perilaku menyimpang
TRANSCRIPT
-
BAB II
PROFIL DAN LATAR BELAKANG SISWA
DENGAN PRILAKU MENYIMPANG
Prilaku menyimpang merupakan salah satu permasalahan dalam kehidupan
perkembangan anak. Di sekolah maupun di kelas prilaku-prilaku menyimpang
yang muncul dari anak menjadi permasalahan sebagai gangguan terhadap
lancarnya kegiatan pembelajaran. Dalam hal mendidik, orang tua maupun
pendidik pada dasarnya mengharapkan diantaranya agar prilaku anak itu normal
atau tidak salah suai.
A. Pengertian Prilaku dan Prilaku Menyimpang
Manusia adalah mahluk yang memiliki raga dan jiwa, lahir dan batin atau fisik
dan psikis. Prilaku merupakan perwujudan atau ekspresi yang muncul dari kondisi
jiwa seseorang. Perwujudan atau ekspresi batin ini dapat berupa tindakan fisik,
seperti gerak kaki (menendang), gerak tangan (memukul), ataupun tindakan non
fisik, misalnya: berbicara (mengumpat), tatapan mata (melotot), dan yang lainnya.
Menurut Borich (1996:513) Behavior is something a person does that is seen,
heard, counted, or captured, say, in a snapshot or a home video. (yang dimaksud
prilaku/tingkah laku adalah segala sesuatu yang dilakukan seseorang yang dapat
dilihat, didengar, dihitung, atau yang dapat ditangkap, misalnya lewat rekaman
gambar).
Penjelasan lain dari Dreikurs dan Cassel (1974) mengemukakan bahwa pada
dasarnya semua tingkah laku individu itu merupakan upaya untuk mencapai
-
tujuan, antara lain pemenuhan kebutuhan untuk diterima kelompok dan
pemenuhan kebutuhan untuk mencapai harga diri (self-esteem).
Prilaku menyimpang secara umum dimaknai sebagai tindakan salah suai, yaitu
prilaku yang tidak layak menurut pandangan umum. Banyak istilah dalam bahasa
asing untuk padanan istilah prilaku menyimpang dalam bahasa Indonesia. Istilah-
istilah yang sering muncul yang bermakna prilaku menyimpang antara lain
seperti: behavior disorder, troublesome behavior, misbehavior, deviant behavior,
disorganized behavior, dan yang lainnya.
Robert M. Goldenson (1984 : 91) menjelaskan pengertian prilaku
menyimpang sebagai berikut: Behavior disorder is any form of behavior that is
considered inappropriate by members of social group (Prilaku menyimpang
merupakan suatu bentuk perilaku yang dianggap tidak layak oleh kelompok sosial
atau masyarakat).
Beberapa pendapat lain tentang prilaku menyimpang sebagai berikut:
James Vander Zanden: prilaku menyimpang merupakan prilaku yang
dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas-batas toleransi oleh sejumlah besar
orang.
Paul B. Hurton: penyimpangan adalah setiap prilaku yang dinyatakan sebagai
pelangggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.
Bruce J. Cohen: prilaku menyimpang merupakan setiap prilaku yang tidak
berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat.
(Sumber: Internet, Blogs Prilaku menyimpang - Community Portal of Gunadarma University, 15 oktober 2009).
-
Dari beberapa definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa prilaku menyimpang
adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam
suatu sistim sosial dan membutuhkan usaha dari mereka yang berwenang dalam
sistim itu untuk memperbaiki prilaku yang menyimpang tersebut.
B. Latar Belakang Prilaku Menyimpang
Banyak penyebab yang dipandang sebagai hal-hal yang melatarbelakangi
prilaku-prilaku menyimpang yang dilakukan anak. Penyebab-penyebab ini
mungkin datang dari diri sendiri atau pribadi, keluarga, teman sebaya, lingkungan,
atau mungkin dari pendidikan orang tua.
a. Pribadi.
Pribadi menurut istilah ialah manusia mandiri dalam menentukan
kehendaknya, menentukan sendiri setiap perbuatannya dalam pencapaian
kehendaknya. Pada dasarnya pembentukan kepribadian adalah suatu proses
pembelajaran dalam diri yang selalu melekat sepanjang hayat, yang melibatkan
interaksi antar individu, dan dengan lingkungan. Seringkali individu dalam
mengembangkan dirinya terpengaruh oleh lingkungannya sehingga akan
menemukan kendala berupa cobaan, rintangan, kegagalan, persaingan dan
sebagainya, sehingga akan memunculkan prilaku-prilaku yang menyimpang.
Pada dasarnya prilaku normal maupun prilaku menyimpang atau salah suai
merupakan pewujudan konsep diri (pribadi) sebagai hasil dari interaksinya dengan
dunia di luar dirinya. Juga, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa prilaku itu
pada dasarnya dipengaruhi oleh tujuan sehingga seseorang melakukan
-
perbuatannya untuk mencapai tujuan itu, dan tentunya untuk kepentingan
pribadinya.
b. Keluarga
Keluarga merupakan salah satu aspek yang melatarbelakangi atau
menyebabkan munculnya penyimpangan-penyimpangan prilaku pada diri anak.
Orang tua (ayah-ibu) yang memiliki perhatian terhadap kebutuhan anaknya akan
membantu pertumbuhan dan perkembangannya sehingga anak tidak berprilaku
salah suai. Sebaliknya orang tua yang tidak memiliki perhatian terhadap
kebutuhan anak kemungkinan besar akan berpeluang tumbuhnya penyimpangan-
penyimpangan prilaku pada diri anak.
Pada dasarnya anak yang sedang tumbuh dan berkembang fisik dan psikisnya
sangat membutuhkan bantuan/pertolongan orang dewasa (orang tua, kakak, dan
yang lainnya). Oleh karena itu peranan orang tua sangat penting terutama
dibutuhkan oleh anak pada masa-masa sedang pesatnya pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Studi yang dilakukan oleh Thruston, Feldhusen, dan Benning (1973)
menyebutkan faktor-faktor yang membuat penyimpangan prilaku anak di kelas
disebabkan oleh situasi yang terjadi di rumah, antara lain: 1). Ayah menerapkan
disiplin yang longgar, lepas kendali, terlalu ketat, atau tidak terarah, 2). Ibu
melakukan pengawasan seadanya, atau tidak mampu merawat anak, 3). Orang tua
(ayah dan ibu) memberi perlakuan yang sama atau bahkan menunjukan sikap
permusuhan terhadap anaknya, 4). Anggota keluarga tenggelam dalam kegiatan
-
masing-masing yang berbeda, 5). Orang tua sulit untuk berbicara secara terbuka
dengan anak, 6). Hubungan suami-istri yang tidak terbuka dan tidak ada
kebersamaan atau kesetaraan di mata anak, 7). Orang tua menunjukan penolakan
terhadap banyak hal yang dilakukan anak, 8). Para ibu merasa tidak cocok dengan
lingkungan tempat tinggal mereka, 9). Orang tua menggunakan hukuman fisik
sebagai pelampiasan marah bila anak melakukan kesalahan. Kontrol sikap orang
tua dalam hal ini menjadi masalah yang sulit, 10). Orang tua yakin bahwa
pengaruh mereka kecil terhadap perkembangan anaknya, 11). Orang tua yakin
bahwa anak-anak lain menularkan pengaruh buruk terhadap anak mereka, 12).
Kegiatan-kegiatan waktu luang orang tua yang tidak konstruktif.
Studi yang dilakukan Lefkowitz dkk (1973) dan Hillman (1972) juga
menunjukan adanya korelasi yang signifikan antara wujud keluarga dan prilaku
anak di sekolah. Penyimpangan berulang (perennial deviancy) yang terjadi di
kelas disebabkan oleh sikap permusuhan yang ditunjukan orang tua kepada anak.
Sikap orang tua yang selalu memojokan atau melampiaskan kejengkelannya
sering membuat anak berprilaku agresif di sekolahnya.
c. Teman Sebaya
Pada masa sekolah perkembangan sosial dan kepribadian anak berkembang
dengan baik yang ditandai dengan makin meluasnya lingkungan sosial, dimana
sudah mulai sedikit demi sedikit meninggalkan alam fantasi untuk menuju
realisme. Anak mulai banyak berteman dan akan lebih dekat dan percaya terhadap
lingkungan sebayanya dari pada anggota keluarga di rumah. Maka dalam
-
pergaulan teman sebaya akan membawa dampak pada penyesuaian diri terhadap
lingkungan sekolah.
Pergaulan teman sebaya akan memberi dampak positif atau negatif bagi
prilaku anak. Hal ini tentunya tergantung dari prilaku pergaulan yang mereka
jalani. Pergaulan antar teman sebaya yang mengarah kepada hal-hal positif akan
menumbuhkan prilaku positif, misalnya terjadi kerja sama, tolong menolong
diantara mereka. Sebaliknya pergaulan antar teman sebaya yang mengarah
kepada hal-hal negatif akan menumbuhkan prilaku negatif, seperti terjadi
persaingan dan pertentanga diantara mereka.
Gambaran tentang pengaruh pribadi anak, keluarga, dan teman sebaya secara
singkat dijelaskan oleh Dreikurs dan Cassel (1974:26) sebagai berikut: In the
family the child develops his own concept about himself in his transactions with
parents and siblings. This form his life style. In school he socializes in a
community with children from different families. As he become an adolescent he
is confronted with the problems of society by being most concerned with his peer
group. (Di dalam keluarga anak mengembangkan konsep diri melalu transaksi
dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Hal ini membentuk gaya hidupnya. Di
sekolah anak mensosialisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan
anak-anak dari lingkungan keluarga yang berbeda. Saat memasuki masa adolesen,
anak berkonfrontasi dengan masalah kemasyarakatan dan sangat memusatkan
kepentingan dengan kelompoknya).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pergaulan antar teman sebaya
merupakan bagian dari kehidupan mereka yang sangat penting bahkan anak lebih
-
mementingkan kepentingan kelompoknya dan berkonfrontasi dengan masalah
kemasyarakatan. Oleh karena itu jika pergaulan teman sebaya mengarah kepada
hal-hal negatif akan memberi dampak pada prilaku menyimpang.
d. Lingkungan Masyarakat.
Pada dasarnya lingkungan kehidupan anak berawal dari lingkungan keluarga,
kemudian beranjak ke lingkungan sekolah lalu berbaur dalam lingkungan
masyarakat. Masing-masing lingkungan tersebut memiliki peranan dan pengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (fisik dan psikis). Perkembangan
perilaku anak juga tidak terlepas dari pengaruh dari ketiga faktor lingkungan
tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, Stevenson dan Stigler menjelaskan sebagai berikut:
Children born into a partiular society gradually acquire the beliefs, values, and
attitudes held by its members, and use them to explain and interpret their world.
(Stevenson & Stigler, 1992: 96). (Anak lahir dalam suatu masyarakat tertentu
yang secara lambat laun memperoleh keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku dari para
anggotanya, dan memanfaatkannya untuk menjelaskan dan menginterprestasikan
dunia mereka).
Families, schools, and wider cultural beliefs all play a part in childrens
academic successes and failures. Yet all of these factors are ultimatey effective
only through the influence they have on the daily lives of individual children.
(Stevensn & Stigler, 1992: 52). (Keluarga, sekolah, dan keyakinan-keyakinan
budaya yang lebih luas/masyarakat semuanya memiliki peranan di dalam
-
keberhasilan dan kegagalan pendidikan anak. Ketiga faktor tersebut hanya akan
efektif apabila pengaruh yang dimilikinya memberi arti positif bagi kehidupan
individu anak).
e. Pendidikan Orang Tua
Latar belakang pendidikan orang tua sangat berpengaruh kepada kehidupan
pribadi anak, anak yang sebahagian besar waktunya berada dalam lingkungan
keluarga akan menyerap berbagai pengalaman dan mendapatkan pendidikan
informalnya dalam interaksinya dengan anggota keluarga lainnya, terutama
bercermin pada figur orang tuanya. Bakat yang ada dalam diri anak untuk dapat
berkembang dengan baik perlu mendapat dukungan dari keluarga, dan kurangnya
dukungan dari keluarga akan menghambat pekembngan anak itu sendiri.
Pentingnya peran orang tua terutama yang berpendidikan/berpengetahuan
dalam membantu pendidikan anaknya di rumah maupun di sekolah dijelaskan
oleh Martha C. Brown (1985: 5) sebagai berikut: No child in todays schools can
afford to be without the support of informed parents. Yet millions of concerned
parents hesitate to ask the questions or to insist on getting the answers they need
to understand how well their children are learning. (Pada sekolah-sekolah
sekarang ini tidak ada seorang anak pun yang dapat mandiri tanpa dukungan para
orang tua yang berpengetahuan. Walaupun jutaan orang tua yang peduli merasa
ragu untuk bertanya dan memperoleh jawaban yang mereka butuhkan untuk
memahami bagaimana anak-anak mereka belajar dengan baik).
-
Dari uraian penjelasan di atas menggambarkan bahwa peran orang tua yang
berpengetahuan/berpendidikan akan sangat mendukung kemajuan pendidikan
anak, termasuk membantu mewujudkan perilaku-perilaku anak yang positif.
Selain itu komunikasi sebagai alat untuk berbagi informasi antara pihak sekolah
dengan orang tua anak akan sangat membantu keberhasilan pendidikan anak.
Berkenaan dengan masalah latar belakang dan penyebab prilaku anak yang
menyimpang Jones dan Jones dalam bukunya Comprehensive Classroom
Management (1998: 8-12) menjelaskan tentang faktor sosial dan faktor sekolah
yang mempengaruhi perilaku dan belajar siswa. Penjelasan tersebut secara ringkas
antara lain sebagai berikut:
f. Faktor-Faktor Sosial Yang Mempengaruhi Perilaku Siswa.
Sekalipun para guru tidak dapat segera atau secara langsung mengubah
faktor-faktor sosial yang menciptakan/mewujudkan permasalahan bagi siswa,
pemahaman terhadap faktor-faktor ini memungkinkan para guru untuk membantu
kesalahan dan perilaku siswa yang menyimpang dan untuk
menciptakan/mewujudkan lingkungan yang dapat mengurangi pengaruh-pengaruh
tersebut.
Ketika membahas perilaku anak yang menyimpang, para guru sering
mempertanyakan mengapa permasalahan ini nampak kian meningkat selama
dekade yang lalu. Sebenarnya, saat pendidikan dan psikologi telah berkembang
menjadi bidang pengetahuan yang lebih maju para guru menjadi tenaga yang lebih
-
terlatih. Guru-guru sekarang lebih memahami permasalahan ini sebagai
perkembangan manusia dan proses belajar dibandingkan dengan guru-guru pada
sepuluh tahun yang lalu. Oleh karena itu sekalipun perilaku siswa yang tidak
produktif sering merupakan suatu respons terhadap faktor-faktor sekolah maupun
kelas, hal ini nampaknya beralasan sebagai dugaan bahwa sekarang ini secara
umum lingkungan sekolah lebih menunjang bagi kebutuhan para siswa dan lebih
kondusif bagi mereka untuk belajar dibandingkan dengan sepuluh atau dua puluh
tahun yang lalu. Akibatnya meskipun keterampilan guru meningkat sebagai faktor
penunjang dalam menangani perilaku anak yang menyimpang, variabel-variabel
lain mesti dipertimbangkan dalam upaya mengembangkan pemahaman tentang
permasalahan disiplin kelas.
Di Amerika kasus perceraian dan orang tua tunggal (single parent) meningkat
pada empat puluh tahun terakhir. Hanya 11 % anak-anak yang lahir tahun 1950-an
mengalami perceraian orang tua; hamper 55 % siswa yang lahir tahun 1990-an
akan mengalami gejala ini. Selanjutnya, satu dari setiap empat anak yang tumbuh
pada tahun 1990-an akan hidup dalam keluarga tiri, dan anak-anak usia remaja
hampir setengahnya akan mengalami perceraian orang tua mereka kedua kalinya
Hal ini berpengaruh terhadap anak. Laporan dari Childrens Defense Fund (Dana
Ketahanan Anak) pada tahun 1990 menunjukan bahwa dua belas juta anak
(melampaui 20 %) hidup dalam kemiskinan dan tanpa memiliki asuransi
kesehatan. Kelompok yang tumbuh paling cepat yang tidak memiliki rumah di
Amerika adalah ibu-ibu muda yang memiliki anak. Tahun 1994 laporan dari
-
National Committee on the Prevention of Child Abuse (Komite Nasional untuk
Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak) meningkat hamper tiga juta kasus.
Selama dekade yang lalu, anak yang minggat dari rumah dua kali lipat dari
satu juta menjadi dua juta anak, dan jumlah yang bunuh diri di Amerika enam kali
lebih banyak dibandingkan di Jepang. Selain itu sekalipun rumah nampaknya
tempat yang aman, sejahtera, lingkungan yang menunjang sering menciptakan
stress bagi anak ketika orang tuanya mengharapkan mereka ikut melakukan
tanggung jawab keluarga tanpa pengawasan orang dewasa dan mendorong anak
terlibat dalam berbagai kegiatan di luar sekolah. Hasil studi menunjukan bahwa
anak-anak muda yang melakukan bunuh diri banyak yang berprestasi tetapi tak
mampu mengatasi stress hidupnya disebabkan oleh harapan-harapan yang tinggi
untuk berprestasi dibarengi tugas-tugas yang berlebihan. Stress keluarga berimbas
terhadap kemampuan anak dalam memfungsikan dirinya secara efektif di sekolah.
Bagi kebanyakan anak stress dan kekerasan di rumah berkaitan dengan
permasalahan yang sama di masyarakat. Anak-anak yang mengkonsumsi obat-
obatan dan alkohol merupakan salah satu respons meningkatnya stress dalam
kehidupan mereka. Substansi kekerasan adalah salah satu faktor sosial yang
menguras waktu, energi, dan kemampuan siswa dalam menghadapi tugas-tugas
akademik. Penyalahgunaan obat-obatan yang dilakukan anak menggambarkan
pentingnya mempertimbangkan variabel-variabel sosial dan sekolah sebagai
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan belajar anak.
-
g. Faktor-Faktor Sekolah Yang Mempengaruhi Perilaku Dan Belajar Siswa.
Meskipun faktor-faktor sosial talah membuat tugas guru menjadi lebih sulit,
penelitian menunjukan bahwa guru dan sekolah mewujudkan perbedaan dramatis
di dalam kehidupan banyak siswa.
Penelitian Joy Dryfus (1990) tentang penyebab dan kemungkinan
pencegahannya terhadap penggunaan obat-obatan, hamil diluar nikah, kegagalan
sekolah, dan perilaku menyimpang. Dia mencatat peranan personil sekolah
sebagai berikut: banyak intervensi dari pihak luar berkaitan dengan
pengembangan pendidikan sebagai komponen utama, faktanya pencegahan
terhadap perilaku menyimpang nampak terwujud dalam pencegahan terhadap
kegagalan sekolah. Secara umum pencegahan perilaku menyimpang merupakan
salah satu masalah dalam pendidikan yang cukup sulit, termasuk juga masalah
penggunaan obat-obatan dan kehamilan di luar nikah dari para remaja. Perlunya
keterampilan dasar pada usia-usia yang layak nampak menjadi suatu komponen
pokok bagi semua pencegahan.
Publikasi dari kantor riset dan pengembangan pendidikan (The Office of
Educational Research and Improvement) dalam upaya sekolah mewujudkan rasa
aman, disiplin dan bebas obat-obatan terlarang merupakan bagian dari peranan
sekolah dalam mengefektifkan perilaku siswa disimpulkan sebagai berikut: pada
decade yang lalu penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan-perbedaan penting
antara satu sekolah menengah dengan sekolah menengah lainnya dalam hal
perilaku dan hasil belajar siswa, perbedaan yang tidak dapat sepenuhnya dilatari
-
oleh latar belakang siswa di sekolah. Tiga dimensi dari suasana sekolah nampak
sebagai perbedaan tersebut:
1. Tujuan: penekanan yang kuat terhadap misi akademik sekolah.
2. Peraturan dan prosedur: standar disiplin yang jelas diterapkan secara tegas,
adil, dan konsisten.
3. Suasana: suatu etika kepedulian untuk mewujudkan hubungan antar personil
di sekolah.
Unuk membuat perubahan-perubahan yang signifikan tehadap belajar dan
perilaku siswa, kita mesti serius melihat pada variabel-variabel di sekolah dan
mewujudkan kesempatan-kesempatan bagi perubahan perilaku mengajar kita dan
bagaimana sekolah-sekolah mewujudkan program dan pelaksanaannya.
Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, menurut Gnagey (1980:38-43) ada
lima hal pokok yang membuat anak berprilaku menyimpang, yaitu:
1. Kelalaian atau Tidak Tahu Peraturan (Ignorance of Rules)
Kelalaian atau ketidaktahuan tentang peraturan merupakan salah satu alasan
yang membuat anak berprilaku menyimpang. Hal ini terutama pada masa-masa
awal pertemuan siswa dengan guru. Sekalipun peraturan telah ditetapkan dan
disampaikan kepada siswa, tetapi jika peraturan itu tidak membedakan yang
sifatnya operasional dan tertulis, maka siswa tidak akan memahami betul
peraturan yang mesti diikutinya.
-
Langkah coba-coba dalam menerapkan peraturan akan mengganggu
perkembangan kejiwaan anak. Jika suatu peraturan tidak jelas untuk diikuti maka
hal ini akan membuat anak berada dalam keraguan atau kebingungan.
2. Peraturan yang bertentangan (Conflicting Rules)
Peraturan-peraturan yang bertentangan baik yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari maupun yang diajarkan dari buku-buku merupakan penyebab
terjadinya prilaku menyimpang pada diri anak. Kvareceeus (1945) member
petunjuk bahwa banyak anak yang telah belajar dengan baik dari lingkungan
sekitar rumah ternyata prilaku mereka menyimpang dan tidak baik untuk ukuran
norma-norma sekolah. Dalam hal ini anak menjadi korban pendidikan lingkungan
yang salah dan bertentangan dengan keadaan sekolah.
Kagan (1958) menjelaskan bahwa banyak prilaku anak sebagai peniruan
(imitation) dari contoh-contoh yang diberikan orang dewasa. Jika prilaku ini tidak
sesuai dalam situasi tertentu di sekolah maka akan memunculkan permasalahan
bagi guru. Brophy dan Putnam (1979) menunjuk contoh para guru mengharapkan
siswanya menatap wajah dan mata ketika guru menasehati atau menjelaskan
sesuatu, tetapi di sisi lain para orang tua menganggap prilaku seperti itu sebagai
tanda menantang atau melawan. Hal ini memberi penjelasan bahwa sejumlah
siswa bisa menyimpang prilakunya semata-mata disebabkan mereka tidak bisa
membedakan antara peraturan yang dipelajari di rumah dan situasi-situasi sekolah
yang mesti diikuti.
-
3. Frustrasi (Frustration)
Reaksi-reaksi terhadap berbagai gangguan di kelas juga akan mewujudkan
berbagai bentuk penyimpangan prilaku yang didasari rasa frustrasi.
John Dollar dkk (1939) mengemukakan hipotesisnya tentang frustrasi-agresi,
yaitu hubungan antara pencabutan hak yang dibutuhkan dan prilaku marah.
Menurut John Dollar dkk sedikitnya ada tiga penyebab frustrasi pada diri anak di
kelas, yaitu: guru, teman-teman sekelas, dan kegiatan-kegiatan. Kesemuanya ini
dapat membuat anak berprilaku menyimpang.
Sejumlah anak yang menerima hukuman berupa penahanan untuk masa waktu
tertentu, ternyata setelah hukuman selesai semakin meningkat penyimpangan
prilaku pada diri anak, bukan berubah menjadi lebih baik. Guru sebagai manajer
kelas tanpa pertimbangan yang matang akan mengakibatkan tindakan-tindakannya
yang tidak tepat mendorongnya menjadi pembuat frustrasi utama (the role of chief
frustrator) bagi anak.
Kesepakatan antar teman merupakan suatu kebutuhan kuat dan mendasar, dan
sering menjadi motivasi bagi prilaku siswa. Jika seorang siswa merasa terisolasi
atau ditolak dikelasnya, dia kemungkinan mereaksi agresif terhadap situasi yang
tidak toleran tersebut.
Lobrer (1966) menemukan bahwa anak yang secara sosial tidak diterima oleh
teman-teman sekelasnya cenderung menjadi pengganggu dan berprilaku mencari
perhatian di kelasnya. Conger (1973) menyimpulkan bahwa prilaku para siswa
yang menyimpang disebabkan oleh hubungan antar teman yang kurang baik, dan
-
hal ini terjadi di sekolah dasar maupun sekolah menengah. Johnson dan Johnson
(1974) menunjukan bahwa struktur-struktur tujuan yang kompetitif (competitive
goal structures) dapat meningkatkan friksi antar siswa dan merusak iklim kelas
yang efektif.
Jika prestasi akademik sebagai tujuan utama pendidikan, maka
ketidakmampuan belajar untuk mencapai prestasi merupakan sumber pokok
frustrasi siswa. Hubungan antara masalah prestasi dan prilaku menyimpang cukup
beralasan. Conger (1973) dan Duke (1976) menyimpulkan bahwa siswa yang
memiliki masalah prilaku kronis menunjukan kemampuan yang rendah di
sekolahnya, termasuk dalam tes-tes kemampuan dasar. Jurgenson (1977)
menjelaskan bahwa perlengkapan sekolah yang lebih memudahkan kegiatan-
kegiatan siswa membuat prilaku kelas menjadi lebih baik. Gnagey (1980)
menemukan bahwa para siswa yang berprilaku mengganggu karena kontrol dari
luar yang lebih ketat, dibandingkan dengan para siswa yang berprilaku positif.
Mereka merasa bahwa keberhasilan dan kegagalan itu disebabkan oleh tekanan-
tekanan dari luar dirinya, dan apabila sama sekali tidak ada yang membantunya
maka akan membuat frustrasi akademik yang lebih parah.
Syamsu Yusuf (2008: 166) memberikan definisi frustrasi sebagai berikut:
Frusrasi dapat diartikan sebagai kekecewaan dalam diri individu yan disebabkan
oleh tidak tercapainya keinginan. Pengertian lain dari frustrasi adalah: rasa
kecewa yang mendalam, karena tujuan yang dikehendak tak kunjung terlaksana.
Reaksi individu terhadap frustrasi yang dialaminya berbeda-beda, hal ini
disebabkan oleh perbedaan pada struktur maupun fisik, serta perbedaan sosial
-
kultural dan nilai-nilai agama yang dianutnya. Perbedaan reaksi individu terhadap
frustrasi itu dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukannya. Ada yang
menghadapinya secara rasional, tetapi ada juga yang reaksinya terlalu emosional,
yang terwujud dalam bentuk-bentuk tingkah laku yang salah suai
(maladjustment).
4. Pemojokan atau Pelampiasan (Displacement)
Perasaan terpojok sering menjadi penyebab prilaku menyimpang. Tindakan-
tindakan yang tidak baik yang terjadi dikelas mungkin akibat pengaruh dari
lingkungan luar. Perasaan kecewa sering pula dialihkan atau dilampiaskan pada
orang-orang atau benda-benda yang ada di sekolah.
Seorang anak tidak menyukai gurunya hanya karena gurunya itu lelaki. Anak
itu selalu menghindar dan menolak kerja sama dengan gurunya. Setelah diselidiki
ternyata anak itu hidup dengan ibunya. Bapaknya telah tiga kali meningggal
mereka berdua. Setelah lebih dari enam bulan, bapaknya setiap pulang kerumah
sering dalam keadaan mabuk dan memukuli istri dan anaknya dengan kasar dan
bengis. Keduanya ---ibu dan anak itu--- mengganggap dan yakin bahwa lelaki itu
bukan lagi suami dan bapak mereka tetapi hewan buas yang berbahaya. Dalam hal
ini, sang guru menjadi korban pelampiasan dari prilaku si anak yang merasa
kecewa, putus asa, dan dendam yang ditebarkan oleh prilaku bapaknya.
Studi yang dilakukan Lefkowitz dkk (1973) dan Hillman (1972) juga
menunjukan adanya korelasi yang signifikan antara wujud keluarga dan prilaku
anak di sekolah. Penyimpangan berulang (perennial deviancy) yang terjadi di
-
kelas disebabkan oleh sikap permusuhan yang ditunjukan orang tua kepada anak.
Sikap orang tua yang selalu memojokan atau melampiaskan kejengkelannya
sering membuat anak berprilaku agresif di sekolahnya.
Prilaku menyimpang sering juga disebabkan oleh sikap guru yang tidak baik.
Guru yang galak, bengis, penuh cemooh, dan perkataannya sering membuat sakit
hati, akan menanamkan perasaan-perasaan negative dalam diri anak dan
membuahkan penyimpangan prilaku dengan cara pelampiasan pada guru lain yang
baik, bijaksana, dan penuh pengertian.
5. Rasa Cemas, Khawatir, Ragu (Anxiety)
Rasa cemas, khawatir, atau ragu yang tertanam dalam diri anak bisa
menyebabkan munculnya penyimpangan-penyimpangan prilaku. Reaksi-reaksi
dari rasa cemas, khawati, atau ragu ---misalnya saat mengkuti ujian, berbicara di
depan orang-orang lain, atau dinilai kemampuannya--- menjadi penyebab
munculnya prilaku-prilaku menyimpang pada diri anak.
Gnagey (1980) menemukan bahwa kebutuhan rasa aman (safety need) dari
berbagai gangguan yang disebabkan oleh prilaku menyimpang dirasakan lebih
kuat pada diri siswa lainnya. Para siswa lebih merasa takut oleh siswa-siswa yang
berprilaku mengganggu dibandingkan oleh teman-teman se kelasnya yang
berprilaku baik. Survey nasional Amerika yang dilakukan secara acak oleh Peck
dan Hughes (1979) menunjukkan bahwa kemampuan anak dalam mengendalikan
rasa cemas menjadi suatu prediksi atas keberhasilan sekolahnya.
-
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar belakang atau penyebab
terjadinya prilaku menyimpang pada diri anak cukup beragam. Jika
diklasifikasikan latar belakang atau penyebab tersebut bisa muncul dari pribadi,
keluarga, teman sebaya, lingkungan, dan pendidikan orang tua.
C. Profil Anak Berprilaku Menyimpang
Anak berprilaku menyimpang cenderung melakukan tindakan-tindakan
negatif, yang secara umum tidak sesuai dengan norma kemasyarakatan atau
kebiasaan-kebiasaan yang layak dalam kehidupan di masyarakat. Mengapa anak
berprilaku menyimpang? Pertanyaan ini secara gamblang dijelaskan sebagai
berikut: Basically every human, adult or child, is a social being. We all want to
belong, to find our place in the group. Every action of the child is an endeavour to
find this place. Some actions we accept as appropriate. If these are given
recognition he will not become discouraged and switch to useless or destructive
behaviour. (Dreikurs dan Cassel, 1974:26).
Jadi menurut Dreikurs dan Cassel pada dasarnya setiap orang, dewasa atau
anak-anak adalah mahluk sosial. Kita semua ingin memiliki, menemukan tempat
kita dalam kelompok. Setiap tindakan anak merupakan suatu upaya untk
menemukan tempat tersebut. Beberapa tindakan kita terima sebagai tindakan yang
layak. Jika tindakan-tindakan yang wajar kita berikan pengakuan, anak tidak akan
menjadi patah semangat dan menghindari prilaku yang tak berguna atau merusak.
Oleh karena itu tindakan-tindakan anak yang wajar perlu mendapat
pengakuan, pujian, dan penghargaan, sebaliknya tindakan-tindakan anak yang
-
tidak wajar perlu mendapat peringatan, teguran, dan bahkan sanksi. Jika tidak
demikian maka kemungkinan anak akan terbelenggu oleh kebingungan untuk
menentukan arah yang benar, dan kemungkinan besar akan terjadi penyimpangan-
penyimpangan perilaku pada diri anak.
Proses sosialisasi merupakan bagian penting dalam kehidupan anak, sebagai
jembatan untuk mencari dan menemukan tempat bagi pemenuhan kebutuhan dan
minatnya. Peran orang dewasa sangat penting dalam membantu proses sosialisasi
anak. Peran orang dewasa harus menjadi contoh keteladanan bagi anak yang
sedang beranjak dewasa sehingga mampu melakukan sosialisasi positif dalam
kehidupannya. Jika tidak demikian maka sebaliknya prilaku anak akan
menyimpang.
D. Cara Penanggulangan Untuk Mengurangi/Mengubah Perilaku
Menyimpang
Para guru, orang tua, atau orang dewasa tidak bisa berdiam diri terhadap
anak-anak yang berprilaku menyimpang. Guru, orang tua, atau orang dewasa
harus memberi perhatian, teguran, maupun bimbingan dalam rangka mengurangi
atau mengubah prilaku anak yang menyimpang (negatif) agar kembali menjadi
berprilaku normal (positif). Sebab pada hakekatnya anak yang berprilaku
menyimpang tidak hanya mengganggu/merugikan orang lain, tetapi juga
merugikan anak itu sendiri dan berdampak pada terhambatnya
pelaksanaan/pencapaian hal-hal yang seharusnya dilakukan dan diseesaikan oleh
yang anak bersangkutan.
-
Menurut Walker dan Shea (1986) ada enam cara penanggulangan untuk
mengurangi/mengubah perilaku menyimpang, yaitu: 1. Penghapusan (extinction),
2. Diistirahatkan (time-out), 3. Pengenyangan (satiation), 4. Hukuman
(punishment), 5. Penguatan terhadap perilaku yang labil (reinforcement of
incompatible behavior), 6. Desensitisasi (desensitization).
Cara-cara penanggulangan untuk mengurangi/mengubah perilaku
menyimpang lebih lanjut dipaparkan oleh Walker dan Shea (1986:100-120) sebagai
berikut:
1. Penghapusan (extinction)
Yaitu tidak diberikkannya penguatan sama sekali. Penghapusan adalah bentuk
stimulus negative sebagai upaya untuk mengurangi perilaku negative, misalnya:
pembatalan atau penundaan pemberian ganjaran yang sebenarnya diharapkan oleh
siswa, baik berupa barang atau kegiatan yang disenanginya. Penghapusan hanya
efektif apabila guru dan orang tua secara konsisten menerapkan intervensi ini.
2. Diistirahatkan (time-out)
Umumnya yang dimaksud diistirahatkan yaitu misalnya memindahkan duduk
anak yang tadinya di ruang kelas bersama teman-temannya, ditempatkan di tempat
sendiri terpisah untuk jangka waktu tertentu. Menurut Lewellen (1980) ada tiga
jenis model time-out, yaitu: 1). Observasi, merupakan prosedur dimana siswa
dipisahkan dari temannya yang lain untuk melakukan kegiatan kelas sendiri,
selain itu siswa tersebut mengamati perilaku yang layak teman-teman sekelasnya,
2). Mengeluarkan (exclusion), merupakan prosedur dimana siswa dipisahkan dari
-
teman sekelasnya tapi masih dalam ruang yang sama yang dipisahkan oleh sekat
pemisah misalnya rak buku yang ada di kelas, pada jenis ini siswa tidak
dibolehkan mengamati perilaku kelompoknya, 3). Pengasingan (seclusion)
merupakan prosedur dimana siswa dikeluarkan dari kelasnya dan ditempatkan di
ruang isolasi.
3. Pengenyangan (satiation)
Pengenyangan merupakan usaha mengurangi atau menghilangkan perilaku
yang menyimpang sebagai hasil dari penguatan negative berkelanjutan terhadap
perilaku, penguatan negative disebut juga stimulus yang tidak diharapkan.
Penguatan negative diarahkan untuk mendorong atau mengubah perilaku negative,
misalnya anak yang perokok disuruh merokok sebanyak-banyaknya sampai
merasa puas dan akhirnya diharapkan anak merasa tidak nyaman dengan rokok,
anak yang sering keluar kelas waktu kegiatan belajar, disuruh berada di luar
disekitar kelas, sampai merasa jenuh berada di luar, dan akhirnya diharapkan anak
merasa tidak nyaman berada di luar.
4. Hukuman (punishment)
Hukuman sesungguhnya merupakan suatu stimulus yang tidak diharapkan
(aversive stimuli) sebagai konsekwensi terhadap perilaku menyimpang. Penguatan
negative berbeda dengan hukuman. Hukuman diarahkan untuk menghentikan
perilaku negative. Stimulus yang sama dapat diklasifikasikan sebagai: a)
penguatan negative, apabila dilakukan sebelum suatu perilaku tertentu terjadi, b)
hukuman, jika dilakukan setelah perilaku yang sama terjadi.
-
5. Penguatan terhadap perilaku yang labil (reinforcement of incompatible
behavior)
Penguatan merupakan salah satu usaha sistimatis untuk mengurangi perilaku
yang menyimpang atau meningkatkan perilaku yang positif. Ada dua bentuk
penguatan, yaitu: a) peguatan positif, terjadi apabila stimulus atau ganjaran yang
diinginkan diberikan setelah perilaku yang diharapkan terwujud atau sering
dilakkukan, misalnya siswa mendapat hadiah karena ia berprestasi di kelasnya, b)
penguatan negatif, terjadi apabila frekuensi suatu perilaku meningkat dengan
mengakhiri suatu keadaan yang tidak menyenangkan atau menyakitkan, misalnya
ayah mematikan radio yang sedang didengar anaknya karena suranya bising.
6. Desensitisasi (desensitization)
Desensitisasi merupakan proses sistimatis untuk mengurangi reaksi rasa takut
atau phobia atau rasa cemas. Teknik ini dianggap efektif diterapkan terhadap
individu yang merasa takut atau cemas antara lain seperti berbicara di muka
umum, belajar di sekolah, partisipasi dalam kelompok, dan lainnya. Proses
desensitisasi antara lain mengikuti tiga tahapan, yaitu : a) latihan, antara lain
melalui relaksasi otot, b) pembentukan, antara lain melalui pemberian stimulus
untuk menghindari rasa takut/cemas, c) pembiasaan, antara lain melalui relaksasi
otot untuk menghindari rasa takut/cemas.
Selanjutnya Borich (1996:517) menjelaskan langkah-langkah analisis serta
tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku siswa, yaitu:
1. Mengidentifikasi perilaku yang tidak baik yang ingin kita ubah, dan
mengidentifikasi perilaku yang baik yang perlu kita wujudkan.
-
2. Mengidentifikasi kejadian-kejadian pendahulu (antecedent) bagi perilaku-
perilaku yang tidak baik dan yang baik (misalnya: kelompok sebaya yang
berpengaruh) dan membuat perubahan-perubahan yang penting dalam
lingkungan kelas (misalnya: mengubah pengaturan tempat duduk) untuk
mencegah terjadinya perilaku yang tidak baik dan meningkatkan perilaku yang
baik.
3. Mengidentifikasi tujuan siswa dibalik perilakunya yang tidak baik (misalnya:
mencari perhatian atau attention seeking) dan menghentikan tindakan-tindakan
kita yang dapat memenuhi atau memuaskan tujuan tersebut.
4. Mewujudkan prosedur-prosedur untuk penguatan bagi perilaku positif dan
pengubahan perilaku negative.
5. Menggunakan hukuman hanya sebagai suuatu pilihan atau tingkatan akhir ( a
last resort).
Secara umum prilaku menyimpang anak diklasifikasikan oleh Borich dalam
tiga tingkatan, yaitu : prilaku menyimpang ringan, menengah, berat, serta cara-
cara alternatif penanggulangannya dijelaskan pada bagan dibawah ini:
Bagan : Contoh-contoh Perilaku Menyimpang Ringan, Menengah, Berat,
Dan Beberapa Respon Alternatifnya.
Perilaku-Perilaku Menyimpang Respon-Respon Alternatif
Ringan Ringan
Merusak/mencoret-coret barang milik Memberi peringatan
sekolah atau milik orang lain Memberi balikan
-
Bertingkah/banyak tingkah Diistirahatkan
Berbicara membelakangi Pindah tempat duduk
Berbicara tanpa angkat tangan Pencabutan hak-haknya
Keluar dari tempat duduk Penahanan setelah sekolah
Mengganggu yang lain Menelepon/menyurati orang tua
Tidur di kelas
Lamban/Malas
Melempar barang-barang/benda-benda
Makan di kelas
Main taruhan/judi
Mempertontonkan keakraban tidak layak
(memeluk, mencium)
Menengah Menengah
Keluar kelas tanpa izin Penahanan
Mencaci-maki sewenang-wenang Membuat perjanjian/kesepakatan
pada yang lain Pencabutan hak-haknya
Tidak patuh Menelepon/menyurati orang tua
Merokok di kelas Musyawarah dengan orang tua
Berbohong, menipu, menjiplak Penangguhan/pemecatan sekolah
Bahasa atau isyarat vulgar/jorok/cabul
Berkelahi
Berat Berat
Merusak barang milik sekolah Ganti rugi kerusakan
atau milik orang lain Penahanan
-
Mencuri, memiliki, atau menjual Menelepon/menyurati orang tua
barang milik orang lain
Bolos/mangkir sekolah Musyawarah dengan orang tua
Pecandu alkohol atau narkotik Penangguhan/pemecatan sekolah
Menjual, memberi, atau mengedarkan alkohol, Dipindahkan atau ditempatkan
narkotik, atau senjata kepada orang lain pada sekolah alternatif
Menyerang atau mencaci-maki guru
Perilaku yang sudah tidak dapat diperbaiki
Sumber : G. D Borich (1996 : 527)
Kasus prilaku menyimpang merupakan salah satu permasalahan serius di
sekolah. Jika dibandingkan dengan anak normal yang secara umum berprilaku
positif dan tidak mengganggu teman-temannya maupun situasi sekolah atau kelas,
maka secara umum siswa yang berprilaku menyimpang tindakannya mengganggu
teman-teman lainnya dan situasi sekolah maupun kelas.
Di dalam kelas siswa yang berprilaku menyimpang secara umum tindakannya
sering membuat kegiatan belajar mengajar menjadi terhambat. Gangguan ini
muncul dari respon mereka yang negatif terhadap jalannya kegiatan belajar
mengajar. Sebaliknya siswa yang berprilaku normal yang jumlahnya lebih banyak
dalam setiap kelas berharap dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar yang
nyaman dan kondusif. Oleh karena itu tindakan anak yang berprilaku
menyimpang sering menjadi kasus yang serius, baik di sekolah maupun di dalam
kelas, dan untuk mengatasi gangguan situasi sekolah maupun situasi kelas dari
-
ulah anak yang berprilaku menyimpang perlu ditangani secara serius, baik oleh
guru, wali kelas, maupun guru bimbingan konseling.
E. Upaya Bimbingan Yang Telah Dilakukan di Sekolah Terhadap Siswa Berprilaku Menyimpang
Munculnya ragam perilaku menyimpang siswa di sekolah menyebabkan
situasi belajar mengajar menjadi terganggu dan tidak kondusif. Apabila hal
tersebut tidak bisa diatasi maka dampak lebih jauh akan menyebabkan
kemunduran pada sekolah tersebut, terutama berhubungan dengan kedisiplinan
siswa, karena siswa yang berprilaku menyimpang tersebut akan mempengaruhi
teman lainnya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Berdasakan kondisi
tersebut dianggap perlu untuk melakukan upaya-upaya penanganan permasalahan
pada siswa yang berperilaku menyimpang. Upaya yang dilakukan sekolah antara
lain berupa bimbingan dan tindakan-tindakan disiplin.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam mengatasi perilaku-perilaku
anak yang melakukan pelanggaran, dalam hal ini siswa yang berperilaku
menyimpoang, diantaranya dengan menerapkan sanksi bagi yang melanggar tata
tertib sekolah. Adapun sanksi tersebut berupa poin-poin pelanggaran sebagaimana
diuraikan dibawah ini.
Bobot poin pelanggaran tata tertib di SMPN 3 Kota Serang.
Siswa-siswi yang melanggar tata tertib sekolah akan dikenakan sanksi dalam
bentuk poin/denda sesuai dengan jenis pelangggarannya. Apabila seorang siswa
-
telah mencapai 100 poin pelanggaran/sanksi, ini juga akan menjadi salah satu
criteria atau persyaratan untuk menentukan naik kelas atau tidak, lulus atau tidak.
Adapun bobot pelanggaran yang dimaksud adalah sebagai berikut:
I. Kepribadian (Kelakuan)
A. Ketertiban.
1. Membuat keributan/kegaduhan dalam kelas pada saat- 10 poin
berlangsungnya belajar 1. Masuk lingkungan sekolah dengan loncat pagar 20 poin 2. Keluar lingkungan sekolah dengan loncat pagar 20 poin 3. Mengotori/mencorat-coret benda milik sekolah, guru, 10 poin
karyawaan, atau teman
4. Merusak, menghilangkan barang milik sekolah, guru, 15 poin karyawaan, atau teman
5. Mengambil (mencuri) barang milik sekolah, guru, 50 poin karyawaan, atau teman
6. Makan/minum dalam kelas 5 poin 7. Membuang sampah tidak pada tempatnya 5 poin 8. Membawa benda yang tidak ada kaitannya dengan proses belajar- 10 poin
mengajar (barang elektronik, HP, dan lainnya) 9. Bertengkar, bertentangan dengan teman di 15 poin
lingkungan sekolah
B. Rokok
1. Membawa rokok 25 poin 2. Menghisap rokok di sekolah 50 poin
C. Buku, majalah, atau kaset terlarang
1. Membawa buku, majalah, atau kaset terlarang 50 poin
-
2. Memperjual belikan buku, majalah, atau kaset terlarang 50 poin
D. Senjata tajam 1. Membawa senjata tajam tanpa ijin 50 poin 2. Memperjual belikan senjata tajam di sekolah 50 poin 3. Menggunakan senjata tajam untuk mengancam 75 poin 4. Menggunakasenjattajam untuk melukai 75 poin
E. Obat/minuman terlarang
1. Membawa obat atau minuman terlarang 75 poin
2. Menggunakan obat atau minuman terlarang di dalam 100 poin
lingkungan sekolah
3. Memperjual belikan obat atau minuman terlarang 100 poin
di dalam atau di luar lingkungan sekolah
F. Perkelahian
1. Disebabkan oleh siswa dalam sekolah (intern) 75 poin
2. Disebabkan oleh sekolah lain 25 poin
3. Antar siswa 75 poin
G. Pelanggaran terhadap Kepala Sekolah, guru, dan karyawan
1. Disertai ancaman 75 poin
2.Disertai pemukulan 100 poin
-
II. Kerajinan
A. Keterlambatan
1. Terlambat masuk sekolah lebih dari 10 menit
- Satu kali 2 poin
- Dua kali 3 poin
- Tiga kali 5 poin
2. Terlambat masuk karena izin 3 poin
3.Terlambat masuk karena diberi tugas guru 2 poin
4.Terlambat masuk karena alasan yang dibuat-buat 5 poin
5. Izin keluar saat proses belajar berlangsung dan tidak kembali 10 poin
6. Pulang tanpa izin 10 poin
B. Kehadiran
1. Siswa tidak masuk karena
- sakit tanpa keterangan surat 2 poin
- izin tanpa keterangan surat 2 poin
- alpa tanpa keterangan surat 5 poin
2. Tidak mengikuti kegiatan belajar (membolos) 10 poin
3. Siswa tidak masuk dengan membuat keterangan (surat) palsu 10 poin
4. Siswa keluar kelas tanpa ijin, saat proses belajar mengajar berlangsung 5 poin
III. Kerapihan
A. Pakaian
1. Memakai seragamn tidak rapih/baju tidak dimasukan 5 poin
-
2. Siswa putrid memakai seragam yang ketat/rok di atas lutut 5 poin
3. Tidak memakai perlengkapan upacara/topi 5 poin
4. Salah memakai baju, rok, atau celana 5 poin
5. Salah atau tidak memakai ikat pinggang 5 poin
6. Salah memakai sepatu (tidak sesuai ketentuan) 5 poin
7. Tidak memakai kaos kaki 5 poin
8. Salah/tidak memakai kaos dalam 5 poin
9. Memakai topi yang bukan topi sekolah di lingkungan sekolah 5 poin
10. Siswa putrid memakai perhiasan berlebihan 5 poin
11. Siswa putra memakai perhiasan atau asesories (kalung, gelang, dll) 5 poin
B. Rambut
1. Panjang melampaui batas ketentuan (telinga, alis, dan kerah baju) 10 poin
2. Pendek/ dicukur tidak rapih, siswa putera 10 poin
3. Di cat/di warna-warni (siswa putra-putri) 15 poin
IV. Apabila ada pelanggaran yang sanksinya (bobot poinnya) belum tercantum dalam tata tertib ini, Maka sanksi akan ditentukan oleh rapat guru.