“pertanggungjawaban pidana bank terhadapfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripi...
TRANSCRIPT
Skripsi
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BANK TERHADAP
TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN DEBT COLLECTOR DALAM
PENAGIHAN KREDIT BERMASALAH”
(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 1201/Pid. B/2011/PN. Jkt. Sel.)
Oleh:
Kukuh Wijatmoko
E1A007073
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
ii
Skripsi
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BANK TERHADAP
TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN DEBT COLLECTOR DALAM
PENAGIHAN KREDIT BERMASALAH”
(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 1201/Pid. B/2011/PN. Jkt. Sel.)
Oleh:
Kukuh Wijatmoko
E1A007073
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
iii
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
Judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BANK
TERHADAP TINDAK PIDANA YANG
DILAKUKAN DEBT COLLECTOR DALAM
PENAGIHAN KREDIT BERMASALAH (Studi
Kasus Terhadap Putusan Nomor
1201/Pid.B/2011/PN. Jkt. Sel.)
Pelaksana Penelitian :
Nama : Kukuh Wijatmoko
NIM : EIA007073
SKS : 2007
Fakultas : Hukum
Program Studi : Ilmu Hukum.
Bagian : Hukum Pidana
Isi dan Format Telah Disetujui :
Purwokerto, 25 Oktober 2012
Pembimbing I Pembimbing II Penguji
Dr. Noor Aziz Said, S.H, M.S. Sunaryo, S.H, M.Hum. Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H.NIP. 19540426 198003 1 004 NIP. 19531224 198601 1 001 NIP. 19610527 1987021 001
MengetahuiDekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami, S.H, M.S.NIP. 130817755
iv
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama : Kukuh Wijatmoko
NIM : E1A007073
Angkatan : 2007
Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BANK
TERHADAP TINDAK PIDANA YANG
DILAKUKAN DEBT COLLECTOR DALAM
PENAGIHAN KREDIT BERMASALAH (Studi
Kasus Terhadap Putusan Nomor 1201/Pid.B/2011/PN.
Jkt. Sel.)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang
lain.
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut
diatas, maka saya bersedia dikenai sanksi apapun dari Fakultas.
Purwokerto, 25 Oktober 2012Hormat Saya,
Kukuh WijatmokoNIM. E1A007073
v
MottoHidup ini indah, semua pasti berlalu.
vi
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji serta syukur ke Hadirat Illahi Robbi yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayahNya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
BANK TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN DEBT
COLLECTOR DALAM PENAGIHAN KREDIT BERMASALAH” (Studi Kasus
Terhadap Putusan Nomor 1201/Pid. B/2011/PN. Jkt. Sel.).
Maksud penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu
persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Satu hal yang tidak mungkin
luput dalam proses belajar itu dan penulis sadari adalah keterbatasan yang ada
pada diri penulis. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari semua pihak.
Dalam penyusunan skripsi ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya
yaitu adanya keterbatasan penulis baik dalam hal kemampuan maupun
pengetahuan sehingga penyusunan skripi ini tidak mungkin berakhir tanpa adanya
peran, bantuan, dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Rochani Urip Salami, S.H., M.S., Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Dr. Noor Aziz Said, S.H, M.S dan Bapak Sunaryo, S.H, M.Hum Selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah berkenan memberikan bimbingan, petunjuk,
dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Setya Wahyudi S.H., M.H selaku dosen penguji skripsi.
4. Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan petunjuk, arahan dan motivasi selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
5. Staf pengajar, Staf Bagian Pendidikan, Staf Bagian Kemahasiswaan, dan Staf
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
vii
6. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang telah memberikan saya izin
untuk memperoleh putusan pengadilan yang berkaitan dengan skripsi ini.
7. Seluruh Civitas Academica di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman yang telah menciptakan suasan yang kondusif sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Kepada guru-guruku dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah
Atas yang telah membimbing dan mendidik penulis dalam proses belajar di
awal-awal dengan penuh kesabaran.
9. Untuk teman-temanku yang tidak bisa disebutkan satu persatu, aku bersyukur
telah menjalani kehidupan kampus bersama-sama, saling bertukar pikiran,
pengalaman, dan bantuan ketika menghadapi kesulitan. HIDUP ITU INDAH
KAWAN!!!
10. Dan..Terakhir, sekedar ucapan terima kasih masih jauh dari cukup atas segala
upaya kedua orangtuaku dalam mendukung tercapainya hasil yang kuraih saat
ini. AKAN KUBUAT BANGGA, ITULAH JANJIKU!!!
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat
memberikan sumbangsih kepada khasanah ilmu pengetahuan mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi khususnya dalam bidang perbankan.
Purwokerto, 25 Oktober 2012
Penulis
viii
ABSTRAK
Dalam dunia perbankan, bank diperbolehkan menjalankan berbagai jenis kegiatan
usaha. Salah satunya adalah jasa pemberian kartu kredit. Jika dalam praktiknya
nasabah tidak membayar tagihan dan bunga dalam waktu tertentu, bank
diperbolehkan menggunakan jasa penagih hutang dalam melakukan penagihan
hutang. Bank Indonesia sebenarnya tidak melarang adanya penggunaan jasa
penagih hutang tetapi penggunaan jasa ini harus sesuai dengan ketentuan yang
telah diatur oleh Bank Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam PBI No.
11/11/PBI/2009 dan SEBI 11/10/DASP tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Kasus meninggalnya salah seorang
nasabah Citibank yang memiliki tunggakan hutang kartu kredit akibat tindakan
penagih hutang menunjukkan masih adanya tindakan yang melanggar hukum oleh
penagih hutang yang melakukan penagihan hutang. Oleh karena itu, berdasarkan
pelanggaran yang terjadi dalam penagihan tersebut maka baik penagih hutang,
direksi/pejabat Citibank dan Citibank itu sendiri sebagai badan hukum dapat
dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Di dalam Putusan Nomor 1201/Pid.
B/2011/PN. Jkt. Sel. tiga orang penagih hutang dikenai sanksi pidana masing-
masing 1 tahun penjara, karena melanggar Pasal 335 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kemudian menurut pemeriksaan yang
dilakukan Bank Indonesia, Citibank terbukti melakukan beberapa kesalahan yang
menunjukkan bahwa Citibank tidak mematuhi peraturan yang disusun oleh Bank
Indonesia terkait dengan penggunaan jasa penagih hutang sehingga Citibank
dijatuhi sanksi oleh Bank Indonesia.
Kata kunci :
Kartu kredit, penagih hutang, Citibank, pertanggungjawaban
ix
ABSTRACT
In the banking world, bank is allowed to run various kind of business. One of the
businesses that they do is provision of credit card services. When the customer
couldn’t pay the bill and interest given in certain period of time, the bank is
allowed to use the service of a third party as debt collector. Bank Indonesia
(Central Bank of Indonesia) doesn’t prohibit the use of debt collector services, but
the use of their services must follow the regulation as stated in PBI No.
11/11/PBI/2009 and SEBI 11/10/DASP about the Implementation of Medium of
Exchange Activities with The Use of Cards. The death case of one Citibank
customer, who had delinquent credit card debt, caused by the action of the debt
collector showed that there is still violation of the debt collector laws. Based on
the violation that happened during the collections, the debt collector, the Citibank
directors, as well as the Citibank itself as corporation can held into account by
the law. In the decision number 1201/Pid. B/2011/PN. Jkt. Sel. three of the debt
collectors are sentenced of one year prison because of the violation of article
number 335 jo., Article 55 paragraph (1) Book of Criminal Law. According to the
investigation by the Central Bank of Indonesia (BI), Citibank is proven to have
some violation of the law that they are not following the regulation that’s been
made by the Central Bank of Indonesia (BI) related to the use of the third party
service of debt collector so that the Central Bank of Indonesia (BI) impose a
sanction towards Citibank.
Key Words :
Credit cards, debt collector, Citibank, accountability
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………....
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………..
HALAMAN PERNYATAAN……………………………………….
HALAMAN MOTTO………………………………………………...
KATA PENGANTAR……………………………………………….
ABSTRAK…………………………………………………………..
ABSTRACT………………………………………………………….
DAFTAR ISI………………………………………………………..
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………….
A. LATAR BELAKANG……………………………………
B. PERUMUSAN MASALAH…………………………….
C. TUJUAN PENELITIAN………………………………..
D. KEGUNAAN PENELITIAN……………………………
BAB.II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………
A. Pengertian Bank dan Dasar Hukumnya….………………..
1. Pengertian Bank……………………………………….
2. Pengertian Kredit Bermasalah….……………………..
3. Pengertian Debt Collector…………………………….
4. Hubungan antara Bank dan Debt Collector………….
B. Pertanggungjawaban Pidana……………………………….
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana……….………
..……i
...…iii
...…iv
…….v
……vi
.…viii
……ix
……x
……1
……1
…….7
…….7
...…..8
..…...9
.....…9
..…...9
…...20
.…. 22
...…23
...…26
..…26
xi
2. Teori Pertanggungjawaban Pidana.…………….………
3. Hubungan Pertanggungjawaban antara Bank dan Debt
Collector……….….........................................................
BAB III METODE PENELITIAN……..…………………………….
A. Metode Pendekatan……….……………………….……….
B. Spesifikasi Penelitian……………………………………….
C. Lokasi Penelitian……………………………………….…..
D. Teknik Pengumpulan Data………………………………....
E. Sumber Data………..……………………………………...
F. Teknik Pengumpulan Data………...………………….…...
G. Teknik Penyajian Data…………………………….……….
H. Metode Analisis Data………...…………………………….
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………….…..
A. Hubungan Hukum antara Pihak Bank dan Debt
Collector…………………………….……………………...
1. Alasan Bank Menggunakan Jasa Debt Collector……….
2. Pengaturan Bank Indonesia Mengenai Debt Collector
dalam Sistem Perbankan……………………………….
3. Hubungan Hukum antara Citibank dan Debt Collector.
B. Pertanggungjawaban Bank Apabila Debt Collector yang
Diperintah Melakukan Tindak Pidana……………………...
1. Kronologis Meninggalnya Irzen Okta………………….
2. Tinjauan Umum Citibank Indonesia……………………
…...32
...…35
...…45
...…45
. .…45
...…46
...…46
...…46
…...47
...…47
…...48
…...49
…...49
…...49
...…54
...…63
.......60
…...69
…...69
.….69
xii
3. Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus Perseroan
Terbatas (Bank)…………………………………………
4. Pelanggaran-Pelanggaran yang Dilakukan Citibank…...
5. Sanksi yang dapat dikenakan
5.1. Terhadap direksi Citibank………………………….
5.2. Terhadap badan hukum Citibank…………………..
BAB V PENUTUP……………………………………………………
A. Simpulan……………………………………………………
B. Saran………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
.…..71
..….93
..….98
..….98
….112
….115
….115
….116
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia usaha yang selalu bergerak dinamis, pelaku usaha selalu
mencari terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan usahanya. Hal ini
semakin terasa di era global saat ini dimana ekspansi dunia bisnis telah menembus
batas ruang, waktu dan teritorial suatu negara.
Terobosan yang dilakukan oleh pelaku bisnis dalam pengembangan usaha
telah melahirkan berbagai bentuk format bisnis. Munculnya berbagai bentuk
bisnis tersebut tentu membawa suatu konsekuensi logis terhadap dunia hukum,
diperlukan pranata hukum yang memadai untuk mengatur suatu bisnis di suatu
negara, demi terciptanya kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang
terlibat dalam bisnis ini.
Dewasa ini dalam masyarakat sering terdengar adanya kasus penagihan
hutang terhadap debitur oleh kreditur dengan memakai penagih hutang (debt
collector) dalam menagih hutang dengan cara dan memakai kekerasan.
Penunggak yang tidak mampu melunasi tagihannya, penagih hutang (debt
collector) yang diperintah oleh bank terhadap kredit yang bermasalah akan
mengambil sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai
jaminan. Apabila penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan
dikembalikan, Namun bila tidak dilunasi tentu saja barang itu akan lenyap. Selain
itu juga tidak jarang penagih hutang (debt collector) melakukannya dengan
menggunakan ancaman dan kekerasan.
2
Perbuatan debt collector yang dapat dikategorikan tindak pidana (jika
telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ada dalam KUHP), seperti
diantaranya :
1. jika penagih hutang (debt collector) tersebut melakukan pengrusakan
terhadap barang-barang milik nasabah, Pasal 406 KUHP);
2. Jika penagih hutang (debt collector) tersebut menggunakan kata-kata
kasar dan dilakukan di depan umum, maka ia bisa dipidana dengan pasal
penghinaan, yaitu pasal 310 KUHP;
3. Selain itu, bisa juga digunakan pasal 335 ayat (1) KUHP tentang
perbuatan tidak menyenangkan.
Maraknya jasa debt collector ini diakui atau tidak sebenarnya tidak dapat
dipisahkan dari trend suka berhutang dari sebagian masyarakat. Hal ini turut
dipengaruhi oleh gencarnya iklan produk baru dari para produsen dan juga
kemudahan untuk memilikinya melalui fasilitas kredit yang ditawarkan penjual
(retailer) yang bekerjasama dengan bank atau lembaga keuangan lainnya. Iming-
iming discount, bebas uang muka dan bunga cicilan yang ringan seringkali
berhasil memikat hati calon konsumen untuk membeli terlepas apakah mereka
benar-benar membutuhkannya atau sekadar untuk memuaskan hasrat berbelanja
belaka.
Konsumen yang tidak bisa membedakan antara kebutuhan (need) dan
keinginan (want) seringkali terjebak dengan tuntutan untuk membeli produk-
produk baru dan larut dalam pola hidup hedonisme dan konsumerisme alias
mengikuti ‘trend pasar’. Celakanya, karena uang di tangan tidak mencukupi,
mereka pun memilih berhutang atau mengajukan fasilitas kartu kredit. Memiliki
3
kartu kredit lambat laun dipandang sebagai prestise atau gengsi. Selanjutnya,
memiliki hutang tidak lagi dianggap aib, malah menjadi gaya hidup sebagian
masyarakat modern. Tentu saja, ini merupakan sebuah gaya hidup yang menjebak
dan dapat menjerat pelakunya sendiri.
Di Indonesia, menurut data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI),
hingga akhir 2010 jumlah kartu kredit yang beredar sebanyak 13,8 juta yang
dimiliki oleh 6,5 juta nasabah. Artinya, rata-rata setiap nasabah memiliki 2 kartu
kredit. Jumlah ini baru terbatas bagi pemilik kartu kredit saja, sedangkan yang
berhutang tanpa menggunakan kartu kredit, seperti berhutang untuk pembelian
rumah, kendaraan, perabot rumah tangga dan lain-lain, tentu jumlahnya lebih
banyak lagi.1
Pada hakikatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, yang
berarti bahwa pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh Bank sebagai
pemberi kredit kepada penerima kredit, dimana prestasi yang diberikan benar-
benar sudah diyakini akan dapat dibayar kembali oleh penerima kredit sesuai
dengan syarat yang telah disetujui bersama.2
Gejala kredit bermasalah adalah :
a. Adanya penyimpangan dari ketentuan dan syarat-syarat perjanjian
kredit/perjanjian pinjaman biasa dilakukan oleh kreditur atau debitur;
b. Adanya penurunan kondisi keuangan debitur yang kelihatan dari
keterlambatan pembayarannya;
c. Adanya perbuatan dari debitur yang mulai kurang kooperatif dengan mulai
menunggak dan membayar tidak tepat waktu;
1 Sumber: http: islamedia.web.id | pkesinteraktif.com diakses tanggal 13 Maret 20122 Thomas, Suyatno, Al. Dasar-dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1999,hlm. 44
4
d. Adanya penyampaian data atau informasi dan laporan yang tidak benar
atau sama sekali tidak ada laporannya;
e. Adanya penurunan nilai dan kualitas serta kuantitas asset dan agunan yang
telah ditentukan dalam perjanjian;
f. Adanya pergantian pengurusan tanpa persetujuan kreditur baik jabatan,
pemegang saham maupun posisi-posisi yang penting;
g. Adanya penjualan pribadi atau keluarga yang dibawa kedalam perusahaan
atau permasalahan diantara pengurus;
h. Adanya gugatan dari dalam perusahaan sendiri atau dari luar perusahaan;
i. Adanya permasalahan tenaga kerja atau perburuhan yang mengganggu
kestabilan perusahaan.3
Pemberian kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian tidak dapat
dilepaskan dari prinsip kepercayaan, yang sering menjadi sumber malapetaka bagi
kreditur sehubungan dengan kredit. Berbagai unsur seperti suku bunga,
Jaminan/Agunan, perjanjian kredit dalam perundang-undangan/peraturan perlu
mendapatkan perhatian, karena dalam kenyataannya kurang memuaskan untuk
menyelesaikan permasalahan kredit.
Selain itu, dalam pemberian kredit usaha, pihak bank juga mensyaratkan
adanya penjaminan. Sebagai penjaminan yang utama adalah nilai dan kelayakan
usaha yang akan dibiayai dengan kredit yang dimohonkan. Apabila nilai dan
kelayakan usaha bank kurang menjamin pengembalian kredit maka bank
mensyaratkan harus menjamin pengembalian kredit yang berupa jaminan
kebendaan.4
Sehubungan hukum hutang piutang uang pada saat jatuh tempo, ternyata
pihak debitur masih belum dapat melunasi hutangnya. Pihak kreditur dalam
3 Irman Tb, Anatomi Kejahatan Perbankan, Penerbit AYYCCS Group, Jakarta 2006, hlm. 1474 Arisson Hendry, Perbankan Syariah Perspektif Praktisi, Muamalat Institute, Jakarta, 1999, hlm.67
5
melakukan penagihan piutangnya tersebut, kemudian sering menggunakan cara-
cara kekerasan dan paksaan dengan maksud agar debitur menjadi takut atau malu
dan bersedia menyerahkan barang miliknya kepada kreditur sebagai pembayaran
hutangnya.
Masyarakat sebagai nasabah tidak pernah tahu hubungan kerja antara bank
dan perusahaan debt collector yang mereka pekerjakan apakah itu hubungan
pengalihan hutang atau hubungan pemberian kuasa. Salah satu alasan mengapa
pihak bank meminta jasa debt collector adalah tingginya biaya berperkara. Biaya
berperkara ini meliputi biaya pengacara, biaya transportasi dan biaya calo perkara.
Kasus-kasus yang ada menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan untuk
memperkuat landasan hukum yang terkait dengan perlindungan nasabah di bidang
keuangan atau perbankan. Sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-undang
yang mengatur mengenai penagihan hutang termasuk hutang kartu kredit. Tujuan
utamanya adalah untuk melindungi nasabah pemegang kartu kredit dari perbuatan
sewenang-wenang. Ini diperlukan mengingat UU No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang ada saat ini tidak mengatur sama sekali mengenai
kegiatan penagihan hutang tersebut.
Memang sudah ada peraturan perundang-undangan yang memungkinkan
pihak bank untuk menggunakan jasa pihak ketiga untuk menagih hutang. Hal
tersebut diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (PBI) jo
Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009 (SE BI).
Dalam PBI dan SE BI ini dalam Bab VII huruf D angka 4, diatur bahwa:
6
a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitastagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategorikolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitassesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kolektibilitas;
b. Penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selainharus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada huruf a, juga harusdilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum; dan
c. Dalam perjanjian kerjasama antara Penerbit dan pihak lain untukmelakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuatklausula tentang tanggungjawab Penerbit terhadap segala akibat hukumyang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.
Namun dalam praktiknya aturan tersebut belum ada batasan dan aturan
pelaksana yang jelas tentang tata cara penagihan oleh seorang debt collector. Saat
ini yang ada hanya sebatas pada aturan bank masing-masing. Tetapi yang terjadi
di lapangan, mereka itu (debt collector) melakukan hal-hal di luar kesepakatan
antara bank dan agen. Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah
pada tindakan pidana. Misalnya, seperti yang terjadi pada Selasa 29 Maret 2011
Seorang nasabah Citibank yang bernama Irzen Okta, ditemukan tewas ketika
mendatangi kantor Citibank untuk melunasi tagihan kartu kreditnya yang
membengkak.
Kasus tewasnya nasabah Citibank pengguna kartu kredit tersebut
meresahkan masyarakat. Hal yang terutama meresahkan masyarakat adalah
perilaku debt collector yang menjurus pada tindakan kriminal tersebut sehingga
atas kasus tersebut kemudian diadakan penyelidikan yang pada akhirnya
memunculkan kesalahan-kesalahan Citibank. Berdasarkan penyelidikan yang
dilakukan, Citibank terbukti bersalah. Citibank terbukti melakukan pelanggaran
adanya ketentuan intern bank, lemahnya penerapan manajemen resiko pada
standard of procedure (SOP), serta pengendalian intern bank yang salah, di mana
hal ini diatur dalam Bank Indonesia tentang penerapan manajemen resiko.
7
Dari uraian di atas, maka dapat dibuat suatu karya tulis dalam bentuk
skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Bank Terhadap Tindak
Pidana Yang Dilakukan Debt collector Dalam Penagihan Kredit
Bermasalah”
B. Perumusan Masalah :
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang
permasalahan, maka dikemukakan permasalahan-permasalahan sebagai berikut
1. Bagaimana hubungan hukum antara pihak bank dan debt collector dalam
Putusan Nomor 1201/Pid. B/2011/PN. Jkt. Sel.?
2. Apakah pihak bank dapat dipertanggungjawabkan apabila debt collector
yang diperintah melakukan tindak pidana dalam Putusan Nomor 1201/Pid.
B/2011/PN. Jkt. Sel.?
C. Tujuan penelitian
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui status hubungan hukum antara pihak bank dan debt collector,
sehingga bagi nasabah yang merasa dirugikan dalam penagihan hutang
dapat dengan mudah kepada siapa dia harus meminta pertanggungjawaban
atau ganti rugi.
2. Mengetahui apakah pihak bank dapat dikenai tanggung jawab pidana
apabila debt collector yang diperintah olehnya terbukti melakukan tindak
pidana.
8
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan dilakukan adalah:
a. Untuk memperluas pengetahuan dan menambah referensi mengenai
peraturan perundang-undangan teori-teori yang memungkinkan
mempidanakan pihak bank, apabila debt collector yang diperintahnya
untuk menagih hutang ternyata melakukan tindak pidana.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan terhadap
kajian – kajian di bidang hukum pidana.
2. Secara Praktis
a. Untuk menerapkan pengetahuan secara praktis agar masyarakat
mengetahui bagaimana proses penagihan debt collector terhadap debitur
yang kreditnya bermasalah.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan – bahan
pertimbangan bagi instansi yang berwenang dalam membentuk peraturan
yang dapat melindungi nasabah terhadap tindakan sewenang-wenang
pihak bank atau debt collector dalam melaksanakan penagihan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Bank dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian Bank
Istilah bank berasal dari bahasa Italia ‘banca’ yang berarti tempat
penukaran uang.5 Secara umum pengertian bank adalah lembaga
intermediasi keuangan yang umumnya didirikan dengan kewenangan
untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan menerbitkan
promes atau yang lebih dikenal sebagai banknote.
Bank sebagai lembaga kepercayaaan, adalah mempunyai maksud
dan tujuan, serta dasar dan sifat utama dari Lembaga Perbankan. Dalam
Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya
disebut Undang-Undang Perbankan) Pasal (1) angka 2 berbunyi :
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakatdalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakatdalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangkameningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Bank dalam kaitan dengan tugas dan fungsi utamanya dapat
didefinisikan sebagai suatu badan yang selain tugas utamanya
menghimpun uang dari pihak ketiga, bank adalah juga suatu badan yang
berkedudukan sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan
permintaan kredit pada waktu yang ditentukan.6 Bank dalam kerangka
5 Sumber : http:wikipedia.org, diakses tanggal 18 April 20126 Thomas Suyatno, Kelembagaan Bank, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum , 1994, hlm. 23.
10
operasional yang lebih luas selain berkedudukan sebagai “agent of
development” dalam kaitannya dengan kredit yang diberikan bank juga
bertindak sebagai “agent of trust” dalam kaitannya dengan pelayanan atau
jasa-jasa yang diberikan oleh bank baik kepada perorangan ataupun badan
hukum.
Bank dalam kaitan dengan fungsinya sebagai penghimpun dana
dan penyalur kredit juga mempunyai fungsi lainnya yaitu sebagai berikut:7
a. Mengumpulkan dana yang sementara menganggur untuk
dipinjamkan pada pihak lain, atau membeli surat-surat berharga
(finacial investment).
b. Mempermudah didalam lalu-lintas pembayaraan uang.
c. Menjamin keamanan uang masyarakat yang sementara tidak
digunakan, misalnya menghindari resiko hilang, kebakaran dan
lain-lain.
d. Menciptakan kredit (created money deposit), yaitu dengan cara
menciptakan deposito yang sewaktu-waktu dapat diuangkan
(demand deposit) dari kelebihan cadangannya (excess reserves).
Dari banyaknya uraian tersebut dapat dimengerti bahwa fungsi
Bank dalam sistem hukum perbankan di Indonesia sebagai perantara
(intermediary) bagi masyarakat yang surplus dana dan masyarakat yang
kekurangan dana. Penghimpunan dana masyarakat yang dilakukan oleh
bank berdasarkan pasal tersebut dinamakan “simpanan”, sedangkan
penyalurannya kembali dari bank kepada masyarakat dinamakan “kredit”.
7 Iswardono, Uang dan bank, edisi ke-4 cetakan pertama, Yogyakarta, BPFE, 1999. hlm. 62.
11
Bank merupakan subjek hukum yang berbentuk badan hukum.
Secara harfiah korporasi [corporate (Belanda), corporation (Inggris),
corporation (Jerman) berasal dari kata “corporation” dalam bahasa latin
yang berasal dari kata “corpus” (Indonesia=badan)] yang berarti badan
atau membadankan. Dengan demikian berarti “corporatio” itu berasal dari
hasil membadankan. Badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh
dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap manusia yang terjadi
menurut alam.8
Yan Pramada Puspa dalam Muladi dan Priyatno, menyatakan,
bahwa yang dimaksud dengan korporasi atau badan hukum adalahsuatu perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atauperseroan di sini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atauorganisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia(persona) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajibanmemiliki hak menggugat dan digugat di muka pengadilan. Contohbadan hukum itu adalah PT (Perseroan Terbatas), N.V. (NamlozeVennootschap), dan Yayasan (Stichting), bahkan negarapun jugamerupakan badan hukum.9
Sartjipto Raharjo mendefinisikan korporasi sebagai suatu badan
ciptaan hukum. Badan hukum yang diciptakannya itu terdiri dari “corpus”,
yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukan unsur
“animus” yang membuat badan hukum itu mempunyai kepribadian. Oleh
karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, kecuali penciptaanya,
kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.10
8 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 139 Muladi dan Dwidja Prayitno, Peratnggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, SekolahTinggi Hukum Bandung, 1991, hlm. 1410 Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 14-15.
12
Dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, menyatakan bahwa, bentuk badan hukum suatu bank
umum dapat berupa :
1. Perseroan Terbatas;
2. Koperasi;
3. Perusahaan Daerah.
Dari ketiga bentuk badan hukum dari suatu bank tersebut dapat
disimpulkan bahwa bank umum wajib berbentuk sebagai badan hukum.
Oleh karena itu, tunduk dan berlaku doktrin-doktrin hukum badan hukum.
Doktrin hukum mengemukakan adanya 4 (empat) unsur suatu
badan hukum dianggap sebagai badan hukum, yaitu sebagai berikut:11
a. Harus ada kekayaan terpisah, lepas dari kekayaan anggotanya;
b. Mempunyai tujuan tertentu;
c. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum;
d. Adanya organisasi yang terartur.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan
(financial intermediary), yaitu usaha menghimpun dan menyalurkan dana
tersebut, bank harus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Pihak-
pihak yang bekerjasama dengan bank tersebut disebut sebagai nasabah.
Bank harus bisa menjaga kepercayaan masyarakat, karena bank
merupakan suatu lembaga yang sangat bergantung kepada kepercayaan
dari masyarakat, terutama nasabahnya dalam menjalankan kegiatan
usahanya dengan baik.
11 Thy Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia,Bogor:Ghalia Indonesia, 2006, hlm. 30.
13
Dengan telah dipahami bank sebagai subjek hukum yang berbentuk
badan hukum. Mempunyai hak dan kewajiban, dan dapat digugat dan
menggugat di muka pengadilan, hal ini memberi hak menggugat atau
menuntut bagi masyarakat terutama debitur jika merasa dirugikan dalam
menerima pelayanan dari bank.
2. Pengertian Kredit Bermasalah
Pengertian Kredit
Kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi “credere” yang berarti
percaya atau “credo” atau “creditum” yang berarti saya percaya.12
Black’s Law Dictionary memberi pengertian bahwa kredit adalah :
“The ability of a businessman to borrow money, or obtain goods on
time, in concequence of the favourable opinion held by the particular
lender, as to his solvency and reliability”
Artinya :
Kemampuan seorang pelaku usaha untuk meminjamkan uang, atau
memperolah barang-barang secara tepat waktu, sebagai akibat dari
argumentasi yang tepat dari pemberi pinjaman, seperti halnya keandalan
dan kemampuan membayarnya.
Definisi kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 berbunyi:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakandengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihakpeminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentudengan pemberian bunga”
12 Johannes Ibrahim, Kartu Kredit – Dilematis Antara Kontrak & Kejahatan, Bandung: PT.Refika Aditama, 2006, hlm. 7
14
Menurut OP. Simonangkir dalam H. Budi Untung, kredit adalah
pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi
(kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang.
Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, yang dengan demikian
transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi
kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara
kreditur dengan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling
menanggung resiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas
komponen kepercayaan, resiko, dan pertukaran ekonomi di masa-masa
mendatang.13
Dalam arti yang lebih luas kredit diartikan sebagai kepercayaan.
Begitu pula dalam makna latin berarti “credere” artinya percaya.
Maksudnya percaya bagi si pemberi kredit adalah ia percaya kepada si
penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit menyatakan
kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayarnya sesuai
jangka waktu.14
Dalam perkembangannya kata kredit berubah makna menjadi
pinjaman. Memang diakui bahwa pinjaman yang diberikan oleh pihak
kreditur kepada debitur dilandasi kepercayaan, bahwa pada suatu waktu
tertentu pinjaman tersebut dikembalikan ditambah imbalan jasa tertentu.
13 H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia , Yogyakarta: Andi Offset, 2000, hlm. 1-214 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada, Tahun 2001, hlm. 104-105.
15
Kredit berarti suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada
pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu
yang akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi. Pada hakekatnya
pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, yang berarti bahwa
pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh Bank sebagai
pemberi kredit, dimana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini
akan dapat dibayar kembali oleh penerima kredit sesuai dengan syarat
yang telah disetujui bersama.15
Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan
berdasarkan asas-asas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu
kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank
Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum
untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan
pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI
No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995.
Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki
kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan
komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal
pokok sebagai berikut :
1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
2. Organisasi dan manajemen perkreditan;
3. Kebijakan persetujuan kredit;
4. Pengawasan kredit;
15 Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Op., Cit., hlm. 44
16
5. Penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan
perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah
disusun secara konsekuen dan konsisten.
Menurut Munir Fuady, unsur-unsur perjanjian kredit adalah
sebagai berikut :16
1. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengandebitur yang disebut dengan perjanjian kredit.
2. Adanya para pihak yaitu pihak kreditur sebagai pihak yangmemberikan pinjaman, seperti bank, dan pihak debitur yangmerupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman/barang ataujasa.
3. Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur maudan mampu membayar/ mencicil kreditnya.
4. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihakdebitur.
5. Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak krediturkepada pihak debitur.
6. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang atau jasa olehpihak debitur kepada kreditur, disertai dengan pemberianimbalan/bunga atau pembagian keuntungan.
7. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh krediturdengan pengembalian kredit dari debitur.
8. Adanya resiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaanwaktu tadi. Semakin jauh tenggang waktu pengembalian, semakinbesar pula resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali suatukredit.
Surat permintaan/permohonan kredit tersebut harus mencantumkan
tentang alasan mengajukan permohonn kredit, jumlah kredit yang
diperlukan, kesanggupan untuk membayar kembali hutangnya sesuai
dengan rencana yang ditetapkam, jaminan yang disediakan dari
16 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 6-7
17
keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu. Walaupun semua
keterangan telah dipenuhi, akan tetapi hal itu masih dianggap kurang
lengkap, sehingga pihak bank biasanya menyediakan formulir permohonan
kredit yang harus diisi oleh pihak yang membutuhkan kredit. Biasanya
daftar isian ini memuat hal-hal yang menyangkut tentang kondisi si
pemohon, untuk dijadikan bahan pertimbangan oleh bank, umumnya
daftar isian tersebut memuat pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: status
hukum si pemohon kredit, kedudukan dan kekuasaan si pemohon kredit,
apabila ia mewakili badan hukum, bergerak dalam bidang usaha apa,
berapa omset penjualan, berapa jangka waktu kredit yang direncanakan
dan bagaimana bentuk dan nilai pengikatan jaminan
Bentuk perjanjian kredit perbankan dalam praktiknya telah
disediakan oleh pihak bank sedangkan debitur hanya mempelajari dan
memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut
dengan perjanjian baku (standart contract), dimana debitur hanya dalam
posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk tawar
menawar.17
Berdasarkan rumusan pengertian di atas tampak bahwa perjanjian
baku sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak yang
umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lebih tinggi/kuat (pelaku
usaha, dalam hal ini bank sebagai kreditur) dibandingkan pihak lain
(konsumen sebagai debitur).
17 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2008, hlm. 72
18
Secara singkat dapat dikatakan bahwa perjanjian baku mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :18
1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya
relatif lebih kuat dari konsumen. Apabila dalam suatu perjanjian
kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak yang memiliki
posisi kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk
menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku,
sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh
para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi
dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang
oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat yaitu produsen/pelaku
usaha.
2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi
perjanjian. Dalam hal ini, pelaku usaha cenderung berdalih pada
kurang mengertinya konsumen akan permasalahan hukum atau
tidak semua konsumen memahami inti-inti dari perjanjian.
3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal
Perjanjian disini ialah naskah perjanjian keseluruhan dan dokumen
bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku, kata-kata atau
kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat
baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta dibawah
tangan. Format dari pada perjanjian baku mengenai model,
rumusan dan ukurannya sudah ditentukan dibakukan, sehingga
18 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 93
19
tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena
sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blangko naskah
perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-
syarat baku.
4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh
kebutuhan Karena adanya kebutuhan yang mendorong untuk
memiliki/memperoleh suatu barang dan jasa maka konsumen mau
atau tidak harus menerima seluruh dari isi perjanjian yang
ditawarkan oleh pelaku usaha.
Digunakannya perjanjian baku dalam dunia bisnis oleh para pelaku
usaha dimaksudkan agar lebih praktis dan efisien. Dalam penerapannya
landasan yang dipakai adalah asas kebebasan berkontrak, dimana
konsumen diberi kebebasan untuk menyepakati isi dari perjanjian yang
telah dibakukan oleh pelaku usaha tersebut. Namun, dengan digunakannya
perjanjian baku dalam dunia bisnis membatasi daya kerja dari asas
kebebasan berkontrak. Sehingga bagi konsumen kebebasan yang tertinggal
adalah pilihan antara menerima atau menolak (take it or leave it) isi atau
syarat-syarat perjanjian baku yang disodorkan oleh pelaku usaha terbukti
dengan tidak adanya kesempatan bagi konsumen untuk mengadakan
perubahan atas isi atau syarat-syarat pada perjanjian baku tersebut.
Perjanjian kredit memiliki beberapa fungsi diantaranya, yaitu:19
19 H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), 2005,hlm. 183.
20
1. Berfungsi sebagai perjanjian-perjanjian pokok, artinya perjanjian
kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya
perjanjian lain yang mengikutinya.
2. Berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan
kewajiban diantara kreditor dan debitor
3. Berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring.
Pengertian Kredit Bermasalah
Kredit bermasalah tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan
kredit macet. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet
atau kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai
potensi macet, sedangkan kredit macet adalah kredit yang terdapat
tunggakan pokok dan/bunga yang telah melampaui 270 hari.
Penggolongan kualitas kredit berdasarkan Pasal 4 Surat Keputusan
Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari
1998, yaitu sebagai berikut:20
1). Lancar (pass) yaitu apabila memenuhi kriteria :a. pembayaran angsuran pokok dan/ atau bunga tepat; danb. memiliki mutasi rekening yang aktif; atauc. bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash
collateral)2). Dalam perhatian khusus (special mention) yaitu apabila memenuhikriteria:
a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang belummelampaui 90 hari; atau
b) kadang-kadang terjadi cerukan; atauc) mutasi rekening relatif rendah; ataud) jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan;
ataue) didukung oleh pinjaman baru.
20 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000,hlm. 428-429.
21
3). Kurang Lancar (substandard) yaitu apabila memenuhi kriteria:a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah
melampaui 90 hari; ataub) sering terjadi cerukan; atauc) frekuensi mutasi rekening relatif rendah; ataud) terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari
90 hari; ataue) terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur; atau
dokumen yang lemah.4). Diragukan (doubtful) yaitu apabila memenuhi kriteria :
a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telahmelampaui 180 hari; atau
b) terjadi cerukan yang bersifat permanen; atauc) terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari; ataud) terjadi kapitalisasi bunga; ataue) dokumentasi hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit
maupun pengikatan jaminan.5). Kredit Macet
a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telahmelampaui 270 hari; atau
b) kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; atau dari segihukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan padanilai wajar.
Kredit bermasalah dalam ilmu keuangan dan akuntansi keuangan adalah
bagian dari piutang yang tidak dapat lagi ditagih, biasanya berupa piutang
dagang atau pinjaman.21
Sebagian besar kredit bermasalah tidak muncul secara tiba-tiba.
Hal ini disebabkan karena pada dasarnya kasus kredit bermasalah
merupakan suatu proses, yang diibaratkan api dalam sekam. Banyak gejala
tidak menguntungkan yang menjurus kepada kasus kredit bermasalah,
sebenarnya telah bermunculan jauh sebelum kasus itu sendiri timbul di
permukaan. Bilamana gejala tersebut dapat dideteksi dengan tepat dan
ditangani secara professional sedini mungkin, ada harapan kredit yang
bersangkutan dapat ditolong. Sebaliknya bilamana api yang membara
21 Sumber : http: Wikipedia.org diakses tanggal 15 Maret 2012
22
dalam sekam itu tidak dideteksi atau dibiarkan saja, transaksi kredit akan
berakhir dengan bencana, terutama bagi pihak kreditur. Gejala-gejala yang
muncul sebagai tanda akan terjadinya kredit bermasalah adalah:22
a. Penyimpangan dari berbagai ketentuan dalam perjanjian kredit,
b. Penurunan kondisi keuangan perusahaan,
c. Frekuensi pergantian pimpinan dan tenaga inti,
d. Penyajian bahan masukan secara tidak benar,
e. Menurunnya sikap kooperatif debitur,
d. Penurunan nilai jaminan yang disediakan,
f. Problem keuangan atau pribadi.
Pemberian kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian tidak dapat
dilepaskan dari prinsip kepercayaan, yang sering menjadi sumber
malapetaka bagi kreditur sehubungan dengan kredit. Berbagai unsur
seperti suku bunga, Jaminan/Agunan perjanjian kredit dalam perundang-
undangan/peraturan perlu mendapatkan perhatian, karena dalam
kenyataannya kurang memuaskan untuk menyelesaikan permasalahan
kredit.23
3. Pengertian Debt Collector
Pengertian Debt collector
Istilah debt collector berasal dari bahasa Inggris, yang jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu debt artinya hutang,
22 Siswanto Sutojo, The Management of Commercial Bank, Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2007,hlm. 17323 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.92
23
collector artinya pemungut, pemeriksa, penagih, pengumpul.24 Jadi, debt
collector merupakan kumpulan orang/sekumpulan orang yang menjual
jasa untuk menagih hutang seseorang atau lembaga yang menyewa jasa
mereka.
Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara
kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, Penagihan tersebut hanya
dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah
termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan
kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.
Pemahaman istilah debt collector dan penagih hutang tidak
terdapat perbedaan yang signifikan. Sehingga setiap orang atau kelompok
orang yang mendapat perintah dari orang lain untuk menagih hutang dapat
disebur debt collector atau penagih hutang
4. Hubungan Antara Bank dan Debt Collector
Sampai saat ini belum ada peraturan yang secara khusus mengatur
tentang penggunaan jasa debt collector oleh bank. Namun penggunaan
jasa debt collector dimungkinkan oleh pihak bank untuk menagih hutang
terhadap pihak lain. Hal tersebut diatur dalam PBI No. 11/11/PBI/2009
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (PBI) jo. SE BI No. 11/10/DASP Perihal
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
tanggal 13 April 2009 (SE BI). Dalam SE BI ini pada halaman 38-39 Bab
VII huruf D angka 4, diatur bahwa:
24 Rudy Haryono dan Mahmud Mahyong MA., Kamus Lengkap INGGRIS-INDONESIAINDONESIA-INGGRIS, Surabaya: Cipta Media
24
a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jikakualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalamkategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteriakolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengaturmengenai kolektibilitas;
b. Penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak laintersebut, selain harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuanpada huruf a, juga harus dilakukan dengan cara-cara yang tidakmelanggar hukum; dan
c. Dalam perjanjian kerjasama antara Penerbit dan pihak lain untukmelakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harusmemuat klausula tentang tanggungjawab Penerbit terhadap segalaakibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak laintersebut.
Setidaknya ada 3 (tiga) pedoman yang disampaikan dalam Surat
Edaran BI tersebut. Pertama, dalam hal penerbit (bank) menggunakan jasa
pihak lain dalam melakukan penagihan kredit bermasalah, maka
penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas
tagihan kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas
diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kolektibilitas kartu kredit.
Kedua, bank penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain
juga harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.
Ketiga, dalam perjanjian kerjasama antara penerbit dan pihak lain untuk
melakukan penagihan kredit bermasalah tersebut, harus memuat klausula
tentang tanggungjawab penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul
akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.
Dalam hubungan ketenagakerjaan, salah satu perjanjian yang
mungkin ada adalah perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut umumnya
memuat kesepakatan antara pekerja dengan perusahaan, yang dalam hal ini
25
sering diwakili oleh manajemen atau direksi perusahaan. FX Djumialdy,
menyebutkan bahwa agar dapat disebut perjanjian kerja harus dipenuhi 3
unsur yaitu: 1. Ada orang diperintah orang lain, 2. Penunaian kerja, 3.
Adanya upah.25
Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan perusahaan ini
kemudian menjadikan adanya hubungan kerja antara keduanya. Di dalam
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 didefiniskan bahwa Perjanjian kerja
adalah “Perjanjian antara pekerja dengan pengusaha/pemberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.26
Menurut praktisi hukum, Aulia Dasril mengatakan, “hubungan
pihak perbankan dengan perusahaan outsourching debt collector tidak
pernah jelas”.27 Menurutnya hubungan antara bank dengan debt collector
bisa hubungan pengalihan hutang piutang atau hubungan pemberian kuasa.
Perjanjian pengalihan hutang piutang (Cessie) diatur dalam Pasal
613-624 KUH Perdata. Dalam pasal 613 ayat (1) KUH Perdata
disebutkan:
Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan takbertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentikatau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itudilimpahkan kepada orang lain.
Dari ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa terjadinya
pergantian kreditur lama kepada kreditur baru. Penyerahan seperti
demikian menurut ayat (2) Pasal yang sama tidak merubah kewajibannya,
25 Syarief Basir, “PERJANJIAN KERJA MENURUT UNDANG UNDANG NO. 13 TAHUN2003” , NEWSLETTER, Edisi : XII/Desember/ 2009, hlm. 126 Ibid27 Sumber : http: Ryandotuwiadan.blogspot.com/2011/05/analisis-penggunaan-debt-collector.html,diakses tanggal 20 April 2012
26
tetapi debitur memiliki hak untuk mengetahui bahwa telah terjadi
pengalihan piutang oleh kreditur.
Sedangkan yang dimaksud perjanjian pemberian kuasa diatur
dalam Pasal 1792-1819 KUH Perdata. Pasal 1792 KUH Perdata berbunyi :
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorangmemberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untukatas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Dalam Pasal 1807 KUH Perdata mengatur salah satu kewajiban si
pemberi kuasa, bunyi Pasal tersebut sebagai berikut:
(1) Si pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan yamgdiperbuat oleh si kuasa menurut kekuasaan yang ia telah berikankepadanya.
(2) Ia tidak terikat pada apa yang telah diperbuat selebihnya daripadaitu, selain sekedar ia telah menyetujuinya secara tegas atau secaradiam-diam
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa, jika memang
perjanjian yang dilakukan antara bank dengan debt collector berbentuk
pemberian kuasa. Maka hak dan tanggung jawab kedua pihak terdapat
dalam isi perjanjiannya. Sejauh mana tanggung jawab bank jika si
penerima kuasa melakukan tugas penagihan dengan melanggar hukum.
B. Pertanggungjawaban Pidana
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah
kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dsb).28
28 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1991, hlm. 1006
27
Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban
pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika
sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno
mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi
pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.29 Dengan demikian,
pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya
tindak pidana.
Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability”
dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe
Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the
situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to
the exaction.”30 Pertangungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai
suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku
dari seseorang yang telah dirugikan,31 menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut
masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai
moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai
“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”
pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah
29 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 15530 Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita,Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm.6531 Loc., Cit.,
28
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau tidak terhadap
tindakan yang dilakukannya itu.32
Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada Pasal 27 menyatakan
bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang
objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara
objektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatanya.33
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana, tidak
termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut beliau
mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang
mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban
pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan,” merupakan dasar dari pada dipidananya si pembuat.34
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika
pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela.35
Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung
pada dua hal, yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan
hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus
ada unsur Obejektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan
dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang
32 S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cet IV, Jakarta: AlumniAhaem-Peteheam,1996, hlm. 24533 Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama , Yogyakarta: Liberty,1987, hlm. 7534 Ibid.35 Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia, Jakarta :PT.Pradnya Paramita, 1997, hlm. 31
29
melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya. Jadi
ada unsur subjektif.
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan
pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya
seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan
ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak
hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.36
Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu
pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law
sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea.
Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa
kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea
merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini
menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang
karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea
pada diri orang tersebut.
Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan
dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menentukan
pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan
doktrin mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan
dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law
system.
36 Chairul huda, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawabanPidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm. 4
30
Berpangkal tolak pada asas ‘tiada pidana tanpa kesalahan’,
Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana
Indonesia dikenal dengan ajaran ‘dualistis’, pada pokoknya ajaran ini
memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak
pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah
apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan,
adalah persoalan lain.37
Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun
dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya.
Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi
pembuatnya tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu
berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.38 Untuk dapat
mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan
syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena
melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah
melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat
dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.
Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana
menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan
ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban
pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam
praktik hukum perlu pengkajian lebih lanjut.
37 Ibid., hlm. 538 Ibid., hlm. 6
31
Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis
orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan
yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela
karena perbuatan tadi.39 Jadi yang harus diperhatikan adalah :
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu.
b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang
dilakukan.
Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin
erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal
yang merupakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu
bertanggungjawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu:40
a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.
b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang
patut dalam pergaulan masyarakat.
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam
melakukan perbuatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk
menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang
harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat
membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan. Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan
39 Prof.Mr.Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana , Jakarta: AksaraBaru,.1983, hlm. 7840 Ibid., hlm. 80
32
menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum,
sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan
kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak
yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana
diperbolehkan dan mana yang tidak.
2. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan
penentuan subjek hukum pidana. Istilah subjek hukum sendiri memiliki
arti yang luas dan tidak terbatas pada orang (naturlijk persoon) saja.
Karena masih ada subjek hukum lain yang menurut hukum dapat memiliki
hak dan kewajiban, sehingga dapat melakukan perbuatan-perbuatan
hukum, seperti halnya orang, mempunyai kekayaan sendiri, dan dengan
perantara dapat digugat dan menggugat di muka sidang pengadilan. Subjek
hukum yang dimaksud adalah badan hukum (recht persoon), artinya
orang-orang yang diciptakan oleh hukum.
Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami
perkembangan sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana di
samping manusia.41 Manakala korporasi sebagai subjek hukum, maka
konsep pertanggungjawaban pidana pun harus ‘diciptakan’ agar korporasi
dapat dijatuhi pidana ketika korporasi melakukan tindak pidana.
Secara teoritis ada tiga teori atau sistem pertanggungjawaban
pidana pada subjek hukum korporasi, yaitu:42
41 Mahrus Ali, Op., Cit, hlm. 16042 Ibid, hlm. 160-168
33
1) Teori Identifcation
Di negara-negara Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep
direct corporate criminal responsibility atau
pertanggungajawaban korporasi secara penuh. Menurut doktrin
ini, korporasi dapat melakukan sejumlah delik secara langsung
melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan
korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Dalam
keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh
karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat
pertanggungjawaban pribadi. Teori ini dikenal dengan nama
teori identifikasi.
2) Teori Strict Liability
Dalam teori ini pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
subjek hukum tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri
pelaku terhadap satu atau lebih perbuatan (actus reus). Strict
liability merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan
(liability without fault), yang dalam hal ini si pelaku tindak
pidana sudah dapat dipidana jika telah melakukan perbuatan
yang dilarang dalam rumusan undang-undang , tanpa perlu
melihat lebih jauh sikap batin si pelaku.
3) Teori Vicarious Liability
Selain teori pertanggungjawaban pidana di atas, dikenal pula
teori vicarious liability, yaitu the legal responsibility of one
person for wrongful acts and another as for example, when the
34
acts are down within scope of employment (suatu konsep
pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan
yang masih berada dalam lingkup pekerjaannya).
Teori vicarious liability diartikan oleh Henry Black
sebagai indirect legal responsibility, the liability of an employer
for the acts of of an employee, of a principle for torts and
contract of an agent (pertanggungjawaban pengganti adalah
pertanggungjawaban hukum secara tidak langsung,
pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja; atau
pertanggungjawaban prinsipal terhadap tindakan agen dalam
suatu kontrak).
Dalam teori vicarious liability terdapat dua syarat penting
yang harus terpenuhi mengenai perbuatan salah yang dilakukan
orang lain berdasarkan teori ini, yaitu :
a) Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubugan
pekerjaan antara majikan dengan pekerja.
b) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut
harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup
pekerjaannya.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan
(direktur) atas dasar pertanggungjawaban pengganti (vicarious
liability) dimaksudkan untuk mencegah atau paling tidak
meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
melalui pengurusnya. Hal ini karena korporasi memainkan
35
peranan penting dalam segala aspek kehidupan, dan tidak jarang
menimbulkan terjadinya kejahatan-kejahatan yang
menimbulkan korban dan kerugian sangat besar bagi
masyarakat.
3. Hubungan Pertanggungjawaban Antara Bank dan Debt collector
Di dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-undang nomor 10 Tahun
1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan ditentukan bentuk hukum suatu bank sebagai
berikut: a. Perseroan terbatas, b. koperasi, atau c. Perusahaan
daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut, korporasi dalam hal ini bank
merupakan subjek hukum dalam bentuk recht person yang memiliki
hak dan kewajiban seperti orang atau naturlijk person dalam
melakukan hubungan-hubungan hukum.
Pengurus Perseroan Terbatas (dalam hal ini bank) dalam
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
dikenal dengan nama Direksi (selanjutnya akan digunakan sebutan
Direksi). Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-undang tersebut,
Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung
jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan,
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan,
baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.
Menurut teori Organ dari Otto von Gierke sebagaimana yang
dikutip oleh Syuiling (1948),
36
Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum.Seperti halnya manusia mempunyai organ-organ, sepertitangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan karena setiapgerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan olehotak manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas Direksi badanhukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum sendiri,sehingga Direksi adalah personifikasi dari badan hukum itusendiri.43
Bertitik tolak dari pendapat ahli tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa direksi bank itu bertindak mewakili bank sebagai
badan hukum.
Telah dipahami sekarang bahwa bank merupakan subjek
hukum seperti manusia, sehingga jika melakukan tindak pidana dapat
dikenai pertanggungjawaban pidana. Sekalipun kesalahan telah
diterima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban
pembuat tindak pidana, tetapi bagaimana memaknai kesalahan masih
terjadi silang pendapat di kalangan para ahli. Pemahaman yang
berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan
dalam penerapannya. Dengan kata lain, pengertian tentang kesalahan
dengan sendirinya menentukan ruang lingkup pertanggungjawaban
pembuat tindak pidana44
Dalam memberi makna tentang kesalahan, pada teori kesalahan
normatif, pertanggungjawaban pidana korporasi dilakukan atas dasar
kesalahan. Hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subjek
hukum manusia. Dasar dari penetapan dapat dipersalahkannya badan
43 Nindyo Pramono, “TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN PENGURUS PT (BANK)MENURUT UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS”, BULETINHUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN, Volume 5 Nomor 3, Desember 2007,hlm.1544 Chairul huda, Dari Tiada…,Op.Cit., hlm. 71
37
hukum ialah tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan
yang dimiliki badan hukum. Hukum mengharapkan kepada korporasi
untuk menjalankan fungsi kemasyarakatan dengan baik, sehingga
sejauh mungkin dapat menghindari terjadinya tindak pidana. Terhadap
korporasi penilaian adanya kesalahan ditentukan oleh bagaimana
korporasi memenuhi fungsi kemasyrakatannya, sehingga ‘dapat dicela’
ketika suatu tindak pidana terjadi karenanya.45
Bank sebagai subjek hukum, tentunya dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum dengan pihak lain ketika memang jasa-
jasa yang dilakukan oleh pihak lain tersebut dapat membantu
menyelesaikan masalah-masalah dalam usaha perbankan. Menurut
praktisi hukum, Aulia Dasril mengatakan, “hubungan pihak
perbankan dengan perusahaan outsourching debt collector bisa
hubungan pengalihan hutang piutang atau hubungan pemberian
kuasa”.
1. Perjanjian Pengalihan Hutang Piutang (Cessie)
Diatur dalam Pasal 613-624 KUH Perdata. Dalam pasal 613 ayat
(1) KUH Perdata disebutkan :
Penyerahan akan piutang-piutang atas nama den kebendaan takbertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah aktaotentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak ataskebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.
Dengan tegas, Pasal 613 KUHPerdata menyebutkan bahwa
piutang yang diatur di dalam pasal 613 KUHPerdata adalah
piutang atau tagihan atas nama. Dalam tagihan atas nama, debitur
45 Ibid. hlm. 85-86
38
mengetahui dengan pasti siapa krediturnya. Salah satu ciri khas
yang dimiliki oleh suatu tagihan atas nama adalah bahwa tagihan
atas nama tidak memiliki wujud. Jikalaupun dibuatkan suatu surat
hutang, maka surat hutang hanya berlaku sebagai alat bukti saja.
Hal ini dikarenakan adanya surat hutang dalam bentuk apapun
bukan merupakan sesuatu yang penting dari suatu tagihan atas
nama. Dengan demikian, jika tagihan atas nama dituangkan dalam
bentuk surat hutang, maka penyerahan secara fisik surat hutang itu
belum mengalihkan hak tagih yang dibuktikan dengan surat yang
bersangkutan. Untuk mengalihkan tagihan atas nama, dibutuhkan
akta penyerahan tagihan atas nama yang dalam doktrin dan
yurisprudensi disebut sebagai akta cessie. Pada cessie, hak milik
beralih dan dengan dibuatnya akta cessie, levering telah selesai.46
Piutang yang dimaksud di dalam Pasal 613 KUHPerdata
adalah hak tagih yang timbul dari adanya hubungan hukum pinjam
meminjam uang antara pihak yang meminjamkan (si berpiutang)
dengan pihak yang meminjam (si berhutang) atau dari suatu
kegiatan penyaluran fasilitas kredit antara Bank selaku kreditur
dengan debiturnya. Piutang atau hak tagih yang timbul dari
hubungan hukum pinjam-meminjam uang atau dari kegiatan
penyaluran kredit bank tersebut dapat dialihkan kepada pihak tiga,
dengan cara cessie.
46 J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, Bandung: Alumni,1999, hlm. 47
39
Istilah cessie tidak terdapat di dalam undang-undang yang
berlaku di Indonesia. Di Indonesia, cessie hanya dikenal dari
doktrin-doktrin hukum dan juga yurisprudensi. Dalam bukunya
yang berjudul Studi Notariat dan Serba-serbi Praktek Notaris, Tan
Thong Kie memberikan terjemahan mengenai beberapa pendapat
dan/atau pandangan dari ahli hukum mengenai definisi cessie.47
Salah satu definisi Cessie yang dikenal di dalam ilmu
hukum adalah definisi yang dikemukakan oleh Vollmar. Definisi
Cessie tersebut diterjemahkan oleh Tan Thong Kie sebagai suatu
istilah yang lazim dipakai untuk penyerahan suatu piutang.48
Selain Vollmar, ahli hukum lainnya, Schermer, juga
memberikan definisi mengenai cessie. Pendapat Schermer
mengenai Cessie kemudian diterjemahkan oleh Tan Thong Kie
sebagai berikut:
“Cessie adalah penyerahan suatu piutang atas nama yang
dilakukan oleh kreditur yang masih hidup kepada orang lain;
dengan penyerahan itu, orang yang disebut terakhir ini
menjadi kreditur seorang debitur yang dibebani dengan
piutang tersebut.”49
Di Indonesia, definisi Cessie salah satunya dikemukakan
oleh Subekti. Menurut pendapat Subekti, Cessie adalah:
47 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, cet.I, (Jakarta; Ichtiar BaruVan Hoeve), 2007, hlm. 688.48 Loc., Cit.49 Loc., Cit.
40
“Suatu cara pemindahan piutang atas nama dimana piutang
itu dijual oleh kreditur lama kepada orang yang nantinya
menjadi kreditur baru, namun hubungan hukum hutang
piutang tersebut tidak hapus sedetikpun, tetapi dalam
keseluruhannya dipindahkan kepada kreditur baru”50
Dari ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa terjadinya
pergantian kreditur lama kepada kreditur baru. Penyerahan seperti
demikian menurut Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata tidak merubah
kewajibannya, tetapi memiliki hak untuk mengetahui bahwa telah
terjadi pengalihan piutang oleh kreditur.
2. Perjanjian Pemberian Kuasa
Diatur dalam Pasal 1792-1819 KUH Perdata. Pasal 1792 KUH
Perdata disebutkan :
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorangmemberikan kekuasaan kepada seorang lain, yangmenerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatuurusan.
Yang dimaksud dengan menyelenggarakan suatu urusan
adalah melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu tindakan subjek
hukum yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum yang
dikehendaki oleh pelaku.
Ada 2 pihak di dalam perjanjian pemberian kuasa, yaitu :
a. Pihak yang memberi kuasa yang biasa disebut pemberi
kuasa.
50 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 17, (Jakarta : Intermasa), 1998, hlm. 71.
41
b. Pihak yang menerima kuasa yang biasa disebut kuasa/juru
kuasa/penerima kuasa.
Unsur yang membedakan antara pemberian kuasa dengan
zaakwarneming adalah bahwa untuk mewakili urusan orang lain
diharuskan seseorang itu berbuat dengan sukarela (kesediaan
menolong tanpa imbalan) tanpa mendapat perintah untuk itu,
sedangkan pemberian kuasa sebaliknya, yaitu disyaratkan adanya
suatu perintah.
Si juru kuasa melakukan perbuatan hukum tersebut atas namaatau mewakili pemeri kuasa, artinya bahwa apa yangdilakukan oleh si kuasa adalah atas tanggungan si pemberikuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dariperbuatan yang dilakukan si kuasa menjadi hak dan kewajibanorang yang memberi kuasa.51
Dalam Pasal 1807 KUH Perdata mengatur salah satu
kewajiban si pemberi kuasa, bunyi Pasal tersebut sebagai berikut:
(1) Si pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan-perikatanyamg diperbuat oleh si kuasa menurut kekuasaan yang iatelah berikan kepadanya.
(2) Ia tidak terikat pada apa yang telah diperbuat selebihnyadaripada itu, selain sekedar ia telah menyetujuinya secarategas atau secara diam-diam
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa, jika
memang perjanjian yang dilakukan antara bank dengan debt
collector berbentuk pemberian kuasa. Maka hak dan tanggung
jawab kedua pihak terdapat dalam isi perjanjiannya. Sejauh mana
tanggung jawab bank jika si penerima kuasa melakukan tugas
penagihan dengan melanggar hukum.
51 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Ke-7, (Bandung : Alumni), 1985, hlm.113.
42
3. Perjanjian Pemberian Kerja
Pengertian mengenai perjanjian kerja dalam Pasal 1601 a.
KUHPerdata menggunakan istilah perjanjian perburuhan,
Perjanjian perburuhan menurut pasal tersebut ialah perjanjian
dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk
di bawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu
tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.
Sedangkan definisi perjanjian kerja berdasarkan Pasal 1
angka 14 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan didefiniskan bahwa Perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para
pihak. Kemudian di dalam Pasal 52 Undang-undang tersebut
menentukan hal-hal dasar yang harus ada dalam perjanjian kerja,
Pasal tersebut berbunyi :
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatanhukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan denganketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika dalam perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha
dan pekerja bertentangan dengan ketentuan ayat (1) huruf a dan b
maka perjanjian dapat dibatalkan [Pasal 52 ayat (2)]. Kemudian
apabila ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf
43
c dan d tidak terpenuhi maka perjanjian kerjanya batal demi hukum
[Pasal 52 ayat (3)].
Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan
perusahaan ini kemudian menjadikan adanya hubungan kerja
antara keduanya, dimana ada hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing pihak.
Suatu perjanjian kerja tentu saja dapat meliputi berbagai
jenis pekerjaan, sepanjang pekerjaan tersebut memang diperlukan
oleh pemberi kerja. Sedangkan ditinjau dari jangka waktu
perjanjian kerja, pemberi kerja dapat saja membuat perjanjian kerja
untuk suatu jangka waktu yang ditetapkan lebih awal atau tidak.
Namun demikian, dalam rangka memberi kepastian hukum kepada
pekerja dan pemberi kerja, perjanjian kerja yang dikaitkan dengan
jangka waktunya dibagi menjadi 2 jenis perjanjian kerja. Kedua
jenis perjanjian kerja yang diperbolehkan oleh Undang-undang
tersebut adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), dan
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT).
Jika dikaitkan dengan hubungan bank dengan debt
collector, maka jenis perjanjian kerjanya adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu (PKWT). Sehingga jangka waktu
perlindungan kepada pekerja terbatas pada waktu tertentu tersebut.
Jadi menurut jenis dan sifat pekerjaan untuk waktu tertentu terbatas
pada situasi-situasi tertentu saja, seperti yang disebutkan dalam
44
Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut
berbunyi :
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untukpekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatanpekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementarasifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalamwaktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga)tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,kegiatanbaru, atau produk tambahan yang masih dalampercobaan atau penjajakan
Berdasarkan SE BI No. 11/10/DASP Perihal
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu ditentukan secara jelas, meskipun bank menyerahkan
pelaksanaan penagihan kredit kepada pihak ketiga atau debt
collector, perlu dimuat dalam perjanjian kerjasamanya klausul
tentang tanggungjawab penerbit (bank).52 Dalam melakukan
penagihan, bank pemberi kredit menggunakan pihak ketiga (debt
collector) sebagai pelaksana penagihan. Dengan kata lain bank
penerbit menyetujui, mendukung, dan bertanggung jawab atas
perbuatan debt collector.
52Sumber : http://hukumonline.com /bi-usulkan-uu-khusus-debt-collector, diakses tanggal 21April 2012
45
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legisme
positivistis. Konsep ini memandang hukum adalah identik dengan norma-
norma yang tertulis yang dibuat atau diundangkan oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang dan konsep melihat hukum sebagai sistem normatif yang
mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang
nyata.53
B. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif,
penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data-
data sekunder dan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang
diperoleh dari berbagai sumber dengan melakukan pengumpulan data-data
tertulis54, yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana bank
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh debt collector, ketika menjalankan
tugas/pekerjaan penagihan kredit bermasalah.
53 Rony Hanitijo Sumitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta:1990. hlm.13-14
54 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pers, 2006, hlm. 21.
46
C. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian di lakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum
UNSOED, Pusat Informasi Ilmiah UNSOED, dan instansi / lembaga terkait
seperti: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bank BCA cab. Purwokerto, bank
Danamon cab. Purwokerto.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara :
1. Wawancara
2. Observasi ( pengamatan )
3. Buku-buku literatur
4. Peraturan Perundang-Undangan
5. Dokumen-dokumen lain yang relevan
E. Sumber Data
Dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu :
1. Data Primer
Data Primer atau data dasar yang diperoleh langsung dari masyarakat,
dalam hal ini yang berkaitan dan relevan dengan penelitian.55
Dalam hal ini yang dimaksud masyarakat adalah pihak bank, debt
collector dan masyarakat (debitur).
55 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm.12
47
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka, data
sekunder mencakup bahan hukum primer (norma, peraturan dasar,
perundang-undangan dan lain-lain), bahan hukum sekunder yaitu
penjelasan bahan hukum primer, bahan hukum tertier yakni bahan hukum
yang memberikan penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan hukum
primer maupun bahan sekunder.56
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Studi lapangan yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelitian
langsung ke lokasi yang ditentukan, melalui teknik pengumpulan data
sebagai berikut : interview , yaitu dengan cara mewawancarai langsung
dengan narasumber.
2. Studi kepustakaan, yaitu suatu cara untuk memperoleh keterangan atau
informasi mengenai data yang dibutuhkan yang ada kaitannya dengan
masalah yang sedang diteliti melalui penelaahan dari berbagai sumber
tertulis, seperti buku – buku, jurnal, majalah dan Koran.
G. Teknik Penyajian Data
Data yang akan diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang
disusun secara sistematis dan rasional sebagai satu kesatuan yang utuh.
56 Ibid, hlm.12-13
48
H. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh di analisis dengan model analisis normatif
kualitatif, yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data-data berdasarkan
norma, teori-teori serta doktrin-doktrin hukum guna menjawab permasalahan
yang diajukan.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hubungan Hukum Antara Pihak Bank Dan Debt Collector
1. Alasan Bank Menggunakan Jasa debt collector
Maraknya penggunaan jasa debt collector oleh bank,
mengindikasikan bahwa jasa ini cukup efektif dan efisien dalam
menjalankan tugas penagihan piutang bank. Sebab jika tidak, mustahil
bank akan menggunakannya. Dengan menyewa jasa penagih hutang, Bank
tak perlu repot-repot untuk membentuk unit sendiri yang khusus untuk
mengamat-ngamati dan membujuk para debitur bermasalah membayar
tunggakannya, selain karena tak cukup tenaga, juga karena keterbatasan
dana mengingat bahwa bank harus secara hati-hati dalam menggunakan
dana para nasabahnya sesuai dengan prinsip fiduciari. Prinsip fiduciari
adalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh rasa tanggung
jawab dan dengan itikad baik untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak
lain (perseroan).57
Alasan lain adalah adanya watak yang buruk dari pemilik kartu.
Watak (character) pemilik kartu yang buruk tentu menimbulkan kesulitan
bagi bank. Seperti yang kita ketahui, banyak masyarakat di Indonesia
hingga saat ini masih belum memiliki kesadaran untuk membayar hutang
yang dimilikinya. Terkadang manusia memiliki sifat mempertahankan
barang yang sebenarnya bukan miliknya. Ketika uang yang dipinjam telah
57 I.G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan, Jakarta: Mega Poin, 2002, hlm. 222.
50
berada di tangannya, ia merasa bahwa uang yang dipinjamnya tersebut
merupakan uang miliknya sendiri. Ketika akhirnya ia memiliki uang,
seringkali orang merasa tidak mau mengeluarkannya untuk membayar
hutang. Hal ini menunjukkan belum dimilikinya kesadaran masyarakat
untuk membayar hutang termasuk untuk membayar hutang kartu kredit.
Belum dimilikinya kesadaran oleh masyarakat Indonesia untuk membayar
hutang berujung pada kurangnya rasa percaya yang dimiliki Bank.
Fenomena masyarakat Indonesia yang kurang memiliki kesadaran
untuk membayar hutang juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia
masih tidak taat hukum. Hukum yang ada di Indonesia tidak berjalan
dengan benar sehingga memunculkan adanya penggunaan jasa debt
collector dalam sistem penagihan hutang kartu kredit. Menurut
Abdurrahman, ada suatu asumsi yang menyatakan bahwa semakin tinggi
tingkat kesadaran hukum seseorang, maka akan semakin tinggi ketaatan
dan kepatuhannya terhadap hukum dan sebaliknya, semakin rendah tingkat
kesadaran hukum seseorang, maka akan semakin kurang pula ketaatan dan
kepatuhannya terhadap hukum.58
Di Indonesia, dapat kita lihat bahwa masih banyak masyarakat
yang tidak taat hukum. Dalam penggunaan jasa debt collector ini, adanya
penunggakan hutang kartu kredit yang dilakukan oleh para nasabah
pemilik kartu sebenarnya memperlihatkan bahwa tidak adanya ketaatan
hukum. Dalam perjanjian antara bank penerbit dengan nasabah pemilik
kartu tentu terdapat pengaturan mengenai batas waktu pembayaran kartu
58 Mulyana W. Kusumah, Beberapa Perkembangan dan Masalah dalam Sosiologi Hukum,(Bandung: Alumni, 1981), hlm. 43.
51
kredit. Pemilik kartu yang menunggak tentu telah melewati batas waktu
yang diperjanjikan sebagaimana yang terdapat dalam perjanjian yang
berlaku bagaikan hukum diantara kedua belah pihak. Oleh karena itu,
pihak bank akhirnya membutuhkan jasa debt collector untuk menagih
tunggakaan hutang para pemilik kartu.
Francis Fukuyama dalam buku karyanya Trust: The Social
Virtues And The Creation Of Prosperity menjabarkan mengenai aspek
kepercayaan dalam masyarakat. Menurut Francis Fukuyama,
kepercayaan merupakan produk dari komunitas-komunitas yang telah ada
sebelumnya yang memiliki norma-norma atau nilai-nilai moral bersama.
Ada beberapa elemen–elemen utama yang terkait dengan isu kepercayaan
(trust), yakni kebijakan sosial dan Modal sosial.59 Dijelaskan juga oleh
Fukuyama, kepercayaan adalah harapan yang tumbuh didalam sebuah
masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan
kerjasama berdasarkan norma–norma yang dianut bersama-sama.
Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini, bahwa
dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan
sosial cenderung bersifat positif, hubungan-hubungan juga bersifat
kerjasama.
Menurutnya masyarakat berdasarkan tingkat kepercayaan yang
dimilikinya dibagi menjadi 2, yaitu:
1) High Trust Society (Masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang
tinggi)
59 Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues And The Creation of Prosperity, (HamishHamilton: London, 1995), hlm.10.
52
Masyarakat dengan kepercayaan yang tinggi akan menciptakan
jaringan yang baik. Masyarakat akan menjadi lebih mampu berinovasi
secara organisasional, karena tingkat kepercayaan yang tinggi akan
memungkinkan munculnya berbagai macam hubungan sosial.60
Sebuah masyarakat tingkat kepercayaan yang tinggi dapat mengatur
tempat kerjanya secara lebih fleksibel dan berorientasi pada kelompok,
dengan tanggung jawab yang lebih didelegasikan ke tingkat yang lebih
rendah dari organisasi.61
2) Low Trust Society (Masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang
rendah)
Masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang rendah mungkin
tidak akan pernah dapat mengambil keuntungan dari efisiensi yang
ditawarkan teknologi informasi karena tidak adanya rasa saling
percaya diantaranya. Masyarakat yang tidak percaya satu sama lain
akan berakhir hanya bekerja sama di bawah sistem aturan formal dan
peraturan yang harus dibuat terlebih dahulu dan memerlukan
penegakkan, bahkan dengan cara yang koersif. Penegakan secara
koersif ini memerlukan bantuan dari aparat hukum, yang melayani
sebagai pengganti tidak adanya kepercayaan diantara masyarakat.62
Kepercayaan masyarakat rendah, sehingga harus dipagari dengan
serangkaian aturan birokrasi.63
60 Ibid., hlm.27.61 Ibid., hlm.34.62 Ibid., hlm.27.63 Ibid., hlm.34.
53
Apabila melihat penjabaran tentang teori kepercayaan dari
Francis Fukuyama tersebut, maka masyarakat di Indonesia dapat
digolongkan ke dalam Low Trust Society (Masyarakat dengan tingkat
kepercayaan yang rendah). Diantara sesama masyarakat Indonesia
terdapat tingkat kepercayaan yang rendah sehingga penerbit kartu
(Bank) menggunakan jasa debt collector dalam menagih hutang
tunggakan kartu kredit nasabah. Pihak bank tidak percaya bahwa para
pemilik kartu yang berhutang akan membayar hutangnya secara
sukarela dan dalam tenggat waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya
tanpa perlu adanya penagihan dari bank. Oleh karena itu, pihak bank
menggunakan jasa debt collector dalam melakukan penagihan hutang
pemilik kartu.
Semakin banyak kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank, maka
semakin banyak kesempatan yang akan timbul yang memungkinkan
seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan perbuatan melawan
hukum terhadap dunia perbankan. Semakin luas kesempatan yang muncul,
juga akan berbanding lurus dengan semakin banyaknya jenis dan ruang
lingkup tindak pidana di bidang perbankan berdasarkan peraturan yang
dilanggar, yaitu yang diatur umum dalam undang-undang perbankan dan
yang diatur khusus dalam perundang-undangan di luar Undang-Undang
Perbankan.
54
2. Pengaturan Bank Indonesia Mengenai Debt Collector dalam Sistem
Perbankan
Bank Indonesia pada dasarnya memperbolehkan adanya
penggunaan jasa debt collector oleh bank dalam menagih hutang. Hal ini
dapat dilihat dari tidak adanya larangan secara tegas mengenai
penggunaan pihak ketiga dalam penagihan hutang dalam peraturan-
peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia. Dalam peraturan-peraturan
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, tidak pernah terdapat peraturan
yang melarang penggunaan pihak ketiga (debt collector), oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa penggunaan jasa pihak ketiga dalam penagihan
hutang diperbolehkan oleh Bank Indonesia. Meskipun diperbolehkan,
Bank Indonesia tetap memberikan pengaturan mengenai penggunaan jasa
pihak ketiga ini dalam penagihan tunggakan hutang kartu kredit.
Penggunaan jasa debt collector dalam penagihan hutang kartu kredit
sebelumnya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu. dan SEBI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April
2009.
Dalam PBI No. 11/11/PBI 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu terdapat pengaturan
mengenai penggunaan jasa pihak lain/pihak ketiga (debt collector) dalam
penagihan hutang kartu kredit. Pengaturan tersebut terdapat dalam Pasal
16 Ayat (5) dan Pasal 21 Ayat (1) PBI ini.
55
Pasal 16 Ayat (5) berbunyi bahwa, “Penerbit Kartu Kredit wajib
menjamin bahwa penagihan atas transaksi Kartu Kredit, baik yang
dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit sendiri atau menggunakan jasa pihak
lain, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dengan Surat
Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 Ayat (1) berbunyi bahwa “Dalam hal
penerbit melakukan kerja sama dengan pihak-pihak di luar pihak lain
sebagaimana diatur dalam Pasal 13, maka Penerbit bertanggung jawab atas
kerja sama tersebut. Dimana dalam Penjelasan Pasal ini disebutkan bahwa
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak di luar pihak lain” dalam ayat ini
misalnya perusahaan jasa pengiriman dokumen, agen pemasaran (sales
agent) atau jasa penagihan debt collector).64
Lebih jauh, pengaturan mengenai debt collector terdapat dalam
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) yaitu dalam SEBI No. 11/10/DASP.
Dalam SEBI No. 11/10/DASP itu terdapat pengaturan mengenai
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
(APMK) yang mengatur tata cara, syarat serta segala sesuatu menyangkut
lembaga penerbit kartu kredit serta hubungannya dengan pihak kedua
maupun ketiga. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.11/10/DASP
Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu pada halaman 38-39 Bab VII huruf D angka 4, diatur bahwa:
a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jikakualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalamkategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteriakolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengaturmengenai kolektibilitas;
64 Penjelasan Pasal 21 Ayat (1) PBI No. 11/11/PBI 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan AlatPembayaran dengan Menggunakan Kartu
56
b. Penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak laintersebut, selain harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuanpada huruf a, juga harus dilakukan dengan cara-cara yang tidakmelanggar hukum; dan
c. Dalam perjanjian kerjasama antara Penerbit dan pihak lain untukmelakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harusmemuat klausula tentang tanggungjawab Penerbit terhadap segalaakibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak laintersebut.
Pada Jumat, 6 Januari 2011, dibuatlah Peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu Kredit yang merupakan
penyempurnaan atas PBI serupa pada tahun 2009. Penyempurnaan
tersebut diperlukan dalam rangka mendorong pertumbuhan yang lebih
sehat dalam transaksi pembayaran dengan menggunakan kartu dan
menekan seminimal mungkin keluhan dari para pengguna jasa APMK.
Dalam penggunaan kartu kredit, upaya penyempurnaan itu diperlukan
karena pengaturan mengenai manajemen resiko kredit yang harus diacu
oleh penerbit dalam pemberian kartu kredit dipandang masih bersifat
umum, sehingga masih terdapat praktek pemberian kartu kredit yang
dilakukan dengan kurang tepat sasaran. Sementara itu pula praktik di
industri kartu kredit masih terdapat ketidakseragaman dan
ketidakterbukaan dalam menetapkan penghitungan seperti komponen
bunga, denda dan biaya, sehingga dalam beberapa tahun terakhir telah
menimbulkan banyaknya keluhan dan pengaduan dari para pemegang
kartu kredit. Keluhan dari para pengguna kartu kredit juga muncul karena
masih adanya praktik penagihan utang kartu kredit yang tidak dilakukan
dengan sebagaimana mestinya. Sebagai alat pembayaran yang dananya
57
bersumber dari kredit atau pembiayaan, Bank Indonesia memandang perlu
untuk mengatur lebih tegas atas persyaratan dalam perolehan kartu kredit
dan batas maksimum suku bunga yang wajar yang dapat dikenakan kepada
pengguna kartu kredit. Persyaratan batas minimum usia dan batas
minimum pendapatan bagi calon pemegang kartu kredit diperlukan agar
pemegang kartu kredit bijak dalam menggunakan kartu sesuai dengan
kemampuan bayarnya. Disamping itu, dalam rangka peningkatan
kenyamanan dalam penggunaan.65
Pokok-pokok pengaturan dalam perubahan PBI APMK itu meliputi:66
a) Pengaturan batas maksimum suku bunga kartu kredit, yangbesarnya ditetapkan BI dengan Surat Edaran BI.
b) Pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas kartu kredit,seperti batas minimum usia, batas minimum pendapatan, batasmaksimum plafon dan maksimum jumlah penerbit yang dapatmemberikan fasilitas kartu kredit yang secara rinci akan diaturdalam Surat Edaran Bank Indonesia.
c) Pengaturan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumenseperti penyeragaman pola perhitungan bunga kartu kredit,pengenaan biaya dan denda, serta kewajiban penyampaianinformasi kepada pemegang kartu.
d) Pengaturan kerjasama dengan pihak lain dengan mengacu padaPBI tentang alih daya (outsourcing) terutama yang terkait denganpenagihan utang kartu kredit.
e) Pengaturan peningkatan keamanan transaksi alat pembayaranberupa kewajiban implementasi transaction alert kepada pemegangkartu kredit.
f) Kewajiban penyediaan sistem yang dapat saling dikoneksikan.
g) Penegasan kewenangan BI dalam perizinan dan pengenaan sanksidalam penyelenggaraan APMK.
65 Penjelasan PBI 14/2/PBI/2012, TLN 5275.66 Sumber: http: hukumonline.com, diakses pada 6 Maret 2012.
58
Pengaturan mengenai debt collector dalam PBI 14/2/PBI/2012 ini
dapat kita lihat dalam Pasal 17B Ayat (2) dan Ayat (3). Pasal 17B PBI ini
mengatur mengenai penagihan kartu kredit. Pasal 17 B Ayat (2) dan Ayat
(3) ini berbunyi:
(2) Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan utangKartu Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit Kartu Kreditsendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukansesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta peraturanperundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal penagihan utang Kartu Kredit menggunakan jasa pihaklain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit wajibmenjamin bahwa:
a. kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukansendiri oleh Penerbit;
b. pelaksanaan penagihan utang Kartu Kredit hanya untuk utangKartu Kredit dengan kualitas tertentu.
Apabila bank menggunakan jasa pihak lain (termasuk
menggunakan jasa debt collector) untuk melakukan penagihan hutang
kartu kredit, maka bank harus sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, bank/penerbit wajib
menjamin bahwa penagihan yang dilakukan oleh pihak lain tersebut
kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri
oleh penerbit dan pelaksanaan penagihan utang kartu kredit hanya untuk
utang kartu kredit dengan kualitas tertentu. Kualitas tertentu dalam
penagihan utang kartu kredit ini terkait dengan kolektibilitas kredit yang
hingga saat ini belum diatur secara lebih rinci.
Ketentuan dalam PBI ini yang mengatur mengenai penagihan
tunggakan hutang oleh debt collector juga terdapat dalam Pasal 21 Ayat
(1) PBI ini. Ketentuan Pasal 21 Ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
59
(1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak lain yangmenyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK, makaPenerbit wajib:
a. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenaiprinsip kehati-hatian bagi Bank yang melakukan penyerahansebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain;
b. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lainyang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMKkepada Bank Indonesia; dan
c. mensyaratkan kepada pihak lain yang menyediakan jasa penunjangdalam penyelenggaraan APMK untuk menjaga kerahasiaan datadan informasi.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 21 Ayat (1),
bahwa yang dimaksud dengan pihak lain yang menyediakan jasa
penunjang dalam penyelenggaraan APMK, seperti perusahaan jasa
pengiriman dokumen, agen pemasaran (sales agent) atau jasa penagihan
(debt collection). Kerjasama penerbit dengan pihak lain tersebut
diperlakukan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari
penerbit kepada pihak lain yang dikenal sebagai kegiatan alih daya
(outsourcing). Kewajiban penerbit untuk mematuhi ketentuan Bank
Indonesia mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang
melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain,
berlaku bagi penerbit yang berasal dari bank dan yang berasal dari
lembaga selain bank. Dalam cakupan laporan rencana dan realisasi
kerjasama dengan pihak lain, termasuk informasi mengenai alih daya yang
bermasalah.
Apabila dibandingkan, kedua PBI yang mengatur mengenai alat
pembayaran menggunakan kartu tersebut memperbolehkan adanya
penggunaan debt collector dalam melakukan penagihan hutang kartu
60
kredit karena tidak terdapat pelarangan secara tegas didalamnya. Tetapi,
dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai penggunaan debt collector
dalam penagihan tunggakan hutang kartu kredit dalam PBI No.
14/02/PBI/2012 lebih jelas dan lengkap apabila dibandingkan dengan
pengaturan yang terdapat dalam PBI No. 11/11/PBI/2009. PBI No.
14/2/PBI/2012 mengatur secara lebih terperinci mengeni penagihan hutang
dengan menggunakan debt collector. Surat Edaran Bank Indonesia yang
mengatur mengenai tata cara penagihan utang dan kualitas utang kartu
kredit yang penagihannya dapat dialihkan Kartu Kredit sebagaimana
dimaksud pada Pasal 17B Ayat (4) PBI ini hingga saat ini belum dibentuk
karena PBI ini masih baru diterbitkan.
3. Hubungan Hukum Antara Citibank dan Penagih Hutang (Debt
Collector)
Dalam hukum perdata, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak.
Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan
yang seluas-luasnya yang oleh undang-undang diberikan kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan
ketertiban umum (Pasal 1338 KUH Perdata).
Kebebasan berkontrak adalah asas yang esensial, baik bagi
individu dalam mengembangkan diri baik di dalam kehidupan pribadi
maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga beberapa pakar
61
menegaskan kebebasan berkontrak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang dihormati.67
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirirnya terhadap satu orang atau lebih. Pengertian perjanjian seperti
tersebut di atas terlihat secara mendalam, akan terlihat bahwa pengertian
tersebut ternyata mempunyai arti yang sangat luas dan umum sekali
sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian
tersebut dibuat. Maka agar tidak terlalu luas baik pengertian maupun isi
dari suatu perjanjian, maka diperlukan syarat sah perjanjian, seperti yang
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: sepakat, cakap, hal tertentu
dan kausa yang halal.
Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa baik orang
maupun sekelompok orang dapat melakukan perjanjian dengan pihak lain.
Begitu juga bank dalam hal ini pihak Citibank yang telah melakukan
perjanjian dengan beberapa penagih hutang (debt collector) yang mana
digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah kredit bermasalah. Dan
untuk mengetahui bentuk perjanjian antara Citibank dengan penagih
hutang dapat dilihat pada uraian di bawah ini:
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1201/Pid.B/2011/PN. Jkt Sel. yang memutus bersalah para terdakwa yang
menyebabkan meninggalnya Irzen Okta pada tanggal 29 Maret 2011 di
kantor Citibank. Dalam putusan tersebut menyatakan bahwa terdakwa I
67 Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak dalamPerjanjian Kredit Bank, Penerbit CV Utomo, 2003, hlm. 40.
62
Arief Lukman, terdakwa II Henry Waslinton dan terdakwa III Donald
Harris Baskara telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 335 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan
menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 1 tahun.
Dari Putusan Pengadilan Jakarta Selatan tersebut dapat diketahui
hubungan hukum antara pihak bank (Citibank) dan pengusaha jasa
penagih hutang atau debt collector. Hakim dalam putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 1201/Pid.B/2011/PN. Jkt. Sel. menetapkan
barang bukti yang diantaranya :68
- Surat Tugas PT. Taketama Star Mandiri tanggal 26 Januari 2011
dari Parlin Sitorus kepada Henry Waslinton; Surat Tugas PT.
Taketama Star Mandiri tanggal 15 Maret 2011 dari Parlin Sitorus
kepada Donald Harris Baskara; Surat Perjanjian Kontrak PT.
Taketama Star Mandiri dengan Collector tanggal 15 Desember
2010 antara Parlin Sitorus dengan Donald Harris Baskara; Surat
Tugas PT. Jasindo Global Solusi tanggal 26 Januari 2011 dari
Parlin Sitorus kepada Humizar Silalahi; Surat Perjanjian Kontrak
PT. Jasindo Global Solusi dengan Collector tanggal 18
November 2009 antara Saroha Leo Aritonang dengan Henry
Waslinton; Sampel Kwitansi kosong Citibank; Akta Pendirian
PT. Taketama No. 01 tanggal 2 Juni 2010; satu buah buku log
warna merah (rekapitulasi pemasukan customer kartu kredit);
satu bua MOU PT. Taketama Star dengan Citibank; satu buah
68 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1201/Pid.B/2011/PN. Jkt. Sel. hlm. 4
63
MOU PT. Panimasyara Prima dengan Citibank; satu lembar surat
kuasa dari Citibank kepada PT. Taketama Star; satu bundel
perjanjian kerja waktu tertentu (karyawan kontrak) No.
01.1678/PKWT/I-24/V/2009, yang terdiri dari 12 halaman atas
nama Arief Lukman; satu bundel perjanjian kerja waktu tertentu
(karyawan permanen) No. 0365/PPKT/FMP/V/2006 yang terdiri
dari 12 halaman; satu bundel perjanjian kerja waktu tertentu
(karyawan permanen) No. 0365/PPKT/FMP/V/2006, yang terdiri
dari 12 halaman, Tetap terlampir dalam berkas perkara ;-----
Berdasarkan barang bukti surat tersebut, dapat diketahui hubungan
hukum antara Citibank dengan pengusaha-pengusaha jasa penagih hutang,
yaitu :
1. Adanya MoU (Memorandum of Understanding) antara Citibank
dengan PT. Taketama Star dan PT. Panimasyara Prima.
Tujuan diadakannya MoU antara Citibank dengan penagih hutang
adalah supaya mempermudah pihak penagih hutang dalam melaksanakan
tugasnya menagih debitur yang memiliki kredit bermasalah. Pihak penagih
hutang diberi keleluasaan menggunakan fasilitas-fasilitas kantor Citibank,
seperti misalnya penggunaan ruang cleo yang digunakan oleh para
terdakwa dalam menginterogasi atau mengintimidasi Irzen Okta dalam
rangka tugas penagihan.
Ruang Cleo adalah salah satu dari 2 (dua) ruangan lainnya yang
khusus digunakan untuk melakukan interogasi/intimidasi kepada para
debitur yang menunggak pembayaran kartu kredit Citibank, dengan tujuan
64
agar setiap debitur melakukan pembayaran kartu kreditnya, hal ini
dikarenakan adanya target yang ditetapkan mitra jasa penagihan Citibank
yaitu PT. Taketama Star Mandiri (Taketama) dan PT. Fanimasyara Prima
(Fanimas) kepada para pegawainya dan apabila tercapai target yang
ditetapkan maka akan diberikan bonus diluar gaji.69
2. Adanya pemberian kuasa dari Citibank kepada PT. Taketama Star dan
PT. Panimasyara Prima.
Diatur dalam Pasal 1792-1819 KUH Perdata. Pasal 1792 KUH
Perdata disebutkan :
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorangmemberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untukatas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Yang dimaksud dengan menyelenggarakan suatu urusan adalah
melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu tindakan subjek hukum yang
dapat menimbulkan suatu akibat hukum yang dikehendaki oleh pelaku.
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata ditentukan harus ada 2 pihak dalam suatu
perjanjian, dan para pihak itu boleh sesorang maupun beberapa orang.
Adapun pihak-pihak yang dimaksud dalam kasus ini yaitu :
Ada 2 pihak di dalam perjanjian pemberian kuasa, yaitu :
a. Pihak yang memberi kuasa yang biasa disebut pemberi kuasa, yaitu
pihak Citibank
b. Pihak yang menerima kuasa yang biasa disebut kuasa/juru
kuasa/penerima kuasa, yaitu para debt collector.
69 Ibid., hlm. 6
65
Perjanjian yang dibuat antara pihak Citibank dan debt collector
harus memenuhi syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata:
1. Harus ada kesepakatan
Untuk mengikatnya suatu perjanjian diantara para pihak harus ada
kata sepakat. Dalam hal ini Citibank memberikan suatu kuasa
untuk melakukan penagihan hutang debitur kepada debt collector,
di lain pihak debt collector bersedia menjalankan kuasa dengan
mendapatkan upah.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia
secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa
tetapi ada walinya. Di dalam KUHPerdata yang disebut pihak yang
tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang
yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah
pengampunan.
3. Suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang
telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan
isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu,
jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan
dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
Adanya pemberian kuasa penagihan dari pihak Citibank kepada
debt collector merupakan maksud dari syarat yang ketiga ini.
66
4. Sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pihak
Citibank memiliki hak tagih atas tunggakan kredit nasabahnya dan
kemudian memberikan kuasa kepada debt collector untuk
melakukan penagihan. Asalkan apa yang diinginkan oleh Citibank
sesuai dengan hak yang dimilikinya hal ini sah-sah saja.
Setelah semua syarat sah perjanjian terpenuhi, maka perjanjian
dalam hal ini antara Citibank dengan debt collector mengikat
kedua belah pihak layaknya undang-undang, seperti yang diatur
dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
Jadi berdasarkan kasus yang saya teliti, maka yang menjadi si
pemberi kuasa di sini adalah pihak Citibank, sedangkan para pengusaha
penagih hutang sebagai penerima kuasa. Hal ini penting mengingat kepada
siapakah pembebanan tanggung jawab jika terjadi pelanggaran hukum
baik pidana maupun perdata.
Unsur yang membedakan antara pemberian kuasa dengan
zaakwarneming adalah bahwa untuk mewakili urusan orang lain
diharuskan seseorang itu berbuat dengan sukarela (kesediaan menolong
tanpa imbalan) tanpa mendapat perintah untuk itu, sedangkan pemberian
kuasa sebaliknya, yaitu disyaratkan adanya suatu perintah.
Si juru kuasa melakukan perbuatan hukum tersebut atas nama ataumewakili pemeri kuasa, artinya bahwa apa yang dilakukan oleh sikuasa adalah atas tanggungan si pemberi kuasa dan segala hak dan
67
kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukan si kuasamenjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa.70
Dalam Pasal 1807 KUH Perdata mengatur salah satu kewajiban si
pemberi kuasa, bunyi Pasal tersebut sebagai berikut:
(1) Si pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan yamgdiperbuat oleh si kuasa menurut kekuasaan yang ia telah berikankepadanya.
(2) Ia tidak terikat pada apa yang telah diperbuat selebihnya daripadaitu, selain sekedar ia telah menyetujuinya secara tegas atau secaradiam-diam.
3. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Suatu perjanjian kerja tentu saja dapat meliputi berbagai jenis
pekerjaan, sepanjang pekerjaan tersebut memang diperlukan oleh pemberi
kerja. Sedangkan ditinjau dari jangka waktu perjanjian kerja, pemberi
kerja dapat saja membuat perjanjian kerja untuk suatu jangka waktu yang
ditetapkan lebih awal atau tidak. Namun demikian, dalam rangka memberi
kepastian hukum kepada pekerja dan pemberi kerja, perjanjian kerja yang
dikaitkan dengan jangka waktunya dibagi menjadi 2 jenis perjanjian kerja.
Kedua jenis perjanjian kerja yang diperbolehkan oleh Undang-undang
tersebut adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), dan
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT).
Jika dikaitkan dengan hubungan bank dengan debt collector, maka
jenis perjanjian kerjanya adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
(PKWT). Sehingga jangka waktu perlindungan kepada pekerja terbatas
pada waktu tertentu tersebut. Jadi menurut jenis dan sifat pekerjaan untuk
waktu tertentu terbatas pada situasi-situasi tertentu saja, seperti yang
70 R. Subekti, Aneka Perjanjian…, Op., Cit., hlm. 113.
68
disebutkan dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan
tersebut berbunyi :
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untukpekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatanpekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yangtidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatanbaru,atau produk tambahan yang masih dalam percobaan ataupenjajakan.
Telah dipahami sekarang hubungan hukum antara pihak Citibank
dengan penagih hutang. Memang terjadinya hubungan hukum dikarenakan
oleh suatu perjanjian yang menimbulkan perikatan. Dalam hukum
perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak, dimana para pihak diberi
kebebasan membuat suatu persetujuan yang diinginkan. Namun di dalam
perjanjian kerjasama antara penerbit dan pihak lain untuk melakukan
penagihan transaksi kartu kredit harus memuat klausula tentang
tanggungjawab penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat
dari kerjasama dengan pihak lain, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam
Surat Edaran BI No.11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dalam halaman 38-39.
69
B. Pertanggungjawaban Bank Apabila Debt Collector yang Diperintah
Melakukan Tindak Pidana
1. Kronologis Meninggalnya Irzen Okta
Pada Selasa 29 Maret 2011 Seorang nasabah Citibank ditemukan
tewas ketika mendatangi kantor Citibank untuk melunasi tagihan kartu
kreditnya yang membengkak. Tagihan kartu kredit adalah sebesar Rp 48
juta, namun pihak bank menyatakan tagihan kartu kreditnya mencapai Rp
100 juta. Korban datang bermaksud menanyakan jumlah tagihan kartu
kreditnya yang membengkak tersebut. Korban kemudian dibawa ke dalam
satu ruangan dan ditanya-tanyai oleh 3 orang. Usai bertemu 3 orang
tersebut, korban kemudian tewas di depan kantor tersebut. Hasil visum
yang dimiliki polisi menunjukkan tidak ada tanda pukulan benda keras
pada korban. Debt collector menginterogasi dengan menendang kursi dan
memukul tangan korban. Pada korban ditemukan luka di hidung dan
korban juga mengalami pecah di pembuluh darah di kepala. Hal itu
mengakibatkan memar di batang otak dan ada luka lecet di tengah
hidung.71
2. Tinjauan Umum Citibank Indonesia
Citibank N.A., Indonesia (“Citi Indonesia”) merupakan cabang dari
Citibank N.A. yang merupakan anak perusahaan tidak langsung dari
Citigroup Inc. (“Citi”) dan memiliki pusat usaha di New York, USA.72
Sehingga Citibank yang ada sekarang ini merupakan Kantor Cabang Bank
71 Sumber: http://economy.okezone.com/read/2011/04/04/320/442340/kasus-debtcollector-bi-telusuri-keterangan-citibank, diakses pada 5 April 2012.72 LAPORAN TATA KELOLA PERUSAHAAN CORPORATE GOVERNANCE REPORT,CITIBANK N.A., INDONESIA 31 Desember 2011, hlm. 18
70
Asing (KCBA) yang pendiriannya dilakukan berdasarkan SK Direksi
Bank Indonesia No. 32/37/KEP/DIR tahun 1999 tentang Pendirian Kantor
Cabang Bank Asing di Indonesia khususnya pada Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 SK Direksi tersebut, dimana Kantor Cabang Bank Asing dapat
dimiliki 100% (seratus persen) oleh pihak asing dan bentuk hukumnya
mengikuti bentuk kantor pusat bank asing.73 Secara hukum, Kantor
Cabang hanyalah mengikuti kebijakan dari Kantor Pusat. Kantor cabang
dapat melakukan perbuatan hukum yang tertera dalam Surat Kuasa (power
of attorney) dari kantor pusatnya. Sehingga sifat dari Kantor Cabang
tersebut tidak mandiri, seperti halnya jika bentuknya adalah Anak
Perusahaan yang notabene berbentuk Perseroan Terbatas.74
Di dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-undang nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan, untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat, wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya
tentang:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan;
b. Permodalan;
c. Kepemilikan;
d. Keahlian di bidang Perbankan;
e. Kelayakan rencana kerja.
Kemudian dalan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang tersebut
menyatakan : Pembukaan Kantor Cabang, kantor cabang pembantu, dan
kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri,
73 Sumber: http: http://irmadevita.com/tag/cabang-bank-asing, diakses tanggal 30 Juni 201274 Ibid.
71
hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia. Dengan
dipenuhinya syarat-syarat tersebut diharapkan dapat mempermudah bagi
Bank Indonesia dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
perilaku bank yang ada di bawahnya.
Selain dapat digunakan untuk melakukan pengaturan dan
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia, juga dapat digunakan
untuk mempertanggungjawabkan secara pidana pihak bank atau
perusahaan jika dalam melaksanakan kegiatan usahanya melakukan tindak
pidana. Karena konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana
mengalami perkembangan sejak diakuinya korporasi sebagai subjek
hukum pidana di samping manusia.75 Manakala korporasi sebagai subjek
hukum, maka konsep pertanggungjawaban pidana pun harus ‘diciptakan’
agar korporasi (dalam hal ini bank) dapat dijatuhi pidana ketika korporasi
melakukan tindak pidana.
3. Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus Perseroan Terbatas
(Bank)
Agar direksi sebagai organ perseroan yang mengurus perseroan
sehari-hari dapat mencapai prestasi terbesar untuk kepentingan Perseroan,
maka ia harus diberi kewenangan-kewenangan tertentu untuk mencapai
hasil yang optimal dalam mengurus perseroan. Dari kewenangan yang
diberikan, ia perlu diberi tanggung jawab untuk mengurus perseroan. Hal
ini berarti dalam membicarakan kewenangan direksi, diperlukan
pemahaman tentang tanggung jawabnya.
75 Mahrus Ali, Op., Cit., hlm. 160
72
Tanggung jawab adalah kewajiban seseorang individu (baca:
direksi) untuk melaksanakan aktifitas yang ditugaskan kepadanya sebaik
mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Tanggung jawab dapat
berlangsung terus atau dapat berhenti apabila tugas tertentu yang
dibebankan kepadanya telah selesai dilaksanakan. Dalam Perseroan
biasanya antara wewenang dan tanggung jawab seorang Direksi harus
mempunyai tingkatan yang sama. Dengan demikian, wewenang seorang
direksi memberikan kepadanya kekuasaan untuk membuat serta
menjalankan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan bidang
tugasnya yang telah ditetapkan dan tanggung jawab dalam bidang
tugasnya tersebut menimbulkan kewajiban baginya untuk melaksanakan
tugas–tugas tersebut dengan jalan menggunakan wewenang yang ada
untuk mencapai tujuan perseroan.76
Jadi, dalam perseroan, tanggung jawab direksi timbul, apabila
direksi yang memiliki wewenang atau direksi yang menerima kewajiban
untuk melaksanakan pengurusan perseroan, mulai menggunakan
wewenangnya tersebut. Agar wewenang atau kewajiban direksi tersebut
dilaksanakan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan, maka idealnya wewenang itu dapat dilaksanakan sesuai
dengan tanggung jawabnya dan sebaliknya tanggung jawab harus
diberikan sesuai dengan wewenang yang ada.
Di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Pasal 92 ayat (1) dan (2) berbunyi:
76 Nindyo Pramono, Op., Cit., hlm. 20
73
(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentinganPerseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandangtepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang inidan/atau anggaran dasar.
Kemudian dalam Pasal 97 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan
ayat (5) Undang-undang yang sama berbunyi :
(1) Direksi bertanggungjawab atas pengurusan Perseroan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajibdilaksanakan setian anggota direksi dengan itikad baik dan penuhtanggungjawab.
(3) Setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi ataskerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalaimenjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimanadimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih,tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlakusecara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi.
(5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugiansebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. Kerugian tersebut bukan karena kerugian atau kelalainnya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dankehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksuddan tujuan Perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsungmaupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yangmengakibatkan kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atauberlanjutnya kerugian tersebut.
Selanjutnya menurut Pasal 97 ayat (6), atas nama Perseroan,
Pemegang Saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian perseroan.
74
Terkait dengan permasalahan yang saya teliti yaitu, kasus
meninggalnya Irzen Okta, nasabah kartu kredit Citibank. Pada waktu itu
yang menjadi pimpinan atau Citi Country Officer (CCO) Citibank untuk
Indonesia adalah Shariq Mukhtar. Kemudian diganti oleh pihak Citibank,
dan sementara posisinya digantikan oleh Tigor M Siahaan yang
sebelumnnya menjabat sebagai Country Business Manager Citibank
Indonesia.77 Sebelumnya Bank Indonesia melakukan Fit and Proper Test
atas Shariq Mukhtar pada minggu kedua bulan Mei 2011. Shariq
dilakukan tes ulang bersama sejumlah direksi Citibank lainnya yaitu
Senior Country Operating Officer, Retail Banking Head, Head of
Collection, dan Branch Manager KCP Landmark Citibank.78
Dengan pengaturan yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia,
terkait dengan vonis yang telah dijatuhkan dalam Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 1201/Pid.B/2011/PN. Jkt Sel. yang
memutus bersalah para terdakwa yang menyebabkan meninggalnya Irzen
Okta pada tanggal 29 Maret 2011 di kantor Citibank. Dijatuhkan kepada 3
(tiga) penagih hutang (debt collector) yaitu terbukti melanggar ketentuan
Pasal 335 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan menjatuhkan
pidana penjara masing-masing selama 1 tahun. Tentunya direksi yang
memerintahkan atau melakukan perjanjian kerja sama dengan debt
collector dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana.
77 Sumber: http: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/11/06/09/lmii9g-ccocitibank-indonesia-diganti diakses tanggal 30 Juni 201278 Ibid.
75
Menurut praktisi hukum Luhut M Pangaribuan di surat kabar
KOMPAS, Sabtu 2 April 2011, pihak bank tetap bertanggungjawab penuh
dalam kasus meninggalnya Irzen Okta, karena:79
1. Bank harus mengawasi kinerja pihak ketiga yang resmi bekerja
sama dengan bank dalam hal penagihan hutang;
2. Tewasnya korban berada di ruang kantor bank yang bersangkutan,
yang otomatis berada di otoritas Citibank
3. Ketiga tersangka, yaitu Arief Lukman, Donald Harris, dan Henry
Waslinton yang merupakan pegawai outsource dengan penugasan
penagihan utang, dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 351 KUHP
tentang penganiayaan dengan ancaman 2,8 tahun; Pasal 170
tentang pengeroyokan dengan ancaman 5,5 tahun; dan Pasal 335
KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman
satu tahun penjara.
Sebagai suatu badan hukum, Perseroan Terbatas dianggap seolah-
olah sebagai suatu person atau subjek hukum tersendiri (artificial person)
yang mandiri sehingga mempunyai hak untuk menjadi pemegang hak dan
kewajibannya. Sedangkan direksi adalah organ perseroan yang
bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan artinya bahwa secara
fiduciary harus melaksanakan standar of care. Fiduciary duty adalah tugas
yang dijalankan oleh direktur dengan penuh rasa tanggung jawab dan
79Sumber:http://megapolitan.kompas.com/read/2011/04/02/05493637/Citibank.Harus.Bertanggung.Jawab diakses tanggal 30 Juni 2012
76
dengan itikad baik untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain
(perseroan).80
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak
dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun dalam pengertian tindak
pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya
menunjukkan kepada dilarangnya suatu perbuatan81.
Pandangan di atas sejalan dengan pendapat tentang tindak pidana
yang dikemukakan oleh Moelyatno, yang membedakan dengan tegas
“dapat dipidananya perbuatan” (de strafbaarheid van het feit atau het
verboden zjir van het feit) dan “dapat dipidananya orang” (strafbaarheid
van den persoon), dan sejalan dengan itu beliau memisahkan antara
pengertian “perbuatan pidana” (criminal act) dan “pertanggungan jawab
pidana” (criminal responsibility atau criminal liability).82 Oleh karena hal
tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi
pertanggungjawaban pidana. Pandangan ini disebut pandangan dualistis
mengenai perbuatan pidana. Pandangan ini merupakan penyimpangan dari
pandangan yang monistis antara lain yang dikemukakan oleh Simons yang
merumuskan “strafbaar feit” adalah : “een strafbaar gestelde,
onrechtmatige met schuld verband staande handeling van een
toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah :
80 I.G. Rai Widjaja, Op., Cit., hlm. 22281 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana KorporasiDi Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004, hlm. 30.82 Moelyatno, Seperti dikutip oleh Sudarto, Dalam Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II,Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 40.
77
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaar persoon).
Simons mencampur unsur objektif (perbuatan) dan unsur subjektif
(pembuat). Yang disebut sebagai unsur objektif ialah :83
a. Perbuatan orang ;
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “di
muka umum”.
Segi subjektif dari strafbaar feit :
a. Orang yang mampu bertanggung jawab ;
b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa).
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan
atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Sudarto berpendapat bahwa untuk menentukan adanya pidana,
kedua pendirian itu tidak mempunyai perbedaan prinsipiil. Soalnya ialah
apabila orang menganut pendirian yang satu hendaknya memegang
pendirian itu secara konsekuen, agar supaya tidak ada kekacauan
83 Ibid. hlm. 41
78
pengertian (begripsverwarring). Jadi dalam mempergunakan istilah
“tindak pidana ” haruslah pasti bagi orang lain apakah yang dimaksudkan
ialah menurut pandangan monistis ataukah yang dualistis. Bagi yang
berpandangan monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah
dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis sama sekali
belum mencukupi syarat untuk dipidana karena harus disertai syarat
pertanggungan jawab pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.84
Berdasarkan uraian di atas bahwa dipidananya seseorang tidaklah
cukup apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur delik dalam
undang-undang, tetapi masih ada syarat lain yang harus dipenuhi yaitu
bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan
atau bersalah.
Karena asas utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah
kesalahan, maka timbul permasalahan baru dengan diterimanya korporasi
sebagai subjek hukum pidana. Tetapi bagaimana mempertimbangkan
tentang pertanggungjawaban pidananya?. Dapatkah dibayangkan pada
korporasi terdapat unsur kesalahan (baik kesengajaan atau dolus atau
kealpaan atau culpa)?. Dalam keadaan pelaku adalah manusia, maka
kesalahan ini dikaitkan dengan celaan (verwijtbaarheid; blameworthiness)
dan karena itu berhubungan dengan mentalitas atau psyche pelaku.
Bagaimana halnya dengan pelaku yang bukan manusia, yang dalam hal ini
adalah korporasi ?.
84 Ibid. hlm. 45
79
Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana selanjutnya
diperdebatkan kemampuannya dalam bertanggungjawab terhadap
kejahatan yang diperbuatnya. Korporasi yang pada awalnya hanya menjadi
subjek hukum dalam hukum perdata kini juga dibahas dan dirancang
sebagai subjek hukum dalam hukum pidana. Beberapa sarjana menyatakan
korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum pidana dengan alasan
sebagai berikut:85
1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan
kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah;
2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materill, yang merupakan
syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya
dapat dilaksanakan persona alamiah (mencuri barang, menganiaya
orang, perkosaan dan sebagainya);
3. Bahwa pidana dan tindak pidana yang berupa merampas kebebasan
orang tidak dapat dikenakan pada korporasi;
4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan
sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah;
5. Bahwa dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-
norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja
atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan
dipidana.
Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subjek
hukum pidana menyatakan:
85 H.Setiyono, Kejahatan Korporasi, Malang : Bayumedia, 2003, hlm. 10.
80
1. Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan
represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan
korporasi, korporasi dan pengurus, atau pengurus saja;
2. Mengingat didalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin
memainkan peranan yang penting pula;
3. Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat,
yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyrakat. Jika hukum pidana
hanya diberlakukan pada manusia saja maka tujuan itu tidak
efektif;
4. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah
satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para
pegawai itu sendiri.
Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap pengaturan
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehubungan
dengan korporasi yang telah dijatuhi pidana, ternyata dalam praktik belum
ada putusan pengadilan atau yurisprudensinya. Mengenai kedudukan
badan hukum/korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat suatu
suatu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 1 Maret
1969, Nomor 136/Kr/1966 dalam perkara antara PT Kosmo dan PT Sinar
Sahara, yang menyatakan, “suatu badan hukum tidak dapat disita. Hal ini
81
menjelaskan bahwa PT Kosmo dan PT Sinar Sahara bukan benda, karena
hanya barang/bendalah yang dapat disita, melainkan subjek hukum.86
Adanya putusan MA tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa
korporasi sebagai subjek hukum pidana namun tidak hanya sebatas
pengakuan yuridis sebab pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara
yang melakukan tindak pidana (pembuat) dan yang bertanggungjawab.
Dalam kenyataan diketahui bahwa korporasi berbuat dan bertindak
melalui manusia (yang dapat pengurus maupun orang lain). Jadi
pertanyaan yang pertama adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa
perbuatan pengurus (atau orang lain) dapat dinyatakan sebagai sebagai
perbuatan korporasi yang melawan hukum (menurut hukum pidana). Dan
pertanyaan kedua adalah bagaimana konstruksi hukumnya bahwa pelaku
korporasi dapat dinyatakan mempunyai kesalahan dan karena itu
dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana. Pertanyaan ini menjadi
lebih sulit apabila difahami bahwa hukum pidana Indonesia mempunyai
asas yang sangat mendasar yaitu : bahwa “tidak dapat diberikan pidana
apabila tidak ada kesalahan” (dalam arti celaan)
Menurut pendapat diatas bagaimana caranya untuk memastikan
korporasi menuruti undang-undang?. Dapatkah penempatan
pertanggungjawaban itu diberikan kepada korporasi itu sendiri atau juga
dijatuhkan kepada direktur dan manajer dari korporasi tersebut?
86 Muladi,dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Sekolah TinggiBandung, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 49.
82
Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek
hukum pidana, mengalami perkembangan secara bertahap. Pada umumnya
secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga tahap, yaitu:
1. Tahap Pertama
Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang
dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).
Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi,
maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi
tersebut.87
Tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 59 KUHP yang isinya:
“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, maka pengurus,
anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur
melakukan pelanggaran tidak dipidana”. Dari rumusan tersebut, maka para
penyusun kitab undang-undang hukum pidana dipengaruhi oleh asas
societas delinquere non potest, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan
tindak pidana.
Pengurus pada tahap ini tidak memenuhi kewajiban yang
sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan
bertanggungjawab. Kesulitan yang timbul dalam Pasal 59 KUHP ini
adalah apabila hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan
tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggungjawab, maka
87 Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 52.
83
bagaimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabannya?.88
Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan kedudukan dalam tahap
kedua.
2. Tahap Kedua
Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah
Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak
pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi).
Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum
tersebut.
Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota
pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan
melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Tahap ini
menyebabkan korporasi dapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yang
dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal dinyatakan
dengan tegas dalam peraturan itu. Walaupun pertanggungjawaban pidana
secara langsung dari korporasi masih belum muncul.89
Penentuan kapan pengurus dapat dapat diminta
pertanggungjawabannya terdapat dalam Rancangan KUHP Tahun 2000
Pasal 47 yang menyatakan: “pertanggungjawaban pidana pengurus
korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi.”90
88 Ibid., hlm 53-5489 Ibid.90 Ibid., hlm. 55.
84
3. Tahap Ketiga
Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab
yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah
Perang Dunia II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut
korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.
Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fiskal
keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin
seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi
saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan memidana para pengurus tidak
atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik
tersebut. Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai
dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk
menaati peraturan bersangkutan.91
Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi
sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana adalah Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 Tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 15
ayat (1) menyatakan :
Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatubadan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnyaatau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukumanpidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badanhukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap merekayang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau
91 Ibid., hlm. 56.
85
yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu,maupun terhadap kedua-duanya.
Perumusan diatas menyatakan bahwa yang dapat melakukan
maupun yang bisa dipertanggungjawabkan adalah orang dan/atau
perserikatan/korporasi itu sendiri. Tahap ketiga ini menyebabkan peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mencantumkan tanggungjawab
langsung dari korporasi masih terbatas dalam perundang-undangan khusus
diluar KUHP.
Peraturan perundang-undangan yang menyatakan korporasi
sebagai subjek tindak pidana, tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan
hanya pengurus, antara lain :
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 Tentang Kerja
2. Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 Tentang Kecelakaan
3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 Tentang Pengawasan
Perburuhan
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api
5. Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan
Yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana, dan
dapat dipertanggungjawabkan antara lain :
1. Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 (undang-undang Tindak
Pidana Ekonomi);
2. Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 (Pos)
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 (Psikotropika)
4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana Korupsi);
86
5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana Pencucian
Uang)
6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 (Perindustrian)
7. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 (Pasar Modal)
8. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup)
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
10. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen)
Kemudian dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Drt No.7
Tahun 1955 menyatakan :
Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatubadan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatuyayasan, jika tindak itu dilakukan oleh orang-orang yang, baikberdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindakdalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasanitu, tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendirimelakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama adaanasir-anasir tindak pidana tersebut.
Dari isi rumusan ayat (2) di atas, dapat dipahami bahwa meskipun
orang yang melakukan tindak pidana bukan merupakan anggota/pengurus
dari korporasi yang bersangkutan, tetapi korporasi tetap dapat dikatakan
sebagai pelaku tindak pidana ekonomi. Hal ini didasarkan atas adanya
hubungan hukum antara korporasi dan orang yang disuruh melakukan
kegiatan dalam lingkup usahanya. Dan tentunya hubungan hukum yang
dilakukan oleh korporasi dilakukan atau diwakili oleh direksi/pengurus
yang berdasarkan AD/ART korporasi diberi kewenangan untuk itu.
87
Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana juga
memerlukan kajian yang mendalam terhadap kesalahan meliputi
kesengajaan dan kealpaan, dan alasan penghapus pidana pada korporasi
yaitu, sebagai berikut:
1. Kesengajaan dan Kealpaan Pada Korporasi
Sangat sulit untuk menentukan unsur kesalahan dalam tindak
pidana korporasi dan mempertahankan asas tiada pidana tanpa kesalahan
(Green Straf Zonder Schuld) khususnya masalah kesengajaan dan
kealpaan korporasi.
Menurut Remmelik, bahwa pengetahuan bersama dari sebagian
besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum
itu, apabila mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan bahwa kesalahan
ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, apabila
dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu
sendiri.92
Sulitnya mengetahui dan menentukan kapan suatu korporasi
melakukan kesengajaanan atau kelalaian menyebabkan asas tiada pidana
tanpa kesalahan tidak dapat berlaku mutlak terhadap korporasi.
2. Alasan Penghapus Pidana Korporasi
Seperti halnya subjek hukum alamiah (natuurlijk persoon), badan
hukum/korporasi juga memiliki alasan penghapusan pidana sebagai
konsekuensi diterimanya asas kesalahan pada korporasi. Korporasi sebagai
subjek hukum pidana pada dasarnya dapat menunjuk alasan-alasan
92 Ibid., hlm. 126
88
penghapusan pidana kecuali yang berkaitan dengan keadaan kejiwaan
tertentu (Pasal 44 KUHP).
Sesuai dengan sifat kemandirian (persoonlijk) alasan-alasan
penghapus pidana harus dicari pada korporasi itu sendiri. Mungkin sekali
terjadi pada diri seseorang terdapat alasan penghapus pidana tetapi tidak
demikian halnya pada korporasi.93 Muladi dan Dwija Priyatno dalam
bukunya mencontohkan:
“seorang supir truk terpaksa bersedia untuk mengangkut narkotikakarena jiwa keluarganya terancam. Sementara itu perusahaanpengangkut tempat sopir itu bekerja, atas dasar pertimbanganuntuk memperoleh keuntungan, telah membiarkan/mengizinkanmengakut narkotika tersebut. Padahal perusahaan tersebutsesungguhnya mampu untuk mencegah perbuatan pengangkutannarkotika tanpa perlu mengorbankan kepentingan sopir sebagaipegawainya.”
Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa dalam menentukan ada atau
tidak adanya alasan penghapusan pidana pada korporasi tak selalu dapat
dicari secara terpisah antara perorangan dan korporasi. Dalam beberapa
hal mungkin terjadi suatu korporasi ternyata telah mengambil alih keadaan
dalam diri perorangan.94 Terhadap alasan pembenar dan pemaaf terdapat
dalam Konsep Rancangan KUHP Tahun 2000 Pasal 49 yang menyatakan:
“ alasan pemaaf atau pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi
sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang
didakwakan pada korporasi.”
93 Ibid., hlm. 13194 Ibid., hlm. 132
89
Pertanggungjawaban (Accountability) atas tindakan direksi dapat
diketahui dari apakah tindakan yang dilakukannya berdasarkan wewenang
(authority), termasuk di dalamnya didasarkan pada prinsip fiduciary duty
atau tidak, dan tindakan tersebut didukung oleh keadaan yang seimbang
antara tugas dan kewajiban dengan kemampuan melaksanakan tugas dan
kemampuan (capability) atau tidak.
Menurut Moeljatno, adanya kemampuan bertanggung jawab harus
memenuhi syarat :95
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik
dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Sebagai ujung tombak dalam pengurusan Perseroan, direksi
bertanggung jawab penuh untuk mewakili perseroan baik di dalam atau di
luar pengadilan. Akibat hukum terhadap adanya tindak pidana yang
melibatkan suatu perseroan yang dikelolanya maka direksi dapat dikenai
sanksi, baik sanksi pidana, sanksi administratif, maupun sanksi perdata.
Pidana dan Pemidanaan Terhadap Korporasi
Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi
masalah-masalah sosial dalam mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan
masyarakat. Penggunaan sanksi yang berupa pidana terhadap kejahatan
korporasi yang penuh motif ekonomi harus dipertimbangkan benar
95 Moeljatno, Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 165.
90
urgensinya. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk
mempertimbangkan peringatan Sudarto, bahwa sanksi pidana akan
menemui kegagalan dan mendatangkan kecemasan belaka. Terlalu banyak
menggunakan ancaman pidana dapat mengakibatkan devaluasi dari
undang-undang pidana.96
Sehubungan dengan sanksi pidana ini, Jeremy Bentham
menyatakan bahwa pidana hendaknya jangan digunakan apabila
groundless, needless, unprofitable, dan ineffective.97 Packer menyatakan
bahwa pidana itu menjadi penjamin yang utama apabila digunakan secara
cermat, hati-hati dan secara manusiawi. Akan tetapi sebaliknya menjadi
pengancam yang membahayakan apabila digunakan secara
Indiscriminately dan coercively. Oleh karena itu Packer menegaskan
bahwa syarat-syarat penggunaan sanksi pidana secara optimal harus
mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Perbuatan yang dilarang tersebut menurut pandangan sebagian
besar anggota masyarakat secara menyolok dianggap
membahayakan masyarakat dan tidak dibenarkan oleh apa saja
yang oleh masyarakat dianggap penting.
2. Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut konsisten
dengan tujuan-tujuan pemidanaan.
3. Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut tidak akan
menghalangi atau merintangi perilaku masyarakat yang diinginkan.
96 H Setiyono, op cit, hlm. 116-117.97 Ibid. hlm. 117.
91
4. Perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang tidak berat
sebelah dan tidak bersifat diskriminatif.
5. Pengaturan melalui proses hukum pidana tidak akan memberikan
kesan memperberat baik secara kualitatif maupun secara
kuantitatif.
6. Tidak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi pidana
tersebut guna menghadapi perilaku tersebut.98
Dari pendapat tersebut di atas jelas bahwa pidana hendaknya
digunakan apabila memang benar-benar mendasar dan dibutuhkan. Dan
pidana itu akan bermanfaat bila digunakan dalam keadaan yang tepat.
Apabila penggunaan pidana tersebut tidak benar akan membahayakan atau
akan menjadi pengancam yang utama. Sebaliknya akan menjadi penjamin
yang utama apabila digunakan secara cermat, hati-hati, dan secara
manusiawi.
Dalam teori, korporasi dapat melakukan tindak pidana apa saja,
tetapi ada pembatasannya. Tindak pidana-tindak pidana yang tidak bisa
dilakukan korporasi adalah tindak pidana (a) yang satu-satunya ancaman
pidananya hanya bisa dikenakan kepada orang biasa, dan (b) yang hanya
bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya bigami, perkosaan.
Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double track system)
dalam pemidanaan, dalam arti di samping pidana dapat juga diterapkan
dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Sesuai
dengan motif-motif kejahatan korporasi, sanksi yang bersifat ekonomis
98 Ibid.
92
dan administratif tampaknya lebih sesuai diterapkan dalam
pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Sanksi-
sanksi yang demikian tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) mengenai
hukuman tambahan dan Pasal 8 mengenai tindakan tata tertib yang diatur
dalam undang-undang Drt. nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Dengan demikian, di
samping pidana denda, korporasi dapat pula dijatuhi:99
(a) Pidana tambahan
- penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan;
- perampasan barang tidak tetap, baik yang berwujud maupun
tidak berwujud;
- pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu;
- pengumuman putusan hakim.
(b) Tindakan tata tertib, seperti:
- penempatan perusahaan di bawah pengampuan atau
pengawasan;
- kewajiban membayar uang jaminan;
- kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan
keuntungan.
Tentang hal ini, Suprapto menyatakan bahwa hukuman yang
dapat dikenakan pada perusahaan (korporasi) adalah (a) penutupan seluruh
atau sebagian perusahaan si terhukum untuk waktu tertentu, (b)
99 Ibid., hlm. 119
93
pencabutan seluruh atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat
diperoleh dari pemerintah oleh perusahaan selama waktu tertentu, dan (c)
penempatan perusahaan di bawah pengampuan selama waktu tertentu.100
Sanksi yang bersifat ekonomis dan administratif ini juga terdapat
dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam undang-undang Nomor
20 Tahun 2000. Pasal 18 ayat (1) berbunyi :
Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah (a)perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud ataubarang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh daritindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimanatindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yangmenggantikan barang-barang tersebut, (b) pembayaran uang penggantiyang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yangdiperoleh dari tindak pidana korupsi, (c) penutupan seluruh atausebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun, (d)pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusanseluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapatdiberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pidana
penjara dan pidana mati tidak dapat dijatuhkan pada korporasi. Sanksi
yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah (a) pidana denda, (b) pidana
tambahan, (c) tindakan tata tertib, (d) tindakan administratif, (e) sanksi
perdata atau ganti kerugian.101
4. Pelanggaran-Pelanggaran Yang Dilakukan Citibank
Kasus ini terjadi pada bulan Maret 2011, oleh karena itu Peraturan
Bank Indonesia yang dijadikan sebagai dasar hukum adalah PBI No.
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
100 Ibid.101 Ibid., hlm. 120-121.
94
dengan Menggunakan Kartu. dan SEBI No. 11/10/DASP Perihal
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
yang saat kejadian berlangsung masih berlaku. Citibank dinyatakan
terbukti bersalah melanggar Peraturan Bank Indonesia No 11/11/2009
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu dimana pelanggaran tersebut terkait dengan
mekanisme penagihan utang melalui debt collector. Dalam kasus tersebut,
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Citibank yaitu:102
a. Adanya perjanjian kerja sama dengan pihak penagih yang didalamnya
dinyatakan bahwa segala tanggung jawab akhir ada di pihak penagih
padahal, dalam Peraturan Bank Indonesia diatur bahwa segala akibat
hukum yang timbul dalam penagihan harus menjadi tanggung jawab
bank.
Dalam perjanjian kerjasama antara Penerbit dan pihak lain untuk
melakukan penagihan transaksi kartu kredit harus memuat klausula
tentang tanggungjawab penerbit terhadap segala akibat hukum yang
timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut, hal ini
sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran BI No.11/10/DASP
Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu dalam halaman 38-39. Oleh karena itu, Citibank
telah jelas melanggar ketentuan Bank Indonesia ini dimana klausula
yang seharusnya tercantum adalah tanggung jawab berada di tangan
Penerbit Kartu Kredit atas segala akibat hukum yang timbul, tetapi
102 Sumber: http://hukumonline.com/berita/baca/lt4dc023cc64610/sanksi-citibankditentukan-rdg-bi, diakses pada 29 Juni 2012.
95
dalam perjanjian antara Citibank dengan pihak ketiga, klausula yang
ada adalah bahwa tanggung jawab berada di tangan Penagih.
b. Citibank dianggap menyalahi skema penagihan hutang terkait
kolektibilitas atau tingkat penunggakan utang dari nasabah kartu
kredit.
Tingkat kesehatan bank merupakan hal terpenting yang harus
diusahakan oleh manajemen bank, selanjutnya pengelola bank
diharuskan memantau keadaan kualitas aktiva produktif yang
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatannya.
Penilaian terhadap kualitas aktiva produktif didasarkan pada tingkat
kolektibilitas aktiva produktif sampai sejauh ini hanya terbatas pada
kredit yang diberikan. Ukuran utamanya adalah ketepatan pembayaran
kembali pokok bunga serta kemampuan debitur baik ditinjau dari
usaha maupun nilai agunan kredit yang bersangkutan. Berdasarkan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/267/KEP/DIR,
tanggal 27 Februari 1998 tentang kualitas aktiva produktif dan
pembentukan cadangan, ditetapkan 5 golongan kolektibilitas kredit,
yaitu; Lancar (pass), Perhatian Khusus (Special Mention), Kurang
Lancar (Sub Standard), Diragukan (doubtful), dan Macet (loss)
Dalam Surat Edaran BI No.11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, dalam
halaman 38-39 disebutkan bahwa dalam hal Penerbit menggunakan
jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit,
maka penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika
96
kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori
kolektibilitas diragukan (doubtful) atau macet berdasarkan kriteria
kolektibilitas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kolektibilitas. Dalam kasus ini, Citibank sudah mengalihkan
penagihan kepada pihak ketiga mulai kolektibilitas dua (dalam
perhatian khusus). Berdasarkan hal ini, maka jelas terlihat bahwa
Citibank telah melakukan pelanggaran ketentuan Bank Indonesia.
c. Citibank juga dianggap lemah dalam sistem pengawasan penagihan
serta penanganan keluhan nasabah.
Setiap bank seharusnya melakukan pengawasan internal mengenai
segala kegiatan yang berlangsung di dalamnya termasuk pengawasan
mengenai penagihan. Bank Indonesia menganggap bahwa dalam kasus
ini, Citibank lemah dalam mengawasi penagihan sehingga kasus ini
dapat terjadi.
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak
nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan
friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan
munculnya pengaduan103 (keluhan) nasabah. Pengaduan nasabah ini
apabila tidak diselesaikan dengan baik oleh bank berpotensi menjadi
perselisihan atau sengketa yang pada akhirnya akan dapat merugikan
nasabah dan atau bank. Pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan
103 Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensikerugian financial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank, BankIndonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2009 Tentang Penyelesaian PengaduanNasabah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 17, Pasal 1 Ayat (4).
97
nasabah ini terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/2005
Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia ini, Bank
wajib menyelesaikan setiap pengaduan yang diajukan nasabah atau
perwakilan nasabah. Apabila bank melanggar ketentuan yang berkaitan
dengan pengaduan nasabah, maka bank akan mendapatkan sanksi baik
sanksi administratif (yang dapat diperhitungkan dengan komponen
penilaian tingkat kesehatan Bank), maupun sanksi denda. Citibank
dianggap lambat merespon lemahnya penanganan keluhan nasabah
yang banyak keberatan atas sikap para debt collector sehingga tidak
ada perubahan dalam perilaku penagih utang sehingga kasus ini
akhirnya dapat terjadi.
Berdasarkan penjabaran tersebut, maka dapat dilihat bahwa
terdapat 3 pelanggaran yang dilakukan oleh Citibank dalam kasus
meninggalnya nasabah pemilik kartu kredit tersebut. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa Citibank tidak mematuhi peraturan yang
telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sehubungan dengan sistem
pembayaran menggunakan kartu yang ada dalam penggunaan jasa
pihak ketiga (debt collector) dalam penagihan hutang kartu kredit yang
saat itu berlaku yaitu PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu. Dan SEBI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
98
5. Sanksi yang dapat dikenakan
5. 1. Sanksi Pidana Yang Dapat Dikenakan Kepada Direksi Citibank
a. Berdasar Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Pertanggungjawaban pidana tidaklah mungkin terjadi tanpa
sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. Dengan demikian
pertanggungjawaban pidana selalu tertuju pada pembuat tindak pidana
tersebut. Dalam hal ini ‘pembuat’ tidak dapat dipersamakan dengan
‘pelaku materiil’. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya ditujukan
kepada pelaku materil (pleger) tetapi juga pembuat (dader). Oleh
karena itu, apakah pertanggungjawaban pidana itu ditujukan terhadap
orang yang melakukan tindak pidana (pelaku) atau orang lain yang ada
kaitan dengannya (pembuat selain pelaku), merupakan masalah
penetapan suatu tindak pidana (kriminalisasi) dan bukan persoalan
pertanggungjawaban pidana.104
Dalam hal ini penulis mengikuti pandangan yang menyatakan
penyertaan (deelneming) sebagai strafausdehnungsgrund, yaitu dasar
yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam
terwujudnya delik. Para peserta delik melanggar kaidah-kaidah hukum
pidana yang telah diperluas itu, masing-masing pada waktu dan tempat
ketika mereka berbuat atau tidak berbuat sesuatu.105
Untuk mempertanggungjawabkan secara pidana, direksi suatu
Perseroan, dikenal teori vicarious liability, yaitu the legal
responsibility of one person for wrongful acts and another as for
104 Chairul huda, Op,. Cit., hlm. 39105 Ibid., hlm. 40
99
example, when the acts are down within scope of employment (suatu
konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan
yang masih berada dalam lingkup pekerjaannya).106 Konsep vicarious
liability bukan merupakan konsep asli hukum pidana, konsep ini
diadopsi dari hukum hukum lain dalam common law system. Dalam
common law system teori tentang pertanggungjawaban pidana
umumnya identik dengan teori pertanggungjawaban perdata. Namun
demikian, ketika konsep ini menjadi bagian dari hukum pidana, maka
melihatnya harus dengan perspektif hukum pidana itu sendiri. Dalam
hal ini vicarious liability dilihat dari teori pemisahan tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana.107
Menurut Ashworth vicarious liability dapat terjadi jika
terdapat dua keadaan. Pertama, apabila terdapat pendelegasian. Where
a statute imposes liability on the owner, licencee or keeper of premises
or other property, the courts will make that person vicariously liable
for conduct of anyone to whom management of premises hass been
delegated. Dengan demikian, pemilik, pengurus atau orang pemberi
perintah bertanggungjawab atas perbuatan bawahan yang bekerja
untuknya atau sebatas pada perintahnya.108 Leigh mengatakan, “the
offence is essentialy that of the servant, liability for being ascribed to
the master”. Tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan pada intinya
menjadi tanggungjawab atasannya. Dalam hal tindak pidana korporasi
106 Barda Nawawi Arif, Op., Cit., hlm. 33107 Chairul huda, Op. Cit., hlm. 41-42108 Ibid. hlm. 42
100
maka pertanggungjawaban dapat terjadi baik terhadap individu
(pemilik, pengurus atas pemberi perintah) maupun terhadap korporasi
itu sendiri.109
Kedua, dalam hal penafsiran atas perbuatannya, yaitu vicarious
liability diterapkan “so long assistant is acting as agent rather than as
a private individual”. Dengan demikian, sekalipun tidak ada
pendelegasian, tetapi penafsiran atas fakta perbuatannya menunjukan
bahwa pelaku berbuat bukan dalam kapasitas pribadinya.110
Teori vicarious liability diartikan oleh Henry Black sebagai
indirect legal responsibility, the liability of an employer for the acts of
of an employee, of a principle for torts and contract of an agent
(pertanggungjawaban pengganti adalah pertanggungjawaban hukum
secara tidak langsung, pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari
pekerja; atau pertanggungjawaban prinsipal terhadap tindakan agen
dalam suatu kontrak).111
Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat
terjadi jika pada diri pembuat terdapat kesalahan, dengan vicarious
liability mendapat perkecualian. Apabila diikuti konstruksi ini, maka
dalam vicarious liability seseorang dipandang bertanggungjawab atas
kesalahan orang lain. Jadi terdapat perkecualian dari asas ‘tiada pidana
109 Loc., Cit.110 Loc., Cit111 Mahrus Ali, Op., Cit., hlm. 168
101
tanpa kesalahan’. Penjelasan Pasal 32 Rancangan KUHP secara
eksplisit menjelaskan perkecualian ini.112
Dalam teori vicarious liability terdapat dua syarat penting
terpenuhi untuk dapat menerapakan suatu perbuatan berdasarkan teori
ini, yaitu :113
a) Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubugan pekerjaan antara
majikan dengan pekerja.
b) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus
berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan
(direktur) atas dasar pertanggungjawaban pengganti (vicarious
liability) dimaksudkan untuk mencegah atau paling tidak
meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi melalui
pengurusnya. Hal ini karena korporasi memainkan peranan penting
dalam segala aspek kehidupan, dan tidak jarang menimbulkan
terjadinya kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan
kerugian sangat besar bagi masyarakat114
Teori di atas jika dihubungkan dengan pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh Citibank maka terdapat kesesuaian,
yaitu:
112 Chairul huda, Op. Cit., hlm. 43113 Mahrus Ali, Op., Cit., hlm. 169-170.114 Ibid.
102
a. Bahwa antara pihak Citibank dengan penagih hutang atau debt
collector terjalin hubungan hukum, yaitu hubungan pemberian
kuasa atas suatu tagihan dan pemberian kerja waktu tertentu.
b. Bahwa meninggalnya Irzen Okta merupakan akibat perilaku
penagih hutang yang melakukan intimidasi, ancaman dalam
rangka melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh pihak
Citibank.
Terkait kasus meninggalnya Irzen Okta, dalam persidangan
Jaksa Penuntut Umum menuntut para terdakwa dengan dakwaan
Pilihan (alternatif), yaitu:115
1) Para terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 333 ayat (3) KUHP jo.
Pasal 55 ayat (1) KUHP; Subsider : Para terdakwa didakwa
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 333 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
atau
2) Para Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; atau
3) Para terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
115 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Op., Cit., hlm. 51
103
Dari beberapa dakwaan yang tersebut di atas, Majelis Hakim
menjatuhkan pidana satu (1) tahun penjara kepada ketiga penagih
hutang (debt collector), melakukan tindak pidana “melakukan
perbuatan secara melawan hukum memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan
memakai kekerasan, suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, suatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik
terhadap orang itu sendiri maupun orang lain” sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat
(1) KUHP.
Di dalam pertimbangan Majelis Hakim, berdasarkan fakta-
fakta yang diperoleh dalam persidangan, Majelis Hakim berkeyakinan
penyebab utama kematian Irzen Okta adalah:116
Menimbang, bahwa walaupun dari fakta-fakta yang terungkap di
persidangan tidak terungkap bahwa adanya pemaksaan secara fisik,
namun oleh karena keadaan subjektif dari korban IRZEN OKTA
yang temperamental karena yang bersangkutan penderita
Hypertensi, keadaan atau situasi yang diciptakan oleh para
terdakwa telah memaksa yang bersangkutan meluap-luap emosinya
sehingga mencapai titik kulminasi klimaks yang berakibat fatal
yakni korban pingsan, hingga akhirnya meninggal dunia akibat
terjadinya pendarahan di otak sebagaimana ternyata dari visum et
116 Ibid. hlm. 56-57
104
repertum No. 309/SK V/III/2011 tertanggal 4 April 2011, yang
dibuat dan ditandatangani oleh dr. Ade Firmansyah Sugiarto,
SpF, dengan kesimpulan: Pada mayat laki-laki berusia antara
empat puluh lima sampai lima puluh tahun yang bergolongan
darah A ini ditemukan perdarahan di bawah selaput keras otak
dan selaput lunak otak, bekuan darah di bilik otak, memar
jaringan otak kecil, resapan darah pada otak dan pecahnya
pembuluh darah di bagian bawah batang otak. Sebab pasti
kematian adalah akibat penyakit pecahnya pembuluh darah di
bagian bawah batang otak yang menimbulkan pendarahan di
dalam bilik otak hingga menyumbat saluran cairan otak dan
menekan batang otak hingga terjadi mati lemas (asfiksia). Luka
lecet yang terdapat pada hidung korban akibat kekerasan tumpul
yang tidak menyebabkan kematian;--------------------------------------
Sekiranya dengan adanya putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan di atas, yang menyatakan bersalah 3 (tiga) orang
penagih hutang (debt collector), karena melanggar Pasal 335 ayat
(1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menurut penulis dapat
juga diperluas pertanggungjawaban pidananya. Karena dalam hal
ini penulis mengikuti pandangan yang menyatakan penyertaan
(deelneming) sebagai strafausdehnungsgrund, yaitu dasar yang
memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam
terwujudnya delik. Tersangkut dalam hal ini yaitu direksi Citibank
105
atau pegawai/pejabat Citibank yang memberikan perintah kepada
para terdakwa.
Pembagian penyertaan menurut KUHP terdapat dalam
Pasal 55 KUHP, tetapi dalam kesempatan ini penulis hanya akan
menganalisisnya terkait masalah yang diteliti pada Pasal 55 ayat
(1) ke-1 saja.
Bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 sebagai berikut :
(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:
ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan danyang turut serta melakukan perbuatan pidana;
Mengenai pengertian pembuat (dader), ada dua pandangan :117
a. Pandangan yang luas (extensief) :
- Pembuat ialah tiap orang yang menimbulkan akibat yang
memenuhi rumusan delik;
- Dengan demikian mereka yang disebut dalam pasal 55 di
atas adalah pembuat.
b. Pandangan yang sempit
- Pembuat hanyalah orang yang melakukan sendiri perbuatan
yang sesuai dengan rumusan delik; jadi hanya pembuat
materiil saja.
Pembagian penyertaan menurut bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP, yang dikualifikasikan sebagai pembuat (dader) terdiri
dari:118
117 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Semarang: Badan Penyedia Bahan KuliahFakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1993, hlm. 28118 Ibid. hlm. 29-34
106
1) Pelaku (Pleger)
a. Pelaku (pleger) ialah orang yang melakukan sendiri
perbuatan yang memenuhi rumusan delik.
b. Dalam praktik sukar menentukannya, terutama dalam
hal pembuat undang-undang tidak menentukan secara
pasti siapa yang menjadi pembuat.
2) Orang yang menyuruh lakukan (doenpleger)
a. Doenpleger ialah orang yang melakukan perbuatan
dengan perantara orang lain, sedang perantara ini hanya
diumpamakan sebagai alat.
Dengan demikian :
i. Pada doenpleger (menyuruh lakukan) ada dua
pihak:
- Pembuat langsung (onmiddelijke dader; auctor
physicus; manus mistral);
- Pembuat tidak langsung (middelijke dader;
doenpleger; auctor intellectualis/moralis; manus
domina)
ii. Pada doenpleger terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
- Alat yang dipakai adalah manusia;
- Alat yang dipakai itu ‘berbuat’ (bukan alat yang
mati);
107
- Alat yang dipakai itu ‘tidak dapat
dipertanggungjawabkan’, seperti diantaranya yang
ditentukan dalam Pasal 44, Pasal 48, dan Pasal 51
ayat (2) KUHP.
3) Yang turut serta (medepleger)
a. Pengertian:
i. Undang-undang tidak memberikan definisi
ii. Menurut MvT :
- Orang yang turut serta melakukan (medepleger)
ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat
atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
iii. Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya
sesuatu tindak pidana” itu ada tiga kemungkinan :
- Mereka masing-masing memenuhi semua unsur
dalam rumusan delik
Misal: dua orang dengan bekerja sama
melakukan pencurian di sebuah gudang beras.
- Salah sesorang memenuhi semua unsur delik,
sedang yang lain tidak.
Misal: dua orang pencopet (A dan B) saling
bekerja sama, A yang menabrak orang yang
menjadi sasaran, sedang B yang mengambil
dompet orang itu.
108
- Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik
seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama
mewujudkan delik itu.
Misal: dalam pencurian dengan merusak (Pasal
363 ayat (1) ke-5 salah seorang melakukan
penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah
dan mengambil barang-barang yang kemudian
diterimakan kepada kawannya yang
menggangsir tadi.
Menurut penulis, tindakan yang dilakukan oleh direksi atau
pegawai/pejabat yang memberikan perintah penagihan terhadap Irzen
Okta dapat diminta pertanggungjawaban secara pidana. Direksi
tersebut dapat dikualifikasikan sebagai ‘doenpleger’ atau orang yang
menyuruh lakukan dalam pengertian penyertaan dalam hukum pidana.
Meskipun apa yang diperintahkan oleh direksi tersebut awalnya tidak
untuk menyebabkan matinya Irzen Okta. Namun yang terbukti di
dalam persidangan adalah ketiga penagih hutang (debt collector)
terbukti melanggar Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak
menyenangkan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
b. Berdasar Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-
Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
109
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Merumuskan suatu jenis
tindak pidana yang salah satunya terdapat dalam: Pasal 49 ayat (2)
huruf b:
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengansegaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untukmemastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalan undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnyayang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun sertadenda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliarrupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliarrupiah).
Menurut pendapat penulis, pihak-pihak yang disebutkan di
dalam Pasal di atas, apabila dapat dibuktikan telah tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan terkait penagihan yang dilakukan
oleh penagih hutang yang dilakukan di kantor Citibank. Dimana dari
upaya penagihan tersebut menyebabkan nasabah kartu kreditnya
meninggal dunia. Maka perbuatan direksi atau pejabat/pegawai
Citibank yang memiliki kewenangan di bidang kartu kredit dapat
dipidana menurut rumusan Pasal 49 ayat (2) huruf b di atas.
Alasan direksi atau pegawai/pejabat Citibank dapat dipidana
Karena :
1. Bahwa antara pihak Citibank dengan penagih hutang atau debt
collector terjalin hubungan hukum, yaitu hubungan pemberian
kuasa atas suatu tagihan dan pemberian kerja waktu tertentu.
2. Bahwa meninggalnya Irzen Okta merupakan akibat langsung
perilaku penagih hutang yang melakukan intimidasi, ancaman
110
dalam rangka melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh
pihak Citibank.
3. Bahwa dalam PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu. dan SEBI No. 11/10/DASP Perihal
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009. Dalam peraturan
tersebut dalam hal bank melakukan perjanjian kerjasama antara
penerbit dan pihak lain (penagih hutang) untuk melakukan
penagihan transaksi kartu kredit tersebut harus memuat
klausula tentang tanggungjawab penerbit terhadap segala akibat
hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain
tersebut.
4. Bahwa penulis mengikuti pandangan yang luas (extensief)
mengenai pengertian pembuat (dader) dalam rumusan Pasal 55
KUHP. Sehingga siapa yang dapat dikatakan pembuat ialah
setiap orang yang menimbukan akibat yang memenuhi
rumusan delik. Direksi atau pegawai/pejabat Citibank yang
memerintahkan dapat dikatakan sebagai doenpleger (pembuat
tidak langsung).
5. Bahwa berdasarkan teori vicarious liability crime dapat
mengikuti konstruksi penyertaan. Antara orang yang
melakukan tindak pidana (pelaku materiil) yaitu penagih
hutang dengan doenpleger mempunyai hubungan tertentu.
111
Dimintakan pertanggungjawaban orang yang menyuruh karena
dia adalah sebagai atasan/penyuruh yang mengakibatkan
timbulnya tindak pidana. Dengan demikian terdapat persamaan
antara vicarious liability dengan tindak pidana menyuruh
lakukan dalam penyertaan. Perbedaannya jika dalam
penyertaan dipersyaratkan adanya kesengajaan (kesalahan)
pada peserta, dalam vicarious liability justru hal ini tampaknya
dikecualikan. Namun demikian, bukan berarti
pertanggungjawaban pembuat vicarious liability crime tidak
berdasar kesalahan. Fletcher mengatakan, vicarious liability
sebagai “from of liability relates to complicity as strict liability
relates to principle of culpability”.119 Dengan demikian
pertanggungjawaban pidana terhadap vicarious liability terjadi
dalam bentuk strict liability. Penyuruh tetap bertanggungjawab
atas perbuatan orang yang disuruh yang merupakan tindak
pidana, sekalipun perbuatan itu di luar pengetahuannya.
Dalam perkembangan kasusnya, pada tanggal 4 April 2011
Penyidik Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan menetapkan
“leader collection” Citibank sebagai tersangka terkait kasus
meninggalnya Irzen Okta120. Menurut saya apa yang telah dilakukan
oleh penyidik sudah sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan doktrin.
119 Chairul Huda, Op., Cit., hlm. 44-45120 Sumber:http://megapolitan.kompas.com/read/2011/04/04/08265135/Leader.Collection.Citibank.Tersangka,diakses tanggal 29 Juli 2012
112
5. 2. Sanksi yang dapat dikenakan kepada Citibank
Bank Indonesia memiliki kewenangan mengatur dan
mengawasi kegiatan usaha bank-bank yang ada di Indonesia,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menyatakan:
Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalamPasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan,memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatanusaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank, danmengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan ketentuanperundang-undangan.
Dalam hal ini Citibank telah dikenai sanksi administratif.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok
Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam Pasal 29 ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) disebutkan:
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai denganketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,likuiditas, rentabiltas, solvabilitas, dan aspek lain yangberhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukankegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkanprinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bankwajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dankepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepadabank.
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakaninformasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugiansehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melaluibank.
(5) Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimanadimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan olehBank Indonesia.
113
Pemberian fasilitas kartu kredit merupakan salah satu jenis
usaha bank yang pengaturannya terdapat dalam PBI No.
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu. dan SEBI No. 11/10/DASP Perihal
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu tanggal 13 April 2009. Dimana telah disebutkan di atas pihak
Citibank telah melakukan beberapa pelanggaran, yaitu:
a. Adanya perjanjian kerja sama dengan pihak penagih yang
didalamnya dinyatakan bahwa segala tanggung jawab akhir ada
di pihak penagih padahal, di Peraturan Bank Indonesia diatur
bahwa segala permasalahan dalam penagihan harus menjadi
tanggung jawab bank;
b. Citibank juga dianggap menyalahi skema penarikan utang
terkait kolektibilitas atau tingkat penunggakan utang dari
nasabah kartu kredit;
c. Citibank juga dianggap lemah dalam sistem pengawasan
penagihan serta penanganan keluhan nasabah.
Dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak Citibank
mengakibatkan nasabah kartu kreditnya meninggal ketika dilakukan
penagihan oleh pihak ketiga, yaitu penagih hutang (debt collector).
Berdasarkan hal-hal di atas Bank Indonesia mempunyai
penilaian terkait kasus meninggalnya nasabah Citibank. Citibank
dinilai telah salah dalam sistem penyelenggaraan kartu kredit yang
juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai Alat
114
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK). Pada 6 Mei 2011
Bank Indonesia telah memutuskan memberikan sanksi administratif
terhadap Citibank, yaitu:121
a. Larangan menerima atau akuisisi nasabah baru layanan prioritas
(Citigold) selama satu tahun.
b. Larangan penerbitan kartu kredit kepada nasabah baru selama dua
tahun, dan
c. Larangan penggunaan jasa penagih kartu kredit oleh pihak ketiga
selama dua tahun.
Selain ketiga sanksi yang telah disebutkan sebelumnya, Bank
Indonesia juga akan menginstruksikan Citibank untuk memberhentikan
pejabat di bawah eksekutif langsung. Bank Indonesia juga akan
melakukan fit and proper test terhadap pejabat eksekutif dan
manajemen bank yang terkait. Bank Indonesia juga menginstruksikan
Citibank untuk menonaktifkan pejabat eksekutif bank yang terlibat
kasus layanan prioritas (Citigold) dan kartu kredit sampai dengan
selesainya fit and proper test oleh Bank Indoesia. Selain itu, Bank
Indonesia juga menginstruksikan Citibank untuk memberhentikan
pegawai di bawah pejabat eksekutif yang terlibat langsung kasus
layanan prioritas dan kartu kredit.122
121 Sumber: http :hukumonline.com/berita/baca/lt4dc3c61383002/bi-jatuhkan-tiga-sanksi-untuk-citibank diakses pada 29Juni 2012122 Ibid.
115
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Proses penulisan skripsi ini akhirnya berujung pada suatu
kesimpulan yang merupakan bentuk ringkasan dari penelitian yang telah
dilakukan. Dengan tetap berpegang pada permasalahan yang telah
dirumuskan serta hasil dan pembahasan yang dapat dipaparkan di depan,
maka pada bab ini penulis akan menyajikan inti sari dari penelitian ini
sebagai sebuah kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
1. Bank sebagai subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum
dengan pihak lain. Yang mana hubungan hukum tersebut bertujuan
untuk memperlancar kegiatan usaha bank. Dalam hal bank meminta
atau menyuruh pihak ketiga untuk melaksanakan penagihan suatu
tagihan kartu kredit, maka dalam perjanjian kerjasama antara bank dan
penagih hutang (debt collector), harus memuat klausula tentang
tanggungjawab bank terhadap segala akibat hukum.
2. Jika dalam pelaksanaan tugasnya, penagih hutang (debt collector)
melakukan tindak pidana. Maka direksi/pegawai/pejabat yang
berhubungan langsung dengan tugas penagihan kredit bermasalah
dapat dikenai tanggungjawab pidana. Terhadap badan hukum Citibank
hanya dapat dikenai sanksi administratif dari Bank Indonesia.
116
B. Saran
Saran yang saya berikan lebih condong untuk masyarakat yang
sering atau akan malakukan pinjaman kepada bank dalam bentuk apapun,
agar lebih berhati-hati, mengingat pada masa sekarang banyak bank-bank
yang kurang melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam melakukan
kegiatan usahanya. Salah satunya dengan mudahnya memberikan fasilitas
kredit, dengan bunga ringan, tanpa agunan dan lain sebagainya.
117
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Ali, Mahrus, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Atmasasmita, Romli, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Cet.II, Bandung:Mandar Maju.
Fuady, Munir, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: Citra AdityaBakti.
Fukuyama, Francis, 1995, Trust: The Social Virtues And The Creation ofProsperity, Hamish Hamilton: London.
Hanitijio, R. Soemitro. 1986. Metode Penelitian Hukum.Jakarta: UI-Press.
__________________. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.Jakarta: Ghali.
Hendry, Arisson. 1999. Perbankan Syariah Perspektif Praktisi. Jakarta: MuamalatInstitute.
Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiadapertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Prenada Media.
Iswardono, 1999, Uang dan bank, Edisi ke-4 cetakan pertama, Yogyakarta:BPFE.
J. Satrio, 1999, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & PercampuranHutang, Bandung: Alumni
Johannes, Ibrahim, 2004, Kartu Kredit-Dilematis Antara Kontrak & Kejahatan.Bandung: PT. Refika Aditama.
Kasmir, 2001, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, cet.I,Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
118
Koentjoroningrat. 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:Gramedia.
Kusumah, W. Mulyana, 1981, Beberapa Perkembangan dan Masalah dalamSosiologi Hukum, Bandung: Alumni
Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi, Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. SekolahTinggi Bandung, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
Nawawi Arif, Barda, 1993, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Semarang: BadanPenyedia Bahan Kuliah Fakultas Hukum Diponegoro.
Prakoso, Djoko, 1987, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama,Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.
Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami dasar-dasar hukum PidanaIndoesia, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana,Jakarta: Aksara Baru.
Setiyono, 2003, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia.
Sianturi, S.R., 1996, .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, CetIV, Jakarta: Alumni Ahaem-Peteheam.
Soekanto, Soerjono. 1982. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: PenerbitUniversitas Indonesia.
Soekanto, Soerjono, & Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Subekti, 1985, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni.
______, 1998, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Semarang: Yayasan Sudarto.
Sutojo, Siswanto. 2007. The Management of Commercial Bank. Jakarta: DamarMulia Pustaka.
119
Suyatno, Thomas. 1999. Dasar-dasar Perkreditan. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama.
______________,1994, Kelembagaan Bank. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUmum
Tb, Irman, 2006, Anatomi Kejahatan Perbankan, Jakarta: AYYCCS Group.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, KamusBesar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia.
Untung, H. Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset.
Widjaja, I. G. Rai, 2002, Hukum Perusahaan, Jakarta: Mega Poin.
Peraturan perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Drt. Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27
Februari 1998
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret
1995.
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2009 tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah
PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu.
SE BI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu.
120
PBI No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu.
Sumber-Sumber lain:1. Sumber dari Internet:
http:///www.hukumonline.comhttp://Ryandotuwia dan.blogspot.comhttp://www.wikipedia.orghttp://kompas.comhttp://www.republika.co.idhttp://okezone.comhttp://irmadevita.comhttp: islamedia.web.id
2. Buletin, majalah, dokumen-dokumen lain:
Syarief Basir,“PERJANJIAN KERJA MENURUT UNDANG UNDANG NO. 13TAHUN 2003”, NEWSLETTER, Edisi : XII/Desember/ 2009.
Nindyo Pramono, “TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN PENGURUS PT(BANK) MENURUT UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANGPERSEROAN TERBATAS”, BULETIN HUKUM PERBANKAN DANKEBANKSENTRALAN, Volume 5 Nomor 3, Desember 2007.
LAPORAN TATA KELOLA PERUSAHAAN CORPORATE GOVERNANCEREPORT, CITIBANK N.A., INDONESIA 31 Desember 2011,
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Ali, Mahrus, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Atmasasmita, Romli, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Cet.II, Bandung:Mandar Maju.
Fuady, Munir, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: Citra AdityaBakti.
Fukuyama, Francis, 1995, Trust: The Social Virtues And The Creation ofProsperity, Hamish Hamilton: London.
Hanitijio, R. Soemitro. 1986. Metode Penelitian Hukum.Jakarta: UI-Press.
__________________. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.Jakarta: Ghali.
Hendry, Arisson. 1999. Perbankan Syariah Perspektif Praktisi. Jakarta: MuamalatInstitute.
Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiadapertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Prenada Media.
Iswardono, 1999, Uang dan bank, Edisi ke-4 cetakan pertama, Yogyakarta:BPFE.
J. Satrio, 1999, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & PercampuranHutang, Bandung: Alumni
Johannes, Ibrahim, 2004, Kartu Kredit-Dilematis Antara Kontrak & Kejahatan.Bandung: PT. Refika Aditama.
Kasmir, 2001, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, cet.I,Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
Koentjoroningrat. 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:Gramedia.
Kusumah, W. Mulyana, 1981, Beberapa Perkembangan dan Masalah dalamSosiologi Hukum, Bandung: Alumni
Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi, Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. SekolahTinggi Bandung, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
Nawawi Arif, Barda, 1993, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Semarang: BadanPenyedia Bahan Kuliah Fakultas Hukum Diponegoro.
Prakoso, Djoko, 1987, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama,Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.
Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami dasar-dasar hukum PidanaIndoesia, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana,Jakarta: Aksara Baru.
Setiyono, 2003, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia.
Sianturi, S.R., 1996, .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, CetIV, Jakarta: Alumni Ahaem-Peteheam.
Soekanto, Soerjono. 1982. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: PenerbitUniversitas Indonesia.
Soekanto, Soerjono, & Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Subekti, 1985, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni.
______, 1998, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Semarang: Yayasan Sudarto, ,
Sutojo, Siswanto. 2007. The Management of Commercial Bank. Jakarta: DamarMulia Pustaka.
Suyatno, Thomas. 1999. Dasar-dasar Perkreditan. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama.
______________,1994, Kelembagaan Bank. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUmum
Tb, Irman, 2006, Anatomi Kejahatan Perbankan, Jakarta: AYYCCS Group.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, KamusBesar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia.
Untung, H. Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset.
Widjaja, I. G. Rai, 2002, Hukum Perusahaan, Jakarta: Mega Poin.
Peraturan perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Drt. Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27
Februari 1998
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret
1995.
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2009 tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah
PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu.
SE BI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu.
PBI No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu.
Sumber-Sumber lain:1. Sumber dari Internet:
http:///www.hukumonline.comhttp://Ryandotuwia dan.blogspot.comhttp://www.wikipedia.orghttp://kompas.comhttp://www.republika.co.idhttp://okezone.comhttp://irmadevita.comhttp: islamedia.web.id
2. Buletin, majalah, dokumen-dokumen lain:
Syarief Basir,“PERJANJIAN KERJA MENURUT UNDANG UNDANG NO. 13TAHUN 2003”, NEWSLETTER, Edisi : XII/Desember/ 2009.
Nindyo Pramono, “TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN PENGURUS PT(BANK) MENURUT UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANGPERSEROAN TERBATAS”, BULETIN HUKUM PERBANKAN DANKEBANKSENTRALAN, Volume 5 Nomor 3, Desember 2007.
LAPORAN TATA KELOLA PERUSAHAAN CORPORATE GOVERNANCEREPORT, CITIBANK N.A., INDONESIA 31 Desember 2011,