pendapat nurcholis madjid tentang hukum hukum...
TRANSCRIPT
50
BAB III
PENDAPAT NURCHOLIS MADJID TENTANG HUKUM
HUKUM WARIS MEWARISI MUSLIM DAN NON MUSLIM
A. Biografi Nurcolis Majid dan Karya-Karyanya
1. Latar Belakang Nur Cholis Madjid
Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang, 17 Maret 1939/26
Muharam 1358). Seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal
dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Lahir dari kalangan
keluarga pesantren, ia adalah putra seorang guru Madrasah Al-Wathaniah di
Jombang, Haji Abdul Madjid. Pendidikan awal ia peroleh dari Sekolah
Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiah (sore) di daerah kelahirannya.
Kemudian ia melanjut ke Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang, selama 2
tahun. Salah satu gurunya adalah KH Hasyim Asy'ari. Kemudian ia
meneruskan pendidikan ke Kulliyatul muallimin al-Islamiyah (KMI) di
Pesantren Darussalam, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur,
sampai tamat 1960. la mengajar selama setahun lebih di pesantren itu.
Pendidikan tinggi ia peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan
Kebudayaan Islam), jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, sampai menyandang gelar sarjana (1968).1 Sejak Maret
1978, ia mendapat kesempatan mengikuti studi lanjut (tugas belajar) di
1 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 104
51
Universitas Chicago, Amerika Serikat sampai meraih gelar doktor dalam
bidang Kalam dan Falsafah dengan predikat cum laude (Maret 1984)
Selama menjadi mahasiswa IAIN, Nurcholish Aktif di organisasi
kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). la pernah menjadi ketua
Umum Pengurus Besar HMI untuk dua periode 1966-1969 dan 1969-1971;
presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969; asisten
IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations/Federasi
Organisasi-organisasi Mahasiswa Islam Internasional), 1968-1971. Nur
Cholish pernah menjadi staf pengajar di IAIN (1972-1974) serta pemimpin
umum majalah Mimbar, Jakarta (1971-1974), dan pemimpin redaksi majalah
Forum. Bersama teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK
(Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, 1972-1976) dan LKIS
(Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi, 1974— 1977). Sebelum dan
sepulangnya dari Amerika Serikat ia bekerja di LIPI sebagai anggota staf
peneliti, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta; mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Paramadina,
yang aktif dalam kajian keislaman; menjadi penulis tetap harian Pelita,
Jakarta; 1988 anggota MPR; Agustus 1991 dosen tamu di Institute of Islamic
Studies, McGill University, Montreal, Canada. 2
Nurcholish terkenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran
Islam. Menurut dia, Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan
modernistik yang didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman
2 Ibid, hlm. 104
52
tradisional yang telah mapan, sekaligus diletakkan dalam konteks
keindonesiaan.3
Nurcholish Madjid pertama kali menyampaikan ide-ide
pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara
halal bihalal di depan keluarga HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII
(Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia),
dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat". Bahasannya mencakup: 'Islam Yes, Partai Islam No',
Kuantitas versus Kualitas, Liberalisasi Pandangan terhadap 'Ajaran Islam'
sekarang (Sekularisasi, Kebebasan Berpikir, Idea of Progress, dan Sikap
Terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan "liberal". Makalah tersebut
kemudian dilengkapi wawancara dengan Harian Kompas (1 April 1970),
yang bahasannya mencakup: Beragama secara Konvensional, Sekularisasi
dan Sekularisme, dan Beberapa 'Asuhan' dari Agama (Al-Qur'an).
Sebelumnya, 5 Februari 1970, ia menyampaikan pidato pada acara
HUT ke-3 HMI di Jakarta, dengan judul "Menuju Pembaharuan Pemikiran
dalam Islam", memberikan kuliah di Pusat Kesenian Jakarta, 30 Oktober
1972, dengan judul "Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Ummat
Islam Indonesia," dan sebagainya yang dimuat dalam Pos bangsa, Tribun,
dan Panji Masyarakat.
Ide-idenya tersebut mendapat pro dan kontra, sehingga tahun 70-an ia
disebut tokoh kontroversi. Ada pula yang menyebutnya dengan "Natsir
3Ibid, hlm. 104
53
Muda", sebutan yang dihubungkan dengan nama salah seorang tokoh partai
Masyumi yang berpandangan modern, Mohammad Natsir.4
2. Karyanya
Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan sebagai seorang
cendekiawan Muslim Indonesia yang produktif. Kajian dan penelusuran
terhadap karya-karya Nurcholish Madjid dianggap perlu dalam rangka
mencari mata rantai gagasan dan pemikirannya, serta hubungannya dengan
konsep-konsep pembaruan yang menjadi bahasan sentral tulisan ini. Dalam
pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkan Nurcholish Madjid, baik berupa
buku, artikel atau tinjauan buku, tidak akan diungkap dan dijelaskan semua.
Pembahasan hanya akan ditekankan kepada beberapa karyanya yang
dianggap mewakili gagasan gagasan sentralnya. Karya Nurcholish Madjid
yang telah beredar adalah sebagai berikut:5
Khazanah Intelektual Islam (1984). Karya suntingan ini dimaksudkan
untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang pemikiran,
khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Nurcholish Madjid
memperkenalkan tokoh-tokoh Muslim klasik, seperti Al-Kindi, Al-Asy'ary,
Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, Al-
Afghani, dan Muhammad Abduh. Sebagaimana dikatakan secara "jujur" oleh
Nurcholish Madjid, buku ini merupakan sekadar pengantar pemikiran kepada
4Abdul Qodir, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, Bandung:
Pustaka Setia, 2004, hlm. 103-115 Ibid, hlm. 105 5Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid Membangun Visi dan Misi
Baru Islam Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hlm. 50-55
54
kajian yang lebih luas dan mendalam tentang kha2anah kekayaan pemikiran
Islam.6
Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (1987). Eksistensi buku ini
mampu menunjukkan "giginya" dengan beberapa kali cetak ulang. Buku ini
hanya semacam kumpulan tulisan yang "tercecer" yang dikemas dalam
rentang waktu dua dasawarsa sebagai wujud respons terhadap isu-isu yang
berkembang saat itu. Signifikansi buku ini terlihat dengan jelas bagaimana
Nurcholish Madjid "menganyam" pemikiran dalam gagasan-gagasan di
sekitar kemodernan, keislaman, dan keindonesiaan. Di bawah prinsip "untuk
mencari dan terus mencari kebenaran", bahwa Tuhan adalah kebenaran yang
mutlak.7
Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992). Sebuah buku
yang menunjukkan "kesempurnaan" dan kelengkapan muatan isinya, bukan
karena jumlah halamannya tetapi perspektif yang utuh dan komprehensif
sekaligus merupakan karya monumentalnya. Franz Magnis Suseno, seorang
rohaniawan Katolik mengomentarinya, sebagai buku tentang 'Islam Ideal'
yang memuat secara mendalam dan substantif argumen-argumen pembaruan
Islam di Indonesia yang dirintisnya sejak tahun 70-an.8 Di dalamnya
terungkap "misteri" tema Tauhid dan Emansipasi Harkat Manusia, disiplin
6 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1984, hlm. v-
vi 7 Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Mizan Bandung, 1987,
hlm. 1 8 Franz Magnis Suseno, Nurcholish Madjid, Islam dan Modernitas, dalam Mengkaji
Ulang Pembaharuan Pemikiran Islam: Respon dan Kritik terhadap Gagasan Nurcholish Madjid, Ulumul Qur'an, Jakarta, 1993, hlm. 36
55
ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat etis serta universalisme
Islam dan kemodernan.
Dalam pengantarnya, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa agama
Islam mengajarkan manusia untuk menjaga dirinya di masa datang untuk
keselamatan dunia dan akhirat. Selanjutnya Nurcholish Madjid memaparkan
lebih jauh bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang transendental
berdasarkan Iman yang dinyatakan dalam bentuk amal, kebajikan sosial,
menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam mencari kebenaran dan
keadilan.9
Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish
Madjid "Muda" (1994). Sebagaimana terungkap dalam buku Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, dalam buku ini Nurcholish Madjid
berbicara mengenai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan, dengan
penekanan bagaimana menciptakan masyarakat berkeadilan dengan nilai-nilai
tauhid.
Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah (1995). Dalam buku refleksi ini pemikiran-pemikiran
Nurcholish Madjid lebih tertuang dan terarah pada makna dan implikasi
penghayatan iman terhadap perilaku sosial. Lebih jauh Nurcholish Madjid
menyatakan bahwa sejarah umat Islam mengalami perkembangan dan
sekaligus distorsi di tangan umat Islam sendiri sehingga menjadi mitos dan
dongeng. Diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat, sebagai "kata pengantar",
9 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, hlm. xxxix
56
Nurcholish Madjid menunjukkan konsistensinya sebagai pemikir yang
apresiatif, memiliki akses intelektual terhadap khazanah Islam klasik, dan
tetap konsisten dengan cita-cita humanisme dan modernisme Islam. Ditambah
lagi kesempurnaan Nurcholish Madjid dengan wawasan kesejarahan dan
sosiologis telah memungkinkan Nurcholish Madjid menyuguhkan interpretasi
doktrin Islam yang terbebas dari pemihakan kepada kepentingan politik
praktis.10
Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia (1995). Sebagaimana buku Islam Doktrin dan Peradaban, buku ini
memiliki mainstream yang sama, yaitu menghadirkan ajaran Islam secara
lebih human, adil, inklusif, dan egaliter. Perbedaannya Nurcholish Madjid
menyuguhkannya dengan gaya yang lebih kosmopolit.dan universal dan
mempertimbangkan aspek kultural paham-paham keagamaan yang
berkembang. Muhammad Wahyuni Nafis dalam kata pengantar buku ini
menyatakan Nurcholish Madjid mengajak bagaimana memahami mana yang
benar-benar agama yang karenanya bersifat mutlak dan mana yang benar-
benar sebagai budaya yang karenanya relatif dan sementara sifatnya.11
Masyarakat Religius (1997). Buku ini dengan muatan lima bab
mengetengahkan Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan
sosial, konsep keluarga Muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga
Muslim serta konsep mengenai eskatologis dan kekuatan supraalami.
10 Komaruddin Hidayat, "Kata Pengantar", Dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama
Peradaban, Membangun Makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. xvi-xvii.
11 Muhammad Wahyuni Nafis, "Kata Pengantar", Dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta Paramadina, 1995, hlm. vii.
57
Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai lslam Dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer (1997). Karya Nurcholish Madjid ini "hanya" sebuah
wawancara, sehingga berbeda dengan buku Nurcholish Madjid lainnya.
Wawancara ini pernah dimuat dalam berbagai media massa sekitar tahun
1970 sampai 1996 dengan tema yang sangat beragam dan spontan, meliputi
berbagai persoalan aktual; politik, budaya, pendidikan, sampai peristiwa 27
Juli "kelabu". Fachry Ali seorang pengamat politik dalam kata pengantar
buku ini mengomentari, "sangat menarik dan menjadi pendukung penting
untuk dapat menangkap semua gagasan yang pernah dilontarkan Nurcholish
Madjid"12
Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999). Sebuah karya
Nurcholish Madjid yang dapat dikatakan merupakan perjalanan panjang
pandangan sosial politik Nurcholish Madjid dalam wacana perpolitikan Islam
di Indonesia. Buku ini berisi semua gagasan dalam pembaruan pemikiran
yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid dalam berbagai bidang
tranformasi nilai-nilai Al-Qur'an dalam mewujudkan masyarakat madani
istilah ini semakin populer dalam wacana intelektual Indonesia saat ini.
Dari karya-karya tulis Nurcholish Madjid yang telah disebutkan, ada
satu karakteristik kuat yang dapat diangkat ke permukaan. Semuanya
berangkat dari keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi umat Islam.
Dari sikap itu, Nurcholish Madjid lalu mengajukan alternatif agar Islam
menjadi agama yang benar-benar fungsional dalam kehidupan. Untuk itu, Al-
12 Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, 1997, "Intelektual, Pengaruh Pemikiran dan Lingkungannya" dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1997, hlm xxi-xxiii
58
Qur'an dan Sunnah Nabi harus ditafsirkan secara kreatif, kritis dan
bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan menggunakan
metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang dikandungnya mampu
menjadi landasan yang kukuh bagi segala tindakan umat, dan dapat sesuai
dengan kehidupan konkret. Nurcholish Madjid tidak diragukan lagi telah
memberikan kontribusi yang cukup berharga bagi pengembangan wacana
keislaman modern, khususnya di Indonesia.
B. Pendapat Nurcholis Madjid,dkk tentang Hukum Waris Mewarisi
Muslim dan Non Muslim
Menurut Nurcholish Madjid, dkk, sistem pemikiran fiqih yang sejak
awal tidak memberikan ventilasi pemikiran bagi non-Muslim sudah bisa
dipastikan, bila berhubungan dengan agama lain maka kesimpulan hukum
yang diambil cenderung kaku dan keras. Ini dikarenakan cara pandang fiqih
klasik terhadap non-Muslim sebagai kafir. Dan kafir menurut ulama fiqih
klasik, merupakan salah satu kelompok yang diharamkan untuk menerima
dan memberi warisan (mawani' al-irtsi).
Ayat yang digunakan sebagai landasan hukum adalah ayat yang
berbunyi: Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang Kafir untuk
menundukkan (memusnahkan) orang-orang mukmin (QS. 4: 141). Sedangkan
hadis yang digunakan landasan normatif, yaitu seorang Muslim tidak
59
mewarisi kepada orang-orang kafir, begitu pula orang kafir tidak mewarisi
kepada orang Muslim.13
Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan bahwa Ibn Rusyd
mengakui, sebagian besar ulama melarang atau mengharamkan waris beda
agama/terutama berdasarkan ayat dan hadis di atas. Dan ini menurut
Nurcholish Madjid merupakan problem mendasar fiqih yang melibatkan
agama lain. Fiqih sangat tidak toleran terhadap agama lain.
Namun, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum seorang
Muslim mewarisi non-Muslim. Para ulama terbelah dalam dua pendapat.
Pertama, mereka yang mutlak menolak waris beda agama, baik seorang
Muslim mewarisi seorang kafir atau sebaliknya, berdasarkan kedua dalil di
atas. Mazhab Syafi'i termasuk kelompok ini.
Kedua, mereka yang membolehkan hukum seorang Muslim mewarisi
seorang kafir dan mengharamkan kebalikannya. Ini berdasarkan analogi
(qiyas) diperbolehkannya pernikahan seorang Muslim dengan wanita non-
Muslim (Ahli Kitab), sebagaimana disinyalir dalam surat al-Ma'idah ayat 5.
Yang termasuk dalam kelompok kedua antara lain: Mu'adz ibn Jabal,
Mu'awiyah, Sa'id ibn al-Musayyab dan Masruq.14
Pemandangan ini menurut Nurcholish Madjid menjelaskan, bahwa
para ulama terdahulu masih mencoba untuk mencari "jalan alternatif" dalam
kaitannya dengan agama lain. Salah satu buktinya, lanjut Nurcholish Madjid
dalam hukum yang berkaitan dengan agama lain, seperti waris beda agama,
13 Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004, hlm.165
14 Ibid, hlm. 166
60
selalu ada pelbagai pandangan yang menegaskan adanya perbedaan cara
pandang terhadap agama lain. Namun, yang tersosialisasi kadangkala hanya
pandangan mayoritas (al-jamahir), sedangkan pandangan ulama minoritas
yang membela hak-hak non-Muslim cenderung "dilupakan" atau dihilangkan
begitu saja. Pandangan kelompok kedua yang memberikan ruang waris beda
agama merupakan upaya ijtihadi yang perlu diapresiasi, karena mereka mau
mengakomodasi non-Muslim. Dan mereka mempunyai landasan normatif
yang sangat kuat.
Dalam pandangan yang lebih jauh, hal-hal yang dilarang dalam hak
waris (mawani' al-irtsi) bukan merupakan hal yang baku dan absolut.
Sewaktu-waktu hukum tersebut bisa berubah sesuai dengan konteks yang
berbeda. Dulu, tatkala hukum waris ini turun, memang harus diakui adanya
kekhawatiran dan ketakutan terhadap non-Muslim. Yang terjadi sebenarnya
bukan hanya perbedaan agama, melainkan perbedaan kepentingan politik dan
kepentingan ekonomi antara komunitas Muslim dan non-Muslim.
Sikap tersebut telah ditunjukkan oleh Umar ibn-Khatthab, tatkala
Hudzayfah dan Thalhah menikahi Ahli Kitab. Umar berkata dengan bijak,
"saya tidak melarang pernikahan tersebut, tapi saya hanya khawatir dan
takut.....". Ucapan Umar ibn Khattab ini sebenarnya bukan sebagai "fatwa
keagamaan", akan tetapi lebih tepat bila disebut sebagai sikap politis,
demikian penjelasan Nurcholish Madid.15
15 Ibid, hlm. 167
61
Lebih jauh Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa dalam pandangan
yang lebih mendasar, ayat yang digunakan para ulama fiqih di atas
merupakan ayat yang tidak menunjuk langsung pada pengharaman waris beda
agama, melainkan hadis yang bersifat umum. Karenanya, ayat tersebut tidak
bisa secara serta-merta bisa dijadikan landasan untuk melarang waris beda
agama. Dalam banyak ayat, Tuhan justru mengakomodasi agama-agama
langit (Kristen, Yahudi dan Shabi'ah) dan mereka yang beramal shaleh.
Mereka pun akan mendapatkan surga di hari kiamat nanti.
Dengan demikian tegas Nurcholish Madjid bahwa sejatinya hukum
waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks
keluarga (ulu al-arham), keturunan (nasab) dan menantu (shakhr), apapun
agamanya. Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat
hubungan keluarga. Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan
mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris
beda agama diperbolehkan.
Sedangkan hadis yang melarang waris beda agama harus dibaca
dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat
dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim
dalam keadaan normal dan kondusif, maka menurut Nurcholish Madjid
secara otomatis matan hadis tersebut tidak bisa digunakan.16
Berdasarkan uraian di atas maka intinya, Nurcholish Madjid,dkk
berpendapat bahwa hukum waris beda agama diperbolehkan.
16 Ibid, hlm. 168
62
C. Metode Istinbath Hukum Nurcholis Madjid
Nurcholish Madjid dalam metode istinbath hukumnya menggunakan
al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 62 dan ayat sejenis pada al-Qur'an surat 5
ayat 69. Dalam surat 2 ayat 62 Allah SWT berfirman:
ابئنيالصى وارصالنوا واده الذينوا ونآم م اآلخر إن الذينواليبالله و نآم نم
وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم وال خوف عليهم وال هم يحزنون
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-
orang Nasrani dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan Mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.17
Menurut Nurcholish Madjid, dkk, ayat ini menunjukkan bahwa surga
itu bukan monopoli orang yang menamakan dirinya Islam. Karena siapa saja
yang beramal saleh maka ada peluang masuk surga. Ayat ini juga
mengisyaratkan bahwa perbedaan agama tidak bisa dijadikan sebagai dasar
perbedaan dalam penilaian Tuhan. Karenanya tidak adil bila perbedaan
agama dijadikan dasar untuk menghalangi waris mewaris. Tuhan menilai
manusia dalam tiga aspek, pertama, beriman kepada Allah; kedua, beriman
pada hari kemudia; ketiga, beramal saleh.
Dalam metode istinbathnya, Nurcholish Madjid menyoroti secara
tajam, bahwa sebagian pengkaji dan aktivis fiqih terjebak dalam kubangan
17 Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1986, hlm. 19
63
fatalisme, sehingga wacana fiqih yang semula bersifat terbuka dan beragam,
akhirnya masuk dalam wilayah politik dan upaya perebutan otoritas.
Fenomenanya, ada semacam gelembung memori kolektif untuk
menghadirkan kembali sejarah yang terkoyak (al-tarikh al-mumazzaq) dalam
arena politik, tentu saja dengan mengatasnamakan resistensi terhadap
kebiadaban modernitas. Indikasinya, seperti kecenderungan memukul beduk
"Piagam Jakarta"18 dan "formalisasi Syariat" yang diderivasi ke dalarn "fiqih
negara Islam" dan "fiqih Khilafah Islamiyah"19 hampir menasional dan kian
menemukan momentum politik bersamaan dengan digelarnya desentralisasi.
Formalisasi fiqih yang awalnya bersifat kultural, pada akhirnya dijadikan
"mesin kekuasaan" untuk merebut kekuatan politik. Ini menunjukkan adanya
"pendulum peradaban", sebagaimana disebut Ibn Khaldun sebagai "tarik ulur"
yang membawa peradaban dari kemegahannya menuju kehancuran.
Tentu saja, konteks di masa lalu dengan masa kini dan masa yang
akan datang pasti berbeda. Masyarakat modern mempunyai logika dan sikap
yang jauh berbeda dengan apa yang dihadapi masyarakat Arab di zaman dulu.
Mungkin juga letak geografis di mana Islam diturunkan dengan letak
geografis Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya memberikan inspirasi
bagi lahirnya sebuah tafsir baru terhadap doktrin dan dogma keagamaan
Perbedaan konteks dan sejarah inilah yang menyebabkan perlunya
pembacaan yang bersifat distingtif antara Syari'ah dan maqashid al-Syari'ah.
Selama ini ada upaya untuk menguniversalisasikan Syariat untuk semua
18Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004, hlm.168
19 Ibid, hlm. 169
64
zaman dan tempat. Apa yang diproduk ulama di masa lalu dianggap sebagai
solusi bagi problem kemanusiaan kontemporer. Ini bukan tanpa konsekuensi.
Akibatnya, syariat sebagai pranata, nilai yang komprehensif menyangkut
hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadah mahdhah) dan hubungan
manusia dengan manusia dan makhluk lainnya (mu'amalah), mengalami
kemandulan. Yang tampak ke permukaan adalah wajah fiqih yang keras, kaku
dan rigid. Fiqih sebagai cara mengambil kesimpulan sebuah hukum. yang
berasal dari sumber asli agama (al-Qur'an dan hadis) pada akhirnya juga
menjadi sangat teosentris, karena fiqih lebih dianggap sebagai otoritas
pengetahuan daripada upaya memfungsionalisasikan doktrin keagamaan
untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi dalam realitas sehari-hari. Dr.
Yusuf al-Qardhawi melihat kenyataan mandulnya fiqih ini ditandai dengan
sistematisasi fiqih yang dimulai dengan pembahasan mengenai ibadah.
Menurutnya, karakteristik fiqih seperti ini telah memandulkan cara pandang
fiqih terhadap masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi.
Karenanya, Qardhawi mengajukan alternatif pemikiran agar fiqih
direformasi menjadi fiqih realitas (fiqh al-waqi'} dan fiqih prioritas (fiqh al-
awlawiyat), yaitu fiqih yang dapat dijadikan sinaran baru bagi problem
kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini,
Syariat diharapkan tidak lagi hanya bercorak vertikalistik, yang hanya
mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mencoba
merambah masalah-masalah kemanusiaan.20 Fiqih didesak untuk menyentuh
20 Ibid, hlm. 169
65
isu-isu kesetaraan gender (fiqh al-mar'ah'), ketatanegaraan (fiqh al-dawlah),
kewarganegaraan (fiqh al-muwathanah) dan lain-lain. Di sini semakin
terlihat, bahwa mendinamisasikan fiqih merupakan langkah awal guna
mendekonstruksi Syariat dari wajahnya yang statis, eksklusif dan
diskriminatif menjadi Syariat yang dinamis, inklusif dan egalitarianistik.
Langkah kolosal yang dilakukan ulama kontemporer dalam rangka
memperbarui fiqih adalah mencoba melihat Syariat sebagai sumber nilai dan
etika sosial, bukan hanya sekadar sumber hukum. Kendatipun tidak bisa
dimungkiri, bahwa Syariat juga mengatur hal-hal yang bersifat taken for
granted, tapi meletakkan Syariat hanya dalam kerangka sumber hukum dapat
menyebabkan hilangnya kelenturan Syariat. Akibatnya, Syariat rentan pada
monopoli tafsir untuk kepentingan kekuasaan. Sejarah peradaban fiqih
misalnya memberikan contoh menarik, bahwa fiqih selalu digunakan oleh
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Tafsir keagamaan harus
merujuk pada kepentingan kekuasaan tertinggi (khalifah), bukan kepada
realitas kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itu, yang mesti diangkat ke permukaan adalah Syariat dalam
arti sebagai sumber kemaslahatan. Kemaslahatan yang dimaksud tidak hanya
kemaslahatan untuk Tuhan dan penguasa secara berdiri sendiri-sendiri,
melainkan kemaslahatan bagi manusia di seantero alam, apapun agama, suku
dan rasnya. Karenanya, yang perlu dikedepankan adalah fiqh al-maqashid,
yaitu fiqih yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal,
66
seperti kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan daripada hukum-hukum yang
bersifat partikular.21
Para ulama klasik menyebut al-maqashid sebagai ilmu yang
mendasari kelahiran fiqih (ushul al-fiqh). Sejak kelahirannya pertama kali
oleh Imam al-Syafi'i dalam karya besarnya, al-Risalah, fiqh al-maqashid ini
kurang mendapat perhatian dari pemerhati masalah keagamaan. Dalam kurun
waktu yang cukup lama. Syariat hanya dilihat dalam bentuk-bentuk hukum
partikular (furu'). Konsekuensinya, ilmu yang mendasari kelahiran fiqih tidak
banyak tersentuh. Syariat dan fiqih yang dianut lebih sekadar upaya
mengejawantahkan Mukadimah kesimpulan-kesimpulan hukum yang
diproduksi para ulama atau mazhab yang berkembang di masa lalu.
Karenanya, yang diperlukan saat ini adalah upaya menguak kembali
hakikat doktrin keagamaan, terutama mengembalikan syariah pada maqashid
al-syari'ah, memulangkannya pada ushul fiqh, sehingga Syariat dapat
rnenegosiasikan visinya dengan kekinian dan kemodernan. Bukan hanya itu,
Syariat diharapkan dapat memotret konteks, ruang dan zamannya.
Di antara ulama klasik yang sangat menonjol dalam mengembangkan
fiqh maqashid adalah Abu Ishaq al-Syathibi (790 H). Beliau menulis sebuah
buku amat menarik, yaitu al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah (Beberapa
Konsensus dalam Dasar-dasar Syariat). Buku tersebut bisa dipandang sebagai
kerangka metodologis dalam memahami Syariat, dan bukannya kesimpulan-
kesimpulan hukum (istinbath al-ahkam).
21 Ibid, hlm. 170
67
Pandangan seperti ini dikemukakan, karena seakan-akan Syariat atau
fiqih secara umum hanya dipahami oleh sebagian kalangan sebagai kebenaran
kognitif (al-haqiqah fi al-adzhan), bukan sebagai kebenaran praksis (al-
haqiqah fi al-a'yan) Syariat disakralkan sebagai pandangan yang
kebenarannya tidak bisa ditafsir dan diperdebatkan. Akibatnya, kita
mengalami kemiskinan paradigmatik dan metodologis, karena yang dilakukan
para ulama saat ini hanya sekadar reproduksi pandangan-pandangan klasik
(al-fahm al-turatsy li al-'ashr} tanpa melakukan upaya persenyawaan dengan
problem kemanusiaan yang senantiasa berkembang dan semakin menantang.
Al-Syathibi dalam fiqh maqashid-nya itu menghendaki agar ilmu
dasar-dasar fiqih (ushul fiqh) diwacanakan kembali. Bahkan, menurut dia,
ilmu dasar-dasar fiqih merupakan tujuan utama diletakkannya fiqih.
Karenanya, fiqh maqashid bersifat definitif (qath'iy). Sedangkan fiqih sebagai
cara mengambil kesimpulan hukum bersifat hipotetis (zhanny). Fiqih-fiqih
yang diproduksi ulama di zaman dahulu pada hakekatnya bersifat relatif,
karena pandangan mereka lebih merupakan hipotesis-hipotesis yang tidak
bisa digunakan untuk mengatasi pelbagai persoalan di banyak tempat dan
zaman. Mazhab yang mereka kembangkan mempunyai konteksnya tersendiri,
sehingga jika ditarik ke dalam konteks yang berbeda, maka perlu diuji ulang
perihal aktualitas dan kontektualitasnya.22
Dalam mereformasi fiqih, al-Syathibi sebagai penganut mazhab Imam
Malik menulis sebuah kerangka umum Syariat. Menurutnya, dalam Syariat
22 Ibid, hlm. 171
68
terdapat beberapa varian yang mesti dipahami secara utuh, antara lain:
hukum, tujuan umum, dalil dan ijtihad. Hal ini menunjukkan bahwa Syariat
tidak hanya hukum belaka, karena ada varian lain yang sangat penting yaitu
tujuan-tujuan utama (maqashid al-Syari'ah) diturunkannya Syariat kepada
manusia. Dan tujuan-tujuan tersebut merupakan nilai-nilai yang sangat
prinsipil dalam Islam. Jika diperas dan dicari inti sarinya, maka tujuan-tujuan
utama Syariat adalah "kemaslahatan", yang didefinisikan sebagai "mengambil
yang bermanfaat dan menghindari yang merusak (jalb al-manafi' wa dar-u al-
masafid)."
Pandangan seperti ini mencerminkan sebuah cara pandang yang
terbuka terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Imam al-Syathibi memberikan
sinaran baru terhadap Syariat. Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran
yang menekankan aspek ritual dan peribadatan (al-ta'abbud), tetapi juga
membawa misi kemaslahatan bagi manusia (al-mashlahat al-'ammah).
Dimensi kemanusiaan inilah yang kurang diapreasi secara lebih mendalam
oleh pengkaji fiqih, sehingga yang terjadi hanya perhatian terhadap masalah-
masalah ritual belaka.23
Dalam memaknai fiqih sebagai sumber etika sosial dan kemaslahatan,
Imam al-Syathibi membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan. Pertama:
kemaslahatan yang bersifat primer (dharuriyyat), yaitu kemaslahatan yang
mesti menjadi acuan utama bagi implementasi Syariat. Sebab jika tidak, maka
akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya
23 Ibid, 171
69
tatanan sosial. Kemaslahatan dalam kategori menjadi penyeimbang dan
mediasi antara kecenderungan ukhrawi dan duniawi. Titik temunya terletak
pada upaya pembumian nilai-nilai yang diidealkan Tuhan untuk kemanusiaan
universal. Yang dimaksud dengan kemaslahatan primer yaitu perlunya
melindungi agama (hifzh al-din}, melindungi jiw a (hifzh al-nafs), melindungi
akal (hifzh al-'aql), melindungi keturunan (hifzh al-nasab) dan melindungi
harta (hifzh al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang
lain, menghormati jiwa, menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat,
menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta
setiap orang. Imam al-Syathibi menegaskan, bahwa kemaslahatan yang
bersifat primer tersebut merupakan inti semua agama dan ajaran.
Kedua, kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-hajiyat), yaitu
kemaslahatan yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan sosial dan hukum,
melainkan sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksanaan sebuah
hukum. Misalnya, dalam hal ibadat, bahwa dalam praktek peribadatan
diberikan dispensasi (al-rukhash al-mukhaffafah} apabila dalam
pelaksanaannya terdapat kesulitan.24 Bagi mereka yang melakukan perjalanan
jauh, sakit dan orang tua-renta diberikan keringanan yang diatur dalam fiqih.
Kemaslahatan sekunder ingin memberikan pesan, bahwa dalam pelaksanaan
peribadatan pun diberikan beberapa keringanan dalam rangka memberikan
kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga beragama dan
beribadah tidak merasa adanya keberatan dan keterpaksaan.
24 Ibid, hlm. 172
70
Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer {al-tahsiniyat}, yaitu
kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket.
Misalnya, ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan
kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga menjadi penting dalam rangka
menyempurnakan kemaslahatan primer dan sekunder.