pengembangan budaya akademik dosen: hasil kajian teoritis
TRANSCRIPT
ISBN: 978-602-6804-15-0
Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis dan Hasil Penelitian
Bunga Rampai Forum Diskusi Dosen Tahun 2017
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Editor:
Gelar Dwirahayu
Dimyati Sajari
Eny Supriati Rosyidatun
Diterbitkan Oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018
ii
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Katalog dalam Terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Judul Buku : Pengembangan Budaya Akademik
Dosen: Hasil Kajian Teoritis dan Hasil
Penelitian
Bunga Rampai
Forum Diskusi Dosen Tahun 2017
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
ISBN
: 978-602-6804-15-0
Hak cipta : pada penulis
Penerbit : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir H. Juanda No 95
Telp. +6221 7443328
Cover, Layout dan Tata Letak : 1. Mauludin Hafiz
2. Gelar Dwirahayu
Editor : 1. Gelar Dwirahayu
2. Dimyati Sajari
3. Eny Supriyati Rosyidatun
Copyright : Jakarta, Februari 2018
iii
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SAMBUTAN DARI DEKAN
Bismillâhirrahmânirrahîm
Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, setidaknya saya memiliki dua alasan untuk menyambut
kehadiran buku bunga rampai ini secara antusias. Pertama, buku ini merupakan
hasil pemikiran dan penelitian dosen-dosen FITK yang telah didiskusikan dalam
Forum Diskusi Dosen FITK pada Tahun 2017. Terselenggaranya diskusi dosen ini
berarti menunjukkan telah adanya upaya membangun tradisi dialog secara
akademis dan ilmiah tentang hasil pemikiran dan penelitian yang dilaksanakan
dosen FITK di FITK.
Kedua, buku bunga rampai ini bukan saja bukti terdokumentasinya secara
baik hasil pemikiran dan penelitian dosen FITK, tetapi juga terpublikasikannya
karya mereka sehingga dapat dibaca oleh siapa saja, khususnya oleh dosen dan
mahasiswa FITK, dan umumnya oleh guru-guru dan dosen yang berkomitmen di
bidang pendidikan.
Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-
rekan Dekanat, Panitia Diskusi Dosen, para dosen dan semua pihak yang telah
melakukan perintisan tradisi dialogis-akademis dan ilmiah di lingkungan FITK. Saya
berharap tradisi ini berkelanjutan. Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada
dosen-dosen yang tulisannya dimuat di buku ini dan semua pihak yang
mengakibatkan diterbitkannya buku bunga rampai ini. Mudah-mudahan semua ini
dicatat sebagai amal saleh di sisi Allah Swt.
Jakarta, Februari 2018
Dekan FITK,
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A.
iv
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah
memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga buku bunga rampai ini dapat
terselesaikan. Salawat serta salam teruntuk nabi kita, Nabi Muhammad saw.,
keluarga, kerabat, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Salah satu visi dan misi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan adalah
mengembangkan komitmen dan budaya akademik bagi para sivitas akademika
dan melaksanakan penelitian dan pengembangan keilmuan untuk menghasilkan
karya inovasi di bidang pendidikan. Di antara upaya untuk mencapai visi dan misi
inilah di FITK diselenggarakan rangkaian diskusi dosen yang dilaksanakan sejak
bulan Maret 2017 sampai bulan Desember 2017.
Mengingat terbatasnya jumlah buku hasil karya dosen, maka buku ini
dibuat untuk mengapresiasi dosen yang memiliki ide yang tertuang dalam sebuah
makalah yang merupakan hasil pemikiran maupun hasil penelitian, yang
kemudian dijadikan bahan diskusi dosen FITK Tahun 2017. Buku ini merupakan
kumpulan artikel diskusi dosen dimaksud, yang ditulis oleh Dosen Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan, Para Wakil Dekan, dan seluruh pegawai FITK yang selalu memberikan
dukungan dan bantuan pada pelaksanakan diskusi dosen periode tahun 2017.
2. Kawan-kawan Tim Panitia Diskusi Dosen yang menunjukkan komitmen untuk
melaksanakan diskusi dosen secara konsisten dan terjadwal.
3. Para penulis, para pembahas dan para moderator yang telah memandu acara
diskusi dosen sehingga acara berjalan dengan baik dan lancar.
4. Kawan-kawan dosen yang senantiasa menghadiri dan menyemarakkan acara
diskusi dosen sehingga terjadi pertukaran ide dan perdebatan pada suasana
yang akademis dan dinamis.
Akhirnya, kami berdoa semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dan
umumnya dosen di seluruh Indonesia. Tiada kesempurnaan yang dimiliki oleh
manusia karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Oleh sebab itu, kami
mohon maaf atas segala kekurangan.
Ciputat, Februari 2018
Ketua Panitia
v
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
EDITORIAL
Buku Bunga Rampai yang berjudul Pengembangan Budaya Akademik
Dosen: Hasil Kajian Teoritis dan Hasil Kajian Penelitian merupakan ide-ide
pemikiran dari dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Sebagaimana judul
buku, isi dari buku ini terbagi menjadi empat bab yaitu bab 1 mengkaji tentang
Keislaman dan Kependidikan Islam, bab 2 mengkaji tentang Pendekatan
Pembelajaran, bab 3 mengkaji tentang Media, Model dan Strategi pembelajaran,
dan bab 4 mengkaji tentang Bahasa dan Pengembangan Literasi.
Pada kajian tentang Keislaman dan Kpenedidikan Islam diisi oleh hasil kajian
pemikiran Abuddin Nata, bahwa Islam Mazhab Ciputat adalah pemikiran dan
gagasan tentang keislaman yang lahir di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan organisasi-organisasi yang berada di sekitarnya dengan ciri-ciri rasional,
toleran, moderat, demokratis, aktual, kontekstual, dinamis, progressif dan inovatif
bertransmisi luas baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Islam
Mazhab Ciputat terkait erat dengan isu kemoderan, kemanusiaan dan
keIndonesia. Islam Mazhab Ciputat selanjutnya menjadi ikon dan visi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yaitu menjadi perguruan tinggi yang unggul dan terdepan
dalam mengintegrasikan keislaman, kemanusiaan, kemoderan dan keindonesiaan
yang digagas oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, Islam mazhab Ciputat
lahir dilatar belakangi oleh kegalauan dari sejumlah tokoh agama, pemimpin
politik, dan pemimpinan nasional yang memiliki keprahatinan atas
keterbelakangan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan, sebagai akibat
dari adanya pemahaman Islam yang sempit, sektarian, dikhotomis, jumud,
eksklusif, normatif dan ideologis sehingga Islam tidak dapat diartikulasikan,
dikontekstualisasikan, diaplikasikan dan transformasikan ke dalam berbagai
kehidupan.
Achmad Ghalib, menjelaskan tentang pengertian dari tatanan masyarakat
Islami, yaitu masyarakat yang memberikan keselamatan, perasaan aman dan
kedamaian bagi sekalian alam, ditata atas dasar akhlakul karimah, persaudaraan,
persamaan, toleransi, keadilan dan kemerdekaan. Guna membangun tatanan
masyarakat Islami sebagaimana diharapkan, terdapat lima hal yang mesti
dipersiapkan, antara lain: menjadikan masyarakat yang menempatkan kehendak
Allah diatas segalanya, menjadikan masyarakat yang menekankan prinsip ukuwah
dan persaudaraan, menjadikankan masyarakat bersatu, menjadikan masyarakat
berkeadilan dan menjadikan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah
vi
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Disisi lain, Dimyati Sadjari, menjelaskan keberadaan ilmu tasawuf atau ilmu
yang bersifat batiniah dan munculnya pengingkaran dari sekelompok ulama
lahiriah. Pengingkaran tersebut muncul dikarenakan para ulama belum pernah
memiliki kondisi spiritual sebagaimana yang dimiliki para wali, maka mereka
mengumpat para wali Allah. Merekapun belum pernah menempuh jalan para
wali, belum pernah mengikuti jejak dan menuju ke arah yang dituju para wali.
Akibatnya, mereka melakukan kesalahan besar disebabkan mereka mengumbar
lidahnya untuk mengumpat para wali. Dalam kerangka inilah al-Sarrâj
menjelaskan kepada mereka untuk membela ilmu tasawuf dan para wali Allah.
Wallâhu a‘lamu bi al-shawâb.
Abuddin Nata, dalam pemikiran yang lainnya, bahwa secara umum
pendidikan Islam baik pada dataran teoritis konseptual, maupun praktis empiris
masih dihadapkan pada sejumlah masalah yang belum dapat dipecahkan.
Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan masalah pendidikan belum dapat
dipecahkan, antara lain belum hilangnya sisa-sisa penyakit mental abad
pertengahan (abad ke-13 sd 18) yang antara lain, pandangan dikotomis tentang
ilmu agama dan ilmu umum, tertutupnya pintu ijtihad, hilangnya tradisi debat dan
kritik, hilangnya tradisi membaca, meneliti, dan menulis, sikap dan pandangan
yang sektarian, hilang tradisi ilmiah, dan lemahnya kemauan untuk meneliti,
mengkaji untuk menemukan inovasi-inovasi baru. Pemecahan masalah pendidikan
Islam melalui epistimologi pendidikan Islam dinilai sebagai cara yang paling
mendasar, manun belum banyak dilakukan. Epistimologi pendidikan Islam saat ini
sudah ada yang menulis, namun belum dipraktekkan. Secara teoritis, Islam
memiliki bahan-bahan dan metodologi bagi penyusunan epistimologi pendidikan
yang lebih lengkap dibandingkan dengan bahan-bahan dan metodologi yang
dimiliki Barat. Selain menggunakan sumber yang terdapat di dalam al-Qur’an dan
Hadis, Islam menggunakan sumber ayat kauniyah (alam jagat raya), ayat insaniyah
(perilaku manusia dan perilaku masyarakat), akal pikiran dan hati nurani (intuisi).
Selain menggunakan metode bayani untuk merumuskan ilmu pendidikan Islam
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, juga dapat menggunakan metode
ijbari untuk memahami ayat-ayat alam jaga raya: fauna, flora, hutan, , metode
burhani untuk fakta-fakta sosial, metode irfani untuk memahami ayat-ayat yang
berada dalam batin manusia. Sebagian besar pengembangan epistimologi
pendidikan Islam didominasi oleh metode bayani dan irfani. Sedangkan metode
yang ijbari, burhani dan jadali masih kurang. Sementara sebagian besar
pengembangan epistimologi pendidikan umum didominasi oleh metode ijbari
(eksperimen), metode burhani (observasi), dan metode jadali (logika filosofis).
Untuk itu perlu adanya kolaborasi antara keduanya. Epistimologi pendidikan Islam
vii
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilengkapi dengan metode ijbari, burhani dan jadali. Sedangkan epistimologi
pendidikan umum dilengkapi dengan metode bayani dan irfani.
Pada kajian tentang pendekatan pembelajaran dibahas oleh Yudhi
Munadi, mengembangkan pembelajaran Konstruktivisme di perguruan tinggi,
sebagaimana tuntutan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015
Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi tidak akan tercapai bila hanya
mengandalkan aktivitas di dalam ruang yang dibatasi oleh dinding kelas. Dosen
harus menyelenggarakan pembelajaran secara kreatif hingga mampu menembus
sekat-sekat ruang, yakni pembelajaran yang memberikan kesadaran kepada
mahasiswa bahwa pengetahuan tidak hanya diperoleh di dalam ruang kelas.
Pembelajaran ini disebut dengan pembelajaran tanpa batas. Strategi
pembelajaran konstruktivistik dan strategi metakognitif menjadi salah satu cara
membelajarkan mahasiswa, sehingga mereka dapat menjadi pembelajar yang
mampu melakukan pembelajaran sepanjang hayat. Pembelajaran tanpa batas
juga mengandung arti bahwa tujuan belajar tidak hanya dibatasi oleh tujuan-
tujuan duniawi, seperti ingin memperoleh ijazah, ingin memperoleh pekerjaan
yang layak, ingin membahagiakan orang tua, dan lain-lain, tetapi tujuan belajar
harus menembus sampai kepada Sang Khaliq, Maha Pencipta alam semesta, Allah
swt. yakni untuk memperoleh ridha-Nya, karena belajar adalah perilaku untuk
memohon ilmu-Nya. Perilaku belajar haruslah memiliki muatan nilai-nilai Ilahiyah.
Wallāhu a‘lam bi-ṣ ṣawāb. Gelar Dwirahayu, sebagai salah satu pengajar di jurusan pendidikan
matematika mengembangkan pendekatan analogi dalam pembelajaran
matematika, siswa dilatih kemampuan penalarannya yaitu ketika siswa diminta
untuk menemukan kesamaan ataupun perbedaan antara konsep lama dengan
konsep yang baru, selanjutnya siswa diminta untuk mengkomunikasikan ide
tersebut dan membuat representasinya sehingga orang lain akan lebih memahami
dan mengerti. Setelah konsep atau model dibuat, siswa
menghubungkan/mengkoneksikan konsep tersebut dengan konsep lain yang
pernah mereka fahami atau mungkin saja dihubungkan dengan kehidupan sehari-
hari sehingga secara keseluruhan, setelah siswa mengerti konsep baru mereka
mampu menyelesaikan permasalahan matematika dengan menggunakan konsep
tersebut. pendekatan analogi tersebut tidak menutup kemungkinan dapat
diterapkan pada bidang studi lainnya, mengingat bahwa setiap mata pelajaran
yang disajikan di sekolah semuanya bertujuan untuk menjadikan siswa manusia
yang mampu bersaing dan menjadi sumber daya yang berkualitas. Penerapan
viii
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pendekatan analogi pada mata pelajaran di luar matematika perlu dipelajari lebih
lanjut sesuai dengan karakteristik materi pelajaran yang akan disajikan.
Gusni Satriawati, melakukan analisis dari skripsi mahasiswa yang berkaitan
dengan peningkatan kemampuan komunikasi matematika dengan menggunakan
pendekatan konstruktivisme. Terdapat lima Strategi pembelajaran yang dianalisis
antara lain metode TAPPS, pendekatan induktif, model pembelajaran treffinger,
Open Ended dan Pembelajaran berbasis masalah. Hasil analisis terhadap beberapa
skripsi yang berkaitan dengan penggunaan strategi pembelajaran dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa diperoleh kesimpulan
yaitu rata-rata dari persentase semua indikator kemampuan komunikasi
matematis siswa dengan pembelajaran konstruktivisme mencapai > 75%, ini dapat
dikatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis pada pembelajaran
konstruktivisme sudah dapat dikategorikan tuntas dalam pembelajaran
matematika.
Gelar Dwirahayu dan Afidah Mas’ud menjelaskan tentang banyaknya siswa
yang merasa cemas dalam belajar matematika, kecemasan matematika
merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan prestasi belajar
matematika rendah, sikap cemas anak terhadap matematika dapat ditunjukkan
melalu berbagai sikap dan perilaku. Adapun empat hal yang perlu diperhatikan
guru untuk mengurangi kecemasan matematika siswa yaitu: (1) Memperhatikan
kesiapan siswa dalam belajar, (2) Mendesain pembelajaran matematika yang
menyenangkan dan tidak membebani siswa, (3) Menyiapkan alat peraga/media
pembelajaran sehingga matematika lebih mudah difahami dan dimengerti, dan (4)
Memberikan relaksasi kepada siswa di sela-sela proses pembelajaran, sehingga
siswa menjadi fokus kembali dalam belajarnya.
Selanjutnya kajian tentang model, media dan strategi pembelajaran dibahas
oleh Baiq Hana Susanti melalui penelitiannya di jurusan pendidikan biologi
menyimpulkan bahwa Perkuliahan vertebrata dapat dikemas dan disajikan
menggunakan learning object sehingga proses perkuliahan menjadi lebih menarik,
dan respon mahasiswa terhadap materi yang disajikan termasuk kedalam kategori
sangat baik, pada aspek desain masuk pada kategori baik, dan aspek kualitas
teknis secara umum masuk kedalam kategori cukup.
Fery Muhamad Firdaus, Penelitian ini dilaksanakan di enam sekolah dasar
negeri di Bandung Raya pada siswa kelas V dengan materi geometri dan
pengukuran. Sejalan dengan rumusan masalah, studi ini memperoleh kesimpulan
yang berkenaan dengan hasil studi empirik tentang peningkatan literasi dan
disposisi matematis siswa kelas V sekolah dasar dengan menggunakan problem
ix
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
based learning dan direct instruction. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh,
maka dapat diambil kesimpulan yaitu: (1) Terdapat perbedaan yang signifikan
mengenai peningkatan literasi matematis siswa berdasarkan kategori PAM Siswa.
(2) Terdapat efek interaksi antara model pembelajaran dengan kategori PAM
terhadap peningkatan literasi matematis siswa, (3) Disposisi matematis siswa
telah mengalami peningkatan baik melalui penggunaan model PBL maupun
pembelajaran yang menggunakan model DI, (4) Indikator diposisi matematis yang
mengalami perbedaan yang paling tinggi antara siswa yang mendapat model PBL
dan siswa yang mendapat model DI yaitu rasa ingin tahu siswa.
Siti Masyithoh, Perkembangan keterampilan sosial sebagaimana
perkembangan yang lainnya, sangat dipengaruhi oleh internal/bawaan individu
dan stimulus-stimulus yang diberikan lingkungan terhadap individu tersebut. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa faktor bawaan (hereditas) berpengaruh jauh
lebih besar dibandingkan pengaruh lingkungan terhadap keterampilan sosial. Bagi
pemerhati Pendidikan Dasar, agar dilakukan kajian terus menerus tentang
bagaimana mengembangkan kecerdasan emosional murid, menerapkan pola asuh
yang tepat, dan bagaimana meningkatkan keterampilan sosial murid di sekolah
dasar. Hendaknya mereka terus mengkaji dan menggali baik secara empiris
maupun teoritis tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan
kecerdasan emosional, peningkatan keterampilan sosial, dan penerapan pola asuh
terhadap murid di sekolah dasar. Bagi orangtua agar memperhatikan dan
merangsang pengembangan kecerdasan emosional murid, karena variabel ini
lebih besar pengaruhnya terhadap keterampilan sosial murid dibandingkan
dengan variabel pola asuh.
Fidrayani, melalui hasil penelitiannya, menyimpulkan bahwa Penerapan
Expert Model Concept (EMC) melalui empat tahapan siklikal yaitu immersion,
attention, practical, integration melalui pembelajaran Bahasa Indonesia berhasil
meningkatkan tanggung jawab belajar siswa dalam belajar yang dilaksanakan
sebanyak tiga siklus. Pada siklus pertama belum ada siswa yang mencapai kategori
baik, yang ada hanya kategori sedang sebanyak 64,9% dan kategori kurang
sebanyak 35,1%. Pada siklus kedua siswa yang berada pada kategori baik
mencapai 28,2 dan sedang mencapai 70,2% dan tidak ada lagi siswa yang berada
pada kategori kurang. Pada siklus terakhir jumlah siswa yang masuk kategori baik
sebanyak 80,6% dan sisanya masuk pada kategori sedang dan tidak ditemukan lagi
siswa pada kategori kurang. Dan penerapan Expert Model Concept (EMC) dalam
pembelajaran efektif meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan.
Berdasarkan fokus yang dilakukan pada masing-masing pertemuan membawa
dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan. Fokus
x
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memahami bacaan yang dibagi dalam empat kegiatan yaitu: a) kemampuan
menjawab pertanyaan bacaan, b) kemampuan menemukan gagasan/ide pokok, c)
kemampuan meringkas isi bacaan, d) kemampuan membuat simpulan isi bacaan.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kemampuan siswa menguasai materi
pembelajaran berada di atas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh
guru yaitu sebesar 97,2%.
Tri Harjawati, membahas tentang perancangan strategi pembelajaran
secara teoritis, karena pada dasarnya pembelajaran merupakan kegiatan
terencana yang mengkondisikan atau merangsang siswa agar bisa belajar dengan
baik agar sesuai dengan tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran pada satuan
pendidikan harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Keahlian guru sebagai ujung tombak suksesnya proses pendidikan dituntut
memiliki keahlian dan kreativitas yang tinggi sehingga mampu mengemas proses
pembelajaran sesuai dengan yang diamanatkan. Maka dari itu, pada proses
penerapan atau taktis pelaksanaan pembelajaran setiap satuan pendidikan
dituntut untuk mampu melakukan perencanaan pembelajaran dengan baik,
sehingga pelaksanaan proses pembelajaran dapat berjalan semaksimal mungkin,
serta penilaian proses pembelajaran bisa diarahkan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Peran seorang guru dituntut
untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan belajar mengajar. Peranan
seorang guru sebagai pembimbing menuntut agar guru selalu mengatur strategi
pengajarannya yang sesuai dengan gaya-gaya belajar anak didik.
Bab terakhir tentang bahasa dan pengembangan literasi di kaji oleh Muhbib
Abdul Wahab melalui pemikirannya tentang jihad, menyimpulkan bahwa Jihad
sosial merupakan manifestasi dari kesalehan personal yang hadir dalam spektrum
lintas-kultural dan pluralitas sosial yang luas dan tak terbatas. Ilmuwan berjihad
dengan memanfaatkan dan mengembangkan ilmunya, pemimpin berjihad dengan
pedang keadilannya , pengusaha berbisnis dengan kejujurannya, orang kaya
berjuang dengan kedermawanannya, pendidik/guru berjuang dengan dedikasi
kependidikannya, dan sebagainya. Semua komponen masyarakat Muslim dapat
mengambil peran-positif dalam berjihad sosial, sesuai dengan posisi dan potensi
masing-masing. Jihad sosial tidak hanya menarik diwacanakan dalam konteks
pengembangan pemikiran Islam, melainkan juga potensial didesain sebagai
teknologi gerakan sosial tepat guna untuk mengatasi berbagai persoalan sosial
politik yang ada. Mengingat visi-misi profetik Nabi adalah mensosialisasikan ajaran
kasih sayang, keadilan dan perdamaian, maka jihad sosial perlu diorientasikan
kepada pembumian visi-misi Islam secara dialogis dan damai, dengan tetap
berlandaskan nilai-nilai etika. Dengan jihad sosial yang dialogis, Islam sebagai
rahmatan li al-`âlamîn, niscaya dapat diaktua-lisasikan dalam masyarakat madani
xi
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berkeadaban dan mempunyai kepastian sistem hukum dan keadilan yang
dapat diandalkan. Wallahu a`lam bi al-shawâb!
Makyun Subuki, melalui hasil penelitiannya terhadap fatma MUI ditinjau
dari aspek sematiknya, menyimpulkan bahwa Pertama, secara struktur,
argumentasi dalam fatwa sebagai sebuah macrostructure direalisasikan oleh
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam superstructure yang berbeda-beda.
Dari segi format, terdapat dua macam format, yaitu yang berformat surat
keputusan dan yang berformat langsung. Kebanyakan fatwa memanfaatkan lebih
dari satu jenis hubungan argumentatif, misalnya convergent argument dengan
linked argument atau convergent argument dengan serial argument. Pemanfaatan
hubungan antarpremis yang rumit seperti ini tampaknya sulit dihindari, karena
sebagian besar fatwa menggunakan dasar penetapan hukum lebih dari satu. Dari
segi kualitas, sebagian besar fatwa memanfaatkan lebih dari satu macam skema
argumentasi yang digunakan lebih dari satu, misalnya dengan memanfaatkan
argument from popular opinion, argument from expert opinion, argument from
expert opinion, dan argument from analogy sekaligus. Kondisi seperti ini terdapat
pada fatwa yang memanfaatkan banyak sumber sebagai dasar penetapan hukum
dari sebuah persoalan. Selanjutnya, analisis kualitas argumentasi juga tidak dapat
dilakukan terhadap fatwa yang premisnya tidak dapat diidentifikasi.
Anis Fuadah, yang mengungkap bahwa membaca sebagai upaya untuk
melihat cakrawala dunia. Melalui kegiatan membaca, serapan ilmu pengetahuan
dan informasi menerobos ke akar pikiran seseorang; menjadikannya dasar
berpikir, bersikap, dan memutuskan. Membaca sejatinya kebutuhan pokok
manusia, dengannya, pembaharuan dalam aspek ilmu dan informasi mudah
diterima. Arus kemajuan peradaban tak akan pernah surut atau berhenti, namun
proses tersebut akan seimbang manakala diikuti semangat menempatkan budaya
membaca menjadi dasarnya. Budaya membaca, merupakan bagian dari literasi
atau keberaksaraan, sebuah nilai penting yang harus dimiliki bangsa Indonesia
guna membangun generasi muda yang menakjubkan. Menumbuhkan nilai literasi
tidak bisa dilakukan oleh salah satu pihak. Peran semua aspek di negeri ini
menjadi kekuatan menjadikannya budaya menuju keberpihakan pada kehidupan
yang lebih baik. Kebiasaan membaca mengawali penginvestasian perbendaharaan
kata. Melalui budaya membaca, pola fikir terangkai, sehingga menjadikannya
mudah menulis aksara. Jika membaca dan menulis telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan intelektual Indonesia, maka kemajuanpun dirasa
mudah digapai elemen bangsa.
xii
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendukung Kegiatan Diskusi Dosen
A. Tim Panitia Diskusi Dosen Dr. Dimyati Sajari, MA
Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd
Eny Supriyati Rosyidatun, S.Si., MA
Neneng Sunengsih, M.Pd
Anis Fuadah, M.Pd.I
B. Narasumber
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA; Dr. Kadir, M.Pd; Yudhi Munadi, M.Pd;
Dwinanto, MSc., Ph.D; Dr. Ratnasari Dewi, M.Pd; Dr. Bahrissalim, MA
Dr. Yanti Herlanti, M.Pd; Dr. Alek, M.Pd ; Mukhshon Nawawi, M.Ag
Dr. Hindun, M.Pd; Dr. Fery Ahmad Firdaus, M.Pd; Dr. Muhbib, M.Ag;
Dr. Tita Khalis Maryati, M.Kom; Dr. Abdul Muin, M.Pd;
Dr. Siti Masyithoh, M.Pd; Dr. Zulfiani, M.Pd; Dr. Makyun Subuki, M.Hum
Ahmad Golib, MA; Dr. Baiq Hana Susanti, S.PI, M.Sc.; Siti Khadijah, MA;
Dr. Fidrayani M.Pd., M.Si
C. Pembahas Prof. Dr. Armai Arief , M.Ag.; Prof. Dr. Ulfa Fajarini M.Si;
Prof. Dr. Suwito, MA; Drs. Muarif, M.Pd; Dr. Asril Dt. Paduko Sindo, M.Pd
Dr. Lia Kurniawati M.Pd; Dr. Ahmad Sofyan, MA; Tonih Feronika M.Pd
Siti Nurul Azkiyah M.Sc., Ph.D; Dr. Muhamad Arif, M.Pd,
Teguh Haerudin M.App.Ling; Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D
Firdausi S.Si., M.Pd; Zaenal Muttaqin, MA; Dr. Sita Ratnaningsih, M.Pd
Dedek Kustiawati, M.Pd; Drs. Syamsul Arifin, M.Pd; Dr. Khalimi, MA
Muhammad Nida' Fadlan, M.Hum; Dr. Yayah Nurmaliah
Kinkin Suartini, M.Pd; Dr. Abdul Ghofur, M.Ag; Ramdani Miftah, M.Pd;
D. Moderator Iwan Permana, M.Pd; Tri Harjawati, S.Pd., M.Si; Annisa Windarti, M.Sc;
Lu'luil Maknun, M.Pd; Dindin Ridwanudin, M.Pd; Dila Fairusi, M.Si
Asep Ediana Latip, M.Pd; Novi Diah Haryanti, M.Hum; Nur Syamsiyah, M.Pd
Andri Noor Ardiansyah, M.Si; Gusni Satriawati, M.Pd; Nafia Wafiqni, M.Pd;
Meiry Fadillah Noor, S.Si., M.Si,; Desmaliza, M.Si., M.Ed
xiii
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
hal
Sambutan Dekan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
Kata Pengantar dari Ketua Pelaksana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv
Editorial. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v
Pendukung Kegiatan Diskusi Dosen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xii
Daftar Isi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xiii
BAB I. KEISLAMAN DAN KEPENDIDIKAN ISLAM
1
Islam Madzhab Ciputat yang Menasional dan Mendunia Abuddin Nata . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2-36
Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat Islami Achmad Ghalib . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
37-52
Memahami Ilmu Tasawuf Dimyati Sajari . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
53-73
Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam Abuddin Nata. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
74-102
BAB II. PENDEKATAN PEMBELAJARAN
103
Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran di
Perguruan Tinggi Yudhi Munadi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
104-122
Pendekatan Analogi dalam Mengembangkan Kemampuan
Matematika Siswa Gelar Dwirahayu. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
123-147
xiv
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa
ditinjau dari berbagai Pembelajaran Matematika
berbasis Pendekatan Konstruktivisme Gusni Satriawati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
148-174
Mengurangi Kecemasan Matematika Siswa dalam
Pembelajaran Gelar Dwirahayu & Afidah Mas’ud . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
175-194
BAB III. MEDIA, MODEL DAN STRATEGI PEMBELAJARAN
195
Pengembangan dan Implementasi Program Perkuliahan
Vertebrata Berbasis Learning Object dengan Sistem
E- Learning di Program Studi Pendidikan Biologi FITK UIN
Jakarta Baiq Hana Susanti . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
196-218
Peningkatan Literasi dan Disposisi Matematis Siswa
Sekolah Dasar melalui Problem Based Learning dan Direct
Instruction Fery Muhamad Firdaus. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
219-239
Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dan Kecerdasan Emosional
terhadap Keterampilan Sosial Murid SD
Siti Masyithoh. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
240-259
Penerapan Expert Model Concept untuk Meningkatkan
Tanggung Jawab Belajar dan Prestasi Akademik Siswa
Kelas 5 SDN Sogaten Madiun Fidrayani . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
260-272
Peranan Strategi Pembelajaran dalam pengoptimalan Pembelajaran di Kelas Tri Harjawati. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
273-305
xv
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV. BAHASA DAN PENGEMBANGAN LITERASI
307
Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi Dalalah (Makna)
Ayat-ayat JIHAD Muhbib Abdul Wahab . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
308-330
Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Kajian Wacana Makyun Subuki . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
331-363
Pengembangan Nilai Literasi Bagi Generasi Masa Depan Anis Fuadah Z. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
364-375
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
1
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
KEISLAMAN DAN KEPENDIDIKAN ISLAM
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
2
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Islam Madzhab Ciputat yang Menasional dan
Mendunia
Abuddin Nata
Pendidikan Agama Islam - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak : Islam yang dipraktekan di bumi tampil dalam beragam mazhab. Yaitu
hasil olah pikir dari sejumlah ulama yang memiliki kemampuan
metodologis dan kapasitas intelektual, moral serta pribadi untuk
menggali kandungan al-Qur’an dan Hadis. Ia merupakan solusi yang
ditawarkan para mujtahid terhadap sejumlah problema yang dihadapi
ummat. Hal ini dilakukan karena umat pada umumnya tidak memiliki
kemampuan intelektual untuk untuk memecahkan berbagai masalah
dengan mengakses langsung al-Qur’an dan Hadis. Mazbah inilah yang
kemudian menjadi pegangan bagi umat pada umumnya dalam
melaksanakan kegiatan keagamaanya, dan menjadi referensi bagi
peneliti dalam menemukan jawaban atas assumsi dan teori-teori yang
dibangunnya. Mazhab memiliki sisi positif dan negatif. Mazhab memiliki
positif ketika dilihat sebagai hasil olah pikir yang serba terbatas,
dengan tetap dihargai dan dihormati agar terus berkembang dan dapat
menjawab tantangan zaman serta mencairkan kebekuan. Mazhab
memiliki posisi negatif ketika dianggap sebagai hasil olah pikir yang
sudah final dan doktrin yang serba sempurna, dipegang teguh
sepanjang zaman, satu dan lainnya bersikap eksklusif, mengklaim yang
paling benar dan yang lainnya dianggap sesat.
Kata Kunci: mazhab, intelektual, doktrin, inklusif
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
3
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan
Sejak tahun 1957 sampai sekarang, di Ciputat terdapat Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri bernama IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di
dalamnya terdapat sejumlah orang yang dianggap memiliki kapasitas dan otoritas
intelektual dan kecendekiakawanan untuk melahirkan gagasan dan pemikiran
dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Pendapat mereka diikuti dan
dikembangkan tidak hanya oleh mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan Islam
melainkan bertransimisi ke hampir semua propinsi di Indonesia. Karakter ini pada
tarap selanjutnya melahirkan semacam Islam Mazhab Ciputat.
Dengan menggunakan studi kepustkaan (library research) dan pendekatan
sosiologis dan historis, tulisan ini akan menjelaskan pengertian Islam mazhab
Ciputat, latar belakang timbulnya, para pelopor, dan pengaruhnya baik lokal,
nasional, bahkan internasional.
Islam dapat diartikan sebagai agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.
Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu
segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia (Nasution, 1979, h. 24).
Dengan demikian, Islam memiliki sisi yang bersifat teologis dan sisi yang bersifat
sosiologis-historis. Dari sisi teologis, Islam tampil sebagai sistem nilai dan ajaran
yang bersifat ilahiah, dan karena itu sekaligus bersifat transendent. Selain itu dari
sisi teologis Islam berisi amalan-amalan keagamaan untuk mendidik manusia agar
memiliki pengalaman dan kesadaran ketuhanan serta menanamkannya dalam
jiwa sedalam-dalamnya. Dari kesadaran ketuhanan itu berpangkal, bersumber dan
memancar seluruh sikap hidup yang benar; dan dengan kesadaran Ketuhanan itu
pula manusia akan dibimbing ke arah kebajikan dan amal saleh yang membawa
kebahagiaan dunia dan akhirat (Majid, 1995, h. 189). Sedangkan dari sisi sosiologis
historis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam
kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial historis ini tidak sekedar berisi
sejumlah doktrin yang bersifat menzaman dan menjagatraya (universal), tetapi
mengejawantah dalam institusi-nstitusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan
dinamika ruang dan waktu (Azra, 1996, h. i). Islam dalam perpaduan pendekatan
normatif, teologis, sosiologis, historis dan moral spiritual inilah yang selanjutnya
dapat digunakan untuk mengidentifikasi Islam Mazhab Ciputat.
Terkait dengan kosakata mazbah dalam istilah Islam Mazhab Ciputat ini,
selain mengandung arti sebagai haluan mengenai hukum Islam yang menjadi
anutan (Poerwadarminta, 1991, h. 640) juga sebagai aliran atau sekte keagamaan
yang memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang teologi, dan lainnya. Mazhab
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
4
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ini dalam sejarah pemikiran Islam cukup banyak jumlahnya. Para pengikut
(followers) mazhab memilih di antara pendapat-pendapat mazhab tersebut sesuai
dengan keadaan kebutuhannya. Jika di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara
pada umumnya masyarakat Islam memilih mazhab Syafi i dalam bidang fikih, dan
mazhab Asy ari dalam bidang teologi, maka di India, Mesir dan di negara-negara
kawasan Timur Tengah ada yang memilih mazhab Maliki, Hanafi atau Hambali
dalam bidang fikih, dan memilih mazhab Asy ari atau Maturi Bukhara dalam
bidang teologi. Penggunaan mazhab dalam Islam Mazhab Ciputat lebih luas dari
itu, yaitu pengertian mazhab yang lebih dekat dengan makna generiknya. Yaitu
mazhab dalam arti going to leave (tempat yang dituju), departure (arah yang
dituju), way out (jalan keluar), escape (lahan atau wilayah), manner followed
(ajaran pokok yang diikuti), adapted procedure or policy (tata cara dan kebijakan
yang sudah disesuaikan dengan keadaan), road entered upon (jalur untuk
memasuki sebuah kawasan), opinion (gagasan atau pendapat), view (pandangan),
belief (keyakinan), ideology (sistem keyakinan), trend (kecenderungan), religious
creed (ajaran pokok keagamaan), faith (keimanan), dan denomination (pilihan)
(Wehr, 1974, h.313).
Selanjutnya, Ciputat adalah nama sebuah Kecamatan di Kota Tangerang
Selatan, Banten. Lima belas tahun yang lalu, ketika Banten masih termasuk
wilayah Jawa Barat, posisi Ciputat berada di wilayah pinggiran, yakni di ujung
Utara Jawa Barat; dan di ujung Selatan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Sekarang ketika Ciputat masuk wilayah Tangerang Selatan, Banten, wilayah ini
sesungguhnya lebih tepat disebut berada di ujung Timur Banten. Pada tahun 60-
an, Ciputat masih termasuk wilayah yang tersisolir, bahkan orang menyebutnya
sebagai tempat jin buang anak. Ketika penulis mulai menginjakkan kaki ke
Ciputat di tahun 75-an, kondisi Ciputat masih sepi. Kendaraan umum yang biasa
mengangkut penumpang pada saat itu masih sangat terbatas, antara lain
kendaraan roda empat bus Swift yang tarifnya antara Ciputat Kebayoran Lama,
sekitar 15 rupiah perorang. Ketika masuk waktu maghrib, kendaraan umum yang
melewati Ciputat nyaris tidak ada. Para pedagang yang mengangkut barang
dagangan berupa buah-buahan, sayur mayur atau hewan ternak dari Parung ke
Kebayoran Lama atau ke Pasar Ciputat yang diadakan setiap hari Sabtu dan Selasa,
menggukan gerobak dari kayu, dengan roda besar yang dilapisi besi dan ditarik
satu atau dua ekor sapi. Alat angkut lainnya saat itu sepeda ontel. Kiri kanan jalan
masih ditumbuhi pohon karet dan buah-buahan, dan harga tanah per-meter
persegi waktu masih sangat murah. Masyarakat pada waktu itu masih jarang yang
memiliki televisi, karena rumah mereka masih belum mendapatkan aliran listrik.
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
5
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hiburan favorit masyarakat pada waktu itu layar tancep , sebuah pertunjukan
film layar lebar yang ditancapkan di ruang terbuka, dan penontonnya duduk di
rumput atau halaman di sekitar layar tersebut. Bersyukur kalau tidak hujan,
karena penonton dapat menikmati hiburan gratis. Namun celaka, ketika hujan
turun. Penonton harus menyelamatkan diri berteduh di emperan rumah atau
lainnya.
Pada tahun 1957 Kementerian Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu
Agama (ADIA) di Ciputat. Selain bertujuan menghasilkan tenaga ahli ilmu agama
untuk memenuhi lembaga-lembaga di lingkungan Kementerian Agama, lembaga
pendidikan tinggi ini juga didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang
akan mengisi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, lembaga dakwah, dan
lainnya. Pada tahun 1960, ADIA digabung dengan Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) yang ada di Jogjakarta dengan nama Institut Agama Islam Negeri
(IAIN). Fakultas Syari ah dan Ushuluddin berlokasi di Jogjakarta; sedangkan
Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Adab berlokasi di Jakarta. Pada tahun 1963,
fakultas-fakultas yang ada di Jogjakarta setelah ditambah dengan fakultas lainnya
berubah menjadi IAIN Sunan Kaligaja, dan fakultas-fakultas yang ada di Jakarta
setelah ditambah fakultas lainnya berubah menjadi IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penambahan fakultas-fakultas ini sesuai dengan ketentuan, bahwa pada
sebuah IAIN minimal harus ada empat fakultas. Selanjutnya pada tahun 2002, IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
pada tahun 2003, IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta berubah menjadi UIN Sunan
Kalijaga, Jogjakarta.
Bersamaan dengan itu, di sekitar kampus IAIN (UIN) Ciputat berdiri pula
organisasi-organisasi kemahasiswaan yang berbasis keislaman, keindonesiaan dan
kemodernan. Sebagian organisasi tersebut ada yang berafiliasi dengan organisasi
sosial keagamaan, dan ada yang independent. Organisasi Pergerakan Mahasiswa
Islam misalnya berafiliasi dengan Nahdhatul Ulama (NU); sedangkan Organisasi
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berafiliasi kepada Muhammadiyah. Sedangkan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi kemahasiswaan Islam
yang bersifat independent.
Keterkaitan Ciputat dengan Islam mazhab Ciputat ini, antara lain karena di
Ciputat terdapat sejumlah tokoh, ulama, dan pemikir Islam yang gagasan dan
pemikirannya tidak hanya diikuti oleh orang-orang yang ada di Ciputat, melainkan
juga oleh berbagai propinsi lainnya di Indonesia, bahkan manca negara. Sejumlah
tokoh, ulama dan pemikir Islam itu menimba, meneliti, mengembangkan dan
mentransfer ilmunya melalui lembaga pendidikan tinggi Islam yang bernama UIN
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
6
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktifitas para tokoh, ulama dan pemikir Islam tersebut
mendapat dukungan kuat dari sejumlah organisasi kemahasiswaan Islam yang
berada di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, sebagaimana
disebutkan di atas.
Dalam realitanya, Islam Mazhab Ciputat memang tidak pernah dirumuskan
secara eksplisit, karena kalau dirumuskan boleh jadi akan jatuh pada doktrin dan
yang justru akan mematikan budaya dan tradisi kebebasan berolah pikir
sebagaimana yang digagas dan dikembangkan para tokoh pendirinya. Islam
Mazhab Ciputat nampaknya tidak mau terjebak pada formula-formula atau
rumusan yang baku sebagaimana yang terdapat pada mazhab-mazhab fikih atau
teologi sebagaimana yang dijumpai dalam sejarah. Ketidak-mauan Islam Mazhab
Ciputat untuk merumuskan formula-formula baku tentang berbagai produk
ijtihad, dikhawatirkan keberadaannya akan dijadikan doktrin yang dipegang teguh
yang pada akhirnya akan mengikat, mengurung, mengungkung, dan menjerat para
pengikutnya dengan akibatnya membawa kemunduran, sebagaimana yang
dijumpai pada berbagai gagasan dan pemikiran yang dikeluarkan seorang ulama,
tokoh atau berbagai organisasi keagamaan Islam lainnya. Islam Mazhab Ciputat
ingin tetap berada pada karakter Islam yang original sebagaimana yang dijumpai
dalam al-Qur an. Yaitu Islam yang berpegang teguh pada spirit wahyu al-Qur an
dan al-Sunnah, spirit ajaran yang seimbang antara agama (wahyu), ilmu (akal), dan
amal (sikap dan perbuatan), ajaran yang menghargai akal sebagai anugerah Tuhan
yang harus digunakan secara maksimal. Islam Mazhab Ciputat bersikap terbuka
(inklusif), moderat, toleran, rasional (mencari makna dan hikmah, serta faktor-
faktor yang bisa diterima akal) atas sebuah ajaran atau fenomena sosial,
memahami sunnatullah sebagai takdir Tuhan yang tidak dapat diubah, namun
dalam waktu yang bersamaan manusia diberikan kebebasan untuk berkreasi
(berikhtiar) dalam batas-batas sunnatullah (takdir) tersebut. Islam Mazhab Ciputat
tidak memilih paham takdir yang membawa akibat sikap fatalistik, jumud, beku,
pasrah dan menyerah, mengandalkan Tuhan tanpa usaha, sebagaimana yang
dijumpai dalam masyarakat Islam tradisional. Islam mazhab Ciputat memilih
paham takdir sebagai sunnatullah tempat di mana manusia melalui kreatifitas,
inovasi dan kajian yang menghasilkan berbagai temuan ilmiah guna diabdikan bagi
kesejahteraan ummat manusia. Islam Mazhab Ciputat berbicara berdasar data
(berbasis research), menghargai pendapat orang lain, dan memandang mazhab
sebagai kumpulan hasil olah pikir (ijtihad) yang tidak pernah final, dan karenanya
dapat diperbaharui setiap saat. Islam mazhab Ciputat memiliki karakter berfikir
keislaman yang utuh, komprehensif, integrated dan menggunakan berbagai
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
7
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sudut pendekatan (multi approaches). Selain menggunakan pendekatan normatif,
teologis, spiritual, dan moral, Islam Mazhab Ciputat menggunakan pendekatan
sosiologis, antropologis, historis, filosof, kultural, dan sebagainya. Islam Mazhab
Ciputat adalah Islam yang menampilkan wajah yang utuh, komprehensif, holistik,
dan integrated dari ajaran al-Qur an dan al-Sunnah, dalam nuansa keindonesiaan,
kemodernan, keilmuan dan kemanusiaan.
Dengan demikian, Islam Mazhab Ciputat dapat diartikan sebagai Islam yang
digali melalui proses dialogis yang intent, saling menghargai dan menghormati
antara ajaran al-Qur an dan al-Sunnah dengan berbagai fenomena dan realitas
sosial yang sifatnya saling mengisi dan melengkapi. Hasil proses dialogis ini
dianggap sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai, melainkan akan terus
diperbaharui sesuai perkembangan zaman. Islam mazhab Ciputat menjangkau
spektrun ajaran Islam yang dipahami secara aktual dan kontekstual, sehingga
Islam dapat berdialog, berkolaborasi, bekerja sama, dan bertransformasi ke dalam
berbagai kehidupan sosial. Islam mazhab Ciputat membekali setiap orang untuk
mampu mentransformasikan, mengkontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan
ajaran Islam dengan berbagai kehidupan masyarakat, serta dapat bergandeng-
tangan dengan semua umat dari berbagai latar belakang agama, suku, budaya,
aliran, golongan dan lain sebagainya yang memiliki kesamaan visi untuk
memajukan kehidupan yang berbudaya, beradab dan mensejahterakan seluruh
umat manusia. Islam mazhab Ciputat pada akhirnya berujung pada
mengupayakan terwujud missi Islam yang rahmatan lil alamin.
B. Pembahasan
Latar Belakang dan Tokoh Penggagas Lahirnya Islam Mazhab Ciputat
Latar belakang lahirnya Islam Mazhab Ciputat dapat dihubungkan dengan
adanya kegalauan sejumlah tokoh Islam dan pemimpin nasional terhadap
keadaan umat Islam Indonesia yang terbelakang dan tertinggal dibandingkan
dengan kelompok sosial lainnya. Menurut mereka umat Islam harus dibina
kemampuannya agar mencapai kemajuan dengan cara memberikan pendidikan
tinggi, seperti Sekolah Tinggi Islam yang bermutu, unggul dan modern. Dalam
hubungan ini, Mohammad Natsir (Jabali, 2003, h. 3) misalnya mengatakan:
Pendidikan pondok pesantren dan madrasah memang dapat menghasilkan orang
yang beriman dan beprilaku baik, tetapi acuh terhadap perkembangan dunia.
Sementara itu Mohammad Hatta (Jabali, 2003, h. 6) mengatakan, bahwa
tujuan pendidikan tinggi Islam adalah: Harus mampu menghasilkan para sarjana
Muslim yang mengerti tentang masyarakat yang selalu berubah. Jika mereka tak
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
8
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memahami perubahan masyarakat di sekitarnya, mereka tidak layak memimpin.
Alasan tersebut membuat filsafat, sejarah dan sosiologi merupakan komponen-
komponen yang sangat penting dimasukan dalam kurikulum Sekolah Tinggi
Islam .
Sementara itu Satiman (Jabali, 2003, h. 4) mengemukakan 4 hal yang
melatar-belakangi lahirnya Sekolah Tinggi Islam (STI), yaitu: Pertama, kesadaran
bahwa masyarakat Islam tertinggal dalam pengembangan pendidikan
dibandingkan dengan non-Muslim. Kedua, masyarakat non-Muslim maju karena
mengadopsi cara Barat dalam sistem pendidikan mereka. Ketiga, perlunya
mengembangkan sistem pendidikan Islam dengan dunia internasional. Keempat,
dalam pendidikan Islam unsur lokal penting untuk diperkenalkan. Sekolah Tinggi
Islam diusulkan perlu untuk menjawab keempat persoalan tersebut .
Sejalan dengan itu, mendiang Presiden Pertama Indonesia, Soekarno
(Yatim, 1994, h. 112-118) melihat, bahwa keadaan umat Islam di Indonesia pada
tahun 60-an berada dalam jurang kemunduran, kekolotan dan keterbelakangan.
Dalam hubungan ini, Soekarno menyebutkan 5 faktor yang menyebabkan umat
Islam dalam keadaan demikian. Pertama, karena berubahnya demokrasi menjadi
aristokrasi, dan republik menjadi dinasti; kedua, taqlid yang mematikan
kehidupan berfikir dalam Islam; ketiga, berpedoman pada hadits-hadits dhaif
(lemah); Keempat, aristokrasi dalam masyarakat Islam, dan kelima, kurangnya
kesadaran sejarah. Selain itu Bung Karno juga galau dengan ajaran Islam yang
dianut ummat Islam pada saat itu. Menurut Bung Karno, bahwa ajaran Islam yang
dianut oleh umat Islam saat itu umumnya adalah ajaran Islam yang sudah
kehilangan spiritnya sebagaimana dikehendaki al-Qur an dan Hadis. Yaitu ajaran
Islam yang tinggal abu nya, sedangkan spiriti atau apinya sudah padam. Mereka
menganggap cukup sudah mengamalkan ajaran Islam jika sudah shalat, puasa,
pergi haji, mengaji al-Qur an, berzikir, berdo a, berziarah kubur, dan melakukan
ritualitas lainnya. Sedangkan pesan moral, spiritual, disiplin, dan kerja keras dari
ajaran ritual yang dipraktekannya itu tidak nampak. Sementara itu paham teologi
yang dianut umat Islam juga adalah teologi kepasrahan, fatalistik, dan
keterpaksaan. Mereka percaya bahwa nasib manusia di dunia sudah ditakdirkan
Tuhan sejak zaman azali. Paham takdir yang sesungguhnya dikehendaki al-Qur an
adalah, bahwa dalam seluruh ciptaan Tuhan ada batas-batas atau ketentuan yang
serba pasti yang selanjutnya disebut sunnatullah. Air mengalir ke bawah, api
mengarah ke atas dan panas, pertumbuhan fisik manusia, tumbuh-tumbuhan,
binatang dan lainnya berjalan sesuai aturan Tuhan (Sunnatullah) Tuhan. Adanya
Sunnatullah itu merupakan arena bagi manusia untuk melakukan riset dan kajian
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
9
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk menemukan hikmah, berupa teori-teori yang selanjutnya diuji dan divalidasi
serta dirumuskan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Kegalauan yang dirasakan para tokoh Islam dan pemimpin nasional di
Indonesia juga dirasakan oleh sejumlah tokoh di berbagai dunia Islam lainnya,
seperti Muhammad Iqbal, dan Syed Amer Ali dari India, Fazlur Rahman dari
Pakistan, Lodrop Stoddard dan lain-lain. Muhammad Iqbal misalnya memiliki
pandangan Islam yang dapat membangkitkan spiritualitas dan moralitas yang
tinggi. Ia misalnya memahami Isra Mi raj sebagai upaya memadukan ajaran langit
di bumi. Itulah sebabnya apa yang diperoleh Nabi Muhammad SAW dari Mi raj
harus membawa kemajuan di bumi. Sementara itu Syeed Amer Ali melihat bahwa
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan para Khulafaur Rasyidin
adalah ajaran yang sudah sangat maju; ajaran yang menyuruh manusia bekerja
keras, memeras otak, membanting tulang, berorientasi pada mutu, egaliter,
terbuka, menegakkan kedamaian, keadilan, kesederajatan dan berorientasi pada
mutu dan kemampuan (meritokrasi). Inilah yang oleh Robert Bellah disebut
sebagai Masyarakat Muslim Klasik, yaitu masyarakat yang terbuka, demokratis
dan partisipatif, dan bahwa keadaan itu berubah total setelah tampilnya dinasti
Bani Umayyah. Oleh karena itu, kesenjangan yang ada sekarang antara ide dan
realitas dalam masyarakat Islam harus ditelusuri sebagai kelanjutan apa yang
dilihat Bellah, sebagai kegagalan di masa awal itu sendiri, karena belum adanya
prasarana untuk menopang prinsip-prinsipn yang disebutnya modern itu (Madjid,
1993, h. 63-64).
Sementara itu, Fazlur Rahman menemukan empat hal yang membawa
kemunduran umat Islam, yaitu kehilangan etos mencari ilmu sebagai ibadah,
pandangan yang dikhotomis tentang ilmu, tidak berani berijtihad, dan sikap
membeo, hafalan dan verbalistik dalam belajar. Rahman melihat bahwa umat
Islam merasa berdosa jika tidak shalat, namun tidak merasa berdosa jika tidak
belajar; umat Islam menganggap bahwa menuntut ilmu agama adalah fardlu ain,
sedangkan menuntut ilmu umum adalah fardlu kifayah; Islam dalam beragama
cukup mengikuti ajaran para ulama terdahulu. Dan dalam belajar yang terpenting
memahami, mengulang-ulang, menghafal dan memeliharanya. Sehubungan
dengan itu, Bung Karno memandang perlu untuk memperkenalkan gagasan dan
pemikiran Islam dari sejumlah tokoh tersebut kepada masyarakat Indonesia.
Untuk itu, Bung Karno merekomendasikan kepada sejumlah tokoh untuk
menerjemahkan berbagai buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Gagasan dan pemikiran Islam yang progressif dari sejumlah tokoh tersebut
itu termasuk di antara bahan bacaan yang dipelajari oleh para dosen dan
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
10
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mahasiswa IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah yang ada di Ciputat. Dengan demikian,
terjadi semacam pertemuan antara gagasan Muhammad Natsir, Satiman,
Mohammad Hatta, Bung Karno, Muhammad Iqbal, Syeed Ameer Ali, Fazlur
Rahman, dengan pemikiran Mukti Ali, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, H.M.
Quraisy Shihab, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Fakhry Ali, dan lainnya.
Latar belakang dari kegalauan sejumlah tokoh inilah yang menjadi latar belakang
lahirnya Islam Mazhab Ciputat.
Para Pendiri Mazhab
Paling kurang ada dua tokoh utama yang dapat diidentifikasi sebagai pendiri
atau pelopor Islam Mazhab Ciputat, Yaitu Harun Nasution dan Nurcholish Madjid.
Riwayat hidup, gagasan, pemikiran dan latar belakang kelahirannya dapat
dikemukakan sebagai berikut. Sedangkan Nurcholish Madjid banyak mengabdikan
hidupnya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat dan HMI Pusat,
dosen Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, nara
sumber dan penulis yang produktif, serta Direktur Paramadina, pernah sebagai
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan berbagai kepengurusan organisasi
kemahasiswaan dalam dan luar negeri. Tentang bagaimana corak gagasan dan
pemikiran keislaman kedua tokoh tersebut? serta faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi gagasan dan pemikiran kedua tokoh tersebut, lebih lanjut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1. Harun Nasution
Harun Nasution banyak pengabdikan dirinya di IAIN (sekarang UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam kedudukannya sebagai Rektor selama dua periode
(1975-1979) dan (1979-1983), Direktur Sekolah Pascasarjana (1983 hingga akhir
hayatnya 2004), dan juga sebagai dosen, nara sumber dan penulis yang produktif.
Ia lahir di Pematangsiantar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada hari
Selasa, 23 September 19919. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang
Ulama Kelahiran Mandailing yang berkecukupan dan pernah menduduki jabatan
sebagai Qadi, Penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di
Kabupaten Sumalungun. Sedangkan ibunya berasal dari Tanah Bato adalah
seorang puteri ulama asal Mandailing, dan masa gadisnya pernah bermukim di
Mekkah dan pandai Bahasa Arab. Harun Nasution memiliki pendidikan tradisional
Islam yang kuat semasa kecil (belajar mengaji, sembahyang di rumah), pendidikan
Modern Belanda (Holland Inlandsch School (HIS) selesai tahun 1934, dan Moderne
Islamietische Kweeksachool:MIK), pendidikan Timur Tengah Fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar, Mesir Kairo), dan pendidikan Barat (American University
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
11
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kairo; BA, dalam bidang Social Studies tahun1952, dan Islamic Studies di MacGill
University, Montreal, Kanada). Ia adalah tokoh utama penggagas Islam mazhab
Ciputat. Ia memiliki corak pemikiran Islamnya yang rasional, toleran, moderat,
inklusif, progressif, dan inovatif. Gagasan dan pemikirannya ini tidak hanya untuk
kepentingan akademik dan pengembangan wawasan akademik saja, melainkan
untuk mengatasi keterbelakangan umat Islam. Ia misalnya sering mengatakan,
bahwa di antara penyebab kemunduran Islam adalah karena menganut teologi
jabariyah (fatalism), mendahulukan kepasrahan pada Tuhan sebelum usaha,
paham takdir yang tidak berbasis sunnatullah, sikap jumud, dan tertutupnya pintu
ijtihad. Untuk itu mewujudkan keadaan Islam yang demikian itu, Harun Nasution
mengajak umat Islam untuk bersikap toleran, tidak fanatik dan tidak sektarian,
menghormati dan menghargai pendapat orang lain, memasukan mata kuliah studi
Islam yang komprehensif dan berbagai aspeknya, serta mata kuliah umum, seperti
sosiologi, sejarah, filsafat, perbandingan agama dan statistik, merubah metode
pengajaran yang lebih dialogis; mengajak mahasiswa bersikap rasional, kritis,
objektif, dan komprehensif. Dalam hubungan ini, Harun Nasution, mengatakan,
bahwa dalam Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian
berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman
klasik Islam (650-1250 M.). Sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada
zaman pertengahan Islam (1250-1800 M.). Harun Nasution (1975, h.9) juga
sangat mendorong perlunya melakukan pembaharuan dalam Islam. Upaya ini
didasarkan pada kegalauannya, tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern yang memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan
abad ke sembilan belas yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan
periode modern. Guna menumbuhkan berfikir rasional ini, Harun Nasution
memperkenalkan dan mengajarkan mata kuliah Filsafat, suatu mata kuliah yang di
tahun 70-an dianggap sebagai mata kuliah yang haram dipelajari oleh umat Islam
karena khawatir umat Islam menjadi murtad, dangkal imannya, mendewakan akal
pikiran, dan meninggalkan wahyu. Harun Nasution (1995, h. 7) justru sebaliknya
mengatakan, bahwa antara agama dan akal tidak saling bertentangan. Al-Qur an
mengajarkan manusia agar menggunakan akalnya. Dan Nabi mengatakan, bahwa
agama adalah sesuai dengan akal, dan tidak akan beragama bagi orang yang tidak
berakal. Bahkan ajaran-ajaran agama nampaknya melampaui kemampuan akal
manusia, atau bahkan ajaran Islam terlalu berat untuk dipahami oleh umat Islam.
Akibat dari keadaan yang demikian, umat Islam hanya memeluk agama secara
formalitas, emosionalitas, dan tidak tidak dapat menangkap ajaran yang dalam
guna membawa kemajuan. Umat Islam tak ubahnya seperti keledai yang
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
12
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggendong-gendong taurat di punggungnya, namun sampai mati keledai
tersebut tidak dapat memahami kandungan taurat itu. Guna membangkitkan
semangat rasionalitas, menghargai dan menggunakan akal dalam beragama,
Harun Nasution (1978) memperkenalkan pemikiran sejumlah filosof, seperti al-
Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan Ibn Tufail, melalui bukunya yang berjudul
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Khusus untuk meyakinkan bahwa
menggunakan akal sangat dianjurkan dalam Islam, Harun Nasution menulis buku
Akal dan Wahyu. Di dalam buku tersebut Harun Nasution (1986) menyatakan
bahwa akal digunakan dalam memahami tauhid, fikih, dan tafsir. Berbagai
kalangan melihat banyak sisi yang ditampilkan Harun Nasution. Nurcholish Madjid
misalnya memandang Harun Nasution sebagai penganut paham teologi
Muhammad Abduh yang dekat ke teologi rasional Mu tazilah. Sementara yang
lainnya, menilai Harun Nasution (1980) sebagai orang yang mengembangkan
pemikiran toleransi dan moderat yang memungkinkan dilakukannya kerjasama
antar umat beragama.
Harun Nasution adalah tokoh utama penggagas Islam mazhab Ciputat. Ia
memiliki corak pemikiran Islamnya yang rasional, toleran, moderat, inklusif,
progressif, dan inovatif. Gagasan dan pemikirannya ini tidak hanya untuk
kepentingan akademik dan pengembangan wawasan akademik saja, melainkan
untuk mengatasi keterbelakangan umat Islam. Ia misalnya sering mengatakan,
bahwa di antara penyebab kemunduran Islam adalah karena menganut teologi
jabariyah (fatalism), mendahulukan kepasrahan pada Tuhan sebelum usaha,
paham takdir yang tidak berbasis sunnatullah, sikap jumud, dan tertutupnya pintu
ijtihad. Untuk mewujudkan keadaan Islam yang demikian itu, Harun Nasution
(1995, h. 7) mengajak umat Islam untuk bersikap toleran, tidak fanatik dan tidak
sektarian, menghormati dan menghargai pendapat orang lain, memasukan mata
kuliah studi Islam yang komprehensif dan berbagai aspeknya, serta mata kuliah
umum, seperti sosiologi, sejarah, filsafat, perbandingan agama dan statistik,
merubah metode pengajaran yang lebih dialogis; mengajak mahasiswa bersikap
rasional, kritis, objektif, dan komprehensif. Dalam hubungan ini, Harun Nasution,
mengatakan, bahwa dalam Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi
kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang
pada zaman klasik Islam (650-1250 M.). Sedangkan pemikiran tradisional
berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M.). Harun Nasution
(1975, h. 9), juga sangat mendorong perlunya melakukan pembaharuan dalam
Islam. Upaya ini didasarkan pada kegalauannya tentang kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang memasuki dunia Islam, terutama
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
13
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sesudah pembukaan abad ke sembilan belas yang dalam sejarah Islam dipandang
sebagai permulaan periode modern. Guna menumbuhkan berfikir rasional ini,
Harun Nasution memperkenalkan dan mengajarkan mata kuliah Filsafat, suatu
mata kuliah yang di tahun 70-an dianggap sebagai mata kuliah yang haram
dipelajari oleh umat Islam karena khawatir umat Islam menjadi murtad, dangkal
imannya, mendewakan akal pikiran, dan meninggalkan wahyu. Harun Nasution
justeru sebaliknya mengatakan, bahwa antara agama dan akal tidak saling
bertentangan. Al-Qur an mengajarkan manusia agar menggunakan akalnya. Dan
Nabi mengatakan, bahwa agama adalah sesuai dengan akal, dan tidak akan
beragama bagi orang yang tidak berakal. Bahkan ajaran-ajaran agama
nampaknya melampaui kemampuan akal manusia, atau bahkan ajaran Islam
terlalu berat untuk dipahami oleh umat Islam. Akibat dari keadaan yang demikian,
umat Islam hanya memeluk agama secara formalitas, emosionalitas, dan tidak
tidak dapat menangkap ajaran yang dalam guna membawa kemajuan.
Pertanyaan tentang mengapa Harun Nasution memiliki gagasan dan
pemikiran Islam seperti itu, dapat dilacak dari empat hal sebagai berikut.
Pertama, dipengaruhi watak dan karakter Harun Nasution yang dari sejak
kecil sudah kritis. Ia selalu mengajukan pertanyaan: mengapa terhadap sesutu.
Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang bersifat rasional, filofis dan logis. Ia
tidak suka pada hal-hal yang doktriner dan kurang masuk akal. Sikap kritis ini
misalnya ia perlihatkan pada saat ia belajar di Moderne Islamietische Kweekschool
(MIK), yaitu Sekolah Guru Menengah Swasta Pertama Modern milik Abd al-
Ghaffar Jambek, putera Syaikh Jamil Jambek di Bukittinggi. (Yatim, 2002, h. 7)
Pada saat itu ia berkata: Di sana aku memakai dasi, dan diajarkan bahwa
memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok. Kupikir,
mengapa harus berat-berat mengambil wudhu dahulu hanya untuk mengangkat
al-Qur’an. Terpikir pula, apa beda al-Qur’an dengan kertas biasa. Al-Qur’an yang
kupegang itu adalah kertas, bukan wahyu. Wahyunya tidak di situ. Apa salahnya
memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu. Begitu pula soal shalat, memakai
ushali atau tidak bagiku sama saja”.
Kedua, dipengaruhi oleh para tokoh pembaru pemikiran Islam Indonesia,
serta para pemikir Islam modern lainnya selama ia belajar di berbagai perguruan
tinggi di luar negeri. Ketika belajar di Bukittinggi misalnya Harun Nasution berkata:
Di Bukittinggi, aku mulai mengenal pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Hamka,
Zainal Abidin Ahmad dan Jamil Hambek, melalui tulisan-tulisan mereka di majalah
Pedoman Masyarakat dan khutbah-khutbah mereka (Tim penulis, 1989, h. 7).
Selain itu dipengaruhi pula sejumlah bacaan pada saat ia menulis Tesis MA-nya
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
14
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berjudul The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Ideology, The
Movement fir Its Creation and the Theory of Masyumi. Pada saat menulis ini ia
mengenal pemikiran para tokoh Masyumi seperti M. Natsir, Zainal Abidin Ahmad,
Isa Anshari, Osman Raliby, dan Kasman Singodimedjo (Nata, 268, 2004). Demikian
pula pada saat ia menulis disertasi untuk Ph.D-nya yang berjudul The Place of
Reason in Abduh’s, Its Impact on His Thelogical System and Views (Kedudukan
Akal dalam Teologi Muhammad Abduh), juga dipengaruhi oleh pemikiran Teologi
rasional seperti Mu tazilah yang dinilai sebagai teologi yang dianut Muhammad
Abduh.
Ketiga, dipengaruhi oleh gagasan dan pemikiran modern yang berkembang
di dunia Islam, khususnya Mesir, di mana Harun Nasution pernah belajar di Mesir.
Pemikiran Islam modern dari Muhammad Abduh dan para muridnya, al-Tahthawi,
dan Ali Abd al-Razik ikut mempengaruhinya. Pengaruh ini nampak terlihat pada
salah satu karya Harun Nasution (1978) tentang Aliran Modern dalam Islam.
Keempat, dipengaruhi oleh assumsi Harun Nasution terhadap penyebab
keterbelakangan ummat Islam di Indonesia dalam bidang ekonomi dan
kebudayaan yang dihubungkan dengan paham keagamaan. Hal ini nampak dalam
pendapatnya yang menyatakan, bahwa masyarakat Muslim kurang maju dalam
bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik
dan statis. Menurutnya, teologi Ahl al-Sunnah dan Asy ariyah harus bertanggung
jawab atas kemandegan ini. Kaum muslimin berpandangan sempit dan tidak
terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan
umat (Nata, 2004, h. 269).
Kelima, semasa belajar di luar negeri Harun Nasution banyak memperoleh
informasi tentang pemikiran keislaman yang diajarkan di berbagai perguruan
tinggi Islam negeri yang dinilainya sangat sempit. Harun Nasution ingin merubah
paham Islam yang sempit ini dengan paham Islam yang luas. Dalam hubungan ini
Harun Nasution (Yatim, 2002, h. 172) berkata: …… sejak di luar egeri Saya telah mendengar kondisi IAIN. Pemikiran yang dikembangkan sangat sempit. Para
mahasiswa tidak diizinkan untuk membaca karya-karya Abduh. Saya tahu masalah
ini secara khusus, karena mendengar langsung dari lulusan IAIN yang ada di Mesir.
Mereka memberi tahu pengajaran yang dikembangkan di IAIN sangat tradisional
dan sangat fiqih oriented .
Namun, orang sering salah mengira, bahwa dengan pandangan-pandangan
keislaman yang demikian itu, Harun Nasution menjadi orang murtad, tidak taat
beragama, bersikap liberal, atau sudah keluar dari ajaran dasar al-Qur an dan
Hadis. Dugaan itu sepintas terkesan benar. Namun orang-orang yang dekat dan
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
15
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengenal Harun Nasution lebih dalam, berpendapat, bahwa sikap Harun Nasution
yang demikian itu justeru merupakan pelaksanaan spirit ajaran al-Qur an dan
Hadis. Dalam bidang keagamaan, al-Qur an mengajarkan manusia memiliki iman
yang kokoh dan transformatif, taat beribadah yang berdampak pada
pembentukan akhlak mulia; Dalam bidang ilmu pengetahuan, al-Qur an dan Hadis
memiliki pandangan yang integralistik dan holistik; dalam bidang sosial, al-Qur an
mengajarkan sikap kesederajatan, keadilan, musyawarah, kemanusiaan,
persaudaraan, kerjasama dan toleransi; dalam bidang ekonomi, al-Qur an dan al-
Hadis mengajarkan kerja keras, disiplin, kreatif, inovatif, dan seimbang; dalam
bidang kebudayaan dan peradaban. Menurutnya al-Qur an dan Hadis
mengajarkan semangat melakukan kajian, penelitian, pengembangan dan
penciptaan karya-karya inovatif dan kreatif. Ajaran al-Qur an dan Hadis yang
demikian itulah yang ingin diwujudkan Harun Nasution, dan bukan ajaran-ajaran
Islam hasil ijtihad para ulama masa lalu yang sudah menyimpang dari ajaran al-
Qur an dan Hadis tersebut yang dibuktikan oleh adanya kemunduran ummat
Islam. Sungguhpun Harun Nasution mengajarkan pandangan Islam rasional,
inklusif, toleran, moderat, progressif dan inovatif, namun Harun Nasution adalah
seorang yang taat menjalankan ibadah, hidup sederhana, rendah hati, bersahaja,
asketis dan jauh dari perbuatan menyimpang. Hal ini nampak dipengaruhi oleh
didikan ayahnya Abdul Jabbar Ahmad, seorang Ulama kelahiran Mandailing yang
pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, kepala agama, Hakim Agama
dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun, serta dipengaruhi ibunya, seorang
puteri ulama asal Mandailing yang pada masa gadisnya pernah mukim di Mekkah
dan pandai berbahasa Arab. Harun Nasution (Tim penulis, 1989, h. 6)
menceritakan pengalaman keagamaan pada masa kecilnya sebagai berikut.
Suasana keagamaan yang ditanamkan ibuku di rumah benar-benar membekas
dalam hatiku. Ibuku menerapkan disiplin keras. Di rumah aku belajar mengaji
sejak pukul empat hingga lima sore. Seusai shalat Maghrib, aku mengaji al-Qur an
dengan suara keras sampai tiba waktu Isya. Kalau bulan puasa, bertadarrus di
masjid hingga pukul 12 malam. Setiap pagi aku bangun subuh untuk shalat
berjama ah .
Sikap keagamaan Islam Harun Nasution juga dipengaruhi saat ia pergi ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama
di tanah suci itu yang ia lakukan pada tahun 1938, atau saat ia berusi sekitar 19
Tahun; dan semasa beliau kuliah di Fakultas Ushuluddin pada Universitas al-Azhar,
Kairo Mesir (Nata, 2004, h. 265).
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
16
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26
Muharram 1358 H di Jombang, Jawa Timur. Keluarganya berasal dari kalangan
pesantren yang taat menjalankan agama. Sebagaimana halnya Harun Nasutian,
Nurcholish Madjid juga memperoleh pendidikan kombinasi antara Islam
tradisional, Islam masa transisi, dan Islam modern. Islam tradisional ia peroleh
semasa Sekolah Ibtidaiyah di Mojoanyar dan di Pesantren Darul Ulum di Rejoso,
Jombang. Sedangkan pendidikan masa transisi (dari tradisional ke Modern), ia
peroleh semasa belajar di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan di Institut
Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Sastra
Arab, tamat tahun 1968. Sedangkan pendidikan modern, ia peroleh semasa kuliah
di Chicago University, Amerika Serikat, dengan salah seorang gurunya Fazlur
Rahman. Nurcholish Madjid adalah termasuk alumni generasi awal tamatan IAIN
Syarif Hidayatullah yang sangat terkenal dan fenomenal dengan gagasan-gagasan
modernisme Islamnya.
Selain pernah menjabat sebagai Ketua HMI Cabang Ciputat, Nurcholish
Madjid pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Terkait dengan gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid
dapat dijumpai dalam berbagai karya tulisnya. Menurut M. Dawam Rahardjo,
bahwa maksud dari berbagai tulisan Nurcholish Madjid (Madjid, 1993, h. 30),
adalah memberi landasan teologis, terutama bagi golongan intelektual, agar
mampu memberikan responsi positif terhadap modernisasi, tetapi tetap bertolak
dari mengacu kepada iman-Islam. Pendapat ini sejalan dengan yang dijumpai
dalam karya monumental Nurcholish Madjid yang berjudul Islam, Doktrin dan
Peradaban, sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan dan Kemodernan.
Dalam buku tersebut, Nurcholish memaparkan kajian mendalam tentang iman
yang jauh berbeda dengan kajian tentang iman sebagaimana yang dijumpai dalam
buku-buku keimanan yang terdapat dalam berbagai kitab kuning yang cenderung
teo-centris, membahas sifat-sifat Tuhan berdasarkan dalil naqli (al-Qur an dan
hadis) tanpa dihubungkan dengan kehidupan manusia secara kontekstual dan
aktual. Iman dalam pandangan Nurcholish Madjid memiliki keterkaitan dengan
tata nilai Rabbaniyah, emansipasi dan hakikat kemanusiaan, perwujudan
masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Iman menurut Nurcholish Madjid juga terkait dengan upaya
memajukan masyarakat. Di dalam buku itu juga Nurcholish berbicara tentang
disiplin ilmu keislaman tradisional:kalam, fiqih dan tasawuf; konsep kosmologi,
antropologi, hukum, universalisme Islam, Islam dan kedudukan bahasa Arab,
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
17
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menangkap kembali dinamika Islam klasik dan kosmopolitanisme, makna
modernitas dan tantangannya, ajaran nilai etis dan kitab suci, penggunaan bahan-
bahan modern untuk memahami Islam, konsep keadilan dalam Qur an, masalah
teknologi, Islam dan budaya lokal, kaum Muslimin dan partisipasi sosial politik,
serta reaktualisasi nilai kultural dan spiritual dalam proses transformasi
masyarakat (Madjid, 1992). Gagasan-gagasan Nurcholish Madjid yang demikian
aktual, kontekstual, segar, responsif, inovatif dan modernis ini pada hakikatnya
merupakan pengembangan lebih lanjut dari gagasan induk beliau yang tertuang
dalam buku Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi buku wajib dalam
pelatihan dan pengkaderan di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam, dan telah
dikaji lebih lanjut oleh Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Islam Mazhab HMI
Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Namun sungguhpun Nurcholish
begitu berani mengemukakan gagasan dan pemikiran yang di tahun 70-an masih
tergolongan langka, bahkan bisa menimbulkan kejutan-kejutan, namun dari sejak
awal Nurcholish Madjid mengingatkan agar hat-hati dalam memahami agamanya.
Menurutnya berbicara tentang agama memerlukan sikap ekstra hati-hati. Sebab
sekalipun agama merupakan persoalan sosial, tetapi penghayatannya amat
bersifat individual yang dipengaruhi latar belakang dan kepribadiannya. Agama
adalah penyataan keluar sifat hanif manusia yang telah tertanam dalam alam
jiwanya. Maka beragama adalah amat natural, dan merupakan kebutuhan
manusia secara esensial (Madjid, 1993, h. 122-123). Guna memudahkan dalam
memetakan gagasan modernitasnya, Nurcholish terlebih dahulu mencoba
mengidentifikas komunitas Muslim yang ada di Indonesia ke dalam enam
kelompok. Pertama, gerakan al-takfir wa al-Hijrah di Mesir yang ultra ekstrim
(Q.S.3:193), mencukupkan segala kesalahan dan dosa yang telah terjadi baik
sengaja atau tidak sengaja. Kedua, kelompok revolusioner yang tidak percaya
pada pendekatan-pendekatan konstitusional dan legal untuk memperjuangkan
ide-ide mereka, tetapi hanya mempercayai cara-cara radikal dan revolusioner,
tetapi tidak sampai mengkafirkan orang lain. Ketiga, kelompok konstitusional yang
umumnya merupakan warisan kejayaan politik Islam di Indonesia zaman
Masyumi. Keempat, kelompok akomodasionis yaitu orang-orang yang
bekerjasama dengan Pemerintah. Kelima, kelompok oportunis yaitu orang yang
mengaku berjuang untuk Islam, tetapi sebenarnya tidak yakin akan ajaran Islam.
Keenam, kelompok silent majority, yaitu mreka banyak sekali, tetapi tidak
berfungsi apa-apa; mereka kelompok otomis, seperti unggukan pasir yang masing-
masing lepas (Madjid, 1979, h. 91). Dalam upaya memajukan kehidupan ummat
Islam, Nurcholish juga mengajukan gagasan tentang sekularisasi (bukan
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
18
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sekularisme), yakni memperlakukan hal-hal yang agama sebagai agama, dan yang
bukan agama. Ketika orang-orang non Muslim mencapai kehidupan yang sukses
secara sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain sebagainya, sesungguhnya
karena ia mengikuti aturan-aturan Tuhan yang sifatnya universal yang apabila
dilakukan dengan benar, Tuhan akan memberikannya tanpa memandang
keagamaannya secara formal. Kegiatan dalam bertani, beternak, berdagang, dan
sebagainya ada operating prosedurnya atau sunnatullah-nya. Jika sunnatullah itu
dilakukan dengan benar dan konsisten, maka tanpa mempersolkan agamanya,
akan tetap sukses. Sunnatullah itulah yang disebutnya sebagai yang bukan agama
(bukan ajaran) tapi sesuatu yang bersifat teknis dan lintas agama. Selain itu
Nurcholish Madjid menyinggung gagasan tentang Islam sebagai agama yang
membawa rahmat bagi seluruh alam, mendorong perkembangangan ilmu
pengetahuan, kehadiran Tuhan dalam kehidupan, manusia sebagai makhluk
individu dan masyarakat, ikhtiar dan takdir yang dikembalikan kepada semangat
al-Qur an dan Hadis yang mendorong usaha keras dan sungguh-sungguh dari
manusia (Tarigan, 2007, h. ix). Nurcholish juga memandang, bahwa sebetulnya
tidak ada masalah apabila kita sebagai seorang Muslim berpedoman pada ajaran
Islam, melihay segala sesuatu dari sudut ajaran Islam, termasuk terhadap
masalah-masalah kemasyarakatan, kenegaraan Pancasila (Tarigan, 2007, h. ix).
Selain itu Nurcholish juga punya perhatian terhadap citra partai politik yang
menggunakan label Islam, tapi prilakunya tidak Islami, seperti gontok-gontokan,
fitnah, caci maki dan tindakan tidak terpuji lainnya pada saat pemilihan ketua
partai, perebutan jabatan di dewan perwakilan rakyat, pemilihan kepala daerah
dan sebagainya. Untuk itu Nurcholish Madjid mengatakan: Islam Yes, Partai Islam
No. Islam yes dimaksudkan bahwa mengamalkan ajaran Islam secara substantif
dan kultural, walaupun tidak menggunakan label Islam, adalah sesuatu yang baik.
Sedangkan Partai Islam no”, dimaksudkan bahwa menggunakan label Islam tapi
tidak mengamalkan ajaran Islam adalah tidak baik, karena dapat merusak citra
Islam sebagai agama yang mulia. Menurut Cak Nur, demikian biasa Nurcholish
Madjid disapa, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, bahwa partai-partai yang
mengklaim sebagai pertai Islam malah sering sekali tak Islami. Bahkan terlihat
tidak memperjuangkan Islam, tetapi kepentingan elit politiknya dan kepentingan
pribadi. Jadi nilai-nilai Islam yang masuk dalam politik, hendaknya tidak dalam
bentuk klaim-klaim eksklusif sebagai partai Islam. Yang namanya partai Islam,
belum tentu tingkah laku elit politiknya Islami, sebagai contoh, mereka gontok-
gontokan memperebutkan kekuasaan. Padahal Islam mengajarkan supaya mereka
berdamai (Azra, 2000, h. 231).
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
19
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gagasan modern Nurcholis Madjid lebih lanjut nampak pada bidang
pendidikan pondok pesantren. Pada bukunya yang berjudul Bilik-bilik Pesantren
Nurcholish Madjid misalnya mengemukakan tentang berbagai kelemahan dunia
pesantren, antara lain pada aspek kepemimpinan yang sentralistik, manajemen
yang berbasis keluarga, kurikulum yang dikhotomis, lingkungan yang kumuh dan
semrawut, wawasan kebersihan dan kesehatan yang rendah, jiwa interpreneur
yang lemah, dan kurang percaya diri. Nurcholish Madjid banyak mengabdikan
hidupnya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat dan HMI Pusat,
dosen Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat,
narasumber dan penulis yang produktif, serta Direktur Paramadina, pernah
sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan berbagai kepengurusan
organisasi kemahasiswaan dalam dan luar negeri.
Dengan memperhatikan berbagai gagasannya itu, kalangan intelektual pada
umumnya melihat bahwa gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid berkisar pada
masalah Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan secara harmonis. Dengan
kesederhanaannya, ia juga dinilai sebagai seorang muslim asketis yang berfikiran
modern berspirit perjuangan. Dan dari segi metode dan pendekatannya dalam
merumuskan gagasan dan pemikirannya, Nurcholish Madjid memiliki kemiripan
dengan Falur Rachman yang menggukana model double movement. Teknis
operasionalnya, model ini dilakukan dengan cara melacak, mengkaji dan
mendalami warasan khazanah Islam di masa klasik (Golden Age) dengan tujuan
bukan untuk sekeder nostalgia, romantisme, menghibur diri, atau berbangga-
bangga serta menutupi kekurangan dan ketidak berdayaan yang dirasakannya,
melainkan untuk diambil spirit dan inspirasinya untuk mengkontruksi gagasan dan
pemikiran baru guna mengatasi masalah yang dihadapi sambil mendialogkan dan
melengkapinya dengan ide-ide dan gagasan pemikir dari Barat untuk diambil
sebuah sintesis. Kemampuan Nurcholish Madjid yang mirip Fazlur Rahman,
terbilang sebagai sesuatu yang jarang bisa dilakukan para pakar Muslim atau para
ulama khususnya, sebagai akibat minimnya persyaratan kemampuan bahasa,
keluasan bacaan, serta kekuatan spirit penggalian ide-ide dan gagasan dari al-
Qur an dan hadis. Nurcholish dapat melakukan proses dialektika antara warisan
klasik Islam dan ide-ide modern dari Barat, karena Nurcholish memiliki modal
kemampuan bahasa Arab dan Inggris yang kuat yang ia miliki selama belajar di
Pesantren Darul Ulum-Jombang, Jawa Timur, Pondok Modern Gontor Ponorogo,
Jurusan Sastra Arab selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta studi di
Chicago, Amerika Serikat. Dengan modal kemampuan bahasa Arab yang kuat, ia
dapat membaca berbagai literatur klasik berbahasa Arab karangan para tokoh
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
20
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pemikir Islam kelas dunia, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ikhwan
al-Shafa, Ibn Miskawaih, al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah, al-Mawardi,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan masih banyak lagi. Sedangkan dengan
kemampuan bahasa Inggrisnya, ia dapat membaca, memahami, dan menggali
gagasan-gagasan pemikiran modern Barat dalam berbagai bidang, seperti
pemikiran sosiologi dari Augus Comte, Thomas Aquinas, Schumacher; pemikiran
sejarah seperti dari Philip K. Hitti, H.A.R. Gibb, Thomas W. Arnold; pemikiran
empirisme eksperementalis dari Roger Bacon dan Pransic Bacon, pemikiran
politik John Locke dan Montesquiu, Robert Bellah, dan Snouck Hurgronye;
pemikiran agama dari Wilfred Canwil Smith, dan Joachim Wach; pemikiran
ekonomi dari Adam Smith; berbagai pemikiran aliran filsafat:naturalisme,
existensialisme, sosioalogis, pragmatisme, materialisme, humanisme, radikalisme,
liberalisme dan sebagainya dengan penuh hati-hati, memilah dan memilih,
sehingga ada yang ditolak, dan ada pula yang diakomodir. Kemampuan dalam
bidang bahasa, metodologi berfikir dan kesungguhan untuk memberikan jawaban
dan solusi untuk mengatasi keterbelakangan umat inilah yang menyebabkan
Nurcholish Madjid dalam melakukan model double movement atau dialektika
yang produktif. Hasil dialektika dan sintesis Nurcholish Madjid terkadang tidak
terjangkau oleh nalar para tokoh muslim dan ulama pada umumnya, sehingga
gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid itu terkadang menimbulkan resistensi
dan ketegangan-ketegangan, hingga karena yang disebut terakhir ini tidak mampu
mengimbangi kemampuan yang dicapai Nurcholish Madjid, sehingga sering
menuduhnya sebagai seorang yang sekuler, pluralis dan liberal. Seluruh gagasan
dan pemikiran Nurcholish Madjid ini diarahkan untuk memajukan Islam dan
umatnya. Pilihannya bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bahkan
memimpinnya sebagai Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1967-1969) dan
(1969-1971), karena organisasi ini memiliki tujuan: (1) membela negara RI dan
menaikan harkat masyarakat Indonesia, dan (2) menjaga dan memajukan agama
Islam. Melalui organisasi itu, Nurcholish melakukan pelembagaan ideoologi Islam
modern ke dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pada tahun 1969 yang
menjadi panduan ideologis untuk semua kader HMI. Gagasan dan pemikiran
ideologisnya itu lebih lanjut ia sampaikan pada pidato tentang: Keharusan
pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat pada tanggal 2
Januari 1970. Dari gagasannya ini segera dapat diketahui hal-hal yang mendasari
lahirnya gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid, yaitu kegelisahan dan
kegalauannya atas kondisi umat Islam Indonesia yang telah mengalami
kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
21
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kehilangan daya tonjok psikologis dalam perjuangannya. Modernisasi yang
digagasnya dalam arti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berfikir
dan bekerja yang maksimal dinilai oleh Nurcholish Madjid sebagai perintah Tuhan
yang imperatif dan mendasar. Menurutnya, Islam selalu mengajak umat Islam
untuk menjauhkan diri dari sikap eksklusif dalam beragama dan lebih
menekankan ke arah sikap yang inklusif, dan bahkab pluralis di tengah keragaman
agama di Indonesia. Menurutnya, para penganut berbagai agama asalkan beriman
kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat kebajikan, maka mereka akan
memperoleh pahala dari Tuhan mereka (Kompas, Sabtu, 27 Agustus, 2016, hal. 7).
Pertanyaan tentang mengapa, Nurcholis Madjid memiliki gagasan dan pemikiran
Islam Mazhab Ciputat, dapat dijawab dengan beberapa hasil analisa sebagai
berikut.
Pertama, pengaruh dari pendidikan semasa ia belajar di lembaga
pendidikan transisional (KMI Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo) yang
memadukan unsur lokal tradisional keagamaan sebagaimana yang menjadi tradisi
pesantren pada umumnya dan unsur modern berupa pendidikan umum, bahasa
Inggris, bahasa Arab dan berbagai keterampilan kerja lainnya, dan semasa ia
kuliah pada program doktor di Chicago University, Amerika Serikat. Semasa kuliah
doktor di luar negeri ini, Nurcholish Madjid berguru kepada tokoh Islamis
modernis terkenal dari India/Pakistan, Fazlur Rahman.
Kedua, pengaruh dari lingkungan kegiatan organisasi sosial keagamaan, dan
politik dari orang tuanya yang aktif di Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi)
yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh Islam yang tergolong modern, seperti M.
Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Isa Anshari, Osman Raliby, Kasman Singodimedjo,
dan lainnya.
Ketiga, pengaruh dari pemikiran Islam modernis dari Timur Tengah,
khususnya Mesir, India/Pakistan dan Turki yang dibaca melalui buku-buku selama
kuliah pada Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab UIN (pada masa itu masih IAIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Yaitu buku-buku karangan Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Tanthawi Yahya, Ali Abd Raziq, Farid Wajdi dan
lainnya dari Mesir; Syaikh Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Syeed Ameer Ali,
Ahmad Amin dan lainnya dari India/Pakistan; dan Kemal Al-Tatruq, Zia Gokalp,
Namik Kemal dan lainnya dari Turki.
Keempat, pengaruh dari cita-cita dan ideologi perjuangan Himpunan
Mahasiswa Islam, yaitu(1)membela negara RI dan menaikan harkat masyarakat
Indonesia, dan (2)menjaga dan memajukan agama Islam.
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
22
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kelima, pengaruh dari pemikiran sosial, ekonomi, politik, ilmu
pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan peradaban yang berkembangan di dunia
Islam pada khususnya dan dunia pada umumnya. Pengaruh ini masuk melalui
berbagai bahan bacaan, seperti buku, surat kabar, jurnal dan sebagainya.
Jaringan Transmisi Islam Mazhab Ciputat
Gagasan dan pemikiran Islam Mazhab Ciputat yang digali, dirumuskan dan
dikembangkan Harun Nasution disalurkan melalui berbagai saluran. Pertama,
melalui jalur fungsi dan jabatan yang dimilikinya. Selain berfungsi sebagai dosen
dan tokoh cendekiawan Muslim yang disegani, Harun juga menduduki jabatan
sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode (1973-1981).
Dalam kedudukan sebagai dosen, Harun Nasution dengan istiqamah memberikan
kuliah pada mahasiswa seluruh strata. Pada mahasiswa strata 1 (S1) Harun
Nasution memberikan matakuliah pengantar studi Islam melalui buku Islam
Ditinjau dari Berbafai Aspeknya sebanyak dua jilid. Melalui mata kuliah ini, Harun
Nasution memberikan wawasan Islam yang luas, rasional, toleran dan modern.
Para mahasiswa yang pada umumnya memiliki latar belakang pemahaman Islam
yang sempit dan sektarian diubah menjadi memiliki wawasan Islam yang luas dan
moderat. Para mahasiswa tamatan pesantren dan madrasah pada waktu itu
umumnya diajarkan pemahaman Islam menurut mazhab tertentu, sedangkan oleh
Harun Nasution mereka diberikan pemahaman semua mazhab dan aliran. Dalam
bidang teologi mereka tidak hanya dikenalkan pada mazhab Syafi i, tetapi juga
mazhab Maliki, Hanafi, Hambali, al-Dzahiri, bahkan mazhab yang terdapat dalam
kelompok Syi ah; dalam bidang teologi, mereka tidak hanya diberikan
pemahaman teologi Asy ariyah, melainkan juga teologi Mu tazilah, Maturidiayah,
dan sebagainya. Demikian pula dalam bidang tasawuf, tafsir dan hadis
diperkenalkan berbagai paham dan corak aliran yang terdapat di dalamnya. Dalam
bukunya itu, Harun Nasution juga memperkenalkan aspek ajaran tentang filsafat,
sejarah, aliran modern, politik pemerintahan, pranata sosial, kebudayaan,
peradaban, dan sebagainya. Selanjutnya pada Program Pascasarjana, Harun
Nasution mengajarkan mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, Kalam, filsafat,
tasawuf dan aliran modern yang pada intinya merupakan pengembangan dan
pendalaman dari materi yang ia ajarkan pada mahasiswa program strata 1 (S1).
Tidak hanya itu, Harun Nasution juga mengajar berbagai mata kuliah tersebut
pada Program Pascasarjana di berbagai daerah, seperti pada IAIN, Padang,
Sumatera Barat, IAIN Palembang, IAIN Medan, IAIN Surabaya, IAIN Aceh dan
sebagiannya. Dalam pengajaran tersebut, Harun Nasution juga menggunakan
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
23
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pendekatan dialog dan dialektika melalui diskusi dan seminar. Para mahasiswa
diminta membaca, memahami, menulis dan menyajikan makalah, memberikan
jawaban atas masalah atau pertanyaan pada saat diskusi, diajak untuk menggali
argumentasi baik dari al-Qur an, al-hadis, pendapat para ulama, menggunakan
data-data sejarah, fakta sosial, atau hasil ijtihadnya sendiri, kemudian diajak
menarik kesimpulan yang terkadang berbeda dengan pemahaman yang
sebelumnya sudah dimiliki mahasiswa. Sebagai contoh, semula mahasiswa
menyimpulkan, bahwa Mu tazilah adalah aliran sesat dan orang yang
mempelajarinya dapat menjadi kafir zindik. Setelah kuliah dengan Harun
Nasution, mereka mulai menghargai pendapat Mu tazilah, tidak menganggapnya
tersesat atau kafir, melainkan memandangnya sebagai setara dan sebangun
dengan aliran teologi lainnya, dan mereka tahu, bahwa aliran yang selama ini
dianutnya (Asy ariyah) pada mulanya berasal dari Mu tazilah, dan juga
menggunakan logika deduktif dari Aristoteles. Namun Harun Nasution tidak
memaksa mahasiswa untuk berpindah pada mazhab tertentu, karena tujuan yang
ingin dikejar oleh Harun Nasution adalah agar mahasiswa memiliki pemahaman
Islam yang luas, moderat, toleran dan tidak sektarian. Tidak hanya terbuka dan
semakin luas wawasan keislamannya, mahasiswa yang disentuh Harun Nasution
juga menjadi mahasiswa yang kritis, rasional, terbuka, moderat, toleran, dan
terbiasa berdialog dengan berbagai aliran baik dalam intern umat Islam, maupun
juga dengan kelompok agama lainnya. Gagasan dan pemikiran Harun Nasution
juga disalurkan melalui forum ilmiah, seperti diskusi, seminar, simposium,
sarasehan, konsorsium dan sebagainya. Gagasan dan pemikiran Harun Nasution
juga ditransmisikan melalui jabatan yang ia miliki. Pada saat ia menjabat sebagai
Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan jabatan yang dimilikinya itu,
Harun Nasution berhasil mengembangkan kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan memasukan mata kuliah umum, seperti sejarah dunia, sejarah
Indonesia, sosiologi, wawasan sains dan teknologi, antropologi, aliran modern,
metodologi penelitian, statistik, bahasa Indonesia, aliran politik, dan sebagainya.
Selain itu, Harun Nasution juga merubah pendekatan dan metode perkuliahan,
dari yang semula menggunakan pendekatan yang berbasis pada guru (teacher
centred) melalui kuliah dan ceramah; menjadi menggunakan pendekatan yang
berbasis mahasiswa (student centred) melalui diskusi, seminar dan pemecahan
masalah. Harun Nasution juga memasukan dosen dengan latar belakang disiplin
ilmu dan keahlian yang beragam, bukan hanya yang berasal dari lingkungan intern
IAIN sendiri, melainkan dari berbagai perguruan tinggi umum, dan lembaga-
lembaga kajian ilmiah lainnya. Dalam hubungan ini tercatat, nama Prof. Dr. Jujun
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
24
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Suria Sumantri (ahli filsafat Ilmu), Prof. Dr. Sucipto, (ahli kurikulum), Prof. Dr.
Deliar Noer (ahli sejarah), dan Prof. Dr. Anah Suhaenah (ahli metodologi
pengajaran) yang berasal dari Universitas Negeri Jakarta (dahulunya IKIP Jakarta);
Prof. Dr. Edi Swasono (ahli ekonomi), Dr. Panuti Sudjiman (ahli bahasa Indonesia),
dan Dr.Parsudi Suparlan (ahli antropologi dan sosiologi) yang berasal dari
Universitas Indonesia; Prof.Munawwir Sadzali (ahli ilmu tata negara) dari
Kementerian Luar Negeri; Prof. Dr. A. Baequni (ahli nuklir) dari Badan Tenaga
Atom Nasional (BATAN), Prof. Dr. Karel Stembring (peneliti sejarah) dan John
Moeleman (ahli sejarah dan antropologi) dari Belanda; Prof. Dr. Uner Turgey (ahli
perkembangan modern dalam Islam) dari MacGill University, Canada; dan masih
banyak lagi.
Murid-murid dan didikan Harun Nasution yang demikian banyak jumlahnya
itu pada tahap selanjutnya berupaya menggali, mengembangkan dan menyebar-
luaskan gagasan dan pemikiran Harun Nasution pada saat mereka melaksanakan
tugas sebagai dosen dan sebagai pemimpin pada berbagai perguruan tinggi Islam
dan Perguruan Tinggi umum di berbagai daerah di Indonesia. Di antara murid
Harun Nasution yang dapat disebutkan di dalam tulisan yang terbatas ini Prof. Dr.
Azyumardi Azra, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, dan
Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara dengan penjelasan sebagai berikut.
Melalui jabatannya sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama
dua periode (1998-2002) dan (2002-2006), Azyumardi Azra berhasil
mentransformasikan IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah. Transformasi yang
berdampak pada pengembangan kelembagaan, sarana prasarana, infrastruktur,
sumber daya manusia, dan lainnya ini terkait erat dengan gagasan, pemikiran dan
cita-cita Harun Nasution. Dalam berbagai perkuliahannya, Harun Nasution
misalnya menginginkan kembali menghidupkan spirit, dinamika dan keyaan Islam
dalam bidang ilmu, kebudayaan dan peradaban. Harun Nasution juga
mengatakan, bahwa di masa lalu tradisi keilmuan yang bersifat integrated,
terbuka dan rasional sangat berkembang dengan baik. Keadaan ini harus
dibangkitkan kembali dengan cara merubah IAIN (institut) menjadi UIN
(universitas). Implementasi gagasan dan pemikiran Harun Nasution ditambah
dengan gagasan pemikiran Nurcholish Madjid tentang kemodernan dan
keindonesiaanini juga nampak dalam rumusan visi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagaimana diketahui, bahwa visi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah
Menjadi Universitas yang unggul dan terdepan, baik pada tingkat nasional
maupun internasional yang mengintegrasikan keislaman, keilmuan, kemodernan,
dan kemanusiaan. Namun demikian, Nurcholish pernah keberatan terjadinya
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
25
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perubahan IAIN menjadi UIN ini dengan alasan yang tidak begitu jelas. Dari kabar
yang diperoleh, bahwa kekurang-setujuan perubahan IAIN menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, karena beliau khawatir peran UIN dalam menghasilkan
lulusan ahli ilmu agama yang mumpuni dan diakui oleh masyarakat, baik pada
tingkat nasional maupun internasional akan memudar. Hal ini bisa didasarkan
pada pengalaman Nurcholish Madjid yang bisa mencapai sejumlah kompetensi
dalam menggali ilmu yang modern berdasarkan ilmu yang diberikan oleh UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui peran Azyumardi sebagai dosen, nara sumber
dan penulis buku, makalah dan lainnya yang bertemakan modernisme Islam,
demokrasi, hak asasi manusia, pendidikan, kebangsaan, toleransi, radikalisme dan
lainnya, gagasan Harun Nasution makin berkembang. Namun demikian,
Azyumardi tidak sepenuhnya mencukupkan diri dengan gagasan Harun Nasution,
dalam berbagai aspeknya. Azyumardi misalnya tidak menginginkan adanya upaya
dogmatisasi atau sakralisasi gagasan dan pemikiran Harun Nasution. Azyumardi
misalnya mengajukan kritik terhadap Harun Nasution yang cenderung
menginginkan agar ajarannya diterima mahasiswa dan menghafalnya. Mata kuliah
di Pascasarjana yang dipimpin Harun Nasution misalnya mengajarkan mata kuliah
Filsafat Islam, Tasawuf Islam, Aliran Modern dalam Islam, dan Kalam dengan
menggunakan buku dan cara berfikir Harun Nasution. Pada saat Azyumardi Azra
jadi Direktur Pascasarjana, terjadi restrukturisasi mata kuliah di Pascasarjana
dengan model yang bersifat interdisipliner. Azyumardi tidak menggunakan
pendekatan subjek matter, atau pendekatan nama mata kuliah sebagaimana yang
dilakukan Harun Nasution, tetapi dengan merubah menjadi Kajian Islam (Islamic
Studies) yang didekatif dengan berbagai disiplin keilmuan, seperti sosiologi,
antropologi, sejarah, psikologi, ekonomi, kebudayaan, peradaban, dan lain
sebagainya. Azyumardi merubah orientasi dari yang semula Anglo Saxon Oriented
yang bercorak subjek matter oriented, menjadi Continental Oriented yang
berbasis pada pemberian kemampuan metodologis, atau dengan merubah dari
strategi memberikan ikan kepada mahasiswa, tetapi dengan strategi memberikan
kail kepada mahasiswa. Tidak hanya itu, Azyumardi juga melakukan
pengembangan ajaran Islam yang lebih kontekstual. Azyumardi misalnya bicara
tentang Islam dengan modernisasi, demokrasi, toleransi, hak-hak asasi manusia,
perdamaian dunia, mencegah ekstrimisme dan radikalisme. Dengan cara
demikian, nampak dari karakter Islam Mazhab Ciputat ini, yakni Mazhab yang
memberikan kebebasan kepada para pengikutnya untuk bersikap kritis, dan tidak
menjadikannya mazhab tersebut sebagai dogma atau ajaran yang diikuti tanpa
kritis. Hal ini dimaksudkan agar, mazhab tersebut tidak mematikan kreatifitas atau
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
26
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tidak terjebak pada dogmatisme atau ortodoksi, sebagaimana yang pernah terjadi
dalam sejarah yang pengaruhnya masih terus berlangsung hingga sekarang.
Azyumardi Azra memiliki corak pemikiran Islam yang modern, demokratis,
moderat, toleran, inklusif, terbuka dan rasional. Pemikiran moderni Azyumardi
Azra antara lain nampak dalam bidang pemikiran Islam, pendidikan, dan tasawuf.
Melalui kajiannya dalam bidang sejarah dan sosial, Azyumardi (1999, h. 229)
misalnya menunjukkan, bahwa modernisasi pemikiran Islam sesungguhnya telah
ada akar-akarnya pada ulama di abad ke XVII dan XVIII. Temuannya ini, beliau
tuangkan dalam bukunya Jaringan Ulama Nusantara-Haramain Abad ke-XVII dan
XVIII. Dalam kaitan ini ia mengatakan, bahwa agama memberikan kepada manusia
sejumlah konsep mengenai kontruksi realitas yang didasarkan bukan pada
pengetahuan dan pengalaman empirik kemanusiaa itu sendiri, melainkan dari
otoritas ketuhanan. Itulah sebabnya lebih lanjut Azyumardi Azra mengatakan,
bahwa persoalan interaksi Islam dan budaya termasuk budaya Melayu,
Kalimantan, pada intinya melibatkan suatu pertarungan atau setidaknya,
ketegangan antara doktrin agama yang dipercayai bersifat absolut karena
berasal dari Tuhan, dengan nilai-nlai budaya, tradisi, adat istiadat produk manusia
yang tidak selalu sejalan dengan ajaran-ajaran ilahiyah. Dalam melakukan
modernisasi pemikiran Islam, Azyumardi (2002, h. 17) juga menyarankan tentang
perlunya melihat keragaman yang terjadi dalam memahami Islam. Menurutnya,
berbagai sarjana dan peneliti tertentu mendefinisikan Islam dengan menggunakan
kriteria formal yang sederhana, seperti penyebutan syahadat atau pemakaian
nama Islam, Sedangkan yang lain mendefinisikan Islam dengan cara yang lebih
sosiolog, dan suatu masyarakat akan dianggap Islam, jika Islam telah aktual,
memberikan prinsip-prinsip yang berfungsi secara aktual bagi segenap lembaga
sosial budaya dan politik.
Azyumardi (1999) juga menaruh perhatian besar terhadap kemajuan
pendikan Islam. Pada bukunya yang berjudul Pendidikan Islam Tradisi dan
Modernisasi Menuju Millenium Baru, Azyumardi berbicara tidak kurang dari dua
belas topik tentang pendidikan. Antara lain pendidikan Islam dan kemajuan sains,
ilmu dan tradisi keilmuan dalam masyarakat Islam, modernisasi pendidikan Islam
dan epistimologi ilmu, missi profesi dan pendidikan Islam, kebangkitan sekolag elit
Muslim, pesantren dan pembaharuan, surau, pembaharuan IAIN dan
pengembangan intelektual Muslim. Selanjutnya Azyumardi juga mencacat
berbagai keunikan pesantren di Indonesia dalam melaksanakan agenda
pembaharuannya. Ia misalnya mengatakan, bahwa modernisasi pendidikan
pondok pesantren di Indonesia tergolong unik, yaitu menerapkan pola menolak
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
27
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sambil sedikit-sedikit menerima dengan cara yang halus dan tidak menimbulkan
goncangan. Modernisasi pendidikan pondok pesantren di Indonesia tidak sampai
menghilangkan pendidikan pesantren sebagaimana yang terjadi di Turki melalui
gerakan sekularisasi Kemal Attaturk, atau gerakan nasionalisasi pendidikan di
Mesir yang dilakukan Gamal Abdul Nasher. Terkait dengan pembaharuan
pendidikan Islam ini, Azyumardi mengarakan: bahasa dalam dua dasawarsa
menjelang millinium ketiga berbagai lembaga Islam mengalami perkembangan
dan pembaharuan yang cukup observable. Perkembangan itu pada sebagian
lembaga dapat dikatakan sebagai konsolidasi dan pemantapan lembaga-lembaga
dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan perubahan dan tuntutan zaman.
Contoh yang observable adalah madrasah dan pesantren yang mengalami
penyempurnaan melalui Nomor 2 Tahun 1989 yang disempurnakan dengan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak
hanya itu, Azyumardi juga memandang, bahwa modernisasi pendidikan Islam,
dalam batas-batas tertentu, sesungguhnya telah terjadi pada zaman yang oleh
Harun Nasution disebut sebagai periode pertengahan antara abad ke 13 sd akhir
abad ke-18. Azyumardi (1995) melihat, bahwa modernisasi pendidikan agama
telah terjadi pada abad ke-17 dan 18 M, antara lain munculnya neo sufisme yang
mengkonsolidasikan atara tasawuf dan fikih yang semula bermusuhan,
keterlibatan para ulama dalam kehidupan pemerintahan; dan timbulnya gerakan
intelektual di kalangan ulama nusantara, dalam bentuk penulisan buku-buku
keagamaan Islam.
Selanjutnya gagasan pemikiran tentang demokrasi Azyumardi Azra, banyak
dihubungkan dengan nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan Pancasila, bukan
demokrasi yang berkembang di Barat. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi
yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang menghargai kemanusiaan, persatuan
Indonesia, musyawarah mufakah dan ditujukan untuk terciptanya keadilan sosial.
Itulah sebabnya ketika berbicara tentang nasionalisme dalam hubungannya
dengan demokrasi, Azyumardi mengutip pendapat Soekarno yang mengatakan.
Nasio alis e kita… buka asio alis e ya g ti bul dari keso bo ga ba gsa belaka. Ia adalah nasionalisme yang lebar. Nasionalisme yang tumbuh daripada
pengetahuan atau susunan dunia dan riwayat. Ia bukanlah : Jinggo nasionalisme:
atau Chauvanisme, dan bukanlah suatu copie atau tiruan daripada nasionalisme
ya g e eri a rasa hidup ya sebagai wahyu… asio alis e kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakas Tuhan dan membuat kita
hidup dalam roch (Azra, 1999, h. 100). Dalam konteks demokrasi di Indonesia ini,
Azyumardi menulis gagasannya itu dalam berbagai buku dan artikel di Indonesia.
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
28
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ia misalnya mengatakan, bahwa demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah
demokrasi yang nilainya rendah, atau demokrasi yang cacat, karena masih
diwarnai oleh praktek-praktek yang tidak terpuji, seperti mony politic, konspirasi,
transaksional dan sebagainya. Selanjutnya gagasan dan sikap moderat Azyumardi
Azra, pada sikapnya yang kurang suka pada ajaran Islam yang fanatik dan
sektarian. Yaitu ajaran Islam yang hanya membenarkan pahamnya sendiri, tidak
menghargai dan bahkan menganggap sesat ajaran Islam yang dianut orang lain.
Azyumardi menginginkan suatu pandangan Islam yang moderat, kompromistis,
toleran, damai dan terbuka. Dalam kaitan ini, Islam yang moderat dan toleran,
Azyumardi mengemukakan hasil observasi sosiologis dan historinya dengan
mengakatan: Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dan unsur-unsur
budaya lokal itu membuat Islam di Indonesia, lebih daripada Islam di tempat-
tempat lain, sering dianggap sebagai pinggiran, selain secara geografis, Indonesia
adalah negeri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi, misalnya tidak
menggunakan huruf Arab sebagai bahasa nasionalnya (Madjid,1993, h. 67).
Selanjutnya, Komaruddin Hidayat, lahir di Magelang, pada tanggal tahun
1952. Ia pernah menjadi murid Harun Nasution semasa kuliah di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan kuliah di Universitas Indonesia dan di Jurusan Filsafat
(1984-1990) pada Middle East Technical University (MET). Selain itu ia juga
pernah menjabat sebagai Rektor UiN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua
periode (2006-2010), dan (2010-2014) adalah murid generasi awal dari Harun
Nasution. Selama menjabat sebagai Rektor, Komaruddin Hidayat selain
melanjutkan program yang dicanangkan Azyumardi Azra, juga melakukan
pengembangan kelembagaan, kerjasama, dan sebagainya. Sebagai dosen,
Komaruddin Hidayat, banyak berbicara tentang Islam yang lebih transformatif,
inklusif, kultural, kemanusiaan dan damai, dengan menggunakan pendekatan
filsafat dan psikologis. Gagasan dan pemikiran Komaruddin Hidayat yang sejalan
dengan gagasan dan pemikiran Harun Nasution dan Nurcholish Madjid ini terjadi.
Kedekatan Komaruddin Hidayat dengan Harun Nasution terjadi ketika
Komaruddin Hidayat sebagai murid langsung dari Harun Nasution. Sedangkan
kedekatan Komaruddin Hidayat dengan Nurcholish Madjid terjadi ketika
Komaruddin Hidayat sebagai aktivitas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang
Ciputat, dan sebagai instruktur di Paramadina yang dipimpin Nurcholish Madjid.
Komaruddin Hidayat juga tergolong aktif sebagai wartawan Majalah Panji
Masyarakat, dan kolumnis pada harian Umum Kompas.
Sementara itu, Prof. Dien Syamsuddin selain tercatat sebagai dosen pada
Fakultas Ushuluudin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga banyak berperan di
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
29
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berbagai organisasi sosial keagamaan, dan berbagai lembaga strategis lainnya baik
di dalam maupun luar negeri. Di antaranya, ia pernah menjadi Ketua Umum
Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia dan sangat luas
pengaruhnya baik di dalam maupun luar negeri. Ia juga pernah menjabat sebagai
Ketua Majelis Ulama Indonesia, sebuah organisasi yang menghimpun para ulama
dalam rangka memberikan jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia dalam hubungannya dengan masalah keagamaan. Di tengah-tengah
kesibukannya, Dien Syamsuddin juga banyak memberikan gagasan dan pemikiran
melalui buku dan makalah yang disampaikannya dalam berbagai forum ilmiah,
konperensi, dan semacam baik di dalam maupun luar negeri. Dien Syamsuddin
banyak bicara tentang soal demokrasi, toleransi, penyebaran Islam damai, dan
solidaritas sosial.
Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara lahir di Tangerang, pada tanggal 10 Februari
1963. Ia pernah menjadi murid Harun Nasution selama di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan orang yang amat dekat dengan Nurcholis Madjid, Mulyadhi
Kartanegara yang mendalami filsafat Islam, memiliki ide-ide modern yang berbasis
pada warisan khazanah intelektual Muslim pada zaman kejayaan Islam. Ia begitu
mendalam berbagai gagasan dan pemikiran para tokoh filsafat dan tasawuf Islam.
Gagasan dan pemikiran modernnya, ia menginginkan memajukan umat Islam
dengan cara memiliki wawasan al-Qur an sesuai dengan al-Qur an dan al-Sunnah.
Dengan menggunakan pendekatan filsafat dan tasawuf Islam yang sejalan dengan
al-Qur an, Mulyadhi Kartanegara menggagas tentang Integrasi ilmu dengan
menggunakan tauhid sebagai basis integrasi, prinsip utama integrasi ilmu, basis
integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, objek-objek ilmu, integrasi bidang
ilmu, metafisika; integrasi sumber ilmu, integrasi pengalaman manusia, integrasi
metode ilmiahm integrasi teoritis dan praktis, dan psikologi sebagai sebuah studi
kasus (Kartanegara, 2004). Upaya memperkenalkan integrasi ilmu melalui filsafat
ini dilakukan pula dengan cara menerjemahkan buku Sejarah Filsafat Islam yang
ditulis Madjid Fakhry dan kata pengantarnya oleh Nurcholish Madjid.
Transmisisi gagasan Harun Nasution juga terjadi melalui sejumlah muridnya
yang pernah kuliah di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
dipimpin oleh Harun Nasution. Mereka itu antara lain, Prof. Dr. Azhar Arsyad, MA.
(Mantan Rektor UIN Alauddin, Sulawesi Selatan); Prof. Dr. Asafri Jaya Bakri
(Mantar Rektor IAIN Jambi); Prof. Dr. Hadi (Mantan Rektor IAIN Medan), Prof. Dr.
(Mantan Rektor Riau); Prof. Dr. Nanat (Mantan Rektor Bandung), Prof. Dr. Munzir
Haitami (Mantan Rektor IAIN Pontianak), Prof. Dr. (Mantan Rektor UIN Sunan
Ampel, Surabaya); Prof. Dr. Haitami (Mantan Rektor Serang-Banten), dan
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
30
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sejumlah Rektor IAIN dan STAIN lainnya yang tidak dapat disebutkan semuanya di
sini. Melalui jabatan, peran dan tugas yang mereka mainkan, gagasan dan
pemikiran Harun Nasution dapat ditransmisikan. Mereka selain dapat melahirkan
berbagai kebijakan, inovasi, dan pengembangan studi Islam melalui jabatan dan
tugas yang mereka miliki, serta melalui karya tulis yang mereka lakukan, seperti
buku, artikel di Jurnal, dan lain sebagainya.
Gagasan dan pemikiran Harun Nasution juga didukung oleh atmofsir
akademik yang dikembangkan para pakar dan tokoh Islam baik di dalam maupun
luar negeri. Deliar Noer (lahir di Medan 1926) dosen sejarah dan politik pada
School of Modern Asian Studies University Griffith, Brisbane Australia yang
pikirannya sejalan dengan Harun Nasution, hingga akhirnya Harun Nasution
menarik Deliar Noer mengajar di Pascasasarjana yang dipimpin Harun Nasution di
Ciputat. Demikian pula Thomas W. Arnold (1977) penulis buku The Preaching of
Islam, Harun Nasution memberikan sambutan. Harun Nasution berkata: Sejarah
Islam sesudah Bagdhdad biasanya dijumpai dalam karangan-karangan kaum
muslimin. Pengarang-pengarang Islam sendiri belum memberikan pemahaman
yang semestinya pada periode sejarah Islam yang kurang dikenal ini. Gagasan
Harun Nasution ini juga sejalan dengan pemikiran Gustave L. von Grunebaum
(1975), sebagaimana terlihat dalam kata pengantarnya sebagai berikut: Ia
mengatakan: Tidak semua kaum orientalis mempunyai sikap negatif terhadap
Islam. Di antara mereka ada yang bersikap netral, bahkan ada pula yang bersikap
simpatik. Sikap negatif, netral dan simpatik yang mereka unjukkan itu tidak
terlepas dari kondisi dan situasi yang ada pada masyarakat di masa mereka
menulis .
Pikiran Harun Nasution juga sejalan dengan gagasan dan pemikiran Noel J.
Coulson (1987) dalam bukunya Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah yang
memuat 14 bab yang berbicara tentang terbentuknya hukum syari at, pemikiran
dan praktek hukum Islam di abad pertengahan, dan hukum Islam di masa modern.
Demikian pula John L. Esposito seorang Proffessor Studi Islam pada College The
Holly Cross yang juga pernah mengunjungi berbagai negara Islam di Asia, Iran,
Pakistan, Afghanistan, Philipina, Soviet Central, China, India, Malaysia dan
Indonesia. Demikian pula Fazlur Rahman (1983) yang menggagas pembaharuan
dalam Islam juga sejalan dengan gagasan Harun Nasution.
Sejumlah ulama dan pakar Islam di Indonesia yang walaupun tidak pernah
menjadi murid Harun Nasution, namun pikiran dan gagasannya sejalan dengan
Harun Nasution. Mereka itu antara lain Munawwir Sjadzali, H.M. Quraish Shihab,
Taufik Abdullah, Deliar Noer, Taufik Abdullah, Sutan Takdir Ali Syahbana, A.
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
31
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baiquni, Muhamad Atho Mudzhar, dan masih banyak lagu. Munawwir Sjadzali,
mantan Menteri Agama Ri yang memiliki basis pendidikan pesantren dan
pendidikan modern di London, juga memiliki pandangan keislaman yang modern.
Yaitu pemikiran Islam yang rasional, berwawasan hermeneutik, melihat Islam
berdasarkan pada spiritnya yang bersifat universal, seperti keadilan, demokrasi,
kemanusiaan, dan lainnya. Sementara itu H.M. Quraish (1996) tamatan doktor
Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir dan pernah mengambil Post Doctore di MacGill
University, Canada, juga memiliki pemikiran modern yang berbasis pada analisis
kebahasaan al-Qur an dan bantuan ilmu-ilmu modern. Dalam bukunya Wawasan
Al-Qur’an, Quraish Shihab berbicara tentang berbagai hal, antara lain: al-Qur an,
Tuhan, nabi, takdir, kematian, hari akhir, keadilan dan kesejahteraan, makanan,
minuman, pakaian, kesehatan, pernikahan, syukur, halal bi halal, akhlak, manusia,
perempuan, masyarakat, umat, kebangsaan, ahli kitab, agama, seni, ekonomi,
politik, ilmu dan teknologi, kemiskinan, masjid, musyawarah, ukhuwah, jihad,
puasa, lailatul qadar, dan waktu. Sementara itu Taufik Abdullah (1983) banyak
berbicara tentang hasil-hasil penelitian tentang pembaharuan Islam. Muhammad
Kamal Hassan (1987), dalam bukunya Modernisasi Indonesia berbicara tentang
respon ideologi terhadap modernitas, respon ideologis terhadap pembangunan
nasional, golongan akomodisianis, perubahan politik, kaum reformis terhadap
pembaharuan, protes dan beda pendapat muslim di Indonesia. Sementara itu
Muhamad Atho Mudzhar (2003) dalam bukunya, Islam and Islamic Law in
Indonesia, berbicara tentang berbagai produk hukum di Indonesia yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, politik, dan sebagainya.
Sedangkan transmisi gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid lebih
banyak terjadi melalui Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada tahun 60-an,
Nurcholish Madjid pernah menjadi Ketua HMI Cabang Ciputat dan berkesempatan
merumuskan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang mejadi materi utama
kaderisasi HMI dan selanjutnya mendasari berbagai buku lainnya yang ditulis
Nurcholish Madjid. Pikiran dan gagasan Nurcholish Madjid yang ada di HMI
Ciputat ini bertemu dan berkolaborasi dengan pikiran dan gagasan Harun
Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Ciputat) sebagaimana disebutkan di
atas. Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan lainnya selain sebagai murid
Harun Nasution di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga sebagai aktivitas
HMI Cabang Ciputat. Melalui berbagai kader HMI baik pada tingkat Ciputat
maupun nasional, gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid dapat ditransmisikan.
Selain itu, gagasan Nurcholish Madjid juga disalurkan melalui murid-muridnya di
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Yayasan Paramadina dan
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
32
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Universitas Paramadina. Melalui berbagai karya tulisnya mereka ikut
mengembangkan Islam Mazhab Ciputat. Tradisi penggunaan nama kota atau
tempat sebagai mazhab sudah lama digunakan. Di kalangan para ahli fikih
misalnya dikenal nama mazhab Kufah dan Bashrah. Di Kufah ada Mazhab Hanafi
yang banyak berpegang pada al-ra’yu (akal sehat) dalam bentuk qiyas (analogi)
dalam menetapkan hukum. Sehingga ketika orang menyebut Mazhab Kufah, maka
yang ditimbulkan kesan rasionalnya. Sebaliknya Mazhab Bashrah yang kurang
berani menggunakan al-ra’yu (akal sehat) atau banyak menggunakan dalil naqli
(wahyu), dalam menetapkan hukum. Sehingga ketika orang menyebut Mazhab
Bashrah, maka yang ditimbulkan kesan tradisionalnya. Demikian pula, ketika
orang menyebut Islam Mazhab Ciputat, maka yang terkesan adalah rasional,
moderat, inklusif, kontekstual, aktual, integrated, substantif, kultural, holistik dan
komprehensif.
C. Penutup
Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan dan catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, Islam Mazhab Ciputat adalah pemikiran dan gagasan tentang
keislaman yang lahir di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan organisasi-
organisasi yang berada di sekitarnya dengan ciri-ciri rasional, toleran, moderat,
demokratis, aktual, kontekstual, dinamis, progressif dan inovatif. Islam Mazhab
Ciputat terkait erat dengan isu kemoderan, kemanusiaan dan keIndonesia. Islam
Mazhab Ciputat selanjutnya menjadi ikon dan visi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yaitu menjadi perguruan tinggi yang unggul dan terdepan dalam
mengintegrasikan keislaman, kemanusiaan, kemoderan dan keindonesiaan.
Kedua, Islam Mazhab Ciputat digagas oleh dua tokoh utamanya, yaitu
Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Kedua tokoh ini selain memiliki latar
belakang keluarga yang agamis dan berbasis santri juga memiliki pendidikan
dalam dan luar negeri yang unggul, serta memiliki bakat, minat serta kemampuan
yang tinggi untuk menggali ajaran Islam dalam rangka memajukan Islam, umat
Islam, bangsa, negara, bahkan dunia.
Ketiga, Islam mazhab Ciputat lahir dilatar belakangi oleh kegalauan dari
sejumlah tokoh agama, pemimpin politik, dan pemimpinan nasional yang memiliki
keprahatinan atas keterbelakangan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan,
sebagai akibat dari adanya pemahaman Islam yang sempit, sektarian, dikhotomis,
jumud, eksklusif, normatif dan ideologis sehingga Islam tidak dapat
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
33
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diartikulasikan, dikontekstualisasikan, diaplikasikan dan transformasikan ke dalam
berbagai kehidupan.
Keempat, Islam mazhab Ciputat bertransmisi luas baik pada tingkat lokal,
nasional maupun internasional. Hal ini terjadi melalui para mahasiswa yang kuliah
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bergabung di berbagai organisasi
kemahasiswaan yang berada di sekitar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat,
lembaga-lembaga kajian keislaman, forum ilmiah, buku, tulisan di surat kabar,
majalah, dan jurnal ilmiah, siaran di telivisi, kajian agama, khutbah, dan lain
sebagainya.
Kelima, Islam Mazhab Ciputat diakui telah berperan besar dalam
memperluas pemahaman Islam yang rasional, moderat, toleran, damai, inklusif,
progressif dan inovatif. Islam Mazhab Ciputat telah berhasil membangun
hubungan yang harmonis antara agama dan negara, agama dengan isu-isu
demokrasi, kemanusiaan, kemoderanan dan Keindonesiaa. Dengan karakter yang
demikian, Islam Mazhab Ciputat diakui telah berperan besar dalam mewujudkan
hubungan yang harmonis antara agama dan negara, umat dan pemerintah,
kehidupan yang harmonis antar dan inter umat beragama di Indonesia,
mengeliminasi paham Islam yang sektarian, eksklusifm ekstrim dan radikal. Islam
Mazhab Ciputat telah berkontribusi dalam mentransformasikan Islam ke dalam
kehidupan bangsa Indonesia, serta mewujudkan kehidupan yang rukun, aman,
dan damai di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penghargaan negara berupa
pemberian Bintang Mahaputera Utama kepada Prof. Dr. Harun Nasutian, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.
D. Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. (1989) Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia.
Jakarta: LP3ES
Abdullah, Taufik. (1983) Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu
Sosial, CV Rajawali
Ahmad, Akbar. (2003) Discovering Islam Making Sense of Muslim History and
Society. London and New York: Routledge
Ahmad, Ziauddin. (1996) Influence Islam on Wolrd Civilization. Delhi: Adam
Publication & Distributors
Arnold, Thomas W., (1977) The Preaching of Islam (Sejarah Da’wah Islam).
Jakarta: Widjaya
Azra, Azyumardi. (1991) Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad ke- XVII dan XVIII, Bandung:Mizan
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
34
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Azra, Azyumardi. (1996) Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme,
Modernisme hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina
Azra, Azyumardi. (1996) Islam in The Indonesian World an Account of Institutional
Formation, Bandung: Mizan
Azra, Azyumardi. (1999) Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Azra, Azyumardi. (1999) Pendidikan dan Modernisasi Menuju Millenium Baru.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Azra, Azyumardi. (2002) Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung:
Mizan
Azra, Azyumardi. (2000) Islam Substantif, Agar Umar Islam Tidak Jadi Buih,
Bandung: Mizan,
Cooper, John, Ronald Wettler. (2000) Mohammed Mahmoud, (ed), Islam and
Modernity, Muslim Intellectuals Respons, London: New York: I.B Tauris
Publishers
Coulson, Neol J., (1987) Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: P3M
Esposito, John, L., (1987) Islam In Asia, Religion, Politics, & Society, New York:
Oxford University Press
Fuller, Graham. (2010) A World Without Islam, New York, Boston, London: Little,
Brown and Company
Grunebaum, Gustave L. von, (1975) Islam Kesatuan dalam Keragaman, Cetakan ke
2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Lembaga Studia Islamika
Hasbullah, Moeflich. (2000) Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LSAF-IRIS,
Cedesindo, IIITI
Hassan, Muhammad Kamal. (1987) Modernisasi Indonesia, Respon Cendekiawan
Muslim, (terj.) Ahmadie Thahir. Ciputat-Jakarta: Lingkaran Studi Islam
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, (2004) Menjadi Indonesia, 13 Abad
Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Bandung: Mizan
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, (2010), Psikologi Beragama
Menjadikan Hidup Lebih Ramah dan Santun, Jakarta: Hikmah
Horani, Albert. (2004) Sejarah Bangsa-bangsa Muslim. Bandung: Mizan
Jabali, Fuad, dan Jamhari. (2003) IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta:
UIN Jakarta Press
Kamaluddin, Laode M., (2010) on Islamic Civilization, Menyalakan Kembali Lentera
Peradaban Islam yang Sempat Padam. Jakarta:Unissula-Republikata
Kartanegara, Mulyadhi. (2005) Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik.
Bandung: Arasy Mizan dan UIN Jakarta Press
Kurzman Charles. (ed), (2001) Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer
tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina
Madjid, Nurcholish. (1979) Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
35
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Madjid, Nurcholish. (1993) Islam Kemodernan dan Keindonesia. Cetakan ke V.
Bandung: Mizan
Madjid, Nurcholish. (1992) Islam, Doktrin dan Peradaban, sebuah Telaah Kritis
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Cetakan ke II. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina
Madjid, Nurcholish. (1995) Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina
Madjid, Nurcholish. (1995) Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Cetakan ke V.
Bandung: Mizan
Madjid, Nurcholish. (1995) Islam, Agama, Doktrin dan Peradaban. Jakarta:
Paramadina
Mudzhar, Mohamad Atho. (2003) Islam and Islamic Law in Indonesia, A Socio
Historical Approach. Jakarta: Office of Religious Research Development
and Training, Ministry of Religious Affair, Republik of Indonesia
Nasr, Sayyed Hossein. (1995) Menjelajah Dunia Modern Bimbingan untuk Kaum
Muda Muslim. Cetakan ke II. Bandung: Mizan
Nasuhi, Hamid, (ed.), (2007) Dari Ciputat Cairo hingga Columbia, UIN Jakarta
Menembus Masyarakat Global, Cetakan ke II. Jakarta: UIN Jakarta Press
Nasution, (1975). Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, (1978). Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cetakan ke II. Jakarta:
Bulan Bintang
Nasution, (1979). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I dan II. Jakarta: UI
Press
Nasution, (1980). Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun
Nasution. Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun
Nasution dan LSAF
Nasution, (1985). Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press
Nasution, (1986). Filsafat Agama. Jakarta: UI Press
Nasution, (1986). Teologi (Ilmu Kalam). Jakarta: UI Press
Nasution, (1995). Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Islam
Rasional. Cetakan ke III. Bandung: Mizan
Nata, Abuddin. (2004) Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Deliar, (1980) Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3Esm
Poerwadarmina, W.J.S., (1991) Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan ke XII.
Jakarta: Balai Pustaka
Rahman, Yusuf, (ed), (2006) Islam and Society in Contemporary Indonesia.
Jakarta: Depag, CIDA, McGill University, Canada, PPs-IIS UIN Syarif
Hidayatullah
Rahman, Fazlur, (1983) Tema Pokok al-Qur’an. Bandung: Pustaka
Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36
36
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Renand, John. (1998) Windows on the House of Islam Muslim Sources on
Spirituality and Religious Life. Berkeley, Los Angeles, London:University of
California Press
Rosyada, Dede, (2016) Islam dan Sains Upaya Pengintegrasian Islam dan Ilmu
Pengetahuan di Indonesia. Jakarta: RM Books
Shihab, M. Quraish, (1996) Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhui atas Pelbagai
Persoalan. Cetakan ke III. Bandung: Mizan
Stoddard, L., (1964) Dunia Baru Isllam. Jakarta: Gunung Agung
Tarigan, Azhari Akmal, (2007) Islam Mazhab HMI Tafsir Tema Besar Nilai dasar
Perjuangan (NDP). Jakarta: Kultura GP Press Group
Tim Penulis, (1995) Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Islam
Rasional. Cetakan ke II. Bandung: Mizan
Wahid, Abdurrahman. (2006) Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat
Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Foundation
Wahid, Abdurrahman. (2007) Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia &
Transformasi Kebudayaan. Jakarta:The Wahid Institute
Wehr, Hans. (1974) A Dictionary of Modern Written Arabic, (ed), by. J. Milton
Cowan. Third Printing Beirut: Librarie Du Liban; and London: MacDonald &
Evan Ltd
Yatim, Badri, (1994) Sejarah Peradaban Islam. Cetakan ke II. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Yatim, Badri, (1999) Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Cetakan ke II. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
Yatim, Badri dan Nasuhi, Hamid (ed), (2002) Membangun Pusat Keunggulan Studi
Islam Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1957-
2002. Jakarta: IAIN Jakarta Press
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
37
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat
Islami
Achmad Gholib
Pendidikan Agama Islam - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Tatanan masyarakat Islami adalah masyarakat yang memberikan
keselamatan, perasaan aman dan kedamaian bagi sekalian alam.
Masyarakat Islami adalah masyarakat yang ditata diatas dasar akhlakul
karimah, persaudaraan, persamaan, toleransi, keadilan dan
kemerdekaan. Guna membangun tatanan masyarakat Islami
sebagaimana diharapkan, terdapat beberapa hal yang mesti
dipersiapkan, antara lain :
Pertama, menyiapkan masyarakat yang menempatkan kehendak Allah
diatas segalanya. Masyarakat yang seperti ini menyadari sepenuhnya
bahwa makna terdalam dari kalimah tauhid lailaha illalloh (tidak ada
Tuhan selain Allah) adalah bahwa hanya Allah yang penting, yang utama,
yang ujung dari segala ujung. Kesadaran semacam ini penting, karana
dalam kehidupan nyata, kendati banyak orang mengaku hanya
menuhankan Allah, tetapi realitasnya tidak sedikit yang
menuhankan selainNya. Kedua, menyiapkan masyarakat yang
menekankan prinsip ukuwah dan persaudaraan. Allah swt berfirman
dalam QS. 49 : 10, Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara,
karena itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua
saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat. Ketiga, menyiapkan masyarakat bersatu. Implikasi lain yang
ditimbulkan oleh semangat ukuwah adalah munculnya kesadaran
akseptasi (kesediaan menerima keberadaan kelompok lain), apresiasi
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
38
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(menghargai keyakinan kelompok lain) dan koeksistensi (kesediaan
untuk hidup berdampingan secara damai dengan kelompok lain), tiga
sikap ini pada gilirannya akan mengantarkan masyarakat pada satu
tahap kedewasaan yang dengan lapang dada menerima keberagaman
atau kemajemukan sebagai sunatullah. Keempat, menyiapkan
masyarakat berkeadilan. Hal lain yang perlu dipersiapkan dalam rangka
mewujudkan masyarakat Islami adalah tegaknya keadilan di berbagai
sektor kehidupan. Dalam banyak riset ditemukan bahwa ketidak adilan
merupakan faktor utama timbulnya keributan kemanusiaan. Ketidak
adilan merupakan kantong yang paling subur dan potensial
memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Kelima,
menyiapkan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah, untuk
mewujudkan masyarakat Islami hal yang paling utama disiapkan adalah
adanya masyarakat muttaqin. Yakni masyarakat yang imtitsalu
awamirillah wajtinabu nawahihi (melaksanakan semua perintah Allah
dan menjauhi laranganNya).
Kata Kunci: Masyarakat Islami, Tatanan
A. Pendahuluan
Keislaman masyarakat Indonesia pada umunya menjadi muslim karena
ketururunan yaitu karena kedua orang tua (ayah ibunya) muslim, bukan diawali
dengan keyakinan hati dan pengikralan rukun Islam yang pertama yaitu
pengucapan dua kalimat syahadat. Sedangkan muslim yang haq atau muslim yang
benar (muslim sejati), ialah muslim yang melalui pengikraran dua kalimat
syahadat, namanya mengikarkan bayiat ke hadapan Allah, disaksikan oleh minimal
dua orang muslim yang haq yang lain (muslimin yang sudah berbayiat). Berbayiat
ini kita temukan dalam Surat Al Haj ayat 78:
ل ين م في ي م جعل ع كم جت ه في الله حقه ج ه هيم ه ج ب م ه أبي ج م من حه ل ى ء ع ن ش ت م ي ي ع س ش ه ل في ه لي ل ين من ق س ل كم ه قي س ف
لك لله ه م عت ب ك ه ل آت هل ي )ل ه ل نعم لى ل عم ( م ف
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
39
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas
dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka
Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-
baik penolong
Selanjutnya masyarakat muslim Indonesia pada umumnya belajar mengenal
Islam biasanya diawali melalui menngaji kepada kiyahi,tuan guru,ustadz dan
lainnya di masjid, langgar,dan surau belajar membaca al-Quran. (informal),
sebagian ada yang formal melalui pondok pesantren, atau sekolah/madrasah, dan
yang beruntung bisa sampai di Perguruan Tinggi. Berlatar belakang pengetahuan
yang demikian tentunya akan tidak mudah untuk bisa mengetahui Islam secara
mendalam dan dalam koredor tatanan masyarakat Islami.
B. Pembahasan
Pengertian Akhlak
Secara bahasa (etimologi) Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim
mashdar (bentuk infinitif) dari kataakhlaqa, yukhliqu, ikhlâqan, sesuai dengan
wazan tsulasi mazid af ala, yuf ilu, if âlan, yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-
thabi ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al- adat (kebiasaan, kelaziman) al-
muru ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama) (Shaliba, 1978, h. 539; Ma’luf,
h. 194; Poerwadarminta, 1991, h. 19).
Namun dalam hal ini, kata akhlaq dari bentuk infinitif akhlaqa masih kurang
tepat, pasalnya isim mashdar dari akhlaqa adalah ikhlâqan bukan akhlâqan.
Sehingga muncul penadapat baru yang mengatakan bahwa akhlak tergolong
kedalam isim jamid (bentuk isim yang tidak memiliki asal kata) atau ghoir
musytaq. Jadi, kata akhlak merupakan bentuk kata yang tidak memiliki akar kata
dan bentuk kata tersebut memang sudah ada seperti demikian. Dengan pendapat
terakhir ini arti kata akhlak secara bahasa (etimologi) masih sama seperti
pendapat yang pertama.
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
40
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Al-Akhlaq merupakan bentuk plural dari kata khuluq yang digunakan untuk
mengistilahkan sebuah karakter dan tabiat dasar penciptaan manusia.Kata ini
terdiri atas huruf Kha-la-qa yang bisa digunakan untuk menghargai sesuatu.
Ar-Raqib menyatakan, pada dasarnya, kata al-khalqu, al-khulqu, dan al-
khuluqu memiliki makna yang sama, al-khulqu lebih dikhususkan utuk bentuk yang
dapat dilacak panca indra, sedangkan al-khuluqu dikhususkan untuk kekuatan dan
tabiat yang bisa ditangkap oleh mata hati, Allah SWT. berfirman :
ق عظيم ) ى خ (نهك لع
Artinya: Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur (Qs.
68: 4).
Akhlaq mulia di dalam ayat ini, sebagaimana dikemukakan Ath-Thabari,
bermakna tatakrama yang tinggi, yaitu tatakrama al-Qur’an yang telah Allah
tanamkan didalam jiwa rasul-Nya.Tatakrama ini tercermin melalui Islam dan
ajarannya.Makna ini diriwayatkan Ibnu Abbas ketika menjabarkan makna ayat
tersebut, yaitu dengan memeluk kepercayaan yang agung, dalam hal ini ialah
Islam . Mujahid mengatakan yang serupa dalam menafsirkan firman Allah swt.
tersebut ia berkata, yaitu beragama yang agung.
Diriwayatkan juga bahwa ketika Ummul Mukminin Aisyah r.a., ditanya
Sahbat Qatadah r.a. mengenai akhlak Nabi Saw., ia menjawab, Akhlak Rasulullah
adalah Al-Quran (HR. Ahmad; hadits shahih). Qatadah mengatakan bahwa akhlak
itu seperti apa yang diterangkan di dalam Al-Qur’an (Ghozali, 2005, h. 7).
Secara terminologi, akhlak dapat didefinisikan berdasarkan berbagai
pendapat dari para tokoh pemikir akhlak. Seperti diungkapkan oleh Al-Jahizh
mengatakan bahwa akhlak adalah jiwa seorang yang selalu mewarnai setiap
tindakan dan perbuatannya, tanpa adanya pertimbangan ataupun keinginan.
Dalam beberapa kasus, akhlak ini sangat meresap hingga menjadi watak atau
karakter seseorang. Namun, dalam kasus yang lain, akhlak ini merupakan
perpaduan dari hasil proses latihan dan kemauan keras seseorang. Sifat
dermawan, misalnya, bisa jadi telah tertanam dalam diri seseorang sebagai hasil
usaha membiasakan diri yang terus menerus tanpa henti untuk bersikap
demikian. Kondisi seperti itu juga berlaku bagi akhlak yang lain, seperti berani,
penyayang, selalu menjaga kesucian, dan bersikap adil .(Mahmudi, 2003, h. 6).
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
41
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ibnu Miskawih (1934) sebagai pencetus Teori Pertengahan dan Filsafat,
mengatakan akhlak adalah:
ل من غي لى أفع عي ل فس ي ح ل ف ل
Artinya: Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan
Dalam buku Ihya Ulum al-Din, Imam Ghazali mengatakan bahwa akhlak
adalah :
س ع فس ل ي ع عن هي فى لى ف ج ل يس من غي ح لأفع بس ت
Artinya: Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-
macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan. (al-Ghozali, t.t, h. 56).
Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para tokoh pemikir akhlak diatas
tidak menunjukkan pendapat yang saling bertentangan, melainkan terdapat
kemiripan dan saling melengkapi. Dengan demikian, dalam mengartikan akhlak
secara istilah dapat kita temukan lima ciri yang mengacu pada perbuatan yang
dapat dikatagorikan akhlak :
a. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang sudah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang, sehingga telah menjadi kepribadian.
b. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah (spontan),
tanpa memerlukan pemikiran.
c. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang
tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
d. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh,
bukan karena sandiwara.
e. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar hanya karena
Allah SWT.atau ikhlas semata-mata karena-Nya.
Tujuan Pendidikan Akhlak
Akhlak memang disebut juga sebagai naluri manusia, namun akhlak juga
bisa dipelajari bahkan bisa dididik agar seseorang mempunyai akhlak yang baik.
Karena bagaimanapun manusia layaknya kertas putih tanpa coretan, coretan awal
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
42
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan seterusnya-lah yang akan menentukan kertas itu berisi coretan baik atau pun
buruk. Maka para ahli bersepakat bahwa akhlak haruslah mendapatkan
pendidikan sehingga menjadi manusia yang berakhlak baik. Mata pelajaran aqidah
akhlak berfungsi memberikan kemampuan dan ketrampilan dasar kepada peserta
didik untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan
pengalaman akhlak Islami dan nilai-nilai keteladanan dalam kehidupan sehari-hari
sebagai pengamalan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan. (Departemen Agama RI,
2001, h. 9)
Adapun tujuan pendidikan akhlak secara umum yang dikemukakan oleh
para pakar pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
1. Tujuan pendidikan akhlak menurut Ahmad amin yang dikutip oleh Abudin
Nata dalam bukunya Akhlak tasawuf:
Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya menyebabkan
kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagian yang baik dan
sebagian perbuatan lainnya sebagian yang buruk. Bersikap adil termasuk
baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang
kepada pemiliknya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang
termasuk perbuatan buruk. (Nata, 2006, h. 13)
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak
bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia
dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap yang baik
ia berusaha melakukannya, dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk
menghindarinya.
2. Tujuan pendidikan akhlak menurut M. Athiyah al Abrasyi :
Tujuan pendidikan budi pekerti adalah membentuk manusia yang
berakhlak (baik laki-laki maupun wanita) agar mempunyai kehendak yang
kuat, perbuatan-perbuatan yang baik, meresapkan fadhilah (kedalam
jiwanya) dengan meresapkan cinta kepada fadhilah (ke dalam jiwanya)
dengan perasaan cinta kepada fadhilah dan menjauhi kekejian (dengan
keyakinan bahwa perbuatan itu benar-benar keji). (Al Abrasy, 1992, h. 103)
3. Tujuan pendidikan akhlak menurut Hery Noer Aly :
Tujuan umum pendidikan islam yaitu berusaha mendidik individu
mukmin agar tunduk, bertaqwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah,
sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat . (Aly, 2008, h.
142). Oleh karena itu untuk sampai pada tujuan dimaksud, tindakan-tindakan
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
43
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pendidikan yang mengarah pada perilaku yang baik dan benar harus
diperkenalkan oleh para pendidik
Dari beberapa rumusan tentang tujuan pembentukan akhlak di atas,
dapat dipahami bahwa inti dari tujuan pendidikan akhlak adalah untuk
menciptakan manusia sebagai makhluk yang tertinggi dan sempurna
memiliki amal dan tingkah laku yang baik, baik terhadap sesama manusia,
sesama makhluk maupun terhadap Tuhannya agar mendapat kebahagiaan
hidup di dunia dan akherat. Tujuan di atas selaras dengan tujuan pendidikan
Nasional yang tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20/Th. 2003, bab II, Pasal 3 dinyatakan bahwa : Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab . Undang-undang RI
No. 20 Tahun 2003 tersebut mengisyaratkan bahwa fungsi dan tujuan
pendidikan adalah sebagai usaha mengembangkan kemampuan serta
meningkatkan mutu pendidikan dan martabat manusia baik secara
jasmaniah maupun rohaniyah.
Ruang Lingkup Akhlak
Akhlak dalam agama tidak dapat disamakan dengan etika. Etika dibatasi
oleh sopan santun pada lingkungan sosial tertentu dan hal ini belum tentu terjadi
pada lingkungan masyarakat yang lain. Etika juga hanya menyangkut perilaku
hubungan lahiriah. Misalnya, etika berbicara antara orang pesisir, orang
pegunungan dan orang keraton akan berbeda, dan sebagainya. Akhlak
mempunyai makna yang lebih luas, karena akhlak tidak hanya bersangkutan
dengan lahiriah akan tetapi juga berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran.
Akhlak menyangkut berbagai aspek diantaranya adalah hubungan manusia
terhadap Allah dan hubungan manusia dengan sesama makhluk (manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda bernyawa dan tidak bernyawa).
Berikut upaya pemaparan sekilas tentang ruang lingkup akhlak adalah:
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
44
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1. Akhlak terhadap Allah, Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Adapun perilaku yang
dikerjakan adalah:
Bersyukur kepada Allah: Manusia diperintahkan untuk memuji dan
bersyukur kepada Allah karena orang yang bersyukur akan mendapat
tambahan nikmat sedangkan orang yang ingkar akan mendapat siksa.
Meyakini kesempurnaan Allah: Meyakini bahwa Allah mempunyai sifat
kesempurnaan. Setiap yang dilakukan adalah suatu yang baik dan terpuji.
Taat terhadap perintah-Nya: Tugas manusia ditugaskan di dunia ini adalah
untuk beribadah karena itu taat terhadap aturanNya merupakan bagian dari
perbuatan baik.
2. Akhlak terhadap sesama manusia, Banyak sekali rincian tentang perlakuan
terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal itu tidak hanya berbentuk
larangan melakukan hal-hal yang negatif seperti membunuh, menyakiti badan,
atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga menyakiti hati
dengan jalan menceritakan aib sesama. Di sisi lain, manusia juga didudukkan
secara wajar. Karena nabi dinyatakan sebagai manusia seperti manusia lain,
namun dinyatakan pula beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu Illahi.
Atas dasar itu beliau memperoleh penghormatan melebihi manusia lainnya.
3. Akhlak terhadap lingkungan, yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala
sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan
maupun benda-benda tak bernyawa. Dasar yang digunakan sebagai pedoman
akhlak terhadap lingkungan adalah tugas kekhalifahannya di bumi yang
mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan agar setiap
makhluk mencapai tujuan pencitaannya. (Shihab, 2000, h. 261-270)
Manfaat Mempelajari Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah agar manusia berada dalam
kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan
oleh Allah SWT. Inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Proses pendidikan atau pembentukan akhlak bertujuan untuk melahirkan
manusia yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia akan terwujud secara kukuh
dalam diri seseorang apabila setiap empat unsur utama kebatinan diri yaitu daya
akal, daya marah, daya syahwat dan daya keadilan, Berjaya dibawa ke tahap yang
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
45
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
seimbang dan adil sehingga tiap satunya boleh dengan mudah mentaati kehendak
syarak dan akal. Akhlak mulia merupakan tujuan pokok pembentukan akhlak Islam
ini. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika perbuatannya mencerminkan nilai-
nilai yang terkandung dalam al-Qur’an.
Secara umum Ali Abdul Halim Mahmud menjabarkan hal-hal yang termasuk
akhlak terpuji yaitu:
Mencintai semua orang. Ini tercermin dalam perkataan dan perbuatan.
Toleran dan memberi kemudahan kepada sesama dalam semua urusan dan
transaksi. Seperti jual beli dan sebagainya
Menunaikan hak-hak keluarga, kerabat, dan tetangga tanpa harus diminta
terlebih dahulu.
Menghindarkan diri dari sifat tamak, pelit, pemurah dan semua sifat tercela.
Tidak memutuskan hubungan silaturahmi dengan sesama.
Tidak kaku dan bersikap keras dalam berinteraksi dengan orang lain.
Berusaha menghias diri dengan sifat-sifat terpuji. (Mahmud, 2004, h. 159)
Pentingnya Pendidikan Akhlak
Sangat penting sekali mempelajari ilmu akhlak karena Ilmu akhlak
mempunyai banyak tujuan-tujuan yang memberi manfaat bagi manusia,
diantaranya :
1. Akhlak bertujuan membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia.
Seseorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji,
baik ketika berhubungan dengan Allah SWT. dengan sesama manusia,
makhluk lainnya serta dengan alam lingkungan.
2. Menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan. Manusia
diberi kelebihan oleh Allah dari makhluk lainnya berupa akal pikiran.
Pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran yang semata-mata didasarkan atas
akal manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri. Oleh karena
itu, akal pikiran perlu dibimbing oleh akhlak agar manusia terbebas atau
terhindar dari kehidupan yang sesat.
3. Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang
kriteria perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak
mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
4. Ilmu akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan
mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
46
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang memiliki IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu
pengetahuaan yang Ia miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk
kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan
dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak
disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalah gunakan
yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.
5. Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya
yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk
melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada
akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahyakan
dirinya
6. Akhlak juga merupakan mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia
dengan makhluk lainnya. Setiap orang tidak lagi peduli soal baik atau buruk,
soal halal dan haram. Karena yang berperan dan berfungsi pada diri masing-
masing manusia adalah elemen syahwat (nafsu) nya yang telah dapat
mengalahkan elemen akal pikiran mengalahkan nafsunya, maka dia
derajatnya di atas malaikat
Adapun manfaatnya ilmu akhlak setidaknya memberikan pandangan
kepada setiap individu untuk (1) mengetahui sisi baik dan buruk pada diri sendiri,
(2) tidak mudah terguncang oleh perubahan situasi, (3) tidak mudah tertipu oleh
fatamorgana kehidupan dan (4) dapat menikmati hidup dalam segala keadaan.
Jadi pendidikan akhlak adalah proses perubahan tingkah laku menuju
pendewasaan, seseorang agar menjadi orang yang berpengetahuan, iman, taqwa
dan berbudi pekerti luhur serta bertanggung jawab. terhadap diirinya, keluarga
agama,bangsa dan negara.
Tatanan Masyarakat Islami
Tatanan masyarakat Islami adalah masyarakat yang memberikan
keselamatan, perasaan aman dan kedamaian bagi sekalian alam. Masyarakat
Islami adalah masyarakat yang ditata diatas dasar akhlakul karimah,
persaudaraan, persamaan, toleransi, keadilan dan kemerdekaan. Guna
membangun tatanan masyarakat Islami sebagaimana diharapkan, terdapat
beberapa hal yang mesti dipersiapkan, antara lain:
Pertama, menjadikan masyarakat yang menempatkan kehendak Allah diatas
segalanya.
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
47
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Masyarakat yang seperti ini menyadari sepenuhnya bahwa makna terdalam
dari kalimah tauhid lailaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) adalah bahwa
hanya Allah yang penting, yang utama, yang ujung dari segala ujung. Kesadaran
semacam ini penting, karana dalam kehidupan nyata, kendati banyak orang
mengaku hanya menuhankan Allah, tetapi realitasnya tidak sedikit yang
menuhankan selainNya. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman :
ح ين آم أش له م كحب الله ن ه من يته من الله أن يح ل ين من له ي ل لله لع ) ي ه الله ش أ يع ه لله ج لق ه لع أ ي )
Artinya : Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah Sekiraya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat,ketika mereka melihat
azab (pada hari kiamaat), bahwa kkekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa
Allah sangat besar azab-Nya(niscaya mereka menyesal) (Qs. 2: 165)
Ketika seseorang menganggap hanya Allah yang penting, maka dirinya
selalu menempatkan kehendak Allah diatas segalanya, mereka melakukan hijrah
dari penghambaan kepada sesama manusia pada penghambaan kepada Allah
semata, dari perhatian kepada dirinya menuju perhatian sepenuhnya kepada
Allah, dari ketergantungan pada materi kepada ketergantungan pada Allah.
Karena yang penting hanyalah Allah, maka selainNya menjadi tidak
penting, seperti : jabatan, ketenaran, perbedaan faham dan segala macam
rumbai-rumbai duniawiyah lainnya. Bagi mereka, kenikmatan bersama Allah jauh
lebih berharga dibanding apa saja yang ada di dunia ini. Implikasi selanjutnya
adalah mereka menyerahkan semua persoalannya kepada Allah dan yakin
sepenuhnya terhadap janji janji Allah, ridla atas segala yang terjadi yang menjadi
keputusan Allah, berprasangka baik kepadaNya dan menunggu dengan sabar
pertolonganNya. Inilah hal pertama yang mesti dipersiapkan dalam upaya
mewujudkan masyarakat Islami.
Kedua, menjadikan masyarakat yang menekankan prinsip ukuwah dan
persaudaraan.
Allah swt berfirman :
م إ ه تهق الله لع م ي ح بين أخ ص خ ف م ل ح )نه (ت
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
48
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Artinya : Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, karena itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat . (Qs. 49: 10)
Mengingat vitalnya posisi ukuwah sebagai sendi bangunan masyarakat
Islami, dalam sebuah riwayat Nabi saw bersabda yang artinya : Tahukah kalian
amal yang lebih besar pahalanya dari sholat dan puasa ? Tidak, jawab sahabat,
lalu Nabi bersabda : engkau damaikan orang orang yang bertengkar, engkau
sambung tali silatur rahiem yang terputus dan engkau jembatani berbagai
kelompok Islam yang bertikai serta engkau kukuhkan ukuwah diantara mereka.
(HR Buhori).
Posisi ukuwah disebut vital, karena dari ukuwah akan lahir semangat
persaudaraan sejati dimana satu sama lain saling mencintai, saling menguatkan
dan saling menolong. Dalam banyak riwayat Nabi saw menegaskan Tidak
beriman seseorang, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri (Hr. Ibnu Majah) . Dalam riwayat lain disebutkan Persaudaraan
orang muslim yang satu dengan yang lain Ibarat satu bangunan, yang satu
menguatkan yang lainnya. (HR Ibnu Hibban)
Salah satu Implikasi dari semangat ukuwah adalah memberikan kebebasan
kepada semua pihak untuk berkreasi sesuai keyakinan dan kompetensinya masing
masing, ia jauh dari berbagai bentuk pemaksaan. Dalam firman Allah ditegaskan :
ش ل يهن ت ل ين ق ك في ل لع سك ب ست لله فق من ب ي غ ه ل ب ف ن ي لغي ف من يم ) يع ع الله س نف ل ثقى ل (ل
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat Barang
siapa ingkar kepada Thahut dan beriman kepada Allah, maka sungguh mereka
telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah
Maha mendengar, Maha Mengetahui .(Qs. 2: 256)
Keanekaragaman yang ada tidaklah menjadi penghalang bagi terwujudnya
ukuwah, tetapi sebaliknya dengan keberagaman tersebut, satu sama lain
diharapkan termotivasi untuk berkompetisi positif dalam kebaikan. Allah
berfiman:
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
49
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
م أمه ء الله لجع ش يع ل م ج جع لى الله م ي ل ق ست كم ف كم في م آت ن لي ل ح ف ) ت تم فيه ت م ب ك (في
Artinya : Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan Hanya kepada Allah
kamu semua kembali lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang
dahulu kamu perselihkan . (Qs. 5: 48)
Ketiga, menjadikan masyarakat bersatu
Implikasi lain yang ditimbulkan oleh semangat ukuwah adalah munculnya
kesadaran akseptasi (kesediaan menerima keberadaan kelompok lain), apresiasi
(menghargai keyakinan kelompok lain) dan ko eksistensi (kesediaan untuk hidup
berdampingan secara damai dengan kelompok lain), tiga sikap ini pada gilirannya
akan mengantarkan masyarakat pada satu tahap kedewasaan yang dengan lapang
dada menerima keberagaman atau kemajemukan sebagai sunatullah.
Konsistensi terhadap sikap diatas, akan memudahkan terwujudnya
persatuan kaum muslimin, dan dengan semangat persatuan, akan muncul
kesadaran bahwa bukan zamannya sesama muslim berseteru pada persoalan
amatiran, yang lebih prinsip adalah mengerahkan energi untuk fokus pada soal
bagaimana Islam secara efektif dan elegan mampu menjawab semua persoalan
manusia global yang terus berkembang dinamis.
Allah swt berfirman:
ء ف تم أع ك م ي ت الله ع ك نع ق ه ل تف يع ل الله ج م له عت بح ب ف بين قي ن لك ي ك كم م نق ه ف ل ى شف حف من تم ع ك ن خ ته ع حتم ب ص م ف ه ته لع م آي الله ل
ت ) (ت
Artinya: Dan berpeganglah kalian kepada tali Allah dan janganlah kalian
bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan
karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamua berada
ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikiaanlaah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu aggar kamu mendapat
petunjuk (Qs.3: 103)
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
50
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ه ص م يح هب ت ع فتفش ل ت له س ين )أطيع الله ب ه ل (الله مع
Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu,sesunggunya Allah bersamma dengan orang-orang yang sabar . (Qs.
8: 46).
Dengan persatuan akan terbentuk kekuatan dan hanya dengan kekuatan
kemenangan akan dapat diraih, tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada
kekuatan tanpa persatuan, tidak ada persatuan tanpa ukuwah dan tidak ada
ukuwah tanpa semangat persaudaraan.
Keempat, menjadikan masyarakat berkeadilan.
Hal lain yang perlu dipersiapkan dalam rangka mewujudkan masyarakat
Islami adalah tegaknya keadilan di berbagai sektor kehidupan. Dalam banyak riset
ditemukan bahwa ketidak adilan merupakan faktor utama timbulnya keributan
kemanusiaan. Ketidak adilan merupakan kantong yang paling subur dan potensial
memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Berbagai kasus kemanusiaan
di berbagai tempat di negeri ini adalah contoh nyata dari pelampiasan emosional
karena kecemburuan sosial ekonomi, Jika para pejabat berlomba mengkorup uang
rakyat ditengah megap megapnya rakyat jelata yang berjuang mempertahankan
hidup, maka normal jika terjadi protes, unjuk rasa dan kerusuhan dimana-mana,
itu juga termasuk contoh nyata ketidak adilan.
Karena itu Allah swt memerintahkan manusia untuk selalu berbuat adil
dan berbuat kebajikan: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan. Dengan keadilan akan terwujud kehidupan yang damai yang
bersih dari berbagai bentuk kecemburuan dan kesenjangan sosial.
Kelima, menjadikan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah
Yang paling utama disiapkan dalam rangka mewujudkan masyarakat
Islami adalah adanya masyarakat muttaqin. Yakni masyarakat yang imtitsalu
awamirillah wajtinabu nawahihi (melaksanakan semua perintah Allah dan
menjauhi laranganNya), Masyarakat muttaqin ialah masyarakat yang bersegera
menuju ampunan Allah, yang menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang
atau sempit, yang mampu menahan marah, yang suka memaafkan kesalahan
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
51
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
orang lain, yang suka berbuat baik pada orang lain, yang apabila berbuat salah
langsung segera bertobat kepada Allah dan tidak mengulangi kembali
kesalahannya. Dalam alqur’an Allah swt berfirman:
لق آم ه أهل أ هم ب ل ن خ هب ف ن ك ل لأ ء لسه ك من م ب ي لفتح ع تهق
س ) ن ي (ك
Artinya : Jika dalam sebuah komunitas masyarakat, penduduknya beriman dan
bertaqwa kepada Allah, niscaya akan dibukakan bagi mereka berkah dari langit
dan bumi, tetapi mereka ternyata mendustakan (ayat-ayat kami), maka kami
siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. 7: 96)
Apabila kelima hal tersebut diatas dapat terpenuhi , maka insyaallah
harapan terwujudnya tatanan masyarakat Islami sebagaimana didambakan
bukanlah sekedar mimpi tetapi akan menjadi kenyataan, insyaallah.
C. Penutup
Tatanan masyarakat Islami adalah masyarakat yang memberikan
keselamatan, perasaan aman dan kedamaian bagi sekalian alam. Masyarakat
Islami adalah masyarakat yang ditata diatas dasar akhlakul karimah,
persaudaraan, persamaan, toleransi, keadilan dan kemerdekaan. Guna
membangun tatanan masyarakat Islami sebagaimana diharapkan, terdapat
beberapa hal yang mesti dipersiapkan, antara lain: Pertama, menjadikan
masyarakat yang menempatkan kehendak Allah diatas segalanya. Kedua,
menjadikan masyarakat yang menekankan prinsip ukuwah dan persaudaraan.
Ketiga, menjadikankan masyarakat bersatu. Keempat, menjadikan masyarakat
berkeadilan. Kelima, menjadikan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah
D. Daftar Pustaka
Nata, Abuddin. (2002) Akhlak Tasawuf, Cetakan ke IV. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Mahmud, Ali Abdul Halim. (2004) Akhlak Mulia, Jakarta: Gema Insani
Departemen Agama RI, (1999) Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Depertemen
Agama RI
Departemen Agama RI, (2001) Kurikulum Nasional: Kompentensi Dasar MI, MTS
dan MA Mata Pelajaran PAI. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan
Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52
52
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Aly, Hery Noer. (2008) Watak Pendidikan Islam, Cetakan ke III. Jakarta: Friska
Agung Insani
Ibn Miskawih, (1934) Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, Mesir, al-Martha’ah al-
Mishriyah
Al-Ghazali, Imam. (t.t) Ihya Ulum al-Din, Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr
Al Abrasy, M. Athiyah. (1992) Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terjemahan.
Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry. Solo: CV Pustaka Mantiq
Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, (terj.) Moh. Rifa’i dari judul asli,
Khuluq al-Muslim, Semarang, Wicaksana, 1993, ce IV.
Shihab, Quraish. (2000) Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan
Shaliba, Jamil. (1978) al-Mu jam al-Falsafi, Juz I. Mesir: Dar al-Kitab al-Misshri
Ma’luf, Luis. (t.t) Kamus al-Munjid. Beirut: al-Maktabah al-Katulikiyah
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, (2003) Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Cetakan ke IV. Semarang : Aneka Ilmu
Poerwadarminta, WJS. (1991) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke XII.
Jakarta: Balai Pustaka
Ghozali, Muhammad. (2005) Khuluqul Muslim. Mesir: Nahda Misr
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
53
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Memahami Ilmu Tasawuf
Dimyati Sajari
Pendidikan Agama Islam - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : [email protected]
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan tentang keotentikan eksistensi
ilmu tasawuf. Penyajian ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa sampai
kini masih ada kelompok tertentu yang meragukan keotentikan ilmu
tasawuf. Melalui pandangan seorang sufi abad kesepuluh yang pernah
melakukan pembelaan terhadap tasawuf dan kaum sufi dengan
kitabnya Al-Luma , yaitu Abû Nashr al-Sarrâj (w. 378 H/988 M), maka
dapat diketahui bahwa ilmu tasawuf merupakan ilmu batin, ilmu
hakikat iman, yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, tetapi
justru merupakan bagian dari syariat Islam. Kaum sufi pendukung ilmu
ini pun merupakan bagian pewaris para nabi, sebagaimana ahli hadis
dan ahli fikih.
Kata kunci: tasawuf, sufi, batin, zhahir, syariat.
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
54
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan
Perilaku hidup dan ajaran (ilmu) kaum sufi dikritik, dipandang sesat, dan
tidak bersumber dari Islam oleh sebagian kaum ulama. Pandangan sebagian kaum
ulama ini terjadi sejak sejarah sufisme yang cukup dini. Akibatnya, sejak awal
tokoh-tokoh sufi mendapatkan kritikan, bahkan penyesatan dan pengkafiran dari
sebagian kaum ulama. Kaum sufi atau para pendukung ilmu tasawuf pun tidak
tinggal diam. Sedari awal mereka melakukan pembelaan. Boleh dikatakan bahwa
pembelaan mereka itu menunjukkan hasilnya. Alih-alih kehidupan tasawuf itu
pupus dari kehidupan umat karena adanya kritikan dan penyesatan dari kaum
ulama, namun kehidupan tasawuf justru semakin berkembang dan tetap eksis
hingga zaman sekarang.
Masih eksisnya kehidupan tasawuf itu hingga sekarang dapat diasumsikan
bahwa tidak saja disebabkan adanya pembelaan, tetapi memang ajaran tasawuf
itu bukan ajaran yang sesat, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan
dikatakan, ilmu tasawuf bukan saja tidak bertentangan dengan Ilmu Islam, tetapi
justru merupakan bagian dari Ilmu Islam. Fakta inilah yang membuat pembelaan
kaum sufi itu berhasil dan ilmu tasawuf tetap eksis hingga sekarang.
Dalam rangka memahami tentang ilmu tasawuf itu, tulisan ini akan
menyajikan penjelasan dan pembelaan salah satu sufi abad kesepuluh tentang
ilmu tasawuf tersebut. Penyajian diawali tentang adanya kritik dan tuduhan
tersebut, kemudian mengenai identitas tokoh yang bernama Abû Nashr al-Sarrâj
(w. 378 H/988 M), masyarakat di Indonesia belum banyak yang mengetahui
tentang identitas tokoh ini sehingga memperkenalkan jati diri tokoh ini
merupakan suatu keniscayaan, tentang karyanya, dan pandangannya mengenai
ilmu tasawuf.
B. Pembahasan
Kritik dan Tuduhan Kaum Ulama
Di atas telah dinyatakan bahwa perilaku kaum sufi dan ajarannya dikritik,
dipandang sesat, dan dinilai tidak bersumber dari Islam oleh sebagian kaum ulama
sehingga mereka mengingkari ilmu tasawuf. Sikap sebagian kaum ulama ini telah
terjadi sejak sejarah sufisme yang cukup dini. Di tulisan mengenai Loyalitas Kaum
Sufi terhadap Syariat telah dilakukan kategorisasi ulama dan ditunjukkan adanya
kritik, tuduhan dan pengingkaran ini. Merujuk kepada Abû Hâmid al-Ghazâlî dan
Fazlur Rahman (1979, h.134), yang dimaksud kaum ulama adalah ahli-ahli fikih
(fuqahâ , ahli hukum Islam) dan para teolog (mutakallim, ahli kalam dalam Islam)
(Sajari, 2014, h. 123; Al-Ghazâlî, Jilid 1, t.t., h. 23)
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
55
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Akan tetapi, mengikuti pendapat Abû Nashr al-Sarrâj, mayoritas ulama tidak
melakukan kritik dan tuduhan terhadap tasawuf/kaum sufi, orang yang
mengingkari ilmu tasawuf hanyalah sekelompok ulama yang memiliki ilmu lahir
(zhahir), para ulama ini tidak mampu mengetahui bahwa ilmu tasawuf ini berasal
dari Kitab Allah dan dari khabar Rasulullah Saw, mereka ini hanya mengetahui
tentang hukum-hukum yang zhahir, dan mereka ahli dalam ilmu tersebut (zhahir)
dan senang debat dengan siapa saja yang tidak sejalan dengan mereka (Al-Sarrâj,
t.t., h. 33; Sajari, 2014, h. 123-4).
Pendapat al-Sarrâj itu mungkin benar pada masanya, tetapi melihat
tokoh-tokoh yang melakukan kritik dan tuduhan terhadap tasawuf/kaum sufi
tampaknya tidak semuanya tidak memahami tasawuf. Tiga tokoh kenamaan yang
tidak diragukan lagi pemahamannya terhadap tasawuf, meski melakukan kritik,
yaitu Ibn Sirrin (w. 110 H/728 M) yang melakukan kritik terhadap Hâsan Bashrî (w.
110 H/728 M); Ahmad Ibnu Hanbal (w. 241/885) terhadap Harits al-Muhâsibî (w.
243 H/857 M); dan Ibn Taimiyyat (w. 1328) terhadap Ibn Athâ illâh (w. 1309),
guru tarekat Syâdziliyyat. Akan tetapi, tiga tokoh yang melakukan kritik dan
tuduhan terhadap tasawuf/kaum sufi berikut mungkin benar tidak memahami
tasawuf dan kehidupan sufistik, yakni seorang Hanbaliyyah, Ghulâm al-Khalîl,
terhadap Abû al-Husain al-Nûrî (w. 295/908); Qadhi Mâlikî, Abû Umar, (didukung
sebagian besar penganut Mâlikî dan Zhâhirî) memvonis hukuman mati terhadap
Husain ibn Manshûr al-Hallâj al-Hallâj (26 maret 922); dan Muhammad ibn Abd
al-Wahhab (w. 1792 M) beserta gerakan Wahhabiyahnya berusaha melenyapkan
gerakan sufisme dari permukaan bumi.
Di tulisan tentang Keotentikan Ajaran Tasawuf ditunjukkan masih adanya
tuduhan terhadap tasawuf di era sekarang ini. Misalnya, Ahmad bin Abdul Aziz al-
Hushain dan Abdullah Mustofa Numsuk menyatakan bahwa tasawuf itu
merupakan ajaran Budha. Muhammad al-Abduh dan Thariq Abdul Halim
mengatakan bahwa tasawuf merupakan bid ah dalam Islam dan kaum sufi
dipandang sebagai ahli bid ah. Di Indonesia, Hartono Ahmad Jaiz, melalui
penukilannya terhadap fatwa-fatwa Saudi Arabia, menyetujui bahwa
tasawuf/tarekat itu tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur an dan Al-Sunnah,
sehingga tasawuf/tarekat dia vonis sebagai bid ah yang sesat menyesatkan.
Ahmad Jaiz juga mengkategorikan bid ah terhadap kegiatan dzikir bersama-sama
(Sajari, 2015, h. 145; Al-Hushain dan Numsuk, 2001, h. 6-8; Al-Abduh dan Halim,
2001, h. 1-5; dan Jaiz, 2002, h. 256-59).
Tokoh-tokoh itu hanyalah contoh dari kalangan ulama yang pernah
melakukan kritik dan tuduhan terhadap tasawuf/kaum sufi. Mungkin karena
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
56
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
adanya kritik dan tuduhan itu terjadi sejak era Hâsan Bashrî hingga dewasa ini,
meski dengan intensitas yang berbeda-beda, maka tidak heran kalau Johansen
(1996, h. 1) menyatakan bahwa sufisme (tasawuf) merupakan khazanah spiritual
dan intelektual yang paling menyita perhatian hampir di sepanjang sejarah Islam.
Menurut Johansen, kontroversi senantiasa mewarnai sejarah tasawuf dan kaum
sufi. Hanya saja, sebagaimana dinyatakan di atas, meski kritik, tuduhan dan
pengingkaran itu berlangsung hampir di sepanjang sejarah tasawuf, tetapi
faktanya tasawuf (tarekat) tetap eksis dan massif hingga sekarang.
Jati Diri al-Sarrâj
Al-Sarrâj, tokoh sufi yang pandangan dan pembelaannya terhadap
tasawuf/kaum sufi akan disajikan di bawah nanti, bernama lengkap: Abd Allâh bin
Alî bin Muhammad bin Yahyâ Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî al-Shûfî (Mahmûd, t.t.
h. 14-5). Sebutan al-Thûsî di belakang namanya menandakan bahwa ia lahir dan
meninggal di Thûs (Radtke, 1998, h. 692), Khurasan, Iran Timur, sementara gelar
al-Shûfî menunjukkan bahwa otoritasnya di dunia tasawuf diakui oleh sesama sufi,
baik sufi pada zamannya maupun pada masa sesudahnya. Tahun kelahiran al-
Sarrâj tidak diketahui secara pasti, tetapi kematiannya terjadi pada bulan Rajab
378 H/Oktober-Nopember 988 M. Konon dikisahkan bahwa sebelum meninggal
dunia al-Sarrâj mengatakan, Setiap orang (yang meninggal dunia) yang tandu
jenazahnya dibawa melewati kuburan saya, maka dosanya akan dimaafkan (oleh
Allah Swt). Akibatnya, sebagaimana dikatakan Nicholson, orang-orang Thûs yang
meninggal dunia terlebih dulu jenazahnya dibawa ke kuburan al-Sarrâj dan
diberhentikan sejenak di dekat makam al-Sarrâj sebelum dikuburkan di tempat
penguburannya (Nicholson, 1914).
Schimmel (1975, h. 84) dan Nicholson (1914) memandang al-Sarrâj itu
sebagai tokoh yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf praktis.
Schimmel dan Nicholson mendasarkan pandangannya ini pada sebuah cerita
tentang tidak terlukanya sedikitpun wajah al-Sarrâj ketika dirinya tersuruk ke
dalam kobaran api. Kisahnya, seperti dikutip Schimmel dan Nicholson, dalam
suatu diskusi dengan teman-temannya tentang beberapa persoalan sufistik al-
Sarrâj tercekam suatu rasa ekstase (kegembiraan spiritual yang meluap-luap luar
biasa) dan tanpa disadarinya dia menyurukkan dirinya dalam sikap bersujud ke
dalam kobaran api tanpa sedikitpun wajahnya terluka kena bakar. Tampaknya,
fakta ini dijadikan indikator oleh Schimmel dan Nicholson kalau al-Sarrâj telah
mencapai taraf tertinggi di dunia tasawuf praktis.
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
57
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sementara itu, di dalam biografi-biografi Persia, al-Sarrâj dipandang sebagai
keluarga orang-orang fakir dan diberi nama (gelar) Burung Merak Orang-orang
Fakir (Thawûs al-Fuqarâ ) (Mahmûd, t.t. h. 14). Al-Hujwîrî (1974, h. 342)
menceritakan sebuah anekdot tentang al-Sarrâj. Dikisahkan bahwa al-Sarrâj
datang ke Baghdad pada bulan Ramadhan dan dia diberi kamar khusus di masjid
Syûnîziyyah, masjid agung Baghdad. Dia, kemudian, ditunjuk sebagai pemimpin
shalat para darwisy (sufi) selama bulan Ramadhan itu. Konon, selama mengimami
shalat tarawih di bulan Ramadhan itu ia mengkhatamkan al-Qur an sebanyak lima
kali setiap malamnya. Tatkala bulan Ramadhan telah usai, yang berarti hari raya
telah tiba, dan al-Sarrâj sudah pergi meninggalkan tempat (masjid), maka pelayan
yang setiap malam membawakan sebuah roti ke kamarnya mendapatkan ketiga
puluh buah roti pemberiannya masih utuh (di kamar al-Sarrâj).
Menurut Nicholson (1914) dan Al-Hujwîrî (1974, h. 368) guru-guru al-Sarrâj
adalah Abû Muhammad Ja far b. Nushîr al-Khuldî (w. 348 H). Sufi ini lahir di
Baghdad dan merupakan murid al-Junaid dan Ibrâhîm al-Khawwâsh. Kemudian,
Abû Bakr Muhammad bin Dâwud al-Duqqî al-Dînawarî (W. 350 H/961 M). Tokoh
ini lahir di Dînawar, hijrah dan hidup di Syiria, bersahabat dengan Ahmad al-Jallâ
dan al-Zaqqâq, dan hidup di atas seratus tahun. Nicholson (1914) mengatakan
bahwa sebelum hijrah ke Damaskus dan wafat di sana tahun 359 atau 360 H dia
pernah tinggal untuk beberapa waktu di Baghdad. Selanjutnya, Ahmad bin
Muhammad al-Sâyij. Diperkirakan oleh Nicholson (1914) bahwa nama al-Sâyij ini
merupakan kesalahan tulis bagi al-Sâlimî, yaitu Abû al-Hasan Ahmad b.
Muhammad b. Sâlim, pemimpin mazhab Sâlimiyyah. Di tulisan lain Nicholson
(1994, h. 10) mengemukakan garis spiritual al-Sarrâj melalui jalur yang lain, yakni
melalui Abû Muhammad al-Murta isy al-Naisâbûrî (w. 328/939).
Selain sufi-sufi itu, Schimmel mengatakan bahwa al-Sarrâj pernah menjadi
pengikut Abû Abd Allâh Muhammad bin Khafîf al-Syirâzî (w. 371 H/982 M), yang
merupakan salah satu figur sufi yang berupaya supaya sufisme mudah diterima
secara luas, termasuk di dalamnya oleh para ulama. Bahkan, bukan saja sebagai
pengikut, tetapi sufi yang berasal dari Syiraz, Iran, dan wafat dalam usia sekitar
100 tahun ini—menurut Seyyed Hossein Nasr—merupakan guru spiritual al-Sarrâj.
Menurut al-Qusyairî, dia (Ibn Khafîf) merupakan guru besar para syaikh dan alim
satu-satunya di masanya, yang berarti termasuk syeknya al-Sarrâj. Ibn Khafîf
bersahabat dengan Ruwaim, al-Jarîrî, Ahmad bin Athâ dan lain-lain. Ia dijadikan
al-Hujwirî sebagai salah satu pendiri aliran tasawuf dengan nama Khafîfî (Al-
Qusyairî, t.t, h. 120; Al-Hujwirî, 1974, h. 370; dan Nasr, 2003, h. 275-6).
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
58
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Melihat garis silsilah guru-guru al-Sarrâj itu dapat diketahui bahwa garis
spiritual al-Sarrâj—selain Ibn Sâlim yang mewarisi silsilah al-Tustarî—adalah dari
jalur al-Junaid (Ja far al-Khuldî, murid al-Junaid; al-Duqqî murid Yahyâ al-Jallâ dan
al-Jallâ murid al-Junaid; al-Murta isy al-Naisâbûrî murid al-Junaid; dan Ibn
Khafîfpun melalui al-Junaid, yaitu Ibn Khafîf murid Abû al- Abbâs dan Abû al-
Abbâs murid Ibrâhîm al-Mârsatânî dan Ibrâhîm al-Mârsatânî murid al-Junaid atau
Ibn Khafîf murid al-Jarîrî dan al-Jarîrî murid al-Junaid). Dengan demikian, garis
spiritual al-Sarrâj hampir sepenuhnya melalui garis silsilah al-Junaid. Oleh karena
al-Junaid dipandang sebagai tokoh terpenting tradisi spiritualitas ketenangan
hati, tak mabuk (shahw), maka al-Sarrâj mewarisi tradisi spiritual ketenangan
hati atau tak mabuk ini. Dengan kata lain, tasawuf al-Sarrâj adalah tasawuf
ketenangan hati atau tak mabuk, sebuah tasawuf yang kemudian menjadi
anutan Abû Hâmid al-Ghazâlî. (Sebagian penulis tasawuf, seperti Herbert Mason
dan Terry Graham, membagi tasawuf ke dalam dua aliran/mazhab, yaitu mazhab
Baghdad dan Khurasan. Pembagian kepada mazhab Baghdad dan Khurasan ini
tidak didasarkan pada tempat domisili atau daerah asal-usul masing-masing sufi
yang masuk pada salah satu di antara dua aliran ini, tetapi lebih pada karakter
kedua belah pihak. Mazhab Baghdad lebih menekankan ketenangan hati,
shahw, dan berusaha berada di pihak ortodoksi, sedangkan mazhab Khurasan
lebih memilih mabuk, sukr. (Mason, 1999; Graham, 1999).
Karya al-Sarrâj
Satu-satunya karya al-Sarrâj yang tetap lestari hingga kini adalah al-Luma ,
meski—menurut Radtke—ada kemungkinan al-Sarrâj memiliki beberapa karya
tentang sufisme. Radtke mengatakan bahwa tidak ada karya-karya al-Sarrâj yang
lain yang lestari hingga sekarang atau yang diketahui masih ada hingga sekarang.
Bahkan, Lory memperkirakan bahwa al-Sarrâj tidak memiliki karya lain, meski ia
menyebutkan bahwa Jâmî mengatakan kemungkinan adanya karya lain al-Sarrâj
selain al-Luma . Alasan Lory adalah karena tidak ada judul buku lainnya yang
diatributkan kepada al-Sarrâj yang diketahui oleh kita sekarang. Dalam
Bibliography The Fihrist of al-Nadîm juga hanya menyebutkan kitab al-Luma ini
(Radtke, 1998, h. 692; Lory, 1997, h. 66; Ibn al-Nadîm, 1970, h. 869).
Kitab al-Luma itu, sebagaimana dikatakan Schimmel, merupakan kitab
pedoman tasawuf yang tertua. Senada dengan Schimmel ini, Hamiduddin
menyatakan bahwa al-Luma merupakan kitab pedoman tasawuf yang dipandang
tertua yang tetap lestari hingga sekarang. Kalaupun bukan merupakan kitab
pedoman tasawuf yang tertua, menurut Hamiduddin, paling tidak kitab ini
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
59
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
merupakan kitab pedoman tasawuf yang tertua yang tersedia hingga sekarang
(Hamiduddin, 1995, h. 311). Sementara itu, Baldick menyebut kitab ini di urutan
pertama ketika ia menginformasikan tentang kitab pedoman tasawuf klasik yang
pertama (the first classic manuals of sufism) (Baldick, 1996, h. 55). Adapun bagi
Schimmel (1975, H. 84), kitab al-Luma ini merupakan kitab yang gemilang
mengenai pengantar ajaran tasawuf, yang dilengkapi dengan kutipan-kutipan dari
berbagai sumber.
Penilaian terhadap kitab al-Luma diberikan juga oleh al-Jabiri. Tokoh ini
mengemukakan bahwa al-Luma merupakan buku terpenting dan sumber utama
tentang sejarah tasawuf dalam Islam (Al-Jabiri, 2003, h. 461). Mahmûd (t.t.: 13)
mengatakan pula bahwa kitab ini merupakan kitab sejarah, madrasah ilmu
pengetahuan, jalan rasa (spiritual), cahaya penunjuk perjalanan sang pejalan
menuju Tuhan, dan guru para ulama. Dalam ungkapan Nicholson, kitab al-Luma
ini merupakan Perguruan Tinggi yang meluluskan orang-orang ternama dari para
sufi yang jujur.
Selain itu, munculnya kitab al-Luma itu dipandang Sells (2003, h. 306)
sebagai tanda babak baru sejarah tasawuf, yaitu periode formatif (pembentukan)
karya-karya tasawuf. Menurut Sells, periode ini berawal dari al-Sarrâj hingga al-
Qusyairî. Sells mengatakan pula bahwa kitab ini telah menjadi model bagi karya-
karya tasawuf lainnya, sebagaimana kitab yang ditulis al-Kalâbâdzî, al-Sulamî, al-
Qusyairî, Abû Nu aim al-Isfahânî, al-Ghazâlî, al-Attâr dan sejumlah karya lain
dalam kajian tasawuf.
Di samping itu, kitab al-Luma dijadikan sebagai salah satu rujukan kitab
Kasyf al-Mahjûb karya Alî al-Hujwîrî. Menurut Nicholson, Al-Hujwîrî yang menulis
dua puluh atau tiga puluh tahun setelah al-Sarrâj menulis al-Luma menggunakan
al-Luma ini secara bebas dan mengutip kata demi kata (quotes verbatim) satu
bagian tentang adab dalam al-Luma . Nicholsonpun mengatakan bahwa bagian
yang sama dikutip pula oleh al-Qusyairî, oleh Aththâr di dalam Tadzkirat al-
Awliyâ dan oleh Jâmi dalam Nafahât al-Uns (Nicholson, 1914). Selain sufi-sufi ini,
al-Qusyairî juga menjadikan al-Luma sebagian rujukan dalam kitabnya al-Risâlah.
Demikian pula al-Ghazâlî dalam Ihyâ Ulûm al-Dîn, khususnya bab tentag samâ ,
merujuk al-Luma . Sebagai sumber rujukan sufi-sufi sesudahnya, terutama al-
Hujwîrî, al-Qusyairî dan al-Ghazâlî—tiga tokoh sufi yang sangat berpengaruh
dalam kehidupan tasawuf sunni—menunjukkan adanya pengaruh al-Sarrâj yang
cukup signifikan dalam sejarah tasawuf.
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
60
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ilmu Tasawuf
Sebelum menjelaskan hakikat ilmu tasawuf dan perbedaannya dengan ilmu
lain, al-Sarrâj menjelaskan eksistensi ilmu tasawuf dan pendukungnya. Bagi umat
Islam, termasuk di dalamnya al-Sarrâj, al-Qur an adalah kitab suci yang sempurna,
yang kesempurnaannya diyakini umat sepanjang masa. Dari keyakinannya
semacam inilah pendapat al-Sarrâj tentang eksistensi ilmu tasawuf dapat
dipahami. Di dalam muqaddimah kitabnya al-Luma al-Sarrâj menyatakan bahwa
tidak ada ilmu yang diketahui dan sesuatu yang dipahami kecuali hal itu telah
terdapat di dalam Kitab Allah Azza wa Jalla, atau telah diriwayatkan dari
Rasulullah Saw., atau telah disingkapkan ke hati para wali-Nya (Al-Kalâbâdzî, 1969:
90-91). Dari sini al-Sarrâj berpendirian bahwa sumber ilmu dalam Islam,
khususnya ilmu tasawuf, ada tiga, yaitu al-Qur an, al-Sunnah dan ungkapan para
wali. Arberry (1979) menambahkan satu pilar lagi, yakni pengalaman-pengalaman
spiritual pribadi sang sufi. Atas dasar ini berarti eksistensi ilmu tasawuf, sebagai
bagian dari suatu ilmu yang diketahui dan dapat dipahami, tidak lain tidak bukan
berasal dari empat pilar ini.
Di samping itu, eksistensi para pendukung ilmu tasawuf pun tidak ada
bedanya dengan eksistensi ahli hadis dan ahli fikih. Dalam perspektif al-Sarrâj,
pendukung ilmu tasawuf (kaum sufi) merupakan bagian dari kelompok orang-
orang berilmu yang menegakkan keadilan (ulî al- ilm al-qâ imîn bi al-qisth),
seperti halnya ahli hadis dan ahli fikih. (Al-Sarrâj menyebut kaum sufi sebagai
ilmuwan penegak keadilan dan pewaris para nabi setelah menyebut ahli hadis dan
ahli fikih. Penyebutan pada posisi yang terakhir ini bukan berarti al-Sarrâj
memandang kaum sufi berada di ranking ketiga atau ranking yang terbawah, tapi
justeru sebaliknya: otoritas kaum sufi meliputi ahli hadis dan ahli fikih atau lebih
unggul dibanding ahli hadis dan ahli fikih). Bagi al-Sarrâj, ketiga kelompok ini,
yakni ahli hadis, ahli fikih dan kaum sufi, merupakan orang-orang berilmu penegak
keadilan dan, karenanya, mereka inilah yang disebut ulama pewaris para nabi
(waratsat al-anbiyâ ). Jadi, menurut al-Sarrâj, ulama pewaris para nabi adalah
ilmuwan-ilmuwan (orang-orang berilmu) yang menegakkan keadilan dan mereka
ini adalah ahli hadis, ahli fikih dan kaum sufi. Ketiga kelompok ini dibedakan bukan
berdasarkan derajat ketakwaan mereka, tetapi berdasarkan disiplin ilmu yang
mereka dalami dan mereka kuasai (fî takhshîshihim bi ilmih). Dalam penilaian al-
Sarrâj, kalaupun terdapat perbedaan antara kaum sufi dengan ahli hadis dan ahli
fikih di dalam melaksanakan syariat agama, maka perbedaan itu dinilai al-Sarrâj
tidak prinsipil. Penilaian al-Sarrâj ini atas dasar pandangannya bahwa kaum sufi
hanya menambahkan perhatiannya pada dimensi batin dan lebih memilih hal-hal
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
61
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang paling utama dan paling sempurna di dalam melaksnakan ilmu-ilmu lahir
yang digeluti dan populer di kalangan ahli hadis dan ahli fikih. Dalam perspektif
Schimmel (1975, h. 83-4) orang-orang sufi itu seluruhnya merupakan orang-orang
Islam yang baik, sebagaimana penduduk Muslim lainnya di Baghdad, Nishapur dan
Mesir. Orang-orang sufi tidak menolak hukum agama, tapi hanya
menambahkannya dengan sesuatu, suatu tambahan yang menuntut pelaksanaan
yang lebih ketat dalam kehidupan personal mereka.
Pandangan al-Sarrâj mengenai ketiga kelompok ulama pewaris para nabi itu
tampaknya bukanlah pendapat umat secara umum. Di atas, dengan merujuk
pendapat al-Ghazâlî dan Rahman, telah disebutkan bahwa kaum ulama adalah
kaum teolog (ahli kalam) dan ahli fikih. Al-Sarrâj sendiri, kemudian, mensinyalir
adanya kelompok ulama yang dia sebut sebagai ulama lahiriah (ulama ahli zhahir),
yang melakukan kritik, tuduhan, dan pengingkaran terhadap ilmu tasawuf, yang
menjadi fokus penyajian tulisan ini. Dengan menyebut adanya ulama ahli zhahir
ini, yang bagi al-Sarrâj dapat berkemungkinan dari ahli hadis atau ahli fikih, maka
seolah-olah al-Sarrâj meralat pandangannya tentang kaum sufi sebagai bagian
dari kaum ulama. Hanya saja, dilihat dari maksud al-Sarrâj membela tasawuf dan
kaum sufi, maka pandangannya tentang kaum sufi sebagai bagian dari kaum
ulama dapat dimengerti.
Dalam perspektif ulama zhahiriah yang menyesatkan dan mengkafirkan
kaum sufi, ilmu lahir dianggap sebagai satu-satunya ilmu dalam Islam yang
mereka akui dan mereka ketahui. Bagi ulama lahiriah, ilmu di luar yang mereka
kuasai dipandang bukan sebagai ilmu Islam sehingga kaum sufi yang memiliki ilmu
batin di luar ilmu lahir dianggap sebagai ilmu sesat. Kemudian, kaum sufi yang
memiliki ilmu batin divonis sesat dan kafir.
Al-Sarrâj (t.t., h. 22) membantah tuduhan dan vonis itu. Menurut al-Sarrâj,
ilmu itu bukan saja bersifat lahiriah, tetapi ada pula yang bersifat batiniah. Al-
Sarrâj berargumen, ilmu agama itu terdiri dari tiga macam, yaitu ilmu al-Qur an,
ilmu al-Sunnah dan al-Bayân, dan ilmu hakikat keimanan. Ilmu yang disebut
terakhir ini, dalam penglihatan al-Sarrâj, bukan saja populer di kalangan kaum
sufi, tetapi populer juga di kalangan ahli hadis dan ahli fikih. Dalam pandangan al-
Sarrâj, ilmu hakikat iman adalah ihsan. Pandangan al-Sarrâj ini didasarkan pada
pembagian al-Sarrâj tentang Islam, Iman dan Ihsan. Dalam perspektif al-Sarrâj,
Islam itu bersifat lahiriah, Iman itu bersifat lahir dan batin, dan Ihsan merupakan
hakikat lahir dan batin. Jadi, menurut al-Sarrâj, Ihsan merupakan hakikat Iman,
yaitu hakikat lahir dan batin. Pendapat al-Sarrâj ini berdasarkan hadis tentang
keimanan di mana Jibril a.s. bertanya kepada Nabi Saw mengenai tiga prinsip
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
62
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
agama: mengenai iman, Islam dan ihsan. Menurut al-Sarrâj, Islam itu lahir, iman
itu lahir dan batin, dan ihsan itu hakikat lahir dan batin. Hal ini sesuai dengan
jawaban Rasulullah Saw atas pertanyaan Jibril a.s. tentang ihsan; Ihsan adalah
hendaknya engkau beribadah seakan-akan engkau melihat Allah. Bila engkau tidak
mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu (HR Bukhârî-Muslim,
Abû Dâwud, Ibn Mâjah dan Ahmad).
Itulah yang dimaksud al-Sarrâj: Ihsan sebagai hakikat iman. Bagi al-Sarrâj
(t.t., h.43) Bandingkan, Al-Sahamrânî (2000, h. 65), ihsan sebagai hakikat iman ini
populer di kalangan ahli hadis, ahli fikih dan, lebih-lebih, di kalangan sufi. Ihsan
sebagai hakikat iman inilah yang dimaksud al-Sarrâj dengan ilmu batin atau ilmu
tasawuf. Dengan demikian, dalam pandangan al-Sarrâj, ilmu hakikat keimanan
adalah ilmu batin yang berarti pula ilmu tasawuf.
Dalam perspektif al-Sarrâj, ilmu batin atau ilmu tasawuf itu merupakan
bagian integral dari Islam, seperti halnya ilmu al-Qur an serta ilmu hadis dan
bayân. Semua ilmu, menurut al-Sarrâj, merupakan ilmu yang memiliki batas
tertentu dan semuanya akan bermuara pada ilmu tasawuf. Sedangkan ilmu
tasawuf, di mata al-Sarrâj, merupakan ilmu yang tidak ada batasnya dan tidak
bermuara pada suatu ilmu kecuali ilmu tasawuf itu sendiri. Alasan al-Sarrâj (t.t., h.
37) dan al-Kalâbâdzî, (1969, h. 106), karena yang dituju ilmu tasawuf ini Allah Swt.
dan Allah Swt. itu tidak terbatas, maka bagi al-Sarrâj ilmu tasawuf tidak ada
batasnya. Artinya, sebab Yang Dituju ilmu tasawuf tidak terbatas, maka ilmu
tasawufpun tidak ada batasnya. Dari titik inilah al-Sarrâj memandang ilmu tasawuf
ini sebagai ilmu futûh, yaitu ilmu yang Allah singkapkan ke hati para wali-Nya
dalam rangka memahami Kalam-Nya dan menyimpulkan percakapan-Nya tentang
apa dan bagaimana kehendak-Nya. Al-Sarrâj menukil Firman Allah: Katakanlah,
sekira ya lauta e jadi ti ta… (Qs al-Kahfi: 109) dan Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu (Qs Ibrâhîm: 7).
Menurut al-Sarrâj, tambahan dari Allah itu tidak terbatas dan mensyukuri nikmat
menghasilkan ditambahnya nikmat yang tidak terbatas dari Allah Swt. Al-Sarrâj
menegaskan, ilmu futûh ini merupakan ilmu batin atau ilmu tasawuf, dan ilmu
kaum sufi ini, sebagaimana ilmu para ahli hadis dan ahli fikih, merupakan ilmu
agama. Penegasan al-Sarrâj ini mempertegas kembali tentang otentisitas ilmu
tasawuf. Dalam arti, kalau ilmu yang dikembangkan oleh ahli-ahli hadis dan ahli-
ahli fiqih dipandang sebagai ilmu agama yang otentik Islam, maka ilmu tasawuf
pun merupakan ilmu agama yang otentik Islam. Masing-masing disiplin ilmu ini
memiliki karya-karya monumental tersendiri dan imam-imam agung yang menjadi
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
63
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rujukan disiplin ilmu masing-masing. Merujuk kepada imam di luar bidang
ilmunya, dalam pandangan al-Sarrâj, merupakan suatu kekeliruan.
Al-Sarrâj mengakui bahwa ilmu tasawuf atau ilmu batin yang menurutnya
tidak terbatas itu diingkari oleh sekelompok ahli lahir. Dalam penglihatan al-
Sarrâj, karena mereka ini tidak mengenal suatu ilmu yang bersumber pada al-
Qur an dan al-Sunnah selain ilmu syariah yang lahir (lâ na rifu illâ ilm al-syarî ah
al-zhâhirah al-latî jâ a bihâ al-kitâb wa al-sunnah), maka mereka mengingkari ilmu
batin. Selanjutnya, mereka pun menuduh (mengatakan) bahwa pandangan akan
adanya ilmu batin atau ilmu tasawuf di luar ilmu yang mereka kuasai adalah
anggapan yang sesat disebabkan ilmu batin itu sama sekali tidak ada dasarnya di
dalam al-Qur an dan al-Sunnah.
Akan tetapi, al-Sarrâj membela adanya ilmu batin atau ilmu tasawuf itu. Al-
Sarrâj menjelaskan bahwa ilmu syari ah itu sesungguhnya merupakan ilmu yang
satu, yaitu nama yang satu, tetapi mengandung dua makna: al-riwâyat dan al-
dirâyat. Seseorang yang telah mengumpulkan dua makna ini dinilai al-Sarrâj telah
mengamalkan ilmu syari ah, yaitu ilmu yang mengajak kepada berbagai amal, baik
yang lahir maupun yang batin. Oleh karenanya, al-Sarrâj menyatakan tidak
bolehnya membedakan ilmu kepada dikhotomi yang lahir atau yang batin.
Ketidakbolehan ini disebabkan, menurut al-Sarrâj, ketika ilmu itu berada dalam
hati, maka ia merupakan ilmu batin. Namun, ketika mulut mengucapkannya, maka
ia merupakan ilmu lahir. Di sinilah al-Sarrâj berpendapat bahwa ilmu itu lahir dan
batin. Inilah, menurut al-Sarrâj, ilmu syari ah yang menunjukkan dan mengajak
kepada berbagai amal yang lahir dan sekaligus yang batin (Sajari, 2008, h. 107).
Sejalan dengan pandangan al-Sarrâj ini Al-Makki mengatakan bahwa ilmu batin
adalah ilmu yang berada di dalam hati dan ia merupakan ilmu yang bermanfaat,
sedangkan lahir dan batin itu merupakan dua ilmu yang saling membutuhkan dan
melengkapi. Kedua ilmu ini, menurut al-Makki, bagaikan tubuh dan hati (qalb). Al-
Kalâbâdzî (1969, h. 106) mengungkapkan pendapat Abû al-Hasan b. Abû Dzar yang
mengatakan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang tanpa batas (lâ nafâda lahu),
yang dia nilai sebagai ilmu yang tertinggi, ilmu langit (samâwî) dan ilmu
ketuhanan (rubûbî).
Pendapat al-Sarrâj ini dinukil Al-Taftâzânî (1983, h. 97) tentang amal-amal
yang lahir itu adalah amal-amal anggota tubuh yang lahir (luar) yang berkaitan
dengan ibadah-ibadah dan hukum-hukum. Amal lahiriah yang berkenaan dengan
ibadah, semisal bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, jihad dan lain sebagainya.
Adapun amal anggota tubuh bagian luar yang berhubungan dengan hukum adalah
hudûd, thalaq, pemerdekaan budak, jual-beli, farâ id, qishâsh (hukum kesamaan
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
64
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pembalasan) dan lain sebagainya. Semua amal ini berhubungan dengan anggota
badan bagian luar. Adapun amal-amal yang batin yang dimaksud al-Sarrâj adalah
amal-amal hati, yaitu maqâmât (kedudukan spiritual) dan ahwâl (keadaan-
keadaan spiritual), semisal tashdîq (pembenaran), iman, yaqin, jujur, ikhlas,
ma rifah, tawakkal, mahabbah, ridha dan sebagainya. Menurut al-Sarrâj, setiap
amal dari berbagai amal yang lahir dan yang batin ini terdapat ilmunya, fikihnya,
penjelasannya, fahamnya, hakikatnya dan ekstasenya. Keabsahan ilmu lahir dan
ilmu batin ini berasal dari ayat-ayat al-Qur an dan khabar dari Rasulullah Saw.
Selain itu, al-Sarrâj menjelaskan bahwa ilmu batin adalah ilmu amal-amal
batin atau ilmu amal-amal anggota badan yang batin, yaitu hati. Dengan demikian,
ilmu batin adalah ilmu hati: ilmu amalan-amalan hati dan atau ilmu yang
diperoleh melalui hati. Adapun ilmu lahir adalah ilmu amal-amal yang lahir (luar,
lahiriah) yang diamalkan anggota badan bagian luar (lahir). Al-Sarrâj mendasarkan
pendapatnya ini pada Firman Allah Swt. yang artinya: …da Dia menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin… (Qs Luqmân: 20). Bagi
al-Sarrâj, nikmat lahir adalah nikmat yang Allah anugerahkan melalui anggota
badan yang lahir (bagian luar) dalam bentuk perbuatan ketaatan kepada Allah
Swt., sedangkan nikmat batin adalah nikmat yang Allah anugerahkan melalui hati
dalam wujud keadaan-keadaan spiritual. Menurut al-Sarrâj, nikmat yang lahir
tidak cukup tanpa yang batin dan, sebaliknya, nikmat yang batin pun tidak cukup
tanpa yang lahir.
Pandangan al-Sarrâj itu didasarkan pula pada Firman Allah: Dan kalau
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, niscaya
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) (QS al-Nisâ : 83). Al-Sarrâj pun menegaskan
bahwa ilmu itu lahir dan batin, al-Qur an itu lahir dan batin, hadis Rasulullah Saw
itu lahir dan batin, dan Islam pun lahir dan batin. Selanjutnya, al-Sarrâj—seperti
halnya Abû Thâlib Al-Makkî--menginformasikan bahwa sahabat-sahabatnya
(sesama sufi) di dalam memahami makna-makna itu berdasarkan dalil-dalil dan
argumen-argumen dari al-Qur an, al-Sunnah dan akal (argumen rasional) (Al-
Sarrâj, t.t., h. 44 dan al-Makkî, t.t., h. 139).
Dari penjelasan al-Sarrâj itu bisa diketahui bahwa ilmu syari ah—bagi al-
Sarrâj dan kaum sufi—adalah ilmu yang terdiri dari yang lahir dan yang batin,
bukan ilmu yang bersifat lahiriah saja dan bukan dikhotomis ilmu yang lahir atau
yang batin. Ilmu syari ah sebagai ilmu yang terdiri dari yang lahir dan yang batin
ini menunjukkan dan mengajak kepada berbagai amal perbuatan, baik amal
lahiriah maupun amal batiniah. Amal lahir adalah amal anggota badan bagian lahir
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
65
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(luar) dan amal batin adalah amal anggota badan bagian dalam (batin), yaitu amal
hati. Keabsahan kedua ilmu ini dijelaskan al-Sarrâj berasal dari al-Qur an dan
Sunnah Rasulullah Saw. Kemudian, dipertegas bahwa ilmu atau amal yang batin
tidak cukup tanpa adanya ilmu atau amal yang lahir dan sebaliknya, ilmu atau
amal yang lahir tidak cukup tanpa adanya ilmu atau amal yang batin. Jadi, kedua
ilmu atau amal ini saling membutuhkan, saling melengkapi dan merupakan satu
kesatuan tak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang: ilmu itu lahir sekaligus
batin, al-Qur an itu lahir sekaligus batin, hadis itu lahir sekaligus batin, dan Islam
pun lahir dan batin.
Keberadaan kedua ilmu (lahir dan batin) itu keabsahannya digaransi al-
Sarrâj dinukil dari al-Qur an dan Sunnah Rasulullah Saw. Dengan demikian, al-
Sarrâj membela keberadaan ilmu batin, ilmu tasawuf atau ilmunya kaum sufi, dari
orang yang mengingkari keberadaannya dan dari ulama zahiriah yang menyatakan
bahwa ilmu yang dipandang berasal dari al-Qur an dan al-Sunnah hanyalah ilmu
syari ah, yang mereka pahami hanya sebagai ilmu yang lahir. Padahal, al-Sarrâj
memahami ilmu syari ah itu bukan saja ilmu yang bersifat lahiriah, tetapi ilmu
yang bersifat lahiriah sekaligus batiniah. Dari perspektif al-Sarrâj ini berarti ilmu
batin atau ilmu tasawuf itu merupakan bagian dari ilmu syari ah, bukan ilmu yang
berbeda dengan syari ah, apalagi bertentangan dengan syari ah. Hanya saja, dapat
dipahami bahwa al-Sarrâj memaksudkan ilmu batin sebagai bagian dari ilmu
syari ah itu berarti ilmu batin adalah ilmu syari ah yang lebih menfokuskan diri
pada segi yang batin atau amalan-amalan batin (hati), meski sama sekali tanpa
meninggalkan pengamalan aspek syari ah yang lahiriah. Secara praktis, ilmu
syari ah yang lahir dan yang batin ini tidak bisa dipisahkan, tapi secara teoritis bisa
dibedakan.
Di situlah ilmu syari ah yang batin, yang disebut ilmu ahli tasawuf atau
kaum sufi, dapat dibicarakan tersendiri. Oleh karena secara teoritis dapat
dibicarakan tersendiri, maka ilmu batin kemudian dianggap sebagai ilmu yang
memiliki kekhasannya tersendiri, yang membedakannya dari ilmu lahir (Sajari,
2008: 108). Akibatnya, tidak dapat dihindarkan, kesan yang muncul kemudian
adalah ilmu batin itu dipahami sebagai ilmu yang berbeda, bahkan bertentangan,
dengan ilmu lahir. Kesan ini diperkuat dengan penggunaan kedua istilah ilmu ini,
yakni ilmu batin selanjutnya disebut sebagai ilmu tasawuf dan ilmu lahir
dinamakan sebagai ilmu syari ah. Akan tetapi, kesan ini tidak akan terjadi kalau
pandangan al-Sarrâj dijadikan rujukan.
Atas dasar itulah al-Sarrâj meminta orang-orang yang senang mengumbar
lidahnya mengumpat wali-wali Allah untuk tidak lagi mengumpat wali-wali Allah,
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
66
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yaitu orang-orang pilihan di antara kaum sufi dan kaum sufi adalah orang-orang
pilihan di antara umat Islam (komunitas Muslim) (Nicholson, 1966, h. 122).
Permintaan al-Sarrâj ini dipertegas dengan pernyataannya bahwa tidak
seorangpun boleh mengumbar lidahnya untuk mengumpat wali-wali Allah. Al-
Sarrâj juga melarang mengkiaskan kata-kata atau ungkapan-ungkapan para wali
Allah yang mereka dengar dan sulit mereka pahami dengan pemahaman dan
pendapat mereka sendiri. Larangan pengkiasan ini disebabkan para wali itu, dalam
anggapan al-Sarrâj, berada pada waktunya masing-masing dan berada dalam
kondisi spiritual yang berbeda-beda. Di sinilah al-Sarrâj menyarankan kepada
orang yang tidak menempuh jalan mereka, tidak mengikuti jejak mereka, dan
tidak menuju ke arah yang mereka tuju untuk tidak mengingkari mereka, untuk
menyerahkan urusan mereka kepada Allah, dan untuk mengakui kekeliruannya
telah menyalahkan mereka. Doa pun dipanjatkan al-Sarrâj supaya semuanya
dianugerahi taufik oleh Allah Swt. Al-Kalâbâdzî pun menjelaskan tentang ilmu
kamu sufi ini. Menurutnya, ilmu-ilmu kaum sufi ( ulûm al-shûfiyyat) adalah ilmu-
ilmu keadaan spiritual ( ulûm al-ahwâl), yang tidak bisa diketahui kecuali oleh
orang-orang yang menempuh dan mengalami keadaan-keadaan spiritual serta
menempati berbagai posisi spiritual (Al-Kalâbâdzî, 1969, h. 104-105).
Berkaitan dengan pelarangan pengingkaran terhadap ilmu tasawuf dan para
wali itu, al-Sarrâj menyatakan bahwa ilmu itu lebih banyak dibanding yang hanya
dipahami orang-orang yang cerdas (fahm al-fuhamâ ) dan yang didapatkan orang-
orang yang intelek ( uqûl al- uqalâ ). Dalam konteks inilah al-Sarrâj berpendirian
bahwa kisah Nabi Mûsâ a.s. dan Nabi Khidhir a.s. sudah cukup untuk dijadikan
sebagai pelajaran. Dalam kisah ini, Nabi Mûsâ a.s. tidak sanggup memahami
makna di balik apa-apa yang dilakukan Nabi Khidhir a.s., padahal Nabi Mûsâ
adalah Nabi dan Rasul Allah yang sudah tentu memiliki keagungan lebih tinggi dari
Nabi Khidhir dan Allah pun menganugerahkan kekhususan kepada Nabi Mûsâ
dengan percakapan (kalâm), kenabian, wahyu, dan kerasulan, yang tidak
dianugerahkan kepada Nabi Khidhir.
Lebih lanjut al-Sarrâj menuturkan kisah Nabi Mûsâ a.s. dan Nabi Khidhir a.s.
itu dari al-Qur an. Al-Sarrâj menyatakan bahwa telah dituturkan di dalam al-
Qur an melalui perkataan seorang Nabi yang lisannya sangat jujur, yang
kejujurannya diakui oleh semua orang, termasuk para musuhnya, yaitu Nabi
Muhammad Saw., tentang ketidakmampuan Nabi Mûsâ a.s. memahami ilmu
seorang yang diakui-Nya sebagai salah satu hamba-Nya, yang terkenal dengan
nama Khidhir. Informasi ini terlihat dari Firman-Nya bahwa Mûsâ bertemu dengan
seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya, yang telah diberi rahmat dari sisi-
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
67
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nya, dan yang telah diajarkan ilmu dari sisi-Nya, Lalu mereka bertemu dengan
seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami (Qs al-Kahfi: 65), sampai Nabi Mûsâ a.s. bertanya kepadanya:
Bolehkah aku mengikutimu? (Qs Al-Kahfi: 66). Ketika Nabi Mûsâ a.s.
mengajukan permintaan kepada seorang hamba-Nya—yang dikenal umat sebagai
Nabi Khidhir a.s.—untuk mengikutinya ini, maka Nabi Khidhir menyetujuinya
dengan syarat Nabi Mûsâ tidak boleh bertanya mengenai apapun kepada Nabi
Khidhir. Bersama Khidhir a.s., menurut al-Sarrâj, Mûsâ a.s. yang memiliki
kemuliaan dan posisi yang kuat di sisi Allah Swt. tidak sanggup memahami apa
yang dilakukan Khidhir a.s. dan tidak sabar untuk tidak mengajukan pertanyaan,
padahal selamanya Khidhir a.s. tidak mungkin akan mencapai derajat Mûsâ a.s.
dalam hal kenabian, kerasulan dan percakapan langsung dengan Allah (al-taklîm).
Kenyataannya, setelah Nabi Mûsâ menyaksikan Nabi Khidhir membetulkan
sebuah dinding rumah yang hampir roboh dan Khidhir tidak mau mengambil
upah—yang sebelumnya Khidhir melakukan perusakan terhadap sebuah perahu
dan membunuh seorang anak—maka Nabi Mûsâ tetap mengajukan pertanyaan
seperti halnya terhadap dua perbuatan Khidhir sebelumnya. Akhirnya, Khidhir
berkata: Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya (Qs al-Kahfi: 78) (Lebih jelasnya, baca Qs al-Kahfi: 60-82; Nicholson,
1966, h. 128-129).
Sehubungan dengan pendapatnya bahwa ilmu itu lebih banyak dibanding
yang hanya dipahami oleh orang-orang yang cerdas dan yang didapatkan oleh
orang-orang yang intelek di atas, al-Sarrâj menginformasikan bahwa Allah Swt.
mengistimewakan Nabi Saw dengan tiga ilmu, yaitu 1) ilmu yang dijelaskan
kepada umatnya yang khusus maupun yang umum, yakni ilmu tentang hudûd
(hukum-hukum pidana Islam), tentang perintah dan larangan; 2) ilmu yang
disampaikan kepada sekelompok sahabat tertentu dan tidak kepada sahabat
lainnya; dan 3) ilmu yang khusus untuk Rasulullah Saw dan tidak seorangpun
sahabat yang mengetahui ilmu ini. Al-Sarrâj memberikan contoh tentang ilmu
yang disampaikan kepada sahabat tertentu dan tidak ke sahabat yang lain seperti
ilmu yang diajarkan kepada sahabat Hudzaifat b. al-Yamân ra.a. tentang
kemunafikan sehingga sahabat Umar b. al-Khaththâb r.a. yang lebih agung dan
lebih mulia darinya pernah bertanya kepadanya: Wahai Hudzaifah, apakah aku
termasuk orang-orang yang munafik?
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
68
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ilmu yang semacam itu tercermin pula dari perkataan Alî b. Abû Thâlib r.a.
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah mengajarinya tujuh puluh bab ilmu
yang tidak diajarkan kepada seorangpun di antara sahabat selain kepada dirinya.
Oleh sebab inilah bila salah seorang sahabat Rasulullah Saw menghadapi suatu
persoalan yang mereka tidak tahu jawabannya, maka mereka bertanya kepada Alî
b. Abû Thâlib r.a. Kemudian, ilmu yang khusus untuk Rasulullah, menurut al-
Sarrâj, adalah ilmu yang dimaksud Rasulullah Saw dengan sabdanya yang
ditujukan kepada para sahabatnya, yaitu sabdanya: seandainya kalian tahu apa
yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis, tidak
akan bermesra-mesraan dengan wanita, tidak akan betah berada di atas tempat
tidur, dan tentu kalian akan kabur ke gurun pasir untuk memohon pertolongan
Allah Swt. Nabi Muhammad Saw mengakhiri sabdanya itu dengan bersumpah,
Demi Allah, sungguh aku lebih suka menjadi pohon yang ditebang. (Hadis ini
diriwayatkan oleh al-Bukhârî, al-Hâkim dan al-Turmudzî. Hadis ini diriwayatkan
pula oleh Isrâ îl dari Ibrâhîm b. Muhâjir dari Mujâhid dari Mauriq dari Abû Dzar
dari Nabi Saw.).
Berdasarkan hadis itu al-Sarrâj membedakan antara yang diturunkan dan
yang diberitahukan , Nabi Saw disuruh menyampaikan apa yang diturunkan Allah
kepada Nabi, Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu (Qs al-Mâ idah: 67), bukan disuruh untuk menyampaikan apa yang
Allah beritahukan kepada Nabi Saw. Dengan demikian, al-Sarrâj memahami sabda
Rasulullah yang ditujukan kepada sahabat-sahabatnya andaikan kalian
mengetahui apa yang aku ketahui sebagai petunjuk adanya ilmu yang khusus
diberitahukan kepada Rasulullah yang tidak diperintahkan oleh Allah untuk
disampaikan kepada umatnya. Ilmu yang diberitahukan khusus kepada Rasulullah
Saw ini merupakan ilmu yang khusus untuk Rasulullah dan Rasulullah tidak
diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya. Apa yang wajib disampaikan
kepada umatnya adalah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw., yang dikenalkan
dengan istilah wahyu.
Oleh sebab ilmu itu ada yang khusus untuk Rasulullah Saw., ada yang
khusus untuk sahabat tertentu, dan ada yang disampaikan untuk semua sahabat,
yang berarti untuk semua umat, maka al-Sarrâj menyatakan bahwa ilmu itu
banyak dan luas. Di sinilah al-Sarrâj menekankan tidak pantasnya seseorang
menyangka dirinya telah menguasai semua ilmu sehingga menyalahkan ucapan
orang-orang yang dikhususkan Allah (al-makhshûshîn), lalu mengkafirkan dan
menzindiqkan mereka. Padahal, dalam penilaian al-Sarrâj, dia tidak tahu
kedalaman keadaan-keadaan spiritual mereka (mumâratsat ahwâlihim),
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
69
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tingkatan-tingkatan spiritual mereka (manâzilat haqâ iqihim), dan tidak tahu pula
amalan-amalan mereka (a mâlihim). Al-Kalâbâdzî (1969, h. 106-107)
mengungkapkan pula bahwa daripada menganggap bid ah atau
mengkufurkannya, maka sikap yang paling membawa keselamatan adalah
berprasangka baik.
Selain membagi menjadi lahir dan batin, al-Sarrâj juga membagi ilmu
syari ah menjadi empat macam, yaitu 1) ilmu riwayah, atsar dan khabar, yakni
ilmu yang ditransfer oleh orang-orang terpercaya dari orang-orang yang juga
terpercaya; 2) ilmu dirayah, yakni ilmu fiqh dan hukum-hukum: ilmu-ilmu yang
populer di kalangan ulama dan ahli fiqh; 3) ilmu kias (analogi), debat dan adu
argumentasi terhadap orang-orang yang beda pendapat, yakni ilmu perdebatan
dan pengokohan argumentasi yang melindungi agama dari orang-orang yang
melakukan perubahan agama (ahl al-bida ) dan dari orang-orang yang tersesat;
dan 4) ilmu yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding ketiga ilmu di atas. Ilmu ini
disebut al-Sarrâj sebagai ilmu tentang hakikat-hakikat (haqâ iq) dan tempat
tingkatan-tingkatan spiritual (manâzilât), ilmu tentang tingkah laku spiritual dan
perjuangan-perjuangan spiritual (mujâhadât), ilmu mengenai keikhlasan
melakukan ketaatan, dari segala segi menghadapkan diri kepada Allah Swt., dan
penggunaan seluruh waktu hanya untuk-Nya (Pembagian ilmu syari at yang
dikemukakan al-Sarrâj ini dikutip Taftâzânî ketika ia membahas tentang
perbedaan tasawuf dan fikih. Al-Taftâzânî, 1983, h. 96-8).
Beranjak dari pembagiannya tentang ilmu syari ah itu, al-Sarrâj (t.t., h. 457)
menegaskan bahwa orang yang keliru (ghalath) dalam suatu bidang ilmu tertentu
tidak boleh menanyakan kekeliruannya itu kecuali kepada ahlinya di bidang ilmu
itu. Al-Sarrâj memisalkan, orang yang keliru dalam bidang ilmu riwâyah tidak
diperbolehkan menanyakan kekeliruannya itu kepada orang yang ahli di bidang
ilmu dirâyah. Sebaliknya, al-Sarrâj tidak memperbolehkan orang yang keliru dalam
bidang ilmu dirâyah menanyakan kekeliruannya itu kepada seseorang yang ahli di
bidang ilmu riwâyah. Berikutnya, seseorang yang keliru dalam ilmu qias dan debat
dilarang al-Sarrâj menanyakan kekeliruannya itu kepada orang yang ahli di bidang
ilmu riwâyah atau dirâyah. Hal yang sama bagi orang yang keliru dalam ilmu
hakikat dan keadaan-keadaan spiritual ( ilm al-haqâ iq wa al-ahwâl) al-Sarrâj tidak
membolehkan menanyakan kekeliruannya itu selain kepada orang yang
mengetahui maknanya secara sempurna ( âlimâ kâmilâ) di bidang ilmu itu. Di
tempat lain al-Sarrâj menyatakan bahwa seorang penanya selayaknya bertanya
kepada orang yang benar-benar memahami ilmu itu (ya lamu ilmahâ) atau
orang yang memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang ilmu itu
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
70
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mutabahhiran fî ilmihâ). Artinya, sebagaimana penegasan al-Sarrâj, orang yang
keliru dalam suatu bidang ilmu harus menanyakannya ke ahlinya di bidang ilmu
bersangkutan. Demikian pula, bagi al-Sarrâj, jika seseorang menemukan suatu
kekeliruan dalam ilmu realitas-realitas dan keadaan-keadaan spiritual, maka ia
harus bertanya kepada orang yang sempurna ilmunya di bidang ini.
Al-Sarrâj kemudian menegaskan kemungkinan unggulnya ahli hakikat
dibandingkan ahli-ahli di bidang lain. Dalam perspektif al-Sarrâj, seluruh ilmu itu
mungkin saja dapat ditemukan pada diri seorang ahli hakikat, tetapi tidak
mungkin ilmu hakikat dapat didapatkan pada orang-orang di bidang ilmu lain,
kecuali orang yang dikehendaki Allah Swt. Pendapat al-Sarrâj ini didasarkan pada
argumen bahwa ilmu hakikat merupakan buah dan akhir dari segala ilmu dan
puncak terakhir semua ilmu adalah ilmu hakikat. Dengan demikian, sangat
mungkin ahli hakikat itu menguasai berbagai ilmu lain, tetapi ahli-ahli di bidang
ilmu lain tidak mungkin menguasai ilmu hakikat. Al-Sarrâj memposisikan
kedudukan ilmu hakikat sebagai puncak terakhir segala ilmu ini atas dasar bahwa
tatkala seseorang telah sampai pada ilmu hakikat, maka telah sampai pada lautan
tanpa batas, yaitu ilmu hati, ilmu ma rifah, ilmu rahasia hati, ilmu batin, ilmu
tasawuf, ilmu keadaan spiritual, ilmu praktis atau ilmu apa saja yang engkau
kehendaki, maka maknanya sama. Al-Sarrâj lebih lanjut menegaskan bahwa bukan
ahli hakikat yang mengingkari ilmu-ilmu di luar ilmu hakikat, tetapi pendukung
ilmu di luar ilmu hakikat itulah yang mengingkari ilmu hakikat, kecuali yang
dikehendaki oleh Allah Swt. di antara mereka.
Setelah menegaskan ketidakmungkinan ahli ilmu hakikat mengingkari ilmu-
ilmu lain dan justru sebaliknya itu, Al-Sarrâj (t.t., h. 457-8) menyatakan bahwa
setiap orang yang benar-benar mendalami ilmunya dan pemahaman terhadap
ilmu di bidangnya sempurna, maka ia akan menjadi tuan (al-sayyid) bagi teman-
temannya: pasti dia akan menjadi rujukan teman-temannya ketika mereka
menemukan kesulitan di bidang ilmu yang digelutinya. Al-Sarrâj pun
memprediksikan bahwa orang yang terkumpul di dalam dirinya keempat bidang
ilmu itu, maka dia akan menjadi seorang imam yang sempurna (al-imâm al-kâmil),
akan menjadi poros dunia (quthb), sumber alasan (hujjah), dan pelopor
terdepan.
C. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disebabkan mereka hanya
menguasai ilmu yang bersifat lahiriah dan menganggap ilmu hanyalah yang
mereka kuasai itu, maka sekelompok ulama lahiriah melakukan pengingkaran
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
71
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap ilmu tasawuf, yang merupakan ilmu yang bersifat batiniah. Dikarenakan
mereka belum pernah memiliki kondisi spiritual sebagaimana yang dimiliki para
wali, maka mereka mengumpat para wali Allah. Merekapun belum pernah
menempuh jalan para wali, belum pernah mengikuti jejak dan menuju ke arah
yang dituju para wali. Akibatnya, mereka melakukan kesalahan besar disebabkan
mereka mengumbar lidahnya untuk mengumpat para wali. Dalam kerangka inilah
al-Sarrâj menjelaskan kepada mereka untuk membela ilmu tasawuf dan para wali
Allah. Wallâhu a lamu bi al-shawâb.
D. Daftar Pustaka
Al-Sarrâj al-Thûsî, Abû Nashr, (t.t), Al-Luma , Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat al-
Dîniyyat
Al-Abduh, Muhammad dan Thariq Abdul Halim, (1998), Koreksi bagi Kaum Sufi,
terj. A. Bahauddin dan Muslim Muslih. Jakarta: Kalam Mulia
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid, (t.t) Ihyâ Ulûm al-Dîn, Jilid I, Semarang: Toha Putera
Al-Hujwirî, Alî bin Utsmân al-Jullâbî, Kasyf al-Mahjûb, (1974) Kairo: Muh. Taufiq
Uwaidhat
Al-Hushain, Ahmad bin Abdul Aziz dan Numsuk, Abdullah Mustofa. (2001)
Kesesatan Sufi: Tasawuf, Ajaran Budha!, Jakarta: Pustaka as-Sunnah
Al-Jabiri, Abed, (2003) Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri dari Takwîn al- Aql al-
Arabî, Yogyakarta: IRCiSoD
Al-Kalâbâdzî, Abû Bakr Muhammad, (1969) Al-Ta arruf li-Madzhab Ahl al-
Tashawwuf. Kairo: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyat
Al-Makkî, Abû Thâlib, (t.t) Qût al-Qulûb fî Mu âmalat al-Mahbûb wa Washf Tharîq
al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd, Dâr al-Fikr
Al-Sahamrânî, As ad, (2000) al-Tashawwuf: Mansya uhu wa Mushthalahâtuhu,
Beirut: Dâr al-Nafâ is
Al-Taftâzânî, Abû al-Wafâ al-Ghunaimî, (1983) Madkhâl ilâ al-Tashawwuf al-
Islâm, Kairo: Dâr al-Tsaqâfat li al-Nasyr wa al-Tawzî
Al-Qusyairî, Abû al-Qâsim Abd al-Karîm Hawazin, (t.t) al-Risâlat al-Qusyairiyyat,
Jilid 1, Kairo: Mathba at Uassân
Arberry, A.J., (1979) Sufism: An Account of the Mystics of Islam, London, Unwin
Paperbacks
Baldick, Julian, (1989) Mystical Islam: An Introduction to Sufism, London: I.B.
Tauris & Co Ltd Publishers
Hamiduddin, M., (1995) Early Sufis: Doctrine, dalam M.M. Sharif (Ed.), A History
of Muslim Philosophy, vol. 1. Delhi: Low Price Publications,
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
72
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ibn al-Nadîm, (1970) The Fihrist of al-Nadîm: A Tenth-Century Survey of Muslim
Culture, Bayard Dodge (ed), vol 2, New York & London: Columbia
University Press
Jaiz, Hartono Ahmad, (2002) Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar
Johansen, Julian, (1996) Sufism and Islamic Reform in Egypt: The Battle for Islamic
Tradition, Oxford: Clarendon Press
Lory, P., (1997) Al-Sarrâj, dalam The Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill,
Vol. IX, 1997
Mahmûd, Abd al-Halîm dan Surûr, Thaha Abd al-Bâqî. (t.t) Kitâb al-Luma wa
Makânatuhu min al-Tashawwuf al-Islâmî (kata pengantar) dalam Abû
Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma , Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat al-Dîniyyat
Mason, Herbert, (1999) Hallâj and the Baghdad School of Sufism dan Terry
Graham, Abû Sa îd ibn Abî al-Khair and the School of Khurâsân dalam
Leonard Lewisohn (Ed.), The Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism
from its Origins to Rumi (700-1300), vol. 1, Oxford: One World
Nasr, Seyyed Hossein, (2003) Tasawuf dan Spiritualitas di Persia, dalam Seyyed
Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi,
Bandung: Mizan
Nicholson, Reynold A., (1996) The Mystics of Islam, London: Routledge and Kegan
Paul Ltd
Nicholson, Reynold A., (1914) Introduction, dalam The Kitâb al-Luma fî l-
Tashawwuf, terj. ke dalam Bahasa Inggris Reynold A. Nicholson, Leyden:
E.J. Brill
Rahman, Fazlur, (1979) Islam, Chicago dan London: University of Chicago Press
Radtke, B., (1998) Al-Sarrâj, dalam Encyclopedia of Arabic Literature, Julie Scott
Meisami dan Paul Starkey (Ed.), vol. 2, London Yew York: Routledge
Sajari, Dimyati, (2008) Pembelaan Abû Nashr al-Sarrâj terhadap Tasawuf dan
Kaum Sufi dalam Kitāb Al-Luma , Disertasi, Jakarta: Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah. Tidak dipublikasi
Sajari, Dimyati, (2014) Loyalitas Kaum Sufi terhadap Syariat dalam Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahkam: Jurnal Ilmu
Syariah, Vol. XIV No. 1, Januari 2014
Sajari, Dimyati, (2015) Keotentikan Ajaran Tasawuf, dalam Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI., Dialog: Jurnal Penelitian dan Kajian
Keagamaan, Vol.38, No.2, Des 2015
Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73
73
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Schimmel, Annemarie, (1975) Mystical Dimension of Islam, Chapel Hill: The
University of North Carolina Press
Sells, Michael A. (Ed.), (2003) Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi, terj. D.
Slamet Riyadi dari Early Islamic Mysticism, Bandung: Mimbar Pustaka
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
74
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam
Abuddin Nata
Pendidikan Agama Islam - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Idealnya, pendidikan Islam harus lebih unggul dibandingkan pendidikan
di luar Islam. Namun dalam realitanya pendidikan Islam masih jauh
tertinggal dibandingkan pendidikan lainnya. Berbagai upaya untuk
mewujudkan pendidikan Islam yang unggul telah dilakukan, namun
hasilnya belum menggemberikan. Tentang sebab-sebab mengapa upaya
mengunggulkan pendidikan Islam tersebut belum berhasil, antara lain
karena upaya yang dilakukan itu masih bertumpu pada pemecahan yang
belum mendasar dan bersifat parsial. Upaya yang mendasar dan
integrated untuk mewujudkan pendidikan Islam yang unggul antara lain
dengan membangun epistimologi pendidikan Islam yang unggul, yang
hingga saat ini dianggap belum pernah dirumuskan, termasuk oleh para
ulama dan ilmuwan Muslim di zaman kejayaannya di abad klasik. Melalui
studi terhadap berbagai literatur yang relevan dan otoritatif dengan
analisis kualitatif dan pendekatan filosofis, tulisan ini menawarkan
sebuah bangunan epistimologi pendidikan Islam dengan berbagai
aspeknya yang terkait. Namun sebelum itu, tulisan ini menggambarkan
kondisi objektif pendidikan Islam saat ini serta berbagai faktor yang
mempengaruhinya, baik internal maupun eksternal.
Kata Kunci: Epistimologi, bayani, irfani, ijbari, burhani, jadali
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
75
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan
Idealnya, pendidikan Islam saat ini baik secara teoritis-konseptual, maupun
empiri-praktikal lebih unggul dibandingkan dengan pendidikan Islam sebelumnya,
maupun pendidikan lainnya. Hal ini didasarkan pada sejumlah alasan. Pertama,
bahwa kitab suci al-Qur an dan Hadis yang merupakan sumber utama ajaran Islam
memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan. Ayat al-Qur an yang
pertama kali diturunkan misalnya, adalah perintah untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan melalui kegiatan pengajaran, pendidikan dan penelitian. Sementara
itu, di antara Hadis Rasulullah SAW antara lain ada yang berisi perintah belajar
dan mengajar seumur hidup (long life education) dan pendidikan untuk semua
(education for all). Kedua, bahwa keadaan ummat Islam saat ini secara sosial
maupun ekonomi jauh lebih banyak dan lebih kaya dibandingkan dengan ummat
Islam di masa lalu. Modal sosial dan ekonomi yang demikian itu seharusnya
memberi pengaruh yang lebih besar bagi peningkatan mutu pendidikan Islam.
Ketiga, secara historis, umat Islam memiliki modal sejarah dan contoh yang sangat
berharga bagi kemajuan pendidikannya, yaitu kemajuan dalam bidang
kebudayaan dan peradaban yang pernah dicapai umat Islam di zaman klasik dan
menjadi model bagi kemajuan Eropa dan Barat.
Namun berbagai hal yang dapat menjadi modal bagi keunggulan pendidikan
Islam tersebut belum sepenuhnya dipergunakan. Kondisi objektif pendidikan
Islam yang ada saat ini menunjukkan sebagian ada yang sudah mencapai
kemajuan, dan sebagian lainnya masih dalam ketertinggalan. Transformasi Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang dimulai
sejak tahun 2002 misalnya dapat dilihat sebagai bukti adanya kemajuan
pendidikan Islam. Saat ini sudah terdapat tiga belas Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) yang sudah berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Dimulai
dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012; dilanjutkan oleh UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta; UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, UIN Alauddin
Makasassar; UIN Sultan Syarif Qashim Pekanbaru Riau; UIN Ar-Raniri, Banda Aceh,
UIN Sunan Gunung Jati Bandung, UIN Sunan Ampel, Surabaya; UIN Walisongo
Semarang; UIN Sumatera Utara, Medan, dan UIN Imam Bonjol Padang, dan UIN
Raden Intan Lampung.
Perubahan bentuk kelembagaan telah membawa implikasi pada perubahan
ke arah kemajuan pada berbagai komponen pendidikan Islam. Visi, misi, tujuan,
sasaran, kurikulum, sarana prasarana, sumber daya manusia, pembiayaan,
manajemen pengelolaan dan lainnya mengalami perubahan ke arah yang lebih
maju. Demikian pula beberapa hal yang digunakan sebagai indikator kemajuan
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
76
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pendidikan, juga sudah banyak yang dicapai oleh perguruan Islam tersebut.
Adanya sejumlah program studi yang memperoleh rekognisi internasional, karya
tulis kalangan akademisi yang dimuat pada jurnal internasional yang terakreditasi,
hasil kajian dan temuan yang memperoleh hak paten dan hak kekayaan
intelektual, meningkatnya kepercayaan (trusted) masyarakat tingkat internasional
untuk belajar di perguruan tinggi Islam, serta sarana prasarana yang lengkap dan
modern, serta pengelolaan manajemen yang berbasis IT (information technology)
dan profesional, adalah merupakan bukti adanya kemajuan yang dicapai
pendidikan Islam di Indonesia. Kemajuan pendidikan Islam juga dapat dilihat dari
adanya sekolah-sekolah Islam atau Madrasah unggulan, seperti Madrasah Aliyah
Insan Cendekia (AIC) Serpong, Tangerang Selatan, Banten, SMU Madania, Parung,
Bogor, SMU Al-Izhar, Kemang, Kebayoran Baru, dan SMU Muthahhari. Kemajuan
pendidikan Islam juga dicapai oleh sejumlah pondok pesantren, seperti Pondok
Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, Pondok Pesantren
Darul Ulum Jombang, Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, dan
sebagainya. Berbagai kemajuan yang dicapai sejumlah lembaga pendidikan Islam
dengan berbagai tingkatannya itu telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,
namun belum tercatat secara lengkap dalam sebuah laporan, mengingat belum
ada penelitian yang merekam tentang dinamika pendidikan Islam secara
komprehensif dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir ini.
Sementara itu kondisi objektif tentang ketertinggalan pendidikan Islam
dibandingkan pendidikan Islam lainnya antara lain dikemukakan para pakar.
Assegaf (t.t.,) misalnya mengatakan: Seharusnya dengan terjalinnya antara
sumber akal dan wahyu dapat menghasilkan konsep dan pemikiran pendidikan
Islam yang sempurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui upaya
pengembangan konsep dan pemikiran pendidikan Islam yang telah berjalan sejak
dahulu dengan banyaknya karya tulis para ulama tentang pendidikan yang
sebagian masih bisa diakses hingga saat ini. Namun saat ini yang diidealkan ini
belum merata. Sebagian ada yang sudah maju, sebagian lagi masih terbelakang.
Filsafat Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan Islam, praktik dan teori pendidikan
Islam masih kalah dengan teori dan praktik pendidikan Barat. Memudarnya masa
kejayaan umat Islam ini bersifat sistemik, kompleks dan disebabkan olrh multi
faktor. Sementara itu, Idi dan Sumarto (2006), mengatakan: Mengapa kaum
Muslimin tempo dahulu mampu mencapai keberhasilan di bidang kesarjanaan
atau intelektualisme yang menjadi ciri utama masyarakat Muslim perkotaan,
namun kini pendidikan Islam seolah mengalami stagnasi, berjalan di tempat.
Pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dewasa ini dihadapkan pada
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
77
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
problematika filosofis-epistimologis yang tak kunjung usai. Berbagai wacana dan
tawaran muncul, baik dari kalangan pendidik maupun dari pemerintah dan
peneliti pendidikan Islam dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah krusial ini.
Berbagai tawaran tentang proses, prosedur, metodologi, dan dpendekatan
diajukan dan diwacanakan oleh para pakar guna membangun suatu kerangka
epistimologi pendidikan Islam yang kokoh, dari yang normatif hingga yang historis.
Namun semua wacana dan tawaran ini belum memadai, sehingga tetap
menyisakan persoalan yang hingga kini belum jelas, apakah yang sebenarnya
disebut pendidikan Islam. Sementara itu Daulay (2004, h. 40-41) mengatakan,
bahwa problematika pendidikan Islam antara lain terkait dengan peserta didik
yang beragam latar belakangnya: pemahaman, pengamalan dan penghahayan
agama Islam, pendekatan kognitif, pendekatan parsial, pendidikan agama yang
hanya tanggung jawab guru agama, sarana dan fasilitas yang terbatas, dan
sebagainya. Secara nasional pendidikan Islam yang berada di bawah pengelolaan
Kementerian Agama, mulai dari tingat Taman-kanak atau Raudhatul Athfaal,
masih tertinggal dibandingkan dengan pendidikan umum yang berada di bawah
naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tingkat dasar dan
menengah, dan tingkat Perguruan Tinggi yang berada di bawah Kementerian
Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi. Jumlah Sekolah Dasar Negeri (SDN)
misalnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN)
dengan perbandingan 95% (SDN):5% (MIN), Jumlah Sekolah Menengah Pertama
Negeri (SMPN) jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTs) dengan perbandingan 10% (SMPN):10 MTs; dan jumlah
Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN/SMAN lebih banyak dibandingkan
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dengan perbandingan SMUN/SMAN 85%:MAN
15%. Perbedaan status ini dapat dipastikan bahwa sumber daya manusia, sarana
prasarana, pembiayaan dan lainnya yang dimiliki sekolah negeri akan lebih
lengkap dibandingkan sekolah swasta. Keadaan ini juga berlaku pada jenjang
pendidikan tinggi. Secara internasional, ketertinggalan pendidikan Islam, dapat
dilihat dari belum adanya perguruan tinggi Islam yang menempati posisi top
dunia. Laporan World Bank misalnya menempatkan Indonesia pada posisi 113,
dari 147 negara di dunia dalam keunggulan di bidang pendidikan. Hal ini jauh
tertinggal dibandingkan dengan Singapura yang menempati posisi 37 atau
Malaysia yang menempati posisi ke 57.
Pada tataran operasional, pendidikan Islam juga masih belum sepenuhnya
mampu mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat Indonesia:sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
78
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagainya, sehingga berbagai aspek kehidupan tersebut bernuansa Islami, yang
pada gilirannya dapat meredam terjadinya penyimpangan moral dan etika yang
terkait dengan kehidupan tersebut, seperti menurunnya angka korupsi, perusakan
lingkungan, kriminalitas, dan berbagai pelanggaran lainnya. Dalam skala yang
mikro, pendidikan Islam sebagaimana yang dilaksanakan di sekolah misalnya
belum sepenuhnya dapat merubah budaya sekolah ke arah yang lebih baik,
seperti budaya menyontek, buang sampah sembarangan, pemerasan, pergaulan
bebas, dan tawuran pelajar. Selain itu, pendidikan Islam juga belum dapat
berkontribusi dalam pemberantasan narkoba, pencegahan lahirnya paham Islam
yang fanatik, eksklusif, fundamentalis, ekstrim, radikalisme, peningkatan wawasan
nasionalisme, patriotisme dan sebagainya. Pendidikan Islam juga belum
sepenuhnya mampu menjawab tantangan globalisasi yang diakibatkan kemajuan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam mencegah
terjadinya pergeseran nilai, seperti memudarnya nilai kesalihan, sakralisme,
kepada nilai yang dianggap provan, pragmatisme, sekularisme, permessivisme dan
sebagainya. Pendidikan Islam ditantang untuk mengatasi berbagai masalah
tersebut di atas.
Problema pendidikan Islam secara lebih komprehensif antara lain
dikemukakan Syamsul Affandi, S.S. (Haryono, 2010; 2010) Menurutnya, ada tujuh
belas problematika yang sedang dihadapi pendidikan Islam saat ini, yaitu:
Pertama, kurikulum yang tidak jelas orientasinya; kedua, implementasi pendidikan
Islam masih memelihara warisan lama, sehingga ilmu yang dipelajari adalah ilmu
klasik dan ilmu modern tidak tersentuh. Ketiga, umat Islam cenderung terbuai
dengan romantisme masa lalu, sehingga mereka sulit dan enggan melakukan
reformasi dan pembaharuan. Keempat, model pembelajaran pendidikan Islam
masih menekankan dan mempertahankan pada pendekatan intelektual verbalistik
dan menegasi interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru dan
murid. Kelima, sempitnya pemahaman terhadap esensi ajaran Islam. Keenam,
persoalan konseptual-teoritis ditandai dengan adanya paradigma dikhotomis
dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal,
dunia dan akhirat. Ketujuh, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas
sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka.
Kedelapan, realitas pola pendidikan Islam yang selama ini dipakai cenderung
mematikan kreatifitas dan memenjarakan peserta didik. Kesembilan, interaksi
guru dan murid seperti subjek dan objek. Kesepuluh, materi dan bahan ajar sudah
tidak layak lagi diajarkan, karerna tidak sesuai lagi dengan literatur perkembangan
zaman. Kesebelas, metode pembelajaran yang selama ini digunakan lebih menitik-
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
79
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beratkan pada sistem hafalan bukan proses berfikir logis. Keduabelas, adanya
kesalahan perspektif kebanyakan guru dan umat muslim terhadap anak yang baik.
Mereka menganggap anak yang baik adalah anak yang manis, patuh, pandai
menyesuaikan diri dan memiliki disiplin yang kuat. Sementara anak yang suka
mengkritik atau bandel dianggap anak yang nakal dan durhaka. Ketigabelas, tidak
harmonismya akal dan wahyu. Keempat belas, rendahnya kualitas intelektual dan
penguasaan terhadap teknologi serta profesionalitas tenaga pendidik. Kelima
belas, bentuk kurikulum pendidikan Islam masih sekuler.Keenambelas, terjadinya
proses imperialisme epistimologi Barat terhadap pemikiran Islam, dan
ketujuhbelas, kajian keisalaman saat ini masih banyak pada dataran rasional,
intelektual, etis, dan irfani, sedikit wilayah ilmu terapan, skill dan teknolog. Di
masa sekarang mungkin sebagian masalah pendidikan Islam tersebut sudah
berhasil diatasi, seperi pada orientasi kurikulum yang integrated, pembelajaran
yang kolaboratif, penggunaan bahan ajar yang aktual, dan guru yang profesional.
Namun demikian, masalah pendidikan lainnya masih banyak yang belum
terpecahkan, terutama sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di era globalisasi.
Terdapat sejumlah masalah yang diduga oleh para pakar sebagai penyebab
tertinggalnya pendidikan Islam dibandingkan pendidikan lainnya, atau sebagai
penyebab pendidikan Islam belum dapat menyelesaikan berbagai masalah yang
dihadapi. Faktor penyebab tersebut antara lain dikemukakan para ahli sebagai
berikut. Abd. Rachmat Assegaf, misalnya mengatakan:
Memudarnya masa kejayaan umat Islam ini bersifat sistemik, kompleks dan
disebabkan oleh multi faktor. Namun unsur politik sebagai faktor dominan,
disusul penutupan pintu ijtihad, kejumudan berfikir, budaya taklid, alergi terhadap
filsafat, sektarianisme dan dikhotomi ilmu dalam lembaga pendidikan Islam
(Assegaf, t.t.,). Sementara itu ada pula yang mengatakan, bahwa di antara
penyebab terjadinya kemunduran pendidikan Islam adalah karena dikhotomi
Ilmu, antara ilmu agama dan ilmu umum. Dikhotomi ini disebabkan karena
berbagai faktor. Pertama, faktor perkembangan ilmu itu sendiri yang bergerak
demikian pesat, sehingga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak
cabangnya. Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami
masa kemunduran (1250-1800), dominasi fuqoha yang membagi ilmu ke dalam
fardlu kifayah dan fardlu ain, ilmu pendidikan dianggap ilmu fardlu kifayah yang
apabila sudah diwakili kelompok lain sudah dianggap terwakili. Ketiga, faktor
internal kelemabagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya
pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik,
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
80
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hukum, sosial, dan budaya yang dihadapi umat dan negara Islam (Muliawan,
2005).
Selain adanya problematikan dikhotomik pendidikan Islam sebagaimana
tersebut di atas, pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman, juga
dipengaruhi oleh faktor hilangnya spirit melakukan riset ilmiah dan tradisi belajar.
Menurutnya orang merasa berdosa kalau tidak melaksanakan shalat, namun tidak
merasa berdosa kalau tidak melakukan kajian ilmiah dan penelitian, padahal
kedua-duanya, yakni shalat dan mengembangkan ilmu juga wajib. Ummat Islam
lebih suka meniru atau mengambil konsep atau teori pendidikan lainnya daripada
merancanya sendiri. Mengkaji dan mengembangkan memang berat karena butuh
kemampuan ekonomi, metodologi, kemauan yang kuat, dan etos ilmiah yang
kuat. Selain itu terdapat pula faktor yang sikap mental membeo, atau meniru atau
membebek tanpa kritis. Demikian pula hilangnya tradisi ilmiah yang pernah
dikembangkan dan dilaksanakan di zaman klasik, yakni selain membaca, menulis
dan meneliti adalah tradisi berbeda pendapat, berdialog, berdebat, rihlah ilmiah,
kritik, mendirikan perpustakaan, lembaga pendidikan, laboratoriuum dean lain
sebagainya, merupakan sebab lain tertinggalnya pendidikan Islam. Selanjutnya
sikap project oriented, tambal sulam, kurang percaya diri, dan malas, merupakan
sebab lain terjadinya ketertinggalan pendidikan Islam.
B. Pembahasan
Epistimologi sebagai Solusi Mengatasi Problema Pendidikan Islam
Selama ini telah banyak gagasan dan pemikiran yang ditawarkan para ahli
untuk mengatasi kelemahan dan berbagai masalah pendidikan Islam sebagaimana
tersebut. Namun berbagai upaya tersebut dipandang belum mendasar dan masih
parsial. Upaya yang bersifat mendasar dan strategis untuk mengatasi masalah
tersebut adalah melalui konsep epistimologis yang dibangun berdasaran ajaran
Islam. Menurut Iqbal, sebagaimana dikutip Idi dan Sumarto (2006), bahwa guna
mengatasi pendidikan Islam perlu dilakukan dengan rekonstruksi yang diberi
landasan filosofis epistimologis. Pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dewasa
ini, dihadapkan pada problematika filofis epistimologis yang tak kunjung usai.
Epistimologi atau paradigma ilmu pendidikan Islam itu adalah suatu konstruksi
pengetahuan yan memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagai
mana Islam memahaminya. Kontruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai
Islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu
dibentuklah praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam.
Pada taraf ini, paradigma Islam epistimologi pendidikan Islam menuntut adanya
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
81
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
disain besar tentang ontologi epistimologi dan aksiologi pendidikan Islam. Fungsi
paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka
memahami realitas ilmu pendidikan Islam dengan ditopang oleh konstruk
pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada
gilirannya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan
realitas pendidikan. Islam sebagai paradigma ilmu pendidika juga memiliki arti
kontstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam,
dengan berpijak pada tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip
kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya ditanamkan
elemen-elemen pendidikan sebagai world view (Pandangan Keduniaan Islam)
terhadap pendidikan (Mujib dan Mudzakir, 2006).
Jika disepakati bahwa epistimologi pendidikan merupakan salah satu solusi
yang paling fundamental dalam mengatasi pendidikan ini, maka sebelum
dikemukakan tentang metode dan pendekatan epistimologi pendidikan Islam,
maka terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian, peran dan fungsinya,
sumbernya, langkah-langkah dan tokoh yang mengembangkannya sebagai
berikut.
Pengertian Epistimologi Pendidikan Islam
Syamsul Afandi, S.S (Haryono, 2010; Qomari, 2001) mendefinisikan
epistimologi sebagai teori pengetahuan yang membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan dari objek yang dipikirkan. Selain itu ada pula yang
mengartikan epistimologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat
dan lingkup pengetahuan dan pangandai-pengandaiannya. Sedangkan pendidikan
Islam adalah upaya sengaja untuk memberdayakan segenap potensi manusia
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Selain itu, pendidikan Islam juga dapat
diartikan sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat berbagai komponen
yang saling berhubungan yang didasarkan pada ajaran Islam. Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang
diperbaharui dengan PP Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional
Pendidikan, menyebutkan bahwa komponen pendidikan terdiri dari: visi, misi,
tujuan, sasaran, kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga pendidik dan
kependidikan, mutu lulusan, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan,
lingkungan, dan evaluasi pendidikan. Qomari (2001, h. 251), mengatakan, bahwa
epistimologi pendidikan Islam meliputi pembahasan yang berkaitan dengan seluk
beluk pengetahuan pendidikan Islam, mulai dari hakikat pendidikan Islam, asal
usul pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
82
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam macam-macam
pendidikan Islam dan sebagainya. Epistimologi pendidikan Islam bukan hanya
membahas metode dan pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang
pendidikan Islam, melainkan mencakup banyak aspek. Dengan demikian,
epistimologi pendidikan Islam adalah kajian filsafat yang membahas tentang
sumber pendidikan Islam, metode dan pendekatan dalam menggunakan dan
mengolah sumber tersebut, serta nilai atau manfaat dari ilmu pendidikan Islam
tersebut.
Objek, Tujuan dan Karakter Epistimologi Pendidikan Islam
Objek epistimologi sebagaimana dikemukakan Suriasumantri (1998, h. 104)
dan Syamsul Afandi, S.S., (Haryono 2010, h. 70-71) adalah segenap proses yang
terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan, dan sekaligus
mengantarkan pada tercapainya tujuan, yaitu bukan untuk menjawab pertanyaan
apakah yang saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan saya dapat tahu. Tujuan epistimologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan, kendatipun hal ini tidak dapat dihindari, akan tetapi yang menjadi
pusat perhatian dan tujuan epistimologi adalah ingin memiliki potensi untuk
memperoleh pengetahuan, yakni potensi untuk memperoleh pengetahuan
tentang pendidikan Islam. Sejalan dengan itu, Qomar (2001, h. 207) mengatakan,
bahwa epistimologi pendidikan Islam menuntut segera dibangun oleh para
pemikir pendidikan Islam, karena berfungsi mengembangkan pendidikan Islam
secara konseptual, kemudian secara aplikatif.
Peran dan Fungsinya Epistimologi Pendidikan Islam
Melalui epistimologi, selain seseorang dapat mengetahui proses
tersusunnya suatu ilmu, juga memiliki kemampuan untuk menemukan dan
menyusun ilmu tersebut. Dengan epistimologi diharapkan dapat menumbuhkan
kesadaran bahwa jangan sampai seseorang puas dengan sekedar memperoleh
pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh
pengetahuan, dan dengan cara demikian seseorang bukan hanya menjadi
konsumen ilmu yang bersifat pasif, melainkan menjadi produsen ilmu yang aktif,
kreatif dan dinamis, serta akan menjadi seorang pengikut, melainkan menjadi
seorang penemu Syamsul Afandi, S.S., (Haryono, 2010, h. 70-71).
Melalui epistimologi, seseorang tidak lagi disuguhi sebuah ilmu yang sudah
jadi dan siap pakai, melainkan diberikan wawasan dan sekaligus pengalaman
dalam mengkonstruksi sebuah ilmu. Untuk itu setiap disiplin ilmu harus memiliki
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
83
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
epistimologi. Kekokohan sebuah ilmu selanjutnya ditentukan pula oleh kekohan
epistimologinya. Jika dibandingkan dengan ilmu fiqh, maka epistimologi
merupakan ushul fiqih dan qawa id fiqhiyah-nya. Kekokohan ilmu fiqih ditentukan
oleh ushul fiqh dan qawa id fiqhiyahnya.
Epistimologi pendidikan Islam menuntut segera dibangun oleh para pemikir
pendidikan Islam, karena berfungsi mengembangkan pendidikan Islam secara
konseptual, kemudian secara aplikatif. Dalam kajian Islam selama ini, pendidikan
Islam belum dikembangkan atas kerangka epistimologinya yang jelas. Qomari
(2001, h. 207) misalnya mengatakan: Tidak terlalu berlebihan, jika dikatakan,
bahwa hingga sekarang ini belum ada sebuah tawaran konseptual mengenai
bangunan epistimologi pendidikan Islam sebagai sarana atau pendekatan dalam
mengembangkan pendidikan Islam. Hal ini berbeda dengan hukum Islam (fiqh) di
mana melalui ushul al-fiqh banyak dikemukakan tawaran-tawaran konseptual
tentang pendekatan-pendekatan epistimologi fiqh seperti qiyas, maslahah
mursalah, istihsan, dan lain-lain.
Sejalan dengan itu, maka epistimologi pendidikan Islam memiliki fungsi
sebagai pengeritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang Syamsul Afandi,
S.S., (Haryono, 2010, h. 5). Dengan epistimologi dapat menyadarkan peserta didik,
bahwa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode
tertentu, sebab epistimologi menyajikan proses pengetahuan di hadapan peserta
didik dibandingkan dengan hasilnya. Epistimologi dapat memberikan pemahaman
dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses
sesuatu kegiatan, pasti akan mengetahui hasilnya. Sebalik orang yang tidak
menguasai epistimologi, akan banyak mengetahui sesuatu, tetapi tidak
mengetahui prosesnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, epistimologi
memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar,yaitu sebagai penentu
atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam pendidikan Islam. Oleh sebab itu,
jika terjadi berbagai kelemahan dan kemunduran dalam pendidikan Islam, maka
yang terlebih dahulu harus diperkuat adalah epistimologinya. Kekokohan
bangunan epistimologi melahirkan ketahanan dan kekokohan pendidikan Islam
dalam menghadapi pengaruh apapun. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa
masa depan pendidikan Islam sebetulnya dapat dipertaruhkan dengan kondisi
epistimologinya.
Dibandingkan dengan epistimologi pendidikan Barat, sesungguhnya
epistimologi pendidikan Islam jauh lebih kokoh. Namun, kemauan para pakar
pendidikan Islam untuk membangun epistimologi pendidikan Islam yang kokoh
belum nampak. Para pengelola pendidikan Islam saat ini pada umumnya belum
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
84
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
melaksanakan pendidikan Islam berdasarkan bangunan epistimologi yang Islami.
Mereka cenderung menerima, meniru, menjiplak dan menggunakan berbagai
teori, konsep dan ilmu pendidikan yang berasal dari Barat tanpa kritik. Dalam
kaitan ini, Qomari (2001) mengatakan, agaknya umat Islam, khususnya para pakar
dan pemikir pendidikan Islam belum menyadari sepenuhnya terhadap
keberadaan, fungsi, peran dan pengaruh epistimologi pendidikan Islam terhadap
masa depan pendidikan Islam. Mereka belum memiliki upaya yang serius untuk
menggarap epistimologi pendidikan Islam. Ini menunjukkan bahwa upaya mereka
selama ini dalam mengembangkan pendidikan Islam tidak didasari proses,
tahapan dan arah yang jelas. Tindakan demikian itu seperti seorang dokter yang
mengobati pasiennya, namun dia tidak tahu penyakitnya, sehingga obat yang
diberikan bukan saja salah, melainkan bisa membahayakan pasien itu sendiri.
Semestinya, dia mengobati berdasaran penyakit yang diderita pasien. Dalam
mengatasi problem pendidikan Islam, seharusnya ditempuh langkah seperti itu.
Apa yang menjadi akar permasalahan itulah yang harus ditangani lebih dahulu.
Sedangkan akar permasalahan itu sendiri adalah epistimologi pendidikan Islam.
Sepanjang pengetahuan saya, demikian Qomari (2001, h. 253) mengatakan,
bahwa epistimologi pendidikan Islam ini belum pernah menjadi perhatian serius
para ilmuan dan pemikir Islam, sekalipun pada zaman kejayaannya. Lebih lanjut
Mujamil Qomari mengatakan: Kita belum pernah menjumpai pendekatan-
pendekatan epistimologi pendidikan Islam yang ditawarkan oleh para ulama atau
pemikir Islam untuk menjadi sarana mengembangkan dan memajukan pendidikan
Islam. Perhatian terhadap epistimologi justru terkalahkan oleh perhatian terhadap
tata krama dalam belajar atau kode etik pelajar yang telah dituangkan dalam Kitab
Ta lim al-Muta allim yang belakangan ini acapkali digugat. Kita mesti menyadari
sepenuhnya bahwa epistimologi pendidikan Islam itu harus menjadi perhatian
utama meskipun terlambat. Kita harus mentradisikan epistimologi itu menjadi
bahasan utama dalam proses pendidikan kita. Hal ini pula yang dianjurkan oleh
Abdul Munir Mulkan (1993, h.56) dengan mengatakan, jika sasaran utama
pendidikan Islam adalah diperolehnya sejumlah pengetahuan oleh peserta didik,
maka proses belajar mengajar seharusnya menempatkan epistimologi sebagai
pendekatan utama.
Karena umat Islam belum memiliki epistimologi pendidikan Islam, maka
secara terpaksa atau seenaknya menggunakan epistimologi pendidikan Barat.
Berbagai akibat negatif dari penggunakan ilmu pendidikan Barat terhadap sikap,
watak, kepribadian, karakter dan mental peserta didik lepas dari
pertimbangannya. Dalam keadaan ini pendidikan Islam terperangkap dalam
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
85
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pepatah minyak babi cap onta , yakni mereknya unta yang menggambarkan
lambang kehalalan dan Islami, sedangkan isinya babi yang melambangkan
keharaman dan bertentangan dengan Islam (tauhid). Dalam kaitan ini Qomari
(2001) mengingatkan, bahwa pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan
Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetapi tidak layak dijadikan sebagai sebuah
model untuk memajukan peradaban Islam yang damai, anggun, dan ramah
terhadap kehidupan manusia. Pendidikan Barat hanya maju secara lahiriyah,
tetapi tidak membuahkan ketenangan rohani lantaran bersifat kuantitatif.
Ukuran-ukuran hasil pendidikan lebih dilihat dari sudut seberapa jauh
pengetahuan yang dapat diserap oleh peserta didik, tidak memperhatikan apakah
tumbuh kesadaran dari peserta didik untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan
yang dikuasainya. Lebih lanjut Muhammad Mubarok, (Qomari, 2001) bahwa
karakteristi sistem pendidikan Barat adalah sebagai refleksi pemikiran dan
kebudayaan abad XVII-XIX yang ditandai dengan isolasi agama, sekularisme
negara, materialisme, penyangkalan terhadap wahyu dan penghapusan nilai-nilai
etika yang kemudian digantikan dengan pragmatisme. Dengan demikian, corak
pendidikan Barat tersebut tidak terlepas dari pandangan Barat terhadap ilmu
pengetahuan. Di Barat, ilmu pengetahuan hanya berdasar pada akal dan indera,
sehingga ilmu pengetahuan itu hanya mencakup hal-hal yang dapat diindera dan
dinalar saja. Hal ini berbeda dengan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam
Islam, yang selain berdasarkan panca indera dan akal, juga berdasarkan wahyu
dan intuisi. Kata Islam yang terangkai dalam epistimologi pendidikan Islam tidak
untuk formalitas, tetapi memiliki implikasi-implikasi yang jauh, di mana wahyu
Allah, baik al-Qur an maupun al-Sunnah ditempatkan sebagai pemberi petunjuk
ke arah mana proses pendidikan digerakkan, apa bentuk tujuan yang ingin dicapai,
dan lain-lain. Di samping itu, wahyu juga dijadikan sebagai alat pemantau
perkembangan pendidikan Islam, apakah telah sesuai dengan petunjuk-
petunjuknya atau telah menyimpang sama sekali dari petunjuk itu. Jadi, dalam
epistimologi pendidikan Islam, wahyu diperankan secara aktif mendampingi akal
(Qomari, 2001, hal. 222) Di dalam al-Qur an surat al-Nahl, (16) atau 78 manusia
dianjurkan menggunakan tiga potensi yang dimilikinya dalam mengkaji dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Ayat tersebut selengkapnya berarti: Dialah
Allah yang mengeluarkan kamu sekalian dari perut ibumu dalam ketiadaan
memiliki ilmu pengetahuan. Kemudian Allah menjadikan bagimu pendengaran
(salah satu dari pancaindera), pemikiran (al-abshaara) dan hati nurani (al-af idah)
agar kamu bersyukur. Selanjutnya dalam surat al-A raf, (7) ayat 179 dinyatakan
agar manusia tidak menjadi orang yang al-ghafilun (lalai dan lengah) dan
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
86
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
disamakan dengan binatang ternak, yaitu yang panca indera, akal dan hatinya
hanya dapat melihat hal-hal yang nampak, namun tidak mau melihat sesuatu di
balik yang nampak, yaitu wilayah metafisis dan wilayah ghaib yang dapat dilihat
dengan mata hati atau intuisi.
Sumber, Landasan dan Metode Epistimologi Pendidikan Islam
Sebagai bagian dari cabang ilmu keislaman, pendidikan memiliki sumber
yang berasal dari al-Qur an, hadis, alam jagat raya, fenomena sosial, akal pikiran
dan hati nurani, yang secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Sumber dan Landasan Epistimologi Pendidikan Islam
Dari kandungan surat al-Nisa (4) ayat 59 yang artinya: Wahai orang-orang
yang beriman Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) diperoleh pengertian bahwa sumber pendidikan Islam
adalah al-Qur an dan hadis yang bersifat primer, dan produk pemikiran yang
dihasilkan para ulama atau umara sebagai sumber sekunder. Selanjutnya dari
surat al-Baqarah, (2) ayat 129 yang artinya: Ya Tuhan kami, utuslah di tengah
mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada
mereka; serta surat Ali Imran, (3) ayat 164, yang artinya: Sungguh, Allah telah
memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah)mengutus seorang
rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Kitab (al-Qur an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun
sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata; dapat diperoleh
petunjuk, bahwa sumber pendidikan Islam selain al-Qu an dan Hadis sebagai
sumber primer, juga ayat-ayat Allah yang ada di alam jagat raya yang selanjutnya
disebut ayat kauniyah, ayat-ayat Allah yang terdapat di dalam diri manusia, dan di
dalam masyarakat sebagai sumber sekunder. Di dalam berbagai ayat-Nya yang
sudah sangat dimaklumi bahwa penciptaan langit dan bumi serta pergantian
waktu siang dan malam adalah ayat-ayat Allah bagi ulul al-bab, yaitu orang yang
dapat mengintegrasikan daya fikir dan daya dzikir untuk menemukan temuan
ilmiah dan hikmah keagungan Allah. (Qs. Ali Imran, 3:190, al-Maidah, 5:75, al-
An am, 6:16-26, al-Ra d, 13:2) dan ayat lain. Demikian pula dari surat Fushilat (41)
ayat 53 yang artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami
di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Qur an itu benar , dapat diketahui bahwa sumber ilmu ada pada ayat
dalam alam jagat raya, dan ayat dalam diri manusia.
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
87
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari analisis terhadap beberapa ayat tersebut dapat diketahui sumber
pendidikan Islam, yakni al-Qur an, al-hadis, alam jagat raya, diri manusia dan
fenomena sosial. Dari kajian terhadap ayat-ayat al-Qu an, dapat diketahui
ideologi pendidikan Islam, yaitu humanisme teo-centred, orientasinya yang jangka
panjang dan masa depan, pendekatannya yang memadukan antara teacher
centred dan student centred, pengelolaannya yang memuaskan peserta didik dan
profesional, mutunya yang unggul; muatan kurikulumnya yang komprehensif
antara kecerdasan akal (head), kecerdasan hati nurani (heart), dan keterampilan
(hand), serta prinsip-prinsip lainnya. Sedangkan kajian terhadap alam jagat raya
dapat diperoleh informasi bahwa alam jagat raya merupakan sebuah kitab besar
yang apabila dibaca akan menghasilkan ilmu pengetahuan dan bahan ajar berupa
sains atau natural sciences. Kemudian kajian terhadap diri manusia akan
menghasilkan informasi tentang bakat, minat, instink, fithrah, akal, hati nurani,
amarah, syahwat, ruh, al-hawa, sirr, dzauq, dan berbagai potensi lainnya tentang
potensi intelektual, jiwa dan batin manusia yang diperlukan sebagai dasar dalam
melakukan komunikasi dan pendekatan dalam kegiatan belajar mengajar.
Selanjutnya pemahaman terhadap fenomena sosial dapat ditentukan kebutuhan
dan harapan masyarakat terhadap pendidikan. Selanjutnya khusus terhadap
kajian terhadap hati nurani akan dihasilkan ilmu yang langsung diberikan oleh
Tuhan, yang disebut al-hikmah, al-ma rifah, al-mauhubah, al-laduni, al-
isyraqiyah, al-faid, dan al-mukasyafah (Omar Mohammad al-Tomy al-Syaibany,
1979).
Dengan menggunakan seluruh sumber ajaran Islam yakni al-Qur an, hadis,
alam jagat raya, diri mansia dan fenomena sosial secara komprehensif dan
seimbang, maka berbagai hal baik yang berkaitan dengan dasar, prinsip, sifat,
watak, karakter pendidikan Islam dapat dirumuskan. Penggunaan sumber
pendidikan Islam tersebut harus menggunakan landasan yang menurut Syamsul
Afandi, landasan tersebut adalah metode ilmiah. Dalam hubungan ini, ia
mengatakan:
Landasan epistimologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan
ilmu pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan
yang mapan jika memiliki landasan yang kokoh. Landasan epistimologi ilmu adalah
metode ilmiah. Yaitu cara yang dilakukan ilmu dalm menyusun pengetahuan yang
benar (Haryono, 2010, h. 70-71). Qomari (2001) menyebutkan adanya lima
metode epistimologi pendidikan Islam, yaitu metode rasional, intuitif, dialogis,
komparatif dan kritik. Menyebutkan dialogis atau mujadalah, kritik dan
komparatif sebagai metode cukup tepat, karena banyak didukung para ahli.
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
88
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Namun penggunaan rasional dan intuitif sebagai metode nampaknya kurang
tepat. Rasional adalah sifat atau sesuatu yang bersifat akal, atau masuk akal.
Sedangkan metodenya mujadalah, kritik, qiyas, dan istihsan. Demikian pula intuitif
merupakan sifat yang bersifat batiniyah atau hati nurani. Sedangkan metodenya
adalah irfani melalui tazkiyah al-nafs, atau melalui al-takhalli, al-tahalli dan al-
tajalli. Sedangkan metode yang digunakan untuk menggali sumber dari al-Qur an
disebut metode bayani; meode yang digunakan untuk menggali sumber alam
disebut metode ijbari, dan metode untuk menggali fenomena alam disebut
metode burhani. Sementara itu Kartanegara (2005) menyebutkan adanya lima
macam metode ilmu pengetahuan, yaitu pengamatan indra (observasi),
penyelidikan akal,pengalaman mistik atau pengamatan hati (intuisi), metode
irfani, dan metode bayani. Dalam pembagian metode ilmiah yang dikemukakan
Mulyadhi Kartanegara ini ada kemiripan dengan yang dikemukakan Qomari
(2001), yaitu pada metode rasional dan intuitif. Namun demikian, pada teori
metodologi yang dikemukakan Mulyadhi ini ada kerancuan atau pengulangan
antara pengalaman mistik atau pengamatan hati (intuisi) dengan metode Irfani.
Sementara itu pada metode yang rasional atau penalaran rasional, Mulyadhi
memasukan membaginya menjadi metode syi ri (puitis) sebagai yang terbawah,
diikuti dengan kithabi (rethorik), mughalithi (sofistik), dan jadali (dialektika), dan
puncaknya burhani (demonstratif). Sementara itu Adnin Armas (2013),
mengemukakan adanya dua pendekatan dalam memahami studi Islam, yaitu
pendekatan ilmiah, sebagaimana yang dilakukan para orientalis modern, dan
pendekatan teologis sebagaimana yang dilakukan dalam studi Islam dengan
berbagai cabangnya, yaitu metodologi yang berasal dari Hadis, Ushul Fiqh, dan
Tafsir. Pada tulisan Adnin Armas ini tidak disinggung tentang metode
pengamatan, eksperimen, rasional dengan berbagai bagiannya, intuisi dan
burhani, melainkan hanya difokuskan pada metode yang dapat dikategorikan
sebagai metode bayani atu ijtihdi.
Dengan melihat dan mengkaji pemikiran tersebut di atas, tulisan ini
memilih pembagian metode pengembangan ilmu pendidikan Islam ini meliputi
metode bayani, ijbari, burhani, jadali, dan irfani. Metode bayani diambil dari
kajian ilmu agama Islam; ijbari diambil dari kajian ilmu alam; burhani diambil dari
kajian ilmu sosial, jadali diambil dari kajian filsafat, dan irfani diambil dari tasawuf,
berbagai metode lainnya akan dimasukan ke dalam lima rumpun metode ini.
Kelima rumpun metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
89
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Metode Epistimologi Pendidikan Islam
Metode al-Bayani/al-Tabyin
Al-Bayani atau al-Tabyin berasal dari bahasa Arab, bayyana yang berarti
menerangkan atau menjelaskan. Kosakata ini antara lain digunakan dalam ayat:
Dan Kami turunkan al-zikra (al-Qur an) kepadamum agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka
memikirkan. (Q.S. An-Nahl, 16: 44). Dan juga dapat dipahami dari ayat: Hai
orang-orang yang beriman, Jika seseorang yang fasik datang kepadamu
membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak
mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu
menyesali perbuatanmu itu. (Q.S. al-Hujurat, 49:6). Melalui proses tabayyun ini,
Nabi Muhammad SAW menjelaskan ayat-ayat al-Qur an yang bersifat mujmal
(global), mutlaq, aam (umum), mutaradif, dan yang secara lahiriyah terkesan
berlawanan, sehingga ajaran al-Qur an tersebut secara teoritis, teknis dan praktis
dapat dilaksanakan. Hasil penjelasan Nabi melalui metode tabayyun dituangkan
dalam hadisnya baik yang bersifat ucapan, perbuatan maupun persetujuan (Nata,
2011). Kartanegara (2005) mengatakan, bahwa metode bayani telah ditempuh
oleh para ahli tafsir dan ulama lainnya dalam rangka memahami kitab suci sebagai
bahasa simbolis. Dengan metode ini, para pakar pendidikan Islam dapat
memahami, dan menghasilkan dasar-dasar, prinsip-prinsip, pedoman, orientasi,
visi, misi dan tujuan tentang berbagai aspekb pendidikan. Upaya ini umumnya
banyak dilakukan para pakar pendidikan dari Timur Tengah, seperti yang
dilakukan oleh Anwar al-Bazz melalui kitabnya yang berjudul Tafsir al-Tarbawiy,
sebanyak tiga jilid; Muhammad Quthb dengan bukunya Manhaj al-Tarbawy, Ali
Khalil Abu al-Ainain: Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur an; Salih Abdullah Shalih,
Islamic Education:Qur anic Outlook, Abuddin Nata, Tafsir al-Tarbawi, Pendidikan
dalam Perspektif al-Qur an, dan masih ada yang lainnya. Langkah-langkah yang
ditempuh pada umumnya sama dengan langkah yang ditempuh para mufassir.
Yaitu metode tahlili yang langkah-langkah dan urutannya mengikuti susunan surat
dan ayat di dalam al-Qur an, dimulai dari surat al-Fatihah diakhiri surat an-Naas,
menjelaskan hubungan antar surat dan ayat, sebab turun ayat, makna mufradat,
susunan kalimat dari segi nahwu sharaf, menggunakan ilmu bantu ushul fiqh dan
qawa id fiqhiyah, hadis-hadis Nabi, ilmu yang relevan, analisis dan kesimpulan.
Selain itu dapat pula digunakan cara muqarin:perbandingan pada ayat-ayat yang
memiliki kemiripan redaksional; metode ijmali dengan mengambil makna yang
umum, dan metode maudlui (tematik), misalnya bertema Konsep Kurikulum
dalam al-Qur an, dilanjutkan dengan menghimpun ayat sesuai tema, memilih
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
90
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hadis, menjelaskan hubungan ayat, menggunakan ilmu bantu, menganalisis dan
menyimpulkan (Nata, 2011). Catatan yang unik di sini adalah, penggunaan istilah
bayani sebagai metodologi untuk menjelaskan kandungan al-Qur an yang dalam
prakteknya para ulama lebih suka menggunakan istilah tafsir atau ta wil. Belum
ada penjelasan tentang penggunaan istilah tafsir untuk kerja menjelaskan
kandungan al-Qur an. Sementara itu istilah tabayyun yang terdapat dalam surat a-
Hujurat (49) ayat 6 sebagaimana tersebut di atas lebih dekat kepada metode kritik
atau metode debat yang merupakan bagian dari metode jadali.
Metode Ijbari
Kosakata ijbari berasal dari bahasa Arab (Kamus Bahasa Arab) ajbara yujbiru
ijbaaran yang berarti memaksa, menekan atau merusak. Orang yang
melakukannya disebut al-Mujbir, atau al-Jabbar. Salah satu sifat Tuhan adalah al-
Jabbar. Sebagai sebuah metodologi al-Ijbari sama dengan eksperimen atau uji
coba, yang langkah-langkahnya antara lain: (1) menyusun hipotesis atau daftar
pertanyaan; (2) menyiapkan bahan atau objek yang akan diuji coba, seperti
binatang kera, anjing atau gajah; tumbuh-tumbuhan, bahan makanan, minuman,
dan sebagainya; (3) menyiapkan peralatan laboratorium yang akan digunakan; (4)
melakukan langkah-langkah yang ditetapkan; (5) menganilisis dengan pendekatan
komparasi, dan (6) menyimpulkan (Nata, 2012). Metode ini digunakan untuk
pengembangan sains atau ilmu terapan. Al-Razi, ahli kimia dan ahli kedokteran
klinik dengan bukunya al-Hawiy; Ibn Sina, ahli kedokteran klinik dan medik dengan
bukunya al-Qanun fi al-Thibb, adalah hasil penelitian eksperimen (Kartanegara,
2005). Penggunaan metode ijbari dalam ilmu pendidikan Islam, nampak masih
belum banyak menarik minat dan perhatian sarjana Muslim dibandingkan dengan
metode bayani, irfani atau jadali. Metode ijbari banyak menarik minat para
peneliti pendidikan Barat yang menghasilkan model-model dan pendekatan dalam
model pembelajaran, model evaluasi, disain kurikulum, teori-teori motivasi
dengan menggunakan teori-teori dasar psikologi. Ke depan, para pakar
pendidikan Islam perlu memperbanyak pengembangan ilmu pendidikan dengan
menggunakan metode ijbari, sebagaimana yang telah dirintis oleh Mahmud Yunus
dalam bukunya al-Thariqah al-Mubasyarah dengan pendekatan all in one atau
three in one, yakni aspek bahasa: nahu, syaraf dan balaghah. Uji coba metode ini
dilakukan di Sumatera Thawalib di Sumatera Barat, yang selanjutnya
dikembangkan oleh salah seorang muridnya, Imam Zarkasyi, di Pondok Modern
Darussalam, Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Kemudian disusul oleh H.D.Hidayat
dengan bukunya al-Arabiyah bi Nawaziz.
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
91
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metode Burhani
Kosakata burhan berasal dari kata baraha, yabrohu, buhaanan, yang
artinya keterangan, fakta atau data. Imam al-Zarqni misalnya menggunakan kata
burhan untuk kitabnya yang berjudul al-Burhan fi Ulum al-Qur an. Sebagai sebuah
metodologi, al-Burhan dapat diartikan observasi atau pengamatan dengan
menggunakan pancaindera. Dengan menggunakan pancaindera: penglihatan,
pendengaran, penciuman, perabaan, dan pencicipan, dapat mengenal objek-objek
yang ada di se keliling kita dari lima dimensinya: bentuk, bunyi, bau, raba dan
rasanya. Selain itu dengan observasi juga dapat diperoleh informasi tentang
bahaya atau manfaat dari benda-benda tersebut bagi diri kita penelitian jenis ini
dianggap penelitian yang paling bisa diandalkan. Padahal hasil pengamatan
indriawi tidaklah cukup untuk memberi atau mencerap objek-objek fisik itu
sebagaimana adanya. Ibn Haitsan (w.1039) dalam bukunya al-Manazhir, telah
dengan cermat menjelaskan ketidakmampuan mata untuk bisarmemersepsi
objek-objeknya secara akurat, dengan menjelaskan beberapa sebabnya.
Menurutnya, akurasi pengamatan mata bisa terganggu oleh bebrapa faktor: (1)
jarak yang terlalu jauh; (2) ukuran yang terlalu kecil; (3) pencahayaan yang terlalu
terang; (4) pencahayaan yang terlalu redup; (5) terlalu lama memandang; (6)
kondisi mata yang tidak sehat, dan (7) transparansi. Ilmu-ilmu sosial, seperti
sosiologi, sejarah, arkeologi, antropologi, fenomenologi, dan etnografi misalnya
adalah hasil penelitian dengan metode burhani. Namun demikian, ada pula yang
memasukan metode burhani ini sebagai bagian dari metode jadali atau metode
rasional dan burhani diartikan demonstrative. (Kartanegara, 2005). Riset dengan
metode al-burhani banyak dilakukan oleh para sarjana Barat yang menghasilkan
buku tentang sosiologi pendidikan, psikologi pendidikan, sejarah pendidikan,
antropologi pendidikan, politik pendidikan dan lain sebagainya. Beberapa pakar
pendidikan Islam yang meneliti pendidikan Islam dengan metode burhani ini
jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan metode ijbari. Hasilnya antara lain:
Sejarah Pendidikan Islam oleh Mahmud Yunus, yang dilanjutkan oleh Karel
Steenbrink, Deliar Noer, Zamakhsyari Dhofier, M. Maksum, Hanun Asrohah,
Abuddin Nata, dan yang lainnya.
Metode Jadali
Kosakata Jadali berasal dari bahasa Arab, al-jidal yang secara harfiah berarti
perdebatan atau dialektik yang oleh Mulyadhi Kartanegara sebagaimana
dikemukakan di atas, terdiri dari yang paling paling rendah pada yang tertinggi,
yaitu: syi ri (puitis), khitabi (retorik), mughalithi (sofistik), jadali (dialektik) dan
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
92
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
burhani (demonstratif). Qomari (2001) memasukan metode jadali sebagai salah
satu metode epistimologi pendidikan Islam yaitu upaya menggali pengetahuan
pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk
percakapan (tanya jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasaran
argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Metode ini banyak ditujukan oleh al-Qur an antara lain dengan kalimat
yas aluunaka (mereka bertanya kepamu), dan Qul yang berarti katakanlah.
Misalnya tentang apa yang mereka nafkahkan (Q.S. al-Baqarah, 2:215), berperang
di bulan Haram (Q.S.al-Baqarah, 2:217), khamar dan judi, (Q.S.al-Baqarah, 2: 219)
anak yatim (Q.S. al-Baqarah, 2:, 220), haid (Q.S.al-Baqarah, 2: 222), (Q.S. al-
Maidah, 5:4, (Q.S. al-Anfaal, 8:1), (Q.S.al-Isra , 17:85).
Dialog menimbulkan sikap saling terbuka, saling memberi dan menerima,
memahami pola pikir orang lain yang diajak dialog, saling introspeksi diri,
menghargai pandangan atau pendapat orang lain. Dialog ilmiah tidak mengenal
kepentingan ideologi, politik dan sebagainya, melainkan hanya kebenaran
pengetahuan. Dialog ilmiah tersebut berperan dalam memperkaya peradaban,
kebudayaan atau lebih spesifik lagi ilmu pengetahuan, serta dapat melahirkan
pemahaman yang jernih, wawasan yang luas dankomprehensif serta pengetahuan
yang baru sama sekali. Dari tradisi dialog ini dapat ditumbuhkan ketajaman
analisis, ketajaman berfikir, ketajaman mengkritik dan ketajaman menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang duajukan. Melalui dialog dapat terjadi saling
pengertian antara konsep teoritis-empiris dengan konsep normatif agama; apa
yang dimaui oleh ilmu sosial dan apa yang dimaui oleh ilmu agama, yang
bermuara pada kemauan yang sama, yakni kebahagiaan dan ketenteraman hidup
manusia. Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang signifikan daam mengembangkan pendidikan Islam
tersebut. Dalam aplikasinya, metode dialog ini dapat dilakukan dengan pasangan
dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, atau
dengan mengundang para pakar pendidikan Islam untuk berdialog. Langkah
selanjutnya dengan mengidentifikasi tema-tema dialog yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan pendidikan yang terdapat di dalam al-Qur an dan hadis yang
selanjutnya akan ditemukan prinsip-prinsip dan inspirasi-inspirasi yang
membutuhkan penafsiran dan penjelasan lebih lanjut. Riset pendidikan Islam
dengan menggunakan metode jadali jadali antara lain dilakukan oleh Omar
Muhammad al-Toumy al-Syaibani, dengan bukunya Filsafat Pendidikan Islam,
Muzayyin Arifin dengan bukunya Filsafat Pendidikan Islam.
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
93
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metode jadali (kririk) adalah sebagai usaha menggali pengetahuan tentang
pendidikan Islam dengan cara mengoreksi kelemahan suatu konsep atau aplikasi
pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai alternatif pemecahannya.
Dengan demikian, dasar atau motif timbulnya kritik bukan karena adanya
kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan
yang harus diluruskan. Kritik diperlukan dalam rangka menguji validitas
pengetahuan. Kritik lahir dari proses berfikir secara cermat, jernih dan mendalam,
sehingga ditemukan celah-celah kelemahan dari konsep-konsep, teori-teori,
pemikiran-pemikiran maupun praktek-praktek yang dikritik. Dengan demikian,
melalui kritik ini sebuah konsep atau teori makin kokoh, karena hal-hal yang
lemah dari teori dan konsep tersebut akan dapat disingkirkan. Selama ini
bangunan ilmu pendidikan Islam masih terlihat rapuh, karena didasarkan pada
tiruan-tiruan pendidikan Barat yang diterimanya tanpa kritik. Metode kritik dapat
dimanfaatkan untuk menunjukan kelemahan-kelemahan dari bangunan ilmu
pendidikan Islam secara mendetail, kemudian memberikan dorongan untuk
melakukan pembongkaran terhadap bangunan ilmu pendidikan Islam itu. Dengan
cara demikian, bangunan ilmu pendidikan Islam akan kokoh.
Metode irfani
Kosakata irfani berasal dari bahasa Arab berasal dari kata arafa, yu rifu,
irfaanan, dan ma rifah, yang secara harfiah berarti pengetahuan tentang hakikat
segala sesuatu dengan menggunakan indera batin, hati nurani atau intuisi.
Kartanegara (2001), mengatakan, metode irfani tidak didasarkan pada
pengamatan indriawi atau intelektual (akal) tetapi lebih pada pengamatan intusi.
Di kalangan ulama atau sarjana Muslim pengunaan metode irfani yang berbasis
intuisi sudah tidak mengalami penolakan, melainkan sudah menerimanya, dengan
nama yang berbeda-beda. Al-Ghazali menyebutnya al-ma rifah, Ibn Sina
menyebutnya al-Faid (emanasi-limpahan), al-Syirbashy menyebutnya Ilmu
Mauhubah, Syuhrawardi menyebutnya al-Isyraqiyah, ulama menyebutnya ilmu
laduni.
Sementara itu metode intutitif adalah metode yang mendominasi kalangan
ilmuwan Muslim; sedangkan bagi ilmuan Barat, metode intuisi tidak mendapat,
dan karenanya mereka menolak keras dan meninggalkannya. Muhammad Iqbal
misalnya menyebut intuisi dengan peristilahan cinta, pengalaman kalbu,
sedangkan Ibn Arabi menamakannya sebagai pandangan, pukulan, lemparan atau
detik, dan tingkatan metode, maka metode intuitif ini biasa disebut metode
apriori. Yaitu adanya pengetahuan yang diperoleh sebelum didahului oleh
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
94
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pengalaman atau penelitian. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan
intuitif itu adalah pengetahuan yang tiba-tiba dianugerahkan Tuhan dan tidak
melalui pengalaman sama sekali. Namun demikian, dalam pengalaman yang
dilakukan para sufi sesungguhnya datangnya pengetahuan melalui intuisi ini ada
bermacam-macam. Mulai dari yang tertinggi, sedang dan yang biasa. Ketika
seseorang buang air, kemudian tiba-tiba datang ide, maka hal itu termasuk bagian
dari ilmu melalui intuisi yang sedang; namun ketika seseorang mendapatkannya
melalui shalat istikharah atau berdo a, maka hal itu termasuk pengetahuan intusi
dengan cara yang sedang. Dan jika menggunakan metode mujahadah, riyadhal,
inabah, mu aqabah, dan mukasyafah, maka hal itu termasuk dalam kategori
berat, dan proses inilah yang selanjutnya dikenal dengan kegiatan persiapan
(prefaration) atau idadiyah. Tentang adanya metode intuitif ini dijelaskan lebih
lanjut oleh Karthanegara (2001) sebagai berikut. Kita masih membutuhkan
sebuah pendekatan atau metode lain yang dalam khazanah epistimologi Islam
bisa disebut metode irfani atau intuitif, ketika hati (intuisi) memegang peranan
kunci. Ciri khas metode irfani ini adalah sifatnya yang langsung-tidak melalui
perantara sehingga sering disebut mukasyafah (penyingkapan) langsung dari
Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia dari realitas-realitas yang
ada. Metode ini tidak dilakukan melalui pencerapan pancaindera atau penalaran
akal, tetapi melalui ilmunasi yang diarahkan Tuhan pada mati manusia. Caranya
bukan dengan mempertajam pengamatan indra, bukan pula misalnya dengan
menggunakan alat yang semakin canggih, melainkan mengasah kepekaaan hati
manusia dengan cara membersihkannya dari debu egoisme dan kotoran-kotoran
dosa. Jadi tugas manusia di sini adalah menjaga kebersihan hati seseorang
(tazkiyah al-nafs) yang biasanya telah diatur atau dirumuskan sedemikian rupa
oleh seorang sufi.
Sejalan dengan itu, Muthahhari (2010) mengatakan bahwa Al-Qur an tak
hanya satu, dua atau sepuluh ayat saja yang mengingatkan manusia agar
memperhatikan alam, memperhatikan sejarah dan berbagai sistem sosial,
memperhatikan jiwa dan bagian dalam diri manusia yang merupakan salah sau
dari alam ini, hal ini cukup jelas serta tidak perlu ada pembahasan lagi. Tetapi hal
itu bukan berarti pengalihan dari berbagai bentuk maknawiah, segala yang ada di
dalam dan yang batin. Al-Qur an menaruh perhatian terhadap hal-hal yang lahir,
dan tanpa menafikan hal-hal yang batin. Ungkapan bahwa al-Qur an hanya
menaruh perhatian pada hal-hal yang sifatnya lahir, inderawi adalah suatu
ungkapan yang salah Hal itu, dikarenakan kita menganggap perhatian al-Qur an
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
95
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap alam dan sejarah merupakan suatu penafsiran atas pelbagai perkara
yang sifatnya, metafisik, batin, gaib, dan maknawiah.
Tidak hanya dari kalangan ulama Islam saja yang menerima intuisi sebagai
bagian dari metode epistimologi ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu
pendidikan Islam pada khususnya. Karl R. Popper sebagaimana dikutip Qomari
(2001) misalnya mengakui hal itu. Lebih lanjut ia mengatakan: Epistimologi tak
berpretensi untuk mereka-reka resep. Epistimologi hanya dapat memberikan
kerangka logis dan prosedur pengujiannya. Tak ada metode logis untuk
menelorkan ide-ide baru. Setiap penemuan memuat suatu elemen rasional atau
suatu intuisi kreatif. Penegasan ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan,
bahwa teori-teori pengetahuan bisa terbentuk ternyata seringkali, karena
sumbangan intuisi yang disebut dengan intuisi kreatif yang menunjukkan bahwa
intuisi ini tidak pasif, sebagaimana diduga sebagian orang, melainkan bisa
digerakkan secara kreatf untuk menemukan sesuatu pengetahuan.
Terdapat berbagai istilah atau nama yang ditujukan kepada ilmu yang
dihasilkan melalui intuisi ini. Ahmad Asy-Syirbashi dalam Tarikh al-Tafsir (1985),
menyebutnya sebagai ilmu al-mauhubah dan memasukannya sebagai salah satu
syarat bagi seorang mufassir. Yaitu ilmu yang dikaruniakan Allah SWT langsung
kepada orang yang mengamalkan ilmunya. Sehubungan dengan itu, sebuah hadis
menyebutkan, Barangsiapa mengamalkan ilmunya, Allah akan mengaruniakan
kepadanya pengetahuan tentang sesuatu yang belum diketahuinya. Imam al-
Syuhrawardi menyebutnya al-Isyraqiyah, al-Ghazali menyebutnya ma rifah, Ibn
Sina menyebut al-faid (limpahan atau iluminasion), orang pesantren
menyebutnya ilmu laduni, orang jawa menyebutnya wangsit, dan seterusnya.
Di kalangan sarjana Barat sebagian besar menolak metode intuitif, dan ada
sebagian kecil yang meneimanya. Bagi yang menolak hal yang terjadi bukan hanya
kemampuan intuisi yang dinafikan oleh filsafat modern, melainkan keberadaan
intuisi itu sendiri. Perdebatan antara menerima dan menolak intuisi sebagai
bagian dari epistimologi ilmu hingga saat ini belum berakhir, tidak ada kata
sepakat, bertolak belakang, dan terus berjalan tanpa bertegur sapa. Di kalangan
filosof-filosof modern Barat, intuisi ini tidak diperhitungkan sama sekali. Mereka
begitu kokoh dalam memegangi metode rasional dan metode empiris. Mereka
sangat fanatik dengan metode empirik dan rasional. Mereka misalnya
mengatakan: Jika metode rasional dapat diuji dengan akal pikiran dan metode
empiris dapat diuji dengan bukti-bukti, maka bagaimana menguji metode intuisi.
John Stuart Mill misalnya mengatakan, bahwa cara kerja dan keabsahan intuisi
yang demikian akan jatuh di luar lingkup pengujian. Dengan kata lain, persepsi
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
96
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang didasarkan pada intuisi langsung tidaklah dapat diuji. Di sinilah salah satu
letak problem intuisi ketika dijadikan sebagai suatu metode atau pendekatan
untuk menemukan pengetahuan. Belum jelas, alat apa yang dapat dipakai untuk
menguji kebenaran atau keabsahan pengetahuan yang dihasilkan dari intuisi. Di
samping itu, kelemahan lain dari intuisi adalah bahwa manusia menjadi bersikap
pasif sama sekali. Mestinya manusia harus dinamis atau progressif. Dalam berfikir
intuitif ini memang manusia berada pada posisi yang lemah. Padahal yang
dikehendaki oleh ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran berupa kesimpulan
sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, bukan
pengetahuan yang dianugerahkan. Oleh sebab itu, bisa dipahami bila Ayer
menyangkal semua peranan yang bisa disebut sebagai intuisi intelektual.
Demikian pula al-Razi. Baginya tidak ada tempat bagi wahyu atau intuisi mistik.
Namun demikian, terdapat pula filosof Barat yang mau menerima intuisi sebagai
bagian dari metode epistimologi. Bergson, Bobbi DePorter dan Mike Hernacki,
sebagaimana dikemukakan Qomari (2005) misalnya, termasuk yang menerima
intuisi. Bergson misalnya menyadari bahwa baik dengan budi maupun dengan
indera belaka kita tak mampu menyelami realitas sepenuhnya, ita harus
menggunakan intuisi. Demikian juga Bobbi DePorter dan Mike Hernaci misalnya
mengatakan, bahwa mungkin kecerdasan tertinggi-dan bentuk terbaik dari pikiran
yang kreatif adalah intuisi. Intuisi adalah kemampuan untuk menerima atau
menyadari informasi yang tidak dapat diterima oleh kelima indera kita. Intuisi
mampu melengkapi kelemahan budi maupun indera sebagai pendekatan ilmiah.
Intuisi memiliki kemampuan yang besar, terutama terhadap persoalan yang tidak
terjangkau oleh akal dan indera. Dengan hanya mengandalkan akal dan indera,
kita membiarkan adanya hal-hal yang tidak bisa dijangkau. Sedangkan dengan
menggunakan intuisi kita berusaha secara nyata, paling tidak untuk
mempersempit hal-hal yang tidak terjangkau. Pada dasarnya intuisi justru menjadi
penyelamat metodologis .
Sebaliknya berbeda dengan filosof Barat yang hanya mengakui intuisi
sebagai fakta psikologis semata, tetapi menolak digunakan sebagai metode ilmiah,
filosof Islam tidak ragu-ragu menjadikannya sebagai metode di samping
menggunakan metode metode lainnya. Tekanan metode yang dipakai para filosof
Muslim adalah intuitif, kritis, fenomenologis, dan analisis bahasa. Keberadaan
metode intuitif bukan hanya sebagai pelengkap (komplementer) dalam
merumuskan teori-teori maupun konsep filosofis, melainkan sebagai metode
yang berdiri otonom dalam menemukan pengetahuan. Otonomi metode intuitif
ini membuktikan, bahwa ia memiliki kemampuan yang terandalkan dalam
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
97
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kapasitasnya sebagai alat memperoleh pengetahuan. Lahirnya para ulma dalam
bidang ilmu agama, dan para ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang
sebagaimana ditunjukan dengan karya-karya monumentalnya dalam bentuk kitab-
kitab yang berpuluh-puluh jilidnya, dan setiap ulama ada yang menulis lebih dari
lima puluh judul buku, dan pendapat mereka itu masih tetap aktual dan dijadikan
rujukan, sebagian besar adalah berdasarkan ilmu yang mereka peroleh melalui
intuisi, di samping menggunakan pengamatan pancaindera dan penalaran akal
pikiran. Dalam ilmu pengetahuan Islam-termasuk di dalamnya psikologi Islam-
bukan hanya menggunakan indera dan akal dalam merumuskan suatu konsep,
tetapi yang tak kalah strategisnya adalah menggunaan intuisi dan wahyu. Intuisi
memberikan sumbangan yang signifikan terhadap bangunan ilmu pengetahuan
Islam, karena intuisi dijadikan sebagai metode dalam memperoleh pengetahuan
tersebut. Dengan begitu, tradisi ilmu pengetahuan Islam telah mengangkat intuisi
dari sekadar fakta psikologis menjadi salah satu metode epistimologis. Bukti
paling meyakinkan tentang masalah ini adalah ketika kita mengalami jalan buntu
dalam memikirkan sesuatu berdasarkan indera dan akal, kemudian kita tiba-tiba
mendapatkan pengetahuan dengan pencerahan batin/pikiran yang disebut intuisi.
Sebagai sebuah metode epistimologi, dapat dilihat dari banyaknya orang yang
menggunakannya, dapat diuji kemampuannya dalam memahami realitas secara
0bjektif, dan dapat dipelajari dan dikuasai oleh siapa pun dengan usaha-usaha
yang intens dan terbimbing. Di kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya
disederajtkan dengan akal maupun indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan
daripada keduanya. Pengetahuan yang dihadirkan (bersifat intuitif) lebih unggul
daripada pengetahuan yang dicapai (bersifat rasional), karena terbebas dari
kesalahan dan keraguan sebagaimana yang bisa terjadi pada temuan pancaindera
dan akal pikiran. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi memberikan
kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Hal ini misalnya
dikemukakan oleh al-Ghazali yang mengatakan, bahwa al-zauq (intuisi) lebih tinggi
dan lebih dapat dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang
betul-betul diyakini kebenaranna. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan juga
al-buwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada mansia biasa
berbentuk ilham. Pengetahuan intuitif ini dicapai oleh manusia melalui hati yang
telah dibersihkan dari dosa, pengaruh hawa nafsu syahwat, hawa nafsu amarah,
bujukan syaithan dan pengaruh duniawi lainnya. Untuk bisa mendapatkan
kesucian, seseorang tidak perlu mengucilkan diri masyarakatnya, pergi ke bukit-
bukit, selama empat puluh hari bersila, tidak berurusan dengan berbagai aktivitas
masyarakat. Al-Qur an tidak menganjurkan cara seperti itu. (Muthahhari, tahun
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
98
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
belum ada) Intuisi akan datang pada orang yang memelihara kesucian dirinya dan
selalu membangun hubungan dengan Tuhan di manapun mereka berada. Tentang
kemungkinan manusia yang demikian itu mendapatkan ilmu langsung dari Tuhan
dapat dipahami dari firman Allah SWT yang artinya: Allah memberi petunjuk
kepada cahaya-Nya bagi orang-orang yang Dia kehendaki. (Q.S. An-Nur, 24:35).
Namun demikian perlu dikemukakan, bahwa intuisi yang berasal dari Allah itu
pasti benar, tetapi bisa terjadi kesalahan pada pemahaman atau penafsiran orang
yang menerimanya, bukan pada substansi itu sendiri. Kesalahan ini wajar terjadi,
mengingat penafsiran atau pemahaman orang bisa macam-macam terhadap
intuisi yang diterima. Lagi pula belum ada kaidah yang baku dalam memahamkan
seseorang pada isi atau kandungan makna intusi yang dialaminya. Sejalan dengan
itu, maka setidaknya terdapay tiga fungsi dari intuisi: intuisi sebagai dasar
pengetahuan, intuisi sebagai sumber pengetahuan dan intuisi sebagai cara atau
metode mendapatkan pengetahuan. Sebagai dasar dan sumber pengetahuan,
intuisi bersifat pasif, akan tetapi sebagai metode pendapatkan pengetahuan,
intuisi bersifat aktif. Oleh karena itu, intuisi bisa bersifat pasif dan aktif sekaligus,
tinggal diposisikan sebagai dasar, sumber atau metode pengetahuan. Sebagai
catatan terakhir pada bagian ini secara objektif dan proporsional ada hal yang
patut direnungkan dengan pikiran yang jernih. Pertama, adanya perbedaan antara
pengetahuan yang dihasilkan panca indera, akal dan intuisi tidak dapat dijadikan
alasan untuk menolak salah satu di antara ketiganya, melainkan ketiganya itu
harus diperlakukan secara seimbang, wajar dan tidak berlebihan. Perbedaan
antara ketiganya terlihat pada hasil temuan pancaindera yang bersifat kuantitatif;
temuan akal pikiran yang bersifat spekulatif dan rasional, dan temuan intuisi yang
bersifat kualitatif. Namun ketiganya mengandung kebenran, yakni kebenaran
inderawi, kebenaran akli, dan kebenaran intutif. Ketiga kebenaran tersebut dalam
penggunaannya oleh manusia biasa saja keliru. Kedua, bahwa setiap diri manusia,
muslim atau non muslim memiliki potensi pancaindera, potensi akal dan potensi
ruhaniah. Ketiga, bahwa dalam mengukur kebenaran intuitif, dengan kebenaran
pancaindera dan kebenaran akal pikiran tidak bisa digunakan alat yang sama.
Panca indera menggunakan metode eksperimen, akal pikiran menggunakan
metode analisis, studi kritis, perbandingan dan sebagainya; sedangkan hati nurani
dengan metode mukasyafah.
Metode Perbandingan
Metode komparatif adalah metode yang membandingkan teori atau
praktek pendidikan Isam dengan pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh dengan
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
99
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau
pemahaman untuk mendapatkan ketegasan maksud dari permasalahan
pendidikan. Metode komparatif sebagai salah satu metode epistimologi
pendidikan Islam memiliki objek yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu
meliputi perbandingan antara ayat al-Qur an tentang pendidikan, atau antara ayat
al-Qur an dengan hadis, atau antara sesama teori dari para pemikir pendidikan
Islam, antara teori dari para pakar pendidikan Islam dengan non Islam, antara
sesama lembaga pendidikan, antara lembaga pendidikan Islam dan non Islam, dan
seterusnya untuk mencari titik persamaan dan perbedaan, dalam hal keunggulan,
dan saling menerima dan memberi serta memperkaya, sehingga terjadi proses
saling belajar. Selain itu metode komparatif tersebut juga digunakan dalam
metode bayani sebagaimana terlihat dalam tafsir.
C. Penutup
Dari paparan dan analisa sebagaimana dikemukakan di atas, dapat
dikemukakan catatan penutup sebagai kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, bahwa secara umum pendidikan Islam baik pada dataran teoritis
konseptual, maupun praktis empiris masih dihadapkan pada sejumlah masalah
yang belum dapat dipecahkan. Akibat dari keadaan ini, maka sejumlah
permasalahan yang memiliki pengaruh dan tujuan jangka panjang juga belum
dapat dipecahkan, mengingat keberhasilan dalam memecahkan masalah
pendidikan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam memecahkan
berbagai bidang kehidupan lainnya.
Kedua, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan masalah pendidikan
belum dapat dipecahkan, antara lain belum hilangnya sisa-sisa penyakit mental
abad pertengahan (abad ke-13 sd 18) yang antara lain, pandangan dikotomis
tentang ilmu agama dan ilmu umum, tertutupnya pintu ijtihad, hilangnya tradisi
debat dan kritik, hilangnya tradisi membaca, meneliti, dan menulis, sikap dan
pandangan yang sektarian, hilang tradisi ilmiah, dan lemahnya kemauan untuk
meneliti, mengkaji untuk menemukan inovasi-inovasi baru.
Ketiga, bahwa upaya yang dilakukan para pakar untuk memecahkan
permasalahan pendidikan Islam tersebut masih kurang mendasar dan kurang
strategis, sehingga tidak efektif. Pemecahan masalah pendidikan Islam melalui
epistimologi pendidikan Islam dinilai sebagai cara yang paling mendasar, manun
belum banyak dilakukan. Epistimologi pendidikan Islam saat ini sudah ada yang
menulis, namun belum dipraktekkan.
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
100
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keempat, secara teoritis, Islam memiliki bahan-bahan dan metodologi
bagi penyusunan epistimologi pendidikan yang lebih lengkap dibandingkan
dengan bahan-bahan dan metodologi yang dimiliki Barat. Selain menggunakan
sumber yang terdapat di dalam al-Qur an dan Hadis, Islam menggunakan sumber
ayat kauniyah (alam jagat raya), ayat insaniyah (perilaku manusia dan perilaku
masyarakat), akal pikiran dan hati nurani (intuisi). Selain menggunakan metode
bayani untuk merumuskan ilmu pendidikan Islam yang bersumber dari al-Qur an
dan al-Hadis, juga dapat menggunakan metode ijbari untuk memahami ayat-ayat
alam jaga raya: fauna, flora, hutan, , metode burhani untuk fakta-fakta sosial,
metode irfani untuk memahami ayat-ayat yang berada dalam batin manusia.
Kelima, sebagian besar pengembangan epistimologi pendidikan Islam
didominasi oleh metode bayani dan irfani. Sedangkan metode yang ijbari, burhani
dan jadali masih kurang. Sementara sebagian besar pengembangan epistimologi
pendidikan umum didominasi oleh metode ijbari (eksperimen), metode burhani
(observasi), dan metode jadali (logika filosofis). Untuk itu perlu adanya kolaborasi
antara keduanya. Epistimologi pendidikan Islam dilengkapi dengan metode ijbari,
burhani dan jadali. Sedangkan epistimologi pendidikan umum dilengkapi dengan
metode bayani dan irfani.
D. Daftar Pustaka
Al-Ahwaniy, Ahmad Fu ad, (t.t) al-Tarbiyah fi al-Islam. Mesir: Dar al-Ma arif
Al-Jumbulati, Ali, (1994) Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta
Al-Rasyidin, Samsul Nizar, (2005) Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: Ciputat Press
Arifin, (1991) Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Asseegaf, Abd. Rachman, (t.t) Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Hadharah,
Keilmuan, Tokoh Klasik sampai Modern
Daulay, Haidar Putra, (2004) Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Daulay, Haidar Putra, (2009) Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara. Jakarta:
Rineka Cipta.
Daradjat, Zakiah, (1994) Pendidikan Islam dalam Sekolah Keluarga dan Sekolah.
Jakarta: Ruhama
Fahmi, Asma Hasan, (1979) Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Freire, Paulo, (2000) Pendidikan Kaum Tertindas. Cetakan ke V. Jakarta: LP3ES
Haryono, Ari Dwi, (2010) Pendidikan Dasar Islam, Kajian Filosofi, Konsep dan
Aplikasi. Malang: Bani Hasyim Press
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
101
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hidayat, Syarif, (2013) Teori dan Prinsip Pendikan. Jakarta: Pustaka Mandiri
Husaini, Adian, (ed.), (2013) Filsafat Ilmu Perpektif, Perspektif Barat dan Islam.
Jakarta: Gema Insani
Idi, Abdullah dan Sumarto, Toto (2006) Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Kartanegara, Mulyadhi, (2005) Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik.
Jakarta: UIN Jakarta Press
Langgulung, Hasan, (terj.) (1979) Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang
Langgulung, Hasan, (1985) Pendidikan dan Peradaban suatu Analisa Sosio-
Psikologis, Cetakan ke III. Jakarta: Pustaka al-Husna
Lestari, S., Ngatini, (2010) Pendidikan Islam Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Muhajirin, As aril, (2011) Ilmu Pendidikan Islam Kontekstual. Jakarta: Ar Ruzz
Media
Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf, (2006) Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada
Media
Muliawan, Jasa Ungguh, (2005) Pendidikan Islam Integrated, Upaya
Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Islam dan Pendidikan Islam.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Muthahhari, Murthada, (2005) Konsep Pendidikan Islam. Jakarta: Iqra Kurnia
Gemilang
Muthahhari, Murthada, (2001) Pengantar Epistimologi Islam. Jakarta LShadra
Press
Nasution, Harun, (1978) Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Nasution, Harun, (2005) Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Nata, Abuddin, (2010) Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media
Nata, Abuddin,(2011) Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media
Nata, Abuddin, (1994) Dirasat Islamiyah I (Al-Qur an Hadis). Jakarta: Raja Grafindo
Qomari, Mujamil, (2001) Epistimologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional
hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga
Saridjo, Marwan, (ed.), (2009) Mereka Bicara Pendidikan Islam sebuah Bunga
Rampai, Jakarta: Raja Grafindo Persadam
Shadra, Mulla, (2011) Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol I (4) tahun 2011
Steenbrink, Karel A., (1986) Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES
Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102
102
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Suriasumantri, Jujun, (1988) Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke
V. Jakarta: Sinar Harapan
Usa, Muslih (ed), (1991) Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
103
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
PENDEKATAN PEMBELAJARAN
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
104
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran
di Perguruan Tinggi
Yudhi Munadi
Pendidikan Agama Islam - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Lahirnya Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) mendorong para
pendidik di perguruan tinggi untuk lebih kreatif dalam mengembangkan
desain dan proses pembelajarannya, yakni pembelajaran yang mampu
mengantarkan mahasiswa sesuai dengan jenjang kualifikasinya sehingga
layak mendapatkan pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur
pekerjaannya. Atas dasar inilah tulisan ini disusun, yakni menyuguhkan
tahapan-tahapan pengembangan desain dan strategi pencapaiannya
yang sesuai dengan tuntutan KKNI yang mencakup capaian
pembelajaran (learning outcome) aspek sikap, pengetahuan, dan
Keterampilan. Pada aspek sikap terdapat 3 hal yang harus ada dalam
upaya internalisasi nilai, yaitu pra kondisi atau pengkondisian secara
mental, aktivitas, dan kontrol atau pengendalian. Aspek pengetahuan
diarahkan pada pembelajaran strategi konstruktivistik dan metakognitif.
Strategi konstruktivistik membantu mahasiswa untuk menemukan
pengetahuannya secara mandiri, dan strategi metakognitif digunakan
mahasiswa untuk mengontrol proses berpikir yang terjadi dalam dunia
pikirnya sendiri. Aspek keterampilan dicapai melalui metode unjuk kerja,
meliputi rencana kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja, dan kegiatan
tindak lanjut.
Kata Kunci: KKNI, Konstruktivisme, Metakognitif, Capaian Pembelajaran
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
105
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan
Kelas merupakan institusi terkecil dalam penyelenggaraan pembelajaran
baik di jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan
tinggi. Pelaksanaan pembelajaran klasikal biasanya diadakan dalam sebuah ruang
tertutup dibatasi dinding. Kebanyakan ruang kelas di semua jenjang pendidikan di
Indonesia diisi antara 30 sampai dengan 40 orang peserta didik yang memiliki
karakteristik yang berbeda satu sama lainnya. Penyelenggaraan pembelajaran di
dalam ruangan ini berdurasi cukup panjang, yakni sejak pagi hari bahkan bisa
mencapai sore hari dengan sedikit waktu untuk istirahat. Dalam ruang tertutup
inilah sosok pendidik (guru/dosen) menjadi sosok yang paling bertanggung jawab
atas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran secara efektif untuk
pencapaian tujuan kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan skill (keterampilan).
Secara faktual, populasi peserta didik lebih kecil bila dibanding populasi
penduduk negara ini, namun seluruh peserda didik (100%) merupakan penerus
bangsa ini. Peserta didik dimaksud termasuk di dalamnya adalah mahasiswa.
Mahasiswa adalah peserta didik yang hadir di perguruan tinggi atau di universitas.
Mereka dijaga oleh para pendidik yang disebut dosen atau para ilmuwan melalui
berbagai aktivitas keilmuan yang menjunjung tinggi nilai kebenaran. Dengan
demikian, perguruan tinggi bisa dikatakan sebagai rumah produksi ilmu
pengetahuan yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat atau
kebutuhan bangsa. Output perguruan tinggi diharapkan mampu menjawab atas
semua permasalahan yang dihadapi bangsa dan negara di berbagai ranah
kehidupan. Akan tetapi kenyataan yang tampak sekarang ini, para dosen atau
ilmuan dihadapkan pada berbagai permasalahan. Permasalah yang dihadapi baik
masalah yang muncul dari dalam dirinya maupun yang muncul dari luar dirinya, di
antaranya adalah:
1. Orientasi pendidik atau dosen. Banyak dosen memandang bahwa perguruan
tinggi sebagai lapak tempat bekerja atau tempat untuk mencari uang,
sehingga dengan orientasi seperti ini mereka banyak yang tertarik untuk
menduduki suatu jabatan dan lahirlah intrik politik, muncullah istilah laisa
minna . Suasana yang diciptakan sebagian kecil dosen ini telah melahirkan
suasana yang tidak nyaman untuk bekerja.
2. Permasalahan administrasi universitas yang mengganggu profesionalitas
dosen. Universitas secara administratif dikelola sama seperti kementerian.
Sehingga semua laporan kegiatan harus memiliki bukti pembayarannya
termasuk kegiatan yang dilakukan dosen, seperti kegiatan penelitian dan
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
106
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pengabdian kepada masyarakat. Dana penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat diterima dosen tapi dosen harus memberikan laporan keuangan
yang dilengkapi berbagai macam nota bukti pembayaran; sedangkan laporan
hasil penelitian dipandang sebagai lampiran dari laporan keuangan.
Tunjangan remunerasi memberikan dampak pada status kerja dosen, yakni
dosen menjadi tenaga administrasi layaknya pekerja kementerian atau
pekerja perusahaan.
3. Rendahnya reward. Reward yang diterima dosen dipandang belum memenuhi
haknya bila dibandingkan dengan beban kerja sebagaimana tertuang dalam
semua aturan yang mengikatnya. Tunjangan profesi untuk sebagian jabatan
fungsional diberikan kepada dosen dengan ancaman.
4. Politik identitas. Politik identitas dirasakan di hampir semua perguruan tinggi.
Universitas meneriakan slogan-slogan sebagai target yang harus dicapai agar
identitasnya tampak jelas seperti Research University , World Class
University , dan bentuk identitas lainnya seperti Ranking Dunia , Akreditasi
Internasional, dan lain-lain. Salah satu syarat untuk mencapai target adalah
jurnal terindeks Scopus yang harus ditulis dosen.
Permasalahan ini tentunya akan mengganggu tugas pokoknya sebagai
pendidik, penjaga ilmu pengetahuan, dan problem solver bagi permasalahan yang
dihadapi bangsa dan negara ini. Oleh karena itu, tulisan ini akan menguraikan
tugas dosen pada aspek pembelajaran yang sesuai dengan standar nasional
pendidikan tinggi (SNPT). Penulis berpandangan, bila dosen melaksanakan tugas
sesuai dengan tugas-tugas pokoknya dalam arti tidak diganggu oleh permasalahan
yang penulis uraikan, maka dengan sendirinya universitas akan memperoleh
kehormatannya (identitasnya) baik secara nasional maupun internasional.
B. Pembahasan
Capaian Pembelajaran Menurut Kurikulum Berbasis KKNI
Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia menyebutkan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI), adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat
menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan
dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian
pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.
Dalam Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia) Nomor 73 Tahun 2013 Tentang Penerapan Kerangka
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
107
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi dalam pasal 10 ayat 4
disebutkan bahwa dalam menerapkan KKNI bidang pendidikan tinggi, perguruan
tinggi mempunyai tugas dan fungsi:
1. setiap program studi wajib menyusun deskripsi capaian pembelajaran minimal
mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai dengan jenjang.
2. setiap program studi wajib menyusun kurikulum, melaksanakan, dan
mengevaluasi pelaksanaan kurikulum mengacu pada KKNI bidang pendidikan
tinggi sesuai dengan kebijakan, regulasi, dan panduan tentang penyusunan
kurikulum program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
3. setiap program studi wajib mengembangkan sistem penjaminan mutu internal
untuk memastikan terpenuhinya capaian pembelajaran program studi.
Capaian pembelajaran minimal sesuai jenjang yang harus dibuat oleh
program studi mengacu kepada deskripsi jenjang kualifikasi KKNI dalam lampiran
Perpres Nomor 8 tahun 2012. Sebagai contoh di bawah ini dikutip jenjang
kualifikasi strata 1 (S1) sebagai berikut:
Deskripsi Umum:
1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di dalam menyelesaikan
tugasnya.
3. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta
mendukung perdamaian dunia.
4. Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang
tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya.
5. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, kepercayaan, dan agama
serta pendapat/temuan original orang lain.
6. Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki semangat untuk
mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas.
Jenjang Kualifikasi Level 6 (Jenjang Sarjana S1)
1. Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian
masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi.
2. Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan
konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara
mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah
prosedural.
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
108
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan
data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif
solusi secara mandiri dan kelompok.
4. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab
atas pencapaian hasil kerja organisasi.
Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, program studi melakukan
penyusunan kurikulum berbasis KKNI melalui tahapan sebagai berikut:
1. Melakukan analisis SWOT program studi
2. Melakukan tracer study atau need assessment
3. Menyusun profil lulusan
4. Menyusun kompetensi lulusan
5. Menyusun bahan kajian
6. Membentuk mata kuliah dan menetapkan sks
7. Membangun struktur kurikulum (distribusi mata kuliah pada tiap semester)
8. Penyusunan rancangan pembelajaran (dilakukan oleh dosen)
9. Penyusunan rancangan metode pembelajaran (dilakukan oleh dosen)
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjelaskan setiap tahapan, namun
hanya ingin mengulas beberapa hal penting yang terdapat dalam tahap ke-8 dan
ke-9 yang tertuang dalam RPS (Rencana Perkuliahan Semester) yang berdasarkan
Permenristek Dikti (Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia) Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi (SNPT), meliputi:
1. nama program studi, nama dan kode mata, semester, sks, nama dosen
pengampu;
2. capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan pada mata kuliah (meliputi
aspek sikap, pengetahuan, keterampilan umum, dan keterampilan khusus);
3. kemampuan akhir yang direncanakan pada tiap tahap pembelajaran untuk
memenuhi capaian pembelajaran lulusan;
4. bahan kajian yang terkait dengan kemampuan yang akan dicapai;
5. metode pembelajaran;
6. waktu yang disediakan untuk mencapai kemampuan pada tiap tahap
pembelajaran;
7. pengalaman belajar mahasiswa yang diwujudkan dalam deskripsi tugas yang
harus dikerjakan oleh mahasiswa selama satu semester;
8. kriteria, indikator, dan bobot penilaian; dan
9. daftar referensi yang digunakan.
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
109
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Capaian pembelajaran atau learning outcome (LO) suatu mata kuliah
menurut permenristek dikti tentang SNPT harus memenuhi 3 unsur, yakni sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
1. Capaian Pembelajaran (Learning Outcome) Aspek Sikap dan Strategi
Pencapaiannya
Dalam Permenristek Dikti nomor 44 tahun 2015 tentang SNPT disebutkan
bahwa sikap merupakan perilaku benar dan berbudaya sebagai hasil dari
internalisasi dan aktualisasi nilai dan norma yang tercermin dalam kehidupan
spiritual dan sosial melalui proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa,
penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran.
Definisi ini dijelaskan dalam lampirannya sebagaimana tampak dalam kolom 2
pada tabel 1. Rumusan sikap dalam lampiran permen masih bersifat umum dan
perlu dilakukan penyesuaian sehingga dosen mudah dalam melakukan
pengamatan terhadap sikap mahasiswa dalam mempersiapkan dirinya sebagai
guru profesional.
NO
RUMUSAN SIKAP SESUAI LAMPIRAN
PERMENDIKBUD NO 44 TH 2015 TENTANG
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN TINGGI
PENYESUAIAN
RUMUSAN SIKAP
(SIKAP DASAR GURU)
1 2 3
1 bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan mampu menunjukkan sikap religius;
Memiliki soft skills yang
berhubungan dengan sikap
dasar pengembangan diri
secara personal/intrapersonal
dan interpersonal
berlandaskan pada nilai-nilai
al-akhlaqul karimah yang
mampu memaksimalkan
kinerja mahasiswa dalam
mempersiapkan dirinya
sebagai guru profesional.
Adapun indikator-
indikatornya adalah:
a. Indikator intrapersonal:
jujur, percaya diri,
tanggung jawab, disiplin,
2 menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam
menjalankan tugas berdasarkan agama,
moral, dan etika;
3 berkontribusi dalam peningkatan mutu
kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan kemajuan peradaban
berdasarkan Pancasila;
4 berperan sebagai warga negara yang
bangga dan cinta tanah air, memiliki
nasionalisme serta rasa tanggung-jawab
pada negara dan bangsa;
5 menghargai keanekaragaman budaya,
pandangan, agama, dan kepercayaan, serta
pendapat atau temuan orisinal orang lain;
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
110
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6 bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial
serta kepedulian terhadap masyarakat dan
lingkungan;
mandiri, emosi stabil,
curriosity, menjaga harga
diri/muru ah, rendah hati,
layak dicintai.
b. Indikator interpersonal:
empati, adaptasi, hormat,
kerjasama, toleransi,
penyayang, terbuka,
mediator, komunikator,
motivator.
7 taat hukum dan disiplin dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara;
8 menginternalisasi nilai, norma, dan etika
akademik;
9 menunjukkan sikap bertanggung jawab
atas pekerjaan di bidang keahliannya
secara mandiri;
10 menginternalisasi semangat kemandirian,
kejuangan, dan kewirausahaan;
Dosen tidaklah cukup dengan menentukan sikap-sikap sebagaimana
tercantum dalam rumusan hasil penyesuaian dalam tabel, ia harus membantu
mahasiswa dalam pencapaiannya. Sebagai upaya capaian pembelajaran aspek
sikap ini dosen harus merekayasa pembelajaran yang diselenggarakannya
sehingga dalam prosesnya akan muncul perilaku-perilaku mahasiswa yang secara
kejiwaan terjadi proses internalisasi nilai-nilai sebagaimana tertera dalam
indikator-indikator interpersonal dan intrapersonal.
Terdapat 3 hal yang harus ada dalam upaya internalisasi nilai-nilai sikap
dalam proses pembelajaran pada mata kuliah media pembelajaran yang penulis
ampu, yakni pra kondisi (pengkondisian), aktivitas, dan kontrol atau
pengendalian. Ketiganya dilakukan melalui komunitas belajar yang
diciptakan/direkayasa oleh dosen.
Pertama, pra kondisi atau pengkondisian secara mental agar memiliki
kesiapan mental dalam melaksanakan aktivitas belajar. Di sini, semua mahasiswa
menyatakan sumpah atas nama Allah swt untuk belajar secara sungguh-sungguh
dan menyatakan kesanggupan untuk bersikap jujur dalam melaksanakan
penilaian terhadap teman sebaya (peer assessment) yakni untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai kebenaran dan akhlakul karimah. Kemudian untuk membangun
diri dan membangun kesadaran sosial dibuatlah slogan No Compatition But
Collaboration . No compatition pada slogan ini tidak bermaksud menafikan
konsep fastabiqū-l-khairāt , tapi sebaliknya, ia dijadikan spirit atau dijadikan
aktivitas kejiwaan untuk terus melakukan hal yang terbaik dan selalu berupaya
lebih baik tanpa harus mengkompetisikannya dengan orang lain, seperti
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
111
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pernyataan batin saya harus lebih baik dari si-A , pernyataan ini hanya ada
dalam pikirannya tanpa harus diketahui oleh si-A dan yang lainnya. Perbuatan
membantu kelompok lain dalam penyelesaian tugas (contoh, tugas produksi
media pembelajaran) agar kelompok yang dibantu bisa menyelesaikannya
dengan baik adalah perbuatan baik. Dengan demikian, spirit fastabiqū-l-khairāt
akan mampu membangun sikap collaboration, yakni sebuah sikap saling
membangun diri dan membangun komunitas atau qaum (...innallāha lā
yugayyiru mā biqaumin ḥattā yugayyi ū mā bi a fusihi ..., Qs. Ar-Ra d [13]: 11)
Kolaborasi merupakan aktivitas praktis dalam mengaplikasikan konsep
persaudaraan dalam Islam. Ayat serupa dinyatakan dalam surat al-Hujurat ayat
10 disebutkan: innamā l-mu minūna ikhwatun fa aṣliḥū baina akhwaikum
wattaqullāha la allakum turḥamūn , dan dalam hadits riwayat Abu Musa
disebutkan: inna-l-mu mina li-l-mu mini ka-l-bunyā i yasyuddu ba ḍuhu ba ḍan,
wa syabbaka aṣābi ahu (Ibnu Hajar al-Asqalani, 2003, h. 249).
Kedua adalah langkah aktivitas belajar yang diaplikasikan dalam
komunitas belajar (learning community) yang diciptakan dosen melalui
penugasan secara kelompok yang tetap berbasis pada tugas individu.
Pengembangan aktivitas belajar ini dengan memperhatikan waktu yang dimiliki
oleh mata kuliah dengan cara mengkonversi sks menjadi jam (durasi waktu)
belajar mahasiswa di dalam dan luar ruang kelas dalam 1 minggu. Konversi
dimaksud adalah 1 sks = 50 menit tatap muka, 60 menit tugas terstruktur, dan 60
menit tugas mandiri perminggu. Konversi jam (durasi waktu) pada mata kuliah
dengan bobot 3 sks adalah sebagai berikut:
No Komponen sks Bobot
sks Menit/1 sks Jumlah
1 Aktivitas pembelajaran
pada tatap muka
3 50 menit 150 menit
2 Aktivitas pembelajaran
melalui tugas terstruktur
3 60 menit 180 menit
3 Aktivitas pembelajaran
melalui tugas mandiri
3 60 menit 180 menit
Jumlah dalam menit/minggu 510 menit
Jumlah dalam jam/minggu 8,5 jam
Jumlah dalam jam/16 minggu 136 jam
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
112
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kegiatan tatap muka merupakan kegiatan mahasiswa secara terjadwal dan
terencana dalam bentuk aktivitas pembelajaran secara tatap muka dengan
dosen di dalam kelas atau dapat diselenggarakan sebanyak-banyaknya empat
kali non tatap muka yakni dengan perantaraan media belajar. Jenis-jenis
kegiatan tatap muka meliputi mendengar aktif, berpartisipasi dalam games,
diskusi kelompok kecil, diskusi kelas, presentasi hasil dikusi kelompok, presentasi
produk media pembelajaran, membuat rumusan teori dari media yang
diciptakannya, tanya jawab, dan kegiatan peer assessment.
Kegiatan terstruktur adalah kegiatan bukan tatap muka dan tidak
terjadwal namun terencana. Kegiatan terstruktur bagi mahasiswa pada mata
kuliah media pembelajaran lebih banyak melaksanakan tugas untuk pencapaian
tujuan mata kuliah, di antaranya adalah kerja kelompok produksi media audio,
visual, dan video dengan uraian tugas: membuat jadwal kerja kelompok,
membuat jadwal kerja individu sesuai dengan pembagian tugas pada kelompok,
membuat RPP, membuat desain produksi media, membuat naskah,
memproduksi media sesuai desain produksi, dan membuat berita acara kerja
kelompok; berikutnya dalah kerja individu, yakni membuat media presentasi
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dosen. Total durasi waktu pada
tugas terstruktur ini adalah 48 jam dengan rincian, produksi media audio 14 jam,
proudksi media visual 8 jam, produki media video 16 jam, dan produksi media
presentasi 10 jam.
Kegiatan mandiri adalah kegiatan bukan tatap muka dan tidak terjadwal
namun terencana untuk mendalami dan memperkaya wawasan mata kuliah.
Kegiatan mandiri bagi mahasiswa adalah kegiatan yang diinisiasi oleh dirinya
sendiri dalam mendukung pencapaian learning outcome dari kegiatan tatap
muka dan kegiatan terstruktur yang diberikan dosen. Walaupun atas inisiatif
sendiri, namun tetap perlu bimbingan dari dosen. Oleh karena itu, mahasiswa
tetap diberi arahan dalam melaksanakan kegiatan mandiri ini. Arahan dimaksud
adalah berkaitan dengan produksi media pembelajaran, meluputi mahasiswa
diharapkan melakukan identifikasi tema, identifikasi contoh naskah, mempelajari
pembuatan naskah, identifikai contoh RPP, dan mempelajari pembuatan RPP,
identifikasi dan mempelajari contoh-contoh poster, komik, mock ups, media
grafis, media audio, media video, media presentasi dan segala hal yang
berhubungan dengan deskripsi tugas. Total durasi waktu pada tugas mandiri
adalah 48 jam dengan rincian: berkaitan dengan produksi 4 macam media
masing-masing 12 jam.
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
113
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Komunitas belajar pada mahasiswa akan berjalan bila dosen membantu
mereka dalam menguraikan berbagai kegiatan sebagai bentuk aktivitas belajar
mereka. Dalam komunitas belajar yang seperti inilah akan muncul berbagai
macam perilaku dari mahasiswa. Sehingga dosen dapat melakukan pengamatan
terhadap perilaku mereka seperti telah yang telah digambarkan yakni meliputi
intrapersonal dan interpersonal yang harus dicapai oleh mahasiswa.
Ketiga, kontrol atau pengendalian. Kontrol terhadap ketercapaian tujuan
sikap dilakukan melalui dua cara, yakni observasi langsung yang dilakukan oleh
dosen terhadap aktivitas mahasiswa terutama di dalam kelas (kegiatan tatap
muka) dengan menggunakan format sebagaimana terlampir. Sedangkan untuk
kegiatan/tugas terstruktur dan mandiri (non tatap muka) dilakukan dengan cara
peer assessment. Satu orang mahasiswa melakukan pengamatan terhadap 3
(tiga) orang mahasiswa di dalam kelompoknya atau di dalam komunitas
belajarnya. Agar mahasiswa melakukan peer assessment tidak berada di bawah
tekanan dari teman yang dinilainya maka dosen membuat kode-kode agar
mahasiswa yang dinilai tidak mengetahui oleh siapa dia dinilai. Pelakanaan peer
assessment dilakukan dengan menggunakan format yang dibuat oleh dosen
sebagaimana terlampir.
2. Capaian Pembelajaran (Learning Outcome) Aspek Pengetahuan dan Strategi
Pencapaiannya
Dalam Permenristek Dikti nomor 44 tahun 2015 tentang SNPT disebutkan
bahwa pengetahuan merupakan penguasaan konsep, teori, metode, dan/atau
falsafah bidang ilmu tertentu secara sistematis yang diperoleh melalui penalaran
dalam proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau
pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran.
Secara praktis tidaklah mudah seorang dosen dapat membuat capaian
pembelajaran aspek pengetahuan bagi mata kuliahnya berdasarkan permenristek
44/2015, karena regulasi ini memuat berbagai macam aktivitas kognitif yang
cukup rumit. Oleh karena itu, dosen dituntut harus memiliki pengetahuan dasar
tentang kognitif, jenis-jenis pengetahuan, pengelolaan pengetahuan, dan strategi
perolehannya.
Pengetahuan tentang kognitif bagi dosen dibutuhkan untuk menetapkan
secara tepat pengalaman belajar yang harus dilalui mahasiswa. Pengalaman-
pengalaman belajar kognitif telah dibangun pertama kali oleh tim yang dipimpin
Benjamin S. Bloom (1956) yang menjelaskan bahwa pengalaman belajar pada
ranah kognitif mulai level rendah sampai level tinggi, yakni knowledge,
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
114
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
comprehension, application, analysis, synthesis, evaluation. Dengan demikian,
seorang dosen harus menetapkan secara tepat capaian pembelajaran aspek
kogntif (pengetahuan) yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa sebagai bekal
dirinya sebagai teknisi di bidangnya. Adapun hirarki pengalaman belajar aspek
pengetahuan yang sekarang digunakan adalah tahapan mengetahui, memahami,
mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Tahapan ini merupakan
hasil revisi dari taxonomi Bloom yang dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Lorin
W. Anderson dan David R. Krathwohl. (Yamin, 2008, h. 33-37).
Secara psikologis, kemampuan kognitif mahasiswa berada di atas siswa
pada jenjang dasar dan menengah. Oleh karena itu, untuk menentukan capaian
pembelajaran pada aspek pengetahuan perlu kiranya mengamati ilustrasi berikut
ini:
Berdasarkan gambar tampak bahwa area Knowledge (Pengetahuan) di
jenjang PT lebih besar dibanding jenjang di bawahnya. Hal ini sangatlah
dimaklumi, karena mahasiswa dipandang sudah memiliki kemampuan mental
yang lebih matang. Di samping itu, mahasiswa harus dibekali berbagai
pengalaman kognitif yang bisa mempersiapkan mereka sebagai tenaga teknis di
bidang pendidikan dan pembelajaran, seperti memberikan keterampilan
pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.
(Yamin, 2008, h. 11). Dengan demikian, untuk mendukung kebutuhan, dipandang
tepat bila mahasiswa hendaknya diberi pengalaman kognitif level tinggi (high
level), yakni (C4) menganalisis, (C5) mengevaluasi, dan (C6) mencipta.
Berdasarkan pemikiran itu pada mata kuliah Media Pembelajaran PAI
dibuatlah capaian sebagai berikut: Mampu memadukan berbagai macam
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
115
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pengetahuan meliputi teori, prosedur pengembangan, dan aplikasi pemanfaatan
sehingga menghasilkan karya orisinal berupa media pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di sekolah/madrasah berikut dengan berbagai perangkat pendukung
produksinya .
Capaian pembelajaran di atas mengindikasikan bahwa mahasiswa dituntut
mampu melakukan analisis dan evaluasi/menilai terhadap berbagai macam
pengetahuan. Kegiatan menganalisis akan menunjukkan bahwa mahasiswa
memiliki kemampuan dalam mengurai konsep-konsep yang ada pada
informasi/materi ajar ke dalam beberapa komponen dan kemudian
menghubungkannya kembali satu sama lain setelah melakukan kegiatan
evaluasi/menilai terhadap komponen-komponen tersebut untuk memperoleh
pengetahuan yang mendalam dari konsep-konsepnya. Sebagai hasil dari proses
analisis dan evaluasi, mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
menghasilkan karya orisinalnya berupa media pembelajaran PAI.
Sesuai dengan kebutuhannya maka pencapaian tujuan pembelajaran aspek
pengetahuan menggunakan strategi pembelajaran konstruktivistik dan strategi
metakognitif. Strategi konstruktivistik membantu mahasiswa untuk menemukan
pengetahuannya secara mandiri, dan strategi metakognitif digunakan mahasiswa
untuk mengontrol proses berpikir yang terjadi dalam dunia pikirnya sendiri.
Strategi konstruktivistik secara sederhana bisa dikatakan sebagai proses
mengkonstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh diri seseorang atau dalam hal
ini oleh diri mahasiswa. Mengkontruksi pengetahuan merupakan aktivitas mental
atau aktivitas berpikir yang melibatkan berbagai pengetahuan yang telah
dimilikinya dan pengetahuan (informasi) yang sedang digelutinya. Sedangkan
metakognitif sebagaimana didefinisikan oleh Susan Metacognition is cognition
about thinking, including facts that are known about thinking and the monitoring
processes that produce understandings about cognition, understandings that can
impact subsequent cognitive self-regulation (Susan, h. 392-393).
Pengetahuan-pengetahuan yang dimaksudkan dalam konsep
konstruktivistik dan metakognitif setidaknya terdapat 3 macam, yakni declarative
knowledge, procedural knowledge, dan conditional knowledge. Declarative
knowledge (knowing that) adalah pengetahuan konseptual yang dibangun dari
fakta, pengalaman, teori dan lain-lain secara terkontrol dan terkumpul selama
proses belajar berlangsung (Timothy, 2004, h. 1). Ia juga disebut sebagai
pengetahun tentang pokok-pokok suatu deskripsi dan pengetahuan yang bisa
dinyatakan secara verbal. Procedural knowledge (knowing how) adalah
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
116
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pengetahuan tahapan, pengetahuan ini mencerminkan keterampilan dan
kemampuan. Pengetahuan ini sulit untuk diungkapkan dengan kata secara baik
karena pengetahuan tahapan ini terbangun secara otomatis sebagai fungsi dari
praktik-praktik yang berulang (Vincent, 1988, h. 233). Conditional knowledge atau
pengetahuan kondisional berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan
pengetahuan prosedural yakni tentang kapan dan bagaiamana kedua
pengetahuan ini digunakan atau diaplikasikan. Dalam prosesnya sangat
membutuhkan strategi metakognitif meliputi merencakan, memantau, dan
mengendalikan pikiran diri sendiri (Anat, 2012, h. 22-23).
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa metakognitif memiliki hubungan
erat dengan konstruktivisme, yakni dalam hal bahwa mahasiswa akan semakin
memiliki kesadaran bagaimana seharusnya ia belajar, ia akan mengembangkan
perangkat-perangkatnya untuk memahami dan mencipta sesuatu, dan ia akan
mengamati atau mengontrol diri terhadap perkembangan-perkembangan yang
telah dicapainya. Terkait hal ini, terdapat puisi dari Fritz Perls (1893-1970) yang
mengisyaratkan bahwa setiap orang mampu untuk membangun dirinya
sendirinya, yakni sebagai berikut:1
I do my thing, and you do your thing.
I am not in this world to live up to your expectations.
And you are not in this world to live up to mine.
You are you and I am I.
And if by chance we find each other, it s beautiful.
If not, it can t be helped
--Fritz Perls--
Tampaklah jelas bahwa capaian pembelajaran dalam prosesnya lebih
banyak didominasi oleh masing-masing mahasiswa (belajar adalah proses
individual). Jadi, sebagaimana telah di jelaskan bahwa walaupun manusia hidup
dalam sebuah komunitas, namun perubahan komunitas tergantung pada
individunya, ...innallāha lā yugayyiru mā bi au i ḥattā yugayyi ū mā bi anfusihim..., (QS. Ar-Ra d [13]: 11). Dengan demikian penciptaan learning
community merupakan sebagai –meminjam istilah Bruce Joyce (2009, h. 15)–
1Puisi Fritz Perls merupakan inti dari teorinya tentang Terapi Gestalt yang
dibangunnya, http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/orang-disini-dan-
kini-fritz-perls.html?m=1
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
117
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
scaffolding . Karena dalam aktivitas learning community akan terdapat berbagai
cara yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka. Dalam
prosesnya akan terjadi pergumulan jenis-jenis pengetahuan dari berbagai sumber.
Sumber pengetahuan secara garis besar terdapat dua macam dilihat dari segi
perolehannya yakni tacit knowledge dan explicit knowledge.
Explicit knowledge, yakni pengetahuan yang sudah terkodifikasi secara
sistematis dalam bentuk dokumen seperti buku, artikel, jurnal, dan lain-lain dan
biasanya bersifat formal-teoritis. Adapun tacit knowledge adalah pengetahuan
yang belum terkodifikasi, ia masih berada di alam ide di setiap individu sesuai
dengan pemahaman dan keahliannya, pengetahuan tersebut belum terstruktur
dan belum terdefiniskan dalam bahasa formal,2 pengetahuan ini diperoleh melalui
pengalaman dengar, lihat, dan rasa dari lingkungan dan fenomena alam semesta.3
Pada dasarnya apa dibaca mahasiswa dari buku dan didengar dari dosen
baru sebatas informasi, belum menjadi pengetahuan bagi mereka. Pengetahuan
akan mereka peroleh bila sudah terjadi proses mental/berpikir, sehingga mereka
memperoleh makna (kebermaknaan) dari informasi itu sebagai arah dalam
menjalani hidup dan kehidupannya.4
Sesuai learning outcome (LO) yang ingin dicapai dan sesuai kebutuhan
psikologis mahasiswa, maka ditetapkan beberapa strategi pembelajaran berikut:
1. Problem-Based Learning/Inquiry, yakni sebuah strategi pembelajaran
berbasis masalah atau penyelidikan berbasis masalah, yakni sebuah
strategi yang menekankan pada proses berpikir tingkat tinggi atau berpikir
kritis dan analitis untuk melakukan penyelidikan atau pencarian berbagai
pengetahuan guna penyelesaian masalah atau dalam hal ini tugas berupa
produksi media pembelajaran.
2 http://cahyo-welly.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-tacit-knowledge-
dan-explicit.html
3 Sebagaimana firman Allah Wallāhu akhrajakum min buṭū i
ummahātiku lā ta la ū a Syaia wa ja ala laku us-sa a wa-l abṣā a wa-l
af idata la allaku tasyku ū . (QS. An-Nahl [1 ]: ).
4 Sebagai a a fir a Allah swt: allażī a yasta i ū a-l qaula
fayattabi ū a aḥsa ahū, ulāika-l lażī a hadāhu ullahu wa ulāikahu ūlu-l albābi . (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan
mereka itulah orang-orang yang diberi akal sehat. (QS. Az-Zumar [39]: 18).
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
118
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Self-Directed Learning, yakni pembelajaran yang dilakukan sesuai arahan
dirinya sendiri. Pada tataran praktis, setiap setiap kelompok (learning
community) melakukan pembagian tugas kepada setiap anggota
kelompoknya untuk penyelesaian tugas yang diberikan dosen dan setiap
individu dari anggota kelompok diminta dosen untuk membuat rencana
dan jadwal kerjanya. Sehingga mereka dengan sendirinya dapat
mengarahkan dan mengendalikan kinerja (belajarnya)
3. Cooperative Learning, yakni sebuah pembelajaran yang dilakukan secara
kelompok-kelompok, penulis mengaplikasikan strategi ini dengan cara
menciptakan learning community. Melalui komunitas belajar inilah
mahasiswa saling membangun satu sama lain, dosen memosisikan diri
sebagai fasilitator.
3. Capaian Pembelajaran (Learning Outcome) Aspek Keterampilan
Dalam Permenristek Dikti nomor 44 tahun 2015 tentang SNPT disebutkan
bahwa keterampilan merupakan kemampuan melakukan unjuk kerja dengan
menggunakan konsep, teori, metode, bahan, dan/atau instrumen, yang diperoleh
melalui pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau
pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran, mencakup:
a. keterampilan umum sebagai kemampuan kerja umum yang wajib dimiliki
oleh setiap lulusan dalam rangka menjamin kesetaraan kemampuan
lulusan sesuai tingkat program dan jenis pendidikan tinggi; dan
b. keterampilan khusus sebagai kemampuan kerja khusus yang wajib
dimiliki oleh setiap lulusan sesuai dengan bidang keilmuan program studi.
Sesuai tuntutan yang ada dalam capaian pembelajaran pada aspek
pengetahuan, maka akan berimbas kepada capaian keterampilan ini.
Keterampilan umum diperoleh mahasiswa melalui aktivitas kerja produksi media
pembelajaran secara kelompok (dibuat 5 kelompok yang bersifat tetap) meliputi
produksi media audio, produksi media visual, dan produksi media video
(audiovisual). Secara implementatif semua tugas kelompok menggunakan metode
pembelajaran unjuk kerja. Pemilihan dan penetapan metodenya didasarkan pada
tuntutan dari Permenristek Dikti nomor 44 tahun 2015 tentang SNPT yang
mengatur capaian keterampilan umum yang dijelaskan dalam lampirannya
sebagai berikut:
Lulusan Program Sarjana wajib memiliki keterampilan umum sebagai
berikut:
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
119
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1. mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif dalam
konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan
bidang keahliannya;
2. mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur;
3. mampu mengkaji implikasi pengembangan atau implementasi ilmu
pengetahuan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora
sesuai dengan keahliannya berdasarkan kaidah, tata cara dan etika ilmiah
dalam rangka menghasilkan solusi, gagasan, desain atau kritik seni, menyusun
deskripsi saintifik hasil kajiannya dalam bentuk skripsi atau laporan tugas akhir,
dan mengunggahnya dalam laman perguruan tinggi;
4. menyusun deskripsi saintifik hasil kajian dalam bentuk skripsi atau laporan
tugas akhir, dan mengunggahnya dalam laman perguruan tinggi;
5. mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks penyelesaian
masalah di bidang keahliannya, berdasarkan hasil analisis informasi dan data;
6. mampu memelihara dan mengembang-kan jaringan kerja dengan pembimbing,
kolega, sejawat baik di dalam maupun di luar lembaganya;
7. mampu bertanggungjawab atas pencapaian hasil kerja kelompok dan
melakukan supervisi dan evaluasi terhadap penyelesaian pekerjaan yang
ditugaskan kepada pekerja yang berada di bawah tanggungjawabnya;
8. mampu melakukan proses evaluasi diri terhadap kelompok kerja yang berada
dibawah tanggung jawabnya, dan mampu mengelola pembelajaran secara
mandiri; dan
9. mampu mendokumentasikan, menyimpan, mengamankan, dan menemukan
kembali data untuk menjamin kesahihan dan mencegah plagiasi.
Berdasarkan regulasi, dipandang tepat bila penulis menetapkan metode
unjuk kerja. Unjuk kerja ini meliputi rencana kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja,
dan kegiatan tindak lanjut. Adapun keterampilan khususnya diunjukkan dalam
bentuk produk media pembelajaran.
1. Rencana Kerja. Rencana kerja dibuat oleh masing-masing kelompok.
Kegiatan penyusunan rencana kerja ini dibantu dengan format-format
yang dibuat oleh dosen (peran fasilitator) format-format tersebut adalah:
a. Format Rencana Kerja Kelompok
b. Format Jadwal Kerja Kelompok dan Distribusi Tugas
c. Format Rencana/Jadwal Kerja Individu
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
120
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Pelaksanaan Kerja. Produksi media pembelajaran dilakukan mahasiswa
dengan cara merujuk pada Panduan Produksi Media Pembelajaran yang
telah dibuat dosen. Panduan ini meliputi:
a. Tahapan Produksi Media Audio, Visual, dan Video
b. Kriteria Produk Media Audio (Tugas Kelompok)
c. Kriteria Produk Media Visual (Tugas Kelompok)
d. Kriteria Produk Media Video (Tugas Kelompok)
e. Kriteria Produk Media Presentasi (Tugas Individu)
Di samping itu setiap individu harus mengisi Daftar Hadir Kerja Kelompok
Produksi Media (kehadiran mahasiswa di samping dibuktikan dengan
lembar daftar hadir juga dibuktikan dengan foto aktivitas/kegiatan
produksi yang dikirim melalui What s App Group yang dibuat perkelas)
3. Hasil Kerja. Dimaksud hasil kerja adalah semua produk media, perangkat
pendukungnya dan dokumen bukti kinerja.
a. Media audio
1) Produk : Media Audio
2) Perangkat Pendukung : Naskah Produksi dan RPP
3) Laporan Kerja : Berita Acara Kerja Individu
4) Hasil Peer Assessment : 1) Hasil Peer Assessment Sikap, 2)
Hasil Peer Assessment Produk Media
Audio oleh individu, dan 3) Hasil
Moderasi oleh kelompok.
b. Produk media visual
1) Produk : Media Visual
2) Perangkat Pendukung : RPP
3) Laporan Kerja : Berita Acara Kerja Individu
4) Dokumen Bukti Kinerja : 1) Hasil Peer Assessment Sikap, 2)
Hasil Peer Assessment Produk Media
Visual oleh individu, dan 3) Hasil
Moderasi oleh kelompok.
c. Produk media video
1) Produk : Media Video
2) Perangkat Pendukung : Naskah Produksi dan RPP
3) Laporan Kerja : Berita Acara Kerja Individu
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
121
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4) Dokumen Bukti Kinerja : 1) Hasil Peer Assessment Sikap, 2)
Hasil Peer Assessment Produk Media
Video oleh individu, dan 3) Hasil
Moderasi oleh kelompok.
d. Produk media presentasi
4. Kegiatan Tindak Lanjut. Kegiatan tindak lanjut dilakukan di dalam kelas
pada kegiatan tatap muka. Di sini setiap kelompok melakukan
pembahasan terhadap media yang mereka produksi. Pembahasan
meliputi fungsi media pembelajaran, karakteristik media pembelajaran,
dasar pertimbangan pemilihan media pembelajaran, pemanfaatan media
pembelajaran, dan prosedur operasional produki media pembelajaran.
Hasil diskusi dituangkan dalam slide powerpoint (dibuat di luar tatap
muka) dan kemudian dipresentasikan di tatap muka berikutnya
C. Penutup
Bila memperhatikan uraian semua capaian pembelajaran, maka tuntutan
regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi tidak akan tercapai bila hanya mengandalkan aktivitas di dalam
ruang yang dibatasi oleh dinding kelas. Dosen harus menyelenggarakan
pembelajaran secara kreatif hingga mampu menembus sekat-sekat ruang, yakni
pembelajaran yang memberikan kesadaran kepada mahasiswa bahwa
pengetahuan tidak hanya diperoleh di dalam ruang kelas.
Pembelajaran tanpa batas memiliki arti bahwa dosen harus memberikan
pengalaman praktis, bagaimana seharusnya mahasiswa belajar. Strategi
pembelajaran konstruktivistik dan strategi metakognitif menjadi salah satu cara
membelajarkan mahasiswa, sehingga mereka dapat menjadi pembelajar yang
mampu melakukan pembelajaran sepanjang hayat.
Pembelajaran tanpa batas mengindikasikan bahwa dosen sebagai salah satu
pelaku pembelajaran memiliki tugas pokok yang tak terbatas oleh dinding-dinding
ruang kelas dan dinding-dinding gedung kampus, tapi dosen memiliki area yang
sangat luas untuk menunaikan tugas-tugasnya. Ia harus memberikan layanan
kepada masyarakat, eksplorasi diri melalui aktivitas akademik seperti membaca
dan penelitian, memonitoring perkembangan belajar mahasiswanya melalui
dokumen tugas-tugas mahasiswa, memberikan penilaian terhadap hasil belajar
mahasisnya, dan lain-lain.
Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122
122
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pembelajaran tanpa batas juga mengandung arti bahwa tujuan belajar tidak
hanya dibatasi oleh tujuan-tujuan duniawi, seperti ingin memperoleh ijazah, ingin
memperoleh pekerjaan yang layak, ingin membahagiakan orang tua, dan lain-lain,
tetapi tujuan belajar harus menembus sampai kepada Sang Khaliq, Maha Pencipta
alam semesta, Allah swt. yakni untuk memperoleh ridha-Nya, karena belajar
adalah perilaku untuk memohon ilmu-Nya. Perilaku belajar haruslah memiliki
muatan nilai-nilai Ilahiyah. Wallāhu a lam bi-ṣ ṣawāb.
D. Daftar Pustaka
Anat Zohar and Yehudit Judy Dori (Ed.) (2012), Metacognition in Science
Education, Trends in Current Research, Springer Dordrecht Heidelberg
London New York.
Benjamin S. Bloom (1956) Taxonomy of Educational Objectives: The Classification
of Educational Goals – Handbook 1 Cognitive Domain, Canada:
Logmans, Green and Co Ltd.
Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009), Models of Teaching –
Model-model Pengajaran, Edisi Kedelapan, Penerjemah: Achmad
Fawaid dan Ateilla Mirza, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari Jilid 3,
Penerjemah Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.
Martinis Yamin, Paradigma Pendidikan Konstruktivistik, 2008, Jakarta: Gaung
Persada Press
Susan E. Israel dkk. Metacognition in Literacy Learning (Theory, Assessment,
Instruction, and Professional Development), New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Publishers.
Timothy J. Perfect & Bennett L. Schwartz. 2004. Applied Metacognition,
Cambridge: Cambridge University Press.
Vincent Y. Yzerbyt, Guy Lories and Benoit Dardenne (ed.) (1998), Metacognition:
Cognitive and Social Dimensions, London, California, New Delhi: SAGE
Publication.
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
123
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendekatan Analogi dalam Mengembangkan
Kemampuan Matematika Siswa
Gelar Dwirahayu
Pendidikan Matematika - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Kurikulum 2013 di Indonesia mengisayaratkan bahwa proses
pembelajaran di kelas haruslah berbasis pendekatan sain, banyak
strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh pakar pendidikan yang
dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Salah
satu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan di kelas adalah
pendekatan analogi. Pendekatan ini secara teori dapat membantu guru
dalam mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Pendekatan analogi
ada dua karakteristik yaitu analogi dengan kehidupan sehari-hari dan
juga analogi konsep. Kedua karakteristik tersebut cocok dalam
pembelajaran matematika. Matematika merupakan konsep yang
abstrak, pada penyampaian materi awal, siswa memiliki kemampuan
berpikir non formal sehingga pembelajaran matematika lebih cocok
menggunakan analogi dengan kehidupan sehari-hari karena materi akan
lebih bermakna dan mudah difahami oleh siswa, sementara siswa yang
sudah pada level tinggi dengan konsep matematika yang sangat abstrak
maka akan sulit untuk mencari analogi dengan kehidupan sehari-hari,
maka untuk pelajaran matematika pada level tinggi lebih cocok
menggunakan analogi konsep, karena untuk mengajarkan konsep
matematika yang abstrak siswa diarahkan pada analogi konsep
matematika sederhana yang pernah dipelajari sebelumnya.
Kata Kunci: Analogi, Kemampuan Matematika.
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
124
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu materi wajib yang diajarkan pada setiap
jenjang pendidikan formal yaitu pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah
maupun perguruan tinggi. Bahkan pada tingkat pra pendidikan atau pendidikan
informal matematika juga sudah mulai diperkenalkan. Pendidikan yang dilakukan
pada usia dini bertujuan untuk membentuk pola berpikir anak, karena pada usia
inilah anak mulai pada proses meniru dari apa yang mereka lihat. Hal ini senada
dengan pendapat Piaget (Dahar, 1996) bahwa proses berpikir manusia sudah
terjadi sejak dini, dan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu
yang berkembang berdasarkan usianya.
1. Tahap Sensori Motori, tahap sensori motori terjadi pada anak usia antara 0-2
tahun. Kaitannya dengan matematika, pada tahap ini kemampuan berfikir
anak digunakan untuk mengatur sendiri dunianya dengan menggunakan
indera-indera (baik sensoris maupun motoris) yang dimilikinya. Misalnya anak
menggunakan jari-jari tangannya sebagai alat bantu untuk menunjukkan
bilangan dari satu sampai sepuluh tanpa mereka fahami bahwa angka satu
sampai sepuluh menunjukkan banyaknya benda atau bacaan untuk suatu
symbol matematika, terkadang anak memahami bahwa angka satu adalah jari
telunjuk.
2. Tahap Pra-operasional, tahap Pra-operasional terjadi pada anak usia antara 2-
7 tahun. Tahap Pra-operasional terbagi menjadi dua sub tingkat yaitu antara
2-4 tahun disebut sub tingkat pra logis dan antara 4-7 tahun disebut sub
tingkat berfikir intuitif. Dalam pembelajaran matematika, terkadang anak
tidak tahu bahwa 5+5 = 10, tetapi mereka tahu bahwa jari mereka yang kiri
ada 5 dan yang kana nada 5 sehingga jumlah jari yang mereka miliki adalah
10. Anak yang berada pada tahap ini cenderung berfikir yang disertai dengan
sikap egosentris.
3. Tahap Operasi Konkrit, tahap operasi konkrit terjadi pada anak usia 7-11
tahun. Tahap ini merupakan permulaan berfikir rasional. Anak sudah memiliki
operasi-operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah-masalah yang
kongkrit. Dalam pembelajaran matematika, pra operasional kongkrit dikaitkan
dengan kemampuan anak dalam melakukan operasi matematika secara ril
dan kongkrit, misalnya untuk memahami operasi perkalian 2x5, mereka harus
dibantu dengan konteks ril. Jika di kelas ada 5 orang anak, dan setiap anak
akan diberikan 2 buah permen maka berapa banyak permen yang akan
dibagikan? Selain itu pada tahap ini anak sudah dapat membedakan dan
menyusun benda-benda secara seri berdasarkan ukurannya. Kemampuan ini
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
125
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
biasanya ditunjukkan oleh kemampuan geometri siswa, mereka mampu
membedakan mana segitiga besar dan segitiga kecil.
4. Tahap Operasi Formal, tahap ini terjadi pada anak kira-kira 11 tahun ke atas.
Tahap operasi formal dianggap sebagai tahap berfikir yang paling tinggi,
karena pada tahap ini anak sudah dapat menggunakan operasi-operasi
kongkrit untuk membentuk operasi yang lebih kompleks. Pada tahap ini anak
sudah dapat menggunakan kemampuan berfikirnya dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang lebih abstrak yang membutuhkan penalaran. Proses
berpikir formal inilah yang banyak digunakan di tingkat sekolah formal.
Mempelajari matematika tidak hanya sekedar pada hitungan dan hafalan
rumus semata akan tetapi matematika dapat melatih dan mendisiplinkan
kebiasaan siswa, khususnya mendisiplinkan dalam pola berpikir dan bernalar.
Berfikir merupakan aktivitas mental seseorang yang menggunakan fikirannya
untuk mengumpulkan ide-ide atau informasi-informasi yang ada. Berfikir
dilakukan dengan cara menghubungkan antara bagian-bagian informasi yang ada
pada diri seseorang dengan masalah yang sedang dihadapi. Setyabudi (1991)
mengatakan jika seseorang berfikir maka ia sedang melakukan aktivitas mental
yang sifatnya ideasional (merancang sesuatu namun masih ada dalam fikirannya)
bukan sensoris maupun motoris, meskipun dapat disertai keduanya.
Mengembangkan dan melatih kemampuan berpikir dan bernalar dalam
matematika akan melatih siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
mereka hadapi, baik masalah dalam matematika itu sendiri maupun masalah
dalam kehidupannya. Hal ini senada dengan pendapat Locke (Miranti, 2004)
bahwa matematika merupakan sarana untuk menanamkan kebiasaan bernalar
dan anak yang senang melakukan matematika, kemampuan bernalarnya akan
terlatih dengan baik. Seperti diungkapkan pada NCTM (1989), tujuan
pembelajaran matematika di sekolah dasar dan menengah yaitu: (1) meyakinkan
siswa bahwa matematika merupakan pelajaran yang menarik dan bermakna,
bukan pelajaran yang membingungkan, abstrak, tidak masuk akal dan
membosankan; (2) dengan pembelajaran matematika diharapkan dapat
meningkatkan kepekaan siswa terhadap daya matematika (power of
mathematics); dan (3) pembelajaran matematika diharapkan juga dapat
meningkatkan kepercayaan siswa akan kemampuannya dalam berfikir.
Mengajar matematika yang abstrak perlu suatu cara atau strategi
pembelajaran tertentu agar memudahkan siswa dalam memahami matematika.
Mempelajari matematika juga bukan sekedar menghafal rumus dan
menyelesaikan soal-soal, namun ada lima kompetensi yang perlu dikembangkan
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
126
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam belajar matematika yaitu kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi,
kemampuan koneksi, kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
representasi. kemampuan penalaran matematik biasanya melatih siswa untuk
lebih berpikir logis dan sistematis dalam memahami dan memecahkan soal-soal
matematika; kemampuan komunikasi biasanya berhubungan dengan kemampuan
siswa dalam mengungkapkan ide-ide matematis yang ada dalam pemikiran
mereka baik dalam bentuk gambar, simbol ataupun lisan, kemampuan koneksi
yaitu kemampuan siswa untuk menghubungkan konsep matematika dengan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari atau menghubungkan konsep
matematika dengan konsep lain baik dalam matematika sendiri maupun dengan
ilmu lainnya, kemampuan pemecahan masalah menjad tujuan utama dalam
pembelajaran matematika, setiap konsep yang diajarkan dalam matematika dapat
digunakan oleh siswa untuk menyelesaikan masalah matematika yang lebih tinggi
lagi ataupun untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang dihadapi siswa
dan kemampuan representasi adalah kemampuan siswa untuk menyajikan ide-ide
matematika yang ada pada pemikiran siswa dalam bentuk model-model
matematika atau persamaan matematika baik dalam bentuk semi formal maupun
formal sehingga memudahkan siswa untuk menyelesaikan permasalahan
matematika.
Banyak strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan matematika
di kelas. Setiap strategi pembelajaran memiliki ciri khas dan karakteristik tertentu.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang memfasilitasi siswa mengembangkan
kemampuan matematika yaitu pembelajaran dengan menggunakan analogi.
Analogi artinya membandingkan satu hal dengan hal lain yang sudah difahami
oleh siswa sehingga dengan menggunakan kesamaannya siswa akan memudahkan
memahami konsep yang baru.
B. Pembahasan
Kemampuan Matematika
Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar dan Menengah
(Siskandar, 2004) harus mencakup pada:
a. Melatih cara berfikir dan bernalar siswa dalam menarik kesimpulan, misalnya
melalui kegiatan penyelidikan atau eksplorasi, percobaan atau eksperimen,
menunjukkan kesamaan, perbedaan , konsistensi dan inkonsistensi.
b. Mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa yang melibatkan imajinasi,
intuisi dan penemuan dengan cara mengembangkan pemikiran secara
divergen, orsinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi, menduga dan mencoba .
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
127
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
Pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah, guru harus
memperhatikan pada 5 aspek pengajaran matematika (dalam NCTM, 2000), yaitu:
kemampuan koneksi matematik, kemampuan penalaran matematik, kemampuan
komunikasi matematik, kemampuan pemecahan masalah matematik dan
kemampuan representasi matematik.
a. Kemampuan koneksi matematik,
Kemampuan koneksi dalam matematika diartikan sebagai kemampuan
menguhubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya, atau kemampuan
untuk menghubungkan antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.
Kemampuan koneksi perlu dipelajari dalam matematika, mengingat bahwa
matematika merupakan konsep abstrak, dan antara konsep yang satu akan saling
berkaitan dengan konsep lainnya. kemampuan koneksi perlu dilatihkan kepada
siswa sekolah. Apabila siswa mampu mengkaitkan ide-ide matematika maka
pemahaman matematikanya akan semakin dalam dan bertahan lama karena
mereka mampu melihat keterkaitan antar topik dalam matematika, dengan
konteks selain matematika, dan dengan pengalaman hidup sehari-hari (NCTM,
2000).
Untuk memahami matematika, siswa harus menyadari bahwa matematika
bukanlah kumpulan materi atau pokok bahasan yang dipelajari secara terpisah,
meskipun pada kenyataannya penyampaian materi matematika di kelas dibuat
terspisah dengan membuat BAB secara tersendiri. Matematika merupakan ilmu
yang terintegrasi. Memandang matematika secara keseluruhan sangat penting
dalam belajar dan berfikir tentang koneksi diantara topik-topik dalam
matematika. Struktur koneksi yang terdapat di antara cabang-cabang matematika
memungkinkan siswa melakukan penalaran matematik secara analitik dan
sintesik. Melalui kegiatan ini, kemampuan matematik siswa menjadi berkembang.
Bentuk koneksi yang paling utama adalah mencari koneksi dan relasi diantara
berbagai struktur dalam matematika. Dalam pembelajaran matematika guru tidak
perlu membantu siswa dalam menelaah perbedaan dan keragaman struktur-
struktur dalam matematika, tetapi siswa perlu menyadari sendiri adanya koneksi
antara berbagai struktur dalam matematika. Struktur matematika adalah ringkas
dan jelas sehingga melalui koneksi matematik maka pembelajaran matematika
menjadi lebih mudah difahami oleh anak.
Koneksi matematika dapat dibagi ke dalam tiga aspek kelompok koneksi,
yaitu :
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
128
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1. Aspek koneksi antar topik matematika, Aspek ini dapat membantu siswa
menghubungkan konsep–konsep matematika untuk menyelesaikan suatu
situasi permasalahan matematika.
2. Aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain, Aspek ini menunjukkan bahwa
matematika sebagai suatu disiplin ilmu, selain dapat berguna untuk
pengembangan disiplin ilmu yang lain, juga dapat berguna untuk
menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan bidang studi
lainnya.
3. Aspek koneksi dengan dunia nyata siswa / koneksi dengan kehidupan sehari–hari. Aspek ini menunjukkan bahwa matematika dapat bermanfaat untuk
menyelesaikan suatu permasalahan di kehidupan sehari–hari.
Secara umum Coxford (1995) mengemukakan bahwa kemampuan koneksi
matematik meliputi: (1) mengoneksikan pengetahuan konseptual dan procedural,
(2) menggunakan matematika pada topik lain (other curriculum areas), (3)
menggunakan matematika dalam aktivitas kehidupan, (4) melihat matematika
sebagai satu kesatuan yang terintegrasi, (5) menerapkan kemampuan berfikir
matematik dan membuat model untuk menyelesaikan masalah dalam pelajaran
lain, seperti musik, seni, psikologi, sains, dan bisnis, (6) mengetahui koneksi
diantara topik-topik dalam matematika, dan (7) mengenal berbagai representasi
untuk konsep yangsama. Selanjutnya menurut NCTM (1989) tujuan koneksi
matematika adalah agar siswa dapat: (1) Mengenali representasi yang ekuivalen
dari suatu konsep yang sama, (2) Mengenali hubungan prosedur satu representasi
ke prosedur representasi yang ekuivalen, (3) Menggunakan dan menilai koneksi
beberapa topik matematika, (4) Menggunakan dan menilai koneksi antara
matematika dan disiplin ilmu yang lain.
Tujuan pembelajaran matematika di Indonesia yang bersesuaian dengan
NCTM, menekankan bahwa kemampuan yang diharapkan pada aspek koneksi
matematika yaitu :
1. Siswa dapat menggunakan koneksi antar topik matematika.
2. Siswa dapat menggunakan koneksi antara matematika dengan disiplin ilmu
lain.
3. Siswa dapat mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama.
4. Siswa dapat menghubungkan prosedur antar representasi ekuivalen.
5. Siswa dapat menggunakan ide–ide matematika untuk memperluas
pemahaman tetang ide–ide matematika lainnya.
6. Siswa dapat menerapkan pemikiran dan pemodelan matematika untuk
menyelesaikan masalah yang muncul pada disiplin ilmu lain.
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
129
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Siswa dapat mengeksplorasi dan menjelaskan hasilnya dengan grafik, aljabar,
model matematika verbal atau representasi.
b. Kemampuan penalaran matematik,
Penalaran atau reasoning merupakan proses berfikir yang dilakukan untuk
menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Matematika
sebagai poses bernalar (NCTM, 1989), artinya jika seseorang mengerjakan
matematika atau menyelesaikan soal-soal matematika maka ia tidak terlepas dari
aktivitas bernalar. Penalaran atau logika merupakan bagian dalam matematika
yang perlu dikembangkan. Pembelajaran matematika yang dapat melatih
kemampuan bernalar siswa sebaiknya diperkenalkan sejak dini, karena akan
memberikan keuntungan pada pembelajaran matematika di masa yang akan
datang. (NCTM, 1989), meskipun penalaran yang diberikan hanya berupa
kemampuan berfikir informal, yaitu kemampuan siswa untuk membuat konjektur
dan memvalidasi kebenaran namun penalaran yang diberikan pada tingkat awal
diharapkan dapat membantu siswa untuk menyadari bahwa matematika itu
berguna bagi dirinya.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dalam matematika apabila siswa
diperkenalkan dengan penalaran menurut Baroody (Dahlan, 2004) antara lain:
1. Jika siswa diberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan bernalarnya
dalam melakukan pendugaan-pendugaan berdasarkan pengalamannya sendiri
maka siswa akan lebih mudah memahaminya. Misalnya siswa diberikan
permasalahan dengan menggunakan benda-benda nyata, siswa diminta untuk
melihat pola, mereformulasikan dugaan tentang pola yang sudah diketahui
dan mengevaluasinya sehingga hasil yang diperolehnya bersifat lebih
informatif. Hal ini akan lebih membantu siswa dalam memahami proses yang
telah disiapkan dengan cara doing mathematics dan eksplorasi matematika.
2. Jika siswa dituntut untuk menggunakan kemampuan bernalarnya, maka akan
mendorong mereka untuk melakukan guessing atau dugaan-dugaan. Hal ini
akan menimbulkan rasa percaya diri dan menghilangkan rasa takut salah
pada diri siswa ketika siswa diminta untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh guru.
3. Membantu siswa untuk memahami nilai balikan yang negatif (negative
feedback) dalam memutuskan suatu jawaban. Artinya bahwa siswa perlu
memahami bahwa tebakan yang salah dapat menghilangkan kemungkinan
yang pasti dengan berbagai pertimbangan lebih jauh dan dapat melihat
informasi yang sangat bernilai (invaluable/extremely valuable). Anak juga
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
130
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perlu menghargai bahwa keefektifan dari suatu tebakan tergantung pada
banyaknya kemungkinan yang dapat dihilangkan.
4. Secara khusus, dalam matematika anak harus memahami bahwa penalaran
intuisi, penalaran induktif (pendugaan) dan penalaran deduktif (pembuktian
logis) memainkan peranan yang penting. Mereka harus menyadari atau dibuat
sadar bahwa intuisi merupakan dasar untuk kemampuan tingkat tinggi dalam
matematika dan juga ilmu pengetahuan lainnya. Siswa juga harus dibantu
untuk dapat memahami bahwa intuisi diperlukan secara substantif dalam
membuat contoh, mengumpulkan data dan dalam menggunakan logika
deduktif. Selain itu siswa juga perlu untuk memahami bahwa penemuan pola
dari berbagai contoh yang luas selalu terdapat suatu pengecualian sehingga
dapat dijustifikasi suatu pola dan pada akhirnya dapat dibuktikan secara
deduktif.
Selanjutnya NCTM (1989), menyebutkan beberapa aspek kemampuan
penalaran siswa yang perlu dikembangkan dalam kurikulum matematika di
sekolah dasar dan menengah yaitu: (1) mengenal dan menerapkan penalaran
induktif dan deduktif; (2) memahami dan menggunakan proses penalaran dengan
perhatian khusus pada penalaran keruangan serta penalaran dengan proporsi dan
grafik; (3) membuat dan mengevaluasi konjektur dan argumentasi matematika;
(4) memvalidasi fikiran mereka sendiri; dan (5) menghargai manfaat serta
kekuatan penalaran sebagai bagian dari matematika.
Dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari kita biasanya menggunakan
kemampuan berfikir kita untuk bernalar. Orang yang bernalar akan taat kepada
aturan logika. Dalam logika dipelajari aturan-aturan atau patokan-patokan yang
harus diperhatikan untuk berfikir dengan tepat, teliti dan teratur dalam mencapai
kebenaran secara rasional.
Shurter & Pierce (Dahlan, 2004) menyatakan bahwa penalaran (reasoning)
merupakan suatu proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan
sumber yang relevan, pentransformasian yang diberikan dalam urutan tertentu
untuk menjangkau kesimpulan.
Menurut Suherman dan Winataputra (Alamsyah, 2000), penalaran adalah
proses berfikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat
individual atau khusus. Tetapi dapat pula sebaliknya, dari hal yang bersifat umum
menjadi kasus yang bersifat individual.
Menurut Schonfeld (Sumarmo, 2002), matematika merupakan proses yang
aktif, dinamik, generatif dan eksploratif. Berarti bahwa proses matematika dalam
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
131
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penarikan kesimpulan merupakan kegiatan yang membutuhkan pemikiran dan
penalaran tingkat tinggi. Heningsen dan Stein (Sumarmo, 2002) mengatakan
bahwa beberapa kegiatan matematika yang merupakan berfikir dan bernalar
tingkat tinggi di antaranya adalah menemukan pola, memahami struktur dan
hubungan matematika, menggunakan data, merumuskan dan menyelesaikan
masalah, bernalar analogis, mengestimasi, menyusun alasan rasional,
menggeneralisasi, mengkomunikasikan ide matematika dan memeriksa
kebenaran jawaban.
Beberapa indikator penalaran matematik (Sumarmo, 2002) dalam
pembelajaran matematika antara lain, siswa dapat:
1. Menarik kesimpulan logik;
2. Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan;
3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi;
4. Mengunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik;
5. Menyusun dan menguji konjektur;
6. Merumuskan lawan contoh (counter example);
7. Mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argumen;
8. Menyusun argumen yang valid;
9. Menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi
matematik.
c. Kemampuan komunikasi matematik,
Komunikasi matematis adalah keterampilan lain yang perlu dikembangkan
dalam pembelajaran matematika. Komunikasi matematis yaitu kemampuan untuk
mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru, dan
lainnya melalui bahasa lisan tulisan. Ini berarti dengan adanya komunikasi
matematis guru dapat lebih memahami kemampuan siswa dalam
menginterpretasikan dan mengekspresikan pemahamannya tentang konsep yang
mereka pelajari.
Matematika tidak hanya sekedar alat bantu berfikir tetapi matematika
sebagai wahana komunikasi antar siswa dan guru dengan siswa. Semua orang
diharapkan dapat menggunakan bahasa matematika untuk mengkomunikasikan
informasi maupun ide-ide yang diperolehnya. Banyak persoalan yang disampaikan
dengan bahasa matematika, misalnya dengan menyajikan persoalan atau masalah
kedalam model matematika yang dapat berupa diagram, persamaan matematika,
grafik dan tabel. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru
lebih praktis, sistematis, dan efisien. Setiap siswa harus belajar matematika
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
132
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan alasan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat,
sistematis dan tepat karena matematika sangat erat dengan kehidupan kita.
Dengan berkomunikasi siswa dapat meningkatkan kosa kata, mengembangkan
kemampuan berbicara, menulis ide-ide secara
Van de Walle (2007) menyatakan bahwa: cara terbaik untuk berhubungan
dengan suatu ide adalah dengan mencoba menyampaikan ide tersebut pada
orang lain.’’ Kemampuan komunikasi matematika merupakan suatu hal yang
sangat mendukung untuk seorang guru dalam memahami kemampuan siswa
dalam pembelajaran matematika. Hal ini didukung oleh NCTM (2000) tanpa
komunikasi dalam matematika, guru akan memiliki sedikit keterangan, data, dan
fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi
matematika. Selanjutnya kemampuan komunikasi dalam matematika perlu
dibangun agar siswa dapat: (1) merefleksi dan mengklarifikasi dalam berpikir
mengenai gagasan-gagasan matematika dalam berbagai situasi; (2) memodelkan
situasi dengan lisan, tertulis, gambar, grafik dan secara aljabar; (3)
mengembangkan pemahaman terhadap gagasan matematik termasuk peranan
definisi dalam berbagai situasi matematika, menggunakan keterampilan
membaca, mendengar, menulis; (4) menginterprestasikan dan mengevaluasi
gagasan matematik; (5) mengkaji gagasan matematik melalui konjektur dan
alasan yang meyakinkan, dan (6) memahami nilai dari notasi peran matematika
dalam pengembangan gagasan matematik.
Salah satu model komunikasi matematis yang dikembangkan adalah
komunikasi model Cai, Lane dan Jacobsin (1996) meliputi (1) Menulis matematis
(Written text). Pada kemampuan ini, siswa dituntut untuk dapat menuliskan
penjelasan dari jawaban permasalahannya secara matematis, masuk akal, jelas
serta tersusun secara logis dan sistematis, (2) Menggambar secara matematis
(Drawing). Pada kemampuan ini, dituntut untuk dapat melukiskan gambar,
diagram dan tabel secara lengkap dan benar, (3) Ekspresi Matematis
(Mathematical Expression). Pada kemampuan ini, siswa diharapkan untuk
memodelkan permasalahan matematis dengan benar atau mengekspresikan
konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau
symbol matematika dengan benar, kemudian melakukan perhitungan atau
mendapatkan solusi secara lengkap dan benar.
d. Kemampuan pemecahan masalah matematik
Pendidik harus bisa menempatkan dirinya sesuai keadaan siswa. Ia harus
mencoba memahami apa yang terjadi di dalam pikiran siswa dan meminta
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
133
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pertanyaan atau menunjukkan langkah yang bisa terjadi pada siswa sendiri. Polya
dalam bukunya How to Solve It memberikan saran dalam mengajar mahasiswa
matematika. Menurut Polya (1985), terdapat empat prinsip-prinsip dasar dalam
memecahkan masalah yaitu memahami masalah, merencanakan pemecahan,
melaksanakan rencana, dan melihat kembali. Adapun penjelasan dari keempat
prinsip yang diajukan Polya yang digunakan dalam memecahkan suatu masalah
dapat diuraikan sebagai berikut.
Tahap Pemahaman Masalah (Understanding Problem)
Tahap ini merupakan tahap awal dalam melatih siswa untuk
mengembangkan kemampuan pemecahan masalahnya. Pada tahap ini siswa
harus mampu memahami kondisi soal atau masalah yang disajikan, menurut
Polya, untuk mengetahui ciri apakah siswa memahami terhadap isi permasalahan,
maka guru harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada
kemampuan siswa dalam mengidentifikasi masalah, pertanyaan yang dapat
diajukan antara lain:
Apakah siswa mengerti semua kata atau istilah yang digunakan dalam
menyatakan masalah?
Apa yang siswa minta untuk menemukan atau menunjukkan?
Dapatkah siswa menyatakan kembali masalah dengan perkataannya
sendiri?
Dapatkah siswa memikirkan gambar atau diagram yang dapat
membantunya memahami masalah?
Apakah ada informasi yang cukup untuk memungkinkan siswa
menemukan solusi?
Tahap Perencanaan (Devising a Plan)
Pada tahap kedua, siswa mampu memikirkan langkah-langkah yang penting
dan saling menunjang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapkannya.
Kemampuan berpikir yang tepat hanya dapat dilakukan jika siswa telah dibekali
pengetahuan yang cukup sebelumnya, bukan hal yang baru sama sekali tetapi
pengetahuan yang serupa dengan permasalahan yang dihadapi. Polya
menyebutkan bahwa ada banyak cara yang masuk akal untuk memecahkan
masalah. Keterampilan dalam memilih strategi yang tepat dan terbaik adalah
belajar dengan memecahkan banyak masalah.
Selain itu, siswa juga harus bisa menemukan hubungan antara data dan
yang tidak diketahui. Siswa mungkin diwajibkan untuk mempertimbangkan
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
134
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
masalah tambahan jika hubungan langsung tidak dapat ditemukan. Strategi yang
harus dilakukan oleh guru dalam tahapan ini guru menyiapkan pertanyaan-
pertanyaan yang mengarah pada kemampuan siswa dalam menemukan strategi
yang akan digunakan dalam pemecahan masalah, pertanyaan yang dapat diajukan
antara lain bersesuai dengan hal-hal sebagai berikut:
Pernahkah siswa melihat permasalahan ini sebelumnya? Atau siswa
melihat masalah yang sama dalam bentuk yang sedikit berbeda? Apakah
siswa tahu masalah yang terkait?
Apakah siswa tahu teorema yang bisa digunakan dalam menyelesaikan
masalah yang terkait?
Berikut ini adalah masalah yang berkaitan dengan siswa dan telah
dipecahkan sebelumnya.
Bisakah siswa menggunakannya? Bisakah siswa menggunakan hasilnya?
Bisakah siswa menggunakan metodenya? Dapatkah siswa
memperkenalkan beberapa elemen tambahan agar penggunaannya
memungkinkan? Bisakah siswa menyatakan kembali masalah?
Bisakah siswa menyatakan kembali masalah dengan cara yang berbeda?
Kembali kepada definisi, Jika siswa tidak dapat menyelesaikan masalah yang
diusulkan, cobalah pertama-tama menyelesaikan terlebih dahulu beberapa
masalah yang berhubungan.
Bisakah siswa membayangkan masalah terkait lebih mudah diakses?
Masalah yang lebih umum? Masalah khusus lainnya? Masalah yang
analog?
Bisakah siswa memecahkan bagian dari masalah? Bisakah siswa
mendapatkan sesuatu yang berguna dari data? Bisakah siswa memikirkan
data lain yang tepat untuk menentukan yang tidak diketahui?
Bisakah siswa mengubah data atu informasi yang tidak diketahui, atau
keduanya jika perlu, sehingga data baru dan informasi yang tidak
diketahui menjadi lebih dekat satu sama lain?
Apakah siswa menggunakan semua data? Apakah siswa menggunakan
seluruh kondisi?
Apakah siswa memperhitungkan semua gagasan penting yang terlibat
dalam masalah ini?
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
135
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahap Pelaksanaan Rencana (Carrying Out The Plan)
Siswa melakukan perhitungan berdasarkan informasi atau data yang
diperlukan dengan menfaatkan konsep atau teorema yang sesuai. Pada tahap ini
siswa harus mampu membentuk sistematika yang lebih umum, dalam arti konsep
atau teorema yang akan digunakan sudah merupakan konsep atau teorema yang
siap untuk digunakan sesuai dengan permasalahan. Kemudian siswa mulai
memasukkan data-data hingga mengarahpada rencana pemecahannya. Siswa
melaksanakan langkah-langkah rencana sehingga permasalahan tersebut dapat
dibuktikan atau diselesaikan. Siswa harus mampu memeriksa setiap langkah
penyelesaian dan memastikan bahwa ia melakukan langkah yang benar. Selain itu,
siswa juga harus mampu membuktikan bahwa itu benar.
Tahap Pemeriksaan Kembali (Looking Back)
Siswa harus berusaha memeriksa kembali dan menganalisis kembali dengan
teliti setiap langkah penyelesaian yang telah dilakukan. Polya menyebutkan
bahwa banyak keuntungan yang bisa diperoleh dengan mengambil waktu untuk
memeriksa kembali pekerjaan yang telah dilakukan. Melakukan hal ini
memungkinkan siswa untuk memprediksi strategi yang sesuai yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah di masa depan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam tahapan ini yaitu:
Dapatkah siswa memeriksa hasilnya?
Dapakah siswa memeriksa argument?
Dapatkah siswa memperoleh solusi yang berbeda?
Bisakah siswa melihatnya secara sekilas?
Dapatkah siswa menggunakan hasil atau metode untuk beberapa masalah
lain?
Pendekatan pemecahan masalah merupakan focus dalam pembelajaran
matematika. Salah satu negara yang mengembangkan pendekatan pemecahan
masalah dalam matematika adalah Singapura. Pemecahan masalah mencakup
masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak
tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Keterampilan
kemampuan memecahkan masalah meliputi keterampilan memahami masalah,
membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan
solusinya.
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
136
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Kemampuan representasi matematik.
Representasi juga diperlukan dalam mempelajari matematika.
Menyelesaikan persoalan matematika tidak hanya menggunakan kemampuan
berpikir semata, namun hasil pemikiran tersebut harus direpresentasikan agar
memudahkan orang lain memahami apa yang sedang kita analisis. Banyak cara
yang dapat digunakan untuk merepresentasikan matematika, misalnya
representasi dalam bentuk model matematis sebagai pengganti dari suatu situasi
masalah (Fadilah, 2009), model dan interpretasi fenomena fisik, sosial, dan
matematika dengan penuh arti untuk meningkatkan penalaran (Kalathil & Sherin,
2000) dan pemahaman terhadap ide-ide matematika (Hatfield, 2008),
representasi lisan atau tulisan (Krees, 2001). Selanjutnya, representasi juga
diartikan sebagai bentuk ekspresi dari fenomena, objek, kejadian, konsep-konsep
abstrak, gagasan, proses mekanisme dan bahkan sistem (Chiu, 2009), ungkapan-
ungkapan dari ide matematis yang ditampilkan siswa yang digunakan untuk
menemukan solusi dari suatu masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari
interpretasi pikirannya (Fadillah, 2009)
Kemampuan representasi matematik merupakan salah satu komponen
standar proses dalam pembelajaran matematika (NCTM, 2000). Representasi
dalam matematika biasanya menggunakan objek fisik, gambar, charta, grafik dan
symbol-simbol lainnya yang digunakan oleh siswa untuk mengkomunikasikan apa
yang telah mereka pikirkan. Ketika siswa dihadapkan pada situasi masalah
matematika dalam pembelajaran di kelas, mereka akan berusaha memahami
masalah tersebut dan menyelesaikannya dengan cara-cara yang mereka ketahui
dengan cara membuat model atau representasi dari masa2lah tersebut.
Representasi yang dibuat siswa merupakan suatu bentuk ungkapan dari
gagasan atau ide-ide matematika yang mereka tampilkan dalam upaya
menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya. NCTM (2000)
menetapkan ada tiga standar kemampuan representasi untuk pembelajaran
matematika di sekolah, yaitu:
1) Membuat dan menggunakan representasi untuk mengorganisasikan,
mencatat dan mengkomunikasikan ide-ide matematika.
2) Memilih, menerapkan, dan menterjemahkan representasi matematis untuk
memecahkan masalah
3) Menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan
fenomena fisik, sosial, dan matematika.
Representasi pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu representasi internal
dan representasi eksternal (Haries, 2009), berpikir tentang ide matematika yang
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
137
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilakukan dalam proses pikiran seseorang, maka orang tersebut dapat dikatakan
sedang melakukan representasi internal, sedangkan berpikir tentang ide
matematika yang kemudian dikomunikasikan maka memerlukan representasi
eksternal yang wujudnya dapat menggunakan beberapa media antara lain: (1)
sajian visual seperti tabel, gambar, grafik, (2) pernyataan matematika atau notasi
matematika, (3) teks tertulis yang ditulis dengan bahasa sendiri baik formal
ataupun kombinasi semuanya (Fadillah, 2009), atau dapat juga menggunakan tiga
bentuk representasi lainnya, misalnya representasi verbal, representasi pictorial,
dan representasi simbolik (Villegas, 2009). Representasi verbal adalah
representasi yang berupa teks tulisan, representasi pictorial adalah representasi
yang berupa diagram, grafik, dan lainnya, sedangkan representasi simbolik adalah
representasi yang berupa simbol aljabar, operasi matematika dan relasi, angka,
dan berbagai jenis lain.
Lain halnya dengan pendapat Post & Behr (Van De Walle, 2007), yang
membagi representasi matematika kedalam lima jenis, yaitu representasi situasi
dunia nyata, representasi model manipulatif, representasi simbol tertulis,
representasi bahasa lisan atau verbal dan representasi gambar atau grafik.
Pendekatan Analogi
Menurut Gerhard (Hulukati, 1997), ada tiga faktor yang perlu mendapatkan
perhatian dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di dalam kelas, yaitu:
1. Penciptaan suasana lingkungan yang responsif artinya suasana yang terjadi
dalam proses pembelajaran tampak lebih interaktif yaitu adanya interaksi baik
antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Siswa
diarahkan oleh guru untuk menjadi dirinya sendiri. Dalam hal ini siswa
menjadi pelajar yang otonom,
2. Penggunaan strategi-strategi mengajar yang memberi penekanan pada proses
penalaran. Yang terpenting dalam hal ini adalah pemberian kepada siswa
untuk melakukan penalaran yaitu dengan merancang kegiatan-kegiatan yang
menuntut siswa untuk berfikir dan bernalar,
3. Melakukan evaluasi diagnostik dan evaluasi berkesinambungan untuk
memantau perkembangan siswa. Evaluasi diagnostik dilakukan untuk
mengetahui pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki siswa. Hal ini
penting untuk menentukan materi ajar kemampuan-kemampuan yang
diperlukan, metode dan sumber belajar yang akan digunakan. Evaluasi
berkesinambungan dilakukan secara bersama antar guru dengan siswa untuk
melihat perkembangan siswa dalam kaitan denga pencapaian tujuan,
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
138
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perangsangan dan perangsangan ulang pengalaman belajar bagi siswa,
sehingga tujuan yang diharapkan dapat diraih dan perkembangan siswa selalu
terpantau.
English (Herman, 2004) menyatakan bahwa The human ability to find
analogical correspondences is a powerful reasoning mechanism . Artinya bahwa
kemampuan manusia dalam menemukan kesamaan antara dua hal yang berlainan
merupakan salah satu kekuatan dalam proses penalaran. Selanjutnya Herman
(2004) menyebutkan bahwa penalaran analogi, metafora serta representasi
mental dan fisik merupakan alat berfikir yang seringkali menjadi sumber inspirasi
hipotesis, memecahkan permasalahan dan alat bantu untuk belajar dan transfer.
Menurut Dagher (Rusyana, 1998) analogi dapat disajikan secara: (1)
compound analogies artinya analogi secara bertingkat (2) narrative artinya bahwa
penalaran analogi dapat disajikan dalam bentuk cerita (3) prosedural artinya
analogi dapat dilakukan secara prosedur (4) peripheral artinya analogi dapat juga
diakukan dengan cara mengaplikasikan sesuatu dengan objek yang ada di
sekitarnya dan (5) simple artinya analogi dapat disajikan secara sederhana. Dalam
hal ini berarti bahwa menganalogikan sesuatu harus berdasarkan pada
pengalaman kehidupan sehari-hari atau pengalaman hidup yang dapat di
observasi, sains fiksi, cerita perseorangan dan objek-objek yang sifatnya umum.
Selanjtnya menurut Lawson (Rusyana, 1998), penggunaan pendekatan
analogi untuk membantu siswa dalam memahami konsep-konsep secara teoritis
dapat disajikan dalam bentuk: (1) diagram, (2) kalimat-kalimat pendek, (3)
pengalaman fisik yang sifatnya aktual, (4) simulasi dan (5) kegiatan dengan
menggunakan komputer.
Sedangkan menurut Clement (Rusyana, 1998) model sederhana dari
penalaran analogi digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1 Model Penalaran Analogi
Kasus A dianalogikan dengan kasus T. Artinya bahwa kunci pemahaman
siswa ada di T yang ditandai dengan lingkaran titik-titik. Ada 3 persyaratan yang
diperlukan untuk memahami analogi yang dimaksudkan pada gambar 2.5, antara
lain:
A
T
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
139
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hubungan antara p dengan
barisan:
a. p-2, p-4, p-6, p-8,...
b. p+2, p+4, p+6, p+8,...
c. p, 2p, 3p, 4p,...
d. p, p2, p
3, p
4,...
Hubungan antara
bilangan -2 dengan
barisan 8,6,4,2,…
1. siswa harus memahami kasus A secara meyakinkan,
2. siswa harus memahami bahwa kasus A sama dengan kasus T,
3. siswa harus bisa mengaplikasikan kasus A ke kasus T.
Untuk membantu siswa memahami bahwa kasus A sama dengan atau
serupa dengan kasus T, maka harus dibuat sebuah jembatan analogi (Dwirahayu,
2009), artinya bahwa jembatan analogi bukan hanya merupakan argumen
deduktif melainkan suatu penghubung untuk memudahkan siswa dalam
memahami suatu pengetahuan yang baru. Strategi mengajar yang menggunakan
pendekatan analogi adalah sebagai berikut:
1. menentukan konsep yang akan disajikan dalam hal ini konsep tersebut kita
misalkan sebagai A, kemudian memberikan penjelasan secara garis besar
mengenai konsep A sehingga disetujui dan diterima oleh siswa,
2. membentuk analogi,
3. menggunakan jembatan analogi yang dikombinasikan dengan diskusi
kelompok untuk mengaktifkan kemampuan berfikir siswa,
4. menggunakan sebuah model, dalam hal ini adalah T sehingga A dapat
dijelaskan oleh T.
Beberapa contoh pembelajaran matematika yang menggunakan
pendekatan analogi, misalnya:
1.
jawaban yang benar adalah c, sebab pada barisan 8,6,4,2,... angka -2 sebagai
beda, sehingga p juga berlaku sebagai beda pada barisan p, 2p, 3p, 4p,...
2. Didalam sebuah keranjang terdapat buah jeruk. Jika empat buah jeruk diperas
akan menghasilkan enam gelas air jeruk. Berapakah banyaknya jeruk yang
harus diperas untuk menghasilkan 15 gelas air jeruk? Berapakah banyaknya
air jeruk yang dihasilkan jika 20 buah jeruk yang diperas?
Penyelesaian pada kalimat pertama, siswa dapat menemukan perbandingan
4:6, selanjutnya dengan menggunakan analogi dengan kalimat pertama, maka
banyaknya jeruk yang harus diperas untuk menghasilkan 15 gelas adalah 10
analog
dengan
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
140
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
buah jeruk. Masih menggunakan analogi dengan kalimat pertama, siswa
dapat menentukan banyaknya air yang dihasilkan jika memeras 20 jeruk.
3. Misalkan gambar persegi panjang berikut ini menunjukkan sebuah kartu.
Setiap kartu memiliki dua sisi, dan setiap sisi pada kartu memiliki tulisan yang
berbeda. Pada sisi yang satu bertuliskan huruf alfabet dan pada sisi yang
lainnya bertuliskan angka.
Jika diberikan aturan mengenai keempat kartu di atas sebagai berikut: Jika
sebuah kartu memiliki huruf vokal pada salah satu sisinya maka sisi lainnya
memiliki angka genap
Pertanyaannya: Kalian diminta untuk memutuskan kartu mana yang akan
kamu balik sehingga aturan di atas berlaku atau tidak berlaku..
a. E dan 6 c. F dan 6
b. E dan 7 d. F dan 7
Jawaban yang benar adalah b, sebab kartu yang bertuliskan huruf E
tentu saja benar dan tidak diragukan lagi, karena sesuai dengan peraturannya.
Dengan menggunakan negasi dari pernyataan diatas menjadi jika sisi yang
satu bilangan ganjil maka sisi lainnya adalah huruf konsonan . Dengan cara
analogi kartu yang bertuliskan angka 7 dibelakangnya pasti huruf konsonan.
Pengertian analogi menurut Duit (Guera dan Ramos, 2011): Analogies,
metaphors and model are common devices in everyday experience, spoken and
written communication when trying to make familiar the unfamiliar. Very often,
they are collectively considered to be analogies because of their potential to
compare one object or situation to another, and in that process, transfer either
details, relational information or both. Sedangkan Glynn (2007), An analogy is a
similarity between concepts. Analogies can help studets build conceptual bridges
between what is familiar and what is new .
Analogi merupakan suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu
gagasan terlihat baru dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang
mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. Analogi merupakan suatu
peta pengetahuan dari suatu konsep (dasar/analog) ke konsep lain (target) yang
memperlihatkan suatu sistem hubungan yang dimiliki oleh konsep analog juga
7
6
J
E
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
141
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dimiliki oleh konsep target (Gentner, 2012), atau analogi juga dapat diartikan
sebagai model penjelasan suatu konsep atau topik dengan cara menganalogikan
dengan suatu peristiwa yang mudah dimengerti oleh siswa secara konstruktif
(irawati, 2012).
Mengajar menggunakan pendekatan analogi akan membantu siswa
memahami matematika yang abstrak, (Dwirahayu, 2016) dimana ketika siswa
dihadapkan pada suatu permasalahan matematika, siswa akan membuat
representasi dari permasalahan yang disajikan baik representasi dalam bentuk
gambar maupun symbol sesuai dengan pemahaman mereka, sehingga
memudahkan mereka menyelesaikan soal-soal matematika. Namun demikian
keunggulan pendekatan analogi dalam pembelajaran matematika antara lain: 1.
Membantu siswa memahami konsep baru dengan mudah karena diajarkan
konsep lain yang lebih sederhana, 2. Melatih kemampuan penalaran siswa karena
siswa dihadapkan pada dua permasalahan serupa namun berbeda, siswa diminta
untuk menemukan persamaan dan perbedaannya, 3. pemahaman konsep yang
abstrak yang merujuk pada contoh-contoh dalam kehidupan nyata, 3. analogi
menuntut guru untuk mempertimbangkan pengetahuan/konsep awal yang
dimiliki siswa sehingga proses pembelajaran yang dilakukan akan mengurangi
ketidakpahaman siswa terhadap materi atau konsep yang diajarkan. Menurut
Zook (Slavin, 2008) penggunaan analogi dapat membantu siswa untuk memahami
informasi baru dengan menghubungkan konsep-konsep yang telah ada dalam
ruang memori pebelajar.
Kodratoff (Purwanti, 1990) mendefinisikan analogi melalui skema sebagai
berikut:
Misalkan A dan B dianggap sebagai konsep dasar yang digunakan untuk
mengajarkan konsep A’dan B’, r menyatakan hubungan antara konsep A dan
konsep B sehingga hubungan keduanya ditulis dalam bentuk (A, B), artinya B
tergantung secara kausal pada A. r akan menyebabkan terjadinya r’ yang
menyatakan relasi (A’, B’) yang artinya bahwa B’ tergantung secara kausal pada A’,
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
142
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
s yang menyatakan kesamaan antara A dan A’, serta s’ yang menyatakan
kesamaaan antara B dan B’. Selanjutnya Nguyen (Purwanti, 1990) dalam penelitiannya membahas
penggunaan analogi antara konsep dan konsep, yaitu analogi antara vektor dalam
ruang untuk konsep target dan vektor dalam bidang sebagai konsep analog yang
di gambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1 Analogi antara vektor dalam ruang dan vektor dalam bidang
Materi Koordinat vektor dalam ruang Koordinat vektor dalam
bidang
Tahap
awal
Memperkenalkan Koordinat vektor
dalam ruang
Koordinat vektor dalam ruang
Sumbu
Koordinat
Koordinat Oxyz (O, , , ��) Koordinat Oxyz (O, , )
Vektor
Koordinat
= ; ;z ↔ = . + . + . ��
Diberikan: = (x;y;z), = ′, ′, ′ = { = ′= ′= ′ + = + ′; + ′; + ′ − = − ′; − ′; − ′ 𝑘 = (kx; ky; kz) . = . ′; . ′; . ′ ⊥ ↔ + ′; + ′; + ′= 0 cos , =. ′+ . ′+ . ′√ 2+ 2+ 2.√ ′2+ ′2+ ′2
= ; ;z ↔ = . + .
Diberikan: = (x;y), = ′, ′) = { = ′= ′ + = + ′; + ′ − = − ′; − ′ 𝑘 = (kx; ky) . = . ′; . ′ ⊥ ↔ + ′; + ′= 0 cos , =. ′+ . ′√ 2+ 2.√ ′2+ ′2
Koordinat
titik
M ; ;z ↔ = . + . + . ��
Diberikan :
M= (x;y;z), N= ′, ′, ′ = ′ − ; ′ − ; ′ −
M ; ;z ↔ = . + .
Diberikan :
M= (x;y), N= ′, ′ = ′ − ; ′ −
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
143
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari kedua penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan
analogi dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan melalui dua pendekatan
yaitu analogi terhadap kehidupan sehari-hari dan analogi terhadap konsep
sebelumnya. Agar pembelajaran dengan menggunakan pendekatan analogi dapat
berjalan dengan baik, maka perlu dilakukan dalam 6 tahap pembelajaran (Glynn,
2007), yaitu:
1) Introduce the target concept
Memperkenalkan konsep target yang akan diajarkan melalui sumber
informasi karena konsep tidak boleh diajarkan secara langsung seperti yang
dilakukan dengan menggunakan pendekatan konvensional. Pada tahap ini
guru dituntut berperan aktif dalam mencari somber informasi sebanyak
mungkin yang berkaitan dengan konsep dimaksud. Mengapa guru yang
harus mencari? Konsep target adalah konsep merupakan konsep baru yang
belum pernah diajarkan, sehingga yang bertugas untuk mencari informasi
adalah guru, kalau siswa yang diminta untuk mencari maka kemungkinan
kesalahan konsep akan terjadi atau siswa tidak tahu apa yang harus mereka
cari karena siswa belum mempelajari apapun tentang konsep dimaksud.
Dengan informasi yang diberikan oleh guru akan memberikan sedikit
informasi mengenai konsep yang akan dipelajari. Sehingga siswa mulai
mengenali, mengidentifikasi konsep target berdasarkan sumber informasi
yang diberikan guru pada situasi/masalah yang menjadi topik kunci dalam
pembelajaran.
2) Remind students of what they know of the analog concept
Mengingatkan siswa pada konsep yang pernah dipelajari dan analog dengan
konsep target, ini dimaksudkan agar siswa memahami konsep target yang
akan diajarkan melalui analog konsep sebelumnya. Kegiatan yang dapat
dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi
tentang konsep analog dan konsep target yang dipelajari, dengan
memunculkan pertanyaan-pertanyaan selama diskusi berlangsung
3) Identify relevant features
Siswa menemukan kesamaan bentuk, kesamaan model, maupun kesamaan
prinsip antara konsep analog dan konsep target melalui diskusi selanjutnya
masing-masing kelompok menyajikan temuannya. Tujuannya adalah
menyamakan persepsi antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya
dan kemudian guru mengarahkan pada konsep yang sebenarnya agar
seluruh siswa memiliki pemahaman yang sama terhadap konsep target.
4) Connect (map) the similar features of the law
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
144
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Guru mengarahkan siswa untuk membuat hubungan atau keterkaitan
antara model-model, bentuk-bentuk kesamaan yang dimiliki oleh konsep
analog dan konsep target. Pada umumnya, tahapan ini guru dan siswa
mengidentifikasi ciri-ciri yang relevan dari konsep analog untuk menjelaskan
ciri-ciri yang bersesuai untuk konsep target.
5) Indicate where the analogy between the laws break down
Setelah siswa menemukan kesamaan dari konsep analog dan konsep target,
Pada tahap ini siswa membuat catatan tentang perbedaan antara konsep
analog dengan konsep target untuk menghindari munculnya kesalahan
konsep dalam menyimpulkan definisi dari konsep target
6) Draw conclusion about the law
Guru dan siswa mengidentifikasi ciri yang relevan dari konsep target dan
menjelaskan hubungan antar konsep dengan ciri yang sesuai dari konsep
analog, serta membuat kesimpulan tentang konsep target.
C. Penutup
Dengan menggunakan pendekatan analogi dalam pembelajaran
matematika, siswa dilatih kemampuan penalarannya yaitu ketika siswa diminta
untuk menemukan kesamaan ataupun perbedaan antara konsep lama dengan
konsep yang baru, selanjutnya siswa diminta untuk mengkomunikasikan ide
tersebut dan membuat representasinya sehingga orang lain akan lebih memahami
dan mengerti. Setelah konsep atau model dibuat, siswa
menghubungkan/mengkoneksikan konsep tersebut dengan konsep lain yang
pernah mereka fahami atau mungkin saja dihubungkan dengan kehidupan sehari-
hari sehingga secara keseluruhan, setelah siswa mengerti konsep baru mereka
mampu menyelesaikan permasalahan matematika dengan menggunakan konsep
tersebut.
Penjelasan tentang pendekatan analogi tersebut tidak menutup
kemungkinan dapat diterapkan pada bidang studi lainnya, mengingat bahwa
setiap mata pelajaran yang disajikan di sekolah semuanya bertujuan untuk
menjadikan siswa manusia yang mampu bersaing dan menjadi sumber daya yang
berkualitas. Penerapan pendekatan analogi pada mata pelajaran di luar
matematika perlu dipelajari lebih lanjut sesuai dengan karakteristik materi
pelajaran yang akan disajikan.
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
145
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
D. Daftar Pustaka
Alamsyah (2000) Suatu Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan
Penalaran Analogi Matematika. Tesis. Bandung: UPI.
Cai, Lane dan Jacobsin (1996) Assessing Students' Mathematical Communication
School Science Education. Volume 96, Issue 5
May 1996 Pages 238–246
Chiu, M., and Wu, H., (2009) The Roles of Multimedia in the Teaching and
Learning of the Triplet Relationship in Chemistry. Springer
Science+Business Media B.V. Tersedia di https://www.
researchgate.net/profile/Mei-HungChiu/publication/226079242 diakses
pada 6 Juni 2016
Coxford, A.F. (1995). The Case for Connections , dalam Connecting Mathematics
across the Curriculum. Editor: House, P.A. dan Coxford, A.F. Reston,
Virginia: NCTM.
Dahar. R.W., (1996) Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Dahlan, J.A., (2004) Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman
Matematika Siswa Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP) melalui
Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi. Bandung: UPI
Dwirahayu, G., (2009) Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan
Pendekatan Analogi terhadap Kemampuan Penalaran Matematik Siswa
SMP. Tesis. Bandung: UPI.
Dwirahayu, G., Mubasyiroh, I., Afidah (2017) The Effectiveness of Teaching with
Analogy on Students’ Mathematical Representation on Derivative
Concept. Present on 3rd International Conference on Education in
Muslim Society. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 25-26 October 2017
Fadillah, S. (2009) Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematis,
Pemecahan Masalah Matematis, dan Self Esteem Siswa SMP dalam
Matematika Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Open Ended.
Bandung: Tesis UPI. Tidak diterbitkan.
Gentner, D. & Smith, L. (2012) Analogical reasoning. In V. S. Ramachandran (Ed.)
Encyclopedia of Human Behavior (2nd Ed.). Oxford, UK: Elsevier.
Glynn, S. (2007) Method and Strategies: Teaching with Analogies, Science and
Children.
Guerra and Ramos. (2011) Analogies as Tools for Meaning Making in Elementary
Science Education: How Do They Work in Classroom Settings?. Mexico:
Eurasia.
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
146
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Harisson, Allan G. dan Richard K. Coll., (2013) Analogi dalam kelas Sains Panduan
FAR-Cara menarik untuk mengajar dengan menggunakan Analogi.
Jakarta: Indeks.
Harries, T. and Barmby, P. (2016) Representing and Understanding Multiplication.
United Kingdom: Durham University. 2009. tersedia di
http://dx.doi.org/10.1080/14794800008520169 diakses pada 31 Mei
2016
Hatfield, et al., (2008) Mahematics Method for Elementary and Middle School
Teachers Sixth Edition. Hoboken: John Wiley and Sons Inc.
Herman, T., (2004) Prosiding Seminar Nasional Matematika: Pembelajaran
Matematika Berbasis Masalah dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan
Penalaran Siswa SMP . Bandung: UPI.
Hulukati, E.P. (1997) Kemampuan Penalaran Siswa tentang Konsep Listrik Statik.
Tesis. Bandung: IKIP.
Irawati, Intan (2012) Metode Analogi dan Analogi Penghubung (Bridging Analogy)
dalam Pembelajaran Fisika. In: Seminar Nasional FMIPA-UT 2012.
Kalathil & Sherin, (2000) Role of Student’s Representations in Mathematics
Classroom dalam B. Fishman dan S. O’ Connor Divelbiss (ed), Proceeding
of Fourth International Conference of Learning Science. Mahwah: NJ
Erlbaum.
Kress, G., et.al (2001) Multimodal Teaching and Learning: The Rhetorics of the
Science Classroom. London, UK: Continuum.
Miranti, G., (2004) Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peningkatan
Kemampuan Penalaran Matematika melalui Pembelajaran
Menggunakan Media Program Komputer . Bandung: UPI.
NCTM, (1989) Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.
United States of America: The National Council of Teachers of
Mathematics, Inc.
NCTM, (2000) Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.
United States of America: The National Council of Teachers of
Mathematics, Inc.
Polya, George. (1985). How to Solve It A New Aspect of Mathematical Method.
United States Of America: Pricenton University Press.
Purwanti, S. (1990) Analogi: Penambahan Basis Pengetahuan Sistem Pakar.
Depok: UI. Tidak diterbitkan.
Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147
147
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rusyana, A., (1998) Penerapan Model Mengajar Induktif dengan Menggunakan
Pendekatan Analogi sebagai Upaya untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
Siswa melalui Pengajaran Biologi. Tesis. Bandung: IKIP
Slavin, R.E. (2008) Educational Psychology Theory and Practice 8th
edition. Boston:
Pearson.
Setyabudi. (1991) Kemampuan Berfikir Formal dalam Menguasai Konsep-konsep
Fisika Bidang Arus Listrik Searah pada Siswa Jurusan Elektronika STM
Pembangunan Bandung. Tesis. Bandung: Fakultas Pasca Sarjana IKIP
Bandung.
Siskandar. (2004) Prosiding Seminar Nasional Matematika: Kurikulum 2004 dan
Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah . Bandung: UPI.
Sumarmo, U. (2002) Jurnal Matematika atau Pembelajarannya: Pembelajaran
Berfikir Tingkat Tinggi Matematika Pada Siswa Sekolah Dasar . Edisi
khusus Juli 2002.
Suryana, A. (2016) Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Lanjut (Advanced
Mathematical Thinking) dalam matakuliah Statistik Matematika 1.
Yogyakarta: FMIPA UNY. 2012. tersedia di http://eprints.uny.ac.id/ di
akses pada 1 Juli 2016
Van de Walle, J.A. (2007) Terj. Suyono. Matematika Sekolah Dasar dan
Menengah. Jakarta: Erlangga.
Villegas, J.L., et al, (2009) Representations in Problem Solving: A Case Study in
Optimization Problems, Electronic Journal of Research in Educational
Psychology, No. 17, Vol. 7(1)
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
148
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa
ditinjau dari berbagai Pembelajaran Matematika
berbasis Pendekatan Konstruktivisme
Gusni Satriawati
Pendidikan Matematika - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis
kemampuan komunikasi matematik siswa melalui pembelajaran dengan
pendekatan Konstruktivisme. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif analisis, yaitu menganalisa dan mendeskripsikan
dokumen hasil penelitian mahasiswa terkait kemampuan komunikasi
matematik dengan menggunakan strategi pembelajaran dengan
pendekatan konstruktivisme. Dokumen yang dianalisis merupakan
skripsi mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FITK UIN Syarif
Hidayatullah. Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan tujuan utama
mendeskrpsikan dan menganalisa masing-masing skripsi mahasiswa
secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti
secara tepat terkait kemampuan komunikasi matematik siswa
berdasarkan berbagai strategi pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme. Indikator kemampuan
komunikasi matematik siswa yang akan peneliti analisa dan deskripsikan
adalah memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri,
menjelaskan dan menulis tentang matematika, merefleksikan gambar
dan diagram ke dalam ide-ide matematika, menyatakan peristiwa sehari-
hari dalam bahasa atau simbol matematika. Hasil penelitian tentang
pembelajaran konstruktivisme terhadap kemampuan komunikasi
matematis siswa diperoleh kesimpulan yaitu rata-rata persentase semua
indikator kemampuan komunikasi matematis siswa dengan
pembelajaran konstruktivisme mencapai > 75%, ini berarti bahwa
kemampuan komunikasi matematika yang diajarkan dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme sudah tuntas. Atau dengan
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
149
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kata lain bahwa pendekatan konstruktivisme dapat dijadikan salah satu
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi
matematik siswa.
Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Pendekatan Konstruktivisme
A. Pendahuluan
Kemampuan komunikasi merupakan salah satu kemampuan-kemampuan
yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran
matematika pada poin keempat yaitu agar siswa mampu mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah (Depdiknas, 2006).
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000, h. 68)
merumuskan lima standar proses dalam pembelajaran matematika, yaitu
pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning and
proof), komunikasi (communication), koneksi (connection) dan representasi
(representation). Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi matematis merupakan
salah satu kemampuan penting yang harus dikembangkan dalam diri siswa.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Wadhani, 2011, h. 1-2) Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, menyebutkan bahwa
pembelajaran matematika bertujuan agar siswa mempunyai kompetensi berikut :
1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah;
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika;
3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh;
4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah;
5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
150
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan permendiknas yang telah dikemukakan diatas, terlihat bahwa
salah satu tolak ukur yang menggambarkan tinggi rendahnya keberhasilan siswa
dalam belajar matematika adalah kemampuan komunikasi matematik siswa
terhadap pembelajaran matematika yang diajarkan di sekolah. Kemampuan
komunikasi matematik merupakan kemampuan menyampaikan ide atau gagasan
baik secara lisan maupun tulisan dengan simbol- simbol, grafik, atau diagram
untuk menjelaskan keadaan atau masalah dari informasi yang diperoleh.
Selanjutnya Suhendra (2007, h. 7), matematika akan berhasil dan berdampak
apabila dilandasi daya matematika yang salah satunya adalah matematika sebagai
media mengkomunikasikan ide atau gagasan (Mathematics as communication)
sehingga apabila seseorang yang menguasai matematika akan mampu
mengkomunikasikan ide maupun gagasan yang ia pahami kepada orang lain.
Untuk menunjang tujuan pembelajaran matematika, model pembelajaran
matematika di kelas perlu direformasi. Tugas dan peran guru bukan lagi sebagai
pemberi informasi (transfer of knowledge), tetapi sebagai pendorong siswa
belajar (stimulation of learning) agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan
melalui berbagai aktifitas seperti pemecahan masalah, penalaran dan
berkomunikasi.
Cai, Lane, dan Jacabcsin (1996) berpendapat bahwa sebagai akibat dari
sangat jarangnya para siswa dituntut untuk menyediakan penjelasan dalam
pelajaran matematika, sehingga sangat asing bagi mereka untuk berbicara
tentang matematika. Dengan demikian siswa sangat sulit memberikan penjelasan
yang benar, jelas, dan logis atas jawabannya. Untuk mengurangi kejadian itu
menurut Pugalee (2001), dalam pembelajaran matematika siswa perlu dibiasakan
untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya serta memberikan
tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang
dipelajari menjadi lebih bermakna.
Dewanti (2015, h.43) menyatakan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi
matematis siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional
memperoleh nilai sebesar 41,67. Selain itu penelitian serupa yang dilakukan oleh
Amalia Syafitri (2016, h. 37) menyatakan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi
matematis siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional yaitu
sebesar 51,5. Dari berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia masih tergolong rendah dan
belum terbiasa dengan soal-soal yang menuntut siswa untuk berpikir, bernalar,
dan berkomunikasi matematis.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
151
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari beberapa permasalahan tersebut, kemampuan komunikasi
matematik sangat penting dalam pembelajaran matematika, namun kemampuan
komunikasi matematik siswa masih rendah. Sehingga beberapa mahasiswa
Jurusan Pendidikan Matematika FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tertarik
untuk melakukan penelitian tentang kemampuan komunikasi matematik siswa
melalui beberapa pembelajaran dengan pendekatan konstrutivisme, karena
dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme siswa dituntut untuk
mengkontruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang
mereka miliki, dan siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling
bertukar pengalaman dengan temannya. Dengan demikian, Perlu kiranya peneliti
melakukan analisa tentang penelitian mahasiswa tersebut untuk mengetahui
beberapa indikator kemampuan komunikasi matematik yang masih belum
dikuasai oleh siswa dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan
konstruktivisme.
Kemampuan Komunikasi Matematik
Komunikasi adalah sebuah cara berbagi ide-ide dan memperjelas
pemahaman, maka melalui komunikasi ide-ide direfleksikan, diperbaiki,
didiskusikan dan diubah. Salah satu standar kurikulum yang dikemukakan oleh
NCTM (2000) adalah komunikasi matematik atau mathematical communication
yang bertujuan membantu siswa untuk mengatur dan mengaitkan mathematical
thinking mereka melalui komunikasi, mengkomunikasikan mathematical thinking
mereka secara koheren (tersusun secara logis) dan jelas kepada teman-temannya,
guru dan orang lain, menganalisis dan menilai mathematical thinking dan strategi
yang dipakai orang lain, dan menggunakan bahasa matematika untuk
mengekspresikan ide-ide matematika secara benar.
Baroody (Ansari, 2004) mengemukakan bahwa pembelajaran harus dapat
membantu siswa mengkomunikasikan ide matematika melalui lima aspek
komunikasi yaitu representing, listening, reading, discussing, dan writing.
Sejumlah ahli mengemukakan kemampuan komunikasi matematik
merupakan salah satu kemampuan yang perlu ditumbuhkembangkan di kalangan
siswa. Greenes dan Schulman (Ansari, 2004) mengutarakan, bahwa komunikasi
matematika merupakan: (1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan
konsep dan strategi matematik, (2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap
pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik, (3)
wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
152
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan
mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain. Baroody menyebutkan sedikitnya
ada dua alasan penting, mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika
perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa, yaitu matematika tidak hanya
sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah
atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga sebagai aktifitas sosial dalam
pembelajaran matematika, matematika sebagai wahana interaksi antar siswa, dan
juga komunikasi antara guru dan siswa.
Menurut NCTM (2000), komunikasi seharusnya difokuskan pada tugas-
tugas matematika yang bermakna. Guru seharusnya mengenalkan tugas-tugas
seperti:
a) Tugas yang berhubungan dengan pentingnya ide-ide matematik.
b) Tugas yang dapat diselesaikan dengan banyak metode.
c) Tugas yang memenuhi banyak contoh.
d) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengartikan, menyelidiki,
dan melakukan konjektur.
Sumarmo (2003, h. 5) mengatakan kemampuan komunikasi matematika
merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat
berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk:
a) Merefleksikan benda-benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide-ide
matematika.
b) Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan,
tulisan, konkrit, grafik, dan aljabar.
c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
d) Mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika.
e) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis.
f) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan
generalisasi.
g) Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah
dipelajari.
Menurut NCTM (2000, h. 78) kurikulum standar matematika untuk kelas 5-
8: hendaknya meliputi kesempatan untuk berkomunikasi sehingga siswa dapat:
a) Memodelkan situasi-situasi dengan lisan, tulisan, konkret, gambar, grafik,
dan metode-metode aljabar.
b) Memikirkan dan menjelaskan pemikiran mereka sendiri tentang ide-ide
dan situasi-situasi matematik.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
153
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c) Mengembangkan pemahaman umum terhadap ide-ide matematik,
termasuk peran definisi-definisi.
d) Menggunakan keterampilan membaca, mendengarkan dan melihat
untuk
e) menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematik.
f) Mendiskusikan ide-ide matematik dan membuat dugaan-dugaan dan
alasan-alasan yang meyakinkan.
g) Menghargai nilai notasi matematik dan perannya dalam perkembangan
ide-ide matematik.
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Komunikasi
Ada beberapa faktor yang yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi
matematik, antara lain:
a. Pengetahuan prasyarat (Prior knowledge)
Pengetahuan prasyarat merupakan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sebagai akibat proses belajar sebelumnya. Hasil belajar siswa tentu saja
bervariasi sesuai dengan kemampuan siswa itu sendiri. Jenis kemampuan
yang dimiliki siswa sangat menentukan hasil pembelajaran selanjutnya.
b. Kemampuan membaca, diskusi, dan menulis
Dalam komunikasi matematik, kemampuan membaca, diskusi dan
menulis dapat membantu siswa memperjelas pemikiran dan dapat
mempertajam pemahaman (NCTM, 2000, h.26). Diskusi dan menulis
adalah dua aspek penting dari komunikasi untuk semua level.
c. Pemahaman Matematik (Mathematical knowledge)
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa kemampuan komunikasi menurut para ahli yang akan digunakan dalam
penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
a. Memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan
dan menulis tentang matematika.
b. Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
Agar tercipta situasi pembelajaran yang lebih memberikan suasana yang
kondusif dan dapat mengoptimalkan kemampuan siswa dalam komunikasi
matematik, siswa sebaiknya diorganisasikan dalam kelompok-kelompok kecil.
Untuk memungkinkan terjadinya komunikasi yang lebih bersifat multi arah dapat
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
154
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diterapkan model pembelajaran melalui diskusi kelompok kecil (small group
discussion). (Tim MKPBM, 2001, h. 103).
Kelompok-kelompok kecil tersebut terdiri dari 4 -6 orang siswa yang
memiliki kemampuan heterogen, setiap kelompok terdiri dari siswa pandai,
sedang dan kurang. Di dalam kelompoknya tersebut siswa menyelesaikan tugas
dan memecahkan masalah, sehingga timbul komunikasi dan interaksi yang lebih
berkualitas antar siswa.
Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran lebih menekankan pada
pengajaran top-down, yaitu siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks
untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan
bantuan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan (Nur, 2000, h. 7).
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar
kontruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran
guru ke pikiran siswa. artinya bahwa siswa harus aktif secara mental membangun
struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Pengertian pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan yang mengajak
siswa untuk berpikir dan mengkonstruksi dalam memecahkan suatu
permasalahan secara bersama-sama sehingga didapatkan suatu penyelesaian
yang akurat.
Tiga penekanan dalam teori belajar dengan pendekatan konstruktivisme
sebagai berikut: peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
bermakna, pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam mengkonstruksian
pengetahuan tersebut dan mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru
yang diterima.
Dari prinsip utama dalam pembelajaran dengan metode pendekatan belajar
kontruktivisme adalah pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi
secara aktif oleh struktur kognitif siswa dan fungsi kognitif bersifat adatif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan
anak secara aktif dalam proses belajar matematika dengan pengaitan sejumlah
gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.
Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada
apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
155
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan
mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika itu sendiri.
Selain penekanan dan tahap–tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam
pendekatan belajar konstruktivisme, Hanbury (1996:3) mengemukakan:
Sejumlah aspek dalam kaitannya dalam pembelajaran matematika, yaitu (1)
siswa mengkontruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan
ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa
mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai dan, (4) siswa mempunyai kesempatan
untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan
temannya.”
Untuk meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar matematika dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme adalah: (1) memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2)
memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya
sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada
siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.
Dari beberapa pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
yang mengacu kepada pendekatan konstruktivisme lebih memfokuskan pada
kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. bukan
kepatuhan siswa dalam merefleksikan atas apa yang telah diperintahkan dan
dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Beberapa pembelajaran konstruktivisme yang dibahas dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)
Secara bahasa pengertian Thinking Aloud artinya berfikir keras, Pair
artinya berpasangan dan Problem Solving artinya penyelesaian masalah. Maka
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) sesuai urutan pengertian bahasa
dapat diartikan sebagai teknik berfikir keras secara berpasangan dalam
penyelesaian masalah, yang merupakan salah satu metode pembelajaran yang
dapat menciptakan kondisi belajar aktif terhadap siswa. Jenis pembelajaran ini
membuat siswa untuk mencari tahu sumber-sumber pengetahuan yang relevan.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
156
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sehingga metode TAPPS memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar dan
berpikir sendiri.
Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Claparade. Arthur Whimbey
dan Jack Lochhead pada tahun 1987 (Stice, 2012) telah mengembangkan metode
ini lebih jauh dengan maksud untuk mendorong keterampilan memecahkan
masalah dengan cara membicarakan hasil pemikiran dalam menyelesaikan
masalah pada pengajaran matematika dan fisika. Pada metode TAPPS, siswa di
kelas dibagi menjadi beberapa tim, setiap tim terdiri dari dua orang. Satu orang
siswa menjadi Problem Solver dan satu orang lagi menjadi Listener. Setiap anggota
tim memiliki tugas masing-masing yang akan mengikuti aturan tertentu.
Metode TAPPS merupakan suatu metode pembelajaran yang melibatkan
dua orang siswa bekerja sama menyelesaikan suatu masalah. Setiap siswa
memiliki tugas masing-masing dan guru dianjurkan untuk mengarahkan siswa
sesuai prosedur yang telah ditentukan. Hal pertama yang harus dilakukan oleh
seorang problem solver adalah membaca soal yang dilanjutkan dengan
mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk menyelesaikan masalah dalam
soal tersebut.
Dari pengertian-pengertian di atas, metode TAPPS adalah metode
pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar melalui pemecahan masalah
yang dilakukan secara berpasangan dan saling bertukar peran, dimana satu siswa
memecahkan masalah dan siswa lain mendengarkan sehingga siswa menjadi
pembelajar mandiri yang handal.
Menurut Whimbey dan Lochhead (2012) metode ini menggambarkan
pasangan yang bekerja sama sebagai Problem Solver dan Listener untuk
memecahkan suatu permasalahan setelah selesai bertukar peran. Setiap siswa
memiliki tugas masing-masing, dan guru dianjurkan untuk mengarahkan siswa
sesuai prosedur yang telah ditentukan. Satu orang siswa menjadi Problem Solver.
Hal yang pertama harus dia lakukan adalah membaca soal dan kemudian
dilanjutkan dengan mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk
menyelesaikan masalah dalam soal tersebut. Satu orang lagi sebagai Listener.
Seorang Listener harus membuat Problem Solver tetap berbicara. Tugas utama
seorang Listener adalah memahami setiap langkah maupun kesalahan yang dibuat
Problem Solver. Seorang Listener yang bagus tidak hanya mengetahui langkah
yang diambil Problem Solver tetapi juga memahami alasan yang digunakan untuk
memilih langkah tersebut. Listener harus berusaha untuk tidak menyelesaikan
masalah Problem Solver. Listener sebaiknya dianjurkan untuk menunjukkan bila
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
157
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
telah terjadi kesalahan tetapi tidak menyebutkan letak kesalahannya. Setelah
suatu masalah selesai terpecahkan, kedua siswa saling bertukar tugas. Sehingga
semua siswa memiliki kesempatan untuk menjadi Problem Solver dan Listener.
Proses ini telah terbukti efektif dalam membantu siswa belajar.
Pembelajaran dengan menggunakan metode TAPPS selain tertuju kepada
aspek dan keterampilan kognitif untuk memahami konsep dalam memecahkan
masalah yang menghindari jawaban yang sederhana, tetapi juga bertujuan untuk
melatih verbalisasi siswa dalam menyampaikan permasalahan sekaligus
memecahkannya kepada siswa lain. Pembelajaran akan terasa lebih bermakna
untuk siswa karena mengkolaborasikan aspek berpikir dan interaksi sosial,
sehingga memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk permasalahan yang
dihadapi.
2. Pembelajaran dengan Pendekatan Induktif
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut
pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan
tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, didalamnya
mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran
dengan cakupan teoritis tertentu (Sofan, 2010, h. 187).
Ahli lain juga mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran merupakan
suatu konsep atau prosedur yang digunakan dalam membahas suatu bahan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Yang pelaksanaannya
memerlukan satu atau lebih metode pembelajaran (Erna, 2006, h. 107). Berbagai
macam pendekatan pembelajaran dapat guru terapkan disekolah, salah satunya
adalah pendekatan induktif. Pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh
filosof Inggris Prancis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan
didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin, berpikir induktif ialah
suatu proses berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke umum. Orang
mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu bagi berbagai fenomena, kemudian
menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri itu terdapat pada semua jenis fenomena (Erna,
2006).
Menurut Purwanto (Sagala, 2011), tepat atau tidaknya kesimpulan atau
cara berpikir yang diambil secara induktif bergantung pada representatif atau
tidaknya sampel yang diambil mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar
jumlah sampel yang diambil berarti makin refresentatif dan makin besar pula taraf
dapat dipercaya dari kesimpulan itu dan sebaliknya. Dalam konteks pembelajaran
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
158
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pendekatan induktif adalah pendekatan pengajaran yang bermula dengan
menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu
fakta, prinsip atau aturan.
Pendekatan induktif menggunakan penalaran induktif, hingga cara empiris
dapat diterapkan. Dengan cara ini konsep-konsep matematika yang abstrak dapat
dimengerti murid melalui benda-benda konkret (Erna, 2006, h. 108). Penalaran
atau berpikir induktif adalah kemampuan seseorang dalam menarik kesimpulan
yang bersifat umum melalui pernyataan yang bersifat khusus. Penalaran yang
menggunakan pendekatan induktif pada prinsipnya menyelesaikan persoalan
(masalah) matematika tanpa memakai rumus (dalil), melainkan dimulai dengan
memperhatikan data / soal. Dari data / soal tersebut diproses sehingga berbentuk
kerangka / pola dasar tertentu yang kita cari sendiri, sedemikian rupa sehingga
kita dapat menarik kesimpulan (Nahrowi, 2006).
Pendekatan induktif adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan
proses berpikir siswa berlangsung dari keadaan khusus keadaan umum. Dengan
demikian, pendekatan induktif kebalikan dari pendekatan deduktif. Langkah-
langkah dalam pembelajaran induktif (Zulfiani, 2009) adalah:
a. Memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan.
b. Menyajikan contoh-contoh khusus konsep, prinsip, aturan yang
memungkinkah siswa membuat hipotesis sifat umum dari contoh-contoh
yang disajikan.
c. Menyajikan bukti-bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang
atau menyangkal hipotesis itu.
d. Menyusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti
berdasarkan langkah-langkah yang sebelumnya.
3. Pembelajaran dengan Model Treffinger
Salah satu model belajar kreatif yang dikemukakan oleh Utami Munandar
(2009, h. 172) adalah model Treffinger. Model Treffinger adalah salah satu model
dari sedikit yang menangani masalah kreativitas secara langsung dan memberikan
saran-saran praktis bagaimana mencapai keterpaduan. Menurut Oon-Seng Tan
(tahun buku) Treffinger menggambarkan proses kreatif sebagai urutan tahap di
mana masalah diselesaikan secara sistematis. Menurut Sarson W.Dj.Pomalato
(2006, h. 23), model Treffinger melibatkan dua ranah, yaitu ranah kognitif dan
ranah afektif.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
159
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Adapun langkah-langkah model Treffinger (Munandar, 2009, h. 172) adalah:
1. Tingkat Basic Tools, yaitu meliputi keterampilan berpikir divergen dan teknik-
teknik kreatif. Keterampilan dan teknik-teknik ini mengembangkan
kelancaran dan kelenturan berpikir serta kesediaan mengungkapkan
pemikiran kreatif kepada orang lain.
2. Tingkat Practice with Process, yaitu memberi kesempatan kepada siswa
untuk menetapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat basic tools
dalam situasi praktis.
3. Tingkat Working Real with Problems, yaitu menerapkan keterampilan yang
dipelajari pada tingkat basic tools dan practice with process terhadap dunia
nyata. Pada tingkat ini siswa tidak hanya belajar keterampilan berpikir
kreatif, tetapi juga bagaimana menggunakan informasi ini dalam kehidupan
mereka.
Selanjutnya dalam buku Suryosubroto (2009, h. 196) adanya tiga tingkatan
dalam pembelajaran model Treffinger, yaitu:
1. Tingkat Divergen
Penggunaan pemikiran divergen dan intuisi sebagai landasan tingkat
berikutnya.
2. Proses Pemikiran dan Perasaan
3. Proses pemikiran dan perasaan yang menyuluruh, memperluas dan
memperdalam tingkat pertama serta penerapan fungsi analisis dan sintesis.
4. Aplikasi (terlibat dalam tantangan nyata)
Aplikasi dalam menghadapi masalah yang sebenarnya dengan berusaha
memecahkan masalah secara kreatif yaitu cara sistematis dalam
mengorganisasi dan mengolah keterangan atau gagasan sehingga persoalan
dapat dipecahkan secara imajinatif melalui pengolahan informasi.
Sedangkan menurut Ramayulis (2005, h. 220-224) ada tiga tingkatan teknik
model Treffinger, antara lain:
Teknik I, terdiri atas:
a. Pemanasan
Dalam melakukan pemanasan terhadap siswa, guru harus mengajukan
pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga menimbulkan minat, rasa tertarik
dan rasa ingin tahu siswa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membuat
peserta didik menjadi lebih terbuka dan siap untuk teknik kreatif.
b. Sumbang saran
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
160
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Gay R Lefrancois sumbang saran merupakan suatu sessi dimana
sejumlah besar kemungkinan yang bervariasi diproduksi dan dengan sengaja
meniadakan penilaian tepat tidaknya kemungkinan tersebut. Dalam sumbang
saran guru dilarang mengkritik ide atau gagasan yang diucapkan oleh peserta
didik, diharapkan adanya modifikasi dan kombinasi dengan ide lainnya,
diperlukan adanya kuantitas ide atau gagasan dan yang terakhir adalah
mencari ide unik dan tidak biasa.
c. Pertanyaan yang memacu ide.
Pertanyaan yang memacu ide atau gagasan ini digunakan untuk meningkatkan
gagasan kreatif.
Teknik II, terdiri dari:
a. Sinektik
Sinektik ini merupakan cara yang sangat menarik dan menyenangkan dalam
mengembangkan cara berpikir yang baru dan segar bagi peserta didik.
b. Futuristic
Peserta didik memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
dimasa depan. Hal ini diperlukan agar peserta didik bisa menentukan masa
depannya sendiri.
Teknik III, yaitu pemecahan masalah secara kreatif
Untuk bisa memecahkan permasalahan dengan baik diperlukan beberapa
kriteria, antara lain:
a. Tingkat perkembangan kognitif
b. Persyaratan pengetahuan, yaitu seseorang harus memiliki konsep-konsep
yang relevan serta mampu mengkombinasikan prinsip-prinsip yang telah
dipelajari.
c. Kadar intelegensi, yaitu memiliki kemampuan berpikir logis dan konseptual.
d. Fleksibel, yaitu seseorang mampu mengaplikasikan solusi yang baru.
Sedangkan menurut Sarson W.Dj.Pomalato (2006), bahwa model
Treffinger terdiri dari 3 tahap, 3 tahapan tersebut antara lain:
1. Pengembangan fungsi-fungsi divergen, dengan penekanan keterbukaan
kepada gagasan-gagasan baru dan berbagai kemungkinan.
2. Pengembangan berpikir dan merasakan secara lebih kompleks, dengan
penekanan kepada penggunaan gagasan dalam situasi kompleks disertai
ketegangan dan konflik.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
161
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Pengembangan keterlibatan dalam tantangan nyata, dengan penekanan
kepada penggunaan proses-proses berpikir dan merasakan secara kreatif
untuk memecahkan masalah secara bebas dan mandiri.
Dari pendapat-pendapat di atas mengenai langkah-langkah model
Treffinger dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah model Treffinger meliputi:
1. Tingkat Divergen dan Practice with Process
Tingkat divergen dan practice with process merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan.
2. Working Real with Problems
Working real with Problems merupakan pemecahan masalah yang berkaitan
dengan tindakan nyata dan terdapat di dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Titin (2006), ada beberapa kelebihan model Treffinger,
diantaranya: (1) Mengintegerasikan dimensi kognitif dan afektif dalam
pengembangannya (2) Melibatkan secara bertahap kemampuan berpikir divergen
dalam proses menyelesaikan masalah (3) Memiliki tahapan pengembangan yang
sistematik, dengan beragam metode dan teknik untuk setiap tahap yang dapat
diterapkan secara fleksibel. Model Treffinger ini lebih lanjut oleh Bell Gredler
(suryosubroto, 2009) dikatakan mempunyai beberapa keuntungan atau kelebihan,
antara lain: (1) Memupuk kecerdasan manusia lewat proses pengamatan,
deskripsi memori dan kemampuan pemecahan masalah (2) Mengubah informasi
yang khusus akan menghasilkan pengolahan operasi dasar dalam kegiatan mental
dan memberikan sumbangan atas pengertian kita mengenai proses belajar.
4. Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended
Pendekatan adalah suatu jalan, cara, atau kebijaksanaan yang ditempuh
oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pengajaran dilihat dari sudut
bagaimana proses pengajaran atau materi pengajaran itu, umum atau khusus,
dikelola (Ruseffendi, 1991, h. 240). Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended
adalah pembelajaran yang dimulai dengan memberikan soal yang memiliki banyak
jawaban yang benar (problem terbuka atau incomplete) kepada siswa. Shimada
berpendapat bahwa pendekatan Open-ended merupakan salah satu pendekatan
dalam pembelajaran yang dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan antara
pemahaman, kemampuan, atau cara berpikir siswa yang telah dipelajari
sebelumnya. Menurut Shimada (1997, h. 1), pendekatan ini memberi siswa
kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman menemukan,
mengenali dan memecahkan soal dengan beberapa cara berbeda.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
162
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Contoh penerapan soal Open-ended dalam kegiatan pembelajaran adalah
ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang
berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan dan bukan berorientasi
pada jawaban (hasil) akhir. Sifat "keterbukaan" dari permasalahan itu dikatakan
hilang apabila guru hanya mengajukan satu alternatif cara dalam menjawab
permasalahan. Kegiatan pembelajaran harus membawa siswa dalam menjawab
permasalahan dengan banyak cara dan mungkin juga banyak jawaban (yang
benar) sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam
menemukan sesuatu yang baru.
Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended membantu siswa
melakukan penyelesaian masalah secara kreatif dan menghargai keragaman
berpikir yang mungkin timbul selama mengerjakan soal. Dalam pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan Open-ended, dimulai dengan pertanyaan
dalam bentuk Open-ended yang diarahkan untuk menggiring tumbuhnya
pemahaman atas masalah yang diajukan. Cheeseman berpendapat bahwa
pertanyaan Open ended memerlukan respon mengenai proses berpikir,
kemampuan menyusun generalisasi dan kemampuan mencari hubungan di antara
dua konsep (Wakefield, 1995, h. 485).
Badger (1992, h. 1) menyatakan bahwa pertanyaan Open-ended bukanlah
bentuk pertanyaan dengan banyak pilihan tanpa options. Juga bukan pertanyaan
yang hanya memiliki satu jawaban yang benar. Namun lebih mengarah pada
pertanyaan di mana siswa memiliki peluang untuk berpikir lebih leluasa,
komprehensif tanpa harus kehilangan konteksnya. Keleluasaan berpikir yang
ditawarkan kepada siswa jelas membutuhkan kepekaan guru untuk
menginterpretasikan sekaligus mampu menggunakan banyak kriteria dalam
merespon jawaban siswa.
Berenson (1995) memberi arah dalam melaksanakan pendekatan Open-
ended, yakni dengan cara memberikan sejumlah observasi kepada siswa yang
mungkin jawabannya akan berbeda satu sama lain menurut pengamatannya.
Katsuro (2000) mengemukakan bahwa ada tiga perbedaan jawaban dalam
pendekatan Open-ended, yaitu: (1) Siswa mengerti perbedaan jawaban-jawaban.
Siswa mengetahui alasan-alasan dari perbedaan yang timbul dalam jawaban-
jawaban siswa. (2) Siswa mengerti hubungan antara perbedaan jawaban-jawaban.
(3) Siswa berkembang pengetahuan matematikanya dan berpikir berdasarkan
perbedaan jawaban-jawaban. Dengan adanya perbedaan antar jawaban siswa,
pemahaman matematik siswa akan bertambah dan berkembang.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
163
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prinsip Pembelajaran Open-ended
Permasalahan-permasalahan yang bersifat open yang diberikan dalam
pembelajaran dengan pendekatan Open-ended memungkinkan untuk
memperlihatkan kemampuan komunikasi matematik siswa (Cai, 1996, h. 138).
Permasalahan-permasalahan yang bersifat open dapat memudahkan guru dan
siswa dalam berinteraksi dan berkomunikasi di dalam kelas. Melalui komunikasi
matematik, siswa dan guru dapat saling bertukar pendapat tentang pemahaman
matematik.
Dengan demikian, pendekatan Open-ended menjanjikan suatu kesempatan
kepada siswa untuk mengivestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya
sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain
adalah agar pemahaman matematika siswa dapat berkembang secara maksimal
dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa
terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar. Inilah yang menjadi pokok
pikiran pembelajaran dengan Open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun
kegiatan interaktif antara guru dan siswa sehingga mengundang siswa untuk
menjawab permasalahan dalam berbagai strategi. Pembelajaran dengan
pendekatan Open-ended adalah pendekatan pembelajaran matematika yang
dimulai dengan menyajikan soal yang tak lengkap (terbuka), dan pembelajaran
berlangsung dengan menggunakan banyak pendekatan atau cara yang benar
dalam memecahkan soal yang diberikan. Sedangkan dasar keterbukaannya
(openness) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yakni: process is open (proses
terbuka) yaitu tipe soal yang diberikan mempunyai banyak cara penyelesaian yang
benar, end products are open (hasil akhir yang terbuka) yaitu tipe soal yang
diberikan mempunyai jawaban yang banyak (multiple)., dan ways to develop are
open (cara pengembangan lanjutannya terbuka) yaitu ketika siswa telah selesai
menyelesaikan masalah awal mereka dapat menyelesaikan masalah baru dengan
mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli).
5. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
Pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada teori psikologi kognitif.
Fokus pembelajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa
(perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka)
pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Peran guru pada pembelajaran ini
kadang melibatkan presentasi dan penjelasan suatu hal, namun yang lebih lazim
adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar untuk
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
164
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berpikir dan memecahkan masalah. Menurut Boud, Felleti dan Fogarty (Ngalimun,
2013, h. 89) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu
pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pembelajar
dengan masalah-masalah praktis melalui stimulus dalam belajar.
Meminjam pendapat dari Ibrahim dan Nur ((Rusman, tahun, h. 240) yang
mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu
pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk merangsang berpikir tingkat
tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata termasuk
didalamnya belajar bagaimana belajar. Siswa diharapkan memiliki pemahaman
yang utuh dari sebuah materi yang diformulasikan dalam masalah, penguasaan
sikap positif, dan keterampilan secara bertahap dan berkesinambungan.
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk memahami
suatu konsep, prinsip dan keterampilan melalui situasi atau permasalahan yang
diberikan.
Rumusan yang dikemukakan oleh Prof. Howard Barrows dan Kelson (Taufiq,
2010) mengenai pembelajaran berbasis masalah yaitu: Pembelajaran berbasis
masalah adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya,
dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan
yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki
strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses
pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan
masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan
kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pembelajaran berbasis masalah berbeda dengan pendekatan
pembelajaran yang lain, pembelajaran ini menekankan pada presentasi ide-ide
atau demonstrasi ketrampilan siswa. Peran guru dalam pembelajaran ini adalah
menyajikan masalah. Pembelajaran masalah dilain pihak berlandaskan pada
psikologi kognitif sebagai pendukung teoritisnya. Fokus pembelajaran tidak begitu
banyak pada prilaku siswa, melainkan kepada apa yang dipikirkan siswa (kognisi)
pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Peran guru pada pembelajaran ini
kadang melibatkan presentasi dan penjelasan sesuatu hal kepada siswa, namun
yang lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa
belajar mengkomunikasikan dan memecahkan masalah mereka sendiri.
Dengan demikian, pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan
yang efektifdalam membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah ada
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
165
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial.
Dalam perolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik,
siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan
dan menginvestigasi masalah,mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun
fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja
secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah dengan cara
mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya.
Pada pendekatan pembelajaran berbasis masalah, fokus pembelajaran ada
pada masalah yang dipilih sehingga pemelajar (siswa) tidak saja mempelajari
konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah
untuk memecahkan masalah tersebut. Pendekatan ini digunakan untuk
merangsang berpikir tingkat tinggi dengan situasi berorientasi pada masalah.
Dengan pendekatan ini, siswa dapat berpikir kritis dan kreatif dalam belajar.
Dengan membuat permasalahan sebagai tumpuan pembelajaran, siswa
didorong untuk mencari informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan
permasalahan. Ciri-ciri utama pendekatan pembelajaran berbasis masalah
(Rusman, tahun, h. 232) adalah sebagai berikut:
1) Pemberian pertanyaan atau masalah.
2) Masalah berhubungan dengan dunia siswa dan tidak terstruktur.
3) Memusatkan keterkaitan antar disiplin.
4) Memberikan siswa tanggung jawab utama untuk siswa untuk membentuk
dan mengarahkan pembelajarannya sendiri.
5) Belajar adalah kolaboratif, komunikatif dan kooperatif.
6) Menuntut siswa untuk menampilkan hasil dari setiap penyelesaian masalah
yang ditemukan.
7) Melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dalam proses belajar.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analisis. Penelitian deskriptif disini adalah penelitian yang menganalisa
dan mendeskripsikan dokumen hasil penelitian mahasiswa terkait kemampuan
komunikasi matematik siswa dalam berbagai strategi pembelajaran matematika.
Dokumen yang dianalisis merupakan skripsi mahasiswa Jurusan Pendidikan
Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah.
Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan tujuan utama mendeskrpsikan dan
menganalisa masing-masing skripsi mahasiswa secara sistematis fakta dan
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
166
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat terkait kemampuan
komunikasi matematik siswa berdasarkan berbagai strategi pembelajaran
matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme.
Indikator kemampuan komunikasi matematik siswa yang akan peneliti
analisa dan deskripsikan adalah :
a. Memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan
dan menulis tentang matematika.
b. Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
Ketiga indikator komunikasi matematik siswa dianalisa dengan kritera
ketuntasan setiap indikator mencapai 75% (BSN, 2000). Jika ada indikator
kemampuan komunikasi matematik siswa kurang dari 75% dikatakan tidak tuntas
dalam pencapaian kemampuan komunikasi matematik siswa.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa
a. Metode TAPPS Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa
Pada pembelajaran dengan metode TAPPS kemampuan komunikasi untuk
indikator Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol
matematika memiliki persentase paling rendah yaitu 61,46%.
Pada proses pembelajaran dengan metode TAPPS, siswa dibagi tugas
mengerjakan LKS secara berpasangan, masing-masing bertugas menjadi problem
solver dan listener. Tugas problem solver yaitu membaca soal dan kemudian
dilanjutkan dengan mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk
menyelesaikan masalah dalam soal tersebut. Sedankan tugas listener yaitu
memahami setiap langkah maupun kesalahan yang dibuat Problem Solver.
Kegiatan ini dilakukan secara bergantian antara problem solver dan listener. Jika
kita cermati, kegiatan akan berjalan baik jika siswa sudah memiliki pemahaman
konsep yang baik. Sebaliknya jika pemahaman konsep yang dimiliki siswa kurang
baik, maka kegiatan ini kurang berjalan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa
indikator kemampuan komunikasi Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa atau simbol matematika memiliki persentase paling rendah dikarenakan
pemahaman konsep pada materi yang diterima belum tuntas sehingga siswa
belum dapat menngunakan konsep matematika ke dalam kehidupan sehari-hari.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
167
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Instrumen yang digunakan dalam pembelajaran ini yaitu Lembar Kerja
Siswa (LKS), soal-soal komunikasi dan RPP sudah sesuai dengan pembelajaran
yang digunakan.
b. Penggunaan Bahan ajar dengan Pendekatan Induktif untuk Meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa.
Pada pembelajaran dengan pendekatan induktif, kemampuan komunikasi
untuk indikator Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika
memiliki persentase paling rendah yaitu 72,32%. Hal ini dikarenakan dalam proses
pembelajaran dengan Pendekatan Induktif, bahan ajar yang digunakan masih
kurang memberikan contoh untuk merefleksikan gambar dan diagram kedalam
ide-ide matematika.
Pada pembelajaran ini, siswa tidak diberikan materi secara langsung
melainkan siswa mengkonstruk pengetahuannya sendiri melalui bimbingan guru.
Siswa mempelajari materi dengan mengerjakan contoh-contoh yang dimuat
dalam bahan ajar yang memungkinkan siswa membuat hipotesis sifat umum
mengenai rumus atau konsep materi yang sedang dipelajari. Contoh-contoh
tersebut melatih kemampuan komunikasi siswa pada aspek (1) Memberikan
jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan dan menulis
tentang matematika, (2) Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide
matematika, (3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol
matematika.
Kemampuan komunikasi siswa pada aspek Memberikan jawaban dengan
menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan dan menulis tentang matematika,
juga terasah ketika membuat hipotesis dikarenakan siswa memberikan pendapat
menggunakan bahasa dan pemikirannya sendiri. Bahan ajar juga menyajikan
contoh tambahan yang bertujuan untuk menunjang atau menyangkal hipotesis
itu. Setelah mempelajari contoh-contoh, siswa menyusun kesimpulan atau
pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-
langkah sebelumnya pada kolom yang telah disediakan dalam bahan ajar.
c. Penerapan Model Treffinger untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa
Pada pembelajaran dengan model Treffinger, kemampuan komunikasi pada
indikator Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol
matematika memiliki persentase paling rendah yaitu 73%. Hal ini dikarenakan
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
168
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam proses pembelajarannya dimulai pada tingkat Divergen dan Practice
with Process yaitu guru menggali pengetahuan siswa dengan membuat contoh
dan meminta siswa untuk menyebutkan unsur-unsur pada contoh yang diberikan.
Tahapan yang berikutnya yaitu Working Real with Problems, pada tahapan ini
guru memberikan suatu masalah yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari dan
meminta siswa menyelesaikan masalah tersebut secara berkelompok untuk
selanjutnya dipresentasikan. Namun dalam pelaksanaan model ini guru kurang
mendukung kegiatan siswa untuk mengekspresikan konsep matematika dengan
menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
d. Pendekatan Open-Ended Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
Matematik Siswa
Pada pembelajaran dengan Pendekatan Open-ended, kemampuan
komunikasi pada indikator Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau
simbol matematika memiliki persentase paling rendah yaitu 70,83%. Hal ini
dikarenakan siswa kurang terbiasa dengan menyelesaikan soal-soal terbuka.
Pada proses pembelajaran dengan Pendekatan Open-ended, kegiatan
pembelajaran dimulai dengan menyajikan soal-soal yang tidak lengkap (terbuka)
kepada siswa. Dasar keterbukaan (openness) dapat diklasifikasikan kedalam tiga
tipe, yaitu:1. Process is open (proses terbuka) yaitu tipe soal yang diberikan
mempunyai banyak cara penyelesaian yang benar.2. End products are open (hasil
akhir yang terbuka) yaitu tipe soal yang diberikan mempunyai jawaban yang
banyak (multiple).3. Ways to develop are open (cara pengembangan lanjutan
terbuka) yaitu ketika siswa telah selesai menyelesaikan masalah awal mereka
dapat menyelesaikan masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah
pertama (asli).
e. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Terhadap Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa
Pada pembelajaran Berbasis Masalah, kemampuan komunikasi
pada indikator Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.
memiliki persentase paling rendah yaitu 65,28%. Hal ini dikarenakan dalam proses
pembelajarannya, pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah lebih terfokus
pada menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan
konsep matematika. Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah yaitu, pada
setiap pertemuannya siswa diberikan masalah sebagai awal dari pembelajaran di
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
169
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kelas. Kemudian membentuk kelompok yang terdiri dari 5 atau 6 orang dan
diminta duduk berdasarkan kelompoknya. Pada setiap pertemuannya, kelompok
dibuat berbeda-beda dengan pertemuan sebelumnya dengan memperhatikan
kemampuan siswa dalam masing-masing kelompok tetap merata. Setelah siswa
duduk dalam kelompoknya, setiap kelompok diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS)
yang dijadikan bahan diskusi. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah
meliputi 5 tahap yaitu orientasi siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa
untuk belajar, membimbing pengalaman individu atau kelompok,
mengembangkan dan menyajikan hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah.
Pada tahap pertama siswa dihadapkan pada masalah sehari-hari yang
membuat mereka berpikir bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Masalah yang diberikan berupa masalah-masalah yang menuntut siswa
menggunakan berbagai bentuk komunikasi dalam menyelesaikannya. Hal ini
bertujuan agar siswa lebih luwes dalam menggunakan berbagai macam
komunikasi matematis untuk mencari solusi dan memecahkan masalah yang
diberikan.
Pada tahap mengorganisasikan siswa untuk belajar, siswa berdiskusi dalam
kelompok untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Mereka diminta mencari
solusi masalah tersebut dengan pengetahuan yang telah mereka miliki
sebelumnya dan dihubungkan dengan masalah yang sedang dihadapi. Pada tahap
selanjutnya guru berperan membimbing kelompok yang sedang melakukan
diskusi, berperan sebagai fasilitator, serta berkeliling kelas membantu siswa yang
mengalami kesulitan saat berdiskusi bersama. Guru membantu siswa dengan cara
memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mengonfirmasi apa yang dibutuhkan
siswa agar dapat merangsang pengetahuan mereka dalam menemukan solusi
yang dibutuhkan. Setelah berdiskusi kelompok, tahap selanjutnya adalah
mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Perwakilan siswa dari salah satu
kelompok menyajikan hasil diskusi kelompoknya dan kelompok lain bertugas utuk
menanggapi jawaban dari kelompok yang mempresentasikan. Pada tahap diskusi
ini, siswa diminta untuk menemukan solusi permasalahan yang paling tepat dan
mengembangkannya secara bersama-sama. Apabila terjadi perbedaan cara
penyelesaian suatu masalah, disinilah peran guru sebagai penengah dalam
menentukan solusi permasalahan yang paling tepat dan efisien.
Pada tahap menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah,
siswa dengan bimbingan guru menganalisis dan mengevaluasi hasil karya dari
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
170
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
semua kelompok dan membuat kesimpuan dari permasalahan yang diberikan.
Menyimpulkan solusi permasalahan paling tepat untuk menyelesaikan masalah
yang diberikan dan guru bertugas memberikan penguatan dan penegasan kepada
siswa tentang materi yang dipelajari pada pertemuan itu.
Pembahasan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa.
Kemampuan komunikasi yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu (1)
Memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan dan
menulis tentang matematika. (2) Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam
ide-ide matematika. (3) Mengekspresikan konsep matematika dengan
menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. Hasil
kemampuan komunikasi matematik siswa dalam pembelajaran konstruktivisme,
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Rekapitulasi Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Dalam
Pembelajaran Konstruktivisme
No
Pembelajaran
Indikator
Kemampuan Komunikasi Matematis
(Prosentase %)
(1) (2) (3)
1 Metode TAPPS 73,96 88,89 61,46
2 Pendekatan Induktif 80.35 72,32 78,13%
3 Model Treffinger 75 76 73
4 Pendekatan Open-endeed 83.33 82.26 70.83
5 Pemb. Berbasis Masalah 68,75 65,28 77,08
Rata-rata kemampuan komunikasi
matematik berdasarkan indikator 76.88 76.95 72.1
Rata-rata keseluruhan kemampuan
komunikasi matematis 75,31
Keterangan:
1) Memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan
dan menulis tentang matematika.
2) Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.
3) Mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-
hari dalam bahasa atau simbol matematika.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
171
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan Tabel 1, rata-rata dari persentase semua indikator
kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran konstruktivisme
mencapai > 75% yaitu 75,31, ini dapat dikatakan bahwa kemampuan komunikasi
matematis pada pembelajaran konstruktivisme sudah dapat dikategorikan tuntas
dalam pembelajaran matematika. Hal ini disebabkan karena pada pembelajaran
konstruktivisme, yaitu pembelajaran TAPPS, Induktif, Treffinger, Open-ended,
Berbasis Masalah, memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengkomunikasikan ide-idenya. Guru memberikan interaksi kepada siswa melalui
metode pembelajaran yang baik. Metode pembelajaran tersebut memungkinkan
terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa maupun antara siswa dengan guru.
Pembelajaran yang tepat dapat secara efektif menggiring proses berpikir siswa
kearah yang benar serta perubahan dalam aktivitas dan representasi yang dibuat
siswa dapat secara lebih efektif.
Dari ketiga indikator tersebut, rata-rata kemampuan Merefleksikan
gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika. (76.95%), Memberikan
jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan dan menulis
tentang matematika. (76,88%) dan Mengekspresikan konsep matematika dengan
menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika (72,1%).
Rata-rata Persentase tertinggi yaitu pada kemampuan Merefleksikan gambar dan
diagram ke dalam ide-ide matematika. (76.95%), sedangkan persentase terendah
pada kemampuan Mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan
peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika (72,1%). Hal ini
menunjukkan bahwa siswa kurang dapat menggunakan konsep matematika yang
baik dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan menjelaskan dan
membuat gambar atau grafik.
D. Kesimpulan
Berdasarkaan hasil penelitian yang dilaksanakan mengenai pembelajaran
matematika dengan pembelajaran konstruktivisme terhadap kemampuan
komunikasi matematis siswa diperoleh kesimpulan yaitu Rata-rata dari persentase
semua indikator kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran
konstruktivisme mencapai > 75%, ini dapat dikatakan bahwa kemampuan
komunikasi matematis pada pembelajaran konstruktivisme sudah dapat
dikategorikan tuntas dalam pembelajaran matematika.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
172
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
E. Daftar Pustka
Amalia Syafitri. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran Do Talk Record terhadap
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa”, Skripsi. Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah.
Amir,M. Taufiq. (2010). Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning :
bagaimana pendidik memberdayakan pemelajar di era
pengetahuan”.Jakarta : Kencana.
Ansari, B. I. (2004). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan
Komunikasi Matematik Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write.
Disertasi. Bandung: FPS UPI.
Arthur Whimbey and J. Lochhead. (2012). Problem Solving & Comprehension.
(http://books.google.co.id).
B. Suryosubroto. (2009). Proses Belajar mengajar di Sekolah. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Badger, E dan Brenda, T. (1992). Open-Ended Question in Reading . Practical
Assessment, Research & Evaluation. 3(4).
Bainatul Hayati, Ila (2014). Penerapan Model Treffinger untuk Meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan
Matematika. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berenson, B. S. (1995). Changing Assessment Practices . School Science
Mathematics. 95(4).
BSN, (2000) Panduan Penyusunan KTSP Jenjang Sekolah Dasar dan Menengah,
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Cooney,J.T (2004), Open-Ended Assesment in Math. [Online]. Tersedia:
http://www.heinemann.com/math/about_site.cfm.[ 09/10/ 2005 ].
Cai, J., Lane, S., dan Jacabscin, M.S. (1996). Assesing Students’ Mathematical
Communication . Official Journal of the Science and Mathematics. 95 (5)
238 – 246.
Depdiknas. (2006), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Pusat Kurikulum
Balitbang Depdiknas: Jakarta.
Elizabeth F Barkley. (2010). Student Engagement Techniques: A Handbook For
College Faculty. USA: PB Printing.
Erna Suwangsih dan Tiurlina. (2006) Model Pembelajaran Matematika. Bandung:
UPI PRESS.
Stice, J. E. (2012). Teaching Problem Solving. (http://www.csi.unian.it).
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
173
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jatmiko, M. Anang (2014) dengan judul Pengaruh Metode TAPPS Terhadap
Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan
Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Katsuro, T. (2000). Open-Ended Approach and Improvement of Classroom
Teaching. Mathematics Education in Japan. Tokyo: JSME.
Kumala Akbar, Dewi (2014) dengan judul Penggunaan Bahan ajar dengan
Pendekatan Induktif untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
Matematik Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Munandar,Utami. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Mustika Sari, Dewanti. (2015). ”Pengaruh Pendekatan Concrete Representational
Abstract (CRA) terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ,
Skripsi. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Nahrowi Adjie dan R. Deti Rostika. (2006). Konsep Dasar Matematika. Bandung:
UPI PRESS.
Nata, Abuddin. (2002). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
NCTM. (1989) Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.
Reston, VA: Authur.
NCTM. (2000). Principles ands Standards for School Mathematics. Reston, VA:
Authur.
Ngalimun. (2013) Strategi dan Model Pembelajaran”. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Nur, Muhammad. (2000). Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan
Konstruktivis dalam Pengajaran. Pusat Studi Matematika Sekolah, UNM.
Oon-Seng Tan, (tahun terbit) Problem Based Learning and Creativity, (e-book).
Nama web site????
Rahmawati, Intan (2014) dengan judul Pendekatan Open Eended Untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMP Pada Materi
Bangun Ruang SisiI Lengkung. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ramayulis. (2005). Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: kalam Mulia.
Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174
174
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Sagala, Syaiful (2011), Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung : Alfabeta.
Sarson W.Dj.Pomalato. (2006). Mengembangkan Kreativitas Matematika Siswa
dalam Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan Model Treffinger,
Mimbar Pendidikan.
Shimada, S dan Becker, J.P. (1997). The Open-Ended Approach: A New Proposal for
Teaching Mathematics. Virginia: National Council of Theachers of
Mathematics.
Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi. (2010). Konstruksi Pengembangan
Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Syaifullah, Wahyu (2015), Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah
Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa . Skripsi Jurusan
Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sri Wardhani dkk. (2010). Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK MATEMATIKA.
Sumarmo, U. (2003). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika .
Makalah pada Pelatihan Nasional TOT Guru Matematika dan Bahasa
Indonesia SLTP. Bandung: tidak diterbitkan.
Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
UPI.
Titin Faridatun Nisa. (2011). Pembelajaran Matematika dengan Setting Model
Treffinger untuk Mengembangkan Kreativitas Siswa, Pedagogia.
Wakefield, J dan Velardi, L. (1995). Up – front Assessment: Using Open-Ended
Questions. Celebriting Mathematics Learning. Australia: The Mathematical
Association of Victoria.
Zulfiani, dkk. (2009). Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta.
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
175
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mengurangi Kecemasan Matematika Siswa dalam
Pembelajaran
Gelar Dwirahayu; Afidah Mas ud
Pendidikan Matematika - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected] ; [email protected]
Abstrak: Kecemasan matematika merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan prestasi belajar matematika rendah, sikap cemas anak
terhadap matematika dapat ditunjukkan melalu berbagai sikap dan
perilaku, misalnya kurang nyaman belajar matematika, mengeluh lelah
mengerjakan soal matematika, menghindari pertanyaan yang diberikan
guru kepadanya, ingin segera berganti mata pelajaran, merasa bosan
dan mengantuk didalam kelas karena disebabkan oleh metode
pembelajaran yang digunakan guru hanya sekedar mencatat dan
memberikan soal, bercanda dan mengobrol saat pembelajaran
berlangsung terutama bagi siswa yang duduk di belakang, kurang aktif
didalam pembelajaran dan tegang ketika belajar matematika,
menghindari pertanyaan guru, enggan duduk dibarisan depan ketika
belajar matematika, menganggap matematika itu sulit dan
menyebalkan, matematika membuat siswa pusing karena sulit untuk
diselesaikan dan lain sebagainya. Peran guru dalam mengurangi
kecemasan matematika siswa adalah memilih strategi pembelajaran
yang bervariatif, melakukan relaksasi di dalam kelas pada saat dimana
siswa sudah menunjukkan sikap bosan dan jenuh, serta menyiapkan
berbagai cara untuk menghadapi kesiapan siswa dalam belajar di kelas.
Kata Kunci: Kecemasan, Matematika
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
176
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari
setiap jenjang pendidikan. Tidak sedikit siswa yang memiliki pengalaman tidak
menyenangkan terhadap matematika sehingga mereka menganggap matematika
merupakan pelajaran yang sulit untuk dipahami, membosankan, membuat stres
dan menakutkan bagi siswa. Akibatnya tidak sedikit siswa tumbuh tanpa
menyukai matematika sama sekali dan tidak senang dalam mengerjakan tugas-
tugas yang berhubungan dengan matematika. (Krismanto, 2003). Jika anggapan
seperti ini dibiarkan terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama, akan
berdampak pada pola pikir siswa untuk menghindari pelajaran matematika. Gejala
seperti ini dinamakan kecemasan dalam matematika. Johnson (Desmita, 2010)
menyebutkan ada sekitar 10% hingga 30% anak remaja yang sangat cemas
disekolah dan cukup mengganggu prestasi belajarnya, termasuk didalamnya
adalah kecemasan terhadap pelajaran matematika.
Kecemasan diartikan sebagai bentuk perasaan takut dan khawatir yang
tidak menyenangkan, tidak jelas dan bersifat menyebar (Desmita, 2010), dan
kecemasan tinggi terhadap matematika akan mempengaruhi terhadap hasil dan
prestasi belajar siswa di sekolah (Zakaria & Nurdin, 2008), pembentukan konsep
diri yang buruk, menimbulkan masalah pada perilakunya. Kecemasan dapat
muncul pada diri siswa akibat dari banyak faktor, baik faktor internal maupun
faktor eksternal. Trujillo dan Hadfield (Peker, 2009) menjelaskan bahwa terdapat
tiga faktor penyebab utama munculnya kecemasan dalam diri seseorang saat
menghadapi pelajaran matematika yaitu faktor kepribadian, faktor lingkungan
dan faktor intelektual. Faktor lingkungan misalnya kondisi saat belajar
matematika yang tegang diakibatkan oleh cara mengajar, model atau metode
mengajar yang digunakan kurang tepat. Rasa takut dan cemas terhadap
matematika dan kurangnya pemahaman yang dirasakan guru matematika dapat
terwariskan kepada para siswa.
Beberapa kasus yang terjadi di lingkungan sekolah terkait dengan
kecemasan yaitu hasil wawancara dengan guru dan hasil pengamatan di kelas
yang dilakukan oleh Indriyani , dkk (2016) antara lain:
a. siswa yang terlihat kurang nyaman belajar matematika,
b. mengeluh lelah mengerjakan soal matematika,
c. menghindari pertanyaan yang diberikan guru kepadanya,
d. ingin segera berganti mata pelajaran
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
177
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. merasa bosan dan mengantuk didalam kelas karena disebabkan oleh metode
pembelajaran yang digunakan guru hanya sekedar mencatat dan
memberikan soal.
f. bercanda dan mengobrol saat pembelajaran berlangsung terutama bagi
siswa yang duduk di belakang.
g. kurang aktif didalam pembelajaran dan tegang ketika belajar matematika
h. menghindari pertanyaan guru.
i. enggan duduk dibarisan depan ketika belajar matematika.
j. Menganggap matematika itu sulit dan menyebalkan.
k. Hitung-hitungan dalam matematika membuat mereka pusing
l. Mereka mengakui bahwa jika guru bertanya apakah sudah mengerti atas
penjelasan yang diberikannya, mereka cenderung menjawab mengerti tetapi
sebenarnya masih belum mengerti.
m. Mereka mengeluhkan soal matematika antara yang dijelaskan guru didepan
kelas dan yang mereka dapat untuk dikerjakan berbeda dan lebih sulit.
Guru memegang peranan penting untuk mencari suatu alternatif model
pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan siswa dalam
belajar matematika, disamping membuat siswa untuk memahami dan mengerti
matematika. Alternatif-alternatif yang dapat dilakukan guru kepada siswa untuk
meminimalkan tingkat kecemasan siswa misalkan dengan menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan dan dapat memberikan kenyamanan saat proses
pembelajaran dilakukan. Sama halnya dengan penjelasan didalam buku Models of
Teaching yang mengatakan bahwa untuk dapat mengurangi kecemasan belajar
matematika maka diperlukan teknik relaksasi dan model pembelajaran yang
menciptakan kenyamanan dalam belajar sehingga dapat mengurangi tingkat
kecemasan seseorang. Pada dasarnya, guru diharapkan dapat menerapkan suatu
pembelajaran yang bermakna dengan melibatkan siswa secara aktif didalam kelas.
Menciptakan suasana belajar yang lebih mengasyikkan.
B. Pembahasan
Kecemasan Belajar Matematika
Kata cemas atau “anxiety diambil dari bahasa Inggris setara dengan kata
fear yang memiliki arti kecemasan atau ketakutan. Kecemasan merupakan salah
satu bentuk emosi seseorang yang dapat menyebabkan munculnya rasa stres,
khawatir atau gelisah didalam diri mereka dengan situasi yang berbeda. Kita bisa
merasa cemas terhadap apapun dan kapanpun. Masalah besar atau masalah kecil,
hal baik atau hal buruk jika kita yakini akan terjadi maka akan benar-benar terjadi.
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
178
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Itu semua terletak pada pemikiran positif ataupun negatif terhadap diri kita
sendiri sehingga dapat merangsang otak kita untuk memberikan reaksinya dengan
cara-cara tertentu.
Pada umumnya kita mengalami kecemasan sebagai suatu bentuk perasaan
atau kondisi emosional. Kita merasa terancam, tersingkir dan cepat marah
terhadap sesuatu hal yang tidak disukai. Keadaan emosional kita seringkali
berubah-ubah. Kita juga mungkin mengalami kekhawatiran lebih dari pemikiran
dan kondisi sikap untuk menemukan jati diri kita sesungguhnya. Kaplan, Sadock,
dan Grebb (Fitri, 2005) mendefinisikan bahwa kecemasan sebagai suatu respons
terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal
terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru serta dalam
menemukan identitas diri dan arti hidup.
Masalah kecemasan sangat berkaitan dengan masalah kejiwaan. Para
psikologis mengatakan bahwa kecemasan merupakan bentuk emosi yang dapat
menimbulkan stres dan dapat dirasakan oleh siapapun. Kecemasan yang
dikemukakan oleh Sutardjo A. Wiramiharja (2005) mengatakan bahwa kecemasan
merupakan suatu perasaan yang sifatnya umum dimana seseorang merasa
ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas maupun wujudnya.
Masalah kecemasan yang tumbuh didalam jiwa seseorang akan menghalangi
kemampuan yang mereka miliki. Perasaan seperti itu yang seharusnya segera
diatasi. Jika tidak maka kemungkinan terburuk yang terjadi adalah menghilangnya
rasa kepercayaan diri seseorang terhadap potensi yang dimiliki.
Kecemasan memiliki dampak tidak saja pada penyesuaian fisiologis,
psikologis dan psikososial melainkan juga pada penyesuaian akademik. Fimian dan
Cross (Desmita, 2010) menyatakan bahwa stres anak yang tinggi disekolah lebih
memungkinkannya untung menentang dan berbicara dibelakang guru, membuat
keributan dan kelucuan didalam kelas, serta mengalami sakit kepala dan sakit
perut. Kecemasan anak yang tinggi menunjukkan lebih banyak masalah tingkah
laku, konsep diri yang buruk serta sikap terhadap sekolah dan prestasi akademis
yang rendah.
Atkinson (2008) berpendapat bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak
menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran,
keprihatinan, dan rasa takut. Kekhawatiran dan rasa takut yang tinggi akan
membuat aktivitas seseorang menjadi terganggu. Mereka akan gelisah, tegang
dan merasa tidak mampu dalam menghadapi suatu kondisi yang mereka anggap
sebagai suatu ancaman bagi dirinya sendiri. Rasa takut seperti rintangan yang tak
tampak yang akan membuat kita selamanya terkurung didalam kehidupan tanpa
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
179
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tantangan, kegembiraan, rasa ingin tahu atau perayaan (DePorter, 2013). Dengan
kata lain, rasa takut akan menjauhkan kita dari penemuan kemampuan yang tidak
terbatas.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan
adalah salah satu bentuk emosi yang direfleksikan dengan rasa takut, tegang,
gelisah, was-was dan khawatir akan perasaan dari ketidakmampuan seseorang
dalam mengatasi suatu permasalahan yang dihadapinya. Segala pemikiran negatif
terhadap diri sendiri akan berpengaruh terhadap reaksi yang ditunjukkan misalkan
dengan menghindar dan tentunya akan menjauhkan kita kepada kemampuan
yang seharusnya tak terbatas menjadi terbatas.
Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan
kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan.
Kecemasan seringkali disertai dengan gejala fisik seperti sakit kepala, jantung
berdebar cepat, dada terasa sesak, sakit perut, atau tidak tenang dan tidak dapat
duduk diam, dan lain sebagainya. Supratiknya (1995) mengatakan bahwa
gangguan kecemasan dapat dilihat dari tanda-tanda yang muncul didalam diri
seseorang diantaranya senantiasa diliputi rasa tegang, was-was dan resah yang
bersifat tidak menentu, sulit berkonsentrasi dan takut salah mengambil
keputusan, mengeluarkan banyak keringat dan telapak tangan basah, mengalami
gangguan pada pernafasan dan jantung berdebar-debar.
Kecemasan menggambarkan keadaan emosional seseorang yang dikaitkan
dengan rasa takut yang ada didalam dirinya sendiri. Jenis dan derajat ketakutan
setiap orang pun berbeda-beda. Misalnya saja takut dengan lingkungan sekolah,
seperti contoh takut pada guru yang mengajar, suasana kelas yang kaku dan
menegangkan, takut atau khawatir pada mata pelajaran matematika. Adapun efek
dari sikap yang ditunjukkan seseorang apabila ia sedang merasa cemas dapat
dilihat dari segi fisik maupun psikologis. Adapun indikator fisik dalam kecemasan
diantaranya seperti sakit kepala, sakit perut, berkeringat, menggigit kuku,
berbicara tersendat-sendat, tidak bisa diam dan kebingungan (Soemanto, 2006).
Sedangkan kecemasan secara psikologis seperti bergetar, tidak dapat duduk
tenang, tidak dapat bersantai, pusing, jantung yang berdetak cepat dan
berkeringat (King, 2010).
Pada dasarnya kecemasan adalah cara seseorang memberikan reaksi
terhadap kejadian-kejadian didalam hidup kita. Grant Brecht (2000) menjelaskan
bahwa seseorang merasa khawatir atau cemas ditandai adanya gejala-gejala
seperti takut atau menyingkir, ragu-ragu, tegang, terguncang, pesimis, cemberut,
emosional, ketus, berjalan, banyak bicara, pasif dan pendiam. Kecemasan dalam
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
180
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jangka waktu yang panjang akan mengalami kesulitan untuk mengendalikannya
dan kemampuan untuk menikmati hidup akan terganggu. Apabila kita tidak
mampu mengatasi rasa cemas ini maka kita akan mudah merasa putus asa dan
tentunya rasa cemas yang dialami akan menjadi lebih besar lagi.
Gejala-gejala kecemasan yang muncul dari dalam diri seseorang juga
dijabarkan oleh Cooke (2011) yang mengidentifikasikan bahwa ada 4 buah
indikator kecemasan matematika diantaranya Mathematics Knowledge, Somatic,
Cognitive dan Attitude. Berikut penjelasan dari masing-masing indikator
kecemasan :
1. Mathematics Knowledge/Understanding berkaitan dengan hal-hal seperi
munculnya pikiran bahwa dirinya tidak cukup tahu tentang matematika.
2. Somatic berkaitan dengan perubahan pada keadaan tubuh individu, misalnya
tubuh berkeringat atau jantung berdebar-debar.
3. Cognitive berkaitan dengan perubahan pada kognitif seseorang ketika
berhadapan dengan matematika, seperti tidak dapat berfikir jernih atau
menjadi lupa hal-hal yang biasanya dapat ia ingat.
4. Attitude berkaitan dengan sikap yang muncul ketika seseorang memiliki
kecemasan matematika, misalnya ia tidak percaya diri untuk melakukan hal
yang diminta atau enggan untuk melakukannya.
Dari berbagai macam pendapat yang telah dikemukakan oleh para pakar
mengenai gejala-gejala dari kecemasan, dapat disimpulkan bahwa rasa cemas
dapat membuat tubuh seseorang bereaksi mulai dari keringat yang berlebih, was-
was, lupa ingatan, takut, gelisah, suara yang terbata-bata, sulit bernafas,
gemetaran dan lain sebagainya. Gejala seperti ini bisa saja dirasakan oleh hampir
semua orang namun dengan tingkat kecemasan yang berbeda-beda dan
tergantung bagaimana cara ia mengatasinya.
Faktor Penyebab Kecemasan
Kecemasan yang dialami seseorang pasti ada penyebabnya. Rasa cemas
timbul ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri,
dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Trujillo dan Hadfield (Peker, 2009)
yang menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya
kecemasan dalam diri siswa saat menghadapi pelajaran matematika diantaranya
faktor kepribadian, faktor lingkungan dan faktor intelektual. Faktor kepribadian
misalnya perasaan takut siswa akan kemampuan yang dimiliki. Faktor lingkungan
yakni kondisi saat proses belajar mengajar matematika di kelas yang tegang
diakibatkan oleh cara mengajar, model dan metode mengajar guru matematika.
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
181
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dan faktor yang terakhir faktor intelektual yaitu ketidaktepatan dalam gaya
belajar dan keraguan diri akan kemampuan. Ketiga faktor tersebut yang menjadi
penyebab timbulnya kecemasan belajar matematika.
Untuk dapat mengurangi kecemasan siswa dalam belajar matematika maka
diperlukan cara untuk dapat menumbuhkan kesadaran diri siswa tentang
pentingnya belajar matematika misalnya dengan menyajikan materi dengan
menarik, memperbaharui pola pembelajaran, menuangkan konsep matematika
dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan pembelajaran aktif, mengatur siswa
dalam kelompok belajar yang kooperatif dan lain sebagainya. Didalam buku
Models of Teaching dijelaskan bahwa untuk dapat mengurangi kecemasan
matematika diperlukan teknik relaksasi dan model pembelajaran yang dapat
menciptakan kenyamanan dalam belajar sehingga dapat mengurangi tingkat
kecemasan seseorang. Teknik relaksasi yang dapat dilakukan misalnya dengan
menarik nafas dalam-dalam kemudian hembuskan secara perlahan-lahan ataupun
melakukan gerekan-gerakan tubuh yang dapat menjadikan tubuh tidak tegang
dan menjadi rileks. Ini merupakan contoh tindakan yang dapat dilakukan agar
suasana lingkungan didalam kelas menjadi nyaman.
Selain diperlukannya teknik relaksasi didalam pembelajaran, motivasi yang
tinggi juga mampu menurunkan kecemasan seseorang. Wlodkowsky (Uno, 2011)
mengatakan bahwa motivasi yang dimiliki dan dibawa oleh siswa berpengaruh
kuat terhadap apa dan bagaimana mereka belajar. Itu berarti bahwa motivasi
secara tidak langsung telah memberikan dampak positif ataupun negatif bagi
mereka yang belajar. Weiner dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang
pada tingkat kecemasan yang tinggi tetapi ia mampu melaksanakan tugas dengan
baik, maka berdasarkan pengalamannya dapat mempermudah mengerjakan
tugas. Tetapi seseorang yang memiliki tingkat kecemasan yang rendah, maka ia
akan lebih banyak memerlukan dorongan untuk menyelesaikan tugasnya. Dengan
kata lain, motivasi dapat mengakibatkan keberhasilan atau kegagalan seseorang
tergantung dari bagaimana kita dapat menyesuaikan kemampuan diri kita dengan
tujuan yang akan kita capai.
Dengan demikian, guru sangatlah memegang peranan penting untuk
membangkitkan minat dan motivasi siswa dalam belajar terutama minat untuk
belajar matematika. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan memperkaya
pembelajaran-pembelajaran yang menarik dengan melibatkan siswa untuk
berperan aktif didalam proses pembelajaran serta memberikan motivasi-motivasi
yang dapat mendorong siswa untuk giat dalam belajar.
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
182
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak dapat dipungkiri bahwa kecemasan dalam pembelajaran disekolah
juga dapat menjadi sebuah masalah yang harus segera diatasi oleh para guru.
Reaksi dari kecemasan yang muncul dapat berupa rasa takut pada pelajaran
tertentu atau bahkan takut pada sosok guru yang mengajar didalam kelas.
Misalkan saja siswa merasa cemas saat pelajaran matematika. Matematika
seringkali dipandang sebagai salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit dan
membosankan bagi sebagian siswa. Dengan adanya anggapan seperti itu, hal ini
tentu mengakibatkan kurangnya minat siswa dalam belajar matematika dan
cenderung sulit menyukai pelajaran matematika. Sebab yang mengakibatkan
kurangnya ketertarikan siswa dalam belajar matematika salah satunya yaitu
pengalaman-pengalaman yang telah didapat sebelumnya selama belajar
matematika, misalkan penerapan metode pangajaran yang monoton dan
sebagainya.
Kecemasan matematika menurut Sheffield & Hunn (2007) menyatakan
bahwa math anxiety is the feelings of anxiety that some individuals experience
when facing mathematical problems. Maksudnya ialah kecemasan matematika
merupakan perasaan cemas yang muncul dari pengalaman yang tidak
menyenangkan dalam pembelajaran matematika. Sedangkan menurut Ashcraft
mendefinisikan bahwa kecemasan matematika adalah sebagai perasaan
ketegangan, cemas atau ketakutan yang mengganggu kinerja matematika.
Kecemasan ini dapat diatasi jika guru dapat menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan dan bermakna bagi siswa agar tidak merasa takut untuk belajar
matematika dan membuat siswa merasa nyaman.
Menurut Iwan Pranoto (2008) mengatakan bahwa ada 4 penyebab rasa
cemas atau ketakutan siswa akan matematika diantaranya :
1. Penekanan berlebihan pada hafalan semata
Pada umumnya, banyak guru yang kurang tepat dalam memberikan suatu
pembelajaran matematika baik itu dari model pembelajaran ataupun dari teknik
mengajar. Pembelajaran yang digunakan cenderung mengharuskan siswa untuk
menghafal rumus matematika tanpa memberikan stimulus-stimulus yang dapat
membangun pemahaman dan penalaran siswa dalam belajar. Oleh sebab itu,
dengan pengajaran yang demikian, dapat menimbulkan kesan negatif bagi siswa
terhadap pelajaran matematika bahwa matematika itu terlalu banyak hafalan
terutama rumus-rumus matematika. Hal seperti itu yang menimbulkan rasa tidak
suka siswa terhadap pelajaran matematika.
2. Penekanan pada kecepatan berhitung
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
183
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Matematika identik dengan hitung-menghitung. Berhitung menjadi hal
mutlak yang tidak bisa dilepas dari karakteristik matematika. Penekanan dalam
berhitung menjadi salah satu penyebab anak menjadi fobia terhadap matematika.
Kumpulan angka yang menyebabkan seseorang salah menghitung dan berakibat
fatal pada hasil yang didapatkan. Dan itu berpengaruh terhadap ketertarikan
siswa untuk belajar matematika.
3. Pengajaran yang otoriter
Pola pengajaran yang dilakukan guru cenderung keras terhadap siswanya.
Seolah-olah guru menguasai ilmu matematika tanpa ada satu siswa pun yang tahu
selain dirinya sendiri. Guru yang merasa paling benar dan selalu benar tanpa mau
memperhatikan dan mendengarkan pendapat siswa. Kurang mempercayai
kemampuan yang dimiliki siswa dan seringkali guru hanya berpusat pada
pemberian tugas semata kepada siswa-siswanya. Pengajaran yang seperti itu
berdampak negatif bagi siswanya. Siswa menjadi pasif, dan pada akhirnya
ketertarikan siswa untuk belajar matematika menjadi berkurang. Siswa juga
menjadi kurang mandiri dalam proses pembelajaran.
4. Kurangnya variasi dalam mengajar
Variasi mengajar adalah bagaimana cara guru mengubah kebiasaan lama
mengajar yang dapat menimbulkan kebosanan dan kejenuhan siswa beralih pada
ketertarikan dan mengubah siswa menjadi antusias dalam belajar. Perlunya
diadakan variasi dalam mengajar agar dapat meningkatkan perhatian siswa dan
motivasi siswa terhadap proses belajar mengajar. Jika guru tidak mampu
menciptakan pembelajaran yang baru dan bervariasi akan berdampak pada
kurang senangnya siswa terhadap guru yang monoton dalam mengajar sehingga
menyebabkan siswa kurang tertarik dan proses pembelajaran berjalan tidak
efektif.
Dari penjelasan diatas, dapat diartikan bahwa kecemasan dalam
pembelajaran matematika adalah suatu emosi diri seseorang terhadap pelajaran
matematika yang menunjukan adanya suatu keadaan yang dianggap tidak
menyenangkan dan dihindari oleh sebagian orang yang mengalaminya. Keadaan
yang tidak menyenangkan dapat meliputi rasa takut, tidak aman dan rasa was-
was, tegang dan lain sebagainya menyebabkan seseorang tidak menyukai dan
mencoba untuk tidak berhadapan dengan hal yang membuat mereka takut
menghadapi. Didalam pembelajaran matematika, keadaan seperti ini dapat
muncul dari berbagai macam faktor, bisa dari pengalaman seseorang yang didapat
selama ia mendapatkan pelajaran matematika atau pola pengajaran yang kaku
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
184
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan suasana pengajaran yang membosankan cenderung membuat siswa enggan
berperan aktif di setiap pembelajaran.
Indikator Kecemasan Belajar Matematika
Berdasarkan penjelasan tentang kecemasan diatas, maka peneliti
mengelompokkan indikator kecemasan matematika menurut Cooke menjadi 4
aspek diantaranya :
1. Mathematics Knowledge/Understanding berkaitan dengan hal-hal seperti
munculnya pikiran bahwa dirinya tidak cukup tahu tentang matematika.
Gejala yang diambil dari aspek ini adalah berdiam diri dan bingung.
2. Somatic berkaitan dengan perubahan pada keadaan tubuh individu, misalnya
tubuh berkeringat atau jantung berdebar-debar. Gejala yang diteliti dari aspek
ini diantaranya jantung berdebar, lelah, suara terbata-bata dan tubuh
gemetar.
3. Cognitive berkaitan dengan perubahan pada kognitif seseorang ketika
berhadapan dengan matematika, seperti tidak dapat berfikir jernih atau
menjadi lupa hal-hal yang biasanya dapat ia ingat. Gejala yang dapat diteliti
adalah sulit konsentrasi, lupa dan putus asa.
4. Attitude berkaitan dengan sikap yang muncul ketika seseorang memiliki
kecemasan matematika, misalnya ia tidak percaya diri untuk melakukan hal
yang diminta atau enggan untuk melakukannya. Gejalanya diantaranya takut,
gelisah, tegang, pesimis dan panik.
Selanjutnya, Heni dkk (2016) mendeskripsikan kecemasan belajar
matematika siswa berdasarkan dari masing-masing indikator sebagai berikut:
a) Attitude; Attitude merupakan indikator kecemasan yang berkaitan dengan
sikap siswa saat belajar matematika. Dari hasil penelitian yang didapat, siswa
masih cenderung takut dan panik ketika peneliti meminta mereka untuk
presentasi didepan kelas. Apalagi jika peneliti memilih kelompok secara acak.
Mereka tidak percaya diri dengan kemampuan yang mereka miliki. Mereka
takut dan malu jika nanti mereka ditertawai oleh teman sekelas jika mereka
salah menjawab. Oleh sebab itu, peneliti memberikan motivasi kepada siswa,
pemberian reward saat pembelajaran, memutarkan musik instrument dan
memutarkan video-video brain gym disela-sela waktu pembelajaran. Hal ini
berdampak positif pada keadaan kelas yang lebih kondusif dan siswa merasa
lebih nyaman didalam kelas.
b) Somatic; Somatik merupakan salah satu indikator kecemasan yang sulit untuk
diamati didalam kelas. Indikator kecemasan ini mencakup pada keadaan
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
185
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tubuh seseorang seperti jantung berdebar, suara terbata-bata dan tubuh
bergemetar. Peneliti mengalami kesulitan dalam mengobserver siswa dengan
gejala kecemasan seperti itu. Pada tahap pengamatan baik di siklus I maupun
siklus II, peneliti hanya mengamati gejala-gejala seperti suara terbata-bata
dan tubuh gemetar secara kasat mata. Peneliti tidak memberikan kesempatan
yang sama untuk seluruh siswa yang ada didalam kelas. Misalnya dengan
bertanya, menjawab pertanyaan ataupun presentasi didepan kelas. Tidak
semua siswa berbicara didalam kelas, ada kemungkinan siswa yang tidak
bicara atau bertanya mengalami suara terbata-bata. Oleh sebab itu, karena
pengamatan yang dilakukan tidak menyeluruh maka hasil observasi yang
didapat sangat rendah.
c) Cognitive; Untuk indikator cognitive ini berkaitan dengan konsentrasi siswa
saat belajar matematika didalam kelas. Siswa merasa terganggu dengan sikap
beberapa siswa yang membuat keributan saat belajar terutama siswa laki-laki.
Hal ini tentu mengakibatkan konsentrasi siswa dalam belajar menjadi
terganggu. Oleh sebab itu, untuk mengurangi hal tersebut peneliti
memberikan latihan soal matematika kepada seluruh siswa untuk mengasah
kemampuan mereka.
d) Mathematics Knowledge; Mathematics Knowledge merupakan indikator
terakhir untuk kecemasan belajar matematika siswa. Indikator ini berkaitan
dengan munculnya pikiran bahwa dirinya tidak cukup tahu tentang
matematika. Hal yang dilakukan seseorang apabila mengalami kecemasan
untuk indikator ini adalah berdiam diri didalam kelompok. Saat pembelajaran,
terdapat beberapa siswa yang pasif saat berdiskusi. Mereka lebih
mengandalkan teman yang lebih pintar darinya dan sekedar ikut apa yang
telah dikerjakan. Dalam pengamatan juga, siswa yang pasif cenderung
menunduk saat peneliti mencoba menghampirinya. Oleh sebab itu, peneliti
memberikan reward bagi kelompok yang aktif dan berani tampil didepan
kelas.
Hasil dari analisis terhadap teori kecemasan maka, selanjutnya dibuat
instrument untuk mengukur kecemasan siswa dalam proses pembelajaran.
Instrumen disusun berdasarkan empat aspek kecemasan yaitu attitude, somatic,
cognitive dan mathematical knowledge. Berikut diuraikan penjabaran pernyataan
yang mengukur kecemasan belajar matematika siswa dan dikembangkan dari
empat aspek tersebut
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
186
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Aspek/Pernyataan
1 Attitude
Saya lebih memilih bertanya kepada teman dibandingkan kepada guru jika
ada materi yang tidak saya mengerti
Saya merasa takut ditertawai oleh teman sekelas saat saya mencoba
berbicara untuk mempresentasikan hasil diskusi didepan kelas
Saya bertanya kepada guru matematika jika ada materi yang tidak saya
mengerti
Saya berani mempresentasikan hasil diskusi didepan kelas
Saat ujian matematika berlangsung, saya hanya fokus pada lembar ujian saya
Saya merasa sulit bernafas ketika guru matematika memilih saya untuk
mengerjakan soal matematika secara mendadak
Badan saya terasa panas dingin ketika guru meminta saya untuk presentasi
di depan kelas
Saya senang dipilih guru metematika untuk mengerjakan soal matematika
didepan kelas
Saya merasa tenang ketika saya diminta berpresentasi didepan kelas
Saya ragu dengan nilai matematika saya nanti
Saya merasa kemampuan belajar matematika saya rendah jika dibandingkan
dengan teman-teman yang lain
Saya yakin mendapatkan nilai yang bagus untuk pelajaran matematika
Saya yakin dengan kemampuan matematika yang saya miliki
Saya dapat menyelesaikan soal matematika sendiri tanpa meminta bantuan
orang lain
Saya terburu-buru mengerjakan ulangan matematika ketika saya melihat
teman-teman lain sudah selesai mengerjakannya
Saya tetap tenang mengerjakan ulangan matematika walaupun teman-
teman sudah terlebih dahulu selesai mengerjakan
Saya akan menjawab soal matematika sendiri sesuai dengan kemampuan
yang saya miliki tanpa meminta bantuan teman yang lain
2 Somatic
Jantung saya berdebar saat guru matematika masuk kedalam kelas
Saya senang melihat guru matematika masuk kedalam kelas
Saya siap jika diminta memberikan tanggapan didepan kelas
Saya tidak merasa jenuh jika belajar matematika
Saya semangat belajar matematika
3 Cognitif
Saya tidak dapat berfikir jika kondisi didalam kelas berisik
Rumus matematika sulit untuk dihafalkan
Saat ujian matematika, saya lupa materi yang sudah saya pelajari
sebelumnya
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
187
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Karena saya belajar setiap hari, saya mampu mengingat semua materi yang
diujikan saat ujian matematika
Saya mencoba mengerjakan soal matematika dengan cara lain jika saya tidak
dapat menemukan jawabannya
Saya terus berusaha menemukan jawaban matematika yang sulit sampai
saya benar-benar menemukan jawaban yang tepat
Saya tidak dapat berfikir jika kondisi didalam kelas berisik
4 Mathematical Knowledge
Jika ada soal matematika yang sulit untuk dikerjakan, saya akan menunda
dan melanjutkan ke soal yang lebih mudah
Saya berusaha memahami setiap persoalan matematika yang diberikan guru
didalam kelas
Selanjutnya, aktivitas yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran
matematika yang dapat mengurangi kecemasan belajar matematika adalah
dengan memberikan relaksasi misalnya,
1. menarik nafas melalui hidung dan menghembuskannya melalui mulut secara
perlahan.
2. menggerakkan anggota badannya dengan mengangkat keatas dan
menggerakkan secara perlahan
3. Memijat punggung
4. Menggerakkan tangan
Aktivitas tersebut disajikan pada gambar berikut:
Gambar 1
Gerakan Narik Nafas
Gambar 2
Gerakan Mengangkat kedua tangan
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
188
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 3
Gerakan memijat punggung
Gambar 4
Gerakan tangan
Proses Pembelajaran Matematika
Selain itu, perlu juga guru memahami pendekatan, strategi, metode, teknik
pembelajaran matematika yang tidak terlalu kaku. Banyak pendekatan, strategi,
metode, teknik yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika, misalnya
pembelajaran eksporatif (Dwirahayu, 2013), Brain Based Learning (Indriyani,
2016) Open Ended (Satriawati, 2006; Suherman, 1990), Metode permainan
(Dwirahayu, 2016), Pembelajaran berbasis ICT dan pembelajaran lainnya.
Dwirahayu (2013) menyebutkan ada lima langkah yang dapat dilakukan
dalam pembelajaran eksploratif, yaitu pemberian informasi: dilakukan dengan
cara memberikan beberapa masalah yang harus diselesaikan oleh siswa. Masalah
yang dimunculkan adalah masalah baru yang dapat memacu rasa ingin tahu siswa,
sehingga siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan awal yang dimilikinya untuk
menyelesaikan soal-soal yang diberikan, tahap kedua adalah orientasi terbimbing
yaitu guru memberikan penjelasan kepada siswa-siswa tentang jawaban yang
diberikan kemudian membantu siswa yang masih mengalami kesulitan dalam
menjawab soal-soal yang diberikan, tahap ketiga adalah eksplisitasi yaitu siswa
menyajikan hasil diskusi kelompoknya, kemudian kelompok lain dan guru
memberikan tanggapan, saran dan perbaikan terhadap hasil kelompok yang
presentasi, tahap keempat adalah orientasi bebas yaitu siswa melakukan aktivitas
pengamatan melalui alat peraga/media atau smuber-sumber belajarn lainnya
yang disediakan oleh guru, dan tahap terakhir adalah integrasi yaitu tahao dimana
siswa menyelesaikan masalah yang sesuai dengan standar kompetensi yang telah
ditetapkan. Pendekatan eksplorative digunakan dalam pembelajaran matematika
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
189
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dapat mengurangi kecemasan matematika siswa karena konsep matematika
ditemukan sendiri oleh siswa, siswa diberikan permsalahan yang biasa mereka
hadapi dalam kehidupan sehari-hari kemudian siswa berpikir dan bereksplorasi.
Pendekatan ini tidak mentransfer pengetahuan secara langsung dari guru kepada
siswanya, akan tetapi melalui aktivitas mencari dan menemukan maka siswa
dengan sendirinya akan menemukan konsep matematika.
Open ended merupakan proses pembelajaran matematika yang dapat
melatih kemampuan berpikir siswa. Dengan menggunakan pendekatan open
ended maka ada tiga prinsip yang digunakan yaitu Kegiatan siswa harus terbuka,
Kegiatan matematika merupakan ragam berpikir dan Kegiatan siswa dan kegiatan
matematika merupakan satu kesatuan. Pendekatan open ended juga sangat
terbuka dan memberi kebebasan berpikir kepada siswa, tidak menutup
kemungkinan siswa akan berpikir diluar matematika, namun tetap guru akan
berperan mengarahkan siswa pada konsep matematika yang baku. Shimada
(1997), menyatakan bahwa pendekatan open ended memberi siswa kesempatan
untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman menemukan, mengenali dan
memecahkan soal dengan beberapa cara berbeda. Sedangkan menurut
(Wakefield, 1995) Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended dapat
membantu siswa menyelesaikan masalah secara kreatif dan menghargai
keragaman berpikir yang mungkin timbul selama mengerjakan soal. Dalam
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Open-ended, dimulai dengan
pertanyaan dalam bentuk Open-ended yang diarahkan untuk menggiring
tumbuhnya pemahaman atas masalah yang diajukan.
Selanjutnya Indriyani (2006) menyebutkan ada lima tahap pembelajaran
dengan menggunakan pendekaran Brain Based learning, yaitu tahap persiapan
yaitu guru menciptakan rasa penasaran siswa dengan membuat presentasi visual
dari topik terkait dan memajang peta konseptual, tahap kedua adalah akuisisi
yaitu tahap penciptaan koneksi dimana ingatan siswa dilatih untuk
mengkoneksikan pengetahuan lama dengan pengetahuan yang baru, pada tahap
ini guru memberikan pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan
awal siswa dan memberikan penjelasan awal dengan menggunakan benda
konkret dan memberikan proyek kerja kelompok; tahap ketiga adalah elaborasi
tahap ini merupakan tahapan pengolahan atau pemprosesan kemampuan berpikir
siswa untuk memilih, menyelidiki, menganalisis, menguji dan memperdalam
pembelajaran. Tahap keempat adalah formasi memori, tahap ini merupakan
tahap pembentukan ingatan siswa terhadap konsep baru yang sedang
dipelajari,guru memiliki peran utama pada tahapan ini untuk menghindari
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
190
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terjadinya miskonsepsi. Tahap ke lima adalah integrasi fungsional, tahap ini
merupakan optimalisasi hasil sebuah pembelajaran. Tindakan yang dapat
dilakukan guru pada tahapan ini yaitu dengan memberikan siswa latihan soal
berupa kuis untuk menguji kemampuan siswa yang didapat setelah melakukan
proses pembelajaran. Pendekatan Brain Based learning, juga memfasilitasi siswa
untuk mampu menyeimbangkan antara otak kiri dan otak kanan, ketika siswa
sedang belajar matematika yang memanfaatkan otak kanan maka sesekali guru
perlu mengasah otak kiri siswa dengan melakukan relaksasi dan refleksi.
Metode permainan juga dapat menjadi salah satu alternative
pembelajaran yang dapat mengurangi ketegangan belajar. Perkembangan konsep
matematika yang diajarkan dengan menggunakan metode permainan menurut
Dienes dapat dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap rangkaian kegiatan
belajarnya diawali dari benda kongkret sampai pada penyimpulan konsep
matematika secara simbolik. Untuk itu Dienes (Dwirahayu, 2016) membagi
metode permainan menjadi 6 tahap, yaitu:
1. Bermain Bebas (Free Play). Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal
dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas
merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak
diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama
permainan pengetahuan anak akan muncul dan berkembang.
2. Permainan (Games). Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai
meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu.
Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat
dalam konsep yang lainnya. Makin banyak bentuk berlainan yang diberikan
dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa,
karena memperoleh konsep yang logis dan matematis. Menurut Dienes,
untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan kegiatan untuk
mengumpulkan bermacam pengalaman, dan kegiatan yang tidak relevan
dengan pengalaman itu.
3. Penelaahan Sifat Bersama (Searching for communalities), dalam mencari
kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat
kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.
4. Representasi (Representation) Representasi adalah tahap pengambilan sifat
dari beberapa situasi yang sejenis. Representasi yang diperoleh ini bersifat
abstrak, yang mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya
abstrak.
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
191
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Penyimbolan (Symbolization) Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang
membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-
konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan
verbal.
6. Pemformalan (Formalization) Formalisasi merupakan tahap belajar konsep
yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-
sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut.
Di era modern saat ini, Information, Communication, and Technology (ICT)
mengalami kemajuan yang sangat pesat diseluruh aspek kehidupan manusia,
begitu pula dalam dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan, kemajuan ICT
dimanfaatkan sebagai media pembelajaran guna mendukung proses belajar. Guru
dituntut menguasai teknologi dan mengembangkan media pembelajaran demi
keberhasilan proses belajar mengajar. Teknologi yang dapat dipergunakan di
dunia pendidikan diantaranya komputer, proyektor, Microsoft Word, Microsoft
Power Point, dll. Dalam pendidikan Matematika secara khusus, begitu banyak
perangkat lunak yang bisa digunakan untuk membantu proses pembelajaran
matematika, mulai dari membantu memahami konsep-konsep matematika,
hingga membantu menyelesaikan permasalahan dalam matematika. Software
yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika antara lain MatLab, SWP,
Autgraph, Geogebra, Cabri, SPSS dan lain sebagainya. Dengan adanya penggunaan
media dalam pembelajaran matematika akan mengurangi kejenuhan siswa dalam
belajar, dengan menggunakan ICT siswa belajar tidak hanya aspek kognitif saja,
akan tetapi aspek sikap dan psikomotornya juga akan digunakan secara maksimal.
Kesiapan Siswa Belajar
Selain itu juga, guru perlu memahami kesiapan siswa untuk menerima
pelajaran. Banyak teori belajar yang mendukung pada kesiapan siswa tersebut.
Misalnya: teori belajar Bruner, Teori Belajar J.Piaget, teori belajar David Ausuble,
teori belajar Dienes, teori belajar Guilford, dan lain sebagainya (Ruseffendi, 1996;
Dahar, 2012).
Berikut dijelaskan secara singkat untuk masing-masing teori belajar Bruner:
menyatakan bahwa belajar matematika harus melalui proses penemuan. Agar
siswa dapat memahami matematika dengan baik, maka siswa dikondisikan seperti
para ahli matematika ketika menemukan konsep, dengan begitu diharapkan siswa
akan mengingat konsep atau rumus dalam waktu yang relative lama.
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
192
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Teori Belajar J.Piaget menyatakan bahwa guru harus memperhatikan pada
perkembangan mental siswa, menurut piaget ada empat tahap perkembangan
mental anak yaitu tahap sensoro motori, tahap operasi konkrit, tahap operasi
semi formal tahap operasi formal atau abstrak. Dalam teorinya, Piaget
mengarahkan bahwa perbedaan tahapan tersebut akan menuntut guru
mengembangkan startegi pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental
siswa.
Teori belajar David Ausuble menyatakan bahwa proses belajar bagi siswa
harus bermakna. Menurut teori ini, siswa mempelajari matematika seperti
mereka sedang berada pada dunia nyata. Pembelajaran matematika harus
dikaitkan dengan konteks atau permasalahan sehari-hari yang sering dihadapi
oleh siswa, sehingga solusi dari permasalahan yang dimunculkan dimengerti oleh
siswa.
Teori belajar Dienes merupakan teori belajar yang menekankan pada proses
pembelajaran yang menyenangkan. Salah satu metode pembelajaran yang
dikembangkan menurut teori Dienes adalah metode permainan. Penjelasan
tentang metode permainan sudah diuraikan pada bagian sebelumnya.
Teori belajar JP Guilford menyebutkan bahwa kecerdasan anak merupakan
factor utama dalam proses pembelajaran, maka guru perlu memahami
kecerdasan anak sebagai bahan dalam mengembangkang prosesdur
pembelajaran. Setiap anak memiliki karakteristik khas, dan perbedaan itulah
menjadikan guru harus menciptakan suasana pembelajaran yang bervariatif,
C. Penutup
Kecemasan matematika merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan prestasi belajar matematika rendah, sikap cemas anak terhadap
matematika dapat ditunjukkan melalu berbagai sikap dan perilaku. Adapun empat
hal yang perlu diperhatikan guru untuk mengurangi kecemasan matematika siswa
yaitu:
1. Memperhatikan kesiapan siswa dalam belajar
2. Mendesain pembelajaran matematika yang menyenangkan dan tidak
membebani siswa
3. Menyiapkan alat peraga/media pembelajaran sehingga matematika lebih
mudah difahami dan dimengerti
4. Memberikan relaksasi kepada siswa di sela-sela proses pembelajaran,
sehingga siswa menjadi fokus kembali dalam belajarnya.
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
193
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
D. Daftar Pustaka
Atkinson, R.L dkk. (2008) alih Bahasa Widjaya Kusuma, editor Lyndon Saputra.
Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan Jilid 1,. Jakarta: Erlangga.
Brecht, G., (2000) Mengenal dan Menanggulangi Kekhawatiran, Jakarta: PT.
Prehallindo. (Grant)
Cooke, A., (2011) Situational Effect of Mathematics Anxiety in Pre-service Teacher
Education,
Dahar, Ratna Wilis. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
DePorter, B., (2013) Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menyenangkan, Bandung: Kaifa Learning.
Desmita, (2010) Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Dwirahayu, G., dkk (2013) The effect of explorative learning strategy toward
enhancement of students conceptual understanding on geometry.
Wudpecker Journal of Educational Research
Vol. 2(4), pp. 049 - 056, April 2013
Dwirahayu, G.,; Nursida, (2016) Mengembangkan Pembelajaran Matematika
dengan menggunakan Metode Permainan untuk Siswa Kelas 1 MI.
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika Vol. 5, No.2,
Oktober 2016
Fausiah, F., & Widury, J., (2005) Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Jakarta: UI-
Press.
Indriyani, H.; Dwirahayu, G.; Afidah. (2016) Penerapan Pendekatan Brain
Based Learning untuk Mengurangi Kecemasan Siswa dalam
Pembelajaran Matematika. Jakarta: Jurusan Pendidikan
Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak dipublikasikan
Krismanto, (2003) Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta:
Peker, M, (2009) Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology
Education: Pre- Service Teachers Teaching Anxiety about Mathematics
and Their Learning Styles.
King, L. A., (2010) Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif, Jakarta:
Salemba Humanika.
Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194
194
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pranoto, I., (2008) Guru kunci utama atasi fobia matematika. Dapat diakses pada
http://p4tkmatematika.org/2008/11/guru-kunci-utama-atasi-fobia-
matematika/
Ruseffendi, 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung: Tarsito.
Satriawati, G., (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended untuk
meningkatkan Pemahaman dan kemampuan Komunikasi Matematika.
SMP, Algoritma Vol 1 No.1 juni. 2006
Sheffield, D. & Hunt, T, (2007) How does Anxiety Influence Maths Performance
and What Can We do About it.
Shimada, S dan Becker, J.P. (1997). The Open-Ended Approach: A New Proposal for
Teaching Mathematics. Virginia: National Council of Theachers of
Mathematics.
Suherman, E., dan Sukjaya, Y., (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan
Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Supratiknya, A., (1995) Mengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta: KANISIUS.
Uno, H.B., & Nurdin, M., (2011) Belajar dengan Pendekatan PAIKEM, Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Wakefield, J dan Velardi, L. (1995). Up – front Assessment: Using Open-Ended
Questions. Celebriting Mathematics Learning. Australia: The Mathematical
Association of Victoria.
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
(Jakarta:PT.Asdi Mahasatya, 2006), hal. 188
Wiramihardja, S.A., (2005) Pengantar Psikologi Abnormal, Bandung : PT. Refika
Aditama.
Zakaria E dan Nordin N. M, (2008) Eurasia Journal of Mathematics, Science &
Technology Education: The Effects of Mathematics Anxiety on
Matriculation Student as Related to Motivation and Achievement
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
195
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
MEDIA, MODEL DAN STRATEGI PEMBELAJARAN
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
196
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengembangan dan Implementasi Program
Perkuliahan Vertebrata Berbasis Learning Object
dengan Sistem E- Learning di Program Studi
Pendidikan Biologi FITK UIN Jakarta
Baiq Hana Susanti
Pendidikan Biologi - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Latar belakang dari penelitian ini adalah adanya kenyataan bahwa di
dunia pendidikan, TIK telah menjadi bagian dari perubahan secara radikal
moda-moda penyampaian informasi termasuk dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu, program studi pendidikan biologi UIN harus mulai
mencoba merespon kemajuan tersebut dengan cara memulai
mengembangkan sistem perkuliahan yang berbasis TIK. Pengembangan
program perkuliahan yang paling mutakhir adalah e- learning yaitu salah
satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi
komunikasi dan informasi khususnya internet. Didalam perkuliahan
dengan sistem tersebut, learning object menjadi sangat penting dan
merupakan bagian yang paling utama. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengembangkan program perkuliahan Vertebrata berbasis
learning object yang akan di uji cobakan kedalam perkuliahan dengan
menggunakan sistem e-learning. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan (Research &
Development) dengan menggunkan model ADDIE. Model ini terdiri atas 5
fase atau tahap utama yaitu 1) Analyze (analisis), 2) Design (Desain), 3)
Develop (Pengembangan), 4) Implement (Implementasi), 5) Evaluate
(Evaluasi). Dengan diaplikasikannnya program ini diharapkan mahasiswa
dapat menggunakan TIK sebagai sarana pembelajaran dan dapat
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
197
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengembangkan bahan ajar yang berbasis TIK. Secara umum, prosedur
dalam penelitian ini meliputi tiga tahapan yaitu tahap
perencanaan,pelaksanaan dan analisis data atau penyimpulan. Hasil
penelitian meliputi tanggapan mahasiswa terhadap aspek-aspek learning
object dengan sistem e-learning yang mencakup materi, desain media,
implementasi dan kualitas teknis. Lebih dari 70% mahasiswa menyatakan
bahwa materi yang diberikan mempunyai tingkat kesulitan yang sudah
sesuai, jelas dan mudah dipahami, menarik ketika disajikan dengan
menggunakan LO, dan sudah sesuai dengan perkembangan kurikulum.
Dari segi aspek desain media, lebih dari 70% mahasiswa menyatakan
bahwa desain media tersebut sudah rapih dan tampilan media LO
mempermudah dalam mendapatkan bagian-bagian dari isi materi.
Kemudian lebih dari 60% menyatakan bahwa komposisi warna LO sudah
menarik dan ukuran tampilan media LO dan teks yang disajikan sudah
seimbang. Tanggapan selanjutnya mengenai implementasi LO terkait
kemudahan penggunaannya. 75% mahasiswa menyatakan bahwa
Aplikasi LO mudah untuk digunakan. Tanggapan terakhir mengenai
kualitas teknis dari LO yang diberikan. 60% mahasiswa menyatakan
bahwa kualitas teks dan warna LO sudah baik dan sesuai dengan
kebutuhun materi. Selain itu, lebih dari 50% mahasiswa menyatakan
bahwa gambar, animasi, video, dan audio yang ditampilkan sudah cukup
baik.
Kata Kunci : Learning Object, Vertebrata, Research & Development, e-
learning, pengembangan bahan ajar
A. Pendahuluan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah payung besar terminologi
yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan
informasi. TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi
komunikasi. Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan
proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi.
Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat
yang satu ke lainnya. Oleh karena itu, teknologi informasi dan teknologi
komunikasi adalah dua buah konsep yang tidak terpisahkan.
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
198
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selain itu, di era abad 21 atau era globalisasi ini perkembangan sains dan
teknologi sangat cepat. Setiap negara di dunia saling berlomba untuk memajukan
negaranya dengan meningkatkan kemampuan sains dan teknologinya. Negara
yang dapat berkuasa adalah negara yang dapat menguasai sains dan teknologi,
maka dari itu agar bangsa kita bisa bersaing secara global maka mutlak diperlukan
sumberdaya manusia yang literat (melek) sains dan teknologi (Sholihati, 2008).
Perubahan peradaban menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge
society) menuntut masyarakat dunia untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu
mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT
Literacy Skills). Masyarakat yang kuat dan unggul di era informasi adalah
masyarakat yang menguasai atau mengendalikan informasi, dan masyarakat yang
menguasai informasi adalah masyarakat yang menguasai TIK. Tanpa disertai
dengan tradisi belajar yang kuat, penguasaan TIK hanya akan memberikan
kesenangan, tidak memberikan ilmu pengetahuan. Dengan tradisi belajar yang
kuat, semua anggota masyarakat memiliki kemauan keras untuk belajar, selalu
siap untuk berubah (open minded), dan terus belajar sampai akhir hayat (life long
education) (Chaeruman, 2009).
Dengan demikian, penguasaan TIK merupakan syarat mutlak yang harus
dimiliki oleh masyarakat yang ingin memenangkan persaingan di kompetisi global.
Kondisi tersebut menuntut sumber daya manusia yang memiliki keunggulan
komperatif dan kompetitif. Manusia global adalah manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, mampu bersaing, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta memiliki jati diri. Salah satu wahana yang
sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul
adalah melalui pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, TIK telah menjadi bagian dari perubahan secara
radikal moda-moda penyampaian informasi pendidikan, TIK dapat memainkan
peran kritis dalam mengkonstruksi pengetahuan dengan memungkinkan
membuat, mengelola, dan berbagi pengetahuan. Justru karena perannya dalam
memproduksi dan menyebarluaskan pengetahuan yang begitu signifikan, para
pendidik dan pengambil keputusan yang memanfaatkannya untuk mencapai
tujuan pendidikan harus mengenalkan kemungkinan dampak buruk yang
ditimbulkannya. Sistem pendidikan, baik formal maupun non-formal, merupakan
lembaga sosial yang kuat telah dimasuki dengan misi yang mengembangkan dan
mendorong perilaku-perilaku dan nilai-nilai yang diinginkan sekali oleh publik,
khususnya kaum muda. (Rosita dan Pribadi, 2005).
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
199
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh karena itu, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah
satu perguruan tinggi negeri juga tidak mau ketinggalan dalam memanfaatkan
perkembangan TIK dalam menunjang dan meningkatkan kualitas proses belajar,
administrasi, dan berbagai aktivitas penunjang lainnya. Pembenahan
infrastruktur, pengembangan aplikasi untuk mendukung proses belajar mengajar
maupun untuk administrasi, serta pengembangan konten loka dilakukan secara
terus-menerus. Hal ini disebabkan karena Universitas Islam Syarif Hidayatullah
Jakarta dalam analisis SWOT nya menyebutkan bahwa salah satu kelemahan
institusinya adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk
bidang akademik yang belum optimal. Hal ini disebabkan masih terbatasnya
kompetensi penggunaan TIK di kalangan sivitas akademikanya. Sehingga salah
satu prioritas kebijakan pada tahun 2015-2016 adalah mengusahakan adanya
peningkatan penggunaan TIK dalam pembelajaran, dengan cara (1).
Meningkatkan kompetensi mengajar dosen dan belajar mahasiswa dengan
menyediakan layanan teaching skills bagi dosen dan learning skills bagi mahasiswa
(UIN Jakarta, 2015)
Salah satu Fakultas di lingkungan Universitas Islam Syarif Hidayatullah
Jakarta yang diharapkan dapat menjadi leader dalam pemanfaatan TIK adalah
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Fakultas ini adalah salah satu LPTK
yang bertugas untuk mencetak calon guru, sehingga mau tidak mau harus
mempersiapkan mahasiswanya menjadi calon-calon guru yang kreatif, yang dapat
meng-upgrade dirinya sehingga dapat melakukan inovasi-inovasi dalam proses
pembelajaran (Wahid, 2005).
Dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan TIK, LPTK harus mampu
mencetak guru sebagai tenaga professional. Hal ini disebakan tuntutan guru di
era globalisasi semakin berat. Ketrampilan guru dalam menggunakan TIK sebagai
sumber belajar dan kemampuan guru dalam mengembangkan bahan ajar berbasis
TIK harus dilatih dan dikembangkan sejak para guru masih dalam masa pendidikan
di LPTK. Salah satu caranya memperkenalkan mereka kepada pembelajaran yang
memiliki multi akses atau multi sumber, yang tidak hanya memanfaatkan sumber
belajar konvensional tapi juga yang berbasis TIK. Hal ini menjadi tanggung jawab
pihak LPTK untuk memberi pendidikan kepada calon guru bagaimana untuk
menerima TIK dan mampu menggunakan TIK dalam proses pembelajaran.
Pengembangan program perkuliahan yang paling mutakhir adalah e-
learning yaitu salah satu model pembelajaran dengan menggunakan media
teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. E-learning merupakan
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
200
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
istilah populer dalam pembelajaran online berbasis internet dan intranet.
Teknologi e-learning ini merupakan sebuah teknologi yang dijembatani oleh
teknologi internet, membutuhkan sebuah media untuk dapat menampilkan
materi-materi khusus dan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan fasilitas
komunikasi untuk dapat saling bertukar informasi antara peserta dengan pengajar
(Purbo, 2002).
Pengertian tentang e-learning saat ini sebagian besar mengacu pada
pembelajaran yang menggunakan teknologi internet. Seperti pengertian dari
Rosenberg (2001 dalam Purbo (2002), yang menekankan bahwa e-learning
merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian
solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Hal ini senada
dengan Campbell (2002), yang intinya menggunakan media internet dalam
pendidikan sebagai hakikat e-learning. Bahkan Purbo (2002) menjelaskan bahwa
istilah e atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai
istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha
pengajaran lewat teknologi internet.
Menurut Purbo (2002), e-learning telah menjadi trend pembelajaran abad
21. Bidang ini merupakan peluang tersendiri bagi para pengajar. Dari sisi kawasan
pengembangan, pengajar dapat berperan sebagai pengembang e-learning content
atau lebih dikenal sebagai learning object (baik yang bersifat text-based maupun
multimedia-based). Dari sisi pengelolaan, pengajar berperan dalam mengelola e-
learning baik dalam institusi sekolah maupun perusahaan. New Media Consortium
(NMC) sebagai bagian dari pemrakarsa learning object mendefinisikan learning
object sebagai setiap kumpulan materi yang terstruktur secara berarti dan terikat
ke dalam suatu tujuan pembelajaran. Materi-materi tersebut dapat berupa
dokumen, gambar, simulasi, video, audio, dan sebagainya
Berdasarkan definisi yang diadaptasi dari Wisconsin Online Resource Center,
Wiley (2000) menyatakan bahwa learning object memiliki beberapa karakteristik,
diantaranya: (1). Learning object adalah cara baru berpikir tentang isi
pembelajaran. Biasanya isi pembelajaran terdiri dari bagian-bagian yang
menghabiskan waktu beberapa jam, tetapi learning object adalah bagian yang
lebih kecil dari belajar, biasanya berkisar dua hingga lima belas menit, (2).
Learning object bersifat bebas; setiap learning object dapat digunakan secara
bebas untuk tujuan yang berbeda, (3). Dapat dikelompokkan; setiap learning
object dapat dikelompokkan ke dalam bagian-bagian isi yang lebih besar,
termasuk struktur pembelajaran tradisional, (4). Dapat di tandai (tag) dengan
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
201
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
metadata; setiap learning object memiliki informasi deskriptif yang memudahkan
ketika dicari kembali.
Potensi teknologi ini sangat menarik untuk di coba dan di manfaatkan
dalam perkuliahan. Salah satu program studi yang berminat untuk
mengembangkan learning object ini adalah Program Studi Pendidikan Biologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berdasarkan hasil pengamatan beberapa tahun di program studi ini
beberapa matakuliah seperti: Zoologi Vertebrata, Zoologi Avertebrata, Fisiologi
Hewan dan Fisiologi Perkembangan merupakan mata kuliah yang sulit di pahami
mahasiswa. Kesulitan para mahasiswa ini dapat dilihat dari hasil ujian mahasiswa
yang umumnya selalu lebih rendah dibandingkan mata kuliah lain (Anonim, 2015).
Umumnya permasalahan ini disebabkaan karena (1). Penggunaan model
pembelajaran yang di dominasi ceramah dan diskusi kurang tepat,sehingga
menimbulkan kejenuhan pada mahasiswa, (2). Bahan ajar yang digunakan belum
sesuai kebutuhan;(3) Daya dukung pengembangan kreativfitas terkait dengan
perkembangan sains dan teknologi kurang memadai (Ulfah, 2013 dalam Widowati
dan Pratiwi, 2015). Selain itu, kesulitan ini disebabkan juga karena ruang lingkup
materi yang cukup luas, yaitu sejarah, morfologi dan anatomi, struktur dan fungsi
serta ekologi dari hewan hewan vertebrata. Sebagian materi tersebut secara
nyata memang dapat di indra dan diamati langsung oleh mahasiswa, tetapi
sebagian materi bersifat abstrak dan tidak dapat di amati langsung oleh
mahasiswa.
Khusus di program studi Pendidikan Biologi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta,
hal ini disebabkan pula oleh sarana dan prasana perkuliahan yang kurang
memadai, seperti jumlah lokal untuk perkuliahan yang tersedia saat ini dirasa
kurang, karena hanya berjumlah 5 kelas, yang dimanfaatkan untuk perkuliahan
juga oleh 2 (dua ) program studi lain. Jumlah laboratorium yang saat ini hanya
berjumlah 2 ruang menyebabkan penggunaan ruang yang sangat tinggi, sehingga
praktikum tidak berjalan maksimal.
Oleh karena itulah, maka perlu adanya ujicoba sistem perkuliahan yang
dapat meminimalir penggunaan ruang kuliah (e-learning), memanfaatkan
teknologi informasi terkini (multi media), dapat diakses oleh mahasiswa kapan
dan dimana saja, serta dapat melatih mahasiswa menggunakan berbagai sumber
belajar yang tersedia secara online di internet.
Pada penelitian ini learning object yang akan dikembangkan merupakan
program perkuliahan terpadu yang memiliki tahapan-tahapan belajar yang
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
202
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terkontrol, menggunakan multimedia interaktif antara lain audio, video, dan
aplikasi lain yang memiliki standar dari SCORM. Learning object ini akan
dikembangkan untuk digunakan dalam perkuliahan Vertebrata, yang merupakan
perkuliahan dengan beban sebanyak 3 SKS yang terdiri dari 2 SKS tatap muka di
kelas dan 1 SKS praktikum di laboratorium. Learning object yang dikembangkan
akan dipergunakan pada saat tatap muka di kelas, sedangkan untuk praktikum
Vertebrata akan dilakukan di laboratorium setelah perkuliahan. Selanjutnya
Learning object ini akan diintegrasikan dengan menggunakan learning
management system (LMS) Modular Object Oriented Dynamic Learning
Environment (Moodle) untuk menciptakan dan mengelola tautan antar objek
pembelajaran.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dibuat satu rumusan masalah
yaitu Bagaimanakah Pengembangan dan Implementasi Program Perkuliahan
Vertebrata berbasis Learning Object dengan system E-Learning di program studi
pendidikan biologi FITK UIN Jakarta?. Secara umum tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengembangkan program perkuliahan Vertebrata berbasis learning
object dan melihat respons masiswa terhadap perkulihan vertebrata. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan tambahan pengembangan khazanah ilmu
pengetahuan khususnya perkuliahan Vertebrata dalam proses belajar mengajar di
perguruan tinggi, dan memberikan informasi tentang pengembangan dan
implementasi learning object dalam proses perkuliahan Vertebrata.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan disebuah LPTK di Jakarta, yang memiliki program
studi Pendidikan Biologi yang mendidik mahasiswa calon guru Biologi SMA/MA.
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa program studi pendidikan Biologi yang
pada saat implementasi perkuliahan ini mengambil mata kuliah Vertebrata
berjumlah 55 orang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan
pengembangan (Research & Development) yang merupakan perbatasan dari
pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dan terutama untuk menjembatani antara
penelitian dan praktek pendidikan (Semiawan, 2007).
Menurut Gay (1990), penelitian pengembangan merupakan suatu usaha
untuk mengembangkan suatu produk yang efektif untuk digunakan sekolah, dan
bukan untuk menguji teoi. Sedangkan menurut Borg & Gall (1983), penelitian dan
pengembagan merupakan suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan dan
memvalidasi produk pendidikan. Prosedur penelitian pengembangan terdiri atas
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
203
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dua tahap yaitu mengembangkan produk model dan menguji kualitas dan atau
efektifitas produk dihasilkan (Sukarjo dan Lis Permana Sari, 2009). Dalam
penelitian pengembangan dikenal salah satu pengembangan yaitu model ADDIE.
Model Pengembangan ADDIE merupakan model desain pembelajaran yang
berlandaskan pada pendekatan system yang efektif dan efisien serta prosesnya
yang bersifat interaktif yakni hasil evaluasi setiap fase dapat membawa
pengembangan pembelajaran ke fase selanjutnya. Hasil akhir dari suatu fase
merupakan produk awa bagi fase berikutnya. Model ini terdiri atas 5 fase atau
tahap utama yaitu 1) Analyze (analisis), 2) Design (Desain), 3) Develop
(Pengembangan), 4) Implement (Implementasi), 5) Evaluate (Evaluasi) (Reyzal
Ibrahim, 2011).
Tahapan – tahapan pengembangan dalam penelitian ini menggunakan
model ADDIE (Chaeruman,2008), dengan langkah langkah sebagai berikut :tahap
analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi.
Tahap pertama adalah tahap analisis. Pada tahap ini dilakukan kegiatan
analisis materi perkuliahan vertebrate dan analisis kesiapan mahasiswa mengikuti
perkuliahan berbasis Learning Object. Analisis materi ini ditujukan untuk memilih,
menetapkan,merinci dan menyusun materi secara sistematis sesuai dengan
indikator yang akan dicapai dalam perkuliahan ini. Sedangkan analisis tentang
kesiapan mahasiswa meliputi ketersediaan hardware dan software dan
kemampuan mahasiswa dalam mengoperasikan beberapa aplikasi dasar
komputer. Kemudian dilakukan pula analisis sarana dan prasarana yang
dibutuhkan untuk menjalankan perkuliahan berbasis learning object dengan
system e learning. Tahap desain atau dikenal juga dengan istilah membuat
rancangan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah mendesain peta
program berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan. Peta program ini
meliputi seluruh kelas dalam vetebrata yaitu: kelas chordata, pisces, amphibi,
reptil, aves dan mamalia.
Tahap selanjutnya adalah tahap pengembangan. Tahap ini diawali dengan
mengembangkan learning object menggunakan Moodle 2.6.3. yang berstandar
SCORM. Moodle merupakan singkatan dari Modular Object-Oriented Dynamic
Learning Environment yang berarti tempat belajar dinamis dengan menggunakan
model berorientasi objek. Dalam penyediaannya Moodle memberikan paket
software yang lengkap yang dapat di download secara gratis. Dalam
pengembangan ini di susun berdasarkan peta program yang sudah di validasi.
Learning object ini dapat dilihat di sub domain : moodle.hanasusanti.com
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
204
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahap selanjutnya adalah tahap validasi, pada tahap ini prototype yang
dihasilkan divalidasi oleh dua orang ahli terdiri ahli konten dan ahli TIK. Hasil
validasi yang didapatkan kemudian dianalisis dan dipakai sebagai bahan revisi
prototype tersebut. Selain itu, dilakukan pula ujicoba terbatas pada mahasiswa
sebanyak 10 orang. Setelah uji coba dilaksanakan, dilakukan diskusi hasil uji coba
untuk lebih menyempurnakan pelaksanaan perkuliahan vertebrata berbasis
learning object. Data yang terkumpul pada tahap ini akan dianalisis, dilakukan
revisi dan melakukan interpretasi data untuk menentukan kesimpulan uji coba
terbatas tersebut. Setelah tahap validasi, selanjutnya dilakukan tahap
implementasi. Tahap ini merupakan langkah nyata untuk menerapkan system
perkuliahan vertebrata dengan menggunakan learning object dengan system e-
learning. Implementasi dilaksankan selama satu semester, dengan 14 kali
pertemuan. Setiap pertemuan dilaksanakan selama 100 menit (2x50) menit.
Tahap terakhir adalah tahap evaluasi. Pada tahap ini peneliti memberikan
angket untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap proses perkuliahan dan
keterpakaian learning object untuk perkuliahan
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah angket dan lembar
validasi. Angket digunakan untuk mengukur beberapa hal yaitu kesiapan
mahasiswa mengikuti perkuliahan vertebrata berbasis learning object dengan
sistem e-learning, kelayakan pemakaian learning object vertebrata untuk
perkuliahan, dan respon atau tanggapan mahasiswa terhadap perkuliahan.
Semua angket yang diberikan berupa angket tertutup. Angket tertutup yaitu
angket yang alternatif jawabannya sudah diberikan oleh peneliti, sehingga
responden tidak memiliki keleluasaan untuk menyampaikan jawaban yang
diberikan kepadanya. Selain itu, digunakan pula lembar validasi yang digunakan
untuk mengetahui kelayakan learning object hasil pengembangan sebelum
digunakan. Lembar validasi ini akan diberikan kepada ahli sebanyak 2 orang.
Beberapa hal yang akan di nilai adalah kelayakan isi, kelayakan penyajian dan
kelayakan bahasa.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Pengembangan program perkuliahan ini diawali dengan tahap analisis.
Pada tahap ini peneliti melakukan analisis terhadap materi perkuliahan
vertebrata. Kegiatan ini ditujukan untuk memilih, menetapkan, merinci dan
menyusun materi secara sistematis sesuai dengan indikator yang akan dicapai
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
205
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam perkuliahan. Analisis selanjutnya adalah analisis kesiapan mahasiswa untuk
mengikuti perkuliahan berbasis learning object. Hasil dari analisis ini terbagi
menjadi beberapa bagian yaitu ketersediaan hardware dan jaringan internet,
kemampuan menggunakan aplikasi dasar komputer, dan kemampuan mengakses
sosial media. Analisis tersebut dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 berikut:
Gambar 1. Diagram Kepemilikan Hardware
Mahasiwa
Gambar 2. Diagram Persentase
Jaringan Internet yang digunakan Mahasiswa
Berdasarkan data pada Gambar 2, setiap mahasiswa sudah memiliki akses
jaringan internet. Hal ini terlihat dari persentase kepemilikan jaringan tersebut.
Gambar 3. Diagram Kemampuan
Mahasiswa Menggunakan Aplikasi Dasar
Office
Gambar 4. Kemampuan Mahasiswa
Menggunakan Aplikasi Dasar Browser
Kemudian dilakukan analisis tentang aplikasi dasar yaitu office dan browser
yang dikuasai oleh mahasiswa. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Gambar 3
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
206
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Gambar 4. Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa
mahasiswa sudah menguasai aplikasi dasar yang dibutuhkan. Analisis selanjutnya
yang dilakukan adalah analisis terhadap kemampuan mahasiswa menggunakan
social media. Hasil tersebut digambarkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram Kemampuan Mahasiswa Menggunakan Social Media
Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 5, terlihat bahwa hampir semua
mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengakses social media. Hal ini terlihat
dari persentase yang ditunjukkan.
Sealnjutnya dilakukan tahap desain. Pada tahap ini, program perkuliahan
berbasis learning object adalah bahan ajar berbentuk digital yang digunakan
dalam perkuliahan. Keunggulan learning object digital adalah kemudahannya
untuk disunting, diproduksi, dan dihantarkan melalui media telekomunikasi. Oleh
karena itu, konsep usability (keterpakaian suatu objek ajar dalam konteks
pembelajaran topik atau bidang lain) dapat dikenalkan sebagai salah satu
karakteristik penting suatu learning object. Program ini memiliki beberapa fitur
yaitu assignment, chat, choices, forums, quizzes, dan scrom/AICC packages.
Assigment merupakan fitur yang memungkinkan dosen untuk dapat
memberikan tugas yang mengharuskan mahasiswa mengirim (upload) konten
digital, misalnya essay, proyek, laporan, lain-lain. Jenis file yang dikirim misalnya
documents, spreadsheet, images, audio and video clips. Selanjutnya dosen dapat
melihat dan menilai tugas yang dikirim oleh mahasiswa. Fitur ini dinamakan tugas
mandiri dalam program perkuliahan Vertebrata yang dikembangkan.
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
207
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fitur selanjutnya adalah fitur Chat, fitur ini memungkinkan setiap peserta
dan dosen dapat berdiskusi secara realtime melalui web. Selain itu, terdapat juga
fitur yang memungkin aktivitas tanya jawab sederhana, dimana seorang dosen
memberikan pertanyaan dan memberikan pilihan jawaban kepada mahasiswa.
Aktivitas ini dapat digunakan juga sebagai polling untuk merangsang daya pikir
terhadap suatu topik. Fitur ini disebut dengan fitur choices. Selanjutnya adalah
fitur forum yang memungkinkan interaksi yang dilakukan secara asinkron dan
harus sesuai dengan topik yang diberikan oleh dosen. Dalam program perkuliahan
Vertebrata yang dikembangkan, fitur chat, choices, dan forum disatukan dalam
forum diskusi. Forum diskusi ini didesain untuk menstimulus mahasiswa
berdiskusi mengenai topik-topik yang berkaitan dengan materi yang sedang
dipelajari.
Fitur selanjutnya adalah fitur lesson yang memungkinan dosen dapat
membuat aktivitas yang berisi konten yang menarik dan fleksibel. Lesson terbagi
menjadi beberapa halaman dan diakhir setiap halaman biasanya terdapat
pertanyaan yang memiliki beberapa jawaban. Jawaban yang dipilih mahasiswa
akan menentukan halaman mana yang akan diaksesnya. Fitur ini dan fitur scrom
kemudian dikembangkan menjadi fitur materi dalam program perkuliahan
Vertebrata berbasis learning object. Fitur scrom memungkinkan dosen untuk
dapat membuat paket yang berisi halaman web, grafis, program javascript, slide
presentasi Flash, video, suara, dan konten apapun yang dapat dibuka dengan web
browser. Paket ini juga diintegrasikan kumpulan soal yang bila diperlukan dapat
dinilai dan kemudian dimasukkan dalam raport Student.
Pada program ini dosen dapat mendesain kumpulan soal, yang berisi
multiple choice, true false, dan jawaban singkat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan disimpan dalam bank soal yang dapat dikategorikan dan digunakan ulang.
Fitur ini disebut quizzes dan dinamakan fitur tes formatif/ kuis pada program
perkuliahan Vertebrata yang digunakan.
Program perkuliahan yang dikembangkan sebelumnya dirancang dalam
bentuk peta program. Peta program yang sudah disusun kemudian dituangkan
dalam bentuk learning object dengan domain www.moodle.hanasusanti.com.
Tampilan awal pada learning object yang dikembangkan memuat beberapa
menu seperti pengenalan halaman, pilihan bahasa, login, pendahuluan, pilihan
materi, tentang website, panduan kelas maya, dosen dan mahasiswa (Gambar 6),
selain itu menu awal pada learning object ini memuat juga menu, kalender, online
user, main menu, dan pengunjung (Gambar 7). Menu pengenalan website
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
208
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berisikan nama mata kuliah dan nama dosen pengampu mata kuliah yang dibuat
guna menunjukkan identitas mata kuliah yang nantinya akan diajarkan melalui
program perkuliahan Vertebrata berbasis learning object.
Menu pilihan bahasa memungkinkan pengguna untuk memilih bahasa yang
hendak digunakan. Terdapat dua pilihan bahasa yaitu bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris. Bagian samping kiri dari fitur pilihan bahasa terdapat fitur pilihan
materi dan login.
Menu login memungkinkan pengguna untuk dapat masuk ke dalam
halaman selanjutnya pada learning object. User (pengguna) yang ingin membaca
dan belajar dengan menggunakan learning object harus terlebih dahulu masuk
melalui menu ini. Agar dapat login, pengguna harus terlebih dahulu memasukkan
username dan password. Username dan password dalam mata kuliah ini adalah
nomor induk mahasiswa (NIM). Untuk password sendiri dapat diubah oleh
mahasiswa setelah melakukan login untuk pertama kali. Pada halaman awal,
menu login terdapat pada dua bagian yaitu bagian kanan atas (Gambar 6) dan
bagian kanan bawah (Gambar 7).
Gambar 6. Tampilan Awal
Learning Object Bagian Atas
Gambar 7. Tampilan Awal Learning Object
Bagian Bawah
Setelah menu login, pilihan materi dan pilihan bahasa, bagian tengah dari
halaman awal terdapat menu pendahuluan. Menu ini berisikan panduan awal
sebelum melakukan perkuliahan berbasis learning object. Bagian selanjutnya
adalah bagian bawah dari halaman awal. Pada bagian ini terdapat menu tentang
website, panduan kelas maya, dosen dan mahasiswa, kalender, online user, main
menu, dan pengunjung (Gambar 7).
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
209
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menu tentang website menunjukkan kepada pengguna tentang identitas
website yang digunakan dalam learning object secara umum. Hal ini diharapkan
dapat memberikan gambaran kepada pengguna tentang website tesebut. Menu
selanjutnya adalah panduan kelas maya. Menu ini berisikan aturan-aturan
perkuliahan Vertebrata yang nantinya akan dilakukan oleh pengguna yang dalam
hal ini adalah mahasiswa. Untuk mengetahui nama-nama mahasiswa yang
diperbolehkan mengikuti perkuliahan kelas maya ini, terdapat menu dosen dan
mahasiswa. Menu ini berisikan semua nama mahasiswa yang telah melakukan
tanda tangan kontrak perkuliahan Vertebrata dan nama dosen pengampuh mata
kuliah. Menu selanjutnya dalam bagian bawah tampilan awal adalah menu
kalender, pengguna online, main menu dan pengunjung. Menu kalender berisikan
tanggal-tanggal penting dalam perkuliahan berbasis learning object. Tanggal
penting dalam hal ini adalah tanggal dimana mahasiswa melakukan tahap-tahap
pembelajaran, seperti tanggal melakukan diskusi, mengumpulkan tugas mandiri,
dan melakukan kuis.
Selanjutnya adalah menu pengguna online (Gambar 7). Menu pengguna
online adalah menu yang menunjukkan nama-nama pengguna yang sedang aktif
(login) di dalam learning object, termasuk di dalamnya dosen pengampu mata
kuliah. Dengan adanya menu ini, dosen dapat mengetahui mahasiswa mana saja
yang sudah masuk ke dalam kelas dan mana yang belum. Dosen juga dapat
mengecek kehadiran dengan memperhatikan menu online user ini. Selain itu,
mahasiwa juga dapat melihat apakah dosen mereka sudah berada di dalam kelas
online atau belum.
Pada bagian atas dari menu online user terdapat menu utama. Menu ini
dapat digunakan untuk melakukan video conference kepada setiap anggota kelas.
Jadi dengan adanya menu ini, mahasiswa dapat bertanya langsung pada dosen
atau teman satu kelasnya dengan melakukan videocall. Menu terakhir pada
halaman awal ini adalah menu pengunjung. Menu ini memungkinkan user untuk
melihat negara mana saja yang sudah mengunjungi website pembelajaran online.
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
210
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 8. Tampilan Menu Learning Object
Bagian Atas
Gambar 9. Tampilan Menu Learning Object
Bagian Bawah
Setelah melakukan login, pengguna selanjutnya masuk ke dalam menu
learning object. Menu yang belum aktif sebelum login, akan aktif setelah
pengguna memasukan username dan password. Setelah login, pengguna akan
disambut dengan gambar animasi (Gambar 8) yang menunjukkan urutan tata cara
perkuliahan. Pada bagian samping dari fitur-fitur dalam menu materi, terdapat
menu administration. Menu ini berisi hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan
website, termasuk unggahan materi, penilaian, soal, dsb. Selanjutnya pengguna
dapat memilih materi yang menjadi materi perkuliahan online sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan.
Menu pertama dalam menu materi yang akan dilihat adalah menu
pendahuluan (Gambar 10). Menu ini berisikan pendahuluan tentang materi yang
akan dipelajari oleh pengguna mahasiswa. Asal-usul dari kelas Vertebrata yang
dipelajari secara umum, termasuk di dalamnya ciri-ciri umum, evolusi awal, dan
sebagainya dimasukkan dalam menu pendahuluan. Selanjutnya adalah menu
materi itu sendiri, pada menu ini terdapat konsep-konsep yang berkaitan dengan
kelas Vertebrata yang dibahas. Contohnya pada kelas mamalia, akan dibahas
mengenai ciri-ciri, contoh, habitat, klasifikasi, dan sebagainya. Menu materi ini
diperkuat dengan gambar, video, teks, powerpoint, dan lain-lain guna menunjang
pembelajaran yang dapat dengan mudah diterima oleh mahasiswa walaupun
tanpa adanya perkuliahan secara tatap muka. Sebagai contoh pada Gambar 11
adalah tampilan materi learning object dengan memanfaatkan teks dan gambar.
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
211
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 10. Tampilan Menu Pendahuluan
Gambar 11. Contoh Tampilan Teks dan Gambar Pada Materi Learning Object
Menu ketiga dalam program perkuliahan ini adalah menu forum diskusi
(Gambar 12). Menu ini memungkinkan mahasiswa untuk dapat berdiskusi dengan
dosen ataupun dengan teman sekelasnya. Diskusi online ini telah terjadwal
waktunya sesuai dengan lamanya penjelasan materi tentang kelas Vertebrata
yang dipelajari. Forum diskusi ini dibentuk supaya mahasiwa dapat berpikir lebih
kritis tentang materi pada kelas-kelas Vertebrata yang sedang dipelajari. Hal ini
dikarenakan, bahan diskusi pada pedoman diskusi merupakan isu-isu terbaru
mengenai kelas-kelas Vertebrata tersebut.
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
212
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menu selanjutnya adalah menu tes formatif (Gambar 13). Pada menu ini
terdapat soal-soal tentang kelas-kelas Vertebrata yang sedang dipelajari. Soal tes
formatif disajikan dalam bentuk pilihan ganda. Mahasiswa diberi waktu 30 menit
untuk menjawab soal yang diberikan. Nilai mahasiswa akan segera keluar dan
mereka ketahui setelah selesai melakukan tes ini.
Gambar 12. Tampilan Forum Diskusi
Gambar 13. Tampilan Tes Formatif
Gambar 14. Contoh Penugasan Tugas Mandiri
Selain pembelajaran di dalam kelas online, mahasiswa juga dituntut untuk
melakukan praktikum supaya menambah pengetahuan tentang kelas-kelas
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
213
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vertebrata yang sedang dipelajari. Tugas mandiri dapat dilihat pada gambar 14.
Praktikum yang dilaksanakan lebih menekankan bagaimana mahasiswa dapat
mengetahui bagian-bagian tubuh dari hewan sampel yang digunakan secara
anatomi, morfologi, dan fisiologinya. Akan tetapi, praktikum tersebut tetap
menggunakan learning object sebagai panduan. Dalam hal ini, learning object
menyajikan menu tugas mandiri. Tugas mandiri ini berisikan panduan praktikum
mahasiswa. Setelah melakukan praktikum, mahasiswa juga diwajibkan untuk
mengunggah hasil praktikum yang telah dilaksanakan dalam bentuk file. Laporan
hasil praktikum tersebut kemudian dinilai oleh dosen.
Tahap yang dilakukan selanjutnya adalah tahap validasi. Peta program,
software dan instrumen penelitian yang telah disusun dinamakan prototype.
Selanjutnya prototipe ini divalidasi oleh beberapa validator dan pakar/ahli. Hasil
validasi oleh pakar diantaranya adalah perbaikan pada sistematika interaktif,
interface (antarmuka) disesuaikan dengan tingkatan usia mahasiswa, navigasi
program harus di reposisi sehingga lebih mudah di akses. Dari segi konten
perbaikan yang diharus dilakukan adalah penyesuaian learning point dengan
penggunaan gambar, teks, animasi dan video. Setelah dilakukan revisi terhadap
prototype tersebut, maka dilakukan uji coba terbatas. Uji coba dilakukan didalam
laboratorium komputer dengan jumlah mahasiswa 10 orang yang merupakan
mahasiswa program studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Hasil uji coba terbatas menyangkut hal-hal sebagai berikut
yaitu materi perkuliahan, tampilan learning object, tugas online, dan interaksi
pembelajaran. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa materi isi perkuliahan
sudah sesuai dengan Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD).
Tampilan learning object dinilai masih terlalu sederhana dan kurang menarik bagi
mahasiwa, demikian pula dengan tugas online dan interaksi pembelajaran. Data
yang terkumpul pada tahap ini dianalisis, dilakukan revisi dan dilakukan
penyempurnaan terutama pada tampilan learning object, tugas online dan
interaksi pembelajaran, sampai learning object tersebut dapat diimplementasikan
secara lebih luas. Hasil uji coba terbatas menunjukkan bahwa pengembangan
learning object sudah dapat diujicobakan secara lebih luas.
Tahap selanjutnya adalah tahap implementasi, pada tahap ini dilakukan
perkuliahan dengan menggunakan program berbasis learning object yang sudah
dikembangkan. Implementasi perkuliahan dilakukan sebanyak 16 kali pertemuan
dengan jadwal sebagai berikut:
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
214
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 15. Jumlah Pertemuan dan Kegiatan Perkuliahan Vertebrata
Aspek materi yang disajikan pada learning object terdiri dari beberapa
komponen yaitu kesulitan, kejelasan, kemenarikan dan keterkinian. Berdasarkan
hasil pengamatan (Gambar 15) 76.97% mahasiswa menyatakan bahwa materi
yang disajikan pada learning object tersebut tidak terlalu sulit atau tidak terlalu
mudah. Hal ini mengindikasikan bahwa materi yang diberikan memiliki tingkat
kesulitan yang sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Gambar 16. Diagram Respon Mahasiswa Terhadap Aspek Materi pada
Learning Object
Selain itu, hampir sama dengan komponen kesulitan materi, komponen-
komponen lain seperti kejelasan, kemenarikan, dan keterkinian materi juga
mendapatkan respon positif diatas 70%. Komponen kejelasan materi membuat
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
215
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100 % mahasiswa sepakat bahwa materi yang diberikan dalam learning object
sudah sangat jelas dan sangat mudah dipahami. Kemudian untuk komponen
kemenarikan dan keterkinian materi, masing-masing mendapatkan respons
sebesar 72.73% dan 86.36%. Hal ini menunjukkan bahwa materi yang disajikan
menggunakan learning object menarik dan uptodate sesuai dengan
perkembangan kurikulum.
Aspek selanjutnya adalah aspek desain media. Aspek desain media terdiri
dari empat komponen yaitu tampilan media untuk mengakses bagian-bagian isi
materi, kemarikan komposisi learning object, keseimbangan ukuran tampilan
media learning object dan teks yang disajikan, serta kesederhanaan. Bedasarkan
hasil pengamatan 77,27% mahasiswa menyatakan bahwa tampilan learning object
mempermudah dalam mendapatkan bagian-bagian dari isi materi. Sementara itu
94.45% mahasiswa menyatakan bahwa desain media yang ditampilkan dalam
learning object sudah rapih. Kemudian, masing-masing 68.19% mahasiswa
menyatakan bahwa komposisi warna tampilan learning object sudah seimbang
dan ukuran tampilan media learning object dan teks yang disajikan sudah
seimbang. Data hasil pengamatan mengenai aspek desain media dapat dilihat
pada Gambar 16.
Gambar 17. Diagram Respon Mahasiswa Terhadap Aspek Desain
Media pada Learning Object
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
216
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Aspek selanjutnya yang diamati adalah aspek implementasi. Pada aspek ini
hanya terdapat satu komponen yaitu kemudahan penggunaan. Berdasarkan hasil
penelitian 77.28% mahasiwa menyatakan bahwa aplikasi learning object mudah
untuk digunakan.
Aspek terakhir yang diamati dalam penelitian ini adalah aspek kualitas
teknis yang digunakan dalam learning object. Pada aspek ini terdapat beberapa
komponen yaitu gambar, teks, warna, animasi, audio, dan video. Hasil penelitian
mengenai aspek kualitas teknis ini dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 18. Diagram Respon Mahasiswa Terhadap Aspek Kualitas Teknis
pada Learning Object
Berdasarkan data pada Gambar 18, diatas 60% mahasiswa menyatakan
bahwa kualitas Teks dan warna yang ditampilkan pada learning object sudah baik,
sedangkan sisanya menyatakan bahwa kualitas teks dan warna tersebut sudah
cukup baik. Kemudian, diatas 25% mahasiwa menyatatakan bahwa kualitas teknik
untuk gambar, animasi, audio dan video sudah baik. Sementara sisanya diatas
50% menyatakan bahwa kualitasnya sudah cukup baik. Respon terendah untuk
kualitas yang baik, terjadi pada komponen video. Oleh sebab itu, komponen ini
mendapat perbaikan, sama halnya dengan komponen lainnya yang juga butuh
perbaikan seperti komponen gambar, animasi, dan audio.
Hasil pengamatan yang didapatkan dari setiap respon terhadap
pengembangan dan implementasi learning object menginformasikan bahwa
setiap aspek mendapatkan respon antara baik dan cukup baik. Hal ini
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
217
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengindikasikan bahwa pengembangan program pengajaran vertebrata berbasis
learning object dengan sistem e-learning dapat dilakukan dengan baik.
D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulan beberapa hal yaitu:
a. Perkuliahan vertebrata dapat dikemas dan disajikan menggunakan learning
object sehingga proses perkuliahan menjadi lebih menarik.
b. Respon mahasiswa terhadap materi yang disajikan termasuk kedalam
kategori sangat baik, pada aspek desain masuk pada kategori baik, dan aspek
kualitas teknis secara umum masuk kedalam kategori cukup.
E. Daftar Pustaka
Anonim. 2015. Laporan hasil Evaluasi perkuliahan Zoologi Vertebrata tahun
Ajaran 2014/2015. Laporan hasil Evaluasi Dosen. Jurusan Pendidikan IPA
FITK UIN syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak dipublikasikan.
Borg and Gall (1983), Educational Reseach, An Introduction. New York and
London, Longman Inc.
Campbell, A. (2002). A mind of her own: The Evolutionary Psychology of Women.
Oxford: Oxford University Press. (Second Edition due 2012).
Chaeruman. (2008). Mengembangkan Sistem Pembelajaran dengan Model ADDIE.
Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.
Chaeruman. A. Uwes. 2009. Pembelajaran Interaktif Dengan Memanfaatkan
Aneka Sumber Belajar. Pusat Teknologi Komunikasi Departemen
Pendidikan Nasional . Jakarta: Kemdiknas.
Gay, L.R. (1991). Educational Evaluation and Measurement: Competencies for
Analysis and Application. Second edition. New York: Macmillan Publishing
Compan.
Purbo,W.O. (2002). Teknologi E-Learning. Jakarta: Elex Media Computindo.
Reyzal Ibrahim. (2011). Model Pengembangan ADDIE, diakses melalui
http://jurnalpdf.info/pdf/model-pengembangan-addie.html diakses
tanggal 2 Maret 2012 jam 10.15 WIB.
Rosita dan Pribadi,T. (2005). Prospek Komputer sebagai Media Pembelajaran
Interaktif dalam Sistem Pembelajaran Jarak Jauh di Indonesia. Universitas
Terbuka (online) tersedia: http://www.teknologipembelajaran.net. (23
September 2011).
Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218
218
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Semiawan. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Sholihati, E.R. (2008). Cooperative Learning Analisis Model Pembelajaran IPS.
Jakarta. Bumi Aksara.
Sukardjo dan Lis Permana Sari. (2009). Metodologi Penelitian Pendidikan Kimia.
Yogyakarta: FMIPA UNY.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2015. Rencana Strategis
2015-2016 . UIN Jakarta (online) tersedia http//www.uinjkt.ac .id (5
Februari 2016).
Wahid, F. (2005). Peran Teknologi Informasi dalam Modernisasi Pendidikan
Bangsa. Disampaikan dalam Simposium Nasional Peduli Pendidikan yang
Diselenggarakan oleh pendidikan @yahoogroups.com di UII Yogyakarta.
Widowati, H., dan Dasrieni Pratiwi. 2015. Peninjauan Instrumen Penilaian
Otentik Mahasiswa dalam perkuliahan sebagai Upaya Penyiapan Generasi
Unggul yang Berdaya Saing. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
Biologi tahun 2015. Program Studi pendidikan Biologi FKIP Universitas
Muhammadaiyah Malang. Tidak diterbitkan.
Wiley, D.A. (2000). Learning Object Design and Sequencing Theory. Disertasi.
Brigham Young Universi
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
219
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Peningkatan Literasi dan Disposisi Matematis Siswa
Sekolah Dasar melalui Problem Based Learning
dan Direct Instruction
Fery Muhamad Firdaus
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah - FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keadaan siswa sekolah dasar
(SD) yang masih tampak terdapat beberapa siswa yang hanya
mampu memahami secara konsep matematika saja, tetapi
beberapa siswa masih kurang mampu menghubungkan antar
konsep matematika dan mengaplikasikan matematika dalam
memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari. Hal ini menandakan bahwa kurangnya literasi matematis
siswa. Selain itu, disposisi matematis siswa sebagai faktor yang
mempengaruhi literasi matematis siswa pun masih belum tampak
dengan baik, sehingga penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan literasi dan disposisi matematis siswa sekolah dasar
(SD) melalui problem based learning dan direct instruction. Selain
itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan peningkatan literasi matematis antara siswa yang
memperoleh problem based learning dan direct instruction di SD
berdasarkan kategori PAM siswa, apakah terdapat pengaruh
interaksi antara model pembelajaran dengan kategori PAM siswa
terhadap kemampuan literasi matematis siswa, serta bagaimana
peningkatan disposisi matematis siswa yang menggunakan model
problem based learning dan direct instruction pada pembelajaran
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
220
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
matematika di SD. Penelitian dilakukan pada tahun akademik
2015-2016 di kelas V sekolah dasar negeri di Bandung. Selama
proses penelitian, kelompok eksperimen 1 diberikan problem
based learning, sedangkan kelompok eksperimen 2 diberikan
direct instruction. Metode penelitian yang digunakan yaitu mixed
method dengan desain embedded experimental. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1) Terdapat perbedaan yang signifikan
mengenai peningkatan literasi matematis siswa berdasarkan
kategori PAM Siswa. (2) Terdapat efek interaksi antara model
pembelajaran dengan kategori PAM terhadap peningkatan literasi
matematis siswa, (3) Disposisi matematis siswa telah mengalami
peningkatan baik melalui penggunaan model PBL maupun
pembelajaran yang menggunakan model DI, (4) Indikator diposisi
matematis yang mengalami perbedaan yang paling tinggi antara
siswa yang mendapat model PBL dan siswa yang mendapat model
DI yaitu rasa ingin tahu siswa.
Kata Kunci: literasi matematis, disposisi matematis, problem based
learning, direct instruction, pendidikan matematika,
sekolah dasar.
A. Pendahuluan
Pembelajaran merupakan upaya seorang guru sebagai praktisi pendidikan
untuk mengembangkan berbagai kompetensi siswa yang sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional. Salah satu kompetensi siswa yang dapat dikembangkan oleh
guru dalam pembelajaran di sekolah yaitu literasi matematis. Dalam PISA (OECD,
2013), literasi matematis seringkali dipermasalahkan pada siswa jenjang SMP dan
SMA. Serta hasil penelitian Mahdiyansyah & Rahmawati (2014) bahwa literasi
matematika siswa jenjang pendidikan menengah masih rendah, meskipun desain
tes internasional yang digunakan telah disesuaikan dengan konteks Indonesia.
Berdasarkan PISA (OECD, 2013) serta hasil penelitian Mahdiyansyah & Rahmawati
(2014) yang membahas rendahnya literasi matematis pada siswa jenjang SMP dan
SMA ini di alami pula oleh siswa SD. Dimana literasi matematis juga haruslah
dikembangkan pada siswa SD sebagai dasar dalam pemerolehan konsep-konsep
dasar matematika. Permasalahan literasi matematis siswa SMP dan SMA tidak
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
221
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menutup kemungkinan merupakan dampak dari permasalahan dan pembelajaran
literasi matematis siswa SD. Permasalahan literasi matematis siswa SD ini tampak
pada beberapa siswa yang hanya mampu memahami secara konsep matematika
saja, tetapi beberapa siswa masih kurang mampu menghubungkan antar konsep
matematika dan mengaplikasikan matematika dalam memecahkan masalah yang
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga ditandai dari terdapatnya
beberapa siswa yang tidak mampu menyelesaikan soal-soal yang berbentuk
cerita, terutama soal non rutin yang berkaitan dengan konsep matematika yang
dibahas di sekolah dasar.
UNDP (2000) dan International of Education Evaluation in Achievement
(2000) melaporkan bahwa rendahnya kualitas kemampuan bersaing siswa
Indonesia di era globalisasi, khususnya dibidang matematika dan sains (Dewanto
& Sumarno, 2013). Hasil terbaru dari Programme for International Student
Assessment (PISA) tahun 2012 menunjukkan semakin menurunnya prestasi siswa
Indonesia dimana sebagian besar siswa Indonesia belum mencapai level 2 (75%)
dan 42 % siswa bahkan belum mencapai level terendah (level 1), padahal PISA
matematika tahun 2009, hampir semua siswa Indonesia mencapai level 3 dan
hanya 0,1% siswa Indonesia yang mampu mencapai level 5 dan 6. Dari hasil
gabungan tes matematika, sains, dan membaca, pada PISA 2012 Indonesia
menempati peringkat 64 dari 65 negara yang berpartisipasi (OECD, 2013).
Begitupula dalam hal literasi, hasil studi Progress in International Reading and
Literacy Study (PIRLS) yang ditujukan untuk kelas V SD juga menunjukkan hasil
bahwa lebih dari 95% peserta didik Indonesia di SD kelas V hanya mampu
mencapai level menengah, sementara lebih dari 50% siswa Taiwan mampu
mencapai level tinggi dan advance (Kemendikbud, 2014).
Kemampuan literasi matematis dapat mempermudah siswa dalam
menyelesaikan masalah di kehidupan nyata yang berkaitan dengan konsep-
konsep matematika (Garfunkel, 2013). Kemampuan yang penting dalam literasi
matematis yaitu kemampuan menyusun strategi penyelesaian masalah,
merumuskan masalah dan menyelesaikan didalam atau diluar masalah
matematika. Dalam pengembangan kemampuan-kemampuan tersebut, alangkah
lebih baiknya jika siswa terlebih dahulu diperkenalkan konsep matematika dengan
baik melalui pendekatan problem posing, problem solving, ataupun keduanya
(Johar, 2012).
Myers (2008) mengungkapkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan literasi matematis yaitu: (1) Waktu yang dihabiskan dalam belajar
matematika, (2) Sikap terhadap matematika, dan (3) Hal-hal penyebab kesuksesan
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
222
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam matematika. Sikap terhadap matematika tersebut merupakan kompetensi
matematis dalam ranah afeksi yang sering disebut disposisi matematis. Sikap
siswa dalam belajar matematika ini sangatlah diperlukan untuk kemajuan dalam
belajar matematika siswa SD. Karena dengan sikap positif siswa, maka akan
muncul motivasi yang sangat baik dari dalam diri siswa untuk belajar matematika,
percaya diri siswa akan muncul dalam belajar matematika, serta siswa akan gigih
dan mau berbagi pengetahuan yang mereka miliki kepada teman-temannya.
Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan siswa belajar matematika
adalah Pengetahuan Awal Matematika (PAM) Siswa terhadap pembelajaran
matematika. Menurut Dick & Lou (2005), pengetahuan awal matematika
merupakan kemampuan atau keterampilan yang telah dimiliki siswa sebelum ia
mengikuti mata pelajaran yang akan diberikan. Dengan kemampuan ini siswa
dapat mempelajari materi yang akan diajarkan guru dan sebaliknya tanpa
kemampuan ini siswa akan mengalami kesulitan mempelajari materi berikutnya.
Pada awal proses belajar mengajar, guru seharusnya meneliti lebih dahulu
pengetahuan awal matematiks siswa. Dari kemampuan awal inilah tergantung
bagaimana proses belajar mengajar sebaiknya diatur sehingga hasil belajar yang
diharapkan tercapai.
Brelias (2014) berpendapat bahwa beberapa sekolah masih kurang
memberikan banyak siswa dengan peluang yang cukup untuk mengembangkan
jenis literasi matematis yang cocok dalam memahami masalah sosial dan disposisi
matematis yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan sosial tersebut.
Kemudian Johar (2012) mengungkapkan bahwa para praktisi pendidikan
matematika sebaiknya melakukan inovasi-inovasi dalam proses pembelajaran
maupun dalam evaluasi pembelajaran untuk matematika di sekolah mulai dari
jenjang sekolah dasar yang mengarah pada literasi dan disposisi matematis,
sehingga matematika menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan siswa.
Berdasarkan pemaparan Brelias dan Johar tersebut, maka perlu dilaksanakannya
inovasi-inovasi yang dilakukan guru dalam pembelajaran matematika supaya
tujuan pendidikan matematika di sekolah dasar dapat tercapai secara efektif dan
efisien.
Problem based learning merupakan pembelajaran yang memanfaatkan
masalah, pertanyaan, atau teka-teki (puzzle) sebagai pemicu (trigger) bagi proses
belajar siswa (CIDR, 2004). Selain itu, Tan (2003) menjelaskan bahwa melalui
problem based learning, siswa termotivasi belajar secara tinggi, mengembangkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi, kerja sama tim dan keterampilan komunikasi.
Motivasi belajar matematika merupakan salah satu prediktor disposisi matematis
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
223
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
siswa, sedangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan karakteristik
dari literasi matematis. Asumsi Tan mengenai penggunaan problem based
learning yang dianggap dapat meningkatkan motivasi belajar sebagai prediktor
dari disoposisis matematis dan keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu literasi
matematis ini sejalan dengan pendapat Johar (2012) bahwa dalam
pengembangan kemampuan matematis siswa perlu dilaksanakan pendekatan
problem solving yang sesuai dengan karakteristik model problem based learning.
Sehingga berdasarkan asumsi Tan dan Johar tersebut, maka model problem based
learning dapat dijadikan salah satu model yang digunakan untuk meningkatkan
literasi dan disposisi matematis siswa.
Direct instruction merupakan suatu model pengajaran yang terdiri dari
penjelasan guru mengenai konsep atau keterampilan baru terhadap siswa
dilanjutkan dengan meminta siswa menguji pemahaman mereka dengan
melakukan praktik dibawah bimbingan guru (praktik terkontrol) dan mendorong
mereka meneruskan praktik dibawah bimbingan guru (Joyce, Weil & Calhoun,
2011, hlm. 423). Din (2000) mengadakan penelitian mengenai model direct
instruction yang menunjukkan bahwa setelah pembimbingan, para siswa
membuat keuntungan yang signifikan dalam keterampilan dasar matematika
mereka. Keterampilan-keterampilan dasar matematika tersebut diantaranya
yaitu literasi matematis siswa SD. Sehingga diharapkan melalui penerapan model
direct instruction dapat meningkatkan literasi matematis siswa SD. Selain itu,
Lestari & Yudhanegara (2015, hlm. 37) menjelaskan bahwa direct instruction
menitikberatkan penguasaan konsep dan perubahan perilaku sebagai hasil belajar
yang dapat diobservasi, sehingga model direct instruction diasumsikan dapat
meningkatkan disposisi matematis siswa sebagai salah satu perilaku siswa yang
dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil
penelitian Din (2000) dan asumsi Lestari & Yudhanegara (2015, hlm. 37), maka
model direct instruction dapat dijadikan salah satu model yang digunakan untuk
meningkatkan literasi dan disposisi matematis siswa.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu mixed method dengan desain
embedded experimental. Subyek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V
sekolah dasar di enam sekolah dasar di Bandung Raya. Instrumen penelitian yang
digunakan yaitu lembar tes evaluasi literasi matematis siswa, angket skala sikap
disposisi matematis, serta lembar pengamatan dan wawancara disposisi
matematis siswa. Kegiatan evaluasi tes literasi dan disposisi matematis siswa
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
224
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilakukan dalam rangka mengetahui dan mengidentifikasi literasi dan disposisi
matematis siswa mengenai bahan ajar yang sedang dibelajarkan, dimana
pelaksanaan evaluasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengukur literasi dan
disposisi matematis siswa mengenai materi geometri. Pengembangan instrumen
dilakukan dengan cara pengujian validitas empiris dan pengujian reliabilitas. Hasil
pengujian empiris mengenai instrumen literasi matematis siswa sebanyak 15 soal
dinyatakan valid dengan reliabilitasnya sebesar 0,785, sedangkan hasil pengujian
empiris mengenai instrumen disposisi matematis siswa sebanyak 20 pernyataan
dinyatakan valid dengan reliabilitasnya sebesar 0,927.
Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui untuk mengetahui
peningkatan literasi dan disposisi matematis siswa sekolah dasar melalui problem
based learning dan direct instruction. Teknik analisis data kuantitatif yang
digunakan pada penelitian ini yaitu teknik statistik inferensial parameter, di mana
teknik ini dilaksanakan dengan menggunakan uji-t, uji Mann-Whitney U, uji one-
way ANOVA, uji two-way ANOVA, dan uji post hoc Kruskal-Wallis, dengan taraf
signifikansi 0,05.
Teknik analisis data kualitatif dilakukan melalui teknik triangulasi yang
mencocokkan data dari berbagai sumbe data. Penelitian ini dilaksanakan dengan
prosedur pelaksanaan penelitian sebagai berikut: Pertama, perencanaan dan
persiapan penelitian, dimana pada proses ini dimulai dengan mendefinisikan
masalah penelitian, mencari bahan rujukan, dan membuat hipotesis penelitian,
menentukan desain penelitian, kemudian memilih subyek penelitian sesuai
dengan desain penelitian yang telah dipilih, membuat Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) problem based learning dan direct instruction, serta membuat
instrumen-instrumen yang digunakan ketika penelitian. Kedua, pelaksanaan
penelitian, di mana pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan penempatan
sampel pada kelompok eksperimen 1 dan kelompok eksperimen 2, memberi
pretest masing-masing kelompok, didasarkan pada variabel dependent,
melakukan perlakuan terhadap kelompok eksperimen 1 dengan menggunakan
problem based learning, perlakuan terhadap kelompok eksperimen 2 dengan
menggunakan direct instruction, serta masing-masing kelompok diberi posttest
sesuai dengan variabel dependent. Ketiga, pengumpulan data dan analisis data
yang telah diperoleh. Keempat, membuat laporan penelitian.
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
225
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Literasi Matematis
Hasil penelitian diperoleh dari kegiatan pengumpulan data melalui berbagai
teknik pengumpulan data yaitu teknik tes, penyebaran angket, observasi,
pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Data penelitian ini terbagi atas dua
jenis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil
tes pengetahuan awal matematika (PAM) siswa, tes literasi matematis siswa, dan
penyebaran angket disposisi matematis siswa baik sebelum (pretest) maupun
sesudah (posttest) pembelajaran dengan menggunakan model problem based
learning (PBL) dan model direct instruction (DI). Data kualitatif diperoleh dari hasil
observasi dan hasil wawancara dengan siswa dengan menggunakan model PBL
dan model DI, serta hasil pengamatan dan wawancara kepada siswa mengenai
disposisi matematis siswa setiap indikator yang terdiri dari semangat atau
motivasi siswa dalam belajar matematika, kegigihan siswa dalam belajar
matematika, kepercayaan diri siswa dalam belajar matematika, rasa ingin tahu
siswa dalam belajar matematika, dan kesediaan siswa dalam berbagi pengetahuan
matematika kepada orang lain.
Hasil uji-t tunggal terhadap signifikansi peningkatan literasi matemtis siswa
kedua kelompok pembelajaran untuk setiap kategori PAM ditampilkan pada tabel
1. tabel 1. didapatkan nilai probabilitas (sig.) kurang dari 0,05 untuk setiap hasil
uji, dengan demikian untuk setiap pengujian diperoleh kesimpulan H0 ditolak. Jadi,
terdapat perbedaan peningkatan literasi matematis siswa yang siginifikan untuk
setiap kelas model pembelajaran baik tingkatan PAM tinggi, sedang, maupun
rendah.
Tabel 1. Rangkuman Uji Perbedaan Peningkatan Literasi Matematis Siswa
Berdasarkan Model Pembelajaran untuk Semua Kelompok PAM
Kategori
PAM
Model
Pembelajaran N
Rata-
Rata t Df Sig. Ket.
Tinggi PBL 29 0,80 90,426 28 0,000 H0 ditolak
DI 18 0,61 20,203 17 0,000 H0 ditolak
Sedang PBL 62 0,71 87,344 61 0,000 H0 ditolak
DI 62 0,50 86,135 61 0,000 H0 ditolak
Rendah PBL 24 0,58 87,894 23 0,000 H0 ditolak
DI 25 0,59 72,650 24 0,000 H0 ditolak
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
226
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil perhitungan ANOVA satu jalur dari data peningkatan literasi
matematis siswa berdasarkan kategori PAM dan model pembelajaran ditampilkan
pada tabel 2. berikut ini.
Tabel 2. Rangkuman Uji Perbedaan Peningkatan Literasi Matematis Siswa
Berdasarkan Kategori PAM Siswa dan Model Pembelajaran
Pada tabel 2. terlihat bahwa nilai sig. adalah 0,000 yang berarti bahwa H0
ditolak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa minimal terdapat dua rata-rata
kategori PAM siswa yang berbeda. Untuk melihat kategori PAM mana saja yang
berbeda maka dilakukan uji Post Hoc Games-Howell. Hasil pengolahan uji Games-
Howell dapat dilihat pada tabel 3. berikut.
Tabel 3. Hasil Uji Games-Howel Data Peningkatan Literasi Matematis Siswa
Berdasarkan Kategori PAM Siswa
PAM Siswa
Model PBL
PAM Siswa Model
DI
Mean
Defference Std. Error Sig. Ket.
Rendah Rendah 0,08862* 0,01115 0,000 H0 ditolak
Sedang Sedang 0,20742* 0,00997 0,000 H0 ditolak
Tinggi Tinggi 0,19649* 0,03140 0,000 H0 ditolak
Pada tabel 3. terlihat bahwa semua kategori PAM pada model PBL terdapat
perbedaan dengan semua kategori PAM pada model DI. Jadi secara umum dapat
dinyatakan bahwa yang menyebabkan perbedaan dari kedua model PBL dan
model DI adalah semua kategori PAM siswa.
Dikarenakan syarat untuk menguji ANOVA terpenuhi sesuai dengan statistik
faktorial, maka pengujian selanjutnya menggunakan two way ANOVA untuk
melihat pengaruh faktor model pembelajaran (model PBL dan model DI) dan PAM
(rendah, sedang, dan tinggi) siswa terhadap peningkatan literasi matematis siswa,
maka dilakukan uji ANOVA dua-jalur, yang hasil pengujiannya telah dirangkum
pada tabel 4.
Sumber Jumlah
Kuadrat dk
Rata-Rata
Kuadrat
F Sig. Ket.
Antar Kelompok
Dalam Kelompok
Total
2,397
0,790
3,187
5
214
219
0,479
0,004
129,934 0,000 H0
ditolak
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
227
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4. Hasil Uji Interaksi Antar Model Pembelajaran dengan PAM Siswa
terhadap Peningkatan Literasi Matematis Siswa
Sumber Jumlah
Kuadrat Df
Mean
Kuadrat F Sig. η2
Ket.
Model Pembelajaran 1,189 1 1,189 322,334 0,000 0,373 H0 ditolak
PAM Siswa 0,343 2 0,171 46,462 0,000 0,108 H0 ditolak
Model*PAM Siswa 0,128 2 0,064 17,406 0,000 0,040 H0 ditolak
Error 0,790 214 0,004 0,248
Total 92,392 220
Corrected Total 3,187 219
R Squared = ,752 (Adjusted R Squared = ,746)
Berdasarkan tabel 4., dapat diketahui bahwa faktor model pembelajaran
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan literasi matematis
siswa, hal ini terlihat dari nilai signifikansi untuk faktor model pembelajaran
adalah 0,000. Faktor PAM siswa juga memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan literasi matematis siswa, hal ini terlihat dari nilai signifikansi
untuk PAM siswa adalah 0,000, berarti terdapat perbedaan yang signifikan
peningkatan literasi matematis siswa berdasarkan kategori PAM siswa. Nilai eta
square (η2) pada faktor model pembelajaran sebesar 0,373, dimana berdasarkan
kriteria effect size untuk η2 dari Cohen maka faktor model pembelajaran memiliki
besar pengaruh yang kuat karena nilai η2 > 0,140. Nilai eta square (η2
) pada faktor
PAM siswa sebesar 0,108, dimana berdasarkan kriteria effect size untuk η2 dari
Cohen maka faktor PAM siswa memiliki besar pengaruh yang sedang karena nilai
0,060 < η2 < 0,110. Sedangkan nilai eta square (η2
) pada interaksi antara model
pembelajaran dengan PAM siswa sebesar 0,040, dimana berdasarkan kriteria
effect size untuk η2 dari Cohen maka interaksi antara model pembelajaran dengan
PAM siswa memiliki besar pengaruh yang sedang.
Nilai R square sebesar 0,746 menyatakan ukuran pengaruh variabilitas
model pembelajaran dan kategori PAM siswa dalam menjelaskan peningkatan
literasi matematis siswa yaitu sebesar 74,6%. Dengan demikian kedua variabel
memberikan pengaruh terhadap peningkatan literasi matematis siswa sekitar
74,6%, selebihnya oleh variabel lain. Selain itu, tabel 4. juga menunjukkan nilai F
yang diperoleh adalah 17,406 dengan nilai signifikansi 0,000. Artinya terdapat
interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap
peningkatan literasi matematis siswa. Hal ini juga dapat diartikan bahwa interaksi
model pembelajaran dengan kategori PAM siswa menghasilkan perbedaan
peningkatan literasi matematis siswa sekolah dasar.
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
228
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Disposisi Matematis
Data mengenai disposisi matematis siswa terhadap pembelajaran
matematika konsep geometri di kelas V sekolah dasar melalui model PBL dan
model DI diperoleh melalui respon yang diberikan siswa melalui angket skala
sikap, wawancara kepada siswa, serta pengamatan (observasi) yang dilakukan
oleh guru terhadap setiap indikator diposisi matematis yang ditampilkan siswa
pada proses pembelajaran berlangsung. Adapun hasil perolehan peningkatan
disposisi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model PBL dan
peningkatan disposisi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model DI
dengan menggunakan instrumen angket skala sikap dapat terlihat pada tabel 5.
berikut ini.
Tabel 5. Hasil Perolehan Peningkatan Disposisi Matematis Siswa yang
Memperoleh Model PBL dan DI
Model Hasil Statistik Pretest Posttest N-Gain Kriteria
PBL Rata-Rata 69,10 89,28 0,66 32,17% Tinggi
SD 0,077 67,83% Sedang
DI Rata-Rata 69,05 78,84 0,32 64,76% Sedang
SD 0,045 35,24% Rendah
Berdasarkan tabel 5. terlihat bahwa peningkatan disposisi matematis siswa
yang menggunakan model PBL lebih baik daripada siswa yang menggunakan
model DI. Hal ini dibuktikan dari skor rata-rata peningkatan disposisi matematis
siswa yang menggunakan model PBL yang mencapai 0,66 lebih besar 0,98
daripada rata-rata peningkatan disposisi matematis siswa yang menggunakan
model DI yang hanya mencapai 0,32. Selain itu, dilihat dari kriteria peningkatan
disposisi siswa, siswa yang menggunakan model PBL sebesar 32,17% memperoleh
kriteria peningkatan disposisi matematis yang tinggi, dan 67,83% mengalami
peningkatan yang sedang. Sedangkan kriteria peningkatan disposisi siswa, siswa
yang menggunakan model DI sebesar 64,76% memperoleh kriteria peningkatan
disposisi matematis yang sedang, dan 35,24% mengalami peningkatan yang
rendah.
Hasil disposisi matematis siswa bukan hanya diperoleh dari angket skala
siswa semata, tetapi data didukung dari hasil pengamatan yang dilakukan guru
dan hasil wawancara siswa yang membahas mengenai lima indikator disposisi
matematis siswa yaitu semangat siswa dalam belajar, kegigihan siswa dalam
menyelesaikan permasalahan matematika, kepercayaan diri siswa dalam belajar
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
229
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
matematika, rasa ingin tahu siswa dalam belajar matematika, serta kesediaan
siswa dalam berbagi pengetahuan matematika kepada orang lain.
Untuk lebih jelas mengenai hasil perolehan disposisi matematis siswa yang
didapat dari tiga sumber pengukuran melalui teknik pengamatan, wawancara dan
angket skala sikap dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Hasil Perolehan Rata-Rata Disposisi Matematis Siswa yang Memperoleh
Model PBL dan DI pada Setiap Indikator
Model
Pembelajaran Sumber Data
Rata-Rata Indikator Disposisi Matematis Siswa
S G PD RIT BP
PBL
Angket 4,6 4,5 4,4 4,5 4,4
Pengamatan 4,7 4,3 4,6 4,5 3,8
Wawancara 4,8 4,6 4,5 4,7 5,6
Rata-Rata 4,7 4,3 4,5 4,6 4,3
DI
Angket 4,2 4,0 3,8 3,9 3,4
Pengamatan 4,4 2,5 3,9 3,4 2,7
Wawancara 4,2 4,0 3,9 4,0 4,0
Rata-Rata 4,3 3,5 3,8 3,5 3,5
Keterangan:
S = Semangat PD = Percaya Diri BP = Berbagi Pengetahuan
G = Gigih RIT = Rasa Ingin Tahu
Berdasarkan tabel 6. di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata skor akhir
disposisi matematis siswa yang menggunakan model PBL lebih baik sebesar 13,60
daripada siswa yang menggunakan model DI, dimana siswa yang mendapat model
PBL memperoleh rata-rata skor sebesar 89,21, sedangkan siswa yang mendapat
model DI hanya memperoleh rata-rata skor sebesar 75,61. Selain itu, tabel 4.32.
memberikan gambaran bahwa rata-rata skor setiap indikator disposisi matematis
siswa yang mendapat model PBL lebih baik daripada siswa yang menggunakan
model DI pula. Adapun rincian hasil pemerolehan setiap indikator disposisi yaitu
sebagai berikut:
a. Semangat atau motivasi siswa dalam belajar matematika yang menggunakan
model PBL lebih besar 0,4 daripada siswa yang menggunakan model DI,
dimana semangat atau motivasi siswa dalam belajar matematika yang
menggunakan model PBL memperoleh kriteria sangat baik, sedangkan
semangat atau motivasi siswa dalam belajar matematika yang menggunakan
model DI memperoleh kriteria cukup baik.
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
230
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Kegigihan siswa dalam belajar matematika yang menggunakan model PBL
lebih besar 0,8 daripada siswa yang menggunakan model DI, dimana
kegigihan siswa dalam belajar matematika yang menggunakan model PBL
memperoleh kriteria baik, sedangkan kegigihan siswa dalam belajar
matematika yang menggunakan model DI memperoleh kriteria cukup baik.
c. Kepercayaan diri siswa dalam belajar matematika yang menggunakan model
PBL lebih besar 0,7 daripada siswa yang menggunakan model DI, dimana
kepercayaan diri siswa belajar matematika yang menggunakan model PBL
memperoleh kriteria baik, sedangkan kepercayaan diri siswa dalam belajar
matematika yang menggunakan model DI memperoleh kriteria cukup baik.
d. Rasa ingin tahu siswa dalam belajar matematika yang menggunakan model
PBL lebih besar 1,1 daripada siswa yang menggunakan model DI, dimana rasa
ingin tahu siswa yang menggunakan model PBL memperoleh kriteria sangat
baik, sedangkan rasa ingin tahu siswa dalam belajar matematika yang
menggunakan model DI memperoleh kriteria cukup baik.
e. Kesediaan siswa dalam berbagi pengetahuan matematika yang menggunakan
model PBL lebih besar 0,8 daripada siswa yang menggunakan model DI,
dimana kesediaan siswa dalam berbagi pengetahuan matematika yang
menggunakan model PBL memperoleh kriteria baik, sedangkan kesediaan
siswa dalam berbagi pengetahuan matematika yang menggunakan model DI
memperoleh kriteria cukup baik.
Oleh kerena itu, dapat diperoleh hasil bahwa rata-rata disposisi matematis
siswa yang mendapat model PBL lebih besar 13,60 daripada siswa yang mendapat
model DI. Sehingga pembelajaran yang menggunakan model PBL memberikan
peningkatan diposisi matematis siswa lebih baik daripada pembelajaran yang
menggunakan model DI. Selain itu, indikator disposisi matematis siswa yang
sangat baik yaitu semangat atau motivasi siswa yang mendapat model PBL,
sehingga model PBL memberikan motivasi dan semangat yang baik kepada siswa
dalam belajar matematika. Sedangkan indikator diposisi matematis yang
mengalami perbedaan yang paling tinggi antara siswa yang mendapat model PBL
dan siswa yang mendapat model DI yaitu rasa ingin tahu siswa. Sehingga dapat
diketahui bahwa model PBL dapat meningkatkan rasa ingin tahu siswa dalam
belajar matematika daripada siswa yang mendapat model DI.
Temuan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, model problem based learning terbukti efektif
dalam meningkatkan literasi dan disposisi matematis siswa. Hasil analisis data tes
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
231
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
literasi matematis siswa menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara
skor literasi matematis siswa dari kelompok eksperimen 1 dengan kelompok
eksperimen 2 yang menggunakan model direct instruction. Hal ini dikarenakan
pada hakikatnya literasi matematis yaitu kemampuan untuk mempermudah siswa
dalam menyelesaikan masalah di kehidupan nyata yang berkaitan dengan konsep-
konsep matematika (Garfunkel, 2013). Hal ini senada dengan pendapat Johar
(2012) yang mengungkapkan bahwa kemampuan yang penting dalam literasi
matematis yaitu kemampuan mengajukan, merumuskan dan menyelesaikan
didalam atau diluar masalah matematika dalam berbagai macam bidang dan
konteks. Kemampuan tersebut mencakup semua hal, mulai dari matematika
murni sampai pada hal dimana tidak ada struktur matematika, sudah diberikan
sejak awal tetapi terlebih dahulu diperkenalkan dengan baik melalui problem
poser, problem solver, ataupun keduanya.
Berdasarkan pendapat Garfunkel (2013) dan Johar (2012) tersebut, maka
pada dasarnya literasi matematis yaitu kemampuan siswa dalam menyelesaikan
permasalahan dengan cara pengembangan kemampuan mengajukan,
merumuskan dan menyelesaikan didalam atau diluar masalah matematika dalam
setiap konteks melalu kegiatan pemecahan masalah. Hal ini sangat sesuai
manakala pembelajaran pengembangan literasi matematis siswa dilaksanakan
dengan menggunakan model problem based learning, karena problem based
learning yang merupakan pembelajaran yang efektif dan memiliki efek positif
dalam memecahkan permasalahan matematika (Ozcan & Balim, 2013; Temel,
2014). Lebih lanjut, Bilgin, Senocak & Sozbilir (2009) menjelaskan bahwa tujuan
problem based learning adalah untuk membantu siswa untuk berpikir,
memecahkan masalah dan untuk meningkatkan kemampuan berpikir mereka
dengan membangun situasi nyata atau menyerupai berkaitan konsep yang harus
dipelajari. Sehingga model problem based learning dapat dijadikan salah satu
model pembelajaran yang dapat meningkatkan literasi matematis siswa.
Literasi matematis siswa perlu dikembangkan sejak mereka berada di
sekolah dasar. Oleh karena itu, literasi matematika harus ditingkatkan dengan
bahan ajar yang relevan, laboratorium matematika dan perpustakaan elektronik,
untuk memenuhi program yang diharapkan pendidikan dasar umum. Jika literasi
matematika berkembang dengan baik, ditingkatkan dan cukup berhasil, dapat
menyebabkan perolehan keterampilan matematika yang dapat menyebabkan
pencapaian pendidikan dasar umum (Adeyemi & Adaramola, 2014). Dikarenakan
literasi matematis siswa perlu dikembangkan sejak mereka berada di sekolah
dasar, maka perlu adanya penelitian yang mengembangkan literasi matematis
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
232
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
siswa sekolah dasar. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian Afkhami, Alamolhodaei
& Radmehr (2012) yang menemukan bahwa siswa di sekolah dasar lebih sukses
dalam hal pengembangan kemampuan literasi matematis dari siswa SMP dan
SMA. Literasi matematis dari siswa SMP dan SMA menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan.
Di sekolah dasar, sebaiknya siswa dibelajarkan literasi matematis melalui
proses pemecahan masalah matematika di kehidupan sehari-hari. Pembelajaran
tersebut dapat dilaksanakan melalui problem based learning. Problem based
learning adalah pendidikan yang menekankan pada masalah sebagai titik awal
dari proses pembelajaran. Jenis masalah tergantung pada organisasi tertentu.
Biasanya, masalah didasarkan pada kehidupan nyata, masalah yang telah dipilih
dan diedit untuk memenuhi tujuan dan kriteria pendidikan (Graaff & Kolmos,
2003). Problem based learning sebagai model pembelajaran yang
mengembangkan keterampilan memecahkan masalah ini sangatlah mendukung
terdasap pengembangan literasi matematis, karena pada dasarnya salah satu
kemampuan dalam pengembangan literasi matematis yaitu kemampuan
pemecahan masalah nyata yang sering muncul di kehidupan sehari-hari siswa.
Selain kemampuan pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari, siswa yang
memiliki literasi matematis memiliki kemampuan-kemampuan: (1) pengetahuan
matematika dasar dan keterampilan yang dibutuhkan dari seorang warga negara
yang modern dan inti dasar praktis dari pengetahuan matematika; (2) tingkat
kemampuan komputasi tertentu, penalaran logis, dan pemahaman konsep spasial
(atau pada tingkat pemula, imajinasi spasial); (3) minat dalam menerapkan
matematika, memahami angka dan simbol, dan pemahaman dasar konsep-konsep
matematika; dan (4) ciri-ciri karakter yang penting untuk belajar matematika
(Kong dalam Tai, Leou, & Hung, 2014).
Lebih lanjut, dalam PISA 2012 (OECD, 2013) telah dipaparkan bahwa tujuh
komponen dalam penilaian literasi matematis yaitu communication,
mathematizing, representation, reasoning and argument, devising strategies for
solving problems, using symbolic, formal and technical language and
operation, serta using mathematics tools. Oleh karena itu, problem based
learning sangatlah cocok untuk mengembangkan berbagai kompetensi pada
literasi matematis siswa sekolah dasar, dimana siswa yang belajar melalui problem
based learning, informasi tentang keterampilan yang mereka miliki setelah
berpartisipasi dalam problem based learning seperti interaksi, pemecahan
masalah, rasa percaya diri, mandiri, berpikir kritis, dan kerja kelompok. Terlepas
dari keterampilan akuisisi, problem based learning juga mendorong mereka di
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
233
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pemahaman mendalam, ditingkatkan pengetahuan teoritis mereka, dan
mempromosikan pendekatan mendalam untuk belajar (Borhan, 2012).
Keefektivan problem based learning dalam meningkatkan literasi matematis
siswa juga memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Padmavathy &
Mareesh (2013) yang menghasilkan bahwa problem based learning memiliki efek
dalam mengajar matematika dan meningkatkan pemahaman siswa, serta
kemampuan untuk menggunakan konsep dalam kehidupan nyata. Dimana
pemahaman dan kemampuan untuk menggunakan konsep dalam kehidupan
nyata merupakan bagian dari kompetensi literasi matematis. Pelaksanaan model
problem based learning dilakukan melalui empat tahap yaitu mereview dan
menyajikan masalah, menyusun strategi, menerapkan strategi, serta membahas
dan mengevaluasi hasil (Eggen & Kauchak, 2012).
Selain melaksanakan setiap tahapan problem based learning yang
dikemukakan Eggen & Kauchak (2012) tersebut, problem based learning
dilaksanakan pula melalui metode yang menyenangkan dan sesuai dengan
karakteristik anak usia SD, yaitu dengan cara bernyanyi dan bercerita. Metode
tersebut diharapkan dapat mengembangkan problem based learning yang
menarik perhatian siswa SD sehingga literasi matematis siswa dapat berkembang
dengan baik. Hal ini senada dengan pendapat Levenberg (2015) yang menyatakan
bahwa mengintegrasikan lagu dan cerita dalam pembelajaran matematika yang
dijadikan alat penting untuk budidaya literasi matematis serta salah satu cara
mengatasi kesulitan belajar. Belajar matematika disebabkan kepentingan yang
lebih besar jika terintegrasi topik yang berhubungan dengan lingkungan anak-
anak. Mother Goose merupakan salah satu lagu yang dapat dimanfaatkan untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika berkaitan dengan isu seri dan
presentasi grafis mereka.
Zheng & Zhou (2011) juga menjelaskan mengenai salah satu ciri problem
based learning yaitu setiap pertanyaan kompleks didekomposisi menjadi
serangkaian sub pertanyaan halus yang koheren berikut kriteria yang dirancang
dengan hati-hati untuk menjaga keseimbangan antara membimbing siswa dan
mengilhami mereka untuk berpikir secara mandiri. Model problem based learning
ini memungkinkan siswa untuk memecahkan pertanyaan kompleks progresif di
konteks induktif. Oleh karena itu, literasi matematis siswa dapat berkembang
dengan baik melalui serangkaian pertanyaan yang kompleks untuk memecahkan
masalah di kehidupan sehari-hari.
Siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model
problem based learning pada proses belajar dalam penelitian ini diketahui
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
234
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mendapat peningkatan literasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model direct instruction. hal
ini ditandai dari selisih nilai N-gain antara siswa yang mendapat model problem
based learning dengan model direct instruction yaitu sebesar 0,17. Selain itu,
berdasarkan uji signifikansi peningkatan literasi matematis juga menunjukan nilai
probabilitas (sig.) < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
peningkatan literasi matematis siswa yang mendapat model problem based
learning dengan peningkatan literasi matematis siswa yang mendapat model
direct instruction.
Rata-rata peningkatan literasi matematis siswa untuk siswa kelompok PAM
tinggi, sedang dan rendah yang mendapat pembelajaran dengan model problem
based learning menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan model direct instruction.
Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa ketiga kategori PAM siswa, siswa yang
mendapat model problem based learning secara signifikan lebih besar daripada
siswa yang mendapat model direct instruction dalam meningkatkan literasi
matematis siswa.
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan
pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning pada proses
belajar mendapat peningkatan literasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model direct instruction.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Etherington (2011) yang mengungkapkan bahwa
problem based learning layak mendapat tempat yang lebih menonjol di sarjana
ilmu pendidikan dasar bagi guru karena proses memberdayakan siswa dan
pendidik untuk memikul tanggung jawab dalam mengarahkan pembelajaran,
mendefinisikan dan menganalisis masalah serta membangun solusi.
Selain literasi matematis yang meningkat dengan penggunaan model
problem based learning, disposisi matematis siswa pun ikut meningkat. Hal ini
memang sangat berkaitan, dimana Myers (2008) mengungkapkan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi literasi matematis yaitu: (1) Waktu
yang dihabiskan dalam belajar matematika, (2) Sikap terhadap matematika, dan
(3) Atribusi keberhasilan dalam matematika. Sikap terhadap matematika tersebut
merupakan kompetensi matematis dalam ranah afeksi yang sering disebut
disposisi matematis. Pendapat Myers tersebut didukung juga oleh Katz (2009)
yang mengungkapkan bahwa disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana
siswa menyelesaikan masalah matematis; percaya diri, tekun, berminat, dan
berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
235
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
masalah. Dalam konteks pembelajaran, disposisi matematis berkaitan dengan
bagaimana siswa bertanya, menjawab pertanyaan, mengkomunikasikan ide-ide
matematis, bekerja dalam kelompok, dan menyelesaikan masalah.
Oleh karena itu, model problem based learning dapat meningkatkan
disposisi matematis siswa, karena dengan pelaksanaan model problem based
learning sangat efektif dalam pemecahan masalah dan memiliki efek positif pada
keterampilan pemecahan masalah ini (Ozcan & Balim, 2013; Temel, 2014).
Dengan melatih siswa dalam menyelesaikan masalah matematis siswa, maka
disposisi siswa dalam menyelesaikan masalah matematis yang terdiri dari
semangat siswa dalam belajar, kegigihan siswa dalam menyelesaikan
permasalahan matematika, kepercayaan diri siswa dalam belajar matematika,
rasa ingin tahu siswa dalam belajar matematika, serta kesediaan siswa dalam
berbagi pengetahuan matematika kepada orang lain.
Kilpatrick, Swafford, & Findel (2001) juga mengungkapkan bahwa disposisi
matematis siswa adalah kecenderungan (i) memandang matematika sesuatu
yang dapat dipahami, (ii) merasakan matematika sebagai sesuatu yang
berguna dan bermanfaat, (iii) meyakini usaha yang tekun dan ulet dalam
mempelajari matematika akan membuahkan hasil, dan (iv) melakukan
perbuatan sebagai pebelajar dan pekerja matematika yang efektif. Sehingga
problem based learning yang menjelaskan bahwa melalui problem based learning,
siswa termotivasi belajar secara tinggi, mengembangkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi, kerja sama tim dan keterampilan komunikasi (Tan, 2003).
Disposisi matematika siswa berkembang ketika mereka mempelajari
aspek kompetensi lainnya. Sebagai contoh, ketika siswa membangun strategic
competence dalam menyelesaikan persoalan non-rutin, sikap dan keyakinan
mereka sebagai seorang pebelajar menjadi lebih positif (Kilpatrick, Swafford, &
Findel, 2001). Hal ini sejalan dengan pendapat Torp & Sage (2002) yang
menfokuskan pelaksanaan problem based learning pada pengalaman belajar
siswa yang diselenggarakan dengan investigasi dan pemecahan masalah di dunia
nyata. Problem based learning yang menggabungkan dua proses yang saling
melengkapi, kurikulum atau pengorganisasian dan strategi pembelajaran yang
mencakup tiga karakteristik utama:
1. Siswa terlibat sebagai pemangku kepentingan dalam situasi masalah.
2. Pengaturan kurikulum yang memberikan masalah holistik, memungkinkan
siswa belajar dengan cara yang relevan dan keterhubungan.
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
236
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Menciptakan lingkungan belajar di mana guru berpikir melatih siswa dan
memandu penyelidikan siswa, serta memfasilitasi level yang lebih dalam
pemahaman siswa
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dipaparkan, maka model problem
based learning dapat meningkatkan literasi dan disposisi matematis siswa sekolah
dasar. Hal ini sangat sejalan dengan teori-teori mengenai model problem based
learning pendapat para ahli di atas. Sehingga model problem based learning dapat
dijadikan salah satu alternatif dalam meningkatkan literasi dan disposisi
matematis siswa sekolah dasar. Karena melalui model problem based learning
dapat menfasilitasi siswa dalam menyelesaikan masalah sehari-hari sebagai salah
satu prediktor literasi matematis, serta sikap atau disposisi matematis siswa
dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan
matematika.
D. Kesimpulan
Penelitian ini dilaksanakan di enam sekolah dasar negeri di Bandung Raya
pada siswa kelas V dengan materi geometri dan pengukuran. Sejalan dengan
rumusan masalah, studi ini memperoleh kesimpulan yang berkenaan dengan
hasil studi empirik tentang peningkatan literasi dan disposisi matematis siswa
kelas V sekolah dasar dengan menggunakan problem based learning dan direct
instruction. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil
kesimpulan yaitu: (1) Terdapat perbedaan yang signifikan mengenai peningkatan
literasi matematis siswa berdasarkan kategori PAM Siswa. (2) Terdapat efek
interaksi antara model pembelajaran dengan kategori PAM terhadap peningkatan
literasi matematis siswa, (3) Disposisi matematis siswa telah mengalami
peningkatan baik melalui penggunaan model PBL maupun pembelajaran yang
menggunakan model DI, (4) Indikator diposisi matematis yang mengalami
perbedaan yang paling tinggi antara siswa yang mendapat model PBL dan siswa
yang mendapat model DI yaitu rasa ingin tahu siswa.
E. Daftar Pustaka
Adeyemi O. B, & Adaramola, M. O. (2014). Mathematics Literacy as a Foundation
for Technological Development in Nigeria. Journal of Research & Method in
Education. Vol. 4, (5), 28-31.
Afkhami, R., Alamolhodaei, H., & Radmehr, F. (2012). Exploring the Relationship
Between Iranian Students’ Mathematical Literacy and Mathematical
Performance. Journal of American Science. Vol. 8, (4), 213-222.
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
237
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bilgin, I., Senocak, E., & Sozbilir, M. (2009). The Effects of Problem Based Learning
Instruction on University Students’ Performance of Conceptual and
Quantitative Problems in Gas Concept. Eurasia Journal of Mathematics,
Science & Technology Education. Vol. 5, (2), 153-164.
Borhan, M. T. (2012). Problem Based Learning (PBL) in Malaysian Higher
Education: A Review of Research on Learners’ Experience and Issues of
Implementations. ASEAN Journal of Engineering Education. Vol. 1, (1), 48-
53.
Brelias, A. (2014). High School Students’ Views of Mathematics as a Tool for Social
Critique. Athens Journal of Education. 1, (3), hlm. 195-209.
Center for Instructional Development & Research/CIDR. (2004). Problem-Based
Learning. [Online]. Tersedia:
http://depts.washington.edu/cidrweb/Bulletin/ PBL.html. [19 Oktober
2015].
Dewanto, Staley P. & Sumarmo, Utari. (2013). Improving The ability Mathematical
Higher Order Thiking Through Inductive-deductive Learning Approach. A
Study in Third Year University’s Student. In Kumpulan Makalah berpikir dan
Disposisi Matematika serta Pembelajarannya. Utari Sumarno, Jurusan
Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.UPI. Bandung.
Dick, W & L. Carey. (2005). The Systematic Design of Instructional Third Education.
Boston: Pearson.
Din, F. S. (2000). Direct Instruction in Remedial Math Instructions. National Forum
of Special Education Journal. 9E, hlm. 3-7.
Eggen, P. & Kauchak, D. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: Indeks.
Etherington, M. B. (2011). Investigative Primary Science: A Problem-Based
Learning Approach. Australian Journal of Teacher Education. Vol. 36, (9), 36-
57.
Garfunkel, S. (2013). For All Practical Purposes Mathematical Literacy in Today’s
World. New York: W. H. Freeman and Company.
Graaff, E. D. & Kolmos, A. (2003). Characteristics of Problem-Based Learning.
International Journal Engineering Education. Vol. 19, (5), 657-662.
Katz, L. G. (2009). Dispositions as Educational Goals. [Online]. Tersedia:
http://www.edpsycinteractive.org/files/edoutcomes.html. [16 Januari
2016].
Kemendikbud. (2014). Materi Pelatihan Guru Implementasi kurikulum 2013.
Jakarta: Kemendikbud.
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
238
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B (2001) Adding it up ; Helping Children
Learn Mathematics, Mathematics Learning Study Communitee, National
Academi Press, Washington DC.
Johar, R. (2012). Domain Soal PISA untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang.
Vol. 1, (1), 30-41.
Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2011). Models of Teaching. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Lestari, K. E., & Yudhanegara, M. R. (2015). Penelitian Pendidikan Matematika.
Bandung: Refika Aditama.
Levenberg, I. (2015). Literacy in Mathematics with Mother Goose . International
Journal of Learning & Development. Vol 5, (1), 27-32.
Mahdiyansyah & Rahmawati. (2014). Mathematical Literacy of Students at
Secondary Education Level: An Analysis Using International Test Design
with Indonesian Context. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 20,
(4), 452-469.
Myers, R. (2008). Factors Influencing Achievement in Mathematics Literacy. New
York: Indiana University.
OECD. (2013). PISA 2012 Assessment and Analytical Framework Mathematics,
Reading, Science, Problem Solving And Financial Literacy. OECD Publishing.
Ozcan, E. dan Balim, A. G. (2013). Effe ts of Pro le Based Lear ı g o Prospe tıve S ıe e Tea hers' Pro le Solvı g Skılls. Turkey: International
Conference The Future of Education.
Padmavathy, R. D. dan Mareesh, K. (2013). Effectiveness of Problem Based
Learning In Mathematics. International Multidisciplinary e-Journal. Vol 2,
(1), 45-51.
Tai, C. H, Leou, S., & Hung, J. F. (2014). Mathematical Literacy of Indigenous
Students in Taiwan. International Research Journal Of Sustainable Science &
Engineering. Vol 2, (3), 1-5.
Tan, O. S. (2003). Enhancing Thinking Through Problem-Based Learning for K-12
Education. Aurora. IL: ASCD.
Temel, S. (2014). The Effects of Problem-Based Learning on Pre-Service
Teachers’critical Thinking Dispositions and Perceptions of Problem-Solving
Ability. South African Journal of Education. Vol. 34, (1), 1-20.
Torp, L., & Sage, S. (2002). Problems as Possibilities: Problem-Based Learning for
K–16 Education. Virginia: Association for Supervision and Curriculum
Development (ASCD).
Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239
239
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Zheng, A., & Zhou, Y. (2011). An Inductive, Interactive And Adaptive Hybrid
Problem-Based Learning Methodology: Application to Statistics. Journal of
Engineering Science and Technology. Vol. 6, (5), 639 – 650.
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
240
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dan Kecerdasan
Emosional terhadap Keterampilan Sosial Murid SD
Siti Masyithoh
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah – FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh data empiris
tentang pengaruh dari pola asuh dan kecerdasan emosional terhadap
keterampilan sosial siswa sebagai variabel terikat. Disamping itu juga
untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh interaksi antar kedua variabel
bebas tersebut dalam mempengaruhi keterampilan sosial siswa kelas VI
Sekolah Dasar. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif berbentuk
expost facto atau causal komparatif dengan desain faktorial 3 x 2.
Metode yang digunakan adalah metode survey dengan menggunakan
angket atau kuesioner sebagai alat pengumpul data. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah murid Sekolah Dasar di Kecamatan
Mustika Jaya Kota bekasi yang berjumlah 254. Analisis data
menggunakan analisis varians dua jalan terhadap tiap kelompok data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa keterampilan sosial siswa
yang diasuh dengan pola asuh demokratis memiliki rata-rata terbesar
dibandingkan dengan pola asuh otoriter dan permisif. Demikian juga
bahwa siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi menunjukkan
keterampilan sosial yang jauh lebih baik dibandingkan dengan siswa
dengan kecerdasan emosional rendah. Siswa dengan pola asuh
demokratis, baik pada kecerdasan emosional tinggi maupun pada
kecerdasan emosional rendah memiliki rata-rata keterampilan sosial
teringgi dibandingkan dengan siswa yang diasuh dengan pola asuh
otoriter maupun permisif. Selanjutnya pada siswa dengan kecerdasan
emosional tinggi, menunjukkan keterampilan sosial yang lebih baik jika
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
241
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diasuh dengan pola asuh permisif daripada jika diasuh dengan pola asuh
otoriter. Sebaliknya, pada kecerdasan emosional rendah, siswa yang
diasuh dengan pola asuh otoriter menunjukkan keterampilan sosial yang
lebih baik jika diasuh dengan pola asuh otoriter daripada jika diasuh
dengan pola asuh permisif. Artinya, bahwa terdapat pengaruh pola asuh
orangtua dan kecerdasan emosional terhadap keterampilan sosial siswa
kelas VI SD di Kecamatan Mustika Jaya Bekasi.
Kata kunci: keterampilan sosial, kecerdasan emosional, pola asuh.
A. Pendahuluan
Munculnya berbagai kekerasan (bullying) yang dilakukan murid Sekolah
Dasar membuat kita prihatin. Diantaranya adalah penganiayaan yang dilakukan
siswa Sekolah Dasar di Bukit Tinggi Sumatera Barat (Munir, 2014). Selain itu juga
penganiayaan terhadap murid kelas V SDN Bintara II yang dilakukan teman-teman
sekelasnya hingga nyaris kehilangan penglihatan (Republika, 2015). Begitu juga
kekerasan yang dilakukan 6 murid SD di Aceh Besar terhadap seorang siswi hingga
meninggal dunia (Detik, 2015). Semua kejadian ini menunjukkan tingkat
keterampilan sosial siswa Sekolah Dasar yang memprihatinkan.
Berkembangnya tingkat keterampilan sosial individu sangat dipengaruhi
oleh faktor internal dan faktor eksternal individu. Faktor internal adalah faktor
yang ada dalam diri anak seperti genetik, kelainan otak, dan kondisi anak, baik itu
kognitif, kecerdasan emosional, temperamen, maupun tipe kepribadian anak.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar diri anak seperti
pola interaksi anak di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan
antar sebaya.
Pengaruh kecerdasan emosional terhadap keterampilan sosial murid telah
dibuktikan oleh Mestre dkk melalui penelitiannya terhadap remaja di Spanyol.
Dalam penelitiannya diperoleh hasil bahwa kecerdasan emosional remaja
memiliki hubungan yang positif dengan kompetensi sosial (Mestre, 2006: 112-
117). Pola asuh yang digunakan orangtua di rumah juga sangat mempengaruhi
peran sosial anak. Anak yang dilatih dengan cara otoriter, akan belajar menjadi
pengikut. Sementara anak yang dilatih dengan cara demokratis, akan mendorong
berkembangnya kemampuan memimpin (Hurlock/terjemahan, 1980: 173). Di
dalam keluarga, anak akan belajar tentang pola perilaku yang tepat dan belajar
menjadi anggota masyarakat yang baik dan dibimbing dalam pengembangan
perilaku yang secara sosial dianggap tepat. Pendapat tersebut diperkuat dengan
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
242
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penelitian yang dilakukan Vijila dkk. Mereka menemukan bahwa remaja yang
diasuh dengan pola asuh demokratis menunjukkan kompetensi sosial yang lebih
baik dibandingkan anak yang diasuh dengan pola asuh yang lainnya (IOSR-JHSS,
2013: 34-36).
Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial merupakan pengetahuan tentang perilaku manusia dan
proses antar pribadi, kemampuan memahami perasaan, sikap, motivasi orang lain
tentang apa yang dikatakan dan dilakukannya, dan kemampuan untuk
berkomunikasi dengan jelas dan efektif serta kemampuan membangun hubungan
yang koperatif dan efektif (Devins et.al, 2004:11). Adapun contoh dari
keterlibatan fungsi kognitif ini adalah pada saat individu melakukan interaksi dan
membaca perasaan atau pikiran individu lainnya dan membuat kesimpulan dari
petunjuk-petunjuk sosial yang berada di sekitarnya.
Keterampilan sosial menggambarkan kemampuan dan kecenderungan anak
untuk berinteraksi dengan orang lain, membangun dan mempertahankan suatu
hubungan, dan menghindari respon-respon yang tidak dapat diterima secara
sosial (A Review for The Early Intervention Foundation, 2015: 29). Patrick (Malikeh
and Taebe, 2013: 75) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai seperangkat
keterampilan yang digunakan seseorang dalam berinteraksi dan berkomunikasi
dengan orang lain. Sedangkan Libet and Lewinson (Malikeh and Taebe, 2013: 75)
mendefinisikannya sebagai: a complex ability that produces behaviors that will
be positively reinforced and not produce behaviors that will be punished by
others. Artinya orang yang memiliki keterampilan sosial akan terampil dalam
memproduksi perilaku-perilaku positif dan menghindari perilaku-perilaku negatif
yang mendatangkan hukuman dari orang lain.
Secara lebih jelas Combs dan Slaby (Hargie, 2006: 11) mendefinisikan
keterampilan sosial sebagai suatu kemampuan untuk berinteraksi dengan orang
lain pada konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima oleh
lingkungan dan pada saat yang bersamaan dapat memberikan keuntungan bagi
diri sendiri, orang lain, maupun keduanya. Sementara itu Philips (Hargie, 2006: 10)
menjelaskan bahwa keterampilan sosial adalah: The extent to which he or she
can communicate with others, in a manner that fulfils one s rights, requirements,
satisfactions, or obligations to a reasonable degree without damaging the other
person s similar rights, satisfactions or obligations, and hopefully shares these
rights, etc. with others in free and open exchange . Dalam pengertian lain bahwa
orang yang terampil secara sosial akan mampu berkomunikasi dengan orang lain
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
243
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan mampu memenuhi hak-hak orang lain tanpa merusak hak yang lainnya (adil).
Dan berharap membagi hak-hak dan lain-lainya tersebut kepada orang lain secara
terbuka. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut bahwa keterampilan sosial
dapat dijelaskan sebagai keterampilan individu dalam berkomunikasi dengan
orang lain dan keterampilan dalam memenuhi hak-hak orang lain tanpa
mendzalimi hak-hak yang lainnya sehingga memberikan keuntungan bagi dirinya
sendiri, orang lain, maupun keduanya.
Keterampilan sosial (Social Skill) adalah alat yang memungkinkan orang
untuk berkomunikasi, belajar bertanya, meminta bantuan, memenuhi kebutuhan
mereka dengan cara yang tepat, bergaul dengan orang lain, membuat
pertemanan dan mengembangkan hubungan yang sehat, melindungi diri, dan
umumnya dapat berinteraksi dengan siapapun dan semua orang yang mereka
temui sepanjang hidup mereka (Dowd and Tierney, 2005: 1). Artinya anak dituntut
untuk menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian
diri terhadap lingkungan sekitarnya.
Berbagai pendapat tersebut menyimpulkan bahwa keterampilan sosial
sangat penting bagi manusia sebagai makhluk sosial karena ia adalah cara
sebenarnya untuk memulai, untuk terlibat, untuk berkomunikasi, dan untuk
merespon orang lain ketika terlibat dalam suatu hubungan.
Perkembangan Sosial Anak Sekolah Dasar
Menurut Johnston dan Halocha (2010: 169), sekolah dasar adalah masa
yang sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial individu. Pada
masa ini, kemampuan sosial individu mulai berkembang. Menurut Erikson dalam
Slavin (2006: 94), masa anak-anak menengah pada rentang antara usia 9 hingga
12 tahun adalah masa kerja keras versus rasa inferior. Menurutnya, sekolah
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pengembangan diri anak
dalam masyarakat, pembentukan keterampilan sosial dan penanaman konsep diri.
Oleh karena itu Erikson percaya bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi
perkembangan keaktifan anak.
Hale, Dariotis and Kuah masih dalam Slavin (2006: 79) mengatakan bahwa
masa kanak-kanak adalah independent action, cooperation with group, and
performing in socially acceptable ways with a concern . Pada masa ini anak mulai
senang membentuk kelompok. Mereka merasa tidak puas bila tidak bersama
teman-temannya (Hurlock, 1980: 155). Mereka belajar menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok, tradisi dan moral. Oleh karena itu dalam proses
sosialisasi anak akan belajar berperilaku untuk diterima dalam kelompoknya,
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
244
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memainkan peran sesuai dengan kelompoknya, dan mengambil atau menentukan
sikap terhadap kelompoknya. Dengan berkelompok ruang gerak hubungan
sosialnya mulai bertambah luas. Mereka tidak hanya belajar untuk bekerja sama
tetapi juga untuk saling menghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab
(Yusuf, 2011: 181).
Menurut Singer & Singer dalam Papalia (2009: 278), perilaku sosial
merupakan perilaku prososial yakni segala perilaku sukarela yang ditujukan untuk
membantu orang lain seperti kerjasama, berbagi, empati, simpati, murah hati dan
suka menolong. Anak yang prososial adalah anak yang memiliki keterampilan
sosial sangat baik. Dryden & Vos (2000: 350) menguraikan ciri-ciri anak yang
memiliki keterampilan sosial tinggi sebagai individu yang memiliki banyak teman,
banyak bersosialisasi di sekolah dan lingkungannya, tampak sangat mengenali
lingkungannya, terlibat dalam kegiatan kelompok di luar sekolah, berperan
sebagai penengah pada teman-teman atau keluarga jika ada konflik, menikmati
permainan kelompok, bersimpati besar terhadap perasaan orang lain, berperan
sebagai penasehat atau pemecah masalah di antara teman-temannya, menikmati
mengajar orang lain, dan tampak berbakat untuk menjadi pemimpin.
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli yang telah diuraikan di muka, maka
dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kemampuan individu dalam berkomunikasi, berempati, bekerja sama,
bertanggung jawab secara efektif, suka menolong, murah hati, berperilaku sesuai
aturan dan norma, dan terlibat dalam kegiatan sosial.
Pola Asuh Orang Tua
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan
pendidikan nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang
diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak
menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang berbeda-beda. Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa keluarga sebagai salah satu konteks sosial dimana anak hidup
akan sangat banyak mempengaruhi perkembangan anak termasuk perkembangan
sosial. Menurut Hurlock (1980: 170) pengaruh yang mendalam dari hubungan
anak dengan keluarga jelas terlihat dalam berbagai bidang kehidupan. Yang
terpenting diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, pekerjaan di sekolah dan sikap anak terhadap sekolah sangat
dipengaruhi oleh hubungannya dengan anggota keluarga. Hubungan keluarga
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
245
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sehat dan bahagia menimbulkan dorongan untuk berprestasi, sedangkan
hubungan yang tidak sehat dan tidak bahagia akan menimbulkan ketegangan
emosional yang biasanya memberikan efek yang buruk pada kemampuan
berkonsentrasi dan kemampuan untuk belajar.
Kedua, hubungan keluarga mempengaruhi penyesuaian diri secara sosial di
luar rumah. Bila hubungan keluarga menyenangkan, penyesuaian sosial anak di
luar rumah lebih baik daripada hubungan keluarga yang tegang.
Ketiga, peran yang dimainkan di rumah menentukan pola peran di luar
rumah, karena peran yang harus dilakukan di rumah dan jenis hubungan dengan
kakak-adik membentuk dasar bagi hubungannya dengan teman-teman di luar
rumah. Selanjutnya hal ini mempengaruhi pola perilaku anak-anak terhadap
teman-teman mereka.
Keempat, jenis metode pelatihan anak yang digunakan di rumah
mempengaruhi peran anak. Kalau digunakan metode otoriter, anak belajar
menjadi pengikut, dan seringkali menjadi pengikut yang tidak puas seperti
hubungannya dengan orang tua. Sedangkan metode demokratis mendorong
berkembangnya kemampuan memimpin dalam diri anak.
Kelima, anak akan menjadi kreatif atau bersikap konformistis dalam
perilaku sangat dipengaruhi oleh pelatihan di rumah. Metode pelatihan anak yang
demokratis mendorong kreatifitas, sedangkan metode otoriter cenderung
mendorong sikap konformistis.
Keenam, hubungan keluarga sangat besar pengaruhnya dalam
perkembangan kepribadian anak-anak. Pandangan anak tentang diri mereka
sendiri merupakan cerminan langsung dari apa yang dinilai dari cara mereka
diperlakukan oleh anggota-anggota keluarga. Jika dilihat dari uraian diatas maka
metode pelatihan atau yang lebih dikenal dengan pola asuh (parenting style)
memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan sosial anak. Pola
pendekatan dan interaksi orang tua dengan anak dalam proses pendidikan dalam
keluarga biasa disebut dengan pola asuh. Gunarsa (1983: 24) menyatakan bahwa
pola asuh orang tua adalah cara-cara yang biasa diterapkan oleh orang tua dalam
membimbing anak-anaknya pada suatu keluarga yang biasanya didasari atas
faktor atau sifat-sifat dominan yang melekat pada orang tua. Senada dengan
Gunarsa, Santoso (2004: 77) mengartikan pola asuh sebagai cara pendekatan
orang dewasa kepada anak dalam memberikan bimbingan, arahan, pengaruh dan
pendidikan supaya anak menjadi dewasa dan mampu berdiri sendiri. Sedangkan
Grant dan Ray (2013: 60) mengartikan pola asuh is the general pattern of these
child rearing practices or a set of parenting behaviors. Yang dapat pula diartikan
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
246
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai pola umum yang dipraktekkan orangtua dalam membesarkan anak atau
satu set perilaku yang dilakukan orangtua dalam proses pengasuhan anak.
Secara jelas Harington dan Whiting dalam Maria Utama (2000: 10)
mengartikan bahwa pola asuh adalah seluruh interaksi antara orang tua dan anak
yang dalam interaksi tersebut terdapat cara berkomunikasi, menghargai,
memperhatikan, mendisiplinkan, dan bersikap terhadap anak. Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diuraikan di muka, maka
pola asuh adalah pola interaksi antara orang tua dengan anak dalam bagaimana
berkomunikasi, menghargai, memperhatikan, mendisiplinkan dan bersikap.
Macam-macam Pola Asuh Orang Tua
Baumrind seperti yang dikutip Grant and Ray (2013: 63), menjelaskan
bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, perbedaan pola asuh orang tua akan
menghasilkan profil perilaku anak-anak yang berbeda pula. Menurutnya bahwa
dari beberapa jenis pola asuh, demokratis adalah pola asuh yang menghasilkan
perilaku anak yang positif. Di bawah ini adalah gambaran profil perilaku dari tiga
pola asuh yang dilaporkan Baumrind (2011: 51-52):
Tabel 1. Pengaruh Pola Asuh Terhadap Perilaku Anak
POLA ASUH PERILAKU ORANG TUA PROFIL PERILAKU
ANAK
1. Authoritarian 1. Sikap acceptance rendah, tapi
kontrol tinggi
2. Suka menghukum secara fisik
3. Bersikap mengomando
(mengharuskan/memerintah anak
untuk melakukan sesuatu tanpa
kompromi)
4. Bersikap kaku (keras)
5. Cenderung emosional dan bersikap
menolak
1. Mudah tersinggung
2. Penakut
3. Pemurung, tidak
bahagia
4. Mudah
terpengaruh
5. Mudah stress
6. Tidak mempunyai
arah masa depan
yang jelas
7. Tidak bersahabat
2. Permissive 1. Sikap acceptance tinggi, tapi
kontrol rendah
2. Memberikan kebebasan kepada
anak
1. Bersikap impulsif
dan agresif
2. Suka memberontak
3. Kurang memiliki
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
247
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
POLA ASUH PERILAKU ORANG TUA PROFIL PERILAKU
ANAK
3. Cenderung memanjakan rasa percaya diri
dan pengendalian
diri
4. Suka mendominasi
5. Tidak jelas arah
hidupnya
6. Prestasinya rendah
3. Authoritative 1. Sikap acceptance dan kontrol
tinggi
2. Bersikap responsif terhadap
kebutuhan anak
3. Mendorong anak untuk
menyatakan pendapat atau
pertanyaan
4. Memberikan penjelasan tentang
dampak perbuatan yang baik dan
yang buruk
1. Bersikap
bersahabat
2. Memiliki rasa
percaya diri
3. Mampu
mengendalikan diri
4. Bersikap sopan
5. Mau bekerja sama
6. Memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi
7. Mempunyai
tujuan/arah hidup
yang jelas
8. Berorientasi
terhadap prestasi.
Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional menurut Shapiro dalam Aunurrahman (2012:
85), pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari
Harvard University dan John Meyer dari University of new Hampshire. Mereka
mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional merupakan himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi
baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan
menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan .
Goleman menyatakan bahwa emotional intelligence: abilities such as being
able to motivate oneself and persist in the face of frustrations; to control impulse
and delay gratification; to regulate one s moods and keep distress from swamping
the ability to think; to emphatize and to hope. Dalam pengertian lain bahwa
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
248
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kecerdasan emosional merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa.
Pendapat Salovey and Meyer (Salovey and Sulyster, 2004: 197-215) agak
berbeda sedikit dengan pendapat Goleman. Mereka menjelaskan wilayah
kecerdasan emosional sebagai berikut:
Emotional intelligence involves the ability to perceive accurately,
appraise, and express emotion; the ability to understand emotion and
emotional knowledge; and ability to regulate emotions to promote
emotional and intellectual growth.
Meski pendapat salovey and Meyer lebih detail dan spesifik dalam
memaknai kecerdasan emosional, akan tetapi pendapat Goleman lebih luas.
Goleman juga memasukkan berdoa sebagai ciri yang ada pada kecerdasan
emosional. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional akan dapat melihat
persoalan-persoalan secara jernih, berupaya menyelesaikan persoalan-persolan
tersebut dan berharap adanya kekuatan Penolong Yang Maha Pencipta.
Pengertian kecerdasan emosional yang hampir sama dikemukakan pula
oleh Patton (2000: 1). Menurutnya kecerdasan emosional adalah kekuatan di balik
singgasana kemampuan intelektual yang merupakan dasar-dasar pembentukan
emosi yang mencakup keterampilan-keterampilan seperti: menunda kepuasan
dan mengendalikan impuls-impuls, tetap optimis jika berhadapan dengan
kemalangan dan ketidakpastian, menyalurkan emosi-emosi yang kuat secara
efektif, mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam usaha
mencapai tujuan-tujuan, menangani kelemahan-kelemahan pribadi, menunjukkan
rasa empati kepada orang lain dan membangun kesadaran diri dan pemahaman
pribadi.
Hughes dan Thompson (2009: 118) berpendapat bahwa kecerdasan
emosional adalah: A persons innate ability to perceive and manage his/her own
emotions in a manner that result in successful interactions with the environment
and if others are present, to also perceive and manage their emotions in a manner
that results in successful interpersonal interactions. Dimana dapat dijelaskan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri dan orang
lain, kemampuan mengendalikan emosi dalam diri dan kemampuan
mengendalikan hubungan dengan orang lain yang menghasilkan kesuksesannya
dalam berinteraksi dengan lingkungan dan antar pribadi.
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
249
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari pendapat-pendapat ahli di muka, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah kecakapan seseorang dalam mengenali emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri dan mengenali emosi orang lain. Keempat dimensi
kecerdasan emosional tersebut dapat terlihat dari beberapa indikator yaitu
mengungkapkan dan memahami emosi diri dan orang lain, mengendalikan emosi,
memotivasi diri, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, ketekunan,
bertahan menghadapi frustasi, dan kemampuan memecahkan masalah.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif berbentuk expost facto atau
causal komparatif. Penelitian kuantitatif bertujuan untuk memverifikasi hipotesis
yang diajukan berdasarkan kajian teoretik sebelumnya, atau singkatnya adalah
untuk menguji teori di lapangan. Penelitian expost facto merupakan penelitian
yang menguraikan pengaruh antara suatu variabel dengan variabel yang lainnya,
dimana variabel bebas tersebut telah terjadi dan tidak dilakukan kontrol dan
manipulasi. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan menggunakan
angket atau kuesioner sebagai alat pengumpul data dengan teknik analysis of
variance 2 x 3. Penelitian dilakukan pada kelas VI SD di Mustika Jaya Bekasi pada
awal tahun pelajaran 2015/2016. Populasi yang ditargetkan dalam penelitian ini
adalah seluruh murid Sekolah Dasar Kelas VI di Kecamatan Mustika Jaya Kota
Bekasi yang terdiri dari 36 Sekolah Dasar meliputi 22 Sekolah Dasar Negeri dan 14
Sekolah Dasar Swasta. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah murid Sekolah Dasar dengan jumlah 2 dari 5 gugus sekolah di 4
kelurahan. Teknik pengambilan sampel menggunakan multistage cluster random
sampling. Teknik sampling dilakukan dengan membagi populasi ke dalam satuan-
satuan sampling yang besar (kelompok) disebut cluster, dan dilakukan
pengambilan sampel secara bertingkat (multistage).
Teknik analisis data yang digunakan meliputi teknik analisis deskriptif dan
analisis inferensial. Analisis data dengan teknik inferensial menggunakan teknik
analisis varians dua jalan (Two Way Analysis of Variance) atau disingkat ANAVA.
Semua pengukuran dilakukan pada taraf signifikansi 0,05. Data yang
dikumpulkan ada tiga jenis data, yaitu data keterampilan sosial, pola asuh
orangtua, dan data kecerdasan emosional anak. Ketiga data dalam penelitian ini
dikumpulkan melalui instrumen angket (questionnaire) yang telah divalidasi.
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
250
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Setelah dilakukan perhitungan dengan bantuan program SPSS 16.0 for
Window diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 2. ANOVA
Sumber
Varians JK Db RJK Sig Fhitung
Ftabel
α = 0,05
α= 0,01
Antar A 314,899 2 157,450 0,008 4,930 3,06 4,75
Antar B 3601,211 1 3601,211 0,000 112,766 3,91 6,81
Interaksi
A x B 116,424 2 58,212 0,165 1,823 3,06 4,75
Dalam 5301,255 166 31,935
Total 11372,465 171
Keterangan:
1. Tolak H0 apabila F(A) > Ftabel. atau P-value < 0,05. Dengan demikian terdapat
perbedaan rerata keterampilan sosial murid dari kelompok yang yang diasuh
dengan pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif.
2. Tolak H0 apabila F(B) > Ftabel. atau P-value < 0,05. Dengan demikian terdapat
perbedaan rerata keterampilan sosial murid dari kelompok yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi dengan kelompok yang memiliki kecerdasan
emosional rendah.
3. Terima H0 apabila F(AB) < Ftabel. atau P-value > 0,05. Dengan demikian tidak ada
pengaruh interaksi antara faktor pola asuh dan faktor kecerdasan emosional
terhadap keterampilan sosial murid. Artinya pengaruh pola asuh terhadap
keterampilan sosial murid tidak bergantung pada pengaruh kecerdasan
emosional. Oleh karena tidak terdapat interaksi, maka hipotesis antar sel
tidak perlu diuji.
Dari hasil perhitungan tersebut, profil yang muncul adalah seperti
berikut ini:
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
251
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 1. Profil Interaksi
Berdasarkan hasil analisis data dapat diuraikan temuan penelitian sebagai
berikut:
1. Perbedaan Keterampilan Sosial Murid antara yang Diasuh dengan Pola Asuh
Demokratis dengan yang Diasuh dengan Pola Asuh Otoriter.
Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat perbedaan
keterampilan sosial murid antara yang diasuh dengan pola asuh demokratis
dengan murid yang diasuh dengan pola asuh otoriter. Hasil penelitian ini sesuai
dengan teori yang menjelaskan bahwa murid yang diasuh dengan menggunakan
pola asuh demokratis berperilaku lebih kompeten secara psikologis dan lebih
terampil secara sosial dibandingkan dengan murid-murid yang diasuh dengan pola
asuh yang lainnya (Krause and Dailey, 2009: 342). Sedangkan murid yang diasuh
dengan pola asuh otoriter atau terlalu dihukum seringkali berperilaku secara tidak
kompeten secara sosial. Mereka cenderung cemas menghadapi situasi sosial,
tidak bisa membuat inisiatif untuk beraktifitas dan memiliki keahlian
berkomunikasi yang buruk, menjadi murid penakut dan terlalu penurut (Santrock,
2007: 74). Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian ini, maka orang tua, guru,
dan lingkungan yang terlibat dalam pola asuh murid agar lebih menekankan pada
penggunakan pola asuh demokratis daripada pola asuh otoriter. Pola asuh yang
menunjukkan penerimaan terhadap keberadaan dan kehadiran anak, memberikan
konsekuensi logis atas pelanggaran aturan yang disepakati bersama dan
memberikan penguatan positif atas prestasi anak, daripada pola asuh otoriter
yang terlalu menghukum dan mengabaikan prestasi anak. Diharapkan, dengan
pola asuh demokratis, akan terbentuk murid-murid dengan kompetensi sosial
yang baik, ceria, dan bertanggung jawab, bukan pribadi yang cemas, takut
mengambil keputusan, penakut, dan terlalu penurut sehingga mudah dipengaruhi
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
252
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
oleh lingkungan yang kurang baik dan cenderung berpotensi menjadi korban
kekerasan sesama mereka.
2. Perbedaan Keterampilan Sosial Murid antara yang Diasuh dengan Pola Asuh
Demokratis dengan yang Diasuh dengan Pola Asuh Permisif.
Data empiris yang diperoleh peneliti membuktikan bahwa terdapat
perbedaan keterampilan sosial murid antara yang diasuh dengan pola asuh
demokratis dengan murid yang diasuh dengan pola asuh permisif. Hasil penelitian
ini sesuai denganpendapat yang menjelaskan bahwa murid yang diasuh dengan
pola asuh demokratis lebih kompeten secara psikologis, lebih terampil secara
sosial (Krause and Dailey, 2009: 342) dibandingkan dengan murid yang diasuh
dengan pola asuh permisif yang biasanya tidak dapat mengontrol perilakunya,
semaunya sendiri dan bermasalah secara sosial (Santrock, 2007: 74). Oleh karena
itu berdasarkan hasil penelitian ini, maka orang tua, guru, dan lingkungan yang
terlibat dalam pola asuh murid agar lebih menekankan pada penggunakan pola
asuh demokratis daripada pola asuh permisif. Pola asuh yang tidak saja
menunjukkan penerimaan terhadap keberadaan dan kehadiran anak, tetapi juga
memberikan kontrol atas semua perilaku anak dengan memberikan konsekuensi
logis atas pelanggaran aturan yang disepakati bersama dan memberikan
penguatan positif atas prestasi anak, daripada pola asuh permisif yang cenderung
memberikan kebebasan penuh kepada murid. Kebebasan penuh kepada anak
akan membuat anak bersikap semaunya sendiri dan cenderung berperilaku
destruktif dan tidak bertanggung jawab. Diharapkan, dengan pola asuh
demokratis, akan terbentuk murid-murid dengan kompetensi sosial yang baik dan
bertanggung jawab, bukan pribadi yang semaunya sendiri, dan
pengganggu/perusak sehingga memberikan pengaruh yang tidak baik kepada
lingkungan sekitar.
3. Perbedaan Keterampilan Sosial Murid antara yang Diasuh dengan Pola Asuh
Otoriter dengan yang Diasuh dengan Pola Asuh Permisif.
Hasil pengujian hipotesis juga membuktikan bahwa keterampilan sosial
murid kelas VI Sekolah Dasar di kecamatan Mustika Jaya Bekasi yang diasuh
dengan pola asuh otoriter tidak berbeda dengan keterampilan sosial murid kelas
VI Sekolah Dasar di kecamatan Mustika Jaya Bekasi yang diasuh dengan pola asuh
permisif . Hal ini sesuai dengan pendapat yang menjelaskan bahwa murid yang
diasuh dengan pola asuh otoriter atau terlalu dihukum seringkali berperilaku
secara tidak kompeten secara sosial. Mereka cenderung cemas menghadapi
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
253
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
situasi sosial, tidak bisa membuat inisiatif untuk beraktifitas dan memiliki keahlian
berkomunikasi yang buruk, menjadi murid penakut dan terlalu penurut (Santrock,
2007: 74). Dengan kata lain murid dengan pola asuh otoriter memiliki kompetensi
sosial yang rendah sebagaimana murid yang diasuh dengan pola asuh permisif
yang biasanya tidak dapat mengontrol perilakunya, semaunya sendiri dan
bermasalah secara sosial (Santrock, 2007: 74). Oleh karena itu berdasarkan hasil
penelitian ini, maka orang tua, guru, dan lingkungan yang terlibat dalam pola asuh
murid agar tidak menggunakan pola asuh otoriter dan pola asuh permisif yang
cenderung membentuk anak menjadi pribadi yang tidak kompeten secara sosial.
Kedua pola asuh tersebut memberikan efek yang kurang baik bagi kepribadian
anak. Jika pola asuh permisif cenderung membentuk anak yang semaunya sendiri,
perusak, dan tidak bertanggung jawab, maka pola asuh otoriter membentuk anak
dengan kepribadian sebaliknya yaitu anak dengan kepribadian yang penakut,
penurut dan buruk dalam berkomunikasi.
4. Terdapat Pengaruh Interaksi antara Pola Asuh dan Kecerdasan Emosional
Terhadap Keterampilan Sosial Murid.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa pola asuh dapat
berpengaruh terhadap keterampilan sosial murid tetapi tidak bergantung pada
tingkat kecerdasan emosional murid. Sebaliknya, tingkat kecerdasan emosional
murid juga dapat mempengaruhi keterampilan sosial murid tetapi tidak
bergantung pada pola asuh orangtua. Data empiris ini membuktikan bahwa murid
dengan kecerdasan emosional tinggi jika diasuh dengan pola asuh apapun akan
memiliki keterampilan sosial lebih yang lebih baik dibandingkan dengan murid
dengan kecerdasan emosional rendah. Namun demikian, meskipun secara umum
tidak ada interaksi antara faktor pola asuh dan kecerdasan emosional ternyata
pada kecerdasan emosional tinggi, murid dengan pola asuh permisif memiliki
keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan murid dengan pola asuh
otoriter. Dan pada kecerdasan emosional rendah, murid dengan pola asuh
otoriter memiliki keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan murid
dengan pola asuh permisif. Artinya bahwa terjadi pengaruh interaksi antara pola
asuh otoriter dan permisif aaaa kecerdasan emosional. Munculnya fakta empiris
yang diperoleh melalui penelitian ini, maka orangtua, guru, dan lingkungan sekitar
murid hendaknya memperhatikan pengembangan kecerdasan emosional murid
sebagai faktor bawaan dengan memberikan stimulus yang terus menerus agar
kecerdasan emosional murid dapat berkembang dengan optimal dan maksimal
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
254
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sehingga murid dapat memproduksi perilaku-perilaku sosial yang positif bagi diri
dan lingkungannya.
5. Perbedaan Keterampilan Sosial antara Kelompok Pola Asuh Otoriter dan
Permisif pada Kecerdasan Emosional Tinggi
Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat perbedaan
keterampilan sosial murid antara yang diasuh dengan pola asuh otoriter dengan
murid yang diasuh dengan pola asuh permisif pada kelompok kecerdasan tinggi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa murid dengan
kecerdasan emosional yang baik biasanya memiliki hubungan sosial yang lebih
harmonis, saling memahami dan sedikit mengalami konflik sosial (Yun Dai and
Sternberg, 2004: 182), karena murid dengan kecerdasan emosional tinggi lebih
mampu mengenali emosi diri dan orang lain, mampu mengendalikan emosi dalam
diri dan mampu mengendalikan hubungan dengan orang lain dan cenderung
mandiri (Hughes and Thompson, 2009: 118). Murid semacam ini, jika diasuh
dengan pola asuh permisif dimana orangtua cenderung mengabaikan anaknya,
tidak terlibat aktif dalam kehidupan anaknya dan tidak mengetahui aktifitas
anaknya (Santrock, 2007: 74), memiliki keterampilan sosial yang lebih baik
dibandingkan dengan jika diasuh dengan pola asuh otoriter yang cenderung
terlalu banyak menghukum dan mengatur. Hal ini disebabkan karena murid yang
memiliki kecerdasan emosional tinggi memiliki kemampuan intelektual yang
merupakan dasar-dasar pembentukan emosi yang mencakup keterampilan-
keterampilan seperti: menunda kepuasan dan mengendalikan impuls-impuls,
tetap optimis jika berhadapan dengan kemalangan dan ketidakpastian,
menyalurkan emosi-emosi yang kuat secara efektif, mampu memotivasi dan
menjaga semangat disiplin diri dalam usaha mencapai tujuan-tujuan, menangani
kelemahan-kelemahan pribadi, menunjukkan rasa empati kepada orang lain dan
membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi (Patton, 2000: 1). Dari sudut
neurosscience, murid yang memiliki kecerdasan tinggi mampu mengolah amigdala
secara optimum, sehingga jarang terjadi pembajakan sinyal emosi. Oleh karena
itu, murid dengan kecerdasan emosional tinggi akan memiliki keterampilan sosial
lebih tinggi jika diasuh dengan pola asuh permisif daripada diasuh dengan pola
asuh otoriter. Hal ini berarti bahwa anak yang memiliki kecerdasan emosional
tinggi akan lebih baik jika diasuh dengan menggunakan pola asuh permisif
dibandingkan dengan menggunakan pola asuh otoriter. Sebab pola asuh otoriter
yang terlalu menghukum dan mengatur tidak memberikan ruang bagi anak untuk
mengembangkan potensi emosionalnya. Anak menjadi lebih tertekan sehingga
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
255
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
keterampilan sosialnya kurang baik dibandingkan dengan anak yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi yang diasuh dengan pola asuh permisif. Anak dengan
kecerdasan emosional tinggi yang diasuh dengan pola asuh permisif memiliki
keterampilan sosial lebih tinggi karena pola asuh permisif yang cenderung
membiarkan lebih memberikan ruang bagi anak dalam mengembangkan potensi
emosionalnya.
6. Perbedaan Keterampilan Sosial antara Kelompok Pola Asuh Otoriter dan
Permisif pada Kecerdasan Emosional Rendah
Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat perbedaan
keterampilan sosial murid antara yang diasuh dengan pola asuh otoriter dengan
murid yang diasuh dengan pola asuh permisif pada kelompok kecerdasan rendah.
Data empiris tersebut dapat dikaitkan dengan teori yang menjelaskan bahwa
murid dengan kecerdasan emosional yang kurang baik biasanya memiliki
hubungan sosial yang kurang harmonis, kurang saling memahami dan lebih
banyak mengalami konflik sosial (Yun Dai and Sternberg, 2004: 182), karena murid
dengan kecerdasan emosional rendah, kurang mampu mengenali emosi diri dan
orang lain, kurang mampu mengendalikan emosi dalam diri dan kurang mampu
mengendalikan hubungan dengan orang lain dan cenderung tidak mandiri
(Hughes and Thompson, 2009: 118). Pada murid dengan kecerdasan emosional
rendah lebih sering terjadi pembajakan dalam proses informasi emosi di bagian
amigdala. Dalam arti bahwa seringkali sinyal informasi yang berasal dari talamus
tidak melewati neokorteks terlebih dahulu sehingga respon yang muncul
seringkali tidak rasional atau bersifat emosional. Hal ini terjadi karena amigdala
bertindak sementara neokorteks sedang melakukan rumusan perintah (LeDoux,
1996: 209-235). Murid semacam ini memerlukan kontrol dan evaluasi dari
orangtuanya secara ketat (Santrock, 2007: 74), karena mereka kurang memiliki
kemampuan intelektual dalam menunda kepuasan dan mengendalikan impuls-
impuls, kurang mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam
usaha mencapai tujuan-tujuan, dan kurang mandiri (Patton, 2000: 1). Anak
dengan kecerdasan emosional rendah seringkali mengalami pembajakan sinyal
informasi di bagian amigdala. Jika anak semacam ini dibiarkan tanpa kontrol yang
ketat, dia akan sering memproduksi perilaku yang negatif, tidak bertanggung
jawab dan cenderung destruktif. Oleh karena itu, orangtua yang memiliki anak
dengan kecerdasan emosional rendah sangat beresiko jika menggunakan pola
asuh permisif terhadap anaknya. Terhadap anak yang demikian, orang tua perlu
memberikan kontrol dan pengawasan yang ketat.
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
256
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
D. Kesimpulan
Perkembangan keterampilan sosial sebagaimana perkembangan yang
lainnya, sangat dipengaruhi oleh internal/bawaan individu dan stimulus-stimulus
yang diberikan lingkungan terhadap individu tersebut. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa faktor bawaan (hereditas) berpengaruh jauh lebih besar
dibandingkan pengaruh lingkungan terhadap keterampilan sosial.
Murid dengan pola asuh demokratis, baik pada kecerdasan emosional tinggi
maupun pada kecerdasan emosional rendah, memiliki rata-rata keterampilan
sosial teringgi dibandingkan dengan murid yang diasuh dengan pola asuh otoriter
maupun permisif. Selain itu, pada murid dengan kecerdasan emosional tinggi,
menunjukkan keterampilan sosial yang lebih baik jika diasuh dengan pola asuh
permisif daripada jika diasuh dengan pola asuh otoriter. Sebaliknya, pada
kecerdasan emosional rendah, murid yang diasuh dengan pola asuh otoriter
menunjukkan keterampilan sosial yang lebih baik daripada jika diasuh dengan
pola asuh permisif. Besarnya kontribusi faktor kecerdasan emosional murid dalam
mempengaruhi keterampilan sosial siswa sebesar 39,4% lebih besar dari
kontribusi faktor pola asuh terhadap keterampilan murid hanya sebesar 4,4 %.
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka terdapat beberapa hal
yang dapat direkomendasikan peneliti, diantaranya adalah:
1. Bagi pemerhati Pendidikan Dasar, agar dilakukan kajian terus menerus
tentang bagaimana mengembangkan kecerdasan emosional murid,
menerapkan pola asuh yang tepat, dan bagaimana meningkatkan
keterampilan sosial murid di sekolah dasar. Hendaknya mereka terus
mengkaji dan menggali baik secara empiris maupun teoritis tentang hal-hal
yang berkaitan dengan pengembangan kecerdasan emosional, peningkatan
keterampilan sosial, dan penerapan pola asuh terhadap murid di sekolah
dasar.
2. Bagi orangtua agar memperhatikan dan merangsang pengembangan
kecerdasan emosional murid, karena variabel ini lebih besar pengaruhnya
terhadap keterampilan sosial murid dibandingkan dengan variabel pola asuh.
Murid dengan kecerdasan emosional tinggi memiliki keterampilan sosial yang
lebih baik dibandingkan dengan murid dengan kecerdasan emosional rendah
pada metode pengasuhan apapun. Disamping itu hendaknya orangtua
memperhatikan pola asuh yang digunakan terhadap anaknya. Agar anak
memiliki keterampilan sosial yang tinggi, maka pola asuh yang paling tepat
digunakan adalah pola asuh demokratis. Apabila sulit dilaksanakan, maka
orangtua harus memperhatikan tingkat kecerdasan emosional anak. Jika
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
257
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kecerdasan emosional tinggi, maka sebaiknya menggunakan pola asuh
permisif daripada pola otoriter. Sebaliknya, jika kecerdasan emosional anak
rendah maka sebaiknya digunakan pola asuh otoriter daripada pola asuh
permisif.
3. Bagi orangtua, guru, dan lingkungan sekitar agar melakukan stimulus dan
teladan yang baik secara terus menerus agar kecerdasan emosional murid
dapat meningkat.
4. Bagi guru sekolah dasar, agar mendesain teknik pembelajaran yang tepat
bagi pengembangan kecerdasan emosional dan peningkatan keterampilan
sosial.
5. Sekolah dan segenap perangkat didalamnya agar memperhatikan dan
mengembangkan keterampilan sosial murid dengan memperhatikan dan
mendesain kurikulum, strategi, dan sarana prasaran yang tepat guna dalam
peningkatan keterampilan sosial murid. Memperhatikan pengembangan
kecerdasan emosional murid, dan bersinergi dengan orangtua untuk selalu
menerapkan pola asuh yang tepat terhadap murid.
6. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional agar
menyediakan dan memfasilitasi baik kurikulum, dana, sarana, dan lainnya
bagi pengembangan keterampilan sosial murid. Disamping itu, pemerintah
perlu memberikan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi orangtua dan
guru terkait dengan metode pengasuhan, pengembangan kecerdasan
emosional, dan peningkatan keterampilan sosial murid. Pemerintah
hendaknya memberikan wawasan pengetahuan dan bimbingan kepada
orangtua tentang bagaimana mengasuh anak sehingga tujuan pendidikan
yang digariskan dapat tercapai.
E. Daftar Pustaka
A Review for The Early Intervention Foundation, Social and Emotional Skills in
Childhood and Their Long Term Effects on Adult Life,11th
march 2015.
Atkinson, Rita L. et all., (1983) Pengantar Psikologi: terjemahan Nurdjanah Tufik
dan Rukmini Barhana, Jakarta: Erlangga
Aununrrahman, (2012) Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta
B.R. Hagenhan and Matthew J. Oslon, (1997) An Introduction to Theories of
Learning, New Jersey: Prentice-Hill, Inc.
Devins, David, Johnson, Steve and Sutherland, John, (2004) Different Skills and
Their Different Effect on Personal Development, Journal of European
Industrial Training Volume 28 number 1, 2004.
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
258
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Olds dan Ruth Duskin Fieldman, Human
Development, Perkembangan Manusia. Terjemahan: Brian Marswendy,
Jakarta: Salemba Humanika, 2009.
Dowd, Tom and Tierney, Jeff, Teaching Social Skills to Youth, 2nd
Edition Boys
Town Press: 2005.
Dryden & Vos, Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution): Belajar Akan
Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan Fun Bagian II: Sekolah Masa Depan,
Bandung: Mizan Media Utama: 2000.
Erdley, Cynthia A.,. et.al., Social-Cognitive Models And Skills.
Goleman, Daniel, Social Intelligence: The New Science of Human Relationships,
New York: Bantam Dell, 2006.
Grant, Kathy B. and Ray Julie A., Home, School, and Community Collaboration, 2nd
Edition,London: SAGE Publications, 2013.
Gunarsa, Singgih D., Psikologi Perkembangan Murid dan Remaja, Jakarta: BPK
Gunung Mulya, 1983.
Hargie, Owen, The Handbook of Communication Skills, third Edition, New York:
Routledge, 2006.
http://kamusbahasaindonesia.org/
Hughes, Marcia, and Thompson, Henry L., Emotional and Social Intelligence, San
Fransisco: Preiffer, 2009.
Hurlock, Elizabeth B., Child Development, London: McGrawHill, 1956.
Hurlock, Elizabeth B., Psikologi Perkembangan, Terjemahan Istiwidayanti, Jakarta:
Erlangga, 1980.
Jensen, Eric, Enriching The Brain: how to maximize every learner's potential, San
Fransisco: Jossey Bass, 2006.
Johnston, Jane and Halocha, John, Early Childhood and Primary Education,
England: Mc GrawHill, 2010.
Krause, Pacey H. and Dailey, Tahlia M., Handbook of Parenting: Styles, Stresses,
and Strategies, New York: Nova Science Publishers, 2009.
Le Doux, Joseph, Emotion: Memory and Brain, Scientiefic American, June 1994.
LeDoux, Joseph E., Emotion:Clues from the Brain , Annual Review of Psychology,
46, 1995.
LeDoux, Joseph, Emotion. Memory and the Brain , Scientiefic American, June
1994.
LeDoux, Joseph., The Emotional Brain, New York: Simon & Schuster., 1996.
Marliyah, Lina, Fransisca I. R. Dewi & P. Tomy Y.S., Journal Provitae, Volume 1, no.
1 Desember 2004.
Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259
259
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mussen, Paul Henry., et.al, Child Develpoment and Personality: terjemahan
Meitasari Tjandrasah, akarta: Erlangga, 1984.
Patton, Patricia, EQ (Emotional Intelligence): Development From Success to
Significance, terjemahan Hermes, Mitra Media, 2000.
Pesoa, Luiz, The cognitive-emotional brain : from interactions to integration,
Cambridge: MIT Press, 2013.
Salovey, Peter & Sulyster, D.J., Emotional Develompment and Emotional
Inteligence, New York: Basic Books, 1997.
Santrock, John W., Child Development, Jilid 1 Edisi ke-11, Terjemahan Mila
Rahmawati (Jakarta: Erlangga, 2007.
Santrock, John W., Educational Psychology, Boston: Mc. Graw Hill, 2011.
Slavin, Robert E., Educational Psychology: Theory and Practice, 8th
-ed Boston:
Pearson, 2006.
Soegeng Santoso, Pendidikan Murid Usia Dini , Jakarta: Citra Pendidikan, 2004.
Sternberg, Robert J., Psikologi Kognitif edisi ke-4: terjemahan Yudi Santoso,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Strangman,K.T. The Psychology of Emotion, (New York : Chichester, John Wiley &
Sons., 1996.
Taebe, Malikeh. B and . N, Social Skills: A Factor to Employees' Success,
International Journal of Academic Research in Business and Social
Sciences, March 2013, Vol. 3, No. 3.
Umam, Khaerul, Perilaku Organisasi, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Yun Dai, David and Sternberg, Robert J., Motivation, Emotion, and Cognition,
London: LEA, 2004.
Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Murid dan Remaja, Bandung:
Rosdakarya, 2011.
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
260
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penerapan Expert Model Concept untuk
Meningkatkan Tanggung Jawab Belajar dan
Prestasi Akademik Siswa Kelas 5 SDN Sogaten
Madiun
Fidrayani
Pendidikan Islam Anak Usia Dini – FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeksripsikan bagaimana
penerapan Expert Model Concept untuk meningkatkan tanggung jawab
belajar siswa, (2) mendeskripsikan bagaimana penerapan Expert Model
Concept untuk meningkatkan prestasi akademik siswa kelas 5 sekolah
dasar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
Penelitian Tindakan Kelas dan data dikumpulkan dengan menggunakan
checklist dari 37 orang siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)
penerapan Expert Model Concept dapat meningkatkan tanggung jawab
belajar siswa, dan (2) penerapan Expert Model Concept dapat
meningkatkan prestasi akademik siswa. Bagi penelitian berikutnya
diharapkan diterapkan pada mata pelajaran lain sehingga lebih jelas
peran expert maupun novice. Juga direkomendasikan pada tingkat
pendidikan dasar untuk memberi kontribusi terhadap pendidikan dasar
yang lebih baik.
Kata Kunci: Expert model Concept, tanggung jawab, prestasi akademik
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
261
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan
Tanggung jawab penting bagi anak untuk menumbuhkan kemandirian dan
mengatur dirinya sendiri bahkan kemampuan untuk memutuskan sesuatu yang
sulit (Frones, 2007; Butler, Bjerke, Shipway, Fitzgerald & Graham, 2009). Perilaku
bertanggung jawab dapat dilihat dari bagaimana siswa mengerjakan tugasnya
tanpa diingatkan atau didorong oleh orang lain (Morris, 1961). Sebaliknya, siswa
yang tidak bertanggung jawab mengalami hambatan dalam kemajuan akademik,
bahkan menghambat pembelajaran karena terkadang mereka tidak peduli
terhadap tugas bahkan tidak mengerjakan sama sekali. Siswa yang kurang
memiliki tanggung jawab tidak hanya terbentur dengan masalah pembelajaran,
mereka juga tidak membuat pekerjaan rumah, menyerahkan tugas tidak tepat
waktu (Triana, 2009). Hasil pengamatan pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti
ditemukan bahwa: (1) dalam proses belajar mengajar, guru masih harus
mengingatkan siswa mengenai tugas atau pekerjaan yang diberikan, siswa
terkesan tidak mengikuti pelajaran dengan baik, bahkan beberapa anak tidak
mengerjakan tugas sama sekali, (2) metode pembelajaran yang digunakan oleh
guru adalah metode ceramah sehingga siswa kurang memahami bagaimana
seharusnya menggunakan pengetahuan untuk mendapatkan pengetahuan yang
baru, (3) siswa belum menyadari perannya dalam kegiatan belajar sehingga hasil
yang didapatkan kurang optimal, contohnya dalam menyelesaikan tugas
pertanyaan bacaan, hanya beberapa siswa yang mampu menyelesaikan tugas
tersebut, padahal seharusnya pada tahapan usia kelas 5 SD diharapkan sudah
mampu menjawab pertanyaan bacaan. Hal ini disebabkan karena perilaku yang
nampak adalah siswa kurang memahami isi bacaan dan bagaimana seharusnya
perilaku yang mendukung supaya kegiatan belajar tersebut dapat meningkatkan
prestasi belajar, (4) penggunaan metode pembelajaran belum menstimulasi siswa
untuk aktif secara keseluruhan sehingga hanya siswa tertentu saja yang aktif
dalam kegiatan belajar. Littlewood (dalam Gamble, Aliponga, Wilkins, Koshiyama,
Yoshida & Ando, 2012) menekankan bahwa siswa seharusnya bertanggung jawab
dalam pembelajarannya disebabkan karena mereka sendiri yang akan menjalani
semua pembelajaran hingga mencapai tujuan akhir. Selanjutnya dikatakan bahwa
tanggung jawab akan dimiliki oleh siswa apabila mereka mengembangkan
kemampuan tanggung jawab dalam belajar (Scharle & Szabo, 2000). Dalam
konteks akademik, isu yang terkait dengan pengembangan tanggung jawab siswa
dalam pembelajaran adalah refleksi kesadaran dari berbagai pihak yang terkait
untuk meningkatkan prestasi dan performansi akademik (Corno, 1992) serta
meningkatkan kualitas pebelajar (Anderson & Prawat, 1983; Bacon, 1990).
Tanggung jawab dalam pembelajaran dipandang Brown (dalam McCombs, 2012)
sebagai sesuatu yang menjadi luas. Semakin mampu seseorang bertanggung
jawab dalam hal kecil, maka dia tidak akan pernah menghindar untuk mengambil
tanggung jawab yang lebih besar.
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
262
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tanggung jawab erat kaitannya dengan otonomi diri. Rogers, Kell, dan
McNail (dalam McCombs, 2012) mengemukakan pentingnya otonomi diri.
Seseorang yang melihat situasi dengan jelas dan bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri akan sangat berbeda dengan orang yang berperilaku sebaliknya.
Perbedaan ini sangat jelas dan merupakan aspek yang penting dalam perilaku
seseorang. Allan (2006) mengemukakan bahwa tanggung jawab dalam
pembelajaran dipandang siswa sebagai sesuatu yang terpisah dari otonomi diri
dan kemampuan untuk mengontrol pembelajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa
anak perlu dilatih bagaimana mengembangkan rasa tanggung jawab dalam
pembelajaran karena pemerolehan tanggung jawab didapatkan dari kedua
komponen tersebut. Selain otonomi diri, tanggung jawab dipengaruhi oleh
motivasi. Scharle dan Shabo (2000) menjelaskan bahwa motivasi adalah pondasi
dasar untuk mengembangkan rasa bertanggung jawab. Secara spesifik ditekankan
bahwa motivasi instrinsik adalah apa yang disebut dengan performansi untuk
menyelesaikan tugas, menerima reward melalui proses penyelesaian tugas, juga
termasuk menerima reward eksternal, misalnya dari guru ataupun teman
sebaya. Sebuah petunjuk penting bagi guru untuk mengembangkan tanggung
jawab anak dalam pembelajaran adalah dengan mendorong motivasi instrinsik,
sehingga anak memperoleh autonomous learning dan self-determination. Kedua
aspek tersebut dapat menjadikan siswa lebih bertanggung jawab terhadap hasil
pembelajarannya. Sejauh hasil pembelajaran dapat dikontrol, juga disarankan
agar guru membuat siswa mampu membuat keputusan akademik yang penting
(McCombs, 2012). Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan menjadikan
siswa memiliki kontrol dan kepemilikan pembelajaran mereka sendiri. Hal ini juga
membantu mereka membangun rasa tanggung jawab dan motivasi diri.
Tanggung jawab diperoleh siswa dengan peniruan, baik itu guru maupun
teman sebaya. Penelitian Lewis (dalam Hasibuan, 2013) salah satu faktor
penyebab kurangnya tanggung jawab siswa adalah guru mampu menjelaskan
tentang tanggung jawab akan tetapi tidak dapat menerapkannya pada diri sendiri.
Oleh karena itu, penting bagi guru untuk mengembangkan tanggung jawab siswa
bukan hanya dari dirinya, akan tetapi menjadikan siswa lain sebagai model atau
contoh. Such & Walker (2004) menemukan bahwa tanggung jawab anak
berkembang sesuai dengan usia kronologis dan situasi yang berbeda. Pengalaman
anak terkadang berbeda dengan harapan perkembangan. Contohnya, ketika
orang dewasa meremehkan kemampuan anak yang lebih muda, sementara yang
lebih tua sikapnya tidak bertanggung jawab atau orang dewasa yang gagal
menjadi model yang ideal. Dalam hal ini anak pada usia sekolah dasar cenderung
meniru perilaku bertanggung jawab dari orang lain di sekitarnya. Tanggung jawab
dalam pembelajaran terkait dengan isu yang dihubungkan dengan parsitipasi
dalam tugas-tugas akademik dalam lingkup tertentu, spesifik terhadap
penyesuaian sosial (Anderson & Prawat, 1983; Hamilton, 1978; Warton, 1997;
Warton & Goodnow, 1991). Bjerke (2011) menyatakan bahwa pada usia anak-
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
263
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
anak, tanggung jawab diartikan sebagai hak istimewa dimana anak diberi
kesempatan untuk berpartisipasi langsung dan memutuskan sesuatu, dipandang
sebagai kesempatan untuk memberi pengaruh dalam memutuskan sesuatu atau
bertindak dengan bebas, dalam artian lebih dominan. Hal ini menunjukkan bahwa
tanggung jawab merupakan sesuatu yang perlu dipelajari melalui pengalaman dan
latihan terutama pada kehidupan anak-anak.
Hurlock (1980) mengemukakan bahwa bagi banyak orang tua, masa usia
sekolah dasar merupakan usia yang menyulitkan, dimana anak lebih banyak
dipengaruhi oleh teman sebaya daripada orang tua atau anggota keluarga lainnya.
Pada masa anak, anak terutama anak laki-laki, kurang memperhatikan dan tidak
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Scharle dan Szabo (2000)
menekankan pentingnya pengembangan kemampuan untuk mengembangkan
tanggung jawab pada siswa. Mereka juga menekankan pentingnya motivasi
instrinsik karena siswa yang memiliki motivasi instrinsik dapat menemukan tujuan
pembelajaran dan membuat mereka lebih dapat bertanggung jawab terhadap
hasilnya. Gamble et. al (2012) mengemukakan bahwa untuk mengembangkan
tanggung jawab siswa diperlukan latihan dan penguatan dalam strategi
metakognisi yang bertujuan agar siswa dapat memahami keterlibatan mereka
dalam pembelajaran.
Expert Model Concept (Joyce & Weil, 1996) dikembangkan untuk
mengetahui bagaimana seorang ahli meningkatkan kemampuannya dan
bertanggung jawab dalam pembelajarannya. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Scharle dan Szabo (2000) bahwa meningkatkan kemampuan juga akan
meningkatkan tanggung jawab siswa dalam pembelajarannya. Ini merupakan
relevansi penting antara model keahlian dalam meningkatkan kemampuan dan
tanggung jawab siswa. Expert Model Concept (EMC) dikembangkan oleh beberapa
ahli dalam pembelajaran. Johnson-Pynn & Nisbet (2002) meneliti bagaimana anak
bekerjasama dalam menyusun balok untuk menyelesaikan sebuah rumah. Strategi
novice-expert digunakan untuk memasangkan anak yang disebut dengan expert,
anak yang memiliki kemampuan lebih dari temannya, dengan novice, anak yang
kemampuannya kurang. Hasilnya menunjukkan bahwa ketika anak bekolaborasi
dengan teman sebaya, mereka mengeksplor ide, merefleksi dan
mengorganisasikan pengetahuan, dan bertanggung jawab terhadap kegiatan
belajarnya. Sternberg (1998) berpendapat bahwa kemampuan dibangun untuk
mendapatkan keahlian. Menurut pendekatan ini, individu membangun
pengetahuannya selama beberapa waktu berdasarkan pengalaman yang
berhubungan dengan domain pengetahuan, yang bertujuan untuk
meningkatkan keahlian. Expert memiliki skema yang lebih luas, lebih kaya,
organisasi konsep skema yang berisi pemahaman deklaratif, prosedural, dan
kondisional tentang domain. Expert lebih efisien dalam memecahkan masalah,
memonitor kemajuan mereka, memberikan alternatif solusi. Perspektif waktu
dan tugas merupakan dua hal yang penting dalam model ini. Semakin banyak
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
264
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
waktu yang digunakan anak untuk mempelajari skill dari pasangan maka akan
semakin meningkat juga skillnya. Tanggung jawab anak dilihat dari kedua
perspektif ini konteks tanggung jawab dalam pembelajaran. Pengembangan
model belajar novice-expert merupakan solusi bagaimana mengintegrasikan
keterampilan dalam konteks pembelajaran, yaitu novice-expert guided practice
dalam lingkup kecil. Yang dimaksud dalam lingkup kecil adalah kelas, dimana
integrasi keterampilan diperoleh anak dari teman sebaya melalui empat tahapan
yaitu immersion, attention, practical, dan integration. Expert adalah anak yang
memiliki pengalaman dan skill dalam mengerjakan tugas sedangkan novice
sebaliknya, anak yang kurang pengalaman dan keterampilan. Hal ini
mengindikasikan bahwa jika dipasangkan novice akan menjadi reseptif terhadap
bantuan yang diberikan expertnya, mengindikasikan rekognisi, dan penerimaan
kompetensi dari expertnya (Bandura, 1977).
Penerapan Expert Model Concept dibagi dalam empat proses membangun
tanggung jawab siswa dalam pembelajaran, yaitu: Immersion, tahap dimana siswa
melihat dengan seksama bentuk dasar dari perilaku yang akan ditiru dan mulai
menghadirkan kerangka besar untuk mengenali pola dasar perilaku, anak mulai
membangun kesadaran awal dan rekognisi dari elemen skill. Tahapan ini ditandai
dengan proses anak mulai mengadakan interaksi dengan teman sebaya dan
membangun pemahaman, guru memilih anak expert dan anak novice, kegiatan
ini menunjukkan bahwa anak dibawa pada kondisi expertnya. Tanggung jawab
ditunjukkan dengan melalui kegiatan ini dengan indikator anak mau mengerjakan
tugas, dapat dipercaya untuk membimbing teman lainnya. Kesediaan anak untuk
membantu temannya menunjukkan tanggung jawab. Attention, merupakan tahap
dimana anak belajar untuk fokus pada detil skill dan bentuk dasar perilaku,
membangun dasar pengetahuan. Tahapan ini ditandai dengan memulai kegiatan
membaca, secara bergantian anak membaca teks bacaan, secara bergantian anak
mengontrol temannya membaca wacana yang sudah disediakan oleh guru, expert
sebagai model memiliki kewajiban untuk membaca tepat waktu dan memahami
bacaan berdasarkan kriteria. Practical, merupakan tahap dimana siswa mulai
belajar untuk mengatur tujuan, merencanakan langkah-langkah dalam
menyelesaikan tugas dan mempraktikkan skill. Tahapan ini ditandai dengan
kegiatan menyelesaikan tugas tepat waktu dan memahami wacana yang sama
dengan expert. Expert berkewajiban memberitahu hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam kegiatan memahami wacana sehingga novice dapat mempraktikkan dan
memahami wacana berdasarkan kriteria. Integration, merupakan tahapan dimana
anak melaksanakan rencana-rencana dan mengatasi kesulitan dalam belajar.
Tahapan ini ditandai dengan melaporkan hasil tulisan dan koreksi pekerjaan
masing-masing, berani bertanya jika merasa kesulitan, mengerjakan tugas dengan
sungguh-sungguh. Narvaez dan Lapsley (2008) melakukan metanalisis terhadap
kelemahan guru dalam mengembangkan domain pembelajaran. Solusi yang
ditawarkan dalam analisisnya adalah sebuah model pembelajaran novice-expert
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
265
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
guided practice, dengan hasil analisis bahwa model ini dapat digunakan oleh guru
dalam meningkatkan hasil belajar dan tanggung jawab.
B. Metode Penelitian Pendekatan penelitian adalah pendekatan kualitatif dan jenis
penelitiannya adalah Penelitian Tindakan kelas. Jenis Penelitian Tindakan Kelas
yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam Collaborative Action
Research (Kemmis & McTaggart, 2005). Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
digunakan sebagai rancangan penelitian untuk mencapai tujuan perbaikan
kualitas pembelajaran. Kerjasama dilakukan oleh peneliti dan guru sebagai pihak
yang memegang peran penting dalam perbaikan pembelajaran. Inisiatif awal
untuk melakukan proyek penelitian di sekolah merupakan ide peneliti.
Kolaborasi ini merupakan tipe paling umum yang dilakukan dalam penelitian
tindakan kelas (Hers & Anderson, 2005).
Penelitian dilaksanakan di SDN Sogaten Madiun Kelas 5 karena siswa
memiliki permasalahan sebagaiamana fenomena penelitian ini, yaitu perilaku
tidak bertanggung jawab dalam kegiatan belajar. Pihak sekolah terutama kepala
sekolah dan guru memiliki keinginan untuk mengatasi masalah tanggung jawab
siswa melalui penerapan EMC melalui pembelajaran Bahasa Indonesia. Sekolah
sebagai pihak yang berwenang bersedia bekerjasama dengan peneliti untuk
melakukan penelitian tindakan kelas dengan memberi kesempatan kepada
peneliti untuk berkolaborasi dengan guru.
Setelah studi pendahuluan dan penagamatan pada beberapa sekolah di
karasidenan Madiun, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian di SDN
Sogaten ini karena kesediaan dan keterbukaan pihak sekolah dan guru untuk
berkolaborasi dalam penelitian. Antusiasme guru dan kepala sekolah sangat
penting bagi peneliti untuk mengadakan penelitian karena merupakan pintu
masuk untuk melakukan penelitian dengan sebaik-baiknya.
Penelitian Tindakan Kelas menggunakan kelas sebagai setting
pembelajaran dan pengumpulan data. Penelitian ini akan dilaksanakan pada kelas
5 SDN Sogaten Madiun yang dipilih berdasarkan studi awal. Dasar pertimbangan
dipilihnya siswa kelas 5 sebagai subyek penelitian adalah (1) berdasarkan tahapan
perkembangan anak, pada usia ini tanggung jawab anak dalam pembelajaran
dapat dikembangkan, (2) tidak terganggu dengan ujian nasional.
Pertimbangan pemilihan kelas 5 ini berdasarkan pertimbangan kepala
sekolah agar siswa kelas 5 tersebut memiliki kesiapan menghadapi UN pada
tahun berikutnya. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari guru bahwa
perilaku siswa kelas 5 kurang bertanggung jawab terhadap pembelajaran
sehingga hasil belajarnya juga kurang memuaskan.
Data dalam penelitian ini berupa: (1) lembar kegiatan siswa setiap selesai
mengerjakan tugas membaca teks bacaan, (2) hasil observasi guru dan peneliti
selama dalam proses pembelajaran, (3) hasil wawancara peneliti dengan subyek
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
266
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penelitian sejauh mana perkembangan atau kesan yang didapatkan selama
mengikuti proses pembelajaran, (4) catatan lapangan yang berisikan kegiatan
peneliti dan kegiatan siswa dalam tindakan pembelajaran selama dalam proses
penelitian. Dalam penelitian ini, tiga jenis data yang dikumpulkan oleh peneliti
yaitu: (a) data perilaku siswa yang bersifat fisikal, (b) data perilaku siswa yang
bersifat non fisikal, dan (c) data yang menggambarkan kemajuan siswa dalam
membaca teks bacaan.
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas: (a) lembar
observasi tanggung jawab belajar siswa, (b) lembar pengamatan proses PBM
siswa, (c) catatan lapangan, (d) pedoman wawancara. Uji validitas instrumen
perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana instrumen dapat digunakan. Uji
instrumen lembar pengamatan dilakukan oleh tiga ahli psikologi pendidikan dan
untuk bahan ajar Bahasa Indonesia dilakukan oleh dua ahli Bahasa Indonesia.
Simulasi perlu dilakukan untuk memastikan apakah guru dapat
melaksanakan pembelajaran EMC dengan baik. Simulasi ini bertujuan untuk
mengetahui kelayakan tindakan yang telah disusun untuk diterapkan di kelas.
Tahap pertama, peneliti memberikan bahan bacaan dan RPP untuk kemudian
dipelajari oleh guru. Peneliti menjelaskan EMC dan pelaksanaannya dalam kelas
sesuai dengan rancangan yang telah disusun bersama. Peneliti dan guru
berdiskusi agar pelaksanaan sesuai dengan RPP. Guru mempelajari RPP dan bahan
bacaan dan akan dilanjutkan pada tahapan selanjutnya.Tahap kedua, guru
mempraktikkan EMC dalam kelas. Pada kesempatan tersebut, peneliti
mengundang kepala sekolah dan dua orang guru senior untuk melihat apakah
simulasi tersebut sudah berjalan baik dan benar sesuai dengn RPP. Simulasi
dilakukan kembali sampai guru yakin sudah mampu melaksanakan dengan baik.
Guru merasa antusias dengan model EMC karena setiap tahapan dapat dikuasai
dengan baik.
Analisis deskriptif yang dilakukan setiap siklus dijelaskan berdasarkan skor
tanggung jawab belajar pada masing-masing pertemuaUntuk mengetahui berhasil
tidaknya Penelitian Tindakan Kelas perlu dibuat indikator keberhasilan tindakan.
Selain indikator keberhasilan, juga perlu dibuat indikator proses. Indikator proses
berisi langkah-langkah pokok tindakan untuk mencapai keberhasilan yang telah
ditetapkan dalam tindakan. Indikator keberhasilan dapat dilihat dari dua aspek,
proses pembelajaran dan hasil belajar. Indikator ketercapaian tindakan diperlukan
untuk menentukan pencapaian yang diperoleh siswa dalam sebuah proses
pembelajaran. Siswa melaksanakan tindakan pembelajaran yang diharapkan
sesuai dengan indikator dan deskriptor sehingga memperoleh kualifikasi yang
diharapkan. Evaluasi dilakukan setelah proses pengamatan dalam kegiatan
pembelajaran. Evaluasi terkait sejauhmana kegiatan yang diaksanakan dapat
berjalan sesuai dengan target. Dari hasil evaluasi tersebut peneliti merefleksikan
hasil kegiatan belajar untuk perbaikan pada pertemuan berikutnya.
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
267
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Pengamatan pendahuluan dilakukan oleh peneliti selama empat minggu.
Pengamatan ini dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan
yang dilakukan mengamati keadaan kelas yang menjadi tempat penelitian dan
mengidentifikasi kemampuan awal siswa. Dalam tahapan ini, selama empat kali
pertemuan mata pelajaran Bahasa Indonesia digunakan untuk mengidentifikasi
dan menilai tanggung jawab siswa dalam kegiatan belajar, performansi awal
siswa, dan metode yang digunakan oleh guru. Pada pertemuan yang terakhir
dilakukan ujicoba prasiklus dengan menggunakan format dari tanggung jawab
siswa yang telah dikembangkan pada tahap sebelumnya. Melalui prasiklus ini,
diperoleh kesimpulan tentang tanggung jawab siswa dalam kegiatan belajar
sebelum penelitian tindakan dilaksanakan. Data ini kemudian dijadikan data awal
untuk menilai keberhasilan tindakan. Identifikasi terhadap performansi siswa
dilakukan dengan observasi yang bertujuan untuk mengamati kegiatan siswa
dalam kegiatan belajar. Hasil identifikasi tersebut digunakan peneliti untuk
menilai deskriptor yang telah disusun apakah nampak sebagai perilaku yang dapat
diamati.Selain itu, peneliti juga mengamati metode pembelaran yang digunakan
oleh guru. Metode pembelajaran yang dipakai oleh guru menjadi acuan bagi
peneliti untuk mengetahui apakah metode yang digunakan oleh guru sudah tepat
dan melihat apakah ada perbedaan antara penggunaan model pembelajaran
sebelum dan sesudah penelitian tindakan kelas dilakukan.
Keterlaksanaan empat tahapan model EMC pada pertemuan pertama
belum menunjukkan hasil bahkan cenderung masih mengikuti pembelajaran
konvesional, pertemuan kedua sampai keempat mengalami peningkatan.
Pertemuan pertama tidak ada siswa yang mencapai kategori baik, kurang 35,1%,
dan sisanya 64,9% kategori sedang. Pertemuan keempat kategori cukup 32,4%
sisanya kategori baik 67,6%. Rata-rata prestasi akademik siswa 76,2.
Keterlaksanaan Expert Model Concept diamati oleh peneliti menggunakan
panduan observasi yang telah disusun oleh peneliti. Secara ringkas dapat
disimpulkan bahwa dalam siklus pertama tidak semua tahapan dalam model
dapat terlaksana. Ada bagian-bagian yang terlewati sehingga tidak
menggambarkan siklus model pembelajaran secara menyeluruh. Hasil
peningkatan tanggung jawab belajar siswa menunjukkan perubahan yang cukup
signifikan pada hasil belajar dan tanggung jawab, namun demikian target yang
ditelah ditetapkan oleh peneliti belum sepenuhnya tercapai. Pada tahap
perencanaan telah dituliskan bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan empat
tahapan yaitu, (1) immersion, (2) attention, (3) practical, dan (4) integration.
Namun pada kenyataannya tidak semua tahapan bisa terlaksana karena
kurangnya kemampuan peneliti dalam pengaturan waktu sehingga ada bagian
yang tidak terlaksana. Semua tahapan seharusnya memiliki keterkaitan, namun
pada siklus 1 belum nampak hal tersebut. Walaupun pada pertemuan keempat
sudah menunjukkan kenaikan namun belum sesuai dengan kriteria yang
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
268
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diharapkan. Penerapan EMC seharusnya berpusat pada siswa, seringkali masih
berpusat pada guru. Peran siswa terutama expert belum maksimal dalam
membantu novicenya dan begitupun sebaliknya siswa novice belum memahami
bagaimana cara memanfaatkan waktu untuk bekerjasama dengan expert.
Rencana perbaikan untuk siklus berikutnya adalah: (1) dalam kegiatan
pembelajaran guru berusaha agar seluruh siswa terlibat aktif dan semua aktivitas
dapat dilakukan oleh siswa. Memberi arahan pada guru bagaimana seharusnya
model pembelajaran dilaksanakan. Mengarahkan guru agar dapat menstimulasi
siswa dengan pertanyaan yang lebih variatif, (2) memberikan bimbingan secara
individual untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi oleh siswa, kegiatan
bimbingan dikhususkan kepada siswa tertentu yang mengalami kesulitan dalam
mengikuti kegiatan belajar. (3) guru bersama peneliti memperbaiki rancangan
pelaksanaan pembelajaran dan memilih materi yang dapat diterima dan dipelajari
oleh siswa. Memperbaiki indikator pembelajaran sehingga penggunaan waktu
sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa dalam siklus kedua hampir semua
tahapan dalam model dapat terlaksana. Hasil peningkatan tanggung jawab siswa
dari instrumen pengamatan menunjukkan perubahan yang cukup signifikan pada
hasil belajar dan tanggung jawab dan target yang telah ditetapkan hampir
terpenuhi, namun masih ada indikator yang dirasa peneliti masih kurang dari hasil
tindakan pembelajaran. Pertemuan terakhir siklus kedua menunjukkan hasil
kategori baik 70,2% dan sisanya 29,8% kategori sedang. Rata-rata prestasi
akademik siswa 86,4. Semua tahapan sudah dapat dilaksanakan oleh guru, namun
ada beberapa indikator yang masih sangat kurang hasilnya dari tindakan
pembelajaran yang dilakukan. Keterkaitan antar tahapan sudah jelas, namun perlu
diperbaiki tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan agar semua indikator
yang diharapkan pada pedoman observasi dapat diperoleh hasil yang maksimal.
EMC sudah terpusat pada siswa, namun demikian siswa belum dapat sepenuhnya
memahami tugas dan peran masing-masing. Peran siswa terutama expert belum
maksimal dalam membantu novicenya dan begitupun sebaliknya siswa novice
belum memahami bagaimana cara memanfaatkan waktu untuk bekerjasama
dengan expert. Rencana perbaikan pada siklus berikutnya: (1) melanjutkan model
pembelajaran dengan perbaikan pada materi ajar dan alokasi waktu. Penggunaan
waktu sudah cukup baik meskipun belum optimal. Materi ajar perlu disesuaikan
dengan indikator pembelajaran, (2) mengarahkan guru agar semua indikator
tanggung jawab belajar dapat muncul serta menstimulasi siswa agar indikator
yang diharapkan sesuai dengan kriteria.
Pada siklus ketiga, semua tahapan sudah dapat dilaksanakan oleh guru
sehingga indikator yang diharapkan muncul sudah dapat terukur dengan jelas.
Keterkaitan antar tahapan sudah jelas, hal ini dapat dilihat kesinambungan dari
tiap tahapan sudah terlaksana. Hasil pengamatan perilaku bertanggung jawab
menunjukkan perubahan yang signifikan. siswa yang mencapai kategori baik
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
269
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80,6% dan sisanya 19,4% kategori sedang. Rata-rata prestasi belajar siswa 92,6.
Karena peningkatan tanggung jawab belajar siswa sudah memenuhi target, maka
tindakan pembelajaran dicukupkan sampai siklus ketiga.
Secara teoritis dijelaskan Gamble et. Al (2012) bahwa tanggung jawab
dalam pembelajaran bahwa siswa akan membangun kemampuan mengenali,
memahami, mendemonstrasikan dan mengevaluasi perilaku yang mendukung
pembelajaran. Lebih jauh dikatakan lagi bahwa siswa yang bertanggung jawab
dalam pembelajarannya disebabkan karena mereka sendiri yang akan menjalani
semua pembelajaran hingga mencapai tujuan akhir.
Pendapat para ahli seperti dijelaskan sebelumnya memang merupakan hal
yang penting untuk dimiliki oleh siswa bila ingin berhasil dalam belajar. Jika
kemudian tanggung jawab tersebut diperlukan dalam meningkatkan hasil belajar,
maka pertanyaan yang penting dalam situasi apa dan bagaimana siswa dapat
mengembangkan kemampuan tersebut.
Lewis dalam Hasibuan (2012) menyatakan bahwa salah satu faktor penting
dalam menumbuhkan tanggung jawab siswa adalah guru. Pembelajaran yang
berorientasi pada guru akan memberikan dampak yang kurang baik yaitu siswa
tidak aktif dalam kegiatan belajar. Oleh karena itu, penting bagi guru menjadikan
siswa lain sebagai model atau contoh.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan oleh peneliti untuk
mengembangkan tanggung jawab belajar siswa dengan menggunakan Expert
Model Concept (EMC), yang diterapkan dalam pembelajaran dengan pendekatan
penelitian tindakan kelas (classroom action research). Model pembelajaran ini
digunakan oleh peneliti karena memeiliki sejumlah keunggulan diantaranya
adalah (1) ketika berkolaborasi dengan dengan teman sebaya anak mengeksplor
ide, merefleksikan dan mengorganisasikan informasi, (2) menumbuhkan tanggung
jawab anak dalam kegiatan belajar yang berkontribusi dalam pemerolehan
pengetahuan berkaitan dengan konten sebagai sebuah skill (Johnson-Pynn &
Nisbet, 2002), (3) mengajarkan siswa bagaimana bekerjasama dengan teman
(Poveda & Reyes, 2008), (4) membimbing teman sebaya dengan tujuan
mengembangkan kemampuan untuk mendeteksi dan mengoreksi kesalahan dan
bagaimana merefleksikan kesalahan dan belajar dari kesalahan (Mathan, 2005).
Dalam penelitian ini, tindakan yang dilakukan untuk mengembangkan
tanggung jawab belajar siswa melalui penerapan Expert Model Concept (EMC)
dengan cara menugaskan siswa untuk membaca dan menulis dan diamati proses
pembelajarannya. Proses pembelajaran melalui empat tahapan berlangsung
secara siklikal dan diamati semua prosesnya hingga akhir.
Expert Model Concept menekankan proses attention. Proses pembelajaran
ada pada saat proses attention, kemudian diikuti oleh tahapan practical, dan
proses integration dimana siswa mulai memahami apa yang mereka butuhkan,
bagaimana menggunakan skill yang sesuai dengan situasi, dan informasi yang
dibutuhkan untuk meningkatkan skillnya (Schempp, 2007).
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
270
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Upaya menumbuhkan tanggung jawab belajar siswa melalui model
penerapan Expert Model Concept (EMC) berlangsung sebagai berikut: (1)
mengarahkan dan menentukan siswa dengan peran masing-masing sehingga
model pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan harapan peneliti, (2)
menugaskan siswa untuk membaca dan belajar berdasarkan pembagian peran,
menegaskan peran masing-masih siswa dengan cara mengarahkan bagaimana
siswa bekerjasama dengan kelompok yang telah ditentukan, (3) menilai hasil
belajar siswa dan memberikan apresiasi bagi kelompok yang dinilai telah
mengalami kemajuan, kegiatan ini bertujuan memotivasi siswa yang lain utnuk
lebih semangat pada kegiatan belajar berikutnya, (4) mengarahkan siswa untuk
perbaikan selanjutnya berdasarkan hasil belajar yang telah diperoleh dan dibahas
secara bersama-sama. Hasil pembelajaran dibahas pada akhir pembelajaran
supaya siswa memahami apa yang dibutuhkan untuk dapat memperoleh
kemampuan yang dibutuhkan berdasarkan tugas yang diberikan oleh guru.
Siswa yang menunjukkan kemajuan dalam menyelesaikan tugas sesuai
dengan kriteria menumbuhkan kemampuan bertanggung jawab dalam kegiatan
belajarnya. Dengan kegiatan yang dilakukan secara siklikal dan berulang-ulang
maka skill dapat dimiliki oleh siswa. kemampuan yang dimaksudkan adalah
kemampuan siswa yang terkait dengan tugas membaca yang difokuskan pada
empat hal, yaitu mampu menjawab pertanyaan bacaan, mampu menemukan ide
pokok/gagasan, mampu meringkas isi bacaan dan mampu membuat kesimpulan
isi bacaan.
Hasil analisis terhadap pertumbuhan kemampuan tanggung jawab siswa
pada siklus pertama dapat dikatakan bahwa hampir sebagian besar siswa tidak
bertanggung jawab terhadap kegiatan belajarnya. Peneliti dan guru selanjutnya
memberikan arahan, bimbingan dan penjelasan dalam belajar. Evaluasi yang
dilakukan oleh guru dari hasil belajar siswa mendorong siswa untuk bersungguh-
sungguh mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Refleksi yang diberikan
guru mengenai kelompok mana saja yang menunjukkan perubahan mendorong
siswa untuk bekerjasama lebih baik dengan anggota kelompoknya. Pada siklus
kedua sudah menunjukkan perubahan meskipun masih ada siswa yang belum
menunjukkan peningkatan. Pada siklus ketiga menunjukkan bahwa tanggung
jawab siswa dalam kegiatan belajar meningkat.
D. Kesimpulan Penerapan Expert Model Concept (EMC) melalui empat tahapan siklikal
yaitu immersion, attention, practical, integration melalui pembelajaran Bahasa
Indonesia berhasil meningkatkan tanggung jawab belajar siswa dalam belajar yang
dilaksanakan sebanyak tiga siklus. Pada siklus pertama belum ada siswa yang
mencapai kategori baik, yang ada hanya kategori sedang sebanyak 64,9% dan
kategori kurang sebanyak 35,1%. Pada siklus kedua siswa yang berada pada
kategori baik mencapai 28,2 dan sedang mencapai 70,2% dan tidak ada lagi siswa
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
271
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berada pada kategori kurang. Pada siklus terakhir jumlah siswa yang masuk
kategori baik sebanyak 80,6% dan sisanya masuk pada kategori sedang dan tidak
ditemukan lagi siswa pada kategori kurang.
Penerapan Expert Model Concept (EMC) dalam pembelajaran efektif
meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan. Berdasarkan fokus
yang dilakukan pada masing-masing pertemuan membawa dampak positif
terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan. Fokus memahami bacaan
yang dibagi dalam empat kegiatan yaitu: a) kemampuan menjawab pertanyaan
bacaan, b) kemampuan menemukan gagasan/ide pokok, c) kemampuan
meringkas isi bacaan, d) kemampuan membuat simpulan isi bacaan. Dari hasil
penelitian ditemukan bahwa kemampuan siswa menguasai materi pembelajaran
berada di atas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh guru yaitu
sebesar 97,2%.
E. Daftar Rujukan Allan, G. M. (2006). Responsibilities for Learning: Students's Understanding and
Their Self-Reported Learning attitudes and Behavior. Tesis tidak diterbitkan.
Australia
Anderson, L., & Prawat, R. (1983). Responsibility in the classroom: A synthesis of
research on teaching self-control. Educational Leadership 40(7) , 62-66.
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Bacon, C. S. (1993). Student responsibility for learning. Adolelescence 28 , 1999.
Butler, U., Bjerke, H. S., Shipway, A., Fitzgerald, B., & Graham, A. (2009). Children's
perpective n citizenship: Conclusion an future direction. International
Voices , 169-183.
Frones, I. (2007). Modern Childhood. Oslo: Cappelen akademisk forlag.
Foveda, F., & Reyes, M. (2008). Expert/novices working pair together on concept
map. Concept Mapping: Connecting Educator .
Gamble, C., Wilkins, M., Koshiyama, Y., Yoshida, K., & S., A. (2012). Examining
Learner Autonomy Dimensions: Students' Perception of Their Responsibility
and Ability. JALT (hal. 263-272). Tokyo: JALT2011.
Johnson-Pynn, J., & Nisbet, V. (2002). Preschooler effective tutor novice
classmates in a block construction task. Child Study Journal 32(4) , 241-255.
Mathan, A., & Koedinger, K. R. (2005). Fostering the inteligent novices: Learning
from errors with metacognitive tutoring. Educational Psychologist 40(4)
,257-265.
McCombs, B. (2012). Developing responsible and autonomous learners: A key to
motivating student. Dipetik Februari 7, 2013, dari
http://www.apa.org/k12/education/learners.aspx.
Morris, H. (1961). Freedom and Responsibility. Stanford, CA: Stanford University
Press.
Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272
272
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Narvaez, D., & Lapsley, D. K. (2008 ). Teaching moral character: Two alternatives
for teacher education. The Teacher Educator 43 , 156-172.
Scharle, A., & Szabo, A. (2000). Learner autonomy: A guide to developing learner
responsibility. Cambridge: Cambridge University Press.
Schempp, P. G. (2005). The Five Steps to Becoming Expert. International
Conference & Exposition (hal. 1-5). Atlanta: Atlanta GA.
Such, E., & Walker, R. (2004). Being responsible and responsible beings: Childrean
understanding responsibility. Children and Society Family 18 , 231-242. DOI
10.1002/CHI.795.
Sternberg, R. J. (1998). In Search of The Human Mind. Hartcourt Brace college
Publisher.
Triana, I. K. (2011). Meningkatkan Disiplin dan Tanggung Jawab Siswa Melalui
Sanksi Berjenjang Pada Siswa Kelas III SD Sanur I Tahun Pelajaran
2009/2010. Dipetik February 7, 2013, dari
http://www.docstoc.com/docs/112981879/MENINGKATKAN-DISIPLIN-DAN-
TANGGUNG-JAWAB-SISWA.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
273
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Peranan Strategi Pembelajaran dalam
pengoptimalan Pembelajaran di Kelas
Tri Harjawati, S.Pd., M.Si.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial – FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Pada dasarnya pembelajaran merupakan kegiatan terencana yang
mengkondisikan atau merangsang seseorang agar bisa belajar dengan
baik agar sesuai dengan tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan
permendikbud no 65 tahun 2013, yang mengamanatkan bahwa proses
pembelajaran pada satuan pendidikan harus diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Dengan demikian,
keahlian guru sebagai ujung tombak suksesnya proses pendidikan
dituntut memiliki keahlian dan kreativitas yang tinggi sehingga mampu
mengemas proses pembelajaran sesuai dengan yang diamanatkan.
Maka dari itu, pada proses penerapan atau taktis pelaksanaan
pembelajaran setiap satuan pendidikan dituntut untuk mampu
melakukan perencanaan pembelajaran dengan baik, sehingga
pelaksanaan proses pembelajaran dapat berjalan semaksimal mungkin,
serta penilaian proses pembelajaran bisa diarahkan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Peran seorang
guru dituntut untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan belajar
mengajar. Masalah pengaturan kelas ini tidak akan pernah sepi dari
kegiatan guru karena semua kegiatan itu guru lakukan semata-mata
tidak lain demi kepentingan anak didik itu sendiri serta demi
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
274
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
keberhasilan belajar anak didik itu sendiri. Dengan demikian, Peranan
seorang guru sebagai pembimbing menuntut agar guru selalu mengatur
strategi pengajarannya yang sesuai dengan gaya-gaya belajar anak didik.
Artikel ini membahas konsep dasar dari suatu strategi pembelajaran.
Kata Kunci : Strategi Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran, Mengajar
A. Pendahuluan Pada dasarnya pembelajaran merupakan kegiatan terencana yang
mengkondisikan atau merangsang seseorang agar bisa belajar dengan baik agar
sesuai dengan tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan permendikbud no 65
tahun 2013, yang mengamanatkan bahwa proses pembelajaran pada satuan
pendidikan harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Dengan demikian, keahlian guru sebagai ujung tombak suksesnya proses
pendidikan dituntut memiliki keahlian dan kreativitas yang tinggi sehingga mampu
mengemas proses pembelajaran sesuai dengan yang diamanatkan. Maka dari itu,
pada proses penerapan atau taktis pelaksanaan pembelajaran setiap satuan
pendidikan dituntut untuk mampu melakukan perencanaan pembelajaran dengan
baik, sehingga pelaksanaan proses pembelajaran dapat berjalan semaksimal
mungkin, serta penilaian proses pembelajaran bisa diarahkan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Peran seorang guru
dituntut untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan belajar mengajar.
Masalah pengaturan kelas ini tidak akan pernah sepi dari kegiatan guru karena
semua kegiatan itu guru lakukan semata-mata tidak lain demi kepentingan anak
didik itu sendiri serta demi keberhasilan belajar anak didik itu sendiri. Dengan
demikian, Peranan seorang guru sebagai pembimbing menuntut agar guru selalu
mengatur strategi pengajarannya yang sesuai dengan gaya-gaya belajar anak
didik.
Istilah strategi (strategy) berasal dari kata benda dan kata kerja dalam
bahasa Yunani sebagai kata benda, strategos merupakan gabungan dari kata
stratos dan ago (memimpin). Sebagai kata kerja, stratego berarti merencanakan
(to plan). Dalam kamus The American Herritage Dictionary (1976:1273)
dikemukakan bahwa strategy is the science or art of military command as applied
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
275
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
to overall planning and conduct of large scale combat operations. Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa strategi adalah the art or skill of using strategems (a
military manuvre design to deceive or surprise an enemy) in politics, business,
courtship, or the like.
Mintzberg dan Waters (1983) mengemukakan bahwa strategi adalah pola
umum tentang keputusan atau tindakan. Sedangkan Hardy, Langley, dan Rose
dalam Sudjana (1986) mengemukakan bahwa strategy is perceived as a plan or a
set of explisit intention and controlling actions (strategi dipahami sebagai rencana
atau kehendak yang mendahului dan mengendalikan kegiatan).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa
strategi adalah suatu pola yang direncanakan dan ditetapkan secara sengaja untuk
melakukan kegiatan atau tindakan. Strategi mencakup tujuan kegiatan, siapa yang
dilihat dalam kegiatan, isi kegiatan, proses kegiatan, dan sarana penunjang
kegiatan.
Secara sederhana istilah pembelajaran (instruction) bermakna sebagai
upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai
upaya dan berbagai strategi, metode, dan pendekatan kea rah tercapainya tujuan
yang telah direncanakan .Pembelajaran dapat pula dipandang sebagai kegiatan
guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar
secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Pada prinsipnya, pembelajaran tidak hanya terbatas pada event-event yang
dilakukan guru , tetapi mencakup semua events yang mempunyai pengaruh
langsung pada proses belajar yang meliputi kejadian-kejadian yang diturunkan
dari bahan-bahan cetak, gambar, program radio, televisi, film, slide, maupun
kombinasi dari bahan bahan tersebut.
Sadirman (2005) dalam bukunya yang berjudul interaksi dan motivasi
belajar mengajar menyebutkan istilah pembelajaran dengan interaksi edukatif.
Menurut beliau, yang dianggap interaksi edukatif adalah interaksi yang dilakukan
secara sadar dan mempunyai tujuan untuk mendidik dalam rangka mengantarkan
peserta didik kearah kedewasaanya. Pembelajaran merupakan proses yang
berfungsi membimbing para peserta didik di dalam kehidupannya, yakni
membimbing dan mengembangkan diri sesuai dengan tugas perkembangan yang
harus dijalani. Proses edukatif memiliki ciri-ciri:
a. Ada tujuan yang ingin dicapai
b. Ada pesan yang akan ditransfer
c. Ada pelajar
d. Ada guru
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
276
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Ada metode
f. Ada situasi
g. Ada penilaian
Pembelajaran adalah suatu konsep dari dua dimensi kegiatan belajar
mengajar yang harus di rencanakan dan diaktualisasikan, serta diarahkan pada
pencapaian tujuan atau penguasaan sejumlah kompetensi dan indikatornya
sebagai gambaran hasil belajar.
Proses kegiatan adalah langkah-langkah atau tahapan yang dilalui pendidik
dan peserta didik dalam pembelajaran. Sumber pendukung kegiatan
pembelajaran mencakup fasilitas dan alat-alat bantu pembelajaran. Dengan
demikian, strategi pembelajaran mencakup penggunaan pendekatan, metode dan
teknik, bentuk media, sumber belajar, pengelompokan peserta didik, untuk
mewujudkan interaksi edukasi antara pendidik dengan peserta didik, antar
peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungannya, serta upaya
pengukuran terhadap proses, hasil dan atau dampak kegiatan pembelajaran.
Dalam hal ini, strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan
yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang di desain untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan
(rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai
sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai
tujuan tertentu, yakni tujuan pembelajaran.
B. Pembahasan
Konsep dasar strategi belajar mengajar
Konsep dasar strategi belajar mengajar meliputi hal-hal: a) menetapkan
spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku, b) menentukan pilihan
berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengaja, c) memilih
prosedur,metode, dan teknik belajarmengajar, dan d) menerapkan norma dan
kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar.
Kegiatan mengajar bagi seorang guru menghendaki hadirnya sejumlah anak
didik. Berbeda dengan belajar. Belajar tidak selamanya memerlukan seorang guru.
Cukup banyak aktivitas yang dilakukan oleh seorang di luar dari keterlibatan guru.
Belajar di rumah cenderung menyendiri dan terlalu banyak mengharap bantuan
dari orang lain. Apalagi aktivitas belajar itu berkenaan dengan kegiatan membaca
buku sebuah buku tertentu. Mengajar pasti merupakan kegiatan yang mutlak
memerlukan keterlibatan individu anak didik. Bila tidak ada anak didik atau objek
didik, siapa yang diajar. Hal ini perlu sekali guru sadari agar tidak terjadi kesalahan
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
277
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tafsir terhadap kegiatan pengajaran. Karena itu, belajar dan mengajar merupakan
istilah yang sudah baku dan menyatu di dalam konsep pengajaran. Guru yang
mengajar dan anak didik yang belajar adalah dwi tunggal dalam perpisahan raga
jiwa bersatu antara guru dan anak didik.
Jenis-jenis Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran dikembangkan atau diturunkan dari model
pembelajaran. Dari beberapa pengertian di atas, strategi pembelajaran meliputi
rencana, metode, dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai
tujuan pengajaran tertentu. Untuk melaksanakan strategi tertentu diperlukan
seperangkat metode pengajaran.
Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan
empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu:
1. mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put)
dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi
dan selera masyarakat yang memerlukannya.
2. mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang
paling efektif untuk mencapai sasaran;
3. mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan
ditempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran;
4. mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan
ukuran (standard untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan
(achievement) usaha.
Jika kita mencoba menerapkan dalam konteks pembelajaran, keempat
unsur tersebut adalah:
Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran, yakni perubahan
profil perilaku dan pribadi peserta didik;
Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang
dipandang paling efektif
Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur,
metode, dan teknik pembelajaran:
Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau
kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J.R. David (Wina Sanjaya, 2008)
menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna
perencanaan. Artinya, pada dasamya strategi masih bersifat konseptual tentang
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
278
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suau pelaksanaan pembelajaran.
Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagiana,
yaitu exposition discovery learing dan group-individual learning (Rowntree dalam
Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya,
strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan
strategi pembelajaran deduktif. Karena strategi pembelajaran masih bersifat
konseptual, maka untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode
pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan "a plan of operation
achieving something".
Gambar di bawah ini menunjukan jenis-jenis klasifikasi strategi
pembelajaran yang dikemukakan dalam artikel Saskatchewan Elucational (1991).
Gambar 1 Klasifikasi strategi pembelajaran
Strategi Pembelajaran Langsung (direct instruction)
Strategi pembelajaran langsung merupakan strategi yang kadar berpusat
pada gurunya paling tinggi, dan paling sering digunakan. Pada strategi ini
termasuk di dalamnya metode-metode ceramah, pertanyaan didaktik,
pengajaran eksplisit, praktek dan latihan, serta demonstrasi.
Strategi pembelajaran langsung efektif digunakan untuk memperluas
informasi atau mengembangkan keterampilan langkah demi langkah.
Strategi Pembelajaran Tidak Langsung (indirect instruction)
Pembelajaran tidak langsung memperlihatkan bentuk keterlibatan siswa
yang tinggi dalam melakukan observasi, penyelidikan, penggambaran
inferensi berdasarkan data, atau pembentukan hipotesis.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
279
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam pembelajaran tidak langsung, peran guru beralih dari penceramah
menjadi fasilitator, pendukung, dan sumber personal (resource person).
Guru merancang lingkungan belajar, memberikan kesempatan siswa untuk
terlibat, dan jika memungkinkan memberikan umpan balik kepada siswa
ketika mereka melakukan inkuiri.
Strategi pembelajaran tidak langsung mensyaratkan digunakannya bahan-
bahan cetak, non-cetak, dan sumber sumber manusia.
Strategi Pembelajaran Interaktif (interactive instruction)
Strategi pembelajaran interaktif merujuk kepada bentuk diskusi dan saling
berbagi di antara peserta didik. Seaman dan Fallenz (1989)
mengemukakan bahwa diskusi dan saling berbagi akan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memberikan reaksi terhadap gagasan,
pengalaman, pandangan, dan pengetahuan guru atau kelompok, serta
mencoba mencari alternatif dalam berpikir.
Strategi pembelajaran interaktif dikembangkan dalam rentang
pengelompokan dan metode-metode interaktif. Di dalamnya terdapat
bentuk-bentuk diskusi kelas, diskusi kelompok kecil atau pengerjaan tugas
berkelompok, dan kerja sama siswa secara berpasangan.
Strategi Pembelajaran melalui Pengalaman (experiential learning)
Strategi belajar melalui pengalaman menggunakan bentuk sekuens
induktif, berpusat pada siswa, dan berorientasi pada aktivitas.
Penekanan dalam strategi belajar melalui pengalaman adalah pada proses
belajar, dan bukan hasil belajar.
Guru dapat menggunakan strategi ini baik di dalam kelas maupun di luar
kelas. Sebagai contoh, di dalam kelas dapat digunakan metode simulasi,
sedangkan di luar kelas dapat dikembangkan metode observasi untuk
memperoleh gambaran pendapat umum.
Strategi Pembelajaran Mandiri
Belajar mandiri merupakan strategi pembelajaran yang bertujuan untuk
membangun inisiatif individu, kemandirian, dan peningkatan diri. Fokusnya adalah
pada perencanaan belajar mandiri oleh peserta didik dengan bantuan guru.
Belajar mandiri juga bisa dilakukan dengan teman atau sebagai bagian dari
kelompok kecil. Kelebihan dari pembelajaran ini adalah membentuk peserta didik
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
280
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang mandiri dan bertanggunggjawab. Sedangkan kekurangannya adalah peserta
belum dewasa, sulit menggunakan pembelajaran mandiri. Untuk lebih jelasnya
kaitan dengan jenis dan klasifikasi strategi pembelajaran dibahas pada bab khusus
tentang Klasifikasi Strategi Pembelajaran.
Pertimbangan Pemilihan Strategi Pembelajaran
Pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan
kemampuan baru. Ketika kita berpikir informasi dan kemampuan apa yang harus
dimiliki oleh siswa maka pada saat itu juga kita semestinya berpikir strategi apa
yang harus dilakukan agar semua itu dapat tercapai secara efektif dan efisien.Ini
sangat penting untuk dipahami, sebab apa yang harus dicapai akan menentukan
bagaimana cara mencapainya. Oleh karena itu, sebelum menentukan strategi
pembelajaran yang dapat beberapa digunakan, ada beberapa pertimbangan yang
harus diperhatikan.
a. pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai.
b. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran;
c. Pertimbangan dari sudut siswa.
d. Pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan bahan pertimbangan dalam
menetapkan strategi yang ingin diterapkan. Misalkan untuk mencapai tujuan yang
berhubungan dengan aspek kognitif, akan memiliki strategi yang berbeda dengan
upaya untuk mencapai tujuan efektif atau psikomotor. Demikian juga halnya,
untuk mempelajari bahasan pelajaran yang bersifat fakta akan berbeda dengan
mempelajari bahan pembuktian suatu teori, dan lain sebagainya.
Istilah Terkait dalam Strategi Pembelajaran
Dikenal beberapa istilah dalam pembelajaran yang memiliki kemiripan
makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-
istilah yang membingungkan tersebut antara lain: pendekatan pembelajaran;
strategi pembelajaran; metode pembelajaran; teknik pembelajaran; taktik
pembelajaran; dan model pembelajaran. Berikut dipaparkan istilah-istilah
tersebut, dengan harapan dapat memberikan kejelasan maknanya.
Model Pembelajaran
Secara umum istilah "model" diartikan sebagai kerangka digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam pengertian lain, model juga
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
281
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda yang sesungguhnya, seperti
"globe" yang merupakan model dari bumi tempat kita hidup. Dalam istilah
selanjutnya, istilah model digunakan untuk menunjukkan pengertian yang
pertama sebagai kerangka konseptual. Atas dasar pemikiran tersebut, maka yang
dimaksud dengan "model belajar mengajar" adalah kerangka konseptual dan
prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar tertentu, berfungsi sebagai pedoman bagi perancang
pengajaran, serta para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
belajar mengajar. Dengan demikian, aktivitas belajar mengajar benar-benar
merupakan kegiatan bertujuan yang tersusun secara sistematis.
Dewey dalam Joyce dan Weil (1986) mendefinisikan model pembelajaran
sebagai "a plan or pattem that we can use to design face to face teaching in the
classroom or tutorial setting and to shape instructional material" (suatu rencana
atau pola yang dapat kita gunakan untuk merancang tatap muka di kelas, atau
pembelajaran tambahan di luar kelas dan untuk menajamkan materi pengajaran).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa:
a. model pembelajaran merupakan kerangka dasar pembelajaran yang dapat diisi
oleh beragam muatan mata pelajaran, sesuai dengan karakteristik kerangka
dasarnya;
b. model pembelajaran dapat muncul dalam beragam bentuk dan variasinya
sesuai dengan landasan filosofis dan pedagogis yang melatar belakanginya.
Arends (1997) menyatakan "the term teaching model refers to a particular
approach to instruction that includes its goals, syntax, environment, and
management system" (istilah model pengajaran mengarah pada suatu
pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungan,
dan sistem pengelolaannya). Dengan demikan, maka model pembelajaran
mempunyai makna yang lebih luas daripada pendekatan, strategi, metode atau
prosedur. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang
Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang membedakan dengan
sstrategi, metode, atau prosedur (Kardi dan Nur, 2000). Ciri-ciri tersebut adalah:
Rasional teoritis logos yang disusun oleh para pencipta atau
pengembanganya.
Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (tujuan
pembelajaran yang akan dicapai).
Tingkah laku pembelajaran yang diperlukan agar model tersebut dapat
dilaksanakan dengan berhasil.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
282
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat
tercapai.
Adapun perbedaan strategi dengan metode pembelajaran adalah bahwa
strategi mengajar bisa berarti rencana, cara dan upaya tertentu khususnyayang
dibuat dan digunakan oleh guru untuk memandu, mengarahkan dan menunjukan
jalan kepada peserta didiknya untuk merealisasikan seperangkat tujuan belajar
mengajar atau pembelajaran. Hal ini menunjukan kepada E. Stones dan S. Morris
yang menyebutkan bahwa strategi belajar mengajar adalah sebuah rencana
umum untuk suatu pelajaran yang meliputi struktur, prilaku peserta didik yang
diharapkan berkenaan dengan tujuan pembelajaran, dan sebuah garis besar
rencana taktik diperlukan untuk melaksanakan strategi tersebut .
Istilah strategi mengajar kadangkala dibingungkan dengan istilah metode
mengajar. Setiap metode yang kita gunakan selalu dipilih dan diarahkan seefektif
mungkin untuk melayani tujuan kita dalam menghadirkan mata ajar. Setiap
metode yang digunakan selalu menunjukan suatu cara tertentu untuk menyajikan
muatan/konten tertentu dari sebuah kurikulum mata ajar. Sebaliknya, strategi
dipilih dan digunakan tidak hanya untuk penyajian yang efekif dari bahan ajar
tertentu, melainkan untuk merealisasikan tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan sebelumnya pula. Dalam hal inin strategi memiliki makna yang lebih
komprehensip dalam ruang lingkupnya dan strukturnya dibandingkan dengan
suatu metode.
Jenis model pembelajaran
Bruce Joyce dan Marsha Weil dalam Dedi Supriawan dan A. Benyamin
Surasega (1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran.
a. Model proses informasi
Teori belajar oleh Gagne (1988) disebut dengan informasi processing
learning theory. Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di
dalam otak manusia di saat memproses suatu informasi. Menurut Gagne,
dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian
diolah sehingga menghailkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam
proses informasi, terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif
yang terjadi dalam individu. Sedangkan eksternal yaitu rangsangan dari
lingkungan yang memengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
283
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran tersebut meliputi
delapan fase yaitu: motivasi, pemahaman, pemerolehan , penyimpanan,
ingatan kembali, generalisasi, perlakuan dan umpan balik.
Kelompok model ini menekankan peserta didik agar memilih
kemampuan untuk memproses informasi sehingga peserta didik yang
berhasil dalam belajar adalah yang memiliki kemampuan dalam memproses
informasi. Terdapat 7 model pembelajaran:
a. Pencapaian konsep (concept attainment)
b. Berfikir induktif (inductive thiking)
c. Latihan peneitian (inquiry training)
d. Pemandu awal (advance organizer)
e. Memorisasi (memorization)
f. Pengembangan intelek (developing intelect)
g. Penelitian ilmiah (scientic inquiry)
b. Model personal
Pengunaan model-model pembelajaran dalam rumpun personal ini
lebih memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha
menggalakan kemandirian yang produktif sehingga manusia mendaji semakin
sadar diri dan beranggung jawab atas tujuannya. Menurut Carl Roger,
manusia dilahirkan dengan potensi menuju/mengejar kesempurnaan. Bahan
pembelajaran yang bermakna dan selaras dengan tujuan pembeljaran akan
mendorong peserta didik ikut aktif dalam proses pembelajaran, dan
dianggapnya seagai pembelajaran yang berkesan. Penilaian yang dilakukan
atas dasar pemikiran refleksi pserta didik lebih baik daripada penilaian yang
dilakukan oleh orang lain.
Dalam rumpunan model personal ini terdapat 4 model pembelajaran
yaitu: a. pengajaran tanpa arahan (non directive teaching), b. Model sinektik
(synectics model), c. Latihan kesadaran (awarness training), d. Pertemuan
kelas (classroom meeting).
c. Model interaksi sosial
Model interaksi sosial pada hakikatnya bertolak dari pemikiran
pentingnya hubungan pribadi (interprsonal relationship)dan hubungan sosial
atau hubungan individu dengan lingkungan sisialnya. Langkah yang ditempuh
guru dalam model ini adalah: 1) guru mengemukakan masalah dalam bentuk
situasi sosial kepada peserta didik, 2) peserta didik dalam bimbingan guru
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
284
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menelusuri berbagai macam masalah yang terdapat dalam situasi tersbut, 3)
peserta didik diberi tugas atau permasalahan yang berkenaan dengan situasi
tersebut untuk dipecahkan, dianalisis, dan dikerjakan, 4) dalam memecahkan
masalah belajar tersebut peserta didik dimnta untuk mendiskusikannya, 5)
peserta didik membuat kesimpulan dari hasil diskusinya, 6) membahas
kembali hasil-hasil kegiatannya.
Model interaksi dapat digunakan antara lain dengan menggunakan
metode sosiodrama atau bermain peran (role playing). Penggunaan rumpun
model interaksi sosial ini menitikberatkan pada pengembangan kemampuan
kerjasama dari pserta didik. Ada dua asumsi pokok model pembelajaran
rumpun interaksi sosial yaitu: a) masalah-masalah sosial diidentifikasikan dan
dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh
di dalam dan dengan menggunakan proses-proses sosial, b) proses sosial
yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan
masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara buid-in dan terus menerus.
Dalam rumpunan model interaksi sosial terdapat 5 model
pembelajaran, yaitu:
a. Investigasi kelompok (group investigation)
b. Bermain peran (role playing)
c. Penelitian yurisprudensial (Jurisprudential inquiry)
d. Latihan laboratoris (laboratory training)
e. Penelitian ilmu sosial
d. Model sistem prilaku (behavior)
Model ini menekankan bahwa perubahan prilaku yang tampak dari
peserta didik, sehingga konsisten dengan konsep dirinya. Model behavior
menekankan bahwa tugas-tugas yang harus diberikan dalam suatu rangkaian
kecil, beurutan, dan mengandung perilaku tertentu. Ada empat modl
modifikasi tingkah laku ini, yaitu:
1. Fase mesin pengajaran
2. Penggunaan media
3. Pengajaran berprogram (linier dan branching)
4. Operant conditioning dan operant reinforcement
Implementasi dari model modifikasi tingkah laku ini adalah
meningkatkan ketelitian pengucapan pada anak, guru selalu perhatian
terhadap tingkah laku belajar peserta didik, modifikasi tingkah laku peserta
didik yang kemampuan belajarnya rendah dengan reward sebagai
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
285
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
reinforcement pendukug, penerapan prinsip pembelajaran indvidual dalam
pembelajaran klasikal. Dalam rumpun model sistem perilaku ini terdapat 5
model pembelajaran, yaitu:
a. Belajar tuntas (mastery learning)
b. Pembelajaran langsung (direct intruction)
c. Belajar kontrol diri (larning self control)
d. Latihan pengembangan keterampilan dan konsep (training for skill and
development)
e. Latihan ssertif (assertive training)
Pendekatan Pembelajaran
Istilah pendekatan berasal dari bahasa inggris, approach , yang memiliki
beberapa arti, diantaranya diartikan dengan pendekatan . Dalam dunia
pengajaran , kata approach lebih tepat diartikan a way of begining something
(cara memulai sesuai). Oleh karena itu istilah pendekatan dapat diartikan sebagai
cara memulai pembelajaran . Gladene Robertson dan Hellmut Lang (1984: 5).
Menurutnya, pendekatan pembelajaran dapat dimaknai menjadi 2 pengertian,
yaitu pendekatan pembelajaran sebagai dokumen tetap, dan pendekatan
pembelajaran sebagai bahan kajian yang terus berkembang. Hal tersebut berguna
untuk: 1) mendukung kelancaran guru dalam proses pembelajaran, 2) membantu
para guru mnjabarkan kurikulum dalam praktik pembelajaran dikelas, 3) sebagai
panduan bagi guru dalam menghadapi perubahan kurikulum, 4) sebagai bahan
masukan bagi para penyusun kurikulum untuk mendesain kurikulum dan
pembelajaran yang terintegrasi.
Menurut Philip R. Wallace (1992: 13) pendekatan pembelajaran dibedakan
menjadi 2 bagian yaitu, penekatan konservatif (conservative approaches) dan
pendekatan liberal (liberal approach). Pendekatan konservatif memandang
bahwa proses pembelajaran yang dilakukan sebagaimana umumnya guru
mengajarkan materi kepada siswanya, sedangkan pendekatan liberal adalah
pendekatan pembelajaran yang memberi kesempatan luas kepada siswa untuk
mengembangan strategi dan keterampilan belajarnya sendiri.
Metode Pembelajaran
Menurut J.R David dalam Teaching strategises for college class room(1976)
ialah a way in achieving something (cara untuk mencapai sesuatu). Metode
digunakan oleh guru untuk mengkreasi lingkungan belajar dan mengkhususkan
aktivitas dimana guru dan siswa terlibat selama proses pembelajaran berlangsung.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
286
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Biasanya metode digunakan melalui salah satu strategi, tetapi juga tidak tertutup
kemungkinan beberapa metode berada dalam strategi yang bervaiasi, artinya
penetapan metode dapat divariasikan melalui strategi yang berada tergantung
pada tujuan yang akan dicapai dan konten proses yang akan dilakukan dalam
kegatan pembelajaran.
Teknik Pembelajaran
Metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran.
Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang
dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.
Misalkan penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang
relative banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan
berbeda dengan pengunaan metode ceramah dalam kelas yang jumlah siswanya
terbatas. Demikian pula dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan
teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang
siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik,
meskipun dalam koridor metode yang sama.
Keterampilan merupakan perilaku pembelajaran yang sangat spesifik. Di
dalamnya terdapat teknik-teknik pembelajaran seperti teknik bertanya, diskusi,
pembelajaran langsung, teknik menjelaskan, dan mendemonstrasikan. Dalam
keterampilan-keterampilan ini juga mencakup kegiatan perencanaan yang
dikembangkan guru, struktur dan focus pembelajaran, serta pengelolaan
pembelajaran.
Taktik Pembelajaran
Taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan
metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalnya,
terdapat dua orang yang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi
mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam
penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena
memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi
kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu
elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang tersebut. Dalam gaya
pembelajaran, akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru. Hal
ini sesuai dengan kemampuan, pengalaman, dan tipe kepribadian guru yang
bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekaligus
juga seni (kiat).
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
287
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik, dan bahkan taktik
pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh, maka
terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model
pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar
dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain
model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu
pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu strategi
pembelajaran yang diterapkan guru akan tergantung pada pendekatan yang
digunakan, sedangkan bagaimana menrapkan strategi itu dapat ditetapkan
melalui berbagai metode pembelajaran. Dalam upaya menjalankan metode
pembelajaran, guru dapat menentukan teknik yang dianggapnya relevan dengan
metode, dan penggunaan teknik itu setiap guru memiliki taktik yang mungkin
berbeda antara guru yang satu dengan guru yang lain.
Keterhubungan dan wilayah kajian antara model pembelajaran, strategi,
metode, dan teknik/keterampilan mengajar dapat dilihat pada gambar 2 berikut.
Gambar 2. Skema istilah-istilah dalam pembelajaran
Sasaran Kegiatan Pembelajaran
Setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan
itu bertahap dan berjenjang, mulai dari yang sangat oprasional dan konkret yakni
tujuan pembelajaran khusus, tujuan pembelajaran umum, tujuan kulikuler, dan
tujuan nasional sampai pada tujuan yang bersifat universal. Persepsi anak didik
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
288
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengenai sasaran akhir kegiatan belajara mengajar akan mempengaruhi persepsi
mereka terhadap sasaran antara dan saasaran kegiatan . Sasaran itu harus
diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan.
Belajar mengajar sebagai suatu sistem instruksional mengacu kepada
pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain
untuk mencapai tujuan. Sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputi sejumlah
komponen, antara lain; tujuan pembelajaran; bahan ajar; siswa yang menerima
pelayanan belajar; guru; metode dan pendekatan; situasi; dan evaluasi kemajuan
belajar. Agar tujuan itu dapat tercapai, semua komponen yang ada harus
diorganisasikan dengan baik sehingga diantara komponen itu terjadi kerja sama.
Secara khusus, dalam proes belajar mengajar guru berperan sebagai
pengajar, pembimbing, perantara sekolah dengan masyarakat, administrator, dan
lain-lain. Untuk itu, wajar bila guru memahami dengan segenap aspek pribadi
anak didik seperti: 1) kecerdasan dan bakat khusus; 2) prestasi sejak permulaan
sekolah; 3) perkembangan jasmani dan kesehatan; 4) kecenderungan emosi dan
karakternya; 5) sikap dan minat belajar; 6) cita-cita; 7) kebiasaan belajar dan
bekerja; 8) hobi dan pengguanaan waktu senggang; 9) hubungan sosial di sekolah
dan di rumah; 10) latar belakang keluarga; 11) lingkungan tempat tinggal; 12)
sifat-sifat khusus dan kesulitan belajar anak didik.
Usaha untuk memahami anak didik bisa dilakukan melalui evaluasi, selain
itu guru mempunyai keharusan melaporkan perkembangan hasil belajar para
siswa kepada kepala sekolah, orang tua serta instansi yang terkait.
Tahapan Kegiatan Pembelajaran
Instruction pembelajaran merupakan akumulasi dari konsep mengajar dan
konsep belajar. Stressing-nya terletak pada perpaduan diantara keduanya, yakni
penumbuhan aktivitas subjek didik. Konsep tersebut dapat dipandang sebagai
suatu sistem, sehingga dalam kegiatan belajar engajar terdapat komponen-
komponen siswa/ peserta didik, tujuan materi, fasilitas dan prosedur, serta alat
atau media yang dipergunakan. Davis (1974:30) mengemukakan bahwa sistem
belajar menyangkut pengorganisasian dari perpaduan antara manusia,
pengalaman belajar, fasilitas, pemeliharaan atau pengontrolan, dan prosedur
yang mengatur interkasiperilaku pembelajaan untuk mencapai tujuan. Hal ini
serupa dengan sistem mengajar yang terdiri dari komponen-komponen mengajar,
yaitu perencanaan mengajar, bahan ajar, tujuan, materi, metode, penilaian, dan
langkah-langkah mengajar akan berhubungan dengan aktivitas belajar untuk
mencapai tujuan.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
289
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Secara umum ada 3 pokok dalam strategi pembelajaran, yakni tahap
pemulaan (prainstruksional) tahap pengajaran (instruksional), tahap penialaian,
dan tahap tindak lanjut. Ketiga tahapan ini harus ditempuh pada setiap saat
melaksanakan pengajaran. Jika satu tahapan tersebut ditinggalkan, maka
sebenarnya tidak dapat dikatakan telah terjadi proses pengajaran.
1. Tahap Pra-intruksional
Tahap praintruksional adalah tahapan yang ditempuh guru pada saat ia
memulai proses belajar mengajar. Berikut ini merupakan beberapa kegiatan
yang dapat dilakukan oleh guru atau oleh siswa pada tahapan praistruksional.
a. Guru menanyakan kehadiran siswa dan mencatat yang tidak hadir.
Kehadian siswa dalam pengajaran, dapat dijadikan salah satu tolok ukur
kemampuan guru dalam mengajar.
b. Bertanya kepada siswa sampai dimana pembahasan pelajaran sebelumnya.
c. Mengajukan pertanyaan kepada siswa tertentu tentang bahan pelajaran
yang sudah diberikan sebelumnya.
d. Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya.
e. Mengulang kembali bahan pelajaran yang lalu secara singkat.
Tujuan tahapan ini adalah mengungkapkan kembali tanggapan siswa
terhadap bahan yang telah diterimanya, dan menumbuhkan kondisi belajar
dalam hubungannya dengan pelajaran hari itu. Tahap prainstruksional dalam
strategi mengajar mirip dengan kegiatan pemanasan dalam olah raga. Kegiatan
ini akan memengaruhi keberhasilan siswa.
2. Tahap Instruksional
Tahap kedua adalah tahap pengajaran atau inti, yakni tahapan
memberikan bahan pelajaran yang telah disusun guru sebelumnya. Secara
umum dapat dididentiifikasi beberapa kegiatan dalam tahap ini atau
pengajaran seperti di bawah ini.
a. Menjelaskan tujuan pengajaran yang harus dicapai siswa.
b. Menuliskan pokok materi yang akan dibahas.
c. Membahas pokok materi yang telah dituliskan
d. Memberikan contoh-contoh konkret pada setiap pokok materi yang dibahas.
e. Penggunaan alat bantu pengajaran untuk memperjelas pembahasan.
f. Menyimpulkan hasil pembahasan dari pokok materi.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
290
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut
Tahap yang ketiga adalah tahap evaluasi atau penilaian dan tindak lanjut
dalam kegiatan pembelajaran. Tujuan tahapan ini ialah untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dari tahapan kedua (instruksional).
Ketiga tahap yang telah dibahas di atas merupakan satu rangkaian kegiatan
yang terpadu dan tidak terpisahkan satu sama lain. Guru dituntut untuk mampu
dan dapat mengatur waktu serta kegiatan secara fleksibel, sehingga ketiga
rangakaian tersebut diterima oleh siswa secara utuh. Di sinilah letak keterampilan
professional dan seorang guru dalam melaksakan strategi mengajar.
Sementara itu, Meier (2002:103) berpendapat bahwa kegiatan
pembelajaran pada hakikatnya mempunyai 4 unsur, yakni: persiapan;
penyampaian; pelatihan; dan penampilan hasil.
a. Tahap Persiapan
Persiapan pembelajaran berkaitan dengan kegiatan mempersiapkan
peserta didik untuk belajar. Hal ini sangat urgrn seperti halnya
memepersiapkan tanah untuk ditanami benih. Jika hal ini dilakukan dengan
benar, niscahya akan menciptakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan yang
sehat. Demikian pula halnya dengan pembelajaran, jika persiapan dilakukan
dengan matang sesuai dengan karakteristik kebutuhan, materi, metode,
pendekatan, lingkungan serta kemampuan guru, maka hasilnya diasumsikan
akan maksimal. Untuk membantu mempersiapkan orang mendapatkan
pengalaman belajar yang optimal, diperlukan lingkungan kerja sama sejak awal.
b. Penyampaian
Tahap ini merupakan inti dari poses kegiatan pembelajaran, dimana guru
melakukan proses telling, showing dan doing. Kegiatan presentasi adalah
pertemuan antara guru dengan peserta didik untuk menyampaikan pesan/
materi dalam kegiatan pembelajaran. Proses tersebut sangat diperlukan untuk
meningkatkan daya serap dan daya ingat peserta didik tentang pelajaran yang
mereka dapatkan. Sedangkan tujuan tahap penyampaian adalah membantu
peserta didik untuk belajar mengemukakan materi belajar dengan cara
menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan pancaindra, dan cocok untuk
semua gaya belajar.
c. Latihan
Latihan adalah suatui proses untuk memberikan kesempatan kepada
siswa mempraktikan apa yang telah mereka pahami. Dalam tahap in ilah
pembelajaran yang sebenarnya berlangsung. Tujuan dari tahap ini adalah
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
291
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk membantu peserta didik belajar mengintegrasikan dan menyerap
pengetahuan dengan berbagai cara.
d. Penampilan
Aktivitas belajar adalah proses mengubah pengalaman menjadi
pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman menjadi
kearifan, kerifan menjadi tindakan. Tujuan pembelajaran dalam tahap
penampilan ini adalah membantu peserta didik untuk belajar menerapkan dan
memperluas pengetahuan baru sehingga penampilan hasil akan terus melekat
dan meningkat.
Apakah mengajar sebagai proses menanamkan pengetahuan dalam abad
teknologi sekarang ini masih berlaku? Bagaimana seandainya pengajar (guru)
tidak berhasil menanamkan pengetahuan kepada orang yang diajarnya masih juga
dianggap orang tersebut telah mengajar? Lalu, kalau begitu apa kriteria
keberhasilan mengajar? Apakah mengajar hanya ditentukan oleh seberapa besar
pengetahuan yang telah disampaikan?Pandangan mengajar yang hanya sebatas
menyampaikan ilmu pengetahuan itu, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan.
Mengapa demikian? Minimal ada tiga alasan penting. A1asan inilah yang
kemudian menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar, dari
mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada mengajar
sebagai proses mengatur lingkungan. Pertama, siswa bukan orang dewasa datam
bentuk mini, tetapi mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Agar
mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang
dewasa yang dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan
berkembang secara optimal. Oleh karena itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya teknologi informasi yang memungkinkan setiap siswa dapat
dengan mudah mendapatkan berbagai informasi, tugas, dan tanggung jawab guru
bukan semakin sempit namun justru semakin kompleks. Guru bukan saja dituntut
untuk lebih aktif mencari informasi yang dibutuhkan, akan tetapi ia juga harus
mampu menyeleksi berbagai informasi, sehingga dapat menunjukkan pada siswa
informasi yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru inarus
menjaga siswa agar tidak terpengaruh oleh berbagai informasi yang dapat
menyesatkan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Karena
itu, kemaj uan teknologi menuntut perubahan peran guru. Guru tidak lagi
memosisikan diri sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi,
tetapi harus berperan sebagaipengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan siswa
itu sendiri.Kedua,-ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderunan setiap
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
292
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya
perkembangan ilmu biologi, ilmu ekonomi,hukum, dan lain sebagainya. Apa yang
dulu tidak pernah terbayangkan, sekarang menjadi kenyataan. Datam bidang
teknologi, begitu hebatnya orang menciptakan bencia-benda mekanik yang
bukanhanya. Diam, tapi bergerak, bahkan bisa terbang menembus angkasa luar.
Demikian juga kehebatan para ahli yang bergerak datam bidang kesehatan yang
mampu mencangkok organ tubuh manusia sehingga menambah harapan hidup
manusia. Semua di batik kehebatan-ke-hebatan itu, bersumber dari apa yang kita
sebut sebagai pengetahuan. Abad pengetahuan itulah yang seharusnya menjadi
dasar perubahan. Bahwa belajar, tak hanya sekadar menghafal informasi,
menghafal rumus-rumus, tetapi bagaimana menggunakan informasidan
pengatahuan itu untuk mengasah kemampuan berpiki Ketiga, penemuan-
penemuan baru khususnya datam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman
baru terhadap konsep per-ubahan tingkah taku manusia. Dewasa ini, anggapan
manusia sebagai organisme yang pasif yang perilakunya dapat ditentukan oleh.
Menurut Gagne, tujuan menciptakan strategi sebelum mengembangkan
bahan ajar adalah untuk menjelaskan bagaimana kegiatan pembelajaran akan
berhubungan dengan pencapaian tujuan. Dick dan Carey menjelaskan empat
elemen strategi pembelajaran :
1. Rangkaian/keurutan dan pengelompokan konten
Langkah pertama dalam mengembangkan strategi pembelajaran adalah
membuat keputusan mengenai rangkaian/ urutan mengajar dan pengelompokan
konten yang merujuk pada keurutan tujuan. Cara terbaik untuk menentukan
urutan konten adalah mengacu pada analisis pembelajaran yang dibuat. Anda
biasanya akan mulai dengan keterampilan pada tingkat yang paling rendah di
sebalah kiri, dengan melalui hirarki hingga mencapai tujuan utama. Sebaiknya
sajikan informasi mengenai seluruh keterampilan yang diinginkan untuk dicapai
melalui proses pembelajaran, dari tingkatan yang paling rendah hingga paling
tinggi, dari kiri ke kanan.
Hal terpenting berikutnya yang menjadi pertimbangan Anda adalah
bagaimana Anda akan mengelompokkan kegiatan pembelajaran. Anda dapat
memutuskan untuk menyajikan informasi suatu tujuan pada satu waktu, atau
mengelompokkan beberapa tujuan pembelajaran yang saling berkaitan. Untuk
menentukan seberapa banyak atau sedikitnya pengajaran yang disajikan pada
waktu yang telah ditentukan, Dick dan Carey menyarankan untuk
mempertimbangkan faktor-faktor berikut ini : Tingkat usia para peserta didik;
Kompleksitas materi; Jenis pembelajaran yang berlangsung; Seberapa
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
293
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bervariasinya kegiatan pengajaran diberikan untuk dapat memusatkan perhatian
pada tugas; dan Jumlah waktu yang diperlukan untuk mencakup semua rangkaian
kegiatan pembelajaran untuk setiap cluster konten yang disajikan
2. komponen belajar
Dalam hal ini Dick dan Carey menyebutkan Sembilan Peristiwa dalam
Mengajar dari Gagne, yang merupakan serangkaian kegiatan eksternal mengajar
yang mendukung proses pembelajaran internal. Teori mengajar dari Gagne
memperkenalkan tiga komponen utamanya, yakni kategori belajar (domain),
kondisi pembelajaran, dan Sembilan peristiwa dalam mengajar.
Gagne percaya bahwa mengajar adalah serangkaian peristiwa eksternal
yang secara sadar/sengaja dirancang untuk mendukung proses pembelajaran
internal , dan perlu diperhatikan jenis kejadian/peristiwa apa yang dapat
memberikan dukungan tersebut. Oleh karena itu, untuk mengikat teori mengajar
secara bersamaan, ia merumuskan Sembilan peristiwa mengajar yang dibutuhkan
untuk semua proses pembelajaran dan hasil pembelajaran, dimana peristiwa ini
dimaksudkan untuk meningkatkan transfer pengetahuan atau informasi dari
persepsi melalui bagian tahapan ingatan/proses kognitif yang berlangsung di otak.
Daftar urutan peristiwa pembelajaran dari Gagne terdiri dari : a) mendapat
perhatian; b) menginformasikan tujuan pembelajaran kepada peserta didik; c)
rangsangan mengingat kembali sebelum belajar; d) menyajikan materi; e)
memberikan bimbingan belajar; f) memunculkan kinerja; g) memberikan umpan
balik mengenai ketetapan kinerja; h) menilai kinerja; i) meningkatkan retensi dan
transfer.
3. Pengelompokan peserta didik
Unsur berikutnya dari strategi pembelajaran adalah deskripsi tentang
bagaimana siswa akan dikelompokkan dalam pembelajaran. Hal-hal utama yang
perlu dipertimbangkan adalah apakah ada persyaratan untuk interaksi sosial yang
secara eksplisit dinyatakan pada tujuan, di lingkungan kinerja, dalam komponen
tertentu pembelajaran yang direncanakan, atau dalam pandangan pribadi Anda
sendiri. Pengelompokan siswa dapat menghambat pembelajaran individual, tetapi
pada saat yang sama mereka dapat memotivasi siswa dan menjaga minat belajar
mereka. Juga perlu diingat bahwa sistem menyampaikan pelajaran Anda dapat
memengaruhi jumlah kemungkinan interaksi sosial. Seperti yang kita ketahui
bahwa pembelajaran jarak jauh maupun pembelajaran berbasis computer sulit
untuk meningkatkan interaksi sosial antar siswa.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
294
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Pemilihan media dan sistem pengajaran
Menurut Gagne, pemilihan sistem penyampaian menunjukkan preferensi
umum untuk menekankan instrumen tertentu dalam mencapai peristiwa
pembelajaran. Dalam hal preferensi umum ini, agen khusus atau media dapat
diberikan, acara demi acara, dan tujuan demi tujuan untuk mencapai tujuan yang
dimaksud.
Keseluruhan sistem pengajaran meliputi segala sesuatu yang diperlukan
untuk memungkinkan sistem pembelajaran bisa dilaksanakan seperti yang
direncanakan. Beberapa contoh dari sistem penyampaian meliputi : penyampaian
kelas; kuliah; korespondensi; kaset video; video conference; berbasis computer;
dan berbasis web.
Setelah memilih sistem penyampaian, kemudian berbagai media dapat
dipilih untuk memberikan informasi dan peristiwa pengajaran Anda. Media
merupaka elemen fisik dilikungan belajar dengan apa peserta didik berinteraksi
untuk belajar sesuatu. Pemilihan media dilakukan sebagai bagian dari strategi
pembelajaran. Misalnya, dalam program jarak jauh, keputusan untuk
menggunakan sistem pengajaran berbasis web dibuat diawal.
Pemilihan sistem penyampaian umumnya dibuat pada bagian penyusunan
mata ajar atau tingkat kurikulum. Bagi kebanyakkan guru, sistem penyampaian
biasanya sudah tersedia, biasanya memberikan pengajaran diruang kelas. Namun,
cara yang ideal akan mendasarkan keputusan pada : tujuan pembelajaran,
karakteristik peserta didik, konteks kinerja, sasaran, dan persyaratan penilaian.
Dengan pemikiran ini, maka Anda harus memerhatikan pemilihan media untuk
menyampaian pengajaran. Media pembelajaran yang berbeda memiliki
kemampuan yang berbeda untuk menyediakan berbagai peristiwa pembelajaran.
Misalnya, sangat baik jika guru memberikan bimbingan belajar dan umpan baik,
namun rekaman video dapat digunakan secara efektif untuk menyajikan situasi
stimulus yang sulit bagi seorang guru untuk menghadirkan dalam cara lain
(misalnya tourAlaska).
Dick dan Carey membahas juga isu-isu yang perlu dipertimbangkan ketika
akan memilih dan menentukan media :
a. Pemilihan media untuk domain belajar; Pemilihan media untuk domain
belajar merupakan berbagai jenis media yang harus dipilih berdasarkan pada
jenis tujuan pembelajaran yang Anda pilih.
b. Pertimbangan lainnya dalam pemilihan media; Ketika memutuskan untuk
menggunakan media, Anda harus memastikan bahwa media yang dipilih
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
295
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tersebut tersedia pada lingkungan belajar. Jika Anda memilih media tertentu
untuk menyajikan informasi, Anda harus memastikan bahwa Anda mampu
menghasilkan bahan untuk media itu, atau memiliki akses kepada orang-
orang yang bisa menyediakannya, mungkin sebaiknya membatasi pilihan
terkait untuk apa jenis media yang Anda buat, atau menyisihkan waktu untuk
mempelajari produk yang dibutuhkan tersebut.
c. Kondisi belajar; Gagne percaya bahwa tujuan dari semua pembelajaran
adalah untuk memberikan peristiwa-peristiwa pembelajaran yang disebutkan
sebelumnya. Peristiwa ini dapat dilakukan oleh guru atau oleh bahan/
material sendiri, asalkan mereka berhasil dilakukan. Kondisi pembelajaran
adalah seperangkat faktor yang memengaruhi pembelajaran yang harus
diperhitungkan selama perancangan pembelajaran. Gagne membedakan
antara dua jenis kondisi; internal dan eksternal. Kondisi internal belajar
mengacu pada keadaan internal peserta didik dan proses kognitif. Kondisi
internal tersebut terdiri dari pengetahuan sebelumnya, seperti motivasi,
sikap, dan lainnya. Kognitif proses menagacu pad acara di mana belajar
berinteraksi dengan lingkungan mereka. Sementara kondisi eksternal
mengacu pada hal-hal yang terjadi dalam lingkungan belajar, termasuk
pengaturan dan waktu peristiwa stimulus. Teori Gagne mengusulkan bahwa
pembelajaran sebaiknya terjadi setiap saat dan sepanjang waktu, karena
peserta didik selalu terlibat dengan lingkungan mereka.
Menyusun Strategi
Menurut Dick dan Carey menciptakan strategi pembelajaran prosesnya
meliputi lima langkah :
1. Mengurutkan dan pengelompokan tujuan, Untuk memulainya, Anda harus
menunjukkan urutan tujuan dan bagaimana akan mengelompokkannya
dalam pembelajaran. Pertimbangan baik urutan san ukuran cluster yang
sesuai untuk rentang perhatian siswa, dan waktu yang tersedia untuk setiap
sesi. Tujukkan cluster, kemudian tujuan yang akan anda ajarkan pada setiap
cluster. Jika Anda sedang merancang sebuah pelajaran singkat, Anda
mungkin akan memiliki satu cluster. Namun masih mungkin memiliki
kelompok kecil tujuan yang ingin Anda bagi dengan kegiatan review dana tau
praktik.
2. Membuat rencana prapembelajaran, penilaian, dan kegiatan untuk setiap
unit. Setelah Anda memiliki urutan dan mengemlompokkannya, Anda harus
menunjukkan apa yang akan dilakukan berkaitan dengan kegiatan pra-
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
296
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pengajaran, penilaian, dan tindak lanjut kegiatan. Selama tahap ini, Anda juga
akan membuat keputusan tentang pengelompokkan siswa dan pemilihan
media. Dick dan Carey menyarankan agar Anda mengatasi masing-masing
pertimbangan dalam bentuk narasi dengan menggunakan judul berikut ini.
a) Kegiatan pra-pengajaran
Motivasi; Jelaskan bagaimana Anda akan mendapatkan perhatian
peserta didik dan mempertahankannya selama pembelajaran.
Tujuan; Jelaskan bagaimana Anda akan menginformasikan kepada
peserta didik tentang apa yang akan dapat mereka lakukan ketika
menyelesaikan pelajaran. Jelaskan mengapa hal ini penting bagi
peserta didik.
Pengelompokkan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimana
Anda akan mengelompokkan siswa untuk kegiatan pra-
pembelajaran (misalnya : individual, subkelompok, kecil, total
kelompok). Juga menggambarkan pemilihan media untuk kegiatan
ini (misalnya : ceramah langsung, rekaman video, cetak, web-based).
b) Penilaian
Pre test; Jelaskan bahwa Anda akan menguji perilaku awal dan apa yang
akan Anda lakukan jika seorang siswa tidak memilikinya. Jelaskan juga
apakah Anda akan menguji keterampilan yang akan diajarkan.
Praktik; Jelaskan bagaimana Anda akan menggunakan tes praktik dan
kegiatan latihan, serta dimana mereka akan ditempatkan dalam
pembelajaran.
Post test; Jelaskan kapan dan dimana post test akan diberikan.
Pengelompokkan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimana Anda
akan mengelompokkan siswa untuk kegiatan penilaian (misalnya:
individual, subkelompok kecil, total kelompok). Juga menggambarkan
pemilihan media untuk kegiatan ini (misalnya: kertas dan pensil,
pengembangan produk. Live performance, computer administered).
c) Kegiatan Lanjutan
Alat bantu ingatan; Jelaskan alat bantu memori apa pun yang akan
dikembangkan untuk memfasilitasi retensi informasi dan keterampilan.
Transfer; Gambarkan faktor khusus yang akan digunakan untuk
memfasilitasi transfer kinerja.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
297
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengelompokan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimana Anda
akan mengelompokkan siswa untuk kegiatan tindak lanjut (misalnya:
individual, subkelompok kecil, total kelompok). Juga menggambarkan
pemilihan media untuk kegiatan ini (misalnya: ceramah langsung,
rekaman video, cetak, web based).
3. Membuat rencana presentasi konten dan bagian partisipasi siswa untuk
setiap tujuan atau sekelompok tujuan
Untuk menunjukkan isi yang akan disajikan untuk setiap tujuan,
mulailah dengan membuat daftar tujuan (dan nomor) di bagian atas formulir.
Ada dua hal yang harus menjadi bagian utama.
a) Presentasi konten
Konten; Jelaskan muatan yang akan Anda sajikan untuk masing-
masing tujuan.
Contoh; Jelaskan beberapa contoh (dan non-contoh) yang akan
Anda sajikan untuk masing-masing tujuan. Pastikan mereka adalah
sesuai dengan tujuan.
Pengelompokan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimna
Anda akan mengelompokkan siswa dan pemilihan media untuk
kegiatan ini.
b) Partisipasi siswa
Item-item praktik; Jelaskan beberapa contoh latihan.
Umpan balik; Jelaskan umpan balik yang akan Anda berikan untuk
latihan praktik.
Pengelompokan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimana
siswa akan dikelompokkan dan pemilihan media untuk kegiatan ini.
4. Menetapkan tujuan untuk pelajaran dan memperkirakan waktu yang
dibutuhkan
Dalam langkah ini, Anda perlu meninjau urutan dan kelompok tujuan,
bersama dengan kegiatan pra-pembelajaran, penilaian, penyajian konten,
parsitipasi siswa, dan pengelompokan siswa serta pemilihan media;
menggunakan semua informasi ini, bersama dengan jangka waktu
keseluruhan unit pembelajaran Anda, kemudian menetapkan tujuan untuk
pelajaran individual. Dalam sebuah unit besar pembelajaran, pelajaran
pertama umumnya berisi kegiatan pra-pembelajaran, sedangkan yang
terakhir umumnya berisi penilaian dan/ atau kegiatan tidak lanjut. Pastikan
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
298
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menyertakan waktu untuk presentasi, review, dan kegiatan partisipasi. Jika
Anda hanya mengembangkan pelajaran tunggal, tentu saja langkah ini cukup
pendek, namun proses ini dapat dilakukan untuk unit pembelajaran yang
diperpanjang atau untuk semester-rencana jangka panjang.
5. Meninjau kembali strategi untuk mengonsilidasikan pemilihan media dan
mengonfirmasi atau memilih sistem penyampaian/pengajaran
Sebagaimana membuat strategi pembelajaran, Anda pun telah
mempertimbangkan media apa yang digunakan yang meliputi masing-masing
tujuan. Keputusan tersebut didasarkan pada domain pembelajaran, perilaku
dan kondisi yang dinyatakan dalam tujuan, serta konteks pembelajaran dan
kinerja. Dalam langkah terakhir ini, Anda harus meninjau strategi yang
digunakan untuk mengonsolidasikan pemilihan media dan memastikan
bahwa media tersebut sesuai dengan sistem penyampaian Anda. Lihat atas
semua pilihan Anda untuk melihat apakah ada pola atau media umum yang
sesuai dengan sistem penyampaian yang dipilih.
Perlu diingat bahwa Anda tidak harus menulis seluruh pelajaran dalam
strategi pembelajaran. Bagian-bagian harus singkat dan langsung ke intinya.
Tujuannya adalah untuk memikirkan keseluruhan pelajaran sebelum Anda
mengembangkan atau memilih pengajaran.
Kedua langkah pertama berhubungan dengan keseluruhan unit pengajaran
dan tidak untuk tujuan satu per satu pelajaran. Sementara kedua langkah
selanjutnya berhubungan dengan tujuan individu atau kelompok sasaran dalam
unit pembelajaran.
Dick dan Carey menggunakan istilah strategi pembelajaran untuk
menjelaskan mengenai langkah urutan proses dan pengaturan konten,
menentukan kegiatan belajar, dan memutuskan bagaimana menyampaikan
konten dan kegiatan. Beberapa fungsi dari strategi pembelajaran adalah :
a) sebagai ramuan untuk mengembangkan bahan ajar
b) sebagai seperangkat kriteria untuk mengevaluasi bahan ajar yang telah ada
c) sebagai seperangkat kriteria dan formula untuk merevisi bahan ajar yang ada
d) sebagai kerangka kerja untuk merencanakan catatan ceramah kelas, latihan
kelompok interaktif, dan penugasan pekerjaan rumah pengembangan
strategi pembelajaran ada pada tahap ke-enam dari desain system
instruksional yang dikembangkan oleh Dick dan Carey.
Perencanaan strategi pembelajaran adalah suatu bagian penting dari
keseluruhan proses rencana pembelajaran. Gagne menyebut langkah-langkah
perencanaan dan analisis sebagai arsitektur , sedangkan strategi pembelajaran
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
299
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
adalah batu bata dan adukan . Hal tersebut menunjukkan bagaimana guru
sebenernya mengajar siswa.
Ada beberapa macam Implementasi Strategi Pembelajaran, yakni:
Strategi Pembelajaran Berorientasi pada Aktivitas Siswa (PBAS)
Dalam standar proses pendidikan, pembelajaran didesain untuk
membelajarkan siswa. Artinya sistem pembelajaran menempatkan siswa sebagai
subjek belajar. Dengan kata lain, pembelajaran ditekankan atau berorientasi pada
aktivitas siswa (PBAS).
Ada beberapa asumsi perlunya pembelajaran berorientasi pada aktivitas
siswa. Pertama, asumsi fisiologis tentang pendidikan. Pendidikan merupakan
usaha sadar mengembangkan manusia menuju kedewasaan, baik kedewasaan
intelektual, sosial, maupun kedewasaan moral. Oleh karena itu, proses pendidikan
bukan hanya mengembangkan intelektual saja, tetapi mencakup seluruh potensi
yang dimiliki anak didik. Dengan demikian hakikat pendidikan pada dasarnya
adalah : (a) intelektul manusia; (b) pembinaan dan pengembangan potensi
manusia; (c) berlangsung sepanjang hayat; (d) kesesuaian dengan kemampuan
dan tingkat perkembangan siswa; (e) keseimbangan antara kebebasan subjek
didik dan kewibawaan guru; dan (f) peningkatan kualitas hidup manusia.
Kedua, asumsi tentang siswa sebagai subjek pendidikan, yaitu : (a) siswa
bukanlah manusia dalam ukuran mini, akan tetapi manusia yang sedang dalam
tahap perkembangan; (b) setiap manusia mempunyai kemampuan yang berbeda;
(c) anak didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif, dan dinamis dalam
menghadapi lingkungannya; (d) anak didik memiiki motivasi untuk memenuhi
kebutuhannya. Asumsi tersebut menggambarkan bahwa anak didik bukanlah
objek yang harus dijejali dengan informasi, tetapi mereka adalah subjek yang
memiliki potensi dan proses pembelajaran seharusnya diarahkan untuk
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak didik itu.
Ketiga, asumsi tentang guru adalah : (a) guru bertanggung jawab atas
tercapainya hasil belajar peserta didik; (b) guru memiliki kemampuan professional
dalam mengajar; (c) guru mempunyai kode etik keguruan; (d) guru memiliki peran
sebagai sumber belajar, pemimpin (organisator) dalam belajar yang
memungkinkan tercipta kondisi yang baik bagi siswa dalam belajar.
Keempat, asumsi yang berkaitan dengan proses pengajaran adalah : (a)
bahwa proses pengajaran direncanakan dan dilaksanakan sebagai suatu sistem; (b)
peristiwa belajar akan terjadi manakala anak didik berinteraksi dengan lingkungan
yang diatur oleh guru; (c) proses pengajaran akan lebih aktif apabila menggunakan
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
300
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
metode dan teknik yang tepat dan berdaya guna; (d) pengajaran memberi
tekanan kepada proses dan produk secara seimbang; (e) inti proses pengajaran
adalah adanya kegiatan belajar siswa secara optimal.
Strategi Pembelajaran Inkuiri
Strategi pembelajaran inkuiri (SPI) adalah rangkaian kegiatan pembelajaran
yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari
dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses
berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa.
strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic yang berasal
dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri.
Pertama strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal
untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inkuiri menempatkan siswa
sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan
sebagai penerima pelajaran untuk penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka
berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan
menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga
diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri self belief. Dengan demikian,
strategi pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar,
akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. Aktivitas pembelajaran
biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru proses dalam dan siswa. Oleh
sebab itu kemampuan guru menggunakan teknik bertanya merupakan syarat
utama dalam melakukan inkuiri.
Ketiga ,tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah
mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau
mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental.
Dengan demikian, dalam strategi pembelajaran inkuiri siswa tak hanya dituntut
agar menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat
menggunakan potensial yang dimilikinya. Manusia yang hanya menguasai
pelajaran belum tentu dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara
optimal; namun sebaliknya, siswa akan dapat mengembangkan kemampuan
berpikirnya manakala ia bisa menguasai materi pelajaran.
Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM)
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
301
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SPBM dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.T
terdapat 3 ciri utama SPBM. Pertama, SPBM merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran, artinya dalam implementasi SPBM ada sejumlah kegiatan yang
harus dilakukan siswa, yaitu aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah
data, dan akhirnya menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk
menyelesaikan masalah. menempatkan masalah. SPBM menempatkan masalah
sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak
mungkin ada proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan
menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan
metode ilmiah adalah proses berpikir seduktif dan induktif. Proses berpikir ini
dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah yang
dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu; sedangkan empiris artinya proses
penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
Untuk mengimplementasikan SPBM, guru perlu memilih bahan pelajyang
memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa
diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain misalnya dari peristiwa yang
terjadi di lingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari peristiwa
kemasyarakatan.
Hakikat masalah dalam SPBM adalah gap atau kesenjangan antara situasi
nyata dan kondisi yang diharapkan, atau antara kenyataan yang terjadi dengan
apa yang diharapkan. Kesenjangan tersebut bisa dirasakan dari adanya keresahan,
keluhan, kerisauan, atau kecemasan. Oleh karena itu, maka materi pelajaran atau
topik tidak terbatas pada materi pelajaran yang bersumber dari buku saja akan
tetapi juga dapat bersumber dari peristiwa-peristiwa tertentu sesuai dengan
kurikulum yang berlaku.
Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berfikir (SPPKB)
Model strategi pembelajaran peningkatan kemampuan befikir ( SKKPB )
adalah model pembelajaran yang bertumpu kepada pengembangan kemampuan
berfikir siswa melalui hasil telaahan fakta-fakta atau pengelaman anak sebgai
bahan untuk memecahkan masalah yang diajukan.
Terdapat beberapa hal yang terkandung dalam pengertian diatas. Pertama ,
SPPKB adalah model pembelajaran yang bertumpu pada pengembangan berfikir,
artinya tujuan yang ingin dicapai oleh SPPKB adalah bukan sekedar siswa dapat
menguasai sejumlah materi pelajaran. Akan tetapi bagaimana siswa dapat
mengembangkan gagasan-gagasan dan ide-ide melalui kemampuan berbahasa
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
302
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
secara verbal. Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa kemampuan berbicara
secara verbal merupakan salah satu kemampuan berfikir. Kedua, telaahan fakta-
fakta sosial atau pengalaman sosial merupakan dasar pengembangan kemampuan
berfikir, artinya pengembangan gagasan dan ide-ide didasarkan kepada
pengalaman sosial anak untuk mengdeskripsikan hasil pengamatan mereka
terhadap bebagai fakta dan data yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-
hari. Ketiga, sasaran akhir SPPKB adalah kemampuan anak untuk memecahkan
masalah –masalah sosial dengan taraf perkembangan anak.
Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK)
Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang
dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur penting dalam SPK, yaitu:
(1) adanya peserta dalam kelompok; (2) adanya aturan kelompok; (3) adanya
upaya belajar setiap anggota kelompok; dan (4) adanya tujuan yang harus dicapai.
Peserta adalah siswa yang melakukan proses pembelajaran da- lam setiap
kelompok belajar. Pengelompokan siswa bisa ditetapkan berdasarkan beberapa
pendekatan, di antaranya pengelompokan yang didasarkan atas minat dan bakat
siswa, pengelompokan yang didasarkan atas Iatar belakang kemampuan,
pengelompokan yang didasarkan atas campuran baik campuran ditinjau dari
minat mau- pun campuran ditinjau dari kemampuan. Pendekatan apa pun yang
digunakan, tujuan pembelajaran haruslah menjadi pertimbangan utama.
Aturan kelompok adalah segala sesuatu yang menjadi kesepakatan semua
pihak yang terlibat, baik siswa sebagai peserta didik, mlupnn siswa sebagai
anggota kelompok. Misalnya, aturan tentang pembagian tugas setiap anggota
kelompok, waktu dan tempat pelaksanaan, dan lain sebagainya.
Upaya belajar adalah segala aktivitas siswa untuk meningkatkan
kemampuannya yang telah dimiliki maupun meningkatkan kemampuan baru, baik
kemampuan dalam aspek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Aktivitas
pembelajaran tersebut dilakukan dalam kegiatan kelompok, sehingga
antarpeserta dapat saling membelajarkan melalui tukar pikiran, pengalaman,
maupun gagasan-gagasan. Aspek tujuan dimaksudkan untuk memberikan arah
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Melalui tujuan yang jelas, setiap anggota
kelompok dapat memahami sasaran setiap kegiatan belajar.
Salah satu strategi dari model pembelajaran kelompok adalah strategi
pembelajaran kooperatif (cooperative Learning) (SPK). SPK merupakan strategi
pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
303
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
para ahli pendidikan untuk di- gunakan. Slavin (1995) mengemukakan dua alasan,
penama, bebe- rapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan
pembelajaran kooperatif dapat meningkarkan prestasi belajar siswa sekaligus
dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap
menerima kekurangan diri dan orang lain, sena dapat me- ningkatkan harga diri.
Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam
belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan
dengan keterampilan. Dari dua alasan tersebut, maka pembelajaran kooperatif
merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran
yang selama ini memiliki kelemahan.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran de- ngan
menggunakan sistem pengelompokantim kecil, yairu antara empat sampai enam
orang yang mempunyai latar belakang ke- mampuan akademik, jenis kelamin, ras,
atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap
kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika
kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demi- kian,
setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif.
Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung
jawab individu terhadap kelompok dan ket:rampil:an interpersonal dari setiap
anggota kelompok. Setiap individu Jika" saling membantu. mereka akan
mempunyai motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan
memiliki kesempatan yan8 sama "ntuk memberikan kontribusi demi keberhasilan
kelompok.
SPK mempunyai dua komponen utama, yaitu komponen tugas kooperatit'
(cooperative task) dan komponen struktur insentif kooperatif (coopcnUive
incentive structure). Tugas kooperatif berkaitan dengan hal yang mcnyebabkan
anggota bekerja sama dalam menye- lesaikan tugas kelompok; sedangkan struktur
insentif kooperatif merupakan sesuatu yang membangkitkan motivasi individu
untuk bekerja sama mencapai tujuan kelompok. Struktur insentif dianggap
sebagai keunikan dari pembelajaran kooperatif, karena melalui struktur insentif
setiap anggota kelompok bekerja keras untuk be- lajar, mendorong dan
memotivasi anggota lain menguasai materi pelajaran, sehingga mencapai tujuan
kelompok.
Jadi, hal yang menarik dari SPK adalah adanya harapan selain memiliki
dampak pembelajaran, yaitu berupa peningkatan prestasi belajar peserta didik
(student achievement) juga mempunyai dampak pengiring seperti relasi sosial,
penerimaan terhadap peserta didik yang dianggap lemah, harga diri, norma
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
304
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
akademik, penghargaan terhadap waktu, dan suka memberi pertolongan pada
yang lain.
Kontekstual (CTL)
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami.
Pertama CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan
materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara
langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya
menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah
dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi
siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya datlam
kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami
materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat
mewarnai perilakunya dalarn kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam
konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi
sebagai beka mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
C. Penutup
Pekerjaan menjadi seorang guru, tidak semudah yang dikatakan. Karena
menjadi seorang guru harus mampu mengubah prilaku siswa sesuai dengan
tujuan yang diharapkan. Sehingga guru, di tuntut untuk memiliki suatu keahlian
tertentu dan dibedakan berdasarkan latar belakang pendidikannya. Begitu juga
halnya dengan mengajar, dimana mengajar merupakan pekerjaan professional,
sebab membutuhkan keterampilan khusus dalam perencanaan, serta
petimbangan-pertimbangan yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
305
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sehingga, Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, antara lain; kompetensi
pribadi, kompetensi Profesional, Kompetensi sosial, serta kompetensi pedagogik.
Untuk menghasilkan proses pembelajaran yang baik, maka seorang guru
hendaklah menguasai strategi pembelajaran dengan baik. Dimana strategi
pembelajara merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk
penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan
dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai tujuan tertentu, yakni tujuan
pembelajaran. Dimana konsep dasar strategi belajar mengajar meliputi : a)
penetapan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku, b) penentuan pilihan
berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengaja, c) pemilihan
prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar, dan d) penerapan norma dan
kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar.
Dalam pengimplementasian strategi pembelajaran yang baik, maka
hendaklah menguasai istilah dasar dari strategi pembelajaran yang meliputi : 1)
model pembelajaran. 2) pendekatan pembelajaran, 3) strategi pembelajaran, 4)
metode pembelajaran, 5) teknik pembelajaran, dan 6) taktik pembelajaran.
Sehingga harapan untuk menguasai kelas dengan baik serta harapan untuk
memberikan pembelajaran yang berkualitas sesuai dengan tujuan pembelajaran
akan tercapai.
D. Daftar Pustaka
Abdul Majid. (2016). Strategi Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Benny A. Pribadi. (2011). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta : PT Dian
Rakyat
B. Lena Nuryanti. (2009). 99 Model Pembelajaran. Bandung : Alfabeta
Bruce Joyce. (2011). Model Of Teaching. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Cucu Suhana. (2014). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung : Refika Aditama.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. (2013). Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
S. Nasution. (2009). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar.
Jakarta : PT Bumi Aksara.
Wina Sanjaya. (2016). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta : Kharisma Putra Utama
Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305
306
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
307
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV BAHASA DAN PENGEMBANGAN LITERASI
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
308
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi Dalalah (Makna) Ayat-ayat JIHAD
Muhbib Abdul Wahab
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab – FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Tulisan ini bertujuan menganalisis secara semantik redaksi dan konteks
ayat-ayat jihad dalam al-Qur an. Struktur ayat-ayat tentang jihad lalu
dimaknai secara kontekstual, terutama konteks jihad sosial. Dengan
pendekatan semantik ( ilm ad-dalâlah) dan linguistik teks ( ilm lughat
an-nashsh) tulisan ini juga menampilkan makna (dalâlah) jihad secara
lebih kontekstual, melalui aktualisasi visi profetik Nabi Saw. dalam
membangun dan mengembangkan masyarakat yang berkemajuan,
berkeadilan, dan berkeadaban. Tulisan ini menyimpulkan bahwa dalalah
ayat-ayat jihad dalam al-Quran itu tidak bisa direduksi maknanya hanya
sekadar qital (berperang), karena esensi dan etos jihad itu adalah
berupaya maksimal dalam berbagai aspek kehidupan sesuai kompetensi
dan kapabilitas Muslim. Pemimpin berjihad menegakkan keadilan,
ulama berjihad intelektual dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
demi kemanusiaan, pengusaha berjihad finansial dengan
kedermawanannya. Ahli hukum berjihad konstitusi dalam mewujudkan
sistem hukum yang berkeadilan. Setiap umat Muslim dapat berjihad
sosial sesuai dengan peran dan fungsi sosial masing-masing.
Kata Kunci: Dalalah Ayat-ayat Jihad, Teks dan Konteks, Tingkatan jihad,
Jihad multidimensi, Jihad Sosial
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
309
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan Teks ayat-ayat jihad di dalam al-Qur an sering dipahami secara keliru
(misunderstanding). Jihad diasosiasikan dengan siap mati syahid , dan mati
syahid itu digaransi masuk surga. Dengan kata lain, kalau ingin masuk surga, maka
salah satu tiketnya adalah mati syahid melalui jihad yang dimanifestasikan,
misalnya, dengan meledakkan bom. Dengan logika inilah, para teroris mendoktrin
para calon pengantin surga untuk melakukan bom bunuh diri, meledakkan bom
di tempat-tempat strategis yang diklaim sebagai sarang maksiat , para thaghut,
dan antek-antek Barat yang harus dihancurkan.
Menurut Dawam Rahardjo (1996, h. 525), jihâd merupakan doktrin Islam
yang berkedudukan sangat sentral. Jika saja rukun Islam itu ada enam, maka
rukun yang keenam setelah haji itu adalah jihad. Berbeda dengan Sunni, Syî`ah
[dan Khawârij] menempatkan jihad sebagai rukun Islam keenam mereka. Namun
demikian, jihâd seringkali dimaknai hanya sebagai sebuah bentuk perlawanan,
tindakan konfrontatif dan/atau perang suci, padahal misi profetik Nabi Saw.
adalah pembumian agama perdamaian dan kasih sayang, bukan kekerasan,
penindasan, terorisme, dan perang (QS. al-Anbiyâ [21]: 107). Dalam konteks ini,
salah satu identitas Islam, bahkan merupakan perintah Nabi, adalah sosialisai
salâm (ajaran perdamaian, penyelamatan, pembebasan): Assalâmu `alaikum
warahmatu Allah wa barakâtuhu. Paling tidak, bila seorang Muslim bertemu
dengan sesamanya, ucapan itu sangat dianjurkan untuk dijadikan sebagai sapaan
pembuka suasana dan wacana . Dalam ungkapan salam tersebut terdapat kata
rahmah yang mengandung arti kasih sayang, baik budi, murah hati,
menyenangkan orang lain, dan belas kasihan terhadap sesama. Penggunaan kata
rahmah berikut derivasinya dalam al-Qur an sangat sentral karena langsung
berkaitan dengan Nama/Sifat Allah: al-Rahmân dan al-Rahîm. Kata ini digunakan
al-Qur an tidak kurang dari 288 kali. Hal ini menunjukkan betapa konsep rahmat
dalam Islam mewarnai tampilan dan kepribadian Muslim. (Ali Audah, 1996, h.546-
550; Muhammad Fu`ad `Abd al-Bâqi, 1991).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim,
Nabi Saw bersabda berikut:
( . يل الله ثم حج م ل في س لله ثم لإي ب لأع ل م: أف س يه ى الله ع ي ص ل ق ) لشي
(Amal paling utama adalah beriman kepada Allah, berjihad di jalan Allah, dan haji
mabrur).
Sebagai ajaran sentral dalam Islam, jihâd sangat terkait dengan pluralitas
masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa jihad pada umumnya terjadi dan
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
310
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengambil bentuk dan momentum dalam masyarakat yang plural, karena
pluralitas sosial meniscayakan adanya keragaman kepentingan dan tujuan dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jihâd Ibrahim As., misalnya, tidak
hanya berhadapan dengan keluarga dan kaumnya sendiri yang politeis (musyrik),
melainkan juga menghadapi Namrud, penguasa diktator saat itu. Demikian pula
jihad Nabi Muhammad Saw.; tidak hanya melawan kaum pagan (musyrikin)
Mekkah, tetapi juga menghadapi penggembosan dan pengkhianatan dari
kalangan munafiq yang menyempal dari perang Uhud, dan Yahudi Madinah yang
sering menyalahi janji dan kontrak sosial dengan Nabi Muhammad Saw.
Dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, jihad selalu hadir dalam
spektrum sosial yang luas, plural dan multikultural, karena dalam pluralitas sosial
politik dan budaya itu dipastikan adanya keberbedaan dan keberagaman: tujuan
dan kepentingan, pendapat dan pandangan, keberpihakan, keyakinan,
keberagamaan, kesadaran, kebudayaan, keterlibatan dalam kemasyarakatan dan
sebagainya.
Artikel ini berupaya menjawab permasalahan: (1) Dalam konteks apa ayat-
ayat jihad dalam al-Qur an distrukturkan? (2) Bagaimana memaknai dan
mengontekstualisasi pesan-pesan ayat-ayat jihad sesuai dengan konteksnya?
Dengan pendekatan semantik ( ilm ad-dalâlah) dan linguistik teks ( ilm lughat an-
nashsh), artikel bertujuan menganalisis dan menampilkan makna (dalâlah) jihad
yang lebih kontekstual, sebangun dengan aktualisasi visi profetik Nabi Saw. dalam
membangun dan mengembangkan masyarakat yang berkemajuan, berkeadilan,
dan berkeadaban.
Kajian tentang ayat-ayat [dan hadits-hadits] jihad diinspirasi oleh fakta
sejarah bahwa semua Rasul yang mendakwahkan wahyu (ajaran) Allah –pada
awal karir profetiknya—umumnya disikapi oleh kaumnya dengan keangkuhan,
penolakan, dan penentangan, sehingga sikap tersebut tidak jarang melahirkan
kekerasan, bahkan konforntasi dan peperangan. Persoalannya, jika Islam yang
dibawa oleh Muhammad Saw. sebagai agama kasih sayang bagi semua diwarnai
oleh beberapa peperangan (baca: jihad ofensif), lalu apakah dakwah dan syiar
Islam itu berarti harus menggelorakan jihad dalam arti perang ofensif?
B. Pembahasan Memaknai Jihad
Dari segi bahasa, jihâd merupakan bentuk mashdar dari kata jâhada –
yujâhidu –mujâhadatan wa jihâdan yang berarti berjuang, bekerja keras (dan
cerdas), dan mengoptimalkan segenap daya dan potensi diri demi membela dan
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
311
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mempertahankan kebenaran. Jika ditelusuri akar katanya, jihâd berasal dari dua
bentuk kata, yaitu: (1) jahd, yang artinya kesukaran dan kesulitan (Ahmad ibn
Faris, 1981, h. 486), dan 2) juhd yang artinya kemampuan, kesungguhan dan kerja
keras (dan cerdas).(Ibn Manzhur, 1990, h. 132).
Secara semantik, jika kedua makna akar kata jihad itu dipadukan, maka
jihad secara bahasa dapat diartikan sebagai upaya mengerahkan segala
kemampuan dengan penuh kesungguhan dalam rangka menghadapi dan
mengatasi kesulitan, kesukaran dan tantangan. Dalam konteks ini, al-Ashfahâny
(w. 502) mendefinisikan jihad sebagai mengerahkan daya upaya untuk
menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak, seperti hawa
nafsu dan setan, dan musuh yang tampak, seperti orang kafir dan musyrik (Ar-
Râghib al-Ishfahâny, t.t, h.101). Dalam A Dictonary of Modern Written Arabic,
Hans Wehr (1980) menjelaskan bahwa Jihad: fight, battle, holy war (against the
infidles as a relegious duty) . Jihad ialah perjuangan, pertempuran, perang suci
melawan musuh-musuh sebagai kewajiban agama (Muhammad Chirzin, 2004,
h.11).
Oleh karena kata jihâd merupakan bentuk mashdar, tepatnya ism mashdar
dari kata jâhada yang menurut `ilm al-sharf mengandung arti musyârakah
(partisipasi, saling atau melibatkan pihak lain), maka sesungguhnya konsep dasar
jihad menghendaki adanya partisipasi sosial, kerjasama, pelibatan dan
keterlibatan pihak lain. Dengan kalimat lain, jihâd pada dasarnya lebih merupakan
konsep sosial, daripada konsep spiritual, meskipun dalam aplikasi dan
pelaksanaanya tidak dapat dipisahkan dari spiritualisasi diri. Oleh karena itu,
dapat dipahami mengapa perintah jihad dalam al-Qur an dikaitkan dengan bi
amwâlikum (dengan harta benda kalian), baru dengan bi anfusikum (dengan
jiwa/diri kalian). Menarik dicatat bahwa perintah jihad dalam al-Qur an tersebut
umumnya berbentuk jama` (plural)1, dan hal ini berarti bahwa jihad tidak hanya
berkonotasi sosial, melainkan juga harus bermuara pada kepentingan sosial Islam.
Jika dikaitkan dengan berbagai persoalan yang terjadi dan melanda bangsa
dewasa ini, seperti: kemikinan, pengangguran, kemiskinan, keterlantaran, kirisis
moral, berbagai tindak kriminalitas, dan sebagainya, maka jihad sosial bukan
hanya penting, melainkan juga relevan dengan tuntutan zaman. Signifikansi jihad
sosial terletak pada nilai dan semangat kebersamaan, gotong-royong, tolong-
menolong, peduli kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual yang oleh Allah dijanjikan
jalan keluarnya selama jihad itu benar-benar dilakukan di jalan-Nya. (Bachtiar
1 misalnya QS. al-Hajj [22]:78 dan al-Anfâl [8]: 72.
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
312
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Chamsah, 2002, h.5). Dengan demikian, jihad sosial merupakan upaya kolektif
yang bertujuan membumikan misi Islam dan mencari solusi berbagai persoalan
umat Islam dalam rangka peningkatan kualitas hidup bermasyarakat dan
berbangsa demi mengharapkan ridha-Nya. Jihad sosial adalah piranti lunak
umat Islam yang memberikan elan vital dalam menghadapi dan memberi solusi
multi-krisis. Jihad sosial dapat dikembangkan dan diaktualisasikan dalam rangka
untuk turut peduli dan terlibat dalam dinamika dan problematika umat Islam dan
bangsa.
Wacana Jihad dalam Islam
Wacana jihad tidak hanya diulas oleh al-Qur an, melainkan juga menjadi
salah satu bab (bahasan) dalam berbagai buku-buku hadits, seperti Shahîh al-
Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Nasâ’i dan sebagainya. Al-
Qur an sendiri menggunakan kata jihad dalam berbagai bentuknya tidak kurang
dari 41 kali. Beberapa literatur klasik juga secara khusus memberikan porsi
bahasan mengenai jihad. Pelaksanaan jihad itu sendiri sudah terjadi sejak Nabi
Adam As. ketika beliau mulai digoda oleh setan. Semua para Nabi dan Rasul juga
mengalami dan melakukan berbagai bentuk jihad dalam upaya mereka
menegakkan ajaran tauhid.
Nabi Muhammad Saw. sendiri mulai diseru oleh Allah untuk berjihad ketika
mengawali karir dakwahnya di Mekkah. Beberapa ayat yang turun di Mekkah
telah menginstruksikan berjihad kepada Nabi Saw. melawan orang-orang kafir
untuk membela diri dan agama (Quraish Sihab, 1996, h. 506). Perhatikanlah
misalnya ayat Makkiyah berikut: Maka janganlah kamu [Muhammad] mengikuti
orang-orang kafir, dan berjihadlah melawan mereka dengan al-Qur’an dengan
jihad yang besar. (QS. al-Furqân [25]: 52). Bahkan beberapa hadis Nabi juga
menyatakan pentingnya jihad sebagai cara taktis atau strategis dalam
menegakkan kebenaran. Misalnya, sabda Nabi: Mujahid adalah orang yang
mengerahkan dirinya dalam rangka taat kepada Allah, sedangkan orang yang
hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Swt. (HR.
Ahmad). Oleh karena itu, jihad yang utama adalah menegakkan kebenaran dan
keadilan; dan jihad mengendalikan diri dan hawa nafsu lebih diutamakan daripada
jihad melawan musuh Islam (Hamdi Syalabi, 2002, h. 54). Dengan
memprioritaskan jihad terhadap diri sendiri, diniscayakan jihad sosial menjadi
implikasi lanjutannya.
Dalam konteks tersebut, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (2002, h. 9) tampaknya
mempunyai pendapat yang cukup menarik mengenai tingkatan dan kategorisasi
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
313
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jihad. Menurutnya, jihad itu ada empat tingkatan: jihâd al-nafs, jihâd al-syaithân,
jihâd al-Kuffâr, dan jihâd al-Munâfiqîn. Masing-masing jihad tersebut mempunyai
urutan dan tingkatan lagi.
Jihâd al-nafs (jihad menghadapi diri sendiri, hawa nafsu2) mempunyai
empat tingkatan. Pertama, berjuang untuk mempelajari petunjuk dan agama yang
benar (Islam). Jihad ini penting karena seseorang hanya akan mendapat
keberuntungan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dengan berpedoman
pada petunjuk agama. Kedua, berjuang untuk berusaha mengamalkan ilmu agama
yang telah diketahuinya. Perjuangan ini penting dilakukan agar ilmunya dapat
memberi manfaat bagi jalan hidupnya. Ketiga, berjuang untuk mendakwahkan
(menyampaikan) dan mengajarkan ilmunya itu kepada orang lain. Jika jihad ini
tidak dilaksanakan, maka yang bersangkutan tergolong orang yang
menyembunyikan kebenaran dan tidak akan terhindar dari murka dan siksa Allah.
Keempat, berjuang untuk bersabar dalam mengemban tugas besar dakwah,
karena dalam menyampaikan ajaran Islam dipastikan banyak rintangan yang
menghadang. Jika keempat tingkatan jihad tersebut dilaksa-nakan, berarti yang
bersangkutan tergolong rabbâniyyîn (orang-orang yang berjiwa/ bersifat
ketuhanan).
Sementara itu, jihad melawan setan ada dua tingkatan. Pertama, jihad
menolak syubhat dan keraguan dalam beriman yang dihembuskan oleh setan.
Kedua, jihad melawan keinginan jahat dan syahwat yang dibisikkan setan. Jihad
yang pertama akan membawa kepada keyakinan, sedangkan jihad yang kedua
akan membuahkan kesabaran. Dalam hal ini Allah berfirman: Dan Kami jadikan di
antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah
2 Hawa Nafsu erupaka kata pi ja a dari bahasa Arab: Hawâ al-
Nafs, yang artinya kepentingan atau keinginan pribadi. Dalam al-Qur a , kata afs , antara lain diartikan sebagai diri dan nafsu. Nafsu dijelaskan oleh al-Qur a
sebagai daya pe ggerak a usia u tuk berbuat kejahata . Fir a Allah: Dan
aku tidak dapat membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuha ku. Sesu gguh ya Tuha ku Maha Pe ga pu lagi Maha Pe yaya g. (QS. Yûsuf [12]: 53). Oleh karena itu, orang yang dapat mengendalikan nafsunya dan menyadari kebesaran Allah, ia memperoleh posisi yang baik di sisi Tuhan, yaitu Surga. Adapu ora g-orang yang takut kepada (menyadari dan
memahami) kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keingingan hawa
afsu ya, aka sesu gguh ya surgalah te pat ti ggal ya. (QS. al-Nâzi`ât [79]: 40-41).
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
314
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran), sedangkan mereka
meyakini ayat-ayat Kami. (QS. al-Sajdah [32]: 24).
Sedangkan jihad melawan orang kafir dan munafik harus dilakukan dengan
empat hal: hati (sikap), lisan (pernyataan, diplomasi), harta (ekonomi) dan diri
(kompetensi). Jihad melawan orang-orang kafir diutamakan dengan tangan
(kekuasaan dan kekuatan), sementara jihad melawan orang-orang munafiq
dilakukan dengan lisan (debat, diplomasi dan logika). Jihad dapat dilaksanakan
dengan baik jika dibarengi dengan semangat hijrah (melakukan peru-bahan) dan
iman yang tulus kepada Allah Swt. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2002, h. 10)
Wacana jihad dalam Islam terkait dengan konsep ijtihâd dan mujahâdah.
Karena itu, ijtihâd terkadang diidentikkan dengan al-jihâd al-fikri (perjuangan
intelektual), sedangkan mujâhadah diidentikkan dengan al-jihâd al-qalbi
(perjuangan spritual). Jika ijtihâd berorientasi pada upaya menjawab persoalan
dengan pemikiran dan konsep, maka mujâhadah merupakan upaya persoanal
yang bertujuan mengasah dan mena-jamkan kepekaan batin, kedekatan spiritual
manusia dengan Sang Khaliq.
Jihad sosial, sebagai sebuah wacana baru dalam kajian Islam, idealnya
didesain melalui proses ijtihâd kolektif mengenai persoalan umat yang mendesak
diselesaikan. Jika dewasa ini bangsa ini dilanda oleh berbagai krisis dan kemelut,
maka lembaga semacam MUI, Majlis Tarjih Muhammadiyah atau Lajnah Bahts al-
Masa`il NU dapat berperan melakukan ijtihâd kolektif dengan merumuskan
hakekat dan memberi solusi, misalnya saja, persoalan korupsi yang menjangkiti
para pejabat dan birokrat kita. Dari hasil ijtihâd kolektif ini rumusan-rumusan
konseptual dan operasional dapat ditindaklanjuti dalam bentuk jihad sosial,
bahwa setiap Muslim harus melawan tindakan korupsi yang dilakukan oleh
siapapun, dengan mulai mengevaluasi diri, diperkuat dengan mujâhadah, proses
spiritualisasi diri yang mendalam. Dengan demikian, wacana jihad sosial tidak
serta-merta mengambil bentuk aksi menentang dan melawan hawa nafsu
(kepentingan diri sendiri), kemunkaran dan kejahatan, melainkan juga harus
dimulai dari konseptualisasi visi, misi, orientasi dan strategi ajaran yang perlu
diterapkan dalam berjihad sosial.
Ragam Jihad dan Masyarakat Muslim Ideal
Jihad, yang oleh Barat sering diterjemahkan dengan Holy war , perang
suci, dan kemudian dikombinasikan dengan pemikiran Barat yang keliru tentang
Islam sebagai agama pedang (disebarluaskan dengan kekerasan dan perang),
jelas mengandung bias dan pemahaman yang sempit. Padahal, jihad mengandung
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
315
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konotasi batini dan spiritual yang tinggi. Karena kehidupan pada hakikatnya
mengimplikasikan gerak dan dinamika, maka untuk tetap berada dalam
keseimbangan, diperlukan upaya yang berkesinambungan, dengan melaksanakan
jihad batini pada setiap tahap kehidupan dalam menuju realitas Ilahi. Melalui
jihad batini, manusia spiritual mengakhiri semua mimpi, menuju realitas yang
merupakan sumber semua realitas (Seyyed Hossein Nashr, 1994, h. 25-26). Jihad
merubah manusia spiritual menjadi manusia yang bersosial; artinya jihad sosial
diperlukan agar umat Islam tidak terjebak dalam spiritualitas-vertikal yang tidak
membawa implikasi sosial bagi harkat kemanusiaan.
Oleh karena visi profetik Nabi Muhammad Saw. berhasil dilaksanakan
melalui dakwah dan jihad, dan keberhasilan beliau itu membawa implikasi berupa
lahirnya masyarakat madani yang berkeadaban dan berkeadilan, maka jihad sosial
diyakini merupakan salah satu rahasia sukses tersebut. Mâjid Irsân al-Kailâni,
pakar pendidikan Islam asal Yordania, bahkan menyebut jihad sebagai teknologi
Islam yang memungkinkan pelaksanaan aksi dan produksi baik di waktu damai,
paceklik (sulit) maupun di saat perang. Jihad membuat visi dan misi Islam
teraktualisasi, yaitu: tegaknya kebenaran, keadilan dan kasih sayang, terlaksana
dengan baik (Mâjid Irsân al-Kailâni, 1992, h. 64).
Jihad sosial adalah jihad kolektif yang bertujuan tidak hanya menegakkan
kebenaran Islam, melainkan juga menciptakan rasa aman dan damai di kalangan
masyarakat plural: lintas-agama, lintas-budaya dan lintas-suku bangsa. Jihad sosial
dapat mengambil tiga bentuk aktualisasi, yaitu: al-jihâd al-tarbawy, al-jihâd al-
tanzhîmy, dan al-jihâd al-`askary. Pertama, al-jihâd al-tarbawy (jihad edukatif)
bertujuan untuk mensucikan diri manusia dari posisi tunduk kepada insting dan
hawa nafsu sesaat menuju manusia yang berposisi mampu mengaktualisasikan
diri (self actualization). Dengan kalimat lain, aktualisasi jihad tipe diorientasikan
kepada perubahan manusia yang berposisi asfala sâfilîn (rendah, hina dan tak
berdaya) menjadi ahsan taqwîm (berpenampilan baik, terhormat dan berdaya).
Jihad dalam bentuk pendidikan menghendaki adanya perencanaan dan program
yang terukur dan cermat, dan perlu memiliki institusi yang kredibel, tim ahli yang
terpercaya, sarana, prasarana dan media yang mendukung. Dalam konteks ini,
Nabi Saw. menyetarakan karya ulama dan darah syuhada (midâd al-ulamâ’ wa
dimâ’ al-syuhadâ’), sebagai pengakuan terhadap signifikansi jihad kependidikan
atau jihad intelektual.
Kedua, al-jihâd al-al-Tanzhîmi (jihad organisatoris/institusional). Jihad
model ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan dan mengorganisasikan potensi
umat Islam, baik materiil maupun mental-spiritual, dalam rangka aktualisasi visi
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
316
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan misi Islam. Jihad organisatoris dapat mengambil bentuk sebuah organisasi
sosial, lembaga pendidikan, pusat pengkajian dan penelitian, yayasan sosial dan
dakwah, dan sebagainya, yang bergerak dalam wilayah penegakan dan sosialisasi
ajaran Islam. Jihad model ini perlu dikelola dan dikembangkan berdasarkan
manajemen yang akuntebel, transparan dan bernilai sosial tinggi. Jihad model ini
akan dapat mengoptimalkan segenap potensi umat Islam dan dapat mengungguli
umat lain, selama dikelola dengan profesional dan berorientasi kepada kualitas
moral (seperti sabar). Dalam hal ini Allah berfirman: Jika ada dua puluh orang
yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh.
Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan
seribu orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang mengerti.
(QS. al-Anfâl [8]: 65). Ayat ini, meskipun konteksnya peperangan, mengisyaratkan
bahwa kualitas jihad yang terorganisir akan dapat mengungguli pihak lain yang
kuantitasnya jauh lebih besar.
Ketiga, al-jihâd al-`askari (jihad militer). Jihad ini bertujuan untuk bertindak
ofensif atau defensif dalam rangka mengatasi rintangan, gangguan dan agresi
yang dilakukan oleh pihak musuh, demi mempertahankan diri dan misi Islam.
Jihad model ini dilakukan, terutama jika kedua model jihad tersebut tidak
menampakkan hasil. Karena itu, penggunaan senjata, perlawanan fisik dan ofensif
atau defensif dalam Islam merupakan alternatif (terakhir) jika kedua jihad
tersebut dipandang tidak dapat merealisasikan misi Islam. Selama misi Islam
dapat terlaksana dengan kedua jihad di atas, jihad militer tidak dibenarkan,
karena berakibat timbulnya kekerasan dan pertumpahan darah.
Ketiga macam jihad tersebut dalam aplikasinya harus berada dalam suatu
sistem sosial atau masyarakat madani. Mâjid Irsân al-Kailâni dalam hal ini
menyatakan bahwa model ideal masyarakat Muslim, seperti halnya masyarakat
pada masa Nabi di Madinah, adalah masyarakat yang mempunyai enam
komponen pokok, yaitu: (1) individu-individu Mukmin, (2) Semangat hijrah, (3)
Jihâd dan Misi, (4) Memberikan akomodasi, (5) perlindungan, dan (6) Loyalitas
(Mâjid Irsân al-Kailâni, 1992, h. 37). Pendapat ini didasarkan pada firman Allah
sebagai berikut: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, dan orang-orang yang
memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada kaum muhajirin), mereka
itu satu sa a lai sali g eli du gi… (QS. al-Anfâl [8]: 72)
Komponen ideal masyarakat Muslim tersebut memperlihatkan kepada kita
bahwa kesatuan akidah (iman), kesamaan visi dan misi, semangat perubahan dan
perjuangan, solidaritas sosial dan komitmen untuk menegakkan kebenaran dan
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
317
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
keadilan merupakan prasyarat yang melandasi tegaknya sistem sosial yang
berkeadaban dan berkeadilan hukum. Karena itu, dapat diphami mengapa begitu
sampai di Madinah setelah berhijrah dari Mekkah, Nabi Saw langsung menyusun
kontrak sosial, berupa piagam Madinah yang mengatur tegaknya sistem sosial
masyarakat Madinah yang saat itu sangat plural.
Masyarakat Madinah, menurut Nurcholish Madjid (1998, h. 54), adalah
masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi.
Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing
warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan
berakhir dengan hasil berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum
(tegaknya sistem sosial yang menempatkan supremasi hukum) itu merupakan
pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam
kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan akan tegak karena hukum
dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain.
Oleh karena itu, agar vitalitas jihad sosial itu memberi implikasi positif bagi
umat manusia pada umumnya, Islam selain tetap mengakui adanya pluralitas
social (Dalam hal ini al-Qur’an sendiri menyebut dan mengakui berbagai
entitas agama dan suku-bangsa, seperti al-Yahûd, al-lazdîna Hâdû, Banî Isrâ’îl, al-
Nashâra, ahl al-Kitâb, al-lazdîna ûtû al-kitâb, al-shâbi’în, al-majûs, al-kuffâr, al-
musyrikûn, dan sebagainya), termasuk pluralisme agama, juga menyerukan
umatnya –yang oleh al-Qur an disebut sebagai khaira ummah, umat terbaik (QS.
Âlû `Imrân [3]: 110)— untuk tampil dengan peran dan kontribusi yang positif,
yaitu menyerukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan munkar, serta
mengharuskan beriman kepada Allah. Dengan prinsip al-amr bi al-ma`rûf wa al-
nahy `an al-munkar, cita dan citra masyarakat Muslim memang menjadi yang
terbaik, yang memberi manfaat dan kemaslahatan bagi orang lain. Karena itu,
Nabi Saw. bersabda: Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi
manfaat bagi orang lain (HR. al-Thabarani).
al-Amr bi al-ma`rûf wa al-nahy `an al-munkar dalam konteks jihad sosial
dalam Islam sebenarnya merupakan kebutuhan asasi manusia, baik individu
maupun masyarakat. Itu pula yang diperjuangkan setiap agama yang dibawa oleh
para rasul. Bila diterima bahwa semua agama yang dibawa oleh para rasul itu
Islam , maka perjuangan Islam yang dibutuhkan oleh semua umat yang
berakidah, tetapi tidak memberikan kebebasan dalam beraktivitas. Aktivitas harus
manusiawi, menjunjung hak asasi manusia secara proporsional (Muhammad
Zuhri, 1999, h. 39). Jadi, jihad sosial mempunyai signifikansi yang berarti, tidak
saja karena posisinya sebagai bagian dari ciri ideal masyarakat madani, melainkan
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
318
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
juga karena tegaknya umat terbaik yang mengagendakan al-amr bi al-ma`rûf wa
al-nahy `an al-munkar sangat ditentukan oleh jihad sosial itu sendiri.
Jihad Sosial dan Pluralitas Sebagai Hukum Sosial Tuhan
Jika ayat-ayat Allah itu dapat diklasifikasikan menjadi dua: Qur’aniyyah dan
kawniyyah, maka hukum Allah yang berkaitan dengan makhluk-Nya dapat juga
dikelompokkan menjadi dua: taqdîr dan sunnatullah (Quraish Shihab, 1996, h. 59-
66). Yang pertama merupakan hukum Allah yang berkaitan dengan alam. Jumlah
hitungan hari dalam setahun, peristiwa gerhana matahari, gerhana bulan, air
selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan seterusnya merupakan taqdir
Allah. Sedangkan yang kedua adalah hukum Allah yang berkaitan dengan
kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti perubahan sosial, mobilitas sosial dalam
kehidupan perkotaan, terjadinya konflik karena perbedaan kepentingan, keadilan
terwujud karena tegaknya hukum, dan sebagainya.
Pluralitas dalam kehidupan masyarakat juga merupakan salah satu
sunnatullah. Menafikan pluralitas adalah mustahil, sebab dalam kenyataannya
tidak satupun manusia di muka bumi ini yang sama persis satu dengan lain. Allah
sendiri dengan tegas telah menyatakan bahwa Sesungguhnya Kami telah
menciptakan umat manusia itu dari laki-laki dan perempuan, lalu Kami jadikan
mereka itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu sama lain saling
mengenal (QS. al-Hujurât [49]: 14)
Oleh karena itu, eksistensi jihad, baik sebagai doktrin agama maupun
sebagai manifestasi dari rasa kemanusiaan, ---misalnya saja ketika terjadi
kebakaran dalam suatu perkampungan lalu para warganya berjibaku atau
berjihad memadamkan api, tanpa membedekan rumah siapa dan agama apa
yang dianut oleh pemilik rumah itu--- merupakan bagian dari hukum sosial
kemasyarakatan. Semangat jihad sosial dalam konteks itu diniscayakan lahir
karena adanya dorongan untuk menolong sesama, memberikan kasih sayang,
mengedapankan kemaslahatan dan kepetingan bersama, daripada sekedar
mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompok.
Sejarah membuktikan bahwa pengakuan Islam terhadap pluralitas agama
dan sosial justeru memposisikan Islam sebagai agama dialogis : agama yang
berusaha menghargai eksistensi agama lain, tidak memaksa penganut agama lain
untuk masuk Islam, sebaliknya mengajak mereka berdialog untuk mencapai
kalimah sawâ’ (titik temu, common platform). Ketika masih berada di Mekkah,
Nabi Saw. pernah menerima 20-an delegasi Nashrani dari Habsyi (Ethiopia) dan
berdialog dengan mereka. Ternyata materi dan cara dialogis Nabi dalam
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
319
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berdakwah diterima oleh mereka, sehingga mereka pun menyatakan masuk Islam.
(Hidayat Nur Wahid, 1999, h. 59).
Karena semangat pluralitas tersebut, fakta sejarah juga mencatat bahwa di
antara faktor utama yang memudahkan Islam dapat diterima masyarakat Mesir
adalah sikap kooperatif orang-orang Coptic yang beragama Nashrani, yang secara
demonstratif mendukung dan membantu orang-orang Islam dan akan
membebaskan mereka dari penjajahan dan kesewenang-wenangan emprium
Romawi sekalipun mereka satu agama. (Hidayat Nur Wahid, 1999, h. 61). Dengan
kalimat lain, pluralitas sosial justeru merupakan lahan subur bagi aktualisasi
jihad sosial yang dialogis dengan semangat mengamalkan amar ma`ruf nahi
munkar tersebut.
Jihad Sosial Sebagai Manifestasi Kesalehan Personal
Kesalehan personal merupakan buah dari keimanan yang tulus dan
mendalam kepada Allah Swt. Iman dan amal merupakan sebuah mata uang
yang bersisi ganda, bahwa kepercayaan (iman) menghendaki adanya pembuktian
lahir dan konkret berupa amal shaleh; sementara suatu amal dapat dikategorikan
shaleh manakala amal itu dilandasi oleh iman atau keyakinan bahwa perbuatan
itu baik dan bermanfaat, sesuai dengan ajaran Dzat yang diimani.
Kesalehan persoanal, sebagaimana tauhid individual, tidaklah cukup
memberi bukti bahwa seseorang itu mukmin dan shaleh secara sosial. Banyak
kasus yang terjadi di kalangan umat Islam. Misalnya saja, si A tergolong rajin
shalat, tidak pernah absen puasa Ramadhan, tetapi –ironisnya—dia juga
korupsi, kolusi, dan sebagainya. Hal ini menggambarkan betapa kesalehan
persoanal itu perlu ditindaklanjuti dan ditumbuhkem-bangkan dengan berbagai
aktivitas sosial yang konstruktif (kesalehan sosial). Idealnya, antara Islam
personal dan Islam sosial –Islam yang mengejawantah dalam realitas sosial—tidak terdapat gap, jurang pemisah, meskipun berislam merupakan suatu proses
menjadi Muslim. Dengan kalimat lain, berislam yang hakiki tidak hanya secara
verbal (qawlan), wacana (khithâban), pemikiran (fikran), melainkan juga menjadi
sebuah aksi, karya (amalan), dan gerakan sosial (harakatan ijtimâ`iyyatan).3
3 Dalam konteks tersebut, kisah dakwah Ahmad Dahlan (1868-1923),
pendiri Muhammadiyah, menjadi sangat menarik dan relevan. Tafsir al-Qur a yang dijarkannya –antara lain surat al-Mâ`un [107]:1-7—tidak hanya dihafal oleh murid- urid ya. Ketika para urid e protes sa g guru kare a pelajara mereka tidak dipindah ke pelajaran baru, padahal mereka sudah hafal di luar
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
320
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam berbagai bentuk dan tampilannya, jihad sosial dapat dipandang
sebagai wadah atau saluran untuk merealisasikan kesalehan sosial seseorang
atau masyarakat Muslim pada umumnya. Jihad sosial dalam konteks ini
merupakan manifestasi konkret dari sabda Nabi Saw.: Sebaik-baik manusia
adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain . (HR. al-Thabarani).
Jadi, salah satu indikator jihad sosial adalah pemikiran dan tindakan nyata yang
memberikan manfaat, keuntungan dan kebahagiaan bagi orang lain.
Jika jihad sosial dipahami demikian, maka konsep jihad ini tidak saja dapat
dijadikan sebagai elan vital atau pemberi semangat fastabiqû al-khairât
(berlomba-lomba melakukan kebajikan) di kalangan umat Islam, melainkan juga
menjadi terapi sosial berbagai persoalan yang selama ini menyelimuti dunia Islam,
seperti ketertinggalan, keterpurukan ekonomi, kekalahan dan ketidakmampuan
bersaing dengan Barat, kemiskinan global, ketidakberdayaan melawan hegemoni
Amerika Serikat dan kroni-kroninya, dan sebagainya.
Oleh karena itu, revitalisasi jihad sosial sebagai manifestasi kesalehan
personal bukan hanya merupakan hal yang niscaya, melainkan juga bagian
integral dari ajaran Islam yang selama ini belum banyak dieksplorasi dan
dikembangkan, baik dalam tataran pemikiran maupun dalam amalan atau
tindakan nyata. Jihad sosial tampaknya juga dapat diposisikan sebagai pemberi
inspirasi dan motivasi bagi terlaksananya berbagai proyek sosial-kemanusiaan.
Misalnya saja, kemiskinan dan pengangguran –yang oleh Ali ibn Abi Thalib
dipandang sebagai musuh terselubung umat Islam yang dapat mengakibatkan
kekufuran—idealnya dapat diperangi dan dicarikan solusinya melalui jihad
sosial.
Dewasa ini, konflik dalam suatu masyarakat manapun, termasuk
masyarakat plural Indonesia, merupakan hal yang biasa , karena memang dalam
komunitas plural sangat mungkin muncul berbagai friksi, perbedaan kepentingan,
kompetisi, dan konflik. Karena itu, jihad sosial idealnya dapat didesain untuk
dapat mengatasi berbagai kemelut dan konflik sosial, dengan pendekatan dialogis
dan mengedepankan prinsip kalimah sawâ’ (titik temu), bukan titik-titik
perbedaan . Dengan demikian, jihad sosial diharapkan dapat melahirkan sikap
saling menerima kenyataan, dan menghargai perbedaan, saling memahami dan
kepala, Ah ad Dahla de ga se yu berta ya kepada ereka: Sudahkah kalia e ga alka isi surat tersebut? Perta yaa i ilah ya g ke udia menggerakkan mereka untuk beraksi dalam menyantuni anak yatim, mendirikan lembaga oendidikan, rumah sakit dan sebagainya.
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
321
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tidak memaksakan kehendak, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, dan
kebebasan berpendapat serta beragama secara demokratis, jujur dan terbuka.
Etika Jihad Sosial
Oleh karena jihad merupakan indikator keberimanan seseorang (Enizar,
2002, h. 329), maka jihad sosial seharusnya memberikan implikasi positif bagi
penegakan kebenaran Islam, keadilan sosial, sosialisasi HAM, moral dan nilai-nilai
positif lainnya. Jihad sosial menjadi sangat penting dilakukan, terutama dalam
bentuk menyampaikan dan mensosialisasikan kebenaran dan keagungan Islam
melalui bukti-bukti yang nyata. Revitalisasi jihad sosial tidak hanya terletak pada
fungsi Islam sebagai rahmatan li al-`alamîn, melainkan juga karena berjuang
adalah panggilan jiwa, tuntutan spiritual manusia, untuk membela dan
menegakkan kejujuran dan keadilan sosial. Melalui jihad ini, umat Islam dituntut
mampu memberikan peran konsttruktif dan kontribusi optimal dalam melindungi,
mengasihi, menyantuni dan memberdayakan potensi umat; mencari solusi dan
titik temu di kalangan komunitas plural yang terlibat konflik, menciptakan suasana
dialogis dan kondusif bagi perdamaian, kerukunan, kebersamaan dan persatuan.
Oleh karena itu, beberapa prinsip moral dan etika Islam menjadi sangat
ditegakkan dalam rangka jihad sosial. Prinsip-prinsip etika yang dimaksud antara
lain adalah (1) penerimaan dan pengakuan adanya perbedaan atau pluralitas,
termasuk pluralitas agama (QS. al-Kâfirûn [109]: 6); (2) tidak ada pemaksaan
keyakinan, pendapat, dan sebagainya (QS. al-Baqarah [2]: 256); (3) menyampaikan
dan mensosialisasikan ajaran Islam dengan dakwah yang penuh wisdom
(kebijaksanaan), santun, dan debat yang terbaik (QS. al-Nahl [16]: 125); (4)
bersikap toleran, besar hati dan bersabar dalam berdakwah dan berjihad sosial
(QS. al-Nahl [16]:127); (5) mementingkan cara-cara dialogis untuk mencari titik
temu, kesamaan visi dan kepentingan (QS. Âlu `Imrân [3]: 65); (6) menjaga dan
menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak asasi manusia: hak beragama, hak
berpendapat, hak bekerja, hak berserikat, hak berpolitik, dan sebagainya; dan (7)
menjaga dan memelihara fasilitas bersama, tidak bersikap konfromatatif dan
destruktif. Nabi Saw selalu menginstruksikan kepada pasukannya ketika akan
berjihad agar tidak membunuh anak kecil, wanita, lansia (yang sudah tidak
membahayakan), tidak merusak rumah ibadah agama lain, tidak menebang
pohon, tidak mencemari mata air, tidak merusak kepentingan umum, dan
sebagainya.
Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa etika jihad sosial tersebut
penting ditegakkan agar jihad sosial tidak salah orientasi, mengambil bentuk
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
322
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kekerasan dan pemaksaan kehendak, dan justeru merusak citra Islam sebagai
agama perdamaian. Etika jihad sosial setidak-tidaknya menjadi panduan dan
rambu-rambu moral yang perlu dipedomani dalam mengaktualisasikan nilai-nilai
Islam dalam kehidupan sosial-politik. Tanpa etika tersebut, dikhawatirkan jihad
sosial dimanipulasi secara politik, sehingga dijadikan sebagai justifikasi terhadap
tindakan-tindakan politik yang mengatasnamakan agama, padahal justeru
mererduksi nilai Islam untuk kepentingan pragmatis-politis. Dengan demikian,
etika jihad sosial harus ditempatkan sebagai refrensi dan orientasi perjuangan
membumikan kebenaran, keadilan, keindahan dan kedamaian Islam.
Kontekstualisasi Jihad
Jihad multidimensi yang sangat mendesak diaktualisasikan di era digital ini
bagaimana trilogi jihad intelektual (ijtihad), jihad spiritual (mujahadah), dan jihad
ekonomi dan harta (jihad iqtishadi, jihad bi amwal) dapat digelorakan pada semua
lapisan umat, sehingga kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dekadensi
moral, berbagai penyakit masyarakat (pekat), dan aneka persoalan bangsa lainnya
dapat segera dapat diatasi. Jihad intelektual berorientasi pada upaya menjawab
persoalan dengan pemikiran konsep dan strategi yang jelas, sedangkan
mujahadah merupakan upaya personal dan komunal yang bertujuan mengasah
dan menajamkan kepekaan batin, kedalaman dan kedekatan spiritual manusia
dengan Sang Kekasih (Allah) sehingga semua persoalan bangsa dilandasi sandaran
vertikal yang kokoh dan mantap. Melalui jihad spiritual, setiap Muslim diasah dan
ditajamkan.
Jihad melawan korupsi di negeri belum selesai, dan boleh jadi tidak akan
pernah selesai, selama sistem perpolitikan di tanah air masih berbiaya mahal dan
bersifat transaksional . Jihad melawan korporasi asing dalam mendikte kebijakan
pemerintah dan penguasaan kekayaan sumber daya alam juga belum pernah
sukses. Jihad membebaskan anak-anak dari aneka kekerasan dan pelecahan juga
sedang berlangsung.
Jihad konstitusi juga tidak kalah penting dikembagkan di era reformasi ini,
karena banyak produk hukum dan perundang-undangan yang tidak prorakyat,
melainkan cenderung mengabdi dan melayani kepentingan tertentu, baik para
pemodal maupun asing, seperti: UU tentang Minerba, UU tentang Rumah Sakit,
dan sebagainya. Jihad konsitusi menijau kembali aneka produk hukum dan
kebijakan yang tidak prorakyat juga penting dilanjutkan. Muhammadiyah sebagai
pelopor jihad konstitusi harus terus mengkritisi aneka produk hukum dan
kebijakan pemerintah yang disinyalir berpotensi merugikan kepentingan rakyat
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
323
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Negara. Melalui jihad konstitusi berbagai produk perundang-undangan dapat
dilakukan judicial review, dan dibatalkan pemberlakuannya, sehingga
kemasalahatan rakyat dan Negara dapat dimenangkan.
Jihad memperbaiki gedung sekolah yang nyaris ambruk dan jihad
mereformasi sistem pendidikan yang bermutu dan humanis juga masih menjadi
pekerjaan rumah kita semua. Jihad untuk membentengi generasi muda dari
budaya glamor, permisivisme, hedonism, liberalisme, pornografi, dan sebagainya
juga harus melibatkan banyak pihak. Jihad multidimensi harus menjadi aksi
konstruktif semua komponen bangsa, termasuk aksi deradikalisasi yang
belakangan ini menjadi semacam proyek pemerintah untuk menjinakkan
sejumlah lembaga pendidikan Islam yang disinyalir cenderung berhaluan keras
dan banyak memproduksi teroris.
Dengan demikian, jihad multidimensi merupakan jihad holistik-integratif
yang idealnya melibatkan semua komponen umat dan bangsa secara kolektif-
partisipatoris untuk membumikan visi misi Islam yang damai sekaligus mencari
solusi berbagai persoalan umat dan bangsa dalam rangka peningkatan kualitas
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara beradab dan
bermartabat. Jihad multidimensi berorientasi pada terwujudnya baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang aman, damai, dan sejahtera, sekaligus
mendapat lindungan dan ampunan dari Allah SWT). Jadi, jihad multidimensi
merupakan salah satu solusi terhadap distorsi pemaknaan konsep jihad yang
direduksi menjadi hanya qital dan irhab, padahal jihad multidimensi itu energi
pembangkit dan penggerak umat dan bangsa menuju terwujudnya peradaban
kemanusiaan masa depan yang berkemajuan.
C. Penutup Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jihad sosial
merupakan salah satu ajaran dasar dalam Islam yang memberi elan vital bagi
dinamika kehidupan umat Islam. Jihad sosial merupakan manifestasi dari
kesalehan personal yang hadir dalam spektrum lintas-kultural dan pluralitas sosial
yang luas dan tak terbatas. Meminjam ungkapan Quraish Shihab (1996, h. 518):
ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan dan mengembangkan ilmunya,
pemimpin berjihad dengan pedang keadilannya , pengusaha berbisnis dengan
kejujurannya, orang kaya berjuang dengan kedermawanannya, pendidik/guru
berjuang dengan dedikasi kependidikannya, dan sebagainya. Semua komponen
masyarakat Muslim dapat mengambil peran-positif dalam berjihad sosial, sesuai
dengan posisi dan potensi masing-masing (QS. al-Isrâ [17]: 84).
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
324
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jihad sosial tidak hanya menarik diwacanakan dalam konteks
pengembangan pemikiran Islam, melainkan juga potensial didesain sebagai
teknologi gerakan sosial tepat guna untuk mengatasi berbagai persoalan sosial
politik yang ada. Mengingat visi-misi profetik Nabi adalah mensosialisasikan ajaran
kasih sayang, keadilan dan perdamaian, maka jihad sosial perlu diorientasikan
kepada pembumian visi-misi Islam secara dialogis dan damai, dengan tetap
berlandaskan nilai-nilai etika. Dengan jihad sosial yang dialogis, Islam sebagai
rahmatan li al-`âlamîn, niscaya dapat diaktua-lisasikan dalam masyarakat madani
yang berkeadaban dan mempunyai kepastian sistem hukum dan keadilan yang
dapat diandalkan. Wallahu a`lam bi al-shawâb!
D. Daftar Pustaka `Abd al-Bâqi, Muhammad Fu`ad, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’an al-
Karim, Beirut: Dâr al-Fikr, 1991.
Audah, Ali, Konkordansi Qur’an: Panduan Kata dalam Mencari Ayat al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1996.
Chamsah, Bachtiar, Jihad Sosial dalam Masyarakat Global, Jakarta: BPPS Depsos,
2002.
Enizar, Jihad dalam Perspektif Hadits Rasulullah, Disertasi, Jakarta: PPs. UIN
Jakarta, 2002.
Ibn Faris, Ahmad, Mu`jam Maqâyîs al-Lughah, Kairo: al-Khaniji, 1981.
Ibn Manzhur, Lisân al-`Arab, Juz III, Beirut: Dâr al-Shâdir, Cet. I, 1990.
al-Ishfahâny, Al-Râghib, al-Mufradât fi Gharîb al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-Ma`rifah,
tt.
al-Jawziyah, Ibn Qayyim, Zâd al-Ma`âd fi Hadyi Khair al-`Ibâd, Jilid III, Tahqîq
Syu`aib al-Arnauth dan `Abd al-Qâdir al-Arnauth, Beirut: Muassat al-Risâlah,
Cet. I, 2000.
al-Kailâni, Mâjid Irsân, al-Ummah al-Muslimah: Mafhûmuhâ, Muqawwimâtuhâ,
Ikhrâjuhâ, Beirut: al-`Ashr al-Hadîts, Cet. I, 1992.
Madjid, Nurcholish, Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-prinsip Hukum
dan Keadilan , dalam Jurnal Paramadina, Volume I, Nomor 1, Desember
1998.
Nashr, Seyyed Hossein, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Terj,
Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994.
Qadry A., Azizy, A., al-Qur an dan Pluralisme Agama , dalam Jurnal Profetika,
Surakarta, Vol. 1, No. 1, Januari 1999.
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
325
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Syalabi, Hamdi, Siyâhah fi Mafhûm al-Jihâd wa Marâtibuhu , dalam Majalah al-
Mujtama’, al-Kuwait: Edisi1517, 7-13 September 2002.
Wahid, M. Hidayat Nur, Islam dan Pluralisme Agama: Perspektif Pemikiran Islam
Klasik , dalam Jurnal Profetika, UM Surakarta, Vol. 1, No. 1, Januari 1999.
Zuhri, Muhammad, Islam dan Pluralisme Agama: Perspektif Historis Normatif ,
dalam Jurnal Profetika, UM Surakarta, No. 1, Vol. 1, Januari 1999.
E. Lampiran: Teks Ayat-ayat Jihad
ين . نٱل م ين ء ٱل ه اج ج يلفى ج ئك أ ٱلل س ت ي ح ٱلل ٱلل غ حيم
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah[2]:218)
تمأ . س خأ ح ن ة ت اٱلج ل ين ٱلل ي ع م مج ٱل ي ع م من ين ٱلص
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi
Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang
yang sabar. ('Ali `Imran[3]:142)
ع ي ست ل . منين من ٱلق ٱل لىغ ي أ ج ٱلض ٱل يلفى مٱلل س ل مبأ م س أ ن ل ين ٱلل ف ض ج مٱل ل مبأ م س أ ن ين ع ى ع ة ٱلق ج كل ع ل ٱلحسن ىٱلل ف ض ٱلل
ين ج ين ع ىٱل ع اأ ج ٱلق ع ظي
Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang)
tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang
tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk
dengan pahala yang besar (QS An-Nisa'[4]:95)
أيى . ين ي م ٱل سي ليه ٱبتغ ٱلل ٱت ء ه فى ج ٱل ي م س ح لع تف
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
326
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah
(jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di
jalan-Nya, agar kamu beruntung. (QS Al-Ma'idah[5]:35)
أي . ين ي م ٱل ت من ء م ي ه عن م ف ي ٱلل يأتى فس م ب نه يح ل يح ى أ ين ع م ٱلى أع ين ع ف ٱل يل فى ي ف ل ٱلل س م ي لك لئم ل ل تيه ٱلل ف ء من ي ٱلل يشسع يم ع
Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (QS Al-
Ma'idah[5]:54)
ين . م ٱل ج ء م ج ه ل م بأم يل فى أنفس ين ٱلل س ك نص ء ٱل ل أم ء بع لي ين بعض أ م ٱل ج لم ء م م ي ن ل م م يت ن ل ج حتى شىء م ي
كم ص م ٱل ين فى ٱست ي ص فع ى ل ٱل ع م ق م بي ق بي ي بصي تع ب ٱلل م Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan
harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat
kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama
lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum
berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka,
sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu
dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka.
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Al-'Anfal[8]:72)
ين .7 ٱل ن م ه اج ء ج يلفى ين ٱلل س ٱل ء ن ص ك ل من همأ قاٱل ح م غ ل م يم ك
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan
orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada
orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka
memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (QS Al-'Anfal[8]:74)
م ين ٱل .8 ج بع من ء م ج ه ك مع ل م فأ ل م ح أ م ٱلأ لى بع عض أ بب فى ل ٱلل ٱلل كت يم شىء ب ع
Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan berjihad
bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
327
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (QS Al-'Anfal[8]:75)
9. تمأ س كأ ح اتت ل ين ٱلل ي ع م مج ٱل ل ممن ل ٱلل مني ت له س ل ۦ منين ة ٱل ليج ٱلل ي اخ ت ع ب
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah
belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak
mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. At-
Taubah[9]:16)
تم .1 ي أجع س ع ٱلح س ن ٱلح ٱل من ك بٱلل ء خ ٱلي ء يل فى ج ٱ س ل ٱلل ٱلل ع يست ل ٱلل ي ين ٱل ٱلظ
Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang
mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah?
Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-
orang zalim. (QS At-Taubah[9]:19)
ين . م ٱل ج ء يل فى ج ه م ٱلل س ل ك ٱلل ع ج أعظم م أنفس بأم ل هم أئ ٱلف
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan
harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah
orang-orang yang memperoleh kemenangan. (QS At-Taubah[9]:20)
ف ٱنف . ل خف م ج ث ل م بأم يل فى أنفس م ٱلل س ل م خي تم ل تع ك
Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan
berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS At-Taubah[9]:41)
نك ل .1 ين يستـ م ٱل بٱلل ي خ ٱلي ء أ ٱ م ي ل م بأم يم ٱلل أنفس ين ع ت بٱل
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta
izin (tidak ikut) kepadamu untuk berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah
mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS At-Taubah[9]:44)
ى أي . ف ج ٱل ين ٱل ف ظ ٱل م ٱغ ي م ع ى م مأ س ج صي ب ٱل
Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik,
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam.
Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (QS At-Taubah[9]:73)
ف ف . هم ٱل ع ف ب ه ٱلل س خ أ ك م ي ل م بأم يل فى أنفس ل ٱلل س قف ل م ن قل ٱلح فى ت أش ج ح ن ل يف ك
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
328
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang), merasa gembira dengan
duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan
harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, "Janganlah kamu
berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini." Katakanlah (Muhammad),
"Api neraka Jahanam lebih panas," jika mereka mengetahui. (QS At-Taubah[9]:81)
س أنزل ت .1 منأ ج بٱلل ء ع لهم س ن ك لٱست ـ أ مٱلط ق المن ن ا ن ع ن ين م ع ٱلق
Dan apabila diturunkan suatu surah (yang memerintahkan kepada orang-orang
munafik), "Berimanlah kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya," niscaya
orang-orang yang kaya dan berpengaruh di antara mereka meminta izin
kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata, "Biarkanlah kami berada
bersama orang-orang yang duduk (tinggal di rumah)." (QS At-Taubah[9]:86)
ن س ل ين ٱل م ٱل م ج معه ء ل م بأم ك أنفس ل م أ ل ي ك ٱل ل ح هم أ ف ٱل
At-Taubah[9]:88
Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, (mereka) berjihad
dengan harta dan jiwa. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-
orang yang beruntung.
ين بك ثم ج ل ج ثم فت م بع من ه ه من بك ص حيم لغف بع
Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita
cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Tuhanmu setelah itu
benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nahl[16]:110)
م ه ج حق ٱلل فى ج ى م جعل م ٱجت ي م م ح من ٱل ين فى ع هيم أبي م ه ب ى سين س ل من ٱل س لي ه فى ق ي ٱل م ش ي ن ع ء ت ى ش فأقي ٱل ع ت ٱلص ء
ك م ه بٱلل ٱعتص ٱل لى عم م لى ف صي نعم ٱل ٱل
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia
telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.
(Ikutilah) agama nenek mo-yangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu
orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, agar
Rasul (Mu-hammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat; tunaikanlah zakat, dan
berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pe-lindung
dan sebaik-baik penolong. (QS Al-Haj[22]:78)
ين تطع فل ف هم ٱل ي ج به ج ك
Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka
dengannya (Al-Qur'an) dengan (semangat) perjuangan yang besar. (QS Al-
Furqan[25]:52)
فإن ج من فسه ي ى ٱلل ل ين عن لغ ٱلع
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
329
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri.
Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. (QS Al-
`Ankabut[29]:6)
ن صي يه ٱلإنس ل م به لك ليس م بى لتش ج حس ب فل ع م لى تطع جع م م ب فأن تم تع ك
Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang
tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau
patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS Al-`Ankabut[29]:8)
ين ٱ م في ج ل ي ع ٱلل س ل ين ل حس ٱل
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-
orang yang berbuat baik. (QS Al-`Ankabut[29]:69)
ى ج م به لك ليس م بى تش أ ع تطع فل ع ح ني فى ص ف ٱل ع مع يل ٱت من سم لى ثم لى أن جع م م تم ب فأن تع ك
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu
yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu,
maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS
Luqman[31]:15)
م ن م حتى ل ين ٱ نع م ل ين م ٱلص كم ن أخ
Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui
orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan
Kami uji perihal kamu. (QS Muhammad[47]:31)
م ن ين ٱل م ٱل له بٱلل ء ب لم ثم س ت م ج ي ل م بأم يل فى أنفس ك ٱلل س ل هم أ ق ٱلص
Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-
orang yang benar. (QS Al-Hujurat[49]:15)
م له بٱلل ت س يل فى ت م ٱلل س ل م بأم م أنفس ل م خي تم ل تع ك
(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui,
(QS As-Shaf[61]:11)
أي ى ي ف ج ٱل ين ٱل ف ظ ٱل م ٱغ ي م ع ى م مأ س ج صي ب ٱل
Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330
330
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali. (At-Tahrim[66]:9)
ين ٱ ي ل م لء ء ين أه بٱلل أقس ٱل م ج م أي م ن ع طت ل م ح ح أع ين فأص س خ
Dan orang-orang yang beriman akan berkata, "Inikah orang yang bersumpah
secara sungguh-sungguh dengan (nama) Allah, bahwa mereka benar-benar
beserta kamu?" Segala amal mereka menjadi sia-sia, sehingga mereka menjadi
orang yang rugi. (QS Al-Ma'idah[5]:53)
بٱلل أقس م ج ن أي م ل ءت ي ج ن ء م ت ن قل ب لي ي ء كم م ٱلل ع ٱ يشع أن ء ل جم ي
Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa
jika datang suatu mukjizat kepada mereka, pastilah mereka akan beriman
kepadanya. Katakanlah, "Mukjizat-mukjizat itu hanya ada pada sisi Allah." Dan
tahukah kamu, bahwa apabila mukjizat (ayat-ayat) datang, mereka tidak juga akan
beriman. (QS Al-'An`am[6]:109)
بٱلل أقس م ج عث ل أي ى ي من ٱلل ي يه ع ب ع ن ح يع ل ٱل أك ل
Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah yang sungguh-
sungguh, "Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati." Tidak demikian
(pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari-Nya,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS An-Nahl[16]:38)
بٱلل أقس م ج ن أي م ل ت جن أم س ل قل لي ف ع ت ي ٱلل مع تع ب خ
Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah sungguh-sungguh,
bahwa jika engkau suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi.
Katakanlah (Muhammad), "Janganlah kamu bersumpah, (karena yang diminta)
adalah ketaatan yang baik. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu
kerjakan." (QS An-Nur[24]:53)
بٱلل أقس م ج ن أي ءهم ل ي ج نن ن لي ءهم ف ٱلأمم ح من أه ي ج نف ل هم م ن
Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh bahwa jika
datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih
mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). Tetapi ketika pemberi
peringatan datang kepada mereka, tidak menambah (apa-apa) kepada mereka,
bahkan semakin jauh mereka dari (kebenaran), (Fatir[35]:42)
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
331
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia:
Sebuah Kajian Wacana
Makyun Subuki
Pendidikan Bahasa Indonesia – FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan struktur dan kualitas
argumentasi fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sejak 1975 hingga 2011 yang telah dibukukan dalam Himpunan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Penelitian ini merupakan kajian
analisis wacana yang menggunakan teori argumentasi dalam
menganalisis data. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan,
ditemukan dua hal. Pertama, penanda bagi premis (data dan atau
backing) dari argumentasi dalam fatwa MUI adalah ungkapan seperti
Membaca, Menimbang, Memperhatikan, dan juga Dasar Penetapan
Hukum. Premis-premis dalam fatwa saling berhubungan dengan
kompleksitas yang berbeda-beda dalam membangun simpulan,
sehingga terbentuk jenis hubungan tertentu seperti serial argument,
convergent argument, link argument, dan kombinasi dari jenis
hubungan tersebut. Penanda simpulan (claim atau conclusion) dalam
fatwa MUI adalah kata seperti Memutuskan, Menetapkan,
Memfatwakan, dan juga Ketentuan Hukum. Kedua, kualitas argumentasi
dari fatwa tergantung kepada ketersediaan sumber hukum dalam teks
fatwa yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan kritis yang
digunakan dalam mengevaluasi skema argumentasi. Analisis terhadap
kualitas argumentasi menunjukkan bahwa sebagian besar fatwa
memiliki bukti tekstual yang memadai untuk menjawab pertanyaan
kritis yang diajukan untuk mengevaluasi skema argumentasi, dan pada
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
332
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagian kecil fatwa diperlukan verifikasi ke luar teks fatwa untuk
menjawab pertanyaan tersebut.
Kata kunci: fatwa, struktur argumentasi, pendiagraman argumen,
kualitas argumentasi, skema argumentasi
A. Pendahuluan
Salah satu bentuk wacana argumentatif yang sering kita jumpai adalah
fatwa. Secara harfiah, fatwa berarti al-jawāb fi al-hāditah atau jawaban atas
sebuah persoalan (Al-Qardawi 1988: 11). Dalam peristilahan hukum Islam, fatwa
berarti penjelasan yang diberikan oleh mufti (orang atau lembaga yang dianggap
kompeten untuk memberikan fatwa) tentang hukum suatu persoalan sebagai
jawaban atas pertanyaan mustafti (orang atau lembaga yang meminta pendapat
tentang kepastian hukum sebuah masalah tertentu) (Al-Qardawi 1988: 11 dan Al-
Asyqar 1976: 7-9).
Karena ada kemungkinan banyak fatwa dengan putusan yang berbeda
dalam persoalan yang sama, putusan hukum yang terdapat dalam fatwa tidak
harus dipatuhi (Al-Asyqar 1976: 11). Akan tetapi, meskipun tidak harus dipatuhi,
fatwa tetaplah bersifat persuasif. Maksudnya, fatwa dimaksudkan oleh mufti
untuk meyakinkan mustafti tentang hukum sebuah persoalan, dan itu berarti
fatwa menganjurkan mustafti untuk mematuhi fatwa. Dengan demikian, sebagai
tindakan persuasif, fatwa dituntut untuk dapat memberikan argumentasi yang
kuat agar dapat dipatuhi. Dengan kata lain, fatwa harus dapat menjustifikasi
dirinya sendiri, sehingga ia mampu memberikan efek persuasif terhadap mustafti
yang mengajukan persoalan.
Orang atau lembaga yang dapat bertindak selaku mufti di Indonesia pada
dasarnya cukup banyak, salah satunya adalah Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia. Sebagai sebuah organisasi keagamaan, Majelis Ulama Indonesia
beranggotakan orang-orang yang berasal dari organisasi keagamaan lain, seperti
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan PERSIS. Dengan kondisi semacam ini, ada
kemungkinan fatwa MUI untuk dapat diterima atau dipatuhi secara lebih luas oleh
masyarakat, melampaui kepatuhan masyarakat terhadap fatwa yang berasal dari
lembaga keagamaan lainnya. Namun demikian, tentu saja harus ditegaskan bahwa
keberterimaan fatwa MUI tersebut di tengah masyarakat hanya mungkin apabila
argumentasi yang dibangun oleh fatwa-fatwa tersebut memiliki daya persuasif
yang baik.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
333
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tulisan ini bertujuan mengkaji struktur dan kualitas argumentasi fatwa
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Struktur argumentasi yang dimaksud di
sini terkait dengan hubungan antarelemen dalam teks fatwa yang akan diteliti.
Analisis terhadap struktur argumentasi terkait dengan bagaimana setiap bagian
dari teks fatwa membentuk sebuah bangunan argumentasi yang utuh, dari latar
belakang masalah, pertimbangan hukum, hingga putusan hukum. Adapun yang
dimaksud dengan kualitas argumentasi dalam penelitian ini adalah bagaimana
hubungan logis atau pola inferensi antarbagian teks fatwa dalam membentuk
sebuah teks argumentasi. Analisis terhadap hubungan logis atau inferensi
tersebut dimaksudkan untuk melihat derajat keargumentatifan (kuat atau lemah)
teks fatwa dari sudut pandang linguistik. Hasil analisis terhadap struktur dan
kualitas argumentasi ini selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk menilai daya
persuasif fatwa.
Secara teoretis, penelitian ini adalah penelitian linguistik dan lebih khusus
lagi kajian wacana (discourse analysis). Oleh karena itu, teori utama yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori linguistik yang berasal dari disiplin
kajian wacana. Secara lebih spesifik, karena fenomena yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah argumentasi di dalam teks fatwa, maka teori yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah teori argumentasi. Namun demikian,
penggunaan teori lain untuk kepentingan analisis tetap dibutuhkan, terutama
teori yang berkaitan dengan fatwa secara khusus. Penggunaan teori fatwa secara
khusus ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi selengkap mungkin
tentang fatwa sebagai objek analisis pada satu sisi dan juga untuk memahami
sistem argumentasi fatwa dari sudut pandang teori fatwa pada lain sisi. Hal itu
berarti bahwa ada beberapa aspek teori hukum Islam yang akan digunakan dalam
mendeskripsikan data.
Data yang diteliti dalam penelitian ini adalah fatwa Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia sejak 1975 hingga 2011 yang telah dibukukan dalam Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Sejak 1975 terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama merupakan
pendahuluan. Bagian pendahuluan ini terdiri atas empat sub bagian, yaitu (1)
pedoman dan prosedur penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia; (2) sistem dan
prosedur penetapan fatwa produk halal Majelis Ulama Indonesia; (3) susunan
Pengurus Majelis Ulama Indonesia Periode 2010-2015; dan (4) susunan Pengurus
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Periode 2010-2015. Bagian kedua buku ini
merupakan kumpulan fatwa MUI sejak 1975 hingga 2010 yang disusun bukan
secara kronologis, melainkan secara tematik. Bagian ini diklasifikasi sesuai dengan
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
334
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rumpun ilmu persoalan yang terkait dengan fatwa secara spesifik, yaitu (1) bidang
akidah dan aliran keagamaan; (2) bidang ibadah; (3) bidang sosial dan budaya; dan
(4) bidang pangan, obat-obatan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Bagian ketiga
merupakan kumpulan keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun
2003, 2006, dan 2009. Dalam bagian ini, terdapat tiga permasalahan yang
dibahas, yaitu masalah kebangsaan (wataniyyah), masalah aktual (waqi iyyah)
keagamaan, dan masalah perundang-undangan (qanuniyyah). Beberapa fatwa
juga terdapat dalam bagian ini, misalnya fatwa tentang SMS berhadiah, nikah di
bawah tangan, pengobatan alternatif, hukum merokok, dan GOLPUT.
Demi kepentingan analisis, data yang terdapat di dalam Himpunan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975 selanjutnya dikategorisasi. Dalam proses ini,
data dikategorisasi lebih lanjut berdasarkan tiga hal: pertama, persoalan yang
dibicarakan dalam teks fatwa secara lebih spesifik; kedua, format penyusunan
teks fatwa, apakah dalam format lengkap dengan mencantumkan kata
memperhatikan, mempertimbangkan, dan memfatwakan (atau memutuskan)
atau dalam bentuk lebih sederhana yang langsung menyatakan putusan hukum;
dan ketiga, kompleksitas argumentasi kelengkapan unsur pembangun
argumentasi, yaitu apakah sebuah fatwa mencantumkan sedikit atau banyak
sumber penetapan hukum dan seberapa lengkap sumber penetapan hukum
terdapat dalam teks fatwa.
Berdasarkan proses yang telah dilakukan, diketahui bahwa berdasarkan
kategorisasi yang pertama, persoalan yang dapat diidentifikasi dalam sumber data
berjumlah 35 buah tema. Data yang dikategorisasi atas dasar kesamaan tema ini
dipelajari lebih jauh berdasarkan dua hal, yaitu spesifikasi persoalan dan putusan
hukumnya, apakah fatwa tersebut termasuk dalam satu kategori tema
pembahasan yang sangat spesifik atau hanya termasuk dalam satu tema yang
kurang spesifik. Dari sini kemudian didapatkan 15 tema spesifik, yaitu tema yang
di dalamnya terdapat lebih dari satu fatwa yang menetapkan persoalan hukum
yang persis sama. Fatwa yang termasuk dalam 15 tema spesifik tersebut
kemudian dikategorisasi lagi berdasarkan putusan hukumnya, apakah fatwa yang
bertema sangat spesifik tersebut memiliki putusan hukum yang sama atau
memliki putusan hukum yang berbeda. Dari hasil kajian yang telah dilakukan,
fatwa-fatwa dari 13 tema menghasilkan putusan yang sama dan hanya dua tema
di antara 15 tema tersebut yang fatwa-fatwanya menghasilkan putusan hukum
yang berbeda.
Kategorisasi kedua terkait dengan format penyusunan fatwa. Berdasarkan
proses kategorisasi ini, diketahui bahwa fatwa yang menggunakan format surat
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
335
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
keputusan berjumlah 116 buah dan yang menggunakan format langsung adalah
39 buah.
Proses kategorisasi ketiga terkait dengan ketersediaan dasar penetapan
hukum dalam teks fatwa. Dalam kategorisasi ketiga ini, fatwa dipilah menjadi dua,
yaitu yang mencantumkan dasar hukum dan yang tidak. Kriteria ini dibatasi oleh
ketersediaan dasar hukum berupa kutipan langsung yang dapat diverifikasi
sumbernya. Apabila sebuah fatwa memiliki dasar hukum berupa kutipan yang
dapat diverifikasi sumbernya, maka fatwa tersebut diperhitungkan sebagai fatwa
dengan sumber data yang lengkap. Apabila tidak tersedia, maka fatwa tersebut
dikategorikan sebagai fatwa dengan dasar hukum yang tidak lengkap.
Berdasarkan analisis data, dari 155 buah fatwa yang terdapat dalam buku
Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, 126 buah fatwa dilengkapi dengan kutipan
dasar hukum dan 28 sisanya tidak dilengkapi dengan kutipan dasar hukumnya.
B. Pembahasan
Karakteristik Teks Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, menurut Gibbons (dalam Davies
dan Elder 2004: 286), salah satu yang seringkali menjadi sumber masalah dalam
pembahasan teks hukum adalah struktur teks dan prosedur yang digunakan
bersifat khusus. Sebagai teks hukum, fatwa memiliki struktur teks yang bersifat
khusus. Struktur teks hukum yang bersifat khusus ini, dalam analisis wacana,
disebut superstructure, yaitu skema yang terkonvensionalisasikan atau
dikonvensionalisasi menjadi bentuk baku dari sebuah tipe teks tertentu sebagai
macrostructure (Bussmann 1996: 1170; dan Renkema (2004: 97). Macrostructure
sendiri, menurut van Dijk (dalam Bussmann 1996: 715), merupakan global
semantic and pragmatic structure of a text atau abstract representation of the
global meaning structure that would reflect the gist of the text menurut Sanders
dan Sanders ((2006) dalam Mey (2009: 1079). Singkatnya, apabila dimensi
persuasif-argumentatif putusan hukum di dalam fatwa merupakan
macrostructure, maka karakteristik teks fatwa secara fisik merupakan
superstructure-nya.
Untuk mengkaji dimensi superstructure dari fatwa MUI ini, kita dapat
mempertimbangkan pendapat Ad-Dimasyqi (t.t.: 44-70) dan Al-Asyqar (1976: 73-
81) dan juga pedoman penyusunan teks fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Amin et al. 2010: 7 dan 804). Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut, beberapa catatan berikut ini penting untuk
diperhatikan.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
336
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pertama, fatwa harus ditulis dengan tulisan yang jelas dan mudah dibaca.
Syarat ini dengan mudah dapat kita jumpai dalam teks fatwa Komisi Fatwa MUI.
Dengan teknologi tulisan yang jauh lebih modern dari zaman ketika Ad-Dimasyqi
(t.t.) dan Al-Asyqar (1976) merumuskan batasan-batasan mengenai fatwa,
keharusan menuliskan fatwa dalam tulisan yang jelas dan mudah dibaca dapat
dengan mudah dicapai. Dari sisi ini, seluruh fatwa MUI jelas memenuhi syarat.
Catatan mungkin hanya perlu diberikan dalam hal besar ukuran huruf Arab di
beberapa fatwa yang terlalu kecil, sehingga sulit untuk dibaca.
Kedua, untuk memastikan bahwa putusan hukum disandarkan kepada dalil,
teks fatwa sebaiknya mencantumkan sumber hukum, illat hukum, dan hikmahnya.
Dalam pedoman penyusunan fatwa Komisi Fatwa MUI, dinyatakan bahwa teks
fatwa memuat konsideran mengingat yang di dalamnya mencantumkan dasar-
dasar hukum (adillah al-ahkā ). Dengan pedoman ini, di dalam seluruh teks
fatwa MUI seharusnya terdapat sumber hukum. Akan tetapi, pada kenyataannya
tidak demikian. Banyak fatwa Komisi Fatwa MUI yang tidak mencantumkan dasar
hukum, dan bahkan tidak memiliki konsideran mengingat. Dari sisi ini, teks fatwa
Komisi Fatwa bukan hanya tidak memenuhi syarat yang dikemukakan oleh Ad-
Dimasyqi dan Al-Asyqar, melainkan juga tidak dapat memenuhi pedoman
penyusunan yang ditetapkannya sendiri.
Ketiga, mencantumkan ayat Al-Quran dan hadis yang terkait dengan
persoalan hukum yang sedang dibahas. Persoalan ini kurang lebih sama dengan
sebelumnya. Fatwa-fatwa MUI yang mencantumkan sumber penetapan hukum
selalu diawali dengan ayat Al-Quran dan hadis yang terkait dengan persoalan
hukum yang hendak ditetapkan. Akan tetapi, banyak fatwa MUI yang tidak
mencantumkan dua hal itu. Artinya, dari sisi ini, fatwa Komisi Fatwa MUI
mengandung kelemahan.
Ada hal yang penting ditekankan terkait dengan pencantuman dasar
hukum, ayat Al-Quran, dan hadis dalam teks fatwa, yaitu hubungan tiga hal
tersebut dengan bangunan argumentasi fatwa yang menjadi tujuan penelitian ini.
Meskipun Ad-Dimasyqi (t.t.), Al-Asyqar (1976), dan Komisi Fatwa MUI (2010)
menganggap pencantuman tersebut sebagai bagian dari karakteristik
superstructure yang bersifat fisik, sebagaimana dapat dilihat dalam analisis
argumentasi setelah ini, bangunan argumentasi teks fatwa sangat bergantung
terhadap keberadaan satu atau mungkin seluruh tiga hal tersebut. Artinya,
pencantuman tiga hal tersebut sebagai ciri superstructure teks fatwa memiliki
dampak yang serius terhadap bangunan argumentasi teks fatwa sebagai
macrostructure-nya.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
337
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keempat, fatwa sebaiknya diawali dengan isti āźah, basmalah, hamdalah,
shalawat kepada Nabi Muhammad, dan membaca (menuliskan) QS Thaha ayat 22.
Seluruh teks fatwa Komisi Fatwa MUI hanya diawali dengan kalimat pembuka
basmalah, dan tidak satu pun di antaranya yang diawali dengan isti āźah,
hamdalah, shalawat, dan QS Thaha ayat 22. Meskipun demikian, kita tidak serta-
merta dapat mengatakan bahwa fatwa Komisi Fatwa MUI lemah karena ketiadaan
hal yang dikemukakan Ad-dimasyqi (t.t.) dan Al-Asyqar (1976). Hal ini disebabkan
oleh tiga hal: yaitu (1) ungkapan yang dipersyaratkan oleh Ad-Dimasyqi dan Al-
Asyqar semata-mata terkait dengan persoalan karakteristik teks fatwa, dan bukan
terkait dengan substansi fatwa; (2) karena tidak terkait dengan persoalan
substansial, tidak ada pengaruh apapun dari ungkapan tersebut terhadap
argumentativitas fatwa; dan (3) ada kemungkinan ungkapan yang disyaratkan
oleh Ad-Dimasyqi (t.t.) dan Al-Asyqar (1976) tersebut semata-mata berurusan
dengan persoalan kultural, sehingga tuntutan tekstual yang berlaku bagi mereka
dapat saja berbeda dengan tuntutan yang berlaku bagi Komisi Fatwa MUI.
Kelima, menggunakan sīghah yang umum digunakan untuk fatwa, termasuk
di dalamnya bahasa yang harus ringkas dan tidak berbelit-belit, misalnya boleh
atau tidak boleh, sah atau batal. Istilah khusus (sīgah) dalam bidang fatwa yang
dapat kita temukan dalam buku Himpunan Fatwa MUI Sejak 1976 merupakan
istilah yang digunakan untuk menandai konsideran dan diktum. Istilah tersebut
antara lain adalah memperhatikan, membaca, menimbang, memutuskan, dan
memfatwakan. Dari beberapa istilah tersebut, hanya istilah memfatwakan saja
yang dapat kita pertimbangkan sebagai istilah khusus dalam urusan fatwa. Istilah
lainnya merupakan istilah yang juga biasa digunakan dalam surat keputusan biasa.
Dalam hal bahasa yang ringkas dan tidak berbelit-belit, sebagian fatwa
mengunakan bahasa yang ringkas dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, beberapa
diktum dalam fatwa juga dinyatakan dengan bahasa yang kurang ringkas dan
menggambarkan putusan hukum kurang jelas dan tegas.
Keenam, fatwa sebaiknya ditulis dalam satu kesatuan dan sedapat mungkin
tidak dituliskan dalam lembaran terpisah. Beberapa fatwa Komisi Fatwa MUI
dituliskan dalam satu halaman saja. Akan tetapi, kebanyakan fatwa yang
dituliskan dengan cara demikian, seperti dapat kita lihat di dalam analisis setelah
ini, tidak memiliki daya persuasif yang baik. Bangunan argumentasi fatwa Komisi
Fatwa MUI yang dituliskan hanya dalam satu halaman saja biasanya buruk, karena
tidak mencantumkan dasar hukum yang memadai untuk mendukung putusan
hukum yang ditetapkannya. Dalam beberapa kasus, fatwa Komisi Fatwa MUI yang
dituliskan hanya satu halaman malahan tidak mencantumkan dasar hukum sama
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
338
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sekali. Fatwa semacam ini bukanlah teks argumentasi, dan karena itu tidak
persuasif.
Sebagian besar fatwa Komisi Fatwa MUI dituliskan lebih dari satu halaman.
Bahkan, beberapa di antaranya sangat panjang hingga belasan halaman. Hal ini
tampaknya disebabkan oleh pencantuman dasar hukum yang cukup banyak, yang
tujuannya adalah agar fatwa lebih mudah diterima dan daya persuasifnya menjadi
lebih baik. Hampir seluruh fatwa dituliskan dalam dalam satu kesatuan yang
terpisah antara satu fatwa dan lainnya. Hal ini sesuai dengan pedoman
penyusunan fatwa Komisi Fatwa MUI (2010: 7) bahwa setiap fatwa diberi nomor
dan judul fatwa tersendiri. Akan tetapi, ada beberapa fatwa yang dituliskan tanpa
nomor, hanya dipisahkan oleh judul fatwa. Fatwa-fatwa tersebut terdapat dalam
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia.
Ketujuh, fatwa juga sebaiknya mencantumkan dan mempertimbangkan
fatwa sebelumnya tentang masalah yang sama. Seperti dapat dilihat dalam buku
Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, kebanyakan fatwa mencantumkan pendapat
sebelumnya dalam kutipan yang dapat diverifikasi. Bahkan ada beberapa fatwa
yang mencantumkan pendapat yang berbeda dengan putusan hukum yang
diputuskan oleh Komisi Fatwa MUI. Namun demikian, ada juga beberapa fatwa
yang tidak mencantumkan pendapat atau fatwa sebelumnya, walaupun hanya
sekadar mencantumkan pendapat yang menguatkan putusan hukum yang
terdapat di dalam fatwa.
Kedelapan, apabila mufti tidak memahami secara persis hal yang
ditanyakan, maka ia harus menuliskannya ketika memberikan fatwa. Hal ini tidak
terdapat sama sekali dalam buku Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Yang terjadi
pada beberapa fatwa dengan persoalan yang tidak terlalu lazim adalah
pencantuman pendapat ahli lainnya sebagai penjelasan tambahan. Hal ini, bagi
saya, dapat dipertimbangkan sebagai bentuk lain dari apa yang dikemukakan oleh
Ad-Dimasyqi (t.t.).
Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Secara umum, teori yang akan dimanfaatkan dalam menganalisis data
adalah teori argumentasi kritis yang dikembangkan oleh Walton (2006). Hal ini
tidak berarti bahwa teori argumentasi lain tidak diperhitungkan. Mengingat
kebertumpangtindihan teoretis yang tidak mungkin dihindari dan kelemahan
teoretis yang mungkin saja terdapat dalam teori argumentasi Walton, teori lain
tetap digunakan, baik sebagai perbandingan maupun sebagai pelengkap analisis.
Struktur Argumentasi 1: Premis dan Simpulan
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
339
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Argumentasi tersusun atas conclusion dan premise (Walton 2006: 6). Premis
(premise) merupakan pernyataan yang menghadirkan alasan dalam rangka
mendukung simpulan (conclusion), sedangkan simpulan adalah pernyataan yang
mengekspresikan klaim (Walton 2006: 6, Govier 1985: 1, dan Kahane 1928: 4).
Dalam teori argumentasi yang dikembangkan oleh tokoh lain, konsep premise juga
digambarkan melalui istilah data atau backing (Toulmin 2003:100), reason
(Crusius dan Channell 1950: 3-4; dan Herrick 1995: 6; dan Fahnestock dan Secor
2004: 19-20). Konsep conclusion digambarkan juga melalui istilah claim (Toulmin
2003:100; dan Fahnestock dan Secor (2004: 19-20).
Selanjutnya, menurut Walton (2006: 6), simpulan seringkali ditandai dengan
kata, misalnya, therefore, thus, hence, consequently, dan so; sedangkan premis
kadangkala ditandai dengan kata, misalnya, since, for, dan because. Apa yang
dikemukakan oleh Walton (2006) ini juga serupa dengan yang dikemukakan
Toulmin (2003). Klaim, menurut Toulmin (2003: 90-91), biasanya ditandai dengan
kata seperti so, dan warrant atau backing ditandai kata semacam since atau
because. Namun demikian, pada kenyataanya, dalam realitas argumentasi,
seringkali kata yang menjadi penanda bagi premis dan simpulan tidak terdapat
secara eksplisit atau dapat juga digantikan oleh kata lain. Kahane (1928: 4)
menyebutkan bahwa kata yang menjadi penanda (indicator words) dalam
argumentasi dapat juga berupa ungkapan seperti it has been observed that, in
support of this, dan the relevant data untuk premis; dan ungkapan seperti the
result is, the point of all this, dan the implication is untuk simpulan. Herrick (1995:
8) menyebutkan juga bahwa ungkapan seperti for, consider that, dan is shown by
dapat menjadi penanda premis atau reasons. Kemudian, ungkapan seperti which
leads me to conclude that dan which shows that dapat dipertimbangkan sebagai
penanda simpulan.
Dalam fatwa MUI, realisasi premis dan simpulan ditandai oleh ungkapan
khusus yang dapat dianalogikan dengan kata yang menjadi penanda sebagaimana
telah disebutkan di atas. Dalam fatwa MUI yang berformat surat keputusan, kata
yang menjadi penanda dari premis adalah kata Memperhatikan, Membaca, dan
Menimbang.
Adapun penanda simpulan dalam fatwa berformat surat keputusan adalah
kata Memutuskan yang diikuti dengan kata Menetapkan atau Memfatwakan.
Sebagai contoh, dalam fatwa Pelaksanaan Shalat Jumat 2 (Dua) Gelombang,
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menetapkan bahwa shalat Jumat dua
gelombang hukumnya tidak sah. Ketetapan hukum ini merupakan simpulan dari
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
340
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebuah argumentasi, dan penandanya adalah kata MEMUTUSKAN yang diikuti
dengan kata Menetapkan.
Penanda simpulan dalam fatwa yang tidak berbentuk surat keputusan
berbeda-beda. Dalam fatwa Penulisan Kitab Suci Al-Qur an dengan Selain huruf
Arab, ungkapan yang digunakan adalah ... berkesimpulan dan memberi fatwa ....
Kita dapat melihatnya dalam kutipan berikut.
...
Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang diadakan pada hari
Rabu tanggal 22 Juni dan hari Senin tanggal 27 Juni 1977 ... berkesimpulan
dan memberi fatwa mengenai hal tersebut sebagai berikut :
...
Demikian fatwa yang diputuskan dalam sidang tersebut.
(Amin et al. 2010: )
Dalam fatwa Pernikahan Usia Dini, sebagai contoh lain, ungkapan yang digunakan
adalah Ketentuan Hukum. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.
...
KETENTUAN HUKUM
1. Pada dasarnya, Islam tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan
secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat
dan menerima hak (ahliyatul ada' wa al-wujub), sebagai ketentuan sinn
al-rusyd.
2. ... (dst.)
...
Dalam persoalan penanda premis ini, ada dua perrsoalan yang penting
dikemukakan di sini. Pertama, beberapa fatwa MUI tidak memiliki ungkapan yang
menjadi penanda premis, misalnya fatwa Penentuan Awal Ramadhan, Awal
Syawal/Idul Fitri dan Awal Zulhijjah/Idul Adha yang ditetapkan pada 1980 dan
Penulisan Kitab Suci Al-Qur an dengan Selain huruf Arab. Premis dalam dua fatwa
tersebut ada, tetapi penanda linguistiknya tidak ada. Akibatnya, pemahaman
terhadap fatwa tersebut membutuhkan usaha yang lebih besar. Kedua, beberapa
fatwa MUI bahkan tidak memiliki premis sama sekali, misalnya fatwa Shalat dan
Puasa di Daerah yang Waktu Siang dan Malamnya tidak Seimbang. Fatwa
semacam ini, mengingat ketiadaan premis, tidak dapat disebut teks argumentasi.
Dengan kata lain, fatwa tersebut tidak argumentatif dan berarti juga tidak
persuasif.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
341
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Struktur Argumentasi 2: Hubungan Antarpremis dalam Bangun Argumentasi
Fatwa
Setelah identifikasi terhadap premis dan simpulan dalam teks fatwa
berhasil dilakukan, penting bagi kita untuk mengetahui hubungan antarpremis
dalam membangun sebuah argumentasi yang utuh. Hubungan antarpremis ni
digambarkan melalui diagram argumentasi (argument diagram). Hubungan
tersebut dapat berupa: (1) single argument, argumentasi yang simpulannya hanya
memiliki sebuah premis (Walton 2006: 139); (2) convergent argument,
argumentasi yang memiliki lebih dari satu premis yang berdiri sendiri-sendiri
untuk mendukung sebuah simpulan (Walton 2006: 140); (3) linked argument,
yaitu argumentasi yang memiliki dua premis atau lebih yang saling tergantung dan
secara bersama-sama mendukung sebuah kesimpulan (Walton 2006: 142); (4)
serial argument, argumentasi yang hubungan premis-simpulannya bersambung-
sambung, premis sebuah simpulan merupakan simpulan dari premis sebelumnya
dan selanjutnya dijadikan dasar untuk membuat simpulan akhir (Walton 2006:
146); (5) divergent argument, argumentasi yang memiliki dua kesimpulan yang
diinferensikan dari sebuah premis (Walton 2006: 147); dan (6) gabungan dari
bentuk-bentuk argumentasi tersebut.
Sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana putusan hukum pertama
dalam fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (dua) Gelombang ditetapkan.
Penjelasan untuk melihat hubungan antarpremis dan antara setiap premis dengan
simpulan meliputi hal berikut.
Pertama, Ungkapan Pendapat dan saran peserta sidang Premis 1 yang
berasal dari konsideran Memperhatikan poin ke-2 sulit untuk dibuktikan secara
linguistik memiliki hubungan dengan premis lainnya. Dengan demikian, hubungan
Premis 1 dengan tiga premis lainnya kemungkinan besar adalah convergent
argument.
Kedua, Premis 2 memiliki hubungan dengan Premis 3 untuk membangun
Simpulan. Hubungan tersebut dapat dilihat dari hubungan ungkapan ... bentuk
maupun tatacara pelaksanaan salat Jum'at harus mengikuti segala ketentuan
yang telah ditetapkan oleh hukum Islam (Syari'ah) serta dipraktikkan oleh
Rasulullah dalam Premis 2 dengan ungkapan Sejak masa Nabi sampai dengan
abad kedua puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang
belum pernah dibicarakan atau difatwakan oleh para ulama dalam Premis 3.
Artinya, simpulan bahwa shalat Jumat dua gelombang adaah tidak sah disebabkan
oleh karena belum pernah difatwakan sebelumnya dan juga karena tata cara
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
342
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pelaksanaannya tidak mengikuti tata cara yang pernah dilakukan Nabi saw. Dua
premis ini saling berhubungan membentuk simpulan, dan karena itu hubungan
keduanya dengan simpulan adalah linked argument.
Ketiga, Premis 3 dan Premis 4, melalui ungkapan Hal ini menunjukkan
bahwa masalah tersebut tidak dibenarkan dan tidak dapat dipandang sebagai
masalah khilafiyah dalam Premis 3 dan ungkapan Pendapat sebagian ulama
bahwa pelaksanaan salat Jum'at lebih dari satu kali tidak dibenarkan dalam
Premis 4, saling berhubungan untuk membentuk Simpulan. Artinya, hubungan
antara keduanya juga linked argument.
Berdasarkan penjelasan di atas, jenis hubungan antarpremis dan antara
premis dengan simpulan adalah gabungan antara convergent argument dan dua
buah linked argument, yaitu linked argument yang merupakan hubungan Premis 2
dengan Premis 3 dan hubungan Premis 3 dengan Premis 4. Dalam gambar,
hubungan tersebut dapat dilihat dalam diagram berikut.
Skema 1. Diagram gabungan convergent argument dan linked argument untuk
argumentasi putusan pertama fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (Dua)
Gelombang.
Dalam argumentasi di atas, hubungan antarpremis dalam membangun
simpulan mudah ditentukan, karena penanda linguistiknya jelas. Hubungan
semacam ini terdapat di sebagian besar fatwa dalam sebagian besar putusan-
putusan hukumnya. Dalam sebagian kecil teks fatwa, meskipun jumlahnya tidak
bisa dikatakan sedikit, hubungan antarpremis sulit ditentukan. Sebab dari hal itu
adalah kurangnya penanda linguistik dan ketiadaan referensi yang dapat dirujuk
langsung untuk diverifikasi. Bahkan, ada juga fatwa yang –seperti telah dijelaskan
sebelumnya– tidak memiliki premis. Dalam hal fatwa yang tidak memiliki premis
ini, tidak mungkin analisis hubungan antarpremis dapat dilakukan. Akan tetapi,
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
343
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam hal kurangnya penanda linguistik untuk menentukan hubungan
antarpremis, analisis tetap dapat dilakukan meskipun upaya untuk itu menjadi
lebih sulit.
Sebagai contoh, ada baiknya apabila kita melihat bagaimana hubungan
premis-premis dalam putusan hukum pertama fatwa Qiraat Sab ah. Ada beberapa
hal yang perlu dijadikan catatan dalam upaya mendiagramkan argumentasi
putusan hukum pertama fatwa Qira at Sab ah.
Pertama, tidak ada lampiran mengenai isi informasi yang dimaksud dalam
Premis 1 dan Premis 2. Padahal, terdapat kata terlampir dalam Premis 2.
Akibatnya, sulit bagi kita untuk mengetahui informasi apa yang benar-benar
terdapat dalam kedua premis tersebut. Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat
secara pasti bagaimana hubungan antarpremis tersebut dan hubungan antara dua
premis tersebut dengan simpulannya. Apakah Premis 1 dan Premis 2 memiliki
keterkaitan atau kedua premis itu hanya berkaitan dengan Simpulan saja? Kita
hanya bisa memperkirakan bahwa dua premis tersebut bisa jadi berhubungan dan
bisa jadi juga tidak. Dengan demikian, ada dua macam kemungkinan diagram
argumentasi putusan hukum pertama, yaitu linked argument dan convergent
argument. Berikut kemungkinan diagram argumentasi yang dimaksud.
Skema 2.
Diagram convergent argument
untuk Premis 1 dan Premis 2
dalam putusan hukum pertama
fatwa Qira at Sab ah.
Skema 3.
Diagram linked argument untuk
Premis 1 dan Premis 2
dalam putusan hukum pertama
fatwa Qira at Sab ah.
Kedua, sebagaimana dapat dilihat kembali di atas, antara Premis 3 dan
Simpulan terdapat hubungan argumentatif secara langsung. Hal ini dapat dilihat
dalam hubungan ungkapan Qira'at Sab'ah adalah suatu ilmu sebagai halnya Ilmu
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
344
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tajwid ... dalam Premis 3 dengan ungkapan Qira'at Sab'ah adalah sebagian ilmu
dari Ulum al-Qur'an ... pada bagian awal Simpulan. Hubungan itu lebih jelas
terlihat dalam hubungan antara ungkapan Qira'at Sab'ah ... yang oleh karenanya
perlu dikembangkan dalam Premis 3 dengan ungkapan Qira'at Sab'ah .. yang
wajib diperkembangkan dan dipertahankan eksistensinya dalam Simpulan.
Dengan demikian, terdapat dua kemungkinan hubungan argumentasi yang
dibangun dalam putusan hukum pertama, yaitu (a) apabila hubungan Premis 1
dan Premis 2 bersifat convergent, maka struktur argumentasi lengkap yang
menghubungkan Simpulan dengan tiga premis yang mendukungnya sepenuhnya
bersifat convergent; dan (b) apabila hubungan Premis 1 dan Premis 2 bersifat
linked, maka struktur argumentasi lengkap yang menghubungkan Simpulan
dengan tiga premis yang mendukungnya merupakan kombinasi single argument
(argumentasi tunggal) dengan linked argument. Dalam diagram, argumentasi
putusan hukum pertama dalam fatwa Qira at Sab ah dapat dilihat seperti di
bawah ini.
Skema 4.
Diagram convergent argument
untuk putusan hukum pertama
fatwa Qira at Sab ah.
Skema 5.
Diagram kombinasi single
argument dan linked argument
untuk putusan hukum pertama
fatwa Qira at Sab ah.
Perlu dinyatakan bahwa ketiadaan lampiran –dan tentu saja berlaku bagi
pencantuman dasar hukum lainnya di dalam teks– tidak hanya menyebabkan
hubungan antarbagian menjadi sulit dipastikan, tetapi juga menyebabkan kualitas
argumentasi menjadi kurang kuat. Persoalan terakhir ini akan lebih jelas dalam
sub pembahasan berikut.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
345
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kualitas Argumentasi
Kualitas argumentasi diuji melalui identifikasi dan evaluasi terhadap skema
argumentasi yang digunakan di dalam fatwa. Skema argumentasi, seperti
dikemukakan Walton (2006: 84), merupakan bentuk inferensi dalam sebuah
realitas argumentasi. Dalam penelitian ini, analisis terhadap skema argumentasi,
atau warrant atau connective, dalam fatwa digunakan untuk melihat hubungan
premis dan simpulan antarbagian dalam fatwa, yang dalam bentuk aslinya dapat
saja diwujudkan dalam hubungan antara putusan hukum dan landasan hukum,
konteks, pertanyaan, konsekuensi, dan hal lainnya yang terdapat dalam teks
fatwa.
Untuk melihat persoalan kualitas argumentasi ini menjadi lebih jelas, kita
dapat melihat analisis kualitas argumentasi putusan hukum pertama dalam fatwa
Qira at Sab ah ini. Agar analisis menjadi lebih mudah, ringkasan uraian struktur
premis-simpulan dalam argumentasi putusan hukum pertama fatwa Qira at
Sab ah.
Dari tiga buah premis pada fatwa Qira at Sab ah, mengingat keterbatasan
ruang dan untuk menghindari pembahasan yang berulang-ulang, hanya hubungan
Premis 3 dan Simpulan saja yang akan dianalisis. Dalam Premis 3 terdapat
ungkapan Bahwa Qira'at Sab'ah adalah suatu ilmu sebagai halnya Ilmu Tajwid
yang oleh karenanya perlu dikembangkan ... . Secara jelas, kita dapat melihat
bahwa dalam Simpulan terdapat ungkapan Qira'at Sab'ah adalah sebagian ilmu
dari Ulum al-Qur'an yang wajib diperkembangkan dan dipertahankan
eksistensinya . Frasa sebagai halnya dalam Premis 3 tersebut menunjukkan
bahwa hubungan Simpulan dengan Premis 3 adalah argumentasi yang didasarkan
atas analogi (argument from analogy). Menurut Walton (2002: 36 dan 2006: 96)
argumen yang berasal dari analogi memiliki pola dasar sebagai berikut.
Premis keserupaan : Secara umum, kasus C1 menyerupai kasus C2.
Premis dasar : A adalah benar (salah) dalam kasus C1.
Konklusi : A adalah benar (salah) dalam kasus C2.
Dalam praktik analisis, kita perlu mengidentifikasi terlebih dahulu hal-hal
yang menjadi keserupaan dalam analogi tersebut. Yang dimaksud dengan C1
dalam analogi ini adalah ilmu tajwid, C2 dalam analogi ini adalah i ā ah sab ah,
dan A dalam analogi tersebut adalah bagian dari ulū Al-Qur ā ya g ha us dikembangkan dan dipertahankan. Dengan demikian, pemanfaatan pola skema
argumentasi dalam praktik analisis adalah seperti berikut ini.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
346
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Premis keserupaan : Secara umum, ilmu tajwid menyerupai i ā'ah sab'ah (sama-sama bagian dari Ulum Al-Qur an
dan harus dikembangkan dan dipertahankan).
Premis dasar : Pernyataan bahwa ilmu tajwid adalah bagian
dari ūlu Al-Qur ā da ha us dike ba gka dan dipertahankan (A) adalah benar.
Konklusi : Pernyataan bahwa i ā'ah sab'ah adalah bagia dari ūlu Al-Qur ā ya g ha us dipertahankan
dan dikembangkan (A) adalah benar.
Kualitas argumentasi dalam hubungan Simpulan dengan Premis 3 dapat
kita uji melalui pertanyaan evaluatif yang berkaitan dengan skema argumen yang
didasarkan atas analogi. Semakin baik sebuah teks menyediakan jawaban bagi
pertanyaan tersebut, maka semakin baik pula kualitas argumentasinya. Menurut
Walton (2006: 97), argumentasi yang didasarkan atas analogi ini dapat dievaluasi
melalui pertanyaan berikut.
1. Adakah perbedaan antara i ā ah dan tajwid yang dapat menurunkan derajat
kesamaan keduanya?
2. Apakah kewajiban mengembangkan dan mempertahankan adalah benar
dalam kasus ilmu tajwid?
3. Adakah bagian ulū al-Qur ā yang juga menyerupai tajwid, tetapi dalam hal
ini justru tidak wajib dikembangkan?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu mengetahui apa itu tajwid
dan apa itu i ā ah, bagaimana posisi keduanya dalam ulū Al-Qur ā , cakupan
kajiannya, dan hukum mempelajari dan menerapkan kedua ilmu tersebut dalam
membaca Al-Quran. Persoalan ini mungkin dapat kita dapatkan jawabannya
dengan melihat lampiran dan atau kutipan dasar hukum dalam teks fatwa. Akan
tetapi, seperti dapat diperiksa dalam buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Sejak 1975, lampiran fatwa Qiraat Sab ah ini tidak ada, sehingga kita
harus mencari sendiri jawaban dari pertanyaan tersebut.
Al-Banna (t.t.: 67) mengemukakan beberapa hal terkait dengan ilmu i ā ah
sebagai berikut.
... bahwa i ā ah adalah ilmu yang mempelajari kesepakatan dan
perselisihan para pelestari ( ā il) kitab Allah terkait dengan pelesapan (haźf)
dan penetapan (iśbāt), membunyikan (tahrik) atau mendiamkan (taskī ),
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
347
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memutus atau menyambung, dan yang selain itu dari sudut pandang wicara
(nutq) dan yang sejenisnya yang terkait dengan pendengaran.
Dikatakan juga bahwa ( i ā ah adalah) ilmu tentang tata cara membaca
kata-kata di dalam Al-Quran dan segala perselisihan yang terkait dengan cara
baca tersebut.
Definisi serupa ini juga dapat kita lihat dalam Al-Makki (2006: 204) dan Al-Zarqani
(t.t.: 336). Adapun mengenai tajwid, kita dapat melihat definisi yang dikemukakan
oleh Al-Hudhari (t.t.: 17) sebagai berikut.
Tajwid menurut para ahli ada dua macam.
Pertama, mengetahui kaidah dan ketentuan yang dikemukakan ulama
tajwid dan ditetapkan ulama qira at mengenai artikulator ( akhā ij) bunyi
dan karakteristiknya; perbedaan antara bunyi yang serupa ( uta āśil), yang
artikulatornya berdekatan ( uta ā ib), dan yang berjenis sama ( utajā is);
hukum ū mati dan tanwin; hukum ī mati; bacaan panjang (madd)
beserta jenis dan hukumnya; tepat dan jenis pemberhentian (waqf) dan
memulai kembali (ibtidā ) kalimat yang terpotong dan tersambung; cara
melafalkan tā a būtah dan tā aftūhah; dan lain sebagainya yang telah
digariskan ulama.
Yang semacam ini disebut tajwid ilmiah
Kedua, membunyikan huruf Al-Quran secara jelas dan penegasan cara
mengucapkan kata-kata dalam Al-Quran; (ilmu ini) bertujuan memperbagus
cara pelafalan, memperoleh cara pelafalan ter-fasih dan cara pengungkapan
terbaik.
Berdasarkan definisi tajwid dan i ā ah di atas, kita dapat melihat tajwid
dan i ā ah bukan hanya sama-sama bagian dari ulū Al-Qur ā , melainkan juga
bagian dari ulū Al-Qur ā yang memiliki objek kajian yang serupa, yaitu
persoalan membaca Al-Quran. Jadi, penggunaan tajwid sebagai analogi dalam
menetapkan hukum i ā ah sudah sangat tepat. Apabila kita menggunakan
semantik leksikal sebagai alat memetakan kedua ilmu ini dalam kaitannya dengan
ulū Al-Qur ā , maka tajwid dan qirā ah adalah meronim dari ulū Al-Qur ā
yang berfungsi sebagai holonim. Hubungan meronimi antara ketiganya bersifat
kanonikal bilateral.
Pertanyaan kedua dapat kita jawab dengan melihat jawaban pertanyaan
yang kurang lebih sama pada argumentasi sebelumnya. Dengan demikian kita
dapat mempertimbangkan Al-Hudhari (t.t.: 17) mengenai tajwid
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
348
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kedua, membunyikan huruf Al-Quran secara jelas dan penegasan cara
mengucapkan kata-kata dalam Al-Quran; (ilmu ini) bertujuan memperbagus
cara pelafalan, memperoleh cara pelafalan ter-fasih dan cara pengungkapan
terbaik.
Lalu kita bandingkan dengan pendapat al-Ba ā (t.t.: 67),
Manfaat dari il u i ā ah ini adalah menjaga Al-Quran (dengan seluruh
varian bacaannya) dari pengubahan (tah īf) dan perubahan (taghyī ). Hingga
saat ini, setiap huruf yang dibaca berdasarkan versi seorang ahli i ā at
memiliki makna spesifik yang berbeda dari bacaan lain versi ahli lainnya.
Keragaman bacaan ini juga menjadi sumber penetapan hukum para ahli fiqh
dan sumber dalam mencari petunjuk, termasuk di dalamnya memilihkan yang
termudah (versi bacaan dan mungkin juga putusan hukum akibat bacaan
tersebut) bagi masyarakat.
Jadi, jelas bahwa ilmu i ā ah tampaknya sangat penting untuk dipertahankan.
Untuk pertanyaan ketiga, saya tidak dapat menemukan ilmu yang serupa
dengan tajwid tetapi tidak wajib untuk dikembangkan. Dengan demikian, dapat
dinyatakan di sini bahwa analogi dalam fatwa ini pada dasarnya adalah baik.
Hal yang menjadi persoalan dalam kualitas argumentasi yang didasarkan
atas analogi ini adalah persoalan kutipan dasar hukum atau lampiran penjelasan.
Seperti telah dijelaskan di atas, mengingat kemiripan dan bahkan
kebertumpangtindihan objek pembahasan, analogi qirā ah dengan tajwid sebagai
dasar mempertahankan dan mengembangkan qirā ah sudah sangat tepat. Sayang
sekali bahwa untuk mengetahui hal-hal yang dapat dianalogikan dari qirā ah dan
tajwid, pembaca harus direpotkan mencari sendiri sumber di luar teks fatwa.
Akibatnya, bagaimanapun juga, kualitas argumentasi putusan hukum tersebut
menjadi kurang kuat dan, dengan begitu, daya persuasifnya menjadi berkurang.
Sebagai contoh lain, kita dapat juga melihat bagaimana putusan hukum
pertama fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (Dua) Gelombang dibangun. Untuk
memudahkan pembahasan, ringkasan struktur premis-simpulan dalam
argumentasi putusan hukum pertama fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (Dua)
Gelombang.
Sebenarnya bisa saja menguji kualitas hubungan antara setiap premis dan
simpulan, tetapi yang akan diuraikan di sini hanya hubungan Premis 3 dan Premis
4 dengan Simpulan.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
349
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hubungan Premis 3 dengan Simpulan dapat dilihat melalui hubungan
pernyataan ... Hal ini menunjukkan bahwa masalah tersebut tidak dibenarkan
dan tidak dapat dipandang sebagai masalah khilafiyah ... dalam premis tersebut
dengan pernyataan Pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang (lebih dari satu
kali) di tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak sah dalam
simpulan. Namun demikian, pada bagian awal Premis 3 terdapat ungkapan Sejak
masa Nabi sampai dengan abad kedua puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat
Jum'at dua gelombang belum pernah dibicarakan atau difatwakan oleh para
ulama .. yang menunjukkan bahwa skema argumentasi yang digunakan dalam
hubungan Premis 3 dan Simpulan adalah argumentasi yang didasarkan atas opini
populer.
Skema dasar dari argumentasi yang didasarkan atas opini populer ini adalah
sebagai berikut.
Premis keberterimaan umum : A secara umum diterima sebagai benar.
Premis presumsi : Jika A secara umum diterima sebagai benar,
maka hal itu memberi alasan untuk
mendukung kebenaran A.
Konklusi : Terdapat alasan untuk mendukung
kebenaran A.
(Walton 2006: 91)
Yang perlu dicatat dari skema di atas adalah bahwa simpulan dalam skema dasar
bersifat positif, yaitu Terdapat alasan untuk mendukung kebenaran A. Padahal,
Simpulan bersifat negatif, yaitu Pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang (lebih
dari satu kali) di tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak
sah . Artinya, skema dasar argumentasi yang didasarkan atas opini populer ini
harus ditransformasi menjadi negatif terlebih dahulu, sehingga skema tersebut
menjadi sebagai berikut.
Premis ketakberterimaan umum : A secara umum tidak diterima sebagai benar.
Premis presumsi : Jika A secara umum tidak diterima sebagai
benar, maka hal itu memberi alasan untuk
mendukung ketidakbenaran A.
Konklusi : Terdapat alasan untuk mendukung
ketidakbenaran A.
(Walton 2006: 91)
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
350
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam analisis data, A dalam skema tersebut adalah shalat Jumat dua gelombang
dan premis ketidakberterimaan umum disimpulkan dari ungkapan Sejak masa
Nabi sampai dengan abad kedua puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat Jum'at
dua gelombang belum pernah dibicarakan atau difatwakan oleh para ulama.
dalam Premis 3. Dengan demikian, skema tersebut menjadi sebagai berikut.
Premis
ketakberterimaan
umum
: Shalat Jumat dua gelombang secara umum
tidak dapat diterima sebagai benar.
Premis presumsi : (Sejak masa Nabi sampai dengan abad kedua
puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat
Jum'at dua gelombang belum pernah
dibicarakan atau difatwakan oleh para
ulama.) Jika shalat Jumat dua gelombang
secara umum tidak dapat diterima sebagai
benar, maka hal itu memberi alasan untuk
mendukung ketidakbenaran shalat Jumat dua
gelombang.
Konklusi : Terdapat alasan untuk menyatakan bahwa
shalat Jumat dua gelombang tidak dapat
dibenarkan.
Dengan mengikuti skema argumentasi ini, ketidaksahan shalat Jumat dua
gelombang disebabkan oleh ketiadaan fatwa dalam masalah ini, karena hukumnya
sudah jelas tidak boleh. Yang juga perlu dicatat adalah bahwa dalam teks asli
fatwa, Premis 3 ini dilengkapi dengan kutipan yang berasal dari Mahmud Syaltut.
Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
معة مرتين فى مكان واحد ووقت واحد فى جماعتين بخطبتين لم تعهد فى حاضر الإسلام ومماضلا، و ولم رعلار والدعوة إلى إقامة اد فى أصل التشررعو وإذن تكون هذ الثالثة أرضا تشررعا بما لم رأذن ب الله. )محمود شلتوتو الفتاوىو ]القاهرة: دار القلمو لها س
(دس[و الطبعة الثالثةو ص:
"Himbauan untuk melakukan salat Jum'at dua kali di satu tempat dan pada
waktu yang sama --kecuali diselingi waktu untuk memberikan kesempatan
kepada gelombang pertama keluar dan gelombang kedua masuk masjid--
dalam dua kali berjamaah dan dengan dua kali khutbah, belum pernah dikenal,
baik pada masa sekarang maupun pada masa lalu, juga tidak mempunyai
sandaran (dasar) dalam syari'ah. Dengan demikian, hal ketiga ini dipandang
sebagai tasyri' (penetapan hukum) sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah."
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
351
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jadi, dengan adanya kutipan tersebut, pada dasarnya pernyataan bahwa
shalat Jumat dua gelombang belum pernah dibicarakan atau difatwakan
sebenarnya didasarkan atas pendapat ahli (appeal to expert opinion atau
argument from expert opinion) (Walton 2002: 49 dan Walton 2006: 86).
Selanjutnya, evaluasi terhadap skema argumentasi yang digunakan dalam
hubungan Premis 3 dan Simpulan dilakukan melalui pertanyaan evaluatif. Adapun
pertanyaan untuk mengevaluasi kualitas argumentasi yang didasarkan atas opini
populer menurut Walton (2006: 92) adalah sebagai berikut.
1. Bukti apakah, misalnya jajak pendapat atau atau seruan kepada pengetahuan
umum, yang mendukung klaim bahwa A secara umum diterima sebagai
benar?
2. Meskipun secara umum A diterima sebagai benar, apakah ada alasan yang
tepat untuk meragukan kebenarannya?
(Walton 2006: 92)
Dalam kaitannya dengan shalat Jumat dua gelombang ini, pertanyaan evaluatif
terhadap skema argumentasi yang didasarkan atas opini populer ini adalah
sebagai berikut.
1. Bukti apakah, misalnya jajak pendapat atau atau seruan kepada pengetahuan
umum, yang mendukung klaim bahwa shalat Jumat dua gelombang secara
umum tidak dapat diterima?
2. Meskipun secara umum shalat Jumat dua gelombang tidak dapat diterima,
apakah ada alasan yang tepat untuk meragukan kebenarannya?
Pertanyaan evaluatif pertama dapat kita temukan jawabannya pada
Premis 2 yang merupkan konsideran Mengingat poin ke-2, yaitu
Mengingat: 1. ...
2. Sebagai suatu ibadah, bentuk maupun tatacara pelaksanaan
salat Jum'at harus mengikuti segala ketentuan yang telah
ditetapkan oleh hukum Islam (Syari'ah) serta dipraktikkan
oleh Rasulullah. Kaidah Fiqh menegaskan:
Lebih lengkap lagi apabila kita melihat pendapat yang dikutip dalam konsideran
Mengingat poin ke-2 ini, yaitu
(.و ص: دمشق: مكتبة الفارابيو نظررة الضرورة الشرع،ةو متشرع عبادة إم بشرع الله )الدكتور وهبة الزح،ليو "Suatu ibadah tidak disyari'atkan kecuali disyari'atkan oleh Allah."
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
352
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
الأصل فى العبادات التوق،فو فمرتعبد الله إم بملاا شلارع الله ك كتابلا وعللاا لرلاان رسلاول محملاد صلالا الله عل،لا وسلالمو فلا ن العبلاادة بهلالاا مركلالاون ام عللالاا الويلالا اللالاذ حلالاق للالاالت لله تعلالاالى قلالاد علبلالا ملالاى عبلالااد بمقتضلالاا ربوب،تلالا لهلالام. وك،ف،لالاة العبلالاادة وه، تهلالاا والتقلالار
)اللادكتور صلااب بلاى عبلاد الله بلاى -الشلاورى: -شرع وأذن ب . قال تعالى: أ لهم شركاء شرعوا لهم مى الدرى ملاالم رلاأذن بلا الله رج ك الشررعة الإسمم،ة ضوابط وتطب،قات و حم،دو (هلا ص: د :دارالإستقامةو الطبعة الثان،ةو رفع ا
"Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif (mengikuti ketentuan dan
tata cara yang telah ditetapkan oleh Syari'ah). Karena itu, tidak dibenarkan
beribadah kepada Allah kecuali dengan peribadatan yang telah disyari'atkan
oleh Allah dalam Kitab-Nya dan melalui penjelasan Rasul-Nya, Muhammad
saw. Hal itu karena ibadah adalah hak murni Allah yang Ia tuntut dari para
hamba-Nya berdasarkan sifat rububiyah-Nya terhadap mereka. Tata cara, sifat,
dan ber-taqarrub (melakukan pendekatan diri kepada Allah) dengan ibadah
hanya boleh dilakukan dengan cara yang telah disyari'atkan dan diizinkan-Nya.
Ia berfirman: 'Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (selain Allah) yang
mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?...' (QS. asy-
Syura [42]: 21)."
بي صلعم أن قال: ملاى أحلاد العبادات مب اها علا التوق،ف وامتباعو معلا الهوى وامبتداع. ففا الصح،حين عى عائشة عى اللالا فهلالاو رد )ابلالاو الفضلالال عبلالاد الرلالام بلالاى محملالاد بلالاى عبلالاد الكلالار و و التقررلالاو والتهلالاذرو لعللالاو شلالا، الإسلالام فى أمرنلالاا هلالاذا ملالاا للالا،و م
ةو لش، الإسم ابى (.و ص: دار الفتوح الإسمم،ةو الطبعة الأولىو ت،م،ةو امعتصا بالكتا والر"Ibadat itu didasarkan pada tauqif dan ittiba' (mengikuti petunjuk dan contoh
dari Nabi), bukan pada hawa nafsu dan ibtida' (cipataan sendiri). Ditegaskan
dalam Sahih Bukhari-Muslim, dari 'A'isyah, dari Nabi saw., ia bersabda, 'Barang
siapa mengada-adakan dalam agama kita ini sesuatu yang bukan dari agama,
maka ia ditolak.'"
Skema argumentasi terakhir yang perlu didentifikasi dan dievaluasi dalam
putusan hukum pertama fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (Dua) Gelombang ini
adalah hubungan antara Premis 4 dan Simpulan. Dalam hal ini, kita dapat melihat
bahwa Premis 4 berisikan konsideran Mengingat poin ke-4 yang di dalamnya
terdapat pernyataan Pendapat sebagian ulama bahwa pelaksanaan salat Jum'at
lebih dari satu kali tidak dibenarkan. Apabila pernyataan tersebut kita
hubungkan dengan putusan hukum pertama yang menjadi simpulan ini, yaitu
pernyataan Pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang (lebih dari satu kali) di
tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak sah, maka skema
yang digunakan dalam hubungan Premis 4 dengan Simpulan adalah argumentasi
yang didasarkan atas pendapat ahli (appeal to expert opinion atau argument from
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
353
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
expert opinion) yang merupakan salah satu bentuk argumen yang didasarkan atas
posisi seorang yang tahu (position to know) (Walton 2002: 49 dan Walton 2006:
86).
Skema dasar dari argumentasi yang didasarkan atas pendapat ahli ini
secara mendasar adalah sebagai berikut.
Premis mayor : Sumber E adalah ahli dalam bidang D yang
mengetahui proposisi A.
Premis minor : E menyatakan bahwa proposisi A (dalam
bidang D) adalah benar (salah).
Konklusi : A dapat dipertimbangkan sebagai benar
(salah).
(Walton 2002: 49 dan Walton 2006: 87)
Dalam kasus yang kita hadapi ini, sumber E yang dimaksud di sini adalah sebagian
ulama yang pendapatnya dikutip dalam konsideran Mengingat poin ke-4, yaitu
pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan Tanwīr al-Qulūb. Bidang D adalah fiqh
sebagai disiplin ilmu yang membahas hukum shalat Jumat. Proposisi A adalah
shalat Jumat dua gelombang tidak dapat dibenarkan. Dengan demikian, skema
argumentasi yang menghubungkan Premis 4 dan Simpulan adalah sebagai
berikut.
Premis mayor : Sebagian ulama (pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan
Tanwīr al-Qulūb) adalah ahli dalam bidang fiqh yang
mengetahui bahwa shalat Jumat dua gelombang adalah tidak
dibenarkan.
Premis minor : Sebagian ulama (pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan
Tanwīr al-Qulūb) menyatakan bahwa shalat Jumat dua
gelombang adalah tidak dibenarkan.
Konklusi : Pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jumat dua
gelombang adalah tidak dibenarkan dapat dipertimbangkan
sebagai benar.
Selanjutnya, sebagaimana juga dianjurkan oleh Walton (2006) dan juga
telah dilakukan di atas untuk menguji skema argumentasi yang sama,
pemanfaatan skema argumentasi yang didasarkan atas pendapat ahli ini dapat
dievaluasi melalui lima pertanyaan berikut.
1. Kepakaran: Seberapa kredibel E sebagai sumber ahli?
2. Bidang: Apakah E ahli dalam bidang tentang A?
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
354
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Opini: Apa pernyataan E yang mengimplikasikan A?
4. Keterpercayaan: Apakah E seorang yang dapat dipercaya sebagai sumber?
5. Konsistensi: Apakah pernyataan A konsisten dengan yang dinyatakan pakar
lain?
6. Bukti pendukung: Apakah pernyataan E didasarkan atas bukti?
(Walton 2002: 50 dan Walton 2006: 88)
Dalam kaitannya dengan data yang sedang dianalisis ini, pertanyaan evaluatif
tersebut akan menjadi seperti berikut ini.
1. Kepakaran: Seberapa kredibel pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan
Tanwīr al-Qulūb sebagai sumber ahli?
2. Bidang: Apakah pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan Tanwīr al-Qulūb
ahli dalam bidang tentang A?
3. Opini: Apa pernyataan pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan Tanwīr al-
Qulūb yang mengimplikasikan A?
4. Keterpercayaan: Apakah pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan Tanwīr al-
Qulūb seorang yang dapat dipercaya sebagai sumber?
5. Konsistensi: Apakah pernyataan shalat Jumat dua gelombang adalah tidak
dibenarkan konsisten dengan yang dinyatakan pakar lain?
6. Bukti pendukung: Apakah pernyataan pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah
dan Tanwīr al-Qulūb didasarkan atas bukti?
Pertanyaan pertama, kedua, dan keempat terkait dengan kredibilitas ahli,
bidang keahlian, dan keterpercayaan sumber ahli yang dikutip dalam fatwa
tersebut. Dalam hal ini yang dimaksud adalah pengarang kitab Al-Hawāsyi al-
Madaniyyah dan Ta wī al-Qulūb. Dalam teks fatwa, Sulaiman Al-Kurdi
dicantumkan sebagai pengarang Al-Hawāsyi al-Madaniyah, tetapi pengarang kitab
Ta wī al-Qulūb tidak dicantumkan. Tentu saja sulit mencari informasi mengenai
kredibilitas, bidang keahlian, dan keterpercayaan ahli yang pendapatnya dikutip
tersebut apabila pengarangnya tidak diketahui. Namun demikian, apabila yang
dimaksud dalam teks fatwa tersebut adalah kitab Ta wī al-Qulūb fī Mu ā alah Allā al-Ghuyūb, maka pengarangnya adalah pengarang yang sama dengan
pengarang kitab Al-Hawāsyi al-Madaniyah, yaitu Sulaiman al-Kurdi atau juga
Muhammad Amin al-Kurdi. Jadi, kredibilitas, bidang keahlian, dan keterpercayaan
dua ahli yang dipersoalkan di sini bisa jadi adalah kredibilitas satu orang yang
sama yang menulis dua kitab yang berbeda. Al-Jābi : , de ga e gutip pendapat Abd al-Karī al-Mudarris dalam pengantar edisi tahqiq kitab Al-Fawā id
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
355
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
al-Madaniyah, mengemukakan bahwa al-Kurdi merupakan ahli fiqh di daerah
Hijaz, mufti mazhab Syafi i untuk daerah Madinah, dan merupakan seorang
cendikia, taat beragama, rendah hati, berakhlak mulia, dan sumber ilmu
pengetahuan terpenting saat ia hidup.
Pertanyaan ketiga terkait dengan pernyataan kedua pengarang tersebut
dalam kaitannya dengan shalat Jumat dua gelombang. Dalam fatwa yang
dianalisis ini, pernyataan keduanya dikutip sebagai dasar penetapan fatwa.
Dengan demikian, pertanyaan ketiga untuk menguji kualitas argumentasi dapat
dijawab. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat kembali kutipan tersebut di
bawah ini.
...
1) Al-Hawasyi al-Madaniyah:
لاع )سلال،مان الكلارد و واشلاي المدن،لاةوأما غير المأمو فميجوز استخمف لأنلا رشلاب إنشلااء جمعلاة بعلاد أللارى وهلاو لت لازء ا ا (الثانيو ص:
"Imam (ketika tidak dapat meneruskan salatnya karena hadas, misalnya)
tidak boleh meminta selain makmum untuk menggantikan posisinya,
karena hal itu serupa dengan melaksanakan salat Jum'at sesudah salat
Jum'at yang lain; dan hal itu dilarang (tidak dibenarkan)."
2) Tanwir al-Qulub:
م لالا..حلالا إذا كلالاان رلالالاو ا صلالالا الله عل،لالا وسلالالمو ولم رلالالارللت عل،لالا الصلالامة والر م ملالاع فلالالار علالاة لم رق،موهلالاا إم ك مرلالا ددةو أو رصلاللي بملاى ضلاور أول الوقلات ورلاأذن ك أن تلاقلاا حبل للتلا،رير علا أمت ك أن رق،موها ك مرايد متلاعدل لار للا ا رلاتلا،ر
عون أن اضلالارواو وكلالاان ذللالا جمعلالاة وجمعلالاة والثلالاةو وهكلالاذا لبلالااقا اللالاذرى م ررلالاتط،لا أررلالار عللالا،هم للالاو كلالاان. وعللالاا سلالات بلاعلالادزء الأولو ص: الر ورر القلو و ا (.لال،ة درج للفاؤ الكرا )ت
"...Hingga ketika tiba hari Jum'at, mereka (para sahabat) tidak melakukan
salat Jum'at kecuali di masjid Nabi. Betapapun sangat senang untuk
memberikan kemudahan kepada umatnya, Nabi tidak memberikan
rukhsah (keringanan) kepada mereka untuk melaksanakan Jum'at di
beberapa masjid, atau ia melakukan salat Jum'at bersama orang yang
dapat hadir di awal waktu dan mengizinkan melakukan salat Jum'at lagi,
sedudahnya, satu salat Jum'at lagi, dan seterusnya, bagi mereka yang
tidak dapat hadir (untuk salat bersama Nabi); padahal, hal itu akan lebih
memudahkan mereka andai kata boleh. Para khalifah yang mulia pun
mengikuti jejak Nabi tersebut."
. . . . .
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
356
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Amin et al. 2010:)
Pertanyaan kelima terkait dengan apakah pendapat pengarang Al-Hawasyi
al-Madaniyah dan Tanwir al-Qulub konsisten dengan pendapat lainnya. Dalam hal
ini, apabila kita menganggap pengarang dua kitab tersebut adalah dua orang yang
berbeda, maka kesamaan pandangan dua pengarang tersebut sudah cukup
membuktikan bahwa setiap pendapat tersebut saling menguatkan. Akan tetapi,
apabila pengarang dua kitab tersebut adalah satu orang yang sama, maka kita
dapat melihat pendapat Mahmud Syaltut yang dikutip dalam bagian Mengingat
poin 3 fatwa tersebut untuk menjawab pertanyaan mengenai konsistensi
antarahli dalam masalah ini. Hal itu akan menjadi semakin jelas apabila kita
melihat pendapat ulama yang bermazhab Syafi i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali yang
dikutip melalui al-Jaziri dalam bagian Mengingat poin 5. Dengan demikian,
pertanyaan evaluatif mengenai konsistensi pendapat antarahli dengan sendirinya
dapat dijawab oleh teks fatwa tersebut.
Pertanyaan terakhir, terkait dengan apakah pendapat pakar tersebut
didasarkan atas bukti atau tidak. Dalam hal ini, kita dapat melihat pendapat
Muhammad Syaltut bahwa shalat Jumat dua gelombang tidak dikenal dan tidak
difatwakan hingga abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam penetapan
putusan hukum shalat Jumat dua gelombang oleh Sulaiman al-Kurdi, praktik
popular dan opini popular barangkali merupakan bukti yang digunakan tetapi
tidak disebutkannya secara eksplisit. Hal itu dapat tersirat dari ungkapannya yang
dikutip dalam teks fatwa.
معلالاة لم رق،موهلالاا إم لالام ملالاع فلالالار حبللالا ..حلالا إذا كلالاان رلالالاو ا صلالالا الله عل،لالا وسلالالمو ولم رلالالارللت عل،لالا الصلالامة والر ك مرلالا ددةو أو رصللي بمى رلاتلا،رر للا ا جمعلاة ضلاور للتلا،رير علا أمت ك أن رق،موها ك مرايد متلاعدل أول الوقلات ورلاأذن ك أن تلاقلاا بلاعلاد
عون أن اضلارواو وكلالاان ذللا أررلالار عللا،هم لال،ة درج للفلالااؤ وجمعلاة والثلاةو وهكلالاذا لبلااقا اللالاذرى م ررلاتط،لا لا للاو كلالاان. وعللاا سلالات الر زء الأولو ص: ورر القلو و ا (.الكرا )ت
"...Hingga ketika tiba hari Jum'at, mereka (para sahabat) tidak melakukan salat
Jum'at kecuali di masjid Nabi. Betapapun sangat senang untuk memberikan
kemudahan kepada umatnya, Nabi tidak memberikan rukhsah (keringanan)
kepada mereka untuk melaksanakan Jum'at di beberapa masjid, atau ia
melakukan salat Jum'at bersama orang yang dapat hadir di awal waktu dan
mengizinkan melakukan salat Jum'at lagi, sedudahnya, satu salat Jum'at lagi,
dan seterusnya, bagi mereka yang tidak dapat hadir (untuk salat bersama
Nabi); padahal, hal itu akan lebih memudahkan mereka andai kata boleh. Para
khalifah yang mulia pun mengikuti jejak Nabi tersebut."
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
357
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selain itu, kita dapat pula mempertimbangkan pendapat Wahbah al-
Zuhayli, Shalih bin Abdullah bin Hamid, dan Abu al-Fadhl Abd as-Salam yang
dikutip dalam bagian Mengingat poin ke-2 dalam teks fatwa mengenai keharusan
ibadah untuk hanya mengikuti praktik yang diakui. Pertimbangan ini kemungkinan
juga digunakan oleh Sulaiman al-Kurdi, Muhammad Syaltut, dan juga ulama
lainnya, dalam menetapkan hukum persoalan ini. Dengan demikian, pertanyaan
mengenai bukti dalam persoalan ini pada dasarnya dapat dijawab.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa secara linguistik, kualitas
argumentasi fatwa tentang shalat Jumat dua gelombang ini lebih baik daripada
fatwa tentang Qira at Sab ah. Hal ini, menurut saya, adalah wajar apabila kita
mempertimbangkan ketaktersediaan lampiran dalam fatwa tentang Qira at
Sab ah yang seharusnya ada. Sebaliknya, pendapat dan dasar penetapan putusan
hukum dalam fatwa tentang shalat Jumat dua gelombang dikutip langsung di
dalam teks fatwa. Hal ini memudahkan pembaca untuk mencari langsung rujukan
dan dasar dari penetapan hukum dalam fatwa tersebut. Dengan kata lain, dalam
kaitannya dengan dua fatwa yang dianalisis di atas, dapat dikatakan juga bahwa
ketersediaan dasar penetapan hukum dalam teks fatwa menjadi hal penting yang
mempengaruhi kualitas argumentasi fatwa.
Namun demikian, kita dapat melihat hal yang dapat dipersoalkan dalam
teks fatwa tentang shalat Jumat tersebut, misalnya konsistensi redaksional. Dalam
bagian Mengingat poin ke-3, dikemukakan bahwa
Sejak masa Nabi sampai dengan abad kedua puluh Masehi, masalah
pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang belum pernah dibicarakan atau
difatwakan oleh para ulama.
Kandungan ungkapan tersebut bertentangan dengan bagian Mengingat poin ke-4
yang di dalamnya tertulis
Pendapat sebagian ulama bahwa pelaksanaan salat Jum'at lebih dari satu
kali tidak dibenarkan. Pendapat tersebut, antara lain, tercantum dalam kitab:
... .
Bahkan, untuk menguatkan pandangan bahwa shalat Jumat dua gelombang
belum pernah dibicarakan dan difatwakan, bagian Mengingat poin ke-3
sebenarnya hanya mengutip pendapat Mahmud Syaltut. Meskipun persoalan ini
tidak menggugurkan bangunan argumentasi teks fatwa ini secara keseluruhan,
tetapi hal ini tetap merupakan inkonsistensi yang seharusnya tidak terjadi.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
358
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pertama, seperti telah diungkapkan di atas, ungkapan bahwa Sejak masa
Nabi sampai dengan abad kedua puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat Jum'at
dua gelombang belum pernah dibicarakan atau difatwakan oleh para ulama ...
dalam Mengingat poin ke-3 pada dasarnya hanyalah kutipan dari pendapat
Mahmud Syaltut. Pernyataan tersebut kurang lebih berarti sama dengan
ungkapan معلالاة ملالارتين فى مكلالاان واحلالاد ووقلالات واحلالاد فى جملالااعتين بخطبتلالا ين لم تعهلالاد فى حاضلالار الإسلالام واللالادعوة إلى إقاملالاة اومماضلا، /wa ad-da watu ila iqāmah al-jum ah marratain fi makān wāhid wa waqt
wāhid fī jamā atain wa khutbatain lam tu had fī hādir al-islām walā al- ādiyah/
yang kurang lebih berarti himbauan melaksanakan shalat Jumat dua kali di
tempat dan waktu yang sama dengan dua kali jama ah dan dua kali khutbah tidak
pernah terjadi pada masa lalu hingga masa kini. Begitu pula ungkapan
selanjutnya. Kalimat ... Hal ini menunjukkan bahwa masalah tersebut tidak
dibenarkan dan tidak dapat dipandang sebagai masalah khilafiyah ... merupakan
kutipan dari وإذن تكلاون هلاذ الثالثلاة أرضلاا تشلاررعا بملاا لم رلاأذن بلا الله /waiźan takūnu hāźihi aś-śāliśah
ayda tasy ī a bi ā la ya źa bihi Allāhu/ yang berarti dengan demikian,
perkara ketiga ini juga merupakan pensyariatan sesuatu yang tidak diizinkan
Allah.
Kedua, sebagaimana dapat dilihat, setelah dua kalimat pertama tersebut,
terdapat ungkapan, ... Atas dasar itu, ketika surat kabar al-Jumhuriyah (Mesir),
edisi 7 April 1955, menyiarkan sebuah keputusan (qarar) tentang kewajiban
wanita melaksanakan salat Jum'at yang dilakukan sebelum pelaksanaan salat
Jum'at oleh kaum pria, ... Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa persoalan
shalat Jumat dua gelombang ini pernah diwacanakan, dan itu berarti bahwa
ungkapan tersebut membantah kalimat pertama dalam bagian Mengingat poin
ke-3 ini. Dengan demikian, kedua pernyataan tersebut seharusnya tidak menjadi
kalimat pembuka bagian Mengingat poin ke-3 ini. Lebih tepat jika digunakan
ungkapan semacam menurut pendapat Mahmud Syaltut atau Muhammad Syaltut
pernah menanggapi keputusan dalam surat kabar Al-Jumhuriyah Mesir edisi 7
April 1955 dengan berpendapat ... Dengan begitu, lebih jelas bahwa sebenarnya
penolakan atas shalat Jumat dua gelombang ini didasarkan atas pendapat ahli.
Ketiga, dalam terjemahan kutipan teks dari Mahmud Syaltut tersebut,
terdapat ungkapan ... --kecuali diselingi waktu untuk memberikan kesempatan
kepada gelombang pertama keluar dan gelombang kedua masuk masjid-- ...
sebagai keterangan shalat Jumat dua kali di waktu dan tempat yang sama. Perlu
dikemukakan bahwa ungkapan penjelasan tersebut tidak terdapat dalam teks
Arab yang dikutip dari Syaltut. Dengan begitu, perlu dipertanyakan asal ungkapan
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
359
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tersebut sebagai penjelasan dari shalat Jumat dua kali di waktu dan tempat yang
sama. Lebih daripada itu, muatan ungkapan tersebut bukannya menguatkan
putusan hukum, melainkan melemahkannya. Sebab, apabila kita
mempertimbangkan informasi yang terdapat dalam ungkapan tersebut, hukum
shalat Jumat dua gelombang seharusnya adalah boleh.
Keempat, perlu dikemukakan juga bahwa pendapat Syaltut tersebut
merupakan reaksi terhadap ketetapan dalam surat kabar Al-Jumhuriyah Mesir
edisi 7 April 1955. Artinya, ada kemungkinan pendapat yang berbeda mengenai
shalat Jumat dua gelombang ini. Hal ini, selain menunjukkan adanya pendapat
yang membolehkan shalat Jumat dua gelombang dan bahwa persoalan ini pernah
juga dibahas, juga menunjukkan hal yang patut dipertanyakan, yaitu mengapa
Komisi Fatwa tidak mencoba melihat pendapat yang dikritisi oleh Syaltut, tetapi
justru mengambil pendapat Syaltut? Setidaknya, perlu juga ketetapan itu
ditampilkan dalam teks fatwa, sehingga pembaca fatwa dapat mengetahui
kelemahan dari ketetapan tersebut dan lebih baik lagi apabila disediakan alasan
untuk tidak menggunakan ketetapan tersebut.
Sebagai informasi pembanding, kita tampaknya perlu mempertimbangkan
pendapat yang membolehkan shalat Jumat dua gelombang di bawah ini.
... اس مى إعادة :الإجابة معةما رفعل ال معلاة ملاع ا ظلاا ك المدرسلاة م اكتلاى المتلاألررى ملاى أداء ا ك مرلا د واحلاد ة لاة أن ال
معلاة وويلاد ملاى رصلالي معلا وللاو واحلادا الأولينو فهذا عللاا ملاذهو ابلاى حلاز وملاى وافقلا م بلاأس بلا و ح،لا رلارى أن ملاى فاتتلا ا ف ن رصلي مع جمعةو أما إن لم يجد أحدا ف ن رصلي ظهرا .
..... (http://ar.islamway.net/fatwa/9258/ )
Jawaban: Mengulangi Jumat di masjid yang sama karena peraturan
sekolah yang tidak memungkinkan mereka yang keluar (beristirahat) lebih
akhir dapat shalat bersama dengan yang keluar lebih dahulu, menurut Ibnu
Hazm dan para pengikutnya, hukumnya boleh. Ibnu Hazm berpendapat
bahwa seseorang yang tidak dapat melaksanakan shalat Jumat kemudian dia
menemukan seseorang yang dapat diajak untuk melaksanakan shalat Jumat,
maka dia dapat melaksanakan shalat Jumat bersama seorang tersebut. Akan
tetapi, apabila dia tidak dapat menemukan seorang juga, maka dia wajib
melaksanakan shalat Zuhur.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
360
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendapat yang membolehkan shalat Jumat lebih dari satu kali di masjid yang sama
juga dapat kita lihat di bawah ini.
... معة ك المرلا د الواحلاد ك غلاير الشلاتاءو لعلاد ويلاود أملااكى ك ا لاع قلاوانين ويجوز تعدد ا لااس الصلامة بهلااو أو لم لاارج ررلاتط،ع ال
المرور زرادة عدد الر،ارات أكثر مى حد معينو أو نحو ذل مى الأعذار....
...
Diperbolehkan melaksanakan shalat Jumat lebih dari satu kali pada selain
musim dingin karena sulitnya menemukan tempat untuk melaksanakan
shalat Jumat, atau karena larangan aturan lalu-lintas yang membatasi jumlah
kendaraan, dan atau karena sebab lainnya
...
(http://fatwa.islamonline.net/1084)
Kelima, catatan terakhir tampaknya kita perlu berikan kepada teori
argumentasi kritis yang kembangkan oleh Walton (2006). Teori yang
dikembangkan Walton (2006), seperti kita lihat, mampu menjelaskan bagaimana
argumentasi putusan hukum pertama ini dibangun, baik dari segi struktur maupun
kualitasnya. Akan tetapi, teori tersebut tampaknya tidak mampu menjelaskan
alasan Komisi Fatwa MUI lebih memilih menggunakan pendapat Syaltut daripada
ketetapan yang terdapat dalam Al-Jumhuriyah edisi 7 April 1955 dan atau fatwa
lainnya yang membolehkan shalat Jumat lebih dari satu kali di masjid yang sama.
Di sini, penting bagi kita untuk melihat kembali teori argumentasi Toulmin (2003)
yang bercorak epistemo-retoris dan mempertimbangkan dimensi antropologis
dari sebuah argumentasi. Dalam pertimbangan teori yang bersifat antropologis
ini, putusan untuk menolak shalat Jumat dua gelombang merupakan argumen
yang sesuai dengan kecenderungan beragama masyarakat muslim Indonesia
dalam kerangka mazhab sebagai bingkai referensi atau kerangka pengetahuan
audiens (audience s frame of reference). Lebih jelasnya, pilihan untuk
memutuskan bahwa shalat Jumat dua gelombang adalah tidak sah salah satunya
disebabkan oleh kesesuaian pendapat tersebut dengan pendapat empat mazhab
yang diakui secara mayoritas di Indonesia, yaitu bahwa (menurut mazhab yang
empat) orang yang tidak dapat melaksanakan shalat Jumat hanya diwajibkan
melaksanakan shalat zuhur.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
361
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
C. Penutup
Berdasarkan uraian singkat di atas, terdapat dua simpulan yang dapat
dianggap merepresentasikan tujuan penelitian ini.
Pertama, secara struktur, argumentasi dalam fatwa sebagai sebuah
macrostructure direalisasikan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam
superstructure yang berbeda-beda. Dengan menggunakan pendapat An-Nawāwi
(t.t.) dan Al-Asyqar (1976), unsur substansial tampak sebagian besar telah dicoba
untuk dipenuhi, yaitu pencantuman dalil Al-Quran dan hadis, juga pendapat ahli
lainnya yang mendukung penetapan fatwa. Akan tetapi, unsur formal yang
disebutkan oleh An-Nawāwi (t.t.) dan Al-Asyqar (1976), misalnya ta āwuź,
hamdalah, dan QS Thaha ayat 22, tidak dicantumkan.
Dari segi format, terdapat dua macam format, yaitu yang berformat surat
keputusan dan yang berformat langsung. Penanda premis dalam fatwa berformat
surat keputusan biasanya berupa kata seperti Memperhatikan, Membaca, dan
Menimbang. Adapun penanda simpulan dalam fatwa berformat surat keputusan
adalah kata Memutuskan yang diikuti dengan kata Menetapkan atau
Memfatwakan. Dalam fatwa yang berformat langsung, identifikasi dilakukan
melalui inferensi terhadap kandungan informasi yang terdapat di dalam teks
fatwa. Penanda linguistik dari premis dalam fatwa berformat langsung berbeda-
beda, di antaranya adalah kata frasa Dasar Hukum atau Dasar Penetapan Hukum.
Penanda linguistik bagi simpulan dalam fatwa berformat langsung juga berbeda-
beda, di antaranya adalah frasa Ketentuan Hukum. Selain itu, dalam tahapan
analisis ini, ditemukan juga bahwa beberapa fatwa tidak memiliki struktur premis
simpulan. Lebih tepatnya, identifikasi premis dan simpulan tidak dapat dilakukan
karena petunjuk linguistik yang tidak memadai. Fatwa dengan karakteristik
terakhir ini tidak dapat dianalisis lebih lanjut.
Selanjutnya, uraian di atas menunjukkan juga bahwa hubungan antarpremis
dalam membangun argumentasi fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
berbeda-beda. Hal ini terutama disebabkan oleh kelengkapan unsur yang terdapat
di dalam fatwa. Kebanyakan fatwa memanfaatkan lebih dari satu jenis hubungan
argumentatif, misalnya convergent argument dengan linked argument atau
convergent argument dengan serial argument. Pemanfaatan hubungan
antarpremis yang rumit seperti ini tampaknya sulit dihindari, karena sebagian
besar fatwa menggunakan dasar penetapan hukum lebih dari satu. Artinya, dari
segi formal, sebagian besar teks fatwa Komisi Fatwa MUI pada dasarnya dapat
disebut teks yang argumentatif.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
362
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selain itu, ada juga fatwa yang hubungan antarpremisnya sulit ditentukan
dalam membangun simpulan atau putusan hukum. Fatwa semacam ini
merupakan fatwa yang pada dasarnya memiliki dasar hukum, tetapi tidak dapat
diidentifikasi dengan jelas sumber awal referensi dasar hukum yang digunakan
tersebut. Dalam pendiagraman argumentasi, ketiadaan lampiran yang mendukung
penetapan fatwa juga menyebabkan kesulitan untuk memastikan hubungan
antarpremis dalam membangun simpulan. Terakhir, ada juga fatwa yang
premisnya tidak dapat ditemukan, sehingga analisis terhadap hubungan
antarpremisnya tidak dapat dilakukan.
Kedua, dari segi kualitas, sebagian besar fatwa memanfaatkan lebih dari
satu macam skema argumentasi yang digunakan lebih dari satu, misalnya dengan
memanfaatkan argument from popular opinion, argument from expert opinion,
argument from expert opinion, dan argument from analogy sekaligus. Kondisi
seperti ini terdapat pada fatwa yang memanfaatkan banyak sumber sebagai dasar
penetapan hukum dari sebuah persoalan. Selanjutnya, analisis kualitas
argumentasi juga tidak dapat dilakukan terhadap fatwa yang premisnya tidak
dapat diidentifikasi. Artinya, fatwa yang tidak memiliki dasar penetapan hukum
dapat dikatakan buruk atau lemah dari sudut pandang teori argumentasi, karena
simpulan dalam fatwa tidak didukung oleh premis.
Dalam hal evaluasi skema argumentasi melalui beberapa pertanyaan kritis,
yang merupakan analisis lanjutan terhadap kualitas argumentasi, semakin baik
jawaban yang disediakan oleh teks fatwa dalam menjawab pertanyaan evaluatif
tersebut, semakin baik pula kualitas argumentasi fatwa tersebut. Artinya,
kemampuan sebuah fatwa untuk menjawab pertanyaan tersebut sangat
bergantung kepada bukti tekstual yang tersedia di dalam teks fatwa, yaitu
pencantuman dasar hukum dan atau lampiran. Seperti dapat dilihat dalam uraian
di atas, meskipun sebagian besar fatwa memiliki bukti tekstual yang memadai
untuk menjawab pertanyaan evaluatif yang diajukan, tetapi pada beberapa kasus
pertanyaan evaluatif harus dijawab dengan mengutip sumber lain yang tidak
terdapat di dalam teks fatwa.
D. Daftar Pustaka
Al-Asyqar, Muhammad Sulaiman Abdullah. (1976). Al-Futyā wa Ma āhij al-Iftā.
Kuwait: Dār al-Ma ār Al-Islā iyah. Al-Dimasyqi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. (t.t.). Adab al-Fatwa, wa
al-Mufti, wa al-Mustafti (edisi tahqiq Bassam Abdul Wahhab Al-Jabi).
Damaskus: Dar Al-Fikr.
Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363
363
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Amin, KH. Ma ruf, et al (ed.). (2010). Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia.
Bussmann, Hadumod. (1996). Routledge Dictionary of Language and Linguistics
(Terjemahan dari Lexikon der Sprachwissenschaft 2nd oleh Lee Forester et
al.). London/New York: Routledge.
Crusius, Timothy W., dan Carolyn E. Channel. (1950) The Aims of Argument: A
Brief Guide. New York: Mc Graw Hill.
Davies, A., dan Catherine Elder (ed.). (2004). The Handbook of Applied Linguistics.
London: Blackwell Publishing.
Fahnestock, Jeanne, dan Marie Secor. (2004). A Rhetoric of Argument (Third
Edition). New York: Mc Graaw Hill.
Govier, Trudy. (1985). A Practical Study of Argument. California: Wadsworth
Publishing Company.
Herrick, James. (1995). Argumentation: Understanding and Shaping Arguments.
Boston: Pearson Custom Publishing.
Kahane, Howard. (1928). Logic and Contemporary Logic: The Use of Reason in
Everyday Life. California: Wadsworth Publishing Company.
Renkema, Jan. (2004). Introduction to Discourse Studies. Amsterdam/Philadelphia:
John Benjamin Publishing Company.
Sanders, T, dan J Sanders. (2006). Text and Text Analysis. Dalam Mey, Jacob L.
2009. Concise Encyclopedia of Pragmatics (Second Edition). Amsterdam:
Elsevier.
Toulmin, Stephen. (2003). The Uses of Argument. Cambridge/New York:
Cambridge University Press.
Walton, Douglas. (2002). Legal Argumentation and Evidence. Pennsylvania: The
Pennsylvania State University Press.
Walton, Douglas. (2006). Fundamentals of Critical Argumentation: Critical
Reasoning and Argumentation. Cambridge/New York: Cambridge
University Press.
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
364
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengembangan Nilai Literasi Bagi Generasi Masa
Depan
Anis Fuadah Z
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah – FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak: Membaca dikatakan sebagai upaya untuk melihat cakrawala dunia.
Melalui kegiatan membaca, serapan ilmu pengetahuan dan informasi
menerobos ke akar pikiran seseorang; menjadikannya dasar berpikir,
bersikap, dan memutuskan. Membaca sejatinya kebutuhan pokok
manusia, dengannya, pembaharuan dalam aspek ilmu dan informasi
mudah diterima. Arus kemajuan peradaban tak akan pernah surut atau
berhenti, namun proses tersebut akan seimbang manakala diikuti
semangat menempatkan budaya membaca menjadi dasarnya. Budaya
membaca, merupakan bagian dari literasi atau keberaksaraan, sebuah
nilai penting yang harus dimiliki bangsa Indonesia guna membangun
generasi muda yang menakjubkan. Menumbuhkan nilai literasi tidak
bisa dilakukan oleh salah satu pihak. Peran semua aspek di negeri ini
menjadi kekuatan menjadikannya budaya menuju keberpihakan pada
kehidupan yang lebih baik. Kebiasaan membaca mengawali
penginvestasian perbendaharaan kata. Melalui budaya membaca, pola
fikir terangkai, sehingga menjadikannya mudah menulis aksara. Jika
membaca dan menulis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan intelektual Indonesia, maka kemajuanpun dirasa mudah
digapai elemen bangsa.
Kata Kunci: Nilai Literacy, Budaya membaca, Generasi Masa Depan
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
365
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Pendahuluan
Wujud keseriusan pemerintah di Indonesia dalam menanggapi arus
perkembangan dunia adalah melalui pengembangan pembangunan diberbagai
sektor. Bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, dan pendidikan menjadi pijakan
menentukan langkah strategisnya melampaui kemajuan zaman. Namun
sayangnya, pengembangan yang digadang-gadang pemerintah tersebut dinilai
masih berkutat pada area fisik di negeri ini. Imbas dari sistem yang dikembangkan
pemerintah tersebut seolah tidak seiring sejalan dengan pembangunan mental
penduduk. Ketimpangan yang terjadi seperti menjadi cerminan, kurang tegaknya
monumen pembangunan kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.
Mengutip Republika, Data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan
Kebudayaan (Unesco) tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca masyarakat
Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya satu dari seribu penduduk
Indonesia yang gemar membaca. Bila dibandingkan dengan negara maju di luar
Indonesia. Indeks tersebut bisa mencapai 0,45 persen. Ketertinggalan budaya
membaca tersebut menjadi pukulan keras bagi negara Indonesia seharusnya,
karena membaca dinilai mampu menumbuhkan kreatifitas dan mengaktifkan
sendi-sendi kekuatan intelektual pembacanya. Jika kualitas membaca sebuah
bangsa sangat rendah, maka, itu artinya terjadi penurunan pula terhadap daya
dukung pemikirannya. Padahal, ukuran bangsa yang maju bukanlah terletak pada
megahnya bangunan fisik yang dimilikinya saja, namun kekuatan pemikiran
generasi mudanya.
Fenomena yang muncul saat ini, adanya pergeseran tradisi membaca, dari
tradisi kertas menjadi generasi smartphone (Kasali, R. dalam Sani, A. 2013).
Sebagian besar masyarakat memiliki 1 sampai 2 ponsel pintar, untuk memenuhi
kebutuhan hariannya. Mereka memiliki kesempatan setiap waktu untuk
mengakses berbagai macam berita dari seluruh dunia, tanpa batas dan waktu.
Namun yang muncul adalah, mereka lebih menyukai tulisan pendek berbentuk
motivasi, cerita ringan, dan gambar-gambar yang menarik.
Menurut data IKAPI 2010 dalam Republika 2016, ada sekitar 12.000 judul
buku baru yang diterbitkan per tahun. Berdasarkan jenisnya, ada lima kelompok
penerbitan buku, antara lain buku agama (17,95 persen), buku perguruan tinggi
(13,96 persen), buku anak dan remaja (10,36 persen), buku umum (8,67 persen),
dan buku pelajaran (4,45 persen). Jumlah tersebut sangat jauh jika dibandingkan
dengan penerbitan yang terjadi di Jepang, dengan total 40.000 judul buku per
tahun (Majalah Oase, dalam Permatasari 2015). Sebuah survei yang dilakukan
oleh The World s Most Literate Nations (WMLN) menyebutkan bahwa
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
366
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Pustakawanjogya, 2016), rangking literasi Indonesia berada pada urutan ke 64
dari 65 negara. Penelitian yang dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Central
Connecticut State University, New Britain terhadap lebih dari 60 negara
menempatkan negara-negara Nordic seperti Finlandia, Islandia, Denmark, Swedia
and Norwegia menempati daftar teratas dalam peringkat ini.
The World s Most Literate Nations (WMLN) menggunakan dua variabel,
pertama, hal-hal yang terkait dengan pencapaian literasi yang tengah diuji dan
kedua adalah dengan mengambil sampel dari orang-orang yang dianggap memiliki
kebiasaan literasi. Variabel-variabel tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa
kategori, yaitu : Perpustakaan, Koran, Sistem Pendidikan (Input), Sistem
Pendidikan (Output), serta yang terahir adalah ketersediaan komputer bagi
populasi yang ada di negara tersebut.
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
367
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sedangkan tingkat membaca siswa di Indoneisa menempati angka 60 dari
65 negara (Republika, dalam Permatasari 2015). Itu artinya, posisi Indonesia
berada di urutan belakang dengan keterpurukan dan ketertinggalan budaya
literasinya.
B. Pembahasan
Konsep Literasi
Literasi merupakan kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsirkan,
menciptakan, mengomunikasikan, dan kemampuan berhitung melalui materi-
materi tertulis dan variannya (UNESCO dalam Salman, A.H, 2011). Literasi
diterangkan, “It is important to consider definitions the literacy a cross the life
span of individual from womb to tomb”. Definitions of literacy should encompass
the cognitive, affective, socio-cultural, cultural-historical, creative and aesthetic
dimensions (Kennedy, dkk., 2012:10). Literasi juga dimengerti sebagai sebuah
kemampuan membaca dan menulis. Literasi pernah dimaknai melek aksara atau
keberaksaraan. Namun belakangan, makna literasi tidak lagi tunggal dan mulai
meluas (multi literacies). Bermacam jenis literasi tersebut, yaitu; literasi
komputer, literasi media, literasi teknologi, literasi ekonomi, dan literasi moral
(Permatasari, 2015:148).
Seseorang dengan pemahaman literasi yang mendalam dapat dilihat dari
kemampuanya menalar informasi dan memahami serta mengaplikasikannya
sesuai dengan isi yang dia pahami. Karena seseorang yang literate memiliki
dukungan kemampuan dari dalam dirinya secara kognitif, afektif, sosio-kultural,
kultural-historis, dan kreatifitas estetikanya. Seseorang dikatakan melek literasi
jika telah memfungsikan kepekaannya terhadap lingkungan sekitar. Daya kritis
dan kepekaannya menyulut reaksi untuk melakukan pembaharuan dan perubahan
dari kondisi sebelumnya. Demikianlah konsep yang diharapkan tumbuh pada
generasi muda Indonesia. Konsep literasi terbagi menjadi dua, yakni (Literacy:
Reading-Language Arts Standarts, 2015); the first is the well-established principle
that although the five language arts-reading, writing, listening, speaking, and
viewing and the scond is that teachers integrate the language arts across other
diciplines. Kedua konsep tersebut menjadi sangat penting diterapkan. Membaca,
menulis, mendengar, berbicara, dan mengamati adalah bagian uatama yang
seharusnya diterima anak ketika menerima pembelajaran awal. Pengintegrasian
kelima aspek tersebut dalam setiap pengenalan pengetahuan pada anak didik
menumbuhkan semangat literasinya di masa mendatang.
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
368
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 IV tentang Penumbuhan Budi Pekerti pada
lampiran poin IV, yaitu: menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk
membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari), dan berlaku untuk
jenjang SD, SMP, dan SMA. Kegiatan tersebut merupakan pembiasaan yang positif
jika mampu diterapkan disemua sekolah. Membaca merupakan pembuka yang
efektif untuk menumbuhkan semangat serta daya kreatifitas siswa dalam
melaksanakan pemebelajaran di sekolah pada jam berikutnya.
Sebuah penelitian “Program Membaca Lima Belas Menit (Sustained Silent
Reading) pada Siswa-Siswi SDN di Surabaya“ yang dilaksankan oleh Fijayanti pada
tahun 2015 memeroleh hasil, yakni; siswa-siswi semakin termotivasi,
penambahan kosa kata sehingga memepermudah untuk menuliskan karaya, dan
pengetahuan mereka dinilai semakin meningkat.
Sebuah negara dengan tradisi membaca yang baik akan tumbuh menjadi
negara yang menguasai ilmu pengetahuan, dan sebaliknya sebuah negara dengan
tradisi membaca yang rendah akan ketinggalan, bahkan akan dikuasai oleh bangsa
dengan tradisi membaca yang baik (Dahlan, M., 2008:22). Karena nyatanya,
dengan membaca seseorang akan menguasai seluk beluk ilmu pengetahuan.
Membaca tentu saja membuka wawasan baru, membuka pola fikir, dan
menurunkan pada kebiasaan tingkah laku si pembaca. Membaca mengawali
penginvestasian perbendaharaan kata. Lewat membaca seseorang akan lebih
terangsang untuk menulis.
Mengutip catatan Gray dan Rogers dalam Dahlan, M., 2008, bahwa
membaca membawa pengaruh penting bagi pembacanya, di antara pengaruh
tersebut antara lain;
a. mengisi waktu luang,
b. mengetahui hal-hal aktual yang terjadi dilingkungannya,
c. memuaskan pribadi yang bersangkutan,
d. memenuhi tuntutan praktis kehidupan sehari-hari,
e. meningkatkan minat terhadap sesuatu yang lebih lanjut,
f. meningkatkan pengembangan diri,
g. memuaskan tuntutan intlektual,
h. memuaskan tuntutan spiritual, dan lainnya.
Membangun Nilai Literasi bagi Generasi Menakjubkan
Kemunculan dokumen-dokumen penting seputar ilmu pengetahuan di
dunia ini berawal dari penemuan manuskrip-manuskrip, kumpulan kitab klasik,
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
369
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan buku-buku yang secara sengaja mencatat perkembangan keilmuan pada
masanya. Penemuan tersebut menjadi hal yang istimewa dikarenakan hasil dari
penemuan itu membuka tabir-tabir pengetahuan lampau yang masih belum
teridentifikasi saat ini. Selain bernilai sejarah perkembangan masa itu, menjadi
semakin jelas bahwa, keberadaan tulisan memiliki sifat lebih abadi dibanding
kumpulan kata yang tersaji melalui bahasa lisan.
Pennington dalam Salman, A.H., 2011 menyebutkan bahwa, dokumen
tertulis dapat survive lebih lama dibandingkan manusia itu sendiri, karena bahasa
tulisan mudah dipelihara dari generasi ke generasi berikutnya. Bahasa tertulis
dirasa memiliki peranan yang lebih efektif, karena penulis tidak memiliki kendala
waktu dan kehadiran lawan komunikasinya. Karya tulis disebut sebagai cerminan
intelektual penulisnya, karena karya yang dihasilkan telah melalui proses
pemikiran, perencanaan, dan pemantauan yang memadai (Wahyu T., dalam
Salman, A.H., 2011). Menjadi tantangan yang berat bagi Indonesia untuk
mewujudkan bangsa dengan minat literasi, karena budaya tersebut akan
dibangun dengan meninggalkan terlebih dahulu tradisi lisan (Suroso dalam dalam
Salman, A.H., 2011).
Perkembangan Indonesia mencatat, tiga kategori masyarakat Indonesia,
yaitu; praliterasi, literasi, dan posliterasi.
a. Masyarakat praliterasi adalah mereka yang hidup dalam tradisi lisan dan sulit
mengakses media seperti buku, TV, internet, dan lainnya. Kalaupun akses
bisa diperoleh, mereka cenderung sulit mencerna informasinya.
b. Masyarakat literasi adalah mereka yang memiliki akses terhadap buku, akan
tetapi bukan berarti tradisi baca tulis dapat tumbuh subur di kalangan ini.
c. Masyarakat posliterasi yakni mereka yang memiliki akses buku, teknologi
informasi, dan audio visual.
Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana membangun nilai literasi bagi generasi
muda penerus bangsa?
1. Melihat Kebiasaaan Membaca Masyarakat Finlandia
Finlandia, termasuk negara dingin di Eropa Utara, memiliki budaya
membaca terbaik di dunia. Membaca kebiasaan membaca negara tersebut
salah satu pendorong awal menirukannya. Lalu, apa saja yang dilakukan
masyarakat Finlandia? Finlandia (jawapos,com, 19/02/2018) melakukan tiga
langkah untuk menjadikan budaya bacanya tetap terpelihara, yaitu;
menciptakan lingkungan yang mendukung literasi, meningkatkan kualitas
pembelajaran, dan meningkatkan partisipasi, inklusi, dan kesetaraan.
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
370
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Budaya membaca tidak bisa terwujud begitu saja. Perlu dukungan dan
kerjasama dari semua pihak. Finlandia sebagai contohnya. Negara tersebut
mengupayakan agar budaya membaca terpelihara. Membangun sudut-sudut
baca di dalam fasilitas publik. Buku untuk anak-anak, perlangkapan tulis dan
menggambar juga disediakan. Tempat duduk yang nyaman disertai bantal-
bantal sengaja disediakan untuk menunjang kenyamanan mereka membaca.
Orangtua silih berganti mendampingi putera puteri mereka untuk
menemukan bacaan yang digemari.
Pemerintah Finlandia membangun budaya baca semenjak usia pra-
sekolah. Dukungan tersebut dilakukan terhadap semua kalangan. Sebuah
paket dikirim pemerintah terhadap bayi yang baru lahir. Paket tersebut berisi
perlengkapan bayi, mainan, dan buku. Salah satu tujuannya adalah, agar
orangtua mulai membacakan cerita untuk anaknya. Orangtua yang baru
melahirkan juga mendapatkan jatah cuti selama 9 bulan, agar tumbuh
kembang awal bayinya terjaga.
Pada awal masuk sekolah, anak-anak di Finlandia sudah mendapat
akses untuk masuk ke perpustakaan. Masing-masing dari mereka memiliki
kartu perpustakaan. Di sini, orangtua berperan penting dalam mendampingi
dan menjadi teman diskusi bagi buku yang dibaca oleh putera puterinya.
Suasana perpustakaan Alvar Aalto
Berbeda dengan di Indonesia. Anak-anak di Finlandia mendapat
kebebasan memilih buku bacaan yang sesuai dengan minatnya. Hal tersebut
memudahkan minat baca tumbuh. Tentunya tidak hanya kosa kata yang
bertambah, ruang baru ingin tahu anak akan semakin terbuka, sehingga
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
371
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
wawasan yang ingin dia peroleh semakin tinggi, hal tersebut akan memupuk
semangatnya terus membaca berbagai sumber bacaan.
Suasana Perpustakaan Seinajoki Finlandia
2. Membudayakan Membaca di Indonesia
Berbagai usaha telah diupayakan masyarakat Indonesia dan
pemerintah dalam meningkatkan budaya baca di Indonesia. Bukan
hanya karena rangking Indonesia yang tertinggal jauh dalam budaya
bacanya, namun juga pada manfaat dari kebiasan tersebut, yaitu
mewujudkan masyarakat yang cerdas dan terbebas dari buta
pengetahuan. Salah satu upaya yang dilakukan kelompok masyarakat
adalah dengan membangun Taman Baca Masyarakat. TBM dibangun
atas dasar kerjasama dengan pihak pemerintah, namun beberapa
kelompok yang peduli literasi membangun perpustakaan terbuka bagi
masyarakat sekitar.
Kisah berikutnya berasal dari pemuda yang menginspirasi
Indonesia dalam mewujudkan gerakan cinta membaca bernama Teguh
Prastyo Utomo. Pria lulusan D3 Pustakawan UIN Yogyakarta yang
berprofesi sebagai tukang tambal ban ini memiliki semangat yang tak
terbatas. Uapayanya dalam menebarkan semangat membaca terhadap
masyarakat di Lampung Selatan diakui sangat mengisnpirasi. Inisiatif
pemuda berusia 30 tahun tersebut tak serta merta mendapat dukungan,
malah yang dia terima adalah cibiran. Namun tekadnya tak pernah
kendur. Desa Pasuruan, Desa Klaten, Desa Kuripan adalah beberapa desa
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
372
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di Kecamatan Penengahan yang biasa dilalui Motor Pustaka. Sejumlah
120 buku mampu dibawa Teguh untuk memenuhi kebutuhan baca
masyarakat setempat.
Teguh Prastyo Utomo dengan Motor Pustakanya
Presiden Jokowi dan Motor Pustaka
Penggerak literasi berikutnya adalah Salahudin Al Ayyubi. Pemuda yang
cukup dikenal dikalangan anak-anak ini menularkan kebaikan literasi melalui
membaca, bercerita, menggambar, serta berbagi keceriaan. Rumah baca
yang didirikan pemuda Bima ini diberi nama Pustaka Bergerak.
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
373
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tak hanya bertempat di kediamannya. Pustaka Bergerak membagi
kesempatan membaca gratis untuk anak-anak di wilayah lainnya. Upayanya
tersebut bukan tanpa ujian. Pernah dalam suatu kesempatan, sang
penggerak jatuh bersama motor dan buku-bukunya. Namun, semangat dan
tekad yang dimiliki lebih kuat dari halangan yang diperolehnya. Desa-desa
yang jaraknya cukup jauh pun tetap jadi tujuannya membagikan kesempatan
baca bagi masyarakat Bima.
Salahudin Al Ayyubi-Penggagas Pustaka Bergerak Bima
Forum Taman Baca Masyarakat Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mencatat puluhan TBM yang berdiri di berbagai wilayah yang
tersebar di Indonesia. Fasilitas tersebut ditujukan untuk semua kalangan,
demi mewujudkan Indonesia yang gemar membaca dan berwawasan.
Terdapat 345 TBM yang tercatat pada data TBM provinsi DKI Jakarta. Jawa
Barat memiliki 132 TBM yang tersebar di masing-masing Kota dan
Kabupatennya. Provinsi berikutnya adalah Jawa Tengah, wilayah ini memiliki
107 Taman Baca Masyarakat sebagai upaya menghidupkan ruh membaca
bagi warga Indonesia.
Wilayah lain di Indonesia pun memiliki ruang upaya yang sama, namun
usaha tersebut tak serta merata menjadikan Indonesia meningkatkan
rangking dalam kegemaran membaca di dunia. Perlu upaya dan kerjasama
dari semua kalangan, sehingga kecintaan terhadap membaca tersebut
mampu hidup dalam setiap jiwa masyarakat Indonesia. Uapaya tersebut
memang harus dimulai dari sekarang. Dan, membiasakan membaca 15 menit
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
374
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perhari di sekolah bisa jadi budaya yang baik bagi kelangsungan generasi
hebat di Indonesia.
C. Penutup
Ketertinggalan Indonesia dalam budaya gemar membaca dinilai sangat
memprihatinkan. Indonesia termasuk rangking dua paling belakang dalam survey
yang diadakan The World s Most Literate Nations (WMLN). Indonesia pun kalah
dari negara tetangganya seperti Malaysia dan Thailand. Namun prestasi tersebut
tak lantas membuat bangsa ini makin miris dan semakin tertinggal. Berbagai
upaya dilakukan untuk memperbaiki keterlambatan tersebut. Inovasi dan
pembaruan dari kalangan masyarakat dan pemerintah silih berganti untuk
mewujudkan kegemaran membaca menjadi budaya di Indonesia.
Berdirinya berbagai gerakan menumbuhkan semangat gemar baca tak
hanya dilakukan Taman Baca Masyarakat (TBM) yang memiliki keterikatan dengan
pemerintah, namun pihak swasta yang beratasnamakan masyarakat pun
mengupayakan hal serupa. Pemuda-pemuda di wilayah Indonesia lainnya, tak
lelah dengan semangatnya membagikan buku-buku gratis sebagai pinjaman untuk
dibaca. Semua usaha tersebut tak lepas dari harapan Indonesia menjadi lebih
baik, sebagai negara yang masyarakatnya mencintai buku dan kegemaran
membaca.
D. Daftar Pustaka
Almerico, M. G. Building Character Through Literacy with Children’s Literature.
AABRI Journals: Reseacrh in Higher Education Journal Volume 26, 2014.
Isbell, T. R. Telling and Retelling Stories-Learning Language and Literacy.
Washington, DC., 2002.
Kennedy, E., etc. Literacy in Early Childhood and Primary Education (3-8 years).
National Council for Curriculum and Assessment 24, Merrion Square, Dublin
2, 2012.
National Board for Professional Teaching Standarts. Literacy: Reading-Language
Arts Standarts. U.S. Department of Education, 2015.
Permatasari, A. Membangun Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi. Bengkulu:
Prosiding Seminar Nasional UNIB, 2015.
Republika Online. Mengapa Muslim Indonesia Malas Membaca? Diakses 22
Pebruari 2016.
Salman, A.H. Mungkinkah Membangun Budaya Literasi Pembelajaran Bahasa Arab
Di Indonesia? Banjarmasin: Balai Diklat Keagamaan, 2011.
Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375
375
Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sani, A. BIMTEK Kurikulum 2013. LP Ma’arif Kabupaten Blitar, Jawa Timur,
Indonesia, 2013.
Teaching Strategies-Research Foundation: Language and Literacy
http://pustakawanjogja.blogspot.co.id/2016/03/peringkat-negara-literasi-di-
dunia-no-1.html, diakses pada 18/02/2018
http://gobekasi.pojoksatu.id/2016/05/19/survei-unesco-minat-baca-masyarakat-
indonesia-0001-persen/diakses pada 18/02/2018
http://bimabagus.com/2017/09/20/salahuddin-al-ayyubi-pemuda-penggerak-
literasi-di-bima/diakses pada 19/02/18.
Dahlan, M. (2008). Jurnal Iqro’ Volume 02 Nomor 01, 21-22.