pertumbuhan & perkembangan tafsir

21
MAKALAH STUDI AL-QUR’AN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TAFSIR Oleh : Kelompok 8 1. Alifuddin Wachid (09650153) 2. Faiqul Ihsan (09650 JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

Upload: udyne

Post on 29-Jun-2015

1.357 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

Page 1: pertumbuhan & perkembangan tafsir

MAKALAH STUDI AL-QUR’AN

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TAFSIR

Oleh :

Kelompok 8

1. Alifuddin Wachid (09650153)

2. Faiqul Ihsan (09650

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2010

Page 2: pertumbuhan & perkembangan tafsir

ABSTRAK

Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya,

karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda

dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang

hingga di zaman modern sekarang ini.

Telah menjadi sunnatullah bahwa Allah mengutus setiap rasul dengan menggunakan

bahasa kaumnya. Hal itu karena agar komunikasi di antara mereka berjalan dengan lancar.

Allah berfirman,

“Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya,

supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim : 4)

Kitab yang diturunkan kepadanya juga dengan bahasa kaumnya. Apabila bahasa

Muhammad bahasa Arab, maka kitab yang diturunkan kepadanya pun tentu dalam bahasa

Arab,

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar

kamu memahaminya.” (Yusuf : 2);

“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia

dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu

menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa

Arab yang jelas. (Asy-Syu’ara : 192-195).

Jadi jelas bahwa lafadz – lafadz Al-Qur’an itu berbahasa Arab, makna-makna yang

terkandung di dalamnya pun sesuai dengan makna – makna yang dikenal di kalangan bangsa

Arab.apabila terdapat sedikit lafadz yang diperselisihkan dalam pandangan ulama, apakah ia

berasal dari bahasa lain yang kemudian diarabkan ataukah ia bahasa Arab asli tetapi terdapat

pula pada bahasa lain ? Maka yang demikian ini tidak mengeluarkan Al-Qur’an dari

statusnya sebagai kitab yang berbahasa Arab.

Page 3: pertumbuhan & perkembangan tafsir

Pendapat yang dipegangi para penyelidik adalah bahwa lafadz – lafadz tersebut

merupakan kata-kata memiliki kesamaan antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibn Jarir Ath-Thabari. Dalam hal ini ada riwayat tentang

ayat yang menggunakan bahasa yang juga dipakai bahasa selain Arab, diantaranya bahasa

Habasyah :

“Allah memberikan rahmatNya kepadamu dua bagian.” (QS. Al-Hadiid : 28)

Dikatakan bahwa makna al-khiflain dalam ayat tersebut sama dengan dhifani (dua kali

lipat pahala) menurut bahasa Habasyah. Juga ayat,

“Sesungguhnya bangun di waktu malam...” (QS. Al-Muzammil : 6)

Adalah bahasa Habasyah, sebab jika seseorang bangun di waktu malam, mereka

mengatakan nasya’a (ia bangun malam), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Menurut Ath-Thabari tidak seorang pun mengatakan bahwa kata-kata tersebut dan yang

serupa dengannya bukan bahasa Arab. Namun sebagian mereka mengatakan, “Kata ini dalam

bahasa Habasyah artinya begini, kata ini dalam bahasa Arab artinya begitu.” Selain itu, telah

jelas pula bahwa terdapat sejumlah lafadz yang persis sama dalam berbagai bahasa, misal

kata dirham, dinar, dawat, qalam, dan qirthas (kertas). Tidak ada alasan yang pasti mengapa

lafadz – lafadz tersebut menjadi bagian bahasa tertentu, yang kemudian dialihkan ke dalam

bahasa lain. Tak satupun dari dua bangsa, etnis, ras yang lebih berhak mengklaim sebagai

pemilik asalnya. Dan yang mengklaim demikian berarti ia mengklaim sesuatu tanpa dalil dan

alasan.

Page 4: pertumbuhan & perkembangan tafsir

PEMBAHASAN

Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir

A. Pada Masa Nabi SAW

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti

makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah

mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat

mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat

variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Selain faktor tersebut, diantara

kandungan Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui takwilnya kecuali melalui

penjelasan Rasulullah. Misalnya rincian tentang perintah dan larangan-Nya, dan ketentuan

hukum-hukum yang difardhukanNya.

Allah memberikan jaminan kepada Rasulullah bahwa Allah-lah yang ‘bertanggung

jawab’ melindungi Al-Qur’an dan menjelaskannya, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an

Surat Al-Qiyamah :17-19 yang artinya sebagai berikut :

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan

(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka

ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”

Nabi memahami Al-Qur’an dengan sempurna baik secara global dan terperinci. Dan

adalah tugasnya menerangkannya kepada para sahabat, hal ini ditrangkan dalam firman Allah

Surat An-Nahl : 44 yang artinya :

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat

manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu

memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah,” Keterangan-

keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu

menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya

mereka memikirkan,” (QS. An-Nahl : 44).

Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya

mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :

Page 5: pertumbuhan & perkembangan tafsir

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu bisa.”

(QS. Al-Anfal : 60)

Kemudian Rasulullah berkata, “ Ketahuilah, bahwa ‘kekuatan’ itu pada memanah.

Juga hadits dari Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim, Rasulullah bersabda :

“Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.”

B. Pada Masa Sahabat

Seperti dijelaskan di atas, para sahabat juga dapat memahami Al-Qur’an, karena Al-

Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka. Akan tetapi antara satu dengan yang lainnya sangat

variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an, apa yang tidak diketahui oleh

seseorang di antara mereka mungkin diketahui oleh sahabat yang lainnya.

Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an

dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan

kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang

masuk Islam dan telah bagus keislamannya.

Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar,

Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit,

Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah

Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas.

Para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an pada masa ini berpegang teguh pada :

1. Al-Qur’an Al-Karim

Sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat di jelaskan secara

terperinci di ayat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq

atau umum namun kemudian disusul oleh ayat yang lain yang membatasi atau

mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.”

Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya, kisah-kisah dalam Al-Qur’an

yang ditampilkan secara ringkas di beberapa tempat, kemudian di tempat lain datang

uraiannya panjang lebar.

Misalnya, “Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan

kepadamu....” (QS. Al-Maidah : 1), dan “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,

darah........” (QS. Al-Maidah : 3).

Page 6: pertumbuhan & perkembangan tafsir

2. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam.

Beliaulah pemberi penjelasan (penafsir) Al-Qur’an otoritatif. Ketika para sahabat

mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka langsung merujuk kepada

Rasulullah SAW.

Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan, ia berkata, “Ketika turun ayat,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan

kezaliman.....” (QS. Al-An’am : 82)

sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya kepada Rasul, “Wahai Rasulullah,

siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” Beliau menjawab,

“Kezaliman di sini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa

yang dikatakan seorang hamba yang saleh (Luqman),

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

(QS. Luqman : 13)

Kezaliman yang dimaksud di sini, sesungguhnya adalah syirik.”

3. Pemahaman dan Ijtihad

Apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, mereka

melakukan ijtihad. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat

menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-

balaghah-an yang ada di dalamnya.

Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir yang datang dari para sahabat,

karena merekalah yang paling ahli bahasa Arab dan menyaksikan secara langsung konteks

dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka, disamping mereka mempunyai daya

pemahaman yang shahih. Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan berkata :

“Ketahuilah Al-Qur’an itu ada dua bagian. Satu bagian penafsirannya datang

berdasarkan naql (riwayat) dan bagian yang lain tidak dengan naqli. Yang pertama,

penafsiran itu ada kalanya dari nabi, sahabat atau tokoh tabi’in. Jika berasal dari nabi, hanya

perlu dicari kesahihan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka

menafsirkan dari segi bahasa ? Jika ternyata demikian maka mereka adalah yang paling

mengerti tentang bahasa Arab, karena pendapatnya dapat dijadikan pegangan, tanpa

Page 7: pertumbuhan & perkembangan tafsir

diragukan lagi. Atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbabun nuzul atau situasi dan

kondisi yang mereka saksikan, maka hal ini tidak diragukan lagi.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Muqaddimah Tafsir-nya : “Jika kita tidak

mendapatkan tafsiran dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah, hendaknya kita

merujuk kepada penafsiran para sahabat, sebab mereka lebih mengetahui mengenai tafsir Al-

Qur’an. Merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi yang terjadi. Juga mereka

mempunyai pemahaman sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shaleh, terutama para

ulama dan tokoh besarnya, seperti empat Khulafa’ Ar-Rasyidin, para imam yang mendapat

petunjuk dan Ibn Mas’ud.”

Dalam periode ini tidak ada sedikitpun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan,

sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua Hijriah. Di samping itu tafsir hanya

merupakan cabang dari hadist, dan belum mempunyai bentuk yang teratur . Ia diriwayatkan

secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai

sistematika ayat-ayat Al-Qur’an dan surat-suratnya disamping juga tidak mencakup

keseluruhannya.

C. Masa Tabi’in

Kalau di kalangan sahabat banyak yang dikenal pakar dalam bidang tafsir, di

kalangan tabi’in yang nota benenya menjadi murid merekapun, banyak pakar di bidang tafsir.

Dalam menafsirkan, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para

pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.

Menurut Adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para mufassir dari kalangan

tabi’in berpegang pada Al-Qur’an itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat

yang berasal dari rasululullah, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari Ahli

Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau

menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah

kepada mereka.

Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa

sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul

beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:

1) Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti

Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan

‘Atho’ bin Abi Robah.

Page 8: pertumbuhan & perkembangan tafsir

2) Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti

Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.

3) Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah

Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.

Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi

perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang

lainnya.

Kitab-kitab tafsir menginformasikan kepada kita pendapat-pendapat tabi’in tentang

tafsir yang mereka hasilkan melalui proses penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya

penafsiran mereka sedikitpun tidak berasal dari Rasulullah atau para sahabat.

Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan, sebab

mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan

turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka bisa saja berbuat salah dalam memahami apa

yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegang,

sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.

D. Masa pembukuan

Itulah perkembangan tafsir pada masa pembukuan dibagi menjadi dua, masa

periwayatan dan masa kodifikasi. Masa periwayatan di mulai dari zaman Nabi Muhammad

SAW, sahabat dan tabi’in, sedangkan masa kodifikasi di mulai dengan masa adanya usaha

pembukuan yaitu awal dari dinasti Bani Abbasiyah dan akhir dari dinasti Umayyah.

Dalam masa kodifikasi di bagi menjadi beberapa masa yaitu: Masa pertama masa

dalam bagian dari hadits. Masa kedua tafsir sudah terpisah dari hadits dalam bentuk tafsir bil

mastur. Tahap ketiga yaitu tafsir masih dalam bentuk periwayatan (bil mastur) akan tetapi ada

peringkasan sanad-sanad, dan tafsir sudah mulai tercampur antara yang sahih dengan yang

cacat. Masa keempat, tafsir sudah banyak di masuki filafat kajian madzhab, fanatisme

madzhab dan golongan, masa kelima tafsir sudah menjadi corak tersendiri sesuai dengan

keilmuan mufassir corak.

Lima periode pembukuan tafsir yaitu;

Periode Pertama,

Tahapan ini dimulai pada zaman setelah tabi’in yaitu pada zaman Bani

Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah. Pada masa itu tafsir sudah mulai

dibukukan yaitu masih menjadi sub-bagian dari hadits dan tafsir belum berdiri sendiri

Page 9: pertumbuhan & perkembangan tafsir

dan belum ada penulisan tafsir Qur’an surat persurat dan ayat perayat dari awalnya

sampai akhir.

Ada sebagian ulama hadits yang menafsirkan Al-Qur’an dan dinisbahkan

kepada tafsir Rasulullah, sahabat dan tabi’in akan tetapi tafsir tersebut merupakan

bagian dari pada bab-bab yang ada di hadits, di antara mereka adalah Syu’bah ibn Al-

Hajjaj, wafat 110 H, Yazir ibnu Harun As-Silmi 117 H, Waki’ ibnu Al-jaroh 1997 dan

Sufyan Ibnu Uyainan 198 H.

Periode Kedua,

Dalam masa ini tafsir telah terpisah dari hadits dan menjadi ilmu yang berdiri

sendiri dan meletakkan tafsir setiap ayat dari Al-Qur’an dan meletakkannya

berdasarkan tertib mushaf. Dan telah di selesaikan oleh beberapa ulama di antaranya:

Ibnu Majah meninggal 273 H, ibnu Jarir At-Thobari 310 H, Abu Bakar Ibnu Al-

Mundzir An-Naisaburi 318 dan Ibnu Abi Hatim 328 H.

Dan setiap dari penafsiran ini diriwayatkan dengan sanad kepada Rasulullah,

sahabat. Tabi’in dan tabiu, at-tabi’in dan tidak ada di dalam penafsiran-penafsiran itu

yang lebih banyak dari pada penafsiran bil ma’stur, kecuali ibnu Jarir At-Thobari

maka beliau telah menyebutkan pendapat-pendapat, kemudian mengkomposisikan

dan menarjihkan sebagian yang satu atas sebagian yang lain dan beliau menambah

juga i’rab jika diperlukan serta mengistinbatkan hukum-hukum jika perlu.

Hal inilah yang mengilhami beberapa ulama setelahnya untuk mengadakan

tarjih yang lebih luas terhadap pendapat beberapa tabi’in maupun tabi’ut tabi’in, lebih

menjadi hukum dan lebih banyak memberi keterangan tata bahasa (gramatikal) dalam

penafsiran, maka beberapa puluh tahun kemudian muncullah tafsir bil royi yang lebih

condong ke fiqih, bahasa, dan lain-lain.

Periode Ketiga,

Pada tahapan ini masih berbentuk tafsir bil ma’stur akan tetapi terjadi

beberapa perubahan diantaranya peringkasan sanad-sanad kemudian mengambil

perkataan dengan bil ma’stur dari para mufassir dari kalangan terdahulu mereka tanpa

menisbahkan perkataan tersebut pada orang yang berkata, maka masuklah pemalsuan

dalam tafsir dan bercampurlah yang sahih dengan yang cacat, maka para peneliti

dalam buku-buku ini mengira bahwa setiap apa-apa yang ada didalamnya adalah betul

semua, maka para ulama mutaakhiri banyak mengambilnya untuk dimasukkan ke

dalam tafsirannya dan mengutip isroiliyah dari buku-buku ini dan itulah awal dari

munculnya bahaya pemalsuan isroiliyah.

Page 10: pertumbuhan & perkembangan tafsir

Oleh karena itu nantinya Ibnu Katsir akan cenderung berhati-hati dalam

memaparkan hadits-hadits, pendapat-pendapat sahabat, thabi’in dan juga terutama

sangat berhati-hatinya adalah ketika mengutip isroiliyah.

Periode Keempat,

Kemudian tafsir berlanjut dari tahapan ini ke tahapan yang lebih luas dan lebih

longgar. Berlangsung dari zaman Abbasiyah sampai kepada masa kita saat ini, setelah

tafsir sebelumnya hanya berkisar pada riwayat yang didapat dari ulama terdahulu.

Kemudian tafsir menembus tahapan itu dan melangkah dengan penulisan tafsir yang

mana bercampur di dalamnya antara pemahaman akal dalam penafsiran dengan naql

(periwayatan) dengan adanya catatan-catatan.

Pada awalnya hanya berupa mengutip beberapa pendapat dan menarjihkan

sebagian atas sebagian yang lainnya kemudian bertambah dan berkembang menjadi

pengetahuan yang berbeda-beda dan ilmu yang bermacam-macam, pendapat-pendapat

yang fanatis dan akidah-akidah yang sangat kontras sampai di temui buku-buku tafsir

yang didalamnya terkandung beberapa ilmu yang hingg hampir tidak bersambung

kepada tafsir kecuali di situ ilmu-ilmu bahasa, nahwu shorof, fanatik madzhab,

perbedaan fiqih dan muncul para kelompok-kelompok Islam menyebarkan madzhab-

madzhabnya dan menyerukannya dan di terjemahkannya buku-buku filsafat dan

kemudian ilmu-ilmu tersebut menjalahkan tentang pembahasan hadits itu sendiri.

Ibnu Katsir termasuk ulama yang hidup di masa ini oleh karena itu, Ibnu Katsir dan

gurunya berusaha mengembalikan tafsir kepada kedudukannya semula yang tidak

dipengaruhi fanatisme madzhab dan golongan serta tidak mengungkapkan gramatikal

yang berlebih hanya sebatas keperluan dan ini beliau lakukan dengan membawa

penafsiran kepada zaman Rasulullah sampai pada tabi’in karena memang penafsiran

pada masa itu relatif terjaga dari percampuran hal-hal yang merusak dari luar.

Periode Kelima (corak kitab-kitab tafsir berdasarkan pendidikan mufasir).

Tinjauan disini lebih berkisar pada coraknya bukan pada tinjauan sejarah,

meskipun sedikit banyak mengungkap sejarah. Di dalamnya kita akan mendapati

setiap mufasir yang mempunyai kecakapan dalam cabang ilmu tertentu maka akan

menulis tafsirannya sesuai dengan bidang yang di kuasainya. Seperti yang ditulis oleh

Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-

Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-

Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.

Page 11: pertumbuhan & perkembangan tafsir

E. Tobaqot (Kelompok Mufassir)

Berdasarkan uraian di atas kita dapat mengelompokkan mufassir sebagai berikut :

1. Mufassir dari kalangan sahabat

Diantara mereka yang paling terkenal empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu

Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Az-

Zubair, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Jabir dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Di

antara empat khalifah yang banyak diriwayatkan tafsirnya adalah Ali bin Abi Thalib,

sedang periwayatan dari tiga khalifah lainnya jarang sekali. Yang demikian

disebabkan mereka meninggal terlebih dahulu, sebagaimana terjadi pada Abu Bakar.

Sementara itu Ibnu Mas’ud lebih banyak diriwayatkan tafsirnya daripada Ali.

2. Dari kalangan Tabi’in

Ibnu Taimiyah menjelaskan, orang yang paling mengetahui tafsir itu penduduk

Mekkah, yaitu murid-murid Ibnu Abbas, seperti Mujtahid, ‘Atha’ bin Abi Rabah,

‘Ikrimah seorang maula (sahaya yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas), Sa’id bin

Jubair, Thawus dan lain-lain. Di Kufah adalah murid-murid Ibnu Mas’ud dan di

Madinah adalah Zaid bin Aslam yang tafsirnya diriwayatkan oleh putranya sendiri

Abdurrahman bin Zaid, dan Malik bin Anas.

3. Kelompok berikutnya adalah mereka yang menyusun kitab-kitab tafsir dengan metode

koleksi pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in, seperti Sufyan bin Uyainah,

Waki’ bin Al Jarrah, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Abdurrazzaq, Adam bin

Abu Iyas, Ishaq bin Rahawaih, ‘Abd bin Humaid, Rauh bin ‘Ubadah, Abu Bakar bin

Abi Syaibah dll.

4. Kemudian disusul generasi Ali bin Abi Talhah, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Abi

Hatim, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Mardawaih, Abu Asy-Syaih bin Hibban, Ibnu Al

Mundzir dll. Tafsir-tafsir mereka memuat riwayat-riwayat yang disandarkan pada

sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, semuanya sama kecuali yang disusun oleh Ibnu

Jarir Ath-Thabari, di mana ia mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan

salah satu atas yang lain, serta menerangkan i’rab dan istinbath hukum. Karena itu

tafsir ini lebih unggul dari lainnya.

5. Kelompok mufassir yang memberi perhatian terhadap penafsiran Al-Qur’an yang

menggunakan pendekatan kebahasaan, membahas problematika qira’at, seperti Abu

Ishaq Az-Zajjaj, Abi Ali Al-Farisi, Abi Bakar An-Nuqasy, dan Abu Ja’far An-Nahhas.

Page 12: pertumbuhan & perkembangan tafsir

6. Golongan muta’akhirin menulis pula kitab-kitab tafsir. Mereka meringkas sanad-

sanad riwayat dan mengutip pendapat-pendapat secara terputus. Karenanya masuklah

ke dalam tafsir sesuatu yang asing dan riwayat yang shahih bercampur baur dengan

yang tidak shahih.

7. Kemudian, setiap mufassir memasukkan begitu saja ke dalam tafsirnya pendapat yang

diterima dan apa saja yang terlintas dalam pikiran yang dipercayainya. Kemudian

generasi sesudahnya mengutip apa adanya semua yang tercantum di sana dengan

asumsi semua kutipan itu asli, tanpa meneliti lagi tulisan yang datang dari ulama salaf

yang saleh yang menjadi panutan. Sampai Asy Suyuti mengatakan, bahwa penafsiran

firman Allah “Ghairil Maghdhubi alaihim wa la adh-dhallin” ada sepuluh pendapat.

Padahal penafsiran yang berasal dari nabi, para sahabat dan tabi’in hanya satu, yaitu

“orang Yahudi dan Nasrani”.

8. Sesudah itu , banyak mufassir yang mempunyai keahlian dalam berbagai disiplin ilmu

mulai menulis tafsir. Mereka memenuhi kitabnya dengan cabang ilmu tertentu dan

hanya membatasi pada bidang yang dikuasainya, seakan-akan Al-Qur’an hanya

diturunkan untuk ilmu itu saja, bukan untuk yang lain, padahal Al-Qur’an memuat

penjelasan mengenai segala sesuatu.

9. Masa kebangkitan modern. Pada masa ini para mufassir menempuh langkah dan pola

baru dengan memperhatikan keindahan uslub (redaksi), kehalusan ungkapan, dan

menitikberatkan pada aspek-aspek sosial, pemikiran kontemporer, dan aliran-aliran

modern, sehingga lahirlah tafsir “sastra-sosial.” Diantara mufassir kelompok ini

adalah Muhammad Abduh, Sayyid Muhammad Rasyid Rida, Muhammad Mustafa Al-

Maraghi, Sayyid Quthub dan Muhammad “Izzah Darwazah.

Page 13: pertumbuhan & perkembangan tafsir

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan,Syaikh Manna’.2007.Pengantar Studi Ilmu Al-Quran.Pustaka Al-Kautsar :

Jakarta

Salma, Muhammad Abu.2009.Sejarah Tafsir dan Perkembangannya.Islam House.com

http://www.contohmakalah.co.cc/2009/08/sejarah-tafsir.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Al-Qur%27an

http://abutaqiyya.multiply.com/