pidato bind

16
Saya menonton sebuah tayangan acara televisi swasta, yaitu Bukan jalan-jalan biasa pada tanggal 4 Maret 2012, yang dimulai pada pukul 15:00 sore hari. Ada hal menarik ketika host mewawancarai seorang asing, mahasiswa S3 (yang sekarang mungkin sudah lulus) dari Universitas Yale, seorang yang juga pernah menetap di Indonesia selama 1 tahun untuk urusan mengumpulkan bahan disertasi S3-nya mengenai nasib nasionalisme Muslim, dan pernah juga singgah di sebuah universitas ternama di Yogyakarta untuk berdiskusi secara langsung dengan dosen lokal mengenai sejarah peradaban islam di Indonesia. Dia adalah Kevin Fogg, seorang kandidat dengan gelar PhD (a PhD candidate in History at Yale University) pada saat itu. Hal yang menarik adalah ketika dia secara fasih mengucapkan kata per kata Bahasa Indonesia layaknya orang lokal, pengucapannya tentang berbicara Bahasa Indonesia pun tanpa di dominasi oleh lafal lidah yang masih terbata-bata, ia mampu menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh host , jawabannya pun bukan main atau hanya sekenanya atau seadanya saja. Kevin Fogg mampu menjawab dengan ditambahkan penjelasan-penjelasan yang tidak panjang lebar tapi cukup akurat alias tepat sasaran, dan menjadi hal yang luar biasa karena ia berbicara mengenai sejarah panjang Indonesia, baik peradaban islamnya dan sejarah kesenian tradisionalnya. Mengapa luar biasa? Karena Kevin Fogg itu orang asing yang mampu mengenal secara dekat beberapa sejarah bangsa ini. Jika dibandingkan dengan beberapa diantara kita sendiri,

Upload: jonathan-sinaga

Post on 31-Oct-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ENJOY

TRANSCRIPT

Page 1: Pidato Bind

Saya menonton sebuah tayangan acara televisi swasta, yaitu Bukan jalan-jalan biasa pada

tanggal 4 Maret 2012, yang dimulai pada pukul 15:00 sore hari. Ada hal menarik ketika

host mewawancarai seorang asing, mahasiswa S3 (yang sekarang mungkin sudah lulus)

dari Universitas Yale, seorang yang juga pernah menetap di Indonesia selama 1 tahun

untuk urusan mengumpulkan bahan disertasi S3-nya mengenai nasib nasionalisme

Muslim, dan pernah juga singgah di sebuah universitas ternama di Yogyakarta untuk

berdiskusi secara langsung dengan dosen lokal mengenai sejarah peradaban islam di

Indonesia. Dia adalah Kevin Fogg, seorang kandidat dengan gelar PhD (a PhD candidate

in History at Yale University) pada saat itu.

Hal yang menarik adalah ketika dia secara fasih mengucapkan kata per kata Bahasa

Indonesia layaknya orang lokal, pengucapannya tentang berbicara Bahasa Indonesia pun

tanpa di dominasi oleh lafal lidah yang masih terbata-bata, ia mampu menjawab semua

pertanyaan yang dilontarkan oleh host , jawabannya pun bukan main atau hanya

sekenanya atau seadanya saja. Kevin Fogg mampu menjawab dengan ditambahkan

penjelasan-penjelasan yang tidak panjang lebar tapi cukup akurat alias tepat sasaran, dan

menjadi hal yang luar biasa karena ia berbicara mengenai sejarah panjang Indonesia, baik

peradaban islamnya dan sejarah kesenian tradisionalnya. Mengapa luar biasa? Karena

Kevin Fogg itu orang asing yang mampu mengenal secara dekat beberapa sejarah bangsa

ini. Jika dibandingkan dengan beberapa diantara kita sendiri, alias orang lokal, jika

ditanya demikian tentang hal-hal yang berbau sejarah, pasti akan tersendat dalam

menjawabnya.

Lalu, di dalam apa yang kurasakan, juga kutemukan rasa bangga, senang, tetapi juga

sedih, maka timbul sebuah kalimat pembanding yang keluar begitu saja, bukan melalui

lisan tetapi hanya terlintas di pikiran dan di benak saya saja saat itu : saat dimana

menyaksikan mulut orang-orang asing yang begitu fasih berbicara bahasa Indonesia

layaknya orang Indonesia sambil menyanyikan beberapa tembang tradisional Jawa, saat

menyaksikan kedua tangan orang-orang asing begitu lentur memainkan alat musik

tradisional Indonesia layaknya orang local yang sudah sangat fasih, saat menyaksikan

tubuh orang asing begitu lemah gemulai menari tarian tradisional Indonesia tanpa terlihat

cacat sedikitpun dari gerakan tariannya layaknya orang lokal yang telah ahli, saat

Page 2: Pidato Bind

menyaksikan senyum dan gelak tawa orang-orang asing yang melukiskan bahwa mereka

senang melakukan apa yang mereka pilih, yaitu belajar kesenian tradisional yang bukan

berasal dari tanah kelahirannya, kesenian tradisional Indonesia.

Kenapa banyak orang asing bisa begitu jatuh hati dengan beberapa kesenian tradisional

Indonesia, lalu dengan senang hati pula menyibukkan diri untuk belajar guna

memperoleh ilmunya agar dirinya bisa terampil memainkan semua hal itu, seperti

memainkan gamelan, angklung, wayang, karawitan, sampai menari Tari Jawa, Tari Bali,

juga Tarit radisional daerah lainnya, dan juga menjadi sinden, lain halnya jika

dibandingkan dengan sebagian orang Indonesia yang lebih memilih untuk

meninggalkannya.

Dua keadaan yang sedang terjadi sekarang adalah ketika sebagian orang lokal

meninggalkan kesenian tradisional daerahnya, baik secara langsung atau tidak langsung

ini menurutku. Secara langsung, adalah ketika dimana sebagian orang lokal sudah acuh

tak acuh, dan tidak peduli lagi dengan kesenian tersebut. Dan yang lebih extreme adalah

mereka meninggalkan kesenian tersebut meskipun mereka belum pernah sekalipun

memainkannya bahkan menyentuhnya. Hal ini terjadi karena lebih kepada sebuah

persepsi kebanyakan individu, persepsi mereka mempunyai pandangan bahwa kesenian

tradisional tidaklah semenarik musik-musik lainnya, bahkan jika dibandingkan dengan

musik luar (asing) tentu akan kalah pamor. Padahal, orang-orang asing disana

menganggap musik yang dihasilkan dari kesenian tradisional kita itu lebih menarik dan

unik. Seperti terjadi kebalikkan bukan? Mungkin saja saat ketika mereka (orang lokal)

mendengar alunan tembang tradisional yang lemah lembut, dan begitu syahdu sedang

diputar, dinyanyikan, atau dimainkan (baik secara live , atau lewat radio dan tv) pasti ada

saja keinginan untuk menolaknya secara langsung dengan berbagai macam alasan.

Contoh kecilnya adalah:

Zaman sekarang masih mendengarkan tembang keroncong ?.

Maka setelah keluar pertanyaan tersebut diatas, pastilah akan ada berbagai macam

jawaban, baik yang pro atau kontra. Meskipun jika dilihat dari sisi lain, memang itu

adalah hak masing-masing individu untuk memilih apa yang mereka inginkan. Walaupun

Page 3: Pidato Bind

itu adalah pilihan, tetapi alangkah baiknya jika kita mau sedikit saja bergerak untuk

mengenal lebih jauh kesenian tradisional kita, bisa dengan ikut serta tergabung di sebuah

organisasi kesenian tradisional ataupun hanya menghadiri dan menyaksikan sebuah

pertunjukkan kesenian tradisional di daerah masing-masing yang terdekat, meskipun

hanya jadi penonton tetapi secara tidak langsung kita seolah juga ambil peduli dengan

kesenian tersebut. Ambil peduli dalam arti ketika kita akan mampu berpikir seperti ini :

Oh.. kesenian tradisional gamelan seperti ini. Alat-alat yang digunakan seperti ini. Ada

sekian orang yang memainkannya. Musik-musik yang dimainkan seperti ini, dan lain

sebagainya.

Aku yakin, setelah menonton pertunjukkan secara live (langsung), kawan pasti akan

berpikir seperti diatas, kawan pasti akan mempunyai sebuah hasrat ingin juga mencoba

untuk memainkannya, ataupun ada keinginan untuk memberitahu keluarga atau teman,

bahwa kesenian tradisional itu sebenarnya menarik lho, dan lain sebagainya. Jangan

sampai kita marah sendiri setelah tahu bahwa ada negara lain yang mengklaim kesenian

tradisional kita menjadi miliknya, lalu hanya bisa mencaci maki tanpa ada usaha

sebelumnya untuk terlibat dalam melestarikan kesenian tradisional tersebut, baik secara

langsung atau tidak langsung. Meskipun hidup yang kita jalani sekarang ini secara

langsung tidak ada kaitannya dengan eksistensi kesenian tradisional tersebut, dalam arti

seperti ikut melestarikannya dengan memainkannya secara rutin, tetapi jika dilihat dari

sisi lain, kita juga terkait karena sesungguhnya kita adalah anak ibu pertiwi yang juga

punya hak untuk melestarikannya. Kalau bukan kita siapa lagi, tidak mungkin kita

meminta orang asing melestarikan kekayaan kita.

Dan secara tidak langsung adalah ketika dimana orang-orang lokal yang sebenarnya juga

berkecimpung di dalam kesenian tradisional tersebut sebelumnya, namun mereka seperti

terperangkap dalam ruang kejenuhan dan mereka menganggap kalau tetap disini mereka

tidak akan bisa berkembang, terutama karena tidak adanya sokongan pihak pemerintah

Indonesia untuk mendanai agar kesenian tradisional tersebut tetap eksis. Mendanai dalam

arti disini adalah, dimana Pemerintah semestinya bisa memberi bantuan dalam hal

perawatan alat-alat tradisional, membuka pertunjukkan di beberapa acara agar individu-

individu yang terkait di dalam kesenian tersebut juga dapat kesempatan untuk

Page 4: Pidato Bind

menghasilkan sejumlah uang untuk penghidupannya.

Jika tidak ada uang sedikitpun, anak/istri/orang tua kita mau makan apa? Dan yang lebih

ditekankan disini adalah : penggiat kesenian tradisional tersebut sudah seharusnya seperti

sebuah band yang bisa tampil di berbagai acara, lalu juga bisa mendapatkan bayaran dari

itu. Lalu, bisa juga pihak instansi daerah mempromosikan bahwa daerahnya mempunyai

kelompok kesenian tradisional yang unik, menghibur, dan mampu menarik minat

penonton baik lokal ataupun asing. Ini layaknya seperti iklan guna mendongkrak

kepopuleran para penggiat kesenian tradisional tersebut, dengan demikian alat kesenian

tradisional tersebut juga akan terdongkrak dengan sendirinya. Contoh kecil dari hal diatas

adalah : sudah masuknya sebuah grup gamelan yang selalu mengiringi musik dalam acara

Opera Van Java di sebuah tv swasta, hal ini sebenarnya sangat positif sekali, dan di acara-

acara lainnya.

Jika seandainya, para penggiat kesenian tradisional tersebut tidak mendapatkan support

dari pihak Pemerintah, maka yang akan terjadi adalah sedikit demi sedikit dari mereka

akan melupakannya untuk lebih memprioritaskan kepada uang, lalu pada akhirnya

dengan berat hati meninggalkannya. Maka setelah ini terjadi, tersisa lah sedikit orang

yang masih setia memainkannya, dan itu mungkin tidak mencapai ribuan orang. Jika

dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun

2010 yang berjumlah sekitar 236 juta, dan kini tahun 2012 yang pastinya juga bertambah

jumlah penduduknya, maka jumlah ribuan orang atau ratusan ribu orang sekalipun yang

masih terlibat di dalam kesenian tradisional, baik secara langsung atau tidak langsung

masih terbilang sedikit sekali. Harapan yang tidak tinggi sebenarnya, karena saya yakin

hal itu sebenarnya pasti bisa.

Mereka, orang asing yang belajar kesenian tak hanya sekedar didasari keinginan sesaat

saja, namun ada sebuah keinginan tersendiri yang kuat bahwa mereka harus bisa terampil

memainkannya. Kenapa mereka bisa berpikiran seperti itu? Pertanyaan yang bagus.

Karena banyak macam alasan yang melatar-belakanginya, kebanyakan orang asing

mengatakan bahwa mereka sudah jatuh hati ketika pertama kali memainkannya, ada juga

Page 5: Pidato Bind

rasa ketagihan, ada juga yang mengatakan bahwa setelah memainkan gamelan, ada

sebuah energi tersendiri untuk melakukan aktivitas rutin selanjutnya, dan masih banyak

lagi alasan lainnya. Beberapa dari mereka belajar kesenian tradisional tersebut ada yang

sampai berbulan-bulan, dan beberapa ada yang sampai berpuluh tahun. Tidak sampai

disitu, ketika mereka telah mahir memainkannya karena diasah terus dengan belajar rutin

dengan menetap di Indonesia hingga bertahun-tahun, maka sekembalinya mereka ke

tempat kelahirannya yaitu asalnya, beberapa dari mereka mendirikan sebuah organisasi

tersendiri, sebuah organisasi pencinta kesenian tradisional Indonesia. Contoh kecilnya

saja seperti yang dikutip dari sosbud.kompasiana.com adalah Warsaw Gamelan Group.

Sebuah grup pencinta gamelan Indonesia yang anggotanya terdiri dari orang-orang

berkebangsaan Austria alias orang asing semua dan Dawid Martin yang kala itu sempat

belajar musik gamelan Jawa di Yogyakarta adalah seorang penggagas terciptanya grup

tersebut.

Warsaw Gamelan Group

Page 6: Pidato Bind

Dawid Martin

Lalu, satu lagi adalah sebuah grup gamelan asal Amerika yang sudah terkenal di dataran

Amerika dan mancanegara yang rutin mengadakan pertunjukkan Gamelan di berbagai

macam event , dan juga pernah tampil di Bali, yang dikenal dengan nama Gamelan Sekar

Jaya yang didirikan pada tahun 1979.

Gamelan Sekar Jaya

Page 7: Pidato Bind

Gamelan Sekar Jaya

Gamelan Sekar Jaya

Dan masih banyak lagi grup gamelan lainnya yang tersebar di seluruh dunia, seperti yang

dikutip dari bali.antaranews.com di Jepang tercatat 52 grup kesenian Bali juga Jawa,

dan ratusan grup gamelan lainnya tersebar di berbagai negara contohnya saja adalah

Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, Belgia, dan negara lainnya .

Banyaknya sekumpulan orang asing yang membuat grup karawitan sendiri di banyak

negara atau memilih tergabung dalam sebuah grup dimana grup tersebut adalah kumpulan

orang-orang Indonesia tak lepas dari support yang telah dilakukan oleh kantor-kantor

perwakilan Pemerintah Indonesia di banyak negara. Banyak KBRI (Kedutaan Besar

Republik Indonesia) di beberapa negara memang membuat agenda tersendiri untuk

mengadakan sebuah acara yang dimana isinya memperkenalkan kekayaan Indonesia,

seperti kesenian tradisional, sampai juga dengan seni kerajinan tangan lainnya seperti

batik. Meski isi acara tersebut adalah hal-hal lokal, tidak berarti bahwa undangan hanya

Page 8: Pidato Bind

tersebar untuk orang lokal saja. Undangan yang hadir pun tak semua orang-orang lokal

yang menetap disana, baik yang sedang melanjutkan studi ataupun yang bekerja disana,

tetapi orang-orang asing dari sekumpulan pelajar/mahasiswa, pejabat negara asing, pihak

swasta, sampai kalangan umum asing pun diundang untuk turut serta menghadiri acara

tersebut. Jika dipresentasikan dari jajak pendapat orang asing yang telah ikut serta

menghadiri dan menyaksikan acara kesenian tradisional tersebut, maka sekian besar

presentase menunjukkan bahwa orang-orang asing tidak ada yang berkomentar miring

mengenai kesenian tradisional & kerajinan tangan Indonesia, mereka semua seolah

seperti satu suara, bahwa kesenian tradisional & kerajinan tangan Indonesia itu unik,

berbeda dengan apa yang negara lain punya, dan beberapa diantaranya ingin mencoba

memainkannya juga. Hal ini juga seharusnya membuat kita bangga, bahwa ternyata

orang-orang asing sendiri begitu mengapresiasi kesenian tradisional kita, dan sudah

seharusnya kita juga berbuat hal yang sama.

Contoh kecilnya saja adalah Wayang. Ya, wayang. Beberapa negara memang mempunyai

kesenian tradisional boneka dari berbagai macam jenis, bentuk, dan rupa, dan bahkan

beberapa negara ada yang mempunyai kemiripan kesenian tradisional boneka satu sama

lain. Namun, Indonesia menampilkan sisi yang berbeda. Indonesia sendiri mempunyai

kesenian tradisional boneka atau yang lebih dikenal dengan Wayang dengan jenis,

bentuk, dan rupa yang berbeda dari negara lainnya. Kenapa berbeda? Karena kesenian

Wayang memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri dan kemudian, selain karena

Wayang sendiri terbuat dari kulit sapi atau kerbau yang menjadi ciri khas kesenian

tradisional boneka Indonesia, kebanyakkan cerita Wayang juga diangkat dari kisah

Ramayana dan Mahabrata yang syarat akan arti dan nilai yang terkandung didalamnya,

baik berupa nilai-nilai sosial bermasyarakat, nilai-nilai agama, dan lainnya. Dikutip dari

Wikipedia . Maka , UNESCO, sebuah lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB,

pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka yang

tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni

bertutur ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ), untuk itulah

UNESCO memasukan kesenian tradisional Wayang ke dalam Daftar Warisan Dunia pada

tahun 2003. Dan seharusnya kita pun bangga akan hal ini.

Page 9: Pidato Bind

Gamelan yang berasal dari bahasa Jawa, menjadi kurikulum mata pelajaran di beberapa

sekolah asing di luar negeri. Khususnya Amerika Serikat, Singapura, dan Jepang yang

sudah menempatkan kesenian tradisional Gamelan dan beberapa Tari Indonesia menjadi

sebuah mata pelajaran seni untuk dipelajari dari taman kanak-kanak hingga perguruan

tinggi. Hal ini ironis, jika dilihat dari kebanyakkan sekolah lokal yang seolah seperti

menyisihkan mata pelajaran seni budaya kesenian tradisional Indonesia. Beruntung sekali

karena tidak semua sekolah menyisihkannya, karena masih ada banyak sekolah-sekolah

daerah yang mengajarkan seni budaya gamelan dan kesenian tradisional lainnya seperti

halnya yang telah dilakukan di beberapa negara maju tersebut. Ini lah salah satu yang

juga perlu kita dukung.

Universitas ternama di belahan dunia yang selalu bertengger di peringkat atas dari

seluruh universitas dunia yang diambil berdasarkan catatan dari Ranking web of world

universities webometrics.info , seperti Californian Institute Of The Art, University of

California Berkeley , San Jose State University , Pittsburgh University, Yale University,

dan lainnya juga Inggris pun juga seperti tak mau kalah, ada Oxford University,

Cambridge University, Durham University, Queens University, Dartington University

dan universitas lainnya memasukkan Gamelan sebagai kurikulum mata kuliah world

music . Ini juga salah satu yang dapat kita banggakan bahwa beberapa kesenian

tradisional kita sangat dan amat dihargai oleh universitas asing ternama.

Kevin Fogg

Page 10: Pidato Bind

Dan hal yang menarik lainnya yang pastinya membuat orang-orang Indonesia tersenyum

bangga adalah ketika Kevin Fogg mengatakan bahwa Bahasa Indonesia menjadi salah

satu mata kuliah di Yale University, dan mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia cukup

banyak, karena dalam 1 semester bisa mencapai 40 orang mahasiswa. Ya kesenian

tradisional semakin dtinggalkan oleh generasi muda Indonesia itu. Beberapa orang asing

yang terekam di layar kaca juga tak kaku memainkan gamelan, seperti sudah terbiasa,

terbiasa karena terlatih rutin.

Ada ungkapan menarik dari seorang Indonesia bernama Rasino, lelaki kelahiran 17 Juli

1975, seorang alumnus mahasiswa Jurusan Kerawitan ISI (Institut Seni Indonesia) Solo,

tahun 1999. Seorang yang juga ahli dalam memainkan bonang, bahkan ia juga bisa

memainkan alat gamelan lainnya seperti menabuh kendang, gong, gender, gambang,

saron, slenthem, siter dan suling, terlepas dari kekurangannya yang sudah tidak bisa

melihat, alias tunanetra. Ia mengatakan seperti ini, seperti yang dikutip dari

vivanews.com :

Orang luar saja belajar musik gamelan sedangkan kita justru tidak. Tentu ironis sekali.

Apakah besok kalau kita belajar harus kepada orang asing tersebut?”. kata Rasino.

Rasino

Semoga saja tidak ada unsur kebalikan di masa depan kelak. Ya, seperti halnya ucapan

Rasino, jika bukan dimulai dari kita pribadi, lalu siapa lagi yang akan melestarikan

Page 11: Pidato Bind

kesenian tradisional ini, apakah orang asing itu yang justru melestarikannya? Dan jika

demikian, apakah suatu saat nanti ketika kita sadar bahwa kesenian tradisional itu begitu

penting dan berharga karena itu mencerminkan identitas suatu bangsa, ditambah lagi jika

kebanyakkan orang lokal yang mahir memainkan kesenian tradisional tersebut telah

meninggal karena tidak menutup mata kebanyakkan penggiat kesenian tradisional

sekarang adalah orang-orang tua, bukan orang muda, dan terlebih tidak ada yang

mewarisi keahliannya? Lalu, apakah kita justru belajar kesenian tradisional dari orang

asing yang jelas-jelas kita sebagai yang punya dan idealnya kita lah yang lebih mahir

memainkannya? Coba tanya lah pada diri kawan sendiri.