perilaku menyimpang

Upload: muhammad-amin-af

Post on 15-Oct-2015

96 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    PROFIL DAN LATAR BELAKANG SISWA

    DENGAN PRILAKU MENYIMPANG

    Prilaku menyimpang merupakan salah satu permasalahan dalam kehidupan

    perkembangan anak. Di sekolah maupun di kelas prilaku-prilaku menyimpang

    yang muncul dari anak menjadi permasalahan sebagai gangguan terhadap

    lancarnya kegiatan pembelajaran. Dalam hal mendidik, orang tua maupun

    pendidik pada dasarnya mengharapkan diantaranya agar prilaku anak itu normal

    atau tidak salah suai.

    A. Pengertian Prilaku dan Prilaku Menyimpang

    Manusia adalah mahluk yang memiliki raga dan jiwa, lahir dan batin atau fisik

    dan psikis. Prilaku merupakan perwujudan atau ekspresi yang muncul dari kondisi

    jiwa seseorang. Perwujudan atau ekspresi batin ini dapat berupa tindakan fisik,

    seperti gerak kaki (menendang), gerak tangan (memukul), ataupun tindakan non

    fisik, misalnya: berbicara (mengumpat), tatapan mata (melotot), dan yang lainnya.

    Menurut Borich (1996:513) Behavior is something a person does that is seen,

    heard, counted, or captured, say, in a snapshot or a home video. (yang dimaksud

    prilaku/tingkah laku adalah segala sesuatu yang dilakukan seseorang yang dapat

    dilihat, didengar, dihitung, atau yang dapat ditangkap, misalnya lewat rekaman

    gambar).

    Penjelasan lain dari Dreikurs dan Cassel (1974) mengemukakan bahwa pada

    dasarnya semua tingkah laku individu itu merupakan upaya untuk mencapai

  • tujuan, antara lain pemenuhan kebutuhan untuk diterima kelompok dan

    pemenuhan kebutuhan untuk mencapai harga diri (self-esteem).

    Prilaku menyimpang secara umum dimaknai sebagai tindakan salah suai, yaitu

    prilaku yang tidak layak menurut pandangan umum. Banyak istilah dalam bahasa

    asing untuk padanan istilah prilaku menyimpang dalam bahasa Indonesia. Istilah-

    istilah yang sering muncul yang bermakna prilaku menyimpang antara lain

    seperti: behavior disorder, troublesome behavior, misbehavior, deviant behavior,

    disorganized behavior, dan yang lainnya.

    Robert M. Goldenson (1984 : 91) menjelaskan pengertian prilaku

    menyimpang sebagai berikut: Behavior disorder is any form of behavior that is

    considered inappropriate by members of social group (Prilaku menyimpang

    merupakan suatu bentuk perilaku yang dianggap tidak layak oleh kelompok sosial

    atau masyarakat).

    Beberapa pendapat lain tentang prilaku menyimpang sebagai berikut:

    James Vander Zanden: prilaku menyimpang merupakan prilaku yang

    dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas-batas toleransi oleh sejumlah besar

    orang.

    Paul B. Hurton: penyimpangan adalah setiap prilaku yang dinyatakan sebagai

    pelangggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.

    Bruce J. Cohen: prilaku menyimpang merupakan setiap prilaku yang tidak

    berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat.

    (Sumber: Internet, Blogs Prilaku menyimpang - Community Portal of Gunadarma University, 15 oktober 2009).

  • Dari beberapa definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa prilaku menyimpang

    adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam

    suatu sistim sosial dan membutuhkan usaha dari mereka yang berwenang dalam

    sistim itu untuk memperbaiki prilaku yang menyimpang tersebut.

    B. Latar Belakang Prilaku Menyimpang

    Banyak penyebab yang dipandang sebagai hal-hal yang melatarbelakangi

    prilaku-prilaku menyimpang yang dilakukan anak. Penyebab-penyebab ini

    mungkin datang dari diri sendiri atau pribadi, keluarga, teman sebaya, lingkungan,

    atau mungkin dari pendidikan orang tua.

    a. Pribadi.

    Pribadi menurut istilah ialah manusia mandiri dalam menentukan

    kehendaknya, menentukan sendiri setiap perbuatannya dalam pencapaian

    kehendaknya. Pada dasarnya pembentukan kepribadian adalah suatu proses

    pembelajaran dalam diri yang selalu melekat sepanjang hayat, yang melibatkan

    interaksi antar individu, dan dengan lingkungan. Seringkali individu dalam

    mengembangkan dirinya terpengaruh oleh lingkungannya sehingga akan

    menemukan kendala berupa cobaan, rintangan, kegagalan, persaingan dan

    sebagainya, sehingga akan memunculkan prilaku-prilaku yang menyimpang.

    Pada dasarnya prilaku normal maupun prilaku menyimpang atau salah suai

    merupakan pewujudan konsep diri (pribadi) sebagai hasil dari interaksinya dengan

    dunia di luar dirinya. Juga, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa prilaku itu

    pada dasarnya dipengaruhi oleh tujuan sehingga seseorang melakukan

  • perbuatannya untuk mencapai tujuan itu, dan tentunya untuk kepentingan

    pribadinya.

    b. Keluarga

    Keluarga merupakan salah satu aspek yang melatarbelakangi atau

    menyebabkan munculnya penyimpangan-penyimpangan prilaku pada diri anak.

    Orang tua (ayah-ibu) yang memiliki perhatian terhadap kebutuhan anaknya akan

    membantu pertumbuhan dan perkembangannya sehingga anak tidak berprilaku

    salah suai. Sebaliknya orang tua yang tidak memiliki perhatian terhadap

    kebutuhan anak kemungkinan besar akan berpeluang tumbuhnya penyimpangan-

    penyimpangan prilaku pada diri anak.

    Pada dasarnya anak yang sedang tumbuh dan berkembang fisik dan psikisnya

    sangat membutuhkan bantuan/pertolongan orang dewasa (orang tua, kakak, dan

    yang lainnya). Oleh karena itu peranan orang tua sangat penting terutama

    dibutuhkan oleh anak pada masa-masa sedang pesatnya pertumbuhan dan

    perkembangan anak.

    Studi yang dilakukan oleh Thruston, Feldhusen, dan Benning (1973)

    menyebutkan faktor-faktor yang membuat penyimpangan prilaku anak di kelas

    disebabkan oleh situasi yang terjadi di rumah, antara lain: 1). Ayah menerapkan

    disiplin yang longgar, lepas kendali, terlalu ketat, atau tidak terarah, 2). Ibu

    melakukan pengawasan seadanya, atau tidak mampu merawat anak, 3). Orang tua

    (ayah dan ibu) memberi perlakuan yang sama atau bahkan menunjukan sikap

    permusuhan terhadap anaknya, 4). Anggota keluarga tenggelam dalam kegiatan

  • masing-masing yang berbeda, 5). Orang tua sulit untuk berbicara secara terbuka

    dengan anak, 6). Hubungan suami-istri yang tidak terbuka dan tidak ada

    kebersamaan atau kesetaraan di mata anak, 7). Orang tua menunjukan penolakan

    terhadap banyak hal yang dilakukan anak, 8). Para ibu merasa tidak cocok dengan

    lingkungan tempat tinggal mereka, 9). Orang tua menggunakan hukuman fisik

    sebagai pelampiasan marah bila anak melakukan kesalahan. Kontrol sikap orang

    tua dalam hal ini menjadi masalah yang sulit, 10). Orang tua yakin bahwa

    pengaruh mereka kecil terhadap perkembangan anaknya, 11). Orang tua yakin

    bahwa anak-anak lain menularkan pengaruh buruk terhadap anak mereka, 12).

    Kegiatan-kegiatan waktu luang orang tua yang tidak konstruktif.

    Studi yang dilakukan Lefkowitz dkk (1973) dan Hillman (1972) juga

    menunjukan adanya korelasi yang signifikan antara wujud keluarga dan prilaku

    anak di sekolah. Penyimpangan berulang (perennial deviancy) yang terjadi di

    kelas disebabkan oleh sikap permusuhan yang ditunjukan orang tua kepada anak.

    Sikap orang tua yang selalu memojokan atau melampiaskan kejengkelannya

    sering membuat anak berprilaku agresif di sekolahnya.

    c. Teman Sebaya

    Pada masa sekolah perkembangan sosial dan kepribadian anak berkembang

    dengan baik yang ditandai dengan makin meluasnya lingkungan sosial, dimana

    sudah mulai sedikit demi sedikit meninggalkan alam fantasi untuk menuju

    realisme. Anak mulai banyak berteman dan akan lebih dekat dan percaya terhadap

    lingkungan sebayanya dari pada anggota keluarga di rumah. Maka dalam

  • pergaulan teman sebaya akan membawa dampak pada penyesuaian diri terhadap

    lingkungan sekolah.

    Pergaulan teman sebaya akan memberi dampak positif atau negatif bagi

    prilaku anak. Hal ini tentunya tergantung dari prilaku pergaulan yang mereka

    jalani. Pergaulan antar teman sebaya yang mengarah kepada hal-hal positif akan

    menumbuhkan prilaku positif, misalnya terjadi kerja sama, tolong menolong

    diantara mereka. Sebaliknya pergaulan antar teman sebaya yang mengarah

    kepada hal-hal negatif akan menumbuhkan prilaku negatif, seperti terjadi

    persaingan dan pertentanga diantara mereka.

    Gambaran tentang pengaruh pribadi anak, keluarga, dan teman sebaya secara

    singkat dijelaskan oleh Dreikurs dan Cassel (1974:26) sebagai berikut: In the

    family the child develops his own concept about himself in his transactions with

    parents and siblings. This form his life style. In school he socializes in a

    community with children from different families. As he become an adolescent he

    is confronted with the problems of society by being most concerned with his peer

    group. (Di dalam keluarga anak mengembangkan konsep diri melalu transaksi

    dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Hal ini membentuk gaya hidupnya. Di

    sekolah anak mensosialisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan

    anak-anak dari lingkungan keluarga yang berbeda. Saat memasuki masa adolesen,

    anak berkonfrontasi dengan masalah kemasyarakatan dan sangat memusatkan

    kepentingan dengan kelompoknya).

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pergaulan antar teman sebaya

    merupakan bagian dari kehidupan mereka yang sangat penting bahkan anak lebih

  • mementingkan kepentingan kelompoknya dan berkonfrontasi dengan masalah

    kemasyarakatan. Oleh karena itu jika pergaulan teman sebaya mengarah kepada

    hal-hal negatif akan memberi dampak pada prilaku menyimpang.

    d. Lingkungan Masyarakat.

    Pada dasarnya lingkungan kehidupan anak berawal dari lingkungan keluarga,

    kemudian beranjak ke lingkungan sekolah lalu berbaur dalam lingkungan

    masyarakat. Masing-masing lingkungan tersebut memiliki peranan dan pengaruh

    terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (fisik dan psikis). Perkembangan

    perilaku anak juga tidak terlepas dari pengaruh dari ketiga faktor lingkungan

    tersebut.

    Berkaitan dengan hal ini, Stevenson dan Stigler menjelaskan sebagai berikut:

    Children born into a partiular society gradually acquire the beliefs, values, and

    attitudes held by its members, and use them to explain and interpret their world.

    (Stevenson & Stigler, 1992: 96). (Anak lahir dalam suatu masyarakat tertentu

    yang secara lambat laun memperoleh keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku dari para

    anggotanya, dan memanfaatkannya untuk menjelaskan dan menginterprestasikan

    dunia mereka).

    Families, schools, and wider cultural beliefs all play a part in childrens

    academic successes and failures. Yet all of these factors are ultimatey effective

    only through the influence they have on the daily lives of individual children.

    (Stevensn & Stigler, 1992: 52). (Keluarga, sekolah, dan keyakinan-keyakinan

    budaya yang lebih luas/masyarakat semuanya memiliki peranan di dalam

  • keberhasilan dan kegagalan pendidikan anak. Ketiga faktor tersebut hanya akan

    efektif apabila pengaruh yang dimilikinya memberi arti positif bagi kehidupan

    individu anak).

    e. Pendidikan Orang Tua

    Latar belakang pendidikan orang tua sangat berpengaruh kepada kehidupan

    pribadi anak, anak yang sebahagian besar waktunya berada dalam lingkungan

    keluarga akan menyerap berbagai pengalaman dan mendapatkan pendidikan

    informalnya dalam interaksinya dengan anggota keluarga lainnya, terutama

    bercermin pada figur orang tuanya. Bakat yang ada dalam diri anak untuk dapat

    berkembang dengan baik perlu mendapat dukungan dari keluarga, dan kurangnya

    dukungan dari keluarga akan menghambat pekembngan anak itu sendiri.

    Pentingnya peran orang tua terutama yang berpendidikan/berpengetahuan

    dalam membantu pendidikan anaknya di rumah maupun di sekolah dijelaskan

    oleh Martha C. Brown (1985: 5) sebagai berikut: No child in todays schools can

    afford to be without the support of informed parents. Yet millions of concerned

    parents hesitate to ask the questions or to insist on getting the answers they need

    to understand how well their children are learning. (Pada sekolah-sekolah

    sekarang ini tidak ada seorang anak pun yang dapat mandiri tanpa dukungan para

    orang tua yang berpengetahuan. Walaupun jutaan orang tua yang peduli merasa

    ragu untuk bertanya dan memperoleh jawaban yang mereka butuhkan untuk

    memahami bagaimana anak-anak mereka belajar dengan baik).

  • Dari uraian penjelasan di atas menggambarkan bahwa peran orang tua yang

    berpengetahuan/berpendidikan akan sangat mendukung kemajuan pendidikan

    anak, termasuk membantu mewujudkan perilaku-perilaku anak yang positif.

    Selain itu komunikasi sebagai alat untuk berbagi informasi antara pihak sekolah

    dengan orang tua anak akan sangat membantu keberhasilan pendidikan anak.

    Berkenaan dengan masalah latar belakang dan penyebab prilaku anak yang

    menyimpang Jones dan Jones dalam bukunya Comprehensive Classroom

    Management (1998: 8-12) menjelaskan tentang faktor sosial dan faktor sekolah

    yang mempengaruhi perilaku dan belajar siswa. Penjelasan tersebut secara ringkas

    antara lain sebagai berikut:

    f. Faktor-Faktor Sosial Yang Mempengaruhi Perilaku Siswa.

    Sekalipun para guru tidak dapat segera atau secara langsung mengubah

    faktor-faktor sosial yang menciptakan/mewujudkan permasalahan bagi siswa,

    pemahaman terhadap faktor-faktor ini memungkinkan para guru untuk membantu

    kesalahan dan perilaku siswa yang menyimpang dan untuk

    menciptakan/mewujudkan lingkungan yang dapat mengurangi pengaruh-pengaruh

    tersebut.

    Ketika membahas perilaku anak yang menyimpang, para guru sering

    mempertanyakan mengapa permasalahan ini nampak kian meningkat selama

    dekade yang lalu. Sebenarnya, saat pendidikan dan psikologi telah berkembang

    menjadi bidang pengetahuan yang lebih maju para guru menjadi tenaga yang lebih

  • terlatih. Guru-guru sekarang lebih memahami permasalahan ini sebagai

    perkembangan manusia dan proses belajar dibandingkan dengan guru-guru pada

    sepuluh tahun yang lalu. Oleh karena itu sekalipun perilaku siswa yang tidak

    produktif sering merupakan suatu respons terhadap faktor-faktor sekolah maupun

    kelas, hal ini nampaknya beralasan sebagai dugaan bahwa sekarang ini secara

    umum lingkungan sekolah lebih menunjang bagi kebutuhan para siswa dan lebih

    kondusif bagi mereka untuk belajar dibandingkan dengan sepuluh atau dua puluh

    tahun yang lalu. Akibatnya meskipun keterampilan guru meningkat sebagai faktor

    penunjang dalam menangani perilaku anak yang menyimpang, variabel-variabel

    lain mesti dipertimbangkan dalam upaya mengembangkan pemahaman tentang

    permasalahan disiplin kelas.

    Di Amerika kasus perceraian dan orang tua tunggal (single parent) meningkat

    pada empat puluh tahun terakhir. Hanya 11 % anak-anak yang lahir tahun 1950-an

    mengalami perceraian orang tua; hamper 55 % siswa yang lahir tahun 1990-an

    akan mengalami gejala ini. Selanjutnya, satu dari setiap empat anak yang tumbuh

    pada tahun 1990-an akan hidup dalam keluarga tiri, dan anak-anak usia remaja

    hampir setengahnya akan mengalami perceraian orang tua mereka kedua kalinya

    Hal ini berpengaruh terhadap anak. Laporan dari Childrens Defense Fund (Dana

    Ketahanan Anak) pada tahun 1990 menunjukan bahwa dua belas juta anak

    (melampaui 20 %) hidup dalam kemiskinan dan tanpa memiliki asuransi

    kesehatan. Kelompok yang tumbuh paling cepat yang tidak memiliki rumah di

    Amerika adalah ibu-ibu muda yang memiliki anak. Tahun 1994 laporan dari

  • National Committee on the Prevention of Child Abuse (Komite Nasional untuk

    Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak) meningkat hamper tiga juta kasus.

    Selama dekade yang lalu, anak yang minggat dari rumah dua kali lipat dari

    satu juta menjadi dua juta anak, dan jumlah yang bunuh diri di Amerika enam kali

    lebih banyak dibandingkan di Jepang. Selain itu sekalipun rumah nampaknya

    tempat yang aman, sejahtera, lingkungan yang menunjang sering menciptakan

    stress bagi anak ketika orang tuanya mengharapkan mereka ikut melakukan

    tanggung jawab keluarga tanpa pengawasan orang dewasa dan mendorong anak

    terlibat dalam berbagai kegiatan di luar sekolah. Hasil studi menunjukan bahwa

    anak-anak muda yang melakukan bunuh diri banyak yang berprestasi tetapi tak

    mampu mengatasi stress hidupnya disebabkan oleh harapan-harapan yang tinggi

    untuk berprestasi dibarengi tugas-tugas yang berlebihan. Stress keluarga berimbas

    terhadap kemampuan anak dalam memfungsikan dirinya secara efektif di sekolah.

    Bagi kebanyakan anak stress dan kekerasan di rumah berkaitan dengan

    permasalahan yang sama di masyarakat. Anak-anak yang mengkonsumsi obat-

    obatan dan alkohol merupakan salah satu respons meningkatnya stress dalam

    kehidupan mereka. Substansi kekerasan adalah salah satu faktor sosial yang

    menguras waktu, energi, dan kemampuan siswa dalam menghadapi tugas-tugas

    akademik. Penyalahgunaan obat-obatan yang dilakukan anak menggambarkan

    pentingnya mempertimbangkan variabel-variabel sosial dan sekolah sebagai

    faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan belajar anak.

  • g. Faktor-Faktor Sekolah Yang Mempengaruhi Perilaku Dan Belajar Siswa.

    Meskipun faktor-faktor sosial talah membuat tugas guru menjadi lebih sulit,

    penelitian menunjukan bahwa guru dan sekolah mewujudkan perbedaan dramatis

    di dalam kehidupan banyak siswa.

    Penelitian Joy Dryfus (1990) tentang penyebab dan kemungkinan

    pencegahannya terhadap penggunaan obat-obatan, hamil diluar nikah, kegagalan

    sekolah, dan perilaku menyimpang. Dia mencatat peranan personil sekolah

    sebagai berikut: banyak intervensi dari pihak luar berkaitan dengan

    pengembangan pendidikan sebagai komponen utama, faktanya pencegahan

    terhadap perilaku menyimpang nampak terwujud dalam pencegahan terhadap

    kegagalan sekolah. Secara umum pencegahan perilaku menyimpang merupakan

    salah satu masalah dalam pendidikan yang cukup sulit, termasuk juga masalah

    penggunaan obat-obatan dan kehamilan di luar nikah dari para remaja. Perlunya

    keterampilan dasar pada usia-usia yang layak nampak menjadi suatu komponen

    pokok bagi semua pencegahan.

    Publikasi dari kantor riset dan pengembangan pendidikan (The Office of

    Educational Research and Improvement) dalam upaya sekolah mewujudkan rasa

    aman, disiplin dan bebas obat-obatan terlarang merupakan bagian dari peranan

    sekolah dalam mengefektifkan perilaku siswa disimpulkan sebagai berikut: pada

    decade yang lalu penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan-perbedaan penting

    antara satu sekolah menengah dengan sekolah menengah lainnya dalam hal

    perilaku dan hasil belajar siswa, perbedaan yang tidak dapat sepenuhnya dilatari

  • oleh latar belakang siswa di sekolah. Tiga dimensi dari suasana sekolah nampak

    sebagai perbedaan tersebut:

    1. Tujuan: penekanan yang kuat terhadap misi akademik sekolah.

    2. Peraturan dan prosedur: standar disiplin yang jelas diterapkan secara tegas,

    adil, dan konsisten.

    3. Suasana: suatu etika kepedulian untuk mewujudkan hubungan antar personil

    di sekolah.

    Unuk membuat perubahan-perubahan yang signifikan tehadap belajar dan

    perilaku siswa, kita mesti serius melihat pada variabel-variabel di sekolah dan

    mewujudkan kesempatan-kesempatan bagi perubahan perilaku mengajar kita dan

    bagaimana sekolah-sekolah mewujudkan program dan pelaksanaannya.

    Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, menurut Gnagey (1980:38-43) ada

    lima hal pokok yang membuat anak berprilaku menyimpang, yaitu:

    1. Kelalaian atau Tidak Tahu Peraturan (Ignorance of Rules)

    Kelalaian atau ketidaktahuan tentang peraturan merupakan salah satu alasan

    yang membuat anak berprilaku menyimpang. Hal ini terutama pada masa-masa

    awal pertemuan siswa dengan guru. Sekalipun peraturan telah ditetapkan dan

    disampaikan kepada siswa, tetapi jika peraturan itu tidak membedakan yang

    sifatnya operasional dan tertulis, maka siswa tidak akan memahami betul

    peraturan yang mesti diikutinya.

  • Langkah coba-coba dalam menerapkan peraturan akan mengganggu

    perkembangan kejiwaan anak. Jika suatu peraturan tidak jelas untuk diikuti maka

    hal ini akan membuat anak berada dalam keraguan atau kebingungan.

    2. Peraturan yang bertentangan (Conflicting Rules)

    Peraturan-peraturan yang bertentangan baik yang terjadi dalam kehidupan

    sehari-hari maupun yang diajarkan dari buku-buku merupakan penyebab

    terjadinya prilaku menyimpang pada diri anak. Kvareceeus (1945) member

    petunjuk bahwa banyak anak yang telah belajar dengan baik dari lingkungan

    sekitar rumah ternyata prilaku mereka menyimpang dan tidak baik untuk ukuran

    norma-norma sekolah. Dalam hal ini anak menjadi korban pendidikan lingkungan

    yang salah dan bertentangan dengan keadaan sekolah.

    Kagan (1958) menjelaskan bahwa banyak prilaku anak sebagai peniruan

    (imitation) dari contoh-contoh yang diberikan orang dewasa. Jika prilaku ini tidak

    sesuai dalam situasi tertentu di sekolah maka akan memunculkan permasalahan

    bagi guru. Brophy dan Putnam (1979) menunjuk contoh para guru mengharapkan

    siswanya menatap wajah dan mata ketika guru menasehati atau menjelaskan

    sesuatu, tetapi di sisi lain para orang tua menganggap prilaku seperti itu sebagai

    tanda menantang atau melawan. Hal ini memberi penjelasan bahwa sejumlah

    siswa bisa menyimpang prilakunya semata-mata disebabkan mereka tidak bisa

    membedakan antara peraturan yang dipelajari di rumah dan situasi-situasi sekolah

    yang mesti diikuti.

  • 3. Frustrasi (Frustration)

    Reaksi-reaksi terhadap berbagai gangguan di kelas juga akan mewujudkan

    berbagai bentuk penyimpangan prilaku yang didasari rasa frustrasi.

    John Dollar dkk (1939) mengemukakan hipotesisnya tentang frustrasi-agresi,

    yaitu hubungan antara pencabutan hak yang dibutuhkan dan prilaku marah.

    Menurut John Dollar dkk sedikitnya ada tiga penyebab frustrasi pada diri anak di

    kelas, yaitu: guru, teman-teman sekelas, dan kegiatan-kegiatan. Kesemuanya ini

    dapat membuat anak berprilaku menyimpang.

    Sejumlah anak yang menerima hukuman berupa penahanan untuk masa waktu

    tertentu, ternyata setelah hukuman selesai semakin meningkat penyimpangan

    prilaku pada diri anak, bukan berubah menjadi lebih baik. Guru sebagai manajer

    kelas tanpa pertimbangan yang matang akan mengakibatkan tindakan-tindakannya

    yang tidak tepat mendorongnya menjadi pembuat frustrasi utama (the role of chief

    frustrator) bagi anak.

    Kesepakatan antar teman merupakan suatu kebutuhan kuat dan mendasar, dan

    sering menjadi motivasi bagi prilaku siswa. Jika seorang siswa merasa terisolasi

    atau ditolak dikelasnya, dia kemungkinan mereaksi agresif terhadap situasi yang

    tidak toleran tersebut.

    Lobrer (1966) menemukan bahwa anak yang secara sosial tidak diterima oleh

    teman-teman sekelasnya cenderung menjadi pengganggu dan berprilaku mencari

    perhatian di kelasnya. Conger (1973) menyimpulkan bahwa prilaku para siswa

    yang menyimpang disebabkan oleh hubungan antar teman yang kurang baik, dan

  • hal ini terjadi di sekolah dasar maupun sekolah menengah. Johnson dan Johnson

    (1974) menunjukan bahwa struktur-struktur tujuan yang kompetitif (competitive

    goal structures) dapat meningkatkan friksi antar siswa dan merusak iklim kelas

    yang efektif.

    Jika prestasi akademik sebagai tujuan utama pendidikan, maka

    ketidakmampuan belajar untuk mencapai prestasi merupakan sumber pokok

    frustrasi siswa. Hubungan antara masalah prestasi dan prilaku menyimpang cukup

    beralasan. Conger (1973) dan Duke (1976) menyimpulkan bahwa siswa yang

    memiliki masalah prilaku kronis menunjukan kemampuan yang rendah di

    sekolahnya, termasuk dalam tes-tes kemampuan dasar. Jurgenson (1977)

    menjelaskan bahwa perlengkapan sekolah yang lebih memudahkan kegiatan-

    kegiatan siswa membuat prilaku kelas menjadi lebih baik. Gnagey (1980)

    menemukan bahwa para siswa yang berprilaku mengganggu karena kontrol dari

    luar yang lebih ketat, dibandingkan dengan para siswa yang berprilaku positif.

    Mereka merasa bahwa keberhasilan dan kegagalan itu disebabkan oleh tekanan-

    tekanan dari luar dirinya, dan apabila sama sekali tidak ada yang membantunya

    maka akan membuat frustrasi akademik yang lebih parah.

    Syamsu Yusuf (2008: 166) memberikan definisi frustrasi sebagai berikut:

    Frusrasi dapat diartikan sebagai kekecewaan dalam diri individu yan disebabkan

    oleh tidak tercapainya keinginan. Pengertian lain dari frustrasi adalah: rasa

    kecewa yang mendalam, karena tujuan yang dikehendak tak kunjung terlaksana.

    Reaksi individu terhadap frustrasi yang dialaminya berbeda-beda, hal ini

    disebabkan oleh perbedaan pada struktur maupun fisik, serta perbedaan sosial

  • kultural dan nilai-nilai agama yang dianutnya. Perbedaan reaksi individu terhadap

    frustrasi itu dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukannya. Ada yang

    menghadapinya secara rasional, tetapi ada juga yang reaksinya terlalu emosional,

    yang terwujud dalam bentuk-bentuk tingkah laku yang salah suai

    (maladjustment).

    4. Pemojokan atau Pelampiasan (Displacement)

    Perasaan terpojok sering menjadi penyebab prilaku menyimpang. Tindakan-

    tindakan yang tidak baik yang terjadi dikelas mungkin akibat pengaruh dari

    lingkungan luar. Perasaan kecewa sering pula dialihkan atau dilampiaskan pada

    orang-orang atau benda-benda yang ada di sekolah.

    Seorang anak tidak menyukai gurunya hanya karena gurunya itu lelaki. Anak

    itu selalu menghindar dan menolak kerja sama dengan gurunya. Setelah diselidiki

    ternyata anak itu hidup dengan ibunya. Bapaknya telah tiga kali meningggal

    mereka berdua. Setelah lebih dari enam bulan, bapaknya setiap pulang kerumah

    sering dalam keadaan mabuk dan memukuli istri dan anaknya dengan kasar dan

    bengis. Keduanya ---ibu dan anak itu--- mengganggap dan yakin bahwa lelaki itu

    bukan lagi suami dan bapak mereka tetapi hewan buas yang berbahaya. Dalam hal

    ini, sang guru menjadi korban pelampiasan dari prilaku si anak yang merasa

    kecewa, putus asa, dan dendam yang ditebarkan oleh prilaku bapaknya.

    Studi yang dilakukan Lefkowitz dkk (1973) dan Hillman (1972) juga

    menunjukan adanya korelasi yang signifikan antara wujud keluarga dan prilaku

    anak di sekolah. Penyimpangan berulang (perennial deviancy) yang terjadi di

  • kelas disebabkan oleh sikap permusuhan yang ditunjukan orang tua kepada anak.

    Sikap orang tua yang selalu memojokan atau melampiaskan kejengkelannya

    sering membuat anak berprilaku agresif di sekolahnya.

    Prilaku menyimpang sering juga disebabkan oleh sikap guru yang tidak baik.

    Guru yang galak, bengis, penuh cemooh, dan perkataannya sering membuat sakit

    hati, akan menanamkan perasaan-perasaan negative dalam diri anak dan

    membuahkan penyimpangan prilaku dengan cara pelampiasan pada guru lain yang

    baik, bijaksana, dan penuh pengertian.

    5. Rasa Cemas, Khawatir, Ragu (Anxiety)

    Rasa cemas, khawatir, atau ragu yang tertanam dalam diri anak bisa

    menyebabkan munculnya penyimpangan-penyimpangan prilaku. Reaksi-reaksi

    dari rasa cemas, khawati, atau ragu ---misalnya saat mengkuti ujian, berbicara di

    depan orang-orang lain, atau dinilai kemampuannya--- menjadi penyebab

    munculnya prilaku-prilaku menyimpang pada diri anak.

    Gnagey (1980) menemukan bahwa kebutuhan rasa aman (safety need) dari

    berbagai gangguan yang disebabkan oleh prilaku menyimpang dirasakan lebih

    kuat pada diri siswa lainnya. Para siswa lebih merasa takut oleh siswa-siswa yang

    berprilaku mengganggu dibandingkan oleh teman-teman se kelasnya yang

    berprilaku baik. Survey nasional Amerika yang dilakukan secara acak oleh Peck

    dan Hughes (1979) menunjukkan bahwa kemampuan anak dalam mengendalikan

    rasa cemas menjadi suatu prediksi atas keberhasilan sekolahnya.

  • Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar belakang atau penyebab

    terjadinya prilaku menyimpang pada diri anak cukup beragam. Jika

    diklasifikasikan latar belakang atau penyebab tersebut bisa muncul dari pribadi,

    keluarga, teman sebaya, lingkungan, dan pendidikan orang tua.

    C. Profil Anak Berprilaku Menyimpang

    Anak berprilaku menyimpang cenderung melakukan tindakan-tindakan

    negatif, yang secara umum tidak sesuai dengan norma kemasyarakatan atau

    kebiasaan-kebiasaan yang layak dalam kehidupan di masyarakat. Mengapa anak

    berprilaku menyimpang? Pertanyaan ini secara gamblang dijelaskan sebagai

    berikut: Basically every human, adult or child, is a social being. We all want to

    belong, to find our place in the group. Every action of the child is an endeavour to

    find this place. Some actions we accept as appropriate. If these are given

    recognition he will not become discouraged and switch to useless or destructive

    behaviour. (Dreikurs dan Cassel, 1974:26).

    Jadi menurut Dreikurs dan Cassel pada dasarnya setiap orang, dewasa atau

    anak-anak adalah mahluk sosial. Kita semua ingin memiliki, menemukan tempat

    kita dalam kelompok. Setiap tindakan anak merupakan suatu upaya untk

    menemukan tempat tersebut. Beberapa tindakan kita terima sebagai tindakan yang

    layak. Jika tindakan-tindakan yang wajar kita berikan pengakuan, anak tidak akan

    menjadi patah semangat dan menghindari prilaku yang tak berguna atau merusak.

    Oleh karena itu tindakan-tindakan anak yang wajar perlu mendapat

    pengakuan, pujian, dan penghargaan, sebaliknya tindakan-tindakan anak yang

  • tidak wajar perlu mendapat peringatan, teguran, dan bahkan sanksi. Jika tidak

    demikian maka kemungkinan anak akan terbelenggu oleh kebingungan untuk

    menentukan arah yang benar, dan kemungkinan besar akan terjadi penyimpangan-

    penyimpangan perilaku pada diri anak.

    Proses sosialisasi merupakan bagian penting dalam kehidupan anak, sebagai

    jembatan untuk mencari dan menemukan tempat bagi pemenuhan kebutuhan dan

    minatnya. Peran orang dewasa sangat penting dalam membantu proses sosialisasi

    anak. Peran orang dewasa harus menjadi contoh keteladanan bagi anak yang

    sedang beranjak dewasa sehingga mampu melakukan sosialisasi positif dalam

    kehidupannya. Jika tidak demikian maka sebaliknya prilaku anak akan

    menyimpang.

    D. Cara Penanggulangan Untuk Mengurangi/Mengubah Perilaku

    Menyimpang

    Para guru, orang tua, atau orang dewasa tidak bisa berdiam diri terhadap

    anak-anak yang berprilaku menyimpang. Guru, orang tua, atau orang dewasa

    harus memberi perhatian, teguran, maupun bimbingan dalam rangka mengurangi

    atau mengubah prilaku anak yang menyimpang (negatif) agar kembali menjadi

    berprilaku normal (positif). Sebab pada hakekatnya anak yang berprilaku

    menyimpang tidak hanya mengganggu/merugikan orang lain, tetapi juga

    merugikan anak itu sendiri dan berdampak pada terhambatnya

    pelaksanaan/pencapaian hal-hal yang seharusnya dilakukan dan diseesaikan oleh

    yang anak bersangkutan.

  • Menurut Walker dan Shea (1986) ada enam cara penanggulangan untuk

    mengurangi/mengubah perilaku menyimpang, yaitu: 1. Penghapusan (extinction),

    2. Diistirahatkan (time-out), 3. Pengenyangan (satiation), 4. Hukuman

    (punishment), 5. Penguatan terhadap perilaku yang labil (reinforcement of

    incompatible behavior), 6. Desensitisasi (desensitization).

    Cara-cara penanggulangan untuk mengurangi/mengubah perilaku

    menyimpang lebih lanjut dipaparkan oleh Walker dan Shea (1986:100-120) sebagai

    berikut:

    1. Penghapusan (extinction)

    Yaitu tidak diberikkannya penguatan sama sekali. Penghapusan adalah bentuk

    stimulus negative sebagai upaya untuk mengurangi perilaku negative, misalnya:

    pembatalan atau penundaan pemberian ganjaran yang sebenarnya diharapkan oleh

    siswa, baik berupa barang atau kegiatan yang disenanginya. Penghapusan hanya

    efektif apabila guru dan orang tua secara konsisten menerapkan intervensi ini.

    2. Diistirahatkan (time-out)

    Umumnya yang dimaksud diistirahatkan yaitu misalnya memindahkan duduk

    anak yang tadinya di ruang kelas bersama teman-temannya, ditempatkan di tempat

    sendiri terpisah untuk jangka waktu tertentu. Menurut Lewellen (1980) ada tiga

    jenis model time-out, yaitu: 1). Observasi, merupakan prosedur dimana siswa

    dipisahkan dari temannya yang lain untuk melakukan kegiatan kelas sendiri,

    selain itu siswa tersebut mengamati perilaku yang layak teman-teman sekelasnya,

    2). Mengeluarkan (exclusion), merupakan prosedur dimana siswa dipisahkan dari

  • teman sekelasnya tapi masih dalam ruang yang sama yang dipisahkan oleh sekat

    pemisah misalnya rak buku yang ada di kelas, pada jenis ini siswa tidak

    dibolehkan mengamati perilaku kelompoknya, 3). Pengasingan (seclusion)

    merupakan prosedur dimana siswa dikeluarkan dari kelasnya dan ditempatkan di

    ruang isolasi.

    3. Pengenyangan (satiation)

    Pengenyangan merupakan usaha mengurangi atau menghilangkan perilaku

    yang menyimpang sebagai hasil dari penguatan negative berkelanjutan terhadap

    perilaku, penguatan negative disebut juga stimulus yang tidak diharapkan.

    Penguatan negative diarahkan untuk mendorong atau mengubah perilaku negative,

    misalnya anak yang perokok disuruh merokok sebanyak-banyaknya sampai

    merasa puas dan akhirnya diharapkan anak merasa tidak nyaman dengan rokok,

    anak yang sering keluar kelas waktu kegiatan belajar, disuruh berada di luar

    disekitar kelas, sampai merasa jenuh berada di luar, dan akhirnya diharapkan anak

    merasa tidak nyaman berada di luar.

    4. Hukuman (punishment)

    Hukuman sesungguhnya merupakan suatu stimulus yang tidak diharapkan

    (aversive stimuli) sebagai konsekwensi terhadap perilaku menyimpang. Penguatan

    negative berbeda dengan hukuman. Hukuman diarahkan untuk menghentikan

    perilaku negative. Stimulus yang sama dapat diklasifikasikan sebagai: a)

    penguatan negative, apabila dilakukan sebelum suatu perilaku tertentu terjadi, b)

    hukuman, jika dilakukan setelah perilaku yang sama terjadi.

  • 5. Penguatan terhadap perilaku yang labil (reinforcement of incompatible

    behavior)

    Penguatan merupakan salah satu usaha sistimatis untuk mengurangi perilaku

    yang menyimpang atau meningkatkan perilaku yang positif. Ada dua bentuk

    penguatan, yaitu: a) peguatan positif, terjadi apabila stimulus atau ganjaran yang

    diinginkan diberikan setelah perilaku yang diharapkan terwujud atau sering

    dilakkukan, misalnya siswa mendapat hadiah karena ia berprestasi di kelasnya, b)

    penguatan negatif, terjadi apabila frekuensi suatu perilaku meningkat dengan

    mengakhiri suatu keadaan yang tidak menyenangkan atau menyakitkan, misalnya

    ayah mematikan radio yang sedang didengar anaknya karena suranya bising.

    6. Desensitisasi (desensitization)

    Desensitisasi merupakan proses sistimatis untuk mengurangi reaksi rasa takut

    atau phobia atau rasa cemas. Teknik ini dianggap efektif diterapkan terhadap

    individu yang merasa takut atau cemas antara lain seperti berbicara di muka

    umum, belajar di sekolah, partisipasi dalam kelompok, dan lainnya. Proses

    desensitisasi antara lain mengikuti tiga tahapan, yaitu : a) latihan, antara lain

    melalui relaksasi otot, b) pembentukan, antara lain melalui pemberian stimulus

    untuk menghindari rasa takut/cemas, c) pembiasaan, antara lain melalui relaksasi

    otot untuk menghindari rasa takut/cemas.

    Selanjutnya Borich (1996:517) menjelaskan langkah-langkah analisis serta

    tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku siswa, yaitu:

    1. Mengidentifikasi perilaku yang tidak baik yang ingin kita ubah, dan

    mengidentifikasi perilaku yang baik yang perlu kita wujudkan.

  • 2. Mengidentifikasi kejadian-kejadian pendahulu (antecedent) bagi perilaku-

    perilaku yang tidak baik dan yang baik (misalnya: kelompok sebaya yang

    berpengaruh) dan membuat perubahan-perubahan yang penting dalam

    lingkungan kelas (misalnya: mengubah pengaturan tempat duduk) untuk

    mencegah terjadinya perilaku yang tidak baik dan meningkatkan perilaku yang

    baik.

    3. Mengidentifikasi tujuan siswa dibalik perilakunya yang tidak baik (misalnya:

    mencari perhatian atau attention seeking) dan menghentikan tindakan-tindakan

    kita yang dapat memenuhi atau memuaskan tujuan tersebut.

    4. Mewujudkan prosedur-prosedur untuk penguatan bagi perilaku positif dan

    pengubahan perilaku negative.

    5. Menggunakan hukuman hanya sebagai suuatu pilihan atau tingkatan akhir ( a

    last resort).

    Secara umum prilaku menyimpang anak diklasifikasikan oleh Borich dalam

    tiga tingkatan, yaitu : prilaku menyimpang ringan, menengah, berat, serta cara-

    cara alternatif penanggulangannya dijelaskan pada bagan dibawah ini:

    Bagan : Contoh-contoh Perilaku Menyimpang Ringan, Menengah, Berat,

    Dan Beberapa Respon Alternatifnya.

    Perilaku-Perilaku Menyimpang Respon-Respon Alternatif

    Ringan Ringan

    Merusak/mencoret-coret barang milik Memberi peringatan

    sekolah atau milik orang lain Memberi balikan

  • Bertingkah/banyak tingkah Diistirahatkan

    Berbicara membelakangi Pindah tempat duduk

    Berbicara tanpa angkat tangan Pencabutan hak-haknya

    Keluar dari tempat duduk Penahanan setelah sekolah

    Mengganggu yang lain Menelepon/menyurati orang tua

    Tidur di kelas

    Lamban/Malas

    Melempar barang-barang/benda-benda

    Makan di kelas

    Main taruhan/judi

    Mempertontonkan keakraban tidak layak

    (memeluk, mencium)

    Menengah Menengah

    Keluar kelas tanpa izin Penahanan

    Mencaci-maki sewenang-wenang Membuat perjanjian/kesepakatan

    pada yang lain Pencabutan hak-haknya

    Tidak patuh Menelepon/menyurati orang tua

    Merokok di kelas Musyawarah dengan orang tua

    Berbohong, menipu, menjiplak Penangguhan/pemecatan sekolah

    Bahasa atau isyarat vulgar/jorok/cabul

    Berkelahi

    Berat Berat

    Merusak barang milik sekolah Ganti rugi kerusakan

    atau milik orang lain Penahanan

  • Mencuri, memiliki, atau menjual Menelepon/menyurati orang tua

    barang milik orang lain

    Bolos/mangkir sekolah Musyawarah dengan orang tua

    Pecandu alkohol atau narkotik Penangguhan/pemecatan sekolah

    Menjual, memberi, atau mengedarkan alkohol, Dipindahkan atau ditempatkan

    narkotik, atau senjata kepada orang lain pada sekolah alternatif

    Menyerang atau mencaci-maki guru

    Perilaku yang sudah tidak dapat diperbaiki

    Sumber : G. D Borich (1996 : 527)

    Kasus prilaku menyimpang merupakan salah satu permasalahan serius di

    sekolah. Jika dibandingkan dengan anak normal yang secara umum berprilaku

    positif dan tidak mengganggu teman-temannya maupun situasi sekolah atau kelas,

    maka secara umum siswa yang berprilaku menyimpang tindakannya mengganggu

    teman-teman lainnya dan situasi sekolah maupun kelas.

    Di dalam kelas siswa yang berprilaku menyimpang secara umum tindakannya

    sering membuat kegiatan belajar mengajar menjadi terhambat. Gangguan ini

    muncul dari respon mereka yang negatif terhadap jalannya kegiatan belajar

    mengajar. Sebaliknya siswa yang berprilaku normal yang jumlahnya lebih banyak

    dalam setiap kelas berharap dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar yang

    nyaman dan kondusif. Oleh karena itu tindakan anak yang berprilaku

    menyimpang sering menjadi kasus yang serius, baik di sekolah maupun di dalam

    kelas, dan untuk mengatasi gangguan situasi sekolah maupun situasi kelas dari

  • ulah anak yang berprilaku menyimpang perlu ditangani secara serius, baik oleh

    guru, wali kelas, maupun guru bimbingan konseling.

    E. Upaya Bimbingan Yang Telah Dilakukan di Sekolah Terhadap Siswa Berprilaku Menyimpang

    Munculnya ragam perilaku menyimpang siswa di sekolah menyebabkan

    situasi belajar mengajar menjadi terganggu dan tidak kondusif. Apabila hal

    tersebut tidak bisa diatasi maka dampak lebih jauh akan menyebabkan

    kemunduran pada sekolah tersebut, terutama berhubungan dengan kedisiplinan

    siswa, karena siswa yang berprilaku menyimpang tersebut akan mempengaruhi

    teman lainnya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Berdasakan kondisi

    tersebut dianggap perlu untuk melakukan upaya-upaya penanganan permasalahan

    pada siswa yang berperilaku menyimpang. Upaya yang dilakukan sekolah antara

    lain berupa bimbingan dan tindakan-tindakan disiplin.

    Upaya-upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam mengatasi perilaku-perilaku

    anak yang melakukan pelanggaran, dalam hal ini siswa yang berperilaku

    menyimpoang, diantaranya dengan menerapkan sanksi bagi yang melanggar tata

    tertib sekolah. Adapun sanksi tersebut berupa poin-poin pelanggaran sebagaimana

    diuraikan dibawah ini.

    Bobot poin pelanggaran tata tertib di SMPN 3 Kota Serang.

    Siswa-siswi yang melanggar tata tertib sekolah akan dikenakan sanksi dalam

    bentuk poin/denda sesuai dengan jenis pelangggarannya. Apabila seorang siswa

  • telah mencapai 100 poin pelanggaran/sanksi, ini juga akan menjadi salah satu

    criteria atau persyaratan untuk menentukan naik kelas atau tidak, lulus atau tidak.

    Adapun bobot pelanggaran yang dimaksud adalah sebagai berikut:

    I. Kepribadian (Kelakuan)

    A. Ketertiban.

    1. Membuat keributan/kegaduhan dalam kelas pada saat- 10 poin

    berlangsungnya belajar 1. Masuk lingkungan sekolah dengan loncat pagar 20 poin 2. Keluar lingkungan sekolah dengan loncat pagar 20 poin 3. Mengotori/mencorat-coret benda milik sekolah, guru, 10 poin

    karyawaan, atau teman

    4. Merusak, menghilangkan barang milik sekolah, guru, 15 poin karyawaan, atau teman

    5. Mengambil (mencuri) barang milik sekolah, guru, 50 poin karyawaan, atau teman

    6. Makan/minum dalam kelas 5 poin 7. Membuang sampah tidak pada tempatnya 5 poin 8. Membawa benda yang tidak ada kaitannya dengan proses belajar- 10 poin

    mengajar (barang elektronik, HP, dan lainnya) 9. Bertengkar, bertentangan dengan teman di 15 poin

    lingkungan sekolah

    B. Rokok

    1. Membawa rokok 25 poin 2. Menghisap rokok di sekolah 50 poin

    C. Buku, majalah, atau kaset terlarang

    1. Membawa buku, majalah, atau kaset terlarang 50 poin

  • 2. Memperjual belikan buku, majalah, atau kaset terlarang 50 poin

    D. Senjata tajam 1. Membawa senjata tajam tanpa ijin 50 poin 2. Memperjual belikan senjata tajam di sekolah 50 poin 3. Menggunakan senjata tajam untuk mengancam 75 poin 4. Menggunakasenjattajam untuk melukai 75 poin

    E. Obat/minuman terlarang

    1. Membawa obat atau minuman terlarang 75 poin

    2. Menggunakan obat atau minuman terlarang di dalam 100 poin

    lingkungan sekolah

    3. Memperjual belikan obat atau minuman terlarang 100 poin

    di dalam atau di luar lingkungan sekolah

    F. Perkelahian

    1. Disebabkan oleh siswa dalam sekolah (intern) 75 poin

    2. Disebabkan oleh sekolah lain 25 poin

    3. Antar siswa 75 poin

    G. Pelanggaran terhadap Kepala Sekolah, guru, dan karyawan

    1. Disertai ancaman 75 poin

    2.Disertai pemukulan 100 poin

  • II. Kerajinan

    A. Keterlambatan

    1. Terlambat masuk sekolah lebih dari 10 menit

    - Satu kali 2 poin

    - Dua kali 3 poin

    - Tiga kali 5 poin

    2. Terlambat masuk karena izin 3 poin

    3.Terlambat masuk karena diberi tugas guru 2 poin

    4.Terlambat masuk karena alasan yang dibuat-buat 5 poin

    5. Izin keluar saat proses belajar berlangsung dan tidak kembali 10 poin

    6. Pulang tanpa izin 10 poin

    B. Kehadiran

    1. Siswa tidak masuk karena

    - sakit tanpa keterangan surat 2 poin

    - izin tanpa keterangan surat 2 poin

    - alpa tanpa keterangan surat 5 poin

    2. Tidak mengikuti kegiatan belajar (membolos) 10 poin

    3. Siswa tidak masuk dengan membuat keterangan (surat) palsu 10 poin

    4. Siswa keluar kelas tanpa ijin, saat proses belajar mengajar berlangsung 5 poin

    III. Kerapihan

    A. Pakaian

    1. Memakai seragamn tidak rapih/baju tidak dimasukan 5 poin

  • 2. Siswa putrid memakai seragam yang ketat/rok di atas lutut 5 poin

    3. Tidak memakai perlengkapan upacara/topi 5 poin

    4. Salah memakai baju, rok, atau celana 5 poin

    5. Salah atau tidak memakai ikat pinggang 5 poin

    6. Salah memakai sepatu (tidak sesuai ketentuan) 5 poin

    7. Tidak memakai kaos kaki 5 poin

    8. Salah/tidak memakai kaos dalam 5 poin

    9. Memakai topi yang bukan topi sekolah di lingkungan sekolah 5 poin

    10. Siswa putrid memakai perhiasan berlebihan 5 poin

    11. Siswa putra memakai perhiasan atau asesories (kalung, gelang, dll) 5 poin

    B. Rambut

    1. Panjang melampaui batas ketentuan (telinga, alis, dan kerah baju) 10 poin

    2. Pendek/ dicukur tidak rapih, siswa putera 10 poin

    3. Di cat/di warna-warni (siswa putra-putri) 15 poin

    IV. Apabila ada pelanggaran yang sanksinya (bobot poinnya) belum tercantum dalam tata tertib ini, Maka sanksi akan ditentukan oleh rapat guru.