pendahuluan a. latar belakang masalah - portal...
TRANSCRIPT
1
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa sebagai suatu alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat
dipisahkan dengan manusia, karena manusia menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama dalam sehari-hari sehingga
bahasa memiliki peranan sangat penting bagi suatu masyarakat baik secara
individu maupun kelompok. Bahasa dapat digunakan untuk menjalankan semua
aktivitas atau kegiatan baik individu maupun kelompok. Bahasa itu merupakan
alat komunikasi yang mutlak dan perlu. Bahasa memiliki fungsi sosial untuk
berkomunikasi dengan sesama, dengan menggunakan bahasa maka komunikasi
antar sesama dapat terjadi dengan baik. Penggunaan bahasa di masyarakat
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti tingkat pendidikan, umur, jabatan,
status sosial, dan jenis kelamin. Faktor situasional tentu saja juga dapat
memengaruhi penggunaan dan cara manusia menggunakan bahasa. Seseorang
yang sedang berbincang dengan teman dekatanya dalam situasi informal tentu
akan menggunakan bahasa yang santai dan bisa berbeda dengan jika seseorang itu
berada di kantor dalam situasi formal maka dia akan menggunakan bahasa yang
baku. Oleh karena itu, faktor situasional yang dapat memengaruhi penggunaan
bahasa yaitu seperti yang dirumuskan oleh pakar sosiolinguistik bahwa faktor
situasional meliputi who speaks, what language, to whom and when yaitu siapa
2
2
yang berbicara, dengan bahasa apa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa
(Fishman dalam Suwito, 1983:2).
Pola perkembangan bahasa yang terus terjadi mengakibatkan bahasa menjadi
tidak tetap atau mengalami perubahan. Perubahan bahasa terjadi karena manusia
merupakan makhluk sosial yang selalu melakukan aktivitas, antara aktivitas yang
satu dengan yang lain tidak sama atau berbeda antara satu dengan yang lainnya,
dalam aktivitas tersebut penggunaan bahasa sangat berperan penting karena
bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomuikasi dengan sesama. Bahasa dan
masyarakat tidak dapat dilepaskan karena dalam melakukan sesuatu masyarakat
selalu menggunakan bahasa. Disiplin ilmu sosiolinguistik yang mempelajari
hubungan antar bahasa dan penggunaanya di dalam suatu masyarakat.
Sosiolinguistik mengkaji pemakaian bahasa dalam masyarakat, sosiolinguistik
menempatkan kedudukan bahasa dalam hubunganya dengan penggunaanya di
dalam masyarakat, ini berarti bahwa sosilinguistik memandang bahasa pertama-
tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari
masyarakat dan kebudayaan tertentu (Suwito, 1983: 2).
Sebagai masyarakat multilingual penggunaan satu bahasa mungkin sulit
dilakukan. Seseorang menggunakan lebih dari satu bahasa yaitu bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional negara Indonesia dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu
atau bahasa yang sering digunakan oleh seseorang yang menempati suatu daerah
tertentu. Oleh karena itu, dalam penggunaan bahasa tidak bisa terlepas dari
peristiwa kontak bahasa. Kontak bahasa merupakan peristiwa saling pengaruh
antara bahasa satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam peristiwa kontak maka
masyarakat multilingual akan dihadapkan pada pemilihan kode sehingga muncul
3
3
peralihan kode yang merupakan peralihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain
yang disebut dengan alih kode dan campur kode.
Alih kode dan campur kode tersebut dapat ditemukan pada komunikasi antara
penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan
Nogosari kabupaten Boyolali. Pasar hewan di dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali ini diadakan setiap sepasar (lima hari)
sekali yaitu setiap pasaran Wage. Di pasar hewan ini hewan yang banyak dijual
adalah hewan sapi. Berbagai jenis sapi dijual di pasar ini seperti sapi betina, sapi
jantan, sapi metal, sapi perah serta masih banyak jenis sapi yang lain. Letaknya
yang strategis berada dipinggir jalan sehingga merupakan tempat yang sangat
cocok untuk dijadikan sebagai pasar hewan. Setiap Wage banyak para penjual dan
pembeli sapi mengunjungi pasar ini bahkan banyak pula yang dari luar kota
Boyolali seperti penjual dan pembeli dari Sragen, Karanganyar, Klaten,
Sukoharjo, Surakarta dan kota-kota yang lainnya, banyaknya para pembeli lebih
memilih membeli sapi di pasar ini karena sudah terkenal dengan harganya yang
lebih murah dibandingkan dengan pasar hewan yang lainnya.
Dalam penelitian ini akan membahas mengenai alih kode dan campur kode
dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desan
Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Berikut adalah contoh penggunaan
alih kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo
desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali yang dapat ditemukan dari
observasi.
4
4
Data 1
Pembeli (O2) : Sapimu sing etan karo sing kulon regane pas?, daknyang oleh
ora?, sing oleh dinyang sing ndi?
„Sapimu yang timur dan yang barat harganya pas?, saya tawar
boleh tidak?, yang boleh ditawar yang mana?‟
Penjual (O1) : Lha nek nganyang niku angsal mawon Mbah.
„Kalau menawar itu boleh saja Kek‟
Pembeli (O2) : Sing etan pa sing kulon ?
„Yang timur atau yang barat ?‟
Penjual (O1) : Nek sing etan aja, ning nek sing kulon dakwenehke.
„Kalau yang timur jangan, tapi kalau yang barat saya berikan‟
Pembeli (O2) : Aja larang-larang ngono lho.
„Jangan mahal-mahal begitu‟
Peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015.
Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual dan (O2) sebagai pembeli. Pada
data (1) tersebut terjadi peristiwa alih kode intern. Alih kode dari bahasa Jawa
ragam Krama ke dalam ragam bahasa Jawa Ngoko yang dilakukan oleh penjual
(O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa Krama kepada pembeli
yaitu, nganyang niku angsal mawon Mbah „menawar itu boleh saja Kek‟
kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam Ngoko yaitu, nek sing etan aja,
ning nek sing kolon tak wenehi „kalau yang timur jangan, tapi kalau yang barat
saya berikan‟. Data 1 tersebut memiliki bentuk alih kode intern yaitu alih kode
bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Fungsi peralihan
kode dalam data 1 tersebut adalah lebih argumentatif meyakinkan mitra tutur
bahwa boleh menawar dengan harga yang dikehendaki mitra tutur asalkan untuk
sapi yang disebelah barat dan bukan sapi yang sebelah timur. Sedangkan faktor
yang melatarbelakangi penggunakan alih kode pada data 1 tersebut adalah lawan
tutur (O2). Yaitu penjual (O2) mulanya menggunakan bahasa Jawa ragam krama
saat berbicara dengan pembeli (O2) karena menghormati dan belum akrab dengan
(O2) sebagai pembeli. Komunikasi (O1) beralih kode ke bahasa Jawa ragam
5
5
ngoko karena lawan tutur pembeli (O2) menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko,
sehingga (O1) ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur.
Bagaimanakah bentuk alih kode, fungsi alih kode, dan faktor yang
melatarbelakangi terjadinya alih kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di
pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali
pada data selanjutnya?. Ditemukan bentuk, fungsi, dan faktor yang
melatarbelakangi terjadinya alih kode yang sama dengan data 1 di depan atau
ditemukan bentuk, fungsi, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode
yang berbeda dengan data 1 di depan?.
Data selanjutnya yaitu contoh penggunaan campur kode dalam komunikasi-
komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.
Data 2
Penjual (O1) : Piye nek pilih sing tipe iki, luwih apik tinimbang tipe sing kuwi
ngarepmu kuwi mas.
„Bagaimana kalau pilih yang jenis ini, lebih bagus daripada jenis
yang itu depan Anda itu Mas‟
Peristiwa tutur pada data 2 terjadi di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung
terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015 pukul 09:30 WIB. Komunikasi
dilakukan oleh (O1) sebagai penjual yang menjelaskan tentang jenis-jenis sapi
yang dia jual kepada pembeli agar pembeli tertarik membeli sapinya, situasi
komunikasi yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa
campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh
pembeli (O2). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, piye nek pilih sing
6
6
tipe iki, luwih apik tinimbang tipe sing kuwi ngarepmu kuwi Mas „Bagaimana
kalau pilih yang jenis ini, lebih bagus daripada jenis yang itu depan Anda itu
Mas‟. Campur kode ini disebut campur kode intern yaitu terdapat penggunaan
kata dari bahasa Indonesia yaitu kata tipe yang disisipkan ke dalam bahasa Jawa
ragam ngoko yang tidak menunjukan adanya fungsi. Beban makna penggunaan
campur kode pada data 2 di depan adalah bahasa yang digunakan lebih bervariasi.
O2 menunjukan bahwa dirinya menguasai bahasa Indonesia sehingga memasukan
kata tipe dalam tuturannya kepada pembeli yang memilih sapi. Latar belakang
yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan
atau menafsirkan, penutur O1 ingin menjelaskan berbagai jenis sapinya kepada
pembeli sehingga dia memasukan kata dari bahasa lain agar lebih nyaman untuk
menjelaskan. Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor
praktikal, karena penutur lebih nyaman menggunakan bahasa lain untuk
menjelaskan atau menafsirkan. Bagaimanakah bentuk campur kode, fungsi
campur kode, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode dalam
komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali pada data selanjutnya?. Ditemukan
bentuk, fungsi, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yang
sama dengan data 2 di depan atau ditemukan bentuk, fungsi, dan faktor yang
melatarbelakangi terjadinya campur kode yang berbeda dengan data 2 di depan?.
Kedua data tersebut terjadi pada komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan
dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.
Penelitian sosiolinguistik yang pernah dilakukan terkait dengan alih kode
campur kode sebelumnya adalah sebagai berikut.
7
7
1. Penggunaan Bahasa Jawa Etnis Cina di Pasar Gede Surakarta dalam
Ranah Jual Beli (Suatu Kajian Sosiolinguistik), skripsi oleh Ayu
Margawati Pamungkas, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret Surakarta (2009). Penelitian ini mengkaji bentuk alih kode, campur
kode, dan interferensi dalam penggunaan Bahasa Jawa etnis Cina di Pasar
Gede Surakara. Alih kode yang ditemukan berupa alih kode bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Jawa dan alih kode bahasa Jawa ke dalam
bahasa Indonesia. Campur kode yang diemukan berupa campur kode kata,
campur kode reduplikasi, dan campur kode frasa. terdapat interferensi
leksikal BC dan interferensi morfologi dalam penggunaan bahasa Jawa
etnis Cina di Pasar Gede Surakarta.
2. Pemakaian Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Jawa di Pasar Elpabes
Proliman Balapan Surakara (Sebuah Tinjauan Sosioinguisik), Skripsi oleh
Sukmawan Wisnu Pradanta, (2013). Penelitian ini mengkaji bentuk alih
kode dan campur kode, fungsi alih kode dan campur kode, fakor yang
melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode yang terjadi di
Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta.
3. Alih kode dan Campur Kode Bahasa Jawa dalam Rapat Ibu-ibu PKK
Kepatihan Kulon Surakarta, Skripsi oleh Mundianita Rosita Vinansis,
(2011). Penelitian ini mengkaji bentuk alih kode dan campur kode, fungsi
penggunaan alih kode dan campur kode, dan faktor yang melatarbelakangi
terjadinya alih kode dan campur kode dalam rapat ibu-ibu PKK di
Kepatihan Kulon Surakarta.
8
8
Dari beberapa penelitian sebelumnya, ternyata belum ada yang meneliti alih
kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan
dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Fokus
kajian dalam penelitian ini merupakan fokus kajian yang baru meningat objek
kajiannya adalah baru. Oleh karena itu, penelitian ini diposisikan sebagai
penelitian baru, bukan merupakan penelitian lanjutan atau pemantapan dari
penelitian sebelumnya.
Pertimbangan lain tertarik untuk mengkaji peristwa alih kode dan campur
kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo
desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali adalah sebagai berikut.
Pertama, pasar hewan di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali selalu banyak penjual dan pembeli dari
berbagai kota dari dalam maupun luar kota Boyolali sehingga di area tersebut
terjadi proses komunikasi yang besar. Kedua, mayoritas masyarakat yang
mengunjungi pasar hewan di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan
Nogosari kabupaten Boyolali menggunakan bahasa Jawa, tetapi juga menguasi
bahasa Indonesia dan sedikit bahasa asing. Ketiga, penjual dan pembeli di pasar
hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali
berasal dari wilayah yang berbeda-beda, usia, pendidikan, jabatan yang berbeda-
beda sehingga memiliki latar belakang sosial yang berbeda-beda pula. Keempat,
area komunikasi yang strategis yang mencerminkan adanya kedwibahasaan dan
penggunaan dua bahasa yang selalu berganti yang terjadi dalam peristiwa tutur.
Kelima, penelitian mengenai alih kode dan campur kode dalam komunikasi
penjual dan pembeli di pasar hewan di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
9
9
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali belum pernah diteliti. Dari alasan
tersebut maka penulis mengambil judul “Alih Kode dan Campur Kode dalam
Komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan di pasar hewan dusun Purworejo
desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.
B. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan masalah agar sesuai dengan tujuan
penelitian, maka permasalahan dalam penelitian ini membatasi pada bentuk alih
kode dan campur kode, fungsi alih kode dan campur kode, dan faktor yang
melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual
dengan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari
kabupaten Boyolali.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang tertulis di atas, maka dalam penelitian ini
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi
penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali ?
2. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi
penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali ?
3. Bagaimanakah faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode dan
campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali ?
10
10
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi
penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.
2. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi
penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.
3. Mendeskripsikan faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode dan
campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dan praktis dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah khazanah teori sosiolinguistik, khususnya
mengenai alih kode dan campur kode Bahasa Jawa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat:
a. Dapat menambah informasi hasil penelitian dengan kajian
sosiolinguistik.
b. Dapat memberi informasi tentang bahasa yang digunakan oleh penjual
dan pembeli sapi di pasar hewan dusun Purworejo deso Jeron
11
11
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali tentang penggunaan dua
bahasa dan satu bahasa dengan variasinya dalam komunikasi antara
penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo deso Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali yang mencerminkan adanya
masalah sosial dan situasional.
c. Penelitian ini bisa menjadi bahan acuan bagi penelitian sosiolinguistik
selanjutnya.
F. Landasan Teori
1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan teori-teori tentang hubungan
masyarakat dengan bahasa, sosiolinguistik juga mempelajari dan
membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa khususnya perbedaan-
perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-
faktor kemasyarakatan (Nababan 1993:2).
Sosiolinguistik merupakan antardisiplin antara sosiologi dan
linguistik. Sosiologi merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai
manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses
sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang
ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa
sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, sosiolinguistik adalah bidang
ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa didalam masyarakat (Abdul Chaer dan Leonie
Agustina , 2004:2).
12
12
Menurut Harimurti sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang
mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan
perilaku sosial (Kridalaksana, 2008:225)
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu
interdispliner gabungan antara kebahasaan dan masalah sosial,
sosiolinguistik mempelajari penggunaan bahasa yang digunakan dalam
masyarakat yang menuturkannya.
2. Masyarakat Tutur
Suatu masyarakat atau sekelompok orang yang mempunyai verbal
repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap
norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan di dalam masyarakat
itu disebut dengan masyarakat tutur. Sifat masyarakat tutur yang besar dan
beragam antara lain ialah bahwa variasi dalam verbal repertoirenya
diperoleh terutama karena pengalaman dan diperkuat dengan interaksi
verbal langsung di dalam kegiatan tertentu (Suwito, 1983:20).
Pengertian ini diperkuat oleh para ahli bahasa lainnya yang
menyebutkan bahwa masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang
yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang
mempunyai norma yang dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa.
Selain itu, untuk dapat disebut masyarakat tutur adalah adanya perasaan di
antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang
sama (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 38).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
masyarakat tutur adalah sekelompok masyarakat yang menggunakan
13
13
bahwa yang sama dalam kelompok tersebut dan mempunyai norma yang
sama menggunakan bentuk-bentuk bahasa.
3. Hakikat Kedwibahasaan, Bilingualisme, dan Diglosia
Hakikat kedwibahasaan, bilingualisme, dan diglosia merupakan
kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa yaitu memakai
dua bahasa, disebut bilingualitas (dari bahasa Inggris bilinguality). Jadi
orang yang berdwibahasa mencakup pengertian kebiasaan menggunakan
dua bahasa. Dapat dibedakan pengertian ini dengan kedibahasaan (untuk
kebiasaan) dan kedwibahasawan (untuk kemampuan) (Nababan, 1993:27).
Kedwibahasaan maupun diglosia pada hakikatnya ialah peristiwa
menyangkut pemakaian dua bahasa yang dipergunakan oleh seseorang
atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat, maka antara kedua
peristiwa itu Nampak adanya hubungan timbal-balik yang mewarnai sifat
masyarakat tuturnya (Suwito, 1983:47).
Untuk menngunakan dua bahasa tentunya seseorang harus
menguasai kedua bahasa itu. Kedua bahasa tersebut berupa bahasa
pertama atau bahasa ibu dan bahasa kedua. Orang yang dapat
menggunakan dua bahasa itu disebut dengan dwibahasawan, sedangkan
kemampuan untuk menggunakan dua bahasa itu disebut kedwibahasaaan .
Pengertian diglosia diperinci oleh Harimurti Kridalaksana, diglosia
adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi
bahasa yang ada. Satu variasi diberi status “tinggi” dan pakai untuk
penggunaan resmi atau penggunaan publik dan mempunyai status
14
14
“rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya
disesuaikan dengan sluran komunikasi lisan (2008: 50).
Dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan , bilingualisme, dan
diglosia adalah seseorang atau sekelompok orang yang menggunakan
lebih dari dua bahasa atau menguasai dua bahasa . Orang yang
menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan dan kemampuan
menggunakan dua bahasa disebut kedwibahsaaan.
4. Pembagian Tingkat Tutur Bahasa Jawa (Undha-usuk)
Terdapat dua teori pembagian tingkat tutur yaitu pembagian tingkat
tutur tradisional dan pembagian tingkat tutur baru. Pembagian tingkat tutur
tradisional dikemukakan oleh Ki Padmasusastra yang secara sistematis
dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Basa Ngoko: c. Basa Madya
1). Ngoko Lugu 1). madya-ngoko
2). Ngoko andhap (a). antya-basa 2). madya-krama
(b). basa-antya 3). madyantara
b. Basa Krama: d. Krama Desa
1). wredha-krama e. Krama Inggil
2). wudha-krama f. Basa Kedhaton
3). kramantara g. Basa Kasar
Ciri pokok pembagian tingkat tutur tersebut terletak pada bentuk
katanya dimana satu jenis dengan jenis lainya saling berbeda (Ki
Padmasusastra dalam Sudaryanto, 1989: 98-99). Namun menurut para
15
15
pakar, pembagian tingkat tutur sebagaimana yang dipaparkan di depan
terlalu dikemas, teoretis dan agak artifisial untuk bahasa Jawa sekarang.
Hal tersebut menjadi hambatan untuk generasi muda dalam memahami
tingkat tutur bahasa Jawa saat ini, sehingga muncul pendapat teori tingkat
tutur yang baru.
Teori tingkat tutur yang baru telah diungkapkan oleh beberapa
pakar salah satunya adalah Sudaryanto. Menurutnya, pembagian tingkat
tutur bahasa Jawa secara relistis hanyalah ada empat yaitu ngoko, ngoko
alus, krama, krama alus. Pembagian empat dengan penyebutan atau
penamaan semacam itu menyarankan adanya konsep unsur tingkat halus
yang hadir bersama dan di dalam bentuk ngoko dan krama (1989-103).
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan yaitu tingkat tutur
atau unggah-ungguh bahasa Jawa menurut teori tradisional sudah tidak
relevan lagi digunakan di era sekarang ini sehingga digunakan teori tingkat
tutur yang baru. Penelitian ini menggunakan gambaran pembagian tingkat
tutur yang dikemukakan oleh Sudaryanto.
Dapat disimpulkan bahwa tingkat tutur atau unggah-ungguh dibagi
menjadi empat bentuk yaitu ragam ngoko, ngoko alus, krama, krama alus.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tingkat tutur ngoko dan krama.
5. Kode
Sebelum membicarakan mengenai alih kode dan campur kode
perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian kode. Kode adalah
suatu sistem tutur yang penerapannya serta unsur kebahasaannya
mempunyai ciri khas sesuai dengan latarbelakang penutur, relasi penutur
16
16
dengan lawan tuturnya dalam situasi tutur yang ada (Soepomo
Poedjosoedarmo, 1986: 30).
Kode merupakan lambang atau sistem ungkapan yang dipakai
untuk menggambarkan makna tertentu. Bahasa manusia adalah sejenis
kode. Kode juga dapat disebut sebagai sistem bahasa dalam suatu
masyarakat, dan kode merupakan variasi tertentu dalam suatu bahasa
(Kridalaksana, 2008:127).
Kode merupakan bagian dari bahasa. Istilah kode dimaksudkan
untuk menyebut suatu varian hierarki kebahasaan seperti variasi resional,
variasi khas sosial, ragam, gaya, kegunaaan, dan sebagainya (Suwito,
1983:67).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kode
adalah unsur kebahasaan yang berupa variasi-variasi bahasa yang
digunakan masyarakat dalam berkomunikasi. Variasi-variasi bahasa bisa
berwujud ragam bahasa, gaya, dialek, dan lain sebagainya sehingga kode
berbeda dengan satuan lingual bahasa.
6. Alih Kode
Menurut Suwito alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode
yang satu ke kode yang lain. Apabila yang terjadi adalah antar bahasa asli
dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern (1983:68-69).
Menurut Harimurti Kridalaksana mengungkapkan bahwa alih kode
adalah penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu
peristiwa bahasa sebagai strategi menyesuaikan diri dengan peran atau
situasi lain, atau karena adanya partisipan lain (2008: 9).
17
17
Penggunaan dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah
bahasa dalam suatu masyarakat tutur disebut dengan alih kode. Bahasa
atau ragam yang digunakan tersebut masih memiliki fungsi otonomi
masing-masing dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab
tertentu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 114).
Menurut salah seorang pakar sosiolinguistik bahwa alih kode
merupakan pergantian bahasa atau ragam bahasa tergantung pada keadaan
atau keperluan berbahasa itu. Konsep alih kode ini juga mencakup
kejadian dimana terjadi peralihandari satu ragam fungsiolek ke ragam lain,
atau dari satu dialek ke dialek yang lain, dan sebagainya(Nababan,
1993:31).
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa alih
kode adalah peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Perubahan kode
tersebt tidak semata-mata terjadi begit saja, akan tetapi setiap kode itu
masih memiliki fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteks dan fungsi
masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan
perubahan konteks.
Contoh alih kode adalah sebagai berikut
Data 3
Pembeli (O1) : Bu, nasi rames dua ya.
„Bu, nasi rames dua ya‟
Penjual (O2) : Paringi endhog boten Mbak? .
„Diberi telur tidak Mbak?‟
Pembeli (O1) : “Setunggal paringi, setunggal boten Bu”
„Satu diberi, satu tidak Bu.‟
18
18
Peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21
Desember 2015. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli dan
(O2) sebagai penjual. Pada data (3) diatas terjadi peristiwa alih kode
intern. Alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam ragam bahasa Jawa
krama yang dilakukan oleh pembeli (O1). Pada awalnya (O1)
menggunakan bahasa Jawa Indonesia kepada penjual yaitu, Bu, nasi
rames dua ya „Bu, nasi rames dua ya‟, kemudian beralih kode ke bahasa
Jawa ragam krama yaitu, setunggal paringi, setunggal boten Bu”. „satu
diberi, satu tidak Bu‟. Fungsi peralihan kode dalam komunikasi tersebut
adalah lebih komunikatif menjawab pertanyaan dari lawan tutur penjual
(O2) menjelaskan pesanan makanan yang O1 inginkan. Sedangkan faktor
yang melatarbelakangi menggunakan alih kode adalah lawan tutur (O2).
Yaitu pembeli (O1) mulanya menggunakan bahasa Jawa ragam Indonesia
saat memesan makanan kepada penjual (O2). Komunikasi (O1) beralih
kode ke bahasa Jawa ragam krama karena lawan tutur pembeli (O2)
menggunakan bahasa Jawa ragam krama, sehingga (O1) ingin
mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur.
a. Bentuk Alih Kode
Alih kode mungkin berwujud alih kode varian, alih ragam , alih
gaya atau alih register. Ciri-ciri alih kode adalah penggunaan dua bahasa
atau lebih ditandai oleh (a) masing-masing bahasa masih mendukung
fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya. (b) fungsi masing-
masing bahasa disesuaikan dengan situasi yangrelevan dengan perubahan
konteks (Suwito, 1983: 68-69). Dapat dikatakan bahwa alih kode
19
19
menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi
kontekstual dan situasi relevensial di dalam pemakaian dua bahasa atau
lebih.
Dapat disimpulkan bahwa bentuk alih kode adalah varian , alih
ragam, alih gaya dan alih register. Alih kode dapat dapat dilihat dari alih
bahasa dan alih ragam dalam dua konteks yang berbeda, alih kode ditandai
dengan dialihkannya satu bahasa ke bahasa lain sesuai dengan konteks
situasi yang berbeda.
kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan
dengan peralihan kodenya. Dengan demikian alih kode menunjukkan suatu
gejala saling ketergantungan antara fungsi kontektual dan relevensial di
dalam pemakaian suatu bahasa atau lebih (Suwito, 1983: 69).
Pendapat lain memberikan gambaran tentang fungsi alih kode
yaitu (1) memenuhi kebutuhan yang bersifat linguistik memilih kata, frasa,
kalimat, wacana yang tepat, (2) menyambung pembicaran sesuai dengan
bahasa yang digunakan terakhir (trigerring), (3) mengutip kalimat orang
lain, (4) menyebutkan orang yang dimaksud dalam pembicaraan, (5)
mempertegas pesan pembicaraan, menyangkut atau menekan argumen
(topper) mempertegas keterlibatan pembicaraan (mempersonifikasikan
pesan ), (7) menandai dan menegaskan identitas kelomok (solidaritas), (8)
menyampaikan hal-hal rahasia, kemarahan, dan kejengkelan, (9) membuat
orang lain yang tak dikehendaki tidak bisa memahami pebbicaraan , dan
(10) mengubah peran pembicaraan, menaikan status, menegaskan otoritas,
memperlihatkan kepandaian (Grosjean dalam Prysta Widyana, 2012:20).
20
20
Dari acuan di atas fungsi alih kode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu, (1) lebih argumentatif untuk meyakinkan kepada mitra
tutur, (2) lebih komunikatif, (3) memberikan penghormatan , (4)
mempertegas pembicaraan.
b. Faktor yang Melatarbelakangi Pemakaian Alih Kode
Alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh
faktor-faktor diluar bahasa, terutama faktor-faktor yang siftnya sosio-
situasional. Beberapa faktor-faktor tersebut yakni sebagai berikut.
1) Penutur (O1)
Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih
kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud. Biasanya
usaha tersebut dilakukan untuk mengubah situasi, misalnya
situasi resmi menjadi tidak resmi dan sebaliknya.
2) Lawan tutur (O2)
Setiap penutur pada umumya ingin mengimbangi bahasa yang
ingin dipergunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat
multilingual itu berarti bahwa sesorang penutur mungkin harus
beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya.
3) Hadirnya penutur ketiga (O3)
Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada
umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok
etniknya. Tetapi apabila hadir orang ketiga dalam
pembicaraaan itu. Dan orang itu berada berbeda latar
21
21
kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih kode
ke bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.
4) Pokok pembicaraan (topik)
Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang termasuk
dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok
pembicaraan pada dasarnya dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu pokok pembicaraan yang bersifat formal (baku) dan
pokok pembicaraan yang bersifat informal (santai) Apabila
seseorang penutur mula-mula berbicara tentang hal-hal yang
sifatnya formal, dan kemudian beralih ke masalah-masalah
informal, maka akan dibarengi pula dengan peralihan kode dari
bahasa baku ke bahasa takbaku atau santai
5) Untuk membangkitkan rasa humor
Alih kode dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat, atau
pelawak untuk membangkitkan rasa humor.
6) Untuk sekedar bergengsi
Sebagai penutur ada yang beralih kode sekedar untuk
bergengsi. Hal itu seiring terjadi apabila baik faktor situasi,
lawan bicara, topik, dan faktor-faktor sosio-situasional yang
lainnya sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode.
Atau dengan kata lain, baik fungsi kontekstual maupun situasi
releveninya tidak mendukung peralihan kodenya (Suwito,
1983: 72-74).
22
22
Dari beberapa acuan di atas, faktor yang melatarbelakani alih kode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor sosio-situasional, yaitu
(1) penutur (O1), (2) Lawan tutur (O2), (3) Hadirnya penutur ketiga (O3),
(4) topik yang dibicarakan , dan (5) untuk membangkitkan rasa humor.
7. Campur Kode
Menurut Harimurti Kridalaksana, campur kode yaitu penggunaan
satuan bahasa dari bahasa satu ke dalam bahasa lain untuk memperluas
gaya bahasa atau ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakain kata,
klausa, idiom, dan sapaan (2008:40).
Menurut Suwito terjadinya campur kode merupakan
ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual. Di dalam campur
kode ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh hubungan timbal balik antara
peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan yang dimaksudkan adalah siapa
yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa
yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Ciri lain dari gejala
dari campur kode adalah bahwa unsur-unsur bahasa atau varian-variannya
yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi memiliki fungsi-fungsi
tersendiri (1983: 75).
Pendapat lain bahwa di dalam campur kode ada sebuah kode utama
atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya,
sedangkan kode-kode yang terlontar dalam peristiwa tutur itu hanyalah
23
23
sebuah serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomiannya
sebagai sebuah kode (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:114).
Ciri yang menonjol dalam campur kode adalah kesantaian atau
situasi informal. Dalam situas berbahasa formal, jarang terjadi campur
kode, kalau terjadi campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata
atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai
sehingga perlu memakai kata atau bahasa daerah atau bahasa asing
(Nababan, 1993:32).
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
campur kode adalah penyisipan suatu bahasa ke dalam bahasa lain atau
bahasa inti yang berupa kata, klausa, idiom, dan sapaan. Penyisipan suatu
bahasa ke dalam bahasa lain tidak memiliki fungsi tersendiri sehingga
berbeda dengan alih kode.
Contoh campur kode adalah sebagai berikut.
Data 4
Pembeli (O1) : Pit onthel cilikmu kuwi regane pira Mas? .
„Sepeda onthel kecilmu itu harganya berapas Mas?‟
Penjual (O2) : Kuwi durung rampung lehku ndandani Mas.
„Itu belum selesai saya perbaiki Mas‟
Pembeli (O1) : Rampungana sik saknu, tak tukune, second ta kuwi?
„Selesaikan dulu saja, saya beli, second kan itu ?‟
Peristiwa tutur pada data 4 terjadi di pasar hewan dusun Purworejo
desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur
yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember 2015 pukul 12:30
WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli yang menanyakan
24
24
harga sepeda kepada penjual (O2), situasi komunikasi yang terjadi santai.
Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa
penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh pembeli (O1). Pada
kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, rampungana sik saknu, tak
tukune, second ta kuwi? „selesaikan dulu saja, saya beli, second kan itu ? .
Campur kode ini disebut campur kode ekstern yaitu terdapat penggunaan
kata dari bahasa Inggris yaitu kata second yang disisipkan ke dalam
bahasa Jawa ragam ngoko. Beban makna penggunaan campur kode pada
data 4 tersebut adalah lebih mudah dipahami. Latar belakang yang
menyebabkan terjadinya campur kode adalah faktor lingual, karena tidak
ada padanannya dalam bahasa yang digunakan.
a. Bentuk Campur Kode
Campur kode itu dapat berupa pencampuran serpihan kata,
frasa, dan klausa suatu bahasa itu di dalam bahasa lain yang
digunakan (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 154).
Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh salah seorang
pakar sosiolinguistik bahwa berdasarkan unsur-unsur kebahasaan
yang terlibat di dalamnya campur kode dibedakan menjadi:
1) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.
2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.
3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster (gabungan
pembentukan kata asli dan asing).
4) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata
5) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
25
25
6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa (Suwito,
1983:78-80).
Dari acuan di atas bentuk campur kode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah campur kode penggunaan unsur bahasa
lain berwujud (1) kata, (2) frasa, (3) perulangan kata.
b. Fungsi Campur Kode
Menurut Suwito (dalam Dwi Sutana, 20: 17) dalam campur
kode ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan
timbal balik antar peranan dan fungsi kebahsaan. Peranan maksud
siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan
berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya.
Berdasarkan pendapat Suwito tersebut, Dwi Sutana (2000 76-89)
membagi beberapa fungsi campur kode adalah (1) sebagai
penghormatan, (2) menegaskan suatu maksud tertentu, (3)
menunjukan identitas diri, (4) pengaruh materi pembicaraan.
Selanjutnya dipaparkan bahwa tujuan penutur (penceramah)
melakukan campur kode pada kegiatan penceramah kegiatan
kegunaan adalah untuk (1) bergengsi, (2) bertindak sopan, (3)
melucu, dan (4) menjelaskan. Kemudian dijelaskan lagi faktor
eksternal ditentukan oleh ketepatan rasa (makna) dan kurangnya
kosakata ( I Nengah Budiasa, 2008: 136).
Dari beberapa acuan di atas, fungsi campur kode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah (1) bahasa yang digunakan
26
26
lebih bervariasi, (2) lebih mudah dipahami, (3) menegaskan
penekanan atau maksud, (4) menunjukkan identitas diri.
c. Faktor yang melatarbelakangi Campur Kode
Campur kode terjadi karena hubungan timbal balik antara
peranan (penutur), bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Artinya
penutur yang mempunyai latarbelakang sosial tertentu. Pemilihan
bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan
status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat (Suwito,
1983: 78).
Mengenai latarbelakang terjadinya campur kode pada
dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe yang
melatarbelakangi pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang
melatarbelakangi kebahasaan (linguistic type). Kedua tipe itu
saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih. Atas dasar
tersebut penyebab terjadinya campur kode dapat diidentifikasikan
sebagai beberapa alas an yaitu sebagai berikut.
1) Identifikasi peran sosial (sosial, register edukasional).
2) Identifikasi ragam (ditentukan oleh bahasa dimana penutur
melakukan campur kode yang menempatkan dia pada
hierarki status sosialnya).
3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan (campur
kode menandai sikap dan hubungan terhadap orang lain atau
sebaliknya) (Suwito, 1983:77).
27
27
Kemudian faktor penyebab terjadinya campur kode juga
dibedakan atas dua aspek, yaitu eksternal dan aspek internal. Aspek
eksternal merupakan potensi di luar bahasa, yaitu mengungkapkan
potensi kebahasaan penutur. Sedangkan aspek internal merupakan
kebalikannya, yaitu terikat dengan potensi bahasa itu sendiri dalam
keberadaannya di masyarakat (I Nengah Budiasa, 2008:134).
Dari beberapa acuan di atas, faktor yang melatarbelakangi campur
kode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, (1) identifikasi peran
sosial penutur, (2) tidak ada padanannya dalam bahasa yang digunakan,
dan (3) keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
8. Komponen Tutur
Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi
dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu,
tempat, situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 2004: 46)
Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa
tutur harus memenuhi syarat delapan komponen, yang bila huruf-huruf
pertamanya dirangkaikan sebagai akronim SPEAKING (Del Heymes
dalam Chaer Agustina, 2004:47). Singkatan SPEAKING ini merupakan
fonem awal dari faktor-faktor yang terjadinya peristiwa tutur, berikut
penjelasan akronim tersebut.
S : Setting dan scene yaitu tempat bicara dan suasana bicara
(misalnya ruang diskusi dan suasana diskusi).
28
28
P : Participant adalah pembicara, lawan bicara dan pendengar.
Dalam diskusi adalah seluruh peserta diskusi.
E : End atau tujuan adalah tujuan akhir diskusi.
A : Act adalah suatu peristiwa di mana seorang pembicara sedang
mempergunakan kesempatan bicaranya.
K : Key adalah nada suara dan ragam bahasa yang digunakan dalam
menyampaikan pendapatnya, dan cara mengemukakan pendapatnya.
I : Instrument adalah alat untuk menyampaikan pendapat. Misalnya
secara lisan, tertulis, lewat telpon dan sebagainya.
N : Norma adalah aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap
peserta diskusi.
G : Genre adalah jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat
lain dari jenis kegiatan yang lain (Suwito, 1983: 32-33).
Disimpulkan bahwa syarat peristiwa tutur harus memenuhi
komponen tutur SPEAKING. Komponen tutur tersebut merupakan faktor
yang melatarbelakangi tuturan beserta fungsi yang merupakan pengaruh
bentuk tutur. Dalam penelitian ini menggunakan komponen tutur
SPEAKING untuk mengkaji bentuk alih kode dan campur kode, fungsi
penggunaan alih kode dan campur kode, serta faktor yang
melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode dalam komunikasi
penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron
Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.
29
29
9. Konsepsi Jual Beli dalam Masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa tentu sudah tidak asing lagi dengan sistem
penanggalan Jawa yang dipakai untuk hari pasaran pancawara (siklus
pekan) yang terdiri dari Legi, Pahing, Pon, Wage, Kiwon. Masyarakat
Jawa sering menggunakan penanggalan dengan sistem siklus pekan
tersebut untuk mengadakan pasar yang hanya di adakan setiap satu pekan
sekali. Pasar hewan di Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali ini diadakan setiap sepasar (lima hari) sekali yaitu
setiap pasaran hari Wage. Di pasar hewan ini hewan yang banyak dijual
ialah hewan sapi. Berbagai jenis sapi dijual di pasar ini seperti sapi betina,
sapi jantan, dan sapi perah. Letaknya yang strategis berada di pinggir jalan
sehingga merupakan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pasar
hewan. Setiap wage banyak para penjual dan pembeli sapi mengunjungi
pasar ini bahkan banyak pula yang dari luar kota Boyolali seperti penjual
dan pembeli dari Sragen, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, Surakarta dan
kota-kota yang lainnya, banyaknya para pembeli lebih memilih membeli
sapi di pasar ini karena sudah terkenal dengan harganya yang lebih murah
dibandingkan dengan pasar hewan lainnya. Selain penjual dan pembeli
sapi di pasar ini juga banyak penjual barang-barang lain yang masih ada
hubungannya dengan peternakan sapi, seperti penjual obat lain, penjual tali
tambang yang biasa digunakan untuk mengikat sapi, dan masih banyak
lagi.
30
30
G. Metode Penelitian
Istilah metode dalam penelitian linguistik ditafsirkan sebagai
strategi kerja berdasarkan rancangan tertentu. Dengan demikian, rancangan
tersebut merupakan kerangka berpikir untuk menentukan metode sekaligus
teknik penelitian. Istilah teknik dapat diartikan sebagai langkah dalam
kegiatan yang terdapat pada kerangka srategi kerja tertentu. Secara lebih
khusus teknik adalah pengumpulan data dan teknik analisis data (Edi
Subroto, 1992: 32).
1. Tingkatan Penelitian
Penelitian ini deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif artinya studi
kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci, mendalam, dan
benar-benar potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi
menurut apa adanya di lapangan (Sutopo, 2002: 111). Sedangkan
penelitian kualitatif artinya teknik penentuan sampelnya dengan
cuplikan (nukilan) yang lazim juga disebut purposive sampling. Teknik
nukilan maksudnya sampel ditentukan secara selektif berdasarkan teori
yang dipakai, tujuan penelitian, dan permasalahan penelitian. Sumber
datanya diarahkan pada sumber data yang memiliki data penting,
produktif, sesuai dengan permasalahan penelitian teori dan tujuan
penelitian. (Sutopo, 2002: 36).
Oleh karena itu penelitian ini mendeskripsikan dan
menggambarkan fenomena kebahasaan serta sosial secara rinci dan
mendalam sesuai dengan fakta di lapangan. Data yang terkumpul
adalah bahasa komunikasi yang berupa kata-kata dan atau kalimat
31
31
yang dianggap penting sesuai permasalahan yang akan diteliti, tujuan
penelitian, dan teori yang digunakan.
2. Alat Penelitiaan
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat
utama dan alat bantu. Alat utama merupakan paling dominan dalam
penelitian, sedangkan alat bantu berguna untuk membantu jalannya
penelitian. Alat utama merupakan peneliti sendiri artinya kelenturan
sikap peneliti mampu menggapai makna dari berbagai interaksi
(Sutopo, 2002: 35-36). Selain itu, dengan ketajaman intuisi kebahasaan
(lingual) peneliti mampu membagi data secara baik menjadi beberapa
unsur (Sudaryanto, 1993 31-32). Peneliti sendiri dengan instuisi
lingual (kebahasaan) peneliti bisa bekerja secara serta merta
menghayati terhadap bahasa yang diteliti secara utuh (Edi Subroto,
1992: 23).
Alat bantu dalam penelitian ini meliputi alat elektronik dan alat
tulis-menulis, alat elektonik berupa laptop, handphone (alat perekam),
dan flashdisk. Alat tulis berupa pensil, bolpoin, stabile, kertas dan
buku tulis.
3. Data dan sumber Data
Data dapat dijadikan sebagai bahan penelitian, dan bahan
penelitian yang dimaksud adalah bukan bahan mentah melainkan
bahan jadi (Sudaryanto, 1990: 3). Data dalam penelitian ini adalah data
lisan yang berwujud tuturan yang digunakan dalam komunikasi di
32
32
Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali yang mengandung alih kode dan campur kode.
Tuturan yang diambil adalah tuturan yang alami wajar. Alami atau
wajar maksudnya bahasa yang digunakan tidak direkayasa, tetapi
peristiwa dan bahasa yang berlangsung secara wajar atau alami dalam
komunikasi sehari-hari secara lisan.
Sumber data adalah si penghasil atau pencipta bahasa sekaligus
tentu saja si penghasil atau pencipta data yang dimaksud biasanya
dinamakan narasumber (Sudaryanto, 1993: 35). Sumber data secara
menyeluruh dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu narasumber
(informan), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, beragam
gambar, dan rekaman, serta dokumen atau arsip (Sutopo,2002: 50-54).
Sumber data pertama, berasal dari informan sebagai pengguna
bahasa dalam penelitian ini. Informan yang dimaksud adalah penjual
dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan
Nogosari kabupaten Boyolali. Sumber data yang kedua, adalah tempat
sasaran penelitian, yaitu pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron
kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Sumber data yang ketiga,
adalah kegiatan komunikasi oleh pedagang dan pembeli di pasar
hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten
Boyolali. Pasar hewan ini dipilih karena sebagai tempat sarana jual beli
hewan yang terdapat banyak penjual dan pembeli sapi dari berbagai
kota dan dengan latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu
33
33
bahasa yang digunakan pun beragam dan memungkinkan terjadinya
alih kode dan campur kode.
4. Sampel
Sampel penelitian adalah data yang berasal dari sumber data yang
disahkan untuk dikaji dan dijadikan objek penelitian sesuai dengan
teori dan rumusan masalah yang digunakan dan tujuan penelitian.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling. Pada teknik purposive sampling pilihan sampel
ditentukan secara selektif berdasarkan teori yang dipakai, tujuan
penelitian, dan permasalahan penelitian. Sumber datanya diarahkan
pada sumber data yang memiliki data penting, produktif, sesuai dengan
permasalahan penelitian. (Sutopo, 2002: 36). Adapun sampel dalam
penelitian ini adalah tuturan dalam komunikasi penjual dan pembeli di
Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan
suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2008:36). Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
simak. Metode simak adalah menyimak penggunaan bahasa. Ini dapat
disejajarkan dengan pengamatan atau observasi dalam ilmu sosial
(Sudaryanto, 1993: 133). Metode simak dilakukan dengan menyimak
pengguaan bahasa penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun
34
34
Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.
Teknik yang digunakan dalam metode ini berupa teknik dasar dan
teknik lanjutan.Teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap yaitu
menyadap penggunan bahasa dalam pembicaraan atau tuturan
informan. Setelah itu dilanjutkan dengan teknik lanjutan berupa teknik
simak bebas libat cakap (SBLC), rekam , dan catat.
Teknik simak bebas libat cakap (SBLC) adalah teknik untuk
memperoleh data di mana peneliti hanya berperan sebagai pengamat
pemakaian bahasa pada tuturan informan (Sudaryanto, 1993: 134).
Pada teknik ini peneliti hanya menyimak pembicaraan dari informan
yang dipilih. Peneliti tidak ikut campur dalam pembicaraan yang
dipilih. Peneliti tidak ikut campur dalam pembicaraan baik sebagai
pembicara maupun lawan bicara.
Teknik rekam yaitu teknik untuk memperoleh data dengan
menggunakan alat perekam yaitu handphone untuk merek am semua
tuturan informan. Perekaman dalam penelitian ini dilakukan tanpa
sepengetahuan penutur sumber data atau pembicara, sehingga data
yang diperoleh merupakan tuturan yang wajar atau alami.
Teknik catat yaitu mencatat data relevan yang sesuai dengan
sasaran atau tujuan penelitian. Teknik catat digunakan untuk mencatat
hasil observasi yang telah dilakukan peneliti. Selain itu, teknik catat
dilakukan untuk mentranskripsikan data yang berbentuk rekaman suara
ke dalam data yang berbentuk tulisan agar memudahkan penelitian.
35
35
Adapun langkah-langkah pengumpulan data adalah pertama,
peneliti menyimak penggunaan bahasa dalam peristiwa tutur lalu
merekam semua data lisan. Kemudian peneliti mencatat hal-hal yang
dianggap penting dalam peristiwa tutur antara lainidentitas penutur ,
waktu, tempat, suasana tutur, topik pembicaraan. Data rekaman adalah
sumber data primer. Hasil rekaman berupa komunikasi antara penjual
dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan
Nogosari Kabupaten Boyolali. Kemudian semua hasil rekaman
ditranskripsi dan selanjutnya data yang dikumpulkan dipilih dan
dipilah berdasarkan permasalahan dengan cara menggunakan stabilo.
Kemudian yang terakhir menganalisis data sesuai rumusan yang
diajukan yaitu, bentuk alih kode dan campur kode, fungsi alih kode
dan campur kode, serta factkr yang melatarbelakangi alih kode dn
campur kode menggunakan metode distribusional dan metode padan.
6. Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu distribusional
dan padan untuk menganalisis data. Metode distribusional yaitu
metode analisis data yang alat penentunya unsur dari bahasa yang
bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode distribusional
dalam penelitian ini menggunakan teknik BUL. (Bagi Unsur
Langsung). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data,
menjadi unsur-unsur yang lebih kecil. Unsur –unsur yang lebih kecil
itu merupakan ruas-ruas data atau jeda-jeda data. Metode distribusional
dengan teknik BUL utamanya digunakan untuk mengkaji bentuk
36
36
campur kode. Dari setiap ruas data itu dapat dikaji berdasar atas
SPEAKING.
Selanjutnya untuk menganalisis lebih luas dan mendalam
menggunakan metode padan. Metode padan adalah metode analisis
data yang alat penentunya di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian
dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Teknik dasar
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Pilah Unsur
Penentu (PUP). Ada lima subjenis berdasarkan pada alat penentunya
yaitu alat penentunya berupa referent, alat ucap/organ wicara, bahasa
lain, bahasa tulisan, dan lawan bicara (Edi Subroto, 2007: 56-69).
Dalam penelitian ini menggunakan teknik dasar PUP. Dengan alat
penentunya berupa referen. Metode padan dengan alat penentunya
referen yaitu kenyataan yang ditunjuk bahasa (benda, barang, objek,
tindakan, peristiwa, perbuatan, kejadian, sifat, kualitas, keadaan,
derajat, jumlah, dan sebagainya). (Edi Subroto, 2007:59). Dalam
penelitian ini pendekatannya menggunakan SPEAKING. Pendekatan
dengan SPEAKING digunakan untuk mengkaji alih kode serta fungsi
dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode, karena di
dalamnya mengandung fenomena sosial dan situasional penggunaan
bahasa. Contoh penerapan metode distribusional dan metode padan
pada penggunaan alih kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di
Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali.
37
37
Data 1
Pembeli (O2) :Sapimu sing etan karo sing kulon regane pas?, daknyang
oleh ora?, sing oleh dinyang sing ndi? .
„Sapimu yang timur dan yang barat harganya pas?, saya
tawar boleh tidak?, yang boleh ditawar yang mana?‟
Penjual (O1) :Lha nek nganyang niku angsal mawon Mbah.
„kalau menawar itu boleh saja Kek‟
Pembeli (O2) :Sing etan pa singkulon ? .
„yang timur apa yang barat‟
Penjual (O1) : Nek sing etan aja, ning nek sing kulon dakwenehke.
„Kalau yang timur jangan, tapi kalau yang barat saya
berikan‟
Pembeli(O2) : Aja larang-larang ngono hlo.
„Jangan mahal-mahal begitu‟
Penerapan analisis menggunakan SPEAKING dapat menjawab
bentuk, fungsi, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa
alih kode di atas adalah sebagai berikut. Peristiwa tutur pada data (1)
terjadi di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan
Nogosari Kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung
terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015 pikul 11:13 WIB.
Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual dan (O2) sebagai
pembeli yang sedang berkomunikasi membicarakan tentang
kesepakatan harga sapi. Keduanya belum saling mengenal, situasi
komunikasi yang terjadi adalah santai.
Dalam komununikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode
dari bahasa Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada
awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada pembeli
yaitu, nganyang niku angsal mawon Mbah „menawar itu boleh saja
Kek‟ kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko yaitu, nek
sing etan aja, ning nek sing kulon dak wenehi ‟kalau yang timur
38
38
jangan, tapi kalau yang barat saya berikan‟. Alih kode ini disebut alih
kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke dalam
bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O1) menggunakan
bahasa Jawa ragam krama kepada pembeli (O2) adalah untuk
memberikan penghormatan kepada pembeli (O2) karena baru
mengenal. Kemudian O1 beralih kode kedua menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada O2. Fungsi peralihan kode tersebut adalah
lebih argumentatif meyakinkan mitra tutur (O2) bahwa boleh menawar
dengan harga yang dikehendaki mitra tutur asalkan untuk sapi yang di
sebelah barat dan bukan sapi yang sebelah timur. Masing-masing masih
mempertahankan fungsi.
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan
tutur (O2) yaitu penjual (O2) pada mulanya menggunakan bahasa Jawa
ragam krama saat berbicara dengan pembeli (O2) karena menghormati
(O2) sebagai pembeli. Kemudian (O1) beralih kode ke bahasa Jawa
ragam ngoko karena lawan tutur pembeli (O2) menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko, sehingga (O1) ingin mengimbangi bahasa yang
dipergunakan oleh (O2). Latar belakang alih kode ini disebut dengan
faktor situasional, karena mengimbangi bahasa yang digunakan oleh
lawan tutur.
Contoh penerapan metode distribusional dan metode padan pada
penggunaan campur kode dalam komunikasi penjual dengan pembeli
39
39
di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali.
Data 2
Penjual (O1) : Piye nek pilih sing tipe iki, luwih apik tinimbang tipe sing
kuwi ngarepmu kuwi mas.
„Bagimana kalau pilih yang jenis ini, lebih bagus daripada
jenis yang itu depan Anda itu mas‟
Peristiwa tutur pada data 2 terjadi di pasar hewan dusun Purworejo
desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa
tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015 pukul
09:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual yang
menjelaskan tentang jenis-jenis sapi yang dia jual kepada pembeli agar
pembeli tertarik membeli sapinya, situasi komunikasi yang terjadi
santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode
berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh pembeli
(O2). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, piye nek pilih
sing tipe iki, luwih apik tinimbang tipe sing kui ngarepmu kui mas
„gimana kalau pilih yang jenis ini, lebih bagus daripada jenis yang itu
depan Anda itu mas‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia
yaitu kata tipe dalam tuturan bahasa Jawa ragam ngoko yaitu piye nek
pilih sing tipe iki „bagaimana kalau pilih yang ini‟. Campur kode ini
disebut campur kode ekstern yaitu disisipknnya kata dari bahasa
Indonesia ke dalam tuturan berbahasa Jawa ragam ngoko.
Beban makna penggunaan campur kode pada data 2 di depan
adalah bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O2 menunjukan bahwa
40
40
dirinya menguasai bahasa Indonesia sehingga memasukan kata tipe
dalam tuturannya kepada pembeli yang memilih sapi. Latar belakang
yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan, penutur O1 ingin menjelaskan berbagai
jenis sapinya kepada pembeli sehingga dia memasukan kata dari bahasa
lain agar lebih nyaman untuk menjelaskan. Masuknya kata itu tidak
menimbulkan fungsi baru. Latar belakang penggunaan campur kode ini
disebut dengan faktor praktikal, karena penutur lebih nyaman
menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan atau menafsirkan.
7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data pada penelitian ini adalah
metode deskriptif, formal dan informal. Istilah deskriptif itu
meyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata hanya
berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara
empiris hidup pada penutu-penuturnya (Sudaryanto, 1992: 62).
Penelitian ini cocok menggunakan penyajian hasil analisis data metode
deskrptif karena penelitian ini berdasarkan fakta-fakta yang hidup pada
penuturnya, sepeti yang dikemukakan oleh Sudaryanto tersebut.
Metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan
lambing-lambang. Khusus mengenai penggunaan tanda dan lambang
dalam metode penyajian formal itu, dapat disebut teknik dasar
(Sudaryanto. 1993: 145). Metode penyajian informal adalah perumusan
dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis
sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145). Dengan kata lain metode ini
41
41
menggunakan kata-kata sederhana agar mudah dipahami. Analisis
metode informal dalam penelitian ini agar dapat mempermudah
pemahaman terhadap setiap hasil penelitian.
Hasil analisis data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan
dalam komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali yang
berupa bahasa Jawa berdasar pada bentuk alih kode dan campur kode.
Selain itu juga fungsi dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih
kode dan campur kode.
42
42
BAB II
ANALISIS DATA
Bab II analisis data membahas mengenai tiga hal yaitu, (1) bentuk alih
kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dengan pembeli di pasar
hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali,
(2) fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dengan
pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari
kabupaten Boyolali, (3) faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode
dan campur kode dalam komunikasi penjual dengan pembeli di pasar hewan
dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.
A. Bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan
pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan
Nogosari kabupaten Boyolali.
1. Bentuk Alih Kode
Bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli
di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten
Boyolali, ditemukan alih kode bahasa atau alih kode variasi bahasa yang dapat
dibedakan menjadi 4 macam yaitu, (1) alih kode dari bahasa Jawa ke dalam
bahasa Indonesia, (2) alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam
bahasa Jawa ragam Krama, dan (3) alih kode bahasa Jawa ragam krama ke
43
43
dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Berikut ini bentuk pengunaan alih kode dan
campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.
a. Alih kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia
Data 5
Pembeli (O1) : Golek sapi, Mas. kandhange wis padha reget ya.
„Nyari sapi, Mas?. Kandangnya semua kotor ya‟
Penjual (O2) : jarene mulai pembangunan Pak?
„Katanya mulai pembangunan Pak?‟
Pembeli (O1) :Kata pak Lurah, kemarin juga sudah maju kok
proposalnya.
„Katanya pak Lurah, kemarin juga sudah maju kok
proposalnya‟
Penjual (O2) : Wah berarti ya segera itu.
„ Wah berarti ya segera itu‟
Pembeli (O1) : lha kudune ya ngono ya Mas, delok wae engko.
„Harusnya ya gitu ya Mas, lihat aja nanti‟
Peristiwa tutur pada data 5 terjadi di di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember
2015 pukul 10:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli
dan (O2) sebagai penjual yang sedang membicarakan tentang keadaan
kandang di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari
kabupaten Boyolali yang sudah mulai kotor dan jelek keduanya sudah
saling mengenal, pembeli yang ingin membeli sapi sekaligus sebagai carik
di dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali,
situasi komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam komunikasi tersebut
terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa yang dilakukan oleh
44
44
pembeli (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa kepada (O2)
yaitu golek sapi, Mas. kandhange wis padha reget ya „nyari sapi, Mas?.
Kandangnya semua kotor ya‟ kemudian beralih kode ke bahasa Indonesia
yaitu kata pak Lurah, kemarin juga sudah maju lho proposale
„Katanya pak Lurah, kemarin juga sudah maju lho proposalnya‟. Alih kode
tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam
ngoko ke bahasa Indonesia yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi peralihan kode tersebut adalah lebih komunikatif
memberitahu kepada mitra tutur bahwa proposal pembangunan pasar
hewan sudah diurus oleh Pak lurah dan sudah diterima oleh pemerintah.
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan
tutur (O2) yaitu penjual menggunakan bahasa Indonesia untuk menjawab
pertanyaan dari pembeli (O1) yang sebagai pembeli sekaligus seorang Pak
carik di desa Jeron. Kemudian pembeli (O1) yang pada mulanya
menggunakan bahasa Jawa kemudian beralih kode ke dalam bahasa
Indonesia, sehingga (O1) ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh
(O2). Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional,
karena mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur.
Data 6
Penjual (O1) : Anu ki Mas, jinise lho anakan apa rodo gedhe Mas ?
„Gini Mas, jenisnya itu yang kecil apa agak besar Mas?‟
Pembeli (O2) : Punya Bapak dari kanan ini?
„ Punya Bapak dari kanan ini?‟
Penjual (O1) : Iya kanan ini, ini lho Mas satu baris.
„Iya kanan ini, ini lho Mas satu baris‟
Pembeli (O2) : Besar-besar nggih.
„Besar-besar ya‟
Penjual (O1) : Pak Paidi sing rada anakan kecil Mas.
45
45
„ Pak Paidi yang agak anakan kecil Mas‟
Pembeli (O2) : Pak Paidi udah satu tadi.
„ Pak Paidi sudah satu tadi‟
Peristiwa tutur pada data 6 terjadi di di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember
2015 pukul 09:38 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O2) sebagai penjual
yang sedang membicarakan tentang sapi yang kemarin sudah dibicarakan
yang ingin dibeli oleh (O1) dan ditanyakan kembali oleh (O2) kepada (O1)
lalu (O1) memberikan beberapa pilihan, situasi komunikasi yang terjadi
adalah santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih
kode dari bahasa Jawa yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya
(O1) menggunakan bahasa Jawa kepada (O2) yaitu anu ki Mas, jinise lho
anakan apa rada gedhe Mas? „Gini Mas, jenisnya itu lho kecil apa agak
besar Mas?‟ kemudian beralih kode ke bahasa Indonesia yaitu iya kanan
ini, ini lho Mas satu baris „iya kanan ini, ini lho Mas satu baris‟. Alih
kode tersebut disebut alih kode intern, yaitu alih kode dari bahasa Jawa
ragam ngoko ke bahasa Indonesia yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi peralihan kode tersebut adalah mempertegas pembicaraan
yaitu memberitahu kepada mitra tutur bahwa sapi yang dia jual berada satu
baris dari kanan. Karena berasal dari Jakarta dan sedkit mengetahui
tentang bahasa Jawa maka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia
kemudian penjual mempertegas pembicaraan menggunakan bahasa
Indonesia agar pembeli jelas dengan apa yang dia bicarakan.
46
46
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan
tutur (O2) yaitu penjual (O1) pada mulanya menggunakan bahasa Jawa
karena dia penduduk asli, kemudian saat menjawab pertanyaan pembeli
(O2) menggunakan bahasa Indonesia karena ingin mengimbangi bahasa
yang digunakan oleh (O2) dan agar bahasa yang digunakan lebih
dimengerti karena pembeli (O2) berasal dari Jakarta. Latar belakang alih
kode ini disebut dengan faktor situasional, karena mengimbangi bahasa
yang digunakan oleh lawan tutur.
Data 7
Penjual (O1) : Pesen apa wae mau Dhik?
„Pesen apa saja tadi Dek?‟
Pembeli (O2) : Mie ayam satu, mieso satu Buk.
„Mie ayam satu, mieso satu Buk‟
Penjual (O1) : Minumnya apa aja Dhik.
„Minumnya apa saja Dek?‟
Pembeli (O2) : Es teh manis sama es teh tawar Buk.
„Es teh manis sama es teh tawar Buk‟
Peristiwa tutur pada data 7 terjadi di di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2016
pukul 13:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual dan
(O2) sebagai pembeli, pemjual menanyakan pesanan kepada pembeli,
komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat
alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa yang dilakukan oleh penjual
(O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa kepada (O2) yaitu
pesen apa wae mau Dhik? „Pesen apa saja tadi Dek?‟, kemudian beralih
kode ke bahasa Indonesia yaitu minumnya apa aja Dhik? „Minumnya
47
47
apa saja Dek?‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern, yaitu alih kode
dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Indonesia yang menimbulkan
fungsi baru.
Fungsi peralihan kode tersebut adalah lebih kominukatif
menanyakan pesanan makanan kepada pembeli (O2) karena (O2)
menggunakan bahasa Indonesia saat menjawab pertanyaan, kemudian
penjual (O1) juga menggunakan bahasa Indonesia saat menanyakan
kembali kepada (O2).
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan
tutur (O2) yaitu penjual (O1) pada mulanya menggunakan bahasa Jawa
karena penjual (O1) sudah terbiasa menggunakan bahasa Jawa, kemudian
saat menjawab pertanyaan pembeli (O2) menggunakan bahasa Indonesia
karena ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh (O2). (O2) yang
merupakan seorang pelajar sekolah menengah atas yang biasa
menggunakan bahasa Indonesia. Latar belakang alih kode ini disebut
dengan faktor situasional, karena mengimbangi bahasa yang digunakan
oleh lawan tutur.
b. Alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Jawa
ragam Krama
Data 8
Penjual (O1) : Dudohi ki urung karuan nek mathuk, mengko bali neh
golek neh, nek ketok barange neng kene ngono genah.
„Memberi tahu itu belum tentu cocok, nanti balik lagi
mencari lagi, kalau keliatan barangnya di sini gitu pasti‟
Pembeli (O2) : Lha nganyang boten?
„Lha menawar tidak?‟
48
48
Penjual (O1) : Jenengan wau rak nika ta nyuwune? .
„Anda tadi kan yang itu kan mintanya?‟
Pembeli (O2) : Nggih nika sing gagah sanes niki.
„Iya, itu yang gagah bukan yang ini‟
Penjual (O1) : Lha nggih, nek nika pas boten saget kurang.
„Lha iya, kalau itu pas tidak bisa kurang‟
Peristiwa tutur pada data 8 terjadi di di pasar hewan dusun Purworejo
desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur
yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015 pukul 08:38
WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual yang menawarkan
dan membeli pilihan sapi kepada pembeli (O2), situasi komunikasi yang
terjadi adalah penuh dengan keseriusan. Dalam komunikasi tersebut
terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko yang
dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada (O2) yaitu dudohi ki urung karuan nek
mathuk, mengko bali neh golek neh, nek ketok barange neng kene
ngono genah „memberi tahu itu belum tentu cocok, nanti kembali lagi
mencari lagi, kalau kelihatan barangnya di sini gitu pasti‟ kemudian
beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama yaitu jenengan wau rak nika ta
nyuwune? „anda tadi kan yang itu kan mintanya?‟. Alih kode tersebut
disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke
bahasa Jawa ragam krama yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi peralihan kode tersebut adalah untuk mempertegas
pembicaraan menanyakan pilihan sapi yang semula dipilih oleh pembeli
(O2) untuk tidak menawar karena harga sapinya bagus dan pas tidak boleh
ditawar lagi.
49
49
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan
tutur (O2), penutur (O1) sengaja beralih kode dari bahasa Jawa ragam
ngoko ke dalam bahasa Jawa ragam krama karena ingin mengimbangi
bahasa yang digunakan pembeli (O2) yang menggunakan bahasa Jawa
ragam krama untuk menanyakan tentang tawar menawar, kemudian
penjual (O1) beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam krama . Latar
belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena penutur
dengan sengaja beralih kode karena ingin mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh mitra tutur.
Data 9
Penjual (O1) : Iki suk mbok dol meneh bathi genah, tenan ora kok aku
gawe-gawe.
„Ini besok kalau Anda jual lagi pasti untung, bener tidak
kok saya bikin-bikin‟
Pembeli (O2) : Pama ora sapi perah, ning sapi kepu ngene ki lho Mas.
„Seumpama bukan perah, tapi sapi kepu gini ini lho Mas‟
Penjual (O1) : Wis gede, pancene boten kok semi-semi ngeten niki.
„sudah besar, memang bukan semi-semi seperti ini‟
Pembeli (O2) : Nek sing lor kae? .
„Kalau yang utara itu?‟
Penjual (O1) : Nggih sae, napa putih niki?
„Iya bagus, apa putih ini?‟
Pembeli (O2) : Iki ?
„Ini ?‟
Penjual (O1) : Lha niku, iki selak mulih masalahe Mas.
„Iya itu, ini segera akan pulang masalahnya Mas‟
Peristiwa tutur pada data 9 terjadi di pasar hewan dusun Purworejo
desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur
yang berlangsung terjadi pada hari sabtu 29 Desember 2015 pukul 11:14
WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual yang menjelaskan
50
50
tentang sapi yang dia jual besar dan bagus kepada pembeli (O2).
Komunikasi yang terjadi adalah penuh dengan keseriusan. Dalam
komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa
ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1)
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O2) yaitu Iki suk mbok
dol meneh bathi genah, tenan ora kok aku gawe-gawe „Ini besok kalau
Anda jual lagi pasti untung, bener tidak kok saya bikin-bikin‟ kemudian
beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama pancene boten kok semi-semi
ngeten niki „sudah besar, memang bukan semi-semi kaya gini‟.Alih kode
tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam
ngoko ke bahasa Jawa ragam krama yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi peralihan kode tersebut adalah untuk mempertegas
pembicaraan menjelaskan tentang sapi yang dijual oleh penjual (O1)
bahwa sapinya dijamin bagus dan akan menghasilkan keuntungan jika
dipelihara sampai besar nanti kepada pembeli (O2).
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah penutur (O1),
penutur (O1) sengaja beralih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke
dalam bahasa Jawa ragam krama karena ingin menghargai pembeli (O2)
karena sudah menanyakan sapi yang dijual oleh penjual (O1) dan agar
pembeli (O2) segera memilih sapi karena penjual (O1) akan segera pulang,
kemudian penjual (O1) beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam krama .
Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena
penutur ingin bersikap sopan kepada mitra tutur.
51
51
Data 10
Penjual (O1) : Sing endi ta Mbah?
„Yang mana Kek?‟
Pembeli (O2) : Kae lho kae, ayo rana sik.
„Itu lho itu, ayo kesana dulu‟
Penjual (O1) : Ayo jajal, endi jal sing kaya ngapa penasaran aku.
„Ayo coba, mana coba yang seperti apa penasaran saya‟
Pembeli (O2) : Iki lho karepku ki, karo dodolane dhewe kok lali.
„Ini maksud saya, dengan dagangannya sendiri mengapa
lupa‟
Penjual (O1) : alah, niki ta Mbah?, lha nek sing niki ya regine nambah
niku, Pripun? .
„Ini ya Kek?, kalau yang ini harganya nambah,
bagaimana?‟
Peristiwa tutur pada data 10 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2016
pukul 12:10 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual dan
(O2) sebagai pembeli, keduanya sedang berbincang-bincang tentang jenis
sepeda yang diinginkan oleh pembeli (O2), karena O2 ingin membeli
sepeda kepada O1. Komunikasi yang terjadi adalah penuh dengan
keseriusan. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode
dari bahasa Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada
awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O2) yaitu
ayo jajal, endi jal sing kaya ngapa penasaran aku „ayo coba, mana coba
yang seperti apa penasaran saya‟ kemudian beralih kode ke bahasa Jawa
ragam krama oalah, niki ta Mbah?, lha nek sing niki ya regine nambah
niku, Pripun? „ini ya Kek?, kalau yang ini harganya nambah,
bagaimana?‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode
52
52
dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa ragam krama yang
menimbulkan fungsi baru.
Fungsi peralihan kode tersebut adalah untuk memberikan
penghormatan, O1 beralih kode menggunakan bahasa Jawa ragam krama
karena agar lebih sopan menanyakan harga kepada O2 sebagai pembeli .
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah penutur
(O1), penutur (O1) sengaja beralih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke
dalam bahasa Jawa ragam krama karena ingin menghargai pembeli (O2)
agar bersedia menambah harga untuk membeli sepeda dagangannya. Latar
belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena penutur
ingin bersikap sopan kepada mitra tutur.
c. Alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Jawa
ragam ngoko
Data 11
Pembeli (O1) : Wong itungan kok kabeh ngroyok, sing genah ning pasar
ya ning pasar wae Mbah.
„Orang lagi hitungan kok semua merubung, yang bener di
pasar ya di pasar aja Kek‟
Penjual (O2) : Niki lho kleru dhuite sampeyan mengke.
„Ini lho salah uang Anda nanti‟
Pembeli (O1) : Sik wae Mbah, sik wong duwite ya jik digawa anakku.
„Nanti aja Kek, uangnya juga masih dibawa anak saya‟
Penjual (O2) : gene wae, nek mathuk karo mbahe ndang wehana kana
raketang satus rongatus.
„Gini saja, kalau setuju sama kakek buruan kasihkan sana
sekitar seratus duaratus‟
Pembeli (O1) : Sik Mbah, ngenteni anakku wae.
„Nanti Kek, nunggu anak saya saja‟
53
53
Peristiwa tutur pada data 11 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 29 Desember
2015 pukul 09:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O2) sebagai pembeli
yang mengeluhkan tentang ramainya para penjual yang mengeroyok
pembeli (O2) karena banyaknya tawaran harga dari para penjual sapi.
Komunikasi yang terjadi adalah santai tetapi serius. Dalam komunikasi
tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam krama
yang dilakukan oleh penjual (O2). Pada awalnya (O2) menggunakan
bahasa Jawa ragam krama kepada (O1) yaitu niki lho kleru dhuite
sampeyan mengke „Ini lho salah uang Anda nanti‟ kemudian beralih kode
ke bahasa Jawa ragam ngoko ngene wae, nek mathuk karo mbahe ndang
wehana kana raketang satus rongatus „gini saja, kalau setuju sama kakek
buruan kasihkan sana sekitar seratus duaratus‟. Alih kode tersebut disebut
alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke bahasa
Jawa ragan ngoko yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi peralihan kode tersebut adalah lebih komunikatif merayu
pembeli (O1) untuk memberikan uang muka agar membeli sapi yang
ditawarkan oleh penjual (O1) karena pembeli (O2) tidak segera memberi
keputusan.
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah
bergantinya topik awalnya penutur (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam
krama agar lebih sopan karena pembeli (O2) sedikit jengkel, kemudian
penutur (O1) sengaja beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko karena
54
54
topik yang dibicarakan berbeda dan agar lebih santai berbicara dengan
pembeli (O2). Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor
situasional, karena topik yang dibicarakan berbeda dan (O2) ingin
mengubah situasi tutur dari situasi yang sopan dan serius ke situasi santai.
Data 12
Penjual (O1) : Wo, yawis nek selak kanggo ning nyuwun sewu menawi
enten rembuk kula sing boten mranani, kula nyuwun
ngapura.
„Ow, yauda kalau keburu dipakai tapi minta maaf kalau ada
pembicaraan saya yang tidak enak, saya minta maaf‟
Pembeli (O2) : Nggih.
„Iya‟
Penjual (O1) : Aku wong tuwa pada wong tuwa nek di ulek-ulek wong
mesakne aku tak lunga.
„Saya orang tua sama orang tua kalau dikerubuti orang
banyak saya akan pergi‟
Pembeli (O2) : Nggih kula matur nuwun.
Iya saya berterimakasih‟
Penjual (O1) : Nuwun sewu, kula boten kok ngajak rame
„Minta maaf, sata tidak mau mengajak ramai‟
Peristiwa tutur pada data 12 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember
2015 pukul 10:09 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
yang ingin meminta maaf jika sikapnya kurang berkenan untuk pembeli
(O2) karena terlalu memaksa dan mengerubung pembeli (O2). Komunikasi
yang terjadi adalah santai dan penuh penyesalan. Dalam komunikasi
tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam krama
yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan
bahasa Jawa ragam krama kepada (O2) yaitu nuwun sewu menawi enten
55
55
rembuk kula sing boten mranani, kula nyuwun ngapura „minta maaf
kalau ada pembicaraan saya yang tidak enak, saya minta maaf‟ kemudian
beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko aku wong tuwa pada wong
tuwa nek di ulek-ulek wong mesakne aku tak lunga „saya orang tua sama
orang tua kalau dikerubuti orang banyak saya akan pergi‟. Alih kode
tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam
krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi peralihan kode tersebut adalah lebih mempertegas pembicaraan
bahwa penjual (O1) benar-benar ingin meminta maaf karena sikapnya dan
agar (O2) memaafkan dan mengerti tentang pembicaraan yang dijelaskan
oleh (O1).
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah penutur (O1) awalnya
penutur (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama untuk mengatakan
permintaan maafnya kepada (O2) karena rasa penyesalanya kemudian
penutur (O1) sengaja beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko untuk
menjelaskan perasaanya ketika dalam keadaan yang sama dan agar lebih
akrab dengan (O2). Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor
situasional, karena penutur (O1) dengan sengaja beralih kode karena ingin
mengubah situasi tutur untuk lebih akrab dengan mitra tutur.
Data 13
Penjual (O1) : Dipendhet piyambak napa enten rencange, Pak?
„Di bawa sendiri atau ada temannya Pak?‟
Pembeli (O2) : Kae enek koncone kok Mas, nek dhewe aku ya ora wani
ta.
„Itu ada temannya Mas, kalau semdiri saya tdak berani‟
Penjual (O1) : Lha iya ta, wis umur tuwa kok ya, ndi konen rene, Pak.
„Lha iya, sudah umur tua kok ya, mana disuruh kesini Pak‟
56
56
Peristiwa tutur pada data 13 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2016
pukul 10:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
menanyakan pembeli (O2) sapinya mau di bawa pulang sendiri atau ada
temannya, lalu (O2) menjawab dengan temannya. Komunikasi yang terjadi
adalah santai dan sedikit bercanda. Dalam komunikasi tersebut terdapat
alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam krama yang dilakukan
oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam
krama kepada (O2) yaitu dipendhet piyambak napa enten rencange,
Pak? „di bawa sendiri atau ada temannya Pak?‟ kemudian beralih kode ke
bahasa Jawa ragam ngoko lha iya ta, wis umur tuwa kok ya, ndi konen
rene, Pak „lha iya, sudah umur tua kok ya, mana disuruh kesini Pak‟. Alih
kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa
ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan fungsi
baru.
Fungsi peralihan kode tersebut adalah lebih lebih komunikatif untuk
berkomunikasi dengan pembeli (O2), dan O1 ingin lebih santai sambil
bercanda dengan O2.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah untuk membangkitkan
rasa humor, awalnya penjual (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam
krama untuk bertanya kepada pembeli (O2) kemudian beralih kode
menggunakan baasa Jawa ragam ngoko karena agar terliat lebih akrab
dengan sedikit bercanda membahasa tentang umur yang sudah semakin
57
57
bertambah. Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional,
karena penutur (O1) dengan sengaja beralih kode karena ingin mengubah
situasi tutur untuk lebih akrab dengan bercanda.
2. Bentuk Campur Kode
Bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan
pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari
kabupaten Boyolali, ditemukan campur kode bahasa atau alih kode variasi
bahasa yang dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu (1) campur kode
penggunaan kata dari bahasa lain, (2) campur kode penggunaan frasa dari
bahasa lain, (3) campur kode penggunaan perulangan kata dari bahasa lain.
Berikut ini bentuk pengunaan campur kode dalam komunikasi penjual dan
pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari
kabupaten Boyolali.
a. Campur kode penggunaan kata dari bahasa lain.
Data 14
Pembeli (O1) :Mbak, mie ayam loro.
„Mbak, mie ayam dua‟
Penjual (O2) :O nggih, minume napa?
„O iya, minumnya apa?‟
Pembeli (O1) :Es teh siji, es jeruk siji, cepakna, tak tinggal bayar sapi sik.
„Es teh siji, es jeruk siji, siapkan dulu, saya tinggal
membayar sapi dulu‟
Peristiwa tutur pada data 14 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember
58
58
2015 pukul 12:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli
yang memesan makanan kepada penjual (O2) kemudian (O2) bertanya
minuman yang akan dipesan pembeli (O1). Situasi komunikasi yang
terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode
berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual
(O2). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam krama yaitu, O nggih, minume
napa? „O iya, minumnya apa?‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa
Indonesia yaitu kata minume yang terdapat dalam tuturan kedua di bagian
kedua. Campur kode dalam tuturan di atas disebut campur kode intern
yaitu disisipkannya kata dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa
ragam krama.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan adalah lebih mudah dipahami, sehingga lawan tutur paham dengan
maksud penutur, hal ini terlihat dari jawaban pembeli yang menjawab
pertanyaan penjual sehingga komunikasi menjadi lancar. Masuknya kata
itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latarbelakang yang menyebabkan
terjadinya campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan atau
menafsirkan O2 memasukan kata dari bahasa lain karena untuk
menjelaskan aau menafsirkan pertanyaan tentang minuman yang akan
pembeli (O1) pesan. Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut
dengan faktor praktikal, karena lebih nyaman menegaskan maksud tuturan.
59
59
Data 15
Pembeli (O1) :Warung nek masakane enak, amba ora umpel-umpelan, tur
bersih sisan, wis mesthi akeh sing padha mara jajan.
„Warung kalau masakannya enak, luas tidak desak-desakan,
dan bersih juga, sudah pasti banyak yang datang untuk
jajan‟
Peristiwa tutur pada data 15 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2016
pukul 08:49 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli yang
menjelaskan tentang keadaan warung yang baik agar pembeli berdatangan
,situasi komunikasi yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut
terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain
yang dilakukan oleh pembeli (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam
ngoko yaitu, warung nek masakane enak, amba ora umpel-umpelan, tur
bersih sisan, wis mesthi akeh sing padha mara jajan „warung kalau
masakannya enak, luas tidak desak-desakan, dan bersih juga, sudah pasti
banyak yang datang untuk jajan‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa
Indonesia yaitu kata bersih yang terdapat dalam tuturan di atas di bagian
ketiga. Campur kode dalam tuturan di atas disebut campur kode intern
yaitu disisipkannya kata dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa
ragam ngoko.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan adalah menegaskan penekanan atau maksud. Kata bersih
memberikan penekanan atau maksud bahwa warung yang bersih akan
banyak pembeli yang berdatangan. Masuknya kata itu tidak menimbulkan
60
60
fungsi baru. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode
adalah keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan O1 memasukan
kata dari bahasa Indonesia untuk menjelaskan atau menafsirkan bahwa
warung yang bersih akan banyak pembeli yang berdatangan. Latar
belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor praktikal,
karena digunakan untuk menegaskan maksud tuturan.
Data 16
Pembeli (O1) : Mbak, sega ya, lawuhe kaya biasane.
„Mbak, nasi ya, lauknya seperti biasanya‟
Pembeli (O2) : Iwake isih digoreng ki Mas, nunggu sik ya?
„Ayamnya masih digreng ini Mas, nunggu dulu ya?‟
Penjual (O1) : Siap, tak sambine nonton tipi sik, iki endi remote tipine?
„Siap, sambil saya menonton televisi dulu, ini mana remote
televisinya?‟
Peristiwa tutur pada data 16 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember
2015 pukul 08:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli
yang memesan makanan kepada penjual (O2) dan penjual meminta
pembeli untuk menunggu karena makanan sedang dimasak, situasi
komunikasi yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat
peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang
dilakukan oleh pembeli (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko
yaitu, siap, tak sambine nonton tivi sik, iki endi remote tipine? „siap,
sambil saya menonton televisi dulu, ini mana remote televisinya?‟,
terdapat penggunaan kata dari bahasa Inggris yaitu kata remote yang
61
61
terdapat dalam tuturan pertama di bagian ketiga . Campur kode dalam
tuturan di atas disebut campur kode ekstern yaitu disisipkannya kata dari
bahasa Inggris ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan adalah lebih mudah dipahami. O1 menyisipkan kata dari bahasa
yang lazim digunakan karena agar mudah dipahami oleh lawan tutur (O2)
dengan benda yang dia maksud. Masuknya kata itu tidak menimbulkan
fungsi baru. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode
adalah tidak ada padanannya dalam bahasa yang digunakan. O1
memasukkan kata dari bahasa Indonesia ke dalam tuturannya karena tidak
adanya padanan yang sesuai dalam bahasa asli penutur yaitu bahasa Jawa.
Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor lingual,
karena tidak adanya kosa kata yang tepat dalam bahasa Jawa.
Data 17
Pembeli (O1) : Wah edan, Lik Nano saiki tambah gantheng wae, piye
kabare suwe ora kepethuk.
„Wah astaga, Paman Nano sekarang semakin ganteng saja,
bagaimana kabarnya sudah lama tidak bertemu‟
Pembeli (O2) : Gantheng apane, wong tambah tuwa ngene, tur aku saiki
gawa kathok jeans senantiku wis ora penak blas, apik-apik
wae aku, lha kowe piye?
„ganteng apanya, sudah semuakin tua seperti ini dan saya
sekarang memakai celana jeans sudah merasa tidak
nyaman, saya baik-baik saja, kamu bagaimana?‟
Peristiwa tutur pada data 17 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2016
pukul 11:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli dan
62
62
(O2) yang juga sebagai pembeli berbincang-bincang mananyakan keadaan
karena sudah lama tidak bertemu. Dalam komunikasi tersebut terdapat
peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang
dilakukan oleh pembeli (O2). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko
yaitu, gantheng apane, wong tambah tuwa ngene, tur aku saiki gawa
kathok jeans senantiku wis ora penak blas, apik-apik wae aku, lha kowe
piye?, „ganteng apanya, sudah semuakin tua seperti ini dan saya sekarang
memakai celana jeans sudah terasa tidak nyaman, saya baik-baik saja,
kamu bagaimana?‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa Inggris yaitu
kata jeans yang terdapat dalam tuturan kedua di bagian ketiga. Campur
kode dalam tuturan di depan disebut campur kode ekstern yaitu
disisipkannya kata dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan agar mudah dipahami. O2 memasukkan kata dari bahasa Inggris
yang sudah lazim digunakan untuk sebagian besar masyarakat Jawa jadi
mudah memahami. Masuknya kata itu tidak menimbulkan fungsi baru.
Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah tidak
ada padanannya dalam bahasa yang digunakan. O2 memasukkan kata dari
bahasa Inggris ke dalam tuturannya karena tidak adanya padanan yang
sesuai dalam bahasa asli penutur yaitu bahasa Jawa. Latar belakang
penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor lingual, karena tidak
adanya kosa kata yang tepat dalam bahasa Jawa.
63
63
b. Campur kode penggunaan frasa dari bahasa lain.
Data 18
Penjual (O1) : Jare dinyang sanga seprapat.
„Katanya ditawar sembilan seperempat‟
Pembeli (O2) : Bathi nuw, halah malah gawe omah wong bathi og,
golekne wong panggung hiburan loro kana.
„Untung dong, halah nanti dibuat rumah bisa untung kok,
dicarikan orang panggung hiburan dua sana‟
Penjual (O1) : Woo, lha ya nuw.
„Oh, lha iya dong‟
Pembeli (O2) : Haha, yawis nek ngono matur nuwun ya.
„Haha, yaudah kalau begitu terimakasih ya‟
Peristiwa tutur pada data 18 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 09:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
dan (O2) sebagai pembeli yang membahas tentang keuntungan hasil
penjualan sapi kemudian menjadi pembahasan humor, situasi komunikasi
yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur
kode berupa penggunaan frasa dari bahasa lain yang dilakukan oleh
pembeli (O2). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, bathi nuw,
halah malah gawe omah wong bathi og, golekne wong panggung hiburan
loro kana „untung dong, halah malah buat rumah orang untung kok,
dicarikan orang panggung hiburan dua sana‟, terdapat penggunaan frasa
yaitu unsur kalimat yang terdiri dari dua kata yang berkedudukan sebagai
obyek, dari bahasa Indonesia yaitu kata panggung hiburan yang terdapat
dalam tuturan kedua di bagian ketiga. Campur kode dalam tuturan di atas
64
64
disebut campur kode intern yaitu disisipkannya frasa dari bahasa Indonesia
ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan adalah bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O2 menunjukan
bahwa dirinya menguasai bahasa Indonesia sehingga memasukan frasa
panggung hiburan dalam tuturannya dan sedikit ingin melucu dengan O1.
Masuknya kata itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latar belakang yang
menyebabkan terjadinya campur kode adalah identifikasi peran sosial
penutur O2 memasukan frasa dari bahasa Indonesia karena O2 merupakan
seorang pegawai kecamatan yang sering menggunakan bahasa Indonesia
dengan rekan-rekan di kecamatan.. Latar belakang penggunaan campur
kode ini disebut dengan faktor status sosial, karena penutur merupakan
seorang pegawai kecamatan.
Data 19
Penjual (O1) : Arep nuku ya hurung wani nek saiki, dhuitku entek bar
bayar study tour anakku ning Bali.
„Akan membeli ya tidak berani kalau sekarang, uang saya
habis untuk membayar perjalanan belajar anak saya ke
Bali.‟
Peristiwa tutur pada data 19 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 9 Oktober 2016
pukul 08:45 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
memberitahu kepada mitra tutur, situasi komunikasi yang terjadi santai.
Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa
65
65
penggunaan frasa dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada
kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, Arep nuku ya hurung wani nek
saiki, dhuitku entek bar bayar study tour anakku ning Bali, „akan membeli
ya tidak berani kalau sekarang, uang saya habis untuk membayar
perjalanan belajar anak saya ke Bali, kata isrtimu kemarin‟, terdapat
penggunaan frasa yaitu unsur kalimat yang terdiri dari dua kata yang
berkedudukan sebagai predikat, dari bahasa Inggris yaitu kata study tour
yang terletak pada tuturan didepan di bagian kedua. Campur kode ini
disebut campur kode intern yaitu disisipkannya frasa dari bahasa Indonesia
ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko yang tidak menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan adalah bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O1 menunjukan
bahwa dirinya menguasai sedikit bahasa Inggris sehingga memasukan
frasa study tour pada tuturan didepan di bagian kedua dalam tuturannya.
Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah
keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. O1 memasukan frasa dari
bahasa Indonesia karena ingin mejelaskan bahwa kata rumah akan
merupakan tempat makan yang lebih besar dari warung makan. Latar
belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor status sosial,
karena penutur ingin menjelaskan atau menafsirkan tuturan yang dia
tuturkan kepada mitra tuturnya.
66
66
c. Campur kode penggunaan pengulangan kata dari bahasa lain.
Data 20
Pembeli (O1) : Pit-pit mini-mini ngeteniki nek anyar pintenan kira-kira?,
sejutanan nganti boten nggih?, dienggo anak wedok, nangis
wae jaluk pit, mumet aku.
„Sepeda-sepeda mini-mini seperti ini kalau baru berapa
kira-kira?, satu jutaan sampai tidak ya?, dipakai anak
perempuan, nangis terus minta sepeda, pusing saya‟
Peristiwa tutur pada data 20 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 13:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli
yang menanyakan harga sepeda kecil unuk anak-anak, situasi komunikasi
yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur
kode berupa penggunaan perulangan kata dari bahasa lain yang dilakukan
oleh pembeli (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam krama yaitu, pit-
pit mini-mini ngeteniki nek anyar pintenan kira-kira?, sejutanan nganti
boten nggih?, di enggo anak wedok nangis wae jaluk pit, mumet aku
„Sepeda-sepeda mini-mini seperti ini kalau baru berapa kira-kira?, satu
jutaan sampai tidak ya?, dipakai anak perempuan, nangis terus minta
sepeda, pusing saya‟, terdapat penggunaan perulangan kata utuh dari
bahasa Indonesia yaitu kata mini-mini yang terdapat dalam tuturan di atas
di bagian pertama. Campur kode dalam tuturan di depan disebut campur
kode intern yaitu disisipkannya pengulangan kata utuh dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam krama.
67
67
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan adalah lebih mudah dipahami, O1 memasukan perulangan kata dari
bahasa Indonesia agar pertanyaan tentang jenis sepeda yang dia inginkan
lebih mudah dipahami oleh lawan tuturnya karena kebanyakan orang Jawa
menyebut jenis sepeda kecil dengan kata tersebut. Masuknya kata itu tidak
menimbulkan fungsi baru. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya
campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, kata
tersebut digunakan oleh penutur agar lebih mudah dipahami dalam
menyampaikan maksud pembicaraannya. Latar belakang penggunaan
campur kode ini disebut dengan faktor praktikal, karena penutur lebih
nyaman menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Data 21
Penjual (O1) : Mandhek kene wae, lha kene hop stop stop, kene wae lak
gampang ngunggahne sapine, ora ngganggu dalan yoan.
„Berhenti disini saja, iya sini berhenti berhenti, sini saja
supaya gampang menaikkan sapinya, tidak mengganggu
jalan juga‟
Peristiwa tutur pada data 21 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2016
pukul 11:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual sapi
yang sedang memerintah temannya supaya memberhentikan mobil untuk
mengangkut sapi, situasi komunikasi yang terjadi santai. Dalam
komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan
pengulangan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada
68
68
kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, mandhek kene wae, lha kene
hop stop stop, kene wae lak gampang ngunggahne sapine, ora ngganggu
dalan yoan „berhenti disini saja, iya sini berhenti berhenti, sini saja supaya
gampang menaikkan sapinya, tidak mengganggu jalan juga‟, terdapat
penggunaan perulangan kata utuh dari bahasa Inggris yaitu kata stop-stop
yang terdapat dalam tuturan di depan di bagian kedua. Campur kode di
depan disebut campur kode ekstern yaitu disisipkannya pengulangan kata
utuh dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan adalah bahasa yang digunakan lebih bervariasi, O1 memasukan
perulangan kata dari bahasa Inggris menunjukan bahwa dirinya menguasai
bahasa lain yaitu bahasa Inggris. Latar belakang yang menyebabkan
terjadinya campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan atau
menafsirkan, kata tersebut digunakan oleh penutur agar lebih mudah
dipahami dalam menyampaikan maksud pembicaraannya. Masuknya kata
itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latar belakang penggunaan campur
kode ini disebut dengan faktor praktikal, karena penutur lebih nyaman
menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan atau menafsirkan.
69
69
B. Fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan
pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari
kabupaten Boyolali.
1. Fungsi Alih Kode
Fungsi alih kode yang ditemukan dalam komunikasi penjual dan
pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari
kabupaten Boyolali yaitu, (1) lebih argumentatif untuk meyakinkan kepada
mitra tutur, (2) lebih komunikatif, (3) memberikan penghormatan , (4)
mempertegas pembicaraan.
a. Lebih Argumentatif untuk Meyakinkan Kepada Mitra Tutur
Data 22
Penjual (O1) : Raurung balik mriki melih ngaten Mbah?, pripun?
„Pada akhirnya balik kesini lagi gitu Kek?, bagaimana?‟
Pembeli (O2) : Aku wis mubeng nganti sikilku kemeng kabeh iki ora entuk
apa-apa blas.
„Saya sudah keliling sampai kaki saya pegal semua ini tidak
dapat apa-apa‟
Penjual (O1) : Kandhani gugua aku wae Mbah, ora patia akeh hambok
pilih iki suk riyaya kurban sedheng wis gedhe wayah
dibeleh kok.
„Dibilangin nurut saya saja Kek, tidak terlalu banyak
mending pilih ini besok hari raya kurban sudah besar
waktunya disembelih kok‟
Pembeli (O2) : Karepku jane yo arep tak nggo kurban suk, wis timbang
kesel kacek sitik wis ben wae, angger mbok terne mengko.
„Kepinginnya saya juga akan saya berikan buat kurban
besok, yasudah daripada capek selisih sedikit tidak apa-apa,
asalkan anda antarkan nanti‟
Penjual (O1) : Yo iki nek wis bar langsung dakterne Mbah, rausah mikir
wisan.
„Ya ini kalau sudah selesai langsung saya antar Kek, tidak
usah mikir lagi‟
70
70
Peristiwa tutur pada data 22 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember
2015 pukul 12:05 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
yang meyakinkan pembeli (O2) untuk membeli sapinya saja agar tidak
lelah mencari sapi yang sesuai kemudian (O2) menyetujuinya. Komunikasi
yang terjadi adalah santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode
intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam krama yang dilakukan oleh
penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam
krama kepada (O2) yaitu raurung balik mriki melih ngoten Mbah?,
pripun? „pada akhirnya balik kesini lagi gitu Kek?, bagaimana?‟
kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko kandhani gugua aku
wae Mbah, ora patia akeh hambok pilih iki suk riyaya kurban sedheng
wis gedhe wayah dibeleh kok „dibilangin nurut saya saja Kek, tidak terlalu
banyak mending pilih ini besok hari raya kurban sudah besar waktunya
disembelih kok‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih
kode dari bahasa Jawa ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko, yang
menimbulkan fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O1) menggunakan bahasa
Jawa ragam krama kepada O2 adalah untuk memberikan penghormatan,
karena baru mengenal O2. Kemudian O1 beralih kode kedua
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada O2. Fungsi peralihan
kode tersebut adalah lebih argumentatif untuk meyakinkan mitra tutur
bahwa sapi O1 sesuai jika ingin dipakai untuk hari raya idul adha maka O1
71
71
meyakinkan O2 untuk membeli sapinya agar tidak lelah mencari sapi
keliling pasar hewan. Masing-masing tuturan masih mempertahankan
fungsi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah penutur (O1) awalnya
penutur (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama untuk menanyakan
karena pembeli (O2) datang kembali ke tempat penjual (O1), kemudian O1
sebisa mungkin beralih kode menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko
dengan maksud untuk mengubah situasi tutur menjadi lebih santai dan
lebih akrab sehingga mitra tutur percaya bahwa apa yang dikatakannya
benar. Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional,
karena penutur (O1) dengan sengaja mengubah situasi tutur untuk lebih
akrab dengan mitra tutur.
Data 23
Pembeli (O1) : Landhep tenan ora iki?
„Tajam beneran tidak ini?‟
Penjual (O2) : Niki mang cobi riyen pripun?
„Ini silahkan anda coba dulu bagaimana?‟
Pembeli (O1) : Sing wingi kae apa landhep sedina, sesuke wis gowang
kabeh.
„Yang kemarin apa tajam sehari, besoknya sudah tumpul
semua‟
Penjual (O2) : Mosok neh?, nera ya landhep, nek ora landhep apa ya
dak dol ngono lho, koe kui kok yo senengane ki, nek
aritku ki genahe landhep nyatane ya awet-awet kok
angger saka kene, glo..glo.. iki glo, empan tenan to
dienggo ngarit mathuk thok iki.
„Masa sih?, pasti ya tajam, kalau tidak tajam apa ya saya
jual gitu lho, kamu itu kok ya sukanya gitu, kalau sabit saya
ini pasti tajam kenyataanya ya pada awet-awet kok asal dari
siji, ni..ni.. ini ni, tajam beneran kan buat cari rumput cocok
sekali ini‟
Pembeli (O1) : Kene siji, sik rada cilik kuwi sik wae.
„Mana satu, yang gak kecil dulu saja‟
72
72
Peristiwa tutur pada data 23 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember
2015 pukul 09:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh pembeli (O1) dan
penjual (O2) yang sedang membicarakan tentang golok yang dijual oleh
penjual golok (O2). Komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam
komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa
ragam krama yang dilakukan oleh penjual (O2). Pada awalnya (O2)
menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada (O1) yaitu niki mang
cobi riyen pripun? „ini silahkan anda coba dulu bagaimana?‟ kemudian
beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko mosok neh?, nera ya landhep,
nek ora landhep apa ya dak dol ngono lho, koe kui kok yo senengane ki,
nek aritku ki genahe landep nyatane ya do awet-awet kok angger saka
kene, glo..glo.. iki glo, empan tenan to dienggo ngarit mathuk thok iki.
„masa sih?, pasti ya tajam, kalau tidak tajam apa ya saya jual gitu lho,
kamu itu kok ya sukanya gitu, kalau sabit saya ini pasti tajam kenyataanya
ya pada awet-awet kok asal dari siji, ni..ni.. ini ni, tajam beneran kan buat
cari rumput cocok sekali ini‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern
yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke bahasa Jawa ragam
ngoko yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O2) menggunakan bahasa
Jawa ragam krama kepada pembeli (O1) adalah memberikan
penghormatan, karena baru mengenal O1. Kemudian O2 beralih kode
kedua menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada O1. Fungsi
73
73
peralihan kode tersebut adalah lebih argumentatif untuk meyakinkan mitra
tutur bahwa golok yang O2 jual benar-benar tajam dan terbukti setiap
orang yang membeli di tempat O2 jual selalu mengeluh awet dan tahan
lama. Masing-masing tuturan masih mempertahankan fungsi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah bergantinya topik
pembicaraan awalnya O2 menggunakan bahasa Jawa ragam krama agar
lebih sopan menyuruh O1 mencoba dan membuktikan sendiri bahwa golok
yang dia jual benar-benar tajam dan awet, kemudian O2 beralih kode
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko untuk menjelaskan karena O1
tetap tidak percaya dan O2 berusaha mengubah situasi tutur dengan
maksud agar lebih akrab dan O1 percaya dengan apa yang dia katakan.
Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena
bergantinya topik yang dibicarakan.
Data 24
Penjual (O1) : Padhos napa Mas ?
„Cari apa Mas ?‟
Pembeli (O2) : Dadung loro Mbak.
„Tali dadung dua Mbak‟
Penjual (O1) : Sing ageng napa sing alit ?
„Yang besar atau yang kecil ?‟
Pembeli (O2) : Cilik wae, mung dienggo mbakohi sapi kok, ben ora
polah.
„Kecil saja, hanya dipakai untuk engencangkan sapi, supaya
tidak gerak‟
Penjual (O1) : Cilik ?, telu sisan wae Mas, regane malah luwih murah
nek telu, tambah siji sisan ya.
„Kecil ?, tiga sekalian saja Mas, harganya lebih murah
kalau tiga, tambah satu sekalian ya‟
Pembeli (O2) : Dengah-dengah kono Mbak.
„Terserah saja Mbak‟
74
74
Peristiwa tutur pada data 24 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2016
pukul 08:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) menanyakan
ingin membeli apa kepada pembeli (O2). Komunikasi yang terjadi adalah
santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari
bahasa Jawa ragam krama yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada
awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada (O2) yaitu
sing ageng napa sing alit „yang besar atau yang kecil ?‟ kemudian beralih
kode ke bahasa Jawa ragam ngoko cilik ?, telu sisan wae Mas, regane
malah luwih murah nek telu3, tambah siji sisan ya „kecil ?, tiga sekalian
saja Mas, harganya lebih murah kalau tiga, tambah satu sekalian ya‟. Alih
kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa
ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan fungsi
baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O1) menggunakan bahasa
Jawa ragam krama kepada pembeli (O2) adalah untuk memberikan
penghoramatan karena baru mengenal O2. Kemudian O1 beralih kode
kedua menggunakn bahasa Jawa ragam ngoko kepada O2. Fungsi
peralihan kode tersebut adalah lebih argumentatif untuk meyakinkan mitra
tutur untuk membeli tali dengan jumlah tiga sekalian karena harganya
akan lebih murah jika membeli tiga tali. Masing-masing tuturan masih
mepertahankan fungsi.
75
75
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah penutur (O1). Awalnya
O1 menggunakan bahasa Jawa ragam krama agar lebih sopan bertanya
kepada pembeli (O2) yang baru saja dia kenal, kemudian O1 beralih kode
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko untuk menjelaskan dan supaya
lebih akrab bahwa harga tali yang akan dibeli oleh O2 akan lebih murah
jika membeli dengan jumlah 3 sekaligus. Latar belakang alih kode ini
disebut dengan faktor situasional, karena penutur (O1) dengan sengaja
mengubah situasi tutur untuk menjaleskan dan supaya lebih akrab dengan
mitra tutur
b. Lebih Komunikatif
Data 25
Penjual (O1) : Itungan neng kantor wae mengko, aja neng kene.
„Hitungannya di kantor saja nanti, jangan disini‟
Pembeli (O2) : Saiki wae ya, sisan dhuite pas apa orane iki.
„Sekarang saja ayo, sekalian uangnya cukup apa tidak ini‟
Penjual (O1) : Mau lak mathuk wolulas setengah ta, Dhi?, wau lak
ngoten nggih Pak?
„Tadi kan setuju delapanbelas setengah kan, Di? Tadi itu
begitu ya Pak?‟
Penjual (O3) : Iya wolulas setengah wis dibayar rongewu, kurang
enembelas setengah.
„Iya delapanbelas setengah sudah dibayar duaribu, kurang
enambelas setengah‟
Peristiwa tutur pada data 25 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 10:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan
pembeli (O2) membicarakan transaksi pembayaran hewan yang akan
dibeli oleh pembeli (O2) kemudian hadir penjual (O3) . Komunikasi yang
76
76
terjadi adalah santai tetapi serius. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih
kode intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh
penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko
kepada (O2) yaitu mau lak mathuk wolulas setengah ta, Dhi? „tadi kan
setuju delapanbelas setengah kan, Di?‟, kemudian beralih kode ke bahasa
Jawa ragam krama wau lak ngoten nggih Pak?. „tadi itu begitu ya Pak?‟.
Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa
Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa ragam krama yang menimbulkan
fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O1) menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada pembeli (O2) adalah untuk mengaskan maksud
terentu, dan O1 mengunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada O2 karena
sudah mengenal akrab. Kemudian O1 beralih kode kedua menggunakan
bahasa Jawa ragam krama kepada penjual (O3) yang merupakan atasanya,
peralihan kode tersebut adalah lebih komunikatif menanyakan kekurangan
harga kepada penjual (O3) karena O3 merupakan juragan atau atasan dari
O1, maka O1 beralih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko untuk berbicara
dengan pembeli karena sudah mengenal kemudian beralih kode ke bahasa
Jawa ragam krama untuk menghormati O3 yang merupakan atasannya.
Masing-masing tuturan masih mepertahankan fungsi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah hadirnya penutur ketiga
(O3) awalnya O1 menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada pembeli
(O2) karena sudah saling mengenal, kemudian O2 beralih kode
menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada O3 agar lebih
77
77
menghormati O3 yang merupakan atasannya. Latar belakang alih kode ini
disebut dengan faktor situasional, karena hadirnya penutur ketiga.
Data 26
Pembeli (O1) : Nyo, tak genepi sisan nyo.
„Nih, saya lunasi sekalian nih‟
Penjual (O2) : Walah susuke kok akehmen iki, sik. Dhe gadhah pecah
satus ewu?
„Walah kembaliannya kok banyak sekali ini, sebentar. Pak
punya pecahan seratus ribu?‟
Penjual (O3) : Wah ora, ora nduwe aku nek satus.
„Wah tidak, tidak punya saya kalau seratus‟
Peristiwa tutur pada data 26 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember
2015 pukul 11:20 WIB. Komunikasi dilakukan oleh pembeli (O1) dan
penjual (O2) tentang uang pembayaran dari O2 yang tidak ada
kembaliannya kemudia O2 bermaksud untuk menukar uang tersebut
kepada penjual yang lain (O3). Komunikasi yang terjadi adalah sedikit
tergesa-gesa. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih
kode dari bahasa Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O2).
Pada awalnya (O2) menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O1)
yaitu walah susuke kok akehmen iki, sik „walah kembaliannya kok
banyak sekali ini, sebentar‟. kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam
krama Dhe gadhah pecah satus ewu?‟ „Pak punya pecahan seratus ribu?‟.
Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa
Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa ragam krama yang menimbulkan
fungsi baru.
78
78
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O2) menggunakan bahasa
jawa ragam ngoko kepada pembeli (O1) adalah untuk menegaskan suatu
maksud tertentu dan karena sudah mengenal akrab dengan pembeli (O1).
Kemudian O2 beralih kode kedua menggunakan bahasa Jawa ragam
krama kepada penjual (O3). Fungsi peralihan kode tersebut adalah lebih
komunikatif menanyakan pecahan uang seratus ribu rupiah kepada penjual
(O3) untuk mengembalikan uang kembalian untuk pembeli (O1) karena
O3 lebih tua dari O2. Masing-masing tuturan masih mepertahankan fungsi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah hadirnya penutur
ketiga (O3) awalnya O2 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada
pembeli (O1) karena O1 menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko maka
O2 juga menjawab menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko, kemudian
beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam krama kepada penjual yang lain
(O3) untuk menghormati karena usia 03 jauh lebih tua dari O2. Latar
belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena hadirnya
penutur ketiga. Masing-masing tuturan masih memperthankan fungsi.
Data 27
Pembeli (O1) : Dawet kalih Pak, pinten ?
„Dawet dua Pak, berapa ?‟
Penjual (O2) : O.. Nggih niki Mbak, gangsal ewu.
„O.. iya ini Mbak, lima ribu‟
Pembeli (O1) : Niki.
„Ini‟
Penjual (O2) : Susuk gangsal ewu nggih Mbak, kae dolono sik Le, tak
nyusuki Mbake iki sik.
“Kembali lima ribu ya Mbak, itu layani dulu Nak, saya
akan memberi kembalian kepada Mbak ini dulu‟
Penjual (O3) : Pinten ?
„Berapa ?‟
79
79
Peristiwa tutur pada data 27 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2015
pukul 11:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh pembeli memesan kepada
penjual (O2) kemudian hadir penjual (O3) lalu penjual (O2) meminta O3
untuk membantu melayani pelanggan lain yang datang untuk membeli.
Komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam komunikasi tersebut
terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam krama yang
dilakukan oleh penjual (O2). Pada awalnya (O2) menggunakan bahasa
Jawa ragam krama kepada (O1) yaitu susuk gangsal ewu nggih Mbak
„kembali lima ribu ya Mbak‟, kemudian beralih kode ke bahasa Jawa
ragam ngoko, kae dolono sik Le, tak nyusuki Mbake iki sik „itu layani
dulu Nak, saya akan memberi kembalian kepada Mbak ini dulu‟. Alih
kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa
ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan fungsi
baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O2) menggunakan bahasa
Jawa ragam krama kepada pembeli (O1) adalah untuk memberikan
penghormatan kepada pembeli (O1) untuk menanyakan pesanan.
Kemudian O2 beralih kode kedua menggunakan bahasa Jawa ragam
krama kepada penjual (O3). Fungsi peralihan kode tersebut adalah lebih
komunikatif menyuruh penjual (O3) untuk membantu melayani pembeli
lain. O3 merupakan anak dari O2, maka O2 beralih kode dari bahasa Jawa
ragam ngoko untuk berbicara kepada O3 dan karena sudah terbiasa
80
80
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada O3. Masing-masing
tuturan masih mempertahankan fungsi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah hadirnya penutur ketiga
(O3) awalnya O2 menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada
pembeli (O1) karena sudah belum saling mengenal dan lebih
menghormati, kemudian O2 beralih kode menggunakan bahasa Jawa
ragam ngoko kepada O3 karena sudah terbiasa dan O3 yang merupakan
anak dari O2. Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor
situasional, karena hadirnya penutur ketiga.
c. Memberikan Penghormatan
Data 28
Penjual (O1) : Bar niliki gone Samidi, sapine telu lemu-lemu.
„Habis melihat milik Samidi, sapinya tiga gemuk-gemuk‟
Penjual (O2) : Wingi dinyang jagal lor ora oleh kok.
„Kemarin ditawar jagal utara tidak boleh‟
Pembeli (O3) : Mas enek perah ora?
„Mas, ada sapi perah tidak?‟
Penjual (O1) : Niki kalih mas Muji mawon, nggen kula sampun telas
niku.
„Itu sama mas Muji saja, punya saya sudah habis ini‟
Peristiwa tutur pada data 28 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 13:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan
penjual (O2) berbincang-bincang tentang sapi milik teman mereka yang
bagus kemudian datang pembeli (O3) yang menanyakan sapi karena ingin
membeli. Komunikasi yang terjadi adalah santai dan penuh rasa hormat.
81
81
Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa
Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1)
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O2) yaitu bar niliki gone
Samidi, sapine telu lemu-lemu „habis melihat miliknya Samidi, sapinya
tiga gemuk-gemuk‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama
Niki kalih mas Muji mawon, nggen kula sampun telas niku „itu sama
mas Muji saja, punya saya sudah habis ini‟. Alih kode tersebut disebut alih
kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa
ragam krama yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O1) menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada penjual (O2) adalah untuk lebih komunikatif
berbicara dengan O2 karena mereka sudah saling mengenal dan sudah
terbiasa menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko untuk berkomunikasi.
Kemudian O1 beralih kode kedua menggunakan bahasa Jawa ragam
krama kepada pembeli (O3). Fungsi peralihan kode tersebut tersebut
adalah untuk memberikan penghormatan. O1 menunjukan kesopanan
bahasanya kepada O3 yang merupakan pembeli dengan cara beralih kode
dari bahasa Jawa ragam ngoko beralih menggunakan bahasa Jawa ragam
krama agar sopan terhadap pembeli. Masing-masing tuturan masih
mempertahankan fungsi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah hadirnya penutur ketiga
(O3). Awalnya O1 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada penjual
(O2) yang berbincang-bincang tentang sapi milik temannya karena O2
merupakan teman dari O1 yang memiliki profesi sama sebagai penjual
82
82
sapi di pasar hewan, kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam
krama kepada pembeli (O3) untuk menghormati karena O3 merupakan
pembeli agar lebih menghormati kemudian O1 beralih kode menggunakan
bahasa yang lebih sopan. Latar belakang alih kode ini disebut dengan
faktor situasional, karena hadirnya penutur ketiga dan agar lebih sopan.
Data 29
Pembeli (O1) : Iki alamate, terna saiki ditunggu bocahku mengko ning
kandhang kana.
„Ini alamatnya, antarkan sekarang ditunggu orang saya
nanti di kandang sana‟
Penjual (O2) : Iya, bar iki tak nali siji iki gek budhal rana.
„Iya, setelah ini menali satu ini terus brangkat kesana‟
Penjual (O3) : Ndang saiki wae Min, mumpung dalan sepi, engko nek
wayah bubaran malah rame, tak taline kene.
„Cepat sekarang saja Min, mumpung jalanan sepi, nanti
kalau waktu pulang pasti rame, saya talikan saja sini‟
Penjual (O2) : Ngoten? Oo.. Nggih kula budhal sakniki.
„Begitu? Oo.. Iya saya berangkat sekarang‟
Peristiwa tutur pada data 29 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 10:45 WIB. Komunikasi dilakukan oleh pembeli (O1)
menyuruh penjual (O2) agar segera mengantar sapi yang O1 beli kerumah.
Komunikasi yang terjadi adalah tergesa-gesa dan penuh rasa hormat.
Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa
Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O2). Pada awalnya (O2)
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O1) yaitu iya, bar iki tak
nali siji iki gek budhal rana „iya, setelah ini menali satu ini terus brangkat
83
83
kesana‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama ngoten?
Oo.. Nggih kula budhal sakniki „begitu? Oo.. Iya saya berangkat
sekarang‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari
bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa ragam krama yang
menimbulkan fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O2) menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada pembeli (O1) adalah untuk lebih komunikatif
berbicara dengan O2 karena mereka sudah saling mengenal dan sudah
terbiasa menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko untuk berkomunikasi.
Kemudian O2 beralih kode kedua menggunakan bahasa Jawa ragam
krama kepada penjual (O3). Fungsi peralihan kode kedua tersebut adalah
untuk memberikan penghormatan. O2 menunjukan kesopanan bahasanya
kepada O3 yang merupakan atasan dari O2 maka O2 menggunakan bahasa
Jawa ragam krama karena menghormati dan sudah biasa menggunakan
bahasa Jawa ragam krama untuk berkomunikasi dengan pimpinannya.
Masing-masing tuturan masih mempertahankan fungsi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah hadirnya penutur ketiga
(O3). Awalnya O2 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada pembeli
(O1) yang yang menyuruh agar segera mengantar sapinya kerumah karena
O1 merupakan pembeli yang sudah langganan maka O1 dan O2 sudah
sering bertemu dan akrab, kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa
ragam krama kepada penjual (O3) untuk menghormati karena O3
merupakan atasan atau pimpinan dari O2 karena sudah biasa menggunakan
bahasa Jawa ragam krama dalam berkomunikasi sehari-sahi maka O2
84
84
menjawab perintah dari O3 dengan menggunakan bahasa Jawa ragam
krama juga karena agar lebih sopan. Latar belakang alih kode ini disebut
dengan faktor situasional, karena hadirnya penutur ketiga dan agar lebih
sopan.
Data 30
Penjual (O1) : Yahmene rek arek mulih, lha apa wis kepayon?
„Jam segini kok mau pulang, apa sudah laku?‟
Penjual (O2) : Hurung eg, dibel bojoku kon mulih, dijak tilik wong loro
neng Jebres.
„Belum, ditelfon istri saya disuruh pulang, diajak
menjenguk orang sakit di Jebres‟
Penjual (O3) : To, kowe mau ngerti Lilik ora?
„To, kamu tadi melihat Lilik tidak?‟
Penjual (O2) : Wau turene ajeng wangsul niku Pak, napa dereng pamit
jenengan? „Tadi katanya akan pulang gitu Pak, apa belum berpamitan
dengan Anda?‟
Penjual (O3) : Owalah mulih jebule, yawis nek ngono.
„Owalah pulang ternyata, yasudah kalau begitu‟
Peristiwa tutur pada data 30 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2016
pukul 09:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) bertanya
kepada penjual (O2) karena O2 akan pulang lebih awal dari biasanya.,
kemudian hadir penjual (O3) sebagai penutur ketiga yang datang
menanyakan rekan kerjanya kepada O2. Komunikasi yang terjadi adalah
santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari
bahasa Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O2). Pada
awalnya (O2) menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O1) yaitu
hurung eg, dibel bojoku kon mulih, dijak tilik wong loro neng Jebres
85
85
„belum, ditelfon istri saya disuruh pulang, diajak menjenguk orang sakit di
Jebres‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama kepada
penjual (O3) wau turene ajeng wangsul niku Pak, napa dereng pamit
jenengan?, „tadi katanya akan pulang gitu Pak, apa belum berpamitan
dengan Anda?‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode
dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa ragam krama yang
menimbulkan fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O2) menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada penjual (O1) adalah untuk lebih komunikatif
berbicara dengan O2 karena mereka sudah saling mengenal dan sudah
terbiasa menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko untuk berkomunikasi.
Kemudian O2 beralih kode kedua menggunakan bahasa Jawa ragam
krama kepada penjual (O3). Fungsi peralihan kode kedua tersebut adalah
memberikan penghormatan. O2 menunjukan kesopanan bahasanya kepada
O3 karena O3 lebih tua dari O2, maka O2 menggunakan bahasa Jawa
ragam krama karena menghormati dan sudah biasa menggunakan bahasa
Jawa ragam krama untuk berkomunikasi dengan O3. Masing-masing
tuturan masih mempertahankan fungsi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah hadirnya penutur ketiga
(O3). Awalnya O2 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko untuk menjawab
pertanyaan dari penjual (O1) karena O1 merupakan teman yang sudah
lama dikenal , kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam krama
kepada penjual (O3) untuk menghormati karena O3 lebih tua darinya dan
sudah biasa menggunakan bahasa Jawa ragam krama dalam
86
86
berkomunikasi sehari-sahi maka O2 menjawab pertanyaan dari O3 dengan
menggunakan bahasa Jawa ragam krama karena agar lebih sopan. Latar
belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena hadirnya
penutur ketiga dan agar lebih sopan.
d. Mempertegas Pembicaraan
Data 31
Penjual (O1) : Sapi eloke kaya ngene kok jik kurang piye
horok?,karepmu lak sing gelem mangan suket tur ora
nolak damen ta? tenang saja nanti tak ambile lagi kalau
nolak damen, jangan khawatir ngono lho.
„Sapi bagusnya kaya gini kok masih kurang gimana coba?,
kamu meminta yang doyan makan ruput dan tidak menolak
jerami kan?, tenang saja nanti saya ambil lagi kalau nolak
jerami, jangan khawatir gitu lho‟
Pembeli (O2) : Hahaha.. Ngono cocok, tenan lho ya.
„Hahaha.. seperti itu cocok, beneran ya‟
Peristiwa tutur pada data 31 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 31 Desember
2015 pukul 10:45 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan
pembeli (O2) tentang sapi jika sapinya tidak sesuai yang dharapkan
pembeli (O2) maka akan diambil kembali oleh (O1). Komunikasi yang
terjadi adalah santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern,
alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual
(O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada
(O2) yaitu sapi elok’e kaya ngene kok jik kurang piye horok? karepmu
lak sing ora nolak damen ta? „sapi bagusnya kaya gini kok masih kurang
gimana coba?, kamu meminta yang tidak menolak jerami kan?‟. Kemudian
87
87
beralih kode ke bahasa Indonesia tenang saja nanti tak ambile lagi kalau
nolak damen, jangan khawatir „tenang saja nanti saya ambil lagi kalau
menolak jerami, jangan khawatir‟. Alih kode tersebut disebut alih kode
intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Indonesia
yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O1) menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada pembeli (O2) adalah untuk menegaskan suatu
maksud. Kemudian O1 beralih kode kedua menggunakan bahasa Indonesia
kepada O2. Fungsi peralihan kode tersebut adalah mempertegas
pembicaraan. O1 mempertegas pembicaraannya dengan akan mengambil
kembali sapi yang sudah dibeli oleh pembeli jika sapi tersebut tidak sesuai
yang diharpkan oleh pembeli (O2), dan menyuruh agar O2 tidak khawatir.
Masing-masing masih mempertahankan fungsi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah membangkitkan rasa
humor. Awalnya O1 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada pembeli
(O2), kemudian beralih kode ke dalam bahasa Indonesia karena O1
sengaja mengubah suasana tutur ingin melucu mempertegas
pembicaraannya serta meyakinkan agar pembeli yakin dengan apa yang
O1 katakan. Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional,
karena ingin membangkitkan rasa humor dan mengubah situasi tutur.
Data 32
Penjual (O1) : Dudohi ki urung karuan nek mathuk, mengko bali neh
golek neh, nek kethok barange neng kene ngono genah.
„Memberi tahu itu belum tentu cocok, nanti kembali lagi
mencari lagi, kalau kelihatan barangnya di sini gitu pasti‟
Pembeli (O2) : Lha nganyang boten?
88
88
„Lha menawar tidak?‟
Penjual (O1) : Jenengan wau rak nika ta rembuge?
„Anda tadi yang itu kan bilangnya?‟
Pembeli (O2) : Nggih nika sing gagah sanes niki.
„Iya, itu yang gagah bukan yang ini‟
Peristiwa tutur pada data 32 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember
2015 pukul 12:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan
pembeli (O2) berdepat memilih sapi dengan harga yang sesuai dengan
pembeli. Komunikasi yang terjadi adalah penuh dengan keseriusan. Dalam
komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa
ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1)
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O2) yaitu dudohi ki
urung karuan nek mathuk, mengko bali neh golek neh, nek kethok
barange neng kene ngono genah „memberi tahu itu belum tentu cocok,
nanti kembali lagi mencari lagi, kalau kelihatan barangnya di sini gitu
pasti‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama jenengan
wau rak nika ta rembuke? „anda tadi yang itu kan bilangnya‟. Alih kode
tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam
ngoko ke bahasa Jawa ragam krama yang menimbulkan fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O1) menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada pembeli (O2) adalah agar lebih komunikatif
dalam berkomunikasi dengan O2. Kemudian O1 beralih kode kedua
menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada O2. Fungsi peralihan
kode tersebut adalah mempertegas pembicaraan. O1 mempertegas
89
89
pembicaraannya dengan memberikan pertanyaan kepada O2 dengan
pilihan sapinya yang pertama. Masing-masing tuturan masih
mempertahankan fungsinya.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah bergantinya topik yang
dibicarakan. Awalnya O1 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada
pembeli (O2), kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam krama
karena topik yang dibicarakan berbeda O1 sengaja mengubah suasana
tutur ingin menjadi lebih serius karena awalnya santai dan agar lebih sopan
memberikan pertanyaan kepada O2. Latar belakang alih kode ini disebut
dengan faktor situasional, karena bergantinya topik yang dibicarakan.
Data 33
Penjual (O1) : Dhahar napa wau Mas? rames kok nggih?
„Makan apa tadi Mas? nasi rames ya?‟
Pembeli (O2) : Iya Bu, siji, biasa ora usah gawa endhog.
„Iya Bu, satu, biasa tidak pakai telur”
Penjual (O1) : Ngeneki? biasa sayur thok ora gawa endhog
ngene?,tempene iya pa rak? „Seperti ini? Biasa sayur saja tidak pakai telur begini?
tempenya iya apa tidak?‟
Pembeli (O2) : Iya uwis ngono thok.
„Iya sudah begitu saja‟
Peristiwa tutur pada data 33 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2015
pukul 09:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan pembeli
(O2) saling tanya jawab menanyakan pesanan makanan. Komunikasi yang
terjadi adalah santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern,
alih kode dari bahasa Jawa ragam krama yang dilakukan oleh penjual
90
90
(O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama
kepada (O2) yaitu dhahar napa wau Mas? rames kok nggih? „Makan apa
tadi Mas? nasi rames ya?‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam
ngoko ngeneki? biasa sayur thok ora gawa endhog ngene? tempene iya
pa rak? „seperti ini? Biasa sayur saja tidak pakai telur begini?, tempenya
iya apa tidak?‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode
dari bahasa Jawa ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang
menimbulkan fungsi baru.
Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O1) menggunakan bahasa
Jawa ragam krama kepada pembeli (O2) adalah untuk memberikan
penghormatan karena O2 merupakan serang pembeli dan agar terlihat
sopan. Kemudian O1 beralih kode menggunakan bahasa Jawa ragam
ngoko kepada O2. Fungsi peralihan kode tersebut adalah mempertegas
pembicaraan. O1 mempertegas pembicaraannya untuk menanyakan
kejelasan makanan yang dipesan oleh pembeli (O2) dan agar terlihat lebih
akrab. Masing-masing tuturan masih mempertahankan fungsinya.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah bergantinya topik yang
dibicarakan. Awalnya O1 gunakan bahasa Jawa ragam krama kepada
pembeli (O2), kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko
karena topik yang dibicarakan berbeda O1 sengaja sengaja mengubah
beralih kode menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko karena agar lebih
nyaman memperjelas pertanyaan kepada pembeli (O2). Latar belakang alih
kode ini disebut dengan faktor situasional, karena bergantinya topik yang
dibicarakan.
91
91
2. Fungsi Campur Kode
Fungsi campur kode yang ditemukan dalam komunikasi penjual dan
pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari
kabupaten Boyolali yaitu, (1) bahasa yang digunakan lebih bervariasi, (2)
lebih mudah dipahami, (3) menegaskan penekanan atau maksud, (4)
menunjukkan identitas diri.
a. Bahasa yang digunakan Lebih Bervariasi
Data 34
Penjual (O1) : Tunggunen sapi iki sedilit, tak jupuk anakku sik.
„Tungguin sapi ini sebentar, saya jemput anak saya dulu‟.
Penjual (O2) : Kuwi anakmu ngono kok.
„Itu anakmu kan‟
Penjual (O1) : Apa iya? Endi?
„Apa iya? Mana?‟
Penjual (O2) : Lha kuwi wis dijemput ngono kok
„Itu sudah dijemput begitu‟.
Penjual (O1) : Woalah iya.
„Walah iya‟.
Peristiwa tutur pada data 34 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 11:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
dan (O2) yang juga sebagai penjual, O1 yang meminta tolong agar O2
menjaga sapinya karena O1 ingin menjemput anaknya yang sudah pulang
sekolah tetapi ternyata sudah dijemput, situasi komunikasi yang terjadi
santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa
penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual (O2). Pada
92
92
kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, lha kuwi wis dijemput ngono
kok „Itu sudah dijemput begitu, terdapat campur kode dari bahasa
Indonesia yaitu kata dijemput yang terdapat dalam tuturan kedua di bagian
kedua. Campur kode ini disebut campur kode intern yaitu disisipkannya
kata dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 34 di atas adalah
bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O2 menunjukan bahwa dirinya
juga menguasai bahasa lain sehingga dia memasukan frasa dari bahasa
Indonesia dalam tuturannya. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya
campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, kata
tersebut digunakan oleh O2 karena ingin mejelaskan kepada O1 bahwa
anaknya sudah dijemput jadi O2 tidak perlu menunggu sapinya. Masuknya
kata itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latar belakang penggunaan
campur kode ini disebut dengan faktor praktikal, karena penutur
menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Data 35
Penjual (O1) : Iki? O.. ya tidak, kadohan. Kae suk riyoyo mesthi uwis
ndaging, cepet kae timbang iki, ngandela.
„Ini? O.. ya tidak, jauh. Itu besok hari raya pasti sudah
banyak dagingnya, cepat itu daripada ini, percaya saja‟
Peristiwa tutur pada data 35 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 09:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
93
93
yang menjelaskan tentang perbandingan sapi yang lebih besar dan O1 juga
berusaha meyakinkan mitra tuturnya untuk percaya dengan pendapatnya,
situasi komunikasi yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat
peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa Indonesia
yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam
ngoko yaitu, iki? O.. ya tidak, kadohan. Kae suk riyoyo mesthi uwis
ndaging, cepet kae timbang iki, ngandela „ini? O.. ya tidak, jauh. Itu besok
hari raya pasti sudah banyak dagingnya, cepat itu daripada ini, percaya
saja‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata tidak
yang terdapat dalam tuturan di depan di bagian kedua. Campur kode ini
disebut campur kode intern yaitu disisipkannya kata dari bahasa Indonesia
ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 35 di atas adalah
bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O1 menunjukan bahwa dirinya
sangat tidak setuju dengan pendapat mitra tuturnya sehingga dia
memasukan kata dari bahasa Indonesia dalam tuturannya. Latar belakang
yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan, kata tersebut digunakan oleh O1 karena
ingin mejelaskan bahwa O1 sangat tidak setuju dan lebih meyakini bahwa
sapi pilihannya lebih siap dipakai untuk hari raya Kurban daripada sapi
yang ditunjukan oleh mitra tuturnya. Masuknya kata itu tidak
menimbulkan fungsi baru. Latar belakang penggunaan campur kode ini
disebut dengan faktor praktikal, karena penutur menggunakan bahasa lain
untuk menjelaskan bahwa penutur sangat tidak setuju.
94
94
Data 36
Pembeli (O1) : Nyoh tak bayar separo sik, mengko nek uwis tekan omah
tak bayar cash ya.
„Nih saya bayar setengah dulu, nanti kalau sudah sampai
rumah saya bayar lunas ya‟
Peristiwa tutur pada data 36 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2015
pukul 11:45 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli yang
menjelaskan tentang pembayaran sapi yang dibelinya, situasi komunikasi
yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur
kode berupa penggunaan kata dari bahasa Inggris yang dilakukan oleh
penjual (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, nyoh tak
bayar separo sik, mengko nek wis tekan omah tak bayar cash ya, „Nih
saya bayar setengah dulu, nanti kalau sudah sampai rumah saya bayar
lunas ya‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata cash
yang terdapat dalam tuturan di atas di bagian kedua. Campur kode ini
disebut campur kode intern yaitu disisipkannya kata dari bahasa Indonesia
ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 36 di atas adalah
bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O1 menunjukan bahwa dirinya
menguasai bahasa lain yaitu bahasa Inggris sehingga dia memasukan kata
dari bahasa Inggris dalam tuturannya. Masuknya kata itu tidak
menimbulkan fungsi baru. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya
campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, kata
95
95
tersebut digunakan oleh O1 karena ingin mejelaskan cara pembayaran
yang akan dilakukannya yaitu membayar setengah harga dulu setelah sapi
diantar sampai rumah maka akan dibayar lunas. Latar belakang
penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor praktikal, karena
penutur menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan cara pembayaran.
b. Lebih Mudah Dipahami
Data 37
Penjual (O1) : Aku mau critane mubeng-mubeng, gara-gara enek razia
ning pertelon Kaliwuni, kok dengaren ngono lho yahmene,
biasane rada awan ngono kae.
„Aku tadi ceritanya keliling, karena ada razia di pertigaan
Kaliwuni, kok tumben gitu jam segini, biasanya agak siang
gitu‟
Penjual (O2) : Kecekel kowe? apa ora gableg SIM?
„Tertangkap kamu? apa tidak punya SIM?‟
Peristiwa tutur pada data 37 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 1 Oktober 2015
pukul 09:30 Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual yang
menceritakan bahwa ada polisi di pertigaan Kaliwuni dalam perjalanannya
menuju ke pasar hewan, situasi komunikasi yang terjadi santai. Dalam
komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan
kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada kalimat
berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, aku mau critane keliling, karena enek
razia ning pertelon Kaliwuni, kok dengaren ngono lho yahmene, biasane
rada awan ngono kae „aku tadi ceritanya muter-muter, gara-gara ada razia
di pertigaan Kaliwuni, kok tumben gitu jam segini, biasanya agak siang
96
96
gitu‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata razia
yang terdapat dalam tuturan pertama di bagian kedua. Campur kode ini
disebut campur kode intern yaitu disisipkannya kata dari bahasa Indonesia
ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 37 di atas adalah agar
mudah dipahami. O1 memasukkan kata dari bahasa Indonesia untuk
menjelaskan tentang adanya razia polisi dalam perjalanan menuju ke
pasar. Masuknya kata itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latar belakang
yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan O1 memasukkan kata dari bahasa Indonesia
ke dalam tuturannya dengan maksud menjelaskan bahwa sedang ada razia
polisi di pertigaan Kaliwuni dan secara tidak langsung ingin memberitahu
bagi para pengendara yang belum memiliki surat-surat agar berhati-hati.
Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor
praktikal, karena penutur menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan
atau mempertegas.
Data 38
Penjual (O1) : Dek ben ndhek Besar dak batheni, ngarepe hari raya dak
batheni rong atus.
„Dulu waktu besar saya beri untung, sebelum hari raya saya
beri untung dua ratus‟
Penjual (O2) : Nyat dodolan ki penere ben bathi kok.
„Memang jualan itu harusnya biar untung kok‟
Peristiwa tutur pada data 38 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
97
97
2015 pukul 11:23 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
dan (O2) yang juga sebagai penjual, keduanya berbincang-bincang
membicarakan tentang keuntungan penjualan, situasi komunikasi yang
terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode
berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual
(O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, dek ben dhek
Besar dak batheni, ngarepe hari raya dak batheni rong atus „dulu waktu
besar saya beri untung, sebelum hari raya saya beri untung dua ratus‟,
terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata Besar yang
terdapat dalam tuturan pertama di bagian pertama dan kata hari raya yang
terdapat dalam tuturan pertama di bagian kedua. Campur kode ini disebut
campur kode intern yaitu disisipkannya kata dari bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 38 di atas adalah agar
mudah dipahami. O1 awalnya memasukkan kata dari bahasa Indonesia
yaitu kata Besar kemudian memasukkan kata dari bahasa Indonesia yaitu
kata hari raya maksudnya kata besar merupakan hari raya idul adha yang
biasanya orang Jawa lebih sering menggunakan kata besar untuk sebutan
hari raya idul adha. Masuknya kata itu tidak menimbulkan fungsi baru.
Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah
keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Disisipkannya kata dari
bahasa Indonesia ke dalam tuturan agar mitra tutur lebih mengerti maksud
dari waktu yang dibicarakan oleh penutur. Latar belakang penggunaan
98
98
campur kode ini disebut dengan faktor praktikal, karena penutur
menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Data 39
Pembeli (O1) : Susuke pas ya Dhe.
„Kembaliannya pas ya Dhe‟
Penjual (O2) : Ho‟o, mengko nek ora sesuai balekna aku.
„Iya, nanti kalai tidak sesuai kembalikan ke saya‟
Peristiwa tutur pada data 39 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2015
pukul 10:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli dan
(O2) yang juga sebagai penjual, situasi komunikasi yang terjadi santai.
Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa
penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada
kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, ho‟o, mengko nek ora sesuai
balekna aku „iya, nanti kalai tidak sesuai kembalikan ke saya‟, terdapat
penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata sesuai yang terdapat
dalam tuturan kedua di bagian kedua. Campur kode ini disebut campur
kode intern yaitu disisipkannya kata dari bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa ragam ngoko.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 39 di atas adalah agar
mudah dipahami. O2 memasukan kata sesuai ke dalam bahasa Jawa ragam
ngoko agar lebih mudah dipahami oleh pembeli (O1) jika barang yang O1
beli tidak seperti yang di inginkan maka bisa dikembalikan ke O2. Latar
belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan
99
99
untuk menjelaskan atau menafsirkan. Disisipkannya kata dari bahasa
Indonesia ke dalam tuturan agar mitra tutur lebih mengerti maksud dari
kesepakatan yang dibicarakan oleh O2. Masuknya kata itu tidak
menimbulkan fungsi baru. Latar belakang penggunaan campur kode ini
disebut dengan faktor praktikal, karena penutur menggunakan bahasa lain
untuk menjelaskan atau menafsirkan.
c. Menegaskan Penekanan atau Maksud.
Data 40
Penjual (O1) : Goreng endhog apik nek gawa iki.
„Menggoreng telur bagus kalau pakai ini‟.
Penjual (O2) : Daknyang dek wingi larang ki.
Saya tawar kemarin mahal itu‟
Penjual (O1) : Pancene iki rada mahal, ning teflon ki nek di nggo
goreng endhog penak, iso apik warnane barang.
„‟Memang ini agak mahal, tapi teflon ini kalau dipakai
menggoren telur enak, bisa bagus warnanya juga‟
Peristiwa tutur pada data 40 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 1 Oktober 2016
pukul 11:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh para penjual makanan yang
berbincang-bincang tentang penggunaan alat masak untuk memasak telur.
situasi komunikasi yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat
peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang
dilakukan oleh penjual (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko
yaitu, Pancene iki rada mahal, ning teflon ki nek di nggo goreng endhog
penak, iso apik warnane barang, „Memang ini agak mahal, tapi teflon ini
kalau dipakai menggoren telur enak, bisa bagus warnanya juga‟. Campur
100
100
kode ini disebut campur kode intern yaitu disisipkannya kata dari bahasa
Indonesia yang terdapat dalam tuturan pertama di bagian pertama dan di
bagian kedua ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 40 di atas adalah
menegaskan penekanan atau maksud. Kata mahal memberi penekanan
bahwa yang dimaksud dengan harga mahal adalah teflon alat dapur yang
digunakan untuk menggoreng telur yang digunakan oleh penjual (O1).
Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah
keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Masuknya kata itu tidak
menimbulkan fungsi baru. Dengan memasukan kata dari bahasa Indonesia
ke dalam tuturannya O1 ingin menjelaskan atau menafsirkan bahwa
meskipun teflon harganya mahal tetapi ada juga manfaatnya. Latar
belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor praktikal,
karena penutur menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan atau
menafsirkan.
Data 41
Pembeli (O1) : Es teh setunggal Bu, anak wedok niki.
„Es teh satu Bu, anak perempuan ini‟
Penjual (O2) : E..e..e anak wedok cantike neh..neh, gelas napa plastik
Pak.
„E..e..e anak perempuan cantiknya, gelas apa plastik Pak?‟.
Pembeli (O1) : Plastik mawon Bu.
„Plastik mawon Bu‟
Peristiwa tutur pada data 41 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 21 Desember
101
101
2016 pukul 11:35 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli
yang memesan es untuk anak perempuannya. situasi komunikasi yang
terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode
berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual
(O2). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam krama yaitu ee..e anak wedok
cantike neh..neh, gelas napa plastik Pak, „e.e..e anak perempuan
cantiknya, gelas apa plastik Pak?‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa
Indonesia yaitu kata cantike yang terdapat dalam tuturan kedua di bagian
pertama. Campur kode ini disebut campur kode intern yaitu disisipkannya
kata dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam krama.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 41 di atas adalah
menegaskan penekanan atau maksud. Kata cantik memberikan penekanan
bahwa anak perempuan dari pembeli itu memiliki wajah yang cantik.
Masuknya kata itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latar belakang yang
menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan
atau menafsirkan. Dengan memasukan kata dari bahasa Indonesia ke
dalam tuturannya O2 ingin menjelaskan atau menafsirkan bahwa anak dari
pembeli yang memesan minuman kepada penjual (O2) itu memiliki wajah
yang cantik. Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan
faktor praktikal, karena penutur menggunakan bahasa lain untuk
menjelaskan atau menafsirkan.
102
102
Data 42
Pembeli (O1) : Nika Mbak, aqua dingin setunggal, pinten?
„Itu Mbak, aqua dingin satu, berapa?‟
Penjual (O2) : Nggih, tigangewu Mas.
„Iya, tiga ribu Mas‟
Peristiwa tutur pada data 42 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2016
pukul 12:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli yang
bertanya harga minuman dingin kepada penjual (O2). situasi komunikasi
yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur
kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh
pembeli (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam krama yaitu nika
Mbak, aqua dingin setunggal, pinten?, „itu Mbak, aqua dingin satu,
berapa?‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata
dingin yang terdapat dalam tuturan pertama di bagian kedua . Campur
kode ini disebut campur kode intern yaitu disisipkannya kata dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam krama.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 42 di atas adalah
menegaskan penekanan atau maksud. Kata dingin memberikan penekanan
atau maksud minuman yang sudah dingin karna diambil di dalam lemari es
pendingin. Masuknya kata itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latar
belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan
untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan memasukan kata dari bahasa
Indonesia ke dalam tuturannya O1 ingin menjelaskan atau menafsirkan
103
103
bahwa yang di maksud adalah harga minuman yang sudah dingin. Latar
belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor praktikal,
karena penutur menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan atau
menafsirkan.
d. Menunjukkan Identitas Diri
Data 43
Penjual (O1) : Undhakne sithik isa jane.
„Tambahin sedikit bisa sebenarnya‟
Penjual (O2) : Halah, uwis bathi lak ya wis Alhamdulillah ta.
„Halah, sudah untung gitu ya sudah Alhamdulillah kan‟
Penjual (O1) : Nggur satus seket rek.
„Hanya seratus limapuluh saja‟
Penjual (O2) : Lah-lah angger bathi ngono neh.
„Asalkan untung kan ya sudah‟
Peristiwa tutur pada data 43 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember
2015 pukul 09:10 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli
dan (O2) yang juga sebagai pembeli keduanya membicarakan tentang
keuntungan yang didapatkan oleh (O2), situasi komunikasi yang terjadi
santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa
penggunaan frasa dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual (O2). Pada
kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu halah, uwis bathi lak ya wis
Alhamdulillah ta „halah, sudah untung gitu ya sudah Alhamdulillah kan‟,
terdapat penggunaan frasa dari bahasa Arab yaitu kata Alhamdulillah
yang terdapat dalam tuturan kedua di bagian kedua. Campur kode ini
104
104
disebut campur kode ekstern yaitu disisipkannya frasa dari bahasa Arab
ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 43 di atas adalah
menunjukan identitas diri. Dengan memasukan bahasa Arab O1
menunjukan bahwa dirinya merupakan seorang muslim yang bersyukur
atas keuntungan yang didapatkan walaupun hanya sedikit. Masuknya kata
itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latar belakang yang menyebabkan
terjadinya campur kode adalah identifikasi peran sosial penutur O1
menunjukan bahwa dirinya seorang muslim karena memasukan frasa dari
bahasa Arab kedalam tuturannya. Latar belakang penggunaan campur
kode ini disebut dengan faktor sosial, karena status sosial penutur adalah
seorang muslim.
Data 44
Penjual (O1) : Dodolan ki pancene sok kepayon akeh, sok ya mulih blas
ra kelong, kuwi uwis biasa, angger bismillah wae muga-
muga ya sabendina kepayon lumayan.
„Jualan itu memang kadang laku banyak, kadang juga
pulang sama sekali tidak kurang, itu sudah biasa, asalkan
bismillah saja semoga ya setiap hari laku lumayan‟
Peristiwa tutur pada data 44 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 12:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
membicarakan resiko dan keuntungan sebagai seorang yang berprofesi
sebagai pedagang, situasi komunikasi yang terjadi santai. Dalam
komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan
105
105
frasa dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada kalimat
berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu dodolan ki pancene sok kepayon akeh,
sok ya mulih blas ra kelong, kuwi uwis biasa, angger bismillah wae muga-
muga ya sabendina kepayon lumayan, „jualan itu memang kadang laku
banyak, kadang juga pulang sama sekali tidak kurang, itu sudah biasa,
asalkan bismillah saja semoga ya setiap hari laku lumayan‟, terdapat
penggunaan frasa dari bahasa Arab yaitu frasa bismillah yang terletak
dalam tuturan di atas di bagian keempat. Campur kode ini disebut campur
kode ekstern yaitu disisipkannya frasa dari bahasa Arab ke dalam bahasa
Jawa ragam ngoko.
Fungsi penggunaan campur kode pada data 44 di atas adalah
menunjukan identitas diri. Dengan memasukan bahasa Arab O1
menunjukan bahwa dirinya merupakan seorang muslim yang memulai
suatu kegiatan dengan niat dan tekat yang kuat serta yakin. Masuknya kata
itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latar belakang yang menyebabkan
terjadinya campur kode adalah identifikasi peran sosial penutur O1
menunjukan bahwa dirinya seorang muslim karena memasukan frasa dari
bahasa Arab kedalam tuturannya. Latar belakang penggunaan campur
kode ini disebut dengan faktor sosial, karena status sosial penutur adalah
seorang muslim.
106
106
C. Faktor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode dalam
komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo
desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.
1. Faktor yang Melatarbelakangi Alih Kode
Faktor yang melatarbelakangi alih kode yang ditemukan dalam
komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa
Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali yaitu, (1) penutur (O1), (2)
Lawan tutur (O2), (3) Hadirnya penutur ketiga (O3), (4) topik yang
dibicarakan , dan (5) untuk membangkitkan rasa humor.
a. Penutur (O1)
Data 45
Pembeli (O1) : Ampun kados wingi nika lhe Mbah, sing benten. Kaya
gone Paimo kae kira-kira umur pira ta jane, sakmana
kae pas jane Mbah.
„Jangan yang kaya kemarin itu lho Kek, yang beda. Seperti
miliknya Paimo itu kira-kira umur berapa sih, segitu itu pas
sebenarnya Kek‟
Penjual (O2) : Kae jik anakan pedhet paling pirang sasi ngono kok.
„Itu masih anak sapi paling baru berapa bulan gitu kok‟
Peristiwa tutur pada data 45 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember
2015 pukul 09:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh pembeli (O1) dan
penjual (O2) berbincang-bincang memilih sapi karena O1 ingin membeli
sapi yang beda dari yang kemarin. Komunikasi yang terjadi adalah santai.
107
107
Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa
Jawa ragam krama yang dilakukan oleh pembeli (O1). Pada awalnya
(O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada (O2) yaitu ampun
kados wingi nika lhe Mbah, sing benten „jangan yang kaya kemarin itu
lho Kek, yang beda‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko
kaya gone Paimo kae kira-kira umur piro to jane, sakmana kae pas jane
Mbah „seperti miliknya Paimo itu kira-kira umur berapa sih, segitu itu pas
sebenarnya Kek‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih
kode dari bahasa Jawa ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang
menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan lebih komunikatif berkomunikasi dengan penjual agar terlihat lebih
akrab.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah penutur (O1). Awalnya
O1 gunakan bahasa Jawa ragam krama kepada pembeli (O2), kemudian
beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko karena O1 sengaja
mengubah suasana tutur ingin menjadi lebih santai dan lebih akrab agar
lebih nyaman merbincang-bincang dengan lawan tuturnya. Latar belakang
alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena penutur (O1)
berusaha mengubah situasi tutur.
Data 46
Penjual (O1) : Lha kuwi lak ngene ta mas Banjar, wong aku ki mung
mernahne aku ngomong “Jenengan gadhah penyakit
ngoten mang ati-ati” aku lak mung ngono, itungan karo
tangga desa kuwi lak padha karo itungan karo tunggal
dewe, sing genah wong tangga dewe aku ngandhani
ngono.
108
108
‘kan gini kan mas Banjar, orang saya ini hanya meluruskan
saya bicara “Anda punya penyakir seperti itu harap hati-ati”
saya kan hanya bilang begitu, hitungan sama tetangga desa
itu kan sama saja hitungan dengan sodara sendiri, yang
jelas tetangga desa saya memberi tahu begitu‟
Penjual (O2) : Kene ya mung ngandhani perkara kana tanggap apa ora
ya wis karepe kana wae.
„Sini ya hanya memberitahu masalah itu dia mengerti apa
tidak yasudah terserah dia saja‟
Peristiwa tutur pada data 46 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember
2015 pukul 11:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1)
menceritakan suatu kejadian kepada penjual (O2). Komunikasi yang
terjadi adalah penuh dengan keseriusan. Dalam komunikasi tersebut
terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko yang
dilakukan oleh pembeli (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada (O2) yaitu lha kui lak ngene ta mas Banjar,
wong aku ki mung mernahne aku ngomong „‘kan gini kan mas Banjar,
orang saya ini hanya meluruskan saya bicara‟. Kemudian beralih kode ke
bahasa Jawa ragam krama Jenengan gadhah penyakit ngoten mang ati-
ati „anda punya penyakit seperti itu harap hati-ati‟. Alih kode tersebut
disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke
bahasa Jawa ragam krama yang menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan mempertegas pembicaraan. O1 mempertegas pembicaraan
memberitahu kepada O2 kalimat yang dia bicarakan kepada lawan tutur
yang sebelumnya..
109
109
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah penutur (O1). Awalnya
O1 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada penjual (O2), kemudian
beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam krama karena O1 sengaja
beralih kode menggunakan bahasa Jawa ragam krama memberitahukan
bahwa dia berkomunikasi dengan lawan tutur sebelumnya menanyakan
pertanyaan tersebut dengan menggunakan bahasa Jawa krama karena O1
menghormati. Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor
situasional, karena penutur (O1) dengan sengaja beralih kode.
Data 47
Penjual (O1) : Rega semene jane aku uwis mepet banget.
„Harga segini sebenarnya saya sudah mepet sekali‟
Pembeli (O2) : Dhuwite kurang nek semono.
„Uangnya kurang kalau segitu‟
Penjual (O1) : Iki nek ora mergo kandhangku arep dakbangun ora
dakdol Mbah.
„Ini kalau tidak karena kandang saya akan saya bangun
juga tidak saya jual Kek‟
Pembeli (O2) : Regane dukna, dak bayare.
„Harganya turunkan, saya bayar‟
Penjual (O1) : Boten saget Mbah, lha pripun sios boten?
„Tidak bisa Kek, bagaimana jadi atau tidak?‟
Pembeli (O2) : Yawis kene sida, ning dak rembukan sik, entenano.
„Yaudah jadi sini, tapi saya bicara dulu, tunggulah‟
Peristiwa tutur pada data 47 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2015
pukul 10:45 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan pembeli
(O2) membicarakan tentang kesepakan harga sapi. Komunikasi yang
terjadi adalah serius. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern,
alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual
110
110
(O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada
(O2) yaitu iki nek ora mergo kandhangku arep dakbangun ora dakdol
Mbah „ini kalau tidak karena kandang saya akan saya bangun juga tidak
saya jual Kek‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama
boten saget Mbah, lha pripun sios boten?, „tidak bisa Kek, bagaimana
jadi atau tidak?‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih
kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa ragam krama yang
menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan memberikan penghormatan. O1 menggunakan bahasa Jawa ragam
krama karena ingin memberikan penghormatan menanyakan tentang jadi
atau tidaknya membeli sapi dengan harga yang sudah tidak bisa dikurangi
lagi. Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah penutur (O1). Awalnya
O1 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada penjual (O2), kemudian
beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam krama karena O1 sengaja
beralih kode menggunakan bahasa Jawa ragam krama karena O1
menghormati O2 dengan menanyakan pertanyaan tentang jadi atau
tidaknya membeli sapi dengan harga yang sudah tidak bisa dikurangi lagi.
Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena
penutur (O1) dengan sengaja beralih kode karena ingin menghormati
lawan tutur (O2).
111
111
b. Lawan Tutur (O2)
Data 48
Penjual (O1) : Saking etan mengulon niki benten.
„Dari timur ke barat ini beda‟
Pembeli (O2) : Iki? Lha iki mosok beda regane?
„Ini? Lha ini masa beda harganya?‟.
Penjual (O1) : Mang milih riyin, mengke kula itung kula ajeng ijol arta
riyin, jujul niki.
„Silahkan milih dulu, nanti saya hitung saya mau tukar uang
dulu, kembalian ini‟
Pembeli (O2) : Suwe ora? Aku selak kesusu iki ditunggu kae.
„Lama tidak? Saya terburu-buru ini ditungguin itu‟
Penjual (O1) : Ora-ora, sedilit iki lho ngarepan iki ijole.
„Tidak-tidak, sebentar ini lho depan ini tukarnya‟
Peristiwa tutur pada data 48 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember
2015 pukul 12:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) yang
mempersilahkan pembeli (O2) memilih golok yang dijual terlebih dahulu
karena akan ditinggal menukar uang, namun pembeli (O2) tidak sabar.
Komunikasi yang terjadi adalah santai tetapi terburu-buru. Dalam
komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa
ragam krama yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1)
menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada (O2) yaitu mang milih
riyen, mengke kula itung kula ajeng ijol arta riyin, jujul niki „Silahkan
milih dulu, nanti saya hitung saya mau tukar uang dulu, kembalian ini‟.
Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko ora-ora, sedilit iki
lho ngarepan iki ijole „tdak-tidak, sebentar ini lho depan ini tukarnya‟.
Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa
112
112
Jawa ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan
fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan mempertegs pembicaraan. O1 mempertegas pembicaraan kepada
O2 bahwa tidak lama dia akan segera kembali setelah menukaran uang.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan tutur (O2).
Awalnya O1 gunakan bahasa Jawa ragam krama kepada pembeli (O2),
kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko karena lawan
tutur menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko sehingga ingin
mengimbangi bahasa yang digunakan oleh O2. Latar belakang alih kode
ini disebut dengan faktor situasional, karena mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh lawan tutur (O2).
Data 49
Penjual (O1) : Sapi napa pedhet nika wau?
“Sapi apa anak sapi itu tadi?
Pembeli (O2) : Durung genah.
„Belum pasti‟
Penjual (O1) : Piye kok, gage ta selak dakcatet
„Gimana sih, buruan keburu mau saya catat‟
Pembeli (O2) : Woo ya anu sapi siji pedhet loro.
„Ohh ya itu sapi satu anak sapi dua‟
Penjual (O1) : Lha ngono, wong tuku barang.
„Ya gitu dong, orang beli juga‟
Peristiwa tutur pada data 49 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 12:47 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1)
menanyakan jenis sapi kepada pembeli (O2) kemudian O2 menjawab
113
113
belum pasti dan O1 menanggapi dengan sedikit kesal karena
ketidakjelasan O2. Komunikasi yang terjadi adalah penuh dengan
keseriusan dan sedikit kesal. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode
intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam krama yang dilakukan oleh
penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama
kepada (O2) yaitu sapi napa pedhet nika wau? „sapi apa anak sapi itu
tadi?‟.Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko piye kok, gage
ta selak dakcatet „Gimana sih, buruan keburu mau saya catat‟.Alih kode
tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam
krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan mempertegas pembicaraan. O1 mempertegas pembicaraan kepada
O2 menanyakan kejelasan sapi yang telah dipilih O2 karena O2 memberi
jawaban yang belum jelas kepada O1 yang sedang terburu-buru.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan tutur (O2).
Awalnya O1 gunakan bahasa Jawa ragam krama kepada pembeli (O2),
kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko karena lawan
tutur menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko sehingga ingin
mengimbangi bahasa yang digunakan oleh O2. Latar belakang alih kode
ini disebut dengan faktor situasional, karena mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh lawan tutur (O2).
Data 50
Pembeli (O1) : Janganan dibungkus gangsalewu Buk, kalih gorengan
tigangewu, mang dadekne setunggal mengke kula
pendhete.
114
114
„Sayur dibungkus lima ribu Buk, dan gorengan tiga ribu,
jadikan satu nanti saya ambil‟
Penjual (O2) : Jangan apa Mbak?, sing ndi miliha sik.
„Sayur apa Mbak?, silahkan memilih dulu‟
Pembeli (O1) : Apa ya Buk, iki wae Buk jangan gori iki wae, dak
tinggal sik ya. .
„Apa ya Bu, ini saja Bu sayur nangka ini saja, saya tingga
dulu ya‟
Penjual (O2) : ho‟o Mbak.
„Iya Mbak‟.
Peristiwa tutur pada data 50 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2016
pukul 09.15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh pembeli (O1) yang
memesan makanan kepada penjual (O2) dan O2 menanyakan tentang jenis
sayuran yang diinginkan O1. Komunikasi yang terjadi adalah santai.
Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa
Jawa ragam krama yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1)
menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada (O2) yaitu janganan
dibungkus gangsalewu Buk, kalih gorengan tigangewu, mang dadekne
setunggal mengke kula pendhete „sayur dibungkus lima ribu Buk, dan
gorengan tiga ribu, jadikan satu nanti saya ambil‟. Kemudian beralih kode
ke bahasa Jawa ragam ngoko apa ya Buk, iki wae Buk jangan gori iki
wae, dak tinggal sik ya „apa ya Bu, ini saja Bu sayur nangka ini saja, saya
tingga dulu ya‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode
dari bahasa Jawa ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang
menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturanlebih komunikatif. O1 beralih kode dari bahasa Jawa ragam krama
115
115
ke bahasa Jawa ragam ngoko agar lebih komunikatif berkomunikasi
dengan penjual (O2) dan untuk menjawab pertanyaan dari O2 karena O2
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko. Latarbelakang penggunaan alih
kode adalah lawan tutur (O2). Awalnya O1 gunakan bahasa Jawa ragam
krama kepada penjual (O2), kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa
ragam ngoko karena lawan tutur menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko
sehingga O1 ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh O2. Latar
belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena O1 ingin
mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur (O2).
c. Hadirnya Penutur Ketiga (O3)
Data 51
Penjual (O1) : Wani rawani aku Mas, iki pesenan ning sida apa ora ya
durung genah jane.
„Berani tidak berani saya Mas, itu pesanan tapi jadi apa
tidakny juga belum pasti sebenarnya‟.
Pembeli (O2) : Iki dak bayar siji mbok terne saiki, ning sijine dak bayar
neng omah terno bareng dhuwite salok jik nok ngomah.
Rak ngoten nggih Pak sekeca kalih kula ta?
„Ini saya bayar satu kamu antarkan sekarang, tapi satunya
saya bayar di rumah anterin barengan uangnya sebagian
masih di rumah. Begitu kan Pak setuju dengan saya kan?‟
Pembeli (O3) : Iyo Mas, siji dhuwite isih neng omah, gagasanku arep
jimuk siji tok jane.
„Iya Mas, satu uangnya masih di rumah, pikir saya mau
mengambil satu saja sebenarnya‟
Peristiwa tutur pada data 51 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 10:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan
pembeli (O2) serta pembeli (O3) yang berbincang-bincang tentang
116
116
kesepakatan pembelian sapi dan pembayaran yang akan dilakukan oleh
pembeli. Komunikasi yang terjadi adalah santai tetapi serius. Dalam
komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa
ragam ngoko yang dilakukan oleh pembeli (O2). Pada awalnya (O2)
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O1) yaitu iki dak bayar
siji mbok terne saiki, ning sijine dak bayar neng omah terno bareng
dhuwite salok jik nok ngomah „ini saya bayar satu kamu antarkan
sekarang, tapi satunya saya bayar di rumah anterin barengan uangnya
sebagian masih di rumah.. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam
krama rak ngoten nggih Pak sekeca kalih kula ta? „begitu kan Pak setuju
dengan saya kan?‟ kepada pembeli (O3). Alih kode tersebut disebut alih
kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa
ragam krama yang menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan lebih komunikatif menanyakan kepada pembeli untuk menyetujui
atau sepakat dengan yang diinginkan oleh O2.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah hadirnya penutur ketiga
(O3). Awalnya O2 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada penjual
(O2) karen keduanya sudah saling mengenal dan akrab karena
berlangganan, kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa ragam krama
ke pembeli (O3) karena O3 merupakan teman sesama pembelinya tetapi
sangat dihormati karena umurnya yang berbeda dan lebih tua. lawan tutur.
Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena
melihat siapa lawan tuturnya yang diajak bicara.
117
117
Data 52
Pembeli (O1) : Iki alamate, terno saiki ditunggu bocahku mengko ning
kandhang kana.
„Ini alamatnya, antarkan sekarang ditunggu orang saya
nanti di kandang sana‟
Penjual (O2) : Iya, bar iki daknali siji iki gek budhal rana.
„Iya, setelah ini menali satu ini terus brangkat kesana‟
Penjual (O3) : Ndang saiki wae Min, mumpung dalan sepi, mengko nek
wayah bubaran malah rame, daktaline kene.
„Buruan sekarang saja Min, mumpung jalanan sepi, nanti
kalau waktu pulang pasti rame, saya talikan saja sini‟
Penjual (O2) : Ngoten? Oo.. Nggih kula budhal sakniki.
„Begitu? Oo.. Iya saya berangkat sekarang‟.
Peristiwa tutur pada data 52 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 10:45 WIB. Komunikasi dilakukan oleh pembeli (O1)
menyuruh penjual (O2) agar segera mengantar sapi yang O1 beli kerumah.
Komunikasi yang terjadi adalah tergesa-gesa dan penuh rasa hormat.
Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa
Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O2). Pada awalnya (O2)
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O1) yaitu iyo, bar iki
daknali siji iki gek budhal rana „iya, setelah ini menali satu ini terus
brangkat kesana‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama
ngoten? Oo.. Nggih kula budhal saknik „begitu? Oo.. Iya saya berangkat
sekarang‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari
bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa ragam krama yang
menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan memberikan penghormatan. O2 menunjukan kesopanan bahasanya
118
118
kepada O3 yang merupakan atasan atau pimpinan daro O2 maka O2
menggunakan bahasa Jawa ragam krama karena menghormati dan sudah
biasa menggunakan bahasa Jawa ragam krama untuk berkomunikasi
dengan pimpinannya.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah hadirnya penutur ketiga
(O3). Awalnya O2 gunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada pembeli
(O1) yang yang menyuruh agar segera mengantar sapinya kerumah karena
O1 merupakan pembeli yang sudah langganan maka O1 dan O2 sudah
sering bertemu dan akrab, kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa
ragam krama kepada penjual (O3) untuk menghormati karena O3
merupakan atasan atau pimpinan dari O2 karena sudah biasa menggunakan
bahasa Jawa ragam krama dalam berkomunikasi sehari-sahi maka O2
menjawab perintah dari O3 dengan menggunakan bahasa Jawa ragam
krama juga karena agar lebih sopan. Latar belakang alih kode ini disebut
dengan faktor situasional, karena hadirnya penutur ketiga dan agar lebih
sopan.
Data 53
Penjual (O1) : Model ngeneki sepuluh ewunan, nek sing ngeneki
limalas ewunan.
„Model seperti ini sepuluh ribuan, kalau yang seperti ini
limabelas ribuan‟
Pembeli (O2) : Wolongewu mawon nggih?, daktumbas kalih nek angsal
wolongewu.
„Delapan ribu saja ya?, Saya beli dua kalau boleh delapan
ribu‟
Penjual (O1) : Tambahi limangatus rapapa wis.
„Tambahin limaratus tidak apa-apa‟
Pembeli (O3) : Iya wolongewu wae, aku dak ya tuku.
„Iya delapanribu saja, saya juga akan beli‟
Pembeli (O2) : Glo, enek sing arep tuku meneh malahan.
119
119
„Tuh, ada yang akan beli juga‟
Penjual (O1) : Yawis-yawis enggo penglaris.
„Yasudah-yasuda buat penglaris‟
Peristiwa tutur pada data 56 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2015
pukul 12:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan pembeli
(O2) membicarakan kesepakatan harga lalu hadir peutur ketiga yang juga
seorang pembeli. Komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam
komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa
ragam krama yang dilakukan oleh pembeli (O2). Pada awalnya (O2)
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O1) yaitu wolongewu
mawon nggih?, daktumbas kalih nek angsal wolongewu „delapan ribu
saja ya?, Saya beli dua kalau boleh delapan ribu‟. Kemudian beralih kode
ke bahasa Jawa ragam ngoko glo, enek sing arep tuku neh malahan, „tuh,
ada yang akan beli juga‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu
alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko
yang menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturanmempertegas pembicaraan. O2 menggunakan bahasa Jawa ragam
ngoko setelah hadirnya penutur ketiga karena ingin mempertegas
pembicaraan kalau penjual (O1) memberi harga delapan ribu maka akan
ada pembeli lain yang akan beli. Latarbelakangi penggunaan alih kode
adalah hadirnya penutur ketiga (O3). Awalnya O2 menggunakan bahasa
Jawa ragam krama kepada penjual (O1) karena ingin memberikan
120
120
penghormatan kepada penjual yang belum dikenal, kemudian beralih kode
ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko kepada penjual (O1) setelah hadirnya
penutur ketiga (O3) yang juga seorang pembeli dan menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kepada penjual (O1). Latar belakang alih kode ini
disebut dengan faktor situasional, karena bearlihnya kode setelah hadirnya
penutur ketiga.
d. Topik yang Dibicarakan
Data 54
Pembeli (O1) : Apa sida mbok tuku Mas mau?, larang kanggoku.
„Apa jadi Anda beli Mas tadi?, mahal menurut saya‟.
Pembeli (O2) : Sios Mas, rencang kula senenge kalih niku thok, kula
nggih manut.
„Jadi Mas, teman saya sukanya sama itu saja, saya ya
menuruti‟.
Pembeli (O1) : Jane pama aku mau tak wedeni rasida tuku ngono genah
kana mundur kok.
„Sebenarnya kalau saya tadi menakuti jika tidak jadi beli
gitu pasti dia mundur kok.‟
Pembeli (O2) : Halah wis kebacut Mas, timbang mulih gela wis ben
idhep-idhep sodakoh ngono wae nek pancen kana
kakehan.
„Halah sudah terlanjur Mas, daripada pulang menyesal
sudah tidak apa-apa anggap saja sedekah gitu saja kalau
memang sana kebanyakan‟
Peristiwa tutur pada data 54 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember
2015 pukul 13:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh pembeli (O1) dan
(O2) yang juga seorang pembeli berbincang-bincang menanyakan sapi
yang jadi dibeli oleh pembeli O1. Komunikasi yang terjadi adalah santai.
121
121
Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa
Jawa ragam krama yang dilakukan oleh pembeli (O2). Pada awalnya
(O2) menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada (O1) yaitu sios Mas,
rencang kula senenge kalih niku thok, kula nggih manut „jadi Mas,
teman saya sukanya sama itu saja, saya ya menuruti‟. Kemudian beralih
kode ke bahasa Jawa ragam ngoko halah wis kebacut Mas, timbang
mulih gela wis ben idhep-idhep sodakoh ngono wae nek pancen kana
kakean „halah sudah terlanjur Mas, daripada pulang menyesal sudah tidak
apa-apa anggap saja sedekah gitu saja kalau memang sana kebanyakan‟.
Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa
Jawa ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan
fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan mempertegas pembicaraan. O2 mempertegas tidak menyesal
membeli seekor sapi dengan harga yang menurut O1 lumayan mahal.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah bergantinya topik
pembicaraan. Awalnya O2 gunakan bahasa Jawa ragam krama kepada
penjual (O1) karena belum saling mengenal, kemudian beralih kode ke
dalam bahasa Jawa ragam ngoko kepada penjual (O2) saat membicarakan
bahwa O2 tidak menyesal dengan harga yang menurut O2 lumayan mahal
dan beranggapan bahwa O2 bersedekah jika memang harganya lebih dari
harga pada umumnya. Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor
situasional, karena bergantinya topik pembicaraan.
122
122
Data 55
Penjual (O1) :Pripun kabare anak?, mpun mantuk saking puskesmas?
„Bagaimana kabarnya anak?, sudah pulang dari
puskesmas?‟
Penjual (O2) : Uwis Mas, ndek wingi sore, gegeri ngajak mulih wae kok.
Ayo sarapan Mas.
„Sudah Mas, kemarin sore, bingung ngajak pulang saja
kok. Ayo sarapan Mas‟
Penjual (O1) : Ya syukur nek ngono Mas, sarapan apa? serku rica-rica,
ning dengaren malah tutup, engko wae.
„ya syukurlah kalau begitu Mas, sarapan apa? Pengennya
rica-rica, tapi tumben tutup, nanti saja‟
Penjual (O2) : Ya apa kono neh, tak disik, luwe aku.
„Ya apa sana deh, saya duluan, laper saya‟
Peristiwa tutur pada data 55 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2016
pukul 09.00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) yang
menanyakan kabar anak dari penjual (O2), lalu O2 mengajak O1 untuk
sarapan. Komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam komunikasi
tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam krama
yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan
bahasa Jawa ragam krama kepada (O2) yaitu pripun kabare anak?, mpun
mantuk saking puskesmas? „bagaimana kabarnya anak?, sudah pulang
dari puskesmas?‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko
ya syukur nek ngono Mas, sarapan apa? serku rica-rica, ning dengaren
malah tutup, engko wae „ya syukurlah kalau begitu Mas, sarapan apa?
Pengennya rica-rica, tapi tumben tutup, nanti saja‟. Alih kode tersebut
123
123
disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke
bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan lebih komunikatif. O1 menjawab ajakan dari O2 dengan bahasa
Jawa ragam ngoko karena O2 juga menggunakan bahasa Jawa ragam
ngoko jadi agar lebih komunikatif dalam berkomunikasi.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah bergantinya topik
pembicaraan. Awalnya O1 menggunakan bahasa Jawa ragam krama
kepada penjual (O2) karena agar lebih sopan menanyakan tentang keadaan
anak dari penjual (O2), kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa
ragam ngoko kepada penjual (O2) agar lebih nyaman saat menjawab
ajakan untuk sarapan dengan O2. Latar belakang alih kode ini disebut
dengan faktor situasional, karena bergantinya topik pembicaraan.
e. Untuk Membangkitkan Rasa Humor
Data 56
Penjual (O1) : Baru-baru semua ini Pak, dari Boyolali, pilih yang
mana?
„Baru-baru semua ini Pak, dari Boyolali, pilih yang mana?‟.
Pembeli (O2) : Alah apa ta Mas, tak nonton sik coba. Padahal ora
nggawa duit.
„Halah apa ta Mas, saya melihat dulu coba. Padahal tidak
membawa uang‟
Penjual (O1) : Utang-utang yarapapa Pak, angger bar sejam dibayar
hahaha.
„Hutang-hutang juga tidak apa-apa Pak, asalkan setelah satu
jam dibayar, hahaha‟
Pembeli (O2) : Hahaha.. Mas Pardi ki kok ya senengane ngrayu wong
ben nduwe utang ngono pa piye.
„Hahaha.. Mas Paridi ini kok ya sukanya merayu orang
supaya punya hutang gitu apa gimana‟
124
124
Peristiwa tutur pada data 56 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 10:45 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan
pembeli (O2) menawarkan dan merayu pembeli (O2) agar membeli sapi-
sapinya yang baru dan didatangkan dari Boyolali. Komunikasi yang terjadi
adalah santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih
kode dari bahasa Indonesia yang yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada
awalnya (O1) menggunakan bahasa Indonesia kepada (O2) yaitu baru-
baru semua ini Pak, dari Boyolali, pilih yang mana? „baru-baru semua
ini Pak, dari Boyolali, pilih yang mana?‟. Kemudian beralih kode ke
bahasa Jawa ragam ngoko utang-utang yorapapa Pak, angger bar sejam
dibayar hahaha „hutang-hutang juga tidak apa-apa Pak, asalkan setelah
satu jam dibayar, hahaha. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu
alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ragam ngoko yang
menimbulkan fungsi baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan lebih argumentatif untuk meyakinkan kepada mitra tutur. O1
meyakinkan O2 agar membeli seekor sapinya dengan dibayar hutang tapi
segera dilunasi setelahnya.
Latarbelakangi penggunaan alih kode adalah membangkitkan rasa
humor. Awalnya O1 menggunakan bahasa Indonesia kepada pembeli (O2)
karena O2 merupakan pegawai kelurahan, kemudian beralih kode ke
dalam bahasa Jawa ragam ngoko karena O1 sengaja mengubah suasana
125
125
tutur dan ingin melucu. Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor
situasional, karena ingin membangkitkan rasa humor.
Data 57
Penjual (O1) : Lhadalah, nawar kok terus ora nganggo mandhek.
„Lhadalah, menawar kok terus tidak pakai berhenti‟
Pembeli (O2) : Iki wis mandek iki, semono oke?
„Ini sudah berhenti ini, segitu oke?‟
Penjual (O1) : Gini gini, pitulas, tambah satu tambah dua jadi
duapuluh, cocok, hahaha... „Gini-gini, tujuhbelas, tambah satu tambah dua jadi
duapuluh, cocok, hahaha..‟
Pembeli (O2) : Lha kuwi rek kaya guru matematika ngulang muride
malahan, wa wis.
„Lha kok kaya guru matematika sedang mengajar muridnya
malah, wah gimana‟
Peristiwa tutur pada data 57 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 09:25 WIB. Komunikasi dilakukan oleh penjual (O1) dan
pembeli (O2) berbincang-bincang saling tawar-menawar mencari
kesepakatan harga. Komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam
komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa
ragam ngoko yang yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1)
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada (O2) yaitu lhadalah,
nawar kok terus ora nganggo mandhek „lhadalah, menawar kok terus
tidak pakai berhenti‟. Kemudian beralih kode ke bahasa Indonesia gini
gini, pitulas, tambah satu tambah dua jadi duapuluh, cocok, hahaha..
„gini-gini, tujuhbelas, tambah satu tambah dua jadi duapuluh, cocok,
126
126
hahaha..‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari
bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Indonesia yang menimbulkan fungsi
baru.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan mempertegas pembicaraan. O1 mempertegas jumlah harga yang
akan dia berikan untuk pembeli (O2).
Latar belakang penggunaan alih kode adalah membangkitkan rasa
humor. Awalnya O1 menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada
pembeli (O2) karena keduanya sudah saling mengenal, kemudian beralih
kode ke dalam bahasa Indonesia karena O1 sengaja mengubah suasana
tutur dan ingin melucu. Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor
situasional, karena ingin membangkitkan rasa humor.
2. Faktor yang Melatarbelakangi Campur Kode
Faktor yang melatarbelakangi campur kode yang ditemukan dalam
komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa
Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali yaitu, (1) identifikasi peran
sosial penutur, (2) tidak ada padanannya dalam bahasa yang digunakan,
dan (3) keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
a. Identifikasi Peran Sosial Penutur
Data 58
Penjual (O1) : Lerena sik kana, daktunggune genti wong ya aku wis
mulih saka sekolahan e lho, makan siang kana wis jam
semene, rarung ora enek sing tuku paling wong wis jam
semene.
„Istirahatlah dulu sana, gantian saya yang tunggu orang
saya juga sudah pulang dari sekolah, makan siang sana
127
127
sudah jam segini, paling juga tidak ada yang beli orang
sudah jam segini‟
Peristiwa tutur pada data 58 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember
2015 pukul 12:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual
yang menyuruh pegawainya untuk makan siang karena waktu sudah siang.
Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa
penggunaan bahasa lain yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada kalimat
berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, lerena sik kana, daktunggune genti
wong ya aku wis mulih saka sekolahan e lho, makan siang kana wis jam
semene, rarung ora enek sing tuku paling wong wis jam semene
„istirahatlah dulu sana, gantian saya yang tunggu orang saya juga sudah
pulang dari sekolah, makan siang sana sudah jam segini, paling juga tidak
ada yang beli orang sudah jam segini‟. terdapat penggunaan bahasa
Indonesia yaitu makan siang yang terdapat dalam tuturan di atas di bagian
ketiga. Campur kode ini disebut campur kode intern yaitu disisipkannya
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O1 menunjukan bahwa
dirinya menguasai bahasa Indonesia makan memasukkan frasa dari bahasa
Indonesia ke dalam tuturannya. Latar belakang yang menyebabkan
terjadinya campur kode adalah identifikasi peran sosial penutur. O1
merupakan seorang pengajar sehingga dia lebih terbiasa menggunakan
128
128
frasa makan siang dari pada dalam bahasa Jawa mangan awan. Latar
belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor sosial, karena
penutur merupakan seorang pengajar.
Data 59
Pembeli (O1) : Wong dodol perabotan rumah tangga sing biasane
mandhek ning kene kae kok dengaren ora enek ya ?
„Orang jualan perabotan rumah tangga yang biasanya
berhenti di sini itu kok tumben tidak ada ya?‟
Penjual (O2) : Yahketen pun lunga Bu, nika mandhek nek esuk thok
biasane.
„Jam segini sudah pulang Bu, itu berhenti kalau pagi saja
biasanya‟.
Peristiwa tutur pada data 59 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2016
pukul 11:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli yang
yang bertanya kepada penjual makanan (O2), situasi yag terjadi santai.
Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa
penggunaan bahasa lain yang dilakukan oleh pembeli (O1). Pada kalimat
berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, wong dodol perabotan rumah tangga
sing biasane mandhek ning kene kae kok dengaren ora enek ya ? „Orang
jualan perabotan rumah tangga yang biasanya berhenti di sini itu kok
tumben tidak ada ya?‟. terdapat penggunaan bahasa Indonesia yaitu
perabotan rumah tangga yang terdapat dalam tuturan pertama di bagian
pertama. Campur kode ini disebut campur kode intern yaitu disisipkannya
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
129
129
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan bahasa lebih mudah dipahami. O1 menyisipkan bahasa Indonesia
ke dalam tuturannya agar pedagang yang dia maksud lebih mudah
dipahami oleh lawan tuturnya. Latar belakang yang menyebabkan
terjadinya campur kode adalah identifikasi peran sosial penutur. O1
merupakan seorang pegawai negeri sipil sehingga dia lebih nyaman
dengan menyebut perabotan rumah tangga dan terbiasa menggunakan
bahasa Indonesia ketika sedang dinas. Latar belakang penggunaan campur
kode ini disebut dengan faktor sosial, karena penutur merupakan seorang
pegawai negeri sipil.
b. Tidak Ada Padanannya dalam Bahasa yang Digunakan
Data 60
Pembeli (O1) : Tetep nganggo garansi lho ya kudune.
„Tetap pakai garansi lho ya harusnya‟
Penjual (O2) : Niku sampun, mengke nek sulaya balekne lak sampun ta
Bu.
„Itu sudah, nanti kalau bermasalah dikembalikan kan sudah
kan Bu‟
Peristiwa tutur pada data 60 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember
2015 pukul 12:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli
yang memohon kepada penjual (O2) untuk memberi garansi, situasi
komunikasi yang terjadi santai tetapi serius . Dalam komunikasi tersebut
terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain
130
130
yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam
ngoko yaitu, tetep nganggo garansi lho ya kudune „tetap pakai garansi lho
ya harusnya‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata
garansi yang terdapat dalam tuturan pertama di bagian pertama. Campur
kode ini disebut campur kode intern yaitu disisipkannya kata dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan agar mudah dipahami. O1 memasukkan kata dari bahasa Indonesia
untuk memohon kepada penjual (O2) agar penjual (O2) mudah memahami
tuturannya. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode
adalah tidak ada padanannya dalam bahasa yang digunakan. O1
memasukkan kata dari bahasa Indonesia ke dalam tuturannya karena tidak
adanya padanan yang sesuai dalam bahasa asli penutur yaitu bahasa Jawa.
Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor lingual,
karena tidak adanya kosa kata yang tepat dalam bahasa Jawa.
Data 61
Pembeli (O1) : Nek nyedaki dealer pinggir dalan aku kabarana Mas,
dakpapak, bene ora kangelan golekimu.
„Kalau mendekati dealer pinggir jalan kabarin saya Mas,
saya jemput, biar Anda tidak kesusahan mencarinya‟
Peristiwa tutur pada data 61 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 13:13 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli
131
131
yang memberi saran kepada mitra tuturnya. Dalam komunikasi tersebut
terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain
yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam
ngoko yaitu, nek nyedaki dealer pinggir dalan aku kabarana Mas, tak
papak, bene ora kangelan golekimu „kalau mendekati dealer pinggir jalan
kabarin saya Mas, saya jemput, biar Anda tidak kesusahan mencarinya‟,
terdapat penggunaan kata dari bahasa Inggris yaitu kata dealer yang
terdapat dalam tuturan di depan di bagian pertama. Campur kode ini
disebut campur kode ekstern yaitu disisipkannya kata dari bahasa Inggris
ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan agar mudah dipahami. O1 memasukkan kata dari bahasa Inggris
yang sudah lazim digunakan untuk sebagian besar masyarakat Jawa jadi
mudah memahami. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur
kode adalah tidak ada padanannya dalam bahasa yang digunakan. O1
memasukkan kata dari bahasa Inggris ke dalam tuturannya karena tidak
adanya padanan yang sesuai dalam bahasa asli penutur yaitu bahasa Jawa.
Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor lingual,
karena tidak adanya kosa kata yang tepat dalam bahasa Jawa.
Data 62
Penjual (O1) : Tulisana kene kabeh jinis-jinise sapi sing kepayon dina iki
mau, karo jeneng-jenenge sing dodol sing tuku, di enggo
bukti transaksi laporan ning kelurahan.
„Tuliskan disini semua jenis-jenis sapi yang terjual hari ini
tadi, dan nama-nama yang menjual yang membeli, untuk
bukti transaksi laporan di kelurahan‟
132
132
Peristiwa tutur pada data 62 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 6 Oktober 2016
pukul 09:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual yang
meminta rekan kerjanya mencatat semua sapi yang terjual untuk bukti
laporan ke kelurahan Jeron. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa
campur kode berupa penggunaan bahasa lain yang dilakukan oleh penjual
(O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, tulisana kene
kabeh jinis-jinise sapi sing kepayon dina iki mau, karo jeneng-jenenge
sing dodol sing tuku, di enggo bukti transaksi laporan ning kelurahan
„tuliskan disini semua jenis-jenis sapi yang terjual hari ini tadi, dan nama-
nama yang menjual yang membeli, untuk bukti transaksi laporan di
kelurahan, terdapat penggunaan bahasa Indonesia yaitu transaksi laporan
yang terdapat dalam tuturan di depan di bagian ketiga. Campur kode ini
disebut campur kode intern yaitu disisipkannya kata dari bahasa Indonesia
ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko.
Salah satu komponen tutur di sini menyatakan beban makna dalam
tuturan agar mudah dipahami. O1 memasukkan kata dari bahasa Indonesia
yang sudah lazim digunakan untuk sebagian besar masyarakat Jawa jadi
mudah memahami. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur
kode adalah tidak ada padanannya dalam bahasa yang digunakan. O1
memasukkan kata dari bahasa Indonesia ke dalam tuturannya karena tidak
adanya padanan yang sesuai dalam bahasa asli penutur yaitu bahasa Jawa.
133
133
Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor lingual,
karena tidak adanya kosa kata yang tepat dalam bahasa Jawa.
c. Keinginan untuk Menjelaskan atau Menafsirkan
Data 63
Penjual (O1) : Toko kidul masjid kae apa ora adol ta?, Kayae adol kok,
anakku biyen tuku kana enek, alah cedak simpang tiga cilik
kae pokoke.
„Toko selatan masjid itu apa tidak jual? Sepertinya jual kok
anak saya dulu pernah beli di sana ada, yang dekat simpang
tiga kecil itu pokoknya‟
Peristiwa tutur pada data 63 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Kamis 31 Desember
2015 pukul 10:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) yang merupakan
seorang penjual menjelaskan tempat yang menjual tali. Dalam komunikasi
tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan bahasa lain
yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam
ngoko yaitu toko kidul masjid kae apa ora adol ta?, Koyoe adol kok,
anakku biyen tuku kana enek, alah cedak simpang tiga cilik kae pokoke
„toko selatan masjid itu apa tidak jual? Sepertinya jual kok anak saya dulu
pernah beli di sana ada, yang dekat simpang tiga kecil itu pokoknya‟,
terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu simpang tiga yang
terdapat dalam tuturan di atas di bagian keempat . Campur kode ini disebut
campur kode intern yaitu disisipkannya bahasa Indonesia ke dalam bahasa
Jawa ragam ngoko.
134
134
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O1 memasukkan bahasa
Indonesia menunjukan bahwa dirinya menguasai bahasa lain. Latar
belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan
untuk menjelaskan atau menafsirkan. O1 memasukkan bahasa Indonesia
ke dalam tuturannya karena ingin menjelaskan lokasi kepada lawan
tuturnya agar lebih mudah dipahami. Latar belakang penggunaan campur
kode ini disebut dengan faktor praktikal karena lebih mudah dimengerti.
Data 64
Penjual (O1) : Aku rada lali omahe, pama dalane mengko jik iso dieling-
eling.
„Saya agak lupa rumahnya, seumpama jalannya nanti
masih bisa diingat-ingat‟
Penjual (O2) : Jagal Ngumbul Banaran mosok lali?, omahe kiri jalan
nek saka kene, cat iso, kandhange ketok saka ngarepan.
„Penjagal Ngumbul Banaran masa lupa?, rumahnya kiri
jalan kalau dari sini, cat hijau, kandangnya kelihatan dari
depan‟
Peristiwa tutur pada data 64 terjadi di pasar hewan dusun
Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu
peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2015
pukul 11:10 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) yang bertanya kepada
penjual (O2) denah lokasi rumah untuk mengantar sapi kepada pembeli.
Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa
penggunaan frasa dari bahasa lain yang dilakukan oleh penjual (O2). Pada
kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu jagal Ngumbul Banaran
mosok lali?, omahe kiri jalan nek saka kene, cat iso, kandhange ketok
saka ngarepan „penjagal Ngumbul Banaran masa lupa?, rumahnya kiri
135
135
jalan kalau dari sini, cat hijau, kandangnya kelihatan dari depan‟, terdapat
penggunaan bahasa Indonesia yaitu simpang tiga yang terdapat dalam
tuturan kedua di bagian kedua. Campur kode ini disebut campur kode
intern yaitu disisipkannya bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa ragam
ngoko.
Salah satu komponen tutur disini menyatakan beban makna dalam
tuturan bahasa yang digunakan menegaskan penekanan atau maksud. O1
memasukkan bahasa Indonesia untuk memberikan maksud denah rumah
yang ingin dia jelaskan kepada O1. Latar belakang yang menyebabkan
terjadinya campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan atau
menafsirkan. O1 memasukkan bahasa Indonesia ke dalam tuturannya
karena ingin menjelaskan lokasi kepada lawan tuturnya agar lebih mudah
dipahami. Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan
faktor praktikal karena lebih mudah dimengerti.
136
136
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Brdasarkan analisis data yang diperoleh dalam AK dan CK dalam
komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa
Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali adalah sebagai berikut:
1. Bentuk AK dalam komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan
Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten
Boyolali ditemukan AK bahasa dan atau alih variasi yang dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu: (1) AK dari bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia, (2) AK bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Jawa
ragam krama, dan (3) AK bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa
Jawa ragam ngoko. Masing-masing bentuk AK tersebut ditandai
dengan satuan lingual berupa kalimat. AK yang dominan terjadi adalah
AK dari bahasa Jawa ragam krama ke bahasa Jawa ragam ngoko dan
AK dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Jawa ragam krama,
karena sebagian besar penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun
Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali
adalah asli masyarakat Jawa, maka lebih sering menggunakan bahasa
Jawa dengan ragamnya seperti Bahasa Jawa ragam ngoko dan bahasa
Jawa ragam krama daripada bahasa lain Selanjutnya bentuk CK dalam
komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo
137
137
Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali dibagi menjadi 4
macam yaitu: (1) CK penggunaan kata dari bahasa lain, (2) CK
penggunaan frasa dari bahasa lain, (3) CK penggunaan perulangan kata
dari bahasa lain. Masing-masing bentuk CK tersebut ditandai dengan
satuan lingual berupa kata dan frasa. Bentuk CK yang dominan adalah
bentuk CK penggunaan kata dari bahasa lain, karena para penjual dan
pembeli Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan
Nogosari Kabupaten Boyolali memasukan kata dan frasa dari bahasa
lain untuk menjelaskan atau menafsirkan maksud dan tidak ada
padanannya dalam bahasa asli yaitu bahasa Jawa.
2. Fungsi AK yang ditemukan dalam komunikasi penjual dan pembeli di
Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali adalah: (1) lebih argumentatif untuk meyakinkan
kepada mitra tutur, (2) lebih komunikatif, (3) memberikan
penghormatan , (4) mempertegas pembicaraan. Fungsi AK ditandai
dalam perubahan situasi tutur, misalnya dari situasi santai, situasi yang
mempertimbangkan ketegangan atau keseriusan, situasi yang
mempertimbangkan kesopanan. Fungsi AK yang dominan adalah lebih
argumentatif meyakinkan mitra tutur dan fungsi AK memberikan
penghormatan Selanjutnya fungsi CK yang ditemukan dalam
komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo
Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali adalah: (1)
bahasa yang digunakan lebih bervariasi, (2) lebih mudah dipahami, (3)
menegaskan penekanan atau maksud, (4) menunjukkan identitas diri.
138
138
Fungsi CK juga ditandai dalam perubahan situasi tutur. Fungsi CK
yang dominan adalah bahasa yang digunakan lebih bervariasi dan lebih
mudah dipahami.
3. Faktor yang melatarbelakangi penggunaan AK dan CK dalam
komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo
Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali adalah: (1) faktor
sosial, (2) faktor situasional. Faktor yang melatarbelakangi
penggunaan CK adalah: (1) faktor lingual, (2) faktor praktikal.
Penggunaan AK dan CK yang dominan terjadi karena dilatarbelakangi
oleh faktor praktikal dan faktor situasional. Penggunaan CK yang
terjadi adalah masuknya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa
Arab.
B. SARAN
Penelitian alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual
dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan
Nogosari Kabupaten Boyolali ini merupakan penelitian baru dan awal,
kiranya perlu diadakan penelitian lanjutan karena bahasa selalu mengalami
perubahan dan perkembangan, sehingga diperoleh penelitian yang lebih
komprehensi.
Penelitian ini membahas mengenai alih kode dan campur kode
dalam komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo
Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali yang ditinjau dari
segi sosiolinguistik. Oleh karena itu perlu penelitian di area lain yang
139
139
komponen tuturnya lebih bervariasi, sehingga mungkin ditemukan alih
kode dan campur kode yang berbeda. Selain itu bahasa tuturan campur
kode dalam penelitian ditemukan kata, frasa, perulangan kata. Hal tersebut
sangat memungkinkan adanya campur kode yang berupa diolek, juga
sangat mungkin terjadi integrasi maupun interferensi (penyimpangan).
Maka kiranya perlu penelitian lebih lanjut dalam ungkapan sosiolinguistik
dengan fokus kajian integrasi dan interferensi.
140
140
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan
Awal.Jakarta: Rineka Cipta.
I Nengah Budiasa. 2008. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode dalam
Dharma Wacana Agama Hindu di Kota Denpasar (Bunga Rampai:
Jurnal). Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat: Cetakan
Pertama. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:GramediaPustaka
Umum.
Pamungkas, Ayu Margawati. 2009. SKRIPSI . “Penggunaan Bahasa Jawa Etnis
Cina di Pasar Gede Surakarta dalam Ranah Jual Beli (Suatu Kajian
Sosiolinguistik)”. Surakarta. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret.
Poedjosoedarma, Soepomo. 1986. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Balai
Penelitian Bahasa
Pradanta, Wisnu. 2013. SKRIPSI. “Pemakaian Alih Kode dan Campur Kode
Bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta (Sebuah
Tinjauan Sosiolinguistik)”. Surakarta. Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret.
Subroto, D. Edi.2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural.
Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Suwito. 1983. Sosiolinguistik & Teori dan Problema. Surakarta. Henary Offset
Solo.
Sudaryanto. 1989, Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Sudaryanto. 1990, Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
. 1992, Metode Linguistik. Yogyakarta: Gatjah Mada University
Press.
. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik). Yogyakarta:
Duta Wacana University Press.
Sutana, Dwi. 2000. Alih Kode dan Campur Kode dalam Majalah Djaka Lodang
(Suatu Studi Kasus).Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press
141
141
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Skripsi/Tugas Akhir. 2013.Pedoman
Penulisan Skripsi/ T ugas Akhir. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret.
Vinansis, Mundianita Rosita. 2001. SKRIPSI. “Alih Kode dan Campur Kode
Bahasa Jawa dalam Rapat Ibu-ibu PKK di Kepatihan Kulon Surakarta”.
Surakarta. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
Widyana, Prista. 2012. SKRIPSI. “Pemakaian Bahasa Jawa Etnik Arab di
Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta”. Surakarta. Fakultas Sastra dan
Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
142
142
LAMPIRAN DATA
Data 1
Pembeli (O2) : Sapimu sing etan karo sing kulon regane pas?, daknyang oleh
ora?, sing oleh dinyang sing ndi?
„Sapimu yang timur dan yang barat harganya pas?, saya tawar
boleh tidak?, yang boleh ditawar yang mana?‟
Penjual (O1) : Lha nek nganyang niku angsal mawon Mbah.
„Kalau menawar itu boleh saja Kek‟
Pembeli (O2) : Sing etan pa sing kulon ?
„Yang timur atau yang barat ?‟
Penjual (O1) : Nek sing etan aja, ning nek sing kulon dakwenehke.
„Kalau yang timur jangan, tapi kalau yang barat saya berikan‟
Pembeli (O2) : Aja larang-larang ngono lho.
„Jangan mahal-mahal begitu‟
Data 2
Penjual (O1) : Piye nek pilih sing tipe iki, luwih apik tinimbang tipe sing kuwi
ngarepmu kuwi mas.
„Bagaimana kalau pilih yang jenis ini, lebih bagus daripada jenis
yang itu depan Anda itu Mas‟
Data 3
Pembeli (O1) : Bu, nasi rames dua ya.
„Bu, nasi rames dua ya‟
Penjual (O2) : Paringi endhog boten Mbak?
„Diberi telur tidak Mbak?‟
Pembeli (O1) : Setunggal paringi, setunggal boten Bu.
„Satu diberi, satu tidak Bu‟
Data 4
Pembeli (O1) : Pit onthel cilikmu kuwi regane pira Mas?
„Sepeda onthel kecilmu itu harganya berapas Mas?‟
Penjual (O2) : Kuwi durung rampung lehku ndandani Mas.
„Itu belum selesai saya perbaiki Mas‟
Pembeli (O1) : Rampungana sik saknu, tak tukune, second ta kuwi?
„Selesaikan dulu saja, saya beli, second kan itu ?‟
143
143
Data 5
Pembeli (O1) : Golek sapi, Mas. kandhange wis padha reget ya.
„Nyari sapi, Mas?. Kandangnya semua kotor ya‟
Penjual (O2) : jarene mulai pembangunan Pak?
„Katanya mulai pembangunan Pak?‟
Pembeli (O1) :Kata pak Lurah, kemarin juga sudah maju kok proposalnya.
„Katanya pak Lurah, kemarin juga sudah maju kok proposalnya‟
Penjual (O2) : Wah berarti ya segera itu.
„ Wah berarti ya segera itu‟
Pembeli (O1) : lha kudune ya ngono ya Mas, delok wae engko.
„Harusnya ya gitu ya Mas, lihat aja nanti‟
Data 6
Penjual (O1) : Anu ki Mas, jinise lho anakan apa rodo gedhe Mas ?
„Gini Mas, jenisnya itu yang kecil apa agak besar Mas?‟
Pembeli (O2) : Punya Bapak dari kanan ini?
„ Punya Bapak dari kanan ini?‟
Penjual (O1) : Iya kanan ini, ini lho Mas satu baris.
„ Iya kanan ini, ini lho Mas satu baris‟
Pembeli (O2) : Besar-besar nggih.
„ Besar-besar ya‟
Penjual (O1) : Pak Paidi sing rada anakan kecil Mas.
„ Pak Paidi yang agak anakan kecil Mas‟
Pembeli (O2) : Pak Paidi udah satu tadi.
„ Pak Paidi sudah satu tadi‟
Data 7
Penjual (O1) : Pesen apa wae mau Dhik?
„Pesen apa saja tadi Dek?‟
Pembeli (O2) : Mie ayam satu, mieso satu Buk.
„Mie ayam satu, mieso satu Buk‟
Penjual (O1) : Minumnya apa aja Dhik.
„Minumnya apa saja Dek?‟
Pembeli (O2) : Es teh manis sama es teh tawar Buk.
„Es teh manis sama es teh tawar Buk‟
Data 8
Penjual (O1) : Dudohi ki urung karuan nek mathuk, mengko bali neh golek
neh, nek ketok barange neng kene ngono genah.
„Memberi tahu itu belum tentu cocok, nanti balik lagi mencari lagi,
kalau keliatan barangnya di sini gitu pasti‟
Pembeli (O2) : Lha nganyang boten?
„Lha menawar tidak?‟
144
144
Penjual (O1) : Jenengan wau rak nika ta nyuwune?
„Anda tadi kan yang itu kan mintanya?‟
Pembeli (O2) : Nggih nika sing gagah sanes niki.
„Iya, itu yang gagah bukan yang ini‟
Penjual (O1) : Lha nggih, nek nika pas boten saget kurang.
„Lha iya, kalau itu pas tidak bisa kurang‟
Data 9
Penjual (O1) : Iki suk mbok dol meneh bathi genah, tenan ora kok aku gawe-
gawe.
„Ini besok kalau Anda jual lagi pasti untung, bener tidak kok saya
bikin-bikin‟
Pembeli (O2) : Pama ora sapi perah, ning sapi kepu ngene ki lho Mas.
„Seumpama bukan perah, tapi sapi kepu gini ini lho Mas‟
Penjual (O1) : Wis gede, pancene boten kok semi-semi ngeten niki.
„sudah besar, memang bukan semi-semi seperti ini‟
Pembeli (O2) : Nek sing lor kae?
„Kalau yang utara itu?‟
Penjual (O1) : Nggih sae, napa putih niki?
„Iya bagus, apa putih ini?‟
Pembeli (O2) : Iki ?
„Ini ?‟
Penjual (O1) : Lha niku, iki selak mulih masalahe Mas.
„Iya itu, ini segera akan pulang masalahnya Mas‟
Data 10
Penjual (O1) : Sing endi ta Mbah?
„Yang mana Kek?‟
Pembeli (O2) : Kae lho kae, ayo rana sik.
„Itu lho itu, ayo kesana dulu‟
Penjual (O1) : Ayo jajal, endi jal sing kaya ngapa penasaran aku
„Ayo coba, mana coba yang seperti apa penasaran saya‟
Pembeli (O2) : Iki lho karepku ki, karo dodolane dhewe kok lali.
„Ini maksud saya, dengan dagangannya sendiri mengapa lupa‟
Penjual (O1) : Oalah, niki ta Mbah?, lha nek sing niki ya regine nambah niku,
Pripun? „Ini ya Kek?, kalau yang ini harganya nambah, bagaimana?‟
Data 11
Pembeli (O1) : Wong itungan kok kabeh ngroyok, sing genah ning pasar ya ning
pasar wae Mbah.
145
145
„Orang lagi hitungan kok semua merubung, yang bener di pasar ya
di pasar aja Kek‟
Penjual (O2) : Niki lho kleru dhuite sampeyan mengke.
„Ini lho salah uang Anda nanti‟
Pembeli (O1) : Sik wae Mbah, sik wong duwite ya jik digawa anakku.
„Nanti aja Kek, uangnya juga masih dibawa anak saya‟
Penjual (O2) : Ngene wae, nek mathuk karo mbahe ndang wehana kana
raketang satus rongatus.
„Gini saja, kalau setuju sama kakek buruan kasihkan sana sekitar
seratus duaratus‟
Pembeli (O1) : Sik Mbah, ngenteni anakku wae.
„Nanti Kek, nunggu anak saya saja‟
Data 12
Penjual (O1) : Wo, yawis nek selak kanggo ning nyuwun sewu menawi enten
rembuk kula sing boten mranani, kula nyuwun ngapura.
„Ow, yauda kalau keburu dipakai tapi minta maaf kalau ada
pembicaraan saya yang tidak enak, saya minta maaf‟
Pembeli (O2) : Nggih.
„Iya‟
Penjual (O1) : Aku wong tuwa pada wong tuwa nek di ulek-ulek wong
mesakne aku tak lunga.
„Saya orang tua sama orang tua kalau dikerubuti orang banyak saya
akan pergi‟
Pembeli (O2) : Nggih kula matur nuwun.
Iya saya berterimakasih‟
Penjual (O1) : Nuwun sewu, kula boten kok ngajak rame.
„Minta maaf, sata tidak mau mengajak ramai‟
Data 13
Penjual (O1) : Dipendhet piyambak napa enten rencange, Pak?
„Di bawa sendiri atau ada temannya Pak?‟
Pembeli (O2) : Kae enek koncone kok Mas, nek dhewe aku ya ora wani ta.
„Itu ada temannya Mas, kalau semdiri saya tdak berani‟
Penjual (O1) : Lha iya ta, wis umur tuwa kok ya, ndi konen rene, Pak.
„Lha iya, sudah umur tua kok ya, mana disuruh kesini Pak‟
Data 14
Pembeli (O1) :Mbak, mie ayam loro.
„Mbak, mie ayam dua‟
Penjual (O2) :O nggih, minume napa?
146
146
„O iya, minumnya apa?‟
Pembeli (O1) :Es teh siji, es jeruk siji, cepakna, tak tinggal bayar sapi sik.
„Es teh siji, es jeruk siji, siapkan dulu, saya tinggal membayar sapi
dulu‟
Data 15
Pembeli (O1) : Warung nek masakane enak, amba ora umpel-umpelan, tur bersih
sisan, wis mesthi akeh sing padha mara jajan.
„Warung kalau masakannya enak, luas tidak desak-desakan, dan
bersih juga, sudah pasti banyak yang datang untuk jajan‟
Data 16
Pembeli (O1) : Mbak, sega ya, lawuhe kaya biasane.
„Mbak, nasi ya, lauknya seperti biasanya‟
Pembeli (O2) : Iwake isih digoreng ki Mas, nunggu sik ya?
„Ayamnya masih digreng ini Mas, nunggu dulu ya?‟
Penjual (O1) : Siap, tak sambine nonton tipi sik, iki endi remote tipine?
„Siap, sambil saya menonton televisi dulu, ini mana remote
televisinya?‟
Data 17
Pembeli (O1) : Wah edan, Lik Nano saiki tambah gantheng wae, piye kabare
suwe ora kepethuk.
„Wah astaga, Paman Nano sekarang semakin ganteng saja,
bagaimana kabarnya sudah lama tidak bertemu‟
Pembeli (O2) : Gantheng apane, wong tambah tuwa ngene, tur aku saiki gawa
kathok jeans senantiku wis ora penak blas, apik-apik wae aku, lha
kowe piye?
„ganteng apanya, sudah semuakin tua seperti ini dan saya sekarang
memakai celana jeans sudah merasa tidak nyaman, saya baik-baik
saja, kamu bagaimana?‟
Data 18
Penjual (O1) : Jare dinyang sanga seprapat.
„Katanya ditawar sembilan seperempat‟
Pembeli (O2) : Bathi nuw, halah malah gawe omah wong bathiog, golekne wong
panggung hiburan loro kana.
„Untung dong, halah nanti dibuat rumah bisa untung kok, dicarikan
orang panggung hiburan dua sana‟
Penjual (O1) :Woo, lha ya nuw.
„Oh, lha iya dong‟
Pembeli (O2) : Haha, yawis nek ngono matur nuwun ya.
„Haha, yaudah kalau begitu terimakasih ya‟
147
147
Data 19
Penjual (O1) :Arep nuku ya hurung wani nek saiki, dhuitku entek bar bayar
study tour anakku ning Bali.
„Akan membeli ya tidak berani kalau sekarang, uang saya habis
untuk membayar perjalanan belajar anak saya ke Bali.‟
Data 20
Pembeli (O1) : Pit-pit mini-mini ngeteniki nek anyar pintenan kira-kira?,
sejutanan nganti boten nggih?, dienggo anak wedok, nangis wae
jaluk pit, mumet aku.
„Sepeda-sepeda mini-mini seperti ini kalau baru berapa kira-kira?,
satu jutaan sampai tidak ya?, dipakai anak perempuan, nangis terus
minta sepeda, pusing saya‟
Data 21
Penjual (O1) : Mandhek kene wae, lha kene hop stop stop, kene wae lak
gampang ngunggahne sapine, ora ngganggu dalan yoan.
„Berhenti disini saja, iya sini berhenti berhenti, sini saja supaya
gampang menaikkan sapinya, tidak mengganggu jalan juga‟
Data 22
Penjual (O1) : Raurung balik mriki melih ngaten Mbah?, pripun?
„Pada akhirnya balik kesini lagi gitu Kek?, bagaimana?‟
Pembeli (O2) : Aku wis mubeng nganti sikilku kemeng kabeh iki ora entuk apa-
apa blas.
„Saya sudah keliling sampai kaki saya pegal semua ini tidak dapat
apa-apa‟
Penjual (O1) : Kandhani gugua aku wae Mbah, ora patia akeh hambok pilih
iki suk riyaya kurban sedheng wis gedhe wayah dibeleh kok.
„Dibilangin nurut saya saja Kek, tidak terlalu banyak mending pilih
ini besok hari raya kurban sudah besar waktunya disembelih kok‟
Pembeli (O2) : Karepku jane yo arep tak nggo kurban suk, wis timbang kesel
kacek sitik wis ben wae, angger mbok terne mengko.
„Kepinginnya saya juga akan saya berikan buat kurban besok,
yasudah daripada capek selisih sedikit tidak apa-apa, asalkan anda
antarkan nanti‟
Penjual (O1) : Yo iki nek wis bar langsung dakterne Mbah, rausah mikir wisan.
„Ya ini kalau sudah selesai langsung saya antar Kek, tidak usah
mikir lagi‟
148
148
Data 23
Pembeli (O1) : Landhep tenan ora iki?
„Tajam beneran tidak ini?‟
Penjual (O2) : Niki mang cobi riyen pripun?
„Ini silahkan anda coba dulu bagaimana?‟
Pembeli (O1) : Sing wingi kae apa landhep sedina, sesuke wis gowang kabeh.
„Yang kemarin apa tajam sehari, besoknya sudah tumpul semua‟
Penjual (O2) : Mosok neh?, nera ya landhep, nek ora landhep apa ya dak dol
ngono lho, koe kui kok yo senengane ki, nek aritku ki genahe
landhep nyatane ya awet-awet kok angger saka kene, glo..glo.. iki
glo, empan tenan to dienggo ngarit mathuk thok iki.
„Masa sih?, pasti ya tajam, kalau tidak tajam apa ya saya jual gitu
lho, kamu itu kok ya sukanya gitu, kalau sabit saya ini pasti tajam
kenyataanya ya pada awet-awet kok asal dari siji, ni..ni.. ini ni,
tajam beneran kan buat cari rumput cocok sekali ini‟
Pembeli (O1) : Kene siji, sik rada cilik kuwi sik wae.
„Mana satu, yang gak kecil dulu saja‟
Data 24
Penjual (O1) : Padhos napa Mas ?
„Cari apa Mas ?‟
Pembeli (O2) : Dadung loro Mbak.
„Tali dadung dua Mbak‟
Penjual (O1) : Sing ageng napa sing alit ?
„Yang besar atau yang kecil ?‟
Pembeli (O2) : Cilik wae, mung dienggo mbakohi sapi kok, ben ora polah.
„Kecil saja, hanya dipakai untuk engencangkan sapi, supaya tidak
gerak‟
Penjual (O1) : Cilik ?, telu sisan wae Mas, regane malah luwih murah nek
telu, tambah siji sisan ya.
„Kecil ?, tiga sekalian saja Mas, harganya lebih murah kalau tiga,
tambah satu sekalian ya‟
Pembeli (O2) : Dengah-dengah kono Mbak.
„Terserah saja Mbak‟
Data 25
Penjual (O1) : Itungan neng kantor wae mengko, aja neng kene.
„Hitungannya di kantor saja nanti, jangan disini‟
Pembeli (O2) : Saiki wae ya, sisan dhuite pas apa orane iki.
„Sekarang saja ayo, sekalian uangnya cukup apa tidak ini‟
Penjual (O1) : Mau lak mathuk wolulas setengah ta, Dhi?, wau lak ngoten
nggih Pak?
149
149
„Tadi kan setuju delapanbelas setengah kan, Di? Tadi itu begitu ya
Pak?‟
Penjual (O3) : Iya wolulas setengah wis dibayar rongewu, kurang enembelas
setengah.
„Iya delapanbelas setengah sudah dibayar duaribu, kurang
enambelas setengah‟
Data 26
Pembeli (O1) : Nyo, tak genepi sisan nyo.
„Nih, saya lunasi sekalian nih‟
Penjual (O2) : Walah susuke kok akehmen iki, sik. Dhe gadhah pecah satus
ewu?
„Walah kembaliannya kok banyak sekali ini, sebentar. Pak punya
pecahan seratus ribu?‟
Penjual (O3) : Wah ora, ora nduwe aku nek satus.
„Wah tidak, tidak punya saya kalau seratus‟
Data 27
Pembeli (O1) : Dawet kalih Pak, pinten ?
„Dawet dua Pak, berapa ?‟
Penjual (O2) : O.. Nggih niki Mbak, gangsal ewu.
„O.. iya ini Mbak, lima ribu‟
Pembeli (O1) : Niki
„Ini‟
Penjual (O2) : Susuk gangsal ewu nggih Mbak, kae dolono sik Le, tak nyusuki
Mbake iki sik.
“Kembali lima ribu ya Mbak, itu layani dulu Nak, saya akan
memberi kembalian kepada Mbak ini dulu‟
Penjual (O3) : Pinten ?
„Berapa ?‟
Data 28
Penjual (O1) : Bar niliki gone Samidi, sapine telu lemu-lemu.
„Habis melihat milik Samidi, sapinya tiga gemuk-gemuk‟
Penjual (O2) : Wingi dinyang jagal lor ora oleh kok.
„Kemarin ditawar jagal utara tidak boleh‟
Pembeli (O3) : Mas enek perah ora?
„Mas, ada sapi perah tidak?‟
Penjual (O1) : Niki kalih mas Muji mawon, nggen kula sampun telas niku.
„Itu sama mas Muji saja, punya saya sudah habis ini‟
150
150
Data 29
Pembeli (O1) : Iki alamate, terna saiki ditunggu bocahku mengko ning kandhang
kana.
„Ini alamatnya, antarkan sekarang ditunggu orang saya nanti di
kandang sana‟
Penjual (O2) : Iya, bar iki tak nali siji iki gek budhal rana.
„Iya, setelah ini menali satu ini terus brangkat kesana‟
Penjual (O3) : Ndang saiki wae Min, mumpung dalan sepi, engko nek wayah
bubaran malah rame, tak taline kene.
„Cepat sekarang saja Min, mumpung jalanan sepi, nanti kalau
waktu pulang pasti rame, saya talikan saja sini‟
Penjual (O2) : Ngoten? Oo.. Nggih kula budhal sakniki.
„Begitu? Oo.. Iya saya berangkat sekarang‟
Data 30
Penjual (O1) : Yahmene rek arek mulih, lha apa wis kepayon?
„Jam segini kok mau pulang, apa sudah laku?‟
Penjual (O2) : Hurung eg, dibel bojoku kon mulih, dijak tilik wong loro neng
Jebres.
„Belum, ditelfon istri saya disuruh pulang, diajak menjenguk orang
sakit di Jebres‟
Penjual (O3) : To, kowe mau ngerti Lilik ora?
„To, kamu tadi melihat Lilik tidak?‟
Penjual (O2) : Wau turene ajeng wangsul niku Pak, napa dereng pamit
jenengan? „Tadi katanya akan pulang gitu Pak, apa belum berpamitan dengan
Anda?‟
Penjual (O3) : Owalah mulih jebule, yawis nek ngono.
„Owalah pulang ternyata, yasudah kalau begitu‟
Data 31
Penjual (O1) : Sapi eloke kaya ngene kok jik kurang piye horok?,karepmu lak
sing gelem mangan suket tur ora nolak damen ta? tenang saja
nanti tak ambile lagi kalau nolak damen, jangan khawatir ngono
lho.
„Sapi bagusnya kaya gini kok masih kurang gimana coba?, kamu
meminta yang doyan makan ruput dan tidak menolak jerami kan?,
tenang saja nanti saya ambil lagi kalau nolak jerami, jangan
khawatir gitu lho‟
Pembeli (O2) : Hahaha.. Ngono cocok, tenan lho ya.
„Hahaha.. seperti itu cocok, beneran ya‟
151
151
Data 32
Penjual (O1) : Dudohi ki urung karuan nek mathuk, mengko bali neh golek
neh, nek kethok barange neng kene ngono genah.
„Memberi tahu itu belum tentu cocok, nanti kembali lagi mencari
lagi, kalau kelihatan barangnya di sini gitu pasti‟
Pembeli (O2) : Lha nganyang boten?
„Lha menawar tidak?‟
Penjual (O1) : Jenengan wau rak nika ta rembuge?
„Anda tadi yang itu kan bilangnya?‟
Pembeli (O2) : Nggih nika sing gagah sanes niki.
„Iya, itu yang gagah bukan yang ini‟
Data 33
Penjual (O1) : Dhahar napa wau Mas? rames kok nggih?
„Makan apa tadi Mas? nasi rames ya?‟
Pembeli (O2) : Iya Bu, siji, biasa ora usah gawa endhog
„Iya Bu, satu, biasa tidak pakai telur”
Penjual (O1) : Ngeneki? biasa sayur thok ora gawa endhog ngene?,tempene
iya pa rak? „Seperti ini? Biasa sayur saja tidak pakai telur begini? tempenya
iya apa tidak?‟
Pembeli (O2) : Iya uwis ngono thok.
„Iya sudah begitu saja‟
Data 34
Penjual (O1) : Tunggunen sapi iki sedilit, tak jupuk anakku sik.
„Tungguin sapi ini sebentar, saya jemput anak saya dulu‟.
Penjual (O2) : Kuwi anakmu ngono kok.
„Itu anakmu kan‟
Penjual (O1) : “Apa iya? Endi?”
„Apa iya? Mana?‟
Penjual (O2) : Lha kuwi wis dijemput ngono kok.
„Itu sudah dijemput begitu‟.
Penjual (O1) : Woalah iya.
„Walah iya‟.
Data 35
Penjual (O1) : Iki? O.. ya tidak, kadohan. Kae suk riyoyo mesthi uwis ndaging,
cepet kae timbang iki, ngandela.
„Ini? O.. ya tidak, jauh. Itu besok hari raya pasti sudah banyak
dagingnya, cepat itu daripada ini, percaya saja‟
152
152
Data 36
Pembeli (O1) : Nyoh tak bayar separo sik, mengko nek uwis tekan omah tak
bayar cash ya.
„Nih saya bayar setengah dulu, nanti kalau sudah sampai rumah
saya bayar lunas ya‟
Data 37
Penjual (O1) : Aku mau critane mubeng-mubeng, gara-gara enek razia ning
pertelon Kaliwuni, kok dengaren ngono lho yahmene, biasane rada
awan ngono kae.
„Aku tadi ceritanya keliling, karena ada razia di pertigaan
Kaliwuni, kok tumben gitu jam segini, biasanya agak siang gitu‟
Penjual (O2) : Kecekel kowe? apa ora gableg SIM?
„Tertangkap kamu? apa tidak punya SIM?‟
Data 38
Penjual (O1) : Dek ben ndhek Besar dak batheni, ngarepe hari raya dak batheni
rong atus.
„Dulu waktu besar saya beri untung, sebelum hari raya saya beri
untung dua ratus‟
Penjual (O2) : “Nyat dodolan ki penere ben bathi kok”
„Memang jualan itu harusnya biar untung kok‟
Data 39
Pembeli (O1) : Susuke pas ya Dhe.
„Kembaliannya pas ya Dhe‟
Penjual (O2) : Ho‟o, mengko nek ora sesuai balekna aku” .
„Iya, nanti kalai tidak sesuai kembalikan ke saya‟
Data 40
Penjual (O1) : Goreng endhog apik nek gawa iki.
„Menggoreng telur bagus kalau pakai ini‟.
Penjual (O2) : Daknyang dek wingi larang ki.
Saya tawar kemarin mahal itu‟
Penjual (O1) : Pancene iki rada mahal, ning teflon ki nek di nggo goreng
endhog penak, iso apik warnane barang.
„‟Memang ini agak mahal, tapi teflon ini kalau dipakai menggoren
telur enak, bisa bagus warnanya juga‟
153
153
Data 41
Pembeli (O1) : Es teh setunggal Bu, anak wedok niki.
„Es teh satu Bu, anak perempuan ini‟
Penjual (O2) : E..e..e anak wedok cantike neh..neh, gelas napa plastik Pak.
„E..e..e anak perempuan cantiknya, gelas apa plastik Pak?‟.
Pembeli (O1) : Plastik mawon Bu.
„Plastik mawon Bu‟
Data 42
Pembeli (O1) : Nika Mbak, aqua dingin setunggal, pinten?
„Itu Mbak, aqua dingin satu, berapa?‟
Penjual (O2) : Nggih, tigangewu Mas.
„Iya, tiga ribu Mas‟
Data 43
Penjual (O1) : Undhakne sithik isa jane.
„Tambahin sedikit bisa sebenarnya‟
Penjual (O2) : Halah, uwis bathi lak ya wis Alhamdulillah ta.
„Halah, sudah untung gitu ya sudah Alhamdulillah kan‟
Penjual (O1) : Nggur satus seket rek.
„Hanya seratus limapuluh saja‟
Penjual (O2) : Lah-lah angger bathi ngono neh.
„Asalkan untung kan ya sudah‟
Data 44
Penjual (O1) : Dodolan ki pancene sok kepayon akeh, sok ya mulih blas ra
kelong, kuwi uwis biasa, angger bismillah wae muga-muga ya
sabendina kepayon lumayan.
„Jualan itu memang kadang laku banyak, kadang juga pulang sama
sekali tidak kurang, itu sudah biasa, asalkan bismillah saja semoga
ya setiap hari laku lumayan‟
Data 45
Pembeli (O1) : Ampun kados wingi nika lhe Mbah, sing benten. Kaya gone
Paimo kae kira-kira umur pira ta jane, sakmana kae pas jane
Mbah.
„Jangan yang kaya kemarin itu lho Kek, yang beda. Seperti
miliknya Paimo itu kira-kira umur berapa sih, segitu itu pas
sebenarnya Kek‟
154
154
Penjual (O2) : Kae jik anakan pedhet paling pirang sasi ngono kok.
„Itu masih anak sapi paling baru berapa bulan gitu kok‟
Data 46
Penjual (O1) : Lha kuwi lak ngene ta mas Banjar, wong aku ki mung
mernahne aku ngomong “Jenengan gadhah penyakit ngoten
mang ati-ati” aku lak mung ngono, itungan karo tangga desa
kuwi lak padha karo itungan karo tunggal dewe, sing genah
wong tangga dewe aku ngandhani ngono.
‘kan gini kan mas Banjar, orang saya ini hanya meluruskan saya
bicara “Anda punya penyakir seperti itu harap hati-ati” saya kan
hanya bilang begitu, hitungan sama tetangga desa itu kan sama saja
hitungan dengan sodara sendiri, yang jelas tetangga desa saya
memberi tahu begitu‟
Penjual (O2) : Kene ya mung ngandhani perkara kana tanggap apa ora ya wis
karepe kana wae.
„Sini ya hanya memberitahu masalah itu dia mengerti apa tidak
yasudah terserah dia saja‟
Data 47
Penjual (O1) : Rega semene jane aku uwis mepet banget.
„Harga segini sebenarnya saya sudah mepet sekali‟
Pembeli (O2) : Dhuwite kurang nek semono.
„Uangnya kurang kalau segitu‟
Penjual (O1) : Iki nek ora mergo kandhangku arep dakbangun ora dakdol
Mbah.
„Ini kalau tidak karena kandang saya akan saya bangun juga tidak
saya jual Kek‟
Pembeli (O2) : Regane dukna, dak bayare.
„Harganya turunkan, saya bayar‟
Penjual (O1) : Boten saget Mbah, lha pripun sios boten?
„Tidak bisa Kek, bagaimana jadi atau tidak?‟
Pembeli (O2) : Yawis kene sida, ning dak rembukan sik, entenano.
„Yaudah jadi sini, tapi saya bicara dulu, tunggulah‟
Data 48
Penjual (O1) : Saking etan mengulon niki benten.
„Dari timur ke barat ini beda‟
Pembeli (O2) : Iki? Lha iki mosok beda regane?
„Ini? Lha ini masa beda harganya?‟
Penjual (O1) : Mang milih riyin, mengke kula itung kula ajeng ijol arta riyin,
jujul niki.
155
155
„Silahkan milih dulu, nanti saya hitung saya mau tukar uang dulu,
kembalian ini‟
Pembeli (O2) : Suwe ora? Aku selak kesusu iki ditunggu kae.
„Lama tidak? Saya terburu-buru ini ditungguin itu‟
Penjual (O1) : Ora-ora, sedilit iki lho ngarepan iki ijole.
„Tidak-tidak, sebentar ini lho depan ini tukarnya‟
Data 49
Penjual (O1) : Sapi napa pedhet nika wau?
„Sapi apa anak sapi itu tadi?‟
Pembeli (O2) : Durung genah.
„Belum pasti‟
Penjual (O1) : Piye kok, gage ta selak dakcatet.
„Gimana sih, buruan keburu mau saya catat‟
Pembeli (O2) : Woo ya anu sapi siji pedhet loro.
„Ohh ya itu sapi satu anak sapi dua‟
Penjual (O1) : Lha ngono, wong tuku barang.
„Ya gitu dong, orang beli juga‟
Data 50
Pembeli (O1) : Janganan dibungkus gangsalewu Buk, kalih gorengan
tigangewu, mang dadekne setunggal mengke kula pendhete.
„Sayur dibungkus lima ribu Buk, dan gorengan tiga ribu, jadikan
satu nanti saya ambil‟
Penjual (O2) : Jangan apa Mbak?, sing ndi miliha sik.
„Sayur apa Mbak?, silahkan memilih dulu‟
Pembeli (O1) : Apa ya Buk, iki wae Buk jangan gori iki wae, dak tinggal sik ya.
„Apa ya Bu, ini saja Bu sayur nangka ini saja, saya tingga dulu ya‟
Penjual (O2) : Ho‟o Mbak.
„Iya Mbak‟.
Data 51
Penjual (O1) : Wani rawani aku Mas, iki pesenan ning sida apa ora ya durung
genah jane.
„Berani tidak berani saya Mas, itu pesanan tapi jadi apa tidaknya
juga belum pasti sebenarnya‟.
Pembeli (O2) : Iki dak bayar siji mbok terne saiki, ning sijine dak bayar neng
omah terno bareng dhuwite salok jik nok ngomah. Rak ngoten
nggih Pak sekeca kalih kula ta?
„Ini saya bayar satu kamu antarkan sekarang, tapi satunya saya
bayar di rumah anterin barengan uangnya sebagian masih di
rumah. Begitu kan Pak setuju dengan saya kan?‟
156
156
Pembeli (O3) : Iyo Mas, siji dhuwite isih neng omah, gagasanku arep jimuk siji
tok jane.
„Iya Mas, satu uangnya masih di rumah, pikir saya mau mengambil
satu saja sebenarnya‟
Data 52
Pembeli (O1) : Iki alamate, terno saiki ditunggu bocahku mengko ning kandhang
kana.
„Ini alamatnya, antarkan sekarang ditunggu orang saya nanti di
kandang sana‟
Penjua l (O2) : Iya, bar iki daknali siji iki gek budhal rana.
„Iya, setelah ini menali satu ini terus brangkat kesana‟
Penjual (O3) : Ndang saiki wae Min, mumpung dalan sepi, mengko nek wayah
bubaran malah rame, daktaline kene.
„Buruan sekarang saja Min, mumpung jalanan sepi, nanti kalau
waktu pulang pasti rame, saya talikan saja sini‟
Penjual (O2) : Ngoten? Oo.. Nggih kula budhal sakniki.
„Begitu? Oo.. Iya saya berangkat sekarang‟.
Data 53
Penjual (O1) : Model ngeneki sepuluh ewunan, nek sing ngeneki limalas
ewunan.
„Model seperti ini sepuluh ribuan, kalau yang seperti ini limabelas
ribuan‟
Pembeli (O2) : Wolongewu mawon nggih?, daktumbas kalih nek angsal
wolongewu.
„Delapan ribu saja ya?, Saya beli dua kalau boleh delapan ribu‟
Penjual (O1) : Tambahi limangatus rapapa wis.
„Tambahin limaratus tidak apa-apa‟
Pembeli (O3) : Iya wolongewu wae, aku dak ya tuku.
„Iya delapanribu saja, saya juga akan beli‟
Pembeli (O2) : Glo, enek sing arep tuku meneh malahan.
„Tuh, ada yang akan beli juga‟
Penjual (O1) : Yawis-yawis enggo penglaris.
„Yasudah-yasuda buat penglaris‟
Data 54
Pembeli (O1) : Apa sida mbok tuku Mas mau?, larang kanggoku.
„Apa jadi Anda beli Mas tadi?, mahal menurut saya‟.
Pembeli (O2) : Sios Mas, rencang kula senenge kalih niku thok, kula nggih
manut.
„Jadi Mas, teman saya sukanya sama itu saja, saya ya menuruti‟.
157
157
Pembeli (O1) : Jane pama aku mau tak wedeni rasida tuku ngono genah kana
mundur kok.
„Sebenarnya kalau saya tadi menakuti jika tidak jadi beli gitu pasti
dia mundur kok.‟
Pembeli (O2) : Halah wis kebacut Mas, timbang mulih gela wis ben idhep-
idhep sodakoh ngono wae nek pancen kana kakean.
„Halah sudah terlanjur Mas, daripada pulang menyesal sudah tidak
apa-apa anggap saja sedekah gitu saja kalau memang sana
kebanyakan‟
Data 55
Penjual (O1) : Pripun kabare anak?, mpun mantuk saking puskesmas?
„Bagaimana kabarnya anak?, sudah pulang dari puskesmas?‟
Penjual (O2) : Uwis Mas, ndek wingi sore, gegeri ngajak mulih wae kok. Ayo
sarapan Mas.
„Sudah Mas, kemarin sore, bingung ngajak pulang saja kok. Ayo
sarapan Mas‟
Penjual (O1) : Ya syukur nek ngono Mas, sarapan apa? serku rica-rica, ning
dengaren malah tutup, engko wae.
„ya syukurlah kalau begitu Mas, sarapan apa? Pengennya rica-rica,
tapi tumben tutup, nanti saja‟
Penjual (O2) : Ya apa kono neh, tak disik, luwe aku.
„Ya apa sana deh, saya duluan, laper saya‟
Data 56
Penjual (O1) : Baru-baru semua ini Pak, dari Boyolali, pilih yang mana?
„Baru-baru semua ini Pak, dari Boyolali, pilih yang mana?‟.
Pembeli (O2) : Alah apa ta Mas, tak nonton sik coba. Padahal ora nggawa dhuit.
„Halah apa ta Mas, saya melihat dulu coba. Padahal tidak
membawa uang‟
Penjual (O1) : Utang-utang yarapapa Pak, angger bar sejam dibayar hahaha.
„Hutang-hutang juga tidak apa-apa Pak, asalkan setelah satu jam
dibayar, hahaha‟
Pembeli (O2) : Hahaha.. Mas Pardi ki kok ya senengane ngrayu wong ben nduwe
utang ngono pa piye.
„Hahaha.. Mas Paridi ini kok ya sukanya merayu orang supaya
punya hutang gitu apa gimana‟
Data 57
Penjual (O1) : Lhadalah, nawar kok terus ora nganggo mandhek.
„Lhadalah, menawar kok terus tidak pakai berhenti‟
Pembeli (O2) : Iki wis mandek iki, semono oke?
158
158
„Ini sudah berhenti ini, segitu oke?‟
Penjual (O1) : Gini gini, pitulas, tambah satu tambah dua jadi duapuluh,
cocok, hahaha... „Gini-gini, tujuhbelas, tambah satu tambah dua jadi duapuluh,
cocok, hahaha..‟
Pembeli (O2) : Lha kuwi rek kaya guru matematika ngulang muride malahan, wa
wis.
„Lha kok kaya guru matematika sedang mengajar muridnya malah,
wah gimana‟
Data 58
Penjual (O1) : “Lerena sik kana, daktunggune genti wong ya aku wis mulih saka
sekolahan e lho, makan siang kana wis jam semene, rarung ora
enek sing tuku paling wong wis jam semene”
„Istirahatlah dulu sana, gantian saya yang tunggu orang saya juga
sudah pulang dari sekolah, makan siang sana sudah jam segini,
paling juga tidak ada yang beli orang sudah jam segini‟
Data 59
Pembeli (O1) : Wong dodol perabotan rumah tangga sing biasane mandhek
ning kene kae kok dengaren ora enek ya ?
„Orang jualan perabotan rumah tangga yang biasanya berhenti di
sini itu kok tumben tidak ada ya?‟
Penjual (O2) : Yahketen pun lunga Bu, nika mandhek nek esuk thok biasane.
„Jam segini sudah pulang Bu, itu berhenti kalau pagi saja
biasanya‟.
Data 60
Pembeli (O1) : Tetep nganggo garansi lho ya kudune.
„Tetap pakai garansi lho ya harusnya‟
Penjual (O2) : Niku sampun, mengke nek sulaya balekne lak sampun ta Bu.
„Itu sudah, nanti kalau bermasalah dikembalikan kan sudah kan
Bu‟
Data 61
Pembeli (O1) : Nek nyedaki dealer pinggir dalan aku kabarana Mas, dakpapak,
bene ora kangelan golekimu.
„Kalau mendekati dealer pinggir jalan kabarin saya Mas, saya
jemput, biar Anda tidak kesusahan mencarinya‟
159
159
Data 62
Penjual (O1) : Tulisana kene kabeh jinis-jinise sapi sing kepayon dina iki mau,
karo jeneng-jenenge sing dodol sing tuku, di enggo bukti transaksi
lapora n ning kelurahan.
„Tuliskan disini semua jenis-jenis sapi yang terjual hari ini tadi,
dan nama-nama yang menjual yang membeli, untuk bukti transaksi
laporan di kelurahan‟
Data 63
Penjual (O1) : Toko kidul masjid kae apa ora adol ta?, Kayae adol kok, anakku
biyen tuku kana enek, alah cedak simpang tiga cilik kae pokoke.
„Toko selatan masjid itu apa tidak jual? Sepertinya jual kok anak
saya dulu pernah beli di sana ada, yang dekat simpang tiga kecil itu
pokoknya‟
Data 64
Penjual (O1) : Aku rada lali omahe, pama dalane mengko jik iso dieling- eling.
„Saya agak lupa rumahnya, seumpama jalannya nanti masih bisa
diingat-ingat‟
Penjual (O2) : Jagal Ngumbul Banaran mosok lali?, omahe kiri jalan nek saka
kene, cat iso, kandhange ketok saka ngarepan.
„Penjagal Ngumbul Banaran masa lupa?, rumahnya kiri jalan kalau
dari sini, cat hijau, kandangnya kelihatan dari depan‟
160
160
Gambar 1. Papan nama pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan
Nogosari kabupaten Nogosari.
Gambar 2. Daftar Buku tamu pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan
Nogosari kabupaten Boyolali.
161
161
Gambar 3. Suasana pasar hewan saat pagi hari.
Gambar 4. Para penjual dan pembeli yang sedang tawar menawar harga.
Gambar 5. Suasana pasar hewan saat transaksi jual beli.
162
162
Gambar 5. Aktifitas Pasar Hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan
Nogosari kabupaten Boyolali.
Gambar 6. Suasana pasar hewan saat para pembeli akan membawa sapi yang telah
mereka beli