pengertian jualah
DESCRIPTION
Fiqh MuamalahTRANSCRIPT
A. Pengertian Ju’alah
Ju’alah artinya janji hadiah atau upah,berarti upah atau hadiah yang diberikan kepadaseseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.Secara terminologi fiqh berarti”suatu Iltizam (tanggung jawab)dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”.Jadi Ju’alah adalah suatu kontrak dimana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah sebagai”Suatu upah yang di janjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”.
Madzhab Syafi’i mendefinisikan “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”.
B. Dasar Hukum Ju’alah
Madzhab Maliki,Syafi’i berpendapat bahwa Ju’alah boleh dilakukan berdasarkan firman Allah SWT dalam (Q.S Yusuf ayat 72) :
Artinya:“Penyeru-penyeru berkata,”kami kehilangan piala raja,dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan(seberat) beban unta,dan aku menjamin terhadapnya”.
Hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri:
“Sekelompok sahabat Nabi SAW melintasi salah satu kampung orang Arab.Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka.Ketika itu kepala kampung disengat kalajengking.Merka lalu bertanya kepada para sahabat: “Apakah kalian mempunyai obat,atau adakah yang dapat meruqyah ?”Para sahabat menjawab: “ Kalian tidak menjamu kami,kami tidak mau mengobati,kecuali kalian memberi imbalan kepada kami”.Kemudian para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing.Seorang sahabat membacakan surat Al-Fatihah dan mengumpulkan ludah,lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung tersebut,ia pun sembuh.Kemudian mereka menyerahkan kambing.Para sahabat berrkata “Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya kepada Nabi SAW.Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau,beliau tertawa dan bersabda,Tahukah anda sekalian,bahwa itu adalah ruqyah!Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian.(HR.Bukhari)
Pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni,VII/323 :
“Kebutuhan masyarakat memerlukan adanya ju’alah,sebab pekerjaan(untuk mencapai suatu tujuan)terkadang tidak jelas(bentuk dan masa pelaksanaannya),seperti mengembalikan budak yang hilang,hewan hilang,dan sebagainya.Untuk pekerjaan seperti ini tidak sah dilakukan akad ijarah,padahal pemiliknya perlu agar kedua barang yang hilang tersebut kembali,sementara itu ia tidak menemukan orang yang membantu mengembalikannya secara sukarela.Oleh karena itu,kebutuhan masyarakat mendorong agar akad Ju’alah untuk keperluan seperti tu dibolehkan,sekalipun bentuk dan masa pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak jelas”.
Pendapat Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,XV/449
“Boleh melakukan akad ju’alah,yaitu komitmen9seseorang)untuk memberkan imbalan tertent atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui”.
Pendapat ulama dalam kitab Hasysiyah al-bajuri II/24 :
“Ju’alah boleh dilakukan oleh dua pihak,pihak ja’il(pihak pertama yang menyatakan kesediaan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan) dan pihak maj’ul lah (Pihak kedua yang bersedia melakukan pekerjaan yang diperlukan pihak pertama)...(Ju’alah) adalah komitmen tertentu kepada orang tertentu atau tidak tertentu”.
Mazhab Hanafi tidak membenarkan Ju’alah karena dalam Ju’alah mengandung unsur gharar.
C. Rukun dan syarat Ju’alah
Rukun Ju’alah yaitu :
1. Sighot
2. Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu ata pencapaiaan hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan.
3. Ma’jul lah adalah pihak yang melaksanakanJu’alah
4. Ma’jul ‘alaih adalah pekerjaan yang ditugaskan
5. Upah/hadiah/fee
Agar pelakasanaa Ju’alah dipandang sah harus memenuhi syarat-syarat:
1. Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum,yaitu : baligh,berakal,dan cerdas.Dengan demikian anak-anak,orang gila,tidak sah melakukan akad Ju’alah
2. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang berharga atau bernilai dan jelas juga jumlahnya.harta yang haram tidak dipandang sebagai harta
yang bernilai (mazhab Maliki,Syaf’i,Hanbali).Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka(sebelum pelaksanaan Ju’alah).
3. Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapan Qabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan.Antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikannya boleh digabungkan sepertiseseorang berkata,”barangsiapadapat membuat baju dalam satu hari maka ia berhak hadiah/fee.
4. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
5. Mazhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat,bahwa dalam masalah tertentu,ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu,seperti mengembalikan barang orang yang hilang.Sedngkn mazhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
6. Mazhab Hanbali menambahkan bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu tidak terlalu berat,meskipun dapat dilakukan berulangkali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
Pelaksanaan Ju’alah
Teknis pelaksanaan ju’alah dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama ditentukan
oleh orangnya, misalnya si Budi, maka si Budi sendiri berusaha mencari barang yang
hilang.Kedua secara umum artinya seorang yang diberi pekerjaan mencari bukan satu
orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja. Misalnya, seorang berkata “Siapa saja
yang bisa mengembalikan binatangku yang hilang maka aku akan berikan imbalan
sekian”.Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa dalam ji’alah tidak dapat disyaratkan
datang dari si pemilik barang yang hilang. Siapa saja yang mengatakan “Siapa saja
yang dapat mengembalikan barang hilang kepunyaan si fulan maka ia akan kuberikan
upah sekian”. Kemudian, ada orang yang mengembalikan barang ini baik ia
mendengar berita ini dari yang mengatakan tadi atau berita itu disampaikan oleh
orang lain ketelinganya maka ia berhak menerima ju’lu (upah), hal tersebut dapat
dibenarkan karena dalam ji’alah disyaratkan besar jumlah upah yang harus ia terima
artinya ia harus tahu berapa jumlah yang ia terima jika berhasil mengembalikan
barang karena hal ini sama dengan sewa-menyewa. kalau upah yang akan diberikan
itu majhul (tidak diketahui) maka hukumnya fasid (rusak). Bagaimana jika orang
yang mengembalikan barang yang hilang itu jumlahnya banyak bukan satu orang,
Maka upahnya itu dibagi rata karena mereka sama-sama bekerja meskipun kualitas
kerjanya tidak sama.Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat
umum, “siapa yang mendapatkan barangku akan ku beri uang sekian”. Kemudian dua
orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu
bersama-sama, maka upah yang akan dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.
D. Sifat akad Ju’alah
Mazhab Maliki,Syafi’i dan Hanbali memandan bahwa akad Ju’alah bersifat
sukarela,sehingga apa-apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan oleh kedua belah
pihak.Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat.Mazhab Maliki
berpendapat bahwa Ju’alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum
pekerjaaan dimulai oleh pihak kedua,
Menurut Mazhab Syafi’i dan hanbali,pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu
pihak setiap waktu,selama pekerjaan itu belum selesai dilaksanakan.Namun jika pihak
pertama membatalkannya,sedangkan pihak kedua belum selesai melaksanakannya,
maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang pantas sesuai dengn kadar
pekerjaan yang telah dilaksankannya.
E. Perbedaan Ju’alah dengan Ijarah
Meskipun ju’alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu
Qudamah(Ulama Mazhab Hanbali)ia dapat dibedakan dengan Ijarah(transaksi
upah)dari lima segi:
1. Pada Ju’alah upah atau hadiah yang dijanjikan,hanyalah diterima orang yang
menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi objek pekerjaan
tersebut,jika pekerjaaan itu telah mewujudkan hasil dengan
sempurna.Sedangkan pada Ijaraoh,orang yang melaksanakan pekerjaan
tersebut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang
diberikannya,meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan,atau upahnya
dapat ditentukan sebelumnya,apakah harian atau mingguan,tengah bukaln,atau
bulanan sebagia yang berlaku dalam masyarakat.
2. Pada Ju’alah terdapat unsur gharar,yaitu penipuan(spekulasi) atau untung-
untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu
penyesuaian pekerjaan atau cara dan bentuk pekerjaannya.Sedangkan pada
Ijarah,batas waktu penyesuaian bentuk pekerjaan atau cara kerjanya
disebutkan secara tegas dalam akad(perjanjian)atau harus dikerjakan sesuai
dengan objek pekerjaan itu.Dengan kata lain saat dikatakan,bahwa dalam
ju’alah yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan,bukan batas waktu
atau cara mengerjakannya.
3. Pada Ju’alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum
pekerjaan dilaksanakan dan mewujudknnya.Sedangkan dalam Ijarah
dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu,baik keseluruhan maupun
sebagian,sesuai dengan kesepakatan bersama asal saja yang memberi upah itu
percaya.
4. Tindakan hukum yang dilakukuan dalam Ju’alah bersifat sukarela sehingga
apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan,selama perkerjaan belum
dimulai,tanpa menimbulkan akibat hukum.Apalagi tawaran yang dilakukan
bersifat umum seperti mengiklankan di surat kabar.Sedangkan dalam akad
Ijarah,terjadi transaksi yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan
pekerjaan kerja.Jika perjanjian itu dibatalkan maka tindakan itu akan
menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan,biasanya sanksinya
disebutkan dalam perjanjian(akad).
5. Dari segi lingkup Mazhab maliki menetapkan kaidah,bahwa semua yang
dibenarkan menjadi objek akad dalam transaksi Ju’alah.boleh juga menjadi
objek dalam transaksi Ijarah.
Namun,tidak semua yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi
Ijarah,dibenarkan pula menjadi objek dalam transaksi ju’alah.Dengan
demikian ruang lingkup Ijarah lebih luas daripada ruang lingkup
Ju’alah.berdasarkan kaidah tersebut maka pekerjaan menggali sumur sampai
menemukan air,dapat menjadi objek dalam akad ijarah,tetapi tidak boleh
dalam akad ju’alah.Dalam Ijarah orang yang menggali sumur itu sudah dapat
menerima upah,walaupun airnya belum ditemukan.Sedangkan pada
Ju’alah,orang itu baru mendapat upah atau hadiah sesudah pekerjaannya
selesai.
F. Aplikasi Ju’alah di Lembaga Keuangan Syariah
Belum ada aplikasi ju’alah yang khusus dalam lembaga keuangan syariah,
namun aplikasi ini bisa di lihat dalam praktik penerbitan SBIS ( Sertifikat Bank
Indonesia Syariah)
Nasabah
BANK SYARIAH
Produks:
SBIS
Debt kolektor
PIHAK III
Fee