perendahan diri yesus dalam filipi 2:1-11 sebagai...
TRANSCRIPT
PERENDAHAN DIRI YESUS DALAM FILIPI 2:1-11
SEBAGAI LANDASAN SPRITUALITAS KEDINAAN
DALAM PELAYANAN SUSTER-SUSTER FRANSISKUS DINA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Katolik
Hernawaty Matondang
(Sr. Maria Gratiana SFD)
NIM: 041124032
Oleh:
Canro Pertini Sipayung
NIM: 131124042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
P E R S E M B A H A N
Skripsi ini kupersembahkan kepada
Kongregasi Suster Fransiskus Dina yang telah memberi kesempatan
untuk menimba ilmu di Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan
Universitas Sanata Dharma dan kepada seluruh anggota kongregasi yang
menghayati spritualitas kedinaan yang turut mendukung saya dengan doa, cinta,
dan perhatian khususnya selama menjalani dan menyelesaikan studi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
M O T T O
Bergembira dalam Kesederhanaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul PERENDAHAN DIRI YESUS DALAM FILIPI 2:1-
11 SEBAGAI LANDASAN SPRITUALITAS KEDINAAN DALAM
PELAYANAN SUSTER-SUSTER FRANSISKUS DINA. Berangkat dari
kerinduan para religius yang ingin meneladan Yesus secara sempurna, penulis
yang adalah Biarawati dari Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina ingin
memperdalam dan memperkaya spritualitas kedinaan dengan insight-insight baru
yang diperoleh dari studi tentang perendahan diri Yesus di Flp 2:1-11.
Dalam skripsi ini didalami makna perendahan diri Yesus. Dia yang adalah
Putera Allah merendahkan diri serendah-rendahnya dengan melepaskan status
keilahian-Nya dan turun menjadi manusia, mengambil rupa hamba dan taat
sampai mati sampai mati di kayu salib. Yesus melakukan semua ini dalam
ketaatan-Nya kepada Bapa dan karena rasa tanggungjawab-Nya terhadap
keselamatan manusia. Kedinaan yang dihayati oleh para suster SFD adalah
menyadari bahwa semua milik Allah. Manusia hanya mampu mengakui diri
sebagai yang terbatas, rapuh dan kecil, meski demikian tetap optimis,
berpengharapan dan yakin akan kekayaan dan kebaikan Allah. Kedinaan dalam
pelayanan diwujudkan dengan hidup sederhana, rendah hati, jujur, tidak sombong,
rela menjadi hamba, siap ditegur, taat dengan penuh hormat dan mengakui
kesalahan dengan rendah hati serta melakukan pertobatan dengan senang hati.
Pendalaman kedua pokok pembahasan tersebut membawa penulis pada
upaya untuk menganalisis unsur-unsur yang terkadung di dalamnya untuk
menampilkan komparasi antara perendahan diri Yesus dalam Filipi dan kedinaan
dalam pelayanan Suster Fransiskus Dina. Lima unsur penting dari perendahan diri
Yesus yang dianalisa adalah ketaatan kepada Allah, berpusat pada Kristus, hidup
miskin, hidup dalam kesatuan, tanggung jawab pada sesama. Point-point ini telah
dan terus diperjuangkan oleh suster SFD dalam arah untuk menjadikan
perendahan diri Yesus sebagai landasan spiritualitas pelayanan.
Dalam skripsi ini penulis menawarkan usulan kepada kongregasi untuk
memaknai kedinaan secara lebih mendalam. Kedinaan yang dihayati oleh
kongregasi akan lebih bermanfaat apabila bersifat eksternal, tidak dihayati dalam
batas-batas lingkup kongregasi saja tetapi demi pelayanan banyak orang seperti
yang diteladankan Yesus melalui perendahan diri-Nya yaitu demi keselamatan
banyak orang. Jadi nilai-nilai yang terkandung dalam kedinaan tidak hanya
berlaku untuk lingkup anggota kongregasi saja tetapi meluas ke seluruh karya
pelayanan yang dikelola SFD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
The title of this thesis is THE HUMILITY OF JESUS IN PHILIPPIANS
2:1-11 AS THE CONTEMPT SPIRTUALITY UNDERLYING THE MISSIONS OF
SISTERS OF MINOR FRANCIS . Departed from the longing of the religious
figures who attempt to follow Jesus wholly, the writer (a nun of Sisters of Minor
Francis ) intended to probe and enrich the contempt spirituality with the new
insights derived from the studies of self-immersion of Jesus Christ in Phil 2:1-11.
This thesis deeply explores the meaning of Jesus’ humility. He is the Son of
God who humbles himself to the lowest by detaching His divinity and descending
into a man, living as a servant, and staying devout until His passing at the Cross.
Jesus has comitted His life to showing His compliance to God and the Salvation.
The contempt lived by the Sisters of Minor Francis is to fully realize that God
owns everything. Humans are only able to acknowledge themselves as limited,
vulnerable, and small. Nevertheless, they remain optimistic, hopeful, and certain
of God’s blessings and virtue. The contempt underlying the missionss are
immersed in simplicity, humility, honesty, friendliness, willingness to serve,
acceptance towards reprimands, total devotion, owning up, and sincere
repentance.
The comprehension on those two subject matters has triggered the writer
to analyze the constituent points, in order to compare the humility of Jesus in
Phillipi and the contempt within the missions of the Sisters of Minor Francis . The
five main points from the humility of God are the devotion to God which centers
on Jesus Christ, living in poverty, living in unity, the responsibility to others.
These points have been constantly strived by the Sisters of Minor Francis in the
direction of making the humility of Jesus as the spirituality of the mission.
In this thesis, the writer suggests the congregation interpret the contempt
spirituality more deeply. The contempt lived by the congregation will be beneficial
if it is external and is not acknowledged within the boundaries of the congregation
itself. In fact, it should be held accountable of the ministry in the way Jesus
exemplies Himself through His humility for the Salvation. Hence, the values of
contempt do not merely apply to the members of the congregation but expand
through the missions conducted by the congregation.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan yang Mahatinggi Mahakuasa
dan Mahaluhur karena kasihNya yang amat besar, telah mendampingi,
membimbing, dan menerangi hati, budi dan pikiran penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul PERENDAHAN DIRI YESUS DALAM
FILIPI 2:1-11 SEBAGAI LANDASAN SPRITUALITAS KEDINAAN DALAM
PELAYANAN SUSTER-SUSTER FRANSISKUS DINA.
Skripsi ini merupakan karya ilmiah dan sumbangan terhadap para
pembaca, khususnya para suster SFD yang menghayati spritualitas kedinaan. Oleh
sebab itu penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangan dalam
meningkatkan pelayanan Suster SFD dalam semangat perendahan diri.
Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan banyak pihak,
yang dengan kesetiaan, kesabaran, dan penuh kasih mendukung penulis melalui
doa, pemberian motivasi, dan sumbangan ide-ide yang baik. Pada kesempatan ini
penulis dengan setulus hati mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Dr. St. Eko Riyadi Pr, selaku dosen pembimbing utama, yang telah
memberikan perhatian, meluangkan waktu, mendampingi, membimbing
penulis dengan penuh kesabaran, memberi semangat, masukan dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
2. Drs. F.X.Heryatno W.W, S.J. M.Ed., selaku dosen penguji II sekaligus DPA
yang terus-menerus mendampingi, mendukung, membimbing dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
memberikan dorongan kepada penulis selama menempuh studi di PAK ini,
dan dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.
3. M.Arya Seta S.Pd,M.Theo, selaku dosen penguji III yang telah memberi
dukungan kepada penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.
4. Segenap Staf Dosen Prodi PAK Sanata Darma, yang telah mendidik dan
membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.
5. Sr. Imelda SFD, selaku Ministra Umum beserta para Dewan Pimpinan
Kongregasi SFD yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk
membekali diri dengan menempuh studi di prodi PAK, Universitas Sanata
Darma.
6. Para saudariku komunitas Fonte Colombo dan Ganesa (Sr. Filomena SFD, Sr.
Sophia SFD, Sr. Giovani SFD, Sr. Yoela SFD, Sr. Patrisia SFD, Sr. Stefani
SFD, Sr. Lidyanes SFD, Sr. Calixta SFD dan Sr. Eufrasia SFD) dan semua
suster yang pernah tinggal bersama selama studi di Yogyakarta yang telah
banyak memberikan dukungan, perhatian, dan fasilitas selama menempuh
studi.
7. Para suster tim spritualitas Kongregasi SFD yang memberikan perhatian dan
masukan kepada penulis untuk memperkaya skripsi ini.
8. Teman-teman angkatan 2013 yang telah memberikan perhatian, dukungan dan
bantuan kepada penulis dalam studi dan atas kerjasama yang baik selama
perjalanan studi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
9. Bapak, ibu dan saudari-saudariku yang dengan setia memberikan perhatian
dan semangat selama penulis menempuh studi di Yogyakarta ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per-satu, yang selama ini
dengan tulus telah mendukung penulis dalam studi dan dalam penyusunan
skripsi ini.
Semoga Tuhan yang Mahakasih membalas budi baik mereka semua
dengan berkat melimpah. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya para Suster SFD dalam
menghayati spritualitas kedinaan.
Yogyakarta, 24 Juli 2017
Penulis
Canro Pertini Sipayung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
PENGESAHAN ............................................................................................... iii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT ....................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xv
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 3
D. Manfaat Penulisan ............................................................................. 3
E. Metode Penulisan .............................................................................. 3
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 4
BAB II. MAKNA PERENDAHAN DIRI YESUS DALAM FILIPI 2:1-11 ... 6
A. Konteks Penulisan Surat Filipi 2:1-11 .............................................. 6
1. Kota Filipi ................................................................................... 7
2. Paulus dan Jemaat ....................................................................... 8
3. Keadaan Umat ............................................................................. 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
B. Struktur Penulisan Filipi 2:1-11 ........................................................ 10
1. Nasehat untuk Bersatu dan Merendahkan Diri (Ayat 1-4).......... 11
2. Himne Kenosis (Ayat 5-11) ........................................................ 16
C. Perendahan Diri Yesus dalam Filipi 2:1-11 ...................................... 27
D. Menjadi Hamba dan Taat Sampai Mati ............................................ 29
BAB III. PENGHAYATAN SEMANGAT PERENDAHAN DIRI DALAM
PELAYANAN SUSTER-SUSTER SFD ........................................ 31
A. Sejarah Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina............................ 31
B. Spritualitas Kedinaan ......................................................................... 37
1. Allah yang Dina dalam Semangat Fransiskan ............................ 37
2. Kedinaan dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina ...... 39
a. Percaya pada Penyelenggaraan Ilahi ...................................... 42
b. Cinta Kasih sebagai Dasar Penopang Bangunan ................... 44
c. Pertobatan Terus Menerus (Peniten Rekolek)........................ 45
d. Kemurnian Hati, Kemiskinan Roh dan Mati Raga ................ 47
e. Semangat Doa dan Sikap Lepas Bebas .................................. 50
C. Karya Pelayanan SFD dan Nilai-nilai Rohani yang dikembangkan .. 52
1. Pengertian Pelayanan .................................................................. 52
2. Karya Pelayanan SFD di Masa Sekarang ................................... 54
a. Karya Pelayanan di Bidang Pendidikan ................................. 54
b. Karya Pelayanan di Bidang Kesehatan .................................. 55
c. Karya Pelayanan di Asrama ................................................... 56
d. Karya Pelayanan yang lain ..................................................... 57
3. Nilai-nilai Rohani dalam Karya Kongregasi SFD dan Filosofinya 58
a. Huruf S, adalah Semangat ...................................................... 58
b. Huruf F, adalah Fraternitas ................................................... 59
c. Huruf D, adalah Dina ............................................................. 60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
BAB IV. PERENDAHAN DIRI DALAM KEDINAAN ................................ 64
A. Ketaatan kepada Allah ...................................................................... 65
B. Berpusat pada Kristus ....................................................................... 70
C. Miskin ............................................................................................... 76
D. Hidup dalam Kesatuan ...................................................................... 81
E. Tanggungjawab ................................................................................. 88
F. Refleksi Kateketis ............................................................................. 92
BAB V. PENUTUP .......................................................................................... 97
A. Kesimpulan ...................................................................................... 97
B. Saran .................................................................................................. 101
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan dalam Penulisan
SFD : Suster-suster Fransiskus Dina
Flp : Filipi
Art : Artikel
Kis : Kisah Para Rasul
Tes : Tesalonika
Bdk : Bandingkan
Yoh : Yohanes
Mat : Matius
Ibr : Ibrani
Luk : Lukas
Kor : Korintus
Ef : Efesus
Rom : Roma
Kel : Keluaran
Yes : Yesaya
SPPK SFD : Sejarah Para Pendahulu Kongregasi SFD
PPP SFD : Pedoman Pembinaan dan Pendidikan SFD
Pth : Petuah Santo Fransiskus
SurOr : Surat Fransiskus kepada Ordo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
Was : Wasiat Santo Fransiskus
Sta : Satuta Kongregasi SFD
Kons : Konstitusi Kongregasi SFD
SHT : Sebuah Harta Tersembunyi
AD : Anggaran Dasar
Kap : Kapitel
MYY : Muder Yohana Yesus
PK : Pedoman Karya
LPJ : Laporan Pertanggungjawaban
DPU : Dewan Pimpinan Umum
Ul : Ulangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum religius berusaha mengikuti Yesus Kristus dan berusaha hidup seperti
Yesus Kristus dengan meneladan seluruh hidup-Nya. Salah satu teladan hidup yang
diberikan Yesus yakni Ia merendahkan diri dengan rela menghampakan diri-Nya
sebagai manusia biasa. Yesus yang adalah Putera Allah menjadi serupa dengan
manusia. Yesus rela menghamba menjadi saudara yang paling rendah dan hina di
hadapan manusia (Flp 2: 4-11).
Konstitusi SFD Bab II Art 13 menyatakan:
“Suster-suster Fransiskus Dina harus hidup seturut teladan Yesus Kristus,
Putera Allah yang mengambil rupa seorang hamba. Ia datang bukan untuk
dilayani, tetapi untuk melayani dan memberi hidup-Nya demi keselamatan
semua orang. Kita ingin menjadi serupa dengan Dia maka jangan ingin
menjadi besar, tetapi sebagai orang kecil dan hina dina, berusaha melayani
semua orang, terlebih mereka yang menderita kesusahan dan kekurangan, pun
juga orang yang teraniaya. Sebab itu hendaknya kita senang hati menempuh
hidup sebagai saudara di tengah-tengah orang miskin, dan rela mengambil
bagian dalam kesukaran dan kerendahan mereka”.
Penulis tertarik untuk mendalami makna perendahan diri Yesus karena Ia
pribadi luar biasa. Ia Mahakuasa dan memiliki segala-galanya tetapi Ia tinggalkan
demi sesuatu yang lebih bernilai yaitu keselamatan manusia. Penulis ingin menggali
makna perendahan diri Yesus ini untuk memperkaya spritualitas kedinaan dalam
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Maka sebagai anggota kongregasi penulis ingin menggali dan memperdalam
makna perendahan diri Yesus untuk dapat mengispirasi dan membantu para suster
SFD untuk mengenal dan menghidupi jati dirinya sebagai saudari dina, hamba Allah,
dan dapat mewujudkan perendahan diri dalam perkataan maupun tidakan yang nyata
dalam pelayanan sehari-hari. Kiranya melalui skripsi ini, para pembaca khususnya
Suster-suster Fransiskus Dina dapat memahami jati dirinya. Tujuan ini mendorong
penulis untuk memilih judul: PERENDAHAN DIRI YESUS DALAM FILIPI
2:1-11 SEBAGAI LANDASAN SPIRITUALITAS KEDINAAN DALAM
PELAYANAN SUSTER-SUSTER FRANSISKUS DINA.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan antara lain :
1. Apa makna perendahan diri Yesus dalam Filipi 2:1-11?
2. Bagaimana semangat perendahan diri dihayati dalam pelayanan Suster-suster
SFD?
3. Apa unsur-unsur perendahan diri Yesus yang memperkaya spritualitas
kedinaan dalam pelayanan Suster-suster SFD?
C. Tujuan Penulisan
1. Menggali makna perendahan diri Yesus dalam Filipi 2:1-11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
2. Menemukan gambaran tentang penghayatan semangat perendahan diri dalam
pelayanan para suster SFD
3. Menemukan unsur-unsur refleksi tentang perendahan diri Yesus untuk
memperkaya spiritualitas kedinaan dalam pelayanan suster-suster SFD.
D. Manfaat Penulisan
1. Supaya Para suster SFD dapat mendalami dan menghayati semangat kedinaan
dalam pelayanan sehari-hari sesuai dengan teladan Yesus Kristus.
2. Supaya Para suster SFD dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang semakin
berlandaskan pada hidup Yesus yang merendahkan diri.
E. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan metode studi pustaka. Langkah
pertama yang dilakukan penulis adalah mengumpulkan semua sumber informasi
yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas. Langkah kedua yaitu membahas
tema-tema berdasarkan sumber-sumber pustaka yang telah tersedia dan langkah
ketiga adalah menyusun sintesa gagasan dan usulan-usulan lanjut untuk menjadikan
perendahan diri Yesus sebagai landasan spritualitas kedinaan SFD. Hal ini
merupakan upaya untuk menyumbangkan wawasan penting tentang perendahan diri
Yesus, sesuai dengan semangat kedinaan yang menjadi ciri khas atau jati diri para
suster SFD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
F. Sistematika Penulisan
Judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah: Perendahan Diri Yesus
dalam Filipi 2:1-11 Sebagai Landasan Spritualitas Kedinaan dalam Pelayanan
Suster-suster Fransiskus Dina.
Secara garis besar, skripsi ini dibagi dalam beberapa bab yang dikembangkan
sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan: terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan
permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
Bab II menyajikan informasi-informasi dasar tentang surat Paulus kepada
jemaat di Filipi yang mencakup latar belakang penulisan, struktur surat kepada
Jemaat Filipi. Secara khusus bab II ini akan menafsirkan teks Filipi 2:1-11 dengan
memfokuskan diri pada gagasan tentang perendahan diri Yesus.
Bab III menyajikan panorama pelayanan SFD di berbagai bidang pelayanan
dalam upaya mewujudkan semangat perendahan diri dalam kedinaan dan kaidah-
kaidah yang menjadi pedoman hidup dan pelayanan para suster SFD dalam hal
kedinaan serta penghayatan kedinaan dalam pelayanan SFD.
Bab IV akan menyajikan sintesis pembahasan dalam skripsi tentang unsur-
unsur perendahan diri Yesus yang paralel dan sekaligus memperkaya spritualitas
kedinaan dalam pelayanan suster-suster SFD.
Bab V merupakan penutup, yang menguraikan rangkuman, kesimpulan dan
refleksi kateketis penulis tentang skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
BAB II
MAKNA PERENDAHAN DIRI YESUS DALAM FILIPI 2:1-11
Pada bab sebelumnya, penulis telah menampilkan latar belakang penulisan
skripsi yang menjadi acuan penulisan skripsi ini. Pada Bab II ini, penulis akan
menguraikan makna perendahan diri Yesus dalam Filipi 2:1-11. Pembahasan dimulai
dengan konteks penulisan surat Filipi, struktur surat Filipi sampai makna perendahan
diri Yesus dalam Filipi 2:1-11.
A. Konteks Penulisan Surat Filipi 2:1-11
Surat Paulus kepada jemaat Filipi kerap disebut sebagai surat dari penjara
karena ditulis oleh Rasul Paulus saat ia berada dalam penjara. Pada dasarnya, surat
ini berisi ungkapan terima kasih dari Paulus kepada jemaat Filipi yang telah
mengirimnya uang untuk mendukung kegiatan misinya (Archtemeier, 2001: 391).
Dari segi alur cerita, penulisan Filipi 2:1-11 merupakan suatu rangkaian
penjelasan yang diawali dari 1:27 dan berakhir pada 2:18. Isi umumnya ialah nasihat-
nasihat mengenai hidup dan persekutuan kristiani. Melalui surat ini, ada hal penting
mengenai hidup orang Kristen Filipi untuk dibicarakan, yakni adanya bahaya
perpecahan di antara mereka. Oleh karena itu, Paulus ingin memperingatkan mereka
untuk hidup, berbuat dan bersaksi dalam kesatuan Roh (BPK Gunung Mulia,
Tafsiran Alkitab,1979: 635).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Paulus meneguhkan mereka bahwa panggilan menjadi Kristen merupakan
sebuah hak istimewa, tetapi hak istimewa itu tidak melepaskan mereka dari
penderitaan. Hak istimewa tersebut membuat mereka sanggup menanggung
penderitaan dengan keberanian. Dalam penderitaan-penderitaan dan setiap segi hidup
sehari-hari, mereka dinasihati untuk bersatu. Paulus menegaskan bahwa
kesombongan hanya akan menghambat kesatuan dan persekutuan yang harus mereka
perlihatkan. Paulus dalam tulisannya mengatakan bahwa satu-satunya obat terhadap
keegoisan adalah terus-menerus memandang Kristus, sehingga cara berpikir dan cara
bertindak Kristus menjadi teladan bagi mereka. Yesus adalah teladan sekaligus
Juruselamat. Keselamatan yang berasal dari Dia harus terungkap dalam hidup yang
taat, hidup yang bersinar bagaikan terang dalam dunia. Dan pada hari Kristus, hidup
yang demikian itu tidak akan dianggap sebagai kerugian (BPK Gunung Mulia,
Tafsiran Alkitab, 1979: 642).
1. Kota Filipi
Dalam Kisah Para Rasul 16:12 disebutkan bahwa Filipi merupakan kota
utama di Makedonia, sebuah kota perantauan orang-orang Roma. Kota ini dibangun
untuk menampung para veteran perang dan kemudian orang-orang buangan yang
kalah perang (Groenen, 1993: 254). Gaya kota dan pemerintahannya meniru model
kota Roma. Penduduknya juga menganggap diri mereka sebagai orang Roma dan
membanggakan hak dan lembaga-lembaga bangsa Roma. Bahasa resmi yang
digunakan ialah Latin dan bahasa percakapan sehari-hari ialah bahasa Yunani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
(Sidlow, 2002: 116). Dengan situasi demikian, kota Filipi kerap juga disebut sebagai
“Roma Kecil”.
Hidup keagamaan di kota ini cukup hangat dan juga majemuk. Penduduknya
juga kerap mencampuradukkan berbagai ajaran agama dan pemujaan para dewa.
Selain agama resmi Roma, agama setempat juga diterima di samping agama-agama
yang diadopsi dari Mesir (Sidlow, 2002: 225). Dengan kata lain, penduduk Filipi
cukup terbuka dan toleran terhadap suatu pengajaran baru.
2. Paulus dan Jemaat
Jemaat Filipi menerima pewartaan Injil dari pengajaran Paulus dan Silas dan
juga orang-orang lain dalam perjalanan penginjilan yang kedua (bdk. Kis. 16:11-40).
Paulus harus meninggalkan kota itu karena dianiaya (bdk. 1 Tes. 2:2). Sekalipun
demikian, hubungan Paulus dengan jemaat Filipi tetap terjalin dengan baik dan
penuh keramahan. Hal ini tampak ketika jemaat mengirimkan bantuan keuangan
kepada Paulus sebanyak dua kali ketika Paulus berada di Tesalonika yang
dikirimkannya untuk membantu jemaat Kristen miskin di Yerusalem. Bantuan
keuangan ini mengindikasikan kemampuan ekonomi yang cukup baik dari jemaat
Filipi (Groenen, 1993: 256).
Dalam pengajaran, Paulus pun senantiasa memantau perkembangan jemaat
sehingga ia mengetahui apa yang sedang dialami dan dihadapi oleh jemaat Filipi.
Oleh karena itu, ia menulis sebuah surat sebagai surat persahabatan yang berisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
tentang penggembalaan (nasihat moral) bagi jemaat yang sedang menghadapi
berbagai masalah.
3. Keadaan Umat
Dari segi akar permasalahan yang sedang dihadapi, yaitu masalah
perpecahan, dapat diperkirakan bahwa hal itu berasal dari dalam komunitas itu
sendiri dan juga dari adanya musuh-musuh dari luar (Kuo-Yu Tsui, 2006: 314).
Masalah dari dalam timbul karena adanya sikap egois dari sebagian anggota jemaat,
yaitu kelompok Yahudi-Kristen yang masih menekankan sunat dan Taurat, serta
dengan kelompok Libertinis (William, 1994: 65-66) yang serba ingin bebas, tanpa
perlu ikut aturan. Sementara masalah dari luar tampaknya berkaitan dengan
kelompok Yahudi non-Kristen dan kelompok Gnostik yang juga mulai tumbuh pada
waktu itu (bdk. Flp 3:2-4) (William, 1995: 65-66). Dalam hal ini, lawan yang
dihadapi jemaat Filipi adalah orang Kristen Yahudi dan guru-guru palsu, termasuk
para penginjil gnostik Kristen (Ralph & Gerald, 2004).
Persoalan lain yang dihadapi jemaat Filipi adalah pergulatan untuk tetap
memiliki ciri khas sebagai orang Kristen yang berbeda dengan masyarakat Roma
kecil tersebut. Di tengah masyarakat Filipi berkembang budaya cursus honorum,
yaitu mengukur kehormatan melalui meningkatnya status sosial dan kedudukan
seseorang di tengah masyarakat karena prestasi yang dilakukannya serta karena
pengakuan yang berasal dari pemerintah (Hellerman, 2005: 1-2). Dengan demikian,
orang berlomba-lomba untuk lebih unggul dibandingkan yang lain supaya dihormati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
dan dipandang oleh sesamanya. Budaya semacam ini pun ternyata mulai terindikasi
muncul di kalangan jemaat Filipi dengan menganggap diri mereka lebih utama
(hebat) dibandingkan yang lain dan mereka lebih memperhatikan kepentingan diri
sendiri dibandingkan kepentingan sesamanya. Untuk alasan inilah, Paulus
mengingatkan mereka dengan mengutip himne Kristus (Flp 2:6-11) yakni untuk
meneladan Kristus yang justru melakukan hal sebaliknya, menurunkan status dan
kedudukan-Nya demi kebaikan dan kepentingan sesama (cursus pudorum).
Gambaran semacam ini juga dimaksudkan Paulus untuk mendorong jemaat Filipi
yang memiliki kedudukan dan status terhormat di tengah masyarakat untuk
menggunakannya bukan untuk mencari kemuliaan pribadi, tetapi bersedia
merendahkan diri untuk melayani yang lain (Hellerman, 2005 : 2).
B. Struktur Filipi 2:1-11
Surat kepada jemaat di Filipi (secara keseluruhan) tampak sebagai sebuah
percakapan atau obrolan, layaknya sebuah percakapan informal seseorang dengan
sahabatnya. Surat ini tampak begitu sistematis dan terstruktur sebagai sebuah surat
yang utuh (Ralph & Gerald, 1999: 38). Dengan memperhatikan ciri-ciri persahabatan
ini, Filipi 2:1-11 dapat dibagi menjadi dua bagian besar: ayat 1-4 sebagai nasihat
untuk bersatu dan merendahkan diri serta ayat 5-11 sebagai pemaparan tentang
teladan Kristus (Gordon, 1999: 38).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
1. Nasihat untuk Bersatu dan Merendahkan Diri (Ayat 1-4)
Nasihat untuk bersatu dan merendahkan diri yang hendak diungkapkan
Paulus dalam perikop ini merupakan suatu rangkaian nasihat untuk bersatu yang
telah dimulainya dari 1:27 sampai 2:18. Nasihat ini dimaksudkan untuk melawan
cursus honorum yang dapat merusak keutuhan jemaat. Surat ini juga berisi
penghiburan yang ditujukan kepada jemaat yang sedang berjuang (Abineno, 1989:
48). Misalnya, dalam ayat 1, Paulus menyebut empat nasihat dalam Kristus:
penghiburan kasih, persekutuan roh, kasih-mesra, dan belas kasihan. Tampaknya,
empat hal ini bukanlah nasihat biasa seperti yang biasa dikenal dalam pergaulan
sehari-hari. Nasihat dalam Kristus ini merupakan nasihat yang berpangkal di dalam
dan yang dikuduskan oleh Dia, nasihat yang berlangsung di dalam persekutuan-Nya
antara anggota jemaat yang satu dengan anggota jemaat yang lain, suatu nasihat yang
ditata oleh kasih-Nya.
Pribadi Kristus menjiwai empat nasihat tersebut. Misalnya, nasihat
penghiburan kasih yang dimaksudkan oleh Paulus ialah penghiburan yang didorong
dan yang dikuasai oleh kasih Kristus seperti yang terdapat dalam jemaat-Nya
(Abineno, 1989: 48). Dengan ini, Paulus ingin menekankan bahwa dalam
pergumulan dan penderitaan yang sedang dihadapi, jemaat senantiasa menerima
penghiburan di dalam Kristus. Walaupun tidak disebutkan secara jelas kasih dari
siapa yang memberi penghiburan bagi jemaat (bisa saja kasih Kristus atau pun
Paulus sendiri), tetapi dalam tradisi Perjanjian Lama, ‘kasih’ selalu dikaitkan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
kasih Allah (Gordon, 1995: 181). Kasih karunia itulah yang memberikan
penghiburan bagi jemaat di tengah pergumulan dan penderitaan yang mereka alami
karena percaya kepada Kristus.
Setelah berbicara tentang penghiburan dan kasih Allah, Paulus menyebutkan
Persekutuan Roh (koinonia) yaitu persekutuan yang diciptakan oleh Roh Kudus,
persekutuan di mana anggota-anggotanya hidup dari dan dipimpin oleh Roh itu.
Persekutuan yang dimaksud ialah sebuah keadaan memiliki sesuatu bersama-sama
orang lain. Dengan kata lain, kata ini juga bermakna partisipasi, perkumpulan atau
persahabatan. Persekutuan berarti berbagi sesuatu atau berpartisipasi bersama dengan
orang lain dalam suasana persahabatan, dan hal ini terjadi dalam jemaat oleh karena
pekerjaan Roh (James, 2007: 100).
Selanjutnya, Paulus menyebutkan kasih-mesra (splangcha) dan belas kasihan
(oiktirmoi). Sebenarnya kedua kata ini memiliki kesamaan makna yang
mengungkapkan kasih yang sedalam-dalamnya dan semesra-mesranya (affection dan
compassion) (Ralph & Gerald, 2004: 85). Yang dimaksud oleh Paulus ialah kasih
mesra dan belas kasihan yang juga berakar dalam Kristus bagi jemaat Filipi yang
kemudian menjadi kebajikan yang diterapkan di antara mereka.
Keempat nasihat yang disebutkan oleh Paulus bertujuan untuk
menggambarkan berkat-berkat yang dialami oleh jemaat Filipi dan oleh dirinya
sendiri karena komitmen mereka untuk hidup dalam Kristus (Fowl, 1999: 79). Oleh
karena itu, sekalipun ada penderitaan yang dialami oleh jemaat oleh karena iman
mereka kepada Kristus (bdk. Flp 1:29-30), hidup di dalam Krisus juga dipenuhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
dengan kebijakan-kebijakan dari Tuhan. Itulah sebabnya mereka diminta untuk tetap
teguh di dalam Kristus dan dalam ayat 2 Paulus mengatakan, “karena itu
sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu
kasih, satu jiwa, satu tujuan”.
Nasihat Paulus ini dimulai dengan sebuah permintaan, sempurnakanlah
sukacitaku. Hal ini hendak menunjukkan bahwa Paulus sebenarnya sudah
bersukacita (Flp 1:4), tetapi sukacitanya tersebut dapat menjadi lebih besar lagi, dan
hal itu akan terjadi jikalau jemaat-jemaatnya melakukan apa yang ia minta kepada
mereka, jemaat yang sudah mendapat nasihat di dalam Kristus, penghiburan kasih
dari Allah, menikmati persekutuan dengan yang lain yang dikerjakan oleh Roh dan
mengalami kasih sayang dan belas kasih Tuhan. Mereka diminta untuk memenuhi
permintaan Paulus dengan sukacita lewat beberapa hal dalam ayat 2. Namun,
permintaan ini tidaklah sama dengan perintah seorang komandan pasukan kepada
pasukannya agar melakukan perintahnya. Permintaan ini lebih bersifat arahan atau
petunjuk dari seorang Kristen kepada sahabat-sahabat kristianinya (Fowl, 1999: 79).
Hal pertama yang dimintanya ialah supaya mereka sehati-sepikir, meskipun
bagaimana cara untuk melakukan dan mengusahakannya tidak disebutkan secara
eksplisit. Hal ini bisa bergantung dari sifat masing-masing jemaat dan dari karunia
(charisma) yang mereka peroleh dari Kristus dan hal itu berbeda-beda. Akan tetapi,
meskipun dengan cara yang berbeda-beda, namun dasarnya tetap sama, yakni kasih
Kristus. Lebih dari sehati-sepikir (Nelson: 2004: 86), Paulus juga menghendaki
supaya pikiran dan perasaan mereka bukan saja memiliki dasar yang sama, tetapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
juga harus berlangsung dalam satu kasih dan satu jiwa (Flp 2:2). Dengan demikian,
mereka hendaknya dipenuhi dengan dan dipimpin oleh perasaan, pikiran, keinginan,
dorongan, kasih yang sama dengan satu tujuan. Satu tujuan berarti bahwa pikiran dan
perasaan mereka harus ditujukan kepada dasar yang sama, yang benar-benar
mempunyai nilai dan arti yang mendasar, yaitu kasih Kristus (Abineno, 1989: 50).
Ide kesatuan yang disampaikan berulang-ulang ini dimaksudkan untuk
mengalahkan sifat egosentris yang selama ini yang membuat diri dan pemikiran
sendiri sebagai yang utama. Demikianlah Paulus menyatakan bahwa sukacitnya akan
menjadi sempurna bila jemaat Filipi melakukan hal-hal tersebut.
Di ayat 3, Paulus kembali melanjutkan nasihatnya dengan mengemukakan
apa yang tidak boleh ada pada mereka yakni “tidak mencari kepentingan sendiri atau
puji-pujian yang sia-sia; sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang
menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri”. Dengan ini, Paulus
menegaskan bahwa mereka tidak boleh mengerjakan sesuatu pun dengan maksud
untuk mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Hal itu tidak sesuai
dengan panggilan mereka sebagai pengikut Kristus. Paulus menegaskan sebaliknya,
dengan rendah hati seorang harus menganggap yang lain lebih utama dari pada
dirinya sendiri (tidak bersaing).
Paulus menekankan sikap rendah hati bagi para jemaatnya, tidak bersikap
egois, dan mementingkan dirinya sendiri. Egoisme dipandang sebagai sikap yang
tidak membangun tetapi merusak dan memecah belah. Dari egoisme muncul rupa-
rupa perselisihan dan kedengkian. Oleh karena itu, Paulus menasihatkan supaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
mereka menjauhkan diri dari sikap tersebut. Sebagai anggota jemaat Kristus, mereka
haruslah hidup dari anugerah Allah, merendahkan diri dan masing-masing
menganggap yang lain lebih utama dari diri sendiri (Abineno, 1989: 51). Inilah
kekuatan komunitas Kristen yang bergantung pada kerendahan hati dari semua
anggotanya. Ketika orang pada umumnya hanya memperhitungkan dirinya sendiri
dan segala kepentingannya, jemaat Filipi diminta untuk memperhitungkan
kepentingan dan kebutuhan orang lain lebih dari kebutuhan pribadi. Masalah
pertikaian yang dapat memicu perpecahan akan berakhir bila jemaat lebih
menghormati satu sama lain dan memperhitungkan sesamanya (Ralph & Gerald,
2004: 88). Hal semacam inilah yang dimaksudkan oleh Paulus membutuhkan
kerendahan hati.
Kerendahan hati yang dimaksudkan oleh Paulus cukup konkret, nyata dalam
hidup pergaulan, pikiran, perasaan, harapan, dan dalam hubungan dengan yang lain.
Paulus ingin menekankan bahwa semua anggota jemaat sama di hadapan Tuhan, dan
oleh karena itu tidak boleh ada pembedaan di antara mereka. Setiap anggota berhak
atas pelayanan dan rasa hormat dari anggota yang lain, bukan karena nilai atau
kualitasnya, tetapi berdasarkan karunia yang ia terima dari Kristus (Abineno,
1989:51). Dengan pemaknaan semacam ini, menganggap orang lain lebih utama dari
sendiri dapat dilakukan bukan karena paksaan, namun karena kesadaran untuk
memenuhi tanggung-jawab dalam relasi dengan yang lain.
Di ayat 4, Paulus melanjutkan nasihat untuk melakukan hal-hal positif dalam
membangun kesatuan di tengah hidup bersama orang lain, sesuatu yang sebelumnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
telah disampaikan di ayat 3, “dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan
kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”. Mereka yang Paulus
nasihati (tampaknya) ialah orang-orang yang hanya memperhatikan kepentingan diri
sendiri. Sikap ini tentunya keliru. Oleh karena itu, Paulus melarangnya. Ia menuntut
supaya mereka berbuat sebaliknya, bukan demi kepentingan sendiri tetapi
kepentingan orang lain yang harus mereka perhatikan. Kepentingan pribadi sama
sekali tidak boleh menjadi tujuan usaha dan pekerjaan anggota jemaat. Kepentingan
orang lain juga harus diperhatikan.
Tuntutan kerendahan hati baru terpenuhi kalau anggota-anggota jemaat tidak
melayani diri sendiri saja, tetapi juga orang lain (Abineno, 1989:52). Dalam hal ini,
kepentingan diri tidaklah disingkirkan atau dipadamkan. Nasihat untuk
memperhatikan yang lain menjadi sejalan dengan perintah untuk mengasihi sesama
seperti diri sendiri. Kasih kepada sesama tidak menghilangkan kasih kepada diri
sendiri. Keduanya dijalani bersama. Demikianlah jemaat Filipi diminta agar dalam
hidup bersama mereka sungguh-sungguh memilih untuk mengutamakan dan
memperhatikan kepentingan sesama di atas kepentingan diri sendiri sehingga
keutuhan sebagai jemaat bisa terjaga.
2. Himne Kenosis (Ayat 5-11)
Dalam ayat-ayat sebelumnya, Paulus menasihatkan anggota-anggota jemaat
Filipi supaya tidak angkuh dan hanya mencari kepentingan mereka saja, tetapi
sebaliknya supaya mereka bersatu, merendahkan diri dan melayani satu sama lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
dalam kasih. Hal ini dilanjutkan di ayat 5 dengan penekanan untuk meneladani
Kristus. Itulah tugas mereka. Kristus telah memilih dan mengumpulkan mereka di
dalam jemaat-Nya dan Ia mau supaya mereka saling melayani. Pelayanan itu sendiri
merupakan pola hidup Kristus sendiri. Untuk menjelaskan hal ini, Paulus memakai
suatu himne yang sangat dalam maknanya tentang Kristus (Flp 2:6-11). Kristus
menjadi model utama bagi setiap orang Kristen dalam hidup bersama dan berelasi
dengan orang lain (Nelson, 2004: 102).
Paulus menggunakan potret Yesus yang berkenosis (merendahkan diri)
sekaligus untuk melawan nilai-nilai budaya yang dominan dalam masyarakat Roma
(khususnya Filipi) yang menekankan kehormatan dan kemuliaan seseorang
berdasarkan kedudukan yang semakin meningkat lewat status sosial dan jabatan yang
dimiliki (cursus honorum) (Hellerman, 2005: 1-2). Gambaran Yesus yang
melepaskan status-Nya dengan turun dari kesetaraan dengan Allah kepada status
seorang budak yang mati di kayu salib dipakai oleh Paulus untuk mendorong jemaat
Filipi yang memiliki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat untuk melayani
yang lain. Gagasan ini sekaligus menjadi ajakan untuk menolak godaan untuk
mengakomodasi nilai-nilai budaya Romawi tersebut. Gambaran Yesus yang
menjalani cursus pudorum dipakai untuk menguatkan jemaat Filipi untuk mengejar
hormat dan kemuliaan bukan berdasarkan status atau jabatan yang melekat pada diri
mereka, melainkan melalui pelayanan kepada sesama. Penjelasan itu ia dahului
dengan perkataan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan
perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (ayat 5).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Ayat ini merupakan penghubung antara bagian ayat 1-4 dan 6-11, ayat
transisi dari nasihat moral kepada ilustrasi (Ralph & Gerald, 2004: 107). Tampaknya
ayat ini lebih tepat bila dikaitkan dengan bagian ayat 1-4 karena ayat 6-11 tentang
himne Kristus merupakan contoh untuk diteladani. Melalui ayat ini, Paulus
menunjuk pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus (yakni rendah hati dan
memperhatikan kepentingan orang lain), yang juga sebelumnya sudah dia paparkan.
Jemaat Filipi diminta untuk memiliki pikiran seperti yang dimiliki oleh Yesus ketika
menjalani hidup di dunia bersama yang lain.
Di bagian selanjutnya (ayat 6), Paulus memaparkan contoh atau teladan
Kristus yang tidak hanya memperhatikan kepentingan diri, tetapi merendahkan diri
untuk kepentingan sesama. Di ayat 5, Paulus hanya meminta kepada mereka supaya
pikiran dan perasaan seperti itu harus mereka miliki. Hal ini harus menjadi norma
hidup mereka, bukan saja hidup mereka sebagai pribadi, tetapi terutama hidup
mereka sebagai persekutuan. Paulus menghendaki supaya mereka tidak hidup untuk
diri sendiri, melainkan untuk Tuhan dan karena itu juga untuk sesama mereka, sesuai
dengan pola hidup Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan (ayat 6). Rupa
yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah “apa yang dapat ditangkap oleh indra” (Ralph
& Gerald, 2004: 110). Dengan ini, Paulus tidak segera menyamakan Kristus dengan
Allah melainkan seakan rupa Allah menjadi sebuah tempat di mana Kristus berada.
Nasihat ini tepat bagi jemaat yang berada di ambang perpecahan karena sikap
egosentrisme dari sebagian anggotanya, yang lebih mempertahankan milik mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
sendiri dan menikmatinya sendiri tanpa mau membaginya dengan yang lain.
Keberadaan dalam rupa Allah itu tidak dipertahankan demi keuntungan dri sendiri.
Demikianlah Kristus telah memanggil dan mengumpulkan mereka dalam jemaat-Nya
dan mereka terima sebagai Tuhan mereka. Ia dari kekal sampai kekal sehakikat
dengan Allah dan karena itu juga sekemuliaan dengan Dia (Abineno, 1989: 53).
Ada dalam rupa Allah berarti berada dalam pernyataan diri (kemuliaan)
Allah, berada dalam pengetahuan Allah. Hal ini berarti bahwa Kristus bukan saja
sama dengan Allah, tetapi Ia adalah Allah, sehakikat dengan Dia. Meski demikian,
Kristus “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan”. Dengan ini, Paulus hendak mengatakan bahwa sekalipun Kristus
sehakikat dengan Allah dan karena itu berada dalam kebesaran dan kemuliaan-Nya,
Ia tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu (milik) yang harus dipertahankan. Demi
kepentingan yang lain, apa yang menjadi milik-Nya tidak dipertahankan-Nya,
melainkan dilepaskan. Hal ini bisa terjadi karena dalam perjumpaan dengan orang
lain, jemaat dipanggil untuk menganggap yang lain lebih penting dan utama
dibandingkan diri sendiri. Dengan kata lain, Kristus tidak memakai kebesaran dan
kemuliaan-Nya itu untuk kepentingan-Nya sendiri. Ia tidak sama dengan anggota-
anggota jemaat yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan mencari puji-pujian
yang sia-sia. Memang Ia dapat dan lebih banyak mempunyai alasan untuk berbuat
demikian. Ia sama dengan Allah, berkuasa, dan mulia. Ia berhak untuk
mempertahankan semuanya itu. Kristus malah berbuat sebaliknya, “telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi
sama dengan manusia” (ayat 7).
Kristus mengosongkan diri-Nya sendiri. Istilah mengosongkan yang
dimaksud ialah “memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain atau
mencurahkannya ke tempat lain sehingga tidak tersisa” (Ralph & Gerald, 2004: 117).
Apa yang dikosongkan Yesus ialah kemuliaan, kekuasaan, hak istimewa keilahian-
Nya, atribut keilahian-Nya seperti mahatahu, mahakuasa, dll. Makna Perendahan diri
ini juga dapat tampak sebagai cursus pudorum, Yesus turun dari kesetaraan dengan
Allah (status level pertama) dengan menjadi manusia dan berstatus budak (status
level kedua) dan untuk sampai pada status yang paling hina dan rendah, Ia
mengalami kematian di kayu salib (status level ketiga) (Hellerman, 2005: 130).
Perbuatan itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat Ia elakkan, bukan nasib yang datang
menimpa-Nya dari luar, bukan juga kehendak Bapa-Nya yang dipaksakan kepada-
Nya. Ia sendiri merendahkankan diri-Nya. Dalam kebebasan penuh, Ia meninggalkan
rupa ilahi-Nya (bdk. Yoh. 17:5). Hal ini tidak berarti bahwa Ia dengan jalan itu
bukan Allah lagi, bahwa Ia dengan jalan itu kehilangan kebesaran dan kemuliaan-
Nya sebagai Allah. Ia tetap Allah, tetapi tidak menyatakannya keluar. Ia menahan-
Nya, sehingga manusia tidak dapat melihatnya. Ia adalah Allah, tetapi Allah
incognito (Abineno, 1989: 55).
‘Mengambil rupa hamba’ merupakan ungkapan lain dari “perendahan diri”.
Baik perendahan diri dan pengambilan rupa hamba serempak terjadi. Dalam
merendahkan diri, Yesus tidak dipaksa, melainkan karena kemauan-Nya sendiri. Dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
yang adalah Raja merendahkan diri-Nya menjadi hamba. Ia menjadi sama dengan
manusia (Abineno, 1989: 55). Artinya, dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa, Ia
sama dengan manusia-manusia lain (bdk. Ibr. 2:17; 4:15). Ia tidak berbeda dengan
mereka. Ia begitu dalam merendahkan diri-Nya, sehingga orang tidak mengenal-Nya.
Pada ayat 8, Paulus melanjutkan uraian nasihatnya dengan mengatakan, “Dan
dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai
mati, bahkan sampai mati di kayu salib”. Dalam hal ini, Paulus menunjukkan jalan
Yesus yang ‘makin menurun’. Di ayat 7 Yesus dinyatakan merendahkan diri dan
menjadi sama dengan manusia, lahir sebagai seorang bayi manusia (Mat. 1:25; Luk.
2:7) dari seorang wanita (Gal. 4:4), takluk di bawah hukum Allah (Luk. 2:21), papa
(2 Kor. 8:9), tidak mempunyai apa-apa (Mat. 8:20; Luk. 9:58), bekerja dan menderita
sama seperti orang-orang lain. Ayat 8 menggambarkan bahwa Ia berbuat lebih
daripada ayat 7. Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Ia melangkah lebih jauh dan
lebih dalam lagi. Yesus hidup dan bekerja di dunia dan menganggap yang lain
sebagai sesama.
Yesus tidak meninggikan diri di atas manusia lain sebagaimana yang diingini
oleh anggota jemaat Filipi, yakni menggapai tingkat kehormatan, hak, dan
kepentingan sendiri. Sebaliknya, Yesus bergerak turun merendahkan diri-Nya, bukan
direndahkan. Ia tidak diminta sama seperti anggota jemaat (Flp 2:3), apalagi dipaksa
berbuat demikian. Ia merendahkan diri oleh kemauan-Nya sendiri (bdk. Yoh. 10:17-
18; 18:4-8). Dalam rupa sebagai manusia itu, Ia merendahkan diri dan menjadi taat
dan ketaatan-Nya itu membawa konsekuensi kematian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Paulus tidak menyatakan kepada siapa Kristus taat, bukan karena hal itu tidak
penting baginya, tetapi yang ia inginkan ialah supaya anggota-anggota jemaat Filipi
mengetahui bahwa Kristus taat dan bahwa Ia taat sampai mati. Yang dimaksudkan di
sini bukan hanya ketaatan pada waktu kematian-Nya saja, tetapi ketaatan-Nya selama
hidup-Nya di dunia. Inilah yang menunjukkan tingkat perendahan diri dan ketaatan
Yesus. Berhadapan dengan kematian, Ia tidak mundur tetapi tetap taat. Di balik
istilah ‘taat sampai mati’ ditampakkan segala sesuatu yang telah terjadi di taman
Getsemani dan di bukit Golgota, tetapi hal itu belum semuanya, belum pada tingkat
yang paling rendah. Tingkat yang paling rendah ialah Ia taat sampai mati di kayu
salib (Abineno, 1989: 57). Kematian Yesus menurut keterangan Perjanjian Baru
dialami demi orang lain dan sebagai silih bagi orang lain (Ralph & Gerald, 2004:
122). Dalam hal ini, Paulus yakin bahwa jemaat di Filipi ketika membaca suratnya
segera mengerti bahwa karya atau tindakan Yesus dilakukan demi kepentingan
mereka (Ralph & Gerald, 2004: 122). Sementara itu, dalam budaya Romawi, salib
merupakan bentuk kehinaan yang paling rendah yang dikenakan untuk menghukum
dan mematahkan semangat pemberontakan dari kelas yang paling rendah
(Hellerman, 2005: 147). Dengan mati di salib, Yesus menunjukkan kerelaan-Nya
untuk berada di titik paling rendah dalam hidup seorang manusia, merendahkan diri-
Nya untuk menggantikan orang lain yang semestinya menerima hukuman itu.
Kematian di kayu salib dianggap sebagai kejijikan oleh orang Yahudi, bukan hanya
karena sakit dan malunya, tetapi juga karena siapa pun yang tergantung di kayu salib
dipandang telah dikutuk oleh Allah (Hellerman, 2005: 123).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Sesudah perendahan diri dalam ketaatan Yesus yang mencapai tingkat yang
serendah-rendahnya, menyusullah tanggapan Allah ke jurusan yang bertentangan:
Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya
nama di atas segala nama (ayat 9). Paulus menggunakan ayat ini sebenarnya untuk
menghibur dan menguatkan jemaat Filipi. Meskipun telah menyebutnya dalam ayat-
ayat sebelumnya, Paulus hendak menggarisbawahi lagi apa yang telah ia sampaikan
dalam ayat-ayat sebelumnya. Karena Yesus telah mengerjakan semuanya itu, maka
Allah sangat meninggikan Dia.
Dengan kata lain, dalam ayat ini terjadi perubahan yang drastis. Jika
sebelumnya Yesus yang secara aktif melakukan berbagai hal, maka mulai ayat 9,
Allahlah yang bertindak. Untuk kerendahan hati dan ketaatan yang telah Yesus
lakukan, Allah meninggikan Dia dan memberikan kepada-Nya nama yang mengatasi
segala nama. Dengan kata lain, peninggian dan kemuliaan Yesus terjadi bukan
karena usaha-Nya sendiri, melainkan karena Allah yang menganugerahkannya.
Tokoh Allah yang saat Yesus bertindak menjadi tokoh yang diam dan tersembunyi
kini muncul untuk bertindak. Allah berkenan kepada apa yang telah diperbuat oleh
Yesus. Peninggian-Nya itu nyata dan dimulai dengan kebangkitan-Nya dari antara
orang-orang mati. Pemuliaan itu tidak terbatas pada kejadian itu saja, melainkan
melingkupi juga kekuasaan dan kemuliaan yang Tuhan Allah berikan kepada-Nya,
yaitu kekuasaan dan kemuliaan di atas segala pemerintah dan penguasa dan malaikat
(Ef 1:21). Ia menjadi kepala dari segala sesuatu, baik yang ada di surga, maupun
yang ada di bumi (Ef 1:10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Tuhan Allah bukan saja meninggikan Yesus. Ia juga mengaruniakan kepada-
Nya nama di atas segala nama. Kedua kata ini sebenarnya bermakna sama (hanya
berbeda dalam cara pengungkapkan). Yang satu merupakan penjelasan dari yang
lain. Mengaruniakan berarti memberikan karena kasih, sebagai tanda atau bukti dari
kerelaan hati Allah, yang mengaruniakan nama di atas segala nama. Yang
dimaksudkan ialah bahwa satu-satunya nama, yang menurut ayat 11 ialah nama
Kyrios yang berarti Tuhan, yang paling tinggi, paling mulia, dan paling agung. Suatu
nama yang lebih tinggi daripada segala makhluk (ayat 10) (Abineno, 1989:58).
Dalam hal ini, sistem nilai yang Allah miliki berbeda dengan yang berkembang di
tengah masyarakat Romawi. Justru karena perendahan diri Yesus, Allah
menganugerahi-Nya kehormatan dan kemuliaan, yaitu nama yang mengatasi segala
nama.
Nama dalam dunia Alkitab bukan sekadar sebuah emblem yang membedakan
seseorang dari orang lain, tetapi juga berarti pengungkapan batiniah seseorang. Oleh
karena itu, ketika Allah memberikan kepada Yesus “nama di atas segala nama”.
Allah tidak sekadar memberi Yesus identitas yang membedakan-Nya dari makhluk-
makhluk lainnya, tetapi juga Ia melimpahkan kepada Yesus sebuah ‘karakter’ yang
serupa dengan nama itu (Ralph & Gerald, 2004: 126) dan ayat 11 menyebutkan
bahwa nama yang diberikan adalah Kyrios (Tuhan). Itu berarti nama Yesus Kristus
diberi karakter Tuhan. Peninggian diri Yesus tidak serta merta menjadikan Yesus
sama dengan Allah. Yesus memang ditinggikan untuk menjadi Tuhan atas seluruh
ciptaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
“Allah meninggikan Yesus dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas
segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan
yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” (ayat 10). Inilah yang menjadi
maksud Allah, yakni meninggikan Dia yang telah merendahkan diri-Nya dan telah
taat sampai mati di kayu salib, supaya dalam nama-Nya semua makhluk bertekuk
lutut. Peninggian dan pemberian nama di atas segala nama itu pada gilirannya akan
membuat seluruh makhluk yang ada di alam semesta (di langit, di bumi, dan di
bawah bumi) bertekuk lutut di hadapan Yesus.
Bertekuk lutut merupakan suatu ungkapan penghormatan tertinggi dan luhur,
khususnya kepada Allah (bdk. Rom 11:4; Ef 3:14). Bertekut lutut dalam nama Yesus
berarti menaklukkan diri dan taat kepada-Nya, sujud menyembah-Nya, mengakui
dan menghormati-Nya sebagai Tuhan yang empunya kuasa dan kemuliaan. Hal itu
dilakukan “segala bangsa yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada
di bawah bumi”, sebagai ungkapan yang berarti alam semesta, semua yang
diciptakan Allah, langit dan bumi dan segala isinya. Orang menggambarkan dunia
pada waktu itu (bdk. Kel. 20:4) sebagai tiga bagian: semua yang ada di langit, semua
yang ada di bumi, dan semua yang ada di bawah bumi. Karenanya, ketika Allah
memberikan kepada Yesus nama di atas segala nama, di hadapan nama itulah seluruh
makhluk menyembah dan menunjukkan penghormatan mereka.
Penggambaran Yesus yang diberi oleh Allah kehormatan lewat peninggian
status dan nama di atas segala nama itu mempunyai implikasi yang kuat bagi jemaat
di Filipi, yaitu Allah sendiri yang akan menganugerahi kehormatan bagi mereka yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
meneladani Kristus, memakai status atau kedudukan-Nya untuk kepentingan yang
lain (Hellerman, 2005: 154). Sementara itu, dalam ayat 11, penghormatan
(pengagungan) Yesus dijelaskan demikian: “dan segala lidah mengaku: "Yesus
Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa”!
Sekali lagi Paulus hendak memberi penjelasan bahwa segala makhluk bukan
saja bertekuk lutut di hadapan-Nya. Mereka, segala lidah dari segala makhluk, juga
mengakui-Nya sebagai Tuhan. Mereka bukan saja mengakui dengan keras secara
terang-terangan sehingga didengar orang, tetapi juga mengakui dengan gembira,
dengan puji-pujian dan ucapan syukur. Tuhan (Kyrios) adalah “nama di atas segala
nama” yang dikaruniakan kepada Yesus. Dia Raja dan Pemerintah yang diangkat
oleh Allah untuk memegang kekuasaan atas segala sesuatu (bdk. Kis. 2:36; Yes.
55:4). Nama ini diberikan kepada Yesus. Pada-Nya digenapi apa yang Allah janjikan
dengan bersumpah. Peninggian Yesus bukanlah peninggian seorang pahlawan.
Dalam peninggian-Nya nyata bahwa Ia adalah Allah. Pemerintahan-Nya tidak lain
daripada pemerintahan Allah. Dalam Dia genaplah nama yang dipakai Allah untuk
menamakan diri-Nya (bdk. Kel. 3:14 dalam hubungannya dengan Kej. 32:29). Oleh
karena itu, segala makhluk harus bertekuk lutut dan menyembah Dia “bagi
kemuliaan Allah, yaitu Bapa”. Oleh sikap bertekuk lutut dan penyembahan ini, Bapa
menerima kemuliaan dan peninggian Yesus. Kata-kata “bagi kemuliaan Allah, yaitu
Bapa” dipahami bahwa lewat penghormatan dan pengagungan Yesus, “terpancarlah”
kemuliaan bagi Allah Bapa, yang telah mengutus, menyerahkan dan meninggikan
Anak-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat. (Abineno, 1989: 60). Pengakuan Yesus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Kristus adalah Tuhan ternyata bukan untuk mendatangkan kemuliaan bagi Yesus
sendiri, tetapi untuk memuliakan Allah Bapa. Jadi, sekalipun Yesus memakai nama
“Tuhan”, nama Allah sendiri, Yesus tetap tidak menggantikan tempat Allah atau
menjadi rival Allah (Ralph & Gerald, 2004: 130). Allahlah yang meninggikan Yesus,
Allahlah yang mangaruniai Yesus nama di atas segala nema, Allahlah yang
menghendaki supaya segala makhluk menyembah Yesus, karenanya hanya Allah
Bapa yang memiliki kekuasaan dan kedaulatan mutlak (Ralph & Gerald, 2004,130).
Karenanya, bagi Allahlah segala kemuliaan dan pujian patut diberikan.
C. Perendahan Diri Yesus dalam Filipi 2:1-11
Surat ini digunakan oleh Paulus untuk menasihati para jemaatnya di Filipi
yang sedang menghadapi tekanan dari luar dan sekaligus sedang terlibat konflik satu
sama lain karena pementingan diri. Paulus menasihati agar dalam hidup bersama
yang lain itu, mereka mencontoh teladan Kristus seperti yang dikutipnya dari madah
atau pujian tentang Kristus (bdk. Flp 2:6-11).
Nasihat Paulus kepada jemaat di Filipi untuk hidup bersama yang lain dapat
juga dipahami sebagai bentuk kepedulian dan penerimaan terhadap yang lain dengan
kepentingannya. Hal ini bisa terwujud dalam bentuk tanggung jawab terhadap yang
lain. Tanggung jawab semacam ini membuat seseorang menjadi seseorang bagi yang
lain. Dalam hal ini, kepentingan yang lain sungguh diperhatikan dan untuk itu, ada
kerelaan untuk melepaskan dan membatasi kepentingan diri dari subjek sekaligus
untuk memberi diri bagi yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Himne yang dikutip Paulus sebagai bagian dari nasihatnya berisi gambaran
Kristus yang berkenosis, yang turun dari kesetaraan dengan Allah dan menjadi sama
dengan manusia bahkan mati sebagai budak di kayu salib. Kenosis ini menjadi
sebuah teladan untuk berada di tempat orang lain dan bertanggungjawab atas hidup
orang lain. Kristus yang berkenosis dipahami sebagai Kristus yang sungguh-sungguh
Allah dan manusia yang menggunakan diri-Nya, termasuk kedudukan dan status-Nya
untuk orang lain. Ia melepaskan apa yang menjadi hak-Nya, membatasi diri-Nya dan
memurnikan diri dari kepentingan diri sendiri dan menjadi pusat segalanya dengan
memberi tempat bagi kehadiran orang lain bahkan menggantikan tempat orang lain
dan bertanggung-jawab terhadap-Nya. Ia tidak ada bagi diri-Nya sendiri, melainkan
menjadi seorang bagi yang lain.
Dalam himne ini, istilah Yesus yang berkenosis dapat dipahami dengan
peristiwa Allah yang menjadi manusia di bumi. Allah “mengecilkan dan
menciutkan” diri-Nya yang transenden dan turun ke tataran ciptaan dalam status
kerendahan supaya menjadi sebuah pengalaman dalam kehidupan subjek. Allah yang
berkenosis (merendahkan diri) dijumpai dalam penampakan wajah sesama. Dia hadir
dalam wajah Kristus yang menjadi sesama bagi manusia.
Dalam hal ini, makna perendahan diri bertujuan semata-mata demi
kepentingan orang lain. Segala hal yang dilakukan oleh Yesus dalam rangka
merendahkankan diri merupakan konsekuensi dari panggilan hidup-Nya sebagai
subjek di hadapan yang lain untuk bertanggung-jawab bagi yang lain, tanpa
menuntut balas atau untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian, hal untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
mendapatkan kehormatan tertinggi (peninggian dan pemuliaan) tidak menjadi tujuan
dari surat Filipi 2:1-11, yaitu ketika mereka dipanggil untuk meneladan Kristus untuk
merendahkan diri seperti Kristus sendiri. Paulus mengajak jemaat Filipi untuk
mengisi hidup dengan tujuan utama untuk memberi perhatian kepada yang lain dan
kepentingannya, bukan bagi kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Dengan kata
lain, makna perendahan diri yang dibahas dalam surat Paulus kepada jemaat Filipi ini
yang dapat dikembangkan menjadi sikap melepaskan, membatasi atau menciutkan
diri, memberi diri menjadi seorang bagi yang lain sehingga dapat memberi ruang
untuk kebaikan yang lain.
D. Menjadi Hamba dan Taat Sampai Mati
Ketika Yesus merendahkan diri-Nya, ada yang Dia lepaskan, yakni status
ilahi dan kesetaraan-Nya dengan Allah yang ditanggalkan untuk turun menjadi
manusia dan mati di kayu salib. Bila di tengah masyarakat Romawi kehormatan dan
kemuliaan diperoleh dengan meningkatknya kedudukan dan status seseorang (cursus
honorum), Yesus memberi teladan sebaliknya, Ia turun dari kedudukan-Nya dan
status-Nya sampai ke titik terendah bahkan sampai pada status yang paling tidak
terhormat (menjadi hamba dan mati di kayu salib) demi kebaikan yang lain (cursus
pudorum).
Ungkapan “merendahkan diri” dapat lebih tepat dijelaskan dalam ungkapan
“mengambil rupa seorang hamba, menjadi serupa dengan manusia, dan ditemukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
dalam wujud manusia” (Ralph & Gerald, 2004: 118). Hal ini tidak berarti bahwa
terjadi ‘pertukaran’ antara rupa Allah menjadi hamba. Kristus tidak membatalkan
keilahian-Nya untuk menjalani kemanusiaan-Nya, melainkan hendak menegaskan
bahwa Kristus menambahkan pada diri-Nya apa yang dulu tidak Ia miliki dalam
diri-Nya sendiri, yaitu ‘rupa seorang hamba’, ‘keserupaan dengan manusia’ (Kuo-Yu
Tsui, 2006: 109). Dengan pemahaman seperti ini, kenosis Yesus tidak sekadar
‘mengurangi’ apa yang semula dimiliki, apalagi sampai kosong dari keadaan semula,
melainkan ‘menambahkan’ apa yang semula tidak ada pada diri-Nya supaya bisa
makin menjadi berkat bagi orang lain.
Yesus yang merendahkan dirinya (berkenosis) dimengerti sebagai manifestasi
Allah yang mau turun ke tataran pengalaman manusia. Allah berkenosis ketika Ia
menciutkan diri untuk memberi ruang bagi manusia supaya mengalami pengalaman
berhadapan dengan-Nya dalam kerendahannya. Sedangkan Yesus sebagai subjek
berkenosis ketika Ia memberi ruang bagi yang lain, memberikan diri-Nya dan merasa
bertanggung-jawab bagi yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
BAB III
PENGHAYATAN SEMANGAT PERENDAHAN DIRI
DALAM PELAYANAN SUSTER-SUSTER SFD
Perendahan diri Yesus dalam Filipi 2:1-11 dihayati secara khas dalam
pelayanan Suster-suster SFD dengan spritualitas kedinaan. Pada Bab III ini, penulis
akan menguraikan spritualitas kedinaan dalam pelayanan Suster-suster Fransiskus
Dina. Uraian diawali dengan informasi tentang profil Kongregasi Suster-suster
Fransiskus Dina, mulai dari sejarah terbentuknya SFD hinggga lahirnya SFD
Indonesia. Bagian kedua memaparkan semangat kedinaan yang menjiwai Kongregasi
Suster-suster Fransiskus Dina serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Uraian
berikutnya menjelaskan tentang pengertian pelayanan dan nilai-nilai rohani dalam
pelayanan yang dikembangkan dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina dan
ditutup dengan gambar filosofi karya pelayanan Kongregasi Suster-suster Fransiskus
Dina. Bab ini bertujuan memberikan gambaran akan penghayatan semangat kedinaan
dalam pelayanan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina.
A. Sejarah Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina lahir dari perkembangan
Kongregasi Suster-suster Fransiskanes Dongen yang mulai terbentuk sebagai akibat
dari Revolusi Perancis. Sejak pecahnya Revolusi Perancis pada abad XVIII, Gereja
dan hidup religius mengalami kekacauan. Pada saat itu, Belanda-Astria berada dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
penguasaan Perancis. Pada tanggal 1 September 1794, pemerintah Perancis menutup
semua biara religius. Kapel yang biasa digunakan untuk upacara keagamaan dibakar,
dan semua religius secara paksa diusir keluar dari biara mereka dan harta-harta
mereka disita (SPPK SFD:35-38).
Pada tanggal 8 November 1796, para Suster Peniten Rekolektin diusir dari
biara mereka di Leuven. Semua harta benda mereka disita dan dijual oleh
pemerintah. Dua orang dari antara para suster yang diusir ini adalah Sr. Constantia
van der Linden dan Sr. Coletta Coopmans. Sementara itu, pada tanggal 29 November
1796, Suster-suster Agustines Brabant juga mengalami nasib yang sama. Mereka
diusir dari biaranya di Brabant. Dua orang dari Suster-suster Agustines Brabant yang
diusir ini adalah Suster Agustine Janssens dan Suster Francois Timmermans.
Keempat suster inilah, yakni Sr. Constantia van der Linden dan Sr. Coletta
Coopmans dari Biara di Leuven dan Suster Agustine Janssens dan Suster Francois
Timmermans dari Biara di Brabant, yang nantinya menjadi pendiri kongregasi
Suster-suster Fransiskanes Dongen (SPPK SFD:42-44).
Situasi kacau pada masa itu, namun Sr. Constantia van der Linden, Sr.
Coletta Coopmans, Sr. Agustine Janssens dan Sr. Francoise Timmermants tetap
memiliki kerinduan besar untuk hidup di dalam persekutuan religius. Maka Sr.
Francoise dan Sr. Agustine dari Suster Agustines membina hubungan baik dengan
Sr. Constantia dan Sr. Coletta Coopmans dari Peniten Rekolektin. Mereka sering
bertemu di rumah keluarga Timmermans. Keempat suster sering berkumpul untuk
mencari kemungkinan guna meneruskan hidup membiara di luar Belgia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Sr. Constantia dan Sr. Francoise berangkat dari Belgia ke Belanda tahun
1798. Untuk sementara, mereka tinggal di pastoran Bokhoven sebagai pembantu
rumah tangga pastoran. Salah seorang pastor yang tinggal di pastoran Bokhoven
bernama Pastor de Bruyn. Ia mempunyai saudara kandung yaitu Ny. Olifers. Ibu
yang baik hati ini membantu para Suster dengan memberikan rumahnya di Waalwijk
kepada para suster. Rumah itu sangat sederhana dan musim dingin yang hebat pada
saat itu membuat mereka menggigil. Dalam keadaan amat miskin, mereka mendiami
sebuah kamar besar terbuat dari kayu di desa Besooyen. Mereka tidak mempunyai
fasilitas. Tidak ada kursi, meja, tempat tidur ataupun selimut. Mereka tidur di lantai
tanpa selimut, namun mereka membuat banyak orang kagum karena kesabaran,
ketabahan, dan cara mereka menerima kemiskinan ini dengan gembira. Segera Sr.
Constantia mulai mengajar anak-anak dengan tenaga yang ada dan dengan kondisi
yang serba kurang, tetapi masyarakat di Waalwijk mencintai para suster.
Pada tanggal 9 November 1800, Sr. Constantia dan Sr. Francoise bermaksud
untuk pergi dari Waalwijk ke Breda untuk mencari rumah yang besar. Pada saat itu,
cuaca sangat buruk tetapi kedua suster telah merencanakan perjalanan itu maka
mereka harus pergi. Taufan dan badai yang mengamuk selama perjalanan tidak
menjadi penghalang bagi mereka. Ketika tiba di kota Dongen, roda kereta patah
sehingga kusir tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Kedua suster berdiri di
pinggir jalan sementara hujan lebat. Beberapa orang yang ramah menunjukkan
rumah pastor paroki. Kepada pastor paroki, para suster menceritakan siapa mereka,
dari mana asal mereka, maksud serta tujuan perjalanan mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Kemudian pastor van Gils yang menjadi pastor paroki di situ mengucapkan
kata-kata bersejarah ini: “Suster-suster tidak perlu pergi lebih jauh. Tempat ini sangat
cocok untuk suster. Aku membutuhkan orang seperti kalian. Di sini ada
kemungkinan yang sesuai dengan rencana suster”. Akhirnya Para suster tidak jadi
melanjutkan perjalanan ke Breda. Mereka berhenti di Dongen setelah mendengar
tawaran dari pastor van Gils kepada mereka.
Pada saat itu, pastor Adrianus Oomen yang menjadi Presiden seminari
bertanya kepada para suster apakah mereka mempunyai dana untuk memulai karya
mereka. Dengan penuh kejujuran mereka mengatakan bahwa mereka sangat miskin,
tidak mempunyai apa-apa. Dengan tangan kosong mereka menghadap pastor
Adrianus Oomen. Meski demikian mereka yakin bahwa Tuhan akan
menyelenggarakan dan membantu mereka.
Pada saat Gereja merayakan pesta Tujuh Kedukaan Maria, keempat suster
bersama satu novis, satu postulan dan tujuh anak asrama pindah dari Waalwijk ke
Dongen. Pada tanggal 26 Maret 1801, Kongregasi Suster-suster Fransiskanes
Dongen berdiri dan dimulailah upaya membangun hidup kebiaraan. Terdorong untuk
tetap memperbaharui hidup dalam Roh, para pendiri Kongregasi Suster-suster
Fransiskus Dina tidak hanya berpedoman pada apa yang telah mendarah daging bagi
mereka, melainkan juga menjadi peka terhadap kebutuhan masyarakat zaman mereka
sampai pada titik krusial ketika mereka mengorbankan cara hidup kontemplatif yang
sangat mereka cintai demi pelayanan yang lebih luas. Dalam beberapa waktu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
kemudian, Kongregasi mulai memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui
karya pendidikan.
Satu abad kemudian, situasi di Belanda sangat berubah. Pemerintah
memberikan subsidi bagi pendidikan yang dikelola oleh para religius. Didukung oleh
dana yang ada, Kongregasi mengutus para suster untuk mewartakan iman Katolik ke
daerah misi. Pada tanggal 17 Maret 1923, para Suster berangkat dari Dongen dan
pada tanggal 17 April 1923 mereka tiba di Medan, Sumatra Utara. Empat belas tahun
kemudian, tepatnya pada tanggal 11 Oktober 1937, Kongregasi memperluas karya
pelayanan ke Kalimantan ketika para suster tiba di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Keinginan untuk mengikutsertakan pemudi-pemudi pribumi dalam pelayanan
di Kalimantan mendorong Pemimpin Kongregasi pada waktu itu untuk membuka
novisiat di Jawa Tengah. Maka dipilihlah kota Pati sebagai tempat untuk mendidik
dan mempersiapkan para calon. Pada tanggal 14 Juli 1958, tiga suster dari
Banjarmasin tiba di Pati untuk membuka novisiat. Sebelum pembukaan novisiat di
Pati, telah dibuka novisiat di Kabanjahe - Sumatera Utara pada tahun 1954. Sejak
saat itu, beberapa komunitas tersebar di pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa.
Penyebaran dan perkembangan Kongregasi di Indonesia mendorong peningkatan
status komunitas-komunitas di Indonesia menjadi Regio yaitu Regio Sumatra Utara
dan Regio Jawa-Kalimantan pada tahun 1969. Masing-masing Pemimpin Regio
bertanggungjawab langsung kepada Pemimpin Umum di Dongen.
Konsili Vatikan II membawa banyak perubahan dalam Gereja. Di benua
Eropa, kehidupan religius mulai mengalami kemunduran yang mengakibatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
semakin sedikitnya calon religius yang menggabungkan diri ke dalam Kongregasi.
Di Dongen, jumlah suster tidak bertambah karena tidak ada anggota baru, sedangkan
suster-suster yang masih ada semakin lanjut usia. Mengingat situasi Kongregasi di
Eropa dan karena regio-regio di Indonesia telah dianggap mampu untuk mandiri,
Dewan Pimpinan Umum Kongregasi mempersiapkan para suster Indonesia agar siap
untuk menangani sendiri otoritas kepemimpinan Kongregasi di Indonesia.
Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 15 Juli 1998 terwujudlah unifikasi
Regio Sumatera Utara dan Regio Jawa-Kalimantan menjadi satu. Pada tanggal yang
sama ditetapkan nama baru bagi Kongregasi di Indonesia, dengan kharisma dan
spiritualitas tetap sama dengan Kongregasi Suster-suster Fransiskanes Dongen.
Nama yang dipilih untuk mengungkapkan spiritualitas Kongregasi seturut teladan St.
Fransiskus Asisi ialah Suster-suster Fransiskus Dina. Tepat tanggal 17 April 2007,
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina di Indonesia secara resmi menjadi
Kongregasi mandiri di bawah wewenang yurisdiksi Keuskupan Agung Semarang.
Kegelisahan dan kerinduan Kongregasi SFD melahirkan sebuah motto dalam
hidup persaudaraan dan pelayanan SFD yaitu “Menjadi yang paling Dina”. Pilihan
ini mau mengingatkan para Suster SFD akan ciri khas Fransiskus dan para suster
pendiri Kongregasi yang memusatkan penghayatan mereka pada kedinaan (PPPK
SFD: 6). Dengan menghayati motto ini, para Suster SFD melekatkan diri pada sikap
dina yang menjadi ciri khas yang senantiasa terpancar dalam persaudaraan dan
pelayanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
B. Spritualitas Kedinaan
Spritualitas kedinaan adalah semangat rohani yang menjiwai para suster SFD
dalam hidup dan pelayanan mereka. Kedinaan merupakan keutamaan yang khas
dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Kedinaan menjalar dan menyebar
di seluruh sisi hidupnya dan tampak dalam hal penampilan (berpakaian), tutur kata
dan sikap hidup setiap hari. Kedinaan meresapi seluruh diri, hati dan budi serta
terwujud dalam bentuk pelayanan lewat tugas perutusan masing-masing suster.
Pilihan untuk hidup dalam kedinaan merupakan pilihan kontras terhadap
semangat-semangat zaman sekarang yang ditandai dengan keinginan untuk menjadi
hebat dalam segala hal. Kehebatan itu ingin dicapai dengan berbagai kemudahan dan
kemampuan untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi. Meski
demikian, kehebatan yang ditawarkan sering kali dicapai dengan cara-cara yang
kurang manusiawi. Nilai unggul yang diimani dan dihayati kaum Fransiskan secara
khusus Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina adalah berani menjadi dina. Nilai
unggul ini diyakini sangat berkenan pada Allah yang Mahakuasa dan akan tetap
unggul sepanjang masa.
1. Allah yang Dina dalam Semangat Fransiskan
Santo Fransiskus senang merenungkan seluruh hidup Yesus selama di dunia,
namun yang paling menyentuh dan membuat hatinya terharu adalah perendahan diri
Yesus menjadi kecil, miskin dan sederhana. Perendahan diri Yesus ini dihayati Santo
Fransiskus dalam rangka sejarah keselamatan (bdk. Yoh 1:1-18). Melalui penciptaan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Allah yang Mahatinggi, Mahabesar dan Mahaagung turun ke dunia menjadi sama
dengan manusia, memberi rupa dan gambar-Nya kepada manusia (Pth V:1).
Santo Fransiskus kagum dengan perendahan diri Allah yang tampak dalam
rahasia kemanusiaan Yesus Kristus, khususnya dalam kelahiran dan sengsara-Nya.
Yang Mahatinggi dan Mahaluhur turun ke dunia, dalam kandungan (rahim) Maria
yang begitu kecil. Dia bahkan dilahirkan di tempat makan hewan, dan dibungkus
dengan lampin yang sangat sederhana (bdk Luk 2:1-7). Demikian juga, Dia harus
mengungsi ke Mesir karena Herodes berencana membunuh Dia. Ketika masih bayi,
Dia telah menjadi pengungsi dan orang asing. Bagi Fransiskus, hal ini merupakan
perendahan diri Allah.
Santo Fransiskus terharu akan penderitaan Yesus Kristus. Dia yang
Mahatinggi, Mahakudus dan Mahaluhur rela menderita, disalibkan dan wafat untuk
menyelamatkan manusia dari dosa. Perendahan diri Allah tampil lebih nyata lagi
ketika Dia turun ke atas altar dalam rupa roti yang kecil, pada perayaan Ekaristi dan
ketika hosti kudus disambut, Allah yang Mahakudus masuk dalam ranah kehidupan
manusia (SurOr 12-13).
Kedinaan yang dihayati oleh santo Fransiskus Asisi dan para pengikutnya
bersumber dari Yesus sendiri yang merendah dan merunduk untuk menemui dan
menyelamatkan manusia. Maka kedinaan dalam tradisi Fransiskan dimengerti
sebagai kerendahan hati, tidak menginginkan kuasa, tunduk pada semua orang, tidak
memandang diri sendiri lebih sempurna dari orang lain dan rela menjadi bawahan
semua orang. Kedinaan diwujudkan dalam sikap sederhana, rendah hati, jujur, tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
pongah atas keutamaan besar atau usaha dan upaya luhur, rela menjadi hamba, siap
ditegur, taat dengan penuh hormat dan mengakui kesalahan dengan rendah hati serta
melakukan pertobatan dengan senang hati (Was 19).
2. Kedinaan dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina
Salah satu yang membedakan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina
dengan kongregasi Fransiskan yang lain adalah penghayatan akan kedinaan.
Kedinaan secara langsung sudah tercantum dalam nama Kongregasi. Dengan
memilih nama ini, Kongregasi SFD menyatakan diri sebagai pengikut Fransiskus
Asisi secara langsung tanpa perantaraan santo santa yang lain. Nama Dina akan
mempertajam penghayatan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina dalam hal
kedinaan.
Kedinaan dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina dipahami sebagai
kegembiraan dalam mengikuti Yesus yang miskin dan hina dina, siap diutus
menyebarluaskan warta-Nya kepada semua manusia dan mengabdi mereka dengan
sikap rendah hati, sederhana dan penuh sukacita (Sta; 123-124). Kedinaan berarti
menyadari bahwa segalanya adalah semata anugerah dari Allah, sebab Allahlah
pemilik segala hidup dan kehidupan manusia. Karena itu, setiap suster SFD berusaha
bersikap sederhana, tidak memegahkan diri, tidak puas diri dan tidak meninggikan
diri dan memelihara kehidupan yang berasal dari Allah (PPPK SFD:35).
Sebagaimana Fransiskus menganggap dirinya sebagai mahluk Tuhan yang
tak pantas, tidak terpelajar dan menjadi bawahan semua orang, demikian juga para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
suster SFD dipanggil untuk tidak berhasrat memperoleh suatu tempat khusus dalam
komunitas, melainkan dituntun untuk merendahkan diri. Hanya dalam hidup hina
dina, suster SFD memperjuangkan perendahan diri sepenuhnya sehingga kekuatan
Yesus tinggal dalam dirinya dan dengan leluasa berkembang tanpa halangan dan
hambatan.
Kesombongan, kepongahan dan egoisme menjadi tanda bahwa seseorang
terpesona dan melekat pada diri sendiri, sementara orang yang merendahkan diri
tidak menahan sesuatupun dari dirinya dan yakin bahwa Allah akan
menganugerahkan rahmat berkelimpahan. Keyakinan ini mendorong setiap suster
SFD untuk mengikuti Yesus secara lebih dekat, untuk menjadikan Dia sebagai yang
paling dicintai, serta untuk berusaha sekuat tenaga dan sepenuh hati
mempersembahkan diri secara lebih utuh kepada-Nya (Kons Art 12). Para suster
SFD dipanggil untuk tidak mencari kepentingan diri sendiri, bersedia dengan penuh
kerelaan mengutamakan kehendak Tuhan dan kebutuhan bersama (bdk. Flp 2:4).
Perendahan diri Yesus terus-menerus menjadi sumber inspirasi bagi para
suster SFD. Yesus yang mulia telah memeluk orang miskin, orang tertindas, orang
yang direndahkan, yang dihina dan dibuang dari masyarakat manusia. Ia juga telah
menunjukkan belas kasih kepada orang sakit dan menderita. Ia meninggalkan
kemuliaan keallahan-Nya, direndahkan dan dihina sebagai bagian integral hidup
manusiawi-Nya di dunia. Dengan alasan ini juga, Fransiskus dengan riang gembira
menerima perlakuan dipermalukan, ditolak, diremehkan, dilupakan dan bahkan
direndahkan ketika dia menjalani hidup sebagai seorang pengemis yang miskin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Para suster SFD dalam kesiapsediaannya juga turut menanggung penghinaan
dan perendahan dunia sekitar, siap dipermalukan dan ditolak dengan tetap
menerimanya dengan rendah hati dan sabar, bukan untuk mencari belas kasihan dari
orang lain atau mencari jalan untuk bersedih melainkan untuk mengalami
kegembiraan sejati dan sukacita Ilahi (PPPK SFD; 23). Kedinaan mengajak para
suster SFD untuk menyadari bahwa Allah adalah pemilik atas hidup dan kehidupan.
Segala sesuatu adalah semata-mata anugerah dari Allah. Segala sesuatu yang baik
yang bisa dikerjakan adalah pekerjaan Allah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk
merasa bangga atas diri sendiri, entah karena pekerjaan baik yang dilakukan, atau
karena pujian yang diterima (PPPK SFD; 35).
Seorang suster SFD tidak mengejar hormat, ambisi, gengsi dan jabatan dunia.
Seorang SFD menghayati perkataan Fransiskus, “Saya tidak akan menganggap diri
saya sebagai saudara dina bila saya tidak hidup dan menghayati kedinaan”. Seorang
suster SFD yang ingin sekali menduduki jabatan dalam Kongregasi maupun karya
dan tidak mau melepaskan tugas jabatannya karena hasrat untuk berada di atas yang
lain membuat dirinya tidak layak disebut saudari dina, dan bukan lagi saudari yang
memiliki kedinaan, melainkan orang yang melupakan panggilan dan jatuh dari
mulianya panggilan itu (PPPK SFD; 35).
Menjadi saudari dina atau SFD berarti berani menjadi hamba, menaruh
dirinya di bawah kaki semua orang. Ia hidup sebagai hamba yang berbahagia hidup
di antara bawahannya dalam kerendahan hati seperti kalau dia berbahagia berada di
antara tuan-tuannya. Ia berbahagia menjadi hamba yang menerima dengan rela bila
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
ditegur, taat dengan penuh hormat, mengakui kesalahan dengan rendah hati dan
mengadakan pemulihan. Hamba yang setia dan bijaksana adalah orang yang setiap
kali melukai orang lain, tidak menunda-nunda menghukum dirinya dalam batin
melalui penyesalan, dan secara lahiriah dengan pengakuan dan pemulihan nyata
(PPPK SFD; 33).
a. Percaya pada Penyelenggaraan Ilahi
Para suster pendahulu SFD tetap percaya pada penyelenggaraan Ilahi
meskipun mengalami kesulitan dan penderitaan. Ketika badai taufan menghadang
mereka dalam perjalanan menuju Dongen, mereka merasakan penyertaan dan
perlindungan Tuhan dalam hidup mereka. Dalam kereta dengan kuda yang jelek dan
kusir yang miskin, mereka tetap melanjutkan perjalanan. Tiada hari tanpa
kecelakaan, gedung yang porak-poranda berkeping-keping dan pohon-pohon
tumbang di tepi jalan. Berkali-kali mereka harus loncat keluar kereta dan terhalang
oleh genangan air atau pohon-pohon yang melintang di sepanjang jalan. Meski
demikian, niat mereka tetap teguh dan yakin bahwa Tuhan akan bertindak dan
berkarya membantu mereka mewujudkan niat mereka demi kelangsungan hidup
membiara, dan akhirnya mereka sampai dengan selamat.
Sesampai di Dongen, mereka menyampaikan niatnya untuk memulai sebuah
karya kepada pastor Adrianus Oomen. Ketika presiden seminari bertanya kepada
para suster apakah mereka mempunyai dana untuk memulai karya itu, dengan penuh
kejujuran mereka mengatakan bahwa mereka sangat miskin, tidak mempunyai apa-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
apa. Meski demikian, mereka yakin bahwa Tuhan akan menyelenggarakan dan
membantu mereka dalam mewujudkan misi mereka. Kemiskinan tidak membawa
mereka kepada keputusasaan melainkan tetap berpegang teguh pada keyakinan
bahwa Tuhan pasti bertindak membantu dan menolong mereka.
Karya pertama Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina bermodalkan
Penyelenggaran Ilahi. Penyelengaran Ilahi ini mereka alami dan rasakan lewat
bantuan dari Pastor paroki dan para donatur serta kebaikan orang-orang yang turut
membantu mereka baik dari tenaga, pikiran maupun materi. Iman dan pengharapan
mereka pada Tuhan memampukan mereka melewati semuanya rintangan dan
tantangan hidup (SPPK SFD; 58-60).
Penyelenggaraan Ilahi pada masa sekarang ini dihayati oleh Suster-suster SFD
dengan memiliki daya juang dan senantiasa meyakini bahwa Tuhan membantu dan
menolong sebab Dia yang melakukan karya yang baik dalam diri mereka akan
senantiasa menuntun dan menyempurnakannya. Daya juang yang gigih untuk tetap
bersikap sederhana, rendah hati dan bisa mengendalikan diri serta bertahan dan tetap
bijaksana tidak terbawa arus globalisasi dan zaman modern yang menyeret pada
godaan yang mengenakkan, serba instan, mudah dan cepat.
Para suster SFD dalam hidup dan pelayanannya, ketika mengalami tantangan
dan godaan, memiliki daya juang mengalahkan sikap putus asa, patah semangat,
mudah mengeluh, murung, letih lesu dan tidak bergembira dalam tugas. yang
senantiasa menolong dan membantu. Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina tidak
akan menyimpang dari kharisma para pendiri kongregasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
b. Cinta Kasih sebagai Dasar Penopang Bangunan
Para pendahulu SFD mengasihi Allah dengan segenap jiwa dan dengan segala
kekuatan mereka. Mereka memegang prinsip bahwa semakin mereka tidak melekat
pada diri sendiri dan pada segala sesuatu yang duniawi, makin bertambahlah cinta
kasih mereka kepada Allah. Kasih itu memberikan kekuatan dan keberanian kepada
mereka untuk bersama-sama mewujudkan misi melanjutkan hidup membiara di
Dongen.
Cinta kasih dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina bersumber dari
cara hidup jemaat perdana yang sehati sejiwa, berbagi kasih dengan sesama dan
semua mendapat pelayanan dengan penuh kasih. Belajar dari jemaat perdana,
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina yang beraneka ragam suku, budaya dan
latar belakang, hidup dalam ikatan cinta kasih satu sama lain saling mengasihi dan
saling melayani.
Cinta kasih dalam persaudaraan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina
dipahami sebagai kesediaan membagi rahmat yang diterima masing-masing saudari
kepada siapapun yang dijumpai dan dilayani. Mengasihi saudari sekomunitas berarti
mengutamakan dan meninggikannya serta rela berbagi rahmat dengannya, murah
hati dalam memberi bantuan, baik berupa perhatian, tenaga dan bantuan yang lain
yang dibutuhkan oleh saudari itu (Marie Yosef: 8).
Cinta kasih dalam persaudaraan Kongregasi ditandai dengan sabar menerima
kelebihan dan kekurangan sesama saudari, memaafkan dan tidak memperhitungkan
kesalahan sesama saudari, tidak cemburu atas keberhasilan sesama saudari serta rela
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
menanggung kesukaran dan tantangan yang dijumpai dalam hidup dengan penuh
kegembiraan tanpa mempersalahkan situasi maupun orang lain.
Cinta kasih terbangun melalui doa bersama, makan bersama, kapitel
komunitas, rekreasi komunitas serta kegiatan lain yang dilaksanakan bersama dan
berdasarkan cinta kasih. Kebersamaan dalam persaudaraan di komunitas
membangkitkan rasa saling cinta antara satu dengan yang lainnya, serta
mengembangkan kegembiraan jiwa. Allah berdiam dan tinggal dalam persaudaraan
(SHT; 22). Demi cinta kasih kepada Allah, Suster-suster SFD saling mengasihi
seperti yang difirmankan-Nya, “Inilah perintah-Ku yaitu supaya kamu saling
mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15:12). Kasih ditunjukkan lewat
perbuatan, dimana seorang suster leluasa menyatakan kebutuhannya kepada saudari
yang lain agar saudari itu mencarinya dan memberikannya (AD Ordo III psl 7)
c. Pertobatan terus-menerus (Peniten Rekolek)
Pada awal berdirinya kongregasi, Suster-suster pendahulu SFD sering disebut
sebagai Putri-putri Peniten Rekolek. Sebagai kongregasi Peniten Rekolek, suster-
suster SFD sering juga disebut sebagai kaum pentobat. Kata peniten berasal dari
bahasa Latin yang berarti pertobatan. Dalam buku gerakan awal Peniten Rekolek,
pertobatan berarti membuat perubahaan diri terus-menerus sesuai dengan semangat
Injil yang diwarnai oleh cinta kasih dan kabar gembira, sedangkan rekolek atau hidup
dalam keheningan Allah berarti mengumpulkan segenap daya dan memusatkannya
bagi kepentingan Allah. Oleh karena itu, sebagai peniten rekolek, Suster-suster
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Fransiskus Dina senantiasa memelihara kehidupan rohani yang akan menyuburkan
persaudaraan dan karya pelayanan (PPPK SFD; 31-32).
Spritualitas ini menjadi warisan yang khas dari para Pendahulu Kongregasi
SFD dan sampai sekarang terus dihidupi para Suster SFD (PPPK SFD; 31). Pola
hidup peniten rekolek yang diwariskan oleh para pendahulu ditandai dengan sikap
semangat doa dan refleksi atas kelemahan dalam keheningan batin. Doa dan tapa
dikombinasikan dengan pelayanan atau dalam bahasa sehari-hari pola hidup Peniten
Rekolek sama dengan pola hidup semi kontemplatif (SHT; 20). Pola hidup Peniten
Rekolek tetap dipelihara dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Kendati
kongregasi sudah menjadi kongregasi yang aktif namun hidup doa tetap dianggap
sebagai suatu keharusan (Kons Art 24).
Doa dan karya dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina bukanlah
sesuatu yang berlawanan melainkan suatu kesatuan. Doa dan karya disemangati oleh
Roh Tuhan yang satu dan sama. Penghayatan doa dan karya pada zaman sekarang ini
saling melengkapi, dimana karya untuk berdoa dan doa untuk mendukung karya.
Demikian juga halnya dalam keheningan batin, perlu adanya keseimbangan yang
sehat antara waktu menyendiri dan waktu untuk bersama (Kons Art 24).
Pola hidup Peniten Rekolek pada masa sekarang ini diwujudkan dengan
membiasakan diri mengucapkan doa batin di dalam hati ketika melaksanakan tugas
perutusan, membiasakan diri melakukan pemeriksaan batin selama lima belas menit
setiap hari, membiasakan diri hening (silentium) untuk membantu menemukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
kehendak Tuhan serta setia mengisi buku harian, berani dan siap dikoreksi dan
mengoreksi persaudaraan dalam rapat komunitas (PPPK SFD; 36-37).
d. Kemurnian Hati, Kemiskinan Roh, dan Mati Raga
Hidup dalam kemurnian dipahami sebagai hidup yang seluruhnya
diintegrasikan, dibaktikan, kepada Kristus dalam doa terus-menerus sambil melayani
sesama, sehingga dengan demikian ikut ambil bagian dalam misi Yesus mewartakan
Kerajaan Allah (Gerald & Edward, 1996, Kamus Teologi: 138). Hidup dalam
kemurnian merupakan suatu pilihan pribadi setiap Suster-suster Fransiskus Dina.
Kenyataan bahwa hanya Tuhan yang sanggup memuaskan hati manusia seluruhnya
mendorong Suster-suster Fransiskus Dina untuk membaktikan diri dan
mempersembahkan hidup seutuhnya kepada Allah dengan hati yang murni dan
dengan tiada henti mencari kehendak-Nya (Konst Art 75).
Kemurnian hati membuat setiap Suster SFD senantiasa merindukan kehadiran
Allah yang memberikan kedamaian dan ketenangan bagi jiwa. Kemurnian hati
menghantar Suster-suster SFD pada ketulusan, ramah terhadap semua orang tanpa
mencari muka, dan dengan jiwa yang bersih mereka berusaha melaksanakan
kehendak Allah bukan kehendaknya sendiri (SHT; 21).
Kemiskinan Roh menjadi perhiasan bagi para pendahulu kongreasi SFD,
maka keutamaan ini terus-menerus dijaga dalam diri Suster-suster SFD. Para
pendahulu Kongregasi menghayati bahwa apabila para suster mengakar pada cinta
akan Allah, rasa cinta diri akan segera dilemaskan. Berbangga terhadap jasa diri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
sendiri tidak sesuai dengan kemiskinan Roh karena dalam kerendahan hati Suster-
suster Fransiskus Dina selalu memandang diri sebagai sesuatu yang kecil dengan
demikian mereka akan mengandalkan Allah (SHT; 22).
Kemiskinan Roh atau miskin di hadapan Allah dipahami sebagai sikap
menyadari kelemahan, ketidakmampuan, ketakberdayaan diri dan karena itu
menyerahkan diri secara total pada kuat kuasa Allah. Orang yang miskin dalam Roh
dipuji Yesus karena tidak terikat dengan harta duniawi, dan Yesus memuji orang
yang mengikat diri pada harta surgawi, mengikat diri pada Allah, sebab mereka tahu
hanya Allah sendiri yang sanggup menolong. Dia sumber harapan, dan sumber
kekuatan yang sempurna.
Orang yang miskin dalam Roh menyadari kelemahan dan keberdosaannya,
mengandalkan Tuhan dan tidak merasa tersinggung apabila dia diperlakukan tidak
hormat. Dalam kenyataan hidup sehari-hari sering kali banyak orang yang rajin
beribadah, berpantang dan bermatiraga tetapi menjadi kesal dan jengkel karena
kesalahan sesamanya. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam diri orang ini tidak ada
kemiskinan Roh sebab orang yang miskin dalam Roh mengasihi dan mengampuni
orang lain dengan penuh kerahiman hati.
Para suster pendahulu menjadi cerminan keutamaan bagi Suster-suster SFD
dalam hal menanggung penghinaan dan penyingkiran dalam ketenangan hati dan
keriangan. Keutamaan ini memampukan Suster-suster SFD untuk bersikap tulus,
melayani dengan gembira, penuh humor serta bijaksana dalam menghadapi
permasalahan-permasalahan yang ada (PPPK SFD; 32).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Mati raga adalah tanda pembaharuan dalam kongregasi SFD. Mati raga dalam
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina dipahami sebagai sarana penyangkalan diri
yang berfungsi sebagai persiapan persatuan dengan Allah seperti Santo Paulus yang
mengatakan bukan lagi aku melainkan Allah yang hidup di dalam aku. Jadi mati raga
bukan hanya sekedar berpuasa makan dan minum melainkan suatu sikap yang
menempatkan kehendak Allah di atas kehendak sendiri, atau dengan kata lain
mengutamakan atau menomorsatukan kehendak Allah.
Para pendahulu kongregasi sangat ulung dalam menghidupi mati raga sampai
hari tua mereka dan keutamaan ini jugalah yang mereka perjuangkan menuju
kesempurnaan hidup. Mati raga merupakan sarana yang baik untuk bersatu dengan
Tuhan Yesus Kristus dan dengan demikian Suster-suster SFD dapat mengendalikan
diri dari kecenderungan-kecenderungan yang tidak teratur. Suster-suster SFD yang
hidup di zaman yang penuh dengan tawaran yang menggiurkan ini menghidupi sikap
mati raga, sehingga dengan bersikap lepas bebas menanggalkan segala sesuatu yang
mengikat diri, Suster-suster SFD mampu bergembira dalam menjalani panggilan
menuju kesempurnaan.
Sikap mati raga diwujudkan dalam bentuk berani berkata cukup dalam arti
bijak dalam menggunakan sarana dan prasarana, melatih diri untuk tetap setia dan
bertahan dalam menghadapi pencobaan, berpuasa setiap hari Rabu dan Jumat untuk
digunakan sebagai dana sosial komunitas dan Kongregasi (Kap.2015:134)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
e. Semangat Doa dan Sikap Lepas Bebas
Semangat doa menjadi yang pertama dan terutama dalam hidup para suster
pendahulu Kongregasi. Dalam situasi taufan dan badai, para suster pendahulu
Kongregasi menyerahkan niat baik mereka kepada Tuhan untuk tetap melanjutkan
mempertahankan hidup membiara. Mereka mengalami perlindungan Tuhan dan
menimba kekuatan dalam doa-doa batin yang senantiasa mereka lantunkan setiap
saat. Semua kegiatan bertumpu pada doa. Mereka setia melakukan ofisi, meditasi,
menerima komuni kudus setiap hari serta melakukan adorasi di depan Sakramen
Mahakudus (PPPK SFD; 33).
Anggota kongregasi SFD pada masa sekarang ini pun tetap menghidupi
semangat doa sebagai yang pertama dan utama, supaya dapat berbuah limpah dalam
hidupnya sebagai pengikut Kristus. Kehidupan berlimpah diterima dari Allah dan
manusia memperoleh keselamatan berkat karya penebusan Yesus Putra-Nya (Yoh
10:10). Kehidupan yang berlimpah dijaga dan dibagikan pula kepada sesama, sebab
Allah menghendaki agar masing-masing orang menjadi saluran rahmat bagi orang
lain. Sebagaimana Yesus berkorban demi kebahagiaan manusia, demikian juga para
suster SFD rela berkorban menjadi perpanjangan tangan Tuhan memberi
kebahagiaan sesamanya. Setiap suster SFD dipanggil-Nya untuk bertanggungjawab
mengalirkan rahmat kepada orang lain melalui pelayanan yang ditugaskan
kepadanya.
Suster SFD dengan tekun dan setia membina relasi intim dengan Allah
dengan cara mencari waktu untuk hening agar dapat bersatu dengan-Nya, sebab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
dalam doa Allah menyatakan kehendak-Nya. Dengan doa, para suster SFD hidup
dalam iman, harapan dan kasih, dimana iman menggerakkan para suster SFD untuk
melakukan pelayanan dan iman itu juga yang menjadi dasar bagi harapan mereka
sehingga mereka dimampukan untuk mewujudkan kasih dengan menghadirkan
kerajaan Allah lewat karya perutusannya masing-masing (Iman Katolik; 160).
Semangat doa pada masa sekarang ini diwujudkan dengan melaksanakan
ibadat adorasi seminggu sekali di setiap komunitas, setia dan disiplin dalam
mengikuti doa bersama, membiasakan diri melantunkan doa-doa batin, mengambil
waktu sendiri untuk meditasi selama satu jam setiap hari serta mempunyai devosi
yang khusus kepada hati kudus Yesus atau Bunda Maria atau kerahiman ilahi atau
devosi lain yang dirasa menyentuh jiwa.
Sikap lepas bebas mendapat tempat yang khusus dalam hidup para suster
pendahulu Kongregasi SFD. Sikap lepas bebas berarti melepaskan segala sesuatu
yang bersifat duniawi. Sikap lepas bebas bukan berarti merasa kehilangan, tetapi
dengan melepaskan hal-hal duniawi akan diperoleh kehidupan sejati yang berasal
dari-Nya. Barangsiapa menyelamatkan nyawanya akan kehilangan, tetapi barang
siapa kehilangan nyawanya karena Aku ia akan menyelamatkannya (Luk 9:24).
Sikap lepas bebas membuat kedinaan menjadi subur dan menjadi satu-satunya teman
hidup, sebab lepas bebas berasal dari cinta kasih dan merupakan karunia Roh Kudus
(PPPK SFD; 34). Sikap lepas bebas membantu mereka melepaskan banyak ikatan
yang merintangi mereka mencari Tuhan. Sikap lepas bebas menjadi tanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
pembaharuan yang diharapkan oleh Tuhan dalam semangat hidup religius (Marie
Yosefh, 1867; 28).
Sikap lepas bebas dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina
diwujudkan dengan tidak melekat pada suatu tugas, taat pada mutasi (perpindahan)
yang sudah diputuskan para pemimpin, tidak dibenarkan adanya rekening pribadi dan
titipan uang ataupun harta dari pihak luar, berani berkata cukup serta
mempergunakan sarana dan prasarana dengan bijaksana (Kap. 2011:144).
C. Karya Pelayanan SFD dan Nilai-nilai Rohani yang Dikembangkan
Para suster pendiri Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina meyakini bahwa
pencurahan tenaga yang dituntut oleh pekerjaan merupakan suatu cara untuk
melupakan diri, mengarahkan diri pada orang lain dan dengan demikian mengabdi
Tuhan (MYY. 2008;19-20,35). Karya pelayanan dalam Kongregasi Suster-suster
Fransiskus Dina terutama terarah pada pendidikan, kesehatan dan pendampingan
kaum muda. Karya pelayanan ini menjadi wadah dan sarana dalam mewujudkan
cinta Tuhan dengan meninggikan martabat manusia melalui pelayanan yang rendah
hati, penuh cinta, persaudaraan sejati dan sukacita (PK; 4).
1. Pengertian Pelayanan
Kapitel Umum Kongregasi SFD pada tahun 2011 membahas makna dari
pelayanan. Suster-suster Fransiskus Dina memaknai pelayanan sebagai sarana
perpanjangan tangan Tuhan dalam melayani dan mencintai sesama yang sungguh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
membutuhkan perhatian dan cinta sehingga harus dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab dan sukacita (Kap. 2011:90). Menjadi suatu kegembiraan apabila
setiap suster SFD dapat melayani Tuhan dan sesama dengan tulus dan penuh
sukacita, baik dalam komunitas, dalam karya perutusan maupun dalam lingkungan
masyarakat sekitar.
Semangat para suster pendiri yakni rajin dan giat mendorong para suster SFD
untuk setia membenahi diri dan bertanggungjawab dalam tugas pelayanan sehari-
hari. Semangat rajin dan giat dalam pelayanan dilaksanakan berdasarkan semangat
cinta kasih kepada Allah dan sesama tanpa ada unsur keterpaksaan. Semangat rajin
dan giat dalam pelayanan berarti melaksanakan tugas dengan tanggungjawab dan
gembira dengan penuh ketulusan. (Kap. 2011: 89).
Sikap pelayanan SFD bersumber pada sikap pelayanan Yesus sendiri yaitu
melayani dengan cinta kasih. Hidup dalam kerendahan hati di hadapan Tuhan dengan
menyadari bahwa segala kemampuan dan keberhasilan dalam pelayanan adalah
pekerjaan Allah sendiri (bdk. 2 Kor 3:5). Tujuan pelayanan adalah untuk
menyalurkan kasih (bdk. Mrk 10:45). Maka suster-suster SFD dipanggil untuk
melayani dengan mendahulukan yang lemah, miskin dan tersingkir tanpa
mengharapkan imbalan. Pelayanan terhadap orang kecil menjadi sarana perjumpaan
dengan Allah sendiri, sehingga dengan demikian pelayanan dihayati sebagai
pengabdian kepada Allah (Kap. 2011: 110-111).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
2. Karya Pelayanan SFD di Masa Sekarang
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina mengelola karya-karya formal
maupun informal yaitu: karya pendidikan, kesehatan, asrama dan karya sosial yang
lain. Kongregasi SFD berkarya di tiga pulau yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimantan
dan berada di delapan keuskupan.
a. Karya Pelayanan di Bidang Pendidikan
Sejak zaman suster Pendiri, kongregasi SFD sudah memulai karya di bidang
pendidikan di Dongen. Pada awalnya, mereka mendidik kaum muda khususnya para
wanita. Para suster berjuang mengatasi kemiskinan dan penderitaan masyarakat
dengan memberikan pendidikan dan keterampilan. Selain itu, mereka juga mendidik
anak-anak bangsawan dan anak-anak orang kaya (SPP SFD).
Karya pendidikan yang dikelola oleh para suster SFD dimulai dari Playgroup,
TK, SD, SMP dan SMA. Secara umum, karya ini masih sangat diminati masyarakat,
namun ada juga di daerah tertentu sekolah yang dikelola SFD kalah bersaing dengan
sekolah-sekolah pemerintah dan swasta yang lain. Penghayatan terhadap spritualitas
kongregasi menjadi salah satu kekuatan para suster SFD dalam mengembangkan
tugas perutusan di bidang pendidikan (LPJ. DPU, 2015:46).
Dengan semakin berkembangnya karya pendidikan yang dikelola SFD, maka
dibentuklah beberapa yayasan pendidikan yang mengelola karya formal yaitu
Yayasan Setia di Medan yang membawahi delapan belas sekolah, Yayasan Santa
Maria di Kalimantan yang membawahi enam belas sekolah dan Yayasan Fioretti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Tigaraksa membawahi tiga sekolah (LPJ. DPU, 2015:47-51). Untuk meningkatkan
mutu pendidikan, karya pendidikan dalam kongregasi SFD dijiwai oleh semangat
pendiri Kongregasi sehingga dirumuskanlah visi karya pelayanan di bidang
pendidikan “Menjadi wadah dan sarana dalam mewujudkan cinta Tuhan mendidik
manusia secara utuh dengan semangat cinta kasih, kesederhanaan dan persaudaraan”,
dan misi karya pendidikan SFD adalah “Siap dan terbuka melaksanakan kehendak
Tuhan dalam karya perutusan sesuai dengan kebutuhan zaman” (LPJ.DPU, 2015:45).
b. Karya Pelayanan di Bidang Kesehatan
Tindakan Fransiskus yang merangkul dan memeluk orang kusta menjadi
teladan bagi karya pelayanan SFD di bidang kesehatan. Pada zaman dahulu, para
Suster pendahulu melayani dan memberikan pengobatan kepada masyarakat dengan
berkunjung ke rumah-rumah, agar mereka langsung berhadapan dengan keluarga dan
masyarakat (Kenangan 70 Tahun SFD: 15).
Karya kesehatan yang dikelola oleh kongregasi SFD pada umumnya masih
sangat dipercaya masyarakat. Kehadiran para Suster yang prima dengan senyuman,
keramahan dan penuh kesabaran menjadi salah satu kekuatan dalam
mengembangkan karya pelayanan di bidang kesehatan. Namun demikian di beberapa
tempat, terjadi juga keprihatinan, di mana peraturan pemerintah yang baru menuntut
perlunya pembenahan SDM para suster di bidang manajemen, fasilitas dan secara
khusus administrasi. Kenyataan seperti ini membuat karya kesehatan SFD berpacu
terus dalam pembenahan dan pelayanan yang semakin prima (LPJ. DPU, 2015:52).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Kesehatan merupakan kebutuhan yang paling mendasar. Oleh karena itu, Kongregasi
SFD turut ambil bagian dalam menghadirkan karya penyelamatan Allah yang
menyembuhkan. Kasih Allah yang menyembuhkan daan menyelamatkan itu menjadi
pengembangan dari visi karya kesehatan SFD (LPJ. DPU, 2015:52).
Karya kesehatan yang dikelola oleh kongregasi SFD ada tiga belas unit, yang
dibawahi dua yayasan yaitu Yayasan Cinta Kasih Rafael yang berdomisili di Medan
dan Yayasan Suster-suster Fransiskanes Dongen yang berdomisili di Banjarmasin
(LPJ. DPU, 2015:52-56).
c. Karya Pelayanan di Asrama
Karya asrama putri sudah dimulai oleh para suster pendahulu dengan tujuan
untuk mengangkat harkat dan memberdayakan kaum perempuan. Seiring dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan Gereja, para Suster SFD melanjutkan karya ini
dengan membuka berbagai karya asrama. Anak-anak yang tinggal di asrama selain
menuntut ilmu mereka juga dibekali dengan bermacam-macam pembinaan dan
berbagai keterampilan serta dilibatkan juga dalam berbagai kegiatan menggereja
(LPJ. DPU, 2015:56).
Karya asrama yang dikelola kongregasi SFD berkembang terus. Sampai saat
ini Kongregasi SFD mengelola sembilan asrama yang terdiri dari tujuh asrama putri,
satu asrama putra dan satu asrama SLB-C. Bangunan asrama pada umumnya bagus
dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung. Karya asrama ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
diharapkan bisa menjadi sarana mewujudkan cinta Tuhan yang meninggikan
martabat manusia melalui pelayanan yang penuh cinta kasih dan persaudaraan sejati.
d. Karya Pelayanan yang lain
Karya sosial rehabilitasi kusta yang dikelola Kongregasi SFD sekarang sudah
beralih fungsi menjadi wisma lansia. Perubahan ini terjadi karena sekarang hampir
tidak lagi ditemukan orang yang menderita kusta karena pihak pemerintah sudah
menanganinya dengan baik. Sementara itu, kebutuhan untuk menampung para usia
lanjut semakin mendesak. Kenyataan inilah yang mendorong peralihan pelayanan ini.
Meski demikian, pendampingan dan perawatan terhadap para penderita kusta yang
sudah membaik tetap dilanjutkan dan difasilitasi dengan baik.
Karya lain yang dikelola SFD dan dirasa sangat sesuai dengan visi misi
kongregasi adalah pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus. Para suster SFD
melihat semakin banyak anak berkebutuhan khusus, maka dibukalah karya pelayanan
ini SLB-C karya tulus di Medan Sumatera Utara. Anak-anak yang didampingi semua
tinggal di asrama, dan mendapatkan pelayanan yang penuh kasih layaknya sesama
saudara dalam satu Bapa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
3. Nilai-nilai Rohani dalam Karya Kongregasi SFD dan Filosofinya
Nilai-nilai rohani yang dihayati dalam karya pelayanan Kongregasi SFD
yakni semangat, persaudaraan dan dina terwujud dan menjadi urat nadi yang
menjiwai seluruh suster dan semua orang yang turut ambil bagian dalam karya
pelayanan yang dikelola suster-suster SFD.
a. Huruf S, adalah Semangat
Sumber semangat yang menjiwai pelayanan para Suster SFD adalah bisikan
Roh Kudus yang tak henti-hentinya menghangatkan. Semangat berarti selalu
bergembira, rajin, dan giat dalam melakukan setiap karya yang ditugaskan dengan
disiplin yang tinggi dan suka cita yang besar. Para suster SFD diharapkan tampil
dengan wajah gembira dan penuh sukacita dalam menjalani hidup panggilan dan
dalam melayani sesama, seperti yang disabdakan-Nya, “demikianlah hendaknya
terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik
dan memuliakan Bapamu yang di Surga” (Mat. 5:16).
Semangat yang datang dari Allah membuat para Suster SFD memiliki daya
juang. Ada sikap ugahari yang mendalam sebagaimana yang dimiliki oleh para
pendahulu Kongregasi. Mereka terusir dan mengalami situasi yang amat berat.
Perjalanan mereka yang penuh rintangan. Hujan dan badai menghadang, namun
tidak menghentikan langkah mereka mengikuti panggilan Tuhan. Daya juang yang
diwariskan oleh para suster pendahulu adalah daya juang yang gigih, tidak
mengeluh walau badan terasa lelah, tidak lesu meski terasa letih. Mereka tidak kecut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
hati meski mengalami penolakan dan mereka setia berdayung terus penuh semangat
dan bersikap ugahari dengan keyakinan rahmat Allah menuntun perjalanan mereka.
b. Huruf F, adalah Fraternitas
Farternitas berarti mengutamakan dan meninggikan kaum papa dan semua
mahluk yang ada dengan cinta kasih, ramah, bersaudara dan cinta damai di manapun
berada. Suster SFD dengan gembira melayani semua orang, terlebih mereka yang
kesusahan dan kekurangan serta yang teraniaya. Demikian juga mereka dengan
senang hati menjadi saudara di tengah-tengah orang miskin dan rela mengambil
bagian dalam kesukaran dan kerendahan mereka (Kon Art 13). Setiap suster SFD
diminta supaya menjalankan pelayanan yang diwujudkan dengan menjadi yang
paling dina, mendekati sesama dengan penuh kerahiman hati sebagaimana
pengalaman Fransiskus yang mendekati orang kusta, dan menemukan kemuliaan
martabat ciptaan Tuhan dalam diri orang kusta itu (bdk. AD III psl 19). Maka
persaudaraan ataupun persekutuan Suster SFD harus siap sedia menjadi tempat bagi
mereka yang terluka, cacat dan orang berdosa (Sta. Art 13).
Persaudaraan ditandai dengan cinta kasih yang menjadi penopang dalam
pelayanan, juga saling membantu, melayani, bekerja sama, membangun dialog dan
memberi kesempatan pada yang lain. Menjadi saudara bagi ciptaan berarti
memelihara dan mencintai seluruh ciptaan.
Para Suster di dalam pelayanannya selalu bersikap ramah dengan
memberikan senyuman, sapaan, dan salam persaudaraan. Persaudaraan juga menuntut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
sikap adil, tidak memihak, mengutamakan kebersamaan dan persatuan, tidak
membesar-besarkan masalah, dan menciptakan suasana harmonis bersama rekan
kerja dalam melakukan pelayanan dan terlebih lagi persaudaraan ditandai dengan
sikap toleransi, menghormati, menerima dan terbuka pada perbedaan suku, agama,
dan golongan, siapapun diterima dan dilayani dengan baik.
c. Huruf D, adalah Dina
Bersikap dina dalam pelayanan berarti berpengharapan dan mengandalkan
Tuhan melalui doa dan karya perutusan yang dipercayakan, dengan bersikap
sederhana, rendah hati, tulus dan rela berkorban demi kemuliaan nama-Nya
sebagaimana diteladankan oleh Yohanes Pembabtis (bdk Yoh 3:30). Kesederhanaan
membuat seorang suster SFD terlihat indah. Kesederhanaan itu menjadi perhiasan
yang dengan sendirinya menimbulkan rasa hormat dan membuat dia dicintai.
Kesederhanaan membuat suster-suster SFD berani berterus terang langsung menuju
apa yang dilihatnya sebagai benar. Tutur katanya tidak berliku-liku, tidak mendua
dan jujur. Dengan dibekali kesederhanaan, suster SFD tidak takut akan reaksi dunia
di sekitarnya, karena kompasnya telah terarah pada apa yang diyakini sebagai
sungguh baik, pada apa yang dikehendaki Tuhan (Suster Mere Joseph, 1991: 18).
Sikap dina yang dihayati suster SFD menjadikan mereka berani berkata cukup
dengan pola hidup sederhana, rela mengerjakan pekerjaan yang kecil dengan cinta
yang besar. Sikap dina menghantar Suster-suster SFD pada kesediaan menerima dan
mendengarkan siapapun yang datang kepadanya dengan sepenuh hati serta rela
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
menerima koreksi, teguran dan evaluasi dengan berjiwa besar untuk memperbaharui
diri secara terus menerus.
Filosofi pelayanan Kongregasi SFD dapat digambarkan sebagai berikut:
Semangat = buah yang manis,
bunga yang harum dan daun
yang rindang
Fraternitas = batang yang
kokoh dan besar
Dina = akar tunggang yang
kuat dan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Kedinaan SFD bersumber dari Yesus sendiri, karena Santo Fransiskus Asisi
juga terinspirasi menghayati kedinaan yang dihidupi oleh Yesus sebelumnya.
Fransiskus Asisi melihat semangat kedinaan dalam diri Yesus sehingga tidak ada
alasan bagi dirinya untuk tidak menjadi dina sama seperti Yesus yang merendah
merunduk demi menyelamatkan umat manusia. Dengan demikian jelas bahwa Yesus
adalah Sang Guru ataupun teladan yang menjadi sumber inspirasi bagi siapapun yang
berkarya dengan semangat kedinaan secara khusus Kongregasi Suster-suster
Fransiskus Dina.
Kedinaan yang sama dihayati dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus
Dina. Dengan semangat kedinaan, Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina
mengasihi sesama dalam karya pelayanan mereka setiap harinya. Dengan semangat
kedinaan, para suster SFD melayani sesama dengan penuh sukacita, rajin dan giat,
ramah, bersaudara dengan semua orang, tampil sederhana, rendah hati, jujur, tulus
dan manaruh harapan yang teguh pada penyelenggaraan Ilahi (peryertaan dan
bimbingan Tuhan).
Setiap suster SFD menyandang nama atau dipanggil sebagai saudari dina
tentu dengan harapan supaya dalam karya pelayanan, mereka dapat melakukan
pekerjaan kecil, sederhana dan tidak diperhitungkan orang dengan cinta yang besar,
memberikan tenaga, pikiran dan hati yang tulus ikhlas demi kebahagiaan orang lain
serta berani berkata cukup dengan pola hidup sederhana di tengah situsi zaman yang
konsumerisme ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Kedinaan dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina merupakan jati
diri yang menjiwai seluruh aspek kehidupan masing-masing anggota kongregasi.
Mereka harus mampu merendahkan hati dan merendahkan diri dengan rela
mendengarkan serta menyadari bahwa mereka dipanggil menjadi perpanjangan
tangan dan hati-Nya untuk menyalurkan berkat, mengangkat harkat dan martabat
mereka karena Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina meyakini semua manusia
adalah saudara yang mempunyai satu Bapa yaitu Bapa yang ada di surga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
BAB IV
PERENDAHAN DIRI DALAM KEDINAAN
Kedinaan dihidupi oleh Suster-suster Fransiskus Dina sebagai perwujudan
kemiskinan injili. Kedinaan adalah sikap dan praktek hidup untuk menempatkan diri
di hadapan Allah Yang Mahatinggi, mengakui diri sebagai yang terbatas, rapuh dan
kecil. Menjadi dina dengan menempatkan diri di bawah Allah mengalir juga dalam
bentuk-bentuk perendahan diri di hadapan sesama. Kedinaan dipilih dan dihayati
sebagai konsekuensi dari persatuan dengan Yesus yang merendahkan diri dan
memilih hidup miskin. Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina memandang
kedinaan sebagai nilai unggul dalam mengikuti Yesus yang miskin dan hina dina.
Maka Suster-suster Fransiskus Dina mengabdi Tuhan dalam diri sesama dengan
sikap rendah hati, sederhana dan penuh sukacita (Sta; 123-124).
Kedinaan juga berarti menyadari bahwa segalanya adalah milik Allah, karena
itu tidak ada alasan bagi manusia untuk memegahkan diri, menginginkan kekuasaan,
puas diri dan meninggikan diri tetapi tetap memelihara kehidupan yang berasal dari
Allah (PPPK SFD;35). Kedinaan diwujudkan dalam sikap sederhana, rendah hati,
jujur, tidak pongah atas keutamaan besar atau usaha dan upaya luhur, rela menjadi
hamba, siap ditegur, taat dengan penuh hormat dan mengakui kesalahan dengan
rendah hati serta melakukan pertobatan dengan senang hati, tunduk pada semua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
orang, tidak memandang diri sendiri lebih sempurna dari orang lain dan rela menjadi
bawahan semua orang.
Dalam Bab IV ini, penulis akan menganalisis unsur-unsur perendahan diri
Yesus dalam Filipi 2:1-11 dan kedinaan dalam Kongregasi SFD. Pembahasan ini
bertujuan untuk menampilkan unsur-unsur pokok perendahan diri Yesus dalam Filipi
2:1-11 dan spritualitas kedinaan dalam pelayanan Kongregasi SFD. Analisa ini
dibuat untuk mencermati unsur-unsur penting perendahan diri Yesus yang sudah
terkembangkan dan yang belum terkembangkan secara optimal dalam semangat
kerasulan Kongregasi SFD yang ditandai dengan kedinaan. Dari upaya mencermati
hal-hal tersebut, penulis bermaksud mengusulkan beberapa usulan upaya lanjut yang
bisa dipilih oleh Kongregasi SFD untuk menjadikan perendahan diri Yesus sebagai
landasan spiritualitas pelayanan Kongregasi SFD.
Di dalam studi ini, penulis menemukan beberapa unsur refleksi dalam
perendahan diri Yesus di Filipi 2 yang membantu pendalaman spritualitas kendinaan
dalam pelayanan Suster-suster Fransiskus Dina. Unsur-unsur tersebut adalah 1)
ketaatan kepada Allah, 2) berpusat pada Kristus, 3) hidup miskin, 4) hidup dalam
kesatuan, 5) tanggung jawab pada sesama. Unsur-unsur inilah yang akan dianalisa
secara lebih mendalam dalam bagian berikut.
A. Ketaatan kepada Allah
Perendahan diri Yesus dalam Filipi 2:1-11 dipahami sebagai kesiapsediaan
dan kerelaan Yesus melepaskan atau meninggalkan status, kedudukan-Nya sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Putera Allah, dan menjadi setara dengan manusia berdosa, demi keselamatan
manusia itu sendiri. Paulus menasehati jemaat Filipi supaya meneladan Yesus yang
tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan mengosongkan diri, mengambil rupa manusia dan menjadi hamba. Paulus
meminta jemaat Filipi supaya meneladani Yesus yang memilih untuk melepaskan
kedudukannya, menurunkan statusnya demi ketaatannya kepada Bapa.
Perendahan diri Yesus mengalir dari ketaatan-Nya kepada Allah. Paulus
mengakhiri rangkaian perendahan diri Yesus dengan kata-kata “Ia taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8). Bagi Paulus, mengosongkan diri,
mengambil rupa hamba, menjadi manusia dipilih oleh Yesus dalam ketaatan kepada
Allah. Ketaatan Yesus tersebut berpuncak pada kematian di salib. Ketaatan Yesus
kepada Allah ditunjukkan melalui tindakan perendahan diri-Nya di mana Ia rela
mengesampingkan kemuliaan dan kehormatan-Nya sebagai Allah dan mengambil
rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Ia tidak hanya menjadi
manusia, tetapi juga mengambil rupa hamba. Artinya, Yesus menjadikan diri-Nya di
bawah manusia-manusia yang lain. Sebagai Allah tentunya Ia Mahakuasa dan bisa
melakukan apa saja, namun Ia memilih untuk merendahkan diri-Nya bahkan sampai
mengalami kematian paling hina yakni kematian di kayu salib.
Yesus yang serupa dengan Allah merendahkan diri dan menjadi sama dengan
manusia. Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Ia telah menjadikan diri-Nya sebagai
hamba dan taat sampai mati di salib. Ketaatan-Nya kepada Allah dihayati di
sepanjang hidup-Nya, tidak dengan mengagungkan diri dan menuntut hormat dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
orang lain, tetapi dengan merendahkan diri sampai mati di salib. Yesus taat sampai
mati, sampai mati di kayu salib padahal orang yang tergantung di kayu salib
dipandang telah dikutuk oleh Allah (Ul 21:22-23) dan kematian di kayu salib
dianggap sebagai kejijikan oleh orang Yahudi pada masa itu. Dengan mati di kayu
salib, Yesus menunjukkan kerelaan-Nya untuk berada di titik paling rendah dalam
hidup seorang manusia. Ketika Ia berhadapan dengan kematian di salib dan beresiko
kehilangan segala kehormatan-Nya sebagai manusia yang bermartabat, Yesus tidak
mundur tetapi tetap taat. Bukan prestise dan hormat yang dicari, tetapi ketaatan
kepada Allah yang mengutus-Nya.
Ketaatan Kristus sampai mati di kayu salib adalah ketaatan yang dilakukan
secara sempurna yang menunjukkan totalitas-Nya sebagai manusia sejati dan melalui
kematian-Nya Ia menunjukkan ketaatan-Nya kepada Bapa dan kasih-Nya kepada
manusia. Ketaatan memampukan Dia untuk melepaskan statusnya sebagai Allah dan
mau merendahkan diri mengambil rupa hamba dan bahkan sampai mati di kayu salib.
Ketaatan juga membuat Yesus berfokus hanya pada kehendak Bapa. Ketaatan itu
jugalah yang menghantar Yesus pada kesetiaan-Nya sampai akhir hayat. Maka
perendahan diri dalam ketaatan Yesus mencapai tingkat yang serendah-rendahnya,
namun demikian semua ini tidak sia-sia karena ketaatan Yesus ini membawa
keselamatan bagi dunia.
Paulus menasehati jemaat Filipi untuk meneladan Yesus taat dan
merendahkan diri sampai serendah-rendahnya karena mereka egois, memperhatikan
kepentingannya saja dan hanya mengejar kemuliaan dan kehormatan pribadi. Paulus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
menjelaskan kepada jemaat Filipi bahwa Yesus yang adalah Allah saja mau
merendahkan diri menjadi manusia dan mengambil rupa hamba demi keselamatan
manusia. Perendahan diri Yesus memberi teladan kerendahan hati, kenyataan ini
dipakai Paulus untuk menasehati jemaat di Filipi bahwa kerendahan hati adalah
kekuatan dalam persekutuan jemaat. Paulus mengatakan ini mengingat situasi jemaat
yang pada saat itu di ambang perpecahan. Paulus menjelaskan bahwa kerendahan
hati dapat diwujudkan dengan memperhitungkan kepentingan dan kebutuhan orang
lain lebih dari kebutuhan pribadi dan apabila mereka sungguh melakukan itu maka
perpecahan akan berakhir.
Ketaatan dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina merupakan salah
satu kaidah religius yang diucapkan setiap suster sebagai salah satu kaul religius.
Ketaatan itu ditujukan kepada pemimpin Kongregasi, tetapi lebih dari itu ketaatan
total setiap suster ditujukan kepada Allah melalui ketaatan kepada Kongregasi.
Ketaatan dihayati dengan siap sedia mempunyai telinga yang terbuka untuk suara
Tuhan yang didengar dengan berbagai cara yaitu dalam Injil, dalam suara hati
sendiri, lewat peristiwa-peristiwa hidup dan lewat persekutuan para saudari, serta
dalam keputusan dan arahan pimpinan.
Ketaatan yang dihidupi oleh Suster-suster Fransiskus Dina mewajibkan para
suster untuk selalu mencari kehendak Tuhan dan menyerahkan diri sepenuhnya
kepada kehendak-Nya. Yesus menjadi teladan dalam ketaatan bagi Suster-suster
Fransiskus Dina, terutama dalam menyerahkan seluruh kehendak dan kebebasan-Nya
kepada kehendak Bapa. Pembaktian diri Yesus kepada Allah Bapa dihayati-Nya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
demi kebaikan banyak orang. Hal yang sama diperjuangkan dan dihayati oleh Suster-
suster Fransiskus Dina. Ketaatan menghantar setiap anggota untuk membaktikan
hidupnya sepenuhnya bagi Tuhan dengan melayani sesama, lewat tugas perutusan
masing-masing.
Ketaatan diungkapkan dengan berani menjadi hamba yang dina. Dalam
menjadikan diri sebagai hamba bagi Allah dan bagi sesama, setiap suster tetap
berbahagia, menaruh diri di bawah kaki semua orang, menerima dengan rela bila
ditegur, taat dengan penuh hormat, mengakui kesalahan dengan rendah hati dan
mengadakan pertobatan, bersikap sabar ketika menanggung penghinaan dan
penolakan dunia. Ketika ditolak, dipermalukan, direndahkan, dilupakan dan
diremehkan demi ketaatan kepada Allah, setiap suster tetap bersikap riang gembira,
tidak bersedih karena mengalami kegembiraan sejati dan sukacita Ilahi. Ketaatan
mendorong setiap suster untuk merendahkan diri dan melayani sesama. Dengan
ketaatan kepada Allah ini, mereka menjadi serupa dengan Yesus yang taat. Teladan
yang diberikan Yesus memampukan para suster untuk berani melawan arus,
menjadikan kehendak Allah sebagai satu-satunya yang diperjuangkan dalam
keselarasan dengan pilihan pemimpin Kongregasi yang menjadi partner dalam
mengenali kehendak Allah tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
B. Berpusat pada Kristus
Kedinaan Suster-suster Fransiskus Dina dan Perendahan Diri Yesus dalam
Filipi 2:1-11 memiliki tujuan Kristosentris yakni berpusat pada Kristus. Kristus yang
menjadi figur atau teladan yang menjiwai seluruh hidup anggota Kongregasi. Dalam
Filipi 2:1-11, Paulus menasehati Jemaat di Filipi supaya memiliki pikiran dan
perasaan yang terdapat juga dalam Yesus yaitu kerendahan hati dan kepentingan
orang lain (Flp 2:5). Dengan kata lain, Paulus menasehati jemaat Filipi supaya
rendah hati dan memperhatikan kepentingan orang lain (tidak egois), supaya
mempunyai hati dan pikiran yang serupa dengan Yesus. Selain itu juga supaya tidak
terjadi perpecahan di antara jemaat yang pada saat itu menghadapi banyak masalah.
Pembahasan mengenai berpusat pada Kristus dalam surat Filipi muncul
terutama karena situasi aktual yang dialami oleh jemaat. Pada masa itu, di tengah-
tengah masyarakat Filipi berkembang budaya cursus honorum, yaitu mengukur
kehormatan seseorang melalui status sosial dan kedudukan seseorang di tengah
masyarakat karena prestasi yang diperolehnya serta pengakuan dari pemerintah.
Situasi ini membuat jemaat Filipi berlomba-lomba untuk menjadi lebih unggul dan
menjadi orang yang lebih terhormat. Mereka lebih mengutamakan kepentingan
pribadi dan menganggap diri lebih hebat dibandingkan yang lain sehingga mereka
menjadi egois dan hanya memperhatikan kepentingannya saja tidak mau tahu dengan
sesamanya.
Berhadapan dengan situasi ini, Paulus menasihati jemaat Filipi agar tidak
larut dalam kebiasaan masyarakat pada umumnya. Paulus meminta jemaat untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus. Pada intinya, Paulus
mengajak jemaat untuk tidak mengutamakan prestise dan hormat pada diri sendiri,
tetapi berpegang pada perendahan diri sebagaimana ditempuh oleh Yesus. Paulus
mengajak jemaat untuk terus-menerus memandang Kristus, sehingga cara berpikir
dan cara bertindak Kristus yang merendahkan diri-Nya menjadi teladan bagi mereka.
Kristus menjadi model utama bagi jemaat dalam hidup bersama dan berelasi dengan
orang lain. Upaya untuk menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus
inilah yang dimengerti sebagai upaya untuk berpusat pada Kristus dengan
menjadikan Yesus sendiri sebagai teladan dan sebagai sumber inspirasi rohani.
Nasihat yang diberikan Paulus kepada jemaat di Filipi dia katakan sebagai
“nasihat dalam Kristus”. Hal ini mau mengatakan bahwa sosok ataupun pribadi
Kristus perlu dikenal dan diteladani oleh jemaat, sebab nasihat yang diberikan Paulus
berpangkal pada Kristus dan tampil nyata di dalam persekutuan dengan-Nya. Setiap
orang ditantang oleh Yesus untuk menempuh cara hidup sebagaimana Ia pilih, yakni
cara hidup dalam perendahan diri. Ia yang dalam rupa Allah tidak menganggap diri-
Nya setara dengan Allah, melainkan telah mengosongkan diri dan merendahkan diri.
Maka nasihat untuk berpusat pada Yesus yang disampaikan oleh Paulus ini dijiwai
oleh Kristus sendiri karena Dia jugalah yang telah menjadi teladan yang selalu
menginspirasi Paulus.
Paulus selalu menjadikan Yesus sebagai pusat hidupnya. Keberpusatan pada
Yesus itu kini dinasihatkannya bagi jemaat. Ketika Paulus memberi nasihat tentang
penghiburan kasih, yang dimaksudkannya adalah penghiburan yang didorong dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
yang dikuasai oleh kasih Kristus. Demikian juga ketika dia berbicara tentang
persekutuan Roh, yang ia maksud adalah persekutuan yang diciptakan oleh Roh
Kudus, persekutuan di mana anggota-anggotanya hidup dari dan dipimpin oleh Roh
Kristus sendiri. Belas kasih dan kasih mesra dia maknai sebagai kasih mesra dan
belas kasihan yang juga berakar dalam Kristus. Begitupula halnya ketika Paulus
memberi nasihat untuk merendahkan diri. Singkatnya Paulus selalu menempatkan
Kristus sebagai pusat dalam nasehat-nasehatnya kepada jemaat Filipi.
Hal ini paling jelas dapat dilihat dalam ayat 5, di mana Paulus menasihatkan
supaya jemaat Filipi menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus
Yesus. Pikiran dan perasaan yang ada dalam Kristus Yesus tidak lain adalah
perendaham diri dalam ketaatan kepada Bapa-Nya. Dengan maksud ini, Paulus
menasihati jemaat Filipi supaya merendahkan diri dan memperhatikan kepentingan
orang lain sebagimana telah diteladankan oleh Kristus Yesus. Nasihat ini persis
melawan kecenderungan masyarakat yang mengejar prestise dan menyombongkan
diri dengan segala status sosial dan prestasi yang diraih.
Lebih dalam lagi Paulus menghendaki supaya pikiran dan perasaan yang
terdapat juga dalam Kristus Yesus ini menjadi norma hidup jemaat, bukan hanya
untuk pribadi tetapi juga untuk hidup bersama sebagai persekutuan sehingga mereka
tidak lagi hidup hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Tuhan dan dengan
demikian mereka juga memperhatikan sesamanya.
Di tengah situasi jemaat yang penuh dengan keegoisan dan hasrat ingin
menonjolkan diri, Paulus memberikan pola hidup Yesus yang paling relevan. “Dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu
sebagai milik yang harus dipertahankan” (Flp 2:6). Paulus sengaja menggunakan
ayat ini karena pada masa itu banyak jemaat Filipi yang tergoda untuk lebih
mempertahankan milik mereka sendiri dan menikmatinya sendiri tanpa mau
membaginya dengan yang lain dengan harapan mereka mau berbuat yang sama
seperti yang dilakukan Yesus.
Paulus menjelaskan kepada jemaat Filipi bahwa Yesus yang adalah Allah
mau merendahkan diri menjadi manusia dan mengambil rupa hamba demi
keselamatan manusia. Gambaran ini dijelaskan Paulus dengan maksud supaya jemaat
Filipi yang memiliki status dan kedudukan terhormat di tengah masyarakat pada
masa itu tidak congkak dan egois serta menggunakan status dan kedudukannya hanya
untuk mencari kemuliaan pribadi tetapi mau dan rela merendahkan diri untuk
melayani orang lain.
Paulus menghendaki supaya jemaat Filipi belajar dari Yesus. Sebagaimana
Yesus memikirkan umat manusia yang dibuktikan dengan kerelaan-Nya melepaskan
kemapanan-Nya sebagai Anak Allah yang kaya dan rela menjadi manusia
mengambil rupa hamba dan menderita sampai wafat di salib demi menyelamatkan
manusia, demikian juga hendaknya jemaat Filipi berpikir juga untuk kebahagiaan
dan kesejahteraan sesamanya, tidak hanya memikirkan diri sendiri dan tidak mau
tahu dengan sesama. Hendaknya kemapanan dan segala sesuatu yang dimiliki
digunakan untuk kebahagiaan bersama. Dengan kesediaan mereka melakukan semua
itu, mereka melayani sesama dengan apa yang mereka miliki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Keberpusatan pada Yesus juga menjadi semangat dasar dalam kedinaan yang
dihayati oleh para Suster Fransiskus Dina. Dalam Kongregasi Suster-suster
Fransiskus Dina, berpusat pada Kristus dipraktekkan dengan menjadikan Yesus
sebagai yang paling dicintai, serta dengan berusaha sekuat tenaga dan sepenuh hati
mempersembahkan diri secara lebih utuh kepada-Nya dan mengikuti Yesus secara
lebih dekat. Hal ini mau mengatakan bahwa Kristus berada pada tempat pertama dan
utama dalam hidup seorang suster SFD dan tidak boleh ada sesuatu atau
seseorangpun yang menggantikan Dia. Segala sesuatu harus diupayakan supaya
kedekatan atau relasi ini tetap terjaga.
Kedinaan juga dihayati oleh para Suster Fransiskus Dina sebagai wujud
keberpusatan pada Yesus. Dalam kedinaan, para suster pendahulu menemukan dan
membuka hati terhadap Kristus yang miskin. Kemiskinan dan perendahan diri Yesus
mengagumkan dan mempesona hati mereka sehingga mereka memeluk dan
menghidupinya sebagai jalan persatuan dengan Kristus yang mereka cintai. Sampai
masa sekarang ini, persatuan dengan Kristus dihayati pula dengan melakukan
pertobatan terus-menerus sebagaimana pola hidup peniten rekolek yang menjadi
warisan para pendiri.
Pola hidup peniten rekolek yang sampai sekarang masih dihayati dalam
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina mendorong para suster untuk selalu
melakukan pembaharuan diri, melakukan pertobatan terus-menerus dengan semangat
cinta kasih. Pola hidup peniten rekolek yang dihayati dalam Kongregasi Suster-suster
Fransiskus Dina membantu mereka untuk hidup dalam keheningan Tuhan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
mengumpulkan segenap daya dan memusatkannya bagi kepentingan-Nya, sehingga
dengan demikian Dia selalu menjadi penggerak utama dalam persaudaraan maupun
pelayanan.
Sikap doa dan refleksi atas kelemahan sesering mungkin dilakukan dalam
keheningan batin. Maka meskipun Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina sudah
menjadi kongregasi yang aktif, namun hidup doa tetap dianggap sebagai suatu
keharusan, sebab dalam doa dan keheningan mereka menemukan kehendak-Nya dan
memusatkan diri kepada-Nya. Doa, pertobatan, dan keberpusatan pada Yesus
membuahkan hidup religius dan pelayanan yang didasari oleh hasrat untuk
merendahkan diri di hadapan Allah dan sesama. Maka doa dan karya merupakan dua
dimensi yang saling melengkapi dalam hidup Suster Fransiskus Dina, di mana karya
untuk berdoa dan doa untuk mendukung karya.
Bentuk lain berpusat pada Yesus yang dihayati oleh Suster SFD adalah
membiasakan diri mengucapkan doa batin dengan tujuan supaya hidup selalu
terhubung dengan Tuhan Yesus Kristus. Doa batin yang dimaksud misalnya dengan
terus mengulang-ulang nama Yesus di dalam hati seiring dengan irama nafas, atau
jenis doa lain yang dirasa lebih menyentuh hati. Semua ini dimaksudkan supaya
mereka senantiasa berpusat pada Kristus dan dijiwai oleh-Nya.
Sejarah kongregasi mengisahkan bahwa para suster pendahulu sungguh-
sungguh berpusat pada Kristus. Hal ini dapat secara jelas dilihat dalam perjalanan
menuju Dongen badai taufan menghadang, tetapi mereka tetap yakin dan berdoa
bahwa Tuhan pasti menyertai dan melindungi mereka. Penyelenggaraan Ilahi nyata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
dalam diri mereka pada saat itu. Hal lain dapat juga dilihat ketika memulai karya
perlayanan. Mereka sama sekali tidak memiliki apa-apa sebagai modal, mereka
semata-mata menggantungkan hidupnya pada Tuhan yang akan membantu mereka
dan akan menyelenggarakan semuanya dan memang Tuhan bertindak, semua
berjalan dengan baik. Tuhan mengutus banyak orang untuk membantu dan menolong
mereka.
Dari kenyataan ini, penulis berefleksi bahwa orang yang berpusat pada
Kristus adalah orang yang merendahkan diri; menempatkan diri lebih rendah
daripada orang lain. Model atau teladan semangat hidup ini adalah Yesus sendiri
yang selalu memusatkan diri pada Bapa-Nya, taat kepada Allah sampai mati di salib.
Hidup-Nya berpusat pada Allah yang mengutus-Nya. Penghayatan kedinaan,
perendahan diri dalam hidup para Suster Fransiskus Dina bersumber pada semangat
hidup Yesus sendiri yang memusatkan diri-Nya pada Allah, merendahkan diri dan
taat sampai mati di salib. Sumber spiritualitas kedinaan Suster Fransiskus Dina
ditemukan dalam diri Yesus sendiri.
C. Miskin
Tema tentang jalan kemiskinan Yesus dalam surat Filipi dapat dilihat dari
ayat ini "tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan" (Flp 2:7). Paulus menegaskan bahwa sekalipun Kristus serupa
dengan Allah dan karena itu berada dalam kebesaran dan kemuliaan Allah, Ia tidak
menganggap hal itu sebagai sesuatu (milik) yang harus dikuasai dan dipertahankan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Hal ini berarti bahwa Ia tidak menggunakan kemuliaan, kedudukan, kekayaan, dan
segala hak istimewa dan kemuliaan-Nya untuk kepentingan pribadi-Nya. Ia tidak
terus memeluk milik-Nya itu, melainkan melepaskan-Nya dengan pengosongan diri-
Nya. Demi ketaatan kepada Allah dan kasih-Nya kepada manusia, apa yang menjadi
milik-Nya tidak dipertahankan-Nya, melainkan dilepaskan dengan sukarela, bahkan
juga dengan menerima penderitaan, kesalahpahaman, perlakuan buruk, kebencian,
dan kematian di salib yang terkutuk.
Ungkapan kemiskinan Yesus dalam Filipi juga dapat dilihat saat Ia memilih
menjadi yang paling rendah, yaitu mengambil rupa seorang hamba/budak. Hamba
pada dasarnya tidak memiliki hidup dan kemerdekaannya sendiri karena seluruh
hidupnya adalah milik tuannya. Pada umumnya, hamba/budak dipandang sebagai
manusia yang paling rendah kedudukannya, yang harus taat dan setia pada tuannya
sebab hak hidupnya sepenuhnya berada di tangan tuannya. Yesus yang mengambil
rupa hamba menujukkan ungkapan perendahan diri yang tidak tanggung-tanggung.
Ia merendahkan diri serendah-rendahnya dalam kemiskinan manusia. Jalan
kemiskinan itu ditempuh-Nya dalam ketaatan dan kesetiaan-Nya kepada Allah.
Menjadi seorang hamba berarti menjadi seorang pelayan dan pola hidup
Yesus adalah pola hidup pelayanan. “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani,
tetapi untuk melayani” (Mat 20:28). Dalam khasanah hidup Romawi, menjadi hamba
bukanlah posisi sosial yang dicari. Dalam kultur masyarakat yang mementingkan
hormat dan prestise, tidak seorang pun memilih hidup miskin sebagai hamba orang
lain. Justru bagi jemaat yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang menginginkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
gelar kehormatan, kedudukan tinggi, nama besar tersebut, Paulus mensehati jemaat
Filipi supaya meneladan Yesus yang merendahkan diri tanpa batas dalam kemiskinan
hidup manusiawi dengan melepaskan hormat dan kemuliaan keilahian-Nya.
Yesus menjadikan diri-Nya sama dengan manusia. Selama Ia hidup dan
bekerja di dunia ini, Ia menjadi sama dengan manusia-manusia yang lain. Menjadi
manusia bukanlah ancaman bagi diri-Nya dan kesetaraan-Nya dengan Allah bukan
pula sesuatu yang harus dipegang erat-erat. Pilihan ini mengungkapkan perendahan
diri Yesus yang berbanding terbalik dengan cara pikir dan cara hidup orang-orang
Filipi yang menyombongkan prestasi dan status. Mereka bukan saja memiliki
keinginan untuk mempertahankan segala sesuatu yang mereka miliki tetapi juga
ingin mendapatkan apa yang belum mereka miliki.
Yesus merendahkan diri menjadi sama dengan manusia, supaya Dia bisa
menjangkau dan merangkul semua umat, sehingga semua manusia memperoleh
keselamatan. Dengan merendahkan diri menjadi manusia, Yesus menolong dan
memulihkan hubungan manusia dengan Allah yang rusak karena dosa.
Perendahan diri dalam kemiskinan manusia ini dilakukan Yesus atas
kemauan-Nya sendiri, tanpa paksaan. Dengan sukarela Ia memilihnya. Ia
meninggalkan segenap kekayaan surgawi untuk menerima kemelaratan manusia (II
Kor 8:9). Ia turut merasakan apa yang dirasakan manusia mulai Ia lahir dari rahim
seorang wanita sampai wafat-Nya di salib. Dengan kata lain, perendahan diri dalam
kemiskinan adalah pilihan bebas Yesus dan apa yang dipilih-Nya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
dipertanggungjawabkan-Nya. Ia telah memilih untuk mengambil rupa hamba
sehingga Ia pun dipandang hina dan tak bernilai oleh dunia.
Kemiskinan yang dipilih oleh Yesus juga menjadi dasar jalan hidup dina
dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Kemiskinan itu dipraktekkan dalam
kesadaran untuk selalu memandang dan mengakui diri sebagai yang terbatas, rapuh
dan kecil sehingga dengan demikian akan mengandalkan Allah. Kemiskinan berarti
menyadari bahwa Allah adalah pemilik atas hidup dan kehidupan. Segala sesuatu
adalah semata-mata anugerah dari Allah. Segala sesuatu yang baik adalah pekerjaan
Allah. Jadi, tidak ada alasan untuk sombong dan bangga atas keberhasilan diri sendiri
dan atas pujian orang lain. Maka “Berbahagialah hamba yang menyerahkan kembali
semua yang baik kepada Tuhan Allah; sebab siapa menahan sesuatu bagi diri sendiri,
ia menyembunyikan uang Tuhan Allahnya di dalam dirinya maka apa yang
sangkanya dimilikinya akan diambil darinya (Pth 18). Kemiskinan adalah
mengembalikan dengan kehendak bebas kekayaan kepada Pemilik yang
sesungguhnya. Manusia tidak lain hanyalah seorang pengemis di hadapan Allah.
Dengan meneladan Yesus yang miskin, Suster SFD dengan sukacita turut
menanggung penghinaan dan perendahan dunia sekitar, siap dipermalukan dan
ditolak dengan tetap menerimanya dengan rendah hati dan sabar, bukan untuk
mencari belas kasihan dari orang lain atau mencari jalan untuk bersedih melainkan
untuk mengalami kegembiraan sejati dan sukacita Ilahi. Pada dasarnya kemiskinan
erat hubungannya dengan kedinaan. Maka sebenarnya perendahan diri di dalam
kemiskinan sebagaimana dipilih oleh Yesus sudah sangat banyak didalami dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina dalam semangat hidup dina. Semangat
hidup dina lahir dari keterpesonaan Santo Fransiskus pada kemiskinan Yesus Kristus
dan hal yang sama juga dialami oleh para suster pendiri ketika mereka sungguh
mengagumi kemiskinan Yesus sehingga ingin memeluk kemiskinan Yesus sebagai
cara hidup mereka.
Kemiskinan dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina diwujudkan
dengan sikap sederhana, rendah hati, jujur, tidak pongah atas keutamaan besar atau
usaha dan upaya luhur, rela menjadi hamba, siap ditegur, taat dengan penuh hormat
dan mengakui kesalahan dengan rendah hati serta melakukan pertobatan dengan
senang hati. Kemiskinan ditandai dengan sikap lepas bebas yakni melepaskan segala
sesuatu yang bersifat duniawi. Sikap lepas bebas bukan berarti merasa kehilangan,
tetapi dengan melepaskan hal-hal duniawi, orang akan memperoleh kehidupan sejati
yang berasal dari-Nya. Misalnya dalam tugas perutusan, seorang suster tidak
diperkenankan melekat pada tugasnya apabila sudah diberi penugasan baru oleh
pemimpin. Dia harus meletakkan jabatannya dengan rendah hati sekalipun tugas itu
sangat dia senangi.
Buah dari perendahan diri Yesus ialah bahwa Allah mengaruniakan kepada-
Nya nama yang mengatasi segala nama, Allah sangat meninggikan Dia. Demikian
juga halnya dalam keyakinan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Kemiskinan
merupakan pilihan bebas yang memberi jaminan akan kekayaan surgawi.
Kemiskinan menghantar manusia ke negeri orang-orang hidup, tanah air surgawi.
Mereka akan menjadi ahli waris kerajaan Allah. Demikianlah kemiskinan Yesus dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
kemiskinan yang dihayati dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina
merupakan ungkapan kesadaran bahwa manusia itu hanyalah seorang hamba yang
harus mentaati kehendak Allah dan melayani Dia.
D. Hidup dalam Kesatuan
Paulus dalam suratnya, mengingat jemaat di Filipi dengan penuh sukacita.
Paulus merasakan kedekatan batin dengan jemaat sehingga ia mengatakan dengan
jujur apa yang ada di hatinya, bahwa dia hanya menginginkan yang terbaik bagi
jemaat. Paulus mengetahui beberapa konflik yang mengakibatkan perpecahan di
tengah-tengah jemaat (Flp 2:4). Karena itu, ia memberikan seruan atau nasihatnya
agar mereka hidup dalam kesatuan. Satu hal ia minta: “sempurnakanlah sukacitaku
dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan”
(Flp 2:2). Paulus menghendaki adanya kesatuan antara jemaat yang pada saat itu
berada di ambang perpecahan.
Kesatuan tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diusahakan
bersama. Paulus menyebutkan beberapa perilaku yang dapat mengganggu atau
menghalangi kesatuan, seperti mencari kepentingan sendiri, mencari puji-pujian
yang sia-sia (menyombongkan diri), dan hanya memperhatikan kepentingan sendiri.
Ia mengingatkan jemaat untuk tidak ambil bagian di dalam perilaku yang negatif itu.
Sebaliknya, jemaat dinasihati untuk rendah hati, untuk menganggap yang lain lebih
utama daripada dirinya sendiri. Kerendahan hati yang ditekankan Paulus dalam Filipi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
2:1-11 yaitu menganggap orang lain lebih utama. Dengan mengutamakan orang lain
dan mendahulukan kebutuhan sesama, orang membangun persekutuan. Paulus
mengatakan bahwa setiap anggota adalah anugerah Allah, jadi semua harus dihargai,
dihormati dan diperhitungkan. Inilah bentuk kerendahan hati yang ditekankan Paulus
dan kerendahan hati ini jugalah yang menjadi kekuatan komunitas jemaat Filipi.
Paulus mengatakan bahwa semua anggota jemaat sama di hadapan Tuhan.
Maka semua berhak mendapat pelayanan dan rasa hormat dari anggota yang lain,
bukan karena status sosial dan prestasinya, tetapi berdasarkan karunia yang ia terima
dari Kristus. Paulus melarang jemaat bersikap egois sebab sudah selayaknya mereka
menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus yakni perendahan diri.
Mereka harus menganggap orang lain lebih utama daripada diri sendiri dan hal ini
hendaknya dilakukan bukan karena paksaan, namun karena kesadaran untuk
memenuhi tanggung-jawab dalam relasi dengan yang lain.
Paulus dengan tegas mengajarkan jemaat Filipi tentang cara bersatu, yakni
dengan meninggalkan keegoisan dan keinginan untuk menonjolkan diri serta
menyingkirkan ambisi-ambisi yang menimbulkan persaingan karena persaingan akan
menimbulkan perpecahan. Kalau seseorang menginginkan persatuan, pastilah dia
akan berusaha mendekatkan diri pada sesamanya, dan menganggap dia saudara
bukan saingan apalagi musuh. Dia akan menghormati serta menganggap sesamanya
lebih utama daripada dirinya sendiri.
Paulus juga menasehati jemaat di Filipi, bahwa untuk menjaga kesatuan
mereka perlu meneladan Yesus yang merendahkan diri. Yesus yang adalah Putera
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Allah tidak menganggap kesetaraan-Nya itu sebagai milik yang harus dipertahankan.
Hal ini mau mengatakan bahwa Yesus itu tidak sombong sebagai Putera Allah, Ia
tidak merasa hebat sekalipun pada dasarnya Ia memang luhur dan Mahakuasa. Yesus
telah mengosongkan diri dan mengambil rupa hamba. Ayat ini mau menjelaskan
bahwa Yesus itu memiliki semangat untuk memberi bukan saja untuk menerima. Ia
mau melayani sebagai seorang hamba yang rendah dan memberikan apa yang Ia
miliki demi kebaikan sesama. Dengan menjadi sama dengan manusia, Ia berempati
terhadap manusia, tidak lekas menghakimi atau menuduh tetapi berusaha
menempatkan diri pada posisi orang lain untuk mengerti dan memahami.
Nasehat untuk bertekun dalam persekutuan, sehati dan sepikir dengan orang
lain ini diberikan Paulus kepada jemaat Filipi agar hati mereka tergugah dan agar
mereka menjadikan Yesus sebagai inspirasi bagi mereka dalam menjaga kesatuan
jemaat. Paulus berharap apa yang diteladankan Yesus diikuti oleh jemaat Filipi.
Mereka mau berbuat apa yang diperbuat Yesus yaitu merendahkan diri, sebab inilah
kunci agar terjalin kesatuan antara jemaat. Kesatuan merupakan kekuatan bagi
jemaat, dan kesatuan akan tercipta apabila setiap anggota sungguh-sungguh mau
membuka diri untuk meneladani Yesus.
Hidup dalam kesatuan dimengerti sebagai salah satu dimensi hidup religius
dalam Gereja. Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina meyakini bahwa cinta kasih
merupakan dasar dan penopang persekutuan persaudaraan. Roh Kudus menjadi
kekuatan yang mempersatukan dan membentuk persekutuan. Dalam perjalanan
sejarah kongregasi, para suster pendahulu merasakan gerakan (dorongan) Roh yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
mempersatukan mereka, dan dorongan itu begitu kuat sehingga mereka tidak
sanggup menolaknya. Meskipun biara-biara sudah dibubarkan tapi kerinduan untuk
berkumpul dan bersatu senantiasa menggelora di hati mereka.
Cara hidup jemaat perdana yang sehati sejiwa, berbagi kasih dengan sesama
dan semua mendapat pelayanan dengan penuh kasih menjadi inspirasi dalam
persaudaraan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Belajar dari jemaat perdana,
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina yang beraneka ragam suku, budaya dan
latar belakang, hidup dalam ikatan cinta kasih satu sama lain saling mengasihi dan
saling melayani.
Dalam persaudaraan Suster-suster SFD mengasihi sesama berarti
mengutamakan dan meninggikannya serta rela berbagi rahmat dengan sesama, murah
hati dalam memberi bantuan, baik berupa perhatian, tenaga dan bantuan yang lain
yang dibutuhkan sesama. Cinta kasih itu diwujudkan dengan kesediaan menerima
kelebihan dan kekurangan sesama, memaafkan dan tidak memperhitungkan
kesalahannya, tidak cemburu dan turut bahagia atas keberhasilan sesama serta rela
menanggung kesukaran dan tantangan yang dijumpai dalam hidup dengan penuh
kegembiraan tanpa mempersalahkan situasi maupun orang lain.
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina lebih akrab dengan kata
persaudaran. Persaudaraan yang dihayati dalam kongregasi adalah persaudaraan yang
berkeyakinan bahwa semua mahluk adalah ciptaan Tuhan, maka Allah pencipta
sebagai Bapa dan semua mahluk adalah saudara. Karena semua mahluk adalah
saudara, semua manusia setara, dan sebagaimana Bapa mencintai dan meninggikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
manusia demikian juga manusia harus mencintai dan meninggikan saudaranya.
Sebagai saudara dina, setiap angota harus menjadi pribadi pembawa damai. Apabila
setiap anggota menjadi pembawa damai dan selalu mengusahakan kedamaian,
kesatuan dan kesejahteraan dalam persaudaraanpun akan terjalin dengan sendirinya.
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina meyakini bahwa persekutuan atau
persaudaraan di komunitas akan membangkitkan rasa saling cinta antara satu dengan
yang lainnya, serta mengembangkan kegembiraan jiwa. Kebersamaan terbangun
melalui doa bersama, makan bersama, kapitel komunitas, rekreasi komunitas serta
kegiatan lain yang dilaksanakan bersama. Maka hidup dalam kesatuan yang dihayati
oleh jemaat Filipi dan yang dihayati oleh Suster-suster SFD mempunyai perwujudan
yang sama. Namun demikian keadaan jemaat di Filipi menjadi inspirasi bagi
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Kenyataan bahwa Kongregasi Suster-
suster Fransiskus Dina terdiri dari beragam suku dan budaya yang berbeda satu
dengan yang lain memungkinkan adanya perpecahan.
Dalam sejarah kongregasi diceritakan bahwa pada misionaris pertama yang
datang ke Indonesia membagi Kongregasi Suster-suster Fransiskus dina menjadi dua
regio. Regio Sumatera dan Regio Jawa-Kalimantan. Setiap regio memberi
pertanggungjawaban langsung kepada pimpinan yang ada di Belanda, sehingga
kurang adanya rasa persaudaraan sebagai satu kongregasi. Pada tanggal 17 April
2007 Vatikan menyatakan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina sebagai
Kongregasi mandiri Indonesia. Penulis merasa memang bukan hal yang mudah
menyikapi hal ini, dimana setiap regio kerap kali hanya memperhatikan kebutuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
regionya saja padahal sebenarnya Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina sudah
menjadi satu.
Paulus mengatakan bahwa untuk mengatasi perpecahan diperlukan sikap
rendah hati dan tidak egois. Hal ini bisa menjadi inspirasi dalam Kongregasi Suster-
suster Fransiskus Dina. Rendah hati mengakui bahwa yang lain saudariku meski
persaudaraan sebagai satu kongregasi dirasakan sesudah pesta perak atau bahkan
sesudah lansia.
Sikap yang kedua yang ditekankan Paulus dalam mengantisipasi adanya
perpecahan adalah tidak egois, hanya mementingkan kepentingan kelompok saja.
Sebagai anggota dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina perlu berpikir
secara global yaitu SFD Indonesia, bukan hanya kepentingan regio atau pulaunya
saja tetapi saling memberi diri, memberi masukan demi perkembangan Kongregasi
Fransiskus Dina. Hal praktis yang kerap kali terjadi adalah sulit dimutasi ke pulau
lain, karena merasa asing. Hal ini mengindikasikan bahwa masih adanya sikap egois,
hanya memperhatikan kebutuhan kelompoknya saja.
Paulus memberikan nasehat supaya jemaat memikirkankan hal yang sama,
memiliki kasih yang sama, menjadi satu di dalam jiwa/perasaan dan pemikiran.
Memikirkan hal yang sama itu berarti jemaat diminta mempunyai cara pandang yang
sama dalam menghadapi berbagai persoalan sedangkan memiliki kasih yang sama itu
artinya jemaat didorong untuk menerapkan kasih satu sama lain seperti kasih yang
mereka terima dan alami sendiri dari Allah. Sementara menjadi satu dalam
jiwa/perasaan dan pemikiran berarti jemaat untuk ada dalam kesatuan di segala hal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Dan apabila kesatuan ini sungguh tercipta maka sukacita Paulus menjadi sempurna.
Jadi kesatuan yang dimaksudkan Paulus bukanlah kesamaan dalam segala hal,
melainkan dalam cara pandang, kasih dan pemikiran tentang kepentinganku dan
kepentingan yang lain, yang perlu diperhatikan juga.
Kesatuan akan tercipta apabila jemaat menyadari bahwa persekutuan jemaat
adalah persekutuan yang diciptakan oleh Roh Kudus dimana Roh yang memimpin
dan berpartisipasi dalam setiap anggota. Hal ini sejalan bahwa dalam persaudaraan
atau persekutuan Suster-suster Fransiskus Dina diyakini bahwa yang menjadi
kharisma kongregasi adalah Roh pemersatu yaitu Roh kudus sendiri yang menjadi
kekuatan yang mempersatukan dan membentuk keutuhan hidup dalam persaudaraan
sebagaimana para pendiri Kongregasi digerakkan oleh Roh yang sama untuk
membangun persekutuan atau persaudaraan ini.
Persekutuan Roh yang dimaksudkan Paulus juga berarti berbagi sesuatu atau
berpartisipasi bersama dengan orang lain dalam suasana persahabatan. Dalam
persaudaraan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina, kedinaan dihayati lewat
saling mendengarkan dan memberitahukan apa yang dibutuhkannya, saling melayani
dengan rendah hati dalam ketaatan timbal balik serta membagikan apa yang dipunyai
kepada orang miskin dan yang berkekurangan. Lebih tajam lagi Fransiskus
mengatakan bahwa setiap saudari adalah hadiah dari Allah sendiri. Roh Tuhan yang
menghantar dan mendorong setiap saudari untuk datang dan bergabung dalam
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Maka dari itu Kongregasi Suster-suster
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Fransiskus Dina juga merupakan persekutuan Roh karena Roh Allah sungguh-
sungguh berkarya dalam kongregasi.
E. Tanggungjawab
Ketaatan Yesus kepada Allah dalam perendahan diri-Nya membawa
konsekuensi kematian, bukan sebuah kematian biasa, melainkan kematian di kayu
salib dalam kehinaan. Melalui perendahan diri-Nya, Yesus dipanggil untuk
bertanggung jawab atas kehidupan manusia. Yesus melakukannya tanpa menuntut
balas atau untuk mendapatkan kehormatan. Ketaatan-Nya kepada Bapa
mendatangkan keselamatan bagi mereka yang mengimani-Nya dan meneladan
hidup-Nya. Berpola pada perendahan diri Yesus itu, Paulus menasihati jemaat Filipi
supaya meneladani Yesus dengan memberi perhatian pada sesama dan tidak mencari
keuntungan sendiri. Perendahan diri Yesus dimaknai jemaat Filipi sebagai bentuk
kepedulian dan penerimaan bagi sesama. Hal ini bisa terwujud dalam bentuk
tanggung jawab terhadap yang lain, kerelaan untuk melepaskan egoisme demi
kepentingan bersama. Jadi perendahan diri Yesus merupakan sikap melepaskan,
membatasi atau menciutkan diri memberi diri menjadi sesama bagi yang lain demi
kebaikan yang lain (sesama).
Mempertahankan apa yang menjadi hak milik adalah sesuatu yang alamiah
dilakukan oleh manusia. Sekuat tenaga dan segala usaha pasti dilakukan untuk
mempertahankannya. Tidak jarang manusia menjadi lekat pada apa yang dimilikinya.
Akibatnya adalah manusia menjelma menjadi mahluk yang egois yang hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
memperhatikan kepentingannya sendiri dan tidak peduli dengan kepentingan
sesamanya. Situasi seperti inilah yang terjadi di kalangan jemaat Filipi pada saat itu.
Maka Paulus menjadikan Yesus sebagai teladan bagi jemaat Filipi. Paulus
mengatakan bahwa dalam menjalankan ketaatan-Nya kepada Bapa Yesus
melepaskan apa yang semula menjadi milik-Nya yakni kesetaraan dengan Allah.
Jemaat Filipi diajak untuk juga menjadi rela melepaskan apa yang menjadi haknya,
dan memberi ruang kepada yang lain. Demi kepentingan orang lain, apa yang
menjadi milik pribadi tidak dipertahankan, melainkan dilepaskan demi kebahagiaan
sesama.
Panggilan untuk bertanggungjawab membuat seseorang bukan lagi tuan atas
orang lain, sebaliknya, orang lain justru menjadi tuan bagi dirinya. Tanggungjawab
diwujudkan dengan melayani tuan (sesama). Yesus telah menghayati ini terlebih
dahulu ketika Ia memilih untuk merendahkan diri. Ketika seseorang mengatakan
bertanggungjawab terhadap yang lain, dia tidak bersikap acuh tak acuh. Apa yang
menjadi beban sesama menjadi bebannya juga dan bahkan dia mengambil
tanggungjawab atas kegagalan sesamanya. Itulah yang dilakukan Yesus
bertanggungjawab atas kegagalan manusia hidup dalam ketaatan kepada Allah
sampai Ia wafat di kayu salib.
Yesus merendahkan diri, melepaskan segala hak-Nya (kesetaraan dengan
Allah) sekaligus memurnikan diri-Nya karena Ia tidak lagi berpusat pada diri-Nya,
sebaliknya Ia menjadi pribadi yang bertanggungjawab bagi yang lain. Ia mengambil
tanggung jawab atas keselamatan bagi semua orang. Paulus juga menasehati jemaat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Filipi untuk bertanggungjawab terhadap sesamanya (orang lain), sebab orang yang
mengambil tanggungjawab bagi yang lain tidak lagi mengejar kepentingan pribadi,
melainkan memurnikan diri sehingga tidak lagi menjadikan diri sebagai pusat segala
sesuatu, sebaliknya akan menyadari diri sebagai pribadi yang bertanggungjawab
terhadap sesama (orang lain).
Mengambil tanggungjawab atas keselamatan/kesejahteraan orang lain juga
dihayati dalam Kongregasi SFD. Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina meyakini
bahwa kehidupan yang berlimpah perlu dijaga dan dibagikan pula kepada sesama,
sebab Allah menghendaki agar masing-masing orang menjadi saluran rahmat bagi
orang lain. Sebagaimana Yesus berkorban demi kebahagiaan manusia, demikian juga
para suster SFD rela berkorban menjadi perpanjangan tangan Tuhan memberi
kebahagiaan sesamanya. Setiap suster SFD dipanggil-Nya untuk bertanggungjawab
mengalirkan rahmat kepada orang lain melalui pelayanan yang ditugaskan
kepadanya.
Karya pelayanan Kongregasi merupakan ungkapan tanggungjawab terhadap
sesama. Dalam pelayanannya, Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina perlu
belajar dari ketaatan Yesus yang mendatang keselamatan bagi dunia. Karya
pelayanan yang dikelola oleh Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina hendaknya
mendatangkan keselamatan bagi mereka yang dilayani setiap harinya. Dengan kata
lain, karya pelayanan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina membantu dan
menuntun orang menemukan kehendak Tuhan dalam dirinya, sehingga dengan
demikian mereka semakin dekat dengan Tuhan dan merasakan sukacita yang berasal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
dari-Nya. Untuk itu Suster-suster Fransiskus Dina perlu menanamkan dan
mempraktekkan tanggungjawab terhadap sesama atau orang yang dilayani bukan
karena paksaan tapi karena kesadaran dari hati sebagai orang yang dipanggil dan
turut bertanggungjawab demi keselamatan orang lain.
Semangat para suster pendiri yakni rajin dan giat mendorong para suster SFD
untuk setia membenahi diri dan bertanggungjawab dalam tugas pelayanan sehari-
hari. Semua ini dihayati berdasarkan semangat cinta kasih kepada Allah dan sesama
tanpa ada unsur keterpaksaan. Semangat rajin dan giat dalam pelayanan berarti
melaksanakan tugas dengan tanggungjawab dan gembira dengan penuh ketulusan.
Tujuan pelayanan dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina adalah
untuk menyalurkan kasih, dan sikap pelayanan SFD bersumber pada sikap pelayanan
Yesus sendiri yaitu melayani dengan cinta kasih. Dengan hidup dalam kerendahan
hati di hadapan Tuhan dan menyadari bahwa segala kemampuan dan keberhasilan
dalam pelayanan adalah pekerjaan Allah sendiri, suster-suster SFD dipanggil untuk
melayani dengan mendahulukan yang lemah, miskin dan tersingkir tanpa
mengharapkan imbalan. Pelayanan terhadap orang kecil menjadi sarana perjumpaan
dengan Allah sendiri, sehingga dengan demikian pelayanan dihayati sebagai
pengabdian kepada Allah dan karenanya dipanggil untuk bekerjasama dengan-Nya
bertanggungjawab menyelamatkan manusia.
Dalam karya pelayanan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina, yang
paling penting adalah keselamatan orang-orang yang dilayani, sebab Kongregasi
Suster-suster Fransiskus Dina memaknai pelayanan sebagai sarana perpanjangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
tangan Tuhan dalam melayani dan mencintai sesama yang sungguh membutuhkan
perhatian dan cinta sehingga harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan
sukacita. Jadi, tanggungjawab terhadap sesama merupakan point penting yang perlu
ditekankan dalam hati setiap suster.
F Refeksi Kateketis
Selama kurang lebih 12 tahun penulis bergabung dalam persaudaraan Suster-
suster Fransiskus Dina, penulis merasa penghayatan spritualitas kedinaan sudah
dihidupi dengan baik, hanya saja masih ada beberapa pokok yang harus ditambahkan
supaya penghayatan kedinaan ini menjadi lebih kaya. Kedinaan dalam kongregasi
Suster-suster Fransiskus Dina dipahami bahwa segalanya adalah milik Allah dan
semua yang ada pada manusia hanyalah anugerah semata. Di dalam penghayatan
hidup dan pelayanan sehari-hari, ternyata kedinaan tidak mudah dipraktekkan. Pada
kenyataannya ada suster yang dengan cukup mudah dapat menghayati kedinaan dan
ada juga suster yang menghayati kedinaan dengan penuh perjuangan, jatuh bangun
dan biasanya mereka menjadi pribadi sulit dalam kongregasi.
Menurut penulis, nilai kedinaan yang sudah dihayati dalam Kongregasi Suster-
suster Fransiskus Dina yang paling menonjol adalah nilai persaudaraan. Kongregasi
SFD menjunjung tinggi nilai persaudaran, semua saudara dan sama di hadapan
Tuhan. Kongregasi SFD tidak mengenal adanya senioritas. Pembagian tugas dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
karya pelayanan berbeda-beda ada yang menjadi kepala sekolah, ketua yayasan, guru
biasa dan ada yang mengurus bagian rumah tangga. Namun ketika para suster ada
dalam komunitas, semua suster mendapat hak dan kewajiban yang sama, misalnya
saja ketika hari minggu karyawan libur maka setiap suster mendapat giliran masak
sekalipun dia seorang ketua yayasan atau kepala sekolah dan bahkan pimpinan
umum sekalipun harus taat dengan aturan komunitas yang disepakati bersama.
Menurut penulis nilai kedinaan yang belum dihayati dalam kongregasi SFD
adalah sikap lepas bebas. Kerap kali ada suster yang meninggalkan persaudaraan
karena tidak memiliki sikap lepas bebas. Selama penulisan skripsi ini, penulis tinggal
di komunitas provinsialat, membantu di bagian sekretariat, jadi sedikit banyaknya
persoalan dalam kongregasi penulis tahu. Ketika seorang suster mengundurkan diri
dari persaudaraan, alasan yang paling sering muncul adalah karena keterikatan pada
keluarga, persahabatan, jabatan dan barang-barang duniawi. Mereka mengatakan
ingin membantu keluarga, tidak tega melihat keluarga yang hidup sederhana padahal
di dalam biara dia hidup serba berkecukupan. Terkadang juga ada yang mengatakan
bahwa dia merasa tidak bahagia dalam panggilan, karena sudah terikat dalam
persahabatan dengan seseorang. Sering juga seorang suster yang dimutasi menjadi
tersinggung karena menganggap semua kerja kerasnya tidak diperhitungkan
pimpinan, dan di tempat yang baru masih belum maju, tidak ada signal dan lain
sebagainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Penulis merasa permasalahan ini muncul karena para suster SFD belum
memiliki sikap lepas bebas secara sempurna. Maka sangatlah tepat bahwa
perendahan diri Yesus sebagaimana ditampilkan oleh Paulus di Flp 2:1-11 ini digali
maknanya untuk memperkaya refleksi tentang semangat kedinaan sehingga Yesus
yang merendahkan diri menjadi teladan bagi para suster SFD dalam mewujudkan
semangat kedinaan dengan membangun persaudaraan yang semakin kokoh dan
semakin menghayati sikap lepas bebas. Yesus melepaskan hak ilahi-Nya sebagai
Putera Allah, tidak merasa bahwa status ilahi yang mulia itu menjadi sesuatu yang
harus dipertahankan. Penulis berpikir seandainya para suster SFD dapat memaknai
perendahan diri Yesus ini, keprihatinan-keprihatinan di atas bisa diminimalisir. Para
suster akan lebih dewasa dan matang dalam memaknai pergulatan hidup mereka.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari ketika berhadapan dengan situasi yang tidak
mudah, para suster SFD kadang menjadi kurang bersemangat dalam menghayati
spritualitas kedinaan. Di lain pihak, kongregasi menekankan bahwa setiap suster
hendaknya tidak banyak menuntut dan terus memiliki daya juang yang tangguh
menghadapi setiap permasalahan. Penulis ingin memperkaya dan memperdalam
penekanan Kongregasi ini dengan menggali makna ketaatan Yesus kepada Bapa,
ketaatan yang membuat Dia berani keluar dari zona nyaman sebagai Putera Allah
yang Mahakuasa pemilik segala-galanya. Ketaatan yang sama semestinya menjadi
dasar yang menjiwai setiap sikap batin setiap suster SFD dalam melaksanakan karya
pelayanan agar Kongregasi dan para Suster SFD lebih berani dan mantap mengambil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
langkah-langkah inovatif dalam pelayanan terhadap sesama yang dilandasi dengan
ketaatan total kepada Allah.
Penghayatan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina dalam berpusat pada
Kristus lebih menekankan pada hidup doa dan keheningan. Memang dalam doa dan
keheningan seorang suster bisa bersatu dengan Tuhan. Namun lebih daripada itu,
sebagaimana ditekankan oleh Paulus dalam suratnya, keberpusatan pada Kristus
terwujud dengan menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Dia
(Kristus). Dalam konteks situasi jemaat Filipi saat itu, Paulus mau menekankan
perhatian yang lebih besar kepada sesama sebagimana Yesus juga meneladankannya.
Maka keberpusatan pada Kristus ini bisa lebih dikembangkan dalam pelayanan yaitu
memperhatikan dan mengutamakan kebahagiaan sesama, keselamatan mereka yang
dilayani. Dengan kata lain, keberpusatan pada Kristus diwujudkan dalam pilihan
keberpihakan pada mereka yang miskin, lemah, dan menderita yang dalam tradisi
biblis dimengerti sebagai kehadiran nyata Yesus pada masa ini.
Hal yang paling relevan antara situasi jemaat Filipi dan situasi Kongregasi
Suster-suster Fransiskus Dina ini adalah menjaga supaya tidak terjadi perpecahan di
dalam komunitas. Kekhawatiran Paulus akan perpecahan jemaat Filipi juga menjadi
kekhawatiran sekaligus tantangan dalam Kongregasi SFD karena latar belakang
kongregasi yang sudah diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka solusi yang diberikan
Paulus bisa menjadi inspirasi bagi Suster-suster SFD yaitu menjaga kesatuan dengan
memiliki kesatuan hati, pikiran, jiwa dan tujuan. Orang yang memikirkan kesatuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
tidak bersikap egois dan sombong, melainkan memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan orang lain. Persis inilah yang diteladankan Yesus terlebih dahulu. Untuk
mengantisipasi perpecahan di dalam komunitas, Suster-suster Fransiskus Dina
hendaknya terus-menerus memandang Kristus yang merendahkan diri serendah-
rendahnya.
Perendahan diri Yesus ditujukan untuk kebahagiaan orang lain, keselamatan
manusia. Yesus memaknai semua itu sebagai sebuah tanggungjawab. Hal ini yang
kurang digali dalam kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Pelayanan dimaknai
dalam konteks pengabdian pada Tuhan, rasa tanggungjawab terhadap sesama kurang
disadari. Maka perendahan diri Yesus menjadi sarana yang menyadarkan para Suster
SFD untuk menanamkan rasa tanggungjawab terhadap sesama. Dengan menyadari
tanggungjawab itu, para Suster akan semakin rela menanggung penghinaan dunia
sebagaimana yang telah diteladankan oleh Yesus Kristus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
BAB V
PENUTUP
Pada bab V ini, penulis merangkum pokok-pokok gagasan penting yang
dibahas dalam skripsi ini dan menarik beberapa kesimpulan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan pokok yang muncul di awal penulisan skripsi ini.
Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini dirumuskan di Bab I sebagai berikut:
Apa makna perendahan diri Yesus dalam Filipi 2? Apa wujud konkret penghayatan
semangat perendahan diri dalam pelayanan Suster-suster SFD? Apa refleksi dan
usulan-usulan yang bisa ditawarkan para suster SFD untuk semakin menjadikan
perendahan diri Yesus sebagai landasan spiritualitas pelayanan mereka? Dari
kesimpulan yang diperoleh melalui perbandingan antara perendahan diri Yesus (Bab
II) dan kedinaan (Bab III) yang disintesekan di Bab IV, penulis memberikan
beberapa pendapat/saran yang kiranya membantu para Suster Fransiskus Dina (SFD)
untuk lebih memaknai perendahan diri Yesus dalam semangat kedinaan yang
menjadi landasan pelayanan dalam kongregasi.
A. Kesimpulan
Dari uraian mengenai perendahan diri Yesus dan kedinaan serta analisa point-
point refleksi di atas, dapatlah disimpulkan pembahasan dalam keseluruhan skripsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
ini. Perendahan diri Yesus dalam Filipi 2:1-11 menampilkan beberapa unsur yang
sejajar dengan kedinaan yang dihayati dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus
Dina. Perendahan diri Yesus dalam Filipi 2:1-11 membantu pendalaman refleksi
tentang kedinaan dalam spiritualitas pelayanan para suster SFD terutama dalam hal
ketaatan kepada Allah, berpusat pada Kristus, hidup miskin, hidup dalam kesatuan,
tanggung jawab pada sesama dalam refleksi kedinaan SFD sehingga penulis merasa
penting untuk mengenalinya guna memperkaya sikap dan praktek kedinaan yang
sudah dibangun oleh para Suster SFD.
Yesus adalah Putera Allah yang merendahkan diri dalam ketaatan yang
sempurna. Ketaatan tersebut memampukan Dia untuk merendahkan diri sampai pada
titik yang paling rendah dalam hidup manusia yaitu menjadi hamba atau budak.
Ketika perendahan diri itu membawa-Nya pada jalan salib yang adalah jalan
kematian paling keji pun, Dia taat sampai mati. Ia berkuasa dan memiliki segala-
galanya, tetapi Ia memilih merendahkan diri dalam ketaatan pada kehendak Bapa.
Ketaatan yang dihayati oleh para Suster SFD ditujukan kepada Allah melalui
kaul-kaul religius. Ketaatan diungkapkan dalam kesiapsediaan dan dalam
keterbukaan untuk mendengarkan suara Tuhan. Ketaatan kepada Allah diwujudkan
dalam kaul ketaatan yang memampukan para Suster SFD untuk menyerahkan
seluruh kehendak dan kebebasannya pada kehendak Bapa melalui ketaatan penuh
pada pemimpin Kongregasi. Jadi dalam hal penghayatan kaul ketaatan ini, satu hal
yang terus diperjuangkan adalah menguatamakan kehendak Bapa dan kebaikan
sesama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Kedinaan yang dipilih oleh para Suster SFD mengungkapkan pilihan untuk
mengikuti Kristus dan merendahkan diri seperti Kristus. Maka kedinaan ini bersifat
kristosentris. Merendahkan diri seperti Yesus menjadi model dari kedinaan yang
dihayati oleh para Suster SFD. Perendahan diri Yesus bisa ditimba oleh para Suster
SFD lewat pendalaman teks Flp 2:1-11 yang dikenal sebagai kidung kenosis ini.
Yesus menjadi figur teladan. Ia menjadi sosok pribadi yang menginspirasi. Kedinaan
yang dihayati dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina bertujuan supaya para
Suster semakin serupa dengan Yesus, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat
dalam Kristus yang merendahkan diri.
Supaya menjadi serupa dengan Yesus, para suster SFD, seperti halnya jemaat
Filipi, harus banyak belajar dari Yesus, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat
juga dalam Kristus. Maka mereka perlu terus-menerus memandang Yesus Kristus,
menjadikannya sebagai model utama bagi mereka dan dengan demikian mereka
mampu melawan kecenderungan dunia (masyarakat) yang mengejar prestise dan
menyombongkan diri dengan segala status sosial dan prestasi yang diraih.
Sebagaimana Yesus yang merendahkan diri demi kebahagiaan manusia, para Suster
SFD juga harus meninggalkan egoisme dan kemudian memperhatikan sesama,
sehingga dengan demikian mereka menjadi semakin serupa dengan Yesus.
Kemiskinan Yesus diungkapkan dengan pilihan-Nya untuk mengambil rupa
hamba/budak. Budak adalah manusia dengan status sosial paling rendah. Tidak ada
pilihan lain baginya selain taat pada tuannya, sebab hidup dan kemerdekaannya
sepenuhnya berada di tangan tuannya. Jemaat Filipi dan juga para Suster SFD
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
diminta untuk menggantungkan hidupnya pada Allah saja. Allah yang menjadi tuan
mereka, Dialah pemilik segalanya dan para Suster SFD adalah hamba yang taat pada
tuannya. Kemiskinan menyadarkan mereka akan keterbatasan dan kerapuhan mereka
sehingga mereka akan mengandalkan Allah.
Persekutuan jemaat maupun persaudaraan dalam Kongregasi Suster-suster
SFD dibentuk atas nama Kristus dan Roh-Nya yang memimpin dan mempersatukan
mereka. Dalam persekutuan ataupun persaudaraan perlu adanya kesatuan hati,
pikiran dan jiwa, sebab dengan kesatuan hati dan pikiran serta jiwa membuat
persaudaraan terhindar dari perpecahan. Orang yang mempunyai kesatuan hati,
pikiran dan jiwa akan menganggap sesamanya sebagai saudara dan anugerah Allah,
sehingga dia akan memperlakukan sesamanya dengan baik, menghormati,
menghargai dan memperhitungkannya. Dia tidak egois dan sombong tetapi lebih
memperhatikan kesatuan dalam persaudaraan. Supaya orang memiliki kesatuan hati,
pikiran dan jiwa perlu meneladani Kristus yang merendahkan diri, melepaskan apa
yang Ia miliki demi kebaikan manusia, sebagaimana Yesus yang berempati terhadap
manusia.
Perendahan diri Yesus merupakan bentuk tanggungjawab-Nya dalam
menyelamatkan umat manusia. Melalui Perendahan diri-Nya, Yesus dipanggil untuk
bertanggung jawab atas kehidupan manusia. Yesus telah memberi teladan sebagai
pribadi yang bertanggungjawab dengan memilih untuk merendahkan diri. Panggilan
untuk bertanggungjawab membuat seseorang bukan lagi tuan atas sesamanya,
melainkan sebaliknya sesama justru menjadi tuan bagi dirinya. Ketika seseorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
mengatakan bertanggungjawab terhadap yang lain itu berarti dia tidak bersikap acuh
tak acuh, apa yang menjadi beban sesama menjadi bebannya juga dan bahkan dia
harus bertanggungjawab atas kesalahan sesamanya. Yesus rela menderita demi
menebus dosa dan kesalahan manusia. Dan bagi Suster-suster SFD, tanggungjawab
dihayati dalam karya pelayanan sebagai perpanjangan tangan Tuhan.
B. Saran
Lima point penting yang ditemukan penulis kiranya dapat memperkaya dan
memperdalam refleksi spritualitas kedinaan dalam kongregasi SFD maka melalui
skripsi ini penulis menawarkan saran untuk kongregasi SFD.
Ketaatatan Yesus pada Allah diwujudkan dalam hidup-Nya yang
mengutamakan kehendak Bapa Teladan yang diberikan Yesus ini memberi inspirasi
bagi para suster SFD untuk berani bertindak bijaksana, mengutamakan kehendak
Allah di atas segalanya.
Jemaat Filipi dinasehati Paulus untuk manaruh pikiran dan perasaan yang
sama dengan Yesus (berpusat pada Kristus). Demikian juga hendaknya penghayatan
kedinaan dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina sumbernya adalah pribadi
Yesus sendiri, sehingga berpusat pada Kristus tidak hanya ditemukan dalam doa
namun juga dalam melaksanakan pelayanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Kemiskinan yang dihayati Yesus maupun kemiskinan yang dihayati para
suster SFD mengalir dari kesadaran diri sebagai hamba yang harus taat dan setia
melayani tuannya yang dalam hal ini adalah Allah sendiri.
Kesatuan hati, budi dan pikiran dalam Kristus merupakan cara untuk
mengatasi perpecahan sebagaimana yang dialami oleh jemaat Filipi dan menjadi
inspirasi bagi kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina.
Perendahan diri Yesus maupun kedinaan bertujuan mewujudkan rasa
tanggungjawab terhadap sesama (orang lain), maka sebagaimana Yesus yang
merendahkan diri demi keselamatan manusia para suster SFD juga menghayati
kedinaan dengan melayani sesama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab Deuterokanonik. (2009). Alkitab, Jakarta : LAI
Abineno, J.L.Ch. (1989) Tafsir Alkitab surat Filipi, PT BPK Gunung Mulia.
Jakarta
Achtemeier, P. (2001). Introducting the New Testament – Its Literature and
Theology, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids
Baxter, Sidlow. (2002). Menggali Isi Kitab Suci; Roma sampai dengan Wahyu,
Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Jakarta
Danny Purnama, (2012). Memahami Spritualitas Kenosis Program Pasca Sarjana
Teologi UKDW, Yogyakarta
Eko Riyadi, St. (2015). Diktat untuk semester V Fakultas Ilmu Pendidikan
Agama Katolik
Gerald O dan Edward G, (1991). Kamus Teologi, Kanisius. Yogyakarta
Gordon Fee, (1995). Paul’s Letter to the Philippians, Grand Rapids. William B
Eerdmans Publishing Company
Groenen, Cletus. (1993) Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, Kanisius.
Yogyakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Joseph H. Hellerman, (2005). Reconstructing Honor in Roman Philippi –
Carmen Christi as Cursus Pudorum, Cambridge University Press,
Cambridge
Konfrensi Wali Gereja Indonesia. (1998). Iman Katolik, Kanisius, Yogyakarta
Marxsen,Willi. (1994). Pengantar Perjanjian Baru–Pendekatan Kritis terhadap
Masalah-masalahnya, PT BPK Gunung Mulia. Jakarta
Ralph Martin & Gerald Hawthorne, (2004). Philiphians: World Biblical
Commentary, vol 43(Revised Edition), Thomas Nelson, Nashville
Stephen Fowl, (1999). Phlippians – The Two Horizons New Testamen
Commentary Series, Inter Varsity Press, Illinois
Surat Kepada Seluruh Ordo. (2001). Karya-karya Fransiskus. (Leo Laba Ladjar,
Penerjemah). Jakarta: Sekafi
Teresa Kuo-Yu Tsui, (2006). Kenosis in the Letter of Paul to the Philippians:
The Way of the Suffering Philippian Community to Salvation, Louvain
Studies. Leuven
Yayasan Komunikasi Bina Kasih. (1979). Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius –
Wahyu. BPK Gunung Mulia, Jakarta
Dokumen Kongregasi :
Anggaran Dasar Ordo III Regular St. Fransiskus Asisi. (1984). Jakarta :
Sekafi.
Anggaran Dasar Tanpa Bulla. (2001). Karya karya Fransiskus, (Leo Laba
Ladjar, Penerjemah). Jakarta : Sekafi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
De Raat, Judith. (2000). Sebuah Harta Tersembunyi: Spritualitas Suster-
suster Farnsiskanes Dongen, Etten dan Roosandal, Jakarta. Luceat
Yesus, Yohana. (2008). Pembaharu Ordo Ketiga Santo Fransiskus dari
Asisi dan Pendiri para Peniten –Rekolek. (Niko Syukur Dister,
OFM, Penerjemah). Sukabumi
SFD,(1993). Kenangan 70 Tahun Suster Fransiskus Dina (SFD) di
Indonesia.
___________. (2007). Konstitusi Suster-suster Fransiskus Dina (SFD)
Indonesia
___________. (2007). Pedoman Pembinaan dan Pendidikan Suster-suster
Fransiskus Dina (SFD). Indonesia
___________. (2015c). Pedoman Karya Pendidikan Suster suster
Fransiskus Dina (SFD).
___________. (2016). Draft Nilai-nilai karya Kongregasi Suster
Fransiskus Dina (SFD)
Maria Joseph.(1867). Bersatu hati. Dongen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI