pendahuluan latar belakang dinas kesehatan kabupaten/kota...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar pusat
kesehatan masyarakat bahwa puskesmas adalah unit pelaksana teknis
dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
Sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota
(UPTD), puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas
teknis operasional dinas kesehatan kabupaten/kota dan merupakan
unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan
kesehatan di Indonesia. Puskesmas berfungsi sebagai pusat pelayanan
kesehatan strata pertama yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu,
dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
menjadi tanggung jawab puskesmas, meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Kedua jenis pelayanan kesehatan yang menjadi tanggung
jawab puskesmas tersebut menyebabkan dalam penyelenggaraannya,
puskesmas tidak hanya menangani keluhan penyakit, namun juga
2
gejala atau kondisi nonpenyakit. Hal ini menyebabkan terjadi
beberapa perbedaan antara jenis kasus pasien yang berkunjung ke
puskesmas dengan pelayanan kesehatan strata lainnya. Perbedaan
jenis kasus tersebut menyebabkan beberapa diagnosis di puskesmas
pun berbeda dengan pelayanan kesehatan strata lainnya.
Terdapat berbagai macam sistem klasifikasi dan kodefikasi
terhadap suatu diagnosis yang telah disusun sesuai dengan
kebutuhannya. Menurut WHO (2007), sistem klasifikasi dan
kodefikasi yang terdapat dalam skema representasi dari World Health
Organization Family of International Classification (WHO-FIC) meliputi
klasifikasi referensi (reference classifications), klasifikasi terkait (related
classification), dan klasifikasi turunan (derived classifications). Klasifikasi
referensi (reference classifications) terdiri atas International Classification
of Diseases (ICD), International Classification of Functioning, Disability,
and Health (ICF), dan International Classification of Health Interventions
(ICHI). Klasifikasi terkait (related classification) terdiri atas International
Classification of Primary Care (ICPC), International Classification of
External Causes of Injury (ICECI), The Anatomical, Therapeutic, Chemical
(ATC) classification system with Defined Daily Doses, dan ISO 9999
Tecnical aids for persons with disabilities. Klasifikasi turunan (derived
classifications) terdiri atas International Classification of Diseases for
Oncology, Third Edition (ICD-O-3), The ICD-10 Classification of Mental
3
and Behavioural Disoders, Application of the ICD to Dentistry and
Stomatology, Third Edition (ICD-DA), Application of the ICD to Neurology
(ICD-10-NA), dan ICF Version for Children and Youth (ICF-CY).
Dalam skema representasi dari WHO-FIC terkait macam-
macam sistem klasifikasi dan kodefikasi tersebut, terdapat hubungan
keterkaitan antara klasifikasi referensi (reference classifications) dan
klasifikasi terkait (related classification). ICD sebagai salah satu sistem
dalam klasifikasi referensi dan ICPC sebagai salah satu sistem dalam
klasifikasi terkait memiliki hubungan keterkaitan tersebut. Menurut
WONCA (2005), hubungan keterkaitan antara ICD dan ICPC adalah
sebagai berikut. ICPC selalu dikaitkan dengan klasifikasi penyakit
internasional yang diakui dan digunakan secara luas yang diterbitkan
oleh WHO. Edisi pertama ICPC berisi daftar kode konversi ke ICD-9.
Sejak saat ICD-10 diperkenalkan, ICPC-2 telah dipetakan secara hati-
hati ke ICD-10 sehingga sistem konversi dapat digunakan (Bab 11).
Pengguna yang masih memerlukan konversi ke ICD-9 dapat
memperoleh disk dari Komite Klasifikasi WONCA.
Adanya hubungan keterkaitan tersebut, tidak terlepas dari latar
belakang sejarah awal penyusunan ICPC. Menurut WONCA (2005),
sampai pada pertengahan 1970-an kebanyakan penelitian terkait
pengumpulan data morbiditas pada pelayanan kesehatan strata
pertama diklasifikasikan menggunakan ICD. Hal ini memiliki
4
keuntungan penting terkait pengakuan internasional, membantu
komparabilitas data dari berbagai negara. Namun, ada kelemahan
bahwa banyak gejala dan kondisi nonpenyakit yang hadir dalam
pelayanan kesehatan strata pertama sulit untuk dikode dengan
klasifikasi ini, yang awalnya dirancang untuk aplikasi statistik
mortalitas dan dengan struktur berbasis penyakit.
Adanya keuntungan dan kelemahan dari penggunaan ICD
dibandingkan ICPC dalam pengklasifikasian menjadikan keduanya
memiliki hubungan keterkaitan yaitu saling melengkapi. Gejala dan
kondisi nonpenyakit yang hadir dalam pelayanan kesehatan strata
pertama yang sulit untuk dikode dengan ICD, dapat diakomodasi
oleh ICPC menggunakan Reasons for Encounter (RFEs). Menurut
Hofmans-Okkes (1993), Reasons for Encounter (RFEs) didefinisikan
sebagai pernyataan yang menjadi alasan mengapa seseorang
memasuki sistem pelayanan kesehatan dengan permintaan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Pernyataan ditulis dan
diklasifikasikan oleh pemberi pelayanan kesehatan. Klasifikasi dengan
ICPC memungkinkan karakterisasi rinci tentang apa yang pasien telah
nyatakan, apakah ini adalah keluhan atau gejala, diagnosis yang
sudah diketahui, permintaan untuk resep, rujukan, atau pemeriksaan
fisik, atau masalah hubungan, takut penyakit yang serius, atau
meminta untuk membahas masalah ini.
5
Dari berbagai penjelasan di atas, diketahui bahwa ICPC telah
disusun untuk melengkapi kebutuhan klasifikasi pada pelayanan
kesehatan strata pertama yang tidak mampu dipenuhi oleh ICD. Hal
ini didukung oleh beberapa penelitian yang penah dilakukan terkait
ICPC. Menurut Brage, dkk (1996), ICPC telah menjadi standar
klasifikasi untuk diagnosis pada sertifikat sakit dan tagihan untuk
layanan Administrasi Asuransi Nasional di Norwegia sejak 1992.
Pengkodean berdasarkan ICPC adalah wajib untuk semua dokter
umum. Sedangkan menurut Wockenfuss, dkk (2009), karakter ketiga
dan keempat ICD-10 bukanlah sebuah sistem klasifikasi yang handal
dalam pelayanan kesehatan strata pertama.
Di sisi lain, standar klasifikasi yang ditetapkan dan
diberlakukan secara nasional di Indonesia adalah ICD-10. Sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
50/MENKES/SK/I/1998 tentang pemberlakuan klasifikasi statistik
internasional mengenai penyakit revisi kesepuluh, yaitu
memberlakukan klasifikasi ICD-10 secara nasional di Indonesia dan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
844/MENKES/SK/X/2006 tentang penetapan standar kode data
bidang kesehatan, bahwa International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems Tenth Revision (ICD-10) merupakan
acuan yang digunakan di Indonesia untuk mengkode diagnosis.
6
Sedangkan peraturan yang berlaku terkait penggunaan ICPC di
Indonesia hingga saat ini belum tersedia. Berbeda dengan di
Norwegia, yang telah menggunakan ICPC sebagai standar klasifikasi
untuk diagnosis pada sertifikat sakit dan tagihan untuk layanan
Administrasi Asuransi Nasional sejak 1992.
Terkait peraturan yang berlaku di Indonesia bahwa standar
klasifikasi yang ditetapkan dan diberlakukan secara nasional di
Indonesia adalah ICD-10, telah dilakukan penelitian keakuratan kode
diagnosis berdasarkan ICD-10 di Puskesmas Gondokusuman II
Yogyakarta. Menurut Rismawan (2012), persentase ketidakakuratan
kode diagnosis berdasarkan ICD-10 di Puskesmas Gondokusuman II
Yogyakarta mencapai 66,67%.
Menurut Lamberts dan Hofmans (1996), inti dari catatan pasien
berbasis komputer dalam pelayanan kesehatan strata pertama yaitu
episode pelayanan kesehatan diklasifikasikan dengan ICPC.
Sedangkan menurut Wood, dkk (1992), konversi antara ICPC dan
ICD-10 merupakan persyaratan untuk keluarga sistem klasifikasi di
dekade berikutnya.
Di Indonesia, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 tentang
kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat, bahwa puskesmas
menggunakan konsep wilayah dan sistem informasi manajemen
7
puskesmas (SIMPUS) untuk kodefikasi. Berbagai pengembangan yang
dilakukan terhadap SIMPUS akan memungkinkan episode pelayanan
kesehatan dapat diklasifikasikan dengan ICPC dan persyaratan untuk
keluarga sistem klasifikasi di dekade berikutnya dapat terpenuhi
yaitu digunakannya konversi antara ICPC dan ICD-10.
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah pada tanggal 19
Agustus 2013, bahwa puskesmas tersebut melakukan penentuan kode
ICD-10 dan ICPC terhadap suatu diagnosis yang sama. Hal ini yang
membedakan Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah dengan
puskesmas yang lain. Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah
merupakan puskesmas yang menjadi tempat yang direkomendasikan
oleh Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Semarang Jawa Tengah
kepada tim dari SIMKES Universitas Gadjah Mada atas permohonan
untuk menerapkan pilot project terkait penggunaan ICPC di
puskesmas tersebut. Intervensi yang dilakukan oleh tim dari SIMKES
Universitas Gadjah Mada dalam pilot project tersebut berupa
pengembangan SIMPUS yang digunakan di Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo Jawa Tengah. Pada SIMPUS tersebut, ditambahkan kolom
isian “Diagnosis ICPC” dan database untuk menyimpan beberapa kode
ICPC. Puskesmas tersebut meng-entry-kan kode yang telah ditentukan
untuk suatu diagnosis ke dalam SIMPUS tersebut. Hal ini
8
memungkinkan berpengaruh terhadap ketepatan kode diagnosis yang
dihasilkan.
Untuk mengetahui pelaksanaan pengkodean diagnosis di
puskesmas tersebut secara lebih lanjut, perlu dilakukan penelitian
terkait Evaluasi Ketepatan Kode Diagnosis Berdasarkan ICD-10 dan
ICPC di Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana pelaksanaan pengkodean diagnosis berdasarkan ICD-10
dan ICPC di Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus
sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Mengetahui pelaksanaan pengkodean diagnosis
berdasarkan ICD-10 dan ICPC di Puskesmas Mojolaban Sukoharjo
Jawa Tengah.
9
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui persentase ketepatan kode diagnosis berdasarkan
ICD-10 dan ICPC di Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa
Tengah.
b. Mengetahui faktor-faktor penyebab ketidaktepatan kode
diagnosis berdasarkan ICD-10 dan ICPC di Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini meliputi manfaat praktis dan manfaat
teoritis sebagai berikut.
1. Manfaat Praktis
a. Bagi Puskesmas
Sebagai masukan bagi petugas pengkodean dalam
menentukan kode diagnosis secara tepat sesuai dengan acuan.
b. Bagi Peneliti
Menambah pengalaman dan pengetahuan di bidang rekam
medis terutama dalam menentukan kode diagnosis di
puskesmas secara tepat sesuai dengan acuan.
10
2. Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan salah satu indikator kualitas metode
pembelajaran bagi mahasiswa sebagai penerus generasi
perekam medis Indonesia yang handal.
b. Bagi Peneliti Lain
Dapat menjadi acuan dan referensi bagi peneliti lain yang
akan melakukan penelitian khususnya penelitian dengan
topik yang hampir serupa.
E. Keaslian Penelitian
1. Maghfuroh (2013) dengan judul “Analisis Kode Diagnosis pada
Berkas Rekam Medis dan Sistem Informasi Manajemen Rumah
Sakit berdasarkan ICD-10 Pasien Rawat Inap RSUD Panembahan
Senopati Bantul.”
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif dan rancangan penelitian cross
sectional. Hasil dari penelitian ini adalah pelaksanaan pengkodean
pada berkas rekam medis dan sistem informasi manajemen rumah
sakit belum sesuai dengan prosedur tetap. Dari data hasil analisis
dapat diketahui bahwa kesesuaian kode diagnosis antara berkas
rekam medis dan sistem informasi manajemen rumah sakit adalah
11
27,36%. Hasil analisis ketepatan kode diagnosis tepat sampai
karakter ketiga, keempat, dan kelima sebanyak 50,44% pada
berkas rekam medis dan 33,92% pada sistem informasi
manajemen rumah sakit. Faktor yang menyebabkan
ketidaksesuaian dan ketidaktepatan kode diagnosis pasien rawat
inap adalah faktor sumber daya manusia, prosedur tetap,
komunikasi, cara penentuan kode diagnosis, dan infrastruktur
yaitu sistem informasi manajemen rumah sakit.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Maghfuroh
(2013) terletak pada bahasannya yaitu sama-sama membahas
tentang ketepatan hasil penentuan kode diagnosis. Perbedaannya
adalah pada penelitian ini meneliti ketepatan kode diagnosis
berdasarkan ICD-10 dan ICPC, sedangkan pada penelitian
Maghfuroh (2013) meneliti kesesuaian dan ketepatan kode
diagnosis yang terdapat pada berkas rekam medis pasien rawat
inap dan sistem informasi manajemen rumah sakit berdasarkan
ICD-10.
2. Hidayat (2013) dengan judul “Analisis Ketepatan Kode Diagnosis
Penyebab Dasar Kematian berdasarkan ICD-10 di RS Panti Rapih
Yogyakarta.”
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif dan rancangan penelitian cross
12
sectional. Subjek pada penelitian ini adalah staff coding, dokter, dan
Kepala Instalasi Rekam Medis, sedangkan objek penelitian ini
adalah Laporan Registrasi Kematian RS Panti Rapih Yogyakarta
tahun 2012. Teknik pengumpulan data dengan observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian ini adalah
Pelaksanaan pengkodean sebab dasar kematian di RS Panti Rapih
Yogyakarta belum sepenuhnya sesuai dengan ICD-10, staff coding
sebab kematian hanya mengkode diagnosis yang sudah dituliskan
oleh dokter. Urutan penyakit menuju kematian yang tepat
memiliki persentase sebesar 69,59% dengan UCoD yang tepat
sebesar 97,48% dan UCoD yang tidak tepat 2,52%, sedangkan
urutan penyakit menuju kematian yang tidak tepat sebesar 30,41%
dengan UCoD yang tepat sebesar 38,46% dan UCoD yang tidak
tepat 61,54%. Total prosenstase ketepatan UCoD sebesar 79,53%
dan yang tidak tepat sebesar 20,47%. Faktor-faktor yang
menyebabkan ketidaktepatan kode sebab dasar kematian adalah
tidak adanya SOP tentang pengkodean sebab dasar kematian,
belum digunakannya tabel MMDS sebagai milik rumah sakit yang
dijadikan fasilitas untuk staff coding, tidak semua dokter mengisi
diagnosis sebab dasar kematian, dan tidak adanya audit coding
atau evaluasi ketepatan kode sebab dasar kematian.
13
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Hidayat (2013)
adalah membahas tentang pelaksanaan kodifikasi. Perbedaannya
adalah pada spesifikasi yang dikode, Hidayat (2013) lebih spesifik
terhadap analisis ketepatan kode diagnosis penyebab dasar
kematian berdasarkan ICD-10 sedangkan penelitian ini fokus
pada analisis ketepatan kode diagnosis berdasarkan ICD-10 dan
ICPC.
3. Rismawan (2012) dengan judul “Tingkat Keakuratan Kode
Diagnosis Berdasarkan ICD-10 di Puskesmas Gondokusuman II
Yogyakarta”
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif serta dengan rancangan cross
sectional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
keakuratan kode diagnosis dan mengetahui faktor penyebab
ketidakakuratan kode diagnosis berdasarkan ICD-10 di
Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta. Hasil penelitian ini
adalah persentase ketidakakuratan kode diagnosis berdasarkan
ICD-10 di Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta mencapai
66,67%. Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakakuratan kode
diagnosis antara lain tidak adanya prosedur tetap yang mengatur
mengenai tata cara penulisan diagnosis dan penentuan kode
diagnosis, tidak adanya petugas khusus pengkodean yang
14
mempunyai latar belakang pendidikan rekam medis dalam
pelaksanaan pengkodean, sistem informasi kesehatan untuk kode
diagnosis yang ada pada komputer di Puskesmas Gondokusuman
II Yogyakarta kurang lengkap dan kurang spesifik.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian milik
Rismawan (2012) terletak pada bahasannya yaitu kode diagnosis
di puskesmas, sedangkan perbedaannya terletak pada dasar yang
digunakan untuk menentukan ketepatan, penelitian ini
menggunakan ICD-10 dan ICPC, sedangkan Rismawan (2012)
hanya ICD-10.
4. Fadilah (2011) dengan judul “Ketepatan Kode Penyakit Pasien
Kontrol Jamkesmas dan NonJamkesmas berdasarkan ICD-10 di
RSUD Banjarnegara”
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan,
tingkat ketepatan, dan faktor penyebab ketidaktepatan dalam
menentukan kode penyakit pasien kontrol jamkesmas dan
nonjamkesmas berdasarkan ICD-10 di RSUD Banjarnegara.
Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
rancangan cross sectional. Sampel diperoleh dengan menggunakan
simple random sampling dan purposive sampling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelaksanaan pengodean di instalasi rekam
medis pada lembar verifikasi, pelaksanaan pengodean
15
nonjamkesmas dilaksanakan oleh perawat yang ada di poliklinik
pada komputer. Dari 213 berkas rekam medis yang dianalisis
terdapat 100% kode penyakit pasien kontrol tidak dikode pada
berkas rekam medis. Kemudian dari 213 lembar verifikasi
jamkesmas yang dianalisis terdapat 64,79% kode penyakit pasien
kontrol yang tepat, kode penyakit pasien yang salah pada digit
keempat sebanyak 1,88%, kode penyakit pasien kontrol yang tidak
tepat sebanyak 33,33%. Tingkat ketepatan kode penyakit pasien
kontrol nonjamkesmas dari 258 berkas rekam medis yang
dianalisis terdapat 100% kode penyakit pasien kontrol tidak
dikode pada berkas rekam medis. Kemudian dari 258
komputerisasi data kode rawat jalan yang dianalisis terdapat
4,65% kode penyakit pasien kontrol yang tepat, kode penyakit
pasien kontrol yang salah pada digit keempat sebanyak 0,39%,
kode penyakit pasien kontrol yang tidak tepat sebanyak 94,96%.
Faktor penyebab ketidaktepatan yaitu kebijakan rumah sakit yang
ada belum mengatur pengkodean penyakit pada lembar verifikasi
dan komputer, petugas pengkodean jamkesmas terbatas,
pengkodean nonjamkesmas dilakukan oleh perawat, dan
penulisan diagnosa oleh dokter masih ada yang tidak jelas,
menggunakan singkatan, masih ada yang menggunakan bahasa
Indonesia, serta diagnosis utama tertulis tidak lengakap.
16
Persamaan kedua penelitian ini adalah sama-sama meneliti
tentang pelaksanaan, ketepatan, dan faktor penyebab
ketidaksesuaian kode diagnosis. Perbedaan dengan penelitian
yang sekarang terletak pada obyek yang diteliti. Pada penelitian
Fadilah (2011), obyek yang diteliti adalah kode penyakit pasien
kontrol jamkesmas dan nonjamkesmas sedangkan pada penelitian
ini adalah kode diagnosis pada SIMPUS dan pelaksanaan
pengkodean diagnosis pasien.
F. Gambaran Umum
Berdasarkan Buku Profil Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa
Tengah Tahun 2013, gambaran umum Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo Jawa Tengah adalah sebagai berikut. Sukoharjo Sehat
Tahun 2015 adalah visi masyarakat Sukoharjo. Kondisi tersebut
meliputi masyarakat hidup di lingkungan yang sehat (fisik, sosial,
ekonomi, dan budaya), masyarakat berperilaku sehat terjangkau oleh
pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
sehingga terwujud kesehatan masyarakat yang optimal.
Untuk mewujudkan Sukoharjo Sehat 2015 ditetapkan misi
sebagai berikut:
1. Menggerakkan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
17
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu, merata, dan terjangkau.
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu keluarga dan
masyarakat.
Dengan adanya arus reformasi di bidang kesehatan, berbagai
bentuk pergeseran paradigma sedang berlangsung termasuk
puskesmas. Pembahasan konsep reformasi puskesmas sudah banyak
dilakukan di antaranya adalah pemberian kewenangan untuk
merumuskan dan mengembangkan sistem kesehatan di daerah agar
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Beberapa pokok perubahan yang dikeluarkan Depkes adalah
masalah batasan puskesmas. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis
dinas yang selanjutnya disebut UPTD yakni unit organisasi di
lingkungan dinas kesehatan di wilayah kerjanya.
Adapun kewenangan kemandirian yang dipunyai puskesmas
adalah menyelenggarakan perencanaan-perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya sesuai
dengan kondisi, kultur budaya, dan potensi setempat.
1. Visi dan Misi Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah
Sebagai arah tujuan dan kegiatan dasar pembangunan kesehatan
di wilayah, maka disusun visi dan misi Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo Jawa Tengah sebagai berikut
18
a. Visi
Menjadikan Puskesmas Mojolaban yang berkomitmen tinggi
dalam pelaksanaan pembangunan yang berwawasan
kesehatan dengan mengutamakan pelayanan prima.
b. Misi
1.) Melaksanakan pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif secara paripurna yang bermutu sesuai
standar.
2.) Melaksanakan pelayanan kesehatan bagi semua tingkatan
masyarakat.
3.) Mengelola sumber daya dan sarana yang tersedia secara
profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan.
4.) Menjadikan Puskesmas Mojolaban sebagai fasilitas pilihan
pelayanan kesehatan.
2. Tugas Pokok dan Fungsi
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
yang merupakan perangkat kabupaten untuk melaksanakan tugas
pokok dalam menyelenggarakan pelayanan, pembinaan dan
pembangunan upaya kesehatan secara paripurna kepada
masyarakat di wilayah kerjanya.
Adapun fungsi puskesmas adalah:
a. Pusat pembangunan wilayah berwawasan kesehatan.
19
b. Pusat pemberdayaan masyarakat.
c. Pusat pelayanan kesehatan masyarakat primer.
d. Pusat pelayanan kesehatan perorangan primer.
Puskesmas Mojolaban dalam melaksanakan fungsi
pelayanan kesehatan tingkat pertama kepada masyarakat
melaksanakan program kesehatan dasar dan program kesehatan
pengembangan.
3. Keadaan Geografis
a. Luas wilayah binaan Puskesmas Mojolaban terdiri atas 15
desa, yaitu:
1.) Desa Wirun
2.) Desa Bekonang
3.) Desa Cangkol
4.) Desa Klumprit
5.) Desa Dukuh
6.) Desa Plumbon
7.) Desa Laban
8.) Desa Tegalmede
9.) Desa Gadingan
10.) Desa Palur
11.) Desa Demakan
12.) Desa Joho
20
13.) Desa Kragilan
14.) Desa Sapen
15.) Desa Triyagan
b. Jumlah wilayah kerja ada 15 desa, di mana di seluruh desa
merupakan dataran rendah dan mudah dijangkau dengan
kendaraan roda dua maupun roda empat.
Puskesmas Mojolaban mempunyai 3 Puskesmas pembantu
(Pustu) untuk membantu melayani kesehatan kepada
masyarakat yaitu Pustu Klumprit, Pustu Palur, Pustu Sapen.
Selain itu Puskesmas Mojolaban juga mempunyai Pos
Kesehatan Desa (PKD) yang berada di masing-masing desa
yang juga berfungsi untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, baik untuk masyarakat daerah binaan sendiri
atau pun dari daerah lain. Puskesmas Mojolaban terletak di
daerah perbatasan Kota Madya Surakarta dan Kabupaten
Karanganyar.
c. Batas-batas wilayah kerja Puskesmas Mojolaban sebagai
berikut:
1.) Batas wilayah timur berbatasan dengan wilayah
Kecamatan Polokarto.
2.) Batas wilayah barat berbatasan dengan wilayah Kota
Madya Surakarta.
21
3.) Batas wilayah selatan berbatasan dengan wilayah
Kecamatan Polokarto.
4.) Batas wilayah utara berbatasan dengan wilayah
Kabupaten Karanganyar.
4. Sarana dan Prasarana
a. Sarana Fisik
1.) Gedung Puskesmas : 2 unit
2.) Gedung Rawai Inap : 1 unit
3.) Gedung Pustu : 3 unit (Klumprit, Palur, Sapen)
4.) PKD : 15
5.) Posyandu : 122
6.) Pusling : 11
7.) Mobil Pusling : 2 buah
8.) Kendaraan Roda Dua : 18
9.) Sarana meubelair, peralatan medis, dan obat-obatan
cukup tersedia.
b. Sarana Sumber Daya Manusia
1.) Dokter Umum : 6
2.) Dokter Gigi : 2
3.) Perawat : 16
4.) Perawat Gigi : 2
5.) Bidan : 23
22
6.) Bidan Desa : 16
7.) Petugas PKL : 1
8.) Petugas Gizi : 3
9.) Tenaga Laboran : 3
10.) Tata Usaha : 1
11.) Asisten Apoteker : 2
12.) Tenaga Administrasi/staf : 5
13.) Tenaga Fisioterapi : 1
14.) Tenaga Rongent : 1
15.) Tenaga Rekam Medik : 1
5. Dana
Sumber pembiayaan Puskesmas Mojolaban adalah:
a. APBD II.
b. Jamkesmas dan Jamkesda.
c. Bantuan Operasional bidang Kesehatan.
6. Kinerja Proses
a. SOP/Protap/Petunjuk Teknis
1.) Sebagian unit sudah mempunyai SOP untuk petunjuk
pelaksanaan kegiatan.
2.) Belum dilakukan uji kepatuhan terhadap SOP.
23
b. Survey Kepuasan Pelanggan
Proses yang dinilai:
1.) Pelayanan Rawat Jalan.
2.) Pelayanan Loket Pendaftaran.
3.) Kinerja Dokter.
4.) Kinerja Perawat.
5.) Pelayanan Kamar Obat.
6.) Pelayanan Rawat Inap.
7.) Pelayanan UGD.
8.) Fasilitas Kamar Perawatan.
9.) Fasilitas Makan dan Minum Pasien.
10.) Fasilitas Laboratorium.