perjalanan kelekatu

101
Yayasan Sagang Yayasan Sagang Yayasan Sagang Yayasan Sagang Yayasan Sagang Pekanbaru,2008 Kelekatu Rida K Liamsi PERJALANAN (sebuah kumpulan sajak)

Upload: rida-k-liamsi

Post on 02-Mar-2016

238 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Kumpulan ini adalah kumpulan puisi saya yang ketiga, yang pertama “Ode X” (stensilan-1971), kedua TEMPULING terbit tahun 2003. Kumpulan ketiga ini diberi nama PERJALANAN KELEKATU, yang diambil dari judul dua puisi yang ada di dalamnya, PERJALANAN dan KELEKATU.

TRANSCRIPT

Page 1: Perjalanan Kelekatu

Yayasan SagangYayasan SagangYayasan SagangYayasan SagangYayasan SagangPekanbaru,2008

Kelekatu

Rida K Liamsi

PERJALANAN

(sebuah kumpulan sajak)

Page 2: Perjalanan Kelekatu

Perjalanan Kelekatu(sebuah kumpulan sajak)

Pengarang:Rida K Liamsi

Pelaksana penerbitan,setting dan illustrasi :

Armawi KH

Penerbit :Yayasan Sagang, Pekanbaru

Komplek Riau Pos,Jalan Soebrantas, KM 10, Pekanbaru,

Riau, Indonesia

Cetakan pertama: Oktober 2008

Hak cipta dilindungi undang-undang.Dilarang mengutip dan memperbanyak

seluruh atau sebahagian isi buku initanpa izin tertulis dari Pengarang.

Kutipan Pasal 72:Sanksi Pelanggaran Undang-undang Hak Cipta

(Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002)

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimanadimaksud dengan Pasal 2 ayat (1) dipidana penjara masing-masing palin gsingkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000 (satu jutarupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda palingbanyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, ataumenjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak CiptaHak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidanapenjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus milyar rupiah).

(vi)

Page 3: Perjalanan Kelekatu

(vii)

Kelekatu

Yayasan SagangYayasan SagangYayasan SagangYayasan SagangYayasan SagangPekanbaru,2008

PERJALANANRida K Liamsi

(sebuah kumpulan sajak)

Page 4: Perjalanan Kelekatu

(ix)

Ayahanda Abdul Kadir bin Samad (alm) danIbunda Zainab binti Usman (alm),

yang telah menjadi simbol Karang dan Samudera dalamhidupku, serta mereka yang aku sayangi yang kini menjadi

Kedidi yang terus mencari jalan untuk pulang

Untuk :

Page 5: Perjalanan Kelekatu

Daftar isi

Daftar isi xiDari Penulis xiii1. Nguyen 12. Mengingat Kalian (1) 23. Suatu Siang di Jakarta 64. Asam Paya 75. Kasturi 86. Sanghay Baby 97. Di Great Wall 118. Seekor Lumba-lumba yang Ngembara 159. Surat Kepada GM 1710. Percakapan Akhir 2011. Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami 2212. Di Tebing Lauttawar 3613. Di Tapaktuan, Mereka Takut Menunggu Malam 4014. Di Masjid Amir Hamzah 4315. Perjalanan 4416. ROSE Tiga 4517. Ada Suara Sauh 48©18. Aku telah Menangkap Isyarat Itu 4919. Kelekatu 5120. ROSE Empat 5421. Kedidi Kini Sendiri Pergi Mencari 55

(xi)

Page 6: Perjalanan Kelekatu

22. Di Jabbal Rahmah 5923. Di Masjidil Haram, setelah Menara Zamzam 6324. Dayang Ku Laut 6625. Aku Menunggu di Stasiun 7226. Cinta 7427. Dan Sejarah pun Berdarah 7528. ROSE Lima 8629. Tentang Penulis 88

(xii)

Page 7: Perjalanan Kelekatu

(xiii)

Dari Penulis

Alhamdulillah,kumpulan puisi ini akhirnya berhasil diterbitkan.

Kumpulan ini adalah kumpulan puisi saya yang ketiga,yang pertama “Ode X” (stensilan-1971), kedua TEMPULINGterbit tahun 2003. Kumpulan ketiga ini diberi namaPERJALANAN KELEKATU, yang diambil dari judul dua puisiyang ada di dalamnya, PERJALANAN dan KELEKATU.Nama ini dipilih, karena memang hampir sebagian besarpuisi-puisi dalam kumpulan ini adalah hasil renungan dancatatan-catatan perjalanan. Baik perjalanan fisik saya keberbagai negeri, termasuk perjalanan ke Nangroe AcehDarussalam, 10 hari setelah tragedi dahsyat Tsunami dipenghujung tahun 2004, maupun perjalanan bathin. Puisi-puisi perjalanan itu, lebih merupakan rekaman seorangjurnalis, rasa yang bangkit dari terkaman kenyataan dan

Page 8: Perjalanan Kelekatu

(xiv)

gelombang cemas dan empati yang menyertai. Mungkinbukan sebuah perenungan yang dalam, dan karenanya belumtentu menyisakan puisi-puisi yang kekal. Menumental.Renungan dan catatan perjalanan itu, mungkin beberapawaktu kemudian, sudah sangat berubah. Kecemasan dankegelisahan yang tertangkap dalam lanskap puisi-puisi inimungkin sudah tidak lagi seperti itu. Di Tapaktuan, misalnya,suatu waktu kelak, tidak lagi terasa kecemasan penghuninyaatau sesiapapun yang sampai di sana, saat-saat menunggumalam. Hidup telah mengubahnya, dan waktu membuatbathin mereka menjadi lebih tangguh. Akhirnya puisihanyalah sebuah catatan sejarah, catatan suatu ketika, catatansebuah luka.

Kesadaran lain pada sebahagian lain puisi dalamkumpulan ini, adalah perjalanan hidup yang semakin capasdan kehilangan pesonanya. Bagai seekor kelekatu yangterbang dari satu cahaya ke cahaya lain, kita pergi mencarimakna, mencari suatu tempat untuk pulang. Tetapi gemuruhwaktu dan hidup, membuat kita berjalan sendiri, mencarisendiri, dan mungkin tak lagi saling perduli. Kita memangakhirnya seperti seekor Kelekatu yang pergi mencari jalanpulang, mencari makna keberadaan kita. Pertanyaan visionertentang menjadi apa kita, menjadi siapa kita, adalahpertanyaan seekor Kelekatu yang menembus waktu.Menunggu resa angin, menjadi isyarat musim. Atau kitaseperti seekor burung Kedidi, berlari sepanjang pantai, taktahu kapan akan sampai, atau ke mana akan sampai.

Puisi-puisi dalam kumpulan ini memang ada yangberasal dari beberapa puisi di tahun-tahun awal kepenyairansaya, yang belum dimasukkan dalam kumpulan pertama.Masih ada yang ditulis tahun 80-an. Saya juga ternyata masihtetap kurang konsisten, dan terus menerus menyempurnakansajak-sajak yang ditulis. Menambahnya dengan renungan-renungan baru, membuang bagian-bagian yang terasa kurangutuh, dan memberikannya sentuhan-sentuhan diksi yanglain, saat saya membaca ulang, dan merenungkannyakembali. Karena itu, beberapa sajak mempunyai tahun

Page 9: Perjalanan Kelekatu

(xv)

penulisan lebih dari satu, dan jaraknya kadang-kadang cukuppanjang. Saya memang terkadang menulis ulang,menyempurnakannya, dan berharap sajak-sajak itu akanmenjadi lebih baik. Lebih terasa geliat putikanya.

Kumpulan ini, seperti kumpulan pertama, hanya berisisekitar 30 puisi. Saya masih tetap kurang produktif. Banyakide, banyak sketsa-sketsa yang sudah disiapkan, terutama disela-sela perjalanan dan kerja sebagai pengusaha surat kabar,tapi sulit sekali menyelesaikannya sebagai sebuah puisi.Beberapa puisi akhirnya kembali masuk ke dalam file, danmenunggu resa baru, kalau-kalau kelak akan selesai danmenjadi puisi-puisi baru. Di dalam kumpulan ini, memangterdapat sejumlah puisi yang sudah pernah dipublikasi didalam majalah budaya Sagang, sebuah majalah sastra danbudaya yang terbit di Pekanbaru, Riau, terutama pada edisikhusus ulang tahunnya. Tetapi, beberapa yang lainnyamemang belum pernah dipublikasi, meskipun beberapa diantaranya ada yang sudah pernah dibacakan di berbagai eventbaca puisi.

Saya kembali sangat berterimakasih kepada sahabat sayaArmawi KH, yang pada kumpulan inipun menjadi peran-cang artistiknya. Baik isi, kulit, tipographi, dan meleng-kapkannya dengan vignet yang seperti buku puisi yangpertama, telah menjadi puisi-puisi sendiri, dan berbicaradengan indah dan menggetarkan. Untuk itu saya sangat ber-hutang budi atas apa yang sudah dia lakukan, dalam semangatpersahabatan sangat tulus ini.

Saya juga ingin berterimakasih kepada semua pihakyang telah ikut serta membantu hingga kumpulan ini dapatditerbitkan. Mereka telah membantu mengelola waktu yangsaya miliki, sehingga dapat memenuhi jadwal penerbitan.Kepada Yayasan Sagang, yang kembali menjadi penerbitkumpulan puisi saya ini, saya menyampaikan terimakasihyang dalam, terutama kepada saudara Kazaini Ks, Ketuanya,yang telah menyiapkan banyak hal pada saat-saat terakhirproses penerbitan ini.

Page 10: Perjalanan Kelekatu

(xvi)

Akhirnya, kumpulan ini saya didikasikan kepada Ayahdan Ibunda saya yang telah lama mendahului saya sebagaibahagian dari cara saya mengingat mereka, dan berdoa agarapa-apa yang telah mereka lakukan, telah mereka berikan,mendapat balasan yang setimpal dari Allah yang MahaPengasih. Didikasi yang penuh juga untuk Isteri, anak, cucu,dan keluarga saya yang selama ini telah memberi ruang bagisaya untuk tetap bekerja dan bekarya. Spesial untuk si bungsu,Shanti Novita, yang ketika catatan ini selesai ditulis,merayakan hari ulang tahunnya yang ke-26.

Pekanbaru, 11 September 2008

Page 11: Perjalanan Kelekatu

(xvii)

Page 12: Perjalanan Kelekatu

NNNNNguyenguyenguyenguyenguyen

Selamat malamAku mencium rambut mu yang masih bau mesiuAku kecup dahimu yang masih rasa asinAku lihat di matamu laut yang dalam dan mimpi yang kelamDan aku tutup pintu tenda sambil melihat langit, menandaibintangKe mana perahumu akan menyeberang?Di bibir pantai aku dengar nyanyianGetir dan sayupMungkin dari sela-sela lunas perahu,Mungkin dari jerigen air, dan sisa layar yang koyak: Kebebasan itu hak

Kebebasan itu mimpiKebebasan itu harga diri yang berdarah jika menyerahKebebasan itu lubang kematian yang menunggu saat kaukalahKebebasan itu, burung elang yang terbang jauh,dan kau dudukdi paruhnya

Selamat malam,Kulihat kau tak pernah mengeluh

[[[[[1985]]]]]

1

Page 13: Perjalanan Kelekatu

2

MMMMMengingat Kalian (1)engingat Kalian (1)engingat Kalian (1)engingat Kalian (1)engingat Kalian (1)

Mak

Mak kau adalah samudera, maka alangkah :Alangkah luas, alangkah dalam, alangkah biru, alangkahteduhDan Aku berenang di dalamnya bagai seekor lumbalumbaBerenang memburu pelangi, mengibas ekor mengejar anginDan kau menggelitik punggungku: Teruslah! Kejar angin,Kejar Ingin!Jadilah Paus biru, karena bisa menjelajah lautanMelawan badai, menenggelamkan perahu

Page 14: Perjalanan Kelekatu

3

Ketika aku menyalip haluan, kau bilang :Tiang dan layar, tanda mereka akan sampai KE MANATapi harus ada angin, harus ada inginDan angin bisa mempermainkan ingin. Mengirim dingin,mengubah musimJangkar melingkar, tanda mereka akan sampai Di MANATapi harus ada karang, harus ada pancangDan karang bisa merubuh pancang. Menggendang arus,mengirim badai

Aku lumbalumba manja. Terus bermain, mengejar angin.Memburu inginDan kau samudera alangkah, membasah punggungku,menatang ingin ku

Page 15: Perjalanan Kelekatu

Bah

Mereka bilang Kau adalah karang, maka alangkah:Alangkah keras, alangkah tegar, alangkah kukuhDan aku berdiri di pundak mu menatap musimMendengar ombak, mengeram badai, meluruh sauh

Dengarlah gemuruh gelombang, kata muKarena gelombang mengajarkan arti bimbangBimbang akan mimpi, bimbang akan sampaiBimbang akan jejak, bimbang akan cari, bimbang akan dapat

Rasakanlah getaran badai, karena dia mengajarkan arti andaiAndai mimpi kau berketai, andai jejak kau tak sampaiAndai kau adalah teluk, andai kau adalah cerukAndai kau adalah pasir, andai kau adalah desirAndai kan segalanya hanya pantai, hanya badaiHanya sansai

4

Page 16: Perjalanan Kelekatu

Dengarlah keletah lautKadang laut sunyi dan ombak berdesirKadang malam gelap, dan laut menggigilKadang kau bilang, karang adalah mercu yang menjulangSuar kapal mengatur arah, mengemudi tuju, mengirasampaiKadang, malam kelam, dan maut datang tanpa memberisalamTapi laut, tak pernah selesai disebut dengan rasa takut…

[1996/2002]

5

Page 17: Perjalanan Kelekatu

SSSSSuatu Siang di Jakartauatu Siang di Jakartauatu Siang di Jakartauatu Siang di Jakartauatu Siang di Jakarta

Suatu siang di JakartaAku terperangkap dalam taksiJalanan sesak dan kelakson tersedakKereta beringsutJam berlariEmosi menariNyeriLalu lelahLelahSeseorang melintasi jalan: Air mineral?

Atau lagu dangdut?

Sialan,Di kota seperti iniOrang masih bisa memupuk mimpi

[2000]

6

Page 18: Perjalanan Kelekatu

Asam Paya Asam Paya Asam Paya Asam Paya Asam Paya

Asam payaDi dalam dulangDi tengah rumah

Matari sepenggalahAh!

Mengapa dijamah

Di ujung siangBurung terbang ke seberangSiapa bilang akan pulang?

Anak gampang

[2003]

7

Page 19: Perjalanan Kelekatu

KasturiKasturiKasturiKasturiKasturi

Dang, ambilkan keris!Untuk apa?

Akan kulimau!Cih!

Berpuluh purnama diperam lupamasih berbisa?

Phuih!Dendam tak mengubur suara!

Sebab Tuah kataSebab Jebat pesan

Sebab Sultan masih

Temberang!

[2003]

8

Page 20: Perjalanan Kelekatu

9

Sanghai Baby Sanghai Baby Sanghai Baby Sanghai Baby Sanghai Baby *)

Di Nanjing Luk, ujung semi menyisakan gigilPlaza basah, sehabis renyaiDan kau datang dari sebuah sudut yang hirukDari balik trem dan kereta turis: Sir,

Aku tawarkan sebatang rokok dan sejenak kehangatanPunyakah anda 100 yuan?

Dingin memang membangkitkan rinduDenyar lampu di antara taman yang basahmembangkitkan gairahDan aku bayangkan kita berdiridi sisi jendeladi puncak menaraDan memandang Pudong yang gemerlap dan Yang Tseyang gelapWahai pualamnya tubuhmu dan berahinya parfummu100 yuankah?

Page 21: Perjalanan Kelekatu

10

Di tong sampah, selembar koran siang tengadah: Ini sebuah negeri yang sedang berubahHarapan memang berdarah. Tapi jangan menyerah!Itu mungkin hanya suara angin pegunungan yangbergeser ke lembahAyo terus melangkahlah!

Kemarin, di balik kaca bus dari Su ZouAku menyaksikan ladang sayur dan danau mutiaraBerombak dan gelisah.Tour Leader cantik bersutera merah menyapa di ekormata,: Jalan tol dan listrik melimpah, membuat cinta seperti

sebuah sedekah.100 yuan kah?

Malam makin larut dan langit seakan keriputDari balik patung sang Walikota yang berwajah bajaKudengar Shanghai bernyanyi: Jangan menangis Baby!

*) Shanghai Baby, judul sebuah novel karya Wien Hui

[2003/2005]

Page 22: Perjalanan Kelekatu

11

Di Great Wall Di Great Wall Di Great Wall Di Great Wall Di Great Wall

Akhirnya aku sampai ke negeri itu yang kata leluhurmu, dikaki Tiong San.Angin gunung yang lembab, dan dingin yang mengurungtahun, memang pantas membuat dirimu bak pualam. Lembutdan liat! Membuat kesetiaan dapat abadi bagai salju. Membuatlaut rindumu seperti sungai yang liar dan menjelajah jauhsampai ke jantungku

Katamu, di tembok raksasa itu, cinta dapat disucikan karenatiap kita menjenguk ke lembah, kabut akan memperde-ngarkan musik abadi tentang sepasang kekasih yang menu-liskan kisah cinta mereka dalam genangan airmata, darah,dan salju kesedihan. Dan aku seakan mendengarnya.

Page 23: Perjalanan Kelekatu

12

: O, hati yang luluh, masih adakah jalan bagiku untuksampai ke kehilangan yang jauh. Yang jauh! Yang telahdirampas saat bunga kehidupan mulai tumbuh dan sisaberahi selesai dibasuh!O, kesetiaan yang dihunjam benci dan ketakutan,dapatkan cinta bertahan ketika airmata telah jadi salju,dan kerinduan telah jadi batu, ketika sebut telah jadilumut?

Page 24: Perjalanan Kelekatu

13

Akhirnya, aku mendaki tangga demi tangga, menahandenyut demi denyut, mengepal gigil demi gigil, karenakatamu, jika harapan yang sayup di kabut,dibancuh dalampanas gairahku, maka rindu yang terpendam akan bangkitdan mengalir bagaikan hawa Yang, dan membawa langkahkemanapun menuju Ying, yang tak akan pernah surut pun.Sebab rindu yang menggumpal jadi salju, akan abadi menjadibenci. Sebab luka yang berdarah, akan jadi sungai, mengalirjauh ke lubuk setia yang paling celah.“ Sir, anda berhak dapat medali ini, karena telah sampai kegerbang yang terjauh “ suara penjaga kios souvenir berdesirbagai angin. Dingin. Ingin!

Page 25: Perjalanan Kelekatu

14

Akhirnya,aku merasakan rinduku padamu, kini jadi kabutyang melayap pergi melintasi lembah. Seperti tetes-teteskeringatku yang jatuh bersama lelah, menerpa tebing,menyentuh rumput, dan bersama lautan cinta yang lain,jadi sungai, dan mengalir jauh ke Yang Tze. Akankahsampai padamu?

[2004/2005]

Page 26: Perjalanan Kelekatu

15

Seekor Lumba-lumba yang NgembaraSeekor Lumba-lumba yang NgembaraSeekor Lumba-lumba yang NgembaraSeekor Lumba-lumba yang NgembaraSeekor Lumba-lumba yang Ngembara

Kepada Idrus

Seekor lumba-lumba yang ngembara dari beting ke beting,dari teluk ke teluk, satu ketika akan lelah dan mengapungdi puncak alun. Angin timur, alangkah teduhnya. Saatbermain, mengibas ekor dan menyemburkan pelangi kepucuk awan. Saat menikah dan menanam berahi. Saatlangit membentang harap, saat mimpi membentang layar.Tapi apakah selalu harus berharap?

Page 27: Perjalanan Kelekatu

16

Di setiap teluk ada pelabuhan. Di setiap teluk ada perahu.Di setiap teluk ada yang berlabuh. Tapi apakah selalu harusmengeluh?

Di laut tak selamanya ombak. Di laut tak selamanyakarang. Di laut tak selamanya surut. Di laut tak selamanyasegala mimpi hanyut. Ada yang tersangkut. Ada yangterdampar. Ada yang jadi lumut, jadi karang, jadi pasir,jadi badai.

Seekor lumba-lumba yang ngembara, jika tiba masanyaakan ngembara lagi. Bermain ombak, bermain angin,mengejar laju, memburu rindu. Tapi bilakah akanterdampar? Bilakah sayap kekar berhenti menampar?Bilakah ekor liar berhenti melayar?

Seekor lumba-lumba yang ngembara, seperti musim,sekali datang sekali beredar. Tapi laut tak henti menunggukembara membentang layar, kembara menurunkan layar.Dan kau seperti perahu-perahu yang lelah, kini saatnyamelabuh jangkar.

[2004]

Page 28: Perjalanan Kelekatu

17

Surat kepada GMSurat kepada GMSurat kepada GMSurat kepada GMSurat kepada GM

Adakah kita masih percaya pada keniscayaan kata-kata?

Di bendul pintu, setiap minggu kau letakkan kata- kataDan aku memungutnya sambil beringsut ke jendelaDi luar langit beragam warna, beragam maknaDan kata-katamu berubah jadi ribuan kata,

ribuan makna,ribuan warna

Jadi taman,jadi hutan,

jadi kota,jadi kita,

jadi KATA

Tapi apakah kita masih percaya pada keniscayaan kata?Pada hanya sebuah kata?

Page 29: Perjalanan Kelekatu

18

Di luar orang membawa lembing, membawa belati, danmeluah kata-kataDan kita tak bisa menegahnya dengan bilang: Jangan!

Sabar!Istighfar!

Seperti kampak, mereka harus menetakSeperti belati, harus ditikam berkali-kali

Kita ternyata tak bisa bilang KUN!PAYAKUN!

JABBARKUN!Kita tak punya kuasaKita perlu beratus kata, beribu kataPun untuk bilang YA!

Page 30: Perjalanan Kelekatu

19

Di bendul pintu, setiap minggu, kau letakkan kata-kataDan aku memungutnya sambil menatap ke luar jendelaSeperti helai-helai kelopak, aku taburkan kata-katamuBiar jadi beratus kata, beribu kata, jadi berkata-kataHidup ternyata semakin niscaya, semakin tak percaya padakata-kataPun pada KITA !

[2005]

Page 31: Perjalanan Kelekatu

20

Percakapan AkhirPercakapan AkhirPercakapan AkhirPercakapan AkhirPercakapan Akhir

Kepada: Z

Kami telah melepasmu dengan talkinAda YasinAda zikirAda FatihahTapi suara trompet ituMeneteskan air mata: Di diri kita masihkah tersisa dendam purba?

Di ruang intermediateDi antara slang dan jarum infusKita bicara tentang berita dan hipertensiTentang kantung kemih yang pedih dan bau obat yangmenyengat: Di diri kita masihkah tersisa dendam purba?

AllahuakbarSubhannallahKullunafsin zaikatul maut: Tuhan, dari hati yang purba, terima dia di sisi-Mu Sesiapnya, sesiapanya

[2005]

Page 32: Perjalanan Kelekatu

21

Page 33: Perjalanan Kelekatu

Aceh Suatu Hari, Sesudah TsunamiAceh Suatu Hari, Sesudah TsunamiAceh Suatu Hari, Sesudah TsunamiAceh Suatu Hari, Sesudah TsunamiAceh Suatu Hari, Sesudah Tsunami

1

Tuhan, adakah Engkau murka?

22

Page 34: Perjalanan Kelekatu

23

2

Di ujung Ulele, aku menyaksikan matahari bangkit daribusur waktuPerih dan ngilu.Kilatan jingga jatuh dan membangun kengerian di antarapuing dan harapan yang lantak.Beribu-ribu lalat berzikir sebelum terbang ke langitMengadu pada MuMungkin bersama roh dan kepedihanMungkin bersama ketidakpercayaan dan rasa sesalMungkin bersama beban sejarah dan kebebalan waktuyang panjang

Page 35: Perjalanan Kelekatu

24

3

Siapakah yang telah Kau hukum?

Page 36: Perjalanan Kelekatu

25

4

Di Baiturrahman,Di ujung gerimis, setelah hujan tangisAku menyaksikan hamparan pualam yang muram di pucukmalamSujud tahajjudku, terasa ngilu dan menulis beribu bisu: Ya Rahman Ya RahmanAdakah mereka yang kemarin menyusun bata di pagar altarMu?Adakah mereka yang setiap subuh meneriakkan azan dipuncak aras Mu?Adakah mereka yang membasuh debu, menjahit luka paraSyuhada Mu?Aku menyaksikan kesunyian yang panjang, gaung yangsayupDi antara mimbar

Senyap yang mendekapDebu yang mengendap

Di dekatku serasa beratus-ratus roh tiarapmeratap

: Kamilah yang pagi itu hanyut bersama gelombangBergulung bersama pohon

papanbeton

dan sampah-sampah rumahKamilah yang meregang nasib,

melepas nyawa,menyelam lemas,

menggapai tiang,melepas harap.

Kamilah itu …

Page 37: Perjalanan Kelekatu

26

5

Adakah Kau mendengarnya?

Page 38: Perjalanan Kelekatu

27

6

Di muara Kruengraya, tangis nasib menyusun pilu di sisa-sisa rumahDi sisa-sia buku dan tas murid sekolahAku menatapnya ketika warna coklat dan arus yang gelisahtak lagi terdengar bagai magis seudati berkisahAku mencecah geliat paginya ketika dingin tak lagi sengilukerinduan Inong Bale yang tumpah di sajjadahPepohonan tegak, dengan pucuk yang retakTak tercium bau mesiuTak tertera bercak darahKecuali gelombang semak dan hamparan sampahApak!Semua sudah menuju muaratak berdayaSemua telah menyerahKalah!

Page 39: Perjalanan Kelekatu

28

7

Adakah Kau yang menghendaki sejarah berubah?

Page 40: Perjalanan Kelekatu

29

8

Di punggung Leuser dan SeulawahMereka yang selamat dan menyaksikan gelegak marah MuMenulis catatan dan sajak-sajak kengerianMelukis sisa tarikan napas dalam warna-warna yang pucatdan tangan gemetarMereka menyaksikan airmata yang tumpah di layar kacaMereka menatap luka yang memar di lembar-lembar suratkabarMereka termangu,Mereka tergagap,Mereka nanarAku mendengar mereka bergumam di antara cangkir kopidan bau sayur di warung-warung.Aku mendengar mereka berbisik di antara selisik parapeziarah dan pembagi duka:

Page 41: Perjalanan Kelekatu

30

‘’Dulu, tiap malam kami mendengar bunyi peluru, tetapikami masih bisa bernyanyi. Di balik pintu, di atas dipan, diruang hotel dan kamar karaoke.Dulu, tiap siang kami menyaksikan truk serdadu, dangemertak bunyi senapang, tapi kami masih bisa main catur.Di balik pintu, di beranda warung, dan pengkolan jalan.Dulu, tiap selesai azan, tiap selesai sujud, tiap selesai doa,kami masih mendengar gemuruh ombak Ulele bagaimozaik, bagai kidung kerinduan para perantau:Olele si Kutaraja, boleh tak boleh dibawa saja ...Dulu kami masih bisa pergi jauh, membawa rencong,membaca saman, dan mendendangkan keperkasaan siInong Bale dalam cerita.Dulu…’’Di punggung Leuser dan SeulawahKetika hujan dan hutan basah, aku menyaksikan seluruhurat pohon berdarah

Page 42: Perjalanan Kelekatu

31

9

Adakah Kau yang menghendaki mereka berhenti menakarhari?

Page 43: Perjalanan Kelekatu

32

10

Di bawah tenda-tenda kanvas dan kain percaDi antara bungkus mie instan, pakaian bekas dan airmineralAku masih mendengar suara zikir dan instigfharDi barak-barak dan papan-papan peneduhDi antara suara para relawan, di antara suara tulus danomongkosong kemanusiaanDi antara muslihat kekuasaan dan intrik politikAku menyaksikan gadis-gadis sunti mengemas jilbab,menyambar buku, dan bersimpuh di bawah atap: “ Pakguru, masihkah kau bisa dipercaya? Masihkah kaumengajarkan harapan? Masihkah kau bernama masadepan? “Di antara mesjid dan surau, di antara mushalla danmeunasah yang tersisaAku masih menyaksikan bujang-bujang tanggungmeluruskan kopiah, mengencangkan talipinggang, danmengepal tangan: Ini negeri hukum! Ini negeri Syariah! Ininegeri demokrasi! Ini negeri Cut, Teuku, Rencong, G…..

Page 44: Perjalanan Kelekatu

33

Ah!Punggung Sigli masih mendesah, tebing Langsa tetapgelisah, laut Lokhsumawe dan padang-padang kembara diBiruen…, sesekali masih ada suara senapang dan beritatelevisi tentang hak azazi dan mimpi-mimpi utopiAh!Tapi di jalan-jalan lengang Kutaraja, lampu-lampu mulaimenyala,Ada deru pesawat dan suara keretaDi keremangan Meulaboh, pagi menyapa denganharumnya Takengon moccaDi antara angit bau jasad dan deru traktor menghapus jejakyang luput dari sajakDi Tapaktuan, sisa gigil masih terasa, tapi suara-suara takmenyerah terus mendesah:Kami sudah dibesarkan sejarah, dan kami akan terusmembangun meunasah!

Page 45: Perjalanan Kelekatu

34

11

Tuhan,Siapakah yang telah kau hukum?Tetapi mengapa di siniDi negeri yang katanya dengan seudati merekamembangun tradisiDengan rencong mereka menulis sejarahDengan saman mereka mengubah zaman

Page 46: Perjalanan Kelekatu

35

12

Aceh, suatu hari setelah tsunamiDi antara ketakberdayaan dan rasa ngeriHanya harapan dan cinta yang tak pernah mati!

[2005/2008]

Page 47: Perjalanan Kelekatu

36

Di Tebing LauttawarDi Tebing LauttawarDi Tebing LauttawarDi Tebing LauttawarDi Tebing Lauttawar

Di tebing Lauttawar, kita ternyata bisa menyaksikan haribangkit dengan warna pagi yang berseri, meski ombak yangberdesir, dan angin gunung yang layap, seakan tetapmenggugat:Sejarah apa yang ingin kalian tulis, dengan bedil dan baumesiu? Kami telah mengusir penjajah dengan rencong,setelah mereka kami biarkan menanam teh di bukit-bukitkosong.

Page 48: Perjalanan Kelekatu

37

Di tebing Lauttawar, ternyata hari lewat dengan lebih hangat,karena uap kopi yang gurih, suara jaring yang ditebar, dangeliat ikan yang menggelepar, telah menyisihkan beritatelevisi dan keletah surat kabar. Di puncak Takengon, gempamasih kerap menggampar, tapi pucuk-pucuk pinus masih bisaberkelakar: Di sini Tuhan memang lebih sabar!

Page 49: Perjalanan Kelekatu

38

Di tebing Lauttawar, ketika bulan penuh, dan kabut malammengendap, memang masih kerap terdengar bunyi panserdan peluru menyambar. Sesekali, di loby hotel para tamudisuguhi kisah Tengku Bantaqiyah di Beutong Bawah. Tapidi gelap malam, para hansip masih ronda dengan pentungdan rencong di pinggang. Dan di bibir pekebun teh danpelancong Eropa, malam-malam menjadi lebih berona. “Disini, kemerdekaan milik semua, dan bedil disimpan di bawahjendela“

Page 50: Perjalanan Kelekatu

39

Di tebing Lauttawar, warung nasi, tetap menggulai rendang.“Rasa Aceh, resep Padang“ dan sambil menonton liga Italia,si buyung melenggang : Ma baju Ronaldo tu?

Di tebing Lauttawar, di bawah bayang-bayang potret CutNyak Din dan Teuku Umar, sebelum kabut menghilang, kitamasih bisa berkelakar: Di sini, kerasnya rencong memangmasih bisa ditawar .

[2005]

Page 51: Perjalanan Kelekatu

40

Di Tapaktuan, Mereka Takut Menunggu MalamDi Tapaktuan, Mereka Takut Menunggu MalamDi Tapaktuan, Mereka Takut Menunggu MalamDi Tapaktuan, Mereka Takut Menunggu MalamDi Tapaktuan, Mereka Takut Menunggu Malam

Tuhan,Di Tapaktuan kami kini takut menatap laut.Sebab biru yang membentang harap, seketika bisa jadi misteri:laut jadi hitam, laut jadi surut, laut jadi pekik kematianSebab,di ujung tanjung, telah lesap beribu-ribu cinta, telahterkubur beribu-ribu mimpi.Sampai kini, tangisan kekanak, jadi belati menikam hati.

Di Tapaktuan kami kini takut suara gelombang.Sebab, debur yang dulu membuai tidur, telah jadi guntur.Gelombang seketika jadi senyap, gelombang seketika jadibadai, gelombang seketika menerjangSebab, telah punah beribu-ribu rumah, telah tenggelamberibu ladang.Sampai kini, asap yang bangkit dari tingkap, mengirim lukake pelosok dunia.

Page 52: Perjalanan Kelekatu

41

Mengapa kami jadi nestapa?

Kini sukma berhenti menyanyi.Kini tidur seperti siksa panjang di ujung ranjang.Kini angin laut Simulue seperti kawanan gergasi menebarngeriKini kami berzikir dalam diam, menunggu malam

Adakah kami pernah hianat?

Page 53: Perjalanan Kelekatu

42

Di Tapaktuan, kami masih tetap membentang sajjadah,Menabuh beduk,Meneriakkan azanMeratip doaMembasuh dosaMembaca saman

Adakah kami memang alpa?

Di Tapaktuan,Kelong Betawi masih berlampuMasih bergolek perahu cadikBerdebur ombak beranjak musimTapi jam yang berdetak, seperti kelewang yang siap menetakDan kami takut berkata tidak

Tuhan,Di Tapaktuan, kami takut hari menjadi malam

[2005/2008]

Page 54: Perjalanan Kelekatu

43

Di Masjid Amir HamzahDi Masjid Amir HamzahDi Masjid Amir HamzahDi Masjid Amir HamzahDi Masjid Amir Hamzah

Sehabis maghribAku ratib dan meletakkan setangkai bunga di nisannya

Tuhan, singkirkan rasa benci dan aniayaTak ada daya, tak ada daya, tanpa kehendak MuDan maut menjemput, pun saat jiwa bersujudDan maut wangi bagai setanggi dibakar lumut

[2005]

Page 55: Perjalanan Kelekatu

44

PerjalananPerjalananPerjalananPerjalananPerjalanan

Inilah Besitang!

Tak ada suara senapan dan tak ada hardik menjelang sarapanTapi mengapa gelisah?Hutan karet dan sawit diam dalam kelam. Ada sisa hujanDari pos jaga wajah letih dan mata yang waspada salingmenyapa: Apa kabar Jakarta ?Di arah tikungan yang menajam,Di antara meja teh panas dan kue boluAda puluhan bekas peluru. Seperti lukisan perahu: Di sini, kemarin, seorang letnan ditembak. Tak sempatberteriakDi sini maut singgah seperti jejak seekor biawak

Inilah Besitang!

Ada papan nama dan bendera-benderaAda penjaja surat kabar dan kartu telepon genggamAda suara kereta dan truk yang lewatAda suara senapang dikokangAda nasehat: Malam memang bisa sangat kelam.

[2005]

Page 56: Perjalanan Kelekatu

45

ROSEROSEROSEROSEROSE TigaTigaTigaTigaTiga

ROSESudah berapa lama kita disiniBeginiAku sudah semakin lelah

Meski takkan pernah menyerahAku sudah semakin pasrah

Meski takkan pernah kalahAku sudah terlanjur dalam tenggelam

lumat dilumat ombakremuk diremuk karangterkubur di kubang lumpur

Tapi takkan pernah tersungkur

Page 57: Perjalanan Kelekatu

46

Maka kini kubiarkan kau yang memutuskanApakah akan terus beginiDisiniApakah kau masih seperti dulu :Membiarkan hari mencatat desah rindumu pada sisa-sisaombak musim timurAgar kau dapat selalu datang dan merasakannya saatmusim tiba dan membiarkan rinduku hanyut danmenyentuh jemari kakimu dan aku hanya merasakanngilu !Mungkin kau yang tetap ingin seperti dulu :Membiarkan derai pasir sehabis badai tersadai, danmelukis rinduku di biru pantai, dan kau membacanyasambil mengilai !Atau kau mungkin tetap ingin seperti dulu:Membiarkan waktu yang mencatatnya di karang sehabispasang, dan membiarkan semuanya menyimpan rindudalam lubuk luka kita yang dalam.Biar tak ada yang tahu selaut rinduBiar tak ada yang duka sedalam lukaBiar tak ada yang percaya, bahwa waktu ternyata adalahnestapa dan kita tak berdaya

Page 58: Perjalanan Kelekatu

47

ROSE,Kini kubiarkan angin yang mencatatSudah berapa lama kita beginiDi siniKini kita biarkan waktu mencatatBahwa cinta mengalahkan hianat

(2004/2006)

Page 59: Perjalanan Kelekatu

48

Ada Suara SauhAda Suara SauhAda Suara SauhAda Suara SauhAda Suara Sauh

Ada suara sauhJatuhLuruhJauh

Ada isyarat kapal berlabuhTapi siang menjauhDermaga melenguh

Kecipak ombak isyaratkan mimpi yang luluhHasrat yang melepuh

Aduh!Kapalmu tak pernah melabuh sauh

[2004]

Page 60: Perjalanan Kelekatu

49

Aku telah Menangkap Isyarat ItuAku telah Menangkap Isyarat ItuAku telah Menangkap Isyarat ItuAku telah Menangkap Isyarat ItuAku telah Menangkap Isyarat Itu

Kepada OBA *)

Aku telah menangkap isyarat itu, bahwa kau akan segerapergi jauh melintasi waktumuketika selesai kubaca ngilu requim aduhaimuMaka ketika sunyi yang senyap itu menyergap, akumembayangkan kau baru saja membacakan sajak-sajakmudi antara rindang pohon, di antara zaal dan kerudungputih, di antara kesunyian hati yang tak berhenti gelisah.Di antara kengerian suara burung tartar melintas gelap

Page 61: Perjalanan Kelekatu

50

Aku telah menangkap isyarat itu, bahwa geliat sungaiairmata yang mengalir dalam sajak-sajakmu, adalahkenangan panjang akan persahabatan, adalah kerinduandalam akan cinta dan kehilangan. Bahwa sajak-sajakmutelah berkata: Sebuah perjalanan yang jauh, yang senyap,akan membawa semua ke sana, dan meninggalkan sajak-sajak di semua tebing, di semua simpang, di semua bukutamu.

Aku telah menangkap isyarat itu, ketika gumpalan sepisajak-sajakmu berkata: Hidup, adalah batu cadas tempatkita memahat cinta dan kegelisahan. Alanglah keras,alangkah melelahkan. Tapi kita harus menyiapkannya.Kita harus meninggalkan jejak. Kita harus membuka pintu,meski maut telah menggantungkan kapak.

Aku telah menangkap isyarat itu, ketika kuterima sms-mudan membacanya dengan seribu sembilu.

*) Ode Berta Ananda

[200/2006]

Page 62: Perjalanan Kelekatu

51

KelekatuKelekatuKelekatuKelekatuKelekatu

Kepada : Thab

Ada ketika kita menjadi seperti kelekatuTerbang dari lampu ke lampuDari pintu ke pintuDan akhirnya terdampar di bawah bangkuTapi tak ada yang menyapaTak ada yang bertanyaKesepian seperti degup maut yang berdetak di ujungstateskopHanya kita yang merasa Aduhai

AduhaiAduhai

Hanya kita yang tahu, apa yang tak pernah sampai

Page 63: Perjalanan Kelekatu

52

Ada ketika kita menjadi seperti kelekatuMemandang kilap air dan terhunjam ke batuTapi tak ada yang menyapaTak ada yang bertanyaKeterasingan seperti sebuah lemari masa lalu tercuguk dibalik pintuHanya kita yang merasa kepedihan yang mengalir dalamkabel lampu-lampuHanya Senyap

SenyapSenyap

Hanya kita yang tahu, apa yang tak sempat terucap

Page 64: Perjalanan Kelekatu

53

Ada ketika kita menjadi seperti kelekatuMenunggu resa angin, menjadi isyarat musimMemburu cahaya, dan gugur saat gelap tibaTapi kita tak tahu Bila

BilaBILA

[2006]

Page 65: Perjalanan Kelekatu

54

ROSE EmpatROSE EmpatROSE EmpatROSE EmpatROSE Empat

Alangkah pedihnya. Alangkah pedihnya.

Kerinduan yang panjang seketika luluh hanya karenasebuah kata: Tak Bisa!Dinding ruang yang jingga, dan suara biola yangmembara, tak dapat menegakkan nadiMenegakkan janji. Menyudahkan mimpi.

Seperti segelas racun, meneguknya, meski dengan rasasesal dan takut, menjadi keputusan keputusasaan.

Mengapa terjadi ketika rindu sudah sampai ke ujung tunggu?

Alangkah pedihnya. Alangkah pedihnya

Hanya sebuah kata telah jadi jembia cinta. Tak bisa!

[2007]

Page 66: Perjalanan Kelekatu

55

Kedidi Kini Sendiri Pergi MencariKedidi Kini Sendiri Pergi MencariKedidi Kini Sendiri Pergi MencariKedidi Kini Sendiri Pergi MencariKedidi Kini Sendiri Pergi Mencari

KedidiKini sendiriPergiMencariMencari jalan pulangMencari jejak datangMencari tanda musimMencari arah angin

Page 67: Perjalanan Kelekatu

56

: Rasanya dari sini aku datangTapi pantai semakin landaiRasanya ke sini aku pergiTapi desir ombak semakin deraiRasanya di sini berahiku hanyut

gairahku luputTapi hari hanya menyisa lupa

menyisa alpamenyisa lukaKe mana sukaKe mana dahagaKe mana sukma

Page 68: Perjalanan Kelekatu

57

Rasanya di sini aku menawar waktumemaku maukumemeta jalankumenyedu mimpiku

Tapi jam sedingin batuHari sepedih sembilu

Page 69: Perjalanan Kelekatu

58

KedidiKini sendiriPergiMencariMencari sisa-sisa musimMencari sisa-sisa mimpiMencari sisa-sisa berahi

KedidiKini sendiriPergiMenyusur pantai, menyisir ombak, mencari jalan pulangAkan sampai?

Sampai lepaiSampai sansaiSampai pada wahai?

KedidiKini sendiriPergiMencariMencari!

[2007 /2008]

Page 70: Perjalanan Kelekatu

59

Di Jabbal RahmahDi Jabbal RahmahDi Jabbal RahmahDi Jabbal RahmahDi Jabbal Rahmah

1.

Sehabis tawaf, aku ingat pesanmu, sebelum panggilan terakhirpesawat berangkat: Singgahlah di Jabbal Rahmah. Tulis namaKita dan berdoalah. Tentang kesetiaan, tentang cinta, tentangharapan yang akan dibawa sampai ke akhir usia.Sekarang dari Jabbal Rahmah aku kirimkan cerita ini:Aku sudah menulis nama Kita di pilar kesetiaan itu yang akutak tahu apakah Adam dan Hawa juga menuliskan nama merekadi sana. Tapi seorang Habsyi, memakaikan aku kapiyeh putih,dan memotretku saat kupahat nama Kita dengan spidol hitam.Syukron! Sekeping polaroid dan seratus riyal bertukar dengus,dan aku akan menyimpannya sebagai ingatan.Sekarang aku memandang ke puncak pilar yang menembuslangit dan berharap dia akan kekal di sana, seperti sebuah jejak,seperti sebuah perhentian, tempat kita membukukan waktu.Tapi aku tak tahu adakah besok nama kita masih ada di sana.Mungkin segera lesap bersama hujan, mungkin terhapus cuaca,mungkin ditelan debu, mungkin ditindih oleh nama-nama baruyang datang bagai deru serdadu yang ingin mencacat gelorarindu mereka di sana.

Page 71: Perjalanan Kelekatu

60

2.

Sekarang aku juga berdoa, sambil memandang langit yangpucat dan siang yang kehilangan cuaca: Tuhan, peliharalahcinta Kami sampai ke batas yang kami bisa menjaganya.Meski aku tak tahu doa apa yang dipanjatkan Adam dan Hawadi sana dan adakah cinta mereka tetap terjaga menjadi sukmadi puncak pilarnya. Karena aku masih mendengar suarazikir, suara ratap, suara desah sedih dan rintih yang tertindih.Juga suara gemetar lutut yang bersujud di teras keras yangbagai tak haus dimakan maksud. Adakah doa yang luput ?

Page 72: Perjalanan Kelekatu

61

3.

Sekarang aku memandang ke arah bebatuan hitam yangbertumpuk menyusun jenjang, tempat beribu-ribu harapandan cemas pergi pulang. Aku dengar desah angin kering yangmenyambar padang gersang dan belukar rendah. Suaragesekan dedaunan yang gelisah seakan tak pernah dijamahmusim basah. Aku melihat berpuluh puluh unta yangberjubah sedang menggendong harapan, mimpi, dan kesia-siaan berhelah mengelilingi Jabbal Rahmah dan sepasangcinta terduduk di atasnya, seakan tak bersalah

Page 73: Perjalanan Kelekatu

62

4.

Sekarang, dari Jabbal Rahmah, aku ingat perjalanan bathinku: Tuhan, di bentangan padang seluas pandang, aku pernahwukuf. Pernah bersujud. Pernah meratap. Pernah pasrah.Pernah menyerah. Tuhan, aku malu…

[2007/2008]

Page 74: Perjalanan Kelekatu

63

Di Masjidil Haram, setelah Menara ZamzamDi Masjidil Haram, setelah Menara ZamzamDi Masjidil Haram, setelah Menara ZamzamDi Masjidil Haram, setelah Menara ZamzamDi Masjidil Haram, setelah Menara Zamzam

Labbaika allahuma labbaik…

Di suatu penghujung musim panas, aku kembali ke sini,Baitullah. Bulan terapung di langit isya. Alangkah panjangnyasiang. Alangkah teduhnya hamparan pualam dan seluruhsujudku luruh.

Tapi dari celah dua menara di mana Kaabah bagaikan sebuahbenteng zaman tertancap di altar nya, aku melihat Zamzammenjulang, melintas langit dan bayang-bayangnya seakanmenelan seluruh hamparan pualam. Aku tiba-tiba cemasmembayangkan sekiranya kelak Rumah Kerinduan ini akanjadi hanya sebuah hamparan sejarah di sebuah lembah, danpara jamaah akan lebih banyak memandangnya dari bilik-bilikZamzam yang gemerlap, dengan suara berdesah. Aku cemasakan kebesaranmu. Aku cemas akan keajaibanmu. Masihadakah o... negeri kerinduan rasa teduh dan keluluhan sujudku…

Tapi elang gurun masih mengepak. Masih terbang berkawan,meski suaranya serak dikepung zaman. Masih bagaikan kuasmelukis langit malam dan menyilang bulan dengan kerinduan.Tapi masihkah kelak elang terbang menanda petang? Masihadakah lagi bayang-bayangnya di bias bulan dan kami mena-tapnya menari menyongsong musim?

Page 75: Perjalanan Kelekatu

64

Getaran azan masih terasa. Masih bersembilu menunggu waktu.Hitam Kaabah menyongsong malam, masih mencekam danmenekuk lututku terus bersujud dan berseru. Subhanallah...Tapi masih adakah kelak bendang langit musim semimemanjang di antara hamparan pualam yang suam dantenggelamkan sujud resahku. Masih akan sampaikah denyarbulan yang jatuh bagaikan lukisan kerinduan di bentanganpualam yang sejuk dan membujuk aku mengubur dendam.

Di penghujung musim panas, ketika sisa siang masih panjang,aku menyimpan cemas: adakah kelak perjalanan batin ini masihtetap menggetarkan, dan masih akan luluhkan sujudku dipangkuan-MU. Labbaikka … Allahumma…

[2007/2008]

Page 76: Perjalanan Kelekatu

65

Page 77: Perjalanan Kelekatu

66

Dayang Ku LautDayang Ku LautDayang Ku LautDayang Ku LautDayang Ku Laut

1

Selagi laut bernama lautO, Dayang KuSelagi masih boleh kita menyimpai kailMengasah tempulingMengencang sauhMemakal sampanMasih boleh kita menyimpan mimpiMencacak pancangMelepas umpanMenanda arusMencium musimMenunggu kemejan datangMenunggu kail mengejangMenunggu bulan mengambangMenunggu punggung biru menderuMenunggu hulu melepas tikam

Page 78: Perjalanan Kelekatu

67

: Tikam ngidam Dayang Ku,Tikam geram berahimuTikam harap kemejanmuTikam angit daging salaimuTikam rindu, saat kau selak kainmu dan gemuruh malamMenyambut deraikilaimu

O, Dayang Ku LautSelagi laut bernama lautSelalu ada yang hanyut tersangkut luput tak tersebut

Page 79: Perjalanan Kelekatu

68

2

Selagi laut bernama lautO, Dayang KuSelagi ada surutSelagi masih boleh kita mengemas ambungMenajam serampangMenunggu karang mengerangMenunggu kisar anginMenunggu gerak arusMenunggu saat menikam jejak Jejak hendak Jejak tidak

Page 80: Perjalanan Kelekatu

69

O, Dayang Ku LautDengarlah ratap panjang pepohon setu menunggu pasangDengarlah derai camar mencari pantaiDengarlah kisah si peri bersirip kaki dan berambut geraiMenyadai dada di tebing aduhaiWahai, menatap rindu ke bumbung petang

ke kepedihan berahi tak berpantang

O, Dayang Ku LautSelagi laut bernama lautSelalu ada surutSelalu ada yang hanyut

LuputTersangkut

Tak tersebut

Page 81: Perjalanan Kelekatu

70

3

o, Dayang KuSelagi Laut bernama LautSelalu ada pasangSelalu ada beribu mimpi hanyut

Beribu kata luputBeribu harap lesapBeribu haru biru

Maka pasang pun membawa gelombangMaka pasang pun merendam pancangMaka pasang pun mengubur jejak, merubuh cacakMaka hanya ada suara angin

hanya ada desir pasir, menyindir :Ini lagu Serampang LautLayar dikembang, kemudi dipautHidup ibarat pasang dan surutKe mana angin, ke situ hanyut

Page 82: Perjalanan Kelekatu

71

4

O, Dayang Ku LautO, pasangO, surutO, musim yang kini penuh inginJangan biarkan angin berhenti bermain

Biarkan kami bercakap seperti kerap di tingkapTentang karangTentang kerangTentang setuTentang gonggongTentang gamatTentang segalanya yang segera akan tamat

Akan Tamat !O, WahaiO, Wahai KuJangan biarkan Laut Ku kehilangan pasang karena PasangJangan biarkan Laut Ku kehilangan surut karena s-u-r-u-tJangan biarkan Laut Ku kehilangan LAUTJangan biarkan Laut Ku Kehilangan DAYANG KU

O, Dayang Ku Laut

[2008]

Page 83: Perjalanan Kelekatu

72

Aku Menunggu di StasiunAku Menunggu di StasiunAku Menunggu di StasiunAku Menunggu di StasiunAku Menunggu di Stasiun

Aku menunggu di stasiunDi bangku dingin subuh yang luruhSampai kereta terakhirSampai gerbong terakhirSampai embun selesai menulis sisa-sisa sansaiTapi tak ada kauTak ada kresek suara rok Burberry

Klebat blus PradaDan wangi Estee Lauder

Cuma kabutCuma suara perincitCuma sisa-sisa azan yang layap ke balik bukitTak ada Kau?

Page 84: Perjalanan Kelekatu

73

Aku menunggu di stasiunMemungut sepiMembalut lukaMenunggu cuaca

Ada suara berbisik meski mengejek: Menunggu?

Tidak!Lalu?Ah!Sunyi tak bertepi?Rindu tak berbatu!Ha Ha Ha?!Ya, hanya luka?Ya memang menganga!Ya waktu mengubur setianya?Setianya!

[2008]

Page 85: Perjalanan Kelekatu

74

CintaCintaCintaCintaCinta

Ha ha ha haLuka yang mengangaSiapa yang melumur cukaSiapa yang membalur canduSiapa yang bilang pedihSiapa yang bilang rinduSiapa yang mengeram dendamSiapa yang memendam kasihSiapa yang bilang Ah!

Sampah!Enyah!

Siapa yang bilang Hai!Aduhai!Wahai!

Ha ha haLuka yang mengangaKita bilang biasaMereka bilang Iyalaah! Anugerah!Kita bilang hanya berahiMereka bilang Enggaklah! Suci!Kita bilang Cinta!Ya?Kalian bilang CintaYa?Mereka bilang CintaYa

HA HA HA!

[2008]

Page 86: Perjalanan Kelekatu

75

Dan Sejarah pun BerdarahDan Sejarah pun BerdarahDan Sejarah pun BerdarahDan Sejarah pun BerdarahDan Sejarah pun Berdarah

: Soneta Cinta untuk H

1.

Phuih!Aku telah dizalimi sejarah

(Mentari lebam. Pagi menghisap sisa embun. Tanahbasah, habis dilapah. Kau berkacak segak, menghalahaluan. Memandang daratan, menatap langit, mengiraangin, menakar musim. Nakhoda, bentangkan layar,tinggalkan negeri penuh dengki!)

Page 87: Perjalanan Kelekatu

76

2.

Andaikan Aku Tun TejaAndaikan Aku Tun FatimahAndaikan Aku Putri Retno DumilahAdakah mereka akan mencampakkan Aku bagai lampin burukMelengos Aku bagai serampin busukMenista Aku bagai janda tua di katil tersuruk

(Perahu berlayar. Selatan mengerang. Renyai tiba dansiang meratap: Wahai Peri Sejarah! Telah Kautumpahkan seluruh asa agar marwah bangsa tercacakgagah. Telah Kau kerat bentang usia agar adat negeritersurat indah. Telah kau sekat bara cinta, agar gariszuriat tak bertumpah darah. Telah Kau humban dengki,telah Kau peram luka, agar Sang Raja, tegak meme-rintah. Mengapa kini Kau menyerah? Mengapa kiniKau rela mengalah?)

Page 88: Perjalanan Kelekatu

77

3.

Tak pernah Aku menyerah. Tak pernah Aku mengalah.Karena telah kusauk pusaka. Telah kupeti nafiri. Telahkusambar Sirih Besar. Telah kuputus jejak tamaddun Rajabertegak.Phuih !Tak sehelai selendang boleh dipegang. Tak seulas pinang bolehdikenang. Tak selipat sirih boleh dipilih. Tak akan adat bolehmerempatBiarkan mereka menurunkan bahtera. Biar mereka mengarakmeriam. Biar mereka menghela lela.Aku takkan berganjak!Biar hulubalang berhulu jembia. Biar dukun menyedu racun.Biarkan mereka mengasah siasah mengalahkan sejarahTakkan pernah aku boleh disergah!

(Camar melintas. Buih putih menindih perih. KecapiParsi mencakar hati: Engku bijak, Engku Perkasa,Engku ranggi berhati besi, adakah negeri berdiri denganhati? Adakah tahta tegak dengan cinta ? Adakah sejarahditulis dengan madah?)

Page 89: Perjalanan Kelekatu

78

4.

Aku tahu tak ada tahta tanpa serdaduAku paham, tak ada Raja tanpa meriamAku ingat, tak ada Menteri tanpa hianatAku sadar, tak ada permaisuri di balik kelambu, tanpa tersedu.Tapi hidup mewariskan rasa, mengekalkan resa: Tentang cinta,tentang setia, tentang rela, tentang pasrah, tentang padah.Maka sejarah menyisakan luka, maka siasah menumpahkandarahMaka sejarah selalu hitam, maka cinta menghamparkandendam

(Petang berpendar, elang menukik, dan lelumbaberselancar. Angin mati, menurunkan layar: Cintabukalah cinta jika hanya tahta memenuh resa. Setiabukanlah setia, jika cinta bertahan dengan jembia.Maka, wahai kerelaan yang lapang, rebahkanlahperihmu, di lengan kesendirian. Biarkan gerairambutmu, dibelai angin. Biarkan musim mendinginbahang bencimu. Biarkan laut mendendangkan gazal,menaut kenangan kembali ke surut)

Page 90: Perjalanan Kelekatu

5.

Mereka memang telah meramu racun, agar kasih dankehormatan tak beralih. Mereka memang telah meracik fitnah,agar jejak dan kekuasaan tak tergoyah. Tapi Aku telah menyulamcinta, menjelujur setia, mengelim rela, agar Sang Raja, selalutegak di atas singgasana. Agar bila berkata Ya, maka Ya lahnegeri. Bila berkata Tidak, maka selamatlah negeri, Agar, saatmalam tiba, dan kelambu diselak, Baginda memunggah rinduseluas samudera, dan berdesah rindu bagai gelombang SelatMalaka.

Mereka memang telah menyemai dendam. Mereka memangtelah menulis dengki. Mereka memang telah menyelak kaindan menghunus belati. Tapi, ya Rabbi, tak Kau beri aku jeratcinta, tak Kau beri aku zuriat tahta. Tak Kau beri aku semangatuntuk melumat hianat. Tak Kau beri aku waktu mengurasracun, melebur dendam, meluruskan sejarah. Padahlah!

79

Page 91: Perjalanan Kelekatu

6.

Phuih !Angin mati, pasangkan dayung.Rempuh Barat, taklukkan tanjungTambatkan pencalang, sebelum rembang

(Samudera kasih, biarkan beribu sedih menumpahkanperih di riba mu. Junjungan telah pergi, tetapi negeriperlu Seri. Kuasa memerlukan kata. Kata mesti dikota.Tahta ternganga tanpa daya. Raja tegak tanpa mahkota.Sejarah berdarah. Istiadat diludah )

Phuih!Aku telah berjaga separuh usiaAku telah mencatat seluruh isyaratTapi mestikah tahta tegak dengan dustaMestikah kuasa tegak tanpa RegeliaPadahlah !

80

Page 92: Perjalanan Kelekatu

7.

(Indrasakti sunyi. Pekik bayan seperti gering. Tingkapke selat, meratib nasib: O, Engku yang ranggi! Telahkau tegah angin agar tak mengirim ingin. Telah kaucacak ijuk, isyarat menghapus semua bujuk. Tapidapatkah kau tahan waktu yang bagai sembilumengerat urat ,menyimpul tahan marah mu )

Mengapa Aku yang harus bijak, bila mereka yang berkata tidak?Mengapa Aku mesti menarik langkah, padahal merekamendedah barah?Ah! Padahlah!Jangan biarkan tangga berderak karena datang yangberkehendakJangan biarkan tirai terselak, karena datang bujuk yang takmau ditolakBiarkan para serdadu berbaris di pintuBiarkan hulubalang lelah bersilaBiarkan panglima tewas berjagaBiarkan Raja Muda, mencabut keris, mengacung jembiaAku tak akan berganjak !Sebab Akulah panglima. Sebab Akulah laksamana.Sebab Akulah kuasaAkan kutiup nafiri bagi Pelindung isi NegeriAkan kuhantar Sirih Besar, bila tahta layak bergelarAkan kupadan persalinan, bila mahkota layak bercoganKarena Akulah kehendak, yang berkata Ya, yang melaung TidakKarena Akulah yang menabuh tambur, yang memukul ketawak

81

Page 93: Perjalanan Kelekatu

8.

(Wahai Engku, Sri segala permaisuri. Dengarkan gemuruhlangkah para Menteri. Menegak destar, meluruskan kaki :

Punai terbang menyongsong anginElang hinggap membuat sarangSang Raja datang, memohon inginApakah disambut genderang perang ?)

Padahlah!Sebab Akulah Engku PuteriSebab Akulah penyangga marwah, penjunjung NegeriBerlututlah!Jangan acungkan pedang kalianJangan tembakkan peluru kalianJangan kuakkan durhaka kalianSebab takkan ada marwah bagi kuasa yang diraih denganpaksaSebab takkan ada tuah, jika Panji ditegak dengan salahBerlututlah!

82

Page 94: Perjalanan Kelekatu

9.

Maka sejarah pun berdarah, karena mereka datang denganperang. Maka sejarah pun memendam amarah karena merekamenyambar Sirih Besar dengan pedang. Maka seluruh nadinegeri pun mengerang, karena Tahta ditegakkan dengansenapang. Maka Negeripun tenggelam dalam lautan benci,karena Nafiri dicuri dengan belati. Maka para syuhada punberkabung, karena mereka datang mengantit perabung denganbeliung. Maka sejarahpun penuh dusta, karena mereka telahmenista sang penjaga Regelia, wanita ranggi berhati besi, wanitatua yang menjaga marwah sejarah dengan hanya Seribu Kata.

83

Page 95: Perjalanan Kelekatu

10.

Phuih!Rampaslah segalanya, tapi Kalian hanya merampas dustaRampoklah segalanya, tapi Kalian hanya menggenggam nistaDan berpalinglah! Maka Kalian akan menyaksikan petakadatang bagai badai dan akan menenggelamkan semua Bahtera,semua Tahta!Semua Negeri punya SeriSemua Marwah punya TuahSemua Tahta punya BalaSemua janji punya benciSemua benci punya sumpahPadahlah!

84

Page 96: Perjalanan Kelekatu

11.

(Di tingkap menghadap selat,angin terkesiap dantirai tersingkapmenangkap luka Cinta yang telah berhenti berharap)

Nakhoda, naikkan layar.Bongkar sauh,dan biarkan Kita berlayar jauh! JAUH!

( 2006/2008 )

85

Page 97: Perjalanan Kelekatu

ROSE LimaROSE LimaROSE LimaROSE LimaROSE Lima

Telah kau tutupSatu-satunya celahTempat aku menghembuskanRindu dan berahikuSetelah pintuSetelah tingkapSetelah percakapan terakhir

yang resahyang lelahyang nyanyah

Aku di luar sekarangTercampakDi antara mabuk dan kebencianDi antara sesal

rindudan alpa

Di antara rasa yang pepatresa yang penat

86

Page 98: Perjalanan Kelekatu

Awan petang yang berarakjadi gergasiMenyeringaitawa berderai: O, mampuslah kau

Akhirnya kalahTak lagi mencacak pancangTak lagi menggelinyang pasangTak lagi menggelenyar gelombangSiapa yang bisa melawan

Sang kalaSang lelahSang lejukSang hianat

87

Page 99: Perjalanan Kelekatu

Awan petang yang berarakgergasi waktumenelan gelegak dahakmumenggergaji mimpimumengiris-iris najis berahimutausal yang membuat kau jadi dajalmajal melawan ajalmu

Telah kau tutup satu-satunya celahDan aku kini menyerahPadahlah!

[2008]

88

Page 100: Perjalanan Kelekatu

89

RIDA K LIAMSI

Lahir di Dabosingkep, Provinsi Kepulauan Riau, 17 Juli 1943.Pernah lama menjadi guru Sekolah Dasar, sebelum terjun menjadijurnalis. Delapan tahun jadi wartawan Tempo, lima tahun di HarianSuara Karya, sebelum pindah ke Riau Pos, sebuah koran harian yangterbit di Pekanbaru. Kini Rida menjadi CEO Riau Pos Group (RPG)yang mengelola kelompok bisnis media di bawah bendera Jawa Pos.RPG yang dipimpinnya memiliki bisnis media di Riau, KepulauanRiau, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darus-sallam (NAD), termasuk televisi lokal.

Sudah menulis sajak sejak di sekolah menengah pertama.Sajaknya dimuat di Majalah Sastra Horison, beberapa surat kabardan majalah budaya lainnya. Kumpulan sajak pertamanya, Ode X,terbit dalam bentuk stensilan tahun 1981. Bersama Hasan Junusdan Eddy Mawuntu menerbitkan kumpulan esai dan puisi yangdiberi judul Jelaga, di Tanjungpinang. Tahun 2003 menerbitkankumpulan sajak keduanya, Tempuling. Berselang dua tahun

foto: M. Yoesoef/Batam Pos

Page 101: Perjalanan Kelekatu

90

kemudian, 2007, menerbitkan novel pertamanya, Bulang Cahaya,dan mendapat sambutan luas dalam dunia sastra Indonesia.

Rida juga sering menulis artikel budaya dan menjadipembicara dalam berbagai forum sastra dan kebudayaan, baik diRiau, Sumatera Barat, Kepulauan Riau maupun nasional, terutamatentang sastra dan kebudayaan Melayu. Tanda komitmennyaterhadap perkembangan sastra dan kebudayaan, Rida jugamendirikan sebuah yayasan budaya, yakni Yayasan Sagang. Melaluiyayasan ini, sejak tahun 1997 telah menerbitkan Majalah BudayaSagang. Yayasan ini setiap tahunnya –sejak tahun 1996— telahmemberikan penghargaan kepada para seniman dan budayawan,karya-karya budaya, institusi budaya, penelitian budaya sertajurnalisme budaya yang bernafaskan budaya Melayu, denganangerah yang diberi nama Anugerah Sagang.***