disini masih dalam kerangka kepentingan
Pelanggaran Hak
Asasi Manusia
Asas Praduga
Tidak Bersalah Certain Casses
(contohnya
TPPU)
Penuntut
Umum
Pembuktian
Terbalik Terdakwa
Presumption
(Dugaan)
Rehabilitasi
Terbukti
Perampasan
Asset
Tidak
Terbukti
Asas Peradilan
Cepat, Sederhana
dan Biaya Ringan
181
pemeriksaan di sidang pengadilan dan terbatas hanya mengenai asal usul
harta kekayaan tersebut, sehingga bukan merupakan pembuktian terhadap
kegiatan tindak pidananya atau pencucian uangnya, karena untuk
membuktikan dakwaannya penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan unsur-unsur tindak pidana pencucian uang. Tujuan
diberlakukan ketentuan ini adalah untuk merampas harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana bukan menghukum pelaku tindak pidana maka
asset tersebut dirampas untuk negara. Jika terdakwa tidak bisa
membuktikan bahwa asset itu bukan merupakan tindak pidana maka asset
tersebut dirampas negara. Hal ini terjadi pada putusan Mahkamah Agung
No. 1454 K/PID.SUS/2011 dengan terdakwa Dr. Bahasyim Assifie.
Maka dengan sendirinya terdakwapun dinyatakan telah terbukti
sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang, hal ini terjadi karena :
a. Beban pembuktian tersebut hanya berlaku hanya terhadap salah satu
unsur tindak pidana yaitu mengenai asal usul harta kekayaan, bukan
mengenai pembuktian keseluruhan unsur tindak pidananya karena
unsur-unsur tindak pidana tersebut masih harus dibuktikan oleh
Jaksa/penuntut umum.
b. Beban pembuktian tersebut hanya dilakukan pada pemeriksaan di
siding pengadilan bukan dalam pemeriksaan penyidikan.
c. Jaksa/penuntut umum masih wajib membuktikan unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan misalnya menempatkan, mentransfer dan
unsur lain sebagai mana yang dimaksud dalam tindak pidana
182
pencucian uang. Ketentuan tersebut mengandung konsekuensi hukum
yaitu apabila keterangan terdakwa tidak berhasil membuktikan asal
usul harta kekayaan bukan karena kejahatan maka dengan sendirinya
unsur tindak pidana bahwa harta kekayaan tersebut adalah berasal dari
tindak pidana sudah terbukti.
d. Mengingat beban pembuktian terbalik yang diatur dalam tindak pidana
pencucian uang hanya menyangkut salah satu unsur tindak pidana,
maka unsur-unsur lainnya dari tindak pidana pencucian uang tetap
harus dibuktikan oleh Jaksa/penuntut umum78
.
2) Penerapan pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang
terhadap Terdakwa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1454
K/PID.SUS/2011
Fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran
materiil, putusan hakim, dan pelaksanaan keputusan hakim. Menurut
Yulies Tiena Masriani mengatakan bahwa:
“Fungsi Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran materiil, putusan hakim dan pelaksanaan keputusan hakim79.” Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya
didapatkan dengan pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral dari
pemeriksaan di muka sidang pengadilan karena menyangkut ditentukan
tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan
78 Hangkoso Satrio W. 2012. Skripsi “PERAMPASAN ASSET DALAM PENANGANAN
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”. Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakart. Halaman 99.
79 Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. 2008. Haalaman 83.
183
dan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini
pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang
yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,
padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan
untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata
yang cukup puas dengan kebenaran formal80.
Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana ada bermacam-
macam. Setiap negara menganut sistem pembuktian yang berbeda
tergantung dengan sistem hukum yang dianut di negara tersebut.
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan
usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat
diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian
mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggung jawabkannya.81
Pengertian tentang pembuktian diperoleh dari doktrin. Beberapa
pengertian tentang pembuktian diantaranya M. Yahya Harahap yang
mengatakan:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
80 Andi Hamzah. 2011. Op. Cit. Halaman 249. 81 Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan. 1998. hal. 133.
184
membuktikan kesalahan yang yang didakwakan kepada terdakwa82.”
R. Supomo, mengatakan bahwa :
“Pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah membenarkan hubungan hukum, misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti, hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Untuk itu, pembuktian dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Dalam arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan”. Pembuktian merupakan suatu proses kegiatan untuk membuktikan
sesuatu atau menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa. Pasal 183
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana menyatakan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasarakan Teori diatas yang melatarbelakangi kenapa
Jaksa/penuntut Umum menerapkan Pembuktian Terbalik terhadap
terdakwa Bahasyim Assiffie, karena selain pembuktian tindak pidana
pencucian uang yang sangat sulit juga merupakan suatu kegiatan yang
dapat berdampak sangat serius terhadap stabilitas sistem keuangan
maupun perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana pencucian uang
merupakan tindak pidana multidimensi dan bersifat transnasional yang
82 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta. Sinar Grafika. 2009. Halaman 273.
185
sering kali melibatkan jumlah uang yang cukup besar juga dapat
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia baru memandang praktek pencucian uang sebagai suatu
tindak pidana dan menetapkan sanksi bagi pelakunya adalah ketika
diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (UUPU),
kemudian pada tanggal 17 April 2002 diubah dengan UU No. 25 Tahun
2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pengertian pencucian uang (money laundering) adalah rangkaian kegiatan
yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi
terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan,
menyamarkan asal-usul uang haram dari pemerintah atau otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara
terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial
system), sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu
sebagai uang yang halal. Pasal 1 ayat 1 UU No 25 tahun 2003 berbunyi:
Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau diduga (seharusnya "patut
diduga") merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
186
menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah83.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
menyebutkan bahwa:
“Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah”.
Proses pencucian uang terdiri dari tiga tahap : placement, layering
dan integration.
a. Placement : Tahap pertama dari pencucian uang adalah
menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam
sistem keuangan (financial system). Tahap placement tersebut,
bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk
menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misal,
hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uang-uang
kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari narkobanya, lalu
dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar. Lalu di
depositokan kedalam rekerning bank, dan dibelikan ke instrument-
instrumen moneter seperti cheques, money orders dll.
83
http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/layanan-diklat/seputar-diklat/1402-
sejarah-tindak-pidana-pencuciaan-uang-di-indonesia di akses 10 Januari 2014
187
b. Layering : Layering atau heavy soaping, dalam tahap ini pencuci
berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu
dari sumbernya, dengan cara memindahkan uang tersebut dari satu
bank ke bank lain, hingga beberapa kali. Dengan cara memecah-
mecah jumlahnya, dana tersebut dapat disalurkan melalui
pembelian dan penjualan investment instrument Mengirimkan dari
perusahaan gadungan yang satu ke perusahaan gadungan yang lain.
Para pencuci uang juga melakukan dengan mendirikan perusahaan
fiktip, bisa membeli efek-efek atau alat-alat transfortasi seperti
pesawat, alat-alat berat dengan atas nama orang lain.
c. Integration : Integration adakalanya disebut spin dry dimana Uang
dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan
bersih bahkan merupakan objek pajak dengan menggunakan uang
yang telah menjadi halal untuk kegiatan bisnis melalui cara dengan
menginvestasikan dana tersebut kedalam real estate, barang
mewah, perusahaan-perusahaan84.
Berbagai upaya dalam memerangi kejahatan asal (Korupsi) dari
TPPU mengalami berbagai tantangan, menurut Bintoro Tjokroamidjojo85
hal ini disebabkan karena;
a. Persoalannya rumit;
b. Sulitnya menemukan bukti; dan
84http://mediatorinvestor.wordpress.com/artikel/mengenal-money-laundering-dan-tahap-
tahap-proses-pencucian-uang/ diakses pada tanggal 11 januari 2014. 85 http://www.rnplawfirm.com/?p=publication&id=8&title=azaz-pembuktian di akses 19
April 2013.
188
c. Adanya kekuatan yang justru menghalangi pembersihan itu.
Terlibatnya aparat penegak hukum dan pemangku jabatan publik,
menambah kekuatan yang menghambat penyelesaiannya masalah yang
ada.
Bahwa semua uang yang ditempatkan Terdakwa baik untuk
membuat dan mengisi Rekening masing masing di atas seluruhnya berasal
dari Terdakwa baik berupa uang USD maupun berupa uang rupiah. Baik
berupa setoran tunai maupun yang bersifat pemindahbukuan serta seluruh
tindakan mutasi uang dan pembelian rumah tersebut diduga dilakukan
Terdakwa dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan jabatannya
yang sejak 2002 Terdakwa menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor
Pemeriksaan dan Penyidikan pajak Jakarta tujuh, sejak tanggal 26 Juni
2006 Terdakwa menduduki jabatan baru sebagai Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Jakarta Koja, kemudian sejak tanggal 05 Juli 2007 Terdakwa
menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jakarta Palmerah, dan sejak 2008 Terdakwa menduduki Jabatan sebagai
Inspektur Bidang Kinerja Kelembagaan, Kementerian Negara
PPN/Bappenas sampai tanggal 30 Maret 2010, karena dalam kurun waktu
antara tahun 2004 sampai dengan sekitar bulan Maret 2010, secara formil
Terdakwa tidak memiliki usaha yang dapat menghasilkan keuntungan
dengan nilai yang relatif besar, karena Terdakwa hanya bekerja sebagai
189
PNS dengan penghasilan yang diperkirakan setiap bulan sebesar
Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
Masalah lainnya berawal dari penuntutan yang ternyata tidak
sederhana, pertama berkenaan bahwa tindak pidana pencucian uang
merupakan kejahatan lanjutan (follow up crimes) sehingga pada
permasalahan lain, yaitu bagaimana core crime atau predicate offence-nya
(kejahatan utamanya). Apakah harus dibuktikan keduanya atau cukup
pencucian uangnya saja tanpa terlebih dahulu membuktikan core crime
atau predicate offence-nya. Berdasarkan amanat undang-undang, maka
predicate offence-nya tidak perlu dibuktikan, artinya cukup menggunakan
bukti petunjuk saja. Sebagai konsekuensinya, maka dakwaan harus
disusun secara kumulatif bukan alternatif karena antara predicate offence
dan pencucian uang adalah dua kejahatan yang walaupun perbuatan
pencucian uang selalu harus dikaitkan dengan predicate offence-nya,
pencucian uang adalah kejahatan yang berdiri sendiri (as a separate
crime). Dengan demikian, dalam mendakwa tindak pidana pencucian
uang, misalnya berkaitan dengan dakwaan Pasal 3, maka predicate offence
dan follow up crime-nya didakwa sekaligus. Namun, adakalanya terhadap
tiga dakwaan bisa saja tunggal, yaitu ketika seseorang melakukan proses
pencucian uang atas hasil kejahatan dimana pelaku tidak terlibat langsung
dengan kejahatan. Untuk pelaku ini tidak harus dilakukan
pertanggungjawaban predicate offence-nya, tetapi hanya tindak pidana
pencucian uangnya.
190
Sama halnya dengan pendapat ahli didalam putusan Mahkamah
Agung No. 1454 K/PID.SUS/2011, yaitu AHLI DR. YENTI GARNASIH,
SH.MH. di bawah sumpah memberikan pendapat sebagai berikut :
“Bahwa ahli menerangkan terhadap perbuatan yang merupakan tindak pidana pencucian uang artinya ada 2 (dua) kejahatan yakni kejahatan pertama dan kejahatan kedua yang bila dibagi akan terdiri dari kejahatan pertama dan kejahatan pencucian uang.”
AHLI DR. RUDY SATRIO MUKANTARDJO, SH.MH. di bawah
sumpah memberikan pendapat sebagai berikut :
“Bila tidak diketahui atau tidak bisa dibuktikan sebagai hasil kejahatan, maka tidak ada predicate crime.”
AHLI SUBINTORO, SH.MH. di bawah sumpah memberikan
pendapat sebagai berikut :
“Terhadap tindak pidana terjadi pada yurisdiksi harus dibuktikan secara bersama-sama, maksudnya adalah pembuatan surat dakwaan atau kontruksi surat dakwaan harus dibuat secara kumulatif antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang, keduanya harus dibuktikan secara bersama–sama dalam persidangan.”
AHLI DR. DIAN ADRIAWAN, SH.MH. di bawah sumpah
memberikan pendapat sebagai berikut :
“Secara normatif harus ditentukan lebih dahulu apakah perbuatan money loundring perlu dibuktikan lebih dahulu predicate crimenya
sebagai sarana utama mendakwa seseorang dalam kasus tindak pidana pencucian uang”.
AHLI PROF. DR. ANDI HAMZAH, SH. di bawah sumpah
memberikan pendapat sebagai berikut :
191
“Bahwa untuk Tindak Pidana Pencucian Uang intinya harus ada tindak pidana asalnya dulu dan tindak pidana asalnya itu harus dibuktikan terlebih dahulu, kalau tidak dapat dibuktikan tindak pidana asalnya, maka berarti harus dikatakan/dinyatakan tidak ada pidana pencucian uang karena tindak pidana pencucian uang itu ada karena diawali dengan adanya tindak pidana asal. Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, dakwaannya harus dibuat dalam dakwaan Kesatu dan dakwaan Kedua, dakwaan Kesatunya misalnya korupsi dalam dakwaan keduanya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang dan jumlah harta kekayaan yang diduga hasil kejahatannya tersebut harus sama”.
Selain itu saksi kunci yang ada dalam perkara ini walau telah
berkali-kali dipanggil secara sah dan patut namun yang bersangkutan tetap
tidak dapat hadir di persidangan yang diberikan di Penyidik yang dimuat
di Berita Acara Penyidikan yang diberikan di bawah sumpah kemudian
dibacakan di persidangan. Itu semua dirasakan masih kurang cukup bukti
untuk mencari suatu kebenaran yang materill.
AHLI PROF. DR. ANDI HAMZAH, SH. di bawah sumpah
memberikan pendapat sebagai berikut :
“Bahwa saksi kunci yang ada dalam perkara ini walau telah berkali-kali secara sah dan patut namun yang bersangkutan tetap tidak dapat hadir di persidangan dengan alasan sakit kemudian keterangan saksi tersebut yang diberikan di Penyidik yang dimuat di Berita Acara Penyidikan yang diberikan di bawah sumpah kemudian dibacakan di persidangan dan Terdakwa maupun Penasehat Hukum Terdakwa keberatan, sebenarnya keterangannya adalah tidak mempunyai kekuatan pembuktian.”
Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan pembuktian unsur
subjektif (mens rea) dan unsur objektif (actus reus). Mens rea yang harus
dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui) atau reason to know (patut
menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan
192
dengan unsur terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan
transaksi. Untuk membuktikan unsur mengetahui tentunya sudah jelas
bahwa pelaku harus memenuhi knowingly dan wingly. Selanjutnya,
berkenaan pembuktian unsur patut menduga maka hal ini persis yang
tertera dalam pembuktian Pasal 480 KUHP yang menjelaskan adanya
unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja setengah
lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended, yaitu bermaksud
untuk menyembunyikan hasil kejahatan. Untuk pembuktian ini pun sulit.
Maka dari itu, apabila unsur sengaja dan mengetahui atau patut menduga
bahwa harta kekayaan berasal dari kejahatan, dengan sendirinya unsur
intended terbukti86.
Agar mendapatkan kebenaran materill yang senyatanya maka
diterapkanlah oleh Jaksa/Penuntut Umum pembuktian terbalik, yang diatur
dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang yang menyatakan :
“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan, Terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”
Pembebanan pembuktian berimbang dikenal dengan sistem
pembuktian terbalik (onus of proof), disebut pembuktian terbalik karena
pada sistem pembuktian biasa, yang berkewajiban membuktikan kebenaran
dari dakwaan yang disusun penuntut umum adalah penuntut umum itu
86 Adrian Sutedi. Op. cit. Halaman 213-214.
193
sendiri. Meskipun terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa
dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi87. Menurut Andi Hamzah
istilah sistem pembuktian terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai
bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah-satu
solusi pemberantasan korupsi. Menurut Akhil Mochtar istilah ini
sebenarnya kurang tepat apabila dilakukan dengan pendekatan gramatikal88.
Dalam hal ini saya lebih sependapat dengan Andi Hamzah, yang lebih
memakai istilah “sistem pembuktian terbalik”, karena telah dikenal oleh
masyarakat luas sebagai bahasa yang dapat dengan mudah dicerna dan bisa
cepat untuk dilaksanakan, sebab yang terpenting adalah arti dari sebuah
tujuan kata tersebut, bukan sebagai suatu istilah saja yang harus
diperdebatkan.
Bahwa dalam proses persidangan Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie
juga telah melakukan pembuktian terbalik untuk membuktikan mengenai
asal usul perolehan uang yang dimiliknya sebesar Rp. 60.992.238.206,-
(enam puluh milyar Sembilan ratus sembilan puluh dua juta dua ratus tiga
puluh delapan ribu dua ratus enam rupiah) dan USD 681,147.37 (enam
ratus delapan puluh satu ribu seratus empat puluh tujuh Dollar Amerika
Serikat tiga puluh tujuh sen), yaitu sebagaimana dibuktikan oleh bukti T-
1A (surat dari Ibu Aidah Tirtayasa), bukti T–A (Affidavit dari Leopoldo P.
Narra), bukti T-4A (Affidavit 2 dari Zhu Yaozong), bukti T-5A (Affidavit 3
87 Abdul Latief. Tindak Pidana Korupsi dan Problematikanya Dalam Praktik Penerapan
Hukum. Majalah Hukum VARIA PERADILAN. Tahun XXVIII No. 324 November 2012. Jakarta pusat : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Halaman 40.
88 M. Akil Mochtar. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2009. Halaman 129.
194
dari Lu Jiahan), bukti T-6A (volume transaksi menurut versi Jaksa), bukti
T-6B (Bukti-bukti pendukung periode tahun 2004 –2010 oleh Akuntan
Independen Achmad Rasyid, Hisbullah dan Jerry yang diambil dari
Rekening Koran Terdakwa), bukti T-6C (Laporan Akuntan Independen),
bukti T-7A (Buku Bank Keluarga, IDR Periode Tahun 2004 –2010), bukti
T-7B (Buku kas dan setara kas keluarga, IDR Periode 2004 –2010), bukti
T–C (Buku Bank Keluarga, USD $ Periode Tahun 2004-2010), bukti T-7D
(Buku Kas dan setara kas keluarga, USD $ Periode Tahun 2004 – 2010).
Pada tahap persidangan pembuktian terbalik dapat diterapkan,
tepatnya pada proses pembuktian yaitu pada saat keterangan dari
terdakwa, dan hanya menyangkut harta dari terdakwa tidak ada kaitannya
dengan pelaku yang menyebabkan pelanggaran terhadap asas praduga
bersalah nantinya. Dalam perkara putusan No. 1454 K/PID.SUS/2011
penuntut umum menerapkan pembuktian terbalik dengan berlandaskan
pada Pasal 35 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang No. 25
Tahun 2003.
Sehingga terdakwa diwajibkan untuk membuktikan asal usul harta
kekayaan yang dimilikinya. Fakta yang terjadi di persidangan bahwa
Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie telah membuktikan di persidangan bahwa
Dr. Bahasyim Assifie memliki uang tunai sejumlah sebesar Rp.
60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 bukan merupakan hasil tindak
pidana dengan pembuktian yang sudah disampaikan di persidangan dan
selama proses pembuktian di persidangan Jaksa/Penuntut Umum tidak
195
dapat membuktikan sebaliknya selain daripada apa yang diungkapkan oleh
keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti yang telah kami ajukan dalam
pemeriksaan di persidangan. Sehingga dari seluruh harta kekayaan milik
terdakwa hanya sebagian yang dirampas oleh negara karena terdakwa
tidak bisa membuktikan bahwa uang sebesar Rp 1 miliar yang diperoleh
terdakwa dari saksi kartini mulyadi bukan dari tindak pidana namun
terdakwa tidak bisa membuktikan kalau uang tersebut bukan hasil pinjam
modal, sehingga untuk keseluruhannya hanya sekitar senilai Rp 60,9
miliar ditambah 681.147 dollar AS dirampas untuk negara karena terbukti
merupakan hasil tindak pidana korupsi, dengan rincian sebagai berikut :
a. Barang bukti uang tunai senilai Rp. 64.647.547,- (enam puluh empat
juta enam ratus empat puluh tujuh lima ratus empat puluh tujuh rupiah)
yang semula berada di Rekening No. 0356082561 atas nama WINDA
ARUMHAPSARI.
b. Uang tunai senilai Rp.22.713.829,- yang semula berada pada Rekening
Bank BCA No. 4552061211 atas nama WINDA ARUM HAPSARI.
c. Uang tunai senilai Rp. 80.422.943,- yang semula berada pada
Rekening Bank BCA No. 5750188119 atas nama WINDA ARUM
HAPSARI.
d. Uang tunai sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) yang
merupakan bagian dari uang sebesar Rp.41.740.558.611,- (empat
puluh satu milyar tujuh ratus empat puluh juta lima ratus lima puluh
196
delapan ribu enam ratus sebelas rupiah) yang semula berada pada
Rekening Bank BNI.
e. Uang tunai senilai Rp.17.675.783.637,- yang semula berada pada
Rekening Bank BNI No. 73710437 atas nama WINDA ARUM
HAPSARI.
f. Uang tunai senilai Rp.41.740.558.611,- yang semula berada pada
Rekening Bank BNI No. 199963416 atas nama SRI PURWANTI
(bukti No. 67) dikurangi Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
g. Uang tunai senilai USD 681.147,37 yang semula berada pada
Rekening Bank BNI No. 23924200 atas nama SRI PURWANTI.
h. Uang tunai senilai Rp.5.679.763,- yang semula berada pada Rekening
Bank BNI No.141807604 atas nama WINDA ARUM HAPSARI.
i. Uang tunai senilai Rp.6.557.920,- yang semula berada pada Rekening
Bank BNI No.141800018 atas nama SRI PURWANTI.
j. Uang tunai senilai Rp.217.530.156,- yang semula berada pada
Rekening Bank BNI No. 153425733 atas nama RIANDINI RESANTI.
k. Uang tunai senilai Rp.1.178.343.800,- yang semula berada pada
Rekening Bank BNI No. 154444859 atas nama RIANDINI RESANTI.
Dalam hal ini/dalam perkara putusan Mahkamah Agung No. 1454
K/PID.SUS/2011 hakim menyetujui pembuktian terbalik karena
Jaksa/penuntut umum telah mendakwa/menerapkan pembuktian terbalik,
selain itu untuk lebih memperkuat dan didapatkan putusan yang adil
seadil-adilnya.
197
Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana dikenal dengan
sistem “negatif” (negatif wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh
hukum adalah kebenaran materill. Sistem negatif adalah suatu sistem
pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh
hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu alat bukti yang cukup
dan keyakinan hakim.
Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana
pencucian uang, peran hakim sangat menentukan untuk tujuan
pemberantasan kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang
didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit
karena harus membuktikan kejahatan sekaligus. Profesionalitas hakim
sangat diperlukan untuk mengikuti semua sistem acara peradilan yang
banyak menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya adanya
perlindungan saksi dan adanya praktik acara pembalikan beban
pembuktian atau yang kita kenal dengan nama pembuktian terbalik.
Undang-undang tindak pidana pencucian uang belum mengatur
secara rinci tentang acara pemeriksaan persidangan khususnya untuk
pembalikan beban pembuktian ini, tetapi pada masa depan hal ini harus
dilakukan. Pada dasarnya pembalikan beban pembuktian ini melanggar
prinsip nonself incrimination dan penerapannya terbatas pada tahap
persidangan.
Hakim menerapkan pembuktian terbalik berdasarkan pada berbagai
pertimbangan tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) apakah
198
predicate crime perlu dibuktikan lebih dulu dengan menggunakan
pendekatan normatif maka sesuai dengan penjelasan Pasal 3 Undang-
Undang No. 15 Tahun 2002 jo. No. 25 Tahun 2003 dan dalam praktek
peradilan pada dasarnya predicate crime dibuktikan lebih dahulu.
Dalam kasus Terdakwa a quo tidak perlu surat dakwaan disusun
secara alternatif dan kumulatif dapat dibuktikan secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri sesuai dengan rumusan susunan dakwaan.
Hal mana dapat dibuktikan bahwa seandainya predicate crime
tidak terbukti sekalipun, maka Tindak Pidana Pencucian Uang tetap dapat
diperiksa dan dibuktikan di persidangan, lagi pula Terdakwa dapat
menggunakan pembuktian terbalik terhadap dakwaan Korupsi maupun
Pencucian Uang khususnya dalam konteks ”Perampasan Harta Kekayaan”.
Dengan Cara Terdakwa dapat membuktikan bahwa harta benda yang disita
bukanlah hasil kejahatan. Pembuktian terbalik dapat dilakukan oleh
Terdakwa saat mengajukan pledoi maupun saat diajukan risalah banding
maupun risalah kasasi. Namun ternyata Terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa harta kekayaan yang disita bukanlah hasil dari
korupsi.
Pembuktian terbalik dapat diterapkan asal tidak bertentangan
dengan asas praduga tidak bersalah, hanya diterapkan terhadap harta
kekayaan seseorang dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Suatu
upaya cepat telah dilakukan pemerintah dengan mengundangkan Undang-
undang Nomor 15 tahun 2002 yang di sempurnakan menjadi Undang-
199
undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
saat ini diubah menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dibentuknya Undang-undang Pencucian Uang, merupakan sebuah bentuk
komitmen dan political will negara Indonesia untuk memerangi
permasalahan pencucian uang. Konsep yang revolusioner dituangkan
dalam peraturan ini adalah dipergunakannya beban pembuktian terbalik
(Omkering van het Bewijslat). Memberi hak terdakwa untuk menjelaskan
dan membantu mempermudah proses persidangan atas dakwaan yang
sebelumnya telah ditelusuri oleh Jaksa Penuntut Umum. Pembuktian
terbalik mengandung konsep bewijslast atau burden of proof atau
pembagian beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk
membuktikan suatu peristiwa hukum. Dalam praktik, baik jaksa penuntut
umum maupun terdakwa atau penasihat hukumnya saling membuktikan di
persidangan atau pengadilan dinamakan asas pembalikan beban
pembuktian “berimbang”. Seperti dikenal di Amerika serikat dan juga di
Indonesia.
Dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, ditegaskan bahwa di sidang pengadilan
terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana. Perkataan wajib bagi terdakwa untuk
membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana
mengandung pengertian bahwa dalam undang-undang ini dianut sistem
200
pembuktian terbalik. Akan tetapi, dalam penjelasan pasal tersebut
dinyatakan bahwa terdakwa “diberi kesempatan” untuk membuktikan
harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
pembuktian terbalik termaktub di dalam Pasal 77 dan 78 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 77 :
“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”
Pasal 78 :
“(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).” “(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.” Aturan itulah yang memberi hak kepada terdakwa untuk
menjelaskan tuduhan yang disematkan padanya. Undang-undang ini
dikatakan bertentangan dengan Pasal 66 KUHAP yang mengatur bahwa
jaksa menjadi satu-satunya yang diberi kewaijban dalam pembuktian.
Namun apabila digali lebih dalam, asas lex specialis derogate legi
201
generalis dapat menjawab anggapan ini. Bahwa Undang-undang Tindak
Pidana Pencucian Uang adalah bersifat khusus yang akan
mengesampingkan KUHAP yang bersifat umum, dasar hukumnya adalah
Pasal 103 KUHP. Selain itu hal ini merupakan salah satu sarana yang
dapat ditempuh untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di
Indonesia.
Jadi di sini hanya dengan adanya keyakinan hakim sudah cukup
untuk menyatakan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal
ini sama dengan sistem dalam teori pembuktian conviction intime
(pembuktian berdasar keyakinan hakim semata) yang telah dijelaskan di
atas.
Apabila pembuktian terbalik sudah diterapkan oleh Jaksa/Penuntut
Umum, selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sikap hakim
apabila ide tentang bukti pendukung (circumstancial evidence) akan
diterapkan. Pemikiran tentang pembuktian unsur (intended), yaitu dengan
maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil
kejahatan dan seterusnya, yang harus dianggap terbukti sepanjang semua
unsur di depannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharusnya
melakukan lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa
unsur intended pasti terbukti. Dalam hal ini berlaku suatu logika hukum,
yaitu dimana terdakwa yang telah terbukti sengaja melakukan transfer
misalnya dan kemudian dia juga terbukti mengetahui atau paling tidak
patut menduga bahwa harta kekayaan yang ditransfer berasal dari
202
kejahatan, maka seharusnya dapat disimpulkan tujuan transfer tersebut
untuk hal yang tidak baik, yaitu menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul hasil kekayaan. Terhadap ide hakim ini harus benar-benar harus
mempunyai keberanian yang dilandasi keyakinannya atau logika hukum
yang ditawarkan tersebut, sangat diperlukan wawasan yang luas terutama
dan mempelajari teori pembuktian yang telah dilakukan di berbagai negara
yang telah banyak pengalaman dalam pengungkapan perkara pencucian
uang di pengadilan.
Dalam memeriksa perkara, Hakim berdasarkan pada Surat Dakwaan
Penuntut Umum. Selama Penuntut Umum tidak mendakwakan hal yang
berkaitan dengan pembuktian terbalik maka Majelis Hakim tidak ada
dasarnya untuk melakukan pembuktian terbalik.
Penerapan pembuktian terbalik di Indonesia khususnya dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang sangatlah tepat, berbagai pertentangan
dengan asas, peraturan, doktrin dan lain sebagainya tidaklah menjadi
penghambat pemberlakuan pembuktian terbalik. Pertentangan yang hanya
disandarkan atas pemikiran positivis law janganlah menjadi penghambat
pemberlakuan pembuktian terbalik. Pemikiran harus dirubah dengan
melihat kebutuhan bangsa saat ini, bahwa pembuktian terbalik dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan hal yang revolusioner
progresif dan memerlukan dukungan bersama dalam pelaksanaannya.
203
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sudah mengeluarkan 12
Inpres mengenai penanganan kasus mafia pajak dan mafia hukum. Di
point 5 instruksi itu tertulis :
“Melakukan metode pembuktian terbalik untuk efektifitas penegakan hukum sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku.”
Agar lebih memperjelas lagi terkait penerapan pembuktian terbalik
berimbang dalam perkara pencucian uang khususnya dalam No. 1454
K/PID.SUS/2011 akan digmbarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Bagan 2.
Penerapan Pembuktian Terbalik Berimbang Dalam Perkara Pidana
Pencucian Uang.
Pelanggaran Hak
Asasi Manusia
Terhadap
Kesalahan Pelaku Terhadap Harta
Kekayaan
Penuntut
Umum Pembuktian
Terbalik
Terdakwa
Presumption
(Dugaan)
Tidak Melanggar
Hak Asasi
Manusia
Asset Recovery
204
Dari kasus tersebut, konsekuensi logis beban pembuktian terbalik
ini tidak bersinggungan dengan pelanggaran hak asasi manusia, ketentuan
hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas
tidak mempersalahkan diri sendiri (non-self incrimination), asas hak untuk
diam (right to remain silent), hukum pidana materiil serta instrumen
hukum Internasional. Hal ini dikarenakan beban pembuktian terbalik
hanya dapat dilakukan terhadap harta kekayaan pelaku tindak pidana
pencucian uang Sehingga titik beratnya hanya pada pengembalian harta
negara.
Karena itu, sudah saatnya pengadilan mengunakan asas beban
pembuktian terbalik kepada para tersangka tindak pidana pencucian uang.
Penerapan asas tersebut akan membuktikan bahwa harta kekayaan
tersangka benar-benar merupakan hasil tindak pidana atau sebaliknya.
Beban pembuktian terbalik secara berimbang yang menjadi muatan utama
konsep di Indonesia merupakan salah satu jalan terbaik untuk mengikis
pergesekan pertentangan. Sekaligus menjawab atas permasalahan
mengakar dalam kejahatan asal Tindak Pidana Pencucian Uang yang tidak
kunjung menempati titik terbaik dalam sejarah bangsa.
Disebut sebagai pembuktian terbalik yang berimbang, karena
meskipun kepada terdakwa tindak pidana korupsi diberi hak untuk
membuktikan bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi, dan
diberi kewajiban untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap
205
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara
yang didakwakan, penuntut umum komisi Pemberantasan Korupsi masih
mempunyai kewajiban untuk membuktikan dakwaannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
200189.
Pembebanan pembuktian semi terbalik (seimbang) atau
pembuktian terbalik berimbang adalah beban pembuktian diletakan baik
terhadap terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara berimbang
terhadap objek pembuktian yang berbeda secara berlawanan90
.
Menurut Lilik Mulyadi, beban pembuktian, bila dilihat dari tolak
ukur jaksa penuntut umum dan terdakwa, dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, sistem beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”, yakni
jaksa penuntut umum yang mebuktikan kesalahan terdakwa. Kedua, teori
pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi menjadi
teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat absolut dan teori
pembalikan pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang.
Bahwa dianutnya pembalikan beban pembuktian secara murni
menyebabkan beralihnya asas praduga tidakk bersalah menjadi asas
praduga bersalah, padahal praduga bersalah relatif cenderung dianggap
sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas
89 Helmi Permono. NPM : 0671010062. 2010. Skripsi “PROBLEMATIKA ASAS
PEMBUKTIAN TERBALIK ATAS KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (Suatu Kajian Empiris Di Pengadilan Negeri Surabaya)”. Fakultas Hukum UPN “ Veteran ’’ Jawa
Timur SURABAYA. Halaman 20. 90 Ibid. Supriyadi widodo eddyono. Dalam Jurnal LEGISLASI INDONESIA. Hal. 270.
206
praduga tidak bersalah91. Maka dari itu pembuktian yang bersifat terbatas
dan berimbanglah yang seharusnya diterapkan sesuai parameter hukum
pembuktian Bewijslast atau burden of proof yaitu pembagian beban
pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
suatu peristiwa hukum. Dalam praktik, baik jaksa penuntut umum maupun
terdakwa atau penasihat hukumnya saling membuktikan di persidangan
atau pengadilan dinamakan asas pembalikan beban pembuktian
“berimbang”. Seperti dikenal di Amerika serikat dan juga di Indonesia.
Menurut M Yahya Harahap, Untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara
negatif, terdapat dua komponen 92:
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang
b. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Adami Chazawi yang mengatakan:
“Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan Terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-
91 Lilik Mulyadi. Op. Cit. Halaman 104-105. 92 M. Yahya Harahap. 2009. Op. Cit. hal. 279.
207
alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri.”93
Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
didalamnya terkandung dua hal, yakni :
1. Batas minimum pembuktian
Terdakwa dinyatakan bersalah apabila telah memenuhi dua alat
bukti yang sah dan baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup.
Dalam hal ini alat bukti yang sah didefinisikan sebagai alat bukti yang
tercantum di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Mahkamah Agung No. 1454
K/PID.SUS/2011 telah diajukan alat bukti yaitu keterangan saksi (Yanti
Purnamasari, SE.MM., SUYANTO, SE.) keterangan ahli (DR. YENTI
GARNASIH, SH.MH., DR. RUDY SATRIO MUKANTARDJO,
SH.MH., SUBINTORO, SH.MH., SUYANTO, DR. DIAN
ADRIAWAN, SH.MH., PROF. DR. ANDI HAMZAH, SH.), alat bukti
surat, alat bukti petunjuk dan keterangan Terdakwa Drs. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. Dengan demikian pembuktian tersebut telah memenuhi
batas minimum pembuktian.
93 Adami Chazawi. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : P.T Alumni.
2008. hlm 26.
208
2. Asas keyakinan hakim
Menurut Lilik Mulyadi94, Asas keyakinan hakim harus melekat
pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang
dianut Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
merumuskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.” adalah
pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya di samping
dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka
dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan hakim
memperoleh “keyakinan” bahwa tindak pidana tersebut memang benar-
benar terjadi dan bahwa Terdakwa telah bersalah mealakukan tindak
pidana tersebut.
Dengan diajukannya alat bukti berupa saksi (Yanti Purnamasari,
SE.MM., SUYANTO, SE.) keterangan ahli (DR. YENTI GARNASIH,
SH.MH., DR. RUDY SATRIO MUKANTARDJO, SH.MH.,
SUBINTORO, SH.MH., SUYANTO, DR. DIAN ADRIAWAN,
SH.MH., PROF. DR. ANDI HAMZAH, SH.), alat bukti surat, alat
bukti petunjuk dan keterangan Terdakwa Drs. BAHASYIM ASSIFIE,
M.Si. berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1454
94 Mulyadi. Lilik. Op. Cit. hal : 199.
209
K/PID.SUS/2011 hakim telah mendapatkan keyakinan dengan adanya
kalimat dalam Amar Putusan berupa: Menyatakan Terdakwa Drs.
BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin KHALIL SARINOTO terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang.
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut dengan
pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana
denda tersebut tidak dibayar, maka kepada Terdakwa dikenakan pidana
pengganti berupa pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Dengan melihat penjelasan di atas, maka berdasarkan hasil
penelitian terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1454
K/PID.SUS/201, hakim dalam menjatuhkan putusan atas suatu tindak
pidana yang didakwakan kepada Terdakwa telah memenuhi asas
minimal pembuktian yang sah di persidangan dan hakim telah
memperoleh keyakinan atas kesalahan Terdakwa dan bahwa
Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini menjelaskan bahwa
sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang
diterapkan terhadap kasus tindak pidana pencucian uang dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 1454 K/PID.SUS/2011 dengan alat bukti berupa
keterangan saksi, keterangan ahli, sutar, petunjuk dan keterangan
Terdakwa yang diajukan di persidangan serta diterapkannya suatu asas
yang baru yaitu pembuktian terbalik berimbang. Majelis hakim
menerapkan pembuktian terbalik pada tahap pemeriksaan saksi yang
210
meringankan atau pada saat pemriksaan keterangan dari terdakwa di
persidangan.
211
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan
Mahkamah Agung No. 1454 K/PID.SUS/2011, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Jaksa/penuntut Umum menerapkan Pembuktian Terbalik karena ;
a. Sebelum persidangan jaksa/penuntut umum harus membuktikan
dulu bahwa asas praduga tidak bersalah tidak terlanggar, sehingga
penuntut umum yakin bahwa harta kekayaannya itu berasal dari
tindak pidana. Dengan demikian jaksa/penuntut umum patut
menduga bahwa harta kekayaan terdakwa merupakan hasil tindak
pidana. Mengingat sejak sebelum tahun 2002 Terdakwa memiliki
uang sebesar Rp. 30.000.000.000,- (tiga puluh milyar rupiah),
padahal dari tahun 2004 sampai dengan sekitar bulan Maret 2010,
secara formil Terdakwa tidak memiliki usaha yang dapat
menghasilkan keuntungan dengan nilai yang relatif besar, karena
Terdakwa hanya bekerja sebagai PNS dengan penghasilan yang
diperkirakan setiap bulan sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta
rupiah).
b. Untuk adanya pengembalian asset dari hasil predicate crime.
c. Masih minimnya kemampuan jaksa dalam membuktikan hasil
kekayaan yang diperoleh dari suatu tindak pidana.
212
d. Untuk menjunjung tinggi asas peradilan cepat.
2. Pembuktian terbalik diterapkan pada proses pembuktian di dalam
persidangan bukan pada tingkat penyidikan yaitu pada saat keterangan
dari Terdakwa dan hanya menyangkut harta kekayaan dari terdakwa
tidak ada kaitannya dengan pelaku. Jaksa meminta pada hakim untuk
untuk menerapkan pembuktian terbalik, apabila hakim menyetujui
maka jaksa harus membuktikannya dan terdakwapun diharuskan
membuktikan sebaliknya. Fakta yang terjadi di persidangan bahwa
Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie telah membuktikan memliki uang tunai
sebesar Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 bukan merupakan
hasil tindak pidana dan selama proses pembuktian di persidangan
Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan sebaliknya.
B. Saran
1. Adanya pelatihan khusus untuk Jaksa/penuntut umum, sehingga
menguasai dengan mahir cara menerapkan pembuktian terbalik dalam
tindak pidana pencucian uang serta harus lebih berani dan yakin
didalam menerapkannya.
2. Sesama penegak hukum harus adanya persamaan persepsi dalam
menerapkan dan melaksanakan pembuktian terbalik, sehingga dapat
diterapkan untuk semua hasil tindak pidana pencucian uang.
213
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Abdoel, R. Djamali. 2010. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Arief, Barda Nawawi. 2008. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.
Arrasjid, A. Chanur. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
Asikin, Zainal dan Amiruddin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Cansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Chazawi, Adami. 2011. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia. Malang.
Dharmawan, Rus. 2010.Kata Bijak Yang Menyihir. Bantul: Kreasi Wacana.
Effendi, Marwan. 2005. Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum
Pidana. Jakarta: CV. Sumber Ilmu Jaya.
Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI.
Hamzah, A. dan Dahlan, Irdan. 1987. Upaya hukum Dalam Perkara Pidana. Jakarta: PT Bina Aksara.
Hamzah, Andi. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
-------. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harahap, M. Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika.
-------. 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta. Sinar Grafika.
-------. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Jilid I, Penerbit Pustaka Kartini.
Hiariej, Eddy O. S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: erlangga.
214
Ibrahim, Johny. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media.
Irman. 2006. Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering) . Bandung: MQS Publishing.
Kelsen, Hans. 2011. Teori Hukum Murni (Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif).
Bandung: Nusa Media.
Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam
Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencara Media Group.Masriani,
Mochtar, M. Akil. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum (suatu pengantar). Yogyakarta: Liberty.
Mulyadi, Lilik. 2007. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Alumni Bandung.
-------. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana (Perspektif, Teoritis dan Praktik).
Bandung: PT Alumni Bandung.
Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia. Jakarta. Media Prima Aksara.
Prinst, Darwan. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan.
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001.Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik
Korupsi. Bandung: Mandar Maju.
Rosita, Lily dan Sasangka, Hari. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Saleh, Wantjik. 1983. Tindak Pidana Korupsi Dan Suap. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sjahdeini, Sutan Remy. 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan
Pembiayaan Terorisme. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Subekti. 1987. Hukum Pembuktian. PT. Pradnya Paramitra.
Sutedi, Adrian. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
215
Syamsuddin, Aziz. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.
Tim Pengajar. 2010. Pengantar Ilmu Hukum. Purwokerto: Unsoed.
Yulies Tiana. 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
-------, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
-------,Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
-------, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
-------, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
JURNAL/MAKALAH :
Kurniawan, Iwan. Volume 3 No. 1. Dalam Jurnal Hukum. PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DAN DAMPAKNYA TERHADAP SEKTOR EKONOMI DAN BISNIS. Jalan Bariang, Anduring, Padang.
Latief, Abdul. Tindak Pidana Korupsi dan Problematikanya Dalam Praktik Penerapan Hukum. Majalah Hukum VARIA PERADILAN. Tahun XXVIII No. 324 November 2012. Jakarta pusat : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).
Pandharum, Sandya Pawestri. 2013. “Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Gratifikasi (Studi Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya)”. Jurnal Ilmiah Malang : Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya.
Widodo, eddyono supriyadi. PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK DAN TANTANGANNYA. Jurnal LEGISLASI INDONESIA. Vol. 8 No. 2 – Juni 2011. Jakarta Selatan: Penerbit Direktorat Jenderal peraturan perundang-undangan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
216
Wiriadinata, Wahyu. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jurnal
Konstitusi. Vol. 9 no. 2 issn 1829-7706 Juni 2012. Jl. Idi Adimaja I No. 1 Bandung, Indonesia. Mahkamah Konstitusi republik Indonesia
Wulansari, eka martiana. PENGEMBALIAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Jurnal
LEGISLASI INDONESIA. Vol. 8 No. 2 – Juni 2011. Jakarta Selatan: Penerbit Direktorat Jenderal peraturan perundang-undangan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
SUMBER LAIN :
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1454 K/PID.SUS/2011.
http://signnet.blogspot.com/2008/04/pembuktian-terbalik-solusi.html diakses 19
April 2013.
http://mediatorinvestor.wordpress.com/artikel/mengenal-money-laundering-dan-
tahap-tahap-proses-pencucian-uang/ diakses pada tanggal 11 Januari
2014.
http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/layanan-diklat/seputar-
diklat/1402-sejarah-tindak-pidana-pencuciaan-uang-di-indonesia di
akses pada tanggal 10 Januari 2014.
http://www.transparansi.or.id/artikel/menjerat-koruptor-dengan-asas-
pembuktian-terbalik di akses pada tanggal 28 Februari 2011.
MULYADI, LILIK. POLITIK HUKUM KEBIJAKAN LEGISLASI PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN TERHADAP KESALAHAN DAN HARTA KEKAYAAN PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. http://halamanhukum.blogspot.com/2009/08/artikel-6.html diakses pada tanggal 10 Januari 2014.
Sangatta. 2013. Hukum Acara Pidana. http://statushukum.com/hukum-acara-
pidana.html, diakses pada tanggal 7 Mei 2013.