penyelesaian perkara pencurian getah compo oleh...
TRANSCRIPT
PENYELESAIAN PERKARA PENCURIAN GETAH COMPO OLEH
ANAK DIBAWAH UMUR : ANALISA PUTUSAN MAJELIS KASASI
MAHKAMAH AGUNGNo. 1410 K/ Pid.Sus/2013”
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
MUHAMMAD HUMDY
NIM: 11150450000049
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2019 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Muhammad Humdy (11150450000049) “PENYELESAIAN PERKARA
PENCURIAN GETAH COMPO OLEH ANAK DIBAWAH UMUR:
ANALISA PUTUSAN MAJELIS KASASI MAHKAMAH AGUNG No. 1410
K/ Pid.Sus/2013” Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun
2019 M/ 1440 H. viii+ 105 halaman + 1 lampiran.
Masalah utama dalam skripsi ini adalah tentang tindak pidana pencurian
getah compo yang dilakukan oleh terdakwa anak Muhamad Chaidir, pada kasus
ini Jaksa penuntut umum melakukan permohonan kasasi kepada Mahkamah
Agung tehadap putusan sebelumnya. Akan tetapi permohonan Jaksa Penuntut
Umum ditolak dengan pertimbangan bahwa terdakwa masih berstatus sebagai
pelajar dan pertimbangan mengenai jumlah kerugian yang ditimbulkan hanya Rp
750.000,00 sehingga jika melihat pada Perma Nomor 2 tahun 2012 nilai tersebut
masih dibawah batas maksimal kerugian.
Penulis menggunakan metode kualitatif dalam melakukan penelitian ini.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan dimana penulis
melakukan identifikasi secara sistematis dari sumber yang berkaitan dengan objek
kajian yang penulis lakukan. Setelah memperoleh dan mengumpulkan data
tersebut kemudian menganalisis secara yuridis-normatif data yang diperoleh
dengan objek kajian penulis yaitu putusan No. 1410 K/ Pid.Sus/2013.
Dari hasil penelitian penulis, dari putusan tersebut bahwa terdakwa yang
melakukan tindak pidana pencurian melakukannya bersama dengan orang dewasa
itu artinya bahwa pelaku melakukan hal tesebut karena ada pengaruh dari pihak
lain. Dalam hal ini, sangat tepat teori yang dikemukakan oleh E. Sutherland
dengan nama “association Differencial” yang mengatakan bahwa anak-anak
menjadi dilinquen karena partisipasinya ditengah-tengan suatu linkungan sosial,
yang ide dan teknik dilenquen dijadikan sebagai sarana yang efisien untuk
mengatasi kesulitan kehidupanya. Tentu yang kita fahami dari itu adalah bahwa
anak tersebut korban dari tingkah laku sosial sekitarnya yang membentuk ia
sehingga ia melakukan perbuatan pidana. Maka penulis melihat bahwa seharusnya
pelaku dibebaskan dari hukuman pemenjaranan sepertihalnya keputusan yang
mehukumnya dengan 2 bulan penjara.
Kata kunci : Pencurian oleh anak di bawah umur
Pembimbing :Ali Mansur, M.A
Daftar pustaka :1961-2016
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat
Allah Subahanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat, taufiknya dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh
studi di program studi Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syari’ah dan
Hukum Univesitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sholawat serta salam terlimpahkan kepada jujungan kita baginda Nabi
Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wasalam yang telah membawa risalah kebenaran
untuk umat manusia.
Selanjutnya dalam proses peyusunan skripsi ini, penyusun mengucapkan
banyak terimakasih kepada yang telah banyak membantu dan yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H. selaku Dekan Fakultas
Syari’ah Dan Hukum Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Qosim Arsadani, M.A. selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah)
3. M. Mujibur Rohman, M.A. selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Pidana Islam (Jinayah)
4. Ali Mansur, M.A. selaku Dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi yang
telah memberikan masukan dan arahan serta banyak meluangkan
waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.
5. Dr. Asmawi, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
member masukan-masukan dalam menunjang akademik penulis.
6. Seluruh dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh keluarga penulis yang selalu memberikan bimbingan kepada
penulis, sehingga penulis terus bersemangat dalam menyelesaikan tugas
perkuliahan.
vi
Akhirnya penulis dengan rasa penuh syukur atas keberhasilan penyusunan
skripsi ini mengucapkan Puji syukur Alhamdulillahirobil Alamiin. Semoga
penulisan skripsi ini dapat bermanfaat khusunya bagi penulis dan bagi
pembacanya. Aamiin. Sekian dan terimakasih.
Jakarta, 21 Oktober 2019
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Batasan Masalah.......................................................................... 10
C. Rumusan Masalah ....................................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 10
E. Metode Penelitian........................................................................ 11
F. Sistematika Penulisan.................................................................. 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA DAN REVIEW
STUDI TERDAHULU ...................................................................... 16
A. Tindak Pidana.............................................................................. 16
1. Pengertian Tindak Pidana .................................................... 16
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana................................................. 19
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana .................................................... 22
B. Tindak Pidana Pencurian Dalam Hukum Positif ........................ 28
1. Pengertian Pencurian ............................................................ 28
2. Unsur Dalam Tindak Pidana Pencurian ............................... 29
C. Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam ...................................... 32
1. Macam-Macam Pencurian dan Pengertiannya ..................... 32
2. Unsur-Unsur Pencurian ........................................................ 34
D. Review Studi Terdahulu .............................................................. 42
BAB III SANKSI PIDANA BAGI ANAK PELAKU PENCURIAN DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF ...... 46
A. Tindak Pidana Anak .................................................................... 46
1. Pengertian Anak ..................................................................... 46
2. Kenakalan Anak/ Juvenale Delinquency ................................ 49
B. Sanksi Hukum Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum Dalam Hukum Positif ..................................................... 62
1. Ketentuan Dalam KUHP ...................................................... 62
2. Pola Pemidanaan Bagi Anak yang berhadapan
dengan Hukum dalam KUHP. ............................................ 67
3. Pola pemberian hukuman bagi anak dengan metode
diversi dalam UU SPPA ....................................................... 71
viii
4. Ketentuan Sanksi Pidana Dan Tindakan .............................. 76
C. Ketentuan Usia Anak Dalam Hukum Islam ................................ 78
D. Sanksi Bagi Anak Yang Melakukan Pencurian Dalam
Hukum Pidana Islam ................................................................... 80
BAB IV FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA TINDAK PIDANA OLEH
ANAK DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS
PERKARA NOMOR : 1410 K /PID.SUS/ 2013 ............................... 83
A. Faktor-Faktor Anak Melakukan Tindak Pidana ............................ 83
B. Kronologi Kasus............................................................................ 88
C. Amar Putusan ................................................................................ 96
D. Analisis Penulis Tehadap Putusan Majelis Hakim........................ 97
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 99
A. Kesimpulan ................................................................................. 99
B. Saran ............................................................................................101
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................103
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa anak-anak adalah masa dimana seorang anak itu seharusnya belajar
dengan baik dengan lingkungan keluarga yang mendukung. Kenakalan yang
dilakukan oleh seorang anak tentu hal tesebut adalah hal yang semestinya tidak
melampaui batas. Artinya seorang anak tidaklah kemudian melakuakan tidakan
kenakalan yang berdampak dikenakanya hukuman padanya karena tidakan
kenakalan remaja tersebut tergolong dalam kategori kejahatan yang telah diatur
dengan Undang-undang.
Pada akhir abad ke-19 keprihatinan mulai melanda negara-negara Eropa
dan Amerika, kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda jumlahnya
meningkat. Dalam menghadapi fenomena tersebut, ketika itu perlakuan terhadap
pelaku kriminal disamakan terhadap anak maupun orang dewasa, upaya ini yaitu
dengan dibentuknya pengadilan anak ( juvenile court ) pertama di minos Amerika
Serikat tahun 1889, di mana undang-undangnya didasarkan pada asas parens
patriae, yang berarti‟‟ penguasa harus bertindak apabila anak-anak yang
membutuhkan pertolongan‟‟, sedangkan anak dan pemuda yang melakukan
kejahatan sebaiknya tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan diberi
bantuan. .1
Demikian pula halnya di Inggris, di sini dikenal dengan apa yang dikatakan
hak prerogratif raja sebagai parens patriae (melindungi rakyat dan anak-anak yang
membutuhkan bantuannya). Dengan demikian, dalam sejarah ikut campurnya
pengadilan dalam kehidupan anak senantiasa ditujukan guna menanggulangi
keadaan yang kurang menguntungkan bahkan cenderung membahayakan bagi
1 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak ( Bandung: PT Refika Aditama,2006 ),h.,1.
2
anak, eksploitasi terhadap anak dan kriminalitas anak serta banyak lagi hal
lainnya.2
Lalu bagaimana perkembangan di Indonesia sendiri, untuk mengetahui hal
tersebut, maka dapat melihat keadaan di negara Belanda tentang pemidanaan anak
sebagai negara yang melatarbelakangi terbentuknya hukum yang sekarang berlaku
di Indonesia. Dimana dalam sistem hukum pidana Indonesia masih mengguanakan
warsan hukum belanda tersebut. Dalam KUHP warisan Belanda tesebut ketentuan
khusus terhadap pelaku anak-anak belum mencukupi, bahakan dalam KUHAP
sendiri dalam porses pelakasaan penegakan hukumnya bagi pelaku yang tergolong
sebagai anak-anak belum mengutamakan perlindungan kepentingan dari anak
yang berhadapan dengan hukum. Hingga pada tahun 2012 pemeritah
mengesahkan undang-undang tentang sistem peradilan pidana anak yaitu UU
Nomor 11 tahun 2012.
Usia anak memang relatif untuk dikatakan bahwa seseorang dikategorikan
sebagai anak. Banyak pertimbangan dalam menentukan hal tersebut, aspek
penilaian yang berbeda itulah yang kemudian berdampak pada definisi anak dan
cakupan kategori tentang bagaimana seseorang itu dikatakan sebagai anak atau
sebagai orang dewasa. Sedangkan jika melihat pada perkemangan secara
psikologis, bahwa pertumbuhan manusia mengalami fase-fase perkembangan
kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk
menentukan kriteria seorang anak, disamping ditentukan atas dasar batas usia, juga
dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya.
Atas dasar perkembangan psikologis dan biologis, seseorang
dikualifikasikan sebagai seorang anak, apabila ia berada pada masa bayi hingga
masa remaja awal, antara usia 16-17 tahun. Sedangkan lewat masa tersebut
seseorang sudah termasuk kategori dewasa, dengan ditandai adanya kestabilan,
2Ibid,h.,2.
3
tidak mudah dipengaruhi oleh pendirian orang lain dan propaganda seperti pada
masa remaja awal.
Penjatuhan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana adalah
upaya hukum yang bersifat ultimum remedium, artinya penjatuhan pidana terhadap
anak merupakan upaya hukum yang terakhir, setelah tidak ada lagi upaya hukum
lain yang menguntungkan bagi anak, misalnya anak itu memang sudah sangat
meresahkan keluarga dan masyarakat, berkali-kali telah melakukan tindak pidana
dan pihak orang tua atau wali sudah tidak ada lagi yang sanggup untuk mendidik
dan mengawasinya. Jika hakim terpaksa harus menjatuhkan pidana terhadap anak
yang telah melakukan tindak pidana, hakim dapat menerapkan pasal 47 ayat ( 1,2
dan 3 ) KUHP, yaitu:3
a) Mengurangi sepertiga dari pidana pokok.
b) Menjatuhkan pidana penjara selama-lamanya 15 tahun bagi yang diancam
pidana mati atau seumur hidup.
c) Meniadakan pidana tambahan, pencabutan beberapa hak tertentu dan
pengumuman keputusan hakim.
Pada dasarnya pemberian sanksi pidana bagi pelaku kejahatan atau
pelanggaran bertujuan untuk adaya upaya penjeraan, pembalasan, dan aspek
protektif bagi masyarakat. Akan tetapi berbeda halnya jika pelaku adalah anak-
anak. Dimana jika kita melihat kodisinya yang masih rentan apalagi dengan masa
depan mereka tentu pemberian pidana kepada pelaku anak akan berdampak secara
langsung kepada anak. Pertimbangan ini yang kemudian seharusnya ditanggulangi
oleh aparat penegak hukum.
Misalnya saja pada pemikiran yang ada dalam teori label berangkat dari
anggapan bahwa penyimpangan merupakan pengertian yang relatif. Penyimpangan
3 Bunadi Hidayat, Pemidananan Anak Dibawah Umur (Bandung: PT Alumni, 2010) ,h., 84.
4
timbul karena adanya reaksi dari pihak lain yang berupa pelabelan pelaku
penyimpangan dan penyimpangan perilaku tertentu. Oleh karena itu, bila
dibandingkan dengan teori kejahatan pada umumnya, teori label menggeser fokus
perhatian objek kajian dari pelaku penyimpangan (deviant) dan perilakunya
menuju perilaku dari mereka-mereka yang memberikan label dan memberikan
reaksi pada pihak lain sebagai pelaku penyimpangan. Reaksi sosial menjadi objek
analisis, asal mula dan dampak reaksi sosial dilihat sebagai permasalahan pokok
yang harus dikaji teori sosiologi tentang kejahatan.4
Pusat perhatian perspektif label terarah pada empat persoalan pokok, yaitu:
Petama, asal-usul label penyimpangan, status penyimpangan suatu perbuatan tidak
harus diterima begitu saja. Perlu ada penjelasan mengapa perilaku tertentu
dikatakan sebagai penyimpangan pada saat tertentu, dan tidak demikian pada saat
yang lain. Kedua, begitu label penyimpangan ditetapkan, sepertinya hal tersebut
akan dipergunakan ketika prosedur kontrol sosial dilaksanakan. Hal itu berarti
bahwa begitu ditetapkan secara publik sebagai pelaku penyimpangan dan
diperlakukan demikian, makna sosial perilaku seseorang dan status seseorang
secara mendasar diubah. Ketiga, analisis diarahkan untuk menguji akibat pelabelan
dan perlakuannya yang terkandung dalam sistem sosial. Keempat, asal-usul
kejahatan tidak terletak pada karakteristik orang perorangan pelakunya, melainkan
reaksi sosialah yang dipandang sebagai penyebab utama perilaku penyimpangan.
Pelabelan dan perlakuannya pada seseorang akan menyebabkan seseorang itu
menerima identitas sebagai pelaku penyimpangan dan menolak self image
konvensional. Transformasi identitas ini pada gilirannya menimbulkan komitmen
pada peningkatan karier seseorang sebagai pelaku penyimpangan. Stigma yang
ditentukan secara publik, dapat mengucilkan seseorang dari kegiatan patuh norma
4 Nadang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Istrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya ( Yogyakarta: Graha ilmu, 2013), h., 32.
5
dan pada gilirannya akan meningkatkan ketertarikan orang tersebut pada kegiatan-
kegiatan penyimpangan.5
Sebenarnya dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA
(Sistem Peradilan Pidana Anak) telah mengatur sedemikian rupa sehingga ketika
ada kasus anak yang berhadapan dengan hukum dapat dikenakan hukuman Non-
penal istilah dalam hukum adalah Diversi dimana diversi adalah suatu pengalihan
penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari
proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku
tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/ atau masyarakat,
pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau hakim.6 Dalam penjelasan
atas UU SPPA tersebut secara umum disebutkan bahwa,”anak adalah bagian yang
tidak dipisahkan dari hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan
negara. Dalam konstritusi negara Indonesia, anak memiliki peranan starategis yang
secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin setiap kehidupan setiap anak
kelangengan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta atas perlindungan dari
kekerasan dan kriminaliasi.7
Melihat tujuan dari UU SPPA, maka kita harus melihat apa yang menjadi
asas dalam sistem peradilan terebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 2 dan 3
UU SPPA No.11 Tahun 2012 dimana sistem nya memiliki asas:8
a) Perlindungan
b) Keadilan
c) Nondiskriminasi
d) Kepentingan terbaik bagi anak
5Ibid,h.,33.
6 Bunadi Hidayat, Pemidananan Anak Dibawah Umur (Bandung: PT Alumni, 2010),h.,83.
7 Mohammad Taufik Makarau, dkk., Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumahtangga, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013),h.,61.
8Ibid,h.,67.
6
e) Penghargaan terhadap kepentingan anak
f) Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
g) Pembinaan dan bimbingan anak
h) Proposional
i) Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir,dan
j) Penghindaran pembalasan.
Oleh karena itu tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan hukum
harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi
penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif maka, atas perkara anak yang
berkonflik dengan hukum dapat dilakukan diversi demi kepentingan terbaik bagi
anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban. Walaupun dalam
kehidupan masyarakat tentu akan membutuhkan suatu kehidupan yang
berketertiban. Menurut Sacipta Raharja bahwa ketertiban akan datang disebabkan
oleh karena anggota-anggota masyarakat itu masing-masing untuk dirinya sendiri
dan dalam hal untuk berhadapan dengan orang lain.9maka untuk itu anak yang
melakukan sebuah perilaku yang melanggar ketentuan tetap saja harus di kenakan
ketentuan, walaupun bukan hukuman pidana murni. Sebagaimana apa yang
dikatakan oleh Rescoe Pound yang berpendapat bahwa hukum dijadikan sebagai
social engineering.10
Jika kita melihat pada ketentuan pada hukum syariat Islam, ada yang
disebut sebagai alasan pemaafan dari pihak korban. Nah dengan pemaafaan itulah
kemudian si pelaku dapat digantikan hukumanya dari hukuman pidana kepada
hukuman denda (diat). Dimana hukuman diat seperti yang kita ketahui adalah
harta yang dibayarkan dan diberikan oleh pelaku jinayat kepada korban atau
9 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditia Bakti, 2014),h.,126.
10Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, (Jakarta:Jurisprudence
Press,2012), h., 11.
7
walinya sebagai ganti rugi, akibat perlakan pelaku yang merugikan korban.11
Maka
upaya untuk mengalihkan pidana pada anak tentunya harus diupayakan.
Anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan
pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang
sehat dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah dari Allah yang Maha Esa
sebagai calon penerus bangsa yang masih dalam perkembangan fisik dan mental.
Terkadang anak mengalami situasi sulit yang membuatnya melakukan tindakan
yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar hukum tidak
lah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukan dalam penjara.12
Seperti halnya dalam kasus pencurian yang dilakuakan oleh seorang anak
dibawah umur di daerah Deli Serdang, Sumatra Utara. Dimana kasus tersebut
dengan terdakwa Muhammad Chaidir. Kronologi kasus tersebut adalah bahwa
terdakwa Chaidir bersama-sama melakukan mufakat dengan terdakwa Sugianto
alias Dedek, Wagino alias Adi yang berkas perkaranya dituntut secara terpisah,
serta bernama Surya Kusuma yang belum tertangkap hingga saat ini (DPO), pada
hari Rabu tanggal 25 April 2012 sekitar pukul 02.00 WIB, yaitu waktu antara
matahari terbenam dan terbit, atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan
April 2012, bertempat di Area Perkebunan Karet PTPN-III Kebun Rambutan
Afdeling V TM 1990 Blok 54 Desa Pertapaan, Kecamatan Tebing Tinggi,
Kabupaten Serdang Bedagai, atau setidaknya pada suatu tempat lain yang masih
termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli untuk
memeriksa dan mengadili-nya, dengan maksud untuk memiliki secara melawan
hukum telah mengambil sesuatu barang berupa getah compo (getah lom) sebanyak
30 (tiga puluh) kilogram yang ditaksir seharga Rp750.000,00 (tujuh ratus lima
11
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishas Di Indonesia, (Jakarta:Sinar
Grafika,2015),h.,55.
12M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013 cet.
Kedua),h.,1.
8
puluh ribu rupiah) atau setidak-tidaknya lebih dari Rp250,00 (dua ratus lima puluh
rupiah) kepunyaan PTPN-III Kebun Rambutan atau orang lain selain dari pada
Terdakwa dan temannya, dilakukan oleh dua orang atau lebih, dengan cara sebagai
berikut : Mula-mula Terdakwa dan saksi Sugianto alias Dedek, saksi Wagino alias
Adi serta Surya Kusuma terlebih dahulu merencanakan pencurian getah milik
PTPN-III Kebun Rambutan tersebut di rumah saksi Sugianto alias Dedek di
Berohol, setelah perencanaan matang dengan menaiki 2 (dua) unit sepeda motor
merk Scorpio dan Honda Supra Terdakwa dan saksi Sugianto alias Dedek,
saksiWagino alias Adi serta Surya Kusuma berangkat dari Brohol berboncengan
dengan membawa 2 (dua) buah ember hitam menuju Afdeling V TM 1990 Blok
54 Des Pertapaan,Kecamatan Tebing Tinggi, setibanya pada areal perkebunan
karet lalu mengganti pakaian masing-masing dengan pakaian kotor untuk
kemudian bersama-sama mengambil getah dari tempat penampungannya dari tiap-
tiap pohon karet dan dimasukkan ke dalam ember, setelah ember penuh lalu getah
copo/getah lom tersebut dimasukkan lagi ke dalam goni/karung hingga getah
terkumpul sebanyak 1 (satu) karung seberat 30 (tiga puluh) kilogram, namun pada
saat Terdakwa dan saksi Sugiantoalias Dedek, saksi Wagino alias AdiSerta Surya
Kusuma hendak pulang dapat ditangkap petugas Satpam Kebun, sedangkan Surya
Kusuma dapat melarikan diri, selanjutnya Terdakwa dan saksi Sugianto alias
Dedek, saksi Wagino alias Adiberikut barang bukti diserahkan ke Polres Tebing
Tinggi.
Pada kasus diatas dalam putusan yang dilakukan oleh majelis hakim adalah
dengan pemberian sanksi pidana terhadap terdakwa dengan pidana kurungan
selama 2 bulan. Melihat pencurian adalah tindak pidana yang telah diatur dalam
pasal 362 merupakan pencurian dalam bentuk pokok adapun unsur-unsurnya, yaitu
ojektif ada perbuatan mengambil, yang diambil suatu barang barang tersebut
sebagian atau keseluruhanya atau sebagian kepunyaan orang lain, ada perbuatan
dan perbuatan teresbut dilarang oleh undang-undang, serta mendapatkan sanksi
9
pidna berupa penjara. Sedangkan unsur subjektif yaitu, dengan maksud untuk
memiliki, secara melawan hukum.13
Hal ini yang menurut penulis kurang berpihak pada tujuan dari pemidanaan
itu sendiri. Buakan maslah 2 bualan adalah waktu yang pendek akan tetapi label
masyarakat terhadap pelaku sebagai manatan narapidana akan mempengaruhi
kehidupan terdakawa samapai kapanpun. Mengganggu kehidupan sosial yang
dialami pelaku adalah sebuah hal yang seharusnya di pertimbangkan.
Dalam peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang tipiring pun
menyatakan bahwa tindak pidana pencurian yang nilai kerugiannya di bawah
Rp.2.500.000,00 tidak diperkenankan untuk dihukum penjara. Maka jika melihat
ketentuan mahkamah agung ini maka sekiranya kita melihat ketidak serasian
antara hukum dan peroses hukuan yang terjadi dalam kasus itu. Seperti kita
ketahui bahwa dalam kasus itu nilai barang yang dicuri adalah dibawah ketentuan
PERMA tersebut. Apalagi kemudian barang yang dicuri masih dalam keadaan
utuh, artinya secara materil sebenarnya tidak ada kerugian yang di terima korban.
Karena memang dalam kasus tersebut, pelaku sudah di tangkap sebelum pelaku
membawa hasil curiannya tersebut.
Dengan melihat kasus di atas maka penulis akan meneliti tentang kasus
tersebut yaitu pidana anak dan penulis akan menganaslias putusan hakim yang
telah memutus perkarat tersebut yaitu putuasan No. 1410 K/ Pid.Sus/2013, dengan
mengambil judul, “PENYELESAIAN PERKARA PENCURIAN GETAH
COMPO OLEH ANAK DIBAWAH UMUR: ANALISA PUTUSAN
MAJELIS KASASI MAHKAMAH AGUNGNo. 1410 K/ Pid.Sus/2013”
13
Ismu Gunaidi, Junaidi Efendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana Media Grup, 2014),h.,127.
10
B. Batasan Masalah
Dalam uraian tersebut diatas, penulis menganggap perlu adanya
pembatasan masalah, karena begitu luas cakupan yang terkandung dalam perkara
pidana anak dengan kasus tindak pidana ringan berupa pencurian. Agar
pembahasan ini tidak menjauh dari apa yang akan dibahas oleh penulis dan bisa
lebih spesifik dan lebih terarah, maka penulis membatasi masalah yang dibahas
yaitu tentang perspektif hukum Islam dan hukum pidana positif terkait hukuman
bagi anak yang melakukan tindak pidana ringan berupa pencurian.
C. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang diatas dapat penulis identifikasikan beberapa masalah
dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Perkembangan sosial menimbukan berbagai masalah sosial, salah satunya
adalah bertambahnya kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
2. Sistem yang dilakukan dalam proses peradilan pada kasus tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dibawah umur memiliki ketentuan sendiri, sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.
3. Banyak tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah kejahatan terhadap
harta kekayaan khususnya dalam hal pencurian.
4. Ketentuan dalam PERMA Nomor 2 tahun 2012 mengenai batas minimal nilai
kerugian dalam kasus pencurian. Dimana dalam ketentuan tersebut
pemidanaan hanya dilakukan diatas batas minimal kerugian yang dialami.
D. Rumusan Masalah
Penulis merumuskan masalah ini kedalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
A. Apa faktor-faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana ?
11
B. Bagaimana ketentuan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana
berdasarkan UU Nomor 11 tahun 2012 ?
C. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan nomor 1410K/Pid.Sus/2013 ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai, sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kajian teori mengenai tindak pidana penganiayaan
dalam hukum Islam dan dalam hukum positif.
b. Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan penerapan pidana bagi anak
yang melakukan pencurian dalam hukum Islam dan hukum positif
c. Untuk medalami pengetahuan tentang divesi dalam SPPA dimana dalam
hal tesebut menginginkan adanya kodisi sanksi Non-penal.
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-
manfaat dan kegunaan dalam kajian ilmiah ini, diantaranya:
a. Pembahasan ini dapat memberikan dan menambahkan wawasan khazanah
keilmuan dalam bidang hukum islam terutama dalam hal
pertanggungjawaban pidana bagi anak dibawah umur.
b. Penelitian ini sekiranya dapat mmberikan suatu pemecahan atau
penyelesaian masalah bagi kalangan akademisi dan ilmuwan khususnya
dalam bidang hukum pidana Islam dan hukum pidana positif untuk
menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer, sehingga hal
tersebut menjadi relevan untuk semua ruang dan waktu.
c. Selain itu juga hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan
informasi peminat studi hukum Islam dan peradilan anak mengenai
masalah pertanggungjawaban pidana baik tindak pidana maupun perdata
bagi anak-anak.
12
d. Serta lebih umumnya hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
informasi ilmiah bagi para pemerhati pembangunan hukum di Indonesia.
Dan pada masyarakat pada mumunya.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skiripsi ini adalah metode
penelitian kualitatif yang berupa kajian kepustakaan (library research) yang
menggunakan bahan pustaka, artinya sumber yang penulis cantumkan adalah
bahan kepustakaan. Data-data tersebut adalah: buku-buku, kitab-kitab, hasil
penelitian-penelitian, jurnal-jurnal yang bersankut paut dengan objek kajian
penelitian.14
Dari sumber tersebut dilakukan penelitian dengan mekanisme
menganalisis bahan-bahan kepustakaan yang memuat berbagai hal yang bekaitan
dangan Sistem peradilan pidana anak dalam tindak pidana pencurian dengan
pemberatan dengan nilai kerugian dibawah Rp. 2.500.000,00 baik itu perspektif
hukum pidana positif ataupun dalam hukum pidana Islam.
1. Jenis Penelitian
Sebuah penelitian dapat diklasifikasi dari berbagai cara atau sudut
pandang, yaitu terapat dua metode yang digunakan dalam sebuah penelitian
yaitu, yang pertama adalah metode penelitian kualitatif, yang kedua adalah
metode penelitian kuantitatif. Pada penulisan penelitian skripsi ini penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif. Dimana dalam metode ini
mempunyai karakter deskriptif analisis untuk memberi gambaran mengenai
tindak pidana pencurian dengan pemberatan oleh anak dibawah umur dengan
perspektif hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, sedangkan dilihat
14
G.R. Raco, Metode Peneitian Kualitatf Jenis, Karakteristik Dan Kaunggulan (Jakarta:
Grasindo, 2010),h., 46.
13
dari segi jenis penelitian hukum, penelitian ini termasuk dalam kategori jenis
penelitian normatif atau doktrinal.
2. Metode pendekatan
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif. Penelitian yuidis normatif adalah penelitian yang meletakan
hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud
adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan perjanjian serta doktrin terhadap keilmuan
hukum.15
3. Teknik Pengumpulan Data
Pendapat parah ahli menyatakan bahwa data dalam sebuah penelitian
diolongkan atas dua macam, yaitu data primer dan data sekunder.16
dalam
penulisan skripsi ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti
adalah berupa studi kepustakaan, data yang digunakan pada skripsi ini adalah
data sekunder. Metode penataan skuner ini akan mencakup bahan hukum
primer, skunder dan tersier. Bahan hukum primer dalam skripsi ini adalah
Undang-undang yang diterapkan di Indonesia, sepertihalnya KUHP, KUHAP,
UU No. 11 Tahun 2012, PERMA No.2 Tahun 2012 tentang atas minimal
kerugian dalam pencurian ringan. Sedangkan data skundernya adalah buku-
buku penelitian, kitab-kitab hukum Islam, jurnal ilmiah, dan karya-karya
ilmiah yang berkaitan dengan skripsi yang penulis susun. Sedangakan data
tersiernya adalah kamus hukum, kamus bahasa arab, kamus bahasa Inggris,
dan kamus bahasa Indonesia.
4. Teknik Analisis Data
15
Fahmi Muhamad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakata, 2010), h., 31.
16 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013),h., 5.
14
Dalam menganalisis data yang diperoleh baik bahan hukum primer
maupun sekunder dan membahasa permasalahannya yang membahas secara
kualitatif. Yakni dalam penulisan ini mengunakan analisis dan kualitatif, yaitu
analisis yuridis normatif ini dilakukansecara deskritif karena penelitian ini
tidak hanya bemaksud menungkapkan atau atau menggambarkan data
kebijakan hukum pidana sebagaimana adanya, tetepi juga bermaksud
menggambarkan tentang kebijakan hukum pidana yang diharapkan dalam
Undang-undang yang akan datang. Sehingga nantinya semua bahan baik
dalam hal data kepustakaan dan data hasil penelitian keduanya senantiasa
dipertahankan.
F. Sistematika Penulisan
Adapun untuk sistematika penulisan ini, terdiri dari 5 (lima) bab yang
terdiri dari sub-sub yang dirinci sebagai berikut :
BAB I: Mengenai Pendahuluan, Membahas Tentang Latar Belakang Masalah,
Batasan Dan Rumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Masalah,
Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II: Mengenai pengertian tindak pidana, Unsur-unsur tindak pidana, jenis-
jenis tindak pidana, tindak pidana pencurian serta sanksinya dalam
hukum positif, tindak pidana pencurian dalam hukum pidana Islam
dan review studi terdahulu.
BAB III: mengenai tindak pidana anak, pengertian anak, kenakalan anak/
juvenile delinquency batas usia bagi pemidanaan anak, sanksi tindak
pidana bagi anak dalam KUHP dalam pencurian, bentuk diversi dalam
SPPA, hukuman bagi anak yang melakukan tindak pidana pencurian
dalam hukum pidana Islam.
15
BAB IV: Mengenai penyelesaian perkara pencurian getah compo oleh anak
dibawah umur: analisa putusan majelis kasasi mahkamah agungno.
1410 k/ pid.sus/2013 dan faktor penyebab tindak kejahatan.
BAB V: Mengenai penutup, membahas tentang kesimpulan dan saran-saran
dari penulis.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA DAN REVIEW
STUDI TERDAHULU
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Bagi sebagian masyarakat umum (sebutan bagi mereka yang non
hukum), berbagai bahan bacaan tentang pengertian tindak pidana terkadang
sulit untuk dipahami. Misalnya saja literatur tentang hukum pidana oleh
Moeljatno bahwa istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang
berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata
strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata
yang digunakan untuk menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana
Indonesia antara lain: tindak pidana, delik dan perbuatan pidana. Sementara
dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk
menunjukkan pada pengertian kata strafbaarfeit. Beberapa istilah yang
digunakan dalam Undang-undang tersebut antara lain :1
a. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-undang
dasar sementara (UUDS) tahun 1950 khususnya dalam pasal 14.
b. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-undang nomor 1
tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam
Undang-undang darurat nomor 2 tahun 1951 tentang perubahan
ordonantie tijdelijke byzondere strafbepalingen.
1 Ismu Gunaidi, Joenadi Efendi, Cara Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Grup,2014),h.,36.
17
d. Hal yang diancam dengan hukum istilah ini digunakan dalam Undang-
undang darurat nomor 16 tahun 1951 tentang penyelesaian perselisihan
perburuhan.
e. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai Undang-undang,
misalnya:
1) Undang-undang darurat nomor 7 tahun 1953 tentang pemilihan umum.
2) Undang-undang darurat nomor 7 tahun 1953 tentang pengusutan,
penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
3) Penetapan presiden nomor 4 tahun 1953 tentang kewajiban kerja bakti
dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak
pidana yang merupakan kejahatan.
Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya
tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan
konteksnya dan dipahami maknanya, karena itu dalam tulisannya berbagai
istilah tersebut digunakan secara bergantian, bahkan dalam konteks yang lain
juga digunakan istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang sama.2
Mengenai definisi tindak pidana dapat dilihat pendapat pakar-pakar
antara lain menurut Vos, delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum
oleh Undang-undang. Sedangkan menurut Van Hamel, delik adalah suatu
serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Menurut simons,
delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan
sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan/ tindakan yang dapat dihukum (leden
marpaung, 1991:23 ). Dengan demikian pengertian sederhana dari tindak
2Tongat, dasar-dasar hukum pidana Indonesia dalam perspekif pembangunan, (Malang,
univesitas muhamadiah malang, 2012, cet.3),h.,92.
18
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.3
Sudarto, menggunakan istilah tindak pidana dengan alasan bahwa
istilah tindak pidana sudah sering dipakai oleh pembentuk Undang-undang
dan sudah diterima oleh masyarakat, jadi sudah mempunyai sociologische
gelding. Adapun utrecht dalam bukunya hukum pidana I menggunakan istilah
peristiwa pidana. Alasannya bahwa peristiwa itu meliputi suatu perbuatan
(handelen atau doen positive) atau suatu melalaikan (verzuim atau nalaten,
niet-doen-negative) maupun akibatnya ( keadaan yang ditimbulkan oleh
karena perbuatan itu ) Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan tindak pidana
adalah perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yang dilakukan oleh
orang yang memungkinkan pemberian pidana‟‟.4
Moeljatno, dengan memberikan alasan yang sangat luas lebih senang
menggunakan istilah perbuatan pidana. Hal tersebut sebagaimana
dikemukakan dalam pidato pengukuhan guru besarnya pada tahun 1955,
dengan judul perbuatan dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.
Alasan beliau bahwa perbuatan ialah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau
barang sesuatu yang dilakukan. Lebih lanjut dikatakan: perbuatan ini
menunjuk, baik pada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat.5
Dalam kesempatan lain dikemukakan pula, bahwa dipakai kata
perbuatan dengan alasan bahwa kata perbuatan adalah suatu pengertian
abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan kongkret. Pertama adanya
3Ismu Gunaidi, Joenadi Efendi, Cara Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Grup,2014), h.,37.
4Nandang sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapanya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),h.,9.
5Ibid,h.,9.
19
kejadian yang tertentu dan kedua adanya orang yang membuat, yng
menimbulkan kejadian itu. Dengan demikian, ia menganggap kurang tepat
menggunakan peristiwa pidana sebagaimana yang digunakan dalam pasal 14
uuds 1950 untuk memberikan suatu pengertian yang abstrak. Peristiwa adalah
pengertian yang kongkret, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang
tertentu saja. Hal tersebut sama halnya dengan pemakaian istilah tindak dalam
tindak pidana.6
Adanya perbedaan terjemahan istilah strafbaar feit, secara doktrinal
telah menimbulkan perbedaan pengertian. Hal tersebut dapat dilihat
sebagaimana dikemukakan oleh Hanzewinkel Suringa, bahwa straafbaarfeit
diartikan sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah
ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku
yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana
yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.7
Menurut Utrecht, yang dimaksud dengan peristiwa pidana adalah „‟
suatu peristiwa hukum (rechtfeit), yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang
membawa akibat yang diatur oleh hukum‟‟.8
Maka dari definis yang diberikan oleh para alhli, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan yang dilakuan oleh
manusia yang melanggar perintah atau larangan dalam Undang-undang yang
memuat ancaman sanksi pidana.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
J.M. Van Bemmelen yang menulis bahwa pembuat Undang-undang,
misalnya membuat perbedaan antara kejahatan yang dilakukan dengan
6Ibid,h.,10.
7Ibid,h.,10.
8Ibid,h.,10.
20
sengaja dan karena kealpaan. Bagian yang berkaitan dengan si pelaku itu
dinamakan “bagian subjektif”. Bagian yang bersangkutan dengan tingkah laku
itu sendiri dan dengan keadaan di dunia luas pada waktu perbuatan itu
dilakukan, dinamakan “bagian objektif.”9
Demikian juga Bambang Poernomo yang menulis bahwa: pembagian
secara mendasar didalam melihat elemen perumusan delik hanya mempunyai
dua elemen dasar yang terdiri atas:10
a. Bagian yang objektif yang menunjuk bahwa delict/strafbaar feit terdiri
dari suatu perbuatan ( een doen of nalaten ) dan akibat yanga bertentangan
dengan hukum positif sebagai perbuatan yang melawan hukum
(onrechtmatig ) yang menyebabkan diancam dengan pidana oleh peraturan
hukum, dan
b. Bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan dari pada delict/
strafbaarfeit
Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa elemen delict/strafbaar feit itu
terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan bertentangan
dengan hukum (onrechtmatig atau wederrechtelijk) dan elemen subjektif yang
berupa adanya seorang pembuat/dader yang mampu bertanggung jawab atau
dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid) kelakuan yang bertentangan
dengan hukum itu.
Ahli hukum yang langsung melakukan pembagian secara terinci,
misalnya D. Hazewinkel-Suringa, sebagaimana yang dikutip oleh bambang
poernomo, mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang lebih rinci,
yaitu:11
9 Moeljato, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,2009), h.,66.
10Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Ghalia Indoesia, 1978),h.,98.
11Ibid,h.,90.
21
a. Tiap delik berkenaan dengan tingkah laku manusia (menselijke
gedraging), berupa berbuat atau tidak berbuat (een doen of nalaten).
Hukum pidana kita adalah hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht).
Cogitationis poenam nemo patitur (tidak seorang pun dapat dipidana
hanya atas apa yang dipikirkannya ).
b. Beberapa delik mengharuskan adanya akibat tertentu. Ini terdapat pada
delik material.
c. Pada banyak delik dirumuskan keadaan psikis, seperti maksud (oogmerk),
sengaja (opzet), dan kealpaan (onach-zaamheid atau culpa).
d. Sejumlah besar delik mengharuskan adanya keadaan-keadaan objektif
(objectieveomstandigheden), misalnya penghasutan ( pasal 160 ) dan
pengemisan (pasal 504 ayat 1) hanya dapat dipidana jika dilakukan
didepan umum (in het openbaar).
e. Beberapa delik meliputi apa yang dinamakan syarat tambahan untuk dapat
dipidana. Misalnya dalam pasal 123: „‟jika pecah perang‟‟; pasal 164 dan
165: „‟jika kejahatan itu jadi dilakukan‟‟pasal 345 jika orang itu jadi
bunuh diri pasal 531 jika kemudian orang itu meningal.
f. Juga bisa dipandang sebagai suatu kelompok unsur tertulis yang khusus
yakni apa yang dirumuskan sebagai melawan hukum (wederrechtelejik)
tanpa wewenang (zonder daartoe gerchtigd te zijn) dengan melampau
wewenang (overschrijving der bevoegheid).
g. Umumnya waktu dan tempat tidak merupakan unsur tertulis. Hanya dalam
hal-hal khusus pembentuk Undang-undang mencantumkannya dalam
rumuan delik, misalnya dalam pasal 122: dalam waktu perang (tijd van
oorlog)
H.B Vos, sebagaimana ditulis oleh bambang poernomo, bahwa dalam
tindak pidana dimungkinkan ada beberapa unsur (elemen) yaitu:12
12
Ibid,h.,99.
22
a. Elemen perbuatan yang dilakukan orang dalam hal berbuat atau tidak
berbuat (een doen of nalaten)
b. Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delict selesai. Elemen
akibat ini dapat diangap telah ternyata pada suatu perbutan. Rumusan
Undang-undang kadang-kadag elemnen akibat tidak diperhitungkan di
dalam delict formil, akantetapi kadang-kadang elemen akibat dinyaakan
dengan tegas yang terpisah dari perbuaanya seperti didalam delict formal
c. Elemen subjektif yaitu kesalahan, yangb dwujudkan dengan kata-kata
sengaja (opzet) atau alpa (culpa)
d. Elemen melawan hukum (wedrrechtelijkheid)
e. Dan sedertan elemen-elemen lain menurut rumusan Undang-undang, dan
dibedakan dari segi objektif misalnya dalam pasal 160 diperlukan elemen
dimuka umum (in het openbaar) dan segi subjektifnya misalnya pasal 340
diperlukan unsur direncanakan terlebih dahulu(voorbedachteraad)
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
a. Penggolongan tindak pidana menurut doktrin13
Secara umum tindak pidana dapat dibedakan ke dalam beberapa
pembagian sebagai berikut.
1) Tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan
pelanggaran
a) Kejahatan
Secara doktrinal kejahatan adalah rechtdelicht, yaitu
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas
apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-undang
13
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:
Universitas Muhammadiah Malang, 2012, cet.3),h.,105.
23
atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam
Undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.
Jenis tindak pidana ini juga sering disebut malaperse. Perbuatan-
perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai rechtdelicht dapat
disebut antara lain pembunuhan, pencurian, dan sebagainya.
b) Pelanggaran
Jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht, yaitu
perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai
suatu tindak pidana, karena Undang-undang merumuskannya
sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai tindak
pidana oleh masyarakat oleh karena Undang-undang
mengancamnya dengan sanksi pidana. Tindak pidana ini disebut
juga mala quia prohibitia. Perbuatan-perbuatan yang dapat
dikualifikasikan sebagai wetsdelicht dapat disebut misalnya
memarkir mobil di sebelah kanan jalan, berjalan dijalan raya
disebelah kanan, dan sebagainya.
Patut dicatat, bahwa di dalam perkembangannya
pembagian tindak pidana secara kualitatif atas kejahatan dan
pelanggaran seperti tersebut di atas tidak dapat diterima. Penolakan
terhadap pembagian tindak pidana secara kualitatif tersebut
bertolak dari kenyataan, bahwa ada juga kejahatan yang baru
disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat setelah dirumuskan
dalam Undang-undang pidana. Dengan demikian tidak semua
kejahatan merupakan perbuatan yang benar-benar telah dirasakan
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, sebelum
dirumuskan dalam Undang-undang. Tetapi sebaliknya, terdapat
24
juga pelanggaran yang memang benar-benar telah dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
sekalipun perbuatan itu belum dirumuskan sebagai tindak pidana
dalam Undang-undang.
2) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana formil dan
tindak pidana materil
a) Tindak pidana formil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang
perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang.
Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana formil
adalah tindak pidana yang telah dianggap terjadi/ selesai
dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam
Undang-undang, tanpa mempersoalkan akibat. Tindak pidana
yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana formil dapat
disebut misalnya pencurian sebagaimana diatur dalam pasal
362 KUHP, penghasutan sebagaimana diatur dalam pasal 160
KUHP, dan sebagainya.
b) Tindak pidana materiil
Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang
perumusannya dititikberatkan pada akibat yang dilarang.
Dengan kata lain, dapat dikatakan, bahwa tindak pidana
materiil adalah tindak pidana yang baru dianggap telah terjadi,
atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu
telah terjadi. Jadi, jenis tindak pidana ini mempersyaratkan
terjadinya akibat untuk selesainya. Apabila belum terjadi
akibat yang dilarang, maka belum bisa dikatakan selesai tindak
pidana ini, yang terjadi baru percobaannya. Sebagai contoh
25
dapat disebut misalnya tindak pidana pembunuhan yang diatur
dalam pasal 338 KUHP, penipuan dalam pasal 378 KUHP dan
sebagai.
3) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana/ delik
comissionis, delik omisionis dan delik comisionis peromissionis
comissa
a) Delik comissionis.
Delik comissionis adalah delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang
dilarang, misalnya melakukan pencurian, penipuan,,
pembunuhan, dan sebagainya.
b) Delik omissionis
Delik omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran
terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah
misalnya tidak mengadap sebagai saksi di muka pengadilan
sebagaimana ditentukan dalam pasal 522 KUHP.
c) Delik comissionis per omissionis comissa
Delik comissionis per omissionis comissa adalah delik
yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi
dilakukan dengan cara tidak berbuat. Contoh: seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan cara tidak memberi air susu
(pelanggaran terhadap larangan untuk membunuh sebagaimana
diatur dalam pasal 338 atau 340 KUHP).
4) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana kesengajaan dan
tindak pidana kealpaan (delik dolus dan delik culpa)
26
a) Tindak pidana kesengajaan/delik dolus adalah delik yang
memuat unsur kesengajaan. Misalnya tindak pidana
pembunuhan dalam pasal 338 KUHP, tindak pidana pemalsuan
mata uang sebagaimana diatur dalam pasal 245 KUHP, dan
sebagainya.
b) Tindak pidana kealpaan/ delik culpa adalah delik-delik yang
memuat unsur kealpaan. Misalnya: delik yang diatur dalam
pasal 359 KUHP, yaitu karena kealpaannya mengakibatkan
matinya orang, delik yang diatur dalam pasal 360 KUHP, yaitu
karena kealpaannya mengakibatkan orag lain luka, dan
sebagainya.
5) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana/ delik tunggal
dan delik berganda. Penjabaran sebagai berikut:
a) Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu
kali perbuatan. Artinya, delik ini dianggap telah terjadi dengan
hanya dilakukan sekali perbuatan. Misalnya: pencurian,
penipuan, pembunuhan.
b) Delik berganda adalah delik yang untuk kualifikasinya baru
terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan. Misalnya:
untuk dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana/delik dalam
pasal 481 KUHP, maka penadahan itu harus terjadi dalam
beberapa kali. Apabila hanya terjadi sekali, maka masuk
kualifikasi pasal 480 KUHP (penadahan-biasa).
6) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana yang
berlangsung terus dan tindak pidana yang tidak berlangsung terus
a) Tindak pidana yang berlangsung terus adalah tindak pidana
yang mempunyai ciri, bahwa keadaan/ perbuatan yang
terlarang itu berlangsung terus menerus. Contoh tindak pidana
ini misalnya tindak pidana yang diatur dalam pasal 333 KUHP
27
yaitu tindak pidana merampas kemerdekaan orang. dalam
tindak pidana ini, selama orang yang dirampas
kemerdekaannya itu belum dilepas (masih disekap di dalam
kamar, misalnya), maka selama itu pula tindak pidana itu
masih berlangsung terus.
b) Tindak pidana yang tidak berlangsung terus adalah tindak
pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan yang terlarang itu
tidak berlangsung terus. Jenis tindak pidana ini akan selesai
dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang atau telah
timbulnya akibat. Contoh: tindak pidana pencurian,
pembunuhan, penganiayaan dan sebagainya.
7) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana aduan dan
tindak pidana bukan aduan.
a) Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya
hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang
terkena atau yang dirugikan. Dengan demikian, apabila tidak
ada pengaduan, terhadap tindak pidana itu tidak boleh
dilakukan penuntutan. Tindak pidana aduan dapat dibedakan
dalam dua jenis, yaitu:
b) Tindak pidana aduan absolut,tindak pidana aduan absolut,
yaitu tindak pidana yang mempersyaratkan secara absolut
adanya pengaduan untuk penuntutannya. Contohnya: tindak
pidana perzinaan dalam pasal 284 KUHP, tindak pidana
pencemaran nama baik dalam pasal 310 KUHP, dan
sebagainya. Jenis tindak pidana ini menjadi aduan, karena sifat
dari tindak pidananya sendiri.
c) Tindak pidana aduan relatif
28
Pada prinsipnya jenis tindak pidana ini bukanlah
merupakan jenis tindak pidana aduan. Jadi pada dasarnya
tindak pidana aduan relatif merupakan tindak pidana laporan
(tindak pidana biasa) yang karena dilakukan dalam lingkungan
keluarga, kemudian menjadi tindak pidana aduan. Contoh
tindak pidana ini misalnya tindak pidana pencurian dalam
keluarga dalam pasal 367 KUHP, tindak pidana penggelapan
dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP, dan sebagainya.
Tindak pidana bukan aduan, yaitu tindak pidana-tindak
pidana yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk
penuntutannya. Misalnya: tindak pidana pembunuhan, tindak
pidana pencurian, tindak pidana penggelapan, dan sebagainya.
h. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana biasa (dalam
bentuk pokok) dan tindak pidana yang dikualifikasi
1) Tindak pidana dalam bentuk pokok adalah bentuk tindak pidana
yang paling sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat
memberatkan.
2) Tindak pidana yang dikualifikasi yaitu tindak pidana dalam
bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberat,
sehingga ancaman pidananya menjadi lebih berat.
B. Tindak Pidana Pencurian Dalam Hukum Positif
1. Pengertian Pencurian
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya
dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam
bentuk pokoknya yang berbunyi: barang siapa mengambil suatu benda yang
29
seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00.14
2. Unsur Dalam Tindak Pidana Pencurian
a. Unsur Objektif terdiri dari :15
1) Perbuatan mengambil
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan
“mengambil” barang. “Kata “mengambil” (wegnemen) dalam arti sempit
terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari, memegang barangnnya,
dan mengalihkannya ke lain tempat.16
Dari adanya unsur perbuatan yang
dilarang mengambil ini menunjukan bahwa pencurian adalah berupa
tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku
positif/perbuatan materil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan yang
disengaja. Pada umumnya menggunakan jari dan tangan kemudian
diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegang, dan
mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau
dalam kekuasaannya.
Unsur pokok dari perbuatan mengambil harus ada perbuatan aktif,
ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam
kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat
dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan
membawa benda tersebut ke dalam kekuasaanya secara nyata dan
mutlak.Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata
adalah merupaka syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang
14
KUHP pasal 362
15 Leden Marpaung, Asas-teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar Grafika,2012), h.,8.
16 Wijrono Projoikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2003, cet.3) h., 15.
30
artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu perbuatan
pencurian yang sempurna.
2) Objeknya suatu benda
Pada objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie
van toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah
terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak
bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari
benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap
benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan
mengambil.17
3) Unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut
sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup
sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu sendiri.
Contohnya seperti sepeda motor milik bersama yaitu milik A dan B, yang
kemudian A mengambil dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi
bila semula sepeda motor tersebut telah berada dalam kekuasaannya
kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan
penggelapan (Pasal 372 KUHP).18
a. Unsur Subjektif terdiri dari :
1) Adanya maksud untuk memiliki
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur
pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk),
berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memilikinya.
Dua unsur itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama
lain. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus
17
Ibid, h., 16.
18 Ibid, h., 16.
31
ditujukan untuk memilikinya, dari gabungan dua unsur itulah yang
menunjukan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki
tidak mengisyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke
tangan pelaku, dengan alasan. Pertama tidak dapat mengalihkan hak milik
dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur
pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur
subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk
dijadikan barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud,
berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri pelaku sudah
terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk
dijadikan sebagai miliknya.19
2) Dengan melawan hukum
Menurut Moeljatno, unsur melawan hukum dalam tindak pidana
pencurian yaitu Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud
memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum
bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui
dan sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan
hukum. Karena alasan inilah maka unsur melawan hukum dimaksudkan
ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai
dengan keterangan dalam memorie van toelichting (MvT) yang
menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas
dalam rumusan tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada
semua unsur yang ada dibelakangnya.20
19
Ibid, h., 18.
20 Ibid, h., 16-17.
32
C. Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam
1. Macam-Macam Pencurian dan Pengertiannya
Pencurian dalam syariat Islam ada dua macam, yaitu sebagai berikut:21
a. Pencurian yang hukumannya had.
b. Pencurian yang hukumannya ta‟zir.
Pencurian yang hukumannya had terbagi kepada dua bagian, yaitu
a. Pencurian ringan ( شغ انص شلةانس ), dan
b. Pencurian berat ( شب انكشلةانس )
Pencurian ringan menurut rumusan yang dikemukakan oleh Abdul
Qadir Audah adalah sebagai berikut.
اخزشغ انص اانسشلةفأي شخف ف ححخفاءة يالانغ مألس عهسب ا
Artiya: Pencurian ringan adalah mengambil harta milik orang lain dengn cara
diam-diam, yaitu dengan jalan sembunyi-sembunyi.
Sedangkan pengertian pencurian berat adalah sebagai berikut.
اخزشب انكاانسشلةاي غانبةف مان شعهسب يالانغ
Artinya: Adapun pengertian pencurian berat adalah mengambil harta milik
orang lain dengan cara kekerasan.
21
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 81.
33
Perbedaan antara pencurian ringan dengan pencurian berat adalah
bahwa dalam pencurian ringan, pengambilan harta itu dilakukan tanpa
sepengatahuan pemilik dan tanpa persetujuannya. Sedangkan dalam pencurian
berat, pengambilan tersebut dilakukan dengan sepengatahuan pemilik harta
tetapi tanpa kerelaannya, disamping terhadap unsur kekerasan. Dalam istilah
lain, pencurian berat ini disebut jarimah hirabah atau perampokan, dan secara
khusus akan dibicarakan dalam bab tersendiri. Dimasukannya perampokan
kedalam kelompok pencurian ini, sebabnya adalah karena dalam perampokan
terdapat segi persamaan dengan pencurian, yaitu sekalipun jika dikaitkan
dengan pemilik barang, perampokan itu dilakukan dengan terang-terangan,
namun jika dikaitkan dengan pihak penguasa atau petugas keamanan,
perampokan tersebut dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.22
Pencurian yang hukumannya ta‟zir juga dibagi kepada dua bagian
sebagai berikut:23
1) Semua jenis pencurian yang dikenai hukuman had, tetapi syarat-syaratnya
tidak terpenuhi, atau ada syubhat. Contohnya seperti pengambilan harta
milik anak oleh ayahnya.
2) Pengambilan harta milik orang lain dengan sepengatahuan pemilik tanpa
kerelaannya dan tanpa kekerasan. Contohnya seperti menjambret kalung
dari leher seorang wanita, lalu penjambret itu melarikan diri dan pemilik
barang tersebut melihatnya sambil berteriak meminta bantuan.
Sebenarnya definisi pencurian yang dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah tersebut terlampau singkat dan masih kurang lengkap. Definisi yang
lebih lengkap adalah definisi yang dikemukakan oleh Muhammad Abu
Syahbah.
22
Ibid, h., 82.
23 Ibid, h., 82.
34
كهف أخزان ا, ع انبانغانعمم–انسشلةشش شخفةإرابهغ–ا يالانغ
غ صي حش رصاب ا,ي الايأخ نشب ةفزاان ك شا
Artinya: Pencurian menurut syara adalah pengambilan oleh seorang mukalaf
yang balig dan berakal terhadap harta milik orang lain dengan diam-diam,
apabila barang tersebut mencapai n s (batas minimal), dari tempat
simpanannya, tanpa ada s u t dalam barang yang diambil tersebut.
2. Unsur-Unsur Pencurian
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat diketahui bahwa unsur-
unsur pencurian itu ada empat macam, yaitu sebagai berikut:24
a. Pengambilan secara diam-diam
Pengambilan secara diam-diam terjadi apabila pemilik (korban)
tidak mengetahui terjadinya pengambilan barang tersebut dan ia tidak
merelakannya. Contohnya, seperti mengambil barang-barang milik orang
lain dari dalam rumahnya pada malam hari ketika ia (pemilik) sedang
tidur. Dengan demikian, apabila pengambilan itu sepengatahuan
pemiliknya dan terjadi tanpa kekerasan maka perbuatan tersebut bukan
pencurian melainkan perampasan (ikhtilas).
Untuk terjadinya pengambilan yang sempurna diperlukan tiga
syarat, yaitu sebagai berikut:
1) Pencuri mengeluarkan barang yang di curi dari tempat simpanannya.
2) Barang yang dicuri dikeluarkan dari kekuasaan pemilik.
3) Barang yang dicuri dimasukkan ke dala kekuasaan pencuri.
24
Ibid, h., 83.
35
b. Barang yang diambil berupa harta
Salah satu unsur yang penting untuk dikenakannya hukuman
potong tangan adalah bahwa barang yang dicuri itu harus barang barang
yang bernilai m l (harta). Apabila barang yang dicuri itu bukan mal
(harta), seperti hamba sahatya, atau anak kecil ang belum tamyiz maka
pencuri tidak dikenai hukuman . Akan tetapi, imam malik dan
r berpendapat bahwa anak kecil yang belum tamyiz bisa menjadi
objek pencurian, walaupun bukan hamba sahaya, dan pelakunya bisa
dikenai .
Dalam kaitan dengan barang yang dicuri, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi untuk bisa dikenakan hukuman potong tangan. Syarat-
syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1) Barang yang dicuri harus m l mut q w m
Pencurian baru dikenai hukuman had apabila barang yang
dicuri itu barang yang mut q w m, yaitu barang yang dianggap
bernilai menurut syara‟. Barang-barang yang tidak bernilai menurut
pandangan syara‟ karena zatnya haram, seperti bangkai, babi,
minuman keras dan sejenisnya, tidak termasuk mal mutaqawwim, dan
orang yang mencurinya tidak dikenai hukuman.
2) Barang tersebut harus barang yang bergerak
Untuk dikenakannya hukuman had bagi pencuri maka
disyaratkan barang yang dicuri harus barang atau benda bergerak. Hal
ini karena pencurian itu memang menghendaki dipindahkannya
sesuatu dan mengeluarkannya dari tempat simpanannya. Hal ini tidak
akan terjadi kecuali pada benda yang bergerak. Suatu benda dianggap
sebagai benda bergerak apabila benda tersebut bisa dipindahkan dari
satu tepat ke tempat lainnya. Ini tidak berarti benda itu benda bergerak
36
menurut tabiatnya, melainkan cukup apabila benda itu dipindahkan
oleh pelaku atau oleh orang lain.
3) Barang tersebut tersimpan ditempat simpanannya
Para ulama berpendapat bahwa salah satu syarat untuk
dikenakannya hukuman had bagi pencuri adalah bahwa barang yang
dicuri harus tersimpan ditempat simpanannya. Sedangkan r
dan sekelompok ahli hadis tetap memberlakuan hukuman ,
walaupun pencurian bukan dari tempat simpanannya apabila barang
yang dicuri mencapai n s pencurian.
Dasar hukum disyaratkannya tempat simpanan ( r ) ini adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Rafi‟ ibn Khadij bahwa Rasulullah
SAW. bersabda:25
لكثللط ش بعة(شعفث األس ذ اأح )س
Artinya: Tidak ada hukuman potong tangan dalam pencurian buah-
buahan dan kurma. (HR.Ahmad dan empat ahli hadis)
Adapun yang dimaksud dengan buah-buahan (tsamr) dalam
hadis tersebut adalah buah-buahan atau kurma yang masih bergantung
dipohonnya sebelum dipetik dan disimpan. Dari hadis tersebut dapat
dipahami bahwa pencurian dari pohonnya tidak dikenai hukuman,
karena pohon bukan tempat simpanan bagi buah-buahan.
r atau tempat simpanan ada dua macam, yaitu sebagai
berikut.
a) r l-makan atau r l-nafsih.
b) r l- atau r l-ghairih.
25
Ibid, h., 84.
37
Pengertian r l-makan adalah setiap tempat yang
disiapkan untuk penyimpanan barang, dimana orang lain tidak boleh
masuk kecuali dengan izin pemiliknya, seperti rumah, warng, gudang,
dan seagainya. Tempat ini disebut tempat simpanan ( ش karena ( ث
bentuk dan perlengkapannya dengan sendirinya merupakan tempat
simpanan tanpa memerlukan penjagaan.
Adapun yang dimaksud dengan r l- atau r al-
ghairih adalah setiap tempat yang tidak disiapkan untuk penyimpanan
barang, dimana setiap orang boleh masuk tanpa izin, seperti jalan,
halaman, dan tempat parkir. Hukumnya sama dengan lapangan terbuka
jika disana tidak ada orang yang menjaganya. Artinya, tempat tersebut
baru dianggap sebagai r apabila ada orang yang menjaganya. Itulah
sebabnya tempat tersebut disebut r l- atau r l-
ghairih. Sebagai contoh adalah seeorang yang memarkir kendaraannya
dipinggir jalan tanpa penjaga dianggap memarkir bukan pada r atau
tempat simpanannya. Akan tetapi, apabila ditempat tersebut terdapat
penjaga seperti satpam maka jalan tersebut dianggap sebagai r
l- atau r l-ghairih.
4) Barang tersebut mencapai nishab pencurian
Tindak pidana pencurin baru dikenakan hukuman bagi
pelakunya apabila barang yang dicuri mencapai nishab pencurian.
Ketentuan ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw. Yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Nasa‟i Dan Ibnu Majah,
bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
38
ل لال سهى عه هللا سسل ع لانث ا ع هللا سض عاءشة ع
هى. س ن انهف ظ ا،يحفكعه اسفصاعذ جم طعذانساسقإلفسب عد
د فسبع انساسق ذ نهبخاسجم طع اةانهف ظ س ف ا. فصاعذ اس
أد ا ف لجم طع اس افد ال طع عاءشة ع ذأ ألح
سيسهى(ا)ساانبخرنكي
Artinya: Dari A‟isyah ra., ia mengatakan bahwa Rasulullah
alallahualaihi wasalam, “Tangan pencuri tidak dipotong kecuali
dalam pencurian seperempat dinar atau lebih.” (H.R.Mutafaq „alaih)
“Tangan pencuri dipotong dalam pencurian seperempat dinar atau
lebih. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) dari A’isyah,”potonglah tangan
pencuri yang mencuri seperempat dinar dan jangan dipotong pada
pencurian yang mencuri seper empat dinar dan jangan dipotong pada
pencurian yang kurang dari itu.” 26
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, jumhur fuqaha berpendapat
bahwa hukuman potong tangan baru diterapkan kepada pencuri
apabila nilai barang yang dicurinya mencapai seperempat dinar emas
atau tiga dirham perak. Akan tetapi, beberapa ulama seperti Imam
Hasan Basri, Abu Dawud Al- ahiri, dan kelompok khawarij
berpendapat bahwa pencurian baik sedikit maupun banyak tetap harus
dikenai hukuman potong tangan.27
5) Harta tersebut milik orang lain
Untuk terwujudnya tindak pidana pencurian yang pelakunya
dapat dikenai hukuman had, disyaratkan barang yang dicuri itu
26
Al-Muslim, Shahih Al-Muslim (Semarang: Toha Putera) h., 45.
27 Ibid, h. 85
39
merupakan hak milik orang lain. Apabila barang yang diambil dari
orang lain itu hak milik pencuri yang dititipkan kepadanya maka
perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pencurian, walaupun
pengambilan tersebut dilakukan secara diam-diam.
Pemilikan pencuri atas barang yang dicurinya yang
menyebabkan dirinya tidak dikenai hukuman harus tetap berlangsung
sampai dengan saat dilakukannya pencurian. Dengan demikian,
apabila pada awalnya ia menjadi pemilik atas barang tersebut, tetapi
beberapa saat menjelang dilakukannya pencurian ia memindahkan hak
milik atas barang tersebut kepada orang lain maka ia tetap dikenai
hukuman had, karena pada saat dilakukannya pencurian barang terebut
sudah bukan miliknya lagi.
Dalam kaitan dengan unsur yang ketiga ini, yang paling
penting adalah barang tersebut ada pemiliknya, dan pemiliknya itu
bukan si pencuri melainkan orang lain. Dengan demikian, apabila
barang tersebut tidak ada pemiliknya seperti benda-benda yang mubah
maka pengambilannya tidak dianggap sebagai pencurian, walaupun
dilakukan secara diam-diam.
Demikian pula halnya orang yang mencuri tidak dikenai
hukuman had apabila terdapat s u t (ketidakjelasan) dalam barang
yang dicuri. Dalam hal ini pelaku hanya dikenai hukuman ta‟zir.
Contohnya seperti pecurian yang dilakukan oleh orang tua terhadap
harta anaknya. Dalam kasus semacam ini, orang tua diangap memiliki
bagian dalam harta anaknya, sehingga terdapat syubhat dalam hak
40
milik. Hal ini didasarkan kepada hadis nabi yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:28
ع شاب باي ابشع جذ ع ع ك... يانكألب ث ...ا
س ع د د ذ ااح )س يائ اب (ا ج
Artinya: r mr n s u r n r k kekn ... “Engk u
rt mu m l k mu...” (HR. Ahmad, Daud, Nasai Dan Ibnu
Majah)
Hadist ini mengindikasikan bahwa apabila orang tuamu menginginkan
hartamu ia dapat mengambilnya sebatas keperluanya sepertihalnya
mengambinya dari harta miliknya sendiri.apabila ternyata kamu tidak
memiliki harta, tetapi kamu mempunyai usaha kamu wajib berupaya
dan wajib memberikanya.29
Demikian pula halnya orang ang mencuri tidak dikenai
hukuman apabila ia mencuri harta yang dimiliki bersama-sama
dengan orang yang menjadi korban, kerena hal itu juga dipandang
sebagai syubhat. Pendapat ini dikemukakan oleh imam abu hanifah,
imam syafi‟i, imam ahmad, dan golongan syi‟ah. Akan tetapi, menurut
imam malik, dalam kasus pencurian harta milik bersama, pencurian
tetap dikenai hukuman had apabila pengambilannya itu mencapai
nishab pencurian yang jumlahnya lebih besar daripada hak miliknya.
28
M. Nurul Irfan, Masyrofah, fiqh Jinayah (Jakarta: amzah, 2015) h., 177.
29 Abu Athayib Muhammad Syamsul Haq Al Adzim Abadi, aun al-mabud syarh sunan abi
dawud, (Kairo: Dar Al Hadist, 2001) h., 385 sebagai mana dikutip dalam buku M. Nurul Irfan,
Masyrofah, fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2015) h., 177.
41
Pencurian hak milik umum Menurut Imam Abu Hanifah, Imam
yafi‟i, Imam Ahmad, dan golongan yi‟ah aidiyah, sama
hukumannya dengan pencurian hak milik bersama, karena dalam hal
ini pencuri diangap mempunyai hak sehingga hal ini juga dianggap
sebagai s u t. Akan tetapi menurut imam malik, pencuri tetap
dikenai hukuman .30
6) Adanya niat yang melawan hukum
Unsur yang keempat dari pencurian yang dikenai hukuman had
adalah adanya niat yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila
pelaku pencurian mengambil suatu barang padahal ia tahu bahwa
barang tersebut bukan miliknya, dan karenanya haram untuk diambil.
Dengan demikian, apabila ia mengambil barang tersebut dengan
keyakinan bahwa barang terebut adalah barang yang mubah maka ia
tidak dikenai hukuman, karena dalam hal ini tidak ada maksud
melawan hukum.
Disamping itu, untuk terpenuhinya unsur ini disyaratkan
pengambilan tersebut dilakukan dengan maksud untuk memiliki
barang yang dicuri. Apabila tidak ada maksud untuk memiliki maka
dengan sendirinya tidak ada maksud melawan hukum, oleh karena itu
ia tidak dianggap sebagai pencuri. Hukuman tersebut dikenakan
terhadap pencuri sebagai mana firman Allah dalam Q.s Al Maidah: 5:
ayat 38
30
Abu Athayib Muhammad Syamsul Haq Al Adzim Abadi, aun al-mabud syarh sunan abi
dawud, (Kairo: Dar Al Hadist, 2001) h., 385 sebagai mana dikutip dalam buku M. Nurul Irfan,
Masyrofah, fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2015) h., 177.
42
اسق انس هللا هللا اكسباكال ي ب اجضاء ذ اسلةفال طعاأ انس
عضضحكى
Artinya: “Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonlah tangan
keduanya. Seagai balasan dari perbuatannya dan siksaan dari Allah
SWT. Dan Allah maha Perkasa, maha bijaksana.” (Q.s Al Maidah: 38)
D. Review Studi Terdahulu
1. Maman Abdul Rahman, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakutas Syariah
Dan Hukum, dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut
Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
istem Peradilan Pidana Anak”.Masalah pidana anak yang bermula dari
kenakalan anak dewasa ini merupakan persoalan yang aktual, hampir disemua
negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Pidana anak diklasifikasikan
sebagai perbuatan kejahatan yang dianggap sebagai kenakalan anak (juvenile
delinquency). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan seseorang yang termasuk dalam
kategori anak menurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.
Penelitian ini merupakan kajian literatur dengan pendekatan normatif yang
dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka (library research),
yaitu dengan menelaah buku-buku, media cetak dan elektronik atau bahan
bacaan lain yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana anak.
Dalam pada ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Hukum Islam
pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan kepada anak yang telah baligh,
adapun ta‟zir yaitu hukuman yang dijatuhkan oleh ulil amri sebagai bentuk
pendidikan, pengajaran dan perbaikan diri yang disesuaikan dengan kondisi
psikologi anak. Berdasarkan pendekatan yang dilakukan diatas, hasil
43
penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal pertanggungjawaban pidana
anak menurut UU No. 11 Tahun 2012 dengan hukum Islam sama-sama
menitik beratkan kepada pengurangan hukuman kepada anak dan hukuman
yang diberikan sifatnya adalah mendidik. Sedangkan perbedaannya terletak
pada ketentuan kategorisasi anak dan hukuman yang dijatuhkan.
Berbeda dengan apa yang diteliti dalam skripsi penulis yang lebih
memfokuskan pada pembahasan penerapan pasal pencurian dengan pemeratan
pada tindak pidana pencurian yang dilaukan oleh anak yang disandingkan
dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2012.
2. Puti Ramadhani, UIN Syarif Hidayatullah Jakata, Fakulas Syariah Dan
Hukum, dengan judul skripsi “Tindak pidana pembunuhan anak oleh orang
tuanya ditinjau dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.”Hal yang
paling membedakan diantara kedua tinjauan hukum, yaitu hukum pidana
Islam dan hukum pidana positif adalah pengertian anak jika dihubungkan
dengan pembunuhan anak. Di dalam hukum pidana Islam, walaupun
mengenal pembatasan usia pada anak-anak akan tetapi jika ditarik pada hadits
tentang pembunuhan anak maka pembatasan anak tersebut mcnjadi hilang.
Hal ini dikarenakan pada pengcrlian anak pada hadits tersebut adalah dari
mulai terpisah dari janin ibunya sampai sepanjang hidupnya. Sedangkan di
dalam di dalam hukum pidana positif anak adalah yang belum berusia 18
tahun bahkan termasuk yang masih dalam kandungan jadi dapat dikatakan
bahwa pembahasan pembunuhan anak pada hukum pidana Islam lebih
menyeluruh daripada hukum pidana positif yang terbatas sampai pada usia
delapan belas tahun.
Berbeda dengan yang ada pada penelitian penulis dimana dalam kasus
yang ada pada penelitian penulis pelaku tindak pidana adalah anak, sedangkan
pada sekripsi diatas membahas anak dalam rumpun sebagai korban. Irisan
antara kedua penelitian ini adalah batas usia anak.
44
3. Binga Agsel Siqitsa, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah Dan
Hukum, dengan judul “Penyertaan anak dalam tindak pidana pembunuhan
perspektif hukum pidana Islam (analisis Putusan Nomor:
1131/Pid.An/2013/PN.Jkt. el)”Masalah utama dalam skripsi ini adalah
mengenai penyertaan anak dalam perbuatan tindak pidana pembunuhan yang
terdapat di dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1131/Pid.An/2013/PN.Jkt.Sel yang memvonis anak Fikri Pribadi, anak Bagus
Firdaus, anak Fatahillah, dan anak Arga Putra Samosir dengan masing-masing
dijatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun, 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan, dan 3 (tiga) tahun. Skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui apa saja bentuk-bentuk penyertaan dalam hukum positif maupun
hukum pidana Islam, bagaimana hukum pidana Islam mengatur penghukuman
terhadap anak, dan apa sanksi yang tepat untuk dijatuhkan bagi anak yang ikut
serta bersama orang dewasa dalam melakukan tindak pidana pembunuhan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode kepustakaan yang di mana penulis melakukan identifikasi
secara sistematis dari sumber yang berkaitan dengan objek kajian. Setelah
data diperoleh, penulis menganalisis secara yuridis-normatif data yang
diperoleh terhadap objek kajian (Putusan Nomor:
1131/Pid.An/2013/PN.Jkt.Sel). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Hukum Pidana Islam mengenal adanya penyertaan. Untuk pelaku dari
penyertaan pembunuhan, dapat dikenakan hukuman qishash. Namun jika anak
yang terlibat dalam penyertaan pembunuhan bersama orang dewasa, maka
dihapuskannya hukuman qishash tersebut karena terdapat unsur syubhat di
dalamnya. Sedangkan dalam hukum positif, anak yang belum dewasa, tetap
dikenakan hukuman. Mengenai kasus anak ini, diberlakukan asas Lex
Specialis Derogat Legi Generalis, sehingga hukuman yang tercantum dalam
Pasal 338 KUHP tidak berlaku. Hukuman yang berlaku ialah penjara di
45
bawah 10 tahun sebagaimana yang terdapat dalam UU Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Jika dalam penulisan skripsi diatas membahas tentang pembunuhan
yang dilakuan oleh anak maka berbeda dengan yang diteliti dalam skripsi
yang penulis susun diamana yang menjadi fokus kajiannya terletak pada
tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.
46
BAB III
SANKSI PIDANA BAGI ANAK PELAKU PENCURIAN DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
A. Tindak Pidana Anak
1. Pengertian Anak
Pengerian anak secara normatif terdapat dalam beberapa peraturan.
Salah satu UU yang mendefinisikan tentang anak adalah UU Nomor 11 tahun
2012 pada pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa pengertian anak adalah “Anak
yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” edangkan pengertian
anak jika melihat perkembangannya secara biologis dapat dilihat dalam fase-
fase perkembangan yang dialami seorang anak, Zakiah Daradjat menguraikan
sebagai berikut:1
a. Masa kanak-kanak terbagi dalam:
1) Masa bayi, yaitu masa seorang anak dilahirkan sampai umur dua
tahun.
a) Pada masa tersebut seorang anak masih lemah belum mampu
menolong dirinya, sehingga sangat tergantung kepada
pemeliharaan ibu atau ibu pengganti. Pada masa ini terhadap anak
terjadi beberapa peristiwa penting yang mempunyai pengaruh
kejiwaan seperti, disapih, tumbuh gigi, mulai berjalan dan
berbicara.
b) Menurut soesilowindradini, karena bayi masih membutuhkan
bantuan dan tergantung kepada orang dewasa, maka ia masih
1 Nadang sambas, Peradilan Pidan Anak Di Indonesia Dan Istrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya (Yogyakarta: Graha ilmu, 2013), h., 3.
47
mudah diatur. Hal tersebut menyebabkan orang dewasa dan anak
yang lebih besar dari padanya akan senang kepadanya.
c) Masa kanak-kanak pertama, yaitu antara usia 2-5 tahun. Pada
masa ini anak-anak sangat gesit bermain dan mencoba. Mulai
berhubungan dengan orang-orang dalam lingkungannya serta
mulai terbentuknya pemikiran tentang dirinya. Pada masa ini anak-
anak sangat suka meniru dan emosinya sangat tajam. Oleh karena
itu diperlukan suasana yang tenang dan memperlakukannya
dengan kasih sayang serta stabil.
2) Masa kanak-kanak terakhir, yaitu antara usia 5-12 tahun.
Anak pada fase ini berangsur-angsur pindah dari tahap mencari
kepada tahap memantapkan. Pada tahap ini terjadi pertumbuhan
kecerdasan yang cepat, suka bekerja, lebih suka bermain bersama,
serta berkumpul tanpa aturan sehingga bisa disebut dengan gang age.
Pada tahapan ini disebut juga masa anak sekolah dasar atau periode
intelektual.
3) Masa remaja antara usia 13-20 tahun.
Masa remaja adalah masa dimana perubahan cepat terjadi
dalam segala bidang pada tubuh dari luar dan dalam, perubahan
perasaan, kecerdasan, sikap sosial. Masa ini disebut juga sebagai masa
persiapan untuk menempuh masa dewasa. Bagi seorang anak, pada
masa tersebut merupakan masa goncangan karena banyak perubahan
yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang sering kali menyebabkan
timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dinilai sebagai
perbuatan nakal.
Sama halnya dengan apa yang dikemukakan Zakiah Daradjat,
Soesilowindradini yang membagi masa remaja kedalam masa remaja
48
awal dan masa remaja akhir. Pada masa yang pertama adalah masa
seorang anak menginjak usia 13 sampai 17 tahun. Dalam masa periode
ini status anak remaja dalam masyarakat boleh dikatakan tidak dapat
ditentukan dan membingungkan. Bahkan pada suatu waktu dia
diperlakukan sebagaimana layaknya anak-anak. Sedangkan pada masa
yang disebut terakhir adalah masa antara usia 17 sampai 21 tahun.
Pada masa ini seorang anak telah menunjukan kestabilan yang
bertambah bila dibandingkan dengan masa remaja sebelumnya.
4) Masa dewasa muda antara usia 21-25 tahun.
Pada masa dewasa muda ini pada umumnya masih dapat
dikelompokan kepada generasi muda. Walaupun dari segi
perkembangan jasmaniah dan kecerdasan telah betul-betul dewasa,
dan emosi juga sudah stabil, namun dari segi kemantapan agama dan
ideology masih dalam proses pemantapan.
Adanya fase-fase perkembangan yang dialami dalam kehidupan
seorang anak, memberikan gambaran bahwa dalam pandangan psikologi
untuk menentukan batasan terhadap seorang anak nampak adanya berbagai
macam cerita, baik didasarkan pada segi usia maupun dari perkembangan
pertumbuhan jiwa. Dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan
sebagai seorang anak adalah sejak masa bayi hingga masa kanak-kanak
terakhir, yaitu sejak dilahirkan sampai usia 12 tahun. Namun karena dikenal
adanya masa remaja, maka setelah masa kanak-kanak berakhir seorang anak
belum dapat dikategorikan sebagai orang yang sudah dewasa, melainkan baru
menginjak remaja (pubertas). Pada masa remaja ini merupakan masa
pertumbuhan baik dari segi rohani maupun jasmani. Pada masa ini umumnya
mengalami suatu bentuk krisis, berupa kehilangan keseimbangan jasmani dan
rohani. Pada masa remaja atau pubertas bisa dibagi dalam empat fase:
49
1) Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueral atau pra-pubertas.
2) masa menentang kedua, fase negative trotzelter kedua, periode
verneinung.
3) Masa puber sebenarnya, mulai kurang dari 14 tahun. Masa pubertas
wanita pada umumnya berlangsung dari awal dari pada pubertas anak laki-
laki.
4) Fase odolesensi, mulai usia kurang lebih 17 tahun sampai sekitar 19 tahun
atau 21 tahun.
2. Kenakalan Anak/ Juvenale Delinquency
a. Pengertian
Sebagaimana jika kita melihat dari segi perbuatan sesungguhnya
tidak ada perbedaan antara tindak pidana yang dilakukan anak dengan
tindak pidana yang dilakukan orang dewasa. Yang dapat membedakan di
antara keduanaya terletak pada pelakunya itu sendiri. Perbedaan tersebut
menyangkut kepada persoalan motivasi atas tindak pidana yang
dilakukannya.Karena pada umumnya tindak pidana yang dilakukan oleh
anak bukan berdasarkan kepada motif yang jahat (evil willevil mind),
maka anak yang melakukan penyimpangan dari norma-norma sosial,
terhadap mereka para ahli kemasyarakat lebih setuju untuk memberikan
pengertian sebagai “ n k n k l” atau dengan istilah “juven le
el nquenc ”. Dengan istilah tersebut terhadapnya dapat terhindar dari
golongan yang dikategorikan sebagai penjahat (criminal).2
Kejahatan itu sendiri dilihat dari konsep yuridis, berarti tingkah
laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Namun,
2Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha ilmu, 2013),h.13.
50
kejahatan juga bukan hanya suatu gejala hukum. Para ahli kriminologi
berpendapat bahwa walaupun terdapat klasifikasi kejahatan, namun
klasifikasi tersebut sesungguhnya menimbulkan ketidakadilan terhadap
mereka yang dianggap bersalah melakukan kejahatan dan melemahkan
stigma atas kejahatan serius, sehingga membawa kepada usaha-usaha
untuk menyusun klasifikasi baru tentang pelanggaran terhaap hukum
pidana. Mereka berpendapat bahwa bagi kejahatan yang dilakukan oleh
anak-anak dan remaja, dipergunakan istilah “ el nquenc ”. Istilah ini
mencerminkan perasaan keadilan masyarakat baha perlu ada perbedaan
pertimbangan bagi pelanggaran yang dilakukan anak-anak dan remaja
dibandingkan yang dilakukan oleh orang dewasa.3
Di negara- negara yang telah memilki dan menerapkan hukum
pidana secara khsusus untuk anak, penggunaan istilah khusus bagi pelaku
anak diakui sebagai dasar psikologis. Bahwa anak yang melakukan
pelanggaran bukan merupakan orang-orang jahat, melainkan anak-anak
nakal saja ( juvenole delinquency). Dasar ini merupakan hasil rset puluhan
tahun dari ilmu psikologi.4
Secara etimologis, istilah juvenile delinquency berasal dari bahasa
latin juvenils yang artinya anak-anak, anak mda, ciri karekteristik pada
masa muda, sifat-sifat khas pada periode remja; dan delinquere yang
berarti terabaikan, mengabaikan. Kemudian diperluas artinya menjadi
jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau,
penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.
Dengan demikian, juvenile delinquency adalah perilaku jahat/dursila atau
kejahatan/ kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit ( patologis)
3Ramli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, (Jakarta: Rajawali, 1992),h.31-33.
4Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),h.13.
51
secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu
bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk
tingkah laku yang menyipang.5
Thong Tjip Nio, seorang mantan hakim khusus pada pengadilan
negeri istimewa jakarta untuk perkara pidana, menyatakan bahwa, apakah
artinya “ juven le el nquenc ”kita tidak mempunyai suatu definisi yang
tetap, definisi itu tergantung dari sudut mana kita memandang problem ini.
Seorang sosiolog akan memberikan definisi yang berlainan dengan
seorang sarjana hukum, begitu juga Undang-undang di berbagai negara
mempunyai ketentuan yang berlainan, apakah yang disebut suatu juvenile
delinquen.6
Menurut Simanjuntak, suatu perbuatan itu disebut delinquen
apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma
yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup, suatu perbuatan yang anti-
sosial yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antinormatif. Dalam
uraian lain dijelaskan bahwa juvenile delinquency adalah perbuatan dan
tingkah laku perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-
pelanggaran kesusilaan yang dilakukan oleh anak berumur dibawah 21
tahun, yang termasuk dalam yuridiksi pengadilan anak.7
Menurut Paul Meodikdo, semua perbuatan dari orang dewasa
merupakan kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency, jadi semua
tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti: pencurian,
penganiayaan, dan sebagainya. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa
yang dikemukakan Bimo Walgito, bahwa juvenile delinquency adalah tiap
perbuatan yang bila dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu
5Kartini Kartono, Patologi 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali, 1984),h.7.
6Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),h.20.
7Simanjuntak, Pengantar Kriminologi Dan Sosiologi, (Bandung: Tarsito, 1977),h.295.
52
merupakan kejahatan. Jadi, perbuatan yang melawan hukum yang
dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja.8
Kusumanto Setyonegoro, berpendapat delinquent adalah tingkah
laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum
yang dianggap sebagai aksetabel dan baik oleh sesuatu lingkungan
masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang
berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak maka
sering tingkah laku yang serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku
yang sukar atau nakal (behavior problem). Jika ia berusia adolesant atau
preadolesant, maka tingkah laku itu sekarang disebut delinquent (
delinquent behavior), dan jika terang-terangan melawan hukum disebut
kriminal (criminal behavior ).9
Walaupun banyak definisi yang dikemukakan, istilah juvenile
delinquency belum terdapat keseragaman dalam bahasa Indonesia.
Beberapa istilah yang dikenal antara lain adalah kenakalan anak,
kenakalan remaja, kenakalan pemuda, delikuensi anak, dan tuna sosial.
Kesulitan untuk memberikan istilah juvenile delinquency dihadapi juga di
beberapa negara ASIA dan timur jauh. Dalam penelitian perbandingan
hukum tentang juvenile delinquency yang dibatasi terhadap tujuh negara-
negara di ASIA dan timur jauh, yaitu Burma, Ceylon, India, Jepang,
Pakistan, Philipina Dan Thailand. Dalam peraturan perundang-undangan
negara-negara tersebut tidak diberikan definisi apa yang dimaksud dengan
istilah juvenile delinquency, namun berdasarkan kebiasaan diartikan bukan
sebagai orang dewasa. Umur dari juvenile delinquency serta sifat dari
8Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),h.14.
9Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) h.,14.
53
pelanggaran yang dilakukan oleh karena berbagai pertimbangan penting
diakui sebagai definisi dari juvenile delinquency.10
Di beberapa negara Asia Timur jauh dalam mengartikan juvenile
delinquency menitikberatkan kepada aspek umur dan sifat dari perbuatan
yang dilakukannya. Dengan demikian, pengertian juvenile delinquency
terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang
tergolong kepada kelompok kepada young person.11
Pasal 1 angka 2 Undang-undang no.3 tahun 1997 tentang
pengadilan anak, memakai istilah anak nakal. Anak nakal yaitu:
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perUndang-undangan, maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Berpijak pada apa yang telah diuraikan di atas, sebagai pegangan
dalam kajian ini, istilah perilaku delikuensi anak dapat dikonsepsikan
dengan sebagai seseorang yang memiliki batas usia antara 8-18 tahun
yang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.12
Hal tersebut sejalan dengan apa yang diuraikan tentang perilaku
delinkuensi anak sebagai perwujudan criminal offences dan status
10
Ibid,h.,14.
11Ibid,h.,14.
12Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.,15.
54
offences. Criminal offences, diartikan sebagai perilaku delinkuensi anak
yang merupakan tindak pidana apabila dilakukan oleh orang dewasa.
Adapun tatus offences, adalah perilaku delinkuensi anak yang era
kaitannya dengan statusnya sebagai anak,perilaku-perilaku trsebut pada
umumnya tidak dikategorikan sebagai suatu tindak pidana bila dilakukan
oleh orang dewasa. Sebagai contoh, pergi meninggalkan rumah tanpa ijin
orang tua, membolos sekolah, melawan terhadap orang tua,
mengkonsumsi minuman beralkohol dan lain sebagainya.13
Perluasan pengertian delinkuensi, dengan memasukkan status
offences, merupakan konsekuensi dari azas parent patriae. Asas yang
berarti negara berhak mengambil alih peran orang tua apabila ternyata
orang tua, wali atau pengasuhnya tidak menjalankan perannya sebagai
orang tua.14
b. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak
Dalam hukum pidana, pengertian anak pada hakikatnya menunjuk
kepada persoalan batas usia pertanggungjawaban pidana (criminal liability
/ toerekeningvatsbaarheid). Dalam Undang-undang pengadilan anak, bats
usia pertanggungjawaban pidana ditentukan antara usia 8-18 tahun.
Adanya rentang batasan usia dalam Undang-undang pengadilan anak
tersebut, diakui sebagai suatu kemajauan bila dibandingkan dengan
pengaturan yang ada dalam KUHP yang sama sekali tidak mengatur batas
usia minimum. Apabila kita telusuri ketentuan instrumen internasional,
ditentukannya batas usa antara 8 sampai 18 tahun sudah sejalan dengan
13
Ibid,h.,15.
14Ibid,h.,15.
55
apa yang ditegaskan dalam standard minimum rule for the administration
of juvenile justice ( the beijing rules ).15
Di dalam rules 4 antara lain diyatakan, bahwa: pada sistem-sistem
hukum yang mengakui konsep usia pertanggungjawaban pidana bagi
anak-anak, awal usia itu tidak dapat ditetapkan pada tingkat usia yang
lebih rendah, mengingat kenyataan-kenyataan kedewasaan emosionl,
mental dan intelektual. Dalam penjelasannya ditegaskan, bahwa usia
minimum pertanggungjawaban pidana berbeda secara luas oleh karena
sejarah dan budaya. Pendekatan modern akan mempertimbangkan apakah
seorang anak dapat berbuat sesuai dengan komponen-komponen moral
dan psikologis dari pertanggungjawaban pidana, artinya apakah seorang
anak, berdasarkan atas kejernihan pikirannya dan pemahaman
individualnya, dapat dianggap bertanggung jawab atas perilaku yang pada
dasarnya anti sosial. jika usia pertanggung jawaban pidana ditetapkan
terlalu rendah atau jika ada batasan usia yang lebih rendah sama sekali,
pengertian tanggung jawab tidak akan memiliki arti. Pada umumnya,
terdapat suatu hubungan yang dekat antara pengertian pertanggung jawab
terhadap perilaku kriminalitas atau yang melanggar hukum pidana dengan
hak-hak serta tanggung jawab sosial, seperti status perkawinan,
kedewasaan berkewarganegaraan dan lain-lain.16
Sebagai perbandingan dapat dilihat batas usia yang diatur di
negara inggris, dimana batas usia minimum ditentukan 8 tahun, di swedia
15 tahun, sedang di australia anak yang berusia di bawah 8 tahun tidak
dapat dipertanggung jawabkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukannya. Dilain pihak, seminar amerika latin di rio de janeiro pada
tahun 1953, telah menghimbau agar di detiap negara menetapkan batas
15
Ibid,h.,16.
16Ibid,h.,16.
56
usia yang sama dalam peraturan perndang-undagan pidananya, yang tidak
boleh kurang dari 14 tahun. Dengan demikian ank di bawah 14 tahun
dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan.17
Di negara Eropa variasinya adalah 16 tahun, sedangkan di Belgia
dan Sweden mencapai usia 21 tahun. Yuridiksi di Amerika Serikat telah
menetapkan batas usia antara 16 sampai 21 tahun, tergantung kepada
negara bagian dan sebagian besar negara bagian menetapkan usia 18
tahun. Di Amerika latin 14 sampai 20 tahun. Di asia menetapkan antara
usia 15 sampai 20 tahun, dan di Jepang menetapkan 20 tahun.Hal yang
sama dapat dilihst hasil survei PBB di negara-negara Amerika Utara, di
samping ditentukan sebagaimana telah diungkapkan di atas. Dalam kasus-
kasus tertentu batas usia anak bisa mencapai usia 21 tahun. Dalam
beberapa ketentuan termasuk pemerintah federal dan negara-negara bagian
Columbia, batas usia maksimal adalah 18 tahun. Bagaimanapun di
beberapa wilayah terjadi tumpang tindih antara batas suatu tindak pidana
dan perbuatan kenakalan anak serta peradilan anak. Di beberapa negara
bagian lainnya mempergunakan batas usia 7 tahun. Lagi pula sebagian
dari negara-negara tersebut, peradilan pidana mempunyai kewenangan
yang istimewa terhadap pelaku tindak pidaa, terlebih lagi untuk
pembunuhan yang direncanakan (murder), atau terhadap kasus-kasus
besar. Di beberapa negara lainnya, untuk perkara-perkara istimewa atau
untuk beberapa kejahatan yang serupa.18
Adanya batas usia minimum 7 tahun di beberapa negara bagian,
didasarkan pada common law rule, yang menyatakan bahwa seorang anak
di bawah 7 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan melakukan
17
Ida Z fahrudin, Beberapa Catatan Mengenai Pendidikan Anak-Anak Dibandung, (Bandung:
Fakultas Hukum UNPAD,1961),h.,4.
18Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),h.,17
57
kejahatan. Sedangkan The National Advisory Commision untuk the Law
Enforcement Assistence Administration, telah merekomendasikan agar
semua negara bagian menetapkan batas usia 10 tahun.
Berdasarkan hasil survei di beberapa negara Asia dan Timur jauh,
mengungkapkan adanya bermacam-macam perbedaan dalam menentukan
batas usia pertanggungjawaban anak. Dalam Undang-undang yang berlaku
di beberapa negara timur jauh, membagi pelaku pelanggaran ke dalam
kategori pelaku pelanggaran yang disebut “child”, dan pelaku pelanggaran
yang disebut “young” person atau “child” dan “juvenile”. Di Birma,
Cylon, India, dan Pakistan, batas usia kenakalan anak ( age limits of
juvenile delinqency) antara 7 sampai 16 tahun. Namun tidak dianggap
sebagai pelaku pelanggaran bagi anak yang berusia antara 7 sampai 12
tahun. Kecuali di Bombay, ditentukan lagi batas usia untuk “anak” antara
7 sampai 14 tahun, dan “pemuda” atau “remaja” antara 14 sampai 16
tahun. Di Jepang batas usia anak antara 14 sampai 20 tahun, Philipina usia
antara 9 sampai 16 tahun dianggap anak nakal, namun anak antara usia 9
sampai 15 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan di
thailand, dianggap sebagai anak nakal terhadap anak usia 7 sampai 18
tahun, namun ditentukan batas usia anak: antara 7 sampai 14 tahun, dan
remaja antara 14 sampai 18 tahun.19
Adanya perbedaan menentukan batas usia minimal maupun usia
maksimal dalam pertanggungjawaban pidana anak, sesungguhnya bukan
sutu hal yang tidak mungkin. Sebab, penentuan kriteria tersebut
disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan latar belakang sejarah serta
kebudayaannya masing-masing negara. Sebagaimana ditegaskan dalam
rules 4 Beijing rules bahwa didalam sistem hukum yang mengenal batas
19
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) ,h.,17.
58
usia pertanggungjawaban bagi anak, permulaan batas usia
pertanggungjawaban itu janganlah ditetapkan terlalu rendah dengan
mengingat faktor kematagan emosional, mental dan intelektual anak.20
Dengan melihat berbagai ketentuan batas usia minimum baik yang
berlaku di beberapa negara maupun pedoman sebagaimana diatur dalam
instrumen Internasional; mengingat pula kondisi objektif negara Indonesia
yang tergolong sebagai negara berkembang, maka perkembangan
masyarakat pada umumnya baik di idang sosial, pilitik, maupun ekonomo,
relatif masih terbelakang. Baik secara langsung maupun tidak, hal tersebut
memberikan dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada
umumnya. Oleh karena itu, batas usia minimum 8 (delapan) tahun bagi
anak yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana dirasakan masih
terlalu rendah. Dengan demikian, penentuan batas usia yang terlalu rendah
tidak sejalan dengan hakikat memberikan perlindungan terhadap anak.
Begitu juga hak anak untuk memperoleh perlindungan terhadao
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
petumbuhan dn perkembangannya dengan wajar, tidak berjalan dengan
baik, sesuai dengan apa yang diharapkan.21
Dilihat dari aspek perkembangan psikologis, sebagaimana
diungkapkan para ahli, pada umumnya telah membedakan tahap
perkembangan antara anak dan remaja/ pemuda secara global masa
remaja/ pemuda berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. E.J. Monks
dan kawan-kawan mengungkapkan dalanm buku-buku angelsaksis, istilah
pemuda (youth), yaitu suatu masa peralihan antara masa remaja dan masa
dewasa. Dipisahkan pula antara adolesensi usia antara 12 sampai 18 tahun,
dan masa pemuda usia antara 19 sampai 24 tahun. Sedangkan zakiah
20
Ibid,h.,18.
21Ibid,h.,18.
59
daradjat, membagi rentang usia manusia sejak kandungan sampai usia
lanjut kedalam empat kelompok umur: anak-anak, remaja, dewasa, dan
usia tua. Kanak-kanak pada umumnya disepakati mulai lahir, bahkan dari
janin dalam kandungan sampai usia 12 tahun.22
Begitu juga pendapat Kartini Kartono, ia mengatakan bahwa
seseorang baru memiliki sikap yang logis dan rational kelak ketika
mencapai usia 13-14 tahun. Pada usia ini emosionalitas anak jadi samakn
berkurang, sedangkan unsur intelektual dan akal budi (ratio-pikir) jadi
semakin menonjol. Minat yang objektif terhadap dunia sekitarmenjadi
semakin besar. Namun, ia juga mengatakan bahwa pada masa ini anak
tidak lagi banyak di kuasai oleh dorongan-dorongan endogin atau impuls-
impuls intern dalam perbuatan dan pikirannya akan tetapi lebih banyak
dirangsang oleh stimulus-stimulus dari luar.23
Menyangkut perkembangan fungsi pengamatan anak, William
Stern dalam teorinya mengungkapkan empat stadium dalam perkembagan
fungsi pengamatan anak, yaitu:24
1) Stadium-keadaan 0-8 tahun. Disamping mendapatkan gambatran total
yang samar-samar, anak kini mengamati benda-benda dan beberapa
orang secara teliti.
2) Stadium-perbuatan, 8-9tahun. Anak menaruh minat besar terhadap
pekerjaan dan perbuatan orang dewasa serta tingkah laku binatang.
3) Stadium-hubyngan, 9-10 tahun dan selanjutnya. Anak mengamati
relasi/ hubungan dalam dimensi ruang dan waktu, juga hubungan
kausal dari benda-benda dan peristia.
22
Ibid,h.,18.
23Kartini Kartono, Psikologi Anak,(Bandung:1979),h.,137.
24Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),h.,19.
60
4) Stadium-perihal (sifat) anak mulai menganalisa hasil pengamatannya,
dengan mengkonstranstir ciri-ciri benda.
Oswald Kroh, dalam bukunya: “die psykologie des
grun sc ulk n es” (psikologi anak dasar sekolah), sebagaimana dikutip
oleh sebagaimana dikutip Nandang Sambas menyatakan adanya empat
periode dalam perkembangan fungsi kematangan anak, yaitu :25
1) Periode sintese-fantasi, 7-8tahun. Atinya bahwa segala hasil
pengamatan merupakan kesan totalitas, sifatnya masih samar-samar.
Selanjutya, kesan-kesan ini dilengkapi dengan fantasi anak. Asosiasi
dengan ini, anak suka sekali pada dongenk-dongenk, sage, mythe,
legende, kisah-kisah dan cerita khayal.
2) Periode realisme naif, 8-10 tahun. Anak sudah isa membedakan
bagian, tetapi belim mampu menghubung-hubungkan satu dengan
lainnya dalam hubungan totalitas. Unsur fantasi sudah banyak diganti
dengan pengamatan konkrit.
3) Periode pengaatan kritis, 10-12 tahun. Pengamatannya bersifat realistis
dan kritis. Anak sudah bisa mengadakan sintese logis, karena
pengertian, wawasan dan akalnya sudah mencapai taraf kematangan.
Anak kini bisa menghubungkan bagian-bagian jadi satu kesatuan atau
menjadi satu struktur.
4) Fase subyektif, 12- 14 tahun. Unsur emosi atau perasaan mincul
kembali, dan kuat sekali memengaruhi penilaian anak terhadap semua
pangamatannya. Masa ini dibatasi oleh gejala pubertas kedua ( masa
menentang ksedua ).
Memperhatikan usia perkembangan anak dari aspek psikologis,
tampaknya seorag anak usia di bawah 12 tahun msih berada dalam kondisi
25
Ibid,h.,19.
61
yang belum stabil. Walaupun anak sudah dapat berpikir rational, daat
melakukan penilaian terhadap sesuatu, namun pemikiran serta
pandangannya masih bersifat farsial belum totalitas. Namun, anak usia di
atas 12 tahun pun tidak berarti sudah matang secara rational maupun
emosional, karena unsur dari luar lebih bear berpengaruh terhadap kondisi
emosi atau perasaan. Oleh karena itu merekapun belum sepenuhnya dapat
mempertanggungjawabkan segala akibat dari tindakan dan perbuatan yang
dilakukannya.26
Apabila diperhatikan pasal 2 Undang-undang nomor 168 tahun
1948 tentang Undang-undang anak di Jepang, seorang dikategorikan
“anak” atau “shoonen” orang yang berumur kurang dari 20 tahun.
Sedangkan pengertian anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan
keluarga meliputi :27
a) Anak kejahatan (hanzaishoonen/juvenalie offender), yaitu anak yang
berumur sekurang-kurangnya 14 tahun dan tidak lebih dari 20 tahun
yang melakukan kejahatan.
b) Anak pelaku pelanggaran hukum ( „‟shokuho oshoonen/children
offender‟‟), yaitu anak yang beruur kurang dari 14 tahun yang
melakukan kejahatan
c) Anak pre-delinquen ( „‟guhan-shoonen/pre-delinquent juvenile ), yaitu
anak yang memiliki kecenderungan berperilaku nakal, serta dapat
dipandang akan melakukan pelamggaran hukum.
Dalam ketentuan Undang-undang anak jepang, walaupun anak di
bawah 14 tahun dapat di ajukan keperadilan keluarga, namun anak tersebut
26
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),h.,19.
27Ibid,h.,20.
62
tidak dapat dipidana. Menurut Undang-undang hukum pidana jepang, orang
yang berumur kurang dari 14 tahun dianggap belum mampu
bertanggungjawab atas perbuatannya, sehingga terhadao anak tersebut
diperlakukan secara berbeda dalam peradilan anak.Atas dasar hal itu, agar
hakikat hukum pidana anak yang bertujuan memberikan jaminanperlindungan
dapat tercapai, maka penentuan batas minimum pertanggungjawaban anak
yang saat ini berlaku harus dikaji dan ditinjau kembali sehungga ditetapkan
sekurang-kurangnya sampai usia 12 tahun. Penetapan usia minimum 12 tahun
sejalan dengan konsep hukum islam, dia tidak dikategorikan mumayiz ( anak
kecil ) namun ia pun belum dikategorikan balig walaupun sudah memiliki
tanda-tanda balig yaitu laki-laki yang sudah mimpi basah dan wanita sudah
haid. Kondisi demikin masuk kategori remaja yaitu perubahan dari akhir masa
anak-anak memasuki masa dewasa antara usia 12 tahun ampai 21 tahun.
Sejalan pula dengan rancangan sebagaiana ditegaskan pada pasal 113 konsep
KUHP. Batas usia minimum 12 tahun diharapkan bisa ditetapan sebagai
perabajan dalam konsep hukum pidana anak yang baru.28
B. Sanksi Hukum Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Hukum
Positif
1. Ketentuan Dalam KUHP
Diatas telah diuraikan tentang pengertian anak nakal. Namun, dalam
Undang-undang tidak merumuskan secara eksplisit tetag pengertian tindak
pidana atau kenakalan yag dilakukan oleh anak. Pada penjelasan atas Undang-
undang RI nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, pada paragraf 3
bagian umum menyatakan bahwa dalam menghadapi dan menanggulangi
berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nkal, perlu dipertimbangkan
kedudukan anak dengan segala ciri an ifatnya yang khas. Karena itu pula
28
Ibid,h.,20.
63
Undang-undang pengadilan anak telah mengatur secara spesifik terkait
dengan sanksi yang dapat diberikan terhadap anak yang melakukan
kenakalan.29
Sehubungan dengan sanksi yang dapat diberikan terhadap anak nakal,
UU pengadilan anak telah mengaturnya sebagaimana telah diterapkan dalam
bab III. Secara garus besar, sanksi yang dapat dijatuhkan bagi anak yang
melakukan kenakaln, terdiri dari dua yaitu: sanksi pidana dan sanksi tindakan
(pasal 22 Perumusan kedua jenis sanksi ini menunjukkan bahwa UU Nomor
3 tahun 1997 tentang pengadilan anak telah menganut apa yang disebut
dengan double track system. Dengan kata lan, UU ini telah secaraeksplisit
mengatur tentang jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan sekaligus. Menurut
muladi (2002), penggunaan sistem dua jalur (zweipurigkeit) merupakan
kosekuensi dianutnya aliran neo klasik. Pemikiran bahwa pendekatan
tradisional seolah-olah sistem indakan hanya dikenakan bagi orang yang tidak
mampu harus ditinggalkan.
Dalam pembangunan hukum pidana positif di Indonesia, memang
telah diakui keberadaan sanksi tindakan selain sanksi pidana, walaupn dalam
KUHP menganut single track system yang hanya mengatur tentang satu jenis
saja yaitu sanksi pidana (Pasal 10 KUHP). Pengancaman sanksi tindakan
dalam UU 3/1997 menunjukkan bahwa ada sarana lain selain pidana (Penal)
sebagai sarana dalam penanggulangan kejahatan.30
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga
bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi
penderitaan istimewa (bizoner leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan
akibat perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap
29
Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012, cet.2),h.,79.
30Ibid,h.,80.
64
perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana
dan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan ada
tidanya unsur penderitaan. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersift
mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi
tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan
pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarajkat dari ancaman yang dapat
merugkan kepentingan masyarakat itu. Singkatnya, sanksi pidana berorientasi
pada ide penggunaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara
sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat31
.
Perbedaan orientasi ide dasar dari dua jenis sanksi tersebut,
sebenarnya memiliki kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya,
yakni filsafat indeterminisme sebagai sumber ide sanksi pidana dan filsafat
determinisme sebagai sumber ide sanksi tindakan.32
Lebih lanjut, terkait dengan sanksi bagi anak nakal yang berupa sanksi
pidana, terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana pikok,
ada 4 (empat) macam sebagaimana yang diterapkan dalam pasal 23 ayat (2) ,
yaitu :33
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda
d. Pidana pengawasan
Sedangkan mengenai pidana tambahan berdasarkan pasal 23 ayat (2) ada dua
macam, yakni :
31
Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012, cet.2),h.,82.
32M.Sholehudin, Sistem Sanski Dalam Hukum Pidana. Ide Dasar Doble Track System Dan
Implementasinya, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003),h.,32-33.
33Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012, cet.2),h.82.
65
a. Perampasan barang-barang tertentu
b. Pembiyaan ganti rugi.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan pasal 10 KUHP, dimana memuat
pidana pokok berupa :
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
e. Pidana tutupan,
Maka khusus untuk pidana mati, undan-undang pengadilan anak tidak
menghendaki apabla anak yang telh melakuan kenakalan diancam dan dijatuhi
pidana pokok beruapa pidana mati. Sebagamana diketahui bahwa pemeriksaan
anak nakal dilatarbelakangi oleh filosofi bahwa semata-mata demi
kepentingan anak. Artinya, terhadap anak yang ntabene sebagai generasi
penerus bangsa tidak diinginkan untuk dijatuhi pidana mat, karena ank sangat
memerlkan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan yang menunjang perkembanagan fisik,mental, dam sosialnya.
Karena itu, apabila diancamkan pidana mati, maka upaya pembinaan dan
perlindungan tidak akan pernah dapa diberikan sementara usia yang akan
dijalani oleh seorag anak masih sangat panjang.34
Demikian pula sama halnya dengan ancaman pidana seumur hidup,
yag bermakna baha pelaksanaan pidana akan dilalui sepanjang hidup si anak
di lembaga pemasyarakatan. Hal tersebut tidak diinginkan uu pengadilan
anak.Sehubungan dengan hal tersebut diatas, uu pengadilan anak menegaskan
baha terhadap anak nakal yang telah melakukan tindak pidaa yang diancam
34
Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012, cet.2), h.,83.
66
dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang
dapat dijatuhkan anak palimg lama 10 (sepuluh tahun).35
Dari keempat pidana pokok yang diperuntukkan bagi anak nakal,
pidana pengawasan adalah jenis pidana yang baru. Yang dimaksud dengan
pidana pengawasan adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak yakni
pengawasan yang dilakukan oleh jaksa terhadap perilaku anak dalam
kehidupan sehari-hari di rumah anak terebut, dan pemberian bimbingan yang
dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Jadi pidana pengawasan bukan
merupakan pidana penjara ataupun kurungan yang dilaksanakan dirumah si
anak, tetapi berupa pengawasan terhadap terpidana selama waktu tertetu yang
ditetapkan putusan pengadilan.Mengenai pidna tambahan, pasal 10 KUHP
merumuskan tiga macam, yaitu berupa:
a. Pencabutan beberapa hak terentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
Apabila ketentuan tentag pidana tambahan dalam kuhap dibandingkan
dengan ketentuan dalam uu pengadilan anak, menunjukkan bahwa uu
pengadilan anak tidak menghendaki agar anak yang melakukan kenakalan
dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, selain juga
pengumuman putusan hakim.36
Berkaitan dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak
tertentu, memang sudah sepatutnya tidak diberlakukan terhadap anak. Anak
yang memang lebih dikedepankan haknya dibanding kewajiban yang ada
padanya, akan menjadi berseberangan terhadap hak-hak yang seharusnya ia
peroleh sebagai seorang anak. Sebagai contoh haknya untuk mendapat
pendidikan, apabila hak terebut dicabut, maka secara otomatis si anak sebagai
35
Ibid,h.,83.
36Ibid,h.,84.
67
generasi penerus bangsa akan menjadi bodoh, yang memang sesuatu hal yang
tidak kita kehendakibersama. Apalagi apabila dikaitkan dengan tujuan negara
yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan akhir
yaitu keejahteraanmasyarakat, tidak terkecuali anak-anak.37
Berkaitan dengan pidana tambahan berua perampasan barang-barang
tertentu, UU pengadilan anak tidak menjelaskan lebih jauh tentang hal ini.
Artinya, ketentuan yang berlaku dikembalikan pada KUHP sebagai hukum
umum. Pasal 39 KUHP merumuskan bahwa:38
1. Barang-barang kepunyaan terpidana, yang diperoleh dari kejahatan atau
dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
2. Jika dijatuhkan hukuman lantaran melakukan kejahatan tiada dengan
sengaja atau lantaran melakukan pelanggaran, dapa juga dijatuhkan
hukuman merampas itu dalam hal tertentu seperti yang ditentukan
Undang-undang
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang
diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya terbatas pada barang-barang
yang telah disita
2. Pola Pemidanaan Bagi Anak yang berhadapan dengan Hukum dalam KUHP.
Pemidanaan atau sering juga disebut dengan pemberian pidana
(strafteemeting), menurut soedarto dalam bukunya hukum dan hukum pidana
memberikan dua makna, yakni:
a. Dalam arti umum: pemberian pidana (poena) oleh pembentuk Undang-
undang adalah hal penetapan sanksi hukum pidana ( pemberian pidana in
abstracto)
37
Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012, cet.2), h.,84.
38Ibid,h.,85.
68
Batasan ini didasarkan penganutan asas legalitas yang menentukan
bahwa dalam pengenaan pidana diperlukan Undang-undang terlebih
dahulu. Petunjuk Undang-undanglah yang menetapkan peraturan tentang
pidananya, tidak hanya tentang crimen atau delictumnya ialah tentang
perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana .
b. Dalam arti khusus/konkret: menyangkut bebagai badan atau lembaga yang
mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut
(pemberian pidana in concreto)
Sebelum berlakunya UU pengadilan anak, huku materil anak yang
juga termasuk pemidanaan dirumuskan dalam pasal 45,46, dan 47 KUHP.
Dalam pasal 45 dirumuskan:Jika seseorang yang belum dewasa dituntut
karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas
tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan
kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak
dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian
kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal
489,490,492,497,503-505,514,517-519,526,536, dan 540 dan perbuatan
itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah kputusan terdahulu ang
menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu
kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu.39
Sementara dalam pasal 46 berbunyi :Jika hakim memerintahkan
supaya si tersalah itu diserahkan kepada pemeintah, maka ia: baik
ditempatkan dalam rumah pendidikan negeri, supaya disitu atau dengan
cara lain ia mendapat pendidikan dari pihak pemerintah, baik diserahkan
kepada seseorang yang ada di negara Indonesia atau kepada perserikatan
yang mempunyai hak badan hukum yang ada di negara Indonesia, atau
39
Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012, cet.2), h.,92.
69
kepada balai derma yang ada di negara Indonesia supaya disitu mendapat
pendidikan dari mereka, atau kemudian dengan cara lain dari pemerintah,
dalam kedua itu selama-lamanya sampai berumur delapan belas tahun.
Kemudian dalam pasal 47 dirumuskan: 40
a) Jika hakim menghukum si tersalah, maka maksimum hukuman utama
yang ditetapkan atas perbuatan yang patut dihukum itu dikurangi
dengan sepertiganya.
b) Jika kejahatan itu di ancam dengan hukuman mati atau hukuman
penjara seumur hidup, maka dihukum penjara selama-lamanya lima
belas tahun.
c) Hukuman tambahan yang tersebut dalam pasal 10 huruf b 1e dan 3e
tidak dijatuhkan.
Apabila ancaman hukuman yang disediakan terhadap anak
menurut KUHP dibandingkan dengan ancaman hukuman anak dalam uu
pengadilan anak, bahwa uu pengadilan anak mengancam lebih ringan.
Dalam uu pengadilan anak, pola pemidanaannya dapat dilihat sebagai
berikut :41
1) Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1
angka 2 huruf a, hakim dapat menjatuhkan pidana atau tindakan
(pasal 25 ayat (1))
2) Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1
angka 2 huruf b, hakim dapat menjatuhkan tindakan (pasal 25 ayat
(2))
3) Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1
angka 2 huruf a, ancaman pidana penjara yang apat dijatuhkan
40
Ibid,h.,92.
41Ibid,h.,93.
70
terhadapnya ½ dari ancaman pidana penjara orang dewasa (pasal 26
ayat (1)).
Dengan memerhatikan bunyi pasal 26 ayat (3) dan ayat (4), maka pasal
ini diperuntukkan bagi anak nakal yang berumur 12 ( dua belas )
tahun sampai 18 ( delapan belas ) tahun.
4) Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1
angka 2 huruf a belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
seumur hidup, maka dapat dijatuhkan tindakan penyerahan kepada
negara untuk mengikuti pendidikan,pembinaan, dan latihan kerja
(pasal 26 ayat (3))
5) Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1
angka 2 huruf abelum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan perbuatan yang tidak diancam dengan pidana mati atau
pidana seumur hidup, maka dapat dijatuhkan salah satu tindakan
berdasarkan pasal 24 (pasal 26 ayat (4))
6) Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1
angka 2 huruf a, ancaman pidana kurungan yang dapat dijatuhkan ½
dari ancaman kurungan orang dewasa (pasal 27).
7) Pidana denda yang dapat dijatuhkan bagi anak nakal maksimal ½ dari
maksimum ancaman orang dewasa (pasal 28 ayat (1), yang apabila
tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja (pasal 28
ayat (2)), dimana wajib latihan kerja tersebut dilakukan paling lama
90 hari kerja dan lama latihannya tidak lebih dari 4 jam sehari serta
tidak dilakukan pada malam hari (pasal 28 ayat (3)). Wajib latihan
kerja yang diberikan terhadap anak dimaksudkan selain sebagai
pengganti pidana denda juga sekaligus untuk mendidik anak agar
memiliki keterampilan yang bermanfaat baginya.
71
8) Terkait pidana bersyarat, dapat diberikan hakim apabila pidana
penjara yang akan dijatuhkan paling lama 1 (satu) tahun dengan
ditentukannya syarat umum dan syarat khusus, yang lamanya pidana
bersyarat tersebut paling lama 3 (tiga) tahun. Syarat umum adalah
bahwa anak nakal tidak akan melakukan kenakalan selama menjalani
masa pidana bersyarat, sementara syarat khusus adalah untuk
melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam
putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Bahwa
selama menjalani pidana bersyarat, bagi anak dilakukan pengawas
oleh jaksa dan dibimbing oleh pembimbing kemasyarakatan. (pasal
29 ayat (1) sampai (9)).
9) Terhadap anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1
angka 2 huruf a, pidana pengawasan dijatuhkan paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun, yang ditempatkan
dibawah pengawasan jaksa dan dibimbing oleh pembimbing
kemasyarakatan. (pasal 30 ayat (1) dan (2)).
10) Terhadap anak nakal yang diputus oleh hakim untuk diserahkan
kepada negara, ditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak sebagai
anak negara ( pasal 31 ayat (1)).
3. Pola pemberian hukuman bagi anak dengan metode diversi dalam UU SPPA
Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke
penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan
korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/ masyarakat, pembimbing
kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau hakim.42
42
M.Nasir Malik, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.2),h.,137.
72
Oleh karena itu tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan
hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan
alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif maka, atas
perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan diversi demi
kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi
korban.43
Pada pasal 6 UU Nomor 11 tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak,
disebutkan tujuan diversi, yakni antara lain:44
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak.
b. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan.
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan.
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan.
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan
restoratif yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah
permasalahan, bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam
hukum pidana.
Konsep Diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan
pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum melalui sistem peradilan
pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Kebijakan
formulasi hukum pidana merupakan bagian dari pelaksanaan suatu politik
hukum pidana dalam hal perumusan materi mapun pasal-pasal yaitu
mewujudkan peraturan-peraturanyang baiksesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu. Kebijakan formulasi/legislatif merupakan salah satu bagian
dari fungsionalisasi kebijakan hukum pidana dalam pencegahan dan
43
Ibid,h.,137.
44 Lihat Pasal 6 UU No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
73
penanggulangan tindak pidana. Dapat diaktakan bahwa kebijakan formulasi
menjadi akses awal yang paling strategis dalam upaya memberikan
perlindungan dan keadilan bagi korban tindak pidana.45
Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Kata “wajib
diupayakan”mengandung makna bahwa penegak hukum anak dari penyidik,
penuntut dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses
diversi bisa dilaksanakan. Hal inilah yang membuat perdebatan dalam panja
ruu sppa, bahwa bagi penegak hukum anak apabila tidak melakukan upaya
diversi haruslah diberikan sanksi. Terkait dengan sanksi pidana (pasal 96)
terjadi perdebatan, di satu pihak yang pro menginginkan agar aparat penegak
hukum harus mampu bertanggung jawab atas tindakannya apabila lalai tidak
melakukan upaya diversi, dipihak yang lain akan mengakibatkan kriminalisasi
terhadap aparat penegak hukum46
. Hakan tetapi pada proses selanjutnya
setelah penetapan UU SPPA telah dilaksanakan, pasal yang menyebutkan
tetang pemberian sanksi terhadap penegak hukum yang lalai melakukan upaya
diversi di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kembali kepada permasalahan diversi, bahwa kewajiban
mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
perkara anak di pengadilan negeri, dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan: (a) diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun; dan
(b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.Ketentuan ini menjelaskan
bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7
45
Adi Hardiyanto Wicaksono, Kebijakan Pelaksanaan Diversisebagai Perlindungan Bagi
Anak Yang Berkonflikdengan Hukum Pada Tingkat Penuntutan Di Kejaksaan Negeri Kudus,( Program
Studi Magister Ilmu Hukum Volume 11, Nomor 1, Tahun 2015 Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro),h.,14.
46 M.Nasir Malik, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.2),h.,139.
74
(tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan maka tidak wajib
diupayakan diversi, hal ini memang penting mengingat kalau ancaman
hukuman lebih dari 7 (tujuh tahun) tergolong pada tindakan pidana berat, dan
merupakan suatu pengulangan, artinya anak pernah melakukan tindak pidana
baik itu sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang
diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi
bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung
jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindak
pidana. Oleh karena itu, upaya diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib
diupayakan.47
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak
dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan
keadilan restoratif. Selain itu juga, dalam hal diperlukan, musyawarah tersebut
juga dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.
Proses diversi sendiri wajib memperhatikan:48
a) Kepentingan korban.
b) Kesejahteraan dan tanggung jawab anak.
c) Penghindaran stigma negatif.
d) Penghindaran pembalasan.
e) Keharmonisan masyarakat; dan
f) Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pada proses penegakan hukum pidana anak, maka aparat baik itu
penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus
mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian
47
Ibid,h.,141.
48Ibid,h.,141.
75
kemasyarakatan dari bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan
masyarakat.
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/ atau
keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya. Hal ini
mengindikasikan bahwa harus ada keaktifan dari korban dan keluarganya
dalam proses diversi, agar proses pemulihan keadaan dapat tercapai sesuai
dengan keadilan restoratif. Kesepakatan diversi tersebut dapat dikecualikan
untuk (a) tindak pidana berupa pelanggaran, (b) tindak pidana ringan, (c)
tindak pidana tanpa korban, dan (d) nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai
upah minimum provinsi setempat.
Bentuk-bentuk hasil kesepakatan diversi antara lain dapat berupa:
1) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
2) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
3) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
4) Pelayanan masyarakat.
Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan
diversi. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau tidak
dilaksanakan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan untuk setiap
tingkatannya. Berkaitan dengan hukum acara peradilan pidana anak akan
dibahas dalam bab tersendiri.
76
4. Ketentuan Sanksi Pidana Dan Tindakan
Pada pasal 71 UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) ini
ditentukan bahwa pidana pokok bagi anak terdiri atas:49
a. Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
1) pidana peringatan;
2) pidana dengan syarat:
a) pembinaan di luar lembaga;
b) pelayanan masyarakat; atau
c) pengawasan.
3) pelatihan kerja;
4) pembinaan dalam lembaga; dan
5) penjara.
b. Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. pemenuhan kewajiban adat.
c. Apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara
dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.
d. Pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan
martabat anak.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Selain itu juga terdapat pidana tambahan yang terdiri atas perampasan
keuntugan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materiil diancam pidana komulatif berupa penjara dan
denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Hal yang ditekankan juga
49
UU SPPA No. 11 Tahun 2012.
77
bahwa pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan
martabat anak.50
Anak dijatuhi pidana di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak
(LPKA) apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan
masyarakat. Pidana penjara terhadap anak ini hanya digunakan sebagai upaya
terakhir. Adapun pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling
lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa. Untuk pembinaan di lpka dilaksanakan sampai anak berumur 18
(delapan belas) tahun. Sementara itu, jika tindak pidana yang dilakukan anak
merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun.51
Sementara itu, untuk tindakan kepada anak meliputi:52
a) Pengembalian kepada orang tua/wali.
b) Penyerahan kepada seseorang.
c) Perawatan di rumah sakit jiwa.
d) Perawatan di LPKS.
e) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang di
adakan oleh pemerintah atau badan swasta.
f) Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g) Perbaikan akibat tindak pidana
Tindakan tersebut dapat diajukan oleh penuntut umum dalam
tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling
singkat 7 (tujuh) tahun. Dalam UU Nomo 11 tahun 2012 tentang Sistem
50
M.Nasir Malik, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.2),h.,140.
51 Ibid, h., 140.
52 UU SPPA No. 11 Tahun 2012.
78
Peradilan Pidana Anak ini ditentukan bahwa anak yang belum berusia 14
(empat belas tahun) hanya dapat dikenai tindakan.
C. Ketentuan Usia Anak Dalam Hukum Islam
Ketentun usia anak dalam hukum Islam dinamakan usia baligh, diamana
dalam usia ini anak menginjak masa dewasa ketika sudah mimpi basah. Sehingga
dengan masuknya usia baligh ini seseorang sudah dikenai dengan ketentuan dalam
hukum atau bisa disebut dengan mukallaf. Dalam menentukan usia baligh para
imam madzhab berbeda pendapat dalam mengkategorikannya, adapun perbedaan
tersebut disebutkan sebagai berikut:
1. Madzhab Hanafi
Menurut madzhab ini seorang lakil-laki belum dianggap baligh jika belum
mencapai umum 18 tahun. Adapun anak perempuan mengalami
perkembangan dan kesadaran yang lebih cepat, oleh karena itu usia
kedewasaan berawal pada usia 17 tahun.
2. Madzhab yafi‟i dan Hambali
Pada madzhab ini berpendapat bahwa laki-laki yang sudah mengeluarkan air
mani dan perempuan yang sudah mengalami manstruasi sebelum umur 15
tahun dalam hitungan hijriyah setelah kelahiran. Maka ia sudah dapat
dikatakan sudah baligh. Maka juga berhujjah dengan apa yang diriwayatkan
dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan kepada Nabi Muhammad pada hari
perang Uhud sedang waktu itu ia sedang berusia 14 tahun. Kemudian Nabi
tidak memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun dirinya
mengajukan kembali pada hari perang Khandak yang ketika itu ia berusia 15
tahun dan ia diperkenankan untuk ikut perang Khandak.53
3. Jumhur ulama fiqh
53
Muhamad Ali Al-Sabuni, R w ‟ul B n T s r F Al-Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur‟ n,
ditejemahkan oleh Saleh Mahfudz, Tafsir Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Quran, (Bandung: Al-Ma‟arif,
1994), h., 369.
79
Usia baligh dapat ditentukan berdasarkan kelaziman. Kebiasaan yang terjadi
adalah setelah terjadinya ihtilam (keluarnya air mani) dan sering terjadi pada
usia 15 tahun. Dengan demikian, pada umur 15 tahun itulah ditentukan usia
baligh yang menjadi usia taklif yang menjadi usia taklif (usia pembebanan
hukum)54
Dalam hukum Islam terdapat ketentuan bahwa anak dipandang cakap untuk
melakukan tindakan atau mengangani urusan (ahliyah). Secara etimologis ahliyah
adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari‟ untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tututan syara. Yakni kecakapam
seseorang karena kesempurnan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat
dinilai oleh syara‟. Dalam ketentuan ahliyah, dibedakan menjadi 2 jenis:55
1. A l ‟
Ahli ‟ adaah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah
dianggap sempurna untuk mempetanggungjawabkan seluruh perbuatanya,
baik yang positif maupun yang negatif. Bila ia melakukan perintah syara‟
maka ia berpahala dan apabila ia melakukan tindakan yang dilarang, maka ia
berdosa. Para ulama u sul q menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam
menentukan seseorang telah memiliki l ‟ adalah ketia ia ber akal,
baligh dan cerdas.
2. Ahliyah wujub
Ahliyah wujub yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang
menjadi haknya tetapi ia belum mempu untuk dibebani seluruh kewajiban.
Misalnya anak yang bisa menerima hibah, atau misalkan tentang ganti rugi, ia
bisa menerima hak gantirugi tersebut. Ahliyah wujub dibagi menjadi 2 yaitu
54
Imam Muttaqin, “Batas Usia Anak Dalam Pertanggung Jawaban Pidana Menurut Hukum
P n Pos t D n ukum P n Isl m”, h., 19, artikel diakses pada 6 agustus 2019 dari
http:/ejurnal.inzah.ac.id.
55 Agustiono, “Kecakap n ukum (A l ) D l m Isl m”, arikel diakses pada 6 Agustus
2019 dari http://irham-anas.blogsot.com
80
a. Ahliyah al-wujub al-naqishah, yaitu anak yang masih berada dalam
kandungan ibunya. Janin yang sudah dianggap memiliki ahliyah wujub
tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus diterima, belum menjadi
haknya, sebelum ia lahir.
b. Ahliyah al-wujub al-kamilah, yaitu kecakapan menerima hak bagi
seseorang anak yang telah lahir kedunia sampai baligh dan berakal.
eseorang ahliyah wujub tidak dituntut tuntutan syara‟. Baik yang bersifat
ibadah mahdhah ataupun tindakan muamalah.
D. Sanksi Bagi Anak Yang Melakukan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam
Dalam hukum Pidana Islam hukuman bagi pencuri adalah dengan
dipotong tanganya, akan tetapi dalam menentukan hukuman tersebut harus
melihat syarat untuk diterapkanya hukuman tersebut. Dalam hal ini dijelaskan
dalam bukun fiqh jinayah karangan Nurul Irfan, yang mengutip keterangan dari
halih a‟id Al-haidan, dalam bukunya Hal Al-Muttaham fi Majlis Al-Qada
mengemukakan lima syarat untuk dapat diberlakukanya hukuman ini, yaitu:56
a) Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya sedang tidur, anak
kecil, orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut.
b) Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat mendesak oleh kebutuhan
hidup.
c) Tidak ada hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak
mencuri harta orang tua atau sebaliknya.
d) Tidak ada unsur subhat dalam kepemilikan harta tersebut.
e) Pencurian tersebut tidak dalam keadaan peperangan dijalan Allah SWT.
56
M. Nurul Irfan, Masyrofah, fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2015) h., 114.
81
Dari syarat diatas terdapat ketentuan bahwa pelaku pencurian tidak dapat
dikenakan hukuman potongtangan sebagaimana ketentuan pada syarat pertama
jika ia belum memasuki usia dewasa dan berakal. Maka dapat kita simpulkan
bahwa anak yanng melakukan tindak pencurian tidak akan dikanakan hukuman
potong tangan. Akan tetapi dalam beberapa literatur mengatakan anak yang
melakukan tindakan pencurian ia dapat dikembalikan kepada orang tuanya atau
jika orang tua pelaku tidak mampu untuk membina, maka hakim atas nama negara
dapat mengenakan hukuman ta‟zir dengan memberikan peminaan pelaku dalam
ruang dan waktu tertentu.
Alasan tersebut juga diperkuat dengan pengertian jarimah dalam kamus
Al-mausuah Al-arabyyah Al-muyassarah, sebagai mana dikutip oleh Nurul
Irfan dalam bukunya yang berjudul hukum pidana Islam. Dalam kamus
tersebut mendefisniskan jarimah lebih detail yang didalamnya terdapat unsur
subjektif yaitu tentang pelaku dan proses eksekusi pidana yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah. Secara lengkap dijelaskan sebagai berikut:57
خشق اسع ان اا ع ب ة: اعةجش ح اإلج اعذ نهم ح ج ان ف عات
ش جع ثة بأ فانحذ ة نكانجش انجائ(؛ انما ظش )ا نهما ق خش ا
عالم بانغ ص شخ س ا شع جكب ش آ لبذ ة انما احة ي جا ا م انفع
ية لعانحك ج جكب بةعهيش انعم
Artinya: “Jarimah dalam arti yang luas adalah pelanggaran dari prinsip-prinsip
kemasyarakatan. Dalam masyarakat moderen jarimah dipahami sebagai
pelanggaran terhadap undang-undang (lihat undang-undang pidana). Agar
secara yuridis suatu tidakan dapat dipandang sebagai pidana, tidakan itu harus
dilakukan oleh orang yang mampu mempertanggung jawabkanya, yaitu orang
dewasa yang berakal sehat. Sanksi pidana yanga akan dikenakan kepada
57
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016) h., 11.
82
pelaku harus diselenggarakan oleh pemerintah atau melalui perundang-
undangan.”
Dari rumusan tersebut kita dapat mengambil intisari bahwa dalam
tindak pidana Islam mensyaratkan bahwa pelaku tindak pidana adalah orang
dewasa yang berakal. Itu artinya anak kecil tidak termasuk golongan dari subjek
yang dapat dikenakan hukuman pidana. Dalam keterangan lain menyebutkan
bahwa, hukum tidak dapat dikenakan kepada orang gila hingga ia sembuh,
orang tidur hingga ia bangun dan anak kecil hingga ia dewasa. Maka jelaslah
bahwa dalam hukum Islam tidak memposisikan anak-anak sebagai objek
hukum. Walaupun seorang hakim diperbolehkan memberikan tidakan tertentu
untuk mendidik anak yang telah melakukan tindakan pidana.
Hadist yang membahas tentang ketentuan bagi anak yang berhadapan
dalam hukum adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dalam hadist
ini dijelaskan bahwa ada 3 golongan yang tidak dikenakan beban hukum. Salah
satu golongan yang disebutkan adalah anak. Dimana ketentuan tersebut
mengatakan bahwa anak tidak masuk dalam orang yang dibebankan hukum
sehingga ia baligh.
ان اع هللاع عاءشةسض ع سهىلال:سفعانمهىع هللاعه بصه
حح انصب مظع ح اناءوححس ممىهحح ثلثةع ححع ج ان ع
58)ساأبداد(
Artinya: “dari „Aisyah ra. Dari n s ll ll u „ l w s l m, bersabda,
“telah diangkat pena dari tiga (golongan): (pertama) dari orang yang tidur
hingga ia terbangun (kedua) dari anak kecil sampai ihtilam (mimpi basah) dan
(yang ketiga) dari orang yang gila sampai berakal sehat.” (H.R Abu Dawud)
58
Abu Dawud Al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, juz. 4, h., 363, no. Hadits: 4398.
83
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA TINDAK PIDANA OLEH
ANAK DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS
PERKARA NOMOR : 1410 K /PID.SUS/ 2013
A. Faktor-Faktor Anak Melakukan Tindak Pidana
Faktor yang mengakibatkan seorang anak memlakukan kenakalan adalah,
faktor lingkungan, faktor ekonomi/sosial dan faktor psikiologis.1 Sedangkan
menurut Romli Atmasasmita, bentuk motivasi itu ada dua macam, yaitu: motivasi
intrinsik dan ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah dorongan
atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai dengan perangsang
dari luar; sedangkan motivasi ekstrinsi adalah dorongan yang terdiri dari luar.
Motivasi intrinsik dan ekstrinsik kenakalan anak, terdiri dari:2
1. Yang dimaksud motivasi intrisik dari kenakalan anak adalah:
a. Faktor intelegensia
b. Faktor usia
c. Faktor kelamin
d. Faktor kedudukan dalam kerluarga
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik dan kenakalan anak adalah
a. Faktor rumah tangga
b. Faktor pendidikan dan sekolah
c. Faktor pergulan anak
d. Faktor mass media
1 M.Nasir Malik, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.2), h., 34.
2 Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012, cet.2), h., 35-44.
84
Penjelasan tehadap pembagian tersebut adalah sebagai berikut:
1) Motivasi intrinsik kenakalan anak
a) Faktor intelegensia
Intelegensia adalah kecerdasan seseorang. Menurut Wund dan
Eisler adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi
keputusan.
Anak-anak dilenkuen itu pada dasarnya mempunyai tingkat
itelegensia verbal yang leih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian
hasil-hasil skolastik (pretasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang
rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali
terseret oleh ajakan buruk untuk melakuakan perilaku jahat.
b) Faktor usia
Stephen Hurwitz mengungkapkan “ege ktor n t e c us t on o
cr me” (usia adalah faktor yang penting dalam sebua musabab timbulnya
kejahatan). Apabila pendapat tersebut diikuti,, maka usia adalah faktor
yang penting dalam hubungannya dengan sebab-sebab timbulnya
kejahatan, tidak terkecuali kenakalan yang dulakukan oleh seorang anak.
c) Faktor kelamin
Paul W. Tappan mengungkapkan pandangannya behawa
kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun anak
perempuan, sekalipun dalam praktiknya jumlah anak laki-laki yang
melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari anak perempuan pada batas
usia tertentu. Adanya perbedaan jenis kelamin menimbulkan pula adanya
85
perbedaan, tidak hanya dari segi kuantitasnya akan tetapi juga pada segi
kualitasnya. 3
d) Faktor kedudukan anak dalam keluarga
Yang dimaksud dengan kedudukan anak dalam keluarga
adalah kedudukan seseorang anak dalam keluarga menurut urutan
kelahiranya misalnya anak perempuan pertama kedua dan ketiga.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Noach di Indonesia ia
mengemukakan bahwa terhadap dilenquency dan kriminalitas di
Indonesia dimana kesimpulanya adalah bahwa di Indonesia pelaku
dilenquency dan kriminalistas banyak dilakukan oleh anak pertama
atau anak tunggal atau oleh anak perempuan atau dia satu-satunya
diantara saudara-saudaranya (kakak atau adik-adiknya).
2) Motivasi ekstrinsik kenakalan anak
Dalam hal ini meliputi:
a) Faktor keluarga
Adapun faktor keuara yang menjadikan sebab terjainya kenakalan
dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan
jumlah keluarga yang kurang menguntungkan
Menurut Ny. Molenyatno, broken home seperti yang telah menjadi hal
umum menjadikan anak sebagian besar melakukan kenakalan terutama
karena perceraian atau perpisahan orang tua yang sangat memperngaruhi
perkembangan si anak. dalam broken home pada prinsipnya paa keluarga
yang struktur keluarganya tidak utuh atau tidak lengkap dikarenakan
adanya hal-hal:
3 Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012, cet.2), h., 39.
86
1) Salah satu dari kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia.
2) Perceraian orang tua.
3) Salah satu dari orang tua atau keduanya tidak hadir secara kontinu dan
tenggang waktu yang cukup lama.
b) Faktor sekolah
Sekolah adalah media untuk mendidik seorang anak dalam hal tumbuh
kembang kejiwaan anak. Dengan kata lain maka sekolah ikut bertanggun
jawab terhadap pendidikan anak. baik pendidikan secara keilmuan
maupun pendidikan secara periaku (carachter). Banyaknya atau
bertambahnya kenakalan yang diakukan oleh anak menunjukan adanya
kekurang berhasilan sistem belajar yang ada disekolah.
c) Faktor pergaulan
Dalam hal ini, sangat tepat teori yang dikemukakan oleh E.
utherland dengan nama “association Differencial” yang mengatakan
bahwa anak-anak menjadi dilinquen karena partisipasinya ditengah-
tengan suatu linkungan sosial, yang ide dan teknik dilenquen dijadikan
sebagai sarana yang efisien untuk menatasi kesulitan kehidupanya.
d) Pengaruh mass media
Sebenarnya, apabila memperhatikan teori kebijakan kriminal yang
dilakukan oleh March Ancel, masa media adalah sebagai salah satu
sarana yang digunakan untuk melakukan pencegahan kejahatan. Namun
alam kaitan perilaku dilenquen mass media justru berpengruh terhadap
timbulnya suatu kenakalan. Hal ini dapat dipahami bahwa pengaruh mess
madia berpengaruh pula terhaap perilaku anak. keinginan atau motivasi
anak dalam berperilaku kadang terjadi karena dorongan apa yang ia lihat
dan ia tonton. Berupa bacaan atau gambar dan atau filem.4
4 Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012, cet.2), h.,44.
87
e) Faktor Agama
Faktor yang melatar belakangi seseorang melakukan tindak kejahatan
adalah kurangnya seseorang dalam memahami ajaran agama yang ia anut
dan pengamalan terhadap ajaran agama tersebut. Agama dipandang
sebagai bentuk penjagan seseorang terhadap perilaku tercela. Sehingga
apabila sesorang telah mengerti dan menjalankan agamanya
kemungkinan seseorang melakukan kejahatan akan semakin sedikit.
Sebaliknya jika pemahaman serta pengamalan terhadap ajaran yang ia
anut tidak berjalan dengan baik, maka seseorang akan mudah
terpengaruh melakukan kejahatan.
B. Kronologi Kasus
Dalam kasus yang terdapat pada putusan No P U T U S A N Nomor : 1410
K /Pid.Sus/ 2013 menjelaskan identitas Terdakwa sebagai berikut:
Nama :MUHAMMAD CHAIDIR
Tempat Lahir :Tebing Tinggi
Umur / Tanggal Lahir :17 tahun / 10 Oktober 1994
Jenis Kelamin :Laki- laki
Kebangsaan :Indonesia
Tempat Tinggal :Jalan Ir. H. Juanda Lingkungan III,
Kelurahan Tanjung Marulak, Kecamatan
Rambutan, Kota Tebing Tinggi
Agama :Islam
Pekerjaan :Pelajar
Terdakwa berada diluar tahanan dan pernah ditahan oleh:
1. Penyidik sejak tanggal 26 April 2012 sampai dengan tanggal 15 Mei 2012
88
2. Perpanjangan Penuntut Umum sejak tanggal 16 Mei 2012 sampai dengan
tanggal 25 Mei 2012.
3. Penuntut Umum sejak tanggal 23 Mei 2012 sampai dengan tanggal 27 Mei
2012.
4. Hakim Pengadilan Negeri sejak tanggal 28 Mei 2012 sampai dengan tanggal
11 Juni 2012.
5. Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 12 Juni 2012 sampai
dengan tanggal 11 Juli 2012.
Yang diajukan di muka persidangan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
karena di dakwa: Bahwa ia Terdakwa Muhammad Chaidir secara bersama-sama
semufakat dengan Sugianto alias Dedek, Wagino alias Adi yang berkas
perkaranya dituntut secara terpisah, serta bernama Surya Kusuma yang belum
tertangkap hingga saat ini (DPO), pada hari Rabu tanggal 25 April 2012 sekitar
pukul 02.00 WIB. yaitu waktu antara matahari terbenam dan terbit, atau setidak-
tidaknya pada waktu lain dalam bulan April 2012, bertempat di Areal
Perkebunan Karet PTPN-III Kebun Rambutan Afdeling V TM 1990 Blok 54
Desa Pertapaan, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai, atau
setidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk di dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli untuk memeriksa dan mengadili-nya,
dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum telah mengambil sesuatu
barang berupa getah compo (getah lom) sebanyak 30 (tigapuluh) kilogram yang
ditaksir seharga Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) atau setidak-
tidaknya lebih dari Rp250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) kepunyaan PTPN-III
Kebun Rambutan atau orang lain selain dari pada dia Terdakwa dan temannya,
dilakukan oleh dua orang atau lebih, dengan cara sebagai berikut: Mula-mula
Terdakwa dan saksi Sugianto alias Dedek, saksi Wagino alias Adi serta Surya
Kusuma terlebih dahulu merencanakan pencurian getah milik PTPN-III Kebun
Rambutan tersebut di rumah saksi Sugianto alias Dedek di Berohol, setelah
89
perencanaan matang dengan menaiki 2 (dua) unit sepeda motor merk Scorpio dan
Honda Supra Terdakwa dan saksi Sugianto alias Dedek, saksi Wagino alias Adi
serta Surya Kusuma berangkat dari Brohol berboncengan dengan membawa 2
(dua) buah ember hitam menuju Afdeling V TM 1990 Blok 54 Desa Pertapaan,
Kecamatan Tebing Tinggi, setibanya pada areal perkebunan karet lalu mengganti
pakaian masing-masing dengan pakaian kotor untuk kemudian bersama-sama
mengambil getah dari tempat penampungannya dari tiap-tiap pohon karet dan
dimasukkan ke dalam ember, setelah ember penuh lalu getah copo/getah lom
tersebut dimasukkan lagi ke dalam goni/karung hingga getah terkumpul sebanyak
1 (satu) karung seberat 30 (tiga puluh) kilogram, namun pada saat Terdakwa dan
saksi Sugianto alias Dedek, saksi Wagino alias Adi serta Surya Kusuma hendak
pulang dapat ditangkap petugas Satpam Kebun, sedangkan Surya Kusuma dapat
melarikan diri, selanjutnya Terdakwa dan saksi Sugianto alias Dedek, saksi
Wagino alias Adi berikut barang bukti diserahkan ke Polres Tebing Tinggi.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam hukuman dalam Pasal 363
Ayat (1) ke-4e KUHPidana Juncto Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak Mahkamah Agung tersebu. Membaca tuntutan pidana
Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sei Rampah tanggal 25 Juni 2012
sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa Muhammad Chaidir dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana “PENCURIAN DALAM KEADAAN MEMBERAT-KAN”
yang diatur dan diancam dalam pidana Pasal 363 Ayat 1 ke-4 KUH Pidana
Juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak yang telah dirubah dalam UU Nomor 11 Tahun 2012, dalam
dakwaan tunggal.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Muhammad Chaidir dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun, dikurangi selama berada dalam tahanan
sementara.
90
3. Menetapkan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) karung plastik getah dengan berat 30 (tiga puluh) kilogram, 2 (dua)
buah ember warna hitam, 1 (satu) unit sepeda motor Scorpio dan 1 (satu)
unit sepeda motor Honda Supra, dipergunakan dalam berkas perkara
Sugianto alias Dedek, dan kawan-kawan.
4. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp1.000,00
(seribu rupiah).
Membaca putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor: 403/Pid.B/
2012/PN.Ttd., tanggal 25 Juni 2012 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
a) Menyatakan Terdakwa: Muhammad Chaidir, telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dalam keadaan
memberatkan.”
b) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara
selama: 2 (dua) bulan.
c) Memerintahkan Terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan. Menetapkan
barang bukti berupa:
1) 1 (satu) karung plastik getah dengan berat 30 (tiga puluh) kilogram, 2 (dua)
buah ember warna hitam, 1 (satu) unit sepeda motor Scorpio dan 1 (satu)
unit sepeda motor Honda Supra, dipergunakan dalam berkas perkara
Sugianto alias Dedek, dan kawan-kawan.
d) Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp1.000,- (seribu
rupiah).
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 435/PID/2012/
PT.MDN., tanggal 14 Agustus 2012 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
1) Menerima permohonan banding dari Jaksa/Penuntut Umum.
2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, tanggal 25 Juni
2012 Nomor: 403/Pid.B/2012/PN.Ttd, yang dimintakan banding
91
3) Membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan kepada Terdakwa
dalam tingkat banding sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah),
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor: 19/Akta.Pid/
2012/PN.Ttd., yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Tebing
Tinggi yang menerangkan, bahwa pada tanggal 24 September 2012
Jaksa/Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan
Pengadilan Tinggi tersebut. Memperhatikan memori kasasi tanggal 26
September 2012 dari Jaksa/ Penuntut Umum sebagai Pemohon Kasasi yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi pada hari itu juga.
Membaca surat-surat yang bersangkutan
Pertimbangan Hakim, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah
diberitahu-kan kepada Jaksa/Penuntut Umum pada tanggal 10 September 2012
dan Jaksa/Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 24
September 2012 serta memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Tebing Tinggi pada tanggal 26 September 2012 dengan
demikian permohonan kasasi beserta dengan alasanalasannya telah diajukan
dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut Undang-undang, oleh karena itu
permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima. Menimbang, bahwa alasan-
alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Jaksa/ Penuntut Umum pada
pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa pada hakikatnya, putusan pemidanaan (veroordeling) merupakan
putusan Hakim yang berisikan suatu perintah kepada Terdakwa untuk
menjalani hukuman atas perbuatannya sesuai dengan amar putusan.
2. Bahwa walaupun pembentuk Undang-undang memberikan kebebasan
menentukan batas maksimal dan minimal lama pidana yang harus dijalani
Terdakwa, hal ini bukan berarti Hakim dapat dengan seenaknya menjatuhkan
pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Penjatuhan pidana harus
cukup dipertimbangkan dengan putusan Hakim yang kurang pertimbangan
(onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.
92
3. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak mencantumkan tuntutan
pidana dalam putusannya dan tidak memenuhi Pasal 197 Ayat (1) huruf d, e, f
KUHAP, apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan tuntutan
pidana berdasarkan ketentuan Pasal 197 Ayat (2) KUHAP dan sesuai dengan
putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 885 K/Pid/1985 tanggal 23 Juni1987,
adalah batal demi hukum.
4. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak menguraikan pertimbangan
mengenai unsur-unsur (bestandellen) pasal yang didakwakan oleh Jaksa/
Penuntut Umum dan putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak menguraikan
keadaan yang memberatkan maupun yang meringankan Terdakwa.
5. Bahwa Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli dan Pengadilan Tinggi Medan
dalam putusannya tidak mengindahkan SEMA terhadap rumusan/kualifikasi
dari tindak pidana karena dalam menjatuhkan pidana tidak sesuai dengan
perbuatan pidana yang dilakukan Terdakwa.
6. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 885 K/Pid/1985
tanggal 23 Juni 1987, pada dasarnya putusan Judex Facti batal demi hukum
sebab tidak memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 197 Ayat (1)
huruf e KUHAP, yaitu dalam putusannya tidak memuat tuntutan pidana.
Pertimbangan Hakim, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah
Agung berpendapat, Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum tidak
dapat dibenar-kan, karena Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum,
Judex Facti telah mengadili sesuai hukum Acara Pidana serta tidak melampaui
wewenang-nya. Bahwa dakwaan Penuntut Umum diajukan berupa dakwaan
tunggal dan antara ,Judex Facti dan Penuntut Umum sama sependapat terbukti
dakwaan Penuntut Umum melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP Juncto
Undang-undang Nomor: 3 Tahun 1997, hanya Penuntut Umum menuntut 1 (satu)
tahun penjara, sedangkan Judex Facti telah memutus pidana penjara selama 2
(dua) bulan. Bahwa karena Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
93
pencurian dengan pemberatan, Judex Facti telah mempertimbangkan dalam
putusannya segala sesuatu yang memberatkan serta yang meringankan pada diri
Terdakwa sesuai dengan Pasal 197 Ayat (1) KUHAP. Bahwa berat ringannya
pidana adalah kewenangan Judex Facti yang tidak tunduk pada pemeriksaan
kasasi.
Pertimbangan Hakim, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim Agung
terdapat pendapat yang berbeda (dissenting opinion) yang diajukan oleh Ketua
Majelis Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum. sebagai berikut: Bahwa alasan-alasan
Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, Judex Facti salah menerapkan
hukum dalam hal menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian dalam keadaan
memberatkan”, melanggar Pasal 363 Ayat (1) KUHPidana. Hanya saja tidak
sependapat dengan hukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan terhadap
Terdakwa, karena menurut Ketua Majelis Hakim Agung Prof. Dr. Surya Jaya,
S.H., M.Hum. hukuman yang dijatuhkan terlalu berat dengan alasan:
a) Bahwa berdasarkan fakta hukum persidangan Terdakwa dipersalahkan
melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan yang memberatkan karena
Terdakwa bersama-sama dengan Terdakwa lainnya, bermaksud memiliki
secara melawan hak atau melawan hukum suatu barang milik orang. Adapun
barang yang diambil Terdakwa secara ekonomis mempunyai nilai sebesar
Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) atau lebih dari Rp250,00
(dua ratus lima puluh rupiah).
b) Bahwa PERMA No.02 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak
pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHPidana, telah menegaskan dalam
Pasal 2, pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pencurian,
penipuan, penggelapan dan penadahan termasuk dalam kualifikasi tindak
94
pidana ringan apabila obyek perkaranya mempunyai nilai barang atau uang
bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
c) Bahwa apabila fakta hukum tersebut dihubungkan dengan PERMA No.02
Tahun 2012 tersebut, maka perbuatan Terdakwa a quo termasuk tindak pidana
dengan kualifikasi ringan (vide Pasal 364 KUHPidana), karena nilai ekonomis
barang dalam perkara a quo di bawah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu rupiah). Hanya saja ketentuan Pasal 364 KUHPidana tidak dapat
diterapkan dalam perkara a quo, berhubung karena Terdakwa dalam
mewujudkan perbuatannya tidak dilakukan seorang diri, melainkan dilakukan
secara bersama-sama dengan rekan yaitu sdr. Sugianto, sdr. Wagino dan
Surya Kusuma. Hal ini menyebabkan tindak pidana yang dilakukan termasuk
dalam kualifikasi tindak pidana dengan pemberatan (vide Pasal 363 Ayat (1)
KUHPidana).
d) Bahwa tindak pidana dalam keadaan memberatkan sebagaimana dimaksud
tidak harus dipahami sebagai tindak pidana yang mempunyai dampak sangat
berbahaya dan sistemik sehingga membawa akibat yang sangat serius bagi
masyarakat, bangsa dan Negara. Keadaan pemberatan dimaksud hanya karena
dilakukan secara bersama-sama. Sedangkan dari sisi obyek perkara dengan
nilai barang sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupah), maka
dapat menjadi salah satu alasan utama untuk meringankan hukuman
Terdakwa.
e) Bahwa selain itu, alasan pertimbangan yang tidak kalah pentingnya adalah
usia Terdakwa yang masih terbilang sangat muda yaitu umur 17 tahun, apabila
Terdakwa masih aktif sebagai pelajar kelas III SMK Diponegoro Tebing
Tinggi. Sehingga apabila Terdakwa dihukum penjara tentu akan
membahayakan sikap, mental dan kepribadian Terdakwa kelak, tentu pula
akan mempengaruhi kelangsungan pendidikan sehingga berakibat pada masa
depan Terdakwa.
95
f) Bahwa oleh karena itu, dengan alasan pertimbangan tersebut di atas, adalah
adil dan bijaksana apabila Terdakwa dijatuhi pidana penjara dengan masa
percobaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997.
g) Bahwa adapun syarat umum yang harus dipenuhi Terdakwa selama dalam
masa percobaan Terdakwa tidak boleh melakukan atau mengulangi tindak
pidana apapun. Sedangkan syarat khusus yang harus dipatuhi Terdakwa yaitu
mengikuti pendidikan dan pembinaan mental spiritual yang terdekat dengan
rumah/tempat tinggal Terdakwa.
Pertimbangan Hakim, bahwa oleh karena terdapat perbedaan pendapat
dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tetap tidak tercapai mufakat,
maka sesuai Pasal 182 Ayat (6) Huruf a KUHAP Majelis mengambil putusan
dengan suara terbanyak yaitu menolak permohonan kasasi Terdakwa
sebagaimana telah dipertimbangkan di atas.
Pertimbangan Hakim, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula
ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau Undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak.
Pertimbangan Hakim, bahwa oleh karena Para Pemohon Kasasi/Para
Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini. Memperhatikan Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP Juncto
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang
KUHAP dan Undang-undang Nomor : 48 Tahun 2009 tentang perubahan kedua
Undang-undang No.2 Tahun 1986 tentang peradilan Umum, Undang-undang
No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah di ubah dan ditambah dengan Undang-
undang No.5 Tahun 2004 serta perubahan kedua dengan Undang-undang No.3
Tahun 2009 dan peraturan per Undang-undangan lain yang bersangkutan.
96
C. Amar Putusan
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Jaksa/Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Sei Rampah tersebut. Membebankan kepada Terdakwa
untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua
ribu lima ratus rupiah).
D. Analisis Penulis Tehadap Putusan Majelis Hakim
Melihat kronolgis dari kasus tindak pidana pencurian tersebut penulis
tidak sependapat dengan keputusan majelis hakim pada tingkat Pertama dan
tingkat banding yang tetap menghukumi pelaku dengan hukuman 2 bulan penjara.
Walaupun hukuman yang diberikan oleh hakim dibawah tuntutan yang dilakukan
oleh jaksa penuntut umum. Yang menuntut pelaku dengan hukuman 1 tahun
penjara.
Pertimbangan hakim yang melihat bahwa pelaku adalah anak dibawah
umur dan kemudian pertimbangan hakim dengan melihat PERMA No. 2 Tahun
2012 tentang batas minimal nilai kerugian dalam KUHP seharusnya dapat
menjadi landasan bagi majelis hakim untuk membebaskan pelaku dari hukuman
pemenjaraan. Hakim seharusnya mempunyai inisatif hukuman sendiri tidak
hannya hukuman pemenjaraan. Sanksi-sanksi pidana yang efektif untuk
menjerakan pelaku tentu tidak semuanya dengan pemenjaraan. Pemberian sanksi
berupa pembinaan atau tahanan rumah menurut penulis akan lebih baik
diterapkan. Penulis tidak menemukan korelasi antara pertimbangan hakim yang
mempertimbangkan usisa dan status pelajar yang miliki terdakwa akantetapi
hakim tetap memberikan hukuman 2 bulan penjara.
Mengenai pasal pemberatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum
yang dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim diamana dalam melakukan
tidakan tersebut terdakwa melakukan nya secara bersama-sama. Hal ini yang
kemudian dianggap sebagai hal yang membahayakan.
97
Dari putusan yang dilakuan oleh majelis kasasi kiranya sudah
mempertimbangkan hal-hal yang sangat penting. Seperti pesan Pema No 2 tahun
2012 dan kemudian mempertimbangkan bahwa anak masih bersetatus sebagai
murid sekolah menengah atas. Sehingga majelis menolak permohonan kasasi
yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Akan tetap penulis tidak sepakat
dengan dibiarkanya putusan pada pengadilan tinggi yang telah memutus dan
mengadili perkara tersebut dengan pidana penjara selama 2 bulan.
Justru menurut penulis pertimbangan penolakan kasasi yang dilakukan
oleh majelis kasasi ini bisa menjadi pertimbangan hakim untuk melepaskan
terdakwa dari sanksi pemenjaraan. Dimana ada kemungkinan bahwa terdakwa
melakukan hal tersebut adalah karena salah pergaulan. Artinya ia melakukan tidak
pencurian bukan murni dengan kehendaknya. Akan tetapi ada pengaruh/ hasutan
dari pihak lain, yaitu teman dalam pergaulanya tersebut. jika diketahui bahwa
teman terdakwa sudah dewasa maka penulis melihat bahwa yang seharusnya
dipidana adalah teman-temannya yang telah dewasa. Penulis menilai bahawa
terdakwa sebenarnya adalah korban dari pergaulan yang harus kita arahkan
dengan baik. Bukan kemudian dipenjarakan.
Jika melihat pada hukum Islam, tentang anak seperti halnya yang
diterangkan dalam hadist Nabi yang diriwayakan oleh Abu Dawud sebagaimana
berikut:
سهىلال:سفعانمهىع هللاعه انبصه اع هللاع عاءشةسض ع
بش ححك انصب مظع ح اناءوححس ممثلثةع ححع ج ان ع
)ساأبداد(
98
Artinya: Diriwayatkan dari „Aisyah ra. dari Nabi S ll ll u „Al W s l m,
bersabda, “telah diangkat pena dari tiga (golongan): (pertama) dari orang yang
tidur hingga ia terbangun (kedua) dari anak kecil sampai ihtilam (mimpi basah)
dan (yang ketiga) dari orang yang gila sampai berakal sehat.” (H.R Abu Dawud)5
Maka tentu penerapan hukuman pidana berupa pemenjaraan bukanlah hal
yang sesuai. Kemudian jika kita melihat konsep pada syarat dihukumnya pencuri
adalah ketika pelaku adalah orang yang sudah baligh dan berakal, tentu
keputusan yang dilakukan hakim pada kasus ini tidak dapat dibenarkan. Adapun
dalam Islam syarat dikanakan hukuman bagi pelaku adalah sebagaimana
dijelaskan dalam bukun fiqh jinayah karangan Nurul Irfan, yang mengutip
keterangan dari halih a‟id Al-haidan, dalam bukunya Hal Al-Muttaham fi
Majlis Al-Qada mengemukakan lima syarat untuk dapat diberlakukanya
hukuman ini, yaitu:6
f) Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya sedang tidur, anak
kecil, orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut.
g) Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat mendesak oleh kebutuhan
hidup.
h) Tidak ada hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak
mencuri harta orang tua atau sebaliknya.
i) Tidak ada unsur subhat dalam kepemilikan harta tersebut.
j) Pencurian tersebut tidak dalam keadaan peperangan dijalan Allah SWT.
Padahal dalam kasus terseut terdakwa masih dalam usia 17 tahun dan masih
menjalankan aktifitas sekolah. Tentu hal tersebut dalam hukum Islam tidak sesuai.
5 Abu Dawud Al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, juz. 4, h., 363, no. Hadits: 4398.
6 M. Nurul Irfan, Masyrofah, fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2015) h., 114.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Faktor yang mengakibatkan seorang anak melakukan tindak pidana adalah,
faktor lingkungan, faktor ekonomi/sosial dan faktor psikiologis. Sedangkan
menurut Romli Atmasasmita, bentuk motivasi itu ada dua macam, yaitu:
motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik
adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai
dengan perangsang dari luar; sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan
yang terdiri dari luar. Motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Yang menjadi
kenakalan anak intrinsik, terdiri dari, Faktor intelegensia, Faktor usia, Faktor
kelamin dan Faktor kedudukan dalam kerluarga. Yang termasuk motivasi
ekstrinsik dan kenakalan anak adalah Faktor rumah tangga, Faktor pendidikan
sekolah, Faktor pergaulan anak dan Faktor media massa . Dari faktor-faktor
tesebutlah anak melakukan tindak pidana. Jika kita melihat secara seksama
bahwa anak yang melakukan tindak pidana dari faktor-faktor tersebut maka
sesungguhnya anak tersebut adalah korban dari faktor tersebut yang menjadikan
anak tersebut melakukan tindak kejahatan.
2. Dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sitem peradilan pidana
anak ditentukan megenai proses beracara peradilan tehadap anak yang
beradapan dengan hukum. Pada undang-udang ini mengatur proses peradilan,
dimana target yang dituju adalah upaya restorative justice. Upaya tersebut
dijawantahkan dengan ketentuan diversi. Yakni apabila ada anak berhadapan
dengan hukum, artinya anak dengan usia 18 kebawah melakukan tindak pidana
maka alur yang harus dilakukan oleh penegak hukum adalah untuk
mengupayakan adanya diversi. Dengan metode musyawarah antara korban dan
100
pelaku serta melibatkan masyarakat. Oleh karenanya upaya ini diharapkan
dapat memberikan rasa keadilan bagi korban maupun bagi pelaku.
3. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara No. 1410 K/ Pid.Sus/2013 bahwa
Terdakwa dipersalahkan melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan
yang memberatkan karena Terdakwa bersama-sama dengan Terdakwa lainnya,
bermaksud memiliki secara melawan hak atau melawan hukum suatu barang
milik orang. Adapun barang yang diambil Terdakwa secara ekonomis
mempunyai nilai sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
atau lebih dari Rp250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Kemudian
pertimbangan bahwa PERMA No.02 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan
tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHPidana, telah menegaskan
dalam Pasal 2, pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
pencurian, penipuan, penggelapan dan penadahan termasuk dalam kualifikasi
tindak pidana ringan apabila obyek perkaranya mempunyai nilai barang atau
uang bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Petimbangan selanjutnya adalah Bahwa apabila fakta hukum tersebut
dihubungkan dengan PERMA No.02 Tahun 2012 tersebut, maka perbuatan
Terdakwa a quo termasuk tindak pidana dengan kualifikasi ringan (vide Pasal
364 KUHPidana), karena nilai ekonomis barang dalam perkara a quo di bawah
Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Hanya saja ketentuan Pasal
364 KUHPidana tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo, berhubung karena
Terdakwa dalam mewujudkan perbuatannya tidak dilakukan seorang diri,
melainkan dilakukan secara bersama-sama dengan rekan yaitu sdr. Sugianto,
sdr. Wagino dan Surya Kusuma. Hal ini menyebabkan tindak pidana yang
dilakukan termasuk dalam kualifikasi tindak pidana dengan pemberatan (vide
Pasal 363 Ayat (1) KUHPidana). Kemudian petimangan mengenai pasal
pemberatan adalah bahwa tindak pidana dalam keadaan memberatkan
sebagaimana dimaksud tidak harus dipahami sebagai tindak pidana yang
mempunyai dampak sangat berbahaya dan sistemik sehingga membawa akibat
101
yang sangat serius bagi masyarakat, bangsa dan Negara. Keadaan pemberatan
dimaksud hanya karena dilakukan secara bersama-sama. Sedangkan dari sisi
obyek perkara dengan nilai barang sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima
puluh ribu rupah), maka dapat menjadi salah satu alasan utama untuk
meringankan hukuman Terdakwa. Dalam pertimbananya hakim juga melihat
subjek, bahwa terdakwa usia Terdakwa yang masih terbilang sangat muda yaitu
umur 17 tahun, apabila Terdakwa masih aktif sebagai pelajar kelas III SMK
Diponegoro Tebing Tinggi. Sehingga apabila Terdakwa dihukum penjara tentu
akan membahayakan sikap, mental dan kepribadian Terdakwa kelak, tentu pula
akan mempengaruhi kelangsungan pendidikan sehingga berakibat pada masa
depan Terdakwa. Sehingga kemudian pada amar putusan tersebut menolak
permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum. Dan tetapi memidanakan
terdakwa dengan penjara 2 bulan.
B. Saran
Seorang anak adalah anugerah Allah SWT kepada umat manusia. Sebagai
generasi yang melanjutkan peradaban dikemudian hari. Tampa tumbuhnya anak
dengan baik maka akan berdampak pada keterpurukan suatu generasi bangsa.
Maka dari itulah perlu kita fahami bersama bahwa kondisi anak yang melakukan
tidak pidana bukanlah alasan untuk kita menghukum mereka secara pidana. Hal
tersebut tentu bukan hanya akan menghacurka masa depan anak tersebut akan
tetapi juga akan mengakibatkan cacatnya generasi selanjutnya. Mencari metode
lain untuk menyelamatkan anak tersebut dari keterpurukan adalah prioritas utama
dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.
Munculnya UU SPPA Nomor 11 tahun 2012 tentu menjadi jendela baru
untuk menyelamatkan anak dari keterpurukan. Metode Restorative justice pada
UU ini tentu membawa harapan besear kepada anak yang berhadapan dengan
hukum akan kembali menjadi anak yang baik. Akan tetapi hal-hal yang dicitakan
dalam UU SPPA ini tidak akan terujud apabila aparatur penegak hukum dan
102
masyarakat tidak menggunakannya secara optimal. Perlu kiranya seluruh elemnen
bangsa melihat bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah generasi yang
perlu untuk dibimbing, bukan dihukum. Sehingga dengan itu maka anak akan
tumbuh dengan baik karena mendapatkan bimbingan bukan seubuah hukuman
apalagi pemidanaan.
Dari kasus yang dialami terdakwa Chaidir penulis melihat bahwa aparat
penegak hukum terlalu kaku dalam memaknai sebuah UU. Pasal yang dikenakan
kepada terdakwa Chaidir memang pasal dengan pemberatan dimana
konsekwensinya adalah bahwa perbuatan tersebut tidak dapat diproses seperti
yang ditentukan dalam PERMA No. 2 tahun 2012 tentang batas kerugian dalam
tindak pidana pencurian. Padahal jika aparat penegak hukum fokus pada nilai
kerugian yang dialami koran berupa nominal 750.000,00 maka bisa saja terdakwa
tidak diproses biasa akan tetapi hanya dengan pengembalian kerugian yang
dialami oleh korban. Tentu itu akan lebih memunculkan keadilan bagi kedua belah
pihak. Maka dari itu penulis memberikan saran yang membangun kepada apatur
penegak hukum agar kiranya tidak hanya melihat perkara secara normatif saja.
Artinya tidak hanya melihat dari segi kepastian hukum, akan tetapi perlu lebih
mendalami aspek keadilan dan kemanfaatan yang ditimbulkan.
Itulah yang dapat penulis berikan sebagai saran, semoga dapat bermanfaat
bagi perkembangan penegakan hukum Indonesia untuk semakin berkeadilan. Dan
semoga dengan karya penulis ini dapat menjadikan bahan tambahan dalam
khasanah keilmuan bidang hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana anak.
Dari itulah penulis degan kesadaran penuh kekurangan memohon kepada Allah
Subahanahuataalla semoga dapat terus mengembangkan khasanah keilmuanya.
Aamiin
103
DAFTAR PUSTAKA
Agustiono, “Kecakapan Hukum (Ahliyah) Dalam Islam”, arikel diakses pada 6
Agustus 2019 dari http://irham-anas.blogsot.com
Ali, Muhamad Al-Sabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Fi Al-Ayat Al-Ahkam Min Al-
Qur’an, ditejemahkan oleh Saleh Mahfudz, Tafsir Ayat-Ayat Hukum
Dalam Al-Quran, Bandung: Al-Ma’arif, 1994
Al-Muslim, Shahih Al-Muslim Semarang: Toha Putera
Athayib, Abu Muhammad Syamsul Haq Al Adzim Abadi, aun al-mabud syarh
sunan abi dawud, Kairo: Dar Al Hadist, 2001,sebagai mana dikutip dalam
buku
Atmasasmita, Ramli, Bunga Rampai Kriminologi, Jakarta: Rajawali, 1992
AzwaSaifuddin r, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013
Burlian, Paisol, Implementasi Konsep Hukuman Qishas Di Indonesia,
Jakarta:Sinar Grafika,2015
Dawud, Abu Al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, juz. 4, h., 363, no. Hadits: 4398.
Fahrudin Z Ida, Beberapa Catatan Mengenai Pendidikan Anak-Anak Dibandung,
Bandung: Fakultas Hukum UNPAD,1961
G.R. Raco, Metode Peneitian Kualitatf Jenis, Karakteristik Dan Kaunggulan
Jakarta: Grasindo, 2010
GunaidiIsmu dan Joenadi Efendi, Cara Cepat Dan Mudah Memahami Hukum
Pidana, Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup,2014
Hardiyanto, Adi Wicaksono, Kebijakan Pelaksanaan Diversisebagai
Perlindungan Bagi Anak Yang Berkonflikdengan Hukum Pada Tingkat
Penuntutan Di Kejaksaan Negeri Kudus,( Program Studi Magister Ilmu
Hukum Volume 11, Nomor 1, Tahun 2015 Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro),h.,14.
Hidaya, Bunadi t, Pemidananan Anak Dibawah Umur Bandung: PT Alumni,
2010
Ismu Gunaidi, Joenadi Efendi, Cara Cepat Dan Mudah Memahami Hukum
Pidana, Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup,2014
Kartini Kartono, Psikologi Anak,Bandung:1979
104
Karton, Kartini o, Patologi 2 Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali, 1984
KUHP pasal 362
Lihat Pasal 6 UU No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
M.Sholehudin, Sistem Sanski Dalam Hukum Pidana. Ide Dasar Doble Track
System Dan Implementasinya, Jakarta: Grafindo Persada, 2003
Marpaung, Leden, Asas-teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta:Sinar Grafika,2012
Moeljato, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta,2009
Muhamad, Fahmi Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakata, 2010
Muttaqin, Imam, “Batas Usia Anak Dalam Pertanggung Jawaban Pidana
Menurut Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam”, h., 19, artikel
diakses pada 6 agustus 2019 dari http:/ejurnal.inzah.ac.id.
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen
Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya,Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013
Nasi,M. r Malik, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013,
Cet.2
Nasir, M. Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013 cet.
Kedua
Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, cet.2
Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, cet.2
Nasirana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, cet.2
Nurul, M. Irfan, Masyrofah, fiqh Jinayah Jakarta: amzah, 2015
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia Indoesia, 1978
Projoikoro,Wijrono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung:
Refika Aditama, 2003, cet.3
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditia Bakti, 2014),h.,126.
105
Rohi, Nur m Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia,
Jakarta:Jurisprudence Press,2012
Sambas, Nandang, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen
Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya,Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013
Simanjuntak, Pengantar Kriminologi Dan Sosiologi, Bandung: Tarsito, 1977
Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak Bandung: PT Refika Aditama,2006
Taufik, Mohammad Makarau, dkk., Hukum Perlindungan Anak Dan
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumahtangga, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2013
Tongat, dasar-dasar hukum pidana Indonesia dalam perspekif pembangunan,
Malang, univesitas muhamadiah malang, 2012, cet.3
UU SPPA No. 11 Tahun 2012.
UU SPPA No. 11 Tahun 2012.
Wardi, Ahmad Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
Nomor : 1410 K /Pid.Sus/ 2013
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
Memeriksa perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara Terdakwa :
Nama : MUHAMMAD CHAIDIR ;
Tempat Lahir : Tebing Tinggi ;
Umur / Tanggal Lahir : 17 tahun / 10 Oktober 1994 ;
Jenis Kelamin : Laki- laki ;
Kebangsaan : Indonesia ;
Tempat Tinggal : Jalan Ir. H. Juanda Lingkungan III,
Kelurahan Tanjung Marulak,
Kecamatan Rambutan, Kota Tebing
Tinggi ;
Agama : Islam ;
Pekerjaan : Pelajar ;
Terdakwa berada diluar tahanan dan pernah ditahan oleh ;
1 Penyidik sejak tanggal 26 April 2012 sampai dengan tanggal 15 Mei 2012 ;
2 Perpanjangan Penuntut Umum sejak tanggal 16 Mei 2012 sampai dengan
tanggal 25 Mei 2012 ;
3 Penuntut Umum sejak tanggal 23 Mei 2012 sampai dengan tanggal 27 Mei
2012 ;
4 Hakim Pengadilan Negeri sejak tanggal 28 Mei 2012 sampai dengan tanggal
11 Juni 2012 ;
5 Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 12 Juni 2012 sampai
dengan tanggal 11 Juli 2012 ;
Yang diajukan di muka persidangan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi karena di dakwa :
Bahwa ia Terdakwa MUHAMMAD CHAIDIR secara bersama-sama semufakat
dengan SUGIANTO alias DEDEK, WAGINO alias ADI yang berkas perkaranya
dituntut secara terpisah, serta bernama SURYA KUSUMA yang belum tertangkap
hingga saat ini (DPO), pada hari Rabu tanggal 25 April 2012 sekitar pukul 02.00 WIB,
Hal. 1 dari 8 hal. Put. No. 1410 K /Pid.Sus/ 2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
yaitu waktu antara matahari terbenam dan terbit, atau setidak-tidaknya pada waktu lain
dalam bulan April 2012, bertempat di Areal Perkebunan Karet PTPN-III Kebun
Rambutan Afdeling V TM 1990 Blok 54 Desa Pertapaan, Kecamatan Tebing Tinggi,
Kabupaten Serdang Bedagai, atau setidaknya pada suatu tempat lain yang masih
termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli untuk
memeriksa dan mengadili-nya, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum
telah mengambil sesuatu barang berupa getah compo (getah lom) sebanyak 30 (tiga
puluh) kilogram yang ditaksir seharga Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
atau setidak-tidaknya lebih dari Rp250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) kepunyaan
PTPN-III Kebun Rambutan atau orang lain selain dari pada dia Terdakwa dan temannya,
dilakukan oleh dua orang atau lebih, dengan cara sebagai berikut :
Mula-mula Terdakwa dan saksi SUGIANTO alias DEDEK, saksi WAGINO
alias ADI serta SURYA Kusuma terlebih dahulu merencanakan pencurian getah milik
PTPN-III Kebun Rambutan tersebut di rumah saksi SUGIANTO alias DEDEK di
Berohol, setelah perencanaan matang dengan menaiki 2 (dua) unit sepeda motor merk
Scorpio dan Honda Supra Terdakwa dan saksi SUGIANTO alias DEDEK, saksi
WAGINO alias ADI serta SURYA KUSUMA berangkat dari Brohol berboncengan
dengan membawa 2 (dua) buah ember hitam menuju Afdeling V TM 1990 Blok 54 Desa
Pertapaan, Kecamatan Tebing Tinggi, setibanya pada areal perkebunan karet lalu
mengganti pakaian masing-masing dengan pakaian kotor untuk kemudian bersama-sama
mengambil getah dari tempat penampungannya dari tiap-tiap pohon karet dan
dimasukkan ke dalam ember, setelah ember penuh lalu getah copo/getah lom tersebut
dimasukkan lagi ke dalam goni/karung hingga getah terkumpul sebanyak 1 (satu) karung
seberat 30 (tiga puluh) kilogram, namun pada saat Terdakwa dan saksi SUGIANTO
alias DEDEK, saksi WAGINO alias ADI serta SURYA KUSUMA hendak pulang dapat
ditangkap petugas Satpam Kebun, sedangkan SURYA KUSUMA dapat melarikan diri,
selanjutnya Terdakwa dan saksi SUGIANTO alias DEDEK, saksi WAGINO alias ADI
berikut barang bukti diserahkan ke Polres Tebing Tinggi ;
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam hukuman dalam Pasal 363
Ayat (1) ke-4e KUHPidana Juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak ;
Mahkamah Agung tersebut ;
Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sei
Rampah tanggal 25 Juni 2012 sebagai berikut :
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
1 Menyatakan Terdakwa MUHAMMAD CHAIDIR dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana “PENCURIAN DALAM KEADAAN
MEMBERAT-KAN” yang diatur dan diancam dalam pidana Pasal 363 Ayat
1 ke-4 KUH Pidana Juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, dalam dakwaan tunggal ;
2 Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa MUHAMMAD CHAIDIR dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun, dikurangi selama berada dalam tahanan
sementara ;
3 Menetapkan barang bukti berupa :
• 1 (satu) karung plastik getah dengan berat 30 (tiga puluh) kilogram, 2 (dua)
buah ember warna hitam, 1 (satu) unit sepeda motor Scorpio dan 1 (satu) unit
sepeda motor Honda Supra, dipergunakan dalam berkas perkara SUGIANTO
alias DEDEK, dan kawan-kawan ;
4 Menetapkan supaya Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp1.000,00
(seribu rupiah);
Membaca putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor : 403/Pid.B/ 2012/
PN.Ttd., tanggal 25 Juni 2012 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
• Menyatakan Terdakwa : MUHAMMAD CHAIDIR, telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dalam keadaan
memberatkan” ;
• Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama :
2 (dua) bulan ;
• Memerintahkan Terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan ;
• Menetapkan barang bukti berupa:
• 1 (satu) karung plastik getah dengan berat 30 (tiga puluh) kilogram, 2 (dua) buah
ember warna hitam, 1 (satu) unit sepeda motor Scorpio dan 1 (satu) unit sepeda
motor Honda Supra, dipergunakan dalam berkas perkara SUGIANTO alias
DEDEK, dan kawan-kawan ;
• Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp1.000,- (seribu
rupiah) ;
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 435/PID/2012/ PT.MDN.,
tanggal 14 Agustus 2012 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
• Menerima permohonan banding dari Jaksa/Penuntut Umum ;
Hal. 3 dari 8 hal. Put. No. 1410 K /Pid.Sus/ 2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, tanggal 25 Juni
2012 Nomor : 403/Pid.B/2012/PN.Ttd, yang dimintakan banding ;
• Membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan kepada Terdakwa
dalam tingkat banding sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) ;
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor : 19/Akta.Pid/ 2012/
PN.Ttd., yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang
menerangkan, bahwa pada tanggal 24 September 2012 Jaksa/Penuntut Umum
mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut ;
Memperhatikan memori kasasi tanggal 26 September 2012 dari Jaksa/ Penuntut
Umum sebagai Pemohon Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Tebing Tinggi pada hari itu juga ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahu-kan
kepada Jaksa/Penuntut Umum pada tanggal 10 September 2012 dan Jaksa/Penuntut
Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 24 September 2012 serta memori
kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi pada tanggal
26 September 2012 dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasan-
alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-
undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Jaksa/
Penuntut Umum pada pokoknya sebagai berikut :
• Bahwa pada hakikatnya, putusan pemidanaan (veroordeling) merupakan
putusan Hakim yang berisikan suatu perintah kepada Terdakwa untuk
menjalani hukuman atas perbuatannya sesuai dengan amar putusan ;
• Bahwa walaupun pembentuk undang-undang memberikan kebebasan
menentukan batas maksimal dan minimal lama pidana yang harus dijalani
Terdakwa, hal ini bukan berarti Hakim dapat dengan seenaknya menjatuh-
kan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Penjatuhan pidana harus
cukup dipertimbangkan dengan putusan Hakim yang kurang pertimbangan
(onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI ;
• Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak mencantumkan tuntutan
pidana dalam putusannya dan tidak memenuhi Pasal 197 Ayat (1) huruf d, e,
f KUHAP, apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan tuntutan
pidana berdasarkan ketentuan Pasal 197 Ayat (2) KUHAP dan sesuai dengan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 885 K/Pid/1985 tanggal 23 Juni
1987, adalah batal demi hukum ;
• Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak menguraikan pertimbangan
mengenai unsur-unsur (bestandellen) pasal yang didakwakan oleh Jaksa/
Penuntut Umum dan putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak menguraikan
keadaan yang memberatkan maupun yang meringankan Terdakwa ;
• Bahwa Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli dan Pengadilan Tinggi Medan
dalam putusannya tidak mengindahkan SEMA terhadap rumusan/kualifikasi
dari tindak pidana karena dalam menjatuhkan pidana tidak sesuai dengan
perbuatan pidana yang dilakukan Terdakwa ;
• Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 885 K/Pid/1985
tanggal 23 Juni 1987, pada dasarnya putusan Judex Facti batal demi hukum
sebab tidak memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 197 Ayat (1)
huruf e KUHAP, yaitu dalam putusannya tidak memuat tuntutan pidana ;
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenar-kan,
karena Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, Judex Facti telah mengadili
sesuai hukum Acara Pidana serta tidak melampaui wewenang-nya ;
Bahwa dakwaan Penuntut Umum diajukan berupa dakwaan tunggal dan antara
Judex Facti dan Penuntut Umum sama sependapat terbukti dakwaan Penuntut Umum
melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP Juncto Undang-Undang Nomor : 3 Tahun
1997, hanya Penuntut Umum menuntut 1 (satu) tahun penjara, sedangkan Judex Facti
telah memutus pidana penjara selama 2 (dua) bulan ;
Bahwa karena Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan
pemberatan, Judex Facti telah mempertimbangkan dalam putusannya segala sesuatu
yang memberatkan serta yang meringankan pada diri Terdakwa sesuai dengan Pasal 197
Ayat (1) KUHAP ;
Bahwa berat ringannya pidana adalah kewenangan Judex Facti yang tidak
tunduk pada pemeriksaan kasasi ;
Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim Agung terdapat pendapat
yang berbeda (dissenting opinion) yang diajukan oleh Ketua Majelis Prof. Dr. Surya
Jaya, S.H., M.Hum. sebagai berikut :
Bahwa alasan-alasan Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, Judex Facti
salah menerapkan hukum dalam hal menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan
Hal. 5 dari 8 hal. Put. No. 1410 K /Pid.Sus/ 2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian dalam keadaan
memberatkan”, melanggar Pasal 363 Ayat (1) KUHPidana. Hanya saja tidak sependapat
dengan hukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan terhadap Terdakwa, karena menurut
Ketua Majelis Hakim Agung Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum. hukuman yang
dijatuhkan terlalu berat dengan alasan :
• Bahwa berdasarkan fakta hukum persidangan Terdakwa
dipersalahkan melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan
yang memberatkan karena Terdakwa bersama-sama dengan
Terdakwa lainnya, bermaksud memiliki secara melawan hak atau
melawan hukum suatu barang milik orang. Adapun barang yang
diambil Terdakwa secara ekonomis mempunyai nilai sebesar
Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) atau lebih dari
Rp250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) ;
• Bahwa PERMA No.02 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan
tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHPidana, telah
menegaskan dalam Pasal 2, pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa
tindak pidana pencurian, penipuan, penggelapan dan penadahan
termasuk dalam kualifikasi tindak pidana ringan apabila obyek
perkaranya mempunyai nilai barang atau uang bernilai tidak lebih
dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ;
• Bahwa apabila fakta hukum tersebut dihubungkan dengan PERMA
No.02 Tahun 2012 tersebut, maka perbuatan Terdakwa a quo
termasuk tindak pidana dengan kualifikasi ringan (vide Pasal 364
KUHPidana), karena nilai ekonomis barang dalam perkara a quo di
bawah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Hanya saja
ketentuan Pasal 364 KUHPidana tidak dapat diterapkan dalam
perkara a quo, berhubung karena Terdakwa dalam mewujudkan
perbuatannya tidak dilakukan seorang diri, melainkan dilakukan
secara bersama-sama dengan rekan yaitu sdr. Sugianto, sdr. Wagino
dan Surya Kusuma. Hal ini menyebabkan tindak pidana yang
dilakukan termasuk dalam kualifikasi tindak pidana dengan
pemberatan (vide Pasal 363 Ayat (1) KUHPidana) ;
• Bahwa tindak pidana dalam keadaan memberatkan sebagaimana
dimaksud tidak harus dipahami sebagai tindak pidana yang
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
mempunyai dampak sangat berbahaya dan sistemik sehingga
membawa akibat yang sangat serius bagi masyarakat, bangsa dan
Negara. Keadaan pemberatan dimaksud hanya karena dilakukan
secara bersama-sama. Sedangkan dari sisi obyek perkara dengan nilai
barang sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupah),
maka dapat menjadi salah satu alasan utama untuk meringankan
hukuman Terdakwa ;
• Bahwa selain itu, alasan pertimbangan yang tidak kalah pentingnya
adalah usia Terdakwa yang masih terbilang sangat muda yaitu umur
17 tahun, apabila Terdakwa masih aktif sebagai pelajar kelas III SMK
Diponegoro Tebing Tinggi. Sehingga apabila Terdakwa dihukum
penjara tentu akan membahayakan sikap, mental dan kepribadian
Terdakwa kelak, tentu pula akan mempengaruhi kelangsungan
pendidikan sehingga berakibat pada masa depan Terdakwa ;
• Bahwa oleh karena itu, dengan alasan pertimbangan tersebut di atas,
adalah adil dan bijaksana apabila Terdakwa dijatuhi pidana penjara
dengan masa percobaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ;
• Bahwa adapun syarat umum yang harus dipenuhi Terdakwa selama
dalam masa percobaan Terdakwa tidak boleh melakukan atau
mengulangi tindak pidana apapun. Sedangkan syarat khusus yang
harus dipatuhi Terdakwa yaitu mengikuti pendidikan dan pembinaan
mental spiritual yang terdekat dengan rumah/tempat tinggal
Terdakwa ;
Menimbang, bahwa oleh karena terdapat perbedaan pendapat dan telah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tetap tidak tercapai mufakat, maka sesuai Pasal
182 Ayat (6) Huruf a KUHAP Majelis mengambil putusan dengan suara terbanyak yaitu
menolak permohonan kasasi Terdakwa sebagaimana telah dipertimbangkan di atas ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata,
putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak ;
Menimbang, bahwa oleh karena Para Pemohon Kasasi/Para Terdakwa dipidana,
maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ;
Hal. 7 dari 8 hal. Put. No. 1410 K /Pid.Sus/ 2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Memperhatikan Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP Juncto Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang
Nomor : 48 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang No.2 Tahun 1986
tentang peradilan Umum, Undang-Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah di
ubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 serta perubahan kedua
dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan ;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Sei Rampah tersebut ;
Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Jum’at tanggal 24 Januari 2014 oleh Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum.
Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H.
Suhadi, S.H., M.H. dan Dr. H. Margono., S.H., M.Hum., MM. Hakim-Hakim Agung
sebagai Hakim Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari
itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan
dibantu oleh Surachmat, S.H., M.H. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh
Penuntut Umum dan Terdakwa ;
Hakim-Hakim Anggota : K e t u a :
ttd./ ttd./
H. Suhadi, S.H., M.H. Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum.
ttd./
Dr. H. Margono., S.H., M.Hum., MM.
Panitera Pengganti :
ttd./
Surachmat, S.H., M.H.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Untuk salinanMAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. PaniteraPanitera Muda Perkara Pidana Khusus
ROKI PANJAITAN, S.H.NIP. : 19590430 198512 1 001
Hal. 9 dari 8 hal. Put. No. 1410 K /Pid.Sus/ 2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9