pemerintah daerah naskah akademik kabupaten...

132
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN SUKABUMI TAHUN 2018 PEMERINTAH DAERAH KOTA SUKABUMI KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH DAERAH KOTA SUKABUMI DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG

Upload: dotu

Post on 05-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN BOGOR

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

SUKABUMI TAHUN 2018

PEMERINTAH DAERAH KOTA SUKABUMI

KERJASAMA ANTARA

PEMERINTAH DAERAH

KOTA SUKABUMI

DENGAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KATOLIK

PARAHYANGAN

BANDUNG

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya

penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Sukabumi

tentang Penanggulangan Kemiskinan yang selanjutnya disebut Raperda.

Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya

mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia (UUD) 1945 berikut Amandemennya. Sila kelima Pancasila

menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam

pengertian “negara”, termasuk di dalamnya daerah (dan Pemerintah Daerah).

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan

bahwa ada warga masyarakat yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya

secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya,

masih ada warga masyarakat yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi

sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Pasal 34 ayat (1) UUUD 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk

memelihara fakir miskin dan anak terlantar yang dilaksanakan dalam bentuk

memberikan menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga masyarakat

yang miskin dan tidak mampu. Dalam menggulangi kemiskinan, diperlukan peran

masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi

keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,

organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial asing demi

terselenggaranya penanggulangan kemiskinan yang terarah, terpadu dan

berkelanjutan. Hal ini untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar

warganegara, serta untuk menghadapi tantangan dan perkembangan

kesejahteraan sosial di tingkat lokal, nasional dan global, sehingga

2

penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat memberikan keadilan sosial bagi

masyarakat untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat.

Berdasarkan hal tersebut, untuk memberikan landasan dan kepastian

hukum kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan penggulangan

kemiskinan di Kota Sukabumi yang diamanatkan oleh Pancasilan dan UUD 1945

tersebut, dan sekaligus the ultimate goal bernegara, perlu dibentuk Raperda

tentang Penggulangan Kemiskinan.

Sesuai ketentuan dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 67 dan

Pasal 69 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, serta Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota disertai dengan

penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Oleh karena itu, dalam

rangka penyusunan Raperda yang mengatur Penanggulangan kemiskinan, maka

disusun Naskah Akademik Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan.

Naskah Akademik ini terdiri dari Bab I Pendahuluan; Bab II Kajian Teoritis

dan Praktik Empiris; Bab III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan

Terkait; Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis; Bab V Jangkauan, Arah

Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah; dan Bab VI

Penutup yang memuat Kesimpulan dan Saran, serta pada Lampiran dimuat draft

Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan.

Naskah Akademik ini merupakan acuan dan pedoman dalam penyusunan

dan pembahasan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan.

Bandung, Maret 2018

TIM PENYUSUN

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................

1

DAFTAR ISI ........................................................................................................................

3

BAB I PENDAHULUAN

..................................................................................................

5

1.1. Latar Belakang .......................................................................................

5

1.2. Identifikasi Masalah ............................................................................... 10

1.3. Tujuan dan Kegunaan ............................................................................ 10

1.4. Metode Penelitian

...................................................................................

10

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ...........................................................

13

2.1. Kemiskinan ............................................................................................ 13

2.2. Pengelompokan Kemiskinan ....................................................................

16

2.3. Faktor Kemisikinan ................................................................................. 17

2.3.1. Pemenuhan Kebutuhan dan Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar Manusia ...................................................................................

17

2.3.2. Beban Kependudukan ............................................................... 33

2.3.3. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender ................................. 34

2.4. Diskursus Konsep Negara Hukum Kesejahteraan ...................................... 34

2.5. Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan ........................................ 45

2.5.1. Umum………………………………...................................................... 45

2.5.2. Politik Hukum Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia……………. 48

2.6. Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan ........ 55

2.7. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah .......................................... 56

2.8. Asas-asas dalam Penyusunan Peraturan Daerah ....................................... 59

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ............

61

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ............................................

87

4.1. Landasan Filosofis .................................................................................. 87

4.2. Landasan Sosiologis ............................................................................... 88

4.3. Landasan Yuridis ....................................................................................

88

4

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH.....................................................

89

5

BAB VI PENUTUP ..........................................................................................................

105

6.1. Kesimpulan ............................................................................................

105

6.2. Saran

....................................................................................................

105

DAFTAR PUSTAKA 107

Lampiran Rancangan Peraturan Daerah Kota SukABUMi tentang Penanggulangan Kemiskinan

6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Konsep negara hukum kesejahteraan (welfare state) merupakan derivasi

dari rechtsstaat dan rule of law. Pada dasarnya, negara hukum kesejahteraan

adalah negara, dimana pemerintah tidak hanya bertanggung jawab terhadap

pemeliharaan ketertiban dan ketentraman masyarakat, akan tetapi juga

bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat, dan tidak ada satu pun aspek

kehidupan masyarakat yang lepas dari campur tangan pemerintah. Hans Kelsen

bahkan menyebutkan bahwa negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu

tatanan hukum nasional, dan negara sebagai badan hukum adalah suatu

personifikasi dari komunitas atau personifikasi dari tatanan hukum nasional yang

membentuk komunitas.

Konsep negara hukum kesejahteraan adalah bentuk konkrit dari peralihan

prinsip pembatasan peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan

ekonomi dan sosial masyarakat yang melahirkan dalil “The least government is

the best government” dengan idiom “The state should interverne as little as

possible in people’s lives and businesses” menjadi prinsip yang menghendaki

peran aktif negara dan pemerintah dalam kehidupan ekonomi dan sosial

masyarakat sebagai langkah untuk mewujudkan kepentingan (kesejahteraan)

umum, disamping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde).

Konsep negara hukum kesejahteraan merupakan tipe negara campuran

antara individualisme dengan kolektivisme serta antara kebebasan dengan ikatan,

sehingga merupakan sinergitas antara pandangan hidup monodualis yang

memandang manusia tidak hanya sebagai individu akan tetapi juga anggota dari

kolektivitas, atau pandangan bahwa manusia tidak hanya sebagai alat dari

kepentingan, melainkan juga untuk tujuan dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan

pengertian negara hukum kesejahteraan menurut Piet Thoenes yang menyatakan

bahwa : “The welfare state is a form of society characterized by a system of

7

democratic, government sponsored welfare placed on a new footing and offering

a guarantee of collective social care to its citizens, concurrently with the

maintenance of a capitalist system of production”.1

B. Arief Sidharta menyebutkan ciri-ciri dan asas-asas negara hukum

(kesejahteraan) yang berintikan: Pertama, pengakuan, penghormatan dan

perlindungan kepribadian manusia (identitas) yang mengimplikasikan asas

pengakuan dan perlindungan martabat dan kebebasan manusia, yang merupakan

asas fundamental negara hukum. Kedua, asas kepastian hukum yang

mengimplikasikan warga masyarakat harus bebas dari tindakan pemerintah dan

pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dan tindakan yang sewenang-wenang;

pemerintah dan para pejabatnya harus terikat dan tunduk pada aturan hukum

positif. Implementasinya menuntut dipenuhinya: (1) syarat legalitas dan

konstitusionalitas yang menuntut bahwa semua tindakan pemerintah dan para

pejabatnya harus bertumpu pada peraturan perundang-undangan dalam

kerangka konstitusi; (2) syarat UU menetapkan berbagai perangkat aturan

tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan; (3) ayarat

perundang-undangan hanya mengikat warga masyarakat setelah diundangkan

dan tidak memiliki daya berlaku surut (non-retroaktif); (4) asas peradilan bebas

yang menjamin objektivitas, imparsialitas, adil dan manusiawi; dan (5) asas

bahwa hakim atau pengadilan tindak boleh menolak mengadili perkara yang

dihadapkan kepadanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau tidak jelas (asas

non-liquet). Ketiga, asas persamaan (similia similibus), dimana pemerintah dan

para pejabatnya harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang

dan UU juga berlaku sama untuk semua orang. Keempat, asas demokrasi, yang

berkenaan dengan cara pengambilan putusan, dimana tiap warganegara memiliki

kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk mempengaruhi putusan dan

tindakan pemerintah, dengan menggunakan hak pilihnya (pasif dan aktif).

1 Dikutip dari DM Mustamin, Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Type-type Negara Modern, Yasm Matutu, Ujung Pandang, 1977, hlm. 9-20

8

Kelima, asas pemerintah dan para pejabatnya mengemban fungsi melayani

rakyat, yang dijabarkan ke dalam seperangkat A.A.U.P.B.2

Sedangkan P. De Haan mengemukakan empat unsur dan karakteristik

negara hukum kesejahteraan, yaitu: (1) Hukum dasar memberikan perlindungan

sosial secara khusus yang menjadi sumber hukum dari semua peraturan

perundang-undangan dalam urusan sosial; (2) Mewajibkan pemerintah untuk

mengadakan segala kebutuhan rakyat dalam berbagai hak yang benar-benar

nyata sesuai dengan cita-cita dalam UUD; (3) UU harus memacu atau

membangkitkan pengadaan jaminan sosial yang baru untuk mendorong

pemberdayaan hak-hak rakyat; (4) Dalam berbagai hak yang tidak bertentangan

dengan UUD, terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan parlemen.3

Hal ini sesuai dengan pendapat Adam Smith, yang menyebutkan bahwa

fungsi negara adalah: (1) menjaga keamanan dan ketertiban sesuai dengan batas

wewenang yang ditetapkan oleh negara itu sendiri (security and order); (2)

melindungi setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan yang

dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya (justice enforcement); dan (3)

menyediakan sarana dan prasarana umum yang tidak dapat disediakan, dibangun

atau dipelihara sendiri oleh anggota masyarakat (public infrastructure

development).4

Sejarah ketatanegaraan Indonesia sudah sejak semula meletakkan

otonomi daerah sebagai salah satu sendi penting dalam penyelenggaraan

pemerintahan negara, bukan hanya untuk sekedar menjamin efisiensi

penyelenggaraan pemerintahan atau menampung dan mengakomodasikan

kenyataan bahwa negara ini memiliki wilayah yang sangat luas yang terdiri dari

pulau-pulau besar dan kecil dengan penduduk yang demikian banyak. Namun hal

yang terpenting bahwa otonomi daerah merupakan dasar untuk memperlancar

2 Disarikan B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.

199-202 3 Dikutip dari Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,

Alumni, Bandung, 2004, hlm. 36-37 4 Dikutip dari Murtir Jeddawi, Op.Cit, hlm. 33-34

9

pelaksanaan demokrasi dan wahana untuk mewujudkan kesejahteraan umum,

disamping untuk menjaga keutuhan negara kesatuan.

Desentralisasi dilihat dari dimensi kepentingan pemerintah merupakan

wahana pendidikan politik, latihan kepemimpinan dan menciptakan stabilitas

politik. Sedangkan dari sisi pemerintah daerah, desentralisasi dimaksudkan untuk

mewujudkan kesempatan bagi masyarakat berpartisipasi dalam berbagai aktivitas

politik di tingkat lokal (political equality), meningkatkan kemampuan hak-hak dari

komunitasnya (local accountability) serta meningkatkan akselerasi pembangunan

sosial dan ekonomi di daerah (local responsiveness).5 Desentralisasi merupakan

konsep yang dianggap mampu mengatasi masalah pelayanan publik di berbagai

sektor. Dengan konsep desentralisasi, diharapkan akan terjadi efisiensi, efektivitas

dan pemerataan, yang bermuara pada terciptanya kesejahteraan rakyat.

Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan

pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan

demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan serta adanya hubungan

yang serasi antara pusat dan daerah. Keberhasilan otonomi daerah penting bagi

pemerintah daerah, karena implementasinya akan mengakibatkan:

(1) Efektivitas pelayanan publik; (2) Meningkatkan kualitas pelayanan publik; (3)

Biaya pelayanan yang murah karena berkurangnya inefisiensi; (4) Alokasi belanja

yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; (5) Meningkatkan

pertanggungjawaban publik; (6) Transparansi dan akuntabilitas publik;

(7) Profesionalisme kerja aparatur pemerintah daerah; (8) Memberikan

keleluasaan (diskresi) bagi para pengelola untuk mengoptimalkan pengelolaan

dana; (9) Terwujudnya pemerintahan yang bersih, berwibawa dan

bertanggungjawab.

Penanggulangan kemiskinan sebagai bagian dari pembangunan

kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa

5 Murtir Jeddawi, Memacu Investasi di Era Ekonomi Daerah, Kajian Beberapa Perda tentang Penanaman

Modal, UII Pres, Yogyakarta, 2005, hlm. 39-40

10

yang diamanatkan dalam UUD 1945 berikut perubahannya. Sila kelima Pancasila

menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam

pengertian “negara”, termasuk di dalamnya daerah (dan pemerintah daerah).

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan

bahwa ada warga masyarakat yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya

secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya,

masih ada warga masyarakat yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi

sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Pasal 34 ayat (1) UUUD 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk

memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Bagi fakir miskin dan anak terlantar,

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan rehabilitasi sosial, jaminan

sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial, sebagai perwujudan

pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan

dasar warga masyarakat yang miskin dan tidak mampu. Dalam penyelenggaraan

kesejahteraan sosial, diperlukan peran masyarakat yang seluas-luasnya, baik

perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial

kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha,

lembaga kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan sosial

yang terarah, terpadu dan berkelanjutan. Hal ini untuk menjamin terpenuhinya

kebutuhan dasar warga negara, serta untuk menghadapi tantangan dan

perkembangan kesejahteraan sosial di tingkat lokal, nasional dan global, sehingga

penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat memberikan keadilan sosial bagi

masyarakat untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang

perlu diidentifikasi adalah :

11

1. Bagaimana konsep penanggulangan kemiskinan yang paling efektif, dikaitkan

dengan the ultimate goal bernegara, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan

sosial?

2. Bagaimana kedudukan peranserta masyarakat dan badan usaha dalam upaya

penanggulangan kemiskinan?

3. Apakah kewenangan di bidang kesejahteraan sosial yang dimiliki Pemerintah

Daerah Kota Sukabumi telah memadai dalam menjamin terpenuhinya hak atas

kebutuhan dasar masyarakat guna penanggulangan kemiskinan?

1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Penyusunan Naskah Akademik ini bertujuan untuk memperoleh gambaran

yang jelas dari aspek hukum, mengenai kewajiban Pemerintah Daerah Kota

Sukabumi dalam penanggulangan kemiskinan guna terwujudnya kesejahteraan

sosial, bagaimana posisi masyarakat dalam upaya peningkatan penanggulangan

kemiskinan, dan apakah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah di

bidang kesejahteraan sosial sesuai dengan kewajiban yang merupakan amanat

Pembukaan UUD 1945.

Naskah akademik ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam

penyusunan dan pembahasan Raperda, sebagai penguatan dari aspek hukum

yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

1.4. METODE PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah diuraikan,

maka penelitian difokuskan pada pengkajian bahan-bahan hukum primer dalam

bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pemerintahan, terutama mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dan

kejahteraan sosial. Untuk itu, metode pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu meneliti hukum

sebagai norma positif dengan menggunakan cara berpikir deduktif dan

berdasarkan pada kebenaran koheren dimana kebenaran dalam penelitian sudah

dinyatakan kredibel tanpa harus melalui proses pengujian atau verifikasi.

12

Disamping itu, dilakukan pula penelitian sosiologis dan historis agar penelitian

bernilai komprehensif, karena penelitian yang dilakukan memerlukan dukungan

data, sehingga harus dilakukan pendekatan kemasyarakatan.

Dipilihnya metode penelitian hukum normatif berdasarkan pertimbangan

bahwa tujuan penelitian adalah menggambarkan objek yang diteliti. Sebagai

pendukung, digunakan pendekatan sejarah hukum dan perbandingan hukum.

Digunakannya pendekatan ini, mengingat ketentuan mengenai penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari latar belakang

sejarah. Disamping itu, penelitian ini tidak bisa terlepas dari sudut pandang

analisis hukum, artinya dielaborasi apa yang seharusnya diatur dalam produk

hukum daerah; serta ruang lingkup kebebasan bertindak secara mandiri oleh

Pemerintah Daerah.

Dengan dilakukannya analisis hukum, akan dapat diperoleh kepastian

terkandungnya elemen positivitas, koherensi dan keadilan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga tetap berada dalam koridor

kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan sejarah hukum penting dalam

penelitian ini karena dalam sejarah hukum dapat diketahui perkembangan sistem

hukum sebagai keseluruhan serta perkembangan institusi hukum dan kaidah

hukum individual tertentu dalam sistem hukum, sehingga diperoleh pemahaman

yang baik tentang hukum yang berlaku pada masa sekarang dan yang dibutuhkan

di masa depan.

Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, kemudian dianalisis sehingga

dapat ditemukan alasan yang rasional mengenai implikasi hukum dari

ketidakperdulian Pemerintah Daerah atas kewajiban mengupayakan

kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya. Sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data sekunder, berupa :

1. Sumber hukum formal, yaitu : peraturan perundang-undangan, hukum tidak

tertulis, yurisprudensi dan doktrin.

2. Sumber hukum materiil, yaitu : sumber hukum historis, sumber hukum

sosiologis, dan sumber hukum filosofis.

13

Data yang terkumpul, selanjutnya diolah melalui tahap pemeriksaan

(editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing) dan sistematisasi

berdasarkan pokok bahasan dan subpokok bahasan yang diidentifikasi dari

rumusan masalah. Dari hasil pengolahan data tersebut, dianalisis secara kualitatif

dan kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan, kemudian

diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

14

BAB II

KAJIAN TEORETIK DAN

PRAKTIK EMPIRIK

2.1. KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai

faktor yang saling berkaitan, seperti tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan,

akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi

lingkungan. Kondisi ini tidak hanya dialami di negara yang dikategorikan miskin

dan negara berkembang, tetapi dialami pula pada negara maju, atau dengan kata

lain masalah kemiskinan telah menjadi permasalahan global.

Sementara ini dalam Analisis Evaluasi Hukum Dalam Rangka

Penanggulangan Kemiskinan disebutkan bahwa kemiskinan merupakan masalah

yang kompleks dan bersifat multidimensional, dimana berkaitan dengan aspek

sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kompleksnya masalah kemiskinan

yang ada ini harus segera dituntaskan, pada dasarnya upaya penanggulangan

kemiskinan itu sendiri telah dilakukan oleh Pemerintah sejak kemerdekaan dengan

berbagai macam strategi penanggulangan kemiskinan. Amanat alinea keempat

Undang-Undang Dasar 1945 memberikn perhatian yang besar terhadap

terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Penanggulangan kemiskinan

secara sinergis dan sistimatis harus dilakukan agar seluruh warganegara mampu

menikmati kehidupan yang layak dan bermartabat. Sejalan dengan dengan

tersebut, maka pada era Kabinet Kerja menetapkan penanggulangan kemiskinan

sebagai salah satu prioritas utama pembangunan.6

Pengertian kemiskinan secara harfiah, berasal dari kata dasar miskin yang

artinya tidak berharta-benda (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang

6 Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional

Kementerian Hukum Dan Ham, Analisis Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan,

Tahun 2016, hlm. 2

15

lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak

mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok sehingga kondisi

rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.

Dalam literature disebutkan bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai suatu

kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak

terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan

kehidupan yang bermartabat. Definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak

yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama

dengan anggota masyarakat lainnya.

Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan

sandang, pangan, dan papan. Akan tetapi, kemiskinan juga berarti akses yang

rendah dalam sumber daya dan asset produktif untuk memperoleh kebutuhan-

kebutuhan hidup, antara lain: ilmu pengetahuan, informasi, teknologi, dan

modal. Ahli lainnya menyebutkan bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami hanya

sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak

dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam

menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara

umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,

pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan

hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk

berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-

laki.

Badan Pusat Statistik mendefinisikan garis kemiskinan dari besarnya nilai

rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti

makanan dan nonmakanan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk tetap

berada pada kehidupan yang layak. Penduduk yang memiliki rata-rata

pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikatagorikan sebagai

penduduk miskin. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran

kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per

16

kapita per hari.7 konsumsi setara dengan 2.100 kalori per hari ditambah

kebutuhan pokok lainnya seperti sandang pangan, perumahan,

kesehatan.

Dalam literatur lain, kemisikinan dipaparkan sebagai ketidakmampuan

manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, tempat

berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh

kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap

pendidikan dan pekerjaan. Dari paparan tersebut maka kemiskinan dapat

dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utama dari kemiskinan adalah:

a. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan

harian, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam

arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan

dasar.

b. Gambaran kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan,

dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, serta termasuk

pula pendidikan dan informasi.

Khusus mengenai keterkucilan sosial, biasanya dibedakan dari kemiskinan

karena mencakup masalah lain (tidak dibatasi pada bidang ekonomi), yaitu

politik dan moral.

c. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.

Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik

dan ekonomi di suatu negara/beberapa negara.

Dari berbagai sudut pandang tentang pengertian kemiskinan,

pada dasarnya bentuk kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi

tiga pengertian, yaitu :

a. Kemiskinan Absolut.

7 Badan Pusat Statistik, Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia, 2015

17

Seseorang dikategorikan termasuk ke dalam golongan miskin absolut apabila

hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidup minimum, yaitu : pangan, sandang, kesehatan,

papan, dan pendidikan.

b. Kemiskinan Relative.

Seseorang yang tergolong miskin relative sebenarnya telah hidup di atas garis

kemiskinan tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat

sekitarnya.

c. Kemiskinan Kultural.

Kemiskinan ini berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok

masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya

sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.

2.2. PENGELOMPOKAN KEMISKINAN

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kemiskinan dapat

dikelompokan dalam dua kategori, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan

relatif. Menurut Ketut8, kemiskinan dapat dipahami sebagai suatu kondisi yang

bersifat absolut (kemiskinan absolut), apabila kondisi seseorang atau suatu rumah

tangga diperbandingkan dengan suatu standar tertentu tanpa memperhitungkan

kondisi masyarakat secara umum. Dengan stardard ini maka, kemiskinan

konsumsi (garis kemiskinan) dihitung berdasarkan nilai uang yang dibutuhkan

untuk membayar jumlah kalori minimal yang dibutuhkan untuk hidup layak dan

kebutuhan non-makanan tertentu tanpa memperhitungkan tingkat konsumsi

seluruh penduduk. Di Indonesia, angka kemiskinan absolut dihitung

menggunakan garis kemiskinan, yaitu ukuran atau indikator kesejahteraan yang

menunjukkan kemampuan dayabeli yang sama dari tahun ke tahun. Kemiskinan

absolut ini paling sesuai untuk digunakan dalam pemantauan program

penanggulangan kemiskinan antar waktu. Sementara itu, untuk kemiskinan yang

8 Disarikan dari artikel Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif, http://www.ketut.web.id/2012/05/

kemiskinan-absolut-dan-kemiskinan.html

18

dipandang sebagai suatu kondisi bersifat relatif (kemiskinan relatif), apabila

kondisi seseorang atau suatu rumah tangga diperbandingkan dengan taraf hidup

masyarakat sekitarnya. Dengan strandard ini, kemiskinan dihitung berdasarkan

tingkat kemakmuran masyarakat secara umum, yang akan berubah antarwaktu

dan antartempat. Kemiskinan relatif ini sangat relevan khususnya apabila

Pemerintah dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya dan program

penanggulangan kemiskinan hanya difokuskan pada segmen termiskin tertentu,

misalnya pada 10% atau 20% termiskin dari populasi. Pada saat inilah pendekatan

kemiskinan relatif lebih tepat untuk digunakan.

Berbeda dengan tujuan dengan kemiskinan absolut yang digunakan untuk

evaluasi naik turunnya tingkat kemiskinan, pendekatan kemiskinan relatif

ditujukan sebagai dasar perhitungan atau pertimbangan dalam mendesain

program yang ditargetkan untuk membantu masyarakat miskin. Pada taraf yang

lebih luas tujuan segmentasi kemiskinan dalam pendekatan relatif adalah untuk

menyediakan informasi yang lebih akurat mengenai kondisi distribusi kemiskinan

saat ini agar dapat digunakan oleh program penargetan kemiskinan dalam

menyusun strategi dan jumlah target yang sesuai antara anggaran dan kebutuhan

tiap tingkatan masyarakat atau dapat juga dimanfaatkan untuk menyusun strategi

pembangunan pada setiap level pemerintahan, dari Pemerintah Pusat hingga

Pemerintah Daerah.

2.3. FAKTOR KEMISIKINAN

Permasalahan kemiskinan dapat dilihat dari: (1) aspek pemenuhan

kebutuhan dan kegagalan pemenuhan hak dasar manusia; (2) beban

kependudukan; dan (3) ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.

2.3.1. PEMENUHAN KEBUTUHAN DAN KEGAGALAN PEMENUHAN HAK

DASAR MANUSIA

a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Menurut Murray dalam Bherm (1996), kebutuhan adalah suatu

keadaan yang ditandai oleh perasaan kekurangan dan ingin diperoleh

sesuatu yang akan diwujudkan melalui suatu usaha atau tindakan, seperti

19

makanan, air, keamanan dan cinta yang merupakan hal yang penting untuk

bertahan hidup dan kesehatan. Sedangkan menurut King (1987) dan Potter

(2005) mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar manusia berfokus

pada tiga sistem yakni, sistem personal, interpersonal, dan sistem sosial.

Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh

manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupuan

psikologis, yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan

dan kesehatan.9

Menurut Abraham Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hierarki,

mulai yang paling rendah (bersifat dasar) sampai yang paling tinggi.

Menurutnya, kebutuhan manusia menjadi lima tingkatan, yang termaksud

dalam gambar berikut :

1. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)

Kebutuhan fisiologis memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki Maslow.

Seorang yang beberapa kebutuhannya tidak terpenuhi secara umum

akan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan

fisiologisnya terlebih dahulu. Misalnya, seorang yang kekurangan

9 Disadur dari artikel Eka Sakti Wahyuningtyas, Memahami Kebutuhan Dasar Manusia,

http://ekasaktiwahyuningtyas.blogspot.com/2013/02/v-behaviorurldefaultvmlo.html

Self-actualization needs

Self-esteem needs

Love and belonging needs

Safety and security needs

Physiological needs

20

makanan, keselamatan, dan perhatian biasanya akan mencari makanan

terlebih dahulu dibandingkan mencari perhatian.

2. Kebutuhan Keselamatan dan Rasa Aman (Safety And Security Needs)

Ketika kebutuhan fisiologis telah terpenuhi maka akan muncul

kebutuhan akan keamanan, antara lain (a) aman dari kejahatan dan

agresi (physical security); (b) keselamatan kerja (security of

employment); (c) keamanan sumberdaya (security of revenues and

resources); (d) keamanan moral dan fisiologis (moral and physiological

security); (e) keamanan keluarga (familial security); (f) keamanan

kesehatan (security of health); dan (g) keamanan kekayaan pribadi dari

kejahatan (security of personal property against crime).

Berdasarkan kebutuhan keamanan maka dibuat aturan, undang-

undang, pengembangan kepercayaan, pembuatan sistem asuransi,

pensiun, dan sebagainya. Seperti halnya basic needs, dalam hal

kebutuhan keamanan ini terlalu lama dan/atau banyak tidak terpenuhi

maka pandangan seseorang mengenai dunianya bisa terpengaruh dan

pada gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah negatif.

3. Kebutuhan Rasa Cinta, Memiliki, dan Dimiliki (Love and Belonging

Needs)

Manusia biasanya membutuhkan rasa dimiliki dan diterima, baik dari

kelompok sosial yang luas maupun koneksi sosial yang kecil. Mereka

membutuhkan untuk mencintai dan dicintai oleh yang lainnya. Tidak

terpenuhinya kebutuhan ini maka orang akan menjadi rentan merasa

sendirian, gelisah, dan depresi. Kekurangan rasa cinta dan dimiliki juga

berhubungan dengan penyakit fisik seperti penyakit hati.

4. Kebutuhan Harga Diri (Self Esteem Need)

21

Semua manusia membutuhkan penghargaan, menghargai diri sendiri,

dan juga menghargai orang lain. Orang perlu melibatkan diri untuk

mendapatkan pengakuan dan mempunyai kegiatan atau kontribusi

kepada orang lain dan juga nilai diri, baik di dalam pekerjaan ataupun

hobi.

Terdapat dua tingkatan kebutuhan penghargaan/penghormatan.

Tingkatan yang lebih rendah terkait dengan unsur-unsur ketenaran,

rasa hormat dan kemuliaan. Tingkatan yang lebih tinggi mengikat pada

konsep kepercayaan diri, kompetensi, dan prestasi. Tingkatan yang

lebih rendah umumnya dianggap miskin. Hal ini tergantung orang lain

atau seseorang membutuhkan diyakinkan karena harga diri yang lebih

rendah. Orang dengan harga diri yang rendah membutuhkan

penghargaan dari orang lain. Namun, keyakinan, kompetensi, dan

prestasi hanya membutuhkan satu orang dan orang lain tidaklah

penting untuk kesuksesan sendiri.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self Actualization Needs)

Aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah manusia untuk

memanfaatkan kemampuan mereka yang unik dan berusaha menjadi

yang terbaik.

Lebih lanjut Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai berikut:

Self Actualization is the intrinsic growth of what is already in the

organism, or more accurately, of what the organism is. (Psychological

Review, 1949)

Selain menggambarkan apa yang dimaksud dengan aktualisasi diri

dalam teorinya, Maslow juga mengidentifikasi beberapa karakteristik

kunci dari aktualisasi diri seseorang, antara lain: (a) acceptance and

realism, yaitu mempunyai persepsi realistis dari diri mereka sendiri,

orang lain dan lingkungan di sekitar mereka; (b) problem-centering,

yaitu keprihatinan dengan pemecahan masalah di luar diri mereka,

termasuk membantu orang lain dan mencari solusi terhadap

22

permasalahan di lingkungan luar mereka. Orang-orang seperti ini sering

termotivasi oleh tangggung jawab pribadi dan etika; (c)

spontaneity, yaitu spontan dalam pikiran internal dan perilaku mereka

keluar. Mereka dapat menyesuaikan diri dengan aturan dan harapan

sosial, cenderung terbuka dan tidak konvensional; (d)

autonomy and solitude, yaitu karakteristik lain dari aktualisasi diri

seseorang adalah kebutuhan akan kebebasan dan privasi;

(e) continued freshness of appreciation, yaitu melihat dunia dengan

penghargaan, kekaguman yang berlangsung terus menerus. Bahkan,

pengalaman sederhana terus menjadi sumber inspirasi dan

kesenangan; dan (f) peak experiences, yaitu individu yang mencapai

aktualisasi diri sering memiliki apa yang dimaksud pengalaman puncak,

atau saat suka cita. Setelah semua pengalaman ini orang merasa

terinspirasi, diperkuat, diperbaharui atau ditransformasikan.

b. Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar

Dalam literatur nasional, kegagalan pemenuhan hak dasar terbagi

dalam 9 (sembilan) masalah, sebagai berikut:

1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan.

Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi

persyaratan gizi masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin.

Rendahnya kemampuan dayabeli merupakan persoalan utama bagi

masyarakat miskin. Sedangkan permasalahan stabilitas

ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau,

tidak terlepas dari ketergantungan yang tinggi terhadap makanan

pokok beras dan kurangnya upaya diversifikasi pangan. Sementara

itu permasalahan pada tingkat petani sebagai produsen, berkaitan

dengan belum efisiennya proses produksi pangan, serta rendahnya

harga jual yang diterima petani.

Berdasarkan beban persoalan yang dihadapi,

ketidakmampuan masyarakat dalam mencukupi kebutuhan

23

makanan minimum terutama dihadapi oleh masyarakat miskin yang

berada dibawah garis kemiskinan makanan. Sedangkan dalam

cakupan yang lebih tinggi, permasalahan ini juga dihadapi oleh

masyarakat miskin yang berada dibawah garis kemiskinan makanan

maupun non makanan. Bahkan berdasarkan data yang digunakan

MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk

di Indonesia masih berada dibawah asupan kalori sebanyak 2100

kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan

kecukupan kalori, disamping menjadi permasalahan masyarakat

miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya

yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan.

Permasalahan dalam penyediaan pangan yang menjadi

bagian dari ketahanan pangan, diantaranya menyangkut belum

efisiennya proses produksi oleh petani karena memiliki rata-rata luas

lahan garapan yang semakin menyempit (0,25 – 1 Ha), penanganan

pascapanen yang belum optimal dan, terbatasnya dalam

penggunaan sarana produksi, termasuk penggunaan bibit unggul.

Sementara itu anggapan masyarakat umum, bahwa beras sebagai

satu-satunya bahan pangan dan sumber protein telah

mengakibatkan kurangnya inisiatif dalam melakukan diversifikasi

konsumsi pangan, dan terjadinya peralihan dari makanan pokok non

beras menjadi beras. Hal ini tentunya akan sangat memberatkan

prospek ketahanan pangan lokal, dan akan terus mendorong

ketergantungan terhadap beras. Padahal masih banyak bahan

pangan lain yang juga memiliki kandungan karbohidrat dan protein

di samping beras, seperti jagung, sagu, ubi jalar, ubi kayu dan bahan

pangan lainnya yang memiliki kesesuaian untuk tumbuh secara

lokal, dan lebih mudah dalam proses produksinya jika dibanding

dengan menanam padi. Demikian pula dengan sistem ketahanan

pangan warga seperti lumbung pangan untuk mengatasi musim

paceklik, saat ini sudah mulai banyak ditinggalkan masyarakat, dan

belum secara merata mendapat dukungan dari pemerintah daerah.

24

Tindakan untuk melakukan impor pangan dalam rangka

memenuhi kebutuhan pangan menunjukkan bahwa produksi

pangan dalam negeri kurang mencukupi kebutuhan pangan.

Walaupun impor memang menjawab masalah ketidakcukupan

pangan dan menjaga stabilitas harga beras bagi konsumen, namun

apabila jumlahnya berlebihan dapat menimbulkan masalah terhadap

stabilitas harga gabah yang dijual petani. Terlebih lagi dengan

adanya praktek penyelundupan atau perdagangan yang tidak sehat,

seperti dumping dan impor pangan secara tidak terkendali sangat

merugikan petani sebagai produsen bahan pangan, karena akan

menjatuhkan harga jual produksi, terutama pada saat panen raya

2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan.

Masalah utama yang menyebabkan rendahnya derajat

kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses terhadap

layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan

dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan

kurangnya layanan kesehatan reproduksi.

Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat

telah meningkat, namun disparitas status kesehatan

antarmasyarakat, antarkawasan, dan antara perkotaan dan

perdesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan angka

kematian balita pada golongan termiskin adalah hampir empat kali

lebih tinggi dari golongan terkaya.

Pada umumnya tingkat kesehatan masyarakat miskin masih

rendah. Angka Kematian Bayi (AKB) pada kelompok berpendapatan

rendah masih selalu di atas AKB masyarakat berpendapatan tinggi.

Status kesehatan masyarakat miskin diperburuk dengan masih

tingginya penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis paru, dan

HIV/AIDS. Kerugian ekonomi yang dialami masyarakat miskin akibat

penyakit tuberkulosis paru sangat besar karena penderitanya tidak

dapat bekerja secara produktif. Kematian laki-laki dan perempuan

25

pencari nafkah yang disebabkan oleh penyakit tersebut berakibat

pada hilangnya pendapatan masyarakat miskin.

Masalah lainnya adalah rendahnya mutu layanan kesehatan

dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan,

kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan. Selain itu,

masalah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena

kendala biaya, jarak dan transportasi. Pemanfaatan rumah sakit

masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin

cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Demikian juga

persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya

didominasi oleh penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu

bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau sebagaian

masyarakat saja, yang sebagian besar diantaranya pegawai negeri

dan penduduk mampu. Rendahnya layanan kesehatan juga

disebabkan oleh mahalnya alat kontrasepsi yang disediakan oleh

swasta sehingga masyarakat miskin tidak mampu mendapatkan

layanan kesehatan reproduksi. Rendahnya mutu dan terbatasnya

ketersediaan layanan kesehatan reproduksi mengakibatkan

tingginya angka kematian ibu dan tingginya angka aborsi.

3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan.

Pembangunan pendidikan merupakan salah satu upaya

penting dalam penanggulangan kemiskinan. Berbagai upaya

pembangunan pendidikan yang dilakukan secara signifikan telah

memperbaiki tingkat pendidikan penduduk Indonesia. Hal tersebut

antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata lama sekolah

penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 7,1 tahun dan menurunnya

angka buta aksara. Angka partisipasi sekolah untuk semua kelompok

usia juga mengalami peningkatan secara berarti. Namun demikian,

pembangunan pendidikan ternyata belum sepenuhnya mampu

memberi pelayanan secara merata kepada seluruh lapisan

masyarakat. Masih terdapat kesenjangan yang cukup tinggi

26

antarkelompok masyarakat terutama antara penduduk kaya dan

penduduk miskin dan antara perdesaan dan perkotaan.

Keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses layanan

pendidikan dasar terutama disebabkan tingginya beban biaya

pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Meskipun

SPP untuk jenjang SD/MI telah secara resmi dihapuskan oleh

Pemerintah tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap harus

membayar iuran sekolah. Pengeluaran lain diluar iuran sekolah

seperti pembelian buku, alat tulis, seragam, uang transport, dan

uang saku menjadi faktor penghambat pula bagi masyarakat miskin

untuk menyekolahkan anaknya. Di samping itu, ketersediaan

fasilitas pendidikan untuk jenjang SMP/MTs ke atas di daerah

perdesaan, daerah terpencil dan kepulauan masih terbatas. Hal

tersebut menambah keengganan masyarakat miskin untuk

menyekolahkan anaknya karena bertambahnya biaya yang harus

dikeluarkan.

Terbatasnya akses keluarga miskin terhadap pendidikan

formal selayaknya dapat diatasi dengan penyediaan pelayanan

pendidikan nonformal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia

sekolah ke dunia kerja maupun sebagai bentuk pendidikan

sepanjang hayat dan diarahkan terutama untuk meningkatkan

kecakapan hidup serta kompetensi vokasional. Namun demikian

pendidikan nonformal yang memiliki fleksibilitas waktu

penyelenggaraan dan materi pembelajaran yang dapat disesuaikan

dengan kebutuhan peserta didik belum dapat diakses secara luas

oleh masyarakat miskin, baik karena aksesibilitasnya maupun

karena kualitasnya yang masih terbatas. Oleh sebab itu, akses

kualitas dan format pendidikan non formal perlu terus

dikembangkan untuk dapat memberi pelayanan pendidikan yang

berkualitas bagi masyarakat miskin.

4. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha.

27

Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan

terbatasnya kesempatan kerja, terbatasnya peluang

mengembangkan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset

usaha, perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja

terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh

migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Masyarakat miskin

dengan keterbatasan modal dan kurangnya keterampilan maupun

pengetahuan, hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak

dan terbatasnya peluang untuk mengembangkan usaha.

Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini seringkali

menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang beresiko

tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada

kepastian akan keberlanjutannya.

Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus

bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut

menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan

tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan.

Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan

yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem

kontrak yang sangat rentan terhadap kepastian hubungan kerja

yang berkelanjutan. Di sisi lain kesulitan ekonomi yang dihadapi

keluarga miskin seringkali memaksa anak dan perempuan untuk

bekerja. Pekerja perempuan, khususnya buruh migran perempuan

maupun pembantu rumahtangga dan pekerja anak menghadapi

resiko sangat tinggi untuk dieksploitasi secara berlebihan, tidak

menerima gaji atau digaji sangat murah, dan bahkan seringkali

diperlakukan secara tidak manusiawi.

Rendahnya posisi tawar masyarakat miskin diantaranya

disebabkan oleh ketidakmampuan pekerja untuk melakukan tawar-

menawar. Konflik perburuhan yang terjadi, seringkali dimenangkan

oleh pihak perusahaan dan merugikan para buruh. Pemerintah dan

28

Pemerintah Daerah sebagai pihak yang dapat menjadi mediasi dan

pembela kepentingan masyarakat, seringkali kurang responsif dan

peka untuk menindaklanjuti masalah perselisihan antara pekerja

dengan pemilik perusahaan. Dampak dari perselisihan tersebut

seringkali membuahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara

tidak adil, sehingga mengakibatkan munculnya sekelompok orang

miskin baru.

Masyarakat miskin juga mempunyai akses yang terbatas

untuk memulai dan mengembangkan usaha. Permasalahan yang

dihadapi antara lain sulitnya mengakses modal dengan suku bunga

rendah, hambatan untuk memperoleh ijin usaha, kurangnya

perlindungan terhadap kegiatan usaha, rendahnya kapasitas

kewirausahaan dan terbatasnya akses terhadap informasi, pasar,

bahan baku, serta sulitnya memanfaatkan bantuan teknis dan

teknologi. Ketersediaan modal dengan tingkat suku bunga pasar,

masih sulit diakses oleh pengusaha kecil dan mikro yang sebagian

besar masih lemah dalam kapasitas sumberdaya manusia.

Kenyataan ini tidak memberi pilihan lain untuk memperoleh modal

dengan cara meminjam dari rentenir dengan tingkat bunga yang

sangat tinggi. Masyarakat miskin juga menghadapi masalah

lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, terutama

perlindungan terhadap hak cipta industri tradisional, dan hilangnya

aset usaha akibat penggusuran.

5. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi.

Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah

terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak,

rendahnya mutu lingkungan permukiman dan lemahnya

perlindungan untuk mendapatkan dan menghuni perumahan yang

layak dan sehat. Di perkotaan, keluarga miskin sebagian besar

tinggal di perkampungan yang berada di balik gedung-gedung

pertokoan dan perkantoran, dalam petak-petak kecil, saling

29

berhimpit, tidak sehat dan seringkali dalam satu rumah ditinggali

lebih dari satu keluarga. Mereka tidak mampu membayar biaya awal

untuk mendapatkan perumahan sangat sederhana dengan harga

murah. Perumahan yang diperuntukkan bagi golongan

berpenghasilan rendah terletak jauh dari pusat kota tempat mereka

bekerja sehingga biaya transport akan sangat mengurangi

penghasilan mereka.

Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan,

pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering juga mengeluhkan

kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman

yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih

dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.

Hal ini terjadi pada masyarakat perkebunan yang tinggal di dataran

tinggi seperti perkebunan teh di Jawa. Mereka jauh dan terisiolasi

dari masyarakat umum. Sementara itu, bagi penduduk lokal yang

tinggal di pedalaman hutan, masalah perumahan dan permukiman

tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari masalah keutuhan

ekosistem dan budaya setempat.

6. Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih

Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan

oleh terbatasnya akses, terbatasnya penguasaan sumber air dan

menurunnya mutu sumber air. Keterbatasan akses terhadap air

bersih akan berakibat pada penurunan mutu kesehatan dan

penyebaran berbagai penyakit lain seperti diare. Akses terhadap air

bersih masih menjadi persoalan di banyak tempat dengan

kecenderungan akses rumah tangga di Jawa-Bali lebih baik

dibanding daerah lain.

Masyarakat miskin juga mengalami masalah dalam

mengakses sumber-sumber air yang diperlukan untuk usaha tani

dan menurunnya mutu air akibat pencemaran dan limbah industri.

Berkurangnya air waduk akibat penggundulan hutan dan

30

pendangkalan, serta menurunnya mutu saluran irigasi

mengakibatkan berkurangnya jangkauan irigasi. Masalah ini

membuat lahan tidak dapat diusahakan secara optimal, yang pada

gilirannya mengurangi pendapatan petani. Sedangkan untuk

masyarakat miskin di perkotaan yang tinggal di bantaran sungai,

masih banyak yang memanfaatkan air sungai dan sumur galian yang

sudah tercemar guna kebutuhan segala macam, seperti mandi,

memasak, mencuci, bahkan air minum hingga sampai untuk buang

hajat sekalipun.

7. Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah.

Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan

struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian

dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah

tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan

kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas

tanah pertanian. Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah petani gurem

dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di perdesaan.

Masalah tersebut bertambah buruk dengan struktur penguasaan

lahan yang timpang karena sebagian besar petani gurem tidak

secara formal menguasai lahan sebagai hak milik, dan kalaupun

mereka memiliki tanah, perlindungan terhadap hak mereka atas

tanah tersebut tidak cukup kuat karena tanah tersebut seringkali

tidak bersertifikat. Tingkat pendapatan rumah tangga petani

ditentukan oleh luas tanah pertanian yang secara nyata dikuasai.

Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor

penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan

sumberdaya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin.

Terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap tanah tergambar

dari timpangnya distribusi penguasaan dan pemilikan tanah oleh

rumah tangga petani, dimana mayoritas rumah tangga petani

masing-masing hanya memiliki tanah kurang dari satu hektar dan

31

adanya kecenderungan semakin kecilnya rata-rata luas penguasaan

tanah per rumah tangga pertanian.

Masalah pertanahan juga nampak dari semakin banyak dan

meluasnya sengketa agraria, termasuk sengketa masyarakat

dengan pemerintah, seperti mengenai penetapan kawasan

konservasi yang di dalamnya terdapat lahan pertanian, masyarakat

sekitar yang sudah mengusahakan secara turun-temurun. Sengketa

agraria di beberapa daerah terutama di Jawa dan Sumatera sering

dilatarbelakangi oleh konflik agraria yang terjadi pada masa kolonial

dan hingga kini tidak terselesaikan berdasarkan nilai dan rasa

keadilan masyarakat.

8. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam,

serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.

Kemiskinan mempunyai kaitan erat dengan masalah

sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Masyarakat miskin sangat

rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam

dan perubahan lingkungan. Masyarakat miskin yang tinggal di

daerah perdesaan, daerah pinggiran hutan, kawasan pesisir, dan

daerah pertambangan sangat tergantung pada sumberdaya alam

sebagai sumber penghasilan. Sedangkan masyarakat miskin di

perkotaan umumnya tinggal di lingkungan permukiman yang buruk

dan tidak sehat, misalnya di daerah rawan banjir dan daerah yang

tercemar. Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah

terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya alam

dan menurunnya mutu lingkungan hidup, baik sebagai sumber mata

pencaharian maupun sebagai penunjang kehidupan sehari-hari.

Masyarakat miskin seringkali terpinggirkan dalam

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini terjadi

dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh

perusahaan besar dan peralihan hutan menjadi kawasan lindung.

Sekitar 30 persen dari hutan produksi tetap hanya dikelola oleh

32

sekelompok perusahaan dan cenderung mengabaikan kehidupan

masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam hutan. Pengelolaan

kawasan lindung tanpa mempertimbangkan kehidupan masyarakat

yang tinggal di dalamnya akan menjauhkan akses masyarakat

terhadap sumberdaya dan justru menghambat tercapainya

pembangunan berkelanjutan. Masyarakat miskin yang tinggal di

sekitar daerah pertambangan tidak dapat merasakan manfaat

secara maksimal. Mereka hanya menjadi buruh pertambangan dan

bahkan banyak diantaranya tidak dapat menikmati hasil tambang

yang dikelola oleh investor, serta tidak adanya hak atas kepemilikan

terhadap areal pertambangan yang dikuasai oleh para pemilik modal

atas ijin dari negara.

Proses pemiskinan juga terjadi dengan menyempitnya dan

hilangnya sumber matapencaharian masyarakat miskin akibat

penurunan mutu lingkungan hidup terutama hutan, laut, dan daerah

pertambangan. Khusus mengenai hutan, luas hutan Indonesia terus

mengalami menyusut luasan. Penyusutan ini disebabkan oleh

penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan lain

seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman.

Dengan adanya kerusakan hutan maka berdampak pula bagi

masyarakat miskin berupa menyusutnya lahan yang menjadi sumber

penghidupan, dan terjadinya erosi dan tanah longsor yang

menyebabkan semakin berat beban yang mereka tanggung.

Sementara itu, masyarakat miskin yang tinggal di daerah

pesisir sebagai nelayan merasakan adanya penurunan tangkapan

yang sangat drastis. Hal ini disebabkan terdesaknya para nelayan

miskin oleh para pemodal besar dan pencurian ikan oleh nelayan

negara lain yang menggunakan perahu dan peralatan lebih modern

yang merambah kawasan pesisir. Nelayan miskin kebanyakan tidak

memiliki pemahaman dan ketrampilan dalam melakukan

penangkapan ikan yang cenderung berbuat merusak habitat yang

33

akibatnya juga mengurangi populasi ikan, serta kemampuan

prasarana/sarana, teknologi yang kurang mendukung untuk

memperoleh hasil yang memadai. Masyarakat miskin nelayan juga

menghadapai masalah kerusakan hutan bakau dan terumbu karang.

Hal ini berdampak pada rusaknya habitat tempat induk ikan mencari

makan dan bertelur. Hutan bakau menyusut menjadi setengah

dalam waktu belasan tahun. Terumbu karang saat ini dalam kondisi

rusak dan sangat kritis. Degradasi lingkungan wilayah pesisir

mengakibatkan menurunnya populasi ikan, serta meningkatnya

kesulitan nelayan dalam memperoleh ikan.

9. Lemahnya Jaminan Rasa Aman

Lemahnya jaminan rasa aman saat ini terjadi dalam bentuk

ancaman kekerasan dan non kekerasan. Ancaman kekerasan terjadi

dalam bentuk konflik horisontal antarpenduduk (didominasi oleh

faktor sosial) yang mengakibatkan terjadinya pengungsian.

Sementara ini, ancaman nonkekerasan, antara lain berupa

kerusakan lingkungan, perdagangan perempuan dan anak

(trafficking), krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular, dan

peredaran obat-obat terlarang yang menyebabkan hilangnya akses

masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Konflik yang terjadi di berbagai daerah telah menyebabkan

hilang atau rusaknya tempat tinggal, terhentinya kerja dan usaha

sehingga penghasilan keluarga hilang, menurunnya status

kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan

produktivitas, rusaknya infrastruktur ekonomi yang menyebabkan

langkanya ketersediaan bahan pangan, menurunnya akses terhadap

pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih, rusaknya

infrastruktur sosial dan hilangnya rasa aman, serta merebaknya rasa

amarah, putus asa dan trauma kolektif.

10. Lemahnya Partisipasi

34

Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan program

pembangunan dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah

lemahnya partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat miskin

dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Berbagai kasus

penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara

sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan

kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam

pengambilan keputusan.

Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan

kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai

kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan

yang memungkinkan keterlibatan mereka. Secara formal sosialisasi

telah dilaksanakan, namun karena umumnya menggunakan sistem

perwakilan, sehingga banyak informasi yang diperlukan tidak sampai

ke masyarakat miskin.

2.3.2. BEBAN KEPENDUDUKAN

Beban masyarakat miskin makin berat akibat besarnya tanggungan

keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.

Berdasarkan hasil penelitian, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata

anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Dengan

beratnya beban rumahtangga, peluang anak dari keluarga miskin untuk

melanjutkan pendidikan menjadi terhambat dan seringkali mereka harus

bekerja untuk membantu membiayai kebutuhan keluarga.

2.3.3. KETIDAKSETARAAN DAN KETIDAKADILAN GENDER

35

Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang

berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan

laki-laki juga berbeda dari perempuan. Sumber dari permasalahan

kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki yang bekerja melalui

pendekatan, metodologi, dan paradigma pembangunan. Praktek

pemerintahan yang bersifat hegemoni dan patriarki, serta pengambilan

keputusan yang hirarkis telah meminggirkan perempuan secara sistematis

dalam beberapa kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif

gender. Angka yang menjadi basis pengambilan keputusan, penyusunan

program dan pembuatan kebijakan, tidak mampu mengungkap dinamika

kehidupan perempuan dan laki-laki. Data tersebut dikumpulkan secara

terpusat tanpa memperhatikan kontekstualitas dan tidak mampu

mengungkap dinamika kehidupan perempuan-laki-laki sehingga kebijakan,

program, dan lembaga yang dirancang menjadi netral gender dan

menimbulkan kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan.

Budaya patriarki mengakibatkan perempuan berada pada posisi

tawar yang lemah, sementara suara perempuan dalam memperjuangkan

kepentingannya tidak tersalurkan melalui mekanisme pengambilan

keputusan formal. Masalah keterwakilan suara dan kebutuhan perempuan

dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan publik

tersebut sangat penting karena produk kebijakan yang netral gender hanya

akan melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap

perempuan yang berakibat pada pemiskinan kaum perempuan.

2.4. DISKURSUS KONSEP NEGARA HUKUM KESEJAHTERAAN

Semula, pernyataan mengenai Indonesia sebagai negara hukum tidak

tersurat dalam UUD 1945. Pernyataan tersebut hanya terdapat dalam Penjelasan

UUD 1945 yang berbunyi : “Negara Indonesia berdasar atas hukum “rechtsstaat”

tidak berdasarkan kekuasaan belaka “machtsstaat”. Hal tersebut menunjukkan

bahwa negara Indonesia didirikan dengan kesadaran penuh untuk mencegah

terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Muh. Yamin menyatakan bahwa

walaupun dalam UUD 1945 tidak ditegaskan dengan pasti bahwa RI merupakan

36

negara hukum, tetapi dari Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, khususnya

pada kalimat :”…… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu

dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ….”, merupakan bukti

bahwa RI ialah suatu negara hukum berkonstitusi yang dituliskan. 10

Kedudukan Penjelasan UUD 1945 dalam hukum ketatanegaraan Indonesia

bersifat kontroversial, bahkan beberapa pakar hukum tata negara seperti Sri

Soemantri dan Bagir Manan berpendapat bahwa Penjelasan UUD 1945 bukan

merupakan bagian dari UUD 1945, walaupun diakui merupakan dokumen

ketatanegaraan, sehingga Penjelasan UUD 1945 dapat dijadikan “suatu

keterangan” sepanjang tidak menyimpang dari esensi pasal-pasal yang diatur

dalam UUD 1945. Kontroversi mengenai Penjelasan UUD 1945 diakhiri pada

tanggal 10 Agustus 2002, dalam Amandemen Keempat UUD 1945, yang pada

Pasal II Aturan Tambahan menyatakan : “Dengan ditetapkannya perubahan UUD

ini, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal”.

Pernyataan mengenai negara Indonesia sebagai negara hukum dalam

konstitusi muncul dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan hasil

amandemen ketiga dan disahkan pada tanggal 10 November 2001. Demikian pula

pernyataan mengenai konsep pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi

(hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas),

terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Jelas terlihat bahwa bunyi Pasal 1 ayat

(2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengangkat kembali paham konstitusionalisme

yang didalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap supremasi

hukum dan konstitusi, pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem

konstitusional yang diatur dalam UUD, jaminan perlindungan hak asasi manusia

serta peradilan yang bebas dan mandiri yang menjamin keadilan bagi setiap

warganegara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk

terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah.

10 Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jambatan, Jakarta, Cet. Kedua, 1952, hlm.

68

37

Beberapa ketentuan dalam UUD 1945 hasil Amandemen yang menyebutkan

atau menyiratkan Indonesia sebagai negara hukum (kesejahteraan), yaitu :

1. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1

ayat 2).

2. Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3).

3. MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan

umum dan diatur lebih lanjut dengan UU. MPR berwenang mengubah dan

menetapkan UUD (Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 ayat 1).

4. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (Pasal 4 ayat 1).

5. Presiden berhak mengajukan UU kepada DPR. Presiden menetapkan PP untuk

menjalankan UU (Pasal 5 ayat 1 dan 2).

6. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh

rakyat (Pasal 6A ayat 1).

7. Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain,

dengan ketentuan apabila perjanjian internasional tersebut menimbulkan

akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan

beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau

pembentukan UU, harus dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat 1, 2 dan 3).

8. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan

MA. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan

pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat 1 dan 2).

9. NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai

pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur,

bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah

provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Pemerintahan daerah berhak

38

menetapkan perda dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi

dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7).

10. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI (Pasal 18B ayat 1 dan 2).

11. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan

membentuk UU. Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU (Pasal 19, 20, 21

dan 22).

12. Dalam hal kepentingan memaksa, presiden berhak menetapkan perpu yang

harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak

mendapat persetujuan, maka perpu harus dicabut (Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3).

13. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum (Pasal 22C

ayat 1, 2, 3 dan 4).

14. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya

ekonomi lainnya, yang berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah, serta

melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU otonomi daerah (Pasal 22D ayat

1, 2, 3 dan 4).

15. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan

adil setiap lima tahun sekali, untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan

wakil presiden serta DPRD (Pasal 22E ayat 1, 2, 3 dan 4).

16. Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur

dengan UU (Pasal 23A).

17. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,

dibentuk BPK yang bebas dan mandiri (Pasal 23E ayat 1, 2 dan 3).

39

18. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

militer, peradilan tata usaha negara, dan MK (Pasal 24 ayat 1, 2 dan 3).

19. MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-

undangan di bawah UU terhadap UU, dan wewenang lainnya yang diberikan

oleh UU (Pasal 24A ayat 1, 2, 3, 4 dan 5).

20. KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung

dan mempunyai wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B ayat 1, 2, 3

dan 4).

21. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum. MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai

dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD

(Pasal 24C ayat 1, 2, 3, 4, 5 dan 6).

22. Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya (Pasal 27).

23. Setiap warganegara berhak atas :

a. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27);

b. kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan (Pasal 28);

c. hidup serta berhak mempertahankan penghidupan dan kehidupannya

(Pasal 28A);

40

d. membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

sah. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi (Pasal 28B ayat 1 dan 2);

e. mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapat

pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,

seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi

kesejahteraan umat manusia (Pasal 28C ayat 1 dan 2);

f. pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum; berhak untuk bekerja serta

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan

kerja; berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;

serta berhak atas status kewarganegaraan (Pasal 28D ayat 1, 2, 3 dan 4);

g. bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih

pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,

memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta

berhak kembali, dan bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

pendapat (Pasal 28E ayat 1, 2 dan 3);

h. berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi

dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,

memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28E);

i. perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta

benda, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak

asasi; berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang

merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka

politik dari negara lain (Pasal 28G ayat 1 dan 2);

j. hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

41

kesehatan, jaminan sosial, dan mempunyai hak milik pribadi (Pasal 28H

ayat 1, 2, 3 dan 4).

24. Hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani,

beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, tidak

dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Setiap orang berhak bebas dari

perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak

mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

(Pasal 28I ayat 1, 2, 3, 4 dan 5).

25. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 28J ayat 1

dan 2).

26. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR

apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-

kurangnya ¾ dari jumlah anggota MPR. Putusan untuk mengubah pasal-pasal

UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu

anggota dari seluruh anggota MPR. Khusus tentang bentuk NKRI tidak dapat

dilakukan perubahan (Pasal 37 ayat 1, 2, 3, 4 dan 5).

27. Seluruh peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada masih

tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD (Pasal I dan II

Aturan Peralihan).

Pernyataan mengenai negara Indonesia sebagai negara hukum tersebut

secara eksplisit mengisyaratkan bahwa hukum dalam negara Indonesia secara

normatif mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena dalam negara

hukum negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara, dan

penyelenggaraan pemerintahan negara dalam segala aspek harus berdasar atas

hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Pemerintah memperoleh

kekuasaan dari hukum dan menjalankan kekuasaan itu menurut hukum, di sisi

lain kekuasaan itu sendiri dibatasi oleh hukum. Dengan demikian dalam negara

hukum terkandung pengertian dianutnya supremasi hukum.

42

Walaupun sistem hukum yang berlaku di Indonesia berasal dari rumpun

civil law, tidak dapat diartikan bahwa pengertian konsepsi negara hukum dalam

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 identik dengan rechtsstaat. Oemar Senoadji

menyebutkan bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia.

Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka

negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila11.

Dalam kaitan itulah, menarik pendapat Sjachran Basah12 yang menyatakan

bahwa negara hukum Indonesia merupakan negara kemakmuran berdasarkan

hukum yang dilandasi Pancasila, baik sebagai dasar negara maupun sebagai

sumber dari segala sumber hukum dengan menolak absolutisme dalam segala

bentuknya. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum

negara tercantum dalam Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004. Dalam penjelasan pasal

tersebut dinyatakan bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala

sumber hukum negara sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa

dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak

boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Berdasarkan sejarah perkembangan Pancasila, terdapat 3 (tiga) aliran

pemikiran mengenai Pancasila:

1. Aliran Legal-Yuridis

Aliran ini menempatkan Pancasila sebagai “sumber dari segala sumber

hukum”, karena itu Pancasila dianggap sebagai legitimasi yuridis dalam

berdirinya NKRI, baik pranata, sistem, maupun struktur kenegaraan.

Konteksnya adalah Pancasila sebagai dasar negara, sehingga Notonagoro

menyebutnya sebagai kaidah dasar negara (staats-fundamentaal norm).

Dengan demikian, seluruh norma dan rumusan hukum positif di Indonesia

dibuat berdasarkan kaidah dasar negara ini.

11 Oemar Senoajdji, Peradilan bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 24-58 12 Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Bakti, Bandung, 1992, hlm. 3

43

2. Aliran Humanistik

Aliran ini menempatkan Pancasila sebagai kerangka berfikir jatidiri, perilaku

dan sikap orang Indonesia, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas.

Aliran pemikiran ini tidak hanya menempatkan Pancasila sebagai legitimasi

yuridis atas berdirinya sebuah realitas politik NKRI. Isi Pancasila sudah berlaku

sebagai paradigma kemanusiaan dalam sejarah peradaban manusia, yang

menunjukkan paradigma way of life atau weltanschauung sebagai manusia

Indonesia.

3. Aliran yang menolak Pancasila

Dalam sejarah perkembangan Pancasila, terutama pada saat demokrasi

parlementer berdasarkan UUDS 1950, Pancasila pernah dijadikan lip service.

Atas dorongan partai politik dalam parlemen yang berjuang untuk

mendapatkan pengaruh yang besar, dasar Pancasila dalam praktik

penyelenggaraan pemerintahan diganti dengan dasar opoturnisme.

Lip service tentang Pancasila tampak pula pada usaha untuk mengganti

Pancasila dengan Panca Cinta. Selanjutnya terjadi pula penyelewengan setelah

Indonesia kembali pada UUD 1945, pada saat nasakom ditempatkan sebagai

dasar pemerintahan negara disamping Pancasila. Presiden Soekarno

sebetulnya mempunyai tujuan yang baik dengan menciptakan nasakom, yaitu

menghilangkan sistem free fight democracy dan menggantinya dengan dasar

kerjasama dan musyawarah diantara empat golongan yang berpengaruh

dalam masyarakat : golongan nasional, golongan agama, golongan komunis

dan golongan karyawan.13

Penolakan dan/atau respon negatif terhadap Pancasila atau kelompok yang

mempermasalahkan Pancasila akan selalu ada, namun sejarah telah

membuktikan bahwa rakyat Indonesia telah memilih Pancasila sebagai

13 Mohammad Hatta, Pancasila Jalan Lurus, Angkasa, Bandung, 1966, hlm. 14

44

philosophische grondslag, weltanschauung,14 demokratisch beginsel dan

rechtsideologie NKRI.

Lebih lanjut dikatakan bahwa di dalam konsep negara hukum Pancasila,

pilar kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat mewujudkan hubungan integral

secara harmonis yang sifatnya konstitutif. Hubungan integralistik itu menjadi

sumber kewenangan utama pembentukan peraturan perundang-undangan. Pilar

kedaulatan hukum mengandung pemahaman bahwa kekuasaan tertinggi terletak

pada hukum, sebaliknya pilar kedaulatan rakyat mengandung pemahaman bahwa

kedaulatan dilaksanakan oleh rakyat menurut UUD.

Sejalan dengan pendapat Sjachran Basah, Sri Soemantri mengatakan

bahwa dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ditemukan

unsur-unsur15: Pertama, Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi

manusia (grondrechten) dan warganegara; Kedua, Adanya pembagian kekuasaan

(scheiding van machten); Ketiga, Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya,

pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis

maupun tidak tertulis (wetmatigheid van het bestuur); dan Keempat, Adanya

kekuasaan kehakiman dan MA yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka,

artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Sedangkan Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa negara hukum

Pancasila mempunyai elemen atau ciri-ciri: (1) Keserasian hubungan antara

pemerintah dan rakyat berdasarkan atas kerukunan; (2) Hubungan fungsional

yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; (3) Prinsip-prinsip

penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana

terakhir; dan (4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Konsep negara kesejahteraan dalam suatu negara dapat dilihat dari cara

mendistribusikan kekuasaan dan alat-alat negara dalam suatu sistem

pemerintahan negara yang diatur dalam konstitusinya, sebagai pranata peraturan

14 Soekarno, Lahirnya Pantja-Sila, Pidato di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha

Persiapan Kemerdekaan) pada sidang yang pertama pada tanggal 1 Juni 1945, yang selanjutnya dibukukan oleh Penerbit Tridaja pada tahun 1947.

15 Sri Soemantri, Bunga Rampai ......, Op. Cit, hlm. 459

45

yang tertinggi (higher-order rules). Istilah “negara hukum kesejahteraan” secara

eksplisit tidak terdapat dalam UUD 1945, baik sebelum diamandemen maupun

setelah empat kali diamandemen.

Namun dari pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, dapat dilihat komitmen

mengenai Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan, sebagai berikut :

1. Melalui keikutsertaan pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang adil

makmur (civil society) sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat

Pembukaan UUD 1945 yang juga merupakan tujuan negara Indonesia dan cita

hukum negara RI (rechts-idee) yang didasarkan pada keadilan, kehasil-gunaan

(doelmatigheid) dan kepastian hukum, yaitu : melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (protectional function);

memajukan kesejahteraan umum (welfare function); mencerdaskan

kehidupan bangsa (educational function); dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

(peacefulness function).

2. Ikut sertanya pemerintah dalam berbagai bidang kehidupan rakyat, yang

diatur berdasarkan UU agar pemerintah tidak sewenang-wenang.

Berdasarkan komitmen Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan

yang diikrarkan dalam UUD 1945 sebagai asas dan kaidah hukum dasar

(Grundnorm), maka pemerintah dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan

fungsinya harus senantiasa mewujudkan ketenteraman dan ketertiban

masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan. Dalam hal inilah, peranan

peraturan perundang-undangan menjadi penting, dan harus dijadikan instrumen

pemberlakuan hukum karena sifat adil dari hukum itu sendiri (ius quia iustum)

dan bukan merupakan hukum yang dipaksakan keberlakuannya (ius quia iussum).

Hukum harus dibangun dan ditegakkan menurut prinsip demokrasi, karena

prinsip hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari

kedaulatan rakyat atau demokrasi. S.E Finer menyebutkan berbagai asumsi

46

kedaulatan rakyat yang berkaitan dengan unsur-unsur negara hukum, yaitu16: (i)

Pemerintahan berkedaulatan rakyat adalah pemerintahan yang memiliki

kekuasaan terbatas atau dibatasi; (ii) Pemerintahan berkedaulatan rakyat adalah

pemerintahan yang mengakui kemajemukan masyarakat (pluralistik); dan (iii)

Pemerintahan berkedaulatan rakyat menolak adanya setiap upaya untuk

memutlakkan suatu pandangan atau pikiran mengenai masyarakat dan moral.

2.5. PROGRAM NASIONAL PENANGGULANGAN KEMISKINAN.

2.5.1. UMUM

Masalah Kemiskinan masih menjadi salah satu permasalahan utama

bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai salah satu

negara berkembang isu kemiskinan ini perlu dituntaskan. Upaya

penanggulangan kemiskinan terus dilakukan oleh Pemerintah, dan telah

dilaksanakan sejak tahun 1970-an hingga sekarang namun belum mampu

menuntaskan masalah kemiskinan. Badan Pusat Statistis merilis tingkat

kemiskinan nasional terbaru pada bulan Maret 2016 masih pada level

10,86% atau lebih dari 28 juta dari total penduduk, atau hanya turun

kurang dari 2% dari kondisi 5 tahun lalu yaitu pada Maret 2011 yang sudah

mencapai 12,49%. Isu kemiskinan ini erat kaitannya dengan persoalan

ketimpangan atau kesenjangan, baik ketimpangan tingkat kesejahteraan

(antar kelompok pendapatan) maupun ketimpangan antarwilayah.17

Saat ini persoalan kemiskinan sudah bersifat multidimensi atau

sangat kompleks, sehingga angka kemiskinan hanya dapat diturunkan

secara optimal apabila semua pihak termasuk masyarakat miskin itu sendiri

ikut terlibat dalam proses pembangunan dan pemanfaatan hasil

pembangunan. Pada era pemerintahan saat ini, kemauan politik (political

will) Pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan mulai berubah seiring

dicanangkannya Nawacita di dalam Rencana Pembangunan Jangka

16 Dikutip dari Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 35

17 Sumber : BPS, Susenas dan Vivi Alatas (Perhitungan Bank Dunia, 2014)

47

Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Sembilan agenda (Nawa Cita)

merupakan rangkuman program-program yang tertuang dalam Visi-Misi

Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sembilan agenda

tersebut dijabarkan dalam strategi pembangunan yang digariskan dalam

RPJMN 2015-2019 yang terdiri dari empat bagian utama yakni: (1) norma

pembangunan; (2) tiga dimensi pembangunan; (3) kondisi perlu agar

pembangunan dapat berlangsung; serta (4) program-program quick wins.

Tiga dimensi pembangunan dan kondisi perlu dari strategi pembangunan

memuat sektor-sektor yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan RPJMN

2015-2019 yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah

2016. Dua dimensi yang paling berkaitan dengan penanggulangan

kemiskinan adalah dimensi Pembangunan Manusia dan dimensi

Pemerataan dan Kewilayahan.

Keterkaitan Nawa Cita dengan pembangunan pada dimensi

Pembangunan Manusia diprioritaskan pada sektor pendidikan dengan

melaksanakan Program Indonesia Pintar; sektor kesehatan dengan

melaksanakan Program Indonesia Sehat; perumahan rakyat;

melaksanakan revolusi karakter bangsa; memperteguh kebhinekaan dan

memperkuat restorasi sosial Indonesia; dan melaksanakan revolusi mental.

Program-program pembangunan dalam dimensi ini adalah penjabaran dari

cita kelima yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, cita

kedelapan yaitu melakukan revolusi kharakter bangsa, dan cita kesembilan

yaitu memperteguh kebhinekaan dan restorasi sosial Indonesia dari

Nawacita RPJMN 2015-2019.

Selain itu penanggulangan kemiskinan juga berkaitan dengan

dimensi Pembangunan, Pemerataan dan Kewilayahan dengan prioritas

pada upaya pemerataan antar kelompok pendapatan, pengurangan

kesenjangan pembangunan antarwilayah. Program-program

pembangunan dalam dimensi ini merupakan penjabaran dari Cita Ketiga

yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, Cita Kelima yaitu

48

meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, dan Cita Keenam yaitu

meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional.

Dalam dimensi ini penanggulangan kemiskinan bermaksud meminimalkan

kesenjangan pembangunan antar kelompok pendapatan dan antar daerah.

Dimensi pembangunan, nawacita dan penanggulangan kemiskinan

terkait secara implisit. Namun program penanggulangan kemiskinan dalam

RPJMN tidak disebutkan secara eksplisit. Hal ini menunjukan bahwa

penanggulangan kemiskinan adalah bagian dari target keseluruhan

program pembangunan di semua bidang yang tidak perlu disebutkan

tersirat. Adapun prioritas dimensi program unggulan dalam RPJMN 2015-

2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2016 adalah pembangunan

infrastruktur, meliputi kedaulatan pangan, ketenagalistrikan, industri, ilmu

pengetahuan dan teknologi, pariwisata, dan kemaritiman. Koordinasi

program penanggulangan kemiskinan sebagaimana dijalankan oleh

pemerintahan terdahulu tergantikan oleh pembangunan infrastruktur yang

ditujukan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.

Pada era pemerintahan presiden SBY-Boediono, untuk

meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan, pemerintah

menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan penyempurnaan dari

Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Koordinasi

Penanggulangan Kemiskinan. Perbaikan kebijakan terkait penanggulangan

kemiskinan telah dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan

Kemiskinan (TNP2K). Perbaikan-perbaikan tersebut mencakup

pengembangan Basis Data Terpadu sebagai upaya perbaikan menyasar

programprogram berbasis rumah tangga dan individu. Perbaikan juga

dilakukan pada desain program mekanisme distribusi dari

masing-masing program.

Menurut TNP2K tren penurunan angka kemiskinan terputus saat

Indonesia dihantam krisis keuangan Asia 1997-1998. Mulai awal tahun

2000, tren penurunan tingkat kemiskinan mulai kembali lagi namun dengan

49

penurunan yang melambat dibandingkan dengan periode pra krisis 1997-

1998. Perlambatan penurunan tingkat kemiskinan ini terus berlanjut hingga

awal dumulainya periode pemerintahan SBY-Boediono pada tahun 2009.

2.5.2. POLITIK HUKUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

DI INDONESIA18

Kebijakan pembangunan suatu negara, termasuk dalam hal

penanggulangan kemiskinan tidak akan pernah bisa dilepaskan

dari dimensi politik dan dimensi hukum. Di Indonesia sebagai

konsekuensi dari pilihan untuk menjalankan pemerintahan

dengan sistem demokrasi, kedua dimensi diatas bahkan menjadi

prasyarat yang sangat menentukan keberhasilan maupun

kegagalan dari setiap kebijakan yang dikeluarkan. Bab ini akan

menguraikan politik hukum penanggulangan kemiskinan yang

terkandung dalam Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial,

sebagai Undang-Undang utama (terkait langsung) dengan bahasan

laporan, dan juga politik hukum Undang-Undang lain yang terkait

dengan penanggulang

1. Periode transisi tahun 2001-2004.

Secara makro tingkat kemiskinan Indonesia terus mengalami

penurunan meskipun penurunananya melambat. BPS merilis tingkat

kemiskinan nasional terbaru pada bulan Maret 2016 masih pada level

10,86% atau lebih 28 juta penduduk dari total penduduk, atau hanya

turun kurang dari 2% dari kondisi 5 tahun lalu yaitu Maret 2011 yang

sudah mencapai 12, 49%. Isu kemiskinan ini erat kaitannya dengan

persoalan ketimpangan atau kesenjangan, baik ketimpangan tingkat

18 Disadur dari Analisis Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan, Pusat Analisis dan

Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, Tahun 2016

50

kesejahteraan (antar kelompok pendapatan) maupun ketimpangan

antarwilayah.19

Dalam konteks upaya penanggulangan kemiskinan, pada periode

sebelum dan sesudah reformasi, adalah pada adanya instrumen untuk

mendukung prioritas pembangunan yang meliputi berbagai kebijakan,

baik berupa peraturan perundangundangan, peraturan pemerintah,

peraturan presiden, instruksi presiden maupun peraturan menteri

terkait sampai dengan peraturan daerah. Namun demikian, perbedaan

mendasar dari kebijakan pemerintah prareformasi dan pasca reformasi

adalah dalam hal pendekatan program. Upaya penanggulangan

kemiskinan di masa lalu cenderung bersifat project oriented dan

sektoral berdasarkan instruksi khusus dari presiden, misalnya melalui

Inpres Desa Tertinggal (IDT), sehingga sulit untuk mempertahankan

keberlanjutannya. Kebijakan pasca reformasi ditandai dengan

dikembangkannya pendekatan program secara nasional dan lintas

sektor dengan kerangka kebijakan dan graduasi yang lebih jelas melalui

pengembangan strategi khusus dan target kepada kelompok

masyarakat miskin.

Pendekatan program penanggulangan kemiskinan secara lintas

sektor ini sebenarnya telah dirintis sejak masa transisi pasca

reformasi dibawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid

(Gusdur), namun pada saat itu fokus utama pemerintahan masih

dibebani dengan konsolidasi dan normalisasi kondisi politik pasca

reformasi. Di Era Presiden Megawati Soekarnoputri, yaitu pada

akhir tahun 2001 menjadi salah satu tonggak perubahan

kebijakan penanggulangan kemiskinan nasional dengan

dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) melalui

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 124 Tahun 2001

19 Perbandingan Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Indonsia 1980-2014, BPS, Susenas dan Vivi Alatas

(Perhitungan Bank Dunia, 2014.

51

Tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan, yang kemudian

dilengkapi dengan Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2002.

Tugas awal dari KPK ini adalah untuk melakukan kajian-kajian

yang melibatkan berbagai pihak. Menteri Negara Perencanaan

Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS yang pada saat itu dijabat

oleh Kwik Kian Gie ditugaskan untuk melakukan penjabaran kebijakan

dalam rangka perencanaan program serta penentuan alokasi anggaran

yang diperlukan. Pada proses selanjutnya, kemudian dibentuk Tim

Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan

Penanggulangan Kemiskinan (TKP3KPK) di bawah koordinasi

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, yang

menghasilkan Dokumen Sementara Strategi Penanggulangan

kemiskinan (Interim Poverty Reduction Strategy Papers) pada tahun

2002-2003. Dokumen tersebut memuat prinsip dan langkah yang harus

dilakukan dalam penyusunan Strategi Nasional Penganggulangan

Kemiskinan (SNPK)

Pada tahun 2003, proses finalisasi dokumen SNPK dilakukan oleh

Satuan Kerja Finalisasi SNPK dibawah koordinator Kementerian Negara

PPN/Bappenas sebagai Pokja Perencanaan Makro Penanggulangan

Kemiskinan. Dokumen SNPK menjadi acuan bagi upaya

pananggulangan kemiskinan yang secara tegas disebutkan bahwa:

“Cara pandang kemiskinan ini beranjak dari pendekatan

berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik

laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang

sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak

lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi

juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan

perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki

dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara

bermartabat.”

52

Secara politis, periode transisi ini sangat penting karena di dalam

dokumen SNPK juga telah disepakati bahwa kemiskinan adalah masalah

multidimensi yang merupakan tanggung jawab semua pihak, baik

pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil, lembaga penelitian, dan

perguruan tinggi, maupun lembaga kemasyarakatan. Oleh karena itu,

upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan semua pihak dalam

rangka perwujudan keadilan dan kesetaraan gender, percepatan

pembangunan perdesaan, perkotaan, kawasan pesisir, dan kawasan

khusus dan tertinggal.

2. Periode Konsolidasi dan Inisiasi By Name By Address Tahun

2005-2009

Pada tahun 2004, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan

telah dituangkan dalam Rencana Aksi Penanggulangan Kemiskinan

2005-2009 yang diintegrasikan dalam Dokumen RPJMN 2005-2009 di

era Kabinet Indonesia Bersatu presiden Susilo Bambang Yudhoyono,

sehingga RKP setiap tahun juga menempatkan penanggulangan

kemiskinan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan. Sejalan

dengan diundangkannya sistem perencanaan pembangunan nasional,

secara khusus Sri Mulyani yang pada tahun 2005 menjabat sebagai

menteri PPN/Kepala Bappenas menegaskan komitmen politik KIB I di

dalam pidato pada Konferensi Nasional Penanggulangan Kemiskinan

dan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), yang

diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesra, di

Jakarta, pada tanggal 27 – 28 April 2005.

Prinsip utamanya menekankan bahwa Strategi Nasional

Penanggulangan Kemiskinan harus diintegrasikan dengan RPJMN 2005-

2009, dan RKP 2006. Di dalam dokumen RPJMN maupun RKP,

nomenklatur berbagai program penanggulangan kemiskinan dapat

diidentifikasi mulai dari tingkat urgensi penanggulangan kemiskinan di

dalam prioritas pembangunan nasional, kementerian/lembaga

53

pelaksana, nama program dan kegiatan, dan sasaran, serta alokasi

anggaran yang dibutuhkan.

Pada periode inilah penataan kelembagaan juga mulai

diupayakan, yaitu dengan pembentukan Tim Koordinasi

Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) melalui Peraturan Presiden Nomor

54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.

Secara bertahap, penataan kelembagaan tersebut juga dilakukan di

daerah dengan pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan

Kemiskinan Daerah (TKPKD) yang dikoordinir oleh Departemen Dalam

Negeri .

3. Periode Klasterisasi Tahun 2010-2014

Berkat kepopuleran PNPM Mandiri, KIB berlanjut ke jilid II dan

cakupan PNPM Mandiri diperluas, menjadi 5 program PNPM Mandiri Inti

dan berbagai program dalam koridor PNPM Mandiri Penguatan. Pada

periode ini, presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 15

Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dengan

tujuan utama untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga

8 % sampai 10 % pada akhir tahun 2014. Kontrak politik yang

ditawarkan pada rezim ini adalah empat strategi dasar untuk

percepatan penanggulangan kemiskinan, yaitu: (i)

Menyempurnakan program erlindungan sosial; (ii) Peningkatan akses

masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar; (iii)

Pemberdayaan masyarakat, dan (iv) Pembangunan yang inklusif.

Secara operasional, strategi tersebut didukung dengan

instrumen penanggulangan kemiskinan yang dibagi berdasarkan empat

klaster, masing-masing, yaitu Klaster I - Program bantuan sosial

terpadu berbasis keluarga; Klaster II – Program Penanggulangan

Kemiskinan berbasis Pemberdayaan Masyarakat; Klaster III –

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi

Mikro dan Kecil. Pada periode ini, basis data rumah tangga juga

mengalami pemutakhiran melalui PPLS 2011 inilah yang kemudian

54

menjadi penyempurna dikeluarkannya kebijakan Klaster IV-Program

Pro-Rakyat.

4. Periode Transformasi Tahun 2015-2019

Pada periode Transformasi tahun 2015-2019, secara yuridis,

landasan hukum pelaksanaan program penangulangan kemiskinan

tidak didasarkan pada dukungan peraturan perundang-undangan

spesifik, misalnya undang-undang, peraturan presiden, instruksi

presiden mengenai PNPM Mandiri, dan peraturan menteri. Acuan utama

yang digunakan adalah Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2015

tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010

tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

Di dalam RPJMN 2015-2019, pada masa pemerintah Jokowi-JK

melakukan perubahan secara mayoritas, hamper dilakukan perubahan

secara berkala baik dengan strategi penanggulangan kemiskinan. Hal

ini dapat dilihat dimana di saat pemerintahan bapak SBY pendekataan

dialakukan dengan cluster, ada empat cluster program penanggulangan

kemiskinan, namun sekarang pendekatan melalui 3 strategi yaitu:

a. Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial yang komprehensif,

yang terdiri atas dua, yaitu: (1) Jaminan Sosial. Program BPJS dalam

skema BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan; dan (2) Skema

Bantuaan Sosial, yang mulai tahun 2017 sudah akan dimulai

mekanisme bantuan sosial non-tunai dengan ujcoba di 44 kota.

b. Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Dasar bagi Masyarakat

Miskin dan Rentan Pelayanan dasar ini termasuk insfrastruktur dan

pelayanan publik, sebagaimana juga diamanatkan melalui Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di dalam

Undang-Undang tersebut jelas diatur urusan wajib pemerintah

daerah terkait dengan pelayanan dasar, yaitu mencakup 6 aspek

utama: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan

ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman,

ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; serta sosial.

55

c. Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (P2B)/Sustainable

Livehoods Approach (SLA)

Pendekatan ini merupakan transformasi dari pendekatan CDD PNPM

Mandiri yang difokuskan untuk pengembangan ekonomi rumah

tangga miskin melalui perluasan akses pada pekerjaan dan usaha

ekonomi produktif (dimana PNPM Mandiri sebelumnya difokuskan

pada pengembangan infrastruktur dasar di tingkat masyarakat

(penanggulangan Kemiskinan di dalam Dokumen RPJMN 2015-

2019.

Dengan tiga program ini pemerintah akan merubah paradigma

yang baru dimana sebelumnya memiliki banyak program sehingga

susah untuk proses evaluasi keberhasilan dan kegagalannya. Seiring

dengan meningkatnya porsi transfer dana dari Pemerintah Pusat ke

Pemerintah Daerah, peluang Pemerintah Daerah semakin besar untuk

mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pendekatan

SLA yang didasarkan pada pembangunan Pentagonal Asset (5 aset

utama) livelihoods, yaitu: aset manusia, aset fisik, aset SDA, aset sosial

dan aset finansial. Selan itu, yang semula target utama adalah

komunitas, SLA ini mengedepankan pendekatan berbasis keluarga atau

rumah tangga pada wilayah-wilayah yang menjadi kantong kemiskinan

(bukan seluruh wilayah ala PNPM mandiri).

2.6. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENANGGULANGAN

KEMISKINAN

56

Dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan Daerah Kota Sukabumi

Tahun 2005 - 202520, disebutkan bahwa salah satu tantangan dalam

pembangunan di daerah khususnya di bidang ekonomi adalah kemiskinan. Oleh

karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas utama dalam

penanggulangan jangka panjang sehingga pada 20 tahun mendatang jumlah

penduduk miskin di Kota Sukabumi terus berkurang dan secara bertahap dapat

terpenuhi hak dasar rakyat miskin. Masalah kemiskinan sangat berkaitan dengan

ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup

layak, kebutuhan akan pangan, sandang, rumah, kesehatan, dan pendidikan

merupakan tantangan ke depan yang harus mendapatkan perhatian yang serius

dari pemerintah.

berdasarkan tantangan tersebut, arah pembangunan jangka panjang

Daerah tahun 2005-2025, khusunya yang berkenaan dengan penanggulangan

kemiskinan, antara lain sebagi berikut:

a. Pertumbuhan penduduk yang seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk

yang terkendali serta lebih terbukanya kesempatan kepada masyarakat miskin

untuk dapat meningkatkan kualitas dirinya;

b. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang berkesinambungan dan

berkualitas termasuk bagi penduduk miskin melalui peningkatan upaya

kesehatan, pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan, obat, perbekalan

kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan. Upaya

tersebut dilakukan dengan memperhatikan dinamika kependudukan,

epidemologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan Iptek,

dan globalisasi dengan semangat kemitraan, dan kerjasama lintas sektor;

c. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara bersama-sama dengan

titik berat pada pelayanan kesehatan ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut

dan masyarakat miskin. Di samping itu juga dilaksanakan dengan usaha

sanitasi, peningkatan kualitas gizi masyarakat dan pengendalian penyakit

20 Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Daerah (Rpjpd) Kota Sukabumi Tahun 2005 - 2025

57

menular, serta pengembangan peran institusi-institusi kesehatan

masyarakat sebagai pusat pemberdayaan untuk membentuk lingkungan

dan perilaku sehat serta peningkatan peran dan fungsi kaum perempuan

sebagai penggerak pembangunan di seluruh tingkat dan lapisan

masyarakat; dan

d. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan

sanitasi diarahkan pada peningkatan kualitas pengelola aset, pemenuhan

kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar dan penyelenggaraan

pelayanan yang berkualitas, kredibilitas, dan profesional, serta penyediaan

sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan

sanitasi bagi masyarakat miskin.

2.7. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah

Sebagaimana telah diuraikan, dalam menyelenggarakan urusan

Pemerintah yang menjadi kewenangan, Pemerintah Daerah menjalankan otonomi

seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintah yang

menjadi urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, meliputi : politik luar negeri, pertahanan

dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.

Dengan melihat ruang lingkup kewenangan Daerah di atas, dapat

dipastikan, urusan membuat Peraturan Daerah termasuk dalam urusan otonomi

Daerah.

Dalam politik hukum, pelimpahan wewenang dibedakan menjadi 2 (dua)

macam, yaitu mandat dan delegasi21. Dalam pelimpahan wewenang secara

mandat, yang beralih hanya sebagian wewenang. Oleh sebab itu,

pertanggungjawaban tetap pada pemberi mandat.

21 Istilah dalam mandate (mandans = yang melimpahkan mandat, mandataris = yang mendapat mandat) istilah dalam

delegasi (delegans = yang melimpahkan delegasi, delegataris = yang mendapat delegasi)

58

Dalam pelimpahan wewenang secara delegasi, yang beralih adalah seluruh

wewenang dari delegans. Sehingga apabila ada penuntutan, maka yang

bertanggungjawab sepenuhnya adalah delegataris.

Menurut Muchsan, kewenangan diperoleh melalui 2 (dua) cara, yaitu;

kewenangan atributif dan kewenangan non atributif. Kewenangan yang bersifat

atributif (orisinal) yaitu kewenangan yang diberikan secara langsung oleh

peraturan perundang-undangan. Kewenangan atributif bersifat permanen atau

tetap ada selama undang-undang mengaturnya. Misalnya Presiden berhak

membuat Rancangan Undang-Undang. Kewenangan ini secara langsung diberikan

oleh peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Contoh

lain adalah Gubernur berhak membuat Peraturan Gubernur sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Keabsahan dari kewenangan ini

tidak perlu dipertanyakan atau diperdebatkan, karena sumbernya dari peraturan

perundang-undangan.

Terdapat 4 (empat) sistem pembagian kewenangan menurut Muhammad

Abud Musa’ad22, Pertama, sistem residu, yaitu secara umum telah ditentukan lebih

dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan

sisanya menjadi urusan rumah tangga Daerah. Sistem ini umumnya dianut oleh

negara-negara di daratan Eropa seperti Perancis, Belgia, dan Belanda. Kebaikan

sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru,

Pemerintah Daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang

dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari Pusat.

Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat

kemampuan Daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai

lapangan atau bidang. Akibatnya bidang atau tugas yang dirumuskan secara

umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi Daerah yang kapasitasnya besar, atau

sebaliknya terlalu luas bagi Daerah yang kemampuannya terbatas.

22 Muhammad Abud Musa’ad, Penguatan Otonomi Daerah di Balik Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi, Penerbit ITB, 2002,hlm.28

59

Kedua, sistem material. Dalam sistem ini, tugas Pemerintah Daerah

ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Selain dari tugas yang telah

ditentukan, merupakan urusan Pemerintah Pusat. Sistem ini lebih banyak dianut

oleh negara-negara Anglo Saxon, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Cara ini

kurang begitu fleksibel, karena setiap perubahan tugas dan wewenang Daerah

baik yang bersifat pengurangan maupun penambahan, harus dilakukan melalui

prosedur yang lama dan berbelit-belit. Hal ini tentunya akan menghambat

kemajuan bagi Daerah yang mempunyai inisiatif/prakarsa, karena mereka harus

menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu

urusan menjadi terbengkalai, tidak diurus oleh Pemerintah Pusat dan tidak pula

oleh Pemerintah Daerah. Sistem ini pernah diatur oleh Negara Republik Indonesia

pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Staatblad

Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950.

Ketiga, sistem formal. Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam

urusan rumah tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan

undang-undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang

dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah

diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi

tingkatannya. Jadi, urusan yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah yang

lebih tinggi tingkatnya, tidak boleh diatur dan diurus lagi oleh Daerah. Dengan

perkataan lain, urusan rumah tangga Daerah dibatasi oleh peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatnya (hierarchische taakafbakening).

Keempat, sistem riil. Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan

kewenangan kepada Daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari Daerah maupun Pemerintah

Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian

tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan yang riil di

dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa

tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat dapat

diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan melihat kepada kemampuan dan

keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri, sebaliknya bilamana dipandang

60

perlu, suatu urusan dapat diserahkan kembali kepada Pemerintah Pusat atau

ditarik kembali dari Daerah. Sistem ini dianut oleh Negara Republik Indonesia pada

saat berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden

Nomor 6 Tahun 1956 (disempurnakan), Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960

(disempurnakan), dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.

2.8. ASAS-ASAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

Dalam rangka penyusunan Raperda tentang Penaggulangan Kemiskinan,

dengan mempertimbangkan permasalahan yang dihadapi serta berbagai teori

dan hukum positif yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan

kesejahteraan sosial, maka asas-asas yang melandasinya meliputi :

a. Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam

setiap kebijakan pemerintah daerah. Dalam hal ini, perlu adanya kepastian

hukum dalam penanggulangan kemiskinan di Kota Sukabumi.

b. Asas keterbukaan

Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif dalam

penyelenggaraan pemerintahan Daerah.

c. Asas proporsionalitas

Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara

hak dan kewajiban.

d. Asas akuntabilitas

Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Daerah harus dapat

61

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi negara.

e. Asas efisiensi berkeadilan

Yaitu asas yang mendasari penanggulangan kemiskinan dengan

mengedepankan efisiensi berkeadilan.

f. Asas efektivitas

Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah

ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.

g. Asas keadilan

Keadilan adalah keseimbangan antara distribusi kewenangan dan

pendanaannya.

h. Asas desentralisasi

Adalah penanggulangan kemiskinan di Kota Sukabumi dilaksanakan sesuai

dengan kewenangan daerah, serta mempertimbangkan potensi Daerah yang

dimiliki.

62

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Dalam pembentukan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan perlu

diperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan

perundang-undangan yang setara dengan undang-undang; peraturan

pemerintah; peraturan menteri; dan peraturan daerah; yang memiliki hubungan

dengan Raperda. Dengan menganalisis hubungan tersebut dapat dirancang pasal-

pasal di dalam Raperda.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan pembentukan

Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan, antara lain: (a) Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; (b) Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

(c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; (d)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (e)

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Upaya

Penanggulangan Fakir Miskin; (f) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012

Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial; DAN (g) Peraturan Presiden

Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan;

A. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

Pembentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 didasarkan pada

kerangka pemikian bahwa pembangunan kesejahteraan sosial merupakan

perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila kelima

Pancasila menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

63

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini

menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan

dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara.

Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan

fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan

bermartabat.

Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak

terlantar. Bagi fakir miskin dan anak terlantar seperti yang dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah dan

pemerintah daerah memberikan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan

sosial, dan perlindungan sosial sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban

negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga negara

yang miskin dan tidak mampu.

Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diperlukan peran

masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi

keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,

organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, maupun lembaga

kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang

terarah, terpadu, dan berkelanjutan.

Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara, serta untuk

menghadapi tantangan dan perkembangan kesejahteraan sosial di tingkat lokal,

nasional, dan global, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009

tentang Kesejahteraan Sosial sebagai penggantian Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang

diantaranya mengatur ketentuan mengenai penanggulangan kemiskinan.

64

Terkait dengan penyelesaian Penanggulangan Kemiskinan, Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2003 yang mengatur sebagai berikut :

1. Pasal 5 :

(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada : a. perseorangan;

b. keluarga; c. kelompok; dan/atau

d. masyarakat. (2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki

kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial:

a. kemiskinan; b. ketelantaran;

c. kecacatan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;

f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

2. Pasal 19 :

Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok

dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan

yang layak bagi kemanusiaan.

3. Pasal 20 :

Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk: a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan

dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin;

b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan,

perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar; c. mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial

yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; dan

d. memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan.

4. Pasal 21 :

Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk: a. penyuluhan dan bimbingan sosial;

b. pelayanan sosial;

65

c. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha; d. penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar;

e. penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar; f. penyediaan akses pelayanan perumahan dan permukiman;

dan/atau g. penyediaan akses pelatihan, modal usaha, dan pemasaran hasil

usaha.

5. Pasal 24 :

(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab:

a. Pemerintah; dan b. Pemerintah daerah.

(2) Tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh Menteri.

(3) Tanggungjawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan:

a. untuk tingkatprovinsi oleh gubernur; b. untuk tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota

6. Pasal 29 :

Tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam

menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi: a. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan

kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah;

b. melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di wilayahnya/ bersifat lokal, termasuk tugas pembantuan;

c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulant kepada

masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;

d. memelihara taman makam pahlawan; dan e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan

kesetiakawanan sosial.

7. Pasal 30 :

Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan

kesejahteraan sosial meliputi: a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial

yang bersifat lokal selaras dengan kebijakan pembangunan

nasional dan provinsi di bidang kesejahteraan sosial; b. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan

kesejahteraan sosial di wilayahnya; c. pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan

penyaluran bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya; d. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan

66

e. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.

8. Pasal 31 :

Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian penyelenggaraan

kesejahteraan sosial.

B. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan pelaksanaan dari

perintah Pasal 22A UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih

lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut

dengan undang-undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diperluas tidak hanya mengatur

pembentukan undang-undang, tetapi mencakup pula peraturan perundang-

undangan lainnya, di luar UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat.

Pembentukan dan penetapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

dilakukan berdasakan didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia adalah

negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang

kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus

berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem

hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua

elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka

mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD

1945.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan

terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu antara lain: (a)

materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan

kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;

67

(b) teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; (c) terdapat materi

baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan (d) penguraian materi

sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.

Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang

ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu antara lain :

(a) penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu

jenis peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah UUD;

(b) perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan yang tidak

hanya untuk program legislasi nasional dan program legislasi daerah, melainkan

juga perencanaan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan

perundang-undangan lainnya; (c) pengaturan mekanisme pembahasan

rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti

undang- undang; (d) pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan

dalam penyusunan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah

provinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota; (e) pengaturan

mengenai keikutsertaan perancang peraturan perundang-undangan, peneliti, dan

tenaga ahli dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan; (f) dan

penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik.

Secara umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat materi-

materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan

peraturan perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan

perundang-undangan; perencanaan peraturan perundang-undangan;

penyusunan peraturan perundang-undangan; teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang;

pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan

peraturan daerah kabupaten/kota; pengundangan peraturan perundang-

undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai

pembentukan keputusan presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.

68

Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan

penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada

dasarnya harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau

kondisi serta jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang

pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,

seperti pembahasan rancangan peraturan pemerintah, rancangan peraturan

presiden, atau pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan lainnya

sesuai di luar undang-undang dan peraturan daerah.

Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik

penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya. Penyempurnaan

terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut

dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih

jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan peraturan

perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan di daerah.

Berkenaan dengan kebijakan penanggulangan kemisikinan, dalam

ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, diatur bahwa :

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta

menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih

lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa, Kota Sukabumi dapat

membentuk Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang hierakinya lebih tinggi.

C. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Faskir

Miskin.

69

Kerangka dasar penyusunan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011

adalah tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945

adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darahIndonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Negara berkewajiban

mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kondisi kefakiran dan kemiskinan

sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Kewajiban negara dalam membebaskan dari kondisi tersebut dilakukan

melalui upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebutuhan

dasar. Upaya tersebut harus dilakukan oleh negara sebagai prioritas utama dalam

pembangunan nasional termasuk untuk mensejahterakan fakir miskin.

Landasan hukum bagi upaya mensejahterakan fakir miskin sampai saat ini

masih bersifat parsial yang tersebar di berbagai ketentuan peraturan perundang-

undangan, sehingga diperlukan adanya undang-undang yang secara khusus

mengatur fakir miskin.

Dengan adanya undang-undang yang secara khusus mengatur fakir miskin,

diharapkan memberikan pengaturan yang bersifat komprehensif dalam upaya

mensejahterakan fakir miskin yang lebih terencana, terarah, dan berkelanjutan.

Adapun materi pokok yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2011, antara lain hak dan tanggung jawab, penanganan fakir miskin, tugas dan

wewenang, sumber daya, koordinasi dan pengawasan, peran serta masyarakat,

dan ketentuan pidana. undang-undang ini diharapkan dapat memberikan keadilan

sosial bagi warga negara untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat.

Adapun klausul yang mengatur ketentuan mengenai penanggulangan

kemiskinan, sebagai berikut :

1. Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 3 :

Angka 1 :

70

Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata

pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau

keluarganya.

Angka 2 :

Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan

berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk

memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.

Angka 3 :

Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan,

kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.

2. Pasal 3 :

Fakir miskin berhak:

a. memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan; b. memperoleh pelayanan kesehatan;

c. emperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; d. mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun,

mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya

sesuai dengan karakter budayanya; e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial,

pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya;

f. memperoleh derajat kehidupan yang layak; g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat; h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan;

dan i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.

3. Pasal 4 :

Fakir miskin bertanggung jawab: a. menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat

merusak kesehatan, kehidupan sosial, dan ekonominya; b. meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam

bermasyarakat; c. memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf

kesejahteraan serta berpartisipasi dalam upaya penanganan kemiskinan; dan

71

d. berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan bagi yang mempunyai potensi.

4. Pasal 5 :

Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan

masyarakat.

5. Pasal 6 :

Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:

a. perseorangan; b. keluarga;

c. kelompok; dan/atau d. masyarakat.

6. Pasal 7 :

(1) Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:

a. pengembangan potensi diri; b. bantuan pangan dan sandang;

c. penyediaan pelayanan perumahan; d. penyediaan pelayanan kesehatan;

e. penyediaan pelayanan pendidikan; f. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha; g. bantuan hukum; dan/atau

h. pelayanan sosial. (2) Penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dilakukan melalui: a. pemberdayaan kelembagaan masyarakat;

b. peningkatan kapasitas fakir miskin untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha;

c. jaminan dan perlindungan sosial untuk memberikan rasa aman bagi fakir miskin;

d. kemitraan dan kerja sama antarpemangku kepentingan; dan/atau

e. koordinasi antara Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

7. Pasal 8 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (8) dan ayat (9):

Ayat (1):

Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk

melaksanakan penanganan fakir miskin.

Ayat (3):

72

Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

kegiatan statistik untuk melakukan pendataan.

Ayat (4):

Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan

yang dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik sebagaimana dimaksud

pada ayat (3).

Ayat (7):

Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan atau desa.

Ayat (8):

Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7)

dilaporkan kepada Bupati/Walikota.

Ayat (9):

Bupati/Walikota menyampaikan hasil verifikasi dan validasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.

8. Pasal 9 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) :

Ayat (3) :

Lurah atau Kepala Desa atau nama lain yang sejenis wajib

menyampaikan pendaftaran atau perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Bupati/Walikota

melalui Camat.

Ayat (4):

Bupati/Walikota menyampaikan pendaftaran atau perubahan data

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.

Ayat (5):

Dalam hal diperlukan, Bupati/Walikota dapat melakukan verifikasi dan validasi terhadap pendaftaran danperubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

73

9. Pasal 11 :

(1) Data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi yang disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (9) dan Pasal 9 ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk

memberikan bantuan dan/atau pemberdayaan. (3) Setiap orang dilarang memalsukan data fakir miskin baik yang

sudah diverifikasi dan divalidasi maupun yang telah ditetapkan oleh Menteri.

10. Pasal 12 :

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengembangkan potensi diri bagi perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat.

(2) Pengembangan potensi diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui bimbinganmental, spiritual, dan

keterampilan.

11. Pasal 13 :

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab

menyediakan bantuan pangan dan sandang yang layak.

12. Pasal 14 :

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab

menyediakan pelayanan perumahan.

13. Pasal 15 :

a. Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyelenggarakan penyediaan pelayanan kesehatan, baik

dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.

b. Pembiayaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui

sistem jaminan sosial nasional.

14. Pasal 16 :

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab memberi

bantuan biaya pendidikan atau beasiswa.

15. Pasal 17 :

74

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan akses kesempatan kerja dan berusaha, yang

dilakukan melalui upaya: a. penyediaan informasi lapangan kerja;

b. pemberian fasilitas pelatihan dan keterampilan; c. peningkatan akses terhadap pengembangan usaha mikro;

dan/atau d. penyediaan fasilitas bantuan permodalan.

16. Pasal 18 :

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan sosial.

(2) Pelayanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. meningkatkan fungsi sosial, aksesibilitas terhadap pelayanan

sosial dasar, dan kualitas hidup;

b. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial secara melembaga dan

berkelanjutan; c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah

dan menangani masalah kemiskinan; dan

d. meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial.

17. Pasal 27

Penyaluran bantuan kepada fakir miskin diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara komprehensif dan

terkoordinasi.

18. Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) :

Ayat (1) :

Dalam penyelenggaraan penanganan fakir miskin, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bertugas:

a. memfasilitasi, mengoordinasikan, dan menyosialisasikan pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program penyelenggaraan penanganan kemiskinan, dengan memperhatikan kebijakan

provinsi dan kebijakan nasional; b. melaksanakan pemberdayaan pemangku kepentingan dalam

penanganan fakir miskin pada tingkat kabupaten/kota; c. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap

kebijakan, strategi, serta program dalam penanganan fakir miskin pada tingkat kabupaten/kota;

d. mengevaluasi kebijakan, strategi, dan program pada tingkat

kabupaten/kota; e. menyediakan sarana dan prasarana bagi penanganan fakir

miskin;

75

f. mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk menyelenggarakan

penanganan fakir miskin.

Ayat (2) :

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang menetapkan kebijakan, strategi, dan program tingkat Kabupaten/Kota dalam

bentuk rencana penanganan fakir miskin di daerah dengan berpedoman pada kebijakan, strategi, dan program nasional.

D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah

Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut dari Alinea

Ketiga dan Keempat Pembukaan UUD Tahun 1945. Alinea Ketiga memuat

pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan Alinea Keempat memuat

pernyataan bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk

adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang

bertanggungjawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh

bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selanjutnya Pasal 1 UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia

adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Konsekuensi logis sebagai

Negara kesatuan adalah dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagai

Pemerintah Nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional

tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD Tahun 1945

menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan

mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas

Pembantuan. Pemberian otonomi kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi,

76

dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan

dayasaing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam

sistem NKRI.

Pemberian otonomi kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara

kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan

negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh

karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab

akhir penyelenggaraan pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah

Pusat. Untuk itu pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu

kesatuan dengan pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat

dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.

Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi,

inovasi, dayasaing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut

di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional

secara keseluruhan.

Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

otonomi berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan

kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan

hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang

lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya

maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan

kearifan lokal dan sebaliknya, Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik

dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan

kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara

kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan,

dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.

Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu

kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan

mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat

kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Daerah dan

77

DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan Pemerintahan yang

diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan

Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir

pemerintahan ada di tangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan

yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional, maka

Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh Menteri

Negara dan setiap Menteri bertanggungjawab atas Urusan Pemerintahan tertentu

dalam pemerintahan. Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung

jawab Menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.

Konsekuensi Menteri sebagai Pembantu Presiden adalah kewajiban Menteri atas

nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat

dan Daerah, Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian berkewajiban

membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman

bagi Daerah dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke

Daerah dan menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga Pemerintah

Nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Presiden

melimpahkan kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator pembinaan dan

pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah

Nonkementerian terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian melakukan pembinaan dan

pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian melaksanakan

pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut

diharapkan mampu menciptakan harmonisasi antar Kementerian/Lembaga

Pemerintah Nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.

Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di Pusat yang terdiri atas

lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan pemerintahan

78

Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah

berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang diberi

mandat rakyat untuk melaksanakan

Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian

maka DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang

mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda,

anggaran dan pengawasan, sedangkan Kepala Daerah melaksanakan fungsi

pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan

Kepala Daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.

Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan Daerah, maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas,

wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun

cukup diatur dalam undang-undang ini secara keseluruhan guna memudahkan

pengaturannya secara terintegrasi.

Sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, terdapat Urusan Pemerintahan

yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan

istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.

Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan

Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah

Provinsi, dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam

Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar dan Urusan

Pemerintahan Wajib yang tidak terkait pelayanan dasar. Untuk Urusan

Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar ditentukan Standar Pelayanan

Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.

Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Daerah Provinsi dengan

Daerah Kabupaten/Kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya

akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.

Walaupun Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai Urusan

Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan

terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah

79

Kabupaten/Kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat

oleh Pemerintah Pusat.

Di samping urusan pemerintahan absolut dan Urusan Pemerintahan

Konkuren, dalam Undang-Undang ini dikenal adanya Urusan Pemerintahan

Umum. Urusan Pemerintahan Umum menjadi kewenangan Presiden sebagai

kepala pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, UUD 1945,

Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi berdasarkan suku,

agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara,

serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan Urusan

Pemerintahan Umum di Daerah melimpahkan kepada Gubernur sebagai Kepala

Pemerintahan Provinsi dan kepada Bupati/Wali Kota sebagai Kepala Pemerintahan

Kabupaten/Kota.

Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Daerah, Kepala Daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah

membuat Perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan

Otonomi Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan

dari Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-

batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian Perda yang

ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki

peraturan perundang-undangan. Disamping itu Perda sebagai bagian dari sistem

peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda.

Daerah melaksanakan Otonomi Daerah yang berasal dari kewenangan

Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat tanggung jawab

akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka konsekuensi

logisnya kewenangan untuk membatalkan Perda ada di tangan Presiden. Presiden

melimpahkan kewenangan pembatalan Perda Kabupaten/Kota kepada Gubernur

selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Untuk menghindari terjadinya

kesewenang-wenangan dalam pembatalan Perda, maka Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dapat mengajukan keberatan pembatalan Perda Kabupaten/Kota

80

yang dilakukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat kepada Menteri. Dari

sisi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, keputusan yang diambil oleh Menteri

bersifat final.

Dalam rangka menciptakan tertib administrasi pelaporan Perda, setiap

Perda yang akan diundangkan harus mendapatkan nomor register terlebih dahulu.

Perda Kabupaten/Kota mendapatkan nomor register dari Gubernur sebagai Wakil

Pemerintah Pusat. Dengan adanya pemberian nomor register tersebut akan

terhimpun informasi mengenai keseluruhan Perda yang dibentuk oleh Daerah dan

sekaligus juga informasi Perda secara nasional.

Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa

tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang

bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di Daerah dalam

memajukan daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas Daerah untuk

meningkatkan dayasaing Daerah. Untuk itu perlu adanya kriteria yang obyektif yang

dapat dijadikan pegangan bagi Pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan yang

bersifat inovatif. Dengan cara tersebut inovasi akan terpacu dan berkembang tanpa

ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum.

Pada dasarnya perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditujukan

untuk mendorong lebih terciptanya dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan

pemerintahan Daerah dalam menyejahterakan masyarakat, baik melalui peningkatan

pelayanan publik maupun melalui peningkatan dayasaing Daerah. Perubahan ini

bertujuan untuk memacu sinergi dalam berbagai aspek dalam penyelenggaraan

pemerintahan Daerah dengan Pemerintah Pusat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 melakukan pengaturan yang bersifat

afirmatif yang dimulai dari pemetaan Urusan Pemerintahan yang akan menjadi

prioritas Daerah dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan

tersebut akan tercipta sinergi Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian

yang Urusan Pemerintahannya didesentralisasikan ke Daerah. Sinergi Urusan

Pemerintahan akan melahirkan sinergi kelembagaan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah karena setiap Kementerian/Lembaga Pemerintah nonkementerian akan tahu

siapa pemangku kepentingan (stakeholder) dari Kementerian/Lembaga Pemerintah

81

Nonkementerian tersebut di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota secara nasional.

Sinergi Urusan Pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi

dalam perencanaan pembangunan antara Kementerian/Lembaga Pemerintah

Nonkementerian dengan Daerah untuk mencapai target Nasional. Manfaat

lanjutannya adalah akan tercipta penyaluran bantuan yang terarah dari

Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian terhadap Daerah-Daerah yang

menjadi stakeholder utamanya untuk akselerasi realisasi target Nasional tersebut.

Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya

dukungan personel yang memadai, baik dalam jumlah maupun standar kompetensi

yang diperlukan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah. Dengan cara tersebut, Pemerintah Daerah akan mempunyai

birokrasi karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.

Langkah berikutnya adalah adanya jaminan pelayanan publik yang disediakan

Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah wajib

membuat “Maklumat Pelayanan Publik”, sehingga masyarakat di Daerah tersebut

tahu jenis pelayanan publik yang disediakan, bagaimana mendapatkan aksesnya,

serta kejelasan dalam prosedur dan biaya untuk memperoleh pelayanan publik

tersebut serta adanya saluran keluhan manakala pelayanan publik yang didapat tidak

sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

Langkah akhir untuk memperkuat Otonomi Daerah adalah adanya

mekanisme pembinaan, pengawasan, pemberdayaan, serta sanksi yang jelas dan

tegas. Adanya pembinaan dan pengawasan serta sanksi yang tegas dan jelas

tersebut memerlukan adanya kejelasan tugas pembinaan, dan pengawasan dari

Kementerian yang melakukan pembinaan dan pengawasan umum serta

Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang melaksanakan

pembinaan teknis. Sinergi antara pembinaan dan pengawasan umum dengan

pembinaan dan pengawasan teknis, akan memberdayakan Daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan Daerah.

Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota,

diperlukan peran dan kewenangan yang jelas dan tegas dari Gubernur sebagai

82

Wakil Pemerintah Pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan

pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota.

Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang

berhubungan dengan Raperda tentang penanggulangan kemiskinan, sebagai

berikut :

1. Pasal 12 ayat (1) :

Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. pendidikan; b. kesehatan;

c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;

dan f. sosial

2. Pasal 236 :

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi

muatan: a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;

dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. (4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, huruf F Pembagian Urusan

Pemerintahan Bidang Sosial, Sub Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial,

yaitu:

a. Pemeliharaan anak-anak terlantar. b. Pendataan dan Pengelolaan data fakir miskin cakupan Daerah

kabupaten/kota.

E. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

83

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 merupakan pelaksanaan dari

ketentuan Pasal 8, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 35 ayat (3), Pasal 45, dan

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009. Adapun kerangka pemikiran

pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa

Kesejahteraan sosial merupakan suatu kondisi yang harus diwujudkan bagi

seluruh warga negara di dalam pemenuhan kebutuhan material, spiritual, dan

sosial agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat

melaksanakan fungsi sosialnya. Hal ini merupakan salah satu amanat Pembukaan

UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan bahwa negara melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta

melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial. Namun pada kenyataannya permasalahan yang berkaitan dengan

kesejahteraan sosial cenderung meningkat baik kualitas maupun kuantitas. Masih

banyak warga negara belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya karena

kondisinya yang mengalami hambatan fungsi sosial, akibatnya mereka mengalami

kesulitan dalam mengakses sistem pelayanan sosial dan tidak dapat menikmati

kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Selain itu penyelenggaraan kesejahteraan sosial juga mengalami

permasalahan sebagai akibat dari belum optimalnya dukungan sumber daya

manusia, peran masyarakat, dan dukungan pendanaan. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, diperlukan adanya upaya terarah, terpadu, dan

berkelanjutan baik yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan

masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi sosial,

jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial, sehingga

diharapkan dapat mempercepat terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh

masyarakat.

Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, Pemerintah sangat

membutuhkan peran masyarakat, namun Pemerintah tetap perlu mengatur

tentang peran masyarakat tersebut khususnya mengenai pendaftaran lembaga

yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial dan izin bagi lembaga

84

kesejahteraan sosial asing. Pendaftaran dan perizinan tersebut dimaksudkan

sebagai upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang lebih profesional

dimasa mendatang.

Adapun ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012

yang berhubungan dengan Raperda tentang penanggulangan kemiskinan,

sebagai berikut terdapapat dalam Pasal 51, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

(2) Peran masyarakat dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dapat dilakukan oleh:

a. perseorangan; b. keluarga; c. organisasi keagamaan;

d. organisasi sosial kemasyarakatan; e. lembaga swadaya masyarakat;

f. organisasi profesi; g. badan usaha;

h. Lembaga Kesejahteran Sosial; dan i. Lembaga Kesejahteraan Sosial Asing.

(3) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk

mendukung keberhasilan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

F. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan

Upaya Penanggulangan Fakir Miskin

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 merupakan pelaksanaan

ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011. Peraturan Pemerintah

ini dibentuk dengan kerangka pemikiran bahwa Fakir Miskin merupakan suatu

keadaan seseorang yang tidak dapat memenuhi Kebutuhan Dasar sebagai akibat

tidak mempunyai sumber mata pencaharian atau mempunyai sumber mata

pencaharian namun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Untuk dapat mengatasi hal tersebut diperlukan upaya penanganannya

secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan

kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi

kebutuhan dasar setiap warga negara.

85

Upaya penanganan fakir miskin merupakan salah satu amanat dari Pasal

34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak

terlantar dipelihara oleh negara. Namun kenyataannya, jumlah masyarakat yang

tergolong fakir miskin sangat banyak dan tersebar di wilayah perdesaan,

perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, tertinggal/terpencil, atau perbatasan

antarnegara sesuai dengan kondisi demografis dan kondisi geografis wilayah

Indonesia. Kondisi tersebut merupakan salah satu yang menyebabkan fakir miskin

mengalami hambatan dan kesulitan dalam mengakses fasilitas bagi pemenuhan

kebutuhan dasarnya. Selain itu, kondisi pertumbuhan perekonomian Indonesia

belum mencapai pada taraf yang memungkinkan bagi fakir miskin untuk

mempunyai kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya secara mandiri.

Adapun ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013

yang berhubungan dengan Raperda tentang penanggulangan kemiskinan,

sebagai berikut :

1. Pasal 1 angka 2:

Penanganan Fakir Miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan

berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan

kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.

2. Pasal 41 ayat (1):

Bupati/walikota mengoordinasikan pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin pada tingkat kabupaten/kota.

G. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan.

Pembentukan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 didasarkan pada

kerangka pemikiran bahwa kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang

mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang

sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan

86

memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak melalui pembangunan

inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang

bermartabat.

Dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan

langkah-langkah koordinasi secara terpadu lintas pelaku dalam penyiapan

perumusan dan penyelenggaraan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan diperlukan

upaya penajaman yang meliputi penetapan sasaran, perancangan dan

keterpaduan program, monitoring dan evaluasi, serta efektifitas anggaran, perlu

dilakukan penguatan kelembagaan di tingkat nasional dan daerah yang

menangani penanggulangan kemiskinan.

Adapun ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 yang

berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, sebagai berikut :

1. Pasal 1 angka 1 dan angka 2

Angka 1 :

Penanggulangan Kemiskinan adalah kebijakan dan program

pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan

masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.

Angka 2 :

Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan

usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.

2. Pasal 2 ayat (2) :

Arah kebijakan penanggulangan kemiskinan daerah berpedoman

pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.

3. Pasal 15 :

87

Dalam upaya meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota, dibentuk Tim

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang selanjutnya disebut TKPK.

4. Pasal 16 ayat (2) :

Di tingkat kabupaten/kota dibentuk TKPK Kabupaten/Kota, yang

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

5. Pasal 17 :

TKPK Provinsi dan Kabupaten/Kota bertugas melakukan koordinasi

penanggulangan kemiskinan di daerah masing-masing sekaligus mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan program

penanggulangan kemiskinan sesuai Keputusan Tim Nasional.

88

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN

YURIDIS

4.1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis pada prinsipnya memuat pandangan hidup, kesadaran

dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang terdapat dalam Pancasila dan

Pembukaan UUD 1945. Peraturan daerah harus memuat norma-norma hukum

yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur

kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu idealnya

peraturan daerah dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu

masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam

kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan peraturan daerah dalam kenyataan.

Karena itu, cita-cita filosofis yang terkandung dalam peraturan daerah hendaklah

mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat Jawa Barat.

Dalam kaitannya dengan Raperda, maka landasan filosofis harus

mencerminkan :

a. Sila Kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,

merupakan landasan filosofis Raperda, karena penyelenggaraan kesejahteraan

sosial antara lain dimaksudkan untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan,

yaitu melaksanakan pembangunan Daerah pada khususnya dan pembangunan

ekonomi nasional pada umumnya.

b. Pasal 18 ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 UUD 1945. Pasal 18 menyebutkan bahwa

NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur,

bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah

provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Pemerintahan

89

daerah berhak menetapkan perda dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

4.2. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-

ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat, yang mendorong perlu

dibuatnya naskah akademik. Landasan sosiologis juga memuat analisis

kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauhmana tingkah laku sosial itu

sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum yang ingin dicapai.

Landasan sosiologis mensyaratkan setiap norma hukum yang dituangkan

dalam peraturan daerah harus mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat

sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum

masyarakat. Karena itu, dalam konsideran, harus dirumuskan dengan baik

pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris, sehingga suatu gagasan

normatif yang dituangkan dalam peraturan daerah benar-benar didasarkan atas

kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian,

norma hukum yang tertuang dalam peraturan daerah kelak dapat dilaksanakan

dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah masyarakat hukum yang diaturnya.

4.3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-

undangan yang ada kaitannya dengan judul Raperda dan hukum positif.

Landasan yuridis atau normatif suatu peraturan atau kaidah merupakan

bagian dari suatu kaidah hukum tertentu yang di dalam kaidah-kaidah hukum

saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang

demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan hierarkhi kaidah hukum khusus yang

bertumpu pada kaidah hukum umum. Di dalamnya kaidah hukum khusus yang

lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi.

90

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka jangkauan, arah

pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Raperda tentang Penggulangan

Kemiskinan, yang meliputi :

A. Dasar Pertimbangan dan Dasar Hukum Pembentukan Raperda

Dasar pertimbangan pembentukan Raperda tentang Penanggulangan

Kemiskinan adalah :

1. Dalam kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi, multi

sektor dengan beragam karakteristik yang harus segera diatasi karena

menyangku harkat dan martabat manusia, maka penanggulangan

kemiskinan perlu keterpaduan program diantara lembaga dan dunia usaha

serta melibatkan partisipasi masyarakat.

2. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan agar upaya penanggulangan

kemiskinan di Kota Sukabumi dapat berjalan optimal, efektif, efisien,

terprogram secara terpadu, terarah, dan berkelanjutan, maka, perlu

menetapkan Peraturan Daerah Kota Sukabumi tentang Penanggulangan

Kemiskinan.

Untuk dasar hukum pembentukan Raperda, harus mendasarkan diri

pada Lampiran II huruf B.4 angka 39 dan 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011, yang menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah

adalah Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan

Daerah dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, serta peraturan

perundang-undangan yang memerintahkan secara langsung pembentukan

91

Peraturan Daerah. Dengan demikian, maka dasar hukum yang menjadi acuan

pembentukan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan, adalah :

1. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945;

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Upaya

Penanggulangan Fakir Miskin;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial

8. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial; dan

10. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Sukabumi Tahun 2005-2025.

B. Ketentuan Umum

Ketentuan umum dalam Raperda dapat meliputi pengertian, ruang

lingkup dan sasaran, asas, kebijakan, serta tujuan.

Pengertian

Dalam Penanggulangan Kemiskinan perlu diuraikan mengenai definisi

yang berisi berisi “pengertian” dan “akronim”, yang dimaksudkan untuk

mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan

92

melaksanakan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah. Uraian definisi tersebut

disusun tidak terlalu banyak, dan perumusannya dilakukan dengan ketentuan

sebagai berikut :

a. Definisi yang dicantumkan dalam pasal hanya terminologi atau istilah yang

dipergunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal

berikutnya, sedangkan yang tidak berulang, dijadikan materi “penjelasan

pasal”.

b. Terminologi atau istilah yang hanya digunakan satu kali, namun terminologi

atau istilah tersebut diperlukan pengertiannya dalam suatu bab, bagian

atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu dimasukan definisi.

c. Mengingat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih

dari satu, maka masing-masing uraiannya dalam Raperda diberi nomor urut

dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan

tanda baca titik.

Adapun definisi yang digunakan dalam Raperda, antara lain :

1. Daerah Kota yang selanjutnya disebut Daerah adalah Kota Sukabumi.

2. Pemerintah Daerah adalah Walikota sebagai unsur penyelenggara

Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan daerah otonom.

3. Wali Kota adalah Walikota Sukabumi.

4. Miskin adalah kondisi dimana seorang tidak mampu memenuhi hak-hak

dasar antara lain kebutuhan pangan, layanan kesehatan, layanan

pendidikan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi,

tanah, sumber daya alam, rasa aman, dan partisipasi.

5. Kemiskinan adalah suatu kondisi sosial ekonomi seseorang atau

sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk

mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

6. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami

istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan

93

anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah

sampai derajat ketiga.

7. Hak Dasar adalah Hak Masyarakat yang harus dilindungi oleh Pemerintah

Daerah dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan kehidupan

yang bermartabat terutama hak ekonomi, sosial dan budaya.

8. Warga miskin adalah seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu

memenuhi kebutuhan dan atau hak-hak dasarnya.

9. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang langsung atau tidak langsung

mendapatkan manfaat atau dampak dari kebijakan program percepatan

penaggulangan kemiskinan.

10. Penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan program Pemerintah

Daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana dan bersinergi

dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk

miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.

11. Rumah Tangga Sasaran adalah rumah tangga yang termasuk dalam

katagori Miskin.

12. Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan

oleh Pemerintah Daerah, dunia usaha, serta masyarakat untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial,

pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro, serta

program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.

13. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang selanjutnya

disingkat TKPKD adalah wadah koordinasi lintas sektor dan lintas

pemangku kepentingan untuk penanggulangan kemiskinan di Daerah.

14. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang selanjutnya disingkat

SPKD adalah dokumen strategi penanggulangan kemiskinan Kota

Sukabumi yang digunakan sebagai salah satu pedoman penyusunan

rancangan kebijakan pembangunan Daerah di bidang penanggulangan

kemiskinan dalam proses penyusunan RPJMD.

94

15. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD

adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Daerah yang dibahas

dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan

dengan peraturan daerah.

Ruang Lingkup dan Sasaran

Dalam Raperda mengatur klausul mengenai ruang lingkup

penanggulangan kemiskinan, yaitu (a) strategi penanggulangan kemiskinan;

(b) hak, kewajiban, dan tanggung jawab; (c) pendataan kemiskinan; (d) teknis

pelayanan terpadu; (e) program penanggulangan kemiskinan; (f) pelaksanaan

penaggulangan kemiskinan; (g) Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

Daerah (TKPKD); (h) pengawasan, monitoring, dan evaluasi; (i) pendanaan;

dan (j) peran serta masyarakat dan dunia usaha.

Sementara ini untuk sasaran penanggulangan kemiskinan dalam

Raperda adalah perorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang

meliputi: (a) penduduk miskin yang termasuk dalam basis data terpadu Tim

Nasional Penanggulangan dan Pengentasan Kemiskinan; dan (b) penduduk

miskin hasil verifikasi Pemerintah Daerah.

Asas

Dalam penanggulangan kemiskinan, Raperda mengamanatkan

dilakukan dengan berasaskan:

a. Kemanusiaan, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus

memberikan perlindungan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta

harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk secara

proporsional;

b. keadilan sosial, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus

memberikan keadilan secara proporsional bagi setiap masyarakat di Daerah

tanpa kecuali;

95

c. non diskriminasi, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus

dilakukan atas dasar persamaan tanpa membedakan asal, suku, agama,

ras, dan antargolongan;

d. kesejahteraan, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus

dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin;

e. kesetiakawanan, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus

dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang yang

membutuhkan pertolongan dengan empati dan kasih sayang; dan

f. pemberdayaan, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus

dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan kapasitas sumber daya

manusia untuk meningkatkan kemandirian.

Kebijakan

Kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan, meliputi: (a)

penganggaran; (b) integrasi perencanaan; dan (c) penguatan kelembagaan.

Tujuan

Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan bertujuan untuk: (a)

melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan perbaikan

kualitas hidup masyarakat miskin; (b) mengembangkan potensi dan

memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam

pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan

masyarakat; (c) memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha

berskala mikro dan kecil; dan (d) mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi

dan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.

C. Strategi Penanggulangan Kemiskinan

96

Dalam Ketentuan ini diatur strategi penanggulangan kemiskinan di

Daerah, meliputi: (a) pendataan penduduk miskin secara akurat, dan terpadu;

(b) pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin; (c) peningkatan

kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin; (d) pengembangan dan

penjaminan keberlangsungan usaha mikro masyarakat miskin; (e) penguatan

kelembagaan penanggulangan kemiskinan; dan (f) peningkatan dan

pemanfaatan penggunaan teknologi informasi bagi kelembangan

penanggulangan kemiskinan.

D. Program Penanggulangan Kemiskinan

Dalam Ketentuan ini diatur kelompok program dan uraian program

penanggulangan kemiskinan. Kelompok program penanggulangan kemiskinan

terdiri atas: (a) kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga,

bertujuan untuk memenuhi hak dasar, mengurangi beban hidup, dan

memperbaiki kualitas hidup masyarakat miskin; (b) kelompok program

penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, bertujuan

untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok warga

miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-

prinsip pemberdayaan masyarakat; (c) kelompok program penanggulangan

kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro, bertujuan untuk

memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha yang berskala

mikro; dan (d) kelompok program-program lainnya yang baik secara langsung

ataupun tidak langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat miskin.

Adapun uraian program dari masing-masing kelompok uraian program

penanggulangan kemiskinan, diuraikan sebagai berikut:

1. Program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, meliputi:

a. bantuan pangan dan sandang;

b. bantuan kesehatan;

c. bantuan pendidikan; dan

97

d. bantuan perbaikan sarana dan prasarana perumahan.

2. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat,

diklasifikasikan berdasarkan:

a. pembangunan infrastruktur pendukung sosial ekonomi di kelurahan;

b. peningkatan kapasitas bagi masyarakat miskin; dan

c. pinjaman modal bagi keluarga miskin, pelaku usaha mikro melalui

lembaga keuangan yang ditunjuk dengan syarat dan ketentuan yang

tidak memberatkan; dan

d. bantuan sosial bagi rumah tangga sangat miskin.

Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat

memiliki kriteria:

a. masyarakat terlibat langsung dalam proses kegiatan;

b. pengelolaan program dilaksanakan melalui dan oleh kelembagaan

masyarakat; dan

c. Pemerintah Daerah memberikan tenaga pendampingan.

3. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha

ekonomi mikro, dilakukan dengan pemberian bantuan modal usaha yang

meliputi:

a. peningkatan permodalan bagi penduduk Miskin dalam program

pemberdayaan usaha ekonomi mikro;

b. perluasan akses program pinjaman modal murah oleh lembaga

keuangan/perbankan bagi warga miskin;

c. peningkatan pemberian pinjaman dana bergulir; dan

d. peningkatan sarana dan prasarana usaha.

4. Program penanggulangan kemiskinan lainnya, meliputi:

a. program peningkatan kesempatan atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi warga miskin;

98

b. program pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan hidup; dan

c. program pengembangan infrastruktur penunjang bagi Penanggulangan

Kemiskinan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Selanjutnya untuk mengatur tata cara dan persyaratan pelaksanaan

program penanggulangan kemiskinan, Raperda memberikan kewenangan

kepada Wali Kota untuk membentuk Peraturan Wali Kota.

E. Pelayanan terpadu kemiskinan

Dalam ketentuan ini diatur bahwa teknis pelayanan terpadu

penanggulangan kemiskinan dibentuk secara berjenjang di Daerah dan

kecamatan. Teknis pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan tingkat

Kota disebut Unit Pelaksana Teknis Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu Kota

Sukabumi, dan untuk tingkat kecamatan dibentuk dengan nama Pusat

Kesejahteraan Sosial Kecamatan Kecamatan.

Selanjutnya untuk mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai teknis

pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan Daerah, Raperda memberikan

kewenangan kepada Wali Kota untuk membentuk Peraturan Wali Kota.

F. Verifikasi dan Validasi Data Kemiskinan

Dalam bagian ini diatur hal-hal sebagai berikut:

a. Perangkat Daerah melakukan verifikasi dan validasi data warga miskin

Daerah secara periodik, terpadu dan partisipatif.

b. Verifikasi dan validasi data kemiskinan dilakukan secara langsung dari

tingkat kelurahan sampai tingkat Kota berdasarkan kreteria kemiskinan

yang berlaku secara nasional dan kriteria lokal.

c. Verifikasi dan Validasi data kemiskinan dilaksanakan sekurang-kurangnya

setiap 1 (satu) tahun.

d. Verifikasi dan Validasi data kemiskinan dilakukan oleh perangkat daerah

yang membidangi.

99

e. Hasil verifikasi dan validasi data kemiskinan, ditetapkan dengan Peraturan

Wali Kota.

f. Hasil verifikasi dan validasi data yang sudah ditetapkan dengan dengan

Peraturan Wali Kota ditempatkan/dikelola dalam sistem informasi

terpadu penanggulangan kemiskinan daerah serta dijadikan sebagai dasar

intervensi program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kota

Sukabumi; dan

g. memberikan kewenangan kepada Wali Kota untuk membentuk Peraturan

Wali Kota mengenai tata cara penentuan dan penetapan kriteria warga

miskin.

Kemudian dalam bagian ini juga diatur klausul mengenai:

a. Larangan kepada setiap orang memberikan keterangan data palsu

dan/atau memalsukan data kemiskinan;

b. Verifikasi dan validasi data kemiskinan harus dilaksanakan secara jujur,

adil, obyektif, transparan, dan akuntabel; dan

c. Pembebanan biaya verifikasi dan validasi kemiskinan pada APBD serta

sumber anggaran lain yang sah.

G. Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan

Dalam ketentuan ini diatur bahwa dalam penanggulangan kemiskinan

dilaksanakan secara bertahap, terpadu, konsisten dan keberlanjutan sesuai

skala prioritas dengan mempertimbangkan kemampuan sumber daya

Pemerintah Kota Sukabumi dan kebutuhan warga miskin. Penanggulangan

kemiskinan tersebut dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai kewenangan

melaksanakan tugas pokok dan fungsi penanggulangan kemiskinan, yang

dikoordinasikan oleh TKPKD Kota Sukabumi.

H. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Dalam ketentuan ini diatur hal-hal sebagai berikut:

100

a. Dalam upaya meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan,

dibentuk TKPKD;

b. TKPKD berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Wali Kota;

c. TKPKD terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, masyarakat, dunia usaha, dan

pemangku kepentingan lainnya;

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai TKPKD diatur dalam Peraturan Wali Kota.

I. Hak dan Kewajiban

1. Hak dan Kewajiban Masyarakat Miskin

Dalam klausul ini diatur bahwa setiap masyarakat miskin berhak

mendapatkan pemenuhan hak dasar dalam mendapatkan:

a. kecukupan pangan, sandang, dan papan;

b. pelayanan kesehatan sesuai ketentuan;

c. pelayanan pendidikan sesuai dengan ketentuan

d. ketrampilan berusaha, peluang pekerjaan, dan pengembangan usaha;

e. kemudahan untuk memperoleh kebutuhan air bersih dan sanitasi yang

baik;

f. lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

g. perlindungan sosial, rasa aman dari perlakuan atau ancaman dan tindak

kekerasan; dan

h. kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan

politik.

Selanjutkan diatur pula ketentuan kewajiban warga miskin dalam

mengusahakan peningkatan taraf kesejahteraannya untuk memenuhi hak-

hak dasar, serta berperan aktif dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Kemudian ketentuan mengenai kewajiban untuk menaati norma, etika dan

peraturan perundang undanga dalam memenuhi hak-hak dasar.

2. Kewajiban Pemerintah Daerah

101

Dalam klausul ini diatur hal-hal sebagai berikut:

a. Pemerintah Daerah wajib mengupayakan terpenuhinya hak-hak dasar

warga miskin serta menyusun strategi kebijakan penanggulangan

kemiskinan dan merealisasikan kegiatan penanggulangan kemiskinan.

b. Kewajiban Pemerintah Daerah dalam mengupayakan terpenuhinya

hak-hak dasar warga miskin serta menyusun strategi kebijakan

penanggulangan kemiskinan dan merealisasikan kegiatan

penanggulangan kemiskinan tersebut, disesuaikan dengan kemampuan

keuangan Daerah dan sumber daya yang dimiliki.

3. Kewajiban Masyarakat

Dalam klausul ini diatur kewajiban masyarakat untuk turut serta

bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak warga miskin, berpartisipasi

secara aktif dalam peningkatan kesejahteraa dan kepedulian terhadap

warga miskin dengan meningkatkan kepedulian sosial, dan pemberian

kewenangan kepada Wali Kota untuk pengatur lebih lanjut mengenai tata

cara menyalurkan kepedulian kepada warga miskin.

4. Kewajiban Dunia Usaha

Dalam klausul ini diatur kewajiban pengusaha dan/atau dunia usaha,

baik swasta, Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik dalam

penanggulangan kemiskinan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian

dan pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan dan/atau

pemanfaatan Program Kemitraan dan bina lingkungan untuk mendukung

program penanggulangan kemiskinan. Adapun tata cara dan mekanisme

penggunaan dan pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan

dan/atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan tersebut berpedoman

kapada ketentuan peraturan perundang-undangan.

J. Monitoring dan Evaluasi

Dalam klausul ini diatur bahwa Wali Kota melaksankan

pendampingan, pengawasan monitoring dan evaluasi terhadap upaya

102

penanggulangan kemiskinan di Daerah, yang tata caranya diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Wali Kota.

K. Pendanaan

Klausula ini mengatur bahwa pendanaan bagi pelaksanaan program

penanggulangan kemiskinan, bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara

b. Dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Dana Program Kemitraan

dan Bina Lingkungan bagi Badan Usaha Milik Daerah;

c. Pertisipasi Masyarakat; dan /atau

d. sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat.

L. Peranserta Masyarakat dan Dunia Usaha

Dalam klausul ini diatur hal-hal sebagai berikut:

1. Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berperan aktif

dalam penanggulangan kemiskinan baik yang dilaksanakan Pemerintah,

Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dunia usaha maupun masyarakat

dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, monitoring dan

evaluasi.

2. Masyarakat meliputi perorangan, keluarga, kelompok, organisasi sosial,

yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, unsur

dunia usaha, dan organisasi kemasyarakatan.

3. Unsur dunia usaha, berperan aktif dalam penyediaan dana dan/atau barang

dan/atau jasa untuk penanggulangan kemiskinan sebagai perwujudan dari

tanggung jawab sosial perusahaan serta Program Kemitraan dan Bina

Lingkungan bagi perusahaan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha

Milik Daerah.

103

4. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh masyarakat,

dunia usaha, wajib diselaraskan dengan strategi dan program

penanggulangan kemiskinan dan berkoordinasi dengan TKPKD.

M. Pengaduan Masyarakat

Dalam klausul ini diatur bahwa masyarakat dapat mengadukan terkait

pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Pengaduan masyarakat

tersebut disampaikan secara tertulis, SMS dan atau via aplikasi e-LAPOR

kepada TKPKD dan/atau SKPD yang membidangi, melalui kelurahan dan

kecamatan, dengan mencantumkan identitas diri dan permasalahan yang

jelas. TKPKD dan/atau SKPD harus memberikan jawaban atas pengaduan

tersebut, secara obyektif dan transparan.

N. Penyidikan

Dalam klausul ini diatur bahwa :

1. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah

diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan

tindak pidana di bidang pelanggaran peraturan Daerah, sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku

2. Penyidik tindak pidana di bidang pelanggaran peraturan Daerah adalah

pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah

yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan

3. Wewenang penyidik adalah: (1) menerima, mencari, mengumpulkan, dan

meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana agar

keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas; (2) meneliti,

mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau

Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan

tindak pidana; (3) meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi

atau Badan sehubungan dengan tindak pidana; (4) memeriksa buku-buku,

catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak

104

pidana; (5) melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti

pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan

penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; (6) meminta bantuan tenaga ahli

dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana; (7) menyuruh

berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat

pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang

dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e; (8)

memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana; (9) memanggil

orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi; (10) menghentikan penyidikan; dan/atau (11) melakukan tindakan

lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut hukum

yang dapat dipertanggungjawabkan.

4. Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan dan

menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui

Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.

O. Ketentuan Pidana

Dalam klausul ini diatur ketentuan pidana atas pelanggaran atas

larangan memberikan keterangan data palsu dan/atau memalsukan data

kemiskinan, yang sanksinya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

P. Ketentuan Penutup

Ketentuan ini mengatur hal mengenai :

a. Jangka waktu pembentukan dan penetapan Peraturan Pelaksanaan

Peraturan Daerah; dan

b. Datum berlakunya Peraturan Daerah.

105

106

BAB VI

PENUTUP

6. 1. Kesimpulan

1. Pengaturan mengenai penanggulangan kemiskinan mutlak harus segera

ditetapkan, sebagai salah satu instrumen yang ditujukan untuk mewujudkan

kesejahteraan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

2. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk

memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Dalam pengertian “negara”,

termasuk di dalamnya pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten

dan kota. Hal ini jelas terlihat dari adanya kewajiban dan tanggungjawab

pemerintah dan pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 Tentang

Pelaksanaan Upaya Penanggulangan Fakir Miskin, serta Peraturan Pemerintah

Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

3. Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu bidang pembangunan

sosial yang sangat berkaitan erat dengan pencapaian Indeks Pembangunan

Manusia sebagaimana telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Daerah Kota Sukabumi.

6. 2. Saran

1. Pengaturan Penanggulangan Kemisikinan, harus mengakomodasikan dan

diharmonisasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

pemerintahan Daerah, kesejahteraan sosial, penagangan fakir miskis, serta

rencana nasional dan provinsi mengenai penanggulangan kemiskinan.

2. Perlu dilakukan sosialisasi dan koordinasi kepada Pemerintah dan masyarakat

guna menjaring aspirasi yang mendukung perwujudan penanggulangan

kemiskinan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

107

108

DAFTAR PUSTAKA

A. Referensi

1. DM Mustamin, Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Type-type Negara

Modern, Yasm Matutu, Ujung Pandang, 1977

2. B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,

Bandung, 2000

3. Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan

Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004

4. Murtir Jeddawi, Memacu Investasi di Era Ekonomi Daerah, Kajian Beberapa

Perda tentang Penanaman Modal, UII Pres, Yogyakarta, 2005

5. Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif, http://www.ketut.web.id/2012/05/

kemiskinan-absolut-dan-kemiskinan.html

6. Eka Sakti Wahyuningtyas, Memahami Kebutuhan Dasar Manusia,

http://ekasaktiwahyuningtyas.blogspot.com/2013/02/vbehaviorurldefaultvmlo

.html

7. Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jambatan, Jakarta,

Cet. Kedua, 1952,

8. Oemar Senoajdji, Peradilan bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980,

hlm. 24-58

9. Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Bakti, Bandung, 1992, hlm. 3

10. Mohammad Hatta, Pancasila Jalan Lurus, Angkasa, Bandung, 1966

11. Soekarno, Lahirnya Pantja-Sila, Pidato di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai

(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada sidang yang pertama

pada tanggal 1 Juni 1945, yang selanjutnya dibukukan oleh Penerbit Tridaja

pada tahun 1947

12. Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1994

109

B. Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);

3. Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235);

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah

beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015

Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012

Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5294);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya

Penanggulangan Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5449);

8. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan;

110

111

LAMPIRAN

112

RANCANGAN

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

NOMOR TAHUN 2018

TENTANG

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALI KOTA SUKABUMI,

Menimbang : a. bahwa kemiskinan merupakan masalah yang bersifat

multi dimensi, multi sektor dengan beragam karakteristik yang harus segera diatasi karena

menyangku harkat dan martabat manusia, maka penanggulangan kemiskinan perlu keterpaduan

program diantara lembaga dan dunia usaha serta melibatkan partisipasi masyarakat;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud pada huruf a dan agar upaya penanggulangan kemiskinan di Kota Sukabumi dapat

berjalan optimal, efektif, efisien, terprogram secara terpadu, terarah, dan berkelanjutan, maka, perlu

menetapkan Peraturan Daerah Kota Sukabumi tentang Penanggulangan Kemiskinan

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang

Pembentukan Daerah-Daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan

Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 14 Agustus 1950) sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 tentang Pengubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun 1950 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);

113

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);

4. Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5234);

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235);

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 68,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5294);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanggulangan Fakir Miskin

melalui Pendekatan Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 157,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5449);

9. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang

Percepatan Penanggulangan Kemiskinan;

10. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 7 Tahun

2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Sukabumi Tahun 2005-2025 (Lembaran

Daerah Kota Sukabumi Tahun 2016 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Sukabumi Nomor 12);

11. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 9 Tahun

2016 tentang Pembentukan Perangkat Daerah Kota

114

Sukabumi (Lembaran Daerah Kota Sukabumi Tahun 2016 Nomor 9);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SUKABUMI

dan

WALIKOTA SUKABUMI

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pengertian

Pasal 1

Dalam peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:

1. Daerah Kota yang selanjutnya disebut Daerah adalah Kota Sukabumi.

2. Pemerintah Daerah adalah Walikota sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah otonom.

3. Wali Kota adalah Walikota Sukabumi.

4. Miskin adalah kondisi dimana seorang tidak mampu memenuhi hak-hak dasar antara lain kebutuhan pangan, layanan kesehatan, layanan pendidikan,

pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi, tanah, sumber daya alam, rasa aman, dan

partisipasi.

5. Kemiskinan adalah suatu kondisi sosial ekonomi

seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

6. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan

anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan

115

anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga.

7. Hak Dasar adalah Hak Masyarakat yang harus dilindungi oleh Pemerintah Daerah dalam rangka

mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat terutama hak ekonomi, sosial dan

budaya.

8. Warga miskin adalah seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dan atau

hak-hak dasarnya.

9. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang langsung

atau tidak langsung mendapatkan manfaat atau dampak dari kebijakan program percepatan

penaggulangan kemiskinan.

10. Penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan program Pemerintah Daerah yang dilakukan secara

sistematis, terencana dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah

penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.

11. Rumah Tangga Sasaran adalah rumah tangga yang termasuk dalam katagori Miskin.

12. Program penanggulangan kemiskinan adalah

kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat,

pemberdayaan usaha ekonomi mikro, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.

13. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

yang selanjutnya disingkat TKPKD adalah wadah koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku

kepentingan untuk penanggulangan kemiskinan di Daerah.

14. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang selanjutnya disingkat SPKD adalah dokumen strategi penanggulangan kemiskinan Kota Sukabumi yang

digunakan sebagai salah satu pedoman penyusunan rancangan kebijakan pembangunan Daerah di bidang

penanggulangan kemiskinan dalam proses penyusunan RPJMD.

15. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan

tahunan pemerintahan Daerah yang dibahas dan

116

disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

Bagian Kedua

Ruang Lingkup dan Sasaran

Pasal 2

Ruang lingkup penanggulangan kemiskinan meliputi:

a. strategi penanggulangan Kemiskinan;

b. hak, kewajiban, dan tanggung jawab;

c. pendataan Kemiskinan;

d. teknis pelayanan terpadu;

e. program penanggulangan kemiskinan;

f. pelaksanaan penaggulangan kemiskinan;

g. TKPKD;

h. pengawasan, monitoring, dan evaluasi;

i. pendanaan; dan

j. peran serta masyarakat dan dunia usaha.

Pasal 3

Sasaran penanggulangan Kemiskinan adalah

perorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang meliputi:

a. penduduk Miskin yang termasuk dalam basis data

terpadu Tim Nasional Penanggulangan dan Pengentasan Kemiskinan; dan

b. penduduk Miskin hasil verifikasi Pemerintah Daerah.

Bagian Ketiga

Asas

Pasal 4

Penanggulangan Kemiskinan, dilaksanakan berdasarkan asas:

a. kemanusiaan;

b. keadilan sosial;

c. non diskriminasi;

d. kesejahteraan;

e. kesetiakawanan; dan

f. pemberdayaan.

Bagian Keempat

117

Kebijakan

Pasal 5

Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan meliputi:

a. penganggaran;

b. integrasi perencanaan; dan

c. penguatan kelembagaan.

Bagian Kelima

Tujuan

Pasal 6

Penanggulangan Kemiskinan, bertujuan untuk:

a. melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup

Masyarakat Miskin;

b. mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok Masyarakat Miskin untuk terlibat dalam

pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat;

c. memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil; dan

d. mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi dan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Miskin.

BAB II

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Pasal 7

Strategi Penanggulangan Kemiskinan meliputi:

a. pendataan penduduk miskin secara akurat, dan terpadu;

b. pengurangan beban pengeluaran Masyarakat Miskin;

c. peningkatan kemampuan dan pendapatan

Masyarakat Miskin;

d. pengembangan dan penjaminan keberlangsungan

usaha mikro Masyarakat Miskin;

e. penguatan kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan; dan

f. peningkatan dan pemanfaatan penggunaan teknologi informasi bagi kelembangan penanggulangan

Kemiskinan.

BAB IV

118

PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Pasal 8

Program penanggulangan kemiskinan terdiri dari:

a. kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis

keluarga, bertujuan untuk memenuhi hak dasar, mengurangi beban hidup, dan memperbaiki kualitas

hidup Masyarakat Miskin;

b. kelompok program Penanggulangan Kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, bertujuan

untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok warga miskin untuk terlibat

dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat;

c. kelompok program Penanggulangan Kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro, bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan

ekonomi bagi pelaku usaha yang berskala mikro; dan

d. kelompok program-program lainnya yang baik secara

langsung ataupun tidak langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan

Masyarakat Miskin.

Pasal 9

(1) Program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a,

meliputi:

e. bantuan pangan dan sandang;

f. bantuan kesehatan;

g. bantuan pendidikan; dan

h. bantuan perbaikan sarana dan prasarana

perumahan.

(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan program

bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Wali Kota.

Pasal 10

(1) Program Penanggulangan Kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, dapat diklasifikasikan

berdasarkan:

a. pembangunan infrastruktur pendukung sosial

ekonomi di kelurahan;

b. peningkatan kapasitas bagi masyarakat miskin; dan

119

c. pinjaman modal bagi keluarga Miskin, pelaku usaha mikro melalui lembaga keuangan yang ditunjuk

dengan syarat dan ketentuan yang tidak memberatkan; dan

d. bantuan sosial bagi rumah tangga sangat Miskin.

(2) Program penanggulangan kemiskinan berbasis

pemberdayaan masyarakat memiliki kriteria:

a. masyarakat terlibat langsung dalam proses kegiatan;

b. pengelolaan program dilaksanakan melalui dan oleh

kelembagaan masyarakat; dan

c. Pemerintah Daerah memberikan tenaga

pendampingan.

(3) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan program

penanggulangan Kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Wali Kota.

Pasal 11

(1) Program Penanggulangan Kemiskinan berbasis

pemberdayaan usaha ekonomi mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, dilakukan dengan

pemberian bantuan modal usaha yang meliputi:

a. peningkatan permodalan bagi penduduk Miskin dalam program pemberdayaan usaha ekonomi mikro;

b. perluasan akses program pinjaman modal murah oleh lembaga keuangan/perbankan bagi warga

miskin;

c. peningkatan pemberian pinjaman dana bergulir; dan

d. peningkatan sarana dan prasarana usaha.

(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan program Penanggulangan Kemiskinan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dalam peraturan Wali Kota.

Pasal 12

(1) Program Penanggulangan Kemiskinan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d, meliputi:

a. program peningkatan kesempatan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga miskin;

b. program pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup; dan

120

c. program pengembangan infrastruktur penunjang bagi Penanggulangan Kemiskinan dan pelestarian

fungsi lingkungan hidup.

(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan program

penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

BAB V

PELAYANAN TERPADU KEMISKINAN

Pasal 13

(1) Teknis pelayanan terpadu Penanggulangan Kemiskinan

dibentuk secara berjenjang di Daerah dan kecamatan.

(2) Teknis pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan

tingkat Kota disebut Unit Pelaksana Teknis Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu atau disingkat UPT SLRT Kota Sukabumi dan untuk Tingkat kecamatan dibentuk

dengan nama Pusat Kesejahteraan Sosial Kecamatan atau PUSKESOS Kecamatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelayanan terpadu penanggulangan Kemiskinan Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Wali Kota.

BAB VI

VERIFIKASI DAN VALIDASI DATA KEMISKINAN

Pasal 21

(2) Perangkat Daerah melakukan verifikasi dan validasi

data warga miskin Daerah secara periodik, terpadu dan partisipatif.

(3) Verifikasi dan validasi data kemiskinan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung dari tingkat kelurahan sampai tingkat Kota berdasarkan

kreteria kemiskinan yang berlaku secara nasional dan kriteria lokal.

(4) Verifikasi dan Validasi data sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini dilaksanakan sekurang-kurangnya setiap 1 (satu) tahun.

(5) Verifikasi dan Validasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh perangkat daerah yang

membidangi.

(6) Hasil verifikasi dan validasi data sebagaimana ayat (2)

Pasal ini, akan ditetapkan kemudian oleh Peraturan Kepala Daerah.

121

(7) Hasil verifikasi dan validasi data yang sudah ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah akan

ditempatkan/dikelola dalam sistem informasi terpadu penanggulangan kemiskinan daerah serta

dijadikan sebagai dasar intervensi program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kota

Sukabumi

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan dan penetapan kriteria warga miskin dan

pembentukan Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3), dan (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Kepala Daerah

Pasal 22

(1) Setiap orang dilarang memberikan keterangan data palsu dan/atau memalsukan data kemiskinan.

(2) Verifikasi dan validasi data kemiskinan harus dilaksanakan secara jujur, adil, obyektif, transparan,

dan akuntabel.

(3) Biaya verifikasi dan validasi kemiskinan dibebankan

kepada APBD serta sumber anggaran lain yang sah.

BAB VII

PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Pasal 23

(1) Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara bertahap, terpadu, konsisten dan keberlanjutan sesuai

skala prioritas dengan mempertimbangkan kemampuan sumber daya Pemerintah Kota Sukabumi dan kebutuhan warga miskin.

(2) Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai kewenangan melaksanakan tugas

pokok dan fungsi penanggulangan kemiskinan.

(3) Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan

dikoordinasikan oleh TKPKD Kota Sukabumi

BAB VIII

TIM KOORDINASI

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH

Pasal 24

(1) Dalam upaya meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan, dibentuk TKPKD.

(2) TKPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan tanggung jawab kepada Wali Kota.

122

(3) TKPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (l) terdiri dari:

a. unsur Pemerintah Daerah;

b. masyarakat;

c. dunia usaha; dan

d. pemangku kepentingan lainnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai TKPKD diatur dalam

Peraturan Wali Kota.

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu

Hak dan Kewajiban Masyarakat Miskin

Pasal 25

Setiap Masyarakat Miskin berhak mendapatkan pemenuhan hak dasar dalam mendapatkan:

a. kecukupan pangan, sandang, dan papan;

b. pelayanan kesehatan sesuai ketentuan;

c. pelayanan pendidikan sesuai dengan ketentuan

d. ketrampilan berusaha, peluang pekerjaan, dan pengembangan usaha;

e. kemudahan untuk memperoleh kebutuhan air bersih dan sanitasi yang baik;

f. lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

g. perlindungan sosial, rasa aman dari perlakuan atau ancaman dan tindak kekerasan; dan

h. kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Pasal 26

(1) Warga miskin wajib mengusahakan peningkatan taraf kesejahteraannya untuk memenuhi hak-hak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 serta berperan aktif dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

(2) Dalam memenuhi hak-hak dasarnya masyarakat miskin

wajib menaati norma, etika dan peraturan perundang undangan.

Bagian Kedua

123

Kewajiban Pemerintah Daerah

Pasal 27

(1) Pemerintah Daerah wajib:

a. mengupayakan terpenuhinya hak-hak dasar warga

miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dan

b. menyusun strategi kebijakan Penanggulangan

Kemiskinan dan merealisasikan kegiatan penanggulangan kemiskinan.

(2) Kewajiban Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) disesuaikan dengan kemampuan keuangan Daerah dan sumber daya yang dimiliki.

Bagian Ketiga

Kewajiban Masyarakat

Pasal 28

(1) Masyarakat wajib secara aktif untuk:

a. turut serta bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak warga miskin sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 25;

b. berpartisipasi secara aktif dalam peningkatan

kesejahteraan dan kepedulian terhadap warga miskin dengan meningkatkan kepedulian sosial.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyalurkan

kepedulian kepada warga miskin diatur dalam Peraturan Kepala Daerah

Bagian Keempat

Kewajiban Dunia Usaha

Pasal 29

(1) Kewajiban pengusaha dan/atau dunia usaha, baik swasta, Badan Usaha Milik Negara maupun Badan

Usaha Milik diwujudkan dalam bentuk pemberian dan pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan

dan/atau pemanfaatan Program Kemitraan dan bina lingkungan untuk mendukung program

penanggulangan kemiskinan.

124

(2) Tata cara dan mekanisme penggunaan dan pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan dan/atau

Program Kemitraan dan Bina Lingkungan berpedoman kapada ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

BAB IX

MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 30

(1) Walikota melaksankan pendampingan, pengawasan monitoring dan evaluasi terhadap upaya

penanggulangan kemiskinan di daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pendampingan, pengawasan, monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.

BAB X

PENDANAAN

Pasal 31

Pendanaan bagi pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, bersumber dari:

e. APBD Kota Sukabumi, dan atau APBN

f. Dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Dana Program Kemitraan Dan Bina Lingkungan (PKBL) bagi

BUMD;

g. Pertisipasi Masyarakat; dan /atau

h. sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat.

BAB XI

PERAN SERTA MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA

Pasal 32

(1) Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam penanggulangan

kemiskinan baik yang dilaksanakan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota Sukabumi, dunia

usaha maupun masyarakat dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi.

125

(2) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perorangan, keluarga, kelompok, organisasi

sosial, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, unsur dunia usaha, dan organisasi

kemasyarakatan.

Pasal 33

(1) Unsur dunia usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2), berperan aktif dalam penyediaan dana

dan/atau barang dan/atau jasa untuk penanggulangan kemiskinan sebagai perwujudan dari tanggung jawab

sosial perusahaan serta Program Kemitraan dan Bina Lingkungan bagi perusahaan BUMN atau BUMD.

(2) Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh masyarakat, dunia usaha, wajib diselaraskan dengan strategi dan program penanggulangan

kemiskinan dan berkoordinasi dengan TKPKD.

BAB XII

PENGADUAN MASYARAKAT

Pasal 34

(1) Masyarakat dapat mengadukan terkait pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan.

(2) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis, SMS dan atau via

aplikasi e-LAPOR kepada TKPKD dan atau SKPD yang membidangi melalui kelurahan dan kecamatan, dengan

mencantumkan identitas diri dan permasalahan yang jelas.

(3) TKPKD dan/atau SKPD sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) harus memberikan jawaban atas pengaduan tersebut, secara obyektif dan transfaran.

BAB XIII

PENYIDIKAN

Pasal 35

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai

Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelanggaran peraturan Daerah ini,

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

126

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan

Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah:

a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak

pidana agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang

kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang

pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana;

d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak

pidana;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-

dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;

g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa

identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

j. menghentikan penyidikan; dan/atau

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut

hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik

127

Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.

BAB XIV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 36

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 37

Peraturan pelaksanaan peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak peraturan Daerah ini diundangkan.

Pasal 38

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam

lembaran Daerah Kota Sukabumi.

Ditetapkan di Sukabumi

pada tanggal 27 2018

WALI KOTA SUKABUMI,

ACHMAD FAHMI

128

Diundangkan di Sukabumi

pada tanggal 27 Agustus 2018

Plt. SEKRETARIS

DAERAH

KOTA SUKABUMI,

SALEH MAKBULLAH

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2018 NOMOR

NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI PROVINSI

JAWA BARAT : 3/111/2018

129

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

NOMOR TAHUN2018

TENTANG

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

I. UMUM

Kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang

sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak melalui

pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat.

Dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan, maka perlu dilakukan langkah-langkah koordinasi secara terpadu lintas pelaku dalam penyiapan perumusan dan penyelenggaraan kebijakan

penanggulangan kemiskinan.

Untuk melakukan penanggulangan kemiskinan diperlukan

upaya penjaminan yang meliputi penetapan sasaran, perancangan dan keterpaduan program, monitoring dan evaluasi, serta efektifitas

anggaran, perlu dilakukan penguatan kelembagaan yang menangani penanggulangan kemiskinan.

Dengan telah diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 15

Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2010 tentang Tim

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri

Dalam Negeri tersebut merupakan landasan bagi Kota Sukabumi dalam menangani penanggulangan kemiskinan.

Dalam rangka memberikan pedoman penanggulangan

kemiskinan di Kota Sukabumi, maka dipandang perlu membentuk Peraturan Kota Sukabumi tentang Penanggulangan Kemiskinan di

Kota Sukabumi.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

130

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

131

Pasal 24

Huruf a

Program pemberdayaan masyarakat semisal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.