penyelesaian sengketa perbankan syariah lewat...
TRANSCRIPT
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH LEWAT MEDIASI DI
LEMBAGA LITIGASI DAN NON LITIGASI (STUDI KASUS : PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN, BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
JAKARTA, DAN LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
INDONESIA)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S.H)
Oleh:
ABDUSSAMI MAKARIM
NIM. 11140460000087
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi Berjudul "Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Mediasi di Lembaga Litigasi dan Non Litigasi (Studi Kasus: Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah Nasional, dan Lembaga Altematif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia)" yang telah ditulis oleh Abdussami
Makarim, NIM. 11140460000087, telah diujikan dalam sidang Skripsi pada
Jum'at, 25 Januari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.tI) pada Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 30 Januari 2019
Mengesahkan,
Panitia Sidang:
Ketua A,M.Hasan A二 ,M.ANIP。 19751201200501 1005
Dr.Abdllrraun Lcq M・ A.
NコP。 19731215200501 1002
Ahnad Chdrul Hadi.M.A.
NIP。 197205312007101002
Dr.Ahmad Tholabi Kharlie.M.H"M.A.
NIP.197608072003121001
Mustolih.S.H,I"M.Htt CLA.
NIDN。 2009088001
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
19966031001
Penguji II
¬
LEMBAR PERI{YATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH.:.,
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIll{) Syarif Hidayatullah Jakarra.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di universitas Islam Negeri Or$ syarif
Hidayatullah Jakarta
:V
ト
Ciputat,12 Dcsember 2018
v
ABSTRAK
Abdussami Makarim, 11140460000087, Studi Perbandingan Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Lewat Mediasi Di Lembaga Litigasi Dan Non Litigasi
(Studi Empiris: Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah
Nasional, Dan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia). Hukum
Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018, 130 halaman.
Hubungan antara kreditur dan debitur atau Bank dengan nasabahnya
diperjanjiakan sejak awal transaksi. Hak, kewajiban, dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan transaksi perbankan tertuang dalam sebuah kontrak.
Apabila salah satu pihak baik bank maupun nasabah melakukan wanprestasi
dan tidak cepat diselesaikan, maka terjadilah sengketa. Apabila bank tidak
dapat menyelesaikan pengaduan lewat Internal Dispute Resolution (tidak
tercapai kesepakatan), para pihak bisa menyelesaikan konflik melalui
mediasi di lembaga penyelesaian sengketa (External Dispute Resolution).
Mediasi terdapat di lembaga penyelesaian sengketa litigasi dan non litigasi.
Litigasi adalah pengadilan sedangkan non litigasi adalah lembaga diluar
pengadilan, dalam penelitian ini lembaga yang dimaksud adalah Basyarnas
dan LAPSPI. Sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah, sengketa perbankan boleh diselesaikan
baik di jalur litigasi (Pengadilan Agama) maupun non litigasi (Basyarnas dan
LAPSPI).
Penelitian ini menganalisis penyelesaian sengketa perbankan syariah
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut melalui mediasinya. Dengan
analisis perbandingan tersebut diperoleh informasi perbedaan dan
persamaan. Adapun penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris
dengan data yang diolah secara kualitatif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahhwa ada persamaan dalam
jenis perkara yang masuk yakni perkara perdata perbankan syariah dan
penyelenggaraan mediasi dilakukan secara tertutup. Sedangkan
perbedaannya, pada Pengadilan Agama, mediasi dilakukan sebelum masuk
pemeriksaan pokok perkara. Pada LAPSPI mediasi dilakukan dengan acara
tersendiri terpisah dengan arbitrase dan ajudikasi. Dan pada Basyarnas, acara
yang diselenggarakan adalah arbitrase, namun unsur mediasi tetap ada
sebatas upaya mediasi yang mungkin dilaksanakan di setiap tahap arbitrase.
Kata Kunci : Sengketa Perbankan Syariah, Mediasi, Pengadilan Agama,
Basyarnas, LAPSPI
Dosen Pembimbing : Achmad Choirul Hadi
Daftar Pustaka : Tahun 1986 s/d 2018
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahuwwata’ala atas segala nikmat, rahmat,
hidayah, dan kekuatan yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas akhir Skripsi ini untuk memperoleh gelar sarjana di bidang
Hukum Ekonomi Syariah di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarganya dan
sahabatnya, yang telah membawa perubahan bagi peradaban dunia dengan
bangkitnya Islam hingga akhir zaman.
Dengan disusunnya penelitian tingkat skripsi ini, kami berharap kami bisa
memberikan kontribusi manfaat, baik dalam tataran kajian Hukum Islam, maupun
Kajian Hukum positif, terlebih khususnya pada masalah penyelesaian sengketa
perbankan syariah melalui mediasi di Lembaga litigasi dan non-litigasi seperti
Pengadilan Agama, Badan Arbitrase Syariah Nasional, dan Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia.
Kami sadar bahwa penelitian ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungann dan
bantuan dari orang-orang yang ada di sekitar kami. Dengan segala hormat dan dari
hati yang terdalam, kami ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. AM. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Abdurrauf Lc., M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Achmad Chairul Hadi, M. A., selaku pembimbing yang secara langsung
memberikan arahan dalam peyusunan skripsi ini, dan juga mmemberikan
pencerahan materi-materi perkuliahan yang menjadi inspirasi penulisan
skripsi ini;
vii
5. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum atas didikan dan
bimbingannya selama kami kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Para narasumber yang telah memberikan informasi untuk menyempurnakan
skripsi ini, diantaranya: Dr. H. Jarkasih, M.H., Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan; Dra. Euis Nurhasanah, Sekretaris Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas); H. Achmad Djauhari, S.H., M.H., Arbiter Basyarnas;
Ir. Saifuddin Latief, MM., Sekretaris Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), dan Kak Tyra, Case Manager
LAPSPI;
7. Seluruh keluarga besasr, terutama kedua orang tua kami, Ayah dan Bunda
yang telah mendukung semua kebutuhan semasa kuliah, mendoakan kami
di setiap sujudnya, dan mengalirkan semangat di setiap tutur katanya. You
are the best thing I’ve ever had, I promise, I’ll make both of you proud;
8. Teman-teman Hukum Ekonomi Syariah Angkatan 2014, Kelas B HES’14,
Center for Islamic Economics Studies (COINS), Generasi Baru Indonesia
(GenBI) UIN Jakarta, Mahasantri UICCI Sulaimaniyah Ciputat, KKN 13
Balas Budi, Sahabat New Foward, hingga teman-teman dan adik angkaran
yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Akhirnya tidak ada yang dapat kami berikan sebagai balas jasa kecuali sebuah
doa, semoga semua pihak yang telah mendukung mendapatkan ganjaran yang
berlipat ganda dari Allah Subhanahuwwata’ala, Aamiin.
Ciputat, 12 Desember 2018
Abdussami Makarim
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI ................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH .................................iv
ABSTRAK ................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 8
C. Pembatasan Perumusan Masalah ......................................................... 9
D. Tujuan Manfaat Penelitian ...................................................................... 10
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 15
BAB II PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
SYARIAH DI LEMBAGA LITIGASI DAN NON-LITIGASI:
PENGERTIAN DAN PENGATURANNYA DI INDONESIA ............ 17
A. Pengertian Studi Komparasi ............................................................... 17
B. Pengertian Ekonomi Syariah ............................................................... 20
C. Pengertian Sengketa Perbankan Syariah ............................................ 33
D. Pengertian Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah ....................... 39
E. Literature Review ................................................................................ 54
ix
BAB III PILIHAN FORUM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
SYARIAH ANTARA LEMBAGA LITIGASI DAN NON-LITIGASI
DI JAKARTA SELATAN ....................................................................... 60
A. Pengadilan Agama Jakarta Selatan ..................................................... 60
B. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) ................................. 82
C. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ..... 94
BAB IV PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
SYARIAH DI LEMBAGA LITIGASI DAN NON LITIGASI .......... 105
A. Komparasi Penyelesasian Sengketa Perbankan Syariah Lewat Mediasi
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Basyarnas, dan LAPSPI ....... 105
1. Faktor Hukum (Substansi Hukum) ............................................ 106
2. Faktor Penegak Hukum (Struktur Hukum) ................................ 110
3. Faktor Sarana dan Fasilitas ........................................................ 116
4. Faktor Masyarakat ..................................................................... 119
B. Persamaan dan Perbedaan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Lewat Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Basyarnas, dan
LAPSPI ............................................................................................. 126
1. Persamaan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Basyarnas, dan
LAPSPI ...................................................................................... 126
2. Perbedaan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Basyarnas, dan
LAPSPI ...................................................................................... 129
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 132
A. Simpulan ........................................................................................... 132
B. Saran .................................................................................................. 134
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 135
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.1 Perbankan mempunyai peran penting dalam pembangunan
negara dan perekonomian masyarakat. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, Perbankan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.2
Di Indonesia, pengembangan sistem perbankan dilakukan dengan cara dual-
banking system. Dual-Banking system adalah sistem perbankan ganda dalam
kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API).3 Tujuannya untuk melengkapi
kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap jasa perbankan. Dual-banking system
yang dimaksud adalah perbankan syariah dan perbankan konvensional. Kedua
sistem perbankan ini bersinergi dalam mengelola dana masyarakat secara luas
untuk mendukung kegiatan pembangunan di sektor-sektor perekonomian
nasional.
Untuk mencapai tujuannya, bank syariah menjalankan beberapa macam
usaha. Usaha yang dilakukan bank syariah antara lain seperti jasa penyediaan
lalu lintas pembayaran; penghimpunan dana masyarakat berupa simpanan giro,
deposito berjangka, atau sertifikat deposito; Penerbitan surat hutang, dan
1 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta : Raja Grafindo, 2008), hlm. 25
2 Lihat Pasal 4, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
3 Penyunting, “Sekilas tentang Perbankan Syariah”, Situs resmi Bank Indonesia, diakses
dari www.bi.go.id, pada tanggal 30 Januari 2018, pukul 10.19.
2
penyaluran dana berupa pembiayaan kepada masyarakat. Selain itu, Bank
syariah juga menyediakan fasilitas transfer dana dan pembayaran inkaso.
Sebagaimana statusnya sebagai badan usaha, bank mengambil fee atau
pendapatan dari setiap fasilitas yang disediakannya.
Segala aktifitas bank pasti berhubungan dengan nasabah. Dalam hal ini bank
diistilahkan sebagai kreditur dan nasabah diistilahkan sebagai debitur atau
konsumen. Hubungan antara kreditur dan debitur atau Bank dengan nasabahnya
sudah diperjanjiakan sejak awal transaksi. Hak, kewajiban, dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan transaksi perbankan tertuang dalam sebuah kontrak.
Apabila salah satu pihak baik bank maupun nasabah melakukan wanprestasi
dan tidak cepat diselesaikan, maka terjadilah sengketa.
Melihat potensi sengketa yang akan terjadi, maka diperlukan upaya
mengatasinya. Untuk itu di setiap bank terdapat bagian yang bertugas
mendengarkan pengaduan konsumen dan penyelesaiannya. Ini adalah upaya
pertama penanganan penyelesaiang sengketa. Penyelesaian sengketa memang
sebaiknya dilakukan dengan cara kekeluargaan, dalam artian diselesaikan
dengan berdiskusi, mengulas duduk perkara, mengemukakan tuntutan,
menyamakan presepsi, dan mencari solusi. Cara ini akan membantu
meminimalisir kerugian diantara kedua belah pihak bersengketa. Cara ini
disebut juga dengan mediasi. Seperti yang di jelaskan diatas, mediasi yang
pertama dapat dilakukan olen bank sebagai pihak penyedia layanan keuangan,
Namun apabila bank tidak dapat menyelesaikan pengaduan yang dilakukan
nasabah (tidak tercapai kesepakatan), para pihak bisa menyelesaikan konflik
melalui mediasi di lembaga penyelesaian sengketa.
Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, penyelesaian sengketa perbankan syariah bisa dilakukan di
2 (dua) pilihan, yakni badan litigasi dan Non litigasi.4 Yang dimaksud badan
litigasi adalah Pengadilan. Untuk sengketa perbankan syariah, pemeriksaannya
4 Ayat 1, Pasal 55, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
3
akan dilakukan di Peradilan Agama (PA). Pada ayat 1 Pasal 55 UU No.21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa Penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama. Selain itu Ketentuan mengenai kompetensi Pengadilan
Agama dalam memeriksa perkara ekonomi syariah juga ada pada Pasal 49 UU
No. 3 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Adapun Pengadilan Agama
sebagai lembaga litigasi juga wajib menyelenggarakan upaya mediasi sebelum
memeriksa pokok perkara. Hal tersebut diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2016
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Selanjutnya lembaga Non litigasi adalah lembaga penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, atau lebih dikenal dengan istilah Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS). Alternatif penyelesaian sengketa singkatnya adalah
penyelesaian sengketa perdata melalui jalan Negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan
arbitrase.5 Dengan segala kelebihannya, penyelenggaraan penyelesaian
sengketa perbankan di lembaga non litigasi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS).
Di Indonesia sendiri ada banyak lembaga non litigasi untuk menyelesaikan
sengketa. Untuk lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional ada 7
lembaga6, yang salah satunya adalah Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang sebelumnya bernama BAMUI dan diganti berdasarkan
berdasarkan SK MUI No.Kep-09/MUI/XII/2003, pada tanggal 24 Desember
5 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,
(Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 13.
6 7 (tujuh) Lembaga tersebut adalah Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI),
Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia (BAKTI), Badan Arbitrase dan Mediasi Hak
Kekayaan Intelektual (BAM HKI), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Badan
Mediasi Asuransi Indonesia, dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang di prakarsai oleh
Kamar Dagang Industri Indonesia (KADIN). Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memprakarsai
institusional non litigasi yang khusus menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, yakni Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS).
4
20037. Kemudian ada juga lembaga-lembaga alternatif penyelesaian sengketa
(LAPS) yang pendiriannya diamanatkan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) No. 1/POJK/07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Untuk lembaga yang khusus menyelesaikan
sengketa perbankan adalah Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI).
Badan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah bentuk
arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Basyarnas berdiri
sebagai instrumen hukum untuk menyelesaikan perselisihan para pihak di
lingkup Ekonomi Syariah baik Perbankan Syariah maupun Asuransi Syariah.
BASYARNAS beroperasi berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa yang bunyinya “adanya
suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”. Dari pasal ini terkandung simpulan
bahwa apa yang sudah diperjanjikan diawal adalah yang akan berlaku
dikemudian hari. Hampir disetiap kontrak/akad, seperti di perbankan syariah,
tercantum klausula penyelesaian sengketa yang menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa akan di selesaikan di lembaga Arbitrase. Akta ini disebut
Pactum de Compromitendo.8
Selain itu BASYARNAS juga di sebutkan dalam penjelasan pasal 55
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Bunyinya,
“Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad adalah upaya sebagai berikut: a. Musyawarah, b. Mediasi Perbankan, c.
Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain; dan /atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan
7 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,
h. 14
8 Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006), hlm. 32
5
Umum”. Pasal ini mempunyai kandungan makna yang hampir sama dengan
pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Namun dalam penjelasan pasal 55 Undang-Undang
Perbankan Syariah ini disebutkan secara spesifik institusional penyelesaian
sengketanya seperti Basyarnas. Selain itu dalam pasal tersebut memungkinkan
juga lembaga lain untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Kemudian Lembaga non litigasi lainnya, Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) juga menerima semua perkara di
bidang perbankan termasuk perbankan syariah. LAPSPI didirikan berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2014 tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Pendiriannya
ditandatangani oleh 6 asosisasi perbankan antara lain PERBANAS,
HIMBARA, ASBANDA, ASBISINDO, PERBINA, dan PERBARINDO.9
Pendiriannya tidak lepas dari upaya mendirikan mediasi perbankan di era Bank
Indonesia.
Berdasarkan pemaparan di paragraf diatas, ada 3 lembaga yang memiliki
wewenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, yakni Pengadilan
Agama, Basyarnas, dan LAPSPI. Ketiga lembaga ini juga menyelenggarakan
penyelesaian sengketa melalui mediasi. pertanyaan yang muncul selanjutnya
adalah mengenai apa perbedaan mediasi yang diadakan di masing-masing
lembaga tersebut. Untuk mengetahuinya kita perlu melihat prosedur serta
proses penyelesaiannya terutama dalam hal mediasi. Kemudaian dilihat lebih
jauh lagi perlu penjelasan mengenai siapa yang mempunyai wewenang lebih
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Berbicara tentang siapa yang paling wenang menyelesaikan sengketa
perbankan syariah, ketiga lembaga diatas mempunyai potensi masing-masing
9 Perhimpunan Bank Nasional (PERBANAS), Himpunan Bank Milik Negara
(HIMBARA), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (ASBANDA) , Asosiasi Bank Syariah
Indonesia (ASBISINDO), Asosiasi Bank Internasional Indonesia (PERBINA), dan Perhimpunan
Bank Perkreditan Indonesia (PERBARINDO).
6
untuk menjadi yang paling wenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Itu semua kembali kepada perjanjian yang dibuat para pihak yang bersengketa.
Jika dalam perjanjian tercantum klausula arbitrase atau klausula penyelesaian
sengketa lewat jalur non litigasi, semacam Basyarnas; maka lembaga yang
tercantum lebih mempunyai wewenang dari pada yang lain. Jika tidak ada
klausula arbitrase atau klausula non litigasi apapun, maka Pengadilan Agama
adalah yang berwenang dari pada pengadilan manapun.
Pada pelaksanaannya penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi harus
disertai dengan perjanjian tertulis dari kedua pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan sengketanya di jalur non-litigasi semisal arbitrase. Klausula
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya, harus ditaati oleh kedua
pihak jika klausula tersebut sudah ada di dalam perjanjian tertulis sejak awal
dibuatnya. Keberadaan klausula tersebut juga meniadakan kewenangan absolut
Pengadilan untuk menyelesaikan sengketa. Ketentuan ini berlandaskan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang berbunyi, Pengadilan Negeri tidak berwenang
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Walaupun tertulis term Pengadilan Negeri, namun secara konteks mempunyai
maksud seluruh pengadilan termasuk Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah.
Jika dalam perjanjian para pihak tidak mencantumkan klausula
penyelesaian sengketa lewat jalur non litigasi, maka para pihak mempunyai
pilihan menyelesaikan sengketa baik lewat jalur litigasi maupun non litigasi.
Jika para pihak tetap ingin menyelesaikan sengketanya di jalur non litigasi,
maka para pihak harus membuat perjanjian tertulis lagi bahwasannya sengketa
mereka akan di selesaikan lewat jalur non-litigasi (akta compropis).
Proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah, melalui Pengadilan Agama
dan forum non litigasi seperti Basyarnas dan LAPSPI, secara garis besar
memliki tahapan yang sama, namun dalam beberapa aspek berbeda.
Berdasarkan penelitian Prof. Dr.H. Bismar Nasution, proses penyelesaian
7
sengketa di Basyarnas jauh lebih singkat dari pada proses penyelesaian di
Pengadilan Agama. Cepatnya proses tersebut disebabkan tahapan proses yang
dilalui tidak banyak, seperti acara pemeriksaan, pembuktian, dan putusan.
Sengketa juga bisa diputus islah jika para pihak yang bersengketa setuju untuk
berdamai.10
Sedangkan di LAPSPI menawarkan 3 cara penyelesaian sengketa non
litigasi, yakni dengan mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Tahapan yang dilakukan
juga tidak jaun berbeda dengan Basyarnas. Lalu jika diilihat dari track record-
nya yang baru 2 tahun berjalan, pada tahun 2016, LAPSPI telah menerima 32
perkara permohonan penyelesaian sengketa lewat mediasi. 13 sengketa berhasil
mencapai kesepakatan di meja mediasi, 7 sengketa sedang dalam proses
mediasi, dan 12 sengketa tidak berhasil di mediasi. Kemudian pada triwulan I
tahun 2017, LAPSPI menerima 6 perkara permohonan penyelesaian sengketa
lewat mediasi. Sehingga sejak tahun 2016 sampai triwulan I tahun 2017,
perkara yang masuk untuk diselesaikan lewat mediasi di LAPSPI berjumlah 38
perkara sengketa.11
Dalam hal perkara perbankan syariah, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
terdapat 7 perkara perbankan syariah dalam kurun waktu 2016-2017. Sebanyak
4 (empat) perkara telah diproses dengan hasil 4 perkara gagal mediasi dan tidak
ada perkara yang berhasil di mediasi. Berbeda dengan Basyarnas di Jakarta
yang menerima 2 perkara dalam waktu 2016-2017 dan keduanya berhasil
diselesaikan dengan damai. Lalu LAPSPI menerima 2 perkara perbankan
syariah dengan rincian 1 perkara gagal mediasi dan 1 perkara sedang dipending.
Dilihat dari data sementara ini, dapat di tarik kesimpulan lembaga non litigasi
yang di wakili oleh Basyarnas dan LAPSPI cenderung lebih baik memediasi
10 Bismar Nasution dan Mahmul, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah Melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Bayarnas)”, Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No. 73 (2011): hlm.
60.
11 Laporan OJK, Dukungan OJK Terhadap Perlindungan Konsumen Lembaga lternatif
Penyelesaian Sengketa, Laporan Kinerja Otoritas Jasa Keuangan 2012-2017, hlm.110.
8
sengketa perbankan syariah dari pada lembaga litigasi, dalam hal ini Pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam
alasan mengapa lembaga non-litigasi cenderung lebih baik dalam
menyelesaikan sengketa perbankan syariah dibandingkang dengan lembaga
litigasi. Oleh karena itu penulis akan mencari jawaban penelitian dengan
menelusuri substansi hukum, penegak hukum, sarana/fasillitas, dan masyarakat
hukum, dari tiga institusi: LAPSPI, Basyarnas, dan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dengan judul “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah
Nasional Jakarta, Dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang serta masalah yang telah dijabarkan
sebelumnya, maka penulis mengidentifikasi masalah berupa beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah melalui
mediasi di, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah
Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia?
2. Siapa saja yang terlibat dalam penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
melalui mediasi di, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase
Syariah Nasional Jakarta, dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia?
3. Apa faktor keberhasilan dan kegagalan penyelesaian perkara Sengketa
Perbankan Syariah melalui mediasi di, Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Badan Arbitrase Syariah Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia?
9
4. Apa upaya yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan
Arbitrase Syariah Nasional Jakarta, dan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia, dalam mengefektifkan mediasi
penyelesaian sengketa perbankan syariah?
5. Sejauh mana efektifitas penyelesaian Sengketa melalui mediasi di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah Nasional
Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia?
6. Bagaimana model penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah melalui
mediasi di, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah
Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia?
7. Apa yang membedakan penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah melalui
mediasi di, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah
Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia?
8. Apa kelebihan dan kekurangan dalam menyelesaikan Sengketa Perbankan
Syariah melalui mediasi di, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan
Arbitrase Syariah Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Melakukan penelitian dengan skala objek yang terlalu luas bisa
mengkaburkan fokus penelitian sehingga kesimpulan yang didapat tidak
memuaskan dan hasil penelitian tidak maksimal. Oleh karenanya penulis hanya
akan fokus meneliti mediasi yang di lakukan oleh Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Badan Arbitrase Syariah Nasional Jakarta, dan Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia dalam kurun waktu 2016-2017
dalam hal menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Berdasarkan data dan simpulan sementara yang telah di jabarkan di
latarbelakang, penulis akan melakukan penelitian dengan rumusan masalah
10
mengapa lembaga Non-litigasi cenderung lebih baik dari pada lembaga litigasi
dalam memediasi sengketa perbankan syariah. Adapun rumusan masalah ini
akan terjawab dengan terjawabnya pertanyaan-pertanyaan penelitian di bawah
ini:
1. Bagaimana proses penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah melalui
mediasi di, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah
Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia?
2. Apa persamaan dan perbedaan penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
melalui mediasi di, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase
Syariah Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia?
3. Apa kelebihan dan kekurangan penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
melalui mediasi di, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase
Syariah Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis proses mediasi dalam menyelesaiankan perkara
sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan
Arbitrase Syariah Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia secara mendalam;
2. Untuk mendapatkan penjelasan persamaan dan perbedaan; sehingga
diketahui kelebihan dan kekurangan penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah
Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia;
3. Untuk mengetahui lembaga yang terbaik dalam menyelesaian sengketa
perbankan syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase
11
Syariah Nasional Jakarta, dan Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia.
Sementara itu, secara umum penelitian ini diharapkan dapat menyumbang
materi informasi yang dapat menjawab pertanyaan dari masalah-masalah yang
dialami masyarakat selaku nasabah bank penyelesaian sengketa melalui jalur
mediasi di Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia.
Adapun manfaat penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Sosial (social value):
a. Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa sengketa perbankan
syariah bisa diselesaikan dengan cara litigasi (Pengadilan Agama) dan
non litigasi (Basyarnas dan LAPSPI).
b. Memberikan informasi kepada masyarakat seputar tentang
penyelesaikan sengketa perbankan syariah Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Basyarnas, dan LAPSPI.
c. Penelitian ini mengungkapkan fakta lapangan tentang lembaga mana
yang terbaik dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di
wilayah Jakarta Selatan antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Basyarnas, dan LAPSPI.
2. Manfaat Akademik (academic Value):
a. Penelitian ini diajukan sebagai tugas akhir perkuliahan sebagai
pemenuhan salah satu syarat kelulusan program sarjana (S1) Program
Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
b. Manfaat lainnya adalah penulisan penelitian ini dapat menambah
wawasan keilmuan di ranah Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan bagi mahasiswa, dosen, professional hukum, dan masyarakat
umum, terutama yang berakivitas di lingkungan Ekonomi Syariah.
E. Metode dan Desain Penelitian
1. Metode Penelitian
12
Penelitian ini merupakan penelitian ini merupakan penelitian hukum
empiris yakni penelitian hukum yang mengkaji dan menganalisis tentang
perilaku hukum individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum dan
sumber data yang digunakan berasal dari data primer.12 Menurut Salim HS,
penelitian hukum empiris merupakan penelitian hukum yang menganalisis dan
mengkaji bekerjanya hukum di masyarakat yang dapat dikaji dari tingkat
efektifitas hukum, kepatuhan terhadap hukum, peranan lembaga atau institusi
hukum dalam penegakkan hukum, implementasi aturan hukum, dan lain
sebagainya.
Data yang didapat dianalisis secara kualitatif. Hal itu dilakukan dilakukan
karena dalam prosesnya, penelitian ini tidak menggunakan alat statistik untuk
menganalisis data primer. Namun menggunakan data tabel dan grafik pada
awalnya, lalu ditafsirkan. Kemudian selanjutnya akan ditarik kesimpulan
setelah dilakukan wawancara.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang riil dari kejadian
yang sebenarnya. Sehingga pembaca dapat memahami hasil penelitian secara
gamblang dan menyeluruh.
Pada dasarnya jenis penelitian empiris yang dilakukan sangat erat dengan
pendekatan sosiologis. Untuk itu, langkah memperoleh data harus terjun
langsung ke lapangan. Dengan begitu kesimpulan yang terungkap bisa jelas dan
akurat.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan dan
perbandingan hukum dan efektifitas hukum. Pendekatan Perbandingan
merupakan pendekatan untuk menganalisis dua atau lebih hukum atau
instrumen hukum agar mendapatkan penjelasan tentang persamaan dan
12 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 20-21.
13
perbedaanya. Sedangkan pendekatan efektifitas merupakan pendekatan untuk
mengkaji keberlakuan, pelaksanaan, dan keberhasilan dalam pelaksanaan
hukum.
Pendekatan perbandingan dilakukan untuk menungkap kelebihan dan
kekurangan diantara instrumen hukum yang dibandingkan. Setelah itu penulis
menggunakan pendekatan efektifitas guna melihat keberhasilan lembaga-
lembaga yang dibandingkan dalam menyelesaikan sengketa perbankan,
sehingga terungkap mana lembaga yang mempunyai kinerja lebih baik mana
yang tidak.
Perbandingan dan efektifitas merupakan pendekatan-penekatan yang
berkaitan erat penelitian empiris. Untuk itu penulis harus terjun langsung ke
lapangan guna mendapatkan data yang sesungguhnya (field research).
Fungsinya adalah untuk melihat keadaan yang akan diteliti lewat kejadian nyata
di lingkungan masyarakat.
3. Jenis Data Penelitian
Penulis menggunakan data primer karena sebagai bahan utama
menggarap penelitian ini. Data primer adalah data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan.13 Data primer disebut juga data empiris berupa data
hasil wawancara dengan narasumber, data hasil observasi, dan dokumen-
dokumen terkait dengan objek penelitian.
Penulis juga menggunakan data sekunder yakni bahan hukum yang
memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti naskah
akademis, undang-undang, peraturan-peraturan terkait, hasil penelitian ahli
hukum, dan lain sebagainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga
teknik, yaitu:
13 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, h. 16
14
a. Wawancara atau Interview
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan
ide melalui tanya jawab sehinga dapat mengkontruksi suatu topik
tertentu. Orang yang di wawancara disebut narasumber yakni orang
yang memberikan pendapat atas objek yang diteliti.14 Narasumber yang
diwawancarai dalam penelitian ini adalah para hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, Mediator dan Sekretaris Basyarnas, serta
Mediator dan Direktur LAPSPI.
b. Observasi
Obeservasi adalah teknik pengumpulan data melalui pengamatan
langsung atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau
lokasi penelitian. Dalam hal ini, peneliti dengan berpedoman kepada
desain penelitiannya perlu mengunjungi lokasi penelitian untuk
mengamati langsung berbagai hal atau kondisi yang ada di lapangan.
Penemuan ilmu pengetahuan selalu dimulai dengan observasi dan
kembali kepada observasi untuk membuktikan kebenaran ilmu
pengetahuan tersebut.
c. Data Dokumen
Dokumen merupakan catatan pepristiwa yang sudah berakta. Dokumen
biasa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya muonumental dari
seseorang. Dalam penelitian ini, dokumen-dokumen yang penulis ambil
dari objek penelitian adalah laporan tahunan masing-masing lembaga
pada tahun 2017. Selain itu penulis juga mendapatkan dokumen tentang
akta pendirian, struktur organisasi, dan lain sebagainya.
5. Alat analisis
Analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi,
sehingga karakteristik data tersebut dapat dengan mudah dipahami. Penelitian
ini menggunakan teori penegakan hukum yang dikemukakan oleh Lawrence
14 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, h. 25.
15
Friedman sebagai alat analisis. Menurut Friedman ada 3 (tiga) hal yang harus
diperhatikan dalam penegakkan hukum, yakni struktur hukum, substansi
hukum, dan kultur hukum. Tiga poin ini juga menjadi indikator yang digunakan
penulis dalam membandingkan objek penelitian.
Penelitian ini menganalisis data secara kualitatif. Cara ini tidak
menggunakan alat statistik, namun dilakukan dengan meninterpretasikan tabel-
tabel grafik, atau angka-angka yang ada; kemudian dilakukan uraian dan
penafsiran.
Analisis yang dilakukan juga bersifat deskriptif, yakni dengan
menggambarkan karakteristik sesuatu dengan cara yang sistematis dan akurat.
Sehingga kejadian sebenarnya yang terungkap akan sulit ditolak kebenarannya.
Penelitian dengan analisis deskriptif ini tidak digunakan untuk menguji
hipotesis, tetapi untuk memberikan informasi mengenai kondisi fisik, sosial,
perilaku, ekonomi, atau psikologi dari suatu masyarakat.
F. Sistematika Penulisan
Agar penjelasan hasil penelitian dapat digambarkan secara jelas dan
menyeluruh, maka penulis membagi penelitian ini menjadi 5 (lima) bab yang saling
berkesinambungan. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut.
Bab Pertama merupakan pendahuluan yang isinya menyediakan gambaran
penelitian secara menyeluruh. Pada bab pertama ini terdapat 6 (enam) sub bab
pembahasan, yakni latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan desain penelitian,
serta Sistematika penulisan.
Bab Kedua menyajikan Tinjauan Pustaka. Ada 6 Sub bab pembahasan, meliputi
Tinjauan Studi Komparasi, Tinjauan perbankan syariah yang merupakan bagian
dari ekonomi syariah, Tinjauan sengketa perbankan syariah , Tinjauan Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah, Kajian Penelitian Terdahulu (Literatur Review), dan
Kerangka Teori Konseptual. Kajian Penelitian Terdahulu adalah menelaah
16
penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini, terutama yang
memiliki fokus penelitian yang sama.
Bab Ketiga berisi tentang profil lembaga yang dijadikan objek penelitian serta
penyelesaian sengketa perbankan syariah dimasing-masing lembaga. Pada Bab ini
ada 3 (tiga) sub bab pembahasan. Sub bab pertama adalah Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, didalamnya dibahas profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
proses penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui cara litigasi. Kemudian
sub bab kedua adalah Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), didalamnya
juga menjelaskan profil dan proses penyelesaian sengketa perbankan syariah,
namun melalui cara non litigasi ala Basyarnas. Yang terakhir adalah sub bab
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) yang
memuat sama seperti sub bab kedua, yakni tentan profil dan cara penyelesaian
sengketa di LAPSPI.
Bab Keempat merupakan inti dalam penulisan penelitian ini, yaitu
perbandingan Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah lewat jalur litigasi dan non
litigasi. Pembahasannya meliputi komparasi penyelesaian sengketa perbankan
antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas), dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI). Pembahasannya menggunakan teori-teori yang telah dijelaskan dalam
Bab II (dua). Dengan tujuan dapat menjawab rumusan masalah yang telah
dipaparkan di Bab I (satu).
Bab kelima adalah bab penutup. Pada bab ini, penulis memberi kesimpulan berupa
jawaban dari semua permasalahan penelitian yang telah dianalisis. Penulis juga
memberikan beberapa saran atas temuan penelitian yang berguna untuk kemajuan
pelaksanaan penyelesaian sengketa perbankan syariah di lembaga litigasi dan non
litigasi.
17
BAB II
PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
SYARIAH : PENGERTIAN DAN PENGATURANYA DI INDONESIA
A. Pengertian Studi Perbandingan
Studi perbandingan disebut juga studi komparasi. Dalam penelitian seringkali
para peneliti menambahkan kata “studi” diawalnya yang menunjukkan bahwa
perbandingan adalah sebuah bidang keilmuan. Kemudian “komparasi” merupakan
kata benda hasil serapan (transliterasi) dari bahasa Inggris comparison yang artinya
perbandingan, atau vergleich (Jerman) dan vergelijking (Belanda) yang artinya cara
untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari sesuatu yang dibandingkan. Lalu
dalam penelitian ini disebut perbandingan hukum atau komparasi hukum karena
menjadikan hukum/instrumen hukum sebagai objeknya.15
Manurut Zainuddin Ali, penelitian perbandingan hukum adalah bagian dari
penelitian yuridis empiris (field research) karena unsur yang dibandingkan harus
diketahui jelas keadaannya, untuk itu data utamanya adalah primer yang
pengambilannya dilakukan langsung dari lapangan. Adapun yang termasuk
penelitian yuridis empiris antara lain penelitian identifikasi hukum, efektifitas
hukum, perbandingan hukum, sejarah hukum, dan psikologi hukum.16
Secara Pengertian, perbandingan hukum adalah suatu penelitian yang dilakukan
oleh peneliti dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-
undang dari satu atau lebih negara lainnya mengenai hal yang sama. selain itu dapat
juga membandingkan putusan pengadilan dari beberapa negara mengenai kasus
yang sama. Pendekatan tersebut berfungsi untuk mendapatkan persamaan dan
15 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative
Civil Law, (Jakarta: Rajawali Express, 2015, Cetakan Kedua), hlm. 6.
16 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Cetakan kedua),
hlm. 43.
18
perbedaan antar undang-undang atau putusan. Dengan demikian, peneliti akan
menemukan filosofi hukum yang termuat dalam objek yang dibandingkan.
Menurut Dr. H Salim. HS Perbandingan Hukum (Perdata) adalah metode atau
cara untuk mengetahui perbedaan atau persamaan dari ketentuan-ketentuan hukum
perdata yang berlaku di dalam suatu negara antara sistem hukum perdata, antara
negara yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Barda Nawawie Arief, perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan
yang secara sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan
mempergunakan metoda perbandingan.17
Seperti disinggung di awal paragraf bahwa para pakar hukum menilai
perbandingan hukum adalah sebuah disiplin ilmu. Namun demikian sesungguhnya
perbandingan hukum juga merupakan sebuah metode. Adapun usur-unsur yang
dibandingkan dalam sebuah penelitian hukum mencakup :
1. Struktur hukum, yakni lembaga-lembaga hukum;
2. Substansi hukum, yakni perangkat kaidah atau perilaku teratur;
3. Budaya hukum, yakni perangkat dan nilai-nilai yang dianut.18
Masing-masing dari ketiga unsur tersebut dapat dibandingkan dengan unsur
lainnya yang mempunyai tipe yang sama, atau dapat juga dapat dibandingkan
secara kumulatif baik yang menyangkut kesamaann atau berkaitan dengan
perbedaan.19
Pendapat selanjutnya tentang unsur-unsur yang dibandingkan ada dari pakar
hukum Peter De Cruz. Dia mengungkapkan:
17 Barda Nawawie Arief, Perbandingan Hukum Pidana , (Jakarta: Raja grafindo, 1990),
hlm. 3.
18 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005, Cetakan ketujuh), hlm. 98.
19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990, Cetakan ketiga), hlm. 101.
19
“Perbandingan hukum digunakan untuk menggambarkan studi sistematik
mengenai tradisi hukum dan peraturan hukum tertentu yang berbasis
komparatif. Untuk bisa dikatakan sebagai hukum komparatif yang
sesungguhnya, ia juga membutuhkan perbandingan dari dua atau lebih sistem
hukum atau dua atau lebih tradisi hukum; atau aspek-aspek terseleksi, istitusi,
atau cabang-cabang dari dua atau lebih sistem hukum”.
Dari pernyataan Peter De Cruz dapat diambil poin bahwa perbandingan hukum
dilakukan untuk membandingkan (unsur-unsur):
1. sistem hukum;
2. tradisi hukum;
3. aspek tertentu yang terseleksi;
4. institusi atau cabang-cabangnya.
Pada poin yang pertama, sistem hukum yang diungkapkan Peter De Cruz, Dr.
H. Salim menjelaskan bahwa ada dua pengertian sistem hukum, yakni dalam artian
luas dan sempit. Dalam arti luas sistem hukum didefinisikan sebagai falsafat
yuristik dan teknik-teknik yang digunakan sebuah negara yang secara umum
memiliki kesamaan hukum. Sedangkan dalam arti sempit sistem hukum definisikan
sebagai peraturan dan institusi hukum dari sebuah Negara.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Bambang Sunggono dan Peter De
Cruz, perbandingan hukum dapat dilakukan untuk membandingkan institusi hukum
yang bekerja di sebuah negara. Seperti halnya membandingkan pengadilan dengan
pengadilan, badan arbitrase dengan badan arbitrase, maupun badan arbitrase dengan
pengadilan, dengan catatan topik perbandingannya setara (apple to apple).
Peter De Cruz seperti dikutip dalam sebuah buku mengungkapkan tujuan penelitian
komparatif (hukum) ada 5, adapun kelimanya meliputi:
1. Sebagai alat disiplin akademis;
2. Sebagai bantuan bagi legislasi dan perubahan hukum;
3. Sebagai perangkat kontruksi;
4. Sebagai sarana memahami peraturan hukum;
20
5. Sebagai kontribusi bagi penyatuan sistematik dan harmonisasi hukum.20
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, secara garis besar ada dua manfaat
mempelajari perbandingan hukum, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Manfaat teoritis merupakan kegunaan, faidah, atau keuntungan yang berkaitan atau
berhubungan dengan perkembangan teori yang meliputi pengumpulan pengetahuan
baru, peranan edukatif, alat bantu bagi disiplin-disiplin lain terutama bagi sosiologi
hukum dan antropologi hukum; instrumen untuk melihat perkembangan hukum;
dan sumbangan doktrin.
Manfaat praktis merupakan kegunaan atau faedah atau keuntungan yang
berkaitan dengan praktik. Adapun manfaat praktisnya antara lain untuk
kepentingan undang-undang seperti membantu dan membentuk undang-undang),
kepentingan peradilan seperti mengungkap proses penerapan hukum, kepentingan
perjanjian internasional dan kepentingan terjemahan yuridis.21
B. Pengertian Ekonomi Syariah
1. Sistem Ekonomi Syariah
Ekonomi Islam atau Ekonomi syariah dibangun atas dasar Agama Islam karena
ekonomi merupakan bagian yang terintegrasi dengan agama Islam. sebagai derivasi
agama Islam, maka ekonomi syariah akan mengikuti agama Islam dalam berbagai
aspek. Islam tidak mendefinisikan agama hanya dalam hal ritual saja, namun juga
keyakinan, ketentuan, peraturan serta tuntutan moral bagi setiap aspek kehidupan
manusia. Islam memandang agama sebagai sesuatu yang melekat dengan aktivitas
kehidupan, baik ketika manusia melakukan hubungan dengan Tuhannya maupun
ketika berhubungan dengan manusia lainnya.
Menurut Muhammad bin Abdullah Al Arabi Ekonomi Islam adalah kumpulan
prinsip umum tentang ekonomi yang diambil dari Alquran dan Sunnah, dan juga
20 Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum, Common Law, Civil Law, dan Socialist
Law, diterjemahkan oleh Narulita Yusron, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 57.
21 Sudikno Mertokusumo, “Perbandingan Hukum”, http://sudiknoartikel.blogspot.com
/2012/04/ perbandingan-hukum.html, Diakses, 16 Agustus 2018.
21
pondasi ekonomi yang dibangun atas dasar pokok pokok itu dengan
mempertimangkan kondisi lingkungan dan waktu. Kemudian M. Syauki Alfanjari
mendefinisikan Ekonomi syariah sebagai sesuatu yang mengatur dan
mengendalikan aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok-pokok Islam dan politik
ekonomisnya.
Adapun sistem ekonomi Islam mencakup kesatuan mekanisme dan lembaga
yang digunakan untuk mengoperasionalkan pemikiran dan teori-teori ekonomi
Islam dalam kegiatan produksi, distribusu, dan konsumsi. Sistem ekonomi
kemungkinan akan memberikan tekanan pada hak milik tertentu seperti hak milik
individu, hak milik sosial, dan hak milik negara. Suatu sistem ekonomi
kemungkinan memiliki model yang unik dalam mengambil keputusan misalnya
metode sentralistik, desentralistik, atau kombinasi dari keduanya.
Dalam sistem ekonomi syariah terdapat beberapa prinsip dalam
menjalankannya, adapun prinsip-prinsip tersebut seperti prinsip Keadilan (Al-Al-
‘adalah), prinsip kebaikan (Al-ihsan), prinsip pertanggung jawaban (Al-masuliyah),
prinsip Al-kifayah (suffiency), prinsip keseimbangan (Al-wasathiyan), prinsip
kejujuran (Ash-shidiq), prinsip kemanfaatan (Al-manfaat), dan prinsip tertulis
(kitabah).
Selain prinsip-prinsip diatas, ekonomi syariah juga mempunyai 5 (lima) nilai,
adapun nilai-nilai tersebut adalah:
a. Nilai Ketuhanan (Ilahiyah)
Ekonomi syariah atau ekonomi Islam (iqtishad al islamiyah) merupakan
sistem ekonomi yang bersumber dari ajaran Allah Subhanahuwwata’ala.
Berangkat dari statement tersebut, ekonomi Islam mempunyai tujuan akhir
untuk mendapatkan ridha dari Allah (li mardha ti llah). Jadi segala aktivitas
ekonomi berupa produksi, konmsumsi, dan distribusi senantiasa dikaitkan
dengan nilai-nilai Ilahiyah dan harus selaras dengan tujuan yang telah
ditetapkan-Nya. Sebagaimana termaktud dalam Alquran Surat An-Najm ayat
31.
22
Bentuk kongkret dari nilai ketuhanan (Ilahiyah) adalah tauhid yang
merupakan fondasi fundamental dalam ajaran Islam. Dengan tauhid tersebut,
terbentuklah 3 (tiga) asas pokok filsafat ekonomi Islam, yakni pertama, dunia
dengan segala isiniya adalah milik Allah Subhanahuwwata’ala dan berjalan
menurut kehendak-Nya. Kedua, Allah Subhanahuwwata’ala adalah pencipta
seluruh mahluk dan semua mahluk tunduk kepada-Nya. Ketiga, secara
horizonntal iman kepada hari akhir (kiamat) akan mempengaruhi perilaku
manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi. Hal ini mempunyai maksud agar
manusia tidak hanya memikirkan kenikmatan sesaat saja, namun juga
memikirkan akibat panjang dari aktivitas ekonomi yang dilakuka karena itu bisa
menjadi bekal di akhirat kelak.22
b. Nilai Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh (Al-Adl)
Masyarakat muslim adalah masyarakat yang solid. Dalam masyarakat
muslim yang solid terdapat tatanan sosial yang kuat yang dihasilkan dari
persaudaraan dan kasih sayang. Persaudaraan yang tercipta merupakan
hubungan yang luas yang tidak terikat oleh letak geografis, namun bersifat
universal. Solidnya ikatan persaudaraan tersebut terasa dalam berjalannya
aktivitas sehari-hari, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Salah satu perekat
persaudaraan dalam beraktivitas adalah nilai keadilan. Keadilan disini tentu
berdasarkan katagori adil menurut Alquran dan Hadits, juga berdasarkan
pertimbangan hukum alam dengan prinsip keseimbangan dan keadilan. Adapun
keadilan dalam ekonomi harus di wujudkan dalam bentuk penentuan harga,
kualitas produk, perlakuan terhadap pekerja, dan dampak dari kebijakan
ekonomi yang dikeluarkan. Menurut pakar ekonomi Islam, keadilan ekonomi
berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap masyarakat, sumber
22 Ika Yuni Fauziah dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Perspektif
Maqasid al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 31.
23
pendapatan yang terhormat, distribusi pendapatan, dan kekayaan secara merata
serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang baik.23
c. Nilai Keadilan Distribusi Pendapatan
Nilai keadilan distribusi pendapatan dalam ekonomi Islam merupakan
prinsip yang tidak menghendaki adanya kesenjangan dalam hal pendapatan dan
kekayaan alam yang ada dalam masyarakat. Kesenjangan harus diatasi dengan
berbagai cara antara lain menghapuskan monopoli, kecuali dalam bidang-
bidang tertentu yang dilakukan oleh pemerintah; menjamin hak dan kesempatan
seluruh pihak dalam berkativitas ekonomi baik produksi, konsumsi, distribusi,
dan sirkulasi; menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh anggota
masyarakat; melaksanakan amanah attakaful al-ijtima’i atau social economic
security insurance dimana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak
mampu.
d. Nilai Kenabian (An-Nubuwah)
Nabi merupakan manusia pilihan yang diutus olah Allah
Subhanahuwwata’ala tuhan semesta alam kepada umat manusia. Nabi menjadi
seorang pemimpin dan sosok teladan yang sempurna (Nabi Muhammad SAW).
Sosok Nabi merupakan pengejawantahan nilai-nilai agung yang menjadi
pedoman umat, karena akhlak Nabi adalah akhlak yang berlandaskan Alquran
dan Alhadits. Kesempurnaan Nabi terdapat disegala lini kehidupannya
termasuk dalam bermuamalah. Dalam bermuamalah, hendaknya masyarakat
muslim melakukan aktivitas sebagaimana Nabi SAW bermuamalah. Aktivitas
yang dilakukan selalu mengandung nilai-nilai kenabian yang patut diteladani.
Adapun nilai-nilai tersebut adalah Shidiq yang berarti benar, jujur dan valid;
Amanah yang berarti bertanggung jawab, Tabligh yang berarti komunikatif,
23 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
Cetakan ke-26), hlm. 13.
24
transparan, dan marketable; dan Fathonah yang berarti cerdas, bijaksana, dan
profesional.
e. Nilai Kepemimpinan (Khilafah)
Khilafah merupakan representasi bahwa manusia adalah pemimpin
(khalifah) di bumi ini. Allah Subhanahuwwata’ala memberikan bekal potensi
mental dan spiritual kepada umat manusia, serta bekal sumber daya alam dan
materi yang dapat dimanfaatkan untuk keberlangsungan hidupnya. Sehingga
konsep khilafah ini melandasi kehidupan kolektif manusia (hablum minan
naas). Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi
(muamalah) antar pelaku ekonomi dan bisnis, agar dapat meminimalisir
persengketaan dalam kehidupan mereka.
2. Bentuk-Bentuk Transaksi Ekonomi Syariah
Ada beberapa transaksi dalam ekonomi syariah, transaksi tersebut antara lain
transaksi berbasis jual beli, transaksi berbasis sewa-menyewa, transaksi berbasis
kemitraan, transaksi berbasis titipan atau simpanan, dan transaksi berbasis jasa.
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Transaksi Berbasis Jual-Beli (Murabahah)
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan ditambahkan
keuntungan yang disepakati. Dalam murabahah penjual harus memberitahu
harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
pendapatannya.24 Transasksi murabahah banyak ditemukan dalam produk bank
syariah dalam kegiatan usahanya. Murabahah menduduki porsi 66% dari semua
transaksi investasi bank-bank syariah di dunia. Bagi bank syariah akad atau
transaksi murabahah memiliki manfaat adanya keuntungan yang munvul dari
selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.
24 Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), hlm. 11-12
25
b. Transaksi Berbasis Sewa Menyewa (Ijarah)
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ijarah adalah sewa
barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. Dengan kata lain,
ijarah merupakan pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Dalam perkembangannya muncul istilah Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT)
transaksi ini adalah perpaduan kontrak jual beli dan sewa \, lebih tepatnya akad
sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangans si penyewa. Sifat
perpindahan kepemilikian inilah yang membedakannya dengan ijarah biasa.
c. Transaksi Berbasis Kemitraan
Ada beberapa transaksi yang megandung unsur kemitraan, Pertama
mudharabah yakni akad kerjasama dalam suatu usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak yang kedua bertindak
selaku pengelola, lalu keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai dengan
kesepakatan yang tertuang di dalam perjanjian (kontrak).
Kedua musyarakah atau disebut juga sebagai syirkah yakni akad kerjasama
antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau
kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan
nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.
Ketiga muzaraah yaitu bentuk kerjasama dalam pengelolaan pertanian
antara pemilik lahan dan pengggarap dimana pemilik memberikan lahan
pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan
bagian tertentu dari hasil panen.
Keempat musaqah yaitu kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan
tanaman dan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara tanaman
sebagai nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat. Musaqah
merupakan bentuk sederhana dari muzaraah dimana sipenggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan, sebagai gantinya dia
mendapatkan nisbah yang telah disepakati.
26
d. Transaksi Berbasis Titipan Atau Pinjaman (Wadiah)
Menurut Kompolasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Wadiah adalah
penitipan dana antara para pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan
yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Wadiah terbagi menjadi dua yakni
yadh amanah dan yadh dhamanah.
e. Transaksi Berbasis Jasa
Transaksi ekonomi syariah berbasis jasa yang pertama adalah wakalah.
Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.
Maksudnya wakalah merupakan jasa penilipan uang atau surat berharga dimana
bank mendapat kuasa dari yang menitipkan untuk mengelola uang atau surat
berharga tersebut, dan atas jasanya bank mendapatkan fee.
Kedua kafalah, yakni jaminan yang diberikan oleh penangguung (kaafil)
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah berarti mengalihkan tanggung jawab
seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain
sebagai penjamin.
Ketiga hawalah, yakni pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah lain para ulama
menjelaskannya sebagai pemindahan beban utang dari muhil (orang yang
berutang) kepada muhal alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
Keempat Rahn atau gadai. Dalam istilah perbankan disebut juga agunan.
Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan atau
barang jaminan bagi pelunasan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank
atau kreditur.
Kelima qardh, yakni penyediaan dana atau tagihan antara lembaga
keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu
tertentu. Dalam Fatwa DSN MUI dijelaskan bahwa qardh merupajan pinjaman
27
yang diberikan kepada nasabah yang memerlukan dengan ketentuan pokok
yang diterima pada waktu yang disepakati bersama dan dalam praktik
perbankan di Indonesia, segala biaya administrasi akibat transaksi qardh dapat
dibebankan kepada nasabah.
3. Instrumen-Instrumen Ekonomi Syariah
Adapun instrumen-instrumen ekonomi syariah yang dimaksud disini adalah
kegiatan ekonomi syariah yang menjadi ranah absolut pengadilan agama dalam
menyelesaikan sengketanya. Sebelumnya, kewenangan Pengadilan Agama
bertambah yakni dalam bidang Ekonomi Syariah sebagaimana yang disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada Pasal 49 huruf (i) yang berbunyi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di bidang : a) perkawinan; b) waris; c)
wasiat; d) hibah; e) wakaf; f) zakat; g) infak; h) sedekah; i) ekonomi
syariah”
Kemudian ruang lingkup Ekonomi Syariah dijelaskan pada penjelasan dari Pasal
49 huruf (i). Adapun berdasarkan penjelasan tersebut ruang lingkup ekonomi
syariah meliputi:
a) Bank syariah;
b) Lembaga keuangan mikro syariah;
c) Asuransi syariah;
d) Reasuransi syariah;
e) Reksadana syariah;
f) Obligasi syariah dan surat berjangka menengah syariah;
g) Sekuritas syariah;
h) Pembiayaan syariah;
i) Pegadaian syariah;
j) Dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan
k) Bisnis syariah.
28
Sekalipun demikian kegiatan ekonomi syariah sangat luas dan variatif, seiring
dengan berjalannya waktu dan semakin berkembangnya inovasi-inovasi yang
dilakukan para ekonom Islam khususnya dalam sektor perbankan syariah.25 Adapun
penjelasan dari masing-masing instrumen ekonomi syariah diatas adalah sebagai
berikut:
a) Bank Syariah
Bank Syariah atau disebut juga Bank Islam adalah bank yang beroperasi
sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyariakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan /atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat. Sedangkan Bank Syariah adalah bank yang
menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri
atas bank umum dan bank pembiayaan rakyat syariah.
Kegiatan bank syariah pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan bank
konvensional. Kegiatan usaha tersebut secara garis besar digolongkan dalam 3
(tiga) aspek, yaitu penghimpunan dana (funding) seperti tabungan, giro, dan
deposito yang menggunakan akad wadiah atau mudharabah; penyaluran dana
(lending) seperti pembiayaan murabahah, mudharabah, musyarakah, dan
qardh; pelayanan jasa perbankan lainnya seperti penyediaan bank garansi, jual
beli mata uang asing, penyediaan layanan transfer tunai yang menggunakan
akad ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, dan sebagainya.
b) Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga
keuanganan yang khusus didirikan untuk memeberikan jasa pengembangan
25 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan & Kaidah Hukum,
(Jakarta: Kencana, 2018), hlm. 18-19.
29
usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan
dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelola simpanan,
maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-
mata mencari keuntungan.26
Selain menjalankan aktivitasnya secara konvensional, LKM juga beroperasi
berdasarkan prinsip syariat. Khususu untuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(LKMS), kegiatan dilakukan dalam bentuk pembiayaan, bukan simpanan.
Pembiayaan disini diartikan sebagai penyediaan dana kepada masyarakat yang
harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan menurut prinsip syariat.
Sebelum beroperasi LKMS perlu mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Bentuk badan hukumnya bisa berbentuk koperasi atau perseroan
terbatas.
c) Asuransi Syariah
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN MUI) Nomor 21 tentang
Pedoman Asuransi Syariah, Asuransi Syariah (Ta’min Takaful atau Tadhamun)
adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah
orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan /atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Di Indonesia sendiri Asuransi Syariah lebih dikenal dengan istilah Takaful.
Takaful mempunyai arti menanggung, maksudnya tanggung menanggung
resiko. Adapun akan yang digunakan dalam kegiatan asuransi syariah ini adalah
akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad tabarru’ meliputi akad hibah, wakalah,
dan kafalah; sedangkan akad tijarahnya meliputi akad musyarakah,
mudharabah, ijarah, dan lain sebagainya.
d) Reasuransi Syariah
26 Lihat Ayat 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
30
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian,
Reasuransi diartikan sebagai usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko
yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau
perusahaan reasuransi lainnya. Sedangkan reasuransi syariah adalah usaha
pengelolaan risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah, perusahaan
penjamin syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya.27
e) Reksadana Syariah
Reksadana adalah suatu wadah yang digunakan untuk menghimpun dana
dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio
efek oleh manajer investasi yang telah mendapatkan izin dari Bapepam.
Reksadana dapat terdiri dari berbagai macam instrumen surat berharga seperti
saham, obligasi, instrumen pasar uang, atau campuran dari instrumen-instrumen
tersebut.
Reksadana syariah mempunyai pengertian yang sama dengan konvensional,
namun cara pengelolaan dan kebijakan investasinya dilakukan dengan landasan
syariat Islam baik dari segi akad, pelaksanaan investasi, maupun dari
pembagian keuntugan, dimana berujuan untuk memenuhi kebutuhan kelompok
investor yang ingin memperoleh pendapatan investasi dari sumber dan cara
yang bersuh dan dapat dipertanggung jawabkan secara religius serta sejalan
dengan prinsip-prinsip syariat.28
f) Obligasi dan Surat Berjangka Menengah Syariah
Obligasi Syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip-
prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah
yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang
27 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
28 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan & Kaidah Hukum,
hlm.25.
31
obligasi berupa hasil/margin/fee serta membayar dana obligasi pada saat jatuh
tempo.
Obligasi syariah ini sudah diatur ketentuannya dalam Fatwa DSN MUI
Nomor 32/DSN-MUI/XI/2002 tentang Obligasi Syariah. adapun pengaturan
yang terdapat dalam fatwa tersebut meliputi ketentuan akad yang digunakan
dalam penerbitan obligasi seperti mudarabah, musyarakah, murabahah, salam,
istisna, dan ijarah dan jenis usaha emiten (mudharib) yang tidak boleh berupa
usaha haram atau bertentangan dengan syariah Islam. Terkait jenis usaha yang
dilakukan emiten ini, usaha yang dilakukan haruslah memperhatikan substansi
yang terkandung dalam Fatwa DSN MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001
tentang Reksadana Syariah.29
g) Sekuritas Syariah
Seiring berkembangnya zaman, instrumen investasi di pasar modal ikut
berkembang. Salah salah satu perkembangannya ada pada perusahaan sekuritas.
Menyambut animo masyarakat terhadap ekonomi syariah, perusahaan sekuritas
berlomba-lomba membuka bidang syariahnya. Sekuritas Syariah begitu
sebutannya. Sekuritas syariah adalah suatu bentuk kepemilikan berupa secarik
kertas yag berisikan bentuk kepemilikan untuk mendapatkan bagian dari suatu
kekayaan ataupun prospek atas perusahaan yang menerbitkan sekuritas itu dan
juga apapun kondisi yang bisa melaksanakan hak tersebut berdasarkan prinsip-
prinsip syariah.30
Investasi yang dilakukan investor diperantarai oleh perusahaan sekuritas.
Investor tentu memilih perusahaan sekuritas terbaik untuk perantara
perdagangan efek untuk mendapatkan keuntungan. Ketentuan mengenai hal ini
tertulis dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.04/2016
29 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan & Kaidah Hukum,
hlm. 26-27
30 Ahmad Kamil, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 151.
32
tentang Perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan Usaha Sebagai
Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedangan Efek.
Perusahaan Sekuritas yang berbasis syariah, kini ada untuk investor yang
ingin berinvestasi di pasar midal namun dengan mengikuti syariah dan kaidah
Islam. Perusahaan sekuritas syariah sudah bisa bersaing dengan perusahaan
sekuritas konvensional. Perusahaan Sekuritas berbasis syariah didukung oleh
berbagai pihak di berbagai sektor, seperti kepemilikannya yang dimiliki oleh
pihak BUMN dan swasta.
h) Pembiayaan Syariah
Pembiayaan syariah adalah penyediaan uang atau taguhan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan
uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau
bagi hasil.31
Yang menyediakan fasilitas pembiayaan syariah adalah perusahaan
pembiayaan syariah. Perusahaan Pembiayaan Syariah (PP Syariah) adalah
perusahaan pembiayaan yang dalam menjalankan kegiatan usahanya (hanya
menyalurkan pembiayaan/pendanaa kepada masyarakat) berdasarkan atau
sesuai dengan prinsip akad syariah dan dalam struktur organisasi kepengurusan
organisasinya memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang berfungs-i untuk
memastikan prinsip syariah telah dijalankan dengan benar dan baik.32 Kegiatan
Pembiayaan Syariah ini telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan
Syariah, yakni Penyelenggaraan Investasi, Pembiayaan Jasa, dan Kegiatan
Usaha pembiayaan syariah lain yang telah disetujui oleh OJK.
31 Lihat Ayat (2) Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentagng Perbankan.
32 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan & Kaidah Hukum,
hlm. 28.
33
i) Pegadaian Syariah
Pegadaian Syariah adalah perjanjian atau akad utang-piutang dengan
menjadikan harta sebagai kepercayaan atau penguat hukum dan yang memberi
pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ini menuntut
haknya. Gadai alam bahasa arab disebut Rahn, dalam Fatwa DSN MUI Rahn
adalah menahan barang sebagai jaminan atas sesuatu.
j) Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun,
Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program
yang menjanjikan manfaat pensiun. Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN-MUI) Nomor 88/DSN-MUI/XI/2013 tentang Pedoman Umum
penyelenggaraan Program Pensiun Syariah, Dana Pensiun adalah bada hukum
yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
Adapun dana pensiun syariah adalah dana pensiun yang menyelenggarakan
program pensiun berdasarkan prinsip syariah.
k) Bisnis Syariah
Bisnis Syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
perorangan, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum
dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial
menurut prinsip syariah. Bentuk dari bisnis syariah seperti travel syariah (biro
perjalanan syariah), perhotelan syariah, dan lain sebagainya.
C. Pengertian Sengketa Perbankan Syariah
1. Sengketa dan Macam-Macamnya
Sengketa atau umumnya sering disebut sebagai konflik merupakan situasi
dimana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu
dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gagal
mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk
34
memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka.33 Kemudian oleh
penulis lain sengketa didefinisikan sebagai pertentangan, perselisihan, atau
percekcokan, yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak lainnya yang
berkaitan dengan hak yang bernilai baik berupa uang atau benda.34
Sengketa terjadi karena tidak adanya kesepakatan atau titik temu dalam
permasalahan yang dihadapi oleh para pihak. Masing-masing pihak yang
bersengketa mempunyai kepentingan yang dipertahankan dan tidak dapat
menurunkan kapasitas kepentingan mereka untuk mencari jalan tengah (damai).
Pendirian yang kuat terhadap kepentingan yang diperjuangkan dan perbedaan
pendapat dapat beranjak ke situasi sengketa. Secara umum pihak secara pribadi
tidak akan mengungkapkan pendapat yang mengakibatkan konflik terbuka karena
hal tersebut dapat mengakibatkan orang tersebut, baik secara pribadi maupun
mewakili lembaga, mendapatkan masalah yang lebih rumit yang dapat mengancam
kedudukannya.35 Pada umumnya yang terjadi lapangan, konflik berkepanjangan
mengakibatkan persengketaan hukum.
Sama halnya pada persengketaan yang terjadi di bidang ekonomi syariah.
Perselisihan antar pihak dapat menyebabkan sengketa ekonomi syariah terjadi.
Seperti contoh kecil dalam hal perjanjian yang tidak ditepati, atau perjanjian yang
dilanggar, lalu menimbulkan sengketa. Adapun terjadinya sengketa pada umumnya
disebabkan oleh beberaoa faktor:
a. Konflik Data (Conlict of Data)
Ada beberapa hal yang melatar belakangi terjadinya konflik data,
diantaranya seperti kekurangan informasi (lack of information), kesalahan
33 Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadapp Pengadilan, (Jakarta: STIH
IBLAM, 2004), hlm. 64.
34 Anita D. A. Kolopaking, Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Melalui
Arbitrase, (Bandung: PT. Alumni, 2013), hlm. 10.
35 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan & Kaidah Hukum,
hlm. 31.
35
informasi (miss information), adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan
interpretasi terhadap data, dan adanya perbedaan penafsiran, terhadap
prosedural. Data merupakan hal yang sangat penting dalam menyusun suatu
kesepakatan. Untuk itu ketepatan dan kelengkapan data sangat diperlukan agar
kesepakatan dapat tercapai dengan baik dan jelas.
b. Konflik Kepentingan (Conflict of Interest)
Dalam menyusun kesepakatan, masing-masing masing pihak
mengungkapkan kepentingannya. Kepentingan yang dibawa masing-masing
pihak bisa menyebabkan terjadinya konflik jika kepentingan yang dibawa
bertolak atau bentrok satu sama lain. Selain itu ada beberapa penyebab konflik
kepentingan dapat terjadi, diataranya seperti adanya perasaan atau tindakan
persaingan; adanya kepentingan substansi dari para pihak; adanya kepentingan
proseduran; adanya kepentingan psikologi. Konflik kepentingan dapat dicegah
dengan mengatur kembali skala prioritas dari kepentingan yang dibawa oleh
masing-masing pihak. Atau menyusun ulang waktu pelaksanaan dari
kepentingan-kepentingan para pihak.
c. Konflik Hubungan (Conlict of Relationships)
Para pihak yang mengadakan kerja sama haruslah dapat mengendalikan
emosi. Pengendalian emosi ini bertujuan untuk menjaga hubungan antar para
pihak. Hubungan yang terjaga dengan baik dapat memperlancar jalannya
kesepakatan. Namun jika hubungan antar para pihak tidak baik, jangan kan
menjalankan kesepakatan, mencapai kata sepakat dalam suatu bisnis saja akan
sulit tercapai. Hubungan yang buruk menyebabkan konflik hubungan terjadi.
Hubungan yang buruk ini dapat terjadi karena adanya emosional yang kuat,
adanya kesalahan presepsi, miskin komunikasi, kesalahan komunikasi, atau
tindakan negatif yang dilakukan berulang-ulang.
d. Konflik Struktural (Structural Conflict)
Konflik strukturan terjadi karena adanya pola merusak perilaku atau
interasksi, kontrol yang tidak sama, kepemilikan atau distribusi sumber daya
36
yang tidak sama, adanya kekuasaan dan kekuatan, letak geografi suatu tempat,
psikologi yang labil, atau faktor-faktor lingkungan yang menghalangi
kerjasama, serta waktu yang sedikit.
e. Konflik Nilai (Conflict of Velue)
Konflik nilai akan terjadi karena adanya perbedaan kriteria evaluasi
pendapat atau perilaku; adanya perbedaan pandangan hidup, ideologi, atau
agama; dan adanya penilaian sendiri tanpa memperhatikan penilaian orang lain.
2. Tinjauan Perbankan Syariah
Definisi bank dan perbankan telah disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Adapun bunyi pasalnya sebagai berikut:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakkat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Sedangkan “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
bank nencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.”
Menurut OP Simorangkir, “bank adalah salah satu badan usaha lembaga
keuangan uang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa. Adapun pemberian
kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dana-dana yang
dipercayakan oleh pihak ketiga, atau dengan jalan memperedarkan alat-alat
pembayaran baru berupa uang giral.”
Menurut Sentosa Sembiring, “Bank adalah badan usaha yang berbadan
hukum yang bergerak di bidang jasa keuangan. Bank sebagai badan hukum
berarti secara yuridis merupakan subyek hukum yang berarti dapat
pmengikatkan diri dengan pihak ketiga.”36
36 OP Simorangkir, dalam Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Mandar Madju, 2000)
hlm. 1.
37
Bank telah menjadi sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara.
Bahkan lebih dari itu, Bank telah menjadi sistem pembayaran dunia.
Keberadaan bank sangatlah penting, disamping sebagai sistem pembayaran
bank juga sangat menunjang kegiatan bisnis para pengusaha. Bahkan seluruh
masyarakat dari berbagai lapisan kini menggunakan layanan keuangan dari
bank, termasuk orang muslim. Oleh karena itu untuk memenuhi masyarakat
muslim, maka ada inisiatif untuk menciptakan sistem ekonomi dengan
instrumen perbankan yang berlandaskan Alquran dan Alhadits, atau disebut
sebagai Ekonomi Syariah dengan salah satu instrumennya Bank Syariah.37
Bank syariah atau bank Islam adalah badan usaha yang fungsinya sebagai
penghimpun dana dari masyarakat dan penyalur dana kepada masyarakat, yang
sistem dan mekanisme kegiatan usahanya berdasarkan hukum Islam
sebagimana yang diatur dalam Alquran dan Alhadits. 38
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia juga telah disebutkan
definisi dari bank syariah dan perbankan syariah. Definisi tersebut ada pada
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Adapun bunyi pasalnya sebagai berikut:
“Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
Sedangkan, “Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.39
37 Muhammad Sadi IS, Konsep Hukum Perbankan Syariah: Pola Relasi sebagai Institusi
Ingtermediasi dan Agen Investasi, (Malang: Setara Press, 2015) hlm. 37-38.
38 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002), hlm. 11.
39 Lihat Ayat (1) dan Ayat (7), Pasal 1, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah.
38
3. Sengketa Perbankan Syariah
Pada saat ini ekonomi syariah sedang dalam masa pertumbuhannya. Salah satu
indikator pertumbuhannya ditunjukkan dengan meningkatnya angka market share
ekonomi syariah di Indonesia dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat dari
bidang ekonomi syariah ini tentu menandai ketertarikan banyak kalangan termasuk
kalangan akademisi dan praktisi. Ekonomi syariah memberikan nuansa baru di
dunia ekonomi. Ekonomi syariah dengan segala instrumennya hadir memberikan
perbedaan yang menarik. Kelebihan Ekonomi syariah dapat dirasa dari berbagai lini
aktivitasnya termasuk dalam menangani permasalahan yang timbul dari kegiatan
instrumen ekonomi syariah.
Ekonomi syariah mempunyai perbedaan dalam megatasi persoalan ekonomi
yang didasarkan pada ajaran syariat Islam. Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Sallallahu21 alaihi wasallam bersifat universal dan tidak terbatas oleh
ruang dan waktu. Ajaran Islam ini dapat diaplikasikan dalam semua lini kehidupan
manusia dimanapun mereka berada, termasuk diaplikasikan kedalam kegiatan
permasalahan ekonomi syariah yang sedang bertumbuh pesat saat ini.
Dengan pertumbuhan dan perkembangan kegiatan ekonomi syariah maka
peluang terjadinya sengketa atau konflik (dispute) diantara masyarakat para pelaku
ekonomi syariah juga semakin besar. Suatu sengketa bermula dari perselisihan
paham yang kemudian berlarut-larut tidak terselesaikan antara para subjek hukum
yang sebelumnya telah mengadakan hubungan hukum perjanjian, sehingga
pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditimbulkan berjalan tidak harmonis. 40 Dalam
bidang ekonomi syariah, sengketa yang muncul di dalamnya disebut Sengketa
Ekonomi Syariah.
Detail perincian dan ruang lingkup sengketa ekonomi syariah telah dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
40 Suyud Marhono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 12.
39
Tercantum dalam pasal tersebut ruang lingkup ekonomi syariah adalah Bank
syariah, Lembaga keuangan mikro syariah, Asuransi syariah, Reasuransi syariah,
Reksadana syariah, Obligasi syariah dan surat berjangka menengah syariah,
Sekuritas syariah, Pembiayaan syariah, Pegadaian syariah, Dana pensiun lembaga
keuangan syariah, dan Bisnis syariah. Adapun penjelasan masing masing instrumen
ekonomi syariah ini telah sedikit diuraikan di sub bab sebelumnya.
Perbankan Syariah merupakan instrumen ekonomi syariah yang menyumbang
prosentase pangsa pasar terbesar dari seluruh angka market share ekonomi syariah
di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah pada faktanya berjalan berdampingan
dengan perkembangan perbankan syariah. Di satu sisi, bisa disimpulkan bahwa
kesuksesan ekonomi syariah saat ini bergantung pada kesuksesan perbankan
syariah. Tentunya dengan segala kemajuannya, perbankan syariah juga mengalami
potensi konflik yang semakin besar juga. Konflik yang terjadi antar pihak nasabah
dengan pihak bank bisa menjadi sengketa jika berlarut-larut dan tidak terselesaikan.
Sengketa dalam bidang perbankan syariah seperti ini disebut sengketa perbankan
syariah.
D. Pengertian Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah
Penyelesaian sengketa merupakan jalan/cara, prosedur ataupun mekanisme
yang ditempuh oleh para pihak guna menyelesaikan perselisihan atau konflik atas
perbedaan kepentingan para pihak bersengketa.41 Dalam bahasa Arab penyelesaian
sengketa disebut Ash-Shulhu yang mempunyai arti memutuskan pertengkaran atau
perselisihan. Dalam tinjauan hukum Islam, penyelesaian sengketa atau As-Shulhu
adalah suatu jenis akad (perjanjian) antara dua orang yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa bertujuan agar permasalahan yang ada dapat diselesaikan
41 Sufiarina, Urgensi Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah,
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-43 No. 2. April-Juni, 2013, hlm. 206.
40
sehingga tidak menimbulkan konflik yang lebih besar yang berujung pada
ketidakadilan.42
Berdasarkan Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
1/POJK.07/2014, mekanisme penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan,
termasuk perbankan syariah, di tempuh melalui 2 tahapan, yaitu penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan (Internal Dispute
Resolution) dan penyelesaian sengketa melalui peradilan atau lembaga di luar
peradilan (External Dispute Resolution). 43
1. Internal Dispute Resolution (IDR)
Internal Dispute Resolution adalah penyelesaikan masalah berupa pengaduan yang
dialami oleh konsumen sebelum menjadi sengketa. Penyelesaiannya dilakukan
berdasarkan asas musyawarah untuk mencapai mufakat yang diselenggarakan oleh
lembaga jasa keuangan itu sendiri. Adapun alurnya sebagai berikut:
a. Pengaduan Konsumen diterima secara tatap muka, melalui telepon, surat/ surat
elektronik (Kantor Pusat/Kantor Cabang/Kantor Pemasar). Pengaduan yang
telah diterima wajib dicatat dan didaftarkan menggunakan kode registrasi yang
unik;
b. Apabila dokumen telah dinyatakan lengkap, PUJK memberikan tanda terima
registrasi pengaduan sebagai bukti penerimaan pengaduandan dapat digunakan
sebagai akses untuk mengetahui perkembangan proses penanganan pengaduan;
c. Petugas Penanganan Pengaduan menganalisa Keluhan & mengindentifikasi
Permasalahan Konsumen yang meliputi identitias konsumen, materi
pengaduan serta harus memahami ekspektasi Konsumen, dan melakukan
koordinasi dengan unit terkait jika dirasa perlu;
d. PUJK melakukan verifikasi dan analisis untuk menentukan tindak lanjut
penanganan pengaduan. Unit kerja dan/atau fungsi penanganan pengaduan
42 Muhammad Astro dan Muhammad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bandung: Pustaka Setia,
2011), hlm. 152.
43 Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan
41
dapat berkoordinasi dengan unit kerja terkait. Dalam hal diperlukan, maka
PUJK melakukan investigasi untuk memastikan kebenaran pengaduan yang
dikeluhkan oleh Konsumen;
e. PUJK melakukan Eskalasi apabila keluhan tidak dapat diselesaikan langsung
oleh Karyawan Penerima Pengaduan;
f. Jika Pengaduan tidak dapat diselesaikan dalam 20 hari kerja sejak dokumen
dinyatakan lengkap maka PUJK menghubungi Konsumen untuk memberikan
informasi perpanjangan waktu 20 hari kerja dengan kondisis sesuai dengan
Pasal 35 ayat 3 POJK No.1/POJK.07/2013;
g. Karyawan Penanganan Pengaduan menghubungi Konsumen Untuk
menyampaikan penyelesaian pengaduan yang telah dilakukan. Penyelesaian
Pengaduan dapat berupa Ganti rugi atau Permohonan maaf. Penyampaian hasil
penyelesaian pengaduan Konsumen dapat disampaikan oleh PUJK melalui
media antara lain telepon, SMS, surat, surat elektronik, tatap muka, media
online;
h. Apabila Konsumen menolak penyelesaian pengaduan yang diusulkan oleh
PUJK, maka PUJK menginformasikan bahwa Konsumen dapat memilih
penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) sebagaimana diatur dalam POJK
No.1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Sektor Jasa Keuangan;
i. PUJK mengkonfirmasi kepada Konsumen bahwa dibutuhkan kelengkapan
dokumen dan akan menunggu dokumen/informasi tambahan tersebut dalam 7
hari kerja (disesuaikan dengan SOP masing-masing PUJK);
j. Jika Konsumen tidak menyerahkan dokumen/informasi, PUJK mengirimkan
Surat kepada Konsumen bahwa pengaduan dianggap selesai sampai Konsumen
melengkapi dokumen/informasi yang diperlukan.
2. External Dispute Resolution (EDR)
42
Dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa jika tidak mencapai
kesepakatan diantara para pihak, dalam hal ini konsumen dan lembaga jasa
keuangan, maka penyelesaian bisa dilakukan di luar pengadilan atau melalui
pengadilan. Mekanisme adalah disebut tahap External Dispute Resolution (EDR).
External Dispute Resolution berlaku juga untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah. Sejalan dengan itu, Abdul Manan dalam bukunya menyebutkan
bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu melalui lembaga litigasi dan melalui lembaga non litigasi. Lembaga litigasi
adalah lembaga peradilan dan lembaga non litigasi adalah lembaga non peradilan.
Adapun penjelasan mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah di lembaga
litigasi dan non litigasi dapat disimak sebagai berikut.44
a. Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Litigasi (Peradilan)
Litigasi adalah proses penyelesaian sengketa di pengadilan, semua pihak
yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-
haknya. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah
putusan yang menyatakan pihak yang satu menang dan pihak yang lain kalah.
Litigasi juga merupakan proses gugatan atau suatu konflik yang
diritualisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak
menggantikan konflik sesungguhnya. Dimana para pihak memberikan kepada
seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertantangan. Litigasi
merupakan proses yang sangat dikenal (familiar) bagi para lawyer dengan
karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk
memutuskan solusi di antara para pihak yang bersengketa.45
Proses ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangannya adalah
litigasi memaksa para pihak pada posisi yang ekstrem dan memerlukan
pembelaan (advocacy) atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi keputusan
44 Amran Suadi, Abdul Manan, Ilmuan dan praktisi hukum: Kenangan Sebuah Perjuangan,
45 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, hlm. 24.
43
dan mengangkat kepentingan dan mendorong para pihak melakukan
penyelidikan fakta. Di sisi lain penyelesaian di lembaga litigasi memberikan
kepastian hasil akhir dari sebuah sengketa. Ini yang dianggap sebuah kelebihan
dari lembaga litigasi. Hasil akhir yang disebut putusan ini menetukan status
kemenangan dan kekalahan para pihak, dan memberi titah kepada pihak yang
kalah untuk memenuhi prestasi yang di tuntut oleh pihak yang menang (putusan
yang mempunyai kekuatan eksekutorial).
Tentang kelebihan dan kekurangan lembaga litigasi, para pakar mempunyai
pendapat yang berbeda-beda tergantung dari sisi mana mereka melihat
permasalahan. Adapun Nurnaningsih Amriani berpendapat bahwa lembaga
litigasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris atau melibatkan
banyak pihak, banyak persoalan, dan banyak alternatif penyelesaian yang dapat
dilakukan pada sengketa tersebut. Penyelesaian sengketa melalui lembaga
litigasi atau peradilan mensyaratkan banyak pembatasan sengketa dan persoalan
sehingga hakim atau pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat
keputusan.46
Terlepas dari perbedaan pendapat para pakar tentang kekurangan dan
kelebihan lembaga peradilan (litigasi), peradilan memegang peran sentral dalam
sistem hukum Indonesia sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undangan Dasar 1945 disebutkan bahwa
kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-
badan peradilan yang berada di bawahnya dakam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 24 UUD 1945, pelaksanaannya diatur melalui Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai pengganti Undang-
46 Nurnaningsih Amriani, Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdara di
Pengadilan, (Jakarta: Raja Grafindo, Cetakan ke-1, 2011), hlm. 35-36.
44
Undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Adapun macam-
macam peradilan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman sesuai
yuridikasi yang dimaksud diatas penjelasannya sebagai berikut:
1) Peradilan Umum
Peradilan Umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2008
tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1986
Tentang Peradilan Umum. Pada Pasal 1 UU Nomor 49 Tahun 2008
disebutkan:
“Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi yang hakim-hakimnya terdiri atas
Hakim pada Pengadilan Negeri dan Hakim pada Pengadilan
Tinggi.”
Kemudian definisi Peradilan Umum disebutkan pada Pasal 2 yang berbunyi:
“Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari kadilan pada umumnya.”
Dengan demikian, dalam lingkungan peradilan umum terdapat
Pengadilan Negeri yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding.
Peradilan umum merupakan peradilan rakyat yang memeriksa dan
mengadili perkara perdata dan pidana. Pada Peradilan Umum juga
terdapat Pengadilan Khusus yaitu Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM), Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Korupsi,
Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan. Masing-
45
masing dari pengadilan tersebut menyelesaikan sengketa yang telah
menjadi kewenangan absolutnya berdasarkan peraturan yang berlaku.47
2) Peradilan Agama
Peradilan Agama awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan beberapa perubahannya dalam
Undang-Undangan Nomor 3 Tahun 2006 dan kemudaian dalam Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan
Peradilan Agama meliputi Pengadilan Agama, yang berkedudukan di
Kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota
tersebu, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat
banding yang daerah hukumnya meliputi provinsi, dan puncaknya
Mahkamah Agung sebagai peradilan negara yang tertinggi. Khusus
mengenai Mahkamah Syariah provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
keberadaannya didasarkan pada undang-undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus, yang diperkuat dengan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan kehakiman dan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Adapun Pengadilan Agama bertugas untuk memeriksa, memutuskan,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama, antara orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan; kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, wakaf dan Shadaqoh, infak dan zakat, dan yang
terakhir ekonomi syariah. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama membawa beberapa perubahan mendasar di peradilan
agama. Salah satunya adalah penambahan kewenangan Peradilan Agama di
bidang zakat, infak, dan ekonomi syariah, serta membuka ruang akan
47 Dwi Reski Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan, (Bandung: PT Alumni, Cetakan
ke-1, 2013), hlm. 42.
46
masuknya perkara pidana pelanggaran dalam kewenangan absolut
lingkungan Peradilan Agama.
3) Peradilan Militer
Peradilan Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer, dan melaksanakan kekuasaan kehakiman di
linkungan Pengadilan Militer (PM). Pengadilan Militer meliputi Pengadilan
militer yang merupakan pengadilan tingkat pertama yang terdakwanya
prajurit berpangkat kapten ke bawah. Hakim ketua dalam persidangan
hakim anggota oditur militer paling rendah berpangkat Kapten.
Kemudian Pengadilan Militer Tinggi, yakni pengadilan tingkat pertama
yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya berpangkat mayor keatas,
hakim ketua dalam persidangan Pengadilan Militer paling rendah
berpangkat Kolonel, sedangkan hakim anggota dan oditur militer paling
rendah berpangkat letnan kolonel. Yang terakhir Pengadilan Militer Utama,
yakni dalam persidangan hakim ketua paling rendah berpangkat Brigadir
Jendral/Laksamana Pertama atau Marsekal Pertama, sedangkan hakim
anggota berpangkat Kolonel.
Di samping itu ada juga Pengadilan Militer Pertempuran. Fungsinya
adalah untuk memeriksa dan memutis pada tingkat pertama dan terakhir
perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit, atau yang berdasarkan undang-
undang dipersamakan dengan prajurit. Hakim ketua yang memeriksa
perkara ini harus berpangkat paling rendah Letnan Kolonel. Pengadilan
militer pertempuran ini bersifat mobile, berpindah-pindah mengikuti
perpindahan atau gerak pasukan yang sedang bertempur.48
4) Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
48 Dwi Reski Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan, hlm. 48-49.
47
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ada berlandaskan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang dalam sistem peradilan di
Indonesia, tugas PTUN adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara.
Kekuasaan Kehakiman di linkungan Peradilan Tata Usaha Negara
meliputi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang berkedudukan di
Ibukota, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sebagai
pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi, dan
yang tertinggi adalah Mahkamah Agung.
Objek sengketa PTUN adalah keputusan tata usaha negara sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 1 angka 9 dan keputusan negatif berdasarkan Pasal
3 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan TUN.
Keputusan TUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
usaha negara yang berdasarjan peraturan perundanh-undangan yang
berlaku, yang bersifat kongkret, individualm dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.49
b. Penyelesaian Sengketa melalui lembaga non-litigasi (non-peradilan)
1) Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Penyelesaian sebuah sengketa dapat dilakukan di luar lingkungan
peradilan, cara ini disebut juga non-litigasi. Ada lembaga-lembaga yang
memfasilitasi orang-orang yang sedang berperkara untuk menyelesaikan
sengketanya melalui jalan musyawarah, yang mengedepankan prinsip
saling mengerti. Lembaga-lembaga ini di sebut lembaga non litigasi.
Non litigasi disebut juga alternatif penyelesaian sengketa (APS).
Maksudnya alternatif pengganti lembaga peradilan dalam menyelesaikan
49 Dwi Reski Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan, hlm. 51-52.
48
sebuah sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur
keberadaannya dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut Prof. Mr. Sudargo
Gautama sebagaimana dikutip dalam karya Dr. Frans Hendra Winarta,
dijelaskan bahwasannya dalam perancangan UU 30 tahun 1999 terdapat 2
pendapat pendapat tentang APS. Pendapat pertama memasukkan arbitrase
sebagai bagian dari APS, dan pendapat yang kedua memisahkan arbitrase
dari APS. Namun demikian pada saat disahkan dan diundangkannya
peraturan ini, arbitrase dipisahkan dari APS. Dengan keputusan tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa APS adalah pranata penyelesaian sengketa
luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan
mengesampingkan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di
pengadilan.50
Terlepas dari perbedaan pendapat para pakar tentang masuk tidaknya
arbitrase kedalam bagian APS, ada beberapa sebab timbulnya cara
penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan (non litigasi). Salah
satunya adalah anggapan bahwa penegak hukum di Indonesia tidak dapat
memenuhi rasa keadilan di tengan masyarakat yang mencari keadilan.
Menurut Suyud Margono, kecenderungan memilih Alternatif Penyelesaian
Sengketa oleh masyarakat didasari atas pertimbangan kurang percaya pada
sistem pengadilan dan pada saat yang sama sudah dipahami keuntungan
menggunakan teknik musyawarah dibanding pengadilan. Sehingga
masyarakat dan pelaku bisnis lebih suka menyelesaikan berbagai sengketa
bisnisnya dengan jalan musyawarah.51
Merujuk pada Pasal 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif
Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, APS terdiri dari penyelesaian di luar
50 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan
Ke-2, 2013), hlm. 14-15.
51 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, hlm. 82.
49
pengadilan dengan metode konsultasi, negosiasi, mediasi, atau penilaian
ahli. Jenis-jenis APS sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal tersebut
dapat dipilih baik oleh pelaku bisnis maupun masyarakat pada umumnya
untuk menyelesaikan persengketaan perdata yang mereka alami. Berikut
penjelasan dari beberapa jenis alternatif penyelesaian sengketa (APS).
a) Konsultasi
Dalam Black’s Law Dictionary konsultasi didefinisikan sebagai
aktivitas perundingan seperti klien dengan penasihat hukum. Selain itu
konsultasi juga dipahami sebagai oertimbangan orang-orang (pihak)
terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai pranata APS, pada
prakteknya dapat menyewa konsultasn atau ahli untuk dimintai
kontribusi pemikirannya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
hukum terutama sebagai referensi para pihak dalam merumuskan
perdamaian. Dalam hal ini konultasi tidak dominan melainkan hanya
memberikan pendapat hukum yang nantinya dijadikan rujukan apihak
untuk menyelesaikannya.
b) Negoisaisi
Negoisasi berasal dari bahasa latin neg dan atium yang artinya tidak
dan berhenti, maksudnya seseorang tidak akan berhenti selama proses
berlangsung atau sampai persetujuan didapat. Menurut Roger Fisher dan
William Ury dikutip dalam sebuah buku, negoisasi merupakan
komunikasi dua arah yang dirancang untuk dapat mencapai kesepakatan
pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama
maupun berbeda-beda. Negoisasi merupakan sarana bagi pihak-pihak
yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa
keterlibatan pihak ketiga (penengah) yang tidak berwenang mengambil
keputusan (mediasi), maupun pihak ketiga pengamnbil keputusan
(arbitrase dan pengadilan).
c) Mediasi
50
Mediasi merupakan negosiasi antara kedua belah pihak yang dibantu
oleh pihak ketiga yang netral (tidak memihak ke salah satu pihak).
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
d) Konsiliasi
Konsiliasi adalah upaya penyesuaian pendapat dan penyelesaian
suatu sengketa dalam suasana persahabatan dan tanpa rasa permusuhan
yang dilakukan di pengadilan sebelum persidangan digelar (untuk
menghindari proses litigasi).
e) Penilaian Ahli
Pendapat ahli merupakan bentuk lain dari ADR yang diperkenalkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990. Abdul Manan mengangkat
Pasal 52 UU ini yang menyatakan bahwa para pihak dalam suatu
perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari
lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu
perjanjian.53 Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari
tugas lembaga arbitrase sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 ayat (8)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi “Lembaga
arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.” Lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai
suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
2) Arbitrase
a) Pengertian Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa latin), yang bererti
kekuasaan, untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan itu, dapat
51
menimbulkan salah kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu majelis
arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan
norma-norma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa
tersebut hanya pada kebijaksanaan saja. Kesan tersebut keliru, karena
arbiter atau majelis tersebut juga menerapkan hukum seperti halnya
hakim menerapkan hukum di pengadilan.52
Dalam nomenklatur hukum Indonesia, definisi arbitrase tercantum
pada Ayat (1) Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, berikut bunyinya :
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.”
Menurut Priyatna Abdulrasyi, “Arbitrase adalah suatu tindakan
hukum bahwa ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih
pendapat antara dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih
kepada seseorang atau ahli yang disepakati bersama dengan tujuan
memperoleh satu keputusan final mengikat.”
Kemudian menurut Black’s Law Dictionary yang diterjemahkan
oleh Dwi Rezki Sri Astarini, “Arbitrase adalah referensi dari sengketa
bahwa pihak ketiga yang tidak memilih, dipilih oleh para pihak yang
sepakat didepan untuk mematuhi putusan arbiter setelah sidang yang
sebelumnya para pihak diberikan kesempatan untuk didengar.
Kesepakatan untuk mengambil dan mematuhi putusan dari orang yang
dipilih dalam menyelesaikan sengketa, dari pada membawanya ke
52 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Angkasa Offset, 1981), hlm. 1.
52
persidangan, dan dimaksudkan untuk menghindari formalitas,
penundaan, biaya, dan frustasi dari litigasi yang biasa”53
b) Landasan Hukum Arbitrase
Landasan hukum arbitrase di Indonesia bertitik tolak dari Pasal 377
HIR atau pasal 705 RBg. Namun dengan perkembangan zaman dan
tentunya diikuti dengan pesatnya perkembangan dunia bisanis dan
lalulintas perdagangan nasional dan internasional, khususnya setelah
adanya WTO (Word Trade Organization) serta tentunya perkembangan
hukum, maka pedoman arbitrase yang diatur dalam HIR, RBg, dan Rv
sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah ketinggalan zaman dan tidak
sesuai lagi dengan tuntunan zaman.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah mengundangkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Dengan keluarkannya undang-undang terebut
maka ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase yang diatur dalam IR,
RBg, dan Rv dinyatakan tidak berlaku lagi. Berikut akan diuraikan lebih
lanjut mengenai arbitrase di Indonesia.
Dengan demikian jelas bahwa suatu perjanjian arbitrase secara lisan
tidak dapat ditegakkan, karena arbitrase yang diakui dalan UU No. 30
Tahun 1999 adalah yang dibuat secara tertulis. Selain harus tertulis,
persyaratan-persyaratan dalam perjanjian arbitrase harus diuraikan
secara jelas dan pasti.
c) Klausul Arbitrase Arbitrase
Klausul arbitrase terbagi menjadi 2 (dua) bentuk. Pertama, Pactum
De Compromitendo yang berarti kesepakatan setuju dengan putusan
53 Dwi Reski Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan, hlm. 70-71.
53
arbiter. Bentuk ini telah diatur dalam Pasal 2 UU No.30 Tahun 1999,
yang berbunyi:
“Undang-Undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau
beda pendapat antar perantara pihak dalam suatu hubungan
hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase
yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau
beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari
hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara
arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.”
Poin penting dari pasal diatas antara lain kebolehan membuat
kesepakatan antar para pihak untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan yang mungkin terjadi dikemudian hari kepada arbitrase.
Persetujuan yang dimaksud adalah klausul arbitrase. Dengan demikian
maka dapat ditarik kseimpulan bahwa Pactum De Compromitendo
adalah klausul arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan
yang mungkin timbul di masa yang akan datang.
Kedua adalah Pactum De Compromis atau Akta Kompromis, yakni akta
yang berisi aturan penyelesaian perselisihan yang telah timul di antara
orang yang berjanji. Bentuk yang kedua ini diatur dalam Pasal 9 UU
No. 30 Tahun 1999, berikut bunyinya :
“Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase
setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
Dari pasal tersebut diketahui bahwa Akta Kompromis sebagai perjanjian arbitrase
dibuat setelah timbul perselisihan antara para pihak atau dengan kara lain dalam
perjanjian tidak diadakan persetujuan. 54
54 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, hlm. 38-40.
54
E. Literatur Review
Berdasarkan kajian literatur terdahulu mengenai penyelesaian sengketa
perankan syariah melalui mediasi di lembaga litigasi dan non litigasi beserta
perbandingannya, bahwa ada berbagai metode yang digunakan dalam
menganalisisnya. Beberapa studi yang membahas penelitian terkait dengan judul
penelitian penulis antara lain dilakukan oleh Ahmad (2014), Muhammad Faqih Al-
Ghifari (2017), Erie Hariyanto (2014), Ifa Latifa Fitriani (2017), Syamsul Hadi
(2016), Yusuf Wahyu Wibowo (2017), dan Nahdhah (2016). Berikut adalah
ulasannya.
Menurut Ahmad (2014), dalam penelitiannya tentang analisis terhadap UU.
No.3 Tahun 2006 dalam putusan-putusan perkara ekonomi syariah di Pengadilan
Agama, Implementasi Pasal 49 Huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 telah dilaksanakan
di Pengadilan Agama, terbukti dari adanya sekitar 35 putusan. Implementasi
terhadap kompetensi tersebut belum maksimal, karena norma-norma hukum yang
terkait masih kurang, kualitas sumber daya (hakim) belum memadai serta
pemahaman publik yang belum merata. Adapun mekanisme pemeriksaan dengan
menggunakan hukum acara perdata umum dan terhadap pelaksanaan dari pasal
tersebut, telah ada dalam putusan-putusan Pengadilan Agama. Namun tetap masih
ada kendala dan keterbatasan dalam pelaksanaannya. Penelitiannya menggunakan
metode pendekatan perundang-undangan (Statue Approach), pendekatan konsep
(Conseptual Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach).55
Muhammad Faqih Al-Ghifari (2017), meneliti tentang penyelesaian
sengketa perbankan syariah di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan
adalah yuridis normatif. Menurutnya penyelesaiang sengketa perbankan syariah di
Basyarnas hampir sama dengan penyelesaian melalui lembaga peradilan
(Pengadilan Agama). Namun yang membedakan adalah penyelesaian sengketa
55 Ahmad, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama”, Jurnal Kajian
Hukum dan Keadilan, (Lombok Timur: 2014) Hlm. 476-479.
55
melalui Basyarnas harus menggunakan akad atau klausul arbitrase. Kemudian
Penyelesaian sengketa di Basyarnas menurutnya mempunyai kelebihan sidangnya
dilaksanakan dengan prinsip tertutup (privat), sehingga privasi perusahaan dan
nasabah dapat terjaga. Lalu kelebihan yang kedua adalah putusan Basyarnas
bersifat final dan mengikat.56
Erie Hariyanto (2014), meneliti tentang penyelesaian sengketa ekonomi
syariah menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam penelitiannya disebutkan
bahwa ada 2 cara penyelesaian sengketa ekonomi syariah, yakni litigasi dan non
litigasi. Litigasi, dalam hal ini Pengadilan Agama, Pengadilan Agama secara umum
telah siap dalam Menyelesaikan Sengketa di Bidang Ekonomi syariah sesuai
Undang-Undang No.3 Tahun 2006. Namun, sampai penelitian ini ditulis, belum ada
perkara ekonomi syariah yang masuk untuk didaftarkan, perlu adanya dukungan
dari pemerintah, kalangan perbankan dan pergurua tinggi untuk mendorong
penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Pengadilan Agama. Ada 3 (tiga)
upaya mengoptimalisasi pelaksanaannya, yaitu Pertama, materi hukum yaitu
peraturan pendukung dan aturan pelaksanaan dari UU No.3 Tahun 2006 harus
segera diwujudkan termasuk penegasan hanya Pengadilan Agama yang bisa
mengeksekusi putusan Basyarnas; kedua, aspek sumber daya manusia penyiapan
tenaga-tenaga hakim yang profesional dalam menangani sengketa ekonomi syariah
dengan jalan menjaring lulusan sarjana ekonomi syariah atau memang orang-orang
yang ahli dalam bidang ekonomi syariah untuk menjadi hakim dan; ketiga, aspek
sarana dan prasarana dari Pengadilan Agama sendiri harus dipenuhi untuk
menangani perkara-perkara dalam bidang ekonomi syariah.57
I Gusti Mate Triana Surya Pranatha (2017), meneliti tentang penyelesaiang
sengketa konsumen pada badan penyelesaian sengketa konsumen Kota Denpasar
56 Muhammad Faqih Al-Ghiffari, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Alaudin Makassar, 2017), hlm. 119.
57 Erie Haryanto, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Jurnal Iqtishadia
Vol.1 No.1, (2014), hlm. 46-56.
56
dan Pengadilan Negeri Denpasar, serta perbandingannya diatata dua lembaga
tersbut. Dia menggunakan pendekatan empiris dalam penelitiannya. Menurutnya
BPSK Kota Denpasar merupakan badan penyelesaian sengketa konsumen diluar
pengadilan yang mempunyai wewenang untuk mengadili sengketa mengenai
konsumen dan pelaku usaha. Sengketa yang diselesaikan di BPSK Kota Denpasar
hanya sengketa yang mengenai konsumen akhir saja dan dalam melakukan cara
penyelesaian sengketanya menggunakan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase
sedangkan dalam penyelesaian sengketa konsumen di Pengadilan Negeri Denpasar
diselesaikan dengan menggunakan hukum acara yang umum berlaku selama ini
yaitu HIR/RBg dan berpedoman pada UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Kemudian perbedaan dan persamaannya dengan Pengadilan Negeri
adalah diantaranya BPSK Kota Denpasar menyelesaikan sengketa dengan cara
kesepakatan para pihak yang besengketa atau diluar pengadilan (non litigasi).
Sedangkan penyelesaian di Pengadilan Negeri Denpasar menggunakan
penyelesaian melalui pengadilan yang mengedepankan penyelesaiannya sesuai
dengan Undang – Undang yang beralaku. Dan persamaan penyelesaian kedua
lembaga ini BPSK Kota Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar dapat
mengajukan gugatan ganti rugi dan sama – sama bergerak dalam bidang gugatan
keperdataan.58
Ifa Latifa Fitriani (2017), meneliti tentang pilihan forum penyelesaian
sengketa ekonomi syariah antara Pengadilan Agama dan Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) dengan metode penelitian normatif (library research). Lokasi
penelitiannya adalah yogyakarta, yakni Basyarnas DI Yogyakarta dan seluruh
Pengadilan Agama yang beroperasi di DI Yogyakarta. Menurutnya pengaturan
norma hukum ekonomi syariah dan pilihan forum penyelesiannya pada periode
awal pemberian kewenangan ekonomi syariah di PA menunjukan adanya
inkonsistensi, diharmonis, dan multi interpretas. Namun ketidaksesuaian ini sudah
58 I Gusti Mate Triana Surya Pranatha, Perbandingan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pada Badan Penyelesaiian Sengketa Konsumen Kota Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar,
(Skripsi S-1 Universitas Udayana, 2017), hlm. 10-11
57
di selesaikan dengan dihapusnya melalui putusan MK di tahun 2012. Sedikit
berbeda dengan PA, pada konteks Basyarnas, keberadaan lembaga ini secara umum
diakui melalui Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah. Namun, realitas
menunjukan eksistensi Basyarnas harus pula bersaing di tengah pilihan ADR dalam
LAPS lain yang dikukuhkan oleh OJK dalam sektor keuangan, khususnya mediasi
perbankan.
Saat penelitian ini ditulis pilihan forum cenderung masih didominasi PA
dibandingkan Basyarnas DIY. Peningkatan signifikan terjadi di tahun 2016 dengan
dominasi gugatan yang diajukan oleh BMT terlihat jelas di PA Bantul, PA
Wonosari dan PA Sleman. Menariknya, dominasi ini ternyata memiliki kesamaan
perliku, seperti gugatan adalah wanprestasi, penggugat adalah BMT, putusan yang
didominasi akta perdamaian (mediasi) dan gugatan dicabut. Kemiripan ini ternyata
bukannya tanpa sebab. Hilangnya kontestasi badan peradilan negara, kebutuhan
atas otoritas pengadilan oleh BMT, hingga dikenalkannya hukum penyelesaian
sengketa oleh salah satu kantor hukum di DIY berimplikasi pula pada banyaknya
penggunaan instrumen PA di tahun 2015-2016 oleh BMT.59
Syamsul Hadi (2016), meneliti tingkat efektifitas mediasi di Pengadilan
Agama Purbalingga dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Penelitian ini
merupakan penelitian lapangan (field research) yang menggunakan metode
kualitatif, pendekatan empiris, dan teori efektifitas dari Soerjono Soekanto. Dalam
penelitan ini disebutkan bahwa Pengadilan Agama Purbalingga pada tahun 2014
telah memutuskan 5 perkara sengketa ekonomi syariah, dengan perincian 3 kasus
selesai dengan damai pada saat proses mediasi dilaksanakan, 2 perkara dikabulkan
oleh Hakim dikarenakan mediasi tidak dapat dilaksanakan. Faktor yang
mempengaruhi keberhasilan mediasi tersebut adalah antara lain karena mediator
Pengadilan Agama Purbalingga memiliki sumber daya manusia (SDM) yang konsisten
para Hakim telah memperkaya diri dengan mengikuti pelatihan ekonomi syariah, dan
59 Ifa Latifa Fitriani, Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Antara
Pengadilan Agama dan Badan Arbitrase Syariah Nasional, (Skripsi S1 Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga DI Yogyakarta, 2013), hlm. 145-147.
58
hakim mediator telah memiliki sertifikat serta telah lulus sertifikasi ekonomi syariah.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kegagalan mediasi dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah adalah karena para pihak tidak datang ke persidangan.60
Yusuf Wahyu Wibowo (2017), meneliti tentang alternatif penyelesaian
sengketa melalui mediasi di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI) dengan pendekatan normatif analitis substansi hukum
(approach of legal content analysis). Penelitian ini mengambil LAPSPI sebagai
objek penelitian karena LAPSPI merupakan lembaga yang terbilang baru dalam
penyelesaian sengketa perbankan jalur non litigasi, yang pendiriannya
diamanatkan oleh peraturan OJK. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa di
LAPSPI persengketa yang diajukan haruslah sengketa perdata yang timbul di antara
para pihak terkait dengan perbankan yang dibuktikan dengan perjanjian dan dapat
diadakan perdamaian menurut peraturan perundang berlaku. LAPSPI menyediakan
penyelesaian sengketa berbentuk mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Prosedur
penyelesaian sengketa perbankan melalui LAPSPI dapatdilakukan dengan 2 (dua)
cara. Pertama, para pihak dapat memilih Mediasisebagai awal penyelesaian
sengketa, hasil dari Mediasi ini berbentuk kesepakatan perdamaian, yang apabila
para pihak menghendaki kesepakatan perdamaian tersebut memiliki kekuatan
eksekutorial, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan Arbitrase
kepada LAPSPI untuk dituangkan kedalam bentuk Akta Perdamaian. Apabila
Mediasi tidak berhasil, para pihak dapat melanjutkannya dengan Ajudikasi. Putusan
Ajudikasi bersifat final dan mengikat apabila pemohon menerima secara
keseluruhan putusan, apabila pemohon menolak putusan Ajudikasi, maka putusan
Ajudikasi tidak mengikat bagi para pihak dan dianggap tidak pernah ada. Kedua,
para pihak dapat memilih Arbitrase sebagai penyelesaian yang pertama dan
terakhir. Putusan Arbitrase haruslah didaftarkan kepada pengadilan negeri.
60 Syamsul Hadi, Efektifitas Penyelesaian Perkara Sengketa Ekonomi Syariah Melalui
Mediasi di Pengadilan Agama Purbalingga, (Tesis S-2 Sekolah Tinggi Agama Batu Sangkar, 2016),
hlm. 155-156.
59
Pendaftaran ini merupakan faktor terpenting dalam pelaksanaan putusan Arbitrase,
tanpa pendaftaran akan berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan.61
Nahdhah (2016), meneliti tentang alternatif penyelesaian sengketa
perbankan melalui mediasi dengan menganalisis Peraturan Bank Indonesia Nomor
Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif. Menurutnya, Kedudukan PBI No. 8/5/PBI/2006
tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan, perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 merupakan sebuah konsekuensi
logis yang merupakan hasil dari kedudukan Bank Indonesia yang independen.
Penyelesaian sengketa perbankan seyogyanya dilakukan oleh lembaga Mediasi
Perbankan Independen untuk menjaga independensi dan transparansi proses
mediasi perbankan. Akan tetapi karena lembaga mediasi perbankan independen
belum dapat dibentuk maka mediasi perbankan masih dilaksana-kan oleh Bank
Indonesia. Melalui pembentukan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006
tentang mediasi perbankan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/1/PBI/2006 yang mengatur bahwa inisiatif penyelesaian
sengketa adalah dari nasabah diharapkan akan memberikan beberapa nilai positif
seperti; memberikan kepastian penyelesaian sengketa nasabah kecil dengan bank
dan lembaga mediasi akan menjadi semacam watch dog karena perbankan tidak
akan membiarkan kasussengketa dengan nasabah terkatung-katung tanpa ada
penyelesaian. Kesepakatan antara nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan Bank
yang dihasilkan dari proses mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan dan Bank
wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan yang telah disepakati.62
61 Yusuf Wahyu Wibowo, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), (Skripsi S-1 Universitas
Lampung), hlm. 79-80.
62 Nahdhah, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan, Badawai Law
Jurnal Vol. 1 (2016), hlm. 136-137.
60
BAB III
PILIHAN FORUM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
SYARIAH ANTARA LEMBAGA LITIGASI DAN NON LITIGASI DI
JAKARTA SELATAN
A. Pengadilan Agama Jakarta Selatan
1. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan
a. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan Kelas I B beralamat di Jalan RM
Harsono No.1 Ragunan, Pasar Minggu,mRT.5/RW 7, Ragunan, Ps Minggu.
Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12550. Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Indonesia
Nomor 69 Tahun 1963.63
Pada awalnya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat
3 (tiga) kantor yang disebut sebagai kantor cabang. Tiga kantor cabang
tersebut adalah Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara; Kantor
Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah; dan Pengadilan Agama
Istimewa Jakarta Raya sebagai induk.
Semua pengadilan agama tersebut termasuk wilayah hukum cabang
mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang
Mahlamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan SK Menteri Agama Nomor
71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976, semua Pengadilan Agama di
Provinsi Jawa Barat termasuk Jakarta berada dalam wilayah Hukum
Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan
selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi
Agama (PTA).
Berdasarkan surat Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 61 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta di pindah ke Jakarta,
63 Sejarah PA Jaksel, diakses pada 12 September 2018 dari www.PAjaksel.com
61
namun pelaksanaannya baru bisa dilakukan pada 30 Oktober 1987. Dengan
begitu wilayah Hukum Pengadilan Agama di DKI Jakarta menjadi Wilayah
Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
b. Perkembangan dari masa ke masa
Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan awalnya merupakan cabang
dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkedudukan di Jalan
Otirta Raya Jakarta Timur. Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk
sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman
penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang cakupan
wilayahnya luas. Kantor saat itu masih memprihatinkan, yakni masih
menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar pada kasus perceraian.
Kalaupun ada tentang warisan, kasus itu masuk ke komparisi, itu pun
dimulai pada tahun 1969 hasil kerjasama Pengadilan Negeri yang ketika itu
dipimpin oleh Bapak Bismar Siregar.
Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan di pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan
menempati serambi Masjid Syarief dan sebutan Kantor Cabang Pengadilan
Agama Jakarta Selatan pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Pada masa itu diangkat pula beberapa hakim honorer.64
Penunjukan tempat tersebut dilakukan atas inisiatfi Kepala Kandepag
Jakarta Selatan yang waktu itu dijabat oleh Drs. H. Muhdi Yasin. Seiring
dengan perjalanan waktu, diangkat pula 8 karyawan untuk menangani
tugas-tugas kepaniteraan. Keadaan kantor di serambi masjid itu sendiri
bertahan sampai pada tahun 1979.
64 Sejarah PA Jaksel, diakses pada 12 September 2018 dari www.PAjaksel.com
62
Pada bulan september 1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pindah ke gedung baru yakni di Jalan Ciputat Raya Pondok Pinang, pada
saat itu Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh H. Alim BA.
Kemudian pindah lagi ke sebuah gedung Jalan Rambutan VII No.48 Pejaten
Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan. Meskipun tidak memenuhi syarat
untuk menjadi sebuah kantor Pengadilan Agama setingkat walikota, gedung
baru ini sudah lebih baik dari pada gedung sebelumnya. Pembenahan-
pembenahan terus dilakukan baik pembenahan pada bidang fisik maupun
administrasi. Pada saat dipimpin oleh Drs Rif’at Yusuf, Pengadilan Agama
Jakarta Selatan mulai menggunakan komputer sebagai penunjang aktivitas
administrasi walaupun masih sebatas pengetikan berkas-berkas.
Pada tahun 2007-2008, semua bidang di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan sudah terintegrasi dengan sistem online. pada saat itu juga
Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil mendapatkan pengadaan tanah
untuk bangunan gedung seluas 6000 m2 yang terletak di Jalan Harsono RM,
Ragunan, Jakarta Selatan yang kemudian tanah tersebut dibangun gedung
baru sesuai dengan standar Mahkamah Agung RI. Pembangunan gedung
baru ini dilakukan dalam 2 tahap, yakni pada tahun 2008 dan tahun 2009.
Pada Akhir April 2010 gedung baru Pengadilan Agama Jakarta Selatan
diresmikan bersamaan dengan gedung Pengadilan Agama di Pontianak
(Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian aktivitas
peradilan mulai berjalan lancar sebulan kemudian (Mei 2010).65
c. Ruang Lingkup Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Secara geografis , Pengadilan Agama Jakarta Selatan berada di Kota
Madya Jakarta Selatan, luas wilayah Kota Madya Jakarta Selatan adalah
145,73 Kilometer Persegi. Secara astronomis wilayah Kota Madya Jakarta
Selatan berada di posisi 06’15’40,8’ Lintang Selatan dan 106’45/0,00’
65 Sejarah PA Jaksel, diakses pada 12 September 2018 dari www.PAjaksel.com
63
Bujur Timur, dan berada pada kemiringan 26,2 meter diatas permukaan laut.
Jakarta Selatan bercirikan daerah yang beriklim khas Tropis dengan
temperatur udaha sekitar 27,7’ Celcius dan kelembapan udara rata-rata 75%
yang disapu angin dengan kecepatan sekitar 0,2 knot sepanjang tahun.
Curah hujan mencapai ketinggian 1,596,7 mm setahun atau rata-rata sekitar
85,88 mm perhari yang etrjadi selama 182 hari dalam setahun. Curah hujan
tertinggi terjadi dalam bulan januari (737,5 mm) dan Februari (425,3 mm)
di daerah Jakarta Selatan Rawa/Setu. Wilayah ini cocok digunakan sebagai
resapan air, dengan iklimnya yang sejuk sehingga ideal dikembangkan
sebagai wilayah penduduk.66
Daerah Jakarta Selatan yang menjadi wilayah Pengadilan Agama
Jakarta Selatan beroperasi terbagi kedalam 10 kecamatan dan 67 kelurahan.
Adapun kecamatan dan kelurahan tersebut yaitu:
1) Kecamatan Tebet: mencakup Manggarai, Manggarai Selatan, Bukit
Duri, Menteng Dalam, Tebet Timur, Tebet Barat, dan Kebon Jeruk;
2) Kecamatan Setia Budi: mencakup Setia Budi, Karet, Karet Semangi,
Menteng Kuningan, Menteng Atas, Kuningan Timur, Guntur, dan Pasar
Manggis;
3) Kecamatan Mampang Prapatan: mencakup Kuningan Barat, Mampang
Prapatan, Pela Mampang, Tegal Parang, dan Bangka;
4) Kecamatan Pasar Minggu: mencakup Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jati
Padang, Ragunan, Cilandak Timur, Kebagysa, dan Pejaten Timur;
5) Kecamatan Kebayoran: mencakup Grogol Utara, Grogol Selatan,
Cipulir, Kebayoran Lama Utara, Pondok Pinang, dan Kebayoran Lama
Selatan;
6) Kecamatan Cilandak: mencakup: Gandaria Selatan, Cipete Selatan,
Lebak Bulus, dan Pondok Labu.
66 Sejarah PA Jaksel, diakses pada 12 September 2018 dari www.PAjaksel.com
64
7) Kecamatan Kebayoran Baru: mencakup Senayan, Rawa Barat, Selong,
Gunung, Kramat Pela, Melawai, Petogogan, Pulo, Gandaria Utara, dan
Cipete Utara;
8) Kecamatan Pancoran: Pancoran, Duren Tiga, Kalibata, Cikoko,
Pengadegan, dan Rawajati;
9) Kecamatan Jagakarsa: mencakup Tanjung Barat, Jagakarsa, Lenteng
Agung, Srengseng Agung, Ciganjur, dan Cipedak;
10) Kecamatan Pesangrahan: mencakup Petukangan Utara, Petukangan
Selatan, Ulujami, Pesangrahan, dan Bintaro.
65
2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
66
3. Dasar Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang
melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24;
b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
f. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983;
g. Peraturan/Instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI;
h. Instruksi Dirjen Bimas Islam/Bimbingan Islam;
i. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963 Tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
j. Peraturan-Peraturan lain yang berhubungan dengan tata kerja dan
wewenang Pengadilan Agama.
4. Wewenang PA Jaksel atas Sengketa Perbankan Syariah
Pengadilan Agama mempunyai wewenang menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 undang-undang tersebut dikatakan:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: a)
perkawinan; b) waris; c) wasiat; d) hibah; e) wakaf; f) zakat; g)
infak; h) sedekah; i) Ekonomi syariah”.
Adapun jangkauan kewenangan mengadili dalam bidang Ekonomi Syariah
dapat dilihat pada penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006.
Penjelasan pasal tersebut selengkapnya sebagai berikut:
67
Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah antara
lain meliputi: a) Bank syariah; b) Lembaga keuangan mikro
syariah; c) Asuransi syariah; d) Reasuransi syariah; e) Reksadana
syariah; f) Obligasi syariah dan surat berjangka menengah syariah;
g) Sekuritas syariah; h) Pembiayaan syariah; h) Pegadaian syariah;
i) Dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan j) Bisnis syariah.67
Dari penjelasan Pasal 49 ini, dapat dipahami bahwa jangkauan kewenangan
pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah
meliputi seluruh bidang ekonomi syariah. Kata ekonomi dalam pasal itu sendiri
diartikan sebagai perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syariah. Artinya, seluruh perbuatan atau kegiatan usaha apa saja dalam
bidang ekonomi yang dilakukan menurut prinsip syariah ia termasuk dalam
jangkauan kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama. Adapun jenis-
jenis yang disebutkan dalam rincian tersebut hanya antara lain, yang tidak
tertutup kemungkinan adanya kasus-kasus dalam bentuk lain di bidang tersebut
selain dari yang disebutkan itu.68
5. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
Ada asas dalam hukum acara perdata yang berbunyi, “Hakim wajib
mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya”. Asas ini berasal dari
ketentuan Palsa 16 (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa:
“Pertama, Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa tidak ada
atau kurang jelas, melainkan untuk memeriksa dan mengadilinya.
67 Penjelasan Pasal 49, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
68 Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahka.mah Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 98.
68
Kedua, Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak menutup
kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian”.
Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa terhadap perkara yang
diajukan ke pengadilan, termasuk dalam hal ini perkara perbankan syariah,
pengadilan tersebut tidak mempunyai pilihan selain harus menyelesaikannya. Ia
tidak boleh menolak dengan alalsan hukum tidak ada atau tudak jelas karena ia
justru dianggap tahu hukum (ius curia novit).
Ada dua kemungkinan yang dilakukan terhadap perkara-perkara yang masuk ke
pengadilan agama, yaitu: Pertama, diselesaikan melalui perdamaian, atau jika
upaya perdamaian tidak berhasil maka menggunakan pilihan selanjutnya; Kedua,
diselesaikan melalui proses persidangan (litigasi) seperti biasa sesuai dengan
ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Kedua cara inilah yang harus
ditempuh pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara dibidang Ekonomi
Syariah pada umumnya dan bidang perbankan syariah pada khususnya.69
a. Penyelesaian Melalui Mediasi di Pengadilan Agama
Dalam menyelesaikan suatu perkara, hakim terlebih dahulu harus
mengusahakan perkara diselesaikan dengan jalan perdamaian. Pernyataan ini
berdasarkan asas acara hukum perdata. Oleh karenanya upaya medamaikan
kedua belah pihak di persidangan merupakan sesuatu yang imperatif (wajib
dilakukan). Kelalaian hakim mengupayakan perdamaian diantara pihak yang
bersengketa mengakibatkan batalnya pemeriksaan perkara tersebut demi
hukum.
Terkait dengan kewajiban hakim mengupayakan perdamaian antar para
pihak di pengadilan, setidaknya ada 2 (dua) ketentuan yang mengatur tentang
ini, yaitu Pasal 154 R.Bg/130 HIR dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
69 Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syariah, hlm. 127.
69
Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Ketentuan yang
berada pada dua peraturan tersebut merupakan lancasan yuridis dalam
mengupayakan perdamaian di pengadilan tingkat pertama, termasuk di
Pengadilan Agama.
PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama
menjadi penguat dan dibuat dengan maksud mengefektifkan penerapan Pasal
154 RBg/130 HIR. Alasannya karena, selama ini upaya damai yang dilakukan
hakim berdasarkan ketentuan Pasal 154 RBg/130 HIR lebih bersifat anjuran,
bahkan dikatakan bercorak formalitas dan regulatif serta sukarela (Voluntary).
Ketentuan perdamaian dalam Pasal 154 RBg/130 HIR tidak bersifat memaksa.
Namun tidak demikian dengan PERMA No. 1 Tahun 2008.
Dengan adanya PERMA No. 1 Tahun 2008, upaya damai yang harus
dilakukan hakim di persidangan tidak lagi sebatas anjuran/imbauan yang
bersifat formalitas saja, melainkan sudah bersifat memaksa. Hakim harus
memerintahkan para pihak yang berperkara untuk menempuh proses mediasi
terlebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkara yang dimohonkan untuk
disidang. Lalu semua perkara perdata yang masuk ke pengadilan tingkat
pertama harus menempuh proses mediasi. Ada pengecualian perkara-perkara
yang tidak bisa ditempuh melalui proses mediasi, seperti perkara waris, perkara
hibah, perkara status seseorang, dan lain sebagainya. 70
Mediasi di pengadilan dilakukan dengan diwasiti oleh mediator. Yang
menjadi mediator dalam mediasi di pengadilan telah diatur dalam Pasal 8
PERMA Nomor 1 Tahun 200871, syarat-syaratnya adalah:
1) Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;
2) Advokat atau akademisi hukum;
70 Cikk Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syariah, hlm.128.
71 Pasal 8, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi di
Pengadilan
70
3) Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
berpengalaman dalam pokok sengketa;
4) Hakim majelis pemeriksa perkara;
5) Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d atau
gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.
Kemudian pada Pasal 5 PERMA No 1 Tahun 2008 disebutkan juga bahwa
para mediator disyaratkan sudah memeroleh sertifikat dari pelatihan mediator
yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. Jadi jika dikaitkan antara
Pasal 8 dan Pasal 5, bisa ditarik kesimpulan bahwa yang hanya mereka yang
terlah mendapatkan sertifikat mediator yang bisa memediasi pihak berperkara
di Pengadilan tingkat pertama seperti Pengadilan Agama.
Adapun tugas-tugas mediator seperti yang tercantum dalam Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17, dan Pasal 18 PERMA No.1 Tahun 2008 antara lain meliputi:
1) Mempersilahkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak
untuk dibahas dan disetujui;
2) Mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses
mediasi;
3) Bila dianggap perlu dapat melakukan kaukus;
4) Medorong para pihak menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan
mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak;
5) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum dapay mengundang
seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan
penjelasan yang dapat membantu penyelesaian perbedaan pendapat
antara para pihak;
6) Membantu para pihak merumuskan kesepakatan perdamaian dalam hal
mediasi mencapai kesepakatan;
71
7) Dalam hal mediasi gagal, mediator wajib menyatakannya secara tertulis
dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim.72
Proses Mediasi yang baik di pengadilan dapat mencapai kesepakatan para pihak
untuk berdamai, sebaliknya proses yang buruk dapat menyebabkan mediasi
menjadi gagal.73 Berikut berikut beberapa tahapan dalam proses mediasi yang
diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan.
1) Tahap Pra Mediasi
Pertama, penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan
Pengadilan. Setelah itu Ketua Pengadilan akan menunjuk Majelis Hakim
untuk memeriksa perkaranya. Jika kedua belah pihak hadir pada sidang
pertama, maka sesi mediasi menjadi wajib dilakukan. Majelis Hakim
memberitahukan bahwa mereka akan melakukan sesi mediasi sesuai dengan
PERMA No.1 Tahun 2008. Sesi Mediasi dilakukan dalam waktu 40 hari
kerja, jika diperlukan waktu mediasi bisa ditambah 14 hari kerja lagi
berdasarkan Pasal 13 Ayat (3) dan Ayat (4).
Selanjutnya para pihak mendapat kesempatan untuk memilih
mediator yang akan me-mediasi mereka. Daftar mediator telah terpampang
di ruang tunggu kantor pengadilan. Mediator yang ada di daftar juga harus
sudah mempunyai sertifikat mediator. Jika dalam 2 (dua) hari para pihak
belum menentukan mediator, Majelis hakim akan menunjuk hakim
pengadilan yang bersertifikat di luar hakim pemeriksa perkara untuk
menjadi mediator. Namun jika tidak ada, salah satu hakim pemeriksa
perkara bisa menjadi mediator atas penunjukan Hakim Ketua.
2) Tahap Pembentukan Forum
Dalam waktu 5 hari setelah para pihak menunjuk mediator yang
disepakati atau setelah para pihak gagal memilih mediator, para pihak dapat
72 Pasal 15, 16, 17, dan 18, PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi di Pengadilan
73 Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syariah, hlm.135
72
menyerahkan resume perkara kepada mediator yang ditunjuk oleh Majelis
Hakim. Dalam forum dilakukan pertemuan bersama untuk berdialog.
Mediator dapat meminta agar pertemuan dihadiri langsung oleh para pihak
bersengketa dan tidak diwakili oleh kuasa hukum, di forum tersebut
mediator menampung aspirasi, membimbing serta mencaiptakan hubungan
dan kepercayaan para pihak.
3) Tahap Pendalaman Masalah
Pendalaman yang dilakukan mediator adalah menggunakan cara
kaukus. Kaukus adalah pertemuan mediator dengan salah satu pihak
bersengketa tanpa di hadiri pihak lainnya untuk mengungkap fakta-fakta
yang tidak dapat terungkap dalam forum pertemuan para pihak. Setelah itu
mediator akan mengolah data, mengembangkan informasi, melakukan
eksplorasi para pihak, memberikan penilaian terhadap kepentingan yang
telah di analisis, dan akhirnya menggiring para pihak pada proses tawar-
menawar penyelesaian masalah.
4) Tahap Penyelesaian Akhir
Pada tahap ini, para pihak akan mengungkapkan kepentingan-
kepentingan mereka dalam poin-poin kesepakatan. Setelah itu mediator
akan menampung kepentingan-kepentingan dari kedua belah pihak dan
menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Dalam Pasal 23 Ayat (3)
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam kesepakatan perdamaian, antara lain a) Sesuai kehendak para pihak;
b) tidak bertentangan dengan hukum; c) tidak dapat merugikan pihak ketiga;
d) dapat dieksekusi; dan e) dengan itikad baik.
Jika ada kesepakatan yang melanggar syarat-syarat tersebut diatas,
maka mediator wajib mengingatkan para pihak. Nmaun bila mereka
bersikeras, mediator berwenang untuk menyatakan bahwa proses
mediasinya gagal dan melaporkan kepada hakim pemeriksa. Namun jika
tercapai kesepakatan perdamaian, mediator wajib mrumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
73
Dokumen perdamaian akan dibawa kehadapan hakim dan menjadi akta
perdamaian.
5) Kesepakatan di Luar Pengadilan
Pada Pasal 23 Ayat (1) PERMA disebutkan bahwa para pihak
dengan bantuan mediator yang bersertifikat menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan perdamaian
tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian
dengan cara mengajukan gugatan.
6) Berakhirnya Mediasi
Berakhirnya mediasi dinyatakan dalam 2 keadaan. Pertama, mediasi
berhasil dengan menghasilkan poin-poin kesepakatan di antara para pihak,
proses perdamaian tersebut akan ditindak lanjuti dengan pengukuhan
kesepakatan damai menjadi akta perdamaian yang mengandung kekuatan
seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, proses
mediasi menemukan jalan buntu dan berakhir dengan kegagalan. Proses
mediasi di pengadilan yang gagal akan dilanjuti di sidang pengadilan.
Demikian tahapan-tahapan mediasi yang telah diatur dalam PERMA Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Secara singkat tahapan-
tahapan tersebut dapt dilihat secara sistematis dalam tabel sebagai berikut:
b. Penyelesaian Melalui Acara Sederhana
Sesuai dengan Pasal 1 PERMA No.14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, gugatan dalam perkara ekonomi
Syariah dapat diajukan secara lisan atau tulisan dalam bentuk cetak atau
pendaftaran perkara secara elektronik dalam pemeriksaan perkara dengan acara
sederhana yang nilainya paling banuak adalah Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.74
74 Pasal 1, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.
74
Landasan hukum gugatan sederhana adalah PERMA No.2 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Gugatan Sederhana. Dalam konsideran PERMA tersebut Mahkamah
Agung memiliki keinginan untuk mewujudkan asas peradilan yang cepat,
sederhana, dan berbiaya ringan.75 Hal ini ditunjukkan untuk mereduksi stigma
dan pandangan masyarakat umum bahwa penyelesaian perkara dengan
mengacu pada ketentuan hukum acara yang ditentukan dalam HIR/RBg begitu
rumit sehingga memakan waktu, biaya, dan tenaga yang besar.
Ada perkara yang tidak dapat masuk gugatan sederhana, antara lain perkara-
perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus
atau sengketa hak atas tanah; perkara yang tergugatnya tidak diketahui tempat
tinggalnya; perkara yang para pihak nya lebih dari satu kecuali memiliki
kepentingan hukum yang sama.76
Penyelesaian gugatan sederhana diperikasa dan diputus oleh hakim tunggal
yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah, dengan
rangkaian tahapan penyelesaiannya sebagai berikut:
1) Pendaftaran
Pendaftaran gugatan sederhana dilakukan di kepaniteraan
pengadilan dengan register khusus.77 Para pihak boleh membuat sendiri
gugatannya atau dapat juga dengan cara mengisi blanko yang sudah
disiapkan oleh kepaniteraan yang telah ditentukan pada saat mendaftar
perkara penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah
dilegalisasi ketika mendaftarkan gugatan sederhana.
2) Pemeriksaan Kelengkapan Gugatan Sederhana
75 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan Kaidah & Hukum,
hlm. 38.
76 Pasal 3 dan 4, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara
Gugatan Sederhana
77 Pasal 7 Ayat (3), PERMA No. 2 Tahun 2015.
75
Pada pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana, jika panitera
menemukan bahwa gugatan tidak memenuhi syarat sederhana maka
panitera mengembalikan syarat gugatan sederhana dan disarankan untuk
mengajukan perkara dengan acara biasa, sehingga pada tahap ini
panitera sudah melakukan seleksi awal tentang kriteria perkara dengan
acara sederhana atau dengan acara biasa. ini menandakan bahwa
panitera juga sudah harus memiliki pengetahuan hukum tentang
penyelesaian perkara ekonomi syariat baik dengan acara sederhana
maupun dengan acara biasa.
3) Penetapan Panjar Biaya Perkara
Prosedur pembayaran panjar biaya tetap sama dengan sistem
pembayaran lainnya. Bagi penggugat yang tidak mampu dapat
mengajukan permohonan beracara secara Cuma-Cuma atau prodeo,
tentunya kepaniteraan memeriksa terlebih dahulu persyaratan
permohonan pembebasan biaya perkara.
Setelah itu ketua pengadilan menerbitkan penetapan pembebasan
biaya perkara dikabulkan atau tidak. Proses ini tidak termasuk dalam
jangka waktu penyelesaian yang sudah ditentukan untuk perkara
gugatan sederhana.
4) Penetapan Hakim Tunggal
Untuk memeriksa gugatan sederhana, ketua pengadilan menetapkan
hakim yang memeriksa perkara dengan hakim tunggal dan panitera
menunjuk panitera pengganti untuk membantu hakim dalam memeriksa
gugatan sederhana tersebut. Perlu diingat bahwa proses pendaftaran
gugatan sederhana, penetapan hakim dan penunjukan panitera
dilaksanakan paling lambat dua hari kerja.
5) Pemeriksaan Pendahuluan
Sebelum memeriksa pokok gugatan, hakim yang ditunjuk untuk
menyelesaikan oerkara a quo, terlebih dahulu harus memeriksa apabila
yang dimaksdu dalam ketentuan dalam pasal 3 dan pasal 4 PERMA
No.2 Tahun 2015. Walaupun pada awalnya pembuktian yang sudah
76
melakukan penilaian persyaratan sederhana sederhana tetapi hakim
tetap juga memeriksa dan menilai sederhana atau tidaknya pembuktian
yang kelak akan diajukan oleh para pihak. Apabila dalam pemeriksaan
hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan
sederhana, maka hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan
bahwa gugatan bukan gugatan sederhan upaya hukum apapun.78
6) Penetapan Hari Sidang dan Pemanggilan Para Pihak
Dalam hal ini hakim memerintahkan juru sita untuk memanggil para
pihak agar hadir pada persidangan yang sudah ditentukan dan jarak
waktu pemabnggilan dengan persidangan bukan tidak hari melainkan
dalam gugatan sederhana perkara ekonomi syariat paling lambat adalah
dua hari kerja; hal ini sesuai degan bunyi pasal 20 ayat (2) PERMA No.2
Tahun 2015.
Kemudian, pada pemanggilan-pemanggilan berikutnya dapat dilakukan
dengan bantuan teknologi informasi seperti email, WhatsApp, dan lain
sebagainya yang disepakati para pihak setelah diklarifikasi dengan
pihak kepaniteraan untuk menghindari komplain dari masing-masing
pihak.
Jika penggugat tidak hadir pada sidang pertama tanpa ada alasan yang
sah, maka gugatannya dinyatakan gugur. Namun jika tergugat yang
tidak hadir, maka dilakukan pemanggilan kedua secara patut.
Jika tergugat pada sidang selanjutnya tidak hadir lagi tanpa alasan yang
sah, maka gugatannya diperiksa dan diputus secara contradictoir.
Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pasal 13
PERMA No.2 Tahun 2015 tergugat dapat mengajukan keberatan.79
7) Pemeriksaan Sidang dan Perdamaian
78 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan Kaidah & Hukum,
hlm. 40.
79 Pasal 13 Ayat (3), PERMA No. 2 Tahun 2015.
77
Hakim wajib mengupayakan perdamaian, yaitu 25 hari kerja sejak
sidang pertama. Ketentuan perdamaian dalam gugatan sederhana
mengecualikan ketentuan yang diatur dalam ketentuan Mahkamah
Agung mengenai prosedur mediasi. Dalam hal tercapainya perdamaian,
maka hakim membuat putusan akta perdamaian yang mengikat para
pihak. Terhadap penetapan akta perdamaian dimaksud tidak dapat
diajukan upaya hukum apapun.80
8) Hakim Wajib Berperan Aktif
Ketentuan tentang peran hakim dalam pemeriksaan gugatan sederhana
diatur dalam Pasal 14 PERMA No.2 Tahun 2015. Peran aktif hakim
dapat dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a) Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara
berimbang kepada para pihak;
b) Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk
menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di
luar persidangan;
c) Menuntun para pihak dalam pembuktian dan menjelaskan upaya
hukum yang dapat ditempuh para pihak.
9) Tentang Pembuktian
Proses pembuktian juga dilakukan secara sederhana yaitu dengan
mempertimbangkan alat bukti surat dan keterangan saksi, namun tidak
perlu keterangan ahli dan pemeriksaan setempat. Terhadap gugatan
yang dibantah, maka hakim harus melakukan pemeriksaan pembuktian
berdasarkan hukum acara yang berlaku. Untukk bukti-bukti elektronik
dapat mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebab dalam transaksi
ekonomi syariah, pada saat sekarang ini para pihak banyak yang
menggunakan bantuan teknologi elektronik. Juga tentang bukti
80 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan Kaidah & Hukum,
hlm. 41.
78
elektronik walaupun belum diatur dalam hukum acara secara formal
namun hakim tetap harus memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan padanya dengan pembuktian menggunakan bukti elektronik
dengan cara melakukan penemuan hukum.81
Pembuktian dalam acara gugatan sederhana hanya sebatas bukti-bukti
yang disampaikan penggugat pada saat menyampaikan gugatan di
kepaniteraan, sebab apabila pembuktiannya tidak sederhana maka sejak
awal perkara ini sudah dinyatakan masuk pada katagori gugatan dengan
acara biasa.82
10) Putusan dan Berita Acara Persidangan
Segala putusan dan penetapan pengadilan dalam bidang ekonomi
syariah selain harus memuat alasan dan dasar-dasar putusan juga harus
memuat prinsip-prinsip syariah seperti dalil-dalil dari kitab fikih yang
dijadikan dasar ountuk mengadili dan memutus perkara. Seperti
persidangan dalam perkara lainnya, Hakim wajib membacakan putusan
dalam sidang terbuka untuk umum serta wajib memberitahukan hak para
pihak untuk mengajukan keberatan, dalam hal ini pengajuan keberatan
dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah putusan diucapkan.
Kemudian atas permintaan para pihak, salinan putusan diberikan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah putusan diucapkan.
11) Upaya Hukum
Upaya hukum yang bisa dilakukan terhadap gugatan sederhana adalah
dapat mengajukan keberatan kepada Ketua Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syariah. dengan menandatangani akta pernyataan keberatan
yang disediakan kepaniteraan di hadapan panitera disertai dengan
alasan-alasan keberatan tersebut. Ketentuan keberatan ini dilakukan
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah outusan diucapkan atau setelah
81 Pasal 5 Undang-Undang No.2 Tahun 2015.
82 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan Kaidah & Hukum,
hlm. 42.
79
pemberitahuan putusan. Jika lewat waktu tersebut, Ketua Pengadilan
memberikan pernyataan bahwa keberatan tidak dapat diterima lagi.
12) Pemeriksaan Berkas Permohonan Keberatan
Kepaniteraan menerima dan memeriksa kelengkapan berkas keberatan
yang diajukan oleh pemohon, disertai dengan memori keberatan yang
bisa dalam bentuk alasan-alasan yang dituangkan dalam akta keberatan
yang memuat pemberitahuan keberatan beserta memori keberatan dan
kemudian disampaikan kepada termohon dalm waktu 3 hari kerja sejak
permohonan diterima oleh pengadilan.83
13) Pemeriksaan Keberatan
Setelah permohonan keberatan dinyatakan lengkap dalam waktu paling
lambat 1 (satu) hari, maka ketua pengadilan agam sudah menetapkan
majelis hakim untuk memeriksa dan memutus-memutus permohonan
keberatan tersebut. Kemudian, majelis hakim memeriksa permohonan
keberatan tersebut yang dipimpin oleh hakim senior yang ditunjukan
oleh ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah. Pememriksaan
keberatan dilakukan hanya didasari pada putusan, dua berkas keberatan
yang disertai dengan memori kontra memori keberatan, serta tidak
disertai dilakukan pemeriksaan tambahan.
14) Pelaksanaan Putusan
Terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, setelah tidak
diajukan keberatan atau setelah putusan keberatan disampaikan kepada
para pihak, maka putusan dilaksanakan secara sukarela, dan berdasarkan
ketentuan hukum acara perdata yang berlaku sebagaimana diatur dalam
Pasal 225 HIR/256 RBg.
c. Penyelesaian Melalui Acara Biasa
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan acara biasa adalalh untuk
gugatan biasa yang berpedoman pada hukum acara perdata yang berlaku kecuali
83 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan Kaidah & Hukum, hlm. 43.
80
yang telah diatur secara khusus dalam peraturan Mahkamah Agung. Ketentuan
Penyelesaua Sengketa Syariah dengan acara biasa secara umum mengacu para
hukum acara perdata yang diatur dalam HIR/RBg atau undang-undang
lainnya.84
Penyelesaian dan hukum acara penyelesaian sengketa ekonomi syariah
diatur dalam PERMA No. 14 tahun 2016 tengang tata Cara Penyelesaian
Perkara Ekonomi Syariah. Ada beberaoa ketentuan di antaranya tentang waktu
penyelesaian perdana, metode kualifikasi hakim yang menyidangkan perkara
dan acuan hukumannya. Adapun beberapa hal yang perlu dibahas terkait
penyelesaian dengan acara biasa adalah sebagai berikut:
1) Waktu Penyelesaian Perkara
Penyelesaian perkara ekonomi syariah dengan acara biasa diberi
batas waktu sebagaimana dimaksud pada Surat Edaran Mahkamah
Agung RI Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di
Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 1 (empat)
Lingkungan Peradilan. Batas waktu penyelesaian perkara pengadilan
tingkat pertama adalah selama 5 (lima) bulan, sedangkan di pengadilan
tingkat Banding selama 2 (tiga) bulan, demikian juga pada tingkat kasasi
dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
2) Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan para pihak di acara biasa dilakukan sesuai dengan
hukum acara perdata yang berlaku, sedangkan ketentuan bagi yang
berada di luar yuridiksi pengadilan yang berwenang berpedoman pada
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2014. Adapun
dalam pemanggilan lanjutan atas kesepakatan bersama para pihak yang
bersengketa dapat dilakukan dengan mengirim e-mail atau melalui
84 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan Kaidah & Hukum,
hlm. 44.
81
pesan WhatsApp setelah diklarifikasi kebenaran perangkat elektronik
yang digunakan untuk menghindari komplain dari pihak lainnya.
3) Kualifikasi Hakim
Kualifikasi hakim yang diperbolehkan untuk memeriksa perkara
latihan syariat memiliki tanda kelulusan pendidikan dan pelatihan
sertifikasi ekonomi syariah yang diselenggarakan oleh Mahkamah
Agung yang terakreditasi Lembaga Administrasi Negara (LAN). Selain
itu, hakim tersebut juga herus memiliki SK pengangkatan sebagai hakim
ekonomi syariah yang dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung.85
Ketentuan itu diatur dalam PERMA No.5 Tahun 2016 tentang
Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah. Ada pengecualian dalam peraturan
peralihan Pasal 14 ayat 2 PERMA No.12 Tahun 2016 bahwa jika hakim
sengketa ekonomi syariah belum memenuhi syarat sertifikasi, maka
dapat ditunjuk hakim yang telah mengikuti diklat fungsional ekonomi
syariah.
4) Pembuktian
Pada persidangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan
acara biasa penggugat dibebani kewajiban untuk membuktikan dalil
gugatannya, demikian pula tergugat wajib membuktikan dalil bantahan-
bantahannya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 163 HIR/283RBg,
yang juga disebutkan dalam pasal 91 Rancangan Kompilasi Hukum
Acara Ekonomi Syariah. Akann tetapi jika dalam pemeriksaan tersebut
diperlukan pemeriksaan ahli, maka dapat menggunakan bantuan
teknologi informasi.
5) Kepastian tentang Kewenangan Mengadili Pengadilan Agama
Selain berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah,
pengadilan agama juga berwenang melaksanakan eksekusi hak
tanggungan dan fidusia serta putusan Basyarnas termasuk juga
85 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan Kaidah & Hukum,
hlm. 45
82
pengajuan pembatalannya. Pelaksanaan putusan Basyarnas mengacu
pada UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Adapun eksekusi lainnya, sepanjang masih
dalam kewenangan pengadilan agama adalah berpedoman kepada
hukum acara yang berlaku sebagaimana diatur oleh Pasal 7 Ayat (1)
PERMA No.14 tahun 2016 tentang Tata Cara Penuyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah.86
6) Sumber-Sumber Hukum
Dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, maka hakim dalam
memutus perkara di bidang ekonomi syariah haruslah memperhatikan
PERMA No.2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
Fatwa Dewan Syariah Nasional, Kitab-Kitab Fikih yang berkaitan,
Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan,
Peraturan-peraturan lainnya uang mengatur tentang hukum ekonomi,
dan hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan ekonomi syariah.
B. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
1. Sejarah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah awalnya bernama Badan Arbitrase
Muamalah Indonesia (BAMUI) yang merupakan wujud arbitrase Islam yang
pertama kali di didirikan di Indonesia. Pendiriannya dilakukan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 21 Oktober 1993 Masehi atau bertepatan
dengan 5 Jumadil Awal 1212H. BAMUI didirikan dalam bentuk hukum
Yayasan sesuai dengan akta Notaris Yudho Paripurna, S.H. Nomor 175 tanggal
21 Oktober 1993.
Keeradaan Basyarnas sangatlah penting dan berarti bagi umat muslim di
Indonesia. Tidakhanya di latar belakangi oleh kesadaran akan pelaksanaan
86 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan Kaidah & Hukum,
hlm. 46.
83
syariat Islam, namun juga atas pemenuhan kebutuhan sesuai dengan
perkembangan aktivitas ekonomi syariah saat ini. Oleh karena itu, Basyarnas
didirikan sebagai badan independen yang berfungsi menyelesaikan sengketa
yang timbul dari hubungan perdagangan, industri keuangan, jasan dan lain
sebagainya dikalangan masyarakat muslim. Sejarah lahirny basyarnas tidak
lepas dari perkembangan kegiatan ekonomi syarian di Indonesia. Dalam
konteks ini Badan Arbitrase Syariah Nasional memiliki hubungan pendirian
dengan Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang
berlandaskan prinsip-prinsip syariah, serta Asuransi Takaful yang telah lebih
dahulu lahir.
Wacana pembentukan arbitrase Islam menjadi agenda utama dalam rapat
kerja MUI se-Indonesia pada tanggal 24-27 November 1992. Pada tangal 29
Desember 1992 kelompok kerja pembentukan arbitrase hukum Islam
memberikan laporan hasil kerja timnya kepada jajaran praktisi peradilan/hukum
seperti H. Bismar Siregar dan H.M Yahya Harahap. Pada prinsipnya majelis
berpendapat bahwa kelompok kerja telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan
apa yang di harapkan. Namun pada beberapa bidang masih diperlukan
penyempurnaan-penyempurnaan khususnya dalam sehi struktur organisasi dan
prosedur beracara. Setelah diadakan penyempurnaan, dewan pimpinan MUI
menerbitkan SK baru tentang panitia persiapan dan peresmian pendirian
BAMUI. Basyarnas sendiri berdiri secara otonom dan independen sebagai salah
satu instrument hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang
datqang dari lingkungan bank syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya.
Bahkan dari kalangan non-muslim pun dapat memanfaatkan Basyarnas karena
dalam urusan muamalah tidak ada syarat muslim atau non muslim, dan dalam
sengketa bisnis yang operasionalnya dilakukan dalam prinsip syariah dapat
diselesaikan menggunakan prinsip syariah pula.
84
2. Dasar Hukum Basyarnas
a. Al-Qur’an
Surat An-Nisa Ayat 35
ن أ ن أهله وحكما م هلهآإن يريدآإصالحا يوفق هللا بينهمآإن هللا وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما م
{53كان عليما خبيرا }
Artinya : “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kadua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Surat Al-Hujuran Ayat 9
أصلحوا بينهما فإن بغت إحداهما على األخرى فقاتلوا التي تبغي وإن طآئفتان من المؤمنين اقتتلوا ف
{9طين }حتى تفىء إلى أمر هللا فإن فآءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن هللا يحب المقس
Artuinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau ada satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendklah kamu berlaku adil, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil”.
b. Sunnah
Artinya : “Dari Ummu Salahah, ia berkata: telah datang dua orang laki-laki
yang bersengketa tentang harta warisan kepada Rasulullah keduanya tidak
dapat mengajukan bukti. Rasulullah berkata kepada mereka: Sesungguhnya
kalian telah mengadu kepada Rasulullah padahal saya ini manusia biasa,
barangkali sebagian dari kamu ada yang lebih baik berargumentasi dari
yang lainnya. Aku akan memutuskan perkara sesuai dengan apa yang aku
85
ambil, karena aku telah memberikan padanya potongan api neraka. Maka
menangislah kedua orang tersebut dan masing masing berkata kepada yang
lainnya, bagianku untuk saudaraku. Kemudaian Rasulullah bersabda: kalau
begitu, sekarang bangunlah kalian dan pergilah, bagian harta warisan itu dan
perhatikanlah hak kemudian tentukanlah porsinya dan saling menghalalkan
satu sama lainnya”.87
c. Ijma’
Artinya: Sesungguhnya hakam itu adalah Allah dan hanya kepadanyalah
diminta putusan. Mengapa kamu dipanggil Abu Hakam, Abu Syuraih
menjawab: bahwa sesungguhnya kaumku bila bertengkar datang kepadaku
minta penyelesaian, dan kedua belah pihak akan rela dengan keputusanku.
Mendengar jawaban Abu Syuraih itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam lalu berkomentar: Alangkah baiknya perbuatanmu itu, apakah
kamu mempunyai anak? Abu Syiraih menjawab: Ya saya punya anak, yaitu
Syuraih, Abdullah, dan Massalam. Lalu Rasulullah bertanya, siapa yang
tua? Abu Syuraih menjawab : yang paling tua adalah syuraih. Kemudian
Rasulullah berkata: Kalau begitu, engkau adalah Abu Hakam, lalu
Rasulullah memanggil anaknya tersebut yang bernama Syuraih. (HR. An-
Nasai).88
d. Undang-Undang Nomor 30 Tahn 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Arbitrase menurut undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah cara
penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum, sedangkan lembaga
arbitrase adalah nadna hukum yang dipilih oleh para pihak yang
bersengkera untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah lembaga arbitrase
87 Al-Shan’ani, Subulu As-Salam, (Kairo: Al-Masyhad Al-Husaini), hlm. 121.
88 Ahmad bin Syuaib Abu Abdurrahman An-Nasai, Sunan An-Nasai, (Kairo: Maktab Al-
Mathbu’at Al-Islamiyah, 1986), hlm. 226.
86
sebagaimana dimaksud UU No. 30 Tahun 1999. Sebelum undang-undang
tersebut dirilis, dasar hukum arbitrase adalah:
1) Reglemen Acara Perdata (RvS. 1847: 52) Pasal 651 sampai dengan 651,
Reghelemen Indonesia yang diperbaharui (HIR. S.1941: 44) Pasal 377
dan Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg
S.1927: 227) Pasal 705);
2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan kehakiman : Penjelasan Pasal 3 Ayat (1);
3) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
e. Surat Keputusan MUI
Surat Keputusan Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal
30 Syawal 1424 (24Desember 2003) tentang Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas). Basyarnas adalah lembaga hakam (Arbitrase
Syariah) satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan
memutus sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan,
keuangan, industri, jasa, dan lain-lain.
f. Fatwa DSN-MUI
Semua fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan
ketentuan : “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak
tercapainya kesepakatan melalui musyawarah”. (lihat Fatwa No. 5 tentang
Jual Beli Saham, Fatwa No. 06 tentang Jual Beli Istisna, Fatwa No. 07
tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No. 08 tentang Pembiayaan
Musyarakah, dan seterusnya).89
3. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perbakan Syariah di Basyarnas
a. Pengajuan Permohonan
89 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia,
hlm. 148.
87
Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan
untuk mengadakan arbitrase oleh sekretaris dalam register Basyarnas. Surat
permohonan harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat
tinggal atau tempat kedudukan, dan suatu uraian singkat tentang duduknya
sengketa, dan hal apa yang dituntut.
Pada Surat Permohonan harus dilampirkan :
1) Salinan dari naskah kesepakaran yang secara khusus menyerahkan
pmutusan sengketa kepada Basyarnas;
2) Surat perjanjian yang memuat klausul arbitrase yaitu ketentuan yang
menetapkan bahwa sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian
tersebut akan diputus Basyarnas.
Apabila para pihak tidak mampu membayar biaya-biaya pendaftaran,
administrasi atau pemeriksaan yang dapat dibuktikan dengan surat
keterangan resmi sekurang-kurangnya dari kepala desa atau Lurag setempat,
maka ketua Basyarnas dapat menetapkan kebijaksanaannya.
b. Sikap basyarnas terhadap Permohonan
Permohonan tidak akan diterima Basyarnas apabila perjanjian atau
klausul arbitrase dianggap tidak cukup dijadikan dasar kewenangan
Basyarnas untuk memeriksa sengketa yang diajukan. Pernyataan tetang
tidak dapat diterimanya permohonan tersebut dilakukan dengan sebuah
penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Basyarnas selambat-lambatnya
dalam waktu 14 hari (empat belas hari) sejak pendaftara permohonan.
Penetapan tidak diterimanya permohonan juga bisa dikeluarkan oleh arbiter
tunggal atau majelis arbiter yang ditunjuk setelah pemeriksaan dimulai.
Penetapan tidak diterimanya permohonan dikeluarkan oleh Ketua
Basyarnas dan disampaikan kepada pihak yang bersngkutan selambat-
lambatnya dalam waktu 14 hari (empat belas hari) sejak tanggal penetapan.
c. Penetapan Arbiter Basyarnas atau Majelis Arbiter
88
Apabila perjanjian atau klausul arbitrase yang diserakan kepada
Basyarnas sudah mencukupi, maka Ketua Basyarnas segera menetapkan
dan menunjuk arbiter tunggal atau arbiter majelis yang akan memeriksa dan
memutus sengketa. Lalu memerintahkan untuk menyempaikan salinan suart
permohonan kepada termohon disertai perintah untuk menanggapi
permohonan tersebut dan memberikan jawabannya selambat-lambatnya
dalam waktu 30 hari (tiga puluh hari) terhitung sejak tanggal diterimanya
salinan surat permohonan dan saurat panggilan.
Penetapan arbiter tunggal atau arbiter majelis dilakukan oleh Ketua
Basyarnas berdasarkan klausul arbitrase atau apabila tidak disebutkan yang
demikian, ditetapkan berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang
telah dipilih oleh Ketua Basyarnas berasal dari para anggota dewan arbiter
yang telah terdaftar pada Basyarnas. Namun demikian, dalam hal yang
sangat diperlukan karena pemeriksaan menerlukan suatu keahlian yang
khusus, maka Ketua Basyarnas berhak menunjuk seorang ahli dalam bidang
khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter. Apabila salah satu atau
kedua belah pihak yang bersengketa mempunyai keberatan terhadap arbiter
yang telah ditunjuk Ketua Basyarnas, maka selambat-lambatnya dalam
sidang pemeriksaan pertama, hal keberatan tersebut telah diajukan olah
pihak yang bersangkutan disertai alasan-alasan berdasar hukum. Segera
setelah selesainya sidang pertama pemeriksaan atau selambat-lambatnya
dalam waktu tujuh hari arbiter tunggal atau arbiter majelis selambat-
lambatnya dalam waktu 3 hari Ketua Basyarnas harus sudah memberikan
penetapan apakah keberatan diterima atau ditolak, berikut alasan-alasannya.
Apabila keberatan diterima, maka Ketua Basyarnas dalam penetapan yang
sama menunjuk Arbiter lain. Adanya keberatan terhadap arbiter yang telah
ditunjuk oleh Ketua Basyarnas yang diajarkan oleh satu atau dua belah
pihak, tidak mengurangi kewajiban termohon untuk memberikan jawaban
secara tertulis sebagaimana yang telah ditentukan.
d. Acara pemeriksaan
89
Tempat acara pemeriksaan dilakukan di tempat kedudukan
Basyarnas. Namun jika ada persetujuan dari kedua belah pihak,
pemeriksaan bisa dilakukan di tempat lain. Putusan harus diambil dan
dijatuhkan di tempat kedudukan Basyarnas. Selama proses pada setiap tahap
pemeriksaan berlangsung arbiter tungggal atau arbiter majelis harus
memberi perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya kepada masing-
masing pihak untuk membela dan mempertahankan kepentingannya. Baik
atas pendapat sendiri maupun atas permintaan salah satu pihak arbiter
tunggal atau arbiter majelis, arbiter dapat melakukan pemeriksaan dengan
mendengarkan keterangan dari saksi, termasuk juga saksi ahli dan
pemeriksaan secara lisan di antara para pihak. Setiap bukti atas dokumen
yang disampaikan para pihak kepada arbiter, salinannya harus diberikan
juga kepada pihak lawan. Tata cara pemeriksaan dilakukan secara langsung
dan tertulis di depan persidangan. Pemeriksaan terdiri atas tahap jawab
menjawab (replik duplik), pembuktian dan putusan, yang tahapannya
ditentukan berdasarkan kebijaksanaan arbiter tunggal atau majelis.
e. Jawaban Termohon dan Tenggang Waktu
Setelah menerima jawaban dari termohon, salinan dari jawaban
tersebut diserahkan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu erbiter tunggal
atau arbiter majelis memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di
muka persidangan pada tanggal yang di tetapkan, selambat-lambatnya
dalam waktu 14 hari (empat belas hari), sejak tanggal dikeluarkannya
perintah itu. Di berikan informasi juga bahwa mereka diwakilkan oleh orang
lain dengan surat kuasa khusus. Apabila termohon, setelah lewat waktu 30
hari (tiga puluh hari) tidak menyampaikan jawabannya, maka arbiter
tunggal atau ketua majelis arbiter akan memerintahkan pemanggilan para
pihak sebagaimana ketentuan yang berlaku.
f. Tuntutan Balasan
Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan, paling lambat pada
hari pertama sidang pemeriksaan. Pemohon juga dapat mengajukan
jawaban terhadap bantahan yang diajukan termohon dibarengi dengan
90
tambahan tuntutan cengan catatan tuntutan tambahannya mempunyai
hubungan erat dengan pokok yang dipersengketakan dan termasuk yuridiksi
basyarnas. Tuntutan-tuntutan dari masing-masing pihak terhadap pihak
lainnya, akan deperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis
bersama-sama dan sekaligus dalam suatu putusan.
Apabila pada hari yang telah ditetapkan, pemohon tanpa suatu alasan
yang sah tidak datang menghadap, sedangkan ia telah dipanggil secara
patut, maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan mengugurkan
permohonan termohon.
Apabila pada hari yang telah ditetapkan itu termohon tanpa suatu alasan
yang sah, sedangkan ia telah dipanggil secara patut tidak dapatang
menghadap, maka arbiter akan memerintahkan pemanggilan lagi untuk
yang terakhir kalinya untuk hadir di persidangan diwaktu kemudian, dan itu
ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
dikeluarkannya perintah itu. Jika pada hari yang telah ditetapkan termohon
tidak juga hadir tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan
tanpa hadirnya termohon dan tuntutan termohon akan dikabulkan, kecualli
tuntutan itu dianggap tidak berdasar hukum atau keadilan oleh arbiter
tunggal atau arbiter majelis.
Termohon berhak mengajukan perlawanan (verstek) terhadap putusan
arbitrase dalam waktu 14 hari (empat belas hari) setelah isi putusan
diberitahukan secara resmi kepadanya. Perlawanan diajukan dengan cara
yang sama seperti yang berlaku untuk mengajukan permohonan tanpa perlu
membayar biaya-biaya pendaftaran, admnistrasi, dan pemeriksaan. Jika
pelawan tidak hadir pada sidang pemeriksaan perlawanan yang telah
ditetapkan Basyarnas, maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan
menguatkan putusan. Namun jika kedua pihak datang/hadir di persidangan,
maka pemeriksaan akan dilakukan dari permulaan sesuaid engan ketentuan-
ketentuan yang berlaku.
91
g. Perdamaian
Pada penyelesaian sengketa di Basyarnas, arbiter akan
memprioritaskan tercapainya perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil,
maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan membuatkan akta perdamaian
(dading) dan emnghukum kedua belah pihak untuk memenuhi dan menaati
perdamaian tersebut. Apabila perdamaian tidak berhasil, maka arbiter
tunggal atau aarbiter majelis akan meneruskan pemeriksaan terhadap
sengketa yang dimohonkan.
h. Pembuktian dan saksi Ahli
Di dalam persidangan, para pihak dipersilahkan untuk menunjukkan
dalil-dalil pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang
dianggap perlu untuk menguatkannya. Apabila perlu, arbiter tunggal atau
arbiter majelis dapat memanggil saksi-saksi atau ahli-ahli untuk didengar
keterangannya. Pihak yang diminta dipanggilnya saksi atau ahli, harus
membayar lebih dahulu kepada sekretaris yang bersangkutan. Damam hal
ini, biaya pemanggilan dibebankan kepada pemohon dan dibayarkan kepada
sekretaris basyarnas. Setelah itu pada sidang putusan beban biaya akan di
berikan kepada para pihak secara adil.
Sebelum memberikan keterangan di persidangan, para saksi/ahli akan
diminta sumpah terlebih dahulu bahwa mereka hanya akan menerangkan
apa yang mereka ketahui dengan sungguh-sungguh. Dan seluruh
persidangan dilakukan secara tertutup.
i. Pencabutan permohonan
Pemohon dapat mencabut permohonannya selama belum dijatuhkan
putusan. Jika sudah ada jawaban dari termohon, maka pencabutan hanya
boleh dilakukan dengan persetujuan termohon. Apabila permohonan
pencabutan itu dilakukan oleh pemohon sebelum ketua Basyarnas
menunjuk arbiter dan menentukan panggilan untuk menghadap sidang,
maka seluruh biaya pemeriksaan dikembalikan kepada pemohon. Jika
pemeriksaan sudah dimulai, mmaka dari biaya-biaya yang telah dibayar
oleh Basyarnas sebagaimana yang dianggap pantas.
92
j. Berakhirnya Pemeriksaan
Jika pemeriksaan sudah dianggap cukup oleh arbitar tunggal atau
arbiter majelis, maka arbiter atau ketua arbiter majelis akan menutup
pemeriksaan itu dan menetapkan suatu hari sidang guna mengucapkan
putusan yang diambil. Apabila dianggap perlu arbiter baik berupa tunggal
maupun majelis dapat membuka sekali lagi pemeriksaan sebelum putusan
dijatuhkan. Arbiter akan mengambil dan mengucapak putusan dalam suatu
sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Jika salah satu/para pihak tidak
hadir maka putusna kaan dicapkan, sepanjang kepada para pihak telah
disampaikan secara patut. Persidangan Arbiter tunggal atau arbiter majelis
dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Seluruh
proses pemeriksaan sampai dengan diucapkannya putusan oleh arbiter
tungga; atau arbiter majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum
jangka waktu enam bulan habis, terhitung sejak tanggal dipanggilnya untuk
pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
k. Gugurnya Hak Membantah
Salah satu pihak yang mengetahui adanya bagian atau ketentuan
peraturan prosedur yang tidak diterapkan sebagaimana mestinya, tetapi
tidak langsung mengajukan bantahan atau keberatan terhadap hal itu,
dianggap menggugurkan haknya sendiri untuk mengajukan bantahan.
l. Pengambilan Putusan
Arbiter yang menangani sengketa di Basyarnas terdiri dari 3 (tiga)
orang. Setiap putusan atau ketetapan lain dari arbiter harus diambil
berdasarkan suara terebanyak (mayoritas). Namun jika suara terbanyak idak
tercapai, Ketua Arbiter dapat menjatuhkan putusan berdasarkan
kewenangannya sendiri, dan hal tersebut dianggap dibuat oleh mayoritas
arbiter.
Putusan harus memuat alasan-alasan kecuali para pihak setuju bahwa
putusan tidak perlu memuat alasan. Putusan langsung bersifat final dan
mengikar (final and binding) kepada para pihak, jika sudah ditandatangani
oleh arbiter. Para pihak bersengketapun wajib menaati putusan dan segera
93
memenuhi pelaksanaannya. Putusan tidak boleh diumumkan karena bersifat
rahasia, kecuali disepakati oleh kedua pihak.
m. Perbaikan Putusan
Dalam tempo dua puluh hari sejak disampaikan, salah satu pihak
dapat mengajukan secara tertulis permintaan perbaikan putusan tentang
kesalahan yang berkenaan dengan jumlah penghitungan, kesalahan
pengetikan, atau kesalahan mencetak. Perbaikan putusan harus dibuat
tertulis dan ditandatangani paling lambat dalam waktu 20 hari sejak
permintaan disampaikan sekretaris kepada arbiter tunggal atau arbiter
majelis, sudah memberikan perbaikan yang diminta dan perbaikan tersebut
langsung menjadi bagian yang tidak terpisah dengan putusan.
n. Pembatalan Putusan
Salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan putusan secara tertulis
yang disampaikan kepada sekretaris dan tembusan kepada pihak lawan
sebagai pemberitahuan, namun hal ini tidak mengurangi kewajiban
sekretaris untuk menyampaikan pemberitahuan resmi kepada pihak lawan.
Permintaan pembatalan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu
alasan berikut:
1) Penuntujan arbiter tunggal atau arbiter majelis tidak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam peraturan prosedur Basyarnas;
2) Putusan melampaui batas kewenangan Basyarnas;
3) Putusan melebihi dari yang diminta oleh para pihak;
4) Terdapat penyelewengan diantara salah seorang anggota arbiter;
5) Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok peraturan prosedur
Basyarnas;
6) Putusan tidak memuat dasar-dasar alasan yang menjadi landasan
pengambilan putusan tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
o. Biaya Administrasi dan Honorarium
Biaya tuntutan sepenuhnya dikabulkan atau pendirian si pemohon
seluruhnya dibenarkan, atau ditolak biaya adminisatrasi dan pemeriksaan
94
dibebankan, atau ditolak biaya administrasi dan pemeriksaan dibebankan
kepada si pemohon. Apa bila tuntutan sebagian dikabulkan, biaya
administrasi dan pemeriksaan gfibagi antara hohorarium bagi para arbiter
selamanya dibebankan kapada kedua belah pihak, masing-masing
setengahnya.
C. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI)
1. Profil dan Sejarah Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI)
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI) merupakan tempat menyelesaikan sengketa di luar pengadilan
(litigasi) yang khusus mengurus penyelesaian sengketa di bidang
perbankan. LAPSPI dibentuk dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama
(MoU) antara 6 Asosiasi Perbankan yang ditanda tangani pada tanggal 5
Mei 2014. Enam asosiasi perbankan tersebut adalah Perhimpunan Bank
Nasional (PERBANAS), Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA),
Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (ASBANDA), Asosiasi Bank Syariah
Indonesia (ASBISINDO), Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia
(PERBINA) dan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia
(PERBARINDO).
Pendirian LAPSPI dilakukan atas dasar Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 01/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Berdasarkan best
practices, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) disektor
keuangan didirikan oleh industri keuangan itu sendiri. Pendanaan kegiatan
operasionalnya juga dibiayai oleh industri keuangan. Hal ini dilakukan
sebagai bentuk dari pelayanan industri keuangan kepada nasabah.
Pada tanggal 28 April 2015, Pembuatan Anggaran Dasar LAPSPI
dilaksanakan. Sebelumnya, pembuatan Anggaran Dasar sempat molor
disebabkan beberapa kendala, antara lain karena adanya in-efisiensi dari
95
pendirian LAPSPI, dimana biaya operasional lembaga akan menjadi
tanggung jawab industri perbankan. Kemudian kendala dari pandangan
bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan akan lebih relevan
ditangani oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator.
Anggaran Dasar LAPSPI telah ditetapkan dalam akta No.36 tanggal 28
April 2015 oleh Notaris Ashoya Ratam, S.H., MKn., dan telah mendapatkan
persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia vide Surat
Keputusan MENKUMHAM nomor AHU-0004902.AH.01.07 tahun 2015
tanggal 16 September 2015. Sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaikan
Sengketa yang menangani sengketa di bidang perbankan, LAPSPI telah
menegaskan fungsinya sebagai berikut :
a. Merupakan forum alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yang fair dan independen;
b. Merupakan forum penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad
baik dan “kelestarian hubungan jangka panjang” para pihak.
Adapun Visi LAPSPI adalah menjadi Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang profesional, adil, terpercaya, dan pilihan utama nasabah dan
bank dalam menyelesaikan sengketa. Sedangkan Misinya terangkum dalam
beberapa poin sebagai berikut:
a. Memberikan pelayanan alternatif penyelesaian sengketa yang adil,
cepat, murah, dan efisien;
b. Menyediakan skema layanan penyelesaian sengketa yang mudah
diakses oleh konsumen;
c. Menyediakan tenaga Mediator, Adjudikator, dan Arbiter yang
kompeten, kredibel, dan memiliki integritas;
d. Melaksanakan tata kelola Lembaga berjalan dengan baik sesuai dengan
prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan
kewajaran (fairness);
e. Mendorong industri perbankan dan masyarakat menggunakan LAPSPI
sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang utama.
96
Berdsarkan visi dan misi yang telah disebutkan diatas, dapat dipahami
bahwa LAPSPI berkehendak untuk menjadi wadah penyelesaian sengketa
yang kredibel dan terpercaya. Namun selain itu LAPSPI juga mempunyai
nilai-nilai (values core) yang sejalan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan
oleh OJK dan selalu diamalkan dalam setiap aktivitasnya. Nilai-nilai
tersebut antara lain:
a. Trust (kepercayaan), yakni membangun keyakinan dari pada
stakeholder berdasarkan harapan yang baik dari proses yang berkualitas;
b. Integrity (integritas), yakni konsisten dan teguh dalam menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur dan kode etik profesi;
c. Reputable (bereputasi), yakni berkomitmen tinggi untuk mendapatkan
kepada kompetensi terbaik;
d. Independency (mandiri), bertindak mandiri dan tunduk kepada hal yang
benar secara hukum maupun secara moral.
2. Struktur Organisasi LAPSPI
Sesuai dengan anggaran dasar yang telah ditetapkan dalam akta
No.36 tanggal 28 April 2015, telah disetujui pengangkatan Pengurus dan
Badan Pengawas LAPSPI. Untuk jabatan Ketua LAPSPI, telah diangkat
Himawan Edhy Subiantoro, S.H., LL.M., AMRP, Sedangkan untuk jabatan
Sekretaris dan Bendahara masih kosong. Jabatan Sekretaris dan Bendahara
telah dilengkapi pada tanggal 1 September 2015, yakni dengan diangkatnya
Ir. Saifuddin Latief, M.M., sebagai sekretaris dan Dra. Nirwana Atta, MBA
sebagai bendahara, sesuai Surat Keputusan Ketua LAPSPI, masing-masing
nomor 03/LAPSPI/2015 dan nomor 04/LAPSPI/2015 tanggal 16 September
2015. Dengan demikian berikut susunan Pengurus LAPSPI.:
Ketua : Himawan Edhy Subiantoro, S.H., LL.M., AMRP.
Sekretaris : Ir. Saifudin Latief, M.M.
Bendahara : Dra. Nirwana Atta, MBA
Kemudian telah ditetapkan juga Badan Pengawas sesuai dengan
Rapat Umum Anggota (RUA) dengan susunan sebagai berikut:
97
Ketua : Sigit Pramono – PERBANAS
Anggota : Maryono – HIMBARA
Eko Budiwiyono – ASBANDA
Agus Sudiarto – ASBISINDO
Kemal A Stamboel – PERBINA
Joko Suyatno – PERBARINDO
Rapat Umum Anggota (RUA) tahun 2015 juga mengubah Badan
Pengawas dari Unsur PERBANAS dan ASBANDA, sehingga susunan
Badan Pengawas menjadi:
Ketua : Fransiska Oei – PERBANAS
Anggota : Maryono – HIMBARA
Kresno Sediarsi – ASBANDA
Agus Sudiarto – ASBISINDO
Kemal A Stamboel – PERBINA
Joko Suyatno – PERBARINDO
Sehingga struktur organisasi LAPSPI adalah sebagai berikut:
98
3. Dasar Hukum LAPSPI
LAPSPI didirikan sebagai bentuk pelayanan perlindungan konsumen dari
perbankan kepada nasbah. Perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan
seperti LAPSPI memiliki peranan yang sangat penting bagi stabilitas sistem
keuangan dan pertumbuhan perekonomian di suatu negara. Tanpa adanya
perlindungan konsumen yang memadai maka masyarakat tidak akan memiliki
kepercayaan terhadap lembaga keuangan dan produk/jasa keuangan yang
ditawarkan. Adapun dasar hukum pendirian LAPSPI adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
c. Peraturan Presiden RI Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional
Perlindungan Konsumen dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RP JMN)
99
d. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Nomor
1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Sektor Keuangan.
4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di LAPSPI
a. Syarat dan Pendaftaran
Penyelesaian sengketa di LAPSPI harus memenuhi kriteria:
1) Merupakan sengketa perdata di bidang perbankan atau berkaitan
dengan bidang perbankan;
2) Sengkta mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa;
3) Sengekta yang menurut peraturan perundang-undangan dapat
diadakan perdamaian;
4) Sengketa yang telah menempuh upaya musyawarah tetapi para
pihak tidak berhasil mencapai perdamaian;dan
5) Antara Pemohon dan Termohon telah terikat dengan perjanjian
Mediasi.
Adapun tahapan pendaftaran penyelesaian sengketa di LAPSPI adalah
sebagai berikut:
1) Mediasi diselenggarakan berdasarkan permohonan yang diajukan
oleh para pihak atau salah satu pihak kepada Ketua LAPSPI, dan
tertulis kepada Ketua LAPSPI dialamatkan ke kantor LAPSPI.
2) Permohonan terdiri atas Surat permohonan Mediasi yang memuat
nama lengkap dan tempat tunggal atau tempat kedudukan para
pihak; Uraian singkat tentang sengketa; Isi tuntutan; dan Lampiran-
lampiran berupa Fotocopy bukti pembayaran atas biaya pendaftaran,
Fotocopy perjanjian Mediasi, Akta-akta bukti yang diajukan berikut
keterangannya, dan Fotocopy/salinan dokumen bukti-bukti
pendukung.
100
3) Pengurus melakukan verifikasi terhadap berkas pendaftaran
Permohonan Mediasi. Atas hasil verifikasi tersebut pengurus
menyampaikan konfirmasi penerimaan atau penolakan terhadap
pendaftaran Permohonan Mediasi kepada Pemohon dan Termohon.
4) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan ditolak oleh Pengurus,
maka surat sebagaimana tersebut diatas memuat alasan penolakan.
Para pihak dapat mengajukan kembali Permohonan Mediasi setelah
memenuhi persyaratan dan dalam waktu yang telah ditetapkan.
5) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan diterima, maka surat
sebagaimana tersebut diatas harus memuat pula pemberitahuan
mengenai dimulainya penunjukan Mediator; pemeberitahuan
mengenai nama Sekretaris yang ditunjuk oleh Pengurus untuk
perkara yang bersangkutan; dan informasi mengenai biaya Mediasi
atas perkara yang bersangkutan.
6) Terhadap Permohonan Mediasi yang diterima sebagaimana
dimaksud maka Sekretariat mencatatkan permohonan tersebut
dalam buku Register Perkara LAPSPI.
b. Perjanjian Mediasi
Syarat terpenting untuk dapat mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI adalah adanya
Perjanjian Mediasi, antara para pihak bahwa permasalahan akan
diselesaikan melalui Mediasi LAPSPI, tanpa adanya Perjanjian Mediasi
tersebut maka permasalahan tidak dapat diajukan penyelesaianya
kepada LAPSPI. Perjanjian mediasi dibuat oleh para pihak setelah
upaya musyawarah tidak mencapai kesepakatan. Perjanjian Mediasi
dapat dibuat dengan cara sebagai berikut:
1) Sebelum terjadinya sengketa, yang tertuang dalam klausula
penyelesaian sengketa dari perjanjian pokok antara Bank dengan
nasabah;
2) Setelah terjadinya sengketa;
101
3) Dibuat dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh para
pihak;
4) Dalam bentuk pernyataan para pihak di hadapan persidangan
Arbitrase LAPSPI.
Pada hal pengajuan Mediasi dibuat dalam bentuk pernyataan maka
perjanjian tersebut cukup dibuktikan dengan Berita Acara Persidangan
Arbitrase LAPSPI. Perjanjian Mediasi memuat pernyataan bahwa para
pihak bersedia untuk terikat, tunduk dan melaksanakan setiap dan semua
kesepakatan yang mungkin dicapai dalam Mediasi LAPSPI, serta
menanggung biaya-biaya yang diperlukan. Atas permintaan salah satu
pihak LAPSPI dapat memfasilitasi pertemuan antara para pihak dalam
rangka membuat Perjanjian Mediasi.
c. Penunjukan Mediator
Pada dasarnya penunjukan Mediator merupakan kesepakatan para
pihak yang disampaikan kepada Mediator melalui pengurus LAPSPI.
Namun pengurus berwenang menunjuk mediator untuk kepentingan
para pihak apabila:
1) Para pihak menyerahkan penunjukan Mediator kepada Pengurus;
atau
2) Para pihak gagal menunjuk Mediator yang bersangkutan dianggap
memiliki kepentingan. Dalam proses Mediasi LAPSPI,
dimungkinkan pengurus untuk menunjuk Co-Mediator.
d. Perundingan Mediasi
Perundingan Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari,
dan atas kesepakatan para pihak dan Mediator dapat diperpanjang paling
lama 30 (tiga puluh) hari lagi. Proses Mediasi dilaksanakan secara
efisien dan sungguh-sungguh sehingga para pihak dapat mencapai
Kesepakatan Perdamaian. Mediator harus mengambil inisiatif untuk
memulai pertemuan, mengusulkan jadwal dan agenda pertemuan
kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
102
Disamping itu Mediator harus mendorong para pihak untuk secara
langsung terlibat dan berperan aktif dalam;
a. Proses Mediasi secara keseluruhan;
b. Menelusuri dan menggali kepentingan para pihak;dan
c. Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Apabila menganggap perlu, Mediator dapat melakukan kaukus
dengan pesetujuan terlebih dahulu para pihak. Atas persetujuan dan
biaya para pihak, Mediator dapat mengundang 1 (satu) atau lebih ahli
dalam bidang tertentu dan/atau pihak ketiga lainnya memberikan
keterangan.Para pihak harus menghadiri pertemuan perundingan yang
diselenggarakan oleh Mediator dan tidak boleh diwakilkan hanya
dengan kuasa hukumnya. Apabila dipandang perlu oleh Mediator untuk
kelancaran proses perundingan, maka Mediator dapat membatasi
kehadiran kuasa hukum para pihak.
e. Hasil Mediasi
Pada proses Mediasi ada 2 (dua) kemungkinan, yakni berhasil atau
gagal. Mediasi dikatakan berhasil apabila proses Mediasi berujung
kepada ditanda tanganinya Kesepakatan Perdamaian diantara para
pihak. Apabila para pihak mengehendaki Kesepakatan Perdamaian
tersebut memiliki kekuatan Eksekutorial, maka Kesepakatan
Perdamaian tersebut dapat du-dituangkan ke dalam Akta Perdamaian
(Acta Van Dading) oleh Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal apabila
Mediasi tersebut dilaksanakan dalam kerangka proses Arbitrase. Akta
Perdamaian tersebut memiliki kekuatan hukum sebagaimana layaknya
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun apabila proses Mediasi berlangsung di luar proses Arbitrase
dan para pihak menghendaki Kesepakatan Perdamaian tersebut
memiliki kekuatan Eksekutorial (lebih dari sekedar kekuatan suatu
perjanjian), maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
Arbitrase kepada LAPSPI yang di dalam petitumnya meminta kepada
103
Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal untuk menghukum para pihak
menaati kesepakatan perdamaian yang telah dibuat oleh para pihak.
Selanjutnya Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal akan menjatuhkan
putusan dengan amar sebagaimana yang dituntut oleh pemohon,
sehingga perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial karena
tertuang dalam putusan Arbitrase. Apabila Para Pihak tidak
menghendaki Kesepakatan Perdamaian dikuatkan dalam bentuk Akta
Perdamaian, maka Kesepakatan Perdamaian harus memuat klausula
pencabutan gugatan dan/atau klausula yang menyatakan perkara telah
selesai.
Mediasi dikatakan gagal apabila perundingan mengalami jalan
buntu (deadlock) dan para pihak tidak mau melanjutkannya. Apabila
kegagalan ini terjadi, maka proses penyelesaian diserahkan kembali
kepada masing-masing pihak, apakah selanjutnya akan memilih jalur
Arbitrase atau Pengadilan. Apabila Mediasi tersebut diselenggarakan
dalam kerangka proses Arbitrase, maka Majelis Arbitrase/Arbiter
Tunggal melanjutkan kembali persidangan Arbitrase.
f. Pelaksanaan Kesepakatan
Apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau melaksanakan
Kesepakatan Perdamaian dalam jangka waktu yang disepakati, maka
Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar
dengan tembusan kepada LAPSPI. Setelah menerima tembusan surat
tersebut maka Pengurus LAPSPI akan menyampaikan teguran tertulis
kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Pihak lain dan
kepada Asosiasi Perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan
Apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal
disampaikannya surat teguran masih juga diingkari, maka Pengurus
dan/atau Pihak lain menyampaikan kembali teguran tertulis kedua
kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Asosiasi Perbankan
serta Otoritas Jasa Keuangan.Pihak yang berkepentingan atas
pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian berhak melakukan upaya hukum
104
terhadap Pihak yang ingkar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
g. Biaya Mediasi
1) Biaya Pendaftaran, yakni biaya yang harus dibayar untuk
mendaftarkan penyelesaian sengketa melalui layanan Mediasi
LAPSPI. Biaya ini harus dibayar lunas pada saat pendaftaran.
2) Biaya Sengketa yakni biaya yang dikeluarkan dalam rangka
penyelenggaraan proses Mediasi, antara lain biaya pelaksanaan
Mediasi yang dilaksanakan diluar kantor LAPSPI, biaya
menghadirkan ahli dan/atau saksi, dan biaya-baya lain yang relevan
dan wajar yang dapat diterima dan disepakati.
3) Biaya Mediator, yakni biaya jasa layanan Mediator yang harus
dibayar dimuka sebelum pertemuan Mediasi pertama dilaksanakan,
yang dihitung atas dasar presentase tertentu dari nilai sengketa.
Apabila nilai sengketa tidak disebutkan oleh Para Pihak atau tidak
berupa suatu tuntutan pembayaran uang, maka besarnya nilai
sengketa ditetapkan berdasarkan tafsiran Pengurus dengan
memperhatikan kompleksitas perkara dan setelah mendengar
pendapat Para Pihak dan Mediator.
105
BAB IV
PERBANDINGAN MEDIASI SEBAGAI PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH DI LEMBAGA LITIGASI DAN NON-LITIGASI
A. Komparasi Penyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah lewat Mediasi di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Basyarnas dan LAPSPI
Penelitian ini menggunakan indikator dari teori Soerjono Soekanto untuk
membandingan kinerja Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI) dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah
lewat mediasinya. Adapun menurut Soerjono Soekanto, efektif tidaknya suatu
hukum bisa ditentukan dari 5 (lima) faktor.
Faktor pertama adalah faktor hukumnya sendiri, yakni undang-undang atau
aturan normatif yang melandasi pelaksanaan hukumnya. Dalam penelitian ini
hukum normatif yang digunakan adalah PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan untuk lembaga litigasi dan Undang-Undang Nomor
30 Tahum 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
untuk lembaga non litigasi.
Faktor kedua adalah faktor penegak hukum, yakni para hakim mediator di
llingkungan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, para arbiter di Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS), dan para mediator di Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).
Faktor ketiga adalah faktor sarana atau fasilitas, yakni faktor pendukung dalam
menegakkan hukum. Penegakkan hukum di suatu negara tidak akan berlangsung
lancar tanpa adanya fasilitas atau sarana prasarana yang memadai.
Faktor keempat adalah faktor masyarakat, yakni masyarakat di lingkungan
mana hukum tersebut berlaku atau ditetapkan. Dalam penelitian ini adalah para
pihak yang berperkara, seperti penggugaat dan tergugat di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan atau pemohon dan termohon di lembaga non litigasi seperti
BASYARNAS dan LAPSPI.
106
Faktor kelima adalah faktor kebudayaan, yakni mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku. Nilai-nilai tersebut merupakan kosepsi-konsepsi
abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga ditaati dan apa yang dianggap
buruk sehingga tidak di taati.
Dari lima faktor di atas, penulis hanya akan menganalisis 4 faktor untuk di
jadikan indikator perbandingan. 4 faktor yang dimaksud adalah faktor hukumnya
sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, serta faktor
kemasyarakatan. Faktor kebudayaan tidak digunakan penulis karena akan
memerlukan bahan analisa yang lebih dalam yang didapatkan dari orang-orang
yang bersengketa dengan cara wawancara berbeda dan terpisah dari wawancara
penelitian ini.
1. Faktor Hukum (Substansi Hukum)
Pelaksanaan mediasi di lembaga litigasi, dalam hal ini Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, dilakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang diperbarui
oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan
diperbarui lagi oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
Dalam Ayat (1), (2), dan (3), pasal 3 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 disebutkan,
“(1) Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti
prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi. (2) Hakim Pemeriksa Perkara
dalam pertimbangan putusan wajib menyebutkan bahwa perkara telah diupayakan
perdamaian melalui Mediasi dengan menyebutkan nama Mediator. (3) Hakim
Pemeriksa Perkara yang tidak memerintahkan Para Pihak untuk menempuh
Mediasi sehingga Para Pihak tidak melakukan Mediasi telah melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Mediasi di Pengadilan”.
Dari pasal tersebut dapat kita pahami bahwa, pelaksanaan mediasi di
pengadilan tingkat pertama, khususnya Pengadilan Agama tingkat pertama seperti
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini mempunyai kekuatan yang mengikat dan
107
daya paksa bagi para pihak. Artinya, segala perkara yang masuk harus terlebih
dahulu diselesaikan dengan tahapan mediasi, sebelum dilakukan sidang perkara.
Jika tidak dilakukan mediasi maka putusan pengadilan menjadi batal demi hukum.
Apabila perkara yang belum di mediasi telah diputus dan dilakukan upaya
hukum di tingkat yang lebih tinggi seperti banding atau kasasi, maka Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung akan memerintahkan pengadilan tingkat pertama
untuk melakukan proses mediasi dengan putusan sela dalam waktu 30 hari sejak
perintah mediasi dikeluarkan. Konsekuensi ini tertuang dalam lanjutan Pasal 3
PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yakni pada
ayat (4), (5), dan (6) dengan bunyi:
“(4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat 3, apabila diajukan upaya hukum maka Pengadilan Tingkat Banding atau
Mahkamah Agung dengan putusan sela memerintahkan Pengadilan Tingkat
Pertama untuk melakukan proses Mediasi. (5) Ketua Pengadilan menunjuk
Mediator Hakim yang bukan Hakim Pemeriksa Perkara yang memutus. (6) Proses
Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dilakukan paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan sela Pengadilan Tinggi
atau Mahkamah Agung”.
Terlepas dari isi peraturannya, kedudukan PERMA yang mengikat adalah
setingkat peraturan perundang-undangan, hal itu terjadi karena lembaga yang
mengeluarkan peraturannya adalah Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung, di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Peruahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
disebutkan mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk membuat peraturan
pelengkap guna mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi
kelancaran jalannya peradilan.90
90 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Perubahan Tentang Mahkamah Agung
108
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), dalam hierarki perundang-undangan
yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan termasuk jenis peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 7 dijelaskan bahwa jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945), Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (UU), Peraturan Pemerintah (Perpem), Peraturan Presiden (Perpres), dan
Peraturan Daerah (Perda).
Sampai pada ayat (1) ini lembaga Mahkamah Agung belum tercantum, namun
kemudian pada ayat (4) nya dijelaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan
selain yang telah disebutkan diatas, tetap diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Adapun jenis peraturan lainnya dijelaskan dalam pasal
penjelas bahwa peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini adalah
seperti peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Bank Indonesia,
Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh
Undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang.
Dari penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2014
tersebut, dapat diketahui dengan jelas bahwa PERMA termasuk kedalam katagori
peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, pada lembaga non litigasi, seperti Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI), peraturan yang melandasi aktifitasnya adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS). UU No. 30 Tahun 1999 ini dibentuk dengan
pertimbangan perlunya peraturan yang sesuai “kekinian” untuk penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Sebelumnya
pengaturan arbitrase yang disandarkan pada Pasal 615 sampai dengan Pasal 651
109
Reglemen Acara Perdata dan Pasal 377 Reglemen Indonesia, dianggap tidak lagi
sesuai dengan perkembangan dunia usaha saat itu.
Pembentukan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 juga dilakukan berdasarkan
amanat Pasal 5 ayat dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 2
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam
hierarki perundang-undangan yang dijelaskan dalam Pasal 7 UU No.10 Tahun
2014 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 30 Tahun
1999 Termasuk kedalam jenis peraturan yang kedua, yakni Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU).
Berdasarkan teori pelaksanaan hukum yang penulis gunakan sebagai indikator
penelitian ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
a. Mahkamah Agung memiliki wewenang mengeluarkan peraturan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung;
b. Landasan yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 adalah peraturan perundang-
undangan, sehingga keberadaannya diakui dan memiliki kekuatan hukum yang
mengikat;
c. Penerbitan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan merupakan pelengkap dari peraturan perundang-undangan yang
telah ada guna mengisi kekosongan hukum;
d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, dibentuk untuk memenuhi kebutuhan akan pengaturan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan landasan yuridis Undang-
Undang Dasar 1945;
e. Penerbitan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengeta (APS) merupakan pengganti peraturan
sebelumnya yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan aktifitas bisnis;
f. Baik PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
maupun Penerbitan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
110
dan Alternatif Penyelesaian Sengeta (APS), penerbitannya tidak bertentangan
dengan hukum dan aturan perundang-undangan apapun.
2. Faktor Penegak Hukum (Struktur Hukum)
Pada indikator penegak hukum, penulis menganalisis tentang terlaksana
dengan baik atau tidaknya faktor penegak hukum ini atas dasar kemampuan para
penegak hukum. Kemampuan seorang para penegak hukum yang dalam hal ini
adalah mediator sejatinya tidak bisa diukur secara pasti, namun cara yang paling
mendekati adalah menggunakan ketentuan peraturan yang berlaku tentang
sertifikasi mediator. Artinya mediator yang telah mendapatkan sertifikat mediator
sudah dianggap mumpuni atau berkemampuan memediasi para pihak yang
bersengketa.
Bagi mediator atau hakim mediator yang memediasi perkara di pengadilan,
ketentuan mengenai mediator diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) sampai dengan Ayat
(3) Bab III tentang Mediator, PERMA Nomor 1 Tahun 2016, adappun bunyi
pasalnya adalah sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Setiap Mediator wajib memiliki Sertifikat Mediator yang diperoleh
setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi
Mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga
yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.
(2) Berdasarkan surat keputusan ketua Pengadilan, Hakim tidak
bersertifikat dapat menjalankan fungsi Mediator dalam hal tidak ada
atau terdapat keterbatasan jumlah Mediator bersertifikat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara sertifikasi
Mediator dan pemberian akreditasi lembaga sertifikasi Mediator
ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
111
Berdasarkan pasal-pasal diatas mengenai kualifikasi mediator di pengadilan,
penulis mendapatkan data tentang hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan berjumlah 19 (sembilan belas) orang hakim. 8 (delapan) hakim diantaranya
sudah bersertifikat Hakim Ekonomi Syariah, namun hanya 2 (dua) hakim yang
sudah mengikuti sertifikasi mediator. 2 (dua) orang hakim yang bersertifikat
mediator ini diluar jumlah 8 (delapan) hakim yang bersertifikat Hakim Ekonomi
Syariah. Sehingga di Pengadilan Agama Jakarta Selatan belum ada hakim yang
bersertifikat Hakim Ekonomi Syariah sekaligus bersertifikat mediator.91
Berikut data mengenai hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
Kompetensinya :
Daftar Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
No. Nama Hakim Jabatan 1 Dr. H. Uyun Kamiluddin, S.H., M.H Ketua
2 Hj Atifaturrahmaniyah, SH.,M.H Wakil Ketua
3 Drs. H. Syaf’uddin, S.H.,M.H. Hakim
4 Drs. Cece Rukmana Ibrahim, S.H., M.H Hakim
5 Drs. H. Nur Mujib, M.H. Hakim
6 Drs. H. Ilham Suhrowardi Hakim
7 Drs. H. Abdul Jabar, M.H. Hakim
8 Drs. Abdul Shomad Hakim
9 Drs. H. Yusran, M.H Hakim
10 Drs. H. M. Anas Malik, S.H., M.H. Hakim
11 Dr. Nur Yahya, M.H. Hakim
12 Drs. Zaenal Arifin, S.H., M.H. Hakim
13 Dra. Neneng Susilawati, M.H. Hakim
14 Dra. Hj. Fauziah Hakim
15 Dra. Raden Ayu Husna AR Hakim
16 Dr. H. Jarkasih, M.H. Hakim
17 Drs. H. Ace Ma’mun, M.H. Hakim
18 Ahmad Bisri, S.H., M.H. Hakim
19 Dr. H. Farid Ismail, S.H., M.H Hakim
91 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2017
112
Daftar Hakim Bersertifikat Hakim Ekonomi Syariah
No. Nama Hakim No. Sertifikat Tahun
Pelatihan
1 Dr. H. Uyun Kamiluddin, S.H., M.H ND/0544/DJA/KP.01.1/10/2
016 2016
2 Hj Atifaturrahmaniyah, SH.,M.H W13-
A/3641.18/PP.00.1/SK/IX/2
013
2013
3 Drs. Cece Rukmana Ibrahim, S.H.,
M.H
0890/DJA/PP.00.1/SERTIFI
KAT/XII/2013 2013
4 Drs. Abdul Shomad 0314/DJA/PP.00.1/SERTIFI
KAT/V/2014 2014
5 Dra. Neneng Susilawati, M.H. W10/1293/KP.04.8/V/2015 2015
6 Dra. Hj. Fauziah 02/PANPEL/XI/2006 2006
7 Dra. Raden Ayu Husna AR 98/Bld/MA-RI/2017 2017
8 Dr. H. Jarkasih, M.H. 125/Bld/MA-RI/2017 2017
Daftar Hakim Bersertifikat Mediator
No. Nama Hakim No. Sertifikat Tahun
Pelatihan
1 Drs. Yusran, M.H. 1.1.9/IICT/TFP/2009 2009
2 Drs. H. Ace Ma’mun, M.H. 362/Bld/MA-RI/2016 2016
Oleh karena ketersediaan hakim yang mempunyai sertifikat mediator
berjumlah sangat sedikit, maka seluruh hakim di lingkungan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan bisa diangkat menjadi mediator dan memediasi perkara/sengketa
terkhusus sengeta perbankan syariah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Ayat (2)
Pasal 13 PERMA No.1 Tahun 2016 bahwa hakim tidak bersertifikat dapat
menjalankan fungsi Mediator jika ada atau terdapat keterbatasan jumlah Mediator
bersertifikat.
Berbeda dengan mediasi di Pengadilan Agama yang di atur dalam PERMA
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Mediasi di luar
pengadilan (non litigasi) diatur ketentuannya dalam Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pada Pasal 6
Bab II undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sengketa perdata yang tidak dapat
diselesaikan oleh kedua belah pihak bersengketa dapat menghubungi lembaga
113
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk mediator.
Dalam hal penelitian ini, lembaga arbitrase yang berwenang menyelesaikan
sengketa perbankan syariah adalah Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah seperti
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).
Di Basyarnas mediator yang memimpin mediasi adalah bagian dari
arbiternya. Untuk itu ketentuan arbiter Basyarnas mengikuti ketantuan Ayat (1)
Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS). Adapun persyaratan yang tercanntum dalam Pasal 12 undang-
undang terkait adalah cakap melakukan tindakan hukum; berumur paling rendah 35
tahun; tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; tidak mempunyai kepentingan
finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan memiliki pengalaman
serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. Berikut adalah
daftar pengurus yang merangkap jadi arbiter di Basyarnas:
Daftar Arbiter di Badan Arbitrase Syariah Nasional
No. Nama Arbiter Jabatan
1 H. Yudo Paripurno,SH, Ketua
2 H. Hidayat Achyar,SH, Wakil Ketua
3 Achmad Djauhari, SH Sekretaris
4 Drs. H. Mochtar Luthfi, SH Wakil Ketua
5 Hj. Fatimah Ahyar, S.H. Wakil Ketua
Selain 5 (lima) orang yang ada di tabel di atas, masih ada 15 orang lagi yang
menjadi arbiter di Basyarnas. Namun begitu, sebenarnya tidak ada ketentuan rinci
tentang kualifikasi mediator dalam UU No. 30 Tahun 1999. Oleh sebab tidak
adanya pengaturan rinci tentang kualifikasi mediator dalam UU Nomor 1 Tahun
1999, maka pada lembaga alternatif penyelesaian sengketa sepereti LAPSPI
menuangkan ketentuan mediatornya dalam peraturan lembagnya sendiri, yakni
114
pada Peraturan LAPSPI Nomor 01/LAPSPI-PER/2017 Tentang Peraturan Dan
Prosedur Mediasi.
Dalam Ayat (4) Pasal 29 Peraturan LAPSPI Nomor 01/LAPSPI-PER/2017
Tentang Peraturan Dan Prosedur Mediasi dijelaskan bahwa mediator LAPSPI yang
sejak berlakunya peraturan ini telah diangkat sebagai mediator/arbiter tetap
LAPSPI, namun belum punya sertifikat Mediator, maka diberikan kesempatan
paling lama 24 bulan sejak peraturan ini berlaku untuk memiliki sertifikat mediator.
Jika tidak memenuhi ketentuan ini maka status mediator tetap LAPSPI akan dicabut
oleh pengurus. Dari peraturan ini dapat kita pahami bahwa mediator LAPSPI harus
lah bersertifikat mediator.
Berikut adalah daftar Arbiter/Ajudikator/Mediator tetap LAPSPI saat
pertama kali di dirikan (2016) :
Daftar Arbiter/Ajudikator Tetap LAPSPI
No. Nama Arbiter/Ajudikator Latar Belakang
1 Prof.Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.,
FCBArb
Law Offices of Prof.Dr.Sutan Remy
Sjahdeini, SH.& Partners
2 Dr. Susanti Adi Nugroho, S.H., M.H Mantan Hakim Mahkamah Agung
Republik Indonesia
3 Dr. Ir.Ichjar Musa, S.E., M.M., M.H.,
FCBArb.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia
4 Max R. Niode, S.H., M.H Mantan Vice President Bank BNI
5 Muhammad Isa, SH., LL.M Mantan Senior Vice President Bank
Mandiri
6 Iswahjudi A. Karim, S.H., LL.M KarimSyah Law Firm
Daftar Mediator Tetap LAPSPI92
No. Mediator Latar Belakang 1 Saifuddin Latief, Ir., M.M Mantan Bankir Bank Mandiri
2 Nirwana Atta, Dra., MBA Mantan Bankir Bank BNI
92 Laporan Realisasi Anggaran dan Kegiatan LAPSPI Tahun 2017
115
Dalam perjalanannya LAPSPI merekrut 14 orang untuk menjadi
Ajudikator/Arbiter, sehingga jumlah ajudikator/arbiter di LAPSPI menjadi 21
orang. Begitu juga dengan mediator, LAPSPI merekrut 5 (lima) orang mediator
baru, sehingga jumlah mediator saat ini menjadi 7 (tujuah) orang.
Untuk mendapatkan sertifikat mediator, para wasit (mediator) harus mengikuti
pelatihan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA)
secara nasional. Namun pelatihan tersebut memuat peserta yang sangat terbatas
jumlahnya. Idealnya Mahkamah Agung perlu memberikan pelatihan mediator lebih
sering agar:
a. Untuk meningkatkan kompetensi para hakim mediator agar mereka memiliki
kemampuan yang sesuai dengan peran mediator dan bisa memediasi perkara
dengan maksimal;
b. Untuk meningkatkan efektifitas mediasi, yakni dengan maksimalnya kegiatan
mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator, maka sesi mediasi di Pengadilan
Agama akan berjalan efektif;
c. Untuk meningkatkan keterampilan hakim dalam melakukan mediasi, yakni
teknik-teknik dalam memediasi akan bervariasi sesuai dengan jenis perkara
yang dimediasinya;
d. Untuk meningkatkan kesiapan para hakim menjadi mediator, yakni karena
seluruh perkara yang masuk ke Pengadilan Agama wajib mengikuti sesi
mediasi, maka harus tersedia banyak sumber daya yang kompeten untuk
merespon banyaknya perkara
Dari analisis faktor penegak hukum di lembaga litigasi yakni Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dan lembaga non-litigasi yakni Basyarnas dan LAPSPI
dalam hal memediasi sengketa perbankan syariah, penulis memberi kesimpulan
sebagai berikut :
a. Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempunyai 8 (delapan) hakim yang
bersertifikat hakim ekonomi syariah, dan 2 (dua) hakim bersertifikat mediator;
116
b. Pengadilan Agama Jakarta Sekatan tidak mempunyai hakim yang bersertifikat
hakim ekonomi syariah sekaligus bersertifikat mediator;
c. Arbiter di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sudah
bersertifikat semua, mereka berperan sebagai mediator yang memediasi
sebelum pokok perkara diperiksa;
d. Mediator/Arbiter/Ajudikator di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI) berjumlah keseluruhan 8 (delapan) orang,
terdiri dari 6 (enam) orang Arbiter/Ajudikator dan 2 (dua) orang mediator
e. Mediator di LAPSPI berlatar belakang bankir, guru besar, raktisi hukum,
pengacara, dan Hakim Agung.
3. Faktor Sarana dan Fasilitas
Sarana dan fasilitas mediasi merupakan unsur penting yang mendukung
terselengaranya proses mediasi Agar terciptanya ruang mediasi yang nyaman dan
sejuk maka sangat diperlukan sarana-sarana pendukung antara lain mengupayakan
Air Conditioner (AC), penataan meja dan kursi yang rapi dan teratur, ketersediaan
air minum, makanan ringan. Semua sarana tersebut sangat membantu untuk
tercapai hasil mediasi yang diinginkan.
Ruangan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan hanya ada 1 (satu)
ruangan. Di dalam ruangan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian tanpa diberi sekat atau
pembatas. Tiap bagian disediakan 1 (buah) meja dan 3 (tiga) buah kursi. Dalam
ruang tersebut dapat dilakukan 3 (tiga) proses mediasi sekaligus. Ruangannya sudah
ber AC, dan ada kelengkapan lain seperti papan tulis dan lainnya.
Tidak jauh berbeda dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Basyarnas juga
mempunyai ruangan mediasi. Ada 2 ruangan mediasi di Basyarnas yang
keadaannya cukup baik. Ruangan sudah di lengkapi AC dan terdapat meja besar
dengan 6 (enam) kursi. Papan tulis dan alat tulis pun tersedia. Ruangan yang ada di
basyarnas sudah memenuhi standar kelayakan untuk menggelar mediasi.
117
Sementara itu LAPSPI memiliki ruangan yang paling banyak dari pada
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Basyarnas. Jumlah ruangan yang dimiliki
LAPSPI berjumlah 3 ruangan. Masing-masing ruangan mempunyai luas 40 meter
persegi. Di dalamnya ada sebuah meja besar dengan 8 (delapan) kursi. Ruangannya
juga sudah dilengkapi dengan stop kontak disetiap kursi, papan tulis besar, AC, dan
penerangan yang cukup baik.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, dijelaskan pula kemungkinan menyelenggarakan mediasi di luar
tempat pengadilan. Pada Ayat (1) sampai dengan Ayat (4) Pasal 11 PERMA No. 1
Tahun 2016 disebutkan:
Pasal 11
(1) Mediasi diselenggarakan di ruang Mediasi Pengadilan atau
di tempat lain di luar Pengadilan yang disepakati oleh Para
Pihak.
(2) Mediator Hakim dan Pegawai Pengadilan dilarang
menyelenggarakan Mediasi di luar Pengadilan.
(3) Mediator non hakim dan bukan Pegawai Pengadilan yang
dipilih atau ditunjuk bersama-sama dengan Mediator Hakim
atau Pegawai Pengadilan dalam satu perkara wajib
menyelenggarakan Mediasi bertempat di Pengadilan.
(4) Penggunaan ruang Mediasi Pengadilan untuk Mediasi tidak
dikenakan biaya.
Lalu untuk mediasi di lembaga non litigasi, ketentuan tempat mediasi diatur
dalam Ayat (1) dan (2) Pasal 37 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, berikut bunyinya:
Pasal 37
(1) Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis
arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.
118
(2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan
saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada
tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan.
Lalu dijelaskan juga dalam Penjelasan Umum UU No. 30 tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, berikut bunyinya:
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut
antara lain :
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
prosedural dan administratif ;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak
dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Berdasarkan peraturan-peraturan diatas dapat kita pahami bahwa tempat
penyelesaian sengketa perbankan syariah lewat mediasi baik di lembaga litigasi
seperti Pengadilan Agama Jakarta Selatan maupun lembaga non litigasi seperti
Basyarnas dan LAPSPI, boleh dilakukan diluar lembaga terkait atas kesepakatan
para pihak. Adapun untuk biaya sewa tempatnya dibebankan kepada para pihak
yang bersengketa.
119
Untuk data lapangan, penulis hanya mendapatkan data dari LAPSPI terkait
penyelenggaraan mediasi dengan tempat di luar lembaga. LAPSPI menerima 17
sengketa yang dimohon penyelesaiannya lewat mediasi dalam kurun waktu 2016-
2017. Dari jumlah itu, 3 (tiga) diantanya diselenggarakan di luar kantor LAPSPI.
Sengeketa yang dimediasi di luar kantor LAPSPI seluruhnya merupakan
permohonan mediasi yang berasal dari luar daerah, yakni di Ketapang, Padang, dan
Pekanbaru.93 Adapun ruangan mediasinya, LAPSPI menyewa ruangan di hotel
berbintang dengan fasilitas lengkap dan nyaman, sesuai kesepakatan para pihak.
Semua beban penyewaan tempat dan akomodasi dibebankan kepada para pihak.94
4. Faktor Masyarakat
Masyarakat dalam konteks ini adalah orang-orang yang berperkara, seperti
penggugat dan tergugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan atau pemohon dan
termohon di lembaga non litigasi seperti BASYARNAS dan LAPSPI. Faktor
masyarakat menjadi indikator penting dalam menganalisis baik tidaknya proses
mediasi berjalan. Alasannya karena masyarakat yang berstatus sebagai para pihak,
bersentuhan langsung dengan proses mediasi. Merekalah yang menjalankan
mediasi, sehingga mereka juga yang punya andil besar dalam kesuksesan sebuah
mediasi. Jika mereka punya keinginan damai (itikad baik) dan patuh terhadap
arahan mediator maka proses mediasi akan berjalan lancar, namun jika mereka
merespon buruk terhadap arahan mediator seperti tidak patuh dan acuh, maka
mediasi akan berjalan alot dan mungkin tidak akan mencapai kata sepakat.
Sebelum melihat bagaimana respon masyarakat terhadap mediasi sebagai cara
menyelesaikan sengketa perbankan syariah, terlebih dahulu kita lihat hasil mediasi
dari masing-masing lembaga litigasi dan non-litigasi.
93 Laporan Realisasi Anggaran dan Kegiatan LAPSPI Tahun 2017
94 Wawancara dengan Ir. Saifuddin Latief., M.M, Mediator dan Sekretaris LAPSPI di kantor
LAPSPI, Jakarta Pusat, pada tanggal 27 September 2018.
120
Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2016 masih menyisakan perkara
yang belum diselesaikan sebanyak 1.239 perkara yang terdiri dari perkara gugatan
(1.175) dan perkara permohonan (64). Sedangkan untuk perkara yang diterima pada
tahun 2017 sebanyak 5.056 perkara, terdiri dari 2276 perkara gugaran dan 580
perkara permohonan, sehingga jumlah perkara yang ditangani selama tahun 2017
sebanyak 6.295 perkara. Untuk pekara yang diputus pada tahun 2017 sebanyak
5.043 perkara (80.11%), dengan demikian sisa tundaan perkara sebanyak 1252
perkara (19.89%), perkara gugatan diputus sebanyak 4.491 perkara (89.05%) dan
perkara permohonan diputus sebanyak 552 perkara (10.95%). Berikut grafiknya :
Untuk perkara syariah yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pada tahun 2017 ada 1 (satu) perkara, ditambah 6 (enam) perkara yang belum
selesai diproses pada tahun 2016, jadi totalnya ada 7 (tujuh) perkara. Dari dari 7
(tujuh) perkara tersebut, 4 (empat) diantaranya sudah diputus dan 3 (tiga) lainnya
belum di proses. Sehingga berikut grafiknya :
121
Berdasarkan grafik tersebut kita dapat lihat bahwa perkara yang sudah di
proses pada tahun 2017 ada 4 perkara. Walaupun secara umum 4 perkara tersebut
masuk ke katagori perkara ekonomi syariah, namun faktanya semua perkara
tersebut berasal dari perbankan syariah. Perkara-perkara tersebut sudah menempuh
sesi mediasi sebagaimana diwajibkan dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, namun tidak ada satu pun yang berhasil damai di
sesi mediasi.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan salah satu hakim
mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, faktor utama ketidak berhasilan
mediasi dalam perkara ekonomi syariah di pengadilan adalah tidak responsifnya
para pihak, baik penggugat maupun tergugat. Dalam hal ini hampir semua
penggugat dan tergugat sudah melakukan mediasi dan upaya lainnya untuk
menyelesaikan masalah mereka sebelum akhirnya ke pengadilan, namun karena
tidak mendapatkan jalan tengah maka mereka memilih badan litigasi untuk
memutus perkara mereka. Oleh karena niat awal mereka mendaftarkan perkara
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Perkara 2016-2017 Diproses Berhasil Mediasi Gagal Mediasi Dipending
Grafik Perkara Ekonomi Syariah Pengadilan Agama Jakarta Selatan 2017
122
untuk mendapatkan putusan, mediasi di pengadilan menjadi tidak efektif lagi dan
hanya sebatas formalitas untuk memenuhi ketentuan peraturan.95
Berbeda halnya dengan yang terjadi di Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS). Sebagai lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang
bersifat non-litigasi. Penyelesaian sengketa di Basyarnas cukup efektif.
Berdasarkan wawancara dengan narasumber, Basyarnas menerima hanya 2 (dua)
perkara pada kurun waktu tahun 2016 sampai dengan 2017. Dari dua perkara
tersebut, Basyarnas berhasil menyelesaikan kedua perkara dengan hasil yang baik
lewat sesi mediasi, tidak ada yang gagal. Berdasarkan pengamatan penulis,
keberhasilan Basyarnas dilatarbelakangi oleh kemampuan para mediator yang tidak
hanya kompeten dalam memediasi, tapi juga mengerti dan faham betul akan seluk
beluk masalah ekonomi syariah. Maka dapat disimpulkan penyelesaian sengketa di
Basyarnas pada tahun 2016-2017, 100% berhasil. Berikut grafiknya:
Walaupun demikian tetap ada celah di Basyarnas. Yang paling mudah di
deteksi adalah tentang sedikitnya perkara yang masuk dan di daftarkan di
95 Wawancara dengan Ir. Saifuddin Latief, M.M, Mediator dan Sekretaris LAPSPI di kantor
LAPSPI, Jakarta Pusat, pada tanggal 27 September 2018.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
Perkara 2016-2017 Diproses Berhasil Mediasi Gagal Mediasi Dipending
Grafik Perkara Perbankan Syariah Badan Arbitrase Syariah Nasional 2016-2017
123
Basyarnas. Melihat kenyataan market share perbankan syariah di Indonesia yang
semakin naik dan berkembang, potensi konflik antar nasabah dengan bank syariah
juga akan semakin naik dan berkembang. Artinya akan ada banyak sengketa terkait
perbankan syariah yang muncul dan di daftarkan di lembaga-lembaga penyelesaian
sengketa. Basyarnas sebagai lembaga penyelesaian sengketa non-litigasi yang
menerima segala bentuk perkara dalam lingkup bisnis syariah, seharusnya menjadi
pilihan utama bagi masyarakat untuk menyelesaikan perkara mereka, terlebih
Basyarnas mempunyai kompetensi dalam bidang ekonomi syariah.
Menurut analisa penulis, penyebab utama sedikitnya sengketa yang
didaftarkan di Basyarnas adalah karena tidak menyeluruhnya sosialisasi tentang
penyelesaian sengketa ekonomi syariah di lembaga non-litigasi kepada masyarakat
dan praktisi Perbankan Syariah. Tidak menyeluruhnya kegiatan sosialisasi
dilatarbelakangi oleh kemampuan finansial Basyarnas yang kurang mendukung
untuk menopang biaya-biaya yang akan dikeluarkan untuk kegiatan sosialisasi.
Berdasarkan data yang didapatkan penulis, Basyarnas tidak memperoleh suntikan
dana apapun dari pemerintah karena bukan lembaga negara, juga tidak dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI), karena MUI juga pendapatannya tidak besar. Selain itu
basyarnas juga tidak memiliki donatur tetap, pendapatan Basyarnas dihasilkan dari
biaya perkara yang masuk dan proposal-proposal ke instansi-instansi negara.
Melihat perkara yang masuk dan didaftarkan sangat sedikit, sepertinya terjadi
paradoks antar masalah-masalah yang terjadi di Basyarnas.
Lain halnya lagi dengan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI). Dari segi pendapatan, LAPSPI mempunyai
pendapatan yang relatif stabil di bandingkan dengan Basyarnas. LAPSPI yang
pendiriannya ditanda tangani oleh 6 (enam) asosiasi perbankan yang ada di
Indonesia, mendapatkan pemasukan tetap dari seluruh anggotanya, yakni bank-
bank yang tergabung dalam masing-masing asosiasi perbankan. LAPSPI juga
mendapatkan pemasukan dari penyelesaian perkara yang didaftarkan padanya.
Berdasarkan data yang diperoleh penulis, ada 73 perkara yang ditujukan kepada
LAPSPI selama kurun waktu 2016-2017. Dari angka tersebut 17 diselesaikan lewat
124
mediasi, 1 diselesaikan lewat arbitrase, 19 ditolak, 4 pending, dan 32 dikembalikan
ke lembaga untuk menjalani IDR.
Dari jumlah sengketa yang banyak masuk ke LAPSPI pada tahun 2016-
2017, yang berjenis perkara perbankan syariah hanya ada 2 (dua). Dari dua perkara
tersbeut, 1 (satu) sudah diproses mediasi namun gagal, dan satu nya lagi masih
menunggu diproses (pending). Sehingga dapat di ambil simpulan, penyelesaian
sengketa perbankan syariah lewat mediasi di LAPSPI sementara masih belum bisa
didamaikan dengan baik. Berikut grafiknya:
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Perkara2016
Perkara2017
TotalPerkara
LewatMediasi
LewatArbitrase
Ditolak Pending IDR
Grafik Keadaan PerkaraLembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) 2016-2017
0
0,5
1
1,5
2
2,5
Perkara 2016-2017 Diproses Berhasil Mediasi Gagal Mediasi Dipending
Grafik Perkara Perbankan Syariah Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) 2016-2017
125
Namun melihat grafik perkara yang masuk semakin besar dari tahun ke
tahun, juga banyaknya sengketa perbankan (konvensional) yang berhasil dimediasi
di LAPSPI, penulis berpendapat bahwa perkara perbankan syariah juga akan
semakin banyak di selesaikan di LAPSPI dan dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi. Untuk mediaor/arbiternya, LAPSPI mempunyai mediator yang sangat faham
mengenai masalah-masalah perbankan di Indonesia. Itu sebabnya LAPSPI banyak
berhasil memediasi sengketa, begitu juga dalam hal perbankan syaraiah beberapa
tahun kedepan di LAPSPI.
Dari pemaparan diatas mengenai faktor kemasyarakatan dalam indikator
perbandingan yang digunakan, penulis merangkum poin-poin penting dalam sub
bagian ini sebagai berikut:
a. Penyelesaian sengketa perbankan syariah lewat mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan berjalan tidak lancar, dari 4 (empat) perkara yang
diproses, tidak satupun yang mencapai perdamaian di sesi mediasi;
b. Alasan tidak lancarnya penyelesaian sengketa perbankan syariah lewat
mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah karena para pihak
sudah melakukan upaya damai berkali-kali sebelumnya, dan pengadilan
adalah pilihan terakhir untuk menyelesaikan masalah;
c. Penyelesaian sengketa perbankan syariah lewat mediasi di Basyarnas pada
tahun 2016-2017 berjalan sangat baik. 2 (dua) perkara yang masuk dapat
diselesaikan lewat sesi mediasi sebelum memasuki pemeriksaan perkara;
d. Basyarnas mempnyai masalah dalam sedikitnya sengketa yang masuk,
disebabkan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat dan praktisi hukum
untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah lewat mediasi di
Basyarnas;
e. LAPSPI lembaga penyelenggara alternatif penyelesaian sengketa
perbankan yang efektif saat ini. Hal itu dilihat dari jumlah perkara yang
berhasil di selesikan lewat mediasi, namun belum menjadi tempat yang baik
untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Dari 2 (dua) perkara
126
perbankan syariah yang masuk, baru 1 (satu) yang selesai diproses namun
gagal, dan 1 (satu) lagi masih pending;
f. LAPSPI mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi lembaga yang
efektif menyelesaikan sengketa perbankan syariah kedepannya; hal ini di
ungkapkan berdasarkan track record LAPSPI yang bagus dilihat dari data
yang tersedia.
B. Persamaan dan Perbedaan Penyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah lewat
Mediasi di Lembaga Litigasi (PA Jakarta Selatan) dan Non Litigasi
(Basyarnas dan LAPSPI)
Analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap penyelesaian sengketa perbankan
syariah melalui mediasi di lembaga litigasi dan lembaga non-litigasi menemukan
beberapa kesamaan dan perbedaan dalam beberapa hal. Berikut penjelasannya.
1. Persamaan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Mediasi
di Lembaga Litigasi dan Non-Litigasi
Persamaan penyelesaian sengketa Perbankan syariah lewat mediasi di
lembaga litigasi dan non litigasi yang pertama adalah dalam jenis perkaranya.
Perkara yang diselesaikan lewat mediasi di lembaga litigasi dan non-litigasi
sama-sama berjenis perkara perdata. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) PERMA No.
1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, segala sengketa perdata
yang diajukan ke Pengadilan harus terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya
melalui mediasi. Berikut bunyi pasalnya:
Pasal 4
(1) Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan
termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek
dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun
pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali
ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.
127
Untuk lembaga non-litigasinya berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa beda pendapat dalam perkara perdata
dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa
(APS). Bunyi pasalnya sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh
para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Kemudian persamaan yang kedua adalah kedua lembaga ini baik lembaga
litigasi (Pengadilan Agama Jakarta Selatan), maupun lembaga non-litigasi
(Basyarnas dan LAPSPI), sama-sama menerima sengketa perbankan syariah
untuk diselesaikan.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai lembaga litigasi menerima
penyelesaian sengketa perbankan syariah. Ketentuan tentang hal tersebut
disebutkan dalam Pasal 55 Ayat (1) Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
bunyinya sebagai berikut:
Pasal 55
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
Pada ayat selanjutnya, yakni ayat (2) dalam pasal dan undang-undang yang
sama, dijelaskam bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dapat
dilakukan sesuai dengan isi akad. Maksud ayat ini adalah penyelesaian sesuai
isi akad seperti melalui musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase
128
Syariah Nasional (Basyarnas), dan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum. Maksud tersebut diambil berdasarkan penjelasan ayat (2) pasal 55
undang-undang terkait, Adapun bunyi pasal penjelasnya sebagai berikut:
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau
lembaga arbitrase lain; dan/atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Berdasarkan apa yang dijelaskan dalam penjelasan ayat (2) pasal 55 diatas,
maka dimengerti bahwa Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
memiliki wewenang dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Begitu
juga Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI) yang sejatinya merupakan representasi mediasi perbankan di era
Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selanjutnya persamaan yang ketiga adalah tempat pelaksanaannya. Baik
di lembaga litigasi maupun lembaga non litigasi Mediasi boleh dilakukan di
ruangan khusus di masing-masing lembaga. Pelaksanaan mediasi juga boleh
diselenggarakan di tempat lain di luar lembaga sesuai dengan kesepakatan para
pihak. Untuk dasar hukum terkait tempat penyelenggaraan mediasi, itu sudah
dijelaskan pada sub pambahasan sebelumnya.
Persamaan yang terakhir adalah pada prinsip-prinsipnya. Baik
penyelesaian sengketa perbankan syariah lewat mediasi di lembaga litigasi
seperti Pengadilan Agama Jakarta Selatan, maupun di Lembaga non-litigasi
seperti Basyarnas dan LAPSPI, prinsip-prinsip yang diterapkan sama-sama
berprinsip kerahasiaan. Pelaksanaan mediasi bersifat tertutup dan rahasia.
129
Tidak pihak luar yang boleh menyaksikan jalannya mediasi kecuali dengan
kesepakatan forum (para pihak).
2. Perbedaan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Mediasi
di Lembaga Litigasi dan Non-Litigasi
Perbedaan penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mediasi di
lembaga litigasi dan non-litigasi, penulis akan membahasnya dari beberapa
bagian yang telah dibahas di sub bab komparasi. Kemudian penulis juga akan
menambahkan beberapa perbedaan yang didapat setelah menganalisis proses
penyelenggaraan mediasi di lembaga-lembaga yang diteliti. Adapun
perbedaan-perbedaan antara lembaga litigasi (Pengadilan Agama Jakarta
Selatan) dan non-litigasi (Basyarnas dan LAPSPI) ada diseputar substansi
hukumnya, penegak hukumnya, prosedur penyelesaiannya, biaya yang
dikeluarkan, waktu yang dibutuhkan, dan prinsip-prinsip yang diterapkan.
Perbedaan yang pertama adalah dasar hukumnya. Peraturan yang
mendasari penyelenggaraan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa
perbankan syariah antara lembaga litigasi dan non-litigasi itu berbeda. Untuk
lembaga litigasi, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
peraturan yang mendasarinya adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sedangkan untuk Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), peraturan yang mendasarinya adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS). Selain itu, LAPSPI juga tunduk kepada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK/07/2014 Tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.
Perbedaan yang kedua adalah prosedur penyelesaiannya. Di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, sebelum memasuki pemeriksaan pokok perkara
perbankan syariah, para pihak harus terlebih dahulu mengikuti sesi mediasi
yang dipimpin oleh hakim mediator. Kemudian jika mediasi tidak berhasil,
130
maka perkara/sengketa akan diperiksa oleh hakim majelis di sidang
selanjutnya. Kemudian untuk Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas),
mediasi menjadi bagian dari acara arbitrase. Para Arbiter akan mengupayakan
perdamaian di awal dan bagian-bagian lain pemeriksaan perkara. Jika berhasil
maka arbiter akan membuatkan akta perdamaian (dading); namun jika tidak,
maka arbiter akan meneruskan pemeriksan sengketa/perkaranya. Kemudian
untuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI), Mediasi menjadi bagian yang terpisah dari Ajudikasi dan Arbitrase
dengan hukum acara masing-masing. Jika berhasil mediasi, maka akan
dibuatkan perjanjian perdamaian yang dapat didaftarkan ke Pengadilan
menjadi Akta Perdamaian, namun jika tidak berhasil maka akan di buatkan
berita acara yang menerangkan tidak tercapainya perdamaian antara kedua
belah pihak.
Perbedaan yang ketiga adalah waktu penyelesaian. Penyelesaian sengketa
perbankan syariah lewat mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
memakan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan
perintah melakukan Mediasi. Jika mediasi belum berhasil sampai jangka waktu
sudah habis, maka atas dasar kesepakatan Para Pihak, jangka waktu Mediasi
dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya
jangka waktu mediasi pertama. Kemudian untuk Basyarnas dan LAPSPI,
sebagai lembaga yang sama-sama tunduk pada UU No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan paling lama
mediasi di lakukan dalam waktu 30 hari sejak penetapan mediator. Namun
berbeda dengan di Pengadilan, berdasarkan ayat (8) pasal 6 UU No. 30 Tahun
1999 jangka waktu Mediasi di lembaga non-litigasi tidak dapat diperpanjang.
Perbedaan yang keempat adalah biaya penyelesaian perkara. Penyelesaian
sengketa perbankan syariah yang termasuk sengketa ekonomi syariah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Keputusan Ketua
Agama Jakarta Selatan Nomor W9-A4/184/Hk.05/SK/1/2018 Tentang Panjar
Biaya Perkara Pada Pengadilan Jakarta Selatan, membutuhkan biaya sebesar
131
Rp 816.000,-.96 Kemudian di Basyarnas, berdasarkan Surat Penetapan Badan
Arbitrase Syariah Nasional NO. 01/BASYARNAS/9/4/2005 Tentang Biaya
Arbitrase, biaya yang dibutuhkan untuk perkara dengan tuntutan sampai Rp
100.000.000,- adalah Rp 600.000,- terdiri dari biaya pendaftaran dan
administrasi, sedangkan biaya arbitrernya 8% dari jumlah tuntutan.97
Kemudian untuk penyelesaian sengketa lewat mediasi LAPSPI, biaya yang
dibutuhkan adalah
Perbedaan yang kelima adalah tentang penegak hukumnya. Dalam
menyelesaikan sengketa perbankan syariah lewat mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, forum dipimpin oleh mediator yang terdiri dari para
hakim yang sudah memiliki sertifikat mediator. Sementara itu di Basyarnas
forum penyelesaian sengketa perbankan syariah dipimpin oleh para arbiternya
telah bersertifikat juga. Dan untuk di LAPSPI forum mediasi di pimpin oleh
mediator bersertifikat juga. Perbedaannya adalah latar belakang para mediator
di masing-masing lembaga penyelenggara mediasi. Di Pengadilan,
mediatornya adalah para hakim yang bersertifikat mediator. Kelebihannya,
mereka mengerti hukum baik materil dan formil. Namun mereka tidak
mengerti permasalahan ekonomi. Kemudian di Basyarnas mediatornya terdiri
dari para arbiter yang berlatar belakang dosen dan praktisi hukum. Sedangkan
di LAPSPI mediatornya terdiri dari praktisi hukum, ekonomi, dosen, mantan
hakim Agung, dosen, dsb. Namun kebanyakan berlakar belakang praktisi
perbankan.
96 Surat Keputusan Ketua Agama Jakarta Selatan Nomor W9-A4/184/Hk.05/SK/1/2018 2018
Tentang Panjar Biaya Perkara Pada Pengadilan Jakarta Selatan
97 Surat Penetapan Badan Arbitrase Syariah Nasional NO. 01/BASYARNAS/9/4/2005 Tentang
Biaya Arbitrase
132
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis, lembaga non litigasi yang cenderung lebih
baik dari pada lembaga litigasi dalam memediasi sengketa perbankan syariah
disebabkan oleh adanya itikad baik para pihak yang bersengketa lembaga non
litigasi, sementara di lembaga litigasi para pihak umumnya sudah tidak ada itikad
baik untuk berdamai.
Selain itu, mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah lewat mediasi di
lembaga litigasi dan lembaga non-litigasi dari segi substansi hukum, penegak
hukum, sarana/fasilitas, dan masyarakat hukum, penulis menyimpulkannya dalam
beberapa poin berikut:
1. Secara garis besar proses penyelesaian sengketa perbankan syariah lewat
mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Badan Arbitrase Syariah
Nasional hampir sama. Yang membedakan, penyelesaian mediasi di Pengadilan
di lakukan sebelum sidang pokok perkara, sedangkan di Basyarnas sebelum
acara pemeriksaan arbitrase. Lalu, di Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) penyelesaian sengketa lewat mediasi
mempunyai forum dan acara sendiri yang terpisah dengan ajudikasi dan
arbitrase.
2. Persamaan dan Perbedaan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah
lewat mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Basyarnas, dan LAPSPI
adalah sebagai berikut. Untuk persamaannya antara lain menerima perkara
perdata, mempunyai kompetensi dalam menyelesaikan sengketa perbankan
syariah, membolehkan mediasi diselenggarakan di dalam dan di luar lembaga
sesuai kesepakatan para pihak, dan prosesnya mediasi bersifat rahasia.
Sedangkan untuk perbedaannya, Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
di dasari oleh PERMA No.1 Tahun 2016 Tentang Mediasi di Pengadilan;
jangka waktu penyelesaiannya 30 hari sejak penetapan melakukan mediasi dan
133
bisa ditambah maksimal 30 hari atas kesepakatan para piha; biaya perkaranya
Rp 816.000,-; dan mediatornya terdiri dari para hakim yang bersertifikat. Lalu
untuk Basyarnas dan LAPSPI, mereka tunduk pada UU No.30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; sengketanya harus
selesai dalam waktu 30 hari; biaya perkaranya berbeda tergantung besarnya
sengketa yang dimediasi, dan mediatornya terdiri dari praktisi hukum, praktisi
perbankan, dan akademisi.
3. Kelebihan dan kekurangan antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan
Arbitrase Syariah Nasional, dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah lewat
mediasi adalah sebagai berikut. Untuk Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
kelebihannya yaitu mediator berlatar belakang hakim yang mumpuni dalam
bidang hukum, kegagalan mediasi langsung beralih ke sidang pemeriksaan
pokok perkara, dan biaya sangat murah. Namun kekurangannya mediator
Pengadilan Agama sedikit yang mengerti ekonomi syariah dilihat dari
sedikitnya hakim bersertifikat ekonomi syariah, jangka waktu penyelesaian
tergolong lama, dan anggapan masyarakat tentang pengadilan yang merupakan
tempat mencari putusan bukan perdamaian. Untuk Basyarnas kelebihannya
yaitu mediator berlatar belakang praktisi hukum dan akademisi yang mengerti
penyelesaian sengketa ekonomi syariah, waktu penyelesaian cepat, dan putusan
bersifat final and binding; sedangkan kekurangannya yaitu biaya lebih tinggi
dari mediasi di pengadilan, kurangnya sosialisasi menyebabkan kurangnya
perkara yang masuk dan didaftarkan di Basyarnas. Untuk LAPSPI,
kelebihannya yaitu mediator banyak terdiri dari praktisi perbankan yang
mengerti seluk beluk dunia perbankan dan permasalahannya, jangka waktu
penyelesaian cepat, ada sistem IDR, dan mempunyai hasil yang baik dalam
memediasi sengeketa perbankan; sedangkan kekurangannya adalah sengketa
perbankan syariah yang masuk masih sangat sedikit, biaya yang dibutuhkan
tergantung besaran perkara yang disengketakan (bisa menjadi murah dan
menjadi mahal), dan dalam memediasi sengketa perbankan syariah masih
berproses untuk mengeluarkan hasil yang lebih baik.
134
B. Saran
Di bagian akhir ini penulis memberikan saran-saran yang ditunjukan kepada
pihak-pihak terkait sebagai berikut:
1. Kepada Mahkamah Agung, agar menyelenggarakan pelatihan mediasi di
Pengadilan agar hakim bersertifikat mediator menjadi lebih banyak dan juga
pelatihan ekonomi syariah agar hakim dapat mengerti dan tepat dalam
menangani perkara/sengketa ekonomi syariah khususnya perbankan syariah.
Hakim bersertifikat mediator dan ekonomi syariah akan menaikkan tingkat
keberhasilan mediasi di Pengadilan, terkhusus di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan;
2. Kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (Baasyarnas), untuk banyak
melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan praktisi hukum, agar mereka
tahu bagaimana langkah melakukan upaya hukum terkhusus dalam
menyelesaikan sengketa. Salah satu langkah dekat melakukan sosialisasi
adalah dengan membuat website resmi Basyarnas yang memuat berbagai
macam informasi bersengketa di Basyarnas. Pengetahuan masyarakat akan
menaikkan jumlah sengketa yang di daftarkan di Basyarnas;
3. Kepada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Indonesia (LAPSPI), agar
terus melakukan sosialisasi kepada masyarkat dan merekrut mediator yang
berlatar belakang akademisi, praktisi hukum, dan praktisi perbankan yang
faham betul masalah-masalah perbankan syariah dan penyelesaiannya menurut
syariat Islam. Mediator yang mumpuni di bidang mediasi dan perbankan
syariah akan menaikkan tingkat keberhasilan mediasi di sektor perbankan
syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadapp Pengadilan, Jakarta:
STIH IBLAM, 2004.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan
kedua,2010.
Al-Shan’ani, Subulu As-Salam, Kairo: Al-Masyhad Al-Husaini
An-Nasai, Ahmad bin Syuaib Abu Abdurrahman, Sunan An-Nasai, Kairo: Maktab
Al-Mathbu’at Al-Islamiyah, 1986.
Antonio, Muhammad Syafii, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, Cetakan ke-26, 2012
Arief, Barda Nawawie, Perbandingan Hukum Pidana , Jakarta: Raja grafindo,
Cetakan kedua, 1990.
Astarini, Dwi Reski Sri, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya
Ringan, Bandung: PT Alumni, Cetakan ke-1, 2013.
Astro, Muhammad dan Muhammad Kholid, Fiqh Perbankan, Bandung: Pustaka
Setia, 2011.
Bank Indonesia. “Sekilas tentang Perbankan Syariah” Artikel diakses dari Situs
resmi Bank Indonesia www.bi.go.id .Frequently Asked Questions (FAQ)
PBI NO.10/1/PBI/2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan.
Basir, Cik, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahka.mah Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.
De Cruz, Peter, Perbandingan Sistem Hukum, Common Law, Civil Law, dan
Socialist Law, diterjemahkan oleh Narulita Yusron, Bandung: Nusa
Media, 2010
Fauziah, Ika Yuni dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam,
Perspektif Maqasid al-Syariah, Jakarta: Kencana, 2014.
Herliana. “Peran Bank Indonesia Sebagai Pelaksana Mediasi Dalam Penyelesaian
Sengketa Perbankan”, Mimbar Hukum Volume 22, Nomor 1, 2010.
Kamil, Ahmad, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,
Jakarta: Kencana, 2007.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema
Insani Press, 2003.
Kasmir. “Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya”. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008.
Kolopaking, Anita D.A., Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak
Melalui Arbitrase, Bandung: PT. Alumni, 2013.
Kusumo, Adimas. Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Antara Nasabah dengan
Bank Melalui Mediasi Perbankan Sebagai Wujud Perlindungan Hukum
Bagi Nasabah (Studi Kantor Bank Indonesia Surakarta), Prifat Law Edisi
02 Juli-Oktober 2013.
Marhono, Suyud, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.
Nasution, Bismar, dkk. “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah Melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Bayarnas)”, Mimbar Hukum dan Peradilan,
Edisi No. 73, Jakarta, 2011.
Nurbani, Erlies Septiana dan Salim HS, Perbandingan Hukum Perdata:
Comparative Civil Law, Jakarta: Rajawali Express, Cetakan Kedua,
2015.
Nurbani, Erlies Septiana dan Salim HS, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Laporan Kinerja OJK 2012-2017, Dukungan OJK
terhadap Perlindungan Konsumen Lembaga alternatif Penyelesaian
Sengketa. Jakarta: OJK, 2017.
Sadi, Muhammad IS, Konsep Hukum Perbankan Syariah: Pola Relasi sebagai
Institusi Ingtermediasi dan Agen Investasi, Malang: Setara Press, 2015.
Salsabhila. Mediasi Perbankan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Antara Bank
dan Nasabah (Studi Pada PT. Bank Sumut Cabang Utama). Sumatera
Utara. 2012.
Sembiring, Sentosa, Hukum Perbankan, Bandung: Mandar Madju, 2000.
Sicca, Shintaloka Pradita. “BPKN Jelaskan Sebab Masih Rendahnya Indeks
Keberdayaan Konsumen”. Artikel diakses pada 30 Januari 2018 dari
https://tirto.id/bpkn-jelaskan-sebab-masih-rendahnya-indeks-
keberdayaan-konsumen-cCnY.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali Press; Cetakan ketiga, 1990.
Suadi, Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan & Kaidah
Hukum, Jakarta: Kencana, 2018.
Subekti,. R, Arbitrase Perdagangan, Bandung: Angkasa Offset, 1981.
Sufiarina, Urgensi Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi
Syariah, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-43 No. 2. April-
Juni, 2013.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada Cetakan ketujuh, 2005.
Tresnawati, Ita. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi
Pada PT Bank Mandiri Syariah di Surakarta, Jurnal Pasca Sarjana UNS
Vol III No. 2, Edisi Juli-September 2015.
Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002.
Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Sinar Grafika,
Cetakan Ke-2, 2013.
Yanti, Illy dan Habriyanto. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Studi Kasus
Sengketa Ekonomi Syariah di Lembaga Keuangan Syariah di Kota
Jambi, Jurnal Mika Akademika, Volume 27, Nomor 3, Edisi Juli 2015.
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Lembaga Mediasi
Perbankan.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2014 tentang LAPS
Peraturan LAPSPI Nomor 01/LAPSPI/Per/2107 Tentang Peraturan dan Prosedur
Mediasi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga keuangan Mikro
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS)
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
PERMA Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Gugatan Sederhana
PERMA Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah
PERMA Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah
Website
www.PAjaksel.com
www.bi.go.id
www.ojk.go.id
www.lapspi.org
Sumber Lainnya
Laporan Capaian Kinerja Otoritas Jasa Keuangan Tahun 2012-2017
Laporan Realisasi Anggaran dan Kegiatan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) Tahun 2017
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2017
Standar Internal Disputer Resolution Sektor Jasa Keuangan Tahun 2016
KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAl1/1NEGERI(UIN)SYARIF HID虚 宜TULLAH JAKARTA
FAKUL」TASSYARIAH DAN HUKUM
:1 t-i- i'1 ..lrt:lrttlli No.95 Ciputtll'l-llngcrang Scl:rtan '
lb11).(()21)71711537
ヽでbsite:w、 |ヽ .ヽuinikt,ac.id,Enlail:1lu:1la s.ヽ 11■ ltiniヽせ:11,,11
晟 置 騒 韓
鰈 艤饉鷺
, ae-ah 4/TL oo/3 t2o18
: Permohonan Data/Wawancara
Kepada
Yth. Ketua Pengadllan AgamaJakarta Selatan
di
Tempat
As salam m u' al aiktt m, Wr. Wb.
Dekan Fakultas SYariah danmenerangkan bahwa :
NamaTempat/TanggalNIMSemesterProgram StudiAlamat
Telp/Hp :
′ adalah benar yang∪IN Syarif Hidayatu‖ ah
」akarta,06'Vlaret 201 8Nomor
l*ampiran
Hal
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
: Abdussaml Makarlm: JAKARTA/06」 anua百 1995: 11140460000087:8l Hukum Ekonoml Syariiah(Muamalat)
」1丁aruna Jaya No.12 Rt.004ノ 05 Kel.Cibubur,Kec.Ciracas,
」akarta ttirllur Dki Jakarta.
081213193614(WA)0
::i171Lg)ど古ζns:慧」ltS鷺 :「yi:想‖|:ilp:r::loal]:dl‖
kum
だ″
Perbandingan Penyelesalan sengketa Ekonomi syariah pada BASYARNAS, LAPSPI, dan
Pengadilan Agama
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerima
yang bersungkrtrn untuk Wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripst
dimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya. kami ucapkan terima kasih.
W a ssal a nt u' a I a i ku m. Wr. Wb
/′
〃 .ξ rヴ
a.n. DekanKepala Bagian Tata Usaha
´Drs,Mochamad Guruh,M,Pd‐‐NIP.196204081987101001
SUmT KETERANGAN
Yang bertanda tangan di balvah ini:
Nama . AbdLrssami Makarim
}r{M :1fi4A46A000087
Prodi/Fakultas: Hukum Ekonomi syariah/ Fakultas syariah dan Hukum
Menerangkan telah melaksanakan wawancara untuk penelitian dan penyusunan
tugas akhir kuliah (skripsi) tentang Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Badan Arbitrase Nasional (BA SYARNAS ), dengan :
Demikian keterangan ini saya buat dengan sebenar-benarnya sebagai bukti telah
melakukan wawancara.
Ciputat, 17 April2}fi
Pewawancara
Nama
Jabttan
:Achad ttauhari,SH.MII.
:Sekretaris Umlllll BASYARNAS
Narasumber
1
PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
NOMOR: 01/LAPSPI-PER/2017
TENTANG
PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
Menimbang: a. bahwa dalam penyelesaian pengaduan Nasabah kepada Perbankan seringkali tidak tercapai kesepakatan yang dapat diterima oleh Para Pihak;
b. bahwa terdapat forum alternatif penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keungan;
c. bahwa asosiasi-asosiasi perbankan telah membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) dengan layanan Mediasi, Adjudikasi, dan Arbitrase, untuk Para Pihak dalam menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien;
d. bahwa berdasarkan hal hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk membuat Peraturan dan Prosedur Mediasi LAPSPI sebagai pedoman bagi para pihak terkait.
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872), beserta perubahannya apabila ada;
2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 175);
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yang diundangkan tanggal 6 Agustus 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431) beserta perubahannya apabila ada;
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Keuangan, yang diundangkan tanggal 23 Januari 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499) beserta perubahannya apabila ada;
2
5. Anggaran Dasar LAPSPI sebagaimana tertuang dalam Akta
Pendirian Nomor 36 tanggal 28 April 2015 yang dibuat di hadapan Ashoya Ratam, S.H., M.Kn., Notaris di Jakarta yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dengan Surat Keputusan KEMENKUMHAM Nomor AHU-0004902.AH.01.07 Tahun 2015 tanggal 16 September 2015, beserta perubahannya apabila ada.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Definisi
(1) Dalam Peraturan dan Prosedur ini yang dimaksud dengan:
(a) Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui proses perundingan di LAPSPI untuk memperoleh Kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.
(b) Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
(c) Mediator Tetap adalah orang perseorangan yang diangkat oleh LAPSPI sebagai Mediator dan tercatat dalam Daftar Mediator Tetap.
(d) Daftar Mediator Tetap adalah daftar yang diterbitkan oleh LAPSPI yang berisikan nama-nama Mediator Tetap.
(e) Sekretaris adalah 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat yang ditunjuk oleh Pengurus untuk membantu Mediator dalam urusan pencatatan dan administrasi selama proses Mediasi.
(f) Kode Etik adalah Kode Etik yang berlaku bagi Mediator LAPSPI. (g) Benturan Kepentingan adalah kondisi seseorang dimana yang bersangkutan
tidak dapat bertindak secara objektif karena adanya kepentingan pribadi, baik secara ekonomi maupun sosial.
(h) Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa Mediator telah lulus pelatihan dan pendidikan Mediator yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah diakreditasi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(i) Para Pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke LAPSPI untuk memperoleh penyelesaian.
(j) Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI.
(k) Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI.
3
(l) Permohonan Mediasi adalah surat permohonan yang diajukan oleh Para Pihak atau salah satu Pihak atau Arbiter Tunggal/Ketua Majelis Arbitrase kepada Pengurus LAPSPI untuk menyelenggarakan Mediasi dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur ini.
(m) Perjanjian Mediasi adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh Para Pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui Mediasi LAPSPI.
(n) Resume Perkara adalah dokumen yang dibuat oleh Para Pihak yang memuat kronologis kejadian sengketa, tuntutan yang diajukan, dan usulan solusi penyelesaian.
(o) Pengurus adalah mereka yang diangkat sebagai Pengurus LAPSPI sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar LAPSPI, beserta segala perubahannya jika ada.
(p) Sekretariat adalah sekretariat yang dibentuk Pengurus untuk menjalankan operasional sehari-hari LAPSPI yang dipimpin oleh salah satu anggota Pengurus, atau personil lain yang ditunjuk oleh Pengurus.
(q) Kaukus adalah pertemuan antara Mediator dengan salah satu Pihak tanpa dihadiri oleh Pihak lain.
(r) Kesepakatan Perdamaian adalah kesepakatan hasil mediasi dalam bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani Para Pihak dan Mediator.
(s) Kesepakatan Perdamaian Sebagian adalah kesepakatan antara Pihak Pemohon dengan sebagian atau seluruh Pihak Termohon dan kesepakatan Para Pihak terhadap sebagian dari seluruh objek perkara dan/atau permasalahan hukum yang disengketakan dalam proses Mediasi.
(t) Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi Kesepakatan Perdamaian yang dibuat oleh Hakim Pengadilan Negeri untuk menguatkan isi Kesepakatan Perdamaian tersebut.
(u) Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang diselenggarakan di LAPSPI dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur ini yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase.
(v) Layanan Probono adalah layanan Mediasi secara cuma-cuma untuk sengketa dengan jumlah Tuntutan Ganti Rugi sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) yang diajukan oleh Pemohon dengan kriteria tertentu yang ditetapkan dalam Keputusan Rapat Pengurus LAPSPI.
(w) Layanan Komersial adalah layanan Mediasi berbayar untuk sengketa dengan jumlah Tuntutan Ganti Rugi diatas Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(x) Tuntutan Ganti Rugi adalah jumlah nominal materiil tertentu yang dituntut oleh Pemohon.
(2) Penyebutan kata “hari” dalam Peraturan dan Prosedur ini adalah merujuk kepada hari kerja nasional Indonesia.
Pasal 2
Ruang Lingkup Peraturan dan Prosedur (1) Peraturan dan Prosedur ini mengatur penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui
Mediasi LAPSPI, baik yang diajukan langsung oleh Para Pihak kepada forum Mediasi LAPSPI maupun yang ditempuh melalui forum Arbitrase LAPSPI.
(2) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Mediasi LAPSPI harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini: (a) merupakan sengketa perdata di bidang Perbankan dan/atau berkaitan dengan
bidang Perbankan;
4
(b) sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh Pihak yang bersengketa;
(c) sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian;
(d) sengketa yang telah menempuh upaya musyawarah tetapi Para Pihak tidak berhasil mencapai perdamaian; dan
(e) antara Para Pihak terikat dengan Perjanjian Mediasi. (3) LAPSPI termasuk Mediator, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat dilarang untuk
memberikan dan/atau menawarkan bantuan hukum dalam bentuk apapun, baik secara profesional ataupun personal kepada Para Pihak, termasuk nasehat dan/atau opini hukum menyangkut posisi hukum Para Pihak.
(4) Para Pihak, Mediator, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat wajib mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini.
Pasal 3 Sifat Proses Mediasi
(1) Proses Mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali Para Pihak menghendaki lain. (2) Penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI dilaksanakan oleh Para Pihak
berdasarkan kepada itikad baik dan bermartabat, dengan mengesampingkan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
(3) Keikutsertaan Para Pihak dalam proses Mediasi adalah berdasarkan keinginan Para Pihak sendiri tanpa adanya paksaan, dan harus diikuti dengan santun, saling menghormati dan tertib.
(4) Kesepakatan Perdamaian dibuat secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan. (5) Kesepakatan Perdamaian bersifat final dan mengikat Para Pihak untuk dilaksanakan
dengan itikad baik, dan terhadap Kesepakatan Perdamaian tersebut tidak dapat diajukan perlawanan atau bantahan.
(6) Pihak yang tidak melaksanakan Kesepakatan Perdamaian dianggap melanggar perjanjian.
(7) Mediator hanya memfasilitasi pertemuan dan perundingan dalam kerangka Mediasi dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian antara Para Pihak yang bersengketa, dan dalam hal ini Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat suatu keputusan atau penetapan pembayaran.
(8) Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan/atau mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.
BAB II
MEDIATOR
Pasal 4 Persyaratan Mediator
(1) Untuk dapat menjadi Mediator dalam Mediasi LAPSPI, haruslah orang yang sudah diangkat oleh Pengurus sebagai Mediator Tetap LAPSPI.
(2) Pengurus mengangkat seseorang sebagai Mediator Tetap LAPSPI menurut ketentuan sebagai berikut : (a) Pencalonan seseorang untuk menjadi Mediator Tetap LAPSPI diputuskan dalam
Rapat Pengurus berdasarkan pemahaman Pengurus mengenai integritas dan
5
kapabilitas dari calon yang bersangkutan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Lampiran II.
(b) Apabila seseorang dimaksud, atas permohonan kesediaan yang disampaikan dari Pengurus, bersedia menjadi calon Mediator Tetap LAPSPI, maka Pengurus meminta yang bersangkutan menyampaikan resume jati diri dan riwayat hidup beserta salinan dokumen-dokumen pendukungnya dan mengikuti uji kecakapan dan kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Pengurus.
(c) Pengurus hanya mengangkat seseorang menjadi Mediator Tetap LAPSPI apabila calon tersebut telah disetujui oleh Badan Pengawas LAPSPI.
(3) Pengangkatan seseorang menjadi Mediator Tetap LAPSPI hanya dapat dilakukan apabila calon yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat sebagaimana tertuang dalam Lampiran II Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(4) Apabila setelah diangkat sebagai Mediator Tetap LAPSPI ternyata di kemudian hari Mediator tersebut mengalami perubahan kondisi pada dirinya yang mengakibatkan tidak terpenuhinya 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud ayat (3), maka Pengurus segera memutuskan untuk: (a) membekukan statusnya sebagai Mediator Tetap LAPSPI untuk sementara waktu
sampai dengan dipenuhinya kembali syarat-syarat yang diperlukan; atau (b) mengajukan permohonan kepada Badan Pengawas LAPSPI untuk mencabut
statusnya sebagai Mediator Tetap LAPSPI. (5) Dalam hal keputusan pembekuan atau pencabutan dimaksud dalam ayat (3) diterbitkan
oleh Pengurus pada saat Mediator yang bersangkutan tengah menjalankan tugasnya sebagai Mediator perkara, pada saat Mediasi berada dalam tahap apapun, maka Pengurus segera menghentikan proses Mediasi dimaksud sampai dengan ditunjuk kembali Mediator baru sesuai dengan Peraturan dan Prosedur ini.
(6) Pengurus menerbitkan Daftar Mediator Tetap LAPSPI yang terbuka untuk umum, dan memperbaharuinya setiap ada perubahan pada daftar tersebut.
Pasal 5 Kewajiban Mediator
(1) Mediator wajib mentaati ketentuan Kode Etik dan menghindari Benturan Kepentingan selama menjalankan fungsinya.
(2) Mediator berkewajiban melaksanakan tugasnya sampai selesai secara profesional, bersikap netral, independen dan menjaga integritas serta menjunjung tinggi Kode Etik.
(3) Mediator wajib memberikan kesempatan yang sama kepada masing-masing Pihak untuk didengar keterangan, pendapat dan keinginannya.
(4) Mediator wajib segera mengundurkan diri apabila, setelah menerima penunjukan sebagai Mediator, kemudian menyadari bahwa yang bersangkutan ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (6).
BAB III Penunjukan Mediator
Pasal 6 Layanan Probono
(1) Untuk Layanan Probono, Pengurus LAPSPI menunjuk 1 (satu) orang Mediator Tetap LAPSPI untuk menangani penyelesaian sengketa Para Pihak.
6
(2) Sekretaris dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat konfirmasi kesediaan Mediasi dari Termohon, meneruskan surat penunjukan kepada Mediator.
(3) Mediator yang ditunjuk, berhak untuk menerima atau menolak penunjukan atas dirinya, dan memberikan jawabannya secara tertulis paling lama 5 (lima) hari terhitung setelah menerima surat penunjukan tersebut kepada Sekretaris, dengan tembusan Pengurus.
(4) Apabila Mediator menerima penunjukan, maka Mediator di dalam jawabannya sekaligus melampirkan surat pernyataan dan keterbukaan dalam format yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh LAPSPI dengan memperhatikan Kode Etik dan Pedoman Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan dan Prosedur Mediasi ini. Mediator bertanggung jawab penuh atas segala risiko hukum yang timbul dari kebenaran surat pernyataan dan keterbukaan yang telah dibuat dan ditandatanganinya tersebut.
(5) Mediator hanya boleh menerima penunjukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tidak memiliki benturan kepentingan terhadap salah satu atau Para Pihak yang
bersengketa; (b) tidak berada dalam pengaruh dan/atau tekanan siapapun untuk menjalankan
tugas sebagai Mediator yang akan mempengaruhi integritas, imparsialitas dan kemandiriannya dalam menyelenggarakan Mediasi;
(c) dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menjalankan tugas sebagai Mediator dengan sebaik-baiknya;
(d) membuat surat pernyataan dan keterbukaan sebagaimana dimaksud ayat (4) dengan jujur dan benar.
(6) Apabila Mediator menolak penunjukan, karena sebab tidak terpenuhinya ketentuan ayat (5) pasal ini, maka Pengurus menunjuk Mediator lain dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah menerima surat penolakan. Jangka waktu dalam kesempatan kedua tersebut sudah termasuk konfirmasi penerimaan dari Mediator yang ditunjuk.
(7) Apabila Mediator melanggar ketentuan Pasal 5, maka proses Mediasi akan diberhentikan sementara dan Pengurus LAPSPI akan menunjuk dan mengangkat Mediator baru dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(8) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Mediator memberikan konfirmasi penerimaan penunjukannya sebagai Mediator, Pengurus menerbitkan surat keputusan Pengurus tentang pengangkatan Mediator dimaksud sebagai Mediator untuk perkara yang bersangkutan.
(9) Setelah pengangkatan sebagaimana dimaksud ayat (8), Pengurus menyerahkan Berkas Permohonan Mediasi kepada Mediator melalui Sekretaris supaya dapat segera dimulai perundingan Mediasi.
Pasal 7 Layanan Komersial
(1) Para Pihak dalam Layanan Komersial berhak memilih seorang atau paling banyak 2 (dua) orang Mediator yang tercatat dalam Daftar Mediator Tetap LAPSPI.
(2) Pengurus, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat konfirmasi kesediaan Mediasi dari Termohon, menyampaikan Daftar Mediator Tetap LAPSPI kepada Para Pihak untuk menyepakati dan menunjuk 1 (satu) orang atau lebih Mediator.
7
(3) Para Pihak, dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah menerima Daftar Mediator Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, harus telah menyepakati dan menunjuk 1 (satu) orang atau lebih Mediator dan menyampaikan penunjukan tersebut secara tertulis kepada Pengurus LAPSPI.
(4) Sekretaris segera meneruskan surat penunjukan kepada Mediator atau Para Mediator paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat dari Para Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini.
(5) Mediator hanya boleh menerima penunjukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tidak memiliki benturan kepentingan terhadap salah satu atau Para Pihak yang
bersengketa; (b) tidak berada dalam pengaruh dan/atau tekanan siapapun untuk menjalankan
tugas sebagai Mediator yang akan mempengaruhi integritas, imparsialitas dan kemandiriannya dalam menyelenggarakan Mediasi;
(c) dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menjalankan tugas sebagai Mediator dengan sebaik-baiknya;
(d) membuat surat pernyataan dan keterbukaan sebagaimana dimaksud ayat (4) dengan jujur dan benar.
(6) Apabila Mediator menolak penunjukan, karena sebab tidak terpenuhinya ketentuan ayat (5) pasal ini, maka Pengurus berwenang menunjuk Mediator lain dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat penolakan dan menyampaikan kepada Para Pihak.
(7) Apabila Mediator menerima penunjukan, maka Mediator di dalam jawabannya sekaligus melampirkan surat pernyataan dan keterbukaan dalam format yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh LAPSPI dengan memperhatikan Pedoman Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan dan Prosedur Mediasi ini. Mediator bertanggung jawab penuh atas segala risiko hukum yang timbul dari kebenaran surat pernyataan dan keterbukaan yang telah dibuat dan ditandatanganinya tersebut.
(8) Pengurus berwenang menunjuk Mediator untuk kepentingan Para Pihak apabila: (a) Para Pihak menyerahkan penunjukan Mediator kepada Pengurus; atau (b) Para Pihak gagal menunjuk Mediator dalam waktu sebagaimana dimaksud ayat
(1) atau ayat (3); atau (c) Mediator yang ditunjuk Para Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini,
menolak penunjukan. (9) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Mediator memberikan
konfirmasi penerimaan penunjukannya sebagai Mediator, Pengurus menerbitkan surat keputusan Pengurus tentang pengangkatan Mediator dimaksud sebagai Mediator untuk perkara yang bersangkutan.
(10) Setelah pengangkatan sebagaimana dimaksud ayat (9), Pengurus menyerahkan Berkas Permohonan Mediasi kepada Mediator melalui Sekretaris supaya dapat segera dimulai perundingan Mediasi.
Pasal 8 Penggantian Mediator
(1) Setelah diterbitkan surat pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (10), Mediator tidak dapat diganti atau mengundurkan diri, kecuali menurut syarat-syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (6).
8
(2) (a) Salah satu Pihak dapat mengajukan permintaan penggantian Mediator secara tertulis kepada Pengurus dengan tembusan Mediator dan Pihak lainnya apabila Mediator yang bersangkutan ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5) dan/atau melanggar ketentuan Pasal 5.
(b) Pengurus segera menghentikan sementara proses Mediasi sampai ada kepastian mengenai persoalan permintaan penggantian Mediator sebagaimana dimaksud huruf (a).
(c) Pihak lainnya harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud huruf (a), dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima surat tersebut.
(d) Dalam hal Pihak lain tidak berkeberatan terhadap permintaan penggantian Mediator tersebut, Pengurus segera mencabut surat keputusan pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (10).
(e) Dalam hal Pihak lain berkeberatan terhadap permintaan penggantian Mediator tersebut, maka persoalan tersebut akan diputuskan oleh Pengurus.
(f) Mediator berhak diberikan kesempatan untuk membela diri atau memberikan penjelasan kepada Para Pihak dan Pengurus sehubungan dengan adanya permintaan penggantian dirinya.
(3) (a) Mediator dapat mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Pengurus dengan tembusan Para Pihak, apabila Mediator tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5) atau melanggar Pasal 5.
(b) Pengurus segera menghentikan sementara proses Mediasi sampai ada kepastian mengenai persoalan permintaan pengunduran diri Mediator sebagaimana dimaksud huruf (a).
(c) Para Pihak harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap pengunduran diri sebagaimana dimaksud huruf (a), dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima surat tersebut.
(d) Dalam hal Para Pihak tidak berkeberatan terhadap permintaan pengunduran diri Mediator tersebut, Pengurus segera mencabut surat keputusan pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
(e) Dalam hal Para Pihak berkeberatan terhadap permintaan pengunduran diri Mediator tersebut, maka persoalan tersebut akan diputuskan oleh Pengurus.
(f) Mediator berhak diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan kepada Pengurus dan Para Pihak sehubungan dengan adanya permintaan pengunduran dirinya tersebut.
(4) Dalam hal Mediator meninggal dunia atau dalam keadaan yang tidak memungkinkannya untuk mengajukan permohonan pengunduran diri, maka Pengurus segera mencabut surat pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
(5) Apabila Pengurus memutuskan menolak permintaan penggantian Mediator sebagaimana dimaksud ayat (2) atau pengunduran diri Mediator sebagaimana dimaksud ayat (3), maka Mediator tersebut tetap bertugas dan Mediasi dilanjutkan kembali.
(6) Apabila Pengurus memutuskan menerima permintaan penggantian Mediator sebagaimana dimaksud ayat (2), atau pengunduran diri Mediator sebagaimana dimaksud ayat (3), maka Pengurus segera mencabut surat pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
9
(7) Keputusan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan ayat (6) bersifat final dan mengikat Para Pihak dan Mediator yang bersangkutan.
(8) Setelah Pengurus mencabut surat keputusan pengangkatan Mediator perkara, selanjutnya Mediator yang baru akan ditunjuk sesuai dengan tata cara penunjukan Mediator yang diganti dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal pencabutan surat keputusan tersebut. Proses Mediasi dimulai kembali dengan perhitungan jangka waktu yang baru.
BAB IV
Proses Mediasi
Pasal 9 Pendaftaran Permohonan Mediasi
(1) Mediasi diselenggarakan berdasarkan Permohonan Mediasi yang diajukan pendaftarannya oleh Para Pihak atau salah satu Pihak kepada LAPSPI.
(2) Berkas Permohonan Mediasi paling kurang memuat: (a) nama lengkap, dan tempat tinggal atau tempat kedudukan Para Pihak; (b) jenis perkara; (c) permintaan kepada LAPSPI untuk diselenggarakan Mediasi; (d) Resume Perkara; (e) fotokopi dokumen-dokumen atau bukti-bukti pendukung;
(3) Resume Perkara dibuat oleh masing-masing Pihak jika tidak dimungkinkan untuk dibuat secara bersama-sama.
(4) Pengurus menyampaikan surat konfirmasi penerimaan atau penolakan terhadap pendaftaran Permohonan Mediasi kepada Para Pihak dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah diterimanya konfirmasi tertulis dari Termohon.
(5) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan ditolak, maka surat sebagaimana dimaksud ayat (4) memuat alasan penolakan. Para Pihak dapat mengajukan kembali Permohonan Mediasi setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini.
(6) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan diterima, maka surat sebagaimana dimaksud ayat (4) memuat pula: (a) pemberitahuan mengenai dimulainya penunjukan Mediator; (b) pemberitahuan mengenai nama Sekretaris yang ditunjuk oleh Pengurus untuk
perkara yang bersangkutan; (c) informasi mengenai biaya-biaya Mediasi atas perkara yang bersangkutan.
(7) Terhadap permohonan Mediasi yang diterima sebagaimana dimaksud ayat (6), Sekretariat pada tanggal yang sama dengan tanggal konfirmasi dimaksud mencatatkan permohonan tersebut dalam buku register perkara LAPSPI.
(8) Pengurus dapat melimpahkan kewenangan melakukan konfirmasi atas pendaftaran Permohonan Mediasi kepada personil Sekretariat.
Pasal 10 Sekretaris
(1) Pengurus menunjuk 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat untuk menjadi Sekretaris
pada perkara yang akan atau sedang diproses dalam Mediasi. (2) Sekretaris mempunyai tugas sebagai berikut:
(a) membuat risalah pertemuan perundingan, kaukus dan dengar pendapat; (b) mengurus korespondensi Mediasi;
10
(c) menyimpan catatan dan dokumen Mediasi; (d) menandatangani surat-surat undangan pertemuan kepada Para Pihak atas nama
Mediator; (e) membantu Para Pihak dan Mediator menyiapkan format konsep Kesepakatan
Perdamaian; (f) membantu Mediator dalam menyusun jadwal perundingan dan mengingatkan
Mediator dan Para Pihak mengenai jangka waktu Mediasi; (g) menyiapkan konsep laporan Mediator kepada Pengurus mengenai selesainya
Mediasi; (h) tugas-tugas lain yang diatur pada bagian lain dari Peraturan dan Prosedur ini,
apabila ada. (3) Sekretaris wajib menjaga prinsip kerahasiaan atas proses Mediasi dan melaksanakan
tugasnya sampai dengan selesai secara profesional, bersikap netral, independen dan menjaga integritas serta menjunjung tinggi kehormatan LAPSPI.
Pasal 11 Perjanjian Mediasi
(1) Perjanjian Mediasi dapat dibuat dengan cara sebagai berikut:
(a) tertuang dalam klausula penyelesaian sengketa dari perjanjian pokok; (b) dibuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh Para Pihak; (c) dalam bentuk pernyataan Para Pihak di hadapan persidangan Arbitrase LAPSPI.
(2) Dalam hal pengajuan Mediasi dibuat dalam bentuk pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (c) maka perjanjian tersebut cukup dibuktikan dengan Berita Acara Persidangan Arbitrase LAPSPI.
(3) Perjanjian Mediasi memuat pernyataan bahwa Para Pihak bersedia untuk terikat, tunduk dan melaksanakan setiap dan semua kesepakatan yang mungkin dicapai dalam Mediasi LAPSPI, serta menanggung biaya-biaya yang diperlukan dalam Mediasi.
(4) LAPSPI dapat memfasilitasi pertemuan antara Para Pihak dalam rangka membuat Perjanjian Mediasi.
BAB V PERUNDINGAN MEDIASI
Pasal 12 Jangka Waktu
Perundingan Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah tanggal surat keputusan pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9). Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang atas kesepakatan Para Pihak dan Mediator paling lama 30 (tiga puluh) hari lagi.
Pasal 13 Tempat
Mediasi diselenggarakan di Jakarta atau tempat yang ditentukan oleh Pengurus. Namun demikian, Para Pihak dapat mengusulkan tempat lain dengan persetujuan Pengurus dan Mediator.
Pasal 14 Bahasa
11
(1) Bahasa yang digunakan dalam semua proses Mediasi LAPSPI adalah bahasa Indonesia,
kecuali atas persetujuan Mediator maka Para Pihak dapat memilih bahasa lain. (2) Kesepakatan Perdamaian harus menggunakan Bahasa Indonesia dan dapat
diterjemahkan ke dalam Bahasa Lain.
Pasal 15 Perundingan, Kaukus, dan Dengar Pendapat
(1) Mediator harus sudah memulai perundingan Mediasi selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari terhitung setelah tanggal menerima surat keputusan pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
(2) Mediator berupaya menyelenggarakan proses Mediasi yang efisien dan bersungguh-sungguh membimbing Para Pihak mencapai Kesepakatan Perdamaian.
(3) Mediator harus mengambil inisiatif untuk memulai pertemuan, mengusulkan jadwal dan agenda pertemuan kepada Para Pihak untuk dibahas dan disepakati.
(4) Mediator harus mendorong Para Pihak untuk secara langsung terlibat dan berperan aktif dalam: (a) proses Mediasi secara keseluruhan; (b) menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak; dan (c) mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para Pihak.
(5) Dalam rangka menjaga prinsip independensi dan keadilan, Pengurus memiliki kewenangan untuk hadir memantau jalannya proses Mediasi.
(6) Apabila menganggap perlu, Mediator dapat melakukan Kaukus dengan persetujuan terlebih dahulu Para Pihak.
(7) Apabila menganggap perlu, Mediator dengan persetujuan dan biaya Para Pihak dapat mengundang 1 (satu) atau lebih ahli dalam bidang tertentu dan/atau pihak ketiga lainnya untuk memberikan keterangan.
(8) Para Pihak harus menghadiri pertemuan perundingan yang diselenggarakan oleh Mediator dan tidak boleh diwakilkan hanya oleh kuasa hukumnya. Jika dipandang perlu oleh Mediator untuk kelancaran proses perundingan, Mediator dapat membatasi kehadiran kuasa hukum Para Pihak.
(8) Dalam hal suatu Pihak merupakan badan hukum, maka harus diwakili oleh pengurusnya dan/atau pegawainya yang sah dan berwenang atau berdasarkan Surat Kuasa khusus, untuk: (a) mewakili badan hukum; (b) mengambil keputusan untuk dan atas nama badan hukum; dan (c) membuat perdamaian untuk dan atas nama badan hukum.
(9) Acara perundingan, Kaukus dan mendengar keterangan ahli/pihak ketiga dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan tatap muka langsung atau melalui sarana teknologi informasi (seperti telepon, telekonferensi dan/atau video konferensi).
(10) Selama belum tercapai Kesepakatan Perdamaian, salah satu Pihak dapat menyatakan mundur dari proses Mediasi kepada Mediator, dengan tembusan Pihak lain dan Pengurus, jika terdapat alasan dan bukti yang kuat bahwa Pihak lain menunjukkan itikad tidak baik dalam menjalani proses Mediasi.
Pasal 16 Keterlibatan Ahli dan Saksi
(1) Atas persetujuan Para Pihak, Mediator dapat menghadirkan seorang atau lebih Ahli atau Saksi.
12
(2) Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan kekuatan yang mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian Ahli dan/atau Saksi.
Pasal 17 Kerahasiaan
(1) Proses Mediasi bersifat rahasia dan berlangsung secara tertutup yang hanya dihadiri oleh Para Pihak, Mediator dan Sekretaris, kecuali Para Pihak menghendaki lain atau bila diperlukan untuk pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian sebagaimana alasan yang diperbolehkan Pasal 21 ayat (3).
(2) Kecuali bila diperlukan untuk pelaksanaan Mediasi sebagaimana alasan yang diperbolehkan Pasal 20 ayat (3), maka semua orang yang terlibat dalam proses Mediasi harus menjaga kerahasiaan baik selama perundingan maupun setelah selesai, dan tidak menggunakan untuk tujuan apapun terhadap: (a) fakta bahwa proses Mediasi akan, sedang dan/atau telah berlangsung; (b) hal-hal yang muncul dalam proses Mediasi; (c) pendapat yang dikemukakan, usulan-usulan atau proposal yang diajukan Para
Pihak untuk penyelesaian sengketa; (d) semua bahan yang diserahkan dan pembicaraan yang dilakukan selama proses
Mediasi; (e) semua data, informasi, korespondensi, dan bahan baik dalam bentuk cetak
tertulis maupun elektronik, mengenai masalah yang didiskusikan, proposal dan tanggapan yang disampaikan, termasuk isi Kesepakatan Perdamaian.
(3) Ketentuan kerahasiaan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2) tetap melekat atas orang yang terlibat dalam proses Mediasi meskipun Mediasi telah selesai.
(4) LAPSPI dan/atau salah satu Pihak berhak menuntut Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dan/atau ayat (2) berupa tuntutan termasuk namun tidak terbatas pada: (a) ganti rugi penuh atas kerugian yang ditimbulkan; (b) biaya upaya hukum yang dilakukannya sehubungan dengan pelanggaran
tersebut; (c) jaminan tidak terulang kembali pelanggaran tersebut di kemudian hari.
(5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ayat (1) dan/atau ayat (2), Mediator berwenang untuk menghentikan proses Mediasi untuk sementara waktu sampai adanya jaminan bahwa pelanggaran tersebut tidak terulang kembali di kemudian hari.
(6) Setelah Mediasi selesai, maka: (a) Catatan Mediator dan Sekretaris wajib dimusnahkan; (b) Mediator tidak dapat bertindak sebagai saksi fakta, ahli, konsultan, kuasa hukum,
Adjudikator, atau Arbiter dalam perkara yang sama.
Pasal 18 Dokumentasi, Korespondensi dan Komunikasi
(1) Para Pihak dilarang merekam acara Mediasi baik rekaman audio, rekaman visual maupun rekaman audio visual.
(2) Pengiriman surat-menyurat disampaikan oleh Sekretaris kepada nama dan alamat yang tercantum pada Permohonan Mediasi. Apabila ada perubahan, maka masing-masing Pihak harus memastikan telah memberikan informasi kepada Sekretaris mengenai nama, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat secara lengkap untuk tujuan surat-menyurat dari dan ke masing-masing Pihak, dan setiap perubahan-perubahan selanjutnya berkenaan dengan hal-hal tersebut.
13
(3) Apabila Mediator telah diangkat, maka setiap Pihak tidak boleh melakukan komunikasi
dengan Mediator dengan cara apapun sehubungan dengan Permohonan Mediasi, kecuali dalam pertemuan perundingan, atau pertemuan Kaukus, atau disertai suatu salinan yang juga dikirimkan kepada Pihak lain melalui Sekretaris.
(4) Surat-menyurat dari Mediator kepada Para Pihak, maupun dari satu Pihak kepada Mediator dan Pihak lain, harus disampaikan dalam kesempatan perundingan, pertemuan Kaukus dan/atau melalui Sekretaris.
(5) Penyampaian dan pendistribusian surat-menyurat melalui Sekretaris disampaikan melalui kurir, pos tercatat, faksimili dan/atau e-mail.
(6) Pengiriman oleh Sekretaris kepada Para Pihak melalui faksimili dan/atau e-mail adalah sama sahnya dengan pengiriman melalui kurir dan/atau pos tercatat dengan bukti penerimaan yang cukup. Apabila pengiriman melalui faksimili dan/atau e-mail sudah diterima dengan baik dan jelas, maka pengiriman surat asli melalui kurir dan/atau pos tercatat boleh untuk tidak dilakukan lagi oleh Sekretaris kepada Para Pihak.
(7) Dokumentasi, korespondensi dan komunikasi yang melanggar ketentuan Pasal 18 ini adalah tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.
BAB VI HASIL MEDIASI
Pasal 19 Mediasi Mencapai Kesepakatan
(1) Apabila Para Pihak berhasil mencapai kesepakatan, maka Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator harus menuangkan kesepakatan tersebut dalam Kesepakatan Perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator sebagai saksi.
(2) Sebelum Para Pihak menandatangani Kesepakatan Perdamaian, Mediator memeriksa materi perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak baik.
(3) Dengan ditandatangani Kesepakatan Perdamaian oleh Para Pihak, Mediator menyatakan Mediasi selesai dan tugas Mediator selesai. Selanjutnya Mediator segera melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada Pengurus.
Pasal 20 Pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian
(1) Apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau melaksanakan Kesepakatan Perdamaian
dalam jangka waktu yang disepakati dalam kesepakatan tersebut, Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan LAPSPI.
(2) Pengurus, dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima tembusan surat sebagaimana dimaksud ayat (1), akan menyampaikan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Pihak lain dan kepada Asosiasi perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat sebagaimana dimaksud ayat (2) masih juga diingkari, Pengurus dan/atau Pihak lain menyampaikan kembali teguran tertulis kedua kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Asosiasi perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan.
14
Pasal 21 Akta Perdamaian
(1) Apabila Para Pihak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dituangkan ke dalam Akta Perdamaian, maka hal tersebut harus tercantum pada Kesepakatan Perdamaian, dan selanjutnya salah satu Pihak mengajukan Permohonan Arbitrase kepada LAPSPI atau mengajukan gugatan melalui Pengadilan untuk meminta Akta Perdamaian.
(2) Pada sidang yang ditetapkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase sebagaimana dimaksud ayat (1), Para Pihak menyerahkan Kesepakatan Perdamaian kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase.
(3) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase LAPSPI hanya akan menguatkan Kesepakatan Perdamaian ke dalam bentuk Akta Perdamaian apabila kesepakatan tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) sesuai kehendak Para Pihak; (b) tidak bertentangan dengan hukum dan kepatutan; (c) tidak merugikan pihak ketiga; (d) dapat dieksekusi; dan (e) dengan itikad baik Para Pihak.
Pasal 22 Kesepakatan Perdamaian Sebagian
(1) Apabila dalam persengketaan terdapat lebih dari 1 (satu) tuntutan, maka diperbolehkan kepada Para Pihak untuk mencapai Kesepakatan Perdamaian untuk sebagian saja dari tuntutan-tuntutan tersebut.
(2) Apabila Mediasi melibatkan banyak Pihak, maka perdamaian diperbolehkan untuk tercapai secara parsial hanya pada sebagian Pihak saja.
(3) Sebagian sengketa/tuntutan yang belum terselesaikan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2) dapat dilanjutkan kepada penyelesaian sengketa yang lainnya sesuai kesepakatan/perjanjian di antara Para Pihak.
Pasal 23 Mediasi Tidak Mencapai Perdamaian
(1) Mediator menyatakan Mediasi berakhir tanpa penyelesaian dan segera melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada Pengurus dengan tembusan Para Pihak apabila: (a) setelah lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Mediasi tidak
berhasil mencapai perdamaian; (b) Mediator mengetahui bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasikan,
ternyata melibatkan asset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak menjadi pihak dalam Mediasi, sehingga tidak mungkin dapat dibuat suatu perdamaian yang akan dapat dilaksanakan dengan baik;
(c) satu atau lebih Pihak mengundurkan diri dari Mediasi; (d) Mediator menilai tidak ada itikad baik dari satu atau lebih Pihak dalam Mediasi.
(2) Berdasarkan keadaan sebagaimana dimaksud ayat (1), maka tugas Mediator selesai, dan selanjutnya sengketa tersebut dapat dilanjutkan pada proses penyelesaian sengketa lainnya sesuai kesepakatan/perjanjian di antara Para Pihak.
(3) Jika Para Pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan Para Pihak dalam proses Mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti proses persidangan perkara.
15
BAB VII
BIAYA-BIAYA LAYANAN MEDIASI
Pasal 24 Jenis-jenis Biaya
(1) Biaya-biaya dalam layanan Mediasi terdiri dari:
(a) Biaya Pendaftaran, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 25; (b) Biaya Sengketa, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 26; (c) Biaya Mediator, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 27;
(2) Biaya Pendaftaran dan Biaya Mediator, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan c, ditanggung oleh Pemohon.
(3) Para Pihak bebas menyepakati pembagian beban di antara Para Pihak atas Biaya Sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b. Para Pihak segera memberitahukan kesepakatan tersebut kepada Pengurus.
(4) Apabila tidak ada kesepakatan sebagaimana dimaksud ayat (3), Pengurus menentukan Biaya Sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b secara adil.
(5) Apabila terdapat perhitungan pajak, maka biaya-biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) juncto Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 serta Lampiran I adalah jumlah bersih yang diterima LAPSPI.
(6) Pengurus menunda dan/atau menghentikan proses pemeriksaan apabila ada biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) yang belum dilunasi oleh Para Pihak sesuai ketentuan Pasal 25 atau Pasal 26 atau Pasal 27.
Pasal 25
Biaya Pendaftaran (1) Besarnya biaya pendaftaran ditetapkan oleh Pengurus LAPSPI dari waktu ke waktu
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(2) Biaya Pendaftaran Permohonan Mediasi dilunasi oleh Pemohon pada saat pendaftaran Permohonan Mediasi.
Pasal 26 Biaya Sengketa
(1) Biaya Sengketa adalah biaya-biaya untuk keperluan pengeluaran:
(a) mediasi yang diselenggarakan di luar kantor LAPSPI; (b) menghadirkan ahli dan/atau saksi sebagaimana dimaksud Pasal 16; (c) munculnya lain-lain biaya yang relevan dan wajar yang dapat diterima atau
disepakati oleh Para Pihak. (2) Para Pihak harus menyerahkan deposit untuk pengeluaran Biaya Sengketa sesuai
dengan keputusan Pengurus LAPSPI sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(3) Deposit sebagaimana dimaksud ayat (2) disetorkan Para Pihak kepada LAPSPI sebelum dimulainya perundingan Mediasi.
(4) Apabila jumlah deposit telah berkurang lebih dari 60 % (enam puluh per seratus), maka Para Pihak harus menambah deposit sehingga jumlahnya kembali sebesar deposit awal.
16
(5) Apabila seluruh pengeluaran Biaya Perundingan ternyata lebih kecil dari deposit yang disetor, maka sisa deposit segera dikembalikan kepada Para Pihak, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah Mediasi selesai.
(6) Sekretariat membuat laporan penggunaan deposit kepada Para Pihak dengan bukti-bukti pengeluaran yang cukup.
Pasal 27
Biaya Mediator (1) Biaya Mediator ditentukan oleh Pengurus LAPSPI dari waktu ke waktu yang nilainya
dicantumkan dalam Lampiran I dan yang merupakan satu kesatuan dengan Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(2) Pemohon melunasi Biaya Mediator saat pendaftaran Permohonan Mediasi. (3) Apabila nilai sengketa tidak disebutkan oleh Para Pihak atau tidak berupa suatu
tuntutan pembayaran uang, maka besarnya nilai sengketa ditetapkan oleh Pengurus dengan memperhatikan kompleksitas perkara dan setelah mendengar pendapat Para Pihak dan Mediator.
(4) Apabila Mediasi ternyata tidak berhasil mencapai Kesepakatan Perdamaian tanpa adanya Pihak yang mengundurkan diri, maka Biaya Mediator tidak dihitung berdasarkan ayat (1), tetapi menggunakan perhitungan tarif biaya per jam sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sesuai dengan total konsumsi waktu Mediator yang dipakai untuk perundingan Mediasi.
BAB VIII SANKSI
Pasal 28 Pelanggaran oleh Mediator
(1) Mediator yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Benturan Kepetingan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5a) dan (5b) serta Pasal 7 ayat (6a) dan (6b), akan diperiksa oleh Komite Kehormatan LAPSPI.
(2) Mediator yang terbukti bersalah berdasarkan keputusan Komite Kehormatan LAPSPI, akan dikeluarkan dari Daftar Mediator Tetap dan tidak diperkenankan untuk menangani perkara atau sebagai Kuasa Hukum dari Para Pihak yang bersengketa, di dalam jurisdiksi LAPSPI.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
(1) Pengurus, Mediator, Sekretaris dan/atau personil LAPSPI lainnya tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata terhadap pelaksanaan tugasnya dan kewenangannya berdasarkan Peraturan dan Prosedur ini, maupun terhadap isi dari Kesepakatan Perdamaian.
(2) Para Pihak tidak dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap LAPSPI (termasuk Mediator, Pengurus, Sekretaris dan personil LAPSPI lainnya), termasuk tapi tidak terbatas pada tuntutan berkenaan dengan: (a) setiap layanan yang disediakan LAPSPI; (b) setiap upaya yang dilakukan oleh LAPSPI;
17
(c) sengketa yang didaftarkan dan diproses di LAPSPI; (d) setiap tindakan, berkenaan dengan proses Mediasi, yang dilakukan yang sesuai
dengan Peraturan dan Prosedur ini. (3) Para Pihak menyatakan dan setuju bahwa setiap tuntutan terhadap LAPSPI (termasuk
Pengurus, Mediator, Sekretaris dan/atau personil LAPSPI lainnya) yang dibuat dengan melanggar ayat (1) dan/atau ayat (2) adalah merupakan suatu kerugian yang besar dan nyata bagi LAPSPI. Oleh karena itu LAPSPI berhak untuk melakukan upaya hukum atas tuntutan tersebut, dan juga berhak untuk menuntut kepada Para Pihak atas ganti rugi secara penuh biaya hukum yang telah LAPSPI keluarkan.
(4) Mediator yang pada saat mulai berlakunya Peraturan dan Prosedur ini telah diangkat sebagai Arbiter/Mediator Tetap LAPSPI namun belum mempunyai Sertifikat Mediator, maka kepada Mediator yang bersangkutan diberikan kesempatan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung setelah berlakunya Peraturan dan Prosedur ini untuk memiliki Sertifikat Mediator dimaksud. Apabila Mediator yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan ini maka Pengurus akan mencabut statusnya sebagai Mediator Tetap LAPSPI. Selama statusnya belum dicabut, Mediator yang bersangkutan tetap dapat ditunjuk oleh Para Pihak dan/atau Pengurus untuk menjadi Mediator perkara di LAPSPI.
(5) Penyebutan nama suatu organisasi/instansi dalam Peraturan dan Prosedur ini adalah dimaksudkan pula kepada nama baru dari organisasi/instansi yang bersangkutan disebabkan perubahan nama saja ataupun disebabkan karena tindakan pemisahan, penggabungan atau pengambilalihan yang menyebabkan perubahan nama organisasi/instansi.
Pasal 30
Pada saat Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia Nomor 07/LAPSPI-PER/2015 tentang Peraturan dan Prosedur Mediasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 April 2017
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN INDONESIA
Himawan E. Subiantoro Saifuddin Latief Nirwana Atta Ketua Sekretaris Bendahara
i
P R O F I L BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL- MAJELIS ULAMA INDONESIA
(BASYARNAS-MUI)
N A M A
Badan Arbitrase Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, disingkat Basyarnas -MUI.
KEDUDUKAN
Basyarnas berkedudukan di Jakarta dengan cabang atau perwakilan ditempat-tempat lain yang dipandang perlu.
PEMBENTUKAN
Basyarnas pada saat didirikan bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal5Jumadil Ula 1414 H. bertepatan tanggal 21 Oktober 1993 dengan bentuk badan hukum berupa Yayasan. Akte pendirian yayasan dibuat dihadapan Notaris Ny. Lely Roostiati Yudo Paripurno, SH, di Jakarta dengan akta No. 175 tanggal 21 Oktober 1993 M, ditandatangani oleh Ketua Umum MUI KH. Hasan Basri dan Sekretaris Umum MUI Bp. HS. Prodjokusumo. BAMUI dibentuk oleh MUI berdasarkan keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI Tahun 1992. Perubahan nama dari BAMUI menjadi Basyarnas diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan nama, bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 30 Syawal 1424 H. bertepatan tanggal 24 Desember 2003 M. SIFAT DAN STATUS Basyarnas, sesuai dengan Pedoman Dasar yang ditetapkan oleh MUI, merupakan lembaga hakam yang bebas merdeka, otonom dan independen, tidak dicampuri dan tidak dipengaruhi oleh lembaga kekuasaan dan pihak-pihak lainnya. Basyarnas merupakan perangkat organisasi MUI sebagaimana Dewan Syariah Nasional (DSN), Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP-POM-MUI), Yayasan Dana Dakwah Pembangunan (YDDP), Lembaga Perekonomian dan Keuangan MUI, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumbaer Daya Alam, Komite Dakwah Khusus (KDK), Pusat Da’wah dan Pendidikan Akhlak Bangsa (PDPAB). Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (PP-POM-UI),
ii
Yayasan Dana Dakwah Pembangunan (TDDP), Lembaga PerPendidikan Akhlak DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
a. Surah {49} AL-Hujurat,(9) “Dan jika dua golongan orang yang beriman berperang (bersengketa),maka damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali kepada ajaran Allah. Dan jika golongan itu telah kembali, maka damaikan keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
b. Surah{4} An-Nisa,(35) “Jika kamu khawatir terjadi sengketa diantara keduanya (suami isteri), maka kirimkan seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Dengan metode analogi/qiyas, maka bilamana tahkim dalam sengketa suami isteri dibolehkan bahkan diperintahkan, sudah barang tentu dalam masalah lain yang menyangkut hak pribadi dibolehkan juga).
2. As-Sunnah
Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim, warta dari Abi Hurairah r.a, mengabarkan Rasulullah bersabda: ”Ada seorang laki-laki membeli pekarangan dari seorang. Orang yang membeli tanah pekarangan tersebut menemukan sebuah guci yang berisikan emas. Kata orang yang membeli pekarangan, ambillah emasmu yang ada pada saya, aku hanya membeli daripadamu tanahnya saja dan tidak membeli emasnya. Jawab orang memiliki tanah, aku telah menjual kepadamu tanah dan barang-barang yang terdapat di dalamnya. Kedua orang itu lalu bertahkim (mengangkat arbiter) kepada seseorang. Kata orang yang diangkat menjadi arbiter, apakah kamu berdua mempunyai anak. Jawab dari salah seorang dari kedua yang bersengketa. ”ya”, saya mempunyai seorang anak laki-laki. Dan yang lain menjawab, saya mempunyai seorang anak perempuan. Kata arbitrator lebih lanjut, kawinkanlah anak laki-laki itu dengan anak perempuan itu dan biayailah kedua mempelai dengan emas itu, dan kedua orang tersebut menyedekahkan (sisanya kepada fakir miskin).
3. Ijma’
Banyak riwayat meunjukkan bahwa para ulama dan sahabat Rasulullah SAW dan sepakat (ijma’) membenarkan penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase. Misalnya, diriwayatkan tatkala Umar bin Khattab hendak membeli seekor kuda.Pada saat Umar menunggang kuda itu untuk uji coba, kaki kuda itu patah.Umar hendak mengembalikan kuda itu kepada pemilik. Pemilik kuda itu menolak. Umar berkata: “Baiklah, tunjuklah seseorang yang kamu percayai untuk
iii
menjadi hakam (arbiter) antara kita berdua. Pemilik kuda itu berkata: “Aku rela Syureh al Qadhi untuk menjadi hakam”. Maka mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada Abu Syureih (Syureh al Qadhi). Abu Syureih (Syureh al Qadhi) yang dipilih itu memutuskan bahwa Umar harus mengambil dan membayar harga kuda itu. Abu Syureih (Syureh al Qadhi) berkata kepada Umar bin Khattab : “Ambillah apa yang kamu beli (dan bayar harganya), atau kembalikan kepada pemilik apa yang telah kamu ambil seperti semula tanpa cacat”. Umar menerima baik putusan itu dengan membayar harga kuda tersebut. Pada riwayat lain Umar bin Khattab bersengketa dengan Ubay bin Ka’ab tentang sebidang tanah dan bersepakat menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai hakam.Pada riwayat lain, Thalhah pernah bersengketa dan menunjuk hakam Jubeir bin Muth’im.
4. Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan Lembaga Arbitrase adalah badan arbitrase yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. adalah salah satu Lembaga Arbitrase sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Sebelum Undang-Undang 30 Tahun 1999 diundangkan, maka dasar hukum berlakunya arbitrase adalah : a. Reglemen Acara Perdata (Rv. S. 1847 : 52) Pasal 615 sampai dengan 651,
Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR. S.1941 : 44) Pasal 377 dan Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg S.1927 : 227) Pasal 705.
b. UU 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman : Penjelasan Pasal 3 ayat 1. sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
c. Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI.
5. Undang-undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terakhir dengan Undang-undang no. 50 tahun 2009
6. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 14 Tahun 2016 Tentang Tata cara penyelesaian perkara ekonomi syariah.
iv
7. Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia SK Dewan Pimpinan MUI No.Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 30 Syawal 1424 (24 Desember 2003) tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional. Basyarnas merupakan lembaga hakam (arbitrase syariah) di Indonesia yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain.
8. Fatwa DSN-MUI Fatwa-fatwa DSN-MUI perihal hubungan muamalah (perdata) diakhiri dengan ketentuan: “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. (Lihat antara lain Fatwa No.04 tentang Jual Beli (Murabahah) Fatwa No 5 Jual-Beli Salam, Fatwa No.06 tentang Jual Beli Istishna’, Fatwa No.07 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No.08 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan Fatwa No.60…..
WEWENANG (YURISDIKSI)
BASYARNAS berwenang : a. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang
timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan Prosedur Basyarnas.
b. Memberikan pendapat hukum yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.
PERATURAN PROSEDUR
Basyarnas mempunyai peraturan prosedur yang memuat ketentuan-ketentuan beracara antara lain: permohonan untuk mengadakan arbitrase, penetapan arbiter, acara pemeriksaan, perdamaian, pembuktian dan saksi-saksi, berakhirnya pemeriksaan, pengambilan putusan, perbaikan putusan, pendaftaran putusan, biaya arbitrase. Demikian profil singkat Basyarnas.
5
PERATURAN PROSEDUR BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
(BASYARNAS)
Pasal 1 YURISDIKSI
Yurisdiksi BASYARNAS meliputi:
a) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa, dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan Peraturan Prosedur Basyarnas.
b) Memberikan pendapat hukum yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa
ada sengketa mengenai suatu persoalan muamalat/perdata dalam sebuah perjanjian.
Pasal 2
KLAUSULA DAN PERJANJIAN ARBITRASE
1. Kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Basyarnas, dilakukan oleh para pihak dengan cara:
b) mencantumkan klausula arbitrase dalam suatu naskah perjanjian atau; c) membuat perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat dan disetujui oleh para
pihak, baik sebelum maupun setelah timbul sengketa.
2. Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi muamalat/perdata secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara mereka ke arbitrase di Basyarnas atau menggunakan Peraturan Prosedur Basyarnas, maka Basyarnas mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa diantara para pihak tersebut dan para pihak tunduk kepada Peraturan Prosedur Basyarnas yang berlaku.
6
Pasal 3 PERMOHONAN ARBITRASE
(1) Prosedur Arbitrase dimulai dengan mendaftarkan Permohonan Arbitrase oleh
pihak yang memulai proses arbitrase (Pemohon) pada Sekretariat Basyarnas. Sebelum permohonan arbitrase didaftarkan ke sekretariat Basyarnas Pemohon harus sudah memberitahukan secara tertulis kepada Termohon, bahwa syarat arbitrase berlaku.
(2) Surat Permohonan Arbitrase harus memuat sekurang-kurangnya: a. nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para
pihak dan / atau kuasa hukumnya; b. menyebutkan adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase; c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa; d. uraian tentang sengketa disertai bukti-bukti; e. dasar tuntutan serta jumlah tuntutan apabila ada; f. cara penyelesaian yang dikehendaki; g. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila
tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, Pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil atau tunggal, atau merujuk kepada Peraturan Prosedur Arbitrase BASYARNAS mengenai penunjukkan dan/atau pembentukan Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis.
(3) Surat Permohonan Arbitrase harus disertai :
a. salinan/copy surat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, yaitu ketentuan bahwa sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut akan diselesaikan oleh Basyarnas;
b. salinan/copy surat perjanjian arbitrase tersendiri yang secara khusus menyerahkan penyelesaian sengketa kepadaBasyarnas;
c. Surat Kuasa Khusus apabila Surat Permohonan Arbitrase diajukan oleh Kuasa hukum Pemohon.
d. Salinan/copy alat-alat bukti yang sudah dinazegelan.
(4) Setelah Pemohon mendaftarkan permohonannya dan telah membayar seluruh biaya Arbitrase, maka Sekretariat Basyarnas mengirimkan 1 (satu) copy permohonan kepada Termohon disertai permintaan agar Termohon menyampaikan jawaban atau jawaban tersebut disampaikan selambat-lambatnya pada sidang pertama.
7
Pasal 4 PENUNJUKAN ARBITER TUNGGAL
ATAU ARBITER MAJELIS
(1) Para pihak dapat menyepakati pemeriksaan dilakukan oleh Arbiter / Majelis
Arbiter .
Dalam hal para pihak menyepakati sengketa diperiksa oleh Majelis Arbiter, maka masing-masing pihak memilih satu orang Majelis Arbiter. Kedua orang Majelis Arbiter yang dipilih oleh masing-masing pihak tersebut memilih dan menentukan orang ketiga sebagai Ketua Majelis Arbiter.
Daftar Arbiter tersedia dan dapat dilihat di kantor Basyarnas.
Arbiter Basyarnas Pusat dapat menangani seluruh perkara di kantor perwakilan Basyarnas.
(2) Apabila para pihak menghendaki adanya Arbiter dari luar daftar yang disediakan
Basyarnas karena adanya pertimbangan khusus atas sengketa, maka Arbiter di luar daftar Basyarnas harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak dan untuk itu para pihak mengajukan permohonan tertulis kepada Ketua Basyarnas. Diterima atau tidaknya Arbiter luar tersebut diputuskan oleh Ketua Basyarnas dengan Surat Penetapan.
Apabila Ketua Basyarnas menolak permohonan penggunaan Arbiter dari luar,
maka berlaku ketentuan Pasal 4 ayat (1)
(3) Arbiter / Majelis Arbiter yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara harus menandatangani Pernyataan Kesediaan tidak berpihak dan tidak mempunyai benturan kepentingan (conflict of interest) dengan para pihak, yang formulirnya disediakan oleh Sekretariat Basyarnas.
(4) Dalam hal klausula arbitrase menentukan bahwa sengketa dapat diadili oleh
Arbiter Tunggal yang disepakati oleh para pihak, maka dalam Permohonan Arbitrase, pemohon harus mengusulkan seorang Arbiter Tunggal yang memenuhi syarat. Usul/penunjukan arbiter tunggal tersebut harus disetujui secara tertulis oleh Termohon. Jika Termohon tidak menyetujui Arbiter Tunggal yang ditunjuk Pemohon, maka para pihak diberi waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Permohonan Arbitrase diterima oleh Termohon untuk menyepakati Arbiter Tunggal yang akan memeriksa dan mengadili sengketa mereka. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan dalam penunjukkan Arbiter Tunggal, maka sengketa akan diperiksa dan diadili oleh Majelis Arbiter, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 4 ayat 1.
8
(5) Jika terdapat lebih dari 2 (dua) pihak yang bersengketa, pihak-pihak Pemohon akan dianggap sebagai satu pihak, sedangkan pihak-pihak Termohon akan dianggap sebagai satu pihak lainnya. Jika dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) pihak-pihak Pemohon atau pihak-pihak Termohon tidak mencapai kesepakatan untuk menunjuk seorang Arbiter / Majelis Arbiter, maka penunjukkan Arbiter / Majelis Arbiter oleh para pihak dinyatakan gagal. Selanjutnya Ketua Basyarnas berwenang menunjuk seorang arbiter / Majelis Arbiter untuk masing-masing pihak.
(6) Jika terdapat pihak ke tiga diluar perjanjian arbitrase yang mengajukan
intervensi, maka pihak yang mengajukan intervensi itu akan dianggap sebagai pihak (berdiri sendiri, pihak Pemohon dan pihak Termohon) sesuai dengan isi permohonan intervensinya dan penunjukan Arbiternya akan mengikuti ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 4 ini.
(7) Dalam hal para pihak yang bersengketa menyetujui pemeriksaan perkara dengan Majelis Arbiter , maka bersamaan dengan pendaftaran Permohonan Arbitrase, Pemohon harus menunjuk arbiter / Majelis Arbiter pilihannya. Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah Termohon menerima pemberitahuan adanya Permohonan Arbitrase, Termohon sudah harus menunjuk arbiter / Majelis Arbiter pilihannya. Jika Termohon tidak menunjuk Arbiter / Majelis Arbiter pilihannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka Termohon dianggap menyerahkan penunjukkan arbiter pilihannya kepada Ketua Basyarnas. Atas permohonan Termohon, Ketua Basyarnas dapat mengabulkan permohonan perpanjangan jangka waktu penunjukkan arbiter selama 7 (tujuh) hari kalender.
Kedua arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak selanjutnya akan memilih
arbiter ketiga yang akan bertindak sebagai ketua Majelis Arbiter dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak mereka menyatakan kesediaannya untuk memeriksa dan mengadili sengketa dengan menandatangani formulir dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). Dalam hal kedua Arbiter yang telah ditunjuk para pihak tersebut gagal menunjuk Arbiter ketiga sebagai ketua Majelis Arbiter, maka Ketua Basyarnas akan menunjuk seorang arbiter sebagai ketua Majelis Arbiter.
(8) Setiap arbiter yang telah ditunjuk berdasarkan mekanisme penunjukkan pada
ayat (7) di atas, dapat ditolak oleh para pihak dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak para pihak menerima pemberitahuan dari Basyarnas mengenai penunjukkan Arbiter yang bersangkutan, jika terdapat indikasi yang jelas dan nyata mengenai ketidak-mandiriannya dalam memeriksa perkara. Permohonan penolakan terhadap arbiter harus diajukan kepada Ketua Basyarnas. Ketua Basyarnas wajib meneliti permohonan penolakan tersebut. Jika penolakan tersebut disetujui oleh Ketua Basyarnas, maka penunjukkan Arbiter pengganti dilakukan oleh Ketua Basyarnas.
9
(9) Apabila Ketua Basyarnas berhalangan melakukan kewenangannya maka
kewenangan tersebut dijalankan oleh salah seorang Wakil Ketua dan keberhalangannya tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga.
(10) Apabila Arbiter Tunggal telah ditunjuk atau Arbiter Majelis telah dibentuk, maka
semua komunikasi dengan arbiter atau para arbiter harus dilakukan dengan kehadiran pihak lawannya atau jika komunikasi itu dalam bentuk tulisan, pihak lawannya harus mendapat tembusannya.
(11) Penunjukan arbiter atau Majelis Arbiter ditetapkan dengan surat penetapan oleh
ketua Basyarnas. (12) Arbiter atau Majelis arbiter dan pengurus Basyarnas tidak dapat dikenakan
tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan sehubungan dengan penyelenggaraan arbitrase yang dilaksanakan berdasarkan prosedur ini.
Pasal 5
PENGUNDURAN DIRI ARBITER
(1) Seorang arbiter yang telah menerima penunjukkan tidak boleh mengundurkan diri, kecuali pengunduran diri tersebut disetujui oleh para pihak.
(2) Paling lambat dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja dari tanggal permohonan
pengunduran diri arbiter, Ketua Basyarnas harus menunjuk arbiter pengganti.
Pasal 6 MENINGGAL / TIDAK BERFUNGSINYA ARBITER
(1) Apabila salah seorang arbiter meninggal dunia atau secara nyata salah seorang
anggota arbiter dalam keadaan tidak mungkin melaksanakan tugasnya, sedangkan tugasnya sebagai arbiter belum selesai, maka Ketua Basyarnas segera mengisi kedudukannya dengan menunjuk arbiter pengganti.
(2) Penggantian arbiter yang meninggal dunia, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
dari tanggal diketahuinya telah meninggal dunia, sedang arbiter yang berada dalam keadaan tidak mungkin melaksanakan fungsinya, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal diketahui keadaan tersebut.
(3) Dalam hal Arbiter Tunggal atau Ketua Majelis Arbiter atau 2 (dua) anggota Majelis
Arbiter diganti, maka pemeriksaan yang telah dilaksanakan diulang kembali namun segala dokumen yang telah dimasukkan tidak dapat ditarik kembali.
(4) Perhitungan jangka waktu pemeriksaan selama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender dimulai sejak ditunjuknya Arbiter Tunggal atau Majelis Arbiter pengganti.
10
Pasal 7 KEWENANGAN ARBITER
1. Arbiter / Majelis Arbiter memeriksa, mengadili dan memutus perkara antara para
pihak atas nama Basyarnas. 2. Dalam menjalankan semua kewenangan Basyarnas sesuai dengan peraturan
prosedur / Arbiter / Majelis Arbiter tidak melebihi tuntutan ( Ultra fetita). 3. Arbiter / Majelis Arbiter mengusahakan adanya perdamaian di antara para pihak.
Upaya perdamaian tersebut tidak mempengaruhi batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4).
Pasal 8
PERHITUNGAN WAKTU DAN CARA PEMANGGILAN
(1) Perhitungan tenggang waktu atas segala pemberitahuan, panggilan dan surat menyurat lainnya dianggap telah diterima apabila secara nyata disampaikan ke alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak.
(2) Surat panggilan, pemberitahuan atau surat-surat lainnya kepada para pihak yang bersengketa disampaikan secara tertulis melalui pos tercatat atau melalui kurir atau dapat diambil langsung oleh para pihak di Sekretariat Basyarnas.
(3) Tanggal pengiriman melalui pos tercatat sebagai hari dimulainya perhitungan tenggang waktu.
(4) Apabila pengiriman melalui kurir ataupun diambil langsung oleh para pihak di Sekretariat Basyarnas, dibuatkan tanda terima oleh Sekretariat Basyarnas dan dihitung sebagai hari dimulainya perhitungan tenggang waktu.
(5) Apabila dalam perjanjian yang memuat klausula arbitrase, tempat tinggal atau
tempat kedudukan para pihak telah dinyatakan dengan tegas, maka Basyarnas akan menganggap alamat-alamat tersebut sebagai alamat tetap dan tidak berubah, kecuali jika yang bersangkutan secara tertulis memberitahukan kepada Basyarnas dan pihak lawan sengketanya tentang adanya perubahan alamat.
(6) Surat panggilan atau surat-surat lainnya dari Basyarnas kepada para pihak akan
disampaikan di tempat tinggal atau tempat kedudukan sebagaimana ditetapkan pada ayat (5) pasal ini.
(7) Setiap pengajuan permohonan, dokumen-dokumen lainnya, lampiran-lampirannya serta komunikasi tertulis harus diserahkan kepada Sekretariat Basyarnas dengan jumlah salinan yang cukup untuk memungkinkan Basyarnas memberikan satu salinan kepada para pihak, para arbiter yang bersangkutan serta untuk arsip Sekretariat Basyarnas.
11
Pasal 9 JAWABAN,EKSEPSI DAN REKONPENSI
(1) Termohon harus menyampaikan jawaban paling lama pada sidang pertama,
sekaligus dapat mengajukan eksepsi dan rekonpensi (apabila ada cukup dasar bagi Termohon)
(2) Jawaban harus disertai dengan : a. Surat Kuasa Khusus apabila Jawaban dan/atau tuntutan balasan
(rekonpensi) diajukan oleh Kuasa Termohon; b. dokumen bukti-bukti.(salinan/copy yang telah dinazegelen)
Pasal 10 ACARA PEMERIKSAAN
(1) Seluruh pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup.
(2) Bahasa yang digunakan dalam beracara adalah Bahasa Indonesia. Apabila para
pihak/salah satu pihak tidak memahami Bahasa Indonesia dan menghendaki adanya penerjemah, maka pihak yang berkepentingan harus menghadirkan penerjemah atas biayanya sendiri.
(3) Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri (intervensi) dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase Basyarnas, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh Arbiter yang memeriksa dan mengadili sengketa yang bersangkutan dengan membuat Surat Penetapan.
(4) Selama proses persidangan dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung,
Arbiter harus memberi perlakuan dan kesempatan yang sama kepada masing-masing pihak untuk membela dan mempertahankan kepentingannya.
(5) Baik atas pendapat sendiri maupun atas permintaan salah satu pihak, Arbiter
dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi, termasuk keterangan ahli.
(6) Setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada Arbiter,
harus menyertakan salinannya untuk diberikan kepada pihak lawan sengketa.
(7) Pemeriksaan dilakukan secara langsung dan tertulis di depan persidangan yang ditetapkan untuk itu tanpa mengurangi pemeriksaan secara lisan.
12
Pemeriksaan terdiri dari tahap: Permohonan Arbitrase, Jawaban, Replik, Duplik,
pembuktian dan kesimpulan. (8) Pemeriksaan lisan terdiri dari tahap presentasi perkara oleh para pihak,
verifikasi bukti-bukti tertulis dan pemeriksaan saksi dan/atau ahli. Pemeriksaan lisan dilakukan di muka persidangan.
(9) Sekretaris Arbiter wajib merekam jalannya persidangan dan membuat berita
acara persidangan.
(10) Jangka waktu pemeriksaan adalah 180 hari kalender terhitung sejak tanggal penetapan terbentuknya Arbiter / Majelis Arbiter sampai dengan tanggal putusan dibacakan.
(11) Dalam hal terdapat penggabungan perkara (Intervensi), maka jangka waktu
pemeriksaan 180 hari kalender dihitung sejak adanya penetapan diterimanya perkara intervensi oleh Arbiter / Majelis Arbiter
(12) Arbiter / Majelis Arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu
tugasnya apabila :
a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu. b. Sebagai akibat ditetapkan putusan provisinil atau putusan sela lainnya, atau c. Dianggap perlu oleh Arbiter / Majelis Arbiter untuk kepentingan pemeriksaan.
Pasal 11
TEMPAT PERSIDANGAN
(1) Tempat persidangan dilakukan ditempat kedudukan Basyarnas di Jakarta atau di kantor / perwakilan Basyarnas atau di tempat lain atas persetujuan para pihak.
(2) Apabila para pihak menghendaki persidangan dilakukan di tempat lain dan hal tersebut harus berdasarkan persetujuan Arbiter, maka seluruh biaya yang timbul sehubungan dengan hal tersebut ditanggung para pihak.
(3) Apabila dipandang perlu oleh Arbiter, Majelis Arbiter dapat melakukan sidang di
tempat obyek sengketa dan biaya untuk itu ditanggung oleh para pihak.
Pasal 12 JADUAL PERSIDANGAN
(1) Jawaban atas Permohonan Arbitrase sudah harus disampaikan kepada Arbiter /
Majelis Arbiter ( melalui sekretariat Basyarnas) dalam jangka waktu paling lama
13
14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak Termohon menerima salinan Permohonan Arbitrase dari Basyarnas.
(2) Jangka waktu penyampaian Jawaban dapat diperpanjang atas permintaan Termohon. Arbiter / Majelis Arbiter dapat memberikan perpanjangan jangka waktu penyerahan Jawaban, paling lambat pada hari sidang pertama. Apabila Termohon hadir namun tidak menyerahkan Jawaban pada hari sidang pertama, maka Termohon dianggap melepaskan haknya untuk mengajukan jawaban terhadap permohonan Pemohon.
(3) Pada sidang pertama, Arbiter wajib mengusahakan perdamaian di antara para pihak. Pada sidang pertama, arbiter dapat menyusun jadwal persidangan yang disetujui para pihak
(4) Jika pada sidang pertama Termohon tidak hadir tanpa suatu alasan yang sah sementara telah dipanggil secara patut, maka Arbiter dapat menunda sidang dan melakukan panggilan susulan kepada Termohon dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(5) Apabila pada hari yang telah ditentukan termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, Arbiter atau Majelis arbiter segera melakukan pemanggilan sekali lagi. Jika pada sidang kedua Termohon atau kuasanya tidak juga hadir setelah dipanggil secara patut untuk itu, maka Arbiter / Majelis Arbiter dapat melakukan pemanggilan terakhir, apabila panggilan terakhir Termohon tidak hadir, Arbiter / Majelis Arbiter dapat melanjutkan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran Termohon.
(6) Paling lama 14 (empat belas) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.
(7) Jika pada sidang pertama Pemohon tidak hadir tanpa suatu alasan yang sah sementara telah dipanggil secara patut, maka Permohonan Arbitrase dinyatakan gugur dan Arbiter akan memutuskan perkara arbitrase tidak dapat diterima.
(8) Jadual pemeriksaan selanjutnya, untuk penyampaian Replik, Duplik, pemeriksaan dan/atau verifikasi bukti serta penyampaian kesimpulan,dapat disampaikan ke Majelis Arbiter melalui sekertaris sidang di luar persidangan.
(9) Arbiter dapat menentukan bahwa pihak yang tidak memenuhi jadual persidangan
tanpa alasan yang sah, sementara telah dipanggil atau ditetapkan tanggal-tanggal pemeriksaan / sidang secara patut, dianggap melepaskan haknya untuk proses pemeriksaan / sidang yang telah ditentukan tersebut. Arbiter dapat memutuskan untuk melanjutkan proses pemeriksaan / sidang berikutnya.
14
(10) Panggilan dilakukan secara langsung atau melalui kurir dan/atau dengan surat tercatat.
Pasal 13 PERDAMAIAN
(1) Selama masa persidangan hingga sebelum pengambilan putusan, Arbiter harus
mengupayakan perdamaian di antara para pihak.
(2) Selama masa persidangan dan sebelum pengambilan putusan oleh Arbiter, para pihak yang bersengketa dapat melakukan perdamaian.
(3) Apabila tercapai perdamaian, maka Majelis Arbiter membuat Putusan Perdamaian yang sifatnya final dan mengikat para pihak, dan memerintahkan para pihak untuk menaati isi perdamaian tersebut. Bahwa akta perdamaian tersebut menjadi isi putusan perdamaian.
(4) Putusan perdamaian didaftarkan oleh Arbiter / Majelis Arbiter / Kuasanya
Basyarnas di Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Apabila perdamaian tidak tercapai, maka acara pemeriksaan dilanjutkan.
Pasal 14 PEMBUKTIAN DAN SAKSI / AHLI
(1) Para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti disertai daftar bukti
dan penjelasannya. Tambahan bukti-bukti dapat diajukan para pihak selama masa persidangan sampai dengan batas waktu satu hari sebelum tanggal verifikasi bukti-bukti. Pihak Pemohon diberi kesempatan pertama mengajukan bukti tertulis kemudian disusul oleh Termohon.
(2) Pemeriksaan dan pencocokan bukti-bukti tertulis dapat dilakukan diluar sidang dan dilakukan oleh sekretaris sidang serta dilaporkan secara tertulis kepada Majelis
(3) Para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan saksi dan/atau ahlinya untuk didengar kesaksiannya / keterangannya dimuka sidang dengan syarat saksi/ahli tersebut telah menyampaikan keterangan tertulisnya paling lambat 10 (sepuluh)hari kalender sebelum yang bersangkutan didengar
15
kesaksian/keterangannya dimuka sidang. Dalam hal saksi tidak dapat memberikan keterangannya secara tertulis, maka atas pertimbangan Arbiter, saksi tersebut dapat memberikan kesaksian secara lisan. Dalam hal saksi/ahli tidak hadir pada sidang yang telah dijadualkan untuk mendengar kesaksian/keterangannya, maka Arbiter berwenang untuk tidak mempertimbangkan kesaksian / keterangan tertulis dari saksi/ahli yang tidak hadir dalam sidang tersebut.
(4) Pihak yang meminta dipanggilnya saksi atau ahli, harus menanggung sendiri
segala biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau ahli yang bersangkutan.
(5) Arbiter atas prakarsanya sendiri dapat meminta bantuan ahli untuk memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa dan biaya ditanggung oleh para pihak.
(6) Sebelum memberikan keterangan dimuka sidang, para saksi atau ahli wajib mengucapkan sumpah, bahwa saksi atau ahli hanya akan menerangkan apa yang mereka ketahui dengan sungguh-sungguh.
Pasal 15
PENCABUTAN PERMOHONAN ARBITRASE
(1) Selama belum dijatuhkan Putusan, Pemohon dapat mencabut Permohonan Arbitrase.
(2) Apabila pencabutan permohonan itu dilakukan oleh Pemohon sebelum terbentuk
Majelis Arbitrase dan panggilan untuk menghadap sidang belum disampaikan, maka biaya pemeriksaan dikembalikan kepada Pemohon setelah dipotong biaya administrasi.
(3) Apabila pencabutan permohonan itu dilakukan Pemohon sesudah ada Jawaban
dari Termohon sebagaimana dimaksud pasal 12, maka pencabutan tersebut haruslah dengan persetujuan Termohon.
(4) Apabila pencabutan permohonan dilakukan oleh Pemohon setelah pemeriksaan
sidang pertama dimulai, maka semua biaya yang telah dibayar oleh Pemohon tidak dikembalikan.
(5) Apabila para pihak sepakat untuk mencabut perkara setelah sidang dimulai, maka pencabutan tersebut dilakukan dengan penetapan oleh Arbiter / Majelis Arbiter.
16
Pasal 16 BERAKHIRNYA PEMERIKSAAN
(1) Apabila Arbiter menganggap pemeriksaan telah cukup, maka Arbiter / Majelis
Arbiter akan menutup pemeriksaan perkara dan menetapkan suatu hari sidang guna membacakan Putusan dalam jangka waktu paling lama 30 hari kalender sejak ditutupnya proses pemeriksaan.
(2) Majelis Arbiter akan membacakan Putusan dalam suatu sidang yang dihadiri
oleh para pihak yang bersengketa, dan apabila salah satu atau para pihak tidak hadir walaupun telah diberitahukan atau dipanggil secara patut maka Putusan dapat dibacakan tanpa kehadiran pihak/para pihak sepanjang jangka waktu tersebut pada ayat 1 tidak terlewati.
Pasal 17 PENGAMBILAN PUTUSAN
(1) Putusan harus diambil dan dijatuhkan di tempat persidangan sebagaimana
dimaksud pasal 11.
(2) Putusan Majelis Arbiter diambil berdasarkan musyawarah / mufakat, dan apabila mufakat tidak tercapai maka Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(3) Apabila terdapat perbedaan di antara para arbiter, maka perbedaan itu harus
dicantumkan dalam Putusan.
(4) Tuntutan dari masing-masing pihak terhadap pihak lainnya, akan diperiksa dan diputus oleh Arbiter bersama-sama dan sekaligus dalam satu Putusan.
(5) Arbiter / Majelis Arbiter mempunyai hak dalam menetapkan putusan provisi atau putusan sela bila dianggap perlu apabila dalam penyelesaian sengketa bersangkutan, termasuk untuk menetapkan suatu putusan tentang sita jaminan, memerintahkan penyimpanan barang pada pihak ketiga atau penjualan barang yang tidak akan tahan lama. Majelis Arbitrse atau Arbiter tunggal berhak meminta jaminan atas biaya yang berhubungan dengan tindakan tersebut.
(6) Dalam hal diminta oleh salah satu pihak dalam Jawaban menyangkut kompetensi absolut untuk mengadili perkara atau masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara, Majelis Arbiter akan memberikan Putusan Sela untuk menentukan berwenang atau tidaknya Basyarnas menangani sengketa yang diajukan, diterima atau tidaknya pihak ketiga bergabungdalam suatu perkara (intervensi).
17
Pasal 18
PUTUSAN ARBITRASE
(1) Putusan arbitrase sekurang-kurangnya harus memuat: a. kalimat Basmallah yang berbunyi: Bismillahirrahmannirrahim di atas kepala
Putusan; b. kepala putusan berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa; c. namalengkap dan alamat para pihak; d. uraian singkat sengketa; e. pendirian para pihak; f. nama lengkap arbiter; g. pertimbangan dan kesimpulan Arbiter mengenai keseluruhan sengketa; h. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam
Majelis Arbitrase; i. amar putusan; j. tempat dan tanggal putusan; dan k. tanda tangan Arbiter.
(2) Arbiter dapat mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Sepanjang berkaitan substansi.
(3) Arbiter dilarang untuk memberikan Putusan yang tidak dituntut atau melebihi
tuntutan yang diminta oleh para pihak (ultra petita).
Pasal 19 PENDAFTARAN PUTUSAN
(1) Putusan Basyarnas yang sudah ditandatangani oleh Arbiter bersifat final dan
mengikat (Final and Binding) bagi para pihak yang bersengketa, dan wajib ditaati serta dilaksanakan secara sukarela.
(2) Salinan Putusan yang telah ditandatangani oleh Arbiter harus diberikan kepada
masing-masing pihak Pemohon dan Termohon.
(3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Putusan dibacakan, lembar asli atau salinan otentik Putusan arbitrase didaftarkan oleh Arbiter atau kuasanya pada Kepaniteraan Pengadilan Agama tempat domisili Termohon ( Perma No.14 Tahun 2016)
18
(4) Basyarnas berhak untuk membuat dan menerbitkan anotasi atas Putusan yang dibuat oleh arbiternya setelah Putusan tersebut didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 20
PERBAIKAN PUTUSAN
(1) Dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak Putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrasi antara lain tentang kesalahan yang berkenaan dengan jumlah perhitungan, salah ketik atau salah cetak. Permintaan diajukan ke Sekretariat Basyarnas dan tembusannya disampaikan kepada pihak lawan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1) di atas, Arbiter atas inisiatif sendiri
dapat melakukan perbaikan Putusan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak Putusan diucapkan, hanya mengenai hal-hal yang tersebut dalam ayat 1.
(3) Perbaikan Putusan harus dibuat tertulis dan ditandatangani oleh Arbiter paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal diterimanya permintaan koreksi dari para pihak kepada Basyarnas.
Pasal 21
PEMBATALAN PUTUSAN
Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu:
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan: atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal 22 PENDAPAT HUKUM YANG MENGIKAT
(1) Basyarnas dapat mengeluarkan Pendapat Hukum Yang Mengikat (Binding
Opinion) terhadap persoalan atas hubungan hukum perdata / muamalah tertentu dari suatu perjanjian.
(2) Pendapat Hukum Yang Mengikat diberikan atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa.
19
(3) Terhadap Pendapat Hukum Yang Mengikat tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apapun.
(4) Pendapat hukum yang mengikat diajukan para pihak kepada Ketua Basyarnas dalam satu surat permohonan yang ditandatangani bersama-sama oleh para pihak yang meminta Pendapat Yang Mengikat.
(5) Surat permohonan harus disertai : a. Salinan/copy Surat Perjanjian yang merupakan adanya hubungan perikatan
dan / atau hukum. b. Surat Kuasa Khusus apabila Surat Permohonan diajukan oleh Kuasa Hukum
Pemohon. c. Dokumen-dokumen dan/atau informasi-informasi lain yang terkait dengan
persoalan yang dimintakan Pendapat Yang Mengikat.
(6) Surat permohonan Pendapat Hukum Yang Mengikat, sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: a. Nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para
pihak dan/atau kuasa hukumnya. b. Perjanjian atau kesepakatan yang menjadi persoalan. c. Uraian persoalan disertai dokumen-dokumen pendukung. d. Pendapat yang diminta terkait dengan persoalan yang diajukan.
(7) Setelah menerima surat permohonan, Basyarnas dapat meminta pihak-pihak untuk hadir dalam pertemuan dalam rangka verifikasi persoalan yang dimintakan Pendapat Yang Mengikat. Para pihak wajib memberikan tambahan data dan/atau informasi yang diminta Basyarnas dalam rangka pembuatan Pendapat Yang Mengikat.
(8) Pendapat Yang Mengikat diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Basyarnas menerima seluruh dokumen-dokumen atau keterangan-keterangan dari pihak-pihak secara lengkap.
(9) PendapatYang Mengikat harus memuat kalimat Basmallah yang berbunyi : Bismillahirrahmannirrahim di atas kepala Pendapat Yang Mengikat dan ditandatangani oleh arbiter pembuat Pendapat Hukum Yang Mengikat dan Ketua Basyarnas.
(10) Besarnya biaya Pendapat Yang Mengikat ditetapkan oleh Ketua Basyarnasdalam suatu Peraturan tersendiri.
20
Pasal 23 BIAYA ARBITRASE
(1) Biaya arbitrase terdiri dari biaya pendaftaran dan biaya pemeriksaan serta
honorarium Arbiter.
(2) Besarnya biaya arbitrase ditetapkan oleh Ketua Basyarnas dalam suatu Peraturan tersendiri.
(3) Biaya pendaftaran ditanggung oleh Pemohon atau Pemohon Intervensi. Biaya pemeriksaan serta honorarium Arbiter harus ditanggung oleh para pihak yang bersengketa secara bersama-sama, masing-masing secara proposional yang jumlahnya ditetapkan oleh ketua Basyarnas.
(4) Pendaftaran perkara Arbitrase tidak akan diproses oleh Sekretariat Basyarnas, apabila biaya pendaftaran dan biaya pemeriksaan serta honorarium Arbiter sebagaimana ditetapkan dalam peraturan tentang biaya arbitrase yang ditetapkan oleh Basyarnasbelum dibayar lunas.
(5) Dalam hal terdapat pihak ketiga yang menggabungkan diri (intervensi) dalam
perkara arbitrase yang diperiksa Basyarnas, maka biaya arbitrase atas perkara intervensi tersebut akan diperhitungkan tersendiri dan menjadi tanggungan sepenuhnya bagi pihak yang menggabungkan diri tersebut.
(6) Jika Pemohon telah melunasi seluruh biaya-biaya tersebut di awal, maka dalam Putusannya, Arbiter dapat mencantumkan kewajiban Termohon untuk membayar biaya-biaya arbitrase tersebut sesuai dengan porsinya. Apabila Basyarnas telah menerima pembayaran porsi Termohon, Basyarnas akan mengembalikan sebagian biaya-biaya arbitrase yang telah diterima olehnya dari Pemohon sejumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh Termohon.
(7) Arbiter berwenang menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab untuk membayar, atau melakukan pengembalian pembayaran kepada pihak lain, untuk seluruh atau sebagian biaya-biaya itu, pembagian mana harus dicantumkan dalam Putusan.
(8) Pada umumnya apabila salah satu pihak sepenuhnya berhasil dalam tuntutannya maka pihak lawannya memikul seluruh biaya dan apabila masing-masing pihak berhasil memperoleh sebagian dari tuntutannya, biaya-biaya menjadi beban kedua belah pihak secara proporsional
21
Pasal 24 KEWENANGAN WAKIL KETUA BASYARNAS
Apabila Ketua Basyarnas berhalangan melakukan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini, maka kewenangan tersebut dilakukan oleh salah seorang Wakil Ketua, dan keberhalangannya tidak perlu dibuktikan kepada pihak lain.
Pasal 25 KEWENANGAN MEMBUAT PELENGKAP PERATURAN
Terhadap hal-hal yang tidak diatur atau belum cukup diatur dalam Peraturan ini, Basyarnas memiliki kewenangan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang tidak/belum diatur tersebut dengan mengacu kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan Fatwa Dewan Syariah Nasional yang relevan.
Pasal 26 BERLAKUNYA PERATURAN PROSEDUR BASYARNAS
Peraturan Prosedur Basyarnas ini berlaku sejak disahkan. Perkara arbitrase yang pemeriksaannya sudah / sedang berjalan sebelum disahkannya Peraturan Prosedur Basyarnas ini tetap tunduk dan mengacu pada Peraturan Prosedur Basyarnas sebelumnya.
Disyahkan di : Jakarta Pada tanggal :25 Dzulhijjah 1439 H 06 September 2018 M
Ketua Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas)
H. Yudo Paripurno, SH.