pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

13
Jurnal Ilmu Ekonomi ISSN 2302-0172 Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 13 Pages pp. 64- 76 Volume 1, No. 1, Februari 2013 - 64 PENGARUH PENDAPATAN PERKAPITA, PERTUMBUHAN PENDUDUK, DAN TINGKAT UPAH TERHADAP BIAYA HIDUP DI INDONESIA Safarul Aufa 1 , Raja Masbar 2 , Muhammad Nasir 2 1) Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universyitas Syiah Kuala Banda Aceh 2) Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Abstract: This research is aimed to know the influence of per capita income, population growth, and wage rate which influence the cost of living difference in Indonesia. The data used is secondary data namely panel data, in which the object of the research is conditioned to the towns found in Cost Living Survey by Statistic Institute Center (BPS) in 1989,1996,2002,2007. The model used is Linear Regession Model. Overall, the result shows that per capita income and wage rate influence the cost of living in Indonesia at level of significance 0,05. While the variabel of population growth do not have significant influence to the cost of living. Keywords : Cost of living, per capita income, population growth, wage rate Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan tingkat upah yang mempengaruhi perbedaan biaya hidup di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data panel, dimana objek penelitiannya disesuaikan dengan kota-kota yang terdapat dalam Survei Biaya Hidup (SBH) oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 1989,1996,2002, dan 2007. Model yang digunakan adalah Linear Regression Model. Secara keseluruhan hasil regresi menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan tingkat upah mempengaruhi biaya hidup di Indonesia pada tingkat signifikansi 0,05. Adapun variabel pertumbuhan penduduk tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap biaya hidup. Kata Kunci : Biaya hidup, pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan tingkat upah PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara yang memiliki teritorial yang luas, memiliki banyak kota serta ragam corak budaya yang membuat perbedaa biaya hidup antar suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Kegiatan Survey Biaya Hidup (SBH) yang diadakan 5 tahun sekali oleh Badan Pusat Statistik (BPS), merupakan salah satu cara dari pemerintah untuk melihat variasi perbedaan biaya hidup yang mencerminkan pola konsumsi antar wilayah di Indonesia. Berdasarkan hasil survei terakhir BPS pada tahun 2007 yang dilaksanakan di 33 ibukota provinsi dan 33 kota, terdapat variasi perbedaan biaya hidup yang sangat beragam. Jika diambil rata-rata dari 66 kota dalam SBH tersebut, maka didapatlah biaya hidup di Indonesia, yaitu sebesar Rp.787.221 perbulan. Secara garis besar, lebih dari setengahnya atau 39 kota di antaranya memiliki variasi biaya hidup di bawah rata-rata. Selebihnya 27 kota lainnya memiliki variasi biaya hidup yang tinggi. Berdasarkan peringkat, dari data tersebut, pengeluaran untuk biaya hidup tertinggi terdapat di Kota Batam dengan biaya hidup sebersar Rp 1.410.172, disusul dengan Kota Jakarta di urutan ke-dua sebesar Rp 1.382.742 dan Kota Dumai di urutan ke-tiga sebesar Rp 1.182.830. Adapun daerah yang memiliki biaya hidup terendah adalah Kota

Upload: nguyenthuan

Post on 13-Jan-2017

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi ISSN 2302-0172

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 13 Pages pp. 64- 76

Volume 1, No. 1, Februari 2013 - 64

PENGARUH PENDAPATAN PERKAPITA, PERTUMBUHAN

PENDUDUK, DAN TINGKAT UPAH TERHADAP BIAYA

HIDUP DI INDONESIA

Safarul Aufa1, Raja Masbar

2, Muhammad Nasir

2

1) Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universyitas Syiah Kuala Banda Aceh

2) Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

Abstract: This research is aimed to know the influence of per capita income, population growth, and wage rate which influence the cost of living difference in Indonesia. The data used is secondary data namely panel data, in which the object of the research is conditioned to the towns found in Cost Living Survey by Statistic Institute Center (BPS) in 1989,1996,2002,2007. The model used is Linear Regession Model. Overall, the result shows that per capita income and wage rate influence the cost of living in Indonesia at level of significance 0,05. While the variabel of population growth do not have significant influence to the cost of living. Keywords : Cost of living, per capita income, population growth, wage rate Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh pendapatan perkapita,

pertumbuhan penduduk, dan tingkat upah yang mempengaruhi perbedaan biaya hidup di

Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data panel, dimana objek

penelitiannya disesuaikan dengan kota-kota yang terdapat dalam Survei Biaya Hidup (SBH)

oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 1989,1996,2002, dan 2007. Model yang digunakan

adalah Linear Regression Model. Secara keseluruhan hasil regresi menunjukkan bahwa

pendapatan perkapita dan tingkat upah mempengaruhi biaya hidup di Indonesia pada tingkat

signifikansi 0,05. Adapun variabel pertumbuhan penduduk tidak memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap biaya hidup.

Kata Kunci : Biaya hidup, pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan tingkat upah

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara yang memiliki

teritorial yang luas, memiliki banyak kota serta

ragam corak budaya yang membuat perbedaa

biaya hidup antar suatu wilayah dengan wilayah

lainnya. Kegiatan Survey Biaya Hidup (SBH)

yang diadakan 5 tahun sekali oleh Badan Pusat

Statistik (BPS), merupakan salah satu cara dari

pemerintah untuk melihat variasi perbedaan

biaya hidup yang mencerminkan pola konsumsi

antar wilayah di Indonesia. Berdasarkan hasil

survei terakhir BPS pada tahun 2007 yang

dilaksanakan di 33 ibukota provinsi dan 33 kota,

terdapat variasi perbedaan biaya hidup yang

sangat beragam. Jika diambil rata-rata dari 66

kota dalam SBH tersebut, maka didapatlah

biaya hidup di Indonesia, yaitu sebesar

Rp.787.221 perbulan. Secara garis besar, lebih

dari setengahnya atau 39 kota di antaranya

memiliki variasi biaya hidup di bawah rata-rata.

Selebihnya 27 kota lainnya memiliki variasi

biaya hidup yang tinggi. Berdasarkan peringkat,

dari data tersebut, pengeluaran untuk biaya

hidup tertinggi terdapat di Kota Batam dengan

biaya hidup sebersar Rp 1.410.172, disusul

dengan Kota Jakarta di urutan ke-dua sebesar

Rp 1.382.742 dan Kota Dumai di urutan ke-tiga

sebesar Rp 1.182.830. Adapun daerah yang

memiliki biaya hidup terendah adalah Kota

Page 2: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

65 - Volume 1, No. 1, Februari 2013

Sibolga dengan biaya hidup sebesar Rp 554.602,

Maumere sebesar Rp 558.459 dan Purwokerto

sebesar Rp 573.234.

Dalam kalangan para pekerja, perbedaan

biaya hidup menjadi suatu hal yang menarik

karena tingkat upah yang mereka terima akan

berhubungan dengan biaya hidup yang harus

ditanggung. Berdasarkan variasi perbedaan

biaya hidup, tentu akan memperlihatkan

ketidak-adilan, apabila upah bagi pekerja tidak

disesuaikan dengan kondisi wilayah

berdasarkan tingkat biaya hidup, terutama pada

kalangan guru, dosen, dan pengawai-pegawai

pemerintahan lainnya yang memiliki gaji pokok

yang sama seantero Indonesia.

Berbagai ragam penelitian sebelumnya

seperti penelitian Haworth and Ramussen

(1973), Mc.Mahoon and Melton (1978), Cebula

(1980) dan (1983), McMahoon (1991), Kurre

(2003), Cebula and Toma (2008)

mengidentifikasikan berbagai ragam variabel

independen yang mempengaruhi perbedaan

biaya hidup antar wilayah. Dalam ragam

penelitian tersebut, ada beberapa variabel yang

lazim sama dan sering digunakan dalam

mengidentifikasi perbedaan biaya hidup

tersebut. Variabel-variabel yang dimaksud

adalah pendapatan perkapita, tingkat

pertumbuhan penduduk, dan tingkat upah.

Dilihat dari segi demografi, ternyata

pertumbuhan populasi penduduk dapat

mempengaruhi biaya hidup. Secara ulasan teori

dalam penelitian sebelumnya Haworth dan

Rasmussen (1973), Mc Mahaoon (1991) , Kurre

(2003) dan peneliti lainnya, sebuah kota yang

mengalami pertumbuhan dalam waktu yang

relatif singkat cenderung memiliki kebutuhan

pasar untuk banyak barang dan jasa. Dalam

situasi tersebut, cenderung menyebabkan harga

pasar lebih tinggi jika pasokan barang-barang

yang dibutuhkan tersebut belum mampu

menanggapi perubahan dalam permintaan.

Adapun pertumbuhan penduduk yang tinggi

juga akan meningkatkan kepadatan penduduk

per area yang bisa saja memiliki efek pada

biaya hidup. Andaikan dua kota masing-masing

memiliki satu juta penduduk; jika salah satu

kota tersebut memiliki area yang lebih kecil,

maka kita dapat melihat bahwa kota itu memilki

kemacetan yang lebih besar dari segi

transportasi yang dihasilkan, harga tanah yang

lebih tinggi, dan memiliki lingkungan yang

lebih buruk, akan mengakibatkan biaya hidup

yang lebih tinggi di kota tersebut (Kurre:2003).

Sementara itu, Cebula dan Toma (2008) dari

hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa

semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu

wilayah/negara bagian, semakin tinggi pula

permintaan terhadap barang dan jasa dan

karenanya semakin tinggi tingkat keseluruhan

harga barang dan jasa di wilyah/negara bagian

tersebut.

Selain itu, terkadang tingkat upah juga

dapat menunjukkan pengaruhnya terhadap

biaya hidup di suatu wilayah. Karakter pekerja

atau sumber daya manusia lokal yang

cenderung menuntut upah tinggi akan

meningkatkan biaya produksi yang harus

ditanggung di wilayah tersebut. Menurut

Samuelson dan Nordhaus (2004:300), bukti-

Page 3: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 1, No. 1, Februari 2013 - 66

bukti dari negara-negara Eropa yang memiliki

perserikatan-perserikatan pekerja yang sangat

banyak menyatakan bahwa ketika serikat

pekerja berhasil menaikkan tingkat upah

nominal pekerja maka ini biasanya memicu

inflasi yang bersifat spiral (yang dipicu oleh

kenaikan upah nominal) sehingga tidak ada

pengaruh permanen terhadap upah riil. Dalam

Rahardja dan Manurung (2008:365), kenaikan

upah minimum yang mennyebabkan kenaikan

biaya produksi merupakan salah contoh yang

dapat menyebabkan cost push inflation. Begitu

juga sebaliknya, menurut Cebula (1980, 1983,

dan bersama Toma 2008), wilayah yang

memiliki legislasi yang mengarah lemah

terhadap tuntutan pekerja, membuat biaya

tenaga kerja (upah) rendah, sehingga membuat

keseluruhan tingkat harga barang dan jasa lebih

rendah di wilayah yang memiliki legislasi

tersebut. Oleh karena itu, terkadang tingkat

upah bisa saja mempengaruhi biaya hidup

disuatu wilayah.

Perumusan masalah pada penelitian ini

yaitu: berapa besar pendapatan perkapita,

pertumbuhan penduduk, dan tingkat upah

mempengaruhi perbedaan biaya hidup di

Indonesia?. Sehingga penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui besarnya pengaruh

pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk,

dan tingkat upah yang mempengaruhi

perbedaan biaya hidup di Indonesia.

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Pengertian Variabel Biaya Hidup

Variabel biaya hidup yang dimaksud dalam

penelitian ini, yaitu rata-rata pengeluaran

perkapita/perindividu dalam suatu rumahtangga

selama sebulan menurut kota berdasarkan SBH.

Pengertian Pendapatan dan Penerimaan

Perkapita

Pendapatan perkapita merupakan rata-rata

pendapatan untuk setiap individu atau untuk

setiap anggota keluarga yang diperoleh dengan

membandingkan rata-rata pendapatan rumah

tangga perbulan dengan jumlah anggota

keluarga pada suatu wilayah kota tertentu.

Dalam publikasi SBH, rata-rata

pendapatan perkapita dimasukan bersama

dengan penerimaan perkapita (pendapatan +

penerimaan). Menurut BPS dalam SBH 2007

(SBH BPS, 2008: 33-34), penerimaan adalah

seluruh penerimaan dari semua Anggota

Rumahtangga Ekonomi (ARTE) baik berupa

uang maupun barang. Penerimaan mencakup:

pengambilan tabungan/simpanan, penjualan dan

atau penggadaian barang, penerimaan piutang,

arisan, pinjaman, kiriman/hadiah, tidak rutin

dan warisan/hibah

Pengertian Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan penduduk adalah angka yang

menunjukkan tingkat pertambahan penduduk

per tahun dalan jangka waktu tertentu (BPS,

2010:82). Adapun secara formula:

di mana:

Pgt = Pertumbuhan penduduk pada

tahun t

P = Jumlah penduduk pada tahun t

Page 4: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

67 - Volume 1, No. 1, Februari 2013

P t – 1 = Pertumbuhan penduduk pada

tahun sebelum tahun t

Pengertian Upah Minimum

Berdasarkan tata cara penangguhan

pelaksanaan upah minimum, dalam Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia No: KEP. 231/MEN/2003,

bahwa upah minimum adalah upah minimum

yang ditetapkan oleh Gubernur. Oleh karenanya,

upah minimum antara satu wilayah dengan

wilayah lainnya memiliki besaran yang berbeda.

Pengaruh Pendapatan Perkapita Terhadap

Biaya Hidup

Pendapatan rumah tangga amat besar

pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi.

Biasanya makin baik (tinggi) tingkat

pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Hal

ini disebabkan ketika tingkat pendapatan

meningkat, kemampuan rumah tangga untuk

membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi

makin besar atau mungkin juga pola hidup

menjadi makin konsumtif, setidak-tidaknya

semakin menuntut kualitas yang baik. Hal

inilah yang menyebabkan pendapatan rumah

tangga sebagai salah satu faktor yang

menentukan tingkat konsumsi (Rahardja dan

Manurung, 2008: 265).

Pendapatan akan menjadi ukuran besarnya

tingkat permintaan barang dan jasa. Secara

regional dan spasial dalam suatu wilayah,

ukuran pendapatan dapat dilihat dari

pendapatan perkapita. Menurut Cebula dan

Toma (2008), semakin besar pendapatan

perkapita di suatu daerah, semakin besar tingkat

rata-rata pemintaan untuk barang dan jasa di

daerah tersebut. Pada gilirannya, berdasarkan

respon dari kondisi pasar, pemintaan yang lebih

besar untuk barang dan jasa mensyiratkan

(mendorong) tinginya harga rata-rata komoditi

barang dan jasa tersebut, dengan asumsi cateris

paribus.

Pengaruh Pertumbuhan Penduduk

Terhadap Biaya Hidup

Haworth dan Rasmussen (1973), Mc

Mahaoon (1991) , Kurre (2003) dan peneliti

lainnya, menyatakan bahwa sebuah kota yang

mengalami pertumbuhan populasi tinggi dalam

waktu relatif singkat cenderung memiliki

kebutuhan pasar untuk banyak barang dan jasa.

Dalam situasi tersebut, cenderung

menyebabkan harga pasar lebih tinggi jika

pasokan barang-barang yang dibutuhkan

tersebut belum mampu menanggapi perubahan

dalam permintaan.

Pendekatan ini mengakui bahwa elastisitas

jangka pendek dan jangka panjang pasokan

barang dapat bervariasi di semua jenis produk.

Sebagai contoh di mana perumahan (property)

lebih lambat menanggapi peningkatan

permintaan dari pada produk yang lebih mudah

diangkut seperti bahan makanan (Kurre: 2003).

Adapun pertumbuhan penduduk yang

tinggi dan cepat juga akan meningkatkan

kepadatan penduduk. Menurut Todaro dan

Smith (2006:384-385), semakin tinggi tingkat

kepadatan penduduk daerah kota, semakin

tinggi pula harga tempat tinggal, membangun

secara vertikal (bertingkat) lebih mahal

Page 5: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 1, No. 1, Februari 2013 - 68

daripada secara horizontal, sehingga saat

kekuatan pasar berfungsi sebagaimana mestinya,

gedung-gedung bertingkat hanya dibangun

apabila harga tanah meningkat

Kemudian Kurre (2003) menyatakan

bahwa tingkat kepadatan penduduk merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi

perbedaan biaya hidup antar wilayah.

Menurutnya, jika dua kota masing-masing

memiliki satu juta penduduk, namun salah satu

kota tersebut memiliki area yang lebih kecil,

maka kita dapat melihat bahwa kota yang

memilki kemacetan yang lebih besar dan

masalah transportasi yang dihasilkan, biaya

tanah yang lebih tinggi, serta masalah buruk

dari isu lingkungan akan mengakibatkan biaya

hidup yang lebih tinggi di kota tersebut.

Pengaruh Tingkat Upah Atas Penggunaan

Sumber Daya Manusia Terhadap Biaya

Hidup

Di dalam mengelola input menjadi output

di suatu daerah, sudah pasti perusahaan-

perusahaan atau produsen membutuhkan

sumber daya manusia sebagai tenaga kerja.

Lazimnya perusahaan berupaya untuk

menggunakan tenaga kerja lokal dari pada

tenaga kerja luar daerah. Hal ini semata untuk

mempermudah akses antara tenaga kerja

dengan tempat kerja (mempertimbangkan cost

of transport).

Meski ketersediaan tenaga kerja lokal

dianggap baik, terkadang di beberapa daerah

berbeda, penggunaan tenaga kerja tersebut

memiliki masalah. Karakteristik sumber daya

manusia dan tenaga kerja yang biasanya lebih

menuntut upah tinggi merupakan kendala yang

harus dihadapi oleh perusahaan-perusahaan.

Biasanya di kota-kota besar, para tenaga kerja

seperti ini berkumpul di dalam serikat pekerja.

Serikat pekerja merupakan kelompok yang

tergabung untuk meningkatkan posisi tawar-

menawar mereka (Mc Eachern, 2001: 229).

Tuntutan upah yang layak dan setara

merupakan agenda utama yang lazim

diperjuangkan. Startegi yang telah digunakan

selama hampir 100 tahun di banyak negara

yaitu upah minimum. Upah minimum adalah

tingkat upah terendah yang harus dibayarkan

oleh perusahaan kepada pekerjanya (Case dan

Fair, 2007: 417).

Penentuan tingkat upah akan tercapai

apabila ada legalisasi yang sering disebut

Peratuaran atau Undang-undang Upah

Minimum. Adapun peraturan atau undang-

undang tersebut akan legal apabila telah

disahkan oleh instansi/lembaga terkait yang

memiliki wewenang dalam mengesahkannya.

Pada dasarnya tuntutan tersebut merupakan

upaya dari para pekerja untuk meningkatkan

upah riil. Terkadang menjadi sebuah pertanyaan

apakah dengan tuntutan peningkatan upah

tersebut dapat mendorong peningkatan upah

riil? Menurut Samuelson dan Nordhaus

(2004:300), bukti-bukti dari negara-negara

Eropa yang memiliki perserikatan-perserikatan

pekerja yang sangat banyak menyatakan bahwa

ketika serikat pekerja berhasil menaikkan

tingkat upah nominal pekerja maka ini biasanya

memicu inflasi yang bersifat spiral (yang dipicu

Page 6: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

69 - Volume 1, No. 1, Februari 2013

oleh kenaikan upah nominal) sehingga tidak ada

pengaruh permanen terhadap upah riil.

Sebaliknya, menurut Cebula (1980, 1983,

dan bersama Toma 2008), wilayah yang

memiliki legislasi yang mengarah lemah

terhadap tuntutan pekerja, membuat biaya

tenaga kerja (upah) rendah, sehingga membuat

keseluruhan tingkat harga barang dan jasa lebih

rendah di wilayah yang memiliki legislasi

tersebut.

Sistem Pengeluaran Linier

Sistem pengeluaran linear merupakan

generalisasi dari fungsi utilitas (dayaguna)

Cobb-Douglas. Model ini dikembangkan oleh

Klein dan Rubin (1947-48) dan Samuelson

(1947-48) dan digunakan secara empiris oleh

Stone (1954) dan Geary (1950), dan karenya

fungsi ini sering dikenal dengan fungsi Stone-

Geary (Silberberg, 1990:406). Sebagai sistem

yang menggunakan pendekatan dayaguna

konsumen sebagai dasar penyusunan

permintaan, sistem ini mengelompokkan

barang-barang konsumsi yang dibutuhkan

konsumen menjadi beberapa kelompok.

Hubungan antara kelompok barang satu dengan

barang lain bersifat komplementer. Barang-

barang yang dibeli konsumen misalnya dapat

dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu

kelompok pangan, sandang, barang-barang

tahan lama, jasa-jasa (seperti angkutan), dan

pengeluaran-pengeluaran rumah tangga lainnya.

Masing-masing kelompok mendatangkan

dayaguna bagi konsumen yang satu sama lain

bersifat independen, sehingga fungsi dayaguna

bersifat pertambahan (additive). Menurut

Sudarsono (1995:53) jumlah dayaguna total

yang diperoleh konsumen dapat ditulis dalam

bentuk

UT = U(p) + U(s) + U(t) + U(j) + U(l),

di mana UT adalah dayaguna (utilitas) total,

U(p) dayaguna pangan, U(s) dayaguna

sandang, U(t) dayaguna barang tahan lama,

U(j) dayaguna jasa, dan U(l) dayaguna

pengeluaran rumahtangga lainnya.

Kebutuhan konsumen dibedakan menjadi

dua yaitu yang pertama bersifat minimum

untuk mengisi kehidupan subsitensi agar

sekadar dapat hidup dan yang lain bersifat

berkelebihan atau supernumerary.

Pembahasan selanjutnya kita mulai

dengan fungsi daya guna yang telah

ditransformasikan ke dalam fungsi log, yaitu

atau dapat ditulis

Untuk menyusun permintaan tinggal mengikuti

prosedur standar seperti mencari titik optimum

biasa dan maksimumkan. Selanjutnya sebagai

pemecahan untuk mendapatkan fungsi

permintaan, maka diterapkan metode Lagrange

Selanjutnya dari penyelesaiannya, maka

diperoleh permintaan terhadap kelompok-

kelompok barang tersebut yaitu:

Apabila dikalikan dengan , maka kita dapat

Page 7: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 1, No. 1, Februari 2013 - 70

menulis fungsi permintaan dalam bentuk

pengeluaran

yang dalam Phlips (1983: 126) ditulis:

ket dimana:

dan qi > γi ;

γi = jumlah minimum (subsisten)

komoditas ke-i yang dikonsumsi

i, j = 1,2,..,n

Penelitian Sebelumnya

Cebula (1980 dan Ostrosky (1983) dalam

hasil penelitiannya menunjukkan kepadatan

penduduk dan tingkat pendapatan perkapita

bersifat positif dan memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap biaya hidup antar wilayah.

Sementara itu, Kurre (2000 dan 2003)

dalam penelitiannya menunjukkan variabel

pertumbuhan populasi penduduk, pendapatan

perkapita dan tingkat pertumbuhan pendapatan

secara positif mempengaruhi total biaya hidup.

Pada penelitian lainnya, Cebula (1983)

juga menunjukkan bahwa biaya hidup

dipengaruhi oleh variabel kepadatan penduduk

dan variabel pendapatan perkapita dengan

didampingi secara bersama-sama dengan

variabel lain, yaitu total jumlah penduduk dan

variabel dummy yang menunjukkan adanya

undang-undang yang mendukung hak pekerja

atas upah pada tingkat signifikansi statistik 0,01.

Haworth dan Rasmussen (1973) secara

teori menyatakan bahwa sebuah kota yang

mengalami pertumbuhan populasi tinggi dalam

waktu relatif singkat cenderung memiliki

kebutuhan pasar untuk banyak barang dan jasa

sehingga menyebabkan harga pasar lebih tinggi

jika pasokan barang-barang yang dibutuhkan

belum mampu menanggapi perubahan dalam

permintaan, sehingga pertumbuhan populasi

memiliki dampak yang positif terhadap biaya

hidup. Namun, berdasarkan penelitian mereka

dengan judul “Determinants of Metropolitan

Cost of Living Variations”, ternyata

menunjukkan hubungan signifikansi yang

lemah di antara pertumbuhan populasi terhadap

biaya hidup dan tingkat signifikansi ini terdapat

hanya di kalangan penduduk yang

berpenghasilan moderat.

Hipotesis

Berdasarkan seluruh uraian di atas maka

yang dijadikan hipotesis dalam penelitian ini,

yaitu: “diduga pendapatan perkapita, tingkat

pertumbuhan penduduk, dan tingkat upah

mempengaruhi perbedaan biaya hidup di

Indonesia”.

METODE PENELITIAN

Ruang Lingkup Penelitian dan Sumber Data

Ruang lingkup penelitian ini adalah biaya

hidup (sebagai variabel dependent/terikat) yang

dilihat dari rata-rata nilai konsumsi per kapita

per bulan berdasarkan kota di wilayah

Indonesia berdasarkan Survei Biaya Hidup

(SBH) 4 kali terakhir, yakni tahun 1989, 1996,

2002 dan 2007 oleh Badan Pusat Statistik

Page 8: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

71 - Volume 1, No. 1, Februari 2013

(BPS). Biaya hidup ini dipengaruhi oleh

variable-variabel (independent/bebas), yaitu:

pendapatan perkapita, jumlah pertumbuhan

populasi penduduk, dan tingkat upah. Data

vairabel-variabel independent tersebut juga

diperoleh dari BPS

Model Analisis

Data-data yang diperoleh selanjutnya akan

dianalisis melalui model regresi yang

diestimasikan oleh McMahon (1991):

di mana COL= pq = biaya hidup, Y= pendapatan

perkapita, H = nilai/biaya rumah, dan ∆P =

persentase pertumbuhan populasi .

Persamaan di atas ditransformasikan ke dalam

variable-variabel penelitian, sehingga untuk

biaya hidup, menjadi:

COLi = β 1 + β2 Yi + β 3 Pgi + β 5 Upi + ut

dimana

COLi = Biaya hidup (Cost of Living) di

kota i

Yi = Pendapatan perkapita di kota i

Pgi = Pertumbuhan penduduk di kota i

Upi = Tingkat upah pekerja di kota i

β 1 = Faktor titik potong (nilai konstanta)

β 2,β3,β 4, β 5,β 6 = Koefisien Regresi

u = Faktor gangguan

Dalam menganalisis keakuratan data, akan

dilakukan beberapa uji statistik dan dilakukan

dengan menggunakan program SPSS versi 19.

Uji yang dimaksud antara lain:

Pengujian Asumsi Klasik, meliputi:

Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksud untuk menguji

apakah nilai residual yang telah distandarisasi

pada model regresi berdistribusi normal atau

tidak. Pada penelitian ini digunakan uji Jarque-

Bera yang merupakan uji normalitas dengan

berdasarkan pada koefesien keruncingan

(kurtosis) dan koefesien kemiringan

(skewness). Uji ini dilakukan dengan

membandingkan statistik Jarque-Bera (JB)

dengan nilai X2 tabel. Jika nilai Jarque-Bera

(JB) ≤ X2 tabel maka nilai residual

terstandarisasi dinyatakan berdistribusi normal.

Untuk menghitung nilai statistik Jarque-Bera

(JB) digunakan rumus sebagai berikut

(Suliyanto: 2011,75):

dimana JB = statistik Jarque-Bera, S =

koefesien skewness, K = koefesien kurtosis.

Multikolinieritas

Multikolinieritas adalah kondisi di mana

satu atau lebih variabel bebas berkorelasi tinggi

atau sempurna dengan variabel bebas lainnya,

atau dengan kata lain suatu variabel bebas

merupakan fungsi linier dari variabel bebas

lainnya. Untuk mengetahui ada tidaknya

masalah multikolinieritas dalam penelitian ini

digunakan metode Variance Inflation Factor

(VIF). Uji ini dilakukan dengan melihat nilai

Variance Inflation Factor (VIF) dari masing-

masing variabel bebas terhadap variabel

terikatnya. Jika nilai VIF tidak lebih besar dari

10, maka model dinyatakan tidak terdapat

gejala multikolibier (Suliyanto, 2011:90).

Page 9: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 1, No. 1, Februari 2013 - 72

Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana

suatu variabel pengganggu tidak mempunyai

varians yang sama. Pada penelitian ini

digunakan uji White. Uji White dengan

meregresi semua variabel bebas, variabel bebas

kuadrat dan perkalian (interaksi) variabel bebas

terhadap nilai residual kuadratnya. Jika nilai X2

hitung lebih besar dari X2 tabel dengan df = α,

jumlah variabel bebas, maka dalam model

terdapat masalah heteroskedastisitas. Nilai X2

hitung dalam metode ini diperoleh dari n x R2,

dimana n = jumlah pengamatan, sedangkan R2

koefesien determinasi regresi tahap kedua

(Suliyanto, 2011:107). Berikut persamaan uji

White dalam penelitian ini:

Ui2 = α + β1Yi + β2 Pgi + β3Kpi + β4Upi +

β5Yi2 + β6 Pgi

2 + β7Kpi

2 + β8Upi

2 +

β9YiPgiKpiUpi + υi

di mana, Ui = Nilai residual; Yi, Pgi, Kpi, Upi =

Variabel bebas.

Autokorelasi

Autokorelasi terjadi apabila kesalahan

pengganggu suatu periode berkorelasi dengan

kesalahan pengganggu periode sebelumnya.

Adapun untuk mendeteksinya dapat dilakukan

dengan aturan keputusan uji d Durbin-Watson

sebagai berikut (Gujarati, 2007:122):

Tabel 1. Aturan Keputusan Uji d Durbin-Watson

Hipotesa Nol Keputusan Jika

Tidak ada

autokorelasi

positif

Tolak

0 < d < dL

Tidak ada

autokorelasi

positif

Tidak ada keputusan

dL ≤ d ≤ dU

Tidak ada autokorelasi

negatif

Tolak 4 – dL < d < 4

Tidak ada autokorelasi

negtif

Tidak ada

keputusan

4 – dU ≤ d ≤ 4 – dL

Tidak ada autokorelasi

positif atau

negatif

Jangan tolak

dU < d < 4 – dU

Sumber: Gujarati (2007:122)

Uji F

Uji F untuk menganalisis apakah model yang

digunakan eksis atau tidak. Perhitungan uji F

adalah sebagai berikut:

Ftabel = F(α, k-1, k-n)

dimana α = derajat signifikansi, n = jumlah data,

dan k = jumlah parameter dalam model

termasuk konstanta.

Fhitung = )/(1

)1/(2

2

knR

kR

..................... (2)

di mana R = koefesien determinasi, k = jumlah

parameter dalam model, dan n = jumlah data.

Jika nilai F hitung ≤ F tabel artinya

variabel independen secara bersama-sama tidak

mempengaruhi variabel dependen secara

signifikan (model tidak eksis), sebaliknya jika

nilai F hitung > F tabel artinya variabel

independen secara bersama-sama

mempengaruhi variabel dependen secara

signifikan.

Uji t

Uji t digunakan ntuk menguji validitas

pengaruh dari masing-masing variabel

independen terhadap variabel dependen.

perhitungan nilat t sebagai berikut:

thitung =

S Bie

Bi

)(

............. (3)

di mana Bi adalah koefesien regresi variabel

independen ke-1; Se(Bi) adalah standart error

variabel independen ke-1. Jika thit > ttabel berarti

Page 10: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

73 - Volume 1, No. 1, Februari 2013

variabel independen ke i berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel dependen, dan

sebaliknya.

Definisi Operasional Variabel

a. Biaya Hidup adalah rata-rata pengeluaran

perkapita atau rata-rata pengeluaran untuk

setiap anggota keluarga per bulan di kota i

berdasarkan SBH BPS.

b. Pendapatan Perkapita adalah rata-rata

pendapatan dan penerimaan perkapita atau

rata-rata pendapatan dan penerimaan untuk

setiap anggota keluarga per bulan di kota i

berdasarkan SBH BPS.

c. Pertumbuhan Penduduk adalah angka yang

menunjukkan persentase tingkat

pertambahan penduduk per tahun di kota i .

d. Tingkat Upah Pekerja adalah Upah

Minimum Provinsi yang berlaku di kota i.

HASIL PEMBAHASAN

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Biaya

Hidup di Indonesia

Uji Normalitas

Berdasarkan hasil output SPSS didapat nilai

skewness sebesar 0,364 dan kurtosis sebesar

2,670, maka didapatkanlah nilai statistik

Jarque-Bera (JB) sebesar 4,365707. Sementara

itu, nilai X2 tabel dengan df: 0,05, 3 adalah

7,815. Karena nilai statistik Jarque-Bera

(4,365707) < nilai X2 tabel (7,815), nilai

residual terstandarisasi berdistribusi normal.

Multikolinearitas

Berdasarkan hasil output SPSS, didapatlah nilai

VIF yang disimpulakn pada tabel di bawah ini

Tabel 2. VIF

Variabel VIF

Yi

Pgi

Upi

6,528

1,020

6,568

Sumber: Hasil penelitian 2013

Berdasarkan Tabel di atas, nilai VIF

(Variance Inflation Factor) dari semua variabel

bebas bernilai lebih kecil dari 10, maka pada

model regresi yang terbentuk tidak terjadi

gejala multikolinearitas diantara variabel-

variabel bebas.

Heterokedastisitas

Berdasarkan pengolahan SPSS dihasilkan

output sebagai berikut:

Tabel 3. Uji Heterokedastisitas

R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

,378a ,143 ,104 4,80771E9

Sumber: hasil penelitian 2013

Berdasarkan output di atas, maka

diperoleh nilai X2 hitung = 164 x 0,143 =

23,452. Sedangkan nilai X2

tabel dengan df =

0,05, 7 adalah sebesar 14,067. Karena X2 hitung

(23,452) > X2 tabel (14,067) maka pada model

regresi tersebut terjadi gejala heterokedastisitas.

Uji Autokorelasi

Pada awalnya berdasarkan hasil

pengolahan dengan SPSS 19, diperoleh nilai

Durbin-Watson yaitu sebesar 1,766. Adapun

berdasarkan tabel Durbin-Watson dengan n =

164 dan K = 4, maka diperoleh nilai dL =

1,7075 dan dU =1,7820, sehingga dari nilai-

nilai tersebut tidak ada keputusan bahwa

hipotesa nol yang menyatakan tidak ada

Page 11: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 1, No. 1, Februari 2013 - 74

autokorelasi positif. Hal ini menyebabkan

biasnya keputusan masalah autokorelasi pada

model regresi, sedangkan yang diharapkan lebih

baik adalah tidak adanya masalah autokorelasi.

Namun setelah dilakukan perbaikan uji

melalui transformasi variabel dengan

menggunakan metode estimasi ρ (rho)

berdasarkan statistik Durbin-Watson

(Gujarati:1993:221), maka diperolehlah nilai

Durbin-Watson yang lebih baik yakni sebesar

1,990. Dikatakan lebih baik karena nilai

Durbin-Watson (d)-nya lebih besar dari nilai dU

(1,7820) dan lebih kecil 4 – dU (2,218).

Berdasarkan Tabel 4.9 Aturan Keputusan Uji

Durbin-Watson (d) jika dU < d < 4 – dU maka

keputusanya jangan tolak hipotesa nol yang

menyatakan tidak ada autokorelasi positif atau

negatif.

Uji F

Berdasarkan hasil pengolahan data yang

telah diatasi masalah asumsi klasik autokorelasi

diperoleh nilai F hitung sebesar 2006,245 lebih

besar dari nilai F tabel (2,66) dan nilai Sig.

0,000 < 0,05. Sehingga dapat dikatakan secara

bersama-sama variabel-variabel independent

signifikan mempengaruhi biaya hidup, dan

model dinyatakan cocok atau fit atau persamaan

regresi yang terbentuk mampu menggambarkan

keadaan yang sesungguhnya.

Uji t

Berdasarkan hasil pengolahan data, maka

diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4. Uji t, Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Biaya Hidup di Indonesia

Model

Unstandardized

Coefficients t Sig. B

(Constant)

Yi

Pgi

Upi

-399902,622

1,066

1,223

,092

-2,950

70,975

1,281

4,342

,004

,000

,202

,000

Sumber: Hasil penelitian 2013

Untuk tingkat signifikansi 0,05 variabel

pendapatan perkapita (Yi) memiliki nilai hitung

sebesar (70,975) > t tabel (1,65443 ) dan nilai

Sig 0,000 < 0,05. Sehingga variabel

pendapatan perkapita memiliki pengaruh positif

terhadap biaya hidup. Adapun variabel upah

(Upi) secara uji t statistik memiliki pengaruh

secara positif dengan nilai t hitung sebesar

(4,342) > t tabel (1,65443) nilai signifikan

0,010 < 0,05. Adapun variabel pertumbuhan

penduduk (Pgi) tidak memiliki pengaruh secara

positif terhadap biaya hidup pada tingkat

kepecayaan 0,05.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pada tingkat signifikansi 0,05, pendapatan

perkapita dan tingkat upah mempengaruhi

biaya hidup perkapita antar wilayah (antar kota)

di Indonesia secara positif. Adapun variabel

pertumbuhan penduduk dan tingkat kepadatan

penduduk, tidak ditemukan pengaruh positif ke

dua variabel tersebut terhadap biaya hidup

perkapita.

Saran

1. Bagi penelitian selanjutnya, perlu diteliti

faktor-faktor lain yang mempengaruhi

perbedaan biaya hidup antar wilayah, seperti

Page 12: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

75 - Volume 1, No. 1, Februari 2013

tingkat pengangguran, budaya, jarak dengan

tempat produksi dan sebagainya yang dapat

berhubungan dengan biaya hidup.

2. Bagi penelitian selanjutnya, perlu juga

dianalisis perbedaan biaya hidup antar

wilayah agar informasi hasil penelitian

mengenai biaya hidup lebih bervariatif dan

lebih menarik.

3. Bagi pemerintah dan praktis diharapkan

mampu mengambil kebijakan yang baik dan

sesuai, yang berhubungan dengan biaya

hidup seperti gaji tenaga kerja sebagai akibat

setiap wilayah memiliki biaya hidup yang

berbeda dengan wilayh lainnya.

4. Peran aktif pemerintah di dalam menjaga

distribusi dan pengontrolan terhadap harga

beberapa jenis barang yang langsung

berkenaan dengan kehidupan masyarakat,

terutama barang yang bersifat subtansi;

ajakan moral untuk menabung; penyediaan

saran publik yang baik; membuka kawasan

produksi produksi baru, semua itu dapat

dijadikan sebagai upaya untuk mengurangi

tingkat biaya hidup yang tinggi di suatu

wilayah

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia,

2010. Statistik Indonesia. Statistical Yearbook

of Indonesia 2010. No Publikasi: 07330.10.16.

Katolog BPS:1101001.

Case, Karl E dan Fair, Ray C., 2007. Prinsip-Prinsip

Ekonomi Mikro. Edisi ketujuh. Jakarta: PT.

Indeks.

--------------------------------------, 2009. Prinsip-

Prinsip Ekonomi Makro. Edisi lima. Cetakan

ke-tiga. Jakarta: PT. Indeks.

Cebula, R.J., 1980. Determinants of Geographic

Living-Cost Differentials in the United States:

An Empirical Note. Land Economics, ©1980

by the Board of Regents of the University of

Wisconsin System. 56 (4). 477- 481.

-----------------------, 1983. Right-to-Work Laws and

Geographic Differences in Living Costs: An

Analysis of Effects of the „Union Shop‟ Ban for

the Years 1974,1976, and 1978. American

Journal of Economics and Sociology. 42 (3).

329-340.

-----------------------. dan Toma, Michael, 2008. An

Empirical Analysis of Determinants of

Interstate Living-Cost Differentials, 2005. The

Journal of Regional Analysis & Policy. ©2008

MCRSA, All rigats reserved. 38 (3). 222-228.

Gujarati, D.N., 2007. Dasar-dasar Ekonometrika.

Edisi Ketiga, Jilid 1, Jakarta: Erlangga.

------------------------------ dan Zain Sumarno. (1993)

Ekonometrika Dasar. Jakarta:Erlangga

Haworth C.T, dan Rasmussen, D.W. (1973).

Determinants of Metropolitan Cost of Living

Variations. Southern Economic Journal. 40 (2).

183-192.

Kurre, J. A., 2000. Differences in the Cost of Living

Across Pennsylvania’ 67 Counties. The Center

for Rural Pennsylvania, A Legislative Agency

of the Pennsylvania General Assembly. pp: 1-

88.

---------------------, 2003. Is the Cost of Living Less

in Rural Areas. International Regional Science

Review. 26 :86-116.

McEachern, 2001. Ekonomi Mikro. Jakarta: Salemba

Empat.

McMahon, W.W., dan Melton, 1978. Measuring

Cost of Living Variation. Industrial Relations.

by The Regents of the University of California.

17 (3), 324-332.

McMahoon, W.W., 1991. Geographical Cost of

Living Differences: An Update. AREUEA

Journal. 19 (3). 426-450.

Nicholson, W., 1992. Mikroekonomi Intermediate

dan Penerapannya. Edisi ketiga. Jilid 1.

Jakarta: Erlangga.

Ostrosky, A. L., 1983. Determinants of Geographic

Living-Cost Differentials in the United States:

Comments. Land Economics by the Board of

Regents of the University of Wisconsin System.

59 (3), 350-352.

Phlips, L., 1983. Applied Consumption Analysis,

Revised and Enlarged Edition. New- York:

North-Holland Publishing Company

Amsterdam-New York-Oxford.

Rahardja, P., dan Manurung, Mandala, 2008.

Pengantara Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi &

Page 13: pengaruh pendapatan perkapita, pertumbuhan penduduk, dan

Jurnal Ilmu Ekonomi

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 1, No. 1, Februari 2013 - 76

Makroekonomi). Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

Samuelson, P.A., dan Nordhaus, Wiliam D, 2004.

Ilmu Makroekonomi. Edisi tujuh belas. Jakarta:

P.T. Media Global Edukasi

Silberberg, E., 1990. The Structure of Economics: A

Mathematical Analysis, International Edition.

Singapore: McGraw Hill.

Sudarsono, 1995. Pengantar Ekonomi Mikro.

Cetakan kedelapan (edisi revisi). Jakarta:

LP3ES.

Suliyanto, 2011. Ekonometrika Terapan: Teori-

Aplikasi. Yogyakarta: Andi

Todaro, P. M., dan Smith, C. Stephen, 2006.

Pembangunan Ekonomi. Edisi kesembilan.

Jilid 1. Jakarta: Erlangga.