pengaruh variasi kandungan abu batubara sub-bituminous dan
TRANSCRIPT
Pengaruh Variasi Kandungan Abu Batubara Sub-Bituminous dan Suhu Reaksi terhadap Yield & Rasio Mol H2/CO Gas Sintesis Dengan Metode Gasikasi
Kukus
Aula Arief Atmojo, Dijan Supramono
1. Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Batubara sebagai sumber bahan bakar konvensional yang populer dapat dimanfaatkan menjadi sumber utama energi. Pengolahan batubara menjadi bahan bakar cair dapat melalui proses Fishcer-Tropsh. Untuk kemudahan proses ini yaitu melalui gasifikasi batubara yang mana menjadi gas H2 dan CO dengan perbandingan 2:1. Namun kandungan batubara yang kurang diperhatikan akan mengganggu proses gasifikasi dan mempengaruhi kualitas dan gas sintesis tersebut. Kenyataanya kandungan abu dalam batubara dapat menjadi katalis terhadap proses-proses gasifikasi. Oleh karena itu diperlukan teknologi penghilangan kadar abu dalam batubara yaitu acid-washing/acid-leaching yang mana dilakukan pencucian batubara menggunakan asam HCl encer, melihat fakta bahwa ketersediaannya yang banyak dan merupakan pelarut yang baik dan tidak meninggalkan karboksilat dalam reaktor maupun mudah untuk ditiriskan sebagai dasar pertimbangan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kandungan abu dan suhu reaksi gasifikasi terhadap yield dan rasio mol H2/CO gas sintesis. Gasifikasi dilakukan dengan metode gasifikasi kukus (steam gasification) yang menggunakan umpan arang dan kukus agar meningkatkan rasio mol H2/CO. Suhu operasi yang digunakan adalah 650°C, 700°C, 750°C dan 800°C. Rasio kukus terhadap arang, steam/C ditetapkan sebesar 2,7 dan waktu tinggal kukus dalam unggun arang adalah 3,5 detik. Dilakukan dua variasi gasifikasi batubara dalam satu feedstock yang masih memiliki kandungan abu (kandungan abu 5,28%) dan yang sudah dihilangkan kandungan abu, sebelum dilakukannya gasifikasi. The Effect of Ash Content in Sub-Bituminous Coal and Temperature Reaction to Yield
and Mol Ratio H2/CO Synthesis Gas through Steam Gasification
ABSTRACT
Coal as a popular source of conventional fuel can be utilized as major source of energy. Coal processing into conversed liquid fuel can be applied through Fishcer-Tropsh process. One of the technology that can convert coal into gas before liquid fuel is gasification. Where coal will be converted into Hydrogen and carbon monoxide gas with the ratio 2:1. Apparently, the mineral matter in coal can be a problem when it undergoes a process which can affect not only the quality of the syngas, but also the process equipment used. In reality, the ash or the mineral content in coal can act as a natural catalysts in gasification process under certain operation conditions. To this extent, we need to apply the method of cleaning the coal from the mineral matter with acid-washing using dilute sodium chloride, knowing its availability and its efficiency as a solvent and does not leave any carboxylic traces in reactor. Thus, the conducted research is to observe and analyze the effect of mineral matter in coal and temperature reaction of gasification against the yield and mol ratio of H2/CO through steam gasification technology;where the feed is coal char and steam to increase the mol ratio of H2/CO. The operation temperatures are 650, 700, 750, and 800°C. Ratio of Steam/carbon 2,7 and the residence time of steam in char bed 3,5 seconds. With 2 feed variables, one with char (5,28%) and without char(0,8%). Keywords: Sub-Bituminous Coal; Mineral Matter; Ash Content; Catalytic Effect; Steam Gasification; Acid-washing/Leaching Method; Fixed Bed Reactor
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, baik berupa
biodiversitasnya yang terkenal akan kekayaan plasma nutfah, namun juga kaya akan sumber
daya mineralnya. Dengan kekayaan ini, Indonesia sangat berpotensi untuk memaksimalkan
sumber daya tersebut terutama di bidang energi. Faktanya potensi energi baik berupa
konvensional dan apalagi yang non-konvensional masih belum termanfaatkan dengan baik,
bahkan kesiapan teknologi dalam pengelolaan energi masih kurang optimal. Menipisnya
cadangan energi di bidang konvensional menuntut dikembangkannya teknologi untuk
mengolah energi non-konvensional, yang mana salah satu contohnya yaitu batubara.
Berdasarkan data dari German Federal Institute for Geosciences and Natural Resources
(BGR), mengutip dari The Energy Study 2015, pada akhir tahun 2014, cadangan batubara di
dunia sekitar 985 gigaton (Gt) yang mana sekitar 699 Gt berupa batubara berjenis hard coal
dan sekitar 286 Gt berupa batubara berjenis lignite. Sumber daya global batubara jauh lebih
banyak daripada cadangannya;total ada 17.713 Gt (hard coal) dan 4.419 Gt (lignite). Produksi
batubara global total yaitu 8,2 Gt pada tahun 2014, yang mana sebagian besar berupa hard
coal (7,2 Gt). Dari aspek geologis, cadangan dan sumber daya hard coal dan lignite yang
tersebar di berbagai negara akan dapat memenuhi permintaan global dalam banyak dekade ke
depan. Data dari BP 2015, faktanya batubara adalah sumber bahan bakar fosil yang sampai
sekarang masih merupakan sumber daya global terbesar;konten energi dari semua cadangan
pada tahun 2014 total bernilai 37.934 Giga Joule, dan karena itu telah sedikit tumbuh sekitar
0,8% /tahun. Indonesia tercatat memiliki cadangan batubara sebesar 2.8017 juta ton(BP-
Statistical Review of World Energy 2016).
Batubara secara umum dibedakan berdasarkan jenis dan kedalamannya dari lapisan
tanah. Berdasarkan kedalamannya, jenis-jenis batubara adalah antrasit, bituminous, sub-
bituminous, dan lignite. Jumlah cadangan batubara antrasit dan bituminous yang menipis
mulai mendesak instansi penelitian dan perusahaan untuk menggunakan batubara jenis sub-
bituminous. Selama ini, kekayaan batubara Indonesia diekspor ke luar negeri, seperti
Tiongkok, India, Jepang, dan Korea. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada
tahun 2012, mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2012 yang melarang ekspor
bahan tambang mentah ke luar negeri. Penerbitan peraturan ini dilakukan upaya diversifikasi
pemanfaatan energi di dalam negeri. Juga, pada tahun 2014, pemerintah Indonesia
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2014 yang mengatur tentang pematokan
harga batubara jenis tertentu untuk keperluan tertentu, penetapan surveyor untuk analisis
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
kualitas dan kuantitas batubara tertentu, serta evaluasi permohonan rekomendasi persetujuan
ekspor produk pertambangan hasil pengolahan mineral logam. Penerbitan peraturan ini
dilakukan sebagai upaya kemandirian pemerintah dalam mengelola jenis batubara tertentu
dan batubara untuk keperluan tertentu dalam memverivikasi analisis kualitas dan kuantitas
batubara yang apabila ingin diekspor tidak dalam bentuk mentah, namun sudah diolah terlebih
dahulu, guna meningkatkan nilai jual dari produksi batubara (ESDM, 2014).
Produksi batubara berdasarkan data yang ada menyatakan bahwa pada 2015,
Indonesia merupakan negara dengan produksi batubara terbesar ke-4 (241,1 juta ton standard
barel minyak) di kawasan Asia Pasifik setelah Tiongkok(1827 juta ton standar barel minyak),
Amerika Serikat(455,2 juta ton standar barel minyak), India(283,9 juta ton standar barel
minyak), Australia(275 juta ton standar barel minyak) dan Indonesia posisi ke-5 dari seluruh
negara, yang mana disusul oleh Rusia (184,5 juta ton standard barel minyak), Afrika
Selatan(142,9 juta ton standard barel minyak), dan negara-negara lainnya(BP, 2015).
Indonesia memiliki potensi produksi batubara yang besar, namun sampai saat ini
belum bisa dimanfaatkan secara maksimal di dalam negeri. Selama ini, sebagian besar hasil
produksi batubara langsung diekspor ke luar negeri. Berdasarkan data dari worldcoal.org,
pada tahun 2013 Indonesia merupakan pengekspor batubara terbesar di dunia, di atas
Australia, Rusia, USA, Kolombia, Afrika Selatan, dan Kanada. Sedangkan, pada tahun
2013,Tiongkok merupakan pengimpor batubara terbesar di dunia, di atas Jepang, India, Korea
Selatan, Taiwan, Jerman, dan UK.
Pemanfaatan batubara di Indonesia, khususnya batubara sub-bituminous, melihat fakta
bahwa batubara jenis lignite dan sub-bituminous adalah jenis batubara terbanyak di Indonesia
(2807 juta ton) menurut data dari Tabel Total Proved Reserves of Coal (BP, 2016) pada
penghujung tahun 2015; melihat bahwa tidak ada lagi cadangan batubara jenis antrasit dan
bituminous, lebih banyak dilakukan melalui metode pembakaran langsung untuk pembangkit
listrik ataupun sumber energi industri. Berdasarkan tuntutan pengembangan teknologi ramah
lingkungan, penerapan teknologi gasifikasi lebih sesuai digunakan untuk pemanfaatan
batubara Indonesia karena teknologi ini lebih ramah lingkungan. Pembakaran langsung
batubara menimbulkan emisi pembakaran yang sulit dipisahkan, seperti CO2 dan SO2.
Kandungan dan tekanan CO2 yang dihasilkan dalam proses gasifikasi lebih tinggi sehingga
memungkinkan dilakukan proses pemisahan CO2 untuk direinjeksi ke dalam tanah kembali,
selain itu, dalam metode gasifikasi, kandungan sulfur dalam batubara diubah menjadi
hidrogen sulfida (H2S) dalam proses pirolisis yang memungkinkan untuk diekstrak menjadi
cairan atau padatan yang bernilai komersial (Department Of Energy, 2011). Hal inilah yang
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
menyebabkan teknologi gasifikasi lebih ramah lingkungan dibandingkan metode pembakaran
langsung.
Batubara sub-bituminous memiliki kandungan abu rata-rata sebesar 6 % dalam
keadaan kering. Nilai kadar abu dalam batubara menyebabkan rendahnya nilai kalor dari
jenis batubara tersebut. Pada saat proses pembakaran semua zat organik akan teroksidasi
menjadi zat-zat seperti CO2 dan H2O yang akan menghasilkan kalor, sedangkan
mineral-mineral tidak akan teroksidasi dan hanya akan mengendap. Kandungan abu yang
terkandung di dalam batubara, selain mengakibatkan nilai kalor & nilai jual yang rendah, juga
dapat mengakibatkan banyaknya emisi pembakaran (fly ash) yang dapat mencemari
lingkungan & mengganggu kesehatan manusia(Samaras et al., 1996). Untuk mengurangi
kandungan abu batubara, dapat digunakan metode pencucian batubara sebelum pembakaran,
yaitu metode acid-washing, dengan menggunakan asam.
Di lain pihak, kandungan abu dalam batubara bisa berfungsi sebagai katalis pada
reaksi-reaksi yang terjadi dalam proses gasifikasi karena ash tersusun dari senyawa-senyawa
mineral(Hattingh et al., 2011). Agar bisa berfungsi sebagai katalis, kandungan abu dalam
batubara setidaknya> 5% (Okuyama et al., 2014). Gasifikasi batubara dalam penelitian ini
hanya menggunakan umpan char(arang) dan uap air. Tujuannya agar meningkatkan rasio mol
H2/CO dari gas sintesis yang diproduksi(Jangsawang et al., 2006).
Pengurangan kandungan abu memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap gas
sintesis dari proses gasifikasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kong et al. (Kong
et al., 2014), gasifikasi batubara dengan kandungan abu yang tinggi mampu meningkatkan
rasio mol H2/CO 2 – 3 kali lebih besar daripada kandungan abu yang rendah. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Namkung et al. (2014), konversi karbon dari gasifikasi batubara yang
kandungan abu yang tidak dihilangkan bisa mencapai 80% dengan waktu reaksi 60 menit.
Konversi karbon yang besar menunjukkan yield gas sintesis yang lebih besar. Untuk
membantu proses gasifikasi yang menghasilkan gas H2 dan CO2 tinggi, maka diperlukan
kandungan abu yang tinggi. Sementara kandungan abu yang rendah, meningkatkan produksi
gas CO dan CH4 (Jiang et al., 2015).
Pada penelitian ini, batubara yang digunakan adalah batubara jenis sub-bituminous.
Batubara jenis ini digunakan karena kandungan abu rata-rata sebesar 5,28%, memenuhi syarat
agar kandungan abu bisa berfungsi sebagai katalis(> 5%). Selain kandungan abu yang
memenuhi syarat, batubara sub-bituminous digunakan pada penelitian ini karena cadangan
batubara anthrasite dan bituminous sudah menipis(BP, 2016). Kedua jenis batubara tersebut
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
merupakan batubara lapisan terluar sehingga perlu menggunakan batubara dari lapisan yang
lebih dalam.
Pada penelitian sebelumnya oleh Dijan(Dijan et al., 2014), gasifikasi batubara lignite
menghasilkan rasio gas H2/CO 1,682 setelah ditambahkan katalis K2CO3. Sedangkan tanpa
menambahkan katalis K2CO3, rasio gas H2/CO menjadi lebih tinggi walaupun masih ≤ 2.Pada
penelitian ini, tidak digunakan senyawa lain sebagai katalis. Ash dalam batubara dianggap
sebagai katalis. Korelasi antara kandungan abu (tanpa abu dan dengan abu) dengan yield gas
dan rasio H2/CO akan ditinjau pada penelitian ini.
Rasio antara steam terhadap karbon dan waktu tinggal steam dalam unggun arang
batubara pada proses gasifikasi mempengaruhi rasio dan yield gas sintesis secara signifikan.
Maka, rasio steam terhadap karbon dan waktu tinggal steam ditetapkan menjadi kondisi
operasi. Penelitian yang dilakukan oleh Lv et al. (Lv et al., 2004), rasio steam terhadap
karbon lebih besar dari 2,7 tidak menunjukkan perubahan komposisi dan yield gas sintesis.
Penelitian yang dilakukan Pan et al.(Pan et al. , 2000) untuk gasifikasi arang campuran
batubara dan biomassa, menunjukkan bahwa waktu tinggal steam selama 3,5 detik di dalam
unggun char merupakan waktu yang cukup untuk steam bereaksi dengan arang. Pada
penelitian ini, kondisi operasi yang digunakan adalah rasio steam terhadap karbon sebesar 2,7
dan waktu tinggal steam selama 3,5 detik.
Banyaknya kandungan abu dalam batubara divariasikan (sebelum P tanpa abu dan setelah P
dengan abu) untuk melihat seberapa besar pengaruhnya sebagai katalis alami terhadap proses
gasifikasi. Suhu reaksi yang digunakan tidak lebih dari 800°C untuk menghindari
pembentukan gas CO yang berlebih sehingga rasio mol H2/CO bisa mendekati 2. Dengan
demikian, penelitian tentang pengaruh kandungan abu terhadap rasio mol H2/CO dan yield
dari gas sintesis hasil gasifikasi batubara harus dilakukan.
Tinjauan Teoritis Diperkirakan 30% cadangan batubara yang ada di dunia adalah batubara sub-bituminous
(World Coal Association, 2016); Walaupun cadangan sub-bituminous cukup besar, cadangan
ini belum sepenuhnya dieksploitasi karena heating value yang lebih kecil daripada
bituminous(Závodská, 2007). Batubara sub-bituminous memiliki tingkat reaktivitas yang
tinggi karena kandungan senyawa volatil dalam batubara jenis ini tergolong tinggi(Li, 2010).
Kandungan senyawa volatil yang tinggi ini menyebabkan batubara sub-bituminous akan
membentuk pori arang yang lebih besar dan lebih banyak(World Coal Institue, 2005). Luas
pori arang yang besar akan mengakibatkan pada luas permukaan reaksi gasifikasi yang
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
terbentuk semakin besar sehingga proses perengkahan ikatan karbon rantai panjang dari arang
menjadi karbon rantai pendek menjadi lebih mudah(Roberts et al., 2003). Kemudahan dalam
memutuskan rantai panjang karbon menyebabkan proses gasifikasi lebih mudah
menghasilkan gas sintesis(Závodská, 2006). Hal ini menjadi alasan pemanfaatan batubara
sub-bituminous dalam reaksi gasifikasi menghasilkan gas sintesis.
Metode gasifikasi kukus membutuhkan sumber panas eksternal apabila kukus digunakan
sebagai satu-satunya media gasifikasi. Kukus digunakan sebagai media gasifikasi dan
diperlukan sumber panas eksternal (misalnya pemanas elektrik) untuk memberikan suplai
panas bagi reaksi gasifikasi(Mohamad et al., 2011). Gas yang dihasilkan dari metode
gasifikasi kukus merupakan gas berenergi tinggi (15-20 MJ/Nm3) (Sadaka, 2009).
Dibandingkan metode gasifikasi oksigen, metode gasifikasi kukus masih lebih murah karena
biaya produksi oksigen diperkirakan 20% lebih mahal daripada biaya produksi listrik (Rocca,
2001).
Dalam proses gasifikasi, terjadi reaksi yang dapat digolongkan menjadi dua kelompok
besar yaitu reaksi heterogen dan reaksi homogen(Sadaka, 2009). Pada reaksi heterogen, arang
dalam fase padat bereaksi dengan gas membentuk gas sintesis. Reaksi heterogen pada proses
gasifikasi adalah:
a) Reaksi Boudouard
Reaksi Boudouard merupakan reaksi antara arang dengan gas karbon dioksida
membentuk gas karbon monoksida. Reaksi ini merupakan reaksi
endothermis(Williams et al., 2000). Reaksi tersebut ditulis pada persamaan
sebagai berikut:
C + CO2⇌ 2 CO ΔH : +173,0 kJ/mol [1]
b) Reaksi Water-Gas
Reaksi Water-Gas merupakan reaksi antara arang dengan uap air membentuk gas
karbon monoksida dan gas hidrogen. Reaksi Water-Gas merupakan reaksi
endothermis(Higman, 2006). Persamaan reaksi ditulis sebagai berikut:
C + H2O (g) ⇌CO + H2 ΔH : +131,4 kJ/mol [2]
c) Reaksi Methanation
Reaksi Methanation merupakan reaksi antara arang dengan gas hidrogen
membentuk gas metana. Reaksi ini merupakan reaksi eksotermis(Higman, 2006).
Persamaan reaksi ditulis sebagai berikut:
C + 2 H2⇌ CH4 ΔH :- 71,0 kJ/mol [3]
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
Reaksi homogen pada proses gasifikasi adalah reaksi yang reaktannya berada pada kondisi
fase yang sama. Reaksi homogen yang terjadi adalah:
a) Reaksi CO Shift atau Water-Gas Shift
Reaksi CO Shift merupakan reaksi antara gas karbon dioksida dengan uap air.
Reaksi ini merupakan reaksi eksothermis. Persamaan reaksi ditulis sebagai
berikut(Sadaka, 2009):
CO + H2O ⇌ CO2 +H2 ΔH : - 41 kJ/mol [4]
b) Reaksi Steam Methane Reforming
Reaksi ini merupakan reaksi pembentukan gas karbon dioksida dan gas hidrogen
dari reaksi antara gas metana dengan uap air. Reaksi ini membutuhkan panas
sehingga tergolong reaksi endothermis. Persamaan reaksi ditulis sebagai
berikut(Sadaka, 2009):
CH4 + H2O ⇌CO + 3 H2 ΔH : +206 kJ/mol [5]
Proses gasifikasi yang umum digunakan adalah gasifikasi udara, gasifikasi oksigen, dan
gasifikasi kukus.
Pada Gambar 1 berikut dapat dilihat block flow diagram yang disederhanakan dari penelitian
Gambar 1. BFD Produksi Penelitian Gasifikasi Kukus
Metode Penelitian
Urutan proses kerja yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2
di bawah ini.
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Persiapan Alat dan Bahan
Alat-alat utama tahapan pretreatment yaitu neraca digital, cawan kosong dengan penumbuk,
labu Erlenmeyer, gelas ukur, saringan 170 mesh, magnetic stirrer. Bahan utama yang
digunakan yaitu batubara sub-bituminous, aquades, asam HCl teknis (32%). Sedangkan untuk
proses berikutnya menggunakan alat desikator, muffle furnace, reaktor pirolisis, dan
rangkaian peralatan reactor gasifikasi(furnace, termokopel, steam generator, liquid water and
solid trap).
Analisis Batubara: Proksimat dan Ultimat
Analisis proksimat merupakan metode analisis batubara yang mengindikasikan persentase
dari berat fixed carbon(karbon terikat), volatile matter, kandungan abu (kadar abu) dan
moisture content (kadar kelembaban) di dalam batubara. Banyaknya fixed carbon dan volatile
matter berkontribusi secara langsung pada heating value (nilai pemanasan) dari batubara(Tan
et al., 2015). Fixed carbon memiliki fungsi sebagai generator panas selama pembakaran.
Volatile matter yang tinggi mengindikasikan kemudahan dalam pembakaran. Kandungan abu
berpengaruh terhadap perancangan bentuk furnace, volume pembakaran, peralatan pengendali
polusi, dan sistem pengendalian abu dari furnace(Parikh et al., 2005).
Analisis ultimat adalah metode analisis batubara yang mengindikasikan unsur-unsur
kimia konstituen seperti karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dan sebagainya (Tan et al., 2015).
Analisis ini berguna untuk mengetahui kuantitas udara yang dibutuhkan untuk pembakaran
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
dan volume serta komposisi dari gas hasil pembakaran. Volume dan komposisi gas
merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui suhu nyala api dari pembakaran batubara.
Penumbukan Batubara dan Pengayakan
Batubara ditumbuk dengan mortar, kemudian diayak menggunakan dua saringan dengan
ukuran 170 mesh (0,25 mm). Batubara 100 gr ditimbang dengan neraca digital lalu
dimasukkan ke dalam wadah sampel.
Acid-Washing Batubara
Pencucian batubara sub-bituminous dilakukan dengan cara melarutkan batubara ke dalam
pelarut HCl encer 0,05 M dalam kondisi pengadukan (menggunakan magnetic stirrer) tanpa
penambahan suhu. Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan kadar abu yang berpengaruh
terhadap hasil dari gas sintesis yang akan dianalisis.
Pirolisis
Pirolisis dilakukan untuk mengasilkan char sebagai feed pada reaksi gasifikasi yang berupa
char(arang). Kualitas arang yang dihasilkan akan mempengaruhi feed dari gasifikasi. Pirolisis
dilakukan dengan laju reaksi 4,5/menit pada suhu 850°C.
Analisis BET
Analisis BET bertujuan untuk menghitung luas permukaan arang batubara. Arang batubara
tanpa abu memiliki perbedaan luas permukaan yang berbeda terhadap arang batubara dengan
abu karena kandungan abu meninggalkan partikel batubara sehingga membentuk ruang
kosong/pori-pori pada partikel batubara. Variasi kandungan abu dilakukan sebelum tahap
pirolisis. Batubara yang telah dipirolisis, akan memiliki luas permukaan yang lebih besar
daripada yang tidak dipirolisis. Volatile matter terurai saat proses pirolisis dan meninggalkan
permukaan batubara sehingga menambah jumlah pori-pori batubara. Analisis BET
menggunakan gas N2 sebagai gas yang akan mengalami adsorbsi fisik oleh arang batubara
sehingga luas permukaan arang dapat dihitung.
Gasifikasi
Gasifikasi kukus yang digunakan dalam penelitian ini memvariasikan kondisi feed char ada
abu(5,28%) dan tidak ada abu(0,8%). Serta variable penelitian ini adalah suhu operasi 650°C,
700°C, 750°C dan 800°C. Sehingga dilakukan run sebanyak 8 kali. Rasio kukus/karbon 2,7
dan waktu tinggal kukus di dalam unngun arang batubara 3,5 sekon.
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
Analisis Gas Chromatography
Sampel produk gas sintesis dianalisis untuk mengetahui konsentrasi komponen penyusun di
dalamnya (H2, CO, CO2, dan CH4). Analisis komposisi dilakukan dengan kromatografi gas
(GC). Berikut adalah tahapan pengambilan sampel dan analisis :
(1) Sampel gas sintesis diambil dengan menggunakan gas-tight syringe khusus
dari sampling port.
(2) Sampel gas tersebut kemudian diinjeksikan ke dalam injection port GC.
(3) Hasil analisis sampel dibaca melalui peak-peak yang muncul pada digital
electronic integrator.
Kromatografi gas yang digunakan pada penelitian ini merupakan jenis TCD (Thermal
Conductivity Detector). Detektor TCD dapat menganalisis komponen H2, N2, CO2, CO, dan
CH4.
Pengolahan Data
Data keluaran kromatografi gas diolah terlebih dahulu untuk dapat mengetahui rasio H2/CO,
yield gas sintesis, dan persentase konversi karbon yang menjadi parameter keluaran penelitian
ini. Perhitungan rasio H2/CO, yield gas, dan prosentase konversi karbon tercantum dalam
Tabel 1.
Tabel 1. Rumus Perhitungan Analisis Produk
Objek Analisis Rumus Perhitungan Massa karbon total yang terkonversi !! =
!"#$ !"# !"#×(!!" + !!"! + !!"!)22,4!!!
× 12 !"!!!
!!!"
Mol H2 !"#!! =!"#$ !"# !"# ×(!!!)
22,4!!!!"
!!!
!!!"
Mol CO !"#!" =!"#$ !"# !"# ×(!!")
22,4!!!!"
!!!
!!!"
Mol CH4 !"#!"! =!"#$ !"# !"# ×(!!"!)
22,4!!!!"
!!!
!!!"
Mol CO2 !"#!"! =!"#$ !"# !"# ×(!!"!)
22,4!!!!"
!!!
!!!"
Rasio H2/CO !!!"
=!!(!"#)!" (!"#)
Data kromatografi gas yang keluar pada pembacaan data adalah peak area dari masing-
masing komponen di dalam gas sintesis. Besarnya peak area tersebut akan dibagi dengan
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
persamaan gradien kurva kalibrasi masing-masing komponen. Perhitungan menggunakan
integral luas dari grafik yang terbentuk pada perolehan jumlah mol gas terhadap waktu.
Asumsi yang digunakan adalah gas sintesis yang dihasilkan sepanjang waktu ditampung pada
suatu wadah. Setelah proses gasifikasi selesai, dihitung jumlah gas H2, CO, CH4, dan CO2
rata-rata yang tersimpan. Gas yang dianalisis oleh gas chromatography, akan menghasilkan
data berupa besarnya peak area untuk masing-masing komponen yang terdapat dalam gas
hasil gasifikasi dan gas inert yang menjadi gas pendorong (H2, N2, CO, CH4, CO2). Besar
peak area yang dikeluarkan dari data gas chromatography akan dibagi dengan nilai
kemiringan kurva kalibrasi dari komponen-komponen gas hasil gasifikasi. Rumus perhitungan
konsentrasi (%-volume) komponen gas hasil gasifikasi adalah:
%− !!! =!"#$ !"#! !!
!"#$" !"#$%$&'(& !"#$% !"#$%&"'! !"# !!
%− !!! =!"#$ !"#! !!
!"#$" !"#$%$&'(& !"#$% !"#$%&"'$ !"# !!
%− !!" =!"#$ !"#! !"
!"#$" !"#$%$&'(& !"#$% !"#$%&"'$ !"# !"
%− !!!! =!"#$ !"#! !"!
!"#$" !"#$%$&'(& !"#$% !"#$%&"'$ !"# !"!
%− !!"! =!"#$ !"#! !"!
!"#$" !"#$%$&'(& !"#$% !"#$%&"'$ !"# !!!
Data yang keluar dari analisis GC dapat diolah untuk mencari mol dari masing-masing
komponen gas hasil gasifikasi dengan menggunakan Persamaan (6.) sampai dengan (9).
!"#!! =!"#$ !"# !"# ×(!!!)
!!,!!!!!"!!!
!!!" (6)
!"#!" =!"#$ !"# !"# ×(!!")
!!,!!!!!"!!!
!!!" (7)
!"#!"! =!"#$ !"# !"# ×(!!"!)
!!,!!!!!"!!!
!!!" (8)
!"#!"! =!"#$ !"# !"# ×(!!"!)
!!,!!!!!"!!!
!!!" (9)
Nilai integral dari persamaan dapat dihitung dengan metode luas permukaan grafik, sehingga
hasil perkalian dari persamaan di dalam kurung, dikalikan dengan waktu sehingga diperoleh
persamaan sebagai berikut: !"#$ !"# !"# ×(!!!)
!!,!!!!! ! (10)
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
Gambar 3. Pengaruh Suhu Reaksi pada Variasi Ada abu(5,28%) dan Tidak ada Abu(0,8%) terhadap (a) Yield Gas Sintetik, (b) Rasio Mol H2/CO
Hasil perkalian pada Persamaan (10) akan dijumlahkan untuk seluruh waktu pengambilan
sampel sehingga diperoleh mol komponen gas secara total selama reaksi berlangsung.
Hasil Penelitian Setelah didapatkan hasil dari penelitian, kemudian akan dibandingkan pengaruh variasi abu
terhadap yield dan rasio mol H2/CO gas sintesis pada setiap suhu reaksi. Pada Gambar 3
menjelaskan perbandingan pengaruh suhu reaksi terhadap yield gas sintetik dengan variasi
ada dan tidak adanya abu, serta pengaruh suh reaksi terhadap rasio mol H2/CO dengan ada
atau tidaknya abu.
Pembahasan Berdasarkan Gambat 6 (a,dan b), telah terbukti bahwa kenaikan suhu reaksi berpengaruh
terhadap yield dan rasio mol H2/CO gas sintetik; bahwa yield gas optimum berada pada suhu
750°C yang mana sesuai dengan teori bahwa kenaikan pada suhu rentangan 700-750°C tidak
terjadi kenaikan laju reaksi yang besar sehingga kenaikan yield tidak terlalu
signifikan(Killmeyer, 2003). Sedangkan rasio mol H2/CO maksimum adalah pada suhu
650°C, kemudian ada penurunan pada suhu 700°C lalu naik pada suhu°C dan turun lagi.
Perbandingan hasil perhitungan yield dan rasio mol H2/CO gas sintesis pada kondisi ada abu
dan tidak ada abu pada berbagai suhu dapat dilihat pada tabel 2.
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
Tabel 2. Persen pengurangan kesalahan setiap pengendali
No Suhu Reaksi
Parameter
Dengan Abu (5,28%) Tanpa Abu(0,8%)
Yield(mol/molC) Rasio Mol
H2/CO
Konversi Karbon(%) Yield(mol/molC)
Rasio Mol
H2/CO
Konversi Karbon(%)
1 650°C 0,09584 1,9356 7,52575 0,11726 0,766645 7,942738
2 700°C 0,20736 1,7781 9,66259 0,20427 0,600277 14,38278
3 750°C 0,23514 1,8678 11,4973 0,26317 0,68981 17,38629
4 800°C 0,21903 1,7461 10,9645 0,11237 0,76578 7,8326882 Evaluasi
Dalam melakukan optimasi dalam menghasilkan gas sintesis yang diinginkan, dapat
dilakukan menggunakan peralatan standard industry, walau begitu pada penelitian ini hal-hal
yang perlu fiperhatikan adalah ketelitian dan perangkaian peralatan utama gasifikasi. Hasil
yang diadaptkan dan penelitian ini sangat berhuungan dengan tahap pengoperasian peraltan
gasifikasi dari tahapan kalibrasi alat, seperti laju alir kukus, laju alir nitrogen, bubble column
sebagai patokan laju alir gas inert (nitrogen), pemasangan peraltan gaifikasi, serta tahapan
running, yang mana alat-alat yang sudah terpasang diperlukan dilakukan pemeriksaan
kembali. Diasumsikan pada suhu tinggi terjadi kendala vapour pressure yang tinggi sehingga
penutup katup karet dan pemasangan termokopel tidak rapat sehingga terjadi kontak udara
dengan partikel arang unggun batubara, sehingga hasil yang didapatkan seperti penelitian
diatas dimana pada suhu 800°C merupakan suhu paling tinggi dan dalam pengendaliannya
terdapat kesulitan. Namun, gangguan ini diatasi dengan cara penutupan katup karet dan
merapatkannya dengan menggunakan aluminium foil dan pengaplikasian gease untuk
mencegah katup terbuka karena tekanan uap dari kukus maupun suhu furnace yang tinggi.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, faktor pertama yang mempengaruhi hasil yang
diinginkan apabila merujuk kepada teori dan penelitian-penelitian sebelumnya adalah tahapan
pretreatment dan penggunaan pelarut untuk mencuci batubara. Hal ini akan berdampak pada
kinerja proses-proses berikutnya. Untuk memastikan agar kandungan abu dapat dihilangkan
secara keseluruhan, diperlukan ketelitian dan kecermatan dalam pengerjaan acid-washing
serta ketepatan dalam mengkuantifikasi hasil yang diinginkan, berdasarkan rujukan. Sehingga
metode acid-washing dapat diterapkan dengan baik untuk proses berikutnya.
Faktor selanjutnya adalah terjadi fluktuasi kenaikan dan penurunan pada indikasi Temperature
control pada furnace gasifikasi. Hal ini terjadi karena katup karet penutup atas reactor kuarsa
gasifikasi terbuka sedikit karena tekanan uap dan suhu operasi yang tinggi, sehingga untuk
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
pergeseran rentang operasi sedikit saja dari rentang yang seharusnya, akan memberikan
dampak yang sangat signifikan terhadap kinerja sistem pengendalian, hasilnya terjadi
penurunan pada rasio mol daan yield dari gas sintetik, walau bukan hanya menjadi factor
utama. Untuk menanggulangi ini, salah satu caranya adalah dengan menggunakan penutup
yang lebih rapat, atau rancangan reactor yang lebih sophisticated agar dapat menahan tekanan
uap sehingga penutup tidak terbuka dan tidak terjadinya kontak dengan udara, yang mana
prinsip gasifikasi adalah tidak boleh ada kontak dengan udara. Dalam penelitian ini
menggunakan kukus sebagai medium gasifikasi. Penggunaan kukus ini(steam gasification)
akan bereaksi dengan dengan karbon monoksida (CO) menghasilkan hidrogen (H2) dan
karbondioksida (CO2) melalui reaksi water gas shift. Hal ini menyebabkan komposisi H2
dalam produk gas sintesis yang dihasilkan dengan metode gasifikasi kukus akan lebih tinggi
(>50%-volume).
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, dapat kita ambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut.
1. Kandungan abu dalam batubara memiliki pengaruh sebagai katalis alami terhadap
reaksi Water-Gas Shift yang mana akan meningkatkan pengaruh kesetimbangan
karena kandungan abu pada batubara akan meningkatkan yield H2 dan reaksi water
gas shift akan lebih baik, apabila disesuaikan dengan perbandingan mol H2O dan
reaksi Boudouard yang kurang dominan dibandingkan reaksi water gas shift pada suhu
operasi 700-750°C dari proses gasifikasi. Namun apabila suhu operasi diatas 750°C
maka reaksi Boudard akan semakin dominan daripada water gas shift, yang mana
menghasilkan CO lebih banyak(lebih buruk) sehingga rasio mol H2/CO bisa menurun.
2. Hasil terbaik diperoleh dari gasifikasi batubara yang tidak mengalami pencucian (non-
deashed-kandungan abu 5,28%) pada suhu reaksi gasifikasi 800°C menghasilkan
yield gas 0,96 mmol/mol C dan rasio mol akumulatifnya H2/CO sebesar 1,868;
sedangkan pada suhu 650°C menghasilkan yield gas 2,35 mmol/mol C(merupakan
rasio maksimum untuk kondisi abu tidak dihilangkan) dan rasio mol akumulatif
H2/CO sebesar 1,935(yang mana merupakan rasio maksimum pada kondisi kandungan
abu tidak dihilangkan).
3. Gasifikasi batubara yang mengalami pencucian (de-ashed-kandungan abu 0,8%)
menghasilkan yield gas tertinggi sebesar 2,632 mmol/mol C pada suhu 750°C dan
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
rasio mol akumulatif H2/CO sebesar 0,76; sedangkan rasio mol akumulatif tertinggi
adalah 0,77 pada suhu 650°C dengan nilai yield gas 0,117 mmol/mol C.
4. Waktu tinggal steam dalam unggun arang selama 3,5 detik belum cukup untuk
membantu reaksi Water-Gas Shift mencapai kesetimbangan dikarenakan masih
sebentar oleh karena itu diharapkan waktu tinggal >3,5 akan lebih meningkatkan rasio
mol H2/CO pada gasifikasi batubara dengan kandungan abu 5,28%.
Saran Untuk menghasilkan penelitian yang lebih baik, berikut beberapa saran yang sebaiknya
dilakukan oleh peneliti selanjutnya.
1. Penggunaan pelarut asam yang lebih hati-hati dan teliti pada tahapan pre-treatment
batubara sehingga dapat menghilangkan seluruh kandungan abu dalam batubara.
2. Peningkatan konsentrasi H2O(kukus) untuk menaikkan kinetika reaksi.
3. Penambahan waktu tinggal steam (residence time) dalam unggun batubara > 3,5 detik
agar reaksi Water-Gas Shift mampu mencapai kesetimbangan.
Daftar Referensi British Petroleum. (2015&2016). BP Statistical Review of World Energy.
British Petroleum. (2016). BP Energy Oulook 2016 edition; Outlook to 2035.
DOE. (2011). Fossil Energy: DOE’s Coal Gasification Technology R&D. Department of
Energy.
ESDM. (2012). Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 BAB VII Pasal 20. Jakarta, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Pp. 11.
ESDM. (2014). Tata Cara Penetapan Harga Patokan Batubara Jenis Tertentu Dan Batubara Utuk Keperluan Tertentu. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 480K/30 Tahun 2014 Pasal 6. Jakarta, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Pp. 11.
Hattingh, Burgert B., Everson, Raymond C., Neomagus, Hein W.J.P., and Bunt, John R.
(2011). Assesing The Catalytic Effect of Coal Ash Constituents on The CO2
Gasification Rate of High Ash, South African Coal. Fuel Processing Technology, 92,
Pp. 2048-2054.
Higman, C., van der Burgt, M. (2003). Gasification. Oxford: Gulf Professional Publishing.
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017
Jangsawang, W., Klimanek, A. and Gupta, A.K. (2006). Enhanced Yield from Wastes using
High Temperatue Steam Gasification. ASME J. Energy Resources Technology, 128,
Pp. 179-185.
Jiang, L., Hu, S., Wang, Y., Su, S., Sun, L., Xu, B., He, L., dan Xiang, J. (2010). Steam
Gasification of Low Rank Coal Chars in a Thermobalance Reactor and a Fluidized
Bed Reactor. The 13th International Conference on Fluidization – New Paradigm in
Fluidization Engineering.
Li, J. (2010). Options for Introducing CO2 Capture and Capture Readiness for Coal-fired
Power Plants in China. Thesis. Imperial College London, UK. Pp. 143-149.
Lv, P.M., Xiong, Z.H., Chang, J., Wu, C.Z., Chen, Y., Zhu, J.X. (2004). An Experimental
Study on Biomass Air-Steam Gasification in Fluidized Bed. Bioresource Technology,
95. Pp. 95-101.
Mohamad, M.F., Ramli, A., Misi, S.E.E., dan Yusup, S. (2011). Steam Gasification of Palm
Kernel Shell (PKS) : Effect of Fe/BEA and Ni/BEA Catalysts and Steam to Biomass
Ratio on Composition of Gaseous Products. World Academy of Science, Engineering
and Technology, 60, Pp. 232-237.
Okuyama, N., Komatsu, N., Shigehisa, T., Kaneko, T., dan Tsuruya, S. (2014). Hyper-Coal
Process to Produce The Ash-Free Coal. Fuel Processing Technology, 85, Pp. 947-967.
Pan, Y.G., Velo, E., Roca, X., Manya, J.J., Puigjaner, L. (2000). Fluidized-Bed Cogasification
of Residual Biomass/Poor Coal Blends for Fuel Gas Production. Fuel, 79, Pp. 1317-
1326.
Parikh, J., Channiwala, S.A., Ghosal, G.K. (2005). A correlation for calculating HHV from
Proximate Analysis of Solid Fuels. Fuel, 84, Pp. 487-494.
Rocca, C.D. (2001). I processi e le tecnologie di gassificazione delle biomasse e dei rifiuti
solidi. Thesis. Chemical Engineering Universita degli Studi, Salerno. Pp. 88.
Roberts, D. G., Harris, D. J., dan Wall, T. F., (2003). On the effects of high pressure and
heating rate during coal pyrolysis on char gasification reactivity.Energy & Fuels,17(4).
Pp. 887-895.
Sadaka, S. (2009). Gasification, Producer Gas and Syngas Agriculture and Natural
Resources. Department of Agricultural and Country Government Cooperating. Pp. 3-7.
Tan, P., Zhang, C., Xia, Ji, Fang, Q.Y., Chen, G. (2015). Estimation of Higher Heating Value
of Coal Based on Proximate Analysis using Support Vector Regression. Fuel
Processing Technology, 138, Pp. 298-304.
Pengaruh Variasi ..., Aula Arief Atmojo, FT UI, 2017