pengembangan indeks iklim untuk prediksi … · outside of this range, the feed intake will be low...
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN INDEKS IKLIM UNTUK PREDIKSI PRODUKSI
SUSU SAPI PERAH FH (FRIES HOLLAND)
DEDI FERNANDO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Indeks Iklim untuk
Prediksi Produksi Susu Sapi Perah FH (Fries Holland) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Dedi Fernando
NIM P052100321
.
RINGKASAN
DEDI FERNANDO. Pengembangan Indeks Iklim untuk Prediksi Produksi Susu Sapi Perah
FH (Fries Holland). Dibimbing oleh RIZALDI BOER dan BAGUS PRIYO PURWANTO.
Pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim telah menimbulkan
dampak pada berbagai sektor, salah satunya sektor peternakan. Kenaikan suhu, perubahan
kelembaban dan pola hujan akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap sektor ini. Dampak langsung ialah terganggunya metabolisme ternak yang akhirnya
dapat berpengaruh pada selera makan. Akibat tidak langsung ialah menurunnya ketersediaan
pakan akibat terganggunya sistem produksi pakan. Untuk ternak sapi perah, kondisi iklim
yang ideal untuk ternak biasanya digunakan indek iklim atau indek kenyamanan yang
merupakan fungsi dari suhu dan kelembaban. Sapi perah yang banyak diimport ke Indonesia
umumnya bangsa FH (Fries Holland). Sapi ini apabila terpapar terhadap suhu dan
kelembaban tinggi akan mengalami stress dan menurunkan selera makan sehingga produksi
menjadi menurun. Di Indonesia, sapi ini dikembangkan pada banyak lokasi dengan kondisi
iklim yang berbeda, mulai di dataran rendah sampai tinggi dengan tingkat kenyamanannya
berbeda-beda. Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi indek kenyamanan yang optimal
bagi ternak sapi perah FH sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan
managemen pakan dan juga langkah adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim.
Penelitian dilakukan di lima lokasi yang memiliki ketinggian berbeda yaitu Pondok
Ranggon-Jakarta Timur (80 m dpl), Kebun Pedes Bogor (215 m dpl), Buni Kasih Cianjur
(936 m dpl), Cisarua Bogor (1111 m dpl) dan Cikole Lembang (1225 m dpl). Data yang
diukur meliputi suhu (T), kelembaban relatif (RH), umur sapi, bobot badan, konsumsi pakan
dan komposisinya, serta produksi susu rataan harian. Indeks kenyamanan disebut
Temperature Humidity Index (THI) dihitung dengan menggunakan rumus: THI=(1.8T+32)-
((0.55-0.0055RH)x(1.8T-26.8)). Studi menunjukkan bahwa THI sangat berpengaruh nyata
terhadap produksi susu sapi FH (Fries Holland). Selain faktor iklim, umur ternak (U), bobot
badan (BB), protein kasar (PK) juga berpengaruh nyata terhadap produksi susu FH (Fries
Holland). Produksi susu FH (Fries Holland)(Y) diduga dengan rumus: Y=5.754+0.1940(U)-
0.000888(U)2+0.021BB+1.166PK-0.163THI; R
2=75.9%. Dari hasil alisis regresi, didapatkan
kisaran optimum THI untuk FH (Fries Holland) adalah antara 74.82 dan 76.82. Apabila nilai
indeks THI diluar rentang nilai tersebut, maka asupan pakan dari sapi FH (Fries Holland)
tidak optimal, sehingga menyebabkan produksi tidak maksimal.
Opsi-opsi adaptasi yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan produksi susu pada
wilayah atau pada kondisi iklim yang tidak nyaman ialah dengan (1) memodifikasi suhu
tubuh sapi melalui penyiraman dan pemberian air dingin (2) Menurunkan suhu kandang agar
berada pada kisaran THI optimal dengan melakukan modifikasi konstruksi kandang,
memberikan naungan dan memperbanyak ventilasi serta memastikan aliran air limbah
maksimal dan (3) Meningkatkan kuantitas dan kualitas pakan bagi sapi yang berada di
dibawah ambang batas THI normal.
Keyword: Temperature Humidity Index (THI), sapi FH, produksi susu, komposisi pakan,
SUMMARY
DEDI FERNANDO. Development Climate Index for Prediction of Milk Production of Dairy
Cattle FH (Fries Holland). Supervised by RIZALDI BOER and BAGUS PRIYO
PURWANTO.
Global warming that causing climate change has caused negative impact on many
sectors, one of them is livestock. Temperature increase, change in humidity and rainfall
pattern will affect directly and indirectly on dairy production. Direct impact of climate
change is impacting metabolism which finally causes eating behavior. Indirect impact is
reducing feed availability due to climate change impact on forage production. For dairy
cattle, ideal climate condition is measured from climate index which is a function of
temperature and humidity. This is commonly called as temperature humidity index. Dairy
cattle in Indonesia are mostly from Europe, i.e. Holstein (Fires Holland). If they were
exposed to high temperature and high humidity, they will in stress and it will reduce feed
intake and finally milk production. In Indonesia, Holstein are fond in many locations, in low
to high altitude areas with different climate condition. This study aims to evaluate climate
index that can be used for predicting milk production and feed management as well as
defining adaptation options for addressing potential impact of climate change on dairy
production.
This study was conducted in five locations with different altitude, i.e. Pondok
Ranggon-Jakarta Timur (80 m asl), Kebun Pedes Bogor (215 m asl), Buni Kasih Cianjur (936
m asl), Cisarua Bogor (1111 m asl) and Cikole Lembang (1225 m asl). Data being measured
included temperature (T), relative humidity (RH), cattle age and weight, feed consumption
and feed composition as well as daily milk production. Climate Index being developed called
as Temperature Humidity Index (THI) was calculated from the following formula
THI=(1.8T+32)-((0.55-0.0055RH)x(1.8T-26.8)). The result of this study indicates that THI
has significant influence on milk production of FH (Fries Holland). In addition to climate
condition, dairy age (U) and weight (BB), crude protein (PK) also affect significantly milk
production. Thus the milk production of FH (Y) can be estimated from the following
equation Y=5.754+0.1940(U)-0.000888(U)2+0.021BB+1.166PK-0.163THI; R
2=75.9%. From
this analysis, it was found that the ideal THI for FH is between 74.82 and 76.82. If the THI
outside of this range, the feed intake will be low and this will result in low milk production.
This study suggested that possible adaptation measures to minimiza the negative
effect of too high or too low HTI are by (1) lowering body temperature of the cattle by
pouring it with cold water (2) modifying cattle cage construction with shading and good
ventilation so that the THI will be within the optimum range, and also good waste streams
system and (3) increasing feed quality, particularly when the THI cannot be modify to be at
the optimum range.
Keyword: Temperature Humidity Index (THI), Holstein, milk production, feed composition
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN INDEKS IKLIM UNTUK PREDIKSI PRODUKSI
SUSU SAPI PERAH FH (FRIES HOLLAND)
DEDI FERNANDO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Penguji Luar Tertutup: Prof. Dr.Ir.Toto Toharmat. M.Agr.Sc
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahman dan karuni-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “PENGEMBANGAN
INDEKS IKLIM UNTUK PREDIKSI PRODUKSI SUSU SAPI PERAH FH
(FRIES HOLLAND)”, Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar Magister di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Atas bimbingan dan dukungan serta bantuan dalam penyusunan tesis ini, penulis ingin
menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang dengan
sabar membimbing penulis.
2. Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang
telah banyak membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.
Rasa terima kasih penulis sampaikan juga kepada
1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah banyak membimbing penulis
dalam studi di PSL dan para Staff PSL yang telah banyak membantu penulis
dalam memperoleh kelancaran administrasi.
2. Kedua orangtua penulis H.Juber (alm) dan Ermawati (almh) yang telah banyak
memberikan pelajaran hidup dan pondasi yang kuat untuk hidup penulis agar kuat
menghadapi hidup dan tidak melupakan urusan akhirat.
3. Keluarga besarku yang kusayangi, kakakku (Ni Eni, Bang Anto, Ni Dina, Aya)
dan adik-adikku (Deti, Ahmad, Ali, Fatimah, Muchi dan Dewi).
4. Peternak dalam kelompok ternak Pondok Ranggon, Peternak Kebun Pedes, CIF,
BPPT Buni Kasih, dan BPPT Cikole,
5. Cici Suhaeni, M.Si, terima kasihku yang sangat besar untukmu atas support dan
bantuanmu dalam pengolahan data dan diskusi penyusunan tesis ini.
6. Kawan-kawanku, La Ode Rusyamin, Jhon, Sofyan Lubis, Steve Mualim, Zulkifli,
Mursalin. Terima kasih atas kebersamaan ini.
Penulis sangat sangat berterima juga kepada para pihak yang telah banyak membantu
demi selesainya penulisan Tesis ini, akhirnya semoga karya kecil ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan 3
Manfaat Penelitian 3
Kerangka Pikir Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 5
Peternakan Sapi Perah 5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu 5
Pemanasan Global 7
Dampak Pemanasan Global pada Ternak 7
Adaptasi 8
Indeks Kenyamanan Lingkungan Ternak 8
Suhu Efektif Ternak, Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Susu Hasil Produksi 8
Hubungan Suhu dan RH Lingkungan terhadap Produksi Susu Sapi Perah 9
Metode Stochastic 10
METODE PENELITIAN 10
Rancangan Penelitian 10
Lokasi dan Waktu Penelitian 10
Objek Penelitian dan Pengambilan Sampel 11
Alat Penelitian 11
Peubah dan Cara Pengukuran 11
Analisis Data 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Gambaran Lokasi Penelitian 14
Eksplorasi Data secara Deskriptif 15
Hubungan Peubah Fisiologis terhadap Produksi Susu 15
Hubungan Peubah Lingkungan (THI) terhadap Produksi Susu 16
2
Hubungan Peubah Nutrisi Pakan terhadap Produksi Susu 17
Deskripsi rataan data amatan seluruh peubah 18
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu 20
Pengaruh Umur terhadap Produksi Susu 20
Pengaruh Bobot Badan, Pakan dan Lingkungan terhadap Produksi Susu 21
Pendugaan produksi susu 26
Pendugaan Produksi Susu berdasarkan Indeks Iklim 26
Pendugaan Produksi Susu dengan Simulasi Montecarlo (Stochastic Spreadsheeet) 28
Tingkat Optimal Produksi Susu Berdasarkan PK dan Indeks THI 29
Hubungan PK terhadap Produksi susu 29
Pengaruh PK untuk Setiap Lokasi 30
Nilai Maksimum Penambahan PK Terhadap Indeks THI untuk Produksi Susu 31
Opsi-Opsi Adaptasi 32
DAFTAR PUSTAKA 36
RIWAYAT HIDUP 40
LAMPIRAN 41
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Indeks Kategori Terkait Keselamatan Cuaca Ternak dengan Nilai-Nilai
THI 9
Tabel 2 Peubah penelitian dan cara pengukurannya 12
Tabel 3 Gambaran dan deskripsi peubah-peubah pada setiap lokasi 18
Tabel 4 Kondisi Iklim Lokasi 19
Tabel 5 Taraf nyata regresi umur terhadap produksi 21
Tabel 6 Hasil penguraian sisaan pada persamaan (1) 21
Tabel 7 Korelasi dan regresi antar faktor penjelas produksi susu 22
Tabel 8 Korelasi antara peubah bebas dengan produksi susu 22
Tabel 9 Uji parsial penguraian sisaan pada persamaan (1) dengan peubah terpilih23
Tabel 10 Anova hasil uji simultan penguraian sisaan pada persamaan (1) 23
Tabel 11 Hasil analisis regresi antara error(2) ke-i dengan error(2) ke-(i-1) 25
Tabel 12 Tabel dugaan persentase perubahan produksi susu pada sapi umur 108
bulan terhadap berbagai tingkat THI 27
Tabel 13 Dugaan tingkat produksi susu terhadap tingkat THI 27
Tabel 14 Indeks Optimal penggunaan PK untuk produksi susu pada lima lokasi 32
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pikir Penelitian 4
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian 11
Gambar 3 Hubungan umur terhadap produksi susu 15
Gambar 4 Hubungan bobot badan terhadap produksi susu 16
Gambar 5 Hubungan Indeks THI terhadap produksi susu 17
Gambar 6 Hubungan nutrisi pakan terhadap produksi susu 18
Gambar 7 Hubungan kuadratik umur terhadap produksi susu 20
Gambar 8 Hasil uji normalitas, homogenitas dan autokorelasi antar peubah 24
Gambar 9 Plot pencaran antara error (2) ke-i dengan error (2) ke-(i-1) 25
Gambar 10 (a) Dugaan Produksi Susu saat ini, (b) Dugaan Produksi Susu
Masa Mendatang 28
Gambar 11 Plot Pencaran Produksi Susu terhadap PK di berbagai lokasi 29
Gambar 12 Hubungan PK berdasarkan THI 30
Gambar 13 Grafik Cp mallow 31
Gambar 14 Indeks THI tiap lokasi 33
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Regresi kuadratik umur terhadap produksi 40
Lampiran 2. Regresi error umur terhadap BB, PK, TDN, BK, Suhu,
ketinggian dan kelembaban 41
Lampiran 3. Analisa regresi error umur dengan BB, PK dan THI 42
Lampiran 4. Uji autokorelasi Plot sisaan 44
Lampiran 5. Hasil uji korelasi PK dengan lokasi menggunakan regresi
dummy 45
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia saat ini termasuk kedalam negara dengan tingkat kerawanan pangan
yang cukup tinggi. Dalam laporan MDGs Indonesia, dinyatakan bahwa sekitar 14,5%
rumah tangga di Indonesia rawan pangan, hal tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan
konsumsi energi kurang dari 70% kebutuhan yang dianjurkan untuk hidup sehat,
sementara target MDGs sendiri pada tahun 2015 adalah 8,5%. Sehingga, masih
diperlukan kerja yang lebih keras untuk memenuhi target tersebut. Wilayah Jakarta,
meskipun merupakan kota yang maju, namun masih tergolong daerah rawan pangan.
dimana dinyatakan bahwa 14,6% penduduk Jakarta rawan pangan, begitupun untuk
wilayah Jawa Barat yang dekat dengan Ibu kota Jakarta, tingkat kerawanan pangan di
Jawa Barat sekitar 12,7% yang masih jauh dari target yang diharapkan. Kedua kota besar
ini sangat jauh tertinggal oleh Provinsi Bali, dengan tingkat kerawanan pangan hanya
3,9% (Bappenas 2011). Kerawanan pangan berarti tidak terpenuhinya kebutuhan pangan
yang dampaknya pada status gizi. UNICEF (1998) menyatakan penyebab langsung gizi
kurang adalah ketidakseimbangan antara konsumsi pangan dan penyakit infeksi yang
dipengaruhi oleh faktor ketersediaan pangan. Kusharto dan Hardinsyah (2001)
menyatakan rendahnya mutu gizi konsumsi pangan penduduk Indonesia salah satunya
karena rendahnya konsumsi pangan hewani. Salah satu kelompok pangan hewani yang
masih rendah termasuk didalamnya adalah susu.
Menurut situs Kementrian Pertanian Republik Indonesia, kebutuhan susu
Indonesia saat ini mencapai 3.120.000 ton, sedangkan kemampuan produksi dalam
negeri hanya berkisar 30% dari kebutuhan, dan sebanyak 70% dari total kebutuhan
tersebut masih diimpor (DITJENNAK RI, 2012). Salah satu daerah penghasil susu sapi
adalah Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bandung Barat (Lembang), Kabupaten
Cianjur (Pacet), Kabupaten Bogor (Cisarua), dan Kota Bogor (Kebon Pedes) serta di
Jakarta (Pondok Ranggon). Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu sentra produksi susu
dengan produksi tahun 2010 sebesar 236.000 ton, yang didukung dengan letak
geografisnya yang sesuai bagi usaha pembudidayaan ternak sapi perah. Selain itu juga
karena lahan yang tersedia masih cukup luas dan masih banyaknya hutan dan perkebunan
sebagai sumber pakan ternak.
Peningkatan suhu selain dapat meningkatkan suhu secara global dan regional juga
dapat meningkatkan suhu di lokal peternakan. Peningkatan suhu di lokasi peternakan ini
dihasilkan oleh gas-gas methan yang dikeluarkan diantaranya oleh ternak. Gas-gas
tersebut secara khusus dapat mengakibatkan dampak bagi ternak, baik dampak secara
langsung seperti stress dan gangguan produksi serta gangguan tidak langsung seperti
terganggunya ketersediaan pakan ternak (rumput). Gangguan langsung pada ternak
berupa gangguan fisiologis seperti gangguan pernafasan (terengah-engah), minum terlalu
banyak sehingga pakan tidak termakan, penurunan bobot badan, hingga penurunan
produksi susu. Penurunan produksi susu terbagi kedalam dua bagian, yaitu penurunan
kuantitas dan kualitas susu. Penurunan produksi diakibatkan dari tingginya tingkat stress
ternak sehingga menghambat produksi susu, ternak yang nyaman relatif lebih banyak
menghasilkan susu dibanding ternak yang dalam kondisi stress. Sedangkan penurunan
kualitas diakibatkan dari kurangnya pakan yang masuk ke dalam tubuh sapi dan
2
rendahnya kualitas pakan hijauan dan tidak sesuainya nutrisi pakan tambahan yang
ditambahkan dengan yang dibutuhkan sapi.
Sapi FH (Fries Holland) adalah hewan penghasil susu terbaik di Indonesia yang
berasal dari kawasan eropa dengan iklim sedang yaitu -5oC-21
oC (Jhonson 1987). Rata-
rata suhu di Indonesia lebih tinggi dibanding dengan daerah asalnya yaitu berkisar dari
23-34oC dengan kelembaban 60-90%. Peningkatan suhu dan kelembaban (Themperature
Humidity Index/THI) diatas 72 berpotensi menurunkan produksi susu (Bohmanova et al.
2007). Perubahan iklim yang terjadi saat ini sudah dalam tahap mengkhawatirkan,
peningkatan suhu bumi menyebabkan ancaman terhadap produksi pangan. Produksi susu
di Indonesia sangat rendah, hal ini disebabkan karena sapi FH (Fries Holland) yang
berasal dari daratan eropa sebagai sapi yang dominan sulit beradaptasi dengan cuaca di
Indonesia yang cenderung tinggi. Oleh karena itu penting untuk menentukan metode
adaptasi terbaik agar sapi dapat menghasilkan produksi yang optimal dengan
mempertimbangkan keterwakilan wilayah di Indonesia yang terdiri atas dataran rendah,
sedang dan tinggi. Jawa Barat dan DKI merupakan daerah dengan penduduk yang besar
dan memiliki sentra-sentra produksi susu sapi, akan tetapi produksi yang dilakukan tidak
dapat maksimal, karena banyaknya kendala di lapangan seperti tingkat pendidikan.
Perumusan Masalah
Tingginya suhu yang diakibatkan oleh adanya gas rumah kaca (GRK)
menyebabkan suhu permukaan bumi menjadi panas. Keadaan ini menimbulkan suatu
ketidaknyamanan terhadap mahluk hidup, termasuk ternak sapi perah. Beberapa
penelitian menyebutkan terganggunya indeks kenyamanan pada ternak akan
menyebabkan gangguan pada proses produksi dan reproduksinya. Rahman dan Boer
(2001) menyatakan bahwa periode masa kehamilan dan interval kelahiran domba secara
signifikan berkorelasi dengan curah hujan dan suhu. Pada sapi perah terganggunya
kenyamanan berupa tingginya suhu lokal di sekitar kandang akan mengakibatkan sapi
membutuhkan air yang lebih banyak untuk membantu menurunkan suhu tubuhnya.
Peningkatan suhu tubuh sapi ini adalah akibat dari evaporasi yang sangat tinggi pada
tubuh sapi. Apabila air yang dibutuhkan oleh tubuh sapi tidak terpenuhi maka produksi
susu sapi akan berkurang, sedangkan apabila pemenuhan air untuk sapi dilakukan
berlebihan maka akan mengakibatkan pakan yang dikonsumsi akan berkurang, sehingga
kualitas susu yang dihasilkan akan rendah. Pakan merupakan faktor yang secara
langsung berhubungan dengan produksi susu karena pakan dapat mempengaruhi bobot
badan, tingkat kesehatan serta masa birahi ternak.
Faktor produksi susu selain oleh pakan juga dipengaruhi oleh iklim. Perbedaan
ketinggian menghasilkan perbedaan suhu, kelembaban dan curah hujan yang berkorelasi
dengan tingkat kenyamanan sapi perah. Suhu udara yang sejuk dengan curah hujan yang
sedang diyakini akan meningkatkan kenyamanan ternak untuk berproduksi. Menurut
Esmay (1982), sebagian besar dari faktor lingkungan tetap dan temporer tersebut adalah
faktor iklim dan cuaca. Faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap sapi perah adalah
suhu dan kelembaban udara, radiasi surya, angin dan curah hujan, serta ketinggian
tempat dari permukaan laut. Banyak upaya yang dilakukan untuk beradaptasi dengan
perubahan kondisi lingkungan seperti pemberian pakan tambahan atau nutrisi pengganti
menyebabkan variasi pakan tidak pasti. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan faktor-
faktor penunjang produksi susu sangat banyak dan bervarisi, bebeda-beda tergantung dari
3
kondisi internal dan eksternal peternakan, hal ini berakibat produksi tidak dapat
maksimal dan tujuan produksi sulit tercapai.
Dari permasalahan yang telah dikemukakan, maka perumusan masalah adalah
sebagai berikut.
1. Seberapa jauh perubahan iklim dapat mempengaruhi keragaman produksi susu
sapi?
2. Bagaimana perubahan pola produksi susu sapi akibat dari peningkatan suhu?
3. Bagaimana metode-metode adaptasi ternak sapi perah dalam menghadapi
perubahan iklim?
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan keragaman produksi susu sapi
2. Menyusun indeks kenyamanan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
dampak keragaman dan perubahan iklim pada produksi susu sapi
3. Menentukan opsi-opsi adaptasi untuk mengelolan resiko iklim saat ini dan yang
akan datang
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi peternak untuk meningkatkan produksi susu
2. Sebagai suatu kajian ilmiah untuk penelitian lebih lanjut
3. Sebagai bahan rekomendasi bagi pemangku kebijakan di sektor peternakan dalam
menghadapi perubahan iklim
Kerangka Pikir Penelitian
Global Warming adalah suatu fenomena perubahan suhu permukaan bumi akibat
banyaknya emisi buangan yang dilepas ke udara oleh kegiatan manusia seperti limbah
rumah tangga, industri dan transportasi berupa gas CO, NH3, CH4, dan N2O. Tingginya
kadar gas-gas tersebut di udara menyebabkan terjadinya efek gas rumah kaca sehingga
menimbulkan suhu udara baik lokal maupun regional menjadi lebih panas serta adanya
perubahan musim secara drastis. Perubahan musim seperti tidak menentunya waktu
hujan, tingginya volume saat hujan berlangsung, dan lamanya musim kemarau dengan
intensitas suhu yang lebih tinggi dari biasanya akan membuat petani dan peternak tidak
dapat memprediksi waktu terbaik untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
cuaca. Sehingga hal ini akan sangat berdampak pada pola tanam dan waktu panen.
Kondisi ini dapat merugikan petani dan peternak baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Adanya perubahan iklim mempengaruhi kondisi fisiologis ternak itu sendiri. Pada
peternakan sapi perah perubahan iklim selain akan berdampak pada fisiologis tubuh
ternak juga akan berdampak pada produksi susu harian, yang disinyalir akan
menghambat produksi susu baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tingginya suhu
akan meningkatkan kebutuhan air bagi ternak, yang berkorelasi dengan penurunan
4
konsumsi pakan, sehingga kualitas dan kuantitas susu akan turun akibat dari kurangnya
asupan nutrisi ke dalam tubuh.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah menjadikan
faktor produksi sapi perah merupakan faktor yang tidak pasti dan kompleks. Hal ini
disebabkan karena sapi perah merupakan mahluk hidup yang senantiasa berkembang
mengadapatasikan diri dengan kondisi lingkungan sekitar. Pendugaan model produksi
terbaik dari faktor yang tidak pasti tersebut tidak dapat dilakukan dengan perhitungan
numerik, sehingga dalam menentukan faktor produksi terbaik diperlukan suatu model
pendugaan (simulasi) yang mendekati keadaan numerik (sebenarnya). Model dapat
membantu menentukan faktor-faktor penentu dalam menghasilkan produksi susu
maksimal, selain itu model pendugaan akan memperbaiki produksi dan adaptasi sapi
perah di daerah sekitar.
Informasi iklim &
ketinggian tempat
Perubahan indeks
kenyamanan akibat dari
pemanasan global
Bagan indeks kenyamanan
+ iklim
Produksi susu
Perubahan tingkat
produktivitas
Identifikasi Adaptasi
Data Umur, Bobot
badan dan Produksi
susu sapi FH
Hubungan antara indeks-
indeks produksi
Dugaan Produksi susu
Climate change
scenario
Literature review
untuk indeks
kenyamanan
Data asupan
nutrisi sapi FH
Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pikir Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
Peternakan Sapi Perah
Peternakan sapi perah adalah peternakan yang memfokuskan diri kedalam usaha
pemenuhan produksi susu Indonesia, dimana peningkatan produksi susu menjadi inti dari
usaha. Menurut Sudono et al. (1999), sapi perah memiliki persentase koefisien
mengubah makanan ternak menjadi protein hewani dan kalori masing-masing sebanyak
33.6% dan 25.8%, selain itu dengan memelihara sapi perah akan didapat keuntungan
lainnya seperti variasi produksi yang relatif konstan, jaminan pendapatan yang tetap,
menjaga kesuburan tanah dan dapat mendayakan hasil sampingan produk pertanian.
Tantangan di masa yang akan datang terutama di pulau jawa adalah keterbatasan lahan,
iklim, efisiensi usaha, skala usaha yang memberikan kelayakan usaha dan pelayanan
lainnya (Hadiyanto 1984).
Peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19, yaitu sejak
pengimporan sapi-sapi perah Milking Shorthorn, Ayrshire dan Jersey dari Australia yang
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu sapi perah umumnya dikelola
dalam bentuk perusahaan, yaitu pemeliharaan sapi perah yang bertujuan untuk
menghasilkan susu yang selanjutnya dijual kepada konsumen. Konsumen susu pada saat
itu umumnya orang-orang Eropa atau orang asing lainnya karena orang-orang Indonesia
belum suka minum susu (Sudono 2002). Menurut Suhartini (2001), usaha pemeliharaan
sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti faktor biologis yang membutuhkan
kondisi lingkungan tertentu, dukungan sarana dan prasarana, terutama adanya pasar baik
industri pengolah susu maupun konsumen langsung.
Berdasarkan jumlah susu yang dihasilkan, bangsa sapi Fries Holland adalah yang
tertinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya baik didaerah tropis
maupun di daerah subtropis (Sudono et al. 1999).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
Pada umumnya sapi perah di indonesia adalah sapi perah bangsa FH (Fries
Holland) dan peranakannya (Danuwidjaya 1980). Selanjutnya Lubis (1963)
mengemukakan bahwa bangsa sapi yang dipelihara di suatu tempat harus sesuai dengan
lingkungannya agar diperoleh produksi susu maksimal sesuai kemampuan sapi tersebut.
Schmidt dan Van Vleck (1974) mengemukakan produksi susu sapi perah dipengaruhi
oleh berbagai faktor lingkungan yang kompleks selain pengaruh genetik itu sendiri.
Keragaman produksi susu seekor sapi perah 50 persen disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang tidak tetap dan 50 persen lainnya disebabkan oleh daya produksi
sebenarnya. Keragaman daya produksi susu sebenarnya tersebut 50 persen dipengaruhi
oleh lingkungan tetap dan 50 persen lainnya disebabkan oleh mutu genetik.
Sebagian besar dari faktor lingkungan tetap dan temporer tersebut adalah faktor
iklim dan cuaca. Faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap sapi perah adalah suhu
dan kelambaban udara, radiasi surya, angin dan curah hujan serta ketinggian tempat dari
permukaan laut (Esmay 1982). Menurut Hafez (1968), suhu dan kelembaban udara
mempunyai pengaruh langsung terhadap sifat-sifat fisiologis sapi perah, sehingga secara
tidak langsung akan mempengaruhi produksi susunya, hal ini terutama akibat dari suhu
dan kelembaban udara yang tinggi.
6
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi pada dasarnya di bagi atas
dua bagian, yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol.
Faktor yang dapat dikontrol seperti pakan, genetik dan manajemen pemerahan,
sedangkan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol seperti cuaca dan iklim. Baret dan
Larkin (1979) menyatakan bahwa faktor – faktor yang dapat mempengaruhi produksi
susu yang tidak dapat dikontrol adalah birahi sapi, kebuntingan sapi, umur dan kesehatan
ternak. Selain itu Sudono et al. (1999) menambahkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi susu sapi antara lain: bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi,
besarnya sapi, masa birahi, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, makanan
dan tata laksana. sebelumnya Esminger (1971) menyatakan bahwa peralatan pemerahan,
keadaan musim dan perbedaan tahun akibat perubahan cuaca, kualitas makanan serta
nilai genetik dapat mempengaruhi produksi susu.
Adanya gangguan pada lingkungan eksternal dapat mempengaruhi konsumsi sapi
perah, yang secara langsung akan berakibat pada menurunnya produksi ternak. Menurut
Hafez dan Dyer (1969), konsumsi makanan sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya suhu dan kelembaban udara, umur ternak, sifat dan jenis makanan serta
bangsa sapi. Diantara faktor tersebut suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor
yang sangat penting dan berpengaruh terhadap konsumsi makanan. Hafez (1968)
menyatakan bahwa suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan konsumsi makanan
pada seluruh bangsa sapi. Bila suhu udara meningkat sampai 40.6oC, konsumsi makanan
pada sapi Jersey dan Fries Holland akan terhenti. Mount (1979) menyertakan, konsumsi
makan mulai menurun apabila suhu lingkungan naik dari 24OC-25
OC untuk sapi Fries
Holland.
Menurut Baqa (2003), perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat.
Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu (1) iklim tropis yang kurang sesuai dengan
pengembangan komoditas susu; (2) masih rendahnya skala usaha pemilikan sapi oleh
peternak, dimana rata-rata hanya 2-4 ekor; (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas
genetik ternak yang rendah; (4) manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan
kualitas sumberdaya manusia peternak yang juga rendah; (5) kesulitan bahan pakan
ternak berkualitas; (6) masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat;
(7) masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan; (8) kondisi infrastruktur transportasi
yang kurang memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi; dan (9)
masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu
masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor.
Perbedaan iklim sudah dikenal sebagai salah satu syarat berdirinya usah
peternakan sapi perah. Kondisi iklim dingin diyakini akan membawa dampak yang baik
berupa tingkat produksi yang tinggi baik pada sapi perah maupun sapi pedaging.
Perbedaan kondisi topografi dan suhu terutama pada sapi perah akan mengakibatkan
adanya perbedaan dari jumlah susu yang dihasilkan. Siregar dan Praharani (1992)
menyatakan, bahwa produksi didaerah Lembang adalah sebesar 16.3 liter/ekor/hari,
disamping itu Siregar (1992) juga menyatakan batasan rataan produksi susu sapi perah
yang ekonomis untuk dipelihara adalah sebesar 9.5 liter/ekor/hari untuk daerah Bogor,
dan 11.4 liter/ekor/hari untuk daerah lembang. Menurut Frank et al. (2009) peningkatan
suhu ambien akan mengakibatkan asupan pakan tertekan sehingga bobot badan akan
berkurang serta produksi susu akan berkurang, bahkan hasil perhitungan menunjukkan
kerugian sekitar $100/ekor/musim. Nesamvuni E et al. (2012) menambahkan bahwa sapi
7
perah yang mengalami stress panas berat akan mengalami penurunan produksi susu
sekitar 10-25%.
Pemanasan Global
Pemanasan global adalah suatu efek dari terperangkapnya radiasi gelombang
panjang matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi pada lapisan Gas Rumah Kaca
(GRK), sehingga radiasi gelombang tersebut tidak dapat lepas ke angkasa dan kembali ke
bumi, akibatnya suhu di atmosfer bumi meningkat (memanas). Menurut IPCC (2007b),
suhu rata-rata global permukaan bumi telah meningkat 0.74oC (0.56
oC-0.92
oC) selama
seratus tahun terakhir.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan
yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca
ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi akibat-akibat pemanasan global,
yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan punahnya
berbagai jenis hewan .
Dampak Pemanasan Global pada Ternak
Baret dan Larkin (1979) menyatakan, bahwa sapi-sapi eropa akan menurun
produksi susunya apabila temperatur meningkat hingga 29oC. Karena itu di Kenya
dilaporkan bahwa sapi-sapi eropa dipelihara pada daerah yang memiliki curah hujan di
atas 900mm/tahun dengan tata laksana yang baik. Sutardi (1982) secara lebih spesifik
menyatakan bahwa sapi FH (Fries Holland) di kawasan tropika memperlihatkan
penampilan yang tidak berselisih jauh dengan negeri asalnya bila suhu lingkungannya
sejuk, yaitu sekitar 18.3oC, dengan kelembaban udara sekitar 55%. Zona thermonetral
suhu nyaman untuk sapi eropa berkisar dari 13-18⁰C (McDowwel 1972); 4-25⁰C
(Yousef 1985); 5-25oC (Jones &Stallings 1999).
Peningkatan panas bumi akan menimbulkan cekaman panas yang berlebihan pada
tubuh sapi, akibatnya sapi akan memperbanyak minum, sehingga kegiatan makan yang
menjadi sumber protein baik untuk tubuh sapi maupun sebagai sumber gizi susu sapi
menjadi berkurang. Hal ini juga dinyatakan oleh Carlson dan Hsich (1970), bahwa
penimbunan panas yang berlebihan pada tubuh sapi mengakibatkan kegiatan makan sapi
akan menurun sehingga jumlah makanan yang dikonsumsi menjadi berkurang, jika
proses ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan pertumbuhan ternak terlambat
dan produksi susu turun. Menurut Chase LE (2004) tingkat keparahan dari stress panas
pada ternak tergantung pada sejumlah faktor, yaitu:
1. Suhu dan kelembaban yang sebenarnya
2. Panjang periode stress panas
3. Tingkat pendinginan malam
4. Ventilasi dan aliran udara
5. Ukuran sapi
6. Tingkat produksi susu dan konsumsi bahan kering sebelum terjadinya stress panas
7. Jenis kandang, ventilasi dan kepadatan penduduk
8. Ketersediaan air
9. Perkawinan ternak
10. Warna kulit ternak
8
Berbanding terbalik dengan peryataan Kim et al. (2010) dimana dikatakan tidak
seluruh penelitian menyimpulkan bahwa stress panas mengakibatkan penurunan produksi
susu.
Adaptasi
Adaptasi adalah suatu tindakan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitarnya sehingga mudah menerima segala bentuk perubahan.menurut IPCC (2001),
adaptasi mempunyai arti tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial sebagai respon
terhadap perubahan iklim dan variabilitasnya. Kegiatan adaptasi pada ternak diharapkan
dapat mengurangi dampak dan kerentanan ekologi maupun ternak terhadap adanya
perubahan iklim. Usaha yang dapat dilakukan untuk melakukan adaptasi diantaranya
dengan menggunakan simulasi lingkungan, baik dari sisi lokasi habitat ternak maupun
dari sisi fisiologis ternak itu sendiri secara alami, untuk mengurangi dampak negatif
terhadap produksi dan reproduksi ternak.
Indeks Kenyamanan Lingkungan Ternak
Ketidaknyamanan ternak pada dasarnya dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor internal dan faktor eksternak. Faktor internal seperti kondisi kesehatan ternak,
sedangkan faktor eksternal seperti adanya gangguan lingkungan sekitar. Kepekaan adalah
tidak tolerannya suatu habitat, komunitas atau spesies terhadap faktor luar, sehingga
mudah rusak atau mati (Mc Leod 1996). Suatu habitat, komunitas atau spesies menjadi
rawan ketika terkena pengaruh dari luar (lingkungan). Kepekaan disebabkan oleh
kerentanan ketika berhubungan dengan dampak fisik atau kondisi lingkungan yang
sangat ekstrim (Tyler-Walter et al. 2001). Gangguan lingkungan salah satunya
disebabkan oleh adanya perubahan suhu dan kelembaban udara lingkungan sekitar.
Menurut John M. Wallace kelembaban relatif (RH) adalah hasil bagi antara tekanan uap
nyata dari suatu sistem udara lembab pada temperatur tertentu (e) dengan tekanan uap air
jenuhnya (Es) pada temperatur yang sama. Indeks kenyamanan ternak adalah suatu
indeks hubungan antara suhu dan kelemababan dilingkungan ternak yang berpengaruh
terhadap produksi dan reproduksi ternak. Indeks digunakan untuk menentukan tingkat
pengaruh suhu dan lingkungan terhadap kondisi ternak.
Suhu Efektif Ternak, Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Susu Hasil Produksi
Menurut West (1994), suhu efektif adalah suhu yang dimanfaatkan oleh ternak
untuk kehidupannya, dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara (RH), radiasi
matahari dan kecepatan angin. Suhu efektif memperlihatkan tingkat kenyamanan dan
stress bagi sapi perah.
Stres panas istilah yang digunakan secara luas dan agak longgar, dan merujuk
kepada iklim, efek iklim pada sapi, atau produktif atau tanggapan fisiologis oleh sapi.
Lee (1965) menyajikan sebuah definisi dari stres yang sering digunakan oleh dokter, di
mana stres menandakan besarnya kekuatan eksternal ke sistem tubuh yang cenderung
untuk menggantikan sistem itu dari kondisi beristirahat atau keadaan dasar, dan
ketegangan adalah perpindahan internal dari beristirahat atau keadaan dasar yang
ditimbulkan oleh aplikasi dari stres. Karena faktor-faktor lingkungan eksternal akan
berkontribusi terhadap stres sapi (dalam kasus stres panas ini) sementara perpindahan
sapi dari kondisi beristirahat akan menanggapi tekanan eksternal, atau panas ketegangan
9
Hubungan Suhu dan RH Lingkungan terhadap Produksi Susu Sapi Perah
Sebagai salah satu komponen lingkungan abiotik, cuaca/iklim memiliki pengaruh
yang besar pada kehidupan seluruh mahluk hidup termasuk ternak yang dipelihara
manusia. Dalam usaha produksi ternak, faktor meteorologis (radiasi matahari,
photoperiod, temperatur, kelembaban, angin dan curah hujan) menjadi faktor pembatas
yang sulit untuk dikendalikan. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh pada kesehatan dan daya tahan hidup (survive) (Silva et al. 2006)
dan produktivitas sapi perah yang mencakup pertumbuhan, produksi dan kualitas susu
serta reproduksinya (Valtorta 2006).
Suhu dan kelembaban merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi
sapi perah karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh
ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak
(Hafez 1968; Esmay 1978). Untuk kehidupan dan produksinya ternak memerlukan suhu
lingkungan yang optimum, McDowwell (1972). Hubungan besaran suhu dan kelembaban
udara atau biasa disebut Themperature Humidity Index (THI)/indeks kenyamanan yang
dapat mempengaruhi tingkat stress sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Indeks kategori terkait keselamatan cuaca ternak dengan nilai-nilai
THI
Normal: <72 THI, Waspada 72≤THI≤79, Bahaya 80≤THI≤89, darurat (90≤THI≤97)
Sapi perah akan nyaman pada nilai THI dibawah 72. Jika THI melebihi 72 maka
sapi perah Fries Holland akan mengalami stress ringan (72≤THI≤79), stress sedang
(80≤THI≤89) dan stress berat (90≤THI≤97) (Wierema 1990).
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
21 64 64 64 65 65 65 66 66 66 67 67 67 68 68 68 69 69 69 70 70
22 65 65 65 66 66 67 67 67 68 68 69 69 69 70 70 70 71 71 72 72
23 66 66 67 67 67 68 68 69 69 70 70 70 71 71 72 72 73 73 74 74
24 67 67 68 68 69 69 70 70 71 71 72 72 73 73 74 74 75 75 76 76
26 68 68 69 69 70 70 71 71 72 73 73 74 74 75 75 76 76 77 77 78
27 69 69 70 70 71 72 72 73 73 74 75 75 76 76 77 78 78 79 79 80
28 69 70 71 71 72 73 73 74 75 75 76 77 77 78 79 79 80 81 81 82
29 70 71 72 73 73 74 75 75 76 77 78 79 79 80 80 81 82 83 83 84
30 71 72 73 74 74 75 76 77 78 78 79 80 81 81 82 83 84 84 85 86
31 72 73 74 75 76 76 77 78 79 80 81 81 82 83 84 85 86 86 87 88
32 73 74 75 76 77 78 79 79 80 81 82 83 84 85 86 86 87 88 89 90
33 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 85 86 87 88 89 90 91 92
34 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94
36 76 77 78 79 80 81 82 83 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96
37 77 78 79 80 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 93 94 95 96 97 98
38 78 79 80 82 83 84 85 86 87 88 90 91 92 93 94 95 97 98 99 100
39 79 80 81 83 84 85 86 87 89 90 91 92 94 95 96 97 98 100 101 102
40 80 81 82 84 85 86 88 89 90 91 93 94 95 96 98 99 100 101 103 104
41 81 82 84 85 86 88 89 90 91 93 94 95 97 98 99
42 82 83 85 86 87 89 90 92 92 94 96 97 98 100 101
43 83 84 86 87 89 90 91 93 93 96 97 99 100 101 103
Kelembaban Relatif, (%)
Tem
per
atu
r, ⁰
C
Stress ringan
Stress sedang
Stress berat
10
Metode Stochastic
Suatu model dianggap sebagai stochastic jika parameter-parameter penduga
tergantung dari data pengamatan (input) dan akan berubah jika data pengamatan berubah.
Menurut Bey (1991), suatu model stochastic menghasilkan keluaran yang hanya dapat
diduga dengan pengertian statistik, yaitu penggunaan data yang sama akan menghasilkan
keluaran yang berbeda-beda mengikuti pola statistik tertentu. Selanjutnya Boer et al.
(1998) mengatakan bahwa model statistik umumnya bersifat spesifik lokasi, dimana
model akan memberikan keluaran yang baik apabila model digunakan ditempat dimana
model tersebut dibuat dan tidak apabila diterapkan dilokasi lain.
Handoko (1986) mengatakan bahwa hasil prediksi model stochastic mengandung
toleransi yang dapat berupa simpangan yang secara statistik dapat digambarkan dengan
ragam (variance), simpangan baku (standard deviation), kesalahan baku (standard error)
dan koefisien keragaman (coeeficient of variation) atau peluang yang berkisar 0 – 100%.
Contoh model stochastic adalah pendekatan curah hujan dengan simulasi stochastic
curah hujan.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan survey lapangan yaitu penelitian yang dilakukan dengan
mengambil data secara langsung ke lokasi penelitian pada objek-objek yang menjadi
sampel. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, kausal, dan pemodelan.
Penelitian deskriptif disini bertujuan untuk menggambarkan kondisi data pada setiap
peubah-peubah yang diteliti. Penelitian kausal bertujuan untuk melihat hubungan sebab
akibat antara peubah bebas dan peubah respon. Penelitian pemodelan bertujuan untuk
melakukan pendugaan terhadap peubah respon yang menjadi fokus penelitian melalui
sebuah model.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah peternakan sapi perah di wilayah Pondok Ranggon-
Jakarta Timur, Kebon Pedes-Kota Bogor, Cugenang-Cianjur, Cisarua-Kab.Bogor, dan
Lembang-Bandung. Wilayah Jakarta dilakukan di peternakan sapi perah rakyat di daerah
Pondok Ranggon (Jakarta Timur), wilayah Kota Bogor bertempat di peternakan sapi
perah rakyat daerah Kebon Pedes, wilayah Cianjur bertempat di peternakan sapi BPPT
Buni Kasih, untuk Cisarua diambil dari Peternakan sapi Cisarua Integrated Farming
(CIF), dan wilayah Bandung bertempat di peternakan sapi perah BPPT Cikole-Lembang.
Penelitian telah dilakukan pada bulan Oktober 2012 - Januari 2013. Peta lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 2.
12
Tabel 2 Peubah penelitian dan cara pengukurannya
Kategori Nama Peubah Satuan Cara Pengukuran
Peubah
respon
Produksi
Susu
Liter/hari Menimbang
Peubah bebas
Umur Bulan Melihat recording data lahir
atau pergantian gigi seri
Bobot badan Kg Mengukur lingkar dada sapi. BB
dihitung menggunakan rumus
Schoorl :
dengan,
LD = Lingkar dada sapi (cm)
Kandungan
pakan :
Protein Kasar
(PK), Energi
(TDN), dan
Bahan Kering
(BK)
Kg 1. Pakan yang diberikan
ditimbang bobotnya pada
pemberian pakan pagi dan
sore dengan menggunakan
timbangan
2. Seluruh jenis pakan
dilakukan penghitungan
kandungan yang dikonsumsi
oleh sapi berdasarkan
kandungan setiap kilogram
hasil uji laboratorium.
Suhu oC Pengukuran suhu dan
kelembaban dilakukan
dengan alat Thermometer
minimal dan maksimal
digital dua desimal serta
dapat mengukur suhu dan
kelembaban relatif secara
bersamaan. Pengukuran
dilakukan selama 24 jam,
kemudian dilakukan
penghitungan rata-rata suhu
dan kelembaban.
Kelembaban
Relatif
%
Ketinggian Meter Menggunakan GPS
Analisis Data
Analisis data penelitian ini dilakukan dengan empat metode, yaitu analisis
deskriptif, analisis regresi, metode analisa THI dan metode stochastic spreadsheet.
Berikut adalah penjelasan dari masing-masing metode :
a. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif bertujuan untuk mengeksplorasi data secara lebih ringkas,
sehingga diperoleh gambaran data yang sesungguhnya. Statistik yang dihitung meliputi
rata-rata, nilai minimum, dan nilai maksimum dan rata-data dari peubah-peubah yang
13
diteliti dan grafik yang menunjukkan pola dari masing-masing peubah bebas dengan
peubah respon.
b. Analisis Regresi
Analisis regresi bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
produksi susu dan melakukan pendugaan produksi susu berdasarkan peubah bebas yang
menjadi fokus dalam penelitian ini. Model regresi yang digunakan adalah :
y = f(x1, x2, x3...xn)
dengan,
y = Produksi susu
x = peubah-peubah bebas yang mempengaruhi produksi susu
Model yang terbentuk dari analisis regresi ini selanjutnya digunakan untuk
melakukan pendugaan produksi susu.
c. Metode Analisa THI
Metode analisa THI (Temperature Humidity Indeks) dimaksudkan untuk
mengukur respon ternak akibat perubahan cuaca (suhu dan kelembaban) terhadap
pendugaan perubahan produksi susu. Perhitungan THI dilakukan menggunakan
persamaan NRC (1971).
THI = (1.8T+32)-((0.55-0.0055RH)x(1.8T-26.8))
dengan,
THI = Indeks kenyamanan sapi perah
T = Suhu rata-rata (oC)
RH = Kelembaban rata-rata (%)
Perubahan produksi susu diperoleh melalui model regresi yang dihasilkan dari poin
(b) berdasarkan nilai THI yang telah ditentukan.
d. Metode Stochastic Spreadsheet
Metode stochastic spreadsheed umum digunakan dalam meneliti hubungan
indeks stress panas pada hewan. Teknik yang digunakan adalah simulasi Montecarlo
yaitu pengambilan sampel dengan menggunakan bilangan-bilangan acak (random
numbers) dilakukan dengan bantuan komputer. Prinsip kerja dari simulasi monte carlo
adalah membangkitkan bilangan-bilangan acak atau sampel dari suatu variabel acak yang
telah diketahui distribusinya. Oleh karena itu, dengan simulasi monte carlo seolah-olah
didapat data dari lapangan. Simulasi monte carlo membutuhkan banyak sekali iterasi dan
usaha perhitungan, khususnya untuk masalah-masalah yang melibatkan peristiwa-
peristiwa langka (very rare events). Menurut Wong (2001), simulasi Monte Carlo dari
suatu proses stochastic adalah suatu prosedur untuk mendapatkan contoh acak terhadap
hasil proses tersebut. Jika suatu sistem mengandung elemen yang mengikutsertakan
faktor kemungkinan, model yang digunakan adalah model stochastic. Dasar dari simulasi
Monte Carlo adalah percobaan elemen kemungkinan dengan menggunakan sampel acak
(Syazali 2011).
e. Analisa regresi dummy
Analisis regresi dummy bertujuan ntuk melihat pengaruh PK terhadap produksi
susu pada berbagai lokasi. Apabila pengaruh PK pada wilayah tertentu relatif sama
dengan PK wilayah lain maka kedua wilayah tersebut digabungkan, sehingga terbentuk
14
model baru. Model gabungan telah mengalami pengurangan jumlah parameter akibat
adanya peubah-peubah yang digabungkan karena kedekatan nilai kemiringan/slope.
Untuk menguji kebaikan diantara kedua model, maka harus di lihat dengan uji Cp
Mallow. Uji Cp Mallow digunakan untuk menganalisa kebaikan diantara dua model yang
dihasilkan dari regresi dummy, yaitu antara model secara keseluruhan (Full model) dan
model gabungan (Reduce Model). Rumus yang digunakan dalam perhitungan Cp Mallow
adalah:
(
)
dimana:
p = jumlah observasi
n = jumlah parameter
s2dan σ
2 = ragam reduce dan full model
Model yang baik adalah yang memiliki nilai lebih kecil atau sama dengan
banyaknya parameter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Lokasi Penelitian
Gambaran lokasi penelitian yang diuraikan adalah kondisi geografis masing-
masing lokasi. Berikut ini adalah uraian dari masing-masing lokasi penelitian, yaitu :
a. Kelompok Ternak Pondok Ranggon-Jakarta Timur
Kelompok Ternak Pondok Ranggon merupakan kumpulan peternak sapi perah di
Jakarta Timur yang berada di Kelurahan Pondok Ranggon diatas ketinggian 80 mdpl dan
letak geografis 6⁰21.4242LS dan 106⁰54.3702BT dengan kondisi geografis merupakan
dataran rendah. Kelompok ternak pondok berada dekat dengan kantor kelurahan Pondok
Ranggo-Jakarta Timur serta berhadapan dengan TPU Pondok Ranggon.
b. Kelompok Ternak Kebon Pedes-Kota Bogor
Kelompok Ternak Kebon Pedes-Bogor merpakan kelompok ternak yang letaknya
menyebar, merupakan kumpulan peternak sapi perah di Kota Bogor yang berada di
Kelurahan Kebon Pedes diatas ketinggian 250 mdpl dan letak geografis 6⁰34.0217LS dan
106⁰47.8698BT dengan kondisi geografis merupakan dataran rendah.
c. BPPT Bunikasih-Cianjur
Merupakan balai penelitian milik Provinsi Jawa-Barat yang terletak di desa
Bunikasih, Kecamatan Cugenang. BPPT Bunikasih berada pada ketinggian 936 mdpl dan
letak geografis pada 06⁰50.007LS dan 107o03.056BT. Kondisi geografis merupakan
daerah perbukitan bergelombang dan berada jauh dari pemukiman penduduk.
d. Cisarua Integrated Farming-Cisarua-Kabupaten Bogor
Cisarua Integrated Farming atau disingkat CIF merupakan peternakan skala sedang
milik swasta yang berada di Kelurahan Cisarua diatas ketinggian 1111 mdpl dan letak
geografis 6⁰42.0070LS dan 106o.56.0158BT dengan kondisi geografis merpakan
perbukitan bergelombang serta dekat dengan hutan lindung milik Kementrian
Kehutanan. letak peternakan persis didekat kebun binatang Taman Safari-Cisarua.
15
e. BPPT Cikole-Lembang, Bandung
BPPT Cikole, Lembang-Bandung adalah salah satu balai penelitian peternakan
milik Provinsi Jawa Barat yang terletak di jalan raya Tangkubang Perahu Km.21. Desa
Cikole, Kecamatan lembang Kabupaten Bandung Utara diatas ketinggian 1225 mdpl.
Posisi geografis terletak di 06⁰48.1644LS dan 107⁰39.0906BT dengan kondisi geografis
sedikit berbukit dan menurun.
Eksplorasi Data secara Deskriptif
Eksplorasi data secara desktiptif bertujuan untuk gambaran masing-masing peubah
dan visualisasi secara grafis mengenai hubungan peubah-peubah bebas terhadap produksi
susu. Pola hubungan yang ditunjukkan melalui gambar ini dibuat berdasarkan data rataan
masing-masing wilayah/kelompok. Hasil analisis deskriptif dari data penelitian secara
lebih detail dijelaskan dalam dua bagian.
Hubungan Peubah Fisiologis terhadap Produksi Susu
Peubah fisiologis seperti umur dan bobot badan merupakan peubah yang secara
langsung berpengaruh terhadap produktivitas sapi dalam menghasilkan susu. Hubungan
antara masing-masing peubah terhadap produksi susu sebagai berikut:
a. Hubungan Umur Sapi dengan Produksi Susu
Umur sapi secara teori dan konseptual menunjukkan hubungan yang kuadratik,
dimana terjadi peningkatan produksi pada usia tertentu lalu kemudian akan turun
kembali, hal ini karena pada usia tertentu kemampuan organ untuk memproduksi susu
sapi telah menurun mengikuti pola kuadratik. Menurut Basya (1983), puncak produksi
sapi FH dicapai pada usia 6-8 tahun. Hubungan umur dengan produksi susu disajikan
pada Gambar 3.
Gambar 3 Hubungan umur terhadap produksi susu
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa puncak produksi dicapai pada umur 7
tahun (bulan ke 85-95) kiri ke kanan, akan tetapi ada terjadi kenaikan produksi setelah
laktasi melewati masa puncaknya. Hal ini karena manajemen yang baik dari peternak
hingga dapat meningkatkan produksi. Sapi FH mengalami peningkatan laktasi pertama
02468
101214161820
Pro
du
ksi S
usu
rat
a-r
ata
(lit
er/
har
i)
Umur (bulan)
16
ke laktasi selanjutnya, dan meningkat terus hingga umur 6-8 tahun, setelah periode ini
produksinya akan turun secara perlahan sampai usia tua. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Anggraeni (2007) bahwa puncak produksi susu sapi dicapai pada laktasi
ke empat, yaitu pada usia 6-7 tahun.
b. Hubungan Bobot Badan terhadap Produksi Susu
Bobot badan sapi yang tinggi menandakan bahwa sapi sehat, dengan konsumsi
pakan yang tinggi diiringi dengan produksi dan reproduksi yang baik. Sapi FH yang
memiliki pertumbuhan bobot badan yang baik cenderung memiliki produksi susu yang
tinggi, hal ini karena ini karena adanya cadangan energi yang dapat digunakan untuk
memproduksi susu selain dari pakan. Hasil pengamatan hubungan bobot badan terhadap
produksi susu sapi disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Hubungan bobot badan terhadap produksi susu
Pertumbuhan bobot badan sapi FH tidak diperkenankan terlalu gemuk, hal ini
karena lemak yang terlalu banyak akan menghambat sekresi air susu sehingga berpotensi
mengurangi produksi susu. Selanjutnya Waltner et al. (1993) menyatakan bahwa
produksi susu meningkat pada saat bobot badan mencapai optimal dan akan menurun
apabila bobot badan melebihi standar optimal. Berdasarkan Gambar 4 menunjukkan
bahwa pertambahan bobot badan akan meningkatkan produksi susu. Hal ini sesuai
dengan dengan Wright et al. (1989) bahwa energi yang tersedia dalam tubuh sapi (dalam
bentuk lemak) digunakan untuk metabolisme, laktasi dan aktivitas.
Hubungan Peubah Lingkungan (THI) terhadap Produksi Susu
Sapi FH adalah sapi yang berasal dari Eropa dengan suhu dan kelembaban tinggi.
Suhu dan kelembaban merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap produksi
susu. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan cekaman stress ternak, begitupun
kelembaban yang berkorelasi dengan penurunan produksi susu. Silva et al (2007)
menyatakan bahwa studi ilmiah telah menetapkan bahwa peristiwa stress panas
berhubungan dengan kombinasi faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban,
radiasi matahari dan kecepatan angin. Indeks THI merupakan kombinasi yang
dirumuskan untuk menentukan tingkat cekaman suhu dan kelembaban yang dialami oleh
sapi. Menurut Bohmanova et al (2007) indeks suhu kelembaban (THI) telah digunakan
sebagai sarana untuk kuantifikasi tingkat ketidaknyamanan yang disebabkan oleh stres
panas. Hubungan indeks THI dengan produksi susu disajikan pada Gambar 5.
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
400-435 436-470 471-505 506-540 541-570
Pro
du
ksi S
usu
rat
a-r
ata
(Lit
er/
har
i)
Bobot Badan (Kg)
17
Gambar 5 Hubungan Indeks THI terhadap produksi susu
Gambar 5 menunjukkan bahwa indeks THI berbanding terbalik dengan produksi
susu. Tingkat produksi yang lebih baik pada THI lebih rendah menunjukkan pengaruh
yang kuat dari faktor iklim (suhu dan kelembangan) sekitar yang ditunjang manajemen
adaptasi sapi yang lebih baik terhadap cekaman panas. Model regresi produksi
berdasarkan THI memberikan nilai R2 sebesar 94.2%, yang artinya sebanyak 94.2%
keragaman produksi susu dijelaskan oleh THI. Igono et al (1992) dan Frank et al (2009)
suhu yang tinggi akan menyebabkan penurunan produksi susu. Selanjutnya ditegaskan
oleh Nesamvuni et al (2012) bahwa sapi di bawah tekanan berat akan mengalami
penurunan produktivitas susu sekitar 10-25% dan juga penurunan kinerja reproduksi
mereka.
Gambar 5 menunjukkan bahwa indeks THI cenderung menyebabkan pengaruh
negatif terhadap produksi susu. Tingkat produksi yang lebih baik dibandingkan pada
peternakan yang memiliki indeks THI lebih rendah menunjukkan bahwa pengaruh suhu
dan kelembaban sangat besar terhadap produksi susu.
Hubungan Peubah Nutrisi Pakan terhadap Produksi Susu
Protein Kasar, Energi dan Bahan Kering adalah beberapa unsur gizi utama yang
dibutuhkan oleh sapi untuk produksi dan reproduksi serta pertumbuhan sapi. Protein
kasar adalah semua zat makanan yang mengandung nitrogen. Dalam protein rata-rata
mengandung nitrogen 10%. Menurut Prahara dan Masturi (2008) Bahan kering
merupakan salah satu zat gizi yang terdapat pada bahan pangan susu selain air.
Komponen yang terdapat dalam bahan kering susu, antara lain laktosa, protein, lemak
dan abu. Energy adalah salah satu zat makanan yang dibutuhkan oleh ternak. Energy oleh
ternak didapatkan dari Karbohidrat (95%), Protein (70%) dan Lemak. Kandungan energy
didalam lemak mempunyai kandungan energy yang paling tinggi yaitu 2.25 kali
karbohidrat dan protein. Hubungan antara Protein Kasar, Energi (TDN) dan Bahan
Kering terhadap produksi susu disajikan pada Gambar 6.
S = 0.84173890
r = 0.96583466
69.0 71.3 73.6 76.0 78.3 80.6 82.9 85.27.00
8.21
9.4110.6211.8313.0414.2415.4516.6617.8719.0720.28
Y=58.288-0.5777THI
R2 = 96.5 %
19
Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran umur sapi di lokasi Jakarta Timur berada
pada 24-82 bulan dengan rata-rata umur sapi 48 bulan. Sedangkan untuk bobot badan
sapi antara 408-449 kg dengan rataan 431 kg. Rataan konsumsi PK, TDN dan BK
berturut-turut sekitar 1.87 kg/ekor, 8.7 kg/ekor dan 22.52 kg/ekor. Kisaran umur sapi di
lokasi Kota Bogor berada pada 27-65 bulan dengan rata-rata umur sapi 46 bulan.
Sedangkan untuk bobot badan sapi antara 400-470 kg dengan rataan 432 kg. Rataan
konsumsi PK, TDN dan BK berturut-turut sekitar 1.38 kg/ekor, 6.48 kg/ekor dan 16.66
kg/ekor. Kisaran umur sapi di lokasi BPPT Bunikasih-Cianjur berada pada 41-56 bulan
dengan rata-rata umur sapi 49 bulan. Sedangkan untuk bobot badan sapi antara 426-530
kg dengan rataan 478 kg. Rataan konsumsi PK, TDN dan BK berturut-turut sekitar 2.11
kg/ekor, 10.48 kg/ekor dan 24.04 kg/ekor. Kisaran umur sapi di lokasi Cisarua-
Kabupaten Bogor berada pada 24-120 bulan dengan rata-rata umur sapi 76 bulan.
Sedangkan untuk bobot badan sapi antara 487-570 kg dengan rataan 506 kg. Rataan
konsumsi PK, TDN dan BK berturut-turut sekitar 1.95 kg/ekor, 8.22 kg/ekor dan 16.16
kg/ekor. Kisaran umur sapi di lokasi BPPT BPPT Cikole-Lembang berada pada 60-88
bulan dengan rataan umur sapi 76 bulan. Untuk bobot badan sapi antara 426-530 kg
dengan rataan 458 kg. Rataan konsumsi PK, TDN dan BK berturut-turut sekitar 3.21
kg/ekor, 12.24 kg/ekor dan 29.12 kg/ekor.
Tabel 4 Kondisi Iklim Lokasi
Ketinggian
Produksi
(lt/hari)
Umur
(Bln)
Suhu
(oC)
RH
(%)
Indeks
THI
---------------------rata-rata--------------
Pondok Ranggon-Jakarta Timur
(80mdpl) 11 48 30 75 82
Kebon Pedes-Kota Bogor
(215mdpl) 11 46 30 80 83
Cugenang-Cianjur
(936mdpl) 14 49 27 75 77
Cisarua-Kab.Bogor
(1111mdpl) 17 76 22 93 72
Lembang-Bandung
(1225 mdpl) 18 76 23 88 73
Berdasarkan Tabel 4 hasil pengamatan dan pengukuran variabel-variabel amatan
di lapangan secara deskriptif menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara ketingggian, suhu dan produksi susu. Semakin tinggi ketinggian (semakin rendah
suhu) lokasi studi akan semakin meningkatkan produksi susu. Suhu dan kelembaban erat
kaitannya dengan produksi susu sapi. Sapi yang mengalami cekaman panas cenderung
akan terganggu produksi dan reproduksinya. Saat keadaan suhu telah mencapai tingkat
stress, sapi akan menambah minum dan akibatnya asupan makanan akan berkurang,
bobot badanpun akan berkurang akibatnya produksi susu akan menurun. Silva et al.
(2007) menyatakan bahwa peristiwa stress panas berhubungan dengan kombinasi faktor-
faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, radiasi matahari dan kecepatan angin.
Menurut Igono et al. (1992) dan Frank et al. (2009), suhu yang tinggi akan menyebabkan
penurunan produksi susu. Selanjutnya ditegaskan oleh Nesamvuni et al. (2012) bahwa
sapi di bawah tekanan berat akan mengalami penurunan produktivitas susu sekitar 10-
25% dan juga penurunan kinerja reproduksi mereka. Sebaliknya Darwin (2001)
menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan global peternak harus meningkatkan
20
produksinya sekitar 2% pertahun. Korelasi antara ketinggian dan suhu cenderung negatif,
artinya semakin tinggi letak suatu wilayah maka suhu akan semakin rendah. Akan tetapi
hal ini tidak berlaku pada lokasi Cisarua dan Bandung. Hal ini disebabkan lokasi di
bandung sangat dekat dengan pemukiman padat dan jalan raya, yang merupakan daerah
terbuka, akibatnya sinar matahari akan dipantulkan sehingga terjadi peningkatan suhu
lokasi studi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
Pengaruh Umur terhadap Produksi Susu
Pemodelan fungsi produksi dari data-data amatan dilakukan dengan analisis
regresi untuk mengetahui peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap produksi susu.
Regresi adalah suatu persamaan matematik yang memungkinkan kita untuk meramalkan
suatu nilai-nilai peubah tak bebas dari nilai-nilai satu atau lebih peubah bebas (Walpole,
1992).
Umur merupakan faktor fisiologis dari suatu individu, dalam hal ini adalah sapi
perah. Kemampuan sapi untuk menghasilkan susu umumnya saat sapi telah mencapai
umur tertentu (2 tahun) atau setelah laktasi pertama. Setiap pertambahan umur, rataan
total produksi susu yang dihasilkan sapi akan turut berubah. Hal ini karena menyangkut
kematangan fisiologis sapi dan kemampuannya menghasilkan susu yang optimal.
Sehingga, peubah umur dianggap sebagai peubah yang paling berpengaruh terhadap
produksi susu sapi. Oleh karena itu, sebelum melihat faktor-faktor lain yang
mempengaruhi produksi susu, langkah yang dilakukan terlebih dahulu adalah menguji
pengaruh umur terhadap produksi susu.
Menurut Sudono et al. (1999), umur sapi perah adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi produksi susu. Peningkatan umur seiring dengan peningkatan rataan
produksi dengan mengikuti pola kuadratik, dimana apabila produksi telah mencapai
puncaknya pada umur tertentu, maka produksi akan menurun mengikuti pertambahan
umur. Plot pencaran antara umur dengan produksi susu menunjukkan pola kuadratik
yang mencerminkan hubungan antara keduanya disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Hubungan kuadratik umur terhadap produksi susu
Gambar 7 menunjukkan bahwa hubungan umur terhadap produksi mengikuti pola
kuadratik, dimana terjadi peningkatan produksi hingga mencapai puncak pada umur
12010080604020
22.5
20.0
17.5
15.0
12.5
10.0
7.5
5.0
Umur
PR
OD
UK
SI
S 3.34855
R-Sq 26.0%
R-Sq(adj) 24.1%
Fitted Line PlotPRODUKSI = 5.618 + 0.1940 Umur
- 0.000888 Umur**2
21
tertentu lalu akan turun kembali. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Basya (1983),
dimana puncak produksi akan terjadi pada umur sapi sekitar 6-8 tahun dan setelah itu
akan turun kembali.
Hasil uji signifikansi koefesien regresi dari persamaan (1) disajikan pada Tabel 5.
Nilai P untuk semua koefesien regresi lebih kecil dari α = 0.1, dengan demikian umur
memberikan pengaruh yang nyata secara kuadratik terhadap produksi susu.
Tabel 5 Taraf nyata regresi umur terhadap produksi
Prediktor Koefisien S.E Koefisien P (α=0.1)
Umur 0.194 0.074 0.011
Umur2 -0.00089 0.001 0.095
Konstanta 5.618 2.325 0.018
Pengaruh Bobot Badan, Pakan dan Lingkungan terhadap Produksi Susu
Model regresi kuadratik dari produksi susu berdasarkan umur memberikan nilai
R2 sebesar 26%. Hal ini berarti, baru 26% faktor umur dapat menjelaskan keragaman
produksi susu. Dengan demikian, masih ada faktor lain yang dapat menjelaskan
keragaman produksi susu. Secara matematis, model produksi berdasarkan umur dapat
dituliskan dalam persamaan (1).
Produksi = 5.618 + 0.194 umur - 0.00089 umur2+ error(1) ………….(1)
Error(1) pada persamaan (1) adalah sisaan (galat) yang merupakan komponen
penjelas keragaman produksi susu yang belum diketahui. Jika sisaan tersebut diuraikan
lagi menjadi sebuah model, maka akan diketahui faktor-faktor lain yang dapat
menjelaskan keragaman produksi susu. Hasil penguraian sisaan tersebut melalui regresi
linier berganda disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil penguraian sisaan pada persamaan (1)
Prediktor Koefisien SE.Koefisien T P VIF
Constant -12.73 39.67 -0.32 0.749
BB 0.01987 0.01148 1.73 0.088 2.423
PK 24.26 13.13 1.85 0.069 717.92
TDN -2.194 2.683 -0.82 0.416 309.58
BK -1.4741 0.6657 -2.21 0.03 117.435
Suhu 0.2193 0.7365 0.3 0.767 92.507
Ketinggian -0.0091 0.00679 -1.34 0.185 130.408
Kelembaban 0.0481 0.1723 0.28 0.781 32.159
Analisis regresi linier memiliki beberapa asumsi dasar yang harus dipenuhi, yaitu
galat menyebar normal, ragam homogen (homoskedastisitas), tidak terjadi autokorelasi
pada sisaan (non-autokorelasi), dan khusus pada regresi linier berganda mensyaratkan
tidak terjadi multikolinier. Multikolinier adalah terjadinya korelasi antar peubah bebas.
Pendeteksian adanya multikolinier ini dapat dilihat dari nilai VIF. Jika VIF bernilai lebih
besar dari 5, maka dianggap ada multikolinier antar peubah bebas.
Tabel 6 menunjukkan terjadi multikolinier yang kuat antar peubah bebas, kecuali
bobot badan (BB). Artinya, faktor kandungan pakan (PK, TDN, BK) dan faktor
lingkungan (suhu, ketinggian, kelembaban) satu sama lain saling berkorelasi kuat. Hal ini
juga mengindikasikan adanya peubah-peubah yang saling mempengaruhi satu sama lain.
22
Sehingga, peubah-peubah yang dimasukkan kedalam model regresi untuk pendugaan
produksi susu dapat dipilih beberapa peubah bebas saja.
Hasil analisis korelasi dan regresi turut memperkuat dugaan adanya multikolinier
pada peubah bebas (Tabel 6). Korelasi antara peubah bebas dengan peubah respon pada
Tabel 6 semuanya tinggi. Besarnya R2 juga semuanya tinggi (diatas 0.6). Hal ini
mengindikasikan bahwa peubah bebas pada Tabel 6 yang dipilih dapat mewakili peubah
respon. Artinya, untuk melihat peubah-peubah yang berpengaruh terhadap produksi susu,
cukup diambil beberapa peubah saja yang dapat mewakili peubah lainnya.
Nilai R2 menunjukkan besarnya keragaman peubah respon yang dapat dijelaskan
oleh peubah bebas. Berdasarkan nilai R2, PK dapat menjelaskan TDN sebesar 96.6%
dan dapat menjelaskan BK sebesar 69.5%, artinya PK dianggap dapat mewakili TDN
dan BK. Sehingga, untuk faktor pakan dapat diambil PK sebagai peubah yang masuk ke
dalam model regresi. Kemudian, suhu dapat menjelaskan ketinggian sebesar 86.8%,
artinya suhu dapat mewakili ketinggian. THI dapat menjelaskan suhu sebesar 98.3% dan
dapat menjelaskan kelembaban sebesar 68%. Dengan demikian, THI dapat mewakili
suhu dan kelembaban. Hal ini juga sesuai dengan rumus THI yang merupakan fungsi dari
suhu dan kelembaban. Sehingga, untuk faktor lingkungan dapat dipilih THI sebagai
peubah bebas yang masuk ke dalam model regresi.
Tabel 7 Korelasi dan regresi antar faktor penjelas produksi susu
Peubah bebas Peubah respon P Korelasi R2
PK TDN 0.000 0.983 0.966
BK 0.000 0.833 0.695
Suhu Ketinggian 0.000 0.932 0.868
THI Suhu 0.000 0.991 0.983
Kelembaban 0.000 0.825 0.680
Selain itu, besarnya korelasi antara peubah bebas dengan produksi susu juga
menjadi alasan penguat pemilihan peubah bebas yang masuk ke dalam model regresi
(Tabel 8). Faktor pakan yang berkorelasi paling tinggi dengan produksi susu adalah PK,
yaitu 0.549. Sehingga sangat baik bila PK dipilih sebagai peubah bebas yang masuk ke
dalam model regresi. Faktor lingkungan, THI dipilih sebagai peubah bebas karena
besarnya korelasi terhadap produksi juga menunjukkan korelasi yang tinggi (-0.732).
Tabel 8 Korelasi antara peubah bebas dengan produksi susu
Peubah
Respon
Faktor Kandungan
Pakan Faktor Lingkungan
PK TDN BK Suhu Ketinggian Kelembaban THI
Produksi 0.549 0.459 0.153 -0.752 0.727 0.698 -0.732
Protein Kasar merupakan zat makanan hasil penguraian dari Bahan Kering
melalui analisa Proksimat. Ditinjau dari asal ilmu pakan tentang zat makanan dan
hubungan antar masing-masing zat makanan, protein kasar juga merpakan salah satu
bentuk energi yang diserap oleh tubuh ternak, sedangkan TDN merupakan gabungan
energi yang terserap kedalam tubuh ternak, artinya peran TDN dalam hal sebagai peubah
pakan dapat diwakili oleh PK, selain itu keberadaan TDN sebagai energi dapat
digantikan oleh protein, karena protein dapat berubah menjadi energi, sedangkan energi
tidak dapat berubah menjadi protein. Total Digestible Nutrien (TDN) atau total nutrient
23
tercerna adalah jumlah nutrisi tercerna atau jumlah zat makan dari bahan makanan yang
dapat dicerna. Nilai TDN merupakan nilai energy dari protein, serat kasar, Bahan Ekstrak
Tanpa Nitrogen (BETA-N) dan nilai energy dari lemak yang terserap kedalam tubuh
sapi.
Menurut Bohmanova et al.(2007) indeks suhu kelembaban (THI) telah banyak
digunakan sebagai sarana untuk kuantifikasi tingkat ketidaknyamanan yang disebabkan
oleh stres panas. THI adalah fungsi dari suhu udara dan kelembaban. Secara umum
dianggap bahwa sapi perah menunjukkan tanda-tanda stres panas ringan hingga berat dan
produksi susu berkurang ketika THI melewati ambang batas kritis dari 72.
Setelah dilakukan seleksi peubah yang tidak multikolinier, maka peubah yang
masuk ke dalam model regresi pada penguraian sisaan dari persamaan (1) adalah bobot
badan, PK, dan THI. Hasil analisis regresi ulang terhadap peubah-peubah terpilih
tersebut disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai VIF sudah lebih
kecil dari 5, sehingga asumsi tidak terjadi multikolinier antar peubah bebas sudah
terpenuhi.
Tabel 9 Uji parsial penguraian sisaan pada persamaan (1) dengan peubah terpilih
Prediktor Koefisien SE Koefisien T P VIF
Constant 0.990 11.95 0.08 0.934
BB 0.021 0.011 1.87 0.065 1.990
PK 1.166 0.631 1.85 0.068 1.493
THI -0.163 0.095 -1.71 0.092 2.651
Hasil analisis regresi menunjukkan peubah bebas terpilih yaitu BB, PK, dan THI
berpengaruh nyata (α=0.1) terhadap sisaan (error 1). Hal ini berarti bahwa sisaan dari
model pada persamaan (1) dapat diuraikan menjadi bobot badan, protein kasar, dan THI,
melalui model pada persamaan (2). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa selain umur
yang berpengaruh nyata secara kuadratik, faktor lain yang turut berpengaruh terhadap
produksi susu adalah bobot badan, protein kasar, dan THI. Selain uji parsial seperti
ditampilkan pada Tabel 9, uji simultan menggunakan anova juga dapat dilihat pada Tabel
10.
Error (1) = 0.990 + 0.021 BB + 1.166 PK – 0.163 THI + error (2)…...…..(2)
Sehingga fungsi regresi keseluruhan adalah:
Y= 6.608+0.1940 Umur - 0.000888 Umur2 + 0.021BB+1.166PK- 0.163 THI........(3)
Tabel 10 Anova hasil uji simultan penguraian sisaan pada persamaan (1)
Sumber
keragaman
Derajat
bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F P
Regresi 3 300.70 100.23 13.45 0.000
Galat 77 573.90 7.45
Total 80 874.60 Keterangan : S = 2.73
R-square dari regresi secara keseluruhan adalah 75.9%, yang artinya sebesar
75.9% keragaman produksi susu dijelaskan oleh umur, bobot badan, PK dan THI.
Pengujian asumsi selain masalah multikolinier dalam analisis regresi yang melibatkan
24
peubah bebas bobot badan, protein kasar, dan THI ditampilkan pada Gambar 8. Asumsi
normalitas dapat dilihat dari normal probability plot. Pada gambar tampak bahwa plot
sisaan (residual) telah mengikuti garis lurus, yang berarti bahwa sisaan telah menyebar
normal. Asumsi homoskedastisitas dapat dilihat dari plot antara residual dengan dugaan
produksi (fitted value). Pada gambar terlihat titik-titik pada plot pencaran tidak
menunjukkan pola tertentu, yang berarti bahwa ragam sisaan homogen. Artinya, asumsi
homoskedastisitas telah terpenuhi. Asumsi non-autokorelasi dapat dilihat dari plot sisaan
pada setiap pengamatan (residual versus observation order). Pada gambar tampak bahwa
plot sisaan tidak membentuk pola tertentu, artinya tidak terdapat autokorelasi pada
sisaan. Sehingga, asumsi non-autokorelasi telah terpenuhi.
Gambar 8 Hasil uji normalitas, homogenitas dan autokorelasi antar peubah
Dalam analisis regresi, sisaan harus menyebar normal dan bebas satu sama lain.
Dengan kata lain, sisaan pada pengamatan ke-i tidak tergantung pada sisaan pengamatan
lain. Apabila sisaan telah menyebar bebas dengan rataan nol dan ragam σ2, maka sisaan
tersebut dikatakan sebagai white noise. Nilai keragaman white noise yang menyebar
normal dengan nilai tengah sama dengan nol dan keragaman σ2ω, yang biasanya ditulis
dalam bentuk ω(i) ~ N (0, σ2ω).
Untuk melihat kebebasan sisaan antar pengamatan dapat dilihat melalui plot
pencaran dan regresi antara sisaan ke-i dengan sisaan ke-(i-1), dalam hal ini adalah
error(2) ke-i dengan error(2) ke-(i-1), dimana i = 1, …, n dan n adalah banyaknya
pengamatan. Gambar 9 menunjukkan plot pencaran antara error(2) ke-i dengan error(2)
ke-(i-1) tidak mengikuti pola apapun atau sudah menyebar acak. Hal ini berarti bahwa
sisaan dalam model yang dibentuk melalui persamaan (2) telah menyebar bebas.
1050-5-10
99.9
99
90
50
10
1
0.1
Residual
Pe
rce
nt
420-2-4
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
Fitted ValueR
esid
ua
l
6420-2-4
12
9
6
3
0
Residual
Fre
qu
en
cy
80706050403020101
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
Observation Order
Re
sid
ua
l
Normal Probability Plot Versus Fits
Histogram Versus Order
Residual Plots for E_U
25
Gambar 9 Plot pencaran antara error (2) ke-i dengan error (2) ke-(i-1)
Analisis regresi antara error(2) ke-i dengan error(2) ke-(i-1) memberikan nilai P =
0.494 > α = 0.1 pada uji parsial (Tabel 11). Hal ini berarti bahwa sisaan dari pengamatan
yang satu tidak mempengaruhi sisaan pada pengamatan yang lain. Sehingga, sisaan
(galat) dari model pada persamaan (2) telah menyebar normal bebas dengan rataan 0 dan
ragam = 2.732 , atau ditulis dengan ω(i) ~ N (0, 2.73
2). Dengan demikian, pembentukan
model pendugaan produksi susu sudah cukup dengan dua model yang dinyatakan dalam
persamaan (1) dan persamaan (2).
Tabel 11 Hasil analisis regresi antara error(2) ke-i dengan error(2) ke-(i-1)
Prediktor Koefisien SE Koefisien T P
error(2) ke-(i-1) 0.077 0.1121 0.69 0.494
Koefesien regresi dari THI bertanda negatif, hal ini berarti bahwa THI
memberikan pengaruh yang berbanding terbalik dengan produksi. Artinya, semakin
tinggi THI maka produksi susu akan menurun. Sapi perah akan nyaman pada nilai THI
dibawah 72. Jika THI melebihi 72 maka sapi perah Fries Holland akan mengalami stress
ringan (72≤THI≤79), stress sedang (80≤THI≤89) dan stress berat (90≤THI≤97)
(Wierema 1990). Hasil penukuran suhu dan kelembaban (indeks THI) berdasarkan nilai-
nilai yang digunakan oleh Wierema dapat dinyatakan bahwa sapi di Jakarta Timur dan
Kota Bogor mengalami stress sedang (keadaan bahaya) sedangkan sapi didaerah Cisarua,
Cianjur dan Bandung mengalami stress ringan (keadaan waspada).
Sapi FH adalah sapi yang berasal dari negara beriklim sedang, dengan temperatur
udara berkisar dari -5oC hingga 21
oC (Jhonson, 1987). Suhu dan kelembaban merupakan
dua faktor iklim yang dapat mempengaruhi produksi susu sapi, karena dapat
menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air,
keseimbangan energy dan tingkah laku ternak, (Esmay, 1982). Untuk kehidupan dan
produksinya, ternak memerlukan suhu yang optimum. Suhu ideal untuk sapi perah jenis
FH Menurut McDowell (1972) adalah 13-19oC; 4-25 Yousef (1985); 5-25
oC Jones &
Stallings (1999) dengan kelembaban relative (RH) sekitar 55% (Esmay 1982). Menurut
Sutardi (1981), sapi FH dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lingkungan
dengan suhu udara sekitar ±18oC. Hubungan antara suhu dan kelembaban disebut
Temperature Humidity Index (THI). Sapi FH akan menunjukkan penampilan produksi
terbaiknya apabila berada pada suhu 18.3oC dengan kelembaban 55%, Suhu dan
kelembaban di Indonesia berkisar dari 24-34oC dan 60-90%, (Yani & Purwanto 2006).
Hasil perhitungan nilai THI dari tabel yang digunakan maka dapat dinyatakan bahwa
sapi di Jakarta Timur dan Kota Bogor mengalami stress sedang (keadaan bahaya)
7.55.02.50.0-2.5-5.0
7.5
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
lag_RESI2R
ES
I2
Scatterplot of RESI2 vs lag_RESI2
26
sedangkan sapi didaerah Cisarua, Cianjur dan Bandung mengalami stress ringan
(keadaan waspada).
Pendugaan produksi susu
Pendugaan Produksi Susu berdasarkan Indeks Iklim
Peningkatan umur sapi dan indeks THI secara teori dan konseptual akan
mengakibatkan penurunan produksi susu secara perlahan, hal ini karena peningkatan
indeks THI akan berkorelasi dengan peningkatan cekaman panas (stress) sapi, untuk itu
dilakukan suatu upaya untuk menduga dampak cekaman panas terhadap produksi susu
dan upaya adaptasinya. Untuk melihat secara lebih detail dampak dari cekaman panas
dan adaptasinya terhadap tingkat produksi susu sapi dilakukan penghitungan laju
perubahan produksi susu berdasarkan fungsi regresi yang melibatkan peubah bebas
umur, PK dan indeks THI.
Pendugaan perubahan produksi susu terhadap perubahan indeks THI dilakukan
dengan dua (2) tahap, yaitu 1. Membuat model produksi berdasarkan umur, yang
memberikan sisaaan / error (1), Kedua, menguraikan error (1) kedalam fungsi dari THI,
yang menghasilkan error (2). Secara matemastis, pembentukan model pendugaan
produksi susu terhadap THI disajikan pada persamaan berikut:
Model 1: produksi = f (umur) +error (1)
Model 2: error (1) = f (THI) + error (2)
Hasil analisa data memberikan model dugaan produksi sebagai berikut:
Produksi = 5.618 +0.1940 Umur – 0.000888 Umur2 + error (1)
Error (1) = 26.7 - 0.344 THI + error (2)
Sehingga model dugaan produksi secara keseluruhan adalah:
– ..................(4)
Peningkatan suhu dan kelembaban secara langsung akan meningkatkan cekaman
panas terhadap sapi perah, hal ini akan berdampak terhadap peningkatan minum sapi dan
mengurangi intake pakan sehingga akan berdampak terhadap penurunan rataan produksi
susu harian.
Berdasarkan dugaan error dari umur dan indeks THI maka dapat dilakukan
pengujian dugaan perubahan produksi susu akibat dari peubah umur dan indeks THI
dengan mencoba satu kelompok umur misal umur 108 bulan (9 tahun) akan didapatkan
dugaan produksi susu pada keadaan asumsi bobot badan dan asupan PK tetap adalah 16.2
liter/hari, dan dugaan produksi pada suhu dan kelembaban tertentu disajikan pada tabel
12.
27
Tabel 12 Tabel dugaan persentase perubahan produksi susu pada sapi umur 108 bulan
terhadap berbagai tingkat THI
Secara lebih detail perubahan produksi susu disajikan Berdasarkan indeks THI
(Tabel Wierema) dan tabel dugaan persentase perubahan produksi susu untuk sapi
berumur 108 bulan (Tabel 12) maka dapat disimpulkan bahwa produksi susu sapi perah
pada umur 108 bulan (9 tahun) pada keadaan normal mempunyai peningkatan produksi
diatas 14.04%, pada keadaan stress ringan akan terjadi perubahan produksi sebanyak -
2.94% hingga 11.92%, pada saat stress sedang sapi akan mengalami penurunan produksi
berkisar dari 5.06% hingga 24.26%, dan pada keadaan stress berat penurunan
produksinya lebih dari -26.28%.pada Tabel 13.
Tabel 13 Dugaan tingkat produksi susu terhadap tingkat THI
Hasil penghitungan produksi susu pada Tabel 12 dan Tabel 13 dapat dilihat
peningkatan produksi terbaik tercapai pada suhu 21⁰C, hal ini sesuai dengan yang
dikatakan oleh Yousef (1985) suhu efektif untuk sapi perah berkisar dari 4-25⁰C dan
menurut Jones & Stallings (1999) berkisar dari 5-25⁰C, semakin rendah suhu dan
kelembaban maka produksi susu akan semakin tinggi dan juga sesuai dengan hasil kajian
IPCC, dimana akan terjadi penurunan produksi susu dunia sebanyak 1.39% di Asia
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
21 28.90 28.90 28.90 26.77 26.77 26.77 24.65 24.65 24.65 22.53 22.53 22.53 20.41 20.41 20.41 18.29 18.29 18.29 16.16 16.16
22 26.77 26.77 26.77 24.65 24.65 22.53 22.53 22.53 20.41 20.41 18.29 18.29 18.29 16.16 16.16 16.16 14.04 14.04 11.92 11.92
23 24.65 24.65 22.53 22.53 22.53 20.41 20.41 18.29 18.29 16.16 16.16 16.16 14.04 14.04 11.92 11.92 9.80 9.80 7.67 7.67
24 22.53 22.53 20.41 20.41 18.29 18.29 16.16 16.16 14.04 14.04 11.92 11.92 9.80 9.80 7.67 7.67 5.55 5.55 3.43 3.43
26 20.41 20.41 18.29 18.29 16.16 16.16 14.04 14.04 11.92 9.80 9.80 7.67 7.67 5.55 5.55 3.43 3.43 1.31 1.31 -0.81
27 18.29 18.29 16.16 16.16 14.04 11.92 11.92 9.80 9.80 7.67 5.55 5.55 3.43 3.43 1.31 -0.81 -0.81 -2.94 -2.94 -5.06
28 18.29 16.16 14.04 14.04 11.92 9.80 9.80 7.67 5.55 5.55 3.43 1.31 1.31 -0.81 -2.94 -2.94 -5.06 -7.18 -7.18 -9.30
29 16.16 14.04 11.92 9.80 9.80 7.67 5.55 5.55 3.43 1.31 -0.81 -2.94 -2.94 -5.06 -5.06 -7.18 -9.30 -11.43 -11.43 -13.55
30 14.04 11.92 9.80 7.67 7.67 5.55 3.43 1.31 -0.81 -0.81 -2.94 -5.06 -7.18 -7.18 -9.30 -11.43 -13.55 -13.55 -15.67 -17.79
31 11.92 9.80 7.67 5.55 3.43 3.43 1.31 -0.81 -2.94 -5.06 -7.18 -7.18 -9.30 -11.43 -13.55 -15.67 -17.79 -17.79 -19.91 -22.04
32 9.80 7.67 5.55 3.43 1.31 -0.81 -2.94 -2.94 -5.06 -7.18 -9.30 -11.43 -13.55 -15.67 -17.79 -17.79 -19.91 -22.04 -24.16 -26.28
33 7.67 5.55 3.43 1.31 -0.81 -2.94 -5.06 -7.18 -9.30 -11.43 -13.55 -15.67 -15.67 -17.79 -19.91 -22.04 -24.16 -26.28 -28.40 -30.52
34 5.55 3.43 1.31 -0.81 -2.94 -5.06 -7.18 -9.30 -11.43 -13.55 -15.67 -17.79 -19.91 -22.04 -24.16 -26.28 -28.40 -30.52 -32.65 -34.77
36 3.43 1.31 -0.81 -2.94 -5.06 -7.18 -9.30 -11.43 -15.67 -17.79 -19.91 -22.04 -24.16 -26.28 -28.40 -30.52 -32.65 -34.77 -36.89 -39.01
37 1.31 -0.81 -2.94 -5.06 -9.30 -11.43 -13.55 -15.67 -17.79 -19.91 -22.04 -24.16 -26.28 -28.40 -32.65 -34.77 -36.89 -39.01 -41.14 -43.26
38 -0.81 -2.94 -5.06 -9.30 -11.43 -13.55 -15.67 -17.79 -19.91 -22.04 -26.28 -28.40 -30.52 -32.65 -34.77 -36.89 -41.14 -43.26 -45.38 -47.50
39 -2.94 -5.06 -7.18 -11.43 -13.55 -15.67 -17.79 -19.91 -24.16 -26.28 -28.40 -30.52 -34.77 -36.89 -39.01 -41.14 -43.26 -47.50 -49.62 -51.75
40 -5.06 -7.18 -9.30 -13.55 -15.67 -17.79 -22.04 -24.16 -26.28 -28.40 -32.65 -34.77 -36.89 -39.01 -43.26 -45.38 -47.50 -49.62 -53.87 -55.99
41 -7.18 -9.30 -13.55 -15.67 -17.79 -22.04 -24.16 -26.28 -28.40 -32.65 -34.77 -36.89 -41.14 -43.26 -45.38
42 -9.30 -11.43 -15.67 -17.79 -19.91 -24.16 -26.28 -30.52 -30.52 -34.77 -39.01 -41.14 -43.26 -47.50 -49.62
43 -11.43 -13.55 -17.79 -19.91 -24.16 -26.28 -28.40 -32.65 -32.65 -39.01 -41.14 -45.38 -47.50 -49.62 -53.87
Kelembaban Relatif (%)T
emp
era
tur,
⁰C
Stress ringan
Stress sedang
Stress berat
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
21 20.89 20.89 20.89 20.55 20.55 20.55 20.21 20.21 20.21 19.86 19.86 19.86 19.52 19.52 19.52 19.17 19.17 19.17 18.83 18.83
22 20.55 20.55 20.55 20.21 20.21 19.86 19.86 19.86 19.52 19.52 19.17 19.17 19.17 18.83 18.83 18.83 18.49 18.49 18.14 18.14
23 20.21 20.21 19.86 19.86 19.86 19.52 19.52 19.17 19.17 18.83 18.83 18.83 18.49 18.49 18.14 18.14 17.80 17.80 17.45 17.45
24 19.86 19.86 19.52 19.52 19.17 19.17 18.83 18.83 18.49 18.49 18.14 18.14 17.80 17.80 17.45 17.45 17.11 17.11 16.77 16.77
26 19.52 19.52 19.17 19.17 18.83 18.83 18.49 18.49 18.14 17.80 17.80 17.45 17.45 17.11 17.11 16.77 16.77 16.42 16.42 16.08
27 19.17 19.17 18.83 18.83 18.49 18.14 18.14 17.80 17.80 17.45 17.11 17.11 16.77 16.77 16.42 16.08 16.08 15.73 15.73 15.39
28 19.17 18.83 18.49 18.49 18.14 17.80 17.80 17.45 17.11 17.11 16.77 16.42 16.42 16.08 15.73 15.73 15.39 15.05 15.05 14.70
29 18.83 18.49 18.14 17.80 17.80 17.45 17.11 17.11 16.77 16.42 16.08 15.73 15.73 15.39 15.39 15.05 14.70 14.36 14.36 14.01
30 18.49 18.14 17.80 17.45 17.45 17.11 16.77 16.42 16.08 16.08 15.73 15.39 15.05 15.05 14.70 14.36 14.01 14.01 13.67 13.33
31 18.14 17.80 17.45 17.11 16.77 16.77 16.42 16.08 15.73 15.39 15.05 15.05 14.70 14.36 14.01 13.67 13.33 13.33 12.98 12.64
32 17.80 17.45 17.11 16.77 16.42 16.08 15.73 15.73 15.39 15.05 14.70 14.36 14.01 13.67 13.33 13.33 12.98 12.64 12.29 11.95
33 17.45 17.11 16.77 16.42 16.08 15.73 15.39 15.05 14.70 14.36 14.01 13.67 13.67 13.33 12.98 12.64 12.29 11.95 11.61 11.26
34 17.11 16.77 16.42 16.08 15.73 15.39 15.05 14.70 14.36 14.01 13.67 13.33 12.98 12.64 12.29 11.95 11.61 11.26 10.92 10.57
36 16.77 16.42 16.08 15.73 15.39 15.05 14.70 14.36 13.67 13.33 12.98 12.64 12.29 11.95 11.61 11.26 10.92 10.57 10.23 9.89
37 16.42 16.08 15.73 15.39 14.70 14.36 14.01 13.67 13.33 12.98 12.64 12.29 11.95 11.61 10.92 10.57 10.23 9.89 9.54 9.20
38 16.08 15.73 15.39 14.70 14.36 14.01 13.67 13.33 12.98 12.64 11.95 11.61 11.26 10.92 10.57 10.23 9.54 9.20 8.85 8.51
39 15.73 15.39 15.05 14.36 14.01 13.67 13.33 12.98 12.29 11.95 11.61 11.26 10.57 10.23 9.89 9.54 9.20 8.51 8.17 7.82
40 15.39 15.05 14.70 14.01 13.67 13.33 12.64 12.29 11.95 11.61 10.92 10.57 10.23 9.89 9.20 8.85 8.51 8.17 7.48 7.13
41 15.05 14.70 14.01 13.67 13.33 12.64 12.29 11.95 11.61 10.92 10.57 10.23 9.54 9.20 8.85
42 14.70 14.36 13.67 13.33 12.98 12.29 11.95 11.26 11.26 10.57 9.89 9.54 9.20 8.51 8.17
43 14.36 14.01 13.33 12.98 12.29 11.95 11.61 10.92 10.92 9.89 9.54 8.85 8.51 8.17 7.48
Kelembaban Relatif (%)
Tem
per
atu
r, ⁰
C
Stress ringan
Stress sedang
Stress berat
29
Tingkat Optimal Produksi Susu berdasarkan PK dan Indeks THI
Pada pembahasan sebelumnya telah diperoleh hasil bahwa PK dan THI
berpengaruh nyata terhadap produksi susu. Untuk selanjutnya pembahasan difokuskan
untuk mengetahui optimalisasi produksi susu berdasarkan PK dan indeks THI.
Hubungan PK terhadap Produksi susu
Protein kasar (PK) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu
harian. Penambahan PK pada kondisi tertentu berpotensi meningkatkan produksi susu,
hal ini karena protein merupakan salah satu zat makanan berupa energi yang dapat
digunakan untuk memproduksi susu. Siregar (2001) menyatakan bahwa peningkatan
konsumsi PK berpengaruh terhadap peningkatan produksi susu rata-rata harian. akan
tetapi walaupun PK terbukti berpengaruh terhadap peningkatakan produksi susu hal ini
perlu ditunjang dengan faktor lain yang mempengaruhi produksi susu seperti tingkat
kenyamanan ternak. Tingkat kenyamanan ternak di lima lokasi dengan ketinggian
berbeda memiliki indeks THI yang berbeda. Plot pencaran produksi susu berdasarkan
lokasi dan tingkat PK yang berbeda disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Plot Pencaran Produksi Susu terhadap PK di berbagai lokasi
Gambar 11 Menunjukkan bahwa penggunaan PK berdasarkan berbagai lokasi
ketinggian menujukkan pengaruh PK tiap lokasi cenderung berargam, sangat tergantung
kondisi iklim lokasi. Sebagai contoh pemberian PK pada lokasi dengan ketinggian
1225mdpl sangat berbeda jauh dengan jumlah PK yang diberikan pada peternakan yang
berada di ketinggian 1111mdpl, akan tetapi produksi susu yang dihasilkan tidak berbeda
jauh, hal ini karena rataan suhu diLembang kebih tinggi dibanding rataan suhu di daerah
Cisarua. Hal ini memperkuat dugaan bahwa faktor iklim paling berpengaruh terhadap
produksi susu sapi FH (Fries Holland). Rahadja, (2007) menyatakan bahwa faktor iklim,
khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi pakan.
Suhu lingkungan yang naik sampai ±27oC bagi sapi FH menyebabkan produksi susu
menurun. Menurunnya produksi ini disebabkan oleh rendahnya nafsu makan. Hubungan
yang tidak efektif dari penggunaan PK berdasarkan Gambar 11 menyebabkan
3.53.02.52.01.51.0
22.5
20.0
17.5
15.0
12.5
10.0
7.5
5.0
PK
PR
OD
UK
SI
80
215
936
1111
1225
Ketinggian
Scatterplot of PRODUKSI vs PK
30
ketidakefisienan penggunaan PK pada kondisi tertentu, untuk itu perlu dijelaskan
pengaruh PK terhadap indeks THI. Hubungan PK dan THI disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Hubungan PK berdasarkan THI
Gambar 12 merupakan ilustrasi selera makan sapi perah FH (Fries Holland) pada
berbagai kondisi THI. Hubungan PK dengan THI membentuk pola kuadratik, artinya
selera makan sapi juga akan mengikuti pola kuadratik seiring peningkatan THI. Selera
makan akan meningkat seiring peningkatan THI sampai kondisi tertentu dan setelah itu
selera makan akan menurun meskipun THI meningkat, hal ini karena pada saat THI
melebihi titik kenyamanan sapi lebih banyak minum sehingga konsumsi pakan yang
diberikan menurun.
Pengaruh PK untuk Setiap Lokasi
Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa pengaruh PK terhadap produksi susu
berbeda-beda, sangat tergantung pada lokasi (suhu dan kelembaban) masing-masing
lokasi. Pengaruh PK pada setiap lokasi dapat diketahui melalui analisis regresi dummy.
Hasil analisis regresi dummy disajikan pada persamaan (5):
..................(5)
Hasil uji parsial koefisien regresi dari persamaan 5 menunjukkan pengaruh PK
terhadap produksi susu tidak selalu nyata pada setiap wilayah. Wilayah-wilayah yang
tidak berpengaruh nyata dan memiliki koefisien regresi relatif sama dilakukan
penggabungan. Pada persamaan 5 tampak bahwa koefisien pengaruh lokasi dan pengaruh
PK untuk Cianjur dan Cisarua relatif sama sehingga kedua wilayah tersebut
digabungkan. Hasil analisis regresi dummy dari data penggabungan ini memberikan
model dugaan seperti disajikan pada persamaan (6).
S = 0.00000000
r = 1.00000000
THI
Fo
od
In
tak
e /
PK
(K
g)
70.0 72.3 74.6 77.0 79.3 81.6 83.91.00
1.23
1.47
1.70
1.94
2.17
2.40
2.64
2.87
PK = -144.8+3.890THI-0.02565THI^2
R2 = 56.9%
31
Untuk menguji apakah model gabungan (full model) sama baiknya dengan model parsial
(reduce model) maka dilakukan pengujian dengan menggunakan kriteria Cp Mallow.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai Cp Mallow untuk Full Model adalah 8.73 (p=10) dan
untuk reduce model adalah 8.69 (p=8). Model yang baik adalah model yang memiliki
nilai Cp Mallow lebih kecil atau sama dengan banyaknya paramater (p), sehingga model
yang digunakan adalah model secara keseluruhan pengaruh PK terhadap produksi susu
pada tiap lokasi. Grafik Cp mallow disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Grafik Cp mallow
Nilai Maksimum Penambahan PK Terhadap Indeks THI untuk Produksi Susu
PK dan THI didapatkan sebagai variabel yang berkaitan erat dan bersifat kudratik
dengan produksi susu, oleh karena itu perlu ditemukan PK maksimal yang dikaitkan
dengan THI yang dapat diberikan pada THI tertentu. Hasil analisis menunjukkan bahwa
hubungan PK dan THI dapat dinyatakan dalam fungsi berikut :
.......................................(7)
Hubungan antara PK dan indeks kenyamanan (THI) bersifat kudratik (Gambar
12). Dengan melakukan turunan pertama dari persamaan (7) diperoleh nilai PK
maksimum pada saat THI = 75.82. Hal ini berarti bahwa pada kondisi THI<75.82, PK
dapat ditambahkan semaksimal mungkin sesuai kemampuan konsumsi ternak sebagai
upaya peningkatan produksi susu. Setelah THI lebih dari 75.82, konsumsi PK akan
semakin menurun, yang mengakibatkan produksi susu juga akan menurun. Namun,
dengan memberikan toleransi +1 dari nilai THI=75.82 masih diperoleh nilai PK yang
penurunannya tidak terlalu tajam, sehingga pada kisaran THI = 75.82 s.d. 76.82 masih
dapat diperoleh PK yang optimal. Dengan demikian, penambahan PK masih dapat
dilakukan dalam upaya peningkatan produksi susu. Sedangkan, pada saat THI>75.82
konsumsi PK akan semakin menurun tajam, sehingga penambahan PK bukan merupakan
upaya yang tepat untuk meningkatkan produksi susu.
32
Berdasarkan interpretasi persamaan (7) tersebut dapat dibuat indeks kenyamanan
konsumsi pakan pada sapi perah FH (Fries Holland). Indeks kenyamanan ini dibagi
dalam tiga keadaan, yaitu :
Keadaan pertama : Sangat nyaman, terjadi pada THI≤75.82. Pada keadaan ini ternak
merasa sangat nyaman untuk mengkonsumsi pakan sehingga PK dapat ditambahkan
semaksimal mungkin dalam upaya peningkatan produksi susu.
Keadaan kedua : Nyaman, terjadi pada 75.82<THI≤76.82. Pada keadaan ini sapi masih
merasa nyaman untuk mengkonsumsi pakan, sehingga masih dapat dilakukan upaya
penambahan PK seoptimal mungkin dalam rangka peningkatan produksi susu.
Keadaan ketiga : Tidak nyaman, terjadi pada THI>76.82. Pada keadaan ini sapi tidak
merasa nyaman untuk mengkonsumsi pakan karena keadaan sapi sedang dalam cekaman
panas, sehingga konsumsi pakan menurun. Dalam keadaan ini upaya penambahan PK
dalam bentuk pakan tidak perlu dilakukan. Sehingga diperlukan upaya lain untuk
merubah keadaan lingkungan ternak menjadi nyaman.
Gambaran lebih detail mengenai indeks kenyamanan konsumsi pakan disajikan pada
Tabel 14.
Tabel 14 Indeks Optimal penggunaan PK untuk produksi susu pada lima lokasi
Opsi-Opsi Adaptasi
Berdasarkan dugaan indeks kenyamanan sapi dalam mengkonsumsi PK, maka
dapat dilakukan suatu perkiraaan status/kondisi kenyamanan lingkungan kandang ternak
setiap lokasi penelitian dengan menggunakan data hasil pengukuran suhu dan
kelembaban yang dilakukan oleh BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) setempat.
Hasil penghitungan indeks kenyamanan tersebut selanjutnya digunakan untuk membuat
kesimpulan waktu yang tepat bagi peternak dalam pemberian pakan optimal sebagai
upaya peningkatan produksi susu. Hal ini dilakukan berdasarkan dugaan indeks THI
setiap bulan dalam satu tahun. Hasil pengukuran indeks THI setiap lokasi disajikan pada
Gambar 14.
Berdasarkan Tabel 14 dan Gambar 14 maka didapatkan irisan waktu yang nyaman
bagi sapi untuk makan dan menghasilkan susu. Untuk Wilayah Jakarta Timur, dari bulan
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
21
22 71.25 71.60
23 71.39 71.79 72.20 72.60 73.00 73.40
24 71.14 71.59 72.04 72.49 72.95 73.40 73.85 74.30 74.75 75.20
25 71.49 72.00 72.50 73.00 73.50 74.00 74.50 75.00 75.50 76.00 76.50 77.00
26 71.10 71.65 72.20 72.75 73.30 73.85 74.40 74.95 75.50 76.05 76.60 77.15 77.70 78.25 78.80
27 71.01 71.61 72.21 72.81 73.41 74.01 74.61 75.20 75.80 76.40 77.00 77.60 78.20 78.80 79.40 80.00 80.60
28 71.37 72.02 72.67 73.31 73.96 74.61 75.26 75.91 76.56 77.21 77.86 78.51 79.16 79.80 80.45 81.10 81.75 82.40
29 71.63 72.33 73.02 73.72 74.42 75.12 75.82 76.52 77.22 77.91 78.61 79.31 80.01 80.71 81.41 82.10 82.80 83.50
30 71.79 72.54 73.28 74.03 74.78 75.53 76.28 77.02 77.77 78.52 79.27 80.02 80.76 81.51 82.26 83.01 83.76
31 72.65 73.45 74.24 75.04 75.84 76.64 77.43 78.23 79.03 79.83 80.62 81.42 82.22 83.02 83.81
32 73.51 74.35 75.20 76.05 76.90 77.74 78.59 79.44 80.28 81.13 81.98 82.82 83.67
33 74.37 75.26 76.16 77.06 77.95 78.85 79.75 80.64 81.54 82.44 83.33
34 75.23 76.17 77.12 78.06 79.01 79.96 80.90 81.85 82.79 83.74
35 76.09 77.08 78.08 79.07 80.07 81.06 82.06 83.05
36 76.95 77.99 79.04 80.08 81.13 82.17 83.22
37 77.80 78.90 79.99 81.09 82.18 83.28
38 78.66 79.81 80.95 82.10 83.24
39 79.52 80.72 81.91 83.10
40 80.38 81.63 82.87
41 81.24 82.54 83.83
42 82.10 83.44
Su
hu
, ⁰C
Kelembaban Relative, (%)
Nyaman
Sangat Nyaman
Tidak Nyaman
33
80.00
81.00
82.00
83.00
84.00
85.00
86.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
t
Okt
No
p
Des
Ind
eks
TH
I
Jakarta Timur
80.00
81.00
82.00
83.00
84.00
85.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
t
Okt
No
p
Des
Ind
eks
TH
I
Kota Bogor
75.50
76.00
76.50
77.00
77.50
78.00
78.50
79.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
t
Okt
No
p
Des
Ind
eks
THI
Cianjur
70.00
70.50
71.00
71.50
72.00
72.50
73.00
73.50
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
t
Okt
No
p
Des
Ind
eks
THI
Cisarua
69.00
70.00
71.00
72.00
73.00
74.00
75.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
t
Okt
No
p
Des
Ind
eks
THI
Lembang
Januari sampai Desember nilai THI berkisar antara 82 sampai 85. Kisaran THI ini berada
di atas ambang kenyamanan ternak dalam mengkonsumsi pakan, yaitu 76.82. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Wilayah Jakarta Timur bukanlah wilayah yang tepat
untuk dilakukan peningkatan pemberian pakan pada ternak sapi perah FH (Fries
Holland). Sehingga, diperlukan upaya lain dalam peningkatan produksi susu. Wilayah
Kota Bogor pun demikian, nilai THI di atas ambang batas kenyamanan ternak dalam
mengkonsumsi pakan. Sehingga, upaya yang sama dengan Wilayah Jakarta Timur perlu
dilakukan. Untuk Wilayah Cianjur, nilai THI berkisar antara 76.5 sampai 78.5. Dengan
demikian, masih terdapat waktu-waktu yang tepat untuk penambahan pakan dalam upaya
peningkatan produksi susu, yaitu pada bulan Juli sampai September (Gambar 14).
Kemudian, untuk Wilayah Lembang dan Cisarua, nilai THI pada setiap bulan selama
satu tahun berada di bawah ambang batas kenyamanan ternak dalam mengkonsumsi
pakan (76.82). Sehingga, pada kedua wilayah ini penambahan PK dapat dilakukan
semaksimal mungkin sesuai kemampuan konsumsi ternak dalam rangka peningkatan
produksi susu.
Sumber: Data suhu dan Kelembaban BMG (2013)
Gambar 14 Indeks THI tiap lokasi
Dari uraian mengenai indeks kenyamanan ternak dalam konsumsi pakan pada
berbagai keadaan lingkungan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa opsi
adaptasi yang dapat dilakukan sebagai upaya peningkatan produksi susu. Ada tiga aspek
yang dapat diupayakan dalam hal ini, yaitu aspek pakan, lingkungan, dan fisiologi
ternak. Penjabaran opsi adaptasi ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pakan
Pakan yang menjadi perhatian dari hasil penelitian ini adalah PK. Untuk
mengingkatkan produksi susu dapat dilakukan adaptasi dengan cara peningkatan
pemberian PK, misalnya dengan penambahan kuantitas hijauan dan bahan pakan
lainnya yang mengandung protein.
34
b. Lingkungan
Opsi adaptasi yang dapat dilakukan sebagai upaya peningkatan produksi susu
ditinjau dari aspek lingkungan yang menjadi fokus perhatian adalah suhu dan
kelembaban kandang, sirkulasi udara, dan suhu tubuh sapi. Adaptasi yang dapat
dilakukan diantaranya :
Pertama, modifikasi kandang. Kandang harus dibuat senyaman mugkin sehingga
membuat ternak merasa nyaman untuk mengkonsumsi pakan. Hal yang dapat
dilakukan diantaranya adalah dengan menambah ketinggian kandang,
menggunakan atap dari bahan yang dapat menyerap panas, memperluas ventilasi
udara, memperlancar sirkulasi udara di dalam kandang, dan memastikan saluran
limbah di kandang berfungsi maksimal.
Kedua, pemberian naungan di lingkungan kandang sapi. Naungan diperlukan
untuk menahan panas yang dipancarkan oleh sinar matahari sehingga tidak
langsung mengenai kandang sapi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
penambahan jumlah tanaman atau pepohonan di sekitar kandang.
c. Fisiologi ternak
Selain pakan dan lingkungan, aspek fisiologi ternak juga penting diperhatikan
dalam rangka peningkatan produksi susu. Fisiologi ternak yang dimaksud adalah
suhu tubuh sapi. Adaptasi untuk peningkatan produksi susu melalui aspek ini
yaitu dengan cara memodifikasi suhu tubuh sapi. Upaya yang dapat dilakukan
diantaranya dengan melakukan penyiraman suhu tubuh sapi secara berkala dan
pemberian air minum secara ad libitum (tak terbatas).
Opsi-opsi adaptasi yang telah dijabarkan tersebut, sesuai dengan yang dinyatakan
oleh beberapa peneliti sebelumnya. Ismail (2006) menyatakan bahwa penyiraman dan
penganginan tubuh dapat meningkatkan konsumsi PK harian. Velasco et al. (2002)
menyebutkan bahwa cekaman panas dapat dikurangi dengan perbaikan pakan, perbaikan
konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan pemberian air minum secara ad
libitum. Hal ini diperkuat oleh Yani & Purwanto (2006) Perbedaan ketinggian atap
sangat mempengaruhi respon fisiologis sapi perah dan produksi susu yang dihasilkan.
Selanjutnya dikatakan oleh Yani & Purwanto (2006) bahwa untuk mengurangi suhu
kandang dapat digunakan bahan atap yang mampu memantulkan dan menyerap radiasi
sehingga dapata mengurangi penghantaran panas kedalam kandang.
Penerapan opsi-opsi adaptasi tersebut tidak dilakukan pada semua lokasi dan
waktu. Untuk wilayah yang memiliki indeks kenyamanan konsumsi PK “sangat nyaman”
(THI ≤ 75.82), dapat dilakukan adaptasi dalam aspek pakan. Untuk wilayah dengan
indeks kenyamanan konsumsi PK “nyaman” (75.82 < THI ≤ 76.82), dapat dilakukan
adaptasi dalam aspek pakan, lingkungan, dan fisiologi ternak secara maksimal.
Selanjutnya, untuk wilayah yang memiliki keadaan “tidak nyaman” bagi ternak dalam
mengkonsumsi PK (THI > 76.82), maka perlu dilakukan adaptasi dalam aspek
lingkungan dan fisiologi ternak.
SIMPULAN
1. Keragaman produksi susu didaerah Jakarta, Bogor, Cisarua, Cianjur dan Bandung
dipengaruhi oleh Umur, Bobot badan, Protein Kasar, Suhu dan Kelembaban yang
disusun sebagai fungsi produksi dalam bentuk persamaan berikut:
35
Y= 6.608+0.1940 Umur - 0.000888 Umur2 + 0.021BB+1.166PK- 0.163 THI
2. Secara umum kondisi sapi perah di lima lokasi bervariasi dari kondisi stress ringan
hingga stress sedang.
3. Penurunan produksi susu sapi pada kondisi stress sedang berkisar dari 5.06% hingga
24.16%.
4. Penurunan produksi susu sapi dengan asumsi kenaikan suhu 2oC adalah sekitar 3
liter.
5. Nilai maksimum penambahan PK yang dapat dilakukan berdasarkan indek THI untuk
memaksimalkan produksi susu adalah pada THI≤75.82.
6. Opsi adaptasi dapat dilakukan melalui tiga aspek, yaitu adaptasi pakan, adaptasi
lingkungan, dan adaptasi fisiologi ternak.
36
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, A. 2007. Pengaruh Umur dan Musim Tahun Beranak terhadap Produksi Susu
Sapi Friesian FH (Fries Holland) Pada Pemeliharaaan Intensif dan Semi
Intensif di Kabupaten Banyumas. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Balai Penelitian ternak, Bogor.
Bappenas, 2011. Laporan Millenium Development Goals (MDGs). Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas). Jakarta.
Barret , M.A. and P.J. Larkin. 1979. Milk And Beef Production In The Tropics. 2nd. Ed.
The English Language Book Society And Oxford University Press.
Baqa, L. 2003. Peran Wirakoperasi Dalam Pengembangan Sistem Agribisnis; Kajian
Terhadap Pengembangan Agribisnis Persusuan Di Indonesia . Makalah Pada
Seminar Dwibulanan Istecs Eropa Di Pusat Studi Asia Tenggara Universitas
Frankfurt. Jerman.
Basya, S. 1983. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Kadar Lemak Susu Sapi Perah.
Prosiding Pengolahan Clan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan di
Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Bey A,Las.I.1991. Strategi pendekatan iklim dalam usahatani Dalam A. Bey (ed) Kapita
selekta dalam agrometeorologi. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud.
Jakarta.
Boer E, Lemmens RHMJ. 1998. Combretocarpus Hook.f.Didalam: Sosef MSM, Hong
LT ,Prawirohatmodjo S, editor. Plant resources of South East Asia No
5(3).Timbertrees:Lesserknown Timbers. Bogor: Prosea Foundation.
Boer R dan Rahman A, (2001). Saat ini dan Masa Depan Variabilitas Iklim Jawa Timur
dan Implikasinya terhadap Pertanian dan Peternakan. Journal Centre for
Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific
Bogor Agricultural University (CCROM SEAP-IPB).
Bohmanova, J., Misztal, I. and Cole, J.B. (2007). Temperature-humidity indices as
indicators of milk production losses due to Humidity stress, Journal of Dairy
Science 90(4), 1947-1956.
Chase, L.E. (2004). Climate Change Impacts On Dairy Cattle.
http://www.climateandfarming.org/pdfs/FactSheets/III.3Cattle.pdf [25
Agustus 2012.
[CSIRO] Climate Adapatation Flagship Working Paper Series; 10. Humidity Stress In
Dairy Cattle In Northern Victoria: Responses To a Changing Climate, 2010.
Danuwidjaya, D. 1980. Pemantapan Usaha Persusuan Dengan Usaha Koperasi. Makalah
Seminar Ruminansia II. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Ternak, ciawi,
Bogor.
Darwin, R. (2001). Climate change and food security. Available from URL:
http://www.ers.usda.gov/publications/aib765/aib765-8.pdf [accessed January
23, 2011].
37
Esmay, M.L. 1982. Principle Of Animal Environment. Avi Publishing Company. Inc.
Wesport, Conecticut.
Esmay, M. L. 1978. Principle of Animal environmental. Texbook Ed. AVI Publishing
Company, Inc. Wesport, Co. p. 1-15.
Esminger, M.E. 1971. Dairy Cattle Science. The Interstate Printers and Publisher. Inc.
Danville, Illionis.
Frank, K.L., T.L. Mader, J.A. Harrington, Jr., G.L. Hahn. 2009. Potential Climate
Change Effects On Warm-Season Livestock Production In The Great Plains.
Journal Series No. 14462, Agric. Res. Div., University Of Nebraska.
http://www.udel.edu/SynClim/FrankEtal_IJBSubmitted.pdf. [25 Agustus
2012].
Frumhoff, P.C., McCarthy, J.J., Melillo, J.M., Moser, S.C. and Wuebbles, D.J. (2007).
Confronting climate change in the U.S. northeast: science, impacts, and
solutions. Synthesis report of the Northeast Climate Impacts Assessment
(NECIA), Union of Concerned Scientists, Cambridge, MA.
Hadiyanto. 1984. Informasi Industri dan Usaha Peternakan dan Perikanan. Suplemen
Poultry Indonesia. No. 5 Tahun 1 Jakarta.
Hafez E.S.E and I.A. Dyeer, 1969. Animal Growth and Nutrition. Lea and febiger.
Philadelphia
Hafez, E.S.E. 1968. Adaptation of Domestic Animals. Lea Febiger, Philadelphia. P.74-
116
Handoko, 1986. Klimatologi Dasar. PT. Dunia Pustaka Jaya. Jakarta
Hardiansyah, Kusharto, CM. Editor. 2001. Ketahanan dan Kemandirian Pangan.
Merevolusi Revolusi Hijau. Pemikiran Guru Besar IPB. IPB Press.
Igono, M. O., G. Biotvedt, and H. T. Sanford-Crane. 1992. Environ- mental profile and
critical temperature effects on milk production of FH (Fries Holland) cows
in desert climate. Int. J. Biometeorol. 36:77–87
IPCC. 2001.b. Climate Change 2001: Impact, Adaptation and Vulnerability. Report
of Working Group II to the Intergovernmental Panel on Climate Change
Third Assessment Report. McCarthy JJ, Canziani OF, Leary NA, Dokkren
DJ and White KS (eds). New York : Cambridge University Press.
Jhonson, HD.1987. Bioclimatologi and The Adaption of Livestock. Elsevier.
Amsterdam. 279.p
Jones, R.N. and Hennessy, K.J. (2000). Climate change impacts in the Hunter valley: A
risk assessment of Humidity stress affecting dairy cattle. CSIRO
Atmospheric Research, Victoria.
Jones, G.M. & C.C. Stallings. 1999. Reducing Heat Stress for Dairy Cattle. Virginia
Cooperative Extension. Publication Number 404-200.
KIM, K.H, et al (2010). Productivity and Energy Partition Of Late Lactation Dairy Cows
During Humidity Exposure. Animal Science Journal (2010) 81, 58–62
Lubis, D.A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. P.T. Pembangunan , jakarta
38
McDowell, R.E. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climate. W.H.
Freeman and Company, San Fransisco..p1-128.
Mc Leod, C.R. 1996. Glosarry Of Marine Ecological Term Acromys And Abrevation
Used In Mncr Work. In Marine Nature Conservation Review, Rationale and
Methods. Nature Conservation Comittee. United Kingdom.Mont, L.E. 1979.
Adaptation Of Themperature Environment. Edward arnold Ltd, London.
Mount, L.E. 1979. Adaptation to The Themperature Environment. Man and His
Productive Animal. Edword Arnold, London.
Nesamvuni E, Lekalakala R, Norris D, Ngambi JW. 2012. Effects of Climate Change On
Dairy Cattle, South Africa. African Journal of Agriculture Research Vol.
7(26), pp.3867-3872,
National Research Council. 1971. A Guide to Environmental Research on Animals. Natl.
Acad. Sci., Washington, DC.Silva, R.G., Morais, D.A. and Guilhermino,
M.M. (2007). Evaluation of Thermal Stress Indexes for Dairy Cows in
Tropical Regions, Revista Brasileira de Zootecnia. 36(4):1192-1198.
Rahardja D.P. 2007. Ilmu Lingkungan Ternak. Citra Emulsi, Makassar.
Schmidt, G.H. and L.D. Van Vleck, 1974. Priciples of dairy Science. W.H. Freeman and
Co, San Fransisco
Silva, R.G. 2006. Weather and Climate and Animal Production, in
http://www.Wmo.ch/web/wcp/agus/RevGAMP?Chap11-draft.pdf. [25
Agustus 2012]
Silva, R.G., Morais, D.A. and Guilhermino, M.M. (2007). Evaluation of Themperature
stress indexes for dairy cows in tropical regions, Revista Brasileira de
Zootecnia. 36(4):1192-1198.
Siregar, S.B dan L. Praharani. 1992. Pengembangan Usaha Tani Sapi Perah di Daerah
Jawa Barat. Prosiding Pengolahan clan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian
Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Siregar S.B . 1992 Efisiensi Ekonomis Pemeliharaan Sapi Perah di Daerah Bogor,
Lembang dan Garut, Jawa Barat. Pros. Pengolahan dan Komunikasi Hasil
Penelitian Ruminansia Besar. Balai Penelitian Ternak ; Ciawi.
Siregar, SB. 2001. Peningkatan Kemampuan Berproduksi Susu Sapi Perah laktasi
Melalui Perbaikan Pakan dan Frekuensi Pemberiannya. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner. Vol. 6 No.2.
Suhartini, S.H. 2001. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan Industri
Persusuan Indonesia. (Tesis) Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Sudono A, Abdulgani Ik, Najid H, Maheswari RRA, 1999. Penuntun Praktikum Ternak
Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Sudono, A., Fina dan Budi. 2002. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Penerbit
Agromedia Pustaka. Depok.
Sutardi, 1982. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Dept. Ilmu Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan , IPB. Bogor.
39
Syazali, M. 2011. Penentuan Harga Opsi Put Amerika dengan Simulasi Monte Carlo.
[Thesis]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Tyler-walter, H. K. Hiscock; D.B. Lear and Jackson. 2001. Identiying Species And
Ecosystem Sensitivities. Report To departement For Environment, Food And
Rural Affairs From The Marine Life Information Network (MarLIN), Marine
Biological Assciation Of The United Kingdom. Plymouth.
UNICEF.1998. The State of The World’s Children 1998. UNICEF. New York.
Valtorta,S.E. 2006. Animal Production in Changing climate.
http://www.asrc.agri.missouri.edu. [25 Agustus 2012].
Walpole, R.E.1992.Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama
:Jakarta.
Waltner, S.S., J.P. Mc Namara and J.K. Hillers.1993. Relationship Body Condition
Score to Production in Postpartum Beef Cows. I. Effect of Suckling on
Serum and Follicular Fluid Hormones and Follicular Gonadotrophin
Receptors. Biol. Reprod. 26: 640 – 646.
West, J.W.1994. Interaction of Energy and Bovine Somatrophin with Heat Stress. J.
Dairy Sci. 43:1245.
Wierema, F. 1990. In: Chestnut, A. & D. Houston.Humidity Stress and Cooling Cows.
http:// www.vigortone.com/Humidity_stress.htm[ 21 Oktober 2005 ]
Wong F T. 2001. Aplikasi Statistik Ekstrim dan Simulasi Monte Carlo dalam Penentuan
Beban Rencana pada Struktur dengan Umur Guna Tertentu. Dimensi Teknik
Sipil. Vol. 3, No.2, 84-88
Wright, I.A., S.M. Rhind, A.J.f. Russel, T.K.Whyte, A.J. Mcbean and S.R.
Mcmillen.1989. Effects of Body Condition, Food Intake and Temporary Calf
Separation on the Duration of the Post-Partum Anoestrus Period and
Associated Lh, Fsh and Prolactin Concentration in Beef Cows. Anim. Prod.
45: 395 – 402.
Yani, A dan B.Purwanto. 2006. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi
Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan
Produktivitasnya. Media Peternakan. Vol.29 No1. Hal. 35
Yousef, M.K. 1985. Thermoneutral Zone. In: M.K.Yousef (Ed.). Stress Physiology of
Livestock. Vol.II. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. P.68-69.
40
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 27 Februari 1982 dari pasangan (alm)
H. Juber dan (almh) Ermawati. Penulis merupakan putra kelima dari sebelas bersaudara.
Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU N I Pamanukan,
Kab.Subang. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB) pada jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan-
Fakultas Peternakan dan menamatkan kuliah pada tahun 2007. Penulis terlibat aktif pada
organisasi kemahasiswaan seperti BEM-KM IPB, Himaproter dan UKM Merpati Putih.
Pasca tamat penulis sempat bekerja di PT.Cheil Jeddang dan LSM Sayogyo Institut. Pada
tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Pengeloaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor. Disamping
menjalani studi penulis juga bekerja sambilan di PT.Guna Bakti Mandiri dan menjadi
tenaga freelance pada konsultan AMDAL-YALHI.
41
LAMPIRAN
42
Lampiran 1 Regresi Kuadratik umur terhadap Produksi
Polynomial Regression Analysis: PRODUKSI versus Umur The regression equation is
PRODUKSI = 5.618 + 0.1940 Umur - 0.000888 Umur**2
S = 3.34855 R-Sq = 26.0% R-Sq(adj) = 24.1%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 307.34 153.670 13.70 0.000
Error 78 874.60 11.213
Total 80 1181.94
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 275.315 23.99 0.000
Quadratic 1 32.025 2.86 0.095
Hasil dari SPSS Coefficients
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
Umur .194 .074 1.323 2.610 .011
Umur ** 2 .000 .001 -.857 -1.690 .095
(Constant) 5.618 2.325 2.416 .018
43
Lampiran 2 Regresi Error umur terhadap BB, PK, TDN, BK, Suhu, ketinggian dan
kelembaban
Regression Analysis: E_U versus BB, PK, ... The regression equation is
E_U = - 12.7 + 0.0199 BB + 24.3 PK - 2.19 TDN - 1.47 BK + 0.219 Suhu
- 0.00908 Ketinggian + 0.048 Kelembaban
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -12.73 39.67 -0.32 0.749
BB 0.01987 0.01148 1.73 0.088 2.423
PK 24.26 13.13 1.85 0.069 717.920
TDN -2.194 2.683 -0.82 0.416 309.580
BK -1.4741 0.6657 -2.21 0.030 117.435
Suhu 0.2193 0.7365 0.30 0.767 92.507
Ketinggian -0.009080 0.006788 -1.34 0.185 130.408
Kelembaban 0.0481 0.1723 0.28 0.781 32.159
S = 2.59079 R-Sq = 44.0% R-Sq(adj) = 38.6%
PRESS = 587.678 R-Sq(pred) = 32.81%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 7 384.609 54.944 8.19 0.000
Residual Error 73 489.989 6.712
Total 80 874.598
Source DF Seq SS
BB 1 202.151
PK 1 76.789
TDN 1 43.089
BK 1 8.985
Suhu 1 0.066
Ketinggian 1 53.006
Kelembaban 1 0.523
Unusual Observations
Obs BB E_U Fit SE Fit Residual St Resid
14 436 3.418 -2.174 0.747 5.592 2.25R
51 511 8.048 1.949 0.557 6.098 2.41R
61 499 -0.486 -2.122 1.642 1.636 0.82 X
68 530 4.896 3.717 1.415 1.179 0.54 X
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
Durbin-Watson statistic = 2.10188
44
Correlations: Ketinggian, Suhu, Kelembaban, Umur, BB, PK, TDN, BK Ketinggian Suhu Kelembaban Umur BB
Suhu -0.932
0.000
Kelembaban 0.727 -0.890
0.000 0.000
Umur 0.520 -0.567 0.508
0.000 0.000 0.000
BB 0.661 -0.685 0.564 0.351
0.000 0.000 0.000 0.001
PK 0.671 -0.522 0.265 0.344 0.282
0.000 0.000 0.017 0.002 0.011
TDN 0.556 -0.412 0.137 0.281 0.220
0.000 0.000 0.224 0.011 0.049
BK 0.161 0.014 -0.224 0.056 -0.131
0.150 0.903 0.044 0.622 0.244
Correlations: PK, TDN, BK
PK TDN
TDN 0.983
0.000
BK 0.833 0.892
0.000 0.000
PRODUKSI 0.541 0.452 0.134
0.000 0.000 0.229
Cell Contents: Pearson correlation
P-Value
46
Lampiran 4 Uji autokorelasi Plot sisaan
The regression equation is
RESI2 = 0.077 lag_RESI2
80 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Coef SE Coef T P
Noconstant
lag_RESI2 0.0770 0.1121 0.69 0.494
S = 2.68555
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 3.405 3.405 0.47 0.494
Residual Error 79 569.760 7.212
Total 80 573.165
Unusual Observations
Obs lag_RESI2 RESI2 Fit SE Fit Residual St Resid
15 4.86 -3.099 0.374 0.545 -3.473 -1.32 X
38 5.22 -0.824 0.402 0.586 -1.227 -0.47 X
48 -5.05 -3.100 -0.389 0.567 -2.711 -1.03 X
51 2.62 5.890 0.202 0.294 5.688 2.13R
52 5.89 0.582 0.454 0.660 0.129 0.05 X
54 -4.90 -4.183 -0.377 0.549 -3.806 -1.45 X
58 -5.14 3.898 -0.396 0.576 4.293 1.64 X
60 5.26 2.275 0.405 0.590 1.870 0.71 X
74 5.18 0.698 0.399 0.581 0.299 0.11 X
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
7.55.02.50.0-2.5-5.0
7.5
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
lag_RESI2
RES
I2
Scatterplot of RESI2 vs lag_RESI2
47
Lampiran 5 Hasil uji korelasi PK dengan lokasi menggunakan regresi dummy
Regression Analysis: PRODUKSI versus Djkt, Dbgr, ... The regression equation is
PRODUKSI = 30.5 Djkt + 15.1 Dbgr - 6.0 Dcjr - 3.74 Dcis - 31.5 Dlbg - 10.7
PKjkt
- 2.87 PKbgr + 7.81 PKcjr + 10.2 Pkcis + 15.4 PKlbg
Predictor Coef SE Coef T P
Noconstant
Djkt 30.493 6.881 4.43 0.000
Dbgr 15.140 4.690 3.23 0.002
Dcjr -6.03 11.66 -0.52 0.606
Dcis -3.745 6.052 -0.62 0.538
Dlbg -31.53 39.06 -0.81 0.422
PKjkt -10.667 3.675 -2.90 0.005
PKbgr -2.871 3.274 -0.88 0.383
PKcjr 7.810 4.642 1.68 0.097
Pkcis 10.182 3.096 3.29 0.002
PKlbg 15.39 12.17 1.26 0.210
S = 2.35740
CP Mallow=23,....
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 10 15466.7 1546.7 278.31 0.000
Residual Error 71 394.6 5.6
Total 81 15861.3
Source DF Seq SS
Djkt 1 1795.6
Dbgr 1 3173.0
Dcjr 1 911.2
Dcis 1 5958.6
Dlbg 1 3492.4
PKjkt 1 46.8
PKbgr 1 4.3
PKcjr 1 15.7
Pkcis 1 60.1
PKlbg 1 8.9
Unusual Observations
Obs Djkt PRODUKSI Fit SE Fit Residual St Resid
2 1.00 18.000 11.131 0.618 6.869 3.02R
16 1.00 7.000 13.169 1.065 -6.169 -2.93R
45 0.00 18.500 16.438 2.040 2.062 1.74 X
47 0.00 13.000 10.955 1.843 2.045 1.39 X
66 0.00 14.500 10.385 1.804 4.115 2.71RX
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
48
Regression Analysis: PRODUKSI versus Djkt, Dbgr, ...(pengabungan cianjur&cisarua) The regression equation is
PRODUKSI = 30.5 Djkt + 15.1 Dbgr + 13.6 Dcjrcis - 31.5 Dlbg - 10.7 PKjkt
- 2.87 PKbgr + 0.97 Pkcjrcis + 15.4 PKlbg
Predictor Coef SE Coef T P
Noconstant
Djkt 30.493 7.609 4.01 0.000
Dbgr 15.140 5.186 2.92 0.005
Dcjrcis 13.643 3.724 3.66 0.000
Dlbg -31.53 43.19 -0.73 0.468
PKjkt -10.667 4.064 -2.62 0.011
PKbgr -2.871 3.620 -0.79 0.430
Pkcjrcis 0.972 1.803 0.54 0.592
PKlbg 15.39 13.46 1.14 0.257
S = 2.60697
CP Mallow=25,....
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 8 15365.1 1920.6 282.60 0.000
Residual Error 73 496.1 6.8
Total 81 15861.3
Source DF Seq SS
Djkt 1 1795.6
Dbgr 1 3173.0
Dcjrcis 1 6842.2
Dlbg 1 3492.4
PKjkt 1 46.8
PKbgr 1 4.3
Pkcjrcis 1 2.0
PKlbg 1 8.9
Unusual Observations
Obs Djkt PRODUKSI Fit SE Fit Residual St Resid
2 1.00 18.000 11.131 0.683 6.869 2.73R
16 1.00 7.000 13.169 1.178 -6.169 -2.65R
43 0.00 11.000 16.133 1.051 -5.133 -2.15R
45 0.00 18.500 16.439 1.575 2.061 0.99 X
79 0.00 17.200 16.459 1.426 0.741 0.34 X
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
Regression Analysis: PRODUKSI versus Djkt, Dlbg, ... (penggabungan Bgr, cianjur&cisarua) The regression equation is
PRODUKSI = 30.5 Djkt - 31.5 Dlbg - 10.7 PKjkt + 15.4 PKlbg + 4.71 DBgrCjrCis
+ 4.98 PKBgrCjrCis
Predictor Coef SE Coef T P
49
Noconstant
Djkt 30.493 8.198 3.72 0.000
Dlbg -31.53 46.53 -0.68 0.500
PKjkt -10.667 4.378 -2.44 0.017
PKlbg 15.39 14.51 1.06 0.292
DBgrCjrCis 4.712 1.797 2.62 0.011
PKBgrCjrCis 4.984 1.005 4.96 0.000
S = 2.80863
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 6 15269.7 2544.9 322.62 0.000
Residual Error 75 591.6 7.9
Total 81 15861.3
Source DF Seq SS
Djkt 1 1795.6
Dlbg 1 3492.4
PKjkt 1 46.8
PKlbg 1 8.9
DBgrCjrCis 1 9731.8
PKBgrCjrCis 1 194.2
CP mallow=36,....
50