perbandingan tingkat kecemasan pada pasien belum edit
DESCRIPTION
xxTRANSCRIPT
PERBANDINGAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN-PASIEN PERSALINAN SPONTAN DENGAN PASIEN
PASCA SEKSIOSESAREA DENGAN MENGGUNAKAN EDINBURGH POSTNATAL DEPRESSION SCALE
GANGGUAN KECEMASAN PADA KEHAMILAN
Meskipun belum ada yang menyatakan prevalensi gangguan kecemasan perinatal yang jelas [59, 79],
kecemasan lebih umum terjadi pada periode postpartum dibandingkan dengan depresi [10]. Bila
dibandingkan dengan populasi umum, beberapa gangguan kecemasan lebih sering terjadi pada wanita
setelah melahirkan [59, 71]. Secara umum, gangguan kecemasan ringan sampai sedang dapat dicegah
dan / atau diobati melalui penyediaan komunikasi yang baik dan terapi psikologis. Sedangkan untuk
gangguan yang sedang sampai berat dapat diberikan anxiolytic atau pengobatan lain. Disfungsi tiroid,
anemia dan hipertensi memiliki beberapa gejala yang tumpang tindih dengan gangguan kecemasan
umum pada wanita perinatal [59]. Berikut adalah beberapa tipe gangguan kecemasan yang dapat
ditemukan:
Generalized Anxiety Disorder
Generalized Anxiety Disorder muncul lebih sering pada wanita setelah melahirkan dibandingkan pada
populasi umum [59]. Gejala yang muncul adalah kecemasan terus-menerus dan berlebihan dan
kekhawatiran selama enam bulan atau lebih (Jika durasi kurang dari enam bulan, pertimbangkan
diagnosis Adjustment Disorder). Kecemasan atau kekhawatiran yang dialami biasanya mengenai
peristiwa atau kegiatan yang dimana wanita tidak dapat dengan mudah mengontrol kekhawatirannya,
dan kecemasan ini mengganggu fungsi sehari-hari. Gejala tersebut termasuk:
• perasaan gelisah
• mudah lelah
• kesulitan berkonsentrasi
• lekas marah
• otot tegang
• tidur terganggu
Ketakutan dan Fobia
Takut melahirkan (tokophobia)dapat menyebabkan perempuan untuk menghindari atau mengakhiri
kehamilan, atau meminta dilakukan caesar [80]. Takut melahirkan yang parah telah diidentifikasi sebagai
faktor risiko untuk Posttraumatic Stress Disorder [81]. Setelah lahir, beberapa wanita takut bahwa bayi
mereka akan mati [82]. Seringnya berkunjung ke dokter atau dokter kandungan dapat menjadi tanda
kecemasan yang mendasari dan memberi petunjuk kepada dokter terdapat suatu kecemasan yang
mendasari atau gangguan depresi pada pasien tersebut.
Panic Disorder
Panic Disorder lebih umum terjadi postnatal [71], yang bisa muncul saat menyapih bayi [59]. Gangguan
ini ditandai dengan serangan panik berulang dengan gejala termasuk:
• jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar
• sesak napas, nyeri dada, sakit perut
• ketakutan kehilangan kontrol, "menjadi gila" atau mati
• merasa pusing
• parasthesias dan muka memerah atau dingin
Obsesif-Compulsive Disorder (OCD)
Riwayat Obsesif-Compulsive Disorder (OCD) merupakan risiko untuk terjadinya peningkatan gejala
selama postnatal, bersama dengan depresi. Pengobatan umumnya berupa Terapi Perilaku Kognitif
ditambah obat jika ada indikasi.
Gejala termasuk diantaranya:
• obsesi yang "berulang, pikiran yang tidak diinginkan, ide, atau keraguan yang tampaknya tidak
masuk akal, namun menimbulkan kecemasan " dan
• dorongan yang "mendesak untuk melakukan tindakan perilaku atau mental yang berlebihan "
[83]
Pikiran obsesif tidak konsisten dengan pandangan seseorang tentang diri mereka sendiri (ego-distonik)
dan orang mencoba untuk mengendalikan pikiran. Pikiran obsesif umumnya pikiran akan terjadi sesuatu
yang dapat membahayakan bayi [83, 85] seperti pikiran pembunuhan bayi atau anak pelecehan seksual
[82]. Beberapa wanita gagal untuk mengabaikan pikiran tersebut, yang menyebabkan kecemasan
ekstrim, sehingga membuat lingkaran setan obsesi dan perilaku kompulsif [83]. Pikiran ini sangat umum
terjadi pada orang tua baru dan pada wanita depresi hal ini seringnya tidak berbahaya. Namun, pada
wanita dengan depresi berat atau psikosis, pikiran dapat dikaitkan dengan perilaku berbahaya [59].
Beberapa pasien melaporkan peningkatan dorongan untuk membersihkan tangan dan rumah mereka,
takut kontaminasi bayi yang dapat menyebabkan penyakit atau kematian. Perilaku memeriksa seperti
berulang kali memeriksa pada bayi pada malam hari [84].
Posttraumatic Stress Disorder (PTSD)
Sekitar 2 atau 3% dari perempuan menderita PTSD setelah melahirkan di mana mereka mengalami rasa
sakit yang hebat, kehilangan kontrol dan takut kematian atas dirinya sendiri atau bayi mereka [81, 86-
90]. Riwayat masalah psikologis, rasa takut melahirkan yang berat, dan gejala saat antenatal yang mirip
dengan PTSD diprediksi berkontribusi untuk terjadinya postnatal PTSD [81]. Gejala yang sering
digambarkan dalam tiga kelas:
• gejala seperti mimpi buruk dan kilas balik
• hyperarousal atau meningkat gairah seperti kecemasan, refleks kaget yang berlebihan
• menghindari pengingat peristiwa traumatik (s), menghindari keintiman seksual
Penderita akan menghindari atau mengakhiri kehamilan yang selanjutnya atau mungkin juga mengalami
peningkatan gejala saat kehamilan berikutnya. Mereka tidak ingin merasakan proses melahirkan dan
meminta dilakukan seksio saesarain dan diberikan anestesi umum. Beberapa ibu menghindari pengingat
traumatis seperti bayi menangis atau rewel; hal ini dapat mengganggu ikatan ibu dan bayi. Selain itu,
banyak juga yang berkembang menjadi depresi [81, 89]. Biasanya wanita-wanita enggan untuk mencari
bantuan dan menghindari rumah sakit untuk menghindari teringatnya proses kelahiran. Penelitian PTSD
pada populasi umum menunjukkan bahwa gejala tersebut dapat bertahan lama, sebagai akibat dari
perubahan pada sistem stres-respon (HPA axis).
PERBANDINGAN KONDISI EMOSIONAL PASIEN POSTPARTUM SEKSIOSESAREA DAN PERSALINAN
NORMAL
Bedah sesar (CS) dilakukan setelah indikasi medis yang diperlukan. Intervensi bedah ini dilakukan untuk
mencegah komplikasi pada ibu atau perinatal dengan penggunaannya harus satu terkait dengan tingkat
terendah morbiditas dan kematian ibu dan perinatal. [1] Namun, semakin banyak perempuan yang
menjalani CS tanpa indikasi medis. [2] Sudah ada perdebatan tentang apakah penggunaan CS dilakukan
karena permintaan ibu atau apa Dokter menyarankan untuk pasien mereka. [3]
Dalam hasil survei global WHO dalam studi cross-sectional besar menunjukkan bahwa pada severe
morbiditas maternal yang direncanakan dilakukan seksiosesarea lebih tinggi dibandingkan perencanaan
persalinan melalui vagina. [4,5] WHO merekomendasikan 10-15% dilakukan seksiosesarea. [6]
Rekomendasi ini didasarkan pada tingkat operasi caesar di negara-negara dengan tingkat kematian ibu
dan bayi terendah di dunia pada saat itu. Tingkat kelahiran sesar telah meningkat secara dramatis
selama dekade terakhir. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa total CS di berbagai negara jauh
lebih tinggi dari yang direkomendasikan. [7,8,9] Namun, perdebatan persalinan pervaginam dan
persalinan seksiosesarea untuk meminimalkan morbiditas pascakelahiran masih menjadi kontroversi
baik dari perspektif profesional 'dan dari persepsi perempuan dari pengalaman melahirkan. [13] Periode
postpartum merupakan peristiwa kehidupan yang penting bagi perempuan yang mengarah ke
perubahan fisiologis, emosional, dan sosial. [14] Ibu postpartum mengalami kondisi kesehatan fisik
tertentu yang dapat mempengaruhi kualitas hidup, kesehatan masa depan, dan kesehatan anak-anak
mereka. Beberapa penelitian mengkonfirmasi bahwa kekurangan sosial ekonomi dan masalah kesehatan
merupakan faktor risiko untuk mengalami penurunan kualitas hidup dan gejala depresi pada wanita
selama periode postnatal. [15,16] Cara melahirkan dan pengalaman melahirkan memiliki efek jangka
panjang pada penilain kesehatan diri. Beberapa studi telah meneliti hubungan antara cara melahirkan
dengan health related quality-of-life (HRQOL). Beberapa studi menjadi bertentangan, dimana beberapa
studi melaporkan penurunan HRQOL pada sesar. [17,18,19] sedangkan, penelitian lain tidak
mengkonfirmasi adanya hubungan antara CS dan HRQOL. [20,21,22] Dalam sebuah penelitian
ditemukan bahwa pasien setelah VD memiliki rata-rata skor fisik HRQOL lebih tinggi daripada CS
sementara skor mental HRQOL sama diantara kedua kelompok.
Dalam sebuah penelitian prospektif pada ibu yang meminta operasi caesar tanpa adanya indikasi medis,
Hasil penelitian menunjukkan wanita yang meminta operasi caesar memiliki kecenderungan lebih sering
merencanakan untuk memiliki satu anak saja. Mereka lebih sering dilaporkan memiliki kecemasan
karena kurangnya dukungan selama persalinan, karena kehilangan kontrol dan kepedulian terhadap
cedera atau kematian janin. Setelah direncanakan operasi caesar dalam kelompok ini dilaporkan mereka
memiliki pengalaman melahirkan yang lebih baik dibandingkan dengan wanita merencanakan kelahiran
vagina. Namun diketahui juga bahwa caesar merupakan faktor risiko independen untuk komplikasi [31]
dan dikaitkan dengan peningkatan risiko rehospitalization ibu. [32] Tidak ada perbedaan dalam hal
tanda-tanda depresi postpartum antara kedua kelompok 3 bulan setelah lahir. [30] Selanjutnya durasi
rata-rata hari yang diperlukan untuk kembali ke aktivitas normal juga lebih tinggi pada Caesar
dibandingkan persalinan pervaginam normal. [33]
ETIOLOGI GANGGUAN MOOD PADA KEHAMILAN
Etiologi pasti dari gangguan mood pasca kehamila masih belum jelas, namun berbagai faktor fisiologis
dan psikososial telah diinvestigasi. Berikut beberapa hal yang diduga menjadi etiologi dari depresi
postpartum.
a. Neurobiologi postpartum
Mekanisme biologi dari depresi postpartum dipercaya berhubungan dengan gangguan depresif
mayor. Depresi secara umum merupakan penyakit dengan integritas sirkuit neuron, yang telah
ditunjukkan pada studi dengan pengurangan volume otak seseorang yang didiagnosa dengan
gangguan depresif mayor. Yang menarik, jumlah volume yang hilang secara langsung
berhubungan dengan lama penyakit. Stres dan depresi bekerja dengan mengurangi jumlah
protein otak yang mencetuskan pertumbuhan neuron dan formasi sinaps. Dan penyebab
neurobiologi ini berinteraksi dengan kemampuan genetik dan faktor lingkungan atau psikososial.
Setelah dilahirkanya plasenta pada saat persalinan, kadar estrogen dan progesteron plasma ibu
mulai turun secara cepat. Hormon tersebut diketahui memiliki efek neural pada konsentrasi
yang fisiologis, maka diduga perubahan kadarnya memiliki efek psikologis. Pada suatu penelitian
pada tikus, stimulasi reseptor GABA pada otak menyebabkan relaksasi dan tranquiliti,dan
mengalami penurunan regulasi selama kehamilan oleh neurosteroid yang berasal dari
progesteron. Pada saat postpartum, reseptornya akan segera melepaskan ikatannya.
Yangmenarik,tikus dengan reseptor GABA yang rusak, secara signifikan mengalami gejala
depresi postpartum seperti anhedonia. Sebagian menyebarkan kotorannya, bahkan ada yang
memakan sesamanya. Peneliti menduga bahwa pengobatan dengan agonis reseptor GABA
dapat efektif pada kasus tersebut. Suatu penelitian lain meneliti wanita yang diberikan dosis
tunggal progestin sintetik atau estrogen transdermal pada 48 jam postpartum, kemudian
diskrining dengan EPDS pada saat 4 atau 6 minggu postpartum dan diulangi pada saat 12 minggu
postpartum. Pada kelompok progestin, terdapat peningkatan gejala mood negatif pada 6
minggu postpartum, namun tidak muncul pada saat 12 minggu, jika dibandingkan dengan
plasebo. Sedangkan pada kelompok estrogen, hanya sedikit gejala depresi yang muncul
dibandingkan dengan plasebo.
Sebenarnya kadar estrogen dan progesteron tidak menunjukkan korelasi langsung yang
konsisten terhadap perubahan mood, namun mungkin saja kalau kadar steroid neuroaktif
dipengaruhi oleh kadar hormon tersebut. Suatu penelitian meneliti hubungan kadar estradiol
pada kehamilan 36 minggu dan saat postpartum, dan dijumpai kadar estradiol dan estriol yang
menurun pada hari 34, 36, dan 38 antepartum dan hari 1-4, 6 dan 8 postpartum. Mereka juga
menemukan kadar estriol total yang tinggi pada hari 2 dan 3 postpartum pada wanita dengan
baby blues. Penelitian lain yang meneliti wanita dengan baby blues dan depresi postpartum,
menemukan kadar estrogen yang sama pada kedua kelompok wanita tersebut baik dengan atau
tanpa gangguan mood. Penurunan kadar estrogen hingga 100-1000 x selama 3-4 hari
postppartum diduga memiliki hubungan dengan densitas Monoamine Oxidase A (MAO-A), yaitu
suatu enzim yang primer berlokasi di membran mitokondria luar yang terdeteksi di neuron dan
glia dan peningkatannya diduga berperan dalam episode depresif mayor. Sedangkan
progesteron diduga sebagai pencetus gejala depresi postpartum dan telah diteliti oleh beberapa
kelompok, dimana didapatkan hubungan yang lemah antara pengurangan progesteron dengan
perkembangan depresi postpartum. Dan sebagian juga menemukan kadar progesteron saliva
yang tinggi pada antepartum dan rendah pada postpartum, namun tidak terjadi pada kadarnya
dalam plasma. 3,14,15,16
Penelitian terbaru menunjukkan efek mood yang mungkin terjadi akibat metabolit neuroaktif
dan prekursor dari progesteron, seperti alloprgnanolone,3α,5α-tetrahydoprogesterone (3α,5α-
THP), 3α,5α- tetrahydrodeoxycorticosterone (3α,5α-THDOC), dan banyak lainnya. Hormon
steroid secara klasik bekerja dengan cara berikatan reseptor intraselluler yang mencetuskan
suatu kaskade peristiwa yang menghasilkan modifikasi transkripsi, yang memberikan efek di
kemudian hari. Steroid neuroaktif dapat mencetuskan efek neurologi dengan cara berikatan
dengan reseptor pada permukaan sel atau channel ion pada neuron dan membangkitkan
eksitabilitas sel. Steroid neuroakktif bekerja sebagai allosteric modulator pada reseptor γ-
aminobutyric acid A (GABAA), menambah aksi inhibisi reseptor ini yang juga menurunkan
eksitabilitas neuron. Subunit delta yang mengandung reseptor GABAA telah diidentifikasi
sebagai target dari steroid neuroaktif. Sebagai tambahan, allopregnanolon bekerja sebagai
modulator pelepasan dopamin sebagai respon perubahan steroid ovarium yang dapat
mempengaruhi neurokimia yang mencetuskan gangguan mood. 14
Disequilibrum dari steroid neuroaktif diduga menjadi faktor dalam patofisiologi depresi. Bukti
menyatakan bahwa terapi antidepressan dapat bekerja dengan tingkat modulasi dari steroid
neurooaktif. 14 2,14 Pasien dengan depresi mayor, memiiki kadar 3α,5α-THP dan 3α,5β-THP
levels yang menurun dan kadar 3β,5α yang meningkat. Dan kadar ini kembali normal jika diikuti
dengan terapi antidepresssan. Dampak dari steroid neuroaktif juga diperiksa dalam
hubungannya dengan kadar hormonal wanita. Kadar 5α-dihydroprogesterone (5α-DHP) secara
siginifikan meningkat pada wanita hamil 27 dan 37 minggu yang mengalami depresi, dan
metabolit progesteron ini tetap tinggi selama 7 minggu postpartum, sedangkan progesteron
akan kembali normal pada hari 2-7 postpartum.1
b. Gangguan Autoimun 17
Kondisi fisiologis yang cenderung ke kemarahan setelah kelahiran bayi bisa berasal dari
autoimun. Satu penelitiian menduga bahwa kemarahan ibu berasal dari paparan ibu terhadap
berbagai antigen fetal selama persalinan. Sebagai contoh,tiroiditis postpartum merupakan suatu
kondisi dengan autoantibodi tiroid yang terdeteksi di plasma diantara 6 minggu hingga 6 bulan
postpartum. Hal tersebut terjadi pada 6-9 % wanita yang tidak memiliki riwayat penyakit tiroid.
Pada sebagian kasus, penyakit ini muncul dengan fase hipertiroid yang diikuti dengan fase
hipotiroid, atau hanya muncul dengan hipertiroidisme atau hipotiroidisme saja. Beberapa studi
telah mencoba untuk menentukan kejadian depresi yang mana yang berhubungan dengan
penyakit tiroid itu sendiri. Belum ada kesimpulan pasti yang berhasil didapatkan, namun depresi
postpartum mungkin berdasarkan tiroid.
c. Gangguan Tidur dan Ritme Sirkardian17
Sedikitnya 5 studi sejak tahun 1968 telah menduga bahwa gangguan tidur dapat menyebabkan
depresi postpartum. Ibu baru tidak selalu dapat tidur ketika mereka membutuhkannya, karena
mereka harus menjaga bayinya. Kecenderungan wanita tersebut untuk menjadi depresi
mungkin disebabkan oleh kelelahan atau fatique.
Melatonin adalah hormon tidur yang dihasilkan di kelenjar pineal otak. Konsentrasinya dalam
plasma akan mulai meningkat di sekitar waktu tidur dan memuncak pada pukul 3 dini hari, dan
selanjutnya akan menurun hingga hampir tidak terdeteksi pada saat bangun. Paparan terhadap
cahaya, terutama cahaya biru dengan panjang gelombang sekitar 470 nm akan menghambat
pelepasan melatonin.
Pada suatu penelitian kecil melaporkan bahwa subjek dengan depresi postpartum yang menggunakan
kacamata dengan lensa berwarna biru ketika ia bangun di malam hari untuk menjaga bayinya yang baru
lahir, secara signifikan akan sembuh lebih cepat dibandingkan kontrol dengan depresi postpartum yang
tidak menggunakan kacamata. Hal ini menyimpulkan bahwa gangguan produksi melatonin pada