penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam...
TRANSCRIPT
1
PENERAPAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN
DALAM PENGELOLAAN USAHA AGRIBISNIS
PERBIBITAN SAPI BALI UNTUK MENGHASILKAN
SAPI BIBIT BERKUALITAS
Oleh:
DEWI AYU WARMADEWI
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat karuniaNya tugas berupa paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang disajikan dalam tulisan
ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karenanya saran dan kritik yang bersifat
menyempurnakan tulisan ini sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat dijadikan salah satu sumber
informasi yang bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar, Agustus 2014
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ................. .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....... ................................................................................................ iii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 3
1.3 Manfaat Penulisan .................................................................................... 3
II. POTENSI DAN PERKEMBANGAN POPULASI SERTA PRODUKSI
SAPI BALI .... ................................................................................................ 4
2.1 Potensi Sapi Bali sebagai Penghasil Sapi Bibit Berkualitas ..................... 4
2.2 Perkembangan Populasi dan Produksi Sapi Bali di Bali .......................... 5
III. PELUANG AGRIBISNIS PERBIBITAN SAPI BALI ................................ 7
IV. PENERAPAN MANAJEMEN USAHA AGRIBISNIS
UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERKUALITAS ............................... 12
V. ANALISIS FINANSIAL SEBAGAI UKURAN KEBERHASILAN
MENJALANKAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN ............................... 27
VII. PENUTUP ………………………………………………………………… 31
6.1 Kesimpulan …………………………………………………………….. 31
6.2 Saran ........ ……………………………………………………………… 31
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 32
4
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Tabel Halaman
1 Rata-rata Berat Lahir Sapi Bali 5
2 Peningkatan Populasi Sapi Bali dan Jumlah Pemotongan 6
Setiap Tahun Periode 2004-2008 di Propinsi Bali
3 Jumlah Sapi Bali Betina yang Dijadikan Bibit 12
Tahun 2007-2009 di Propinsi Bali
4 Penyediaan dan Konsumsi Daging Sapi Tahun 2005 - 2009 14
5 Jumlah Perusahaan Peternakan di Indonesia dan Bali 16
Tahun 2004
6 Jumlah Rumah Tangga (RT) Peternak di Indonesia dan Bali 16
Tahun 1993-2003
7 Jumlah Rumah Tangga Peternak Menurut Jenis Ternak 17
di Indonesia dan Bali Tahun 2003
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Gambar Halaman
1 Kandang Ternak Sapi 17
6
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Strategi pembangunan peternakan mempunyai prospek yang baik dimasa
depan, karena permintaan akan bahan-bahan yang berasal dari ternak akan terus
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan dan
kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan bergizi tinggi sebagai
pengaruh dari naiknya tingkat pendidikan rata-rata penduduk (Santosa, 1997).
Masyarakat yang dahulu lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat sekarang
berubah mengkonsumsi protein seperti daging, susu dan telur (Putu, et al., 1997).
Salah satu ternak yang dapat memenuhi kebutuhan akan sumber protein
adalah ternak sapi. Berdasarkan hasil awal pendataan sapi potong, sapi perah, dan
kerbau (PSPK) 2011, populasi sapi potong di Indonesia ada sebanyak 14.805.053
ekor. atau meningkat dua kali lipat selama kurun waktu 8 tahun terakhir. Adapun
persebaran wilayah untuk sapi potong adalah, Jawa Timur 4,7 juta ekor, Jawa
Tengah 1,9 juta ekor, Sulawesi Selatan 984 ribu ekor, NTT 778, 2 ribu ekor,
Lampung 742,8 ribu ekor, NTB 685,8 ribu ekor, Bali 637, 5 ribu ekor dan
Sumatera Utara 541, 7 ribu ekor (Deptan, 2011).
Walaupun populasi ternak sapi dilaporkan meningkat dua kali lipat
selama kurun waktu 8 tahun terakhir, kenyataannya sampai sekarang Indonesia
masih mengimpor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam
negeri. Dari total populasi dan jumlah pemotongan secara nasional masih
mengalami defisit ketersediaan daging sebesar 28-29% sehingga masih harus
mengimpor daging sapi cukup tinggi (135.100 ton pada tahun 2008) untuk
7
memenuhi kebutuhan daging nasional sebesar 385.000 ton atau produksi dalam
negeri baru mencapai 64,9% dari total populasi yang ada (Disnak Propinsi Bali,
2009).
Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk memenuhi kekurangan
produksi yang akan mensuplai kebutuhan penduduk Indonesia akan protein
hewani. Salah satu program strategis pemerintah dalam hal ini Kementerian
Pertanian adalah Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014. Dalam
blue print program swasembada daging sapi 2014 disebutkan swasembada daging
dapat terwujud apabila pada tahun 2014 tersedia 420,3 ribu ton daging asal ternak
lokal; 15,4 ribu ton daging asal sapi bakalan impor; serta 31,2 ribu ton daging
beku impor. Ketersediaan 90 persen daging lokal tersebut tercapai jika ada 14,4
juta sapi pada tahun 2014.
Terkait dengan hal tersebut, salah satu upaya yang telah dilakukan
pemerintah adalah menyediakan sapi bibit lokal sebagai sumber bibit sapi yang
akan menghasilkan daging sapi. Untuk menunjang hal tersebut, pemerintah juga
telah menyiapkan kredit usaha yang dikhususkan untuk usaha perbibitan sapi yang
diberi nama Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Sasaran dari KUPS adalah
tersedianya 1 (satu) juta ekor sapi dalam kurun waktu 5 tahun (200.000
ekor/tahun) untuk menunjang program swasembada daging sapi tahun 2014. Sapi
induk tersebut berupa sapi betina bunting atau siap bunting, berasal dari sapi
impor, turunan impor atau sapi lokal terutama sapi Bali.
Selama ini, peternakan rakyat jarang melakukan usaha sapi bibit
khususnya sapi bali dalam skala besar. Usaha perbibitan yang dilakukan hanya
skala rakyat dengan pemilikan betina 2-3 ekor dan tidak terarah, padahal usaha
8
pembibitan sapi yang terarah sangat penting untuk mengatasi sinyalemen
penurunan populasi dan mutu genetik sapi bali yang telah menjadi isu nasional
selama ini, disamping keuntungan yang diperoleh dari usaha ini. Di pihak lain
usaha ini kurang diminati para pengusaha karena dianggap secara ekonomis
kurang menarik dan membutuhkan waktu pemeliharaan cukup panjang. Tetapi
dengan pengelolaan yang baik, meliputi manajemen dan pemanfaatan teknologi
yang tepat maka permasalahan ini dapat diatasi.
Paper ini akan membahas tata cara pengelolaan usaha perbibitan sapi bali
betina untuk menghasilkan anak yang unggul dilihat dari aspek usaha agribisnis
dengan memanfaatkan manajemen dan teknologi yang tepat dan juga menerapkan
fungsi-fungsi manajemen untuk keberhasilannya.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui tata cara
mengelola usaha perbibitan sapi bali betina dilihat dari aspek manajemen,
sehingga menghasilkan sapi bibit yang berkualitas.
1.3 Manfaat Penulisan
Sebagai bahan informasi bagi pihak yang ingin mengembangkan usaha
agribisnis perbibitan sapi bali
9
II. POTENSI DAN PERKEMBANGAN POPULASI
SERTA PRODUKSI SAPI BALI
2.1 Potensi Sapi Bali sebagai Penghasil Sapi Bibit Berkualitas
Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang mempunyai masa depan
ekonomi yang cerah (a promising economic future) dan telah tersebar di 26
propinsi di Indonesia (Gunawan, dkk., 2004). Empat propinsi dengan jumlah
populasi terbesar adalah Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Nusa
Tenggara Barat (Ditjen Peternakan, 2010). Sapi bali memiliki berbagai
keunggulan, sehingga sering disebut dengan “Balinese Cow” yang sangat menarik
dan potensial untuk dikembangkan (Suharto, 2006).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi bali mampu
menghasilkan pedet baru lahir dengan bobot badan mencapai 24kg untuk pedet
jantan (Pane & Packard, 1990) dan 15,8kg untuk pedet betina (Subandriyo, dkk.,
1979). Hasil binaan yang dilakukan P3Bali (kini Balai Pembibitan Ternak
Unggul Sapi Bali) mendapatkan bahwa berat lahir pedet sapi bali rata-rata
16,97kg per ekor. Bahkan kini dengan tambahan pemberian pakan pedet baru
lahir dengan bobot badan rata-rata 19kg per ekor. Namun dipihak lain beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa pedet sapi bali baru lahir beratnya tidak lebih
dari 14kg, bahkan di NTT rata-rata hanya 11,9kg; di NTB 12,7kg; di Sulawesi
Selatan 12,3kg; bahkan di Bali hanya 11,8kg (Yupardi, 2009).
Tabel 1 menunjukkan rata-rata berat lahir sapi bali yang bervariasi
tergantung kondisi dan umur ternak, lokasi, sistem pemeliharaan, jenis kelamin
dan musim. Kondisi ini menggambarkan peternak belum mampu memanfaatkan
potensi sapi bali dalam menghasilkan bibit yang berkualitas. Banyak faktor yang
10
menyebabkan hal tersebut, antara lain rendahnya pengetahuan peternak akan
teknologi, manajemen yang kurang bagus dan juga pandangan bahwa beternak
hanya sebagai usaha sambilan saja. Di Bali, sebagian besar masyarakat masih
beternak secara tradisional yang merupakan peternakan rakyat dengan rata-rata
kepemilikan sapi oleh peternak 1-2 ekor/KK. Disamping itu sebagian besar
masyarakat beranggapan beternak adalah sebagai tabungan, tidak sebagai usaha
artinya ternak akan dijual pada saat peternak memerlukan biaya besar, misalkan
untuk anak sekolah, perkawinan, sakit, dan lain-lain. Apabila sapi bali dijadikan
suatu usaha, dikelola dengan baik dan dikembangkan dengan menerapkan konsep
sistem agribisnis, maka hasil yang didapat akan jauh lebih baik dibandingkan
usaha lainnya.
Tabel 1. Rata-rata Berat Lahir Sapi Bali
Berat lahir
(kg)
Keterangan Sumber
16,57± 1,54 Jantan di Bali
Subandriyo, et al., 1979
15,12 ± 1,44 Betina di Bali
16,88 Jantan di Sabah
15,64 Betina di Sabah
16,9 ± 1,2 Jantan di Malaysia
16,5 ± 0,2 Betina di Malaysia
12,6 Jantan dan betina di AHRI,Bogor
11,7
13,6
Dengan pemberian pakan tambahan
Tanpa pemberian pakan tambahan
Bamualim dan
Wirdahayati, 2003 12,6
14,9
Dengan pemberian pakan tambahan
Tanpa pemberian pakan tambahan
12,01
17,00
Kontrol
Dengan perlakuan
Oka, 2003
11,9 ± 1,8 NTT
Talib et al., 2003 12,7 ± 0,7 NTB
16,8 ± 1,6 Bali
12,3 ± 0,9 Sulawesi Selatan
12,7
15,9
Kontrol di NTB
Dengan perlakuan, di NTB
Dahlanuddin et al., 2010
Sumber : Diwyanto dan Praharani, 2010
11
2.2 Perkembangan Populasi dan Produksi Sapi Bali di Bali
Populasi sapi bali selama kurun waktu lima tahun terakhir (2004-2008)
selalu mengalami peningkatan (Tabel 2), berkisar antara 2,96-5,42% per tahun
atau rata-rata 3,89% per tahun. Pada tabel 2 terlihat populasi sapi bali pada tahun
2004 sebanyak 573.946 ekor meningkat menjadi 668.128 ekor pada akhir tahun
2008, atau meningkat sebanyak 34.339 ekor (5,42%) jika dibandingkan dengan
populasi sapi pada tahun 2007 yang berjumlah 633.789 ekor. Di lain pihak pada
tahun 2008 terdapat pemotongan sapi secara resmi sebanyak 36.853 ekor atau
lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan populasi. Sedangkan jumlah
pemotongan sapi yang tidak resmi diperkirakan mencapai 6% dari total sapi yang
dipotong secara resmi. Pemotongan ternak secara tidak resmi ini akan berdampak
langsung pada perkembangan populasi ternak, terlebih lagi yang dipotong adalah
ternak betina produktif.
Tabel 2. Peningkatan Populasi Sapi Bali dan Jumlah Pemotongan Setiap Tahun
Periode 2004-2008 di Propinsi Bali
No. Tahun Total Sapi
(ekor)
Kenaikan
(ekor)
Kenaikan
(%)
Pemotongan
(ekor)
1. 2004 573.946 - - 35.057
2. 2005 590.949 17.003 2,96 32.864
3. 2006 613.241 22.292 3,77 36.462
4. 2007 633.789 20.548 3,35 34.640
5. 2008 668.128 34.339 5,42 36.853
Sumber : Dinas Peternakan Propinsi Bali, 2008
Dalam rangka peningkatan populasi sapi bali maka pemerintah propinsi
Bali telah mentargetkan sapi betina yang akan dijadikan bibit dan realisasinya
pada tahun 2007-2009 (Tabel 3). Jumlah sapi betina yang dijadikan target untuk
tahun 2008 direncanakan sebanyak 127.349 ekor meningkat dibandingkan rencana
tahun 2007 yang hanya 112.349 ekor. Realisasi untuk tahun 2009 mencapai
12
132.149 ekor (103,76%) lebih tinggi dibandingkan realisasi tahun 2007 yang
mencapai 116.006 ekor atau 102,69% dari target. Hasil yang telah dicapai ini
harus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Untuk itu diperlukan peran serta
semua pihak yang kompeten di bidangnya, baik pemerintah, akademisi, peternak
dan konsumen.
Tabel 3. Jumlah Sapi Bali Betina yang Dijadikan Bibit Tahun 2007-2009 di
Propinsi Bali Jumlah ternak betina yang dijadikan bibit (ekor)
2007 2008 2009
Target Realisasi % Target Realisasi % Target Realisasi %
112.966 116.006 102.69 127.349 132.140 103.76 124.218 124.218 100
Sumber : Disnak Propinsi Bali 2009
Berdasarkan tabel 3 dapat dikatakan usaha perbibitan sapi bali
mempunyai prospek yang cerah dilihat dari segi usaha, karena pemerintah sangat
memperhatikan perkembangan ternak sapi betina untuk menghasilkan bibit.
Tingginya perhatian pemerintah propinsi Bali dalam usaha perbibitan sapi bali
sangat wajar mengingat sapi bali merupakan salah satu asset yang dimiliki oleh
propinsi Bali dan juga merupakan salah satu plasma nutfah asli Indonesia yang
harus dijaga kelestariannya supaya tidak punah.
III. PELUANG AGRIBISNIS PERBIBITAN SAPI BALI
Agribisnis merupakan keseluruhan usaha yang bergerak di bidang
pertanian mulai dari on farm, pengolahan dan pemasaran. Suatu usaha dikatakan
agribisnis apabila usaha tersebut menggunakan manajemen, menerapkan
teknologi dan juga menerapkan prinsip efisiensi (Suparta, dkk., 2010). Agribisnis
peternakan adalah serangkaian usaha memelihara ternak yang dilakukan oleh
13
peternak dalam bentuk kelompok atau perorangan untuk menghasilkan produksi
ternak yang dapat dipasarkan dan menguntungkan bagi peternak atau kelompok
usaha dan disesuaikan dengan potensi dan sumber daya yang tersedia. (Litbang.
Deptan, 2010).
Tabel 2 dan 3 menggambarkan betapa besar peluang bisnis di bidang
agribisnis perbibitan sapi bali. Ternak sapi umumnya masih dikelola secara
tradisional dalam skala peternakan rakyat dengan rata-rata kepemilikan 2-3
ekor/kk. Usaha ini kurang diminati oleh pengusaha karena dianggap secara
ekonomis kurang menarik dan membutuhkan waktu pemeliharaan cukup panjang.
Tetapi dengan manajemen dan teknologi, permasalahan ini dapat diatasi. Apabila
ternak ini dikelola secara intensif menggunakan kandang bagus, manajemen
modern, pakan yang terkontrol dengan baik, maka pertumbuhannya mampu
mencapai 0,6-1,0kg/hari. Kotoran dan air kencingnya dapat diolah dan
dimanfaatkan untuk pupuk organik yang sangat bagus dan mahal harganya,
sehingga sangat menjanjikan dari segi bisnis. Apabila usaha ini djalankan, maka
import sapi bakalan dan daging dari luar negeri dapat dikurangi sehingga dapat
menghemat devisa.
Selama ini import bakalan dan daging dari luar negeri tidak terbendung
karena kebutuhan daging ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan
kemampuan penyediaan daging di dalam negeri. Data statistik pada Direktorat
Jenderal Bina Produksi Peternakan menunjukkan konsumsi daging sapi per kapita
di Indonesia hanya sebesar 1,72kg per tahun dan terjadi peningkatan kebutuhan
dari tahun ke tahun, dengan laju rata-rata sebesar 15,0% per tahun. Peningkatan
14
pendapatan per kapita sebesar 8,45% per tahun memberikan dampak peningkatan
konsumsi daging sapi sebesar 2,1% per tahun.
Sampai saat ini produksi daging sapi lokal belum mampu memenuhi
permintaan konsumen domestik, sehingga setiap tahun harus dilakukan impor,
dalam bentuk daging beku maupun sapi bakalan. Pada periode tahun 2007-2009,
laju pertumbuhan penyediaan daging dari produksi lokal lebih rendah
dibandingkan dengan konsumsi (Tabel 4).
Tabel 4. Penyediaan dan Konsumsi Daging Sapi Tahun 2005 - 2009
No. Uraian Tahun (000 ton)
2005 2006 2007 2008 2009
1. Produksi Lokal 217,14 250,5 210,8 233,6 250,8
2. Konsumsi Daging Sapi 314,0 313,3 325,9
3. Selisih produksi lokal
dengan konsumsi
(103,3) (79,7) (75,0)
Sumber: Kementerian Pertanian, 2010
Tingkat produksi yang dihasilkan oleh peternakan di Indonesia
menunjukkan bahwa pasokan daging sapi untuk kebutuhan konsumsi baru
mencapai 70% dan pasokan kebutuhan susu bahkan baru mencapai 30%, sehingga
harus dilakukan impor. Pada saat ini, impor sapi potong bakalan untuk dipotong
masih sekitar 350.000 hingga 400.000 ekor per tahun, sementara impor daging
sapi berkisar 50.000 ton per tahun.
Kendala utama yang mengakibatkan adanya kekurangan daging sapi
tersebut adalah jumlah sapi induk betina hanya sekitar 11 juta ekor. Dimana
idealnya sekitar 14 sd. 15 juta ekor. Namun di luar kendala kekurangan induk
sapi tersebut, produktivitas ternak sapi lokal juga sangat rendah. Kalau sapi
impor rata-rata mampu tumbuh dengan peningkatan bobot badan 1kg per hari,
15
maka sapi lokal hanya akan bertambah berat tara-rata 0,5 kg. per hari. Salah satu
penyebabnya adalah kurangnya hijauan sebagai ransum, terutama pada musim
kemarau. Makanan tambahan yang diberikan oleh peternak kepada sapi mereka
hanyalah dedak (padi serta jagung), ampas tahu, tetes serta limbah pertanian
lainnya.
Apabila kendala utama yaitu terbatasnya jumlah sapi induk sebagai
penghasil bibit sapi tidak cepat teratasi, maka impor daging akan terus dilakukan.
Tahun 2010, kemampuan penyediaan daging sapi dari dalam negeri adalah 303
ribu ton atau sekitar 65%, sehingga 35% masih impor. Namun, melalui program
P2SDS maka penyediaan daging sapi dari dalam negeri pada tahun 2010 berkisar
398.000 ton (setara 2,3 juta ekor) atau memenuhi sekitar 90% dengan syarat
diperlukan penambahan bibit sapi betina sebanyak 668 ribu ekor sampai tahun
2010. Artinya kekurangan bibit sapi tersebut akan menghambat pencapaian target
swasembada daging sapi (Sinartani, 2011).
Dalam blue print program swasembada daging sapi 2014 disebutkan
swasembada daging dapat terwujud apabila pada tahun 2014 tersedia 420,3 ribu
ton daging asal ternak lokal; 15,4 ribu ton daging asal sapi bakalan impor; serta
31,2 ribu ton daging beku impor. Ketersediaan 90 persen daging lokal tersebut
tercapai jika ada 14,4 juta sapi pada tahun 2014.
Kondisi tersebut seharusnya dapat menjadi peluang dan tantangan bagi
peternak dalam pengembangan usaha peternakan sapi, akan tetapi kenyataannya
pertumbuhan peternakan sapi di Indonesia sangatlah kecil. Areal yang luas,
sumber pakan yang sangat banyak, menyediakan peluang yang sangat besar untuk
pengusaha yang bergerak di bidang agribisnis peternakan sapi, khususnya sapi
16
bibit. Terlebih lagi jumlah perusahaan peternakan sapi di Indonesia khususnya di
Bali belum terlalu banyak apabila dibandingkan dengan perusahaan peternakan
ayam dan babi. Perusahaan peternakan sapi perbibitan dan penggemukan hanya
mencapai 48 unit di Indonesia, sedangkan di Bali hanya satu perusahaan (Tabel
5).
Tabel 5. Jumlah Perusahaan Peternakan di Indonesia dan Bali Tahun 2004
Lokasi Sapi Babi Ayam Itik
Indonesia
Bali
48
1
254
15
3.206
114
44
-
Sumber : Ditjen Peternakan, 2008
Apabila dibandingkan dengan jumlah perusahaan peternakan, maka
jumlah rumah tangga peternak jauh lebih besar. Hal ini mengindikasikan
demikian banyaknya usaha peternakan atau usaha peternakan skala kecil. Pada
tahun 2003 keseluruhan rumah tangga di Indonesia ada sebanyak 43.705.675
rumah tangga. Rumah tangga petani mencapai 57,20% di Indonesia dan 45,36%
di Bali. Sementara rumah tangga usaha peternakan masing-masing mencapai
12,88% di Indonesia dan 22,64% di Bali, sedangkan rumah tangga peternak di
Indonesia mencapai 14,82% dan 29,31% di Bali (Tabel 6).
Tabel 6. Jumlah Rumah Tangga (RT) Peternak di Indonesia dan Bali Tahun
1993-2003 Lokasi RT RT Petani RT Usaha Peternakan RT Peternak
1993 2003 1993 2003 RT Jml Anggota
RT
Laki Perempuan Jumlah
Indonesia
Bali
41.203.000
634.000
43.705.675
876.742
21.605.000
351.000
25.002.807
397.763
5.627.395
198.470
23.596.883
851.163
5.436.487
192.182
1.035.951
64.777
6.472.436
256.959
Sumber : Ditjen Peternakan, 2008
Secara keseluruhan, apabila dibandingkan dengan usaha peternakan yang
mengusahakan jenis ternak yang lain maka persentase peternak sapi hanya 5,27%
di Indonesia dan 1,87% di Bali (Tabel 7).
17
Tabel 7. Jumlah Rumah Tangga Peternak Menurut Jenis Ternak di Indonesia dan
Bali Tahun 2003
Lokasi Sapi Kuda Kerbau Babi Kambing
dan Domba
Ayam
Indonesia
Bali
4.572.766
240.845
-
-
450.605
2.128
1.526.745
256.035
4.385.890
10.013
21.164.185
395.874
Sumber : Ditjen Peternakan, 2008
IV. PENERAPAN MANAJEMEN USAHA AGRIBISNIS UNTUK
MENGHASILKAN BIBIT BERKUALITAS
Usaha agribisnis adalah unit usaha di bidang pertanian yang senantiasa
melakukan proses produksi hingga pemasaran (Suparta, dkk., 2010). Untuk
memperoleh hasil yang efektif dengan cara yang paling efisien maka diperlukan
pengelolaan yang baik. Untuk itu diperlukan manajemen dan bagaimana
melakukan proses manajemen. Dua dimensi penting yang diperlukan dalam
penerapan manajemen adalah dimensi manusia dan teknik. Dimensi manusia
lebih penting karena kemampuan manajer untuk mencapai hasil melalui orang lain
sangat menentukan keberhasilan.
Manajemen atau pengelolaan adalah suatu proses untuk mencapai hasil-
hasil yang diinginkan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia. Kunci
keberhasilan manajemen terletak pada penerimaan tanggung jawab kepemimpinan
dan pengambilan keputusan bisnis, melalui penerapan prinsip-prinsip manajemen
secara trampil.
Konsep lain dari pandangan manajemen adalah sederetan fungsi, yakni
fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, peng-koordinasian,
pengendalian dan pengawasan. Supaya semua fungsi dapat berjalan dengan baik
maka perlu ada komunikasi, motivasi dan komitmen. Pengelola usaha agribisnis
18
harus dapat melakukan fungsi-fungsi manajemen tersebut, sehingga mampu
mencapai hasil secara maksimal.
1. Fungsi perencanaan
Perencanaan adalah hasil pemikiran yang mengarah ke masa depan,
menyangkut serangkaian tindakan berdasarkan pemahaman yang mendalam
terhadap semua faktor yang terlibat dan diarahkan kepada sasaran secara khusus.
(Firdaus, 2007).
Sesuai dengan definisi perencanaan di atas, maka tujuan pendirian usaha
agribisnis sapi bibit adalah untuk mengatasi sinyalemen penurunan populasi dan
mutu genetik sapi bali yang telah menjadi isu nasional selama ini, disamping
keuntungan yang diperoleh dari usaha ini dan menciptakan lapangan pekerjaan
bagi warga sekitar.
2. Fungsi pengorganisasian
Organisasi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan. Pengorganisasian
meliputi usaha-usaha untuk : menetapkan struktur, menentukan pekerjaan yang
harus dilaksanakan, memilih menekankan dan melatih karyawan, merumuskan
garis kegiatan, serta membentuk sejumlah hubungan di dalam organisasi dan
kemudian menunjuk stafnya.
Semua bisnis pasti memiliki struktur organisasi begitu juga usaha
agribisnis sapi bibit. Dengan adanya pengorganisasian maka suatu badan usaha
mampu berjalan dengan baik dan mampu memaksimalisasi pencapaian tujuan.
19
3. Fungsi pengarahan
Acctuating (pengarahan) merupakan proses mengelola aktivitas harian
(day to day activities) dan memelihara organisasi berfungsi sebagaimana
mestinya. Pengarahan terhadap karyawan merupakan fungsi penting manajemen.
Pengarahan ditujukan untuk menentukan kewajiban dan tanggung jawab,
menetapkan hasil yang harus dicapai, mendelegasikan wewenang yang
diperlukan, menciptakan hasrat untuk berhasil dan mengawasi agar pekerjaan
benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya. Jadi pengarahan meliputi usaha
untuk memimpin, menyelia atau mengawasi, memotivasi, mendelegasikan dan
menilai
Dalam usaha agribisnis perbibitan sapi, tugas maupun kegiatan yang
harus dilakukan karyawan harus sesuai dengan pembagian yang telah tercantum
dalam struktur organisasi. Beberapa tugas yang harus dilakukan oleh karyawan
antara lain :
1. Memelihara dan merawat ternak sapi dengan baik.
2. Menyediakan pakan ternak
3. Mendeteksi ternak yang berahi
4. Menyusun dan melaporkan perkembangan pelaksanaan usaha setiap bulannya.
4. Fungsi pengkoordinasian
Koordinasi merupakan upaya untuk mensinkronkan dan menyatukan
tindakan-tindakan sekelompok manusia. Agar koordinasi berlangsung dengan
baik, maka semua unsur karyawan agar memahami program, rencana, kebijakan,
prosedur, dan praktek yang harus dilakukan, terciptanya arus informasi, iklim
20
pencapaian keberhasilan dan terbinanya hubungan antar karyawan dan sikap yang
mengarah kepada masa depan.
5. Fungsi pengendalian
Salah satu tujuan pengendalian adalah untuk menilai kemajuan yang
telah dicapai terhadap tujuan dan sasaran organisasi. Melalui sistem informasi
tertentu dilakukan monitor guna meyakinkan apakah proses sudah selaras dengan
rencana dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, apabila belum maka
dilakukan peringatan sehingga dapat dilakukan tindakan pemulihan.
6. Fungsi pengawasan
Pengawasan merupakan fungsi terakhir dalam suatu organisasi, yang
mana kegiatan ini berfungsi sebagai alat ukur seberapa jauh hasil yang telah di
dapatkan. Ukuran keberhasilannya dapat dilihat dari perkiraan análisis finansial
usaha agribisnis yang dijalankan.
Semua fungsi manajemen itu digunakan untuk mengelola empat bidang
terpenting dari pengelolaan usaha agribisnis, yaitu manajemen dan perencanaan
keuangan, pemasaran dan penjualan, produksi dan operasi serta personalia atau
SDM.
Secara umum dalam usaha agribisnis perbibitan sapi, manajemen yang
dilaksanakan antara lain :
1. Menetapkan lokasi peternakan
2. Perkandangan
3. Pemilihan bibit betina
21
4. Menentukan metode perkawinan
5. Pakan
6. Kesehatan
1. Menetapkan lokasi peternakan
Dalam pemilihan lokasi untuk usaha perbibitan sebaiknya jauh dari
pemukiman masyarakat dan memiliki akses ke pasar serta letak dan ketinggian
lokasi harus memperhatikan lingkungan sekitar sehingga tidak mencemari
lingkungan sekitarnya.
2. Perkandangan
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kandang
meliputi ukuran, bahan, sistem penempatan, dan peralatan yang akan digunakan.
Bahan pembuatan kandang bervariasi tergantung dari daerah atau lokasi
tempat kandang. Di daerah tropis, dianjurkan kandang terbuka dari bahan-bahan
yang tidak menyerap panas. Bahan-bahan untuk membuat kandang sebaiknya :
a). Tersedia di lokasi, b). Harga terjangkau, bahan murah tetapi cukup kuat dan
tahan lama, c). Jangan menggunakan bahan mudah lapuk atau muda.
Atap kandang sebaiknya menggunakan bahan yang kuat, tidak menyerap
panas dan harga bahanya terjangkau. Tinggi atap harus lebih tinggi dari manusia,
terutama jika kandangnya lebar melebihi kemampuan tangan meraih bagian dalam
kandang. Atap dapat terbuat dari berbagai macam bahan, seperti genting, daun
alang-alang, daun rumbia, daun kelapa, asbes dan seng. Bahan mana yang dipilih
tergantung dari segi ekonomis bahan, keawetan dan kenyamanan bagi ternak.
Pemakaian seng dan asbes tidak dianjurkan, karena akan menaikkan susu udara
22
suhu udara di dalam kandang, sehingga ternak akan merasa kehausan, nafsu
makan turun dan ternak akan lebih banyak minum daripada makan. Genting
merupakan salah satu bahan atap yang sering digunakan, karena harganya relatif
murah, tahan lama dan tidak terlalu menyerap panas. Tinggi atap juga perlu
diperhatikan, karena sangat berperan dalam pengaturan suhu di dalam kandang
sehingga dapat mengurangi stress pada sapi. Untuk mendapatkan pertukaran udara
yang baik, atap sebaiknya dengan ketinggian 3 m dengan sudut kemiringan sekitar
30º . Atap hendaknya dibuat dapat melindungi tempat pakan dari sinar matahari
dan hujan.
Gambar 1. Kandang Ternak Sapi
Dinding kandang sebagai penahan angin secara langsung dan harus
dibuat tidak mudah lepas dan harus kuat. Bahan dapat dari kayu, bambu atau
tembok.
Lantai kandang harus dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah di
sekitarnya sehingga air hujan tidak dapat masuk ke kandang dan sistem
pembuangan air (drainase) dari kandang dapat berjalan lancar. Agar lantai tidak
becek, maka tanahnya harus dikeraskan ataupun diplester dengan semen. Jika
diplester dengan semen, maka permukaan lantai harus dengan miring sehingga air
(termasuk air kencing) dapat mengalir keluar kandang dan lantai lebih mudah
23
dibersihkan. Lantai biasa bibuat dengan kemiringan 5%, artinya permukaan lantai
di bagian belakang dengan di depannya yang berjarak 100 cm akan mempunyai
perbedaan 5 cm, permukaan lantai harus lebih tinggi dari tanah.
Berdasarkan sistem pembersihan lantainya, maka lantai kandang dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu basah (tanpa alas) dan kering (dengan alas). Sistem
basah biasanya digunakan pada pemeliharaan sapi dalam jumlah kecil, besar
khususnya pada sistem penggemukan. Pada sistem basah, fases (tlethong)
diangakat dan lantai kandang dibersihkan setiap hari kemudian disiram dengan air
sehingga kandang benar-benar bersih. Sistem ini dapat menjamin kebersihan
kandang tetapi memerlukan tenaga yang banyak. Pada sistem kering, lantai diberi
alas (misalnya serbuk gergaji) kemudian feses yang telah tercampur dengan alas
diangkat setiap periode tertentu (biasanya 1 – 2 minggu). Sistem ini mudah dalam
pelaksanaannya tetapi membutuhkan perhatian ekstra terhadap tingkat kekeringan
kandang. Peternak rakyat biasa menggunakan jerami kering sebagai pengganti
serbuk gergaji. Untuk usaha pembibitan yang menggunakan sistem kering maka
kekeringan alas harus benar-benar dijaga untuk menghindari terjadinya mastitis
(radang susu).
Berdasarkan sistem penambatannya, maka kandang dibedakan menjadi
dua, yaitu : tambat dan lepas. Pada sistem tambat, ternak ditambatkan dengan
tiang sehingga tidak bebas bergerak, ruang gerak ternak dibatasi oleh panjang tali.
Sistem tambat mempunyai dua model tempat ikatan, yaitu di bawah dan di atas.
Kelebihan ikatan di bawah adalah panjang tali dapat mengikuti kehendak kita
karena ternak tidak mudah terjerat. Kelemahanya adalah tali lebih mudah kotor
dan rusak. Kelebihan ikatan di atas adalah tali tidak mudah kotor dan rusak.
24
Kelemahanya adalah ternak mudah terjerat sehingga panjang tali harus benar-
benar diperhitungkan. Pada sistem lepas, ternak dibiarkan bebas tanpa tali. Ruang
gerank ternak dibatasi oleh sekat/dinding kandang.
Berdasarkan sistem penempatan ternaknya maka kandang dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu individu dan kelompok petak. Kandang individu
adalah kandang yang hanya diisi satu ekor ternak pada setiap petak. Luas
kandang/petak yang dibutuhkan pada sistem pemeliharaan ini adalah sebesar 3
m²/ekor. Pada kenyataannya sistem tambat dapat disamakan dengan sistem
individu meskipun beberapa ternak dipelihara dalam kandang yang sama karena
antar ternak tidak dapat berinteraksi secara bebas. Dalam sistem ini panjang tali
harus diatur sedemikian rupa sehingga antar ternak tidak terjadi saling kait.
Kandang kelompok adalah kandang yang diisi oleh lebih dari satu ekor
ternak pada setiap petak. Sapi yang dipelihara dengan sistem lepas dan
berkelompok membutuhkan luasan kandang yang lebih fleksibel, yang penting
sapi dapat makan dan tidur secara bersama-sama pada saat yang sama. Patokan
yang digunakan untuk menentukan panjang tempat pakan adalah tergantung besar
ukuran sapi yang dipelihara. Patokan yang digunakan untuk menentukan luas
lantai kandang adalah luasan ternak ketika tidur sehingga sapi bisa tidur serentak.
Sebaiknya sapi ditempatkan dalam kandang sesuai status reproduksi dan
produksinya, misalnya induk bunting, induk menyusui bersama anaknya, induk
kering (tidak bunting), anak lepas sapih, dara, jantan muda dan pejantan.
Peternak dapat membuat kandang dengan sistem kombinasi disesuaikan
dengan kondisi setempat. Misalnya peternak dapat memelihara ternaknya pada
sauatu kandang dengan hanya sebagian saja yang diberi atap (tempat pakan),
25
sedangkan bagian yang lain dibiarkan terbuka menerima sinar matahari dan
terpaan hujan secara langsung. Ruang gerak ternak dibatasi dengan suatu pagar.
Bagian kandang yang juga harus diperhatikan adalah tempat pakan dan
air minum. Tempat/bak pakan dapat dibuat dengan ukuran panjang 60 cm, pakan
diperlukan untuk efisiensi dan efektifitas pakan yang diberikan. Biaya pakan akan
membengkak jika pakan yang diberikan tidak habis dimakan ternak tetapi hanya
berserakan di dalam maupun luar kandang. Tempat air minum diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan minum ternak dan menghindari tumpahnya air ke dalam
kandang.
Berdasarkan bentuknya, ada kandang tunggal dan kandang ganda.
Kandang tunggal terdiri satu baris kandang yang dilengkapi lorong jalan dan
selokan/parit. Kandang ganda ada dua macam, yaitu sapi saling berhadapan
dengan dibatasi dinding yang rendah dan sapi saling berlawanan atau saling
bertolang belakang dengan dilengkapi lorong untuk mempermudah pemberian
pakan dan pengontrolan ternak.
Kandang kelompok dengan ukuran 7 m x 9 m dapat menampung sekitar
20 ekor sapi. Ukuran kandang induk 1,5 m x 2 m/ekor, induk melahirkan 2 m x
2,5 m/ekor, anak 1,5 m x 2 m/ekor. Kandang harus sehat, yaitu dibersihkan setiap
hari, aliran udara masuk dan keluar berjalan lancar, sinar matahari pagi bebas
masuk, sebaiknya menghadap ke timur, tidak lembab dan aliran air/drainase baik
serta jauh dari lokasi pemukiman dan sumur.
Perlengkapan kandang sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk
memperoleh anak adalah : kandang beranak dan kandang karantina.
26
3. Pemilihan bibit betina
Persyaratan kualitatif bibit sapi bali betina, yaitu : (1) warna bulu merah,
lutut kebawah putih, pantat putih, setengah bulan, ujung ekor hitam dan ada garis
belut warna hitam pada punggung; (2) tanduk pendek dan kecil; (3) bentuk kepala
panjang dan sempit serta leher ramping.
Persyaratan kuantitatif bibit sapi bali betina, yaitu : Umur 18 – kurang 24
bulan : (1) kelas I, mempunyai parameter lingkar dada minimum 138 cm, tinggi
pundak minimum 105 cm, panjang badan minimum 107 cm; (2) kelas II,
mempunyai parameter lingkar dada minimum 130 cm, tinggi pundak minimum 99
cm, panjang badan minimum 101 cm; (3) kelas III, mempunyai parameter lingkar
dada minimum 125 cm, tinggi pundak minimum 93 cm, panjang badan minimum
95 cm; Umur lebih besar/ sama dengan 24 bulan : (1) kelas I, mempunyai
parameter lingkar dada minimum 147 cm, tinggi pundak minimum 109 cm,
panjang badan minimum 113 cm; (2) kelas II, mempunyai parameter lingkar dada
minimum 135 cm, tinggi pundak minimum 103 cm, panjang badan minimum 107
cm; (c) kelas III, mempunyai parameter lingkar dada minimum 130 cm, tinggi
pundak minimum 97 cm, panjang badan minimum 101 cm (Ditjen Peternakan,
2007)
Sifat reproduksi sapi betina adalah sebagai berikut :
1. Jarak berahi adalah 21 hari (18 - 24 hari) dengan lama berahi 18 jam
2. Masa involusi uterus/pulihnya uterus (rahim) setelah beranak 30 hari
3. Timbulnya berahi setelah bergerak adalah 3 bulan (2 - 7), tergantung dengan
jenis pakan dan umur penyapihan
4. Lama bunting kurang lebih 9 bulan 10 hari
27
5. Umur produktif induk 2,5 – 8 tahun
Ketentuan dalam perkawinan sapi :
1. Umur mulai dikawinkan, sapi betina pertama kali kawin umur 1,5 – 2 tahun
2. Perkawinan sesudah beranak, setelah anaknya umur 3 - 4 bulan atau setelah
anak dipisah.
3. Perkawinan dilakukan pada saat betina berahi.
4. Jika 18 – 24 hari setelah dikawinkan betina masih minta kawin lagi, perlu
dikawinkan lagi.
4. Menentukan metode perkawinan
Usaha perbibitan sapi sangat erat kaitannya dengan metode perkawinan
yang digunakan untuk menghasilkan pedet yang berkualitas. Ada dua metode
perkawinan yang dapat digunakan yaitu kawin alam dan kawin buatan. Apabila
menggunakan kawin alam, maka perlu banyak memelihara pejantan sebagai
pemacek, sehingga efisiensi tidak tercapai. Usaha agribisnis sangat erat kaitannya
dengan efisiensi dan teknologi, sehingga kawin buatan dengan menggunakan
teknologi inseminasi buatan (IB) sangat cocok dilakukan untuk mendapatkan hasil
yang maksimal.
Inseminasi buatan merupakan bioteknologi reproduksi mutakhir yang
dapat digunakan untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik sapi Bali yang
disinyalir mengalami penurunan akhir-akhir ini, karena mani pejantan yang
diseleksi, setelah diolah dalam bentuk mani beku (“straw”) dapat dimanfaatkan
jauh lebih banyak dan lebih cepat, sehingga gen-gen dari pejantan hasil seleksi
28
akan menyebar lebih banyak dan lebih cepat daripada menggunakan cara kawin
alam.
Sapi jantan dan betina mempunyai kemampuan yang sama dalam
mewariskan sifat unggul pada generasi berikutnya. Namun perbaikan kualitas
melalui sapi betina akan berjalan sangat lambat karena keterbatasan seekor betina
produktif dalam menghasilkan pedet yang hanya berkisar 10 ekor selama
hidupnya. Berbeda dengan sapi jantan yang dapat mengawini 50 sampai 100 ekor
betina selama 6 bulan atau 8 sampai 16 betina per bulan. Perbaikan kualitas ternak
akan lebih cepat tercapai melalui pejantan (Ditjen Peternakan, 2010).
Toelihere (1993) menyatakan IB adalah pemasukan atau penyampaian
semen ke dalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alat-alat buatan
manusia, jadi bukan secara alam (Toelihere, 1993). Beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dari penggunaan IB yaitu : (a). Memanfaatkan semaksimal mungkin
daya guna seekor pejantan yang mempunyai mutu genetik unggul; (b).
Menghemat biaya pemeliharaan pejantan; (c). IB memungkinkan peninggian
potensi seleksi sebagai salah satu cara perbaikan mutu ternak; (d). Mencegah
penularan penyakit; (e). Memperpendek calving interval dan terjadi penurunan
jumlah betina yang kawin berulang
Menurut Ihsan (1992) saat yang baik melakukan IB adalah saat sapi
betina menunjukkan tanda-tanda birahi, petani ternak pada umumnya mengetahui
tingkah laku ternak yang sedang birahi yang dikenal dengan istilah : 4A, 2B, 1C,
4A, yang dimasud adalah abang, abu, anget, dan arep artinya alat kelamin yang
berwarna merah membengkak kalau diraba terasa anget dan mau dinaiki, 2B yang
dimaksud adalah bengak-bengok dan berlendir artinya sapi betina sering
29
mengeluh dan pada alat kelaminnya terlihat adanya lendir transparan atau jernih,
1C yang dimaksud adalah cingkrak-cingkrik artinya sapi betina yang birahi akan
menaiki atau diam jika dinaiki sapi lain.
Tingkat keberhasilan IB tergantung pada :
1. Fertilitas dan kualitas mani beku yang jelek/rendah
2. Inseminator kurang/tidak terampil
3. Petani/peternak tidak/kurang terampil mendeteksi berahi.
4. Pelaporan yang terlambat dan/atau pelayanan inseminator yang lamban.
5. Kemungkinan adanya gangguan reproduksi/kesehatan sapi betina.
Secara umum, setiap pelaksanaan IB hanya mampu menghasilkan
kebuntingan rata-rata 55%, artinya dari 100 ekor sapi betina yang di IB satu kali,
hanya 55 sapi betina yang akan melahirkan seekor anak sapi yang sehat (Feradis,
2010). . Keberhasilan ini akan terus ditingkatkan karena sangat tergantung dengan
manajemen dan keakuratan dalam hal mendeteksi berahi.
5. Pakan
Secara umum, pakan ternak dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
1. Pakan serat: hijauan pakan ternak (rumput-rumputan, kacang-kacangan, dan
daunan lainnya), dan jerami (jerami padi, jagung, kacang tanah dan
sebagainya)
2. Pakan penguat atau konsentrat.
Pakan penguat diberikan ternak untuk melengkapi kebutuhan gizi apabila
diperhitungkan kurang dari kebutuhan ternak. Macam atau jenis pakan penguat
misalnya: dedak padai, dedak jagung, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah,
30
Limbah pertanian tanaman pangan.
Banyak limbah pertanian tanaman pangan yang dapat digunakan sebagai
pakan ternak sapi, seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, dan
masih banyak lagi. Sebagai pakan ternak, limbah pertanian kualitasnya lebih
rendah dibandingkan dengan rumput kecuali limbah kacang-kacangan, tetapi
dengan teknologi fermentasi kualitas pakan dapat ditingkatkan. Contoh : bungkil
kedelai, bungkil biji kapok, tetes tebu, ampas tahu, dll.
Pemberian Pakan
Untuk pembibitan sapi, pemberian pakan di kandang sangat
menguntungkan mengingat peternak dapat mengontrol jumlah dan kualitas
pakannya. Ternak yang ada di kandang dirumputkan dari kebun rumput atau
kebun hijauan yang ada. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan
pakan ternak adalah:
1. Rumput yang diberikan adalah rumput yang berkualitas baik, yaitu rumput
yang dipotong pada saat menjelang berbunga (karena pada kondisi ini dicapai
kualitas dan kuantitas zat gizi yang optimal).
2. Banyaknya hijauan yang diberikan dalam jumlah cukup untuk pertumbuhan,
kira-kira 10% rumput segar dari berat badannya. Misalnya berat sapi 150 kg,
rumput yang disediakan tidak kurang dari 15 kg rumput per hari.
3. Usahakan diberikan campuran hijauan leguminosa (kacang-kacangan) untuk
meningkatkan kualitas pakannya (menambah protein pakan). Jumlah hijauan
leguminosa kira-kira 1% dari berat badannya. Untuk sapi dengan berat 150 kg
sebagai contoh di atas perlu tambahan daun leguminosa 1,5 kg.
31
4. Usahakan hijauan pakan yang diberikan, baik rumput maupun leguminosa
dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ternak.
5. Jangan memanen rumput/leguminosa terlalu muda, karena dapat menyebabkan
diare/mencret dan kembung.
6. Apabila pakan penguat dipandang perlu untuk diberikan, sediakan sebanyak 1
% dari berat badan, seperti halnya hijauan leguminosa.
6. Kesehatan
Tanda-tanda sapi sehat adalah sebagai berikut :
1. Nafsu makan besar dan agak rakus.
2. Minum teratur (kurang lebih 8 kali sehari).
3. Mata merah , jernih dan tajam, hidung bersih, memamah biak bila istirahat.
4. Kotoran normal dan tidak berubah dari hari ke hari.
5. Telinga sering digerakkan, kaki kuat, mulut basah.
6. Temperature tubuh normal (38,5 – 39º) dan lincah.
7. Jarak/siklus berahi ternak teratur.
Tanda-tanda sapi sakit, antara lain adalah :
1. Mata suram, cekung, mengantuk, telinga terkulai.
2. Nafsu makan berkurang, minumnya sedikit dan lambat.
3. Kotoran sedikit, mungkin diare atau kering dank eras.
4. Badan panas, detak jantung dan pernapasan tidak normal.
5. Badan menyusut, berjalan sempoyongan.
6. Kulit tidak elastic, bulu kusut, mulut dan hidung kering.
7. Temperatur tubuh naik turun.
32
Beberapa tindakan pencegahan yang umumnya dilakukan adalah
pemberian obat cacing. Penyakit cacing tidak membahayakan, namun kerugian
yang ditimbulkan cukup besar, karena meskipun ternak diberi pakan dengan
kualitas yang baik, pertumbuhannya terlambat. Pada beberapa daerah basah,
rumput yang tumbuh biasanya telah tercemar oleh telur-telur atau bibit-bibit
cacing. Berbagai obat cacing yang biasanya diberikan adalah rental boli, valbazen,
dan lain sebagainya. Vaksinasi juga sering dilakukan oleh Dinas Peternakan
setempat, jika ada wabah penyakit yang berbahaya, misalnya penyakit mulut dan
kuku (PMK), brucellosis (kluron menular), surra, septicemia epizpptical/SE
(ngorok), antraks (radang limpa) dan turberkulosis (TBC).
V. ANALISIS FINANSIAL SEBAGAI UKURAN KEBERHASILAN
MENJALANKAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN
Layak tidaknya suatu usaha dijalankan dapat dilihat dari analisis finansial
nya. Disamping itu juga dapat dilihat seberapa jauh hasil yang telah didapatkan.
Berdasarkan analisis financial juga dapat diketahui apakah fungsi-fungsi
manajemen berjalan dengan baik.
Dalam usaha ini diasumsikan bahwa perbibitan sapi bali dilakukan
selama 1 tahun. Sapi yang digunakan sebanyak 130 ekor, dikelompokkan
menjadi 13 kelompok sehingga masing-masing sapi dalam kelompok ada 10 ekor.
Apabila usaha ini sesuai dengan rencana maka setiap tahun akan ada 120-130 ekor
pedet yang lahir. Perkawinan dilakukan secara buatan, memanfaatkan semen
beku yang berasal UPTD Baturiti, milik Pemprov. Bali. Keuntungan dari usaha
agribisnis perbibitan sapi bali tidak saja diperoleh dari penjualan pedet, tetapi juga
33
dari kotoran dan air kencing ternak yang dapat dijadikan pupuk organic. Dengan
system 3 strata (STS), maka luas lahan yang digunakan sekitar 3,25 Ha, dengan
asumsi 0,25 are dapat menampung 1 ekor sapi betina dewasa. Dengan demikian
maka pakan tidak berasal dari luar, tetapi ditanam sendiri, kecuali konsentrat
(dedak padi) dibeli dari luar peternakan. Beberapa asumsi yang lain adalah :
- Sapi betina bunting selama 9 bulan
- Sapi dikawinkan lagi 3 bulan setelah melahirkan, dengan rentang waktu 3-4
bulan
- Conception rate (bunting setelah dikawinkan) 1,2
- Harga sapi bibit 4,7 juta/ekor
- Asumsi harga pakan konsentrat Rp. 1000/kg
- Harga pedet lepas sapih jantan 4 juta, betina 3,5 juta/ekor
- Sewa tanah Rp.500.000/are
Analisis Usaha per Satu Periode Produksi (1 Tahun)
Investasi
a. Sapi betina bibit umur 1,5 tahun (produktif sampai umur 8 tahun)
= Rp. 4.000.000 x 130 ekor x 7 tahun
= Rp. 3.640.000.000
Kandang dan peralatan (umur ekonomis 10 tahun)
= Rp. 40.000.000 x 10 tahun
= Rp. 400.000.000
34
Fixed Cost
1. Biaya tetap
a. Sewa tanah = Rp. 10.000.000
b. Penyusutan sapi betina bibit = Rp. 520.000.000
c. Penyusutan kandang dan peralatan = Rp 40.000.000
Total Fixed Cost = Rp.570.000.000
Variabel Cost
a. Biaya pakan konsentrat =Rp.360hr x 0.5kg x Rp.500 x 130ekor = Rp. 11.700.000
b. Upah tenaga kerja = 4org x Rp.800.000 x 12bln = Rp. 38.400.000
c. Biaya obat-obatan = Rp. 25.000 x 130ekor betina = Rp. 3.250.000
= Rp. 20.000 x 120ekor pedet = Rp. 2.400.000
d. Biaya IB = Rp. 30.000 x 130ekor x 1.2 = Rp. 4.680.000
Total Variable Cost = Rp. 60.430.000
Biaya lain-lain
a. Listrik dan telepon = Rp. 2.000.000
b. Transportasi = Rp. 2.000.000
Total Biaya Lain-lain = Rp 4.000.000
Total Cost = Fixed cost + variable cost + biaya lain- lain
= Rp.570.000.000 + Rp. 60.430.000 + Rp 4.000.000
= Rp.634.430.000
35
Revenue
a. Harga jual pedet
Jantan = Rp. 5.000.000 x 65ekor = Rp. 325.000.000
Betina = Rp. 4.500.000 x 65ekor = Rp. 292.500.000
= Rp. 617.500.000
b. Harga jual sapi betina afkir = harga jual x jumlah ternak /7
= Rp. 8.000.000 x 130/7
= Rp. 148.571.428
c. Pupuk = 1,5kg x 130 ekor x 360hr = 555kg x Rp. 1000 = Rp. 555.000
Total Revenue (a + b + c) = Rp.766.626.428
Benefit
Total Cost = Rp. 634.430.000
Total Revenue = Rp.766.626.428
Benefit = Total revenue – total cost
= Rp.132.196.428
R/C Ratio = Total revenue/total cost
= Rp.766.626.428/ Rp. 634.430.000
= 1,21
Nilai R/C ratio yang diperoleh adalah sebesar 1,21, yang berarti setiap
Rp.1.,- biaya yang dikeluarkan, maka revenue yang diperoleh adalah Rp 1.21,-.
Dari perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa usaha perbibitan sapi bali
adalah menguntungkan dan layak untuk dijalankan.
36
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberhasilan suatu usaha
sangat tergantung pada kemampuan pengelolaan atau manajemen usaha tersebut.
Proses pengelolaan tersebut dibagi dalam fungsi-fungsi manajemen yang meliputi
fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian,
pengendalian dan pengawasan. Masing-masing fungsi diperlukan untuk mencapai
sasaran yang telah ditetapkan.
Ukuran keberhasilan dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen dapat
dilihat dari analisis financial usaha tersebut. Berdasarkan perhitungan analisa
ekonomi yang dilakukan, terlihat bahwa usaha agribisnis perbibitan sapi sangat
menguntungkan dan layak untuk dijalankan, disamping itu mempunyai prospek
yang cerah di masa mendatang sebagai penghasil sapi bibit berkualitas.
6.2 Saran
Keberhasilan suatu usaha sangat tergantung pada tata cara pengelolaan atau
manajemennya. Untuk itu suatu usaha wajib melaksanakan pengelolaan atau manajemen
usaha dengan cara menerapkan fungsi-fungsi manajemen.
37
DAFTAR PUSTAKA
Alit, IB Ketut. 2009. Peluang dan tantangan pengembangan sapi Bali menuju
komoditas andalan nasional. Makalah seminar nasional dan lokakarya.
Universitas Udayana. Denpasar
BPTU Bali. 2009. Permasalahan dan strategi dalam menghasilkan bibit sapi bali
berkualitas. Makalah dalam seminar sapi bali di fakultas Peternakan,
Universitas Udayana. Denpasar
Ditjen Peternakan. 2010. Peta Wilayah Sumber Bibit Sapi Potong Lokal di
Indonesia. Ditjen Peternakan, Kementerian Pertanian
Diwyanto, K dan Lisa Praharani. 2010. Reproduction management and breeding
strategies to improve productivity and quality of cattle. Makalah pada
seminar internasional indigenous cattle. Universitas Udayana. Denapsar.
Bali
Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Alfabeta. Bandung
Gunawan, Dicki Pamungkas dan Lukma Affandhy. 2004. Sapi Bali, Potensi dan
Nilai Ekonomi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Cet.6
Kementerian Pertanian, 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi
2014. Kementerian Pertanian, Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.
Putu, I.G., Dewyanto,P.,Sitepu, T.D. Soedjana. 1997. Ketersediaan dan
Kebutuhan Teknologi Produksi Sapi Potong. Proceeding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor.
Subandriyo, P. Sitorus, M. Zulbardi dan A. Roesyat. 1979. Performance of Bali
Cattle Indonesia. Agricultural Research and Development Journal. Vol.
1. No. 1 & 2, pp 9-10
Suharto. 2006. Manajemen agribisnis dan teknologi pengolahan limbah ternak
Sapi Bali. limbah hijau sehari. Makalah Seminar Sehari, Bali. Ismapeti
Wil. IV. Denpasar. Bali. 23 Juni 2006. Multifarm-Research Station.
Solo. Indonesia.
Suparta, Nyoman. 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. CV Bali
Media Adhikarsa. Denpasar
Suparta, Nyoman, W. Budiarta, Suciani dan B.R. Tanama Putri. 2010. Agribisnis
Peternakan. Meraih kesempatan menuju sukses. Pustaka Nayottama.
Denpasar
38
Toelihere, Mozes, R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa,
Bandung
Yupardi, S. 2009. Sapi Bali : Mutiara dari Bali. Udayana University Press.
Kampus Universitas Udayana. Sudirman. Denpasar-Bali